Pemberontakan Ibnu Hajar

August 6, 2022 | Author: Anonymous | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Pemberontakan Ibnu Hajar...

Description

 

 

Pemberontakan Ibnu Hajar Situasi dan latar belakang serta penyebab menjelang pemberontakan Perundingan Linggarjati antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Belanda yang diratifikasi pada 25 Maret 1947, membawa sebuah konsekuensi berupa penyusutan wilayah NKRI yang hanya diakui secara de facto oleh Belanda hanya meliputi Jawa, Sumatera, Madura dan Bali, sementara Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Papua menjadi bagian dari Republik Indonesia Serikat yang dikendalikan oleh Belanda. Hasil perundingan ini jelas merupakan sebuah kemunduran bagi Indonesia yang berdasarkan hasil sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 diputuskan berupa Negara kesatuan dengan wilayahnya yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Kondisi tersebut menimbulkan kegelisahan pada para pejuang yang berada pada daerah-daerah yang tidak termasuk dalam wilayah Republik Indonesia, termasuk Kalimantan yang menjadi provinsi tersendiri dari Republik Indonesia dengan Ir Pangeran HM Noor sebagai gubernurnya. Ir P HM Noor selaku gubernur di Kalimantan terpaksa berkantor di Pulau Jawa, meski demikian dia terus mengadakan kontak dengan para pejuang di Kalimantan sebagai langkah konsolidasi menyatukan kegiatan perjuangan dalam rangka mengembalikan Kalimantan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Republik Indonesia. Untuk memudahkan langkah tersebut, Ir P HM Noor membentuk sebuah organisasi perjuangan dengan nama ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan yang secara resmi dan dilantik oleh Panglima ALRI Laksamana Muda M Nasir pada 4 April 1946 di Hotel Palace, Malang. Untuk wilayah Kalimantan Selatan dibentuk ALRI Divisi IV (A) Pertahanan Kalimantan dengan Hassan Basry sebagai pimpinan umum. Dengan berdirinya ALRI Divii IV (A) Pertahanan Kalimantan, maka seluruh organisasi perjuangan di Kalimantan bersatu dalam suatu organisasi inti dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dariTentara Rakyat Indonesia (TRI). Salah satu puncak dari usaha para pejuang di Kalimantan Selatan adalah kesepakatan untuk menyatakan diri sebagai bagian yang terpisahkan dari perjuangan Republik Indonesia yang dinyatakan dalam Proklamasi Gubernur Tentara ALRI Divisi IV (A) Pertahanan Kalimantan pada sebuah upacara yang dilaksanakan di Mandapai, Padang Batung-Kandangan tanggal 17 Mei 1949. Gerakan anti Belanda di Kalimantan Selatan dibagi menjadi dua gerakan perjuangan. Perjuangan secara legal berbentuk partai-partai politik, yaitu Sarekat Kerakyatan Indonesia (SKI), Sarekat Muslim Indonesia (SERMI) dan Kepanduan Rakyat Indonesia (KRI), sedangkan gerakan yang illegal berbentuk organisasi-organisasi gerilya seperti Barisan Pemuda Republik Indonesia Kalimantan (BPRIK), Gerakan Pemuda Indonesia Merdeka (GERPINDAM) di Amuntai, Tentara Kebangsaan Indonesia (TRI) di Ampah dan Kelua, Gerakan Rakyat Mempertahankan Republik Indonesia (GERMERI) di Kandangan, Lasyakar Syaifullah di Haruyan yang dipimpi8n oleh Hassan Basery. , Benteng Indonesia di Kandangan, Pembantu Tentara Republik (PETER) di Negara dan Benteng Borneo di Rantau R antau ( Usman dkk, 1991:107). Menurut Gazali Usman (1991:108) organisasi-organisasi kemudian dihimpun menjadi suatu kegiatan dan diberi nama Batalion Rahasia ALRI Divisi IV ()A) Pertahanan Kalimantan. Divisi ini merupakan bagian dari ALRI IV yang bermarkas di Mojekerto Jawa Timur. Divisi IV AlRI (A) dikomandai oleh Hasan Basery berkedudukan di Kandangan. Ketilka Belanda melancarkan agresi ke II ke Yogyakiarta pada tahun 1948 dan melakukan penangkapan-penangkapan para pemimpin RI. Saat itu, Belanda beranggapan bahwa RI sudah bubrah. Divisi IV ALRI (A) malah mempersiapkan diri untuk melakukan aksi. Salah satu aksi dari DIVISI IV AlRI (A) mengeluarkan pernyataan tentang keberadaannya dengan dasar pikiran sebagai berikut:

1

 

 

a. Untuk menyatakan kepada masyarakat dan pemerintah RI serta dunia umumnya, bahwa gerilyawan ALRI Divisi IV (A) pertahanan Kalimantan yang berada di Kalimantan benar-benar masih ada dan mempunyai kekuatan serta klemampuan untuk untuk menyusun suatu pemerintahan dalam lingkungan wilayah RI meskipin nsecara de fakto masih dibawah Belanda b. Menyatukan pimpinan dan organisasi perjuangan ke dalam suatu pimpinan yang berbentuk pemerintah Gubernur tentyara, c. Sesudah class kedua terjadi menyatakan sebagai persiapan menmghadapi gagalnya Pemerintah darurat di Sumatera serta pemerinmtahan pe;aroian di New Delhi India. Kalimantan dipersiapkan untuk dijadikan pusat pemerintahan RI sebagai usaha kelanjutan perjuangan merebut kemerdekaan, d. Mempersatukan seluruh potensi dan rakyat Kalimantan untuk merubah struktur perekonomian colonial dengan membangun poerekonomian nasional e. Di samping itu vacumnya pemerintah karena asisten kiai Belanda (camat) ditarik dari pemerintahan kecamatan, sehingga rakyat benar-benar tidak mempunyai pemerintahan ( Usman, 19091:133). Dalam operasi militernya Divisi IV ALRI (A) telah berhasil membuat pemerintah Belanda dan kolobarasinya merasa terancam keberadaannya di Kalimantan Selatan./ Kekuasaan Divisi IV ALRI (A) selain menguasai daerah pedalaman pengaruhnya juga terasa di banjarmasin, sehingga Belanda terpaku dan sangat sukar membuka hubungan ke Pelabuhan Udara Ulin. Menilik keberhasilan Divisi IV ALRI (A) tidak dapat dipisahkan oleh keberadaan tokohnya-tokohnya seperti Hasan Basery, Gusti Aman, P. Aria, H. Aberani Sulaiman, Budhi Gawis. Selain itu, masih terdapat nama-nama seperti Martinus, H. Damanhuri, daeng Lajida, Abdurrahman, dean Ibnu Hajar mereka-mereka ini nadalah komandankomandan pasukan penggempur dari Divisi IV ALRI(A) ( Usman, 1983:120). Menurut Nasution (Dijk, 1983:24) di Divisi IV ALRI (A) terdapat sub divisi lain, yang menyebut-nyebut nama Ibnu Hajar sebagai salah seorang dari dua komandan di Hulu Sungai Selatan. Pada tanggal 10 November 1949, atas kebijakan pusat Divisi IV ALRI (A) dirubah namanya menjadi Divisi Lambung Mangkurat. dalam suatu upacara yang sederhana di Kandangan dan Hasan Basery masih tetap menjadi komandannya. Perubahan nama Divisi IV ALRI (A) menjadi Lambung Mangkurat membuat posisi Hasan Basery mengalami posisi mobiliytas vertical yang menurun. Katakan saja, hasan Basery walaupun masih tetap menjadi komandan, akan tetapi ia tidak memjadi panglima untuk seluruh Kalimantan. Membuat posisi Hasan Baseri mengalami mobilitas vertikal yang menurun. Adapun yang menjadi panglima tentara dan terotrium (VI) dijabat oleh orang pusat bernama Letnan Kolonel Sukanda Bratamanggala, mantan tentara KNIL sedangkan Hasan Basery hanya dijadikan komandan subwilayah III yang hanya meliputi wilayah banjar (Dijk, 1983: 224) Dalam komposisi Divisi lambung Mangkurat anggotamnya tidak melulu dari prajurit Divisi IV ALRI melainkan dari kesatuakesatu8an gerilya lainnya, dan terakhir bekas KNIL. Bisa dibayangkan mantan prajurit Divisi IV ALRI (A) yang dahulunya bermusuhan dengan para prajurit KNIL saat itu tinggal dan hidup bersama. Lebih lanjut Dijk menuturkan, bahwa banyak mantan prajurit divisi IV ALRI (A) dimutasi ke Kalimantan Timur, Tenggara dan Barat Selain itu, kader tokoh sentral banua (sebutan untuk wilayah Kalimantan Selatan, biasanya mengacu kepada penduduk, red) dicerai-beraikan ke berbagai daerah, agar tidak ada lagi sisa-sisa kewibawaan Divisi IV ALRI Pertahanan Pe rtahanan Kalimantan. Bahkan ada yang dikirim ke Jawa Barat untuk,menumpas DI. Selain itu, sekitar 40 sampai 50 orang perwira mantan Divisi IV ALRI (A) termasuk Ibnu Hajar dikiirim kle Yogya untuk mmengikuti kurusus militer di Akademi Militer Nasional. Setibanya mereka di sana, ternyata Akademi Militer Nasional sudah tutup. Entah kenapa pemerintah pusat mengirim pejuang ke sekolah yang sudah ditutup. Tipuan yang menyakitkan. Akhirnya mereka kembali ke Kalimantan, hanya seorang yang meneruskan pendidikan militernya di Surabaya. 2

 

 

Dari paparan di atas, ada fenomena kekecewaan dari mantan prajurit Divisi IV ALRI (A). Dari paparan di atas, kita dapat melihat kekecewaan dari mantan prajurit Divisi IVB ALRI (A)., Salah seorangnya adalah Letnan Dua Ibnu hajar pemimpin gerilya di sekitar Kandangan. Ia mengakomadasi rasa kekecewaan kawan-kawannya. Pada akhirnya ia membentuk organisasi gerilya baru bernama Kesatuan Rakyat Indonesia yang Tertindas (KRIyT), yang menganggap pemerintah pusat telah melakukan penghhianatan danb penindasann (Dijki:229). Dari nama organisasi gerilya yang baru terbentuk menyiratkan rasa ketertipuan dan kekecewaan Ibnu hajar dan para mantan prajurit dari Divisi IV ALRI (A). Menurut Dijk salah satu penyebab kekecewaan mereka adalah persoalan demobilisasi. Demobilisasi dan rasionalisasi terhadap unsure-unsur Divisi IV ALRI sejak awal triwulan p-ertama 1950 membuat kepribadian khusus dari divisi ini terpuruk. te rpuruk. Pada awal tahun 1950-an, yakni sesudah selesainya Perang Kemerdekaan Indonesia, Pemerintah Pusat mengeluarkan kebijakan mendemobilisasi mantan pejuang gerilya dan merasionalisasi anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang menimbulkan berbagai benturan, persoalan, ketidakpuasan, gerakan politik dan bersenjata di sejumlah daerah, seperti Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Aceh, dan Kalimantan Selatan. Persoalan yang berkaitan dengan konteks nasional itu, tidak terlepas dari Konferensi Meja Bundar (KMB) yang menghasilkan “Pengakuan Kedaulatan” (transfer (transfer of sovereignty) 27 Desember 1949, berupa serah terima pemerintahan antara Pemerintah Kerajaan Belanda dengan Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS). Di samping itu, serah terima di bidang kemiliteran yang meliputi bidang personil, material dan aparat pendidikan. Sesuai dengan keputusan KMB, tanggung jawab keamanan seluruhnya harus diserahkan kepada Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) yang berintikan TNI dan meliputi orang Indonesia anggota KNIL serta kesatuan-kesatuan NICA (Netherlands Indies Civil Administration) lainnya yang berkeinginan masuk. Sehubungan dengan itu, dalam rangka peleburan anggota KNIL ke dalam APRIS, pemerintah RIS mengeluarkan be¬berapa peraturan dengan tujuan agar peleburan itu dapat berjalan setertib mungkin. Oleh sebab itu, berdasarkan Undang-Undang Darurat No. 4/1950 (Lembaran Negara No. 5/1950), maka yang dapat diterima menjadi anggota APRIS adalah warga negara RIS bekas anggota Angkatan Perang RI (TNI) dan warga negara RIS bekas anggota angkatan perang yang disusun oleh atau di bawah kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda atau NICA. Menurut Nugroho Notosusanto (1985) usaha peleburan tersebut, didasarkan kepada kebijaksanaan Perdana Menteri Mohammad Hatta yang berkeinginan menstransformasikan TNI yang lahir sebagai tantara nasional, tentara rakyat, tentara revolusi, menjadi suatu tentara profesional menurut model Barat. Untuk itu dipekerjakan suatu Nederlands Militaire Missie (NMM) atau Misi Militer Belanda sebagai pelatih prajurit-prajurit TNI. Kebijaksanaan tersebut sudah barang tentu tidak populer di kalangan TNI dan menimbulkan masalah psikologis. Ditinjau dari segi politik militer peleburan itu merupakan suatu kemenangan, te tetapi tapi akibat psikologis bagi TNI adalah berat. TNI dipaksa menerima sebagai kawan orang-orang yang selama perang kemerdekaan menjadi lawan mereka. Sementara itu di kalangan TNI sendiri banyak anggota-anggotanya yang harus dikembalikan ke masyarakat, sebab dianggap tidak memenuhi syarat-syarat untuk tetap menjadi anggota angkatan perang. Di Kalimantan Selatan, benturan-benturan juga terjadi ketika diadakannya usaha-usaha pembentukan TNI dan peleburannya ke dalam APRIS. Sebagai realisasi diri pelaksanaan Undang-Undang Darurat No. 4/1950, maka pada tanggal 28 Januari 1950 Komandan Teritorium VI, yaitu Letnan Kolonel Sukanda Bratamenggala menerima bekas KNIL sebanyak 125 orang. Dalam tulisan Dhany Justian (1972) disebutkan, Letnan Kolonel Sukanda Bratamenggala telah menerima bekas KNIL berupa 1 kompi infantri dari bawah pimpinan Letnan Satu Sualang dan 1 kompi bantuan dari bawah pimpinan Letnan Kotton. 3

 

 

Sebagian anggota KNIL yang masuk dalam APRIS itu dijadikan pelatih dan komandan pasukan, dan mereka rata-rata dinaikan pangkatnya, sedangkan sebagian besar mantan pejuang gerilya yang masuk APRIS hanya berpangkat rendah dan prajurit biasa. Selain itu, utusan militer dari Pusat yang didatangkan ke Kalimantan Selatan dengan tujuan untuk menyempurnakan Divisi Lambung Mangkurat menjadi kesatuan yang modern telah menimbulkan ketegangan-ketegangan pada anggota divisi yang nota bene mantan anggota gerilya. Mereka harus menjalani pemeriksaan kesehatan untuk dilihat siapa-siapa yang tetap menjadi tentara republik dan siapa yang harus dikembalikan atau didemobilisasikan ke masyarakat. Sebagaimana dinyatakan Hassan Basry (2003) bagi mereka yang dikembalikan ke masyarakat atau yang tidak memenuhi syarat sebagai anggota APRIS, kepadanya diberikan pesangon berupa uang sebesar Rp 50,- dan selembar kain sepanjang 1,3 meter. "Awalnya, kira-kira 16.000 gerilyawan masuk tentara, setelah ujian kesehatan dan pendidikan, Maret 1950 tersisa 6000 saja lagi. Sebab keluarnya karena tunjangan hanya Rp 3 sehari," paparnya. Gerilyawan yang lepas diberi pesangon Rp 50, sebagian dimobilisasi sebagian tidak diakui veteran. Banyak pasukan yang deserse, termasuk di Martapura, Rantau, Kandangan, dan Banjarmasin. Persoalannya tidak hanya itu, setelah menjalani penyaringan mereka harus melaksanakan aturanaturan militer yang ketat yang diberikan oleh pejabat-pejabat militer mantan anggota KNIL dari Jawa yang mereka pandang telah meremehkan dan merendahkan martabat mereka. Dan lebih celaka lagi, menurut mereka, jabatan militer dan sipil yang terpenting terus diduduki oleh orang yang mereka pandang pernah bekerjasama dengan Belanda (NICA) atau diberikan kepada orang-orang dari luar daerah. Sementara itu, ada usaha-usaha untuk memisahkan mantan pimpinan gerilyawan dengan anak buahnya, misalnya dengan mengirim Kolonel H. Hassan Basry ke Kairo, Mesir dengan tugas belajar di Universitas Al-Azhar dan tinggallah bekas-bekas anak buah sebagai anak ayam kehilangan induknya. Masuknya bekas KNIL ke dalam APRIS, menimbulkan beberapa mas masalah alah besar bagi intern APRIS pada umumnya, dan bagi pasukan TNI yang nota bene mantan pejuang kemerdekaan, seperti mantan pasukan MN 1001/MTKI dan ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan, atau mantan pejuang gerilya lainnya. Mereka dipaksa untuk menerima KNIL sebagai mitra atau teman sekerja, sedangkan pada masa perang kemerdekaan KNIL adalah musuh mereka. Masalah tersebut di atas juga terungkap dalam tulisan Kodam X/Lam (1970) dan tulisan Dhany Justian (1972) sebagai berikut: “Pasukan MTK/Tengkorak Putih dan MTKI/MN 1001 yang ketika didrop ke Kalimantan adalah TRI berpendapat bahwa mereka sudah menjadi Tentara Republik Indonesia yang resmi sehingga merasa tidak perlu lagi masuk ke dalam TNI. Badan -badan Perjuangan tersebut di atas bekerja sama dengan tokoh-tokoh ALRI Divisi IV/PK, dan di samping itu banyak tokoh-tokoh tidak dapat menerima penggabungan KNIL ke dalam TNI tersebut, disebabkan mereka masih beranggapan bahwa bekerjasama dengan KNIL sama dengan bekerjasama dengan musuh yang dulu membunuhi rakyat.” rakyat.”  Adanya demobilisasi seperti dikemukakan sebelumnya, tidaklah mengecewakan, jika tidak dibarengi dengan laku lajak (over acting) Tentara Republik yang dahulunya bekas KNIL (Ideham dkk, ed., 2003) dan sikapnya meremehkan prestasi daerah dalan perjuangan kemerdekaan (Dijk, 1983). Di samping itu, kekecewaan muncul karena persoalan pribadi dari beberapa tokoh menyangkut perbedaan kedudukan, fasilitas, prioritas dan sebagainya. Tidak mengherankan memang dalam masa peralihan tersebut ada sebagian anggota Divisi Lambung Mangkurat maupun para demobilisan tidak sanggup menghadapi kenyataan dan ingin meneruskan hidup yang avonturis. Akibatnya timbul berbagai ekses dan konflik, seperti konflik mental, batin dan fisik yang dimanifestasikan dalam berbagai bentuk, misalnya meneruskan cara hidup serobotan, penggedoran, penculikan, pemerasan, dan perbuatan-perbuatan lainnya yang dipandang mengganggu ketenteraman umum. Aksi-aksi mereka terus berlanjut sampai munculnya Gerombolan Suriansyah (Tan Malaka) dan Kesatuan Rakyat Indonesia yang Tertindas (KRIyT, KRJTT) yang dipimpin oleh Ibnu Hadjar 4

 

 

(Ibnu Hajar), seorang mantan pejuang gerilya, yang karena tindakannya itu maka ia diberi stigma (noda, cacat) oleh Pemerintah Pemerintah Pusat sebagai “pemberontak”.  “pemberontak”.  Salah satu ciri yang menonjol dari divisi ini adalah teguhnya mereka berpegang pada ajaran Islam. Dalam banyak keterangan divisi telah melakukan upaya-upaya untuk memajukan agama Islam dan syariatnya di daerah-daerah pedesaan sehingga disukai oleh rakyat. Demobilisasi berdampak pula pada ekonomi mantan prajurit divisi ini. Hal ini terlihat dari tunjangan yang mereka terima hanya sebesar tiga rupiah dari pemerintah pusat. Pada akhirnya bagi mereka yang yang tetap berada pada dinas kemiliteran merasakan adanya diskriminasi dibandingkan rekan-rekannya di Jawa. Bagi mantan prajurit Divbisi IV ALRI (A) yang terkena demobilisasi tidak diakui sebagai veteran dan tidak dapat menerima pensiunan (Dijk:230). Selain itu, hancurnya system koperasi yang telah dibangun di pedesaan oleh divisi ini dan tegaknya penguasaan pedagan dari kota ke desa. Pihak gerilya merasa pula banyaknya jabatan penting diduduki oleh orang luar Kalimantan khususnya dari Jawa dan orangorang yang telah berkoloborasi dengan Belanda. Aklhirnya mereka mengajukan tuntutan ke pusat agar pejabat-pejabat tertentu dalam pemerintahan sipil, militer dan kepolisian dimutasikan. Tetapi tuntutan itu tidak digubris oleh pemerintah pusat. Suasana seperti yang digambarkan di atas, menaikan pamor Ibnu Khajar dan KRIyTnya di kalangan mantan prajurit Divisi IV ALRI (A) dan rakyat Kalimantan umumnya. Gerakan IBnu Khajar dengan KRIyTnya dalam aksinya menentang fihak kepolisian pusat menggunakan taktik perang gerilya. Aktivitas aksinya semakin meluas ke wilayah-wilayah Barabai, Birayang, Batumandi, Paringin, Kelua dan Kandangan. Dalam suasana yang semakin runcing, pada tahun 1951 Hasan Basery sebagai seorang yang dihormati oleh masyarakat Kalimantan Selatan oleh pemerintah pusat diberangkatkan ke Mesir untuk sekolah. Keberangkatan Hasan Basery membuat rakyat Kalimantan Selatan (Banjar ) semakin simpati kepada gerakan Ibnu Khajar. Pada umumnya masyarakat Kalimantan Selatan merasa, bahwa Divisi IV ALRI (A) dan tokoh-tokohnya yang telah berkorban banyak demi be4rdirinya Republik Indonesia di tanah Kalimantan kedudukannya semakin berada pada posisi dimarjinalkan. Ibnu khajar dengan pasukannya sebagai tokoh alternative setelah Hasan basery di mata masyarakat membangun hubungan dengan para pengikutnya di wilayah-wilayah yang tersebar melalui perantara para komandan local. .Mereka merangkap sebagai kepala pemerintahan daerah pemberontakan dan masing-masing mempunyai daerah operasi khususnya. Para komandan local ini adalah teman-temen seperjuangan bahkan diantaranya ada seorang adiknya Ibnu Khajar bernama Dardiansyah. Apabila dicermati kenapa Ibnu Khajar menjadi tokoh masyarakat yang tertindas. Hal ini memperlihatkan betapa mahal ongkos social yang harsus dibayar oleh Negara ketika membangun tentara yang professional. Membangun tentara profesioonal pada sisi lain harus ada demobilisasi dan rasionalisasi yang akhirnya memunculkan konflik vertical. Bagaimana tidak demobilisasi dan rasionalisasi, memarjinalkan prajurut-dan perwira daerah. Selain itu, posisi strategis lainnya didominasi oleh orang pusat ketimbang daerah. Perasaan dimarjinalkan yang ada pada prajurit local kemudian diakomodasi oleh Ibnu khajar. Pada tataran berikutnya perasaan tidak puas yang mendera preajurit local oleh Ibnu Khajar diberi makna ideologis agama. Islam. Terintegrasinya symbol agama dan keprimordialan membanghkitkan motivasi dan sekaligus memunculkan harapan di kjalangan pengikut untuk berjuang.

5

 

 

Latar belakang Ibnu Hajar hingga pemberontakkannya Ibnu Hajar yang bernama asli Haderi, lahir di Kandangan, HSS, April 1920, dan menjadi perwira dalam ALRI Divisi IV dengan pangkat Letnan II. Tokoh yang memproklamasikan kemerdekaan dalam Proklamasi 17 Mei. Inilah fakta patriotisme rakyat kalimantan Selatan dalam keinginan hidup bersama republik," Namun Letnan Dua Ibnu Hajar lebih dikenal sebagai pemimpin dari gerakan pemberontakan/perlawanan terhadap pemerintah pusat yang “berafiliasi” pada gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan SM Kartosuwiryo. Ada dua faktor yang menyebabkan Ibnu Hajar memberontak kepada negara. Satu, cara menangani demobilisasi bekas pejuang gerilya di Kalimantan, dan kedua perlakuan pemerintah dan tentara republik terhadap rakyat pedesaan di daerah ini. Gerakan Ibnu Hajar dimulai pada Oktober 1950 dengan melakukan aksi penyerangan terhadap pospos ABRI-TNI yang ada di daerah Kalimantan Selatan dan berhasil di tumpas oleh pasukan ABRI-TNI pada menjelang akhir 1959. Namun, berbeda dengan yang tertulis tadi, sosok Ibnu Hajar dalam masyarakat Hulu Sungai terutama Barabai dan Kandangan adalah sebuah legenda. Ibnu Hajar adalah seorang tokoh yang sangat dihormati oleh anak buahnya dan disegani oleh lawan-lawannya. Zainal A Anis dalam makalahnya menyebut Ibnu Hajar sebagai seorang pemimpin dari kelompok rakyat yang merasa terdzalimi oleh pemerintah. Ketika kebijakan dari pemerintah pusat ternyata tidak mengakomodir dan bahkan menyingkirkan peran masyarakat lokal maka akan muncul suatu gerakan perlawanan yang secara alamiah akan mencari pemimpinnya sendiri sebagai simbol perlawanan. Pada tahun 1948 Kabinet Hatta mengusulkan perlunya penataan kembali angkatan perang Indonesia yang dkenal dengan istilah reorganisasi dan rasionalisasi. rasionalisasi. Reorganisasi dan Rasionalisasi ini ini bertujuan menata ulang organisasi angkatan perang Indonesia dan melaksanakan efisiensi dan peningkatan profesionalisme tentara. Dengan kondisi saat itu dimana angkatan perang terdiri dari prajurit professional (pernah mengikuti pendidikan ketentaraan) dan laskar pejuang yang berasal dari rakyat biasa, maka kebijakan reorganisasi dan rasionalisasi tersebut kemudian menyebabkan kelompok tentara yang berasal dari laskar rakyat tersingkir secara perlahan. Di Kalimantan Selatan kebijakan reorganisasi dan rasionalisasi ini dijalankan dengan menempatkan ALRI Divisi IV (A) Pertahanan Kalimantan menjadi bagian dari Divisi Lambung Mangkurat yang dipimpin oleh Letkol Sukanda Bratamanggala. Tidak ditempatkannya Hassan Basry sebagai pimpinan, serta hadirnya kelompok tentara yang berasal dari KNIL (tentara Belanda yang berasal dari penduduk Indonesia) sebagai bagian dari Divisi Lambung Mangkurat memunculkan kekecewaan pada para pejuang. Dari kondisi inilah Ibnu Hajar, seorang bekas komandan penggempur ALRI Divisi IV (A) muncul sebagai figur yang mampu memimpin kumpulan rasa kecewa menjadi sebuah gerakan perlawanan yang terorganisir dengan membentuk kelompok gerilya yang diberi nama “Kesatuan Rakyat yang Tertindas” dengan deerah operasi meliputi kawasan Hulu Sungai. Meski dicap sebagai gerakan pemberontakan oleh pemerintah pusat, gerakan Ibnu Hajar di tingkat lokal justru dijadikan sebagai simbol perlawanan yang muncul dari rasa tidak puas terhadap kebijakan pemerintah pusat yang dipandang tidak mengakomodir masyarakat Kalimantan Selatan. Meski secara alasan serangan kelompok dari Ibnu Hajar menyerang pos ABRI-TNI dinyatakan sebagai pemberontakan karena menyerang alat negara, namun latar belakang dan peran Ibnu Hajar sebagai pejuang harus tetap kita ingat, agar kita dapat melihat peristiwa ini secara objektif. Gerakan Ibnu Hajar bukanlah semata wujud dari sakit hati, tetapi lebih kepada usaha untuk mewujudkan keinginan agar eksistensi masyarakat Kalimantan Selatan secara personal, kultural dan sosial diakui oleh pemerintah pusat. Peran dan gerakan Ibnu Hajar dalam proses tegaknya Kalimantan sebagai bagian dari Republik Indonesia adalah suatu mata rantai peristiwa yang tidak boleh terhapus dalam masyarakat Kalimantan Selatan. 6

 

 

Sebagai generasi penerus kita berkewajiban untuk menjaga nilai-nilai kesejarahan dan kepahlawanan dari Perjuangan ALRI Divisi IV (A) dan tentunya dapat memposisikan Ibnu Hajar dalam kedudukan yang semestinya dalam sejarah perjuangan rakyat Kalimantan Selatan. Nama Ibnu Hadjar tak bisa dilepaskan dari organisasi bernama Kesatuan Rakjat jang Tertindas (KrjT) yang eksis sejak awal 1950. Organisasi ini menghimpun bekas gerilyawan alias pejuang kemerdekaan Republik yang melawan tentara Belanda di sekitar kabupaten Hulu Sungai. Setelah pengembalian kedaulatan karena Konferensi Meja Bundar di Den Haag (1949) membuat mereka kecewa terhadap pemerintah. Setelah 1950, Ibnu Hadjar yang buta huruf itu pun ikut menjadi bahan bacaan koran, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Namanya hadir di media karena aksi yang dilakukannya: pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Kalimantan Selatan yang ingin mendirikan Negara Islam. Tak banyak yang menyadari bahwa dia dan kawan-kawannya memberontak karena tak diterima masuk TNI, padahal mereka bekas pejuang. Banyak bekas tentara Belanda (KNIL), yang bisa dibilang musuh republik saat Perang Revolusi 19451949, diterima masuk Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Setelah Republik Indonesia Serikat (RIS) bubar pada 17 Agustus 1950, mereka kemudian kemudian jadi Tentara Nasional Indonesia ((TNI). TNI). Di sisi lain, para pejuang dari desa di belantara Kalimatan Selatan yang pernah tergabung dalam Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) Divisi IV itu, hanya sedikit yang bisa masuk APRIS/TNI. Kedatangan TNI dari Jawa juga membuat para pejuang itu merasa tak dipercaya mengisi posisi-posisi di pemerintahan sipil dan militer. Susah Masuk TNI. Bekas gerilyawan pejuang itu merasa terlalu banyak jabatan penting diduduki orang-orang dari luar Kalimantan, khususnya dari Jawa. Orang-orang eks KNIL juga mereka anggap sebagai orang-orang orang-orang “cacat” karena pernah karena pernah bekerja untuk Belanda. "Karena Pemerintah dan Tentara sedikit pun tidak bermaksud memenuhi tuntutan pihak gerilyawan atau memindahkan beberapa pamong daerah dan perwira yang tinggi kedudukannya, kedua pihak mencapai jalan buntu sama sekali,” tulis Muhammad Iqbal, dalam tesisnya Kesatuan tesisnya Kesatuan Rakjat Indonesia  jang Tertindas (KRjT): Pemberontakan Ibnu Hadjar di Kalimantan Selatan, 1950-1963 (2014). Mereka sudah pasti kecewa, tak terima atas nasib malang itu. Kekecewaan dari banyak orang yang masih bisa memegang senjata adalah sesuatu yang berpotensi menjadi celaka. Di antara mereka ada orang yang dianggap berpengaruh, yakni Ibnu Hadjar yang pada awal tahun 1950 sudah berpangkat Letnan Dua. Seperti banyak bekas pejuang yang kecewa tadi, Ibnu Hadjar juga buta huruf —tak bisa baca-tulis huruf latin. Mereka orang desa yang tak mencicip bangku sekolah. Meski buta huruf, menurut catatan Kees van Dijk dalam Darul Islam: Sebuah Pemberontakan (1995), dia berhasil jadi komandan satuansatuan gerilya di Kandangan, Hulu Sungai, Kalimantan Selatan. Mereka bergerak sambil tetap berharap diterima ke masuk TNI. Tentu, tanpa harus lulus tes baca-tulis. Namun, tak ada sinyal positif untuk mereka. Tak lama berpangku tangan, kawan-kawan Ibnu Hadjar itu beraksi menyerang pos-pos TNI. Koran Indonesia Berdjuang (20/03/1954) dan Kes van Dijk me mencatat ncatat semula Ibnu Hadjar hanya memimpin 60 orang saja ketika masih berdiam diri di awal tahun. Setelah serangan ke pos TNI pada bulan Maret 1950, pengikutnya bertambah sekitar 250 orang, dengan senjata hanya 50 pucuk bedil. Letnan Dua TNI yang memimpin sebuah peleton biasanya hanya punya anak buah tak lebih dari 50 orang. Namun, itu tak berlaku untuk seseorang yang menjadi menj adi pemimpin gerombolan. Bulan Oktober 1950, pemerintah masih menyambut damai para gerombolan yang ingin menyerah. Ibnu Hadjar masuk kota. Dia menyatroni penguasa yang berwenang di sana. Setelah dia dibebaskan dan diminta membujuk kawan-kawan gerombolannya untuk menyerah, Ibnu Hadjar masuk hutan dan tak pernah nampak lagi batang hidungnya di hadapan penguasa lokal tadi. Selama belasan tahun, Ibnu Hadjar dikenal sebagai gerombolan yang diajak kerjasama DI/TII Kartosoewirjo, sebagai Panglima Angkatan Perang Tentara Islam I slam (APTI)cabang Kalimantan Selatan.

7

 

 

Peneliti sejarah Muhammad Iqbal berhasil menemui keponakan Ibnu Hadjar, Suliman Juhri, yang berusia 75 tahun. Suliman saat masih kecil, sekitar 10 tahun, pernah melihat dan mengenal sang paman yang bernama asli Haderi bin Umar yang bernama asli Haderi, lahir di Kandangan, HSS, April 1920. “Ayahnya bernama Umar. Ibunya bernama Siti Hadijah, putri dari seorang kepala suku Dayak di Tamiang Layang (Kalimantan Tengah),” Tengah),” ujar Suliman. Pemuda Banjar-Dayak Banjar -Dayak ini punya adik kandung bernama Dardiansjah yang juga ikut gerombolan sang paman. Berdasarkan laporan Indonesia Berdjuang (20/03/1954), Kees van Dijk mencatat Ibnu Hadjar yang lahir sekitar April 1920 itu, “memiliki watak watak yang keras dan suka berkelahi sejak kanak-kanak, dan benarbenar menjadi kepala jagoan dalam setiap percekcokan.” Artinya, sejak muda dia berbakat menjadi kepala gerombolan. Dia tumbuh dalam suasana pedesaan. “Sebelum zaman Pendudukan Jepang, dia sehari-hari seharihari bekerja sebagai petani dan pencari madu yang handal,” kata Suliman Juhri kepada Iqbal. Seorang pencari madu, tentu terbiasa keluar masuk hutan. Jadi, ketika hidup bergerilya di hutan bukan masalah besar baginya. Mengenai bagaimana sosok pamannya, S Suliman uliman juga bercerita, “Ibnu Hadjar ini perawakannya kecil saja. Kulitnya agak gelap, agak ceking dan tak berkumis. Pakaiannya berseragam militer corak loreng. Pakaian ini digunakannya saat memimpin pasukan KRjT, bertopi baret yang bertali merah, dan selalu memakai dua dua pucuk pistol di pinggangnya.”  pinggangnya.”  Ibnu Hadjar alias Haderi, meski sebagian bekas masa mudanya dijalani di hutan— hutan —baik ketika jadi pencari madu, pejuang Republik dan pemberontak KrjT— KrjT—ternyata pernah menikah. "Dia menikah dua kali. Dari isteri pertamanya, pertamanya, Ibnu Hadjar memiliki putera bernama Rafi’i. Isteri keduanya berasal dari Buntok –asa  –asall etnis Dayak yang diislamkan.”  diislamkan.”  Mei 1963, Kalimantan Selatan (Kalsel) berangsur aman. Perlahan, pengikut Ibnu Hadjar tak bersamanya lagi. Banyak yang menyerah. Kepala Polisi Komisariat (Kapekom) Kalsel, Komisaris Besar Tengku Abdul Aziz pun berusaha keras membujuk Ibnu Hadjar agar dia dan pasukannya agar menyerahkan diri. Bujukan itu diselingi isu akan adanya amnesti dari pemerintah. Dalam menghadapi pemberontakan Ibnu Khajar, pemerintah pusat menggunakan tokoh-tokoh kharismatik local seperti Hasan Basery (mantan komandannya Ibnu Khajar) dan Idham Khalid seorang politikus dari Nahdiatul Ulama (NU) untuk mermbujuk Ibnu Khajar dan KRIyTnya agar meletakan senjata. Pada bulan Juli 1963, Ibnu Khajar dan pengikutnya menyerahkan diri di Desa Ambulun Hulu Sungai Selatan. Setelah belasan tahun hidup di hutan dan menyadari jalan gerilyanya ke depan makin buntu, Ibnu Hadjar setuju. Aksi pasukan Ibnu Hadjar itu terhenti sejak Juli 1963. Menurut Muhammad Iqbal, di akhir bulan, Ibnu Hadjar dan anak buahnya resmi menyerah diri kepada pemerintah, diiringi upacara singkat di Desa Ambutun, Hulu Sungai Selatan. Berdasar penelusuran Iqbal dari versi Suliman, sebelum tertangkap “dia naik ke rumah ke rumah ini (rumah keluarganya) untuk bertemu ibunya (nenek saya) dan meminta izin (berpamitan). Ibnu Hadjar bersilahturahmi dan ngobrol-ngobrol ngobrol-ngobrol dengan kami sebentar,” aku aku Suliman yang berada di situ. Saat itu, ia bertanya kepada pamandanya, “Pakaci “Pakacil, l, apa rencana Anda sekarang?”  sekarang?”  Ibnu Hadjar, yang sedang duduk santai bersama keluarganya sekitar pukul enam sore, dengan tenang menjawab, “Suliman, sepertinya sudah sampai waktunya waktunya bagiku kini, itu saja.”  saja.”  Esok paginya, sang paman berangkat. “Siang harinya itulah, ia dijebak oleh Brimob. Ibnu Hadjar kemudian langsung dibawa ke Banjarmasin dan langsung lang sung diterbangkan ke Jakarta.”  Jakarta.”  Namun, menurut Iqbal, Ibnu Hadjar sempat menghadiri rapat umum Konfrontasi Malaysia di Banjarmasin. Kepada pers, dia memberitahu: “Apabila “Apabila negara menghendakinya, ia bersedia mengabdi kepada Republik di mana pun juga dibutuhkan [….] juga bersedia turut serta dalam Konfrontasi Malaysia,” atau “ apabila Negara membutuhkannya ia bersedia mengabdi kepada republic dan ia berserta pengikutnya bersedia bersedia dilibatkan dalam konfrontasi dengan Malaysia”. Perkataan Ibnu Khajar mengisyaratkan, bahwa ia tetap memiliki perasaan patriot dan cintanya akan republic ini.

8

 

 

Tengku Abdul Aziz berusaha agar Ibnu Hadjar diberi amnesti oleh Presiden Sukarno. Namun, hal itu tak pernah terjadi. Pada 11 Maret 1965, sang pemberontak dibawa ke Mahkamah Militer dan dijatuhi hukuman mati. Di persidangannya, Ibnu Hadjar mengenakan seragam Letnan Dua TNI. Tengku Aziz yang merasa terpukul karena kegagalannya kemudian mengundurkan diri dari jabatannya.

9

 

 

Ibnu Hajar mengenakan seragam kebanggannya saat menjalani sidang dan di vonis hukuman mati

10

 

 

Ibnu Hajar saat perang revolusi kemerdekaan melawan Belanda

11

 

 

PEMBERONTAKAN IBNU HAJAR KRYT / KESATUAN RAKYAT YANG TERTINDAS DI / DARUL ISLAM, TII / TENTARA ISL ISLAM AM INDONESIA KALIMAN KALIMANTAN TAN SELATAN

12

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF