Perbedaan Permenkes Ri Nomor 35 Tahun 2014 Dan Permenkes Ri Nomor 73 Tahun 2016

November 13, 2018 | Author: Nilam Ekaputri | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

b...

Description

PERBEDAAN PERMENKES PERMENKES RI NOMOR 35 TAHUN 2014 dan PERMENKES RI NOMOR 73 TAHUN 2016 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK

 NO

Permenkes RI 35 Tahun 2014

Permenkes RI 73 Tahun 2016

Bagian Menimbang :

Bagian Menimbang :

a.  bahwa untuk meningkatkan mutu pelayanan

1

a.

 bahwa

Peraturan

Menteri

Kesehatan

kefarmasian di Apotek yang berorientasi

 Nomor 35 Tahun 2014 tentang Standar

kepada keselamatan pasien, diperlukan suatu

Pelayanan

standar yang dapat digunakan sebagai acuan

sebagaimana telah diubah dengan Peraturan

dalam pelayanan kefarmasian di Apotek

Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2016

 b.  bahwa Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004

di

Apotek

tentang Perubahan atas Peraturan Menteri

Standar

Kesehatan Nomor 35 Tahun 2014 tentang

Pelayanan Farmasi di Apotek sudah tidak

Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek

sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan

masih belum memenuhi kebutuhan hukum

hukum;

di masyarakat sehingga perlu dilakukan

c.  bahwa

berdasarkan

tentang

Kefarmasian

pertimbangan

sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan

 perubahan; b.

 bahwa

berdasarkan

pertimbangan

huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu

Pasal 21 ayat (4) Peraturan Pemerintah

menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan

 Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan

tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di

Kefarmasian, perlu menetapkan Peraturan

Apotek;

Menteri Kesehatan tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek;

Bagian mengingat : a. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 138, Tambahan 2

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3781)  b. Keputusan

Menteri

Kesehatan

Nomor

189/Menkes/SK/III/2006 tentang Kebijakan Obat Nasional; c. Peraturan

Menteri

Kesehatan

Nomor

Bagian Mengingat : Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 298, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5607)

huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu

Pasal 21 ayat (4) Peraturan Pemerintah

menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan

 Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan

tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di

Kefarmasian, perlu menetapkan Peraturan

Apotek;

Menteri Kesehatan tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek;

Bagian mengingat : a. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 138, Tambahan 2

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3781)  b. Keputusan

Menteri

Kesehatan

Nomor

189/Menkes/SK/III/2006 tentang Kebijakan

Bagian Mengingat : Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 298, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5607)

Obat Nasional; c. Peraturan

Menteri

Kesehatan

Nomor

889/Menkes/Per/V/2011 tentang Registrasi, Izin

Praktik,

Kefarmasian

dan

Izin

(Berita

Kerja

Negara

Tenaga Republik

Indonesia Tahun 2011 Nomor 322); Pasal 1: a. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu apoteker dalam menjalani Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, dan

Pasal 1 : Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang 3

membantu apoteker dalam menjalani Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya

Farmasi,

Analis

Farmasi,

Menengah Farmasi/Asisten Apoteker

dan

Tenaga

Analis Farmasi  b. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan yang selanjutnya disingkat Kepala BPOM adalah Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang mempunyai tugas untuk melaksanakan tugas pemerintahan di bidang  pengawasan obat dan makanan. c. Menteri

adalah

menteri

yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan di  bidang kesehatan.

889/Menkes/Per/V/2011 tentang Registrasi, Izin

Praktik,

Kefarmasian

dan

Izin

(Berita

Kerja

Negara

Tenaga Republik

Indonesia Tahun 2011 Nomor 322); Pasal 1: a. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu apoteker dalam menjalani Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, dan

Pasal 1 : Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang 3

membantu apoteker dalam menjalani Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya

Farmasi,

Analis

Farmasi,

Menengah Farmasi/Asisten Apoteker

dan

Tenaga

Analis Farmasi  b. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan yang selanjutnya disingkat Kepala BPOM adalah Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang mempunyai tugas untuk melaksanakan tugas pemerintahan di bidang  pengawasan obat dan makanan. c. Menteri

adalah

menteri

yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan di  bidang kesehatan.

Pasal 10 : (1) Pengawasan

selain

dilaksanakan

oleh

Menteri, kepala dinas kesehatan provinsi dan kepala dinas kesehatan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Ayat (1), khusus terkait dengan pengawasan sediaan farmasi dalam pengelolaan sediaan farmasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dilakukan juga oleh Kepala BPOM sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing. (2) Selain pengawasan sebagaimana dimaksud  pada

ayat

melakukan  bimbingan,

(1),

Kepala

BPOM

pemantauan, dan

dapat

pemberian

pembinaan

terhadap

 pengelolaan sediaan farmasi di instansi  pemerintah

dan

masyarakat

 pengawasan sediaan farmasi. Pasal 11:

di

bidang

Pasal 10 : (1) Pengawasan

selain

dilaksanakan

oleh

Menteri, kepala dinas kesehatan provinsi dan kepala dinas kesehatan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Ayat (1), khusus terkait dengan pengawasan sediaan farmasi dalam pengelolaan sediaan farmasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dilakukan juga oleh Kepala BPOM sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing. (2) Selain pengawasan sebagaimana dimaksud  pada

ayat

(1),

melakukan

Kepala

BPOM

pemantauan,

 bimbingan,

dan

dapat

pemberian

pembinaan

terhadap

 pengelolaan sediaan farmasi di instansi  pemerintah

dan

masyarakat

di

bidang

 pengawasan sediaan farmasi. Pasal 11:

(1) Pengawasan yang dilakukan oleh dinas kesehatan provinsi dan dinas kesehatan kabupaten/kota

sebagaimana

dimaksud

dalam Pasal 9 dan pengawasan yang dilakukan oleh Kepala BPOM sebagaimana dimaksud

dalam

Pasal

10

ayat

(1)

dilaporkan secara berkala kepada Menteri. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.

Pasal 12 : (1) Pelanggaran

terhadap

ketentuan

dalam

Peraturan Menteri ini dapat dikenai sanksi administratif. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud  pada ayat (1) terdiri atas: a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara kegiatan; dan/atau c. pencabutan izin

(1) Pengawasan yang dilakukan oleh dinas kesehatan provinsi dan dinas kesehatan kabupaten/kota

sebagaimana

dimaksud

dalam Pasal 9 dan pengawasan yang dilakukan oleh Kepala BPOM sebagaimana dimaksud

dalam

Pasal

10

ayat

(1)

dilaporkan secara berkala kepada Menteri. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.

Pasal 12 : (1) Pelanggaran

terhadap

ketentuan

dalam

Peraturan Menteri ini dapat dikenai sanksi administratif. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud  pada ayat (1) terdiri atas: a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara kegiatan; dan/atau c. pencabutan izin

Pasal 13 : Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1162)

sebagaimana telah diubah

dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (Berita  Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1169), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku Lampiran BAB II Penyimpanan Tempat penyimpanan obat tidak dipergunakan untuk

penyimpanan

barang

lainnya

yang

menyebabkan kontaminasi Lampiran BAB II Pemusnahan : Pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai yang tidak dapat

Pasal 13 : Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1162)

sebagaimana telah diubah

dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (Berita  Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1169), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku Lampiran BAB II Penyimpanan Tempat penyimpanan obat tidak dipergunakan untuk

penyimpanan

barang

lainnya

yang

menyebabkan kontaminasi Lampiran BAB II Pemusnahan : Pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai yang tidak dapat

digunakan harus dilaksanakan dengan cara yang sesuai

dengan

ketentuan

peraturan

 perundangundangan. 4. Penarikan sediaan farmasi yang tidak memenuhi standard/ketentuan peraturan  perundang-undangan dilakukan oleh pemilik izin edar berdasarkan perintah penarikan oleh BPOM (mandatory

recall)

atau

berdasarkan

inisiasi

sukarela oleh pemilik izin edar (voluntary recall) dengan tetap memberikan laporan kepada Kepala BPOM. 5. Penarikan Alat Kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai dilakukan terhadap produk yang izin edarnya dicabut oleh Menteri. Pelaporan eksternal merupakan pelaporan yang Lampiran BAB II Pencatatan dan pelporan : dibuat untuk memenuhi kewajiban sesuai dengan Pelaporan eksternal merupakan pelaporan yang ketentuan peraturan perundang-undangan meliputi dibuat untuk memenuhi kewajiban sesuai dengan  pelaporan

narkotika

(menggunakan

Formulir

3 ketentuan peraturan perundangundangan, meliputi

sebagaimana terlampir), psikotropika (menggunakan  pelaporan narkotika, psikotropika dan pelaporan Formulir 4 sebagaimana terlampir) dan pelaporan lainnya. Petunjuk teknis mengenai pencatatan dan lainnya.

 pelaporan akan diatur lebih lanjut oleh Direktur

digunakan harus dilaksanakan dengan cara yang sesuai

dengan

ketentuan

peraturan

 perundangundangan. 4. Penarikan sediaan farmasi yang tidak memenuhi standard/ketentuan peraturan  perundang-undangan dilakukan oleh pemilik izin edar berdasarkan perintah penarikan oleh BPOM (mandatory

recall)

atau

berdasarkan

inisiasi

sukarela oleh pemilik izin edar (voluntary recall) dengan tetap memberikan laporan kepada Kepala BPOM. 5. Penarikan Alat Kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai dilakukan terhadap produk yang izin edarnya dicabut oleh Menteri. Pelaporan eksternal merupakan pelaporan yang Lampiran BAB II Pencatatan dan pelporan : dibuat untuk memenuhi kewajiban sesuai dengan Pelaporan eksternal merupakan pelaporan yang ketentuan peraturan perundang-undangan meliputi dibuat untuk memenuhi kewajiban sesuai dengan  pelaporan

narkotika

(menggunakan

Formulir

3 ketentuan peraturan perundangundangan, meliputi

sebagaimana terlampir), psikotropika (menggunakan  pelaporan narkotika, psikotropika dan pelaporan Formulir 4 sebagaimana terlampir) dan pelaporan lainnya. Petunjuk teknis mengenai pencatatan dan lainnya.

 pelaporan akan diatur lebih lanjut oleh Direktur

Jenderal. Pelayanan  pemeriksaan

Resep

dimulai

ketersediaan,

dari

penerimaan,

penyiapan

Sediaan

Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Jika ditemukan adanya ketidaksesuaian dari hasil  pengkajian maka Apoteker harus menghubungi dokter penulis Resep.

Pakai termasuk peracikan Obat, pemeriksaan,  penyerahan disertai pemberian informasi. Pada setiap tahap alur pelayanan Resep dilakukan upaya  pencegahan terjadinya kesalahan pemberian Obat (medication error). Petunjuk teknis mengenai  pengkajian dan pelayanan Resep akan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.

Jenderal. Pelayanan  pemeriksaan

Resep

dimulai

ketersediaan,

dari

penerimaan,

penyiapan

Sediaan

Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Jika ditemukan adanya ketidaksesuaian dari hasil  pengkajian maka Apoteker harus menghubungi dokter penulis Resep.

Pakai termasuk peracikan Obat, pemeriksaan,  penyerahan disertai pemberian informasi. Pada setiap tahap alur pelayanan Resep dilakukan upaya  pencegahan terjadinya kesalahan pemberian Obat (medication error). Petunjuk teknis mengenai  pengkajian dan pelayanan Resep akan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.

Kemenkes Keluarkan Permenkes Nomor 9 Tahun 2017 Tentang Apotek

Menteri Kesehatan RI, Nila F Moeloek, mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI (Permenkes/PMK) terbaru Nomor 9 Tahun 2017 terkait Apotek  pada 30 Januari 2017 dan mulai berlaku sejak 13 Februari 2017. PMK ini dibuat untuk meningkatkan aksesibilitas, keterjangkauan, dan kualitas pelayanan kefarmasian kepada masyarakat, perlu penataan penyelenggaraan pelayanan kefarmasian di Apotek. Selain itu, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotik sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1332/MENKES/SK/X/2002 tentang

Perubahan

atas

Peraturan

Menteri

Kesehatan

Nomor

922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotik perlu disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan hukum.

Kemenkes Keluarkan Permenkes Nomor 9 Tahun 2017 Tentang Apotek

Menteri Kesehatan RI, Nila F Moeloek, mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI (Permenkes/PMK) terbaru Nomor 9 Tahun 2017 terkait Apotek  pada 30 Januari 2017 dan mulai berlaku sejak 13 Februari 2017. PMK ini dibuat untuk meningkatkan aksesibilitas, keterjangkauan, dan kualitas pelayanan kefarmasian kepada masyarakat, perlu penataan penyelenggaraan pelayanan kefarmasian di Apotek. Selain itu, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotik sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1332/MENKES/SK/X/2002 tentang

Perubahan

atas

Peraturan

Menteri

Kesehatan

Nomor

922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotik perlu disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan hukum. Total 36 pasal beserta lampirannya dengan lengkap mengatur Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotik serta penataan pelayanan kefarmasian di Apotek. Pengaturan Apotek ini bertujuan untuk: 1. meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian di Apotek; 2. memberikan perlindungan pasien dan masyarakat dalam memperoleh pelayanan kefarmasian di Apotek; dan 3. menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian dalam memberikan  pelayanan kefarmasian di Apotek. Berikut beberapa aturan terkait pendirian apotek : 1. Apoteker dapat mendirikan Apotek dengan modal sendiri dan/atau modal dari  pemilik modal baik perorangan maupun perusahaan.

2. Dalam hal Apoteker yang mendirikan Apotek bekerjasama dengan pemilik modal maka pekerjaan kefarmasian harus tetap dilakukan sepenuhnya oleh Apoteker yang bersangkutan.

Pendirian Apotek harus memenuhi persyaratan, meliputi: 1. lokasi; 2.  bangunan; 3. sarana, prasarana, dan peralatan; dan 4. ketenagaan. Dalam PMK ini dijelaskan dengan detil mengenai rincian persyaratan pendirian apoteknya. Terkait perizinan, setiap apotek masih membutuhkan Surat Izin Apotek (SIA), yakni 1. Setiap pendirian Apotek wajib memiliki izin dari Menteri. 2. Menteri melimpahkan kewenangan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. 3. Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa SIA. 4. SIA berlaku 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi  persyaratan.

KETENTUAN PERALIHAN Pasal 33 (1) Permohonan izin Apotek yang telah diajukan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini tetap diproses berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Kesehatan

 Nomor 922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotik sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Kesehatan  Nomor 1332/MENKES/SK/X/2002 tentang Perubahan atas Peraturan

Menteri

Kesehatan

Nomor

922/MENKES/PER/X/1993

tentang

Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotik. (2) Izin Apotek yang dikeluarkan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan  Nomor 922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotik sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Kesehatan  Nomor 1332/MENKES/SK/X/2002 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotik dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan 5 (lima) tahun sejak Peraturan Menteri ini diundangkan. (3) Apotek yang telah melakukan pelayanan kefarmasian berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotik sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1332/MENKES/SK/X/2002 tentang Perubahan atas Peraturan

Menteri

Kesehatan

Nomor

922/MENKES/PER/X/1993

tentang

Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotik wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini paling lama 2 (dua) tahun sejak Peraturan Menteri ini mulai berlaku. KETENTUAN PENUTUP Pasal 35 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Kesehatan  Nomor 922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotik sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Kesehatan  Nomor 1332/MENKES/SK/X/2002 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotik, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

PENYIMPANAN OBAT

PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT  NOMOR : 411//Dir-SK/XII/2016 TENTANG PEDOMAN PENYIMPANAN OBAT RUMAH SAKIT DIREKTUR RUMAH SAKIT MENIMBANG

:

a. Bahwa perbekalan farmasi adalah terdiri dari obat, alat kesehatan, reagen, gas medis, ataupun film.  b. Bahwa perbekalan farmasi harus dikelola dan menjadi tanggung jawab Instalasi Farmasi. c. Bahwa

dalam

pengelolaan

perbekalan

farmasi

perlu

dilakukan

 penyimpanan perbekalan farmasi sesuai dengan aturan yang berlaku sehingga tidak mengurangi mutu dari perbekalan farmasi tersebut. d. Bahwa untuk menjamin perbekalan farmasi disimpan secara aman, sesuai dengan dan menjaga mutu dan stabilitas obat maka perlu ditetapkan Surat Keputusan Direktur tentang Pedoman Penyimpanan Obat. MENGINGAT

:

1. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit 2. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi. 3. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 3 tahun 2015 tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, psikotropika, dan Prekusor Farmasi. 4. Peraturan Pemerintah RI Nomor 72 tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan. 5. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.

MEMUTUSKAN MENETAPKAN : KESATU

: Peyimpanan perbekalan farmasi di pelayanan farmasi dan

seluruh ruang keperawatan menjadi tanggung jawab dari Instalasi Farmasi.

KEDUA

: Aturan dan tata cara penyimpanan perbekalan farmasi di

Rumah Sakit terlampir dalam Surat Keputusan ini.

KETIGA

: Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan

evaluasi minimal 1 tahun sekali.

KEEMPAT

: Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan,

maka akan dilakukan perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di Tangerang 30 Desember 2016 RUMAH SAKIT TANGERANG

Direktur

TEMBUSAN Yth : 1. Wadir Pelayanan Medis 2. Komite Medis 3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit 4. Kepala Bagian Keperawatan 5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan 6. Instalasi Farmasi 7. Arsip

LAMPIRAN SURAT PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT  NOMOR

: 411/Dir-SK/XII/2016

TANGGAL

: 30 Desember 2016

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pengelolaan obat di rumah sakit sangat penting karena ketidakefisienan akan memberikan dampak negatif terhadap rumah sakit, baik secara medis maupun ekonomis (Anonim, 1994). Pengelolaan obat tidak hanya mencakup aspek logistik saja, tetapi juga mencakup aspek informasi obat, supervisi dan pengendalian menuju penggunaan obat yang rasional (Justicia, 2009). Dalam pengelolaan perbekalan farmasi di rumah sakit tahapan yang penting adalah proses penyimpanan. Penyimpanan merupakan kegiatan pengaturan

 perbekalan farmasi menurut persyaratan yang telah ditetapkan disertai dengan sistem informasi yang selalu menjamin ketersediaan perbekalan farmasi sesuai kebutuhan. Tujuan dari manajemen penyimpanan obat adalah untuk melindungi obat-obat yang disimpan dari kehilangan, kerusakan, kecurian, terbuang sia-sia, dan untuk mengatur aliran barang dari tempat penyimpanan ke pengguna melalui suatu sistem yang terjangkau (Anonim, 2006). Definisi Penyimpanan perbekalan farmasi secara umum adalah suatu kegiatan menyimpan dan memelihara dengan cara menempatkan perbekalan farmasi yang diterima pada tempat yang dinilai aman dari pencurian serta gangguan fisik yang dapat merusak mutu obat. Penyimpanan perbekalan farmasi dimaksudkan juga untuk pengaturan tempat penyimpanan perbekalan farmasi sesuai dengan  peraturan yang berlaku dan memudahkan dalam pengontrolan ketersediaan  perbekalan farmasi sesuai kebutuhan. Dalam upaya terciptanya sistem penyimpanan perbekalan farmasi yang baik, Rumah sakit secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan/atau  prosedur untuk mengatur tempat penyimpanan menurut bentuk sediaan dan  jenisnya, suhu dan kestabilannya, sifat bahan (b3, mudah tidaknya meledak atau terbakar), tahan tidaknya terhadap cahaya, tingkat kewaspadaan (obat-obat kewaspadaan tinggi ). B. TUJUAN Tujuan Umum : Terwujudnya sistem penyimpanan yang baik, memudahkan dalam pengelolaan dan pencarian sesuai dengan peraturan yang berlaku. Tujuan Khusus : 1. Memelihara mutu sediaan farmasi 2. Menghindari penggunaan yang tidak bertanggung jawab 3. Menjaga ketersediaan

4. Memudahkan dalam pencarian dan pengawasan C. RUANG LINGKUP Ruang lingkup penyimpanan perbekalan farmasi meliputi : 1.

Instalasi Farmasi

2.

Gudang Farmasi

3. Ruang perawatan 4. Poliklinik rawat jalan 5. ICU 6. Laboratorium 7. Radiologi BAB II TATA LAKSANA

A. PENERIMAAN Tahapan awal sebelum obat disimpan adalah penerimaan. Penerimaan perbekalan farmasi dari distributor di rumah sakit menggunakan sistem 1 pintu dilakukan di logistik farmasi. Penerimaan perbekalan farmasi harus sesuai dengan surat  pesanan dan memperhatikan kualitas dan kuatintas perbekalan farmasi yang diterima. Sebelum diterima perbekalan farmasi harus dicek. Pengecekan  perbekalan farmasi meliputi : a. Nama pemesan di faktur  b. Nama perbekalan farmasi c. Jumlah

d. Kekuatan untuk obat e. Waktu kadaluarsa dan f. Kondisi fisik obat.

B. PENYIMPANAN Penyimpanan perbekalan farmasi di rumah sakit dikendalikan oleh kepala instalasi farmasi. Penyimpanan dilakukan di depo  –   depo farmasi, laboratorium, radiologi, poliklinik, ruang perawatan dan unit khusus. Penyimpanan di depo farmasi dibedakan menurut : 1. Bentuk Sediaan dan Jenisnya, Perbekalan farmasi di tata menurut bentuk sediaannya meliputi: a. Tablet, kaplet, kapsul dan puyer di tata sesuai abjad  b. Syrup dan larutan obat minum ditata sesuai abjad c. Injeksi dan infus obat di tata sesuai abjad d. Salep, cream, lotion dan powder ditata sesuai abjad e. Tetes mata dan salep mata ditata sesuai abjad f. Tetes telinga di tata sesuai abjad g. Infus dasar ditata di atas palet h. Alkes

ditata

terpisah

dari

obat

disesuaikan

dengan

tempat

 penyimpanannya. i.

Bahan –  bahan kimia yang bukan termasuk B3 di tata tersendiri terpisah dengan obat dan alkes Perbekalan farmasi ditata menurut jenisnya meliputi :

a. Obat narkotika di simpan dilemari terpisah, tertutup, rangkap dua dan terkunci  b. Obat psikotropika di simpan dilemari terpisah, tertutup, dan terkunci c. Obat generik d. Obat HIV

e. Obat paten 2.

Suhu dan Kestabilannya

Suhu penyimpanan perbekalan farmasi meliputi : a. Suhu ruang terkontrol (20˚C-25˚C)  b. Suhu Refrigerator (2˚C-8˚C) c. Suhu Freezer (-20˚ C) - (-10˚C). Freezer yang digunakan untuk menyimpan obat berupa freezer yang terpisah dari refrigerator, bukan kombinasi refrigeratorfreezer. d. Suhu Warmer (maksimun tidak boleh lebih dari 43˚C). Untuk memantau suhu penyimpanan perbekalan farmasi, maka : a. Setiap tempat dan atau ruang penyimpanan perbekalan farmasi harus dipasang termometer ruangan.  b. Suhu ruangan dan suhu kulkas dicek dan dicatat pada blangko suhu yang di tempatkan di dekat thermometer suhu. c. Pemantauan suhu ruang dan suhu kulkas penyimpanan obat dilakukan setiap hari oleh asisten apoteker atau staff terlatih yang ditunjuk secara sah. d. Pemantauan suhu di dalam ruang dan suhu di kulkas penyimpanan obat dilakukan dengan cara melihat dan membaca suhu yang tertera pada termometer dan kulkas. Suhu dicatat pada log temperatur pada jam 08.00 pagi, jam 15.00 siang dan jam 22.00 malam untuk unit pelayanan 24 jam. e. Khusus pada hari libur, untuk depo dan unit yang tutup pemantauan suhu dilakukan setelah petugas masuk kerja. f. Pada kondisi suhu ruang atau suhu kulkas penyimpanan perbekalan farmasi di luar rentang suhu yang seharusnya, maka petugas harus segera menghubungi unit  pemeliharaan alat rumah sakit.

Dokumentasi pemantauan suhu penyimpanan perbekalan farmasi dilakukan setiap hari dengan menggunakan form log temperatur yang telah ditentukan dan pada akhir bulan ditandatangani oleh kepala bagian/kepala unit/kepala ruangan.

3. Sifat Bahan ( mudah tidaknya meledak atau terbakar ). Penyimpanan B3 ( bahan berbahaya dan beracun ) : a.

Mengikuti standar dalam MSDS masing-masing bahan

 b.

Terpisah dari obat dan alat kesehatan lainnya.

c.

Tempat penyimpanan tersendiri dan selalu terkunci, Memiliki ventilasi yang

 baik dan memiliki wastafel.

4. Tahan Tidaknya Terhadap Cahaya. Penyimpanan obat yang tidak tahan cahaya dilakukan di dalam kemasan tertutup dan gelap.

5.

Tingkat Kewaspadaan (obat-obat HAM). Penyimpanan obat-obat HAM

diatur dalam kebijakan penyimpanan obat-obat kewaspadaan tinggi.

Penyimpanan Perbekalan Farmasi Khusus 1. Penyimpanan Produk Nutrisi Penyimpanan produk nutrisi di Rumah Sakit ada 4 macam, meliputi :

a. Penyimpanan produk nutrisi enteral yang belum diolah dilakukan di bagian gizi dan instalasi farmasi terpisah dengan bahan lain.  b. Penyimpanan produk nutrisi enteral yang sudah diolah penyimpanannya sesuai dengan kebijakan dari instalasi gizi. c. Penyimpanan produk nutrisi parenteral yang masih utuh di instalasi farnasi dan ruang keperawatan disimpan terpisah dari perbekalan farmasi lain. d. Penyimpanan produk nutrisi parenteral yang sudah direkonstitusi di ruang  perawatan disimpan pada suhu 2 – 6 ◦C ( dalam kulkas ).

2. Penyimpanan Kontras Penyimpanan kontras dilakukan dengan mengikuti standar MSDS dan terpisah dari obat dan alat kesehatan lainnya. Penyimpanan dilakukan di bagian radiologi.

3. Penyimpanan Reagen Penyimpanan reagen dilakukan dengan mengikuti standar MSDS dan terpisah dari obat dan alat kesehatan lainnya. Penyimpanan dilakukan di bagian laboratorium. C.

PENINGKATAN KEAMANAN PERBEKALAN FARMASI

Dalam meningkatkan keamanan penyimpanan perbekalan farmasi maka segala tempat penyimpanan perbekalan farmasi harus dikunci setiap tidak ada penjaga atau petugas di tempat penyimpanan perbekalan farmasi.

Selain mengunci tempat perbekalan farmasi, petugas yang masuk ke dalam tempat tempat perbekalan farmasi dibatasi, antara lain : 1. Petugas logistik farmasi 2. Petugas farmasi 3. Petugas instalasi lain untuk pengadaan perbekalan farmasi 4. Petugas dari instansi yang berwenang melakukan pemeriksaan

Dalam prakteknya apabila dibutuhkan perbekalan farmasi yang berada di depo farmasi sudah tutup diatur dalam kebijakan pelayanan perbekalan farmasi saat depo farmasi tutup. Untuk mendukung pengawasan perbekalan farmasi, logistik farmasi dilengkapi dengan CCTV untuk pengawasan dari kehilangan barang dan  penyalahgunaan perbekalan farmasi.

D.

BARANG-BARANG PERBEKALAN FARMASI

Perbekalan farmasi yang disimpan harus memiliki informasi yang jelas, meliputi nama, kekuatan dan bentuk sediaan obat, peringatan, tanggal kadaluarsa atau  beyond use date, informasi penyimpanan dari pabrik sebelum produk dibuka maupun setelah dibuka.

E.

PENYUSUNAN PERBEKALAN FARMASI Perbekalan farmasi disimpan dan disusun dengan menggunakan metode :

1. Alfabetis 2. FIFO (first in first out) perbekalan farmasi yang pertama kali masuk (diterima) itu yang pertama kali dikeluarkan ( didistribusikan ).

Metode ini digunakan untuk penyusunan alkes. 3.

FEFO (First Expired First Out perbekalan farmasi yang tanggal kadaluarsa

awal (hampir kadaluarsa) dikeluarkan (didistribusikan) terlebih dahulu. Metode ini digunakan untuk penyusunan obat.

F. PENYIMPANAN OBAT-OBAT KADALUARSA Obat dan alat kesehatan yang telah kadaluarsa atau rusak disimpan di lemari terpisah dan terkunci. Pada lemari harus diberi label “Obat Rusak/Kadaluarsa, Jangan Diracik/Digunakan”.

G.

PENYIMPANAN OBAT-OBATAN DI BANGSAL KEPERAWATAN

1. Obat untuk pasien rawat inap disimpan diloker tempat penyimpanan obat  pasien yang dikelola oleh perawat bekerja sama dengan bagian farmasi. 2. Obat untuk pasien rawat inap harus memiliki label identitas pasien dan nama,  jumlah dan kekuatan obat. 3. Obat yang digunakan untuk banyak pasien di rawat inap di simpan dengan diberi label dan terpisah dari obat yang belum digunakan. 4. Obat obat yang digunakan untuk banyak pasien di rawat inap , setelah dibuka diberikan label informasi tanggal dibuka dan disimpan sesuai persyaratan  penyimpanan. Masa obat setelah dibuka dibatasi maksimal 30 hari setelah obat  pertama kali segel dibuka.

H.

PENYIMPANAN OBAT-OBATAN SISA

Obat injeksi di kamar operasi bentuk ampul yang sudah dipakai sebagian, sisa obatnya di spuit, diberi label yang badan disimpan dalam kulkas yang berisi tanggal pemakaian terakhir, nama obat, dosis obat, dan nama perawat (batas maksimal obat dapat digunakan 24 jam setelah obat pertama kali dibuka segelnya). Obat sisa penyimpanannya tidak lebih dari 24 jam.

I. PENYIMPANAN OBAT SAMPLE Rumah sakit menyimpan dan mengelola obat sample di atur yang diatur dalam kebijakan obat sample.

J. PENGECEKAN TANGGAL KADALUARSA Pengecekan tanggal kadaluarsa : 1. Pengecekan tanggal kadaluarsa obat dan alkes di setiap area penyimpanan dilakukan setiap sebulan sekali. Dilakukan oleh petugas logistik farmasi, petugas instalasi farmasi, dan keperawatan. 2. Enam bulan sebelum tanggal kadaluarsa, semua perbekalan farmasi harus sudah dikembalikan ke Depo Logistik Farmasi. BAB III PENUTUP

Pengelolaan perbekalan farmasi di rumah sakit sangat penting fungsinya bagi terwujudnya pelayanan perbekalan farmasi yang baik. Pengelolaan perbekalan farmasi yang baik didukung juga dengan sistem penyimpanan yang baik untuk  perbekalan farmasi diseluruh unit pelayanan di rumah sakit. Untuk membangun

sistem penyimpanan yang baik dan menerapkanya diperlukan kerja sama dari semua unit pelayanan, mulai dari farmasi, perawat, radiologi, laboratorium, dokter, manajer dan direksi rumah sakit untuk mendukung sistem penyimpanan  perbekalan farmasi yang sudah dibuat.

Contoh Penyimpanan Obat : Dumin suppos Kemasan Dumin 125 mg / 2,5 ml Rektal Tube Tersedia dalam kotak berisi 5 Rektal tube @ 2,5 ml  No. Reg.: DBL0105510758A1

Dumin 250 mg / 4 ml Rektal Tube Tersedia dalam kotak berisi 5 Rektal tube @ 4 ml  No. Reg.: DBL0105510758B1 Simpan pada suhu 15°C-25°C Jauhkan dari jangkauan anak-anak FLADYSTIN OVULA Komposisi : Tiap ovula mengandung : Metronidazol 500,0 mg  Nystatin 22,7 mg (setara dengan 100.000 IU)

SIMPAN PADA LEMARI PENDINGIN ATAU SUHU DINGIN (ANTARA 2-8oC) TERLINDUNG DARI CAHAYA. L-BIO KOMPOSISI Setiap 1 gram sachet mengandung : Rice Starch Maltodextrin Strain Bakteri : -Bifidobacterium lactis WS1 -Bifidobacterium lactis WS2

-Lactobacillus acidophilus WS5 -Lactobacillus casei W56 -Lactobacillus salivarius W57 -Lactobacillus lactis W58 total koloni bakteri > 10^8 cfu/gr

KEGUNAAN L-BIO Memelihara kesehatan pencernaan

DOSIS PER HARI (DAILY DOSAGE): Anak & Dewasa (Child Di bawah 2 Sesuai dengan

2 2 (sesua

tahun -

3

sachet anjuran

&

Adult) tahun

anjuran dewasa /

: : dokter : hari. dokter)

PETUNJUK PEMAKAIAN : Gunakan gunting yang bersih untuk membuka. Dapat diberikan langsung Campurkan L-Bio dengan makanan bayi aduk hingga rata Atau anda dapat campurkan L-Bio dengan susu atau air.

PENYIMPANAN Hindari kontak dengan sinar matahari langsung , kelembabban & suhu tinggi Simpan & distribisukan pada suhu maksimum 25 derajat selcius segera berikan sesudah dibuka

PROBIOKID® merupakan kombinasi dari 3 galur Probiotik dan 1 Prebiotik. Menurut United Nations Food and Agriculture Organization dan World Health Organization. Probiotik merupakan mikroorganisme hidup yang bila diberikan dalam jumlah cukup dapat memberikan manfaat kesehatan pada tubuh manusia. Prebiotik terkandung dalam makanan yang berfungsi sebagai bahan bakar Probiotik, merangsang pertumbuhan dan/ atau aktivitasnya. Kombinasi dari Bifidobacterium bifidum R0071 dengan Bifidobacterium infantis R0033 ditemukan dalam usus besar; Lactobacillus helveticus R0052 ditemukan dalam usus kecil. Mereka membantu meningkatkan perlindungan terhadap bakteri dan menyeimbangkan mikroflora yang penting bagi pertahanan tubuh.

KEGUNAAN Sebagai suplemen

untuk

membantu

memelihara

kesehatan

pencernaan.

PERHATIAN

Pasien yang mengalami luka terbuka akibat penggunaan central venous catheters dan paska pembedahan. khususnya setelah pembedahan usus besar dan mulut (termasuk cabut gigi) merupakan daerah yang berpotensi sebagai jalan masuk mikroba ke dalam aliran darah. 



Pasien dengan gangguan pankreas.

Anak-anak di bawah 3 tahun dengan short bowel syndrome. Asidosis Dlaktat merupakan hal yang penting bagi bayi yang mengalami short bowel syndrome. Harus diberikan perhatian khusus untuk mencegah galur-galur bakteri menghasilkan D-laktat. 

Pasien yang mengalami diare akut dengan pendarahan yang parah, khususnya pada bayi dan orang tua, karena pelindung usus yang permeabel merupakan tempat yang berpotensi terhadap masuknya mikroba ke dalam aliran darah. 

Pasien yang mengalami immunocompromised dan immunosuppressed yang parah termasuk pasien yang menjalani kemoterapi dan allograft. 

ATURAN PAKAI Digunakan atas anjuran dokter. Sehari 1 kali 1 sachet. maksimum selama 10 hari . PROBIOKID® hanya untuk anak-anak diatas 3 tahun dan dewasa. KEMASAN Dus Isi 10 sachet @ 1.5 g.  No. Reg.: POM SI. 124 203 871 PENYIMPANAN Simpan di tempat sejuk (15° - 25°C) dan kering.

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF