June 12, 2019 | Author: MuhammadPonco | Category: N/A
PENATALAKSANAAN PENATALAKSANAAN KOMPLIKASI SELAMA DIALISIS (DDS) (DDS) DIAL YSIS DISEQUILIBRIUM DISEQUILIBRIUM SYNDROME
Imam Hadi Yuwono PD. IPDI Jawa Tengah
[email protected] phone : 081326546035
A. Pendahulua Pendahuluan n Insu In sufis fisie iens nsii ginj ginjal al me memi mili liki ki ef efek ek pr prot otei ein n pa pada da sis siste tem m sa sara raff pusa pusatt ge geja jala la awa awall se sepe perti rti kelela kel elahan han,, kec kecan anggu ggunga ngan, n, dan gan ganggu gguan an kon konsen sentra trasi si dap dapat at ber berkem kemba bang ng men menjad jadii halu ha lusi sina nasi si,, ag agit itas asi, i, di diso sori rien enta tasi si da dan n koma koma ji jika ka in insu sufi fisi sien ensi si pa pada da gi ginj njal al ti tida dak k di diob obat ati. i. Kondisi ini merupakan merupakan manifestasi manifestasi dari dari perubahan perubahan funsgsi ginjal karena uremik yang meng me ngak akib ibat atka kan n en ense sefal falop opat atii da dan n diya diyaki kini ni di dime medi dias asii oleh oleh ga gang nggu guan an eu euro rotr tran ansm smis isii (Flannery, 2011).
Pasien dengan keadaan uremia uremia yang tinggi saat saat ini sudah jarang jarang ditemukan pada pada sebagian negara maju, namun masih banyak ditemukan di negara-negara yang berkembang. Pasien dengan dengan kadar kadar uremia diatas 175 mg/dl mempunyai mempunyai resiko terjadi komplikasi
dialysis disequilibrium syndrome (DDS) saat dilakukan dialisis
pertama kali kali (Lopez & Correa, 2008). 2008).
Dialysis disequilibrium syndrome (DDS) adalah komplikasi dialisis yang jarang terjadi namun komplikasi ini merupakan hal yang sangat serius dan bisa mengakibatkan mengakibatkan hal yang sangat buruk bahkan kematian. DSS terjadi pada saat pasien menjalani dialisis pertam pertama a kali. kali. (Oroz (Orozco co & Quig Quigley ley,, 2012 2012). ). Sindro Sindrom m disequ disequililibr ibrium ium adalah adalah kumpul kumpulan an gejala sistemik dan neurologis yang sering dikaitkan dengan temuan pada pemeriksaan electroencephalography electroencephalography (EEG (EEG)) yang yang dapa dapatt terj terjad adii baik baik sela selama ma atau atau setela setelah h diali dialisis sis.. Manif Manifest estasi asi awal awal term termasu asuk k mual, mual, muntah muntah,, geli gelisah sah,, dan sakit sakit kepala kepala..
Manifestasi yang lebih serius termasuk kejang, penurunan kesadaran, dan koma (Daugirdas, Blake, & Ing, 2007). DDS adalah gangguan pada otak yang ditandai dengan gejala neurologis karena edema serebal setelah proses dialisis (Esnault, Lacroix, Cungi, D’Aranda, Cotte, & Goutorbe, 2012).
DDS ditandai dengan gejala neurologis yang disebabkan oleh penurunan kadar urea yang terlalu cepat selama proses dialisis sehingga terjadi gradien osmotik dalam otak dan plasma. Perbedaan osmotik dalam otak dan plasma mengakibatkan edema otak yang menimbulkan beberapa gejala neurologis seperti mual, muntah, kram otot, tremor, kesadaran terganggu dan kejang atau kematian karena edema serebal (Patel, Dalal, & Paneser, 2008).
B. Patogenesis Patogenesis dari komplikasi dialisis DDS sampai sekarang masih banyak perbedaan dan masih menjadi perdebatan dikalangan para ilmuwan. Ada tiga patogenisis yang mengakibatkan DDS yaitu efek penurunan ureum yang terlalu cepat, asidosis intraserebal dan edema interstitial/serebral (Aziz, Dutta, & Zaeem, 2013). 1. Efek Penurunan Ureum Proses dialisis akan menurunkan kadar ureum dalam plasma. Penurunan yang terlalu cepat akan mengakibatkan gradien osmotik dalam otak dan darah meningkat cepat. Periode jeda antara penurunan kadar ureum dan pengembalian keseimbangan osmotik diyakini akan mengakibatkan pergerakan air dari plasma ke otak dan akan terjadi edema cerebral.
Penurunan kadar ureum berdampak penurunan osmolaritas plasma sehingga mengakibatkan gradien osmotik dan meningkatkan pergerakan air ke otak. Proses ini terjadi di otak melewati barrier darah dan otak sehingga menimbulkan edema cerebral dan disfungsi neurologis yang memunculkan gejala bervariasi sesuai dengan tingkat keparahan dan kecepatan penurunan kadar ureum (Silver, Stearns, & Halperin, 1996)
2. Asidosis Intraserebral Penurunan kadar ureum pada proses dialisis di vaskuler dan otak terjadi secara bersamaan akan tetapi
ureum yang ada di cairan cerebrospinal terjadi lebih
lambat. Studi pada pasien dialisis telah menunjukkan bahwa sering kali ada kenaikan PCO2 dalam cerebrospinal fluid dan PH berada pada posisi asam selama dialisis (Arieff, Massry, Barrientos, & Kleeman, 1973).
Penurunan kadar PH di intraseluler otak meningkatkan pengikatan Na dan K oleh Hodrogen. Kondisi ini meningkatkan osmolaritas intraseluler dan mempercepat perpindahan air ke otak sehingga terjadi asidosis cerebral. Faktor yang lain yang mengakibatkan asidosis cerebral adalah prinsip
idiogenic osmole (Arieff,
Guisado, Massry, & Lazarowitz, 1976).
Peningkatan osmolaritas cairan ekstraseluler karena kadar uremia yang tinggi menyebabkan perubahan osmolitas organik intraseluler agar tidak terjadi dehidrasi pada otak. Selama proses dialisis terjadi retensi karena osmolitas organik dan berpengaruh pada pengurangan PH intraseluler. Kondisi ini mengakibatkan peningkatan osmolaritas otak dan mengakibatkan edema cerebral (Arieff, Massry, Barrientos, & Kleeman, 1973).
3. Dialysis disequilibrium syndrom (DDS) yang disebabkan edema interstitial Perkembangan tekhnologi di bidang kesehatan khususnya magnetic resonance imaging (MRI) memungkinkan untuk mengevaluasi kadar air dalam otak. Pemeriksaan dengan metode Diffusion-weighted imaging (DWI) bisa digunakan untuk mendeteksi perubahan air dalam jaringan. Metode ini sudah banyak dikembangkan untuk mendeteksi terjadinya DSS pada pasien yang menjalani dialisisi. Proses dialisis meningkatkan koefisien difusi air dalam otak sehingga terjadi edema interstitial disamping edema otak sebagai patogenesis DSS. (Chen, Lai, Chou, Lee, Chung, & Fang, 2007).
DDS telah menjadi masalah yang besar selama hampir dua dekade terakhir. Penyebab DDS masih menjadi kontroversi dan masih banyak pendapat dan teori tentang hal tersebut. Sebagian ahli percaya bahwa DSS berkaitan dengan peningkatan kadar air yang cepat pada otak. Ketika tingkat zat terlarut plasma dengan cepat diturunkan selama proses dialisis, plasma menjadi hipotonik dan mempengaruhi perpindahan air dari plasma ke otak. Penyebab lainnya adalah perubahan pH cairan serebrospinal yang cepat selama dialisis (Daugirdas, Blake, & Ing, 2007)
Pasien dengan kadar uremia yang sangat tinggi akan memerlukan tindakan dialisis dalam jangka waktu yang lama dan memungkinkan terjadi komplikasi DDS saat pertama menjalani dialisis. Namun bentuk ringan dari gejala DSS seperti mual, muntah dan sakit kepala sering masih ada walaupun telah menjalani dialisis dalam jangka waktu yang lama (Daugirdas, Blake, & Ing, 2007). Disisi lain tindakan dialisis
pada anak-anak, pasien dengan riwayat cedera kepala, hematoma subdural, stroke, hipertensi, hiponatremia merupakan predisposisi terjadinya edema serebral (Fine, Korsch, Grushkin, & Lieberman, 1970).
Menurut Lopez & Correa (2008) ada dua teori utama untuk menjelaskan tentang patofisiologi terjadinya DDS. Teori pertama adalah efek penurunan ureum, yang menganggap bahwa pergeseran urea antara ruang intraseluler otak dan plasma tidak langsung terjadi,sehingga menyebabkan konsentrasi yang lebih tinggi dari urea dalam otak dan mengakibatkan edema serebral. Teori kedua, setelah proses dialisis, pasien mengalami asidosis metabolik dalam sistem saraf pusat, menggusur Na ( + ) dan K ( + ) dari anion organik, membuat mereka osmotik aktif dan mengarah ke edema serebral.
C. Gejala DDS Munculnya gejala terjadinya DSS bisa disaat dialisis atau saat setelah dialisis telah selesai. Gejala awal yang sering terjadi adalah mual, muntah, gelisah, dan sakit kepala. Manifestasi yang lebih serius termasuk kejang, penurunan kesadaran dan koma (Daugirdas, Blake, & Ing, 2007)
Disisi lain menurut Patel, Dalal & Paneser (2008) gejala dari DDS terjadi karena gangguan neurologis yang bemanifestasi seperti sakit kepala, mual, muntah, kram otot, tremor, kesadaran terganggu, dan kejang-kejang. Dalam kasus yang parah, pasien dapat meninggal karena edema serebral.
Beberapa gejala akut bisa muncul saat dialisis ataupun sesudah dialisis seperti sakit kepala, mual, disorientasi, gelisah, bicara tidak jelas dan asterixis. Gejala lainnya yang muncul saat menjelang akhir dialisis adalah kram otot, pusing dan anorexia. Semua gejala ini bisa dijadikan dasar untuk menegakkan diagnosa DDS. Adanya edema pupil menujukkan adanya peningkatan intrakranial pada kejadian DDS. Manifestasi lebih lanjut dari gejala DDS adalah bingung, kejang, koma, dan bahkan kematian (Im, Atabay, & Eller, 2007).
Munculnya gejala DDS merupakan manifestasi dari gangguan neurologis dan mirip dengan gejala yang muncul pada kasus tekanan intrakranial yang meningkat, hiponatremia akut seperti gelisah, sakit kepala, kebingungan dan koma. Kondisi ini akan mengaburkan penegakan diagnosa dari DDS sehingga harus dipertimbangkan ada diagnosa yang lain seperti : hematoma subdural, uremia, dehidrasi karena kadar
gula darah yang tinggi, gangguan serebrovaskular akut, dimensia karena dialisis, ultrafiltrasi yang berlebihan, hipoglikemia, hipertensi dan hiponatremia (Mahoney & Arieff, 1982).
D. Pencegahan DSS Penggunaan dialyzer dengan luas permukaan yang kecil, menurunkan quick of blood dan memendekkan waktu dialisis diyakini bisa menurunkan resiko penurunan ureum dalam otak sehingga bisa mencegah terjadinya DDS (Bagshaw, Peets, Hameed, Boiteau, Laupland, & Doig, 2004). Menurut Kashimoto, et al., (1980) salah satu tindakan yang paling sederhana untuk mencegah terjadinya DDS adalah dengan menggunakan tindakan hemofiltrasi pada pasien chronic kidney disease (CKD). Tindakan hemofiltrasi memungkinkan tidak terjadi penurunan gradien osmotik dengan cepat dalam kompartemen darah dan otak sehingga tidak terjadi DDS.
Pengaturan proses dialisis agar penurunan ureum perlahan-lahan, dengan target penurunan 40% selama 2 jam bisa dilakukan pada saat pertama dilakukan dialisis untuk mencegah DDS (Patel, Dalal, & Paneser, 2008). Penurunan ureum ini menunjukkan bahwa urea reduction ratio (URR) hanya sebesar 0,4 dari ureum awal. Namun demikian tindakan ini tidak sepenuhnya aman bagi pasien karena untuk mencapai tujuan ini tergantung pada indek masa tubuh pasien yang mempengaruhi volume distribusi ureum. Kondisi ini harus diperhatikan untuk menentukkan pengaturan quick of blood dan time dialysis (Daugirdas, 1993).
Beberapa tindakan yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya DDS adalah mengidentifikasi pasien resiko tinggi, mengurangi efektivitas dialisis dan membatasi pengurangan urea sampai 30% dengan menggunakan dialyzer yang mempunyai ukuran KuF kecil. Pengaturan time dialysis dinaikan bertahap tiap kali tindakan dari waktu yang pendek menjadi waktu yang sesuai standar time dialysis (Macon, 1998). Pemberian monitol, glukosa, fruktosa dan memakai dialysate tinggi sodium saat dialisis bisa digunakan untuk mencegah terjadinya DDS. Monitol 20% dengan diazepam diberikan secara intravena 50cc/jam untuk pasien resiko tinggi DDS (Nicholls, 2001).
E. Penatalaksanaan bila terjadi DDS Munculnya gejala mual, muntah, gelisah, dan sakit kepala saat tindakan dialisis, sulit ditentukan apakah ini merupakan gejala akut dari DDS atau sebab yang lain. Jika gejala seperti ini muncul dan berkembang pada pasien selama dialisis, laju aliran
darah harus dikurangi untuk menurunkan proses difusi zat terlarut dan perubahan pH dan harus dipertimbangkan untuk mengakhiri sesi dialisis lebih awal dari yang direncanakan. Natrium klorida atau glukosa larutan hipertonik dapat diberikan sebagai pengobatan untuk kram otot. Bila kesadaran semakin menurun, terjadi kejang dan koma, maka tindakan dialisis harus segera dihentikan dan semua darah di sirkuit dialisis dikembalikan ke tubuh pasien. Jaga jalan nafas agar selalu lancar dan monitol intravena segera diberikan untuk mengurangi edema serebral. (Daugirdas, Blake, & Ing, 2007).
Komplikasi DDS selama dialisis merupakan hal yang harus segera ditangani, bila gejala dan gangguan semakin parah proses dialisis harus segera dihentikan. Jika kejang segera berikan glukosa dan diazepem, kemudian dikuti dengan pemberian infus phenytoin secara intra vena. Pemberian larutan dengan konsentrasi tinggi seperti albumin, monnitol dan glyccerol bisa dilakukan untuk segera mengatasi kejang atau gangguan edema cerebral (Arieff, 1994).
Secara umum penatalaksanaan DDS adalah (1) Program dialisis dengan proses difusi yang lambat dan waktu yang pendek (2) Menaikkan sodium dialyzate (3) pemberian cairan dengan osmolaritas tinggi (Aziz, Dutta, & Zaeem, 2013).
F. Study Kasus Pasien baru, perempuan 42 tahun, BB 39 kg, diagnosa medis CKD grade V. Hasil pemeriksaan laboratorium : Hemoglobin 10,5 gr/dl; Hematokrit 31 %; Leukosit 10.000/ul; Trombosit 256.000/ul; GDS 123 mg/dL; Na 135 mmol/l; Kalium 6,9 mmol/l dan Asam urat 5,4 mg/dL. Ureum 198 mg/dL dan creatin 8,2 mg/dL. Program dialisis dengan jenis dialyzer 14L Gambro, time dialysis 4 jam, QB 150 ml/menit, QD 500. Base Natrium mesin 140 mmol/l. Dialisis menggunakan bicarbonate. Akses vaskuler masih menggunakan vena femoral. Tekanan darah awal sebelum dialisis 155/90 mmHg. Kondisi hemodinamik stabil, nadi 82x/menit. Jam kedua dialisis T : 140/85 mmHg keluhan sementara tidak ada. Memasuki jam ketiga pasien mengeluh keringat dingin, mual, pusing, T : 160/100mmHg, N : 103x/menit dan GDS 86 mg/dL. Advis dokter bolus D40% 25 cc dan pemberian NaCl 0,9% 150 cc. Setelah observasi 15 menit T : 150/90, N : 90x/menit, mual dan pusing berkurang. Memasuki awal jam keempat pasien gelisah, mengeluh mau muntah dan pusing hebat. Advis dokter HD dihentikan. T : 160/105, N : 120x/menit. Pemberian O2 3Lt/menit. Bolus D40% 25cc. Bolus NaCl 150cc. Periksa
Ureum dan creatin setelah dialisis hasil : ureum 89 mg/dL dan creatin 4,5 mg/dL. GDS 103 mg/dL. Kondisi hemodinamik stabil, T : 160/90 mmHg, N : 100x/menit. Keluhan pusing dan mual menurun. Diskusi Kondisi seperti pasien diatas bisa terjadi saat pertama dilakukan dialisis ataupun bila sudah dilakukan secara reguler. Munculnya keluhan mual, muntah dan pusing bila baru pertama kali dilakukan dialisis harus diperhatikan juga kemungkinan terjadi komplikasi dialisis yaitu DDS. Anamnese awal sebagai kemungkinan karena sebab lain harus dilakukan seperti riwayat stroke, hematoma subdural, uremia, dehidrasi karena kadar gula darah yang tinggi, gangguan serebrovaskular akut, dimensia karena
dialisis,
ultrafiltrasi
yang
berlebihan,
hipoglikemia,
hipertensi
dan
hiponatremia.
Muncul gejala mual, pusing dan keringat dingin pada k asus diatas harus diperhatikan bahwa kondisi ini adalah termasuk kegawat daruratan dialisis. Diagnosa DDS ini bisa ditegakkan pada kasus diatas karena: 1) Ureum yang tinggi pada awal dialisis. 2) Jenis dializer yang besar. 3) Quick of dialysate 500 ml/menit. 4) Base natrium tidak dinaikkan. 5) Penurunan ureum lebih dari 40%.
Pemberian glukosa seharusnya diberikan saat awal dialisis dan natrium dialysate dinaikkan untuk mencegah terjadinya DDS. Pada kasus diatas glukosa diberikan saat sudah ada gejala dan natrium dialysate tidak dinaikkan.
Penatalaksanaan DDS pada kondisi pasien diatas hanya menggunakan D40% dan NaCl 0,9% saja. Karena saat dialisis dihentikan dan darah dikembalikan lagi ke tubuh pasien dengan bolus glukosa dan natrium kondisi sudah membaik. Tidak nampak adanya pupil oedema dan hemodinamik stabil. Keluhan saat dilakukan pemberian glukosa dan natrium sudah menurun.
G. Penutup Komplikasi dialisis DDS merupakan kondisi yang jarang terjadi dan belum ada kesepakatan dari para ahli untuk penyebab dan patogenesisnya. DDS adalah komplikasi yang sangat berbahaya yang bisa mengakibatkan kematian saat dialisis. Anamnese awal untuk pasien resiko terjadi DDS menjadi tanggung jawab yang harus dilakukan oleh petugas kesehatan di unit dialisis. Pemilihan pasien dengan resiko DDS harus dilakukann untuk memudahkan dalam pengaturan program dialisis.
Penanganan yang cepat dan tepat saat terjadi DDS harus dilakukan dan menjadi kompetensi wajib yang harus dikuasi bagi petugas di unit dialisis. Kerja sama antar disiplin ilmu harus diterapkan untuk penatalaksanaan DDS tanpa mengesampingkan informasi dari pasien dan keluarga untuk menegetahui riwayat kemungkinan diagnosa differensial DDS.
KEPUSTAKAAN Arieff, A. I. (1994). Dialysis disequilibrium syndrome: Current concepts on pathogenesis and prevention [editorial]. Kidney Int 45 , 629-635. Arieff, A. I., Guisado, R., Massry, G., & Lazarowitz, V. (1976). Central nervous system pH in uraemia and the effects of haemodialysis. J Clin Invest (2) 58 , 306-311. Arieff, A. I., Massry, S. G., Barrientos, A., & Kleeman, C. R. (1973). Brain water and electrolyte metabolism in uremia: effects of slow and rapid hemodialysis. Kidney Int 4 , 177-187. Aziz, F., Dutta, S., & Zaeem, M. (2013). Dialysis Disequilibrium Syndrome: A Case Report & Concise Reveiw. Greener Journal of Medical Sciences 3 (6) , 207-210. Bagshaw, S. M., Peets, A. D., Hameed, M., Boiteau, P. J., Laupland, K. B., & Doig, C. J. (2004). Dialysis disequilibrium syndrome: brain death following haemodialysis for metabolic acidosis and acute renal failure – a case report. BMC Nephrology 5 (9) , 1-5. Chen, C. L., Lai, P. H., Chou, K. J., Lee, P. T., Chung, H. M., & Fang, H. C. (2007). A preliminary report of brain oedema inpatients with uraemia at first haemodialysis: evaluation by diffusion-weighted imaging. . Am J Neuroradiol (1) 28 , 68-71. Daugirdas, J. T. (1993). Second generation logarithmic estimates of single-pool variable volume Kt/V: an analysis of error. J Am Soc Nephrol 4 , 1205-1213. Daugirdas, J. T., Blake, P. G., & Ing, T. S. (2007). Hand Book of Dialysis 4th Edition. Philadelpphia: Lippincolt Williams & Wilkins. Esnault, P., Lacroix, G., Cungi, P. J., D’Aranda, E., Cotte, J., & Goutorbe, P. (2012). Dialysis disequilibrium syndrome in neurointensive care unit: the benefi t of intracranial pressure monitoring. Critical Care 16 , 472-473. Fine, R. N., Korsch, B. M., Grushkin, C. M., & Lieberman, E. (1970). Hemodialysis in children. Am J Dis Child 119 , 498–504. Flannery, Thomas. (2011). Dialysis Disequilibrium Syndrome: A Neurological Manifestation of Haemodialysis. Dalam M. G. Penido, Special Problems in Hemodialysis Patient (hal. 113). Rijeka, Croatia: In Tech. Im, L., Atabay, C., & Eller, A. W. (2007). Papilloedema associated with dialysis disequilibrium syndrome. Semin Opthalmol 22. (3) , 133-135. Kishimoto, T., Yamagami, S., Tanaka, H., Ohyama, T., Yamamoto, T., Yamakawa, M., et al. (1980). Superiority of hemofiltration to hemodialysis for treatment of chronic renal failure: comparative studies between hemofiltration and hemodialysis on dialysis disequilibrium syndrome. Artif Organs 4 , 86-93.
Lopez, A. E., & Correa, R. R. (2008). Dialysis disequilibrium syndrome and other treatment complications of extreme uremia: a rare occurrence yet not vanished. Hemodial int 3 , 301-306. Macon, D. J. ( 1998). Dialysis disequilibrium after acute dialysis: Must the urea reduction ratio be limited to 30%? . J Am Soc Nephrol 9 , 259A. Mahoney, C. A., & Arieff, A. I. (1982). Uremic encephalopathies: clinical,biochemical, and experimental features. AmJ Kidney Dis 2 , 324-336. Nicholls, A. J. (2001). Nervous System. Dalam J. T. Daugirdas, P. G. Blake, & T. S. Ing, Handbook of Hemodialysis. Third Edition (hal. 656-666). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilikns. Orozco, Z. D., & Quigley, R. (2012). Dialysisi Disequilibrium Syndrom. Pediatr Nephrol 27 , 2205-2211. Patel, N., Dalal, R., & Paneser, M. (2008). Dialysis disequilibrium syndrome: a narrative review. Semin Dial 21 , 493-498. Silver, S. M., Stearns, R. H., & Halperin, M. L. (1996). Brain swelling after dialysis: old urea or new osmoles. Am J Kidney Dis 28 (1) , 1-13.