PENANGANAN FISIOTERAPI PADA KASUS GBS.docx
March 21, 2019 | Author: OkyôAmêliâ | Category: N/A
Short Description
Download PENANGANAN FISIOTERAPI PADA KASUS GBS.docx...
Description
PENANGANAN FISIOTERAPI PADA KASUS GBS (Gui l l ain B arr e syndrom ndr ome e)
Disusun : NAMA
: OKI AMELIANTO
NIM
: 201466042
PROGRAM
: FISIOTERAPI
Latar Belakang Guillain Barre syndrome syndrome (GBS) adalah suatu sindroma klinis dari kelemahan akut ekstremitas tubuh, yang disebabkan oleh kelainan saraf tepi dan bukan oleh penyakit sistemis. John Lettsom 1787, merupakan orang pertama yang mengangkat masalah neuropati perifer. Ia mendeskripsikan penyakit ini sebagai akibat dari konsumsi alkohol yang berlebihan. Deskripsi ini tidak dapat memberikan bukti tentang adanya kelainan patologis maupun anatomis dari penderita. Meskipun orang yang terjangkit penyakit ini bisa mengalami kelumpuhan total, prognosisnya bagus. Enam bulan setelah terserang, 85% dari kasus kas us yang dilaporkan sembuh. Secara keseluruhan hanya 5% yang meninggal akibat GBS (Fredericks et all 1996). Oleh karenanya, disamping perawatan pada tahap akut, tata laksana fisioterapi akan sangat menentukan prognosis, apakah akan ada gejala sisa atau sembuh total. Gullain Barre Syndrome (GBS) dalam proses penyembuhan sangat membutuhkan fisioterapi. Berdasarkan
uraian
diatas,
maka
penulis
tertarik
melakukan
penelitian
tentang
Penatalaksanaan Fisioterapi pada Kasus Guillain-Barre Syndrome
Pengertian Guillain Barre Syndrome Guillain Barre Syndrome Syndrome ( GBS ) adalah suatu kelainan sistem kekebalan tubuh manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri dengan karekterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang sifatnya progresif. Kelainan ini kadang-kadang juga menyerang saraf sensoris, otonom, maupun susunan saraf pusat.
Penderita Penyakit Guillain Barre Syndrome
Pengertian Akson dan Selaput Myelin Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan tipis; berfungsi sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh suatu selubung yang dikenal sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik yang terbungkus plastik. Selubung myelin bersifat insulator dan melindungi sel-sel saraf. Selubung ini akan meningkatkan baik kecepatan maupun jarak sinyal saraf yang ditransmisikan. Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu ja rak diantaranya, yang dikenal sebagai Nodus Ranvier, dimana daerah ini merupakan daerah yang rentan diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan diperlambat pada daerah ini, sehingga semakin banyak terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan semakin lambat.
Sel Saraf
.
Etiologi (penyebab) Kelemahan dan paralisis yang terjadi pada GBS disebabkan karena hilangnya myelin, material yang membungkus saraf. Hilangnya myelin ini disebut demyelinisasi. demyelinisasi. Demyelinisasi menyebabkan penghantaran impuls oleh saraf tersebut menjadi lambat atau berhenti sama sekali. GBS menyebabkan inflamasi dan destruksi dari myelin dan menyerang beberapa saraf.
Oleh
karena
itu
GBS
disebut
juga Acute
Inflammatory
Demyelinating
Polyradiculoneuropathy (AIDP). Polyradiculoneuropathy (AIDP). Meskipun sebagian besar penderita GBS dapat sembuh spontan, namun lama perjalanan penyakit GBS tidak dapat diprediksi dan sering membutuhkan perawatan rumah sakit dan rehabilitasi selama berbulan-bulan. Seiring dengan kembalinya suplai saraf, penderita membutuhkan bantuan untuk mampu menggunakan otot-otot yang terpengaruh oleh GBS secara optimal.
Penyebab terjadinya GBS sampai saat ini belum diketahui. Ada yang menyebutkan kerusakan tersebut disebabkan oleh penyakit autoimun. Namun karena kebanyakan kasus terjadi sesudah proses infeksi, diduga GBS terjadi karena sistem kekebalan tidak berfungsi. Gejalanya adalah kelemahan otot (parese hingga plegia), biasanya perlahan, mulai dari bawah ke atas. Jadi gejala awalnya biasanya tidak bisa berjalan, atau gangguan berjalan. Sebaliknya penyembuhannya diawali dari bagian atas tubuh ke bawah, sehingga bila ada gejala sisa biasanya gangguan berjalan (Fredericks et all 1996).. Setelah fase akut terlewati, pasien membutuhkan rehabilitasi untuk mencapai fungsi tubuh yang telah hilang. Rehabilitasi ditujukan terutama untuk memperbaiki fungsi aktivitas sehari-hari (AKS), seperti menggosok gigi, mencuci dan berpakaian. Tujuan terapi fisik adalah untuk menstimulasi otot dan sendi, melalui berbagai gerakan fisik dan latihan; sehingga terbentuk kekuatan, fleksibilitas, dan lingkup gerak sendi yang optimal. Seorang fisioterapi akan melakukan program latihan progresif dan memberikan petunjuk mengenai gerakan fungsional yang benar, sehingga tidak terjadi kompensasi gerakan yang salah saat penyembuhan. Terapis okupasi memfokuskan terapi pada aktivitas untuk membantu pasien melakukan aktivitasnya sehari-hari secara optimal. Dalam terapi, digunakan beberapa alat bantu tambahan seperti brace pada tungkai atau lengan, cane, walker, dan kursi roda untuk membantu mobilisasinya selama fase penyembuhan atau sekiranya GBS membuat penderita hidup dengan disabilitas yang permanen. Penggunaan alat potong bantuan juga diperlukan untuk membuat pasien mandiri dengan aktifitasnya. Seorang terapis wicara juga berperan penting dalam meningkatkan kemampuan bicara dan menelan pasien. Terapis wicara akan memperbaiki kemampuan penderita dalam berkomunikasi. Semua ini akan tergabung dalam tim dimana dokter, perawat, dan anggota tim medis lainnya dengan pengetahuannya masing-masing, sehingga dapat menentukan tujuan terapi dan prioritas terapi berdasarkan tujuan tersebut. Setelah rehabilitasi, pasien harus mampu berfungsi secara utuh di lingkungan rumahnya masing-masing.
Patofisiologi .Ada beberapa teori mengenai pembentukan autoantibodi, yang pertama adalah virus dan bakteri mengubah susunan sel-sel saraf sehingga sistem imun tubuh mengenalinya sebagai benda asing. Teori yang kedua mengatakan bahwa infeksi tersebut menyebabkan kemampuan sistem imun untuk mengenali dirinya sendiri berkurang. Autoantibodi ini yang kemudian menyebabkan destruksi myelin bahkan kadang-kadang juga dapat terjadi destruksi pada axon. Destruksi pada myelin tersebut menyebabkan sel-sel saraf tidak dapat mengirimkan signal secara efisien, sehingga otot kehilangan kemampuannya untuk merespon perintah dari otak dan otak menerima lebih sedikit impuls sensoris dari seluruh bagian tubuh. Pemeriksaan secara patologis pada saraf penderita penyakit Guillain Barre Syndrome menunjukkan kalau terjadi proses penghancuran selaput myelin pada saraf tepi. Baik pada pangkalnya (akar saraf) ataupun pada bagian yang lebih ujung (distal). Pada umumnya yang terserang akar saraf tulang belakang bagian depan (anterior root nerves of spinal cord), tetapi tidak menutup kemungkinan akar saraf bagian belakang (posterior root nerves of spinal cord). Uniknya selaput myelin yang terserang dimulai dari saraf tepi paling bawah, terus naik ke saraf tepi yang lebih tinggi (Fredericks et all a ll 1996, dan Nolte 1999). Fungsi selaput myelin adalah mempercepat konduksi saraf. Oleh karenanya hancurnya selaput ini mengakibatkan keterlambatan konduksi saraf, bahkan mungkin terhenti sama sekali (Nolte 1999). Sehingga penderita GBS mengalami gangguan motor dan sensorik. Kelambatan kecepatan konduksi otot bisa dilihat dari hasil pemeriksaan EMG. Disamping itu, hancurnya selaput myelin mungkin juga menyerang cranial nerves (Pryor & Webber 1998) termasuk diantaranya nervus vagus, yang merupakan bagian dari sistem saraf otonomik. Oleh karena itu, bila saraf yang terserang cukup tinggi tingkatnya, sistem saraf otonomik mungkin saja terganggu. Selain nervus vagus, cranial nerves yang lain mungkin saja terserang, misalnnya saraf ke-XI. Gangguan motorik yang pada GBS diawali dengan kelemahan otot bagian bawah. Mula-mula yang dirasakan kelemahan (parese), bila berlanjut menjadi lumpuh (plegia). Diawali dari gangguan berjalan, seperti misalnya kaki ‘terseret’, hingga tidak bisa berdiri. Perlahan-lahan Perlahan-lahan kelemahan ‘naik’ otot lebih tinggi, seperti lutut dan paha, sehingga penderita tidak bisa berdiri. Bila yang berlanjut kelemahan otot bisa terjadi pada otot di sepajang tulang punggung, punggung punggung dan dada. Terus Te rus hingga ke tangan dan lengan. Bila otot-otot pernafasan terganggu, akan terjadi kelemahan dalam bernafas. Penderita merasa nafasnya berat.
Kadang-kadang gejala GBS juga disertai gangguan saraf otonomik, sehingga akan terjadi gangguan saraf simpatik dan para simpatik. Yang tampak adalah gejala naik-turunnya tekanan darah secara tiba-tiba, atau pasien berkeringat di tempat yang dingin (Pryor & Webber 1998). Bila terjadi gangguan cranial nerves akibatnya adalah tidak bisa menelan, berbicara atau bernafas, atau kelemahan otot-otot muka. Uniknya kelemahan otot biasanya simetris, artinya anggota badan yang kiri mengalami kelemahan yang sama dengan anggota badan kanan. Sebagai akibat dari gangguan motorik dan sistem saraf otonomik, terjadi gangguan kardiopulmonari. Berawal dari nafas berat, oleh karena kelemahan otot pernafasan (baik otot intercostal maupun diafragma), hingga gangguan ritmik oleh karena gangguan saraf otonomik. Akibatnya fungsi paru menjadi terganggu. Paru tidak bisa mengembang secara maksimal akibatnya kapasitas vital menurun. Bila kondisi ini berlanjut, bisa terjadi infeksi paru, pneumonia, yang akan memperburuk kondisi. Ditambah kenyataannya pasien dalam kondisi seperti di atas biasanya hanya terbaring, posisi yang hanya akan menurunkan fungsi paru (Pryor & Webber 1998). Bila fungsi glotis terganggu, akibat terganggunya sistem otonomik, penderita mungkin akan tersedak. Sehingga makanan masuk ke saluran pernafasan, dan akan menambah infeksi paru. Akibat terganggunya saraf otonomik, irama jantung juga terganggu. Sehingga tekanan darah bisa naik-turun secara mendadak, atau flushing, yaitu muka memerah secara mendadak. Gejala-gejala tersebut akan terus muncul dalam waktu maksimal 2 minggu. Sesudah itu akan berhenti, hingga proses penyembuhan terjadi sekitar 2 sampai 4 minggu sesudah kelemahan berhenti.
Kesimpulan Guillain Barre Syndrome (GBS) adalah salah satu penyakit demyelinating yang menyerang susunan saraf tepi, pada umumnya saraf motorik tetapi mungkin juga saraf sensorik dan otonomik. Serangan GBS biasanya mengikuti infeksi saluran pencernaan, sehingga diduga akibat dari gangguan sistem kekebalan tubuh. Keparahan gejala GBS tergantung dari tingginya akar saraf yang terserang. Semakin tinggi yang terserang, maka gejalanya semakin parah. Sebaliknya semakin rendah yang terserang, maka gejalanya semakin ringan. Berdasarkan gejala yang timbul, dapatlah disimpulkan ada 4 problem utama dalam penatalaksanaan
fisioterapi
pada
kasus
GBS,
yakni
problem
muskuloskeletal,
kardiopulmonari, sensori dan gangguan sistem saraf otonomi. Disamping itu, berdasarkan tahap penyembuhan pasien dengan GBS, ada 2 tahap penatalaksanaan fisioterapi pada GBS, yakni fisioterapi pada tahap awal dan lanjut. Pada tahap awal, ketika ketika waktu gejalanya gejalanya memburuk hingga berhenti, fisioterapi ditujukan pada pada pemeliharaan
fungsi
dan
kondisi.
Pada
tahap
ini
problem
kardiopulmonari
dan
muskuloskeletal menjadi perhatian utama. Fungsi ventilasi paru harus tetap dijaga, sehingga fungsi tubuh juga dapat optimal. Selain itu luas gerak sendi, panjang otot, dan kekuatan sendi harus tetap dipelihara, sehingga pada saatnya saatn ya ada peningkatan kondisi fungsi muskuloskeletal bisa segera se gera difungsikan. Tidak banyak yang bisa dilakukan untuk problem sensorik selain mencegah terjadinya dekubitus. dekubitus. Gangguan sistem saraf otonomi biasanya belum menjadi problem bagi fisioterapis pada tahap ini, karena biasanya belum dilakukan mobilisasi. Pada ta hap ini kerjasama dengan perawatan sangat diharapkan. Sedangkan pada tahap akhir, ketika kondisi pasien sudah membaik, fisioterapi ditujukan pada peningkatan fungsi. Yang menjadi perhatian utama adalah problem muskuloskeletal, yakni peningkatan kekuatan otot.
View more...
Comments