Perbankan Dan Kredit
November 17, 2017 | Author: Adis Alifiawan | Category: N/A
Short Description
Download Perbankan Dan Kredit...
Description
PERAN PERBANKAN DALAM PEMBERIAN KREDIT DAN PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERBANKAN TUGAS MATA KULIAH HUKUM PERBANKAN DAN LEMBAGA KEUANGAN
2010
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ………………………………………………….……………………..…………… 1 BAB I
KARAKTERISTIK INDUSTRI PERBANKAN DI INDONESIA
I.1
Perbedaan Industri Perbankan Dengan Industri Lainnya ………………………… 2
I.2
Hubungan Antara Stabilitas Nilai Rupiah Dengan Industri Perbankan …………. 2
I.3
Prudential Principle …………………………………………………………..………. 3
I.4
Independensi Bank Indonesia ………………………………………………………... 4
BAB II
PENGAWASAN INDUSTRI PERBANKAN DI INDONESIA
II.1 Komponen Pengawasan Industri Perbankan di Indonesia ………………………… 5 II.2 Pengalihan Fungsi Pengawasan Kepada OJK ……………………………………… 6 II.3 Tanggung Jawab Penanganan Permasalahan ……………………………………… 7 BAB III KREDIT SEBAGAI SALAH SATU PRODUK PERBANKAN III.1 Perbedaan Kredit dan Pembiayaan ……………………….………………………… 10 III.2 Pedoman Perkreditan Perbankan …………………………………………………… 10 III.3 Prinsip Prudential Dalam Pemberian Kredit ….…………………………………… 11 III.4 Kredit Sindikasi ……………………………………………………………………… 13 BAB IV PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERBANKAN IV.1 Tindak Pidana Perbankan Merupakan Tindak Pidana Khusus…………………… 18 IV.2 Manajeman Resiko Antisipasi Tindak Pidana Perbankan ………………………… 21 IV.3 Sifat Pembuktian Terbalik dalam Tindak Pidana Perbankan ….………………… 24 IV.4 Pendekatan “Follow The Money” ….………………………………..……………… 25
1
BAB I KARAKTERISTIK INDUSTRI PERBANKAN DI INDONESIA
I.1. Perbedaan Industri Perbankan Dengan Industri Lainnya Industri perbankan berbeda dengan industri lembaga keuangan lainnya terutama dapat dilihat dari sumber dananya. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) Undang – Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, maka sumber dana industri perbankan adalah dari dana masyarakat yang dihimpun dalam bentuk simpanan (kurang lebih 90%), sedangkan sumber dana untuk industri lembaga keuangan lainnya adalah berasal dari pinjaman dan modal sendiri (lembaga pembiayaan dan pegadaian), iuran peserta (dana pensiun), dan premi (asuransi). Industri perbankan lebih banyak diatur dan diawasi oleh otoritas perbankan karena sumber dananya berasal dari dana masyarakat yang dihimpun dalam bentuk simpanan. Kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat ini perlu diawasi dengan ketat oleh negara karena terkait erat dengan kepentingan masyarakat luas. Misalnya saja, dana yang disetorkan oleh seorang petani di suatu bank bisa saja merupakan modal usahanya untuk musim tanam berikutnya dimana bila dana tersebut kemudian hilang karena kesalahan bank, maka kepentingan petani tersebut untuk mempertahankan mata pencahariannya menjadi terganggu. Hal ini tentunya menjadi catatan buruk bagi negara karena telah menyengsarakan perikehidupan rakyatnya.
I.2. Hubungan Antara Stabilitas Nilai Rupiah Dengan Industri Perbankan Hubungan antara stabilitas nilai rupiah dengan sistem perbankan dan sistem pembayaran tercipta dalam hubungan sebab – akibat yang sangat erat sebagai bagian tak terpisahkan dari sistem perekonomian nasional. Bilamana nilai rupiah dalam distabilkan, maka kebijakan moneter sebagai salah satu penyokong utama perekonomian nasional, selain kebijakan fiskal, akan mewujudkan kondisi perekonomian yang kondusif. Bila kondisi perekonomian semakin kondusif, maka sistem perbankan akan semakin tumbuh dan berkembang. Pertumbuhan sektor perbankan akan secara langsung maupun tidak langsung semakin menyehatkan industri perbankan itu sendiri.
2
Dalam kondisi yang sehat, sistem perbankan akan mampu mengembangkan produk – produknya dengan lebih maju, dimana salah satunya yang utama adalah dalam hal produk di sistem pembayaran, misalnya transfer dana, baik yang bersifat real time maupun dalam bentuk kliring, dan sistem pembayaran berbasis kartu. Produk – produk perbankan yang terkait dengan sistem pembayaran selain diarahkan ke arah yang lebih canggih, mudah, efisien, dan cepat, tetapi juga akan semakin memperhatikan kehandalan dan keamanan. Kesemua aspek tersebut, terutama kehandalan dan keamanan, adalah aspek – aspek penting yang perlu diperhatikan oleh industri perbankan agar tetap memperoleh kepercayaan dari masyarakat. Dengan demikian, stabilitas nilai rupiah akan memberi dampak real di masyarakat, salah satunya adalah pertumbuhan dan perkembangan sistem pembayaran yang aman, efisien, dan cepat.
I.3. Prudential Principle Bank Indonesia sebagai bank sentral yang memiliki tugas mengatur dan mengawasi bank tentunya akan selalu menerapkan prinsip kehati – hatian (prudential principle) tersebut dalam setiap peraturannya. Apabila Bank Indonesia menerbitkan suatu ketentuan yang di luar prinsip kehatihatian tersebut, maka Bank Indonesia dapat dikenai dugaan telah menyalahi amanat Undang – Undang. Namun, tentunya ada tingkatan dalam menerapkan prinsip kehati-hatian. Tidak semua Peraturan Bank Indonesia (PBI) diterapkan dalam tingkatan kehati-hatian yang sama. Hal ini diperlukan agar Bank Indonesia dalam menjalankan tugas pengaturannya sebagai bank sentral tidak menjadikan industri perbankan nasional over-regulated. Secara umum, Peraturan Bank Indonesia (PBI) sifatnya adalah prudential, namun dalam beberapa hal, PBI justru dinilai berada di luar prinsip/asas kehati-hatian (prudential). Hal ini tidak bertentangan dengan bagian “menimbang” huruf c dalam Undang – Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang menyebutkan bahwa pengaturan dan pengawasan bank harus memenuhi prinsip kehati – hatian karena sifat pengaturannya memang diperlukan demikian, misalnya adalah adanya ketentuan mengenai kewajiban minimal pemberian kredit kepada koperasi serta para pengusaha kecil dan menengah. Secara logika analisis manajemen resiko, pemberian kredit jenis ini tentunya sangat berbahaya / beresiko tinggi bagi kelangsungan kredit karena kebanyakan koperasi maupun usaha kecil dan menengah tidak memiliki margin keuntungan yang selalu stabil. Akan tetapi, bila dipandang dari sisi lain, maka ketentuan ini memang diperlukan dengan tujuan agar tercapai pemerataan pemberian 3
kredit dan mendorong tumbuhnya koperasi serta usaha kecil dan menengah menjadi industri yang lebih besar. Pertumbuhan tersebut tentunya akan berdampak sangat positif terhadap kondisi perekonomian Indonesia secara makro.
I.4. Independensi Bank Indonesia Bank Indonesia sebagai bank sentral di Indonesia perlu untuk menjadi independen karena Bank Indonesia adalah otoritas kebijakan moneter yang memiliki pengaruh sangat kuat terhadap nilai mata uang rupiah dan oleh karenanya juga memiliki hubungan yang erat dengan masyarakat. Hal ini dapat terlihat pada saat masa krisis moneter tahun 1998 dimana ketika nilai mata uang rupiah sangat jatuh, kestabilan dan kondusivitas di masyarakat menjadi sangat terganggu. Harga barang pokok seketika meroket dan nilai impor menjadi membengkak adalah beberapa implikasi yang membuat masyarakat menjadi sangat resah ketika bidang moneter goyah. Bila menilik kejadian krisis moneter tahun 1998, kejadian pada saat itu bukanlah terjadi karena goncangan di bidang keuangan saja, namun juga turut diperparah oleh kondisi politik yang sedang memanas. Dengan kondisi yang multidimensional tersebut, independensi Bank Indonesia sangat diperlukan. Sayangnya, pada saat itu, Bank Indonesia belum mampu lepas dari intervensi politik Pemerintah. Akibatnya, masa recovery badai krisis moneter di Indonesia dapat dibilang jauh lebih lambat dibandingkan negara – negara lain, bahkan bila dibandingkan dengan negara – negara sesama anggota ASEAN. Belajar dari kejadian di tahun 1998 tersebut, pada Undang – Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, dimunculkan suatu bentuk lembaga baru yang diharapkan akan lebih independen dalam menjalankan fungsi pengawasan di bidang perbankan, yaitu Lembaga Pengawasan Sektor Jasa Keuangan. Hal ini sebenarnya tidak perlu muncul bila Bank Indonesia dapat menjalankan independensinya dalam menjalankan fungsi pengawasan dengan lebih utuh dan benar – benar bisa menolak segala bentuk intervensi politik Pemerintah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa independensi Bank Indonesia sebagai otoritas kebijakan moneter diperlukan selain untuk kepentingan Bank Indonesia sendiri, juga untuk kepentingan masyarakat.
4
BAB II PENGAWASAN INDUSTRI PERBANKAN DI INDONESIA
II.1. Komponen Pengawasan Industri Perbankan di Indonesia Terdapat 3 komponen besar yang turut serta secara bersama mengawasi industri perbankan di Indonesia, yaitu : A. Bank Indonesia Pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia selaku bank sentral terdiri dari 3 jenis, yaitu : a) Pengawasan langsung ; b) Pengawasan tidak langsung ; dan c) Pengawasan terpadu. Bank Indonesia melakukan fungsi pengawasannya melalui Tim Pemeriksa dan Tim Pengawas Bank. Hasil dari pemeriksaan dan pengawasan oleh Bank Indonesia adalah berupa Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dan Laporan Hasil Analisis. Semua pemeriksaan dan analisis industri perbankan kemudian masuk ke dalam database sebagai statistik profil bank. B. Bank yang bersangkutan Pengawasan yang dilakukan oleh bank yang bersangkutan terhadap kinerjanya sendiri terdiri dari 3 jenis, yaitu : a) Pengawasan melekat ; b) Pengawasan intern ; dan c) Pengawasan pengawasan oleh Dewan Audit / Direktur Kepatuhan. Pengawasan melekat dilakukan oleh manajemen, sedangkan pengawasan intern dilakukan oleh Sistem Pengendalian Intern (SPI). Semua hasil pengawasan digabungkan menjadi suatu Laporan Pengawasan Intern.
C. Masyarakat Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap kinerja industri perbankan dapat dilakukan melalui 3 cara, yaitu : a) Analisis pasar ; b) Analisis publik ; dan c) Analisis laporan keuangan.
5
Analisis pasar dan analisis publik dilakukan dengan berdasar pada informasi dari bank itu sendiri, media massa, dan informasi dari lembaga rating. Sedangkan analisis laporan keuangan dilakukan oleh akuntan publik. Hasil dari bentuk pengawasan oleh masyarakat ini adalah berupa opini publik terhadap kinerja satu atau beberapa bank.
II.2. Pengalihan Fungsi Pengawasan Kepada OJK Berdasarkan ketetuan perundang – undangan di bidang perbankan, fungsi pengawasan bank akan dialihkan dari bank sentral, yaitu Bank Indonesia, kepada OJK (Otoritas Jasa Keuangan). Namun, menurut pandangan penulis, pengaturan tersebut untuk kondisi Indonesia saat ini adalah hal yang belum tepat. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa untuk beberapa contoh kasus di Indonesia, penciptaan otoritas pengawasan baru belum sepenuhnya berjalan sesuai harapan. Misalnya, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dibentuk karena adanya keinginan untuk menciptakan suatu otoritas pengawasan yang baru khusus untuk tindak pidana korupsi, yang sebenarnya dahulunya adalah wewenang kepolisian dan kejaksaan. Namun karena dinilai kedua institusi tersebut tidak capable, maka dibentuklah KPK. Meskipun KPK kemudian dibentuk sebagai suatu bentuk “polisi khusus” untuk tindak pidana korupsi, namun dalam praktek operasionalnya KPK sangat bergantung pada lembaga kepolisian dan kejaksaan. Sedangkan sesuai sejarah penciptaannya yang bertujuan untuk membersihkan institusi kepolisian dan kejaksaan dari korupsi, KPK secara natural tidak ingin bersahabat terlalu dekat dengan kepolisian dan kejaksaan. Hal ini kemudian menjadi kontraproduktif dengan kebutuhan koordinasi operasionalnya. Analogi Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK tersebut menurut pendapat saya dapat diterapkan juga pada kondisi di sektor keuangan dimana lembaga – lembaga atau institusi yang memiliki kewenangan pengaturan dan pengawasan akan menjadi 3, yaitu Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, dan OJK. Kementerian Keuangan sebagai regulator sektor keuangan secara umum harus dapat berkoordinasi pada tingkatan yang sangat baik dengan OJK sebagai pengawas sektor keuangan (bank dan non-bank). Di lain pihak, khusus untuk sektor perbankan, Bank Indonesia sebagai bank sentral juga berperan sebagai regulator kebijakan moneter. Dapat dilihat disini bahwa terdapat kemungkinan yang sangat besar terjadinya irisan peran dan kewenangan antara ketiga lembaga tersebut (Kemenkeu, BI, dan OJK). Hal ini serupa dengan yang terjadi antara Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK dalam hal pengawasan tindak pidana korupsi, terutama dalam hal melakukan penyelidikan dan penyidikan guna pengumpulan bukti.
6
Dengan kondisi Sumber Daya Manusia (SDM) dan iklim regulasi yang belum kondusif, terutama di sektor keuangan dan perbankan, maka penciptaan semakin banyak rantai regulator akan semakin memperumit dan menambah kompleksitas penanganan permasalahan sektor keuangan di Indonesia. Semakin banyak regulator akan menambah lama waktu respon penanganan suatu fenomena keuangan karena akan semakin banyaknya prosedur yang harus dilewati. Khusus untuk kondisi Indonesia saat ini dimana sekitar 90% sektor keuangan dikuasai oleh perbankan, maka peran yang terpisah antara Bank Indonesia sebagai pengatur dan OJK sebagai pengawas, bilamana kemudian terdapat fenomena keuangan di sektor perbankan yang harus ditanggapi dengan segera namun menjadi lambat karena prosedur yang panjang dan berbelit - belit, dikhawatirkan akan berdampak sangat besar pada stabilitas perekonomian nasional Indonesia.
II.3. Tanggung Jawab Penanganan Permasalahan Oleh karena sistem pengawasan melibatkan komponen Bank Indonesia dan juga bank bersangkutan, maka apabila terjadi permasalahan dalam suatu bank, tanggung jawabnya merupakan tanggung jawab bersama antara Bank Indonesia dan bank yang bersangkutan. Namun, bila kemudian Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah terbentuk, maka OJK juga terlibat dalam proses penyelesaian permasalahan tersebut. Dalam hal permasalahan bank tersebut terlalu parah sampai pada kategori tidak dapat disehatkan, maka institusi lain pun memainkan peranannya, antara lain Kementerian Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan. Jika berdasarkan hasil analisa disimpulkan bahwa permasalahan bank dimaksud timbul kesalahan organ perusahaan dalam bank tersebut, maka Direktur Utama, Komisaris, bahkan pegawai di bank tersebut dapat dimintai pertanggungjawabannya. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Bab XIII Undang – Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Terhadap bank yang memenuhi kriteria sebagai bank yang memiliki potensi kesulitan yang dapat membahayakan kelangsungan usahanya, langkah-langkah yang dilakukan oleh Bank Indonesia pada bank tersebut adalah dengan menempatkannya pada status “Pengawasan Intensif” untuk selanjutnya: 1.
Meminta bank untuk melaporkan hal-hal tertentu kepada Bank Indonesia.
2.
Melakukan peningkatan frekuensi pengkinian dan penilaian rencana kerja dengan penyesuaian terhadap sasaran yang akan dicapai.
7
3.
Meminta bank untuk menyusun rencana tindakan sesuai dengan permasalahan yang dihadapi.
4.
Menempatkan pengawas dan atau pemeriksa Bank Indonesia pada bank, apabila diperlukan.
Apabila kemudian bank dimaksud tidak menghasilkan perbaikan kondisi keuangan dan manajerial yang kemudian berdasarkan analisis Bank Indonesia diketahui bahwa bank tersebut dapat diklasifikasikan sebagai bank yang memiliki kesulitan yang dapat membahayakan kelangsungan usahanya, maka Bank tersebut selanjutnya ditetapkan sebagai Bank dengan status “Pengawasan Khusus”. Terhadap Bank dengan status Pengawasan Khusus ini maka beberapa tindakan Bank Indonesia yang diambil, antara lain: 1.
Memerintahkan Bank dan atau pemegang saham Bank untuk mengajukan rencana perbaikan permodalan (capital restoration plan) secara tertulis kepada Bank Indonesia.
2.
Memerintahkan Bank untuk memenuhi kewajiban melaksanakan tindakan perbaikan (mandatory supervisory actions).
3.
Memerintahkan Bank dan atau pemegang saham Bank untuk melakukan tindakan antara lain: a.
mengganti dewan komisaris dan atau direksi Bank;
b.
menghapusbukukan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang tergolong macet dan memperhitungkan kerugian Bank dengan modal Bank;
c.
melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain;
d.
menjual Bank kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban Bank;
e.
menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan Bank kepada pihak lain;
f.
menjual sebagian atau seluruh harta dan atau kewajiban Bank kepada bank atau pihak lain; dan atau
g.
membekukan kegiatan usaha tertentu Bank.
Larangan dan pembatasan bagi Bank dalam Pengawasan Khusus, antara lain: 1.
Bank dilarang melakukan pembayaran distribusi modal (pembagian deviden atau pemberian bonus);
2.
Bank dilarang melakukan transaksi dengan pihak terkait atau pihak lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
3.
Bank dikenakan pembatasan pertumbuhan aset;
4.
Bank dilarang melakukan pembayaran terhadap pinjaman subordinasi;
5.
Bank dikenakan pembatasan kompensasi kepada pihak terkait;
Jangka waktu Bank dengan status Pengawasan Khusus adalah paling lama tiga bulan bagi Bank yang tidak terdaftar pada Pasar Modal atau enam bulan bagi Bank yang terdaftar pada Pasar Modal (listed Banks). Jangka waktu tersebut dapat diperpanjang dan perpanjangan dapat diberikan 8
maksimal satu kali dan paling lama tiga bulan. Pertimbangan perpanjangan tersebut terutama yang berkaitan dengan proses hukum yang diperlukan antara lain perubahan anggaran dasar, pengalihan hak kepemilikan, proses perizinan, dan proses kaji tuntas oleh investor baru (due diligence). Pada umumnya frekuensi serta intensitas pengawasan dan pemeriksaan meningkat terutama dalam rangka memantau perkembangan kinerja dan komitmen serta kewajiban Bank yang diperintahkan oleh Bank Indonesia. Selanjutnya berdasarkan analisis dan pemantauan dimaksud, apabila diketahui bahwa kondisi Bank semakin memburuk, maka terdapat dua alternatif resolusi Bank dimaksud, yaitu Bank diserahkan kepada BPPN dengan status Bank Dalan Penyehatan (BDP) atau Bank Beku Kegiatan Usaha. Bank dapat ditetapkan dengan status Bank Dalam Penyehatan apabila Bank tersebut dinilai masih memiliki potensi untuk dapat diperbaiki terutama dari aspek permodalan. Selama proses penyehatan Bank oleh BPPN, komunikasi dan kerjasama antara Bank Indonesia dengan BPPN intensif dilakukan terutama yang berkaitan dengan perkembangan indikator utama kinerja Bank, antara lain kinerja permodalan, rasio likuiditas (Giro Wajib Minimum), non-performing loan, ketentuan prudensial (BMPK, PDN, PPAP), dan indikasi pencapaian rencana kerja. Apabila kondisi membaik dan program penyehatan telah selesai dilakukan atau dinyatakan berhasil, maka status BDP dicabut dan Bank diserahkan kembali kepada Bank Indonesia untuk dilakukan pengawasan yang diperlukan. Sebaliknya, apabila kondisi Bank semakin memburuk, status BDP dapat berubah menjadi Bank Beku Kegiatan Usaha. Bank ditetapkan dengan status Bank Beku Kegiatan Usaha apabila Bank memenuhi persyaratan bahwa kondisi Bank menurun sangat tajam atau program penyehatan BPPN atas Bank Dalam Penyehatan (BDP) tidak dapat diselesaikan oleh Bank dalam jangka waktu yang disepakati atau berdasarkan pertimbangan BPPN, program penyehatan tidak dapat dilaksanakan meskipun jangka waktu yang disepakati belum terlampaui. Selanjutnya dalam hal BPPN telah selesai melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk penyelesaian Bank dengan status BBKU, penyelesaian berikutnya dilakukan tahapan-tahapan pencabutan izin usaha, pembubaran badan hukum, serta likuidasi Bank. Bank yang kemudian dinyatakan tidak dapat lagi disehatkan masuk pada golongan Bank gagal (failing bank). Selanjutnya Bank Indonesia atau Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang merupakan Lembaga Pengawas Perbankan (LPP) bersama dengan Menteri Keuangan dan Lembaga Penjamin
Simpanan
(LPS)
secara
bersama
sebagai
Komite
Koordinasi
menyerahkan
penanganannya kepada LPS.
9
BAB III KREDIT SEBAGAI SALAH SATU PRODUK PERBANKAN
III.1 Perbedaan Kredit dan Pembiayaan Berdasarkan ketentuan dalam Undang – Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, maka perbedaan dari kredit dan pembiayaan salah satu dapat dilihat dari definisinya, yaitu : Menurut keterangan dalam Pasal 1 angka 11 : “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjammeminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga” Menurut keterangan dalam Pasal 1 angka 12 : “Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil” Berdasarkan definisinya tersebut, dapat disimpulkan beberapa hal yang menjadi pembeda antara kredit dengan pembiayaan, antara lain sebagai berikut : a)
Dalam kredit, digunakan istilah “peminjam” untuk mendefinisikan debitur, sedangkan dalam pembiayaan digunakan istilah “pihak yang dibiayai” ;
b) Dalam kredit, digunakan istilah “melunasi utang”, sedangkan dalam pembiayaan digunakan istilah “mengembalikan utang atau tagihan” ; dan c)
Dalam kredit, dalam melunasi utangnya, peminjam dikenakan kewajiban bunga. Sedangkan dalam pembiayaan, dalam mengembalikan uang atau tagihannya, pihak yang dibiayai dikenakan kewajiban berupa imbalan kepada Bank atau dengan sistem bagi hasil.
III.2 Pedoman Perkreditan Perbankan Sesuai ketentuan dalam Pasal 8 ayat (2) Undang – Undang Nomor 10 Tahun 1998 :
10
“Bank Umum wajib memiliki dan menerapkan Pedoman Perkreditan dan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia” Adapun yang dimaksud dengan “ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) tersebut telah disebutkan pokok – pokoknya pada penjelasan Pasal 8 ayat (2), yaitu : a)
pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis;
b) bank harus memiliki keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan Nasabah Debitur yang antara lain diperoleh dari penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari Nasabah Debitur; c)
kewajiban bank untuk menyusun dan menetapkan prosedur pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;
d) kewajiban bank untuk memberikan informasi yang jelas mengenai prosedur dan persyaratan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah; e)
larangan bank untuk memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dengan persyaratan yang berbeda kepada Nasabah Debitur dan atau pihakpihak terafiliasi;
f)
penyelesaian sengketa.
Dalam mengejawantahkan pokok – pokok ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia ke dalam suatu Pedoman Perkreditan dan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah, bank umum sekurang – kurangnya harus memperhatikan hal – hal sebagai berikut : a)
Prinsip kehati-hatian dalam perkreditan ;
b) Organisasi dan manajemen kredit ; c)
Kebijaksanaan persetujuan kredit ;
d) Dokumentasi dan administrasi kredit ; e)
Pengawasan kredit ; dan
f)
Penyelesaian kredit bermasalah.
III.3 Prinsip Prudential Dalam Pemberian Kredit Bank dalam menjalankan kegiatan usahanya, termasuk pemberian kredit, harus selalu berpedoman dan menerapkan prinsip kehati – hatian.
11
Hal ini dapat diwujudkan dengan senantiasa mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagai bank sentral, termasuk pokok – pokok Pedoman Perkreditan dan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Dalam mengikuti ketentuan dari Bank Indonesia tersebut, bank sekurang – kurangnya harus memiliki : a) Kebijakan pokok perkreditan yang sehat ; b) Tatacara penilaian kualitas kredit ; c) Profesionalisme dan integritas pejabat kredit ; d) Prosedut pemberian kredit kepada pihak – pihak tertentu yang tergolong rawan ; dan e) Memiliki kriteria jenis – jenis kredit yang perlu dihindari. Dalam menilai itikad baik (character) dari calon debitur, dapat menggunakan 2 cara, yaitu : a) Bank checking ; dan b) Credit checking. Bank checking artinya bahwa bank yang akan memberikan kredit kepada calon debitur tersebut melakukan pemeriksaan historis transaksi calon debitur yang terkait dengan sistem perbankan, terutama dalam menelusuri catatan apakah calon debitur memiliki kredit di bank lain atau bahkan kredit yang sifatnya bermasalah. Hal ini dapat dilakukan oleh bank terkait dengan meminta datanya kepada Bank Indonesia atau bank umum lainnya. Credit checking dilakukan oleh bank calon pemberi kredit dengan cara menelusuri catatan transaksi calon debitur dengan mitra usaha sebelumnya atau dapat juga dengan melakukan survey pasar mengenai feasibility dari kredit yang diajukan. Prinsip 5C termasuk salah satu prinsip kehati – hatian yang dilaksanakan oleh bank dalam rangka meminimalkan potensi terjadinya kredit bermasalah di kemudian hari, sehingga semasa dalam proses persetujuan pemberian kredit, bank perlu melakukan analisa terhadap 5 hal sebagai berikut : a)
Character ;
b) Capacity ; c)
Capital ;
d) Condition of economy ; dan e)
Collateral.
Analisa terhadap character disini maksudnya adalah untuk melihat itikad baik dari calon debitur yang termasuk juga di dalamnya penilaian kejujuran, integritas, dan kemauan untuk memenuhi semua kewajiban dan menjalankan usahanya sesuai perencanaan. 12
Analisa terhadap capacity disini maksudnya adalah untuk melihat kemampuan calon debitur dalam mengelola kegiatan usahanya nanti bilamana kredit diberikan. Selain itu juga untuk melihat kemampuan calon debitur dalam melihat prospek usahanya di masa depan. Hal ini penting agar usahanya tersebut dapat terus berkembang dan memberikan keuntungan. Analisa terhadap capital disini maksudnya adalah untuk melihat besar kecilnya modal yang dimiliki calon debitur dalam posisi eksiting sebelum kredit dberikan. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya adalah untuk melihat kondisi penempatan modal / aset dari calon debitur, apakah dalam kondisi yang mendukung usahanya kelak atau justru menghambatnya. Analisa terhadap condition of economy disini maksudnya adalah untuk melihat kondisi ekonomi secara umum atau secara makro, terutama kondisi ekonomi di sektor usaha calon debitur. Analisa terhadap collateral disini maksudnya adalah untuk melihat kualitas dari jaminan yang ditawarkan oleh calon debitur. Hal ini penting sebagai sarana pengaman dari bank bilamana di kemudian hari terjadi wanprestasi dari calon debitur tersebut. Jaminan tersebut diharapkan dapat melunasi sisa utang kredit dari calon debitur dimaksud, baik utang pokoknya maupun bunganya.
III.4 Kredit Sindikasi Salah satu varian/jenis dari kredit adalah kredit sindikasi. Dari sisi debitur, kredit sindikasi sangat menguntungkan dan memudahkan karena pertimbangan – pertimbangan sebagai berikut : 1.
Merupakan solusi mendapatkan kredit dalam jumlah besar dan lebih efisien karena hanya perlu menunjuk satu arranger untuk meng-arrange kredit sindikasi pada Bank-bank sehingga debitur tak perlu mendatangi Bank satu per satu.
2.
Memupuk kerja sama atau networking, baik nasional maupun internasional, dengan Bank-bank lain, sehingga lain kali akan lebih mudah melakukan kerja sama.
3.
Menambah kredibilitas debitur, terutama bila peserta sindikasi terdiri dari Bank besar dan ternama.
4.
Untuk kepentingan publikasi (image branding), terutama bila dicantumkan dalam pengumumaman (announcement) di publikasi bertaraf internasional yang biasanya terjadi bila kredit sindikasi melibatkan Bank internasional.
Sedangkan dari sisi bank, kredit sindikasi memiliki keuntungan sebagai berikut : 1.
Dapat mengatasi masalah BMPK (Batas Maksimal Penyaluran Kredit)
2.
Berbadi risiko (risk sharing) dengan bank lain 13
3.
Memupuk hubungan kerjasama dengan suatu grup usaha.
4.
Meningkatkan pendapatan yang berasal dari fee (fee based income)
5.
Menjadi proses pembelajaran (learning process) bagi bank peserta sindikasi. Ada beberapa bank yang tidak mempunyai pengalaman dalam kredit sindikasi. Dengan menjadi salah satu peserta sindikasi, maka bank tersebut dapat mempelajari mengenai kredit sindikasi.
6.
Agar dikenal di pasar sindikasi. Hal ini penting karena bank akan sulit untuk masuk ke dalam suatu kredit sindikasi apabila tidak mempunyai pengalaman sindikasi.
Dengan adanya keuntungan – keuntungan yang diperoleh, baik oleh debitur maupun bank sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, maka kredit sindikasi akan berdampak positif bagi sistem perbankan nasional atau makro ekonomi karena : 1.
Oleh karena Bank dan debitur sama – sama memperoleh keuntungan dari sisi kredibilitas (image branding), maka sistem perbankan maupun industri nasional secara umum pun akan memiliki image yang positif di mata dunia usaha internasional ;
2.
Mengoptimalkan manajemen risiko dalam sistem perbankan nasional dalam pemberian kredit skala besar ;
3.
Mempererat hubungan antara dunia usaha / industri dengan dunia perbankan sehingga sistem perbankan diharapkan akan berjalan dengan lebih lancar dan meminimalkan kendala di kemudian hari ; dan
4.
Dengan lancarnya alokasi dana bagi dunia usaha yang dibarengi dengan optimalisasi pengelolaan risiko, maka diharapkan secara makro ekonomi, stabilitas sistem keuangan pun akan semakin baik.
Meskipun memiliki begitu banyak keuntungan, bukan berarti kredit sindikasi tidak memiliki kelemahan / kekurangan. Salah satu kelemahan dari kredit sindikasi adalah diperlukannya proses yang lebih rumit dan kompleks karena antara lain harus memperhatikan hal – hal sebagai berikut : 1.
Hak, kewajiban dan tanggung jawab anggota sindikasi, harus secara detail diatur dalam perjanjian.
2.
Hak, kewajiban dan tanggungjawab debitor pada para kreditor, misalnya kapan wanprestasi terjadi, apakah cukup bila wanprestasi terjadi pada satu kreditor atau harus kepada kreditor yang lain juga (cross default atau tidak).
3.
Masalah enforcement hak-hak anggota sindikasi.
4.
Masalah dengan hukum dan yurisdiksi, apabila salah satu bank peserta sindikasi adalah entity asing yang tunduk pada hukum asing.
14
Beberapa orang mungkin masih sulit untuk membedakan antara kredit sindikasi dengan kredit konsorsium karena banyaknya sifat – sifat dari kedua jenis kredit tersebut yang serupa satu sama lain. Untuk memberikan gambaran mengenai perbedaan antara kredit sindikasi dengan kredit konsorsium, maka berikut tabel yang merupakan rangkumannya : Kredit Sindikasi
Kredit Konsorsium
Seluruh bank peserta sindikasi secara bersama Hanya bank yang ditunjuk sebagai bank induk melakukan analisa kredit.
dalam
konsorsium
pemberi
kredit
yang
melakukan analisa kredit. Oleh karena analisa kredit dilakukan bersama, Oleh karena analisa kredit dilakukan hanya oleh maka
suku
bunga
kredit
pun
ditentukan bank induk, maka suku bunga kredit pun
berdasarkan negosiasi diantara bank peserta ditentukan hanya oleh bank induk. sindikasi. Perjanjian kredit ditandatangani oleh debitur di Perjanjian kredit ditandatangani oleh debitur di satu pihak dan seluruh bank peserta sindikasi di satu pihak dan hanya bank induk di pihak lain. pihak lain. Setiap bank peserta sindikasi dapat berhubungan Bank yang menjadi anggota konsorsium, selain dengan debitur melalui agen.
bank induk, tidak dapat berhubungan dengan debitur.
Hanya
bank
induk
yang
berhak
berhubungan dengan debitur.
Contoh kasus pemberian kredit sindikasi : Tiga bank pemerintah, yakni PT Bank Negara Indonesia Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia, dan PT Bank Mandiri memberikan kredit sindikasi senilai Rp 584,9 miliar dan US$ 27,4 juta untuk kelanjutan pembangunan proyek PT Pupuk Iskandar Muda II (PIM) yang berlokasi di Lhokseumawe, propinsi Nanggroe Aceh Darusalam (NAD). Contoh kasus pemberian kredit konsorsium : Pembiayaan kredit pembangunan ruas jalan tol Ciawi – Sukabumi yang dilakukan oleh konsorsium 5 bank, yaitu PT. Bank BNI 46, PT. Bank Rakyat Indonesia, PT. Bank Jabar-Banten, dan PT. Bank Jatim, kepada debiturnya PT Trans Jabar Tol dengan nilai total kredit Rp 1,78 Trilyun.
15
Di dalam kredit sindikasi, terdapat ketentuan yang dinamakan cross default. Ketentuan cross default tersebut dapat didefinisikan sebagai ketentuan yang mengatur bahwa cedera janji (wanprestasi) debitur kepada satu kreditur dianggap merupakan cedera janji kepada seluruh kreditur. Dalam hal kredit sindikasi, bila debitur melanggar butir kesepakatan kepada salah satu bank peserta sindikasi, maka bank peserta sindikasi yang lain juga akan serta merta menyatakan bahwa debitur bersangkutan telah melakukan wanprestasi kepadanya, selanjutnya proses penyelesaiannya akan dilakukan oleh facility agent.
Wanprestasi dapat berupa 4 jenis tindakan, yaitu : 1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya ; 2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan ; 3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat ; atau 4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Dalam hal terjadinya wanprestasi, kreditur dapat menuntut ganti rugi (remedies) dan/atau pembatalan (rescission). Penjelasan untuk kedua hal tersebut adalah sebagai berikut : Ganti Rugi (Remedies). Berdasarkan Pasal 1236 dan 1239 KUH Perdata, bila debitur wanprestasi, wajib memberikan ganti biaya, rugi dan bunga. Pengertian rugi (schade) menurut ketentuan dimaksud adalah sebagai kerugian nyata (feitelijknadee) yang dapat diduga atau diperkirakan pada saat perikatan itu diadakan, yang timbul sebagai akibat ingkar janji. Dalam hal ini berarti jaminan/agunan dari debitur yang diserahkan pada saat perjanjian kredit. Pembatalan (Rescission). Ketentuan tentang pembatalan terhadap perjanjian timbal balik tercantum dalam Pasal 1267 KUH Perdata, menegaskan bahwa “Pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan, akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi perjanjian, ataukah ia akan menuntut pembatalan perjanjian, disertai penggantian biaya, kerugian dan bunga”. Jadi berdasarkan ketentuan diatas, kreditur diberikan hak untuk memilih apakah akan menuntut pemenuhan atau pembatalan perjanjian dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga.
Didasarkan pada karakteristik kredit sindikasi dimana : a) seluruh bank peserta sindikasi secara bersama melakukan analisa kredit, b) perjanjian kredit ditandatangani oleh debitur di satu pihak dan seluruh bank peserta sindikasi di pihak lain, serta 16
c) adanya prinsip pari passu dalam security sharing agreement yang meniadakan hak istimewa atau hak didahulukan pada masing-masing kreditur, maka terlihat bahwa kedudukan kreditur di mata debitur sebetulnya adalah satu entitas. Dengan demikian, meski tanpa dicantumkan klausul mengenai cross default dalam perjanjian kredit, bank peserta sindikasi berhak menetapkan debitur telah melakukan wanprestasi walaupun wanprestasi tersebut secara langsung hanya dilakukan kepada peserta sindikasi yang lain. Selain ketentuan mengenai cross default, ketentuan lain yang juga merupakan cirikhas kredit sindikasi adalah security sharing agreement. Sesuai istilahnya, security sharing agreement adalah perjanjian diantara para kreditur untuk mengatur mengenai pembagian hak atas jaminan/agunan dari suatu debitur, bilamana debitur tersebut melakukan wanprestasi/cedera janji. Security sharing agreement lebih banyak mengatur kepentingan para kreditur peserta sindikasi namun kehadiran pihak debitor sebagai pemilik barang jaminan dan turut menandatangani perjanjian pembagian hasil jaminan adalah juga penting untuk mengetahui dan menyetujui serta terikat dengan segala akibat hukum yang terjadi sehubungan dengan isi perjanjian. Dalam security sharing agreement ditegaskan kembali hak-hak para kreditur, antara lain berhak untuk meminta pelaksanaan eksekusi jaminan, berhak untuk memberi penilaian telah terjadinya peristiwa, kelalaian sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam perjanjian kredit sindikasi, serta berhak atas pembayaran yang diterima oleh agen sesuai dengan penyertaan masing-masing bank. Salah satu klausul dalam security sharing agreement mencantumkan bahwa para pihak telah setuju dan mufakat untuk membagi seluruh hasil penjualan barang jaminan diantara mereka untuk dibagikan berdasarkan prinsip pari passu. Pari passu artinya pembagian secara proporsional diantara para kreditur atas setiap pembayaran uang yang merupakan hasil eksekusi jaminan atau hasil penagihan kepada debitur tanpa ada hak istimewa atau hak didahulukan pada masing-masing kreditur dan sisa piutang masing-masing kreditur setelah pembagian dilaksanakan akan mendapatkan sejumlah uang dan posisi piutang yang sebanding dengan bagian kredit masing-masing kreditur. Dengan adanya security sharing agreement, para kreditur memiliki peringkat dan hak yang sama untuk mendapatkan pelunasan dari hasil penjualan jaminan jika debitur melakukan wanprestasi. Prinsip pari passu ini harus dicantumkan dalam klausul perjanjian untuk memastikan bahwa penerima kredit tidak memberikan prioritas kepada salah satu kreditur sindikasi sehingga besarnya jumlah penyertaan masing-masing bank dalam suatu pembiayaan sindikasi tidak mempengaruhi kedudukan dari masing-masing bank tersebut. Dengan perkataan lain, tidak ada suatu hak istimewa diantara bank-bank peserta sindikasi khususnya terhadap pembagian hasil jaminan. 17
BAB IV PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERBANKAN
IV.1 Tindak Pidana Perbankan Merupakan Tindak Pidana Khusus Sebelum tahun 1982, tepatnya sebelum diterbitkannya Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. : M01.PW.07.03 Tahun 1982 tanggal 4 Februari 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana, pihak Kepolisian menganggap tindak pidana perbankan sebagai tindak pidana umum karena walaupun tindak pidana ini diatur di luar KUHP, tetapi Undang - Undang Perbankan tidak mengatur Hukum Acara khusus mengenai tindak pidana perbankan. Namun, terdapat pula pihak selain Kepolisian yang menyebut tindak pidana perbankan sebagai tindak pidana khusus karena diatur di luar KUHP, ancaman hukum berat dan kumulatif dengan minimum hukuman dan ada sedikit hukum acara seperti yang diatur dalam Pasal 42 Undang – Undang Perbankan yang berkaitan dengan permintaan keterangan yag bersifat rahasia bank dalam proses peradilan perkara tindak pidana perbankan. Perbedaan pandangan tersebut akhrnya dihilangkan dengan ditetapkannya Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. : M01.PW.07.03 Tahun 1982 tanggal 4 Februari 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana yang menyebutkan bahwa tindak pidana perbankan termasuk dalam tindak pidana khusus. Hal ini merupakan penjelasan dari Pasal 284 KUHAP. Penyidiknya adalah pihak Kepolisian dan Kejaksaan. Khusus untuk tindak pidana pencucian uang, institusi selain Kepolisian dan Kejaksaan juga diberi kewenangan melakukan penyidikan terkait dengan tindak pidana asalnya, yaitu KPK, BNN, Ditjen Pajak, dan Ditjen Bea Cukai. KPK menjadi penyidik tindak pidana pencucian uang jika ada indikasi tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana asalnya. Terhadap pelaku tindak pidana di bidang perbankan dapat dikaitkan dengan Undang – Undang sebagai berikut : a.
Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 10 Tahun 1998 ;
b.
Kitab Undang – Undang Hukum Pidana, khususnya Buku II tentang Kejahatan dan Buku III tentang Pelanggaran, dimana Pasal – Pasal yang biasa digunakan adalah Pasal 263 (pemalsuan), Pasal 372 (penggelapan), Pasal 374 (penggelapan dalam jabatan), Pasal 378 (penipuan), dan Pasal 362 (pencurian) ; 18
c.
Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 ;
d.
Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Untuk Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2010 sendiri, di dalamnya terdapat 6 macam tindak pidana yang diancamkan, yaitu : a)
Pasal 3 : Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
b) Pasal 4 : Setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
c)
Pasal 5 ayat (1) : Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
d) Pasal 10 : Setiap Orang yang berada di dalam atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang turut serta melakukan percobaan, pembantuan, atau Permufakatan Jahat untuk melakukan tindak pidana Pencucian Uang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5. 19
e)
Pasal 11 ayat (1) dan (2) : (1) Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan Setiap Orang yang memperoleh Dokumen atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya menurut Undang-Undang ini wajib merahasiakan Dokumen atau keterangan tersebut, kecuali untuk memenuhi kewajiban menurut Undang-Undang ini.
(2) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.
f)
Pasal 12 ayat (1), (3), dan (5) : (1) Direksi, komisaris, pengurus atau pegawai Pihak Pelapor dilarang memberitahukan kepada Pengguna Jasa atau pihak lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan cara apa pun mengenai laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang sedang disusun atau telah disampaikan kepada PPATK. (3) Pejabat atau pegawai PPATK atau Lembaga Pengawas dan Pengatur dilarang memberitahukan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang akan atau telah dilaporkan kepada PPATK secara langsung atau tidak langsung dengan cara apa pun kepada Pengguna Jasa atau pihak lain. (5) Pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Oleh karena tindak pidana perbankan memiliki ketentuan pengaturan yang berada di bawah lebih dari satu undang – undang, maka dalam pengaplikasiannya terkadang ditemukan kendala dalam menentukan dasar hukum yang mana yang akan digunakan. Misalnya dalam kasus terjadinya korupsi di Bank milik negara, terkadang muncul perdebatan mengenai ketentuan hukum mana yang tepat untuk digunakan, apakah Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 atau Pasal 49 ayat (2a) Undang – Undang Perbankan. Berdasarkan Pasal 2 Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999, subjek hukum dalam tindak pidana korupsi yang menjadi intisari pengaturan dalam Undang – Undang tersebut adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. 20
Sedangkan ketentuan dalam Pasal 49 ayat (2) huruf a Undang – Undang Nomor 10 Tahun 1998 menyebutkan bahwa subjek hukum kejahatan tindak pidana di bidang perbankan untuk kegiatan – kegiatan sesuai yang tercantum dalam Pasal tersebut adalah setiap anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja melakukannya. Dengan membandingkan kedua ketentuan tersebut di atas, maka berdasarkan asas lex spesialis derogate legi generalis, oleh karena tindak pidana korupsi dilakukan di bidang perbankan, maka ketentuan dalam Undang – Undang Perbankan adalah lebih tepat untuk digunakan dibandingkan ketentuan dalam Undang – Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun, dalam prakteknya, khusus untuk kasus korupsi yang terjadi pada bank milik negara, ketentuan yang digunakan adalah Undang – Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini dapat dipahami karena adanya tujuan untuk mempermudahkan menjerat para pelaku, mengenakan hukuman yang paling berat, dan yang terpenting adalah memperoleh uang pengganti atas kerugian Negara.
IV.2 Manajeman Resiko Antisipasi Tindak Pidana Perbankan Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No.11/25/PBI/2009 tentang Perubahan atas PBI No.5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum, maka terdapat 8 (delapan) jenis risiko dalam bank umum konvensional, yaitu : a) Risiko kredit ; b) Risiko pasar ; c) Risiko likuiditas ; d) Risiko operasional ; e) Risiko hukum ; f) Risiko reputasi ; g) Risiko stratejik ; dan h) Risiko kepatuhan. Dalam masalah pencucian uang dan pendanaan terorisme, risiko yang terkait adalah risiko hukum, risiko reputasi, risiko operasional, dan risiko konsentrasi kredit (bagian dari risiko kredit). Risiko hukum jelas akan menjadi tanggungan bank manakala terjadi tuntutan hukum atas bank tersebut, misalnya karena tidak mampu mencegah terjadinya tindak pidana pencucian uang dalam sistemnya. Dengan adanya tuntutan hukum, maka reputasi bank tersebut akan jatuh karena telah tercipta persepsi yang negatif terhadap bank yang bersangkutan. 21
Risiko operasional terutama terkait dengan kegagalan sistem informasi bank dimaksud dalam mengidentifikasi transaksi yang mencurigakan atau misalnya salah dalam menyaring calon pegawai sehingga pegawai tersebut justru menjadi agen dari pelaku tindak pidana pencucian uang atau pendanaan terorisme. Risiko konsentrasi kredit akan terjadi bilamana bank salah perhitungan dalam menempatkan kreditnya, sehingga kredit besar justru mengucur pada usaha yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang atau pendanaan terorisme. Peranan bank dalam mencegah dan memberantas pencucian uang serta pendanaan terorisme adalah dengan menerapkan manajeman resiko yang mengacu pada prinsip – prinsip umum yang berlaku secara internasional, sebagaimana tercantum dalam 40 + 9 FATF (Financial Action Task Force) Recommendation. Merujuk pada penjelasan Undang – Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, harta kekayaan bagi organisasi kejahatan adalah ibarat darah dalam satu tubuh sehingga bila aliran harta kekayaan organisasi tersebut dalam sistem perbankan internasional diputuskan, maka organisasi kejahatan tersebut lama – kelamaan akan menjadi lemah, berkurang aktivitasnya, bahkan menjadi mati. Wujud dari peranan bank dalam mencegah dan memberantas pencucian uang serta pendanaan terorisme dalam sistem manajemen resikonya antara lain mencakup : a. Pengawasan aktif Direksi dan Dewan Komisaris ; b. Kebijakan dan prosedur ; c. Pengendalian intern ; d. Sistem informasi manajemen ; dan e. Sumber daya manusia dan pelatihan. Salah satu yang termasuk dalam pengawasan aktif Direksi dan Dewan Komisaris adalah memastikan bahwa kebijakan dan prosedur tertulis mengenai program APU dan PPT (Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme) sejalan dengan perubahan dan pengembangan produk, jasa, dan teknologi Bank serta sesuai dengan perkembangan modus pencucian uang atau pendanaan terorisme. Dalam menerapkan program APU dan PPT, bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis yang salah satunya adalah yang terkait dengan penutupan hubungan dan penolakan transaksi bilamana dinilai mencurigakan. Bank pun wajib memiliki sistem informasi yang dapat mengidentifikasi, menganalisa, memantau, dan menyediakan laporan secara efektif mengenai karakteristik transaksi yang dilakukan oleh nasabahnya. Bahkan dalam hal penerimaan pegawai baru, bank wajib melakukan prosedur penyaringan (screening) guna menghindari keterlibatan pihak intern bank dalam kegiatan tindak pidana pencucian uang maupun pendanaan terorisme. 22
Berdasarkan definisinya pada Peraturan Bank Indonesia Nomor : 5/21/PBI/2003 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 Tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles), maka KYCP ((Know Your Customer Principles) adalah: “prinsip yang diterapkan Bank untuk mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk pelaporan transaksi yang mencurigakan” Sedangkan CDD (Customer Due Dilligence) berdasarkan definisinya pada Peraturan Bank Indonesia Nomor : 11/28/PBI/2009 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang Dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umum adalah : “kegiatan berupa identifikasi, verifikasi, dan pemantauan yang dilakukan Bank untuk memastikan bahwa transaksi tersebut sesuai dengan profil Nasabah” Bila dipersandingkan berdasarkan definisi, maka dapat terlihat bahwa CDD adalah pengembangan lebih lanjut dari KYCP, yaitu dengan menambahkan “verifikasi” sebagai salah satu kegiatannya. Selain itu, terdapat pula penyesuaian pengaturan lainnya pada CDD yang membedakannya dari KYCP, yaitu : a) Menerapkan pendekatan berdasarkan resiko (risk based approach) ; b) Mengatur mengenai pencegahan pendanaan kegiatan terorisme ; c) Mengatur mengenai Cross Border Correspondent Banking ; dan d) Mengatur mengenai transfer dana. Bank melakukan prosedur CDD pada saat : a) melakukan hubungan usaha dengan calon Nasabah; b) melakukan hubungan usaha dengan WIC; c) Bank meragukan kebenaran informasi yang diberikan oleh Nasabah, penerima kuasa, dan/atau Beneficial Owner; atau d) terdapat transaksi keuangan yang tidak wajar yang terkait dengan pencucian uang dan/atau pendanaan terorisme. Dalam melaksanakan prosedur CDD tersebut, bank pun dapat menyerahkannya pada pihak ketiga atau dengan prosedur CDD yang disederhanakan. Terhadap prosedur CDD yang dilaksanakan oleh pihak ketiga, maka bank wajib melakukan verifikasi terhadap hasilnya. Sedangkan terhadap prosedur CDD yang disederhanakan, bank wajib menyimpan setiap catatan (record) yang terkait dengan proses CDD yang disederhanakan tersebut, sebagai langkah antisipasi bilamana suatu hari dibutuhkan. 23
IV.3 Sifat Pembuktian Terbalik dalam Tindak Pidana Perbankan Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, bukan pada pemeriksaan penyidikan maupun penuntutan, terdakwa tindak pidana pencucian uang wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Pembuktian terbalik oleh terdakwa ini khusus mengenai asal usul harta kekayaan yang harus dibuktikan oleh terdakwa bukan hasil tindak pidana sehingga hanya mengenai salah satu unsur tindak pidananya. Sedangkan pembuktian terhadap perbuatan yang menyangkut unsur tindak pidana lainnya seperti menempatkan, mentransfer, dan seterusnya tetap dilakukan oleh penuntut umum. Dengan adanya ketentuan pembuktian terbalik tersebut, tugas penyidikan yang diemban oleh Kepolisian dan Kejaksaan serta penyidik lainnya (KPK,BNN, Ditjen Pajak, dan Ditjen Bea Cukai) menjadi lebih diringankan karena beban untuk membuktikan asal usul kekayaan tersangka berada pada tersangka itu sendiri. Dampak positifnya adalah bahwa Kepolisian dan Kejaksaan, bersama dengan PPATK, dalam lebih memfokuskan diri pada hal – hal lain yang masih berkorelasi erat dengan penuntutan tindak pidana pencucian uang, misalnya dengan cara atau metode bagaimana uang tersebut dicuci. Meski demikian menguntungkan, tetapi keberadaan Pasal 77 ini sendiri terkadang masih belum kuat. Hal ini misalnya terjadi dalam persidangan Adrian Herling Woworuntu di PN Jakarta Selatan yang dituduh dengan dakwaan korupsi atau tindak pidana pencucian uang. Kesulitannya adalah bahwa pembuktian terbalik dinilai bertentangan dengan beberapa asas hukum pidana di Indonesia, yaitu asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan non-self incrimination. Asas praduga intinya menyatakan setiap orang yang ditangkap, ditahan dan dituntut karena disangka melakukan tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam sidang pengadilan. Asas non-self incrimination dalam sistem hukum common law dikenal dengan istilah the privilege against self incrimination, yaitu seseorang tidak dapat dituntut secara pidana atas dasar keterangan yang diberikannya atau dokumen yang ditunjukkannya. Sebagai konsekuensinya, tersangka atau terdakwa dapat diam dan tidak menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Asas ini berjalan dengan baik di negara yang menganut sistem hukum common law, akan tetapi di Indonesia yang menerapkan civil law, apabila terdakwa tidak menjawab pertanyaan yang diajukan, maka hal tersebut dianggap menyulitkan jalannya persidangan hingga dapat memperberat hukum nantinya. Sehingga terdapat kecenderungan bahwa terdakwa akan menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, hingga pada akhirnya tidak merugikan dirinya.
24
Untuk melakukan tindakan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana pencucian uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 69 Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2010. Pemeriksaan tindak pidana pencucian uang tidak perlu menunggu putusan pengadilan atas tindak pidana asalnya, yang penting adalah adanya cukup alasan bahwa harta kekayaan yang dicuci tersebut diketahui atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana. Ketentuan ini diterapkan dengan memandang bahwa tindak pidana pencucian uang bersifat independen terhadap tindak pidana lainnya. Apabila ketentuan ini tidak ada, sehingga pembuktian terhadap tindak pidana asal menjadi prasyarat, maka sudah barang tentu proses untuk peradilan tindak pidana pencucian uang menjadi tidak efisien dan memakan waktu yang relatif lama.
IV.4 Pendekatan “Follow The Money” Pada penindakan tindak pidana pencucian uang, pendekatan “follow the money” adalah pendekatan yang perlu untuk dilakukan bersamaan dengan pendekatan “follow the suspect”. Setidaknya ada 5 alasan mengapa pendekatan “follow the money” ini perlu untuk dilakukan, yaitu : a. Jangkauannya lebih jauh, tidak hanya terpaku pada pelaku – pelaku yang tertangkap tangan melakukan tindak pidana tersebut, namun juga orang di balik mereka (mastermind) yang pada umumnya adalah justru orang yang memperoleh manfaat paling besar dari tindak pidana tersebut. Sehingga pendekatan ini dirasakan lebih adil. b. Oleh karena objek penyidikannya adalah “money”, bukan “suspect”, maka relatif lebih rendah tingkat resistansi atau perlawanannya seta lebih mudah dilakukan dengan cara terselubung, misalnya dengan memasuki sistem akuntasi / pembukuan suatu bank yang dicurigai digunakan sebagai tempat pencucian uangnya. Bandingkan dengan pendekatan “follow the suspect” yang harus melakukan penyidikan secara fisik yang mungkin beresiko tinggi terhadap keselamatan penyidiknya sendiri. c. Dengan dilakukan pendekatan ini, maka dapat terdefinisikan dengan jelas berapa kerugian negara yang mungkin ditimbulkan bilamana tindak pidana pencucian uang ini diduga berasal dari tindak pidana korupsi di tubuh organ pemerintahan. Dampaknya, penyitaan di kemudian hari akan lebih mudah karena telah melalui serangkaian proses analisa keuangan forensik. Selain itu, hal ini pun dapat memberikan efek jera bagi calon – calon pelaku lainnya karena memberikan gambaran bahwa harta yang dikumpulkan dari tindak pidana pencucian uang tidak akan dapat dinikmati. 25
d. Apabila pendekatan ini dilanjutkan kemudian dengan penyitaan atau pembekuan aset, maka apabila aset tersebut rupanya merupakan bagian dari aset suatu organisasi kejahatan, misalnya kelompok teroris, sudah barang tentu memiliki dampak negatif bagi organisasi kejahatan dimaksud. Dengan terlemahkannya sumber dana dari suatu organisasi kejahatan, maka secara langsung maupun tidak langsung turut menurunkan potensi ancamannya terhadap masyarakat luas. e. Pendekatan ini telah didukung pula oleh ketentuan khusus dalam dunia perbankan yang membolehkan atau mengizinkan aparat penegak hukum serta instansi lain yang berwenang, misalnya PPATK, untuk melakukan penyidikan dengan mengenyampingkan ketentuan mengenai rahasia bank. Terhadap bank, PPATK, dan aparat penegak hukum dalam rangka proses penyidikan tindak pidana pencucian uang atau tindak pidana lain di bidang perbankan diberikan kelonggaran atau pengecualian mengenai ketentuan harus menjaga rahasia bank. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan dilakukannya pendekatan “follow the money” karena pendekatan “follow the money” ini dilakukan dengan menggunakan metode analisa keuangan, yang mencakup ilmu akuntansi dan ilmu – ilmu lain yang terkait. Oleh karena ilmu akuntansi yang digunakan adalah ilmu akuntasi forensik (forensic accounting) yang selalu berusaha untuk melihat transaksi dan keadaan keuangan tersangka, maka dibutuhkan banyak sekali data dari sistem pembukuan perbankan untuk menjawab beberapa pertanyaan pokok antara lain : a) Apa transaksi yang dilakukan dan apa voucher atau warkat transaksi yang digunakan? b) Siapa yang melakukan transaksi? c) Atas nama siapa transaksi dilakukan? d) Di mana dan kapan transaksi dilakukan? e) Bagaimana terjadinya transaksi? Dalam melacak terjadinya transaksi, pelacakan dapat dilakukan ke belakang untuk mengetahui sumber dana atau ke depan untuk mengetahui siapa lawan transaksi, yang kemungkinan menerima dan menikmati hasil transaksi tersebut. Hasil analisa ini dapat memberikan petunjuk atau indikasi mengenai dugaan adanya suatu tindak pidana telah dilakukan oleh tersangka. Dengan demikian, ketentuan mengenai rahasia bank sangat perlu untuk dikecualikan dalam proses penyidikan ini guna memenuhi semua data yang dibutuhkan dalam menganalisa adanya dugaan tindak pidana, khususnya tindak pidana pencucian uang. 26
Kelonggaran terkait ketentuan mengenai rahasia bank diatur dalam Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, khususnya pada : a) Pasal 28 ; b) Pasal 45 ; dan c) Pasal 72 ayat (2). Dalam menangani tindak pidana pencucian uang, dapat dilakukann penundaan sementara transaksi sebagaimana diatur dalam Pasal 70 Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2010 yang menyatakan bahwa penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang memerintahkan penyedia jasa keuangan untuk melakukan penundaan transaksi terhadap harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana. Selain itu, diatur pula dalam Pasal 26 bahwa penyedia jasa keuangan dapat melakukan penundaan transaksi dalam hal pengguna jasanya : a. melakukan transaksi yang patut diduga menggunakan harta kekayaan yang berasal dari hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1); b. memiliki rekening untuk menampung harta kekayaan yang berasal dari hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1); atau c. diketahui dan/atau patut diduga menggunakan dokumen palsu. Baik untuk kasus yang diatur dalam Pasal 26 maupun Pasal 70, jangka waktu penundaan sementara transaksi adalah paling lama 5 (lima) hari kerja. Sedangkan penghentian sementara transaksi diatur pada Pasal 65 yang menyatakan bahwa PPATK dapat meminta penyedia jasa keuangan untuk menghentikan sementara seluruh atau sebagian transaksi yang diketahui atau dicurigai merupakan hasil tindak pidana. Penghentian sementara ini dilakukan dalam jangka waktu maksimal 5 (lima) hari kerja dan dapat diperpanjang untuk 15 (lima belas) hari kerja berikutnya dalam rangka melengkapi hasil analisis atau pemeriksaan yang akan disampaikan kepada penyidik. Dalam hal tidak ada orang dan/atau pihak ketiga yang mengajukan keberatan dalam waktu 20 (dua puluh) hari sejak tanggal penghentian sementara transaksi, PPATK menyerahkan penanganan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan. Selanjutnya, dalam hal yang diduga sebagai pelaku tindak pidana tidak ditemukan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, penyidik dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri untuk memutuskan harta kekayaan tersebut sebagai aset negara atau dikembalikan kepada yang berhak. Pengadilan dalam hal ini harus memutus dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari. 27
Bahkan dalam Pasal 67 Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2010, harta kekayaan yang diduga hasil tindak pidana pencucian uang dapat disita menjadi aset negara. Dalam sudut pandang penulis, hal ini patut didukung untuk terus diimplementasikan karena membiarkan pelaku kejahatan tetap menguasai hasil kejahatan dan/atau insrumen hasil kejahatan lainnya, termasuk harta kekayaan akan memberinya peluang untuk menikmati hasil kejahatannya tersebut dan pelaku kejahatan tersebut akan “ketagihan” untuk terus melakukan tindak kejahatan bahkan ada kemungkinan memperluasnya. Contoh nyatanya yang jelas terjadi baru – baru ini adalah kaburnya Gayus sebagai seorang tahanan yang masih dengan leluasa bepergian ke luar tahanan dan mampu menikmati akomodasi super mewah di Denpasar, Bali untuk menyaksikan event olahraga bertaraf internasional. Gayus ini padahal telah dinyatakan terbukti bersalah. Bayangkan apa yang terjadi bila hal ini berlaku untuk seorang pelaku yang belum juga terbukti bersalah di pengadilan, pelaku yang perkara pidananya tidak dapat disidangkan karena alasan sakit, meninggal, atau bahkan tanpa alasan yang jelas. Tentunya hal tersebut akan semakin mempersubur tumbuhnya tindak – tindak kejahatan semisal korupsi dan lain – lain karena pelaku pada ketegori – kategori tersebut tidak mendapatkan efek jera dan masih dapat menikmati hasil kejahatannya, atau setidaknya pada keluarganya yang ditinggalkan (bagi pelaku yang meninggal). Dengan adanya Pasal 67 ini, diharapkan dapat mengatasi kendala-kendala yang timbul dalam upaya pengembalian aset dari suatu tindak pidana, sehingga walaupun tersangka/terdakwanya meninggal dunia, melarikan diri, sakit permanen, atau tidak diketahui keberadaannya, penyitaan dan perampasan aset hasil tindak pidana tetap dapat dilakukan secara fair karena melalui pemeriksaan sidang pengadilan. Selain itu, sebagai anggota dari komunitas internasional yang saling membutuhkan, sudah barang tentu apabila ketentuan dalam Pasal 67 ini diberlakukan dengan ajeg, maka akan memudahkan Pemerintah Indonesia dalam meminta bantuan kerjasama pengembalian aset (asset recovery) dari pemerintahan negara lain yang pada umumnya mensyaratkan adanya putusan pengadilan baik pidana maupun perdata. Negara Indonesia pun akan semakin dipandang di dunia internasional karena telah mampu meratifikasi perjanjian internasional serta memenuhi standar internasional di bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme dengan mengaplikasikannya dalam proses pengadilan berlandaskan Pasal 67 ini.
28
View more...
Comments