Perdirjen BPDASPS No.2 Tahun 2015 Ttg Juknis Pemanfaatan Model Hidrologi Dalam PDAS

January 15, 2019 | Author: Muh Faisal | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Perdirjen BPDASPS No.2 Tahun 2015 Ttg Juknis Pemanfaatan Model Hidrologi Dalam PDAS...

Description

                                

               

KEMENTERIAN KEHUTANAN PENGELOLAAN DAS DAN PERHUTANAN PERHUTANAN SOSIAL DIREKTORAT JENDERAL BINA PENGELOLAAN JAKARTA

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR : P. 2/V-SET/2015 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PEMANFAATAN PEMANFAA TAN MODEL HIDROLOGI DALAM PENGELOLAAN DAERAH  ALIRAN SUNGAI SUNGAI (DAS) DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL

Menimbang : bahwa sebagai sebagai tindak lanjut ketentuan ketentuan BAB II, II, BAB III dan BAB IV Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial tentang Petunjuk Teknis Pemanfaatan Model Hidrologi Dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 19 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286); 2. Undang-Un Undang-Undang dang Nomor Nomor 26 Tahun Tahun 2007 2007 tentang tentang Penata Penataan an Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 472); 3. Undang-Un Undang-Undang dang Nomo Nomorr 23 Tahun Tahun 2014 tent tentang ang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587); 4. Undang… i

KEMENTERIAN KEHUTANAN PENGELOLAAN DAS DAN PERHUTANAN PERHUTANAN SOSIAL DIREKTORAT JENDERAL BINA PENGELOLAAN JAKARTA

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR : P. 2/V-SET/2015 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PEMANFAATAN PEMANFAA TAN MODEL HIDROLOGI DALAM PENGELOLAAN DAERAH  ALIRAN SUNGAI SUNGAI (DAS) DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL

Menimbang : bahwa sebagai sebagai tindak lanjut ketentuan ketentuan BAB II, II, BAB III dan BAB IV Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial tentang Petunjuk Teknis Pemanfaatan Model Hidrologi Dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 19 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286); 2. Undang-Un Undang-Undang dang Nomor Nomor 26 Tahun Tahun 2007 2007 tentang tentang Penata Penataan an Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 472); 3. Undang-Un Undang-Undang dang Nomo Nomorr 23 Tahun Tahun 2014 tent tentang ang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587); 4. Undang… i

4. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2014 tentang Konservasi Tanah dan Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 299, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5608); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 76 tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 201, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4947); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5292); 7. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2015 tentang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 17); 8. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.60/Menhut-II/2013 tentang Tata Cara Penyusunan dan Penetapan Rencana Pengelolaan DAS; 9. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.61/Menhut-II/2014 Tentang Monitoring Dan Evaluasi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai; 10.Peraturan 10. Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Nomor P.15/V-Set/2009 tentang Pedoman Pembangunan Areal Model DAS Mikro. MEMUTUSKAN Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL TENTANG PETUNJUK TEKNIS PEMANFAATAN MODEL HIDROLOGI DALAM PENGELOLAAN DAS Pasal 1 Petunjuk Teknis Pemanfaatan Model Hidrologi dalam Pengelolaan sebagaimana sebagaima na tercantum dalam Lampiran Peraturan Direktur Jenderal ini.

ii

DAS

Pasal 2 Petunjuk Teknis Pemanfaatan Model Hidrologi Dalam Pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dijadikan acuan dalam melaksanakan kegiatan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi pengelolaan daerah aliran sungai. Pasal 3 Petunjuk Teknis ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta Pa Pada a tanggal tangga : 20 Februari ruari 2015 2015 DIREKTUR IREKTU JENDERAL, J NDERAL,

Dr. r. Ir. r. HILMAN ILMAN NUGROHO, NU R  , M.P. NIP. IP. 1959 19590615 0 198603 98603 1 004

Tembusan: 1. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia di Jakarta; 2. Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan di Jakarta; 3. Inspektur Jenderal Kementerian Kehutanan di Jakarta; 4. Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan di Jakarta; 5. Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam di Jakarta; 6. Direktur Jenderal Planologi Kehutanan di Jakarta; 7. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan di Jakarta; 8. Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Kehutanan di Jakarta; 9. Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup di Jakarta; 10.Kepala Dinas Kehutanan Provinsi di Seluruh Indonesia; 11.Kepala Balai Pengelolaan DAS di Seluruh Indonesia.

iii

LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAS DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR: P. 2/V-DAS/2015 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PEMANFAATAN MODEL HIDROLOGI DALAM PENGELOLAAN DAS

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Dalam pengelolaan DAS, setiap stakeholder berperan sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing agar kondisi sumberdaya alam DAS tetap lestari. Dengan demikian, keberhasilan Pengelolaan DAS sangat ditentukan oleh banyak pihak yang melaksanakan tugas dan fungsinya secara terintegrasi, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, monitoring sampai dengan evaluasi. Dalam melaksanakan keterpaduan yang dilakukan oleh para pihak akan melalui proses yang sangat kompleks sehingga memerlukan sebuah model yang mampu menyederhanakan dan mengkuantifikasikan hasil sebuah proses. Mengingat DAS adalah suatu unit hidrologi sehingga pengelolaan DAS memerlukan model hidrologi. Banyak model hidrologi yang tersedia seperti ANSWERS ( Areal Nonpoint Source Watershed Environment Response Simulation ), AGNPS ( Agricultural Non-Point Source ), WEPP (Water Erosion Prediction Project ), SWAT (Soil and Water Assessment Tool ) dapat digunakan untuk kepentingan pengelolaan DAS.  Asosiasi Dunia Konservasi Tanah dan Air (WASWC) telah merekomendasikan kepada Negara-negara anggotanya untuk dapat memanfaatkan dan mengembangkan SWAT dalam konservasi tanah dan air. Model SWAT memungkinkan simulasi sejumlah proses fisik yang berbeda pada suatu DAS. SWAT sebagai salah satu model hidrologi merupakan model terdistribusi yang terhubung dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan mengintegrasikan Sistem Pengambilan Keputusan Spasial (Spatial DSSDecision Support System ) sehingga model SWAT berdayaguna tinggi. Model SWAT dioperasikan pada interval waktu harian dan dirancang untuk memprediksi dampak jangka panjang dari praktek pengelolaan lahan terhadap sumberdaya air, sedimen dan hasil agrokimia pada DAS besar dan komplek dengan berbagai skenario pengelolaan dan penggunaan lahan. Model SWAT dapat mengidentifikasi, menilai dan mengevaluasi tingkat permasalahan biofisik suatu DAS dan sebagai alat untuk memilih tindakan 1

pengelolaan dalam mengendalikan permasalahan tersebut. Dengan demikian melalui penggunaan model SWAT dapat dikembangkan dan ditentukan beberapa skenario pengelolaan dan penggunaan lahan yang terbaik. 1.2. Maksud dan Tujuan Petunjuk Tenis Pemanfaatan Model Hidrologi dalam Pengelolaan DAS dimaksudkan untuk menyediakan panduan teknis guna mengoperasikan model hidrologi SWAT dalam pengelolaan DAS. Sedangkan tujuannya adalah meningkatnya kapasitas sumber daya manusia dalam pengelolaan DAS dengan alat bantu model hidrologi SWAT. 1.3. Ruang Lingkup dan Manfaat Petunjuk teknis ini memuat: Parameter/Data yang Dibutuhkan dalam Model SWAT, Operasionalisasi Model Hidrologi SWAT, Penyusunan Laporan Hasil Penerapan Model Hirologi SWAT dalam Pengelolaan DAS, Aplikasi dan Konsep Model SWAT dalam Perencanaan Pengelolaan DAS. Operasional pemanfaatan model hidrologi SWAT perlu memperhatikan beberapa hal sebagai berikut: 1. Tidak dapat dioperasikan dengan baik dalam DAS yang mengalami kebocoran aliran keluar maupun masukan aliran ke dalam DAS yang diuji. 2.  Akan menjadi lebih rinci apabila di dalam DAS terdapat bangunan waduk atau bendungan, dan menjadi kompleks apabila dalam DAS terdapat bendung sadap untuk irigasi atau penggunaan lainnya. 3. Tidak efektif atau bahkan tidak dapat dioperasikan dalam DAS yang memiliki batuan induk kapur (karst) atau DAS yang memiliki areal dominan gambut serta rawa. Model SWAT dapat digunakan dalam pengelolaan DAS terkait dengan perencanaan pengelolaan DAS, implementasi RTkRHL serta Monitoring dan Evaluasi Kinerja DAS, karena SWAT mampu menghitung debit aliran sungai dan produksi sedimen (sediment yield ) harian, bulanan, dan tahunan untuk setiap unit respon hidrologi (Hydrology Response Unit   /HRU), sub DAS, dan DAS. Setelah dilakukan kalibrasi dan validasi model, simulasi pengelolaan dan penggunaan lahan (implementasi RTkRHL) dapat dilakukan untuk mengetahui efektifitasnya, dan pada tahap selanjutnya kinerja pengelolaan DAS dapat ditentukan standar dan kriterianya berdasarkan Permenhut No. 61 tahun 2014. Bahkan, pola debit aliran sungai dan produksi sedimen sepanjang tahun di titik pengeluaran ( outlet ) DAS dapat digambarkan secara baik apabila data iklim harian, tutupan lahan, dan sifat fisika kimia tanah tersedia. Lebih jauh, hasil air (water yield ) yang dapat dihitung oleh model SWAT dapat digunakan untuk menduga apakah air yang keluar dari outlet

2

DAS akan melebihi kapasitas tampung sungai atau tidak sehingga genangan atau banjir untuk dapat diperkirakan. 1.4. Beberapa Aplikasi SWAT Model SWAT telah diaplikasikan secara luas di berbagai negara terutama terkait dengan analisis hidrologi. Aplikasi tersebut antara lain meliputi : 1. Kajian aliran permukaan, erosi dan sedimen. 2. Simulasi penggunaan dan pengelolaan lahan dalam kaitannya dengan hasil air (kuantitas dan kualitas), hasil sedimen serta transportasi unsur hara dan pestisida. 3. Simulasi distribusi air tanah dan air bawah tanah. 4. Perkiraan air tanah, recharge , tile-flow , dan tingkat air bawah tanah. 5. Penilaian kualitas air secara komprehensif. 6. Kajian pestisida dan pergerakannya dalam air. 7. Penilaian dampak perubahan iklim terhadap hidrologi dan polutan. 1.5. Pengertian 1. Daerah Aliran Sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah pengairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. 2. Pengelolaan DAS  adalah upaya manusia dalam mengendalikan hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktifitasnya, dengan tujuan membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan. 3. Rencana Pengelolaan DAS terpadu  adalah konsep pembangunan yang mengakomodasikan berbagai peraturan perundangan-undangan yang berlaku dan dijabarkan secara menyeluruh dan terpadu dalam suatu rencana berjangka pendek, menengah maupun panjang yang memuat perumusan masalah spesifik di dalam DAS, sasaran dan tujuan pengelolaan, arahan kegiatan dalam pemanfaatan, peningkatan dan pelestarian sumberdaya alam air, tanah dan vegetasi, pengembangan sumberdaya manusia, arahan model pengelolaan DAS, serta sistem monitoring dan evaluasi kegiatan pengelolaan DAS; 4. Model   adalah penyederhanaan sistem yang digunakan untuk menggambarkan sistem kehidupan nyata (real world ) dengan suatu 3

tujuan tertentu. Suatu model merupakan pengungkapan bentuk konsep dari sistem yang sebenarnya; 5. Model Hidrologi adalah sebuah sajian sederhana dari sebuah sistem hidrologi yang kompleks atau merupakan model yang menggambarkan secara abstrak atau sederhana dari keadaan hidrologi yang mempunyai kesamaan dengan keadaan hidrologi sebenarnya di lapang, dan model utama hidrologi meliputi model fisik, analog dan digital (deterministik, stokastik, parametrik). 6. SWAT (Soil and Water Assessment Tool)   adalah model hidrologi berbasis fisika (physically based ) yang membutuhkan informasi spesifik tentang iklim, sifat-sifat tanah, topografi, vegetasi, dan praktek pengelolaan lahan yang terjadi di dalam DAS - yang digunakan untuk memprediksi dampak praktek pengelolaan lahan terhadap air, sedimen, dan bahan kimia pertanian yang masuk ke sungai atau badan air pada suatu DAS yang kompleks dengan tanah, penggunaan tanah dan pengelolaannya yang bermacam-macam sepanjang waktu yang lama. 7. HRU  (Hydrologic Respons Unit)   atau unit respon hidrologi adalah unit analisis terkecil dalam model SWAT yang dihasilkan dari tumpang tindih antara peta tanah, tutupan lahan dan kelas lereng. 8.  Air adalah  semua air yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang berada di darat. 9.  Air Permukaan  adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah. 10. Air Tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah. 11. Tata Air DAS  adalah hubungan kesatuan individu unsur-unsur hidrologis yang meliputi hujan, aliran permukaan dan aliran sungai, peresapan, aliran air tanah dan evapotranspirasi dan unsur lainnya yang mempengaruhi neraca air suatu DAS. 12. Pemantauan Tata Air  adalah pengamatan dan pengukuran potensi sumberdaya air (kuntitas, kualitas, dan kontinuitas) pada suatu titik pengukuran dalam suatu daerah tangkapan air atau DAS secara periodik dan terus-menerus. 13. Aliran Air atau Limpasan  (runoff)   sinonim dengan aliran sungai (stream flow ), hasil air daerah tangkapan air ( catchment yield ), adalah bagian dari air hujan (presipitasi) yang mengalir di atas permukaan tanah (surface runoff ) dan atau di dalam tanah (subsurface runoff ) menuju ke suatu sungai.

4

14. Debit Air  (discharge, Q)   adalah volume air (cairan) yang mengalir melalui suatu penampang melintang sungai per satuan waktu, dalam satuan m3 /detik. 15. Volume Debit (Q)   adalah total volume aliran (limpasan) yang keluar dari daerah tangkapan air atau DAS/Sub DAS, dalam satuan mm atau m3. 16. Debit Puncak atau Debit Banjir  (qp, Qmaks)   adalah besarnya volume air (cairan) maksimum (terbesar) yang mengalir melalui suatu penampang melintang suatu sungai per satuan waktu, dalam satuan m3 /detik. 17. Debit Minimum (Qmin)  adalah besarnya volume air (cairan) minimum (terendah) yang mengalir melalui suatu penampang melintang suatu sungai per satuan waktu, dalam satuan m 3 /detik. 18. Aliran/Limpasan Permukaan (surface runoff)  adalah bagian limpasan yang melintas di atas permukaan tanah menuju saluran sungai. 19. Aliran/Limpasan Bawah Permukaan  (subsurface runoff) adalah bagian dari limpasan permukaan yang disebabkan oleh bagian air hujan yang terinfiltrasi/meresap ke dalam tanah dan bergerak secara lateral melalui horizon-horizon tanah bagian atas menuju sungai. 20. Aliran/Limpasan Permukaan Langsung (direct runoff) adalah bagian limpasan permukaan memasuki sungai secara langsung setelah curah hujan. Limpasan permukaan langsung merupakan sinonim dengan ”hujan efektif” (efektif rainfall ). 21. Hasil Air  (water yield)   adalah total limpasan dari suatu daerah pengaliran air (drainage basin ) yang disalurkan melalui saluran air permukaan dan akuifer (reservoir  air tanah). 22. Hujan Lebih (rainfall excess)  adalah kontribusi curah hujan terhadap limpasan permukaan langsung. 23. Infiltrasi adalah proses masuknya air ke dalam permukaan tanah dengan gaya gerak gravitasi dan kapiler dalam suatu aliran. 24. Laju infiltrasi aktual adalah laju air berpenetrasi ke permukaan tanah pada setiap waktu dengan kombinasi gaya-gaya gravitasi, viskositas, dan kapilaritas. 25. Kapasitas infiltrasi  adalah laju maksimum presipitasi yang dapat diserap oleh tanah pada kondisi tertentu. 26. Sistem  adalah sekumpulan urutan antar hubungan dari unsur-unsur yang dialihragamkan (transform ), dalam referensi waktu yang diberikan, dari unsur masukan yang terukur menjadi unsur keluaran yang terukur. 27. Model Matematik   adalah sebuah sajian sistem dalam rangkaian persamaan, dan kadang-kadang dengan ungkapan-ungkapan yang menyajikan hubungan antar variabel dan parameter. 5

28. Model Konseptual adalah sebuah sajian proses-proses hidrologi dalam persamaan matematik dan membedakan antara fungsi produksi dan fungsi penelusuran (routing ). 29. Parameter adalah besaran yang menandai suatu sistem hidrologi yang memiliki nilai tetap, tidak tergantung dari waktu. 30. Variabel  adalah besaran yang menandai suatu sistem, yang dapat diukur dan memiliki nilai berbeda pada waktu yang berbeda. 31. Model ”lumped”   adalah suatu model hidrologi yang besaran dari variabel dan parameter yang diwakilinya tidak mempunyai variabilitas ruang (spatial variability ), misalnya masukan berupa hujan rata-rata DAS. 32. Model ”distributed”   adalah suatu model hidrologi yang besaran dari variabel dan parameter yang diwakilinya mengandung variabilitas ruang dan waktu. 33. Erosi adalah pindahnya atau terangkutnya material tanah atau bagianbagian tanah dari satu tempat ke tempat lain oleh media alami (air/angin). 34. Sedimentasi adalah proses perpindahan dan pengendapan erosi tanah, khususnya hasil erosi permukaan dan erosi parit. Sedimentasi menggambarkan material tersuspensi (suspended load ) yang diangkut oleh gerakan air dan atau diakumulasi sebagai material dasar ( bed load ). Dari proses sedimentasi, hanya sebagian material aliran sedimen di sungai yang diangkut keluar dari DAS, sedang yang lain mengendap di lokasi tertentu di sungai selama menempuh perjalanannya. 35. Hasil Sedimen  adalah besarnya sedimen yang keluar dari suatu DAS/SubDAS. 36. Degradasi DAS  adalah hilangnya nilai dengan waktu, termasuk menurunnya potensi produksi lahan dan air yang diikuti tanda-tanda perubahan watak hidrologi sistem sungai (kualitas, kuantitas, kontinuitas), yang akhirnya membawa percepatan degradasi ekologi, penurunan peluang ekonomi, dan peningkatan masalah sosial. 37. Banjir adalah debit aliran air sungai yang secara relatif lebih besar dari biasanya akibat hujan yang turun di hulu atau disuatu tempat tertentu secara terus menerus, sehingga air limpasan tidak dapat ditampung oleh alur/palung sungai yang ada, maka air melimpah keluar dan menggenangi daerah sekitarnya. Banjir bandang ( flash flood ) terjadi pada aliran sungai yang kemiringan dasar sungainya curam. 38. Karakteristik DAS  adalah gambaran spesifik mengenai DAS yang dicirikan oleh parameter yang berkaitan dengan keadaan morfometri, topografi, tanah, geologi, vegetasi, penggunaan lahan, hidrologi, dan manusia. 6

39. Koefisien Limpasan (C)   adalah bilangan yang menunjukkan perbandingan (nisbah) antara besarnya limpasan terhadap besar curah hujan penyebabnya, nilainya lebih besar dari 0 (nol) dan lebih kecil atau sama dengan 1 (satu). Misalnya, nilai c = 20, artinya 20 persen dari curah hujan menjadi limpasan. 40. Koefisien Regim Sungai  (KRS)   adalah bilangan yang menunjukkan perbandingan antara nilai debit maksimum (Qmaks) dengan nilai debit minimum (Qmin) pada suatu DAS/Sub DAS. 41. Lahan Kritis  adalah lahan yang keadaan fisiknya sedemikian rupa sehingga lahan tersebut tidak dapat berfungsi secara baik sesuai dengan peruntukannya sebagai media produksi maupun pengatur tata air. 42. Sistem Informasi Geografi (SIG)  adalah suatu sistem berbasis komputer yang dapat digunakan untuk mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, dan memanipulasi informasi geografi.

7

BAB II. PARAMETER/DATA YANG DIBUTUHKAN DALAM MODEL SWAT

2.1. Tipologi Geofisik DAS Berdasarkan karakteristik biofisik dan batuan geologi penyusun DAS dan lingkungannya, maka DAS dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori: 1. DAS yang disusun dengan bahan induk batuan (beku, sedimen, metamorf) yaitu: a. Penyusun batuan geologi vulkanik seperti tufaan, andesitik, dan basaltik, air mengalir secara kontinyu ( parennial ) (Sumatera, Jawa, Bali, Sulawesi). b. Penyusun batuan sedimen (sedimentary rocks ) atau batuan beku (igneous rock ) yang berasal dari bahan non vulkanik atau vulkanik, dengan topografi berbukit dan bergunung di bagian hulu tapi langsung dataran landai dimana air sungai saat musim kemarau sangat surut bahkan kering (intermittent ), sungai berpindah-pindah banyak batuan dan pasir kasar (braded ) (Indonesia bagian timur). c. Penyusun batuan kapur (karst area ), banyak dijumpai sungai bawah tanah sehingga batas DAS tidak jelas atau diindikasikan oleh sink holes dan conicle karst (Jawa Tengah bagian Selatan, Kalimantan Timur). 2. DAS yang disusun dari bahan induk bahan organik yaitu DAS yang sangat luas dan landai serta didominasi oleh lahan gambut (Kalimantan, Sumatera bagian timur). Klasifikasi di atas tidak mempertimbangkan karakteristik sosial budaya dan perkembangan ekonomi dalam DAS walaupun sosial dan budaya masyarakat dalam DAS banyak ditentukan oleh karakteristik biofisik DAS terutama kemampuan pasokannya (biocapacity ) dimana daya dukung DAS bisa ditentukan dan diukur. Karakteristik geofisik DAS tersebut sangat menentukan tata air atau hidrologi terutama terkait dengan output DAS yaitu debit air sungai di outlet. DAS yang terbangun di daerah kapur tidak mempunyai outlet yang jelas, misalnya beberapa sungai yang ada di Gunung Kidul hilang dan terputus, muncul outletnya di pantai Baron, patai selatan Samudra Hindia. Sementara di sebagian Indonesia bagian Timur, banjir selalu muncul saat musim hujan walaupun hulu DAS tertutup oleh vegetasi berkayu yang rapat tapi topografi berbukit atau bergunung dengan lereng yang terjal dan solum tanah dangkal. Di wilayah tersebut, saat musim kemarau aliran air sungai sangat kecil bahkan tidak berair. Selanjutnya, setiap tipologi geofisik DAS yang berbeda tentunya menghendaki pengelolaan yang berbeda pula. Secara umum berbagai model hidrologi termasuk model SWAT tidak bisa diaplikasikan di DAS yang berbahan geologi kapur ( karst area ) seperti Gunung Kidul dan Wonogiri atau sulit diaplikasikan di daerah yang terpengaruh pasang surut air laut termasuk daerah atau lahan gambut. 8

Parameter yang dibutuhkan model SWAT terdiri dari karakteristik DAS (saluran sungai), iklim, tanah, tutupan dan pengelolaan lahan. Setiap parameter tersebut terdiri dari nilai-nilai dan data spasialnya. Peta spasial yang diinput ke dalam model SWAT sudah harus dalam proyeksi Universal Transverse Mercator  (UTM). 2.2. Karakteristik DAS (data karakteristik saluran sungai) Parameter karakteristik DAS (saluran sungai) meliputi lebar sungai/CH_W(2), kedalaman sungai (CH_D), kemiringan lereng/CH_S(2), panjang lereng/CH_L(2), koefisien kekasaran saluran untuk saluran sungai utama (Koefisien n Manning’s/CH_N(2)) dan anak sungai (Koefisien n Manning’s/CH_N(1)) (Tabel 1), konduktivitas hidrolik efektif pada saluran/CH_K(2) (Tabel 2), faktor erodibilitas saluran/CH_COV1, dan faktor tutupan saluran/CH_COV2. Nilai CH_COV1 dan CH_COV2 ditentukan setelah pengguna menentukan metode yang digunakan untuk penelusuran sedimen/CH_EQN. Apabila metode yang dipilih adalah Simplified Bagnold Equation   maka nilai faktor erodibilitas saluran dan faktor tutupan saluran seperti yang disajikan pada Tabel 3. Apabila metode lain yang dipilih, maka nilai CH_COV1 dan CH_COV2 dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 1. Nilai koefisien Kekasaran Saluran untuk Sungai Utama dan Anak Sungai Berdasarkan Chow (1959) No

Karakteristik Saluran

1

Sudah dikeruk atau digali

2

Nilai Kekasaran Manning rata-rata

Kisaran

a. terpelihara, lurus, seragam b. terpelihara, berkelok, tidak seragam

0,025 0,035

0,016 - 0,033 0,023 - 0,05

c. tidak terpelihara dan banyak tanaman liar Alami

0,075

0,04 - 0,14

0,05 0,1

0,025 - 0,065 0,05 - 0,15

a. sedikit tanaman dan berbatu b. banyak pohon dan berbatu Sumber: Neistch et al ., 2011

Data lebar sungai, kedalaman sungai, kemiringan lereng, dan panjang lereng akan dibangkitkan melalui peta Digital Elevation Model   (DEM) yang diinput oleh pengguna pada saat menjalankan model SWAT. Peta DEM dapat diperoleh dari peta SRTM ( Shuttle Radar Thematic Mapper ) yang dikeluarkan oleh Badan Geologi Amerika Serikat (USGS), peta ASTER, ataupun dari peta kontur. Meski data-data tersebut dibangkitkan melalui DEM, perlu adanya pengecekan lapang seperti lebar dan kedalaman sungai. 9

Hal ini sangat diperlukan dalam rangka memastikan bahwa hasil bangkitan model tidak terlalu jauh dari kenyataan di lapangan. Tabel 2. Konduktivitas Hidrolik Efektif/CH_K(2) di Saluran Utama Kelompok Material Dasar

No. 1

Karakteristik Material Dasar

Kecepatan kehilangan Tidak ada kerikil dan sangat cepat pasir dengan ukuran besar Kecepatan kehilangan Sedikit mengandung krikil cepat dan pasir Kecepatan kehilangan Campuran krikil dan sedang pasir dengan kandungan liat - debu rendah Kecepatan kehilangan Campuran krikil dan rendah pasir dengan kandungan liat - debu sedang Kecepatan kehilangan Campuran krikil dan sangat rendah pasir dengan kandungan liat - debu tinggi

2 3

4

5

Kecepatan Kehilangan (mm/jam) > 127

51 -127 25 – 76

6 – 25

0,025 – 2,5

Tabel 3. Nilai CH_COV1 dan CH_COV2 untuk CH_EQN = Bagnold Nilai 0

CH_COV1 Saluran yang tidak erosive

1

Saluran yang tidak resisten hingga yang tererosi

CH_COV2 Ada vegetasi penutup saluran sehingga saluran terlindungi dari erosi Tidak ada vegetasi penutup di dalam saluran

Tabel 4. Nilai CH_COV1 dan CH_COV2 untuk CH_EQN lainnya  Vegetasi di Tebing Saluran Tidak ada vegetasi Rumput Pohon kecil Pohon besar

CH_COV1 1,00 1,97 5,40 19,20

 Vegetasi di Saluran Tidak ada vegetasi Rumput Pohon kecil Pohon besar

CH_COV2 1,00 1,97 5,40 19,20

Informasi lainnya yang perlu disiapkan yaitu metode apa yang akan digunakan untuk menghitung aliran permukaan, metode penelusuran aliran sungai, faktor kompensasi evaporasi tanah, faktor kompensasi pengambilan air tanah oleh tanaman, dan waktu tenggang terjadinya aliran permukaan (SURLAG).

10

2.3. Iklim Data iklim yang menjadi input dalam model SWAT adalah data harian yang terdiri dari curah hujan (mm), temperatur udara maksimum dan minimum (oC), radiasi sinar matahari (MJ/m 2 /hari), kelembaban udara (%) dan kecepatan angin (m/dtk), kesemuanya dalam periode harian. Data harian yang harus ada adalah curah hujan dan temperatur maksimum dan minimum harian. Hal ini dikarenakan ketiga nilai tersebut sangat berpengaruh pada debit yang dihasilkan model, tetapi bukan berarti mengesampingkan pentingnya parameter iklim yang lain.  Apabila data telah terkumpul, tahap selanjutnya adalah menyusun data-data tersebut ke dalam format yang diminta model SWAT, baik itu dalam format teks ataupun database file, tergantung pada versi interface GIS yang digunakan. Selain itu, data-data tersebut akan digunakan untuk membangun pembangkit iklim (weather generator ) (Tabel 5) yang berfungsi untuk mengisi data-data yang hilang. Data pembangkit iklim diinput ke dalam model melalui menu Edit SWAT Input. Informasi lain yang dibutuhkan adalah daftar stasiun iklim yang di dalamnya terdiri dari nama stasiun, titik koordinat dan elevasi setiap stasiun yang ada di lokasi kajian. Contoh format data untuk data curah hujan dan temperatur disajikan pada Gambar 1 dan Gambar 2. Tabel 5. Data pada Pembangkit Iklim No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

Data TMPMX TMPMN TMPSTDMX TMPSTDMN PCPMM PCPSTD PCPSKW PR_W1 PR_W2 PCPD RAINHHMAX

12 13 14

SOLARAV DEWPT WNDAV

Definisi Rata-Rata temperatur udara maksimum harian setiap bulan (°C) Rata-Rata temperatur udara minimum harian setiap bulan (°C) Standar deviasi temperatur udara maksimum harian setiap bulan Standar deviasi temperatur udara maksimum harian setiap bulan PCPMM: Rata – rata curah hujan bulanan (mm) Standar deviasi curah hujan harian setiap bulannya PCPSKW: koefisien skewness curah hujan harian setiap bulan Probabilitas hari basah yang mengikuti hari kering setiap bulannya Probabilitas hari basah yang mengikui hari basah setiap bulannya Rata-rata jumlah hari hujan setiap bulan Curah hujan maksimum 30 menit pada periode awal pencatatan setiap bulannya Rata-rata radiasi matahari harian setiap bulannya (MJ/m2 /day) Rata-rata temperatur pada titik embun setiap bulannya (°C) Rata-rata kecepatan angin harian setiap bulannya (m/s)

11

(a) (b) Gambar 1. Data Curah Hujan (a) dan Daftar Stasiun Curah Hujan (b)

(a) (b) Gambar 2. Data Temperatur (a) dan Daftar Stasiun Temperatur (b) Penyiapan data iklim juga dapat disesuaikan dengan metode prediksi evapotranspirasi potensial yang akan dipilih pada saat simulasi dijalankan (Tabel 6). Model SWAT menyediakan tiga model prediksi evapotranspirasi potensial yaitu metode Penman – Monteith, metode Priestley-Taylor dan Metode Hargreaves. Tabel 6. Data Iklim yang dibutuhkan berdasarkan metode Evapotranspirasi No. 1. 2. 3.

Metode Penman – Monteith Priestley-Tay Metode Hargreaves

Temperatur Maksimum

Temperatur Minimum

Data Kelembaban Relatif

√ 

√ 

√ 

√ 

√  √ 

√  √ 

√ 

√ 

12

Radiasi Matahari

Kecepatan  Angin

√ 

2.4. Tanah Informasi tanah yang dibutuhkan model dibagi menjadi informasi umum untuk setiap jenis tanah dan data untuk setiap lapisan tanah pada masing-masing jenis tanah. Seluruh jenis data tersebut beserta metode yang digunakan untuk memperoleh data disajikan secara ringkas pada Tabel 7. Informasi umum dan data per lapisan tanah disiapkan pada format Microsoft Database Access   atau pengguna dapat langsung menginput nilai-nilai tersebut ke dalam ArcSWAT. Selain itu, perlu  juga disi apkan pe ta spasialn ya dimana atri butnya hanya terdir i dari identitas (Value) dan nama tanah (Name) saja. Setiap ID dan nama tanah akan terhubung secara otomatis dengan database acces   pada saat pengguna menjalankan model SWAT. Tabel 7. Data Input Tanah No. Data Informasi Umum setiap Jenis Tanah 1. Nama tanah 2. Jumlah lapisan 3. Kelompok hidrologi tanah 4. 5.

Sumber Data Peta Tanah Pengamatan profil tanah Ditentukan berdasarkan informasi tekstur atau laju infiltrasi minimum Pengamatan profil tanah

Kedalaman perakaran maksimum pada profil tanah (mm), Kelas tekstur tanah

Pengkelasan berdasarkan kandungan pasir, debu, dan liat

Data per Lapisan Tanah 6. Ketebalan lapisan/horizon tanah (mm) 7. Bobot isi (g/cm3) 8. Kadar air tersedia (mm H2O/mm tanah) 9. Kandungan bahan organik tanah (%) 10. Konduktivitas hidrolik jenuh (mm/jam) 11. Kandungan pasir, debu, liat (%) 12. Kandungan bahan kasar (%), 13. Nilai albedo tanah 14. Nilai erodibilitas tanah

Pengamatan profil tanah Hasil analisis laboratorium Hasil analisis laboratorium Hasil analisis laboratorium Pengukuran di lapangan Hasil analisis laboratorium Pengamatan di lapangan Hasil perhitungan dengan rumus Hasil perhitungan dengan rumus

Data-data pada Tabel 7 diperoleh dengan cara membuat satu profil pewakil pada setiap satuan tanah terpilih untuk diamati sifat morfologinya dan dilakukan pengambilan contoh tanah utuh dan contoh tanah terganggu. Pengamatan yang dilakukan pada penampang profil tanah adalah jumlah lapisan, kedalaman perakaran maksimum pada profil tanah, ketebalan 13

lapisan/horizon tanah, kandungan bahan kasar dan struktur tanah. Contoh tanah utuh dan tanah terganggu diambil dari setiap lapisan/horison tanah. Contoh tanah utuh diambil menggunakan ring sampler sedangkan contoh tanah terganggu menggunakan plastik sampler yang kemudian dibawa ke laboratorium untuk dianalisis. Hasil analisis contoh tanah utuh terdiri dari bobot isi, kadar air tersedia, dan permeabilitas. Contoh tanah terganggu digunakan untuk analisis tekstur, dan C-organik tanah. Kandungan bahan organik tanah diperoleh dengan cara mengalikan Corganik yang diperoleh dari hasil analisis laboratorium dengan angka 1,724. Nilai albedo tanah merupakan fungsi dari bahan organik dan dihitung dengan persamaan:

  

dimana SALB adalah nilai albedo tanah dan ORGMAT adalah persentase bahan organik. Konduktivitas hidrolik jenuh diukur di lapangan pada setiap satuan tanah terpilih. Apabila tidak memungkinkan untuk dilakukan pengukuran nilai tersebut, maka nilai tersebut dapat didekati dengan data permeabilitas. Erodibilitas tanah merupakan fungsi dari struktur, bahan organik, dan permeabilitas. Adapun persamaannya yaitu:

           dimana K adalah erodibilitas tanah, M adalah parameter ukuran partikel (%pasir sangat halus x (100 - %liat)), a adalah bahan organik (%), b adalah kode struktur tanah (Tabel 8) dan c adalah kelas permeabilitas tanah (cm/jam) (Tabel 9). Kelompok hidrologi tanah ditentukan berdasarkan informasi tekstur tanah (Tabel 10) ataupun laju infiltrasi minimum (Tabel 11). Tabel 8. Kode Struktur Tanah Deskripsi Struktur Granular sangat halus Granular halus Granular sedang atau kasar Bersudut, datar, berbentuk prisma, atau masiv

Kode Struktur 1 2 3 4

Tabel 9. Kelas Permeabilitas Tanah Nilai Permeabilitas (mm/jam) ›150 50 – 150 15 – 50 5 – 15 1–5 ‹1

Deskripsi Cepat Sedang sampai cepat Sedang Lambat sampai sedang Lambat Sangat lambat

14

Kode Struktur 1 2 3 4 5 6

Tabel 10. Kelompok Hidrologi Tanah berdasarkan Kelas Tekstur Tanah Kelompok Hidrologi Tanah

Keterangan

 A

Potensi aliran permukaan paling kecil: pasir dalam, loess dalam, debu yang beragregat

B

Potensi aliran permukaan kecil: loess dangkal, lempung berpasir,

C

Potensi aliran permukaan sedang: lempung berliat, lempung berpasir dangkal, tanah berkadar bahan organik rendah, dan tanah-tanah berkadar liat tinggi

D

Potensi aliran permukaan tinggi: tanah-tanah yang mengembang secara nyata jika basah, liat berat, plastis, dan tanah-tanah salin tertentu.

Tabel 11. Kelompok Hidrologi Tanah berdasarkan Laju Infiltrasi Minimum Kelompok Hidrologi Tanah (HSG)

Laju infiltrasi minimum (mm/jam)

 A B C D

8 – 12 4–8 1–4 0–1

2.5. Tutupan dan Pengelolaan Lahan Database SWAT untuk tutupan lahan sebenarnya menghendaki informasi yang detil untuk setiap tutupan lahan yang ada di daerah studi, mulai dari indeks luas daun, suhu optimum untuk pertumbuhan tanaman, indeks panen, faktor C minimum untuk tutupan lahan/tanaman, bilangan kurva hingga berapa banyak residu yang tersisa di permukaan lahan dan beberapa parameter lainnya (dapat dilihat pada SWAT Input/Ouput Documentation ). Meski demikian, pengguna tidak perlu khawatir akan hal tersebut, karena pengguna dapat mengganti beberapa parameter yang penting terkait dengan tutupan dan pengelolaan lahan sehingga pengguna tetap dapat menjalankan model. Hal itu akan memberikan hasil yang baik apabila pengguna dapat memadankan secara tepat setiap jenis tutupan lahan di daerah studi dengan tutupan lahan yang ada di dalam database SWAT. Catatan penting yang perlu diingat yaitu ketika padanan tutupan lahan sudah ditentukan maka semua nilai parameter default   model diasumsikan mendekati keadaan sebenarnya. Tentu akan lebih baik apabila

15

semua nilai default   tersebut dapat digantikan dengan nilai yang diukur di lapangan. Beberapa parameter penting yang perlu diidentifikasi sesuai dengan kondisi daerah studi yaitu nilai bilangan kurva/ curve number   (CN2), koefisien kekasaran Manning untuk aliran permukaan/overland flow   (OV_N), faktor kompensasi evaporasi tanah (ESCO), faktor kompensasi pengambilan air tanah oleh tanaman (EPCO), dan faktor tindakan konservasi tanah dan air. Penentuan bilangan kurva dilakukan setelah pengguna menentukan padanan nama untuk setiap tutupan lahan, kelompok hidrologi tanah dan kandungan kelembaban tanah awal ( Antecedent Moisture Condition   /AMC). Kandungan kelembaban tanah awal disajikan pada Tabel 12 dan membutuhkan data hujan harian untuk menentukannya. Langkah selanjutnya yaitu menentukan bilangan kurva untuk masingmasing jenis tutupan lahan yang ada di daerah studi berdasarkan Tabel 13. Contoh penentuan yaitu: jenis tutupan lahan hutan dalam keadaan baik dengan kelompok hidrologi tanah C dan AMC II maka bilangan kurvanya adalah 70. Tabel 12. Kandungan Kelembaban Tanah Awal (AMC) Total Jumlah Curah Hujan 5 Hari Sebelumnya (mm) Kondisi

Deskripsi Umum

I

Tanah dalam keadaan kering tapi tidak sampai pada titik layu, telah pernah ditanami dengan hasil memuaskan

II

Keadaan rata-rata

III

Hujan lebat atau hujan ringan dan temperatur rendah telah terjadi dalam 5 hari terakhir, tanah jenuh

Musim Dorman

Musim Tumbuh

< 13

< 35

13 – 28

35 – 53

> 28

> 53

Koefisien kekasaran Manning untuk aliran permukaan (OV_N) ditentukan berdasarkan karakteristik permukaan lahan (Tabel 14). Faktor kompensasi evaporasi tanah (ESCO) dan faktor kompensasi pengambilan air tanah oleh tanaman (EPCO) ditentukan oleh penggunan berdasarkan kemungkinan pengambilan air dari lapisan tanah yang paling dalam yang akan memberikan kontribusi terhadap proses evaporasi dan transpirasi. Nilai ESCO dan EPCO berada pada kisaran 0,01 – 1,00, semakin rendah nilai ESCO maka model semakin mungkin untuk mengambil air dari lapisan tanah 16

yang paling bawah untuk memenuhi kebutuhan evaporasi. Apabila nilai EPCO mendekati 1 maka model memungkinkan tanaman untuk mengekstrak air dari lapisan tanah yang paling bawah. Tabel 13. Bilangan Kurva Aliran Permukaan untuk Berbagai Komplek Tanah Penutup Tanah (AMC II dan Ia = 0,2 S) a. Bilangan kurva aliran permukaan untuk lahan pertanian budidaya Penggunaan Lahan Lahan bera

Tanaman dalam baris

Tidak ada penutup tanah  Adanya residu tanaman di permukaan* Baris lurus Baris lurus dengan residu Kontur Kontur dengan residu Kontur dan teras

Padipadian/bijibijian kecil

Kontur dan teras dengan residu Baris lurus Baris lurus dengan residu Kontur Kontur dengan residu Kontur dan teras

Leguminosa ditanam rapat atau pergiliran tanaman

-

Kelompok Hidrologi Tanah  A B C D 77 86 91 94

Buruk

76

85

90

93

Baik Buruk Baik Buruk Baik Buruk Baik Buruk Baik Buruk Baik Buruk Baik Buruk Baik Buruk Baik Buruk Baik Buruk Baik Buruk Baik Buruk Baik Buruk Baik Buruk Baik Buruk Baik

74 72 67 71 64 70 65 69 64 66 62 65 61 65 63 64 60 63 61 62 60 61 59 60 58 66 58 64 55 63 51

83 81 78 80 75 79 75 78 74 74 71 73 70 76 75 75 72 74 73 73 72 72 70 71 69 77 72 75 69 73 67

88 88 85 87 82 84 82 83 81 80 78 79 77 84 83 83 80 82 81 81 80 79 78 78 77 85 81 83 78 80 76

90 91 89 90 86 88 86 87 85 82 81 81 80 88 87 86 84 85 84 84 83 82 81 81 80 89 85 85 83 83 80

Perlakuan atau Praktek Pengelolaan

Kontur dan teras dengan residu Baris lurus Kontur Kontur dan teras

Kondisi Hidrologi

*penutupan oleh residu hanya diaplikasikan apabila jumlah residu minimal 5% pada permukaan tanah, sepanjang tahun.

17

b. Bilangan kurva aliran permukaan untuk lahan pertanian lainnya Tutupan Lahan Tipe Tutupan Kondisi Hidrologi Buruk Padang rumput penggembalaan1 Sedang Baik Padang rumput yang dipotong Brush-brush-weed-grass mixture Buruk 2 with brush the major element Sedang Baik Hutan – kombinasi dengan Buruk rumput (anggrek atau pohonSedang pohonan) Baik 3 Hutan Buruk Sedang Baik Perumahan petani atau daerah pedesaan

Kelompok Hidrologi Tanah A B C D 68 79 86 89 49 69 79 84 39 61 74 80 30 58 71 78 48 67 77 83 35 56 70 77 30 48 65 73 57 73 82 86 43 65 76 82 32 58 72 79 45 66 77 83 36 60 73 79 30 55 70 77 59 74 82 86

1

  Buruk: penutup tanah < 50% atau dipanen seluruhnya tanpa menyisakan mulsa; Sedang: penutup tanah 50 – 75% dan tidak dipanen secara berlebih; Baik: penutup tanah > 75%, dipanen pada saat tertentu saja 2   Buruk: penutup tanah < 50%; Sedang: penutup tanah 50 – 75%; Baik: penutup tanah > 75% 3   Buruk: adanya serasah, pohon-pohon kecil, dan rumput yang rusak karena panen berlebih atau pembakaran regular; Sedang: pohon-pohon terbakar, dan beberapa serasah hutan menutupi tanah; Baik: pohon dilindungi dari pemanenan dan serasah dan rumput menutupi tanah dengan baik.

Faktor tindakan konservasi tanah dan air (P USLE) ditentukan nilainya berdasarkan jenis konservasi yang diterapkan di lahan. Nilai-nilai tersebut dapat dilihat pada Tabel 15 dan Tabel 16. Data-data tersebut dimasukkan ke dalam model melalui menu SWAT Edit Input  yang ada di dalam menu SWAT. Selain itu, perlu juga disiapkan peta spasialnya dimana informasi minimal yang harus ada di dalam atributnya yaitu identitas (ID) dan nama setiap jenis penggunaan/penutupan lahan (SWAT_ID) saja. Setiap ID dan nama penggunaan/penutupan lahan akan terhubung secara otomatis dengan database acces   pada saat pengguna menjalankan model SWAT.

18

Lanjutan Tabel 13.. c. Bilangan kurva aliran permukaan untuk daerah urban # (sumber: SCS Engineering Divison, 1986)

Kelompok Hidrologi Tanah

Tutupan Kondisi Hidrologi

Tipe Tutupan Lahan Daerah urban yang terbangun Lahan terbuka (padang rumput yang dipelihara, taman lapangan golf, kuburan dan lain-lain) ^

Rata-rata daerah terbangun

A

B

C

D

Buruk

68

79

86

89

Sedang

49

69

79

84

Baik

39

61

74

80

-

98

98

98

98

Lahan terbangun Paved parking lots, roofs, driveaways, dan lainnya Paved street and roads: saluran terbuka Gravel streets and roads

-

83

89

92

93

-

76

85

89

91

Dirt streets and roads

-

72

82

87

89

Daerah Urban

Komersial dan bisnis

85 %

89

92

94

95

Industri

72 %

81

88

91

93

< 0,05 ha

65 %

77

85

90

92

0,05  –  0,10 ha

38 %

61

75

83

87

0,10  –  0,13 ha

30%

57

72

81

86

0,13  –  0,20 ha

25 %

54

70

80

85

0,20  –  0,40 ha

20 %

51

68

79

84

0,40  –  0,81

12 %

46

65

77

82

77

86

91

94

Pemukiman

Daerah Urban yang terbangun

 Newly graded areas (tidak ada vegetasi) #

SWAT secara otomatis akan menjustifikasi bilangan kurva untuk daerah terbangun ketika IURBAN dan URBLU didefinisikan dalam file .hru. ^   Buruk: tutupan rumput < 50%, Sedang: tutupan rumput 50 – 75%; Baik: tutupan rumput > 75%> Catatan lainnya: bilangan kurva juga dapat dilihat pada buku Konservasi Tanah dan Air oleh Sitanala Arsyad (2010).

19

Tabel 14. Koefisien Kekasaran Manning’s untuk aliran permukaan/overland  flow No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

Karakteristik Permukaan Lahan Bera, tidak ada residu Pengolahan tradisional, tidak ada residu Pengolahan tradisional, ada residu Pengolahan dengan bajak sederhana, tidak ada residu Pengolahan dengan bajak sederhana, ada residu Pengolahan dengan traktor, ada residu Tanpa olah tanah, tidak ada residu Tanpa olah tanah, residu 0.5-1 ton/ha Tanpa olah tanah, residu 2-9 ton/ha Padang rumput, penutupan lahan 20% Rumput prairie

Nilai Tengah 0,010 0,090 0,190 0,090

0,008 – 0,012 0,060 – 0,120 0,160 – 0,220 0,060 – 0,120

0,130

0,100 – 0,160

0,400 0,070 0,120 0,300 0,600 0,150

0,300 – 0,500 0,040 – 0,100 0,070 – 0,174 0,170 – 0,470 0,100 – 0,200

Kisaran

Tabel 15. Nilai PUSLE untuk Kontur Kemiringan lereng (%) 1–2 3–5 6–8 9 – 12 13 – 16 17 – 20 21 – 25

PUSLE

Panjang Lereng Maksimum (m) 122 91 61 37 24 18 15

0,60 0,50 0,50 0,60 0,70 0,80 0,90

Sumber: Wischmeier and Smith 1978 dalam Neitsch et al ., 2011

Tabel 16. Nilai PUSLE untuk Penerapan Strip Tanaman dan Kontur Kemiringan Lereng (%) 1–2 3–5 6–8 9 – 12 13 – 16 17 – 20 21 - 25

 A

PUSLE B

0,30 0,25 0,25 0,30 0,35 0,40 0,45

0,45 0,38 0,38 0,45 0,52 0,60 0,68

20

C

Lebar Strip

Panjang Lereng Maksimum

0,60 0,50 0,50 0,60 0,70 0,80 0,90

40 30 30 24 24 18 15

244 183 122 73 49 37 30

BAB III. OPERASIONALISASI MODEL HIDROLOGI SWAT

3.1. Instalasi Dan Pengaturan Aplikasi Model SWAT Kebutuhan Perangkat Lunak Dasar 1.  ArcGIS versi 9.3 dan ArcSWAT versi 2009.93.7b atau ArcGIS 10.1 dan ArcSWAT versi 2012.10_1.7/2012.10_1.14/2012.10_1.15 atau ArcGIS 10.2 dan ArcSWAT 201210.2.15 (Pilih salah satu pasangan dari ketiga versi tersebut) 2. Microsoft Office (untuk pengolahan data lanjut). Cara menginstal ArcSWAT 1. Copy installer ArcSWAT dari media yang diberikan atau dapat mendownload di www.swa.tamu.edu. 2. Klik dua kali untuk membuka file installer tersebut, umumnya dengan ekstensi .exe atau .msi hingga keluar jendela ArcSWAT Setup dan klik OK lalu lanjutkan dengan cara penginstalan seperti pada umumnya dan tunggu sampai proses selesai.

21

Pengaturan Menu ArcWAT di ArcGIS  ArcSWAT merupakan menu extension dari ArcGIS, sehingga harus diaktifkan. Caranya: 1. Start ArcGIS 2. Pilih menu Customize  dan klik menu Extensions , kemudian centang/klik ArcSWAT 3. Pilih menu Customize  dan klik Toolbars a. Spatial Analyst b. SWAT Project Manager c. SWAT Watershed Delineator Perhatikan bahwa ketiga menu tersebut sudah ada pada bar menu.

3.2. Pengenalan Software Model SWAT dan Pendukungnya SWAT atau Soil and Water Assessment Tool , merupakan model hidrologi yang dikembangkan untuk memprediksi pengaruh pengelolaan lahan terhadap hasil air, sedimen, muatan pestisida dan kimia hasil pertanian yang masuk ke sungai atau badan air pada suatu DAS yang kompleks dengan tanah, penggunaan lahan dan pengelolaannya yang bermacam-macam sepanjang waktu yang lama (Neitsch et al . 2011). Model SWAT dikembangkan dengan menggunakan interface Sistem Informasi Geografis, dikenal dengan ArcSWAT, sehingga dibutuhkan software ArcGIS untuk dapat menjalankan  ArcSWAT. Software pendukung lainnya yaitu SWATCheck yang berfungsi untuk memeriksa secara umum apakah hasil running sudah relatif benar atau belum. Selain itu dibutuhkan pula Software Microsoft Office yang nantinya digunakan untuk mengolah hasil running dan menyajikannya dalam bentuk grafik atau tabel.  Apapun interface SWAT yang digunakan, proses running model terdiri dari 3 tahapan utama yaitu (1) tahap pertama merupakan tahap membuat batas DAS dan Sub DAS, (2) tahap kedua merupakan tahap pembentukan HRU (Hydrology Respon Unit ) dan (3) tahap ketiga merupakan tahap SWAT Setup and Run . Pada menu ArcSWAT terdapat menu SWAT Editor yang akan membantu pengguna dalam mengedit beberapa data input untuk disesuaikan dengan daerah kajian. Menu tersebut juga sangat membantu pengguna dalam merencanakan simulasi pengelolaan daerah aliran sungai.

22

3.3. Pembuatan Projek Model SWAT Pengaturan Projek SWAT Sebelum menjalankan aplikasi ArcSWAT, pengguna selalu diminta untuk membuat satu folder terlebih dahulu. Folder tersebut berfungsi untuk menyimpan file hasil running  model. Folder diberi judul sesuai dengan yang diinginkan pengguna atau dapat disamakan dengan nama DAS yang akan dikaji dan disimpan di direktori D atau E, contohnya Ciliwung.

Kemudian lalukan langkah berikut untuk pengaturan projek: 1. Jalankan aplikasi ArcGIS lalu pilih SWAT Project Setup pada toolbar dan pilih New SWAT Project hingga muncul jendela Project Setup.

2. Pada jendela Project Setup pilih Project Directory dan arahkan ke folder Ciliwung yang telah dibuat sebelumnya, lalu klik OK.

23

3. Setelah selesai melakukan pengaturan untuk projek yang akan dijalankan, maka pengguna dapat mempelajari struktur projek tersebut dengan membuka folder Ciliwung. Struktur projek terdiri dari: a. Ciliwung.mxd - file projek ArcSWAT yang menyimpan sistem ArcGIS sehingga dapat dimulai ulang dengan peta yang sama. b. Ciliwung.mdb - file konfigurasi ArcSWAT. Terdiri dari sub-sub file pilihan tertentu terkait dengan input model. c. SWAT2012.mdb - database projek awal d. RasterStore.mdb –file penyimpan data atribut peta spasial yang dihasilkan selama menjalankan program. e. Scenarios - subfolder yang berisi data input dan ouput hasil menjalankan model SWAT. f. Watershed - subfolder yang berisi input peta-peta, dan peta perantara yang akan dihasilkan selama menjalankan model SWAT. Catatan: jika ingin menghapus projek, cukup hapus folder projek saja. Persiapan Data Input SWAT

Persiapan data-data yang dibutuhkan model SWAT telah dijelaskan pada BAB II.  Data-data tersebut dimasukkan ke dalam model SWAT melalui menu Edit SWAT Input yang ada pada menu ArcSWAT. Sedangkan peta spasial dapat disiapkan dengan bantuan perangkat lunak ArcGIS. Data curah hujan dan temperatur disiapkan dalam format teks (.txt) dan harus memiliki daftar stasiunnya. Contohnya yaitu: 1. Data curah hujan dan daftar stasiun curah hujan

2. Data temperatur maksimum dan minimum dan daftar stasiun temperatur

24

3.4. Deliniasi Batas Daerah Aliran Sungai (DAS) Proses running membutuhkan folder yang telah dibuat sebelumnya sebagai tempat penyimpanan hasil. Apabila telah ditutup, maka buka kembali file Ciliwung.mxd. tahapan untuk deliniasi DAS yaitu: 1. Klik Watershed Deliniator Deliniation.

sehingga akan muncul jendela Watershed

2. Pangil data DEM Ciliwung, klik lambang folder  pada DEM Setup sehingga muncul jendela Open DEM, pilih Load from Disk   lalu arahkan pada lokasi tempat menyimpan data DEM.

3. Setelah data DEM muncul di layar, menu DEM Projection Setup akan aktif, klik iconnya dan isi Z unit dengan meter. 4. Kemudian klik lambang folder  pada pilihan Mask   untuk memasukkan Mask Ciliwung yang berfungsi untuk mendetilkan daerah DAS yang akan dikaji. Mask yang digunakan dapat berupa Peta Batas DAS atau membuat Mask secara manual. Pilih Load from Disk   dan klik OK untuk memasukkan Peta Batas DAS sebagai Mask, lalu klik Add.

25

NB: Jika Anda punya peta sungai yang baik untuk suatu DAS, anda dapat menggunakan pilihan Burn-In.  Tools ini juga digunakan untuk memperbaiki keakuratan hasil deliniasi jaringan sungai. 5. Kemudian Klik flow direction and acculumation .

6. Klik Stream Network (create stream and outlets ).

26

7. Langkah selanjutnya adalah menentukan titik outlet, bisa langsung memilih yang sudah dihasilkan model ataupun membuat titik outlet baru sesuai dengan koordinat SPAS yang ada di lapangan. Apabila ingin membuat titik outlet baru maka pada menu edit manually, klik add point, lalu buat titik sesuai instruksi pada jaringan sungai yang telah ditentukan. Setelah titik dibuat, maka langkah selanjutnya adalah memilih titik outlet tersebut sebagai outlet utama DAS. Klik menu Whole watershed outlet lalu pilih titik ooutlet yang telah dibuat sebelumnya.

8. Kemudian klik Delineate watershed   untuk membatasi DAS yang telah dipilih outletnya, sehingga terbentuklah batas DAS.

9. Klik Calculate subbasin parameters untuk mendapatkan data karakteristik DAS dari DEM yang digunakan dan klik OK apabila proses telah selesai kemudian klik Exit.

27

NB: Tampilan sebelah kanan menunjukkan DAS yang telah dibuat batasnya. Peta tersebut menunjukkan jaringan sungai dan outlet sungai. Perhatikan bahwa DAS telah dibagi menjadi beberapa SubDAS.

3.5. Pembentukan HRU (Hydrologic Response Unit ) SWAT menggunakan pembagian Sub DAS sebagai dasar pembagian untuk unit respon hidrologi (HRU). Masing-masing HRU merupakan kombinasi dari penggunaan lahan, tanah dan kelas lereng yang homogen. Membuat HRU 1. Pada jendela ArcSWAT, klik HRU Analysis. Kemudian pilih Land Use/Soils/Slope Definition  sehingga akan muncul jendela Land Use/Soils/Slope Definition. Pada  jendela tersebut, kita akan mendefinisikan penggunaan lahan, tanah dan lereng.

2. Pada jendela Land Use/Soils/Slope Definition, pilih data Penggunaan lahan (Landuse Data ), dengan mengklik lambang folder di bawah landuse grid  dan akan keluar jendela Select Landuse data, pilih “load landuse dataset(s) from disk ”, kemudian pilih peta penggunaan lahan yang akan digunakan kemudian akan keluar  jendela info, dan klik Ok . Kemudian pilih menu Choose grid field, untuk menentukan informasi mana yang akan digunakan dalam pendefinisian data land use , pilih value. Kemudian akan muncul kolom tambahan (LandUseSWAT) tempat pengguna mendefinisikan setiap land use   sesuai dengan value-nya, misalnya value 2 adalah FRST. Caranya yaitu mengklik dua kali salah satu baris pada kolom yang kosong

28

kemudian akan muncul jendela SWAT Land Use, lalu pilih crop  (merupakan database land use), klik OK   dan pilih FRST. Jika semua data land use   telah didefinisikan maka klik reclassify . Cara lainnya untuk mendefinisikan setiap kelas penggunaan lahan yaitu menggunakan table LookUp Table  yang harus disiapkan sebelum menjalankan model.

3. Kemudian lanjutkan dengan Soil Data dan “load soil dataset(s) from disk ”, arahkan ke folder tempat menyimpan data dan pilih peta tanah yang akan digunakan, sehingga akan keluar jendela info, kemudian klik Ok . Kemudian pilih menu Choose grid field, untuk menentukan informasi mana yang akan digunakan dalam pendefinisian data tanah, pilih value. Kemudian akan muncul kolom tambahan (Name) tempat pengguna mendefinisikan setiap tanah sesuai dengan value-nya. Caranya yaitu mengklik dua kali salah satu baris pada kolom yang kosong kemudian akan muncul jendela  “Soil Database Options ”  dan pilih User Soil, kemudian pilih jenis tanahnya. Jika semua

29

data tanah telah didefinisikan maka klik reclassify . Dapat juga menggunakan menu LookUp Table untuk mendefinisikan setiap jenis tanah.

Catatan: jika pada tahap ini Anda menyadari bahwa anda telah melupakan menambahkan data penggunaan lahan dan tanah pada database projek, tutup kembali  jendela HRU Analysis, tambahkan dulu kedua data tersebut ke database projek dan mulai kembali pendefinisian HRU melalui jendela awal ArcSWAT. 4. Kemudian tentukan data lereng dan pada menu Slope discretization   pilih multiple slope, dan pilih 5 kelas pada “number of slope classes ”.  Dan kemudian tentukan batas kelas slopenya dengan menggunakan: 0-8%, 8-15%, 15-25%, 25-40% dan >40%, klik add setelah mengetik masing-masing kelas lereng tersebut dan kemudian klik reclassify.

30

5. Setelah langkah ini selesai kemudian klik “overlay” pada tampilan jendela.

6. Lalu klik menu HRU definition  pada menu HRU Analysis sehingga muncul jendela HRU Definition. Klik pilihan Multiple HRU’s  dan threshold “percentage” . Kemudian tentukan nilai persentasenya, pada projek ini digunakan 10% untuk landuse, 10% untuk tanah, dan 5% untuk slope. Dan kemudian klik Create HRUs.

31

7. Kemudian pilih kembali menu HRU analysis  dan pilih HRU analysis report, sehingga muncul jendela HRU Analysis Report.

Mempelajari Muatan FullHRUs  Apabila pengguna menampilkan laporan dari menu HRU Analysis Report, maka pengguna dapat mengetahui berapa jumlah HRUs yang terbentuk pada DAS yang sedang dikaji dan terdiri dari kombinasi apa saja setiap HRUs tersebut. Laporan ini dapat membantu pengguna dalam melakukan analisis lebih lanjut. Laporan tersebut menunjukkan luas dan distribusi persentase masing-masing penggunaan lahan, tanah, dan kelas kemiringan lereng untuk keseluruhan DAS, masing-masing SubDAS dan HRUs.

32

3.6. Pengaturan Input dan Menjalankan Model SWAT Cara Mendefinisikan Data Iklim dalam SWAT  ArcSWAT meminta pengguna untuk menyediakan data hujan, suhu udara, radiasi matahari, kelembaban relatif dan kecepatan angin. Jika data harian untuk radiasi matahari, kelembaban relatif dan kecepatan angin tidak ada, maka model akan membangkitkan data-data tersebut berdasarkan pada Weather Generator   yang telah dibangun oleh pengguna. Terdapat dua cara untuk penyediaan data iklim tersebut: 1. Menggunakan data iklim global yang tersedia di website. Data tersebut telah disiapkan sesuai dengan format yang dibutuhkan ArcSWAT dan akan menjadi input untuk  ArcSWAT secara otomatis. Ada beberapa stasiun terdekat dengan DAS yang dapat diperoleh dari data global, pilih stasiun yang paling dekat dengan masing-masing subDAS dan buat file hujan dan suhu udara yang dibutuhkan. 2. Menggunakan file teks dengan struktur yang sama untuk daftar stasiun hujan, suhu udara, kelembaban relatif, radiasi matahari dan kecepatan angin tetapi menggunakan data yang disiapkan pengguna dari sumber lokal. Cara ke 2 merupakan pilihan terbaik jika pengguna memiliki sumber lokal, karena data stasiun global sering kali menunjukkan pola iklim yang sangat berbeda dengan DAS yang kita kaji. Penyiapan data iklim sebagaimana telah dijelaskan pada Sub Bab 3.3.

33

Mendefinisikan Data Iklim dan Menulis File Input SWAT Sekarang, kita akan mendefinisikan data iklim untuk projek SWAT yang kita kerjakan. 1. Pada menu Write Input Tables  pilih Weather Stations sehingga muncul jendela Weather Data Definitian. Kemudian masukan data iklim untuk masing-masing parameter, yaitu data Weather Generation, data curah hujan, data suhu, data kelembapan nisbi, data radiasi matahari, dan data kecepatan angin. Tampilannya adalah sebagai berikut:

2. Setelah memasukkan data iklim, kemudian pilih menu “Write SWAT Input Tables”, dan akan keluar jendela Write SWAT Database Tables   dan kemudian klik Select  All  pada kiri bawah jendela, dan klik create tables .

3. Setelah tampilan jendela “done building selected tables” keluar, klik ok .

Menjalankan SWAT 1. Pilih menu SWAT Simulation  pada ArcSWAT dan pilih Run SWAT, kemudian tentukan berapa tahun data yang akan disimulasi. Pada projek ini simulasi dilakukan selama 7 tahun yaitu dari 1/1/2003 sampai 1/1/2010. Kemudian pilih printout setting  untuk menentukan periode simulasi apakah harian, bulanan, atau tahunan.

34

Pada projek ini dipilih daily. Jangan lupa untuk memilih spesifikasi PC yang digunakan, apakah 32 byte atau 64 byte. Dan kemudian klik Setup SWAT Run, dan klik OK.

2. Kemudian pilih “Run SWAT” dan akan keluar tampilan jendela running model, kemudian dan klik OK.

3. Sebelum menutup projek, klik save simulation. 4. Kemudian pilih menu Read SWAT Output  dan klik “Check Output Files to Import” dan pilih menu mana yang diinginkan (output.rch, output.sub, output.hru) kemudian klik “Import Files to Database” dan klik Ok .

35

3.7. Luaran/output Model SWAT Ouput yang sudah diimport sebelumnya merupakan luaran model dalam format table (access database). Output tersebut terdapat masing-masing pada level sungai (output.rch), sub DAS (output.sub) dan HRU (output.hru). selian itu, luaran model SWAT  juga disajikan dalam format teks. Tampilan output.std adalah sebagai berikut:

36

3.8. Parameter-parameter Sensitif dalam Model SWAT Parameter-parameter sensitif untuk setiap DAS berbeda-beda tetapi pada umumnya bisa saja terdiri dari beberapa parameter berikut ini: 1. Bilangan kurva aliran permukaan (CN2) 2. Konduktivitas hidrolik efektif (CH_K(1)) 3. Konstanta aliran dasar (αBF) 4. Kadar air tersedia (AWC) 5. Kekasaran saluran utama (CH_N(2)) 6. Kekasaran permukaan (OV_N) 7. Surface runoff lag coefficient  (surlag) 8. Waktu tunda terjadinya recharge akuifer (gw_delay) 9. LAI maksimum potesial 10. EPCO: plant uptake conpensation factor (ET/SW: tinggi) 11. ESCO: soil evaporation conpensation factor (gerakan kapiler: rendah). Beberapa nilai parameter tersebut merupakan nilai kisaran yang dapat dilihat pada file pdf SWAT Theory Final  dan SWAT Input Output Documentation. Setelah nilai kisarannya diketahui, maka pengguna harus menetapkan satu angka yang akan digunakan sebagai nilai masing-masing parameter berdasarkan kondisi DAS. Kemudian nilai-nilai tersebut harus diinput ke dalam model sebelum dilakukan proses running model. Cara menginput data-data tersebut ke dalam model yaitu dengan menggunakan menu Edit SWAT Input yang ada pada menu utama ArcSWAT.

1. Klik Edit SWAT Input, lalu pilih Subbasins Data dan kemudian pilih file mana yang akan diedit terlebih dahulu, misalnya nilai bilangan kurva, maka pilih file management, identifikasi subbasin, Land Use, Soils dan Slope yang akan diedit nilai bilangan kurvanya lalu klik OK sehingga jendela Edit Management Parameters muncul. Kemudian edit nilai bilangan kurva pada kolom CN2.

37

2. Kemudian edit nilai parameter lainnya dengan cara yang sama tetapi tentukan terlebih dahulu file pada SWAT Input Table sesuai parameter yang diinginkan. 3.  Apabila semua nilai parameter sudah selesai diedit, maka running kembali model pada menu SWAT Run dan lihat hasilnya.

3.9. Prosedur Kalibrasi dan Validasi Kalibrasi Proses kalibrasi suatu model, apapun model yang digunakan, sangat penting dilakukan. Hal ini terkait dengan ketepatan model tersebut dalam memberikan gambaran terhadap proses yang sebenarnya terjadi di lapangan. Apabila hasil model telah memberikan gambaran yang baik terhadap hasil observasi maka hasil model tersebut dapat digunakan untuk analisis selanjutnya dan untuk simulasi skenario yang diperlukan. Model telah cukup baik apabila debit hasil model memiliki kemiripan dengan debit hasil model. Kalibrasi pada umumnya dilakukan terhadap input model baik parameter, struktur maupun variabel. Adapun langkah-langkah yang perlu dilakukan yaitu: 1. Menyandingkan data debit hasil model dengan data hasil observasi untuk melihat pola kemiripaannya.

38

50.00     )     k    i    t    e 45.00     d     /    3 40.00    m     (    t    i 35.00     b    e    D 30.00

0

 H   u  j   100  a  n  (    m 200  m  )   300

25.00

400

20.00

500

15.00 600 10.00 700

5.00 0.00

800 1

2

3

4

CH

5

6

Q simulasi

7

8

9

10

11

12

Q observasi

2. Hitung nilai keakuratan model memprediksi debit dengan fungsi objektif. Salah satu fungsi objektif yang dapat digunakan adalah metode Nash-Sutcliffe (Ahl et al . 2008).  Adapun persamaannya yaitu sebagai berikut:

         y   y      NS = 1 -    y   y   

2

2

     

dimana y adalah debit aktual yang terukur (mm), ŷ adalah debit hasil simulasi (mm), dan   adalah rata-rata debit terukur. Efisiensi model Nash-Sutcliffe dikelompokkan menjadi 3 kelas yaitu baik jika NS ≥ 0.75, memuaskan jika 0.75 > NS > 0.36, dan kurang memuaskan jika NS < 0.36. 3. Apabila belum terdapat kemiripan maka proses kalibrasi dilakukan berdasarkan pola debit yang dihasilkan model. 4. Melalui pola tersebut dapat dijustifikasi parameter apa saja yang sangat mempengaruhi hasil model.

5. Kemudian proses kalibrasi dimulai dengan memilih menu SWAT Simulation  – Manual Calibration Helper, kemudian akan muncul jendela Manual Calibration.

6. Pada jendela Manual Calibration  dapat dipilih parameter yang akan digunakan selama proses kalibrasi, mulai dari Alpha_BF sampai Sol_No3. Hal yang perlu diingat oleh pengguna adalah tidak semua parameter tersebut harus dimasukkan dalam proses kalibrasi. Pemilihan parameter sangat tergantung pada pola debit yang dihasilkan.

39

7. Jika pengguna telah menentukan suatu parameter, misalnya Cn2, maka pilih Cn2 pada Select  Parameter lalu pilih metode yang akan digunakan pada Mathematical Op, apakah multiply by, replace by atau add. Parameter yang dipilih tersebut dapat diterapkan pada seluruh subbasin ataupun subbasin tertentu, jenis Land Use, Soils ataupun Slope tertentu pula tergantung pada hasil analisis pengguna. Lalu klik Update Parameter.

8. Setelah itu, pilih menu Edit SWAT Input – Rewrite SWAT Input Files. Tahapan ini penting diingat oleh pengguna karena setiap kali pengguna merubah nilai input untuk parameter tertentu, maka setiap itu pula pengguna harus memilih menu Rewrite SWAT Input Files. Jika hal ini terlewat, maka model tetap membaca input awal yang telah dilakukan pengguna.

40

9. Kemudian pilih kembali menu SWAT Simulation untuk menjalankan kembali model yaitu dengan memilih menu Run SWAT. Kemudian ulangi langkah yang sama seperti yang telah dijelaskan pada Sub Bab 3.3.

10. Setelah proses running tersebut, maka tampilkan kembali data debit observasi vs debit model hasil kalibrasi, dan hitung kembali nilai NS. Apabila nilai NS telah masuk kategori sedang, pengguna bisa saja menganggap proses kalibrasi selesai, atau jika ingin Nilai NS menjadi baik, maka pengguna melanjutkan kalibrasi dengan cara yang sama tetapi dengan mempertimbangkan parameter yang sensitive lainnya.  Validasi Model SWAT  Validasi model merupakan proses untuk menguji parameter yang telah dikalibrasi dengan suatu set data tanpa perubahan terhadap parameter-paramter tersebut. Pada tahap ini, pengguna perlu menentukan data tahun berapa yang akan digunakan untuk memvalidasi model. Misalnya terpilih tahun 2012, maka semua parameter input yang digunakan harus data tahun 2012 dan semua parameter yang telah dikalibrasi pada tahap sebelumnya. Setelah penentuan input, maka pengguna menjalankan model seperti yang telah dijelaskan pada Sub Bab 3.4, 3.5 dan 3.6. Kemudian, hasil model dinilai dengan fungsi objektif seperti yang telah dijelaskan pada materi Sub Bab 3.7.

3.10. Identifikasi HRU yang Bermasalah Identifikasi HRU/Subbasin yang bermasalah ditujukan untuk mengetahui HRU/ Subbasin mana saja yang berpotensi memberikan kontribusi terhadap kerusakan DAS. Dengan demikian rencana pengelolaan dapat diterapkan secara spesifik pada daerah tersebut sehingga hasilnya dapat diketahui secara cepat. Apabila hasil yang diberikan belum sesuai dengan harapan, maka pengguna dapat mensimulasikan rencana pengelolaan lainnya sampai diperoleh hasil yang baik. Hal yang perlu diketahui yaitu perencanaan pengelolaan yang akan disimulasikan sebaiknya disusun sesuai dengan keadaan daerah tersebut sehingga dapat diaplikasikan dengan baik di lapangan, bukan hanya perencanaan di atas meja. Untuk menentukan Subbasin mana yang memberikan kontribusi besar terhadap kerusakan DAS, dapat dilakukan dengan menghitung beberapa parameter hasil model lalu

41

membandingkannya dengan Peraturan Menteri Kehutanan nomor P. 61/Menhut-II/2013 tentang Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan DAS. Parameter yang akan dinilai yaitu nilai C (koefisien runoff) dan KRS (Koefisien Rejim Sungai).  Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan yaitu: 1. Membuka file output model dengan cara membuka folder tempat Anda menyimpan file projek. Pada folder tersebut Anda akan melihat ada 4 sub folder yaitu Scen, TablesIn, TablesOut dan TxtInOut sebagaimana ditunjukkan pada gambar di bawah ini. Kemudian Anda dapat melihat hasil menjalankan model pada folder TablesOut ataupun TxtInOut. Pada TablesOut, hasil running model disajikan dengan format Microsoft  Access sehingga memudahkan pengguna dalam proses analisis hasil. Sedangkan pada folder TxtInout, hasil disajikan dalam format teks.

2. Jika Anda memilih hasil dalam format Access, maka klik SWATOutput lalu pilih sub untuk melihat nilai curah hujan dan aliran permukaan yang akan digunakan untuk menghitung nilai C.

42

3. Kemudian copy kolom sub, PRECIPmm dan SURQmm  ke excel untuk proses pengolahan data. Nilai C dihitung dengan membandingkan nilai aliran permukaan terhadap besarnya curah hujan untuk masing-masing subbasin. Lalu berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan nomor P. 61/Menhut-II/2013 tentang Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan DAS tentukan subbasin mana yang memiliki status baik, sedang atau jelek. Berdasarkan hasil analisis data contoh diketahui bahwa seluruh subbasin di Sub DAS Ciliwung Hulu termasuk dalam kategori sedang berdasarkan nilai C. Dari 15 subbasin, subbasin 3, 4, 5, 7, 8, 9 memiliki nilai C yang mendekati kategori jelek yaitu berkisar antara 41-49%. Oleh karena itu, keenam subbasin tersebut diasumsikan memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap kerusakan DAS. Visualisasi status DAS tersebut disajikan pada gambar dibawah ini.

4. Kemudian hitung nilai KRS setiap subbasin dengan membandingkan nilai debit maksimum dengan debit minimumnya. Buka file rch  pada SWATOutput.mdb. Lalu copy kolom subbasin dan FLOW_OUTcms ke file excel untuk memudahkan analisis. Cari nilai debit maksimum dan minimum untuk setiap subbasin. Berdasarkan hasil analisi terhadap data contoh, ternyata subbasin 3, 4, 5, 7, 8, 9 memiliki nilai KRS yang sedang sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan nomor P. 61/Menhut-II/2013 tentang Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan DAS. Hal ini sejalan dengan hasil analisis nilai C untuk setiap sub basin.

43

5. Setelah identifikasi subbasin/sub DAS yang memberikan kontribusi besar terhadap kerusakan DAS, maka tahap selanjutnya adalah menentukan rencana pengelolaan apa yang akan diterapkan sehingga dapat memperbaiki kondisi DAS. Simulasi rencana pengelolaan dapat dilakukan seperti langkah-langkah yang telah dijelaskan pada Sub Bab 3.11. 6. Simulasi perencanaan juga dapat dilakukan melalui simulasi nilai CN setiap penggunaan lahan. Sebelum simulasi, harus diketahui nilai CN awal dari setiap penggunaan lahan. Hal ini dapat diketahui dengan cara masuk ke menu Edit SWAT Input, pilih Subbains Data sehingga muncul jendela Edit Subbasins Inputs  dan pilih tabel Management(.Mgt) lalu pilih  subbasin, Land Use, Soils, dan Slope dan klik  OK .

7. Kemudian akan muncul jendela Edit Management Parameters. Pada jendela ini diketahui bahwa nilai CN untuk AGRR adalah sebesar 85. Nilai CN untuk jenis Land Use lainnya dapat diketahui dengan melakukan langkah yang sama pada poin 6 di atas. Setelah nilai CN untuk masing-masing land use diketahui, maka sajikan dalam file excel sehingga memudahkan dalam mensimulasi nilai CN.

44

No

LU

Soils

Slope

CN

1

AGRR

SOIIL1

0-8

85

2

AGRR

SOIIL8

0-8

78

3

AGRL

SOIIL1

8-15

83

4

AGRL

SOIIL9

8-15

67

Berdasarkan tabel tersebut diketahui bahwa nilai CN bervariasi berdasarkan jenis tanah dan penggunaan lahan. Hal ini yang penting diingat oleh peserta pada tahap simulasi nilai CN karena Nilai CN merupakan nilai yang ditentukan berdasarkan informasi jenis penggunaan lahan dan kelompok hidrologi tanah. 8. Setelah dilakukan analisis berdasarkan kondisi HRU/Subbasin tersebut, misalnya diasumsikan bahwa CN terbaik untuk jenis LU AGRR pada SOIIL 1 adalah 80 maka masukkan nilai tersebut dengan cara Edit Values  pada jendela Edit Management Parameters. Lalu ketik angka 80 pada kolom CN. Hal yang penting diingat juga bahwa nilai CN yang baru hanya dapat diaplikasikan pada HRU tertentu saja, dalam hal ini yaitu pada HRU dengan kombinasi Land Use AGRR dan SOIIL 1 saja. Nilai tersebut dapat saja diaplikasikan pada seluruh subbasin atau subbasin tertentu berdasarkan hasil analisis yang dilakukan pada saat menentukan nilai CN. Masukkan juga nilai CN untuk jenis Land Use lainnya. Lalu klik Save Edits.

45

9. Apabila 9.  Apabila nilai CN baru telah semuanya diinput maka jangan lupa untuk menulis ulang input tersebut dengan memilih menu Rewrite SWAT Input Files  Files  pada menu Edit SWAT Input. Input. 10. Tahap selanjutnya adalah menjalankan kembali model (Run SWAT) dengan langkah seperti yang dijelaskan pada Sub Bab 3.6.  3.6.   Terkadang, sebelum menjalankan menu Run SWAT, model menghendaki pendefinisian ulang terhadap data iklim (Sub (Sub Bab 3.6.). 3.6 .). 11. Setelah running model selesai, maka analisis kembali data debit dan aliran permukaan yang dihasilkan model. Langkah ini sama seperti langkah 1 – 4 yang telah dijelaskan di atas. 12. Kemudian evaluasi hasil simulasi tersebut sehingga dapat diketahui apakah simulasi CN yang telah dilakukan dapat memperbaiki kondisi DAS. Evaluasi dilakukan berdasar Peraturan Menteri Kehutanan nomor P. 61/Menhut-II/2013 tentang Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan DAS untuk parameter C dan KRS, sama seperti yang telah dilakukan sebelumnya sehingga hasil tersebut dapat diperbandingkan. Sebagai catatan, simulasi CN yang dilakukan belum tentu dapat meningkatkan status kondisi seluruh subbasin (3, 4, 5, 7, 8, 9). Oleh karena itu, peserta dapat mencoba memperbaiki kondisi subbasin dengan mensimulasi penerapan RTK RHL lainnya pada subbasin tersebut. Selain evaluasi hasil model, perlu dilakukan evaluasi terhadap apa yang terjadi di lapangan. Tentunya parameter yang dievaluasi harus disesuaikan dengan parameter evaluasi yang dilakukan terhadap hasil model sehingga dapat diperbandingkan. Adapun data yang perlu dikumpulkan yaitu data curah hujan, debit dan aliran permukaan sebelum dan sesudah sesudah penerapan teknik teknik pengelolaan DAS. DAS. Apabila data telah terkumpul, terkumpul, maka dilakukan analisa terhadap nilai C dan KRS untuk setiap subbasin atau subbasin terpilih.

46

3.11. Simulasi Model SWAT Simulasi Penggunaan Lahan Simulasi pengelolaan penggunaan lahan dapat dilakukan pengguna melalui beberapa proses. Pertama, pengguna dapat membuat terlebih dahulu skenario perubahan penggunaan lahan di luar model ArcSWAT dan kemudian memasukkan skenario tersebut ke dalam model ArcSWAT pada saat tahap 2: HRU Analysis. Analysis. Kedua, pengguna dapat menggunakan menu yang telah disediakan oleh ArcSWAT yaitu Land Use Refinement pada Menu HRU Definition. Definition. Contoh berikut ini merupakan simulasi perubahan lahan melalui menu HRU Definition. Definition. 1. Pilih HRU Analysis  Analysis  dan klik HRU Definition  Definition  kemudian akan muncul jendela HRU Definition lalu pilih Land Use Refinement. Refinement.

2. Pada menu ini terdapat dua skenario yang dapat dipilih yaitu Land Use Split atau Land Use Exemption. Pada menu Land Use Split, jenis Land Use yang dipilih akan dibagi menjadi satu atau beberapa sub Land Use yang dipilih. Sedangkan pada menu Exemption, jenis Land Use yang dipilih akan ditiadakan. Pilih Select New Land Use to Split lalu lalu Add  Add Sub-Lu kemudian klik dua kali kolom di bawah menu Sub–Lu untuk memilih jenis sub penggunaan lahan, contohnya CORN. Setelah itu klik Save Edits. Edits.

47

3. Kemudian akan muncul jendela yang menyatakan bahwa definisi HRU telah dilakukan.

4. Apabila 4.  Apabila pengguna telah merasa cukup melakukan simulasi penggunaan lahan hanya dengan satu pemilihan jenis penggunaan lahan atau ingin menambahkan jenis lainnya, lakukan hal yang sama seperti dijelaskan pada poin 2. Kemudian lanjutkan kembali ke step 3: definisi data iklim dan menjalankan SWAT (Sub (Sub Bab 3.6). 3.6). Simulasi Reservoir Simulasi lain yang dapat diterapkan selain perubahan pola penggunaan lahan adalah simulasi struktur. Salah satu metoda struktur yang dapat dipilih yaitu simulasi reservoir. Tentunya skenario yang ingin disimulasikan telah ditentukan berdasarkan permasalahan yang ingin diselesaikan. Banyak sedikitnya reservoir dan lokasinya ditentukan berdasarkan hasil analisis terhadap data yang telah diperoleh dari hasil menjalankan model pada kondisi eksisting. Adapun tata cara melakukan simulasi reservoir yaitu: 1. Reservoir ditambahkan pada tahap pertama menjalankan model SWAT: Watershed Deliniation.. Dengan demikian, projek yang telah dijalankan sebelumnya dapat Deliniation disimpan ulang dengan nama yang berbeda atau pengguna memulai kembali membuat projek dari awal. Buat projek yang berbeda dengan judul simulasi_reservoir simulasi_reservoir.. 2. Ulangi kembali langkah pada Sub Bab 3.4. mulai 3.4. mulai dari poin 1 hingga 9. 3. Sebelum keluar dari tahap pertama, klik menu  Add or delete reservoir reservoir   sehingga muncul jendela yang memberitahu memberitahukan kan cara membuat reservoir.

48

4. Sebelum memberi titik disalah satu jaringan sungai yang telah dipilih sebagai lokasi reservoir, pengguna dapat saja memperbesar lokasi tersebut untuk mempermudah memberi titik reservoir. Kemudian klik kiri di lokasi tersebut, jika titik sudah muncul maka klik kanan dan pilih Stop Editing. Dengan demikian maka reservoir telah terbentuk. Hal ini dapat kita lihat apabila tampilan peta dikembalikan ke kondisi semula sebelum diperbesar, maka akan terlihat tambahan informasi pada legenda dan di peta terdapat titik berwarna ungu.

49

5. Kemudian pada jendela watershed delinition klik delinition klik exit exit.. 6. Lalu proses dilanjutkan dengan mendefinisikan HRU (Sub (Sub Bab 3.5. 3.5.)) dan mendefinisikan iklim dan menjalankan SWAT (Sub (Sub Bab 3.6.) 3.6.) 7. Selanjutnya pilih menu Edit SWAT Input  Input  dan pilih Reservoirs Reservoirs.. Hal ini dilakukan untuk mendefinisikan reservoir yang akan disimulasikan seperti luas permukaan reservoir, jumlah air yang dapat ditampung oleh reservoir dan beberapa informasi lainnya.

8. Kemudian akan muncul jendela Select Reservoir, Reservoir, pilih subbasin tempat lokasi reservoir dan akan keluar jendela Edit Reservoir Parameters. Parameters.

50

9. Setelah mengisi semua informasi yang dibutuhkan, maka klik Save Edits Edits   dan kemudian klik Exit Exit.. 10. Kemudian tulis ulang input yang telah kita edit tersebut dengan memilih menu Edit SWAT Input dan Input dan Rewrite SWAT Input Files. Files.

11. Kemudian run kembali model tersebut sebagaimana telah dijelaskan pada Sub Bab 3.6.

Simulasi Teknik Konservas Konservasii Simulasi teknik konservasi dapat diterapkan pada tingkat HRU ataupun Subbasin. Seperti skenario penggunaan lahan dan reservoir, simulasi teknik konservasi juga dilakukan berdasarkan kebutuhan dan kepentingannya dalam menyelesaikan permasalahan yang ada. Simulasi ini dilakukan dengan cara:

51

1. Pilih menu Edit SWAT Input dan Input dan klik Subbasins Data hingga Data hingga muncul jendela Edit Subbasin Inputs. Inputs.

2. Pada jendela tersebut, lalu pilih Subbasin Subbasin,, Land Use, Use, Soils Soils   dan Slope Slope   yang akan diterapkan teknik konservasi dan klik OK . 3. Kemudian muncul jendela Edit HRU Parameters dan klik Edit Values  Values  untuk memulai proses pengeditan informasi terkait teknik konservasi yang ingin dterapkan. Misalnya saja OV_N, ESCO atau EPCO. Nilai-nilai tersebut dapat diterapkan pada seluruh subbasin atau beberapa subbasin terpilih, begitu pula dengan jenis penggunaan lahan, tanah dan kelas lereng. Kemudian pilih Save Edits  Edits  sehingga muncul jendela yang menyatakan bahwa hasil edit telah disimpan dan klik OK .

4. Kemudian apabila diinginkan, pengguna juga dapat mengedit informasi terkait teknik konservasi pada menu input management. Pada menu Edit Subbasin Inputs  Inputs  pilih Management   sebagai SWAT Input Tabel yang ingin diedit. Setelah itu pilih Management Subbasin,, Land Use, Subbasin Use, Soils Soils   dan Slope Slope   yang ingin diedit dan klik OK   sehingga muncul jendela Edit Management Parameters. Parameters.

52

5. Pada jendela Edit Management Parameters  klik Edit Values  untuk mulai memasukkan nilai-nilai terkait konservasi misalnya USLE_P. Sama seperti pada tingkat HRU, nilai USLE_P tersebut dapat diterapkan pada seluruh subbasin atau hanya subbasin tertentu saja, begitu pula dengan jenis penggunaan lahan, tanah dan kelas lereng.

6. Kemudian tulis ulang input yang telah diedit tadi melalui menu Edit SWAT Input dan pilih Rewrite SWAT Input Files. 7. Setelah itu menjalankan kembali model sebagaimana telah dijelaskan pada Sub Bab 3.6. 8. Dengan demikian selesai sudah proses simulasi yang dilakukan. Hasil Simulasi Hasil dari skenario yang telah disimulasikan dapat dilihat sebagaimana hasil dari running model dengan keadaan eksisting. Hal ini dapat dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah pada Sub Bab 3.6. Apabila hasil running eksisting dan simulasi reservoir dibandingkan maka dapat diketahui bahwa adanya reservoir dapat menurunkan nilai sedimen yield  dan meningkatkan water yield .

53

Hasil running simulasi reservoir.

Hasil running keadaan eksisting.

54

BAB IV. PENYUSUNAN LAPORAN HASIL PENERAPAN MODEL SWAT DALAM PENGELOLAAN DAS

Format Laporan Rencana Pengelolaan DAS dengan Menggunakan Model SWAT Buku 1. Laporan Buku 2. Peta-peta Buku 3. Lampiran Data Buku 1. Laporan Bab 1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang 1.2 Maksud dan Tujuan Bab 2. Bahan dan Metode 2.1 Waktu dan Tempat Kegiatan 2.2 Bahan dan Alat 2.3 Metode Bab 3. Keadaan Umum Daerah Aliran Sungai 3.1.Karakteristik Biofisik 3.1.1. Kondisi Morfolmetri DAS 3.1.2. Kondisi Toografi Geomorfologi DAS 3.1.3. Kondisi Iklim 3.1.4. Tanah dan Degradasi Lahan 3.1.5. Penggunaan dan Penutupan Lahan 3.1.6. Iklim 3.1.7. Kondisi Hidrologi DAS 3.2 Karakteristik Sosial Ekonomi DAS Bab 4. Hasil dan Pembahasan 4.1 Unit Respon Hidrologi dan Sub DAS Terbentuk (Uraian jumlah unit respon hidrologi (HRU) dan sub DAS yang terbentuk, nantinya akan digunakan untuk identifikasi HRU dan sub DAS yang terdegradasi) 4.2 Karakteristik Hidrologi DAS (Uraian nilai-nilai aliran permukaan, aliran lateral, aliran dasar, hasil air, evapotranspirasi pada level DAS, Sub DAS dan HRU. Penjelasan Sub DAS dan HRU mana saja yang terdegradasi).

55

4.3 Debit dan Kalibrasi Model (Uraian tentang nilai debit pada DAS yang dikaji dan hasil kalibrasi model. Apabila diperlukan dapat menambahkan proses validasi dan hasilnya). 4.4 Simulasi skenario (Simulasi yang dilakukan ditujukan untuk memperbaiki Sub DAS dan HRU yang terdegradasi, dengan demikian akan ada perbandingan nilai karakteristik hidrologi untuk keadaan eksisting dan simulasi skenario dan pembahasannya. Uraikan pula setiap skenario yang disusun secara detil misalnya apakah skenario penggunaan lahan, skenario teknik konservasi tanah dan air yang diterapkan, misalnya teknik konservasi apa diterapkan dimana). 4.5 Rekomendasi tindakan untuk perencanaan pengelolaan DAS. (Uraian tentang rekomendasi perencanaan pengelolaan DAS berdasarkan hasil simulasi pada poin 4.4). Bab 5. Simpulan dan Saran 5.1 Simpulan 5.2 Saran Bab 6. Penutup Buku 2. Peta-Peta (Layout peta disesuaikan dengan kaidah kartografi, begitu pula ukuran kertas yang digunakan harus mengikuti kaidah yang benar terkait dengan skala peta asal). 1. Peta Topografi 2. Peta Distribusi Curah Hujan 3. Peta Penggunaan/Tutupan Lahan 4. Peta Tanah 5. Peta Batas DAS, Sub DAS, dan Jaringan Sungai 6. Peta HRU 7. Peta Sebaran Sub DAS Terdegradasi 8. Peta Sebaran HRU Terdegradasi 9. Peta Skenario 1 (misal skenario penggunaan lahan) 10.Peta Skenario 2 (missal skenario penerapan teknik konservasi tanah dan air) 11.Peta skenario 3, 4, dan 5(jika skenario yang disimulasikan banyak) 12.Peta Rekomendasi Perencanaan Pengelolaan DAS.

56

BAB V. PENUTUP

Model SWAT adalah model pendugaan aliran permukaan, muatan sedimen, konsentrasi unsur hara dan pestisida dalam air sungai yang sangat rinci dan termasuk model kotak putih (white box ) karena hampir semua proses hidrologi yang terkait di dalam DAS dikuantifikasikan secara jelas. Dengan demikian, model SWAT yang sudah mengintegrasikan aspek keruangan melalui perakat lunak Sistim Informasi Geografi (SIG) berdaya guna sangat tinggi khusus dalam perencanaan pengelolaan dan penggunaan lahan DAS. Setelah model SWAT baik dan benar bisa dijalankan melalui kalibrasi dan validasi, maka pembaruan (updating ) data bisa sekaligus dilakukan dalam kegiatan monitoring dan evaluasi. Keterbatasan pemanfaatan model SWAT juga terkait dengan input data yang dibutuhkan oleh model. Kebutuhan akan data sekunder yang hanya bisa didapatkan dari instansi lain, terkadang sulit untuk diperoleh karena terbentur masalah administrasi. Oleh karena itu, perlu adanya koordinasi yang baik antara seluruh instansi yang terkait dengan pengelolaan DAS, apalagi adanya peraturan mengenai penyusunan rencana pengelolaan DAS terpadu yang melibatkan berbagai stakeholder. Dengan demikian diharapkan kedepannya bahwa kendala ketersediaan data sekunder dapat diselesaikan dengan baik. Selain itu juga perlu adanya perbaikan pada fasilitas monitoring kinerja DAS baik keterwakilan stasiun hujan maupun kondisi SPAS sehingga data yang digunakan mamadai dan benar.

DIREKTUR IREK U JENDERAL, J NDERAL,

Dr. Ir. HILMAN ILMAN NUGROHO, NU O , M.P. NIP. 19590615 195906 198603 8603 1 004

57

LAMPIRAN

58

Lampiran 1. KONSEP MODEL SWAT DALAM RENCANA PENGELOLAAN DAS TERPADU

SWAT merupakan model hidrologi skala DAS yang dikembangkan oleh Dr. Jeff Arnold untuk USDA pada awal tahun 1990-an. SWAT dikembangkan untuk memprediksi dampak praktek pengelolaan lahan terhadap air, sedimen, dan bahan kimia pertanian yang masuk ke sungai atau badan air pada suatu DAS yang kompleks dengan tanah, penggunaan tanah dan pengelolaannya yang bermacammacam sepanjang waktu yang lama. Model SWAT dikembangkan berdasarkan konsep dari beberapa model hidrologi lainnya seperti SWRRB ( Simulator for Water Resources in Rural Basins ), CREAMS (Chemical, Runofff, and Erosion from  Agricultural Managament System , GLEAMS (Groundwater Loading Effects on  Agricultural Management Systems)   dan EPIC (Erosion Productivity Impact Calculator ) (Neitsch et a l., 2011). SWAT merupakan model hidrologi berbasis fisika ( physically based ) yang membutuhkan informasi spesifik tentang iklim, sifat-sifat tanah, topografi, vegetasi, dan praktek pengelolaan lahan yang terjadi di dalam DAS. Time step  dalam model SWAT adalah harian karena model ini merupakan model kejadian kontinyu untuk skala DAS yang dibangun agar dapat beroperasi secara harian, efisien secara komputerisasi, dan mampu membuat simulasi untuk jangka waktu yang panjang. SWAT dapat memodelkan secara langsung proses-proses fisika yang terkait dengan pergerakan air, sedimen, pertumbuhan tanaman, siklus unsur hara dan lain sebagainya (Neitsch et al ., 2011). Proses-proses tersebut didasarkan pada konsep neraca air. Komponen utama model adalah iklim, hidrologi, suhu dan karakteristik tanah, pertumbuhan tanaman, unsur hara, pestisida, patogen dan bakteri, dan pengelolaan lahan. Pada model SWAT, suatu DAS dibagi menjadi beberapa Sub DAS atau Sub Basin yang didasarkan pada kesamaan penggunaan tanah dan lahan atau sifat lain yang berpengaruh terhadap hidrologi. Kemudian Sub DAS dibagi lagi ke dalam unit respon hidrologi (HRU). Secara praktis HRU diperoleh dengan menumpangtindihkan karakteristik penggunaan lahan, pengelolaannya, topografi, dan tanah sehingga diperoleh unit yang homogen. Simulasi hidrologi DAS pada model SWAT dipisahkan menjadi dua bagian utama yaitu fase lahan dan fase air dari siklus hidrologi. Fase lahan dari siklus hidrologi mengontrol jumlah air, sedimen, unsur hara dan pestisida yang bergerak menuju saluran atau sungai utama pada masing-masing Sub DAS. Sedangkan fase air atau penelusuran dari siklus hidrologi didefinisikan sebagai pergerakan air, sedimen dan lainnya melalui jaringan sungai utama dalam DAS menuju ke titik pengeluaran atau outlet. 59

2.1. Fase Lahan dari Siklus Hidrologi Siklus hidrologi yang disimulasikan model SWAT (Gambar 1.5) didasarkan pada perhitungan neraca air berikut ini:

dimana SWt   adalah kadar air tanah akhir (mm H 2O), SWo   adalah kadar air tanah awal pada hari ke-i (mm H 2O), t adalah waktu (hari), Rday   adalah  jumlah hujan pada hari ke-i (mm H 2O), Qsurf   adalah jumlah aliran permukaan pada hari ke-i (mm H 2O), Ea adalah jumlah evapotranspirasi pada hari ke-i (mm H 2O), Wseep adalah jumlah air yang masuk ke zona vadose dari profil tanah (seepage ) pada hari ke-i (mm H 2O), Qgw   adalah  jumlah aliran air bawah tanah (baseflow/groundwaterflow/returnflow ) pada hari ke-i (mm H2O). Pembagian DAS ke dalam Sub DAS dapat menggambarkan perbedaan evapotranspirasi untuk jenis tanaman dan tanah yang beragam atau berbeda. Aliran permukaan (surface runoff ) diprediksi secara terpisah untuk masing-masing HRU dan dapat ditelusuri untuk memperoleh aliran permukaan total (total runoff ) pada suatu Sub DAS dan DAS. Dengan demikian keakuratan model akan meningkat dan memberikan gambaran fisik yang lebih baik untuk neraca air.

Sumber: Neitsch et al ., 2011

Gambar 1.1. Siklus Hidrologi dalam Model SWAT 2.1.1. Iklim Iklim dari suatu DAS akan menghasilkan input kelembaban dan energi yang akan mengontrol neraca air dan menentukan berbagai komponen yang penting dalam siklus hidrologi. Variabel 60

iklim yang dibutuhkan model SWAT terdiri dari data curah hujan, suhu udara maksimum dan minimum, radiasi matahari, kecepatan angin, dan kelembaban relatif harian. a. Pembangkit Iklim (Weather Generator ) Model SWAT mampu membangkitkan satu set data iklim untuk masing-masing Sub DAS. Data iklim tersebut untuk masingmasing Sub DAS akan dihasilkan secara terpisah dan tidak ada korelasi spasial dari nilai-nilai tersebut antara Sub DAS yang berbeda. Pembangkitan Data Hujan.  Apabila tidak tersedia data harian, maka SWAT menggunakan model yang dikembangkan oleh Nicks (1974) untuk membangun data hujan harian simulasi dan memprediksi data hujan yang hilang. Model Markov Chain orde-1 digunakan untuk membangkitkan data hujan melalui identifikasi hari hujan atau hari kering (dengan membandingkan angka acak (0.0 - 1.0) yang dibangun oleh model sehingga diketahui probabilitas bulan hujan dan bulan kering. Jika hari diklasifikasikan sebagai hari hujan, maka jumlah hujan dihitung berdasarkan distribusi skewed   atau distribusi eksponensial termodifikasi. Pola Hujan Sub-Harian.  Apabila nilai hujan sub-harian dibutuhkan, maka model menggunakan fungsi eksponensial ganda untuk menggambarkan pola intensitas hujan. Dengan distribusi eksponensial ganda, intensitas hujan meningkat secara eksponensial seiring waktu hingga mencapai nilai intensitas maksimum. Ketika nilai intensitas maksimum tercapai, maka intensitas hujan akan berkurang secara eksponensial seiring waktu hingga akhir hujan. Pembangkitan Data Suhu Udara dan Radiasi Matahari . Suhu udara maksimum dan minimum dan radiasi matahari dihasilkan dari fungsi distribusi normal. Variasi suhu dan radiasi yang disebabkan oleh keadaan hujan dan kering dihitung secara kontinyu. Suhu udara maksimum dan radiasi matahari yang dihasilkan akan rendah ketika simulasi dilakukan pada kondisi hujan dan akan tinggi ketika simulasi pada saat kering. Pembangkitan Data Kecepatan Angin.  Persamaan eksponensial termodifikasi digunakan untuk menghasilkan nilai tengah kecepatan angin harian dari nilai tengah kecepatan angin bulanan.

61

Pembangkitan Data Kelembaban Relatif. Perhitungan kelembaban relatif menggunakan distribusi triangular untuk mensimulasi kelembaban relatif rata-rata harian dari rata-rata bulanannya. b. Salju (Snow ) SWAT mengelompokkan presipitasi sebagai hujan atau salju berdasarkan data suhu harian rata-rata. Tutupan Salju. Komponen tersebut telah dimodifikasi dari model tutupan salju yang sederhana dan seragam menjadi model yang lebih kompleks karena mempertimbangkan pengaruh bayangan, topografi dan tutupan lahan. Salju yang mencair. Komponen ini dikontrol oleh udara dan suhu salju, level leleh, dan area yang tertutup salju. Band Elevasi. Pada model SWAT, suatu sub DAS dapat dipisahkan berdasarkan band elevasi mulai dari band 1 sampai 10. Tutupan salju dan salju yang mencair disimulasikan secara terpisah pada masing-masing band elevasi. Dengan demikian model mampu untuk menilai perbedaan yang terjadi pada tutuan salju dan salju yang mencair yang disebabkan oleh variasi orografik pada hujan dan suhu. Suhu Tanah mempengaruhi pergerakan air dan tingkat peluruhan residu dalam tanah. Suhu tanah rata-rata harian dihitung pada permukaan tanah dan di bagian tengah pada masing-masing lapisan tanah. Suhu pada permukaan tanah merupakan fungsi dari tutupan salju, tutupan lahan, dan residu di permukaan. Suhu pada lapisan tanah merupakan fungsi dari suhu permukaan, suhu udara tahunan rata-rata dan kedalaman tanah. 2.1.2. Hidrologi Hujan yang turun akan terintersepsi dan tertahan pada kanopi/tajuk tanaman atau jatuh ke permukaan tanah. Air yang  jatuh pada permukaan tanah akan terinfiltrasi ke dalam profil tanah hingga tanah jenuh air dan mengalir di permukaan sebagai aliran permukaan (surface runoff ). Aliran permukaan bergerak relatif cepat mencapai saluran sungai dan memberikan kontribusi terhadap respon sungai untuk jangka pendek. Air yang terinfiltrasi akan tertahan di dalam tanah dan akan terevaporasi atau akan mencapai sistem air - permukaan melalui jalur bawah tanah. 62

a. Simpanan kanopi/tajuk (Intersepsi) Simpanan kanopi atau intersepsi adalah air yang ditahan oleh permukaan vegetatif (kanopi) dimana kanopi akan menahannya sehingga menjadi input untuk proses evapotranspirasi. Ketika menggunakan metode bilangan kurva ( curve number   /CN) untuk menghitung aliran permukaan, simpanan kanopi akan diperhitungkan dalam perhitungan aliran permukaan. Apabila metode Green & Ampt yang digunakan untuk model infiltrasi dan aliran permukaan, maka simpanan kanopi harus dimodelkan secara terpisah. SWAT memungkinkan pengguna untuk memasukkan jumlah maksimum air yang dapat ditahan oleh kanopi pada indeks luas daun maksimum suatu tutupan lahan. b. Infiltrasi Infiltrasi adalah proses masuknya air secara vertikal ke dalam profil tanah melalui permukaan tanah. Ketika infiltrasi berlanjut, tanah menjadi semakin basah, sehingga laju infiltrasi terus berkurang seiring dengan waktu hingga mencapai nilai infiltrasi konstan. Laju infiltrasi awal tergantung pada kandungan kelembaban tanah awal yang tergantung kepada air yang ada di permukaan tanah. Laju infiltrasi akhir sama dengan konduktivitas hidrolik jenuh dari tanah. Dalam model SWAT, metode bilangan kurva (CN) digunakan untuk menghitung aliran permukaan harian, sehingga infiltrasi tidak bisa dimodelkan secara langsung. Metode Infiltrasi Green and Ampt mampu memodelkan infiltrasi secara langsung, tetapi membutuhkan data hujan dengan periode waktu yang kecil . c. Redistribusi Redistribusi merupakan pergerakan lanjutan dari air infiltrasi hingga mencapai profil tanah setelah input air (hujan atau irigasi) berhenti di permukaan tanah. Redistribusi disebabkan oleh perbedaan kandungan air di dalam tanah. Apabila kadar air tanah yang masuk ke dalam profil tanah seragam, maka redistribusi akan berhenti. Komponen redistribusi dalam SWAT menggunakan teknik penelusuran simpanan untuk memprediksi aliran yang mencapai masing-masing lapisan tanah pada zona perakaran. d. Evapotranspirasi Potensial Evapotranspirasi potensial merupakan laju evapotranspirasi yang terjadi pada area yang luas dan secara seragam tertutup oleh vegetasi yang tumbuh yang mempunyai akses pada air tanah yang tidak terbatas. Laju ini diasumsikan agar tidak dipengaruhi 63

oleh proses iklim mikro seperti adveksi atau pengaruh simpanan panas. Evapotranspirasi potensial pada model SWAT dapat diperkirakan dengan metode Hargreaves (Hargreaves et al ., 1985), Priestley-Taylor (Priestley and Taylor, 1972), atau Penman-Monteith (Monteith, 1965). e.  Aliran bawah permukaan (Interflow /Subsurface )  Aliran bawah permukaan (interflow/subsurface flow ) merupakan bagian aliran sungai yang dihasilkan dari lapisan bawah permukaan tetapi diatas zona dimana batuan jenuh oleh air.  Aliran bawah permukaan pada profil tanah (0 – 2 m) dihitung secara bersamaan dengan redistribusi. Model simpanan kinematik digunakan untuk memprediksi aliran bawah permukaan pada masing-masing lapisan tanah dan memperhitungkan variasi konduktivitas, lereng dan kadar air (kelembaban) tanah. f.  Aliran permukaan (Overland flow /Surface Runoff )  Aliran permukaan (overland flow/surface runoff ) merupakan aliran yang terjadi di sepanjang permukaan suatu lereng. Dengan menggunakan jumlah hujan harian atau sub-harian, SWAT mensimulasi volume aliran permukaan dan puncak aliran permukaan untuk masing-masing HRU.  Volume Surface  Runoff dihitung dengan persamaan metode Bilangan Kurva SCS modifikasi (USDA Soil Conservation Service, 1972) atau metode infiltrasi Green & Ampt (Green dan Ampt, 1911). Pada metode bilangan kurva, bilangan kurva bervariasi tetapi tidak linier dengan kadar kelembaban tanah. Bilangan kurva akan rendah ketika tanah mendekati titik layu permanen dan meningkat mendekati 100 ketika tanah mencapai keadaan  jenuh. Metode Green & Ampt membutuhkan data hujan subharian dan menghitung infiltrasi sebagai fungsi dari pembasahan terhadap potensial matrik dan konduktivitas hidrolik efektif. Air yang tidak terinfiltrasi akan menjadi aliran permukaan. Persamaan SCS (Soil Conservation Service ) merupakan sebuah model empiris yang mulai digunakan secara umum pada tahun 1950-an. Persamaan tersebut merupakan hasil kajian selama lebih dari 20 tahun yang melibatkan hubungan hujan-limpasan dari DAS kecil di pedalaman di seluruh Amerika Serikat. Model tersebut dikembangkan untuk memberikan suatu dasar yang konsisten untuk memperkirakan jumlah limpasan pada berbagai tata guna lahan dan jenis tanah (Rallison dan Miller, 1981 dalam SWAT Theoretical Documentation , 2011). 64

Persamaan SCS curver number  adalah (SCS, 1972):

               dimana: Q surf R day  I a 

S

= = = =

 Akumulasi limpasan atau kelebihan curah hujan (mm H2O) Tinggi curah hujan pada hari tersebut (mm H 2O) Pengambilan awal yang meliputi tampungan permukaan, intersepsi dan infiltrasi sebelum terjadi limpasan (mm H 2O) Parameter retensi (mm H2O)

Parameter retensi bervariasi secara spasial akibat perubahan  jenis tanah, tata guna lahan, pengelolaan dan kemiringan serta bervariasi secara temporal akibat perubahan kadar air dalam tanah. Parameter retensi didefinisikan sebagai:

        dimana: CN = bilangan kurva untuk hari tersebut. Pengambilan (abstraksi) awal, I a,  umumnya didekati sebagai 0,2 S  sehingga persamaan menjadi:

             

Limpasan hanya akan terjadi apabila R day >I a.  Debit Puncak Runoff diprediksi dengan persamaan metode Rasional modifikasi. Metode rasional didasarkan pada intensitas hujan i yang terjadi seketika itu juga dan berlanjut secara tak terbatas, sehingga laju aliran permukaan akan meningkat hingga waktu konsentrasi (time of concentration  = tc), ketika semua Sub DAS memberikan kontribusi kepada aliran di outlet. Pada metode rasional modifikasi, laju puncak aliran permukaan merupakan fungsi dari bagian hujan harian yang jatuh selama tc Sub DAS, volume aliran permukaan harian, dan waktu konsentrasi Sub 65

DAS. Waktu konsentrasi Sub DAS dapat diperkirakan dengan rumus Manning atau Kirpich. g. Waduk Waduk merupakan bangunan simpanan air yang terletak di dalam Sub DAS yang berfungsi untuk menangkap aliran permukaan (overland flow ). Waduk diasumsikan terletak di luar saluran utama dalam Sub DAS dan tidak akan pernah menerima air dari hulu Sub DAS. Simpanan air pada waduk merupakan fungsi dari kapasitas waduk, aliran masuk dan keluar harian, aliran samping (seepage ) dan evaporasi. h. Saluran Anak Sungai  Ada dua tipe saluran di dalam Sub DAS yaitu saluran utama dan saluran anak sungai. Saluran anak sungai merupakan cabang saluran dengan orde rendah yang terdapat di luar saluran utama di dalam Sub DAS. Masing-masing saluran anak sungai di dalam Sub DAS hanya membasahi sebagian Sub DAS dan tidak menerima sumbangan dari air bawah tanah terhadap alirannya. Semua aliran pada saluran anak sungai dilepaskan dan ditelusuri hingga ke saluran utama di dalam Sub DAS. SWAT menggunakan karakteristik saluran anak sungai untuk menentukan waktu konsentrasi (tc) Sub DAS. Transmission Loss   atau  kehilangan transmisi merupakan kehilangan aliran permukaan melalui pencucian sepanjang badan sungai. Jenis kehilangan seperti ini terjadi pada sungai ephemeral   atau intermitten   dimana kontribusi air bawah tanah hanya terjadi pada waktu tertentu dalam satu tahun, atau tidak sama sekali. SWAT menggunakan metode Lane seperti yang dijelaskan pada Bab 19 pada SCS Hydrology Handbook (USDA Soil Conservation Service, 1983) untuk menghitung kehilangan transmisi. i.  Aliran dasar/Aliran bawah tanah (Baseflow )  Aliran air bawah tanah atau aliran dasar (baseflow ) adalah volume aliran sungai yang berasal dari air bawah tanah. SWAT membagi air bawah tanah ke dalam dua sistem akuifer: 1) akuifer dangkal, akuifer tidak tertekan yang memberikan kontribusi aliran dasar ke sungai di dalam DAS, 2) akuifer dalam, akuifer tertekan yang memberikan kontribusi aliran dasar ke sungai di luar DAS (Arnold et al ., 1993). Air yang meresap melewati bagian bawah zona akar dikelompokkan ke dalam dua fraksi-masing-masing fraksi sebagai recharge   untuk masing66

masing akuifer. Sebagai tambahan untuk aliran dasar, air yang tersimpan pada akuifer dangkal akan menambah kelembaban profil tanah pada kondisi sangat kering atau dipindahkan secara langsung oleh tanaman. 2.1.3. Tutupan Lahan SWAT memanfaatkan model pertumbuhan tanaman tunggal untuk mensimulasi semua jenis tutupan lahan. Tanaman tahunan tumbuh mulai dari penanaman hingga panen atau sampai unit panas terakumulasi sama dengan unit panas potensial tanaman. Tanaman abadi mempertahankan sistem akarnya sepanjang tahun, menjadi dorman pada saat musim dingin. Pertumbuhan tanaman tersebut berlanjut ketika suhu udara harian rata-rata melebihi suhu minimum. Model pertumbuhan tanaman digunakan untuk menilai perpindahan air dan unsur hara dari zona akar, transpirasi dan biomasa/produksi. a. Pertumbuhan Potensial Peningkatan potensi biomasa tanaman pada hari tertentu didefinisikan sebagai peningkatan biomasa di bawah kondisi pertumbuhan ideal dan merupakan fungsi dari penerimaan energi dan efesiensi tanaman dalam mengkonversi energi menjadi biomasa. Penyerapan energi diperkirakan sebagai fungsi dari radiasi matahari dan indeks luas daun tanaman. b. Transpirasi Aktual dan Potensial Proses yang digunakan untuk menghitung transpirasi potensial dijelaskan pada bab evapotrasnpirasi. Transpirasi aktual merupakan fungsi dari transpirasi potensial dan ketersediaan air tanah. c. Pengambilan Unsur Hara Unsur Nitrogen (N) dan Fosfor (P) tanaman diperkirakan dengan pendekatan ketersediaan dan permintaan dimana permintaan nitrogen dan fosfor tanaman harian dihitung sebagai perbedaan antara konsentrasi aktual dari elemen tanaman dan konsentrasi optimalnya. Konsentrasi optimal dari elemen tanaman bervariasi menurut tahap pertumbuhan seperti yang dijelaskan oleh Jones (1983). d. Pembatas Pertumbuhan Pertumbuhan tanaman yang potensial dan hasil tanaman biasanya tidak tercapai karena adanya kendala lingkungan. Model memperkirakan kendala yang disebabkan oleh air, unsur hara dan suhu. 67

2.1.4. Erosi Erosi dan sedimen diperkirakan untuk masing-masing HRU dengan Modified Universal Soil Loss Equation (MUSLE) (Williams, 1975). USLE menggunakan hujan sebagai indikator energi yang menyebabkan erosi, sedangkan MUSLE menggunakan jumlah aliran permukaan untuk memprediksi erosi dan sedimen. Kelebihannya yaitu akurasi prediksi model menjadi meningkat, rasio transportasi tidak dibutuhkan lagi, dan perkiraan hujan tunggal yang menghasilkan sedimen dapat dihitung. Model ini memberikan perkiraan volume aliran permukaan dan laju puncak aliran permukaan, dengan daerah Sub DAS, yang digunakan untuk menghitung variabel energi aliran permukaan yang erosif. Faktor pengelolaan tanaman dihitung kembali setiap hari pada saat aliran permukaan terjadi. Hal tersebut merupakan fungsi dari biomasa di atas tanah, dan faktor C minimum untuk tanaman. Faktor-faktor lain dari persamaan erosi dievaluasi seperti yang dijelaskan oleh Wischmeier dan Smith (1978). Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut: Sed = 11.8.(Q surf  .Q peak  . Area HRU   ) 0.56  . K USLE  . C USLE  . P USLE  LS USLE  . CFRG

dimana: Sed : sediment yield  harian (metrik tons) Q surf  : surface runoff volume (mm H 2O/ha) Q peak : peak runoff rate (m3 /s)  Area HRU  : luas dari HRU (ha) K USLE : USLE factor erodibilitas tanah (0.013 metrik ton m 2 hr/(m3metrikton cm)) C USLE  : USLE faktor tutupan lahan. P USLE  : USLE faktor pengelolaan LS USLE  : USLE faktor topografi CFRG : faktor kekasaran fragmen. Erodibilitas tanah (K) adalah suatu faktor yang menunjukkan kepekaan tanah terhadap erosi. Nilai tersebut didefinisikan sebagai erosi per satuan indek erosi hujan R yang diperoleh dari petak standar (panjang 22 m, kemiringan 9 %, tanpa tanaman). Kepekaan erosi tanah sangat dipengaruhi oleh tekstur, kandungan bahan organik, permeabilitas dan kemantapan struktur tanah. Oleh karena itu nilai kepekaan erosi tanah dapat dihitung dilapangan atau dihitung dengan menggunakan nomograf Wischmeier dan Smith (Ward and Elliot, 1995).

68

Faktor panjang lereng (L) dan faktor kemiringan lereng (S) dapat dihitung secara terpisah atau dihitung sekaligus sebagai faktor LS. Faktor panjang lereng merupakan nisbah antara besarnya erosi yang terjadi pada suatu lahan dengan panjang lereng tertentu terhadap erosi dalam petak standar (panjang lereng 22 m) dibawah kondisi tanpa tanaman. Sedangkan faktor kemiringan lereng adalah nisbah besarnya erosi yang terjadi pada suatu lahan dengan kemiringan lereng tertentu terhadap erosi yang terjadi pada petak standar (kemiringan lereng 9%) dibawah kondisi tanpa tanaman. Bila faktor L dan S digabungkan, maka faktor LS didefinisikan sebagai nisbah antara besarnya erosi dari sebidang tanah dengan panjang lereng dan kecuraman lereng tertentu terhadap besarnya erosi dari sebidang tanah yang terletak pada lereng dengan panjang lereng 22 meter dan kecuraman 9%. 2.1.5. Unsur Hara SWAT melacak perpindahan dan perubahan beberapa bentuk nitrogen dan fosfor di dalam DAS. Pada tanah, perubahan nitrogen dari satu bentuk ke bentuk lainnya diatur oleh siklus nitrogen seperti yang digambarkan pada Gambar 6. Perubahan fosfor di dalam tanah dikontrol oleh siklus fosfor seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.1. Unsur hara mungkin saja masuk ke dalam saluran utama dan diangkut ke hilir oleh aliran permukaan dan aliran lateral.

Gambar 1.2. Neraca Nitrogen dalam SWAT

69

Gambar 1.3. Siklus Fosfor dalam SWAT a. Nitrogen Penggunaan nitrogen oleh tanaman diperkirakan menggunakan pendekatan ketersediaan-permintaan seperti dijelaskan pada bab pertumbuhan tanaman. Sebagai tambahan pada penggunaan tanaman, nitrat dan N-organik mungkin dipindahkan dari tanah melalui aliran masa air. Jumlah NO 3-N yang terkandung dalam aliran permukaan, aliran lateral dan perkolasi diperkirakan sebagai produk dari volume air dan konsentrasi nitrat rata-rata dalam lapisan. N-organik yang terbawa bersama sedimen dihitung menggunakan fungsi pemuatan yang dikembangkan oleh McElroy et al ., (1976) dan modifikasi oleh Williams dan Hann (1978) untuk aplikasi kejadian aliran permukaan tunggal. Fungsi pemuatan memperkirakan kehilangan N-organik harian melalui aliran permukaan berdasarkan konsentrasi N-organik pada lapisan atas, sedimen, dan nisbah pengkayaan. Nisbah pengkayaan adalah konsentrasi N-organik dalam sedimen dibagi dengan konsentarsi N-organik dalam tanah. b. Fosfor Penggunaan fosfor oleh tanaman diperkirakan menggunakan pendekatan ketersediaan-permintaan seperti dijelaskan pada bab pertumbuhan tanaman. Sebagai tambahan pada penggunaan tanaman, fosfor terlarut dan P-organik mungkin dipindahkan dari tanah melalui aliran masa air. Fosfor merupakan unsur hara yang tidak mobil dan interaksi antara aliran permukaan dan P terlarut pada 10 mm lapisan atas tanah tidak akan lengkap. Jumlah P terlarut yang terangkut bersama aliran permukaan diprediksi menggunakan konsentrasi larutan P pada 10 mm lapisan atas tanah, volume aliran permukaan dan faktor pembagi. Pergerakan P disimulasi dengan fungsi pemuatan seperti dijelaskan pada pergerakan N-organik. 70

2.1.6. Pestisida Pergerakan kimia dalam DAS dapat dipelajari melalui aplikasi pestisida pada level HRU. SWAT mensimulasi pergerakan pestisida yang masuk ke jaringan sungai melalui aliran permukaan (dalam bentuk larutan dan diserap oleh sedimen yang diangkut oleh aliran permukaan), dan masuk ke dalam profil tanah dan akuifer oleh perkolasi (dalam bentuk larutan) seperti ditunjukkan pada Gambar 1.2. Persamaan yang digunakan untuk memodelkan pergerakan pestisida pada fase lahan siklus hidrologi diadopsi dari GLEAMS (Leonard et al ., 1987). Pergerakan pestisida dikontrol oleh tingkat kelarutan, waktu paruh penghancuran, dan koefisien penyerapan karbon organik tanah. Pestisida pada dedaunan tanaman dan tanah merusak secara eksponensial sesuai dengan waktu paruh yang memadai. Pergerakan pestisida oleh air dan sedimen dihitung untuk masing-masing kejadian aliran permukaan dan pencucian pestisida diperkirakan untuk masing-masing lapisan tanah ketika perkolasi terjadi.

Gambar 1.4. Pergerakan Pestisida dalam SWAT

2.1.7. Pengelolaan Lahan SWAT memungkinkan pengguna untuk mendefinisikan praktek pengelolaan lahan pada setiap HRU, termasuk jadwal pertumbuhan (awal dan akhir musim pertumbuhan), waktu dan jumlah pupuk, waktu aplikasi pestisida dan irigasi serta persiapan lahan. Pada akhir musim pertumbuhan, biomasa dapat dipindahkan dari HRU sebagai hasil atau dibiarkan di permukaan sebagai residu. Selain praktek pengelolaan dasar, juga tersedia praktek lainnya seperti penggembalaan, aplikasi pemupukan dan pengairan otomatis, penggabungan setiap pilihan pengelolaan untuk penggunaan air, 71

penggabungan rutinitas untuk menghitung muatan sedimen ( sedimen load ) dan unsur hara dari daerah urban (perkotaan ). a. Pergiliran Tanaman Pergiliran tanaman merupakan pertumbuhan tanaman yang berbeda dalam suksesi di satu lahan, umumnya dalam urutan yang teratur. Pergiliran dalam SWAT mengacu kepada perubahan dalam praktek pengelolaan dari satu tahun ke tahun berikutnya. Model tidak membatasi jumlah tahun pelaksanaan pergiliran tanaman dan jumlah penutupan tanaman/tanaman yang tumbuh dalam satu tahun di dalam HRU. Meskipun demikian, hanya satu penutup lahan yang dapat tumbuh pada satu waktu tertentu. b. Penggunaan Air Dua jenis penggunaan air yang paling khas yaitu aplikasi untuk lahan pertanian dan sebagai penyedia air untuk perkotaan. SWAT memungkinkan air untuk diaplikasikan pada sebuah HRU dari sumber air manasaja dari dalam atau luar DAS. Air juga dapat ditransfer antara waduk, sungai, dan Sub DAS, serta dikeluarkan dari DAS. 2.2. Fase Routing  Dalam Siklus Hidrologi Muatan air, sedimen, unsur hara dan pestisida yang masuk ke saluran utama ditelusuri hingga ke jaringan sungai dengan menggunakan struktur perintah yang sama dengan HYMO (Williams dan Hann, 1972). Selain melacak aliran masa dalam saluran, SWAT juga memodelkan perubahan kimia di dalam sungai dan badan sungai. Perbedaan proses yang dimodelkan SWAT di dalam sungai ditunjukkan pada Gambar 1.3.

Gambar 1.5. Proses-proses yang terjadi dalam sungai yang dimodelkan SWAT

72

2.2.1. Penelusuran Pada Saluran atau Sungai Utama Penelusuran pada saluran utama dikelompokkan menjadi empat komponen yaitu air, sedimen, unsur hara, dan kimia organik. a. Penelusuran banjir Ketika air mengalir ke hilir, ada bagian yang mungkin hilang karena evaporasi dan menyebar melalui badan saluran/sungai. Kehilangan lainnya yang potensial yaitu pergerakan air dari saluran ke area pertanian atau penggunaan lainnya oleh manusia. Aliran dapat digantikan oleh hujan yang jatuh secara langsung ke dalam saluran dan/atau tambahan air dari sumber debit. Aliran yang mencapai sungai dapat ditelusuri dengan metode koefisien variabel simpanan yang dikembangkan oleh Williams (1969) atau metode penelusuran Muskingum . b. Penelusuran Sedimen Pergerakan sedimen dalam saluran dikontrol oleh proses yang terus menerus dari proses deposisi dan degradasi/kerusakan. SWAT menggunakan parameter daya sungai untuk memperkirakan deposisi/degradasi pada saluran (Arnold et al ., 1995). Bagnold (1977) mendefinisikan daya sungai sebagai hasil dari kepadatan air, laju aliran dan kemiringan aliran. Williams (1980) menggunakan definisi daya sungai yang dikemukakan oleh Bagnold untuk mengembangkan metode dalam rangka menetapkan degradasi sebagai fungsi dari kemiringan dan kecepatan saluran. Pada versi SWAT yang sekarang, persamaan telah disederhanakan dan jumlah maksimum sedimen yang dapat ditransportasikan dari segmen sungai merupakan fungsi dari puncak kecepatan saluran. Daya sungai yang tersedia digunakan untuk masuknya kembali bahan yang lepas dan bahan yang diendapkan sampai semua bahan dipindahkan. Daya sungai yang berlebihan akan menyebabkan kerusakan badan/dasar sungai. Kerusakan dasar sungai disesuaikan untuk erodibilitas badan sungai dan penutup sungai. c. Penelusuran Unsur Hara Penulusuran unsur hara dalam aliran sungai pada model SWAT menggunakan model Kinetik yang diadaptasi dari QUAL2E (Brown and Barnwell, 1987). Model melacak unsur hara terlarut dalam sungai dan unsur hara yang terserap oleh sedimen. Unsur hara terlarut ditransportasikan oleh air sedangkan yang diserap sedimen akan diendapkan di dasar saluran. 73

d. Penelusuran Pestisida di Sungai Jumlah pestisida yang dapat diaplikasikan pada HRU tidak terbatas, tetapi hanya satu jenis pestisida saja yang dapat ditelusuri melalui jaringan sungai dalam DAS karena kompleksitas proses yang disimulasikan. Muatan pestisida total dalam saluran dikelompokkan menjadi komponen sedimen terlarut dan komponen sedimen yang melekat. Pestisida terlarut diangkut oleh air, sedangkan pestisida yang melekat dengan sedimen dipengaruhi oleh pergerakan sedimen dan proses pengendapan. 2.2.2. Penelusuran waduk Neraca air pada waduk termasuk aliran masuk ( inflow ), aliran keluar (outflow ), hujan di permukaan, evaporasi, aliran samping dari bagian bawah waduk dan diversi. a.  Aliran Keluar Waduk Model memberikan tiga alternatif untuk memperkirakan aliran keluar dari waduk. Pada alternatif pertama, pengguna memasukkan nilai aliran keluar hasil pengukuran ke dalam model. Pada pilihan kedua, waduk didisain berukuran kecil, tidak terkontrol, dan membutuhkan tingkat/laju pelepasan air yang spesifik. Ketika volume waduk melebihi kapasitas simpanan, air berlebih tersebut dilepaskan pada laju yang telah dispesifikasikan tersebut. Volume air yang melebihi batas simpanan dilepaskan dalam satu hari. Pada pilihan ketiga, waduk didisain berrukuran lebih besar, dikelola dengan baik, mengharuskan pengguna untuk membuat spesifikasi target volume air bulanan yang akan masuk ke waduk. b. Penelusuran Sedimen  Aliran sedimen dapat berasal dari daerah hulu sungai atau dari aliran permukaan yang mengalir di dalam sub DAS. Konsentrasi sedimen dalam waduk diperkirakan menggunakan persamaan kontinuitas sederhana berdasarkan volume dan konsentrasi aliran masuk, aliran keluar, dan air yang tertahan dalam waduk. Sedimen dalam waduk dikontrol oleh kesetimbangan konsentrasi sedimen dan nilai tengah ukuran partikel sedimen. Jumlah sedimen pada aliran keluar waduk merupakan hasil dari volume air yang mengalir keluar dari waduk dan konsentrasi sedimen terlarut dalam waduk pada waktu pelepasannya.

74

c. Unsur Hara pada Waduk Neraca masa nitrogen dan fosfor diadopsi berdasarkan model sederhana yang dikembangkan oleh Chapra (1997). Model mengasumsikan bahwa 1) danau sepenuhnya tercampur; 2) fosfor merupakan unsur hara pembatas; dan 3) total fosfor merupakan ukuran status danau tropika. Asumsi pertama mengabaikan tingkatan/pengelompokan danau dan intensifikasi pitoplankton dalam epilimnon. Asumsi kedua berlaku ketika polusi yang tidak jelas sumbernya dominan ( non-point sources dominate ) dan asumsi ketiga menunjukkan hubungan antara total fosfor dan biomasa. Persamaan neraca masa untuk fosfor  juga mencakup konsentrasi di dalam danau, aliran keluar, aliran masuk dan keseluruhan tingkat kehilangan. d. Pestisida di Waduk Model neraca pestisida di waduk/danau diadopsi dari Chapra (1997) dengan asumsi bahwa kondisinya heterogen. Pestisida dikelompokkan menjadi fase terlarut dan fase partikel pada lapisan air dan lapisan sedimen. Proses utama yang disimulasikan oleh model yaitu pemuatan (loading ), aliran keluar, perubahan, penguapan, pengendapan (settling ), difusi, resuspensi dan penimbunan (burial ). 2.3. User Support Pengguna yang ingin mengaplikasikan model SWAT pada daerah kajiannya perlu mempersiapkan beberapa hal diantaranya yaitu perangkat computer (spesifikasi minimal RAM 2 GB, Hard Disk 40 GB), perangkat lunak SWAT, Microsoft Office dan ArcGIS. Selain itu, pengguna juga diharapkan memiliki dasar pengetahuan terkait dengan hidrologi, ilmu tanah, iklim dan data spasial.

75

LAMPIRAN 2. 1.1.

APLIKASI MODEL SWAT DALAM PERENCANAAN PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI

Kasus-Kasus Aplikasi Model SWAT Model SWAT telah diaplikasikan secara luas di dunia, seperti di  Amerika, Asia dan beberapa Negara Eropa. Aplikasi model SWAT di  Amerika dan Asia menunjukkan bahwa model dapat memberikan gambaran pengelolaan lahan dan perubahan iklim terhadap hidrologi, erosi dan sedimentasi (Vu et al . 2012; Mulungu and Munishi 2007; Wang et al . 2007; Larose et al . 2007; Guo et al . 2008;). Penggunaan model SWAT di Indonesia masih didominasi pada aspek hidrologi dan beberapa diantaranya disertai dengan perencanaan pengelolaan DAS DAS. Model SWAT telah diaplikasikan di DAS Cisadane Hulu, Citarum Hulu, Cidanau, Ciliwung Hulu, Cipasarupan, Cirasea, Cijalupang, dan Sulawesi Tengah misalnya DAS Gumbasa (Yusuf, 2010; Atmaja, 2012; Irsyad, 2011;  Arifianto, 2011; Rau, 2012; Laksana, 2012; Adrionita, 2011; Junaidi, 2009; Suryani, 2005; Mulyana, 2012). Penelitian Yusuf (2010) di DAS Cirasea (di dalam DAS Citarum Hulu) menghasilkan simulasi skenario perubahan penggunaan lahan terhadap aliran permukaan. Penyusunan skenario perubahan penggunaan lahan yang dilakukan di DAS Cirasea mampu memberikan pengaruh terhadap aliran permukaan, aliran dasar dan storage . Aliran permukaan terkecil dihasilkan oleh skenario kelima yaitu skenario kombinasi penerapan agroteknologi dan peningkatan luas hutan sesuai kawasan hutan negara.  Aliran permukaan yang dihasilkan oleh skenario perbaikan agroteknologi adalah sebesar 216,87 mm dengan aliran dasar sebesar 406,16 mm.  Adapun storage   yang dihasilkan oleh skenario ini merupakan storage tertinggi yaitu sebesar 199,23 mm. Sedangkan penggunaan lahan saat dilakukan penelitian (existing, penggunaan lahan tahun 2007) memberikan nilai aliran permukaan, aliran dasar, dan storage   masing-masing sebesar 267,34, 367,27, dan 191,55 mm. Berdasarkan kecenderungan perubahan penggunaan lahan (dengan persamaan regresi tiga titik tahun penggunaan lahan yang berjangka lama), prediksi aliran permukaan, aliran dasar, dan storage   6 tahun berikutnya (tahun 2013) sebesar 263,93, 367,91, dan 194,07 mm. Junaidi (2009) mengaplikasikan model SWAT di DAS Cisadane, Provinsi Jawa Barat dengan luas sekitar 156,043 ha. Topografi DAS Cisadane bervariasi dari datar hingga curam dengan dominasi lereng berbukit-bergunung (25-40%) sekitar 38,2% dari luas DAS. Jenis tanah di daerah penelitian meliputi alluvial, andosol, latosol, regosol, litosol, renjina, dan podzolik merah. Curah hujan rata-rata tahunan berkisar antara 1731 – 76

5098 mm. Jenis penggunaan lahan bervariasi meliputi hutan, kebun campuran, tegalan, lahan terbuka, pasir, pemukiman kota, sawah, semak belukar dan tambak dengan dominasi lahan tegalan (47,2%). Hasil penelitian menunjukkan variasi sekitar 49% untuk debit bulanan simulasi dan observasi dan hasil NS sebesar 0,7 dengan hasil yang overestimate pada sebagian besar hasil prediksi. Meski hasil NS sudah termasuk dalam kategori cukup memuaskan dan dapat diaplikasikan untuk simulasi scenario di DAS Cisadane, tetapi jika dikaji lebih dalam, model masih kurang tepat dalam menggambarkan aliran (adanya nilai overestimate ). Hal ini diduga karena model masih kurang mampu untuk mendeskripsikan secara utuh proses-proses yang terjadi di daerah yang didominasi dengan topografi yang curam. Model SWAT juga cukup memuaskan dalam memprediksi debit sungai dan hasil air DAS Cijalupang, Bandung, dengan nilai NS sebesar 0,52 (Suryani 2005). DAS Cijalupang memiliki luas sekitar 2791,70 ha dengan dominasi lereng bergelombang hingga curam. Jenis penggunaan lahan di DAS tersebut meliputi hutan, semak, kebun campuran, sawah, perkebunan teh, pemukiman dan tegalan. Meskipun hasil model masih dapat diterima berdasarkan pada nilai NS, tetapi simulasi periode bulanan menunjukkan bahwa debit hasil simulasi dominan underestimate  dibandingkan observasi. Hal ini diduga karena masih kurang tepat dalam menentukan parameter input model terutama untuk jenis penggunaan lahan teh dalam aplikasi model ini. Sebenarnya database model belum menyiapkan data untuk tanaman teh, sehingga hal tersebut diduga sebagai salah satu faktor kurang tepatnya model dalam menggambarkan aliran, selain tentunya karena adanya topografi yang curam di daerah penelitian.  Aplikasi model SWAT di DAS Keduang dilakukan oleh Atmaja (2012) untuk memprediksi hidrologi dan sedimen. DAS Keduang terletak di Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah memiliki luas sekitar 36.426, 87 ha. DAS Keduang merupakan DAS yang terletak di bagian hulu DAS Bengawan Solo yang mempunyai peran vital bagi penduduk di sekitarnya. Hal ini dikarenakan DAS Keduang merupakan salah satu DAS yang memberikan kontribusi aliran terhadap air yang masuk ke waduk Gajah Mungkur. DAS Keduang didominasi oleh lereng sangat curam (36,80%) dan lereng datar (28,85%). DAS tersebut memiliki tipe iklim C2 yaitu memiliki bulan basah 5-6 bulan dan bulan kering selama 3-4 bulan. Berdasarkan Peta Tanah Semi Detil dari Balai Penelitian Kehutanan Pengelolaan DAS Solo, DAS Keduang dikelompokkan dalam 3 ordo tanah yaitu Latosol (34,02%), Litosol (24,81%) dan Mediteran (41,17%). Penggunaan lahan di DAS Keduang terdiri dari sawah, kebun, tegalan, pemukiman, semak dan hutan. 77

Hasil menunjukkan bahwa model belum terlalu baik dalam menggambarkan hidrologi DAS Keduang dimana hasil simulasi yang diberikan masih underestimate   hampir disemua periode simulasi. Meskipun demikian, hasil koefisien Nash-Sutcliffe menunjukkan nilai yang memuaskan untuk DAS Keduang yaitu sebesar 0,45. Hasil simulasi model SWAT di DAS Keduang terhadap besarnya sedimen yang dihasilkan memberikan nilai yang rendah dibandingkan hasil pengukuran (underestimate ) yaitu sebesar 15.898,46 ton/tahun dibandingkan 6.548.642,08 ton/tahun. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa model SWAT masih kurang tepat dalam menggambarkan sedimen DAS Keduang secara akurat. Aplikasi model SWAT di DAS Keduang yang masih kurang tepat dalam menggambarkan proses hidrologi dan sedimentasi yang terjadi diduga karena 1) penetapan input model yang masih kurang tepat, 2) model tidak memperhitungkan sedimen yang berasal dari erosi jurang dan erosi tebing sungai, dan 3) model kurang tepat diaplikasikan pada wilayah yang sangat curam dimana DAS Keduang didominasi oleh lereng sangat curam (kelas lereng > 40%), 4) fragmentasi sungai yang kurang tepat sehingga mempengaruhi hidrologi dan sedimen, dan 5) nilai trap efficiency  yang digunakan belum menggambarkan keadaan lapang Penelitian Arifianto (2011) di DAS Ciliwung Hulu melakukan kalibrasi dan validasi tiga periode tahun yang berbeda yang menggambarkan pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap debit aliran sungai. Tidak semua uji validasi yang membandingkan nilai hasil model dengan pengukuran lapang memberikan nilai koefisien determinasi (R 2) dan koefisien Nash-Sutcliffe (perbedaan nilai model dengan pengukuran) yang tinggi (>0,5) tapi secara keseluruhan model SWAT bisa digunakan untuk simulasi perubahan penggunaan lahan. Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut, banyak parameter input yang masih memerlukan penyesuaian (adjustment ) dengan kondisi di lapang terutama di daerah tropika basah Sementara itu, penelitian Mulyana (2012) tentang aplikasi model SWAT di DAS Cisadane dan Gumbasa menghasilkan suatu nilai atau luas hutan yang proposional untuk menghasilkan water yield   yang paling optimal. Dengan demikian, berdasarkan penelitian-penelitian aplikasi model SWAT yang telah dilakukan di Indonesia, sebagian besar masih menitik beratkan pada keluaran model berupa aliran permukaan dan debit aliran sungai. Penelitian aplikasi model SWAT terkait keluaran berupa sedimen masih sangat terbatas, sedangkan penelitian dengan keluaran model konsentrasi hara dan pestisida di aliran sungai terlebih waduk belum dilakukan.

78

1.2.

 Aplikasi Model SWAT dalam Perencanaan Pengelolaan Aliran Daerah Sungai (RPDAS) Sesuai dengan amanah Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.60 tahun 2013 tentang Tata Cara Penyusunan dan Penetapan Rencana Pengelolaan DAS merupakan rencana jangka panjang 15 (lima belas) tahun yang rentang waktu rencananya disesuaikan dengan rencana pembangunan daerah bersangkutan. Rencana tersebut bersifat strategis dengan unit analisis DAS, yang akan dijabarkan dalam rencana jangka menengah 5 (lima) tahun yang bersifat semi detail pada tingkat sektor di setiap DAS. Rencana Pengelolaan DAS merupakan rencana multi pihak yang disusun dengan pendekatan partisipatif dan diselesaikan secara multidisiplin sehingga rencana ini akan memuat berbagai kepentingan dan tujuan serta diintegrasikan dalam satu sistem perencanaan. Berdasarkan konteks tersebut, masalah-masalah yang dihadapi oleh setiap instansi/pihak diupayakan untuk diatasi bersama dengan kerangka pencapaian tujuan bersama . 1.2.1. Aplikasi SWAT dalam Identifikasi/Perumusan Permasalahan Biofis ik DAS Model SWAT merupakan salah satu model hidrologi yang dapat digunakan untuk melakukan identifikasi atau perumusan masalah biofisik suatu DAS secara spasial. Keluaran model SWAT adalah volume aliran permukaan, aliran lateral, aliran dasar, debit aliran sungai, erosi, produksi sedimen, konsentrasi unsur hara dan pestisida, dan konsentrasi organisme dalam aliran air di titik pengeluaran (outlet ) pada level Sub DAS dan DAS. Selain secara spasial di setiap sub DAS di dalam DAS, bahkan pada level HRU (Hydrology Response Unit   = unit lahan yang homogen hasil tumpang tindih atau overlay   peta tanah, kelerengan, dan penggunaan lahan) di dalam setiap sub DAS, keluaran tersebut dapat disimulasikan secara temporal atau dalam waktu panjang yang tergantung pada ketersediaan data iklim dan penggunaan lahan (land use ). Setelah model SWAT dikalibrasi dan validasi, model SWAT dapat digunakan untuk mengidentifikasi masalah biofisik DAS baik pada level HRU atau sub DAS, mencakup lokasi dan periode kapan telah terjadi aliran permukaan dan erosi yang sangat tinggi hingga di atas normal atau ambang batas. Selain itu, distribusi debit aliran sungai kontinyu dalam jangka lama di setiap sub DAS dan DAS dapat diidentifikasi apakah merata atau debit maksimum dan minimum sangat jauh berbeda, bahkan dapat diidentifikasi debit 79

banjirnya. Debit tersebut akan sangat berpengaruh dan berkorelasi positif terhadap konsentrasi sedimen, hara, dan pestisida dalam aliran sungai. Fenomena terebut sangat berkaitan atau dipengaruhi oleh kondisi penggunaan lahan di hulu DAS. Pengelolaan lahan dan penggunaan lahan terutama di hulu DAS yang tidak proporsional dan tidak rasional akan menyebabkan indikator hidrologi atau kinerja DAS menjadi buruk seperti banjir dan kekeringan serta pencemaran air sungai dan waduk. Lebih  jauh, permasalahan biofisik tersebut dapat ditelusuri akar masalahnya, dan mungkin saja masalah sosial ekonomi dan budaya yang lebih mendasari atau melandasi timbulnya masalah biofisik tersebut secara permanen.  Apabila permasalahan biofisik dan sosial ekonomi kelembagaan di setiap sub DAS atau DAS telah diidentifikasi, maka dapat dibuat rumusan pemecahan masalah dengan tepat di setiap sub DAS atau DAS dan semestinya dapat dibuat dengan aplikasi model SWAT. Tentunya rumusan pemecahan masalah tersebut dibuat melalui penerapan pengelolaan lahan atau perencanaan penggunaan lahan (land use planning ) yang telah disepakati melalui suatu forum diskusi atau Focus Group Discussion   (FGD) dalam kerangka penyusunan Rencana Pengelolaan DAS Terpadu. 1.2.2. Apli kasi SWAT untuk Penyusunan Skenario d an Perumusan Rekomendasi Pengelolaan d an Penggunaan Lahan Setelah model SWAT dikalibrasi dan divalidasi (aliran permukaan, sedimen, konsentrasi hara dan pestisida dalam air sungai atau waduk yang merupakan keluaran model memiliki pola yang sama dengan hasil pengukuran di lapang dari suatu pola pengelolaan dan penggunaan lahan tertentu dalam DAS), maka dapat disimulasikan berbagai skenario pengelolaan dan penggunaan lahan untuk mendapat keluaran model yang berkelanjutan (layak secara ekonomi, lingkungan, dan sosial).

Skenario Penggunaan Lahan. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa model SWAT yang telah dikalibrasi dan validasi dapat digunakan untuk identifikasi HRU dan Sub DAS yang terdegradasi. Dengan demikian diketahui HRU dan Sub DAS mana saja yang memberikan kontribusi terhadap status kerusakan DAS. DAS yang rusak tentu saja memberikan dampak yang negatif bagi keseimbangan sumberdaya alam dan makhluk hidup di dalam DAS. Oleh karena itu, keadaan tersebut perlu diperbaiki sehingga tetap dapat mendukung lingkungan yang berkelanjutan. Tindakan 80

perbaikan yang nantinya akan diterapkan di lapangan dapat disimulasikan terlebih dahulu dengan model SWAT sehingga dalam waktu singkat dapat diketahui kemungkinan hasil yang dicapai apabila rencana tersebut diterapkan. Simulasi yang diterapkan tentunya terkait dengan permasalah yang ingin diselesaikan, salah satunya yaitu simulasi peningkatan luas tutupan vegetasi akibat pola penyelenggaran RHL sesuai dengan dokumen RTk-RHL. Simulasi peningkatan luas hutan dilakukan dengan menambahkan luas hutan pada hutan yang eksisting, tentunya dengan tidak mengubah penggunaan lahan yang tidak bisa dikonversi seperti pemukiman. Besarnya peningkatan luas hutan harus didasarkan pada kemungkinan penerapannya di lapangan agar rencana yang telah disusun memang dapat dilaksanakan, bukan hanya sekedar rencana di atas kertas. Di luar dan di dalam kawasan hutan khususnya pada hutan produksi, sedangkan pada hutan lindung simulasi konservasi tanah hanya sebatas pada pembuatan rorak, dan teras gulud. Simulasi teknik konservasi tanah dan air (KTA) di terapkan di dalam dan diluar kawasan hutan. Teknik KTA yang di pilih selain harus sesuai dengan kondisi karakteristik HRU juga mengacu pada rekomendasi dokumen RTkRHL yang telah di tetapkan. Simulasi tata ruang DAS dilakukan dengan mensimulasi RTRW yang telah disusun baik oleh Bappeda dan menerapkan skenario program rehabilitasi hutan dan lahan yang tertuang di dalam dokumen RTk-RHL DAS. Dengan demikian dapat diketahui bagaimana dampak implementasi rencana makro tata ruang wilayah dan dampak penanganan degradasi lahan yang tertuang dalam dokumen RTk-RHL terhadap respon hidrologi DAS. Simulasi SWAT terhadap dokumen RTk-RHL juga dapat di jadikan analisis monitoring dan evaluasi terhadap pencapaian indikator kinerja RHL yang telah di tetapkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Skenario lain yang dapat disimulasikan adalah penggunaan lahan yang direncanakan sesuai dengan hasil FGD penyusunan Rencana Pengelolaan DAS. Dengan demikian, pengelolaan dan penggunaan lahan yang berkelanjutan suatu DAS dapat direkomendasikan dalam penyusunan Rencana Pengelolaan DAS. Setelah semua skenario tersebut disimulasikan, maka hasil keluaran dari model SWAT untuk setiap simulasi dievaluasi berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. 61 tahun 2014 tentang Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan DAS, baik untuk 81

parameter lahan maupun tata air. Skenario dengan hasil evaluai terbaik dapat dijadikan rekomendasi untuk pengelolaan DAS yang nantinya akan diterapkan di lapangan dan hendaknya sejalan dengan RPDAS. Pengelolaan dan penggunaan lahan yang direkomendasikan diharapkan secara aktual akan menghasilkan debit aliran sungai yang merata sepanjang tahun, konsentrasi sedimen dalam aliran sungai yang sama dengan erosi yang dapat ditoleransikan dari lahan, serta konsentrasi hara dan pestisida dalam aliran sungai di bawah ambang batas. Rekomendasi Penggunaan dan Pengelolaan Lahan. Berdasarkan rencana penggunaan dan pengelolaan lahan yang telah disimulasikan dalam berbagai skenario sebelumnya, maka dapat diketahui bagaimana gambaran keadaan hidrologi suatu DAS apabila rencana tersebut diterapkan. Dari berbagai skenario yang disimulasikan, skenario mana yang nantinya akan direkomendasikan untuk dilaksanakan tergantung pada tingkat keefektifan penerapannya di lapangan baik dari segi kemungkinan aplikasi skenario tersebut maupun dari aspek ekonomi dan lingkungan. Oleh karena itu, pada saat menyusun skenario, hal-hal tersebut juga perlu diperhatikan sehingga pada saat memberikan rekomendasi, stakeholder terkait tidak perlu mempertimbangkan lagi aspek tersebut. 1.3. Integrasi Model SWAT dalam Perencanaan Pengelolaan DAS Sesuai dengan muatan yang ada dalam Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.60 tahun 2013 tentang Tata Cara Penyusunan dan Penetapan Rencana Pengelolaan DAS, maka secara garis besar proses penyusunan rencana tersebut disajikan pada Gambar 2.1. Proses penyusunan rencana tersebut dimulai dengan mengidentifikasi isu-isu pokok yang ada di dalam DAS dan dapat dibangun dari hasil monitoring dan evaluasi pengelolaan DAS maupun dari hasil Focus Group Discussion (FGD). Berdasarkan isu-isu pokok tersebut kemudian diidentifikasi dan dianalisis masalah yang muncul di dalam pengelolaan DAS. Apabila identifikasi dan analisisnya tidak dilakukan secara komprehensif, maka tidak dapat ditemukan akar masalahnya. Selanjutnya, berdasarkan masalah yang telah teridentifikasi dan dianalisis, dirumuskan rencana pengelolaan DAS dilengkapi dengan kriteria dan indikator keberhasilan pengelolaan DAS. Jadi kata kunci keberhasilan banyak ditentukan oleh penggalian akar masalahnya.

82

Gambar 2.1. Proses Penyusunan Rencana Pengelolaan DAS Terpadu (Permenhut No. P. 60 tahun 2013) Integrasi aplikasi model SWAT di dalam tahapan penyusunan Rencana Pengelolaan DAS untuk dokumen Rencana Pengelolaan DAS yang telah tersusun dan diterbitkan keputusannya, maka alur aplikasi model SWAT diintegrasikan seperti dimuat dalam Gambar 2.2. Pada diagram alir Gambar 2.2 terlihat bahwa model SWAT digunakan untuk mengidentifikasi masalah biofisik di dalam DAS seperti telah diuraikan sebelumnya. Persoalanpersoalan biofisik di sub DAS atau di bagian wilayah dalam DAS dapat diketahui/diidentifikasi dari hasil running model SWAT. Berdasarkan masalah biofisik yang teridentifikasi, selanjutnya disusun rencana pengelolaan lahan dan penggunaan lahan untuk jangka panjang sekaligus merevisi Rencana Pengelolaan DAS yang telah tersusun berdasarkan pelibatan dan kesepakatan stakeholder yang tercapai dari kegiatan FGD disertai pertimbangan-pertimbangan kebijakan, peraturan perundangan, dan analisis peran. Revisi terutama berupa penyempurnaan rencana penggunaan dan pengelolaan lahan tahunan khusus di sub DAS atau wilayah dalam DAS yang biofisiknya bermasalah. Kemudian model SWAT dijalankan lagi sesuai dengan periode monitoring dan evaluasi pengelolaan DAS setiap tahun untuk mengetahui ketercapaian tujuan pengelolaan DAS.

83

 Apabila dokumen Rencana Pengelolaan DAS belum tersusun atau rencana pengelolaan DAS terpadu baru akan disusun, maka diagram alir integrasi model SWAT dalam penyusunan rencana tersebut disajikan pada Gambar 2.1. Secara prinsip tidak ada perbedaan dengan Gambar 2.2, tetapi waktu penyusunan rencana penggunaan dan pengelolaan lahan bersamaan dengan tahapan penyusunan rencana DAS setelah melalui diskusi dengan stakeholder serta pertimbangan kebijakan dan peraturan perundangan yang berlaku, disamping analisis peran masing-masing anggota stakeholder. Dengan demikian, prinsip dari integrasi model SWAT dalam penyusunan Rencana Pengelolaan DAS adalah penggunaan dan pengelolaan lahan sesuai dengan permasalahan biofisik yang ada. Sementara itu, agar model SWAT tetap bisa diintegrasikan maka masalah non biofisik seperti sosial, ekonomi, budaya, dan politik harus bisa dterjemahkan ke dalam skenario perubahan penggunaan dan pengelolaan lahan. Tentunya, setiap anggota stakeholder memerankan tugas pokok dan fungsinya masing-masing dengan komitmen sepenuhnya demi tercapainya tujuan pengelolaan DAS. Lebih jauh, implementasi pengelolaan lahan dalam model SWAT untuk meningkatkan daya dukung DAS dalam kerangka pengelolaan DAS selama 15 tahun diskemakan dalam Gambar 2.2. Simulasi implementasi pengelolaan lahan dalam model SWAT untuk 15 tahun ke depan dilakukan untuk melihat peningkatan atau penurunan terdahap daya dukung DAS melalui monitoring dan evaluasi hasil pengukuran dan pengamatan lapang sebagai validasi simulasi model SWAT tersebut. Tentunya, peningkatan daya dukung DAS sangat diharapkan dapat dicapai sesuai dengan tujuan pengelolaan DAS terpadu yang telah disusun sebelumnya. Dengan demikian ketertarikan dan keinginan (interest) setiap anggota stakeholder dapat terpenuhi serta pemanfaatan dan penggunaan lahan dapat optimum.

84

Dokumen R P DAS T (PP37/2012 & Permenhut P.39/2009) Karakteristik Biofisik DAS untuk R P DAS T

Input Data SWAT

Running Model SWAT (Kalibrasi & Validasi)

FGD, pertimbangan peraturan & kebijakan terkait di DAS

Identifikasi Masalah Biofisik di SubDAS (spasial) & temporal

Indentifikasi & Analisis Akar Masalah di SubDAS & DAS

Rekomendasi Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lahan di SubDAS & DAS (spasial & temporal)

Membangun Skenario Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lahan di SubDAS & DAS (spasial & temporal)

R P DAS T Revised (PP37/2012 & Permenhut P.39/2009)

Running Model SWAT Hasil Rekomendasi

 Aplikasi & Monev R P DAS T Revised (PP37/2012, Permenhut P.39/2009, Permenhut No. 61/2014)

Tidak

Tujuan Pengelolaan DAS Terpadu Tercapai  Ya

Selesai

Gambar 2.2. Integrasi Model SWAT dalam Review Rencana Pengelolaan DAS Terpadu

85

Karakteristik Biofisik DAS untuk R P DAS T

Input Data SWAT

Running Model SWAT (Kalibrasi & Validasi)

Identifikasi Masalah Biofisik di SubDAS (spasial) & temporal

Indentifikasi & Analisis Akar Masalah di SubDAS & DAS

FGD, pertimbangan peraturan & Kebijakan terkait di DAS Rekomendasi Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lahan di SubDAS & DAS (spasial & temporal)

Membangun Skenario Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lahan di SubDAS & DAS (spasial & temporal)

Dokumen R P DAS T (PP37/2012 & Permenhut P.39/2009)

Running Model SWAT Hasil Rekomendasi

 Aplikasi & Monev R P DAS T (PP37/2012, Permenhut P.39/2009, Permenhut No. 61/2014)

Tidak

Tujuan Pengelolaan DAS Terpadu Tercapai  Ya

Selesai

Gambar 2.3. Integrasi Model SWAT dalam Penyusunan Rencana Pengelolaan DAS Terpadu

86

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF