PEB dan HELLP syndrome
May 12, 2017 | Author: andiamalia | Category: N/A
Short Description
PEB dan HELLP syndrome...
Description
Obsestri dan Ginekologi
LAPORAN KASUS
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
HIPERTENSI KRONIK DENGAN SUPERIMPOSED PREEKLAMPSIA + PEB + HELLP SYNDROME
Disusun Oleh: Andi Amalia Nefyanti 1410029033 Pembimbing: dr. Novia Fransiska Ngo, Sp.OG
Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik Pada Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman 2015
1
DAFTAR ISI BAB I………………………………………………………………………..4 PENDAHULUAN…………………………………………………………..4 1.1 Latar belakang………………………………………………………….4 1.2 Tujuan penulisan………………..……………………………………...5 BAB II………………...……………………………………………………..6 LAPORAN KASUS…………………………………………………………6 BAB III………………………………………………………………………9 TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………….…9 3.1 Hipertensi dalam kehamilan………………………………………......9 3.2 Epidemiologi dan faktor risiko……...………………………………..10 3.3 Patofisiologi…………………………………………………………….12 3.4 Perubahan fisiologi patologis…..………...……….…………………..17 3.5 Preeklampsia ringan…………….………………………….…………22 3.6 Preklampsia berat….……………………………………….…………24 3.7 Eklampsia……….….……………………………………….…………30 3.8 Sindroma HELLP……………………………………………………..34 3.9 Hipertensi kronik……………………………………………………...37 3.10 Pencegahan…………………………………………………………...39 BAB IV………………………………………………………….…..……...22 PEMBAHASAN………………………………………………….………..40 BAB V……………………………………………………………….……..46 5.1 Kesimpulan…………………………………………………………….43 5.2 Saran……………………………………………………………………43 DAFTAR PUSTAKA…………………………………..………….….…...44
3
AB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan angka kematian ibu dan perinatal
tertinggi. Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh WHO, diketahui kasus kematian ibu sebanyak 240 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2008. Menurut Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), dikeahui bahwa angka kematian ibu (AKI) di Indonesia berada pada peringkat ke 12 dari 18 negara anggota ASEAN dan SEARO (South East Asian Nation Regional Organization) dan dilaporkan angka kematian ibu mengalami penurunan dari 390 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1994 menjadi 225 per 100.000 pada tahun 1999, dan menurun lagi menjadi 125 per 100.000 pada tahun 2010. Menurut WHO (2005), penyebab kematian maternal termasuk perdarahan, infeksi, eklampsia, persalinan macet dan aborsi tidak aman. Penyebab kematian ibu di Indonesia dikenal dengan trias klasik yakni perdarahan, preeclampsia/eklampsia, dan infeksi. Dimana dari 536.000 kematian maternal di dunia, 25 % oleh karena perdarahan 15% infeksi dan 12% preklampsia.(1) Preeklampsia dan eklampsia merupakan salah satu komplikasi kehamilan yang disebabkan langsung oleh kehamilan itu sendiri.(2) Preeklampsia dan eklampsia merupakan penyakit glomerulus yang paling umum di dunia, dimana penyebab awalnya masih tidak diketahui, namun perkembangan terbaru menjelaskan mekanisme molekuler melatarbelakangi manifestasinya terutama perkembangan abnormal, hipoksia plasenta, disfungsi endotel. Pada ibu dapat berkomplikasi sebagai hemolysis, elevated liver enzymes, dan thrombocytopenia (HELLP Syndrome), gagal ginjal, kejang, gangguan hati, stroke, penyakit jantung hipertensi, dan kematian sedangkan pada fetus dapat mengakibatkan persalinan preterm, hipoksia neurogenik, dan kematian.(1) Sindrom HELLP adalah komplikasi berat pada Kehamilan
ditandai
dengan hemolisis, peningkatan enzim hati dan trombositopenia. Istilah sindrom HELLP pertama kali dicetuskan oleh Weinstein pada Tahun 1982 sebagian
5
penderita hanya terdapat 1atau 2 tanda dari sindrom ini, yang disebut sebagai sindrom HELLP Parsial (SHP). Kasus ini sering
ditemukan pada trimester
kedua (15%), trimester ketiga (50%), sebelum persalinan atau
periode
pascapersalinan hingga 48 jam setelahnya. Sindrom HELLP adalah komplikasi dari preeklampsia berat yang sering tak terdeteksi dan progresif. (3) 1.2. Tujuan 1.2.1. Mengetahui
prosedur
anamnesis,
pemeriksaan
fisik,
pemeriksaan
penunjang yang diperlukan dan penegakkan diagnosis obstetrik. 1.2.2. Mengetahui keadaan patologis kehamilan yang didapatkan dalam kasus ini, yaitu preeklampsia berat dan HELLP syndrome termasuk alur penegakkan diagnosis dan penatalaksanaannya. 1.2.3. Mengkaji ketepatan penegakkan diagnosis dan penatalaksanaan dalam kasus ini.
7
BAB II LAPORAN KASUS Anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 05 November 2015 pukul 05.00 WITA di ruang nifas Mawar Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Wahab Sjahranie Samarinda. Identitas Pasien Nama
: Ny. D
Usia
: 40 tahun.
Alamat
: Palaran
Pekerjaan
: Ibu rumah tangga (IRT).
Pendidikan
: SMP
Suku
: Bugis
Agama
: Islam
MRS
: 2 November 2015 pukul 01.50 WITA
Identitas Suami Nama
: Tn. D
Usia
: 44 Tahun
Alamat
: Palaran
Pekerjaan
: Wiraswasta
Pendidikan
: SMP
Suku
: Bugis
Agama
: Islam
9
Keluhan Utama Pasien merupakan rujukan dari rumah sakit swasta dengan diagnosis PEB dan HELLP syndrome Riwayat Penyakit Sekarang Pasien merupakan rujukan dari rumah sakit swasta dengan diagnosis PEB dan HELLP syndrome. Pasien pergi ke rumah sakit swasta untuk memeriksakan kehamilannya. Pasien berencana untuk melahirkan dengan cara operasi karena berencana steril. Dirumah sakit tersebut didapatkan tekanan darah pasien tinggi dan dilakukan pemeriksaan lengkap lalu ditegakkan diagnosis PEB dan HELLP syndrome. Pasien dirujuk ke RSUD AWS karena direncanakan terminasi kehamilan segera tetapi di rumah sakit tersebut Sp.An tidak ada di tempat dan tidak ada fasilitas NICU. Pusing (-), nyeri ulu hati (-), kejang (-). Riwayat Penyakit Dahulu Pasien memiliki riwayat hipertensi sebelum kehamilan ± sejak 5 tahun yang lalu dan tidak rutin meminum obat. Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada Riwayat Menstruasi
Menarche Lama haid Jumlah darah haid Hari pertama haid terakhir Taksiran persalinan
: 12 tahun. : 7 hari. : 2x kali ganti pembalut. : 05-03-2015. : 12-12-2015.
Riwayat Pernikahan Menikah satu kali, menikah saat usia 19 tahun dengan lama pernikahan selama 21 tahun.
11
Riwayat Obstetrik No .
Tahun Tempat partus
Partus
Umur
Jenis
Penolong
kehamila
Persalina
Persalina
n
n
n
1.
1991
Rumah
Aterm
Spontan
2.
1992
Rumah
Aterm
Spontan
3.
1995
Rumah
Aterm
Spontan
4.
2011
Rumah
Aterm
Spontan
5.
2013
Rumah
Aterm
Spontan
6.
2015
Ibu kandung Ibu kandung Ibu kandung Ibu kandung Ibu kandung Hamil Ini
Jenis Penyuli
Kelamin/
t
Berat
-
Badan Perempuan/
Keadaan anak Sekarang
Perempuan/ -
Sehat Sehat
-
Laki-laki/-
Sehat
-
Laki-laki/-
Sehat
-
Perempuan/ -
Sehat
Antenatal Care (ANC) ANC Trimester I : 1 kali ke bidan ANC Trimester II : 1 kali ke bidan ANC Trimester III : 1 kali ke bidan Kontrasepsi Suntik tiga bulan selama 7 tahun Pemeriksaan Fisik Antropometri
: Berat badan (BB) : 60 kg, Tinggi badan (TB) : 155 cm.
Keadaan umum
: Baik
Kesadaran
: Composmentis
Tanda vital
:
Tekanan darah Frekuensi nadi Frekuensi nafas Suhu
: 220/150 mmHg : 80 kali/menit : 20 kali/menit : 36,8 ºC
Status Generalisata 13
Kepala : normocephal Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-). Telinga : tidak ditemukan kelainan Hidung : tidak ditemukan kelainan Tenggorokkan : tidak ditemukan kelainan Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-), pembesaran tiroid (-) Thoraks Jantung Paru-paru Abdomen: Inspeksi Auskultasi Ekstremitas: Superior Inferior
: : S1S2 reguler tunggal, murmur (-), gallop (-) : suara napas vesikuler, ronki (-), wheezing (-) : cembung, linea nigra (+), striae albicans (+) : bising usus (+) normal : edema (-/-), akral hangat : edema (-/-), akral hangat, varises (-/-)
Status Obstetrik dan Ginekologi
Inspeksi
: membesar arah memanjang, striae albicans (+), linea nigra
(+). Palpasi : Tinggi fundus uteri : 27 cm. Leopold I : teraba bagian lunak. Leopold II : punggung janin terletak di kiri ibu. Leopold III : teraba bagian bulat keras. Leopold IV : belum masuk PAP His :Auskultasi : Denyut jantung janin : 134 kali / menit Vaginal toucher : Tidak dilakukan
Diagnosis Kerja Sementara G6P5A0 gravid 34-35 minggu+ janin tunggal hidup + letkep + belum inpartu + HT kronik dengan superimposed preeklampsia + PEB + HELLP syndrome Penatalaksanaan Advice dr Sp.OG: -
MGSO4 40% 4 g (10 cc) diberikan iv selama 5 menit. Segera dilanjutkan dengan drip MGSO4 40% 6 g (15cc) dalam 500 cc D 5%/ RL selama 6
15
jam (20 tpm). Dosis pemeliharaan : drip MGSO4 40% 6 g (15cc) dalam 500 cc D5% selama 6 jam sampai 24 jam perawatan/ post partum - Inj cefotaxime 3x1 g - Inj dexametason 3x2 amp - Nifedipin 3x10 mg - Cekl DL/KDL/Albumin Advice dr Sp.JP : - Nifedipin 3x10 mg - Bila TD masih belum turun bisa diberikan sp perdipine 0,5 meq/kgbb
Pemeriksaan Penunjang Darah Rutin
Leukosit : 11.100 / mm3 Hemoglobin : 12,9 gr % Hematokrit : 37,1 % Trombosit : 116.000 / mm3 Bleeding Time: 3 menit Clotting Time : 10 menit
Kimia Darah
GDS Ureum Creatinin SGOT SGPT LDH HBSAG HIV
: 84 mg/dl : 71,6 : 1,0 : 177 : 186 : 839 : Non Reaktif : Non Reaktif
Urin Lengkap Protein +1
2-11-15
3-11-15
4-11-15
Keluhan (-)
nyeri kepala (-), mual (-) muntah (-) nyeri ulu hati (-) mata kabur (-)
Keluhan (-)
17
TD 220/150,N 80x,RR 22x, TFU 27 cm, DJJ 134x HIS (-) VT tidak dilakukan
TD 180/100, N 84x, RR 20x His (-) DJJ 137x
TD 160/100 N 80 RR 20 Abdomen : soefl, TFU 2 jar dibawah pusat, timpani, bis (+)
Hasil Lab Lab : Hb 12,9 Bt 3 Ur 71,6 LDH 839 Leu 11.100 Ct 10 Cr 1,0 Na 136 HT 37,1 GDS 84 SGOT 177 K 3,7 PLT 116.000 SGPT 186 Cl 110 UL :protein +1
Hb 12,2 GDS 122 Prot tot 6,5 Leu 18.600 SGOT 523 Alb 3,3 PLT 104.000 SGPT 605 Glob 3,1 HT 34,1 Bilt 0,6 Chol 235 Ur 62,5 Bil d 0,4 As urat 12 Cr 1,0 Bil ind 0,2
G6P5A0 gravid 34-35 minggu+ janin tunggal
G6P5A0
hidup + letkep + belum inpartu + HT kronik
gravid 34-35 minggu+ janin P6006A0 + post SC + MOW tunggal hidup + letkep + belum inpartu + PEB + HELLP syndrome
dengan superimposed preeklampsia + PEB
HT
+ HELLP syndrome
preeklampsia + PEB + HELLP syndrome
Konsul dr Sp.OG:
lapor dr Sp.OG : - Terapi IGD lanjut - NST - Cek lab lengkap - puasakan - rencana SC + MOW siang ini
-
15.00 Dilakukan SC bayi lahir jenis kelamin perempuan A/S 9/10, BB/PB 2400 gr/ 45 cm. Plasenta lahir spontan-lengkap. Dilakukan MOW.
-
-
-
MGSO4 40% 4 g (10 cc) diberikan iv selama 5 menit. Segera dilanjutkan dengan drip MGSO4 40% 6 g (15cc) dalam 500 cc D 5%/ RL selama 6 jam (20 tpm). Dosis pemeliharaan : drip MGSO4 40% 6 g (15cc) dalam 500 cc D5% selama 6 jam sampai 24 jam perawatan/ post partum
Inj Cefotaxime 3x1 g Inj Dexametason 3x2 amp Nifedipin 3x10 mg Cekl DL/KDL/Albumin
Konsul dr Sp.JP : - Nifedipin 3x10 mg - Bila TD masih belum turun bisa diberikan sp perdipine 0,5 meq/kgbb
kronik
dengan
superimposed
-
Drip MGSO4 sesuai s/d 24 jam Perdipine 9cc/jam Inj. Cefotaxime 3x1 Inj Antrain 3x1 amp Inj Dexametason 3x Obs TTV Pagi diet bubur sian NTKTPRG Cek DL ulang, SGO Bil T/D/Ind/alb./ur c
Advis post op 1. Drip MGSO4 s/d 24 jam 2. Perdipin 9 cc/jam 3. Inj Cefotaxim 3x1g 4. Inj Antrain 3x1 amp 5. Inj Dexametason 3x2 amp 6. Bila kontraksi jelek beri gastrul 2 tab/rectal
19
S
5-11-15
6-11-15
7-11-15
Keluhan (-)
Keluhan (-)
Keluhan (-)
TD 190/100 N 82x RR 20x
TD 200/120 N 82 RR 20
O TD 180/110 N 80x RR 20x
Hb 9,6 SGOT 50 Leu 30.600 SGPT 269 Ht 37,6 Bil tot 0,3 PLT 77.000 Bil direct 0,2 GDS 150 Bil ind 0,1 Prot tot 5,6 Alb 2,9 Chol 176 Glob 2,7 Ur 47,3 Cr 0,7 As Urat 8,1
A P6006A0 + post SC + MOW hari P
2 a/i PEB + HELLP syndrome - Pro co jantung ulang - Inj Cefotaxime 3x1 gr - Asam mefenamat 3x500 mg - Inj Dexametason 3x2 amp - Perdipine 9 cc .jam
Bt 2’ Ct 11’ anti hcv (-) igm hav (-)
P6006A0 + post SC + MOW hari 3a/i PEB + HELLP syndrome - Pro co jantung ulang - Inj Cefotaxime 3x1 gr - Asam mefenamat 3x500 mg - Inj Dexametason 3x2 amp - Perdipine 9 cc/jam
P6006A0 + post SC + MOW h 4 a/i PEB + HELLP syndro - Venflon - Inj cefotaxime 3x1 g - Inj dexametason 3x amp - SF 2x300 mg - PCT 3x500 mg - Amlodipine 10 mg 1
21
-
Obs ttv/4jam Mobilisasi bertahap
-
Mobilisasi bertahap Besok cek dl ulang, cek HAV, anti HCV, BT,CT Advice dr Sp.OG : - inj Dexametason dilanjutkan s/d trom ≥100.000 Hasil konsul dr Sp.JP advice : - Amlodipine 10 mg 1-00 - Bisoprolol 5 mg 0-0-1
-
0 Bisoprolol 5 mg 0-1 Aff DC Mobilisasi Besok pagi cek DL ulang
23
BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Hipertensi Dalam Kehamilan Klasifikasi 1. Hipertensi kronik 2. Preeklampsia-eklampsia 3. Hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia 4. Hipertensi gestasional (1) Penjelasan pembagian klasifikasi 1. Hipertensi kronik adalah hipertensi yang timbul sebelum umur kehamilan 20 minggu atau hipertensi yang pertama kali didiagnosis setelah umur kehamilan 20 minggu dan hipertensi menetap sampai 12 minggu pasca persalinan. 2. Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai dengan proteinuria. 3. Eklampsia adalah preeklampsia yang disertai dengan kejang-kejang dan/atau koma. 4. Hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia adalah hipertensi kronik disertai tanda-tanda preeklampsia atau hipertensi kronik disertai proteinuria. 5. Hipertensi gestasional (disebut juga transient hypertension) adalah hipertensi yang timbul pada kehamilan tanpa disertai proteinuria dan hipertensi menghilang setelah 3 bulan pasca persalinan atau kehamilan dengan tanda-tanda preeklampsia tetapi tanpa proteinuria.(1) Penjelasan tambahan 1. Hipertensi adalah tekanan darah sistolik dan diastolik ≥ 140/90 mmHg. Pengukuran tekanan darah sekurang-kurangnya dilakukan 2 kali selang 4 jam. 2. Proteinuria ialah adanya 300 mg protein dalam urin selama 24 jam atau sama dengan ≥ 1+ dipstick 3. Edema, dahulu adalah edema tungkai, dipakai sebagai tanda-tanda preeklampsia, tetapi sekarang edema tungkai tidak dipakai lagi, kecuali edema generalisata (anasarka). (1) 3.2 Epidemiologi dan Faktor Resiko Kejadian preeklampsia di Amerika Serikat berkisar antara 2-6% dari ibu hamil nulipara yang sehat. Di negara berkembang, kejadian preeklampsia berkisar
9
antara 4-18%. Penyakit preeklampsia ringan terjadi 75% dan preeklampsia berat terjadi 25%. Dari seluruh kejadian preeklampsia, sekitar 10% kehamilan umurnya kurang dari 34 minggu. Kejadian preeklampsia meningkat pada wanita dengan riwayat preeklampsia, kehamilan ganda, hipertensi kronis dan penyakit ginjal. Pada ibu hamil primigravida terutama dengan usia muda lebih sering menderita preeklampsia dibandingkan dengan multigravida. Faktor predisposisi lainnya adalah usia ibu hamil dibawah 25 tahun atau diatas 35 tahun, mola hidatidosa, polihidramnion dan diabetes.(4,5) Walaupun belum ada teori yang pasti berkaitan dengan penyebab terjadinya preeklampsia, tetapi beberapa penelitian menyimpulkan sejumlah faktor yang mempengaruhi terjadinya preeklampsia. Faktor risiko tersebut meliputi:(6) a. Usia Insidens tinggi pada primigravida muda, meningkat pada primigravida tua. Pada wanita hamil berusia kurang dari 25 tahun insidens > 3 kali lipat. Pada wanita hamil berusia lebih dari 35 tahun, dapat terjadi hipertensi yang menetap. b. Paritas Angka kejadian tinggi pada primigravida, muda maupun tua, primigravida tua risiko lebih tinggi untuk preeklampsia berat. c. Faktor Genetik Jika ada riwayat preeklampsia/eklampsia pada ibu/nenek penderita, faktor risiko meningkat sampai 25%. Diduga adanya suatu sifat resesif (recessive trait), yang ditentukan genotip ibu dan janin. Terdapat bukti bahwa preeklampsia merupakan penyakit yang diturunkan, penyakit ini lebih sering ditemukan pada anak wanita dari ibu penderita preeklampsia. Atau mempunyai riwayat preeklampsia/eklampsia dalam keluarga. d. Diet/gizi Tidak ada hubungan bermakna antara menu/pola diet tertentu. Penelitian lain : kekurangan kalsium berhubungan dengan angka kejadian yang tinggi. Angka kejadian juga lebih tinggi pada ibu hamil yang obese/overweight. e. Tingkah laku/sosioekonomi Kebiasaan merokok : insidens pada ibu perokok lebih rendah, namun merokok selama hamil memiliki risiko kematian janin dan pertumbuhan janin terhambat yang jauh lebih tinggi. Aktifitas fisik selama hamil atau istirahat baring yang cukup selama hamil mengurangi kemungkinan/insidens hipertensi dalam kehamilan.
10
f. Hiperplasentosis Proteinuria dan hipertensi gravidarum lebih tinggi pada kehamilan kembar, dizigotik lebih tinggi daripada monozigotik. g. Mola hidatidosa Degenerasi trofoblas berlebihan berperan menyebabkan preeklampsia. Pada kasus mola, hipertensi dan proteinuria terjadi lebih dini/pada usia kehamilan muda, dan ternyata hasil pemeriksaan patologi ginjal juga sesuai dengan pada preeklampsia. h. Obesitas Hubungan antara berat badan wanita hamil dengan resiko terjadinya preeklampsia jelas ada, dimana terjadi peningkatan insiden dari 4,3% pada wanita dengan Body Mass Index (BMI) < 20 kg/m 2 manjadi 13,3% pada wanita dengan Body Mass Index (BMI) > 35 kg/m2. i. Kehamilan multiple Preeklampsia dan eklampsia 3 kali lebih sering terjadi pada kehamilan ganda dari 105 kasus kembar dua didapat 28,6% preeklampsia dan satu kematian ibu karena eklampsia. Dari hasil pada kehamilan tunggal, dan sebagai faktor penyebabnya ialah dislensia uterus. Dari penelitian Agung Supriandono dan Sulchan Sofoewan menyebutkan bahwa 8 (4%) kasus preeklampsia berat mempunyai jumlah janin lebih dari satu, sedangkan pada kelompok kontrol, 2 (1,2%) kasus mempunyai jumlah janin lebih dari satu. 3.3 Patofisiologi Penyebab hipertensi dalam kehamilan hingga kini belum diketahui dengan jelas. Banyak teori telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi dalam kehamilan, tetapi tidak ada satu pun teori yang dianggap mutlak benar. Teori-teori yang sekarang banyak dianut adalah : 1. Teori kelainan vaskularisasi plasenta Pada kehamilan normal, Rahim dan plasenta mendapat aliran darah dari cabang-cabang arteri uterina dan arteria ovarika. Kedua pembuluh darah tersebut menembus miometrium berupa arteri arkuata dan arteri arkuata memberi cabang arteri radialis. Arteria radialis menembus endometrium menjadi arteri basalis dan arteri basalis memberi cabang arteri spiralis. (5,6) Pada hamil normal, dengan sebab yang belum jelas, terjadi invasi trofoblas ke dalam lapisan otot arteria spiralis, yang menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut sehingga terjadi dilatasi arteri spiralis. 11
Invasi trofoblas juga memasuki jaringan sekitar arteri spiralis, sehingga jaringan matriks menjadi gembur dan memudahkan lumen arteri spiralis mengalami distensi dan dilatasi. Distensi dan vasodilatasi lumen arteri spiralis ini memberi dampak penurunan tekanan darah, penurunan resistensi vaskular dan peningkatan aliran darah pada daerah utero plasenta. Akibatnya, aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi jaringan juga meningkat, sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin dengan baik. Proses ini dinamakan “remodeling arteri spiralis”. (5,6,8) Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot arteri spiralis menjadi tetap kaku dan keras sehingga lumen arteri spiralis tidak memungkinkan mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya, arteri spiralis relatif mengalami vasokonstriksi, dan terjadi kegagalan “remodeling arteri spiralis”, sehingga aliran darah uteroplasenta menurun dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta. Dampak iskemia plasenta akan menimbulkan perubahan-perubahan yang dapat menjelaskan patogenesis HDK selanjutnya. (5,6,8) Diameter rata-rata arteri spiralis pada hamil normal adalah 500 mikron, sedangkan pada preeklampsia rata-rata 200 mikron. Pada hamil normal vasodilatasi lumen arteri spiralis dapat meningkatkan 10 kali aliran darah ke utero plasenta.(5,6) 2. Teori iskemia plasenta, radikal bebas dan disfungsi endotel Iskemia plasenta dan pembentukan oksidan/radikal bebas Sebagaimana dijelaskan pada teori invasi trofoblas, pada hipertensi dalam kehamilan terjadi kegagalan “ remodeling arteri spiralis”, dengan akibat plasenta mengalami iskemia. Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia akan menghasilkan oksidan (disebut juga radikal bebas). Oksidan atau radikal bebas adalah senyawa penerima electron atau atom/molekul yang mempunyai elektron yang tidak berpasangan. Salah satu oksidan penting yang dihasilkan plasenta iskemia adalah radikal hidroksil yang sangat toksis, khususnya terhadap membran sel endotel pembuluh darah. Sebenarnya produksi oksidan pada manusia adalah suatu proses normal, karena oksidan memang dibutuhkan untuk perlindungan tubuh. Adanya radikal hidroksil dalam darah mungkin dahulu dianggap sebagai bahan
12
toksin yang beredar dalam darah, maka dulu hipertensi dalam kehamilan disebut “toxaemia”. Radikal hidroksil akan merusak membran sel, yang mengandung banyak asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak. Peroksida lemak selain akan merusak membran sel, juga akan merusak nukleus dan protein sel endotel. Produksi oksidan (radikal bebas) dalam tubuh yang bersifat toksis, selalu diimbangi dengan produksi antioksidan. (6)
Peroksida lemak sebagai oksidan pada hipertensi dalam kehamilan Pada hipertensi dalam kehamilan telah terbukti bahwa kadar oksidan, khususnya peroksida lemak meningkat, sedangkan antioksidan, missal vitamin E pada hipertensi dalam kehamilan menurun, sehingga terjadi dominasi kadar oksidan peroksida lemak yang relative tinggi. Peroksida lemak sebagai oksidan/radikal bebas yang sangat toksis ini akan beredar diseluruh tubuh dalam aliran darah dan akan merusak membran sel endotel. Membaran sel endotel lebih mudah mengalami kerusakan oleh peroksida lemak, karena letaknya langsung berhubungan dengan aliran darah dan mengandung banyak asam lemak tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh sangat rentan terhadap oksidan radikal hidroksil,
yang akan berubah menjadi peroksida lemak.(6) Disfungsi sel endotel Akibat sel endotel terpapar terhadap peroksida lemak, maka terjadi kerusakan sel endotel, yang kerusakannya dimulai dari membaran sel endotel. Kerusakan membran sel endotel mengakibatkan terganggunya fungsi endotel, bahkan rusaknya seluruh struktur sel endotel. Keadaan ini disebut “disfungsi endotel” (endothelial dysfunction). Pada waktu terjadi kerusakan sel endotel yang mengakibatkan disfungsi sel endotel, maka
-
akan terjadi : Gangguan metabolisme prosgtaglandin, karena salah satu fungsi endotel, adalah
-
memproduksi
prostaglandin,
yaitu
menurunnya
produksi
prostasiklin (PGE2) : Suatu vasodilator kuat Agregasi sel sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami kerusakan. Agregasi sel trombosit ini adalah untuk menutup tempat-tempat di lapisan endotel yang mengalami kerusakan. Agregasi trombosit memproduksi tromboksan (TXA2) suatu vasokonstriktor kuat. Dalam
13
keadaan normal perbadingan kadar prostasiklin/tromboksan lebih tinggi kadar prostasiklin (lebih tinggi vasodilator). Pada preeklampsia kadar tromboksan lebih tinggi dari kadar prostasiklin sehingga terjadi -
vasokonstriksi, dengan terjadi kenaikan tekanan darah. Perubahan khas pada sel endotel kapiler glomerulus (glomerular
-
endotheliosis) Peningkatan permeabilitas kapiler. Peningkatan produksi bahan-bahan vasopressor, yaitu endotelin. Kadar NO (vasodilator) menurun, sedangkan endotelin (vasokonstriktor)
-
meningkat. Peningkatan faktor koagulasi.(4)
3. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin Pada perempuan hamil normal, respon imun tidak menolak adanya hasil konsepsi yang bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya human leukocyte antigen protein G (HLA-G), yang berperan penting dalam modulasi respon imun, sehingga si ibu tidak menolak hasil konsepsi (plasenta). Adanya HLA-G pada plasenta dapat melindungi trofoblas janin dari lisis oleh sel natural killer (NK) ibu. (1) Selain itu, adanya HLA-G akan mempermudah invasi sel trofoblas ke dalam jaringan desidua ibu. Jadi HLA-G merupakan pra kondisi untuk terjadinya invasi trofoblas ke dalam jaringan desidua ibu, disamping untuk menghadapi sel NK. Pada plasenta hipertensi dalam kehamilan terjadi penurunan ekspresi HLA-G. berkurangnya HLA-G di desidua daerah plasenta, menghambat invasi trofoblas ke dalam desidua. Invasi trofoblas sanat penting agar jaringan desidua menjadi lunak, dan gembur sehingga memudahkan terjadinya dilatasi arteri spiralis. HLA-G juga merangsang produksi sitokin, sehingga memudahkan terjadinya reaksi inflamasi. Kemungkinan terjadi immune maladaptation pada preeklampsia.(1) Pada awal trimester kedua kehamilan perempuan yang mempunyai kecenderungan terjadi preeklampsi, ternyata mempunyai proporsi helper sel yang lebih rendah dibanding pada normotensif.(1) 4. Teori adaptasi kardiovaskular Pada hamil normal pembuluh darah refrakter terhadap bahan-bahan vasopresor. Refrakter, berarti pembuluh darah tidak peka terhadap
14
rangsangan bahan vasopresor atau dibutuhkan kadar vasopresor yang lebih tinggi untuk menimbulkan respons vasokonstriksi. Pada kehamilan normal terjadinya refrakter pembuluh darah terhadap bahan vasopresor adalah akibat dilindungi oleh adanya sintesis prostaglandin pada sel endotel pembuluh darah. Hal ini dibuktikan bahwa daya refrakter terhadap bahan vasopressor akan hilang bila diberi prostaglandin sintesa inhibitor (bahan yang menghambat produksi prostaglandin). Prostaglandin ini di kemudian hari ternyata adalah prostasiklin. (1) Pada hipertensi dalam kehamilan kehilangan daya refrakter terhadap bahan vasokonstriktor, dan ternyata terjadi peningkatan kepekaan terhadap bahan-bahan vasopresor. Artinya, daya refrakter pembuluh darah terhadap bahan vasopresor hilang sehingga pembuluh darah meniadi sangat
peka
terhadap
bahan
vasopresor.
Banyak
peneliti
telah
membuktikan bahwa peningkatan kepekaan terhadap bahan-bahan vasopresor pada hipertensi dalam kehamilan sudah terjadi pada trimester I (pertama). Peningkatan kepekaan pada kehamilan yang akan menjadi hipertensi dalam kehamilan sudah dapat ditemukan pada kehamilan dua puluh minggu. Fakta ini dapat dipakai sebagai prediksi akan terjadinya hipertensi dalam kehamilan.(1) 5. Teori defisiensi gizi Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kekurangan defisiensi gizi berperan dalam terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Penilitian yang penting yang pernah dilakukan di Inggris ialah penelitian tentang pengaruh diet pada preeklampsia beberapa waktu sebelum pecahnya Perang Dunia II. Suasana serba sulit mendapat gizi yang cukup dalam persiapan Perang menimbulkan kenaikan insiden hipertensi dalam kehamilan.(1) Penelitian terakhir membuktikan bahwa konsumsi minyak ikan, termasuk minyak hati halibut, dapat mengurangi risiko preeklampsia. Minyak ikan mengandung banyak asam lemak tidak jenuh yang dapat menghambat produksi tromboksan, menghambat aktivasi trombosit, dan mencegah vasokonstriksi pembuluh darah. Beberapa peneliti telah mencoba melakukan uji klinik untuk memakai konsumsi minyak ikan atau bahan yang mengandung asam lemak tak jenuh dalam mencegah 15
preeklampsia. Hasil sementara menunjukkan bahwa penelitian ini berhasil baik dan mungkin dapat dipakai sebagai alternatif pemberian aspirin. Beberapa peneliti juga menganggap bahwa defisiensi kalsium pada diet perempuan
hamil
mengakibatkan
risiko
terjadinya
preeklampsia/eklampsia. Penelitian di Negara Equador Andes dengan metode uji klinik, ganda tersamar, dengan membandingkan pemberian kalsium dan plasebo. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ibu hamil yang diberi suplemen kalsium cukup, kasus yang mengalami preeklampsia adalah 14% sedang yang diberi glukosa 17%.(1) 6. Teori inflamasi Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas di dalam sirkulasi darah merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi. Pada kehamilan normal plasenta juga melepaskan debris trofoblas, sebagai sisa-sisa proses apoptosis dan nekrotik trofoblas, akibat reaksi stres oksidatif. Bahan-bahan ini sebagai bahan asing yang kemudian merangsang timbulnya proses inflamasi. Pada kehamilan normal, jumlah debris trofoblas masih dalam batas wajar, sehingga reaksi inflamasi juga masih dalam batas normal. Berbeda dengan proses apoptosis pada preeklampsia, di mana pada preekiampsia terjadi peningkatan stres oksidatif, sehingga produksi debris apoptosis dan nekrotik trofoblas juga meningkat. Makin banyak sel trofoblas plasenta, misalnya pada plasenta besar, pada hamil ganda, maka reaksi stres oksidatif akan sangat meningkat, sehingga jumlah sisa debris trofoblas juga makin meningkat. Keadaan ini menimbulkan beban reaksi infiamasi dalam darah ibu menjadi jauh lebih besar, dibanding reaksi inflamasi pada kehamilan normal. Respons inflamasi ini akan mengaktivasi sel endotel, dan sel-sel makrofag/granulosit, yang lebih besar pula, sehingga terjadi reaksi sistemik inflamasi yang menimbulkan gejala-geiala preeklampsia pada ibu. Redman, menyatakan bahwa disfungsi endotel pada preeklampsia akibat produksi debris trofoblas plasenta berlebihan tersebut di atas, mengakibatkan "aktivitas leukosit yang sangat ringgi" pada sirkulasi ibu. Peristiwa ini oleh Redman disebut sebagai "kekacauan adaptasi dari proses inflamasi intravaskular pada kehamilan" yang biasanya berlangsung normal dan menyeluruh.(1) 16
3.4 Perubahan Fisiologi Patologis Otak Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan autoregulasi tidak berfungsi. Pada saat autoregulasi tidak berfungsi sebagaimana mestinya, jembatan penguat endotel akan terbuka dan dapat menyebabkan plasma dan sel-sel darah merah keluar ke ruang ekstravaskular. Hal ini akan menimbulkan perdarahan petekie atau perdarahan intrakranial yang sangat banyak. Pada penyakit yang belum berlanjut hanya ditemukan edema dan anemia pada korteks serebri.(4,5) Diaporkan bahwa resistensi pembuluh darah dalam otak pada pasien hipertensi dalam kehamilan lebih meninggi pada eklampsia. Pada pasien preeklampsia, aliran darah ke otak dan penggunaan oksigen otak masih dalam batas normal. Pemakaian oksigen pada otak menurun pada pasien eklampsia.(4) Perubahan Kardiovaskuler. Gangguan fungsi kardiovaskuler yang parah sering terjadi pada preeklampsia dan eklampsia. Berbagai gangguan tersebut pada dasarnya berkaitan dengan peningkatan afterload jantung akibat hipertensi, preload jantung yang secara nyata dipengaruhi oleh berkurangnya secara patologis hipervolemia kehamilan atau yang secara iatrogenic ditingkatkan oleh larutan onkotik atau kristaloid intravena, dan aktivasi endotel disertai ekstravasasi ke dalam ruang ektravaskular terutama paru.(5) Mata Pada preeklampsia tampak edema retina, spasmus setempat atau menyeluruh pada satu atau beberapa arteri, jarang terjadi perdarahan atau eksudat. Spasmus arteri retina yang nyata dapat menunjukkan adanya preeklampsia yang berat, tetapi bukan berarti spasmus yang ringan adalah preeklampsia yang ringan. Pada preeklampsia dapat terjadi ablasio retina yang disebabkan edema intraokuler dan merupakan indikasi untuk dilakukannya terminasi kehamilan. Ablasio retina ini biasanya disertai kehilangan penglihatan. Selama periode 14 tahun, ditemukan 15 wanita dengan preeklampsia berat dan eklampsia yang mengalami kebutaan yang dikemukakan oleh Cunningham (1995).(4) Skotoma, diplopia dan ambliopia pada penderita preeklampsia merupakan gejala yang menunjukan akan terjadinya eklampsia. Keadaan
17
ini disebabkan oleh perubahan aliran darah dalam pusat penglihatan di korteks serebri atau dalam retina.(4) Paru Edema paru biasanya terjadi pada pasien preeklampsia berat dan eklampsia dan merupakan penyebab utama kematian. Edema paru bisa diakibatkan oleh kardiogenik ataupun non-kardiogenik dan biasa terjadi setelah melahirkan. Pada beberapa kasus terjadinya edema paru berhubungan dengan adanya peningkatan cairan yang sangat banyak. Hal ini juga dapat berhubungan dengan penurunan tekanan onkotik koloid plasma akibat proteinuria, penggunaan kristaloid sebagai pengganti darah yang hilang, dan penurunan albumin yang dihasilkan oleh hati.(4) Hati Pada preeklampsia berat terkadang terdapat perubahan fungsi dan integritas hepar, termasuk perlambatan ekskresi bromosulfoftalein dan peningkatan kadar aspartat aminotransferase serum. Sebagian besar peningkatan fosfatase alkali serum disebabkan oleh fosfatase alkali tahan panas yang berasal dari plasenta. Pada penelitian yang dilakukan Oosterhof dkk (1994), dengan menggunakan sonografi Doppler pada 37 wanita preeklampsia, terdapat resistensi arteri hepatika.(4) Nekrosis hemoragik periporta di bagian perifer lobulus hepar kemungkinan besar penyebab terjadinya peningkatan enzim hati dalam serum. Perdarahan pada lesi ini dapat menyebabkan ruptur hepatika, atau dapat meluas di bawah kapsul hepar dan membentuk hematom subkapsular.(4) Ginjal Selama kehamilan normal, aliran darah dan laju filtrasi glomerulus meningkat cukup besar. Dengan timbulnya preeklampsia, perfusi ginjal dan filtrasi glomerulus menurun. Lesi karakteristik dari preeklampsia, glomeruloendoteliosis, adalah
pembengkakan dari
kapiler
endotel
glomerular yang menyebabkan penurunan perfusi dan laju filtrasi ginjal. Konsentrasi asam urat plasma biasanya meningkat, terutama pada wanita dengan penyakit berat.(4) Pada sebagian besar wanita hamil dengan preeklampsia, penurunan ringan sampai sedang laju filtrasi glomerulus tampaknya terjadi akibat berkurangnya volume plasma sehingga kadar kreatinin plasma hampir dua
18
kali lipat dibandingkan dengan kadar normal selama hamil (sekitar 0,5 ml/dl). Namun pada beberapa kasus preeklampsia berat, keterlibatan ginjal menonjol dan kreatinin plasma dapat meningkat beberapa kali lipat dari nilai normal ibu tidak hamil atau berkisar hingga 2-3 mg/dl. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh perubahan intrinsik ginjal yang ditimbulkan oleh vasospasme hebat yang dikemukakan oleh Pritchard (1984) dalam Cunningham (2005).(4) Kelainan pada ginjal yang penting adalah dalam hubungan proteinuria dan retensi garam dan air. Taufield (1987) dalam Cunningham (2005) melaporkan bahwa preeklampsia berkaitan dengan penurunan ekskresi kalsium melalui urin karena meningkatnya reabsorpsi di tubulus. Pada kehamilan normal, tingkat reabsorpsi meningkat sesuai dengan peningkatan filtrasi dari glomerulus. Penurunan filtrasi glomerulus akibat spasmus arteriol ginjal mengakibatkan filtrasi natrium melalui glomerulus menurun, yang menyebabkan retensi garam dan juga retensi air.(4) Untuk mendiagnosis preeklampsia atau eklampsia harus terdapat proteinuria. Namun, karena proteinuria muncul belakangan, sebagian wanita mungkin sudah melahirkan sebelum gejala ini dijumpai. Meyer (1994) menekankan bahwa yang diukur adalah ekskresi urin 24 jam. Mereka mendapatkan bahwa proteinuria +1 atau lebih dengan dipstick memperkirakan minimal terdapat 300 mg protein per 24 jam pada 92% kasus. Sebaliknya, proteinuria yang samar (trace) atau negatif memiliki nilai prediktif negatif hanya 34% pada wanita hipertensif. Kadar dipstick urin +3 atau +4 hanya bersifat prediktif positif untuk preeklampsia berat pada 36% kasus.(4) Seperti pada
glomerulopati
lainnya,
terjadi
peningkatan
permeabilitas terhadap sebagian besar protein dengan berat molekul tinggi. Maka ekskresi Filtrasi yang menurun hingga 50% dari normal dapat menyebabkan diuresis turun, bahkan pada keadaan yang berat dapat menyebabkan oligouria ataupun anuria. Lee (1987) dalam Cunningham (2005) melaporkan tekanan pengisian ventrikel normal pada tujuh wanita dengan preeklampsia berat yang mengalami oligouria dan menyimpulkan bahwa hal ini konsisten dengan vasospasme intrarenal.(4)
19
Protein albumin juga disertai protein-protein lainnya seperti hemoglobin, globulin dan transferin. Biasanya molekul-molekul besar ini tidak difiltrasi oleh glomerulus dan kemunculan zat-zat ini dalam urin mengisyaratkan terjadinya proses glomerulopati. Sebagian protein yang lebih kecil yang biasa difiltrasi kemudian direabsorpsi juga terdeksi di dalam urin.(4) Darah Kebanyakan pasien dengan preeklampsia memiliki pembekuan darah yang normal. Perubahan tersamar yang mengarah ke koagulasi intravaskular dan destruksi eritrosit (lebih jarang) sering dijumpai pada preeklampsia menurut Baker (1999) dalam Cunningham (2005). Trombositopenia merupakan kelainan yang sangat sering, biasanya jumlahnya kurang dari 150.000/μl yang ditemukan pada 15-20% pasien. Level fibrinogen meningkat sangat aktual pada pasien preeklampsia dibandingkan dengan ibu hamil dengan tekanan darah normal. Level fibrinogen yang rendah pada pasien preeklampsia biasanya berhubungan dengan terlepasnya plasenta sebelum waktunya (placental abruption).(4) Pada 10 % pasien dengan preeklampsia berat dan eklampsia menunjukan terjadinya HELLP syndrome yang ditandai dengan adanya anemia hemolitik, peningkatan enzim hati dan jumlah platelet rendah. Sindrom biasanya terjadi tidak jauh dengan waktu kelahiran (sekitar 31 minggu kehamilan) dan tanpa terjadi peningkatan tekanan darah. Kebanyakan abnormalitas hematologik kembali ke normal dalam dua hingga tiga hari setelah kelahiran tetapi trombositopenia bisa menetap selama seminggu.(4) Sistem Endokrin dan Metabolism Air dan Elektrolit Selama kehamilan normal, kadar renin, angiotensin II dan aldosteron meningkat. Pada preeklampsia menyebabkan kadar berbagai zat ini menurun ke kisaran normal pada ibu tidak hamil. Pada retensi natrium dan atau hipertensi, sekresi renin oleh aparatus jukstaglomerulus berkurang sehingga proses penghasilan aldosteron pun terhambat dan menurunkan kadar aldosteron dalam darah.(4) Pada ibu hamil dengan preeklampsia juga meningkat kadar peptida natriuretik atrium. Hal ini terjadi akibat ekspansi volume dan dapat menyebabkan meningkatnya curah jantung dan menurunnya resistensi
20
vaskular perifer baik pada normotensif maupun preeklamptik. Hal ini menjelaskan temuan turunnya resistensi vaskular perifer setelah ekspansi volume pada pasien preeklampsia.(4) Pada pasien preeklampsia terjadi hemokonsentrasi yang masih belum diketahui penyebabnya. Pasien ini mengalami pergeseran cairan dari ruang intravaskuler ke ruang interstisial. Kejadian ini diikuti dengan kenaikan hematokrit, peningkatan protein serum, edema yang dapat menyebabkan berkurangnya volume plasma, viskositas darah meningkat dan waktu peredaran darah tepi meningkat. Hal tersebut mengakibatkan aliran darah ke jaringan berkurang dan terjadi hipoksia.(4) Pada pasien preeklampsia, jumlah natrium dan air dalam tubuh lebih banyak dibandingkan pada ibu hamil normal. Penderita preeklampsia tidak dapat mengeluarkan air dan garam dengan sempurna. Hal ini disebabkan terjadinya penurunan filtrasi glomerulus namun penyerapan kembali oleh tubulus ginjal tidak mengalami perubahan.(4) Plasenta dan Uterus Menurunnya aliran darah ke plasenta mengakibatkan gangguan fungsi plasenta. Pada hipertensi yang agak lama, pertumbuhan janin terganggu dan pada hipertensi yang singkat dapat terjadi gawat janin hingga kematian janin akibat kurangnya oksigenisasi untuk janin.(4) Kenaikan tonus dari otot uterus dan kepekaan terhadap perangsangan sering terjadi pada preeklampsia. Hal ini menyebabkan sering terjadinya partus prematurus pada pasien preeklampsia. Pada pasien preeklampsia terjadi dua masalah, yaitu arteri spiralis di miometrium gagal untuk tidak dapat mempertahankan struktur muskuloelastisitasnya dan atheroma akut berkembang pada segmen miometrium dari arteri spiralis. Atheroma akut adalah nekrosis arteriopati pada ujung-ujung plasenta yang mirip dengan lesi pada hipertensi malignan. Atheroma akut juga dapat menyebabkan penyempitan kaliber dari lumen vaskular. Lesi ini dapat menjadi pengangkatan lengkap dari pembuluh darah yang bertanggung jawab terhadap terjadinya infark plasenta.(4) 3.5 Preeklampsia Ringan Definisi
21
Preeklampsia ringan adalah suatu sindroma spesifik kehamilan dengan menurunnya perfusi organ yang berakibat terjadinya vasospasme pembuluh darah dan aktivasi endotel.(1) Diagnosis Diagnosis preeklampsia ringan ditegakkan berdasar atas timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan/atau edema setelah kehamilan 20 -
minggu. Hipertensi: sistolik/diastolik ≥140/90 mmHg. Kenaikan sistolik ≥ 30 mmHg dan kenaikan diastolik ≥ 15 mmHg tidak dipakai lagi sebagai
-
kriteria preeklampsia. Proteinuria: ≥ 300 mg/24 jam atau ≥ 1 + dipstik. Edema: edema lokal tidak dimasukkan dalam kriteria preeklampsia, kecuali edema pada lengan, muka dan perut, edema generalisata.(1,7)
Tujuan utama perawatan preeklampsia Mencegah kejang, perdarahan intrakranial, mencegah gangguan fungsi organ vital, dan melahirkan bayi sehat.(1) Rawat jalan (ambulatoir) Ibu hamil dengan preeklampsia ringan dapat dirawat secara rawat jalan. Dianiurkan ibu hamil banyak istirahat (berbaring/tidur miring), tetapi tidak harus mutlak selalu tirah baring.(1) Pada umur kehamilan di atas 20 minggu, tirah baring dengan posisi miring menghilangkan tekanan rahim pada v. kava inferior, sehingga meningkatkan aliran darah balik dan akan menambah curah jantung. Hal ini berarti pula meningkatkan aliran darah ke organ-organ viral. penambahan aliran darah ke ginjal filtrasi akan meningkarkan glomeruli dan meningkatkan diuresis. Diuresis dengan sendirinya meningkatkan ekskresi natrium, menurunkan reaktivitas kardiovaskular sehingga mengurangi vasospasme. Peningkatan curah jantung akan meningkatkan pula aliran darah rahim, menambah,oksigenasi plasenta, dan memperbaiki kondisi janin dalam Rahim. Pada preeklampsia tidak perlu dilakukan restriksi garam sepanjang fungsi ginjal masih normal. Pada preeklampsia, ibu hamil umumnya masih muda, Berarti fungsi ginjal masih bagus, sehingga tidak perlu restriksi garam.(1,4)
22
Diet yang mengandung 2g natrium atau 4-6 g NaCl (garam dapur) adalah cukup. Kehamilan sendiri lebih banyak membuang garam lewat ginjal, tetapi pertumbuhan janin justeru membutuhkan,lebih banyak konsumsi garam. Bila konsumsi garam hendak dibatasi, hendaknya diimbangi dengan konsumsi cairan yang banyak, berupa susu atau air buah. Diet diberikan cukup protein, rendah karbohidrat, lemak, garam secukupnya, dan roboransia pranatal. Tidak diberikan obat-obat diuretik, antihipertensi, dan sedative. Dilakukan pemeriksaan laboratorium Hb, hemarokrit. fungsi hati, urin lengkap dan fungsi ginjal.(1,4) Rawat inap (dirawat di rumah sakit) Pada keadaan tertentu ibu.hamil dengan preeklampsia ringan perlu dirawat di rumah sakit. Kriteria preeklampsia ringan dirawat di rumah sakit ialah (a) bila tidak ada perbaikan : tekanan darah, kadar proteinuria selama 2 minggu ; (b) adanya satu atau lebih gejala dan tanda-tanda preeklampsia berat. Selama di rumah sakit dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorik. Pemeriksaan kesejahteraan janin, berupa pemeriksaan USG dan Doppler khususnya untuk evaluasi pertumbuhan janin dan jumlah cairan amnion. Pemeriksaan nonstress test dilakukan 2 kali seminggu dan konsultasi dengan bagian mata, jantung, dan lain lain. (1) Perawatan obstetrik yaitu sikap terhadap kehamilannya Menurut williams, kehamilan preterm ialah kehamilan antara 22 minggu sampai ≤ 37 minggu. Pada kehamilan preterm. (< 37 minggu), bila
tekanan
darah
mencapai
normotensive
selama
perawatan,
persalinannya ditunggu sampai aterm. sementara itu, pada kehamilan aterm (>37 minggu), persalinan ditunggu sampai terjadi onset persalinan atau dipertimbangkan untuk melakukan induksi persalinan pada taksiran tanggal persalinan. Persalinan dapat dilakukan secara spontan; bila perlu memperpendek kala II.(1) 3.6 Preeklampsia Berat Definisi
23
Preeklampsia berat ialah,preeklampsia dengan tekanan darah sistolik ≥160 mmhg dan tekanan darah diastolk ≥ 110 nmHg disertai proteinuria lebih 5g/24 jam.(1) Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasar kriteria preekrampsia berat sebagaimana tercantum di bawah ini. Preeklampsia digolongkan preeklampsia berat bila ditemukan satu arau lebih gejala sebagai berikut : - Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg. Tekanan darah ini tidak menurun meskipun ibu hamil sudah -
dirawat di rumah sakit dan sudah menjalani tirah baring. Proteinuria lebih 5 g/24 jam atau 4 + dalam pemeriksaan kualitatif. Oliguria, yaitu produksi urin kurang dari 500 cc/24 jam. Kenaikan kadar kreatinin plasma. Gangguan visus dan serebral: penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma
-
dan pandangan kabur. Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen (akibat
-
teregangnya kapsula Glisson). Edema paru-paru dan sianosis. Hemolisis mikroangiopatik. Trombositopenia berat: < 100.000 sel/mm3 atau penurunan trombosit
-
dengan cepat. Gangguan fungsi hepar (kerusakan hepatoselular): peningkatan kadar
-
alanin dan aspartate aminotransferase Pertumbuhan janin intrauterin yang terhambat. Sindrom HELLP.(1)
Pembagian preeklampsia berat Preeklampsia berat dibagi menjadi (a) preeklampsia berat tanpa impending eklampsia dan (b) preeklampsia berat dengan impending eklampsia. Disebut impending eklampsia bila preeklampsia berat disertai gejala-gejala subjektif bempa nyeri kepala hebat, gangguan visus, muntahmuntah, nyeri epigastrium, dan kenaikan progresif tekanan darah. (1) Perawatan dan pengobatan preeklampsia berat Pada pasien preeklampsia berat segera harus diberi sedativa yang kuat untuk mencegah timbulnya kejang. Apabila sesudah 12-24 jam bahaya akut sudah diatasi, tindakan selanjutnya adalah cara terbaik untuk menghentikan kehamilan.(4)
24
Preeklampsia dapat menyebabkan kelahiran awal atau komplikasi pada neonatus berupa prematuritas. Resiko fetus diakibatkan oleh insufisiensi plasenta baik akut maupun kronis. Pada kasus berat dapat ditemui fetal distress baik pada saat kelahiran maupun sesudah kelahiran.(1) Pengelolaan preeklampsia dan eklampsia mencakup pencegahan kejang, pengobatan hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan supportif terhadap penyulit organ yang terlibat, dan saat yang tepat untuk persalinan. Pemeriksaan sangat teliti diikuti dengan observasi harian tentang tanda tanda klinik berupa : nyeri kepala, gangguan visus, nyeri epigastrium dan kenaikan cepat berat badan. Selain itu perlu dilakukan penimbangan berat badan, pengukuran proteinuria, pengukuran tekanan darah, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan USG dan NST.(1) Perawatan preeklampsia berat sama halnya dengan perawatan preeklampsia ringan, dibagi menjadi dua unsur yakni sikap terhadap penyakitnya, yaitu pemberian obat-obat atau terapi medisinalis dan sikap terhadap kehamilannya ialah manajemen agresif, kehamilan diakhiri (terminasi) setiap saat bila keadaan hemodinamika sudah stabil.(1) Penderita preeklampsia berat harus segera masuk rumah sakit untuk rawat inap dan dianjurkan tirah baring miring ke satu sisi (kiri). Perawatan yang penting pada preeklampsia berat ialah pengelolaan cairan karena penderita preeklampsia dan eklampsia mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya edema paru dan oligouria. Sebab terjadinya kedua keadaan tersebut belum jelas, tetapi faktor yang sangat menentukan terjadinya edema paru dan oligouria ialah hipovolemia, vasospasme, kerusakan
sel
endotel,
penurunan
gradient
tekanan
onkotik
koloid/pulmonary capillary wedge pressure. Oleh karena itu monitoring input cairan (melalui oral ataupun infuse) dan output cairan (melalui urin) menjadi sangat penting. Artinya harus dilakukan pengukuran secara tepat berapa jumlah cairan yang dimasukkan dan dikeluarkan melalui urin. Bila terjadi tanda tanda edema paru, segera dilakukan tindakan koreksi. Cairan yang diberikan dapat berupa a) 5% ringer dextrose atau cairan garam faal
25
jumlah tetesan: 16x/menit, tidak ada tanda tanda distress nafas Dosis terapeutik dan toksis MgSO4 - Dosis terapeutik : 4-7 mEq/liter atau 4,8-8,4 mg/dl - Hilangnya reflex tendon 10 mEq/liter atau 12 mg/dl - Terhentinya pernafasan 15 mEq/liter atau 18 mg/dl - Terhentinya jantung >30 mEq/liter atau > 36 mg/dl Magnesium sulfat dihentikan bila ada tanda tanda intoksikasi atau setelah -
24 jam pascapersalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir. Pemberian 26
magnesium sulfat dapat menurunkan resiko kematian ibu dan didapatkan 50 % dari pemberiannya menimbulkan efek flushes (rasa panas).(1) Contoh obat-obat lain yang dipakai untuk antikejang yaitu diazepam atau fenitoin (difenilhidantoin), thiopental sodium dan sodium amobarbital. Fenitoin sodium mempunyai khasiat stabilisasi membran neuron, cepat masuk jaringan otak dan efek antikejang terjadi 3 menit setelah injeksi intravena. Fenitoin sodium diberikan dalam dosis 15 mg/kg berat badan dengan pemberian intravena 50 mg/menit. Hasilnya tidak lebih baik dari magnesium sulfat. Pengalaman pemakaian fenitoin di beberapa senter di dunia masih sedikit.(1) Diuretikum tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paruparu, payah jantung kongestif atau anasarka. Diuretikum yang dipakai ialah furosemida. Pemberian diuretikum dapat merugikan, yaitu memperberat hipovolemia,
memperburuk
perfusi
uteroplasenta,
meningkatkan
hemokonsentrasi, memnimbulkan dehidrasi pada janin, dan menurunkan berat janin.(1) Masih banyak pendapat dari beberapa negara tentang penentuan batas tekanan darah, untuk pemberian antihipertensi. Misalnya Belfort mengusulkan cut off yang dipakai adalah ≥ 160/110 mmhg dan MAP ≥ 126 mmHg.(1) Di RSU Dr. Soetomo Surabaya batas tekanan darah pemberian antihipertensi ialah apabila tekanan sistolik ≥180 mmHg dan/atau tekanan diastolik ≥ 110 mmHg. Tekanan darah diturunkan secara bertahap, yaitu penurunan awal 25% dari tekanan sistolik dan tekanan darah diturunkan mencapai < 160/105 atau MAP < 125. Jenis antihipertensi yang diberikan sangat bervariasi. Obat antihipertensi yang harus dihindari secara mutlak yakni pemberian diazokside, ketanserin dan nimodipin.(1) Jenis obat antihipertensi yang diberikan di Amerika adalah hidralazin (apresoline) injeksi (di Indonesia tidak ada), suatu vasodilator langsung pada arteriole yang menimbulkan reflex takikardia, peningkatan cardiac output, sehingga memperbaiki perfusi uteroplasenta. Obat antihipertensi lain adalah labetalol injeksi, suatu alfa 1 bocker, non selektif beta bloker. Obat-obat antihipertensi yang tersedia dalam bentuk suntikan di Indonesia ialah clonidin (catapres). Satu ampul mengandung 0,15 mg/cc. Klonidin 1 ampul dilarutkan dalam 10 cc larutan garam faal atau larutan air untuk suntikan.(1) Antihipertensi lini pertama
27
-
Nifedipin. Dosis 10-20 mg/oral, diulangi setelah 30 menit, maksimum 120
mg dalam 24 jam Antihipertensi lini kedua - Sodium nitroprussida : 0,25µg iv/kg/menit, infuse ditingkatkan 0,25µg -
iv/kg/5 menit. Diazokside : 30-60 mg iv/5 menit; atau iv infuse 10 mg/menit/dititrasi. Pada preeklampsia berat dapat terjadi edema paru akibat kardiogenik
(payah jantung ventrikel kiri akibat peningkatan afterload) atau non kardiogenik (akibat kerusakan sel endotel pembuluh darah paru). Prognosis preeklampsia berat menjadi buruk bila edema paru disertai oligouria.(8) Pemberian glukokortikoid untuk pematangan paru janin tidak merugikan ibu. Diberikan pada kehamilan 32-34 minggu, 2x 24 jam. Obat ini juga diberikan pada sindrom HELLP.(1) Berdasar William obstetrics, ditinjau dari umur kehamilan dan perkembangan gejala-gejala preeklampsia berat selama perawatan, maka sikap terhadap kehamilannya dibagi menjadi: 1 Aktif : berarti kehamilan segera diakhiri/diterminasi bersamaan dengan 2
pemberian medikamentosa. Konservatif (ekspektatif): berarti kehamilan tetap dipertahankan bersamaan dengan pemberian medikamentosa. Indikasi perawatan konservatif ialah bila kehamilan preterm ≤ 37 minggu
tanpa disertai tanda –tanda impending eklampsia dengan keadaan janin baik. Diberi pengobatan yang sama dengan pengobatan medikamentosa pada pengelolaan secara aktif. Selama perawatan konservatif, sikap terhadap kehamilannya ialah hanya observasi dan evaluasi sama seperti perawatan aktif, kehamilan tidak diakhiri. Magnesium sulfat dihentikan bila ibu sudah mencapai tanda-tanda preeklampsia ringan, selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam. Bila setelah 24 jam tidak ada perbaikan keadaan ini dianggap sebagai kegagalan pengobatan medikamentosa dan harus diterminasi. Penderita boleh dipulangkan bila penderita kembali ke gejala-gejala atau tanda tanda preeklampsia ringan.(1) Indikasi perawatan aktif bila didapatkan satu atau lebih keadaan di bawah ini, yaitu: Ibu 1 Umur kehamilan ≥ 37 minggu 2 Adanya tanda-tanda/gejala-gejala impending eklampsia
28
3
Kegagalan terapi pada perawatan konservatif, yaitu: keadaan klinik dan
laboratorik memburuk 4 Diduga terjadi solusio plasenta 5 Timbul onset persalinan, ketuban pecah atau perdarahan Janin 1 Adanya tanda-tanda fetal distress 2 Adanya tanda-tanda intra uterine growth restriction 3 NST nonreaktif dengan profil biofisik abnormal 4 Terjadinya oligohidramnion Laboratorik 1 Adanya tanda-tanda “sindroma HELLP” khususnya menurunnya trombosit dengan cepat. Cara mengakhiri kehamilan (terminasi kehamilan) dilakukan berdasar keadaan obstetrik pada waktu itu, apakah sudah inpartu atau belum.(1) 3.7 Eklampsia Gambaran klinik Eklampsia adalah kelainan akut pada wanita hamil, dalam persalinan atau nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang atau koma.(2,1)
Sama
halnya dengan preeklampsia, eklampsia dapat timbul pada ante, intra, dan postpartum. Eklampsia postpartum umumnya hanya terjadi dalam waktu 24 jam pertama setelah persalinan. Pada penderita preeklampsia yang akan kejang, umumnya memberi gejala-gejala atau tanda-tanda yang khas, yang dapat dianggap sebagai tanda prodoma akan terjadinya kejang. Preeklampsia yang disertai dengan tanda-tanda prodoma ini disebut sebagai impending eklampsia atau imminent eklampsia.(1) Perawatan eklampsia Perawatan dasar eklampsia yang utama ialah terapi suportif untuk stabilisasi fungsi vital yang harus selalu diingat Airway, Breathing, Circulation
(ABC), mengatasi dan
mencegah
kejang, mengatasi
hipoksemia dan asidemia mencegah trauma pada pasien pada waktu kejang, mengendalikan tekanan darah, khususnya pada waktu krisis hipertensi, melahirkan janin pada waktu yang tepat dan dengan cara yang tepat. Perawatan medikamentosa dan perawatan suportif eklampsia, merupakan perawatan yang sangat penting. Tujuan utama pengobatan
29
medikamentosa eklampsia ialah mencegah dan menghentikan kejang, mencegahh dan mengatasi penyulit, khususnya hipertensi krisis, mencapai stabilisasi ibu seoptimal mungkin sehingga dapat melahirkan janin pada saat dan dengan cara yang tepat.(1) Pengobatan medikamentosa Obat anti kejang Obat antikejang yang menjadi pilihan pertama ialah magnesium sulfat. Bila dengan jenis obat ini kejang masih sukar diatasi, dapat dipakai obat jenis lain, misalnya tiopental. Diazepam dapat dipakai sebagai alternatif pilihan, namun mengingat dosis yang diperlukan sangat tinggi, pemberian
diazepam
hanya
dilakukan
oleh
mereka
yang
telah
berpengalaman. Pemberian diuretikum hendaknya selalu disertai dengan memonitor plasma elektrolit. Obat kardiotonika ataupun obat-obat anti hipertensi hendaknya selalu disiapkan dan diberikan benar-benar atas indikasi.(1) Magnesium sulfat (MgSO4) Pemberian magnesium sulfat pada dasarnya sama seperti pemberian magnesium sulfat pada preeklampsia berat. Pengobaran suportif terutama ditujukan untuk gangguan fungsi organ-organ penting, misainya tindakan-tindakan untuk memperbaiki asidosis, mempertahankan ventilasi paru-paru, mengatur tekanan darah, mencegah dekompensasi kordis. Pada penderita yang mengalami kejang dan koma, nursing care sangat penting misalnya meliputi cara-cara perawatan penderita dalam suatu kamar isolasi, mencegah aspirasi, mengatur infus penderita dan monitoring produksi urin. (1) Perawatan pada waktu kejang Pada penderita
yang
mengalami
kejang,
tuiuan
pertama
pertolongan ialah mencegah penderita mengalami trauma akibat kejangkejang tersebut. Dirawat di kamar isolasi cukup terang, tidak di kamar gelap, agar bila terjadi sianosis segera dapat diketahui. Penderita dibaringkan di tempat tidur yang lebar dengan rail tempat tidur harus dipasang dan dikunci dengan kuat. Selanjutnya masukkan sudap lidah ke dalam mulut penderita dan jangan mencoba melepas sudap lidah yang 30
sedang tergigit karena dapat mematahkan gigi. Kepala direndahkan dan daerah orofaring diisap. Hendaknya dijaga agar kepala dan ekstremitas penderita yang kejang tidak terlalu kuat menghentak-hentak benda keras di sekitarnya. Fiksasi badan pada tempat tidur harus cukup kendor, guna menghindari fraktur. Bila penderita selesai kejang-kejang, segera beri oksigenasi. (1) Perawatan koma Perlu diingat bahwa penderita koma tidak dapat bereaksi atau mempertahankan diri terhadap suhu yang ekstrem, posisi tubuh yang menimbulkan nyeri dan aspirasi, karena hilangnya refleks muntah. Bahaya terbesar yang mengancam penderita koma, ialah terbuntunya jalan napas atas. Setiap penderita eklampsia yang jatuh dalam koma harus dianggap bahwa jalan napas atas terbuntu, kecuali dibuktikan lain. Oleh karena itu, tindakan pertama-tama pada penderita yang jatuh koma (tidak sadar), ialah menjaga dan mengusahakan agar jalan napas atas tetap terbuka. Untuk menghindari terbuntunya jalan napas atas oleh pangkal lidah dan epiglottis dilakukan tindakan sebagai berikut. Cara yang sederhana dan cukup efektif dalam menjaga terbukanya jalan napas atas, ialah dengan manuver head tilt-neck lift, yaitu kepala direndahkan dan leher dalam posisi ekstensi ke belakang atau head tily-chain lift, dengan kepala direndahkan dan dagu ditarik ke atas, atau jaw-thrust, yaitu mandibula kiri kanan diekstensikan ke atas sarnbil mengangkat kepala ke belakang. Tindakan ini kemudian dapat dilanjutkan dengan pemasangan oropharyngeal airway. (1) Hal penting kedua yang perlu diperhatikan ialah bahwa penderita koma akan kehilangan refleks muntah sehingga kemungkinan terjadinya aspirasi bahan lambung sangat besar. Lambung ibu hamil harus selalu dianggap sebagai lambung penuh. Oleh karena itu, semua benda yang ada dalam rongga mulut dan tenggorokan, baik berupa lendir maupun sisa makanan, harus segera diisap secara intermiten. Penderita ditidurkan dalam posisi stabil untuk drainase lendir. Monitoring kesadaran dan dalamnya koma memakai Glasgow Coma Scale. Pada perawatan korna perlu diperhatikan pencegahan dekubitus dan makanan penderita. Pada
31
koma yang lama, bila nutrisi tidak mungkin dapat diberikan melalui Naso Gastric Tube (NGT). (1) Perawatan edema paru Bila terjadi edema paru sebaiknya penderita dirawat di ICU karena membutuhkan perawatan animasi dengan respirator. Pengobatan obstetrik Sikap terhadap kehamilan ialah semua kehamilan dengan eklampsia harus diakhiri, tanpa memandang umur kehamilan dan keadaan janin. Persalinan diakhiri bila sudah mencapai stabilisasi (pemulihan) hemodinamika dan metabolisme ibu. Pada perawatan pascapersalinan, bila persalinan terjadi pervaginam, monitoring tanda-tanda vital dilakukan sebagaimana lazimnya. (1) Prognosis Bila penderita tidak terlambat dalam pemberian pengobatan, maka gejala perbaikan akan tampak jeias setelah kehamilannya diakhiri. Segera setelah persalinan berakhir perubahan patofisiologik akan segera pula mengalami perbaikan. Diuresis terjadi 12 jam kemudian setelah persalinan. Keadaan ini merupakan tanda prognosis yang baik. karena hal ini merupakan gejala pertama penyembuhan. Tekanan darah kembali normal dalam beberapa jam kemudian. Eklampsia tidak mempengaruhi kehamilan berikutnya, kecuali pada janin dari ibu yang sudah mempunyai hipertensi kronik. Prognosis janin pada penderita eklampsia juga tergolong buruk. Seringkali janin mati intrauterin atau mati pada fase neonatal karena memang kondisi bayi sudah sangat inferior.(1) 3.8 Sindroma HELLP Definisi klinik Sindroma HELLP ialah preeklampsia-eklampsia disertai timbulnya hemolisis, peningkatan enzim hepar, disfungsi hepar, dan trombositopenia. (1)
H: Hemolysis EL : Elevated Liver Enzyme LP : Low Platelets Count Diagnosis 32
-
Didahului tanda dan gejala yang tidak khas malaise, lemah, nyeri kepala,
-
mual, muntah (semuanya ini mirip tanda dan gejala infeksi virus) Adanya tanda dan gejala preeklampsia Tanda-tanda hemolisis intravaskular, khususnya kenaikan LDH, AST, dan
bilirubin indirek - Tanda kerusakan/disfungsi sel hepatosit hepar : kenaikan ALT, AST, LDH - Trombositopenia : trombosit < 150.000/ml Semua perempuan hamil dengan keluhan nyeri pada kuadran atas abdomen, tanpa memandang ada tidaknya tanda dan gejala preeklampsia, harus dipertimbangkan sindroma HELLP. (1) Klasifikasi sindroma HELLP menurut klasifikasi Mississippi Berdasar kadar trombosit darah, maka sindroma HELLP diklasifikasi dengan nama "Klasifikasi Mississippi". - Klas 1: Kadar trombosit : ≤ 50.000/ml, LDH ≥ 600 IU/I, AST dan/atau ALT ≥ 40IU/l - Klas 2: Kadar trombosit > 50.000 ≤ 100.000/ml, LDH ≥ 600 IU/l, AST dan/atau ALT ≥ 40IU/l - Klas 3: Kadar trombosit > 100.000 ≤150.000/ml, LDH ≥ 600 IU/l, AST dan/atau ALT ≥ 40 IU/l (1) Diagnosis banding preeklampsia-sindroma HELLP - Trombotik angiopati - Kelainan konsumtif fibrinogen, misalnya acute fatty liver of pregnancy, -
hipovolemia berat / perdarahan berat, sepsis Kelainan jaringan ikat: SLE Penyakit ginjal primer (1)
Terapi medikamentosa Mengikuti terapi medikamentosa preeklampsia-eklampsia dengan melakukan monitoring kadar trombosit tiap 12 jam. Bila trombosit < 50.000/ml atau adanya tanda koagulopati konsumtif, maka harus diperiksa waktu protrombin, waktu tromboplastin parsial, dan fibrinogen. Pemberian dexamethasone rescue, pada antepartum diberikan dalam bentuk double strength dexamethasone (double dose).(1) Jika didapatkan kadar trombosit < 100.000/ml atau trombosit 100.000 - 150.000/ml dengan disertai tanda-tanda, eklampsia, hipertensi berat, nyeri epigastrium, maka diberikan deksametason 10 mg i.v. tiap 12 jam. Pada postpartum deksametason diberikan 10 mg i.v. tiap 72 jam 2
33
kali, kemudian diikuti 5 mg i.v. tiap 12 jam 2 kali. Terapi deksametason dihentikan, bila telah terjadi perbaikan laboratorium, yaitu trombosit >100.000/ml dan penurunan LDH serta perbaikan tanda dan gejala-gejala klinik preeklampsia - eklampsia. Dapat dipertimbangkan pemberian transfusi trombosit, bila kadar trombosit < 50.000/ml dan antioksidan.(1)
Sikap pengelolaan obstetrik Sikap terhadap kehamilan pada sindroma HELLP ialah aktif, yaitu kehamilan diakhiri (diterminasi) tanpa memandang umur kehamilan. Persalinan dapat dilakukan pervaginam atau perabdominam.(1) Pengelolaan Diagnosis dini sangat penting mengingat banyaknya penyakit yang mirip dengan Sindroma HELLP. Pengobatan sindroma HELLP juga harus mernperhatikan cara-cara perawatan dan pengobatan pada preeklampsia dan eklampsia. Pemberian cairan intravena harus sangat hati-hati karena sudah teriadi vasospasme dan kerusakan sel endotel. Cairan yang diberikan adalah RD 5 %, bergantian RL 5 % dengan kecepatan 100 ml/jam dengan produksi urin dipertahankan sekurang-kurangnya 20 ml/jam. Bila hendak dilakukan seksio sesarea dan bila trombosit < 50.000/ml, maka perlu diberi transfusi trombosit. Bila trombosit < 40.000/ml, dan akan dilakukan seksio sesarea maka perlu diberi transfusi darah segar. Dapat pula diberikan plasma exchange dengan fresh frozen plasma dengan tujuan menghilangkan sisa-sisa hemolisis mikroangiopati. (1)
Double strength dexamethasone diberikan 10 mg i.v. tiap 12 jam segera setelah diagnosis sindroma HELLP ditegakkan. Kegunaan pemberian double strength dexamethasone ialah untuk (1) kehamilan preterm, meningkatkan pematangan paru janin dan (2) untuk sindroma HELLP sendiri dapat mempercepat perbaikan gejala klinik dan laboratorik. Pada sindroma HELLP postpartum diberikan deksametason 10
34
mg i.v. setiap 12 jam, disusul pemberian 5 mg deksametason 2 x selang 12 jam (tappering off).(1) Perbaikan gejala klinik setelah pemberian deksametason dapat diketahui dengan: meningkatnya produksi urin, trombosit, menurunnya tekanan darah, menurunnya kadar LDH, dan AST. Bila teriadi ruptur hepar sebaiknya segera dilakukan pembedahan lobektomi.(1) Sikap terhadap kehamilan Sikap terhadap kehamilan pada sindroma HELLP, tanpa memandang umur kehamilan. Kehamilan segera diakhiri. Persalinan dapat dilakukan perabdominam atau pervaginam. Perlu diperhatikan adanya gangguan pembekuan darah bila hendak melakukan anestesi regional (spinal).(1) 3.9 Hipertensi Kronik Definisi Hipertensi kronik dalam kehamilan ialah hipertensi yang didapatkan sebelum timbulnya kehamilan. Apabila tidak diketahui adanya hipertensi sebelum kehamilan, maka hipertensi kronik didefinisikan bila didapatkan tekanan darah sistolik 140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg sebelum umur kehamilan 20 minggu.(1) Etiologi Hipertensi Kronik Hipertensi kronik dapat disebabkan primer: idiopatik: 90% dan sekunder: 10 %, berhubungan dengan penyakit ginjal, vaskular kolagen, endokrin, dan pembuluh darah.(1) Pengelolaan pada kehamilan Tujuan pengelolaan hipertensi kronik dalam kehamilan adalah meminimalkan atau mencegah dampak buruk pada ibu ataupun janin akibat hipertensinya sendiri ataupun akibat obat-obat antihipertensi. Secara umum ini berarti mencegah terjadinya hipertensi yang ringan menjadi lebih berat, yang dapat dicapai dengan cara farmakologik atau perubahan pola hidup: diet, merokok, alkohol, dan substance abuse.(1) Terapi hipertensi kronik berat hanya mempertimbangkan keselamatan ibu, tanpa memandang satus kehamilan. Hal ini untuk menghindari terjadinya CVA, infark miokard serta disfungsi jantung dan ginjal.(1) Antihipertensi diberikan: 35
-
Sedini mungkin pada batas tekanan darah dianggap hipertensi, yaitu pada stage I hipertensi tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg, tekanan diastolik ≥
-
90 mmHg bila terjadi disfungsi end organ.
Obat antihipertensi Jenis antihipertensi yang digunakan pada hipertensi kronik, ialah : -
α-Metildopa Suatu α2 - reseptor agonis Dosis awal 500 mg 3 x per hari, maksimal 3 gram per hari
-
Calcium channel blockers Nifedipin: dosis bervariasi antara 30 - 90 mg per hari.
-
Diuretik thiazide Tidak diberikan karena akan mengganggu volume plasma sehingga mengganggu aliran darah utero-plasenta.(1)
Evaluasi janin Untuk mengetahui apakah terjadi insufisiensi plasenta akut atau kronik, perlu dilakukan Non stress test dan pemeriksaan ultrasonografi bila curiga terjadinya fetal growth restriction atau terjadi superimposed preeklampsia.(1) Hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia Diagnosis superimposed preeklampsia sulit, apalagi hipertensi kronik
disertai
kelainan
ginjal
dengan
proteinuria.
Tanda-tanda
superimposed preeklampsia pada hipertensi kronik, adalah a) adanya proteinuria, gejala-gejala neurologik, nyeri kepala hebat, gangguan visus, edema patologik yang menyeluruh (anasarka), oliguria, edema paru. b) kelainan laboratorium: berupa kenaikan serum kreatinin, trombositopenia, kenaikan transaminase serum hepar.(1) Persalinan pada kehamilan dengan hipertensi kronik Sikap terhadap persalinan ditentukan oleh derajat tekanan darah dan perjalanan klinik. Bila didapatkan tekanan darah yang terkendali, perjalanan kehamilan normal, pertumbuhan janin normal, dan volume amnion normal, maka dapat diteruskan sampai aterm.(1)
36
Bila terjadi komplikasi dan kesehatan janin bertambah buruk, maka segera diterminasi dengan induksi persalinan, tanpa memandang umur kehamilan. Secara umum persalinan diarahkan pervaginam, termasuk hipertensi dengan superimposed preeklampsia, dan hipertensi kronik yang tambah berat. (1) Perawatan pasca persalinan Perawatan pasca persalinan sama seperti preeklampsia. Edema serebri, edema paru, gangguan ginjal, dapat terjadi 24 - 36 jam pasca persalinan. Setelah persalinan: 6 jam pertama resistensi (tahanan) perifer meningkat. Akibatnya, terjadi peningkatan kerja ventrikel kiri (left ventricular work load). Bersamaan dengan itu akumulasi cairan interstitial masuk ke dalam intravaskular. Perlu terapi lebih cepat dengan atau tanpa diuretik. Banyak perempuan dengan hipertensi kronik dan superimposed preeklampsia, mengalami penciutan volume darah (hipovolemia). Bila terjadi perdarahan pascapersalinan, sangat berbahaya bila diberi cairan kristaloid ataupun koloid, karena lumen pembuluh darah telah mengalami vasokonstriksi. Terapi terbaik bila terjadi perdarahan ialah pemberian transfusi darah. (1) 3.10
Pencegahan Pemeriksaan antenatal yang teratur dan teliti dapat menemukan tanda-tanda dini preeklampsia, dalam hal ini harus dilakukan penanganan preeklampsia tersebut. Walaupun preeklampsia tidak dapat dicegah seutuhnya, namun frekuensi preeklampsia dapat dikurangi dengan pemberian pengetahuan dan pengawasan yang baik pada ibu hamil.(4) Pengetahuan yang diberikan berupa tentang manfaat diet dan istirahat yang berguna dalam pencegahan. Istirahat tidak selalu berarti berbaring, dalam hal ini yaitu dengan mengurangi pekerjaan sehari-hari dan dianjurkan lebih banyak duduk dan berbaring. Diet tinggi protein dan rendah lemak, karbohidrat, garam dan penambahan berat badan yang tidak berlebihan sangat dianjurkan. Mengenal secara dini preeklampsia dan merawat penderita tanpa memberikan diuretika dan obat antihipertensi merupakan manfaat dari pencegahan melalui pemeriksaan antenatal yang baik.(4)
37
BAB 4 PEMBAHASAN 4.1 Anamnesis Penegakkan diagnosis pada pasien Ny. D usia 40 tahun didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada kasus, dari anamnesis didapatkan bahwa pasien datang ke rumah sakit swasta karena khawatir akan melahirkan dirumah sementara pasien ingin steril. Di rumah sakit tersebut dilakukan pemeriksaan terhadap pasien dan ditegakkan diagnosa PEB dan sindrom HELLP. Kemudian Pasien dirujuk ke RSUD AWS karena direncanakan terminasi kehamilan. Pasien tidak merasakan adanya nyeri kepala, penglihatan kabur maupun nyeri ulu hati. Pasien memiliki riwayat hipertensi yang tidak terkontrol sejak 5 tahun yang lalu. Berdasarkan teori, gejala preeklampsia antara lain, terjadi gangguan visus dan serebral seperti penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma dan pandangan kabur. Juga terdapat nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen (akibat teregangnya kapsula Glisson). Pada pasien ini tidak ditemukan gejala yang sesuai pada teori. . Faktor risiko pada preeklampsia adalah riwayat preeklampsia, primigravida muda atau tua, genetik, kegemukan, merokok, kehamilan ganda, riwayat penyakit hipertensi kronik, dan diabetes melitus. Pada Pasien ini didapatkan faktor risiko yaitu riwayat hipertensi kronik. 4.2 Diagnosis Pada kasus, didapatkan tekanan darah pasien 220/150 mmhg, pada pemeriksaan urin didapatkan proteinuria +1, dari pemeriksaan darah didapatkan trombosit 116.000, SGOT 177, SGPT 186 dan LDH 839. Berdasarkan teori, diagnosis pada kasus preeklampsia berat ditegakkan bila ditemukan satu atau lebih gejala sebagai berikut, Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih, proteinuria 5 gr atau lebih perliter dalam 24 jam atau kualitatif 3+ atau 4+, oligouri, yaitu jumlah urin kurang dari 500 cc per 24 jam/kurang dari 0,5 cc/kgBB/jam, adanya gangguan serebral, gangguan penglihatan, dan rasa nyeri di epigastrium, terdapat edema paru
38
dan sianosis, hemolisis mikroangiopatik, trombositopeni (< 100.000 sel/mm3 atau penurunan trombosit dengan cepat), gangguan fungsi hati, pertumbuhan janin terhambat dan sindrom HELLP. Diagnosis
sindrom
HELLP ditegakkan dengan adanya tanda dan gejala yang tidak khas malaise, lemah, nyeri kepala, mual, muntah (semuanya ini mirip tanda dan gejala infeksi virus), tanda dan gejala preeklampsia, tanda-tanda hemolisis intravaskular, khususnya kenaikan LDH, AST, dan bilirubin indirek, tanda kerusakan/disfungsi sel hepatosit hepar : kenaikan ALT, AST, LDH, trombositopenia : trombosit < 150.000/ml. Berdasarkan teori, temuan yang didapatkan pada kasus sesuai dengan diagnosis preeklampsia berat dan sindrom HELLP. 4.3 Penatalaksanaan Penatalaksanaan yang didapatkan pada kasus ini adalah antara lain pemberian MGSO4, injeksi cefotaxime 3x1gr, injeksi dexametason 3x2 amp, nifedipin tablet 3x10 mg dan dilakukan tindakan sectio caesarea. Hal ini sesuai dengan teori penatalaksanaan preeklampsia berat dan sindrom HELLP. Pengelolaan preeklampsia mencakup pencegahan kejang, pengobatan hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan supportif terhadap penyulit organ yang terlibat, dan saat yang tepat untuk persalinan. Pemberian magnesium sulfat sebagai antikejang dengan loading dose : initial dose 4 gram MgSO4: intravena, (40 % dalam 10 cc) selama 15 menit, maintenance dose : diberikan infuse 6 gram dalam larutan ringer/6 jam; atau diberikan 4 atau 5 gram i.m. Selanjutnya maintenance dose diberikan 4 gram im tiap 4-6 jam. Selain itu, diberikan anti hipertensi apabila tekanan sistolik ≥ 180 mmHg dan/atau tekanan diastolik ≥ 110 mmHg. Jenis obat anti hipertensi yang diberikan di Indonesia nifedipin dengan dosis awal 10 – 20 mg, diulangi setelah 30 menit ; maksimum 120 mg dalam 24 jam. Pemberian glukokortikoid untuk pematangan paru janin tidak merugikan ibu. Diberikan pada kehamilan 32-34 minggu, 2x 24 jam. Obat ini juga diberikan pada sindrom HELLP. Indikasi perawatan aktif pada kasus ini adalah indikasi laboratorik yaitu adanya sindroma HELLP. Cara mengakhiri kehamilan (terminasi kehamilan) dilakukan berdasar keadaan obstetrik pada waktu itu, apakah sudah inpartu atau belum. Sikap 39
terhadap kehamilan pada sindroma HELLP ialah aktif, yaitu kehamilan diakhiri (diterminasi) tanpa memandang umur kehamilan. Persalinan dapat dilakukan secara pervaginam atau perabdominam. Sehingga seharusnya pada pasien ini dilakukan pemeriksaan dalam untuk mengetahui secara pasti apakah sudah inpartu atau belum. 4.4 Kontrasepsi Pasien pernah menggunakan kontrasepsi suntik 3 bulan selama 7 tahun dimulai pada tahun 2000 hingga tahun 2007. Setelah itu pasien tidak pernah lagi memakai kontrasepsi. Pada hamil ini pasien berencana untuk steril karena merasa usianya sudah cukup tua dan sudah memiliki lima anak. Menurut teori perempuan berusia lebih dari 35 tahun memerlukan kontrasepsi yang aman dan efektif karena kelompok ini akan mengalami peningkatan morbiditas dan mortalitas jika mereka hamil. Kontrasepsi mantap merupakan pilihan yang sangat tepat untuk pasangan yang benar-benar tidak ingin tambahan anak lagi.
40
BAB 5 PENUTUP 5.1 Kesimpulan Dari hasil pembahasan kasus ini dapat disimpulkan beberapa hal, antara lain: 1. Pasien Ny. D, perempuan, usia 40 tahun, G6P5A0 gravid 34-35 minggu, merupakan pasien rujukan dari rumah sakit swasta dengan diagnosis PEB + HELLP syndrome. Perut kencang (-) Lendir (-) darah (-). Pada pemeriksaan fisik didapatkan TFU : 27 cm, teraba kepala, Leopold II teraba bagian lurus memanjang di kiri ibu, Leopold III teraba bokong, dan Leopold IV belum masuk PAP dengan HIS (-), dan DJJ 134 x/menit. Pemeriksaan Dalam tidak dilakukan. 2. Tatalaksana yang diperoleh pasien ini adalah terapi sesuai protokol preeclampsia dan dilakukan SC + MOW hari Selasa, 3 November 2015 3. Secara umum, penegakkan diagnosis, dan alur penatalaksanaan sudah sesuai dengan literatur yang ada. 5.2 Saran Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan atas penyusunan tutorial klinik ini.Oleh karena itu, penulis mengharapakan kritik dan saran dari rekan-rekan sekalian demi bertambahnya khasanah ilmu pengetahuan kita bersama.
41
DAFTAR PUSTAKA 1
Saifuddin, A.B., Rachimhadhi, T., Winknjosastro, G.H., editors. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi ke-4. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Hal. 532-535.
2
Pangemanan Wim T. Komplikasi Akut Pada Preeklampsia. Palembang. Universitas Sriwijaya. 2002
3
Habli, M., Sibai, B.M. 2008. Hypertensive Disorders of Pregnancy. In: Danforth’s obstetrics and gynecology. 10th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2008: 258-266
4
Universitas Sumatra Utara. Hubungan Antara Peeklampsia dengan BBLR.
5
Sumatera Utara. FK USU. 2009 Kusumawardhani, dkk. Pre Eklampsia Berat Dengan Syndrom Hellp, Intra Uterine Fetal Death , Presentasi Bokong, Pada Sekundigravida Hamil Preterm
6
BelumDalam Persalinan. Universitas Negri Surakarta. 2009 Hartuti Agustina, dkk. Referat Preeklampsia. Purwokerto. Universitas Jendral
7
Sudirman. 2011 UnCunningham, FG et.al. Hypertensive Disorder in Pregnancy. Williams Obstetrics, 21st ed. Prentice
8
Hall International Inc.
Appleton and Lange.
Connecticut. 2001. 653 - 694. Jurnal penatalaksanaan Pre-eklampsi dan Eklampsi Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS. Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta, April 1998.
42
View more...
Comments