Perbedaan CAMELS Dengan RGEC

June 6, 2018 | Author: Pratama Gilang | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya...

Description

Perbedaan CAMELS dengan RGEC:

1.

Capital CAMELS vs Capital RGEC

Untuk perhitungan CAR baik untuk CAMELS maupun RGEC menggunakan rumus yang sama. Tetapi yang membedakan adalah terletak pada perhitungan ATMR (Aktiva Tertimbang Menurut Risiko. Pada CAMELS, yang masih menggunakan regulasi Basel I, hanya memperhitungkan ATMR dengan menggunakan risiko kredit dan risiko pasar saja. Sedangkan untuk perhitungan ATMR pada RGEC, dimana regulasi Basel II sudah digunakan, selain menggunakan risiko kredit dan risiko pasar, maka ditambah dengan menggunakan risiko operasional. 2. Asset Quality + Liquidity + Sensitifity to Market Risk = Risk Profile Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/24/PBI/2011, Risk Profile yang wajib dinilai terdiri dari Risiko Kredit, Risiko Pasar, Risiko Operasional, Risiko Likuiditas, Risiko Hukum, Risiko Stratejik, Risko Kepatuhan, dan Risiko Reputasi. Dalam penilaian CAMELS, jika hasil peringkat suatu bank pada parameter atau indikator pada Asset Quality, Liquidity, & Sensitifity to Market Risk buruk, maka dapat diprediksi bahwa bank tersebut akan mengalami kebangkrutan. Tetapi dalam penilaian RGEC, jika hasil peringkat suatu  bank pada parameter atau indikator pada Risk Profile buruk, maka bank tersebut belum dapat diprediksi akan mengalami kebangkrutan selama parameter penanganan risiko bank itu sangat  baik sehingga dapat mencegah atau meminimalisasi akan terjadinya kebangkrutan. a. Kredit Asset Quality vs Kredit Risk Profile Seperti halnya perbedaan Capital seperti penjelasan diatas, maka penilaian kredit pada Asset Quality dan Risk Profile pun mengalami perbedaan yang terkait dengan adanya perubahan regulasi juga yaitu adanya revisi PSAK No. 50 dan No. 55 pada tahun 2006 tentang Instrumen Keuangan. Adanya revisi tersebut mengakibatkan adanya perubahan padanan PPAP menjadi CKPN. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sebenarnya PPAP sejenis dengan CKPN karena sama-sama merupakan pencadangan pada kredit. Yang membedakan adalah perlakuannya, dimana pencadangan kredit pada PPAP didasarkan pada ketentuan kolektibilitasnya sedangkan untuk pecadangan kredit pada CKPN didasarkan pada data kerugian kredit yang telah terjadi.

 b. Liquidity CAMELS vs Liquidity Risk Profile Parameter atau indikator yang digunakan untuk memperhitungkan antara Liquidity CAMELS dengan Liquidity Risk Profile sebagian besar memiliki persamaan. Yang membedakan adalah  bahwa pada parameter Liquidity CAMELS terdapat perhitungan rasio LDR (Loan Deposits Ratio) sedangkan pada parameter Liquidity Risk Profile tidak terdapat adanya perhitungan rasio tersebut. c. Market Risk CAMELS vs Market Risk Profile Perbedaan yang signifikan antara Market Risk CAMELS dengan Market Risk Profile adalah adanya parameter atau indikator strategi dan kebijakan bisnis setiap masing-masing bank pada  penilaian pada Market Risk Profile. Sedangkan untuk Market Risk CAMELS lebih terfokus pada  penerapan sistem manajemen risiko pasar. 3. Management CAMELS vs Good Corporate Governance RGEC Pada Management CAMELS, selain menggunakan parameter atau indikator Good Corporate Governance pada manajemen umum, digunakan pula penerapan sistem manajemen risikonya serta kepatuhan bank terhadap peraturan-peraturan yang berlaku, dimana pada komponen RGEC, kepatuhan tersebut terdapat dalam penjelasan mengenai Risiko Kepatuhan pada Risk Profile. 4. Earnings CAMELS vs Earnings RGEC Pada Earnings CAMELS, terdapat parameter atau indikator perhitungan BOPO (Beban Operasional dibagi dengan Pendapatan Operasional), sedangkan Earnings RGEC tidak ada  perhitungan BOPO. Sebagai gantinya, pada Earnings RGEC terdapat parameter atau indikator Beban Operasional dibagi dengan Total Aset dan Pendapatan Operasional yang juga dibagi dengan Total Aset. Metode RGEC dibanding dengan metode CAMELS maka lebih baik metode RGEC karena dilihat dari penggunan komponen-komponen nya jika RGEC sudah menggunakan aspek terbaru seperti pada aspek untuk perhitungan ATMR pada capital metode RGEC sudah menggunakan Basel II, selain menggunakan risiko kredit dan risiko pasar, maka ditambah dengan

menggunakan risiko operasional. Sedangkan pada metode CAMELS masih menggunakan Basel I. Refrensi

:

http://www.bankirnews.com/index.php?option=com_content&view=article&id=883:tingkatkesehatan-bank-camels-vs-rbbr&catid=83:camelstkb&Itemid=118 http://blog.pasca.gunadarma.ac.id/2012/04/29/analisis-kesehatan-bank-camels-vs-rgec/ dikutib dari: http://dennis-mahardika.blogspot.com/2013/03/camels-vs-rbbr.html KERAHASIAN BANK

Kerahasian Bank adalah merupakan suatu bentuk tindakan dari suatu Bank baik Bank sentral maupun Bank umum yang diberikan pada para nasabahnya guna melindungi data para nasabahnya dari pihak luar atau asing yang dapat merugikan nasabahnya. Bank pada umumnya akan menjaga kerahasiannya karena itu merupakan wujud perlindungan hukum ataupun  perlindungan kerahasiaan data para nasabahnya. Bank sebagai suatu lembaga keuangan yang melindungi dana nasabah juga berkewajiban menjaga kerahasiaan terhadap dana nasabahnya dari  pihak-pihak yang dapat merugikan nasabah. Dan sebaliknya masyarakat yang mempercayakan dananya untuk dikelola oleh bank juga harus dilindungi terhadap tindakan yang semena-mena yang dilakukan oleh bank yang dapat merugikan nasabahnya. Hal ini sangat dibutuhkan karena sebagai lembaga keuangan, bank harus mendapat kepercayaan dari masyarakat, dan kepercayaan dari masyarakat tersebut akan lahir apabila semua data hubungan masyarakat dengan bank tersebut dapat tersimpan secara rapi atau dirahasiakan. Hal demikian membawa konsekuensi kepada bank, yaitu bank memikul kewajiban untuk menjaga kerahasiaan tersebut, sebagai timbal balik dari kepercayaan yang diberikan masyarakat kepada bank selaku lembaga keuangan atau sumber dana masyarakat. Sebagai suatu badan usaha yang dipercaya oleh masyarakat untuk menghimpun dana masyarakat, sudah sewajarnya bank memberikan jaminan perlindungan kepada nasabah yang berkenaan dengandananya kepada bank tetapi juga dari sistem moneter yang menyangkut kepentingan semua anggota masyarakat yang  bukan hanya nasabah penyimpan dana dari bank itu saja.

Bank harus selalu menjaga kerahasiaan data para nasabahnya karena jika keraahasiaannya tersebut hingga bocor maka Bank tersebut akan dikenai sanksi, tidak hanya perdata melainkan  pidana juga. Selain itu, Bank tersebut akan pula kehilangan kepercayaan para nasabahn ya. Contoh Kasus kebocoran kerahasiaan Bank: Kasus pembobolan uang nasabah bank melalui ATM (Anjungan Tunai Mandiri / Automatic Teller Machine) yang diduga dilakukan dengan bantuan peralatan skimmer dan kamera pengintai itu ternyata sampai dengan hari ini belum sepenuhnya bisa diungkap. “Pengungkapan masalah petunjuk, saksi atau barang bukti yang kurang, akan sangat sulit”, kata

Kapolda Bali, Irjen Polisi Sutisna, pada hari Senin, tanggal 1 Februari 2010. Kesulitan barang bukti dan petunjuk itu antara lain dikarenakan di beberapa lokasi ATM yang dicurigai digunakan sebagai tempat membobol data nasabah itu ternyata tidak dilengkapi dengan CCTV (Close Circuit Television). Peralatan skimmer dan kamera pengintai yang diduga telah digunakan oleh pelaku untuk melakukan pembobolan data nasabah itu ternyata juga belum diketemukan. Ditambah lagi kesulitan ruang gerak polisi yang terbatasi oleh aturan yang ada di UU rahasia  bank. Sebagaimana diketahui, opini yang berkembang di masyarakat sekarang ini, seakan sengaja diarahkan bahwa kasus kejahatan tersebut diatas dapat terjadi lantaran adanya kecerobohan yang dilakukan oleh nasabah dalam melakukan transaksi di ATM. Dimana nasabah tak pernah merubah PIN (Personal Identification Number) yang digunakan dalam transaksinya di ATM. Dan, nasabah yang tak memperhatikan dengan cermat adanya alat tambahan skimmer yang dipasang penjahat di alat ATM. Serta, nasabah yang tak berusaha menutupi gerakan jari jemarinya saat memecet PIN sehingga terintai oleh kamera tersembunyi milik penjahat yang dipasang di ruang ATM.

Juga, beraneka ragam jenis kecerobohan lainnya yang dilakukan oleh nasabah. Singkatnya, selalu saja disampaikan bahwa andil terbesar sehingga bisa terjadi kejahatan itu adalah karena pihak nasabah yang ceroboh dan kurang berhati-hati. Sejauh ini, di media massa hampir tak pernah disampaikan bahwa kejadian itu bisa terjadi juga karena ada andil pihak perbankan yang ceroboh, atau kurang memberikan perlindungan yang memadai terhadap keamanan nasabah. Bahkan juga hampir tak pernah ada yang menyampaikan sekedar dugaan atau semacam indikasi  bahwa dimungkinkan adanya titik lemah di sistem sekuriti internal bank tersebut sehingga memungkinkan kebocoran data nasabah. Mengapa PIN bisa sampai terpantau oleh pihak diluar nasabah ?. Padahal jika nasabah lupa nomor PIN saja, pihak petugas bank tak dapat mengetahui berapa nomor PIN nasabah itu sehingga tak bisa memberitahukannya. Kenapa dan bagaimana bisa pihak perbankan sebagai pemilik properti ATM baru mengetahui adanya alat skimmer dan kamera pengintai illegal milik penjahat itu setelah pembobolan uang nasabah berlangsung secara masif ?. Apakah itu bukan berarti pihak perbankan yang ceroboh dalam menjaga properti ATM sehingga keamanan nasabahnya menjadi tak terlindungi ?. Sebagaimana diketahui, sebelum berlangsungnya kejadian yang masif itu, sesungguhnya sudah cukup banyak nasabah yang mengeluhkan uangnya hilang secara misterius. Tetapi rupanya kejadian yang pada awalnya tak cukup masif itu tak mampu membuat pihak  perbankan menjadi perhatian terhadap kasus-kasus tersebut. Karena tak masif maka pihak  perbankan juga tak tergerak untuk secara dini melakukan sesuatu penyelidikan adanya sesuatu yang salah dalam kasus-kasus itu. Mungkin hal itu juga karena penyelesaian atas kasus-kasus raibnya secara misteriusnya uang nasabah itu selalu saja kerugiannya dibebankan kepada pihak nasabah.

Maka, kasus-kasus itu tak pernah merugikan pihak perbankan, karena pihak perbankan tidak  pada posisi yang kehilangan uang. Sehingga kasus-kasus itu tak pernah dianggap sebagai sesuatu yang layak ditelusuri, lantaran  pihak perbankan tak pernah merasa terugikan. Andai para penjahat itu tak keburu nafsu sehingga tak menimbulkan kasus kejadian yang masif, maka sampai hari ini pun bisa jadi perbuatan mereka itu tak akan mengundang perhatian dari  pihak perbankan. Oleh sebab pihak perbankan tak begitu memperhatikan kasus-kasus itu, maka  bisa jadi sampai sekarang pun mereka masih bisa aman dan nyaman melakukan aksinya. Kembali ke soal tudingan kepada kecerobohan nasabah. Memang, suka tak suka, nasabah akan selalu dalam posisi yang lemah dihadapan pihak perbankan. Selalu saja pihak nasabah yang disalahkan, dengan pihak perbankan menyampaikan bahwa  berdasarkan data dan laporan sistem sekuriti transaksi menunjukkan transaksi itu legal. Masih pula customer officer bank akan mengimbuhinya dengan pernyataan-pernyatan yang menyudutkan dan melemparkan kesalahan kepada nasabah. Pernahkah memberikan nomor PIN kepada orang lain ?. Apakah kartunya pernah dipinjamkan kepada orang lain ?. Dan berbagai pernyataan lainnya yang intinya seakan ingin mengatakan bahwa kalaupun transaksi itu tidak dilakukan oleh nasabah itu namun potensi terjadinya kecerobohan ada di pihak nasabah. Padahal jika mengacu kepada pernyataan kepolisian seperti yang tersebut diatas, ternyata belum diketemukan bukti peralatan yang diduga dipakai oleh para penjahatnya, seperti skimmer dan kamera pengintai. Ini tentu menimbulkan dugaan. Jangan-jangan bukan skimmer dan kamera pengintai yang dipakai untuk membobol data nasabah ?. Jangan-jangan data nasabah itu dibobolnya langsung  pada sumbernya di database bank yang bersangkutan ?. Baru-baru ini, giliran polisi Polda Metro Jaya yang menangkap pembobol uang nasabah bank dengan modus melalui internet banking, yang tak menggunakan peralatan skimmer dan kamera  pengintai.

“Pelaku mengambil uang korban dengan membobol user ID korban, dengan melakukan  pengacakan password”, kata AKBP Tommy Watuliu pada hari Senin tanggal 1 Februari 2010.

 Namun, AKBP Tommy Watuliu yang menjabat Kasat Cyber Crime Polda Metro Jaya itu enggan menyebutkan nama banknya. Jika menilik aksi pelaku itu yang berhasil mengetahui data-data pribadi nasabah, maka ada kemungkinan pelaku itu berhasil menembus sistem keamanan database yang ada di internal  perbankan. Tapi, lagi-lagi pihak perbankan secara dini sudah mengeluarkan bantahan yang mengopinikan  bahwa keamanan internet banking itu tak mungkin tertembus, dan kejadian pembobolan di kasus internet banking itu bisa terjadi karena kecerobohan dan kesalahan ada di pihak nasabah. Salah seorang bankir yang berjabatan cukup tinggi di bank yang tergolong besar mengatakan  bahwa “Hingga kini belum pernah ada situs internet banking yang berhasil dibobol oleh hacker.

Tapi kejadian kecurian rekening itu lebih disebabkan oleh nasabah yang lalai saat melakukan transaksi perbankan secara online”. Para pakar juga seperti koor mengamini hal itu. “Jangan sekali-kali memberikan data pribadi,

nomor PIN, email, dan tanggal kadaluwarsa, ke orang lain. Harus dipastikan pengetikan alamat website tak ada yang salah dan telah masuk ke website yang benar. Jangan melakukan transaksi internet banking di tempat umum seperti wilayah hotspot, dan sebaiknya menggunakan komputer  pribadi”.

Lagi-lagi seperti sebuah upaya para bankir didukung para pakar yang secara berjamaah berusaha untuk menyudutkan nasabah, bahwa semua kebobolan itu bukan karena adanya kelemahan di  pihak perbankan, namun karena kesalahan ada pada pihak nasabahnya. Semacam upaya terencana yang berusaha mengarahkan opini yang menafikan dan memustahilkan sistem keamanan perbankan yang sedemikian canggih dan berlapis-lapis itu dapat tertembus.

Tak adakah sedikitpun pemikiran bahwa bisa jadi sistem keamanan perbankan yang sedemikian canggih dan berlapis-lapis itu masih ada kemungkinan dapat ditembus dengan cara-cara yang sederhana ?. Salah satu contoh yang mungkin tepat untuk menggambarkan bahwa terkadang sesuatu yang dipersepsikan canggih dan hebat itu ternyata menyimpan titik kelemahan yang dapat ditaklukkan oleh hal yang relatif sepele dan sederhana adalah sebuah kasus pembobolan SDB (Safe Deposit Box) yang pernah terjadi antara bulan September sampai November tahun 2008. Sepasang bandit berhasil membobol SDB harta milik nasabah sekurang-kurangnya senilai lebih dari Rp. 6 Miliar yang disimpan di SDB Kantor Pusat BII (Bank Internasional Indonesia) yang terletak di Jalan MH Thamrin, Kavling 51, Jakarta Pusat. Sistem keamanan SDB (Safe Deposit Box) yang hampir tak terpikirkan dapat ditembus itu ternyata takluk hanya dengan sepasang obeng. Berkaca pada kasus itu, maka kasus pembobolan melalui ATM dan Internet Banking itu ada kemungkinan ditaklukannya juga bukan dengan melibatkan peralatan yang teramat rumit dan canggih. Bisa jadi hanya dengan sesuatu hal dan cara yang relatif relatif sepele dan sederhana saja. Sistem jaringan ATM dengan sistem Online Internet Banking itu dua-duanya secara sistem  jaringan dan penyimpanan datanya boleh dibilang tak jauh berbeda. Maka bisa jadi titik lemahnya pun juga hampir sama. Sehingga pembobolan data nasabah pun juga dimungkinkan hampir serupa cara dan modusnya. Sejatinya, inilah PR (Pekerjaan Rumah) yang sesungguhnya bagi para ahli sistem informatika dan sistem sekuriti perbankan untuk mencari tahu dimana letak titik-titik lemah pada sistem  jaringan dan penyimpanan data yang ada di pihak perbankan sendiri. Dan, mencoba mencari tahu dengan modus dan cara apa yang mungkin dipakai oleh para  pembobolnya, baik secara hal yang sangat rumit dan canggih, maupun tak boleh dinafikan kemungkinannya dibobol dengan cara yang relatif sepele dan sederhana saja.

Dan, yang tak kalah pentingnya adalah mencoba berfikir bahwa tak selamanya kesalahan itu selalu ada pada pihak nasabah bank. Bisa jadi juga, kesalahan itu ada pada pihak perbankan, termasuk kesalahan di sistem yang dirancang oleh para pakar itu. Memang tak ada yang salah dengan nasehat bagi para nasabah yang diberikan oleh para pakar itu. Suatu nasehat yang baik dan mulia serta bertujuan agar para nasabah bank tak ceroboh sehingga keamanannya terlindungi. Semua itu tentu dengan kandungan maksud agar dimasa depan para nasabah tak lagi harus terugikan karenanya. Lalu, jikapun kemudian para nasabah sudah mati-matian berusaha untuk sangat berhati-hati dan menghindari hal-hal yang dikategorikan lalai dan ceroboh itu, namun dengan fakta yang sampai hari ini ternyata modus yang sebenarnya dalam cara pembobolan data nasabah itu belum terungkap dengan jelas dan pasti. Dikutib dari:

http://teknologi.kompasiana.com/internet/2010/02/03/internet-banking-masih-

amankah-66976.html LPS adalah suatu lembaga yang yang berfungsi menjamin simpanan nasabah perbankan. badan ini dibentuk berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 tentang Lembaga Penjamin Simpanan yang ditetapkan pada 22 September 2004. Undang-undang ini mulai berlaku efektif 12 bulan sejak diundangkan sehingga pendirian dan operasional LPS dimulai pada 22 September 2005. Fungsi Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) : 1.

Menjamin simpanan nasabah penyimpan.

2.

Turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannnya.

Tugas Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) : 1.

Merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan penjaminan simpanan.

2. 3.

Melaksanakan penjaminan simpanan. Merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif memelihara stabilitas

sistem perbankan. 4.

Merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan penyelesaian Bank Gagal yang

tidak berdampak sistemik. Melaksanakan penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik.

Wewenang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) : 1.

Menetapkan dan memungut premi penjaminan.

2.

Menetapkan dan memungut kontribusi pada saat bank pertama kali menjadi peserta.

3.

Melakukan pengelolaan kekayaan dan kewajiban LPS.

4.

Mendapatkan data simpanan nasabah, data kesehatan bank, laporan keuangan bank, dan

laporan hasil pemeriksaan bank sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank. 5.

Menetapkan syarat, tata cara, dan ketentuan pembayaran klaim.

6.

Menunjuk, menguasakan, dan menugaskan pihak lain untuk bertindak bagi kepentingan dan

atas nama LPS, guna melaksanakan sebagian tugas tertentu. 7.

Melakukan penyuluhan kepada bank dan masyarakat tentang penjaminan simpanan.

Sumber: http://www.lps.go.id/in/web/guest/fungsi-tugas-wewenang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UU nomor 21 tahun 2011 yang berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Tujuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) : 1.

Terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel

2.

Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil

3.

Mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

Tugas OJK, pengaturan dan pengawasan terhadap : 1.

Kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan

2.

Kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal

3.

Kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan

lembaga jasa keuangan lainnya.

Wewenang OJK : 1. 2.

Menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan Melakukan pemeriksaan, pengawasan, penyidikan, perlindungan terhadap konsumen serta

tindakan lain serta lembaga keuangan sesuai dengan UU 3.

Memiliki wewenang untuk memberlakukan sanksi administratif terhadap pihak – 

 pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang undangan pada sektor jasa keuangan, sehingga sektor jasa keuangan bisa semakin profesional 4.

Melakukan pengawasan setiap tugas yang di lakukan oleh kepala eksekutif, agar terjadi

sebuah profesionalitas kerja sehingga dapat berjalan sesuai dengan tujuan awal 5.

Memberikan perintah untuk memberikan perintah tertulis yang berhubungan dengan

lembaga jasa keuangan maupun pihak pihak lain, OJK di harapkan akan berkembang secara independen tanpa di campuri oleh berbagai pihak. sumber : http://widodoakirazu.blogspot.com/2013/01/lps-lembaga-penjamin-simpanan.html http://id.wikipedia.org/wiki/Otoritas_Jasa_Keuangan

Sumber: http://www.lps.go.id/in/web/guest/penyelamatan-bank Penyelesaiaan Bank gagal harus diawali dari, Bank gagal harus dalam pengawasan khusus maksimal 6 bulan, kemudian bank gagal mengikutsertakan Pemegang Saham (PS) lalu  pemegang saham haruslah menyetor setoran minimal 20% dan LPS setor maximal 80% disisi lain LPS setor PMS sebanyak 100% dan kemudian mengambil alih RUPS, kemudian dilakukan tindakan penyelamtan oleh LPS lalu terjadi DIVESTASI dan jadilah Bank Normal.

Sumber: http://www.lps.go.id/in/web/guest/penyelamatan-bank

Contoh: Kasus Bank Century - Kasus Bank Century hingga kini masih menjadi pemberitaan hangat disejumlah media massa, baik media massa yang berorientasi elektronik dan cetak. Kasus Bank Century juga telah menyeret berbagai institusi hukum di Indonesia, seperti halnya KPK, POLRI,dan DPR. Bagaimana sebenarnya kronologi awal persoalan yang dihadapi oleh Bank Century sampai Bank ini dinyatakan harus diselamatkan oleh pemerintah? Berikut kita simak kronologisnya, dimana sumber dari kronologis berikut ini diperoleh Karo Cyber dari berbagai sumber situs internet: 2003

Bank CIC diketahui didera masalah yang diindikasikan dengan adanya surat-surat berharga valutas asing sekitar Rp2 triliun, yang tidak memiliki peringkat, berjangka panjang, berbunga rendah, dan sulit di jual. BI menyarankan merger untuk mengatasi ketidakberesan bank ini. 2004 Bank CIC merger bersama Bank Danpac dan bank Pikko yang kemudian berganti nama menjadi Bank Century. Surat-surat berharga valas terus bercokol di neraca bank hasil merger ini. BI menginstruksikan untuk di jual, tapi tidak dilakukan pemegang saham. Pemegang saham membuat perjanjian untuk menjadi surat-surat berharga ini dengan deposito di Bank Dresdner, Swiss, yang belakangan ternyata sulit ditagih. 2005 BI mendeteksi surat-surat berharga valas di Ban Century sebesar US$210 juta. 30 Oktober dan 3 November 2008 Sebanyak US$56 juta surat-surat berharga valas jatuh tempo dan gagal bayar. Bank Century kesulitan likuiditas. Posisi CAR Bank Century per 31 Oktober minus 3,53%. 13 November 2008 Bank Century gagal kliring karena gagal menyediakan dana (prefund) 17 November 2008 Antaboga Delta Sekuritas yang dimilik Robert Tantutar mulai default membayar kewajiban atas  produk discreationary fund yang di jual Bank Century sejak akhir 2007. 20 November 2008 BI Mengirim surat kepada Menteri Keuangan yang menentapkan Bank Century sebagai bank gagal yang berdampak sistemik dan mengusulkan langkah penyelamatan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Di hari yang sama, Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) yang beranggotakan BI, Menteri Keuangan, dan LPS, melakukan rapat. 21 November 2008

Ban Century diambil alih LPS berdasarkan keputusan KKSK dengan surat Nomor 04.KKSK.03/2008. Robert Tantular, salah satu pemegang saham Bank Century, bersama tujuh  pengurus lainnya di cekal. Pemilik lain, Rafat Ali Rizvi dan Hesham Al-Warraq menghinglang. 23 November 2008 LPS memutuskan memberikan dana talangan senilai Rp2,78 triliun untuk mendongkrak CAR menjadi 10%. 5 Desember 2008 LPS menyuntikkan dana Rp2,2 triliun agar Bank Century memenuhi tingkat kesehatan bank. 9 Desember 2008 Bank Century mulai menghadapi tuntutan ribuan investor Antaboga atas penggelapan dana investasi senilai Rp1,38 triliun yang mengalir ke Robert Tantular. 31 Desember 2008 Bank Century mencatat kerugian Rp7,8 triliun pada 2008. Aset-nya tergerus menjadi Rp5,58 triliun dari Rp14,26 triliun pada 2007. 3 Februari 2009 LPS menyuntikkan dana Rp1,5 triliun. 11 Mei 2009 Bank Century keluar dari pengawasan khusus BI. 3 Juli 2009 Parlemen mulai menggugat karena biaya penyelamatan Bank Century terlalu besar. 21 Juli 2009 LPS menyuntikkan dana Rp630 miliar. 18 Agustus 2009

Robert Tantular dituntut delapan tahun penjara dan denda Rp50 miliar subsider lima bulan kurungan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sebelumnya pada 15 Agustus, manajemen Bank Century menggugatnya sebesar Rp2,2 triliun. 3 September 2009 Kepala Kepolisian Republik Indonesia menyampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat agar terus mengejar aset Robert Tantular sebesar US$19,25 juta, serta Hesham Al-Warraq dan Rafat Ali Rizvi sebesar US$1,64 miliar. 10 September 2009 Robert Tantular divonis 4 tahun penjara dan dengan Rp50 miliar. Dengan adanya kasus Bank Century ini, maka beberapa saat yang lalu masyarakat juga sempat dihebohkan kasus Bibit-Chandra yang disebut-sebut terkait dengan kasus Bank Century itu sendiri. Dalam sebuah pemberitaan yang diterbitkan oleh liputan6.com, maka Tif pencari Fakta (TPF) kasus Bibit-Chandra menduga, upaya kriminalisasi terhadap pimpinan KPK yang berujung pada  penahanan Bibit dan Chandra, terkait dengan kasus Bank Century. "Menurut kami, ada kaitannya. Tapi sejauhmana kaitannya masih kami dalami," kata Sekretaris TPF Deny Indrayana, Selasa (10/11). eperti diberitakan sebelumnya, upaya penyelamatan Bank Century diwarnai dugaan korupsi dan suap yang melibatkan Kabareskrim Komjen Susno Duadji. Susno diduga ikut menikmati aliran dana Rp 10 miliar dan tengah diselidiki oleh KPK.  Namun dalam beberapa kali kesempatan, Susno Duadji yang sempat dinonaktfikan dari  jabatannya selalu membantah dugaan itu. Bahkan saat mengikuti rapat dengan Komisi III DPR, Susno sempat bersumpah bahwa dirinya tidak menerima uang dari Bank Century. Hal yang sama  juga diungkapkan Susno ketika dimintai keterangan oleh TPF beberapa waktu lalu. Kini TPF bekerja keras untuk mengungkap apakah memang ada keterkaitan langsung antara Kasus Bank Century dengan upaya kriminalisasi terhadap Bibit dan Chandra.

Atas kasus Bank Century hal yang paling mencuat akhir-akhir ini adalah mengenai Hak Angket DPR untuk kasus Century. Mengenai hak angket Century sejauh ini telah terbentuk Tim Sembilan yang diharapkan dapat memimpin Panitia Angket Century itu sendiri. Sejumlah aktivis dari berbagai elemen masyarakat, Kamis (3/12), menyatakan sikap, berharap Tim Sembilan, tim yang mengusung hak angket Bank Century, untuk turut dalam panitia khusus hak angket Bank Century. Mereka mendukung dan memercayai anggota Tim Sembilan untuk memimpin dan menjadi anggota panitia angket tersebut. "Saya pikir yang diusulkan semestinya ketua pansus itu dari Tim Sembilan," ujar aktivis KOMPAK, Ray Rangkuti, ketika ditemui dalam konferensi pers di Kantor PP Muhammadiyah, di Jakarta, Kamis (3/12). Turut hadir dalam pertemuan tersebut aktivis dari Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi (KOMPAK), Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), Forum Kepemimpinan Muda Indonesia (FKIP), dan beberapa elemen lainnya. Harapan mereka adalah adanya penyeleksian dalam memilih orang-orang yang akan duduk dalam panitia hak angket tersebut. "Kalau bisa orang-orangnya diseleksi," kata Ray. Dalam pernyataan sikapnya, mereka mengatakan, kepercayaan masyarakat telah tertambat kepada Tim Sembilan sejak upaya mereka yang tidak kenal lelah dalam mengusung dan mengajukan hak angket ini. Mereka berharap pemimpin parpol sebaiknya tidak mengabaikan kepercayaan rakyat tersebut. Selanjutnya, Jumat (4/12) besok, bertepatan dengan penetapan panitia hak angket Bank Century oleh DPR, para aktivis tersebut berencana akan menggelar aksi di Nusantara Tiga Gedung DPR RI, Jakarta, pukul 14.00. Tema yang diusung masih sama, yaitu "Tolak Penumpang Gelap Pansus Century". Sumber: http://karodalnet.blogspot.com/2009/12/kasus-bank-century.html Peran ojk, lps dan BI dalam pengawasan bank.

Bank Indonesia berwenang menetapkan peraturan, mengeluarkan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank, melaksanakan fungsi pengawasan, serta

mengenakan sanksi terhadap bank. Fungsi pengawasan dilakukan melalui pemeriksaan berkala dan sewaktuwaktu, maupun dengan analisis laporan yang disampaikan oleh masing-masing  bank. Tugas pengaturan dan pengawasan bank merupakan salah satu tugas yang penting khususnya dalam rangka menciptakan sistem perbankan yang sehat yang pada akhirnya akan dapat mendorong terselenggaranya kebijakan moneter yang efektif. Hal ini mengingat bahwa lembaga  perbankan selain menjalankan fungsi intermediasi, juga berfungsi sebagai transmisi kebijakan moneter, di samping perputaran dana yang dilakukan melalui sistem perbankan. Dalam kaitannya dengan tugas pengawasan bank ini, berdasarkan undang-undang, Bank Indonesia diberi wewenang mengatur dan mengawasi Bank dan meliputi kewenangan sebagai  berikut : a. Memberikan dan mencabut ijin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank  b. Menetapkan peraturan di bidang perbankan c. Melakukan pengawasan bank baik secara langsung maupun tidak langsung d. Mengenakan sanksi terhadap bank sesuai ketentuan perundangan Sementara itu, agar pelaksanaan pengawasan dan pengaturan perbankan tersebut dapat berjalan efektif maka tugas tersebut dapat dirinci sebagai berikut : a. Melaksanakan ketentuan prinsip kehati-hatian (prudential) secara efektif dan sekaligus melaksanakan prinsip keterbukaan (disclosure) yang lebih luas bagi masyarakat tentang kondisi masing-masing bank.  b. Menyehatkan kegiatan operasional di bidang finansial perbankan melalui program program penyehatan/restrukturisasi perbankan dan peningkatan fungsi intermediasi. c. Memantapkan sistem pengawasan bank, baik pengawasan langsung maupun tidak langsung. d. Meningkatkan mutu pengelolaan perbankan, untuk memantapkan ketahanan sistem  perbankan. Financial safety net

Dalam mengantisipasi terjadinya suatu gangguan terhadap sistem keuangan negara, perlu diatur suatu mekanisme memadai yang memungkinkan dilakukan kerja sama antara OJK, BI, Lembaga Penjamin Simpanan {LPS,}. Kerja sama di antara institusi-institusi pilar penyangga sektor jasa keuangan tersebut sangat diperlukan dalam kondisi perekonomian Indonesia yang mulai kondusif seperti saat ini. Hal ini terutama dimaksudkan untuk mengantisipasi penanganan secara lebih terorganisasi dengan pola kebijakan yang lebih terstruktur dan konsisten apa bila terjadi kegagalan pada satu atau sekelompok industri jasa keuangan yang berpotensi menyebabkan guncangan atau gangguan  pada sistem jasa keuangan secara keseluruhan. Mekanisme penyelamatan sektor jasa keuangan melalui forum koordinasi di antara empat pilar  penting sektor jasa keuangan tersebut merupakan salah satu upaya implementasi dari konsep Jaring Pengaman Keuangan (finansial safety net ). Secara garis besar, hubungan antara OJK dan lembaga-lembaga lain dalam financial safety net tercermin sebagai berikut: a. OJK melakukan fungsi sebagai pengatur dan pengawas perbankan BI melakukan fungsi sebagai otoritas moneter, fungsi sistem pembayaran, termasuk di dalamnya melakukan fungsi lender of the last resort.  b. LPS melakukan fungsi penjaminan simpanan nasabah bank c. Depkeu melakukan fungsi sebagai otoritas fiscal Secara umum, dalam mekanisme kerja tersebut OJK akan selalu memberikan informasi yang reliable dan tepat waktu ke Bank Indonesia dan LPS. Bila dianggap di sektor jasa keuangan ada indikasi yang membahayakan, OJK harus segera melaporkannya ke Menkeu. Berdasar informasi OJK tersebut, menkeu harus mengundang BI, LPS dan OJK untuk membahas langkah-langkah penyelesaian yang diperlukan dalam rangka meminimalisasi bahaya tersebut. Sumber:

http://luaxs-berjaya.blogspot.com/2012/01/peranan-bank-indonesia-dalam-

mengawasi.html Perbedaan Bank UMUM dan BPR

Perbedaan: Berdasarkan UU No. 10 Tahun 1998 pasal 1 pengertian dan usaha Bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagai berikut: Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau  berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas  pembayaran. Sedangkan BPR adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau  berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas  pembayaran. Usaha bank umum salah satunya menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan  berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. Usaha BPR menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito  berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. Sumber: http://gena-enka.blogspot.com/2013/03/perbedaan-bank-umum-dan-bank.html Persamaan

Bank

UMUM

dan

BPR:

Tentunya kedua jenis bank tersebut memiliki persamaan dan perbedaan. Berikut adalah  persamaan antara Bank Umum dengan BPR: 1. Kesamaan Larangan Baik Bank Umum maupun BPR, keduanya sama-sama memberlakukan pelarangan dalam melakukan penyertaan modal. 2. Kesamaan Tujuan Baik Bank Umum maupun BPR, keduanya adalah lembaga keuangan yang fungsinya adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali. Hal tersebut dilakukan demi terwujudnya tujuan bank, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat  banyak.

Contoh : BankUMUM: Bank Rakyat Indonesia (BRI) adalah salah satu Bank milik pemerintah yang terbesar di Indonesia. Pada awalnya Bank Rakyat Indonesia (BRI) didirikan di Purwokerto, Jawa Tengah oleh Raden Bei Aria Wirjaatmadja dengan nama De Poerwokertosche Hulp en Spaarbank der Inlandsche Hoofden atau "Bank Bantuan dan Simpanan Milik Kaum Priyayi Purwokerto", suatu lembaga keuangan yang melayani orang-orang berkebangsaan Indonesia (pribumi). Lembaga tersebut berdiri tanggal 16 Desember 1895, yang kemudian dijadikan sebagai hari kelahiran BRI

Produk dan Jasa Layanan Bank BRI Bank Rakyat Indonesia (BRI) adalah salah satu Bank milik pemerintah yang terbesar di Indonesia. Pada awalnya Bank Rakyat Indonesia (BRI) didirikan di Purwokerto, Jawa Tengah oleh Raden Bei Aria Wirjaatmadja dengan nama De Poerwokertosche Hulp en Spaarbank der Inlandsche Hoofden atau "Bank Bantuan dan Simpanan Milik Kaum Priyayi Purwokerto", suatu lembaga keuangan yang melayani orang-orang berkebangsaan Indonesia (pribumi). Lembaga tersebut berdiri tanggal 16 Desember 1895, yang kemudian dijadikan sebagai hari kelahiran BRI. Produk dan Jasa Layanan Bank PT. Bank Rakyat Indonesia meliputi : Tabungan Bank BRI : 1. Tabungan BritAma 2. Tabungan Simpedes 3. Tabungan Simpedes TKI 4. Tabungan Haji 5. Tabungan BritAma Dollar 6. Tabungan BritAma Bisnis 7. Tabungan BritAma Rencana 8. Tabungan BritAma Valas 9. Tabungan BritAma Junio 10. TabunganKu

Deposito Bank BRI : 1. Deposito Rupiah 2. Deposito Valas 3. Deposit On Call Giro Bank BRI 1. GiroBRI Rupiah 2. GiroBRI Valas Dan masih banyak yang lain. Sumber: http://produk-jasa-bank.blogspot.com/2012/06/produk-dan-layanan-jasa-bank-bri.html Contoh BPR dan produknya. PD BPR Bank Salatiga berkomitmen tinggi dalam pemberdayaan pelaku ekonomi menengah ke  bawah diharapkan mampu membawa perekonomian Kota Salatiga ke arah yang lebih baik. Dengan tersedianya produk-produk unggulan guna mengakomodasikan kebutuhan seluruh lapisan masyarakat. Yang pada kenyataannya kebutuhan masyarakat yang semakin banyak dibutuhkan peran perbankan yang tahu akan kondisi serta kebutuhan yang banyak tersebut. Saat ini PD BPR Bank Salatiga melayani pedagang pasar tradisional, pegawai, pengusaha kecil maupun besar dalam masyarakat di lingkungan Pemerintah Kota Salatiga. Produk perbankan yang disediakan adalah: Tabungan, Deposito, dan kredit. Seluruh layanan perbankan PD BPR Bank Salatiga dapat dilayani di Kantor yang terletak di lokasi yang strategis yaitu di Kantor Pusat Salatiga yang beralamatkan di Jalan Diponegoro No. 10 Salatiga atau di Kantor Cabang yang beralamatkan di Jalan Soekarno Hatta No. 14 bawen Kab. Semarang. JENIS PRODUK SIMPANAN: 1. SIMPANAN BERJANGKA (DEPOSITO BERJANGKA) 2. TABUNGAN JENIS PRODUK PINJAMAN: 1. KREDIT PEGAWAI

2. KREDIT UMUM Sumber: http://banksalatiga.com/produk.html Keunggulan Bank Syariah, Bank syariah memiliki beberapa keunggulan yaitu sebagai berikut : a. Bank syariah relatif lebih mudah merespons kebijaksanaan pemerintah.  b. Terhindar dari praktik moneu laundring. c. Bank syariah lebih mandiri dalam penentuan kebijakan bagi hasilnya. d. Tidak mudah dipengaruhi gejolak moneter. e. Mekanisme bank syariah didasarkan pada prinsip efisiensi, keadilan dan kebersmaan. Kelemahan Bank Syariah, Bank syariah memiliki beberapa kelemahan diantaranya sebagai  berikut : a. Jaringan kantor bank syariah belum luas.  b. SDM bank syariah masih sedikit. c. Pemahaman masyarakat tentang bank syariah masih kurang. d. Kekeliruan penilaian proyek berakibat lebih besar daripada bank konvensional. Unit Usaha Syariah adalah unit kerja di kantor pusat bank umum konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang syariah dan atau unit syariah, atau unit kerja di kantor cabang bank asing konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang  pembantu syariah dan atau unit syariah. Referensi : Kamus BI Sumber: http://www.mediabpr.com/kamus-bisnis-bank/unit_usaha_syariah.aspx Perbankan syariah menjalankan fungsi yang sama dengan perbankan konvensional, yaitu sebagai lembaga intermediasi (penyaluran), dari nasabah pemilik dana (shahibul mal) dengan nasabah yang membutuhkan dana. Namun, nasabah dana dalam bank syariah diperlakukan sebagai investor dan/atau penitip dana. Dana tersebut disalurkan perbankan syariah kepada nasabah  pembiayaan untuk beragam keperluan, baik produktif (investasi dan modal kerja) maupun konsumtif. Dari pembiayaan tersebut, bank syariah akan memperoleh bagi hasil/marjin yang merupakan pendapatan bagi bank syariah.

Artinya dalam bank syariah, dana dari nasabah pendanaan harus di’usahakan’ terlebih dahulu

untuk menghasilkan pendapatan. Pendapatan itulah yang akan dibagi hasilkan untuk keuntungan  bank syariah dan nasabah dana. Berbagi hasil dalam bank syariah menggunakan istilah nisbah bagi hasil, yaitu proporsi bagi hasil antara nasabah dan bank syariah. Misalnya, jika customer service bank syariah menawarkan nisbah bagi hasil Tabungan iB sebesar 65:35. Itu artinya nasabah bank syariah akan memperoleh  bagi hasil sebesar 65% dari return investasi yang dihasilkan oleh bank syariah melalui  pengelolaan dana-dana masyarakat di sektor riil. Sementara itu bank syariah akan mendapatkan  porsi bagi hasil sebesar 35%. Bagaimana menghitung nisbah bagi hasil tersebut? Untuk produk pendanaan/simpanan bank syariah, misalnya Tabungan iB dan Deposito iB,  penentuan nisbah bagi hasil dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: jenis produk simpanan,  perkiraan pendapatan investasi dan biaya operasional bank. Hanya produk simpanan iB dengan skema investasi (mudharabah) yang mendapatkan return bagi hasil. Sementara itu untuk produk simpanan iB dengan skema titipan (wadiah), return yang diberikan berupa bonus. Pertama-tama dihitung besarnya tingkat pendapatan investasi yang dapat dibagikan kepada nasabah. Ekspektasi pendapatan investasi ini dihitung oleh bank syariah dengan melihat  performa kegiatan ekonomi di sektor-sektor yang menjadi tujuan investasi, misalnya di sektor  properti, perdagangan, pertanian, telekomunikasi atau sektor transportasi. Setiap sektor ekonomi memiliki karakteristik dan performa yang berbeda-beda, sehingga akan memberikan return investasi yang berbeda-beda juga. Sebagaimana layaknya seorang investment manager, bank syariah akan menggunakan berbagai indikator ekonomi dan keuangan yang dapat mencerminkan kinerja dari sektoral tersebut untuk menghitung ekspektasi /proyeksi return investasi. Termasuk  juga indikator historis (track record) dari aktivitas investasi bank syariah yang telah dilakukan, yang tercermin dari nilai rata-rata dari seluruh jenis pembiayaan iB yang selama ini telah diberikan ke sektor riil. Dari hasil perhitungan tersebut, maka dapat diperoleh besarnya  pendapatan investasi dalam bentuk equivalent rate- yang akan dibagikan kepada nasabah misalnya sebesar 11%.

Selanjutnya dihitung besarnya pendapatan investasi yang merupakan bagian untuk bank syariah sendiri, guna menutup biaya-biaya operasional sekaligus memberikan pendapatan yang wajar. Besarnya biaya operasional tergantung dari tingkat efisiensi bank masing-masing. Sementara itu,  besarnya pendapatan yang wajar antara lain mengacu kepada indikator-indikator keuangan bank syariah yang bersangkutan seperti ROA (Return On Assets) dan indikator lain yang relevan. Dari  perhitungan, diperoleh bahwa bank syariah memerlukan pendapatan investasi -yang juga dihitung dalam equivalent rate- misalnya sebesar 6 %. Dari kedua angka tersebut, maka kemudian nisbah bagi hasil dapat dihitung. Porsi bagi hasil untuk nasabah adalah sebesar: [11% dibagi (11%+6%)] = 0.65 atau sebesar 65%. Dan bagi hasil untuk bank syariah sebesar: [6% dibagi (11%+6%)] = 0.35 atau sebesar 35%. Maka nisbah bagi hasilnya kemudian dapat dituliskan sebagai 65:35. Tentu saja dalam prakteknya nasabah iB tidak perlu terlalu pusing dengan perhitungan njlimet  bagi hasil semacam ini. Masyarakat hanya tinggal menanyakan berapa rate indikatif dari Tabungan iB atau Deposito iB yang diminatinya. Rate indikatif ini adalah nilai equivalent rate dari pendapatan investasi yang akan dibagikan kepada nasabah, yang dinyatakan dalam  persentase misalnya 11% atau 8% atau 12%. Jadi masyarakat dengan cepat dan mudah dapat menghitung berapa besar keuntungan yang akan diperolehnya dalam menabung sekaligus  berinvestasi di bank syariah. Sumber: http://www.bankmandiri.info/2011/01/menghitung-bagi-hasil-bank-syariah.html Berdasarkan data perbankan syariah Indonesia pertumbuhan perbankan konvensional jauh ketinggalan oleh bank syariah dimana bank syariah mengalami pertumbuhan sekitar 40 persen  pertahun dalam sepuluh tahun terakhir sementara perbankan konvensional hanya 20 persen.

Dari data yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia bulan Oktober 2011, total asset perbankan syariah mencapai Rp 125, 5 triliun, mengalami peningkatan sebesar Rp 97, 5 triliun dari tahun 2010 dan mencapai pasar sekitar 4 persen dari total kue industri perbankan nasional. Pertumbuhan perbankan syariah tahun ini adalah yang tertinggi sejak tahun 2005.

Sementara dari segi tingkat pengumpulan dana pihak ketiga dan pembiayaan ke masyarakat masing-masing mencapai Rp 97,8 triliun dan Rp 92,8 triliun dengan tingkat Financing to Deposit Rasio (FDR) berada pada kisaran 95,7 persen dan dari faktor kinerja perbankan syariah pada akhir September 2011, BOPO (Biaya Operasi Pendapatan Operasional), ROA ( Return on Asset) dan NPF (Non Performancing Financing) masing – masing berada pada 77.5 persen, 1.8 persen dan 2.0 persen.

Sementara berdasarkan dengan jumlah bank syariah di Indonesia jumlahnya tidak mengalami  penambahan yang signifikan dari tahun 2010 ke 2011 dimana jumlahnya 11 Bank Umum Syariah (BUS) dan 23 Unit Usaha Syariah (UUS) namun untuk jumlah Badan Perkrediatan Rakyat Syariah (BPRS) mencapai 153 yang mengalami penambahan 3 BPRS dari tahun 2011, dan dari jangkauan perluasan kantor agak signifikan untuk BUS, UUS, dan BPRS berada pada kisaran masing-masing 1.354, 301 dan 362, dimana secara geografis sebaran jaringan kantor  perbankan syariah juga telah menjangkau masyarakat di lebih 89 kabupaten/kota di 33 provinsi. http://saripedia.wordpress.com/tag/bank-umum-syariah-bus/

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF