Perdarahan Post Partum

April 30, 2018 | Author: Kicky Chaca | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Perdarahan Post Partum...

Description

BAB I PENDAHULUAN

Perdarahan post partum merupakan penyebab kematian maternal terbanyak. Dari laporan-laporan baik di negara maju maupun di negara berkembang angka kejadian berkisar antara 5% sampai 15%. Semua wanita hamil dengan umur kehamilan 20 minggu memiliki resiko perdarahan post partum. Frekuensi perdarahan port partum yang dilaporkan Mochtar, R. dkk. (1965-1969) di R.S. Pirngadi Medan adalah 5,1% dari seluruh persalinan. Dari angka tersebut, diperoleh sebaran etiologi antara lain: atonia uteri (50 - 60 %), sisa plasenta (23 - 24 %), retensio plasenta (16 17 %), laserasi jalan lahir (4 - 5 %), kelainan darah (0,5 - 0,8 %). Walaupun angka kematian maternal telah turun secara drastis di negara-negara berkembang, perdarahan post partum tetap merupakan penyebab kematian maternal terbanyak  dimana-mana.

(1,2,3)

Kematian maternal adalah kematian wanita saat hamil, melahirkan atau dalam 6 minggu setelah berakhirnya kehamilan. Tingkat kematian maternal (maternal mortality rate) atau Angka Kematian Ibu (AKI) didefinisikan sebagai jumlah kematian

maternal selama satu tahun dalam 100.000 kelahiran hidup. Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia tertinggi di ASEAN, sebesar 307/100.000 kelahiran hidup (Survei Demografi Kesehatan Indonesia SDKI 2002 - 2003); artinya lebih dari 18.000 ibu tiap tahun atau dua ibu tiap jam meninggal oleh sebab yang berkaitan dengan kehamilan, persalinan dan nifas.

(4,5)

Definisi perdarahan post partum saat ini belum dapat ditentukan secara pasti. Perdarahan post partum didefinisikan sebagai perdarahan lebih dari 500 mL setelah persalinan pervaginam atau lebih dari 1.000 mL setelah persalinan abdominal. Perdarahan dalam jumlah ini dalam waktu kurang dari 24 jam disebut sebagai perdarahan post partum primer, dan apabila perdarahan ini terjadi lebih dari 24 jam disebut sebagai perdarahan post partum sekunder.

(1,2,3)

1

Penanganan perdarahan post partum harus dilakukan dalam 2 komponen, yaitu: (1) resusitasi dan penanganan perdarahan obstetri serta kemungkinan syok  hipovolemik dan (2) identifikasi dan penanganan penyebab terjadinya perdarahan post post partu m.

(3,6)

2

Penanganan perdarahan post partum harus dilakukan dalam 2 komponen, yaitu: (1) resusitasi dan penanganan perdarahan obstetri serta kemungkinan syok  hipovolemik dan (2) identifikasi dan penanganan penyebab terjadinya perdarahan post post partu m.

(3,6)

2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Definisi

Perdarahan post partum atau perdarahan pasca persalinan atau  post   partum haemorrhage (PPH) adalah perdarahan atau hilangnya darah 500cc atau

lebih yang terjadi setelah anak lahir. Perdarahan dapat terjadi sebelum, selama, atau sesudah lahirnya plasenta. Definisi lain menyebutkan perdarahan pasca persalinan adalah perdarahan 500cc atau lebih yang terjadi setelah plasenta lahir. Menurut waktu terjadinya dibagi atas dua bagian:

(1-5)

a. Perdarahan post partum primer ( early postpartum hemorrhage) yang terjadi dalam 24 jam setelah anak lahir. b. Perdarahan post partum sekunder ( late postpartum hemorrhage) yang terjadi antara 24 jam sampai 6 minggu post partum (masa nifes). II.2. Epidemiologi

Menurut Abou Zahr 1998, angka kejadian perdarahan postpartum di Indonesia yaitu 43 %. Perdarahan postpartum adalah penyebab paling umum perdarahan yang berlebihan pada kehamilan, dan hampir semua transfusi pada wanita hamil dilakukan untuk menggantikan darah yang hilang setelah persalinan. Di negara kurang berkembang, hal ini merupakan penyebab utama dari kematian maternal disebabkan kurangnya tenaga kesehatan yang memadai, kurangnya layanan transfusi, serta kurangnya layanan operasi. Mochtar melaporkan angka kematian ibu 7,9% dan Wiknjosastro 1,8-4,5% akibat perdarahan post partum. Berdasarkan faktor resikonya, perdarahan post partum paling banyak disebabkan oleh tone yaitu atonia uteri sebesar 70%.

(1,5,7,8)

3

II.3. Etiologi

Banyak faktor potensial yang dapat menyebabkan perdarahan postpartum, faktor-faktor yang menyebabkan perdarahan postpartum adalah 4T (Tonus. Tissue, Trauma, dan Trombin) dimana tonus paling banyak  disebabkan oleh atonia uteri, sedangkan tissue disebabkan oleh retensio plasenta, serta sisa plasenta; trauma disebabkan salah satunya oleh perlukaan  jalan lahir, serta trombin biasanya akibat kelainan pembekuan darah. Berikut tabel dan masing-masing pembahasannya:

(1-6)

Tabel 1. Etiologi Perdarahan Post Partum Dikutip dari kepustakaan 9

1. Tonus Salah satu etiologi perdarahan post partum adalah tonus, dimana yang menjadi penyebab terbanyak dari tonus adalah ketidakmampuan dari tonus otot uterus untuk berkontraksi atau lebih dikenal dengan atonia uteri. Atonia uteri adalah suatu keadaan dimana uterus gagal untuk berkontraksi dan mengecil sesudah janin keluar dari rahim. Perdarahan postpartum secara fisiologis di kontrol oleh kontraksi serat-serat miometrium terutama 4

yang berada disekitar pembuluh darah yang mensuplai darah pada tempat perlengketan plasenta. Atonia uteri terjadi ketika miometrium tidak dapat berkontraksi.

(10)

Pada perdarahan karena atonia uteri, uterus membesar dan lembek  pada palpasi. Atonia uteri juga dapat timbul karena salah penanganan kala III persalinan, dengan memijat uterus dan mendorongnya kebawah dalam usaha melahirkan plasenta, sedang sebenarnya belum terlepas dari uterus.

(1)

Atonia uteri merupakan penyebab utama perdarahan postpartum. Disamping menyebabkan kematian, perdarahan postpartum memperbesar kemungkinan infeksi puerperal karena daya tahan penderita berkurang. Perdarahan yang banyak bisa menyebabkan "Sindroma Sheehan ” yang terjadi tidak lama sesudah persalinan sebagai akibat syok karena perdarahan. Hipofisis berinvolusi sesudah persalinan dan diduga bahwa pengaruh syok pada hipofisis yang sedang dalam involusi dapat menimbulkan nekrosis pada pars anterior. Gejala-gejala sindrom Sheehan antara lain astenia, hipotensi, dengan anemia, turunnya berat badan sampai menimbulkan kakeksia, penurunan fungsi seksual dengan atrofi alat-alat genital, kehilangan rambut pubis dan ketiak, penurunan metabolisme dengan hipotensi, amenorea dan kehilangan fungsi laktasi.

(1)

Overdistensi uterus, baik absolut maupun relatif, merupakan faktor resiko mayor terjadinya atonia uteri. Overdistensi uterus dapat disebabkan oleh

kehamilan

ganda,

janin

makrosomia,

polihidramnion

atau

abnormalitas janin (misal hidrosefalus berat), kelainan struktur uterus atau kegagalan untuk melahirkan plasenta atau distensi akibat akumulasi darah di uterus baik sebelum maupun sesudah plasenta lahir.

(10)

Lemahnya kontraksi miometrium merupakan akibat dari kelelahan karena persalinan lama atau persalinan dengan tenaga besar, terutama bila mendapatkan stimulasi. Hal ini dapal pula terjadi sebagai akibat dari 5

inhibisi kontraksi yang disebabkan oleh obat-obatan, seperti agen anestesi terhalogenisasi, nitrat, obat-obat anti inflamasi nonsteroid, magnesium sulfat, beta-simpatomimetik dan nifedipin. Penyebab lain yaitu plasenta letak

rendah,

toksin

bakteri

(korioamnionitis.

endomiometritis,

septikemia), hipoksia akibat hipoperfusi atau uterus couvelaire pada abruptio plasenta dan hipolermia akibat resusitasi masif. Data terbaru menyebutkan bahwa grande multiparitas bukan merupakan faktor resiko independen untuk terjadinya perdarahan post partum.

(1,10)

2. Tissue a. Retensio plasenta b. Sisa plasenta c. Plasenta akreta dan variasinya. Apabila plasenta belum lahir setengah jam setelah janin lahir, hal ini dinamakan retensio plasenta. Hal ini bisa disebabkan karena plasenta belum lepas dari dinding uterus atau plasenta sudah lepas akan tetapi belum dilahirkan.

(2)

Jika plasenta belum lepas sama sekali maka tidak terjadi perdarahan, tapi apabila terlepas sebagian maka akan terjadi perdarahan yang merupakan indikasi untuk mengeluarkannya. Plasenta belum lepas dari dinding uterus karena: -

(2,10,11)

Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta (plasenta adhesiva).

-

Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab vilis korialis menembus desidua sampai miometrium sampai dibawah peritoneum. Menurut tingkat perlekatannya dibagi menjadi : 1. Plasenta Adhesiva : Plasenta yang menempel pada desidua endometrium. 2. Plasenta Inkreta : Plasenta yang vili-vilinya menembus sampai ke miometrium uterus. 6

3. Plasenta Akreta : Plasenta yang vili-vilinya menembus desidua basalis sampai ke miometrium sedikit dibawah desidua. 4. Plasenta Parkreta : Plasenta yang mencapai lapisan serosa dinding uterus atau peritoneum. 5. Plasenta Inkarserata : Tertahannya plasenta dalam cavum uteri karena atonia uteri.

Gambar 1. Plasenta Perkreta-Akreta-Inkarserata Dikutip dari kepustakaan no 11

Plasenta yang sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar disebabkan oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah penanganan kala III sehingga terjadi lingkaran konstriksi pada bagian bawah uterus yang menghalangi keluarnya plasenta (inkarserasio plasenta). Sisa plasenta yang tertinggal merupakan penyebab 20-25 % dari kasus perdarahan postpartum.

(10,13,14)

Pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan adanya massa uterus yang echogenic yang mendukung diagnosa retensio sisa plasenta. Hal ini bisa digunakan jika perdarahan beberapa jam setelah persalinan ataupun

7

pada late postpartum hemorraghe. Apabila didapatkan cavum uteri kosong tidak perlu dilakukan dilatasi dan kuretase.

(3,15)

3. Trauma Sekitar 20% kasus perdarahan postpartum disebabkan oleh trauma  jalan lahir:

(16,17)

-

Robekan Perineum

-

Ruptur uterus

-

Inversi uterus

-

Perlukaan jalan lahir

-

Vaginal hematom Robekan perineum dibagi atas 4 tingkat, yaitu

(18)

Tingkat I : Robekan hanya pada selaput lender vagina atau tanpa mengenai kulit perineum. Tingkat II : Robekan mengenai selaput lender vagina dan otot perinei transversalis tetapi tidak mengenai sfingter ani. Tingkat III : Robekan mengenai seluruh perineum dan otot sfingter ani. Tingkat IV : Robekan sampai mukosa rectum. Ruptur spontan uterus jarang terjadi, fektor resiko yang bisa menyebabkan antara lain grande multipara, malpresentasi, riwayat operasi uterus sebelumnya, dan persalinan dengan induksi oxytosin. Rupture uterus sering terjadi akibat jaringan parut sectio secarea sebelumnya.

(10)

Laserasi dapat mengenai uterus, cervix, vagina, atau vulva, dan biasanya terjadi karena persalinan secara operasi ataupun persalinan pervaginam dengan bayi besar, terminasi kehamilan dengan vakum atau ekstraksi forcep, walau begitu laserasi bisa teijadi pada sembarang persalinan.

(10,12)

8

Laserasi pembuluh darah dibawah mukosa vagina dan vulva akan menyebabkan hematom, perdarahan akan tidak terdeteksi dan dapat menjadi berbahaya karena tidak akan terdeteksi selama beberapa jam dan bisa menyebabkan terjadinya syok.

(10,14)

Episiotomi dapat menyebabkan perdarahan yang berlebihan jika mengenai arteri atau vena yang besar, jika episitomi luas, jika ada penundaan antara episitomi dan persalinan, atau jika ada penundaan antara persalinan dan perbaikan episiotomi.

(13)

Perdarahan yang terus terjadi dan kontraksi uterus baik akan mengarah pada perdarahan dari laserasi ataupun episiotomi. Ketika laserasi serviks atau vagina diketahui sebagai penyebab perdarahan maka repair adalah solusi terbaik.

(2,19)

Pada inversio uteri bagian alas uterus memasuki kavum uteri, sehingga fundus uteri sebelah dalam menonjol kedalam kavum uteri. Peristiwa ini terjadi tiba-tiba dalam kala III atau segera setelah plasenta keluar. Inversio uteri dapat dibagi: -

(2,3,17)

Fundus uteri menonjol kedalam kavum uteri tetapi belum keluar dari ruang tersebut.

-

Korpus uteri yang terbalik sudah masuk kedalam vagina.

-

Uterus dengan vagina semuanya terbalik, untuk sebagian besar terletak diluar vagina. Tindakan yang dapat menyebabkan inversio uteri ialah perasat

crede pada korpus uteri yang tidak berkontraksi baik dan tarikan pada tali pusat dengan plasenta yang belum lepas dari dinding uterus. Pada penderita dengan syok perdarahan dan fundus uteri tidak ditemukan pada tempat yang lazim pada kala III atau setelah persalinan selesai. Pemeriksaan dalam dapat menunjukkan tumor yang lunak diatas servix uteri atau dalam vagina. Kelainan tersebut dapat menyebabkan keadaan

9

gawat dengan angka kematian tinggi (15-70%). Reposisi secepat mungkin memberi harapan yang terbaik untuk keselamatan penderita.

(10)

4. Thrombin / Kelainan Pembekuan Darah Gejala-gejala kelainan pembekuan darah bisa berupa penyakit keturunan ataupun didapat, kelainan pembekuan darah bisa berupa: -

Hipofibrinogenemia, kelainan pembuluh darah yang disebabkan karena defisiensi fibrinogen dapat dijumpai pada: solusio plasenta, kematian hasil konsepsi yang tertahan lama dalam uterus, embolismus air

-

ketuban, sepsis, dan eklampsia.

(2)

Trombositopeni,

jumlah

kurangnya

trombosit

pada

darah

atau

trombositopenia merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya PPH, 3% dari kasus PPH karena trombositopenia disebabkan oleh ITP. 

 Idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP)

ITP merupakan suatu keadaan perdarahan berupa petekie atau ekimosis di kulit/selaput lendir dan berbagai jaringan dengan penurunan jumlah trombosit karena sebab yang tidak diketahui, lebih sering terjadi pada wanita. ITP merupakan penyulit yang jarang dijumpai dalam kehamilan. Diagnosis dapat dibuat apabila ada purpura pada kulit, uji tourniquet positif, jumlah trombosit kurang dari

100.000

per

milimeter

kubik,

ada

perpanjangan

masa

perdarahan, retraksi beku, dan konsumsi protrombin, dan jumlah megakariosit dalam sumsum tulang lebih banyak.

(2)

ITP adalah salah satu gangguan perdarahan di dapat yang paling umum terjadi. ITP adalah sindrom yang di dalamnya terdapat penurunan jumlah trombosit yang bersirkulasi dalam keadaan sumsum normal. Penyebab sebenarnya tidak diketahui, meskipun diduga disebabkan oleh agen virus yang merusak trombosit. Pada umumnya gangguan ini didahului oleh penyakit dengan demam ringan 1-6

10

minggu sebelum timbul gejala. Gangguan ini dapat digolongkan menjadi 3 jenis, yaitu akut, kronik dan kambuhan. Pada anak-anak  mula-mula terdapat gejala diantaranya demam, perdarahan, petekie, purpura dengan trombositopenia dan anemia. -

(16)

Sindrom HELLP Merupakan kumpulan tanda dan gejala : H untuk  Hemolysis, EL untuk  Elevated Liver Enzymes, dan LP untuk  Low Platelets. Patogenesis sindrom HELLP belum jelas. Sampai sekarang tidak  ditemukan faktor pencetusnya, kelihatannya merupakan akhir dari kelainan yang menyebabkan kerusakan endotel mikrovaskuler dan aktivasi trombosit intravaskuler, akibatnya terjadi agregasi trombosit dari selanjutnya kerusakan endotel. Peningkatan kadar enzim hati diperkirakan sekunder dari obstruksi aliran darah hati oleh deposit fibrin pada sinusoid. Trombositopeni dikaitkan dengan peningkatan pemakaian dan atau destruksi trombosit.

(20)

Kriteria diagnosis sindrom HELLP terdiri : Hemolisis, kelainan

apus

darah

tepi,

total

bilirubin

>1,2mg/dl,

laktat

dehidrogenase (LDH) > 600U/L. Peningkatan fungsi hati, serum aspartat aminotransferase (AST) > 70U/L, laktat dehidrogenase 3 (21)

(LDH) > 600 U/L. Jumlah trombosit < 100.000/mm . -

 Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)

Adalah suatu keadaan dimana bekuan-bekuan darah kecil tersebar di seluruh aliran darah, menyebabkan penyumbatan pada pembuluh darah kecil dan berkurangnya faktor pembekuan yang diperlukan untuk mengendalikan perdarahan. Orang-orang yang memiliki resiko paling tinggi untuk menderita DIC:

(22)

11



Wanita yang telah menjalani pembedahan kandungan atau persalinan disertai komplikasi, dimana jaringan rahim masuk  ke dalam aliran darah.



Penderita infeksi berat, dimana bakteri melepaskan endotoksin (suatu zat yang menyebabkan terjadinya aktivasi pembekuan).



Penderita leukemia tertentu atau penderita kanker lambung, pankreas maupun prostat. DIC biasanya muncul tiba-tiba dan bisa bersifat sangat berat.

Jika keadaan ini terjadi setelah pembedahan atau persalinan, maka permukaan sayatan atau jaringan yang robek bisa mengalami perdarahan hebat dan tidak terkendali. Perdarahan bisa menetap di daerah tempat penyuntikan atau tusukan. Perdarahan masif bisa terjadi di dalam otak, saluran pencernaan, kulit, otot dan rongga tubuh. Bekuan darah di dalam pembuluh darah yang kecil bisa merusak  ginjal (kadang sifatnya menetap) sehingga tidak terbentuk air kemih. -

(22)

 Dilutional coagulopathy bisa terjadi pada transfusi darah lebih dari 8

unit karena darah donor biasanya tidak fresh sehingga komponen fibrin dan trombosit sudah rusak.

(2)

II.4. Faktor Resiko

Riwayat perdarahan postpartum pada persalinan sebelumnya merupakan faktor resiko paling besar untuk terjadinya perdarahan postpartum sehingga segala upaya harus dilakukan untuk menentukan keparahan dan penyebabnya. Beberapa faktor lain yang perlu kita ketahui karcna dapat menyebabkan terjadinya hemorraghe postpartum:

(9,10,12,14)

12

1.

Faktor Resiko Antenatal -

Umur Meningkatnya usia ibu merupakan factor independen terjadinya PPH. Jumlah perdarahan pada usia lebih tua lebih besar pada persalinan sesar disbanding persalinan pervaginam.

-

BMI Perempuan obese akan memiliki komplikasi intrapartum dan post partum lebih besar. BMI lebih dari 30 dikaitkan dengan perdarahan yang lebih banyak.

-

Paritas Paritas sering dikaitkan dengan resiko perdarahan postpartum. Namun hingga sekarang, berbagai laporan studi tidak bisa membuktikan bahwa multiparitas

berhubungan

dengan

PPH.

Studi

yang

meloprkan

hubungan tersebut juga gagal untuk mengendalikan factor pengganggu lain seperti usia ibu. -

Penyakit Medis Beberapa penyakit yang diderita ibu selama kehamilan berhubungan erat dengan PPH. Diantaranya adalah DM tipe II, penyakit jaringan konektif, penyakit darah seperti Von Willebrand dan Hemofilia.

-

Kehamilan Post-term Penelitian menunjukkan hubungan antara kehamilan post-term dengan terjadinya PPH.

-

Janin Besar Ibu yang mengandung janin lebih dari 4kg memiliki kemungkinan besar untuk mengalami PPH. Hal ini diperkuat oleh beberapa penelitian di mancanegara.

-

Kehamilan Kembar Secara konsisten penelitian menunjukkan bahwa ibu yang hamil kembar memiliki 3-4x kemungkinan untuk mengalami PPH. 13

-

Fibroid Fibroid membuat ibu mempunyai resiko mengalami PPH. Namun demikian resiko terjadinya PPH lebih tinggi pada persalinan sesar dibandingkan persalinan pervaginam.

2.

Faktor Resiko Intrapartum -

Induksi Persalinan Metaanalisis menunjukkan bahwa induksi persalinan yang berkaitan dengan perdarahan post-partum. Resiko terjadinya perdarahan adalah 1,5 hingga 1,7 kali dibandingkan tanpa induksi. Induksi yang telah diteliti meningkatkan perdarahan post-partum adalah induksi yang menggunakan medikamentosa. Sejauh ini data yang akurat tentang resiko berbagai jenis metode induksi belum lengkap sehingga tidak  dapat disimpulkan secara definitif.

-

Durasi Persalinan Lama kala I lebih dari 20 jam pada nulipara atau 14 jam pada multipara memiliki 1-1,6 kali resiko perdarahan disbanding lama persalinan yang lebih singkat. Kala II memiliki resiko 2,5 kali lebih besar bila berlangsung lebih dari 3 jam. Dengan demikian persalinan dengan kala II lama perlu mengantisipasi lebih awal akan terjadinya PPH. Pada umur kehamilan berapapun, perdarahan semakin meningkat bila durasi kala III meningkat dengan puncaknya 40 menit. Resiko relatifnya berkisar antara 2,1 hingga 6,2 dan semakin tinggi bila kala III berlangsung semakin lama. Titik potong PPH terjadi pada lama kala tiga lebih daari 18 menit.

-

Analgesia Studi retrospektif menunjukkan bahwa penggunaan anestesi epidural berkaitan dengan perdarahan intrapartum, sedangkan perdarahan post partum meningkat resikonya menjadi 1,6 kali. Namun demikian bila

14

diperlukan operasi sesar maka analgesia regional menimbulkan perdarahan lebih kecil dibandingkan anesthesia umum. -

Metode Persalinan Penelitian menunjukkan ada perbedaan resiko perdarahan pada persalinan pervaginam operatif dan juga persalinan sesar. Kesimpulan tentang

ini

belum

definitif

mengingat

berbagai

factor

perlu

diperhitungkan untuk menilai hubungan ini. -

Episiotomi Episiotomi jelas menimbulkan perdarahan lebih banyak dibanding ruptur

spontan.

Namun

selain

itu

ternyata

episiotomi

juga

meningkatkan resiko PPH 2-4,6 kali. Pada uji klinik terkendali terakhir ditunjukkan juga bahwa episiotomy yang dilakukan pada saat kepala sudah crowning tidak memberikan perbedaan signifikan terhadap terjadinya PPH. -

Korioamnionitis Meningkatkan resiko PPH 1,3 kali bila persalinan pervaginam dan hingga 2,7 kali bila persalinan sesar.

II.5. Diagnosis

Beberapa gejala yang bisa menunjukkan perdarahan postpartum :

(2)

1. Perdarahan yang tidak dapat dikontrol 2. Penurunan tekanan darah 3. Peningkatan detak jantung 4. Penurunan hitung sel darah merah ( hematokrit) 5. Pembengkakan dan nyeri pada jaringan daerah vagina dan sekitar perineum Perdarahan hanyalah gejala, penyebabnya haruslah diketahui dan ditatalaksana sesuai penyebabnya. Perdarahan postpartum dapat berupa perdarahan yang hebat dan menakutkan sehingga dalam waktu singkat ibu 15

dapat jatuh kedalam keadaan syok. Atau dapat berupa perdarahan yang merembes perlahan-lahan tapi teijadi terus menerus sehingga akhirnya menjadi banyak dan menyebabkan ibu lemas ataupun jatuh kedalam syok.

(10)

Pada perdarahan melebihi 20% volume total, timbul gejala penurunan tekanan darah, nadi dan napas cepat, pucat, extremitas dingin, sampai terjadi syok.

(2,10)

Volume Kehilangan Tekanan Darah Darah Sistolik

Gejala dan Tanda

Derajat Syok

500-1.000 mL (10-15%)

Normal

Palpitasi, Takikardi, Pusing

Terkompensasi

1000-1500 mL (15-25%)

Penurunan ringan (80-100 mm Hg)

Lemah, Takikardi, Berkeringat

Ringan

1500-2000 mL (25-35%)

Penurunan scdang (70-80 mm Hg)

Gelisah, Pucat, Oligouria

Sedang

2000-3000 mL (35-50%)

Penurunan tajam Pingsan, (50-70 mm Hg) Hipoksia, Anuria

Berat

Tabel 2. Penilaian Klinik untuk Menentukan Derajat Syok Dikutip dari kepustakaan 10

Pada perdarahan sebelum plasenta lahir biasanya disebabkan retensio plasenta atau laserasi jalan lahir, bila karena retensio plasenta maka perdarahan akan berhenti setelah plasenta lahir. Pada perdarahan yang terjadi setelah plasenta lahir perlu dibedakan sebabnya antara atonia uteri, sisa plasenta, atau trauma jalan lahir. Pada pemeriksaan obstretik kontraksi uterus akan letnbek dan membesar jika ada atonia uteri. Bila kontraksi uterus baik  16

dilakukan eksplorasi untuk mengetahui adanya sisa plasenta atau laserasi jalan lahir. Berikut langkah-langkah sistematik untuk mendiagnosa perdarahan postpartum:

(10,17)

1. Palpasi uterus : bagaimana kontraksi uterus dan tinggi fundus uteri 2. Memeriksa plasenta dan ketuban : apakah lengkap atau tidak  3. Lakukan ekplorasi kavum uteri untuk mencari: a. Sisa plasenta dan ketuban b. Robekan Rahim c. Plasenta seksenturiata adalah plasenta yang mempunyai satu kotiledon tambahan yang timbul jauh dari struktur plasenta utama. 4. Inspekulo : Untuk melihat robekan pada serviks, vagina, dan varises yang pecah. 5. Pemeriksaan

laboratorium

:

Peningkatan

degradasi,

kadar

produk 

fibrin/produk split fibrin (FDP/FSP), penurunan kadar fibrinogen : masa tromboplastin partial diaktivasi, masa tromboplastin partial (APT/PTT), masa protrombin memanjang. 6. Ultrasonografi : menentukan adanya jaringan plasenta yang tertahan. Gejala dan Tanda Penyulit Uterus tidak berkontraksi dan lembek  Syok, Perdarahan segera setelah anak lahir Bekuan darah pada serviks atau posisi telentang akan menghambat aliran darah keluar Darah segar mengalir segera setelah Pucat, bayi lahir Lemah, Uterus berkontraksi dan keras Menggigil Plasenta lengkap Plasenta belum lahir setelah 30 menit Tali pusat putus akibat Perdarahan segera traksi berlebihan Uterus berkontraksi dan keras Inversio uteri akibat tarikan Perdarahan lanjutan Plasenta atau sebagian selaput tidak  Uterus berkontraksi tetapi lengkap tinggi fundus tidak  Perdarahan Segera berkurang Uterus tidak teraba Neurogenik syok

Diagnosis Kerja Atonia Uteri

Robekan Jalan Lahir

Retensio Plasenta

Retensi Sisa Plasenta

Inversio Uteri 17

Lumen vagina terisi massa Tampak tali pusat (bila plasenta belum lahir) Sub involusi uterus Nyeri tekan perut bawah dan pada uterus Perdarahan sekunder

Pucat dan limbung

Anemia Demam

Endometritis atau sisa fragmen plasenta (terinfeksi atau tidak)

Tabel 3. Gejala klinis perdarahan postpartum Dikutip dari kepustakaan 5 II.6. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan laboratorium 

(10)

Pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan sejak periode antenatal. Kadar hemoglobin di bawah 10 g/dL berhubungan dengan hasil kehamilan yang buruk.



Pemeriksaan golongan darah harus dilakukan sejak periode antenatal



Perlu dilakukan pemeriksaan faktor koagulasi seperti waktu perdarahan dan waktu pembekuan.

b. Pemeriksaan radiologi 

(10,17)

Onset perdarahan post paitum biasanya sangat cepat. Dengan diagnosis dan penanganan yang tepat, resolusi biasa teijadi sebelum pemeriksaan Iaboratorium

atau

radiologis

dapat

dilakukan.

Berdasarkan

pengalaman, pemeriksaan USG dapat membantu untuk melihat adanya gumpalan darah dan retensi sisa plasenta. 

USG pada periode antenatal dapat dilakukan untuk mendeteksi pasien dengan resiko tinggi yang memiliki fektor predisposisi terjadinya perdarahan post partum seperti plasenta previa. Pemeriksaan USG dapat pula meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas dalam diagnosis plasenta akreta dan variannya.

18

II.7. Penatalaksanaan

Pasien dengan perdarahan post partum harus ditangani dalam 2 komponen, yaitu: (1) resusitasi dan penanganan perdarahan obstetri serta kemungkinan syok hipovolemik dan (2) identifikasi dan penanganan penyebab terjadinya perdarahan post partum.

(4,10)

Penanggulangan syok dimulai dengan tindakan umum yang bertujuan untuk memperbaiki perfusi jaringan; memperbaiki oksigenasi tubuh; dan memper-tahankan suhu tubuh. Tindakan ini tidak bergantung pada penyebab syok. Diagnosis harus segera ditegakkan sehingga dapat diberikan pengobatan kausal.

(22)

Segera berikan pertolongan pertama sesuai dengan prinsip resusitasi ABC. Jalan nafas (A = air way) harus bebas kalau perlu dengan pemasangan pipa endotrakeal. Pernafasan (B = breathing) harus terjamin, kalau perlu dengan memberikan ventilasi buatan dan pemberian oksigen 100%. Defisit volume peredaran darah (C = circulation) pada syok hipovolemik sejati atau hipovolemia relatif (syok septik, syok neurogenik, dan syok anafilaktik) harus diatasi dengan pemberian cairan intravena dan bila perlu pemberian obat-obatan inotropik untuk mempertahankan fungsi jantung atau obat vasokonstriktor untuk mengatasi vasodilatasi perifer.

(22)

Resusitasi cairan

Pengangkatan kaki dapat meningkatkan aliran darah balik vena sehingga dapat memberi waktu untuk menegakkan diagnosis dan menangani penyebab perdarahan. Perlu dilakukan pemberian oksigen dan intravena line. Selama persalinan perlu dipasang paling tidak 1 jalur intravena pada wanita dengan resiko perdarahan post partum, dan dipertimbangkan jalur kedua pada pasien dengan resiko sangat tinggi.

(5,10)

Pada resusitasi dengan cairan kristaloid dalam volume yang besar, baik normal salin (NS/NaCl) atau Ringer Laktat melalui akses intravena perifer. NS merupakan cairan yang cocok pada saat persalinan karena 19

harganya yang murah dan kompatibilitasnya dengan sebagian besar obat dan transfusi darah. Resiko terjadinya asidosis hiperkloremik sangat rendah dalam hubungan dengan perdarahan post partum. Bila dibutuhkan cairan kristaloid dalam jumlah yang banyak (>10L), dapat dipertimbangakan penggunaan cairan ringer laktat.

(10)

Cairan yang mengandung dextrose seperti D5% tidak memiliki peran pada penanganan perdarahan post partum. Perlu diingat bahwa kehilangan 1 L darah perlu penggantian 4-5 L kristaloid karena sebagian besar cairan infus tidak tertahan di ruang intravaskuler, tetapi terjadi pergeseran

ke

ruang

interstisial.

Pergeseran

ini

bersamaan

dengan

penggunaan oksitosin dapat menyebabkan edema perifer pada hari-hari setelah perdarahan post partum. Ginjal normal dengan mudah mengekskresi kelebihan cairan. Perdarahan post partum lebih dari 1500mL pada wanita hamil yang normal dapat ditangani dengan cukup infus kristaloid jika penyebab perdarahan dapat ditangani. Kehilangan darah yang banyak  biasanya membutuhkan penambahan transfusi sel darah merah.

(5,10)

Cairan koloid dalam jumlah besar (1000-1500mL/hr) dapat menyebabkan efek yang buruk pada hemostasis. Tidak ada cairan koloid yang terbukti lebih baik dibandingkan NS, dan karena harga serta resiko terjadinya efek yang tidak diharapkan pada pemberian koloid, maka cairan kristaloid yang tetap direkomendasikan.

(10)

Rekomendasi terbaru adalah resusitasi cairan yang agresif  dilakukan dengan Ringer Laktat atau Saline Normal pada semua pasien dengan tanda-tanda dan gejala-gejala syok tanpa memperhatikan penyebab yang mendasari.

(10)

Transfusi Darah

Transfusi darah perlu diberikan bila perdarahan masih terus berlanjut dan diperkirakan akan melebihi 2.000 mL atau keadaan klinis pasien

20

menunjukkan cepat.

tanda-

tanda

syok

walaupun

tekah

dilakukan

resusitasi

(10,17)

PRC digunakan dengan komponen darah lain dan diberikan jika terdapat indikasi. Para klinisi harus memperhatikan darah transfusi, berkaitan dengan waktu, tipe dan jumlah produk darah yang tersedia dalam keadaan gawat.

(5,14)

Tujuan

transfusi adalah memasukkan 2 - 4

unit PRC untuk 

menggantikan pembawa oksigen yang hilang dan untuk mengembalikan volume sirkulasi. PRC bersifat sangat kental yang dapat menurunkan jumlah tetesan infus. Masalah ini dapat diatasi dengan menambahkan 100 mL NS pada masing-masing unit. Jangan menggunakan cairan Ringer Laktat untuk tujuan ini karena kalsium yang dikandungnya dapat menyebabkan penggumpalan.

(10)

Atonia uteri

-

Kenali dan tegakkan diagnosis kerja atonia uteri

-

Masase uterus, berikan oksitosin dan ergometrin intravena, bila ada perbaikan dan perdarahan berhenti, oksitosin dilanjutkan perinfus.

Jenis dan Cara

Dosis dan cara pemberian awal

Oksitosin

Ergometrin

Misoprostol

IV : 20 IU dalam 1L IM atau IV (lambat) : Oral atau rektal : larutan garam 0,2 mg 400mg fisiologis dengan tetesan cepat IM : 10 IU

Dosis lanjutan

IV : 20 IU dalam 1L larutan garam fisiologis dengan 40 tpm

Dosis maksimal perhari

Tidak lebih dari 3L larutan fisiologis

Ulangi 0,2 mg IM setelah 15 menit Bila masih diperlukan, beri IM/IV setiap 2-4jam Total 1 mg (5 dosis)

400mg 2-4 jam setelah dosis awal

Total 1200mg atau 3 dosis

21

Kontraindikasi atau hati-hati

Pemberian IV secara cepat atau bolus

Preeklampsia, vitium cordis, hipertensi

Nyeri kontraksi Asma

Tabel 4. Jenis uterotonika dan cara pemberiannya Dikutip dari kepustakaan 10

- Bila tidak ada perbaikan dilakukan kompresi bimanual, dan kemudian dipasang tampon uterovaginal padat. Kalau cara ini berhasil, dipertahankan selama 24 jam. - Kompresi bimanual internal Uterus ditekan di antara telapak tangan pada dinding abdomen dan tinju tangan dalam vagina untuk menjepit pembuluh darah di dalam miometrium (sebagai pengganti mekanisme kontraksi). Perhatikan perdarahan yang terjadi. Pertahankan kondisi ini bila perdarahan berkurang atau berhenti, tunggu hingga uterus berkontraksi kembali. Apabila perdarahan tetap terjadi, coba kompresi bimanual eksternal.

Gambar 2. Penekanan bimanual internal Dikutip dari kepustakaan nomor 17

22

- Kompresi bimanual eksternal Menekan uterus melalui dinding abdomen dengan jalan saling mendekatkan kedua belah telapak tangan yang melingkupi uterus. Pantau aliran darah yang keluar. Bila perdarahan berkurang, kompresi diteruskan, pertahankan hingga uterus dapat kembali berkontraksi. Bila belum berhasil dilakukan kompresi bimanual internal kembali. -

Kompresi aorta abdominalis Raba arteri femoralis dengan ujung jari tangan kiri, pertahankan posisi tersebut, genggam tangan kanan kemudian tekankan pada daerah umbilikus, tegak lurus dengan sumbu badan, hingga mencapai kolumna vertebralis. Penekanan yang tepat akan menghentikan atau sangat mengurangi denyut arteri femoralis. Lihat hasil kompresi dengan memperhatikan perdarahan yang terjadi.

-

Dalam keadaan uterus tidak respon terhadap oksitosin/ergometrin, bisa dicoba prostaglandin F2a (250 mg) secara intramuskuler atau langsung pada miometrium (transabdominal). Bila perlu pemberiannya dapat diulang dalam 5 menit dan tiap 2 atau 3 jam sesudahnya.

-

Laparotomi dilakukan bila uterus tetap lembek dan perdarahan yang terjadi tetap > 100 mL/jam. Tujuan laparotomi adalah meligasi arteri uterina atau hipogastrik khusus untuk penderita yang belum punya anak atau muda sekali)

-

Metode B-Lynch merupakan salah salu metode yang digunakan untuk  mengatasi atonia uteri. Prosedur B-Lynch suture antara lain:

(23)

23

Gambar 3. Metode B-Lynch Dikutip dari kepustakaan 24 

Dilakukan anestesi umum, pasien dipasang caleter dengan posisi Lloyd Davies atau semi-lithotomy ( frog leg) untuk akses ke vagina dan untuk melihat perdarahan dengan mcngusap dacrah vagina



Dilakukan insisi SBR atau pada tempat dilakukannya operasi Seksio Sesaria untuk melihat apakah ada retensi sisa plasenta yang perlu dikeluarkan



Kompresi bimanual pada uterus untuk apakah jahitan B-lynch berhasil dilakukan. Apabila perdarahan berhenti maka teknik ini dikerjakan.



Benang monocril no.1/no.2 atau benang kromik nomor 2 (90 cm) dengan jarum bulat 3/8 digunakan untuk menembus uterus sekitar 3 cm di bawah tepi kanan segmen bawah rahim (SBR), di sebelah sisi tubuh pasien, kemudian masuk dalam kavum uteri 3 cm diatas tepi insisi dan 4 cm pada batas lateral uterus. 24



Dari titik jahitan tadi dilewatkan diatas sisi kanan dari comu uterus kira-kira 3-4 cm dari tepi comu. Hal ini untuk mencengkeram dan mencegah jahitan tadi agar tidak lepas dari fundus. Kemudian ke belakang dan turun ke bawah sampai setinggi jahitan sebelah kiri pada kavum uteri anterior.



Jahitan kemudian diteruskan menembus dinding posterior uterus ke dalam kavum uteri dengan pandangan langsung dari operator kemudian ditembuskan pada dinding posterior kurang lebih 4 cm sebelah kiri dari tusukan sebelumnya.



Dengan benang jahitan berada dibelakang dari kavum uteri kemudian dilewatkan keatas dari sisi kiri kornu, kurang lebih 3 cm dari tepi uterus. Dimaksudkan untuk memfiksasi fundus kemudian dibawa ke anterior dan turun vertikal setinggi tepi kiri dari SBR.



Jarum kemudian dilewatkan, dimasukkan ke tepi kiri setinggi di  jahitan di sisi kanan.



Bila tak berhasil, histerektomi adalah langkah terakhir.

25

Gambar 4. Alur Tatalaksana Atonia Uteri Dikutip dari kepustakaan no 18

(2,10,17,18)

Ruptur Perineum dan Robekan Dinding Vagina

-

Lakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi lokasi laserasi dan sumber perdarahan.

-

Lakukan irigasi pada tempat luka dan bubuhi larutan antiseptic.

26

-

Jepit dengan ujung klem sumber perdarahan kemudian ikat dengan benang yang dapat diserap.

-

Lakukan penjahitau luka mulai dari bagian yang paling distal dari operator. 

Robekan perineum tingkat I. Dilakukan

penjahitan

dengan

menggunakan

catgut

dengan

dijahitkan sevara jelujur atau dengan jahitan angka 8. 

Robekan perineum tingkat II Jepit pinggir robekan kiri dan kanan dengan klem kemudian gunting pinggiran yang tidak rata kemudian dilakukan penjahitan luka. Mula-mula otot dijahit dengan catgut, kemudian selaput lender vagina dijahit dengan catgut secara terputus-putus atau  jelujur.Penjahitan mukosa dimulai di puncak robekan sampai kulit perineum dijahit dengan benang secara jelujur atau subkutis.



Robekan perineum tingkat III Mula-mula dinding depan rectum yang robek dijahit, kemudian fasia perirectal dan fasia septum rektovaginal dijahit dengan catgut kromik sehingga bertemu kembali. Ujung-ujung otot sfingter ani yang terkena robekan dijepit dengan klem kemudian dijahit 2-3  jahitan catgut kromik sehingga bertemu kembali. Selanjutnya robekan dijahit lapis demi lapis seperti menjahit robekan perineum tingkat II.



Robekan perineum tingkat IV Pada robekan tingkat IV karena tingkat kesulitan untuk perbaikan cukup tinggi dan resiko terjadinya gangguan berupa gejala sisa dapat menimbulkan keluhan sepanjang hidupnya maka dianjurkan apabila memungkinkan untuk melakukan rujukan dengan tindakan perbaikan di rumah sakit kabupaten/kota.

27

-

Khusus pada ruptur perineum komplit (hingga anus dan sebagian rectum) dilakukan penjahitan lapis demi lapis dengan bantuan busi pada rectum, sbb : 

Setelah prosedur aseptik-antiseptik, pasang busi pada rektum hingga ujung robekan.



Mulai penjahitan dari ujung robekan dengan jahitan simpul submukosa,

menggunakan

benang

poliglikolik

no.2/0

(Dexon/Vicryl) hingga ke sfingter ani. Jepit kedua sfingter ani

dengan klcm dan jalnl dengan benang no. 2/0. 

Lanjutkan penjahitan ke lapisan otot perineum dan submukosa dengan benang yang sama (atau kromik 2/0) secara jelujur.



Mukosa vagina dan kulit perineum dijahit secara submukosal dan subkutikuler.



Berikan antibiotika prolilaksis (ampicillin 2 g dan metronidazol 1 g per oral). Terapi penuh antibiotika hanya di berikan apabila luka tampak kotor atau dibubuhi ramuan tradisional atau terdapat tandatanda infeksi yang jelas.

Robekan serviks

(2,10)

Gambar 4. Robekan pada serviks Dikutip dari kepustakaan 25

28

-

Robekan serviks sering terjadi pada sisi lateral karcna serviks yang terjulur akan mengalami robekan pada posisi spina isiadika tertekan oleh kepala bayi.

-

Bila kontraksi uterus baik, plasenta lahir lengkap, tetapi terjadi perdarahan banyak maka segera lihat bagian lateral bawah kiri dan kanan dari portio.

-

Jepitkan klem ovarium pada kedua sisi portio yang robek sehingga perdarahan dapat segera dihentikan. Jika setelah eksplorasi lanjutan tidak  dijumpai robekan lain, lakukan penjahitan. Jahitan dimulai dari ujung alas robekan kemudian ke arah luar sehingga semua robekan dapat dijahit.

-

Setelah tindakan, periksa tanda vital pasien, kontraksi uterus, tinggi fundus uteri dan perdarahan pasca tindakan.

-

Beri antibiotika profilaksis, kecuali bila jelas ditemui tanda-tanda infeksi.

-

Bila terdapat defisit cairan, lakukan restorasi dan bila kadar Hb
View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF