Pendekatan Antropologi Dalam Studi Politik (Antropologi Politik)
January 26, 2017 | Author: Andi Muhammad Yusuf | Category: N/A
Short Description
revisi dari tulisan sebelumnya yang belum lengkap, yang masih merupakan hasil review dari buku Arthur Tuden...
Description
PENCARIAN ASPEK POLITIK DALAM LINGKARAN KEBUDAYAAN (Telaah Pendekatan Dalam Antropologi Politik) Oleh: Andi Yusuf1 Manusia sebagai mahluk sosial dalam kehidupannya senantiasa akan berinteraksi dengan manusia lainnya dalam upaya mencapai aspek-aspek kebutuhan hidupnya. Secara mendasar kebutuhan manusia tidak hanya persoalan makan, minum, biologis dan sebagainya. Lebih dari itu manusia menciptakan dirinya sendiri dalam mengakomodasi kebutuhannya atas bentuk lain yang memberikannya pengakuan eksistensi diri, status sebagai anggota masyarakat, posisi yang menguntungkan dalam ranah-ranah sosial bahkan sampai bentukbentuk lainnya seperti penghargaan dari dan kepada orang lain dalam bentuk pujian. Kehidupan manusia di dalam bermasyarakat setidaknya dalam era modern ini selalu berada dalam rangkaian pengaruh sistem politik dan bernegara. Sebagai salah satu bentuk peran dan pemenuhan kebutuhan berorganisasi dan pembagian kekuasaan dalam pranata-pranata yang ada di dalam kehidupan masyarakat adalah pranata politik itu sendiri. Dalam konteks era saat ini, setidaknya setiap warga masyarakat dalam bernegara selalu bersentuhan dengan politik praktis baik yang bersimbol maupun tidak. Dalam proses pelaksanaannya dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung dengan praktik-praktik politik yang terjadi dalam realitas sosial-budaya. Jika secara tidak langsung, hal ini memberikan gambaran bahwa individu atau kelompok tersebut sebatas mendengar informasi, atau beritaberita tentang peristiwa politik yang terjadi. Apabila secara langsung, berarti individu atau kelompok tersebut terlibat dalam peristiwa politik tertentu.
1
Mahasiswa pada Jurusan Antropologi FISIP UNHAS (2005)
Almond dan Verba (1984)2 menyatakan pendapatnya mengenai budaya dalam kaitannya dengan politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas dari suatu masyarakat terhadap sistem politik. Budaya politik adalah salah aspek dari nilainilai yang terdiri atas pengetahuan, adat istiadat, tahayul dan mitos dalam suatu populasi tertentu. Kesemuanya dikenal dan diakui sebagian besar masyarakat yang memberikan rasionalisasi untuk menolak atau menerima nilai-nilai atau norma lain. Sehingga bisa dikatakan bahwa politik juga telah menelusuk kedunia agama, kegiatan ekonomi, sosial; kehidupan pribadi dan sosial secara luas dan memberikan corak suatu masyarakat dalam mengoperasionalisasikan caranya dalam menghadapi suatu masalah-masalah politik, semisal masalah legitimasi, pengaturan kekuasaan, proses pembuatan kebijakan pemerintah, dinamika partai politik, perilaku aparat negara serta gejolak masyarakat terhadap kekuasaan yang memerintah. Ilmu politik pada umumnya lebih menekankan perspektif politik pada salah satu unsur yang ada dari berbagai unsur-unsur dalam kebudayaan. Unsur-unsur tersebut dalam kenyataannya saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya secara terpisah, atau hanya sebagian saja dalam pranata masyarakat yang berimplikasi pada pemahaman sempit terkait masalah perilaku politik. Masalah politik bahkan kemudian cenderung untuk dilihat terpisah sebagai induk dalam pemahaman realitas sosial seperti bagian dalam pranata politik yakni sistem pemerintahan dan administrasi birokrasi dalam masyarakat bernegara yang justru kemudian membiaskan suatu konsep dimana masyarakat dan individu dikonsepsikan sebagai subjek yang memiliki orientasi pemahaman terhadap negara sesuai dengan subjektifitas budayanya atau malah sepertinya tak bernegara sama sekali seperti dalam masyarakat tradisional. pemahaman ini adalah 2
Dampak lainnya dari
justru melahirkan suatu kondisi dimana kelihatannya
Tulisan Gabriel Almond yang mengaitkan beberapa tingkah laku politik di 5 negara dengan aspek budaya lokal di negara-negara tersebut, Op.cit, Hal. 146
suatu kelompok masyarakat dilihat tidak berperilaku politik tapi justru dikendalikan oleh suatu sistem yang bernama “politik”3. Pentingnya aspek politik dalam pengkajian suatu kebudayaan adalah bahwa aspek politik adalah bagian penting untuk dijadikan salah satu sudut pendekatan bagi studi kebudayaan mengingat keterkaitannya dengan aspek-aspek yang nampaknya tak memiliki relevansi dalam kacamata ilmu politik, seperti masalah simbolisasi dan ritual keterkaitan unsur seperti pranta-pranata dalam korelasinya dengan konteks politik. Dalam banyak hal, suatu kebudayaan merupakan suatu keseluruhan yang utuh, terbentuk dari berbagai unsur dan aspek budaya yang saling berhubungan serta saling mempengaruhi. Perubahan yang terjadi pada satu unsur atau aspek dapat berakibat pula terhadap unsur atau aspek lainnya. Demikian pula pemahaman terhadap salah satu unsur atau aspek tidak mungkin dapat dicapai tanpa memahami unsur-unsur lainnya. Dibeberapa literatur, budaya selalu diperbicangkan sebagai bentuk yang dikonstruksikan dan merupakan arena relasi antara sebuah struktur kesadaran subyektif
dan
individu, sehingga dengan asumsi ini berimplikasi pada
pemikiran tentang tema perubahan budaya yang menjadi agenda utama untuk mengkonstruksi budaya baru. Dalam studinya mengenai antropologi politik, Edmund Leach4 memberikan gambaran bahwa setiap perubahan sosial dan kultural merupakan pencarian kekuasaan. Baginya dalam melihat kekuasaan yang beroperasi bukanlah dilihat dalam suatu wilayah melainkan salah satu bentuk dan kondisi dalam keterkaitan relasi diantara manusia. Oleh karenanya, cara mamahami sepenuhnya dan menganalisis kompleksitas kekuasaan adalah dengan menemukan di mana dimensi-dimensi material, psikologis, dan sosial kekuasaan 3
4
Lihat George Balandier “Antropologi Politik” .1986.CV . Rajawali. Jakarta. Hal vi Lihat McGlyyn & Arthur Tuden “Pendekatan Antropologi Pada Perilaku Politik”, Op.cit, Hal. 3
politik beroperasi, dan secara sosial berada, dan apakah serta dengan cara bagaimana dimensi-dimensi ini memproduksi diri di rumah atau tempat-tempat lain. Kajian politik dengan menggunakan pendekatan antropologi berupaya menelisik kekuasaan dalam konteks sosial-kultural. Karenanya kekuasaan bersifat inklusif yang harus mengkaji bidang-bidang dan hirarki-hirarki kekuasaan dalam setiap masyarakat. Terinspirasi oleh pendekatan struktural-fungsional A.R. Radcliffe-Brown yang juga kala itu menjadi bagian dasar setiap penelitian setelahnya, EvansPritchard dan Fortes kemudian memberikan jalan baru dalam kajian subantropologi terkait masalah-masalah politik5 (Dalam McGlynn dan Arthur Tuden 2000: 14) secara terpisah membahas hasil penelitiannya di Afrika yang mengkaji perilaku politik dan secara spesifik mengajukan tese tentang pemahaman antropologi dalam konteks politik, seperti yang ia katakan bahwa konsep politik dalam antropologi sebagai “… struktur atau hubungan yang memelihara atau menegakkan
ketertiban
sosial
di
dalam
kerangka
teritorial,
dengan
menyelenggarakan latihan atau kekuasaan kekerasan melalui penggunaan, atau kemungkinan penggunaan kekuatan fisik”6. Pendapat ini kemudian memberikan beberapa pemahaman tentang bagaimana politik sebenarnya (dalam pendekatan antropologi) dalam suatu kelompok masyarakat yang kemudian dijadikan model perintisan kajian antropologi politik pada penelitian-penelitian selanjutnya7. Dalam pendekatan struktural-fungsional, struktur sosial (dalam kaitannya dengan hubungan-hubungan yang bersifat pertarungan kekuasaan dan politik) 5
Sub-disiplin antropologi lahir sebagai spesialisme baru didalam disiplin antropologi pada tahun 1940, pada saat terbitnya buku yang diedit bersama oleh E.E. Evans-Pritchard dan Meyer Fortes yang berjudul “African Political System”. The Nuer yang juga berbicara mengenai aspek politik orang Nuer di Uganda dan Kenya, Afrika. (Balandier 1986:14)
6
Kutipan McGlynn dan Arhtur Tuden dalam buku yang di suntingnya “Pendekatan Antropologi Pada Perilaku Politik” terjemahan yang diterbitkan UI Press 2000. Op.cit Hal 14
7
Pada bagian awal bukunya George Balandier (1986) menegaskan tentang penelitian-penelitian selanjutnya yang mengkaji masalah politik di Afrika. Hal 14.
dilihat sebagai jaringan hubungan dari relasi-relasi yang nyata antar individu atau antar kelompok dalam masyarakat8. Hal itu berarti bahwa termasuk juga dalam hal ini adalah relasi-relasi yang didasarkan atas peranan dan kedudukan yang berbeda, misalnya relasi antara pemimpin dan pengikut. Dalam hubungannya dengan praktik politik, pendapat demikian memberikan kecenderungan untuk mengarahkan pemahaman tentang tingkah laku politik yang merupakan satu aspek dari tingkah laku sosial yang ditentukan oleh hubungan-hubungan kekuasaan sehingga dengan demikian tingkah laku politik tidak lain adalah bagian dari struktur dalam masyarakat. Pendapat seperti ini, juga berorientasi pada pemahaman tentang fenomena politik tidak lain dari upaya pemahaman terhadap mekanisme tertib sosial seperti definisi yang telah diajukan sebelumnya tentang mekanisme tertib sosial atau kondisi dimana memungkinkan terwujudnya tertib sosial, bentuk atau model tertib sosial, pranata-pranata sosial dan kebiasaankebiasaan yang saling berkaitan sehingga membentuk satu kesatuan yang utuh. Dalam kaitannya dengan politik, juga menjadi pertanyaan tentang fungsi organisasi politik, Malinowski seperti yang diulas oleh Claessen9 memberikan pendapat tentang adanya tiga fungsi utama dari organisasi politik: (1) Upaya mempertahankan keadaan ekuilibrium antara golongan-golongan atau kelompokkelompok, lembaga-lembaga dan kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda dalam masyarakat dengan menggunakan kekuasaan; (2) Menjamin dan melaksanakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat; (3) melakukan pertahanan dan atau agresi. Dengan menggunakan pemikiran strukturalfungsional seperti ini, dapat dikatakan memiliki tujuan dalam upayanya memperlihatkan bagaimana struktur-struktur dalam hal ini hubungan-hubungan 8
Lihat kesimpulan K oentjaraningrat mengenai konsep struktur sosial yang dikemukakan A. RadcliffeBrown dalam Sejarah Teori Antropologi. UI Press. 1987, op cit, hal. 181
9
Dalam Balandier (1986: 42)
sosial politik saling menjalin satu sama lain dan bagaimana berfungsi dalam rangka penegakan tertib sosial. Dari tese yang digagas Evans-Pritchard dan Fortes mengandung beberapa pemahaman mengenai aspek politik meski pada dasarnya sangat bersifat strukutural yang pada masa itu memang telah banyak terinspirasi oleh gaya pendekatan yang digagas Radcliffe-Brown. Namun secara nyata kita dapat mendapati beberapa pokok gagasan tentang pendekatan antropologi
yang
cenderung mengarahkan aspek politik pada wilayah tingkah laku sosial secara umum, melihat seluruh bagian yang terkait dalam ranah struktur yang terkesan terikat pada wilayah-wilayah sosial itu berlaku dan dalam kurun periode tertentu kelompok masyarakat tersebut hidup. Dalam masyarakat-masyarakat tertentu apalagi dalam masyarakat tradisional, membutuhkan perhatian pada hubungan antara berbagai pranata. Pranata politik misalnya tak dapat dipisahkan dengan pranata kekerabatan, agama, perkumpulan-perkumpulan usia, marga dan sebagainya. Implikasi pada sisi tertentu dari tese yang diajukan Evans-Pritchard dan Fortes bisa dianggap lebih luas dibandingkan pengertian pada ilmu politik sendiri yang terkesan kaku pada satu pandangan saja dalam melihat bagaimana tingkah laku suatu kelompok masyarakat dioperasionalisasikan dalam konteks tatanan politik. Konsep yang pada umumnya lebih banyak diartikan dan dihubungkan dengan institusi-institusi formal dan mengakar pada konteks politik negara. Pemahaman lain tentang pendapat yang diajukan antropolog seperti yang dibahas diatas, dalam kajian masalah politik adalah bentuk dari suatu tatanan yang
menciptakan
tertib
sosial
di
dalam
wilayah
teritorial
tertentu.
Konsekuensinya kemudian menjadikan pendekatan ini terlihat statis melihat fenomena yang terjadi dalam suatu masyarakat seperti sifat dari pendekatan
struktural pada umumnya yang mengarahkan perhatiannya pada unit-unit sosial, fungsi politik dilihat pada saling pengaruh kepentingan dan proses timbal balik dalam antara pranata dalam masyarakat tak bernegara seperti di Afrika. Arahnya kemudian tak jauh dari orientasi konsep yang melahirkan klasifikasi tipe-tipe masyarakat dalam kaitannya perilaku politik atas dasar hubungan-hubungan sosial, seperti pada apa yang di uraikan Evans-Pritchard sendiri dalam karangannya10. Kecenderungannya sangat mengabaikan ke-dalaman historitas dan terlebih lagi topik mengenai perubahan sosial kemudian dibiaskan pada konteks dimana situasi politik itu berlaku. Pada hasil penelitian selanjutnya, banyak kritik yang dilontarkan terhadap tujuan asli para ahli antropologi berjalan lebih jauh daripada perselisihan mengenai varian-varian yang mungkin dari ketiga tipe dasar sistem
politik.
Tujuan para ahli antropologi sosial menyoal klasifikasi sistem-sistem politik atas`dasar satuan-satuan sosial semata, telah banyak diserang. Bahkan Lloyd (1954) juga dalam buku yang disunting McGlynn dan Arthur Tuden11 menyarankan bahwa, untuk memahami perilaku politik, suatu studi tentang komponenkomponen struktural tidaklah cukup, dan dia berpendapat bahwa klasifikasi tipetipe tidaklah dipandang sebagai tujuan utama penelitian mengingat faktor-faktor lain dan konsep-konsep yang lebih bersifat umum seperti kewenangan, pembentukan badan-badan pembuat keputusan dan dasar kewenangan serta kepemimpinan juga muncul secara mencolok. Sebenarnya, setelah banyak memeperhatikan satuan-satuan sosial tersebut di mana struktur serupa terjadi, pembentukan perilaku politik dapat benar-benar berbeda.
10
McGlynn dan Arthur Tuden (2000) yang juga memberikan ulasan mengenai kecnederungan kelemahan analisis struktural-fungsional, Hal. 16
11
Ibid, Hal. 17
Selain
kurangnya
perhatian
struktural-fungsional
terhadap
bentuk
pengoperasian suatu unit sosial atau dalam hal ini kita bahasakan sebagai pranata politik yang hanya mengarahkan pada hubungan-hubungan atau relasi disetiap unsur yang tetapi tidak terlalu memperhatikan tentang bagaimana suatu capaian dalam proses dimana gejala politik itu muncul. Hal ini kemudian memunculkan berbagai kajian yang mengarahkan pada dimana proses-proses persaingan yang terwujud di antara individu-individu atau di antara kelompok-kelompok yang saling merebut kepentingan umum serta strategi-strategi yang digunakan untuk mencapai maksud tersebut12. Konsep proses yang kemudian pada fase lanjutan dalam memahami fenomena perilaku politik dijadikan salah satu kunci dalam pendekatan antropologi politik. Analisis tentang fenomena politik terarah pada rentetan aktifitas yang berkaitan dengan perebutan kekuasaan antar orang-orang atau antar kelompok-kelompok dan perubahan-perubahan yang diakibatkannya atau hasil dari proses tersebut seperti penyusunan kembali hubungan-hubungan kekuasaan, munculnya kelompok-kelompok elit baru, terdapatnya sumber-sumber baru dalam ranah politik. Leach (1954)13 bahkan secara lebih luas menyatakan semua perubahan sosial dan kebudayaan bersumber dari orang-orang-orang yang berusaha mencari kekuasaan. Jadi studi tentang aspek politik harus dilakukan dalam konteks diakronis. Itu berarti bahwa dalam pendekatan proses perhatian beralih dari perspektif ekuilibrium kepada perspektif perubahan. Selain itu, gejala politik berhubungan dengan proses-proses umum, jadi perhatian harus diberikan kepada perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam hubungan-hubungan kekuasaan
yang
terkait
dengan
kepentingan
12
Ibid, Hal. 23
13
Dalam McGlynn & Arthur Tuden (2000), op.cit, hal. 23.
umum.
Dalam pengaturan
kepentingan umum dalam pemahaman prosesual, bahwa diperlukan support atau dukungan. Alat dukungan yang paling penting, menurut para penganut pendekatan proses, adalah legitimacy14 atau keabsahan yang diperoleh melalui persetujuan. Pola pendekatan yang seperti ini kemudian cenderung untuk menelisik masalah dasar-dasar yang muncul dalam aspek kekuasaan15. Konsep mengenai kekuasaan juga diajukan oleh M. G. Smith16 yang diklasifikasikannya kedalam dua bentuk kekuasaan, yaitu: (1) kekuasaan konsensus, adalah bentuk kekuasaan yang dilaksanakan atas dasar persetujuan bersama antara pemimpin dan pengikut. Hal tersebut terjadi karena adanya kesadaran bahwa apa yang dianjurkan atau diperintahkan oleh pemimpin baik dan berguna untuk kepentingan bersama. Kesadaran demikian biasanya dimantapkan oleh tindakan para pemimpin yang rela berkorban demi kepentingan warganya. Bentuk kekuasaan ini tidak menggunakan kekerasan fisik untuk mencapai kemauan para pemimpin. Biasanya nilai-nilai dan norma dalam masyarakat yang bermanifestasi dalam mitologi, agama atau pernyataan-pernyataan yang dikeramatkan dijadikan ideologi, menjadi sumber peng-absahan kekuasaan. Berbeda dengan (2) kekuasaan paksaan yang berdasarkan kekuatan fisik adalah bentuk kekuasaan yang menggunakan kekerasan fisik untuk mencapai tujuan tertentu. Kekerasan fisik itu dapat berupa hukuman badaniah atau hukuman material. Perlu di tegaskan disini bahwa dua bentuk kekuasaan tersebut tidak perlu dipertentangkan perbedaannya
14
Legitimasi dalam penngertian tulisan ini adalah pengakuan bersama oleh pemimpin dan pengikut terhadap kekuasaan yang ada. Akibat dari pengakuan bersama itu ialah semua perintah dalam bentuk aturan-aturan (tertulis maupun bersifat lisan) yang berasal dari pemimpim dianggap benar dan oleh karena itu diterima dan dilaksanakan oleh para pengikut (Claessen (1970:310)
15
McGlynn & Arthur Tuden (2000), op.cit, hal. 23.
16
Dalam Balandier (1986) Op.cit, hal 44
melainkan harus dilihat sebagai dua pola ekstrem pada satu kontinum17. Claessen merinci kontinum kekuasaan dalam bentuk model seperti berikut: ”… konsep kekuasaan merupakan suatu payung yang dibawahnya bernaung berbagai bentuk kekuasaan yang secara berangsur-angsur dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Pada satu ujung garis kontinum terdapat bentuk kekuasaan paksaan yang didasarkan atas kekerasan, beralih pada bentuk ancaman dan kemudian beralih pada bentuk manipulasi. Selanjutnya dari bentuk manipulasi beralih kepada bentuk kemampuan meyakinkan orang lain dan berakhir pada bentuk legitimasi di ujung lain dari garis kontinum tersebut.” Pandangan lain mengenai kekuasaan ketika diasumsikan sebagai ajang kompetisi dimana fungsi kekuasaan18 dilihat dalam rangka mempertahankan kelemahan-kelemahan sebuah masyarakat, menjaga “tata aturan” yang baik dan jika perlu, demikian perlu dilakukan untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan yang tidak bertentangan dengan apa-apa yang menjadi prinsip dasarnya. Akhirnya, begitu hubungan-hubungan kekerabatan maka kompetisi dapat dilihat terbangun di antara kelompok-kelompok dan individu-individu, masing-masing mencoba mempengaruhi keputusan-keputusan yang lahir dari kesepakatan konsensus sesuai dengan kepentingan-kepentingan khusus mereka sendiri atau masyarakat itu. Sebagai konsekuensinya, kekuasaan politik pun muncul sebagai hasil dari kompetisi dan sebagai wadah kompetisi itu. Satu kesimpulan bisa ditarik dari catatan awal ini, bahwa kekuasaan politik adalah inheren dalam setiap masyarakat. Ia menumbuhkan penghormatan bagi aturan-aturan yang menjadi landasannya, suatu bentuk kekuasaan juga mampu
17
18
Menurut Claessen, sifat kontinum dari dua bentuk kekuasaan itu dapat dilihat pada gejala makin meningkatnya penggunaan kekerasan fisik pada saat makin melemahnya pengakuan terhadap kepemimpinan yang ada (Claessen dalam Claessen 1974: 40). Lihat Balandier (1986), op.cit, Hal. 45.
mempertahankan masyarakat dari hal yang tidak melengkapi dari tatanannya dan akibat-akibat dari kompetisi individu-individu dan kelompok-kelompok. Selain konsep-konsep analisis yang sudah dibicarakan di atas, dalam pendekatan proses juga memiliki alat analisis lain dalam mengkaji fenomena politik, yakni konsep field dan arena19. Konsep field dapat kita terjemahkan dengan kata medan sebagai suatu kumpulan dari semua orang yang terlibat dalam kejadian-kejadian politik sepanjang waktu. Sedangkan konsep arena diartikan sebagai ruang lingkup sosial dan budaya dari medan politik. Kedua konsep akan menjadi pendekatan yang akan banyak penulis gunakan untuk melihat realitas lapangan tidak hanya pada posisi dimana relasi dari kekuasaan berlaku tetapi juga penggambaran digunakan untuk menjelaskan tentang bentuk pertarungan dalam setiap proses tersebut membentuk polanya. Strategi dalam pola tersebut dimaknai tidak semata-mata statis tetapi juga pergerakan, dimensi pengaruh-pengaruh yang menyebabkan adanya bentuk yang tidak berada pada polanya. Kedua pendekatan yang telah dikemukakan diatas memang berbeda dilihat dari konsep-konsep analisis yang digunakan serta tujuan yang ingin dicapai dalam pengkajian masing-masing. Jika pada pendekatan struktural-fungsional konsepkonsep struktur, fungsi, ekuilibrium merupakan konsep-konsep kunci, maka pada pendekatan proses, konsep-konsep proses, dukungan, legitimasi, kekuasaan medan dan arena adalah konsep-konsep kuncinya. Lebih lanjut, tujuan yang ingin dicapai oleh pendekatan struktural fungsional adalah pengkajian terhadap organisasi politik dan bentuk-bentuk dari sistem politik, sedangkan perhatian utama dari pendekatan proses adalah cara bekerjanya suatu sistem politik tertentu.
19 Metode
yang serupa digunakan Swartz, Turner dan Tuden (1966) yang diulas dalam McGlynn &Arthur Tuden (2000) op.cit. hal 33.
Pada saat muncul pertanyaan pendekatan mana yang lebih baik untuk pengkajian politik, Claessen20 berpendapat: “…Sungguhpun pendekatan struktural fungsional
dan
pendekatan
proses
dipertentangkan
sebagai
pendekatan-
pendekatan yang berbeda, namun jelas bahwa dua pendekatan tersebut tidak bertentangan. Kehadiran struktur-struktur tidak mengesampingkan proses-proses politik, sebab proses-proses politik semata-mata berlangsung dalam strukturstruktur politik atau menjembatani struktur-struktur yang berbeda”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa setiap pendekatan mempunyai segi kelemahan pada satu dimensi dan kekuatan pada dimensi lainnya. Masing-masing memberikan sumbangan penting bagi pemahaman fenomena atau dengan kata lain saling melengkapi. Dari pengertian yang telah diutarakan diatas, penulis mengupayakan kombinasi pemahaman dalam menggambarkan struktur masyarakat di kabupaten Wajo yang diarahakan pada langkah penelitian pemetaan bentuk stratifikasi sosial kelompok-kelompok ataupun individu-individu, tatanan yang terbangun dari kekerabatan dan bentuk jaringan yang terdapat didalamnya. Tetapi tidak hanya pada batasan dimana struktur itu terbentuk, penulis juga menggambarkan bagaimana struktur itu bekerja melalui individu atau kelompok begitupun sebaliknya. Dengan mengasumsikan upaya menjembatani dikotomi individu dengan objek dengan tidak memisahan perilaku beserta sifat-sifat subjektifitas individu yang menyertai didalamnya dengan jaringan struktur yang membangun pola objektifitasnya dalam tatanan sosial. Dengan pengertian ini, memudahkan penulis untuk menggambarkan bentuk proses yang tidak terputus dari sumbernya atau berkesinambungan dengan melakukan penafsiran terhadap beberapa catatan tentang bentuk-bentuk dan cara masyarakat dalam kondisi sosial yang ada 20 Claessen
(1987), op.cit, Hal. 28
sebelumnya untuk menemukan bagiamana perubahan berlaku tetapi tetap memperhatikan bentuk yang sebenarnya tidak hanya menyesuaikan tetapi juga nampak seperti “ selalu lahir” di setiap kondisi sosial budaya dalam periode sejarah tertentu. Manakala terjadi semacam keterkaitan masyarakat antara satu sama lainnya dalam satuan yang meluas semisal dalam tingkatan nasional maupun regional, dapat kita indikasikan bahwa telah terjadi interaksi dalam jaringan relasi sosial dalam ranah lokal dan relasi lainnya yang lebih luas. Adanya konstalasi sosial tidak terjadi begitu saja secara internal, namun pada kajian politik dan kekuasaan justru menekankan tentang isi dan bentuk dari kekuasaan yang tercipta dan terwujud dalam ranah sosial budaya yang berpadu dengan ranah sosial yang lebih luas dan berasal dari luar. Dipertegas oleh Rudiansyah dalam tulisannya bahwa konfigurasi21 tersebut menjadi sangat menentukan. Dalam bentuk pemerintahan di daerah, institusi-institusi politik yang digunakan individu dalam menjalankan tugasnya mempunyai fungsi memilih dan menyeleksi; pengawasan dan pengendalian; pembuatan peraturan daerah; debat dan fungsi representasi serta mempunyai hak-hak menyangkut anggaran, mengajukan pertanyaan bagi masing-masing anggota; meminta keterangan; mengadakan perubahan dan mengajukan pernyataan pendapat. Terkait masalah kebijakan-kebijakan dalam arena politik termasuk dalam ruang institusi politik, Gabriel Almond22 mengajukan tese bahwa sebelum kebijaksanaan dan tujuan ditetapkan, individu-individu atau kelompok-kelompok masyarakat, harus menentukan apa yang menjadi kepentingan mereka, yaitu apa
21 22
Istilah yang digunakan Rudiansyah dalam upayanya menggambarkan bentuk-bentuk dan model yang tercipta dalam kekuasaan. Dalam “Budaya Politik: Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara” (1986), Op.cit hal. 86
yang ingin mereka dapatkan dari politik. Kepentingan dan tuntutan-tuntutan ini kemudian digabungkan dengan menjadikan alternatif-alternatif kebijaksanaan selanjutnya dipertimbangkan untuk ditentukan sebagai pilihan.
Daftar Pustaka
Almond, Gabriel & Sidney Verba. 1984. Budaya Politik: Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di 5 Negara. terjemahan Drs. Sahat Simamora. Bina Aksara: Jakarta. Balandier, Georges. 1986. Antropologi Politik, cet. ke-1, C.V. Rajawali: Jakarta. Budihardjo, Miriam. 2009. Dasar-dasar Ilmu Politik, cetakan ke-8,: Gramedia: Jakarta Claessen, H.J.M. 1987. Antropologi Politik, Suatu Orientasi. cet. ke-1, Erlangga: Jakarta. Koentjaraningrat. 1981. Pengantar Ilmu Antropologi . Aksara Baru: Jakarta. ___________ . 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Penerbit Universitas Indonesia Press: Jakarta. ___________ . 1990. Sejarah Teori Antropologi II. Penerbit Universitas Indonesia Press: Jakarta. Mattulada. 1995. Latoa: Satu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis. Hasanuddin University Press: Ujung Pandang. McGlynn, Frank & Arthur Tuden (editor). 2000. Pendekatan Antropologi pada Perilaku Politik. UI Press: Jakarta Rudiansyah, Tony. 2009. Kekuasaan, Sejarah dan Tindakan: Sebuah Kajian Tentang Lanskap Budaya. PT. Rajagrafindo Persada: Jakarta. Rudy, T. May, 2007. Pengantar Ilmu Politik: Wawasan Pemikiran dan Kegunannya, edisi revisi. Refika Aditama: Jakarta. Semma, Mansyur. 2008. Negara dan Korupsi: Pemikiran Mochtar Lubis atas Negara, Manusia Indonesia dan Perilaku Politik. Yayasan Obor: Jakarta.
View more...
Comments