Patofisiologi Lupus
May 21, 2019 | Author: Ryani Lingling | Category: N/A
Short Description
Download Patofisiologi Lupus...
Description
PATOFISIOLOGI Patofiologi penyakit SLE dihipotesiskan sebagai berikut : Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai predisposisi genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel T CD4+, mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap self-antigen. Sebagai akibatnya muncullah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik yang memproduksi autoantibodi maupun yang berupa sel memori. Ujud pemicu ini masih belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk didalamnya ialah hormon seks, sinar ultraviolet dan berbagai macam infeksi. Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap antigen yang terutama terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan non histon. Kebanyakan diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan atau kompleks protein RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas autoantigen ini ialah bahwa mereka tidak tissue-spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel. Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear antibody). Dengan antigennya yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi. Telah ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada SLE terganggu. Dapat berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemprosesan kompleks imun dalam hati, dan penurun uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai maca organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan/ gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan sebagainya. Bagian yang penting dalam patofisiologi ini ialah terganggunya mekanisme regulasi yang dalam keadaan normal mencegah autoimunitas patologis pada individu yang resisten. Secara skematis, hipotesis mengenai patofisiologi SLE dapat dilihat pada skema di bawah ini. Genetically susceptible individual Complement Additional unidentified Genes
E. MANIFESTASI KLINIS Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh. Dapat juga menahun dengan gejala pada satu sistem yang lambat laun diikuti oleh gejala terkenanya sistem imun. Pada tipe menahun terdapat remisi dan eksaserbasi. Remisinya mungkin berlangsung bertahun-tahun. Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi seperti kontak dengan sinar matahari, infeksi virus/ bakteri, obat misalnya golongan sulfa, penghentian kehamilan dan trauma fisis/psikis. Setiap serangan biasanya disertai gejala umum yang jelas seperti demam, malaise, kelemahan, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, dan iritabilitas. Yang paling menonjol ialah demam, kadang-kadang disertai menggigil.
a. Gejala Muskuloskeletal Gejala yang sering pada SLE ialah gejala muskuloskeletal, berupa artritis atau artralgia (93 %) dan acapkali mendahului gejala-gejala lainnya. Yang paling sering terkenal ialah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpofalangeal, siku dan pergelangan kaki. Selain pembengkakan dan nyeri mungkin juga terdapat efusi sendi yang biasanya termasuk kelas I (non-inflamasi) ; kadang-kadang termasuk kelas II (inflamasi). Kaku pagi hari jarang ditemukan. Mungkin juga terdapat nyeri otot dan miositis. Artritis biasanya simetris, tanpa menyebabkan deformitas, kontraktur atau reumatoid. Nekrosis avaskular dapat terjadi pada berbagai tempat, dan terutama ditemukan pada pasien yang mendapat pengobatan dengan steroid dosis tinggi. Tempat yang paling sering terkena ialah kaput femoris.
b. Gejala mukokutan Kelainan kulit, rambut atau selaput lendir ditemukan pada 85 % kasus SLE. Lesi kulit yang paling sering ditemukan pada SLE ialah lesi kulit akut, subakut, diskoid dan livido retikularis. Ruam kulit yang dianggap khas dan banyak menolong dalam mengarahkan diagnosis SLE ialah ruam kulit berbentuk kupu-kupu (butterfly-rash) berupa eritema yang agak edematus pada hidung dan kedua pipi. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas. Pada bagian tubuh yang terkena sinar matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas (photo-hypersensitivity). Lesi ini termasuk lesi kulit akut. Lesi kulit subakut yang khas berbentuk anular. Lesi diskoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema, hiperkeratosis dan atrofi. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi, tertutup sisik keratin disertai adanya penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan terbentuk sikatriks. Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil sampai yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema periungual. Livido retikularis, suatu bentuk vaskulitis ringan, sangat sering ditemui pada SLE. Kelainan kulit yang jarang ditemukan ialah bulla (dapat menjadi hemoragik), ekimosis, petekie dan purpura.
Kadang-kadang terdapat urtikaria yang tidak berperan terhadap kortikosteroid dan antihistamin. Biasanya menghilang perlahan-lahan beberapa bulan setelah penyakit tenang secara klinis dan serologis. Alopesia dapat pulih kembali jika penyakit mengalami remisi. Ulserasi selaput lendir paling sering pada palatum durum dan biasanya tidak nyeri. Terjadi perbaikan spontan kalau penyakit mengalami remisi. Fenomen Raynaud pada sebagian pasien tidak mempunyai korelasi dengan aktivitas penyakit, sedangkan pada sebagian lagi akan membaik jika penyakit mereda.
c. Ginjal Kelainan ginjal ditemukan pada 68 % kasus SLE. Manifestasi paling sering ialah proteinuria dan atau hematuria. Hipertensi, sindrom nefrotik dan kegagalan ginjal jarang terjadi; hanya terdapat pada 25 % kasus SLE yang urinnya menunjukkan kelainan. Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal, yaitu nefritis penyakit SLE difus dan nefritis penyakit SLE membranosa. Nefritis penyakit SLE difus merupakan kelauanan yang paling berat. Klinis biasanya tampak sebagai sindrom nefrotik, hipertensi serta gangguan fungsi ginjal sedang sampai berat. Nefritis penyakit SLE membranosa lebih jarang ditemukan. Ditandai dengan sindrom nefrotik, gangguan fungsi ginjal ringan serta perjalanan penyakit yang mungkin berlangsung cepat atau lambat tapi progresif. Kelainan ginjal lain yang mungkin ditemukan pada SLE ialah pielonefritis kronik, tuberkulosis ginjal dan sebagainya. Gagal ginjal merupakan salah satu penyebab kematian SLE kronik.
d. Kardiovaskular Kelainan jantung dapat berupa perikarditis ringan sampai berat (efusi perikard), iskemia miokard dan endokarditis verukosa (Libman Sacks).
e. Paru Efusi pieura unilateral ringan lebih sering terjadi daripada yang bilateral. Mungkin ditemukan sel LE (lamp. dalam cairan pleura. Biasanya efusi menghilang dengan pemberian terapi yang adekuat.
Diagnosis pneumonitis penyakit SLE baru dapat ditegakkan jika faktor-faktor lain seperti infeksi virus, jamur, tuberkulosis dan sebagainya telah disingkirkan.
f. Saluran Pencernaan Nyeri abdomen terdapat pada 25 % kasus SLE, mungkin disertai mual (muntah jarang) dan diare. Gejala menghilang dengan cepat jika gangguan sistemiknya mendapat pengobatan adekuat. Nyeri yang timbul mungkin disebabkan oleh peritonitis steril atau arteritis pembuluh darah kecil mesenterium dan usus yang mengakibatkan ulserasi usus. Arteritis dapat juga menimbulkan pankreatitis.
g. Hati dan Limpa Hepatosplenomegali mungkin ditemukan pada anak-anak, tetapi jarang disertai ikterus. Umumnya dalam beberapa bulan akan menghilang/ kembali normal.
h. Kelenjer Getah Bening Pembesaran kelenjer getah bening sering ditemukan (50 %). Biasanya berupa limfa denopati difus dan lebih sering pada anak-anak. Limfadenopati difus ini kadangkadang disangka sebagai limfoma.
i. Kelenjer Parotis Kelenjer parotis membesar pada 6 % kasus SLE.
j. Susunan Saraf Tepi Neuropati perifer yang terjadi berupa gangguan sensorik dan motorik. Biasanya bersifat sementara.
k. Susunan Saraf Pusat Gangguan susunan saraf pusat terdiri atas 2 kelainan utama yaitu psikosis organik dan kejang-kejang. Penyakit otak organik biasanya ditemukan bersamaan dengan gejala aktif SLE pada sistem-sistem lainnya. Pasien menunjukkan gejala delusi/ halusinasi
disamping gejala khas kelainan organik otak seperti disorientasi, sukar menghitung dan tidak sanggup mengingat kembali gambar-gambar yang pernah dilihat. Psikosis steroid juga termasuk sindrom otak organik yang secara klinis tak dapat dibedakan dengan psikosis penyakit SLE. Perbedaan antara keduanya baru dapat diketahui dengan menurunkan atau menaikkan dosis steroid yang dipakai. Psikosis penyakit SLE membaik jika dosis steroid dinaikkan, sedangkan psikosis steroid sebaliknya. Kejang-kejang yang timbul biasanya termasuk tipe grandmal. Kelainan lain yang mungkin ditemukan ialah korea, kejang tipe Jackson, paraplegia karena mielitis transversal, hemiplegia, afasia dan sebagainya. Mekanisme terjadinya kelainan susunan saraf pusat tidak selalu jelas Faktorfaktor yang memegang peran antara lain vaskulitis, deposit gamaglobulin di pleksus koroideus.
l. Mata Kelainan mata dapat berupa konjungtivitis, edema periorbital, perdarahan subkonjungtival, uveitis dan adanya badan sitoid di retina.
Patogenesis Lupus Eritematosus Autoantibodi pada lupus dibentuk untuk menjadi antigen nuklear ( ANA dan anti-DNA). Autoantibodi terlibat dalam pembentukan kompleks imun, yang diikuti oleh aktivasi komplemen yang mempengaruhi respon inflamasi pada banyak jaringan, termasuk kulit dan ginjal (7). Ada tiga faktor yang menjadi perhatian bila membahas patogenesis lupus, yaitu : faktor genetik, lingkungan, dan kelainan pada sistem imun (6,8). Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus, dengan resiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot (6,7,8). Studi lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan dengan HLA (Human Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen MHC (Major Histocompatibility Complex) mengatur produksi autoantibodi spesifik (6,8). Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen komplemen, seperti C2,C4, atau C1q. Kekurangan komplemen dapat merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh sistem fagositosit mononuklear, sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan. Defisiensi C1q menyebabkan fagositis gagal membersihkan sel apoptosis, sehingga komponen nuklear akan menimbulkan respon imun (6). Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti radiasi ultra violet, tembakau, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada self-immunity dan hilangnya toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit. Selain itu sinar
UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita lupus, dan memegang peranan dalam fase induksi yanng secara langsung merubah sel DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal membantu menekan terjadinya kelainan pada inflamasi kulit. Faktor lingkungan lainnya yaitu kebiasaan merokok yang menunjukkan bahwa perokok memiliki resiko tinggi terkena lupus, berhubungan dengan zat yang terkandung dalam tembakau yaitu amino lipogenik aromatik. Pengaruh obat juga memberikan gambaran bervariasi pada penderita lupus. Pengaruh obat salah satunya yaitu dapat meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor lingkungan lainnya yaitu peranan agen infeksius terutama virus dapat ditemukan pada penderita lupus. Virus rubella, sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi sel permukaan dan apoptosis. (8) Faktor ketiga yang mempengaruhi patogenesis lupus yaitu faktor imunologis. Selama ini dinyatakan bahwa hiperaktivitas sel intrinsik B menjadi dasar dari patogenesis lupus eritematosus sistemik (6,8). Beberapa autoantibodi ini secara langsung bersifat patogen termasuk dsDNA (double-stranded DNA), yang berperan dalam membentuk kompleks imun yang kemudian merusak jaringan (8). 2.7 Manifestasi Klinis Lupus Eritematosus Secara Umum Penyakit Lupus Eritematosus Sistemik atau lebih dikenal dengan istilah ”lupus”, memiliki manifestasi klinis yang bervariasi, dan melibatkan multiorgan (2,5,9) yaitu sekitar 80% melibatkan persendian, kulit, dan darah; sekitar 30-50% melibatkan ginjal, jantung, sistem saraf, dan sekitar 10-30% melibatkan trombosis arteri dan vena (10). 2.7.1 Manifestasi Lupus Eritematosus Pada Kulit Manifestasi pada kulit dapat berupa lesi ruam diskoid dan ruam malar. Ruam diskoid adalah ruam pada kulit leher, kepala, muka, telinga, dada, punggung, dan ekstremitas yang menimbul dan berbatas tegas, dengan diameter 5-10 mm, tidak gatal maupun nyeri. Pada kepala dapat menyebabkan alopecia yang permanen. Ruam malar adalah ruam yang menyerupai kupu-kupu pada wajah. Ruam-ruam tersebut dipicu oleh paparan cahaya matahari.(6,11,12).. Lesi-lesi tersebut penyebarannya bersifat sentrifugal dan dapat bersatu sehingga berbentuk ruam yang tidak beraturan. Dapat ditemukan pula berupa lesi kronis malignan, meskipun jarang, tetapi mengarah pada kanker kulit nonmelanoma. Lesi mirip lichen planus (LP) juga dapat ditemukan dan seringkali tumpang tindih antara LE dengan LP atau lesi dapat timbul juga karena penggunaan terapi dengan antimalaria. Penyembuhan dari lesi diskoid akan meninggalkan jaringan yang atropi dan jaringan parut (6). Gambar 2.1. Lesi awal DLE Gambar 2.2. Butterfly Rash Gambar 2.3.Jaringan atropi Gambar 2.4. Jaringan parut Gambar 2.5. Kebotakan / alopecia Gambar 2.6. Eritematosa pada jari 2.7.2 Manifestasi Lupus Eritematosus Pada Sistem Saraf Pusat Penyakit lupus pada sistem saraf pusat (SSP) berhubungan dengan beberapa sindrom neurologik yang berbeda. Manifestasi neuropsikiatrik lupus bervariasi dari ringan (seperti sakit kepala) sampai berat (seperti stroke). Manifestasi utama dari Lupus SSP : 1. Disfungsi kognitif ( tidak dapat berpikir jernih, defisit memori) 2. Sakit kepala 3. Seizure
4. berubahnya kewaspadaan mental (stupor atau koma) 5. Meningitis aseptik 6. Stroke (gangguan suplai darah pada bagian – bagian otak yang berbeda) 7. Periperal neuropathy ( contoh : hilang rasa,rasa geli, rasa terbakar pada tangan dan kaki) 8. Gangguan pergerakan 9. Myelitis (gangguan pada spinal cord) 10. visual alternation 11. Autonomic neuropathy (contoh: reaksi flushing atau mottled skin) Spektrum manifestasi klinis lupus SSP sangat luas sehingga merupakan suatu sindrom klinis utama pada lupus SSP yaitu berupa vaskulitis SSP yang merupakan inflamasi pada pembuluh darah otak karena aktivitas lupus, dan merupakan satu dari dua sindrom spesifik lupus SSP yang dibuat oleh American College of Rheumatology. Biasanya terjadi pada awal perjalanan penyakit (lebih dari 80% kejadian timbul saat lima tahun pertama dari perjalanan penyakit), yang ditemukan pada 10% pasien lupus. Pasien memperlihatkan gejala demam, seizures, meningitis like stiffness pada leher dan psychotic atau bizzare behaviour. MRI otak memperlihatkan daerah infark singel atau multipel. Sindrom Antiphospholipid. Siapapun yang memiliki antibodi antiphospholipid sebagai bagian dari sindrom lupus beresiko membentuk bekuan darah, yang dapat menghambat pembuluh darah yang mensuplai otak. Bekuan darah pada otak ( disebut kejadian thromboembolic) dapat terjadi tiba-tiba dan biasanya tidak sakit. Pasien dapat mengalami paralisis yang tiba-tiba atau tidak dapat bersuara. Manifestasi SSP lainnya yaitu sakit kepala yang sering terjadi pada sekitar 4550% pasien lupus. Sakit kepala terjadi sebagai manifestasi akut selama penyakit lupus SSP aktif yang disertai pula dengan komplikasi neurologik lainnya. Studi terdahulu menyebutkan sakit kepala migrain sering terjadi pada pasien dengan lupus SSP. Lupus myelitis mengarah pada disfungsi dari spinal cord. Hal ini merupakan komplikasi yang serius dari lupus SSP yang dapat menyebabkan paralisis atau kelemahan dan bervariasi mulai dari kesulitan menggerakkan anggota badan sampai terjadinya paraplegia. Penyakit lupus juga bermanifestasi pada sistem saraf otonom (SSO), dimana SSO merupakan bagian dari sistem saraf yang mengontrol fungsi tubuh yang tidak disadari, seperti pengaturan detak jantung, bernafas, berkeringat,dll. Manifestasi gangguan SSO contohnya pada terjadinya gangguan kognitif, livedo reticularis ( a mottled skin rash), rasa geli, hilang rasa pada ekstremitas. Pasien lupus yang mengalami gangguan kognitif biasanya mengeluhkan adanya rasa kebingungan, kelelahan, kesulitan menyampaikan pikiran, dan gangguan memori. Gejala gangguan kognitif adalah intermiten. Manifestasi lupus pada SSP lainnya yaitu terjadinya sindrom organ otak, yaitu ketika pasien lupus mengalami stroke atau vaskulitis. Lesi ini dapat sembuh tetapi meninggalkan jaringan parut yang dapat menyebabkan kelainan motorik, sensorik atau mental yang permanen atau bahkan seizures. Kondisi ini menyebabkan kerusakan permanen pada SSP (13). 2.7.3 Manifestasi Lupus Eritematosus Pada Ginjal Manifestasi klinis lupus pada ginjal (lupus nephritis) terjadi pada kira-kira
50% pasien dengan lupus. Gambaran klinis bervariasi dari kelainan yang asimtomatik sampai terjadinya hipertensi, edema, sindrom nefrotik full-blown atau gagal ginjal yang progresif. Manifestasi lupus pada ginjal jarang menjadi manifestasi awal lupus, tetapi sering ditemukan variasi derajat proteinuria, darah dalam urin dan abnormalitas sedimen urin pada ¼ penderita lupus. Pada stadium lanjut dapat menjadi komplikasi yang serius sehingga menyebabkan kematian (14,15). 2.7.4 Manifestasi Lupus Eritematosus Pada Mata Manifestasi lupus pada mata dibagi berdasarkan dua aspek, yaitu aspek eksternal, contohnya pada gejala kekeringan mata yang menimbulkan ketidaknyamanan, rasa gatal, rasa seperti berpasir/ gritty, dan refleks berair/ watering yang timbul bila melibatkan kelenjar lakrimal seperti pada Sjogren’s sindrome atau sindrom sicca, yaitu bila terjadi kerusakan pada kelenjar saliva. Selain itu kelainan dapat ditemukan pada kulit disekeliling mata/ kelopak mata seiring perubahan jaringan kulit pada penderita lupus. Kelainan eksternal lainnya yaitu mata merah yang melibatkan konjungtiva dan episklera, meskipun tanpa disertai rasa sakit. Selain itu dapat dijumpai jaringan parut yang dapat membahayakan kornea. Aspek lainnya yaitu aspek internal seperti pada vaskulitis retina dan inflamasi pembuluh darah yang mengalami kerusakan (microangiopathy), sehingga retina dapat kehilangan daya lihat. Pada pemeriksaan terlihat pembuluh retina yang menyempit berwarna putih dan adanya cotton wool spots ( potongan kecil berwarna putih pada retina) yang timbul karena pembengkakan lokalisata yang sementara. Perubahan ini dapat ditemukan walau disertai gejala lain. Manifestasi lupus pada mata dapat pula dipengaruhi oleh kelainan pada organ lain akibat lupus, misalnya manifestasi lupus pada ginjal dapat menyebabkan retensi cairan dan menyebabkan pembengkakan pada kelopak mata. Keadaan bengkak pada kelopak mata dapat menjadi tanda awal kekambuhan. Renal hipertension, dapat menyebabkan retinopati hipertensi, yang bermanifestasi seperti microangiopathy. Manifestasi lupus pada sistem saraf dapat berpengaruh pada peningkatan tekanan cairan serebrospinal yang kemudian dapat menjadi pseudo tumor/ tumor intrakranial, dan menyebabkan pembengkakan pada saraf optik (pseudopapilledema). Perubahan ini tidak menimbulkan gejala, tetapi bila tidak terdeteksi dan tidak diobati dapat menyebabkan kebutaan. Manifestasi lupus pada sistem gastrointestinal juga dapat berpengaruh pada mata. Pankreatitis akut dapat menyebabkan Purtscher’s retinopathy, adanya cotton wool spots. Penglihatan terpengaruh tetapi dapat sembuh kembali (16). 2.7.5 Manifestasi Lupus Eritematosus Pada Gastrointestinal Manifestasi lupus pada saluran pencernaan merupakan hal yang paling mengganggu dan dapat melemahkan pasien. Secara umum, perkiraan persentase keterlibatan saluran gastrointestinal pada penderita lupus adalah vomiting 5-10%, sakit abdomen 40-60%, dysphagia 5-10%, ascites 5-19%, jaundice 3-10% (17). Keterlibatan organ pencernaan meskipun ringan, tapi dapat pula menyebabkan beberapa komplikasi yang bisa menyebabkan kematian, yaitu seperti hemoragi, perforasi, ulserasi. Bila terdapat keterlibatan hepar, dapat ditemukan hepatomegali dan penderita mengeluhkan rasa penuh pada daerah hepar, tetapi kondisi ini tidak mengarah pada hepatitis atau cirrhosis (17).
Patofisiologi SLE (Sistemisc Lupus Erythematosus) Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal ( sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan. Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.
1. Sistem muskuloskeletal Artralgia, artritis (sinovitis), pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari. 2. Sistem integumen Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum. 3. Sistem kardiak Perikarditis merupakan manifestasi kardiak. 4. Sistem pernafasan Pleuritis atau efusi pleura. 5. Sistem vaskuler Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis. 6. Sistem perkemihan Glomerulus renal yang biasanya terkena. 7. Sistem saraf Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh bentuk penyakit neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.
http://nursingbegin.com/askep-sle/14:47
View more...
Comments