pembahasan cbt

February 4, 2018 | Author: stephaniedian | Category: Urinary Tract Infection, Medical Specialties, Clinical Medicine, Diseases And Disorders, Cancer
Share Embed Donate


Short Description

jdjsdjjsbdvjsdkadjidsfhhfvbjks...

Description

PEMBAHASAN TO 2 OPTIMAPREP BATCH II UKMPPD 2015 dr. Widya, dr. Cemara, dr. Yolina, dr. Retno, dr. Yusuf, dr. Reza

OFFICE ADDRESS: Jl padang no 5, manggarai, setiabudi, jakarta selatan (belakang pasaraya manggarai) phone number : 021 8317064 pin BB 2A8E2925 WA 081380385694

Medan : Jl. Setiabudi no. 65 G, medan Phone number : 061 8229229 Pin BB : 24BF7CD2 www.Optimaprep.Com

ILMU PENYAKIT DALAM

Suspek TB paru Pemeriksaan dahak sewaktu-pagi-sewaktu BTA: + + + / + + -

BTA: + - -

BTA: - - -

Antibiotik spektrum luas, nonOAT, nonkuinolon Tidak ada perbaikan Foto toraks & pertimbangan dokter

ada perbaikan

Pemeriksaan dahak mikroskopis BTA: ≥ 1+

BTA: - - -

Foto toraks & pertimbangan dokter

TB

Bukan TB Pelatihan DOTS. Departemen Pulmonologi & Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI; 2008.

1-3. Tuberkulosis Tipe Pasien

Definisi

Baru

Belum pernah/sudah pernah OAT 1 bulan, tidak mengambil obat ≥2 bulan

Gagal

Telah berobat tapi BTA tetap + pada akhir bulan ke-5

Kronik

BTA + dengan OAT kategori 2

Bekas TB

BTA -, Ro: tidak aktif

Paduan Obat

Tipe Pasien

Kategori 1: 2RHZE/4(RH)3

Pasien baru, TB paru BTA (-), TB ekstra paru.

Kategori 2 2RHZES/RHZE/5(RHE)3

Kambuh, gagal, default/drop out

Kategori anak 2RHZ/4RH

Anak dengan skor TB ≥6

Profilaksis anak 6INH 5-10 mg/kgBB

Anak dengan kontak penderita TB BTA (+)

1-3. Tuberkulosis • Menurut PDPI: – pengobatan pasien kasus kambuh adalah dengan memberikan OAT kategori 2 (2RHZES/1RHZE) sebelum ada hasil uji resistensi. – Kemudian, fase lanjutan diberikan sesuai hasil uji resistensi. Bila tidak tersedia hasil uji resistensi, maka dapat diberikan RHE selama 5 bulan

• Untuk pemantauan pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak 2 kali (sewaktu, pagi). Bila salah satu/keduanya (+), maka hasil dinyatakan BTA (+) Tipe pasien TB Pasien baru BTA (+), OAT kategori 1

Waktu Periksa Akhir tahap intensif Sebulan sebelum akhir atau di akhir pengobatan

Pasien baru BTA (-) & Roentgen (+) dengan OAT kategori 1 Penderita baru BTA (+), dengan pengobatan ulang OAT kategori 2

Akhir intensif

Akhir intensif

Sebulan sebelum akhir atau di akhir pengobatan

Hasil BTA

Tindak Lanjut

(-)

Tahap lanjutan dimulai

(+)

OAT sisipan 1 bulan, jika masih (+) tahap lanjutan tetap diberikan

(-)

Sembuh

(+)

Gagal, mulai OAT kategori 2

(-)

Berikan pengobatan tahap lanjutan s.d. selesai, kemudian pasien dinyatakan pengobatan lengkap

(+)

Ganti dengan kategori 2 mulai dari awal

(-)

Teruskan pengobatan dgn tahap lanjutan

(+)

OAT sisipan 1 bulan, jika masih (+) tahap lanjutan tetap diberikan. Uji resistensi.

(-)

Sembuh

(+)

Belum ada obat, disebut kasus kronk. Rujuk.

Pelatihan DOTS. Departemen Pulmonologi & Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI; 2008.

Tindakan pada pasien yang putus berobat kurang dari 1 bulan Lacak pasien, diskusikan apa penyebab berobat tidak teratur, lanjutkan dosis sampai selesai

Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1-2 bulan Tindakan 1 • Lacak pasien, diskusikan & temukan apa masalahnya • Periksa SPS

Tindakan 2

Bila hasil BTA (-) atau TB ekstra paru

Lanjutkan pengobatan sampai seluruh dosis selesai

Bila 1 atau lebih hasil BTA (+)

Lama pengobatan Lanjutkan pengobatan sebelumnya < 5 sampai seluruh dosis bulan selesai & periksa dahak 1 bulan sebelum selesai. Lama pengobatan Kategori 1: mulai kategori 2 sebelumnya > 5 Kategori 2: rujuk, mungkin bulan kasus kronik

Tindakan pada pasien yang putus berobat lebih dari 2 bulan (default) • Lacak pasien, diskusikan & temukan apa masalahnya • Periksa SPS

Bila hasil BTA (-) atau TB ekstra paru

Pengobatannya dihentikan, pasien diobservasi bila gejala semakin parah perlu dilakukan pemeriksaan kembali (SPS atau biakan)

Bila 1 atau lebih hasil BTA (+)

Sebelumnya kategori 1: mulai kategori 2 Sebelumnya kategori 2: rujuk, mungkin kasus kronik

Jika memungkinkan seharusnya diperiksa uji resistensi terhadap OAT Pelatihan DOTS. Departemen Pulmonologi & Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI; 2008.

4. Anemia Hemolitik



Sebagian besar anemia hemolitik berhubungan dengan sedikit gejala/tanda yang spesifik. Pada kasus hemolisis intravaskular akut dapat timbul gejala demam, menggigil, dan low back pain. Pada hemolisis kronik dapat ditemukan splenomegali karena hiperfungsi dalam mendestruksi eritrosit di limpa.

4. Anemia Hemolitik

Pada hemolisis intravaskular terdapat hemoglobinemia, hemoglobinuria, dan hemosiderinuria, sedangkan pada hemolisis ekstravaskular tidak ada.

4. Anemia Hemolitik

IgM berbentuk pentamer besar sehingga mengikat eritrosit lebih banyak dan mengakibatkan aglutinasi (Gambar kiri), sedangkan IgG tidak menimbulkan aglutinasi (Gambar kanan).

4. Anemia Hemolitik

5. Infeksi Infection through the mucosa or wounded skin

Proliferate in the bloodstream or extracellularly within organ

Disseminate hematogenously to all organs

Multiplication can cause: • Hepatitis, jaundice, & hemorrhage in the liver • Uremia & bacteriuria in the kidney • Aseptic meningitis in CSF & conjunctival or scleral hemorrhage in the aqueous humor • Muscle tenderness in the muscles Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed.

5. Infeksi • Anicteric leptospirosis (90%), follows a biphasic course: – Initial phase (4–7 days): • sudden onset of fever, • severe general malaise, • muscular pain (esp calves), conjunctival congestion, • leptospires can be isolated from most tissues.

– Two days without fever follow. – Second phase (up to 30 days): • leptospires are still detectable in the urine. • Circulating antibodies emerge, meningeal inflammation, uveitis & rash develop.

– Therapy: • Doxycycline (100 mg PO bid) or • Amoxicillin (500 mg PO tid) or • Ampicillin (500 mg PO tid)

• Icteric leptospirosis or Weil's disease (10%), monophasic course: – Prominent features are renal and liver malfunction, hemorrhage and impaired consciousness, – The combination of a direct bilirubin < 20 mg/dL, a marked  in CK, &  ALT & AST 2 hari disertai sakit kepala, mialgia, arthralgia, manifetasi perdarahan, trombositopenia

6. Hipertensi • Beta bloker tidak boleh diberikan untuk pasien asma karena menurunkan volume ekspirasi paksa & respons obat bronkodilator. • ACE inhibitor sebaiknya dihindari karena memiliki efek samping menginduksi batuk dan bronkospasme yang diakibatkan oleh penumpukan kinin di jaringan paru. • Calcium antagonist tidak memiliki efek samping yang mengganggu saluran napas & memiliki sedikit efek menurunkan reaktivitas bronkus  boleh untuk asma.

7. Aritmia

7. Aritmia •

Mobitz tipe II – Biasanya disebabkan oleh kegagalan konduksi di level sistem His-Purkinje (di bawah AV node). – Mobitz II cenderung disebabkan oleh kerusakan struktur sistem konduksi (infark, fibrosis, nekrosis).



Penyebab: – – – – – – – –

Infark miokard anterior (infarks septal dengan nekrosis bundle branches). Fibrosis idiopatik sistem konduksi (penyakit Lenegre Lev). Operasi jantung (terutama operasi yang dekat septum: mitral valve repair) Inflamasi (demam reumatik, miokarditis, penyakit Lyme). Autoimun (SLE, sklerosis sistemik). Penyakit infiltrasi miokard (amiloidosis, hemokromatosis, sarkoidosis). Hiperkalemia. Obat: beta-bloker, calcium channel bloker, digoksin, amiodarone.

7. Aritmia • Mobitz tipe I (fenomena Wenkebach) – Biasanya disebabkan oleh blokade konduksi yang reversibel di level AV node. – Sel AV node yang malfungsi cenderung mengalami lelah yang progresif hingga tidak mampu melanjutkan impuls. Beda dengan sel his-sistem Purkinje yang gagal tiba-tiba (Mobitz tipe II).

• Penyebab – – – – –

Obat: beta-blockers, calcium channel blockers, digoxin, amiodarone Increased vagal tone (c/: atlet) Infark miokard inferior Miokarditis Operasi jantung (mitral valve repair, Tetralogy of Fallot repair)

7. Aritmia Localization of Myocard Infarction Anatomic Area

ECG Leads with ST elevation

Coronary Artery

Septal

V1-V2

Proximal LAD

Anterior

V3-V4

LAD

Apical

V5-V6

Distal LAD, LCx, or RCA

Lateral

I, aVL

LCx

Inferior

II, III, aVF

(RCA (85%), LCx (15%)

Right ventricle

V1-V2 & V4R

Proximal RCA

Posterior

ST depression V1-V2

RCA or LCx

7. Aritmia

• ST segment depression seen in subendocardial ischemia or infarction can take on different patterns: – The most typical being horizontal or down-sloping depression. – Up-sloping ST depression is less specific. – In exercise stress tests, horizontal or down-sloping depression of 1 mm or more (A, B, & C) or up-sloping depression of the same magnitude 80 ms beyond the J point (D) is considered positive signs of ischemia. – Up-sloping depression of less than 1 mm at 80 ms beyond the J point (E) is simply J point depression and not ST segment depression.

8. Penyakit Endokrin • Klasifikasi klinis insufisiensi adrenal: – Insufisiensi adrenal primer (Addison’s disease): gangguan pada korteks adrenal – Insufisiensi adrenal sekunder: sekresi ACTH menurun. – Insufisiensi adrenal tersier: sekresi CRH menurun.

Hiperpigmentasi daerah friksi

Hiperpigmentasi mukosa

8. Penyakit Endokrin • Krisis Adrenal = krisis Addison = krisis adrenal akut = insufisiensi adrenal akut – Definisi: kegagalan akut/mendadak korteks adrenal untuk menghasilkan kortisol yang mencukupi kebutuhan fisiologis. Dapat dipresipitasi oleh stres fisiologi pada pasien yang rentan. – Gejala/tanda: lemah, apati, anoreksia, mual/muntah, hipotensi & syok, demam, hipoglikemia – Perlu dipikirkan pada pasien dengan: • Riwayat insufisiensi adrenal • Hipopituitarism (defisiensi hormon hipofisis apapun) • Sebelumnya menggunakan steroid jangka panjang

8. Penyakit Endokrin

8. Penyakit Endokrin • Hipertiroid: mudah marah, tremor, palpitasi, diare, massa di leher. • Cushing: moon face, buffalo hump, stria, resistensi insulin, osteoporosis, imunokompromais, hipertensi. • Addison: lemah, hipotensi, ↓BB, hiperpigmentasi. • Sindrom Conn (hyperaldosteronism): hipertensi, hipernatremia, hipokalemia, ↓ akt. Renin. • Feokromositoma: sakit kepala, hipertensi, palpitasi, sudoris.

• Krisis miastenik: perburukan kelemahan otot yang berlangsung cepat pada miatenia gravis, dapat sampai gagal napas.

9. Dengue Hemorrhagic Fever

9. Dengue Hemorrhagic Fever

• Transfusi trombosit: • Hanya diberikan pada DBD dengan perdarahan masif (4-5 ml/kgBB/jam) dengan jumlah trombosit 40 °C), – sweating, – marked tachycardia often with atrial fibrillation, – nausea, vomiting, – diarrhea, – agitation, – tremulousness, & – delirium

21. Thyrotoxic Crisis • Burch & Wartofsky’s scoring system: – 45 or more is highly suggestive – 25-44 is suggestive of “impending” storm – below 25 is unlikely.

• Management: – lower circulating TH’s levels (PTU/metimazol, iodine) – block peripheral effects of circulating TH (beta-blocker, glucocorticoid) – supportive care, in order to reverse systemic – treatment of the underlying precipitating event. Thyrotoxicosis and Thyroid Storm. Endocrinol Metab Clin N Am 35 (2006) 663–686

22. Hypersensitivity Reaction

22. Hypersensitivity Reaction

22. Hypersensitivity Reaction

23. Anaphylactic Shock

World Allergy Organization anaphylaxis guidelines: Summary

23. Anaphylactic Shock

World Allergy Organization anaphylaxis guidelines: Summary

24. Hematemesis • Cirrhosis – the development of fibrosis to the point that there is architectural distortion with the formation of regenerative nodules. – This results in a decrease in hepatocellular mass, and thus function, & an alteration of blood flow.

24. Hematemesis •

Portal hypertension caused by:



Portal hypertension cause varices around the sites of portosystemic anastomoses:

–  intrahepatic resistance to the passage of blood flow through the liver due to cirrhosis & regenerative nodules –  splanchnic blood flow secondary to vasodilation within the splanchnic vascular bed.

– hemorrhoids at the anorectal junction; – esophageal varices at the gastroesophageal junction; – caput medusae at the umbilicus.

24. Hematemesis Management ABC

NGT

Bleeding evaluation. Gastric wash is still controversial, but useful in cirrhosis case to prevent encephalopathy.

Fluid rescucitation

NaCl 0,9% before PRC available Active & massive bleeding: whole blood (contain coagulation factor)

Drugs

Acid supressor: ranitidin, omeprazol IV Gastric acid may disturb coagulation process or fibrin formation.

Nutrition

Active bleeding: parenteral

Endoscopy

Diagnostic & therapeutic. Penatalaksanaan kedaruratan di bidang ilmu penyakit dalam. SIGN: Management of acute upper andlower gastrointestinal bleeding.

24. Hematemesis

25. Pseudomembranous Colitis • Clostridium difficile infection (CDI) – unique colonic disease that is acquired almost exclusively in association with antimicrobial use and the consequent disruption of the normal colonic flora.

Normal ileum

• AB associated with CDI – Clindamycin, ampicillin, & cephalosporins – The 2nd & 3rd cephalosporins, (cefotaxime, ceftriaxone, cefuroxime, and ceftazidime) – ciprofloxacin, levofloxacin, and moxifloxacin (hospital outbreak) Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. McGraw-Hill; 2011.

25. Pseudomembranous Colitis Ingestion of spores  vegetate  secrete toxins  diarrhea & pseudomembranous colitis Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. McGraw-Hill; 2011.

25. Pseudomembranous Colitis • Diagnostic criteria of CDI: – Diarrhea (3 unformed stools per 24 h for 2 days) with no other recognized cause plus – toxin A or B detected in the stool, toxin-producing C. difficile detected in the stool by PCR or culture, or pseudomembranes seen in the colon

Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. McGraw-Hill; 2011.

25. Pseudomembranous Colitis • Jika bisa, penggunaan antibiotik spektrum luas dihentikan. • Berikan terapi antibiotik untuk kolitis pseudomembran. • Tatalaksana umum: hidrasi & hindari antiperistaltik dan opiat. • Agen antiperistaltik dapat diberikan bersamaan dengan vankomisin atau metronidazol untuk kasus ringan-moderat. Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. McGraw-Hill; 2011.

26. Sindrom Metabolik

27. Hepatitis B Prophylaxis • Three IM injections of hepatitis B vaccine are recommended at 0, 1, and 6 months for pre-exposure prophylaxis against hepatitis B in settings of frequent exposure: – health workers exposed to blood; – hemodialysis patients and staff; – residents and staff of custodial institutions for the developmentally handicapped; – injection drug users; – inmates of long-term correctional facilities; – persons with multiple sexual partners; – persons such as hemophiliacs who require long-term, high-volume therapy with blood derivatives; – household and sexual contacts of HBsAg carriers; – persons living in or traveling extensively in endemic areas; – unvaccinated children under the age of 18; Harrison’s principles of internal medicine. 18th eds.

28. Penyakit Ginjal

• In nephrotic syndrome, the glomerular injury is manifested primarily as an increase in permeability of the capillary wall to protein. • By contrast, in the nephritic syndrome, there is evidence of glomerular inflammation resulting in a reduction in GFR, nonnephrotic proteinuria, edema and hypertension (secondary to sodium retention), and hematuria with RBC casts.

28. Penyakit Ginjal • Tatalaksana sindrom nefrotik: – Umum: • • • •

Suplementasi protein Diuretik untuk edema: loop diuretic (furosemid) Terapi hiperlipidemia Restriksi Na < 2 g/hari

– ACE/ARB: menurunkan proteinuria – Penyakit glomerular primer: steroid ± terapi sitotoksik – Penyakit glomerular sekunder: tatalaksana penyakit yang mendasari

Diagnosis

Characteristic

Acute glomerulonephritis

an abrupt onset of hematuria & proteinuria with reduced GFR & renal salt and water retention, followed by full recovery of renal function.

Rapidly progressive glomerulonephritis

recovery from the acute disorder does not occur. Worsening renal function results in irreversible and complete renal failure over weeks to months.

Chronic glomerulonephritis

renal impairment after acute glomerulonephritis progresses slowly over a period of years & eventually results in chronic renal failure.

Nephrotic syndrome

manifested as marked proteinuria, particularly albuminuria (defined as 24-h urine protein excretion > 3.5 g), hypoalbuminemia, edema, hyperlipidemia, and fat bodies in the urine.

Acute kidney injury

Increase in Cr by ≥0,3 mg/dL within 48 hours OR increase in Cr to ≥1,5 times baseline which is known or presume to have occured within the prior 7 days OR urine volume 20% atau derajat III > 10% atau mengenai wajah, tangan-kaki, kelamin, persendian, pernapasan

To estimate scattered burns: patient's palm surface = 1% total body surface area

Parkland formula = baxter formula http://www.traumaburn.org/referring/fluid.shtml

Total Body Surface Area

• • • •

Seluruh ekstremitas atas: 18% Seluruh wajah : 4.5% Thoraks bag.depan : 9% Sebagian punggung : 9%

40.5%

40. The Breast Tumors

Onset

Feature

Breast cancer

30-menopause

Invasive Ductal Carcinoma , Paget’s disease (Ca Insitu), Peau d’orange , hard, Painful, not clear border, infiltrative, discharge/blood, Retraction of the nipple,Axillary mass

Fibroadenoma mammae

< 30 years

They are solid, round, rubbery lumps that move freely in the breast when pushed upon and are usually painless.

Fibrocystic mammae

20 to 40 years

lumps in both breasts that increase in size and tenderness just prior to menstrual bleeding.occasionally have nipple discharge

Mastitis

18-50 years

Localized breast erythema, warmth, and pain. May be lactating and may have recently missed feedings.fever.

Philloides Tumors

30-55 years

intralobular stroma . “leaf-like”configuration.Firm, smooth-sided, bumpy (not spiky). Breast skin over the tumor may become reddish and warm to the touch. Grow fast.

Duct Papilloma

45-50 years

occurs mainly in large ducts, present with a serous or bloody nipple discharge

• Flu-like symptoms, malaise, and myalgia • Fever • Breast pain • Decreased milk outflow • Breast warmth • Breast tenderness • Breast firmness • Breast swelling • Breast erythema • Breast mass • If left untreatedbreast abscess – spontaneous drainage from the mass or nipple – PalpationFluctuation +

41. Mastectomy

Limfedema pada Kanker Payudara • Sumbatan saluran limfe • Akumulasi cairan limfe di jaringan sekitar • Etiologi • • • •

Pembedahan Radiasi Infeksi Trauma

• Transportasi cairan limfe terganggu • Saluran limfe rusak secara fisik karena operasi • Kompresi saluran limfe karena perubahan saat radiasi dan operasi • Obstruksi saluran limfe oleh tumor

• Lifetime risk

42. Peritonitis • Peritonitis – Peradangan dari peritoneum – Disebabkan oleh infeksi bakteri atau jamur atau reaksi inflamasi peritoneum terhadap darah(pada kasus trauma abdomen)

• Jenis: – Peritonitis Primer • Disebabkan oleh penyebaran infeksi dari peradaran darah dan pembuluh limfe ke peritoneumpenyakit hati • Cairaan terkumpul pada rongga peritoneum, menghasilkan lingkungan yang cocok untuk pertumbuhan bakteri • Jarang terjadi  kurang dari 1% dari seluruh kasus peritonitis

– Peritonitis Sekunder • Lebih sering terjadi • Terjadi ketika infeksi menyebar dari traktus bilier atau GIT http://www.umm.edu/altmed/articles/peritonitis-000127.htm#ixzz28YAqqYSG

• Peritonitis Sekunder – Bakteri, enzim, atau cairan empedu mencapai peritoneum dari suatu robekan yang berasal dari traktus bilier atau GIT • Peritonitis TB

– Robekan tersebut dapat disebabkan oleh: • • • • • •

Pancreatitis Perforasi appendiks Ulkus gaster Crohn's disease Diverticulitis Komplikasi Tifoid

Gejala dan Tanda • Distensi dan nyeri pada abdomen • Demam, menggigil • Nafsu makan berkurang • Mual dan muntah • Peningkatan frekuensi napas dan nadi • Nafas pendek • Hipotensi • Produksi urin berkurang • Tidak dapat kentut atau BAB

Tanda • BU berkurang atau absenusus tidak dapat berfungsi • Perut seperti papan • Peritonitis primerasites

TB Peritonitis clinical Gejala • Nyeri Abdomen • Demam • Batuk • Keringat malam • anorexia • fatigue • weight loss • diarrhea

Sign • Ascites • Chessboard phenomenon on abdominal percussion

TB peritonitis radiologic • Ultrasound – hiperekoik omental echogenicity – Diffuse, hypoechoic peritoneal thickening (2-6 mm) – Echogenic fibrous strands creating locculations of ascites

• Most useful for guiding biopsy

• CT Scan – Smooth, mild, non-nodular peritoneal thickening with pronounced enhancement – “Smudged” appearance of omentum (extensive stranding) – Presence of mesenteric macronodules (> 5 mm) – Splenic hypodensities and splenomegaly – Low density and/or calcified lymph nodes – Ascites may be higher density than water

Tuberculous peritonitis – Intestines floating in peritoneal fluid - ascites

Peritoneal TB CT-Scan

43. Intussusception • Sebagian usus masuk ke dalam bag. Usus yang lainobstruksi usus • Bayi sehat, tiba-tiba menangis kesakitan(crying spells), nyeri, Lethargy • Pada kuadran kanan atas teraba massa berbentuk sosis dan kekosongan pada kuadran kanan bawah (Dance sign) • Usia 6 - 12 bulan • Biasanya jenis kelamin laki-laki • lethargy/irritability • Portio-like on DRE

Triad: • vomiting • abdominal pain • colicky, severe, and intermittent,drawing the legs up to the abdomen,kicking the air, In between attacks, calm and relieved • blood per rectum /currant jelly stool http://bestpractice.bmj.com/best-practice/monograph/679/highlights/overview.html

PART OF THE INTESTINE FOLDS ON ITSELF LIKE A TELESCOPE

Etiologi • 90% Idiopatik – Belum dapat dipastikan, namun diperkirakan penyebabnya adalah virus ( Anomalies with peristalsis)

• 10% Patologis – Polyp, tumour or other mass within the intestinal tract is caught by the normal contractions, creating a “lead point” which pushes along causing the intussusception Anne Connell

Radiologic signs • Ultrasound signs include: – target sign /doughnut sign) – pseudokidney sign – crescent in a doughnut sign

Barium Enema • Barium Enema pemeriksaan gold standar • intussusception as an occluding mass prolapsing into the lumen, giving the "coiled spring” appearance

Midgut volvulus Klinis • Children present with bilious emesis (93%) and less often malabsorption, failure to thrive, biliary obstruction, GERD • In adults intermittent abdominal pain (87%) and less often nausea (31%)

• Abdominal Plain Film, Upright – Dilated stomach – Distal paucity of gas

• Contrast – cork-screw appearance – small bowel on the right side of abdomen that does not cross midline

Ultrasound Whirlpool sign

http://radiologymasterclass.co.uk/tutorials/musculoskeletal/trauma/trauma_x-ray_page8.html

44. Complications of Fracture Healing

• Delayed Union

– Poor blood supply or infection.

• Non-Union – Bone loss or wound contamination. – Type: • Atrophic non-unionSuplai darah kurang, tulang mengecil, Radiologi: tampak atrofi tulang • Hypertrophic non-union suplai darah cukup sehingga dapat membentuk tulang baru, namun tidak menyatu akibat fiksasi yang tidak baik, kedua fragmen tulang, sama-sama hipertrofik (membesar • Oligotrophic non unionPosisi kedua fragmen tulang tidak baik

• Malunion – Bone healed in a nonanatomic position – Can be angulated, rotated, or shortened • Affect function? • Likely to affect function? • Consequences with or without treatment

• Fibrous Union – Improper immobilization

• Avascular necrosis (AVN) – the death of bone cells through lack of blood supply  its internal blood supply is compromised

Complications after Hand ORIF Early complications • Swelling • Pain • Joint stiffness

Late Complications • Malunion – Delayed fracture healing

• Malposition – Abnormal shape of finger

– Inability to move joints after period of immobilization

• InfectionsRare Exercise to prevent joint stiffness

Neglected Hand Fracture Complications • Infections – common if open fracture

• Synarthrosis – Fusion of joints, possible if intraarticular fracture

• Malunion – Delayed or abnormal healing due to inadequate reduction and fixation

45.Kriptorkismus • Kriptorkismus: testis tidak ada dalam skrotum dan tidak dapat dimasukkan ke skrotum • Ectopic: tidak melewati jalur turunnya testis • Retraktil: dapat dimanipulasi hingga masuk ke dalam skrotum dan dapat menetap tanpa tarikan • Gliding: dapat dimanipulasi hingga masuk ke dalam skrotum namun bila dilepas akan tertarik kembali • Ascended: sebelumnya telah ada dalam skrotum lalu tertarik ke atas secara spontan

• Gejala: – Keluhan infertilitas – benjolan di perut bagian bawah – testis tersebut dapat mengalami trauma, infeksi, torsio, atau berubah menjadi tumor testis

• Pemeriksaan Fisik: – Pada skrotum dan inguinal, teraba massa seperti benang – Jaringan ini biasanya gubernakulum atau epididimis dan vas deferens – bisa bersamaan dengan testis intraabdominal

• Testis yang tidak teraba muncul sekitar 20-30% pada pasien kriptorkismus • Hanya 20-40% dari testis yang tidak teraba, saat dioperasi benar-benar tidak ada

Testicular development and descent • 6 wk primordial germ cells migrate to genital ridge • 7 wk testicular differentiation • 8 wk testis hormonally active – Sertolis secrete MIF

• 10-11 wk Leydig cells secrete T • 10-15 wk external genital differentiation

• 5-8 wk processus vaginalis – Gubernaculum attaches to lower epididymis

• 12 wk transabdominal descent to internal inguinal ring • 26-28 wk gubernaculum swells to form inguinal canal, testis descends into scrotum • Insulin-3 (INSL3) effects gubernacular growth

Undescended Testis

A, 5th week Testis begins its primary descent; kidney ascends. B, 8th-9th weeks. Kidney reaches adult position. C, 7th month, Testis at internal inguinal ring; gubernaculum (in inguinal fold) thickens and shortens. D, Postnatal life.

149

A, Ectopic testes. Perineal ectopia not shown.

B, Undescended testes. Percentages of testes arrested at different stages of normal descent

150

Treatment • Controversial and Various guidelines • Hormonal – Spontaneous testicular descent closely related to postnatal LH and T surges – HormonhCG, GnRH, hMG, Combined (hCG & GnRH) – Timing for Hormone therapy: • In term boys, 4 mo • In premies, 6 mo • Surgery – Orchidopexy – American Academy of Pediatrics guidelines for the management of cryptorchidism recommend that orchidopexy be performed when a child is between the ages of 6 months and 1 year

http://www.aafp.org/afp/2000/1101/p203 7.html

Undescended testes: a consensus on management

Eur J Endocrinol December 1, 2008 159 S87-S90

46. Urolithiasis • Urinary tract stone disease • Signs: – – – –

Flank pain Irritative voiding symptom Nausea microscopic hematuria

• Urinary crystals of calcium oxalate, uric acid, or cystine may occasionally be found upon urinalysis • Diagnosis: IVP – Indication • Passing stone • hematuria optimized by optima

Tatalaksana Batu Ginjal

Batu Ureter

Percutaneus Nephrolithotomy

47. Humerus Fractures Proximal Humerus Fractures • Clinical Evaluation – Patients typically present with arm held close to chest by contralateral hand. Pain and crepitus detected on palpation – Careful NV exam is essential, particularly with regards to the axillary nerve. Test sensation over the deltoid. Deltoid atony does not necessarily confirm an axillary nerve injury

Humeral Shaft Fractures • Clinical evaluation – Thorough history and physical – Patients typically present with pain, swelling, and deformity of the upper arm – Careful NV exam important as the radial nerve is in close proximity to the humerus and can be injured

Humeral Shaft Fractures • Holstein-Lewis Fractures – Distal 1/3 fractures – May entrap or lacerate radial nerve as the fracture passes through the intermuscular septum

Parese N.Radialis • Defisit Motorik – Kelemahan saat supinasi – Tidak dapat ekstensi tangan dan jariwrist drop

• Defisit Sensori – Hilangnya sensasi di lengan bawah bagian posterior, the radial half of dorsum of hand, and dorsal aspect of radial 3 1⁄2 digits, excluding their nail beds.

http://emedicine.medscape.com/article/

http://en.wikipedia.org/wiki/

48-49. Male Genital Disorders Disorders

Etiology

Testicular torsion Intra/extra-vaginal torsion

Clinical Sudden onset of severe testicular pain followed by inguinal and/or scrotal swelling. Gastrointestinal upset with nausea and vomiting.

Hidrocele

Congenital anomaly, accumulation of fluids around a testicle, swollen blood blockage in the testicle,Transillumination + spermatic cord Inflammation or injury

Varicocoele

Vein insufficiency

Scrotal pain or heaviness, swelling. Varicocele is often described as feeling like a bag of worms

Hernia skrotalis

persistent patency of the processus vaginalis

Mass in scrotum when coughing or crying

Chriptorchimus

Congenital anomaly

Hypoplastic hemiscrotum, testis is found in other area, hidden or palpated as a mass in inguinal. Complication:testicular neoplasm, subfertility, testicular torsion and inguinal hernia

Torsio Testis Gejala dan tanda: • Nyeri hebat pada skrotum yang mendadak • Pembengkakan skrotum • Nyeri abdomen • Mual dan muntah • Testis terletak lebih tinggi dari biasanya atau pada posisi yang tidak biasa • Bila nyeri berkurangtanda telah terjadi nekrosis

http://emedicine.medscape.com/article/2036003-treatment#a1156

Tatalaksana Torsio Testis

• Manual detorsion

– Dapat dilakukan saat pasien di IGD dan merupakan terapi sementara – Cara manual detorsion • Seperti Opening of a book bila dokter berdiri di kaki pasien • Sebagian besar torsio testis , terpelintir kearah dalam dan medial, sehingga manual detorsion akan memutar testis kearah luar dan lateral • Bila testis kiri yang terkena, dokter memegang testis dengan ibu jari dan telunjuk kanan kemudian memutar kearah luar dan lateral 180derajat • Rotasi testis mungkin memerlukan pengulangan 2-3 kali sampai detorsi terpenuhi

– Bila berhasil (dikonfirmasi dengan USG color Doppler dan gejala yang membaik)terapi definitif masih harus dilakukan sebelum keluar dari RS

• Surgical detorsion Terapi definitif • • • •

Untuk memfiksasi testis Tetap dilakukan walaupun,manual detorsion berhasil CITO bila manual detorsion tidak berhasil dilakukan Bila testis yang terkena sudah terlihat, testis dibungkus kassa hangatuntuk memperbaiki sirkulasi dan menentukan testis masih hidup atau tidak

• OrchiectomyBila testis telah nekrosis

Epididymitis • Inflamasi dari epididimis • Bila ada keterlibatan testisepididymoorchit is • Biasanya disebabkan oleh STD • Common sexually transmitted pathogen, Chlamydia

PRESENTATION

TREATMENT

• Nyeri skrotum yang menjalar ke lipat paha dan pinggang. • Pembengkakan skrotum karena inflamasi atau hidrokel • Gejala dari uretritis, sistitis, prostatitis. • O/E tendered red scrotal swelling. • Elevation of scrotum relieves painphren sign (+)

• ORAL ANTIBIOTIC. • SCROTAL ELEVATION, bed rest,&use of NSAID. • admission & IV drugs used. • in STD treat partner. • in chronic pain do epididymectomy.

http://www.racgp.org.au/afp/2013/november/acute-scrotal-pain/

RINGDAHL ERIKA,et al. Testicular Torsion Am Fam Physician. 2006 Nov 15;74(10):1739-1743. Columbia, Missouri. In http://www.aafp.org/afp/2006/1115/p1739.html

Ultrasound • Normal: homogenous symmetric

Late ischemia/infarct: hypoechoic

Early ischemia: enlargement, no Δ echogenicity

Hemorrhage: hyperechoic areas in an infarcted testis, heterogenous, extra testicular fluids

50. Thyroid Cancer Symptoms • The most common presentation of a thyroid nodule, benign or malignant, is a painless mass in the region of the thyroid gland (Goldman, 1996). • Symptoms consistent with malignancy • • • • • •

Pain dysphagia Stridor hemoptysis rapid enlargement hoarseness optimized by optima

Faktor Risiko • Paparan radiasi pada tiroid • Age and Sex • Nodul jinakpaling sering pada wanita 20-40 years (Campbell, 1989) • 5%-10% of these are malignant (Campbell, 1989) • Laki-laki memiliki risiko lebih tinggi memiliki nodul yang ganas • Family History – History of family member with medullary thyroid carcinoma – History of family member with other endocrine abnormalities (parathyroid, adrenals) – History of familial polyposis (Gardner’s syndrome) optimized by optima

Evaluation of the thyroid Nodule (Physical Exam) •

Examination of the thyroid nodule: • consistency - hard vs. soft • size - < 4.0 cm • Multinodular vs. solitary nodule – multi nodular - 3% chance of malignancy (Goldman, 1996) – solitary nodule - 5%-12% chance of malignancy (Goldman, 1996) • Mobility with swallowing • Mobility with respect to surrounding tissues • Well circumscribed vs. ill defined borders

• •

• •

Examine for ectopic thyroid tissue Indirect or fiberoptic laryngoscopy – vocal cord mobility – evaluate airway Systematic palpation of the neck Metastatic adenopathy commonly found: – in the central compartment (level VI) – along middle and lower portion of the jugular vein (regions III and IV) and

optimized by optima

Evaluation of the Thyroid Nodule • Blood Tests



– Thyroid function tests • thyroxine (T4) • triiodothyronin (T3) • thyroid stimulating hormone (TSH)

– Serum Calcium – Thyroglobulin (TG) – Calcitonin



• USG : – 90% accuracy in categorizing nodules as solid, cystic, or mixed

Radioactive iodine – is trapped and organified – can determine functionality of a thyroid nodule – 17% of cold nodules, 13% of warm or cool nodules, and 4% of hot nodules to be malignant FNAB : Currently considered to be the best first-line diagnostic procedure in the evaluation of the thyroid nodule

(Rojeski, 1985)

– Best method of determining the volume of a nodule (Rojeski, 1985) – Can detect the presence of lymph node enlargement and calcifications

optimized by optima

Classification of Malignant Thyroid Neoplasms • Papillary carcinoma • • • •

Follicular variant Tall cell Diffuse sclerosing Encapsulated

• Medullary Carcinoma • Miscellaneous • • • •

Sarcoma Lymphoma Squamous cell carcinoma Mucoepidermoid carcinoma • Clear cell tumors • Pasma cell tumors • Metastatic

• Follicular carcinoma • Overtly invasive • Minimally invasive

• Hurthle cell carcinoma • Anaplastic carcinoma

– – – –

• Giant cell • Small cell optimized by optima

Direct extention Kidney Colon Melanoma

Well-Differentiated Thyroid Carcinomas (WDTC) Papillary, Follicular, and Hurthle cell • Pathogenesis - unknown • Papillary has been associated with the RET protooncogene but no definitive link has been proven (Geopfert, 1998)

• Certain clinical factors increase the likelihood of developing thyroid cancer • Irradiation - papillary carcinoma • Prolonged elevation of TSH (iodine deficiency) - follicular carcinoma (Goldman, 1996) – relationship not seen with papillary carcinoma – mechanism is not known

optimized by optima

WDTC - Papillary Carcinoma • 60%-80% of all thyroid cancers (Geopfert, 1998, Merino, 1991) • Histologic subtypes • Follicular variant • Tall cell • Columnar cell • Diffuse sclerosing • Encapsulated • Prognosis is 80% survival at 10 years (Goldman, 1996) • Females > Males • Mean age of 35 years (Mazzaferri, 1994)



Lymph node involvement is common – Major route of metastasis is lymphatic – Clinically undetectable lymph node involvement does not worsen prognosis (Harwood, 1978)

optimized by optima

WDTC - Follicular Carcinoma • • • • •

20% of all thyroid malignancies Women > Men (2:1 - 4:1) (Davis, 1992, De Souza, 1993) Mean age of 39 years (Mazzaferri, 1994) Prognosis - 60% survive to 10 years (Geopfert, 1994) Metastasis – angioinvasion and hematogenous spread – 15% present with distant metastases to bone and lung • Lymphatic involvement is seen in 13% (Goldman, 1996)

optimized by optima

Medullary Thyroid Carcinoma • 10% of all thyroid malignancies • 1000 new cases in the U.S. each year • Arises from the parafollicular cell or C-cells of the thyroid gland • derivatives of neural crest cells of the branchial arches • secrete calcitonin which plays a role in calcium metabolism

optimized by optima

Medullary Thyroid Carcinoma • Diagnosis • Labs: 1) basal and pentagastrin stimulated serum calcitonin levels (>300 pg/ml) 2) serum calcium 3) 24 hour urinary catecholamines (metanephrines, VMA, nor-metanephrines) 4) carcinoembryonic antigen (CEA) • Fine-needle aspiration • Genetic testing of all first degree relatives

optimized by optima

Anaplastic Carcinoma of the Thyroid • • • •

Highly lethal form of thyroid cancer Median survival 70 years) (Sou, 1996) • Mean age of 60 years (Junor, 1992) • 53% have previous benign thyroid disease (Demeter, 1991) • 47% have previous history of WDTC (Demeter, 1991)

optimized by optima

Management • Surgery is the definitive management of thyroid cancer, excluding most cases of ATC and lymphoma • Types of operations: – lobectomy with isthmusectomy • minimal operation required for a potentially malignant thyroid nodule – total thyroidectomy – • removal of all thyroid tissue • preservation of the contralateral parathyroid glands – subtotal thyroidectomy • anything less than a total thyroidectomy optimized by optima

Histologic feature Hashimoto’s thyroiditis • Tersering pada usia 45 – 65 tahun • More common in women than in man, with a female predominance of 10:1 to 20:1. • Autoimmune thyroiditis & struma lymphomatosa • Symptoms and signs – euthyroidism or hypothyroidism

Gross Findings: • Symmetric enlargement with tan yellow cut surface • Intact capsule Micro Findings: • Oxyphilic change of follicular epithelium: small & atrophic thyroid follicles with oxyphilic metaplasia of follicular cells ranging from pale pink staining cells with abundant cytoplasm to oxyphilic cells with pink granular cytoplasm. • Lymphoplasmcytic infiltration with prominent germinal centers in the stroma. • Scanty connective tissue with slightly thickening of inter-lobular septi.

Nodular goiter • Recurrent episodes of hyperplasia and involution combine to produce irregular enlargemen of the thyroid. • Hyperplasia of the thyroid gland may result from hyperstimulation by: – – – – –

TSH Ab to TSH receptor iodine deficiency goitrogens in food drugs

• Nontoxic, thyrotoxicosis • Sporadic and endemic forms, female/male:1/1.

Gross Findings: – Multilobulated, asymmetrically enlarged glands. – Cut section: irregular nodules with variable amounts of brown and gelatinous colloid.

Micro Findings: – Colloid rich follicles lined by flatten, inactive epithelium and areas of follicular epithelial hypertrophy and hyperplasia. – Degenerative changes: hemorrhage, fibrosis, calcification, and cystic.

Papillary carcinoma – Most common form of thyroid cancer. – Twenties to forties, associated with previous exposure to ionizing radiation.

Gross Findings: – Solid, firm, grayish white lobulated lesion with sclerotic center.

• Micro Findings: – Based on characteristic architecture & cytological feature. – Papillae formed by a central fibrovascular stalk & covered by neoplastic epithelial cells. – Psammoma bodies in the papillary stalk, fibrous stroma or between tumor cells. – Nuclear features: • Round to slight oval shape. • Pale, clear, empty or ground glass appearance (Orphan Annie): empty of nucleus with irregular thickened inner aspect of nuclear membrane. • Pseudo-inclusion: deep cytoplasmic invagination and result in nuclear acidophilic, inclusion-like round structures, sharply outlined and eccentric, with a crescent-shaped rim of compressed chromatin on the side. • Grooves: coffee-bean like.

51.Gastroskisis vs Omphalocele • Gastroskisis – Defek pada dinding anterior abdomen sehingga organ abdomen dapat keluar melalui defek tersebut – Tidak terdapat selaput yang melapisi dan ukuran defek biasanya kurang dari 4 cm – Defek pada dinding abdomen merupakan persambungan antara umbilikus dengan kulit – Hampir selalu terletak disebelah kanan dari umbilikus – Usus yang keluar dapat mengalami inflamasi,edema – Hal ini akan menentukan apakah reduksi dari usus ersebut dan penutupan defek dapat langsung dilakukan atau harus dilakukan dalam beberapa tahap http://www.chop.edu/service/fetal-diagnosis-and-treatment/fetal-diagnoses/gastroschisis.html

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1514688/

Treatment: • Pimary Closure – Usus dikembalikan ke dalam rongga abdomen dan defek langsung ditutup dalam satu kali operasi – Bergantung pada: • Perbandingan antara organ abdomen dan rongga abdomen • Kondisi pasien

– Komplikasiterjadi bila dipaksakan untuk melakukan primary closure • Infeksi • Abdominal compartment syndrome – respiratory compromise – hemodynamic compromise of intra-abdominal organshypoxia – Structural or functional damage to the bowel

• Staged Closure – Pendekatan bertahap untuk memperbaiki defekrata-rata 5 sampai 10 hari – a spring-loaded silastic (silicone plastic) pouch placed around the herniated bowel – The bowel is slowly and gently pushed back down into the abdomen over the course of a few days – Surgical facial repair http://neoreviews.aappublications.org/content/7/8/e419.full

• Omphalocele – Tipe lain dari defek dinding abdomenusus, hati, dsn terkadang organ lain tetap berada di luar abdomen didalam sebuah kantong karena adanya defek pada perkembangan otot dinding abdomen – Melibatkan tali pusat(umbilical cord)

• Treatment: – Operasi harus ditunda sampai bayi stabil, selama selaput ompfalokel masih intak – Small omphaloceles  repaired immediately – Larger omphaloceles  require gradual reduction by enlarging the abdominal cavity to accommodate the intestinal contents http://en.wikipedia.org/wiki

Treatment • Semua kasus anak wajib memperhatikan • Jaga stabilitas air dan elektrolit, • asam basa • dan suhu

http://neoreviews.aappublications.org/content/7/8/e419.full

Omphalocele

52. Osteosarkoma • Pemeriksaan radiologis pada daerah yang dicurigai terinfeksi, tidak menunjukkan arean radiolusen yang biasa ditemukan pd osteomielitis. • Conventional features – – – –

Destruction of normal trabecular bone pattern a mixture of radiodense and radiolucent areas periosteal new bone formation formation of Codman's triangle (triangular elevation of periosteum)

No osteoblastic appearance, fracture can be seen

Notice the osteoblasticosteolytic appearance

Codman triangles (white arrow); and the large soft tissue mass (black arrow)

Osteosarcoma of the distal femur, demonstating dense tumor bone formation and a sunburst pattern of periosteal reaction.

The Canadian Journal of Diagnosis / May 2001

Ewing SarkomaDiafisis tulang panjang

Mushroom-shaped

OsteoklastomaSoap bubble appearance

http://trauma.org

53. Burn Injury

54. Bladder Stone • Bladder calculi are usually associated with urinary stasis • Urinary infections increase the risk of stone formation • Foreign bodies (e.g. suture material) can also act as a nidus for stone formation • They can however form in a normal bladder • There is no recognized association with ureteric calculi

• •







Bladder calculi can be asymptomatic Common symptoms include – Suprapubic pain – Dysuria – Haematuria – Sometimes come with urinary retention Abdominal examination may be normal can be identified on – Plain abdominal x-ray – Bladder ultrasound – CT scan – Cystoscopy Uric acid stones are radiolucent but may have an opaque calcified layer

Etiologi • Primary vesical calculus – Develops in sterile urine – Mostly originates in the kidney symptoms of nefrolitiasis – Usually of oxalate or uric acid or urate type

• Secondary vesical calculus – Associated with infection – Mostly originates in the bladder – Mostly made up of triple phosphate

Treatment • • • •

Basically surgical Suprapubic lithotomy Cystoscopic lithotripsy If present with urinary retention, urethral catheterization.

55. Ulkus Kaki

EVALUATION CHARACTERISTICS

VENOUS

ARTERIAL

APPEARANCE

Irregular, dark pigmentation, sometimes fibrotic, granulation, usually shallow.

Irregular, smooth edge, minimum to no granulation, usually deep with a punched out appearance.

LOCATION

Distal lower leg, medial malleolus.

Distal lower leg/feet/toes, lateral malleolus, anterior tibial area.

PEDAL PULSES

Usually present.

May be diminished or absent.

PAIN

May be present. Usually improves with leg elevation.

Usually painful especially with leg elevation.

DRAINAGE

Moderate to large.

Minimal to none.

TEMPERATURE

May be increased.

May be decreased.

SKIN CHANGES

Flaking, dry, hyperpigmented.

Thin, shiny, hairless, yellow nails. 3.

Ulkus Venosus • Elevasi Kaki: – Meningkatkan venous return akibat gravitasi – Mengurangi tekanan pada jaringan – Meningkatkan aliran arteriol – Meringankan gejala insufisiensi vena (mengurangi nyeri dan pembengkakan)

56. Acute Achilles Tendon Rupture • Adults 40-50 y.o. primarily affected (M>F) • Athletic activities, usually with sudden starting or stopping • “Snap” in heel with pain, which may subside quickly

Diagnosis

• Weakness in plantarflexion • Gap in tendon • Palpable swelling • Positive Thompson test

ILMU PENYAKIT MATA

57. Trauma Mekanik Bola Mata • Cedera langsung berupa ruda paksa yang mengenai jaringan mata. • Beratnya kerusakan jaringan bergantung dari jenis trauma serta jaringan yang terkena • Gejala : penurunan tajam penglihatan; tanda-tanda trauma pada bola mata • Komplikasi :       

Endoftalmitis Uveitis Perdarahan vitreous Hifema Retinal detachment Glaukoma Oftalmia simpatetik

Panduan Tatalaksana Klinik RSCM Kirana, 2012

• Pemeriksaan Rutin :  Visus : dgn kartu Snellen/chart projector + pinhole  TIO : dgn tonometer aplanasi/schiotz/palpasi  Slit lamp : utk melihat segmen anterior  USG : utk melihat segmen posterior (jika memungkinkan)  Ro orbita : jika curiga fraktur dinding orbita/benda asing

• Tatalaksana :  Bergantung pada berat trauma, mulai dari hanya pemberian antibiotik sistemik dan atau topikal, perban tekan, hingga operasi repair

TRAUMA MATA Kondisi Akibat trauma mata Iridodialisis

known as a coredialysis, is a localized separation or tearing away of the iris from its attachment to the ciliary body; usually caused by blunt trauma to the eye

may be asymptomatic and require no treatment, but those with larger dialyses may have corectopia (displacement of the pupil from its normal, central position) or polycoria (a pathological condition of the eye characterized by more than one pupillary opening in the iris) and experience monocular diplopia, glare, or photophobia

Hifema

Blood in the front (anterior) chamber of the eyea reddish tinge, or a small pool of blood at the bottom of the iris or in the cornea. May partially or completely block vision. The most common causes of hyphema are intraocular surgery, blunt trauma, and lacerating trauma The main goals of treatment are to decrease the risk of rebleeding within the eye, corneal blood staining, and atrophy of the optic nerve.

Treatment :elevating the head at night, wearing an patch and shield, and controlling any increase in intraocular pressure. Surgery if non- resolving hyphema or high IOP Complication: rebleeding, peripheral anterior synechiea, atrophy optic nerve, glaucoma (months or years after due to angle closure)

TRAUMA MATA Kondisi Akibat trauma mata Hematoma Palpebral

Pembengkakan atau penimbunan darah di bawah kulit kelopak akibat pecahnya pembuluh darah palpebra.

Sering terlihat pada trauma tumpul kelopak. Bila perdarahan terletak lebih dalam dan mengenai kedua kelopak dan berbentuk seperti kacamata hitam yang sedang dipakai

Perdarahan Subkonjungtiva

Pecahnya pembuluh darah yang terdapat dibawah konjungtiva, seperti arteri konjungtiva dan arteri episklera. Bisa akibat dari batu rejan, trauma tumpul atau pada keadaan pembuluh darah yang mudah pecah.

Pemeriksaan funduskopi perlu dilakukan pada setiap penderita dengan perdarahan subkonjungtiva akibat trauma tumpul. Akan hilang atau diabsorbsi dengan sendirinya dalam 1 – 2 minggu tanpa diobati.

Penglihatan kabur dan terlihatnya pelangi sekitar bola lampu atau sumber cahaya yang dilihat. Kornea akan terlihat keruh dengan uji plasedo yang positif

Edema Kornea

Terjadi akibat disfungsi endotel kornea local atau difus. Biasanya terkait dengan pelipatan pada membran Descemet dan penebalan stroma. Rupturnya membran Descemet biasanya terjadi vertikal dan paling sering terjadi akibat trauma kelahiran.

Ruptur Koroid

Trauma keras yang mengakibatkan ruptur koroid  perdarahan subretina, biasanya terletak di posterior bola mata

Perdarahan subretina, visus turun dengan sangat, bila darah telah terabsorpsi maka daerah ruptur akan tampak berwarna putih (daerah sklera)

Subluksasi

Lensa berpindah tempat

Penglihatan berkurang, pada iris tampak iridodenesis (iris tampak bergetar atau bergoyang saat mata bergerak)

HIFEMA • Definisi: – Perdarahan pada bilik mata depan – Tampak seperti warna merah atau genangan darah pada dasar iris atau pada kornea

• Halangan pandang parsial / komplet • Etiologi: pembedahan intraokular, trauma tumpul, trauma laserasi

• Tujuan terapi: – Mencegah rebleeding (biasanya dalam 5 hari pertama) – Mencegah noda darah pada kornea – Mencegah atrofi saraf optik

• Komplikasi: – – – –

Perdarahan ulang Sinekiae anterior perifer Atrofi saraf optik Glaukoma

• Tatalaksana: – – – – –

Kenali kasus hifema dengan risiko tinggi bed rest & Elevasi kepala malam hari Eye patch & eye shield Mengendalikan peningkatan TIO Pembedahan bila tak ada perbaikan / terdapat peningkatan TIO – Hindari Aspirin, antiplatelet, NSAID, warfarin – Steroid topikal (dexamethasone 0.1% atau prednisolone 
acetate 1% 4x/hari) – Pertimbangkan siklopegia (atropine 1% 2x/hari, tetapi masih kontroversial). 


58. Blepharitis • Terdiri dari blefaritis anterior dan posterior • Blefaritis anterior: radang bilateral kronik di tepi palpebra – Blefaritis stafilokokus: sisik kering, palpebra merah, terdapat ulkus-ulkus kecil sepanjang tepi palpebra, bulu mata cenderung rontok  antibiotik stafilokokus – Blefaritis seboroik: sisik berminyak, tidak terjadi ulserasi, tepi palpebra tidak begitu merah – Blefaritis tipe campuran



Tx blefaritis seboroik: perbaikan hygiene mata dengan cara: – kompres hangat untuk evakuasi dan melancarkan sekresi kelenjar – tepi palpebra dicuci + digosok perlahan dengan shampoo bayi untuk membersihkan skuama – pemberian salep antibiotik eritromisin (bisa digunakan kombinasi antibioti-KS)

• • •

Blefaritis posterior: peradangan palpebra akibat difungsi kelenjar meibom bersifat kronik dan bilateral Kolonisasi stafilokokus Terdapat peradangan muara meibom, sumbatan muara oleh sekret kental

Blepharitis

Blefaritis angularis

Definisi

Gejala

Blefaritis superfisial

Infeksi kelopak superfisial yang diakibatkan Staphylococcus

Terdapat krusta dan bila Salep antibiotik menahun disertai (sulfasetamid dan dengan meibomianitis sulfisoksazol), pengeluaran pus

Blefaritis skuamosa/ blefaritis seboroik

Blefaritis diseratai skuama atau krusta pada pangkal bulu mata yang bila dikupas tidak terjadi luka pada kulit, berjalan bersamaan dengan dermatitis sebore

Etiologi: kelainan metabolik atau jamur. Gejala: panas, gatal, sisik halus dan penebalan margo palpebra disertai madarosis

Membersihkan tepi kelopak dengan sampo bayi, salep mata, dan topikal steroid

Blefaritis Angularis

Infeksi Staphyllococcus pada tepi kelopak di sudut kelopak atau kantus

Gangguan pada fungsi pungtum lakrimal, rekuren, dapat menyumbat duktus lakrimal sehingga mengganggu fungsi lakrimalis

Dengan sulfa, tetrasiklin, sengsulfat

Ilmu Penyakit Mata, Sidharta Ilyas

Tatalaksana

59. Konjungtivitis Conjunctivitis is swelling (inflammation) or infection of the membrane lining the eyelids (conjunctiva) Pathology

Etiology

Feature

Bacterial

staphylococci streptococci, gonocci Corynebacter ium strains

Acute onset of redness, grittiness, topical antibiotics burning sensation, usually bilateral Artificial tears eyelids difficult to open on waking, diffuse conjungtival injection, mucopurulent discharge, Papillae (+)

Viral

Adenovirus herpes simplex virus or varicellazoster virus

Unilateral watery eye, redness, discomfort, photophobia, eyelid edema & pre-auricular lymphadenopathy, follicular conjungtivitis, pseudomembrane (+/-)

http://www.cdc.gov/conjunctivitis/about/treatment.html

Treatment

Days 3-5 of → worst, clear up in 7–14 days without treatment Artificial tears →relieve dryness and inflammation (swelling) Antiviral →herpes simplex virus or varicella-zoster virus

Pathology

Etiology

Feature

Treatment

Fungal

Candida spp. can cause conjunctivitis Blastomyces dermatitidis Sporothrix schenckii

Not common, mostly occur in immunocompromised patient, after topical corticosteroid and antibacterial therapy to an inflamed eye

Topical antifungal

Vernal

Allergy

Chronic conjungtival bilateral inflammation, associated atopic family history, itching, photophobia, foreign body sensation, blepharospasm, cobblestone pappilae, Hornertrantas dots

Removal allergen Topical antihistamine Vasoconstrictors

Inclusion

Chlamydia trachomatis

several weeks/months of red, irritable eye with mucopurulent sticky discharge, acute or subacute onset, ocular irritation, foreign body sensation, watering, unilateral ,swollen lids,chemosis ,Follicles

Doxycycline 100 mg PO bid for 21 days OR Erythromycin 250 mg PO qid for 21 days Topical antibiotics

60. DAKRIOSISTITIS • Partial or complete obstruction of the nasolacrimal duct with inflammation due to infection (Staphylococcus aureus or Streptococcus B-hemolyticus), tumor, foreign bodies, after trauma or due to granulomatous diseases. • Clinical features : epiphora, acute, unilateral, painful inflammation of lacrimal sac, pus from lacrimal punctum, fever, general malaise, pain radiates to forehead and teeth • Diagnosis : Anel test(+) :not dacryocystitis, probably skin abcess; (-) or regurgitation (+) : dacryocystitis. Swab and culture • Treatment : Systemic and topical antibiotic, irrigation of lacrimal sac, Dacryocystorhinotomy

DAKRIOSISTITIS – ANATOMI DUKTUS LAKRIMALIS

Uji Anel • Evaluasi Sistem Lakrimal-Drainase Lakrimal : • Uji Anel : Dengan melakukan uji anel, dapat diketahui apakah fungsi dari bagian eksresi baik atau tidak. • Cara melakukan uji anel : – Lebarkan pungtum lakrimal dengan dilator pungtum – Isi spuit dengan larutan garam fisiologis. Gunakan jarum lurus atau bengkok tetapi tidak tajam – Masukkan jarum ke dalam pungtum lakrimal dan suntikkan cairan melalui pungtum lakrimal ke dalam saluran eksresi , ke rongga hidung

• Uji anel (+): terasa asin di tenggorok atau ada cairan yang masuk hidung. Uji anel (-) jika tidak terasa asinberarti ada kelainan di dalam saluran eksresi. • Jika cairan keluar dari pungtum lakrimal superior, berarti ada obstruksi di duktus nasolakrimalis. Jika cairan keluar lagi melalui pungtum lakrimal inferior berarti obstruksi terdapat di ujung nasal kanalikuli lakrimal inferior, maka coba lakukan uji anel pungtum lakrimal superior.

Atlas of ophthalmology; Pedoman pelayanan medis RS Cicendo

61. RETINOPATI DIABETIKUM

RETINOPATI DIABETIK ANAMNESIS MATA MERAH VISUS NORMAL

MATA MERAH VISUS TURUN

• struktur yang bervaskuler  sklera konjungtiva • tidak menghalangi media refraksi • Konjungtivitis murni • Trakoma • mata kering, xeroftalmia • Pterigium • Pinguekula • Episkleritis • skleritis

mengenai media refraksi (kornea, uvea, atau seluruh mata) • • • • • • •

Keratitis Keratokonjungtivitis Ulkus Kornea Uveitis glaukoma akut Endoftalmitis panoftalmitis

MATA TENANG VISUS TURUN MENDADAK • • • • • •

uveitis posterior perdarahan vitreous Ablasio retina oklusi arteri atau vena retinal neuritis optik neuropati optik akut karena obat (misalnya etambutol), migrain, tumor otak

MATA TENANG VISUS TURUN PERLAHAN • Katarak • Glaukoma • retinopati penyakit sistemik • retinitis pigmentosa • kelainan refraksi

RETINOPATI DIABETIK DM ophthalmic complications :

• • • • • •

Corneal abnormalities Glaucoma Iris neovascularization Cataracts Neuropathies Diabetic retinopathy → most common and potentially most blinding

• Diabetic Retinopathy : Retinopathy (damage to the retina) caused by complications of diabetes, which can eventually lead to blindness. • It is an ocular manifestation of systemic disease which affects up to 80% of all patients who have had diabetes for 10 years or more.

RETINOPATI DIABETIK Signs and Symptoms • Seeing spots or floaters in the field of vision • Blurred vision • Having a dark or empty spot in the center of the vision • Difficulty seeing well at night • On funduscopic exam : cotton wool spot, flame hemorrhages, dot-blot hemorrhages, hard exudates

Pemeriksaan : • Tajam penglihatan • Funduskopi dalam keadaan pupil dilatasi : direk/indirek • Foto Fundus • USG bila ada perdarahan vitreus Tatalaksana : •

Fotokoagulasi laser

RETINOPATI DIABETIK • Riwayat DM yang lama, biasa > 20 tahun • Mata tenang visus turun perlahan • Pemeriksaan Oftalmoskop – Mikroaneurisma (penonjolan dinding kapiler) – Perdarahan dalam bentuk titik, garis, bercak yang letaknya dekat dengan mikroaneurisma di polus posterior (dot blot hemorrhage) – Dilatasi vena yang lumennya ireguler dan berkelok – Hard exudate (infiltrasi lipid ke dalam retina akibat dari peningkatan permeabiitas kapiler), warna kekuningan – Soft exudate (cotton wall patches) adalah iskemia retina tampak sebagai bercak kuning bersifat difus dan warna putih – Neovaskularisasi – Edema retina

RETINOPATI DIABETIK - KLASIFIKASI RETINOPATI DIABETIK NONPROLIFERATIF • ditandai dengan kebocoran darah dan serum pada pembuluh darah kapiler • menyebabkan edema jaringan retina dan terbentuknya deposit lipoprotein (hard exudates) • Tidak menyebabkan gangguan penglihatan  mengenai makula • Edema makula  penebalan daerah makula sebagai akibat kebocoran kapiler perifoveal

RETINOPATI DIABETIK - KLASIFIKASI RETINOPATI DIABETIK PROLIFERATIF • ditandai dengan adanya proliferasi jaringan fibrovaskular atau neovaskularisasi pada permukaan retina & papil saraf optik serta vitreus • Proliferasi  respon dari oklusi luas pembuluh darah kapiler retina yang menyebabkan iskemia retina • menyebabkan gangguan penglihatan sampai kebutaan melalui mekanisme; – Perdarahan vitreus – Tractional retinal detachment – Glaukoma neovaskular

Pra Proliferatif(Non proliferatif) Proliferatif

Bukti oklusi (cotton wool spot). Vena menjadi iregular dan mungkin terlihat membentuk lingkaran.

Proliferatif lanjut

Perubahan proliferatif dapat menyebabkan perdarahan pada vitreus dan retina. Retina juga dapat tertarik dari epitel pigmen di bawahnya oleh proliferasi fibrosa yang berkaitan dengan pertumbuhan pembuluh darah baru. Penglihatan berkurang, mengancam penglihatan

Perubahan oklusif menyebabkan pelepasan substansi vasoproliferatif dari retina yang menyebabkan pertumbuhan pembuluh darah baru di lempeng optik atau ditempat lain pada retina. Penglihatan normal, mengancam penglihatan

Dot blot hemorrhage

Flame-shaped hemorrhage

Microaneurysm / dot blot hemorrhage

Macular edema

Neovascularization

Proliferative diabetic retinopathy

Penatalaksanaan : 1. Medical Treatment : • Aldose reduktase inhibitor (sorbinil)  Penelitian menurunkan proses retinopati • Vascular Endothelial Growth factor Inhibitor • Aminoguanidin (mengikat protein yang mengalami glikolisis • Pentoxypilin (memperbaiki sirkulasi perifer)

2. Laser Photocoagulation • Early Treatment Diabetic Retinopathy Study (ETDRS) : Fotokoagulasi dini menurunkan incident ggn visus 50% • Terapi pilihan utama pada retinopati diabetes yang telah mengancam penglihatan • Indikasi : – Perdarahan vitreous atau preretinal terokalisasi – Kontraksi progresif proliferasi fibrin – Neovaskularisasi ekstensif di COA

3. Bedah Vitrektomi : • Vitrektomi dini pada PDR dapat menyebabkan regresi NVD dan NVE • Indikasi : – Vitrektomi dipertimbangkan dilakukan jika terjadi rekurensi, kegagalan terapi dengan foto koagulasi, ataupun perdarahan vitreus yang massif hingga polus posterior tidak terlihat. – Perdarahan vitreous yang lama (3 – 6 bln) – PDR (retinopati diabetik proliferatif) yang aktif dengan visus baik – Adanya traksi pada papil, peripapil, makula – Adanya ablasio retina yang melibatkan makula – Penurunan tajam penglihatan dari 10/50 menjadi 10/100 atau lebih buruk

Defini dan gejala

Oklusi arteri sentral retina

Penyumbataan arteri sentralis retina dapat disebabkan oleh radang arteri, thrombus dan emboli pada arteri, spsame pembuluh darah, akibat terlambatnya pengaliran darah, giant cell arthritis, penyakit kolagen, kelainan hiperkoagulasi, sifilis dan trauma. Secara oftalmoskopis, retina superficial mengalami pengeruhan kecuali di foveola yang memperlihatkan bercak merah cherry (cherry red spot). Penglihatan kabur yang hilang timbul tanpa disertai rasa sakit dan kemudian gelap menetap. Penurunan visus mendadak biasanya disebabkan oleh emboli

Oklusi vena sentral retina

Kelainan retina akibat sumbatan akut vena retina sentral yang ditandai dengan penglihatan hilang mendadak. Vena dilatasi dan berkelok, Perdarahan dot dan flame shaped , Perdarahan masif pada ke 4 kuadran , Cotton wool spot, dapat disertai dengan atau tanpa edema papil

ARMD

Degenerasi makula terkait usia. Penyebab pasti belum diketahui. Insidens meningkat pada usia > 50 tahun. Predominansi pada wanita, riwayat keluarga, dan riwayat merokok. Gangguan penglihatan sentral (mata kabur, distorsi atau skotoma). Ditandai oleh atrofi dan degenerasi retina bagian luar, epitel pigmen retina, membran Bruch, dan koriokapilaris dengan derajat bervariasi. Funduskopi: drusen (endapan putih, kuning, bulat, diskret tersebar di seluruh makula dan kutub posterior) Tatalaksana bisa berupa Antioksidan serta Fotokoagulasi laser

Retinopati hipertensi

suatu kondisi dengan karakteristik perubahan vaskularisasi retina pada populasi yang menderita hipertensi. Mata tenang visus turun perlahan dengan tanda AV crossing – cotton wol spot- hingga edema papil; copperwire; silverwire

Amaurosis Fugax

Kehilangan penglihatan tiba-tiba secara transient/sementara tanpa adanya nyeri, biasanya monokular, dan terkait penyakit kardiovaskular

62. ASTIGMATISME - DEFINISI • Ketika cahaya yang masuk ke dalam mata secara paralel tiudak membentuk satu titik fokus di retina.

Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry

http://www.mastereyeassociates.com/Portals/60407/images//astig matism-Cross_Section_of_Astigmatic_Eye.jpg

ASTIGMATISME •



• •



Kornea seharusnya berbentuk hampir sferis sempurna (bulat)  pada astigmat kornea berbentuk seperti bola rugby. Bagian lengkung yang paling landai dan yang paling curam mengakibatkan cahaya direfraksikan secara berbeda dari kedua meridian  mengakibatkan distorsi bayangan Kekuatan refraksi pada horizontal plane memproyeksikan gambar/ garis vertikal. Kekuatan refraksi pada vertical plane memproyeksikan gambar/ garis horizontal. The amount of astigmatism is equal to the difference in refracting power of the two principal meridians

http://www.improveeyesighthq.com/Corrective-Lens-Astigmatism.html

KLASIFIKASI : ETIOLOGI • Astigmatisme korneal: When the cornea has unequal curvature on the anterior surface – 90% penyebab astigmatisme  bisa dites dgn tes Placido (keratoscope) • Astigmatisme lentikular: When the crystalline lens has an unequal on the surface or in its layers • Astigmatigma total: The sum of corneal astigmatism and lenticular astigmatism Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry

PLACIDO

Astigmatisme korneal akibat trauma pada kornea. Perhatikan iregularitas bayangan placido http://oelzant.priv.at/~aoe/images/galleries/narcism/med/hornhautabrasion/

KLASIFIKASI : HUBUNGAN ANTAR BIDANG MERIDIAN ASTIGMATISME IREGULER • When the two principal meridians are not perpendicular to each other • Curvature of any one meridian is not uniform • Associated with trauma, disease, or degeneration • VA is often not correctable to 20/20

Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry

KLASIFIKASI : HUBUNGAN ANTAR BIDANG MERIDIAN

ASTIGMATISME REGULER • Kedua bidang meridian utamanya saling tegak lurus. (meredian di mana terdapat daya bias terkuat dan terlemah di sistem optis bolamata). • Cth: – jika daya bias terkuat berada pada meredian 90°, maka daya bias terlemahnya berada pada meredian 180° – Jika daya bias terkuat berada pada meredian 45°, maka daya bias terlemah berada pada meredian 135°.

• Kebanyakan kasus astigmatisme adalah astigmatisme reguler • 3 tipe: – are with-the-rule – against-the-rule – oblique astigmatism

Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry

ASTIGMATISME REGULER

With-The-Rule (WTR) Astigmatism • •

• •



Jika meredian vertikal memiliki daya bias lebih kuat dari pada meredian horisontal. The greatest refractive power is within 030 of the vertical meridian (i.e., between 060 and 120 meridians) axis is between 0 and 30 or 150 and 180 degrees Minus cylinder axis around horizontal meridian The most common type of astigmatism based on the orientation of meridians

Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry

ASTIGMATISME REGULER

Against-The-Rule (ATR) Astigmatism • Jika meredian horisontal memiliki daya bias lebih kuat dari pada meredian vertikal. • The greatest refractive power is within 030 of the horizontal meridian (i.e., between 030 and 150 meridians) • axis is between 60 and 120 degrees • Minus cylinder axis around vertical meridian

ASTIGMATISME REGULER

Oblique (OBL) Astigmatism • When the greatest refractive power is within 030 of the oblique meridians (i.e., between 030 and 060 or 120 and 150) • oblique astigmatism : axis is between 30 and 60 or 120 and 150 degrees Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry

BASED ON FOCAL POINTS RELATIVE TO THE RETINA SIMPLE ASTIGMATISM

COMPOUND ASTIGMATISM

• When one of the principal meridians is focused on the retina and the other is not focused on the retina (with accommodation relaxed) • Terdiri dari



– astigmatisme miopikus simpleks – dan astigmatisme hipermetrop simpleks



When both principal meridians are focused either in front or behind the retina (with accommodation relaxed) Terdiri dari – –

astigmatisme miopikus kompositus dan astigmatisme hipermetrop kompositus

MIXED ASTIGMATISM •

When one of the principal meridians is focused in front of the retina and the other is focused behind the retina (with accommodation relaxed)

Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry

BASED ON FOCAL POINTS RELATIVE TO THE RETINA 1. Simple Myopic Astigmatism • When one of the principal meridians is focused in front of the retina and the other is focused on the retina (with accommodation relaxed) • Astigmatisme jenis ini, titik A berada di depan retina, sedangkan titik B berada tepat pada retina. Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry

BASED ON FOCAL POINTS RELATIVE TO THE RETINA 2. Simple Hyperopic Astigmatism • When one of the principal meridians is focused behind the retina and the other is focused on the retina (with accommodation relaxed) • Astigmatisme jenis ini, titik A berada tepat pada retina, sedangkan titik B berada di belakang retina. Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry

What Patient Sees in Simple Astigmatism One meridian is out of focus

Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry

BASED ON FOCAL POINTS RELATIVE TO THE RETINA

3. Compound Myopic Astigmatism • When both principal meridians are focused in front of the retina (with accommodation relaxed)

Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry

BASED ON FOCAL POINTS RELATIVE TO THE RETINA 4. Compound Hyperopic Astigmatism • When both principal meridians are focused behind the retina (with accommodation relaxed) Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry

BASED ON FOCAL POINTS RELATIVE TO THE RETINA 5. MIXED ASTIGMATISM • When one of the principal meridians is focused in front of the retina and the other is focused behind the retina (with accommodation relaxed) Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry

BASED ON RELATIVE LOCATIONS OF PRINCIPAL MERIDIANS OR AXES WHEN COMPARING THE TWO EYES

SYMMETRICAL ASTIGMATISM

• The principal meridians or axes of the two eyes are symmetrical (e.g., both eyes are WTR or ATR) • Ciri yang mudah dikenali adalah axis cylindris mata kanan dan kiri yang bila dijumlahkan akan bernilai 180° (toleransi sampai 1015°).

• Example – OD: pl -1.00 x 175 – OS: pl -1.00 x 005 • Both eyes are WTR astigmatism, and the sum of the two axes equal approximately 180

Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry

BASED ON RELATIVE LOCATIONS OF PRINCIPAL MERIDIANS OR AXES WHEN COMPARING THE TWO EYES

ASYMMETRICAL ASTIGMATISM

• The principal meridians or axes of the two eyes are not symmetrical (e.g., one eye is WTR while the other eye is ATR) • The sum of the two axes of the two eyes does not equal approximately 180

• Example: – OD: pl -1.00 x 180 – OS: pl -1.00 x 090 – One eye is WTR astigmatism, and the other eye is ATR astigmatism, and the sum of the two axes do not equal approximately 180

Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry

http://www.improveeyesighthq.com/Corrective-Lens-Astigmatism.html

Toric/Spherocylinder lens pada koreksi Astigmatisme

They have a different focal power in different meridians. http://www.oculist.net/downaton502/prof/ebook/duanes/graphics/figures/v1/051a/010f.gif http://vision.zeiss.com/content/dam/Vision/Vision/International/images/image-text/opticaldesigns_asphere_atorus_atoroidal-surface_500x375.jpg

TIPS & TRIK • Gampang untuk menentukan jenis jenis astigmatisme berdasarkan kedudukannya di retina kalau disoal diberikan rumus astigmatnya sbb: 1. sferis (-) silinder (-)  pasti miop kompositus sesuai dengan di soal 2. Sferis (+) silinder (+)  pasti hipermetrop kompositus 3. Sferis (tidak ada) silinder (-) pasti miop simpleks 4. Sferis (tidak ada) silinder (+)  pasti hipermetrop simpleks • Agak sulit dijawab jika di soal diberikan rumus astigmat sbb: 1. Sferis (-) silinder (+) 2. Sferis (+) silinder (-)  BELUM TENTU astigmatisme mikstus!! Harus melalui beberapa tahap penjelasan untuk menemui jawabannya

cara menentukan jenis astigmatisme berdasarkan kedudukannya di retina kalau disoal diberi rumus S(-) Cyl(+) atau S(+) Cyl(-)

• PERTAMA, rumus kacamata astigmat adalah

SFERIS ± X SILINDER ±Y x AKSIS Z • Sferis tidak harus selalu ada, kadang jika tidak ada, nilai sferis akan dihilangkan penulisannya menjadi C (silinder) ± …….. x …..° atau menjadi pl (plano) C (silinder) ± …….. x …..°

KEDUA, TRANSPOSISI • NOTASI SILINDER BISA DITULIS DALAM NILAI MINUS ATAU PLUS • RUMUS INI BISA DITRANSPOSISIKAN (DIBOLAK-BALIK) TETAPI MAKNANYA SAMA. Cara transposisi: • To convert plus cyl to minus cyl: – Add the cylinder power to the sphere power – Change the sign of the cyl from + to – – Add 90 degrees to the axis is less than 90 or subtract 90 if the original axis is greater than 90.

• To convert minus cyl to plus cyl: – add the cylinder power to the sphere – Change the sign of the cylinder to from - to + – Add 90 to the axis if less than 90 or subtract if greater than 90

• Misalkan pada soal OD ∫-4,00 C-1,00 X 1800minus cylinder notation yang jika ditransposisi maknanya sama dengan ∫-5,00 C+1,00 X 900 (plus cylinder notation)

KETIGA, CARA MEMBACA • OD ∫-4,00 C-1,00 X 1800 artinya adalah kekuatan lensa pada aksis 180 adalah -4.00 D. Kemudian kita transposisikan menjadi ∫-5,00 C+1,00 X 900 artinya kekuatan lensa pada 90 adalah -5,00 D

• OS ∫-5,00 C-1,00 X 900 artinya adalah kekuatan lensa pada aksis 90 adalah -5.00 D dan Kemudian kita transposisikan menjadi ∫-6,00 C+1,00 X 18000 artinya kekuatan lensa pada 180 adalah -6,00 D

KEEMPAT, MENENTUKAN JENIS ASTIGMATISME BERDASARKAN KEDUDUKANNYA DI RETINA

• Prinsipnya: selalu lihat besarnya sferis di kedua rumus baik rumus silinder plus maupun silinder minus (makanya kenapa harus tahu transposisi) • Contoh: OD rumusnya ∫-4,00 C+1,00 X 1800  sferis= -4D (MIOP di aksis 180) dan rumus satu lagi ∫-3,00 C-1,00 X 90  sferis= -3D (MIOP di aksis 90) untuk mata kanan. • Bayangan di kedua aksis jatuh di depan retina maka jenis astigmatnya miopik kompositus, bukannya astigmat mikstus

Contoh notasi kacamata S -5.00 S +5.00 pl, Add +3.50 +2.00 -1.00 x090 pl -2.50 x120 -2.00 -2.00 x135 +1.00 -1.00 x045 +1.00 -2.00 x115

Myopia Hyperopia Presbyopia Compound hyperopic astigmatism simple myopic astigmatism compound myopic astigmatism simple hyperopic astigmatism mixed astigmatism

63. Keratitis

Keratitis

Inflammation of the cornea

Ulkus Kornea

A corneal ulcer, or ulcerative keratitis, or eyesore is an inflammatory or more seriously, infective condition of the cornea involving disruption of its epithelial layer with involvement of the corneal stroma.

Keratokonjungtivitis

Inflammation of the cornea and conjunctiva

Blefaritis

Inflammation of the eyelids

Konjungtivitis

Inflammation of the conjunctiva

Fungal keratitis • Etiology :

• Diagnosis:

– after ocular trauma due to the introduction of plant materials into the eye, usually Aspergillus fusarium and Cephalosporium species.

• Epidemiology :rare • Clinical features: – resembles bacterial keratitis. A gray-white infiltrate with fine ―outliers‖ in the stroma (satellite lesions). Hypopion. Condition worsens when steroid is given.

– the history. No response to antibioticsfungal should be considered.Scrapings from the margin to examined histologically. Corneal sensitivity

• Treatment : – local natamycin eye ointment. Mydriatics if there is anterior chamber irritation. Systemic treatment with ketoconazole.

• Prognosis: – show healing process

Opthalmology; Color Atlas of Ophthalmology

Bacterial Keratitis • Etiology/pathogenesis : – Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Streptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa, Moraxella.

• Epidemiology: – Wearers of contact lenses; patients with diseases of the corneal surface (previous trauma, sicca syndrome, lid deformities, etc.) are particularly at risk.

• Clinical features : – Pain, photophobia, epiphora, blepharospasm, mucopurulent secretion, corneal ulcer, corneal infiltrate, reduction in vision, hypopyon.

• Diagnosis. – Clinical appearance, conjunctival swab with antibiotic sensitivity, scrapings. – Fluoresens test

• Treatment according to antibiotic sensitivity. Not longer than 10 days, as otherwise no epithelial closure will occur.

Keratitis

Keratitis herpes zoster • Bentuk rekuren dari keratitis Varicella • Lesi pseudodenditik: lesi epitel yang menonjol dengan ujung mengerucut, sedikit tonjolan pada ujungnya (terminal bulbs)

Keratitis varicella • Bentuk infeksi primer pada mata dari virus Varicella • Ciri khas: lesi pseudodendritik disertai lesi pada stroma kornea dan uveitis Keratitis marginal • Keratitis non infeksius, sekunder setelah konjungtivitis bakteri, terutama Staphylococcus • Keratitis ini merupakan hasil dari sensitisasi tubuh terhadap produk bakteri. Antibodi dari pembuluh darah di limbus bereaksi dgn antigen yang terdifusi ke dalam epitel kornea

Keratitis bakteri • Biasanya unilateral, terjadi pd org dengan penyakit mata sebelumnya atau mata org yang menggunakan kontak lens • Infiltrat stroma berwarna putih, edema stroma, pembentukan hipopion

64. AMBLIOPIA • Ambliopia/ "lazy eye"  hilangnya kemampuan salah satu mata untuk melihat detail. • Terjadi ketika jalur saraf dari salah satu mata menuju otak tidak berkembang semasa kanak-kanak. • Hal ini terjadi karena mata yg rusak mengirimkan gambar yang kabur/salah ke otak  otak mjd “bingung”  akhirnya otak “mengacuhkan” gambar dr mata yg rusak itu. • Biasanya muncul sebelum usia 6 tahun • Penyebab : – Strabismus (paling sering) – Katarak kongenital – Kelainan refraksi, terutama jika perbedaanantara kedua mata terlalu besar

• Tatalaksana: – Koreksi penyebab: kacamata, kontak lens – Menutup mata yang lebih baik (part-time or full-time) utk menstimulasi mata yg ambliopia.

http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001014.htm http://www.aoa.org/patients-and-public/eye-and-vision-problems/glossary-of-eye-and-vision-conditions/amblyopia

Anisometropia • Def: a difference in refractive error between their two eyes • Children who have anisometropia are known to be at risk of amblyopia. • However there is considerable variability among professional groups and clinician investigators as to which aspects of refractive error should be used to define anisometropia Associations between Anisometropia, Amblyopia, and Reduced Stereoacuity in a School-Aged Population with a High Prevalence of Astigmatism Dobson et al. Investigative Ophthalmology & Visual Science, October 2008, Vol. 49, No. 10. 4427-4436

Anisometropic & Amblyopia • When the magnitude of anisometropia exceeded 1.75 D, the more myopic eye was almost always the sighting dominant eye. • Anisometropic amblyopia is the second most common cause of amblyopia (present as single cause in 37% of cases and present concomitantly with strabismus in an additional 24% of clinical populations.) • Anisometropic amblyopia occurs when unequal focus between the two eyes causes chronic blur on one retina. • Anisometropic amblyopia can occur with relatively small amounts of asymmetric hyperopia or astigmatism. • Larger amounts of anisomyopia are necessary for amblyopia to develop. Ocular characteristics of anisometropia Stephen J Vincent. Institute of Health and Biomedical Innovation School of Optometry Queensland University of Technology & http://eyewiki.aao.org/Anisometropic_Amblyopia & Treatment of Anisometropic Amblyopia in Children with Refractive Correction . Pediatric Eye Disease Investigator Group. Ophthalmology 2006;113:895–903

Interocular acuity difference criteria in anisometropia

NCT (non contact tonometry), GAT (Goldmann applanation tonometry), OBF (ocular blood flow tonometry), SPH (spherical component), SEq (spherical equivalent), EMM (emmetropia), HYP (hyperopia)

Interocular Acuity Difference Criteria in Anisometropia

Ocular characteristics of anisometropia Stephen J Vincent. Institute of Health and Biomedical Innovation School of Optometry Queensland University of Technology

anoftalmia

absence of one or both eyes

anisokonia

A difference of the image size on the retina of each eye. It is due to anisometropia.

anisokoria

an unequal size of the pupils

65. UVEITIS Radang uvea: • mengenai bagian depan atau selaput pelangi (iris) iritis • mengenai bagian tengah (badan silier) siklitis • mengenai selaput hitam bagian belakang mata koroiditis • Biasanya iritis disertai dengan siklitis = uveitis anterior/iridosikl itis

UVEITIS • Dibedakan dalam bentuk granulomatosa akut-kronis dan non-granulomatosa akut- kronis • Bersifat idiopatik, ataupun terkait penyakit autoimun, atau terkait penyakit sistemik • Biasanya berjalan 6-8 minggu • Dapat kambuh dan atau menjadi menahun • Gejala akut: – – – – –

mata sakit Merah Fotofobia penglihatan turun ringan mata berair

• Tanda : – pupil kecil akibat rangsangan proses radang pada otot sfingter pupil – edema iris – Terdapat flare atau efek tindal di dalam bilik mata depan – Bila sangat akut dapat terlihat hifema atau hipopion – Presipitat halus pada kornea

Radang iris dan badan siliar menyebabkan rusaknya Blood Aqueous Barrier sehingga terjadi peningkatan protein, fibrin, dan sel-sel radang dalam humor akuos. Pada pemeriksaan biomikroskop (slit lamp) hal ini tampak sebagai flare, yaitu partikel-partikel kecil dengan gerak Brown (efek tyndall). Ilmu Penyakit Mata Ed 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2006

UVEITIS • Tatalaksana : – Steroid topikal dan sistemik – Siklopegik – Pengobatan spesifik bila diketahui kuman penyebab

• Penyulit: Glaukoma sekunder karena adanya sinekia posterior yang menyebabkan iris bombans  peningkatan TIO

Intraocular TB •

• •

Can be due to direct infection or indirect immune- • mediated hypersensitivity response to mycobacterial antigens when there is no defined active systemic lesion elsewhere or the lesion is thought to be inactive Intraocular TB is a great mimicker of various uveitis entities. The clinical manifestations of intraocular TB include acute anterior uveitis, chronic granulomatous anterior uveitis which may be associated with iris or angle granulomas, mutton- • fat keratic precipitates and posterior synechiae.

Other manifestation: – intermediate uveitis, vitritis, macular edema, retinal vasculitis, neuroretinitis, solitary or multiple choroidal tubercles, multifocal choroiditis, choroidal granulomas, subretinal abscess, endophthalmitis, and panophthalmitis. Treatment: – Anti tuberculous drugs – Systemic corticosteroid: oral prednisone dose of 1 mg/Kg/day until a clinical response is seen then a slow reduction is established

Vaughn DG, Oftalmologi Umum, ed.14

66. Ablasio Retina • Ablasio retina adalah suatu keadaan terpisahnya sel kerucut dan batang retina (retina sensorik) dari sel epitel pigmen retina • Mengakibatkan gangguan nutrisi retina pembuluh darah yang bila berlangsung lama akan mengakibatkan gangguan fungsi penglihatan



Jenis: – Rhegmatogenosa (paling sering)  lubang / robekan pada lapisan neuronal menyebabkan cairan vitreus masuk ke antara retina sensorik dengan epitel pigmen retina – Traksi  adhesi antara vitreus / proliferasi jaringan fibrovaskular dengan retina – Serosa / hemoragik  eksudasi ke dalam ruang subretina dari pembuluh darah retina

Sumber: Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan and Asbury’s General Ophtalmology 17th ed. Philadephia: McGraw-Hill, 2007.

Etiologi Ablasio Retina • Rhegmatogenosa: – – – –

• Serosa / hemoragik:

Miopia Trauma okular Afakia Degenerasi lattice

• Traksi: – Retinopati DM proliferatif – Vitreoretinopati proliferatif – Retinopati prematuritas – Trauma okular

– Hipertensi – Oklusi vena retina sentral – Vaskulitis – Papilledema – Tumor intraokular

Ablasio Rhegmatogenosa Sumber: Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan and Asbury’s General Ophtalmology 17th ed. Philadephia: McGraw-Hill, 2007.

Ablasio Retina • Anamnesis: – Riwayat trauma – Riwayat operasi mata – Riwayat kondisi mata sebelumnya (cth: uveitis, perdarahan vitreus, miopia berat) – Durasi gejala visual & penurunan penglihatan

• Gejala & Tanda: – Fotopsia (kilatan cahaya)  gejala awal yang sering – Defek lapang pandang  bertambah seiring waktu – Floaters

• Funduskopi : adanya robekan retina, retina yang terangkat berwarna keabuabuan, biasanya ada fibrosis vitreous atau fibrosis preretinal bila ada traksi. Bila tidak ditemukan robekan kemungkinan suatu ablasio nonregmatogen

Tatalaksana • Ablasio retina  kegawatdaruratan mata • Tatalaksana awal: – Puasakan pasien u/ persiapan operasi – Hindari tekanan pada bola mata – Batasi aktivitas pasien sampai diperiksa spesialis mata – Segera konsultasi spesialis retina  konservatif (untuk nonregmatogen), pneumatic retinopexy, bakel sklera, vitrektomi tertutup

Sumber: Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan and Asbury’s General Ophtalmology 17th ed. Philadephia: McGraw-Hill, 2007.

67. Kolobama Palpebra • Umumnya, oloboma palpebra merupakan kelainan kongenital kelopak dimana terlihat celah kelopak pada bagian tengah setengah nasal atas • Terkadang full thicknes injury pada kelopak mata yg menyebabkan disrupsi total disebut juga sebagai koloboma (acquired coloboma) • Dapat menyebabkan lagoftalmosresiko konjungtivitis dan keratitis

68. Perdarahan subkonjungtiva • Perdarahan subkonjungtiva adalah perdarahan akibat rupturnya pembuluh darah dibawah lapisan konjungtiva yaitu pembuluh darah konjungtivalis atau episklera. • Dapat terjadi secara spontan atau akibat trauma.

• Perdarahan subkonjungtiva akan hilang atau diabsorpsi dalam 1- 2 minggu tanpa diobati. • Pengobatan penyakit yang mendasari bila ada.

Subconjunctival hemorrhage • Subconjunctival hemorrhage (or subconjunctival haemorrhage) also known as hyposphagma, is bleeding underneath the conjunctiva. • A subconjunctival hemorrhage initially appears bright-red underneath the transparent conjunctiva. • Later, the hemorrhage may spread and become green or yellow, like a bruise. • In general a subconjunctival hemorrhage is a painless and harmless condition • however, it may be associated with high blood pressure, trauma to the eye, or a base of skull fracture if there is no posterior border of the hemorrhage visible.

Subconjunctival hemorrhage Causes

Management

• Eye trauma • Whooping cough or other extreme sneezing or coughing • Severe hypertension • Postoperative subconjunctival bleeding • Acute hemorrhagic conjunctivitis (picornavirus) • Leptospirosis • Increased venous pressure (straining, vomiting, choking, or coughing)

• Self-limiting that requires no treatment in the absence of infection or significant trauma. • Artificial tears may be applied four to six times a day. • Cold compress in the 1st hour may stop the bleeding

http://sdhawan.com/ophthalmology/lens&cataract.pdf E-mail: [email protected]

69-70. Cataract • Any opacity of the lens or loss of transparency of the lens that causes diminution or impairment of vision • Classification : based on etiological, morphological, stage of maturity • Etiological classification :  Senile  Traumatic (penetrating, concussion, infrared irradiation, electrocution)  Metabolic (diabetes, hypoglicemia, galactosemia, galactokinase deficiency, hypocalcemia)  Toxic (corticosteroids, chlorpromazine, miotics, gold, amiodarone)  Complicated (anterior uveitis, hereditary retinal and vitreoretinal disorder, high myopia, intraocular neoplasia  Maternal infections (rubella, toxoplasmosis, CMV)  Maternal drug ingestion (thalidomide, corticosteroids)  Presenile cataract (myotonic dystrophy, atopic dermatitis)  Syndromes with cataract (down’s syndrome, werner’s syndrome, lowe’s syndrome)  Hereditary  Secondary cataract

• Morphological classification :  Capsular  Subcapsular  Nuclear  Cortical  Lamellar  Sutural • Chronological classification:  Congenital (since birth)  Infantile ( first year of life)  Juvenile (1-13years)  Presenile (13-35 years)  Senile



Sign & symptoms: – Near-sightedness (myopia shift) Early in the development of age-related cataract, the power of the lens may be increased – Reduce the perception of blue colorsgradual yellowing and opacification of the lens – Gradual vision loss – Almost always one eye is affected earlier than the other – Shadow test +

Klasifikasi morfologi katarak

Oxford American Handbook of Ophthalmology 2011

Oxford American Handbook of Ophthalmology 2011

Oxford American Handbook of Ophthalmology 2011

Oxford American Handbook of Ophthalmology 2011

Ilmu Penyakit Mata Ed 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2006

KATARAK-SENILIS •

• •

Katarak senilis adalah kekeruhan lensa yang terdapat pada usia lanjut, yaitu usia di atas 50 tahun Epidemiologi : 90% dari semua jenis katarak Etiologi :belum diketahui secara pastimultifaktorial:  Faktor biologi, yaitu karena usia tua dan pengaruh genetik  Faktor fungsional, yaitu akibat akomodasi yang sangat kuat mempunyai efek buruk terhadap serabu-serabut lensa.  Faktor imunologik  Gangguan yang bersifat lokal pada lensa, seperti gangguan nutrisi, gangguan permeabilitas kapsul lensa, efek radiasi cahaya matahari.  Gangguan metabolisme umum



• • •

4 stadium: insipien, imatur (In some patients, at this stage, lens may become swollen due to continued hydration  ‘intumescent cataract’), matur, hipermatur Gejala : distorsi penglihatan, penglihatan kabur/seperti berkabut/berasap, mata tenang Penyulit : Glaukoma, uveitis Tatalaksana : operasi (ICCE/ECCE)

BEDAH KATARAK Lensa diangkat dari mata (ekstraksi lensa) dengan prosedur intrakapsular atau ekstrakapsular: •Ekstraksi Katarak Intrakapsular (EKIK) :  Mengeluarkan seluruh lensa bersama kapsulnya  Tidak boleh dilakukan pada pasien usia > basa  memicu pembentukan kristal sitruvit & kalsium karbonat – Endotoksin  induksi respon inflamasi  hemolisin

• Gejala: sistitis, urgensi, hematuria

Swarming Phenomenon • Swarming adalah terbentuknya zona konsentrik pada pertumbuhan bakteri yang menutupi permukaan media pertumbuhan agar darah • Ditemukan pada P. mirabilis dan P. vulgaris • Bakteri tsb memiliki flagela dan bersifat sangat motil sehingga menimbulkan pola pertumbuhan yang khas dan aroma ikan asin

102. Infeksi Parasit Cacing • Gejala: – Cacing tambang: mual, muntah, diare, dan nyeri ulu hati; pusing, nyeri kepala; lemas dan lelah; anemia; dan gatal di daerah masuknya cacing. – Cacing gelang: rasa tidak enak pada perut (gangguan lambung); kejang perut, diselingi diare; kehilangan berat badan; dan demam. – Cacing cambuk: nyeri ulu hati, kehilangan nafsu makan, diare, anemia – Cacing pita: – Cacing kremi: gatal di sekitar dubur (terutama pada malam hari pada saat cacing betina meletakkan telurnya), gelisah dan sukar tidur • Terapi • Komplikasi

Oksiuriasis (Cacing Kremi) • Gejala – Gatal di sekitar dubur (terutama pada malam hari pada saat cacing betina meletakkan telurnya), gelisah dan sukar tidur.

• Terapi

Askariasis (Cacing Gelang) • Gejala – Rasa tidak enak pada perut (gangguan lambung); kejang perut, diselingi diare; kehilangan berat badan; dan demam.

Nekatoriasis (Cacing Tambang)

• Gejala: – Mual, muntah, diare & nyeri ulu hati; pusing, nyeri kepala; lemas dan lelah; anemia

Trikuriasis (Cacing Cambuk) • Gejala: – nyeri ulu hati, kehilangan nafsu makan, diare, anemia

Taeniasis (Cacing Pita)



Gejala: –

mual, konstipasi, diare; sakit perut; lemah; kehilangan nafsu makan; sakit kepala; berat badan turun

Albendazole • Terapi cacing gelang, cacing cambuk, cacing kremi, cacing tambang. • Cara kerja : membunuh cacing, menghancurkan telur dan larva cacing dengan jalan menghambat pengambilan glukosa oleh cacing sehingga produksi ATP (adenosine tri phosphate) sebagai sumber energi untuk mempertahankan hidup cacing berkurang  kematian cacing. • Kontra Indikasi: – Ibu hamil (teratogenik), menyusui – Gangguan fungsi hati & ginjal, anak < 2 tahun • Dosis sediaan : 400 mg per tablet. – Dewasa dan anak diatas 2 tahun : 400 mg sehari sebagai dosis tunggal. – Tablet dapat dikunyah, ditelan atau digerus lalu dicampur dengan makanan. • Efek samping : perasaan kurang nyaman pada saluran cerna dan sakit kepala, mulut terasa kering

Pirantel Pamoat • Indikasi: cacing tambang, cacing gelang, dan cacing kremi • Cara kerja: Melumpuhkan cacing  mudah keluar bersama tinja • Dapat diminum dalam keadaan perut kosong, atau diminum bersama makanan, susu, atau jus • Dosis tunggal, sekali minum  10 mg/kg BB, tidak boleh melebihi 1 gram – Jika berat badan 50 kg, dosisnya menjadi 500 mg. – Bentuk sediaannya adalah 125 mg per tablet, 250 mg per tablet, dan 250 mg per ml sirup

3.

104. Herpes zoster Herpes Zoster •

• • •

Penemuan utama dari PF: kemerahan yang terdistribusi unilateral sesuai dermatom Rash dapat berupa eritematosa, makulopapular, vesikular, pustular, atau krusta tergantung tahapan penyakit Terapi nyeri: Gabapentine oral/NSAID topikal/Lidocaine topikal Anti-Viral (diberikan < 72 jam setelah onset, atau pada manula/imunokompromais) – –



Acyclovir (5x800mg) Valgancyclovir, Famcyclovir

Komplikasi –

Neuralgia pasca herpes, herpes zoster oftalmika, sindrom Ramsay-Hunt

Lesi Kulit pada Herpes Zoster

105. Filariasis • Penyakit yang disebabkan cacing Filariidae, dibagi menjadi 3 berdasarkan habitat cacing dewasa di hospes: – Kutaneus: Loa loa, Onchocerca volvulus, Mansonella streptocerca – Limfatik: Wuchereria bancroftii, Brugia malayi, Brugia timori – Kavitas tubuh: Mansonella perstans, Mansonella ozzardi

• Fase gejala filariasis limfatik: – Mikrofilaremia asimtomatik – Adenolimfangitis akut: limfadenopati yang nyeri, limfangitis retrograde, demam, tropical pulmonary eosinophilia (batuk, mengi, anoreksia, malaise, sesak) – Limfedema ireversibel kronik

• Grading limfedema (WHO, 1992): – Grade 1 - Pitting edema reversible with limb elevation – Grade 2 - Nonpitting edema irreversible with limb elevation – Grade 3 - Severe swelling with sclerosis and skin changes Wayangankar S. Filariasis. http://emedicine.medscape.com/article/217776-overview WHO. World Health Organization global programme to eliminate lymphatic filariasis. WHO Press; 2010.

Pemeriksaan & tatalaksana filariasis limfatik • Pemeriksaan penunjang: – – – –

Deteksi mikrofilaria di darah Deteksi mikrofilaria di kiluria dan cairan hidrokel Antibodi filaria, eosinofilia Biopsi KGB

• Pengobatan: – – – –

Tirah baring, elevasi tungkai, kompres Antihelmintik (ivermectin, DEC, albendazole) Suportif Pengobatan massal dengan albendazole+ivermectin (untuk endemik Onchocerca volvulus) atau albendazole+DEC (untuk nonendemik Onchocerca volvulus) guna mencegah transmisi – Bedah (untuk kasus hidrokel/elefantiasis skrotal) – Diet rendah lemak dalam kasus kiluria

Panjang:lebar kepala sama Wuchereria bancroftii Inti teratur Tidak terdapat inti di ekor

Brugia malayi

Brugia timori

Perbandingan panjang:lebar kepala 2:1 Inti tidak teratur Inti di ekor 2-5 buah

Perbandingan panjang:lebar kepala 3:1 Inti tidak teratur Inti di ekor 5-8 buah

106. Psoriasis vulgaris • Bercak eritema berbatas tegas dengan skuama kasar berlapis-lapis dan transparan • Predileksi: skalp, perbatasan skalp-muka, ekstremitas ekstensor (siku & lutut), lumbosakral • Khas: fenomena tetesan lilin, Auspitz sign, Kobner sign • Patofisiologi: – Genetik: berkaitan dengan HLA – Imunologik: diekspresikan oleh limfosit T, sel penyaji antigen dermal, dan keratinosit – Pencetus: stress, infeksi fokal, trauma, endokrin, gangguan metabolisme, obat, alkohol, dan merokok

• Tata laksana: – Topikal: preparat ter, kortikosteroid, ditranol, tazaroen, emolien, dll – Sistemik: KS, sitostatik (metotreksat), levodopa, etretinat, dll – PUVA (UVA + psoralen) Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.

Tanda

Penjelasan

Fenomena tetesan lilin

Skuama yang berubah warnanya menjadi putih pada goresan, seperti lilin yang digores, akibat berubahnya indeks bias.

Fenomena Auspitz

Tampak serum atau darah berbintik-bintik akibat papilomatosis dengan cara pengerokan skuama yang berlapis-lapis hingga habis.

Fenomena Kobner

Kelainan yang sama dengan kelainan psoriasis yang timbul akibat trauma pada kulit sehat penderita psoriasis, kira-kira muncul setelah 3 minggu.

107. Ulkus Pada IMS Ulkus Durum • Treponema pallidum (spiral) • Dasar bersih • Tidak nyeri (indolen) • Sekitar ulkus keras (indurasi) • Soliter

Ulkus Mole (Chancroid) • Haemophilus ducreyi (kokobasil, gram negatif) • Dasar kotor, mudah berdarah • Nyeri tekan • Lunak • Multipel • Tepi ulkus menggaung

8.

109. Herpes genitalis • Infeksi akut yang disebabkan oleh HSV yang ditandai dengan adalnya vesikel yang berkelompok di atas kulit yang sembab dan eritematosa di daerah dekat mukokutan • Predileksi HSV tipe I di daerah pinggang ke atas, predileksi HSV tipe II di daerah pinggang ke bawah terutama genital • Gejala klinis: – Infeksi primer: vesikel berkelompok di atas kulit yang sembab da eritematosa, berisi cairan jernih yang kemudian seropurulen, dapat menjadi krusta dan kadang mengalami ulserasi dangkal, tidak terdapat indurasi, sering disertai gejala sistemik – Fase laten: tidak ditemukan gejala klinis, HSV dapat ditemukan dalam keadaan tidak aktif di ganglion dorsalis – Infeksi rekuren: gejala lebih ringan dari infeksi primer, akibat HSV yang sebelumnya tidak aktif mencpai kulit dan menimbulkan gejala klinis



Pemeriksaan: ditemukan pada sel dan dibiak, antibodi, percobaan Tzanck (ditemukan sel datia berinti banyak dan badan inklusi intranuklear) • Pengobatan: idoksuridin topikal (pada lesi dini), asiklovir • Komplikasi: meningkatkan morbiditas/mortalitas pada janin dengan ibu herpes genitalis Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.

110. DKI vs DKA

• Pemeriksaan Penunjang: Patch Test • Terapi: – Topikal: • Akut & eksudatif: kompres NaCl 0.9% • Kronik & kering: krim hidrokortison 1%

– Sistemik: Kortikosteroid • Prednison 5-10 mg/ dosis, 2-3x/hari • Deksametason 0.5-1 mg, 2-3x/hari

111. Tinea • Tinea kapitis: grey patch ringworm, kerrion, black dot ringworm • Tinea korporis: polimorfis, polisiklik, central healing • Tinea kruris: tepi aktif, polisiklis, skuama, vesikel • Tinea unguium: subngual distalis, leukonikia trikofita, subngual proksimal • Tinea pedis: intertriginosa, vesiculer akut, moccasin foot

Pemeriksaan KOH pada Tinea KOH stain The presence of spores and branching hyphae

Gambaran Tinea • gambaran hifa sebagai dua garis sejajar terbagi oleh sekat dan bercabang maupun spora berderet (artrospora) pada Tinea (Dermatofitosis) • Terapi

Terapi • Pengobatan topikal – Kombinasi asam salisilat (3-6%) dan asam benzoat (6-12%) dalam bentuk salep ( Salep Whitfield). – Kombinasi asam salisilat dan sulfur presipitatum dalam bentuk salep (salep 2-4, salep 3-10) – Derivat azol : mikonazol 2%, klotrimasol 1%, ketokonazol 1% dll. • Pengobatan sistemik – Griseofulvin 500 mg sehari untuk dewasa, sedangkan anak-anak 10-25 mg/kgBB sehari. – Lama pemberian griseofulvin pada tinea korporis adalah 3-4 minggu, diberikan bila lesi luas atau bila dengan pengobatan topikal tidak ada perbaikan. – Ketokonazol 200 mg per hari selama 10 hari – 2 minggu pada pagi hari setelah makan

112. Fixed Drug Eruption • Merupakan reaksi alergi tipe 2 (sitotoksik) • Tanda patognomonis – Lesi khas: • • • • •

Vesikel, bercak Eritema Lesi target berbentuk bulat lonjong atau numular Kadang-kadang disertai erosi Bercak hiperpigmentasi dengan kemerahan di tepinya, terutama pada lesi berulang

– Tempat predileksi: Sekitar mulut, daerah bibir, daerah penis atau vulva

Diagnosis Banding • Pemfigoid bulosa • Selulitis • Herpes simpleks

• Komplikasi : Infeksi sekunder

Terapi • Kortikosteroid sistemik: prednison tab 30 mg/hari dibagi dalam 3x/ hari • Antihistamin sistemik untuk mengurangi rasa gatal: hidroksisin tab 10 mg/hari, 2x/hari selama 7 hari atau loratadin tab 1x10 mg/hari selama 7 hari • Pengobatan topikal – Erosi atau madidans dapat dilakukan kompres NaCl 0,9% atau Larutan Permanganas kalikus 1/10.000 dengan 3 lapis kasa selama 10-15 menit. Kompres dilakukan 3 kali sehari sampai lesi kering. – Terapi dilanjutkan dengan pemakaian topikal kortikosteroid potensi ringan-sedang, misalnya hidrokortison krim 2.5% atau mometason furoat krim 0.1%

113. Pioderma • Folikulitis: peradangan folikel rambut yang ditandai dengan papul eritema perifolikuler dan rasa gatal atau perih. • Furunkel: peradangan folikel rambut dan jaringan sekitarnya berupa papul, vesikel atau pustul perifolikuler dengan eritema di sekitarnya dan disertai rasa nyeri. • Furunkulosis: beberapa furunkel yang tersebar. • Karbunkel: kumpulan dari beberapa furunkel, ditandai dengan beberapa furunkel yang berkonfluensi membentuk nodus bersupurasi di beberapa puncak. • Impetigo krustosa: peradangan yang memberikan gambaran vesikel yang dengan cepat berubah menjadi pustul dan pecah sehingga menjadi krusta kering kekuningan seperti madu. Predileksi spesifik lesi terdapat di sekitar lubang hidung, mulut, telinga atau anus. • Impetigo bulosa: peradangan yang memberikan gambaran vesikobulosa dengan lesi bula hipopion (bula berisi pus). • Ektima: peradangan yang menimbulkan kehilangan jaringan dermis bagian atas (ulkus dangkal).

Pioderma • Pemeriksaan Penunjang – Pemeriksaan dari apusan cairan sekret dari dasar lesi dengan pewarnaan Gram – Pemeriksaan darah rutin kadang kadang ditemukan lekositosis.

• Komplikasi • Erisipelas, selulitis, ulkus, limfangitis, bakteremia

• Terapi: antibiotika oral

114

115

ILMU KESEHATAN ANAK

116. TETRALOGY OF FALLOT

Penyakit jantung kongenital • Asianotik: L-R shunt – ASD: fixed splitting S2, murmur ejeksi sistolik – VSD: murmur pansistolik – PDA: continuous murmur

• Sianotik: R-L shunt – TOF: AS, VSD, overriding aorta, RVH. Boot like heart pada radiografi, cyanotic spell/ tet’s spell (serangan sianosis yg dikompensasi dengan berjongkok lutut ditekuk) – TGA http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0002103/

Tekanan di dalam Jantung

Congenital Heart Disease Congenital HD

Acyanotic

With ↑ volume load: - ASD - VSD - PDA - Valve regurgitation

Cyanotic

With ↑ pressure load:

With ↓ pulmonary blood flow:

With ↑ pulmonary blood flow:

- Valve stenosis

- ToF

- Coarctation of aorta

- Atresia pulmonal

- Transposition of the great vessels

- Atresia tricuspid

1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed. 2. Pathophysiology of heart disease. 5t ed.

- Truncus arteriosus

Park MK. Pediatric cardiology for practitioners. Mosby; 2008.

Cyanotic Congenital HD Cyanotic lesions with ↓ pulmonary blood flow must include both: an obstruction to pulmonary blood flow & a shunt from R to L Common lesions: Tricuspid atresia, ToF, single ventricle with pulmonary stenosis The degree of cyanosis depends on: the degree of obstruction to pulmonary blood flow If the obstruction is mild: Cyanosis may be absent at rest These patient may have hypercyanotic spells during condition of stress If the obstruction is severe: Pulmonary blood flow may be dependent on patency of the ductus arteriosus. When the ductus closes  hypoxemia & shock

Cyanotic Congenital HD Cyanotic lesions with ↑ pulmonary blood flow is not associated with obstruction to pulmonary blood flow

Cyanosis is caused by: Abnormal ventricular-arterial connections: - TGA

Total mixing of systemic venous & pulmonary venous within the heart: - Common atrium or ventricle - Total anomolous pulmonary venous return - Truncus arteriosus

1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.

Tetralogi Fallot

Tet Spell/ Hypercyanotic Spell • serangan biru yang terjadi secara mendadak • Anak tampak lebih biru, pernapasan cepat, gelisah, kesadaran menurun, kadang-kadang disertai kejang. • Serangan berlangsung 15-30 menit, biasanya teratasi secara spontan, tetapi serangan yang hebat dapat berakhir dengan koma, bahkan kematian • Biasanya muncul usia 6-12 bulan, tapi bisa muncul usia 2-4 bulan • ToF yang tipikal biasanya memiliki tekanan pada ventrikel kiri dan kanan yang sama besar, sehinggan tingkat sianosis dan terjadinya tet spell ditentukan dari systemic vascular resistance dan derajat keparahan komponen stenosis pulmonal. PPM IDAI Jilid I

Pelepasan katekolamine

takikardia

increased myocardial contractility + infundibular stenosis.

VICIOUS CYCLE

menangis, BAB, demam, aktivitas yg meningkat

aliran balik vena sistemik meningkat shg resistensi vaskular pulmonal meningkat (afterload pulmonal meningkat) + resistensi vaskular sistemik rendah

KEMATIAN Right-to-left shunt meningkat

aliran darah ke paru berkurang secara tiba-tiba

TET SPELL HYPERCYANOTIC SPELL

sianosis progresif penurunan PO2 dan peningkatan PCO2 arteri  penurunan pH darah

Stimulasi pusat pernapasan di reseptor karotis + nucleus batang otak

hiperpnoea

Tatalaksana Tet Spell • Knee chest position/ squatting – Diharapkan aliran darah paru bertambah karena peningkatan resistensi vaskular sistemik dan afterload aorta akibat penekukan arteri femoralis

• Morfin sulfat 0,1-0,2 mg/kgBB SC, IM, atau IV untuk menekan pusat pernapasan dan mengatasi takipnea • Natrium bikarbonat 1 mEq/kgBB IV untuk mengatasi asidosis. Dosis yang sama dapat diulang dalam 10-15 menit. PPM IDAI Jilid I

117. THALASSEMIA

THALASSEMIA • Penyakit genetik dgn supresi produksi hemoglobin karena defek pada sintesis rantai globin • Diturunkan secara autosomal resesif • Secara fenotip: mayor (transfusion dependent), intermedia (gejala klinis ringan, jarang butuh transfusi), minor/trait (asimtomatik) • Secara genotip: – Thalassemia beta

• Tergantung tipe mutasi, bervariasi antara ringan (++, +) ke berat (0)

– Thalassemia alfa • • • •

-thal 2 /silent carrier state: delesi 1 gen -thal 1 / -thal carrier: delesi 2 gen: anemia ringan Penyakit HbH: delesi 3 gen: anemia hemolitik sedang, splenomegali Hydrops foetalis / Hb Barts: delesi 4 gen, mati dalam kandungan

Wahidiyat PA. Thalassemia and hemoglobinopathy.

PATHOPHYSIOLOGY OF THALASSEMIA 

ANAMNESIS + TEMUAN KLINIS • • • • • • • • • • •

Pucat kronik Hepatosplenomegali Ikterik Perubahan penulangan Perubahan bentuk wajah  facies cooley Hiperpigmentasi kulit akibat penimbunan besi Riwayat keluarga + Riwayat transfusi Ruang traube terisi Osteoporosis “Hair on end” pd foto kepala

Diagnosis thalassemia (cont’d) • Pemeriksaan darah

– CBC: Hb , MCV , MCH , MCHC , Rt , RDW   – Apusan darah: mikrositik, hipokrom, anisositosis, poikilositosis, sel target, fragmented cell, normoblas +, nucleated RBC, howell-Jelly body, basophilic stippling – Hiperbilirubinemia – Tes Fungsi hati abnormal (late findings krn overload Fe) – Tes fungsi tiroid abnormal (late findings krn overload Fe) – Hiperglikemia (late findings krn overload Fe)

• Analisis Hb

– HbF , HbA2 n/, Tidak ditemukan HbA, Hb abnormal (HbE, HbO, dll), Jenis Hb kualitatif

peripheral blood smear of patient with homozygous beta thalassemia with target cells, hypochromia, Howell-Jolly bodies, thrombocytosis, and nucleated RBCs.Image from Stanley Schrier@ 2001 in ASH Image Bank 2001; doi:10.1182/ashimagebank-2001100208)

Hepatosplenomegali & Ikterik

Pucat

Hair on End

Hair on End & Facies Skully

Excessive iron in a bone marrow preparation

Pewarisan Genetik Thalassemia-α Penurunan genetik thalassemia beta jika kedua orang tua merupakan thalassemia trait

NB: need four genes (two from each parent) to make enough alpha globin protein chains.

http://imagebank.hematology.org/AssetDetail.aspx?AssetID=9909&AssetType=Asset

Thalassemia-β Penurunan genetik thalassemia beta jika kedua orang tua merupakan thalassemia trait http://elcaminogmi.dnadirect.com/grc /patient-site/alpha-thalassemiacarrier-screening/genetics-of-alphathalassemia.html?6AC396EC1151986D 584C6C02B56BBCC0

NB: need two genes (one from each parent) to make enough beta globin protein chains.

Tata laksana thalassemia • Transfusi darah rutin  target Hb 12 g/dl • Medikamentosa – Asam folat (penting dalam pembentukan sel) – Kelasi besi  menurunkan kadar Fe bebas dan me>) – Vitamin C (dosis rendah, pada terapi denga n deferoxamin)

• Nutrisi: kurangi asupan besi • Support psikososial



Splenektomi  kriteria: • Splenomegali masif • Kebutuhan transfusi PRC > 200220 ml/kg/tahun • usia: > thn • Be careful with trombocytosis and infection • Immunizations are important

• Transplantasi (sumsum tulang, darah umbilikal) • Fetal hemoglobin inducer (meningkatkan Hgb F yg membawa O2 lebih baik dari Hgb A2) • Terapi gen

KOMPLIKASI THALASSEMIA • Infection • chronic anemia  iron overload  deposisi iron pada miokardium  Kardiomiopati  bermanifestasi sebagai CHF • Endokrinopati – Impaired carbohydrate metabolism – Pertumbuhan : short stature, slow growth rates – Delayed puberty & hypogonadism  infertility – Hypothyroidism & hypoparathyroidism – osteoporosis • Liver: – cirrhosis due to infection and iron load – Bleeding: disturbances of coagulation factors

118. VAKSIN

Vaksin Pertusis • Vaksin pertussis whole cell: merupakan suspensi kuman B. pertussis mati. • Vaksin pertusis aselular adalah vaksin pertusis yang berisi komponen spesifik toksin dari Bordettellapertusis. • Vaksin pertussis aselular bila dibandingkan dengan wholecell ternyata memberikan reaksi lokal dan demam yang lebih ringan, diduga akibat dikeluarkannya komponen endotoksin dan debris.

• Kejadian ikutan pasca imunisasi DTP – Reaksi lokal kemerahan, bengkak, dan nyeri pada lokasi injeksi terjadi pada separuh (42,9%) penerima DTP. – Demam – Anak gelisah dan menangis terus menerus selama beberapa jam pasca suntikan (inconsolable crying). – Kejang demam – ensefalopati akut atau reaksi anafilaksis

Vaksin Pertusis • Kontraindikasi mutlak terhadap pemberian vaksin pertusis baik whole-cell maupun aselular, yaitu – Riwayat anafilaksis pada pemberian vaksin sebelumnya – Ensefalopati sesudah pemberian vaksin pertusis sebelumnya




• Keadaan lain dapat dinyatakan sebagai perhatian khusus (precaution): – bila pada pemberian pertama dijumpai riwayat hiperpireksia, keadaan hipotonik-hiporesponsif dalam 48 jam, anak menangis terus menerus selama 3 jam dan riwayat kejang dalam 3 hari sesudah imunisasi DTP.

119. RESUSITASI NEONATUS

119. Resusitasi Neonatus

Kattwinkel J, Perlman JM. Part 15: neonatal resuscitation: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122(suppl 3):S909 –S919

Rekomendasi utama untuk resusitasi neonatus: • Penilaian setelah langkah awal ditentukan oleh penilaian simultan dua tanda vital yaitu frekuensi denyut jantung dan pernapasan. • Oksimeter digunakan untuk menilai oksigenasi karena penilaian warna kulit tidak dapat diandalkan. • Untuk bayi yang lahir cukup bulan sebaiknya resusitasi dilakukan dengan udara dibanding dengan oksigen 100%. • Oksigen tambahan diberikan dengan mencampur oksigen dan udara (blended oxygen , dan pangaturan konsentrasi dipandu berdasarkan oksimetri. • Bukti yang ada tidak cukup mendukung atau menolak dilakukannya pengisapan trakea secara rutin pada bayi dengan air ketuban bercampur mekonium, bahkan pada bayi dalam keadaan depresi. • Penjepitan talipusat harus ditunda sedikitnya sampai satu menit untuk bayi yang tidak membutuhkan resusitasi. Bukti tidak cukup untuk merekomendasikan lama waktu untuk penjepitan talipusat pada bayi yang memerlukan resusitasi.

Pemberian Oksigen • Target saturasi oksigen dapat dicapai dengan memulai resusitasi dengan udara atau oksigen campuran (blended oxygen) dan dilakukan titrasi konsentrasi oksigen untuk mencapai SpO2 sesuai target. • Jika oksigen campuran tidak tersedia, resusitasi dimulai dengan udara kamar. • Jika bayi bradikardia (kurang dari 60 per menit) setelah 90 detik resusitasi dengan oksigen konsentrasi rendah, konsentrasi oksigen ditingkatkan sampai 100% hingga didapatkan frekuensi denyut jantung normal.

Teknik Ventilasi dan Kompresi • Ventilasi Tekanan Positif (VTP) • Jika bayi tetap apnu atau megap-megap, atau jika frekuensi denyut jantung kurang dari 100 per menit setelah langkah awal resusitasi, VTP dimulai. • Pernapasan awal dan bantuan ventilasi • Bantuan ventilasi harus diberikan dengan frekuensi napas 40 – 60 kali per menit untuk mencapai dan mempertahankan frekuensi denyut jantung lebih dari 100 per menit. Penilaian ventilasi awal yang adekuat ialah perbaikan cepat dari frekuensi denyut jantung. Kattwinkel, John et al. Part 15: Neonatal Resuscitation: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122(suppl 3):S909–S919.

Teknik Ventilasi dan Kompresi • Kompresi dada • Indikasi kompresi dada ialah jika frekuensi denyut jantung kurang dari 60 per menit setelah ventilasi adekuat dengan oksigen selama 30 detik. Untuk neonatus, rasio kompresi: ventilasi = 3:1 (1/2 detik untuk masingmasing). • Pernapasan, frekuensi denyut jantung, dan oksigenasi harus dinilai secara periodik dan kompresi – ventilasi tetap dilakukan sampai frekuensi denyut jantung sama atau lebih dari 60 per menit. • Kompresi dada dilakukan pada 1/3 bawah sternum dengan kedalaman 1/3 dari diameter antero-posterior dada. • Teknik kompresi: (1) teknik kompresi dua ibu jari dengan jari-jari melingkari dada dan menyokong bagian punggung, (2) teknik kompresi dengan dua jari dimana tangan lain menahan bagian punggung • Pada kompresi, dada harus dapat berekspansi penuh sebelum kompresi berikutnya, namun jari yang melakukan kompresi tidak boleh meninggalkan posisi di dada. Kattwinkel, John et al. Part 15: Neonatal Resuscitation: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122(suppl 3):S909–S919.

Kapan menghentikan resusitasi? • Pada bayi baru lahir tanpa adanya denyut jantung, dianggap layak untuk menghentikan resusitasi jika detak jantung tetap tidak terdeteksi setelah dilakukan resusitasi selama 10 menit (kelas IIb, LOE C). • Keputusan untuk tetap meneruskan usaha resusitasi bisa dipertimbangkan setelah memperhatikan beberapa faktor seperti etiologi dari henti hantung pasien, usia gestasi, adanya komplikasi, dan pertimbangan dari orangtua mengenai risiko morbiditas. Kattwinkel, John et al. Part 15: Neonatal Resuscitation: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122(suppl 3):S909–S919.

120. ISK

Infeksi Saluran Kemih • UTI pada anak perempuan 3-5%, laki-laki 1% (terutama yang tidak disirkumsisi) • Banyak disebabkan oleh bakteri usus: E. coli (75-90%), Klebsiella, Proteus. Biasanya terjadi secara ascending. • Gejala dan tanda klinis, tergantung pada usia pasien: – Neonatus: Suhu tidak stabil, irritable, muntah dan diare, napas tidak teratur, ikterus, urin berbau menyengat, gejala sepsis – Bayi dan anak kecil: Demam, rewel, nafsu makan berkurang, gangguan pertumbuhan, diare dan muntah, kelainan genitalia, urin berbau menyengat – Anak besar: Demam, nyeri pinggang atau perut bagian bawah, mengedan waktu berkemih, disuria, enuresis, kelainan genitalia, urin berbau menyengat Fisher DJ. Pediatric urinary tract infection. http://emedicine.medscape.com/article/969643-overview American Academic of Pediatrics. Urinary tract infection: clinical practice guideline for the diagnosis and management of the initial UTI in febrile infants and children 2 to 24 months. Pediatrics 2011; 128(3).

ISK • 3 bentuk gejala UTI: – Pyelonefritis (upper UTI): nyeri abdomen, demam, malaise, mual, muntah, kadang-kadang diare – Sistitis (lower UTI): disuria, urgency, frequency, nyeri suprapubik, inkontinensia, urin berbau – Bakteriuria asimtomatik: kultur urin (+) tetapi tidak disertai gejala • Pemeriksaan Penunjang : – Urinalisis : Proteinuria, leukosituria (>5/LPB), Hematuria (Eritrosit>5/LPB) – Biakan urin dan uji sensitivitas – Kreatinin dan Ureum – Pencitraan ginjal dan saluran kemih untuk mencari kelainan anatomis maupun fungsional • Diagnosa pasti : Bakteriuria bermakna pada biakan urin (>10 5 koloni kuman per ml urin segar pancar tengah (midstream urine) yang diambil pagi hari) Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO. & PPM IDAI

Interpretasi Hasil Biakan Urin

Risk Factor •

• • •

In girls, UTIs often occur at the onset of toilet training. The child is trying to retain urine to stay dry, yet the bladder may have uninhibited contractions forcing urine out. The result may be highpressure, turbulent urine flow or incomplete bladder emptying, both of which increase the likelihood of bacteriuria. Constipation can increase the risk of UTI because it may cause voiding dysfunction Babies who soil to diaper can also sometimes get small particles of stool into their urethra Among infants wearing disposable diapers, there is an increased risk of UTI as the frequency of changing diapers decreases. T Sugimura, et al. Association between the frequency of disposable diaper changing and urinary tract infection in infants. Clin Pediatr (Phila). 2009 Jan;48(1):18-20.

Algoritme Penanggulangan dan Pencitraan Anak dengan ISK

Tatalaksana UTI • •



Tujuan : Memberantas kuman penyebab, mencegah dan menangani komplikasi dini, mencari kelainan yang mendasari Umum (Suportif) – Masukan cairan yang cukup – Edukasi untuk tidak menahan berkemih – Menjaga kebersihan daerah perineum dan periurethra – Hindari konstipasi Khusus – Sebelum ada hasil biakan urin dan uji kepekaan, antibiotik diberikan secara empirik selama 7-10 hari – Obat rawat jalan : kotrimoksazol oral 24 mg/kgBB setiap 12 jam, alternatif ampisilin, amoksisilin, kecuali jika : • Terdapat demam tinggi dan gangguan sistemik • Terdapat tanda pyelonefritis (nyeri pinggang/bengkak) • Pada bayi muda – Jika respon klinis kurang baik, atau kondisi anak memburuk berikan gentamisin (7.5 mg/kg IV sekali sehari) + ampisilin (50 mg/kg IV setiap 6 jam) atau sefalosporin gen-3 parenteral – Antibiotik profilaksis diberikan pada ISK simpleks berulang, pielonefritis akut, ISK pada neonatus, atau ISK kompleks (disertai kelainan anatomis atau fungsional) – Pertimbangkan komplikasi pielonefritis atau sepsis

Dosis Obat Pada UTI Anak ANTIBIOTIC DOSING Amoxicillin/clavul 25 to 45 mg per kg per day, anate divided every 12 hours Cefixime 8 mg per kg every 24 hours or divided every 12 hours Cefpodoxime 10 mg per kg per day, divided every 12 hours Cefprozil 30 mg per kg per day, divided every 12 hours Cephalexin

25 to 50 mg per kg per day, divided every 6 to 12 hours Trimethoprim/sul 8 to 10 mg per kg per day, famethoxazole divided every 12 hours

COMMON ADVERSE EFFECTS Diarrhea, nausea/vomiting, rash Abdominal pain, diarrhea, flatulence, rash Abdominal pain, diarrhea, nausea, rash Abdominal pain, diarrhea, elevated results on liver function tests, nausea Diarrhea, headache, nausea/vomiting, rash Diarrhea, nausea/vomiting, photosensitivity, rash

121. KELAINAN KONGENITAL AKIBAT INFEKSI INTRAUTERINE

Kelainan Kongenital Penyebab

Temuan klinis

Rubella

IUGR, kelainan kardiovaskular (biasanya PDA/ pulmonary artery stenosis), katarak, tuli. retinopati, mikroftalmia, hearing loss, mental retardation, speech defect, trombositopenia,

Varicella

IUGR, kelainan kulit sesuai distribusi dermatomal: sikatriks kulit, kulit tampak merah, berindurasi, dan meradang, kelainan tulang:hipoplasia ekstrimitas dan jari tangan kaki, kelainan mata, dan kelainan neurologis

Toxoplasma

IUGR, chorioretinitis, Cerebral calcification, hydrocephalus, Abnormal cerebrospinal fluid (xanthochromia and pleocytosis), Jaundice, Hepatosplenomegaly, Neurologic signs are severe and always present. (Microcephaly or macrocephaly, Bulging fontanelle, Nystagmus Abnormal muscle tone, Seizures, Delay of development)

Citomegalovirus Retinitis, Jaundice, Hepatosplenomegali, BBLR, Mineral deposits in the brain, Petechiae, Seizures, Small head size (microcephaly) Herpes

Trias: 1. Kulit (scarring, active lesions, hypo- and hyperpigmentation, aplasia cutis, and/or an erythematous macular exanthem) 2. Mata (microopthalmia, retinal dysplasia, optic atrophy, and/or chorioretinitis) 3. Neurologis (microcephaly, encephalomalacia, hydranencephaly, and/or intracranial calcification) http://cmr.asm.org/content/17/1/1.full

122. TRAUMA JALAN LAHIR

Trauma Jalan Lahir • Komplikasi yang sering terjadi akibat trauma jalan lahir: – Kaput suksedanum – Sefalohematoma – Paralisis lengan – Paralisis wajah – Fraktur humerus – Fraktur klavikula – Fraktur femur

Trauma Lahir Ekstrakranial Kaput Suksedaneum

Perdarahan Subgaleal

• Paling sering ditemui • Tekanan serviks pada kulit kepala • Akumulasi darah/serum subkutan, ekstraperiosteal • TIDAK diperlukan terapi, menghilang dalam beberapa hari.

• Darah di bawah galea aponeurosis • Pembengkakan kulit kepala, ekimoses • Mungkin meluas ke daerah periorbital dan leher • Seringkali berkaitan dengan trauma kepala (40%).

Trauma Lahir Ekstrakranial Sefalhematoma • • • •

Perdarahan sub periosteal akibat ruptur pembuluh darah antara tengkorak dan periosteum Etiologi: partus lama/obstruksi, persalinan dengan ekstraksi vakum, Benturan kepala janin dengan pelvis Paling umum terlihat di parietal tetapi kadang-kadang terjadi pada tulang oksipital Tanda dan gejala: massa yang teraba agak keras dan berfluktuasi; pada palpasi ditemukan kesan suatu kawah dangkal didalam tulang di bawah massa; pembengkakan tidak meluas melewati batas sutura yang terlibat



• • • • •

Ukurannya bertambah sejalan dengan bertambahnya waktu 5-18% berhubungan dengan fraktur tengkorak g foto kepala Umumnya menghilang dalam waktu 2 – 8 minggu Komplikasi: ikterus, anemia Kalsifikasi mungkin bertahan selama > 1 tahun. Catatan: Jangan mengaspirasi sefalohematoma meskipun teraba berfluktuasi

 Observasi  ketat  untuk  mendeteksi  perkembangan  Memantau  hematokrit  Memantau  hiperbilirubinemia  Mungkin  diperlukan  pemeriksaan  koagulopati   Tabel 7 : Diagnosis banding trauma lahir ekstrakranial L es i

Pem be gkaka eksternal

↑ s etelah lahir

M eli tas i garis sutura

↑ ↑ ↑ kehila ga darah akut

Kaput        suksedaneum

lunak,  lekukan  

tidak  

ya  

tidak

Sefal  hematoma  

padat,  tegang  

ya  

tidak  

tidak

Hematoma   subgaleal

padat,  berair  

ya  

ya

 

 

ya

 

Trauma Intrakranial Perdarahan Subdural Paling  sering:  73%  dari  semua  perdarahan  intrakranial.  

123. HIPOTIROID KONGENITAL

Congenital Hypothyroidism Etiology •

Thyroid Function: – normal brain growth and myelination and for normal neuronal connections. – The most critical period fis the first few months of life.

• • •



The thyroid arises from the fourth branchial pouches. The thyroid gland develops between 4 and 10 weeks' gestation. By 10-11 weeks' gestation, the fetal thyroid is capable of producing thyroid hormone. By 18-20 weeks' gestation, blood levels of T4 have reached term levels. T

http://emedicine.medscape.com/article/919758-overview#aw2aab6b2b2aa





The fetal pituitary-thyroid axis is believed to function independently of the maternal pituitary-thyroid axis. The contributions of maternal thyroid hormone levels to the fetus are thought to be minimal, but maternal thyroid disease can have a substantial influence on fetal and neonatal thyroid function. – Immunoglobulin G (IgG) autoantibodies, as in autoimmune thyroiditis, can cross the placenta and inhibit thyroid function (transient) – Thioamides (PTU) can block fetal thyroid hormone synthesis (transient) – Radioactive iodine administered to a pregnant woman can ablate the fetus's thyroid gland permanently.

http://www.montp.inserm.fr/u632/images/TR-CAR1.gif

Pathology: Congenital Hypotyroidism

http://php.med.unsw.edu.au/embryology /index.php?title=File:Congenital_hypothyr oidism.jpg

• Causes: – Deficient production of thyroid hormone • Disgenesis congenital Hypothyroidism • Iodine deficiencyendemic goiter

– Defect in thyroid hormonal receptor activity

Hipotiroid kongenital pada Anak • Hipotiroid kongenital (kretinisme) ditandai produksi hormon tiroid yang inadekuat pada neonatus • Penyebab: – Defek anatomis kelenjar tiroid atau jalur metabolisme hormon tiroid – Inborn error of metabolism

• Merupakan salah satu penyebab retardasi mental yang dapat dicegah. Bila terdeteksi setelah usia 3 bulan, akan terjadi penurunan IQ bermakna. • Tata laksana tergantung penyebab. Sebaiknya diagnosis etiologi ditegakkan sebelum usia 2 minggu dan normalisasi hormon tiroid (levotiroksin)sebelum usia 3 minggu.

Postellon DC. Congenital hypothyroidism. http://emedicine.medscape.com/article/919758-overview





Most affected infants have few or no symptoms, because their thyroid hormone level is only slightly low. However, infants with severe hypothyroidism often have a unique appearance, including: – Dull look – Puffy face – Thick tongue that sticks out This appearance usually develops as the disease gets worse. The child may also have: – Choking episodes – Constipation – Dry, brittle hair – Jaundice – Lack of muscle tone (floppy infant) – Low hairline – Poor feeding – Short height (failure to thrive) – Sleepiness – Sluggishness

Neeonatal hypothyroidism. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0002174/

Figure 3 Diagnostic algorithm for the detection of primary congenital hypothyroidism

Grüters, A. & Krude, H. (2011) Detection and treatment of congenital hypothyroidism Nat. Rev. Endocrinol. doi:10.1038/nrendo.2011.160

http://findmeacure.com/2008/04/13/growth-disorders/

124. ASUHAN NUTRISI PEDIATRIK

117. Asuhan Nutrisi Pediatrik

1. Penilaian status Gizi

Status gizi lebih (overweight)/obesitas ditentukan berdasarkan indeks massa tubuh (IMT) Bila pada hasil pengukuran didapatkan, terdapat potensi gizi lebih (>+1 SD ) atau BB/TB>110%, maka grafik IMT sesuai usia dan jenis kelamin digunakan untuk menentukan adanya obesitas. Untuk anak + 2, obesitas > +3, sedangkan untuk anak usia 218 tahun menggunakan grafik IMT CDC 2000 (lihat algoritma). Ambang batas yang digunakan untuk overweight ialah diatas P85 hingga P95 sedangkan untuk obesitas ialah lebih dari P95 grafik CDC 2000.

2. Penentuan Kebutuhan • Kondisi sakit kritis (critical illness) : – Kebutuhan energi = REE x faktor aktivitas x faktor stresa

• Kondisi tidak sakit kritis (non critical illness) – Gizi baik/kurang:

• Kebutuhan kalori ditentukan berdasarkan berat badan ideal dikalikan RDA menurut usia tinggi (height age). • Usia-tinggi ialah usia bila tinggi badan anak tersebut merupakan P50 pada grafik. Kebutuhan nutrien tertentu secara khusus dihitung pada kondisi klinis tertentu . • Tatalaksana Gizi Buruk menurut WHO, atau • Berdasarkan perhitungan target BB-ideal: 13

– BB-ideal x RDA menurut usia-tinggi

Pemberian kalori awal sebesar 50-75% dari target untuk menghindari sindrom refeeding 1

• Obesitas:
Target pemberian kalori adalah – BB-ideal x RDA menurut usia-tinggi

Pemberian kalori dikurangi secara bertahap sampai tercapai target. • Catatan: Berat badan ideal adalah berat badan menurut tinggi badan pada P pertumbuhan 50

3. Penentuan cara pemberian • Pemberian nutrisi melalui oral atau enteral merupakan pilihan utama, jalur parenteral hanya digunakan pada situasi tertentu saja. • Kontra indikasi pemberian makan melalui saluran cerna ialah obstruksi saluran cerna, perdarahan saluran cerna serta tidak berfungsinya saluran cerna. • Pemberian nutrisi enteral untuk jangka pendek dapat dilakukan melalui pipa nasogastrik atau nasoduodenal atau nasojejunal. • Untuk jangka panjang, nutrisi enteral dapat dilakukan melalui gastrostomi atau jejunostomi. • Untuk nutrisi parenteral jangka pendek (kurang dari 14 hari) dapat digunakan akses perifer, sedangkan untuk jangka panjang harus menggunakan akses sentral.

4. Penentuan jenis makanan • Pada pemberian makan melalui oral bentuk makanan disesuaikan dengan usia dan kemampuan oromotor pasien, misalnya 0-6 bulan ASI dan/formula, 6 bulan-1 tahun ASI dan/atau formula ditambah makanan pendamping, 1-2 tahun makanan keluarga ditambah ASI dan/atau susu sapi segar, dan di atas 2 tahun makanan keluarga. • Jenis sediaan makanan untuk enteral disesuaikan dengan fungsi gastrointestinal dan dapat dibagi dalam beberapa jenis, yaitu: – Polimerik, yang terbuat dari makronutrien intak yang ditujukan untuk fungsi gastrointestinal yang normal, terbagi menjadi formula standar dan formula makanan padat kalori – Oligomerik (elemental), biasanya terbuat dari glukosa polimer, protein terhidrolisat, trigliserida rantai sedang (MCT, medium chain triglyceride) – Modular, terbuat dari makronutrien tunggal 
Pada pemberian parenteral, pemberian jenis preparat sesuai dengan usia, perhitungan kebutuhan dan jalur akses vena.

5. Pemantauan dan Evaluasi • Pemantauan dan evaluasi meliputi pemantauan terhadap akseptabilitas atau penerimaan makanan, dan toleransi (reaksi simpang makanan). • Reaksi simpang: – pemberian enteral: mual/muntah, konstipasi dan diare. – Pada pemberian parenteral dapat terjadi reaksi infeksi, metabolik dan mekanis.

• Selain itu, diperlukan pemantauan efektivitas berupa monitoring pertumbuhan. • Pada pasien rawat inap evaluasi dan monitoring dilakukan setiap hari, dengan membedakan antara pemberian jalur oral/enteral dan parenteral. • Pada pasien rawat jalan evaluasi dilakukan sesuai kebutuhan

125. DISENTRI

Disentri • Disentri adalah diare yang disertai darah. Sebagian besar kasus disebabkan oleh Shigella dan hampir semuanya membutuhkan pengobatan antibiotik • Pemeriksaan penunjang: Feses rutin untuk mengidentifikasi trofozoit amuba dan giardia. Peningkatan jumlah leukosit lebih dari 10 per lapang pandang mendukung etiologi bakteri invasif • Pikirkan diagnosa invaginasi jika terdapat tanda dan gejala: Feses dominan lendir dan darah, kesakitan dan gelisah, muntah, massa intra-abdomen (+)

Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO. 2008

(shigellosis) • Bakteri (Disentri basiler) – Shigella, penyebab disentri yang terpenting dan tersering (± 60% kasus disentri yang dirujuk serta hampir semua kasus disentri yang berat dan mengancam jiwa disebabkan oleh Shigella. – Escherichia coli enteroinvasif (EIEC) – Salmonella – Campylobacter jejuni, terutama pada bayi

• Amoeba (Disentri amoeba), disebabkan Entamoeba hystolitica, lebih sering pada anak usia > 5 tahun

Gejala klinis Disentri basiler • Diare mendadak yang disertai darah dan lendir dalam tinja. Pada disentri shigellosis, pada permulaan sakit, bisa terdapat diare encer tanpa darah dalam 6-24 jam pertama, dan setelah 12-72 jam sesudah permulaan sakit, didapatkan darah dan lendir dalam tinja. • Panas tinggi (39,5 - 40,0 C), kelihatan toksik. • Muntah-muntah. • Anoreksia. • Sakit kram di perut dan sakit di anus saat BAB. • Kadang-kadang disertai dengan gejala menyerupai ensefalitis dan sepsis (kejang, sakit kepala, letargi, kaku kuduk, halusinasi).

Disentri amoeba • Diare disertai darah dan lendir dalam tinja. • Frekuensi BAB umumnya lebih sedikit daripada disentri basiler (≤10x/hari) • Sakit perut hebat (kolik) • Gejala konstitusional biasanya tidak ada (panas hanya ditemukan pada 1/3 kasus).

PENGOBATAN • Anak dengan disentri harus dicurigai menderita shigellosis. • Pilihan utama untuk Shigelosis (menurut anjuran WHO) : Kotrimoksazol (trimetoprim 10mg/kbBB/hari dan sulfametoksazol 50mg/kgBB/hari) dibagi dalam 2 dosis, selama 5 hari. • Alternatif yang dapat diberikan : Ampisilin 100mg/kgBB/hari/4 dosis, Cefixime 8mg/kgBB/hari/2 dosis, Ceftriaxone 50mg/kgBB/hari, Asam nalidiksat 55mg/kgBB/hari/4 dosis. • Perbaikan seharusnya tampak dalam 2 hari, misalnya panas turun, sakit dan darah dalam tinja berkurang, frekuensi BAB berkurang, dll. • Terapi antiamebik diberikan dengan indikasi : – Ditemukan trofozoit Entamoeba hystolistica tinja. – Tinja berdarah menetap setelah terapi dengan 2 antibiotika berturut-turut (masing-masing diberikan untuk 2 hari), yang biasanya efektif untuk disentri basiler. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO. 2008

PENGOBATAN • Terapi antiamebik intestinal pada anak adalah Metronidazol 30-50mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis selama 5 hari. Bila disentri memang disebabkan oleh E. hystolistica, keadaan akan membaik dalam 2-3 hari terapi. – Jika negatif amuba, berikan antibiotik oral lain (lini ke-2) yang sensitif shigella : sefiksim dan asam nalidiksat. – Pada anak < 2 bulan, evaluasi penyebab lain (Cth. Invaginasi) – Penanganan lain sama dengan penanganan diare akut (cairan, zinc) – Jangan pernah memberi obat untuk menghilangkan gejala simptomatis seperti nyeri atau untuk mengurangi frekuensi BAB

126. FOOD ALLERGY

Food Allergy • •

• • •

Hipersensitivitas terhadap protein di dalam makanan (cth kasein & whey dari produk sapi) Mekanisme pertahanan spesifik dan non-spesifik saluran cerna belum sempurna, antigen masuk lewat saluran cerna  hipersensitivitas Hipersensitivitas bisa diperantarai IgE atau Tidak diperantarai IgE The prevalence of food allergies has been estimated to be 5-6% in infants and children younger than 3 years and 3.7 % in adults Gejala: – – – –

• •

Anafilaktik Kulit: dermatitis atopik, urtikaria, angioedema Saluran nafas: asma, rinitis alergi Saluran cerna: oral allergy syndrome, esofagitis eosinofilik, gastritis eosinofilik, gastroenteritis eosinofilik, konstipasi kronik, dll.

Pemeriksaan: skin test, IgE serum, eliminasi diet, food challenge Tata laksana: – – –

Eliminasi makanan yang diduga mengandung alergen Breastfeeding, ibu ikut eliminasi produk susu sapi dalam dietnya Susu terhidrolisat sempurna bila susah untuk breastfeeding Nocerino A. Protein intolerance. http://emedicine.medscape.com/article/931548-overview

PPM IDAI

Common Food Allergens

127. BENDA ASING SALURAN NAPAS

Benda asing di saluran jalan napas • • • • • • •

3% in the larynx 13% in the trachea 52% in the right main bronchus 6% in the right lower lobe bronchus fewer than 1% in the right middle lobe bronchus 18% in the left main bronchus 5% in the left lower lobe bronchus; 2% were bilateral. • In a child in a supine position, material is more likely to enter the right main bronchus.

Airway Foreign Body Tracheal foreign body • Additional history/physical: – Complete airway obstruction – Audible slap – Palpable thud – Asthmatoid wheeze

Laryngeal Foreign Body • 8-10% of airway foreign bodies • Highest risk of death before arrival to the hospital • Additional history/physical: – Complete airway obstruction – Hoarseness – Stridor – dyspnea

http://emedicine.medscape.com/article/1001253-workup

Bronchial Foreign Body Bronchial ariway obstruction

90% of airway foreign dies • 80-90% of airway foreign bodies ht main stem most • Right main stem most mmon (controversial) common (controversial) ditional history/physical: • Additional

history/physical: Diagnostic triad ( 15 mg/dl pada NCB

– Ikterus bertahan > 8 hari pada NCB, > 14 hari pada NKB – Tanda penyakit lain

• Gangguan obstruktif menyebabkan hiperbilirubinemia direk. Ditandai bilirubin direk > 1 mg/dl jika bil tot 20% dr total bilirubin. Penyebab: kolestasis, atresia bilier, kista duktus koledokus.

Indrasanto E. Hiperbilirubinemia pada neonatus.

Kolestatis Bilirubin indirek

Bilirubin Direk

Larut air: dibuang lewat ginjal

OBSTRUKSI

Urin warna teh

Tidak ada bilirubin direk yg menuju usus

Feses warna Dempul

Kolestasis (Cholestatic Liver Disease) • Definisi : Keadaan bilirubin direk > 1 mg/dl bila bilirubin total < 5 mg/dl, atau bilirubin direk >20% dari bilirubin total bila kadar bil.total >5 mg/dl • Kolestasis : Hepatoselular (Sindrom hepatitis neonatal) vs Obstruktif (Kolestasis ekstrahepatik) • Sign and Symptom : Jaundice, dark urine and pale stools, nonspecific poor feeding and sleep disturbances, bleeding and bruising, seizures

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Penunjang

Atresia Bilier • Merupakan penyebab kolestasis tersering dan serius pada bayi yang terjadi pada 1 per 10.000 kelahiran • Ditandai dengan adanya obstruksi total aliran empedu karena destruksi atau hilangnya sebagian atau seluruh duktus biliaris. Merupakan proses yang bertahap dengan inflamasi progresif dan obliterasi fibrotik saluran bilier • Etiologi masih belum diketahui • Tipe embrional 20% dari seluruh kasus atresia bilier, – sering muncul bersama anomali kongenital lain seperti polisplenia, vena porta preduodenum, situs inversus dan juga malrotasi usus. – Ikterus dan feses akolik sudah timbul pada 3 minggu pertama kehidupan

• tipe perinatal yang dijumpai pada 80% dari seluruh kasus atresia bilier, ikterus dan feses akolik baru muncul pada minggu ke-2 sampai minggu ke4 kehidupan. Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Anak dengan Gejala Kuning. Dept IKA RSCM. 2007

Atresia Bilier • Gambaran klinis: biasanya terjadi pada bayi perempuan, lahir normal, bertumbuh dengan baik pada awalnya, bayi tidak tampak sakit kecuali sedikit ikterik. Tinja dempul/akolil terus menerus. Ikterik umumnya terjadi pada usia 3-6 minggu • Laboratorium : Peningkatan SGOT/SGPT ringan-sedang. Peningkatan GGT (gamma glutamyl transpeptidase) dan fosfatase alkali progresif. • Diagnostik: USG dan Biopsi Hati • Terapi: Prosedur Kasai (Portoenterostomi) • Komplikasi: Progressive liver disease, portal hypertension, sepsis Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Anak dengan Gejala Kuning. Dept IKA RSCM. 2007

130-131. HEPATITIS AKUT

Hepatitis Viral Akut Hepatitis A •



Hepatitis viral: Suatu proses peradangan pada hati atau kerusakan dan nekrosis sel hepatosit akibat virus hepatotropik. Dapat akut/kronik. Kronik → jika berlangsung lebih dari 6 bulan Perjalanan klasik hepatitis virus akut – –



Stadium prodromal: flu like syndrome, Stadium ikterik: gejala-gejala pada stadium prodromal berkurang disertai munculnya ikterus, urin kuning tua

Anamnesis Hepatitis A : –

Manifestasi hepatitis A: Anak dicurigai menderita hepatitis A jika ada gejala sistemik yang berhubungan dengan saluran cerna (malaise, nausea, emesis, anorexia, rasa tidak nyaman pada perut) dan ditemukan faktor risiko misalnya pada keadaan adanya outbreak atau diketahui sumber penularan.

• Virus RNA (Picornavirus) ukuran 27 nm • Kebanyakan kasus pada usia
View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF