Peran PBB Dalam Genosida Rwanda 1994
July 27, 2017 | Author: Bayu Kurniawan | Category: N/A
Short Description
Download Peran PBB Dalam Genosida Rwanda 1994...
Description
BAB I Pendahuluan
I.1 Latar Belakang Masalah Tahun 1994 merupakan sejarah hitam bagi Rwanda. Pembantaian besarbesaran dilakukan oleh suku mayoritas Hutu terhadap suku minoritas Tutsi dan Hutu moderat. Secara umum pembantaian etnis tersebut disebabkan oleh keinginan etnis Hutu radikal untuk menguasai pemerintahan di Rwanda yang sebelum kemerdekaan banyak dikuasai etnis minoritas Tutsi sehingga terjadi ketimpangan sosial pada masa sebelum kemerdekaan. Pada masa penjajahan, Belgia mengklasifikasikan masyarakat Rwanda menjadi tiga etnis ( Etnis Tutsi, etnis Hutu, dan etnis Tya ) dengan cara melakukan observasi fisik dan memberikan kartu identitas etnis dimana etnis Tutsi merupakan etnis yang mendapatkan posisi istimewa dalam aspek vital dibanding etnis lain. Pada tahun 1962 Rwanda mendeklarasikan kemerdekaan. Sejak awal kemerdekaan sampai tahun 1994, Rwanda diwarnai dengan pemberontakan dan perang antar etnis Tutsi dan Hutu yang saling menginginkan kekuasaan dalam pemerintahan. Pada tahun 1993, Presiden Habyarimana dari etnis Hutu menyetujui Piagam Arusha yang berisi perjanjian perdamaian dan pembagian kekuasaan dalam pemerintahan antara etnis Hutu dan Tutsi. Puncak pembersihan etnis terjadi pada tahun 1994 dalam kurun waktu seratus hari yang dipicu oleh penembakkan terhadap Presiden Habyarimana. Peristiwa tersebut memicu etnis Hutu dalam membunuh etnis Tutsi dan pihak manapun yang mendukung Piagam Arusha.
1
Perserikatan Bangsa-Bangsa ( PBB ) sebagai organisasi yang memiliki misi dalam menjaga perdamaian dunia mengirimkan United Nations Assistance Mission for Rwanda ( UNAMIR ) yang bertugas untuk membantu implementasi perjanjian Piagam Arusha sebelum genosida terjadi.
I.2 Rumusan masalah Sebuah
penelitian
membutuhkan
suatu
perumusan
masalah
guna
memfokuskan penelitian yang akan dilakukan dan hal apa saja yang nantinya akan dijelaskan. Penelitian ini memiliki rumusan masalah “Bagaimana bentuk kebijakan yang diambil Amerika Serikat pada masa pemerintahan George W. Bush di dalam menghadapi konflik Korea dimana Amerika Serikat membantu Korea Selatan? Dan juga Mengapa Amerika Serikat mengambil kebijakan tersebut?” I.3 Peringkat Analisis I.3.1 Unit Analisis Unit analisis di dalam penelitian ini adalah mengenai kebijakan Amerika Serikat yang mendukung Korea Selatan di dalam adanya konflik di Semenanjung Korea pada masa pemerintahan George W. Bush (2001 – 2008). I.3.2 Unit Eksplanasi Unit eksplanasi dari penelitian ini adalah mengenai penyebab daripada dikeluarkannya kebijakan Amerika Serikat di dalam mendukung Korea Selatan terhadap adanya konflik Korea pada masa pemerintahan George W. Bush. Faktor ini terdiri dari dua sisi, yaitu sisi internal dan sisi eksternal. Dari sisi internal, adanya kepentingan Amerika Serikat untuk tetap melanggengkan hegemoninya, baik di dalam bidang ekonomi, politik, maupun bidang yang lain. Sementara dari sisi 2
eksternal, adanya sisi kompleksitas hubungan antar negara yang terjadi di kawasan Asia Timur membuat kebijakan Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan militer tanpa adanya tindakan agresif terhadap konflik di Semenanjung Korea yang dipicu oleh pengembangan nuklir Korea Utara.
I.3.3 Level of Analysis Level of Analysis digunakan untuk menentukan dimana analisis perlu dilakukan terhadap suatu penelitian. Dari segi unit ekplanasi, Level of Analysis yang digunakan adalah pada tingkat negara, yaitu kebijakan yang dikeluarkan Amerika Serikat merupakan hasil dari perumusan dari sisi domestic negara Amerika Serikat sendiri. Sementara dari unit eksplanasi yang kedua, lebih melihat perlunya tingkat analisis di level sistem regional. Kondisi perpolitikan di Asia Timur yang memiliki kompleksitas tersendiri layak untuk dianalisis karena sangat berpengaruh terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat di dalam adanya konflik di Semenanjung Korea. Tingkat analisa di atas sangat sesuai terutama bila merujuk pada objek penelitian dan juga merujuk kepada tulisan David Singer yang menekankan tingkat analisa negara dan sistem internasional sebagai yang paling efektif untuk mendeskripsikan dan menjelaskan fenomena internasional1. I.4 Hipotesis Dari penelitian yang akan dilakukan, diawali dari hipotesis bahwa Amerika Serikat pada masa pemerintahan George W. Bush mengeluarkan kebijakan 1
J. David Singer, “The Level of Analysis Problem in International Relations”, World Politics, Vol. 14, No 1, 1961
3
mendukung Korea Selatan di dalam adanya konflik di Semenanjung Korea adalah untuk membendung perluasan ideology komunis maupun sosialisme yang dapat berakibat pada stabilitas hegemoni Amerika Serikat di sector ekonomi dan politik. I.5 Teori I.5.a Teori Stabilitas Hegemoni Teori stabilitas hegemoni merupakan sebuah teori yang sebenarnya ditujukan untuk mendeskripsikan politik internasional dan dikaitkan dengan ekonomi. Keterbukaan dan dan stabilitas perekonomian dunia tergantung dari adanya suatu kekuatan hegemon (G&I, 111). Dalam hal ini, terdapat dua varian daripada Teori Stabilitas Hegemoni. Yang pertama adalah keinginan hegemon dibutuhkan untuk mendukung sistem moneter internasional (Kindleberger, 1973). Yang kedua merujuk kepada tulisan Krasner (1976) yang menyatakan bahwa hegemoni akan membawa kepada keterbukaan eknonomi. Kemudian Robert Gilpin membawa teori stabilitas hegemoni ini ke ranah analisis terhadap perpolitikan internasional.
Inti daripada Teori Stabilitas Hegemoni adalah keinginan suatu
negara untuk menstabilkan hegemoni yang sudah negara tersebut capai. Mengapa Teori Stabilitas Hegemoni diambil untuk menganalisis penelitian ini? Hal ini dikarenakan adanya hubungan antara kekuatan ekonomi dengan power daripada suatu negara. Di dalam era globalisasi ini, kekuatan ekonomi menjadi prioritas utama daripada negara – negara di dunia. Besarnya kekuatan ekonomi akan berimbas secara langsung terhadap power yang dimiliki dimana power yang dimiliki akan semakin besar pula. Teori Stabilitas Hegemoni ini juga akan menjelaskan bagaimana suatu negara memperkuat hegemoninya (liberal) mengingat adanya pandangan dari konsep Balance of Power yang dtakutkan terjadi
4
apabila pengaruh sosialisme meluas ke negara – negara lain apabila Korea Selatan ditaklukkan oleh Korea Utara. Hubungan antara sisi ekonomi dan sisi politik sangatlah erat. Bisa dibilang, ekonomi merupakan salah satu faktor dari tujuan politik. Kekuatan di sisi ekonomi juga akan memberikan kekuatan di dalam sektor politik. Hal ini terutama terjadi di era globalisasi sekarang ini, dimana sektor ekonomi merupakan tujuan utama yang ingin dicapai setiap negara. I.6 Konseptualisasi Amerika Serikat saat ini dipandang sebagai negara hegemon semenjak awal abad XXI. Hal ini dikarenakan, berakhirnya Perang Dingin telah membuat persaingan antara negara dengan big power tereduksi dengan hancurnya Uni Sovyet dengan sosialisme terhadap persaingannya dengan Amerika Serikat dengan sistem liberalis. Untuk menjadi sebuah negara yang hegemon, diperlukan setidaknya 3 atribut. Yang pertama adalah kapabilitas untuk menekan adanya peraturan di dalam sebuah sistem, yang kedua adalah adanya keinginan untuk menjadi hegemon, yang ketiga adalah adanya komitmen terhadap sebuah sistem yang dilihat dari adanya hubungan yang saling menguntungkan bagi sebagian besar negara yang ada di dalam sistem tersebut. Amerika Serikat telah memenuhi unsur – unsur diatas sehingga layak untuk disebut sebagai suatu negara yang hegemon. Hegemoni Amerika Serikat tampak jelas terlihat di dalam perpolitikan dan perekonomian internasional. Amerika Serikat berkuasa di dalam sistem internasional yang ada dengan paham liberalis dan kapitalis.
5
Adanya hegemoni ini semakin tampak ketika terjadi crash yang terjadi dengan sistem internasional yang telah dibuat oleh negara hegemon, yaitu Amerika Serikat. Ketika Korea Utara mengembangkan nuklirnya dan telah menyalahi aturan sistem internasional yang ada, maka Amerika Sereikat sebagai negara hegemon akan melakukan tindakan untuk menekan Korea Utara. Tindakan inilah yang menjadi variable di dalam penelitian ini. Tindakan ini adalah berupa kebijakan militer yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat, yaitu dengan melakukan ancaman psikis dengan merencanakan penyerangan terhadap Variabel kedua adalah adanya suatu kekuatan untuk menekan Korea Utara melalui organisasi internasional. Dalam hal ini, penekanan dilakukan oleh IAEA, yang sejatinya merupakan lembaga pengawasan terhadap pengembangan nuklir di dunia. PBB juga melakukan penekanan terhadap keberadaan nuklir Korea Utara. Kedua institusi internasional di atas merupakan institusi yang memang bisa dibilang sangat dipengaruhi oleh Amerika Serikat sebagai negara hegemon.
6
BAB II Pembahasan
II.1 Sejarah Terjadinya Perang Korea (1950 - 1953) dan Konflik Korea Konflik Korea bermula dari berakhirnya Perang Dunia II. Jepang, yang saat itu menyerah kepada Sekutu, harus merelakan tanah jajahannya untuk merdeka, termasuk kekuasaannya di Semenanjung Korea. Amerika Serikat dan Uni Soviet yang saat itu menjadi kekuatan besar pun bersepakat untuk membagi wilayah Korea menjadi dua bagian, yaitu Korea Utara dan Korea Selatan. Hubungan baik antara Amerika Serikat sendiri dengan Uni Soviet memang cukup baik pada saat itu. Hal ini dikarenakan pada saat itu, dua negara tersebut memiliki musuh bersama, yaitu Nazi. Namun, seiring ancaman Nazi yang sudah tidak ada, hubungan antar kedua negara menjadi panas. Hal ini ditandai dengan tidak tercapainya komisi bersama antara Amerika Serikat dan Uni Soviet di dalam penentuan pemerintahan di Korea pada Maret 19462. Ketidaksepakatan ini berlanjut hingga tahun 1947. Hingga akhirnya siding Majelis Umum PBB menghasilkan resolusi bagi keduanya untuk melakukan pemilihan di bawah pengawasan PBB. Namun, Uni Soviet menolak kekuasaan PBB masuk ke Korea Utara, hingga akhirnya Korea Selatan melakukannya sendiri. Korea Selatan pun resmi merdeka dan diproklamasikan pada 15 Agustus 1948 dengan Presiden Syngman Rhee. Pada bulan berikutnya, giliran Korea Utara yang memproklamasikan kemerdekaannya di bawah pimpinan Kim Il Sung.
2
Donald M. Goldstein dan Harry J. Maihafer, op.cit
7
Semenjak merdeka, keduanya saling beradu popularitas dan saling mencanangkan gerakan unifikasi daripada kedua negara. Hal inilah yang menjadikan dasar dari konflik di Semenanjung Korea. Pemicu memanasnya semenanjung Korea adalah ketika Korea Utara memutuskan untuk membentuk aliansi dengan China dan Uni Soviet. Amerika pun tidak tinggal diam melihat hal ini. Hingga akhirnya meletuslah perang Korea, dimana aktor utama dari perang ini adalah Stalin, Mao, dan Truman, sementara Rhee dan Il Jung hanyalah pemain tambahan. Perang Korea ini berlangsung selama tiga tahun. Perang ini tidak menghasilkan apa – apa, tidak ada pemenang maupun pihak yang kalah. Di Amerika Serikat sendiri, perang Korea sendiri dianggap sebagai Forgotten War (Perang Yang Terlupakan)3. Perang yang merenggut jutaan jiwa dari berbagai pihak yang ikut terlibat di dalamnya. Meskipun pada akhirnya perang ini berakhir ketika Korea Utara dan PBB menyelanggarakan pertemuan guna penandatanganan kesepakatan gencatan senjata pada 27 Juli 1953. Dalam hal ini, Korea Selatan sebenarnya tetap tidak ingin kedua negara tepisah dan tetap bersikukuh untuk melakukan reunifikasi. Hal ini ditunjukkannya di dalam keengganan mereka untuk berunding di dalam kesepakatan gencatan senjata. Perang memang telah berakhir, namun dari situlah konflik berkelanjutan dimulai. Konflik yang terjadi secara pasang surut. Hingga kemudian berlanjut ke akhir abad XX. Konflik ini pun mengalami transformasi dari masa ke masa, sesuai dengan perubahan zaman yang terjadi. Kebijakan yang diterapkan Amerika Serikat pun berbeda – beda sesuai dengan kondisi dari perkembangan konflik di Semenanjung Korea. 3
Donald M. Goldstein dan Harry J. Maihafer, op.cit
8
II.2 Hegemoni Amerika Serikat Hegemon merupakan sebuah kata yang digunakan untuk mengungkapkan bagaimana sebuah negara memiliki pengaruh yang sangat besar di dalam dunia inernasional, baik secara hubungan antar negara maupun di dalam institusi internasional. Definisi hegemon sendiri di dalam teori stabilitas hegemoni memiliki beberapa versi yang berbeda. Yang pertama disampaikan oleh John Agnew, dimana mengemukakan bahwa hegemoni adalah sesuatu yang positif, suatu pemimpin dari kelompok negara – negara yang mana bekerja sama dan dan mengorbankan dirinya untuk kepentingan bersama (Agnew 2005: 22). Definisi ini bisa dibilang merupakan pendekatan librealis. Definisi yang kedua adalah sebuah hegemoni dianggap sebagai sesuatu yang negative, sebuah power eklspoitasi penindasan yang mana hanya bekerja sama dengan yang lain hanya demi keuntungan (Agnew 2005: 22). Hal ini bisa dipandang sebagai pendekatan neorealist, yang mana menekankan adanya kerjasama antar negara hanya untuk kepentingannya. Definisi yang ketiga adalah hegemoni merupakan sebuah penggunaan power untuk mengajak ataupun memaksa pihak lain untuk melakukan sesuatu yang diinginkan. Meskipun tidak sepenuhnya komplet, namun itu mengikat masyarakat, objek, dan institusi dengan adanya norma – norma yang dijalankan (Agnew 2005: 1-2). Definisi ketiga merujuk kepada pendapat Robert Keohane yang menyatakan bahwa Teori Stabilitas Hegemoni haruslah memiliki tiga syarat. Pertama, adanya struktur hegemoni yang didominasi oleh satu negara, kedua adalah memiliki rezim internasional yang bisa mengeluarkan berbagai jenis 9
peraturan yang harus dipatuhi, dan yang ketiga struktur hegemoni yang kuat biasanya sebanding dengan kuatnya rezim ekonomi internasional (Keohane 1980: 132). Dalam hal ini, definisi hegemon yang digunakan adalah kombinasi dari keempatnya, dimana hegemoni merupakan sebuah kekuatan untuk mempengaruhi pihak lain untuk melakukan yang diinginkan melalui norma – norma yang ada di institusi internasional dan juga memiliki pengaruh terhadap keberadaan institusi internasional yang ada. Ada sedikit perdebatan mengenai bagaimana bentuk dari hegemoni tersebut. Namun, John Agnew memberikan pendapat bahwa kekuatan hegemon adalah murni merupakan soft power (Agnew 2005: 22). Sementara Susan Strange berpendapat lain bahwa hegemon merupakan sebuah structural power yang dapat didefinisikan dengan “kekuatan untuk memilih dan membentuk struktur politik ekonomi global dalam kaitannya dengan negara lain, dengan institusi politik mereka, perusahaan – perusaahan mereka (Strange 1987: 565). Di dalam adanya hegemoni, suatu negara harus memiliki 3 atribut, yang pertama adalah kapabilitas untuk menekan peraturan di dalam sebuah sistem, adanya keinginan untuk menjadi hegemon, dan sebuah komitmen kepada sistem yang mana harus memberikan keuntungan bagi sebagian besar anggotanya. Kapabilitas untuk menekan peraturan di dalam sebuah sistem sendiri memiliki syarat tersendiri, dimana harus memiliki perekonomian yang kuat, mendominasi sektor teknologi ataupun ekonomi, dan juga power politik yang diback up oleh kekuatan militer4.
4
Vincent Ferraro, The Theory of Hegemonic Stability, diakses dari pada 9 April 201
10
Bila merujuk kepada syarat – syarat di atas, maka Amerika Serikat sudah dianggap sebagai sebuah negara yang hegemon. Amerika Serikat memiliki kapabilitas di dalam segala aspek yang dibutuhkan di dalam terciptanya suatu hegemoni. Hal ini bisa dilihat dari kekuatan ekonomi dan teknologi, kekuatan militer yang memadai, serta pengaruhnya di dalam sistem internasional yang ada, mulai dari PBB hingga institusi Bretton Woods. Keinginan Amerika Serikat sendiri untuk menjadi hegemon mulai terlihat pada saat berakhirnya Perang Dunia II, dimana Amerika Serikat bersedia membantu pemulihan ekonomi negara – negara di Eropa yang hancur akibat adanya perang dengan adanya Marshall Plan melalui adanya
sistem Bretton
Woods. Dari adanya Bretton Woods, Amerika Serikat telah berani menjamin keberlangsungan dari perekonomian internasional dan juga melalui mata nila tukar yang didasarkan pada dolar5. Hegemoni daripada Amerika Serikat sendiri mendapat tentangan dari Uni Soviet dan hal ini terefleksikan pada terjadinya Perang Dingin. Bisa dibilang, ini adalah fase daripada tantangan terhadap hegemoni yang dipraktekkan oleh Amerika Serikat. Fase ini memiliki arti penting karena perkembangan hegemoni daripada Amerika Serikat yang mandek akibat adanya pengaruh dari komunisme dan sosialisme yang membendung pengaruh liberalisme dan kapitalisme. Runtuhnya Uni Soviet telah membawa angin segar bagi Amerika Serikat. Hancurnya Uni Soviet turut pula menghancurkan ideologi sosialisme dan komunisme di dunia. Memudarnya pengaruh sosialisme membuat ideologi liberalisme dan sistem kapitalisme berkembang luas. Amerika Serikat pun semakin gencar menanamkan pengaruh liberalisme dan kapitalisme melalui organisasi 5
Paul R. Krugman & Maurice Obstfeld, International Economics : Theory and Policy, New York, Pearson Addison Weasley, 2007
11
organisasi internasional yang ada. Hal ini cukup terlihat dari gencarnya Amerika Serikat mengkampanyekan free trade dan demokrasi. Hegemoni Amerika Serikat ini sendiri didukung oleh adanya Trilateral Commission yang dicanangkan oleh Amerika Serikat, dimana diharapkan negara Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa Barat mampu menguasai sistem internasional6. Namun, dalam perkembangannya, Eropa Barat lebih berfokus kepada Uni Eropa dan mencoba untuk mencapai tujuannya sendiri, sementara Jepang, semenjak berakhirnya abad XX, perkembangan ekonominya cenderung statis dan berkembang secara perlahan. Tak pelak, hal ini membuat Amerika Serikat berdiri sendiri untuk mempertahankan hegemoninya di dunia internasional. Hegemoni ini sendiri pada awal abad XXI kembali mendapat tentangan dari China. China, semenjak akhir abad XX, mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat. Hal ini membuat Amerika Serikat merasa terancam dengan perkembangan dari China. Segala upaya dilakukan Amerika Serikat untuk membendung perkembangan China, salah satunya adalah desakan terhadap China agar mengimplementasikan penetapan nilai tukar terhadap dolar dengan sistem floating exchange rate. Ancaman kedua datang dari adanya perkembangan nuklir di Korea Utara. Korea Utara terbukti mengembangkan nuklir pada tahun 1994, namun Amerika Serikat berhasil meradam perkembangan ini dengan melakukan negosiasi terhadap Korea Utara sehingga perkembangannya tidak dilanjutkan. Namun, pada tahun 2003, IAEA kembali menemukan fakta bahwa Korea Utara mengembangkan nuklirnya dan lebih maju daripada temuan yang pertama. Hal ini berawal dari
6
Stephen Gill, American Hegemony and The Trilateral Commission, New York, Cambridge University Press, 1991
12
konfrontasi yang dilakukan Asisten Kelly yang menkonfrontasi pihak Korea Utara dengan bukti mengenai program uranium mereka pada Oktober 2002. Korea Utara pun mundur dari kesepakatan NPT (Non Proliferation Treaty), yaitu perjanjian terhadap aturan pengembangan nuklir. Dengan mundurnya Korea Utara dari NPT pada tahun 2003, maka Korea Utara bisa dengan leluasa mengembangkan nuklirnya di segala bidang, termasuk sebagai senjata7. Hal ini menjadi ancaman serius tatkala Korea Utara telah menguji cobakan rudal nuklirnya pada tahun 2006. Perkembangan nuklir Korea Utara sendiri mendapat perhatian serius dari Amerika Serikat. Adanya perkembangan tersebut dianggap mengancam mengingat Korea Utara memiliki ideologi sosialisme dan dikhawatirkan dapat mengancam stabilitas kawasan, terutama di kawasan Asia timur, dimana Amerika Serikat tidak memiliki basis yang kuat disana. Secara tidak langsung, hal ini ikut mengancam Korea Selatan yang sejatinya merupakan salah satu aliansi Amerika Serikat dan juga mengancam Jepang yang merupakan aliansi utama Amerika Serikat di kawasan Asia. Hegemoni Amerika Serikat terancam, karena Asia merupakan salah satu kawasan yang dianggap menjadi bagian penting dalam perkembangan hegemoni Amerika Serikat nantinya. Adanya perkembangan nuklir Korea Utara, yang dianggap
memiliki
hubungan
khusus
dengan
Pakistan8,
tentu
dapat
membangkitkan semangat anti Amerika. Seperti yang diketahui, negara sosialis dan anti Amerika Serikat masih banyak bertebaran di Asia, misalnya Vietnam,
7
Michael O’Hanlon dan Mike Mochizuki, Crisis on The Korean Peninsula : How To Deal With A Nuclear North Korea, New York, McGraw Hill, 2003, hal 71 - 73 8
Wm. Robert Johnston, North Korea First Nuclear Test, diakses dari < http://www.johnstonsarchive.net/nuclear/dprk-ntest.html> pada 9 April 2011
13
Laos, Kamboja, China, Pakistan, dan lain – lain. Posisi Amerika Serikat jelas terancam jika negara – negara tersebut bergerak lebih berani lagi. Dari hal di atas, tentunya tidak mengherankan apabila Amerika Serikat perlu mengambil kebijakan khusus terhadap pengembangan nuklir Korea Utara, utamanya menyangkut dengan konflik di Semenajung Korea. Apabila kebijakan yang diterapkan kurang tepat, maka reputasi Amerika Serikat akan kembali dipertanyakan di dunia internasional. II.2 Keterlibatan Amerika Serikat di Konflik Korea Amerika Serikat sendiri telah berkecimpung di kawasan Asia Timur semenjak pecahnya Perang Dunia II pada tahun 1939. Hal ini mengingat Jepang merupakan salah satu musuh utama dari Amerika Serikat yang telah mengebom pangkalan militer Pearl Harbour di Kepulauan Hawaii pada tahun 1941. Bisa dibilang, semenjak itulah Perang Dunia ini melibatkan dua negara tersebut. Amerika Serikat pun melakukan pemetaan dan juga penelitian terhadap Asia Timr, terutama Negara Jepang. Hal ini digunakan untuk membalas serangan yang dilakukan oleh Jepang tadi. Hingga akhirnya pada bulan Agustus tahun 1945, Amerika Serikat melancarkan serangan balasan dengan meluncurkan bom atom ke dua kota di Jepang, yaitu Nagasaki dan Hiroshima. Peristiwa itu pun menjadi pertanda berakhirnya Perang Dunia II. Peristiwa tersebut juga membuat Amerika Serikat untuk meneliti kawasan Asia Timur secara lebih lanjut. Amerika Serikat bisa dianggap sebagai salah satu aktor utama di dalam dinamika konflik Korea. Dalam hal ini, Amerika Serikat sejak awal mendukung pembentukan negara Korea Selatan. Di dalam Perang Korea yang terjadi pada tahun 1950-an, Amerika Serikat pun sekuat tenaga membantu Korea Selatan di dalam menghadapi Korea Utara. Hal 14
ini tidak lepas dari keberadaan Korea Selatan yang cukup penting di dalam menanamkan pengaruh Amerika Serikat di kawasan Asia Timur. Amerika Serikat memiliki kepentingan yang cukup esensial di koflik Korea, yaitu untuk membendung meluasnya ideology komunisme yang berkembang di Korea Utara. Hal ini sesuai dengan kapasitasnya sebagai pejuang demokrasi di seluruh dunia. Seperti yang telah diketahui, Amerika Serikat memiliki Jepang yang menjadi aliansi utama di kawasan Asia setelah berakhirnya Perang Dunia. Bila Korea Selatan sampai jatuh ke tangan pihak komunis, yaitu Uni Soviet dan China, maka keberadaan Jepang akan semakin terdesak. Pengaruh Amerika Serikat pun terancam bila posisi Jepang ikut terancam. Tidak mengherankan jika Amerika Serikat sangat sensitive terhadap permasalahan di kawasan Asia Timur, utamanya yang menyangkut Jepang dan konflik Korea. Amerika Serikat menilai kawasan Asia Timur sebagai kawasan yang cukup rumit. Hal ini tidak lepas dari tidak adanya sosok leader di kawasan tersebut. Ada kecenderungan masing – masing negara di kawasan Asia Timur berusaha untuk menjadi leader dengan cara masing - masing. Tidak ada institusi yang menaungi kawasan ersebut. Adanya persaingan seperti itulah yang membuat negara – negara di kawasan Asia Timur mengembangkan pengaruhnya ke Asia Tenggara, yang sejatinya diisi oleh negara – negara yang belum cukup mapan. II.3 Kompleksitas Hubungan Antar Negara di Kawasan Asia Timur Kawasan Asia Timur merupakan salah satu kawasan yang cukup unik. Hal ini dikarenakan kawasan berisikan negara – negara dengan potensi power yang cukup besar, namun tidak ada satupun yang dianggap memiliki hegemoni atau
15
pengaruh yang sangat besar9. Kawasan ini juga dianggap unik karena merupakan kawasan yang tidak memiliki insitusi di dalam kaitannya dengan kerja sama regional, seperti yang ada pada kawasan Asia Tenggara ataupun Eropa. Penetrasi pengaruh daripada masing – masing negara di kawasan Asia Timur pun cenderung lebih menuju ke Asia Tenggara. Banyak kesepakatan yang menyatakan bahwa ASEAN bekerja sama dengan 3 negara di kawasan Asia Timur, yaitu China, Jepang, dan Korea Selatan. Dengan tidak adanya kekuatan besar yang mendominasi kawasan ini, maka pertarungan pun terjadi di dalam perebutan pengaruh ke dalamnya, baik dilakukan oleh negara – negara di dalamnya, ataupun oleh negara lain di luar kawasan tersebut. Prospek ini juga semakin cerah mengingat penetrasi mereka terhadap kawasan Asia Timur sangatlah kuat, sehingga apabila mampui menjadi hegemon di kawasan Asia Timur, maka secara tidak langsung juga akan memiliki pengaruh yang sangat besar di Asia Tenggara. Persaingan perebutan pengaruh ini jelas terlihat tatkala dimulainya Perang Korea pada tahun 1950 dan berakhir pada tahun 1953. Tidak cukup disitu, pada masa Perang Dingin pun, Amerika Serikat dan Uni Soviet berusaha untuk menancapkan dominasinya di kawasan Asia Timur dengan menggandeng aliansinya masing – masing. Uni Soviet dengan China dan Korea Utara, sementara Amerika Serikat dengan Jepang dan Korea Selatan. Masing - masing berusaha mempertahankan aliansinya guna membendung pengaruh dari yang lain. Berakhirnya Perang Dingin sebenarnya membuat Amerika Serikat berjaya di kawasan ini. Hal ini mengingat negara pendukung utama dari China dan Korea Utara telah hilang. Namun, berakhirnya Perang Dingin justru menimbulkan masalah 9
Yeo Lay Hwee, Realism and Reactive Regionalism: Where Is East Asian Regionalism Heading? , diakses pada 12 Maret 2011
16
baru. China, yang saat itu perekonomiannya mulai menanjak, menjadi ancama baru bagi Amerika Serikat. Keberadaan nuklir daripada Korea Utara menambah kompleksitas hubungan antar negara di kawasan Asia Timur. Korea Utara, yang secara politik dan ekonomi didukung oleh China, mulai menebar ancaman, terutama kepada Korea Selatan, yang sejatinya merupakan musuh lama. Keinginan untuk melakukan reunifikasi pun kembali didengungkan oleh Korea Utara. Meskipun sebenarnya hal ini mungkin dianggap sebagai sesuatu ancaman saja. Kompleksitas hubungan antar negara inilah yang membuat Amerika Serikat tidak bisa melakukan tindakan represif terhadap pengembangan nuklir Korea Utara. Seperti yang diketahui, Amerika Serikat melakukan invasi terhadap Irak dengan dugaan adanya penembangan senjata pemusnah massal. Namun Amerika Serikat tidak bisa begitu saja melakukan tindakan invasi, karena akibatnya bisa fatal terhadap keberadaan aliansi Amerika Serikat di Asia Timur. Jika Amerika Serikat mengumumkan perang terbuka terhadap Korea Utara, maka bisa dipastikan bahwa posisi Jepang dan Korea Selatan akan menjadi terancam. Korea Selatan menjadi target pertama dan akan menjadi mudah bagi Korea Utara untuk menginvasi Korea Selatan mengingat kekuatan militer Korea Selatan yang tentunya tidak memadai bila dibandingkan dengan kapabilitas militer Korea Utara. II.3 Kebijakan Amerika Serikat terhadap Konflik Korea pada Masa Pemerintahan George W. Bush Keterlibatan Amerika Serikat di dalam kawasan Asia Timur menjadikan Amerika Serikat memiliki kebijakan tersendiri yang dirumuskan guna melaksanakan kepentingan nasionalnya. Tidak mengherankan tiap Presiden Amerika Serikat 17
menerapkan kebijakan yang berbeda – beda sesuai dengan situasi dan kondisi yang dialami. Pada saat berkecamuk Perang Korea pada tahun 1950, yang menjabat pucuk kepala pemerintahan Amerika Serikat adalah Presiden Harry S. Truman. Fokus utama daripada pemerintahan Truman adalah perhatian terhadap Eropa. Hal ini tidak lepas dari berakhirnya Perang Dunia II yang membuat perekonomian negara – negara di dunia hancur, terutama Eropa. Bahkan pasukan Amerika Serikat yang setelah menginspeksi Jepang dipanggil pulang secara bertahap. Ketika NATO terbentuk pada tahun 1949, perhatian tetap tidak berubah dari Eropa. Bahkan setelah Uni Soviet melakukan uji coba bom atom pertamanya. Padahal,kawasan Asia Timur merupakan kawasan yang sangat rawan dari pengaruh Uni Soviet karena kedekatan geografisnya. Kawasan ini juga rawan karena belum ada satupun otoritas ataupun Great Power yang menjadi penyokongnya. Setelah pembentukan dari negara Korea Utara dan Selatan, perhatian Amerika Serikat mulai teralihkan ke negara ini. Hal ini terutama dikarenakan Korea Utara yang mendapat dukungan penuh dari Uni Soviet di dalam pembentukan negaranya, terutama di dalam persenjataan militer10. Setelah Korea Utara melakukan tindakan represif di Seoul, Amerika Serikat pun berubah haluan dan berusaha membantu Korea Selatan yang berarti telah mengobarkan adanya perang. Meskipun akhirnya perang tidak menghasilkan apa – apa, dan Amerika Serikat pun bersedia melakukan gencatan senjata. Praktis setelah berakhirnya Perang Korea, Amerika Serikat tidak memiliki kebijakan khusus terkait dengan Semenanjung Korea.
10
Donald M. Goldstein dan Harry J. Maihafer, op.cit
18
Situasi di Korea kembali memanas pada tahun 1994, yaitu pada saat ditemukannya pengembangan reactor nuklir yang dilakukan Korea Utara. Temuan ini didapat IAEA setelah melakukan inspeksi. Korea Utara pun dianggap tidak melakukan tindakan yang kooperatif dengan menghalang – halangi inspeksi dari IAEA11. Amerika Serikat yang saat itu dipimpin oleh Bill Clinton sempat merasa kecolongan.
Hingga
akhirnya
mengeluarkan
kebijakan
diplomasi
dengan
menawarkan penggantian nuklir dengan energy lainnya. Hal ini memang direspon baik oleh Korea Utara, namun niat di balik hal tersebut memang masih menjadi rahasia. Korea Utara pun menandatangani “Agreed Framework” dengan Amerika Serikat dimana Korea Utara mau menutup segala kegiatan pengayaan uranium, hal ini membuat Amerika Serikat pun akhirnya melunak terhadap Korea Utara. Berkaca dari “kesalahan” dan kegagalan kebijakan yang diterapkan presiden – presiden sebelumnya terhadap konflik Korea, Presiden George W. Bush cukup berhati – hati di dalam mengambil kebijakan terhadap konflik Korea. Ada kecenderungan bahwa Amerika Serikat berusaha menekan Korea Utara secara mental dan fisik, tetapi bukan melalui perang. Kebijakan yang dilakukan pada Amerika Serikat pada era Presiden George W. Bush bersifat diplomatis dan cenderung bermain aman. Hal ini terlihat dari beberapa kebijakannya, diantaranya penambahan jumlah pasukan dan peralatan militer di kawasan Asia Timur. Semenjak tahun 1990-an, dimana pada saat itu pertama kalinya Korea Utara ditemukan mengembangkan nuklir, Amerika Serikat bisa dianggap menaruh hampir setengah dari jumlah pasukannya di kawasan Asia Timur. Pada awal 2003, Amerika Serikat menambah jumlah pesawat tempurnya,
11
Michael O’Hanlon dan Mike Mochizuki, op. cit, hal. 70
19
menambah seribu pasukan di Guam, menambah jumlah camp yang menjadi tempat berkumpulnya tentara Amerika Serikat12. Kebijakan yang lain yang digunakan oleh Amerika Serikat adalah menekan Korea Utara melalui IAEA maupun PBB. Amerika Serikat pun terlihat sangat aktif di dalam melakukan negosiasi terhadap Korea maupun mendengarkan pertimbangan – pertimbangan dari pemimpin di Asia Timur. Kebijakan Amerika Serikat lain yang diterapkan terhadap adanya konflik di Semenanjung Korea adalah diplomasi. Hal ini dilakukan mengingat upaya deterrence yang dilakukan oleh Amerika Serikat dirasa tidak berhasil dilakukan di dalam meredam pengembangan nuklir daripada Korea Utara. Upaya diplomasi dalam hal ini dimulai dari adanya pembentukan Six Party Talks. Negara yang ikut di dalam pembicaraan ini antara lain Amerika Serikat, Korea Utara, Korea Selatan, China, Jepang, dan Rusia. Negara – negara ini dilibatkan mengingat kepentingan dan letak geografis mereka terhadap pengaruh dari pengembangan nuklir Korea Utara. Pembicaraan ini berlangsung selama beberapa kali pertemuan. Pada putaran pertama dilangsungkan pada Agustus 2003. Putaran kedua sendiri dilangsungkan pada Juni 2004, dimana dua putaran ini dilakukan di Beijing. Pada dua putaran pertama, terjadi kesepakatan kecil. Amerika Serikat dalam hal ini menekankan pada perlunya komitmen Korea Utara untuk memusnahkan segala hal yang berhubungan pengembangan nuklir. Amerika Serikat juga menolak ajakan untuk melakukan kerja sama bilateral dengan Korea Utara, hal yang selama ini sebenarnya sangat diinginkan oleh Korea Utara.
12
Michael O’Hanlon dan Mike Mochizuki, op. cit, hal. 70
20
Pada putaran ketiga, Amerika Serikat jauh lebih melunak terhadap Korea Utara pada Juni 2004. Hal ini didorong oleh desakan dari pihak Korea Selatan dan Jepang, dimana akhirnya Amerika Serikat memberikan detil daripada proposal untuk mengakhiri program nuklir Korea Utara. Proposal tersebut berisikan perintah deklarasi kepada Korea Utara untuk menghilangkan segala bentuk kapabilitas pengayaan plutonium dan uranium, baik materialnya maupun peralatannya dengan jangka waktu 3 bulan. Kesepakatan ini sendiri nantinya ditukar dengan proposal untuk memberikan bantuan bagi Korea Utara terutama dengan minyak bahan bakar, dan juga mengupayakan pihak – pihak lain untuk menjamin keamanan daripada Korea Utara sendiri. Hal ini juga termasuk diskusi mengenai pencabutan sanksi yang selama ini diberlakukan Amerika Serikat terhadap Korea Utara. Korea Utara sendiri secara formal tidak begitu merespon terhadap tawaran ini. Mungkin Korea Utara syarat yang diajukan kurang menguntungkan bagi negara tersebut. Sementara Amerika Serikat tetap bersikukuh bahwa hal ini perlu disepakati sebagai titik awal terhadap negosiasi selanjutnya13. Ketidaksepakatan ini kemudian berlanjut hingga pertemuan – pertemuan selanjutnya. Amerika Serikat masih tetap bersikukuh bahwa penyelesaian konflik di Semenanjung Korea haruslah melibatkan banyak pihak. Sementara Korea Utara tetap berpegang teguh bahwa mereka hanya butuh berbicara dengan Amerika Serikat secara face-to-face. Konflik Korea ini berlanjut tatkala Korea Utara mengujicobakan senjata nuklirnya pada 9 Oktober 2006. Uji coba ini dilakukan di bawah tanah. China,
13
Proliferation Brief, Vol. 8 No. 7, diakses dari < http://www.carnegieendowment.org/publications/?fa=view&id=17250&zoom_highlight=US+Policy+to+ North+Korea> diakses pada 9 April 2011
21
sebagai negara terdekat letak geografisnya pun mendapat peringatan dari Korea Utara bahwa mereka akan melakukan ujicoba nuklir di bawah tanah 5 hari sebelumnya. Korea Utara pun secara resmi menytakan bahwa mereka telah melakukan ujicoba nuklirnya. Uji coba senjata nuklir yang dilakukan oleh Korea Utara ini merupakan yang tes senjata nuklir yang pertama oleh suatu negara semenjak adanya test bawah tanah lain yang dilakukan oleh India dan Pakistan pada Mei 1998. Test ini menandakan bahwa Korea Utara tidak sedikitpun mundur dari ancaman Amerika Serikat. Keberadaan test nuklir Korea Utara ini semakin membuat Presiden George W. Bush meradang. Hingga akhirnya pada pidatonya tahun 200814, Bush mengultimatum kepada Korea Utara untuk segera mengakhiri program nuklirnya. Bahkan Amerika Serikat siap untuk melakukan perdagangan jika Korea Utara memang benar – benar berkomitmen untuk melenyapkan program pengayaan uraniumnya. Namun, Amerika Serikat juga mengancam apabila dalam 45 hari Korea Utara tak kunjung merespon tawaran ini, maka Korea Utara akan mendapat sanksi yang lebih berat dari yang pernah mereka terima dari Amerika Serikat sendiri maupun dari PBB. Bahkan dalam jangka waktu 45 hari tersebut, Amerika Serikat akan menganggap Korea Utara sebagai salah negara negara pensponsor terror di dunia.
14
Remarks of U.S. President George W. Bush on North Korea's Nuclear Declaration, 2008, < http://news.bbc.co.uk/2/hi/7475631.stm> diakses pada 9 April 2011
22
Daftar Pustaka
Gill Stephen, American Hegemony and The Trilateral Commission, New York, Cambridge University Press, 1991 Goldstein J. Donald & Maihafer J. Harry, The Korean War : The Story and Photograph, Virginia, Brassey’s, 2000 Mowle S. Thomas & Sacko H. David, The Unipolar World : An Unbalanced Future, New York, Palgrave Macmillan, 2007 O’Hanlon M. & Mochizuki M, Crisis on The Korean Peninsula : How To Deal With A Nuclear North Korea, New York, McGraw Hill, 2003 Singer J. David, “The Level of Analysis Problem in International Relations”, World Politics, Vol. 14, No 1, 1961 Krugman R. Paul & Obstfeld Maurice, International Economics : Theory and Policy, New York, Pearson Addison Weasley, 2007 http://news.bbc.co.uk/2/hi/7475631.stm http://revistas.ucm.es/cps/16962206/articulos/UNIS05052230008.pdf http://www.carnegieendowment.org/publications/?fa=view&id=17250&zoom_highlight =US+Policy+to+North+Korea http://www.johnstonsarchive.net/nuclear/dprk-ntest.html http://www.mtholyoke.edu/acad/intrel/feros-pg.htm
23
View more...
Comments