Pentingnya Etika Dan Moralitas Dalam Bisnis
April 24, 2018 | Author: nessa_ananda | Category: N/A
Short Description
Download Pentingnya Etika Dan Moralitas Dalam Bisnis...
Description
Pentingnya Etika Dan Moralitas Dalam Bisnis Ada satu perkembangan menarik, paling kurang yang diamati oleh Lynn Sharp Paine, seorang profesor di sekolah manajemen bergengsi Harvard Business School, tentang penetrasi etika bisnis dalam praktik bisnis di Amerika. Menurut Paine, da lam beberapa tahun terakhir ini, semakin banyak manajer yang menaruh perhatian serius akan etika. Beberapa telah memasukkan program pelatihan yang berkaitan dengan etika atau nilai. Banyak yang mulai membentuk pos khusus untuk etika perusahaan, komisi etika pada tingkat atas, atau task-force yang bertugas khusus menangani persoalan-persoalan yang berkaitan secara langsung atau tidak langsung dengan etika. Mereka semakin menyadari bahwa etika akan memperkuat organisasi perusahaan dan mempunyai sumbangan langsung bagi kinerja perusahaan yang memungkinkan perusahaan bisa berhasil dan bertahan dalam jangka panjang. Singkatnya, banyak manajer di Amerika semakin yakin bahwa etika sangat berguna bagi bisnis yang berhasil dan tahan t ahan lama. Apa yang diungkapkan Lynn S. Paine, dalam sebuah artikelnya dalam Business Ethics Quarterly (Oktober, 1996) ini, tentu didasarkan pada pengalaman, pengamatan, dan interaksinya dengan banyak manajer Amerika yang kiranya sebagian di antaranya adalah bekas mahasiswanya. Karena itu, ini bukan sekadar sebuah mimpi dari para etikawan. Sikap Sinis Terlepas dari kenyataan menggembirakan di atas, harus diakui bahwa masih banyak pihak, di Amerika, Eropa, Asia, dan di Indonesia khususnya, yang tetap bersikap sinis terhadap etika bisnis. Di Indonesia, sikap sinis ini diperkuat oleh kenyataan b ahwa praktik bisnis kita masih jauh dari tuntutan moralitas masyarakat. Bahkan banyak pengamat beranggapan bahwa para pelaku bisnis di Indonesia masih sangat jauh dari etika dalam kegiatan keg iatan bisnisnya. Paling kurang ada dua alasan untuk itu. Pertama, dalam konteks Indonesia khususnya, praktik bisnis kita yang t idak etis, tidak fair, dan tidak baik itu disebabkan o leh karena sistem sosial politik politik kita k ita yang kurang mendukung praktik bisnis yang baik, etis, dan fair. Adanya praktik-praktik monopoli, nepotisme, suap, tidak adanya peraturan bisnis atau bahkan kepastian hukum bisnis, telah membuka peluang yang besar bagi banyak pihak, khususnya yang lemah kesadaran moralnya, untuk melakukan bisnis secara tidak etis. et is. Dalam sistem semacam itu, sulit untuk bisa mengharapkan pelaku bisnis b isnis menjalankan bisnisnya secara baik dan etis. Yang lebih sering terjadi adalah mereka berusaha dengan segala macam cara memanfaatkan sistem semacam itu untuk mengeruk keuntungan ekonomis bagi dirinya masing-masing. Termasuk di dalamnya, adalah dengan cara-cara tidak etis menyingkirkan dan mengabaikan hak dan kepentingan kepe ntingan pihak lain. Bisnis lalu dilihat sebagai kegiatan yang sama sekali tidak bersentuhan dengan etika dan
moralitas. Kedua, jauhnya praktik bisnis dari sentuhan et ika, yang sekaligus juga menyebabkan anggapan bahwa bisnis tidak mengenal etika, juga antara lain didasarkan pada ajaran neoklasik yang dikemukakan oleh Milton Friedman bahwa satu-satunya tanggung jawab manajer adalah bagaimana mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya bagi para shareholders. Dengan kata lain, kewajiban utama, bahkan satu-satunya, dari para manajer adalah untuk meningkatkan dan memperbesar kekayaan atau keuntungan bagi pemegang saham. Mereka hanya berkewajiban untuk melindungi dan memajukan kepentingan para pemegang saham. Manajer lalu dilihat sebagai agen dari para pemegang saham. Dengan demikian, para manajer tidak punya kewajiban apapun terhadap pihak lain atau bahwa prinsip-prinsip moralitas, khususnya yang berkaitan dengan pihak lain, tidak lagi berlaku untuk mereka. Karena para manajer adalah para agen yang dibiayai untuk kepentingan para pemegang saham, yang klasik dan dikembangkan bagi manajer profesional adalah pemikiran yang bersifat strategis instrumental. Termasuk di dalamnya adalah semua pe mikiran yang bersifat teleologis dan pragmatis. Inti dari cara berpikir semacam ini adalah baga imana mengerahkan sarana yang seefisien dan seefektif mungkin untuk mendatangkan hasil yang didambakan sebesar mungkin. Dalam pola berpikir bisnis itu berarti, bagaimana menggunakan segala macam cara untuk mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya. Moralitas dan etika lalu dianggap sebagai tidak punya tempat dalam bisnis dan manajemen, kalau bukan bertentangan. Paling maksimal adalah: bagaimana mendatangkan uang sebanyak mungkin dalam kerangka hukum yang berlaku kalau memang ada hukum yang adil dan fair dan benar-benar dilaksanakan secara konsekuen tanpa pandang bulu. Dengan kata lain, jauhnya sentuhan etika atas bisnis disebabkan oleh terlalu terfokusnya perhatian, tanggung jawab dan kewajiban para pelaku bisnis dan manajer untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Usaha untuk meraih keuntungan telah menenggelamkan, mendiamkan, dan mengubur kesadaran moral para pelaku bisnis untuk berbisnis secara baik dan etis, terlepas dari kenyat aan bahwa masih banyak juga yang tetap punya kesadaran moral yang peka. Kedua faktor di atas saling berkaitan dan saling menunjang dalam menentukan baik tidaknya, etis tidaknya praktik bisnis. Jika sistemnya baik, tapi kalau pelaku bisnisnya memang telah hilang kesadaran moralnya, dan hanya terpaku pada keuntungan, selalu saja akan muncul bisnis yang tidak etis. Tetapi di pihak lain, betapapun etis dan baiknya pelaku bisnis kalau sistem sosial politik tidak ko ndusif, lama kelamaan akan muncul berbagai prakt ik bisnis yang tidak etis.
Tentu saja, benar bahwa di pihak lain, kendati sistem sosial politiknya bobrok tapi kalau pelaku bisnisnya memang punya kesadaran moral yang tinggi akan hak dan kepentingan pihak lain yang berkaitan dengan bisnisnya, dia akan tetap menjalankan bisnisnya secara baik dan etis terlepas dari apakah sistem sosial dan politiknya baik atau tidak. Kita memang tidak pernah akan sampai pada sebuah keadaan moral yang sempurna. Tapi keduanya punya pengaruh atas perilaku bisnis yang etis atau tidak. Kewajiban Moral Tanpa menafikan pentingnya sistem sosial politik yang kondusif bagi bisnis yang baik dan etis, salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah mengajak para manajer dan pelaku bisnis untuk melihat penting dan relevannya etika dan moralitas bagi kegiatan bisnis mereka. Sehubungan dengan itu, ada beberapa pertanyaan menarik yang perlu diajukan di sini. Apakah benar bahwa manajer hanya punya tanggung jawab dan kewajiban moral terhadap para pemegang saham? Dan, kalaupun benar bahwa hanya itu tanggung jawab dan kewajiban moral mereka, apakah tanggung jawab mereka terhadap pemegang saham itu hanya menyangkut dan berintikan uang, keuntungan? Lebih dari itu, kalaupun benar bahwa para manajer hanya punya satu tanggung jawab dan kewajiban moral kepada para pemegang saham berupa mendatangkan uang sebanyak-banyaknya, apakah itu berarti tuntutan dan imbauan moral berhenti dengan sendirinya dan tidak lagi berlaku bagi mereka? Baik dari segi moral dan hakikat manusia maupun dari segi hakikat kegiatan bisnis itu sendiri, semua kita kiranya sepakat bahwa tidak benar kalau para manajer hanya punya tanggung jawab dan kewajiban moral kepada para pemegang saham. Sebagai manusia dan sebagai manajer sekaligus mereka mempunyai tanggung jawab dan kewajiban moral sekian banyak orang dan pihak lain yang berkaitan dengan kegiatan dan operasi bisnis perusahaan yang dipimpinnya. Mereka mempunyai tanggung jawab dan kewajiban moral untuk memperhatikan hak dan kepentingan karyawan, konsumen, pemasok, penyalur, masyarakat set empat, dan seterusnya. Singkatnya, tanggung jawab dan kewajiban moral mereka tidak hanya tertuju kepada shareholders tetapi juga kepada stakeholders pada umumnya. Para manajer bekerja dalam sebuah dunia yang secara moral penuh dengan tanggung jawab yang beragam, bahkan sering saling bertentangan. Mereka bukan sekadar alat yang punya dan dibatasi hanya pada satu tanggung jawab dan kewajiban moral belaka. Sebagai manusia, dalam fungsi sebagai manajer, mereka dihadapkan pada berbagai tanggung jawab dan kewajiban yang lebih luas dari sekadar kepada para pemilik modal.
Dan yang menarik, tanggung jawab dan kewajiban moral ini tidak hanya menyangkut dan berintikan keuntungan finansial sebesar-besarnya. Kalaupun benar bahwa tanggung jawab dan kewajiban moral para manajer hanya tertuju kepada shareholders, tanggung jawab dan kewajiban moral mereka tidak hanya sebatas uang. Karena, sebagaimana dikatakan Paine, sebagai manusia dan warga masyarakat, para pemegang saham punya sekian banyak kepentingan lain lebih dari sekadar uang belaka. Mereka pun mempunyai kepentingan, misalnya, agar tercipta sebuah sistem sosial moral yang baik, tertib dan aman. Dan karena itu, para manajer punya tanggung jawab dan kewajiban moral untuk menjaga agar hak dan kepentingan semua pihak yang berkaitan dengan kegiatan bisnis perusahaannya tidak dirugikan. Dengan demikian, kalaupun benar bahwa para manajer hanya punya tanggung jawab dan kewajiban moral kepada para pemegang saham, tanggung jawab dan kewajiban itu tidak hanya mengangkut dan berintikan uang. Sama Esensialnya Yang juga menarik adalah apakah pemikiran moral tidak punya tempat dalam pemikiran dan kegiatan bisnis? Apakah benar bahwa pemikiran moral adalah sesuatu yang asing bagi dunia bisnis? Apakah manajer dan pelaku bisnis yang masih berpikir dalam kerangka moral, akan mengalami kerugian? Ada dua asumsi yang perlu disepakati terlebih dulu untuk menjawab pertanyaan ini. Pertama, tidak bisa disangkal bahwa manusia, termasuk pelaku bisnis, adalah makhluk yang sangat peduli pada dirinya, pada hidup beserta hak dan kepe ntingannya, tanpa harus berarti egoistis. Manusia sangat peduli pada kepent ingan pribadinya, dalam arti positif. Yaitu, bahwa sebagai makhluk Tuhan ia mempunyai tugas dan kewajiban moral untuk menjaga dan mempertahankan hidup beserta hak dan kepentingannya. Ini suatu tugas mulai dan suci. Diterjemahkan dalam bisnis itu berarti, setiap pelaku bisnis mempunyai kewajiban moral untuk peduli terhadap kepentingan pribadinya, berupa mendatangkan keuntungan bagi dirinya, bagi perusahaannya. Ini secara moral harus diterima sebagai syah. Asumsi kedua adalah bahwa demi memenuhi kepentingan pribadinya berupa mendatangkan keuntungan tersebut pola pikir yang paling relevan bagi dunia bisnis adalah pola pikir strategis instrumental. Tuntutan bisnis mengharuskan mereka untuk secara strategis menerapkan cara, teknik, dan strategi tertentu yang paling efektif untuk seefisien mungkin
mendatangkan keuntungan jangka pendek dan jangka panjang yang sebesar mungkin. Atau paling kurang, mereka diharapkan mengambil langkah dan kebijaksanaan bisnis yang dalam jangka panjang akan paling efektif menguntungkan perusahaan. Dengan kedua asumsi di atas, harus kita katakan bahwa justru dalam rangka pemikiran strategis untuk mengamankan kepentingan pribadi ataupun perusahaan berupa keuntungan jangka panjang itulah pemikiran moral mempunyai relevansi yang sangat kuat. Dalam upaya untuk mendatangkan keuntungan jangka panjang, setiap hari para manajer dihadapkan dengan berbagai pilihan kebijaksanaan dan tindakan, yang sebagian di antaranya mengandung konflik dan dilema. Dan ternyata sadar atau tidak sadar, sebagian besar pilihan itu, secara tersurat atau tersirat, mengandung nuansa moral, yang berarti, walaupun kelihatannya seakan merupakan pilihan bisnis-manajerial murni, tetapi ternyata adalah juga pilihan moral. Mempertahankan karyawan demi memperkecil pengangguran atau memecat sebagiannya demi efisiensi perusahaan adalah pilihan moral. Memproduksi pakaian dengan merek terkenal tertentu secara ilegal tetapi ternyata memberi penghidupan yang layak bagi sekian ribu karyawan adalah pilihan moral, yaitu, pilihan antara tindakan yang baik lawan tindakan yang baik, antara yang tidak baik lawan yang tidak baik dari segi moral. Dalam hal ini para manajer lalu membutuhkan baik secara intuitif-implisit maupun secara eksplisit-langsung, prinsip-prinsip moral tertentu yang bisa menjadi pegangan dan rujukan mereka. Bisa saja, rujukan moral itu muncul secara spontan dalam batinnya, melalui internalisasi pendidikan dan pengalaman bisnis. Tapi kenyataan tetap menunjukkan bahwa pemikiran moral itu tetap mereka butuhkan. Pemikiran moral di sini tidak sekadar berarti memilih di antara boleh atau tidak boleh, melanggar aturan moral atau tidak. Yang paling penting adalah bagaimana dia menempatkan kepentingan dirinya dan perusahaan dalam jaringan kepentingan semua pihak yang terlibat. Dan pada akhirnya, bagaimana ia mengambil keputusan terbaik bagi dirinya dan perusahaannya dan sekaligus juga bagi pihak lain yang terkait secara langsung atau tidak langsung dengan bisnisnya. Atau, paling kurang bagaimana memilih kebijaksanaan dan tindakan bisnis yang menguntungkan bagi perusahaan dengan tidak merugikan pihak lain. Jadi, pemikiran moral bukan soal mengorbankan kepentingan pribadi dan perusahaannya demi kepentingan pihak lain. Juga bukan soal bagaimana berbuat baik bagi pihak lain. Tapi bagaimana mencapai yang terbaik dalam situasi konkret yang paling mungkin bagi semua pihak yang terkait, yang secara moral pun akan dibenarkan.
Dan justru inilah sekaligus adalah pemikiran strategis. Secara ko nkret itu berarti, dalam kerangka kepentingan bisnis dan kerangka nilai-nilai moral yang dianut, para manajer dituntut untuk berusaha merumuskan dan mencapai tujuan bisnis sedemikian rupa untuk pada akhirnya tidak hanya menguntungkan dirinya dan perusahaan melainkan juga bagi banyak pihak lainnya. Atau paling kurang, bagaimana mencapai tujuan perusahaan dengan tidak mengorbankan pihak lain. Tidak berlebihan kalau Paine sampai pada sebuah kesimpulan yang sekaligus merupakan tesisnya bahwa pemikiran moral sama esensialnya bag i para manajer sama seperti pemikiran strategis-instrumental yang banyak diajarkan dalam sekolah-sekolah bisnis.
View more...
Comments