Perdarahan Subkonjungtiva
August 16, 2017 | Author: Surya Dewi Primawati | Category: N/A
Short Description
Tutorial Klinik Perdarahan Subkonjungtiva stase Ilmu Penyakit Mata...
Description
Tutorial Klinik ILMU PENYAKIT MATA SUBCONJUNGTIVAL BLEEDING
Disusun Oleh : Ekkim Al Kindi
G99141057
Surya Dewi Primawati
G99141058
Biltinova Arum Miranti
G99141059
Gresmita Rindi Winarti
G99141060
Magdalena Wibawati
G99141061
Pembimbing : Dr. Senyum Indrakila, dr., SpM.
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA 2015
BAB I STATUS PASIEN I. IDENTITAS Nama
: Ny. S
Umur
: 44 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Petani
Alamat
: Sumberlawang, Sragen
Tgl pemeriksaan
: 10 Februari 2015
No. RM
: 01289754
II. ANAMNESIS A. Keluhan utama
: Mata kiri nyeri
B. Riwayat Penyakit Sekarang
:
Pasien datang dengan mata kiri nyeri sejak ± 3 hari yang lalu. Nyeri pada mata kiri terjadi akibat terpukul batang jagung. Nyeri dirasakan terus menerus dan tidak berkurang dengan istirahat. Setelah terpukul batang jagung tersebut, mata pasien semakin lama semakin merah, hampir menutupi seluruh bagian putih pada matanya. Pasien juga mengeluhkan mata kirinya pegal. Pasien tidak mengeluh adanya pandangan dobel, pandangan kabur, nrocos, blobokan, mata gatal, mata silau, dan pusing. C. Riwayat Penyakit Dahulu •
Riwayat keluhan serupa
: disangkal
•
Riwayat infeksi / iritasi mata
: disangkal
•
Riwayat trauma
: +, 3 hari yang lalu
•
Riwayat mata merah
: disangkal
•
Riwayat operasi mata
: disangkal
•
Riwayat asma
: disangkal
•
Riwayat alergi
: disangkal
D. Riwayat Penyakit Keluarga •
Riwayat keluhan serupa
: disangkal
•
Riwayat infeksi / iritasi mata
: disangkal
•
Riwayat asma
: disangkal
•
Riwayat alergi
: disangkal
E. Kesimpulan Anamnesis OD
OS
Proses
-
trauma
Lokalisasi
-
subkonjungtiva
Perjalanan
-
akut
Komplikasi
-
-
III. PEMERIKSAAN FISIK A. Kesan umum Keadaan umum baik, GCS E4V5M6, gizi kesan cukup Tekanan darah = 120/80 mmHg
Nadi = 88x/menit
Frekuensi napas = 18x/menit
Suhu= afebril
B. Pemeriksaan subyektif OD
OS
Visus sentralis jauh
6/7
6/7
Pinhole
tidak dilakukan
tidak dilakukan
Refraksi
tidak dikoreksi
tidak dikoreksi
30/30
30/30
tidak dilakukan
tidak dilakukan
dalam batas normal
dalam batas normal
Visus sentralis dekat Koreksi Visus Perifer Konfrontasi test
Proyeksi sinar
tidak dilakukan
tidak dilakukan
Persepsi warna
tidak dilakukan
tidak dilakukan
Tanda radang
tidak ada
tidak ada
Luka
tidak ada
tidak ada
Parut
tidak ada
tidak ada
Kelainan warna
tidak ada
tidak ada
Kelainan bentuk
tidak ada
tidak ada
Warna
hitam
hitam
Tumbuhnya
normal
normal
sawo matang
sawo matang
dalam batas normal
dalam batas normal
C. Pemeriksaan Obyektif 1. Sekitar mata
2. Supercilium
Kulit Geraknya
3. Pasangan Bola Mata dalam Orbita Heteroforia
tidak ada
tidak ada
Strabismus
tidak ada
tidak ada
Pseudostrabismus
tidak ada
tidak ada
Exophtalmus
tidak ada
tidak ada
Enophtalmus
tidak ada
tidak ada
Anopthalmus
tidak ada
tidak ada
Mikrophtalmus
tidak ada
tidak ada
Makrophtalmus
tidak ada
tidak ada
Ptisis bulbi
tidak ada
tidak ada
Atrofi bulbi
tidak ada
tidak ada
Buftalmus
tidak ada
tidak ada
Megalokornea
tidak ada
tidak ada
4. Ukuran bola mata
5. Gerakan Bola Mata
Temporal superior
dalam batas normal
dalam batas normal
Temporal inferior
dalam batas normal
dalam batas normal
Temporal
dalam batas normal
dalam batas normal
Nasal
dalam batas normal
dalam batas normal
Nasal superior
dalam batas normal
dalam batas normal
Nasal inferior
dalam batas normal
dalam batas normal
dalam batas normal
dalam batas normal
6. Kelopak Mata Gerakannya Lebar rima
10 mm
10 mm
Pseudoptosis
tidak ada
tidak ada
Benjolan
tidak ada
tidak ada
Nyeri tekan
tidak ada
tidak ada
Tepi kelopak mata Oedem
tidak ada
tidak ada
Margo intermarginalis
tidak ada
tidak ada
Hiperemis
tidak ada
tidak ada
Entropion
tidak ada
tidak ada
Ekstropion
tidak ada
tidak ada
7. Sekitar saccus lakrimalis Oedem
tidak ada
tidak ada
Hiperemis
tidak ada
tidak ada
8. Sekitar Glandula lakrimalis Oedem
tidak ada
tidak ada
Hiperemis
tidak ada
tidak ada
kesan normal
kesan normal
tidak dilakukan
tidak dilakukan
9. Tekanan Intra Okuler Palpasi Tonometer Schiotz 10. Konjungtiva Konjungtiva palpebra superior Oedem
tidak ada
tidak ada
Hiperemis
tidak ada
Ada
Sikatrik
tidak ada
tidak ada
Konjungtiva palpebra inferior Oedem
tidak ada
tidak ada
Hiperemis
tidak ada
Ada
Sikatrik
tidak ada
tidak ada
Oedem
tidak ada
tidak ada
Hiperemis
tidak ada
tidak ada
Sikatrik
tidak ada
tidak ada
Pterigium
tidak ada
tidak ada
Oedem
tidak ada
tidak ada
Hiperemis
tidak ada
Ada
Sikatrik
tidak ada
tidak ada
Injeksi konjungtiva
tidak ada
Ada
Konjungtiva Fornix
Konjungtiva Bulbi
Caruncula dan Plika Semilunaris Oedem
tidak ada
tidak ada
Hiperemis
tidak ada
tidak ada
Sikatrik
tidak ada
tidak ada
putih
putih
tidak ada
tidak ada
12 mm
12 mm
11. Sklera Warna Penonjolan 12. Kornea Ukuran Limbus
jernih
jernih
Permukaan
rata, mengkilat
rata, mengkilat
Sensibilitas
normal
normal
Keratoskop (Placido)
tidak dilakukan
tidak dilakukan
Fluoresin Test
tidak dilakukan
tidak dilakukan
Arcus senilis
tidak ada
tidak ada
Isi
jernih
jernih
Kedalaman
dalam
dalam
coklat
coklat
spongious
spongious
Bentuk
bulat
bulat
Sinekia
tidak ada
tidak ada
Ukuran
3 mm
3 mm
Bentuk
bulat
bulat
Tempat
sentral
sentral
(+)
(+)
13. Kamera Okuli Anterior
14. Iris Warna Gambaran
15. Pupil
Reflek direct Reflek indirect
(+)
Reflek konvergensi
(+)
(+)
(+)
Ada/tidak
ada
ada
Kejernihan
jernih
jernih
Letak
sentral
sentral
(-)
(-)
16. Lensa
Shadow test 17. Korpus vitreum Kejernihan
tidak dilakukan
tidak dilakukan
IV. KESIMPULAN PEMERIKSAAN OD Visus sentralis jauh
6/7
OS 6/7
Pinhole
-
-
Refraksi
-
-
30/30
30/30
-
-
Visus sentralis dekat Koreksi Sekitar mata
dalam batas normaldalam batas normal
Supercilium
dalam batas normaldalam batas normal
Pasangan bola mata
dalam batas normaldalam batas normal
dalam orbita Ukuran bola mata
dalam batas normal dalam batas normal
Gerakan bola mata
dalam batas normal
dalam batas normal
Palpebra superior
dalam batas normal
dalam batas normal
Palpebra inferior
dalam batas normal
dalam batas normal
Sekitar saccus lakrimalisdalam batas normal
dalam batas normal
Sekitar glandula lakrimalisdalam batas normal Tekanan intra okuler
kesan normal
Konjunctiva bulbi
dalam batas normal
Sklera
kesan normal Hiperemis
dalam batas normal dalam batas normal
Kornea
dalam batas normal
Camera oculi anterior Iris
dalam batas normal
dalam batas normal
dalam batas normal
dalam batas normal
dalam batas normal
dalam batas
normal Pupil Lensa Corpus vitreum
dalam batas normal dalam batas normal tidak dilakukan
dalam batas normal dalam batas normal tidak dilakukan
Gambar. 1 Dokumentasi pasien
VI. DIAGNOSIS o
Okuli Sinistra Subconjunctival Bleeding
VII. DIAGNOSIS BANDING o
Okuli Sinistra Konjungtivitis
o
Okuli Sinistra Skleritis
o
Okuli Sinistra Pinguekula iritan
VIII. PLANNING o
Pemeriksaan Slit Lamp
VII. TERAPI o
Metilprednisolon 4 mg 2x1
o
Tranexamat 3x1
o
Cendo Lyteers Eye Drops 4x1 OS
VIII. PROGNOSIS OD
OS
Ad vitam
bonam
bonam
Ad sanam
bonam
bonam
Ad kosmetikum
bonam
bonam
Ad fungsionam
bonam
bonam
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anatomi Mata dan Konjungtiva Mata adalah sebuah organ yang kompleks yang memiliki lebih dari satu sistem anatomi yang mendukung fungsi mata itu sendiri. Secara umum ada beberapa sistem anatomi yang mendukung fungsi organ mata, yaitu : 1. Anatomi kelopak mata Kelopak mata memiliki peranan proteksi terhadap bola mata dari benda asing yang menbahayakan mata. Kelopak atau palpebra mempunyai fungsi melindungi bola mata, serta mengeluarkan sekresi kelenjarnya yang membentuk film air mata di depan kornea. Pada kelopak terdapat bagian – bagian seperti kelanjar sebasea, kelenjar Moll, kelenjar Zeis dan kelenjar Meibom. Sementara pergerakan kelopak mata dilakukan oleh M. Levator palpebra yang dipersarafi oleh N. Fasialis. 2. Anatomi sistem lakrimal Sistem lakrimal terdiri atas 2 bagian, yaitu : Sistem produksi atau glandula lakrimal. Sistem sekresi air mata atau
lakrimal terletak di daerah temporal bola mata. Sistem ekskresi mulai pada pungtum lakrimal, kanalikuli lakrimal, sakus
lakrimal, duktus nasolakrimal, meatus inferior. 3. Anatomi konjungtiva Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak bagian belakang. Bermacam – macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva ini. Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel Goblet. Musin bersifat membasahi bola mata terutama kornea. Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu : Konjungitva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar
digerakkan dari tarsus. Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera di
bawahnya. Konjungtiva fornises atau forniks konjungtiva yang merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi.
Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar dengan jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak. 4. Anatomi bola mata Bola mata berbentuk bulat dengan panjang maksimal 24 mm. Bola mata di bagian depan (kornea) mempunyai kelengkungan yang lebih tajam sehingga terdapat bentuk dengan 2 kelengkungan yang berbeda. Bola mata dibungkus oleh 3 lapis jaringan, yaitu : Sklera, merupakan bagian terluar yang melindungi bola mata. Bagian terdepan sklera disebut kornea yang bersifat transparan yang memudahkan
sinar masuk ke dalam bola mata. Jaringan uvea merupakan jaringan vaskular. Jaringan sklera dan uvea dibatasi oleh ruang yang potensial mudah dimasuki darah apabila terjadi perdarahan pada ruda paksa yang disebut perdarahan suprakoroid. Jaringan uvea terdiri atas iris, badan siliar dan koroid. Badan siliar menghasilkan
cairan bilik mata (akuos humor). Lapis ketiga bola mata adalah retina yang terletak paling dalam dan mempunyai susunan lapis sebanyak 10 lapis yang merupakan lapis membran neurosensoris yang akan merubah sinar menjadi rangsangan
pada saraf optik dan diteruskan ke otak. 5. Anatomi rongga orbita Rongga orbita adalah rongga yang berisi bola mata dan terdapat 7 tulang yang membentuk dinding orbita yaitu : lakrimal, etmoid, sfenoid, frontal, dan dasar orbita yang terutama terdiri atas tulang maksila, bersama – sama tulang palatinum dan zigomatikus. Secara garis besar anatomi mata terdiri dari (luar – ke dalam) :
Kornea
Kamera okuli anterior
Iris
Lensa
Kamera okuli posterior (vitreus body)
Retina
Nervus optikus
Gambar 2. Anatomi mata B. Fisiologi Konjungtiva Konjungtiva merupakan membran mukus yang transparan yang membentang di permukaan dalam kelopak mata dan permukaan bola mata sejauh dari limbus. Ini memiliki suplay limfatik yang tebal dan sel imunokompeten yang berlimpah. Mukus dari sel goblet dan sekresi dari kelenjar aksesoris lakrimal merupakan komponen penting pada air mata. Konjungtiva merupakan barier pertahanan dari adanya infeksi. Aliran limfatik berasal dari nodus preaurikuler dan submandibula, yang berkoresponden dengan aliran di kelopak mata. Konjungtiva terdiri atas 3 bagian, yaitu :
Konjungtiva palpebra dimulai dari hubungan mukokutaneus pada tepi kelopak dan bergabung ke lapis tarsal posterior (Ilyas, 2008). Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke posterior (pada forniks superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera dan
menjadi konjungtiva bulbaris (Vaughan, 2000). Konjungtiva forniks merupakan konjungtiva peralihan konjungtiva palpebra dan bulbi
Konjungtiva bulbi yang menutupi sklera anterior dan bersambung dengan epitel kornea pada limbus. Punggungan limbus yang melingkar membentuk palisade Vogt. Stroma beralih menjadi kapsula Tenon kecuali pada limbus dimana dua lapisan menyatu (Ilyas, 2008). Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbitale di forniks dan melipat berkali – kali. Pelipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik. Lipatan konjungtiva bulbaris tebal, mudah bergerak dan lunak (plika semilunaris) terletak di kanthus internus dan membentuk kelopak mata ketiga pada beberapa binatang. Struktur epidermoid kecil semacam daging (karunkula) menempel superfisial ke bagian dalam plika semilunaris dan merupakan zona transisi yang mengandung elemen kulit dan membran mukosa (Vaughan, 2000).
Gambar 3. Anatomi konjungtiva mata C. Pasokan darah, limfe dan persarafan Arteri – arteri konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis bebas dan bersama dengan banyak vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring – jaring vaskuler konjungtiva yang banyak sekali. Pembuluh limfe konjungtiva terusun dalam lapisan superfisial dan lapisan profundus dan bersambung dengan pembuluh limfe kelopak mata hingga membentuk pleksus limfatikus yang kaya. Konjungtiva menerima persarafan dari
percabangan (oftalmik) pertama nervus V. Saraf ini hanya relatif sedikit mempunyai serat nyeri (Vaughan, 2000). Histologi konjungtiva :
Epitel konjungtiva merupakan jenis yang non-keratinisasi dan tebalnya sekitar 5 sel. Sel basal kuboid menyusun sel polihedral yang mendatar sebelum sel tersebut terlepas dari permukaan. Sel goblet terdapat di dalam sel epitelnya. Sel goblet kebanyakan terdapat di inferoir dari nasal dan di konjungtiva forniks, dimana jumlahnya sekitar 5 – 10% jumlah sel basal (Ilyas, 2008). Lapisan epitel konjungtiva terdiri dari dua hingga lima lapisan sel epitel silinder bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, di atas karunkula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri dari sel – sel epitel skuamosa. Sel – sel epitel basal berwarna lebih pekat daripada sel – sel superfisial dan di dekat limbus dapat
mengandung pigmen (Vaughan, 2000). Stroma (substansia propria) terdiri atas jaringan ikat yang banyak kehilangan pembuluh darah. Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superfisial) dan satu lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan di beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa konjungtivitis inklusi pada neonatus bersifat papiler bukan folikuler dan mengapa kemudian menjadi folikuler.
D. Perdarahan Subkonjungtiva 1. Definisi Perdarahan subkonjungtiva adalah perdarahan akibat rapuhnya pembuluh darah konjungtiva (ilyas, 20008). Darah terdapat di antara konjungtiva dan sklera. Sehingga mata akan mendadak terlihat merah dan biasanya mengkhawatirkan bagi pasien (Vaughan, 2000).
Gambar 4. Perdarahan subkonjungtiva 2.
Sinonim (Graham, 2009) Beberapa istilah lain untuk perdarahan subkonjungtiva adalah: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
bleeding in the eye eye injury ruptured blood vessels blood in the eye bleeding under the conjunctiva bloodshot eye pink eye
3. Epidemiologi Dari segi usia, perdarahan subkonjungtiva dapat terjadi di semua kelompok umur, namun hal ini dapat meningkat kejadiannya sesuai dengan pertambahan umur (Graham, 2009). Penelitian epidemiologi di Kongo rata – rata usia yang mengalami perdarahan subkonjungtiva adalah usia 30.7 tahun (Kaimbo, 2008). Perdarahan subkonjungtiva sebagian besar terjadi unilateral (90%). Pada perdarahan subkonjungtiva tipe spontan tidak ditemukan hubungan yang jelas dengan suatu kondisi keadaan tertentu (64.3%). Kondisi hipertensi memiliki hubungan yang cukup tinggi dengan angka terjadinya perdarahan subkonjungtiva (14.3%). Kondisi lainnya namun jarang adalah muntah, bersin, malaria, penyakit sickle cell dan melahirkan. Pada kasus melahirkan, telah dilakukan penelitian oleh oleh Stolp W dkk pada 354 pasien postpartum dengan perdarahan subkonjungtiva. Bahwa
kehamilan
dan
proses
persalinan
dapat
mengakibatkan
perdarahan
subkonjungtiva (Stolp, 2013). 4.
Manifestasi klinis perdarahan subkonjungtiva Sebagian besar tidak ada gejala simptomatis yang berhubungan dengan perdarahan subkonjungtiva selain terlihat darah pada bagian sklera.
Sangat
jarang
mengalami
nyeri
ketika
terjadi
perdarahan
subkonjungtiva pada permulaan. Ketika perdarahan terjadi pertama kali, akan terasa tidak nyaman, terasa ada yang mengganjal dan penuh
di mata. Tampak adanya perdarahan di sklera dengan warna merah terang
(tipis) atau merah tua (tebal). Tidak ada tanda peradangan, kalaupun adanya biasanya peradangan
yang ringan. Perdarahan akan terlihat meluas dalam 24 jam pertama setelah itu kemudian akan berkurang perlahan ukurannya karena diabsorpsi (American Academy, 2009).
5.
Patofisiologi Konjungtiva adalah selaput tipis transparan yang melapisi bagian putih dari bola mata (sklera) dan bagian dalam kelopak mata.
Konjungtiva
merupakan lapisan pelindung terluar dari bola mata. Konjungtiva mengandung serabut saraf dan sejumlah besar pembuluh darah yang halus. Pembuluhpembuluh darah ini umumnya tidak terlihat secara kasat mata kecuali bila mata mengalami peradangan. Pembuluh-pembuluh darah di konjungtiva cukup rapuh dan dindingnya mudah pecah sehingga mengakibatkan terjadinya perdarahan subkonjungtiva. Perdarahan subkonjungtiva tampak berupa bercak berwarna merah terang di sklera. Karena struktur konjungtiva yang halus, sedikit darah dapat menyebar secara difus di jaringan ikat subkonjungtiva dan menyebabkan eritema difus, yang biasanya memiliki intensitas yang sama dan menyembunyikan pembuluh darah. Konjungtiva yang lebih rendah lebih sering terkena daripada bagian
atas. Pendarahan berkembang secara akut, dan biasanya menyebabkan kekhawatiran, meskipun sebenarnya tidak berbahaya. Apabila tidak ada kondisi trauma mata terkait, ketajaman visual tidak berubah karena perdarahan terjadi murni secara ekstraokulaer, dan tidak disertai rasa sakit (graham, 2009). Secara klinis, perdarahan subkonjungtiva tampak sebagai perdarahan yang datar, berwarna merah, di bawah konjungtiva dan dapat menjadi cukup berat sehingga menyebabkan kemotik kantung darah yang berat dan menonjol di atas tepi kelopak mata. Perdarahan subkonjungtiva dapat terjadi secara spontan, akibat trauma, ataupun infeksi. Perdarahan dapat berasal dari pembuluh darah konjungtiva atau episclera yang bermuara ke ruang subkonjungtiva. Berdasarkan mekanismenya, perdarahan subkonjungtiva dibagi menjadi dua, yaitu : 1. Perdarahan subkonjungtiva tipe spontan Sesuai namanya perdarahan subkonjungtiva ini adalah terjadi secara tiba – tiba (spontan). Perdarahan tipe ini diakibatkan oleh menurunnya fungsi endotel sehingga pembuluh darah rapuh dan mudah pecah. Keadaan yang dapat menyebabkan pembuluh darah menjadi rapuh adalah umur, hipertensi, arterisklerosis, konjungtivitis hemoragik, anemia, pemakaian antikoagulan dan batuk rejan (Ilyas, 2008). Perdarahan subkonjungtiva tipe spontan ini biasanya terjadi unilateral. Namun pada keadaan tertentu dapat menjadi bilateral atau kambuh kembali; untuk kasus seperti ini kemungkinan diskrasia darah (gangguan hemolitik) harus disingkirkan terlebih dahulu (Vaughan, 2000). 2. Perdarahan subkonjungtiva tipe traumatik Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien sebelumnya mengalami trauma di mata langsung atau tidak langsung yang mengenai kepala daerah orbita. Perdarahan yang terjadi kadang – kadang menutupi perforasi jaringan bola mata yang terjadi. 6. Etiologi
1. Idiopatik, suatu penelitian oleh Parmeggiani F dkk di Universitas Ferara Itali mengenai kaitan genetik polimorfisme faktor XIII Val34Leu dengan terjadinya perrdarahan subkonjungtiva didapatkan kesimpulan baik homozigot maupun heterozigot faktor XIII Val34Leu merupakan faktor predisposisi dari perdarahan subkonjungtiva spontan, alel Leu34 diturunkan secara genetik sebagai faktor resiko perdarahan subkonjungtiva terutama pada kasus yang sering mengalami kekambuhan (Parmeggiani, 2013). Mutasi pada faktor XIII Val34Leu mungkin sangat berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya episode perdarahan subkonjungtiva (Incovaia, 2013). 2. Manuver Valsalva (seperti batuk, tegang, muntah – muntah, bersin) 3. Traumatik (terpisah atau berhubungan dengan perdarahan retrobulbar atau ruptur bola mata) 4. Hipertensi (Pitts, 2013). 5. Gangguan perdarahan (jika terjadi berulang pada pasien usia muda tanpa adanya riwayat trauma atau infeksi), termasuk penyakit hati atau hematologik, diabetes, SLE, parasit dan defisisensi vitamin C. 6. Berbagai antibiotik, obat NSAID, steroid, kontrasepsi dan vitamin A dan D yang
telah
mempunyai
hubungan
dengan
terjadinya
perdarahan
subkonjungtiva, penggunaan warfarin (Leiker, 2013). 7. Sequele normal pada operasi mata sekalipun tidak terdapat insisi pada konjungtiva. 8. Beberapa infeksi sistemik febril dapat menyebabkan perdarahan subkonjungtiva, termasuk septikemia meningokok, demam scarlet, demam tifoid, kolera, riketsia, malaria, dan virus (influenza, smallpox, measles, yellow fever, sandfly fever). 9. Perdarahan subkonjungtiva telah dilaporkan merupakan akibat emboli dari patahan tulang panjang, kompresi dada, angiografi jantung, operasi bedah jantung.
10. Penggunaan lensa kontak, faktor resiko mayor perdarahan subkonjungtiva yang diinduksi oleh penggunaan lensa kontak adalah konjungtivakhalasis dan pinguecula (Mimura, 2013). 11. Konjungtivokhalasis merupakan salah satu faktor resiko yang memainkan peranan
penting
pada
patomekanisme
terjadinya
perdarahan
subkonjungtiva. 7. Diagnosis dan pemeriksaan Diagnosis dibuat secara klinis dan anamnesis tentang riwayat dapat membantu penegakan diagnosis dan terapi lebih lanjut. Ketika ditemukan adanya trauma, trauma dari bola mata atau orbita harus disingkirkan. Apabila perdarahan subkonjungtiva idiopatik terjadi untuk pertama kalinya, langkahlangkah diagnostik lebih lanjut biasanya tidak diperlukan. Dalam kejadian kekambuhan, hipertensi arteri dan kelainan koagulasi harus disingkirkan. Pemeriksaan fisik bisa dilakukan dengan memberi tetes mata proparacaine (topikal anestesi) jika pasien tidak dapat membuka mata karena sakit; dan curiga etiologi lain jika nyeri terasa berat atau terdapat fotofobia (Chern, 2002). Memeriksa ketajaman visual juga diperlukan, terutama pada perdarahan subkonjungtiva
traumatik.
Salah
satu
studi
mengenai
perdarahan
subkonjungtiva traumatik dan hubungannya dengan luka / injuri lainnya oleh Lima dan Morales di rumah sakit Juarez Meksiko tahun 1996 – 2000 menyimpulkan bahwa sejumlah pasien dengan perdarahan subkonjungtiva disertai dengan trauma lainnya (selain pada konjungtiva), ketajaman visus < 6/6 meningkat dengan adanya kerusakan pada selain konjungtiva. Maka dari itu pemeriksaan ketajaman visus merupakan hal yang wajib pada setiap trauma di mata sekalipun hanya didapat perdarahan subkonjungtiva tanpa ada trauma organ mata lainnya (Graham, 2009). Selanjutnya, periksa reaktivitas pupil dan mencari apakah ada defek pupil, bila perlu, lakukan pemeriksaan dengan slit lamp. Curigai ruptur bola mata jika perdarahan subkonjungtiva terjadi penuh pada 360°. Jika pasien memiliki
riwayat perdarahan subkonjungtiva berulang, pertimbangkan untuk memeriksa waktu pendarahan, waktu prothrombin, parsial tromboplastin, dan hitung darah lengkap dengan jumlah trombosit (Chern, 2002). 8. Diagnosis banding (Graham, 2009) 1. Konjungtivitis, hal ini dikarenakan memiliki kesamaan pada klinisnya yaitu mata merah. 2. Konjungtivitis hemoragik akut 3. Sarcoma kaposi 9.
Penatalaksanaan Perdarahan subkonjungtiva biasanya tidak memerlukan pengobatan. Pengobatan dini pada perdarahan subkonjungtiva ialah dengan kompres dingin. Perdarahan subkonjungtiva akan hilang atau diabsorpsi dalam 1- 2 minggu tanpa diobati (Ilyas, 2008). Pada bentuk-bentuk berat yang menyebabkan kelainan dari kornea, dapat dilakukan sayatan dari konjungtiva untuk drainase dari perdarahan. Pemberian air mata buatan juga dapat membantu pada pasien yang simtomatis. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, dicari penyebab utamanya, kemudian terapi dilakukan sesuai dengan penyebabnya. Tetapi untuk mencegah perdarahan yang semakin meluas beberapa dokter memberikan vasacon (vasokonstriktor) dan multivitamin. Air mata buatan untuk iritasi ringan dan mengobati faktor risikonya untuk mencegah risiko perdarahan berulang (Rifki, 2010). Perdarahan subkonjungtiva harus segera dirujuk ke spesialis mata jika ditemukan kondisi berikut ini : 1. Nyeri yang berhubungan dengan perdarahan. 2. Terdapat perubahan penglihatan (pandangan kabur, ganda atau kesulitan untuk melihat) 3. Terdapat riwayat gangguan perdarahan 4. Riwayat hipertensi 5. Riwayat trauma pada mata.
10. Komplikasi
Perdarahan subkonjungtiva akan diabsorpsi sendiri oleh tubuh dalam waktu 1 – 2 minggu, sehingga tidak ada komplikasi serius yang terjadi. Namun adanya perdarahan subkonjungtiva harus segera dirujuk ke dokter spesialis mata jika ditemui berbagai hal seperti yang telah disebutkan diatas (Ilyas, 2008) Pada perdarahan subkonjungtiva yang sifatnya menetap atau berulang (kambuhan) harus dipikirkan keadaan lain. Penelitian yang dilakukan oleh Hicks D dan Mick A mengenai perdarahan subkonjungtiva yang menetap atau mengalami
kekambuhan
didapatkan
kesimpulan
bahwa
perdarahan
subkonjungtiva yang menetap merupakan gejala awal dari limfoma adneksa okuler (Graham, 2009). 11.
Prognosis Secara umum prognosis dari perdarahan subkonjungtiva adalah baik. Karena sifatnya yang dapat diabsorpsi sendiri oleh tubuh. Namun untuk keadaan tertentu seperti sering mengalami kekambuhan, persisten atau disertai gangguan pandangan maka dianjurkan untuk dievaluasi lebih lanjut lagi (Ilyas, 2008).
DAFTAR PUSTAKA American Academy. 2009. Subconjunctival Haemorrhages. Amerika. Chern, KC. 2002. Emergency Ophthalmology: A Rapid Treatment Guide. 1st ed. McGraw-Hill, Massachusetts. Graham, RK. 2009. Subconjuntival Hemorrhage. 1st Edition. 2009. Medscape’s Continually
Updated
Clinical
Reference.
http://emedicine.medscape.com/article/1192122-overview Ilyas, Sidarta. 2008. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. FK UI: Jakarta. Incorvaia C et all. 2013. Recurrent episodes of spontaneous subconjunctival hemorrhage in patients with factor XIII Val34Leu mutation. Ferrara, Itali. Kaimbo D, Kaimbo Wa. 2008. Epidemiology of traumatic and spontaneous subconjunctival haemorrhages in Congo. Congo. Leiker LL, Mehta BH, Pruchnicki MC, Rodis JL. 2013. Risk factors and complications of subconjunctival hemorrhages in patients taking warfarin. Kansan. USA. Mimura T, Yamagami S, et all. 2010. Contanc lens-Induced Subconjuntival Hemorrhage. Tokyo, Jepang. Parmeggiani F et all. 2013. Prevalence of factor XIII Val34Leu polymorphism in patients affected by spontaneous subconjunctival hemorrhage. Ferrara, Itali. Pitts JF, Jardine AG, Murray SB, Barker NH. 2013. Spontaneous subconjunctival haemorrhage--a sign of hypertension?. Western Infirmary, Glasgow. Rifki, M. 2010. Perdarahan Subkonjungtiva. Jakarta. http://www.medicastore/ Perdarahan Subkonjungtiva.3ii04308azs Stolp W, Kamin W, Liedtke M, Borgmann H. 2013. Eye diseases and control of labor. Studies of changes in the eye in labor exemplified by subconjunctival hemorrhage (hyposphagmas). Johanniter-Krankenhauses Bonn. Jerman. Vaughan, Daniel G. Oftalmologi Umum. 2000. Widia Meka. Jakarta.
View more...
Comments