Peptic Ulcer Disease
June 26, 2019 | Author: Rizal Prasetya | Category: N/A
Short Description
Download Peptic Ulcer Disease...
Description
PEPTIC ULCER DISEASE ( PENYAKIT TUKAK PEPTIK)
Dispepsia secara umum merupakan kondisi ketidaknormalan ketidaknor malan atau
ketidaknyamanan
abdomen bagian atas yang disebabkan oleh menurunnya fungsi pencernaan. Dispepsia yang terjadi secara kronik dapat menyebabkan lesi atau luka pada peptik, sehingga disebut ulkus peptik. A. DEFINISI
Ulkus peptikum merupakan suatu keadaan dimana terjadi perlukaan
pada daerah
esofagus, lapisan lambung ataupun duodenum. Meskipun bisa terjadi pada ketiga daerah tersebut, namun prevalensi terbesar terjadi pada lapisan lambung dan duodenum. Definisi lain, ulkus peptikum adalah suatu keadaan hilangnya lapisan epitelium dari mukosa yang cukup besar dan dalam, bahkan bisa mencapai lapisan muscularis mucosae. Secara klinis ulkus peptikum terjadi ketika lapisan di saluran cerna (esofagus, lambung dan duodenum) kehilangan permukaan mukosanya. Bedanya dengan erosi adalah pada luasnya tukak yang terjadi, dikatakan erosi apabila kerusakan mukosa tidak meluas sampai dibawah epitel dan lebar ulkus < 5mm, sedangkan tukak peptikum terjadi kerusakan mukosa yang meluas sampai di bawah epitel dengan lebar tukak > 5mm. Keadaan ini akan terlihat dari hasil pemeriksaan endoskopi maupun radiografi.
1
Gambar 1. Ulkus Peptikum
1
Gambar 2. Hasil endoskopi dari ulkus peptikum. (A) Ulkus yg terjadi pada lambung bagian antrum, terlihat ada pembengkakan pada bagian tengah ulkus, dimana pada area tersebut terdapat pembuluh darah sehingga beresiko tinggi terjadi pendarahan. (B) Ulkus yang terjadi pada daerah duodenum yang sedang terjadi pendarahan waktu dilakukan endoskopi.
Ulkus peptikum juga berbeda dengan gastritis, salah satu hal yang membedakannya adalah tingkat keparahannya, pada pasien yang mengalami gastritis maka akan terjadi inflamasi (peradangan) pada daerah mukosa lambung, dimana pada area tersebut terdapat kelenjar gastrik yang terdiri atas beberapa sel yaitu sel mucous yang memproduksi mukus, sel parietal yang menghasilkan asam lambung dan faktor intrinsik, sel chief yang mensekresi pepsinogen dan gastric lipase serta sel G yang menghasilkan hormon gastrin. Produk gabungan dari empat sel tersebut disebut sebagai getah lambung. Adanya peradangan pada area tersebut akan berakibat pada menurunnya produk yang dihasilkan oleh sel-sel sel-se l tersebut, sedangkan pada ulkus peptikum yang terjadi adalah perlukaan pada mukosa lambung, adanya perlukaan ini akan berakibat rusaknya jaringan pada mukosa lambung, akibatnya sel-selnya pun akan mengalami kematian dan tidak bisa menghasilkan produk sebagaimana mestinya.
1
2
Gambar 3. (A) Lambung dan (B) Gastric
Gambar 3. Gastritis B. EPIDEMIOLOGI
Sekitar 10% di Amerika berkembang kasus ulkus peptik kronik dengan kejadian yang bervariasi terkait tipe ulkus, usia, jenis kelamin, pekerjaan, ras, lokasi geografis, predisposisi genetic, dan faktor sosial tapi mempunyai peran yang kecil dalam patogenesis ulkus. Prevalensi penyakit ulkus peptik sering terjadi pada lansia. Angka kematian meningkat pada pasien lanjut 3
usia akibat penyakit ulkus peptik yang disebabkan meningkatnya penggunaan NSAID dan infeksi Helicobacter pylori . Prevalensi penyakit ulkus peptikum di Amerika telah bergeser dari dominasi laki-laki menjadi sebanding antara laki-laki dan wanita yaitu setelah wanita monopause. Kejadian yang sekarang ini menunjukkan penurunan pada pria muda dan terjadi peningkatan pada wanita tua, hal ini di sebabkan terjadinya penurunan tingkat merokok pada pria muda dan terjadi peningkatan penggunaaan NSAID pada orang dewasa yang lebih tua.
2
Sejak tahun 1960, pasien yang berobat kedokter terkait dengan maag, rawat inap, operasi maupun meninggal telah menurun sekitar 50 % di Amerika, terutama karena tingkat penurunan kejadian PUD ( Peptic Ulcer Disease) itu pada manusia. Beberapa tahun, kasus penggunaan NSAID non selektif menyebabkan kematian sekurangnya 16.500 orang dan yang di rawat di rumah sakit sekitar 107.00 orang di Amerika. Penurunan pasien rawat inap itu sendiri merupakan hasil dari penurunan kejadian PUD tanpa komplikasi. Namun kejadian rawat inap pada pasien yang lebih tua terkait dengan komplikasi maag ( pendarahan dan perforasi ) itu meningkat. Meskipun keseluruhan mortalitas dari PUD mengalami penurunan, tapi tingkat kematian meningkat pada pasien lebih tua dari 75 tahun, dan kemungkinan besar ini akibat dari peningkatan konsumsi AINS dan populasi yang menua. Pasien dengan ulkus lambung memiliki tingkat kematian lebih besar dibandingkan dengan ulkus duodenum karena lambung ulkus yang lebih menonjol pada orang tua. Walaupun begitu, PUD tetap salah satu penyakit yang paling umum pada GI, sehingga dapat menyebabkan gangguan kualitas hidup, kehilangan pekerjaan, dan perawatan medis biaya tinggi.
2
Gambar 4. Struktur anatomi lambung dan duodenum, serta lokasi terjadinya ulkus.
4
C. ETIOLOGI
Penyebab paling sering terjadinya ulkus peptik adalah : 1. Infeksi Helicobacter Pylori
Sebagian besar tukak lambung terjadi dengan adanya asam dan pepsin ketika Helicobacter pylori mengganggu pertahanan mukosa dan mekanisme penyembuhan.
Hipersekresi asam adalah mekanisme patogenik yang utama pada tingkat Hypersecretory seperti Zollinger-Ellison
syndrome (ZES).
Infeksi Helicobacter
pylori dapat
menyebabkan gastritis kronik yang menginfeksi semua individu, kemudian akan berkembang menjadi PUD (sekitar 20%), kanker gastrik (kurang dari 1%) dan MALT. Semua kasus ulkus duodenum serta 2/3 dari kasus tukak lambung diperkirakan berhubungan dengan Helicobacter pylori. Lokasi ulkus berkaitan dengan sejumlah faktor etiologi. Ulkus lambung ringan dapat terjadi dimana saja diperut, meskipun sebagian besar terletak di lengkung kecil ( Lesser curvature) dan mukosa lambung bagian antral. Proses transmisi Helicobacter pylori dari orang ke orang melalui tiga jalur yaitu fecaloral, oral-oral dan iatrogenic. Transmisi fecal-oral dapat terjadi secara langsung dengan menginfeksi seseorang dan tidak langsung melalui kontaminasi pada makanan atau minuman akibat tangan yang tidak bersih setelah menyentuh fecal. Transmisi oral-oral merupakan rute karena Helicobacter pylori telah diisolasi dari lubang mulut. Transmisi secara iatrogenic yaitu terinfeksi karena menggunakan alat seperti endoskopi.
2
2. Penggunaan NonSteroidal Anti-Inflamatory Drugs (NSAIDs)
Di Amerika, NSAIDs yang tidak selektif merupakan salah satu obat yang sering diresepkan untuk pasien berumur 60 tahun keatas. Angka kejadian yang sangat besar akibat penggunaan NSAIDs (termasuk aspirin) jangka panjang berupa gangguan saluran GI. Menggunakan NSAIDs dan infeksi Helicobacter pylori adalah faktor risiko independen untuk penyakit tukak lambung. Resiko adalah 5 sampai 20 kali lebih tinggi pada orang yang menggunakan NSAIDs dibandingkan dengan yang tidak menggunakan. Secara klinis, 3-4,5% kejadian ulkus peptikum pada pasien yang mengalami arthritis karena penggunaan NSAIDs dan 1,5% diantaranya berkembang serius menjadi 2
komplikasi ( perdarahan saluran cerna, perforasi dan obstruksi ). Berikut golongan obat NSAIDs Non Selektif yang dapat menyebabkan ulkus peptikum :
5
Faktor risiko dari penggunaan NSAIDs yang dapat menginduksi terjadi ulkus di saluran cerna dan komplikasinya. Komplikasi dapat meningkat pada pasien yang punya riwayat pernah mengalami ulkus dan perdarahan GI. Kejadian ulkus dan komplikasinya berhubungan dengan penggunaan dosis NSAIDS, meskipun digunakan dosis rendah misalnya dosis aspirin 81-325mg/hari untuk kardioprotektif dapat menginduksi ulkus.
3. Stres psikologis
Stress psikologis menjadi faktor penting patogenesis
terjadinya PUD yang
kontroversial, namun hasil uji coba gagal membuktikan antara penyebab dan akibat terjadinya PUD. Kemungkinan emosional pada stress yang memicu perilaku untuk merokok dan menggunakan NSAID, sehingga hal ini yang dapat menyebabkan ulkus. Bagaimana stress dapat menyebabkan PUD kemungkinan dipengaruhi banyak faktor.
2
4. Kebiasaan Merokok
Kemungkinan menginduksi
mekanisme
terjadinya
PUD
yang adalah
terjadi
akibat
penghambatan
merokok
sehingga
pengosongan
dapat
lambung,
penghambatan sekresi bikarbonat dari pankreas, memicu refluks duodenogastric dan mengurangi produksi Prostaglandin (PG). meskipun merokok dapat meningkatkan 6
sekresi asam lambung tapi efeknya tidak konsisten. Merokok dapat menyebabkan seeorang lebih mudah terinfeksi HP.
2
5. Faktor Diet dan Penyakit Lain
Kedua faktor ini belum ada mekanisme patofisiologi yang pasti, beberapa minuman seperti kopi dan the (mengandung kafein), cola, bir, dan susu dapat menyebabkan dyspepsia tapi tidak meningkatkan resiko PUD. Kafein dapat menstimulasi sekresi asam lambung dan alcohol dapat menyebabkan kerusakan mukosa lambung serta perdarahan GI bagian atas, tapi tidak ada bukti cukup yang menunjukkan bahwa alcohol dapat menyebabkan ulkus. Pasien dengan penyakit kronik seperti cystic fibrosis, pancreatitis kronik, coronary artery disease dapat meningkatkan ulkus pada duodenal.
2
D. PATOFISIOLOGI
Pada kondisi normal (fisiologis) lambung memiliki sistem proteksi yang melindungi bagian lambung dari sekret yang dihasilkannya (HCl dan pepsin) yang bersifat korosif. Keseimbangan dari sistem ini akan menjaga lambung tetap bekerja sebagaimana mestinya. Sebaliknya, gangguan pada sistem tersebut akan menimbulkan berbagai dampak yang buruk pada lambung, salah satu contohnya adalah timbulnya ulkus peptikum. Jadi, ulkus peptikum terjadi karena ketidakseimbangan antara faktor agresif (pepsin dan asam lambung) dengan faktor protektif. 1. Faktor Agresif
Merupakan faktor penyebab terjadi kerusakan pada saluran cerna dan menimbulkan penyakit. 2. Asam Lambung dan Pepsin
Stress dan makanan dapat memicu pelepasan asetilkolin, gastrin dan histamin +
+
yang akan berikatan dengan resptornya, sehingga dapat mengaktifkan pompa H /K +
ATPase dan akan mensekresikan Asam (H ) ke lumen lambung, kemudian H
+
akan
-
berikatan dengan Cl sehingga membentuk asam lambung (HCl). Sekresi asam dibawah pengaturan basal atau dalam kondisi puasa. Basal Acid Output (BAO) mengikuti ritme sirkadian yaitu terjadi peningkatan sekresi asam lambung pada malam hari dan menurun pada pagi hari, Maximal Acid Output (MAO) dan adanya stimulasi dari makanan. Ketiga faktor tersebut berbeda tiap individu dalam mempengaruhi sekresi asam tergantung status 7
psikologis, umur, jenis kelamin dan status kesehatan. Peningkatan rasio antara BAO:MAO hipersekretory basal pada pasien ZES.
2
Pepsinogen merupakan bentuk inaktif dari pepsin yang di sekresikan oleh sel chief di bagian fundus pada lambung. Pengubahan menjadi bentuk aktif yaitu pepsin pada pH asam (optimal pH 1,8-3,5) dan dikembali menjadi tidak aktif pada pH 4 kemudian akan rusak pada pH 7. Pepsin berperan dalam aktivitas proteolitik bentuk ulkus.
2
3. Infeksi Helicobacter pylori
Beberapa faktor resiko yang berperan terhadap timbulnya ulkus peptikum yaitu infeksi Helicobacter Pylori, penggunaan NSAID ( Non Steroid Anti Inflamatory Drug’s) tarutama dalam jangka waktu lama dan faktor-faktor lain sperti stress, kebiasaan merokok, diet, sindrom Zollinger-Ellison, dll.
Gambar 5. Pie chart tentang faktor risiko dari ulkus peptikum.
Dari grafik tersebut terlihat bahwa ada 2 faktor resiko terbesar yang menimbulkan ulkus peptikum yaitu akibat dari infeksi Helicobacter pylori dan penggunaan NSAID. Helicobacter pylori adalah bakteri yang berbentuk helic, spiral-shaped, termasuk
golongan bakteri gram negatif, memiliki flagela dan biasanya hidup diantara lapisan mukus dan lapisan epitel dari mukosa.
3
8
B A B Gambar 6.(A) Helicobacter pylori yang diambil dengan mikroskop (yang berwarna biru). (B) Gambaran umum dari Helicobacter pylori.
Timbulnya ulkus peptikum akibat infeksi dari helicobacter pylori terkait erat dengan kemampuan helicobacter pylori bertahan pada kondisi asam serta melewati lapisan mukus yang berada pada permukaan mukosa lambung. Setidaknya ada 2 mekanisme yang mendasari timbulnya ulkus peptikum oleh infeksi Helicobacter pylori 3
yaitu : a) Produksi enzim urease dan alfa- karbonil anhidrase (α-CA). Enzim urease akan mengubah urea yang merupakan produk sekresi dari sel-sel di lambung menjadi amonia dan karbon dioksida. Sedangkan enzim alfa-karbonil anhidrase akan mengubah karbon dioksida tersebut menjadi bikarbonat. Adanya amonia dan bikarbonat ini akan menetralkan lingkungan asam disekitar Helicobacter pylori, selain itu efek toksik dari amonia terhadap sel akan membuat sel mangalami kerusakan.
Gambar 7. Helicobacter pylori menembus lapisan mukus dan menyebabkan kerusakan sel.
9
b) Pembentukan protein CagA (Cytotoxin associated gene A). Protein tersebut dapat tersintesa pada sebagian strain Helicobacter pylori . Strain yang mengekspresikan protein tersebut dapat menembus lapisan mukus dan melukai mukosa lambungdengan cara menyuntikan protein tersebut ke dalam sel epitel yang merupakan lapisan terluar dari mukosa lambung. Keadaan ini akan menyebabkan sel epitel kehilangan mantelyang melindunginya dan akan tercerai-berai dari ikatan dengan sele pitel lainnya. Mekanisme penyerangan seperti ini dikenal dengan istilah tigt junction.
Gambar 8. Mekanisme tigt junction
Adanya kerusakan sel yang diakibatkan oleh Helicobacter pylori tersebut memberi peringatan kepada sitem imun bahwa ada yang salah dengan kondisi di dalam lambung. Peringatan tersebut difasilitasi oleh cytokin, chemical messenger yang dibuat oleh sel yang sakit dan mengalami kerusakan. Adanya peringatan tersebut membuat sistem imun bereaksi dengan mengirim sel-sel imun ke jaringan yang bermasalah, kehadiran sel-sel imun di jaringan yang bermasalah tersebut mengakibatkan jaringan tersebut mengalami inflamasi. Sel imun adalah senjata yang sangat ampuh untuk membunuh bakteri ( Helicobacter pylori), akan tetapi karena sifatnya yang tidak selektif maka sejumlah sel epitel pun ikut menjadi korban. Selain itu, meskipun sel imun sudah berusaha keras, ternyata hal tersebut tidak benar-benar membersihkan jaringan dari infeksi Helicobacter pylori , artinya masih ada Helicobacter pylori yang tersisa. Helicobacter pylori yang masih tersisa tersebut akan mengulangi prosesnya lagi dari
10
awal, begitu juga dengan sistem imun. Keadaan ini akan menimbulkan sebuah siklus yang berulang yang pada akhirnya akan menimbulkan kerusakan mukosa lambung dan sangat mungkin menimbulkan uklus peptikum. Skema terjadinya ulkus akibat infeksi Helicobacter pylori diilustrasikan pada gambar 9.
2
Gambar 9. Skema terjadinya ulkus akibat infeksi Helicobacter pylori 4. Penggunaan NSAID Non Selektif
Jalur
metabolisme
asam
arakidonat
melalui
bantuan
dua
enzim
yaitu
ciclooxigenase dan lipoxygenase. Pada prinsipnya efek ulkus yang ditimbulkan oleh penggunaan obat-obat NSAID dikarenakan penghambatan dari sintesis prostaglandin melalui penghalangan kerja enzim cyclooxygenase (COX) yang merubah merubah asam arakidonat menjadi prostaglandin. Prostaglandin adalah mediator penting dengan beberapa fungsi antara lain sebagai mediator inflamasi, melindungi lapisan mukosa gastroduodenal dari bahaya asam lambung, mediator nyeri serta membantu dalam proses pembekuan darah. Terkait dengan fungsi protektif dari prostaglandin dalam melindungi mukosa lambung, prostaglandin berperan dalam menstimulasi sekresi mukus dan bikarbonat serta membuat lingkungan yang hidrofobik pada permukaan lapisan mukosa. Hal tersebut akan melindungi lapisan mukosa dari efek korosif asam lambung serta efek proteolitik dari pepsin.
11
Gambar 10. Proses pembentukan prostaglandin dari asam arachidonat. Cyclooxygenase yang berperan dalam pembentukan prostaglandin dari asam
arachidonat ternyata memiliki 2 mekanisme yang berbeda dalam mengubah asam arachidonat menjadi prostaglandin. Hal ini karena terdapat 2 bentuk isoformis dari enzim cyclooxygenase itu sendiri, yaitu enzim cyclooxygenase 1 (COX-1) dan cyclooxygenase 2
(COX-2).
Baik
COX-1
maupun
COX-2
keduanya
sama-sama
menghasilkan
prostaglandin. Hanya saja terdapat perbedaan fungsi dari prostaglandin yang dihasilkan melalui mekanisme COX-1 dan COX-2. Prostaglandin yang dihasilkan melalui mekanisme COX-1 berperan dalam fungsi protektif dari mukosa lambung dan proses pembekuan darah, sedangkan prostaglandin yang dihasilkan melalui mekanisme COX-2 berperan dalam proses inflamasi dan timbulnya nyeri. Obat-obat golongan NSAID yang tidak selektif menghambat kerja dari kedua enzim cyclooxygenase (COX-1 dan COX-2) tersebut, padahal prostaglandin yang dihasilkan melalui mekanisme COX-1 berperan penting dalam proses proteksi mukosa lambung. Apabila mekanisme ini dihambat, maka yang terjadi adalah lambung akan berkurang proteksinya dan tetntunya akan sangat rentan terhadap efek korosif dari asam lambung dan pepsin. Hal inilah yang kemudian memicu terjadinya ulkus peptikum.
2
5. Faktor lain (stress, diet, kebiasaan merokok, Zollinger-Ellison syndrome, dll).
Pada sebagian besar kasus ulkus peptikum, penyebab utamanya adalah karena infeksi dari helicobacter pylori dan penggunaan jangka panjang dari NSAID. Sedangkan 12
adanya faktor-faktor lain seperti stress, diet, kebiasaan merokok dan sindrom zollingerellison diduga hanya sebatas faktor pendukung timbulnya ulkus peptikum. Hal ini terkait dengan mekanismenya yang belum jelas dalam menimbulkan ulkus peptikum. Hanya saja pasien yang memiliki faktor-faktor pendukung tersebut memiliki prevalensi yang lebih besar terkena ulkus peptikum dibanding pasien yang tidak memiliki faktor pendukung 1
tersebut.
6. Faktor perlindungan mukosa lambung
Faktor protektif yaitu melalui mekanisme perlindungan dan perbaikan mukosa lambung, yang dipengaruhi oleh subtansi endogen dan eksogen.
Mekanisme
perlindungan mukosa melalui sekresi mucus dan bikarbonat (dapat menetralkan pH lambung sehingga pepsin dapat rusak), melindungi sel epitel intrinsic dan memperbaiki aliran darah ke mukosa. Perlindungan mukosa juga di mediasi adanya produksi prostaglandin. Proses motilitas lambung yang dapat mempercepat waktu pengosongan lambung juga membantu dalam perlindungan dinding mukosa.
2
E. TANDA DAN GEJALA
Umunya akan timbul nyeri epigastrik ringan atau akut komplikasi gastrointestinal bagian atas. Tanda dan gejala yang terjadi pada PUD : 1. Gejala a) Nyeri abdominal sering pada epigastrik, ditandai dengan rasa terbakar, ketidaknyamanan yang tidak jelas, rasa penuh di perut atau keram. b) Nyeri dimalam hari (antara jam 12 malam – jam 3 subuh), sehingga pasien terbangun. c) Bervariasi tingkat keparahan nyeri tiap individu, bisa musiman atau perperiode. d) Perubahan karakteristik nyeri dapat menggambarkan terjadinya nyeri e) Heartburn, sendawa dan bloating yang disertai nyeri f) Mual, muntah dan anoreksia.
2
2. Tanda a) Menurun berat badan karena mual, muntah dan tidak nafsu makan (anoreksia). b) Terjadi komplikasi, seperti perdarahan gastrointestinal, perforasi, penetrasi atau obstruksi.
2
13
F. PEMERIKSAAN DAN ANALISIS
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan meliputi studi sekretori asam lambung, konsentrasi serum gastric saat puasa (terutama untuk pasien yang tidak respon terhadap terapi atau karena hipersekretori), jumlah hemoglobin dan hematokrit, untuk mengetahui adanya perdarahan dan tes Helicobacter pylori.
2
Deteksi infeksi H.pylori dapat dibuat dengan menggunakan biopsi mukosa lambung pada pasien yang menjalani endoskopi atas atau dengan uji non endoskopik. Pemilihan metode tertentu dipengaruhi oleh keadaan klinis dan juga ketersediaan biaya uji individu. Tes endoskopik memerlukan biopsi mukosa untuk tes rapid urease dan histologi. Obat-obatan yang mengurangi aktivitas urease atau kepadatan H.pylori dapat menurunkan sensitivitas uji rapid urea sampai 25%. Bila mungkin, antibiotik dan garam bismut harus ditahan selama 4 minggu juga H2RA dan PPI selama 1 sampai 2 minggu sebelum pengujia endoskopi. Pasien yang mengkonsumsi obat-obat ini pada saat tes endoskopi akan memerlukan uji histologi disamping tes rapid urease. Dua biopsi diambil dari daerah yang berbeda dalam perut karena distribusi tambal sulam H.pylori dapat mengakibatkan hasil negatif palsu. Pengujian maag aku saat perdarahan memungkinkan untuk mengurangi sensitivitas uji rapid urease dan histologi serta meningkatkan kemungkinan hasil negatif palsu.
3
Pemeriksaan fisik dapat menunjukkan adanya nyeri, nyeri tekan epigastrik, atau distensi abdominal. Pemeriksaan dengan barium terhadap saluran GI atas dapat menunjukkan adanya ulkus; namun, endoskopi adalah prosedur diagnostik pilihan. Endoskopi gastrointestinal atas digunakan untuk mengidentifikasi perubahan inflamasi, ulkus, dan lesi. Melalui endoskopi mukosa dapat secara langsung dilihat dan biopsi didapatkan. Endoskopi telah diketahui dapat mendeteksi beberapa lesi yang tidak terlihat melalui pemeriksaan sinar X karena ukuran atau lokasinya. Feses dapat diambil setiap hari sampai laporan laboratorium adalah negatif terhadap darah samara. Pemeriksaan sekretori lambung merupakan nilai yang menentukan dalam mendiagnosis aklorhidria (tidak terdapat asam hidroklorida dalam getah lambung) dan sindrom Zollinger-Ellison. Nyeri yang hilang dengan makan makanan atau antasida dan tidak adanya nyeri yang timbul juga mengindikasikan adanya ulkus.
3
Adanya H. pylori dapat ditentukan dengan biopsy dan histology melalui kultur, meskipun hal ini merupakan tes laboratorium khusus. Ada juga tes pernapasan yang mendeteksi H. pylori, 14
serta tes serologis terhadap antibody pada antigen H.pylori. Pemeriksaan endoskopi adalah pemeriksaan penunjang yang utama bagi pasioen yang dyspepsia dan perdarahan saluran pencernaan bagian atas (untuk diagnostik dan terapi endoskopik pada perdarahan).
2
Pengujian Diagnostik Infeksi Helicobacter pylori Tes Endoskopi
a. Tes Rapid Urea Pengujian untuk aktif infeksi H. pylori;> sensitivitas 90% dan> spesifisitas 95%. Menahan H2RAs dan PPP 1 sampai 2 minggu sebelum pengujian dan antibiotik dan garam bismut 4 minggu sebelum pengujian untuk mengurangi risiko negatif palsu. Di hadapan H.pylori urease, urea dimetabolisme untuk amonia dan bikarbonat sehingga meningkatkan pH, mana perubahan warna dari indikator pH-sensitif. Hasil yang cepat (biasanya dalam beberapa jam), dan uji lebih murah daripada histologi atau budaya. b. Histologi Dianggap "gold standart" untuk mendeteksi infeksi H. pylori; sensitivitas> 95% dan> spesifisitas 95%. Analisis histologi lebih lanjut dan evaluasi jaringan yang terinfeksi (misalnya, gastritis, ulserasi, adenocarcinoma); tes untuk aktif infeksi H. pylori. Hasil tidak langsung, tidak direkomendasikan untuk diagnosis awal, lebih mahal daripada tes urease cepat. c. Kultur Sensitivitas pengujian untuk menentukan pilihan antibiotik atau resistensi, 100% spesifik. Digunakan terbatas pada pasien yang gagal beberapa program terapi eradikasi; tes untuk aktif infeksi H. pylori. Hasil tidak langsung, tidak direkomendasikan untuk diagnosis awal; lebih mahal daripada tes urease cepat. Tes Non Endoskopi a. Tes Breath Urea Pengujian untuk aktif infeksi H. Pylori > sensitivitas 95% dan > spesifisitas 95%, hasil dapat diperoleh setelah dua hari uji. Antibiotik, bismuth, PPI dan antagonis resptor H2 dapat menyebabkan hasil negatif palsu, menghentikan penggunaan PPIs dan H2RA (1-2 minggu) dan bismuth atau antibiotik (2-4 minggu) sebelum tes. b. Tes serologi Antibodi Mendeteksi IgG antibodi H. pylori dalam serum, darah utuh atau urin, hasil dapat diketahui cepat (kurang lebih 15 menit), tetapi
15
tidak dapat ditemukan antibodi jika pasien sudah sembuh. Beberapa individu, tetap menyisakan antibodi di serum, sehingga tetap timbul hasil positif setelah 6-12 bulan paska eradikasi. Hasil tidak dipengaruhi oleh H2RA, PPI, antibiotik, atau bismuth. c. Tes Antigen Tinja Identifikasi antigen HP pada tinja, dapat dilihat dari perubahan warna tinja, bisa di deteksi secara visual atau spektrofotometer. Sensitifitas dan selektifitas sama dengan tes urea breath pada saat diagnosis awal Antibiotik, bismuth, dan PPIs dapat menyebabkan hasil negatif palsu, tetapi kurang berpengaruh dibanding pada tes urea breath Tes ini bisa digunakan untuk melaporkan eradikasi bakteri setelah terapi
G. TATA LAKSANA TERAPI PENYAKIT PEPTIK ULKUS
Terapi untuk penyakit peptik ulkus sangat bervariasi tergantung pada etiologinya ( H. pylori /NSAID), apakah ulkus awalan atau kambuhan dan apakah komplikasi peptik ulkus telah
muncul. Seluruh terapi bertujuan untuk mengurangi nyeri akibat ulkus, mengobati ulkus, mencegah kekambuhan dan menurunkan risiko komplikasi akibat peptik ulkus. Tujuan terapi pada pasien ulkus dengan infeksi bakteri H. pylori adalah untuk mengeradikasi bakteri H. pylori dan menyembuhkan ulkus. Kesuksesan eradikasi sangat menentukan proses penyembuhan ulkus selanjutnya dan dapat mengurangi risiko kekambuhan sebesar ± 10%. Tujuan terapi pada pasien peptik ulkus akibat penggunaan NSAID adalah untuk menyembuhkan ulkus secepat mungkin. Pasien dengan faktor risiko tinggi akibat penggunaan NSAID, jika dimungkinkan maka penggunaan NSAID secepat mungkin harus diganti dengan agen antiinflamasi yang selektif menghambat enzim COX-2 atau menggunakan terapi profilaksis untuk menurunkan risiko ulkus serta komplikasinya.
2
Terapi peptik ulkus berfokus pada eradikasi H. pylori untuk pasien dengan status positf H. pylori dan menurunkan risiko ulkus akibat penggunaan NSAID serta mencegah komplikasi
yang mungkin dapat ditimbulkan. Regimen terapi yang mengandung : (1) antibakteri seperti klaritromisin, metronidazol dan amoksisilin, (2) bismuth subsalisilat, (3) agen antisekretori seperti PPI atau H 2RA merupakan regimen obat peptik ulkus yang biasa digunakan untuk mengatasi gejala ulkus, menyembuhkan ulkus dan mengeradikasi bakteri H. pylori. PPI, H2RA dan sukralfat dapat digunakan pada pasien dengan status H. pylori negatif. Terjadinya 16
kekambuhan gejala ulkus masih akan tetap tinggi apabila penggunaan NSAID tidak dihentikan. Terapi profilaksis dengan PPI atau misoprostol dapat menurunkan risiko terjadinya ulkus dan komplikasi saluran cerna bagian atas pada pasien yang menggunakan NSAID. Terapi penggantian NSAID menjadi penghambat selektif COX-2 sering dilakukan dalam upaya pencegahan ulkus.
2
Modifikasi gaya hidup sangatlah penting untuk pasien dalam upaya mencegah terjadinya peptik ulkus. Perubahan gaya hidup yang dapat dilakukan meliputi pengurangan stress fisiologis dan penghentian kebiasaan merokok. Terapi tindakan pembedahan sangat diperlukan untuk pasien PUD yang telah mengalami perdarahan lambung atau komplikasi lainnya seperti terjadinya perforasi (perlubangan) di area lambung.
2
1. TERAPI NONFARMAKOLOGI
Terapi nonfarmakologi dapat dilakukan oleh pasien PUD dengan cara menghilangkan atau mengurangi stress fisiologis, menghentikan konsumsi rokok dan alcohol serta menghentikan pmakaian NSAID yang tidak selektif (termasuk aspirin) jika memungkinkan. Walaupun tidak ada diet khusus untuk mencegah penyakit peptik ulkus tetapi pasien harus diberikan edukasi untuk menghindari makanan atau minuman yang dapat memicu dyspepsia atau memperburuk gejala peptik ulkus. Jika memungkinkan dilakukan penggantian terapi analgetik NSAID dengan analgetik yang cenderung lebih aman untuk lambung seperti paracetamol, non asetilsalisilat (salsalate) atau analgetik penghambat selektif enzim COX-2.
2
2. TERAPI FARMAKOLOGI
Terapi lini pertama untuk pengatasan peptik ulkus dengan paparan bakteri H. pylori diawali dengan tripel regimen (PPI based three drug regimen) selama minimal 7
hari tetapi dapat dilanjutkan hingga 10-14 hari. Jika terapi dengan menggunakan lini pertama gagal atau tidak mencapai goal terapi maka dapat digunakan terapi lini kedua yakni dengan tripel regimen tetapi menggunakan antibakteri yang berbeda dengan sebelumnya atau dapat diganti dengan quadripel regimen (bismuth based four drug regimen) yang terdiri atas bismuth subsalisilat, metronidazol, tetrasiklin dan PPI.
2
17
Terapi konvensional dengan menggunakan obat antilkus (H 2RA, PPI, sukralfat) merupakan alternatif terapi dalam mengeradikasi bakteri H. pylori tetapi tidak disarankan mengingat tingginya risiko kekambuhan peptik ulkus dan komplikasinya. Kombinasi terapi antara H2RA dengan PPI atau H 2RA dengan sukralfat tidak disarankan untuk mengobati ulkus karena hanya akan menambah biaya pengobatan tetapi tidak diimbangi dengan efikasi yang diharapkan. Terapi pemeliharaan dengan PPI atau H 2RA direkomendasikan untuk pasien dengan faktor risiko komplikasi peptik ulkus yang tinggi, pasien yang gagal menerima terapi eradikasi dan pada pasien dengan status negatif H. pylori.
2
Pasien peptik ulkus akibat penggunaan NSAID harus diperiksa status paparan bakteri H. pylori terlebih dahulu. Jika pasien memiliki status H. pylori positif maka terapi harus dimulai dengan tripel regimen. Jika status pasien adalah H. pylori negatif maka terapi peptik ulkus dimulai dengan pemberian PPI atau H 2RA atau sukralfat. Jika penggunaan NSAID tidak dapat dihentikan maka terapi harus diawali dengan pemberian PPI secara monoterapi untuk pasien dengan status H. pylori negatif atau tripel regimen untuk pasien dengan status H. pylori positif. Terapi profilaksis dengan PPI, misoprostol atau penggantian terapi NSAID dengan penghambat selektif enzim COX-2 sangat direkomendasikan pada pasien yang memiliki faktor risiko tinggi terkena komplikasi akibat penyakit peptik ulkus. Algoritma terapi pengatasan peptik ulkus disajikan pada Gambar 11.
2
18
Gambar 11. Algoritma terapi peptik ulkus a) Terapi Penyakit Peptik Ulkus akibat Paparan Bakteri H. pilory
Tujuan terapi pada keadaan ini adalah untuk mengeradikasi organisme penyebab ulkus yakni H. pylori. Terapi yang digunakan untuk mengeradikasi bakteri H. pylori haruslah efektif, dapat ditoleransi dengan baik, regimen terapi dapat
meningkatkan kepatuhan pasien dalam menggunakan obat dan
cost-effective.
Penggunaan antibakteri, bismuth subsalisilat atau obat antiulkus lainnya secara monoterapi tidak disarankan karena tidak dapat mencapai tujuan terapi yakni eradikasi bakteri H. pylori. Penggunaan antibakteri secara tunggal tidak akan mensukseskan tujuan eradikasi tetapi bahkan dapat mempercepat kecepatan resistensi dari antibakteri itu sendiri.
2
19
Regimen obat untuk eradikasi bakteri H. pylori yang direkomendasikan haruslah mengkombinasikan dua antibakteri dengan satu agen antisekretori (tripel regimen) atau bismuth subsalisilat dengan dua antibakteri (berbeda jenis dengan tripel regimen)
dan
satu
agen
antisekretori
(quadripel
regimen)
sehingga
dapat
meningkatkan kecepatan eradikasi dan menurunkan risiko resistensi antibakteri. Amoksisilin tidak boleh digunakan pada pasien dengan status alergi penisilin dan metronidazol tidak boleh digunakan pada pasien yang mengkonsumsi alkohol. Bismuth subsalisilat memiliki efek antibakteri lokal. Obat antisekretori juga dapat meningkatkan efikasi antibakteri karena dapat meningkatkan aktivitas dan stabilitas dari antibakteri pada suasana pH lambung yang rendah dan dapat meningkatkan konsentrasi antibakteri karena penurunan volume intragastrik.
2
Tripel Regimen Berbasis PPI (Proton Pump Inhibitor)
Tripel regimen berbasis PPI terdiri atas satu agen antisekretori dengan dua antibakteri yang digunakan sebagai lini pertama dalam eradikasi bakteri H. pylori. Kombinasi
antara
klaritromisin
dengan
amoksisilin,
klaritromisin
dengan
metronidazol atau amoksisilin dengan metronidazol memiliki kemampuan kecepatan eradikasi H. pylori yang serupa. Kecepatan eradikasi H. pylori dapat ditingkatan apabila dosis klaritromisin juga ditingkatkan hingga 1,5 g/hari, tetapi peningkatan dosis antibakteri lainnya tidak dapat meningkatkan kecepatan eradikasi H. pylori. Kebanyakan klinisi lebih senang memilih memulai terapi dengan mengombinasikan antibakteri klaritromisin dengan amoksisilin dibandingkan kombinasi antibakteri klaritromisin dengan metronidazol. Penggunaan tripel regimen yang mengandung PPI dan kombinasi klaritromisin dengan metronidazol dilakukan apabila pasien alergi terhadap antibakteri golongan penisilin.
2
Durasi pengobatan pada penyakit peptik ulkus selama 7 hari merupakan masa minimal untuk mencapai tujuan eradikasi H. pylori. Penggunaan regimen peptik ulkus yang diperpanjang menjadi 10 hingga 14 hari dapat meningkatkan kecepatan eradikasi dan menurunkan risiko resistensi antibakteri. PPI harus diminum 15-30 menit sebelum makan. Pemberian PPI dosis tunggal kurang efektif dibandingkan pemberian dosis ganda apabila digunakan untuk eradikasi H. pylori. Penggantian satu 20
jenis agen PPI dengan jenis PPI yang lainnya dapat dilakukan dan tidak akan mempengaruhi kecepatan eradikasi H. pylori. Namun demikian substitusi antara PPI dengan H2RA tidak disarankan karena pada penelitian yang telah dilakukan menyatakan
bahwa
kecepatan
eradikasi
bakteri H. pylori lebih baik jika
menggunakan PPI. Tripel regimen yang digunakan dalam upaya eradikasi bakteri H. pylori disajikan pada gambar 12.
2
Quadripel Regimen Berbasis Bismut Subsalisilat
Quadripel regimen berbasis bismuth subsalisilat merupakan terapi peptik ulkus lini kedua. Kecepatan eradikasi H. pylori selama 14 hari terapi dengan pemberian bismuth, metronidazol, tetrasiklin dan H 2RA dirasakan tidak berbeda jauh dengan pemberian tripel regimen obat berbasis PPI. Peningkatan durasi pengobatan selama 1 bulan tidak secara substansial meningkatkan kecepatan eradikasi H. pylori. Penggantian amoksisilin dengan tetrasiklin dapat menurunkan kecepatan eradikasi H. pylori dan biasanya tidak direkomendasikan. Quadripel regimen yang mengandung
bismuth terbukti efektif dan tidak mahal dibandingkan tripel regimen, tetapi quadripel regimen juga diketahui dapat meningkatkan risiko frekuensi terjadinya efek obat yang tidak dikehendaki (Adverse Drug Reatcion) dan memicu ketidakpatuhan pasien karena jumlah regimen obat yang digunakan terlalu banyak.
2
Terapi lini pertama pada quadripel regimen yang mengandung PPI, bismuth, metronidazol dan tetrasiklin
dapat memperpendek durasi terapi menjadi 1g/ hari dapat menyebabkan
meningkatnya frekuensi terjadinya ADR yang ditandai dengan menurunnya kemampuan indra pengecapan, mual, muntah, nyeri abdomen dan diare. Resistensi antibakteri metronidazol lebih sering muncul (10-16%) tergantung pada jumlah paparan antibakteri sebelumnya serta kondisi di suatu daerah. Resistensi antibakteri klaritromisin dilaporkan lebih rendah (10-15%) dibandingkan metronidazol tetapi jika klaritromisin telah mengalami resistensi maka akan sangat mempengaruhi efektifitas
22
eradikasi H. pylori. Resistensi antibakteri amoksisilin dan tetrasiklin juga dilaporkan jarang terjadi pada terapi eradikasi H. pylori.
2
b) Terapi Penyakit Peptik Ulkus akibat Penggunaan NSAID (Non Steroid Antiinflamatory Disease)
Penggunaan NSAID yang tidak selektif seharusnya mulai dihentikan (jika memungkinkan) apabila pasien telah mengalami ulkus. Terapi ulkus untuk pasien yang telah mengehentikan penggunaan NSAID dapat dimulai dengan pemberian agen antisekretori seperti H 2RA, PPI atau sukralfat. PPI lebih direkomendasikan karena memiliki efektifitas yang lebih poten dalam menghentikan sekresi asam klorida (HCl) dan memiliki kecepatan dalam menyembuhkan ulkus lebih cepat jika dibandingkan dengan H2RA atau sukralfat. Apabila penggunaan NSAID terpaksa tetap diberikan maka sangat disarankan untuk menurunkan dosis NSAID yang digunakan atau mengganti NSAID dengan penghambat selektif enzim COX-2. PPI merupakan agen antisekretori yang dipilih apabila terapi dengan NSAID tetap digunakan karena dapat menekan sekresi asam klorida sehingga dapat mempercepat penyembuhan ulkus. Obat H2RA dan sukralfat tidak terlalu efektif dalam menyembuhkan ulkus untuk pasien yang masih aktif menggunakan NSAID. Apabila pasien juga memiliki status H. pylori positif maka terapi yang dipilih adalah regimen terapi eradikasi H. pylori
lini pertama.
2
Terdapat beberapa strategi yang dapat digunakan untuk menurunkan risiko komplikasi saluran cerna akibat ulkus. Seluruh strategi yang dilakukan bertujuan untuk mengurangi risiko iritasi topikal yang diakibatkan karena penggunaan NSAID. Beberapa komplikasi pepik ulkus yang dapat muncul antara lain perdarahan saluran cerna yang ditandai dengan munculnya melena (feses yang berwarna hitam) dan perforasi lambung. Terapi profilaksis dengan misoprostol dan PPI dapat menurunkan risiko terjadinya ulkus beserta komplikasinya. Upaya yang dapat dilakukan dalam mencegah terjadinya ulkus dan komplikasi akibat peptik ulkus juga adalah dengan mengganti NSAID non-selektif dengan obat yang selektif menghambat enzim COX2.
2
23
Terapi konvensional dengan menggunakan regimen standar H 2RA atau sukralfat dapat menurunkan gejala ulkus dan dapat menyembuhkan ulkus akibat penggunaan NSAID dengan durasi terapi selama 6-8 minggu. Penggunaan PPI pada terapi pemeliharaan dapat dilakukan dengan durasi 4 minggu. Antasida, walaupun efektif dalam mengobati peptik ulkus tetapi penggunaannya tidak disarankan secara monoterapi karena dosis yang dibutuhkan harus tinggi (100-144 mEq). Ketika terapi konvensional tidak dilanjutkan lagi setelah penyembuhan ulkus, maka pada pasien dengan status H. pylori positif akan mengalami kekambuhan lagi setelah satu tahun pengobatan. Terapi yang dapat digunakan untuk megatasi gejala peptik ulkus akibat penggunaan NSAID tersaji pada gambar 13.
2
Gambar 13. Regimen terapi pada PUD akibat penggunaan NSAID
Terapi antiulkus yang dilanjutkan secara jangka panjang bertujuan untuk menjaga kesembuhan ulkus dan mencegah komplikasi yang muncul. Terapi pemeliharaan diindikasikan pada pasien yang memiliki riwayat komplikasi akibat ulkus, ulkus yang terus mengalami kekambuhan, gagal saat menerima terapi eradikasi H. pylori, perokok berat dan pasien yang menggunakan NSAID jangka panjang (lebih
dari 6 bulan). Terapi pemeliharaan jangka panjang dengan H 2RA, PPI atau sukralfat
24
terbukti aman tetapi penggunaan sukralfat harus dihindarkan pada pasien yang mengalami gangguan ginjal.
2
H. MONITORING DAN EVALUASI
Penurunan nyeri epigastrik pada pasien peptik ulkus baik yang disebabkan oleh H. pylori atau penggunaan NSAID harus dimonitoring untuk menilai keberhasilan terapi. Umumnya gejala ulkus akan membaik setelah beberapa hari penghentian NSAID atau setelah 7 hari penggunaan obat antiulkus. Kebanyakan pasien dengan peptic ulkus yang tidak disebabkan karena infeksi bakteri H. pylori akan mengalami perbaikan gejala setelah menggunakan satu atau dua obat antiulkus. Perburukan gejala yang muncul setelah beberapa minggu dapat mengindikasikan kegagalan terapi eradikasi H. pylori atau adanya alternatif diagnosa lain seperti GERD.
2
Pasien dengan faktor risiko tinggi pada penggunaan NSAID harus dimonitoring secara ketat terkait dengan gejala yang dapat muncul seperti perdarahan saluran cerna, obstruksi, penetrasi dan perforasi. Monitoring terapi menggunakan endoskopi dilakukan pada pasien yang sering mengalami gejala kekambuhan, penyakit refraktori seperti GERD dan pasien yang telah mengalami komplikasi sebelumnya.
2
I. DAFTAR PUSTAKA rd
(1) Anonim, (2010). Atlas of Pathophysiology, 3 Edition,Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. th
(2) Dipiro, Joseph T., et al., (2008). Pharmacotherapy: A Phatophysiology Approach, 7 Edition, Columbus: McGraw-Hill Company.
(3) Fleming, Shawna. L., (2007). Helicobacter pylory, Deadly Diseases and Epidemics, New York: Infobase Publishing.
25
View more...
Comments