Pemberontakan Etnis China Masa Voc Dan Perlawanan Pangeran Mangkubumi Dan Raden Mas Said

November 6, 2017 | Author: Galih Elsy Karawid | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

makalah Pemberontakan Etnis China Masa Voc Dan Perlawanan Pangeran Mangkubumi Dan Raden Mas Said...

Description

PEMBERONTAKAN ETNIS CHINA MASA VOC DAN PERLAWANAN PANGERAN MANGKUBUMI & RADEN MAS SAID

NAMA KELOMPOK 1. FIRKHAN ALI RIKO SAEFI (13) 2. FITROTUL MAIMUNAH (14) 3. GALIH ELSY KARAWID (15) 4. GINDHI AYUNING ESTU WILUJENG (16)

KELAS XI MIA 1

SMA NEGERI 1 WATES TAHUN AJARAN 2014/2015

KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kepada kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan karunianya kami semua dapat menyelesaikan makalah kami yang berjudul “PEMBERONTAKAN ETNIS CINA MASA VOC DAN PERLAWANAN PANGERAN MANGKUBUMI & RADEN MAS SAID” .Dalam penulisan makalah ini kami semua memperoleh bantuan dari berbagai pihak, karena itu kami mengucapkan banyak terimakasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang terlibat dan mendukung pembuatan makalah ini atas bantuan yang telah diberikan. Semoga makalah ini dapat mengilhami,meningkatkan minat,dan juga memantu para pembaca dalam memahami materi sejarah terutama yang berkaitan dengan pemberontakan etnis cina dan perlawanan Mangkubumi & Raden Mas Said. Melalui kata pengantar ini,sebelumnya kami ingin meminta maaf dan memohon pemakluman bilamana isi makalah ini ada kekurangan dan ada penulisan yang kurang tepat atau menyinggung perasaan pembaca. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik yang membangun agar dalam penulisan makalah selanjutnya kami semua dapat lebih baik.

Akhir kata kami berharap makalah ini member manfaat bagi para pembaca.

Kediri,Oktober 2014

Kelompok 4

i

DAFTAR ISI 

Kata pengantar ……………………………………………………….i



Pendahuluan ………………………………………………………...iii o Latar belakang o Rumusan masalah o Tujuan penulisan



Pembahasan …………………………………………………………iv o Pemberontakan etnis Cina masa VOC 

Kedatangan etnis Tionghoa ………………………1-3



Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa ……………3-4



Pembantaian dan kekerasan lanjutan terhadap etnis Tionghoa ………………………………………….4-5



Akibat dan pengaruh ……………………………...6-8

o Pemberontakan Pangeran Mangkubumi dan RM Said 

Tuduhan terhadap RM Said ………………………...9



Pemberontakan RM Said ………………………..9-10



Perlawanan Pangeran Mangkubumi terhadap RM Said …………………………………………………..10-11



Kerjasama Pangeran Mangkubumi dan RM Said …………………………………………………..11-12



Perselisihan kembali Pangeran Mangkubumi dan RM Said ……………………………………………..12-15

 

Perjanjian Salatiga ……………………………...15-16

Penutup ……………………………………………………………...17 o Kesimpulan I o Kesimpulan II



Daftar pustaka ……………………………………………………….18

ii

PENDAHULUAN A.LATAR BELAKANG Perlawanan etnis tionghoa pada masa VOC dan pemberontakan Pangeran Mangkubumi & RM Said merupakan salah satu bentuk perlawanan rakyat yang di dasari atas rasa diskriminasi dan seluruh perlakuan buruk VOC terhadap bangsa Indonesia.Namun, walaupun begitu perlawanan ini tetap dilakukan karena demi kebebasan rakyat yang terus menerus menjadi korban penindasaan VOC.Walau begitu masih saja ada efek dari politik devivide et impera yang dilakukan VOC pada kedua peristiwa tersebut.Bahkan bisa di bilang perselisihan dan diskriminasi masih berlanjut hingga masa kini.Maka dari itu,Kami membuat makalah ini untuk menjelaskan bagaimana hal-hal tersebut dimulai,bagaimana pemberontakan itu terjadi, dan apa saja politik VOC yang digunakan untuk menyelesaikan masalah ini.

B.RUMUSAN MASALAH o Pemberontakan etnis Cina masa VOC 

Kenapa etnis Tionghoa datang ke Indonesia?



Diskriminasi apa saja yang dilakukan terhadap etnis Tionghoa?



Bagaminana

pembantaian

dan

kekerasan

lanjutan

terhadap etnis Tionghoa? 

Apa akibat dan pengaruh dari peristiwa tersebut

o Pemberontakan Pangeran Mangkubumi dan RM Said 

Apakah tuduhan terhadap RM Said?



Bagaimana pemberontakan RM Said?



Apa latar belakang perlawanan Mangkubumi terhadap RM Said?



Bagaimana bisa terjadi kerjasama Mangkubumi dan RM Said?



Apa penyebab perselisihan kembali Mangkubumi dan RM Said?



Apa tujuan perjanjian Salatiga? iii

C.TUJUAN PENULISAN Tujuan penulisan makalah ini antara lain: 1. Mengetahui bagaimana terjadinya peristiwa pemberontakan etnis Tionghoa & pemberontakan pangeran Mangkubumi dan RM Said. 2. Mengidentifikasi apa saja akibat yang ditimbulkan dari peristiwa pemberontakan etnis Tionghoa & pemberontakan pangeran Mangkubumi dan RM Said. 3. Menumbuhkan

rasa

keingintahuan

akan

kejelasan

masalah

peristiwa

pemberontakan etnis Tionghoa & pemberontakan pangeran Mangkubumi dan RM Said. 4. Memenuhi tugas pembuatan makalah peristiwa pemberontakan etnis Tionghoa & pemberontakan pangeran Mangkubumi dan RM Said.

iv

PEMBAHASAN A.Pemberontakan etnis Cina masa VOC 

Kedatangan etnis Tionghoa

Pada periode awal kolonialisasi Hindia Belanda oleh Belanda, banyak orang keturunan Tionghoa dijadikan tukang dalam pembangunan kota Batavia di pesisir barat laut pulau Jawa. mereka juga bertugas sebagai pedagang, buruh di pabrik gula, serta pemilik toko. Perdagangan antara Hindia Belanda dan Tiongkok, yang berpusat di Batavia, menguatkan ekonomi dan meningkatkan imigrasi orang Tionghoa ke Jawa. Jumlah orang Tionghoa di Batavia meningkat pesat, sehingga pada tahun 1740 ada lebih dari 10.000 orang. Ribuan lagi tinggal di luar batas kota. Pemerintah kolonial Belanda mewajibkan mereka membawa surat identifikasi, dan orang yang tidak mempunyai surat tersebut dipulangkan ke Tiongkok. Kebijakan deportasi ini diketatkan pada dasawarsa 1730-an, setelah pecahnya epidemik malaria yang membunuh ribuan orang, termasuk Gubernur Jenderal Dirk van Cloon. Menurut sejarawan Indonesia Benny G. Setiono, epidemik ini diikuti oleh meningkatnya rasa curiga dan dendam terhadap etnis Tionghoa, yang jumlahnya semakin banyak dan kekayaan yang semakin menonjol. Akibatnya, Komisaris Urusan Orang Pribumi Roy Ferdinand, di bawah perintah Gubernur JenderalAdriaan Valckenier, memutuskan pada tanggal 25 Juli 1740 bahwa warga keturunan Tionghoa yang mencurigakan akan dideportasi ke Zeylan (kini Sri Lanka) dan dipaksa menjadi petani kayu manis. Warga keturunan Tionghoa yang kaya diperas penguasa Belanda, yang mengancam mereka dengan deportasi. Stamford Raffles, seorang penjelajah asal Inggris dan ahli sejarah pulau Jawa, mencatat bahwa orang Belanda diberi tahu Kapitan Cina (pemimpin etnis Tionghoa yang ditentukan Belanda) untuk Batavia, Ni Hoe Kong, agar mendeportasikan semua orang Tionghoa berpakaian hitam atau biru, sebab merekalah yang miskin. Ada pula desas-desus bahwa orang yang dikirimkan ke Zeylan(Sri Lanka) tidak pernah sampai ke sana, tetapi justru dibuang ke laut, atau bahwa mereka mati saat membuat kerusuhan di kapal. Ancaman deportasi ini membuat orang Tionghoa resah, dan banyak buruh Tionghoa meninggalkan pekerjaan mereka.

1

Sementara, penduduk pribumi di Batavia, termasuk orang-orang Betawi, menjadi semakin curiga terhadap orang Tionghoa. Masalah ekonomi ikut berperan; sebagian besar penduduk pribumi miskin, dan beranggapan bahwa orang Tionghoa tinggal di daerah-daerah terkemuka dan sejahtera. Biarpun sejarawan Belanda A.N. Paasman mencatat bahwa orang Tionghoa menjadi "bak orang Yahudi untuk Asia", keadaan sebenarnya lebih rumit. Banyak orang Tionghoa miskin yang tinggal di sekitar Batavia merupakan buruh di pabrik gula, yang merasa dimanfaatkan para pembesar Belanda dan Tionghoa. Orang Tionghoa yang kaya memiliki pabrik dan menjadi semakin kaya dengan mengurus perdagangan; mereka mendapatkan penghasilan dari pembuatan dan distribusi arak, sebuah minuman keras yang dibuat dari molase dan beras. Namun, penguasa

Belanda

yang

menentukan

harga

gula;

ini

juga

menyebabkan

keresahan. Sebagai akibat penurunan harga gula di pasar dunia, yang disebabkan kenaikan jumlah ekspor ke Eropa,] industri gula di Hindia Belanda merugi. Hingga tahun 1740, harga gula di pasar global sudah separuh dari harga pada tahun 1720. Karena gula menjadi salah satu ekspor utama Hindia Belanda, negara jajahan itu mengalami kesulitan finansial.

Pada awalnya, beberapa anggota Dewan Hindia (Raad van Indië) beranggapan bahwa orang Tionghoa tidak mungkin menyerang Batavia, dan kebijakan yang lebih tegas mengatur orang Tionghoa ditentang oleh fraksi yang dipimpin mantan gubernur Zeylan, Gustaaf Willem baron van Imhoff, yang kembali ke Batavia pada tahun 1738. Namun, orang keturunan Tionghoa tiba di luar batas kota Batavia dari berbagai kampung, dan pada tanggal 26 September Valckenier memanggil para anggota dewan untuk pertemuan darurat. Pada pertemuan tersebut, Valckenier memerintah agar kerusuhan yang dipicu orang Tionghoa dapat ditanggapi dengan kekuatan yang mematikan. Kebijakan ini terus ditantang oleh fraksi van Imhoff; Vermeulen (1938) berpendapat bahwa ketegangan antara kedua fraksi politik ini ikut berperan dalam pembantaian. Pada tanggal 1 Oktober malam, Valckenier menerima laporan bahwa ribuan orang Tionghoa sudah berkumpul di luar gerbang kota Batavia; amukan mereka dipicu oleh pernyataannya pada pertemuan dewan lima hari sebelumnya. Valckenier dan anggota 2

Dewan Hindia lain tidak percaya hal tersebut. Namun, setelah orang Tionghoa membunuh seorang sersan keturunan Bali di luar batas kota, dewan memutuskan untuk melakukan tindakan serta menambah jumlah pasukan yang menjaga kota. Dua kelompok yang terdiri dari 50 orang Eropa dan beberapa kuli pribumi, dikirim ke pos penjagaan di sebelah selatan dan timur Batavia, dan rencana penyerangan pun dibuat.



Diskriminasi terhadapa etnis Tionghoa

Setelah berbagai kelompok buruh pabrik gula keturunan Tionghoa memberontak, dengan menggunakan senjata yang dibuat sendiri untuk menjarah dan membakar pabrik, ratusan orang Tionghoa, yang diduga dipimpin Kapitan Cina Ni Hoe Kong, membunuh 50 pasukan Belanda di Meester Cornelis (kini Jatinegara) danTanah Abang pada tanggal 7 Oktober. Untuk menanggapi serangan ini, pemimpin Belanda mengirim 1.800 pasukan tetap yang ditemani schutterij (milisi) dan sebelas batalyon wajib militer untuk menghentikan pemberontakan; mereka melaksanakan jam malam dan membatalkan perayaan Tionghoa yang sudah dijadwalkan.Karena takut bahwa orang Tionghoa akan berkomplot pada malam hari, yang tinggal di dalam batas kota dilarang menyalakan lilin dan disuruh menyerahkan semua barang, hingga pisau paling kecil sekalipun. Pada hari berikutnya, pasukan Belanda berhasil menangkis suatu serangan dari hampir 10.000 orang Tionghoa, yang dipimpin oleh kelompok dari Tangerang dan Bekasi, di tembok kota; Raffles mencatat sebanyak 1.789 warga keturunan Tionghoa meninggal dalam serangan ini. Untuk menanggapi serangan ini, Valckenier kembali mengadakan pertemuan Dewan Hindia pada tanggal 9 Oktober. Sementara, gosip mulai tersebar dalam kelompok etnis lain, termasuk budak dari Bali dan Sulawesi serta pasukan Bugis dan Bali, bahwa orang Tionghoa berencana membunuh atau memerkosa orang pribumi, atau menjadikan mereka sebagai budak. Untuk mencegah hal tersebut, kelompok-kelompok ini mulai membakar rumah-rumah milik orang Tionghoa di sepanjang Kali Besar. Ini disusul oleh serangan Belanda terhadap tempat tinggal orang Tionghoa di Batavia. Politikus Belanda yang antikolonis W.R. van Hoëvell menulis bahwa "wanita hamil dan yang sedang menyusui, anak kecil, dan para pria gaek jatuh dalam serangan. Tahanan dibantai seperti domba. 3

Pasukan di bawah pimpinan Letnan Hermanus van Suchtelen dan Kapten Jan van Oosten, seorang serdadu Belanda yang selamat dari serangan di Tanah Abang, mengambil posisi di daerah pecinan: Suchtelen dan pasukannya menempatkan diri di pasar burung, sementara pasukan van Oosten mendapatkan pos dekat kanal. Sekitar pukul 5.00 sore, serdadu Belanda mulai menembakkan meriam ke arah rumah orang Tionghoa, sehingga rumah-rumah tersebut terbakar. Beberapa orang Tionghoa tewas di rumah mereka, sementara yang lainnya ditembak saat keluar dari rumah atau melakukan bunuh diri. Yang berhasil mencapai kanal dibunuh oleh pasukan Belanda yang menunggu di perahu kecil sementara pasukan Belanda lainnya mondar-mandir di antara rumah-rumah yang sedang terbakar, mencari dan membunuh orang Tionghoa yang masih hidup. Tindakan ini kemudian tersebar di seluruh kota Batavia Menurut Vermeulen, sebagian besar pelaku merupakan pelaut dan unsur masyarakat lain yang "tidak tetap ataupun baik." Dalam periode ini ada banyak penjarahan dan penyitaan properti. Pada hari berikutnya kekerasan ini terus menyebar, dan pasien Tionghoa dalam sebuah rumah sakit dibawa ke luar dan dibunuh. Usaha untuk memadamkan kebakaran di daerah Kali Besar belum membawa hasil; kebakaran itu malam semakin ganas, dan baru padam pada tanggal 12 Oktober.] Sementara, sebuah kelompok yang terdiri dari 800 pasukan Belanda dan 2.000 orang pribumi menyerbu Kampung Gading Melati, di mana terdapat orang Tionghoa yang bersembunyi di bahwa pimpinan Khe Pandjang. Biarpun warga Tionghoa mengungsi ke daerah Paninggaran, mereka diusir lagi oleh pasukan Belanda. Terdapat sekitar 450 orang Belanda dan 800 orang Tionghoa yang menjadi korban dalam kedua serangan tersebut.



Pembantaian dan kekerasan lanjutan terhadap etnis Tionghoa

Pada tanggal 11 Oktober, Valckenier menyuruh para opsir Belanda untuk menghentikan penjarahan, tetapi tidak berhasil. Dua hari kemudian Dewan Hindia menentukan bahwa setiap orang yang membawa kepala orang Tionghoa akan dihargai dengan dua dukat; hal ini digunakan untuk memancing suku lain agar mereka ikut membantai orang Tionghoa. Akibatnya, orang Tionghoa yang selamat dari serangan pertama mulai diburu 4

"bandit" yang menginginkan hadiah itu. Penguasa Belanda bekerja sama dengan kelompok pribumi di berbagai daerah di Batavia; grenadir Bugis dan Bali dikirim untuk memperkuat pasukan Belanda pada tanggal 14 Oktober. Pada tanggal 22 Oktober, Valckenier memerintahkan agar semua pembunuhan dihentikan. Dalam sehelai surat panjang yang berisi bahwa kesalahan sepenuhnya berada di tangan orang Tionghoa saat kerusuhan di Batavia, dia mengajak orang Tionghoa untuk berdamai, kecuali pemimpin pemberontakan; dia mengajukan penghargaan sebanyak 500 rijksdaalder untuk setiap pemimpin yang dibunuh. Di luar batas kota terus terjadi pertempuran kecil antara pemberontak Tionghoa dan pasukan Belanda. Pada tanggal 25 Oktober, setelah hampir dua minggu adanya pertempuran kecil, 500 orang Tionghoa bersenjata berangkat menuju Cadouwang (kini Angke), tetapi dihalau oleh kavaleri di bawah pimpinan Ridmeester Christoffel Moll serta Kornet Daniel Chits dan Pieter Donker. Pada hari berikutnya kavaleri itu, yang terdiri dari 1.594 pasukan Belanda dan pribumi, mendekati markas orang Tionghoa di Pabrik Gula Salapadjang. Di sana mereka berkumpul di hutan, lalu membakar pabrik yang masih penuh dengan pemberontak Tionghoa; satu pabrik lain di Boedjong Renje dimusnahkan oleh pasukan Belanda lain. Karena takut pada pasukan Belanda, orang-orang Tionghoa mengungsi ke pabrik gula lainnya di Kampung Melayu, yang berjarak empat jam dari Salapadjang; markas ini dimusnahkan oleh pasukan di bawah pimpinan Kapten Jan George Crummel. Setelah mengalahkan orang Tionghoa, pasukan Belanda kembali ke Batavia. Sementara, orang Tionghoa, yang mulai dikurung 3.000 prajurit dariKesultanan Banten, melarikan diri ke arah timur mengikuti pesisir utara pulau Jawa; pada 30 Oktober dilaporkan bahwa orang Tionghoa tersebut sudah melewati Tangerang. Perintah untuk gencatan senjata diterima Crummel pada tanggal 2 November. Dia dan pasukannya kembali ke Batavia setelah menempatkan 50 penjaga di Cadouwang. Ketika Crummel tiba di Batavia, sudah tidak ada lagi pemberontak Tionghoa di luar tembok kota. Penjarahan berlangsung sampai tanggal 28 November, dan pasukan pribumi terakhir dibebastugaskan pada akhir bulan itu.

5



Akibat dan pengaruh

Sebagian besar sejarawan mencatat sebanyak 10.000 orang Tionghoa yang berada di dalam kota Batavia dibunuh, dan 500 lagi mengalami luka berat. Antara 600 dan 700 rumah milik orang Tionghoa dijarah dan dibakar. Vermeulen mencatat 600 orang Tionghoa yang selamat sementara sejarawan Indonesia A.R.T. Kemasang mencatat 3.000 orang yang selamat. Sejarawan Tionghoa-Indonesia Benny G. Setiono mencatat bahwa sebanyak 500 tahanan dan pasien rumah sakit dibunuh, dengan jumlah orang yang selamat sebanyak 3.431. Pembantaian ini disusul oleh periode yang rawan pembantaian terhadap warga keturunan Tionghoa di seluruh pulau Jawa, termasuk satu pembataian lagi di Semarang pada tahun 1741, dan beberapa pembantaian lain diSurabaya dan Gresik. Sebagai salah satu syarat untuk berakhirnya kekerasan, yakni semua penduduk Batavia keturunan Tionghoa dipindahkan ke suatu pecinan di luar batas kota Batavia, yang kini menjadi Glodok. Ini membuat orang Belanda lebih mudah mengawasi orang Tionghoa. Untuk meninggalkan pecinan, orang Tionghoa membutuhkan tiket khusus. Namun, pada tahun 1743, sudah ada ratusan pedagang keturunan Tionghoa yang bertempat di dalam kota Batavia. Orang Tionghoa lain yang dipimpin oleh Khe Pandjang mengungsi ke Jawa Tengah, di mana mereka menyerang berbagai pos perdagangan Belanda dan bergabung dengan pasukan di bawah pimpinan Sultan Mataram, Pakubuwana II. Meskipun perang ini sudah selesai pada tahun 1743,selama 17 tahun terdapat konflik di Jawa secara terus-menerus. Pada tanggal 6 Desember 1740 van Imhoff dan dua anggota Dewan Hindia lainnya ditangkap atas perintah Valckenier dengan tuduhan pembangkangan, dan pada tanggal 13 Januari 1741 mereka dikirimkan ke Belanda dengan kapal yang berbeda; mereka tiba di Belanda pada tanggal 19 September 1741. Di Belanda, van Imhoff meyakinkan Heeren XVII, pemegang saham utamaVOC, bahwa Valckenier yang memicu pembantaian di Batavia, serta menyampaikan pidato berjudul "Consideratiën over den tegenwoordigen staat van de Ned. O.I. Comp." ("Pertimbangan atas Keadaan Mutakhir di Hindia Belanda") pada tanggal 24 November. Sebagai akibat dari pidato itu, van Imhoff dan anggota dewan lain dibebaskan dari semua tuntutan. Pada tanggal

6

27 Oktober 1742, van Imhoff dikirimkan kembali ke Batavia menggunakan kapal Hersteller sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang baru. Ia tiba di Batavia pada tanggal 26 Mei 1743. Valckenier sudah diminta digantikan sebagai gubernur jenderal pada akhir tahun 1740, dan pada bulan Februari 1741 menerima surat yang memerintahkan dia mengangkat van Imhoff sebagai penggantinya; versi lain ialah bahwa Heeren XVII menggantikan Valckenier sebagai hukuman atas terlalu banyak gula yang diekspor daripada kopi pada tahun 1739, yang sangat merugikan VOC. Saat Valckenier menerima surat tersebut, van Imhoff sudah dalam perjalanan ke Belanda. Valckenier meninggalkan Hindia Belanda pada

tanggal

6 November

1741,

setelah

memilih Johannes

Thedenssebagai

penggantinya sampai van Imhoff sudah kembali. Pada tanggal 25 Januari 1742 dia mendarat di Cape Town tetapi ditangkap dan diselidiki oleh Gubernur Hendrik Swellengrebel atas perintah Heeren XVII. Valckenier dikirim kembali ke Batavia pada bulan Agustus 1742, di mana ia dipenjarakan di Benteng Batavia, dan tiga bulan kemudian, digugat atas beberapa tuntutan, termasuk keterlibatannya dalam Geger Pacinan. Pada bulan Maret 1744, ia dinyatakan bersalah dan dituntut dengan hukuman mati dan harta bendanya disita. Pada bulan Desember 1744, kasus tersebut dibuka kembali setelah Valckenier membuat pernyataan yang panjang untuk membela dirinya. Valckenier meminta lebih banyak bukti dari Belanda, tetapi meninggal dunia dalam kurungan pada tanggal 20 Juni 1751, sebelum penyelidikan diselesaikan. Hukuman mati dibatalkan pada tahun 1755. Vermeulen berpendapat bahwa penyeledikan Valckenier tidak adil dan dipicu oleh amarah masyarakat di Belanda. Ini mungkin diakui secara resmi, sebab pada tahun 1760, putra Valckenier, Adriaan Isaäk Valckenier, mendapatkan ganti rugi sebanyak 725.000 gulden. Produksi gula di daerah Batavia turun secara drastis setelah pembantaian, sebab banyak orang Tionghoa yang dulu mengurus industri tersebut sudah terbunuh atau hilang. Industri tersebut mulai berkembang lagi setelah Gubernur Jenderal van Imhoff "mengkolonisasi" Tangerang. Awalnya dia bermaksud agar orang yang berasal dari Belanda untuk bertani di sana; dia berpendapat bahwa orang Belanda yang sudah ada di Batavia adalah orang malas. Namun, dia tidak bisa menarik orang baru karena pajak di Hindia Belanda sangat tinggi, maka dia terpaksa menjual tanah kepada orang Belanda 7

yang ada di Batavia. Pemilik tanah baru ini tidak berkenan untuk mengerjakan tanah tersebut, maka mereka menyewakan tanah itu kepada orang Tionghoa. Produksi meningkat setelah itu, tetapi baru pada dekade 1760-an produksi ada pada tingkat yang sama dengan tahun 1740; setelah itu, produksi mulai berkurang lagi. Jumlah pabrik gula juga berkurang. Pada tahun 1710 terdapat 131 buah, tetapi pada tahun 1750 jumlahnya hanya 66 buah. Vermeulen menyebut pembantaian ini sebagai "salah satu peristiwa dalam kolonialisme [Belanda] pada abad ke-18 yang paling menonjol". Dalam disertasinya, W. W. Dharmowijono menyatakan bahwa kejadian mempunyai peran besar dalam sastra Belanda. Sastra ini muncul dengan cepat; Dharmowijono mencatat adanya sebuah puisi oleh Willem van Harenyang mengkritik pembantaian ini (dari tahun 1742) dan sebuah puisi anonim, dari periode yang sama, yang mengkritik orang Tionghoanya. Raffles menulis pada tahun 1830 bahwa catatan historis Belanda "jauh dari lengkap atau memuaskan". Sejarawan asal Belanda Leonard Blussé menulis bahwa Geger Pacinan secara tidak langsung membuat Kota Batavia berkembang pesat, tetapi membuat ketegangan antara etnis Tionghoa dan pribumi yang masih terasa hingga akhir abad ke-20.Pembantaian ini mungkin juga menjadi asal nama beberapa daerah di Jakarta. Salah satunya namaTanah Abang (yang berarti "tanah merah")

dinamakan dari darah orang Tionghoa yang

dibunuh di sana.Nama Rawa Bangke mungkin diambil dari kata bangkai, karena jumlah orang Tionghoa yang dibunuh di sana;dan juga Angke (Bangkai) di Tambora, Jakarta Barat.

8

B.Pemberontakan Pangeran Mangkubumi dan RM Said  Kanjeng

Tuduhan terhadap RM Said Gusti

Pangeran

Sambernyawa alias Raden

Mas

Adipati

Arya

Said(lahir

Mangkunegara

di Kraton

I alias Pangeran

Kartasura, 7

April 1725 –

meninggal di Surakarta, 28 Desember 1795 pada umur 70 tahun) adalah pendiri Praja Mangkunegaran, sebuah kadipaten agung di wilayah Jawa Tengah bagian timur, dan Pahlawan Nasional Indonesia. Ayahnya bernama Pangeran Arya Mangkunegara Kartasura dan ibunya bernama R.A. Wulan. Julukan Pangeran Sambernyawa diberikan oleh Nicolaas Hartingh, gubernur VOC, karena di dalam peperangan RM. Said selalu membawa kematian bagi musuhmusuhnya. Ia menikah dengan seorang wanita petani bernama Rubiyah, yang terkenal dengan julukannya "Matah Ati" Pada Usia 14 tahun dia diangkat sebagai gadek keratin(pegawai rendahan di istana) dan diberi gelar R.M.Ng. Suryokusumo.Karena sudah berpengalaman dia megajukan permohonan kenaikan pangkat.Atas tindakannya ini dia mendapat cercaan dan hinaan dari keluarga kepatihan ,bahkan dikait-kaitkan dengan pemberontakan cina yang terjadi saat itu.R.M. Said merasa sakit hati dengan sikap tersebut.Muncullah niatnya untuk memberontak terhadap VOC yang saat itu telah membuat kerajaan kacau karena banyak kaum bangsawan yang bersekutu dengan VOC. Ia diikuti R. Sutawijaya dan Suradiwangsa (Kiai Kudanawarsa) pergi keluar kota untuk menyusun kekuatan.Dari Nglaroh perlawanan dimulai dan dia diangkat sebagai raja oleh pengikutnya. 

Pemberontakan R.M. Said

Perjuangan RM Said dimulai bersamaan dengan pemberontakan laskar Tionghoa di Kartosuro pada 30 Juni 1742 yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi (juga disebut "Sunan Kuning"), mengakibatkan tembok benteng kraton Kartasura setinggi 4 meter roboh. Pakubuwono II, Raja Mataram ketika itu melarikan diri ke Ponorogo. ketika itu RM Said berumur 19 tahun. Dia bergabung bersama-sama untuk menuntut keadilan dan 9

kebenaran atas harkat dan martabat orang orang Tionghoa dan rakyat Mataram, yang ketika itu tertindas oleh Kumpeni Belanda (VOC) dan Rajanya sendiri Pakubuwono II.Geger pecinan ini berawal dari pemberontakan orang-orang Cina terhadap VOC di Batavia. Kemudian mereka menggempur Kartasura,yang dianggap sebagai kerajaan boneka dari Belanda. Sejak Pasukan Cina mengepung kartasura pada awal 1741, para bangsawan mulai meninggalkan Kraton Kartasura. RM Said membangun pertahanan di Randulawang, sebelah utara Surakarta, Ia bergabung dengan laskar Sunan Kuning melawan VOC. Said diangkat sebagai panglima perang bergelar Pangeran Perang Wedana Pamot Besur. Ia menikah dengan Raden Ayu Kusuma Patahati. Adapun Pangeran Mangkubumi justru lari ke Semarang, menemui penguasa Belanda dan meminta dirinya dirajakan. VOC menolak permintaan itu. Ia kemudian bergabung dengan Puger di Sukowati. Berkat bantuan Belanda, pasukan Cina diusir dari Istana Kartasura, enam bulan kemudian, Paku Buwono II kembali ke Kartasura mendapatkan istananya rusak. Ia memindahkan Istana Mataram ke Solo (Surakarta). Kebijakan raja meminta bantuan asing itu, ternyata harus dibayar mahal. Wilayah pantai utara mulai Rembang, Jawa Tengah, hingga Pasuruan, Surabaya dan Madura di Jawa Timur harus diserahkan kepada VOC. Setiap pengangkatan pejabat tinggi Keraton wajib mendapat persetujuan dari VOC. Posisi raja tak lebih dari Leenman, atau “Peminjam kekuasaan Belanda”. Pangeran Mangkubumi, akhirnya kembali ke Keraton. 

Perlawanan Pangeran Mangkubumi terhadap R.M. Said

Sekitaran tahun 1742, istana Kartasura diserbu oleh orang-orang Cina yang notabene dicap sebagai pemberontak. Hal ini membuat Pakubuwono II terpaksa memindahkan ibukota kerajaan ke Surakarta. Sementara, pemberontakan tersebut berhasil dibumi hanguskan oleh VOC dibantu Cakraningrat IV dari Madura.

Sisa-sisa pemberontak yang berada di bawah pimpinan Raden Mas Said (Keponakan Pakubuwono II dan Pangeran Mangkubumi) berhasil menguasai Sukawati. Selayaknya aturan di masa itu, Pakubuwono II lantas membuat sayembara "barang siapa bisa merebut Sukawati kembali akan diimbali tanah Sukowati.Pangeran Mangkubumi pun ingin mencoba dan menakar Seberapa jauh kejujuran dan komitmen Pakubuwana II

10

,pada 1746, Raden Mas Said dan pasukan berhasil dikocar-kacirkan oleh Mangkubumi. Sebagaimana perjanjiannya, Mangkubumi meminta haknya atas tanah seluas 3.000 cacah tersebut. Namun, Patih Pringgalaya menghasut Pakubuwono II untuk membatalkan janjinya. Kondisi ini makin diperkeruh oleh kedatangan Baron van Imhoff (Gubernur Jenderal VOC kala itu) yang mendesak Pakubuwono II untuk mengizinkannya menyewa kawasan pesisir kepada VOC dengan harga 20 ribu real sebagai bentuk pelunasan hutang keratin terhadap Belanda.

Mangkubumi tidak setuju dengan hal ini. Akibatnya mereka pun berseteru. Puncaknya, terjadi kala Baron van Imhoff menghina Pangeran Mangkubumi di muka umum. Jelas, hal tersebut telah mencoreng mukanya.Pangeran Mangkubumi segera meninggalkan istana dan mengambil keputusan untuk melawan VOC. 

Kerjasama pangeran Mangkubumi dan R.M. Said

Pangeran Mangkubumi dan pengikutnya pertama kali pergi ke Sukowati menemui R.M. Said dan kedua pihak bersepakat melawan VOC.Untuk memperkuat ikatan mereka, R.M. Said pada usia 22 tahun, dinikahkan untuk kedua kalinya dengan Raden Ayu Inten, Puteri Mangkubumi. Mereka kemudian sepakat membagi wilayah perjuangan.R.M. Said di bagian timur (Surakarta ke selatan terus ke Madiun,Ponorogo dan pusatnya Sukowati).Mangkubumi di bagian barat Surakarta dengan pusat di Hutan Beringin dan Desa Pacetokan, dekat Pleret (sekarang termasuk Yogyakarta). Selang setahun berikutnya, tepatnya pada 1947, pecahlah perang saudara antara kubu Pakubuwono II yang didukung Belanda dengan kubu Pangeran Mangkubumi bersama Raden Mas Said. Dalam catatan sejarah Indonesia, perang ini dikenal sebagai Perang Suksesi Jawa III. Diperkirakan Pangeran Mangkubumi memiliki kekuatan mencapai 13 ribu pasukan.Saat melawan Mataram dan Belanda secara bergerilya, Mangkunegara harus berpindah-pindah tempat. Ketika berada di pedalaman Yogyakarta ia mendengar kabar bahwa Paku Buwono II wafat. Ia menemui Mangkubumi, dan meminta mertuanya 11

itu bersedia diangkat menjadi raja Mataram. Mangkubumi naik tahta di Mataram Yogyakarta dengan gelar Kanjeng Susuhunan Pakubuwono Senopati Ngaloka Abdurrahman Sayidin Panotogomo. Penobatan ini terjadi pada “tahun Alip” 1675 (Jawa) atau 1749 Masehi. Mangkunegoro diangkat sebagai Patih –perdana menteri– sekaligus panglima perang dan istrinya, Raden Ayu Inten, diganti namanya menjadi Kanjeng Ratu Bandoro. Dalam upacara penobatan itu, Mangkunegara berdiri di samping Mangkubumi. Dengan suara lantang ia berseru, “Wahai kalian para Bupati dan Prajurit, sekarang aku hendak mengangkat Ayah Pangeran Mangkubumi menjadi raja Yogya Mataram. Siapa dia antara kalian menentang, akulah yang akan menghadapi di medan perang” meski demikian, pemerintahan Mataram Yogyakarta berpusat di Kotagede itu tidak diakui Belanda. Setelah selama sembilan tahun berjuang bersama melawan kekuasaan Mataram dan VOC, Mangkubumi dan Mangkunegara berselisih paham, pangkal konflik bermula dari wakatnya Paku Buwono II. Raja menyerahkan tahta Mataram kepada Belanda. Pangeran Adipati Anom, putera Mahkota Paku Buwono II, dinobatkan sebagai raja Mataram oleh Belanda, dengan gelar Paku buwuno III, pada akhir 1749 sesuai dengan perjanjian yang sebelumnya telah disepakati. RM Said berperang sepanjang 16 tahun melawan kekuasaan Mataram dan Belanda. Selama tahun 1741-1742, ia memimpin laskar Tionghoa melawan Belanda. Kemudian bergabung dengan Pangeran Mangkubumi selama sembilan tahun melawan Mataram dan Belanda, 1743-1752. 

Perselisihan kembali Pangeran Mangkubumi dan RM Said

Pada 1752, Mangkubumi berselisih dengan Raden Mas Said. Sehingga, keduanya kemudian jalan sendiri-sendiri. Mangkubumi sendiri kemudian mencari VOC untuk diajak bersatu melawan Raden Mas Said, yang lantas diterima tanggal 1754. Di sinilah, terjadi kesepakatan antara Mangkubumi dengan pihak VOC yang diwakilkan oleh Nicolaas Hartingh. Dalam kesepakatan itu disepakati jika VOC membantu Mangkubumi menumpas Raden Mas Said, Mangkubumi akan mendapatkan setengah dari wilayah kerajaan Pakubuwono III. Sementara daerah pesisir akan dikuasai VOC dengan harga 20 ribu real - dibagi dua antara Mangkubumi dengan Pakubuwono III masing-masing mendapat 10 ribu real. Pada 13 Februari 1755, ditandatanganilah perjanjian Giyanti 12

yang

membagi

wilayah

kerajaan

Pakubuwono

III

menjadi

dua.

Sejak kesepakatan itu, Yogyakarta menjadi sebuah kerajaan sendiri yang berdaulat. Di mana, Pangeran Mangkubumi didaulat menjadi raja yang bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I. Perjanjian Giyanti pada 13 Februari1755, sebagai hasil rekayasa Belanda berhasil membelah

bumi

Mataram

menjadi

dua, Surakarta dan Yogyakarta,

merupakan

perjanjian yang sangat ditentang oleh RM Said karena bersifat memecah belah rakyat Mataram. Selanjutnya,

ia

berjuang

sendirian

memimpin

pasukan

melawan

dua

kerajaan Pakubuwono III & Hamengkubuwono I (yaitu P. Mangkubumi, pamannya sekaligus mertuanya yang dianggapnya berkhianat dan dirajakan oleh VOC), serta pasukan Kumpeni (VOC), pada tahun 1752-1757. Selama kurun waktu 16 tahun, pasukan Mangkoenagoro melakukan pertempuran sebanyak 250 kali. Dalam membina kesatuan bala tentaranya, Said memiliki motto tiji tibèh, yang merupakan kependekan dari mati siji, mati kabèh; mukti siji, mukti kabèh (gugur satu, gugur semua; sejahtera satu, sejahtera semua). Dengan motto ini, rasa kebersamaan pasukannya terjaga. Tiga pertempuran dahsyat terjadi pada periode 1752-1757.Ia dikenal sebagai panglima perang yang berhasil membina pasukan yang militan. Dari sinilah ia dijuluki “Pangeran Sambernyawa”, karena dianggap oleh musuh-musuhnya sebagai penyebar maut. Kehebatan Mangkunegoro dalam strategi perang bukan hanya dipuji pengikutnya melainkan juga disegani lawannya. Tak kurang dari Gubernur Direktur Jawa, Baron van Hohendorff, yang berkuasa ketika itu, memuji kehebatan Mangkunegoro. “Pangeran yang satu ini sudah sejak mudanya terbiasa dengan perang dan menghadapi kesulitan. Sehingga tidak mau bergabung dengan Belanda dan keterampilan perangnya diperoleh selama pengembaraan di daerah pedalaman. 1. Yang

pertama,

pasukan

pasukan Mangkubumi (Sultan

Said

bertempur

Hamengkubuwono

melawan I)

di

desa Kasatriyan, barat daya kota Ponorogo, Jawa Timur. Perang itu 13

terjadi pada hari Jumat Kliwon, tanggal 16 Syawal “tahun Je” 1678 (Jawa) atau 1752 Masehi. Desa Kasatriyan merupakan benteng pertahanan Said setelah berhasil menguasai daerah Madiun, Magetan, dan Ponorogo. 2. Yang kedua, Mangkoenagoro bertempur melawan dua detasemen VOC dengan komandan Kapten Van der Pol dan Kapten Beiman di sebelah selatan negeri Rembang, tepatnya di hutan Sitakepyak Sultan mengirim pasukan dalam jumlah besar untuk menghancurkan pertahanan Mangkunegoro. Besarnya pasukan Sultan itu dilukiskan Mangkunegoro “bagaikan semut yang berjalan beriringan tiada putus”. Kendati jumlah pasukan Mangkunegoro itu kecil, ia dapat memukul mundur musuhnya. Ia mengklaim cuma kehilangan 3 prajurit tewas dan 29 menderita luka. Di pihak lawan sekitar 600 prajurit tewas. Perang besar yang kedua pecah di hutan Sitakepyak, sebelah selatan Rembang, yang berbatasan dengan Blora, Jawa Tengah (Senin Pahing, 17 Sura, tahun Wawu 1681 J / 1756 M).Pada pertempuran ini, Mangkunegoro berhasil menebas kepala kapten Van der Pol dengan tangan kirinya dan diserahkan kepada salah satu istrinya sebagai hadiah perkawinan. 3. Yang ketiga, penyerbuan benteng Vredeburg Belanda dan keraton Yogya-Mataram (Kamis 3 Sapar, tahun Jumakir 1682 J / 1757 M).Peristiwa itu dipicu oleh kekalutan tentara VOC yang mengejar Mangkunegara sambil membakar dan menjarah harta benda penduduk desa. Mangkunegoro murka. Ia balik menyerang pasukan VOC dan Mataram. Setelah memancung kepala Patih Mataram, Joyosudirgo, secara diam-diam Mangkunegara membawa pasukan mendekat ke Keraton Yogyakarta. Benteng VOC, yang letaknya cuma beberapa puluh meter dari Keraton Yogyakarta, diserang. Lima tentara VOC tewas, ratusan lainnya melarikan diri ke Keraton Yogyakarta. Selanjutnya pasukan Mangkunegoro menyerang Keraton Yogyakarta. Pertempuran ini berlangsung sehari penuh Mangkunegoro baru menarik

mundur

pasukannya

menjelang

malam.

Serbuan 14

Mangkunegoro ke Keraton Yogyakarta mengundang amarah Sultan Hamengku Buwono I. Ia menawarkan hadiah 500 real, serta kedudukan sebagai bupati kepada siapa saja yang dapat menangkap Mangkunegara. Sultan gagal menangkap Mangkunegoro yang masih keponakan dan juga menantunya itu. VOC, yang tidak berhasil membujuk Mangkunegoro ke meja perundingan, menjanjikan hadiah 1.000 real bagi semua yang dapat membunuh Mangkunegoro. 

Perjanjian Salatiga

Tak seorang pun yang berhasil menjamah Mangkunegara (R.M. Said). Melihat kenyataan tersebut, Nicholas Hartingh, pemimpin VOC di Semarang, mendesak Sunan Paku Buwono III meminta Mangkunegara ke meja perdamaian. Sunan mengirim utusan menemui Mangkunegoro, yang juga saudara sepupunya. Mangkunegara menyatakan bersedia berunding dengan Sunan, dengan syarat tanpa melibatkan VOC. Singkatnya, Mangkunegara menemui Sunan di Keraton Surakarta dengan dikawal 120 prajuritnya. Sunan memberikan dana bantuan logistik sebesar 500 real untuk prajurit Mangkunegara.Akhirnya, terjadilah perdamaian dengan Sunan Pakubuwana III yang diformalkan dalam Perjanjian Salatiga, 17 Maret 1757. Pertemuan berlangsung di Desa Jemblung, Wonogiri. Sunan memohon kepadanya agar mau membimbingnya. Sunan menjemput Mangkunegara di Desa Tunggon, sebelah timur Bengawan Solo. Untuk menetapkan wilayah kekuasaan Said, dalam perjanjian yang hanya melibatkan Sunan Paku Buwono III, dan saksi utusan Sultan Hamengku Buwono I dan VOC ini, disepakati bahwa Said diangkat sebagai Adipati Miji alias mandiri. Walaupun hanya sebagai adipati, kedudukan hukum mengenai Mangkunegara I (nama kebesarannya), tidaklah sama dengan Sunan yang disebut sebagai Leenman sebagai penggaduh, peminjam kekuasaan dari Kumpeni, melainkan secara sadar sejak dini ia menyadari sebagai "raja kecil", bahkan tingkah lakunyapun menyiratkan bahwa "dia adalah raja di Jawa Tengah yang ke-3". demikian kenyataannya Kumpeni pun memperlakukannya sebagai raja ke III di Jawa Tengah, selain Raja I Sunan dan Raja II Sultan.

15

Ia

memerintah

di

wilayah Kedaung, Matesih, Honggobayan, Sembuyan, Gunung

Kidul, Pajang sebelah utara dan Kedu. Akhirnya, Mangkunegara mendirikan istana di pinggir Kali Pepe pada tanggal 4 Jimakir 1683 (Jawa), atau 1756 Masehi. Tempat itulah yang hingga sekarang dikenal sebagai Istana Mangkunegaran.

16

PENUTUP 

Kesimpulan “Pemberontakan etnis Cina pada masa VOC”

Etnis Tionghoa merupakan bukan peduduk pribumi pada saat itu.Namun, karena merekalah perokonomian pada saat itu menjadi lebih baik karena sebagian dari mereka adalah pedagang.Walaupun VOC mendiskriminasi dan telah membuat suku pribumi pada masa itu memusuhi etnis Tionghoa.Perlawanan etnis Tionghoa terhadap VOC tidak padam, bahkan hingga meluas kedaerah lain dan menimbulkan perlawanan diberbagai daerah. 

Kesimpulan “Perlawanan Pangeran Mangkubumi dan R.M. Said”

Intervensi politik VOC pada kerajaan Mataram membuat beberapa tokoh seperti R.M. Said dan Pangeran Mangkubumi melakukan pemberontakan.Namun,pada akhirnya pemberontakan mereka berhenti akibat Belanda membagi-bagikan kekuasaan kerajaan Mataram. Kerajaan Mataram yang dahulu satu terpecah menjadi tiga dikarenakan akibat dari politik VOC yaitu Devide et Impera.

17

DAFTAR PUSTAKA    

http://id.wikipedia.org/wiki/Geger_Pacinan http://id.wikipedia.org/wiki/Mangkunegara_I http://www.dbiografi.com/2014/04/biografi-pangeran-mangkubumi.html Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2014. Sejarah Indonesia SMA/MA/SMK/MAK kelas XI semester 1.Jakarta : Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

18

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF