Peran Perempuan Dalam Politik Di Era Refolusi

April 24, 2018 | Author: Selphi Cristiani | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Peran Perempuan Dalam Politik Di Era Refolusi...

Description

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kehidupan politik yang berlangsung di suatu Negara sangatlah kompleks, mulai dari pembuatan keputusan, berfungsinya lembaga- lembaga  politik, praktik praktik politik dan sebagainya. sebagainya. Di

era

kontemporer

terdapat

kebutuhan

yang

pasti

untuk

mendefenisikan peran perempuan dalam arena sosial dan politik. Tampilnya  perempuan di panggung politik Indonesia sudah terjadi sejak zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara. Perjuangan fisik melawan kolonialisme Belanda juga banyak tampil tokoh-tokoh perempuan. Beberapa diantaranya seperti Dewa Agung Istri Kaniya adalah tokoh perempuan yang memimpin  perang Kusamba, di wilayah Kerajaan Klungkung Bali, yang dijuluki ―wanita besi‖ dari Bali oleh pihak pemerintah pemerin tah Belanda. Cut Nyak Dien dan Cut Meutia dari Aceh, Marta Tehahahu dari Maluku, Emmy Saelan dari Sulawesi Selatan dll. Di Jawa Tengah R.A. Kartini dikenal sebagai tokoh yang memperjuangkan kesetaraan perempuan khususnya dalam bidang  pendidikan. Di Jawa Barat nama Dewi Sartika dikenalsebagai tokoh yang  juga bergerak dalam meningkatkan pendidikan perempuan. Keikutsertaan  perempuan dalam perjuangan

Bangsa Indonesia untuk memperoleh

kemerdekaan, membebaskan bangsa dari penjajahan telah terpatri dalam  berbagai dokumen bangsa bangsa ini. Studi partisipasi politik bila dikaitkan dengan wanita, ini membawa implikasi bahwa wanita, ini membawa wanita wanita sebagai sosok yang yang patut diperhitungkan dan diteliti secara tersendiri atau diperlakukan sebagai actor atau subyek yang eksklusif dalam politik. Meningkatnya kepedulian terhadap  partisipasi politik wanita menunjukan bahwa para ilmuwan dan para  pengambil keputusan kini mulai menyadari bahwa persoalan mengenai  pembangunan tidak terlepas dari peran wanita dalam segala aspek  pembangunan.

1

Pemerintahan di masa Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto mempunyai karakteristik yang berbeda dari pemerintahan sebelum dan sesudah masa kepemimpinannya. Orde Baru yang bersifat otoriter mempunyai kekuasaan penuh atas pemerintahan Indonesia saat itu. Tidak ada yang berani mencoba untuk menentang apa yang menjadi keinginan Soeharto pada saat itu. Tidak ada ruang untuk menyuarakan pendapat rakyat dan semua tunduk terhadap apa yang telah dimandatkan oleh Soeharto. Semua berada dalam kendali keotoriteran Soeharto. Rezim Soeharto berkuasa penuh pada saat itu. Peran orang-orang yang bukan berasal dari kerabat dekat Soeharto tidak terlalu signifikan di era ini. Terlebih lagi kaum wanita. Berbagai macam pandangan tentang wanita di masyarakat tidak jarang menimbulkan pro dan kontra. Kaum wanita masih dianggap tabu untuk melakukan hal-hal yang biasanya dilakukan oleh kaum  pria. Kaum wanita yang dianggap lemah sering dimarginalkan dalam masyarakat. Kodrat kaum wanita hanya dianggap sebagai seorang istri, atau ibu rumah tangga saja. Sehingga apabila wanita ingin berperan dalam hal-hal yang baru terlebih berperan dalam hal politik masih sangat dipertimbangkan. Hal tersebut semakin dipersulit ketika Orde Baru, mengingat semua kontrol  pemerintah berada di bawah kekuasaan rezim otoriter Soeharto. Padahal banyak kemampuan kaum wanita yang tidak dimiliki oleh kaum pria. Ada beberapa indikator bahwa wanita dalam aspek-aspek tertentu secara alamiah unggul terhadap pria. Ketika wanita diberikan kesempatan untuk berperan lebih maka banyak keuntungan-keuntungan yang dapat dimanfaatkan. Wanita yang pada awalnya tidak mendapatkan pendidikan, namun dengan jasa R.A Kartini wanita dapat mengenyam pendidikan yang sama dengan yang diterima oleh kamu pria. Dengan pendidikan yang telah diterima oleh kaum wanita itulah mereka mampu berpikir mengenai hal-hal yang baru, yang mana dapat mengubah keadaan sekitar. Kaum wanita mencoba

untuk

membuat

inisiatif-inisiatif

baru

yang

mana

dapat

mengangkat harkat mereka dan dapat berperan dalam masyarakat terlebih

2

dalam berpolitik yang mana mana pada saat ini politik masih dianggap sebagai hal yang sangat elit yang hanya diperuntukkan bagi kaum pria. Di era Orde Baru yang peluang untuk bersuara sangatlah kecil, kaum wanita mencoba mengajukan berbagai macam tuntutan untuk mendapatkan  perannya dalam berpolitik. Mereka mencoba untuk memperjuangkan hakhaknya.

Mereka

berharap

pemerintah

dapat

mendengarkan

dan

memperhitungkan aspirasi-aspirasi kaum wanita tersebut. Dengan adanya tuntutan-tuntutan tersebut diharapkan kaum wanita mempunyai andil dan dapat

turut

serta

dalam

menduduki

jabatan

yang

strategis

dalam

 pemerintahan. Meskipun perjalanan perjuangan kaum wanita di Orde Baru tidak mendapatkan hasil yang maksimal di era itu namun wanita dapat mengambil jerih payah yang mana keterwakilan wanita dapat diajukan  paling sedikit 30% setiap partai politik peserta pemilu untuk anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota pada era Reformasi

1.2 Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui Peran Perempuan Dalam Politik di Era Reformasi.

1.3 Ruang Lingkup

Ruang lingkup yang akan dibahas dalam makalah ini adalah : ―Membahas tentang Peran Perempuan Dalam Politik di Era Reformasi..‖

3

BAB II LANDASAN TEORI

2.1 Landasan Konseptual Konseptual

Pendekatan sistem politik pada mulanya terbentuk dengan mengacu  pada pendekatan yang terdapat dalam ilmu eksakta. Akan tetapi sistem  politik dalam ilmu politik itu sendiri sudah tampak jelas berbeda dengan ilmu eksakta. Sebagai suatu sistem, sistem politik memiliki ciri-ciri tertentu. Perbedaan pendapat mulai muncul ketika harus menentukan batas antara sistem politik dengan sistem lain yang terdapat dalam lingkungan sistem  politik. Namun demikian, batas akan dapat dilihat apabila kita dapat memahami tindakan politik sebagai sebuah tindakan yang ingin berkaitan dengan pembuatan keputusan yang menyangkut men yangkut publik. Dalam berbagai kehidupan politik untuk menganalisis sebuah sistem  politik akan lebih mudah apabila kita menggunakan pendekatan untuk menjelaskan kehidupan politik yang beragam. David Easton telah mengembangkan suatu kerangka analisis sistem yang disebut pendekatan sistem politik. Kerangka ini menjelaskan cara kerja sistem politik yang mana melibatkan proses input dan output. Selain itu, dalam menganalisa sistem politik kita juga dapat menggunakan tiga konsep dasar Almond yang menjelaskan fenomena politik dalam suatu negara yang mempunyai hubungan interaksi dengan masyarakat yang

melingkupinya,

baik

masyarakat

politik

domestik

maupun

internasional. Adapun salah satu dari ketiga konsep yang digunakan dalam  paper ini adalah sebagai berikut: Fungsi politik

a.

Sosialisasi politik, politik, merupakan fungsi untuk mengembangkan dan memperkuat sikap-sikap politik di kalangan penduduk, atau melatih rakyat untuk menjalankan peranan-peranan politik, administratif, dan yudisial tertentu.

4

 b.

Rekrutmen politik, merupakan fungsi penyeleksian rakyat untuk kegiatan politik dan jabatan pemerintahan melalui penampilan dalam media komunikasi, menjadi anggota organisasi, mencalonkan diri untuk  jabatan tertentu, pendidikan, dan ujian.

c.

Komunikasi politik, merupakan jalan mengalirnya informasi melalui masyarakat dan melalui berbagai struktur yang ada dalam system  politik. Ketiga fungsi tersebut tidak secara langsung terlibat dalam  pembuatan dan pelaksanaan kebijakan instansi negara.

d.

Agregasi kepentingan oleh partai politik. Parati politik mengakomodasi suara, tuntutan, atau keinginan masyarakat.

e.

Artikulasi

kepentingan kepentingan

oleh kelompok kepentingan. Di

dalam dalam

masyarakat terbentuk kelompok-kelompok yang saling berbeda kepentingan. Fungsi politik tersebut berlandasakan budaya politik yang melekat  pada lingkungannya. lingkungannya.

2.2 Perempuan Perempuan dalam Perjuangan Politik

Berbicara soal politik tak pernah habisnya. Politik terus mengalir dan digerakkan. Bukan saja lelaki yang bisa bergerak di bidang politik, tetapi  perempuan juga ada haknya. Perjuangan emansipasi perempuan, telah menuntun perempuan untuk mewujudkan terciptanya persamaan hak antara kaum perempuan dan kaum laki-laki. Emansipasi yang menjadi wujud gerakan perjuangan persamaan hak-hak perempuan dari ketidakadilan dan ketertindasan. Dalam sejarah pergerakan perjuangan emansipasi perempuan, sesungguhnya tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat Eropa saja. Tetapi  juga terjadi di kalangan masyarakat Islam seperti yang terjadi di beberapa  Negara-negara Islam. Perjuangan itu muncul, karena perempuan masih diperlakukan secara tidak adil. Sebagai gambaran, sampai tahun 30-an meskipun sekularisme sudah muncul, tapi perempuan di negara-negara Islam tersebut masih belum mendapatkan hak-hak mereka sepenuhnya. Kondisi

5

demikian yang memaksa perempuan barat terus memperjuangkan hakhaknya. Hak-Hak Politik Kaum Perempuan

Menurut Ja‘far yang dimaksud hak -hak -hak politik adalah hak-hak yang ditetapkan

dan

diakui

undang-undang

atau

konstitusi

berdasarkan

keanggotaan sebagai warga Negara. Pada umumnya, konstitusi mengaitkan antara pemenuhan hak-hak ini dan syarat kewarganegaraan. Dalam hak-hak politik terhimpun antara konsep dan kewajiban sekaligus. Sebab hak-hak politik pada tingkatan tertentu menjadi hak bagi individu karena hak-hak itu menjadi wajib bagi mereka. Hal itu disebabkan hak

mutlak,

sebagaimana

yang

diterima,

membolehkan

seseorang

menggunakannya atau tidak menggunakannya tanpa ikatan apapun. Hak-hak

politik

ini

menyiratkan

partisipasi

individu

dalam

 pembentukan pendapat umum, baik dalam pemilihan wakil-wakil wakil -wakil mereka di majelis-majelis dan berbagai lembaga perwakilan, atau pencalonan diri mereka untuk menjadi anggota majelis atau lembaga-lembaga perwakilan tersebut. Hak-hak politik sesuai yang dikemukakan oleh Dahla, bahwa dalam sebuah Negara yang demokratis, harus menjamin kebebasan dan hak-hak untuk: 1)

Kebebasan untuk membentuk dan ikut aktif dalam suatu organisasi

2)

Kebebasan beraktivitas

3)

Kebebasan memilih dan berpendapat

4)

Serta kebebasan untuk berpatisipasi aktif dalam kegiatan pemerintahan yang diselenggarakan oleh negara.

6

BAB III PEMBAHASAN

3.1 Alur Kerja Sistem Politik

Pada awal tahun 1950-an, seorang sarjana sains politik, David Easton, mengembangkan suatu kerangka kerja yang diharapkan dapat digunakan untuk menjelaskan kehidupan politik dan dapat diterapkan secara universal. Kerangka kerja ini kemudian disebut sebagai pendekatan sistem  politik. Dalam suatu sistem, bagian-bagiannya akan saling berinteraksi, saling membutuhkan dan bergantung satu dengan lain, dan semua bagian tersebut akan saling bekerja sama untuk menunjang terselenggaranya sistem tersebut. Ketika mendapatkan tekanan-tekanan dari lingkungan, sistem tersebut

akan

tetap

dapat

bertahan

apabila

berusaha

memelihara

keseimbangannya. Pendekatan sistem politik ini dirasa sangat mempermudah untuk menganalisis suatu sistem politik di berbagai negara. Kerangka analisis yang dikemukakan oleh David Easton masih terdapat kekurangan-kekurangan yang mana kemudian kerangka analisis tersebut dikembangkan oleh Gabriel Almond. Gabariel Almond berpendapat  bahwa semua sistem mempunyai struktur (institusi atau lembaga), dan unsurunsur dari struktur ini menyelenggarakan beberapa fungsi. Fungsi tersebut  bergantung pada sistem dan juga bergantung pada fungsi-fungsi lainnya. Pandangan

tersebut

sering

disebut

pandangan

structural-functional.

Kemudian, sistem tersebut tidak lepas dari lingkungan, baik lingkungan domestik dan lingkungan internasional yang saling mempengaruhi. Easton memandang sistem politik sebagai tahapan pembuatan keputusan yang memiliki batasan (misal, semua sistem politik mempunyai  batas yang jelas) dan sangat luwes (berubah sesuai kebutuhan).

Model

sistem politik terdiri dari fungsi input, berupa tuntutan dan dukungan; fungsi  pengolahan/pengubahan (conversion); dan fungsi output sebagai hasil dari  proses sistem politik.

Apabila sistem berfungsi seperti tahapan yang

semestinya, sistem politik akan tetap stabil. Sedangkan apabila sistem tidak

7

 berjalan sesuai tahapan, maka kita akan mendapatkan ―sistem politik disfungsional.‖ Pendekataan sistem yang dikembangkan Easton kemudian dijabarkan dalam suatu diagram sistem politik untuk memperjelaskannya.

Gambar Model Arus Sistem Politik

Dari diagram sistem politik dapat dilihat dengan jelas bagaimana sistem politik bekerja. Dalam lingkungannya, setiap bagian berinteaksi satu dengan lain. Pada awalnya tuntutan dan dukungan (demands and Supports) yang mana disebut sebagai inputs masuk ke dalam sistem politik dan melalui  proses pengubahan (conversion procces) keluar dalam bentuk keputusan atau kebijakan. Kemudian keputusan-keputusan dan kebijakan-kebijakan diikuti oleh

tindakan-tindakan

kebijakan/keputusan

atau

implementasi

keputusan/kebijakan akan menghasilkan outputsistem politik. Dalam paper ini yang akan digunakan sebagai contoh adalah kebijakan keterwakilan wanita dalam jabatan-jabatan pemerintahan atau strategis lainnya. Kemudian outputs sistem politik ini akan menghasilkan  perubahan-perubahan

dalam

lingkungan

yang

mana

akan

kembali

mempengaruhi sistem politik. Proses ini dinamakan umpan balik (feedback).

8

Selanjutnya sistem mengitari lingkungannya yang menurut Almond dan Powell, Jr. terdiri dari lingkungan domsetik dan lingkungan internasional. Menurut Almond ada lima fungsi dalam suatu sistem politik, namun ada tiga yang hampir selalu ada. Pertama, fungsi sosialisasi politik yang mana fungsi ini merupakan fungsi untuk mengembangkan dan memperkuat sikap-sikap politik di kalangan penduduk, atau melatih rakyat untuk menjalankan peranan-peranan politik, administratif, dan yudisial tertentu. Kedua, rekrutmen politik, merupakan fungsi penyeleksian rakyat untuk kegiatan politik dan jabatan pemerintahan melalui penampilan dalam media komunikasi, menjadi anggota organisasi, mencalonkan diri untuk jabatan tertentu, pendidikan, dan ujian. Ketiga, komunikasi politik, merupakan jalan mengalirnya informasi melalui masyarakat dan melalui berbagai struktur yang ada dalam system politik. Ketiga fungsi tersebut tidak secara langsung terlibat dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan instansi negara. Dalam sistem politik, budaya politik termasuk salah satu aspek  politik yang dapat diperhitungkan. Gabriel Gabriel Almond dan Bingham Powell, Jr., mendefinisikan budaya politik sebagai ―the set of attitudes, beliefs, and feeling about politics current in a nation at given time‖.   Mereka juga  berpendapat bahwa pola-pola sikap yang berasal dari pengalaman masa lampau ini sangat penting dalam mempengaruhi perilaku politik pada masa depan. Budaya politik mempengaruhi individu dalam peran politik mereka terhadap isi tuntutan politik, dan respon mereka terhadap hukum. Budaya  politik juga menentukan tindakan-tindakan individu i ndividu yang melakukan peran peran politik melalui sistem politik tersebut.

3.2 Capaian Gerakan Perempuan Perempuan dan Adopsi Kebijakan Negara

Capaian dari proses gerakan perempuan di era reformasi ini diantaranya diantaranya adalah penggunaan kata ‗perempuan‘ yang semula kata ini merupakan kata yang dipergunakan sebagai counter terhadap penggunaan kata ‗wanita‘ yang dipakai pemerintah Orde Orde Baru. Di Era reformasi ini, kata ‗perempuan‘ semakin populer dipergunakan masyarakat masya rakat dan menjadi nama-

9

nama lembaga negara seperti ‗Komnas Perempuan‘,

Kementerian

Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KPPA) yang semula bernama ―Menteri Peranan Wanita‖ dan biro-biro biro-biro Pemberdayaan Perempuan di  pelbagai daerah di Indonesia. Selain itu, adanya penggantian istilah pada organisasi perempuan PKK, sebuah organisasi yang dibentuk oleh  pemerintah Orde Baru untuk perempuan akar rumput dari singkatan ―Pembinaan Kesejahteraan Keluarga‖ menjadi ―Pemberdayaan kesejahteraan Keluarga‖. Penggantian istilah ini ini merupakan implementasi dari kebijakan yang menggunakan perspektif pemberdayaan perempuan dimana aspirasiaspirasi perempuan dari bawah dimunculkan ke atas untuk menjadi bagian dari keputusan dan kebijakan pemerintah. Adanya pengakuan hak-hak asasi perempuan sebagai hak-hak asasi manusia melalui Undangundang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang mempunyai aturan khusus untuk melindungi hak-hak  perempuan (dalam Undang-undang disebut hak Wanita) diantaranya adalah: 1) Pengakuan hak perempuan sebagai hak asasi manusia; 2) Jaminan keterwakilan perempuan dalam sistem pemilihan umum, kepartaian,  pemerintahan, baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif;

3) Hak untuk

memperoleh pendidikan; 4) Hak untuk memilih, dipilih dan diangkat serta  perlindungan terhadap hak kesehatan reproduksi.

Undang  – undang undang ini

disahkan di masa presiden BJ Habibie (1998-1999) Diterbitkannya Instruksi Presiden (Inpres) No.9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional. Kebijakan ini terbit di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid (November 1999- Juli 2001) yang bertujuan agar semua departemen pemerintah, termasuk birokrasi di

daerah

harus

 penekanannya  pelaksanaannya,

memberlakukan

pada

program

pengarusutamaan

penguatan

institusi.

gender Meskipun

dengan dalam

Inpres ini belum sepenuhnya berjalan karena masih

lemahnya komitmen dan kesadaran pemerintah di tingkat departemen mengenai pemenuhan hak-hak perempuan. Selain itu, para birokrat pun  belum memahami perspektif gender secara utuh dan adanya kekeliruan

10

 pandangan bahwa ‗gender‘ dipahami dengan jenis kelamin, sehingga kebijakan ini seringkali diserahkan pengelolaannya kepada para birokrat  perempuan. Capaian lainnya adalah disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT). Undang-undang ini bertujuan untuk mencegah segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga, melindungi korban dan menindak pelakunya. Undang-undang ini hasil kerja panjang yang dilakukan oleh sejumlah LSM gerakan perempuan yang bekerja sama dengan  pemerintah dan parlemen. Sebagai tindak lanjut dari pemberlakuan Undangundang tersebut, terdapat beberapa kerja sama antara Menteri Pemberdayaan Perempuan, berbagai instansi pemerintah dan LSM perempuan untuk menyediakan pelayanan khusus bagi para perempuan korban kekerasan, terutama bagi instansi kepolisian yang ditangani oleh para polisi wanita, rumah sakit dan berbagai instansi lainnya. Hanya sampai sejauh ini, masih banyak aparat penegak hukum yang  belum memahami Undang-undang ini dan beragamnya penafsiran atas Undang-undang tersebut. Kurangnya pemahaman aparat penegak hukum ini ditengarai terkait karena kurangnya sosialisasi atas undangundang- undang tersebut yang dilakukan dari tingkat nasional ke tingkat lokal dan unit-unit terkecil dari pemerintahan. Perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga pun masih cukup sulit mendapatkan akses keadilan, terutama di pelosok-pelosok  pedesaan karena lokasi yang cukup jauh dengan lembaga-lembaga penegak hukum, sikap aparat penegakan yang menyalahkan men yalahkan korban dan proses hukum yang

berkepanjangan.

Meskipun

demikian,

isu

kekerasan

terhadap

 perempuan telah menjadi isu yang memperoleh perhatian publik. Banyak  perempuan yang memiliki keberanian untuk mengadu atas kekerasan yang dialaminya kepada lembaga-lembaga layanan yang ada dan juga seringkali kasus-kasusnya menjadi berita utama di media nasional maupun lokal. Undang-undang ini disahkan di masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri (2004) di bulan September 2004.

11

Pada tahun 2007, disahkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang  bertujuan untuk mencegah sedini mungkin perdagangan orang, khususnya  perempuan dan anak dan memberi sanksi yang berat kepada para pelaku (traffiker)

tersebut.

Kebijakan-kebijakan

tersebut

diikuti

dengan

 perkembangan dan munculnya lembaga-lembaga yang secara khusus menangani kekerasan terhadap perempuan dan perlindungan hak keadilan atas korban seperti didirikannya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan ada 253 lembaga baru  – dari dari Aceh hingga Papua —   telah didirikan oleh masyarakat dan negara: 129 Unit Pelayanan bagi Perempuan dan Anak dalam institusi kepolisian, 42 Pusat Pelayanan Terpadu di rumahrumah sakit, 23 Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dann 41 Women Crisis Centre di pelbagai daerah. Meskipun lembaga-lembaga tersebut seringkali mengalami keterbatasan dan bahkan kekurangan dukungan pendanaan, baik dari pemerintah maupun dukungan  pendanaan dari masyarakat sipil. Sementara beragam capaian yang yang diperoleh dari proses proses

gerakan

 perempuan di daerah-daerah, seperti memberikan akses keadilan bagi  perempuan korban, mendorong adanya kebijakan yang memberikan  perlindungan terhadap perempuan korban, adanya kemitraan strategis dengan para penegak hukum, seperti kejaksaan dan kepolisian dan adanya  penyebarluasan pemahaman publik tentang kekerasan terhadap perempuan. Selain itu tumbuhnya kemampuan daya analisis perempuan di pedesaan untuk mengontrol berjalannya pemerintahan, adanya sikap kritis terhadap  pelbagai kebijakan dan adanya keberanian dari para perempuan di pedesaan untuk menyampaikan aspirasi mereka ke lembaga-lembaga penyelenggara negara seperti ke DPRD untuk

menyampaikan aspirasi berdasarkan

kebutuhan praktis mereka sehari-hari. Berbagai keberhasilan dan capaian gerakan perempuan tersebut tak lepas dari beragam faktor pendukungnya, diantaranya adalah memilih isu yang tepat yang dibutuhkan oleh publik luas sehingga m emperoleh dukungan

12

dari masyarakat, adanya aktor gerakan dan konsisten dengan isu yang dipilihnya, tersedianya arena dialog diantara sesama anggota gerakan sehingga memungkinkan terjadinya pembagian peran diantara anggota gerakan, dan pendukung lain yang tak kalah penting bagi keberhasilan gerakan perempuan adalah teknologi yang memudahkan anggota gerakan  berkomunikasi seperti handphone, email, milis, internet, facebook, twitter dan lainnya.

3.3 Analisis Analisi s

Mengenai

Tuntutan-Tuntutan Tuntutan-Tu ntutan

Bekerja Bek erja

Mempengaruhi Mempengar uhi

Kebijakan-kebijakan

Rakyat Indonesia pada era Orde Baru tidak mendapatkan kebebasan  berpendapat maupun menjabat dalam kursi pemerintahan. Organisasiorganisasi

dan

birokrasi-birokrasi

yang

seharusnya

menjadi

wadah

masyarakat untuk menampung pendapatnya dalam kenyataannya tidak  bekerja sesuai dengan perannya. Hal ini menyebabkan ketidakpuasan tersendiri terhadap pemerintah. Input yang berupa tuntutan-tuntutan adanya keterbukaan pemerintah kepada rakyat dan pemberian peran khususnya terhadap kaum wanita serta dukungan-dukungan seperti dengan adanya emansipasi wanita, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women) yang berasal dari pengaruh politik lingkup internasional menjadi hal yang dipertimbankan dalam sistem politik. Dalam menganalisis sistem politik dapat dinyatakan bahwa ketika kebutuhan publik untuk memenuhi kesejahteraannya tidak tercapai, warga negara dapat mengajukan tuntutan. Dari sinilah rakyat Indonesia yang tidak  puas terhadap pemerintahan Soeharto mengajukan tuntutan-tuntutan agar apa yang mereka inginkan dapat terakomodir dengan baik. Kemudian tuntutan tersebut diproses dalam sistem politik yang akan menghasilkan kebijakankebijakan. Akan tetapi, Orde Baru yang masih memegang kuat pemerintahan yang bersifat tertutup membuat kebijakan yang telah dibuat hanya sekedar untuk menguntungkan pihak Soeharto untuk melanggengkan kekuasaannya.

13

Buruknya pemerintahan pada masa Orde Baru membuat wanita yang sering

terdiskriminasi

kemudian

membentuk

menciptakan

perubahan.

organisasi-organisasi

Perempuan-perempuan

yang

diharapkan

dapat

mensaranai hak-hak mereka.Karena mereka juga menginginkan pergantian  bentuk pemerintahan yang lebih demokratis yang mana salah satunya dengan melindungi hak-hak manusia. Meskipun demikian, hasilnya kurang maksimal karena masih adanya kontrol dari rezim Soeharto. Keadaan itulah yang mendorong organisasi-organisasi perempuan melancarkan gerakan  peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen melalui kebijakan afirmasi (affirmative action) dalam bentuk kuota 30% perempuan dalam pemilu demokratis. Sebab, berdasarkan pengalaman banyak negara penerapan kebijakan afirmasi dalam sistem pemilu, terbukti berhasil signifikan meningkatkan jumlah perempuan di parlemen.

3.4 Peran Wanita dari Orde Baru hingga Reformasi

Organisasi-organisasi wanita sudah mulai muncul pada era Orde Baru. Organisasi wanita dalam hal ini mempunyai sikap dan peran politik menolak kooperasi Orde Baru. Selain itu organisasi wanita juga membela dan membawa suara wanita yang terepresi Orde Baru. Organisasi-organisasi wanita yang bermunculan tersebut mengangkat derajat kaum wanita yang sering

termarginalkan.

Keberadaan

kaum

wanita

menjadi

lebih

diperhitungkan. Pada tahun 1954 lahir gerakan perempuan yang monumental dalam sejarah Indonesia, yaitu Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), sebagai  perubahan nama (Garwis) yang didirikan tahun 1950. Muncul juga organisasi sebagai penerus perkumpulan perempuan di tingkat RT maupun RW, yaitu Jaringan Perempuan Usaha Kecil (Jarpuk). Organisasi tersebut merupakan hasil dorongan dari Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), Kelompok Wanita Pengembangan Sumber Daya (KWPS). Kemudian LSM mewadahi organisasi-organisasi organisasi-organisasi perempuan tersebut dalam ―ASPPUK‖.

14

Walaupun pada awalnya organisasi-organisasi perempuan tersebut difasilitasi LSM karena peran perempuan yang telah termarginalkan oleh negara,

namun

organisasi-organisasi

tersebut

dikoopetasikan

untuk

mendukung Golkar di masa Orde Baru, dan dibuat sistem ―ibuisme‖ oleh negara dalam memperlakukan perempuan Indonesia, dan perempuan pada masa Orde Baru juga cenderung dipilih untuk menempati posisi penting dalam politik Indonesia beradasarkan struktur ikatan sosial atau kedekatan dengan pemimpin Golkar sehingga cenderung mengakibatkan kurang terbukanya ruang partisipasi tersebut secara luas bagi perempuan. Dari situlah terlihat peran wanita yang didiskriminasikan. Sehingga kemudian  bermunculan lagi oraganisasi-organisasi perempuan seperti PKK, Panca Dharma Wanita, dan lain sebagainya. Akan tetapi, Dharma Wanita yang merupakan organisasi wanita tujuan utamanya bukanlah mempromosikan hak-hak wanita atau mengadvokasi isu-isu feminis. Dharma Wanita masih digunakan untuk mengimplementasikan program-program PKK yang mana agennya masih didominasi oleh pegawai pria. Hal inilah yang menjadi kendala mengapa peran wanita masih sering termarginalkan. Setelah Indonesia kembali menjadi anggota Perserikatan BangsaBangsa (PBB), gerakan wanita tumbuh semakin pesat, seperti Komisi nasional Kedudukan Wanita Indonesia (KNKWI) (1968) yang bertugas menunjang pergerakan wanita melalui koleksi data dan melakukan riset tentang keadaaan dan kedudukan wanita, serta memberikan rekomendasi kepada pemerintah maupun oraganisasi yang layak menerimanya. Pada 30 Januari 1967 Mendagri mengangkat kembali satu-satunya perempuan dari 31 kursi Wa Ode Siti Halidjah (Golongan Karya Wanita) untuk periode 19671971. Di periode 1971 –  1971 – 1977, 1977, hasil Pemilu 1971 diresmikan 40 anggota Parlemen Sultra. 15% (6 kursi) berhasil diisi kelompok perempuan yang semuanya berasal dari Golongan Karya. Hal ini terlihat jelas bahwa keterwakilan perempuan dalam politik Indonesia masih bersifat pada satu arah tidak terbuka secara luas, karena Golkar pada zaman ini merupakan dominasi dalam parlemen Indonesia.

15

Walaupun begitu, partisipasi perempuan pada zaman orde baru sudah cukup diperhatikan walaupun memang mengalami ketidaksetaraan dengan politisi laki-laki dalam parlemen Indonesia, selain itu juga perempuan cenderung  partisipasinya tidak terbuka secara luas, melainkan hanya dalam internal Golkar sendiri dan cenderung sedikit keterwakilannya dibandingkan dengan laki-laki. Di era reformasi, Partai Golkar semakin memperhatikan kepentingan  perempuan, hal tersebut dapat dilihat dari meningkatnya jumlah kader  perempuan dalam Partai Golkar dari pemilu 1999 memenuhi 13,3 persen menjadi 14,28 persen tahun 2004, dan pada pemilu 2009 Partai Golkar memenuhi kuata 30 persen. Dari 640 calon legislator, terdapat 164  perempuan atau 30, 27 persen. Partai Golkar tidak mempersulit caleg  perempuan jika caleg tersebut memang berkompeten dan dapat bersaing mendapatkan suara. Seperti telah disebutkan dalam surat edaran Partai Golkar Nomor 8/2008 sebagai hasil keputusan Rapimnas IV tahun 2008. Menjelang Pemilu Legisaltif 2009, pada saat DPR dan pemerintah menyusun undang-undang politik baru, organisasi-organisasi perempuan kembali berjuang dengan target agar formulasi kebijakan afirmasi kuota 30%  perempuan di undang-undang lebih kongkrit dan lebih menguntungkan  perempuan. Meskipun pemilu 2009 Partai Golkar mengalami penurunan  pendapatan suara dari 127 kursi menjadi 97 kursi, caleg perempuan yang terpilih tidak mengalami penurunan drastis, bahkan dapat dikatakan stagnan dari 18 menjadi 17. Jika dilihat dari kursi yang didapat Partai Golkar, keterwakilan perempuan dalam parlemen meningkat dari 14,17 persen menjadi 17,5 persen. Terpilihnya caleg perempuan kebanyakan yang menempati urutan atas dalam nomor urut daftar calon pemilu. Hal ini tentu merupakan kebijakan partai untuk menempatkan caleg perempuan dalam urutan atas, kebijakan ini memperlihatkan dukungan partai terhadap terpilihnya caleg perempuan.

16

3.5 Kendala- Kendala Partisipasi Politik Perempuan

Untuk dapat terlibat baik secara mental maupun emosi dalam segala aspek kegiatan politik tidaklah mudah melakukannya karena beberapa faktor. Kondisi wanita Indonesia yang dicapai sekarang ini terbentuk oleh adanya kendala yang menghambat partisipasi politiknya. Kendala pokok yang seringkali dipergunakan sebagai alasan lemahnya partisipasi politik wanita, dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu: hambatan internal dan eksternal. Hambatan internal, pertama: kurangnya kesadaran sebagian besar  perempuan

untuk berkiprah dan berpartisipasi dalam kegiatan politik.

Kurangnya kesadaran ini dikarenakan sosio-kultural mereka yang belum memungkinkan bisa aktif menyuarakan, dan menyampaikan keinginankeinginan di bidang politik. Kedua: aktivitas politik dianggap tidak layak untuk perempuan, karena sifat- sifatnya yang berjauhan dari citra untuk wanita. Dunia politik pol itik dianggap ―keras‖, ―kotor‖, ―main kayu‖, dan penuh muslihat sehingga dianggap tidak cocok untuk citra wanita. Pandangan ini membuat dunia politik itu bias laki- laki, bahkan dianggap tabu untuk wanita. Konsekuensi lebih lanjut wanita menjadi enggan memasukinya. Wanita menjadi pasif dalam berpolitik. Ketiga: lingkungan social budaya yang kurang mendukung pengembangan pengembangan potensi wanita, antara lain la in wawasan orang tua, adat, penafsiran terhadap ajaran agama yang tidak tepat, tingkat  pendapatan keluarga, dan system pendidikan yang diskriminatif. Masih lekatnya budaya tradisional dan kecilnya akses wanita pada penguasaan factor social ekonomi, menyebabkan terbentuknya image dalam diri wanita  bahwa memang sewajarnya mereka berada di belakang pria. Dominasi budaya patriarkhi seolah memberi garisan tegas bahwa antara perempuan dan politik, merupakan dua dunia yang berbeda dan tidak dapat bersinergi satu dengan yang lainnya. Dunianya perempuan adalah di rumah yang meliputi wilayah domestik, mengurus anak  –  anak   anak dengan segala tetek bengeknya dan kalaupun berkarir di luar rumah maka  pekerjaan/karir bukanlah hal yang utama. Perempuan diharuskan siap memainkan peran ganda, sebagai ibu dan perempuan bekerja. Sedangkan

17

 politik adalah tempat yang cocok bagi laki  –  laki  laki karena penuh dengan intrik  –   intrik berbahaya, terlihat macho, penuh penuh manuver manuver serta identik dengan uang dan kekuasaan. Dalam

pandangan

Walby,

meskipun

sudah

terdapat

banyak

 pencapaian kaum wanita terhadap hak-hak sipil mereka misalnya hak mendapatkan pekerjaan, kemudahan bercerai, tunjangan bagi kaum wanita non-pekerja,sensor pornografi, kemudahan mendapatkan alat kontrasepsi dan aborsi, serta hokum yang memudahkan bagi kaum wanita untuk meninggalkan kaum pria yang melakukan kekerasan-tetap saja bersifat  patriarchal,sebagaimana halnya dengan kapitalis dan rasis. Kebijakankebijakan negara belum lama diarahkan diar ahkan pada upaya untuk meyakinkan kaum wanita akan ranah privat dari rumah,dengan sedikit upaya yang nyata untuk memajukan posisi kaum wanita diranah public.Kaum wanita masih sedikit mendapatkan mendapatkan upah dibanding kaum pria dan peluang yang sama dalam legislasi sering tidak diperkuatkan.Kaum wanita dalam keluarga orang tua tunggal memperoleh sedikit manfaat dari negara dan kaum wanita masih disakiti dengan ketersediaan pornografi yang semakin besar dimasyarakat. Kendala eksternal menurut Afan Gaffar (1991:25) antara lain dari  birokrasi yang paternalistic, pola pembangunan ekonomi dan politik yang kurang seimbang dan kurang berfungsinya partai politik.

3.6 Upaya Peningkatan Partisipasi Politik Perempuan Perempuan

Untuk mendorong peningkatan dalam partisipasi politik perempuan,  perlu pemahaman dan analisis secara menyeluruh sehingga dihasilkan suatu rekomendasi kebijaksanaan yang tepat. Pertama, harus dimulai pendidikan dari keluarga, bahwa berkiprah serta  berpartisipasi di dunia pillitik adalah salah satu bagian yang penting untuk membangun masyarakat, bangsa dan Negara. Kedua, anak perempuan yang mengikuti pendidikan sejak disekolah menengah sampai Universitas, sebaiknya didorong untuk aktif mengikuti

18

organisasi seperti OSIS, BEM, dan organisasi ekstra universiter seperti HMI, GMNI, organisasi pemuda seperti KNPI, dan organisasi kemasyarakatan seperti Muhammadiyah, NU, dan lain-lain.Maka berarti secara sadar kaum  perempuan telah mempersiapkan diri menjadi pemimpin. Sekarang ini,  perempuan yang banyak berkiprah di dunia politik adalah mereka yang sejak se jak menjadi pelajar dan mahasiswa telah aktif diberbagai organisasi pelajar, dan organisasi kemahasiswaan. Ketiga, melakukan advokasi terhadap kaum perempuan supaya terpanggil untuk berpartisipasi dalam kancah politik. Keempat, mempersiapkan anak-anak perempuan sejak dini untuk terpanggil dan tertantang memasuki dunia politik. Dengan cara ini, maka dimasa depan akan semakin banyak perempuan yang berkiprah dan  berpartisipasi dalam kancah politik. Kelima, memberi pencerahan, penyadaran dan dorongan kepada kaum

perempuan

supaya

dalam

berbagai

kegiatan

politik

seperti

 berpartisipasi dalam kampanye, pemilih, menjadi calon legislative, calon Gubernur/Wakil Gubernur, Walikota/Walkil Walikota,Bupati/Wakil Bupati, dan lain sebagainya. Beberapa peluang bagi perempuan untuk dapat meningkatkan kualitas  perannya dibidang politik politik antara lain: 1.

Pasal 17 dan 21 UUD 1945;

2.

GBHN yang sejak tahun 1978;

3.

Konferensi-konferensi wanita se-dunia. Peluang-peluang

yang

mendukung

tersebut,Kaum

perempuan

sebenarnnya mempunyai peluang dan kesempatan yang besar untuk bisa  berkiprah dan berpartisipasi dalam dunia politik. Meskipun memang pada akhirnya akan dikembalikan kepada wanita untuk memanfaatkannya atau tidak. Di era Orde Reformasi, peluang perempuan semakin terbuka untuk menjadi pemain, bukan lagi sekedar partisipan pasif. Setidaknya, ada empat factor yang memberikan harapan terbukanya peluang kepada kaum  perempuan untuk meningkatkan meningkatkan perannya di dunia politik.

19

Pertama, semakin banyak perempuan yang berpendidikan dan memiliki kesadaran pentingnya perempuan terjun ke dunia politik untuk  berpartisipasi membangun Indonesia yang maju dan sejahtera. Kedua, tren politik nasional di era Orde Reformasi yang member alokasi 30 persen kepada kaum perempuan untuk menjadi calon anggota legislative. Ketiga, mengingat besarnya potensi yang ada pada wanita Indonesia yang secara kuantitas lebih besar daripada pria,maka sewajarnyalah bila  peluang dan potensi tersebut tidak disia-siakan. Wanita dalam pengembangan kiprahnya sebagai warga negara, mempunyai harapan sebagai pemilik masa depan bangsa, yang secara fungsional harus mampu menempatkan diri sebagai pemimpin tenaga  pembaharu,dinamisator dan katalisator untuk pembangunan nasional. Oleh karena itu wanita dalam menghadapi tantangan abad XXI, harus mampu membekali dirinya dengan ilmu, teknologi dan berbagai macam kemampuan dan keterampilan di berbagai bidang kehidupan seperti politik, ekonomi, social dan budaya bangsanya. Upaya untuk mengentaskan ketidakberdayaan wanita yang berkaitan dengan

kualitas

perannya

dibidang

politik,

yang

pertama

adalah

menghilangkan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita di pentas politik untuk mengaktualisasikan kemampuannya. Hal tersebut tidak hanya selaras dengan tujuan pembangunan nasional, tetapi juga karena jumlah wanita Indonesia adalah separo jumlah penduduk Indonesia. Oleh karena itu sangatlah wajar bila ada wakil yang dapat menyuarakan aspirasi politik mereka. Peran wanita Indonesia di pentas politik sudah waktunya mendapat  porsi yang proporsional. Seyogyanya tidak ada lagi ucapan yang meragukan kemampuannya untuk tampil di pentas politik, oleh karena itu harus ada gerakan yang mendorong wujudnya kebijakan pemerintah yang memiliki kepekaan gender.

20

Untuk mencapai keberhasilan gerakan tersebut, memerlukan akses wanita terhadap pembuatan keputusan nasional. Hal tersebut sesuai  pernyataan Senator Leticia Ramos Shahani, ketua delegasi Philipina pada konferensi

ke-empat ke-empat

PBB

mengenai

wanita

bahwa‖akses

terhadap

 pembuatan keputusan sangatlah penting bagi siapapun yang menghendaki reformasi reformasi untuk memasukan dunia politik bagi wanita.‖ ( Angkatan Bersenjata, 14 September 1995). Mengingat masih kecilnya akses tersebut dan masih banyaknya  prasangka di dunia yang menghalangi pemilihan wanita sebagai anggota  parlemen, maka menurut Chris Fletchher anggota parlemen Selandia Baru mangatakan bahwa Panggung Aksi Konferensi Ke- empat PBB mengenai wanita bulan September 1995, harus mendesak pemerintah agar bersedia menyisihkan sedikitnya 50% kursi di parlemen bagi wanita pada tahun 2005. Dari sisi keberanian wanita, perlu adanya penyadaran terhadap wanita  bahwa pola structural hubungan laki- laki dan perempuan yang terbangun selama ini harus dirombak. Kaum wanita harus sadar akan hak asasinya, sehingga pola pemikiran dominasi laki- laki yang selama ini mengakar dalam kehidupannya perlu dirubah, dan diwujudkan dalam kemitrasejajaran. Upaya menuju ke arah cita- cita kesetaraan ini memang tidak mudah,  bahkan rumit. Upaya tersebut memerlukan keterlibatan semua pihak yakni kaum wanita sendiri, kaum laki- laki, dan unsur- unsur kebijakan nasional yang berwawasan gender. Proses penyadaran harus dilakukan secara simultan di kalangan baik laki- laki maupun perempuan.

21

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Dari pemaparan paper di atas terdapat beberapa hal penting yang harus dicatatat.

Pertama, alur politik yang seharusnya terjadi apabila apabila

meliputi input, proses pengubahan dalam sistem politik, output, dan umpan  balik (feedback)

agar terjadinya keserasian

antara pemerintah

dan

masyarakat. Kedua, sistem politik Indonesia dalam Orde Baru yang dipimpin oleh pemerintahan rezim Soeharto bersifat tertutup dan otoriter, yang menyebabkan kepentingan-kepentingan rakyat tidak dapat terakomodir dengan baik. Kedua hal penting tersebut yang kemudian dapat menjelaskan rumusan masalah  paper ini mengenai ―bagaimana tuntutan-tuntutan tuntutan-tuntutan agar kaum wanita mendapatkan peran yang sama dalam berpolitik tersebut  bekerja mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah untuk mengakomodir tuntutan tersebut?‖. Adanya tuntutan-tuntutan tuntutan -tuntutan dan dukungandukungan yang masuk akan diproses untuk membuat kebijakan. Banyaknya  pengaruh seperti adanya emansipasi wanita dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women) membuat tuntutan agar wanita diberikan kesempatan untuk berperan dalam kancah politik. Dalam hal ini wanita dengan usahanya seperti membentuk suatu organisasi dapat mengubah

kebijakan-kebijakan

pemerintah

hingga

akhirnya

dapat

menduduki jabatan penting kontemporer ini.

4.2 Saran

Dalam upaya peningkatan Kaum perempuan harus mempersiapkan diri dengan terus- menerus meningkatkan kualitas individu dalam ilmu  pengetahuan, kemampuan berorganisasi dan memimpin, sehingga memberi keyakinan kepada orang banyak bahwa yang bersangkutan memiliki

22

kapasitas (kecakapan), dan kapabilitas (kemampuan) untuk menjadi  pemimpin.

23

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF