PENGENDALIAN PENYAKIT TUMBUHAN

May 17, 2019 | Author: Adhelia Syefanis | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

jjj...

Description

PENGENDALIAN PENYAKIT TUMBUHAN

Nama NIM Kelompok Rombongan Asisten

: Adhelia Syefanis : B1A015032 :2 :V : Bhisma Triwidhianto Triwidhiant o

LAPORAN PRAKTIKUM FITOPATOLOGI

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS BIOLOGI PURWOKERTO 2017

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengendalian penyakit yang selama ini umumnya dilakukan secara kimiawi, ternyata menimbulkan banyak dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat serta mikroorganisme non target. Oleh sebab itu, perlu alternatif lain yang lebih aman, misalnya konsep pengendalian penyakit secara terpadu, yang salah satu komponennya adalah pengendalian hayati. Pengendalian hayati merupakan alternatif  pilihan dalam pengendalian penyakit karena aman bagi lingkungan dan dapat diterima oleh masyarakat (Yulianti et al., 1998). Penyakit tanaman yang disebabkan oleh jamur patogen sampai saat ini masih merupakan masalah utama di bidang pertanian. Produksi pertanian secara kualitas maupun kuantitas mengalami penurunan yang sangat tinggi, sehingga perlu dilakukan  penanggulangan dan pengendalian yang tepat dan cermat. Konsep yang harus dikembangkan dalam pengendalian hama dan penyakit tanaman adalah selain memperhatikan efektivitas dan segi ekonomisnya juga harus mempertimbangkan masalah kelestarian lingkungan (Schlegel, 1994). Ketahanan terhadap penyakit merupakan salah satu sifat yang sangat penting dalam pemuliaan tanaman karena sangat mempengaruhi kualitas dan tingkat produksi tanaman. Salah satu upaya untuk meningkatkan ketahanan tanaman terhadap penyakit adalah melalui pembuatan fungisida nabati. Penggunaan fungisida nabati selain dapat menghambat perkembangan penyakit juga aman bagi konsumen dan lingkungan karena mudah terurai dan tidak meninggalkan residu pada produk pertanian (Sekarsari et al., 2013). Trichoderma harzianum  merupakan jamur antagonis yang mampu menurunkan serangan penyakit bibit. T. harzianum telah diketahui merupakan jamur antagonis bagi kebanyakan patogen tanaman dan mempunyai potensi yang baik sebagai agen pengendali hayati (Yulianti et al., 1998). Wells et al. (1972) dalam Yulianti et al. (1998) melaporkan  bahwa T. harzianum  berhasil mengendalikan Sclerotium rolfsii  di lapang melalui investasi buatan ke dalam tanah. Biofungisida merupakan pestisida yang berbahan aktif mikroorganisme dan  berasal dari alam. Biofungisida mempunyai sifat yang ramah terhadap lingkungan karena introduksinya ke tanah tidak menimbulkan pencemaran atau berdampak negatif terhadap

lingkungan. Biofungisida bukan bahan beracun, melainkan dapat mengembalikan keseimbangan alamiah dan kesuburan tanah (Tandion, 2008). B. Tujuan

Tujuan acara praktikum kali ini adalah untuk mengetahui efektivitas dan cara aplikasi Trichoderma harzianum dalam mengendalikan penyebab penyait pada tanaman.

II.

TELAAH PUSTAKA

Pengendalian hama dan penyakit secara biologi, kimiawi, dan mekanis, dilakukan secara terpadu, yaitu memadukan cara biologis, kimiawi, dan mekanis secara berimbang. Pengendalian secara terpadu ini dikenal dengan nama Pengendalian hama te rpadu (PHT). Pengendalian hama terpadu sangat baik dilakukan karena dapat memberikan baik  pengendalian hama dan patogen maupun terhadap lingkungan. Pengendalian penyakit secara kimiawi memang lebih efektif dibandingkan dengan pengendalian mekanis, serta varietas tahan. tetapi ternyata menimbulkan residu efek terhadap pencemaran lingkungan. Pencemaran lingkungan akibat penggunaan bahan kimia berdampak terhadap unsurunsur biologis, yaitu musnahnya organisme lain contohnya hewan-hewan predator, hewan-hewan yang dapat membantu penyerbukan. Konsep pengendalian hama terpadu lebih efektif dan efisien, serta memberikan yang dampat sekecil mungkin terhadap lingkungan hidup. Keuntungan lain dari pengendalian hama terpadu adalah menghemat  biaya (Hidayat, 2001). Tujuan dari pengendalian penyakit tanaman tersebut adalah untuk mencegah terjadinya kerugian ekonomis serta menaikkan nilai hasil produksi dari tanam an yang kita usahakan. Oleh karena itu, pada umumnya kita hanya memperhatikan dan mengendalikan  penyakit tanaman yang dapat menimbulkan kerugian. Biasanya usaha pengendalian itu hanya perlu dilaksanakan apabila biaya yang dikeluarkan atau diperlukan untuk  pengendalian lebih kecil dari pada kerugian yang terjadi sebagai akibat dari penyakit kalau tidak dilakukan pengendalian. Ini berarti nilai akibat dari pengendalian tersebut, haruslah lebih besar dari pada nilai biaya yang dikeluarkan untuk pengendaliannya. Pengendalian penyakit tanaman adalah salah satu aspek dari banyak hal yang perlu diperhatikan dalam mengusahakan suatu tanaman. Oleh karena itu, kita perlu memecahkan usaha pengendalian penyakitnya, dalam suatu program penanaman tanaman yang kita usahakan, agar dapat memberikan hasil yang setinggi-tingginya, baik kuantitas maupun kualitas dari hasil tersebut. Bahkan kalau mungkin didalam satu tindakan tersebut secara operasionalnya dapat sekaligus dilakukan pengendalian terhadap beberapa  penyakit, hama dan gangguan lainnya (Abidin, 2004). Pengendalian penyakit tumbuhan yang banyak dilakukan saat ini ialah menggunakan fungisida kimia sintetik karena penggunaan yang lebih praktis dalam aplikasinya. Ketergantungan akan penggunaan fungisida kimia sintetik harus semakin di  batasi, mengingat banyaknya dampak negatif yang ditimbulkan. Penggunaan fungisida

kimia sintetis yang kurang bijaksana dapat menimbulkan masalah kesehatan, pencemaran lingkungan dan terganggunya keseimbangan ekologis. Konsep pengendalian yang perlu dikembangkan

harus

memperhatikan

keseimbangan

ekosistem

dan

kelestarian

lingkungan. Pengendalian hayati dapat dijadikan sebagai alternatif karena dapat membatasi pertumbuhan dan perkembangan patogen, serta mencegah terjadinya  pencemaran lingkungan akibat residu toksik dari fungisida. Pengendalian hayati yaitu kegiatan untuk menekan atau mengurangi aktivitas patogen dalam menimbulkan penyakit dengan memanfaatkan musuh-musuh alami yang bersifat antagonis ataupun dapat ditempuh

dengan

memusnahkan

manipulasi

patogen

tetapi

lingkungan. menyebabkan

Prinsip

pengendalian

populasi

patogen

hayati berada

tidak dalam

keseimbangan biologi (Andriani et al., 2012). Trichoderma sebagai agen biokontrol melindungi tanaman dari patogen. Biokontrol  patogen tumbuhan menggunakan isolat Trichoderma telah terbukti menjadi alternatif yang potensial untuk pengendalian penyakit Trichoderma sp. merupakan agen biokontrol yang telah banyak dipelajari dan tersedia secara komersial sebagai biofertilizer dan  biopestisida. Enzim litik yang dihasilkan oleh Trichoderma sangat penting dalam  biokontrol jamur busuk akar seperti Rhizoctonia, Sclerotium, dan Fusarium. Penyakit yang disebabkan oleh Sclerotium dapat mempengaruhi pada setiap tahap pertumbuhan tanaman (Küçük, 2017). Keunggulan dari biofungisida dibandingkan dengan jenis fungisida kimia sintetis adalah selain mampu mengendalikan jamur patogen di dalam tanah, ternyata juga dapat mendorong adanya fase revitalisasi tanaman. Revitalisasi ini terjadi karena adanya mekanisme interaksi antara tanaman dan agensia aktif Trichoderma sp. dalam memacu hormon/stimulator pertumbuhan tanaman (Suwahyono & Wahyudi, 2004). Menurut Darmono (1997), molekul antibiosis yang dihasilkan oleh Trichoderma sp. adalah 1,3glukanase dan khitinase. Kedua enzim tersebut menghancurkan glukan dan kitin yang merupakan komponen dinding hifa dari beberapa cendawan patogen tanaman.

III.

A.

MATERI DAN METODE

Materi

Alat-alat yang digunakan pada praktikum pengendalian penyakit tumbuhan yaitu cawan petri, baskom, dan sendok. Bahan-bahan yang digunakan pada praktikum pengendalian penyakit tumbuhan yaitu isolat Trichoderma harzianum, isolate Sclerotium roflsii  media  Potato Dextrose Agar   (PDA), akuades steril, tanah steril, benih cabai (Capsicum annuum), benih terong (Solanum melongena) dan alkohol 70%. B.

Metode

1. Pembuatan bubur inokulum Diaduk rata Ditambahkan isolat Tanah steril

Trichoderma harzianum

Ditambahkan akuades

2. Aplikasi agen antagonis dan patogen pada setiap perlakuan P1

Bubur inokulum T.

Dimasukkan ke tanah steril

inkubasi 2 x 24  jam

Tanah mengandung

T. harzianum

harzianum

Dirawat selama 2 minggu dan disiram

P2

Bubur inokulum S.

Dimasukkan ke tanah steril

Diinokulasi Sclerotium rolfsii dan penyemaian benih

inkubasi 2 x 24  jam

Tanah mengandung

S. rolfsii

rolfsii

Dirawat selama 2 minggu dan disiram

Diaplikasikan dengan T. harzianum dan penyemaian benih

P3

Bubur

Bubur

inokulum S. inokulum T.

rolfsii

harzianum

Dimasukkan ke tanah steril @2 sendok

Penyemaian benih

Dirawat selama 2 minggu dan disiram

3. Pengamatan intensitas penyakit Diamati jumlah tanaman yang sakit Hasil penyemaian

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Tabel 4.1. Hasil Pengamatan Intensitas Penyakit Rombongan V

Kelompok/Perlakuan

Jumlah semai sakit (a)

Jumlah semai sehat (b)

Intensitas penyakit (%)

1/P1

0

10

0%

2/P1

0

5

0%

3/P2

0

5

0%

4/P2

0

3

0%

5/P3

1

10

9,09%

6/P3

0

9

0%

7/P3

0

4

0%

Rumus intensitas penyakit

IP =

 +

× 100%

Keterangan:

IP = Intensitas penyakit (%) a = Jumlah semai sakit  b = Jumlah semai sehat Perhitungan

IP =

 +5

× 100% =

0%

Gambar 4.1. Aplikasi bubur inokulum dan penanaman benih

Gambar 4.2. Pengamatan minggu ke-1

Gambar 4.3. Pengamatan minggu ke-2

B. Pembahasan

Cara pengendalian dengan aplikasi fungsida sering gagal karena penyakit dapat  berkembang dengan cepat jika lingkungan mendukung perkembangan penyakit. Tindakan pengendalian sering terlambat karena umumnya didasarkan pada gejala  penyakit seperti layu pada tajuk tanaman padahal infeksi sering sulit dideteksi karena terjadi pada atau di bawah permukaan tanah (Ginting & Maryono, 2011). Salah satu cara  pengendalian penyakit yang hendaknya digunakan ialah pengendalian biologi (Cook & Baker, 1983). Pengendalian hayati adalah pengendalian serangga hama dengan cara biologi, yaitu dengan memanfaatkan musuh-musuh alaminya (agen pengendali biologi), seperti  predator, parasit dan patogen. Pengendalian hayati adalah suatu teknik pengelolaan hama dengan sengaja dengan memanfaatkan atau memanipulasikan musuh alami untuk kepentingan pengendalian, biasanya pengendalian hayati akan dilakukan perbanyakan musuh alami yang dilakukan dilaboratorium. Sedangkan Pengendalian alami merupakan Proses pengendalian yang berjalan sendiri tanpa campur tangan manusia, tidak ada proses  perbanyakan musuh alami (Effendi, 2009). Keberhasilan penerapan pengendalian hayati sangat ditentukan dengan ketepatan  pemilihan agen pengendali, untuk itu perlu pengetahuan tentang ekologi dan biologi  patogen sebelum menentukan agen pengendali yang digunakan. Diantara sifat yang harus dimiliki agen pengendali hayati, menurut mukerji (1998) yaitu sebagai berikut : 1. Mampu tumbuh lebih cepat dibanding pathogen 2. Bersifat sebagai pesaing (competitor) terhadap patogen 3. Mampu menghasilkan senyawa antibiosis, enzim dan toksin yang mampu menghambat pertumbuhan pathogen 4. Mudah dibiakkan pada media buatan 5. Tidak menimbulkan penyakit pada tanaman. Pengendalian secara biologi sudah luas digunakan dengan menggunakan jamur jamur saprofit yang bersifat antagonis terhadap  Fusarium oxysporum  f. sp lycopersici (Fol) di antaranya dengan menggunakan fungi mikoriza arbuskula (FMA)(Alfizar et al., 2011). Jamur genus Trichoderma sudah lama dikenal karena memiliki kemampuan sebagai agen biokontrol dalam menyerang patogen tanaman. Jamur T . harzianum ketika ditumbuhkan di media akan membentuk koloni berwarna putih, namun ketika  pembentukan konidia dan konidiofor akan berwarna hijau. Konidia berbentuk padat di

tengah dengan cincin konsentris yang berombak sepanjang tepi (Gveroska & Ziberoski, 2012). Pengendalian biologi (hayati) menunjukkan alternatif pengendalian yang dapat dilakukan tanpa harus memberikan pengaruh negatif terhadap lingkungan dan sekitarnya. Salah satu pemanfaatan agens hayati yaitu seperti virus, jamur atau cendawan, bakteri atau aktinomycetes. Beberapa jamur atau cendawan mempunyai potensi sebagai agens hayati diantaranya adalah Trichoderma sp. salah satunya yaitu Trichoderma harzianum (Tandion, 2008). Jamur ini digunakan sebagai agensia antagonis yang mampu menghambat perkembangan patogen melalui proses mikroparasitisme, antibiosis, dan kompetisi (Rifai et al., 1996). Potensi jamur Trichoderma sp. sebagai jamur antagonis yang bersifat preventif terhadap serangan penyakit tanaman telah menjadikan jamur tersebut semakin luas digunakan oleh petani dalam usaha pengendalian organisme  pengganggu tumbuhan (OPT). Karakternya sebagai antagonis diketahui pula bahwa Trichoderma sp.  juga berfungsi sebagai dekomposer dalam pembuatan pupuk organik. Aplikasi jamur Trichoderma sp.  pada pembibitan tanaman juga dapat mengantisipasi serangan OPT sedini mungkin yang telah dilakukan oleh para petani (Ismail & Andi, 2009). T. harzianum  menekan perkembangan patogen dengan berbagai cara seperti antibiosis, parasitisme dan kompetisi nutrisi (Gveroska & Ziberoski, 2012). Menurut Agrios (1997) kondisi lingkungan yang mendukung pertumbuhan tanaman dan kurang mendukung bagi perkembangan patogen akan memperlambat masa inkubasi, sehingga  patogen membutuhkan waktu lebih lama untuk menginfeksi tanaman. Hal ini sesuai dengan pendapat Farida (2004), yang menyatakan bahwa patogen sukar melakukan  penetrasi ke tanaman dan menimbulkan penyakit apabila sistem perakaran terkuasai antagonis. Penggunaan antagonis T. harzianum dapat menekan perkembangan pathogen tular tanah sedangkan aplikasi FMA dapat menciptakan lingkungan yang sesuai bagi T. harzianum  dalam menekan populasi Fol di dalam tanah. Peningkatan populasi dan aktivitas antagonis berpengaruh positif terhadap tanaman karena pathogen berkurang sehingga pertum-buhan dan perkembangan tanaman semakin baik, tidak hanya pada fase vegetatif tetapi juga ketika memasuki fase generative (Yuflida & Rustam, 2003). Trichoderma harzianum bersifat antagonis bagi jamur pathogen. Mekanismenya adalah sebagai berikut (Farida, 2004):

a. Terjadinya kompetisi bahan makanan antara jamur patogen dengan T. harzianum. Adanya pertumbuhan yang berjalan begitu cepat dari T. harzianum  akan mendesak pertumbuhan jamur patogen.  b. Mikoparasitisme T. harzianum  merupakan jamur yang mempunyai sifat mikoparasitik, artinya  jamur T. harzianum  tergolong dalam kelompok jamur yang menghambat  pertumbuhan jamur lain melalui mekanisme parasitisme. Mekanisme yang terjadi adalah bahwa selama pertumbuhan jamur ini di tanah yang berjalan begitu cepat,  jamur ini akan melilit hifa jamur patogen. Bersama dengan pelilitan hifa tersebut, dia mengeluarkan enzim yang mampu merombak dinding sel hifa jamur patogen, sehingga jamur patogen mati. Beberapa jenis enzim pelisis yang telah diketahui dihasilkan adalah enzim kitinase dan b -1,3 glucanase. c. Antibiosis. T. harzianum

selain menghasilkan enzim pelisis dinding sel jamur juga

menghasilkan senyawa antibiotik yang termasuk kelompok furanon dapat menghambat pertumbuhan spora dan hifa jamur patogen, diidentifikasikan dengan rumus kimia 3-(2-hydroxypropyl-4-2-hexadienyl ) -2-(5H)-furanon. Penggunaan T. harzianum sebagai agen kontrol biologi kebanyakan dilakukan dalam bentuk biakan dalam substrat seperti campuran dedak pad i dan serbuk gergaji, pasir dengan tepung kulit sekam, pasir dengan tepung jagung dan kulit sekam (Dharmaputra dan Suwandi, 1988), kulit sekam dengan serbuk gergaji (Sinaga, 1989). Cara pemberian dalam bentuk substrat tersebut dirasa kurang praktis dan kurang efisien untuk aplikasi di lapangan, terutama untuk tujuan aplikasi dalam skala luas. Oleh karena itu, perlu dicari  bahan pembawa lain yang lebih praktis, efektif dan efisien. Salah satu cara yang dapat dikembangkan adalah penggunaan biakan agen antagonis dalam bentuk formula pelet. Formula pelet ini bentuknya kecil sehingga lebih praktis untuk dibawa atau dikirim dan diaplikasikan di lapangan. Namun, komposisi dan konsentrasi medium tumbuh akan sangat berpengaruh terhadap daya tahan hidup, sporulasi dan daya antagonism cendawan T . harzianum (Sinaga, 1989). Hasil yang didapatkan pada rombongan V yaitu persentase intensitas penyakit pada kelompok 1, 2, 3, 4, 5 dan 7 yaitu 0%, serta persentase pada kelompok 5 dengan perlakuan 3 sebesar 9,09%. Berdasarkan hasil kelompok 2 rombongan V didapatkan persentase intensitas penyakit dengan nilai 0% pada beberapa perlakuan membuktikan bahwa Trichoderma harzianum  memiliki kemampuan berkompetisi melawan cendawan

 patogen. Menurut Berlian et al. (2013), Trichoderma sp. adalah jamur saprofit tanah yang secara alami merupakan parasit dan menyerang banyak jenis jamur penyebab penyakit tanaman atau memiliki spektrum pengendalian yang luas. Jamur Trichoderma sp. dapat menjadi hiperparasit pada beberapa jenis jamur penyebab penyakit tanaman dan  pertumbuhannya sangat cepat. Dalam keadaan lingkungan yang kurang baik, miskin hara atau kekeringan, Trichoderma sp. akan membentuk klamidospora sebagai propagul untuk  bertahan dan berkembang kembali jika keadaan lingkun gan sudah menguntungkan. Oleh karena itu dengan sekali aplikasi Trichoderma sp. akan tetap tinggal dalam tanah. Hal ini merupakan salah satu kelebihan pemanfaatan Trichoderma sp. sebagai agen pengendalian hayati khususnya untuk patogen tular tanah.

V.

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa biofungisida efektif digunakan sebagai agen biokontrol dalam mengendalikan patogen penyebab penyakit  pada tumbuhan. Cara aplikasi T. harzianum yang baik pada perlakuan 1, 2, dan 3 B. Saran

Meningkatkan ketelitian dan kecermatan dalam melakukan setiap tahap praktikum. Menjaga lingkungan kerja agar selalu aseptis dan meminimalisir terjadinya kontaminasi. Meningkatkan kerjasama tim dan selalu memperhatikan instruksi asisten.

DAFTAR REFERENSI

Abidin, Z. 2004. Pengendalian Hama dan Penyakit utama Pada Tanaman Tembakau. Medan : BPTD. Agrios. 1997. Plant pathology 4th ed  . NewYork: Academic Press. Alfizar, Marlina, & Hasanah, N. 2011. Upaya pengendalian penyakit layu  fusarium oxysporum  dengan pemanfaatan agen hayati cendawan fma dan trichoderma harzianum. J. Floratek 6: 8  –  17. Andriani, D., Yetti E. S., & Yunel V. 2012. Uji Antagonis Trichoderma pseudokoningii Rifai dalam Formulasi Biofungisida yang Mengandung Beberapa Bahan Organik terhadap Jamur Ganoderma boninense  Pat secara In Vitro. Riau: Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian. Universitas Riau. Berlian, I., Setyawan, B. & Hadi, H. 2013. Mekanisme Antagonisme Trichoderma spp. Terhadap Beberapa Patogen Tular Tanah. Warta Perkaretan: 32(2), 74-82. Cook, R. J., & Baker, K. F. 1983. The Nature and Practice of Biological Control of Plant  Pathogens. Minnesota: The American Phytopathological Society. Darmono, 1997. Biofungisida Trichoderma untuk pengendalian patogen penyakit tanaman perkebunan. Prosiding Pertemuan Teknis Bioteknologi Perkebunan untuk  Praktek , Bogor: Unit Penelitian Bioteknologi Perkebunan. Dharmaputra, O.S. & W.P. Suwandi. 1988. Substrat untuk produksi besar-besaran Trichoderma harzianum. Bogor: Laporan Tahunan Kerjasama Penelitian P.P. Marihat-Biotrop. Effendi, & Baehaki, S. 2009. Strategi Pengendalian Hama Terpadu Perspektif Praktek Pertanian Yang Baik (Good Ag Triacnualtmuraanl PPadrai cDtiacleasm).  Pengembangan Inovasi Pertanian, 2(1): 68-78. Farida, N., 2004. Pemanfaatan Trichoderma harzianum Dan Bahan Organik Pada Tanah Entisol Untuk Menghambat  Fusarium oxysporum  Pada Tanaman Tomat ( Lycopersicum esculentum Mill). Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Syiah Kuala (KSDL) Fakultas Pertanian. Ginting, C., & Maryono, T. 2011. Efikasi trichoderma harzianum dengan berbagai bahan organik dalam pengendalian penyakit busuk pangkal batang pada lada. J. HPT Tropika. 11(2): 147  –  156. Gveroska, B., & Ziberoski, J. 2012. Trichoderma harzianum as a biocontro l agent against Alternaria alternata on tobacco. Applied Technologies & Innovations. 7(1): 67-76. Hidayat, A. 2001.  Metode Pengendalian Hama. Tim Program Keahlian Budidaya Tanaman. Departemen Pendidikan Nasional . Jakarta : Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan. Ismail, N. & Andi Tenrirawe. 2009. Potensi Agens Hayati Trichoderma spp. sebagai Agens Pengendali Hayati. Seminar Regional Inovasi Teknologi Pertanian. Sulawesi Utara: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP).

Küçük, C. 2017.  In vitro Antagonistic Activity against  Fusarium Species of Local Trichoderma spp. Isolates. J. BIOL. ENVIRON. SCI ., 11(32): 67-74. Mukerji, K.G. & K.L. Grag. 1988. Biocontrol of Plant diseases. Florida : CRC Press, Inc. Boca Roton. Rifai, M., Mujim, S., & Aeny, T.N., 1996. Pengaruh Lama Investasi Trichoderma viride Terhadap Intensitas Serangan Pythium sp. pada Kedelai. Jurnal Penelitian Pertama VII : 8 : 20-25. Schlegel. 1994. Biological control of Fusarium crown rot of tomato by Trichoderma harzianum under field conditions. Plant Disease. 71(7) : 587-592. Sekarsari, Rara Ayu, Joko Prasetyo & Tri Maryono. 2013. Pengaruh Beberapa Fungisida  Nabati Terhadap Keterjadian Penyakit Bulai Pada Jagung Manis (Zea Mays Saccharata). J. Agrotek Tropika. 1(1), pp. 98 –  101. Sinaga, M.S. 1989. Potensi Gliocladium spp. sebagai Agen Pengendali Hayati Beberapa Cendawan Patogenik yang Bersifat Soil-Borne. Bogor: Laporan Penelitian Fakultas Pertanian IPB. Suwahyono, U & Wahyudi P. 2004. Penggunaan Biofungisida pada Usaha Perkebunan.http://www.iptek.net.id/ind/terapan/terapan_idx.php?doc=artikel_12. Diakses pada 4 Desember 2017. Tandion, H., 2008. Pengaruh Jamur Antagonis Trichoderma harzianum  dan Pupuk Organik Untuk Mengendalikan Patogen Tular Tanah Sclerotium roflsii Sacc. Pada Tanaman Kedelai (Glycine max L.) di Rumah Kasa. Vol.96, pp.190-94. Yuflida, A & Rustam. 2003. Penggunaan beberapa jamur antagonis menekan  pertumbuhan jamur Sclerotium rolfsi Sacc, penyebab penyakit rebah kecambah  bibit cabe. Pest tropikal Journal. 1(1): 20-22. Yulianti, T., N. Ibrahim & S. Rahayuningsih. 1998. Ekobiologi Mikroorganisme Antagonis Sclerotium rolfsii pada Kapas. Jurnal Littri. IV : I (1-5).

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF