Pengelolaan DAS Sungai Ciliwung PDF

April 12, 2022 | Author: Anonymous | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Pengelolaan DAS Sungai Ciliwung PDF...

Description

PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN BERKELANJUTAN DAS CILIWUNG HULU KABUPATEN BOGOR

JOKO SUWARNO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa disertasi yang

berjudul

PENGEMBANGAN

KEBIJAKAN

PENGELOLAAN

BERKELANJUTAN DAS CILIWUNG HULU KABUPATEN BOGOR adalah hasil karya penelitian disertasi saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam rangka memperoleh gelar atau untuk maksud apapun kepada perguruan tinggi di manapun. Sumber data yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Bogor, November 2011

Joko Suwarno NIM. P062080171

ABSTRACT JOKO SUWARNO. Policy Development of Sustainable Management of upper Ciliwung

Watershed, District

Bogor. Under supervision of HARIADI

KARTODIHARDJO as a chairman, BAMBANG PRAMUDYA N. and SAEFUL RACHMAN each as members.

It is estimated that 13% or 62 than 470 watersheds in Indonesia are in critical condition. Ciliwung is one of the critical watershed. The research was conducted in the upper Ciliwung watershed, Bogor Regency. The purpose of this research were (1) to determine the sustainability index of upper Ciliwung watershed management, (2) to analyze local arena actions, and (3) to formulate policies development for upper Ciliwung sustainable watershed management. Analysis used to

determine sustainability index of watershed management was

multidimensional scaling analysis (MDS). To analyze action arena was used content analysis, interpretative structural modeling and exploratory descriptive analysis. To formulate development of sustainable management policy was used prospective analyze and morphology analyze.

The results showed that

sustainability index of upper Ciliwung was 47,23 or less sustainable status. Partially analysis showed that two dimensions were quite sustainable (economic dimension, accessibility and conservation technology dimension) and three others were less sustainable (ecological, social, and institutional dimensions). Local institutions in upper Ciliwung watershed were ineffective. Government policy did not touch the main issue in the watershed upper Ciliwung ie. there is no clear arrangement of property rights of land. The arrangements regulate rights and duties of individuals, groups, and state owners over commons property. It was necessary conditions in the sustainable management of upper Ciliwung watershed. Strategy intervention scenarios most likely to be implemented was moderate scenario and it was sufficient conditions.

The scenario could improve the

sustainability index of 47.23 (less sustainable) to 51,84 (quite sustainable). Keywords :

Policy, institution, management, sustainable, Ciliwung

watershed, upper

RINGKASAN

JOKO SUWARNO. Pengembangan Kebijakan Pengelolaan Berkelanjutan Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Hulu Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh HARIADI KARTODIHARDJO sebagai ketua, BAMBANG PRAMUDYA N. dan SAEFUL RACHMAN masing-masing sebagai anggota. Daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung merupakan salah satu dari 470 DAS di Indonesia yang berada dalam kondisi kritis. DAS Ciliwung merupakan DAS nasional yang melintasi wilayah Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta. Dalam pengelolaannya DAS Ciliwung terbagi ke dalam tiga wilayah pengelolaan yaitu Ciliwung Hilir, Ciliwung Tengah dan Ciliwung Hulu. DAS Ciliwung Hulu berada di dalam Kabupaten Bogor. Permasalahan teknis utama di DAS Hulu adalah fungsi DAS sebagai daerah tangkapan air (DTA) sudah tidak efektif lagi sebagai wilayah hulu yang diharapkan fungsinya untuk mencegah banjir pada musim hujan dan kekurangan suplai air bersih pada musim kemarau. Hal ini diakibatkan oleh menurunnya fungsi ekologi DAS Ciliwung Hulu yang diakibatkan oleh tidak terkendalinya alih fungsi lahan bervegetasi menjadi lahan terbangun, tersebarnya lahan gontai yang kurang mendukung berfungsi konservasi untuk sumberdaya air, dan pengelolaan lahan garapan tidak konservatif. Dengan tidak terkendalinya perubahan penutupan lahan dan alih kepemilikan lahan menjadi lahan permukiman maka sejak tahun 1960-an dan terakhir tahun 2008, pemerintah melalui Perpres 54/2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur, telah memprioritaskan pengelolaan DAS Ciliwung Hulu. Wilayah ini diharapkan berfungsi sebagai wilayah penyangga ibukota DKI Jakarta sehingga tata ruangnya perlu dikelola lebih intensif. DAS Ciliwung Hulu diharapkan berfungsi sebagai daerah tangkapan air dan berfungsi lindung bagi wilayah di hilirnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memformulasikan pengembangan kebijakan pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu. Tujuan ini dirancang melalui pencapaian beberapa sub-tujuan, yaitu (1) mengetahui nilai indeks dan status keberlanjutan pengelolaan DAS Ciliwung Hulu, (2) menganalisis arena aksi lokal DAS Ciliwung Hulu dan (3) memformulasikan skenario pengembangan kebijakan pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu.

Metoda analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) analisis multidimensional scaling (MDS) untuk menghitung nilai indeks keberlanjutan pengelolaan DAS Ciliwung Hulu, (2) analisis arena aksi lokal DAS Ciliwung Hulu menggunakan analisis interpretative structural modeling (ISM), analisis isi (content analysis) dan analisis deskriptif kualitatif eksploratif, dan (3) analisis prospektif digunakan untuk menentukan faktor kunci dalam pengelolaan berkelanjutan, serta analisis morfologis untuk menentukan skenario pengembangan kebijakan pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu. Berdasarkan hasil analisis tingkat keberlanjutan terhadap kondisi yang ada pada saat penelitian dilaksanakan (existing) dan melalui pembobotan per-dimensi dalam pengelolaan DAS Ciliwung Hulu menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan DAS Ciliwung Hulu sebesar 47,23 berarti kurang berkelanjutan. Analisis secara parsial menunjukkan bahwa dua dimensi yang cukup berkelanjutan diperoleh dari dimensi ekonomi dan dimensi aksesibilitas dan teknologi konservasi masing-masing mencapai 60,53 dan 55,64. Tiga dimensi lainnya kurang berkelanjutan yaitu dimensi ekologi, dimensi sosial, dan dimensi kelembagaan masing-masing sebesar 44,74; 47,76 dan 28,77. Hasil analisis terhadap arena aksi lokal DAS Ciliwung Hulu diperoleh bahwa institusi lokal DAS Ciliwung Hulu yang terdiri dari aturan informal masyarakat dan aturan formal berupa kebijakan pemerintah dalam pengelolaan DAS ternyata keduanya tidak efektif dalam mengatur perilaku dan pilihan strategi masyarakat dalam pengelolaan DAS Ciliwung Hulu. Aktor dominan dalam pengelolaan DAS Ciliwung Hulu adalah (1) masyarakat luar pemilik lahan di DAS Ciliwung Hulu, (2) biyong (makelar tanah) yang berperan dalam jual beli lahan, (3) instansi yang mempunyai tugas pokok dan fungsi koordinasi pembangunan (Bappeda Kab. Bogor), dan (4) Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP4K) dan UPT BP3K (Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan) Wilayah Ciawi, dan (5) pengusaha lokal produk pertanian. Kelima aktor tersebut berpengaruh besar terhadap akses lahan untuk kegiatan rehabilitasi hutan, alih fungsi dan alih kepemilikan lahan, pengembangan alternatif pendapatan dari kegiatan non-pertanian, penguatan kapasitas masyarakat petani lokal, dan koordinasi semua pihak dalam pengelolaan DAS Ciliwung Hulu. Kebijakan pemerintah dalam pengelolaan DAS Ciliwung Hulu tidak efektif karena perilaku pelaku kebijakan masih diwarnai paradigma sektoral dan tidak menyentuh permasalahan utama di DAS Ciliwung Hulu yaitu

tidak jelasnya pengaturan hak dan kewajiban kepemilikan lahan (arrangement of property right of land). Lahan di Indonesia berfungsi sosial (pasal 6 UUPA No. 5/1960). Sebagian besar lahan 70-80% dimiliki oleh masyarakat luar DAS Ciliwung Hulu maka pengaturan hak kepemilikan lahan menjadi syarat keperluan (necessary conditions) bagi pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu. Kebijakan sektoral cenderung memaksimalkan kepentingan sektoral masingmasing tanpa memperhatikan sinergi antar sektor untuk memperoleh hasil yang lebih besar. Kedua kondisi ini, penguasaan lahan oleh masyarakat luar dan kebijakan yang cenderung sektoral, mengakibatkan kebijakan yang ada tidak mampu mewujudkan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi antar sektor, antar pelaku, antar wilayah, maupun antar level pemerintahan. Integrasi program antar sektor dapat diwujudkan jika mampu diarahkan dalam wadah one watershed one plan one management system didasarkan pada karakteristik ekosistem DAS yaitu wadah Rencana Pengelolaan DAS Ciliwung Terpadu. Berdasarkan hasil analisis prospektif diperoleh bahwa dalam pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu diperoleh lima faktor kunci yaitu (n) pendapatan petani dari kegiatan non-pertanian, (w) pemanfaatan jasa wisata untuk pengembangan ekonomi wilayah, (v) perubahan penutupan lahan bervegetasi menjadi lahan terbangun, (s) kegiatan penyuluhan pembangunan pertanian, perikanan dan kehutanan, dan (k) kapasitas koordinasi organisasi pemerintah. Model pengembangan kebijakan pengelolaan DAS Ciliwung Hulu merupakan upaya intervensi untuk meningkatkan kinerja dari kelima faktor kunci tersebut atau mempertahankan kinerja faktor yang baik. Fungsi model kualitatif pengembangan kebijakan pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu tersebut dapat digambarkan dalam hubungan fungsi P = f (n, w, v, s, k). Pengembangan kebijakan melalui intervensi kelima faktor tersebut menjadi syarat kecukupan (sufficient conditions) dalam pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu. Skenario pengembangan kebijakan pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu mencakup skenario pesimis, skenario moderat, dan skenario optimis. Skenario Moderat merupakan skenario yang paling memungkinkan dapat diterapkan. Skenario ini dapat meningkatkan nilai indeks keberlanjutan pengelolaan DAS Ciliwung Hulu dari 47,23 (kurang berkelanjutan) menjadi 51,84 (cukup berkelanjutan). Kata kunci :

Kebijakan, institusi, pengelolaan, berkelanjutan, DAS, Ciliwung Hulu

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya : a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

Judul Disertasi

:

Pengembangan Kebijakan Pengelolaan Berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu Kabupaten Bogor

Nama

:

Joko Suwarno

NIM

:

P062080171

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, M.S. Ketua

Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya N., M.Eng. Anggota

Dr. Ir. Saeful Rachman, M.Sc. Anggota

Diketahui :

Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S.

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

Tanggal Ujian : 31 Oktober 2011

Tanggal Lulus :

......................

Penguji pada Ujian Tertutup :

Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, M.S. Dr. Ir. M. Yanuar Jarwadi Purwanto, M.S.

Penguji pada Ujian Terbuka :

Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc. Dr. Ir. Harry Santoso, M.S.

KATA PENGANTAR Alhamdulllaahi robbil ’alamin. Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas berkat, rahmat dan ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini Disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS sebagai ketua komisi pembimbing, dan Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya N., MEng dan Dr. Ir. Saeful Rachman, MSc. selaku anggota komisi pembimbing yang telah mencurahkan waktu, berkenan membimbing, memberikan saran masukan dan dorongan mulai dari penyusunan rencana penelitian, pelaksanaan penelitian hingga selesainya penyusunan disertasi ini. 2. Kepala Pusdiklat Pegawai Kementerian Kehutanan dan jajarannya yang telah memberikan kepercayaan dan dukungan dana dalam mengikuti pendidikan S3 di Program Studi PSL-IPB. 3. Bapak Prof. Dr. Cecep Kusmana, MS (Ketua Program Studi PSL IPB), Prof. Dr. Ir. Soerjono Hadi Sutjahjo, MS., Dr. Ir. Arif Amin dan Dr. Ir. Widiatmaka, DEA atas dukungan semangat dan pemberian dorongan motivasi. 4. Bapak Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS dan Dr Ir. M. Yanuar Jarwadi Purwanto, MS yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi pada ujian tertutup dan memberikan saran masukan untuk perbaikan disertasi ini. 5. Bapak Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, MSc. dan Dr. Ir. Harry Santoso yang telah berkenan menjadi penguji luar pada ujian terbuka dan memberikan saran masukan untuk penyempurnaan disertasi ini. 6. Jajaran Pemerintah Kabupaten Bogor diantaranya Dinas Kesatuan Bangsa, Bapeda, Dinas Tata Ruang dan Pertanahan, Dinas Pertanian dan Kehutanan, BLHD, BP4K dan BP3K Wilayah Ciawi, Perum Perhutani KPH Bogor, Camat Cisarua, Megamendung dan Ciawi, Bapak Sarjoko (perkebunan teh PT Ciliwung / PT SSBP). 7. Bapak Basir, Khusaeri dan anggota poktan Cijulang Asri, Khoerudin Gapoktan Paseban Asri, seluruh poktan di Kecamatan Cisarua, Megamendung dan Ciawi yang telah membantu dalam pengumpulan data di lapangan. 8. Segenap dosen dan staf adminsitrasi PSL-IPB yang telah melayani proses belajar mengajar dengan penuh keramahan, teman-teman ”ECOLOGICA” dan Forum Mahasiswa Pascasarjana Kementerian Kehutanan di IPB. 9. Pimpinan dan staf Pusdalbanghut Regional II Kementerian Kehutanan dan Bapak Lili Mahesa Kumala, BSc.F, SP.

10.

Semua pihak yang telah banyak memberikan kontribusi baik langsung maupun tidak langsung sejak penyusunan proposal, pengambilan data hingga tersusunnya disertasi ini.

Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih belum sempurna, sehingga untuk penyempurnaan disertasi ini masih diharapkan saran dan masukan dari semua pihak. Semoga disertasi ini bermanfaat. Amin.

Bogor,

November 2011

Joko Suwarno

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sragen Jawa Tengah pada tanggal 23 Januari 1963 sebagai anak keenam dari pasangan Bapak Kromo Taruno (Alm) dan Ibu Suparmi (Alm). Menikah dengan Memi Kushandayani, dikaruniai dua orang putera yaitu Imam Ali Suwarno dan Ihsan Ali Suwarno. Penulis mengikuti pendidikan di SMA Negeri 4 Surakarta (1983), menempuh pendidikan S1 di Fakultas Kehutanan IPB Jurusan Manajemen Hutan (1987), dan kemudian melanjutkan pendidikan S2 di Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan PWDIPB beasiswa OTO-BAPPENAS (2004). Pada tahun 2008, penulis menempuh S3 di Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan PSL-IPB dengan beasiswa dari Kementerian Kehutanan. Riwayat penugasan, penulis pernah bertugas sebagai staf pada Kanwil Departemen

Kehutanan

Provinsi

Sulawesi

Utara

(1992-1994),

Kanwil

Departemen Kehutanan Provinsi Irian Jaya (1994-2000), Badan Planologi Kehutanan (2000-2004), dan Pusat Pengendalian Pembangunan Kehutanan Regional II Kementerian Kehutanan (2004-sekarang). Karya ilmiah yang dipublikasikan adalah

berjudul “Pengembangan

Kebijakan Pengelolaan Berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu Kabupaten Bogor” dimuat dalam Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan dan Perubahan Iklim, Badan Litbang Kehutanan, Volume 8 No. 2 Tahun 2011.

Bogor,

November 2011

Joko Suwarno

Kalau mahasiswa dan semua orang mau maka akan kuberikan semua ilmu yang kupunya. Dengan memberikan ilmu kepada orang lain maka tidak akan mengurangi sedikitpun kekayaan ilmu yang ada padaku tetapi dia akan semakin tumbuh dan berkembang (Hariadi Kartodihardjo 2010).

Kelembagaan adalah aturan main, norma, kontrak, komitmen, dan bentuk

ikatan lainnya yang mengatur pilihan dan strategi setiap individu manusia dalam berinteraksi dengan masyarakat, alam, maupun dengan Tuhannya untuk meraih tujuan hidupnya. Barang siapa yang sudah bersyahadat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya maka dia sudah mengikat komitmen dengan Alah SWT. Jika dia tidak mengikuti aturan main dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits maka dia termasuk orang yang mengingkari komitmen dengan Allah SWT dan akan merugi selama-lamanya (Joko Suwarno 2011).

Walaupun kamu dibesarkan oleh pemimpin yang korup, pemimpin tidak adil, pemimpin yang buruk perilakunya dan tidak kamu sukai tetapi janganlah kamu menjadi seperti pemimpinmu itu. Semua pengalaman itu harus menjadi pupuk bagi dirimu sendiri. Jadilah kamu menjadi dirimu sendiri yang mampu membuat perubahan ke depan untuk kesejahteraan bangsa dan negaramu (Helmy Basalamah 2011). Ilmuwan atau orang berilmu itu memiliki sifat cenderung kepada kebenaran, beretika moral, dan bersikap arif(wisdom) (Falsafah Sains 2008).

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................... v DAFTAR GAMBAR ............................................................................ vii DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................... ix PENDAHULUAN .................................................................... 1 I 1.1 Latar Belakang ................................................................ 1 1.2 Perumusan Masalah ......................................................... 9 1.3 Kerangka Pemikiran .......................................................... 14 1.4 Tujuan Penelitian ............................................................. 18 1.5 Manfaat Penelitian ........................................................... 18 1.6 Kebaruan (novelty) .......................................................... 18 II

III

TINJAUAN PUSTAKA ......................................................... 2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS) ........................................ 2.2 DAS Dalam Kajian Institusi .............................................. 2.3 DAS Bagian Hulu .......................................................... 2.4 Pengelolaan DAS Terpadu ............................................ 2.5 Tujuan Pengelolaan DAS .............................................. 2.6 Kinerja Pengelolaan DAS ............................................... 2.7 Insentif Pengelolaan DAS .............................................. 2.8 Institusi (Kelembagaan) ................................................ 2.9 Koordinasi Lintas Sektoral ............................................ 2.10 Dampak Perubahan Penutupan Lahan terhadap Perubahan Iklim .............................................................. 2.11 Kebijakan ....................................................................... 2.12 Pembangunan Berkelanjutan ......................................... 2.13 Pengalaman Pengelolaan DAS Luar Negeri, DAS Rhine.. 2.14 Sistem, Pendekatan Sistem dan Model ............................

23 23 25 27 32 36 39 44 48 55

METODA PENELITIAN ......................................................

77

3.1 3.2

77 77

Lokasi dan Waktu Penelitian ......................................... Rancangan Penelitian ..................................................... 3.2.1 Menganalisi Status Keberlanjutan Pengelolaan DAS Ciliwung Hulu ............................................. 3.2.2 Menganalisis Arena Aksi Lokal DAS Ciliwung Hulu .....................................................................

i

59 61 64 67 71

78 88

3.2.3 Memformulasikan Skenario Pengembangan Kebijakan Pengelolaan Berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu ....................................................

93

IV

KEADAAN UMUM DAS CILIWUNG HULU ..................... 4.1 Pendahuluan .................................................................. 4.2 Karakteristik Biofisik Wilayah ...................................... 4.2.1 Letak dan Luas ................................................... 4.2.2 Topografi ........................................................... 4.2.3 Iklim ................................................................... 4.2.4 Geologi dan Fisiografi Lahan ........................... 4.2.5. Jenis Tanah ......................................................... 4.2.6 Tutupan Lahan ................................................... 4.2.7 Pemanfaatan Lahan .......................... ................. 4.2.8 Produksi Budidaya Pertanian dan Perkebunan .... 4.2.9 Pemanfaatan Jasa Wisata ................................... 4.2.10 Tata Air Sungai Ciliwung Hulu ......................... 4.2.11 Kualitas Air Sungai Ciliwung Hulu ................... 4.2.12 Kualitas Sumberdaya Lahan .............................. 4.3 Sosial Ekonomi Masyarakat ........................................... 4.3.1 Penduduk .......................................................... 4.3.2 Mata Pencaharian ............................................... 4.3.3 Pendidikan .......................................................... 4.4 Organisasi DAS Ciliwung Hulu ..................................... 4.4.1 Organisasi Pemerintah ....................................... 4.4.2 Organisasi Petani ................................................ 4.5 Simpulan ........................................................................

99 99 99 99 102 103 106 108 109 111 112 114 115 118 120 122 122 123 124 125 125 126 130

V

STATUS KEBERLANJUTAN DAS CILIWUNG HULU ... 5.1 Pendahuluan ................................................................... 5.2 Hasil dan Pembahasan ................................................... 5.2.1 Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi .............. 5.2.2 Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi ............ 5.2.3 Status Keberlanjutan Dimensi Sosial ................. 5.2.4 Status Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan ..... 5.2.5 Status Keberlanjutan Dimensi Aksesibilitas dan Teknologi Konservasi ........................................ 5.2.6 Status Keberlanjutan DAS Ciliwung Hulu ....... 5.2.7 Faktor Pengungkit .............................................. 5.2.8 Uji Validitas dan Uji Ketepatan MDS ............... 5.3 Simpulan .......................................................................

131 131 133 133 137 140 143

ii

148 151 154 156 157

VI

VII

VIII

ARENA AKSI LOKAL DAS CILIWUNG HULU ............ 6.1 Pendahuluan ................................................................ 6.2 Faktor Eksogen ................................................................. 6.2.1 Kondisi Biofisik ................................................ 6.2.2 Atribut Komunitas Lokal DAS Ciliwung Hulu ... 6.2.3 Aturan yang digunakan (rule-in-use) .................. a. Kebijakan Politik (constitutional level) …… b. Kebijakan Organisasional (collective choice level) ……………………………………….. c. Kebijakan Operasional (operational level) … 6.3 Arena Aksi Lokal ………………………………………. 6.3.1 Alih Fungsi Lahan ………………………………. 6.3.2 Alih Kepemilikan Lahan ……………………….. 6.3.3 Kepatuhan Masyarakat terhadap Aturan Pemerintah .......................................................... 6.3.4 Aktor Dominan di DAS Ciliwung Hulu ............. 6.3.5 Aksi Bersama (collective action) ....................... 6.4 Kinerja Institusi ( Outcome ) .......................................... 6.5 Simpulan .........................................................................

PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN BERKELANJUTAN DAS CILIWUNG HULU .................. 7.1 Pendahuluan ................................................................... 7.2 Pengembangan Kebijakan Pengelolaan DAS Ciliwung Hulu ................................................................................ 7.2.1 Identifikasi Faktor Dominan .............................. 7.2.2 Keadaan yang Mungkin Terjadi pada Faktor Dominan ............................................................ 7.3 Skenario Pengembangan Kebijakan Pengelolaan Berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu ................................. 7.4 Alternatif Skenario Pengembangan Kebijakan Pengelolaan Berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu ............ 7.5 Simpulan ......................................................................... RINGKASAN HASIL DAN PEMBAHASAN UMUM ....... 8.1 Ringkasan Hasil ............................................................ 8.2 Pembahasan Umum ........................................................ 8.2.1 Kondisi Pengelolaan DAS Ciliwung Hulu ............ 8.2.2 Kerangka Pengembangan Kebijakan Pengelolaan Berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu ....................... 8.2.3 Pengembangan Kebijakan Pengelolaan Berkelanjutan DAS Wilayah Perkotaan ................

iii

159 159 161 161 164 174 176 189 197 207 207 209 210 214 220 224 227

229 229 230 230 237 240 243 250 251 251 255 256 263 272

IX

SIMPULAN DAN SARAN ............................................... 9.1 Simpulan .......................................................................... 9.2 Saran ................................................................................

DAFTAR PUSTAKA

277 277 278

.........................................................................

279

LAMPIRAN

.......................................................................................

GLOSSARY

........................................................................................

291 305

iv

DAFTAR GAMBAR Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

14 15 16 17 18 19 20 21 22 23

Kerangka perumusan permasalahan penelitian pengembangan kebijakan pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu … Kerangka pemikiran penelitian pengembangan kebijakan pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu .................... Hubungan biofisik antara wilayah hulu dan hilir DAS ........... Fungsi ekosistem DAS .............................................................. Proses pembuatan kebijakan .................................................... Segitiga pembangunan berkelanjutan ...................................... Denah lokasi DAS Rhine di daratan Eropa ............................ Lokasi penelitian DAS Ciliwung Hulu Kabupaten Bogor ........ Tahapan penelitian pengembangan kebijakan pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu …………………………. Tahapan analisis RapDAS-Ciliwung Hulu .............................. Posisi titik keberlanjutan ........................................................ Diagram layang-layang indeks keberlanjutan multidimensi ...... Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam skenario pengembangan kebijakan pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu ................................................................. Distribusi curah hujan dan evapotranspirasi DAS Ciliwung Hulu ............................................................................................ Debit maksimum dan koefisien regime sungai (KRS) Ciliwung Hulu Tahun 1989-2009 .............................................. Nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi DAS Ciliwung Hulu .......................................................................................... Hasil analisis leverage pada dimensi ekologi ......................... Nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi DAS Ciliwung Hulu .......................................................................................... Hasil analisis leverage pada dimensi ekologi .......................... Nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial DAS Ciliwung Hulu Hasil analisis leverage dimensi sosial DAS Ciliwung Hulu .... Nilai indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan DAS Ciliwung Hulu .......................................................................... Hasil analisis leverage atribut pada dimensi kelembagaan DAS Ciliwung Hulu ................................................................

vii

13 17 29 30 63 66 68 78 79 86 87 88 97

105 117 134 135 138 139 141 142 144 145

24 25 26 27 28 29 30 31

32 33 34 35 36 37

Nilai indeks keberlanjutan dimensi aksesibilitas dan teknologi DAS Ciliwung Hulu ….………………………………………. Hasil analisis leverage terhadap atribut pada dimensi aksesibilitas dan teknologi konservasi ...................................... Layang-layang indeks keberlanjutan multi-dimensi DAS Ciliwung Hulu .......................................................................... Indeks keberlanjutan DAS Ciliwung Hulu ............................ Tingkat pengaruh dan ketergantungan aktor dalam pengelolaan DAS Ciliwung Hulu …………………………………………. Struktur hirarki elemen aktor yang berpengaruh dalam pengelolaan DAS Ciliwung Hulu …………………………… Tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh dalam sistem pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu .......... Diagram layang-layang peningkatan indeks per-dimensi keberlanjutan hasil skenario pengembangan kebijakan DAS Ciliwung Hulu ........................................................................ Rangkuman hasil analisis pengelolaan DAS Ciliwung Hulu … Perilaku pelaku kebijakan sektoral dalam pengelolaan DAS...... Perilaku pelaku kebijakan dalam satu sistem pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu …………………………. Kerangka isi rencana pengelolaan DAS Terpadu .................... Hubungan antara faktor kunci dan aktor kunci dalam pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu ...................... Kerangka pengembangan kebijakan pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu ………………………………………….

viii

149 150 152 154 216 219 232

242 254 259 261 263 264 270

25 214 26 215 27 219 28 220 29 30 31

222 224 232

32 241

DAFTAR TABEL Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22

Topik penelitian, metoda dan hasil penelitian terkait novelty ... Peubah penentu dalam penetapan kinerja pengelolaan DAS ..... Tingkatan norma berdasarkan sanksi atas pelanggarnya .......... Kategori penilaian status keberlanjutan .................................... Pengaruh langsung antar faktor dalam pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu ........................................... Variabel-variabel kunci dan beberapa keadaan yang mungkin terjadi di masa yang akan datang .............................................. Jenis data, sumber, cara pengumpulan data, metoda analisis dan output ............................................................................... Sebaran kelerengan DAS Ciliwung Hulu ................................ Data iklim Stasiun Citeko Tahun 2001-2009 ............................ Distribusi curah hujan di beberapa wilayah DAS Ciliwung Hulu (1995-2009) ....................................................................... Penutupan lahan DAS Ciliwung Hulu tahun 1992-2009 ......... Pemanfaatan Kawasan DAS Ciliwung Hulu ............................ Rata-rata produktivitas tanaman sayur-sayuran di kab. bogor tahun 2008 (dalam ton/ha/musim) ............................................ Kunjungan wisatawan di DAS Ciliwung Hulu ...................... Debit air Sungai Ciliwung tahun 1989 -2009 ……………... Kualitas air di DAS Ciliwung Hulu tahun 2002, 2009 dan 2010 Lahan kritis di DAS Ciliwung Hulu tahun 2005-2009 …...... Pertumbuhan penduduk DAS Ciliwung Hulu tahun 1997 s/d 2008 .......................................................................................... Mata pencaharian penduduk di DAS Ciliwung Hulu tahun 2000 dan 2006 ......................................................................... Tingkat pendidikan penduduk Ciliwung Hulu tahun 2000 dan 2006 .......................................................................................... Organisasi pemerintah yang berperan besar dalam pengelolaan DAS Ciliwung Hulu ................................................................. Pusat pelatihan pertanian swadaya di DAS Ciliwung Hulu .....

v

19 43 51 87 96 98 99 103 104 106 110 112 113 115 116 119 121 122 123 124 125 126

DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 2 3 4 5 6 7

Peta administrasi pemerintahan di DAS Ciliwung Hulu ........ Peta subDAS pada DAS Ciliwung Hulu …............................ Peta jenis tanah di DAS Ciliwung Hulu ................................. Peta Penutupan lahan tahun 2000, 2003, 2006 dan 2009 ........ Peta pemanfaatan kawasan DAS Ciliwung Hulu .................... Hasil penilaian terhadap atribut pada masing-masing dimensi pengelolaan DAS Ciliwung Hulu ............................. Kebutuhan aktor terhadap Sistem Pengelolaan DAS Ciliwung Hulu ..........................................................................................

ix

291 292 293 294 295 296 303

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan pembangunan nasional dalam dekade terakhir ini telah menghasilkan manfaat pada pertumbuhan ekonomi nasional, namun di sisi lain juga memberikan dampak yang sangat besar baik pada aspek sosial, ekologi, teknologi maupun kelembagaan. Peningkatan kemajuan dalam kehidupan telah memberikan perubahan besar, tidak saja pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat akan tetapi juga pada pola penggunaan lahan. Perubahan pola penggunaan lahan ini telah memberi dampak sangat nyata terhadap fungsi-fungsi daerah aliran sungai (DAS) dan hidrologi DAS.

Sejumlah kasus perubahan

penggunaan lahan di beberapa DAS di Indonesia disajikan pada hubungan sebabakibat melalui aspek hidrologi DAS, khususnya menyangkut daya dukung DAS dan frekuensi banjir.

Karakteristik hidrologi dan aliran permukaan sejumlah

sungai utama di Indonesia (Jawa) disajikan dengan menunjukkan tingkat perkembangan penggunaan lahannya. Disimpulkan bahwa perubahan penggunaan lahan telah terjadi dalam skala luas, khususnya di pulau Jawa, dan telah memberi dampak nyata terhadap hasil air DAS dengan semakin meningkatnya frekuensi kejadian ekstrim seperti banjir dan kekeringan. Dalam kurun waktu setengah abad terakhir telah terjadi penurunan jumlah curah hujan secara luas di Jawa dan beberapa wilayah lain di Indonesia dibandingkan dengan waktu setengah abad sebelumnya yang kelihatannya berhubungan dengan penurunan luas hutan (Pawitan 2004). Gambaran kerusakan DAS dan degradasi lahan menunjukkan peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 1984 terdapat 22 DAS dalam keadaan kritis dengan luas 9.699.000 ha, kemudian meningkat menjadi 39 DAS kritis pada tahun 1994 dengan luas lahan kritis mencapai 12.517.632 ha, dan pada tahun 2000 DAS kritis berjumlah 42 DAS dengan luas lahan kritis mencapai 23.714.000 ha (Soenarno 2000; Dephut 1999). Saat ini diperkirakan 13% atau 62 DAS dari 470 DAS di

2

Indonesia dalam kondisi kritis, meskipun kegiatan konservasi tanah dan air dalam pengelolaan DAS sudah sejak lama diberlakukan. Salah satu DAS yang telah mengalami degradasi akibat perubahan penggunaan lahan adalah DAS Ciliwung (Pawitan 2004) dan termasuk salah satu dari 13 DAS dalam kondisi sangat kritis (Sobirin 2004). Perubahan penggunaan lahan pada DAS ini dapat diindikasikan sebagai sinyal adanya perubahan perilaku Sungai Ciliwung. Sungai Ciliwung yang merupakan salah satu sungai utama yang wilayah hilirnya memasuki dan bermuara di wilayah DKI Jakarta dengan 2

total luas DAS 347 km atau 34.700 ha dan panjang sungai utama 117 km. Estimasi debit banjir 2-tahunan (Nedeco-PBJR 1973 dalam Pawitan 2004) adalah 3

3

100 m /s dan debit banjir 25-tahunan sebesar 200 m /s, dan nampaknya nilai estimasi ini telah berubah sejalan dengan perubahan penggunaan lahan yang telah terjadi dalam tiga dasawarsa terakhir ini. Debit banjir 100 tahunan diperkirakan 3

3

telah meningkat dari 370 m /s (1973) menjadi 570 m /s (2000) dan hal ini terkait erat dengan perubahan penggunaan lahan di wilayah DAS, khususnya di wilayah hulu. Perilaku sungai Ciliwung ini telah mengakibatkan banjir di wilayah hilir pada musim hujan. Akibat banjir telah menimbulkan kerugian baik moril maupun materiil yang terus berlangsung secara periodik tahunan pada musim hujan, penurunan kualitas air sungai, longsor pada beberapa titik maupun kejadian kekeringan pada musim kemarau. Secara teknis hidrologi, kondisi demikian dapat terjadi akibat tingginya limpasan air permukaan dan berlangsungnya erosi. Dampak perubahan penggunaan lahan dari kondisi 1981 s/d 1999 telah meningkatkan debit puncak banjir Ciliwung Hulu sebesar 65% dan peningkatan volume banjir sebesar 50% (Pawitan 2004). Kegiatan pembangunan di DAS bagian hilir dan bagian tengah yang mencakup wilayah DKI Jakarta, Depok dan Cibinong telah berlangsung secara massive. Permintaan lahan untuk kegiatan permukiman, perdagangan, dan jasa lainnya telah mengakibatkan berkurangnya daerah resapan termasuk ruang terbuka hijau (RTH). Demikian halnya dengan tingginya permintaan lahan untuk permukiman, perdagangan dan prasarana pendukung wisata di wilayah hulu telah

3

menimbulkan tingginya perubahan penutupan lahan dari lahan berpenutupan vegetasi yang baik telah berubah menjadi semak, tegalan terbuka, maupun permukiman (lahan terbangun). Laju perubahan penutupan lahan yang tinggi telah mengakibatkan semakin buruknya kondisi DAS bagian hulu sebagai daerah resapan air (water recharge) dan sebagai pengendali aliran permukaan (run-off). Perubahan penggunaan lahan dengan penutupan vegetasi yang baik maupun lahan berdaya simpan air yang baik menjadi kawasan terbangun telah mengalami penurunan secara tajam pada tahun 1981 s/d 1999. Dalam kurun waktu tersebut, Irianto (2000), dari luas DAS Ciliwung Hulu 14.860 ha telah terjadi alih guna lahan berupa pengurangan hutan 2 ha (-2%), kebun campuran 35 ha (-1,07%), sawah teknis 43 ha (-1,89%), sawah tadah hujan 18 ha (-6,23%), dan tegalan 152 ha (-4,35%)

semuanya

berubah

menjadi kawasan permukiman

seluas 250 ha (+ 97,66%). Kecenderungan ke depan, dengan iklim sejuk dan pemandangan alam dengan latar belakang Gunung Gede-Pangrango maka berpeluang akan menjadi daya tarik adanya perubahan penggunaan menjadi kawasan pemukiman untuk tujuan wisata alam dengan pembangunan penginapan, hotel, serta vila. Hal ini juga didukung adanya daya dorong berupa pertumbuhan penduduk lokal yang memerlukan lahan untuk permukimannya. Hasil penelitian Janudianto (2004) menunjukkan bahwa selama 1994 s/d 2001 di DAS Ciliwung Hulu telah terjadi pengurangan lahan kebun teh, sawah, dan hutan semak/belukar masing-masing -664,39 ha, 1.126,52 ha dan 233,37 ha sedangkan proporsi penambahan terbesar adalah tegalan / ladang 1.272,04 ha dan permukiman + 938,87 ha. Berdasarkan hasil penelitian Sabar (2007), lahan DAS Ciliwung Hulu selama periode tahun 1990 sampai 1999 mengalami alih fungsi relatif pesat, ditandai dengan peningkatan luas lahan terbangun sebesar 20,3%. Dampak alih fungsi lahan terhadap regime debit aliran sungai dicerminkan dengan terjadinya peningkatan debit maksimum rata-rata harian Sungai Ciliwung tahun 1990 – 1999 dan dampak berikutnya kecenderungan terjadinya penurunan debit minimum ratarata harian sungai yang mengakibatkan keseimbangan air di wilayah tersebut menjadi terganggu.

4

DAS Ciliwung Hulu berfungsi sangat penting sebagai penyangga fungsi ekologi untuk mengatur hidro-orologi lingkungan bagi wilayah hilir termasuk Ibukota Negara DKI Jakarta maka telah diupayakan penanganan tata ruangnya secara intensif. Kawasan Bogor Puncak-Cianjur termasuk DAS Ciliwung Hulu telah diatur penyempurnaan ruangnya melalui Keputusan Presiden Nomor 114 Tahun 1999. Keppres tersebut belum dapat diimplementasikan secara baik. Memperhatikan kondisi DAS Ciliwung Hulu yang semakin buruk, maka dikeluarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 untuk diupayakan kembali Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur.

Upaya tersebut memasukkan kawasan DAS Ciliwung Hulu sebagai

kawasan strategis nasional. Upaya ini nampaknya belum memberikan hasil yang signifikan

dalam

pengelolaan

kawasan

hulu

terutama

dalam

kegiatan

pengendalian pemanfaatan ruang. Kawasan Jabodetabekpunjur mempunyai peran menyeimbangkan alokasi ruang sebagai pusat pengembangan kegiatan eknomi wilayah dan nasional sekaligus sebagai kawasan konservasi air dan tanah, keanekaragaman hayati dalam sistem DAS Ciliwung serta dapat menjamin tingkat kesejahteraan

sosial

ekonomi

masyarakat

dan

kontribusinya

terhadap

pengembangan ekonomi wilayah dan nasional (Djakapermana 2009). Kondisi DAS Ciliwung Hulu yang semakin buruk juga didorong oleh kegagalan upaya konservasi tanah dan air melalui rehabilitasi hutan dan lahan (penghijauan) terutama yang dilaksanakan oleh pemerintah. Upaya rehabilitasi lahan DAS Ciliwung Hulu dari tahun ke tahun melalui penanaman pohon berkayu dan buah-buahan maupun pembuatan sumur resapan belum memberikan hasil yang positif. Kegagalan upaya rehabilitasi DAS Ciliwung Hulu ini menghadapi beberapa permasalahan.

Permasalahan yang dihadapi adalah permasalahan

institusi maupun pada tingkat masyarakat, antara lain (BPDAS Citarum-Ciliwung 2003) : 1. Kelembagaan pengelolaan DAS Ciliwung lemah. 2. Fungsi kontrol tidak berjalan dan penegakan hukum yang lemah dan tidak konsisten. 3. Koordinasi antar lembaga terkait dengan pengelolaan DAS kurang berjalan.

5

4. Kurangnya sosialisasi program kepada masyarakat. 5. Peranserta masyarakat relatif masih rendah. 6. Budaya masyarakat yang tidak kondusif dengan konservasi. 7. Kerusakan lingkungan akibat penggalian pasir, pencemaran, sampah, dll. 8. Tumpang tindih pemanfaatan kawasan. 9. Pemukiman di kawasan sempadan sungai maupun di daerah resapan air. 10. Masalah

kecemburuan sosial akibat pembangunan permukiman oleh

pengembang. 11. Kurang / tidak adanya dana / anggaran untuk kegiatan-kegiatan pengelolaan. Berdasarkan hasil penelitian Karyana (2007), kegagalan tersebut juga diakibatkan rendahnya kinerja kelembagaan pemerintah dalam mengelola DAS Ciliwung. Beberapa faktor yang mengakibatkan permasalahan tersebut adalah : 1. Keberadaan lembaga-lembaga pemerintah yang terlibat dalam pengelolaan DAS Ciliwung hanya mengandalkan tugas dan fungsi yang diembannya tanpa mengetahui posisi dan peran masing-masing dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan DAS untuk mengatasi masalah di DAS Ciliwung. 2. Rendahnya kapasitas lembaga pemerintah dalam pengelolaan DAS Ciliwung. 3. Lemahnya koordinasi dalam pelaksanaan berbagai program dan kegiatan pengelolaan DAS. 4. Belum terbangunnya kelembagaan DAS Ciliwung yang mampu mengelola DAS Ciliwung secara terpadu. Fenomena banjir dan kekeringan serta sedimentasi di sepanjang badan sungai merupakan permasalahan utama pada pengelolaan sumberdaya air di hampir semua wilayah sungai. Upaya selama ini lebih diutamakan pada penyelesaian di hilir dari keseluruhan sistem sungai dan lebih pada aspek fisik, hal ini dapat dilihat dari jumlah dana yang dialokasikan. Upaya konservasi sumberdaya air belum secara optimal melibatkan masyarakat, dan selama ini diketahui bahwa aktivitas manusia lebih dominan sebagai penyebab timbulnya permasalahan tersebut (Guntoro 2008).

6

Upaya yang dilakukan oleh pemerintah melalui program penanaman pohon dan konservasi lahan selama ini dinilai gagal oleh masyarakat. Program penanaman yang dilakukan oleh pihak pemerintah tidak mendapatkan dukungan atau bahkan mendapatkan reaksi negatif dari masyarakat, diantaranya masyarakat mencabuti kembali bibit yang ditanam dan dibuang, atau bibit dicabut dan dijual kembali kepada pihak pengusaha pembibitan pohon. Di beberapa tempat pada lahan-lahan yang telah ditanami pohon juga telah diubah menjadi bangunan fisik baik berupa vila atau rumah peristirahatan lainnya. Berdasarkan

pengamatan,

trianguasi

lapangan

dan

pendalaman

berdasarkan persepsi masyarakat, kegagalan rehabilitasi vegetatif dan konservasi sipil teknis selama ini diantaranya diakibatkan oleh beberapa faktor, diantaranya : 1. Kegiatan penanaman kurang memberdayakan potensi dan kebutuhan lokal; 2. Kegiatan penanaman tidak memberikan manfaat langsung bagi masyarakat, tetapi malahan

memberikan beban untuk pemeliharaannya sehingga

masyarakat kurang puas terhadap program tersebut. 3. Kegiatan penanaman dilakukan pada lahan berstatus garapan. Lahan eksperkebunan atau di atas lahan negara lainnya yang secara de facto seperti lahan tidak bertuan dijadikan lokasi penanaman pohon.

Hal ini tidak

mendapatkan dukungan dari pemilik garapan lokal maupun pemilik lahan yang berada di luar lokasi tersebut. Hasil kegiatan penanaman bibit pohon kemudian dicabuti dan dibuang untuk dibersihkan kembali. 4. Kegiatan penanaman bibit pohon dalam perkembangannya memberikan naungan terhadap tanaman pangan tahunan maupun musiman sehingga setiap ada upaya penanaman kemudian diikuti dengan pencabutan dan diganti dengan jenis lainnya yang lebih memberikan manfaat lebih ekonomis dan jangka pendek bagi masyarakat lokal. 5. Pihak pemerintah di lapangan mengalami kesulitan akses untuk melakukan rehabilitasi vegetatif (penanaman) di atas lahan yang dikuasai oleh masyarakat dari luar lokasi DAS Ciliwung Hulu. Hal ini terkait dengan status lahan yang akan ditanami berstatus lahan milik privat bersertifikat. Pihak pemerintah masih belum bisa mengakses untuk kegiatan penanaman di dalam wilayah

7

tersebut. Lahan dengan status kepemilikan yang dikuasai oeh masyarakat luar lokasi sangat luas dan tersebar di DAS Ciliwung Hulu. Beberapa kelompok masyarakat yang tergabung dalam wadah kelompok tani (poktan) dan gabungan kelompok tani (gapoktan) peduli lingkungan telah lama melakukan aksi penanaman bibit pohon berkayu maupun bibit buah-buahan di dalam wilayah DAS Ciliwung Hulu. Beberapa kegiatan penanaman pohon telah dilakukan baik oleh kelompok tani lokal (desa) maupun oleh lintas desa (gapoktan) dan telah membentuk jaringan koordinasi antar wilayah terutama di tiga kecamatan yaitu Kecamatan Ciawi, Kecamatan Megamendung, dan Kecamatan Cisarua yang berada di dalam DAS Ciliwung Hulu. Poktan ini telah melakukan upaya rehabilitasi di beberapa tempat pada ruang terbuka hijau yang berada di sepanjang kiri-kanan jalan utama Cigadog – Cisarua, maupun secara bertahap melakukan penanaman di dalam lahan garapan yang dimiliki oleh masyarakat di luar wilayah Ciliwung Hulu (terutama warga Jakarta). Beberapa inisiasi masyarakat lokal dalam kegiatan penanaman telah mengalami peningkatan keberhasilannya walaupun sebagian lainnya masih menemui banyak hambatan dan kegagalan. Upaya konservasi tanah dan air yang telah dilakukan masih terbatas pada upaya penyuluhan, penanaman dan inisiasi pembuatan sumur resapan di beberapa tempat.

Kegiatan yang dilakukan poktan dan penyuluh swadaya masyarakat

kepada masyarakat lokal maupun pemilik vila adalah melakukan penyuluhan dan membantu beberapa pihak membuat sumur resapan serta secara aktif melakukan penanaman pada lahan kosong dan lahan tidur di beberapa lokasi DAS Ciliwung Hulu. Guna mendukung upaya penanaman tersebut, beberapa poktan telah memiliki lokasi pembibitan tanaman pada skala yang memadai dan dengan menggunakan kemampuan teknis yang relatif maju.

Kegiatan persemaian,

penanaman, dan kegiatan pemeliharaan berupa penyulaman bibit dilakukan oleh poktan secara swadaya tanpa memperhatikan kepedulian dari pihak lain termasuk dari pihak pemerintah. Masyarakat memaksimalkan sumberdaya lokal untuk

8

memperoleh benih, persiapan persemaian,

pengangkutan bibit, maupun

pemberian penyuluhan dan pelatihan teknis budidaya pertanian dan kehutanan. Kelompok tani juga telah memiliki sarana prasarana pelatihan bagi masyarakat lokal maupun masyarakat luar maupun bagi aparat pemerintah. Pendidikan dan pelatihan pembuatan bibit, pembuatan pupuk kompos, pelatihan anak-anak sekolah mulai dari Taman Kanak-Kanak (TK), SD, sampai dengan perguruan tinggi termasuk pegawai pemerintah telah mengikuti pelatihan di kelompok masyarakat ini. Kelompok tani peduli lingkungan tersebut

terus berusaha untuk

merehabilitasi lahan secara mandiri maupun bermitra dengan pemerintah membantu pelaksanaan reboisasi hutan. Upaya rehabilitasi vegetatif akan terus dilakukan meskipun kurang atau tidak mendapatkan dukungan dari pemerintah.

pihak

Hal ini terlihat dari jejak upaya yang ada di lokasi berupa

pembangunan persemaian, penyediaan tempat pelatihan lingkungan bagi masyarakat lokal maupun masyarakat umum, serta masih eksisnya organisasi poktan maupun gapoktan peduli lingkungan di tiap-tiap dusun, desa dan tingkat kecamatan. Kelompok tani telah dilakukan upaya koordinasi dan negosiasi dengan pemilik lahan masyarakat luar DAS untuk bisa mengelola secara konservatif dengan melakukan penanaman pohon berkayu. Beberapa upaya sebagian telah berhasil dilakukan penanaman dan mendapatkan dukungan masyarakat lokal, dan sebagian besar lainnya masih mengalami kegagalan. Kegagalan penanaman ini disebabkan rendahnya kepedulian pemilik lahan atas upaya konservasi lingkungan, pemilik lahan cenderung membiarkan lahannya terlantar (gontai), atau belum adanya penegasan pemerintah atas pengakuan kepemilikan lahan menyangkut hak dan kewajiban pemilik lahan dalam kaitannya dengan wilayah hulu DAS berfungsi konservasi. Hal ini menunjukkan belum adanya pengaturan yang jelas kepemilikan lahan (property right of land) dari pihak pemerintah karena pengelolaan lahan kepemilikan privat dapat mempengaruhi kondisi lingkungan secara bersama. Pengaturan kepemilikan lahan merupakan faktor yang penting mengingat sebagian besar lahan 70-80% lahan milik dan lahan garapan dikuasai

9

masyarakat dari luar DAS Ciliwung Hulu. Pemerintah memberikan pengakuan hak kepemilikan tetapi tidak mengatur kewajiban pemegang hak atas lahan berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya bersama (common property right). Pemegang hak privat atas lahan berkewajiban untuk menghindarkan penggunaan lahannya yang tidak bisa diterima secara sosial (Hanna et al. 1995). Hal ini menunjukkan tidak adanya kejelasan kewajiban pemilik hak privat atas lahan di DAS Cliwung Hulu dalam pengelolaan sumberdaya DAS secara bersama. Fungsi DAS Ciliwung Hulu untuk menyediakan jasa lingkungan sebagai pengendali hidrologi maka perlu ditingkatkan kualitas DAS-nya. Memperhatikan akar permasalahan dan potensi di DAS Ciliwung Hulu berupa ketidakjelasan pengaturan kepemilikan lahan (property right of land) dan tingginya potensi wilayah dan tingginya peran masyarakat lokal dalam pengelolaan DAS maka perlu dilakukan penelitian Pengembangan Kebijakan Pengelolaan Berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu. 1.2 Perumusan Masalah Kegagalan pengelolaan DAS Ciliwung Hulu telah memberikan dampak negatif

terhadap wilayah setempat maupun

wilayah tengah dan hilir DAS.

Kegagalan ini diakibatkan oleh berbagai permasalahan kompleks dan saling terkait yang diakibatkan oleh interaksi faktor ekologi, ekonomi maupun faktor sosial.

Namun demikian dengan memperhatikan situasi masalah yang ada di

wilayah DAS Ciliwung Hulu maka faktor dominan yang mampu menimbulkan permasalahan adalah faktor sosial. Faktor sosial memiliki mobilitas yang lebih tinggi, memiliki kemauan yang tidak tak terbatas dan kurang memperdulikan keterbatasan sumberdaya yang tersedia. DAS Ciliwung Hulu memiliki karakteristik fisik berupa lahan kering dengan topografi bergelombang sampai sangat curam, hanya sebagian kecil saja dengan topografi landai sampai datar.

Kondisi demikian membutuhkan

pengelolaan sumberdaya alam yang lebih hati-hati dan cara pemanfaatan yang terkendali.

Pemanfaatan yang dilakukan secara tidak terkendali maka akan

mengakibatkan degradasi sumberdaya alam dan lingkungan. DAS Ciliwung Hulu

10

diindikasikan oleh semakin tingginya tingkat erosi pada wilayah hulu, sedimentasi pada badan sungai, pencemaran lahan dan air akibat dari aktivitas permukiman, perkebunan, pembukaan lahan, maupun wisata. Wilayah Bogor - Puncak – Cianjur disamping lokasinya berdekatan dengan wilayah ibukota DKI Jakarta dan kota-kota sekitarnya, wilayah ini juga sudah berkembang sebagai kawasan wisata dan wilayah potensial

untuk

pengembangan produk pertanian lahan kering. Wilayah ini telah tumbuh dan berkembang secara meluas untuk pengembangan ekonomi pertanian berupa budidaya tanaman pangan, buah-buahan, sayuran maupun tanaman hias. Aktivitas-aktivitas ini menimbulkan permintaan lahan dan input produksi yang sangat tinggi dengan mempertimbangkan kesuburan tanah, kesesuaian iklim, intensitas pengolahan tanah, maupun pemilihan komoditas yang disesuaikan dengan permintaan pasar lokal maupun regional terutama dari Jakarta. Pengembangan perkebunan teh di wilayah

Puncak Bogor telah

mengkonversikan lahan hutan dengan kriteria hutan lindung menjadi lahan perkebunan di masa lampau. Lahan berhutan dengan tingkat kelerengan rata-rata di atas 40% telah diubah menjadi lahan perkebunan.

Lahan perkebunan teh ini

merupakan catchment yang merupakan wilayah hulu bagi Sungai Ciliwung. Debit air sungai Ciliwung Hulu sangat dipengaruhi oleh aktivitas perkebunan ini. Perubahan lahan hutan alam menjadi lahan perkebunan dan kualitas tegakan kebun telah mendorong terjadinya variasi debit air yang tinggi antara musim hujan dengan musim kemarau. Aktivitas wisata alam di wilayah Bogor-Puncak-Cianjur telah berkembang cukup lama sejak 1960-an. Aktivitas wisata ini membutuhkan produk jasa bentang alam berupa pemandangan yang indah dan kondisi iklim yang sejuk dan nyaman serta sarana dan prasarana yang memadai. Wilayah ini mempunyai daya tarik yang sangat tinggi bagi masyarakat setempat, kota Bogor, Jakarta dan wilayah sekitarnya. Potensi demikian menimbulkan fenomena kemacetan lalu lintas pada hari-hari libur maupun musim liburan (hari-hari libur dan SabtuMinggu), kemacetan pada jalur wisata Bogor-Puncak–Cianjur. Kemacetan ini umumnya terjadi akibat tingginya permintaan masyarakat luar terhadap jasa lingkungan alami maupun aktivitas hiburan di wilayah Puncak lainnya misalnya Taman Buah Mekarsari, Kebun Binatang Taman Safari, agrowisata kebun teh

11

Gunung Mas. Permintaan jasa lingkungan ini telah menuntut adanya penyediaan lahan baik untuk pemandangan yang indah, lahan untuk permukiman dan prasarana jasa wisata misalnya hotel, vila, homestay ataupun jenis-jenis penginapan lainnya. Kondisi ini telah memicu adanya permintaan lahan yang sangat tinggi dan mendorong terjadinya perpindahan kepemilikan lahan dari pemilik masyarakat lokal kepada masyarakat luar wilayah tersebut. Penguasaan lahan milik dan lahan garapan oleh masyarakat luar DAS telah mencapai 70-80%. Kondisi ini telah mendorong tingginya perubahan penggunaan lahan bervegetasi dengan penutupan tajuk yang baik berubah menjadi lahan terbangun permukiman / vila, prasaran jalan dan meluasnya lahan gontai (lahan tidur) di wilayah DAS Ciliwung Hulu ataupun menjadi lahan tidur (lahan gontai). Fakta lama yang masih belum teratasi sampai saat ini adalah belum adanya kepastian pengelolaan atas penggarapan lahan illegal HGU maupun eks-HGU perkebunan oleh masyarakat.

Penggarapan illegal lahan HGU dan eks-lahan

HGU perkebunan secara defacto dalam penguasaan masyarakat lokal dan bahkan telah berpindah-pindah kepemilikan penggarapannya kepada masyarakat luar DAS.

Lahan dengan status lahan garapan tersebut sampai saat ini memiliki

tingkat alih penguasaan yang sangat tinggi. Dengan status lahan garapan tersebut, pihak pemilik lahan garapan telah mendirikan bangunan-bangunan semi permanen s/d permanen berupa vila, homestay maupun pembiaran lahan menjadi lahan tidur (lahan gontai). Penguasaan lahan oleh masyarakat luar DAS tersebut diakui dan dijamin keamanan hak atas lahannya oleh pemerintah. masyarakat

luar

DAS

maupun oleh

Lahan yang dikuasai oleh

masyarakat

lokal tersebut

dalam

pengelolaannya tidak ditegaskan kewajibannya oleh pemerintah maupun oleh aturan lokal. Penggunaan ataupun tidak digunakannya lahan yang dikuasai oleh pemegang hak tidak diatur kewajibannya.

Dengan tidak jelasnya kewajiban

kepada pemilik lahan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu atas lahan yang dikuasai ini mengakibatkan para penguasa lahan cenderung membiarkan lahannya menjadi ”lahan gontai” atau berlaku sesuai dengan kemauannya tanpa memperhatikan kepentingan umum. Tidak jelasnya pengaturan hak kepemilikan lahan (property right of land) privat diantara (common property right).

hak kepemilikan lahan umum

12

Beberapa permasalahan tersebut telah mengurangi fungsi wilayah DAS Ciliwung Hulu sebagai pengatur hidrologi secara signifikan. Hal ini ditandai dengan meningkatnya debit air pada musim hujan, dan sangat kecilnya debit air Sungai Ciliwung pada musim kemarau. Wilayah-wilayah resapan air telah berubah menjadi permukiman dan aktivitas yang dapat mengurangi fungsi peresapan air hujan. Beberapa kondisi tersebut telah diperparah dengan gagalnya upaya pengelolaan DAS oleh berbagai institusi pemerintah melalui upaya pengendalian pemanfaatan ruang. Aktivitas-aktivitas institusi pemerintah tersebut belum mampu mengendalikan perubahan penggunaan lahan. Wilayah Ciliwung Hulu yang sebagian besar dialokasikan sebagai kawasan lindung, kini telah banyak mengalami perubahan menjadi kawasan budidaya dan cenderung tidak terkendali perubahannya. Beberapa fenomena tersebut diduga terjadi akibat dari lemahnya kelembagaan dalam pengelola DAS Ciliwung Hulu.

Kelembagaan DAS ini

menyangkut kelembagaan pemerintah, kelembagaan lokal, rendahnya kapasitas organisasi pemerintah, dan lemahnya kapasitas koordinasi organisasi pemerintah. Koordinasi antar organisasi pemerintah belum berjalan secara baik yang diakibatkan oleh perilaku egosektoral, egowilayah maupun perilaku dari masyarakat.

Hubungan antar wilayah administratif pemerintahan juga belum

optimal akibat adanya ego-wilayah otonom.

Masing-masing pihak masih

terkonsentrasi pada beban pengurusan otonomi daerah dengan menggali pemanfaatan sumberdaya alam di wilayahnya masing-masing secara maksimal kurang memperhatikan dampak negatif terhadap keberadaan dan kualitas sumberdaya alam dan bentang alam yang dieksploitasinya.

Kelemahan

kelembagan tersebut mengakibatkan lemahnya pengaturan terhadap kepemilikan lahan tidak jelas. Pengaturan kepemilikan lahan di DAS Ciliwung Hulu tidak jelas pengaturannya (arrangement of property right of land). 1. 2. 3.

Beberapa pertanyaan penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut : Bagaimana status keberlanjutan pengelolaan DAS Ciliwung Hulu? Bagaimana arena aksi lokal DAS Ciliwung Hulu saat ini? Bagaimana menyusun desain pengembangan kebijakan pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu? Kerangka perumusan masalah selengkapnya disajikan pada Gambar 1.

13 DAS Ciliwung Hulu

Ekonomi Sosial Ekologi

Manfaat DAS

Kerusakan DAS Ciliwung Hulu Kinerja DAS Ciliwung Hulu buruk : - lahan kritis s/d sangat kritis semakin menyebar - karakteristik hidrologi buruk - erosi dan sedimentasi tinggi - kualitas air semakin menurun - banjir di wilayah tengah dan hilir pada musim hujan. - kekurangan pasokan air pada musim kemarau. - kondisi ekonomi masyarakat petani miskin

Permintaan alih fungsi lahan permukiman tidak terkendali

Rehabilitasi dan konservasi vegetatif lahan tidak berhasil

Potensi DAS Ciliwung Hulu : - Penyedia kebutuhan hidup masyarakat (bahan pangan, sandang, papan, air bersih, dll.) - Penyedia Jasa Lingkungan (wisata-view alam pegunungan, suhu dingin, hidrologi, pengatur iklim, pengendali banjir, dll.)

Program Pemerintah Kurang Berhasil : - Program RHL kurang berhasil - Kebijakan Penataan Ruang tidak optimal (implementasinya lemah) - Praktek Pengelolaan SD Air kurang berkeadilan

Pemanfaatan Jasa Lingk. kurang berkeadilan (jasa air, jasa wisata, dll)

Aspek Kelembagaan

Kelembagaan pemerintah tidak optimal

Kelembagaan lokal kurang berperan

Aturan representatif tidak efektif

Pengelolaan lahan kurang konservatif

Aspek lainnya

Kapasitas organisasi pemerintah

Kapasitas koordinasi pemerintah lemah

Pengaturan property right of land tidak jelas Pengelolaan DAS Ciliwung Hulu tidak berkelanjutan Gambar 1 Kerangka perumusan permasalahan penelitian pengembangan kebijakan pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu

14

1.3

Kerangka Pemikiran Penelitian ini mempelajari karakteristik sumberdaya alam dan lingkungan

dan sumberdaya lokal dalam rangka pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu.

Pembangunan di DAS Ciliwung Hulu diarahkan untuk mencapai

peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga fungsi utama wilayah hulu DAS sebagai kawasan penyangga ekosistem bagi wilayah tengah maupun wilayah hilir DAS. Kinerja pengelolaan berkelanjutan DAS hulu sangat menentukan dukungan dan keberhasilan pembangunan di wilayah tengah maupun wilayah hilir DAS. Kinerja pengelolaan DAS Ciliwung Hulu ditunjukkan oleh pencapaian kinerja DAS dalam aspek ekonomi, sosial dan ekologi.

Kinerja pada aspek

ekonomi ditunjukkan oleh tingkat perkembangan ekonomi dan tingkat kesejahteraan masyarakat DAS Ciliwung Hulu. Pada aspek ekonomi, hubungan ekonomi dapat melampaui wilayah ekologi DAS, sehingga perkembangan pencapaian ekonomi DAS memiliki pengaruh maupun ketergantungan yang besar terhadap perkembangan ekonomi di luar wilayah DAS. Pencapaian kinerja sosial dapat dilihat dari tinggi atau rendahnya tingkat kemiskinan masyarakat, tingkat penggangguran maupun perpindahan matapencaharian masyarakat maupun tinggi rendahnya konflik atas sumberdaya di dalam DAS. Pencapaian aspek ekologi dapat dilihat dari tinggi rendahnya daya dukung biofisik wilayah terhadap perkembangan pada aspek sosial dan ekonomi maupun terjaganya kualitas maupun kuantitas bentang alam DAS. Kinerja pengelolaan DAS tersebut merupakan hasil interaksi antar komponen dan antar aktivitas aktor yang ada di dalam DAS maupun faktor lain di luar DAS.

Kinerja pengelolaan DAS merupakan resultante dari sistem

rehabilitasi hutan dan lahan, perubahan penggunaan lahan, kinerja sistem ekonomi, sosial masyarakat dan kinerja kelembagaan DAS Ciliwung Hulu. Kinerja sistem ekonomi, sosial maupun ekologi termasuk di dalamnya subsistem rehabilitasi hutan dan lahan serta subsistem biofisik dalam implementasi sistem DAS sangat ditentukan oleh sistem yang mengatur komoditas yang dihasilkan oleh DAS

15

maupun sistem bentang alam DAS sebagai sumberdaya stock. Sumberdaya ini sangat menentukan terhadap besar kecilnya produk yang dihasilkan dari dalam DAS untuk mendukung sistem pembangunan sehingga diperlukan analisis status keberlanjutan pengelolaan di dalam DAS. Hal ini ditujukan untuk melihat status pengelolaan DAS tersebut sudah mengarah atau belum kepada sistem pengelolaan berkelanjutan. Kinerja rehabilitasi hutan dan lahan, kinerja penutupan dan penggunaan lahan serta kinerja ekonomi dan sosial di dalam DAS Ciliwung Hulu sangat ditentukan oleh kapasitas kelembagaan di wilayah tersebut. Kinerja ekonomi semakin tumbuh dan berkembang dengan berbasis pada kegiatan pertanian, rekreasi dan wisata alam, dan kegiatan jasa lainnya. Kinerja ekonomi berbasis jasa alam ini semakin membutuhkan ketersediaan lahan yang tinggi untuk penyediaan sarana prasarana penunjang, dan pada akhirnya dapat mengurangi kinerja ekologi DAS. Kinerja DAS sangat ditentukan oleh kinerja pelaku di dalam DAS. Kinerja pelaku ditentukan oleh perilaku masyarakat sebagai aktor yang dipengaruhi situasi masalah, aturan main (norms), perilaku masyarakat (behaviour), kapasitas kelembagaan masyarakat dan kondisi pasar. Kelembagaan DAS

mencakup

kelembagaan

pemerintah,

masyarakat

lokal,

maupun

kelembagaan pasar dan kelembagaan lainnya yang menentukan interaksi di dalam DAS. Kelembagaan DAS sampai saat ini cenderung lemah. Hal ini ditunjukkan oleh rendahnya kinerja pemerintah diantaranya gagalnya upaya pemerintah dalam melakukan rehabilitasi hutan dan lahan, peningkatan penutupan lahan, dan pengendalian perubahan penggunaan ruang kawasan lindung di lapangan menjadi kawasan permukiman dan kawasan terbuka lainnya, rendahnya kapasitas dan kualitas koordinasi lintas sektor maupun lintas wilayah di dalam DAS maupun tidak efektifnya koordinasi dengan kelompok masyarakat lokal. Kelembagaan masyarakat lokal belum disentuh dan difungsikan secara maksimal dalam setiap tahapan pengambilan keputusan. Masyarakat lokal melalui kelompok tani (poktan) maupun gabungan kelompok tani (gapoktan) belum maksimal dilibatkan dalam penyusunan maupun pelaksanaan program pemerintah.

Kelompok tani

16

lokal telah menjalankan programnya sendiri dalam melakukan rehabilitasi hutan dan lahan secara terus menerus. Kapasitas poktan yang rendah dan dukungan dana yang terbatas mengakibatkan kinerja yang dimiliki kurang maksimal untuk mengatasi penurunan kualitas sumberdaya lahan dan lingkungan DAS Ciliwung Hulu.

Kelembagaan pasar yang mampu menampung hasil-hasil budidaya

pertanian diduga dapat mendorong masyarakat berperilaku lebih eksploitatif terhadap lahan. Kelembagaan pasar ini memberikan harapan kepada masyarakat dalam menampung output yang dihasilkan dari kegiatan budidaya pertanian maupun kegiatan penanaman pohon. Keberhasilan upaya rehabilitasi hutan dan

lahan serta semakin

terkendalinya perubahan penggunaan lahan dari lahan terbuka (tanpa vegetasi) menjadi lahan bervegetasi diharapkan mampu meningkatkan kinerja ekologi DAS. Kondisi demikian semakin mendorong motivasi masyarakat lokal untuk mengatasi semakin menurunnya kualitas lingkungan di DAS Ciliwung Hulu. Organisasi poktan telah mampu mengubah sebagian perilaku masyarakat lokal untuk berpartisipasi dalam pengelolaan DAS. Perubahan perilaku masyarakat ini mampu melakukan rehabilitasi vegetatif dan konservasi sipil teknis tanpa tergantung pada program pemerintah maupun program dari luar kelompok masyarakat tersebut. Hasil interaksi antar komponen DAS berupa interaksi aspek ekonomi dan sosial di dalam lingkungan ekologi serta peran kelembagaan di dalam DAS dapat menghasilkan outcome atau kinerja. Institusi yang berperan di dalam lingkungan DAS diantaranya institusi pemerintah, lokal, maupun institusi pasar. Hasil interaksi berbagai institusi ini sangat menentukan perilaku pelaku dan pilihan strategi masyarakat sehingga menentukan terhadap tingkat keberlanjutan di DAS Ciliwung Hulu. Untuk memahami permasalahan interaksi, situasi aksi dan kinerja di DAS Ciliwung Hulu maka perlu dikaji keberadaan dan efektivitas kelembagaan lokal untuk pengembangan kebijakan pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu. Kerangka pemikiran penelitian ini disajikan pada Gambar 2.

17

Kinerja Pengelolaan DAS Ciliwung Hulu

Manfaat Ekonomi

Manfaat Sosial

Manfaat Ekologi

Sistem Pengelolaan DAS Berkelanjutan

Kinerja RHL

Perubahan Penggunaan Lahan

Kinerja ekonomi dan sosial DAS Ciliwung Hulu

Aspek Kelembagaan

Status Keberlanjutan

feedback

Institusi Pemerintah

Institusi lokal

Institusi pasar, dll.

Perilaku dan pilihan strategi masyarakat DAS Ciliwung Hulu

Pengembangan Kebijakan Pengelolaan Berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu

Gambar 2

Kerangka pemikiran penelitian pengembangan kebijakan pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu

18

1.4 Tujuan Penelitian Penelitian ini mempunyai tujuan untuk melakukan analisis institusi lokal dan menyusun skenario pengembangan kebijakan pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu. Secara rinci tujuan penelitian ini adalah untuk : 1.

Menganalisis status keberlanjutan pengelolaan DAS Ciliwung Hulu.

2.

Menganalisis arena aksi lokal DAS Ciliwung Hulu.

3.

Memformulasikan pengembangan kebijakan pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu berkelanjutan.

1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat baik terhadap pengembangan teori institusi maupun manfaat praktis dalam pengelolaan DAS. Manfaat teoritis adalah : a.

Memperoleh status keberlanjutan pengelolaan DAS Ciliwung Hulu.

b.

Memberikan bentuk dan tingkat efektivitas institusi dalam pengelolaan DAS Ciliwung Hulu.

c.

Menemukan permasalahan kebijakan pengelolaan DAS Ciliwung Hulu.

d.

Menemukan faktor-faktor kunci dalam pengelolaan DAS Ciliwung Hulu.

e.

Mengembangkan kebijakan pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu. Manfaat praktis pengelolaan DAS adalah menghasilkan kerangka skenario

pengembangan kebijakan pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu. 1.6 Kebaruan (Novelty) Penelitian Kebaruan hasil penelitian yang berkaitan dengan biofisik maupun sosial daerah aliran sungai (DAS) dilakukan terhadap hasil-hasil penelitian dalam bentuk skripsi, tesis, disertasi, journal penelitian dalam maupun luar negeri maupun penelitian yang dilakukan oleh lembaga penelitian dan pengembanan pada instansi pemerintah lainnya.

Penelusuran hasil-hasil penelitian diarahkan pada topik

penelitian tentang biofisik dan kelembagaan daerah aliran sungai (DAS) maupun penelitian lainnya di dalam DAS Ciliwung Hulu. Hasil penelusuran terhadap

19

penelitian-penelitian berkaitan dengan topik atau lokus penelitian pada DAS Ciliwung Hulu disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Topik penelitian, metoda dan hasil penelitian terkait novelty No.

Peneliti / Topik/ Organisasi

Metoda

Hasil Penelitian

1

Hariyadi R. 1985. Studi Kualitas Air Ditinjau dari Pencemaran Bahan dan Anorganik pada DAS Ciliwung Bagian Hulu di atas Depok.

Analisis Kimia Kualitas Air Sungai Ciliwung

1. Kandungan BOD5 dipengaruhi oleh lahan pemukiman, kepadatan penduduk, dan sawah. 2. Kadar muatan padatan tersuspensi (MPT) dipengaruhi oleh lahan pemukiman, kepadatan penduduk, sawah, tegalan, dan lahan perkebunan. 3. Sungai Ciliwung Hulu belum tercemar oleh bahan organik dan anorganik.

2

Janudianto. 2004 Analisis Perubahan Penutupan Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Debit MaksimumMinimum Air di Sub DAS Ciliwung Hulu. Skripsi S1 IPB.

Analisis Spasial dan Deskriptif.

Telah terjadi perubahan penggunaan / penutupan lahan pada DAS Ciliwung Hulu sehingga berpengaruh terhadap debit maksimum-minimum air sungai.

3

Karyana A. 2007. Analisis Posisi dan Peran Lembaga serta Pengembangan Kelembagaan di DAS Ciliwung, Disertasi S3 IPB.

ISM, Analisis 1. Lembaga yang memiliki posisi Model Mental, menentukan kurang mempertimbangkan peran lembaga AHP lain dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan terkait pengelolaan DAS. 2. Kebijakan pemerintah terkait pengelolaan DAS Ciliwung kurang mempertimbangkan prinsip-prinsip pengelolaan DAS. 3. Posisi lembaga (pemerintah) yang memiliki pengaruh besar dalam pengelolaan DAS Ciliwung tidak sesuai dengan perannya dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan pengelolaan DAS. 4. Koordinasi antar lembaga (pemerintah) yang terlibat dalam pengelolaan DAS Ciliwung belum harmonis, terutama dalam hal pelaksaaan tugas fungsi (task) dan pelaksanaan kegiatan pengelolaan DAS.

20

No.

Peneliti / Topik/ Organisasi

Metoda

4

Marsusanti E. 2007 Identifikasi dan Analisis Permasalahan Institusi Dalam Kompleksitas Penataan Kawasan Puncak (Studi Kasus Kelurahan Cisarua dan Desa Tugu Utara Kabupaten Bogor), Tesis S2 IPB.

Analisis Spasial dan Deskriptif.

5

Barnas H. 1988. Peranserta Masyarakat Dalam Penghijauan (Studi Kasus DAS Jeneberang-Sulawesi Selatan), Disertasi IPB.

Analisis Regresi Berganda

Hasil Penelitian Telah terjadi perubahan penggunaan lahan pada semua tipe penggunaan lahan pada lokasi peneltian. Surat pelepasan hak (SPH) yang dilakukan oleh pihak PT Perkebunan kepada masyarakat untuk digarap dapat melemahkan property right atas lahan.

1.

2.

ekonomi.

3. 4.

5.

6

Hutapea T. 2005. Pengembangan Agroforestry Berkelanjutan di DAS (Studi Kasus di DAS Ciliwung Hulu Kab. Bogor), Disertasi IPB.

Peranserta masyarakat dipengaruhi oleh motivasi masyarakat, birokrasi penghijauan, dan lingkungan hidup. Motivasi masyarakat berperanserta dalam penghijauan ditentukan oleh tujuan

Analisis Spasial Kuantitatif.

Pemahaman petani dapat mendorong motivasi. Hambatan petani untuk swadaya penghjauan adalah keterbatasan modal untuk mengolah lahan kering dengan teknis RLKT, pengadaan bibit tanaman. Pemimpin informal sangat berperan dalam penyebarluasan penghijauan untuk memotivasi masyarakat penghijauan.

1. Tingkat penddidikan petani di kawasan agroforestry DAS masih rendah karena tingkat pendapatan petani masih rendah. 2. Agroforestry akan sulit berkembang jika lahan yang diusahakan tidak didukung oleh status kepemilikan yang kuat bagi pengelola lahan. 3. Kurangnya sarana prasarana pasar mengakibatkan belum memberikan keuntungan bersih yang lebih besar kepada petani. 4.

Kebijakan dan kelembagaan pengelolaan agroforestry belum dirumuskan secara terkoordinasi, mencakup pemanfaatan lahan, konservasi, pengembanga kelompok tani, pengembangan institusi lokal, pemasaran, penelitian dan pengembangan introduksi teknologi agroforestry.

21

No.

Peneliti / Topik/ Organisasi

Metoda

Hasil Penelitian

7

Rachman S. 1992. Infiltration Under Different Land Use Types at the Upper Ciliwung Watershed of West Java, Indonesia, MSc. University of Canberra.

Analisis Kuantitatif

Tipe penggunaan lahan berpengaruh nyata terhadap variabilitas tanah dan kondisi tanah. Variabilitas tanah mencakup porositas tanah sangat menentukan tingkat penyerapan dan konduktivitas hidrolika tanah. Tingginya persentasi penutupan lahan dan rendahnya aktivitas manusia dalam pengelolaan lahan hutan dapat meningkatkan serasah dan humus dan meningkatkan porositas tanah.

8

Dewi IK. 2010. Model Pengelolaan Kawasan Permukiman Berkelanjutan di DAS Ciliwung Hulu Kabupaten Bogor.

Analisis kesesuaian lahan dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis. Multi dimensional scale (MDS).

Penyebaran lokasi kawasan permukiman eksisting tidak terkendali. Hal ini memperlihatkan penyimpangan antara lokasi permukiman eksisting dengan permukiman berdasarkan RTRW dan kesesuaian lahan untuk permukiman. Indeks keberlanjutan permukiman DAS Ciliwung Hulu 41,16% atau kurang berkelanjutan. Indeks kurang keberlanjutan diperoleh dari dimensi ekologi (25,98%), kelembagaan (30,66%), dan sosial (38,15%), sedangkan dimensi teknologi dan dimensi ekonomi cukup berkelanjutan masingmasing 57,11% dan 62,50%.

9

Pramono AA. dan Aminah A. 2010. Analisis Faktor yang Berpengaruh Terhadap Keputusan Petani untuk mengkonversi Hutan Rakyat di DAS Ciliwung Hulu.

Analisis Regresi Logistik.

Faktor yang berpengaruh nyata terhadap keberadaan hutan rakyat yaitu (1) pekerjaan utama non-tani, dan (2) kemiringan lahan. Pekerjaan utama nontani akan cenderung membiarkan lahannya menjadi lahan kebun campuran (agroforestry), sedang lahan miring di lereng bukit atau tepi sungai karena kurang potensial untuk budidaya tanaman pertanian semusim sehingga dipertahankan sebagai hutan atau kebun campuran.

10

Pramono AA. Analisis Perubahan Nilai Ekonomi Lahan pada Konversi Hutan Rakyat di DAS Ciliwung Hulu.

Analisis Nilai Ekonomi Lahan didasarkan pada Net Present Value (NPV).

Nilai ekonomi lahan dari hutan rakyat sangat rendah Rp.553 m-3th-1 atau lebih rendah daripada untuk padi, ubi cilembu, bawang daun,perumahan, dan vila. Konversi lahan hutan rakyat menjadi penggunaan lain (permukiman, tegalan, ladang atau sawah) lebih menguntungkan.

22

Novelty yang diperoleh dari kegiatan penelitian ini adalah : 1. Metoda analisis yang digunakan adalah analisis komprehensif multidimensi untuk

membangun

skenario

pengembangan

kebijakan

pengelolaan

berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu meliput i analisis deskriptif kualitatif, kuantitatif dan analisis sistem. 2. Hasil penelitian adalah kerangka pengembangan kebijakan pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1

Daerah Aliran Sungai (DAS) Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang

merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang dibatasi oleh pemisah topogafi berupa punggung bukit atau gunung, yang berfungsi menampung air yang berasal dari curah hujan, menyimpan dan mengalirkannya ke danau atau laut secara alami (Anonim 2004b, Manan 1985). Sinukaban (2007), DAS adalah kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografi yang menampung, menyimpan, dan mengalirkan air hujan yang jatuh di atasnya beserta sedimen dan bahan larut lainnya kedalam sungai yang akhirnya bermuara ke danau atau ke laut. Pengertian ini memperhatikan fungsi DAS sebagai produsen air beserta sediman dan bahan terlarut lainnya sebagai indikasi kesehatan DAS. Pengertian lainnya, DAS suatu wilayah daratan tertentu yang merupakan satu kesatuan dengan sungai & anak-anak sungainya,

yang

berfungsi menampung,

menyimpan dan

mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografi dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (Anonim 2004a, Anonim 2008c, Anonim 2009, Seyhan 1977).

DAS memiliki keterkaitan

hidrologi dimulai dari wilayah hulu hingga sampai ke wilayah pesisir laut yang masih terpengaruh oleh aktivitas hidrologi daratan.

Dalam bahasa Inggris

pengertian DAS sering diidentikkan dengan watershed, catchment area, atau river basin. Daerah Aliran Sungai sebagai ekosistem. Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponen-komponen yang saling terintegrasi dan saling memiliki ketergantungan sehingga membentuk suatu kesatuan. DAS dapat dinilai sebagai suatu ekosistem. Ekosistem terdiri dari komponen biotik dan abiotik yang saling berinteraksi membentuk satu kesatuan yang teratur sehingga di dalam sistem tidak ada satu komponenpun yang berdiri sendiri melainkan ia mempunyai keterkaitan dan ketergantungan dengan komponen lain baik secara langsung maupun tidak langsung. Sistem tersebut mempunyai sifat tertentu, tergantung

24

derajat interaksi antara jumlah dan jenis komponen penyusunannya. Sebagai ekosistem, DAS tersusun atas komponen utama biofisik spesifik meliputi jenis tanah, tataguna lahan, topografi, kemiringan dan panjang lereng. Karakteristik biofisik tersebut mampu merespon curah hujan

yang jatuh di wilayah DAS

berupa pengaruh terhadap besar kecilnya evapotranspirasi, infiltrasi, perkolasi, air larian, aliran permukaan, kandungan air tanah, dan aliran sungai (Asdak 2007). Manusia merupakan salah satu komponen yang paling penting dan komponen yang dinamis karena dalam menjalankan aktivitasnya seringkali mengakibatkan dampak terhadap satu maupun beberapa komponen lingkungan lainnya, sehingga mempengaruhi ekosistem secara keseluruhan.

Selama hubungan timbal-balik

antar komponen ekosistem dalam keadaan seimbang, selama itu pula ekosistem berada dalam kondisi stabil dan selalu dalam kondisi keseimbangan yang dinamis. Sebaliknya, bila hubungan timbal balik antar komponen lingkungan mengalami gangguan, maka terjadilah gangguan ekologis sehingga mempengaruhi kestabilan ekosistem.

Gangguan ini pada dasarnya adalah gangguan pada arus materi,

energi, dan informasi antar komponen ekosistem yang tidak seimbang (Odum 1992).

Dengan demikian maka ekosistem harus dilihat secara holistik, yaitu

dengan cara mengidentifikasi komponen-komponen kunci penyusun ekosistem, perilaku unsur pembentuk untuk menelaah interaksi antar komponen, serta produktivitas yang dihasilkan dari interaksi tersebut. DAS merupakan sistem alami yang menjadi wadah berlangsungnya proses-proses fisik hidrologis maupun kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang kompleks. Salah satu elemen yang memiliki mobilitas yang tinggi dan mampu mempengaruhi eleman lainnya adalah unsur manusia. Manusia merupakan satu unsur yang dapat mengakibatkan perubahan kondisi hidrologis DAS yang mengarah kepada peningkatan erosi dan sedimentasi, penurunan produktivitas lahan, percepatan degradasi lahan, maupun peran manusia sebagai pelaku perbaikan terhadap memburuknya kondisi fisik maupun fungsi dari ekosistem DAS (Ditjen RLPS 2009b). DAS merupakan salah satu konsep sistem wilayah. Berdasarkan struktur komponen-komponen yang membentuknya, konsep sistem wilayah dapat dipilah

25

atas wilayah sistem sederhana (dikotomis) dan sistem kompleks (non-dikotomis). Sistem sederhana adalah sistem yang bertumpu atas konsep ketergantungan atau keterkaitan antara dua bagian atau komponen wilayah. DAS termasuk kedalam ekosistem yang kompleks. DAS terdiri dari subsistem-subsistem yang saling berinteraksi.

Tidak ada subsistem yang berdiri sendiri, pasti ada interaksi,

keterkaitan dan ketergantungan antar susbsistem. DAS sebagai sistem kompleks memiliki jumlah / kelompok unsur penyusun serta struktur yang lebih rumit. Konsep wilayah sebagai sistem kompleks dapat dibagi atas wilayah sebagai (1) sistem ekologi, (2) sistem sosial, (3) sistem ekonomi atau gabungan atas dua atau lebih sistem. Secara geografis permukaan bumi termasuk DAS di dalamnya merupakan sistem ekologi yang terbagi atas beberapa bentuk ekosistem seperti ekosistem hutan, ekosistem lahan, ekosistem padang rumput, ekosistem laut dan sebagainya (Rustiadi et al. 2009). 2.2 Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam Kajian Institusi Ekosistem dalam bentuk fisik merupakan kesatuan bentang alam yang menyediakan produk dan jasa bagi manusia. Ekosistem menyediakan produk seperti makanan dan air serta jasa seperti pengaturan atau pengendalian banjir, kekeringan, dan penyakit, jasa pendukung seperti pembentukan tanah dan siklus hara, jasa kebudayaan seperti rekreasi, spiritual, keagamaan dan manfaat non-material lainnya (Bappenas dalam Kartodihardjo dan Jhamtani 2006). Sumberdaya alam (SDA) dapat digolongkan ke dalam dua bentuk yaitu sebagai (1) stock atau modal alam (natural capital) seperti DAS, danau, kawasan lindung, pesisir dan lain-lain yang keberadaannya tidak dibatasi oleh wilayah administrasi, dan (2) faktor produksi atau sebagai barang / komoditas seperti kayu, rotan, mineral, air, ikan, dan lain-lain yang diproduksi olah berbagai sektor/ dinas sebagai sumber-sumber ekonomi.

SDA dalam bentuk stock dapat

menghasilkan fungsi-fungsi yang intangible sifatnya seperti

menyimpan air,

mencegah terjadinya banjir di musim hujan, mengendalikan kekeringan di musim kemarau, menyerap CO 2 udara, mempertahankan kesuburan tanah, mengurai

26

berbagai bahan beracun, maupun kekayaan alam sebagai sumber pengetahuan serta hubungan sosial-budaya masyarakat dan lain-lain. SDA dalam bentuk stock mempunyai fungsi-fungsi yang berguna bagi publik dan fungsi-fungsi tersebut tidak dapat dibagi-bagikan kepada perseorangan dan tidak pula dapat dimiliki oleh perseorangan. Antar komponen di dalam DAS tersebut saling berinteraksi dan memiliki ketergantungan, mulai dari wilayah hulu sampai ke hilir, mulai dari puncak gunung hingga ke laut ( Kartodihardjo et al. 2004). Memperhatikan karakteristik SDA tersebut, maka Kartodihardjo et al. (2004) dalam kajian institusi ini memberikan batasan pengertian bahwa DAS adalah sumberdaya alam stock dengan ragam kepemilikan (private, common, state property), berfungsi sebagai penghasil barang dan jasa, baik bagi individu dan atau kelompok masyarakat maupun bagi publik secara luas serta menyebabkan interdependensi antar pihak, individu dan / atau kelompok masyarakat. Definisi tersebut memberikan tiga pengertian sebagai berikut : 1. DAS sebagai suatu bentang alam, maka ia merupakan stock. sumberdaya stock, juga dapat menghasilkan komoditas.

Sebagai

Namun demikian

bagi pihak pengelola, DAS tidak hanya tertuju kepada komoditas, tetapi justru kepada sumberdaya stock yang menghasilkan jasa. 2. Di dalam bentang alam DAS terdapat berbagai bentuk (ragam) kepemilikan yaitu hak individu, hak komunitas, hak negara serta berbagai turunannya seperti hak sewa, hak guna usaha dll. Perhatian pengelola DAS semestinya ditujukan terhadap jasa yang dihasilkan oleh DAS, dan sifat-sifat jasa tidak melekat pada sumber produksinya, maka sifat kepemilikannya tidak pernah cukup apabila hanya diklaim sebagai kepemilikan individu (ownership right). 3. Berkaitan dengan sifat kepemilikan tersebut (ownership right), adanya sifat biaya ekslusi dan biaya transaksi tinggi juga menghendaki pengaturan yang tidak dapat dilakukan hanya melalui mekanisme pasar, melainkan dengan menetapkan institusi atau aturan main yang sesuai. Hal ini diperkuat oleh karakteristik yang melekat pada DAS itu sendiri, yaitu bahwa ia mewujudkan suatu bentuk interdependensi antar individu dan / atau kelompok masyarakat.

27

Setiap jenis komoditi yang diambil dari sumberdaya berupa stock akan mempengaruhi produktivitas jenis komoditi lain serta fungsi-fungsi sumberdaya alam secara keseluruhan. Bentang alam tidak dapat dibatasi oleh wilayah-wilayah administratif karena merupakan suatu wilayah dimana hubungan antara barang dan jasa dari sumberdaya alam memiliki keterkaitan yang sangat erat. Dalam kenyataannya suatu ekosistem dipecahpecah ke dalam beberapa wilayah secara administratif, wilayah suku atau lembaga sosial dan budaya lokal, atau berdasarkan kepentingan politik tertentu. Ekosistem juga dibagi-bagi kedalam wilayah eksploitasi dibawah pengusahaan perusahaan swasta (Kartodihardjo dan Jhamtani 2006). Pembangunan DAS merupakan satu komponen yang penting dalam pembangunan perdesaan dan strategi pengelolaan sumberdaya alam di beberapa negara. DAS merupakan satu jenis yang khusus dari common pool resource yang merupakan suatu areal yang ditentukan oleh keterkaitan hubungan hidrologi dimana pengelolaan yang optimal memerlukan koordinasi dalam penggunaan sumberdaya oleh semua pengguna. DAS merupakan suatu wilayah yang mengalirkan air menuju ke suatu titik umum, dan pembangunan watershed berupaya untuk mengelola hubungan hidrologi untuk mengoptimalkan kegunaan sumberdaya alam untuk konservasi, produktivitas, dan pengurangan kemiskinan. Untuk mencapai hal ini diperlukan pengelolaan yang terkoordinasi dari berbagai sumberdaya mencakup watershed termasuk hutan, peternakan, lahan pertanian, air permukaan dan air bawah tanah, semuanya berkaitan melalui proses hidrologi (Kerr 2007). Dalam kajian ini DAS adalah sumberdaya alam berupa stock dengan ragam kepemilikan (private, common, state property) yang memiliki sumber interdependensi antar komponen dan antar pelaku di atasnya berupa proses hidrologi dan dapat menghasilkan produk barang dan jasa bagi kesejahteraan manusia. 2.3

Daerah Aliran Sungai (DAS) Bagian Hulu Seluruh wilayah terbagi habis kedalam DAS, dan setiap DAS terbagi habis

ke dalam subDAS-subDAS. SubDAS adalah bagian DAS yang menerima air hujan dan mengalirkannya melalui anak sungai ke sungai utama (Dephut 2009a). DAS

pada hakekatnya merupakan hamparan landsekap yang dibatasi oleh

punggungan bentuk medan (topografi), sehingga setiap titik air yang jatuh akan

28

mengalir melalui satu outlet (satu aliran). Berdasarkan alur-alur/cabang sungai, DAS dibedakan menjadi (a) Sub DAS, yaitu cabang aliran sungai yang membentuk bagian wilayah DAS, dan (b) Sub-sub DAS, yaitu ranting sungai yang membentuk bagian dari sub-DAS. Berdasarkan wilayah pengelolaannya (WP), DAS dapat dibedakan menjadi tiga wilayah yaitu WPDAS Bagian Hulu, WPDAS Bagian Tengah, dan WP DAS Bagian Hilir. Semua aliran air dari hulu, tengah dan hilir, secara keseluruhan keluar melalui satu outlet dan bermuara di perairan laut (Waryono 2005). Ekosistem DAS hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap seluruh bagian DAS termasuk DAS bagian tengah maupun wilayah hilir, diantaranya perlindungan terhadap fungsi tata air yaitu memiliki keterkaitan biofisik berupa daur hidrologi.

Kawasan hulu DAS

berperan dalam penyimpanan air cadangan dalam tanah (water storage). Kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam di daerah hulu dapat menimbulkan dampak pada DAS bagian tengah dalam bentuk penurunan kapasitas simpanan air. Mempertimbangkan adanya keterkaitan ini maka bentuk satu sistem perencanaan dan evaluasi yang logis terhadap pelaksanaan program-program pengelolaan DAS. Pendekatan ekosistem dalam pengelolaan DAS merupakan alternatif dalam memahami dan mengusahakan terwujudnya pemanfaatan dan konservasi sumberdaya alam yang berkelanjutan (Asdak 2007). Hubungan kondisi biofisik hulu dan hilir DAS disajikan pada Gambar 3. Sistem ekologi DAS bagian hulu dapat dipandang sebagai suatu ekosistem perdesaan. Ekosistem ini terdiri atas empat komponen utama yaitu desa, sawah/ladang, sungai, dan hutan. Komponen-komponen yang menyusun DAS berbeda-beda tergantung kepada keadaan daerah setempat. Di DAS bagian tengah ada komponen lain seperti perkebunan, sementara di bagian hilir ditemukan adanya komponen lingkungan hutan bakau (Soemarwoto dalam Asdak 2007).

29

Reboisasi (hasil air +) (kualitas air +)

Cara bercocok tanam buruk Perumputan lebih (produktivitas -) (erosi +)

Deforestasi Penebangan untuk kayu bakar (hasil air +) Pembuatan jalan Pembalakan Penambangan (erosi +) (sedimentasi +)

Irigasi (-)

Kapasitas simpan waduk (-) Listrik tenaga air (?)

Keterangan : + Meningkat - Menurun ? Belumjelas

Sisa air irigasi (kualitas -)

Hasil air (+ / -) Kualitas air (?)

Gambar 3 Hubungan biofisik antara wilayah hulu dan hilir DAS (Asdak 2007) Aktivitas perubahan tataguna lahan, dan pembuatan bangunan konservasi yang dilaksanakan di daerah hulu dapat memberikan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit air dan transpor sedimen serta material terlarut lainnya atau non-point pollution.

Dengan keterkaitan hulu-hilir tersebut maka

DAS dapat digunakan sebagai suatu unit perencanaan (Djakapermana 2009). Proses hidrologi yang berlangsung di dalam ekosistem DAS merupakan dasar pemanfaatan dan pengembangan sumberdaya air pada skala DAS. DAS sebagai ekosistem merupakan perwujudan interaksi antar unsur pembentuknya yang meliputi tanah, vegetasi, sungai, curah hujan, dan manusia yang dilengkapi dengan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam sistem hidrologi ini, peranan vegetasi sangat besar dalam pengendalian proses yang berlangsung di dalam DAS. Vegetasi berperanan penting sebagai peluang intervensi / campur tangan manusia terhadap fungsi DAS sebagai pengatur hidrologi. Vegetasi berperanan besar dalam pengendalian aliran air permukaan. DAS merupakan

30

suatu ekosistem, sehingga keluaran dari ekosistem DAS tersebut akan terlihat perubahannya bilamana input ke dalam proses yang ada pada ekosistem tersebut. Vegetasi dapat merubah sifat fisika dan kimia tanah dalam hubungannya dengan laju penyimpanan air, yang berpengaruh terhadap permeabilitas permukaan dan porositas tanah.

Fungsi ekosistem DAS yang dihasilkan dari interaksi antar

komponen DAS disajikan pada Gambar 4.

Input : Curah Hujan

Vegetasi

Tanah

Sungai

Manusia IPTEK

Output = Debit, Muatan Sedimen

Gambar 4 Fungsi ekosistem DAS (Asdak 2007)

Pemahaman rejim property right yang mengatur pengelolaan sumberdaya di wilayah hulu adalah kunci untuk mengembangkan kebijakan lingkungan yang dapat mendukung kelestarian kehidupan dan matapencaharian masyarakat perdesaan dan mendorong layanan jasa lingkungan yang penting dalam menghadapi perubahan.

Kasus di Inggeris, wilayah hulu merupakan wilayah

penting untuk penyediaan jasa ekosistem berupa keanekaragaman hayati, rekreasi, dan penyimpanan karbon, penyediaan makanan, serat dan air sebagaimana pentingnya dengan perlindungan / pencegahan banjir. Lingkungan hulu adalah bagian utama bagi sistem kompleks dari property right regime. Wilayah hulu juga merupakan sumber utama layanan jasa ekosistem. Lebih dari 70% suplai air untuk aktivitas ekonomi dan sosial di wilayah hilir perdesaan dan perkotaan berasal dari wilayah hulu. Wilayah hulu juga memainkan peranan penting untuk

31

penyimpanan air guna mencegah banjir di wilayah hilirnya. Tanah gambut di wilayah hulu di Inggeris banyak menyimpan karbon 20 kali lebih banyak daripada seluruh hutan di Inggeris. Diperkirakan terdapat 400.000 ton karbon setiap tahunnya dapat disimpan pada tanah gambut

dengan pengelolaan yang baik.

Wilayah hulu merupakan faktor penting dalam kegiatan rekreasi dan industri pariwisata yang tidak dapat diabaikan perannya (Quinn et al. 2008). Studi kasus dalam pengelolaan wilayah hulu berdasarkan property right di Inggeris tersebut, Quinn et al. (2008) menjelaskan bahwa terdapat 2 (dua) sumber potensial yang dapat mengakibatkan konflik sumberdaya di wilayah hulu yaitu : 1. Pertama, adanya perbedaan pemahaman tentang kepemilikan (property), yaitu penguasa yang eksklusif (exclusive dominion) dan kepemilikan (property) sebagai

satu berkas hak kepemilikan (bundle of right) sehingga dapat

mengakibatkan konflik. Adanya legitimasi yang dinikmati oleh pemegang hak secara khusus yang memiliki hak dan menjalankan haknya. Beberapa pemilik lahan dan petani penyewa yang memiliki keterikatan sejarah di wilayah hulu merasa bahwa haknya telah berpindah atau berkurang secara tidak wajar akibat perubahan kebijakan pemerintah. (Hurley dalam Quinn et al. 2008). 2. Kedua, fakta menunjukkan bahwa perbedaan pemegang property right memiliki perbedaan tujuan dalam pengelolaan wilayah hulu. Pemilik hak, hutan

milik

dan

para

petani

pengelola

wilayah

hulu

berupaya

memaksimumkan produksinya. Hal ini dapat membawa ke dalam konflik dengan pemegang hak kepemilikan lainnya yang menginginkan pengelolaan wilayah hulu untuk tujuan memaksimumkan kualitas air, penyerapan karbon, dan konservasi.

Pengelolaan lahan untuk produksi dapat mengarah pada

penurunan kualitas lingkungan dan sumberdaya air menjadi lebih berwarna, pengasaman air,

hilangnya karbon, dan penurunan biodiversitas. Hal ini

menunjukkan bahwa adalah suatu kemustahilan untuk mengelola wilayah hulu untuk memaksimumkan semua jasa ekosistem.

32

2.4

Pengelolaan DAS Terpadu Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengendalikan hubungan

timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktivitasnya, dengan tujuan membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan. Pendekatan ekosistem diperlukan karena mengingat kompleksitas

elemen di

dalam ekosistem yang melibatkan multi-sumberdaya (alam dan buatan), multilembaga, multi-stakeholders, dan bersifat lintas batas administratif.

Karena

kompleksitas di dalam DAS sangat tinggi inilah maka dibutuhkan koordinasi dan kooperasi antar pihak. Pemangku kepentingan dalam pemanfaatan DAS juga beragam sehingga dibutuhkan adanya saling keterbukaan, mempunyai rasa tanggung jawab, dan saling mempunyai hubungan ketergantungan (interdependency). Semua pihak yang berkepentingan dengan kelestarian fungsi dan keberadaan DAS harus bertanggung jawab bersama dalam implementasinya (Dephut 2009; Anonim 2009). Konflik kepentingan dan pengelolaan sumberdaya alam yang tidak bertanggung jawab telah mengakibatkan kerusakan DAS. Kondisi DAS semakin kritis, sehingga kemampuannya sebagai penyimpan dan pemasok air tidak lagi berfungsi optimal, terjadi kelebihan air pada musim penghujan dan kekurangan air pada musim kemarau (Alikodra 2009) sebagian besar air menjadi aliran permukaan (run-off). Hal ini menyebabkan kerusakan dan tidak berfungsinya DAS sebagai sarana menjaga keseimbangan ketersediaan dan penggunaan air. Di musim kemarau debit air berkurang, tetapi pada musim penghujan aliran air tidak terkendali dan menimbulkan petaka yang merugikan manusia secara ekonomi dan sosial (Bunasor 2009). DAS adalah sebagai entitas hidrologi yang keberadaannya untuk melindungi keberadaan biota, tanah/lahan, dan budaya (McGinnis dalam Blomquist et al. 2005). Dari perspektif ekonomi, DAS merupakan bagian dari

industri

jasa

lingkungan

yang

dioptimalkan

tujuannya

untuk

pemenuhan kebutuhan manusia. Dari perspektif politik, DAS merupakan

33

bentuk penyederhanaan pendekatan manajemen sumberdaya dari cakupan subnasional atau regional untuk diturunkan kepada tingkat manajemen lokal (misalnya DAS dalam cakupan yang kecil atau DAS mikro). Manajemen DAS terpadu memiliki pilihan kolektif yang dapat menentukan cakupan manajemen (scope of management), siapa yang dapat berpartisipasi dan bagaimana berpartisipasi, serta bagaimana pengambilan keputusan kolektif diperbaiki dan dihadapkan pada pembuatan otoritas DAS tunggal dengan wewenang

yang

kuat

dalam

mengatasi

permasalahan

DAS

secara

komprehensif (Blomquist dan Schlager 2005). DAS merupakan suatu fenomena yang kompleks, sehingga perlu adanya kejelasan

dalam suatu manajemen terpadu. Bilamana ada

ketidakjelasan maka akan mengalami kesulitan untuk menyelesaikannya. Hal terpenting adalah perlu adanya kejelasan dalam hal definisi DAS dan pilihan batasan DAS. Hal ini sangat dipengaruhi oleh pilihan politik yang ada, yaitu tentang siapa yang memutuskan, bagaimana dan dengan dampak apa yang akan terjadi (Wester et al. dalam Blomquist dan Schlager 2005). Pembuatan batas wilayah DAS adalah wilayah politik. Tata batas wilayah membatasi jangkauan aktivitas manajemen yang menentukan siapa dan apa yang ada di dalam DAS. Di dalam batas wilayah, individu atau kelompok dapat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan memiliki interest, nilai dan concern di dalamnya. Demikian halnya, pihak-pihak di luar batas wilayah, memiliki beberapa kepentingan dan cara tidak langsung dalam berpartisipasi. Akuntabilitas manajemen DAS sangat menentukan terhadap desain organisasi dan pilihan politik yang harus dibuat guna merealisasikan manajemen

DAS

tersebut.

Kondisi

kompleks

demikian

dapat

mengakibatkan timbulnya beberapa persoalan dalam manajemen DAS terpadu

(Blomquist dan Schlager

2005) yaitu (1) adanya perbedaan batas

administrasi dan batas ekologi dalam pengelolaan DAS secara terpadu, (2) adanya struktur dan bentuk partisipasi pemangku kepentingan dalam pengelolaan DAS. Bagaimana bentuk partisipasi pemangku kepentingan yang berada di dalam DAS akan berbeda bentuk partisipasinya dengan para pemangku

34

kepentingan di luar DAS, dan (3) Bagaimana dan kepada siapa akuntabilitas pengambilan keputusan pengelolaan DAS dipertanggungjawabkan. Nakamura

dalam Asdak (2007), prinsip pengelolaan DAS Terpadu

harus diperhatikan 3 (tiga) ruh / karakteristik keterpaduan yaitu (1) pendekatan ekosistemik; (2) pendekatan pengaturan kelembagaan lintas sektoral dan lintas wilayah; dan (3) pencapaian tujuan ganda (multi objectives). Sedangkan menurut Ditjen RLPS (2009), prinsip-prinsip dasar dalam pengelolaan DAS adalah : 1. Pengelolaan DAS dilaksanakan secara terpadu didasarkan atas DAS sebagai satu kesatuan ekosistem, satu rencana dan satu sistem pengelolaan; 2. Pengelolaan

DAS

terpadu

melibatkan

para

pemangku

kepentingan,

terkoordinasi, menyeluruh dan berkelanjutan; 3. Pengelolaan DAS terpadu bersifat adaptif terhadap perubahan kondisi yang dinamis sesuai dengan karakteristik DAS; 4. Pengelolaan DAS terpadu dilaksanakan dengan pembagian tugas dan fungsi, beban biaya dan manfaat antar para pemangku kepentingan secara adil; 5. Pengelolaan DAS terpadu berlandaskan pada azas akuntabilitas. Direktorat Jenderal RLPS (2009) lebih lanjut menjelaskan bahwa terdapat

beberapa

alasan yang

mengharuskan pengelolaan DAS

harus

diselenggarakan secara terpadu yaitu (1) Terdapat keterkaitan (interdependency) antar berbagai kegiatan dalam pengelolaan sumberdaya dan pembinaan aktivitasnya; (2) Melibatkan berbagai disiplin ilmu yang mendasari dan mencakup berbagai bidang kegiatan, (3) Batas DAS tidak selalu berhimpitan / bertepatan dengan batas wilayah administrasi pemerintahan, dan (4) Interaksi daerah hulu sampai hilir dapat berdampak negatif maupun positif sehingga memerlukan koordinasi antar wilayah dan pihak. Pengelolaan DAS merupakan suatu bentuk pengembangan wilayah yang menempatkan DAS sebagai unit pengelolaan. Untuk mencapai pembangunan berkelanjutan, perencanaan pembangunan harus mempertimbangkan seluruh aspek terkait meliputi ekonomi, demografi, sosial budaya, lingkungan dan sumberdaya alam.

Pendekatan komprehensif sangat diperlukan menyusun

35

perencanaan pembangunan dimulai dari perencanaan tata ruang.

Adanya

keterkaitan daerah hulu-hilir dan antar interaksi aspek DAS maka diperlukan satuan unit perencanaan DAS yang terbagi dalam unit pengelolaan bagian hulu DAS, bagian tengah DAS, dan bagian hilir.

Keterpaduan pengelolaan

sumberdaya alam skala DAS sangat penting karena selama ini lembaga perencana dan pengelola sumberdaya adalah masing-masing instansi sektoral yang sesuai tupoksinya dan pelaksanaanya dikoordinasikan oleh Bappeda di daerah. Dengan mekanisme kerja pengelolaan sumberdaya ini, maka pencapaian tujuan sektoral lebih menonjol dan belum menunjukkan keterpaduan mencapai tujuan bersama antar sektor dan antar wilayah di dalam suatu DAS (Djakapermana 2009). Pengelolaan DAS Terpadu adalah proses perumusan tujuan bersama pengelolaan sumberdaya dalam DAS, sinkronisasi program sektoral dalam mencapai tujuan bersama, monitoring dan evaluasi pelaksanaan dan pencapaian hasil program sektoral terhadap tujuan bersama pengelolaan DAS dengan mempertimbangkan aspek biofisik, klimatik, sosial, politik, ekonomi dan kelembagaan yang bekerja dalam DAS tersebut. Pengelolaan DAS direncanakan dan dilaksanakan berdasarkan kesepakatan bersama melalui suatu suatu mekanisme partisipatif dan adaptif. Sehingga makna keterpaduan dalam pengelolaan DAS adalah upaya memadukan program-program sektoral dan kerangka kerja kelembagaan yang berbeda, baik di dalam maupun di luar wilayah administrasi pemerintahan dalam satu kesatuan DAS. mekanisme antar sektor,

Dengan keterpaduan

antar wilayah, dan antar kelembagaan sebagai satu

kesatuan pengelolaan, maka tujuan masing-masing sektor, dan tujuan bersama pengelolaan DAS dapat dicapai (Asdak 2007, Ditjen RLPS 2009a dan 2009b). DAS sebagai Integrated River Basin Management (IRBM).

World

Wildlife Fund for Nature (WWF) dalam Ends & Gomukh (2006) bahwa Pengelolaan DAS Terpadu (IRBM) merupakan proses mengkoordinasikan konservasi, pengelolaan dan pengembangan air, tanah dan sumberdaya yang bersifat lintas sektor, untuk memaksimalkan keuntungan sosial dan ekonomi yang didapat dari sumberdaya air secara adil dengan tetap menjaga dan memulihkan ekosistem yang mampu menghasilkan air bersih. Dalam upaya pengelolaan output

36

dari DAS berupa sumberdaya air, menurut Global Water Partnership (GWP dalam Ends & Gomukh 2006) bahwa Integrated Water Resource Management (IRWM)

tersebut

dilakukan

secara

terkoordinir

untuk

memaksimalkan

kesejahteraan sosial dan ekonomi yang dihasilkan secara adil tanpa mengorbankan kelestarian ekosistem. .Demikian halnya dengan pengelolaan sungai yang merupakan bagian dari pengelolaan DAS, pengelolaan sungai secara terpadu menuntut penanganan satu sungai - satu perencanaan - satu pengelolaan (one river - one plan - one management). Hasil penelitian menunjukkan bahwa langkah-langkah yang harus dilakukan dalam pengelolaan waduk adalah (1) pengurangan erosi lahan di DAS, (2) mencegah supaya hasil erosi lahan tidak masuk ke sungai, (3) mencegah supaya sedimen yang masuk ke sungai tidak masuk dan mengendap di dalam waduk, dan terakhir (4) mengeluarkan sedimen yang telah mengendap dalam waduk.

Penelitian lain menunjukkan bahwa beberapa waduk di Pulau Jawa

menunjukkan adanya pengurangan volume tampungan mati (dead storage) lebih dari 70% sehingga dalam kurun waktu 10 tahun dapat mengurangi usia guna waduk. Penanganan sungai secara terpadu menuntut penanganan di sistem lahan dan sistem alur di daerah aliran sungai, serta keterlibatan berbagai sektor (pekerjaan umum, pertanian, kehutanan, perhubungan, maupun sosial) (Legono 2005). Implementasi dari konsepsi one river-one plan-one management telah mulai dikenalkan semenjak tahun 1978. Masalah yang sering dijumpai adalah persepsi antara pihak perencana dan pihak pengelola sering berbeda. Koordinasi antar unsur yang memanfaatkan sumberdaya sungai sangat diperlukan mulai pada tahap perencanaan maupun pelaksanaan (operasi dan perawatan) pembangunan. 2.5

Tujuan Pengelolaan DAS Pengelolaan DAS pada dasarnya merupakan pengelolaan sumberdaya di

dalam DAS bagi kepentingan pembangunan. Kriteria umum yang digunakan untuk melihat tolok ukur keberhasilan pengelolaan DAS adalah dapat tercapainya pembangunan ekonomi dengan mempertahankan kepentingan kemasyarakatan serta dengan tetap dapat dipertahankannya fungsi lingkungan hidup. Dari aspek

37

institusi maka penataan institusi pengelolaan DAS ditujukan untuk meningkakan kapasitas dan produktivitas masyarakat sebagai pelakunya, sehingga dapat mengendalikan perubahan lingkungan fisik DAS yang cenderung semakin menurun kualitasnya (Kartodihardjo et al. 2004). Pengelolaan DAS adalah kegiatan pengelolaan terhadap komponen penyusun DAS dan interaksi antar komponen di dalam DAS

sehingga

menghasilkan fungsi DAS menjadi lebih terjamin. Tujuan dari pengelolaan DAS adalah (1) menjamin pemanfaatan sumberdaya alam skala DAS berkelanjutan, (2) memelihara keseimbangan ekologis sebagai sistem penyangga kegidupan, (3) menjamin kuantitas dan kualitas air sepanjang tahun, (4) pengendalian air permukaan dan banjir, dan (5) pengendalian erosi tanah dan proses degradasi lahan lainnya Program pengelolaan DAS dengan tujuan untuk meningkatkan produktivitas lahan di suatu DAS, sebaiknya tidak mengabaikan perlunya penerapan praktek pengelolaan DAS yang berwawasan lingkungan (Asdak 2007). Pengelolaan DAS mempunyai tujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan menciptakan stabilitas di dalam lingkungan DAS secara berkelanjutan. Tujuan ini dapat dicapai melalui pencapaian tiga sasaran pokok yaitu (1) tercapainya distribusi air yang baik, (2) meningkatnya pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat dan pemerintah melalui peningkatan produktivitas dan efektivitas pemanfaatan sumberdaya hutan, tanah dan air; dan (3) meningkatnya peranserta masyarakat pengguna lahan sebagai pembina sumberdaya alam (Suhara 1991). Menurut Departemen Kehutanan (2001), tujuan akhir dari pengelolaan DAS adalah terwujudnya kondisi yang optimal dari sumberdaya tanah, air dan vegetasi. Dengan demikian kegiatan pengelolaan DAS meliputi empat upaya pokok yaitu (1) Pengelolaan lahan melalui usaha konservasi tanah dalam arti luas, (2) Pengelolaan air melalui pengembangan sumberdaya air, (3) Pengelolaan vegetasi, khususnya pengelolaan hutan yang memilikifungsi perlindungan terhadap tanah dan air, (4) Pembinaan kesadaran dan kemampuan manusia dalam penggunaan sumberdaya alam secara bijaksana, sehingga ikut berperan-serta pada upaya pengelolaan DAS.

38

Pengelolaan DAS merupakan pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan (natural and man made capital) yang terdapat di dalam DAS. Dalam prakteknya pengelolaan kedua sumberdaya tersebut dikelompokkan ke dalam sektor-sektor pengelolaan / pembangunan.

Sektor yang terkait dengan

tanah dan batuan penyusunnya serta vegetasi di atasnya yaitu pertambangan, pertanian, perkebunan, kehutanan; sektor yang terkait dengan badan air dan sumberdaya buatan yaitu energi, transportasi, prasarana, permukiman dan lainlain.

Pengelolaan sektoral tersebut melibatkan instansi pemerintah, provinsi

maupun kabupaten/kota, perusahaan masyarakat sebagai individu, maupun kelompok Multisumberdaya yang dikelola oleh lembaga sektoral pemerintahan, dan non pemerintah menjadikan pengelolaan DAS bersifat multisektoral dan multi pemangku kepentingan. Kondisi demikian menjadi tujuan pengelolaan terpadu lintas sektor dan lintas kepentingan yaitu a) kelestarian fungsi produksi, b) kelestarian fungsi lingkungan, dan c) kelestarian sosial ekonomi.

Dengan

demikian maka seluruh program dan kegiatan masing-masing komponen pengelola harus bersinergi ke arah tercapainya tujuan pengelolaan tersebut (Putro et al. 2003). Pengembangan DAS merupakan rangkaian upaya yang dilakukan manusia untuk memanfaatkan sumberdaya alami DAS guna memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan taraf hidup manusia secara lestari. Karena DAS dianggap sebagai

suatu

ekosistem,

maka

dalam

pengembangannya,

DAS

harus

diperlakukan sebagai suatu ekosistem. Untuk mewujudkan tujuan pemenuhan kebutuhan hidup manusia dan meningkatkan taraf hidup tersebut maka dapat dicapai melalui 4 sasaran yaitu (1) memberikan produktivitas lahan yang tinggi, (2) mampu menjamin fungsi kelestarian DAS yaitu mampu menjamin produktivitas lahan yang tinggi, erosi/sedimentasi yang rendah, dan fungsi DAS sebagai penyimpan air dapat memberikan ”water yield” yang cukup tinggi dan merata sepanjang tahun, (3) mampu menjaga kelenturan DAS terhadap goncangan yang terjadi (resilient), dan (4) mampu menjaga pemerataan pendapatan petani (Sinukaban 2007).

39

Untuk menjamin agar fungsi DAS sebagai sistem penyangga kehidupan dapat berjalan dengan baik maka pemerintah telah berupaya mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan pada setiap DAS, dan atau pulau minimal 30% dengan sebaran proporsional. Tujuan kebijakan pemerintah ini adalah untuk menjamin optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi bagi masyarakat (Anonim 1999a). 2.6 Kinerja Pengelolaan DAS Pembangunan DAS dan pengelolaan DAS seringkali digunakan secara bergantian. intervensi

Pembangunan watershed mengarah kepada program

teknis

checkdam,

(yang

sumur

meliputi

resapan,

dan

penanaman

pohon,

pembangunan

sebagainya)

untuk

meningkatkan

produktivitas sumberdaya tertentu dan mengupayakan agar sumberdaya air menjadi terkendali. Pengelolaan watershed menunjuk kepada pengaturan hubungan hidrologi di dalam DAS, yang mencakup perlindungan terhadap sumberdaya dari degradasi daripada membuat investasi fisik dalam produktivitasnya.

Intervensi teknis merupakan upaya yang sia-sia (tidak

akan berhasil/fruitless) tanpa adanya pengelolaan yang terprogram secara berkesinambungan. Watershed governance merujuk kepada pengaturan institusi

(institutional

arrangement)

masyarakat

dalam pengelolaan DAS.

mempunyai

tujuan

yang

berbeda

untuk

mengarahkan

perilaku

Orientasi pengelolaan DAS

tergantung

kepada

permasalahan

pengelolaan sumberdaya alam yang diharapkan dari suatu wilayah.

Di

Amerika Serikat, pengelolaan DAS umumnya diarahkan untuk melindungi kualitas air, sedangkan di beberapa wilayah lainnya untuk mengendalikan banjir. Di wilayah perbukitan, di daerah semi-arid India, fokus pengelolaan DAS diarahkan untuk pemanenan air, atau membuat perangkap air limpasan (run-off) selama musim hujan dan kemudian dipergunakan sebagai sumber air pada saat kekeringan. Di wilayah yang lebih datar dengan peluang yang lebih kecil untuk

memanen

air,

dikosentrasikan

untuk

pengaturan

kelembaban tanah untuk meningkatkan produktivitas pertanian (Kerr 2007).

40

Kinerja pengelolaan DAS dalam kajian ini adalah meliputi pembangunan watershed dan pengelolaan watershed.

Pembangunan

watershed yang mengarah kepada program intervensi teknis (penanaman pohon, pembangunan checkdam, sumur resapan, dan sebagainya) untuk meningkatkan produktivitas sumberdaya tertentu dan mengupayakan agar sumberdaya air menjadi terkendali

maupun pengelolaan watershed

menunjuk kepada pengaturan hubungan hidrologi di dalam watershed, yang mencakup perlindungan sumberdaya dari degradasi daripada membuat investasi fisik dalam produktivitasnya. Intervensi teknis ditujukan untuk meningkatkan infiltrasi, perkolasi, kesuburan lahan, praktek konservasi tanah dan air, mengurangi tingkat air larian permukaan (run-off), mengurangi tingkat erosi dan bahan terlarut lainnya yang dibawa oleh aliran air permukaan ke badan air maupun sungai. Bilamana hal ini dapat dilaksanakan maka akan berguna untuk menyimpan air pada musim hujan dan sangat berguna bagi pemanenan air pada musim kemarau sehingga debit air sungai tidak mengalami fluktuasi yang tinggi, kualitas air semakin dapat dijaga

dengan

baik,

dan

sumberdaya

lahan

dapat

dijaga

tingkat

kesuburannya. Pada akhirnya, fungsi DAS dalam penyediaan komoditas berupa barang dan jasa bagi kehidupan dapat disediakan dengan baik, dan DAS sebagai sumberdaya stock dapat dijaga kelestariannya. Kinerja

pengelolaan

DAS

adalah

tercapainya

pembangunan

ekonomi dan sosial untuk meningkatkan kesejahteraan bagi setiap masyarakat yang berada di dalam DAS dan tetap terjaganya kondisi fisik DAS secara baik sehingga menghasilkan fungsi berkelanjutan. Kinerja fisik DAS dapat didekati dengan menggunakan beberapa kriteria (1) tingkat produktivitas yang tinggi, erosi/sedimentasi yang rendah dan fungsi DAS sebagai penyimpan air serta dapat memproduksi air (water yield) sepanjang tahun; (2) kemampuan menjaga pemerataan pendapatan masyarakat (equity);

serta

mengembalikan (resiliensi).

(3)

tingkat

kelestarian

kelenturan DAS

dalam

terhadap

mempertahankan

perubahan

yang

dan

terjadi

DAS mempunyai daya dukung untuk mampu meningkatkan

41

produksi lahan secara optimal dengan tingkat erosi dan sedimentasi yang rendah, menghasilkan air dan kesejahteraan masyarakat serta mampu memulihkan kembali kepada keadaan semula apabila terjadi perubahan fisik di dalam DAS (Sinukaban 1994). Salah satu kinerja pengelolaan DAS adalah konservasi tanah dan air (KTA). Konservasi tanah dalam arti luas adalah penempatan sebidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah. Dalam arti yang sempit konservasi tanah adalah sebagai upaya untuk mencegah kerusakan tanah oleh erosi dan memperbaiki tanah yang rusak oleh erosi. Sifat-sifat fisik, kimia dan biologi tanah menentukan kemampuan tanah (soil capability) untuk suatu penggunaan tanah dan perlakuan yang diperlukan agar tanah tidak rusak dan tanah dapat digunakan secara berkelanjutan (sustainable). Sifat-sifat tanah tersebut menentukan kepekaan tanah terhadap erosi.

Upaya konservasi tanah ditujukan untuk (1) mencegah erosi, (2)

memperbaiki tanah yang rusak, dan (3) memelihara serta meningkatkan produktivitas tanah agar tanah dapat digunakan secara berkelanjutan. Konservasi tanah berarti penggunaan tanah sesuai dengan kemampuan tanah serta memberikan perlakuan sesuai dengan syarat yang diperlukan agar tanah tidak rusak dan dapat berfungsi secara berkelanjutan. Konservasi air pada prinsipnya adalah penggunaan air hujan yang jatuh ke tanah untuk pertanian seefisien mungkin, dan mengatur waktu aliran agar tidak terjadi banjir yang merusak dan terdapat cukup air pada waktu musim kemarau. Konservasi tanah berhubungan sangat erat dengan konservasi air. Setiap perlakuan yang diberikan pada sebidang tanah akan mempengaruhi tata air pada tempat itu dan tempat-tempat di hilirnya. Tindakan konservasi tanah juga merupakan tindakan konservasi air (Arsyad 2006). Lebih lanjut Arsyad (2006) menjelaskan bahwa debit aliran sungai berubah menurut waktu yang dipengaruhi oleh terjadinya hujan. Pada musim hujan, debit akan mencapai maksimum dan pada musim kemarau akan mencapai minimum. Rasio debit maksimum (Q max) terhadap minimum (Q min) menunjukkan keadaan DAS yang dilalui sungai tersebut. Semakin kecil Q max/Q min menunjukkan

42

semakin baik keadaan vegetasi dan tata guna lahan suatu DAS, dan semakin besar rasio tersebut menunjukkan semakin buruk keadaan vegetasi dan penggunaan lahannya. Taloahu et al. (2001) menunjukkan bahwa alih fungsi lahan dari hutan dan kebun campuran menjadi tegalan dan alih fungsi dari berbagai penggunaan pertanian

ke

permukiman

/perkotaan

(infrastruktur)

telah

menurunkan

kemampuan lahan untuk menahan air hujan dan aliran permukaan. Kriteria umum yang digunakan sebagai tolok ukur keberhasilan pengelolaan DAS adalah dapat dicapainya pembangunan ekonomi dengan mempertahankan kepentingan sosial kemasyarakatan serta dengan tetap dapat dipertahankannya fungsi lingkungan hidup. Penataan institusi pengelolaan DAS dengan demikian bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dan produktivitas masyarakat sebagai pelakunya, sehingga dapat mengendalikan perubahan lingkungan

fisik

DAS

yang

cenderung

semakin

menurun kualitasnya.

Berdasarkan kriteria dan tujuan pengelolaan DAS tersebut, maka menurut Kartodihadjo et al. (2004), dapat disusun sejumlah indikator untuk menentukan ukuran-ukuran kinerja pengelolaan DAS sebagai berikut : 1. Kinerja merupakan hasil adaptasi dan inovasi masyarakat terhadap institusi yang berlaku, baik formal maupun informal. Kualitas DAS yang diukur berdasarkan direct output / kondisi fisik bukan semata-mata hasil atau pengaruh dari teknik-teknik produksi yang diterapkan tetapi juga merupakan hasil / pengaruh dari peranan institusi secara keseluruhan. 2. Kualitas fisik DAS dapat dianggap sebagai bentuk indikator keluaran, yaitu keluaran langsung dari pelaksanaan proses produksi yang dilakukan masyarakat, sedangkan perilaku masyarakat dalam melaksanakan proses produksi ditentukan oleh sejumlah indikator proses yang terdiri dari kemampuan sumberdaya manusia, yang dicirikan oleh komposisi skilled labour, harga dan akses kegiatan ekonomi serta sumberdaya alam. 3.

Produktivitas masyarakat yang tinggi dapat dipertahankan berkelanjutan jika alokasi sumberdaya alam dilaksanakan secara adil dan institusi lokal (social capital) dapat dipertahankan dan tumbuh seiring dengan pelaksanaan program pembangunan. Alokasi sumberdaya alam dan social capital merupakan syarat

43

cukup (sufficient condition) untuk mencapai sustainability, dan unsur lainnya program pembangunan dianggap sebagai syarat perlu (necessary condition). 4.

Kajian institusi dapat dilakukan sampai tahap penetapan bentuk koordinasi antar instansi, dengan tujuan mendapatkan institusi yang efektif dan efisien. Efektif berarti program pembangunan dapat diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Efisien berarti pelaksanaannya tidak menimbulkan biaya transaksi tinggi (high transaction cost).

Pengukuran terhadap komponen, indikator, peubah dan ukuran untuk evaluasi kinerja pengelolaan DAS disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Peubah penentu dalam penetapan kinerja pengelolaan DAS Komponen

Indikator Lahan

Peubah 1. Penutupan lahan (landcover) 2. Erosi 3. Lahan Kritis Sumberdaya Alam Hidrologi 4. Sedimentasi 5. IPA 6. Koefisien keragaman 7. Kualitas air Kapabilitas 8. Komposisi umur 9. Pendidikan Sumberdaya 10. Komposisi penduduk miskin Manusia Tekanan 11. Komposisi pengunaan lahan penduduk 12. Laju pertumbuhan 13. Luas lahan petani Fisik 14. Pasar / harga Sumberdaya Buatan 15. Jalan / jembatan Manusia atau 16. Angkutan Aksesibilitas Non Fisik 17. Modal 18. Informasi Lokal 19. Hukum adat 20. Organisasi informasi Institusi 21. Partisipasi Kepastian 22. Hak kepemilikan penggunaan 23. Kemandirian mengelola. sumberdaya Sumber : Kartodihardjo et al. 2004

Ukuran Kuantitatif Kuantitatif Kuantitatif Kuantitatif Kuantitatif Kuantitatif Kuantitatif % Skor % % % % Skor Skor Skor Skor Skor Skor Skor Skor Skor Skor

Catatan : IPA (Indeks Penggunaan Air) =

Kebutuhan ; nilai IPA makin kecil DAS makin baik. Persediaan

44

2.7 Insentif Pengelolaan DAS Insentif adalah sesuatu yang memberi motivasi atau mendorong seseorang atau masyarakat untuk bertindak. Insentif merupakan salah satu alat (tools) untuk mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam program konservasi lahan guna meningkatkan kualitas DAS.

Berbeda

dengan insentif, subsidi adalah pembayaran atau suatu layanan untuk mengurangi biaya atau untuk meningkatkan pendapatan dari suatu aktivitas (Kerr 1994).

Insentif diharapkan mampu menumbuhkan partisipasi

masyarakat. Insentif dapat digolongkan ke dalam dua macam yaitu insentif langsung dan tidak langsung (Laman dalam Sanders et al. 1999) : 1. Insentif langsung yaitu penyediaan pembayaran tunai dalam bentuk upah, hadiah (grants), subsidi dan pinjaman, atau dalam bentuk provisi bantuan makanan, implementasi pertanian, peternakan, pohon, benih dan kombinasi diantara dua bentuk tersebut. 2. Insentif tidak langsung yaitu dalam bentuk fiskal atau melalui pengaturan perundangan misalnya insentif pajak, jaminan input dan harga input dan pengaturan kepemilikan lahan. Insentif-insentif tidak langsung seperti jaminan layanan, bantuan teknik, penggunaan peralatan pertanian,

pemasaran,

penyimpanan

(storage),

pendidikan,

dan

pelatihan.

Insenttif ini juga mencakup layanan sosial, organisasi

kemasyarakatan, dan desentralisasi dalam pengambian keputusan. Kinerja pengelolaan DAS dapat didorong oleh adanya insentif yang dapat meningkatkan interaksi antar komponen di dalam DAS. Insentif merupakan syarat kecukupan (sufficient conditions) atas berlangsungnya upaya pengelolaan DAS melalui kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. Pendekatan konservasi tanah untuk meningkatkan kualitas DAS sulit dilaksanakan karena dua hal (Sanders & Cahill 1999), yaitu : 1. Degradasi lahan hanya merupakan gejala yang disebabkan oleh penyebab lainnya sebagai bentuk memburuknya pengelolaan lahan dan

45

akibat kesalahan penggunaan karena tekanan ekonomi, sosial, politik, aturan legal atau tekanan lainnya; 2. Solusi yang ditawarkan seringkali tidak menarik bagi pengguna lahan yang membuat pengguna lahan sebagai kegiatan tambahan karena tidak merupakan solusi jangka pendek dalam meningkatkan produksi, meningkatkan pendapatannya atau mengurangi resiko bertani. Dalam beberapa kasus insentif dalam konservasi tanah dan air, insentif

hanya mempunyai dampak yang kecil dalam jangka panjang. Hal

ini ditunjukkan dalam beberapa contoh dari pengguna lahan cenderung menghasilkan insentif jangka pendek dan kemudian dengan cepat berubah kembali kepada cara dengan insentif yang diperoleh.

Kasus di Ethiopia

selama 1970-1980an dengan program makanan untuk bekerja (food for work program). Dalam kasus ini makanan dibagikan kepada masyarakat sebagai pembayaran melakukan pengendalian erosi dengan bangunan tanah dan bangunan batu penahan erosi serta penanaman pohon.

Hasil evaluasi

beberapa tahun kemudian ditemukan bahwa petani hanya tertarik dengan menerima makanan tetapi tidak tertarik untuk upaya pengendalian erosi yang telah dibangun. Bangunan penahan dari tanah dan guludan dari batu juga dibiarkan hancur atau menjadi rusak dan petani mau membangun kembali jika ada biaya untuk membangunnya kembali. Demikian halnya, pohon hasil penanaman sebagai bentuk tanaman pelindung erosi dipotong dan dibuang (Sanders & Cahill 1999). Konservasi tanah dan air dapat menghasilkan keuntungan bagi penggarap lahan tetapi juga bagi masyarakat secara umum.

Namun

demikian, penggarap lahan harus melakukan upaya konservasi ini. Tanpa adanya insentif dari masyarakat, penggarap lahan sebagaimana biasanya hanya memberikan investasi konservasi tanah sekadarnya atau kurangnya motivasi

untuk

melakukannya.

Hal

demikian

dapat

mengurangi

kemanfaatan secara bersama. Beberapa insentif tetap terus diperlukan untuk terus memelihara kemanfaatan sosial yang dapat dihasilkan (Huszar 1999).

46

Sumberdaya hutan dan pohon memberikan manfaat lingkungan yang penting, dimana konservasi tanah dan air (KTA) dapat dihasilkan. Upaya KTA seharusnya diberikan perhatian yang lebih bak oleh pengambil kebijakan maupun pihak perencana kebijakan dan seharusnya tidak dikaburkan dengan disinsentif. Carter et al. dalam Malla (1999), beberapa studi melaporkan bahwa terjadi peningkatan penutupan lahan (land cover) pada lahan milik di Kabhre India. Pepohonan tumbuh dan terlihat sebagai aktifitas ekonomi dan menguntungkan.

Hal ini memacu para petani untuk

menanam pohon lebih banyak di atas lahan miliknya. Banyak pepohonan di atas lahan milik yang dihasilkannya tumbuh dan dilindungi oleh masyarakat petani.

Jenis-jenis pohon yang ditanam bervariasi, membuktikan bahwa

suatu wilayah yang ditanami dengan pepohonan sangat dipengaruhi oleh pasar, masyarakat cenderung berfokus pada jenis pohon bernilai komersial. Di wilayah yang jauh dari perkotaan, kegiatan tanam menanam pohon ini dapat mendukung upaya pemeliharaan hewan peliharaan.

Penanaman

pohon di atas lahan milik juga sangat berarti bagi petani dalam penyediaan kayu bakar dan makanan ternak. Peningkatan kontribusi hasil kayu dari lahan milik telah meningkatkan hasil hutan dan mampu menurunkan tekanan terhadap lahan milik umum (common lands). Walaupun demikian, petani dengan luas kepemilikan lahan yang sempit tidak mampu mengambil manfaat dari penanaman pohon di atas lahan miliknya sebagaimana pemilik lahan yang luas (Malla 1999). Bentuk utama insentif dan insentif konservasi tanah

digunakan

sepanjang waktu di negara bagian New South Wales Australia sejak tahun 1930-an. Insentif telah disediakan melalui bantuan keuangan, perluasan skala, plot demonstrasi, dan skema gorup, proyek DAS, mendukung NGO group peduli perawatan lahan, dan untuk konservasi melalui penanaman vegetasi secara alami sebaga bagian dalam sistem manajemen kepemilikan. Insentif telah meningkatkan adopsi upaya praktek manajemen, penggunaan lahan dan tingkat rehabilitasi lahan (Hannam 1999).

47

Partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pengelolaan DAS melalui aksi konservasi tanah dan air, akan muncul jika didorong oleh beberapa kondisi yang kondusif (Ife & Tesoriero 2008) yaitu : 1. Masyarakat akan berpartisipasi jika mereka merasa bahwa isu atau aktivitas tersebut penting bagi mereka.

Cara ini akan efektif jika

masyarakat lokal sendiri yang menciptakan isu atau aksi, dan telah menominasi kepentingannya, bukan berasal dari luar yang memberitahu mereka apa yang harus dilakukan. 2. Masyarakat merasa bahwa mereka akan membuat perubahan. Tindakan partisipasi akan dilakukan jika diyakini bahwa partisipasi akan menghasilkan perubahan yang berarti bagi masyarakat lokal. 3. Adanya pengakuan dan penghargaan atas berbagai bentuk partisipasi. Partisipasi masyarakt akan muncul jika adanya penghargaan atas partisipasi dengan berbagai keragaman keterampilan, bakat dan minat. 4. Orang harus dimungkinkan untuk berpartisipasi dan didukung dalam partisipasinya. Penyediaan bantuan dalam mengatasi kendala yang dihadapi partisipan harus diperhitungkan untuk dipenuhi. Karena kegagalan menangani kendala ini dapat mengakibatkan masyarakat tidak dapat berpartisipasi, meskipun mereka sangat ingin berpartisipasi. 5. Struktur dan proses partisipasi (pertemuan/aksi) tidak boleh menjauhkan bagi sebagian anggota masyarakat. tradisional,

dan

teknik

pembuatan

Prosedur-prosedur pertemuan keputusan

sering

bersifat

mengucilkan bagi banyak pihak, khususnya bagi beberapa pihak yang tidak bisa berfikir cepat, kurang percaya diri, atau tidak memiliki kemahiran berbicara. Oleh karena itu diperlukan metoda-metoda yang partisipastif dan didukung oleh kemampuan berkomunikasi yang baik. Konversi lahan dari hutan rakyat menjadi pemukiman, tegalan, ladang atau sawah di DAS Ciliwung Hulu secara ekonomi lebih menguntungkan karena mampu meningkatkan nilai lahan. Nilai ekonomi lahan hutan rakyat masih dapat ditingkatkan karena sebagian besar kondisi hutan rakyat tidak dikelola secara optimal. Dengan demikian maka upaya

48

konservasi lahan DAS Ciliwung Hulu tidak bisa dengan mengandalkan pada inisiatif masyarakat atau pemerintah daerah (pemda) setempat karena pada era otonomi daerah pertimbangan ekonomi untuk meningkakan pendapatan asli daerah (PAD) merupakan prioritas pemda. Nilai ekonomi lahan dari hutan rakyat di DAS dapat ditingkatkan melalui peningkatan produktivitas hutan melalui bantuan bibit unggul, penyuluhan dan bimbingan teknis silvikultur (Pramono 2010). Hasil penelitian Pramono & Aminah (2010) bahwa dua faktor yang berpengaruh positif terhadap keberadaan tegakan hutan rakyat yaitu pekerjaan utama non-tani masyarakat

lokal dan kemiringan lahan.

Masyarakat dengan matapencaharian non-tani berpengaruh positif terhadap keputusan pengelolaan lahan dalam bentuk agroforestry.

Faktor kedua

adalah kemiringan lahan berupa lereng bukit dan tepi sungai yang curam kurang potensial untuk kegiatan budidaya tanaman pertanian. Hutan rakyat bukan merupakan pilihan penggunaan lahan yang menaik bagi masyarakat DAS Ciliwung Hulu, sedangkan budidaya sayuran merupakan pilihan yang paling menarik bagi masyarakat.

Dalam rangka mengembangkan hutan

rakyat di wilayah tersebut maka diperlukan pengembangan ekonomi yang berbasis pada komoditi kehutanan atau sektor-sektor unggulan, ramah lingkungan, memberikan multiplier effect terhadap peningkatan pendapatan dan

memperluas

alternatif

matapencaharian

tambahan

lainnya

bagi

masyarakat setempat. 2.8 Institusi (Kelembagaan) Institusi atau disebut dengan kelembagaan merupakan unsur yang sangat penting dalam melakukan pembangunan. Kegiatan pembangunan sangat terkait dengan pengalokasian sumberdaya yang berada di dalam suatu DAS karena masing-masing pihak akan melakukan interaksi dan transaksi untuk memperoleh tujuan bersama yaitu memperoleh manfaat optimal secara bersama. Transaksi dan interaksi antar pelaku dalam pemanfaatan sumberdaya alam telah diatur dan disepakati antar pihak yang berkepentingan.

49

Institusi (kelembagaan) merupakan aturan di dalam suatu kelompok masyarakat atau organisasi yang memfasilitasi koordinasi antar anggotanya untuk membantu mereka dengan harapan setiap orang atau organisasi mencapai tujuan bersama yang diinginkan (Ruttan & Hayami 1984). Hal demikian sesuai dengan pendapat Ostrom (1985) bahwa institusi adalah sebagai aturan dan rambu-rambu sebagai panduan yang dipakai oleh para anggota untuk mengatur hubungan yang saling mengikat dan tergantung satu sama lain. Secara substansial institusi (kelembagaan) dapat berupa organisasi atau wadah (players of game) dan aturan main (rules of game) yang mengatur kelangsungan organisasi maupun kerjasama antara anggotanya untuk mencapai tujuan bersama yang diinginkan (Ostrom dalam Kartodihardjo & Jhamtani 2006). Sistem institusi merupakan suatu sistem yang kompleks, rumit, abstrak yang mencakup ideologi, hukum, adat istiadat, aturan, kebiasaan yang tidak terlepas dari lingkungan. Institusi mempunyai peran yang sangat penting dalam memecahkan masalah-masalah nyata dalam pembangunan. Institusi merupakan inovasi manusia untuk mengatur atau mengontrol interdependensi antar manusia terhadap sesuatu, kondisi atau situasi melalui inovasi dalam hal hak kepemilikan (property rights), aturan representasi (rule of representation), dan batas yurisdiksi (jurisdiction boundary) yang merupakan ciri dari institusi (Kartodihardjo 2008). Kelembagaan sosial pada dasarnya menyangkut seperangkat norma atau tata laku, yang berfungsi untuk (Doorn dan Lammers dalam Tonny 2003) : 1. Memberi pedoman berperilaku pada individu / masyarakat; bagaimana bertingkah laku, atau bersikap di dalam kehidupan bermasyarakat; 2. Menjaga keutuhan; dengan adanya pedoman yang diterima bersama maka kesatuan dalam masyarakat dapat dipelihara; 3. Memberi pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan kontrol sosial (social control) artinya sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggotanya; 4. Memenuhi kebutuhan pokok manusia / masyarakat.

50

Berkenaan dengan perangkat norma atau tata laku, maka Tonny (2003) mengelompokkan tingkatan norma yang didasarkan atas sanksi moral dan sanksi masyarakat atas pelanggaran yang dilakukan.

Sanksi moral merujuk kepada

”tingkatan perasaan bersalah” dari pelaku (individu atau kelompok) atas pelanggaran yang dilakukannya atas tingkatan norma tertentu. Sanksi masyarakat merujuk kepada ”hukuman” yang diberikan oleh masyarakat yang mendukung suatu kelembagaan sosial tertentu terhadap pelaku yang melakukan pelanggaran atas tingkatan norma tertentu. Terdapat empat tingkatan norma, mulai dari yang terlemah sanksinya sampai dengan yang terkuat sanksinya, yaitu : 1. Cara (usage), perilaku yang lebih menonjol pada hubungan antarindividu dalam masyarakat. Satu penyimpangan terhadapnya, secara moral dirasakan sebagai sesuatu yang tidak pantas oleh pelakunya.

Penyimpangan oleh

masyarakatanya dinilai sebagai perbuatan yang dianggap janggal / tidak lazim. 2. Kebiasaan (folkways), mempunyai kekuatan mengikat yang lebih besar daripada cara. Kebiasaan diartikan sebagai perbuatan yang diulang-ulang, dan diterima oleh masyarakat. Bagi pihak yang melanggar, secara moral akan merasa malu, dan akan dicela oleh masyarakat di sekitarnya. 3. Tata kelakuan (mores), merupakan kebiasaan yang dianggap sebagai cara berperilaku dan diterima sebagai norma-norma pengatur. Tata kelakuan satu di pihak memaksakan suatu perbuatan, dan di lain pihak merupakan suatu larangan. Tata kelakuan penting karena (a) Memberikan batas-batas pada individu-individu di dalam masyarakat, (b) Mengidentifikasi individu dengan kelompoknya, dan (c) Menjaga solidaritas antar anggota masyarakatnya. Orang melanggar tata norma tata kelakuan, secara moral akan merasa bersalah, dan pelanggar akan dihukum oleh masyarakat di sekitarnya. 4. Adat (customs), merupakan tata kelakuan yang kekal dan kuat integrasinya dengan pola perilaku masyarakat. Bila adat istiadat dilanggar, secara moral, pelanggar

merasa

berdosa.

Masyarakat

mengeluarkan

pelaku

dari

komunitasnya atau sanksinya berwujud suatu penderitaan bagi pelanggarnya. Tingkatan norma dan sanksi bagi pelanggar disajikan pada Tabel 3.

51

Tabel 3 Tingkatan norma berdasarkan sanksi atas pelanggarnya (Tonny 2003) No. 1 2 3 4

Tingkatan norma Cara (usage) Kebiasaan (folkways) Tata kelakuan (mores) Adat (customs)

Sanksi bagi pelanggar Moral Masyarakat Tidak pantas Dianggap janggal Malu Dicela Mersalah Dihukum Berdosa Dikeluarkan

Tingkah laku di dalam suatu kelompok masyarakat perlu diatur secara bersama sehingga perilaku anggota kelompok dapat dibatasi dan diarahkan untuk dapat mencapai tujuan bersama.

Menurut Goldsmith & Brinkerhoff (1990),

institusi (kelembagaan) adalah aturan atau prosedur yang menentukan bagaimana masyarakat di dalam organisasi bertindak, dan bagaimana peran organisasi untuk mewujudkan tujuannya guna memperoleh status atau legitimasi tertentu. North (1990) mendefinisikan institusi (kelembagaan) sebagai aturan main bagi anggota suatu kelompok sosial yang dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, ekonomi, dan politik. Institusi adalah rule of the game dalam masyarakat, atau secara lebih formal merupakan aturan yang membatasi dan membentuk interaksi manusia. Institusi mengatur perilaku masyarakat. Aturan main dalam bentuk aturan formal maupun kode etik informal dan telah mendapatkan kesepakatan bersama. Hal yang membedakan institusi dengan organisasi adalah institusi merupakan aturan main sedangkan organisasi adalah pemainnya. Institusi sangat berperan dalam menentukan perilaku anggota dan sasaran yang diinginkan oleh anggota organisasi, yaitu : 1. Menentukan kesempatan-kesempatan ekonomi individu dan hasil akhir interaksi antar individu/organisasi thd kinerja ekonomi dan pengelolaan SD agar tidak saling merugikan melalui aksi bersama (collective action). 2. Mengatur interdependensi antar manusia terhadap sesuatu, kondisi atau situasi melalui inovasi hak pemilikan (property rights), batas jurisdiksi (jurisdiction boundary) dan aturan representasi (rules of representation). 3. Institusi selalu disertai sanksi-sanksi (formal – informal) yang disepakati dan penegakannya. Institusi tanpa adanya sanksi maka tidak efektif untuk

52

mencapai kinerja yang diinginkan. Institusi tanpa ada sanksi maka tidak akan ada gunanya. Institution without sanctions are useless (Kasper & Streit 1998). Sedangkan Williamson dalam Rustiadi et al. (2009) lebih menekankan pada tujuan penataan institusi yang merupakan suatu penataan hubungan antara unit-unit ekonomi untuk mengatur antar unit-unit ekonomi apakah dapat bekerjasama atau berkompetisi. Dalam pendekatan ini maka organisasi merupakan aktor atau pelaku ekonomi yang diikat dalam suatu bentuk kontrak atau transaksi dan tujuan utama kontrak adalah untuk mengurangi besaran biaya transaksi. Anwar dalam Rustiadi et al. (2009) bahwa selama ini sering terjadi kesalahpahaman bahwa institusi (kelembagaan) diartikan identik atau dicampuradukkan dengan sistem organisasi.

Dalam konsep ekonomi kelembagaan

(institusional economic), maka organisasi merupakan suatu bagian (unit) pengambil keputusan yang di dalamnya diatur oleh sistem kelembagaan atau aturan main (behaviour rule). Aturan main mencakup kisaran yang luas dari bentuk yang berupa konstitusi dari suatu negara, sampai kepada kesepakatan antara dua pihak (individu) tentang suatu pembagian manfaat dan beban (biaya) yang harus ditanggung oleh masing-masing pihak guna mencapai tujuan tertentu. Oleh karena itu unsur-unsur kelembagaan yang mengatur transaksi pertukaran manfaat-biaya antar pihak menjadi sangat penting. Kartodiharjo et al. (2004) menyebutkan bahwa informasi tentang peran setiap aktivitas institusi tersebut sangat penting terutama untuk menghubungkan dengan struktur insentif. Karena setiap pembuatan konsensus atau kesepakatan juga diperlukan banyak informasi. Biaya manajemen stakeholder mencakup biaya koordinasi, sosialisasi, pertemuan, monitoring dan lain sebagainya.

Sedangkan Rustiadi et al. (2009),

mendefinisikan kelembagaan (institution) sebagai sekumpulan aturan main (rules of the game) dan organisasi yang berperan penting dalam mengatur penggunaan / alokasi sumberdaya secara efisien, merata, dan berkelanjutan. Indikator keberlanjutan dari

aspek

kelembagaan

ini

meliput i

peraturan, perundang-undangan serta kebijakan-kebijakan,

(1) perkembangan (2) ada tidaknya

serta perkembangan lembaga-lembaga (organisasi) masyarakat baik formal maupun formal sosial, maupun lembaga pemerintahan.

53

Dari berbagai definisi tersebut maka dapat didefinisikan bahwa kelembagaan adalah aturan main yang mengatur anggota-anggota di dalam suatu organisasi dalam melakukan koordinasi dan bekerjasama guna mencapai tujuan yang diinginkan bersama yaitu pengelolaan sumberdaya secara efektif, efisien, berkeadilan dan berkelanjutan. Aturan organisasi meliputi aturan formal dan non formal dan telah disepakati untuk dipatuhi dan dilaksanakan bersama. Aturan main ini mengatur perilaku untuk melakukan sesuatu ataupun untuk tidak melakukan sesuatu sehingga menjadi pegangan bersama. Kelembagaan memiliki organisasi yang didukung oleh sumberdaya manusia yang mampu dan berpengetahuan sehingga mampu merumuskan permasalahan bersama, membuat alternatif pemecahan masalah, serta mampu menjalankan aksi secara bersama sesuai dengan peran dan keahliannya masing-masing sehingga tujuan organisasi secara dapat dicapai. Dalam perspektif ekonomi kelembagaan, maka kelembagaan adalah aturan main, norma-norma, larangan-larangan, kontrak, dan sebagainya dalam mengatur dan mengendalikan perilaku individu dalam masyarakat atau organisasi (North 1990, Rodgers 1994).

Sedangkan menurut Kasper & Streit (1998),

kelembagaan adalah aturan main yang mengatur hubungan antar manusia untuk menghambat munculnya perilaku oportunistik dan saling merugikan, sehingga perilaku manusia dalam memaksimumkan kesejahteraan individualnya lebih dapat diprediksi (Kasper & Streit 1998). Jenis kelembagaan ini adalah (1) Internal institutions (kebiasaan, norma, dan bentuk lainnya), dan (2) External institution (hukum / kebijakan formal). Unsur-Unsur Institusi.

Unsur-unsur dan aspek institusi antara lain

meliputi (1) institusi merupakan landasan untuk membangun tingkah laku sosial masyarakat, (2) norma tingkah laku yang mengakar dalam masyarakat dan diterima secara luas untuk melayani tujuan bersama yang mengandung nilai tertentu dan menghasilkan interaksi antar manusia yang terstruktur, (3) peraturan dan penegakan aturan / hukum, (4) aturan dalam masyarakat yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama dengan dukungan tingkah laku, hak dan kewajiban anggota, (5) kode etik, (6) kontrak, (7) pasar, (8) hak kepemilikan (property

54

rights atau tenureship), (9) organisasi, (10) insentif untuk menghasilkan tingkah laku yang diinginkan. (Djogo et al. 2003). Property right regimes (PRR) terdiri dari hak kepemilikan (property right), the bundle of entitlements regarding resource use, dan aturan kepemilikan (property rules), dimana dengan aturan tersebut seperangkat hak ditegaskan. PRR merupakan syarat keperluan (necessary condition) bukannya syarat kecukupan (sufficient conditions) untuk keberlanjutan sumberdaya. PRR terdiri dari 2 (dua) unsur yaitu (1) hak kepemilikan (property right) yang menjelaskan seperangkat hak kepemilikan dan kewajiban dalam penggunaan sumberdaya tertentu, dan (2) aturan kepemilikan (property rules) yang menjelasan hak dan kewajiban untuk ditegakkan (Bromley 1991). PRR dibedakan oleh asal kepemilikan (ownership), hak dan kewajiban, aturan penggunaan, dan lokus pengendalian hak. Terdapat 4 (empat) bentuk PRR yaitu kepemilikan privat (private property), kepemilikan umum (common property), kepemilikan negara (state property), dan akses terbuka (open access). Kepemilikan privat dimiliki oleh individual, dijamin pengendalian haknya untuk memamasuki dan memanfaatkan dan mendapatkan pengakuan sosial atas haknya. Kepemilikan umum (common property) dimiliki oleh sekelompok masyarakat atau individu, da berhak mengeluarkan individu atau kelompok di luar anggotanya.

Kepemilikan negara (state property) dimilki oleh masyarakat di

dalam wilayah politik secara bersama dan diberikan otoritas pengelolaannya kepada agen publik. Akses terbuka (open access) tidak ada penegasan kepemilikan dan semua pihak dapat memasuki dan memanfaatkannya

(Hanna

& Munasinghe 1995). Terdapat tiga komponen utama yang mencirikan suatu kelembagaan yaitu (1) property right, yaitu hak dan kewajiban yang didefinisikan dan diatur oleh hukum, adat, dan tradisi, atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya; (2) batas yurisdiksi, menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam suatu kelembagaan; dan (3) aturan representasi, yang menentukan siapa yang berhak berpartisipasi dalam

55

proses pengambilan keputusan yang berhubungan dengan sumberdaya yang dibicarakan (Rustiadi et al. 2009). Kelembagaan dapat dikatakan berfungsi atau tidaknya dapat dilihat dengan melakukan pengukuran atas kinerjanya melalui penilaian terhadap kinerja unsurunsur yang ada di dalam kelembagaan. Penilaian kelembagaan (institutional assessment)

merupakan pendekatan komprehensif untuk menggambarkan

kapasitas dan kinerja kelembagaan. Pendekatannya dapat berupa pendeskripsian dari beragam faktor yang berperan dalam pengembangan kelembagaan, meliputi (Morgan & Taschereau 1996)

(1)

kekuatan dari faktor luar lingkungan

(administrasi dan hukum, politik, ekonomi, sosial dan budaya yang termasuk dalam analisis stakeholder); (2) faktor kelembagaan (sejarah, misi pengelolaan formal dan informal, dan pengkajian kinerja);

(3) keterkaitan antar lembaga.

Sedangkan tujuan

yang didasarkan pada

diadakannya kelembagaan

kajian

ekonomi kelembagaan diarahkan untuk (1) menekan free riding, rent seeking & opportunistic behavior; (2) memfasilitasi koordinasi, termasuk pertukaran (exchange), dan (3) menekan biaya koordinasi sehubungan kelangkaan informasi. (Eggertson 1990) 2.9

Koordinasi Lintas Sektoral Koordinasi merupakan alat untuk mencapai tujuan kebijakan pemerintah.

Kebijakan pemerintah merupakan kebijakan publik yang merupakan program aksi yang terdiri dari serangkaian kegiatan yang saling berhubungan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang terkait dengan permasalahan, perhatian dan memperoleh hasil tertentu (Friedrich 1963, Lowi 1964, Anderson 1984, Pressman and Wildavski 1992 dalam Briassoulis 2004). Suatu kebijakan tidak tunggal, diskrit, fenomena tanpa tubuh melainkan berupa rangkaian dari beberapa keputusan (Briassoulis 2004). Koordinasi lintas organisasi merupakan proses dimana dua atau lebih organisasi membuat atau menggunakan keputusan /aturan yang sudah ada yang telah dibentuk dan terkait dengan lingkungan tugas yang dihadapi bersama (Mulfrod and Rogers 1982 dalam Meijers and Stead 2004). Kebijakan koordinasi

56

sebagai sebuah konsep payung yang menaungi beberapa istilah yang merunjuk pembuatan kebijakan terintegrasi (integrated policy-making) sebagaimana policy consistency dan policy coherence. Pembuatan kebijakan terintegrasi merupakan sinonim dengan cooperation (kerjasama), coordination (koordinasi), cross cutting or coherent policy making (pembuatan kebijakan yang sesuai atau cross cutting), atau pemerintahan yang holistik (government holistic) (Meijers & Stead 2004). Koordinasi diperlukan dalam setiap aktivitas baik yang dilakukan oleh instansi pemerintah, swasta maupun oleh masyarakat ataupun diantara stakeholders tersebut. Hal ini dapat berlangsung dimana saja dan tergantung pada tujuan dari komunikasi melalui kolaborasi antar pihak yaitu untuk mencapai tujuan yang akan dicapai, apa yang dapat diharapkan dari koordinasi dengan pihak lain maupun tingkat resiko maupun implikasi sumberdaya yang harus ditanggung masing-masing pihak. Bilamana koordinasi ini dapat dicapai maka tujan pelayanan yang dilakukan oleh negara yang profesional dapat diwujudkan. Koordinasi mempunyai arti penting yaitu ditinjau dari konteks pelayanan (a state service), koordinasi adalah berbagi informasi, sumberdaya dan tanggungjawab untuk mencapai outcome atau hasil tertentu yang diharapkan secara bersama (SSC 2008). Koordinasi oleh agen pemerintah dapat berarti memilih kontribusi yang dapat diberikan sesuai dengan kewenangan yang dimiliki, memberikan sebagian tanggung jawab (agencies coordinating an mean that they elect to share decision-making authority, proveided accountabilities are not modified). Koordinasi lintas sektoral yang dilaksanakan oleh penanggung jawab sektoral diarahkan untuk mencapai sinergi program dan implementasi dalam pelaksanaan sehingga hasil yang tercapai lebih besar daripada hasil yang diperoleh secara masing-masing antar sektoral. Hal ini sesuai dengan harapan State Service Commission of New Zealand Government (2008) bahwa tujuan dari pengembangan koordinasi yang dilaksanakan oleh pemerintah adalah untuk mewujudkan hasil secara total setiap departemen (agency) yang lebih besar daripada penjumlahan hasil kinerja masing-masing departemen. Kegiatan koordinasi ini penting karena (1) permasalahan yang dihadapi ke depan semakin besar dan tidak dapat dihadapi secara sendiri-sendiri; (2) dengan bersama-sama maka dapat mempersiapkan solusi yang paling baik terhadap

57

permasalahan yang dihadapi (pooling the best of our resources we provided better solutions), (3) koordinasi dapat mengurangi duplikasi dan meningkatkan efisiensi pemerintah dan memberikan pelayanan yang terbaik, (4) warga negara menghendaki adanya koordinasi terutama terkait dengan penanganan masyakarakat yang perlu diberikan perhatian secara khusus atau kelompok tertentu. Koordinasi juga dapat dipandang sebagai proses dan sebagai status. Koordinasi sebagai proses berarti bagaimana kebijakan akan dilaksanakan. Secara umum koordinasi merupakan pengorganisasian dan rekonsiliasi dari proses dan aktivitas yang berbeda, yang berlangsung secara terus menerus (secara simultan). Koordinasi sebagai status, sektor-sektor perlu dikoordinaskan (coordinated) jika masing-masing kebijakan dan program menunjukkan tumpang tindih yang minimum (dua inisiatif mengerjakan hal yang sama tanpa saling memperhatikan satu dengan yang lain, berjalan masing-masing tanpa integrasi antar program), minimum incoherence (inkoherensi /ketidaksesuaian yang minimum) (tujuan dan requirements yang berbeda), dan minimum dalam menyelesaikan permasalahan (tackle issues) (”policy gap” / perbedaan kebijakan). Koordinasi intersektoral dalam negara dapat dikoordinasikan secara bersama. Kebijakan dan program sektoral dapat dikoordinasikan dengan baik. Beberapa keuntungan dengan implementasi koordinasi antar sektor ini yaitu (a) dapat mencapai tujuan secara bersama atau dengan tidak berjalan sendiri-sendiri, (b) meningkatkan pencapaian dari hasil alternatif kebijakan yang akan dicapai secara keseluruhan untuk kesejahteraan yang terbaik, (c) membantu menghindari kehilangan kesejahteraan bersama karena kebijakan yang menguntungkan secara pribadi pelaku kebijakan, tetapi tidak menguntungkan secara bersama, (d) memperoleh legitimasi dan tingkat penerimaan (legitimacy and acceptance) terhadap kebijakan publik (Hogl 2002). Dalam studi kebijakan istilah koordinasi dapat dipergunakan dalam konteks yang berbeda, diantaranya (Zingerli et al. 2004) : 1. Coordination between business, the state and civil society. Koordinasi diantara pebisnis, negara dan masyarakat madani. Dalam banyak hal isu kebijakan lingkungan dipengaruhi oleh pasar,

peraturan pemerintah dan

norma masyarakat pada waktu tertentu. Dalam upaya megefektifkan

58

kebijakan, maka diperlukan koordinasi untuk memperoleh solusi dan mekanisme secara bersama diantara ketiga pelaku tersebut. 2. Multilevel coordination. Koordinasi antar level. Permasalahan lingkungan seringkali melebihi batasan negara, kota, atau batasan pemerintahan lainnya. Kondisi ini sering memerlukan koordinasi antar pelaku dan diperlukan peraturan baik bersifat lintas lokal, pemerintah daerah, nasional, maupun dengan internasional. 3. Intersectoral coordination. Permasalahan lingkungan dapat dipengaruhi oleh berbagai kebijakan sektoral pada waktu yang bersamaan.

Istilah lintas

sektoral, intersektoral, atau interagency coordination merujuk pada kebutuhan akan proses sinkronisasi strategi, prosedur, dan pengukuran dari wilayah kebijakan yang berbeda. Pendekatan intrasektoral (antar sektor) dalam arti integrasi kebijakan lingkungan dimana semua unsur dalam sebuah wilayah kebijakan tunggal (misalnya kebijakan pertanian) seharusnya melakukan perlindungan lingkungan secara komprehensif ke dalam penganggarannya. Zingerli et al. (2004) mengelompokkan koordinasi kedalam koordinasi negatif dan koordinasi positif.

Koordinasi negatif (negative coordination)

menunjukkan derajat kerjasama yang rendah dimana aktor tunggal hanya bertujuan untuk mengoptimalkan manfaat dari aktivitasnya sendiri pada waktu tertentu.

Aktor melakukan reaksi secara negatif pada saat kebijakan yang

diusulkan oleh aktor lain dapat memberikan konsekuensi pada penambahan biaya pada dirinya. Koordinasi negatif (positive coordination) menunjukkan derajat kerjasama yang tinggi dan para aktor berusaha untuk mengoptimalkan manfaat dari sejumlah aktivitas. Aktor berusaha mengevaluasi pilihan dan komitmen dari banyak aktor yang ada dan pilihan apa yang paling optimal dalam perspektif jangka panjang. Keputusan aktor tidak hanya atas kejadian tunggal tetapi siap menerima resiko dengan harapan adanya peluang kompensasi dalam interaksi di masa depan.

59

2.10 Dampak Perubahan Penutupan Lahan terhadap Perubahan Iklim Stabilitas suhu bumi ditentukan oleh keseimbangan antara energi yang datang dari matahari dalam bentuk radiasi tampak dan energi yang diemisikan dari permukaan bumi ke luar angkasa dalam bentuk inframerah tidak tampak. Energi yang datang dari matahari melewati atmosfer tanpa mengalami perubahan yang berarti dan kemudian memanasi permukaan bumi bagian bawah atmosfer.

Radiasi inframerah dari permukaan bumi

sebagian diserap oleh beberapa gas yang dinamakan gas rumah kaca (terutama CO dan uap air) yang ada di atmosfer dan sebagian diemisikan ke permukaan memanasi permukaan bumi dan atmosfer bawah. Data selama 1971 s/d 2000 menunjukkan adanya kecenderungan kenaikan suhu (ratarata, maksimum, dan minimum) di wilayah Bandung.

Kondisi atmosfer

hangat lebih mudah menampung air, dan uap air sendiri merupakan gas rumah kaca yang berpengaruh kuat pada perubahan iklim (Ratag 2002). Perkembangan kota didorong oleh pertumbuhan penduduk dan peningkatan aktivitas kerja yang ditandai dengan meningkatnya luas wilayah industri dan wilayah permukiman. Dengan adanya aktivitas industri dan permukiman tersebut dapat mendorong terjadinya perubahan penutupan lahan bervegetasi menjadi non-vegetasi sehingga mengakibatkan timbulnya perubahan iklim. perubahan suhu

Beberapa faktor yang

mengakibatkan terjadinya

adalah perbedaan bahan

jenis permukaan (bentuk

penutupan lahan dari vegetasi menjadi bangunan dan jalan), perubahan bentuk permukaan, adanya sumber-sumber panas (kendaraan bermotor dan pantulan radiasi oleh bangunan), serta meningkatnya keberadaan polutan di udara.

Sistem pemanasan kota lebih efisien dan bentuk bangunannya

menyebabkan laju kecepatan angin menjadi lebih lemah sehingga proses kehilangan panas relatif kecil (Adiningsih dalam Lestiana 1994). Aktivitas masyarakat yang mengakibatkan perubahan penutupan lahan, kondisi di pusat perkotaan mempunyai suhu udara yang lebih tinggi disebabkan oleh miskinnya vegetasi di wilayah ini. Keberadaan vegetasi

60

maupun permukaan air dapat menurunkan suhu karena sebagian energi radiasi matahari yang diserap permukaan akan dimanfaatkan untuk menguapkan air dari jaringan tumbuhan (transpirasi) atau langsung dari permukaan air atau permukaan padat yang mengandung evaporasi (Lakitan 1994).

Penelitian di Cekungan Kota Bandung menunjukkan adanya

hubungan yang erat antara perubahan penutupan lahan dengan suhu udara permukaan, ditandai oleh kesamaan pola perubahan luas penutupan lahan dan perubahan distribusi spasial suhu udara permukaan (Adiningsih et al. 2001). Perubahan

permukaan

bumi

akibat

perataan

tanah

akan

mempengaruhi cara sinar matahari diserap dan dipancarkan kembali ke atmosfer dan mengubah tahanan gesek terhadap angin. Perubahan ini juga akan mempengaruhi penyerapan dan pelimpasan hujan, serta penguapan air ke udara (Neiburger 1995).

Aktivitas pembangunan yang mengakibatkan

perubahan bentuk penutupan lahan bervegetasi menjadi lahan non-vegetasi dapat mengakibatkan sengatan yang kuat terhadap permukaan tanah sehingga menimbulkan kenaikan suhu tanah, dan kemudian diikuti dengan laju evaporasi yang semakin kuat (Indrowuryatno 2004). Aktivitas pembangunan akan memberikan tekanan terhadap ruang terbuka hijau (RTH). Pengurangan atau penambahan RTH mengakibatkan peningkatan atau penurunan suhu udara dengan besaran berbeda, dimana setiap pengurangan 50% RTH mengakibatkan peningkatan suhu udara hingga 0,4 sampai 1,8 oC, sedangkan penambahan RTH 50% hanya menurunkan suhu udara sebesar 0,2 sampai 0,5%. Hal ini memperlihatkan arti pentingnya keberadaan RTH dimana wilayah dengan aktivitas pembangunan

yang

mengakibtkan

pengurangan

RTH,

meningkatnya

kendaraan bermotor dan perluasan lahan terbangun (Effendy 2007).

61

2.11 Kebijakan Analisis kebijakan adalah akivitas menciptakan pengetahuan tentang dan dalam proses pembuatan kebijakan. Aktivitas ini meliputi masalah kebijakan (policy probem) yaitu kebutuhan, nilai, atau kesempatan, yang tidak terealisir, yang meskipun teridentifikasi, dapat diatasi melalui tindakan publik. Selanjutnya Dunn (2000) menjelaskan bahwa masalah kebijakan tidak dapat dilepaskan dari pelakunya yaitu pemerintah. Kebijakan publik adalah keputusan untuk bertindak yang dibuat oleh badan atau kantor pemerintah untuk dilakukan dan maupun tidak dilakukan sesuatu. Kebijakan publik diguakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu di masyarakat atau untuk memecahkan masalah yang berkembang di masyarakat secara benar, meskipun sering terjadi kegagalan karena memecahkan masalah secara tidak benar. Berdasarkan kajian sistem, Muhammadi et al. (2001), analisis kebijakan merupakan langkah kelima dalam berfikir sistemik yaitu dengan menyusun alternatif tindakan atau

keputusan (policy)

yang

akan diambil untuk

mempengaruhi proses nyata (actual transformation) sebuah sistem dalam menciptaan kejadian nyata (actual) state. Alternatif tindakan atau keputusan tersebut dimaksudkan untuk mencapai kejadian yang dinginkan (desired state). Pada analisis kebijakan diperlukan adanya pengetahuan tentang ilmu kebijakan (policy sciences) yaitu ilmu yang multidisiplin, berkaitan dengan masalah-masalah pembangunan. Ilmu ini dirancang untuk menyoroti masalahmasalah fundamental yang muncul ketika warga negara dan pembuat kebijakan (policy maker) melihat perubahan-perubahan sosial, ekonomi dan politik dan membuat kebijakan untuk mencapai tujuan publik (Dunn 2000). Djogo et al. (2003), mendefinisikan kebijakan sebagai cara dan tindakan pemerintah untuk mengatasi masalah pembangunan tertentu atau untuk mencapai tujuan pembangunan tertentu dengan mengeluarkan keputusan, strategi, perencanaan maupun implementasinya di lapangan dengan menggunakan instrumen tertentu. Kebijakan adalah intervensi pemerintah (dan publik) untuk mencari cara pemecahan masalah dalam pembangunan dan mendukung proses pembangunan yang lebih baik. Kebijakan adalah kendaraan pemerintah untuk

62

berbuat yang baik bagi rakyatnya, sehingga kebijakan itu berorientasi untuk kepentingan umum (publik). Kebijakan bukan hanya apa yang tertulis dalam peraturan dan perundangan. Kebijakan merupakan refleksi dari struktur dan fungsi pemerintahan yang mengaturnya. Peraturan, perundang-undangan, dan ketetapan berisi pembatasan-pembatasan, hak, dan kewajiban serta pengaturan lainnya yang mengikat. Setiap peraturan dijalankan oleh suatu struktur pemerintahan yang berbeda-beda dan sangat tergantung pada budaya kebijakannya.

Kebijakan

tersebut dapat dinyatakan dalam bentuk (1) instrumen legal (hukum) seperti peraturan perundangan, (2) instrumen ekonomi seperti kebijakan fiskal, pajak, subsidi, harga, kebijakan keuangan, moneter dan finansial; atau (3) petunjuk dan arahan atau isntruksi dan perintah; (4) pernyataan poitik semata (political statement); dan (5) kebijakan dapat dituangkan dalam garis-garis besar arah pembangunan, strategi, rencana, program, dan kemudian dapat diterjemahkan ke dalam proyek dan rencana anggaran tertentu. Kebijakan yang diambil dengan mempertimbangkan isi (content) dari permasalahan sampai dengan instrumen yang digunakan untuk mencapai tujuan. Selanjutnya Djogo et al. (2003) menjelaskan bahwa kebijakan terdiri dari beberapa elemen penting, diantaranya (1) masalah yang akan diatasi dengan kebijakan, (2) cara untuk mengatasi masalah tersebut, (3) tujuan yang akan dicapai,

(4) kepentingan yang diinginkan, (5) aktor yang akan melakukannya,

(6) instrumen atau perangkat untuk melaksanakan kebijakan, dan (7) aturan untuk menggunakan instrumen tersebut. Dalam proses pembuatan kebijakan maka perlu dipertimbangkan organisasi dan kemampuannya sebagai pelaksana kebijakan. Organisasi tersebut penting karena berperan sebagai wadah untuk menjalankan kebijakan tersebut. Biasanya kebijakan dibuat dan dilaksanakan oleh negara adatu lembaga-lembaga atau badan dalam negara. Negara harus dibedakan dari pemerintah. Pemerintah adalah sekumpulan orang yang ditugasi untuk menjalankan kehidupan suatu negara, yang bertanggung jawab untuk membuat kebijakan.

Negara adalah

seluruh sistem institusi publik yang bertanggung jawab atas administrasi dan menjalankan serta menegakkan keputusan-keputusan politik dan kebijakan yang telah diambil. Negara mencakup seluruh elemen dan perangkat isntitusi publik

63

dan birokrasi, dinas dan angkatan bersenjata yang menjadi kendaraan pemerintah untuk menjalankan kekuasaannya (Elis 1994). Kebijakan yang dikeluarkan oleh suatu lembaga biasa disebut kebijakan lembaga atau kebijakan; sedangkan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah disebut dengan kebijakan publik karena pemerintah harus melayani kepentingan publik. Publik dalam hal ini mencakup berbagai elemen masyarakat termasuk masyarakat umum, masyarakat adat, lembaga bukan pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, swasta, perguruan tinggi atau kaum akademik, tokoh agama dan pemuka masyarakat lainnya. Idealnya semua pihak ini dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan sebelum akhirnya disahkan formal oleh pemerintah. Permasalahan yang biasa dijumpai dalam dalam proses pembuatan kebijakan adalah adanya pengabaian salah satu aktivitas atau proses yaitu sosialisasi dan institusionalisasi kebijakan. Sosialisasi dan institusionalisasi kebijakan sering menjadi persoalan serius.

Ada kebijakan yang sudah dibuat beberapa tahun

sebelumnya tetapi ada daerah dan masyarakat yang sama sekali tidak pernah tahu bahkan sampai kebijakan tersebut dicabut kembali dan diganti dengan kebijakan yang baru.

Sering terjadi masyarakat terkejut dengan kebijakan yang dibuat

terutama jika kebijakan tersebut dianggap merugikan masyarakat. Proses pembuatan kebijakan disajikan pada Gambar 5. Perumusan Kebijakan Penyusunan Agenda

Perumusan Masalah

Konteks : - Sejarah - Biofisik - -Sosial dan politik - Institusi - Teknologi - Ekonomi

Pengambilan Keputusan

Pelaksanaan (Implementasi)

Analisis Dampak

Gambar 5 Proses pembuatan kebijakan (Dunn 2000)

64

Terdapat hubungan yang erat antara kajian kebijakan dan kelembagaan dimana kajian kelembagaan bertujuan mengetahui, menjelaskan dan memprediksi dampak dari aturan main serta membahas bagaimana perubahan suatu aturan dapat mempengaruhi kinerja pengelolaan/ekonomi; sedangkan kajian kebijakan untuk membuat keputusan atas & untuk perubahan-perubahan yang dikehendaki dalam rangka melayani tujuan-tujuan bersama (fokus: kepentingan publik). Seringkali kebijakan dibatasi oleh given institution(s), namun dalam banyak hal kebijakan dapat juga menghasilkan institusi alternatif. Dengan demikian maka diperlukan adanya keselarasan dan / integrasi dalam pembuatan kebijakan antara ahli kelembagaan dengan penekanan pada mengisi content aturan main; ahli kebijakan menyusun arah tindakan ke depan; ahli hukum menterjemahkannya ke dalam bahasa hukum (bila akan dijadikan aturan formal) (Dunn 2000). Agar kebijakan yang diambil oleh pemerintah lebih efektif dan dapat berjalan sesuai dengan tujuan bersama maka dalam pembuatan kebijakan agar memperhatikan rambu-rambu (1) Mengatasi masalah mendasar (underlying causes) yang dihadapi, (2) Kebijakan tidak menimbulkan biaya transaksi tinggi, (3) Kebijakan harus bisa menekan biaya enforcement, (4) Mendorong munculnya mekanisme internal dalam penerapannya sehingga siapa saja yang tidak mengikuti akan rugi, (5) Perilaku sub-optimal dapat menimbulkan kerugian yang besar jika ada pihak memperoleh keuntungan dengan berlaku curang maka harus dikenakan penalty, dan (6) Sebelum penerapan perlu “policy exercising”. 2.12 Pembangunan Berkelanjutan Pembangunan adalah suatu usaha atau rangkaian usahapertumbuhan dan perubahan yang berencana yang dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa negara dan pemerintah, menuju modernisasi dalam rangka pembinaan bangsa (nation building) (Siagian dalam Sunito dan Sunito 2003). Pembangunan merupakan perubahan kemasyarakatan yang besar dari satu tingkat kesejahteraan ke tingkat berikutnya yang dihargai lebih tinggi ( Katz dalam Sunito dan Sunito 2003).

65

Konsep pertama pembangunan berkelanjutan dirumuskan dalam Brundtland Report yang merupakan hasil kongres Komisi Dunia Mengenai Lingkungan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa: “Pembangunan berkelanjutan ialah pembangunan yang mewujudkan kebutuhan saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk mewujudkan kebutuhan mereka” (WCED 1987). Pada tahun 1992, pada KTT (United Nation Conference on Environmental and Development-UNCED) di Rio de Janeiro, pentingnya pendekatan pembangunan secara berkelanjutan semakin dipertegas. Ada dua hal yang secara implisit menjadi perhatian dalam konsep Brundtland tersebut, yaitu pertama, menyangkut pentingnya memperhatikan kendala sumberdaya alam dan lingkungan terhadap pola pembangunan dan konsumsi daam pemanfaatan sumberdaya, dan kedua, menyangkut perhatian pada kesejahteraan (well being) generasi yang akan datang. Kerangka pembangunan berkelanjutan, World Bank menjabarkan ke dalam konsep segitiga pembangunan berkelanjutan dengan tiga tujuan pembangunan yaitu ekonomi, sosial dan ekologi. Definisi pembangunan berkelanjutan, yang diterima secara luas bertumpu pada tiga pilar ekonomi, sosial, dan ekologi. Bila tidak maka akan terjadi “trade-off” antar tujuan (Munasinghe 1993). Konsep pembangunan berkelanjutan terdiri atas tiga dimensi keberlanjutan, yaitu keberlanjutan ekonomi (profit), keberlanjutan kehidupan sosial (people), dan keberlanjutan ekologi alam (planet).

Ketiga dimensi tersebut

mempengaruhi dan harus diperhatikan secara berimbang.

saling

Kerangka ketiga

dimensi keberlanjutan dapat dilihat pada Gambar 6. Pembangunan berkelanjutan pada aspek ekonomi ditekankan pada efisiensi pembangunan, aspek sosial berupa keadilan pemerataan, dan aspek ekologi berupa keletarian sumberaya alam. Tujuan pembangunan diarahkan pada keberimbangan pencapaian tujuan pada ketiga aspek yaitu aspek ekonomi, sosial dan ekologi. Menurut Spangenberg dalam Rustiadi et al. (2009) menambahkan dimensi kelembagaan (institution) sebagai dimensi keempat keberlanjutan, sehingga keempat dimensi tersebut membentuk suatu prisma keberlanjutan (prism of sustainability).

66

Efisiensi Pembangunan • Redistribusi pendapatan • Lapangan kerja • Resolusi konflik

Ekonomi

Sosial Keadilan Pemerataan

• Assessment lingkungan • Valuasi lingkungan • Internalisasi

Ekologi • Partisipasi Masyarakat • Konsultasi • Keberagaman

Kelestarian Sumberdaya

Gambar 6 Segitiga pembangunan berkelanjutan (Munasinghe 1993) Berdasarkan Anonim (2009) pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.

Tujuan pembangunan berkelanjutan pada

aspek sosial dan ekonomi diarahkan untuk tercapainya redistribusi pendapatan diantara masyarakat, perluasan lapangan kerja, dan resolusi konflik antar pelaku / masyarakat.

Aspek sosial dan ekologi diarahkan pencapaiannya untuk

meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, konsultasi dengan para pihak baik kepada pihak penerima manfaat maupun penerima dampak, serta menciptakan harmoni diantara para pelaku maupun para pelaku dengan sumberdaya alam dan lingkungan. Aspek ekonomi dan ekologi diarahkan untuk menciptakan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam untuk mampu mencapai efektivitas pembangunan dengan mengupayakan adanya penilaian lingkungan, valuasi terhadap lingkungan dan internalisasi nilai-nilai manfaat sumberdaya alam kedalam struktur kebijakan dalam pengelolaannya. Millenium Development Goals (MDGs). Sesuai dengan kondisi dunia pada awal abad 21, pembangunan berkelanjutan dihadapkan pada tantangan berupa pemenuhan kebutuhan pokok dan memperhatikan semakin tingginya

67

tekanan terhadap sumberdaya alam dan lingkungan.

Menghadapi kondisi

demikian maka bulan September 2000 disusunlah kesepakatan Millenium Development Goals (MDGs) yang dihasilkan dari deklarasi milenium (The Millennium Declaration) pada KTT Milenium (Rogers et al. 2008). MDGs merupakan serangkaian tujuan yang telah disepakati oleh para pemimpin dunia termasuk Indonesia dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Millenium pada tahun 2000.

Agenda utama MDGs adalah mengurangi

kemiskinan dan meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dunia.

MDGs

merupakan komitmen dari komunitas internasional terhadap pengembangan visi mengenai pembangunan; yang secara kuat mempromosikan pembangunan manusia sebagai kunci

mencapai pengembangan sosial ekonomi yang

berkelanjutan dengan menciptakan dan mengembangkan kerjasama dan kemitraan global. Inti dari deklarasi milenium ini adalah delapan tujuan pembangunan milenium dan membahas isu-isu penting lainnya seperti perdamaian, keamanan dan perlucutan senjata, HAM, demokrasi dan ketatapemerintahan yang baik, dan penguatan kelembagaan PBB. Kedelapan tujuan MDGs tersebut yaitu (1) Menghapuskan tingkat kemiskinan dan kelaparan, (2) Mencapai Pendidikan Dasar secara Universal, (3) Mendorong kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan, (4) Mengurangi tingkat kematian anak, (5) Meningkatkan kesehatan ibu, (6) Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya, (7) Menjamin keberlanjutan lingkungan, dan (8) Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan. 2.13 Pengalaman Pengelolaan DAS Luar Negeri DAS Rhine Sungai Rhine panjangnya 1.300 km dan sepanjang 800 km dapat dilayari sarana transportasi sungai, luas DAS sekitar + 200.000 km2 (20.000.000 ha) yang mencakup 9 (sembilan) negara yaitu Switzerland, Austria, Jerman, Perancis, Luxemburg, Belgia, Liechtenstein, Italy dan Belanda. Jumlah penduduk tahun 2007 berjumlah 58 juta jiwa. Debit air sungai di muara laut utara mencapai 2.200 m3/detik (Raadgiver 2005).

Sungai Rhine mempunyai berperan sangat penting

sebagai prasarana transportasi sehingga sungai ini mengalami pencemaran pada

68

tingkat yang tinggi akibat pembuangan limbah dan sampah lainnya.

Bahan

buangan di wilayah Basel mencapai 50% dari total aliran air sampai Laut Utara. Setiap tahunnya lebih dari 150.000 kapal dengan 180 juta ton barang melintasi Lobith di perbatasan Jerman-Belanda.

Denah lokasi DAS Rhine disajikan pada

Gambar 7.

Gambar 7 Denah lokasi DAS Rhine di daratan Eropa Perjalanan sejarah penting yang terjadi sehingga mampu mendorong terbentuknya institusi pengelolaan DAS Rhine sebagai berikut : •



1948 : Terjadi peningkatan kadar garam, penurunan tangkapan ikan – 1950 : Pendirian Komisi (ICPR=International Commission for Protection of the Rhine from Pollution) – 1963 : Legal basis 1969 : sungai Rhine sebagai pengikat Eropa – 1970 : Mengatasi masalah limbah air

69

• •

– 1976 : Pengurangan emisi dari limbah industri 1986 : Kejadian Sandoz – semua kehidupan sungai terbunuh – 1987 : Rhine action plan : polusi dan ekosistem 1993/1995: Banjir – 1996 : Action Plan Banjir – 2000 : Sustainable Development Action Plan Bentuk kerjasama yang dilakukan antar negara dalam upaya pengelolaan

DAS Rhine yang berguna bagi kepentingan bersama diantara negara-negara yang dilalui sungai Rhine adalah (a) Pertemuan tingkat Menteri, (b) Steering Committee ICPR (Dirjen SDA antar Belanda, Germany, Perancis, Austria, Luxemburg, Belgia, Switzerland; adanya pergiliran pimpinan di ICPR setiap tahun). NGO berperan sebagai observers, (c) Komisi Koordinator ICPR (4 direktur), (d) Kelompok Kerja (kualitas air, emisi, banjir), (e) Kelompok Ahli, dan (f) Sekretariat (independent, small, joint funding) Dalam rangka menindaklanjuti hasil kerjasama tersebut maka cara kerja yang diimplementasikan untuk memperoleh keberhasilan dalam pengelolaan DAS Rhine adalah : 1. Program pengukuran bersama. Program pengelolaan Rhine ditentukan bersama dan dilakukan secara bersama di wilayahnya masing-masing sehingga perlu diukur secara bersama. 2. Program monitoring bersama. Program yang telah dicanangkan dan diimplementasikan maka diperlukan monitoring dan evaluasi terhadap efektivitas program dalam menanggulangi secara bersama. 3. Penilaian implementasi program (assesment) dan evaluasi bersama. Program yang telah diimplementasikan dilakukan penilaian keberhasilan pencapaian program dan pelaksanaan penilaiannya dilakukan secara bersama. 4. Pertukaran data. Data yang diperoleh dari hasil assessment dan evaluasi oleh masing-masing negara dilakukan sharing secara bersama sehingga timbul upaya peningkatan pencapaian kegiatan yang lebih baik. 5. Diimplementasikan secara nasional. 6. Tidak ada perubahan kewajiban. Kewajiban terhadap masing-masing negara

70

7. Keputusan yang tidak mengikat. Program yang diimplementasikan bersifat volunteer demi perbaikan di lingkungan masing-masing negara dan tidak ada sanksi bilamana tidak melaksanakan program yang telah disusun. 8. Learning process, trial & error, growth model. Dari penilaian dan evaluasi yang telah dilasanakan maka digunakan sebagai bahan evaluasi program dan dijasdikan input untuk perbaikan pelaksanaan program

pada waktu

berikutnya. 9. Partisipasi NGO. Peran NGO sangat tinggi dalam melakukan advokasi dan komunikasi dengan masyarakat secara luas. 10. Sekretariat bersama. Sekretariat bersama dibentuk untuk menjadi media pertemuan

bersama

guna

menjembatani

antar

pihak

dalam

mengkomunikasikan program dan hasil implementasi kegiatannya. Beberapa instrumen yang telah diterapkan untuk mendorong berhasilnya pengelolaan DAS Rhine, yaitu (a) Mewujudkan partnerships, saling bicara antar pihak, (b) Mewujudkan aspek legal, (c) Mempromosikan tanggungjawab sendiri dan

perjanjian

secara

sukarela,

(d)

Mengikutsertakan

interest

groups,

(e) Mempertimbangkan persyaratan untuk air dalam penetapan perencanaan dan prosedur perijinan, (f) Mengembangkan pilot project, (g) Menggunakan public relation, dan (h) Mengembangkan monitoring dan evaluasi terhadap kondisi DAS. Beberapa prinsip yang mendasari perlunya kerjasama antar negara dalam pengelolaan Sungai Rhine adalah (1) Air adalah bagian dari seluruh kehidupan dan perlu dipertimbangkan bagi seluruh kebijakan sektor, (2) Menyimpan air di DAS dan sepanjang alur dan badan sungai, (3) Membiarkan sungai tumbuh dan mengurangi run-off, (4) Memperhatikan terjadinya bahaya, belajarlah hidup dengan resiko, dan (5) Mengintegrasikan dan harmoniskan kegiatan, kerjasama untuk seluruh pihak dalam DAS. Berdasarkan konsep kerjasama internasional di Sungai Rhine terdapat pelajaran yang diperoleh yaitu (Kartodihardjo et al. 2005) : 1. Kerjasama internasional dapat berlanjut jika hanya berdasarkan atas kemauan sukarela dari negara-negara yang terlibat. 2. Upaya

promosi oleh negara-negara unilateral tentang upaya interest atau

sektor tertentu harus dihindari. Dalam kasus Rhine ditunjukkan bahwa upaya

71

promosi tersebut bersifat kontra-produktif terhadap kepentingan lain dan menjadi ancaman bagi ekosistem secara keseluruhan. 3. Kerjasama saling menguntungkan antar pihak memerlukan waktu lama. Oleh karena itu diperlukan kondisi saling percaya untuk mendukungnya. 4. Promosi kepentingan-kepentingan yang berkaitan dengan air dan pertukaran informasi dengan lembaga non-pemerintah memerlukan waktu lama, tetapi dapat mendukung kerjasama antar pihak di dalam DAS dan dapat memperluas daya penerimaannya. 5. Tragedi lingkungan yang berpengaruh secara internasional dapat mendorong pemecahan masalah dan membantu secara efektif peningkatan kerjasama antar negara; 6. Persetujuan dan adopsi terhadap ukuran-ukuran keberhasilan yang dibakukan adalah basis penting dalam pencapaian pengurangan polusi air sebagai sumberdaya bersama; 7. Kebijakan lintas batas administratif untuk DAS perlu diselaraskan dengan kebijakan untuk mengelola wilayah pantai dan laut yang dilindungi. 8. Aspek legal membantu masalah-masalah hubungan antar negara dan untuk menstrukturkan langkah-langkah yang dapat diambil. 9. Adanya infrastruktur untuk melakukan monitoring bersama mempunyai kontribusi positif terhadap peningkatan rasa saling percaya, penilaian bersama dan pembuatan kebijakan; 10. Penilaian terhadap rencana-rencana yang telah dibuat secara periodik memberikan kesempatan untuk melakukan adaptasi dan modifikasi sasaransasaran dan instrumen kebijakan yang akan diterapkan.

2.14 Sistem, Pendekatan Sistem dan Model 2.14.1. Sistem Sistem didefinsikan sebagai suatu agregasi atau kumpulan obyek-onyek yang saling menerangkan dalam interaksi dan tergantung satu sama lain. Sistem sebagai suatu set elemen-elemen yang berada dalam keadaan yang saling berhubungan. Sehingga sistem merupakan totalitas himpunan elemen-elemen

72

yang mempunyai struktur dalam nilai posisional, serta matra dimensional terutama dimensi ruang dan waktu, dalam upaya mencapai suatu gugus tujuan (goals) (Eriyatno 2007).

Sistem digolongkan kedalam sistem terbuka (open

system) dan sistem tertutup (closed system). Sistem terbuka merupakan system yang outputnya merupakan tanggapan dari input, namun output yang dihasilkan tidak memberikan umpan balik terhadap input. Sedangkan sistem tertutup output memberikan umpan-balik terhadap input. Sistem terbuka misalnya jam penunjuk waktu, dan system tertutup misalnya pendingin ruangan (AC) yang dilengkapi dengan pengatur suhu (thermostat) yang dilengkapi dengan pembukaan katup pengalir zat pendingin (freon) sebagai input pada AC. Secara leksikal, sistem berarti susunan yang teratur dari pandangan, teori, asas dan sebagainya. Dengan kata lain, sistem adalah suatu kesatuan usaha yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain yang berusaha untuk mencapai suatu tujuan dalam suatu lingkungan kompleks (Marimin 2004). Hartrisari (2007), mendefinisikan sistem sebagai kumpulan elemen-elemen yang saling terkait dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau gugus tujuan tertentu. Muhammadi et al. (2001), mendefinisikan sistem sebagai keseluruhan interaksi antar unsur dari sebuah obyek dalam batas lingkungan tertentu yang bekerja mencapai tujuan. Pengertian keseluruhan adalah lebih dari sekedar penjumlahan atau susunan (agregate), yaitu terletak pada kekuatan (power) yang dihasilkan oleh keseluruhan itu jauh lebih besar dari suatu penjumlahan atau susunan. Apabila dalam aljabar 1 ditambah 1 adalah 2, maka dalam sistem 1 ditambah 1 tidak sama dengan 2 tetapi tidak terhingga. Pengertian obyek tersebut adalah sistem yang menjadi perhatian dalam suatu batas tertentu sehingga dapat dibedakan antara sistem dan lingkungan sistem. Semua yang berada di luar batas sistem adalah lingkungan sistem. Pengertian tujuan adalah unjuk kerja sistem yang teramati atau yang diinginkan (Hartrisari 2007). Sistem terdiri atas komponen, atribut dan hubungan yang dapat didefinisikan sebagai (1) komponen adalah merupakan bagian-bagian dari sistem yang terdiri atas input, proses dan output. Setiap komponen sistem

73

mengansumsikan berbagai nilai untuk menggambarkan pernyataan sistem sebagai seperangkat aksi pengendalian atau lebih sebagai pembatasan. Sistem terbangun atas komponen-komponen, komponen tersebut dapat dipecah menjadi komponen yang lebih kecil. Bagian komponen yang lebih kecil disebut dengan subsistem, (2) atribut adalah sifat-sifat atau manifestasi yang dapat dilihat pada komponen sebuah

sistem.

Atribut

mengkarakteristikkan

parameter

sebuah

sistem,

(3) hubungan merupakan keterkaitan di antara komponen dan atribut. Menurut Hartrisari (2007) ada beberapa ciri berfikir sistem (system thinking), di antaranya adalah (1) Sibernetik (goal oriented); system thinkers harus mulai dengan berorientasi tujuan (goal oriented) tidak mulai dengan orientasi masalah (problem oriented); (2) Holistik tidak parsial; system thinkers harus berfikir holistik tidak reduksionis; (3) Efektif; dalam ilmu sistem erat kaitannya dengan prinsip dasar manajemen, dimana suatu aktivitas mentransformasikan input menjadi output yang dikehendaki secara sistematis dan terorganisasi guna mencapai tingkat efektif dan efisien. Jadi dalam ilmu sistem, hasil harus efektif dibanding efisien; ukurannya adalah cost effective bukan cost efficient. Akan lebih baik lagi apabila hasilnya efektif dan sekaligus juga efisien. 2.14.2. Pendekatan Sistem Pendekatan sistem adalah suatu pendekatan analisis organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis (Marimin 2004). Menurut Eriyatno (2007), pendekatan kesisteman mengutamakan kajian struktur sistem baik yang bersifat penjelasan maupun sebagai pendukung bagai penyelesaian persoalan. Kajian sistem dimulai dengan identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan sehingga dapat dihasilkan suatu operasi sistem. Dalam pendekatan sistem umumnya telah ditandai dengan (1) pengkajian terhadap semua faktor yang berpengaruh dalam ranka mendapatkan solusi untuk mencapai tujuan, (2) Adanya model-model untuk membantu pengambilan keputusan lintas disiplin, sehingga permasalahan yang kompleks dapat diselesaikan secara komprehensif. Pemikiran sistem selalu mencari keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh, maka diperlukan suatu kerangka fikir baru yang dikenal sebagai pendekatan

74

sistem (system approach).

Pendekatan sistem dapat memberi landasan untuk

pengertian yang lebih luas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku sistem dan memberikan dasar untuk memahami penyebab ganda dari suatu masalah dalam kerangka sistem. Muhammadi et al. (2001), syarat awal untuk berfikir sistemik adalah adanya kesadaran untuk mengapresiasi dan memikirkan suatu kejadian sebagai sebuah sistem (systemic approach). Keunggulan pendekatan sistem antara lain (1) pendekatan sistem diperlukan karena makin lama makin dirasakan interdependensinya dari berbagai bagian dalam mencapai tujuan sistem, (2) sangat penting untuk menonjolkan tujuan yang hendak dicapai, dan tidak terikat pada prosedur koordinasi atau pengawasan dan pengendalian itu sendiri, (3) dalam banyak hal pendekatan manajemen tradisional seringkali mengarahkan pandangan pada cara-cara koordinasi dan kontrol yang tepat, seolah-olah inilah yang menjadi tujuan manajemen, padahal tindakan-tindakan koordinasi dan kontrol ini hanyalah suatu cara untuk mencapai tujuan, dan harus disesuaikan dengan lingkungan yang dihadapi, (4) konsep sistem terutama berguna sebagai cara berfikir dalam suatu kerangka analisa, yang dapat memberi pengertian yang lebih mendasar mengenai perilaku dari suatu sistem dalam mencapai tujuan. Beberapa langkah yang dapat ditempuh untuk menghasilkan bangunan pemikiran (model) yang bersifat sistemik, yaitu (1) identifikasi proses menghasilkan kejadian nyata, (2) identifikasi kejadian yang diinginkan, (3) identifikasi kesenjangan antara kenyataan dengan keinginan, (4) identifikasi dinamika menutup kesenjangan, dan (5) analisis kebijakan (Muhammadi et al., 2001).

Berdasarkan Marimin (2004), tahapan pendekatan sistem meliputi 5

tahapan yaitu analisis, rekayasa model, implementasi rancangan, implementasi, dan operasi sistem tersebut.

Sedangkan metodologi sistem pada prinsipnya

meliputi 6 tahapan analisis yang meliputi (1) analisis kebutuhan (2) identifikasi sistem, (3) formulasi masalah, (4) pembentukan alternatif sistem , (5) determinasi dari realisas fisik, sosial politik, dan 6) penentuan kelayakan ekonomi dan keuangan. Menurut Manetsch et al. dalam Hartrisari (2007), tahapan pendekatan

75

sistem terdiri dari 6 tahapan yaitu (1) analisis kebutuhan, (2) formulasi permasalahan, (3) identifikasi sistem, (4) permodelan sistem, (5) verifikasi dan validasi, dan (6) implementasi. 2.14.3. Model Model adalah suatu penggambaran abstrak dari sistem dunia riil atau nyata yang akan bertindak seperti sistem dunia nyata untuk aspek-aspek tertentu. Menurut Eriyatno (1999), model merupakan suatu abstraksi dari realitas yang akan memperlihatkan hubungan langsung maupun tidak langsung serta timbal balik atau hubungan sebab akibat. Suatu model dapat dikatakan lengkap apabila dapat mewakili berbagai aspek dari realitas yang dikaji. Biasanya model dibangun untuk tujuan peramalan (forecasting) dan evaluasi kebijakan, yaitu menyusun strategi perencanaan kebijakan dan memformulasikan kebijakan (Tasrif 2004). Permodelan yang efektif merupakan keterkaitan antara dunia maya yang dinyatakan dalam model dengan dunia nyata sehingga tujuan model sebagai penyederhanaan sistem dapat tercapai.

Model disusun untuk menyelesaikan

persoalan yang dihadapi sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan (Hartisari, 2007). Hartisari (2007) menyatakan bahwa model merupakan penyederhanaan dari sistem.

Model yang dibangun tidak akan sama persis dengan sistem

sebenarnya. Model disusun dengan tujuan untuk (a) memahami proses yang terjadi di dalam sistem, (b) melakukan prediksi (hanya model yang bersifat kuantitatif bisa digunakan untuk prediksi), dan (c) menunjang pengambilan keputusan. Secara umum model digolongkan menjadi model fisik dan model abstrak.

Model fisik merupakan miniatur replika dari keadaan sebenarnya.

Model abstrak atau disebut dengan model mental merupakan bukan model fisik yang digolongkan kedalam dua jenis yaitu model kuantitatif dan model kualitatif. Model kuantitatif menggunakan perhitungan matematik dan bersifat numerik sehingga dapat digunakan untuk prediksi, sedangkan model kualitatif bersifat deskriptif dan tidak menggunakan perhitungan kuantitatif sehingga tidak dapat digunakan untuk prediksi.

76

Suatu model dinamik adalah kumpulan dari variabel-variabel di dalam sistem yang saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya dalam suatu kurun waktu. Setiap variabel berkorespondensi dengan besaran yang nyata atau besaran yang dibuat sendiri. Semua variabel tersebut memiliki nilai numerik dan sudah merupakan bagian dari dirinya. Perilaku dinamis dalam model dapat dikenali dari hasil simulasi model. Simulasi model terdiri atas beberapa tahap, yaitu penyusunan konsep, pembuatan model, simulasi dan validasi hasil simulasi. Model dapat dinyatakan baik bila kesalahan atau simpangan hasil simulasi terhadap gejala atau proses yang terjadi di dunia nyata relatif kecil. Hasil simulasi yang sudah divalidasi digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan (Muhammadi et al., 2001). .

77

BAB III METODA PENELITIAN 3.1

Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di DAS Ciliwung Hulu seluas + 14.900 hektar

mencakup tiga kecamatan yaitu Kecamatan Cisarua, Kecamatan Megamendung, dan Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor. Lokasi penelitian ini meliputi kawasan budidaya dan kawasan lindung yang berada di tiga kecamatan tersebut. Pengambilan data dilakukan di lapangan, kantor pemerintahan desa maupun kecamatan, kantor UPT Kementerian Kehutanan, UPT Kementerian Pekerjaan Umum, UPT Dinas Pendayagunaan Sumberdaya Air, perguruan tinggi maupun di beberapa instansi pemerintah Kabupaten Bogor. Penentuan lokasi penelitian dilakukan dengan sengaja (purposive) karena mengingat bahwa lokasi DAS Ciliwung Hulu merupakan kawasan berfungsi vital dalam penyediaan produk pertanian, perkebunan, maupun jasa wisata berupa pemandangan alam (view), suhu dingin, sumber penyimpanan air (water recharge) bagi daerah setempat dan sekitarnya, serta merupakan daerah tangkapan air (DTA) dan berfungsi untuk pengendalian banjir bagi ibukota negara Jakarta maupun daerah hilir lainnya seperti Bogor, dan Depok. Lokasi penelitian DAS Ciliwung Hulu disajikan pada Gambar 8. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Januari 2010 s/d Juni

2011

terhitung sejak penyusunan proposal sampai penyusunan disertasi. 3.2

Rancangan Penelitian Penelitian Pengembangan Kebijakan Pengelolaan Berkelanjutan DAS

Ciliwung Hulu dilakukan melalui tiga tahapan penelitian yaitu : 1.

Menganalisis status keberlanjutan DAS Ciliwung Hulu.

2.

Menganalisis arena aksi lokal DAS Ciliwung Hulu.

3.

Memformulasikan

skenario

pengembangan

berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu.

Tahapan penelitian disajikan pada Gambar 9.

kebijakan

pengelolaan

78 77

Ciawi

Gambar 8 Lokasi penelitian DAS Ciliwung Hulu Kabupaten Bogor

79

Indeks keberlanjutan Faktor pengungkit keberlanjutan

1. Analisis status keberlanjutan

Exogenous

Biphyisical / material conditions Attributes of community

Action Arena Interactions

Action Situations

Evaluative Criteria

Participans Rules Outcomes

3. Analisis pengembangan kebijakan

Faktor kunci pengelolaan DAS Skenario pengembangan kebijakan Alternatif skenario

Gambar 9

2. Analisis arena aksi lokal

Atribut komunitas lokal Aktor kunci Aturan/kebijakan yang digunakan Arena aksi lokal Aksi bersama

Tahapan penelitian pengembangan kebijakan pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu (Sumber : Ostrom 2007 adaptasi dari Ostrom et al. 1994)

3.2.1 Tujuan 1 : Menganalisis status Ciliwung Hulu

keberlanjutan

pengelolaan

DAS

a. Jenis dan Sumber Data Data yang diperlukan untuk melakukan analisis status keberlanjutan dalam pengelolaan DAS Ciliwung Hulu meliputi data primer dan data sekunder.

Data tersebut mencakup atribut-atribut yang terkait dengan keberlanjutan pengelolaan DAS Ciliwung diantaranya dimensi ekonomi, ekologi, sosial, kelembagaan, dan dimensi aksesibilitas, dan teknologi. Data sekunder terkait dengan DAS Ciliwung Bagian Hulu dapat berupa hasil-hasil penelitian, laporan tahunan, Statistika Bogor Dalam Angka, Kecamatan Dalam Angka, Status Lingkungan Hidup Daerah, infromasi pembangunan, perubahan penutupan lahan, jurnal hasil penelitian, prosiding, makalah seminar, dan data sosial ekonomi lainnya. Data primer dapat berupa informasi dan persepsi dari responden, pakar, masyarakat di lapangan dan stakeholders yang terkait dengan DAS Ciliwung Hulu maupun terkait dengan tema penelitian ini. Data sekunder ini diperoleh dari berbagai sumber baik dari perpustakaan IPB, instansi pemerintah Kantor Pemerintah Kabupaten Bogor diantaranya Dinas Pertanian dan Kehutanan, Dinas Tata Ruang dan Pertanahan, Dinas Tata Bangunan dan Permukiman, Bappeda, Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan/BP4K dan UPT BP3K wilayah Ciawi, dan UPT Pemerintah Kabupaten Bogor lainnya, BPDAS Citarum-Ciliwung, BPSDA Ciliwung-Cisadane, dan hasil penelusuran di internet. Data primer diperoleh melalui pengamatan triangulasi lapangan dan diskusi mendalam dengan beberapa tokoh dan penggiat rehabilitasi hutan dan lahan serta petugas penyuluhan swadaya masyarakat. Beberapa dimensi yang dinilai relevan sebagai tolok ukur kinerja pencapian tujuan pengelolaan DAS dalam penelitian ini adalah dimensi ekologi, ekonomi, dimensi sosial, dimensi kelembagaan, dan dimensi aksesibilitas dan teknologi. Jumlah atribut yang telah diidentifikasi sebanyak 53 atribut meliputi : (1) Dimensi ekologi meliputi 9 atribut yaitu : a) b) c) d) e) f) g) h) i)

Produktivitas lahan pertanian. Lahan kritis. Tingkat konservatif pengelolaan lahan pertanian garapan. Luas kecukupan kawasan hutan. Perubahan penggunaan lahan menjadi lahan terbangun. Penutupan lahan bervegetasi. Tata air Sungai Ciliwung Hulu Kualitas air Sungai Ciliwung Hulu. Kegiatan pemeliharaan daerah tangkapan air (DTA).

81

(2) Dimensi ekonomi meliputi 10 atribut yaitu : a) Luas kepemilikan lahan pertanian. b) Tingkat pemanfaatan jasa wisata. c) Jaminan pasar input dan output budidaya pertanian (demand). d) Keuntungan usaha tani non-tanaman pangan. e) Jumlah tenaga kerja sektor pertanian. f) Jumlah tenaga kerja sektor jasa. g) Adaptasi petani terhadap perubahan permintaan komoditas pasar h) Alternatif pendapatan non pertanian i) Layanan listrik j) Status pengembangan ekonomi wilayah (3) Dimensi sosial meliputi 9 atribut yaitu : a) Tingkat pertumbuhan penduduk. b) Tingkat kesejahteraan / pendapatan petani. c) Tingkat pendidikan masyarakat lokal. d) Layanan pendidikan. e) Layanan kesehatan. f) Layanan peribadatan. g) Tingkat pengangguran. h) Persepsi masyarakat terhadap upaya rehabilitasi hutan dan lahan. i) Partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan bersama (4) Atribut kelembagaan meliputi 13 atribut yaitu : a) Organisasi kelompok tani. b) Organisasi Penyuluh Swadaya Masyarakat c) Property right d) Batas yurisdiksi. e) Aturan representasi. f) Kapasitas organisasi pemerintah. g) Kapasitas koordinasi antar instansi pemerintah. h) Proses pengambilan keputusan pengelolaan lahan. i) Lembaga pasar input dan output kegiatan pertanian. j) Lembaga keuangan mikro. k) Organisasi pemerintah bidang penyuluhan l) Kegiatan penyuluhan pertanian dan kehutanan. m) Ketersediaan informasi pembangunan.

(5) Atribut aksesibilitas dan teknologi meliputi 12 atribut yaitu : a) Teknik persemaian. b) Teknik penanaman. c) Teknis pemeliharaan tanaman. d) Penerimaan terhadap teknologi baru (inovasi teknologi). e) Teknologi pengelolaan lahan konservatif. f) Teknologi pascapanen. g) Teknologi pembuatan pupuk organik. h) Akses jalan ke pusat layanan publik. i) Sarana prasarana pendidikan. j) Sarana prasarana layanan kesehatan. k) Sarana prasarana peribadatan. l) Sarana prasarana olahraga. b. Metoda Pengumpulan Data Pengumpulan data untuk menganalisis status keberlanjutan pengelolaan DAS Ciliwung Hulu dilakukan melalui pengumpulan data hasil kajian dan penelitian, pengamatan lapangan, wawancara, diskusi, dan kuesioner. Responden lapangan diantaranya tokoh masyarakat, petugas penyuluh lapangan dari instansi pemerintah, penyuluh lapangan dari swadaya masyarakat, diskusi mendalam dengan para pakar dan stakeholders lainnya yang terkait dengan topik penelitian ini.

Metoda pengumpulan data primer dalam penyusunan menilai status

keberlanjutan dan memformulasi pembangunan kawasan hulu di DAS Ciliwung Hulu dilakukan melalui wawancara, diskusi, dan survey lapangan dengan responden di wilayah penelitian yang terdiri atas berbagai pakar dan para pihak lainya yang terkait dengan pengelolaan DAS Ciliwung Hulu. Sedangkan data sekunder dikumpulkan melalui berbagai sumber kepustakaan dan data dari berbagai instansi terkait. Data dikumpulkan dari para pihak yang berhubungan dengan permasalahan pengelolaan hulu DAS, tata ruang wilayah hulu, rehabilitasi hulu DAS, serta kebutuhan pihak hilir yang menerima dampak negatif akibat kegagalan melakukan manajemen wilayah hulu DAS.

83

c. Metoda Analisis Data Analisis keberlanjutan pengelolaan DAS Ciliwung Hulu dilakukan dengan metoda pendekatan multidimensional scaling (MDS) menggunakan alat analisis RapDAS-Ciliwunghulu (Rapid Appraisal Sustainability Index for DAS Ciliwung Hulu) yang merupakan modifikasi dari Rapfish (Rapid Appraisal for Fisheries). Atribut yang dipilih mencerminkan tingkat keberlanjutan di setiap disiplin, dan dan disesuaikan dengan ketersediaan informasi yang dapat diperoleh dari karakter sumberdaya yang dikaji (Pitcher dan Preikshot 2000). Penilaian kinerja DAS multidimensi ini diharapkan mampu mendekatkan konsep evaluasi kinerja DAS dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan maupun berbagai pelaku sektoral. Rapfish biasa digunakan untuk menentukan indeks tingkat keberlanjutan pada kegiatan perikanan tangkap dari berbagai dimensi.

Sedangkan Rap-

DASCiliwung Hulu merupakan Rapfish dengan modifikasi pada atribut-atribut yang sesuai dengan kondisi dan karakteristik DAS Ciliwung Hulu. Penilaian RapDAS Ciliwung Hulu dilakukan terhadap atribut-atribut yang dapat mewakili parameter dari masing-masing dimensi keberlanjutan. Teknik Rapfish telah dikembangkan untuk melakukan evaluasi tingkat keberlanjutan pembangunan suatu obyek penelitian dengan melakukan modifikasi dimensi dan atibutnya sesuai dengan aspek yang dievaluasi (Mersyah 2005, Thamrin 2009). Dalam RapDAS-Ciliwung Hulu (Rapfish modified) ini, obyek yang diamati dipetakan ke dalam ruang dua atau tiga dimensi, sehingga obyek atau titik tersebut diupayakan ada sedekat mungkin dengan titik asal. Teknik ordinasi (penentuan jarak) di dalam MDS didasarkan pada Euclidian Distance yang dalam ruang berdimensi n dapat ditulis sebagai berikut :

d = (/ x1 − x 2 / 2 + / y1 + y 2 / + / z1 + z 2 + ... ) ........................................ (1) Konfigurasi atau ordinasi dari suatu obyek atau titik di dalam MDS kemudian diaproksimasi dengan meregresikan jarak Euclidian (d ij ) dari titik i ke titik j dengan titik asal (δ ij ) dengan persamaan : d ij = α + βδ ij + ε

...............................................................................(2)

Teknik yang digunakan untuk meregresikan persamaan di atas adalah dengan metoda least square yang didasarkan pada akar dari Euclidian distance (squared distance) atau disebut dengan ALSCAL.

Metoda ALSCAL ini

mengoptimasi jarak kuadrat (squared distance) terhadap data kuadrat (titik asal = o ijk ), yang dalam tiga dimensi (i, j, k), formula nilai S-Stress dihitung sebagai berikut : 2 2  ∑∑ (d ijk2 − oijk )  1   i j S= ∑ 4   m k =1 oijk ∑∑   i j   m

.......................................................... (3)

dimana jarak kuadrat merupakan jarak Euclidian yang diberi pembobotan atau ditulis dengan : r

2 d ijk = ∑ w ( xia − x ja ) 2 ......................................................................... (4) a =1

ka

Dalam pengukuran tingkat kesesuaian atau kondisi fit (goodness of fit), jarak titik pendugaan dengan titik asal menjadi sangat penting. Goodness of fit dalam MDS merupakan ukuran ketepatan (how well) dari suatu titik yang dapat mencerminkan data aslinya. Goodness of fit dalam MDS ditentukan oleh nilai SStress yang dihasilkan dari perhitungan nilai S tersebut. Nilai stress rendah menunjukkan good of fit, sementara nilai S tinggi menunjukkan sebaliknya. Dalam RapDAS-Ciliwung Hulu, model yang baik ditunjukkan dengan nilai stress yang lebih kecil dari 0,25 (S5%) atau lebih kecil (MC-MDS5% maka hasil analisis MDS tidak memadai sebagai penduga nilai indeks keberlanjutan, dan jika nilai selisih kedua analisis tersebut 45%). DAS Ciliwung Hulu merupakan dataran tinggi dengan kelerengan yang didominasi datar (32,95%) dan bergelombang (25,19%), dan sisanya berupa dataran dengan topografi landai (12,60%), curam (13,14%) dan sangat curam (16,12%). Topografi datar s/d landai dapat dijumpai di Kecamatan Ciawi, dan landai s/d sangat curam dapat dijumpai di wilayah Kecamatan Megamendung dan Kecamatan Cisarua. Batas wilayah Utara, Timur dan Selatan banyak dijumpai lahan dengan topografi curam s/d sangat curam (>26%).

Kondisi demikian

diakibatkan oleh posisi DAS Ciliwung Hulu yang keberadaannya dikelilingi oleh beberapa gunung yaitu Gunung Gede Pangrango, Gn. Mandalawangi, Gn. Kencong dan lain-lain.

Pengelompokan kelerengan DAS Ciliwung Hulu dapat

dilihat pada peta Lampiran 3 dan sebaran kelerengannya disajikan pada Tabel 8.

103 Tabel 8 Sebaran kelerengan DAS Ciliwung Hulu No.

Kelerengan (%)

Luas

%

Keterangan

1

0-8

4.897,00

32,95

datar

2

9-15

1.872,25

12,60

landai

3

16-25

3.742,50

25,19

bergelombang

4

26-45

1.952,40

13,14

curam

5

>45

2.396,03

16,12

sangat curam

Jumlah

14.860,00

100,00

Sumber : Peta Tanah Semidetil Daerah Aliran Sungai Ciliwung Hulu Skala 1:50.000 diterbitkan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Tahun 1992.

4.2.3 Iklim Berdasarkan sistem klasifikasi Smith dan Ferguson yang didasarkan pada intensitas curah hujan. yaitu bulan basah (>200 mm) dan Bulan Kering ( 15 % dan perbedaan tinggi 50-300 m. Lebih lanjut satuan fisiografi ini dapat dibagi menjadi 2 unit fisiografi yaitu: V7.1.1. Punggung bukit memanjang; merupakan punggung bukit yang memanjang dengan lereng melandai V7.1.2. Lereng sisi punggung yaitu bagian sisi lereng lungur volkan yang umumnya mempunyai tingkat kemiringan curam. (3) Aluvial (A) Merupakan satuan fisiografi yang terbentuk karena proses fluviatil bahannya berasal dari endapan sungai baru biasanya berlapis dan mempunyai tekstur beragam dicirikan oleh adanya kerikil/batu yang bentuknya membulat. Fisiografi aluvial pada daerah sub DAS Ciliwung Hulu termasuk dalam unit jalur aliran sungai atau anak sungai. Karakteristik

wilayah fisiografi aluvial ini

memanjang di kanan-kiri jalur aliran sungai, umumnya sempit dibatasi tebing, bentuk wilayah datar sampai landai.

108

4.2.5 Jenis Tanah Berdasarkan Peta Tanah Tinjau Kabupaten Bogor skala 1:250.000, jenis tanah di DAS Ciliwung Hulu didominasi oleh tanah latosol cokelat, asosiasi latosol cokelat kemerahan dan latosol cokelat, dan asosiasi latosol merah, latosol cokelat kemerahan dan laterik air tanah. Sisanya sebagian kecil berupa tanah komplek regosol kelabu dan lisosol, tanah latosol cokelat kemerahan, dan tanah andosol cokelat kekuningan. Berdasarkan Peta Tanah Semidetail Tahun 1992 yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor, beberapa jenis tanah di DAS Ciliwung Hulu adalah order Inceptisol (48%), Andosol (38,9%). Ultisol (11%), dan sisanya Entisol (2,1%). Tanah Andosol merupakan tanah yang sedang berkembang tetapi belum matang yang ditandai dengan profil yang lemah dan masih banyak menyerupai sifat bahan induknya. Andisol berasal dari hasil pelapukan bahan induk volkan yang menghasilkan bahan amorf. Bahan amorf ini terdiri atas alofan, ferrihidrit, dan senyawa kompleks humus-aluminium. Tanah ini berwarna hitam kelam, mempunyai berat jenis ( 2.700 mm/tahun. b. Keadaan tahun 1992-2009, penutupan lahan (land cover) hutan mempunyai kecenderungan penurunan dengan laju 1,95% per tahun dan di lain pihak terdapat peningkatan lahan permukiman (lahan terbangun) dengan laju 12,34%. c. Pemanfaatan kawasan DAS Ciliwung Hulu berupa kawasan hutan (28,76%), kawasan perkebunan (20,05%), eks-perkebunan 2,55%, dan lahan milik 48,64%. DAS Ciliwung Hulu telah dimanfaatkan untuk kegiatan pemanfaatan jasa wisata dan budidaya pertanian intensif sehingga mendorong terjadinya alih penguasaan lahan. Sebagian kawasan perkebunan dan eksperkebunan tersebut sudah dirambah dan dikuasai masyarakat dan telah mengalami alih penguasaan lahan sehingga sebagian besar lahan (70-80%) telah dikuasai oleh masyarakat di luar DAS Ciliwung Hulu. d. Sumberdaya alam DAS Ciliwung Hulu telah mengalami degradasi yang ditunjukkan oleh rendahnya kualitas air Sungai Ciliwung Hulu dan laju erosi lahan melebihi laju erosi yang diijinkan (tolerable erosion). e. Kondisi sosial dengan laju pertumbuhan penduduk 2,74% per tahun, mata pencaharian penduduk didominasi oleh sektor jasa (47,06%) dan perdagangan, hotel dan restoran (41,25%), sedangkan sektor pertanian sebesar 5,78%, Tingkat pendidikan masyarakat masih rendah didominasi pendidikan SD dan tidak tamat SD sebesar 62,86%. f. Penguasaan lahan oleh masyarakat lokal berupa lahan milik seluas 0,12 ha dan lahan garapan 0,27 ha. Kepemilikan lahan oleh masyarakat luar DAS Ciliwung Hulu sebesar 70-80%.

131

BAB V STATUS KEBERLANJUTAN DAS CILIWUNG HULU 5.1 Pendahuluan Pengelolaan DAS Ciliwung dilakukan oleh berbagai stakeholders dengan berbagai kepentingan dan pengaruh yang dimiliki terhadap interaksi antar pelaku. DAS memiliki berbagai produk barang dan jasa yang diperlukan bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat yang ada di atasnya. Namun demikian sebaliknya, DAS juga memberikan dampak negatif bagi masyarakat akibat memburuknya kualitas dan fungsi DAS.

Manfaat yang diberikan oleh DAS diantaranya manfaat

ekologis, ekonomis, maupun sosial dan budaya.

Dalam perkembangannya,

diantara manfaat tersebut juga terjadi adanya tolak angsur (trade off) sesuai dengan interaksi antar pelaku di dalam DAS. Dalam suatu periode waktu manfaat ekonomi menjadi penting bagi masyarakat, namun pada saat yang berbeda manfaat ekologis menjadi sangat penting dan melebihi kepentingannya daripada manfaat sosial maupun ekonomi.

Tingkat manfaat yang diperoleh sangat

ditentukan oleh permasalahan yang dihadapi bersama dan hasil interaksi antar pelaku di dalam DAS dan dipengaruhi oleh kondisi biofisik DAS. DAS Ciliwung hulu merupakan bagian dari DAS yang termasuk dalam kategori kritis dan memerlukan prioritas penanganan yang lebih baik. Perilaku sungai Ciliwung ini telah mengakibatkan banjir di wilayah hilir pada musim hujan. Akibat banjir telah menimbulkan kerugian baik moril maupun materiil yang terus berlangsung secara periodik tahunan pada musim hujan, penurunan kualitas air sungai, longsor pada beberapa titik maupun kejadian kekeringan pada musim kemarau. Secara teknis hidrologi, kondisi demikian dapat terjadi akibat tingginya limpasan air permukaan dan berlangsungnya erosi.

Kondisi hidrologi

DAS Ciliwung Hulu ditunjukkan oleh ketidakstabilan debit air maksimum dan minimum sungai Ciliwung Hulu.

Debit maksimum selama 1989 s/d 2009

mencapai maksimum pada tahun 1996 sebesar 743,33 m3/detik dan terendah terjadi pada tahun 2005 sebesar 26,8 m3/detik.

Debit minimum tertinggi

berlangsung pada tahun 2009 sebesar 7,29 m3/detik dan terendah pada tahun 2007

132 sebesar 0,61 m3/detik. Selama periode 1992-2002 koefisien rejim sungai Ciliwung menunjukkan nilai di atas 50 yang berarti kondisi DAS Ciliwung Hulu yang semakin buruk. DAS Ciliwung hulu merupakan wilayah yang telah berkembang dengan aktivitas jasa wisata sejak tahun 1980-an.

Kondisi tahun 2009 menunjukkan

bahwa jumlah wisatawan di wilayah ini mencapai lebih dari 50% dari jumlah wisatawan yang berkunjung di Kabupaten Bogor. Potensi wisata yang ada berupa keindahan bentang alam dengan latar belakang Gunung Gede dan Gunung Pangrango, suhu udara sejuk, wisata agro perkebunan teh, obyek wisata alam, maupun obyek wisata buatan lainnya. Jumlah obyek wisata alam dan buatan unggulan mencapai 12 obyek, disamping keberadaan villa yang yang dimiliki pribadi maupun instansi. Aktivitas pemanfaatan jasa wisata ini didukung oleh tingginya tingkat akses jalan yang menghubungkan antar titik di wilayah hulu dan dapat dijangkau pada segala cuaca. Kemudahan mengakses dan keamanan akses pada segala cuaca maka mampu mendorong tingginya daya tarik aktivitas wisata. Tingginya aktivitas wisata di DAS Ciliwung hulu telah mendorong semakin tingginya perubahan penggunaan lahan menjadi lahan terbangun untuk kegiatan wisata. Kondisi demikian memberikan tingginya tekanan masyarakat terhadap sumberdaya lahan, tingginya intensitas jual beli lahan, dan pada akhirnya menyebabkan rendahnya kepemilikan lahan pertanian

sehingga pendapatan

masyarakat dari kegiatan budidaya pertanian semakin rendah. Akibat lain adalah tingginya tingkat erosi lahan, sedimentasi pada badan air, tingginya fluktuasi debit air maksimum dan minimum, serta menurunnya kualitas air sungai Ciliwung Hulu. Kondisi DAS perlu dilakukan analisis daya dukung melalui penilaian status keberlanjutannya dari berbagai dimensi pengelolaan DAS. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status keberlanjutan DAS Ciliwung Hulu dari dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosial dan budaya, dimensi kelembagaan, dan dimensi aksesibilitas dan teknologi konservasi.

Penilaian status keberlanjutan DAS dilakukan melalui penilaian

keberlanjutan masing-masing dimensi dengan analisis terhadap atribut-atribut

133

penyusunnya dengan metoda multidimensional scaling menggunakan RapDASCiliwung Hulu yang merupakan modifikasi dari Rapfish (A Rapid Appraisal Technique for Fisheries) yang biasa digunakan untuk menduga tingkat keberlanjutan dari berbagai dimensi pada kegiatan perikanan tangkap.

5.2 Hasil dan Pembahasan Tingkat keberlanjutan pengelolaan DAS Ciliwung Hulu dapat diduga dengan menganalisis terhadap beberapa dimensi yaitu dimensi ekonomi, dimensi ekologi, dimensi sosial dan budaya, dimensi kelembagaan, dan dimensi aksesibilitas dan teknologi konservasi. Terhadap semua dimensi tersebut telah dievaluasi dan ditetapkan atribut-atribut penyusunnya. Hasil penetapan atribut dimensi keberlanjutan pengelolaan DAS Ciliwung Hulu diperoleh 53 atribut yaitu dimensi Ekologi sebanyak 9 atribut, dimensi Ekonomi 10 atribut, dimensi Sosial 9 atribut, dimensi Kelembagaan 13 atribut, dan dimensi Aksesibilitas dan Teknologi Konservasi 12 atribut. Berdasarkan data pada kondisi eksisting, setiap atribut pada masing-masing dimensi tersebut telah dinilai dan dianalisis untuk menentukan nilai indeks keberlanjutan masing-masing dimensi.

Indeks

keberlanjutan gabungan antar dimensi ditentukan melalui proses pembobotan terhadap masing-masing dimensi.

Pembobotan dilakukan oleh stakeholders

didasarkan pada scientific judgement sesuai dengan karakteristik DAS yang dianalisis yaitu DAS Ciliwung Hulu. 5.2.1 Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi Hasil analisis Rap-DAS Ciliwung Hulu terhadap 9 atribut diperoleh bahwa nilai indeks tingkat keberlanjutan pada dimensi ekologi sebesar 44,74 (berada di bawah 50,00 berarti kurang berkelanjutan. Nilai indeks keberlanjutan kurang dari 50,00 ini menunjukkan semakin memburuknya kondisi ekologi wilayah DAS Ciliwung Hulu.

Kemampuan ekologi wilayah untuk mendukung aktivitas di

wilayah tersebut semakin berkurang. Bilamana daya dukung ekologis ini dibiarkan maka berpengaruh terhadap keberlanjutan dimensi lainnya sehingga

134

pengelolaan DAS Ciliwung Hulu semakin tidak berkelanjutan. Hasil analisis keberlanjutan dimensi ekologi disajikan pada Gambar 16.

RAPDAS Ciliwung Hulu Ordination 60 UP

Other Distingishing Features

40

20

44,74 BAD

0 0

20

40

60

GOOD 100

80

120

-20

-40 DOWN -60 Ecology Sustainability Real Sustainability

References

Anchors

Gambar 16 Nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi DAS Ciliwung Hulu

Berdasarkan analisis leverage terhadap atribut ekologi diperoleh 6 atribut yang sensitif terhadap tingkat keberlanjutan dari dimensi ekologi yaitu (1) Perubahan penutupan lahan bervegetasi menjadi non vegetasi maupun menjadi lahan terbangun (RMS=5,40), (2) Tingkat penutupan lahan bervegetasi (RMS=4,06), (3) Tingkat konservatif pengelolaan lahan garapan (RMS=3,86), (4) Kualitas air Sungai Ciliwung (RMS=3,57), (5) Luas kecukupan kawasan hutan (RMS= 3,57), (6) Luas dan penyebaran lahan kritis (RMS=2,79). Perubahan terhadap ke-6 leverage factor ini akan mudah berpengaruh terhadap kenaikan atau penurunan terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi. Hasil analisis leverage disajikan pada Gambar 17.

135

Leverage of Attributes

0.43

Kegiatan Pemeliharaan DTAir

3.57

Kualitas air Sungai Ciliwung

1.70

Tata Air Sungai Ciliwung Hulu

4.06

Attribute

Penutupan Lahan Bervegetasi Perubahan penggunaan lahan menjadi lahan terbangun

5.40

3.57

Luas Kecukupan Kawasan Hutan Tingkat konservatif pengelolaan lahan pertanian garapan

3.86

2.79

Lahan kritis

1.49

Produktivitas lahan pertanian 0

1

2

3

4

5

6

Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)

Gambar 17 Hasil analisis leverage pada dimensi ekologi Kualitas air Sungai Ciliwung hulu. Dengan menggunakan metode Storet, Sistem Penilaian Environmental Protection Agency (EPA US) dan kriteria Lingkungan Hidup (PP No. 82 tahun 2001 tentang Kualitas Air dan Perlindungan Pencemaran Air),

bahwa kualitas air Sungai Ciliwung sudah tidak dapat

dimanfaatkan secara langsung sebagai air minum (kelas I) karena tergolong sudah tercemar berat (kualitas buruk).

Air tercemar berat karena adanya pembatas

utama pencemaran ini adalah tingginya kadar BOD (biological oxiygen demand) antara 16-23 mg/lt dan kadar COD (chemical oxygen demand) sebesar 42-47 mg/lt.

Pemanfaatan air untuk bahan baku air minum maka harus dilakukan

136

pengolahan atau pemberian perlakuan (treatment) dengan aerasi untuk menghilangkan kandungan BOD tersebut (SLHD Bogor 2010). Penutupan

lahan

bervegetasi.

Penutupan

lahan

bervegetasi

menunjukkan kemampuan DAS sebagai daerah tangkapan air (DTA), ditunjukkan dengan nilai indeks penutupan lahan (IPL) yaitu perbandingan antara lahan berpenutupan vegetasi dengan luas DAS atau Bagian DAS. Penutupan lahan bervegetasi DAS Ciliwung Hulu sebesar 41,91% terdiri dari penutupan hutan sebesar 29,06% dan perkebunan teh sebesar 12,85%. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan DAS Hulu sebagai perlindungan daerah tangkapan air masih cukup baik (IPL : 40-60%) untuk wilayah hulu secara lokal (setempat).

Wilayah

berpenutupan vegetasi ini perlu dijaga keberadaannya dan jika memungkinkan maka dapat ditingkatkan luasannya baik berupa penutupan hutan maupun perkebunan teh dan tanaman campuran lainnya. Perubahan lahan bervegetasi menjadi lahan tidak bervegetasi maupun menjadi lahan terbangun. Perubahan lahan menjadi lahan permukiman selama 9 tahun terakhir (2000-2009) mengalami kenaikan dari 1.261,62 ha menjadi 3.356,73 ha atau peningkatan sebesar 2.095,11 ha (166,07%) atau rata-rata 18,45% per tahun. Peningkatan luas lahan permukiman 18,45% ini berarti lebih tinggi daripada laju pertumbuhan

penduduk 3,28% per tahun.

Hal ini

menunjukkan bahwa permintaan lahan untuk diubah menjadi lahan terbangun sangat besar (laju permukiman /lppm lebih dari 5 kali tingkat pertumbuhan penduduk/lppk), sehingga tekanan sosial terhadap fungsi DAS Ciliwung Hulu sebagai fungsi hidrologis sangat tinggi (lppm>2 lppk). Tingkat konservatif pengelolaan lahan pertanian garapan. Berdasarkan pengamatan di lapangan, pada lahan eks-HGU perkebunan maupun lahan garapan di dalam areal HGU perkebunan yang masih aktif serta lahan garapan milik masyarakat luar sebelum diubah menjadi lahan terbangun, umumnya dikerjakan dengan pengolahan intensif, memotong kontur, tidak membuat guludan, tidak ada terasering, menggunakan pupuk kimia, penggunaan pestisida, serta intensitas

137

penanaman sangat tinggi. Hal ini ditunjang oleh tingkat kesuburan tanah yang tinggi dan ketersediaan air yang cukup serta iklim yang cocok untuk budidaya tanaman sayuran semusim.

Penggarapan lahan tersebut sebagian besar tidak

menggunakan pupuk organik yang berguna untuk menjaga kesuburan lahan. Dengan kondisi demikian maka dapat menimbulkan degradasi lahan yaitu berlangsungnya erosi yang cukup tinggi 160,32-334,17 ton/ha (Tugu Utara dan Selatan) dan Megamendung (66,06 ton/ha), penurunan kualitas air sungai akibat penggunaan pupuk kimia dan pestisida (BRLKT 2000). Lahan kritis yang tersebar di DAS Ciliwung Hulu relatif kecil yaitu seluas 371,26 ha atau sebesar 2,5% dari luas DAS Ciliwung Hulu dan tersebar di tiga Kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Cisarua. (2,5%). Keberadaan lahan di DAS Ciliwung Hulu pada tahun 2005 dan 2008 masing-masing seluas 865,17 ha dan 908,90 ha atau adanya penurunan luas lahan kritis pada tahun 2009 menjadi 2,5%.

Hal ini menunjukkan adanya meningkatnya keberhasilan upaya RHL,

perubahan penutupan lahan menjadi semak belukar ataupun adanya perubahan lahan kritis menjadi lahan yang terbangun sehingga lahan kritis menjadi menurun. 5.2.2 Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi Atribut yang dianalisis pada dimensi ekonomi dalam pengelolaan DAS Ciliwung Hulu sebanyak 10 atribut. Berdasarkan hasil analisis Rap-DAS Ciliwung Hulu diperoleh nilai indeks keberlanjutan dari dimensi ekonomi sebesar 60,53 berarti dengan status cukup berkelanjutan (terletak antara 50,00-74,99). Hal ini berarti bahwa secara ekonomi, DAS Ciliwung Hulu masih memberikan dukungan terhadap pengelolaan secara berkelanjutan. Hasil analisis keberlanjutan dimensi ekonomi disajikan pada Gambar 18.

138

RAPDAS Ciliwung Hulu Ordination 60 UP

Other Distingishing Features

40

20

60,53 0

BAD 0

20

40

60

80

GOOD 100

120

-20

-40 DOWN -60 Economic Sustainability Real Sustainability

References

Anchors

Gambar 18 Nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi DAS Ciliwung Hulu Berdasarkan hasil analisis leverage, diperoleh dua atribut yang perubahannya berpengaruh sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi yaitu (1) alternatif pendapatan petani dari kegiatan non-pertanian (RMS=2,24) dan (2) pemanfaatan jasa wisata (RMS=1,28). leverage dapat dilihat pada Gambar 19.

Hasil analisis

139

Leverage of Attributes

1.01

Status pengembangan ekonomi wilayah

0.43

Layanan listrik PLN

2.24

Attribute

Alternatif pendapatan non pertanian Adaptasi petani thd perub. komoditi pasar

0.11

Jumlah tenaga kerja sektor jasa

0.09

Jumlah Tenaga Kerja Sektor Pertanian

0.10 0.01

Keuntungan usaha tani non-pangan Jaminan pasar input dan produk pertanian (demand)

0.23 1.28

Tingkat pemanfaatan jasa wisata

0.67

Luas kepemilikan lahan pertanian 0

0.5

1

1.5

2

2.5

Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)

Gambar 19 Hasil analisis leverage pada dimensi ekonomi Alternatif pendapatan non-pertanian, dalam hal ini adalah kegiatan ekonomi yang tidak berbasis pada lahan pertanian (tidak memerlukan lahan yang luas) yaitu kegiatan peternakan (domba, kelinci, sapi, dll) yang bernilai ekonomi tinggi. Kegiatan budidaya domba cukup memberikan harapan yang sangat besar untuk menambah pendapatan bagi masyarakat. Berdasarkan pengalaman petani memiliki peliharaan dombanya sudah lebih 10 ekor memang sudah memperoleh tambahan bagi pendapatan bagi keluarga. Budidaya domba oleh petani dengan peliharaan domba 5-8 ekor maka petani memperoleh tambahan pendapatan Rp.475.000,- /bulan, membuka usaha warung sembako ukuran 3-4 m2 mendapatkan tambahan pendapatan Rp. 412.500,-/bulan, melakukan kerja buruh tani memperoleh tambahan pendapatan Rp 125.000,-/bulan, maupun melakukan

140

usaha jasa ojeg memperoleh Rp. 450.000,- s/d Rp. 600.000,-/bulan. Namun demikian karena keterbatasan modal maka beberapa masyarakat petani lainnya belum dapat mewujudkan tambahan pendapatan dari usaha budidaya ini. Pemanfaatan jasa wisata. Jumlah wisatawan yang berkunjung ke Kabupaten Bogor tahun 2006 sebanyak 1.851.680 orang terdiri dari wisatawan domestik 1.833.530 orang dan mancanegara 18.150 orang.

Dari jumlah

kunjungan wisatawan tersebut sebanyak 1.044.162 orang (56,39%) adalah kunjungan ke obyek wisata di wilayah DAS Ciliwung Hulu. Obyek wisata yang menjadi target kunjungan sebanyak 12 obyek di Kecamatan Cisarua dan Kecamatan Megamendung. Obyek wisata tersebut adalah di Kecamatan Cisarua (1) Taman Safari Indonesa, (2) Wisata Agro Gunung Mas,(3) Taman Wisata Telaga Warna, (4) Taman Wisata Matahari, (5) TW Riung Gunung, (6) Wanawisata Curug Cilember, (7) Taman Welrimba, (8) Wanawisata Citameang, (9)

Wanawisata Pulo Cangkir, (10) Curug Kembar/Batulayang, (11) Curug

Cisuren, dan (12) Curug Panjang (Kec. Megamendung) (BLHD Kab. Bogor 2010). Jumlah kunjungan wisata tersebut belum termasuk pada aktivitas wisata yang dilakukan oleh pelaku wisata maupun masyarakat

perorangan berupa

kunjungan ke bangunan-bangunan villa.

5.2.3 Status Keberlanjutan Dimensi Sosial Hasil analisis Rap-DAS Ciliwung Hulu terhadap 9 atribut dimensi sosial dan budaya tersebut diperoleh bahwa nilai indeks tingkat keberlanjutan pada dimensi sosial sebesar 47,76 (berada di bawah 50,00) berarti kurang berkelanjutan.

Hasil analisis keberlanjutan dimensi sosial disajikan pada

Gambar 20. Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh 5 (lima) atribut yang sensitif terhadap indeks keberlanjutan sosial dan budaya, yaitu (1) Partisipasi masyarakat dalampengambilan keputusan terhadap upaya rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) (RMS=4,54), (2) Persepsi masyarakat terhadap upaya RHL

141

(RMS=4,58), (3) Tingkat pendidikan formal masyarakat lokal, (4) Tingkat kesejahteraan masyarakat petani, dan (5) Tingkat pertumbuhan penduduk.

RAPDAS Ciliwung Hulu Ordination 80

60

Other Distingishing Features

UP 40

20 BAD 0 0

20

40

60

80

GOOD 100

120

47,76

-20

-40 DOWN -60 Social Sustainability Real Sustainability

References

Anchors

Gambar 20 Nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial DAS Ciliwung Hulu

Hal ini berarti bahwa untuk meningkatkan indeks keberlanjutan dalam pengelolaan DAS Ciliwung Hulu maka diperlukan upaya meningkatkan partisipasi petani dalam pengambilan keputusan terhadap upaya RHL, meningkatkan persepsi terhadap upaya RHL, meningkatkan pendidikan formal masyarakat

lokal,

meningkatkan

kesejahteraan

masyarakat

petani,

dan

mengurangi tingkat pertumbuhan penduduk DAS Ciliwung Hulu. Hasil leverage terhadap dimensi sosial disajikan pada Gambar 21.

142

Leverage of Attributes Partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan bersama

4.54

Persepsi masyarakat terhadap upaya RHL

4.58 2.03

Tingkat pengangguran

1.27

Attribute

Layanan peribadatan

1.48

Layanan kesehatan

1.13

Layanan pendidikan

5.29

Tingkat pendidikan formal masyarakat

4.79

Tingkat kesejahteraan petani

3.34

Tingkat pertumbuhan penduduk 0

1

2

3

4

5

6

Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)

Gambar 21 Hasil analisis leverage dimensi sosial DAS Ciliwung Hulu Persepsi petani terhadap upaya RHL dan tingkat partisipasi petani dalam pengambilan keputusan bersama terhadap upaya RHL

cukup tinggi.

Program RHL yang dilaksanakan pada tahun 1987-1997 berupa pembuatan dam pengendali, penanaman vegetatif berupa tanaman albizzia (sengon) dan tanaman buah-buahan dan kebun bibit desa,

proyek intensifikasi kebun rakyat, dan

kegiatan penghijauan lainnya telah memberikan manfaat kepada masyarakat berupa tambahan penghasilan (BPDAS Citarum-Ciliwung 2003). Berdasarkan hasil kegiatan tersebut, maka masyarakat pada prinsipnya mendukung terhadap program penghijauan lingkungan dengan komoditas bernilai ekonomi tinggi dengan jenis tanaman terutama albizzia, mindi, pala dan cengkeh.

143

Kesejahteraan petani yang ditunjukkan dengan tingkat pendapatan rata-rata masyarakat petani saat ini dibawah Rp. 711.000,- per bulan atau masih dibawah nilai

Rp. 991.714,- per bulan (UMR Kabupaten Bogor) dan masih

dibawah angka kebutuhan hidup layak (KHL) sebesar Rp. 1.200.000,-/bulan. Hal ini menunjukkan tingkat kesejahteraan masyarakat petani masih belum sejahtera karena tingkat penguasaan per-KK berupa lahan milik 0,12 ha dan lahan garapan 0,27 ha. Tingkat pertumbuhan penduduk DAS Ciliwung Hulu sebesar 3,68% atau lebih tinggi daripada Kabupaten Bogor 2,08%, Provinsi Jawa Barat 1,73%, dan nasional 1,49%.

Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan

penduduka di DAS Ciliwung Hulu masih sangat besar sehingga memberikan tekanan terhadap lahan dan berpotensi mendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan menjadi lahan terbangun. Tingkat pendidikan formal masyarakat umumnya relatif masih rendah. Pendidikan formal masyarakat tahun 2006 sebanyak 62,86% merupakan masyarakat dengan pendidikan tidak tamat SD dan tamat SD, dan tahun 2010 tidak tamat SD 28,18% dan tamat SD sebanyak 40,00%, dan berpendidikan tingkat SLTP sebanyak 19,50%%.

Hal ini menunjukkan bahwa tingkat

pendidikan masyarakat masih buruk yang ditunjukkan dengan rendahnya akses masyarakat terhadap pendidikan dasar 9 tahun sebesar 87,68% berpendidikan di bawah SLTP.

5.2.4 Status Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan Dari hasil analisis Rap-DAS Ciliwung Hulu terhadap 13 atribut pada dimensi kelembagaan tersebut diperoleh bahwa nilai indeks tingkat keberlanjutan pada dimensi kelembagaan sebesar 28,77 (kurang dari 50,00) berarti kurang berkelanjutan.

Hal ini berarti bahwa dimensi kelembagaan memberikan

sumbangan yang negatif terhadap tingkat keberlanjutan DAS Ciliwung Hulu. Hasil analisis keberlanjutan dimensi kelembagaan disajikan pada Gambar 22.

144

RAPDAS Ciliwung Hulu Ordination 60 UP

Other Distingishing Features

40

20

0

GOOD 100

BAD 0

20

-20

I 60

40

80

120

28,77

-40 DOWN -60 Institution Sustainability Real Sustainability

References

Anchors

Gambar 22 Nilai indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan DAS Ciliwung Hulu Dari 13 atribut dimensi kelembagaan, berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh 8 (delapan) atribut yang sensitif terhadap indeks tingkat keberlanjutan kelembagaan, yaitu (1) Organisasi pemerintah bidang penyuluhan pembangunan (RMS=4,15), (2) Kegiatan penyuluhan pertanian dan kehutanan (RMS=5,52), (3) Lembaga pasar input dan output produk pertanian (RMS=6,02), (4) Proses pengambilan keputusan bersama terhadap upaya rehabilitasi hutan dan lahan (RMS=3,76), (5) Kapasitas koordinasi antar instansi pemerintah (RMS=3,96), (6) Kapasitas

organisasi

pemerintah

(RMS=3,82,

(7)

Aturan

representasi

(RMS=3,52), dan (8) Batas yurisdiksi (RMS=3,23), dan (9) Hak kepemilikan (RMS=3,05). Hasil analisis leverage dapat dilihat pada Gambar 23.

145

Leverage of Attributes

2.73

Ketersediaan informasi pembangunan Organisasi Pemerintah Bidang Penyuluhan Pembangunan

4.15 5.52

Penyuluhan pertanian, kehutanan

2.66

lembaga keuangan mikro

6.02

Lembaga pasar input dan output pertanian

3.76

Attribute

Proses pengambilan kpts pengelolaan lahan Kapasitas koordinasi antar instansi pemerintah

3.96 3.82

Kapasitas organisasi pemerintah

3.52

Aturan representatif

3.23

Batas yurisdiksi

3.05

Property right

1.95

Organisasi Penyuluh Swadaya Masyarakat

2.04

Organisasi Kelompok Tani 0

1

2

3

4

5

6

7

Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)

Gambar 23

Hasil analisis leverage atribut pada dimensi kelembagaan DAS Ciliwung Hulu

Berdasarkan hasil analisis leverage tersebut maka tingkat keberlanjutan dalam pengelolaan DAS Ciliwung Hulu terutama pada dimensi kelembagaan harus dipertahankan yaitu keberadaan lembaga pasar input dan output pertanian. Lembaga pasar ini sangat berperan dalam penyediaan input bagi kegiatan pertanian berupa penyediaan sarapa produksi pertanian diantaranya bibit unggul, pupuk, pestisida, maupun peralatan pertanian lainnya. Disamping itu pasar juga

146

menampung hasil produksi kegiatan pertanian berupa hasil tanaman pangan (padi, jagung, palawija, ubi, dll.), hortikultura, buah-buahan, maupun tanaman perkebunan lainnya. Penyuluhan pembangunan pertanian, perkebunan, perikanan dan kehutanan.

Kegiatan didukung oleh organisasi BP4K dan UPT BP3K yang

menangani urusan ini dan didukung oleh SDM berkualitas dan secara kuantitas mampu melayani kegiatan penyuluhan. Mitra kerja kegiatan penyuluhan di masyarakat adalah petugas penyuluhan swadaya masyarakat (SPKP=Sentra Penyuluhan Kehutanan dan Perdesaan;

P4S=Pusat Penyuluhan Pertanian dan

Perdesaan Swadaya; Penyuluhan Perikanan). Kegiatan penyuluhan pembangunan berupaya menguatkan kelembagaan dan pemberdayaan kelompok tani melalui pemberian dorongan dan fasilitasi pembentukan kelompok tani, penguatan maupun penyebarluasan informasi dan teknologi pertanian serta informasi pembangunan lainnya.

Penyuluhan pembangunan diarahkan untuk membangun

persepsi masyarakat untuk lebih peduli terhadap sumberdaya alam disekitarnya, dan pemberdayaan diri dan keluaarganya melalui pengenalan potensi lokal, peningkatan kapasitas masyarakat lokal serta peluang kegiatan yang dapat dilakukan.

Instansi pemerintah yang menangani langsung terhadap kegiatan

penyuluhan di wilayah DAS Ciliwung Hulu adalah Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP3K) UPT Wilayah Ciawi. BP3K Wilayah Ciawi merupakan UPTD dari Badan Penyuluhan Pertanian, Perkebunan, Perikanan dan Kehutanan (BP4K) Kabupaten Bogor. BP3K Wilayah Ciawi ini mempunyai wilayah kerja di Kecamaan Ciawi, Kecamatan Megamendung, dan Kecamatan Cisarua.

Organisasi BP3K memiliki 14 wilayah kerja penyuluhan pertanian,

perikanan dan kehutanan (WKP3K) dan

masing-masing wilayah penyuluhan

tersebut ditempati oleh seorang penyuluh. Kondisi tahun 2010, di 14 wilayah ditangani oleh petugas lapangan penyuluhan sebanyak 10 orang. Kelompok tani (poktan) yang telah terbentuk dengan dorongan dari BP3K sebanyak 91 poktan terdiri dari 40 poktan di Kecamatan Ciawi, 24 poktan di Kecamatan Megamendung, dan 27 poktan di Kecamatan Cisarua. Program penyuluhan yang telah dilaksanakan selama 2010 meliputi :

147

a. Program Tanaman Pangan dan Hortikultura meliputi kegiatan dan sasaran : 1) Pengendalian hama terpadu Hortikultura, 1 poktan; 2) Pengembangan intensifikasi tanaman palawija, 2 poktan; 3) Penilaian penerapan teknologi pertanian /perkebunan tepat guna, 3 poktan; 4) Pengembangan agribisnis hortikultura, 3 poktan. b. Bidang Perkebunan dengan sasaran 3 kelompok berupa kegiatan Pembinaan Usaha Perkebunan (PUP). c. Bidang Penyuluhan meliputi kegiatan dan sasaran : 1) Peningkatan kemampuan kelembagaan tani, 137 kelompok; 2) Sekolah lapang pengelolaan tanaman terpadu (SLPTT), 14 kelompok; 3) kegiatan manajemen usaha tani. Dalam pelaksanaan program penyuluhan pembangunan ini, BP3K bekerjasama dengan Pusat Penyuluh Pertanian dan Perdesaan Swadaya (P4S) masyarakat, poktan dan gapoktan. Tenaga P4S ini sebagai mitra BP3K sangat membantu dalam penyelenggaraan penyuluhan mulai dari kegiatan persiapan, penyediaan media taman menanam, maupun mobilisasi peserta tani penyuluhan. Disamping kegiatan penyuluhan yang terprogram oleh BP3K, pihak P4S juga secara aktif melakukan

pembinaan

dan

bimbingan

kepada

masyarakat

petani,

penyelenggaraan sekolah lapang pertanian dan penghijauan kepada anak-anak sekolah mulai dari SD (sekolah dasar) s/d pegawai pemerintah di barak kerja poktan.

Dengan kegiatan ini maka ketersediaan informasi dan sosialisasi

teknologi pertanian dapat dilakukan dengan baik.

Hal ini didukung dengan

peningkatan persepsi masyarakat terhadap upaya pembangunan pertanian dan pemberdayaan masyarakat petani. Mekanisme

proses

pengambilan

keputusan

bersama

dalam

pengelolaan lahan. Pengambilan keputusan bersama terhadap pengelolaan lahan baik untuk budidaya pertanian maupun untuk fungsi konservasi lingkungan perlu ditingkatkan kemudahannya. Hal ini terkait dengan luasnya lahan tidur (gontai) baik berupa lahan yang dimiliki oleh orang luar (terutama Jakarta) maupun lahan eks-perkebunan swasta di wilayah DAS Ciliwung Hulu. Lahan eks-HGU tersebut

148

telah menjadi lahan garapan dan telah menjadi arena jual beli garapan. Kondisi demikian diperparah oleh pihak penggarap yang mengolah lahan dengan memotong kontur dan tidak adanya strata tajuk bertingkat sehingga tingkat erosi menjadi cenderung lebih tinggi dan merusak sumberdaya lahan. Lahan-lahan yang dimiliki oleh masyarakat luar (terutama dari Jakarta) agar ditingkatkan komunikasi dan saling pengertiannya sehingga lahan-lahan yang diterlantarkan (gontai) dapat mudah dilakukan rehabilitasi dan konservasinya. Faktor pengungkit lainnya dari dimensi kelembagaan adalah kapasitas pemerintah dan kapasitas koordinasi instansi pemerintah, property right dan batas yurisdiksi. Kapasitas koordinasi antar instansi pemerintah yang terkait dengan pengelolaan DAS Ciliwung maupun koordinasi dengan lembaga swadaya masyarakat termasuk poktan dan gapoktan masih buruk. Hal ini ditunjukkan posisi lembaga yang memiliki pengaruh besar dalam pengelolaan DAS Ciliwung tidak sesuai perannya dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan yang terkait dengan pengelolaan DAS (Karyana 2007). Property right juga masih buruk, dimana pihak yang diberikan tugas untuk mengelolan tanah negara HGU belum memaksimalkan fungsinya dalam mengelolaan lahan perkebunannya dan kurang berdaya terhadap masyarakat yang tidak berhak telah melakukan penjarahan / ambil alih pada lahan sebagai lahan garapan dan terhadap eks-HGU PT. Buana Estate 119 ha, PT Sumber Sari Bumi Pakuan (PT Ciliwung) 260 ha dan di lahan PT Gunung Mas seluas 218 ha, konversi kawasan hutan menjadi lahan terbuka, kebun campuran dan permukiman 123 ha di Tugu Utara (Marsusanti 2007). pemerintah

yang

Batas yurisdiksi berkepentingan

ditunjukkan oleh banyaknya instansi

terhadap

rencana

alokasi

ruang

dan

penegasannya di lapangan. Yurisdiksi antar instansi pemerintah saling tumpang tindih sehingga menimbulkan saling menunggu, saling mengandalkan, dan duplikasi kegiatan yang bersifat negatif (saling menegasikan).

5.2.5 Status Keberlanjutan Dimensi Aksesibilitas dan Teknologi Konservasi Dari hasil analisis Rap-DAS Ciliwung Hulu terhadap 12 atribut dimensi aksesibilitas

dan

teknologi

konservasi

diperoleh

nilai

indeks

tingkat

149

keberlanjutannya sebesar 55,64 (berada pada 50,00-74,99) berarti cukup berkelanjutan.

Tingkat keberlanjutan dimensi aksesibilitas dan teknologi

konservasi disajikan pada Gambar 24.

RAPDAS Ciliwung Hulu Ordination

60 UP

Other Distingishing Features

40

20

55,64 0

BAD 0

20

40

60

80

GOOD 100 120

-20

-40 DOWN -60 Infrastructure and Technology Sustainability Real Sustainability

Gambar 24

References

Anchors

Nilai indeks keberlanjutan dimensi aksesibilitas dan teknologi konservasi

Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh 2 (dua) atribut yang berpengaruh sensitif terhadap indeks keberlanjutan dimensi aksesibilitas dan teknologi, yaitu (1)

Teknologi pengelolaan lahan konservatif (RMS=3,49), dan

(2) Infrastruktur jalan ke pusat-pusat layanan publik (RMS=2,68). leverage dapat dilihat pada Gambar 25.

Hasil analisis

150

Leverage of Attributes 0.31

Prasarana dan sarana olah raga

0.51

Sarpras peribadatan Sarpras layanan kesehatan

0.58

Sarpras pendidikan

0.56 2.68

Attribute

Infrastruktur jalan ke pusat2 layanan publik

0.63

Teknologi pembuatan pupuk organik/lompos

0.50

Teknologi pascapanen

3.49

Teknologi pengelolaan lahan konservatif

0.28

Tingkat penerimaan teknologi baru

0.42

Teknis pemeliharaan tanaman

0.62

Teknis penanaman budidaya pertanian

0.76

Teknik persemaian 0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

4

Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)

Gambar 25

Hasil analisis leverage terhadap atribut pada dimensi aksesibilitas dan teknologi konservasi

Tingkat aksesibilitas di wilayah DAS Ciliwung Hulu sangat tinggi sehingga dapat mengubungkan antar titik lokasi satu dengan lainnya. Kondisi infrastruktur jalan dalam kondisi baik sehingga dapat melayani masyarakat untuk melakukan aktivitas ekonomi, sosial, maupun aktivitas kemasyarakatan lainnya. Aksesibilitas yang tinggi di wilayah ini dapat melayani masyarakat sepanjang musim dan tidak terkendala oleh hujan maupun oleh alur sungai atau badan air lainnya.

Kondisi infratsruktur jalan terbangun dan terpelihara dengan baik.

Setiap titik dapat dihubungkan ke titik lainnya sehingga pengangkutan bahan

151

input dan hasil budidaya pertanian maupun aktivitas wisata berjalan dengan lancar. Tingkat penguasaan teknologi konservasi mulai dari pembuatan terasering, pembuatan sumur resapan, pembuatan persemaian, pembuatan pupuk organik / kompos, pemeliharaan tanaman serta pengolahan hasil pascapanen sudah dikuasai dengan baik oleh beberapa kelompok masyarakat.

Tingkat

penguasaan teknologi konservasi dan budidaya pertanian konservatif ini telah dikomunikasikan dengan kelompok tani sehingga dukungan semua pihak terkait dengan implementasi penguasaan teknologi ini dapat membantu percepatan upaya rehabilitasi lahan dan konservasi air.

5.2.6 Status Keberlanjutan Pengelolaan DAS Ciliwung Hulu Hasil analisis dengan menggunakan Rap-DASCiliwung Hulu diperoleh nilai indeks keberlanjutan untuk masing-masing dimensi, sebagai berikut : a. Dimensi ekonomi sebesar 60,53 berarti cukup berkelanjutan

(indeks

terletak antara 50,00- 74,99). b. Dimensi ekologi sebesar 44,74 berari kurang berkelanjutan (indeks di antara nilai 25,00-49,99). c. Dimensi sosial sebesar 47,76 berarti kurang berkelanjutan (indeks terletak antara 25,00-49,99). d. Dimensi kelembagaan sebesar 28,77 berarti kurang berkelanjutan (indeks terlatek antara 25,00-49,99). e. Dimensi

aksesibilitas

dan

teknologi

sebesar

55,64

berarti

cukup

berkelanjutan (indeks terletak antara 50,00-74,99). Hasil analisis Rap-DAS Ciliwung Hulu disajikan dalam diagram layang-layang pada Gambar 26. .

152

DIAGRAM LAY ANG-LAY ANG

Dim en si Ek olog i 100 80 60 44,74 40

Dim en si A k sesibilit a s da n T ek n olog i 55,64

Dim en si Ek on om i 60,53

20 0 28,77 47,76

Dim en si Kelem ba g a a n

Gambar 26

Dim en si Sosia l

Layang-layang indeks keberlanjutan multi-dimensi DAS Ciliwung Hulu DAS Ciliwung Hulu merupakan bagian wilayah ekosistem yang

berpengaruh terhadap kondisi ekosistem setempat maupun wilayah tengah dan hilir DAS.

Masing-masing wilayah (hulu, tengah, dan hilir DAS) memiliki

penekanan kepentingan dalam pengelolaannya disesuaikan dengan kondisi DAS yaitu karakteristik wilayah, ketergantungan dan pengaruhnya terhadap wilayah di sekitarnya.

Memperhatikan kondisi DAS, maka masing-masing dalam

pengelolaannya memiliki bobot kepentingan yang berbeda dalam pengelolaannya. Berdasarkan pendapat beberapa pakar terkait diperoleh bahwa nilai bobot untuk masing-masing dimensi adalah dimensi ekologi 36,28%, ekonomi 25,23%, kelembagaan 17,04%, sosial 14,15%, dan dimensi aksesibilitas dan teknologi konservasi 7,30%.

Dimensi ekologi mempunyai bobot kepentingan tertinggi

dalam pengelolaan DAS Ciliwung Hulu dan terendah adalah dimensi aksesibilitas dan teknologi konservasi. Berdasarkan hasil pembobotan dari kelima dimensi pengelolaan berkelanjutan tersebut maka diperoleh nilai indeks keberlanjutan

153

DAS Ciliwung Hulu sebesar 47,23 (terletak pengelolaan DAS Ciliwung Hulu

25,00 - 49,99)

berarti status

kurang berkelanjutan.

Nilai indeks

keberlanjutan ini paling besar diperoleh dari dimenasi ekologi sebesar 16,23 dan kemudian dimensi ekonomi 15,27 sedangkan dimensi lainnya lebih kecil. Wilayah hulu memang diharapkan kemampuannya untuk memberikan kinerja ekologi yang lebih besar sehingga mampu memberikan layanan jasa lingkungan yang lebih besar kepada wilayah setempat, tengah dan hilir. Nilai indeks hasil pembobotan dari kelima dimensi disajikan pada Tabel 27. Tabel 27 Nilai indeks keberlanjutan multi-dimensi DAS Ciliwung Hulu No. 1

Dimensi keberlanjutan Ekologi

Nilai indeks keberlanjutan 44,74

Nilai bobot (%) 36,28

Nilai indeks tertimbang 16,23

2

Ekonomi

60,53

25,23

15,27

3

Kelembagaan

28,77

17,04

4,91

4

Sosial

47,76

14,15

6,76

5

Aksesibilitas dan Teknologi Jumlah

55,64

7,30

4,06 47,23

Nilai indeks keberlanjutan DAS Ciliwung Hulu hasil pembobotan disajikan pada Gambar 27. Hasil pengolahan terhadap 53 atribut dari kelima dimensi (ekonomi, ekologi, sosial dan budaya, kelembagaan dan dimensi aksesibilitas dan teknologi konservasi) maka diperoleh 24 atribut yang berperan sebagai faktor pengungkit (leverage factor) yang berada di setiap dimensi secara parsial. Sebagai faktor pengungkit, maka terhadap sejumlah 24 atribut tersebut sebagian perlu ditingkatkan kualitasnya dan sebagian yang lain perlu dijaga kinerjanya dalam pengelolaan DAS Ciliwung Hulu sehingga nilai indeks keberlanjutan ke depan menjadi lebih baik atau tetap bertahan pada kinerja yang baik. Sebagai faktor pengungkit maka faktor-faktor ini berperanan secara sensitif penting terhadap peningkatan atau penurunan nilai indeks keberlanjutan DAS Ciliwung Hulu.

154

RAP-DASCiliwung Hulu Ordination

60 UP

Other Distingishing Features

40

20

47,23 0

BAD 0

20

40

60

80

GOOD 100

120

-20

-40 DOWN -60

 Real Sustainability

Gambar 27 Indeks keberlanjutan DAS Ciliwung Hulu

Bilamana pihak pihak pengelola gagal mengendalikan atau meningkatkan faktor pengungkit tersebut maka kondisi pengelolaan DAS Ciliwung Hulu akan menjadi semakin buruk. Kondisi demikian dapat memberikan dampak yang negatif bagi kondisi ekosistem di wilayah bagian tengah maupun bagian hilir. 5.2.7 Faktor Pengungkit. Faktor pengungkit (leverage factor) perubahannya dapat mempengaruhi secara sensitif terhadap peningkatan indeks tingkat keberlanjutan dari masingmasing dimensi keberlanjutan. Faktor pengungkit yang diperoleh sebanyak 24 faktor. Ke-24 faktor ini berasal dari dimensi ekonomi 2 faktor, dimensi ekologi 6 faktor, dimensi sosial 5 faktor, dimensi kelembagaan 9 faktor, dan dimensi infrastruktur dan teknologi 2 faktor. Terhadap 24 faktor pengungkit tersebut dapat ditingkatkan kinerjanya dan atau dipertahankan kestabilannya guna

155

meningkatkan indeks keberlanjutan DAS Ciliwung Hulu.

Faktor pengungkit

tersebut adalah disajikan pada Tabel 28. Tabel 28 Faktor pengungkit per-dimensi keberlanjutan DAS Ciliwung Hulu No. 1 2

Dimensi Ekonomi (2) Ekologi (6)

Faktor Pengungkit (leverage factor)

RMS

1.

Pendapatan petani dari kegiatan non pertanian.

2,24

2.

Pemanfaatan jasa wisata.

1,28

3.

Perubahan penutupan lahan bervegetasi menjadi

5,40

non vegetasi maupun menjadi lahan terbangun.

3

Sosial (5)

4. Tingkat penutupan lahan bervegetasi.

4,06

5. Tingkat konservatif pengelolaan lahan garapan.

3,86

6.

Kualitas air sungai Ciliwung Hulu.

3,57

7.

Luas kecukupan kawasan hutan.

3,57

8.

Luas dan penyebaran lahan kritis.

9.

Pendidikan formal masyarakat lokal.

5,29

10. Tingkat kesejahteraan masyarakat petani

4,79

11. Persepsi masyarakat terhadap RHL 12. Tingkat partisipasi masyarakat dalam

2,79

4,58 4,54

pengambilan keputusan terhadap RHL. 13. Pertumbuhan penduduk. 4

Kelembagaan (9)

3,34

14. Lembaga pasar input dan output pertanian.

6,02

15. Kegiatan penyuluhan pembangunan pertanian

5,52

dan kehutanan. 16. Organisasi pemerintah bidang penyuluhan.

4,15

17. Kapasitas koordinasi organisasi pemerintah

3,96

18. Kapasitas organisasi pemerintah.

3,82

19. Proses pengambilan keputusan terhadap RHL.

3,76

20. Aturan keterwakilan (representatif).

3,52

21. Batas yurisdiksi (jurisdiction). 5

Aksesibilitas dan

3,23

22. Kepemilikan lahan (property right).

3,05

23. Teknologi konservasi dalam pengelolaan lahan.

3,49

24. Aksesibilitas jalan.

2,68

Teknologi (2)

156

5.2.8 Uji Validitas dan Uji Ketepatan MDS Uji validitas dengan analisis Monte Carlo. Memperhatikan hasil analisis Monte Carlo dan analisis MDS pada taraf kepercayaan 95% diperoleh bahwa nilai indeks keberlanjutan pengelolaan DAS Ciliwung Hulu

menunjukkan adanya

selisih nilai kedua analisis tersebut sangat kecil (0,40%). Ini berarti bahwa model analisis MDS yang dihasilkan memadai untuk menduga nilai indeks keberlanjutan DAS Ciliwung Hulu.

Perbedaan nilai yang sangat kecil ini

menunjukkan bahwa kesalahan dalam proses analisis dapat diperkecil atau dihindari. Kesalahan yang disebabkan pemberian skoring pada setiap atribut, variasi pemberian skoring yang bersifat multidimensi karena adanya opini yang berbeda relatif kecil, proses analisis data yang dilakukan secara berulang-ulang relatif stabil, dan kesalahan dalam melakukan input data dan data yang hilang dapat dihindari (Fauzi et al. 2005).

Analisis Monte Carlo ini juga dapat

digunakan sebagai metoda simulasi untuk mengevaluasi dampak kesalahan acak / galat (random error) dalam analisis statistik) yang dilakukan terhadap seluruh dimensi (Kavanagh dan Pitcher 2004). Hasil analisis analisis MDS dan Monte Carlo disajikan pada Tabel 29. Tabel 29

Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis Rap-DAS Ciliwung Hulu dan analisis Monte Carlo Nilai Indeks Keberlanjutan (%) Dimensi

MDS

Monte Carlo

Perbedaan

Perbedaan

(MC)

(MDS-MC)

(MDS-MC)%

Ekologi

44,74

44,21

0,53

1,18

Ekonomi

60,53

59,94

0,59

0,97

Sosial

47,76

47,93

0,17

0,35

Kelembagaan

28,77

29,06

0,29

1,01

55,64

55,34

0,30

0,54

47,49

47,30

0,19

0,40

Aksesibilitas Teknologi Rata-rata

dan

157

Uji Ketepatan Analisis MDS (goodness of fit). Dari hasil analisis RapDASCiliwung Hulu diperoleh koefisien determinasi (R2) antara 94,13% - 95,19 % atau lebih besar dari 80% atau mendekati 100% berarti model pendugaan indeks keberlanjutan baik dan memadai digunakan (Kavanagh 2001).

Nilai stress

antara 0,13 – 0,14. Nilai determinasi ini mendekati nilai 95-100% dan nilai stress lebih kecil dari 25% sehingga model analisis MDS yang diperoleh memiliki ketepatan yang tinggi (goodness of fit) untuk menilai indeks keberlanjutan DAS Ciliwung Hulu (Fisheries 1999). Nilai stress dan koefisien determinasi hasil analisis Rap-Ciliwung Hulu disajikan pada Tabel 30. Tabel 30 Nilai stress dan nilai determinasi (R2) hasil Rap-DAS Ciliwung Hulu No.

Parameter

1

Nilai Stress

2

Nilai R2

3

Jumlah Iterasi

Dimensi Ekologi

Dimensi Ekonomi

Dimensi Sosial

0,13

0,14

0,14

0,14

0,14

94,13

95,00

94,59

95,19

95,19

3

2

2

Dimensi Kelembagaan

3

Dimensi Infrastruktur dan Teknologi

2

5.3 Simpulan Berdasarkan hasil penilaian terhadap 53 atribut dari kelima dimensi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya, kelembagaan, dan dimensi aksesibilitas dan teknologi konservasi pada DAS Ciliwung Hulu maka kondisi saat ini nilai indeks keberlanjutannya sebesar 47,23 berarti DAS Ciliwung Hulu saat ini berada pada status kurang keberlanjutan.

Dimensi ekonomi dan dimensi aksesibilitas dan

teknologi konservasi mempunyai kinerja cukup berkelanjutan sedangkan tiga dimensi lainnya dimensi ekologi, dimensi sosial, dan dimensi kelembagaan menunjukkan kurang berkelanjutan.

158

Faktor pengungkit (leverage factor) keberlanjutan DAS Ciliwung Hulu diperoleh sebanyak 24 atribut berasal dimensi ekologi 6 atribut, dimensi ekonomi 2 atribut, dimensi sosial 5 atribut, dimensi kelembagaan 9 atribut, dan dimensi aksesibilitas dan teknologi konservasi 2 atribut. Untuk meningkatkan nilai indeks dari masing-masing dimensi keberlanjutan DAS Ciliwung Hulu ke depan maka perlu menjaga kinerja faktor pengungkit yang baik dan melakukan perbaikan terhadap kinerja atribut faktor pengungkit yang buruk, sedang dan masih memungkinkan dapat ditingkatkan.

Faktor pengungkit ini keberadaannya

berpengaruh secara sensitif terhadap nilai indeks per-dimensi keberlanjutan DAS Ciliwung Hulu.

159

BAB VI ARENA AKSI LOKAL DAS CILIWUNG HULU 6.1

Pendahuluan Institusi merupakan perangkat lunak, aturan main, keteladanan, rasa

percaya, serta konsistensi kebijakan yang diterapkan di dalamnya. Institusi tidak hanya sebatas hubungan kerja di dalam dan antar lembaga. Institusi juga berkenaan dengan konsep-konsep tentang koordinasi, integrasi usaha, kontrak, struktur, biaya dari suatu perubahan, serta aturan main baik tertulis maupun tidak, yang dapat mempengaruhi keputusan-keputusan yang diambil oleh individu maupun kelompok yang sedang menjalankan upaya pengelolaan DAS. Insitusi juga menyangkut hubungan sosial kemasyarakatan, rasa percaya, tindakan bersama, serta pengaruh hak-hak terhadap kearifan dalam pengelolaan DAS (Kartodihardjo 2006). Institusi DAS dipengaruhi oleh faktor eksogen berupa kondisi biofisik wilayah, atribut masyarakat dan aturan yang digunakan dalam aktivitas pengelolaan DAS. Interaksi antar aktor masyarakat menentukan situasi yang berlangsung di dalam DAS.

Masing-masing aktor di dalam

masyarakat memiliki kepentingan dan sumberdaya yang berbeda sehingga dalam interaksinya ditentukan oleh besarnya kekuatan (power) yang dimiliki dan jaringan yang dibangun di dalam masyarakat. Jaringan aktor memperjuangkan

tujuannya

melalui

aksi

bersama

sesuai

dengan

permasalahan yang dihadapi bersama. Demikian halnya dalam pengelolaan DAS

Ciliwung

terdapat

permasalahan

yang

dipandang

sebagai

permasalahan bersama sehingga masyarakat membentuk aliansi untuk mengatasi permasalahan dengan melakukan aksi secara sendiri-sendiri atau secara bersama yang mengarah kepada tujuan yang sama (collective action). Efektivitas kinerja institusi dalam pengelolaan DAS dapat dilihat melalui kinerja fisik DAS yang dapat dilihat melalui kriteria (1) tingkat produktivitas yang tinggi, erosi/sedimentasi yang rendah dan fungsi DAS sebagai penyimpan air serta dapat memproduksi air (water yield) sepanjang tahun;(2) kemampuan menjaga pemerataan pendapatan masyarakat (equity);

160

serta (3) tingkat kelenturan dalam mempertahankan dan mengembalikan kelestarian DAS terhadap perubahan yang terjadi (resiliensi) (Sinukaban 1994). Arena aksi lokal DAS Ciliwung Hulu merupakan proses interaksi antar masyarakat lokal dengan lingkungan DAS dengan perilaku dan pilihan strategi yang membentuk pola-pola interaksi sehingga menghasilkan kinerja yang merupakan output bersama. Kondisi lingkungan DAS merupakan kumpulan exogenous variable yang terdiri dari variabel dunia biofisik (the biophysical world), variabel komunitas partisipan (community of participants) dan variabel aturan main yang digunakan (rule-in-use). Ketiga variabel tersebut mendasari terbentuknya seluruh situasi aksi di dalam DAS Ciliwung Hulu. Variabel biofisik dan materi, komunitas yang menghasilkan dan menggunakan sumberdaya, dan aturan yang digunakan mempengaruhi keputusan partisipan adalah variabel eksogenus dalam analisis. Variabel-variabel ini diasumsikan tetap atau tidak berubah selama pengambilan data penelitian dilakukan. Atribut biofisik selalu berperan penting dalam membentuk komunitas, keputusan, aturan dan kebijakan. Kondisi biofisik dan teknologi dapat digunakan untuk menentukan batasan dan kemungkinan dari suatu sumberdaya bersama. Karakteristik biofisik diantaranya meliputi ukuran, lokasi, batas, kapasitas dan kelimpahan sumberdaya, sedangkan teknologi menentukan kemampuan kapasitas untuk mengambil manfaat atau memiliki sumberdaya (Hess dan Ostrom 2007). Analisis sumberdaya bersama telah menemukan bahwa kelompok kecil (small size of community) dan homogen (homogenous) di sebuah desa atau pedesaan cenderung dapat mempertahankan sumberdaya mereka (Cardenas 2003; NRC 2002 dalam Hess dan Ostrom 2007). Komunitas homogen adalah komunitas yang berperan sebagai penyedia ataupun pengambil keputusan bersatu dalam kegunaan dan manfaat terhadap sumberdaya bersama. Homogenitas terwujud melalui proses kerjasama dan koordinasi antar pihak-pihak tersebut dan merupakan hal yang cukup penting didalam menentukan keberlangsungan suatu sumberdaya bersama (Hess dan Ostrom 2007).

161

Atribut-atribut komunitas penting yang mempengaruhi arena aksi diantaranya tata nilai yang dapat diterima secara umum dan dipatuhi dalam komunitas, tingkat pemahaman umum dari partisipan potensial untuk berbagi (atau tidak berbagi) pada struktur tipe khusus di arena aksi, tingkat homogenitas dalam pilihan (preferensi) kehidupan komunitas,

ukuran dan komposisi

komunitas yang relevan, dan tingkat ketidaksamaan dalam aset dasar di antara mereka yang saling mempengaruhi (Ostrom (2007). 6.2

Faktor Eksogen Perilaku masyarakat Ciliwung Hulu dipengaruhi oleh faktor eksogen

(eksternal) berupa kondisi biofisik, atribut komunitas, dan aturan main (rule-inuse) dalam tata kehidupan bermasyarakat. Kondisi biofisik yang mempengaruhi perilaku masyarakat diantaranya kondisi penutupan lahan, penggunaan lahan, pemanfaatan sumberdaya air, pola pengelolaan lahan, dan pemelikan lahan. Atribut komunitas yang membuat karakteristik masyarakat diantaranya kondisi sosial (jumlah dan tingkat pertumbuhan penduduk, tingkat pendidikan, tingkat kesejahteraan), kondisi ekonomi masyarakat (mata pencaharian, kepemilikan lahan dan penguasaan lahan garapan, pendapatan petani, tingkat ketergantungan masyarakat terhadap lahan, dan sumber pendapatan keluarga lainnya), serta kearifan lokal yang dimiliki dan telah tumbuh dan berkembang di masyarakat lokal.

Tata aturan yang berlaku dan dipedomani oleh masyarakat lokal

diantaranya menyangkut norma aturan adat, kebijakan pengelolaan sumberdaya, dan hak kepemilikan (property right). 6.2.1 Kondisi Biofisik Tutupan Lahan (land cover). Kondisi penutupan lahan DAS Ciliwung Hulu pada tahun 1992 berupa hutan 6.184,73 ha (41,62%), perkebunan 2.218,60 ha (14,93%), semak belukar 1.284,47 ha (8,64%) dan lahan tegalan 2.972,25 ha (20%). Pada tahun 2009, secara dinamis telah terjadi perubahan penutupan lahan dengan kondisi penutupan lahan berupa hutan 4.318,17 (29,06%) atau berkurang 11,56% dan perkebunan 1.910,15 (12,85%) atau berkurang 2,08%. Di sisi lain,

162

telah terjadi peningkatan lahan permukiman menjadi 3.356,73 ha (22,59%) dan tegalan 3.884,99 (26,14%). Pada periode 1992 s/d 2009 tersebut, telah terjadi pengurangan penutupan hutan dengan laju rata-rata per tahun sebesar 1,95% dan semak belukar 9,96%; sedangkan laju peningkatan permukiman (lahan terbangun) 12,34 %. Pada tahun 2009 dan 2010, sebagian DAS Ciliwung Hulu telah dilakukan rehabilitasi hutan di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, dan sejak terbitnya Perpres 54 tahun 2008 maka pihak Perum Perhutani telah melakukan pelarangan kegiatan penebangan terhadap tegakan hutan Pinus (Pinus merkusii). Perum Perhutani hanya melakukan kegiatan perlindungan, rehabilitasi dan pengambilan hasil hutan berupa getah pinus. Hal ini ditujukan untuk mewujudkan fungsi DAS Ciliwung Hulu sebagai kawasan lindung dan sebagai daerah tangkapan air (DTA). Kondisi penutupan lahan di luar kawasan hutan mengalami hal sebaliknya yaitu lahan berpenutupan vegetasi berupa hutan rakyat cenderung mengalami penurunan. Sementara itu alih kepemilikan lahan maupun alih lahan garapan terus berlangsung, sehingga tahun 2003-2009 sekitar 70-80% lahan telah berpindah kepemilikan kepada masyarakat luar terutama dari DKI Jakarta (BPDAS Citarum-Ciliwung 2003). Masyarakat pemilik lahan yang berada di luar DAS Ciliwung Hulu atau di luar wilayah Kabupaten Bogor sehingga menyulitkan pelaksanaan koordinasi dan kontrol dalam pemanfaatan lahannya di lapangan. Perpindahan

kepemilikan

lahan

kepada

masyarakat

di

luar

DAS

ini

mengakibatkan semakin luasnya lahan tidur atau lahan “gontai” dan semakin sulit untuk melakukan rehabilitasi lahan secara vegetatif dengan penanaman pohon maupun sipil teknis dengan pembuatan sumur resapan. Pemanfaatan lahan. DAS

Ciliwung

Hulu

seluas 14.860

ha,

pemanfaatan lahannya berupa kawasan hutan negara seluas 4.274 ha (konservasi CA Telaga Warna 368 ha dan Taman Nasional Gn. Gede Pangrango 3.905,75 ha), lahan perkebunan teh 3.239 ha (PTPN VIII Gunung Mas seluas 2.417 ha dan PT Sumber Sari Bumi Pakuan / PT SSBP seluas 822 ha), eks-perpanjangan HGU PT SSBP 260 ha dan eks-perkebunan teh PT Buana Estate 119 ha (Cipendawa-

163

Megamendung), dan sisanya lahan milik seluas + 7.228 ha. Lahan yang dikelola masyarakat seluas + 7.607 ha berasal dari lahan milik 7.228 ha dan eks-HGU perkebunan seluas 379 ha. Daerah Ciliwung Hulu termasuk kawasan wisata Puncak merupakan kawasan yang telah berkembang aktivitas wisata alam dan wisata buatan. Wilayah Puncak telah dikenal umum memiliki potensi udara sejuk dan pemandangan alam yang menarik diantaranya berupa agrowisata perkebunan teh PTP Gunung Mas dan PT Ciliwung dengan latar Gunung Gede dan Gunung Pangrango, wanawisata maupun wisata buatan lainnya. Jumlah obyek wisata mencapai 12 obyek terdiri dari 10 obyek wisata alam yaitu Telaga Warna, Taman Wisata Riung Gunung, Curug Cilember, Taman Wilrimba, TW Citamiang, Curug Kembar-Batulayang, Wanawisata Pulo Cangkir, Curug Cisuren, Wisata Agro Gunung Mas, dan 2 obyek wisata buatan yaitu Taman Wisata Safari, dan Taman Wisata Matahari. Jumlah pengunjung pada tahun 2008 telah mencapai 1.257.443 orang terdiri dari wisatawan nusantara 1.243.314 orang dan wisatawan mancanegara 14.129 orang atau mencapai sebesar 56,39 % dari kunjungan wisata di wilayah Kabupaten Bogor 2.230.010 orang (Bogor Dalam Angka 2009). Berkurangnya tingkat penutupan bervegetasi hutan ini mendorong masyarakat hulu untuk melakukan upaya perbaikan fungsi DAS, sementara itu di lain pihak status kepemilikan lahan DAS Ciliwung Hulu berada di bawah penguasaan masyarakat luar DAS. Namun demikian, para pemilik lahan di luar DAS sebagian besar adalah masyarakat DKI Jakarta yang berada di wilayah hilir DAS Ciliwung. Masyarakat lokal DAS Ciliwung Hulu dan masyarakat hilir DAS Ciliwung memiliki kepentingan (kebutuhan) yang berbeda terhadap fungsi DAS. Masyarakat lokal membutuhkan lahan untuk menambah pendapatan dan perbaikan kualitas lingkungan hulu, sementara itu masyarakat pemilik lahan di luar DAS membutuhkan keamanan hak atas lahannya.

Kondisi demikian

menuntut perlunya pengaturan kepemilikan hak kepemilikan atas lahan dan koordinasi dengan para pemilik lahan yang berada di luar DAS Ciliwung Hulu untuk upaya perbaikan fungsi DAS.

164

6.2.2 Atribut Komunitas Lokal DAS Ciliwung Hulu DAS Ciliwung Hulu tahun 1998 berpenduduk 190.594 jiwa dan tahun 2008 sebanyak 260.180 jiwa atau dengan kepadatan 17 orang/ha.

Laju

peningkatan jumlah penduduk rata-rata 1998-2008 sebesar 2,98 % per-tahun dan laju pertumbuhan tahun terakhir 2007-2008 sebesar 3,68% per-tahun. Jumlah anggota keluarga rata-rata 4 jiwa/KK (4,20 jiwa per KK). Laju pertumbuhan penduduk ini termasuk sangat tinggi dan melebihi tingkat pertumbuhan penduduk nasional 1,49%.

Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi ini mengakibatkan

kebutuhan lahan untuk permukiman dan lahan usaha semakin tinggi, di lain pihak ketersediaan lahan semakin terbatas.

Sementara itu masyarakat perkotaan

semakin meningkat permintaan lahannya untuk rekreasi dan relaksasi keluarga dari kesibukan rutin sebagai masyarakat urban di wilayah DAS Ciliwung Hulu yang memang sesuai untuk tujuan rekreasi atau relaksasi. Kondisi ini mendorong tingginya alih fungsi lahan pekarangan / lahan usaha untuk permukiman. Perubahan lahan bervegetasi menjadi lahan terbangun terus berlangsung sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk lokal dan permintaan lahan masyarakat perkotaan sehingga fungsi DAS sebagai pengatur hidrologi semakin terganggu. Pendidikan masyarakat DAS Ciliwung Hulu tergolong rendah didominasi oleh tingkat SD dan SLTP sebesar 73,70%. Kondisi tahun 2000 dan 2006, jumlah penduduk dengan pendidikan tidak tamat SD telah berkurang 26,43% dari 56.051 jiwa (32,08%) menjadi 11.767 jiwa (5,65%). Tingkat pendidikan SD bertambah 18,61% menjadi 119.330 jiwa (57,21%). Tingkat pendidikan SLTP 34.367 jiwa (16,49%). Penduduk berpendidikan SLTA sebanyak 32.412 jiwa atau meningkat 4,36%, dan tingkat akademi dan perguruan tinggi meningkat 4,06% menjadi 10.567 jiwa (5,07%). Pramono et al. (2010) melaporkan responden masyarakat di Kecamatan Cisarua sebesar 85,3% berpendidikan rendah yaitu pernah sekolah setingkat SD, dan 8,8% pernah bersekolah. Keadaan sosial ini menumbuhkan persepsi yang kurang positif atau malahan negatif terhadap upaya-upaya konservasi lingkungan dan pemberdayaan masyarakat lokal.

165

Mata pencaharian penduduk DAS Ciliwung Hulu masih didominasi oleh kegiatan sektor pertanian lahan kering, perikanan dan buruh pertanian sebesar 39,36%; sektor swasta 28,62%, sektor jasa 21,62%, sektor perdagangan 9,41% dan PNS 0,9%.

Sektor jasa yang paling menonjol di wilayah ini adalah jasa

wisata dengan obyek wisata berupa jasa wana wisata, agrowisata perkebunan, wisata alam, dan wisata hiburan buatan lainnya. Lahan Usaha. Lahan yang dikelola oleh masyarakat seluas 7.607 ha terdiri dari milik masyarakat seluas 7.228 ha dan lahan eks-HGU perkebunan 379 ha.

Dari luasan lahan yang dikelola seluas 7.607 ha tersebut hanya seluas

4.637,28 ha (60,96%) lahan yang dapat dibudidayakan oleh masyarakat berupa lahan kering dan dan sisanya seluas 2.970 ha (39,04%) berupa lahan tidur (lahan gontai) dan lahan di kiri-kanan sungai atau alur sungai umumnya dengan topografi curam sampai sangat curam dan diperuntukkan bagi fungsi perlindungan.

Jumlah masyarakat berprofesi petani sebanyak 16.421 KK

sehingga rata-rata lahan yang diusahakan masyarakat seluas 0,28 ha/KK. Sumberdaya lahan oleh masyarakat seluas 0,28 ha tersebut sebagian besar 70-80% dimiliki masyarakat luar DAS Ciliwung Hulu dan 20-30% dimiliki oleh masyarakat lokal (BPDAS Ciliwung-Citarum, 2003). Masyarakat petani lokal yang mengelola lahan pertanian dapat digolongkan ke dalam 5 kelompok yaitu (1) pemilik lahan dan penggarap, (2) petani pemilik dan lahannya digarap oleh orang lain, (3) penggarap lahan milik orang lain, (4) penyakap yang menjaga lahan milik orang lain, dan (5) buruh tani yang bekerja pada petani lain. Berdasarkan status kepemilikan lahan, kelompok petani pemilik dan penggarap 43,98% dan selebihnya 56,12% terdiri dari buruh tani 47,98 %, dan

petani

penggarap, dan penyakap 8,14 % (BP3K Wilayah Ciawi 2010). Berdasarkan hasil pengambilan sampling terhadap 60 KK masyarakat anggota kelompok tani diperoleh bahwa kepemilikan lahan masyarakat petani per-KK seluas 0,12 ha lahan milik dan lahan garapan seluas 0,27 ha. Kondisi ini sesuai dengan hasil penelitian Pramono et al. (2010) bahwa sebagian besar petani di Kecamatan Megamendung memiliki lahan kurang dari 0,2 ha.

166

Kepemilikan lahan di DAS Ciliwung Hulu berdasarkan klasifikasi Schlager dan Ostrom (1992), kelompok pertama owner (44,36%) terdiri dari pemilik tetapi tidak menggarap 0,38% dan kelompok pemilik dan menggarap lahannya sebanyak 43,98%. Kelompok pertama, pemilik (owner) mempunyai hak untuk memasuki dan memanfaatkan sumberdaya lahan (access dan withdrawal), menentukan bentuk pengelolaan (management), menentukan keikutsertaan / mengeluarkan pihak lain (exclusion) dan hak untuk memperjualbelikan lahan (alienation). Kelompok kedua, pemilik terikat (propietor) tidak ada penguasaan lahannya. Kelompok ketiga, penyewa (claimant), petani penyakap 1,11% yang menggarap lahan dengan sistem bagi hasil. Kelompok keempat, petani penggarap (autorized user) atau petani penggarap sebanyak 6,55%. Kelompok petani penggarap memiliki hak memasuki dan memanfaatkan (access and withdrawal). Di luar keempat kelompok tersebut adalah buruh tani (47,98% dari petani DAS Ciliwung Hulu), tidak mempunyai hak kepemilikan lahan. Kelompok buruh tani tersebut hanya dapat bekerja dan mendapatkan upah dari pemilik (owner), penyewa (claimant), atau pengguna/penggarap lahan (autorized). Strata hak kepemilikan lahan DAS Ciliwung Hulu disajikan pada Tabel 31. Tabel 31

Strata hak kepemilikan lahan dan kelompok masyarakat petani DAS Ciliwung Hulu Kelompok masyarakat

Strata hak Memasuki dan memanfaatkan (access and Withdrawal) Menentukan bentuk pengelolaan (management) Menentukan keikutsertaan / mengeluarkan pihak lain (exclusion) Dapat memperjualbelikan hak (alienation)

Pemilik (Owner)

Pemilik terikat (Propietor)

Penyewa (Claimant)



X



√ 1,11%

X



X

Pengguna (Autorized) 6,55%

44,46%

Keterangan :

√ berarti ada, X berarti tidak ada. Catatan : Buruh tani (47,98%) tidak memiliki hak kepemilikan lahan sehingga bekerja pada kelompok pemilik (owner) lahan, penyewa (claimant), dan pengguna (autorized)

Rendahnya tingkat

penguasaan lahan masyarakat

atau ketiadaan

kepemilikan lahan dan kecilnya peluang pendapatan di luar sektor pertanian,

167

mengakibatkan eksploitasi lahan yang dikuasainya dengan usaha budidaya pertanian guna memenuhi kebutuhan fisiknya, dan tanpa mengindahkan upaya konservasi tanah dan air.

Budidaya tanaman pangan dilakukan secara

monokultur. Penanaman campuran tanaman berkayu dengan tanaman pangan dapat mengurangi produktivitas hasil tanaman pangan karena saling bersaing dalam tapak dan pencahayaan. Dengan tingkat kepemilikan lahan yang sempit maka tidak ada peluang bagi masyarakat untuk melakukan konservasi lahan sehingga berdampak negatif terhadap pengelolaan DAS. Rendahnya penguasaan lahan milik dan lahan garapan masyarakat lokal mengakibatkan tingginya ketergantungan ekonomi keluarga kepada masyarakat pemilik lahan dari luar DAS. Buruh tani (47,98% dari jumlah petani) yang tidak memiliki aset lahan untuk menopang kebutuhan fisik keluarganya maka berusaha untuk bekerja pada kelompok pemilik lahan (owner), penyewa (claimant), dan pengguna (autorized) lahan atau bekerja di sektor lain atau keluar wilayah. Aset lahan sebagai sumber mata pencaharian telah dikuasai oleh masyarakat di luar DAS Ciliwung Hulu. Masyarakat melakukan aktivitas budidaya pertanian berupa tanaman pangan, bunga hias, sayur mayur, buah-buahan, perikanan, peternakan, dan aktivitas budidaya produktif lainnya. Budidaya tanaman pangan diantaranya padi, jagung, ketela rambat, singkong, serta tanaman pangan lainnya. Produktivitas tanaman per musim untuk padi mencapai 6,5 ton/ha, ubi jalar 13 ton/ha, singkong 19

ton/ha, jagung 4 ton/ha, kacang tanah 1,25 ton/ha.

Sayur-sayuran yang

diusahakan secara intensif oleh masyarakat petani dengan orientasi pasar lokal dan pasar regional adalah bawang daun, kentang, kubis, petsai/sawi, wortel, kacang panjang, cabe, tomat, buncis, mentimun, labu siam, kangkung, bayam, dan kacang merah. Pendapatan Keluarga Petani. Berdasarkan hasil survey dengan menggunakan kuesioner terhadap 60 responden, diperoleh bahwa pendapatan masyarakat petani DAS Ciliwung Hulu berasal dari kegiatan utama bertani dengan penguasaan lahan milik 0,12 ha dan lahan garapan 0,27 ha

serta

pendapatan tambahan dari kegiatan jual-beli (warung), buruh tani, dan pendapatan

168

tambahan lainnya. Dengan kepemilikan lahan rata-rata per KK 0,12 ha dan lahan garapan 0,27 ha diperoleh pendapatan keluarga petani rata-rata sebesar Rp. 711.000,-/bulan. Pendapatan terendah Rp.153.000,-/bulan dan maksimum Rp.6.015.000,-/bulan. Pendapatan rata-rata ini berada di bawah nilai UMR Kabupaten Bogor Rp. 991.714,-/bulan. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya lahan milik dan lahan garapan hanya seluas 0,28 ha (100%) umumnya ditumbuhi dan ditanami bambu dan berhutan campuran. Hasil bambu dan kayu ini digunakan untuk pembuatan pagar, bahan bangunan rumah, pembuatan jembatan, pembuatan kandang ternak dan bahkan dapat djual ke pasar. Penanaman berhutan kayu dan bambu ini ditujukan untuk menjaga tebing / bukit dari longsor. Pembabatan bambu dan hutan campuran di perdesaan dengan kemiringan yang terjal diyakini masyarakat telah menimbulkan longsor dan dapat menelan korban jiwa.

198

Penanaman hutan dan bambu di kiri-kanan sungai berupa lahan perbukitan juga ditujukan untuk memelihara ketersediaan sumber air dan kelestarian sungai. Sungai sangat diperlukan masyarakat untuk memasok air bagi persawahan, kegiatan perikanan, peternakan, dan digunakan untuk pasokan air bersih seharihari. Masyarakat telah merasakan dampak penggundulan perbukitan ini dapat mengakibatkan mengeringnya sumber air di sekitar sungai. Hal ini dirasakan masyarakat pada saat musim kemarau yang kekeringan air sumurnya, dan sumber air kering dan tidak mengeluarkan air bersih dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Seiring dengan meningkatnya komersialisasi lahan akibat masuknya warga luar DAS Ciliwung Hulu terutama dar DKI Jakarta, telah mengakibatkan kalahnya nilai-nilai konservasi lahan tersebut.

Nilai-nilai ekonomi lebih

mendominasi terhadap kearifan masyarakat lokal. Lahan-lahan yang diperkirakan kurang bernilai ekonomi tersebut juga telah diminati oleh masyarakat luar untuk dimiliki.

Karena nilainya relatif lebih murah daripada lahan datar maka

masyarakat luar telah membeli dan mencukur perbukitan dengan menggunakan traktor mekanis maupun manual menjadi lahan dataran untuk diubah menjadi lahan permukiman (villa). Jika tidak dicukur menjadi lahan datar maka lahan perbukitan curam tersebut dibabat vegetasinya dan diganti menjadi lahan berumput untuk menghasilkan pemandangan buatan. Akibat akvititas masyarakat luar ini telah mengganggu fungsi dan keberadaan sumber-sumber air dan merubah bentuk sungai menjadi tidak alami, serta menjadikan sungai sebagai tempat buangan sampah dan limbah. Terhadap perubahan bentang alam tersebut tidak ada tentangan dan larangan dari masyarakat maupun pemerinah lokal karena mereka menilai bahwa pihak pemilik lahan lebih berhak menentukan perlakuan terhadap lahan milik tersebut. Pihak pemerintah juga tidak melakukan tindakan apa-apa terhadap upaya pemotongan dan perataan perbukitan yang dapat mengganggu ekosistem di wilayahnya. Pihak pemilik lahan berperilaku sesuai kemauannya. Tidak ada aturan lokal yang mengikat dalam penggunaan lahan bagi pemiliknya. Warga boleh melakukan pengelolaan apapun di atas lahannya dan boleh menjual lahan

199

kepada siapapun termasuk warga di luar desa. Kebiasaan yang ada, apabila lahan dijual kepada warga di luar desa maka penggarapan lahannya diserahkan oleh masyarakat setempat. (2) Aturan Pemerintah. Penataan Ruang. DAS Ciliwung Hulu atau wilayah Puncak memiliki peran yang strategis terhadap wilayah DKI Jakarta, Bogor

dan sekitarnya.

Berdasarkan Undang-Undang No. 26 / 2008, pemerintah

telah ditetapkan

Rencana Tata Ruang Nasional dan kawasan Puncak (DAS Ciliwung Hulu) yang berada dalam kesatuan wilayah Jabodetabekpunjur-Kepulauan Seribu ditetapkan sebagai kawasan strategis. Bersamaan dengan hal tersebut, Kabupaten Bogor telah menetapkan kawasan Puncak (DAS Ciliwung Hulu) melalui penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor melalui

Perda

Kabupaten Bogor No. 17/2000 dan terakhir direvisi dengan Perda Kab. Bogor No. 19 / 2008.

Khusus terhadap rencana tata ruang di wilayah DAS Ciliwung

Hulu tersebut sampai dengan saat ini masih belum tuntas atas rencana tata ruang yang disusun dan belum mendapatkan kesepakatan antara Pemerintah Kabupaten Bogor dan Direktorat Jenderal Tata Ruang Departemen PU. Alokasi penataan ruang di DAS Ciliwung Hulu oleh Ditjen Tata Ruang telah dituangkan kedalam bantuan teknis Penataan Ruang Wilayah Puncak. Permasalahan utama terletak pada belum sepakatnya deliniasi batas kawasan lindung. Produk bantuan teknis tata ruang dari Ditjen Tata Ruang dinilai masih belum mempertimbangkan masukan dan perkembangan aktivitas sosial dalam pemanfaatan ruang di kawasan Puncak. Pelayanan pemanfaatan ruang oleh pihak pemerintah kepada masyarakat luas di DAS Ciliwung Hulu tetap dilaksanakan berpedoman pada aturan zonasi dan untuk sementara menggunakan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor dan arahan zonasi pemanfaatan ruang berdasarkan SK Gubernur Jawa Barat No. 413.21/SK/222-HUK/1991 (Kriteria dan Standar Teknis Penataan Ruang di Kawasan Puncak) dan Peraturan Bupati No. 83/2009 (Pedoman Operasional Pemanfaatan Ruang). Perbup ini mengatur kedalam

zona-zona

peruntukan sehingga mudah bagi masyarakat untuk melakukan pengawasan jika

200

terjadi pelanggaran pemanfaatan ruang. Zona dibagi kedalam tiga bagian utama yaitu zona konservasi, zona budidaya, dan zona penyangga. Zona penyangga ini diharapkan mampu melindungi kawasan hilir terhadap kerentanan bencana banjir. Sistem zonasi memuat kewajiban dan larangan oleh pemanfaat ruang pada setiap peruntukan. Pada zonasi lindung dan rawan longsor diatur dengan koefisien dasar bangunan (KDB) yang rendah sehingga dapat diwujudkan ruang terbuka hijau memadai, kewajiban mengembangkan vegetasi dengan perakaran kuat dan tajuk rimbun

sebagai

kontrol

faktor-faktor

penyebab

bencana

longsor

dan

meningkatkan infiltrasi air hujan kedalam tanah, dan mengembangkan sistem drainase untuk mengurangi tingkat kejenuhan air dalam tanah. Berdasarkan Perpres No. 54/2008 tersebut maka Ditjen Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan umum telah melakukan bantuan teknis penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Zoning Regulation Kawasan Puncak yang meliputi kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Cisarua.

Berdasarkan

RDTR ini wilayah perencanaan pembangunan DAS Ciliwung Hulu dibagi menjadi 6 zonasi, yaitu Zona I seluas 2.043 ha (10,28%), Zona II seluas 2.691 ha (13,53%), Zona III seluas 1.146 ha (5,58%), Zona IV seluas 1.338 ha (6,73%), Zona V seluas 3.181 ha (15,99%), dan Zona VI kawasan lindung 9.488 ha (47,71%). Kawasan sempadan sungai Ciliwung ditujukan untuk melindungi badan sungai dari kerusakan dan perubahan yang berdampak negatif terhadap fungsi sungai. Hal ini telah diatur dengan PP No. 42 / 2008 (Pengelolaan Sumberdaya Air) dan Perda Provinsi Jawa Barat No. 8/2005 (Sempadan Sumber Air) pasal 4 menguatkan pengaturan dan penataan daerah sempadan sumber air. Pengamanan daerah sempadan air serta pasarana sumberdaya air ditujukan untuk mencegah air limbah, limbah padat, dan limbah cair, mencegah pendirian bangunan dan pemanfaatan lahan yang dapat mengganggu aliran air atau tidak sesuai dengan peruntukannya (pasal 57 PP 42/2008).

Garis sempadan bertanggul di dalam

kawasan perdesaan minimal 5 meter (dari tanggul garis terluar) dan 10 meter untuk kedalaman sungai lebih dari 3 meter.

201

Berdasarkan hasil analisis kesesuaian kawasan untuk permukiman dengan RTRW 2005-2025 menunjukkan terdapat perbedaan lokasi kawasan permukiman eksisting dengan alokasi kawasan permukiman.

Peruntukan permukiman

berdasarkan RTRW 2005-2025 tidak hanya berlokasi di zona sesuai dan agak sesuai untuk permukiman, tetapi juga di zona budidaya non-permukiman. Peruntukan non-permukiman sebesar 37,48% berada pada zona sesuai dan agak sesuai untuk permukiman. Hal ini menunjukkan adanya ketidakselarasan antara RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025 dengan hasil analisis kesesuaian kawasan untuk permukiman (Dewi 2010). Pengelolaan Hutan Lindung dan Hutan Produksi. Kawasan

hutan

lindung (HL) di pulau Jawa diserahkan pengelolaannya kepada Perum Perhutani berdasarkan berdasarkan PP 30 /2003 dan kemudian dikuatkan kembali dengan PP No. 72 /2010. Hutan lindung diarahkan fungsinya untuk melindungi bagi kawasan setempat dan kawasan yang berada di bawahnya. Kegiatan utama di kawasan ini adalah perlindungan hutan meliputi upaya mencegah kerusakan dari gangguan keamanan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan meliputi pencurian pohon, okupasi lahan/bibrikan, penggembalaan liar, kebakaran hutan, dan bencana alam. Tidak ada kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu maupun non-kayu yang berasal dari tegakan hutan di atasnya. Upaya pengamanan hutan meliputi pengamanan secara pre-emtif, persuasif, preventif dan represif dengan meningkatkan partisipasi aktif masyarakat desa hutan melalui sistem PHBM (pengelolaan hutan bersama masyarakat). Upaya represif dilakukan bekerjasama dengan pihak kepolisian dan aparat keamanan lainnya. Dengan diberlakukannya Perpres No. 54 /2008 maka di wilayah hutan produksi dan hutan lindung dilarang dilakukan penebangan tegakan hutan untuk mendukung fungsi DAS Ciliwung Hulu sebagai sebagai kawasan lindung.

Kegiatan yang dilakukan adalah

pengamanan hutan dan produksi hasil hutan non-kayu berupa penyadapan getah pinus sebagai bahan gondorukem. Kabupaten Bogor telah menetapkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor melalui

Perda Kabupaten Bogor No. 17 /2000 dan terakhir

direvisi dengan Perda Kab. Bogor No. 19 /2008. Kawasan DAS Ciliwung Hulu

202

sebagian besar termasuk kedalam kawasan lindung. Kawasan lindung tersebut berupa kawasan hutan, kawasan perlindungan setempat berupa kawasan kirikanan sungai dan kawasan dengan kemiringan curam s/d sangat curam yang sebagian besar berada di Kecamatan Megamendung dan Kecamatan Cisarua. Khusus terhadap rencana tata ruang di wilayah DAS Ciliwung Hulu tersebut sampai dengan saat ini masih belum tuntas atas rencana tata ruang yang disusun dan belum mendapatkan kesepakatan antara Pemerintah Kabupaten Bogor dan Direktorat Jenderal Tata Ruang Kementerian PU. Alokasi penataan ruang di DAS Ciliwung Hulu oleh Ditjen Tata Ruang telah dituangkan kedalam bentuk bantuan teknis Penataan Ruang Wilayah Puncak. Permasalahan utama terletak pada deliniasi ruang berupa kawasan lindung. Dinas Tata Ruang dan Pertanahan Kabupaten Bogor dan Ditjen Tata Ruang masih belum bersepakat atas deliniasi batasnya. Produk bantuan teknis tata ruang dari Ditjen Tata Ruang masih dinilai belum mempertimbangkan masukan dan perkembangan aktivitas sosial terkini dalam pemanfaatan ruang di kawasan Puncak. Pelaksanaan pemanfaatan ruang di wilayah DAS Ciliwung Hulu didasarkan pada

Peraturan Bupati No.

83/2009

Pedoman

Operasional

Pemanfaatan Ruang. Perda ini mengatur kedalam zona-zona peruntukan ruang sesuai dengan karakteristik wilayah dan memudahkan bagi masyarakat untuk melakukan pengawasan jika terjadi pelanggaran pemanfaatan ruang. Zona dibagi kedalam tiga bagian utama yaitu zona konservasi, zona budidaya, dan zona penyangga. Zona penyangga ini diharapkan mampu melindungi kawasan hilir terhadap kerentanan bencana banjir.

Sistem zonasi memuat kewajiban dan

larangan oleh pemanfaat ruang pada setiap peruntukan. Pada zonasi lindung dan rawan longsor diatur dengan koefisien dasar bangunan (KDB) dan kofisien lantai bangunan (KLB) yang rendah sehingga dapat diwujudkan ruang terbuka hijau memadai, kewajiban mengembangkan vegetasi dengan perakaran kuat dan tajuk rimbun

sebagai

kontrol

faktor-faktor

penyebab

bencana

longsor

dan

meningkatkan infiltrasi air hujan kedalam tanah, dan mengembangkan sistem drainase untuk mengurangi tingkat kejenuhan air dalam tanah.

203

Kawasan Sempadan Sumber Air. Peraturan Daerah Jawa Barat No. 8 / 2005 tentang Sempadan Sumber Air pasal 4 menguatkan pengaturan dan penataan daerah sempadan sumber air sebagaimana diatur dalam PP No. 42 /2008 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air. Daerah sempadan air dan prasarana sumberdaya air perlu dilindungi keberadaannya. Upaya ini ditujukan untuk mencegah air limbah, limbah padat, dan limbah cair, mencegah pendirian bangunan dan pemanfaatan lahan yang dapat mengganggu aliran air atau tidak sesuai dengan peruntukannya. Garis sempadan bertanggul di dalam kawasan perdesaan minimal 5 meter (dari tanggul garis terluar) dan 10 meter untuk kedalaman sungai lebih dari 3 meter, dengan sasaran agar : (1) Bebas dari bangunan permanen, semi permanen dan permukiman. (2) Bebas dari pembuangan sampah, limbah padat dan limbah cair yang berbahaya terhadap lingkungan. (3) Optimalisasi penggunaan daerah sempadan air untuk jalur hijau. Wadah Koordinasi Pengelolaan Air. Prinsip pengelolaan sumberdaya air untuk irigasi pada era otonomi daerah adalah meningkatkan seluas-luasnya partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan.

Dalam rangka

penyelenggaraan sistem irigasi sesuai PP 20/2006 tentang Irigasi, Departemen PU telah mengeluarkan Pedoman Pengembangan Sistem Irigasi Partisipatif melalui Peraturan Menteri PU No. 30 /PRT/M/2007. Pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi bertujuan untuk mewujudkan kemanfaatan air dalam bidang pertanian diselenggarakan secara partisipatif dan pelaksanaannya dilakukan dengan berbasis pada peran serta masyarakat petani / Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A)/Gabungan P3A (GP3A) / Induk P3A (IP3A). Pemerintah, pemerintah

provinsi,

atau

pemerintah

kabupaten/kota

sesuai

dengan

kewenangannya bertanggung jawab dalam pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi primer dan sekunder. P3A mempunyai hak dan tanggung jawab dalam pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi tersier (pasal 3-5). Pada dasarnya, pengelolaan irigasi partisipatif adalah suatu pendekatan strategis dalam pengelolaan infrastruktur irigasi melalui keikutsertaan petani dalam semua aspek penyelenggaraan irigasi, termasuk perencanaan, desain, pelaksanaan s/d

204

pemantauan dan evaluasi serta penyempurnaan sistem irigasi. Dengan sistem irigasi

partisipastif

ini

diharapkan

masyarakat

petani/P3A/GP3A/IP3A

meningkatkan rasa memiliki, rasa tanggung jawab, serta meningkatkan kemampuan masyarakat petani/P3A/GP3A/IP3A dalam rangka mewujudkan efisiensi, efektivitas, dan keberlanjutan sistem irigasi (pasal 7).

Penanganan

pengelolaan SDAir Sungai Ciliwung telah dibentuk Tim Koordinasi dan Kelompok Kerja Pengelolaan Sungai Ciliwung berdasarkan Kepmen Kimpraswil No. 20/kpts/M/2002 tanggal 31 Januari 2002. Dalam upaya pemberdayaan perkumpulan petani pemakai air maka telah disusun pedoman dengan SK Menteri Dalam Negeri No. 50 /2001 tanggal 14 Desember 2001. Pedoman ini untuk mendorong terbentuknya Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) dan Gabungan Perkumpulan Petani Pemakai Air (GP3A). Pedoman ini ditujukan untuk meningkatkan pengelolaan irigasi secara mandiri, efektif dan efisien melalui kemandirian dalam pemanfaatan air irigasi. Dan kemudian Menteri Pekerjaan Umum berupaya untuk pengembangan dan pengelolaan irigasi melalui SK No. 33/PRT/2007 tentang Pedoman Pemberdayaan P3A/GP3A/IP3A. IP3A merupakan Induk Perkumpulan Petani Pemakai Air yang berada di dalam satu daerah irigasi. Pengelolaan irigasi yang sebelum era otonomi penyelenggaraannya didominasi oleh pemerintah didasarkan pada UU No. 11 /1974 tentang Pengairan maka telah diperbaharui dengan PP No. 20 /2006 tentang Pengairan, telah membuka partisipasi kepada masyarakat sebagai pelaku irigasi. Direktorat Pengelolaan Air Departemen Pertanian telah mengeluarkan Pedoman Teknis Pengembangan Pengelolaan Irigasi Partisipatif (2008) maka pengembangan (pembangunan/irigasi) irigasi tidak hanya menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah tetapi juga tanggung jawab petani.

Tujuan pengelolaan irigasi

partisipatif ini adalah (1) meningkatkan rasa kebersamaan, rasa memiliki dan rasa tanggung jawab dalam pengelolaan irigasi antara pemerintah; pemerintah daerah P3A/GP3A sejak dari pemikiran awal sampai dengan pengambilan keputusan, dan

205

(2) terpenuhinya pelayanan irigasi yang memenuhi harapan petani melalui upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas pengelolaan irigasi yang berkelanjutan. Dalam upaya pengembangan kelembagaan pengelolaan DAS maka telah dikeluarkan pedoman Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (Dirjen RLPS) No. P.09/V-SET/2009. Pedoman ini sebagai arahan kerja bagi instansi

pengelola

DAS

dalam

melaksanakan

kegiatan

pengembangan

kelembagaan pengelolaan DAS mencakup identifikasi para pihak, analisis peran, dan pembentukan forum DAS. Dengan terbentuknya kelembagaan forum DAS diharapkan dapat dibangun koordinasi, penyamaan persepsi, dan menumbuhkan partisipasi para pihak dalam pengelolaan DAS. Rehabilitasi DAS.

Kondisi sumberdaya hutan di wilayah DAS

Ciliwung Hulu telah mengalami kerusakan akibat adanya perambahan hutan maupun adanya transisi pengelolaan hutan dari hutan lindung dan hutan produksi terbatas menjadi hutan konservasi (TN Gunung Gede–Pangrango).

Kawasan

Cagar Alam dan Taman Wisata Telaga Warna merupakan kawasan konservasi yang aman dari penjarahan dan kerusakan tegakan hutannya. Berdasarkan masterplan rehabilitasi hutan dan lahan Provinsi Jawa Barat maka telah disusun Rencana Pengelolaan DAS (RPDAS) Ciliwung Terpadu pada tahun 2003.

RPDAS Ciliwung Terpadu memuat rekomendasi dan strategi

pengelolaan DAS Ciliwung terpadu. Rekomendasi pengelolaan DAS dilakukan melalui pendekatan teknologi, pendekatan institusi, pendekatan kebijakan dan program operasional.

Berdasarkan RPDAS Ciliwung Terpadu tersebut,

penanganan pengelolaan DAS Ciliwung Hulu terkait dengan permasalahan banjir di wilayah hilir melalui pendekatan teknologi dilakukan melalui 3 tahapan, yaitu : 1) Kelebihan air hujan ditahan oleh pohon/vegetasi (intersepsi, stem flow dan evapotranspirasi); 2) Kelebihan air hujan ditahan oleh tanah (melalui proses infiltrasi, perkolasi, dan ditampung di aquifer); 3. Kelebihan air hujan di tahan oleh badan air (mengendalikan jumlah aliran permukaan/run off, bendungan, cekdam, sumur resapan, dll.).

206

Kegiatan rehabilitasi DAS Ciliwung Hulu dan penerapan teknologi konservasi tanah dan air di bagian hulu menjadi salah satu alternatif kunci untuk penanggulangan banjir di wilayah hilir, DKI Jakarta. Pembuatan bangunan pencegah banjir di wilayah hilir (normalisasi kanal barat dan kanal timur di Jakarta) yang tidak diimbangi dengan tindakan konservasi tanah dan air di bagian hulu akan sia-sia jika tanpa disertai dengan upaya pengendalian aliran permukaan (run-off) yang berasal dari wilayah hulu. Penanganan pengelolaan DAS Ciliwung melalui pendekatan institusi adalah pendekatan hukum dalam pengelolaan kawasan lindung, perngembangan instrumen ekonomi untuk meningkatkan kualitas lingkungan DAS Ciliwung, penerapan AMDAL, pengelolaan DAS Terpadu untuk mewujudkan strategi one watershed river one plan one management dengan dukungan cost-benefit sharing antara pemerintahan di wilayah hulu dan hilir, skema payment environment service (PES) pihak pengambil manfaat memberikan sebagian keuntungannya untuk memelihara DAS, pembenahan struktur organisasi pengelolaan DAS Ciliwung dan peningkatan kelembagaan (peraturan, pendanaan, SDM, sistem insentif). Kebijakan pengelolaan DAS Terpadu harus bersifat lintas sektoral dan lintas batas wilayah administrasi pemerintahan, melalui upaya : 1. Mengintegrasikan berbagai kepentingan ke dalam suatu program kegiatan pengelolaan DAS yang optimal. 2. Distribusikan kegiatan ke dalam pokok-pokok kegiatan yang harus dilakukan oleh masing-masing pihak, sehingga jelas siapa berbuat apa. 3. Berkoordinasi dalam suatu sistem kelembagaan sehingga penyelenggaraannya dapat berlangsung secara efektif dan efisien. Pengelolaan Lahan Milik. Lahan milik yang sebagian besar 70-80% dikuasai oleh masyarakat luar DAS dikelola masyarakat lokal secara eksploitatif dengan tanaman monokultur semusim tanpa tindakan konservasi. Sebagian besar lahan lainnya dibiarkan terbuka dan merana sehingga ditumbuhi alang-alang atau tanpa vegetasi penutup tanah atau disebut ”lahan gontai”. Di lain pihak, terdapat perilaku pemilik lahan yang membuka lahan dan mencukur lahan berbukit dan berpenutupan hutan rakyat menjadi calon lahan permukiman dengan pemadatan tanah dan diubah penutupan lahannya dengan menghilangkan tegakan hutan

207

rakyat menjadi taman rumput. Kondisi ini memperbesar laju aliran permukaan pada musim hujan, mengurangi kemampuan infiltrasi dan perkolasi air hujan, menimbulkan erosi sehingga mengancam keberadaan sumber-sumber air dan menimbulkan sedimentasi di sepanjang alur sungai. Kondisi demikian membuat alur-alur sungai mengering pada musim kemarau. Hal ini memperlihatkan bahwa dalam upaya pengelolaan DAS, kebijakan pemerintah belum mengatur tentang kepemilikan lahan (property right of land). Kepemilikan lahan privat berada diantara kepemilikan lahan privat lainnya merupakan sekumpulan lahan bersama (common property). Penggunaan lahan beberapa kepemilikan privat dapat mempengaruhi fungsi bentang lahan secara bersama. Antara hak dan kewajiban kepemilikan lahan yang sangat terkait dengan fungsi DAS Ciliwung Hulu sebagai daerah tangkapan air (catchment area) belum diatur. Pemegang hak kepemilikan tidak dikenakan sanksi atau penghargaan (disinsentif atau insentif) bilamana menterlantarkan lahan yang dikuasai atau mengelola dengan baik secara konservatif. Semakin banyak lahan diterlantarkan atau tidak dikelola secara konservatif maka fungsi hidrologi DAS Ciliwung Hulu semakin terganggu. 6.3

Arena Aksi Lokal

6.3.1

Alih Fungsi Lahan. Tingkat penutupan lahan DAS Ciliwung Hulu pada tahun 1992- 2009

(Tabel 11) telah mengalami perubahan secara dinamis sesuai dengan perkembangan sosial dan ekonomi wilayah lokal maupun wilayah sekitarnya khususnya DKI Jakarta. Penutupan lahan berupa hutan 6.184,73 ha (41,62%) telah berkurang menjadi 4.318,17 (29,06%), dan perkebunan 2.218,60 ha (14,93%) berkurang menjadi 1.910,15 ha(12,85%). Di sisi lain, telah terjadi peningkatan permukiman dari 588,46 ha (3,96%) menjadi 3.356,73 ha (22,59%) atau meningkat 2.768,27 ha (18,63%) atau rata-rata per-tahun 163 ha (1,63%). Luas permukiman tahun 2009 seluas 3.356,73 ha tersebut merupakan 50,45% dari luas lahan milik seluas 6.653 ha di DAS Ciliwung Hulu. Bilamana perubahan penutupan lahan berupa penurunan luas hutan berkurang dan peningkatan luasan lahan permukiman tersebut tidak dikendalikan maka fungsi DAS Ciliwung Hulu sebagai daerah tangkapan air semakin terganggu.

208

Kepemilikan lahan masyarakat petani lokal rata-rata per KK 0,12 ha lahan milik dan lahan garapan 0,27 ha diperoleh pendapatan keluarga dari kegiatan bertani rata-rata sebesar Rp. 711.000,-/bulan. Pendapatan rumah tangga petani ini masih dibawah UMR Provinsi Jawa Barat tahun 2010 Rp. 628.191,-/bulan atau Kabupaten Bogor sebesar Rp. 991.714,-/bulan dan masih jauh dari kebutuhan hidup layak (KHL) sebesar Rp. 1.200.000,-/bulan atau Rp.14.400.000,-/tahun. Nilai hasil perhitungan KHL dengan menggunakan patokan kebutuhan beras pertahun untuk kebutuhan fisik minimum 320 kg, pendidikan 160 kg, kesehatan, sosial 160 kg, dan sosial 160 kg (Sinukaban 2007). Kondisi masyarakat petani DAS Ciliwung dalam kondisi tidak sejahtera. Untuk mencukupi kebutuhannya maka keluarga petani melakukan usaha non pertanian diantaranya warung rumah, berternak domba, menjaga ataupun usaha ojeg. Bilamana keluarga petani terbelit dengan permasalahan hutang, kebutuhan mendesak, maupun kebutuhan sosial lainnya maka penjualan lahan milik adalah alternatif yang bisa dilakukan. Pendapatan keluarga petani yang sangat kecil ini mendorong petani untuk mengerjakan lahannya secara eksploitatif guna menghasilkan memperoleh produksi yang tinggi. Pemilihan komoditi disesuaikan dengan jenis komoditas yang diminta oleh pasar, yang cenderung tidak konservatif dalam penggarapan lahan dengan pengolahan tanah memotong kontur, penggunaan pupuk kimia yang over dosis, dan kurang menggunakan pupuk organik.

Lahan-lahan dengan

kemiringan di atas 40% yang semula diperuntukkan konservasi telah banyak berubah menjadi lahan garapan dan diolah memotong kontur sehingga tingkat erosi cenderung semakin tinggi atau lahan-lahan tersebut dijual kepada masyarakat luar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Perilaku masyarakat terhadap lahan telah berubah. Berkembangnya kegiatan wisata telah mempengaruhi perilaku masyarakat untuk melakukan jual beli lahan kurang produktif dan dengan kelerengan yang curam di kiri-kanan sungai. Oleh pemilik baru yang berasal dari luar DAS Ciliwung Hulu, lahan di kiri-kanan sungai/anak sungai tersebut dirubah penutupan lahannya yang semula tanaman bambu pelindung perbukitan dan jurang menjadi tanaman rumput dan rusaknya fungsi perlindungan setempat.

Lahan-lahan bervegetasi bambu dan

209

pepohonan hasil kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan telah ditebang. Pembabatan lahan bervegetasi yang baik untuk hidrologi telah diubah menjadi lahan permukiman dan pertamanan. Kondisi demikian telah mengakibatkan semakin sempitnya kepemilikan lahan oleh masyarakat lokal, semakin luasnya kepemilikan lahan oleh masyarakat luar DAS Ciliwung Hulu dan akhirnya

semakin

berkurangnya lahan konservasi untuk perlindungan mata air, sumber air dan daerah tangkapan air di wilayah hulu. 6.3.2 Alih Kepemilikan Lahan Alih kepemilikan lahan di DAS Ciliwung Hulu tidak terlepaskan dari peran makelar tanah atau istilah lokal disebut ”biyong”. Biyong umum berasal dari masyarakat desa setempat maupun sebagian dari luar desa tetapi masih di dalam DAS Ciliwung Hulu.

Biyong berperan aktif mencari informasi lahan-

lahan yang akan dijual oleh masyarakat setempat dan mencari informasi calon pembeli berasal dari luar DAS Ciliwung Hulu. Masyarakat luar ini umumnya berasal dari Jakarta dengan aktivitas di wilayah ini mula-mula dengan tujuan wisata. Kondisi 1970 dan 1980-an, dari harga yang dibeli mendapatkan imbalan sebesar 0-2,5%. Dalam perkembangannya, tahun 1990-an bagian uang komisi (share) untuk biyong meningkat yaitu 2,5% dari pembeli dan meminta sekedarnya dari pihak pembeli. Keadaan semakin berkembang, ada sebagian biyong jika ada pihak penjual menawarkan harga tertentu misalnya Rp. 100.000,- per-m2 kemudian ditawarkan kepada pembeli dengan harga jual menjadi Rp. 200.000,atau 200% atau lebih besar dari harga semula (Marsusanti 2007).

Dengan

kenaikan harga yang ditawarkan biyong tersebut, biyong meminta bagian sukarela 0-2,5% dari pihak penjual.

Pengurusan administrasi sampai dengan tuntas

perjanjian jual-beli mulai dari RT/RW sampai di kecamatan mencapai 2,5-5% dari nilai penjualan lahan tersebut.

Peran RT/RW, desa

sampai dengan

kecamatan adalah pembuatan surat keterangan bahwa lahan yang diperjualbelikan sedang tidak dalam sengketa dengan pihak lain. Surat keterangan ini umumnya sebagai jaminan kepada pihak pembeli bahwa lahan yang diperjualbelikan aman untuk dibeli. Peran biyong sangat penting dalam alih kepemilikan lahan yaitu

210

membantu mencarikan pihak pembeli bagi masyarakat lokal, mencarikan lahan yang akan dibeli oleh pihak pembeli, dan memberikan jaminan keamanan atas lahan yang dijual-belikan kepada pihak pembeli. Peranan biyong lebih progresif lagi jika jual beli lahan pada lahan garapan. Setiap kesempatan bertemu dengan warga luar yang berkunjung atau melewati wilayah garapan maka tidak segan menawarkan lahan garapan dengan harga mencapai Rp. 25.000,- Rp.40.000,- perm2 (2009-2010). Harga lahan garapan tahun 1980-an Rp. 2.500,- -Rp.5.000,- perm2. Lahan garapan tersebut berupa lahan eks-HGU perkebunan maupun lahan garapan perkebunan yang masih aktif PT Gunung Mas. Tingkat kepemilikan lahan milik maupun lahan garapan oleh masyarakat luar lebih luas (70-80%) daripada kepemilikan masyarakat lokal (20-30%). Masyarakat luar mengambil keputusan dalam mengelola lahan yang dimiliki di DAS Ciliwung Hulu. Masyarakat luar lebih kuat dalam mengendalikan perilaku masyarakat petani lokal yang menggarap lahan miliknya atau mereka membiarkan lahan miliknya menjadi lahan tidur atau lahan ”gontai”. Pengusaha komoditas pertanian, masyarakat pemilik lahan, pengusaha vila dan hotel lebih megendalikan terhadap fungsi sumberdaya lahan DAS Ciliwung Hulu. Aturan lokal dengan kearifan yang ada dan aturan penggunaan lahan dari pihak pemerintah sudah tidak mampu lagi mengarahkan perilaku petani secara baik. Permintaan komoditas pertanian dan permintaan lahan untuk permukiman villa atau usaha wisata telah mengurangi modal lahan bertani dan mengubah perilaku petani menjadi tidak konservatif. Kondisi demikian mengakibatkan sumberdaya lahan dan sumbersumber air semakin terdegradasi. 6.3.3 Kepatuhan Masyarakat Terhadap Aturan Pemerintah Tingkat kepatuhan masyarakat terhadap aturan pemerintah bidang permukiman dan bangunan masih rendah. Hal ini ditunjukkan oleh tingginya jumlah bangunan permukiman tidak berijin. Berdasarkan data Dinas Tata Ruang dan Pertanahan Kabupaten Bogor sampai tahun 2009, jumlah bangunan tidak berijin di tiga kecamatan di DAS Ciliwung Hulu mencapai 2.719 unit berada di Kecamatan Ciawi 624 unit, Kecamatan Megamendung 1.566 unit, dan Kecamatan

211

Megamendung 529 unit.

Disamping itu terdapat aktivitas pembangunan

permukiman di atas lahan garapan pada eks-HGU perkebunan dan di atas lahan garapan HGU perkebunan yang masih aktif sebanyak 112 unit yang tersebar di 7 desa yaitu Kecamatan Cisarua (Tugu Utara, Citeko, Kopo), dan Kecamatan Megamendung (Sukakarya, Sukagalih, Sukaresmi, dan Kuta).

Disamping di

dalam kawasan budidaya tersebut juga ditemukan permukiman di dalam kawasan hutan lindung (HL) sebanyak 12 unit dan umumnya pelakunya adalah dari kalangan mantan pejabat tinggi dan pengusaha. Pihak Dinas Tata Ruang dan Pertanahan, Dinas Permukiman dan Tata Bangunan, serta Satpol Pamong Praja terus berupaya mengendalikan pembuatan permukiman tidak berijin tersebut namun mengalami permasalahan diantaranya keterbatasan personil, prasarana dan dana operasional lapangan serta perlawanan yang sangat kuat dari pihak masyarakat luar.

Masyarakat luar ini umumnya

mantan pejabat tinggi, pengusaha menengah-besar atau mitra / kolega pejabat pemerintah lokal. Untuk mengatasi berbagai bentuk pelanggaran penggunaan rencana ruang dan aktivitas illegal tersebut maka pihak pemerintah Kabupaten Bogor menempuh 3 (tiga) strategi yaitu (1) Pelarangan pendirian bangunan fisik dengan tidak memberikan ijin mendirikan bangunan (IMB) pada kawasan lindung, kawasan penyangga, kawasan sempadan sungai, kawasan sekitar mata air,

dan kawasan lahan basah, (2) Pembatasan perkembangan fisik banguna

melalui pembatasan dan seleksi perijinan. Pembatasan ini diarahkan pada lahan yang sudah sangat padat, dan daya dukung lahan sudah tidak sesuai lagi, dan (3) Pengendalian perkembangan fisik bangunan melalui seleksi perijinan, seleksi jenis kegiatan, dan pemberian kode bangunan. Kepemilikan lahan eks-HGU PT Buana Estate seluas 119 ha telah digarap oleh masyarakat dan hingga kini telah berpindah penggarapan dan sebagian besar dimiliki oleh masyarakat luar, terutama DKI Jakarta. Lahan eks-HGU tersebut dikuasai oleh masyarakat luar DAS, tetapi masyarakat hanya diberikan hak untuk menggarap atau dipekerjakan dal kegiatan pengelolaan lahannya.

Demikian

halnya sebagian lahan HGU yang masih aktif PT Gunung Mas sebagian telah

212

digarap oleh masyarakat. Lahan garapan di dalam wilayah HGU yang masih aktif ini juga telah berpindah penguasaannya kepada masyarakat luar, termasuk masyarakat DKI Jakarta. Penguasaan penggarapan sulit ditertibkan dan saat ini masih diupayakan penyelesaiannya oleh pemerintah (cq BPN).

Pendirian

bangunan permukiman permanen illegal telah dilakukan di banyak lokasi dan terus berlangsung. Upaya penertiban bangunan telah dilakukan oleh Satpol Pamong Praja Kabupaten Bogor namun setelah kegiatan penertiban selesai, segera muncul kembali bangunan permukiman baru.

Aturan keterwakilan tidak

berfungsi karena pihak masyarakat luar DAS lebih dominan penguasaan lahannya sehingga pengambilan keputusan dalam rangka pengelolaan DAS sering tidak ada (absent). Di sisi lain, wilayah DAS Ciliwung Hulu yang diprioritaskan sebagai daerah tangkapan air (DTA), kewajiban pihak pemohon dalam perizinan IPPT (Izin Perencanaan Penggunaan Tanah) dan IMB (Izin Mendirikan Bangunan) kurang dimonitor implementasinya sehingga implementasi penggunaan ruang lahan bisa sangat berbeda dengan rencana tata ruang lahan yang disampaikan pada saat permohonan.

Dari hasil pengamatan lapangan, banyak pemilik vila

membangun pagar pembatas berupa beton tinggi 2 meter atau lebih dan dijaga oleh petugas Satuan Pengamanan (satpam). Pemilik bangunan tidak berada di tempat sehingga petugas pemerintah baik pemda kabupaten maupun kecamatan yang melakukan kontrol sulit memasuki wilayah tersebut dengan alasan tidak ada izin dari pemilik bangunan.

Koordinasi petugas pemerintah dengan pemilik

lahan terputus karena saling kurang percaya antara mereka atau sikap masyarakat luar DAS pemilik lahan yang menghindari dari petugas pemerintah lokal. Rekomendasi penggunaan lahan sesuai perizinan untuk fungsi konservasi tanah dan air tidak dapat dimonitor implementasinya dengan baik. Penanganan BPN pada lahan eks-HGU PT Buana Estate dan perambahan lahan garapan di atas HGU PT Gunung Mas masih berlangsung lamban dan belum menunjukkan hasil yang baik. Sementara itu, lahan-lahan garapan tersebut telah berpindah alih garapan dari masyarakat lokal kepada masyarakat luar

213

terutama dari DKI Jakarta.

Kondisi demikian dapat mengganggu fungsi

konservasi lahan garapan dan bahkan semakin terdegradasi karena dikelola secara eksploitatsi tanpa mengindahkan kaidah konservasi tanah dan air. Bahkan pada lahan garapan tersebut telah dibangun permukiman permanen terutama vila-vila pemegang garapan. Permukiman permanen berada pada lahan garapan (eks-HGU perkebunan). Para pemilik umumnya dari luar DAS Ciliwung Hulu berasal dari kalangan pengusaha, mantan birokrasi, tokoh politik maupun mantan tokoh masyarakat lainnya.

Mereka mempunyai bargaining position yang kuat dan

memiliki daya imunitas yang sangat tinggi sehingga aparat pemerintah tidak mampu menertibkan pembangunan permukiman illegal.

Kondisi demikian

berlarut-larut sehingga banyak permukiman / villa terbangun dan tidak terkendali. Terhadap bangunan illegal tersebut telah dilakukan upaya operasi penertiban namun dengan tingkat keberhasilan yang rendah. Instansi pengendali lingkungan Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor masih belum bekerja secara maksimum dalam mengendalikan kualitas lingkungan di daerah karena belum ada dukungan sepenuhnya dari SKPD lain maupun dari Bupati Bogor dalam mengendalikan kualitas sumberdaya lingkungan secara lintas sektoral. Keberadaan instansi BLH terkesan masih sekedar sebagai syarat kecukupan (sufficient condition) dalam pembentukan struktur organisasi perangkat pemerintahan daerah sehingga tupoksinya masih sangat terbatas dan belum berfungsi secara optimal dalam mengendalikan dampak negatif kegiatan sektoral. Kegiatan monitoring lingkungan berupa monitoring kualitas air, kualitas udara, pencemaran tanah, maupun penanganan bahan beracun berbahaya (B3) belum dilakukan mulai dari proses perencanaan pembangunan sampai dengan evaluasi pelaksanaan pembangunan.

Hal ini disebabkan oleh pengakuan dan

dukungan terhadap keberadaan dan fungsi instansi BLHD masih rendah. BLH belum dapat memonitor dan mengendalikan dampak kegiatan pembangunan yang dilaksanakan secara sektoral karena pengendalian kualitas lingkungan belum menjadi prioritas daerah tetapi masih memprioritaskan dimensi ekonomi yaitu pendapatan asli daerah (PAD) untuk APBD.

Kegiatan pembangunan masih

bersifat eksploitatif dan belum mengarah kepada pembangunan berkelanjutan.

214

Memperhatikan beberapa kondisi tersebut maka terlihat bahwa derajat kekuatan institusi (kelembagaan) DAS Ciliwung Hulu sangat lemah (weak institution).

Institusi

DAS

Ciliwung

insitutionalized) (Hidayat 2007).

Hulu

kurang

melembaga

(less

Lembaga (institusi) tidak efektif mengatur

perilaku komunitas di dalam DAS Ciliwung Hulu untuk mewujudkan tujuan pengelolaan

DAS.

memaksimumkan

Komunitas

kepentingan

sektoral

sektoralnya

masing-masing

masing-masing

dan

berupaya kurang

memperdulikan tujuan bersama. Dampak negatif dari kegiatan sektoral ini tidak ada satu pihakpun yang berupaya menangani sehingga eksternalitas negatif tersebut semakin terakumulasi

dan sumberdaya lokal semakin tergedradasi.

Sumberdaya lahan mengalami degradasi dengan semakin tingginya tingkat erosi dan sedimentasi, sumberdaya air semakin tercemar, dan kualitas udara semakin memburuk dan transportasi menjadi macet terutama pada hari-hari libur, dan pada akhirnya kesejahteraan mayarakat semakin memburuk. Dengan keterbatasan sumberdaya keluarga petani lokal dan tingginya perpindahan kepemilikan lahan kepada masyarakat luar maka mendorong sumberdaya lahan semakin terdegradasi. Penutupan lahan bervegetasi pohon, bambu, dan tanaman keras lainnya telah berubah menjadi permukiman, pertamanan, vila, dan hotel

sehingga mengakibatkan wilayah perlindungan

terhadap sumber-sumber air menjadi rusak. Pasokan air keluarga yang berasal dari sumber-sumber air semakin terganggu (baik kuantitas maupun kualitasnya). Petani harus menggali sumur keluarganya lebih dalam. Pasokan air pada musim kemarau semakin langka dan pada musim kemarau terjadi banjir. Sumur-sumur masyarakat tidak keluar airnya pada musim kemarau. Pasokan air untuk villavilla dari sumber-sumber air semakin berkurang dan bahkan mengering. Sumbersumber mata air di sekitar sungai atau alur sungai sebagai harapan sumber pasokan air juga banyak yang mengering. 6.3.4 Aktor Dominan di DAS Ciliwung Hulu Aktor yang bermain di DAS Ciliwung Hulu ditentukan oleh tingkat peran masing-masing aktor dan pengaruhnya terhadap perilaku dan kinerja aktor

215

lainnya.

Konteks hubungan pengaruh mempengaruhi antar aktor dalam

pengelolaan DAS Ciliwung Hulu diantaranya dalam konteks jual beli lahan milik, alih penguasaan

lahan garapan, perubahan penutupan lahan, perubahan

pemanfaatan lahan, perubahan persepsi terhadap pengelolaan DAS, maupun kinerja rehabilitasi hutan dan lahan. Konteks hubungan antar aktor tersebut dapat bersifat searah (mempengaruhi atau dipengaruhi) maupun saling mempengaruhi (pengaruh bolak-balik). Berdasarkan hasil identifikasi terhadap aktor yang saling berinteraksi dan tingkat kebutuhan terhadap sistem pengelolaan DAS Ciliwung Hulu diperoleh 18 aktor utama disajikan pada Lampiran 7. Berdasarkan hasil identifikasi kebutuhan (kepentingan) pelaku DAS maka terdapat beberapa kesesuaian kebutuhan antar pelaku dalam sistem pengelolaan DAS yaitu optimalnya penggunaan lahan sesuai fungsinya sehingga meningkatkan hasil pertanian masyarakat, terjaganya kualitas lahan, dan terpenuhinya kebutuhan air baik secara kuantitas maupun kualitas dan terjamin kontinyuitas sepanjang waktu. Sedangkan kebutuhan pelaku bersifat individualistis memberikan ekternalitas negatif, dan kurang mendukung terhadap sistem pengelolaan DAS yaitu meningkatnya fee biyong (bagian pendapatan dari alih kepemilikan/ penggarapan lahan), dan keuntungan

yang tinggi dari

perdagangan komoditas pertanian sesuai permintaan pasar (pihak pedagang lokal). Satu kebutuhan aktor yang perlu dikoordinasikan pemerintah untuk mencapai tujuan pengelolaan DAS adalah terjaminnya kepastian hak kepemilikan lahan oleh masyarakat pemilik dari luar DAS dan kewajiban dari pemegang hak. Bilamana seimbang antara hak dan kewajiban maka dapat membantu pencapaian tujuan pengelolaan DAS. Jika kepemilikan lahan oleh masyarakat luar tidak aman serta mendatangkan transaction cost bagi pemilik maupun menambah biaya sosial lainnya maka tujuan pencapaian pengelolaan DAS semakin terhambat. Kondisi yang perlu diwujudkan adalah keamanan kepemilikan lahan (secure property right), tidak menambah biaya transaksi dan biaya sosial bagi pemilik lahan, dan lahan dikelola sesuai dengan tujuan pengelolaan DAS berkelanjutan. Kepastian hak ini mengandung kewajiban pemegang hak dalam kaitannya dengan koordinasi

216

dan hubungan antara manusia dengan lingkungannya. Tipe rejim kepemilikan privat (private property) memiliki hak untuk menggunakan yang dapat diterima secara sosial dan hak kontrol terhadap akses (socially acceptable uses and control of access), dan kewajiban pemegang hak adalah menghindarkan penggunaan yang tidak dapat diterima secara sosial (avoidance of socially unacceptable uses) (Hanna et al. 1995). Hasil analisis peran aktor berdasarkan hubungan kontekstual antar aktor dalam pengelolaan DAS Ciliwung Hulu dengan menggunakan Interpretative Structural Modeling (ISM VAXO) diperoleh 5 (lima) aktor yang berperan dominan yaitu (1) Biyong, (2) Masyarakat luar pemilik lahan di DAS Ciliwung Hulu, (3) Pengusaha lokal untuk produk pertanian/kehutanan, (4) BP4K dan BP3K, dan (5) Bappeda. Tingkat kekuatan pengaruh dan tingkat ketergantungan para aktor disajikan pada Gambar 28.

D r i v e r P o w e r Dependence Gambar 28 Tingkat pengaruh dan ketergantungan aktor dalam pengelolaan DAS Ciliwung Hulu

Biyong (makelar lahan) berperanan

dalam mengkoordinasikan antar

masyarakat pemilik lahan dengan pihak masyarakat luar yang ingin memiliki lahan di wilayah tersebut. Biyong mempunyai kebutuhan terhadap sistem DAS

217

berupa keuntungan tinggi (fee dari proses alih penguasaan lahan). Biyong mempunyai informasi yang banyak tentang para pihak yang akan menjual lahan, masyarakat potensial penjual lahan maupun tingkat harga yang diinginkannya. Pihak biyong juga berperanan aktif dalam menawarkan lahan kepada setiap masyarakat luar yang berkunjung (berwisata) ke wilayah tersebut. Dari pihak masyarakat luar ini juga memperoleh informasi keinginan memiliki dan dengan harga yang diharapkan. Pihak biyong yang akan aktif mengatur kesepakatan harga dan penyelesaian alih kepemilikan tersebut. Masyarakat luar pemilik lahan yang telah menguasai lahan 70-80% di DAS Ciliwung Hulu berperan dalam pengambilan keputusan terhadap lahan yang dimiliki

maupun

lahan

yang

dikuasainya.

Kelompok

masyarakat

ini

berkepentingan terhadap penguasaan lahannya aman ( berupa lahan milik dan atau garapan) dari klaim pihak lain (secure property right). Aparat pemerintah lokal, penyuluh pemerintah atau penyuluh swadaya (SPKP/P4S) maupun kelompok tani berkepentingan terhadap lahan yang dimiliki oleh masyarakat luar ini. Lahan milik kelompok ini merupakan sasaran lokasi untuk perbaikan kondisi lingkungan lokal. Masyarakat pemilik luar tersebut berdomisili di luar DAS Ciliwung Hulu sehingga diperoleh kesulitan untuk mengaksesnya sehingga program pemerintah dan poktan mengalami kegagalan karena sulit memperoleh akses terhadap lahan tersebut. Pengusaha lokal produk pertanian dan kehutanan

menentukan

perilaku petani dalam menentukan jenis komoditas yang akan diusahakan. Kelompok pengusaha lokal ini mempunyai kepentingan untuk pemenuhan kebutuhan komoditi pertanian yang laku dijual di pasar dan memperoleh keuntungan yang tinggi. Beberapa komoditas pertanian yang mempunyai sifat terhadap pola pengelolaan lahan yang eksploitatif atau konservatif. Komoditi kentang misalnya dibutuhkan pengelolaan lahan eksploitatif dengan memotong kontur, bayam dengan terasering, dan tanaman lainnya yang memerlukan bebas naungan atau bisa dengan pola tanaman campuran.

218

BP4K dan UPT BP3K berperan dalam melakukan transfer pengetahuan dan teknologi kepada masyarakat lokal dan poktan.

BP4K dan UPT BP3K

berkepentingan terhadap tersedianya informasi dan teknologi pertanian, kehutanan dan perikanan di masyarakat, produksi pertanian dan pendapatan masyarakat meningkat, diperolehnya masukan program bagi instansi pemerintah yang lebih implementatif dan terpadu berdasarkan analisis kebutuhan masyarakat lokal. Bappeda diharapkan perannya untuk mengkoordinasikan instansi pemerintah di Kabupaten Bogor dan khususnya di DAS Ciliwung Hulu. Kegiatan penyuluhan diupayakan untuk ditingkatkan kualitasnya sesuai prioritas kebutuhan di lapangan misalnya bidang tata ruang, keluarga berencana dll.

Dengan semakin

berfungsinya BP4K maka program-program pemerintah dapat disosialisasikan ke lapangan sehingga memperoleh dukungan keberhasilannya, di lain peran BP4K ini dapat menampung kebutuhan program yang dibutuhkan oleh masyarakat di lapangan. Bappeda Kabupaten Bogor.

Bappeda berkepentingan terhadap

koordinasi perencanaan program pembangunan daerah. Bappeda mengharapkan efektivitas program pembangunan dan mampu menjawab permasalahan di lapangan dan dapat ditangani secara terpadu lintas sektoral dan lintas pelaku sesuai kebutuhan masyarakat. Prioritas koordinasi di DAS Ciliwung Hulu adalah bagaimana Bappeda mengkoordinasikan instansi teknis pusat dan daerah, SPKP/P4S dan pihak poktan/gapoktan dengan pihak pemilik lahan yang berada di luar DAS. Koordinasi dengan beberapa pihak ini diutamakan agar poktan, SPKP dan dinas teknis dapat mengakses dan merehabilitasi lahan yang dibiarkan (lahan gontai) oleh pemilik lahan yang berdomisili di luar DAS tersebut. Peran Bappeda juga diarahkan mengkoordinasikan program-program prioritas berdasarkan hasil usulan kegiatan yang ditampung oleh BP4K dari kegiatan penyuluhan di lapangan, sehingga program diteruskan untuk dikoordinasikan Bappeda untuk ditampung pada program di instansi dinas teknis Kab. Bogor. Program kegiatan pemerintah daerah diharapkan sesuai dengan usulan kebutuhan dari masyarakat lokal. Bappeda agar lebih berperan dalam mengkoordinasikan dinas teknis pusat maupun daerah dalam kaitannya dengan hak dan kewajiban pemegang hak

219

kepemilikan lahan terhadap fungsi DAS Ciliwung Hulu sebagai daerah tangkapan air (catchment area).

Kewajiban pemegang hak kepemilikan lahan harus

dipertegas dalam bukti kepemilikan lahannya karena dengan zonasi wilayah untuk fungsi perlindungan atau konservasi. Dari kelima aktor dominan tersebut, aktor kunci (paling domiman) dalam pengelolaan DAS Ciliwung Hulu adalah masyarakat luar pemilik lahan di DAS Ciliwung Hulu (5). Pihak masyarakat luar ini besar perannya dalam penguasaan lahan

70-80% lahan milik maupun lahan garapan sehingga

berperan

besar

dalam pengambilan keputusan untuk pengelolaan lahannya. Peran masyarakat lokal dan kinerja program pemerintah sangat ditentukan oleh kelompok ini. Disamping kelompok pemilik lahan dari luar DAS Ciliwung Hulu juga terdapat Biyong (4), Bappeda (9), Pengusaha lokal produk pertanian dan kehutanan (6), Satpol PP, dan BP4K dan UPT BP3K (17). Peran masyarakat luar (5) dapat

mendorong

terhadap

kinerja

Biyong (4) dan Bappeda (9), sedangkan peran Biyong (4) dan Bappeda (9) dapat mendorong

kinerja pengusaha lokal

produk pertanian dan kehutanan (6), dan BP4K dan UPT BP3K (17).

Hirarki

peran antar aktor dalam pengelolaan DAS Ciliwung Hulu disajikan pada Gambar 29. . Gambar 29

Struktur hirarki elemen aktor yang berpengaruh dalam pengelolaan DAS Ciliwung Hulu

220

6.3.5 Aksi Bersama (Collective Action) Kondisi tahun 2009 dan 2010, berdasarkan informasi masyarakat, jumlah sumber-sumber mata air permukaan semakin berkurang. Hal ini dinilai sebagai akibat atas berubahnya lansekap lahan, berkurangnya penutupan hutan, berubahnya lahan bervegetasi menjadi bangunan atau permukiman, dan rusaknya lingkungan di hulu atau di sekitar sumber-sumber mata air. Masyarakat lokal memenuhi kebutuhan air dari sumur,

sumber air maupun dari aliran air

permukaan. Beberapa permukiman vila-vila sebagian dilayani oleh PDAM, dan sebagian besar lainnya mengambil air dari sumber-sumber air permukaan dan tidak dipungut iuran (biaya). Sumber-sumber air dipelihara sendiri oleh penjaga vilanya masing-masing atau secara dilakukan bersama-sama. Dengan semakin berkurangnya lahan berpenutupan hutan, meningkatnya jumlah bangunan dan permukiman maka semakin berkurangnya pasokan air bersih untuk memenuhi kebutuhan masyarakat luas.

Kondisi ini juga didukung oleh fakta semakin

berkurangnya jumlah sumber-sumber air permukaan,

semakin mengeringnya

sumur-sumur masyarakat dan mengeringnya alur-alur sungai. Fenomena demikian semakin mendorong tumbuhnya kesadaran dan persepsi kelompok tani setempat perlunya melakukan aksi secara bersama dengan masyarakat lokal.

Aksi bersama yang dibutuhkan diantaranya dengan

mempertahankan penutupan hutan yang masih baik, melakukan penanaman lahan yang kosong / terbuka, dan membuat bangunan penampungan air secara bersama. Kelompok tani (poktan) telah berusaha membuat pusat-pusat (sentra) pembibitan di beberapa desa dan melakukan penanaman pada lahan-lahan kosong maupun di kiri-kanan sungai secara swadaya. Upaya koordinasi dengan pihak pemilik lahan yang berada di luar DAS Ciliwung Hulu telah dilakukan tetapi belum memperoleh keberhasilan. Lahan-lahan yang dibiarkan atau lahan tidur atau ”lahan gontai” tanpa vegetasi diperjuangkan oleh poktan diusahakan untuk dapat ditanami pohon namun belum berhasil dikoordinasikan.

221

Peran pemerintah lokal terutama pemerintah desa dan kecamatan masih belum maksimal dalam penanganan

”lahan gontai” ini.

Penyelenggaraan

kegiatan kepemerintahan desa dan di kecamatan belum melibatkan secara aktif pihak kelompok tani. Pertemuan-pertemuan rutin oleh pemerintah lokal tidak melibatkan peran kelompok tani, masih terbatas tokoh formal RT, RW dan beberapa tokoh masyarakat lokal.

Kelompok tani belum dilibatkan dalam

pertemuan-pertemuan rutin pemerintah lokal sehingga usulan kegiatan untuk perbaikan fungsi lingkungan belum diakomodasikan.

Usulan kegiatan fisik

maupun koordinasi kepada pemilik lahan dari luar DAS tidak terwujud. Hubungan kelompok tani dengan mayarakat pemilik lahan belum berjalan dengan baik. Peran koordinasi dari pihak pemerintah lokal dengan pemilik lahan dari luar DAS dalam upaya konservasi tanah dan air tidak berjalan dengan baik. Di pihak lain, masyarakat pemilik lahan dari luar DAS Ciliwung Hulu tidak memberikan peran apapun yang baik bagi perbaikan lingkungan DAS Ciliwung Hulu dalam kaitannya dengan keberadaan dan fungsi lahan-lahan yang dikuasainya. Aksi kolektif yang telah dijalankan pemerintah oleh BP3K bersama dengan P4S (Pusat Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Perdesaan Swadaya) dan SPKP (Sentra Penyuluhan Kehutanan dan Perdesaan) yaitu kegiatan penyuluhan dan pelatihan teknis.

Kegiatan ini telah berlangsung secara rutin yang

menjangkau masyarakat petani di 3 kecamatan yaitu Kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Cisarua. Kegiatan penyuluhan ini telah berhasil merubah persepsi kelompok tani dan memberikan motivasi untuk melakukan kegiatan pemberdayaan petani, upaya konservasi tanah dan air, peningkatan produksi pertanian serta menyerap masukan-masukan program yang diperlukan dari pihak pemerintah. Namun demikian, masukan-masukan program dari masyarakat petani belum ditindaklanjuti secara baik oleh instansi teknis Kab. Bogor karena masih rendahnya kapasitas pemerintah dan lemahnya kapasitas koordinasi instansi pemerintah untuk menghasilkan program perbaikan dari dan untuk masyarakat petani di DAS Ciliwung Hulu.

222

Dengan upaya peningkatan pengetahuan dan keterampilan dalam pengelolaan lahan pertanian, rehabilitasi hutan serta konservasi tanah dan air diharapkan mampu meningkatkan produktivitas lahan secara berkelanjutan. Kegiatan penyuluhan meliputi pendidikan dan latihan rehabilitasi lahan, pembuatan bangunan konservasi gully plug, studi banding pembuatan terasering, penanaman tanaman campuran dengan sistem agroforestry, dan konservasi tanah dan air dengan pembuatan dam pengendali. Kegiatan penyuluhan juga berfungsi menggali kebutuhan program yang diharapkan bagi masyarakat dan mampu mengatasi permasalahan lokal dalam upaya pengelolaan lahan konservatif, peningkatan produksi pertanian, dan pemberdayaan masyarakat. Dengan adanya penyuluhan, masyarakat dapat menghargai keberadaan bentang alam dan vegetasi alami yang mengisinya dan berfungsi konservasi bagi lingkungan yang bermanfaat bagi penyediaan jasa lingkungan dan melindungi dari bencana alam longsor serta mencegah kekurangan air pada musim kemarau. Kegiatan rehabilitasi lahan juga telah didukung dengan pembuatan tanaman 1000 batang Alpokat dan pembuatan sumur resapan di beberapa lokasi, dan pembuatan dam pengendali di wilayah hulu yang dilakukan oleh unit pelaksana teknis (UPT) Kementerian Pekerjaan Umum. Pembuatan persemaian dan penanaman pohon dan buah-buahan oleh kelompok tani di Kecamatan Megamendung maupun Kecamatan Cisarua digerakkan oleh P4S dan SPKP. Kegiatan ini juga didukung oleh perkumpulan masyarakat pengelola Vihara Myon Ganji bekerja sama dengan kelompok tani Paseban Asri di desa Megamendung dengan membangun persemaian seluas 20x25

m2 atau

menghasilkan persemaian 15.000 batang per tahun dengan berbagai jenis pohon dan buah-buahan dan diperuntukkan bagi penghijauan lingkungan. Aktivitas kelompok tani di wilayah dusun Cijulang desa Kopo Kecamatan Cisarua oleh Poktan Cijulang Asri telah lama dibangun pusat persemaian poktan, bangunan barak kerja dan balai pertemuan warga tani (saung tani) ukuran 8x10 m2. Tempat ini berfungsi sebagai pusat kegiatan penyuluhan yang diselenggarakan oleh BP3K, SPKP, dan P4S dengan masyarakat petani.

223

Lokasi persemaian yang dikelola oleh poktan Cijulang Asri seluas + 1 ha berupa lahan milik yang digarap-pinjam dari masyarakat Jakarta dengan kapasitas 50.000 bibit.

Selama 10 terakhir ini, di tempat persemaian tersebut kelompok tani

diberikan kebebasan untuk membuat persemaian. Tempat ini juga sekaligus dipergunakan sebagai tempat pendidikan anak usia dini, anak2 SLTP dan SLTA, pendidikan tinggi penyuluhan pembangunan, maupun pegawai pemerintah sebagai sanggar belajar pembuatan persemaian dan sebagai praktek pembelajaran penyuluhan pembangunan. Kegiatan ini ditujukan untuk memberikan kesadaran pentingnya penghijauan dan pemeliharaan lingkungan, kerjasama antar kelompok masyarakat, dan keterampilan pembuatan persemaian dan teknik penanaman di lapangan. Setiap kelompok tani diupayakan memiliki sentra persemaian baik di lahan milik maupun lahan garapan milik masyarakat luar. Kegiatan persemaian dan penanaman didukung melalui bantuan program pembuatan persemaian oleh Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor maupun bantuan bibit GRLK (Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis) Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat. GRLK untuk tahun 2009 telah ditanam 30.000 batang tanaman berkayu dan buah-buahan, dan program 2010-2011 telah dibangun Kebun Bibit Rakyat (KBR) dengan target pembuatan persemaian dan penanaman sebanyak 50.000 batang (dengan dana Rp. 50 juta,-), dan diusulkan program KBR untuk tahun 2012.

Dalam rangka penanaman dari persemaian

yang dihasilkan, kelompok tani hanya mengharapkan bantuan biaya transportasi pemindahan bibit dari lokasi persemaian ke lokasi penanaman. Bilamana tidak ada dana bantuan pemerintah, semua biaya pembuatan persemaian sampai dengan penanaman ditanggung oleh kelompok tani.

Sumber biaya operasional ini

diperoleh kelompok tani dengan penyediaan bibit-bibit tanaman buah-buahan dan bibit pohon bagi masyarakat pemilik villa maupun pihak yang membutuhkan bibit tanaman dengan memberikan biaya penggantian pembuatan bibit tersebut. Hasil dari kegiatan ini digunakan untuk membiayai operasional kegiatan kelompok tani. Kementerian Pekerjaan Umum tahun 2010 juga telah melakukan kegiatan penanaman pohon 1000 batang berupa alpokat di Cipayung dan pembuatan sumur-sumur resapan di beberapa titik di sekitar Sungai Ciliwung.

224

Kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan di atas lahan milik berupa penanaman pohon maupun pembuatan sumur resapan kurang memberikan sumbangan yang berarti dalam pengelolaan DAS. Lahan milik dan lahan garapan di DAS Ciliwung Hulu sebagian besar 70-80% telah dikuasai oleh masyarakat luar DAS Ciliwung hulu. Sumberdaya lahan dikuasai oleh masyarakat luar DAS Ciliwung ini maka dibutuhkan upaya pemerintah untuk mengkoordinasikan dan mengatur

terhadap hak kepemilikan lahan (property right of land) di DAS

Ciliwung Hulu. Pengaturan hak dan kewajiban pemilik hak atas lahan dengan memperhatikan keterkaitan sistem hidrologi DAS Ciliwung.

6.4

Kinerja Institusi (Outcome) Hasil kinerja institusi DAS Ciliwung Hulu merupakan hasil interaksi

antar aktor lokal DAS maupun aktor di luar DAS dengan dukungan kondisi biofisik, diantaranya beberapa indikator tata air sungai, kualitas air sungai, kualitas lahan dan tingkat kesejahteraan masyarakat lokal. Beberapa indikator fisik tersebut mencerminkan tingkat kesehatan DAS dengan unsur utama berupa tingkat kualitas biofisik wilayah DAS dan kondisi sosial. Debit Air Sungai Ciliwung Hulu. Kondisi DAS Ciliwung Hulu selama 20 tahun terakhir (1989-2009) menunjukkan DAS yang kuantitas air sungai.

buruk dari aspek

Hal ini ditunjukkan oleh nilai koefisien rejim sungai

(KRS=Qmaks/Qmin) rata-rata selama 20 tahun terakhir sebesar 151,64 atau lebih besar 100. Nilai ini didasarkan atas Keputusan Menteri Kehutanan No. 52/KptsII/2001 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan DAS bahwa nisbah debit air sungai maksimum dengan debit air minimm (KRS) dengan indikator nilai antara 0-50 kondisi DAS baik, 50-100 kondisi DAS sedang (cukup baik), dan KRS>100 kondisi DAS buruk. Kondisi pada tiga tahun terakhir 2007-2009, debit air maksimum dan minimum sungai Ciliwung Hulu menunjukkan kondisi yang sangat fluktuatif. Hal ini dapat dilihat nilai debit maksimum dan debit minimumnya, terutama pada

225

tahun 2007 dan 2009. Pada tahun 2007, debit minimum sebesar 0,61 m3/detik dan debit maksimum 132,79 m3/detik (KRS=217,69). Nilai debit minmum 0,61 m3/detik ini menunjukkan bahwa debit aliran sungai pada saat tersebut sangat kering hingga mendekati nol. Pada tahun 2009, nilai debit minimum sebesar 7,29 m3/detik dan debit maksimum mencapai 451,47 m3/detik. Hal ini menunjukkan bahwa pada sat tersebut, debit aliran sungai Ciliwung Hulu mencapai nilai yang sangat tinggi. Nilai KRS pada tahun 2009 sebesar 61,93 atau berada pada nilai 51-100 yang berarti DAS Ciliwung Hulu dalam kondisi sedang (terletak antara baik dan buruk). Kondisi selama 3 terakhir 2007-2009 nilai rata-rata KRS 97,07 berarti kondisi DAS adalah sedang mengarah ke buruk. Berdasarkan Irianto (2000), DAS Ciliwung Hulu memberikan kontribusi terhadap debit banjir Jakarta yang meningkat dari 43,2% pada tahun 1981 menjadi 50,7 % pada tahun 1999. Hasil penelitian Sawiyo (2005), Sub DAS Cibogo yang merupakan salah satu dari Sub DAS di Ciliwung Hulu telah menunjukkan peningkatan debit puncak dari 280 m3/detik (1990) menjadi 383 m3/detik (1996) dan aliran limpasan (direct run-off) meningkat dari 53% (1990) menjadi 63% (1996). Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan infiltrasi lahan mengalami penurunan akibat terjadinya perubahan jenis penutupan lahan di daerah tangkapan airnya (DTA) menjadi lebih kedap air atau tingkat aliran permukaan menjadi lebih tinggi.

Kemampuan DAS dalam menyimpan air di musim hujan semakin

berkurang sehingga masukan air bawah tanah menjadi berkurang. Kualitas air. Kualitas air Sungai Ciliwung Hulu semakin hari semakin menurun dan akan terus menurun bilamana tidak ada intervensi pemerintah terhadap permasalahan pencemaran air di sungai ini.

Kualitas air Sungai

Ciliwung pada tahun 2009 sudah masuk pada golongan air tercemar. Pencemaran air ini diakibatkan oleh tingginya kandungan kimia air berupa BOD (biologycal oxygen demand) dan COD (chemical oxygen demand). Kadar BOD pada titik pengamatan Katulampa (terbawah), Jembatan Gadog (bagian tengah), dan Masjid At-Ta’awun (paling hulu) sebesar 13-23 mg/liter, sedangkan kadar COD mencapai 30-47 mg/liter.

Berdasarkan parameter fisik dan mikrobiologi, air

226

Sungai Ciliwung menunjukkan air yang sehat. Namun berdasarkan kadar BOD dan COD tersebut, jika kualitas air dinilai untuk digunakan sebagai air minum maka telah tergolong pada air tercemar berat (>12 mg/liter untuk kelas IV). Tingginya nilai BOD dan COD diakibatkan oleh pembuangan limbah organik yang berasal dari rumah tangga. Patut diduga bahwa di wilayah hulu Sungai Ciliwung mulai banyak dibangun permukiman, restoran dan aktivitas masyarakat lainnya termasuk kegiatan jasa wisata di wilayah hulu banyak menghasilkan dan membuang limbah organiknya ke dalam aliran air Sungai Ciliwung. Semakin pesatnya kegiatan wisata di DAS Ciliwung Hulu dan setelah beroperasinya tempat wisata di wilayah Cisarua maka pembangunan tempat parkir yang berbatasan langsung dengan anak sungai Ciliwung sepanjang + 200 meter telah menjadi tempat sampah yang sangat panjang bagi taman hiburan. Tempat sampah ini menampung sampah plastik dan bahan anorganik lainnya yang susah dilarutkan oleh air. Dengan maraknya kegiatan wisata ini juga telah mendorong tumbuhnya warung makan, restoran maupun kedai-kedai sepanjang tepi jalan serta berkembangnya permukiman padat.

Kondisi ini mendorong semakin

membesarnya bahan buangan sampah rumah tangga baik berupa sisa-sisa makanan ke dalam Sungai Ciliwung Hulu sehingga mengakibatkan tingginya kadar COD dan BOD air Sungai Ciliwung. Kualitas lahan. Aktivitas masyarakat dalam melakukan budidaya pertanian baik di lahan milik maupun lahan garapan telah dilakukan secara intensif atau malahan eksploitatif. Aktivitas masyarakat di hulu DAS Ciliwung telah memberikan dampak negatif terhadap kualitas lahan. Hal ini diindikasikan oleh tingginya laju erosi dan sedimentasi yang berasal dari DAS Ciliwung Hulu. Hasil penelitian Zubaidah (2004) menunjukkan bahwa tingkat sedimentasi pada lahan dengan aktivitas penggunaan tegalan 63,68 ton/ha/th, dan 36,96 ton/ha/th (Qodariah 2004).

Sedangkan laju erosi penggunaan lahan perkebunan 52,739

ton/ha/th dan penggunaan lahan tegalan 509,714 ton/ha/th (Zubaidah 2004) dan laju erosi akibat aktivitas pertanian intensif mengakibatkan hilangnya lapisan tanah berupa erosi 74,7 ton/ha/bln (Qodariah 2004) dan di wilayah Tugu Utara

227

dapat mencapai 160,32 s/d 334,17 ton/ha/th (BRLKT Citarum-Ciliwung, 2000). Tingkat erosi yang terjadi di beberapa titik tersebut menunjukkan bahwa DAS Ciliwung mempunyai tingkat erosi yang sangat tinggi dan telah melebihi tingkat erosi yang diijinkan sebesar 20-43 ton/ha/th (Pawitan dan Sinukaban 2007). Tingkat Kesejahteraan Masyarakat. Dari aspek ekonomi, penguasaan lahan petani berupa lahan milik 0,12 ha dan lahan garapan 0,27 ha hanya memperoleh pendapatan rata-rata Rp. 711.000,- /bulan atau Rp. 8.532.000,-/tahun. Petani yang mengandalkan pendapatan dari usaha taninya dan menjadi tenaga buruh pada usaha pertaniannya sendiri maka memperoleh pendapatan keluarga Rp. 437.500,-/bulan. Pendapatan ini dibawah nilai UMR Kabupaten Bogor Rp. 991.714,-/bulan, dibawah UMR Provinsi Jawa Barat Rp 628.191,-/bulan atau masih jauh dibawah kebutuhan hidup layak (KHL) sebesar 800 kg beras atau sebesar Rp. 14.400.00,-/tahun atau 1.200.000,- per bulan (Sinukaban 2007). Memperhatikan hasil pendapatan dari kegiatan bertani tersebut maka petani di DAS Ciliwung Hulu dapat

digolongkan kedalam kondisi miskin atau tidak

sejahtera Dengan kondisi miskin tersebut maka perilaku petani tidak mampu membiayai anggota keluarganya untuk melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi.misalnya ke jenjang SMA maupun perguruan tinggi.

Kondisi saat ini

tingkat pendidikan DAS Ciliwung Hulu tergolong berpendidikan rendah dengan sebagian besar berpendidikan SD dan SLTP (73,70%).

Dengan kepemilikan

lahan yang sempit, pendidikan rendah, dan pendapatan keluarga yang relatif kecil maka kecenderungan berperilaku dalam bertani lebih eksploitatif. 6.5 Simpulan 1. Institusi lokal DAS Ciliwung Hulu tergolong lemah karena tidak efektif dalam mengatur perilaku masyarakat untuk mencapai tujuan pengelolaan DAS mencakup tujuan ekonomi, sosial, dan ekologi.

Hal ini ditunjukkan oleh

rendahnya kinerja yang dicapai dalam pengelolaan DAS berupa kesejahteraan masyarakat maupun degradasi sumberdaya lahan dan air, yaitu : a. Tingkat kesejahteraan masyarakat lokal termasuk miskin.

228

b. Tingkat pendidikan masyarakat relatif rendah. c. Sumberdaya lahan mengalami degradasi yang tinggi melebihi tingkat erosi melebihi tingkat erosi yang diijinkan (tolerable erosion). d. Debit air sungai Ciliwung Hulu tidak stabil (fluktuatif) dengan koefisien rejim sungai (KRS) selama 20 tahun terakhir 151,64 atau lebih besar dari 100 (DAS memburuk). e. Kualitas air Sungai Ciliwung tergolong tercemar berat terutama akibat kandungan BOD yang sangat tinggi. 2. Kebijakan pemerintah tidak efektif mengatur perilaku masyarakat dalam mengelola sumberdaya di DAS Ciliwung Hulu. Kegiatan RHL tidak efektif meningkatkan fungsi DAS karena kebijakan tersebut tidak menyentuh permasalahan hak kepemilikan atas lahan. Lahan milik dan lahan garapan sebesar 70-80% di bawah penguasaan masyarakat luar DAS. Kebijakan pemerintah dalam pengelolaan DAS belum mengatur kewajiban pemegang hak atas lahan. Hak dan kewajiban pemegang hak privat atas lahan perlu diatur secara seimbang karena dapat mempengaruhi fungsi lahan secara umum terhadap proses hidrologi di dalam sistem DAS. 3. Permasalahan bersama masyarakat lokal DAS Ciliwung Hulu adalah rusaknya lingkungan ekologi DAS sehingga fungsi DAS sebagai pengatur hidrologi semakin berkurang yang dapat mengakibatkan ketersediaan air permukaan tanah dan air bawah tanah semakin berkurang. Kondisi demikian mendorong kesadaran bersama masyarakat lokal untuk melakukan aksi bersama (collectice action) perbaikan lingkungan dengan mempertahankan penutupan hutan, rehabilitasi lahan dan kiri-kanan alur sungai dengan tanaman pohon. 4. Aktor kunci dalam pengelolaan DAS Ciliwung Hulu adalah a. Masyarakat luar yang menguasai lahan milik maupun lahan garapan di DAS Ciliwung Hulu. b. Bappeda Kabupaten Bogor. c. Biyong (makelar tanah). d. Pengusaha lokal untuk produk pertanian/kehutanan. e. BP4K dan UPT BP3K Wilayah Ciawi (Badan Penyuluhan Pertanian, Perkebunan, Perikanan, dan Kehutanan).

229

BAB VII PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN BERKELANJUTAN DAS CILIWUNG HULU

7.1

Pendahuluan Pengembangan kebijakan pengelolaan DAS Ciliwung Hulu merupakan

skenario pengembangan kebijakan yang didasarkan pada faktor kunci yang mempunyai pengaruh tinggi dan memiliki ketergantungan terhadap sistem yang dikaji, dalam hal ini sistem DAS Ciliwung Hulu. Faktor yang perlu dikelola adalah faktor memiliki pengaruh tinggi terhadap tingkat keberlanjutan sehingga mampu mendorong kinerja sistem pengelolaan untuk mencapai tujuan sistem. Faktor lainnya yang dikelola adalah faktor dengan ketergantungan yang rendah sehingga mampu mencapai kinerja tanpa tergantung terhadap faktor lainnya, sedangkan faktor dengan ketergantungan yang tinggi maka perlu dikelola secara lebih hati-hati karena dapat mempengaruhi ketidakstabilan di dalam sistem. Skenario pengembangan kebijakan pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu dilakukan dengan menggunakan metoda Analisis Prospektif. Analisis Prospektif ini dilakukan dengan menganalisis derajat hubungan kekuatan dan ketergantungan dengan memberikan skor penilaian tingkat pengaruh langsung maupun tidak langsung antar elemen (faktor) di dalam sistem DAS yang dikaji. Pemberian nilai tingkat pengaruh antar elemen mulai dari tidak ada pengaruh (0), berpengaruh kecil (1), berpengaruh sedang (2), dan berpengaruh sangat kuat (3). Hasil analisis prospektif merupakan rumusan alternatif kebijakan berupa skenario strategis dalam pengelolaan DAS Ciliwung Hulu sehingga dicapai kondisi yang efektif di masa yang akan datang melalui berbagai skenario yang mungkin terjadi. Analisis prospektif ini menghasilkan faktor-faktor dominan (kunci) yang berpengaruh sensitif terhadap kinerja sistem. Skenario pengembangan kebijakan dilakukan dengan mengintervensi faktor kunci tersebut agar dapat meningkatkan kinerjanya dan kinerja sistem dapat dilihat dari peningkatan nilai indeks keberlanjutan pengelolaan DAS Ciliwung Hulu.

230 7.2

Pengembangan Berkelanjutan

Kebijakan

Pengelolaan

DAS

Ciliwung

Hulu

7.2.1 Identifikasi Faktor Dominan Identifikasi faktor dominan dalam sistem pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu dilakukan terhadap faktor pengungkit (leverage factor) dari setiap dimensi keberlanjutan yang diperoleh dari hasil analisis leverage dengan menggunakan Rap-DAS Ciliwung Hulu yang disajikan pada Bab V.

Faktor

pengungkit (leverage) dari kelima dimensi keberlanjutan pengelolaan DAS Ciliwung Hulu sebanyak 24 faktor yaitu : a. Alternatif pendapatan petani dari kegiatan non-pertanian (dimensi ekonomi). b. Pemanfaatan jasa wisata di wilayah DAS Ciliwung Hulu (dimensi ekonomi). c. Perubahan penutupan lahan bervegetasi menjadi non vegetasi maupun menjadi lahan terbangun (dimensi ekologi). d. Tingkat penutupan lahan bervegetasi (dimensi ekologi). e. Tingkat konservatif pengelolaan lahan garapan (ekologi). f. Kualitas air Sungai Ciliwung Hulu (dimensi ekologi). g. Luas kecukupan kawasan hutan (dimensi ekologi). h. Luas dan penyebaran lahan kritis (dimensi ekologi). i.

Pendidikan formal masyarakat lokal (dimensi sosial).

j.

Tingkat kesejahteraan masyarakat petani (dimensi sosial).

k. Persepsi masyarakat terhadap RHL (dimensi sosial). l.

Tingkat partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan terhadap RHL (dimensi sosial).

m. Pertumbuhan penduduk (dimensi sosial). n. Lembaga pasar input dan output pertanian (dimensi kelembagaan). o. Kegiatan penyuluhan pembangunan pertanian, perikanan dan kehutanan (dimensi kelembagaan). p. Organisasi pemerintah bidang penyuluhan (dimensi kelembagaan). q. Kapasitas koordinasi organisasi pemerintah (dimensi kelembagaan).

231

r. Kapasitas organisasi pemerintah (dimensi kelembagaan). s. Proses pengambilan keputusan terhadap RHL (dimensi kelembagaan). t. Aturan keterwakilan (representatif) (dimensi kelembagaan). u. Batas yurisdiksi (jurisdiction) (dimensi kelembagaan). v. Kepemilikan lahan (property right) (dimensi kelembagaan). w. Teknologi konservasi dalam pengelolaan lahan (dimensi aksesibilitas dan teknologi konservasi). x. Aksesibilitas jalan ke layanan publik (dimensi aksesibilitas dan teknologi konservasi). Faktor pengungkit yang diperoleh dari analisis leverage tersebut kemudian dilakukan penilaian tingkat pengaruh antar faktor baik secara langsung maupun tidak langsung. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan Analisis Prospektif. Setiap faktor memiliki pengaruh yang lemah sampai dengan sangat kuat terhadap faktor lainnya. Dengan menilai tingkat pengaruh ini maka karakter faktor memiliki tingkat pengaruh maupun tingkat ketergantungan terhadap faktor lainnya di dalam sistem DAS. Analisis Prospektif terhadap sistem pengelolaan berkelanjutan DAS maka dihasilkan pengelompokan setiap faktor dapat dikelompokkan kedalam 4 (empat) kuadran yaitu kuadran I = INPUT atau faktor penentu (driving varables), kuadran II =

STAKE atau faktor penghubung

(leverage variables), kuadran III = OUTPUT atau faktor terikat (output variables), dan kuadran IV = UNUSED atau faktor bebas (marginal variables). Hasil Analisis Prospektif terhadap sistem pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu disajikan ada Gambar 30. Faktor yang masuk kedalam kuadran I dan kuadran II merupakan faktor kunci yang memiliki karakteristik memiliki pengaruh yang kuat dan dengan ketergantungan terhadap sistem yang rendah dan kuat. Dalam pengelolaan sumberdaya DAS maka diharapkan banyak faktor yang berada di kuadran I sehingga pengelolaan faktor lebh mudah, sedangkan faktor yang berada di kuadran II (Stake) atau faktor penghubung maka dibutuhkan pengelolaan yang lebih hati-hati karena faktor ini memiliki pengaruh yang besar dan ketergantungan yang besar terhadap sistem.

230

232

Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Sistem yang Dikaji

3,00

2,50 I

II Kegiatan penyuluhan

Pengaruh

2,00

Pemanfaatan jasa wisata Koordinasi pemerintah

Perubahan lahan terbangun Alternatif pendapatan

1,50

Instansi penyuluhan

IV

III

Lembaga pasar pertanian Proses pengambilan kpts

Property right

1,00

Batas yurisdiksi Aturan representasi Persepsi RHL Infrastruktur jalan

Penutupan lahan bervegetasi Kecukupan kawasan hutan Kesejahteraan petani

0,50 Kapasitas organisasi pemerintah

Lahan kritis

Pendidikan formal masy Pertumbuhan penduduk Teknologi konservatif Partisipasi masy dlm pengambilan Konservatif lahan garapan kpts Kualitas air sungai

-

0,50

1,00

1,50

2,00

2,50

Ketergantungan

Gambar 30

Tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh dalam sistem pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu

3,00

231

232

233

Berdasarkan Gambar 30 dapat dilihat bahwa faktor dengan karakter yang memiliki pengaruh tinggi dan ketergantungan rendah sebanyak empat faktor yaitu (1) kegiatan penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan, (2) pemanfaatan jasa wisata, (3), perubahan lahan menjadi lahan terbangun, dan (4) alternatif pendapatan petani dari kegiatan non-pertanian. Faktor faktor dengan pengaruh tinggi dan ketergantungan tinggi sebanyak satu faktor yaitu kapasitas koordinasi instansi pemerintah. Memperhatikan hal tersebut maka faktor yang dominan (kunci) di dalam sistem DAS Ciliwung Hulu adalah faktor yang memiliki pengaruh yang tinggi terhadap kinerja sistem sebanyak 5 (lima) faktor yaitu : (1) kegiatan penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan, (2) pemanfaatan jasa wisata. (3) perubahan lahan menjadi lahan terbangun, (4) alternatif pendapatan petani dari kegiatan non-pertanian, dan (5) kapasitas koordinasi instansi pemerintah. Kelima faktor tersebut mempunyai pengaruh yang besar terhadap kinerja sistem DAS Ciliwung Hulu.

Faktor ini perlu dikelola dengan lebih baik.

Perubahan terhadap kinerja faktor kunci maka secara sensitif berpengaruh terhaap kinerja sistem. Peningkatan kinerja sistem dapat didorong melalu intervensi atau peningkatan kinerja pada setiap faktor kunci sehingga secara bersama-sama mampu meningkatkan kinerja sistem. Pengembangan kebijakan pengelolaan DAS Ciliwung Hulu dilakukan melalui intervensi terhadap faktor-faktor kunci sehingga diharapkan mampu meningkatkan kinerja sistem yang dapat dilihat melalui peningkatan nilai indeks keberlanjutannya. Kapasitas koordinasi instansi pemerintah merupakan faktor yang memiliki pengaruh tinggi dan ketergantungan tinggi di dalam sistem DAS Ciliwung Hulu. Koordinasi antar pelaku di dalam sistem DAS Ciliwung Hulu mampu

mendorong

peningkatan

kinerja

faktor-faktor.

Koordinasi

menghubungkan antar faktor, antar pelaku maupun mensinergikan kepentingan antar dimensi di dalam sistem DAS.

Koordinasi tidak dimiliki oleh pelaku

tunggal atau dimonopoli oleh beberapa pelaku tetapi merupakan hubungan positif antar pelaku. Koordinasi merupakan alat penggerak secara bersama-sama para

234

pihak untuk mencapai kondisi yang diinginkan bersama dengan melakukan pembagian tanggung jawab, resiko serta implikasinya secara bersama (SSC 2008). Koordinasi secara positif

menunjukkan adanya kerjasama yang tinggi antar

pelaku dari waktu ke waktu untuk mewujudkan tujuan manfaat ganda secara optimal dengan melakukan serangkaian aktvitas secara terpadu (Zingerli 2004). Kerjasama yang dibangun melalui koordinasi harus mampu mendorong pencapaian tujuan secara bersama (multi-tujuan) yang dilakukan secara terpadu dan terus menerus berdasarkan komitmen bersama sesuai dengan peran dan tanggung jawab masing-masing pelaku. Pemanfaatan jasa wisata. Potensi DAS Ciliwung Hulu yang telah dimanfaatkan sejak tahun 1970-an adalah potensi jasa wisata. Hal ini didukung oleh daya tarik pemandangan alam dan kondisi iklim yang umumnya

sejuk

hingga dingin dan dengan latar belakang Gunung Gede dan Gunung Pangrango serta beberapa obyek wisata yang menarik. Obyek wisata alam dimulai dari wilayah Kecamatan Ciawi, Megamendung s/d Cisarua. Jasa wisata yang telah lama dinikmati adalah jasa lingkungan udara sejuk /dingin. Hal ini diindikasikan dengan berdirinya vila-vila mulai dari Gunung Leutik, Ciawi dan seluruh pelosok Ciliwung Hulu hingga Cisarua ; mulai dari tepian jalan utama arah Puncak hingga ke arah ujung kiri-kanan jalan penghubung di seluruh DAS Ciliwung Hulu. Vilavila, hotel, wisma, pusat pendidikan dan pelatihan pemerintah maupun swasta ataupun rumah peristirahatan yang umumnya dimiliki oleh masyarakat luar DAS Ciliwung Hulu dan khususnya warga Jakarta. Berdasarkan informasi beberapa tokoh masyarakat, pembangunan rumah hunian maupun pusat diklat tersebut, proses kepemilikan lahannya telah diusahakan sejak tahun 1970-1980-an hingga saat ini. Harga tanah pada saat tersebut Rp. 5.000 -10.000,-/m2 dan hingga kini mencapai Rp. 300-350rb/m2 di wilayah pedalaman yang masih terjangkau oleh akses jalan mobil.

Tidak jarang, di atas tanah negara berupa lahan eks-

perkebunan PT Buana Estate 119 ha, eks-lahan perkebunan PT Sumber Sari Bumi Pakuan 260 ha (sebelum SK HGU Terakhir), maupun sebagian lahan PT Gunung Mas telah berlangsung secara cepat jual beli lahan garapan antara masyarakat setempat dengan masyarakat di luar DAS Ciliwung Hulu. Di atas lahan garapan

235

tersebut juga telah berdiri secara illegal bangunan vila baik permanen maupun semi-permanen. Potensi wisata DAS Ciliwung Hulu telah menimbulkan daya tarik untuk proses jual beli lahan milik maupun lahan garapan dengan masyarakat luar DAS Ciliwung Hulu. Potensi wisata yang ada di DAS Ciliwung Hulu berupa wisata alam baik berupa wanawisata, agrowisata maupun wisata buatan lainnya seperti Taman Safari dan Taman Matahari serta agrowisata lainnya. Pada awal 2000-an, kondisi lalu lintas ke dan dari arah Puncak padat hanya pada hari Libur, Sabtu dan Minggu; dan dari Kota Bogor dapat dicapai dalam 30 – 60 menit. Sejak 2008-an, pada hari-hari biasa, kondisi lalu lintas DAS Ciliwung Hulu selalu padat sepanjang hari (kecuali pada jam 21.00-06.00), pada saat jam sekolah, maupun aktivitas ekonomi sedang berlangsung. Pada hari Sabtu, Minggu dan hari-hari libur lalu lintas selalu padat dan cenderung macet sehingga perjalanan dari Kota Bogor sampai ke d Puncak harus ditempuh dalam waktu 5-7 jam. Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan jasa wisata telah tumbuh, berkembang dan telah mendekati limit puncak (maksimum) kunjungan jasa wisata di DAS Ciliwung Hulu. Aktivitas wisata telah mendorong masyarakat untuk lebih berfikir ekonomis terhadap sumberdaya lahan yang dimiliki, sehingga aktivitas non pertanian telah banyak dilakukan oleh masyarakat untuk mendapatkan pendapatan tambahan ataupun sebagai alternatif sumber matapencaharian utama, diantaranya kegiatan peternakan (sapi, domba, kelinci), perikanan maupun kegiatan jasa lainnya yang mendukung terhadap kegiatan wisata misalnya pemasaran produkproduk olahan pertanian (ubi, tape singkong, pisang dan produk olahannya) maupun kerajinan tangan lainnya. Kegiatan penyuluhan merupakan kegiatan transfer informasi baik menyangkut

ilmu pengetahuan, teknologi maupun program peningkatan

pemberdayaan dari pihak penyuluh kepada beberapa kelompok sasaran masyarakat terutama kelompok tani (poktan).

Kegiatan penyuluhan secara

intensif telah dilaksanakan oleh Badan Penyuluhan Pertanian, Perkebunan, Perikanan dan Kehutanan (BP4K). Instansi penyelenggara penyuluhan di Kabupaten Bogor ini merupakan instansi setingkat Eselon II dan didukung oleh

236

UPT Daerah setingkat Eselon III yaitu Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP3K). UPTD BP3K sebanyak 12 wilayah (Ciawi, Dramaga, Cibungbulang,

Leuwiliang,

Cigudeg,

Parungpanjang,

Ciseeng,

Cibinong,

Caringin, Gunung Putri, Jonggol, dan Cariu). DAS Ciliwung Hulu termasuk dibawah binaan BP3K Wilayah Ciawi yang mencakup 3 kecamatan yaitu Kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Cisarua. Kegiatan penyuluhan tahun 2010 dan 2011 mencakup empat bidang yaitu (1) bidang tanaman pangan dan hortikultura,

perkebunan, peternakan,

perikanan, dan kehutanan, (2) bidang penyuluhan dan penguatan kelembagaan penyuluhan, (3) pemberdayaan lembaga swadaya masyarakat, serta (4) kegiatan pendukung hutan kemasyarakatan (budidaya jamur, dan percontohan hutan kemasyarakatan).

Kegiatan penyuluhan secara rutin dilaksanakan di seluruh

pelosok DAS Ciliwung Hulu dan dibagi dalam 14 wilayah penyuluhan dimana setiap wilayah dibina oleh seorang penyuluh. Kondisi tahun 2010, BP3K Wilayah Ciawi didukung oleh 10 orang penyuluh lapangan, pejabat struktural BP3K dan beberapa oleh tenaga honorer penyuluh. Kegiatan penyuluhan telah mendekatkan program pemerintah kabupaten dengan aktivitas masyarakat petani yang tergabung dalam kelompok tani khususnya di DAS Ciliwung Hulu. Kegiatan penyuluhan

telah

mampu

memberikan

informasi

pembangunan

kepada

masyarakat, teridentifikasinya program-program yang dibutuhkan dari dan oleh masyarakat, serta berjalannya proses peningkatan kapasitas organisasi dan kelembagaan di dalam masyarakat DAS Ciliwung Hulu. Perubahan lahan menjadi lahan terbangun. Lahan DAS Ciliwung Hulu memiliki tipe penutupan lahan berupa hutan primer, semak belukar, kebuh teh, sawah, tegalan, ladang dan permukiman.

Lahan berpenutupan vegetasi

mempunyai peran yang lebih baik dalam peningkatan daya infiltrasi air hujan ke dalam tanah daripada lahan tanpa penutupan vegetasi. Daya infiltrasi yang tinggi akan mampu mengurangi tingginya aliran permukaan (surface run-off) yang berkontribusi menimbukan banjir. Lahan dengan tipe penutupan vegetasi ini meliputi lahan hutan, semak belukar dan kebun teh. Lahan berupa sawah, tegalan dan ladang memiliki kemampuan infiltrasi yang lebih kecil; sedangkan lahan

237

dengan paling buruk laju infiltrasinya adalah lahan terbangun berupa permukiman ataupun bangunan bersemen lainnya.

Dengan tingginya laju pertumbuhan

penduduk maupun tingginya intensitas wisata maka mendorong tumbuhnya permukiman, vila dan perluasan bangunan dan fasilitas perhotelan lainnya di DAS Ciliwung Hulu. Lahan yang dibangun dapat berupa lahan tegalan, sawah, semak belukar, atau bahkan lahan perkebunan teh dan hutan yang dibangun secara legal maupun illegal.

Perubahan lahan yang mendukung konservasi DAS menjadi

lahan terbangun yang kurang konservatif telah mendorong meningkatkan tingginya aliran air permukaan (run-off).

Semakin luas lahan terbangun maka

semakin tinggi laju aliran air permukaan dari setiap tetesan air hujan yang jatuh di DAS Ciliwung Hulu sehingga dapat meningkatkan debit maksimum air Sungai Ciliwung atau bahkan dapat menurunkan debit minimum pada musim kemarau. Kondisi pada musim kemarau panjang, banyak sumur masyarakat maupun alur sungai mengalami kekeringan sehingga tidak jarang masyarakat mengalami kekurangan air untuk kebutuhan pokoknya. 7.2.2 Keadaan yang Mungkin Terjadi pada Faktor Kunci di Masa Depan Kondisi faktor-faktor ke depan memiliki sifat ketidakpastian yaitu adanya peluang perubahan yaitu menjadi tetap, memburuk atau menjadi lebih baik. Analisis Morfologis dilakukan untuk menganalisis kecenderungan perubahan dari setiap faktor dominan dengan mempertimbangkan karakteristik wilayah, keadaan lokal, maupun akibat perubahan faktor dari wilayah luar maupun level yang lebih tinggi.

Ketepatan dalam analisis ini mendukung terhadap ketepatan dalam

skenario pengembangan kebijakan dalam pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu. Beberapa variabel dominan dalam pengelolaan DAS Ciliwung Hulu mempunyai kemungkinan perubahan ke depan ataupun dilakukan perubahan melalui intervensi dalam rangka meningkatkan nilai indeks keberlanjutan dalam pengelolaan DAS Ciliwung Hulu. Perubahan faktor dominan ke depan disajikan pada Tabel 34. Memperhatikan kemungkinan perubahan ke depan terhadap faktor kunci (dominan) dalam pengelolaan DAS Ciliwung Hulu maka Pengembangan

238

Kebijakan Pengelolaan Berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu (P) merupakan hasil interaksi antara faktor (n) Pendapatan petani dari kegiatan non-pertanian, (w) Pemanfaatan jasa wisata untuk pengembangan ekonomi wilayah, (v) Perubahan penutupan lahan bervegetasi menjadi non vegetasi maupun menjadi lahan terbangun, (s) Kegiatan penyuluhan pembangunan pertanian, perkebunan, perikanan dan kehutanan, dan (k) Kapasitas koordinasi organisasi pemerintah. Model

kualitatif pengembangan kebijakan pengelolaan berkelanjutan DAS

Ciliwung Hulu dapat digambarkan dalam hubungan fungsi : P = f (n, w, v, s, k) .............................................................................. (5) Pengembangan kebijakan pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu dilakukan berdasarkan skenario yang disusun yaitu Skenario I (pesimis), Skenario II (moderat), dan Skenario III (optimis).

Skenario I merupakan skenario

pengelolaan DAS dilakukan seperti kondisi eksisting tanpa ada intervensi perbaikan pada atributnya. Skenario II merupakan skenario pengelolaan yang dilakukan

dengan

melakukan

perbaikan

kinerja

pada

atribut

sensitif

(n) pendapatan petani dari kegiatan non-pertanian menjadi setingkat lebih baik (dari sedang menjadi tinggi), (v) perubahan pengendalian penutupan bervegetasi menjadi lahan terbangun dari sangat tinggi menjadi tinggi (lppm>2lppk menjadi lppk40% dari kungjungan ke Kab. Bogor.

Sangat tinggi. Tingkat kunjungan wisatawan ke wilayah bersangkutan >40% dari kungjungan ke Kab. Bogor.

Tetap, Sangat Tinggi

Tetap, Sangat Tinggi (2) Sedang Lppm=lppk

Sangat tinggi. Tingkat kunjungan wisatawan ke wilayah bersangkutan >40% dari kungjungan ke Kab. Bogor.

Sangat Tinggi 3

(0) (1) Perubahan penutupan Tinggi Sangat tinggi lahan bervegetasi (lppm>2x lppk) Lppk50% dari yg diundang. Ditambah materi dengan mempertimbangkan faktor kunci yang lain, misalnya Program KB.

(3) terjadwal dengan baik dan dihadiri oleh masy >50% dari yg diundang. Ditambah materi dengan mempertimbangkan faktor kunci yang lain, misalnya Program KB.

Intensif

Tetap Intensif

Tetap Intensif

240

1 5

2 Kapasitas koordinasi organisasi pemerintah

3

4

5

(0) Mengerti tupoksi masing-masing, tidak memahami posisi dan peran pihak mitra koordinasi);

(1) Mengerti tupoksi masing-masing, memahami posisi dan peran pihak mitra koordinasi, mementingkan programnya masingmasing);

(2) Mengerti tupoksi masing2, memahami posisi dan peran pihak mitra koordinasi, dan keterpaduan implementasi program bersama).

Buruk

Meningkat, Sedang

Meningkat, Baik

Keterangan : A = kondisi eksisting skenario I (pesimis); B=skenario II (moderat); C=skenario III (optimis). (0) s/d (3) = nilai skoring atribut faktor kunci (dominan)

7.3

Skenario Pengembangan Kebijakan Pengelolaan Berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu Skenario yang dibangun untuk pengembangan kebijakan pengelolaan

berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu dilakukan dengan menggunakan tiga skenario yaitu skenario I (pesimis), II (moderat), dan III (optimis).

Skenario

pengembangan kebijakan dilakukan dengan melakukan intervensi (perbaikan) kinerja terhadap faktor kunci. Perbaikan kinerja faktor dengan alat analisis ini (tool) dilakukan dengan meningkatkan nilai skor terhadap faktor penting tersebut. Selanjutnya pada faktor-faktor pengungkit (leverage) pada masing-masing dimensi keberlanjutan dibuat kondisi yang mungkin terjadi di masa depan. Skenario kemudian disimulasikan melalui analisis MDS untuk menilai kembali peningkatan indeks keberlanjutannya. Nilai indeks keberlanjutan adalah jumlah nilai indeks keberlanjutan per-dimensi hasil skenario dikalikan dengan nilai bobot masing-masing dimensi. Nilai bobot per-dimensi pada dari nilai indeks keberlanjutan pengelolaan DAS Ciliwung Hulu adalah dimensi ekologi 36,28%, dimensi ekonomi 25,23%, dimensi kelembagaan 17,04%, dimensi sosial 14,15% dan dimensi aksesibilitas dan teknologi konservasi 7,30% (Tabel 27).

Nilai

indeks dan status keberlanjutan pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu hasil pengembangan kebijakan dengan Skenario I, Skenario II dan Skenario III disajikan pada Tabel 35.

241

Tabel 35

No.

Nilai indeks dan status keberlanjutan hasil pengembangan kebijakan Skenario I (pesimis), Skenario II (moderat), dan Skenario III (optimis)

Dimensi

Skenario I (Pesimis) Nilai indeks

1

Ekologi

2

Ekonomi

3

Kelembagaan

4

Sosial

5

Aksesibilitas dan Teknologi Nilai indeks keberlanjutan Status

Skenario II (Moderat)

Skenario III (Optimis)

Nilai tertimbang

Nilai indeks

Nilai tertimbang

44,74

16,23

51,84

18,81

55,66

20,19

60,53

15,27

62,62

15,80

65,95

16,64

28,77

4,90

37,64

6,41

58,37

9,95

47,76 55,64

6,76 4,06

47,76 55,64

6,76 4,06

47,76 55,64

6,76 4,06

47,23 kurang berkelanjutan

Nilai indeks

51,84 cukup berkelanjutan

Nilai tertimbang

57,60 cukup berkelanjutan

Skenario I (pesimis) merupakan skenario kebijakan berdasarkan kondisi eksisting tanpa melakukan intervensi terhadap faktor dominan dengan nilai indeks keberlanjutan 47,23 atau kategori kurang berkelanjutan.

Dimensi ekologi

memiliki nilai tertimbang tertinggi yaitu 16,23 daripada dimensi lainnya walaupun nilai indeksnya lebih kecil yaitu 44,74. Hal ini disebabkan oleh nilai bobot kepentingan pengelolaan DAS Ciliwung Hulu lebih diprioritaskan untuk dimensi ekologi sebesar 36,28 atau lebih tinggi daripada nilai bobot dimensi lainnya. Pada dimensi sosial tidak diperoleh faktor kunci sehingga pada Skenario II dan III tidak dilakukan intervensi untuk peningkatan kinerja pada dimensi sosial. Apabila melakukan intervensi terhadap beberapa faktor pada dimensi sosial tidak memberikan pengaruh secara signifikan terhadap peningkatan nilai indeks keberlanjutan DAS Ciliwung Hulu.

Skenario II dilakukan melalui perbaikan

kinerja beberapa faktor kunci pada dimensi kelembagaan sehingga dapat meningkatkan nilai indeks dimensinya walaupun relatif kecil yaitu menjadi 37,64. Peningkatan nilai indeks dimensi kelembagaan ini masih belum menuju pada status cukup berkelanjutan. Skenario II telah mampu meningkatkan nilai indeks dimensi ekologi menjadi 51,84 (cukup berkelanjutan).

Secara keseluruhan

dengan Skenario II nilai indeks keberlanjutan dapat ditingkatkan dari 47,23

242

menjadi 51,84 berarti cukup berkelanjutan.

Nilai indeks tersebut diperoleh

terbesar dari dimensi ekologi dan ekonomi dan sumbangan terkecil dari dimensi kelembagan dan dimensi aksesibilitas dan teknologi konservasi. Skenario III (optimis) mampu meningkatkan nilai indeks keberlanjutan menjadi 57,60 berarti cukup berkelanjutan.

Skenario III telah mampu

meningkatkan nilai indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan dari 37,64 menjadi 58,37 (cukup berkelanjutan), yang sebelumnya dengan skenario II hanya mampu meningkatkan nilai indeks dari 28,77 menjadi 37,64. Nilai indeks dimensi sosial tetap rendah yaitu 47,76 dan dimensi aksesibilitas dan teknologi tetap 55,64 karena kedua dimensi tersebut tidak dilakukan intervensi. Secara keseluruhan dengan Skenario III maka nilai indeks keberlanjutan pengelolaan DAS Ciliwung Hulu telah meningkat menjadi 57,60 (di atas 50,00) atau dengan status cukup berkelanjutan. Peningkatan nilai indeks per-dimensi keberlanjutan dari ketiga skenario disajikan pada Gambar 31.

Ekologi

100 80 55,66

60 Aksesibilitas dan T eknologi

40

51,84

44,74 55,64

20

65,95

60,53

Ekonomi

62,62

0

37,64 47,76 58,37

Sosial

Skenario I

Kelembagaan

Skenario II

Skenario III

Gambar 31 Diagram layang-layang peningkatan indeks per-dimensi keberlanjutan hasil skenario pengembangan kebijakan DAS Ciliwung Hulu

243

7.4

Alternatif Skenario Pengembangan Berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu

Kebijakan

Pengelolaan

Kebijakan yang dapat dikembangkan agar pengelolaan DAS Ciliwung Hulu menjadi lebih berkelanjutan didasarkan pada model P = f (n, w, v, s, k) yaitu hasil interaksi faktor-faktor (n) Pendapatan petani dari kegiatan non-pertanian, (w) Pemanfaatan jasa wisata untuk pengembangan ekonomi wilayah, (v) Perubahan penutupan lahan bervegetasi menjadi non vegetasi maupun menjadi lahan terbangun, (s) Kegiatan penyuluhan pembangunan pertanian, kehutanan.dan pertanian, dan (k) Kapasitas koordinasi organisasi pemerintah. Pengembangan kebijakan dilakukan secara integratif dengan meningkatkan kinerja faktor kunci yang bersifat sensitif tersebut sehingga mampu meningkatkan nilai indeks keberlanjutan DAS. Skenario yang paling memungkinkan ditempuh untuk meningkatkan tingkat keberlanjutan DAS Ciliwung saat ini adalah dengan Skenario II karena beberapa faktor kunci tersebut hanya mungkin dapat ditingkatkan menjadi setingkat lebih baik. Dengan menggunakan Skenario II maka nilai indeks keberlanjutan dapat ditingkatkan dari 47,23 menjadi 51,84 (cukup berkelanjutan) walaupun nilai indeks dimensi kelembagaan dan dimensi sosial masih rendah (kurang berkelanjutan). Nilai indeks hasil Skenario II sebesar 51,84 masih berdekatan dengan 50,00 sehingga dengan Skenario II masih diperlukan kewaspadaan dalam pengelolaan faktor-faktor kunci karena nilai tersebut hanya sedikit lebih besar dari nilai indeks batas 50,00 atau cenderung kepada kurang berkelanjutan. Dimensi kelembagaan memerlukan penanganan yang lebih intensif dalam pengelolaan DAS Ciliwung Hulu. Peningkatan kapasitas kelembagaan membutuhkan komitmen semua pihak untuk memperbaiki dan mengembangkan tugas pokok dan fungsinya masing-masing dan dengan meningkatkan koordinasi, sinkronisasi dan sinergi dari semua pihak (aktor) terkait dengan pengelolaan DAS Ciliwung Hulu. Peningkatan kinerja dengan Skenario II dilakukan dengan peningkatan kinerja faktor kunci meningkatkan (n) pendapatan petani dari kegiatan non pertanian tanaman pangan, (v) Perubahan penutupan lahan bervegetasi menjadi non vegetasi maupun menjadi lahan terbangun dan (k) Kapasitas koordinasi organisasi pemerintah; dan dengan menjaga dan meningkatkan kualitas faktor (w) Pemanfaatan jasa wisata untuk pengembangan ekonomi wilayah, (s) Kegiatan penyuluhan pembangunan pertanian, kehutanan.dan perikanan. Dengan peningkatan kinerja faktor setingkat lebih tinggi ini nilai indeks keberlanjutan sudah mengalami peningkatan menjadi 51,84. Walaupun faktor kelembagaan

244

masih 37,64 atau di bawah 50,00 tetapi mengalami peningkatan dari 28,77 menjadi 37,64. Pendapatan petani dari kegiatan non-pertanian (n). Peningkatan pendapatan petani non-pertanian diupayakan melalui perluasan alternatif kegiatan produktif dengan tidak berbasis pada lahan pertanian. Kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat petani yang dapat dikembangkan diantaranya peternakan budidaya kambing, sapi perah, kelinci, perikanan air tawar, warung rumah tangga, budidaya jamur tiram dan kegiatan ekonomi lainnya. Budidaya ternak rakyat dapat didukung dengan ketersediaan rumput dan hijauan makanan ternak (HMT) di DAS Ciliwung Hulu. Lahan gontai dan kiri-kanan sungai atau alur sungai serta tegalan merupakan alternatif sumber pengambilan HMT. Pihak yang berkepentingan dalam peningkatan pendapatan petani diantaranya Dinas Peternakan melalui program pengembangan ternak rakyat, Dinas Koperasi dan Dinas Perindustrian melalui penguatan wadah koperasi, pemberian modal bagi masyarakat lokal dan pembinaan usaha melalui diklat teknis industri rumah tangga, Dinas Pertanian dan Kehutanan melalui pengembangan usaha budidaya perikanan air tawar, dan Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP4K). BP4K berperan dalam kegiatan penyuluhan dalam rangka trnasfer ilmu pengetahuan, teknologi dan pengumpulan program pembangunan yang dibutuhkan masyarakat lokal. Dalam rangka integrasi kegiatan maka dibutuhkan koordinasi, dukungan program dan anggaran antar dinas teknis terkait di Pemerintah Kabupaten Bogor sehingga dibutuhkan peran Bappeda Kab. Bogor. Bappeda Kabupaten Bogor berpean dalam mengkoordinasikan perencanaan program pembangunan berdasarkan program kegiatan prioritas yang dibutuhkan masyarakat lokal. Bappeda mengkoordinasikan program kegiatan tersebut dengan seluruh instansi teknis daerah terkait maupun UPT pemerintah pusat di daerah untuk merancang program secara terpadu. Perubahan lahan bervegetasi menjadi lahan terbangun terus diupayakan pengendaliannya. Lahan bervegetasi berupa hutan rakyat, perkebunan, maupun tanaman campuran antar musim dan tahunan ditingkatkan luasnya. Sementara itu pembangunan vila dan rumah peristirahatan perlu dikendalikan secara ketat untuk menungjang fungsi DAS Ciliwung Hulu sebagai daerah tangkapan air (DTA). Perambahan kawasan hutan maupun lahan HGU perkebunan agar ditertibkan agar tidak berubah menjadi permukiman semipermanen maupun permanen. Strategi Dinas Tata Ruang dan Permukiman, Dinas Tata Bangunan dan Permukiman serta Satpol PP Kabupaten Bogor dalam menyikapi kondisi ini dengan upaya pengendalian bangunan permukiman lebih ditingkatkan. Strategi penertiban bangunan tidak berijin atau melanggar ketentuan zonasi, serta pemberian izin yang lebih selektif diharapkan mampu menurunkan laju perubahan lahan bervegetasi menjadi lahan terbangun.

245

Keberadaan vegetasi maupun permukaan air dapat menurunkan suhu karena sebagian energi radiasi matahari yang diserap permukaan akan dimanfaatkan untuk menguapkan air dari jaringan tumbuhan (transpirasi) atau langsung dari permukaan air atau permukaan padat yang mengandung evaporasi (Lakitan 1994). Penelitian di Cekungan Kota Bandung menunjukkan adanya hubungan yang erat antara perubahan penutupan lahan dengan suhu udara permukaan, ditandai oleh kesamaan pola perubahan luas penutupan lahan dan perubahan distribusi spasial suhu udara permukaan (Adiningsih et al. 2001). Perubahan permukaan bumi akibat perataan tanah akan mempengaruhi cara sinar matahari diserap dan dipancarkan kembali ke atmosfer dan mengubah tahanan gesek terhadap angin. Perubahan ini juga akan mempengaruhi penyerapan dan pelimpasan hujan, serta penguapan air ke udara (Neiburger 1995). Aktivitas pembangunan yang mengakibatkan perubahan bentuk penutupan lahan bervegetasi menjadi lahan non-vegetasi dapat mengakibatkan sengatan yang kuat terhadap permukaan tanah sehingga menimbulkan kenaikan suhu tanah, dan kemudian diikuti dengan laju evaporasi yang semakin kuat (Indrowuryatno 2004). Pemanfaatan jasa wisata. DAS Ciliwung Hulu atau wilayah Puncak memiliki nilai kompetitif tinggi berbasis ekologi dan telah berkembang sebagai daerah tujuan ekowisata bagi masyarakat Bogor, DKI Jakarta dan wilayah sekitarnya. Wilayah DAS Ciliwung Hulu dengan kondisi ekologi yang sesuai untuk tujuan ekowisata maka perlu dipertahankan atau ditingkatkan daya dukungnya. Menjaga atau meningkatkan daya dukung wilayah berarti menjaga kelestarian keberadaan dan fungsi ekologi wilayah agar mampu memberikan produk barang maupun jasa secara berkelanjutan berupa pemandangan yang indah, suhu udara sejuk sampai dingin, landscape alam yang menarik serta potensi wanawisata yang lebih natural yang tidak dijumpai di wilayah lain, dan keramah-tamahan atau tingkat penerimaan pelaku ekowisata oleh warga DAS Ciliwung Hulu. Beberapa pihak yang terkait dengan upaya pengembangan jasa wisata diantaranya Dinas Pariwisata, Dinas Pertanian dan Kehutanan berperan dalam peningkatan daya dukung wilayah untuk pengembangan ekowisata dan pemeliharaan landscape, Perum Perhutani KPH Bogor sebagai pelaku wisata, Dinas Pekerjaan Umum dalam penyediaan dan peningkatan prasarana, Bapeda dalam pengambilan kebijakan dan strategi pengembangan ekowisata, BLHD dalam pengendalian permukiman kiri-

246

kanan sungai dan pengelolaan limbah akibat aktivitas rumah tangga, wisata dan kegiatan lainnya, serta pemerintahan lokal khususnya di Kecamatan Ciawi, Megamendung dan Cisarua. Pihak kecamatan berperan dalam membangn persepsi dan sikap masyarakat teradap masyarakat pelaku an penikmat wisata sehingga suasana aman, dan kondusif dapat diciptakan oleh masyarakat lokal. Kapasitas akses jalan utama perlu ditingkatkan dengan pelebaran jalan alternatif dan tidak perlu dengan membuat jalur baru misalnya rencana pembuatan Jalan Puncak II yang menghubungkan wilayah Sukaraja ke arah Puncak. Alternatif pembukaan jalan Puncak II ini akan lebih menghancurkan potensi wisata di DAS Ciliwung Hulu karena akan mendorong terjadinya perubahan penutupan lahan dan mengurangi daya dukung lingkungan untuk ekowisata. Kebijakan pemanfaatan ekowisata berkelanjutan tidak boleh mengurangi kapasitas ekologi lokal yang merupakan faktor penunjang keberlanjutannya. Aktivitas pembangunan jalan akan memberikan tekanan terhadap ruang terbuka hijau (RTH). Pengurangan atau penambahan RTH mengakibatkan peningkatan atau penurunan suhu udara dengan besaran berbeda, dimana setiap pengurangan 50% RTH mengakibatkan peningkatan suhu udara hingga 0,4 sampai 1,8o C, sedangkan penambahan RTH 50% hanya menurunkan suhu udara sebesar 0,2% sampai 0,5%. Hal ini memperlihatkan arti pentingnya keberadaan RTH dimana wilayah dengan aktivitas pembangunan fisik yang tinggi dapat mengakibatkan pengurangan RTH, meningkatkan jumlah kendaraan bermotor dan perluasan lahan terbangun (Effendy 2007). Kondisi ini dapat meningkatkan emisi gas buang kendaraan bermotor sehingga memberikan dampak negatif dari aktivitas ekowisata di wilayah DAS Ciliwung Hulu. Beberapa faktor yang mengakibatkan terjadinya perubahan suhu adalah perbedaan bahan jenis permukaan (bentuk penutupan lahan dari vegetasi menjadi bangunan dan jalan), perubahan bentuk permukaan, adanya sumber-sumber panas (kendaraan bermotor dan pantulan radiasi oleh bangunan), serta meningkatnya keberadaan polutan di udara. Sistem pemanasan kota lebih efisien dan bentuk bangunannya menyebabkan laju kecepatan angin menjadi lebih lemah sehingga proses kehilangan panas relatif kecil (Adiningsih dalam Lestiana 1994). Energi yang datang dari matahari melewati atmosfer tanpa mengalami perubahan yang berarti karena

247

hilangnya RTH dan kemudian memanasi permukaan bumi bagian bawah atmosfer. Radiasi inframerah dari permukaan bumi sebagian diserap oleh beberapa gas yang dinamakan gas rumah kaca (terutama CO dan uap air) yang ada di atmosfer dan sebagian diemisikan ke permukaan memanasi permukaan bumi dan atmosfer bawah. Kasus di wilayah Bandung, data selama 1971 s/d 2000 menunjukkan adanya kecenderungan kenaikan suhu (rata-rata, maksimum, dan minimum). Kondisi atmosfer hangat lebih mudah menampung air, dan uap air sendiri merupakan gas rumah kaca yang berpengaruh kuat pada perubahan iklim (Ratag 2002). Peningkatan volume jalan dengan membuka jalan yang baru dapat mendorong terdahap aktvitas alih kepemilikan lahan, dan proses berikutnya perubahan pemanfaatan lahan dan pada akhirnya dapat merusak DAS Ciliwung Hulu sebagai catchement area yang dapat mengganggu ekologi wilayah hilir maupun aktivitas wisata alam di DAS Ciliwung Hulu. Memelihara aspek ekologi DAS Ciliwung Hulu berarti memelihara daya dukung lingkungan terhadap pengembangan aktivitas ekowisata. Kegiatan penyuluhan pembangunan (s) pertanian, kehutanan.dan perikanan dapat ditingkatkan kualitas materi dan informasinya.

Kegiatan

penyuluhan dilaksanakan oleh BP4K dan UPT Wilayah BP3K di 12 wilayah termasuk UPT BP3K wilayah Ciawi yang mencakup wilayah kerja di Kecamatan Ciawi, Megamendung dan Cisarua. Selama ini kegiatan penyuluhan masih terbatas pada bidang pertanian, perikanan dan kehutanan maka perlu diperkaya dengan pengendalian keluarga berencana. Tingkat perkembangan permukiman yang tinggi 12,34% disebabkan oleh tingginya tingkat pertumbuhan penduduk di DAS Ciliwung Hulu 3,68% (tahun 2009) akibat tingginya tingkat kelahiran dan migrasi dari wilayah kota (terutama DKI Jakarta). Kegiatan penyuluhan dapat mentransfer pengetahuan, membangun persepsi, dan meningkatkan kemampuan keterampilan dari petugas penyuluh kepada masyarakat lokal dalam melakukan kegiatan pemeliharaan lingkungan menjadi lebih konservatif. Kegiatan pembuatan persemaian, penanaman, pembuatan pupuk organik, dan kegiatan budidaya pertanian tidak berbasis lahan dan bernilai ekonomi tinggi yang lebih diperlukan, misalnya budidaya jamur. Kegiatan penyuluhan merupakan penyambung misi program pemerintah untuk perbaikan pembangunan di DAS Ciliwung Hulu, sehingga

248

kegiatan penyuluhan dapat dimanfaatkan untuk menjaring program pemerintah yang dibutuhkan masyarakat berdasarkan usulan masyarakat. Kapasitas koordinasi organisasi pemerintah (k). Kapasitas koordinasi pemerintah yang lebih baik diperlukan untuk meningkatkan integrasi, sinkronisasi, dan sinergi program yang dilakukan oleh semua instansi pemerintah maupun dengan pihak lainnya di DAS Ciliwung Hulu. Instansi utama yang diharapkan perannya aalah Bapeda Kabupaten Bogor. Peran Bapeda diharapkan mampu mengarahkan kegiatan sektoral agar lebih memperhatikan dan meningkatkan kegiatan pembangunannya dengan berbasis kepada keberlanjutan ekosistem dalam hal ini ekosistem DAS Ciliwung. Pemahaman terhadap dimensi ekologi agar lebih ditingkatkan karena untuk melakukan pengelolaan DAS Ciliwung Hulu dibutuhkan pengetahuan dan pendekatan kebijakan berbasis hidrologi dan pemberdayaan masyarakat. Pemahaman kondisi dan program yang dibutuhkan di DAS Ciliwung Hulu agar lebih mengkomunikasikan dengan BP4K. BP4K merupakan penyambung dalam implementasi program dan menampung usulan program yang paling dibutuhkan oleh masyarakat. Kapasitas koordinasi instansi pemerintah yang baik dapat menampung dan mengkomunikasikan hasil penjaringan program yang dibutuhkan masyarakat melalui kegiatan penyuluhan. Program-program usulan tersebut diidentifikasi dan dikomunikasikan dengan instansi lainnya yang mempunyai tugas pokok dan fungsi (tupoksi) yang sesuai. Peningkatan koordinasi juga diperlukan terutama dengan pihak pemilik lahan yang tinggal di luar DAS Ciliwung Hulu dengan masyarakat dan pemerintah lokal terutama poktan dan gapoktan dalam upaya rehabilitasi lahan dan peningkatan kualitas lingkungan lainnya. Dengan peningkatan koordinasi antar instansi pemerintah dan dengan pihak lainnya maka program pembanguna di DAS Ciliwung Hulu lebih mendapatkan dukungan masyarakat dan pemerintah lokal. Koordinasi pemerintah dan para pihak di DAS Ciliwung Hulu dengan pihak pemilik lahan dari luar DAS merupakan prioritas penanganan permasalahan. Lahan milik maupun lahan garapan illegal maupun illegal di DAS Ciliwung Hulu sebagian besar 70-80% dikuasai oleh kelompok masyarakat ini. Pihak ini merupakan pelaku kunci dalam pengelolaan DAS Ciliwung Hulu karena mereka sebagai pihak penentu dalam pengambilan keputusan pengelolaan lahannya. Pengaturan hak kepemilikan (property right of land) harus dilakukan secara seimbang yaitu adanya pengakuan hak dari pemerintah yang dijamin

249

undang-undang, tetapi di lain pihak pemegang hak harus memperhatikan kepentingan umum atas aset lahan yang dimilikinya. DAS Ciliwung Hulu merupakan daerah tangkapan air bagi wilayah tengah dan hilir maka harus ditegakkan kewajibannya terkait dengan penguasaan lahannya yaitu dengan tidak membiarkan lahannya menjadi “lahan gontai” (lahan tidur) sehingga tidak berfungsi secara positif terhadap hidrologi DAS. Lahan yang dikuasai tersebut agar dilakukan penanaman vegetasi campuran atau berkayu, pembuatan sumur resapan, pembuatan terasering, maupun kegiatan rehabilitasi lainnya yang menunjang pengelolaan DAS, pengelolaan SDAir maupun mendukung pembangunan pembangunan berkelanjutan di wilayah tersebut, tengah dan hilir. Pengembangan Kebijakan Pengelolaan DAS Ciliwung Hulu Skenario II tersebut dapat berhasil dengan baik jika dilaksanakan secara integratif dan mendapat dukungan dengan semua pihak terkait melalui peningkatan koordinasi dengan para pihak pemilik lahan yang tinggal di luar DAS, masyarakat dan kelompok tani (k), pengembangan alternatif kegiatan non-pertanian yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat (n), mempertahankan dan meningkatkan daya dukung untuk kegiatan pemanfaatan jasa ekowisata bagi pengembangan ekonomi wilayah (w), serta mempertahankan kuantitas dan meningkatkan kualitas kegiatan penyuluhan pembangunan pertanian, perikanan dan kehutanan (s). Skenario II (moderat) diperlukan upaya peningkatan kinerja (v) penurunan tingkat perubahan penutupan lahan bervegetasi menjadi lahan terbangun dari laju tingkat sangat tinggi (lppm>2lppk) menjadi tingkat sedang (lppk 2.700 mm/tahun b. Keadaan tahun 1992-2009, penutupan lahan (land cover) hutan mempunyai kecenderungan penurunan dengan laju 1,95% per-tahun dan di lain pihak terdapat peningkatan luas lahan permukiman (lahan terbangun) dengan laju 12,34% per-tahun. c. Pemanfaatan kawasan DAS Ciliwung Hulu berupa kawasan hutan (28,76%), kawasan perkebunan (20,05%), eks-perkebunan 2,55%, dan lahan milik 48,64%.

DAS Ciliwung Hulu telah dimanfaatkan untuk kegiatan

pemanfaatan jasa wisata dan budidaya pertanian intensif sehingga mendorong terjadinya alih penguasaan lahan. Sebagian kawasan perkebunan dan eksperkebunan tersebut sudah dirambah dan dikuasai masyarakat dan telah mengalami alih penguasaan lahan sehingga sebagian besar lahan (70-80%) telah dikuasai oleh masyarakat di luar DAS Ciliwung Hulu. d. Sumberdaya alam DAS Ciliwung Hulu telah mengalami degradasi yang ditunjukkan oleh rendahnya kualitas air Sungai Ciliwung Hulu dan laju erosi tanah melebihi laju erosi yang diijinkan (tolerable erosion). e. Kondisi sosial dengan laju pertumbuhan penduduk 2,74% per tahun, mata pencaharian penduduk didominasi oleh sektor jasa (47,06%) dan perdagangan, hotel dan restoran (41,25%), sedangkan sektor pertanian sebesar 5,78%. Tingkat pendidikan masyarakat masih rendah didominasi pendidikan SD dan tidak tamat SD sebesar 62,86%.

252

f. Penguasaan lahan oleh masyarakat lokal berupa lahan milik seluas 0,12 ha dan lahan garapan 0,27 ha.

Kepemilikan lahan oleh masyarakat luar DAS

Ciliwung Hulu sebesar 70-80%. Kondisi saat ini nilai indeks keberlanjutan keberlanjutan DAS Ciliwung Hulu sebesar 47,23 (1).

Namun di sisi lain pada wilayah publik maka

keuntungan tersebut bersifat negatif karena biaya sosial yang ditanggung publik lebih besar daripada yang diterimanya (cost C > benefit B).

269

Peningkatan

akuntabilitas

kinerja

sektoral

dalam

pengelolaan

berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu dibutuhkan upaya transformasi ekonomi sektoral melalui upaya internalisasi 3 (tiga) faktor kunci ke dalam program antar sektor sektoral / dinas terkait secara terpadu. Program-program kegiatan yang direncanakan harus mencakup ketiga faktor kunci tersebut yaitu (1) pemanfaatan jasa wisata, (2) upaya pengendalian perubahan lahan menjadi lahan terbangun, dan (3) kegiatan produktif yang mampu memberikan peningkatan terhadap pendapatan masyarakat petani.

Kerangka terpadu pengembangan kelembagaan

pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu disajikan pada Gambar 35.

Total B1

Gambar 36 Kerangka pengembangan kebijakan pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu

270

Faktor kunci kegiatan penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan yang bersifat transfer pengetahuan dan keterampilan (knowledge dan skill) perlu ditingkatkan kualitas dan diperluas bidang garapannya. Bidang materi penyuluhan yang diperluas tidak hanya menyangkut program-program sektoral pemerintah tetapi juga secara aktif menampung input program kebutuhan dari masyarakat. Kegiatan penyuluhan yang paling mendesak dengan permasalahan DAS Ciliwung Hulu diantaranya menyangkut pengendalian pertumbuhan penduduk, pengendalian perubahan lahan menjadi lahan terbangun, dan pengembangan kegiatan produktif bernilai ekonomi tinggi berbasis non-lahan lainnya. Upaya kordinasi dapat dibangun melalui pengembangan kelembagaan baru dengan beberapa perbaikan terhadap regulasi (aturan main) yang mengatur perilaku sektoral di dalam satu wadah kelembagaan Sistem Pengelolaan DAS Ciliwung Terpadu. Regulasi kelembagaan baru mengatur perilaku para pihak dan sektoral untuk melakukan atau untuk tidak melakukan sesuatu dalam rangka optimalisasi pemanfaatan SDAlam untuk menunjang pembangunan berkelanjutan di dalam wilayah perencanaan DAS. Dalam upaya meningkatkan kebijakan pengelolaan DAS Ciliwung Hulu maka instansi yang bertanggung jawab terhadap pengembangan kelembagaan pengelolaan DAS harus memperhatikan ketiga faktor kunci (1) pemanfaatan jasa wisata, (2) perubahan lahan bervegetasi menjadi terbangun, dan (3) pendapatan petani dari kegiatan non-pertanian untuk melakukan transformasi ekonomi kedalam kegiatan sektoral sesuai tugas dan wewenang sektoralnya masing-masing dilakukan secara terpadu dalam satu kerangka Sistem Pengelolaan DAS Ciliwung Terpadu. Terhadap faktor (4) kegiatan penyuluhan pembangunan pertanian, perkebunan, perikanan dan kehutanan maka pihak BP4K diupayakan peran, kapasitas dan kualitasnya agar ditingkatkan sehingga lebih efektif terhadap upaya transfer pengetahuan dan keterampilan kepada masyarakat petani maupun kelompok tani. Koordinasi oleh Bappeda Kabupaten Bogor dengan berbagai instansi terkait baik instansi horizontal maupun vertikal perlu ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya sehingga program kegiatan yang dihasilkan mampu meningkatkan kinerja publik menjadi lebih baik. Upaya koordinasi juga perlu

271

ditingkatkan terhadap para pemilik lahan yang berdomisili di luar DAS Ciliwung Hulu melalui peningkatan peran Bappeda Kabupaten Bogor, SPKP/P4S dan kelompok tani lokal. DAS Ciliwung Hulu sebagai salah satu sumberdaya yang memiliki keterkaitan hidrologis dengan wilayah di hilir dan wilayah tengahnya juga memiliki karakteristik lahan yang dikuasai oleh masyarakat luar DAS. Agar pengembangan kebijakan pengelolaan DAS tersebut dapat berjalan dengan baik maka perlu diupayakan pengaturan kepemilikan lahan (property right of land) yang mengatur tentang hak dan kewajiban bagi pemegang pemilik atas lahan di DAS Ciliwung Hulu. DAS Ciliwung Hulu terdiri dari sekumpulan lahan dengan rejim kepemilikan negara (state property), kepemilikan pribadi (privat property), kepemilikan bersama (common property), maupun kepemilikan umum (public property). Sebagai wilayah hulu dengan prioritas sebagai fungsi perlindungan dan daerah tangkapan air (catchment area), penggunaan salah satu atau beberapa lahan privat dapat mempengaruhi kondisi dan fungsi kepemilikan secara bersama di dalam keterkaitan hidrologi DAS. Memperhatikan lahan di DAS Ciliwung Hulu dikuasai sebagian besar 70-80% oleh masyarakat luar, maka pengaturan hak kepemilikan (property right of land) merupakan dasar bagi berfungsinya pengembangan kebijakan dalam pengelolaan DAS Ciliwung Hulu. 8.2.3 Pengembangan Kebijakan Pengelolaan Berkelanjutan DAS Wilayah Perkotaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Hulu terletak di Kabupaten Bogor yang berbatasan langsung dengan Kota Bogor dan berada 45 km dari Kota DKI Jakarta, secara normal rata-rata dapat ditempuh dari Kota Jakarta selama + 1 jam sehingga DAS ini dapat dikategorikan sebagai DAS Perkotaan yaitu DAS yang berada di wilayah perkotaan. DAS Ciliwung Hulu memiliki potensi kesuburan tanah, kondisi iklim memiliki udara sejuk sampai dingin, pemandangan (scene) indah dan banyak obyek wisata alam. Sebagai daerah wisata dengan 12 obyek wisata alami dan buatan

dan telah lama berkembang sejak 1960-an maka

prasarana jalan dan sarana transportasi angkutan perkotaan (angkot) telah berkembang sehingga antar titik-titik di wilayah tersebut sudah dapat dikunjungi oleh masyarakat dari luar wilayah. Keadaan tahun 2009-2011, sarana angkutan

272

berupa ojeg dapat dijumpai di setiap titik-titik persimpangan jalan, sehingga tidak ada kendala bagi masyarakat untuk mengunjungi setiap titik di wilayah ini. Nilai lahan sudah bergeser dari nilai ekonomi kesuburan lahan (Ricardian rent) menjadi bernilai ekonomi menurut jarak pusat perekonomian (locational rent).

DAS

Ciliwung dapat disebut sebagai DAS perkotaan karena memiliki karakteristik biofisik lahan lebih bernilai ekonomi, kepemilikan lahan masyarakat lokal sempit dan penguasaan lahan oleh masyarakat kota, kegiatan pertanian tidak bisa diandalkan sebagai sumber mata pencaharian keluarga petani, dan perubahan fungsi kawasan sempadan kiri-kanan sungai dari fungsi lindung menjadi kawasan permukiman. DAS perkotaan seperti karakter DAS Ciliwung Hulu yang umumnya kepemilikan lahan dikuasai oleh masyarakat perkotaan dan sebagian kecil oleh masyarakat lokal. Sebagian besar lahan dikuasai oleh masyarakat perkotaan sebagai bentuk investasi usaha atau untuk tujuan permukiman / peristirahatan maka sebelum lahan tersebut dimanfaatkan maka banyak dijumpai lahan tidur (lahan gontai). Penguasaan lahan di DAS perkotaan per-kepala keluarga (KK) yang sempit dibawah 0,5 ha sehingga kegiatan budidaya tanaman pangan tidak menjamin untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga baik berupa bahan pangan maupun biaya untuk kegiatan sosial lainnya. Kondisi demikian memaksa masyarakat petani lokal untuk mengembangkan alternatif pendapatan dari kegiatan non-pertanian atau off-farm diantaranya budidaya ternak sapi, domba, kelinci, budidaya sayur dan buah-buahan serta kegiatan ekonomi berbasis nonlahan lainnya. Dengan mengembangkan kegiatan alternatif ekonomi ini maka pendapatan keluarga petani semakin dapat ditingkatkan. Dalam melaksanakan usaha tani masyarakat cenderung eksploitatif dan bertani monokultur serta tidak menerapkan prinsip pertanian ramah lingkungan. Masyarakat lokal cenderung memiliki permukiman di kiri-kanan sungai karena lahan yang tersisa semakin sempit, mudah membuang limbah rumah tangga, serta kemudahan mencukupi kebutuhan air. Kondisi penutupan lahan umumnya berupa lahan terbuka tidak bervegetasi, semak dan alang-alang. Lahan di kiri-kanan sungai yang semula diperuntukkan bagi fungsi perlindungan dengan vegetasi bambu, buah-buahan, vegetasi perkayuan, perlindungan dari longsor dan sumber-sumber air telah diubah menjadi lahan permukiman atau lahan pertanian

273

intensif. Masyarakat kota yang memiliki lahan umumnya mengubah vegetasi untuk perlindungan dan lanscape perdesaan diubah menjadi pertamanan dengan penutupan rumput (lawn) dan mengganti dengan tanaman hias serta berubah menjadi lantai bersemen. Perubahan penutupan lahan menjadi lahan terbangun dan pertamanan memberikan efek negatif terhadap iklim mikro dan tidak berperan positif sebagai daerah tangkapan air (DTA). Konservasi tanah dan sumberdaya air tidak berjalan secara baik yang dicirikan oleh tingginya tingkat erosi, sedimen dan bahan-bahan terlarut, serta kualitas air sungai semakin tercemar. Dengan perubahan penutupan lahan tersebut maka fungsi perlindungan dari longsor semakin berkurang, alur sungai dan sumber-sumber air menjadi kering pada musim kemarau termasuk sumur-sumur masyarakat. Untuk mempertahankan DAS sebagai daerah tangkapan air (DTA) maka perlu dipertegas aturan dan implementasinya terhadap kepemilikan lahan oleh masyarakat perkotaan di wilayah hulu mencakup batasan luas kepemilikan lahan, ketentuan koefisien dasar bangunan (KDB), koefisien lantai bangunan (KLB), penanaman tumbuhan berkayu, pembuatan sumur resapan, kewajiban pemilik lahan selama belum dibangun (selama menjadi lahan tidur/lahan gontai), serta hak dan kewajiban lainya dalam upaya konservasi tanah dan air. Pengendalian pemanfaatan ruang terhadap bangunan-bangunan di wilayah hulu sebagai DTA perlu ditingkatkan implementasinya baik pada lahan milik maupun lahan garapan. Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal di dalam DAS maka perlu ditingkatkan peran pemerintah dengan mengembangkan alternatif pendapatan bagi masyarakat petani yang berasal dari kegiatan non-pertanian misalnya budidaya ternak sapi, domba, kelinci, bertani komoditi ekspor (buahbuahan dan tanaman hias), dan kegiatan ekonomis off-farm lainnya. Dengan kepemilikan lahan yang dikuasai oleh masyarakat luar (perkotaan) maka untuk meningkatkan fungsi DAS sebagai konservasi tanah dan air perlu ditingkatkan kapasitas koordinasi instansi pemerintah. Peran instansi teknis yang bertugas mengurusi konservasi tanah dan air sudah kurang tepat lagi karena permasalahan pada penguasaan lahan dan akses terhadap lahan untuk konservasi tanah dan air serta pemberdayaan masyarakat lokal. Kegiatan konservasi tanah dan air dilakukan melalui upaya rehabilitasi vegetatif harus mampu memberikan

274

tambahan alternatif pendapatan ekonomi keluarga petani dalam jangka pendek, dan mampu memperbaiki fungsi ekologi DAS dalam jangka panjang.

277

IX SIMPULAN DAN SARAN 9.1 Simpulan a.

Nilai indeks pengelolaan DAS Ciliwung Hulu 47,23 berarti kurang berkelanjutan. Dari kelima dimensi keberlanjutan yang dianalisis, dua dimensi dengan status cukup berkelanjutan yaitu dimensi ekonomi dan dimensi aksesibilitas dan teknologi konservasi sedangkan ketiga dimensi yang kurang berkelanjutan adalah dimensi ekologi, dimensi sosial dan dimensi kelembagaan.

b.

Status pengelolaan DAS Ciliwung Hulu kurang berkelanjutan disebabkan tidak adanya kelembagaan yang mengatur pengelolaan lahan eks-perkebunan 379 ha (2,55%) yang berstatus open access dan lahan milik terkait dengan transaksi dan penggunaan lahan yang mengabaikan fungsi konservasi.

c.

Lima aktor kunci dalam pengelolaan DAS Ciliwung Hulu adalah masyarakat luar DAS Ciliwung Hulu, Bappeda Kabupaten Bogor, biyong (makelar tanah), pengusaha lokal hasil pertanian, dan BP4K dan UPT BP3K Wilayah Ciawi yang aktif menjalankan fungsi penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan. Kelima aktor kunci tersebut sangat berperan dalam meningkatkan kinerja pengelolaan DAS Ciliwung Hulu. Masyarakat luar DAS Ciliwung Hulu, biyong dan pengusaha lokal hasil pertanian terkait dengan penguasaan lahan dan pengelolaannya di DAS Ciliwung Hulu. Bappeda Kabupaten Bogor terkait dengan permasalahan lahan eks-HGU perkebunan yang kini dalam kondisi open access. BP4K dan UPT BP3K Wilayah Ciawi berkaitan dengan upaya pemberdayaan masyarakat lokal dengan menciptakan alternatif pendapatan dari kegiatan berbasis non-lahan.

d.

Pengembangan kebijakan pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu dilakukan melalui penanganan terhadap 5 (lima) faktor kunci yaitu (1) peningkatan alternatif pendapatan petani dari kegiatan non-pertanian, (2) pemanfaatan jasa wisata, (3), pengendalian perubahan lahan menjadi lahan terbangun, (4) peningkatan kapasitas koordinasi instansi pemerintah, dan (5) kegiatan penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan. Pengembangan kebijakan pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu dilakukan melalui penanganan terhadap kelima faktor tersebut sebagai syarat kecukupan (sufficient conditions).

278

e.

Implementasi kebijakan pengelolaan DAS Ciliwung Hulu masih bersifat parsial dan sektoral sehingga tidak menumbuhkan koordinasi yang baik dan integrasi, sinkronisasi dan sinergi program antar sektor, antar wilayah, antar level pemerintahan dan antar pelaku kebijakan.

f.

Pengelolaan DAS Ciliwung Hulu dapat ditingkatkan keberlanjutannya melalui intervensi terhadap 5 (lima) kunci melalui alternatif Skenario Moderat sehingga mampu meningkatkan nilai indeks keberlanjutan dari 47,23 (kurang berkelanjutan) menjadi 51,84 (cukup berkelanjutan).

g.

Pengembangan kebijakan pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu hanya dapat dilakukan jika didahului dengan koordinasi pengaturan kepemilikan lahan (property right of land). Pengaturan kepemilikan lahan (property right of land) sebagai fungsi sosial dilakukan dengan mengatur hak dan kewajiban yang seimbang kepada pemegang hak atas lahan di dalam kerangka pengaturan kelembagaan yang lebih baik. Pengaturan kepemilikan lahan (property right of land) sebagai syarat keperluan (necessary conditions) dalam pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu.

9.2 Saran a.

Kapasitas koordinasi instansi pemerintah (Bappeda Kabupaten Bogor) perlu ditingkatkan sehingga mampu mengkoordinasikan permasalahan pengelolaan DAS Ciliwung Hulu diantaranya pengelolaan lahan eks-HGU perkebunan dan koordinasi antara para pemilik lahan yang berasal dari luar dengan instansi pemerintah (pusat dan daerah) dan kelompok tani lokal untuk dapat mengakses terhadap lahan serta upaya sinkronisasi dan sinergi program pembangunan.

b.

Pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu akan menjadi lebih efektif jika dilakukan dalam satu Sistem Pengelolaan DAS Ciliwung Terpadu yang mencakup lintas sektoral, lintas pelaku, lintas batas administratif pemerintahan dan lintas level pemerintahan.

c.

Instansi atau pejabat yang mengurusi kelembagaan pada DAS Ciliwung Hulu harus berupaya mentransformasikan aspek ekonomi kedalam program-program sektor dan lintas sektoral dari kelima faktor kunci pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu dan mendorong terwujudnya pengaturan kepemilikan lahan (property right of land) yang berfungsi sosial.

279

DAFTAR PUSTAKA Adiningsih ES, Soenarmo SH dan Mujiasih S. 2001. Kajian Perubahan Distribusi Spasial Udara Akibat Perubahan Penutupan Lahan (Studi Kasus Cekungan Bandung). Warta LAPAN Vol. 3 No. 1 Edisi Maret 2001. LAPAN. Jakarta. Alikodra H. 2009. Krisis, Konflik dan Degradasi Pengelolaan SDA dan Lingkungan. Makalah disampaikan pada Lokakarya Penyusunan RPJM Kementerian Lingkungan Hidup Tahun 2010-2014. Bogor. Anonim. 1999a. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Anonim. 1999b. Keputusan Presiden Nomor 114 Tahun 1999. Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur. Jakarta. Anonim. 2004a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air. Anonim. 2004b. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanan Kehutanan. Jakarta. Anonim. 2008a. Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 19 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor Tahun 2005-2025. Bogor. Anonim. 2008b. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Jakarta. Anonim. 2009. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta. Arsyad S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor. Asdak C. 2007. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Barnas H. 1988. Peranserta Masyarakat Dalam Penghijauan (Studi Kasus DAS Jeneberang di Sulawesi Selatan). Disertasi S3 Fakultas Pascasarjana IPB. Bogor (Tidak dipublikasikan). Blomquist W. 1992. Dividing the Waters : Governing Groundwater in Southern California. San Francisco : ICS Press. Blomquist W dan Schlager E. 2005. Political Pitfals of Integrated Watershed Management. Journal Society and Natural Resources, 18 :101-117, 2005. Taylor & Francis Incorporation. USA. Bourgeois R and Jesus F. 2004. Participatory Prospective Analysis, Exploring and Anticipating Challenges with Stakeholders. Center for Alleviation of Poverty through Secondery Crops Development in Asia and The Pacific and French Agricultural Reasearch Center for Internasional Development. Monograph (46) : 1 – 29. BPDAS Citarum-Ciliwung. 2003. Rencana Pengelolaan DAS Terpadu DAS Ciliwung. Kerjasama antara BPDAS Citarum-Ciliwung Departemen Kehutanan dengan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

280 BRLKT Citarum-Ciliwung. 2000. Rencana Teknik Lapang RLKT Sub DAS Ciliwung Hulu. Buku Utama. Bogor. Briassoulis H. 2004. Policy Integration for Complex Policy Problems : What, Whay and How. Paper presented at the 2004 Berlin Conference “Greening of Polisies : Interlinkages and Policy Integration” Berli, Desember 3-4, 2004. Department of Geopgraphy, University of the Aegen University Hill. Greece. Bromley DW. 1991. Environment and Economy : Property Rights and Public Policy. Oxford : Basic Blackwell. Bromley DW. 1992. Making the Commons Works : Theory, Practice, and Policy. San Francisco : ICS Press. Budiharsono S. 2007. Manual Penentuan Status dan Faktor Pengungkit Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL). Direktorat Perekonomian Daerah BAPPENAS. Jakarta. Bunasor S. 2009. Kebijakan Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Daerah Aliran Sungai. Makalah Pembahas pada Lokakarya Penyusunan RPJM Kementerian Lingkungan Hidup Tahun 2010-2014. Bogor. Bungin B. 2007. Analisis Data Penelitian Kualitatif : Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta. Clement FC. 2008. A Multi-Level Analysis of Forest Policies in Northern Vietnam : Uplands, People, Institutions and Discourses. Thesis of Doctor of Philosophy (PhD), School of Civil Engineering and Gosciences School of Geography, Politics and Sociology, Newcastle University. UK. Clement F and Amezaga JM. 2009. Afforestation and Forestry Land Allocation in Northern Vietnam : Analysing the Gap Between Policy Intentions and Outcomes. Land Use Policy 26 (2009) 458–470. www.elsevier.com/locate/ landusepol (Diakses 15 September 2010) Cochran WG. 1991. Teknik Penarikan Sampel. Universitas Indonesia Press Edisi III. Penerjemah Rudiansyah. Jakarta. [Dephut] Direktorat Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Departemen Kehutanan. 1999. Statistik Dalam Angka. Jakarta. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2009a. Keputusan Menteri Kehutanan No. 42/Menhut-II/2009 tentang Pola Umum, Kriteria, dan Standar Pengelolaan DAS Terpadu. Jakarta. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2009b. Keputusan Menteri Kehutanan No. 39/Menhut-II/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan DAS Terpadu. Jakarta. [DepPU] Departemen Pekerjaan Umum. 1993. Garis Sempadan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan Sungai an Bekas Sungai. Jakarta.

281 Direktur Jenderal Penataan Ruang. 2004. Kebijakan Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur. Paper disampaikan dalam acara lokakarya nasional ”Pengelolaan Kawasan Jabopunjur untuk Pemberdayaan Sumberdaya Air” LIPI, 30 Maret 2004. Jakarta. [Ditjen Penataan Ruang Depkimpraswil]. Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum dan Prasarana Wilayah. 2003. Laporan Akhir : Kaji Ulang RDTR Kawasan Puncak. Jakarta. [Ditjen Penataan Ruang Depkimpraswil]. Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum. 2008. Bantuan Pelaksanaan Penataan Ruang Kabupaten Bogor : Penyusunan RDTR dan Peraturan Zonasi di Kawasan Puncak. Jakarta. [Ditjen RLPS] Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Departemen Kehutanan. 2009a. Peraturan nomor P.09/V-Set/2009 tentang Pedoman Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS. Jakarta. [Ditjen RLPS] Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Departemen Kehutanan. 2009b. Peraturan nomor P.04/V-Set/2009 tentang Pedoman Monitoring dan Evaluasi DAS. Jakarta. [Dit PA Deptan] Direktorat Pengelolaan Air Departemen Pertanian. 2008. Pedoman Teknis Pengembangan Pengelolaan Irigasi Partisipatif. Jakarta [Dit PL Kementan] Direktorat Pengelolaan Lahan Kementerian Pertanian. 2009. Pedoman Teknis Konservasi DAS Hulu. Jakarta. Dewi IK. 2010. Model Pengelolaan Kawasan Permukiman Berkelanjutan di DAS Ciliwung Hulu Kabupaten Bogor. Disertasi S3 Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor (Tidak dipublikasikan). Djakapermana RD. 2009. Rencana Tata Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur : Upaya Menyeimbangkan Pertumbuhan Ekonomi dengan Kelestarian Lingkungan Hidup. Sekretariat Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum. Djogo T, Sunaryo, Suhardjito D, dan Sirait M. 2003. Kelembagaan dan Kebijakan Dalam Pengembangan Agroforestry. Bahan Ajar Agroforestri 8. World Agroforestry Centre (ICRAF) South East Asia. Bogor. Echavarria M. 2000. Valuation of Water-Related Services to Downstream Users in Rural Watersheds : Determining Values for the Use and Protection of Water Resources. In FAO. Land-Water Linkages In Rural Watersheds. FAO Land and Water Bulletin No. 9, FAO. Rome. Effendy S. 2007. Keterkaitan Ruang Terbuka Hijau dengan Urban Heat Island Wilayah Jabotabek. Disertasi S3 Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor (Tidak dipublikasikan) Eggertsson T. 1990. Economic Behavior and Institutions. Cambridge University Press. United States of America. Elis F. 1994. Agricultural Policies in Developing Countries : Wye Studies in Agricultural and Rural Development. Cambridge University Press.

282 Ends dan Gomukh. 2006. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai : Sebuah Pendekatan Negosiasi (River Basin Management : A Negotiated Approach). Insist Press. Yogyakarta. Eriyatno. 1998. Ilmu Sistem Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen. IPB Press. Bogor. Eriyatno dan Sofyar F. 2007. Riset Kebijakan : Metode Penelitian Untuk Pascasarjana. IPB Press. Bogor. Fauzi A dan Anna S. 2005. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan Untuk Analisis Kebijakan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Fisheries. 1999. Rapfish Software for Excell. Fisheries Centre Research Reports. 75 hal. Food and Agriculture Organization. 2006. The New Generation of Watershed Management Programmes and Projects, FAO Forestry Paper 150, Rome. Fraenkel JR and Norman EW. 1996. How to Design and Evaluate Research Education. New York. McGraw-Hill, Inc. New York. Gavin T and Pinder C. 1995. Toolbox Stakeholders Analysis. “Stakeholders Participation & Analysis”. DFID Social Development Division. www.dfid.gov.uk (Diakses 6 Agustus 2009). German L, Mansoor H, Alemu G, Mazengia W, Amede T, and Stroud A. 2007. Participatory Integrated Watershed Management: Evolution of Concepts and Methods in an Ecoregional Program of the Eastern African Highlands. Agricultural Systems 94 (2007) 189–204, Science Direct. Available online at www.sciencedirect.com. (Diakses 15 September 2009). Gibson C., McKean M., and Ostrom E. 2000. People and Forests: Communities, Institutions, and Governance. Cambridge, Mass : MIT Press. Godet M. 1999. Scenarios and Strategies. A. Toolbox For Scenario Planning. Librairie des Arts et Matiers, Paris. France. Goldsmith and Brinkerhoff. 1990. Sustainability and Rural Agiculture Development in Insitutional Sustainability Agricultural and Rural Development. Global Perspective. New York. Guntoro FPJ. 2008. Konservasi Sub DAS Kalong Dalam Rangka Pelestarian Sumberdaya Air Berbasis Pemberdayaan Masyarakat. Dinas PSDA Provinsi Jawa Tengah. Semarang. Hanna S and Munasinghe M. 1995. Property Rights and the Environment - Social and Eclogical Issues : An Introductions to Property Rights and the Environment. The Beijer International Institute of Ecological Economics and the World Bank. Washington. Hanna S, Folke C and Maler KG. 1995. Property Rights and the Environment – Sosial and Ecological Issues : Property Rights and Environmental Resources. The Beijer International Institute of Ecological Economics and the World Bank. Washington.

283 Hannam I. 1999. Incentives in Soil Conservation, From Theory to Practice : Soil Conservation Incentives in New Sauth Wales, Australia. World Association of Soil dan Water Conservation. Oxford & IBH Publishing Co. PVT Ltd. Calcutta, New Delhi. Hariyadi R. 1985. Studi Kualitas Air Ditinjau dari Pencemaran Bahan Organik dan Anorganik pada DAS Ciliwung Hulu di Atas Depok. Disertasi S3 Fakultas Pascasarjana IPB Jurusan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Bogor. (Tidak dipublikasikan). Hartrisari. 2007. Sistem Dinamik : Konsep Sistem dan Permodelan untuk Industri dan Lingkungan. Seameo Biotrop. Bogor. Heikal. 2004. Model Estimasi Debit dan Aliran Sungai Berdasarkan Perubahan Penggunaan Lahan di Sub-DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat. Skripsi S1 Fakultas Pertanian IPB. Bogor (Tidak dipublikasikan). Hess C. and Ostrom E. 2005. A Framework for Analyzing the Knowledge Commons : a chapter from Understanding Knowledge as a Commons : fromTheory to Practice. Library Paper 21. Syracuse University. Hess C. and Ostrom E. 2007. Understanding Knowledge as a Commons - From Theory to Practice. The MIT Press. Cambridge. Hidayat A. 2007. Pengantar Ekonomi Kelembagaan. Sumberdaya Lingkungan FEM-IPB. Bogor

Departemen Ekonomi

Hogl K. 2002. Contribution to COST-Action E19 ”National Forest Programmes in the European Context”. Background Paper on ”Intersectoral CoOrdination”. University of Agricultural Sciencees. Vienna. Huitema D, Mostert E, Egas W, Moellenkamp S, Wostl CP, and Yalcin R. 2009. New Method for Adaptif Water Management : Adapif Water Governance : Assessing the Institutional Prseciption of Adaptif (Co-) Management from a Governance Perspective and Defining a Research Agenda. Journal Ecology and Society 14 (1) : 26. [online] URL:http: www.ecologyand society.org/vol14/iss1/art26/ (Diakses 15 Juni 2010) Huszar PC. 1999. Incentives in Soil Conservation, From Theory to Practice : Justification for Using Soil Conservation Incentives. World Association of Soil dan Water Conservation. Oxford & IBH Publishing Co. PVT Ltd. Calcutta, New Delhi. Hutapea T. 2005. Pengembangan Agroforestry Berkelanjutan i Daerah Aliran Sungai (Studi Kasus di DAS Ciliwung Bagian Hulu, Kabupaten Bogor). Disertasi S3 Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor (Tidak dipublikasikan). Ife J. dan Tesoriero F. 2008. Community Development : Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi. Pustaka Belajar. Yogyakarta. Ikawati. 2010. Sumberdaya Air : Usulan Baru Atasi Banjir Jakarta. Kompas, Edisi 27 Februari 2010. Jakarta. Indrowuryanto. 2004. Dampak Pembangunan Terhadap Iklim, Bahan Pelatihan Penilaian Amdal. Solo.

284 Irawan P. 2007. Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Jakarta. Irianto S. 2000. Kajian Hidrologi Daerah Aliran Sungai Ciliwung Menggunakan Model HEC-1. Tesis SPs-IPB. Bogor. (Tidak Dipublikasikan). Janudianto. 2004. Analisis Perubahan Penggunaan / Penutupan Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Debit Maksimum-Minimum Air di Sub DAS Ciliwung Hulu. Skripsi IPB. Bogor. (Tidak Dipublikasikan). Kartodihardjo H, Murtilaksono K dan Sudadi U. 2004. Institusi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai : Konsep dan Pengantar Analisis Kebijakan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Kartodihardjo H dan Jhamtani H. 2006. Politik Lingkungan dan Kekuasaan di Indonesia. PT Equinox Publishing Indonesia. Jakarta. Kartodihardjo H. 2008. Dibalik Kerusakan Hutan dan Bencana Alam : Masalah Transformasi Kebijakan Kehutanan. Wana Aksara. Tangerang. Kartodihardjo H. 2009. Ranah Kajian dan Orientasi Metodologi (Pendekatan) Penelitian Kelembagaan Pengelolaan Konservasi. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor (Tidak dipublikasikan). Karyana A. 2007. Analisis Posisi dan Peran Lembaga serta Pengembangan Kelembagaan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung. Disertasi S3 Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor (Tidak dipublikasikan). Kasper W. and Streit ME. 1998. Institutional Economics: Social Order and Public Policy. Edward Elgar. Cheltenham, UK. Northampton, MA, USA. Kavanagh P. 2001. Rapid Appraisal of Fisheries (Rapfish) Project, Rapfish Software Des Eruption (for Microsoft Excell). University of British Columbia, Fisheries Centre. Vancouver. Kavanagh P. and T Pitcher TJ. 2004. Implementing Microsoft Excell Software for Rapfish : A Technique for The Rapid Appraisal of Fisheries Status. University of British Columbia. Fisheries Centre Research Reports 12 (2) 75 pages. ISSN : 1198-672. Canada. Kerr J. 1994. How Subsidies Distort Incentives and Undermine Watershed Development Projects in India. Paper to the IIED New Horizons Conference. Bangalore, India. Kerr J. 2007. Watershed Management : Lessons from Common Property Theory. Departement of Community, Agriculture, Recreation and Resource Studies. Michigan State University. International Journal of the Commons Vol. 1 no I October 2007, pp.89-109. Kiersch B, Hermans L & Halsema GV. 2005. Payment Schemes for Water-related Environmental Services : A Financial Mechanism for Natural Resources Management Experience from Latin America and the Caribbean. Seminar on Environmental Services and Financing for the Protection and Sustainable Use of Ecosystems. Geneva. www.unece.org/env/water/ meetings/payment_ecosystems/ discpapers/ fao.pdf. (Diakses 8 Juli 2009).

285 Lakitan B. 1994. Dasar-dasar Klimatologi. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta. Laumonier Y, Bourgeois R, and Pfund JL. 2008. Accounting for the ecological dimension in participatory research and development: lessons learned from Indonesia and Madagascar. Ecology and Society 13(1): 15. [online] URL: http://www.ecologyandsociety.org/vol13/iss1/art15/ (Diakses 25 Mei 2009). Legono D. 2005. Sedimentation Issues and Countermeasures of Some Reservoirs in Central Java and DIY, Second Workshop on Countermeasures for Sedimentation in the Wonogiri Multipurpose Dam, Surakarta, 8 September 2005. Surakarta. Lestiana H. 2005. Konversi Lahan dan Pengaruhnya pada Iklim Kota di Kota Bandung. Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI. Bandung. http://www. perpustakaan.lapan.go.id/Jurnal/index.php/warta_lapan / article / viewFile / 1116 /1004 (Diakses 16 Juni 2011). Lubis RA. 2007. Model Perubahan Kualitas Air Sungai di Daeah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung. Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. (Tidak dipublikasikan) Malla YB. 1999. Incentives in Soil Conservation from Theory to Practice : Tree Management and Household Strategies in a Changing Rural Economy : Beyond the Use of Direct Incentives. Oxford & IBH Publishing Co. PVT Ltd. Calcutta, New Delhi. Manan S. 1985. Peranan Hidrologi Hutan dan Pengelolaan DAS. Prosiding Lokakarya Pengelolaan DAS Terpadu. Departemen Kehutanan. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta 3-5 Oktober 1985. Marimin. 2002. Teori dan Aplikasi Sistem Pakar dalam Teknologi Manajerial. IPB Press. Bogor. Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. Marsusanti E. 2007. Identifikasi dan Analisis Permasalahan Institusi Dalam Kompleksitas Penataan Kawasan Pusncak (Studi Kasus Kelurahan Cisarua dan Desa Tugu Utara Kabupaten Bogor). Tesis S2 Pascasarjana IPB. Bogor . (Tidak dipublikasikan). Meijers E dan Stead D. 2004. Policy Integration : what does it mean and how can it be achieve? A multi-diciplinary review. Delft University of Technology. Netherlands. Disajikan pada Berlin Conference on the Human Dimensions of Global Environmental Change : Greening of Policies – Interlinkages and Policy Integration. http://userpage.fu-berlin.de/ffu/akumwelt/bc2004/ download.html (21 Juni 2011). Mersyah, R. 2005. Desain Sistem Budidaya Sapi Potong Berkelanjutan untuk Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kabupaten Bengkulu Selatan. Disertasi Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Moffat I, Hanley N & Wilson MD. 2001. Measuring and Modelling Sustainable Development. The Parthenon Publishing Group. London.

286 Morgan P and Taschereau S. 1996. Capacity and Institutional Assessment : Frameworks, Methods and Tools for Analysis. Prepared for CIDA Policy Branch, June 1996. Gatineau, Quebec, Canada. http://www.acdi-cida.gc.ca /inet/images.nsf/vluimages/capacitydevelopment /$file/1996- 06-02tools (wkshp6).pdf (27 Juli 2009). Mulyanto HR. 2008. Efek Konservasi dari Sistem SABO untuk Pengendalian Sedmentasi Waduk. Graha Ilmu. Yogyakarta. Muhammadi, Aminullah E, Soesilo B. 2001. Analisis Sistem Dinamis : Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen. UMJ Press. Jakarta. Munasinghe M. 1993. Environmental Economics and Sustainable Development. World Bank Environment (Paper Number 3). Washington, USA. Neiburger EB. 1982. Understanding Our Atmosferic Environment. Terjemahan. ITB Bandung. Neuendorf KA. 2002. The Content Analysis Guidebook Online. http://academic. csuohio.edu/kneuendorf/eontent/ (Diakses 28 Juli 2009) North DC. 1990. Institutions, Institutional Change and Economic Performance. Cambridge University Press. New York. USA. Nibbering JW. 1999. Incentives in Soil Conservation From Theory to Practice : Land Use Cange in Upland Java : Incentives and Opportunities. World Association of Soil dan Water Conservation. Oxford & IBH Publishing Co. PVT Ltd. Calcutta, New Delhi. Odum HT. 1992. Ekologi Sistem : Suatu Pengantar. Edisi Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Ostrom, E. 1985. Formulating the Elements of Institutional Analysis. Paper Presented to Conference on Institutional Analysis and Development. Washington D.C. May 21-22, 1985. Ostrom, E. 1990. Governing the Commons. The Evolution of Institutions for Collective Action. Cambridge University Press. Cambridge UK. Ostrom, E., Gardner R and Walker J. 1994. Rules, Games, and Common-Pool Resources. Ann Arbor : University of Michigan Press. Ostrom, E. 2005. Developing Methods for Institutional Analysis : Institutional Diversity in Resource Management. Indiana University. Ostrom, E. 2005. Understanding Institutional Diversity. Princeton University, New Haven, Connecticut, USA. Ostrom, E. 2007. Developing a Method for Analyzing Institutional Change. Center for the Study of Institutional Diversity, Arizona State University. Pawitan H. 2004. Perubahan Penggunaan Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Hidrologi Daerah Aliean Sungai. Laboratorium Hidrometeorologi FMIPA – IPB, Bogor. http://balittanah.litbang.deptan.go.id/dokumentasi/prosiding /mflp2004/hidayat%20pawitan.pdf (Diakses 16 September 2010).

287 Pawitan H dan Sinukaban N. 2007. Konservasi Tanah dan Air Kunci Pembangunan Keberlanjutan : Karakterisasi Hidrologi dan Daur Limpasan Permukaan Daerah Aliran Sungai Ciliwung. Direktorat Jenderal RLPS. Jakarta. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1992. Peta Tanah Semidetail Daerah Aliran Sungai Ciliwung Hulu Skala 1:50.000. Bogor. Pitcher TJ and Preikshot D. 2000. RAPFISH : A Rapid Appraisal Technique to Evaluate the Sustainability Status of Fisheries. Fisheries Research 49 (2001) 255-270. Fisheries Centre, University of British Columbia. Vancouver – Canada. Pramono AA. 2010. Analisis Perubahan Nilai Ekonomi Lahan pada Konversi Hutan Rakyat di DAS Ciliwung Hulu. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan Vol. 7 No.3, September 2010. Bogor. Pramono AA dan Aminah A. 2010. Analisis Faktor yang Berpengaruh Terhadap Keputusan Rakyat untuk Mengkonversi Hutan Rakyat di DAS Ciliwung Hulu. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan Vol. 7 No.3, September 2010. Bogor. Putro HR, Saleh MB, Hendrayanto, Ichwandi I dan Sudaryanto. 2003. Sistem Insentif Rehabilitasi Lahan Dalam Kerangka Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Qodariah L. 2004. Aplikasi Model Aplikasi Answers (Areal Nonpoint Watershed Environment Respon Simulation) untuk Menduga Erosi dan Sedimentasi di DAS Ciliwung Hulu. Skripsi Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Quinn CH, Reed MS & Hubacek K, 2008. Property Rights in Uplands and Implications for Policy and Management. Sustainability Research Institute, School of Earth and Environment, University of Leeds. United Kingdom. http://iasc2008.glos.ac.uk/conference%20paplis/Q/Quinn_122id. pdf (Diakses 4 Maret 2010). Raadgiver T. 2005. Transboundary River Basin Management Regimes: The Rhine Basin Case Study Background Report to Deliverable 1.3.1. Centre for River Basin Administration, Delft University of Technology. Rachman S. 1992. Infiltration Under Different Land Use Types at the Upper Ciliwung Watershed of West Java, Indonesia, MSc. University of Canberra. Canberra. Ratag M. 2002. Bandung.

Perubahan Iklim, Basis Ilmiah, dan Dampaknya.

Lapan.

Riffe D, Lacy S and Fico FG. 1998. Analyzing Media Messages : Using Quantitatve Content Analysis in Research. Mahwah : Lawrence Erlbaum Associates. Rodgers G. 1994. Workers, Institutions and Economic Growth in Asia. International Institute for Labor Studies. Geneva. Switzerland.

288 Rogers PP, Jalal KF & Boyd JA. 2008. Development. Earthscan. London.

An Introduction to Sustainable

Rojas M. & Aylward B. 2003. What are we learning from experiences with markets for environmental services in Costa Rica? A review and critique of the literature. London. Rustiadi E, Saefulhakim S dan Panudju DR. Pengembangan Wilayah. IPB Press. Bogor.

2009.

Perencanaan dan

Ruttan VW and Hayami Y. 1984. Toward a theory of induced institutional innovation. Journal of Development Studies. Vol. 20:203-33. Saaty TL. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin: Proses Hirarki Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang Kompleks. PT. Pustaka Binaman Pressindo. Sabar A. 2007. Kajian Pengaruh Alih Fungsi Lahan terhadap Debit Aliran di DAS Ciliwung – Kawasan Bopunjur dengan Pendekatan Indeks Konservasi. Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB. Bandung. http://www.ftsl.itb. ac.id/wp-content/uploads/2007/05/Kajian%20Pengaruh % 20 Alih%20 Fungsi.pdf ( Diakses 15 Oktober 2009). Sanders D and Cahill D. 1999. Incentives in Soil Conservation : From Theory to Practice : Where Incentives fit in Soil Conservation Programs. World Association of Soil and Water Conservation. Oxford & IBH Publishing Co. PVT Ltd. Calcutta, New Delhi. Sanim B. 2011. Sumberdaya Air dan Kesejahteraan Publik : Suatu Tinjauan Teoritis dan Kajian Praktis. IPB Press. Bogor. Sangaji MN 2010. Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Taman Nasional Dengan Pola Kemitraan di Kepulauan Togean Sulawesi Tengah. Disertasi SPs-IPB. Bogor (Tidak Dipublikasikan). Sarwono B. 2002. Psikologi Sosial, Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial. Balai Pustaka. Jakarta. Sawiyo, Kartiwa B, Heryani N, Tala’ohu SH, Sudarman K dan Pujilestari N. 2009. Pengembangan Teknologi Alternatif Panen Hujan Untuk Efisiensi Air dan Pengurangan Resiko Banjir. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Departemen Pertanian Bogor. Seyhan E. 1977. Dasar-dasar Hidrologi (Fundamental of Hydrology). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Sinukaban N. 1994. Membangun Pertanian Menjadi Industri yang Lestari dengan Pertanian Konservasi : Orasi Ilmiah Penerimaan Jabatan Guru Besar Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Sinukaban N. 2007. Konservasi Tanah dan Air Kunci Pembangunan Berkelanjutan : Pengembangan DAS dengan Tebu sebagai Tanaman Konservasi. Direktorat Jenderal RLPS. Jakarta. Sitorus SRP. 2004. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Tarsito, Bandung.

289 Sitorus SRP. 2009. Kualitas, Degradasi dan Rehabilitasi Lahan (Edisi Ketiga). Bogor. Sobirin S. 2004. Sembilan Belas DAS Jabar Dalam Kondisi Kritis. Pikiran Rakyat Edisi 3 Nopember 2004. Bandung. Soenarno. 2000. Luas Lahan Kritis di Indonesia. Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Dep. Kehutanan. Jakarta. Soeriaatmadja RE. 1997. Ilmu Lingkungan. Penerbit ITB. Bandung. [SSC] State Service Commission of New Zealand Government. 2008. Factors for Successful Coordination – A Framework to Help State Agencies Coordinate Effectively. Wellington - New Zealand. Sudadi U, Baskoro DPT, Munibah K, Barus B dan Darmawan. 1991. Kajian Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Aliran Sungai dan Penurunan Kualitas Lahan di Sub DAS Ciliwung Hulu dengan Pendekatan Model Simulasi Hidrologi. Laporan Penelitian. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Suhara O. 1991. Studi Perencanaan Penggunaan Lahan Pertanian Terpadu dan Kaitannya dengan Upaya Pengelolaan DAS (Studi Kasus DAS Citarum Hulu Jawa Barat). Disertasi S3 Program Pascasarjana IPB. Bogor (Tidak dipublikasikan). Sunderlin WD and Resosudarmo IAD. 1997. Laju dan Penyebab Deforestasi di Indonesia : Penelaahan Kerancuan dan Penyelesaiannya. Occasional Paper No. 9 (1) Edisi Maret 1997. Center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor. http://www.cgiar.org/cifor (Diakses 6 Oktober 2009). Sunito MA dan Sunito S. 2003. Sosiologi Umum : Perubahan Sosial dan Pembangunan. Badan Ilmu-Ilmu Sosial Komunikasi dan Ekologi Manusia Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian IPB. Pustaka Wirausaha Muda. Bogor. Supono S. 2007. Model Kebijakan Pengembangan Kawasan Pantai Utara Jakarta Secara Berkelanjutan. Disertasi S3 Sekolah Pascasarjana PSL IPB. Bogor (Tidak dipublikasikan). Surbakti R. 2007. Memahami Ilmu Politik. PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Cetakan Keenam : Desember 2007. Jakarta. Stead D and Meijers E. 2004. Policy integration : What does it mean and how can it be achieved? A multi-disciplinary review [online]. Paper Presented at 2004 Berlin Conference on the Human Dimensions of Global Environmental Change. “Greening of policies - interlinkages and policy integration” pp. 3-4. — December Berlin. http://userpage.fu-berlin.de/ffu/akumwelt/ bc2004/ download.htm (21 Juni 2011) Syartinilia. 2004. Penerapan Multicriteria Decision Making (MCDM) dan Geographical Information System (GIS) pada Evaluasi Peruntukan Lahan (Studi Kasus DAS Ciliwung Kabupaten Bogor). Tesis S2 Sekolah Pascasarjana IPB. Tidak dipublikasikan.

290 Talo’ahu, SH, Agus F dan Irianto G. 2001. Hubungan Perubahan Penggunaan Lahan dengan Daya Sangga Air subDAS Citarik dan DAS Kaligarang. Prosiding Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah. Bogor, 1 Mei 2001. ASEAN Sekretariat – MAFF Japan-Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agriklimat. Bogor. Tasrif M. 2004. Model Simulasi Untuk Analisis Kebijakan. Pendekatan Metodologi System Dinamics. Kelompok Penelitian dan Pengembangan Energi. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Tesfamichael D and Pitcher TJ. 2006. Multidisciplinary Evaluation of the Sustainability of Red Sea Fisheries Using Rapfish. Fisheries Research Volume 78, Page : 227-235. http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/ pii/ S0165783606000312 (Diakses 12 Januari 2011). Thamrin. 2009. Model Pengembangan Kawasan Agropolitan Secara Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Kalimantan Barat-Malaysia. Disertasi Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. (Tidak Dipublikasikan). Tonny F. 2003. Sosiologi Umum : Kelembagaan Sosial. Badan Ilmu-Ilmu Sosial Komunikasi dan Ekologi Manusia Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian IPB. Pustaka Wirausaha Muda. Bogor. Uphoff NT. 1986. Local Institutions Development. Cornell University. Kumarian Press. USA. Utama S. 2010. Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan Melalui Pendekatan Kelompok (Kasus Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat pada Areal Hutan Produksi Perum Perhutani Unit I Jawa tengah). Disertasi SPs-IPB. Bogor. (Tidak Dipublikasikan). Waryono T. 2005. Komponen Lingkungan, Konsep dan Peran Sistem Informasi Dalam Pengelolaan DAS. Makalah Dalam Perencanaan DAS Terpadu Jabodetabek. BPLHD DKI Jakarta 23 Juni 2005. Jakarta. [WCED] The World Comission on Environment and Development. 1987. Our Common Future. Oxford University Press. New York. Zingerli C, Bisang K and Zimmermann W. 2004. Towards Policy Integration : Experiences with Intersectoral Coordination in International and National Forest Policy; Berlin Conference 2004 on the Human Dimension of Global Environmental Change “Greening of Policies–Interlinkages and Policy Integration”. Institute for Human–Environment Systems, Suiss Federal Institute of Technology. Suiss. Zubaidah A. 2004. Pengaruh Penutupan Lahan / Penggunaan Lahan Terhadap Kandungan Unsur Hara Air Sungai di DAS Ciliwung Hulu. Tesis S2 Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor (Tidak dipublikasikan).

305

GLOSSARY Air

: Semua air yang terdapat pada, di atas, ataupun dibawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan,dan air laut yang berada di darat (UU No. 7/2004).

Bappeda

: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Organisasi perangkat daerah yang bertugas melaksanakan penyusunan dan pelasanaan kebijakan daerah di bidang perencanaan pembangunan daerah di tingkat kabupaten / kota / provinsi (PP 41/2007).

Biyong

: masyarakat lokal maupun masyarakat luar yang berperan sebagai perantara dalam jual beli lahan milik maupun lahan garapan di DAS Ciliwung Hulu

BPDAS

: Balai Pengelola Daerah Aliran Sungai adalah unit pelaksana teknis Kementerian Kehutanan di daerah yang bertugas melakukan koordinasi penyusunan dan evaluasi pengelolaan DAS. DAS Ciliwung Hulu berada di wilayah kerja BPDAS Citarum-Ciliwung.

BP4K

: Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. BP4K Kabupaten Bogor memiliki 12 UPT Wilayah BP3K yaitu Dramaga, Cibungbulang, Leuwiliang, Cigudeg, Parungpanjang, Ciseeng, Cibinong, Ciawi, Caringin, Gunung Putri, Jonggol dan Cariu. UPT BP3K Wilayah Ciawi mencakup Kecamatan Ciawi, Megamendung dan Cisarua.

BP3K

: Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (UPT Wilayah BP4K di Kabupaten Bogor). DAS Ciliwung Hulu berada di wilayah kerja BP3K Wilayah Ciawi.

BPSDA

: Balai Pendayagunaan Sumberdaya Air. BPSDA WS CiliwungCisadane adalah unit pelaksana teknis (UPT) Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air Provinsi Jawa Barat pada wilayah sungai Ciliwung dan Sungai Cisadane yang bertugas dalam pendayagunaan sumberdaya air.

DAS

: Daerah Aliran Sungai, dalam bahasa Inggeris sering diidentikkan dengan watershed, catchment area, atau river basin. Suatu wilayah daratan yang dibatasi oleh pemisah topografi berupa bukit atau gunung yang berfungsi menampung air dari curah hujan, menyimpan dan mengalirkannya melalui satu outlet ke danau atau laut secara alami. Sumberdaya alam berupa stock dengan ragam kepemilikan (private, common, state property) yang memiliki sumber interdependensi antar komponen dan antar pelaku di atasnya berupa proses hidrologi dan dapat menghasilkan produk barang dan jasa bagi kesejahteraan manusia.

306 Dewan SDA

: Dewan Sumberdaya Air adalah wadah koordinasi pengelolaan sumber daya air yang meliputi Dewan SDA nasional, dewan SDA provinsi atau dengan nama lain, dan dewan SDA kabupaten / kota atau dengan nama lain (Perpres 12/2008).

dpl

: di atas permukaan laut. Ketinggian suatu obyek atau lokasi yang diukur ketinggiannya dari permukaan air laut. Satuan dpl dinyatakan dalam meter dpl.

KFM

: Kebutuhan Fisik Minimum adalah kebutuhan minimum bagi manusia agar dapat bertahan hidup mencakup kebutuhan untuk pangan, sandang dan papan. Perhitungan dilakukan dengan pendekatan jumlah kg beras per anggota keluarga (Sinukaban 2007).

KHL

: Kebutuhan Hidup Layak adalah kebutuhan layak bagi manusia agar dapat hidup secara layak mencakup KFM, kebutuhan pendidikan, kebutuhan kesehatan dan kebutuhan sosial dan tabungan. Perhitungan dilakukan dengan pendekatan jumlah kg beras per anggota keluarga (Sinukaban 2007).

KPH

: Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPHP, KPHL, KPHK : KPH Produksi, KPH Lindung, KPH Konservasi). Unit pengelolaan kawasan hutan berdasarkan proporsi terbanyak dari fungsi kawasan hutan.

Ojeg

: Ongkos jegang. Istilah lokal untuk kegiatan jasa angkutan dengan menggunakan motor roda dua.

P4S

: Pusat Penyuluhan Pertanian dan Perikanan Swadaya. Organisasi swadaya masyarakat lokal yang bergerak dalam kegiatan penyuluhan pertanian dan perikanan. Organisasi ini berafiliasi pada dinas teknis kabupaten yang mengurusi bidang pertanian dan perikanan.

Poktan/gapoktan: kelompok tani / gabungan kelompok tani Program KB

: Program Keluarga Berencana adalah program pemerintah dalam rangka pengendalian jumlah penduduk dan perencanaan keluarga sehat Indonesia.

PTPN

: Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara. BUMN bidang perkebunan.

SDAir

: Sumberdaya Air adalah air, sumber air, dan daya air yang terkandung di dalamnya (UU No.7/2004).

Sumber air

: tempat atau wadah air alami dan/atau buatan yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah (PP 42/2008 tentang Pengelolaan SDAir).

SPKP

: Sentra Penyuluhan Kehutanan dan Perdesaan. Organisasi swadaya masyarakat lokal yang bergerak dalam kegiatan penyuluhan bidang kehutanan dan perdesaan. Organisasi ini berafiliasi dengan dinas teknis kabupaten yang mengurusi bidang kehutanan.

307 TN

: Taman Nasional. Kawasan yang berfungsi sebagai wilayah konservasi dan dikelola dengan sistem zonasi. Kawasan konservasi lainnya adalah Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Buru, Hutan Wisata, Taman Hutan Raya.

Unit SDAir

: Jumlah air tanah yang terkandung atau diambil dari suatu unit sumberdaya misalnya suatu lembah. Unit sumberdaya berbeda dengan sistem sumberdaya. Sistem sumberdaya adalah sistem yang mengandung atau menghasilkan air tanah sebagai komponen ekosistem misalnya lembah yang mengandung air tanah, sistem DAS dll. (Blomquist 1992)

LAMPIRAN

Lampiran 1 Peta admninistrasi pemerintahan DAS Ciliwung Hulu

Sumber : Sawiyo et al. (2009)

Lampiran 3. Peta jenis tanah DAS Ciliwung Hulu

294 Lampiran 4 Peta Penutupan Lahan DAS Ciliwung Hulu Tahun 2000, 2003, 2006, dan 2009

Lampiran 5 Peta Pemanfaatan Kawasan DAS Ciliwung Hulu

295 294

KETERANGAN : HL (Hutan Lindung) HP (Hutan Produksi Tetap) HPT (Hutan Produksi Terbatas) HSAW/TN (Hutan Suaka Alam/Taman Nasional) Sungai / anak sungai Perkebunan Batas DAS Ciliwung Hulu

296

Lampiran 6

No.

1

Hasil penilaian terhadap atribut pada masing-masing dimensi keberlanjutan pengelolaan DAS Ciliwung Hulu Atribut

Kriteria

Data

2

(0) nilai terendah (jelek/bad) (1) nilai sedang (2) nilai tertinggi (baik/good) 3

Nilai Skor

4

5

A. Dimensi Ekonomi 1

Akses masyarakat lokal kepada modal ekonomi Luas kepemilikan lahan pertanian.

(0) (1) (2) (3)

2

Tingkat pemanfaatan jasa wisata (alam dan buatan) Jumlah kunjungan wisata di DAS Ciliwung Hulu dibandingkan dengan Kab. Bogor Jaminan pasar input dan output kegiatan pertanian (demand)

(0) rendah (0-20%) (1) sedang (20-30%) (2) tinggi. (30-40%) (3) sangat tinggi (.>40%)

3

4

5

6

7

8

9

Sangat rendah (0-0,25 ha) Rendah (0,26-0,50 ha) Sedang (0,51-1,00 ha) Tinggi > 1,00 ha.

(0) rendah (pemasaran sulit) (1) sedang (sedang) (2) tinggi (pemasaran mudah) (3) sangat tinggi. Tingkat keuntungan rangkaian (0) rendah (BEP) usaha tani non- pangan (1) sedang (hortikultura dan buah2an). (2) tinggi (3) sangat tinggi Layanan listrik PLN (0) sangat rendah (75% Alternatif pendapatan non(0) kurang, pertanian (ojek, jasa vila, (1) sedang (cukup tersedia tapi warung, usaha peternakan dll.) tidak secara luas), (2) tinggi (ada, menopang penghasilan keluarga, dan cukup menguntungkan). (3) sangat tinggi (ada, mencukupi dan sangat menguntungkan). Adaptasi petani terhadap (0) rendah, (1) sedang, (2) tinggi , perubahan permintaan (3) sangat tinggi ( sangat komoditas dari pasar. mudah.) Status pengembangan ekonomi (0) bukan andalan andalan wilayah. (1) lokal (2) lokal dan regional (3) lokal, regional, dan nasional. Jumlah tenaga kerja terampil sektor pertanian

(0) (1) (2) (3)

sedikit sedang tinggi sangat tinggi

0-0,25 ha (Data responden)

0

Jumlah wisatawan ke Kab. Bogor sebanyak 56,39% berada di DAS Ciliwung Hulu (SLH, 2010) Tinggi (Kuesioner)

3

Tinggi (Kuesioner)

2

Dewi, 2010 (50,44%)

2

2

sedang (Kuesioner, Data pengamatan lapangan)

1

Triangulasi lapangan

2

UU 26/2007 (RTRWN) Ungglan Jabar untuk pariwisata dan agribisnis. Tinggi

3

2

297

Lampiran 6 Lanjutan 10

Jumlah tenaga kerja sektor jasa

(0) (1) (2) (3)

rendah sedang tinggi Sangat tinggi.

Tinggi (Pengamatan lapangan)

2

B. Dimensi Ekologi

1

2

3

4

5

Tanah / Lahan Produktivitas lahan pertanian

(0) rendah (dibawah rata2 Sama dengan rata2 kabupaten), kabupaten (1) sedang (sama dg rata2 (Kuesioner dan kabupaten), Bogor Dalam (2) tinggi (lebih tinggi). Angka 2010) Lahan Kritis. (0). Sangat kritis (>50%) (SLH 2010= 2,5%) Tingkat kekritisan lahan DAS (1). Kritis (25-50%) (2). Potensial kritis (10-25%) (3). Tidak terdegradasi (tidak kritis) (2x laju pertumbuhan penduduk) (1) tinggi (> laju pertumbuhan penduduk (2) sedang (=laju pertumbuhan penduduk) (3) rendah (2x lppk.

0

2009 =41,91% Hutan : 29,06%, Perkebunan : 12,85% (Baplan, 2011)

2

298

Lampiran 6 Lanjutan 6

Kecukupan luas kawasan hutan

(0) (1) (2) (3)

Buruk (0-20%) Kurang (20-30%) Sedang (30-40%) Baik (>40%)

33,24% (Data pemanfaatan DAS)

2

Tahun 2009, KRS=61,93; Rata2 KRS 1989-2009 = 151,64 (Balai PSDA Ciliwung – Cisadane, 2010)

1

Sebagai bahan air minum, air Sungai Ciliwung Hulu tergolong sudah tercemar berat. Sesuai untuk kelas III dan IV (SLHD Bogor 2010, BOD=16-23) Metoda Storet (EPA,environmental protection agency, USA).

0

Pemeliharaan Daerah Tangkapan (0) kurang berhasil (keberhasilan 50-80% Air (tingkat keberhasilan upaya RHL80%). C. Dimensi Sosial

1

Tingkat pertumbuhan penduduk

0

Sumberdaya Air Kuantitas Air /Tata Air Sungai (0) KRS > 120 (buruk), Koefisien Regime Sungai (KRS) (1) KRS =50-120 (sedang), = Qmaks/Qmin (2) KRS< 50 (baik)

7

Kualitas Air Tingkat pencemaran air di hulu sungai (Kadar BOD)

8

Kadar BOD di hulu Sungai Ciliwung Hulu (mg/lt.) (0) air kualitas buruk = tercemar berat (kelas D-buruk skor < -31; (1) air kualitas sedang = tercemar sedang (kelas Csedang/termear ringan): skor -11 s/d -30 (2) air kualitas baik = tercemar ringan (B-skor -1s/d -10) : -1 s/d -10; (3) air kualitas baik sekali = memenuhi baku mutu (kelas A-baik-nilai skor =0).

Pemeliharaan DTA (DTA) dan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL)

9

1

(0) sangat tinggi (lebih 2x nasional), (1) tinggi (>nasional); (2) sedang (nasional s/d kabupaten), (3) rendah (50%) SD =62,86% (2006) (1) Sedang (SD+SLTP>50%) SMP= ..% (2) Baik (SMP+SLTA>50% (3) Sangat baik (SLTA+PT/Akademi)>50% (0) buruk (tinggi yg tidak Tersedia cukup tertampung), (1) sedang, (2) baik (banyak yg tertampung) (0) buruk Tersedia cukup (1) sedang (2) baik (0) buruk Tersedia cukup. (1) sedang (2) baik

Penyerapan Tenaga Kerja Tingkat pengangguran

7

8

9

1

2

3

4

(0) rendah==> pengangguran tinggi (>tkt nasional), (1) sedang (=tkt nasional), (2) rendah ( 70%. D. Dimensi Kelembagaan Organisasi Petani Organisasi Kelompok Petani (Poktan)

Organisasi Penyuluh Swadaya Masyarakat

Institusi (Kelembagaan) Property right (kepemilikan lahan). Kepastian / keamanan lahan untuk upaya RHL (security lang tenure) Batas Yurisdiksi (jurisdiction boundary)

(0) tidak ada, atau ada tetapi tidak berfungsi. (1) ada, belum berjalan lancar (kurang aktif) (2) ada dan kegiatan berjalan lancar / sudah aktif. (0) Tidak ada (1) Ada, kurang berfungsi (2) Ada dan berfungsi dengan baik.

(0) lemah; kurang terjamin (tidak pasti), (1) sedang (cukup terjamin); (2) aman (terjamin), (3) sangat terjamin. (0) buruk (alokasi ruang budidaya maupun lindung, banyak pelanggaran thd aturan (1) sedang (alokasi ruang wilayah agak tertib), (2) baik (pengaturan alokasi ruang cukup ketat), (3) sangat baik (sangat ketat alokasi ruang wilayah).

0

1

1

1

Sedang

1

Rendah (karena kesempatan tidak ada) Apabila diajak, masyarakat ikut berpartisipasi.

0

Ada, aktivitas masih banyak yang menunggu proyek dan pihak lain (masih dalam proses menuju pematangan). Ada dan aktif berperan di lokal maupun regional (P4S / SPKP).

1

70-80% merupakan lahan garapan (Autorized user /penggarap). Buruk. Aturan banyak dilanggar dan ada kesan pembiaran.

0

1

2

0

300

Lampiran 6 Lanjutan 5

Aturan representatif. Aturan yang mengatur tentang alokasi ruang dan sanksi.

6

Pengambilan keputusan dalam pengelolaan lahan untuk rehabilitasi lahan

7

8

9

Lembaga Pasar Ketersediaan pasar input dan output produk pertanian.

Ketersediaan lembaga keuangan mikro (bank/kredit)

Kegiatan Penyuluhan Kegiatan penyuluhan dengan petugas pemerintah maupun non pemerintah lainnya. Keterangan : Intensitas dan kontinyuitas kegiatan penyuluhan (pertaniankehutanan /KB, konservasi lahan) kepada masy.

10

Organisasi Pemerintah Bidang Penyuluhan

11

Ketersediaan informasi

(0) buruk (aturan banyak dilanggar) (1) kurang baik (aturan hanya dipatuhi warga yang melapor ke pihak pemrintah saja, yg tidak melapor tidak peduli); (2) sedang (aturan dipatuhi sebagian yg melapor, dan masih ada pelanggaran yang dibiarkan); (3) baik (aturan dipatuhi dan dapat ditegaskan di lapangan). (0) berbelit; susah mengambil keputusan, dan susah mengakses karena bersifat satu arah (pihak pemilik lahan bersifat tertutup) dan posisi di luar lokasi; (1) cukup mudah mengambil keputusan, cukup mudah mengakses pihak pemilik dan pemilik berada di luar lokasi. (2) mudah mengambil keputusan, mudah mengakses kpd pihak pemilik, memilik mudah dihubungi darimana saja.

Buruk. Aturan banyak dilanggar.

0

Pengambilan keputusan banyak ditentukan oleh pemilik lahan yang bertempat tinggal di luas DAS Ciliwung Hulu (Jakarta).

0

(0) kecil (2 jam perjalanan); (1) sedang (tersedia pasar 1-2 jam); (2) Besar (pasar mudah (
View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF