Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Pengembangan Desa Belandingan Sebagai Desa Wisata Di Kabupaten Bangli
July 18, 2017 | Author: I Gede Made Sukariyanto | Category: N/A
Short Description
Undergraduate Thesis (Skripsi) Sebagai persyaratan dalam meraih gelar Sarjana Parwisata (S.Par)...
Description
PARTISIPASI MASYARAKAT LOKAL DALAM PENGEMBANGAN DESA BELANDINGAN SEBAGAI DESA WISATA DI KABUPATEN BANGLI
OLEH: I GEDE MADE SUKARIYANTO NIM: 11112015
JURUSAN KEPARIWISATAAN PROGRAM STUDI DESTINASI PARIWISATA STRATA I
SEKOLAH TINGGI PARIWISATA NUSA DUA BALI KEMENTERIAN PARIWISATA 2015
PARTISIPASI MASYARAKAT LOKAL DALAM PENGEMBANGAN DESA BELANDINGAN SEBAGAI DESA WISATA DI KABUPATEN BANGLI
OLEH: I GEDE MADE SUKARIYANTO NIM: 11112015
JURUSAN KEPARIWISATAAN PROGRAM STUDI DESTINASI PARIWISATA STRATA I
SEKOLAH TINGGI PARIWISATA NUSA DUA BALI KEMENTERIAN PARIWISATA 2015
i
PARTISIPASI MASYARAKAT LOKAL DALAM PENGEMBANGAN DESA BELANDINGAN SEBAGAI DESA WISATA DI KABUPATEN BANGLI
SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi persyaratan guna dapat mengikuti ujian dan mencapai gelar kesarjanaan pada Program Studi Destinasi Pariwisata Jurusan Kepariwisataan
OLEH: I GEDE MADE SUKARIYANTO NIM: 11112015
SEKOLAH TINGGI PARIWISATA NUSA DUA BALI KEMENTERIAN PARIWISATA 2015
ii
PARTISIPASI MASYARAKAT LOKAL DALAM PENGEMBANGAN DESA BELANDINGAN SEBAGAI DESA WISATA DI KABUPATEN BANGLI
DIAJUKAN OLEH: I GEDE MADE SUKARIYANTO NIM: 11112015
TELAH DISETUJUI Nusa Dua, Juni 2015
PEMBIMBING I
PEMBIMBING II
I Wayan Mertha, SE., M.Si. NIP. 19630101 198803 1 002
D. A. M. Lily Dianasari, ST.,M.Si. NIP. 19770810 200911 2 001
Mengetahui, KABAG ADMINISTRASI AKADEMIK DAN KEMAHASISWAAN
Drs. I Wayan Muliana, M.Ed. NIP. 19660512 199103 1 001
iii
Tim Penguji Ujian Sarjana Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali setelah meneliti, mengetahui proses pembuatan skripsi dan telah dipertanggungjawabkan oleh yang bersangkutan, dapat:
MENGESAHKAN
PENGUJI I
PENGUJI II
D. A. M. Lily Dianasari, ST.,M.Si. NIP. 19770810 200911 2 001
Hanugerah K. L, S.ST,Par., MM NIP. 19790930 200605 1 003
Mengetahui, KETUA SEKOLAH TINGGI PARIWISATA NUSA DUA BALI
Drs. Dewa Gede Ngurah Byomantara, M.Ed. NIP. 19620228 198810 1 001
iv
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa Penulisan Tugas Akhir/Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya, tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan/sarjana sains terapan di suatu perguruan tinggi manapun, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila penulisan Tugas Akhir/Skripsi ini terbukti merupakan duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain dan/atau dengan sengaja mengajukan karya atau pendapat yang merupakan hasil karya penulis lain, maka saya bersedia menerima sanksi akademik dan/atau sanksi hukuman yang berlaku. Demikian Surat Pernyataan ini saya buat sebagai pertanggungjawaban ilmiah tanpa ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun juga.
Nusa Dua, Juni 2015 Yang Menyatakan,
I Gede Made Sukariyanto NIM: 11112015
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul “Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Pengembangan Desa Belandingan Sebagai Desa Wisata di Kabupaten Bangli”. Penyusunan Skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus dikerjakan untuk dapat memperoleh gelar kesarjanaan. Skripsi ini merupakan hasil dari kerja keras saya dan bimbingan, serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, sudah sewajarnya melalui kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada, Yang Terhormat: 1. Bapak Drs. Dewa Gede Ngurah Byomantara, M.Ed. selaku Ketua Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali. 2. Bapak Drs. I Wayan Muliana, M.Ed. selaku Kabag. Akademik dan Kemahasiswaan Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali. 3. Bapak Ida Bagus Putra Negarayana, ST, MM. selaku Ketua Jurusan Kepariwisataan Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali. 4. Ibu Luh Yusni Wiarti, A.Par, SE., M.Par., M.Rech selaku Ketua Program Studi Destinasi Pariwisata Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali. 5. Bapak I Wayan Mertha, SE., M.Si. dan Ibu Dewa Ayu Made Lily Dianasari, S.T., M.Si. selaku pembimbing yang telah membantu memberikan bimbingan dalam proses penyusunan skripsi.
vi
6. Bapak I Komang Swastika selaku Perbekel Desa Belandingan dan I Made Kuas selaku LWG Desa Belandingan yang memberikan arahan serta dukungan di lapangan selama penelitan. 7. Seluruh masyarakat Desa Beladingan atas segala bantuan dan partisipasi yang telah diberikan dengan memberikan informasi dalam penelitian ini. 8. Orang tua saya Bapak I Gede Made Jawi dan Ibu Ni Putu Gatri serta kakak saya Nu Luh Putu Dewi Riyanti yang telah mendukung saya setiap hari dalam hal waktu, dukungan moral, serta finansial selama melaksanakan penelitian ini. 9. Teman-teman DPW angkatan 2011 terutama Haryananda, Wisnu, Janar, Shandra, Eka, Tony dan Wungsu atas kekompakan, bantuan, inspirasi dan kerjasamanya dalam pembuatan skripsi ini. 10. Seluruh pihak-pihak yang telah membantu saya baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.
Akhir kata saya menyadari bahwa hasil Skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran dari pembaca mengenai hasil Skripsi ini saya harapkan agar dapat menghasilkan laporan penelitian yang lebih baik pada masa mendatang. Dengan adanya skripsi ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan dalam memaksimalkan partisipasi masyarakat dalam pengembangan desa wisata di Kabupaten Bangli.
Nusa Dua, Juni 2015 Penulis
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................
i
HALAMAN PENGAJUAN ........................................................................
ii
HALAMAN PERSETUJUAN ...................................................................
iii
HALAMAN PENGESAHAN .....................................................................
iv
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ......................................................
v
KATA PENGANTAR .................................................................................
vi
DAFTAR ISI ...............................................................................................
viii
DAFTAR TABEL ......................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................
xiv
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
xv
ABSTRAK ...................................................................................................
xvi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ............................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................
9
1.3 Batasan Masalah .........................................................................
9
1.4 Tujuan Penelitian .......................................................................
9
1.5 Manfaat Penelitian .....................................................................
10
BAB II STUDI PUSTAKA 2.1 Landasan Teori .........................................................................
12
2.1.1 Partisipasi Masyarakat ......................................................
12
viii
2.1.1.1 Konsep Partisipasi Masyarakat .............................
12
2.1.1.2 Bentuk – Bentuk Partisipasi Masyarakat ..............
13
2.1.1.3 Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan Desa Wisata ..........................................................
16
2.1.2 Community Based Development .......................................
19
2.1.3 Desa Wisata ......................................................................
23
2.1.3.1 Konsep Desa Wisata .............................................
23
2.1.3.2 Pengembangan Desa Wisata .................................
25
2.2 Tinjauan Pustaka........................................................................
29
2.3 Kerangka Pemikiran ..................................................................
34
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ...................................................
38
3.2 Jenis dan Sumber Data ............................................................
38
3.2.1 Jenis Data .......................................................................
38
3.2.2 Sumber Data ...................................................................
39
3.3 Teknik Pengambilan Sampel....................................................
39
3.4 Teknik Pengumpulan Data ......................................................
42
3.4.1 Observasi ........................................................................
42
3.4.2 Wawancara .....................................................................
43
3.4.3 Kuesioner (Angket) ........................................................
43`
3.4.4 Dokumentasi ..................................................................
44
3.5 Pengujian Instrumen.................................................................
44
3.5.1 Uji Validitas ....................................................................
44
3.5.2 Uji Reliabilitas ................................................................
45
ix
3.6 Teknik Analisis Data ...............................................................
45
BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Lokasi Penelitian ....................................................
50
4.1.1 Sejarah Desa Belandingan...............................................
50
4.1.2 Kondisi Geografis Desa Belandingan .............................
52
4.1.3 Kondisi Demografis Desa Belandingan ..........................
53
4.1.3.1 Jumlah Penduduk ................................................
53
4.1.3.2 Pendidikan ...........................................................
54
4.1.3.3 Mata Pencaharian ................................................
54
4.1.3.4 Sosial Budaya ......................................................
55
4.1.4 Kondisi Sarana dan Prasarana di Desa Belandingan.......
56
4.1.4.1 Prasarana Air Bersih ...........................................
56
4.1.4.2 Sumber Listrik .....................................................
57
4.1.4.3 Telekomunikasi ...................................................
57
4.1.4.4 Sarana Lain..........................................................
58
4.1.5 Pengembangan Desa Belandingan Sebagai Desa Wisata..............................................................................
58
4.1.6 Kondisi Kepariwisataan Desa Belandingan ....................
61
4.1.6.1 Atraksi .................................................................
61
4.1.6.2 Amenitas .............................................................
74
4.1.6.3 Aksesibilitas ........................................................
74
4.1.6.4 Ancillaries ...........................................................
76
4.2 Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner ..................................
76
4.3 Paparan dan Analisis Data .......................................................
79
x
4.3.1 Karakteristik Responden .................................................
79
4.3.2 Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Pengembangan Desa Belandingan Sebagai Desa Wisata .........................
85
4.3.3 Intensitas Partisipasi Masyarakat Lokal pada Setiap Tahapan Pengembangan Desa Wisata Belandingan .......
88
4.3.4 Bentuk-Bentuk Partisipasi Masyarakat Lokal Pada Tahap Perencanaan di Desa Wisata Belandingan ...........
90
4.3.5 Bentuk-Bentuk Partisipasi Masyarakat Lokal Pada Tahap Pelaksanaan Pembangunan di Desa Wisata Belandingan.....................................................................
93
4.3.6 Bentuk-Bentuk Partisipasi Masyarakat Lokal Pada Tahap Pengelolaan di Desa Wisata Belandingan ............
95
4.3.7 Bentuk-Bentuk Partisipasi Masyarakat Lokal Pada Tahap Monitoring dan Evaluasi di Desa Wisata Belandingan.....................................................................
98
4.3.8 Hambatan yang Dihadapi oleh Masyarakat Lokal Saat Berpartisipasi Dalam Pengembangan Desa Wisata Belandingan.....................................................................
100
BAB V PENUTUP 5.1 Simpulan ..................................................................................
104
5.2 Saran .........................................................................................
105
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Indikator Bentuk Partisipasi Masyarakat ......................................
15
Tabel 2.2 Bentuk Partisipasi Masyarakat Pada Setiap Tahapan Pengembangan DesaWisata ..........................................................
18
Tabel 3.1 Jumlah Responden dari Masing – Masing Strata ..........................
41
Tabel 4.1 Mata Pencaharian Penduduk Desa Belandingan Tahun 2012 ......
55
Tabel 4.2 Pura Sungsungan Desa di Desa Belandingan ...............................
69
Tabel 4.3 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Sub Variabel Tahap Perencanaan ..................................................................................
77
Tabel 4.4 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Sub Variabel Tahap Pelaksanaan Pembangunan ...........................................................
77
Tabel 4.5 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Sub Variabel Tahap Pengelolaan ...................................................................................
78
Tabel 4.6 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Sub Variabel Tahap Monitoring dan Evaluasi ..............................................................
78
Tabel 4.7 Jumlah Responden Berdasarkan Jenis Kelamin............................
80
Tabel 4.8 Jumlah Responden Berdasarkan Kelompok Usia .........................
81
Tabel 4.9 Jumlah Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ...................
82
Tabel 4.10 Jumlah Responden Berdasarkan Pekerjaan ................................
83
Tabel 4.11 Jumlah Responden Berdasarkan Pendapatan Per Bulan .............
84
Tabel 4.12 Bentuk-Bentuk Partisipasi Masyarakat Lokal Pada Tahap Perencanaan di Desa Wisata Belandingan ..................................
91
Tabel 4.13 Bentuk-Bentuk Partisipasi Masyarakat Lokal Pada Tahap Pelaksanaan Pembangunan di Desa Wisata Belandingan ...........
93
xii
Tabel 4.14 Bentuk-Bentuk Partisipasi Masyarakat Lokal Pada Tahap Pengelolaan di Desa Wisata Belandingan ...................................
95
Tabel 4.15 Bentuk-Bentuk Partisipasi Masyarakat Lokal Pada Tahap Monioring dan Evaluasi di Desa Wisata Belandingan ................
98
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1: Persentase Kunjungan Wisatawan ke Kintamani Terhadap Kunjungan Wistawan ke Bali ..................................................
3
Gambar 2.1: Kerangka Pemikiran .................................................................
34
Gambar 4.1: Pemandangan dari Bubung Temu ............................................
63
Gambar 4.2: Lahan Pertanian Masyarakat Belandingan ...............................
65
Gambar 4.3: Rumah Saka Roras ...................................................................
66
Gambar 4.4: Pura Luhur Manik Muncar .......................................................
68
Gambar 4.5: Rencana Pengembangan Pura Manik Muncar ........................
68
Gambar 4.6: Struktur Pemerintahan Ulu Apad di Desa Belandingan ...........
74
Gambar 4.7: Jalan Utama Menuju Desa Belandingan ..................................
75
Gambar 4.8: Pengetahuan Masyarakat Terhadap Penetapan Desa Wisata Belandingan..............................................................................
85
Gambar 4.9: Partisipasi Masyarakat Dalam Pengembangan Desa Wisata Belandingan..............................................................................
87
Gambar 4.10: Intensitas Partisipasi Masyarakat Pada Setiap Tahap Pengembangan Desa Wisata Belandingan .............................
89
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Kuesioner Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Pengembangan Desa Belandingan Sebagai Desa Wisata Pangsan di Kabupaten Bnagli Lampiran 2. Panduan Wawancara Pengurus LWG dan Perbekel Desa Belandingan Lampiran 3. Uji Validitas dan Reliabilitas Lampiran 4. Proses Perhitungan Nilai Rata-Rata Bentuk-Bentuk Partisipasi Pada Setiap Tahap Pengembangan Desa Wisata Belandingan Lampiran 5. Photo-Photo Desa Wisata Belandingan Lampiran 6. Photo-Photo Kegiatan Penelitian di Lapangan Lampiran 7. Kartu Bimbingan
xv
Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Pengembangan Desa Belandingan Sebagai Desa Wisata Di Kabupaten Bangli
I Gede Made Sukariyanto NIM. 11112015
ABSTRAK Revitalisasi kepariwisataan di Kintamani merupakan salah satu wujud usaha pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal di daerah tersebut. Untuk menjalankan program tersebut, pemerintah tentu tidak dapat berjalan sendiri, melainkan perlu dukungan dari seluruh pemangku kepentingan termasuk dari masyarakat lokal. Untuk dapat memaksimalkan partisipasi masyarakat lokal, maka ditetapkanlah 15 desa wisata yang berada dalam kawasan pariwisata Kintamani dengan konsep sustainable tourism, dimana salah satu dari 15 desa tersebut adalah Desa Wisata Belandingan. Namun, setelah 1,5 tahun ditetapkan sebagai desa wisata, belum terlihat adanya perkembangan di desa tersebut. Hal inilah yang mendasari dilakukannya penelitian ini, karena partisipasi masyarakat lokal dalam pengembangan desa wisata merupakan hal yang sangat penting dan sangat berpengaruh dalam menentukan keberhasilan sebuah desa wisata. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk partisipasi masyarakat lokal pada setiap tahapan pengembangan desa wisata, serta mengetahui hambatan yang dihadapi oleh masyarakat lokal ketika berpartisipasi dalam pengembangan Desa Wisata Belandingan. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode survey dengan bantuan alat pengumpul data berupa kuesioner. Selain itu juga digunakan metode wawancara, observasi, dan dokumentasi. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan analisis kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan masyarakat lokal Desa Belandingan telah berpartisipasi pada setiap tahap pengembangan Desa Wisata Belandingan, namun sebagian besar partisipasi yang mereka lakukan merupakan kegiatan yang dilakukan sehari-hari (partisipasi tanpa disadari) dengan instensitas yang sangat rendah. Hal tersebut dibuktikan dengan partisipasi yang dilakukan pada tahap perencanaan mendapat nilai rata-rata 1.78, tahap pelaksanaan pembangunan sebesar 2.07, tahap pengelolaan sebesar 2.62, dan tahap evaluasi sebesar 2.63. Seluruh nilai rata-rata tersebut menunjukkan intensitas partisipasi yang sangat rendah dengan kategori tidak pernah hingga jarang. Terdapat beberapa hambatan yang dihadapi oleh masyarakat lokal ketika berpartisipasi, yaitu ketidaktahuan masyarakat mengenai penetapan Desa Wisata Belandingan, kurangnya pengetahuan kepariwisataan, kurangnya kualitas SDM, serta terbatasnya pendanaan. Kata Kunci: Partisipasi, Masyarakat Lokal, Sustainable Tourism, Desa Wisata.
xvi
Local Community Participation in Development of Belandingan Village as A Tourism Village in Bangli Regency
I Gede Made Sukariyanto NIM. 11112015
ABSTRACT Tourism revitalization in Kintamani is a form of the government's efforts in improving the welfare of local communities in that area. To run the program, the government certainly can not walk alone, but needs the support from all stakeholders including the local communities. In order to maximize the participation of local communities, the government assign 15 tourism village located in the tourism area of Kintamani, with sustainable tourism concept. One of those tourism villages is Belandingan Tourism Village. However, after 1.5 years of assigned as a tourism village, the development in Tourism Village of Belandingan has not seen yet. This is what underlies this study, because of the participation of local communities in the development of tourism village is very important and very influential in determining the success of a tourism village. The purpose of this study is to identify the forms of participation of local communities at every stage of the development in tourism village, as well as knowing the obstacles faced by local communities when participating in the development of Belandingan Tourism Village. Data collection methods used in this study are surveys, interviews, observation, and documentation. Analysis used in this study is the qualitative analysis. The results shows that the local communities of Belandingan village had participate in every stage of the development of Belandingan Tourism Village, but most participation they did are activities that they done daily (unwittingly participation) with very low intensity. This is evidenced by the participation made at the planning phase gets an average rating of 1.78, the development implementation phase worth at 2.07, management phase worth at 2.62, and the evaluation phase worth at 2.63. Entire average value indicates the intensity of participation is very low by category from never to rarely. There are several obstacles faced by local communities when they were participating, namely the ignorance of the public regarding the establishment of the Tourism Village of Belandingan, lack of knowledge in tourism, lack of quality in human resources, and limited funding. Key Word: Participation, Local Communities, Sustainable Tourism, Tourism Village.
xvii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Pariwisata adalah kunci dari pengembangan, kesejahteraan dan kemakmuran (UNWTO, 2014:2). Jumlah destinasi pariwisata telah mengalami penigkatan sehingga menjadikan pariwisata sebagai kunci penggerak dari perkembangan sosial ekonomi. Pariwisata juga dapat menyediakan lebih banyak lapangan kerja serta dapat meningkatkan berbagai usaha dan juga perkembangan infrastruktur. Hal tersebut sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh UNWTO dalam UNWTO Tourism Highlitghs 2014 Edition sebagai berikut: “An ever increasing number of destinations have opened up and invested in tourism, turning tourism into a key driver of socio-economic progress through export revenues, the creation of jobs and enterprises, and infrastructure development” (UNWTO, 2014 :2). Sehingga dapat dikatakan bahwa pariwisata memiliki peranan yang sangat penting dalam perkembangan suatu daerah. Hingga saat ini pariwisata selalu mengalami peningkatan. Di mana pada tahun 2013 jumlah kedatangan wisatawan internasional di seluruh dunia mencapai 1 miliyar wisatawan, dengan total wistawan yang bepergian ke luar negeri mencapai 1.087 juta wistawan (1.035 juta wisatawan pada tahun 2012). Hal ini mengindikasikan bahwa pariwisata selalu mengalami perkembangan setiap tahunnya.
1
Perkembangan pariwisata tersebut juga terjadi di Bali. Hal ini terlihat dari kunjungan wisatawan yang terus mengalami peningkatan. Kunjungan wisatawan ke Bali pada tahun 2008 mencapai 4.867.686 wisatawan dan menjadi 10.225.134 wisatawan pada tahun 2013 (Dinas Pariwisata Provinsi Bali, 2014). Bali terkenal dengan keindahan alam dan kekayaan budayanya hingga ke dunia internasional. Kondisi pulau yang kecil dengan ratusan daya tarik wisata membuat wisatawan dengan mudah dapat mengunjungi daya tarik wisata yang diminatinya tanpa memerlukan waktu yang lama. Daya tarik wisata tersebut tersebar di sembilan kabupaten / kota yang ada di Bali dan menjadi salah satu sektor andalan bagi pemasukan kabupaten / kota tersebut. Salah satu kabupaten yang menjadikan pariwisata sebagai sektor utama adalah Kabupaten Bangli. Secara geografis wilayah Kabupaten Bangli berada di tengah - tengah Pulau Bali dan satu – satunya kabupaten di Bali yang tidak memiliki laut. Walau demikian, Kabupaten Bangli memiliki sebuah danau yang merupakan danau terbesar di Bali serta menjadi sumber air untuk sebagian besar wilayah Provinsi Bali. Luas wilayah Kabupaten Bangli mencapai 520,81 km2 yang secara administratif terbagi menjadi 4 wilayah kecamatan yaitu Kecamatan Kintamani., Kecamatan Bangli, Kecamatan Susut dan Kecamatan Tembuku. Berdasarkan data BPS Kabupaten Bangli tahun 2012, jumlah penduduk Kabupaten Bangli mencapai 216.804 jiwa yang tersebar ke dalam 4 kelurahan dan 56 desa di keempat kecamatan tersebut. Bangli memiliki beberapa daya tarik wisata yang dikategorikan telah berkembang yaitu: Penulisan, Batur,
2
Trunyan, Desa Adat Penglipuran dan Kehen (Bangli Dalam Angka : 2014). Tiga dari lima daya tarik wisata tersebut berada di wilayah Kecamatan Kintamani. Kintamani merupakan daya tarik wisata pertama yang berkembang di Bali. Melalui sebuah buku yang berjudul Bali 1912 yang ditulis oleh Gregor Krause, Kintamani mulai dikenal di Eropa hingga ke Amerika dari tahun 1920an dan mencapai masa keemasaan pada tahun 1990an dengan jumlah kenjungan mencapai 1 juta wisatawan setiap tahunnya (DMO Batur – Kintamani, 2013:2). Namun sayangnya, sejak tahun 2000an kunjungan wisatawan ke Kintamani mengalami penurunan. Peristiwa Bom Bali yang terjadi pada tahun 2002 juga sangat berpengaruh terhadap pariwisata Kintamani. Kunjungan wisatawan pada tahun 2003 hanya mencapai 201.180 orang wisatawan (DMO Batur-Kintamani, 2011:3). Bila dibandingkan dengan tingkat kunjungan wisatawan ke Bali, persentase tingkat kunjungan ke Kintamani cenderung mengalami penurunan, seperti yang ditunjukkan gambar 1.1 :
7,00% 6,00% 5,00% 4,00% 3,00% 2,00% 1,00% 0,00%
6,57%
6,39% 5,69%
2008
2009
2010
5,80%
2011
5,12%
4,97%
2012
2013
Gambar 1.1: Persentase Kunjungan Wisatawan ke Kintamani Terhadap Kunjungan Wistawan ke Bali Sumber : Dinas Pariwisata Provinsi Bali, 2014 yang telah diolah
3
Berdasarkan gambar 1.1, dapat dipaparkan bahwa pada tahun 2008, wisatawan yang berkunjung ke Kintamani sebesar 6,57% dari total kunjungan wisatawan ke Bali. Pada tahun 2009, persentase kunjungan wisatawan ke Kintamani mengalami penurunan sebesar 0.18% dan Kintamani hanya menyerap 6.39% dari total kunjungan ke Bali. Tahun 2010, kunjungan wisatawan ke Kintamani kembali mengalami penurunan dimana Kintamani hanya menyerap 5.69 % dari total kunjungan wisatawan ke Bali. Pada tahun 2011 kunjungan wisatawan mengalami peningkatan sebesar 0.11% atau 5.80% dari kunjungan wisatawan ke Bali. Namun pada tahun 2012 dan 2013, persentase kunjungan wisatawan ke Kintamani terhadap kunjungan wisatawan ke Bali kembali mengalami penurunan yaitu sebesar 5.12% pada tahun 2012 dan 4.97% pada tahun 2013. Hal ini mengindikasikan bahwa tren kunjungan wisatawan ke Kintamani mengalami penurunan. Rendahnya tingkat kunjungan wisatawan ke Kintamani tersebut juga ditambah dengan adanya beberapa permasalahan yang dihadapi Kintamani seperti : masalah penempatan pasar tradisional, galian C, penataan pedagang asongan serta penataan dan pengaturan bangunan di sepadan jurang (Bupati Bangli, I Made Gianyar dalam Laporan DFR 2014). Untuk meningkatkan kembali kunjungan wisatawan ke Kintamani serta memperbaiki dan meningkatkan fasilitas yang ada, maka diperlukan revitalisasi. Berdasarkan program pemerintah melalui Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif maka dibuatlah 15 Destination Management Organization (DMO) dan salah satu dari kelima belas DMO tersebut berada di
4
Bali tepatnya di Kintamani yang dibentuk pada tahun 2011. DMO merupakan struktur tata kelola destinasi pariwisata yang mencakup perencanaan, koordinasi, implementasi, dan pengendalian organisasi destinasi secara inovatif dan sistemik melalui pemanfaatan jejaring, informasi dan teknologi, yang terpimpin secara terpadu dengan peran serta masyarakat, asosiasi, industri, akademisi dan pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas pengelolaan, volume kunjungan wisata, lama tinggal dan besaran pengeluaran wisatawan
serta
manfaat
bagi
masyarakat
di
destinasi
pariwisata
(www.dmoindonesia.com) diakses 12 Februari 2014. Hal tersebut juga sesuai dengan Undang – Undang No. 10 Tahun 2009 Pasal 2 tentang asas yang digunakan dalam kepariwisataan yaitu asas partisipatif. Berdasarkan pengertian DMO tersebut, salah satu poin yang menjadi dasar pengembangan yang dilakukan oleh DMO yaitu peran serta masayarkat lokal. Dengan demikian, DMO menggunakan pendekatan Bottom Up yaitu arah penentuan kebijakan dari bawah ke atas atau kebijakan yang akan diambil merupakan aspirasi dari masyarakat lokal. Salah satu langkah yang diambil oleh DMO dalam memberdayakan masyarakat lokal adalah dengan membentuk sebuah kelompok kerja lokal yang disebut dengan Local Working Group (LWG). Anggota LWG merupakan perwakilan masyarakat dari masing – masing desa yang berada dalam wilayah kerja DMO. Pembentukan LWG ini bertujuan untuk mendorong masyarakat agar berpartisipasi aktif dalam perencanaan serta memfasilitasi komunikasi antara Pemerintah (DMO) serta berbagai stakeholder dengan masyarakat luas. Wilayah kerja DMO Batur –
5
Kintamani mencakup wilayah 15 desa yang yang dibagi menjadi 5 cluster dan masing – masing cluster terdiri dari 3 desa. Salah satu cluster yang ada dalam wilayah kerja DMO Batur – Kintamani yakni cluster Ulundanu Muncar yang terdiri dari Desa Songan A, Desa Songan B serta Desa Belandingan. Desa Belandingan terletak pada ketinggian ±1250 m di atas permukaan laut. Lokasi desa ini berada di wilayah perbukitan dengan konfigurasi lahan yang cukup terjal. Desa Belandingan memiliki daya tarik berupa pesona alam yang indah serta budaya masyarakatnya yang masih kental. Desa Belandingan memiliki beberapa bukit dengan pemandangan di puncaknya berupa pemandangan Gunung Batur dan Danau Batur serta Laut Bali. Selain bentang alam yang indah, Desa Belandingan juga memiliki kekhasan budaya yaitu tarian adat yang hanya dipentaskan saat upacara di salah satu pura, serta rumah adat yang unik yang hanya terdapat di Desa Belandingan yaitu Rumah Saka Roras. Desa Belandingan telah ditetapkan sebagai desa wisata berdasarkan Perbup No 16 Tahun 2014, namun kondisi kepariwisataan desa ini masih belum berkembang dengan baik. Dalam pengembangan suatu desa wisata, terdapat beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan. Priasukmana (2001: 38) menyebutkan beberapa persyaratan dalam pengembangan desa wisata, antara lain : 1. Aksesbilitasnya baik, sehingga mudah dikunjungi wisatawan dengan menggunakan berbagai jenis alat transportasi.
6
2. Memiliki obyek-obyek menarik berupa alam, seni budaya, legenda, makanan lokal, dan sebagainya untuk dikembangkan sebagai obyek wisata. 3. Masyarakat dan aparat desanya menerima dan memberikan dukungan yang tinggi terhadap desa wisata serta para wisatawan yang datang ke desanya. 4. Keamanan di desa tersebut terjamin. 5. Tersedia akomodasi, telekomunikasi, dan tenaga kerja yang memadai. 6. Beriklim sejuk atau dingin. 7. Berhubungan dengan obyek wisata lain yang sudah dikenal oleh masyarakat luas. Desa Belandingan telah memenuhi beberapa persyaratan sebagai desa wisata sesuai yang diungkapkan oleh Priasukmana tersebut, diantaranya adalah: 1. Memiliki atraksi wisata menarik berupa alam, seni budaya dan legenda. 2. Masyarakat dan aparat desanya menerima dan memberikan dukungan yang tinggi terhadap desa wisata serta para wisatawan yang datang ke desanya. 3. Beriklim sejuk atau dingin. 4. Berhubungan dengan daya tarik wisata lain yang sudah dikenal oleh masyarakat luas.
7
Desa Belandingan masih memiliki beberapa kekurangan yaitu aksesibilitas yang kurang memadai, belum terdapat akomodasi dan pos keamanan serta belum adannya tenaga kerja (SDM) yang memadai. DMO telah berusaha melibatkan masyarakat lokal yang diwakili oleh LWG agar dapat mendorong partisipasi masyarakat dalam mengembangkan parwisata di daerahnya. Hingga saat ini partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat Desa Belandingan hanya berupa mengikuti sosialisasi terkait kepariwisataan, berpastisipasi sebagai anggota LWG serta melakukan kegiatan kerja bakti untuk membersihkan lingkungan desa yang dilakukan seminggu sekali. Selain itu, masyarakat Desa Belandingan saat ini juga tengah memperbaiki sebuah pura yang nantinya juga dapat dikembangkan sebagai wisata spiritual. Berdasarkan hasil observasi, wawasan masyarakat mengenai pariwisata masih terbilang rendah. Walaupun antusias masyarakat cukup besar dalam pengembangan desanya, namun kurangnya pengetahuan tentang pariwisata menjadi salah satu faktor penghambat masyarakat dalam berpartisipasi membangun desanya. Didasari oleh hal inilah, maka dirasa perlu untuk melakukan
penelitian
terkait
partisipasi
masyarakat
lokal
dalam
pengembangan Desa Belandingan sebagai desa wisata, agar nantinya dapat dijadikan sebagai masukan dalam meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya
partisipasi
mereka
dalam
pengembangan
Desa
Wisata
Belandingan.
8
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang, maka didapatkan rumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.2.1 Bagaimanakah partisipasi masyarakat lokal pada setiap tahapan pengembangan Desa Wisata Belandingan di Kabupaten Bangli? 1.2.2 Adakah hambatan yang dihadapi oleh masyarakat lokal dalam pengembangan Desa Wisata Belandingan di Kabupaten Bangli? 1.3 Batasan Masalah Permasalahan dalam penelitian ini dibatasi hanya pada bentuk-bentuk partisipasi masyarakat lokal di wilayah Desa Wisata Belandingan sesuai dengan konsep yang dijabarkan Huraerah (2008),
pada setiap tahapan
pengembangan desa tersebut sesuai dengan konsep yang dijabarkan oleh Priasukmana (2001) yaitu tahap perencanaan, pelaksanaan pembangunan, pengelolaan dan evaluasi serta hambatan yang dihadapi masyarakat Desa Belandingan dalam berpartisipasi. 1.4 Tujuan Penelitian Secara umum, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui partisipasi masyarakat lokal dalam pengembangan Desa Belandingan di Kabupaten Bangli. Tujuan penelitian ini dapat dirumuskan secara rinci sebagai berikut:
9
1.4.1 Untuk mengetahui bentuk-bentuk partisipasi masyarakat lokal pada setiap tahapan pengembangan Desa Wisata Belandingan di Kabupaten Bangli. 1.4.2 Untuk mengetahui hambatan yang dihadapi oleh masyarakat lokal dalam pengembangan Desa Wisata Belandingan di Kabupaten Bangli.
1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis Secara akademis penelitian ini diharapkan dapat menerapkan teori-teori yang ada, meningkatkan pengetahuan dan wawasan terutamanya mengenai pentingnya partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan sebuah kawasan wisata. 1.5.2 Manfaat Praktis Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi beberapa kalangan, diantaranya: a. Bagi Masyarakat Umum. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang bentuk – bentuk patisipasi yang dapat dilakukan masyarakat dalam pengelolaan sebuah kawasan wisata terutama di Desa Belandingan sendiri. b. Bagi Pemerintah Kabupaten Bangli. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
10
mengelola sebuah desa wisata. Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi pada setiap tahapan pengembangan desa wisata khususnya Desa Wisata Belandingan. c. Bagi Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali. Hasil penelitian diharapkan dapat memperkaya kajian dalam kepustakaan STP Nusa Dua, yang dapat digunakan dalam keperluan penulisan laporan atau penelitian berikutnya. d. Bagi Mahasiswa. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi untuk keperluan penelitian selanjutnya, terutama yang berkaitan dengan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan desa wisata.
11
BAB II STUDI PUSTAKA
2.1 Landasan Teori 2.1.1 Partisipasi Masyarakat 2.1.1.1 Konsep Partisipasi Masyarakat Partisipasi merupakan keikutsertaan ke dalam suatu kegiatan. Dalam kegiatan pembangunan pariwisata berkelanjutan, partisipasi atau keikutsertaan masyarakat tentu manjadi hal yang sangat penting. Partisipasi masyarakat lokal memungkinkan masyarakat mengetahui segala aspek dalam rangka mewujudkan kesuksesan pengembangan daerah mereka yang pada akhirnya menimbulkan penghargaan yang tinggi dari masyarakat lokal atas hasil yang mereka capai. Laksana (2013:61) menyebutkan bahwa secara sederhana partisipasi dapat diartikan sebagai keikutsertaan seseorang, kelompok, atau masyarakat dalam proses pembangunan. Pengertian tersebut dapat diartikan
bahwa
seseorang,
kelompok
atau
masyarakat
dapat
memberikan kontribusi atau sumbangan yang dapat menunjang keberhasilan dari sebuah proyek atau program pembangunan. Pada dasarnya partisipasi dibedakan atas dua, yaitu partisipasi yang bersifat swakarsa dan partisipasi yang bersifat dimobilisasikan. Partisipasi swakarsa mengandung arti bahwa keikutsertaan dan
12
peransertanya atas dasar kesadaran dan kemauan sendiri, sementara partisipasi yang dimobilisasikan memiliki arti bahwa keikutsertaan dan berperansertanya atas dasar pengaruh orang lain (Rahardiani, 2014:12) Raharjo, (1985) dalam Dalimunthe, (2007:51) menambahkan partisipasi masyarakat adalah keikutsertaan masyarakat dalam programprogram pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung dalam bentuk
fisik,
material
dan
sumbangan
pikiran
dalam
proses
pembangunan nasional, dan telah disadari bersama bahwa partisipasi masyarakat sangatlah penting dalam setiap bentuk dan proses pembangunan. Menurut Soelaiman (1985) dalam Rahadiani (2014:15), partisipasi masyarakat diartikan sebagai keterlibatan aktif warga masyarakat, baik secara perorangan, kelompok masyarakat atau kesatuan masyarakat dalam proses pembuatan keputusan bersama, perencanaan dan pelaksanaan program dan pembangunan masyarakat, yang dilaksanakan di dalam maupun di luar lingkungan masyarakat, atas dasar rasa kesadaran dan tanggung jawab. Partisipasi pada dasarnya dapat dinyatakan dalam bentuk pemikiran, keterampilan/keahlian, tenaga, harta benda atau uang (pendanaan). 2.1.1.2 Bentuk – Bentuk Partisipasi Masyarakat Laksana (2013:61) menyebutkan bahwa secara umum bentuk partisipasi masyarakat dapat dibagi menjadi dua yaitu partisipasi yang
13
dierikan dalam bentuk nyata (memiliki wujud) dan juga bentuk partisipasi yang tidak nyata (abstrak). Bentuk partisipasi yang nyata misalnya uang, harta benda, tenaga, dan keterampilan. Sedangkan bentuk partisipasi yang tidak nyata adalah partisipasi buah pikiran, partisipasi sosial, pengambilan keputusan dan partisipasi representatif. Huraerah, (2011:116) juga menyebutkan beberapa bentuk partisipasi yaitu: a. Partisipasi buah pikiran, yang diberikan dalam anjang sono, pertemuan atau rapat. b. Partisipasi tenaga, yang diberikan partisipan dalam berbagai kegiatan untuk perbaikan atau pembangunan desa, pertolongan bagi orang lain dan sebagainya. c. Partisipasi harta benda, yang diberikan orang dalam berbagai kegiatan untuk perbaikan atau pembangunan desa, pertolongan bagi orang lain yang biasanya berupa uang, makanan dan sebagainya. d. Partisipasi keterampilan dan kemahiran, yang diberikan orang untuk mendorong aneka ragam bentuk usaha dan industri. e. Partisipasi sosial, yang diberikan orang sebagai tanda keguyuban. Bentuk-bentuk partisipasi yang disampaikan Huraerah, (2011:116) beserta indikator pada masing-masing brntuk partisipasi dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut.
14
No.
Tabel 2.1 Indikator Bentuk Partisipasi Masyarakat Bentuk Partisipasi Indikator
1.
Partisipasi buah pikiran
2
Partisipasi tenaga
3.
Partisipasi harta benda
4.
Partisipasi keterampilan dan kemahiran
5.
Partisipasi sosial
a. Masyarakat ikut serta mengikuti forum pengembangan desa b. Masyarakat berperan aktif dalam pengambilan keputusan dalam forum pengembangan desa c. Masyarakat berperan aktif dalam memberikan saran dan pendapat pada forum pengembangan desa a. Masyarakat terlibat dalam berbagai kegiatan perbaikan desa untuk menunjang aktivitas desa b. Masyarakat terlibat dalam berbagai kegiatan gotong royong c. Masyarakat ikut serta dalam pembangunan sarana dan prasarana umum desa d. Masyarakat terlibat dalam program kegiatan dari pengelola desa a. Masyarakat berpartisipasi dengan memberikan sumbangan berupa uang untuk mendukung dalam berbagai kegiatan desa b. Masyarakat memberikan iuran kebersihan kepada pengelola desa c. Masyarakat memberikan iuran keanggotaan a. Masyarakat terlibat secara langsung dalam kegiatan usaha di desa b. Masyarakat terlibat dalam kegiatan industri di dalam desa a. Masyarakat ikut duduk sebagai pengelola desa
Sumber: Huraerah (2008:102) dalam Sugihyamasi (2013)
15
Bentuk partisipasi masyarakat yang disampaikan Huraerah (2011:116) pada Tabel 2.1 menjadi dasar dalam penyusunan kuesioner sebagai indikator dalam instrumen pengumpulan data untuk memperoleh bentuk partisipasi masyarakat dalam pengembangan Desa Wisata Belandingan. 2.1.1.3 Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan Desa Wisata Raharjana (2012: 228) menyebutkan bahwa keterlibatan warga dalam pengembangan desa wisata menjadi hal yang penting karena dari wargalah yang lebih mengetahui dan memahami akan potensi wilayahnya. Selain itu, keterlibatan warga ini sangat penting untuk mendapatkan dukungan dan memastikan bahwa hal yang akan diperoleh selaras dengan kebutuhan dan keuntungan warga setempat. Akhirnya, peran warga dalam pembangunan pariwisata sangat mendesak untuk dikembangkan dan ditempatkan sebagai bagian yang terintegrasi. Partisipasi masyarakat hakikatnya bukan semata mendorong terjadinya proses penguatan kapasitas masyarakat lokal, tetapi merupakan sebuah mekanisme guna meningkatan pemberdayaan bagi warga untuk terlibat dalam pembangunan secara bersama. Dalam konteks pembangunan pariwisata berbasis masyarakat, partisipasi masyarakat penting untuk terus didorong untuk mendistribusikan keuntungan - keuntungan dari kegiatan kepariwisataan yang berlangsung kepada masyarakat secara langsung. Semangat desentralisasi dan pemberian kewenangan penuh bagi warga untuk mengelola pariwisata di daerahnya merupakan hal mutlak untuk terwujudnya pariwisata berbasis komunitas.
16
Dalam pengembangan desa wisata diperlukan tahapan-tahapan model pengembangan desa wisata yang diharapkan dapat diterapkan di daerah penyangga kawasan konservasi (Soemarno, 2010 dalam Dewi, 2014: 35) antara lain: a. Dari sisi pengembangan kelembagaan desa wisata; Perlunya perencanaan awal yang tepat dalam menentukan usulan program atau kegiatan khususnya pada kelompok sadar wisata agar mampu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat melalui pelaksanaan program pelatihan pengembangan desa wisata, seperti: pelatihan bagi kelompok sadar wisata, pelatihan tata boga dan tata homestay, pembuatan cinderamata, pelatihan guide/pemandu wisata termasuk didalamnya keterampilan menjadi instruktur outbound. b. Dari sisi pengembangan objek dan daya tarik wisata; Perlunya perencanaan awal dari masyarakat untuk menjadi tuan rumah yang baik bagi wisatawan dan mampu mendatangkan wisatawan dari berbagai potensi yang dimiliki oleh masyarakat, serta perlunya sosialisasi dari instansi terkait dalam rangka menggalakkan sapta pesona dan paket desa wisata terpadu. c. Dari sisi pengembangan sarana prasarana wisata; Perencanaan awal dari pemerintah perlu diarahkan ke pengembangan sarana prasarana wisata yang baru seperti: alat-alat outbound, pembangunan gapura, gedung khusus pengelola desa wisata,
17
cinderamata khas setempat, dan rumah makan bernuansa alami perdesaan. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan kerjasama masyarakat dengan pemerintah dan pengusaha / pihak swasta. Kegiatan partisipasi masyarakat dapat dilihat melalui empat tahap pengembangan desa wisata. Priasukmana dan Mulyadin (2001:39-40) menjabarkan bentuk partisipasi masyarakat pada setiap tahapan pengembangan desa wisata seperti pada Tabel 2.2 berikut. Tabel 2.2 Bentuk Partisipasi Masyarakat Pada Setiap Tahapan Pengembangan DesaWisata No Tahap Partisipasi Indikator a. Survey lapangan b. Penyusunan rencana tapak 1 Perencanaan c. Penyusunan anggaran dan sumber anggaran d. Perencanaan SDM a. Pembangunan prasarana Pelaksanaan 2 Pembangunan b. Pelaksanaan pembangunan a. Perekrutan SDM 3 Pengelolaan b. Pengorganisasian c. Promosi a. Penelitian dan pengembangan 4 Evaluasi b. Pelaporan Sumber: Priasukmana dan Mulyadin (2001: 39-40)
Tahapan partisipasi masyarakat dalam pengembangan desa wisata tersebut menjadi acuan bagi peneliti untuk menggali informasi mengenai berbagai aktivitas yang telah dilakukan oleh masyarakat lokal dalam kegiatan pengembangan di Desa Wisata Belandingan di Kabupaten Bangli.
18
2.1.2 Community Based Development Pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu prasyarat dalam pembangunan
berbasis
kepada
masyarakat
(Community
Based
Development disingkat CBD). Pembangunan berbasis masyarakat (PBM) merupakan jabawan terhadap berbagai kritik yang menyebutkan bahwa pembangunan pariwisata bersifat eksklusif dan tidak memberi manfaat kepada masyarakat lokal (Pitana, 2011 : 6). Masyarakat berdaya adalah masyarakat yang mampu merencakan dan mengelola sumber daya lokal yang dimiliki melalui collective action (tindakan kolektif) dan networking sehingga pada akhirnya mereka mempunyai kemandirian secara ekonomi, ekologi, dan sosial (Sebejo dan Supriyanto dalam Pitana, 2011 : 6). Mowforth dan Munt (2009:99) menyebutkan bahwa: “Seeks to people’s involvement and ownership of tourim at the destination end. Shoud initiate from dan control stay with the lokal community, but sometimes arising from operator initiative”. Masyarakat lokal pada sebuah destinasi wisata harus terlibat dalam pengembangannya dan mendapat manfaat dari pengembangan tersebut. Untuk dapat mewujudkan masyarakat yang berdaya, maka diperlukan dukungan dari berbagai komponen kepariwisataa, baik dari pemerintah ataupun lembaga non pemerintah yang dapat membantu pemberdayaan terhadap masyarakat lokal.
19
Pada hakekatnya, pembangunan kepariwisataan tidak bisa lepas dari sumber daya dan keunikan komunitas lokal, baik berupa elemen fisik maupun non fisik (tradisi dan budaya), yang merupakan unsur penggerak utama kegiatan wisata itu sendiri sehingga semestinya kepariwisataan harus dipandang sebagai “kegiatan yang berbasis pada komunitas setempat” (Murphy, 1988 dalam Sunaryo, 2012:138). Murphy (1988) dalam Sunaryo (2012:139) juga menyebutkan adanya beberapa batasan pengertian tentang Community Based Tourism (CBT) yaitu : a. Wujud tata kelola kepariwisataan yang memberikan kesempatan kepada masyarakat lokal untuk mengontrol dan terlibat aktif dalam manajemen dan pembangunan kepariwisataan yang ada. b. Wujud tata kelola kepariwisataan yang dapat memberikan kesempatan pada masyarakat yang tidak terlibat langsung dalam usaha – usaha kepariwisataan
juga
bisa
mendapatkan
keuntungan
dari
kepariwisataan yang ada. c. Bentuk kepariwisataan yang menurut pemberdayaan secara sistematik dan demokratis serta distribusi keuntungan yang adil kepada masyarakat yang kurang beruntung yang ada di destinasi. Suansri (2003) dalam Sunaryo (2012:141) menyebutkan terdapat 10 prinsip dasar yang dapat dijadikan sebagai tumpuan dalam pengembangan Community Based Tourism (CBT) yaitu:
20
a. Mengakui,
mendukung
dan
mengembangkan
kepemilikan
komunitas dalam industri pariwisata, b. Mengikutsertakan anggota komunitas dalam memulai setiap aspek tahapan pengembangan kepariwisataan, c. Mengembangkan kebanggaan komunitas, d. Meningkatkan kualitas hidup komunitas, e. Menjamin kelestarian lingkungan kepariwisataan, f. Mempertahankan keunikan karakter dan budaya di destinasi wisata, g. Membantu berkembangnya pembelajaran tentang pertukaran budaya pada komunitas setempat, h. Menghargai perbedaan budaya dan martabat manusia, i. Mendistribusikan keuntungan secara adil pada anggota komunitas di destinasi, j. Berperan
aktif
dalam
menentukan
persentase
pendapatan
(pendistribusian pendapatan yang adil) dari setiap kegiatan kepariwisataan yang terkait dengan komunitas setempat. Selain kesepuluh prinsip tersebut, Suansri (2003) dalam Sunaryo (2012: 142) CBT juga harus meliputi 5 dimensi pengembangan yang merupakan aspek utama pembangunan kepariwisataan sebagai berikut : a. Dimensi Ekonomi; dengan indikator berupa adanya dana untuk pengembangan komunitas, terciptanya lapangan pekerjaan di sektor pariwisata, berkembangnya pendapatan masyarakat lokal dari sektor pariwisata;
21
b. Dimensi Sosial; dengan indikator meningkatnya kualitas hidup, peningkatan kebanggaan komunitas, pembagian peran gender yang adil antara laki – laki dan perempuan, generasi muda dan tua, serta memperkuat organisasi komunitas; c. Dimensi Budaya; dengan indikator berupa mendorong masyarakat untuk
menghormati
nilai
budaya
yang berbeda, membantu
berkembangnya pertukaran buaya, berkembangnya nilai budaya pembangunan yang melekat erat dalam kebudayaan setempat; d. Dimensi Lingkungan; dengan indikator terjaganya daya dukung lingkungan, adanya sistem pengelolaan sampah yang baik, meningkatnya kepedulian akan perlunya konservasi dan preservasi lingkungan; e. Dimensi Poliktik; dengan indikator meningkatkan partisipasi dari penduduk lokal, peningkatan kekuasaan komunitas yang lebih luas, dan adanya jaminan hak-hak masyarakat adat dalam pengelolaan SDA. Dengan adanya konsep serta prinsip dari Community Based Tourism (CBT), maka dapat dijadikan dasar dalam pengembangan pariwisata berbasis masyarakat khususnya desa wisata, dimana masyarakat sendirilah yang mengelola serta nantinya dapat menikmati kekayaan yang dimiliki oleh desa atau daerahnya.
22
2.1.3 Desa Wisata 2.1.3.1 Konsep Desa Wisata Putra (2006:71) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan desa wisata adalah suatu wilayah pedesaan yang menawarkan keseluruhan suasana yang mencerminkan keaslian pedesaan di Bali, baik dari segi sosial budaya, adat–istiadat, keseharian, arsitektur tradisional, struktur tata ruang desa, serta mempunyai potensi untuk dikembangkan berbagai komponen
kepariwisataan,
misalnya
:
atraksi,
makan,
minum,
cinderamata, penginapan, dan kebutuhan wisata lainnya. Inskeep (1991) dalam Tim KKN-PPM Desa Wisata Cirangkong (2012:4) menyebutkan bahwa : “Village Tourism, where small groups of tourist stay in or near traditional, often remote villages and learn about village life and the lokal environment”. Desa Wisata, adalah dimana sekelompok kecil wisatawan tinggal dalam atau dekat dengan suasana tradisional, biasanya di desa-desa yang terpencil dan belajar tentang kehidupan pedesaan dan lingkungan setempat. Dengan kata lain, desa wisata merupakan suatu tempat yang memiliki ciri dan nilai tertentu yang dapat menjadi daya tarik khusus bagi wisatawan dengan minat khusus terhadap kehidupan pedesaan. Hal ini menunjukkan bahwa daya tarik utama dari sebuah desa wisata adalah kehidupan warga desa yang unik dan tidak dapat ditemukan di perkotaan. Menurut Pariwisata Inti Rakyat (PIR) dalam Priasukmana (2001: 38), yang dimaksud dengan Desa Wisata adalah suatu kawasan pedesaan
23
yang menawarkan keseluruhan suasana yang mencerminkan keaslian pedesaan baik dari kehidupan sosial ekonomi, sosial budaya, adat istiadat, keseharian, memiliki arsitektur bangunan dan struktur tata ruang desa yang khas, atau kegiatan perekonomian yang unik dan menarik serta mempunyai potensi untuk dikembangkannya berbagai komponen kepariwisataan, misalnya : atraksi, akomodasi, makanan-minuman, dan kebutuhan wisata lainnya. Muljadi (2009: 27) dalam Agustina (2012:16), menjelaskan desa wisata sebagai suatu produk wisata yang melibatkan anggota masyarakat desa dengan segala perangkat yang dimilikinya. Desa wisata tidak hanya berpengaruh pada ekonominya, tetapi juga sekaligus dapat melestarikan lingkungan alam dan sosial budaya masyarakat terutama berkaitan dengan nilai-nilai kebersamaan, kekeluargaan, kegotongroyongan, dan lain-lain. Dengan demikian, kelestarian alam dan sosial budaya masyarakat akan menjadi daya tarik bagi wisatawan yang melakukan perjalanan wisata. Marpaung (2002:91), menyebutkan bahwa pengembangan desa wisata sebagai obyek dan daya tarik akan berhubungan dengan wisatawan atau pengunjung yang tinggal di suatu desa tradisional atau dekat dengan desa tradisional, atau hanya untuk kunjungan singgah dimana lokasi desa wisata ini biasanya terletak di daerah terpencil. Wisatawan atau pengunjung tidak hanya menyaksikan kebudayaan tradisional, tetapi juga ikut langsung berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat setempat. Pendekatan perencanaan pengembangan yang bisa dilakukan adalah
24
community approach atau community based development. Dalam hal ini masyarakat lokal yang akan membangun, memiliki dan menglola langsung fasilitas wisata serta pelayanannya, sehingga dengan demikian masyarakat diharapkan dapat menerima secara langsung keuntungan ekonomi serta mencegah terjadinya urbanisasi. Sehingga secara ringkas dapat dikatakan bahwa desa wisata adalah pengembangan desa menjadi desatiasi wisata dengan sistem pengelolaan yang bersifat dari, oleh dan untuk masyarakat (Pitana dan Darma Putra, 2010:70). 2.1.3.2 Pengembangan Desa Wisata Dalam pengembangan suatu desa wisata, terdapat beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan. Priasukmana (2001: 38) menyebutkan beberapa persyaratan dalam pengembangan desa wisata, antara lain: a. Aksesbilitasnya baik, sehingga mudah dikunjungi wisatawan dengan menggunakan berbagai jenis alat transportasi. b. Memiliki obyek-obyek menarik berupa alam, seni budaya, legenda, makanan lokal, dan sebagainya untuk dikembangkan sebagai obyek wisata. c. Masyarakat dan apparat desanya menerima dan memberikan dukungan yang tinggi terhadap desa wisata serta para wisatawan yang dating ke desanya. d. Keamanan di desa tersebut terjamin. e. Tersedia akomodasi, telekomunikasi, dan tenaga kerja yang memadai.
25
f. Beriklim sejuk atau dingin. g. Berhubungan dengan obyek wisata lain yang sudah dikenal oleh masyarakat luas. Untuk suksesnya pembangunan desa wisata, maka perlu ditempuh beberapa upaya, Soemarno (2010: 2-4) menyebutkan beberapa upaya yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut: a. Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) Pelaksanaan pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM), bisa dilakukan melalui pendidikan, pelatihan dan keikutsertaan dalam seminar, diskusi, dan lain sebagainya, serta di bidang-bidang kepariwisataan. Pendidikan diperlukan untuk tenaga-tenaga yang akan dipekerjakan dalam kegiatan manajerial. Untuk itu, sebaiknya ditugaskan generasi muda dari desa yang bersangkutan untuk dididik pada sekolah-sekolah kepariwisataan, sedangkan pelatihan diberikan kepada mereka yang akan diberi tugas menerima dan melayani wisatawan. Keikutsertaan dalam seminar, diskusi, dan lain sebagainya diberikan kepada para petugas kepariwisataan di desa, kecamatan, dan kabupaten, karena penduduk desa umumnya hanya mempunyai keterampilan bertani. Kepada mereka dapat diberikan pelatihan keterampilan lain untuk menambah kegiatan usaha seperti kerajinan, industri rumah tangga, pembuatan makanan lokal, budi daya jamur, cacing, menjahit, dan lain sebagainya.
26
b. Kemitraan Pola kemitraan atau kerjasama dapat saling menguntungkan antara pihak pengelola desa wisata dengan para pengusaha pariwisata di kota atau pihak Pembina desa wisata dalam hal ini pihak dinas pariwisata daerah. Bidang-bidang usaha yang bisa dikerjasamakan, antara lain seperti : bidang akomodasi, perjalanan, promosi, pelatihan, dan lainlain. c. Kegiatan Pemerintahan di Desa Kegiatan dalam rangka desa wisata yang dilakukan oleh pemerintah desa, antara lain seperti : Rapat-rapat dinas, pameran pembangunan, dan upacara-upacara hari-hari besar diselenggarakan di desa wisata. d. Promosi Desa wisata harus sering dipromosikan melalui berbagai media, oleh karena itu desa atau kabupaten harus sering mengundang wartawan dari media cetak maupun elektronik untuk kegiatan hal tersebut. e. Festival / Pertandingan Secara rutin di desa wisata perlu diselenggarakan kegiatan-kegiatan yang bias menarik wisatawan atau penduduk desa lain untuk mengunjungi desa wisata tersebut, misalnya mengadakan festival kesenian, pertandingan olah raga, dan lain sebagainya. f. Membina Organisasi Warga Penduduk desa biasanya banyak yang merantau di tempat lain. Mereka akan pulang ke desa kelahirannya pada saat lebaran Idul Fitri, yang
27
dikenal dengan istilah “mudik”. Mereka juga bisa diorganisir dan dibina untuk memajukan desa wisata mereka. Sebagai contoh di Desa Tambaksari, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis, Propinsi Jawa Barat telah berkembang organisasi kemasyarakatan atau disebut “warga”, yaitu ikatan keluarga dari dari satu keturunan yang hidup terpencar, mereka tersebut bertujuan ingin mengeratkan kembali tali persaudaraan diantara keturunan mereka. Pada setiap hari raya Idul Fitri mereka berkumpul secara bergiliran saling ketemu sambil mengenalkan anak cucu mereka, kemudian mereka membentuk suatu organisasi. Badan organisasi dinamakan koperasi keluarga, mereka yang sukses membantu keluarga yang kurang mampu. Fenomena kemasyarakat semacam ini perlu didorong dan dikembangkan untuk memajukan desa wisata. g. Kerjasama dengan Universitas. Universitas-Universitas di Indonesia mensyaratkan melakukan Kuliah Kerja Praktek Lapangan (KKPL) bagi mahasiswa yang akan menyelesaikan studinya, sehubungan dengan itu sebaiknya dijalin atau diadakan kerjasama antara desa wisata dengan Universitas yang ada, agar bisa memberikan masukan dan peluang bagi kegiatan di desa wisata untuk meningkatkan pembangunan desa wisata tersebut.
28
2.2 Tinjauan Pustaka Penelitian terdahulu penting untuk diperhatikan, karena melalui penelitian terdahulu seorang peneliti dapat mempertajam, membandingkan atau bahkan membantah penelitian sebelumnya, mengingat pesatnya perkembangan yang terjadi. Terdapat beberapa penelitian yang dianggap memiliki kesamaan topik dengan topik penelitian ini yaitu “Partisipasi Masyarakat Lokal” dan berikut merupakan penilitian terdahulu yang dijadikan referensi dalam penelitian ini : Penelitian yang dilakukan oleh Ayu Trisna Dewi (2014) “Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Pengembangan Desa Wisata Pangsan di Kabupaten Badung” yang membahas tentang bentuk partisipasi masyarakat pada setiap tahapan pengembangan desa wisata, hambatan yang dihadapi masyarakat, manfaat dari partisipasi masyarakat serta upaya yang dilakukan untuk dapat meningkatkan partisipasi masyarakat lokal dalam pengembangan desa wisata di Desa Pangsan, Kabupaten Badung. Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk mengetahui bentuk-bentuk partisipasi, manfaat, hambatan serta upayaupaya yang dilakukan masyarakat dalam pengemangan desa wisata Pangsan. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah dengan menggunakan kuesioner, wawancara, observasi, dokumentasi dan studi literatur/kepustakaan dengan sampel yang diperoleh melalui metode purposive sampling
dan juga simple random sampling. Data yang telah
terkumpul kemudian diolah dengan teknik analisis kualitatif.
29
Hasil penelitian tersebut menunjukan: (1) Masyarakat lokal Desa Pangsan memberikan partisipasi dalam 5 bentuk yaitu partisipasi buah pikiran, tenaga, harta benda, sosial, serta kemahiran dan keterampilan; (2) Manfaat yang diperoleh masyarakat lokal Desa Pangsan dari partisipasi yang dilakukan yaitu manfaat ekonomi, sosial-budaya dan lingkungan hidup; (3) Terdapat beberapa hambatan yang dihadapi oleh masyarakat lokal ketika berpartisipsi dalam pengembangan Desa Wisata Pangsan, yaitu kurangnya pemahaman, keterampilan, manajemen pengelola, usaha, dana yang diberikan pemerintah dan pemberdayaan masyarakat lokal dalam kegiatan usaha di bidang pariwisata; (4) Upaya-upaya yang dilakukan untuk memaksimalkan partisipasi masyarakat lokal dalam pengembangan Desa Wisata Pangsan, yaitu: membentuk POKDARWIS, membuat program pembersihan desa, memberikan sosialisasi kepada masyarakat mengenai kegiatan desa wisata, mengajukan proposal untuk pelatihan pariwisata dan mengajukan proposal guna mendapatkan bantuan tambahan dari PNPM. Dari uraian penelitian yang dilakukan Ayu Trisna Dewi (2014) di atas, terdapat beberapa persamaan ataupun perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan. Persamaanya yaitu sama – sama meneliti mengenai partisipasi masyarakat di sebuah desa wisata, menggunakan metode peelitian yang sama serta dengan pendekatan yang sama yakni bersifat kualitatif. Adapun perbedaannya yaitu terdapat beberapa konsep yang berbeda serta lokasi penelitian yang berbeda.
30
Selain penelitian yang dilakukan oleh Ayu Trisna Dewi tersebut, juga terdapat penelitian terkait partisipasi masyarakat lokal yang dilakukan oleh Anggun Udayani (2014). Anggun Udayani meneliti mengenai “Partisipasi Masyarakat Desa Pesinggahan Dalam Pengelolaan Daya Tarik Wisata Goa Lawah Di Kabupaten Klungkung”. Penelitian tersebut membahas tenatang bentuk – bentuk partisipasi masyarakat serta tahapan-tahapan partisipasi tersebut. Tujuan penelitiannya adalah untuk mengetahui bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dan tingkat partisipasi masyarakat Desa Pesinggahan dalam tahapan-tahapan pengembangan DTW Goa Lawah. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah dengan menggunakan kuesioner, wawancara, observasi, dokumentasi dan studi literatur/kepustakaan dengan sampel yang diperoleh melalui metode proporsional stratified random sampling. Data yang telah terkumpul kemudian diolah dengan teknik analisis deskriptif kualitatif. Hasil penelitian tersebut menunjukan: (1) Bentuk partisipasi masyarakat Desa Pesinggahan dalam pengelolaan DTW Goa Lawah lebih banyak ditunjukan dengan mendukung dan melaksanakan program pemerintah. Adapun bentuk pratisipasi yang paling banyak dilakukan yaitu, mengikuti sosialisasi pariwisata yang diberikan oleh pemerintah, masyarakat menerima dan mengikuti program yang telah ditentukan pemerintah, memberikan sumbangan tenaga, mengikuti pelatihan dan seminar, serta ikut serta dalam menjaga dan merawat atraksi wisata di DTW Goa Lawah. (2) Partisipasi masyarakat Desa Pesinggahan dalam setiap tahap pengembangan DTW Goa
31
Lawah dapat dikatakan masih kecil. Tingkat partisipasi masyarakat digolongkan dalam indikator pernah berpartisipasi, untuk indikator tertinggi yaitu sangat sering berpartisipasi. Tingkat partisipasi paling tinggi ditunjukan oleh masyarakat pada tahap implementasi. Partisipasi pada tahap ini bersifat praktis, seperti ngayah di pura, melaksakanakan program sapta pesona, serta menjadi tenaga kerja di DTW Goa Lawah. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan Anggun Udayani (2014) di atas, yaitu sama – sama meneliti mengenai partisipasi masyarakat, serta dengan pendekatan yang sama yakni bersifat kualitatif. Adapun perbedaannya yaitu terdapat beberapa konsep yang berbeda serta lokasi penelitian yang berbeda. Penelitian lainnya dilakukan oleh Made Heny Urmila Dewi (2014). Penelitian Made Heny Urmila Dewi merupakan sebuah disertasi mengenai “Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Pengembangan Desa Wisata Di Kabupaten Tabanan, Bali”. Tujuan penelitiannya adalah untuk mengkaji pemahaman masyarakat lokal atas keberadaan desa wisata, mengkaji faktorfaktor yang memengaruhi partisipasi masyarakat, dan mengkaji strategi pengelolaan sumber daya pariwisata yang mampu meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengembangan desa wisata. Hasil penelitian tersebut menunjukan: (1) Tingkat pemahaman masyarakat lokal atas keberadaan desa wisata cukup baik. Pemahaman masyarakat terbangun berdasarkan pengetahuan lokal yakni Tri Hita Karana. Namun, dalam implementasinya mereka tidak berdaya menghadapi kekuasaan dan tekanan pengambil kebijakan dan investor dalam mempertahankan
32
keberlanjutan ekologi yang dapat mengancam kehidupannya. (2) Partisipasi masyarakat dalam pengembangan desa wisata tergolong partisipasi semu, karena partisipasinya dalam perumusan kebijakan, pengambilan keputusan, kewenangan, hak dan akses masyarakat dalam pengelolaan sumber daya pariwisata rendah. (3) Ada tujuh faktor yang memengaruhi partisipasi masyarakat. Faktor yang berpengaruh adalah faktor motivasi, mutu modal, pemahaman,
kepemimpinan,
komunikasi,
sosialbudaya,
dan
faktor
manajemen. (4) Pengelolaan sumber daya pariwisata harus berpedomanan pada Tri Hita Karana, dan pelaksanaannya membutuhkan kemitraan dan keterlibatan aktif semua pihak, baik pemerintah, masyarakat lokal, dan swasta. Agar masyarakat lokal berkemampuan dalam pengelolaan sumber daya pariwisata dibutuhkan strategi pembangunan kapasitas yang difokuskan pada tiga aspek, yaitu penguatan usaha ekonomi, penguatan kelembagaan, dan peningkatan kualitas SDM. Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Made Heny Urmila Dewi (2014) tersebut dengan penelitian ini adalah sama-sama meneliti mengenai partisipasi masyarakat dalam pengembangan desa wisata. Sedangkan perbedaannya adalah objek yang diteliti. Made Heny Urmila Dewi meneliti 3 buah desa wisata yaitu Desa Wisata Candikuning, Kukuh, dan Jatiluwih yang terletak di Kabupaten Tabanan, sedangkan penelitian ini hanya meneliti 1 desa yaitu Desa Wisata Belandingan yang terletak di Kabupaten Bangli. Penelitian inipun hanya dibatasi pada partisipasi masyarakat lokal pada setiap tahapan pengembangan desa wisata serta hambatan-hambatan yang dihadapi.
33
2.3 Kerangka Pemikiran Adapun kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Revitalisasi Pariwisata Kintamani
Destination Management Organization
L A T A R
Pariwisata Berbasis Masyarakat
Partisipasi Masyarakat
Bentuk-bentuk Partisipasi Masyarakat dalam Setiap Tahapan Pengembangan Desa Wisata
Hambatan yang Dihadapi oleh Masyarakat dalam Berapartisipasi
B E L A K A N G
Analisis Deskriptif Kualitif
ANALISIS
Partisipasi Masyarakat Lokal dalam Pengembangan Desa Wisata Belandingan
HASIL
Simpulan dan Saran Gambar 2.1: Kerangka Pemikiran
34
Kerangka pemikiran pada gambar 2.1 merupakan inti sari yang telah dibahas pada latar belakang. Seperti yang telah dijelaskan, bahwa Kintamani mencapai masa keemasannya pada tahun 1990an. Namun pada tahun 2000an, terlebih lagi dengan adanya bom Bali pada tahun 2002 sangat berpengaruh terhadap pariwisata Kintamani dimana kunjungan wisatawan ke Kintamani mengalami penurunan yang signifikan.Walaupun saat ini pariwisata di Bali telah kembali pulih dan kunjungan wisatawan selalu mengalami peningkatan, namun Kintamani masih belum bisa mengembalikan kejayaan yang pernah diraih pada tahun 1990an. Pada masa kejayaanya tersebut, Kintamani mampu menyerap lebih dari satu juta wisatawan setiap tahunnya (DFR, 2014) namun hingga tahun 2013, Kintamani hanya mampu menyerap 509.983 orang wisatawan dari 10.225.134 orang wisatawan yang berkunjung ke Bali. Rendahnya tingkat kunjungan wisatawan ke Kintamani tersebut juga ditambah dengan adanya beberapa permasalahan yang dihadapi Kintamani seperti: masalah penempatan pasar tradisional, galian C, penataan pedangan asongan serta penataan dan pengaturan bangunan di sepadan jurang (arahan Bupati Bangli, I Made Gianyar dalam Laporan DFR 2014). Untuk merevitalisasi kepariwisataan Indonesia, pemerintah pusat melalui Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada tahun 2011 membentuk beberapa organisasi tata kelola destinasi yang disebut Destintion Management Organization (DMO), dimana salah satu DMO tersebut berlokasi di Kintamani.
35
Dalam mengelola destinasi DMO menggunakan pendekatan bottom – up yaitu arah penentuan kebijakan dari bawah ke atas atau kebijakan yang akan diambil merupakan aspirasi dari masyarakat lokal. Salah satu langkah yang diambil oleh DMO dalam memberdayakan masyarakat lokal adalah dengan membentuk sebuah kelompok kerja lokal yang disebut dengan Lokal Working Group (LWG), di mana anggota LWG merupakan perwakilan masyarakat dari masing – masing desa yang berada dalam wilayah kerja DMO termasuk di dalamnya adalah LWG Desa Belandingan. Pembentukan LWG ini bertujuan untuk mendorong masyarakat agar berpartisipasi aktif dalam perencanaan serta memfasilitasi komunikasi antara Pemerintah (DMO) serta berbagai stakeholder dengan masyarakat luas. Berdasarkan observasi yang telah dilakukan, wawasan masyarakat Desa Belandingan mengenai pariwisata masih terbilang rendah. Walaupun antusias masyarakat cukup besar dalam pengembangan desanya, namun kurangnya pengetahuan akan pariwisata menjadi faktor penghambat masyarakat dalam berpartisipasi membangun desanya. Didasari oleh hal inilah, maka dirasa perlu untuk melakukan penelitian terkait partisipasi masyarakat lokal yang menitikberatkan pada bentuk – bentuk partisipasi serta hambatan dalam berpartisipasi agar nantinya dapat dijadikan sebagai masukan dalam meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya partisipasi mereka dalam pengembangan Desa Wisata Belandingan. Dalam menganalisis bentuk – bentuk partisipasi yang dilakukan serta hambatan yang dihadapi oleh masyarakat Desa Belandingan dalam
36
berpartisipasi, digunakan analisis deskriptif. Setelah melalui tahap analisis data maka akan diperoleh hasil mengenai partisipasi masyarakat lokal dalam pengembangan Desa Wisata Belandingan yang dijabarkan dari rumusan masalah, yaitu mengenai bentuk partisipasi masyarakat Desa Belandingan serta hambatan yang dialami dalam melakukan partisipasi tersebut. Selanjutnya akan ditarik simpulan dan memberikan beberapa rekomendasi sebagai masukan bagi masyarakat lokal di Desa Belandingan, serta LWG dan Kepala Desa Belandingan.
37
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi dari penelitian ini adalah di Desa Belandingan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Kegiatan penelitian ini dimulai pada bulan September 2014 hingga selesai dan dikahiri dengan pengujian hasil penelitian. 3.2 Jenis Dan Sumber Data 3.2.1 Jenis Data a. Data Kualitatif Adalah data yang berupa kalimat / pernyataan bukan berupa angka. Data kualitatif meliputi data yang berskala nominal dan ordinal (Purwanto dan Sulistyastuti, 2007:20). Data kualitatif dalam penelitian ini adalah hasil wawancara dengan Sekretaris Desa Belandingan mengenai penduduk yang terlibat dalam kepengurusan pemerintahan desa, adat, pemuda dan LWG. Selain itu juga terdapat hasil wawancara dengan anggota LWG Desa Belandingan terkait sejarah dan potensi Desa Belandingan. b. Data Kuantitatif Adalah data yang berupa angka – angka misalnya jumlah penduduk. Data Kuantitatif bersifat objektif sedang data kuantitatif
38
bersifat subjektif (Purwanto dan Sulistyastuti, 2007:21). Data kuantitaif dalam penelitian ini berupa data jumlah penduduk Desa Belandingan. 3.2.2 Sumber Data a. Data Primer Adalah data yang dukumpulkan secara langsung dari lapangan penelitian, misalnya melalui wawancara, focus group discussion, kuesioner dan observasi (Purwanto dan Sulistyastuti, 2007:20). Data primer dalam penelitian ini berupa data hasil wawancara dengan Sekretaris Desa serta LWG Desa Belandingan. b. Data Sekunder Adalah data yang diperoleh melalui penelitian terdahulu yang dilakukan oleh pihak lain. Contoh : data yang diperoleh dari BPS, perpustakaan, kantor (Purwanto dan Sulistyastuti, 2007:20). Data sekunder dalam penelitian ini berupa Perbup No 16 Tahun 2014 mengenai desa wisata yang ada di Kabupaten Bangli, serta data terkait kepariwisataan di Kintamani yang didapat dari laporan Destination Field Research 2014 dan beberapa media cetak dan elektronik. 3.3 Teknik Pengambilan Sampel Pengambilan sampel akan dilakukan dengan metode stratified random sampling. Teknik sampling ini digunakan untuk menggambarkan secara tepat mengenai sifat-sifat populasi yang heterogen. Oleh karena itu populasi yang
39
bersangkutan harus dibagi-bagi dalam lapisan-lapisan (strata) yang seragam, dan dari setiap lapisan dapat diambil sampel secara acak (Singarimbun, 1987:162). Dalam penelitian ini, sampel yang diambil adalah masyarakat lokal di Desa Belandingan. Yang dimaksud dengan masyarakat lokal dalam penelitian ini adalah masyarakat yang memang sejak lahir telah menetap dan menjadi warga Desa Belandingan atau setidaknya telah menjadi warga Desa Belandingan selama kurun waktu 10 tahun. Dengan metode stratified random sampling, masyarakat lokal dibagi menjadi beberapa strata berdasarkan ketokohannya. Strata tersebut antara lain: a. Masyarakat yang Bekerja di Pemerintahan Desa Yang termasuk dalam stara ini merupakan masyarakat lokal yang diberi wewenang untuk mengatur pemerintahan Desa Belandingan seperti perbekel, sekretaris desa, kepala urusan dan kepala dusun. Termasuk juga dalam strata ini adalah pengurus lembaga desa, yaitu LPM, BPD dan PKK. Jumlah responden dalam yang termasuk dalam strata pemerintahan desa adalah 33 orang. b. Tokoh Adat Yang termasuk dalam strata tokoh adat yaitu masyarakat lokal yang diberi wewenang menjalankan dan mengatur adat-istiadat serta upacara agama di Desa Belandingan yaitu Bendesa Adat. Selain itu, masyarakat Desa Belandingan juga mengenal sistem Ulu Apad sebagai sistem pemerintahan desa adat. Kepengurusan tetap dari sistem Ulu Apad di Desa Belandingan
40
terdiri dari 5 orang. Dengan demikian, jumlah responden pada strata ini adalah 6 orang. c. Organisasi Pemuda Desa Belandingan memiliki dua oraganisasi pemuda yaitu Seka Teruna Teruni dan Karang Taruna. Seka Teruna Teruni Desa Belandingan memiliki 3 orang pengurus dengan jumlah anggota mencapai 70 orang. Sedangkan Karang Taruna Desa Belandingan memiliki 4 orang pengurus dengan jumlah anggota mencapai 180 orang dimana anggota Seka Teruna Teruni juga termasuk ke dalam Karang Taruna tersebut. Tetapi salah satu pengurus Karang Taruna juga menjadi anggota LWG di Desa Belandingan. Dengan demikian sampel dari strata oragnisasi pemuda berjumlah 6 orang. d. Pengelola Desa Wisata Yang termasuk dalam strata pengelola desa wisata adalah anggota LWG yang terdiri dari 5 orang anggota. Berdasarkan teknik stratified random sampling tersebut, maka persentase responden dari masing – masing strata dapat dilihat pada tabel 3.1:
No 1 2 3 4
Tabel 3.1 Jumlah Responden dari Masing – Masing Strata Jumlah Persentase Komponen Masyarakat Sampel (%) Masyarakat yang Bekerja di 33 66 Pemerintahan Desa Tokoh Adat 6 12 Organisasi Pemuda 6 12 Pengelola Desa Wisata 5 10 100 Jumlah Total 50
Sumber: Data Pra Penelitian, 2015
41
Berdasarkan Tabel 3.1, dapat diketahui bahwa sebagian besar responden merupakan masyarakat yang bekerja di pemerintahan desa yaitu 66%. Hal ini dikarenakan dalam strata pemerintahan desa juga tersmasuk lembaga desa yaitu LPM, BPD dan PKK. Sedangkan sampel dari strata tokoh adat sebesar 12%, organisasi pemuda 12% dan pengelola desa wisata sebesar 10%. 3.4 Metode Pengumpulan Data 3.4.1 Metode Observasi Observasi merupakan pengamatan yang dilakukan secara sengaja, sistematis mengenai fenomena sosial dengan gejala – gejala psikis untuk dilakukan pencatatan (Soemitro dalam Subagyo, 2004:63). Observasi sebagai alat pengumpul data dapat dilakukan secara spontan dapat pula dengan daftar isian yang telah disiapkan sebelumnya (Subagyo, 2004:63). Sutrisno Hadi dalam Sugiyono (2012:145) menyebutkan bahwa observasi merupakan suatu proses kompleks, suatu proses yang tersusun dari berbagai proses biologis dan psikologis. Dua di anatara yang terpenting adalah proses-proses pengamatan dan ingatan. Dalam penelitian ini observasi dilakukan oleh peneliti untuk melihat potensi wisata
serta
partisipasi
masyarakat
Desa
Belandingan
dalam
pengembangan desa wisata di Desa Belandingan.
42
3.4.2 Metode Wawancara Subagyo (2004:39) menyebutkan bahwa metode wawancara merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan informasi secara langsung dengan mengungkapkan pertanyaan – pertanyaan pada para informan. Wawancara bermakna berhadapan langsung antara interviewer(s) dengan responden, dan kegiatannya dilakukan secara lisan. Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti dan juga peneliti ingin mengetahui hal – hal dari responden yag lebih mendalam dan jumlah responden sedikit/kecil (Sugiyono, 2012:137). Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan kepada beberapa narasumber yaitu Sekretaris Desa, LWG serta masyarakat lokal Desa Belandingan. 3.4.3 Metode Kuesioner (Angket) Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawabnya. Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang efisien bila peneliti tahu dengan pasti variabel yang akan diukur dan tahu apa yang dapat diharapkan dari responden. Selain itu, kuesioner juga cocok digunakan bila jumlah responden cukup besar dan tersebar di wilayah yang luas. (Sugiyono, 2012:142).
43
Dalam penelitian ini, angket atau kuesioner akan diberikan kepada masyarakat lokal yang turut serta dalam pembangunan Desa Wisata Belandingan atau masyarakat lokal yang memiliki wewenang atau kepentingan dalam pembangunan desa wisata tersebut. 3.4.4 Metode Dokumentasi Sugiyono (2005:82) menyebutkan bahwa dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya – karya monumental dari seseorang. Dokumentasi dilakukan pada saat penelitian yaitu untuk mengumpulkan semua bukti fisik berupa potensi dan partisipasi masyarakat dalam bentuk foto dan video yang berkaitan dengan informasi dan data penelitian. 3.5 Pengujian Instrumen 3.5.1 Uji Validitas Uji validitas digunakan untuk mengukur valid atau tidaknya suatu instrumen. Suatu instrumen dikatakan valid jika pertanyaan pada instrumen mampu mengukur sesuatu yang hendak diukur oleh instrumen tersebut (Riduwan, dkk, 2011:194). Dalam penelitian ini uji validitas juga digunakan untuk mengetahui tahapan pengembangan Desa Wisata Belandingan. Pada penelitian ini, Uji validitas dilakukan dengan bantuan program IBM SPSS Statistics versi 22. Langkah-langkah pengujian validitas dengan program tersebut adalah dengan melakukan korelasi
44
antar skor butir pertanyaan dengan total skor konstruk atau variable (corrected item – total correlation). Valid atau tidaknya setiap butir pertanyaan pada kuesioner dapat diketahui dengan memperhatikan r hitung dan r tabel. Setiap pertanyaan pada kuesioner dianggap valid apabila r hitung menunjukkan hasil yang lebih besar dibandingkan dengan r
tabel.
Pada
penelitian ini, pengujian validitas dilakukan dengan menggunakan 30 sampel. Dengan demikian r tabel pada penelitian ini adalah 0,361. 3.5.2 Uji Reliabilitas Suatu instrumen dinyatakan reliabel atau handal jika jawaban seseorang terhadap pertanyaan adalah konsisten atau stabil dari waktu ke waktu (Riduwan, dkk, 2011:194). Suatu variabel akan dikatakan reiabel atau handal apabila nilai dari Cronbach’s Alpha variabel tersebut lebih dari 0.60. 3.6 Teknik Anlisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analisis Deskriptif Kualitatif. Analisa deskriptif adalah teknik analisa yang memberikan informasi hanya mengenai data yang diamati dan tidak bertujuan menguji hipotesis serta menarik kesimpulan yang digeneralisasikan terhadap populasi (Purwanto dan Sulistyastuti, 2007:94). Teknik analisis kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dengan menggunakan metode Miles dan Huberman. Analisis data kualitatif menurut Miles dan Huberman dalam (Sugiyono, 2005:147)
45
dilakukan secara interaktif melalui proses reduksi data, penyajian data, serta verifikasi dan penarikan kesimpulan. Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut. 1. Reduksi Data Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan (Sugiyono, 2005:92). Dalam proses ini, data yang telah terkumpul kemudian dipilah berdasarkan kategori yang meliputi kondisi geografis, demografis, kondisi kepariwisataan, bentuk-bentuk partisipasi dalam setiap tingkatan pengembangan desa wisata, serta hambatan yang ditemui masyarakat dalam pengembangan Desa Wisata Belandingan. 2. Penyajian Data Dalam penelitian kualitatif penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan dan hubungan antar kategori. Yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif. Selanjutnya disarankan dalam melakukan penyajian data selain dengan teks yang bersifat naratif, dapat juga disajikan berupa grafik, matrik, network (jenjang kerja), dan chart (Sugiyono, 2005:95).
46
3. Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi Selanjutnya
adalah
penarikan
kesimpulan
dan
verifikasi.
Kesimpulan dalam penelitian kualitatif merupakan temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu objek yang sebelumnya masih remang-remang atau gelap sehingga setelah diteliti menjadi jelas (Sugiyono, 2005:99). Tahap ini diharapkan mampu menarik kesimpulan dan dapat menjawab rumusan masalah mengenai partisipasi masyarakat lokal dalam pengembangan Desa Wisata Belandingan di Kabupaten Bangli. Untuk mengukur nilai rata-rata partisipasi masyarakat lokal pada setiap tahapan pengembangan Desa Wisata Belandingan, maka teknik analisis kuantatif juga digunakan pada penelitian ini. Data partisipasi masyarakat lokal pada setiap tahapan pengembangan Desa Wisata Belandingan akan dijabarkan secara kualitatif dengan skala pengukuran yaitu Skala Likert. Skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang kejadian atau gejala sosial. Dalam penelitian, gejala sosial ini telah ditetapkan secara spesifik oleh peneliti, yang selanjutnya disebut dengan variabel penelitian (Riduwan dan Sunarto, 2012:20-21). Rengatangan skala yang digunakan dalam penilitian ini adalah 5 skala. Skala 5 menunjukkan bahwa responden sangat setuju / sangat sering melakukan kegiatan partisipasi sesuai dengan indikator pada kuseoner. Skala 4 menyatakan bahwa responden setuju / sering, skala 3 menunjukkan cukup setuju / jarang, skala 2 menunjukkan tidak setuju / sangat jarang dan skala 1 menunjukkan
47
sangat tidak setuju / tidak pernah . Menurut Sudjana (1997:77) kriteria penilaian atau rentang nilai dilakukan dengan: 1. Menentukan nilai tertinggi dan terendah yang mungkin dicapai. Dalam hal ini, nilai tertinggi adalah 5 dan nilai terendah adalah 1. 2. Menentukan besarnya daerah nilai (score range) berdasarkan selisih nilai tertinggi yang mungkin dicapai dengan nilai terendah yang mungkin dicapai. Dalam hal ini: Score Range (R) = 5-1= 4 3. Menentukan besarnya interval nilai berdasarkan perbandingan antara daerah nilai dengan jumlah kriteria penilaian yang diperlukan. Dalam hal ini jumlah kriteria penilaian adalah lima yaitu, sangat setuju, setuju, cukup setuju, tidak setuju dan sangat tidak setuju. Interval Nilai = 4/5= 0,8 4. Menghitung nilai rata-rata data kelompok dengan mengelompokkan data dalam distribusi frekuensi, sehingga data tersebut akan berbaur dan keaslian data itu akan hilang bercampur dengan data lain menurut kelasnya, hanya dalam perhitungan rata-rata kelompok diambil titik tengahnya yaitu setengah dari jumlah ujung bawah kelas dan ujung atas kelas untuk mewakili setiap kelas interval. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kemungkinan data yang ada di setiap interval mempunyai nilai yang lebih besar atau lebih kecil dari titik tengah (Riduwan dan Sunarto, 2012:39). Perhitungan data rata-rata kelompok dapat dicari dengan rumus:
48
∑ (ti . fi) x= ∑ fi Keterangan:
x
= Rata-rata
ti
= Titik tengah
fi
= Frekuensi
(ti . fi) = Jumlah frekuensi 5. Menentukan rentang nilai (interval) untuk masing-masing kriteria penilaian, dalam hal ini rentang nilai yang didapat adalah: a) 1,00 – 1,79 = sangat tidak setuju / tidak pernah b) 1,80 – 2,59 = tidak setuju / sangat jarang c) 2,60 – 3,39 = cukup setuju / jarang d) 3,40 – 4,19 = setuju / sering e) 4,20 – 5,00 = sangat setuju / sangat sering 6. Menentukan titik tengah (ti) untuk masing-masing interval, dalam hal ini titik tengah yang didapat adalah: a) 1,00 – 1,79 = 1,395 b) 1,80 – 2,59 = 2,195 c) 2,60 – 3,39 = 2,995 d) 3,40 – 4,19 = 3,795 e) 4,20 – 5,00 = 4,6
49
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Lokasi Penelitian 4.1.1 Sejarah Desa Belandingan Hingga saat ini belum ditemukan prasasti, babad ataupun benda lainnya yang bisa menceritakan sejarah atau asal – usul Desa Belandingan. Masyarakat Desa Belandingan hanya mengetahui sejarah desa tersebut berdasarkan cerita turun – temurun dari leluhurnya. Berdasarkan
informasi
tertulis
yang
diperoleh
di
Desa
Belandingan, diketahui bahwa pada zaman dahulu Desa Belandingan bernama Desa Balatandingan. Pada saat itu, penduduk Desa Balatandingan bermukim di dua tempat, yaitu di lokasi Desa Belandingan saat ini dan di balik bukit yang bernama daerah Puseh Meneng. Penduduk Desa Balatandingan pada saat itu berjumlah sekitar 1.700 jiwa atau dalam bahasa lokal disebut sepaa satus. Desa Balatandingan pada saat itu dipimpin oleh seorang dukuh, bernama Dukuh Manik Muncar. Beliau bertempat tinggal di sebelah Timur salah satu sumber air di Desa Balatandingan yang saat ini dikenal dengan nama Tirta Manik Muncar. Lokasi Tirta Manik Muncar tersebut berada di wilayah Desa Belandingan saat ini. Pada suatu saat, Dukuh
Manik
Muncar
yang
memimpin
Desa
Balatandingan
memutuskan sebuah kebijakan mengenai pembagian dan tata cara pengambilan air bagi warga Desa Balatandingan. Melalui kebijakan
50
tersebut beliau menginstruksikan warganya yang tinggal di wilayah Desa Belandingan saat ini untuk mengambil air di Yeh Sau yang lokasinya cukup jauh dari Desa Belandingan saat ini. Sedangkan warga desa yang bertempat tinggal di Puseh Meneng diinstruksikan agar mengambil air di Tirta Manik Muncar. Kebijakan yang dikeluarkan oleh Dukuh Manik Muncar tersebut menuai kontrsoversi di kalangan warga Desa Balatandingan. Warga desa yang tinggal di areal Desa Belandingan saat ini tidak menerima kebijakan tersebut. Hal ini dikarenakan mereka tidak mau mengambil air di Yeh Sau yang lokasinya jauh dari desa, padahal terdapat mata air yang lebih dekat yaitu Tirta Manik Muncar. Masyarakat yang tidak meneria kebijakan dukuh tersebut akhirnya membunuh Dukuh Manik Muncar. Setelah terbunuhnya Dukuh Manik Muncar, Desa Balatandinganpun akhirnya terkena kutukan. Warga desa yang awalnya berjumlah mencapai 1.700 orang, akhirnya hanya tersisa 7 orang. Warga yang tersisa tersebut akhirnya membangun sebuah tempat suci (Pelinggih) sebagai permohonan maaf kepada Dukuh Manik Muncar. Beberapa waktu berikutnya, beberapa masyarakat desa di sekitar Desa Belandingan datang dan akhirnya menetap di desa tersebut. Berdasarkan bukti yang ada, diketahui bahwa warga pendatang tersebut berasal dari beberapa desa yaitu: Desa Songan (5 orang), Desa Sukawana (1 orang), Desa Siakin (1 orang), Desa Besakih (1 orang),
51
Desa Pedahan (1 orang) dan Desa Suter (1 orang). Berdasarkan hal tersebut diketahui bahwa saat ini, masyarakat Desa Belandingan memiliki 17 leluhur, yang terdiri dari 7 orang penduduk asli dan 10 orang penduduk pendatang. Dari 17 orang lelehur tersebut masyarakat Desa Belandingan terus mengalami perkembangan hingga saat penelitian ini dilakukan, jumlah penduduk desa Belandingan hampir mencapai 1000 orang. 4.1.2 Kondisi Geografis Desa Belandingan Secara administratif Desa Belandingan terletak di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali. Berdasarkan hasil wawancara dengan Perbekel Desa Belandingan pada tanggal 19 Mei 2015, diketahui bahwa Desa Belandingan berbatasan langsung dengan Desa Siakin di sebelah Utara, Desa Songan di sebelah Timur dan Selatan serta Desa Pinggan di sebelah Barat. Desa Belandingan terletak pada ketinggian ±1250 m di atas permukaan laut. Lokasi desa ini berada di wilayah perbukitan dengan konfigurasi lahan yang cukup curam. Luas wilayah Desa Belandingan mencapai ± 2.022 Ha. Sebagian besar lahan di Desa Belandingan dimanfaatkan sebagai lahan pertanian penduduk. Sebagian lainnya digunakan untuk pemukiman penduduk dan beberapa fasilitas umum. Desa Belandingan hanya memiliki satu buah banjar yaitu Banjar Belandingan. Namun, masyarakat Desa Belandingan di bagi menjadi beberapa tempekan atau kelompok. Tempekan tersebut dibagi
52
berdasarkan wilayah dan Pedadian (berdasarkan kelompok garis keturunan). Tempekan yang terdapat di Desa Belandingan yaitu: (1) Tempekan Kaja Kangin, (2) Tempekan Tegeh, (3) Tempekan Jero, (4) Tempekan Kayu Selem, (5) Tempekan Tangkas, (6) Tempekan Panji, (7) Tempekan Tengah, (8) Celagi, (9) Tempekan Asah, (10) Tempekan Pande, (11) Tempekan Anyar. 4.1.3 Kondisi Demografis Desa Belandingan Hingga saat penelitian ini dilakukan, pihak Desa Belandingan masih melakukan sensus untuk memenuhi kebutuhan data terkait monografi desa. Sesuai dengan hasil observasi, buku monografi yang saat ini terdapat di kantor desa tidak terisi dengan lengkap. Untuk mendapatkan
gambaran
mengenai
kondisi
demografis
Desa
Belandingan, peneliti menemukan beberapa data terkait di dalam situs program Gerbang Sadu Pemerintah Provinsi Bali. 4.1.3.1 Jumlah Penduduk Berdasarkan data dari situs Gerbang Sadu Pemerintah Provinsi Bali, jumlah penduduk Desa Belandingan pada tahun 2012 mencapai 887 jiwa, terdiri dari 463 jiwa (52%) penduduk laki – laki dan 424 jiwa (48%) penduduk perempuan dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 233 KK. Seluruh masyarakat di Desa Belandingan memeluk agama Hindu.
53
4.1.3.2 Pendidikan Berdasarkan
hasil
wawancara
dengan
Perbekel
Desa
Belandingan pada tanggal 19 Mei 2015, diketahui bahwa tingkat pendidikan sebagian besar masyarakat Desa Belandingan merupakan lulusan sekolah dasar (SD) yaitu sekitar 40 %, terutama masyarakat yang sudah berumur lebih dari 40 tahun. Sekitar 30 % merupakan lulusan SMP dan sekitar 20 % merupakan lulusan SMA. Perbekel Desa Belandingan juga menyatakan bahwa masih banyak warga Desa Belandingan yang tidak bersekolah, terutama masyarakat yang sudah tergolong lanjut usia yang jumlahnya hampir mencapai 10 %. Agar dapat mengikuti perkembangan zaman yang menuntut pendidikan yang lebih tinggi dalam berbagai bidang, sebagian besar anak – anak Desa Belandingan sudah menempuh pendidikan mereka hingga jenjang SMA atau SMK. 4.1.3.3 Mata Pencaharian Suasana pedesaan memang terasa sangat kental saat memasuki wilayah Desa Belandingan. Sepanjang jalan menuju Desa Belandingan pengunjung akan disuguhi hamparan ladang pertanian masyarakat Desa Belandingan.
Sebagian
besar
masyarakat
desa
ini
memang
bermatapencaharian sebagai petani, seperti yang terlihat pada tabel 4.1 berikut:
54
Tabel 4.1 Mata Pencaharian Penduduk Desa Belandingan Tahun 2012 Jumlah Persentase No Jenis Pekerjaan (Orang) (%) 1 PNS 2 0.34 2 Swasta / Buruh
110
18.58
3 Petani
480
81.08
592
100
Jumlah Total
Sumber: Gerbang Sadu Provinsi Bali, 2012
Berdasarkan Tabel 4.1 terlihat bahwa mata pencaharian utama penduduk Desa Belandingan adalah sebagai petani yaitu sebesar 81.08%, di urutan kedua adalah pegawai swasta yaitu sebesar 18,58%, dan ketiga sebagai PNS yaitu sebesar 0.34 %. 4.1.3.4 Sosial Budaya Berdasarkan
hasil
wawancara
dengan
Perbekel
Desa
Belandingan pada tanggal 19 Mei 2015, sebagian besar wilayah Desa Belandingan difungsikan sebagai lahan pertanian. Tipe pertanian di desa ini merupakan pertanian lahan kering. Untuk mengorganisir pertanian di Desa Belandingan maka dibentuklah sistem subak. Pada umumnya subak untuk lahan kering di Bali dikenal dengan nama Subak Abian. Di Desa Belandingan terdapat 2 Subak Abian yaitu: Subak Abian Pupuan Sari dan Subak Abian Sari Karya. Desa
Belandingan
juga
memiliki
beberapa
perkumpulan
masyarakat atau yang sering disebut dengan Sekaa. Sekaa – Sekaa yang terdapat di Desa Belandingan tidak memiliki tugas setiap hari,
55
melainkan hanya pada waktu – waktu tertentu saja. Berdasarkan hasil wawancara dengan Made Kuas (salah anggota LWG Desa Belandingan) pada tanggal 12 Mei 2015, sekaa yang ada di Desa Belandingan antara lain : a. 1 (satu) Sekaa Gambel atau Seka Gong b. 6 (enam) Sekaa Igel yang terdiri dari: Sekaa Baris Tumbak Barak, Sekaa Baris Tumbak Selem, Sekaa Baris Tutup, Sekaa Baris Perang (Tari Bojog – Bojogan), Sekaa Baris Teruna, dan Sekaa Drama Gong Wana Giri. c. 1 (satu) Sekaa Shanti d. 1 (satu) Sekaa Angkut e. 1 (satu) Sekaa Pebat f. 1 (satu) Sekaa Endek g. 1 (satu) Sekaa Teruna-Teruni 4.1.4 Kondisi Sarana dan Prasarana di Desa Belandingan Adanya pengembangan desa wisata di Desa Belandingan tidak serta merta meningkatkan kondisi sarana dan prasarana di desa tersebut. Hingga saat ini belum ada perbaikan yang berarti baik dari sisi aksesibilitas ataupun amenitas di desa tersebut. Sarana dan prasarana yang terdapat di Desa Belandingan meliputi: 4.1.4.1 Prasarana Air Bersih Kebutuhan akan air bersih di Desa Belandingan masih belum bisa terpenuhi dengan baik. Belum ada aliran air dari PDAM yang
56
masuk ke Desa Belandingan. Hingga saat ini, masyarakat Desa Belandingan masih mengandalkan air pegunungan yang dialirkan melalui pipa dari Desa Pinggan. Namun pipa tersebut belum dapat menjangkau rumah – rumah warga Desa Belandingan, sehingga masyarakat harus mengangkut air dari satu titik terentu. Terlebih lagi pada saat musim kemarau, sering tidak ada aliran air ke Desa Belandingan yang menyebabkan masyarakat Desa Belandingan sering mengalami kekurangan air bersih. 4.1.4.2 Sumber Listrik Kebutuhan masyarakat Desa Belandingan akan listrik sudah dapat terpenuhi dengan baik. Seluruh rumah penduduk di wilayah Desa Belandingan sudah mendapatkan aliran daya listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN). 4.1.4.3 Telekomunikasi Jaringan telekomunikasi di Desa Belandingan sudah cukup baik. Walaupun
desa
ini
berada
di
lereng
bukit,
namun
jaringan
telekomunikasi dari PT. Telkom telah menjangkau desa ini. Jaringan telepon seluler juga sudah dapat diakses dengan baik di Desa Belandingan. Selain bisa menikmati layanan telepon dan sms dari beberapa provider selular, masyarakat Desa Belandingan juga sudah dapat menikmati akses internet dari provider yang mereka gunakan. Namun untuk signal, kondisinya masih belum terlalu baik dengan kecepatan akses yang tergolong rendah. Signal yang tersedia di Desa
57
Belandingan seperti jaringan General Packet Radio Service (GPRS) dan Enchanged Data rates for GSM Evolution (EDGE) yang masih termasuk dalam jaringan selular generasi kedua (2G). Sedangkan jarangan Universal Mobile Telecomunication System (UTMS) dan High Speed Packet Access (HSPA) atau jaringan selular generasi ketiga (3G), masih cukup sulit untuk diakses. 4.1.4.4 Sarana Lain Sarana lain yang terdapat di Desa Belandingan seperti sarana pendidikan dan kesehatan. Untuk sarana pendidikan di Desa Belandingan terdapat 1 Sekolah Dasar. Sedangkan untuk sekolah yang lebih tinggi, masyarakat Desa Belandingan harus bersekolah ke desa lainnya yaitu di Desa Songan dan Desa Kintamani. Desa Belandingan juga memiliki sebuah puskesmas yaitu Puskemas Pembantu Desa Belandingan. Sarana lainnya seperti pos polisi, rumah sakit dan SPBU masih sulit untuk diakses mengingat jarak yang cukup jauh dan kondisi aksesibilitas di Desa Belandingan yang kurang baik. 4.1.5 Pengembangan Desa Belandingan Sebagai Desa Wisata Berdasarkan hasil wawancara dengan LWG Desa Belandingan pada tanggal 14 Maret 2015, maka didapat sejarah singkat mengenai pengembangan Desa Belandingan sebagai desa wisata. Pada tahun 2011, pemerintah pusat melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif membentuk 15 Destination Management Organization (DMO) yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia. Salah satu dari ke 15 DMO
58
tersebut berada di Bali tepatnya di wilayah Kecamatan Kintamani. Wilayah kerja dari DMO tersebut mencakup wilayah 15 desa yang berada di sekitar kawasan pariwisata Kintamani yang diberi nama Wingkang Ranu. Tujuan awal dari dibentuknya DMO adalah untuk mengembalikan
kejayaan
pariwisata
Kintamani
dengan
cara
merevitalisasi kondisi kepariwisataan Kintamani serta meningkatkan partisipasi masyarakat lokal di dalamnya (Laporan DFR 2014). Peran dari DMO adalah sebagai katalisator antara masyarakat, pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan kepariwisataan di Kintamani. Untuk meningkatkan partisipasi mayarakat, DMO Batur – Kintamani membentuk Local Working Group (LWG) dari ke 15 desa tersebut dengan anggota dari masing – masing desa sebanyak 5 orang. LWG tersebut kemudian dibagi menjadi 5 cluster dimana setiap cluster terdiri dari 3 desa. Desa Belandingan sendiri termasuk ke dalam Cluster Ulun Danu Muncar bersama dua desa lainnya yaitu Desa Songan A dan Songan B. Cluster Ulun Danu Muncar ini terbentuk pada tanggal 24 November 2011 (Presentasi Profil LWG DMO Batur). Fungsi LWG adalah berpartisipasi aktif dalam perencanaan dan menjembatani komunikasi dengan masyarakat luas (Presentasi Pengembangan Tata Kelola Destinasi Parwisata Kintamani). Anggota
LWG
Desa
Belandingan
sebagai
representatif
masyarakat Desa Belandingan telah melakukan fungsinya tersebut dengan menggali potensi wisata yang ada di Desa Belandingan dan
59
mengajukannya pada rapat yang diselenggarakan oleh DMO. Dari identifikasi potensi yang dilakukan maka terdapat beberapa potensi wisata yang nantinya dapat dikembangkan yaitu atraksi wisata alam Bubung Temu, agrowisata di lahan pertanian / perkebuanan penduduk, pelestarian rumah adat Saka Roras, serta wisata spiritual di Pura Manik Muncar dan Pura Sang Hyang Song. LWG juga telah mengusulkan peningkatan sarana dan prasarana pariwisata terutama peningkatan kualitas jalan untuk memudahkan akses menuju Desa Belandingan. Pada tahun 2012, kawasan Gunung Batur secara resmi menjadi anggota dari Global Geopark Network (GGN). Wilayah dari Geopark Batur tersebut juga meliputi kawasan Desa Belandingan yang dapat menambah daya jual pariwisata di Desa Belandingan. Pada tahun 2013 LWG Ulun Danu Muncar mengajukan peningkatan sarana dan prasarana kepariwisataan di wilayah Desa Songan A, Songan B dan Belandingan. Termasuk di dalamnya adalah penataan ketiga desa tersebut sebagai desa wisata. Pada tahun 2014, Desa Belandingan resmi menjadi desa wisata melalui Perbup No. 16 Tahun 2014 yang ditetapkan pada Tanggal 28 Januari 2014. Melalui Perbup tersebut, dikatahui bahwa Pemerintah Kabupaten Bangli menetapkan ke 15 desa yang termasuk ke dalam wilayah Wingkang Ranu (wilayah kerja DMO dan zona inti Geopark) sebagai desa wisata. Namun hingga saat ini, masyarakat Desa Belandingan merasa bahwa pegembangan desa wisata yang dilakukan
60
oleh Pemerintah Kabupaten Bangli masih belum maksimal. Hal ini dikarenakan masyarakat belum merasakan manfaat apapun dari penetapan desa wisata yang sudah berjalan selama 1,5 tahun tersebut. Pemerintah Kabupaten Bangli memang sama sekali belum melakukan penataan di Desa Wisata Belandingan baik infrastuktur seperti peningkatan kualitas jalan ataupun pembinaan sumber daya manusia. Masyarakat Desa Belandingan saat ini sedang melakukan perbaikan terhadap Pura Manik Muncar. Mereka berharap pura yang berstatus Dhang Kahyangan tersebut nantinya juga dapat dikembangan sebagai wisata spiritual. 4.1.6 Kondisi Kepariwisataan Desa Belandingan Suatu wilayah dapat dikatakan sebagai destinasi wisata yang baik jika telah memenuhi kriteria 4A (atraksi, aksesibilitas, amenitas dan ancillaries). Dengan status sebagai desa wisata, Desa Belandingan, seharusnya juga telah memenuhi keempat kriteria tersebut, karena kriteria 4A dapat dijadikan sebagai acuan dalam menentukan kualitas suatu destinasi wisata. Penjabaran kriteria 4A di Desa Wisata Belandingan adalah sebagai berikut. 4.1.6.1 Atraksi Desa Belandingan memiliki alam yang indah dan masih terjaga dengan baik. Budaya dan adat-istiadat masyarakatnyapun masih dilestarikan dengan baik. Potensi wisata yang dimiliki Desa Belandingan tersebut nantinya dapat dikembangkan sebagai atraksi
61
wisata di Desa Wisata Belandingan. Potensi wisata yang dimiliki Desa Belandingan yaitu : a. Potensi Wisata Alam 1. Bubung Temu Bubung Temu merupakan nama sebuah bukit yang terletak di bagian utara Desa Belandingan. Menurut salah satu anggota LWG Desa Belandingan, Bubung Temu berasal dari kata Bubung yang berarti bukit dan Temu yang berarti Bertemu. Masyarakat percaya bahwa Bubung Temu merupakan pertemuan antara dua buah bukit yang membentang di bagian utara desa tersebut. Bubung Temu dapat dijadikan sebagai salah satu atraksi trekking di Desa Belandingan. Untuk dapat mencapainya, pengunjung harus melawati rumah penduduk hingga ujung Utara Desa Belandingan. Di ujung Utara desa, terdapat sebuah jalan setapak kecil yang menanjak. Jalan setapak ini juga dapat dilewati oleh sepeda motor. Untuk mencapai puncak bukit, pengunjung harus berjalan melewati hutan pinus. Daya Tarik Utama Bubung Temu, berada di puncaknya. Dari puncak bukit tersebut, pengunjung dapat menikmati keindahan Danau Batur dan Gunung Batur serta Laut Bali di bagian Utara. Salah satu pemandangan dari Bukit Bubung Temu yaitu pemandangan Laut Bali dapat dilihat pada gambar 4.1 berikut:
62
Gambar 4.1: Pemandangan dari Bubung Temu Sumber: Hasil Penelitian, 2015
2. Cycling / Trekking Aktivitas wisata minat khusus seperti cycling dan trekking memang sudah sering dilakukan wisatawan di Desa Belandingan bahkan sebelum adanya pengembangan Desa Wisata. Wisatawan yang datang untuk melakukan aktivitas tersebut biasanya sudah memesan paket tour dari travel agent dan membawa pemandu sendiri, sehingga Desa Belandingan hingga saat penelitian ini dilakukan belum mendapatkan manfaat apapun dari aktivitas tersebut. Aktivitas wisata berupa cycling biasanya tidak hanya dilakukan di Desa Belandingan, melainkan meliputi beberapa desa dengan nenyisiri Danau Batur hingga akhirnya mencapai Desa Belandingan. Pada kegiatan wisata ini wiatawan dapat menikmati keindahan panorama alam Desa Belandingan seperti perkebuanan penduduk, rumah tradisional yang unik hingga keindahan panorama alam di puncak bukit.
63
3. Agrowisata Desa Belandingan memiliki potensi untuk dikembangan sebagai agrowisata. Wilayahnya yang barada di dataran tinggi membuatnya memiliki udara yang sejuk, sehingga berbagai tanaman pangan dapat tumbuh dengan subur di desa tersebut. Mata pencaharian masyarakat yang sebagian besar adalah petani juga menunjang untuk pengengambangan agrowisata di Desa Belandingan. Dengan pengembangan agrowisata, nantinya wisatawan dapat menikmati aktivitas pertanian tradisional masyarakat Desa Belandingan dan bahkan dapat merasakan menjadi petani dengan aktivitas yang langsung dilakukan di lahan pertanian penduduk. Jenis tanaman pangan yang ditanam di lahan mereka berupa bawang,
tomat
dan
cabai.
Bila
Agrowisata
tersebut
dikembangkan, pengunjung dapat merasakan aktivitas pertanian seperti menanam bawang, memetik komoditas yang panen baik tomat, cabai ataupun bawang itu sendiri. Dengan demikian aktivitas wisata yang dilakukan di Desa Belandingan tidak akan merusak alam dan justru dapat memberi edukasi bagi wisatawan yang berkunjung. Gambaran lahan pertanian masyarakat yang dapat dikembangkan sebagai agrowisata dapat dilihat pada gambar 4.2 berikut:
64
Gambar 4.2: Lahan Pertanian Masyarakat Belandingan Sumber: Hasil Penelitian, 2015
b. Potensi Wisata Budaya 1. Rumah Tradisional Saka Roras Tidak seperti perubahan yang terjadi pada kehidupan sehari-hari masyarakat desa di Bali pada umumnya, keseharian masyarakat
di
Desa Belandingan memang masih
belum
mengalami banyak perubahan. Suasana pedesaan masih terasa sangat kental di desa tersebut. Masyarakat Desa Beladingan memiliki sifat yang ramah dan terbuka pada setiap orang yang datang mengujungi desa mereka. Sebagian besar masyarakat Desa Belandingan juga masih tetap mempertahankan arsitektur asli rumah adat mereka yang dikenal dengan nama Rumah Saka Roras. Seperti namanya rumah ini memang disangga oleh 12 tiang atau saka. Menurut salah satu LWG Desa Belandingan, Rumah Saka Roras merupakan miniatur dari konsep Tri Hita Karana yang digunakan dalam kehidupan
65
masyarakat Hindu. Setidaknya, terdapat 5 (lima) ruangan di dalam Rumah Saka Roras. Ruangan-ruangan tersebut anatara lain : 1 (satu) ruangan yang difungsikan sebagai tempat suci, 1 (satu) ruangan untuk memasak (dapur), 1 (satu) ruangan untuk penyimpanan hasil panen yang disebut Tukub (lumbung), serta 2 (dua) ruangan yang berfungsi sebagai tempat tidur. Salah satu dari 2 ruangan tempat tidur tersebut juga berfungsi sebagai tempat menyemayamkan mayat jika ada anggota keluarga yang meninggal. Gambar 4.3 menunjukkan salah satu rumah Saka Roras yang terdapat di Desa Belandingan.
Gambar 4.3: Rumah Saka Roras Sumber: Hasil Penelitian, 2015
Walaupun Rumah Saka Roras memiliki nilai budaya yang tinggi dan juga menjadi salah satu identitas warga Desa Belandingan, namun bila dilihat dari sisi kesehatan, ternyata Rumah Saka Roras tersebut dapat dikatakan kurang sehat. Berdasarkan hasil wawancara dengan perbekel Desa Belandingan dan salah satu staffnya, hal ini dikarenakan pencahayaan pada
66
Rumah Saka Roras sangat kurang. Rumah Saka Roras juga tidak memiliki cukup ventilasi untuk sirkulasi udara. Rumah ini memang hanya memiliki satu buah pintu dan tidak ada jendela. Selain itu, satu Rumah Saka Roras juga digunakan untuk berbagai aktivitas yang salah satunya adalah memasak, yang menjadikan sanitasi di dalam rumah ini sangat kurang. 2. Pura Luhur Manik Muncar Pura memang menjadi salah satu daya tarik utama bagi wisatawan yang berkunjung ke Bali. Hal ini juga menjadi perhatian masyarakat Desa Belandingan dengan keinginannya untuk mengembangkan wisata spiritual di desa tersebut. Salah satu pura yang ingin mereka kembangkan adalah Pura Manik Muncar. Seperti
yang
telah
dipaparkan
pada
sejarah
Desa
Belandingan, Pura Manik Muncar merupakan salah satu situs vital dalam sejarah perkembangan desa tersebut. Pura Manik Muncar merupakan sebuah pura yang diperuntukkan kepada masyarakat umum. Masyarakat mempercayai bahwa di pura ini berstana Hyang Dewi Danu dan Sang Hyang Rambut Sedana. Menurut warga Desa Belandingan, Pura Manik Muncar merupakan salah satu pura yang memiliki status sebagai Pura Dang Kahyangan, sehingga cocok dikembnagkan sebagai salah satu tujuan wisata spiritual. Terlebih lagi cerita sejarah desa yang berlokasi di pura
67
ini dapat menjadi nilai tersendiri bagi wisatawan yang datang berkunjung. Kondisi Pura Luhur Manik Muncar serta rencana pengembangannya dapat dilihat pada gambar 4.4 dan 4.5 berikut:
Gambar 4.4: Pura Luhur Manik Muncar Sumber: Hasil Penelitian, 2015
Gambar 4.5: Rencana Pengembangan Pura Manik Muncar Sumber: Arsip Desa Belandingan, 2015
Selain Pura Manik Muncar, masih terdapat beberapa pura lain yang menjadi Sungsungan desa. Pura yang terdapat di Desa Belandingan dapat dilihat pada Tabel 4.2 berikut:
68
Tabel 4.2 Pura Sungsungan Desa di Desa Belandingan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Nama Pura Pura Manik Muncar Pura Batu Gede Pura Desa Pura Meneng Pura Dalem Pura Pemagpagan Pura Penegtegan Pura Sang Hyang Song Pura Dukuh
Keterangan Renovasi
Renovasi
Sumber: Hasil Penelitian, 2015
Selain 9 pura yang menjadi sungusngan desa tersebut, masih terdapat beberapa pura lain yang menjadi pura sungsungan keluarga atau (dadia). Pura – pura tersebut dikelola oleh penduduk desa dari masing-masing dadia itu sendiri. 3. Adat Istiadat Masyarakat Desa Belandingan hingga saat ini masih mentaati dan melestarikan adat – istiadat yang mereka warisi secara turun-temurun. Terdapat beberapa tradisi masyarakat di Desa Belandingan yang membedakan mereka dengan masyarakat desa lainnya di Bali. Tradisi atau adat-istiadat tersebut antara lain: a) Ngaben (Upacara Pemakaman Mayat) Ngaben memang sudah menjadi tradisi masyarakat Hindu Bali untuk melakukan penghormatan terakhir pada anggota keluarga yang meninggal. Namun ada beberapa hal
69
yang membedakan ngaben pada umumnya di Bali dan Ngaben yang dilakukan oleh masyarakat Desa Belandingan. Ngaben yang dilakukan oleh masyarakat Desa Belandingan adalah Ngaben Ngerit (massal). Hingga saat ini sangat
jarang
masyarakat
Desa
Belandingan
yang
melaksanakan upacara ngaben secara individu. Selain itu, pada umumnya masyarakat Hindu Bali melaksakan pembakaran mayat pada saat Ngaben. Namun, ngaben yang dilakukan di Desa
Belandingan
justru
sebaliknya.
Mayat
atau
perwujudannya dalam Ngaben massal tetap dikubur, namun prosesi dilakukan sebagaimana Ngaben pada umumnya. Pada upacara pemakaman biasa (bukan Ngaben), masyarakat Desa Belandingan juga memiliki cara tersendiri untuk menggotong mayat ke kuburan. Masyarakat Desa Belandingan
tidak
menggunakan
peti
untuk
tempat
meletakkan mayat, melainkan hanya dibungkus kain dan tikar (tikeh) seperti umumnya pembungkus mayat yang digunakan masyarakat Bali. Pada saat mayat dibawa ke kuburan, mayat tersebut hanya digantungkan pada sebatang bambu yang kemudian dipikul oleh beberapa orang warga. Namun di bagian bawah mayat juga ditambahkan bedeg (anyaman bambu) yang juga digotong oleh beberapa orang warga. Bedeg
70
tersebut berfungsi untuk menjaga mayat agar tidak sampai jatuh pada saat perjalanan menuju Kuburan. Seperti umumnya pemakaman masyarakat Hindu Bali, setelah dikuburkan, kuburan tersebut kemudian dilindungi dengan Ancak Saji (rangkaian bambu). Perbedaannya dengan tradisi masyarakat Desa Belandingan adalah, kuburan yang boleh menggunakan Ancak Saji hanyalah kuburan masyarakat yang disucikan oleh warga Desa Belandingan. Selain itu, penentuan hari baik untuk masyarakat Belandingan juga memiliki perbedaan dengan masyarakat Bali pada umumnya. Upacara pemakaman mayat di desa ini dapat dilakukan paling cepat 5 hari setelah orang tersebut meninggal dunia. Bila belum ada hari baik dalam waktu tersebut, warga harus menunggu lebih lama, yaitu hingga 25 hari atau bahkan 1 bulan. Masyarakat Desa Belandingan juga mengenal tradisi Sebelan Desa (Cuntaka Desa). Pada masa Sebelan Desa tersebut, seluruh masyarakat Desa Belandingan dilarang untuk memasuki tempat suci atau melaksanakan upacara suci karena masih dianggap kotor. Sebelan Desa tersebut berlaku sejak ada warga yang meninggal hingga 3 hari setelah hari pemakamannya. Apabila ada penduduk desa yang meninggal pada saat sedang ada upacara di pura, maka yang dikenakan
71
Sebelan
(Cuntaka)
hanya
keluarga
atau
dadia
yang
bersangkutan. b) Tradisi Bakti Pekomel (Mekandal) Secara umum, tradisi pernikahan masyarakat Desa Belandingan memiliki rangakaian kegiatan yang hampir sama dengan pernikahan adat Bali pada umumnya. Hal yang membedakan pernikahan yang diselenggarakan masyarakat Belandingan adalah sebuah upacara yang bernama Bakti Pekomel atau Mekandal. Prosesi ini dilakukan setelah seluruh rangkaian upacara pernikahan selesai dilakukan. Berdasarkan tradisi yang sudah dilakukan turun temurun di Desa Belandingan, orang yang menikah ke Desa Belandingan
dan
menjadi
warga
desa
tersebut
tidak
diperbolehkan memasuki Pura Desa sebelum dilakukan upacara Bakti Pekomel atau Mekandal tersebut. Upacara ini bisa dilaksakan pada saat hari pernikahan atau setelahnya, tergantung keinginan dari keluarga mempelai. Pada saat melaksanakan upcara ini, harus ada kesaksian dari prajuru adat maupun dinas Desa Belandingan. c) Sistem Ulu Apad Pemerintahan Desa di Bali dibagi menjadi dua jenis yaitu pemerintahan kedinasan dan pemerintahan desa adat. Pemerintahan adat biasanya dipimpin oleh seorang Jero
72
Bendesa Adat. Hal ini berlaku di sebagian besar desa adat di Bali. Namun, desa – desa yang merupakan desa Bali Mula atau Bali Aga, masih memiliki sistem adat tersendiri yang dikenal dengan sistem Ulu Apad. Sistem Ulu Apad tersebut menggunakan konsep Rwabhineda yaitu Ulu (Hulu) dan Tebenan (Hilir). Pandangan idiologis dari konsep Rwabhineda itu sendiri adalah harmonisasi dari dua hal yang bertentangan (Noviantara, 2014). Walaupun memiliki sistem Ulu Apad, pemerintahan adat di Desa Belandingan masih dipimpin oleh seorang Jero Bendesa Adat. Namun, jika ada upcara di pura, maka yang berlaku adalah sistem Ulu Apad. Berdasarkan sistem tersebut, upacara adat di Desa Belandingan dipimpin oleh seorang Jero Mangku Gede. Tidak sembarang orang di Desa Belandingan dapat diangkat sebagai Jero Mangku Gede. Hal ini dikarenakan seorang Jero Mangku Gede dipilih melalui sebuah ritual yang disebut Nyanjan, yaitu ritual untuk meminta petunjuk dari Ida Bhatara Sesuunan di Desa Belandingan untuk memilih seseorang yang akan diangkat sebagai Jero Mangku Gede. Jero Mangku Gede akan dibantu oleh beberapa orang. Di bawah posisi Jero Mangku Gede terdapat dua Jero Kubayan yaitu Jero Kubayan Kiwa dan Jero Kubayan Tengen.
73
Di bawah posisi masing-masing Jero Kubayan terdapat Jero Guru dan di bawah posisi masing-masing Jero Guru terdapat Saya atau Sinoman. Struktur pemerintahan Ulu Apad di Desa Belandingan dapat dilihat pada gambar 4.6 berikut:
Jero Mangku Gede
Jero Kubayan Kiwa
Jero Kubayan Tengen
Jero Guru / Jero Bau
Jero Guru / Jero Bau
Saya / Sinoman
Saya / Sinoman
Gambar 4.6: Struktur Pemerintahan Ulu Apad di Desa Belandingan Sumber: Hasil Penelitian, 2015
4.1.6.2 Amenitas Walaupun Desa Belandingan sudah 1,5 tahun ditetapkan sebagai desa wisata, namun hingga saat ini belum terdapat fasilitas penunjang kepariwisataan
yang
dibangun,
baik
oleh
pemerintah
ataupun
masyarakat Desa Belandingan itu sendiri seperti : penginapan atau home stay, rumah makan, loket tiket masuk ataupun toilet umum. 4.1.6.3 Aksesibilitas Aksesibilitas dari dan menuju Desa Belandingan dapat dikatakan masih kurang baik. Terdapat 3 akses menuju Desa Belandingan. Aksesibilitas utama menuju desa ini terdapat di Desa Songan, tepatnya di belakang Pura Ulun Danu Batur Songan. Kondisi jalan utama ini
74
sangat kurang. Jalan yang menanjak ditambah dengan kondisi yang sudah rusak membuat pengguna jalan harus sangat berhati-hati. Jalan ini dapat dilalui oleh kendaraan roda dua ataupun roda empat. Kondisi jalan utama Desa Belandingan dapat dilihat pada gambar 4.7:
Gambar 4.7: Jalan Utama Menuju Desa Belandingan Sumber: Hasil Penelitian, 2015
Sebelum mencapai Pura Ulun Danu Batur Songan juga terdapat sebuah jalan menuju Desa Belandingan namun jalan ini hanya dapat dilakui kendaraan roda dua. Kondisinya cukup baik, dimana jalan ini sudah dilapisi beton sehingga memudahkan pengguna jalan untuk melintasi jalanan yang menanjak. Jalan lainnnya berada di Desa Pinggan. Kondisi jalan ini juga kurang baik. Sebagian jalan sudah terbuat dari beton, namun sebagian lainnya masih berupa jalan tanah. Desa Belandingan dapat dicapai melalui hutan dan perbukitan dengan kondisi jalan tanah yang hanya dapat dilalui 1 kendaraan roda dua.
75
4.1.6.4 Ancillaries Hingga saat penelitian ini dilakukan, belum ada pembentukan lembaga khusus yang bertugas mengelola desa wisata. Yang ada hanyalah LWG yang pada awalnya dibentuk untuk menjadi katalisator antara masyarakat lokal dengan DMO Batur Kintamani. Anggota LWG di Desa Belandingan terdiri dari 5 orang yaitu I Ketut Ranas, I Nyoman Patra, I Ketut Tabin, I Wayan Kamas dan I Made Kuas. Satu tahun belakangan tidak ada aktivitas ataupun arahan kerja dari DMO untuk LWG, yang menyebabkan anggota LWG tersebut kebingungan dan tidak tahu apa yang harus mereka lakukan kedepannya, sehingga sampai penelitian ini dilakukan Desa Wisata Belandingan belum memiliki badan khusus yang mengelola desa wisata. 4.2 Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Sebelum keseluruhan data dikumpulkan, terlebih dahulu dilakukan 2 (dua) uji terhadap kuesioner yang digunakan sebagai alat pengumpul data yaitu uji validitas dan uji reliabilitas. Setiap pertanyaan pada kuesioner dianggap valid apabila r
hitung
menunjukkan hasil yang lebih besar
dibandingkan dengan r tabel yaitu 0,361. Uji reliabilits terhadap variabel dalam penelitian ini menggunakan metode Cronbach’s Alpha (α). Bila hasil dari uji reliabilitas melebihi Cronbach’s Alpha (α) yaitu 0,60, maka indikator yang digunakan pada kuesioner dinyatakan handal atau dapat dipercaya sebagai alat ukur variabel. Hasil uji validitas dan reliabilitas dapat dilihat pada tebel berikut:
76
Tabel 4.3 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Sub Variabel Tahap Perencanaan Item Pernyataan
1 Mengikuti pertemuan atau sosialisasi pariwisata 2 Mengikuti rapat dan berkonsultasi dengan pihak pengelola atau pemerintah mengenai pengembangan Desa Wisata Belandingan 3 Memberikan informasi dan ikut mengindentifikasi potensi wisata yang ada di Desa Wisata Belandingan 4 Menyampaikan pendapat atau mengusulkan rencana atau ide terkait pengembangan desa wisata di Desa Belandingan 5 Terlibat dalam penyusunan anggaran pembangunan di Desa Wisata Belandingan Alpha Cronbach
Rataan (Bila Dikeluar kan)
Ragam (Bila Dikeluar kan)
Item Dikoreksi Total Kolerasi
Nilai Alpha Cronbach bila Dikeluarkan
5.9000
9.748
.875
.825
6.6667
11.747
.818
.840
6.2667
9.720
.925
.809
6.6667
10.989
.881
.823
7.1667
18.420
.000
.945
0.886
Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer, 2015
Tabel 4.4 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Sub Variabel Tahap Pelaksanaan Pembangunan Item Pernyataan
1 Terlibat dalam kegiatan perbaikan infrastruktur di Desa Wisata Belandingan 2 Turut memberikan sumbangan berupa uang (iuran) atau makanan dan minuman dalam berbagai kegiatan pembangunan di Desa Wisata Belandingan 3 Terlibat dalam setiap pengambilan keputusan mengenai pengembangan Desa Wisata Belandingan 4 Mengikuti pelatihan pariwisata atau kursus bahasa asing guna meningkatkan keterampilan dalam bidang pariwisata. Alpha Cronbach
Rataan (Bila Dikeluar kan)
Ragam (Bila Dikeluar kan)
Item Dikoreksi Total Kolerasi
Nilai Alpha Cronbach bila Dikeluarkan
3.6667
1.195
.098
.205
6.9000
2.576
.000
.229
6.8667
2.464
.136
.192
6.2667
1.099
.228
-.116a
0.203
Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer, 2015
77
Tabel 4.5 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Sub Variabel Tahap Pengelolaan Item Pernyataan
1 Turut berpartisipasi dalam mengelola pariwisata di Desa Belandingan, yang meliputi tenaga pemungut retribusi, juru parkir, juru keamanan, guide, LWG 2 Ikut berpartisipasi dalam pembangunan fasilitas penunjang pariwisata di Desa Wisata Belandingan 3 Ikut berpartisipasi dalam mewujudkan sapta pesona pariwisata (keamanan, ketertiban, kebersihan, kesejukan, keindahan, keramah-tamahan) di Desa Belandingan 4 Turut membantu mempromosikan Desa Wisata Belandingan 5 Mendukung kegiatan pariwisata yang telah ditentukan dengan baik Alpha Cronbach
Rataan (Bila Dikeluar kan)
Ragam (Bila Dikeluar kan)
Item Dikoreksi Total Kolerasi
Nilai Alpha Cronbach bila Dikeluarkan
11.6333
2.654
.661
.313
12.3000
8.217
.000
.631
8.9333
6.754
.399
.540
11.6667
4.023
.556
.389
8.6667
7.333
.242
.590
0.591
Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer, 2015
Tabel 4.6 Hasil Uji Validitas Sub Variabel Tahap Monitoring dan Evaluasi Item Pernyataan
1 Ikut mengawasi kegiatan pariwisata di Desa Belandingan 2 Ikut mengawasi tindakan-tindakan negatif yang dapat merusak citra Desa Wisata Belandingan 3 Ikut mengevaluasi penyelenggaraan pariwisata di Desa Belandingan 4 Terlibat dalam kegiatan penelitian dan pengembangan serta menyusun laporan evaluasi Alpha Cronbach
Rataan (Bila Dikeluar kan)
Ragam (Bila Dikeluar kan)
Item Dikoreksi Total Kolerasi
Nilai Alpha Cronbach bila Dikeluarkan
6.3000
.355
.790
-.6.561E-14a
6.1333
.326
.790
-.6.661E-16a
9.4333
1.220
.000
.662
9.4333
1.220
.000
.662
0.588
Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer, 2015
78
Catatan : Terdapat beberapa indikator pada setiap variabel tahapan partisipasi yang nilai Item Dikoreksi - Total Kolerasi (r
hitung)nya
kurang dari 0,361,
namun indikator tersebut tidak dikeluarkan. Hal ini bertujuan agar pada tahap analisis data, indikator tersebut dapat dibandingkan dengan intensitas partisipasi masyarakat serta bentuk-bentuk partisipasi masyarakat, sehingga dapat diketahui posisi tahapan pengembangan Desa Wisata Belandingan. 4.3 Paparan dan Analisis Data Penelitian mengenai partisipasi masyarakat lokal dalam pengembangan Desa Belandingan sebagai desa wisata di Kabupaten Bangli menggunakan teknik analisis deskriptif - kualitatif. Setelah dilakukan reduksi data, maka data tersebut dianalisa dan dipaparkan secara naratif. Namun, dalam menentukan bentuk – bentuk partisipasi masyarakat Desa Belandingan pada setiap tahapan pengembangan desa wisata, juga digunakan teknik analisis kuantitatif yang kemudian kembali dijabarkan secara deskriptif. 4.3.1 Karakteristik Responden Penentuan responden pada penelitian partisipasi masyarakat lokal dalam pengembangan Desa Belandingan sebagai desa wisata di Kabupaten Bangli menggunakan teknik sampling berupa Stratified Random Sampling. Berdasarkan teknik tersebut, peneliti membagi responden menjadi 4 strata berdasarkan ketokohannya. Strata tersebut antara lain masyarakat yang bekerja di pemerintahan desa (33 orang), tokoh adat (6 orang), organisasi pemuda (6 orang), dan pengelola desa wisata (LWG) (5 orang).
79
a. Jenis Kelamin Berdasarkan hasil penelitian, sebagian responden dari ke 4 strata yang telah ditentukan berjenis kelamin laki – laki, seperti yang dijabarkan pada tabel 4.7 berikut: Tabel 4.7 Jumlah Responden Berdasarkan Jenis Kelamin n = 50 Jumlah Jenis Kelamin Orang (%) Laki-laki 37 74 Perempuan 13 26 Jumlah 50 100 Sumber: Hasil Penelitian, 2015
Tabel 4.7 menunjukkan bahwa dalam penelitian ini sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 37 orang dengan persentase 74%, sedangkan perempuan hanya sebanyak 13 orang dengan persentase 26%. Hal ini dikarenakan masyarakat yang bekerja di pemerintahan desa, tokoh adat, organisasi pemuda hingga pengelola desa wisata memang didominasi oleh kaum laki – laki. b. Usia Bila dilihat berdasarkan usia, maka responden dalam penelitian ini dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok usia seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.8 berikut:
80
Tabel 4.8 Jumlah Responden Berdasarkan Kelompok Usia n = 50 Jumlah Kelompok Usia Orang % 15-24 tahun 5 10 25-34 tahun 14 28 35-44 tahun 19 38 45-54 tahun 8 16 55-64 tahun 4 8 Jumlah 50 100 Sumber: Hasil Penelitian, 2015
Tabel 4.8 menunjukkan bahwa sebagian besar responden yang dipercaya masyarakat dalam menduduki posisi strategis dalam pengembangan desa berusia antara 25 – 54 tahun, dengan persentase sebesar 82%. Hal ini dikarenakan usia tersebut tergolong usia produktif dan pada usia tersebut mereka sudah dianggap mampu untuk menjalankan tugas pemerintahan serta telah memiliki banyak pengalaman seingga dapat merangkul masyarakat dari berbagai kelompok usia lainnya. Selain itu, generasi muda dengan usia di bawah 24 tahun juga turut dilibatkan. Selain berpartisipasi dalam organisasi pemuda, salah satu dari mereka juga berpartisipasi dalam keanggotaan LWG Desa Belandingan. Dari keseluruhan responden, persentase generasi muda yang berusia antara 15 – 24 tahun mencapai 10%. c. Tingkat Pendidikan Berdasarkan data yang telah dikumpulkan, diketahui bahwa tingkat pendidikan masyarakat Desa Beladingan masih rendah. Hal
81
ini dibuktikan dengan sebagian besar responden berpendidikan setara sekolah dasar (SD), bahkan beberapa diantara responden tersebut masih ada yang belum pernah mengenyam pendidikan formal. Tingkat pendidikan responden dapat dilihat pada Tabel 4.9 berikut: Tabel 4.9 Jumlah Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan n = 50 Tingkat Pendidikan Tidak Sekolah SD SMP SMA Jumlah
Jumlah Orang
%
5 17 15 13 50
10 34 30 26 100
Sumber: Hasil Penelitian, 2015
Berdasarkan Tabel 4.9 diketahui bahwa sebagian besar responden memiliki pendidikan setingkat Sekolah Dasar (SD) dengan persentase mencapai 34%. Responden yang tingkat pedidikannya setara SD tersebut, sebagian besar adalah responden dengan usia 40 tahun ke atas. Hal ini dikarenakan masyarakat Desa Belandingan yang memiliki usia di atas 40 tahun, pada usia sekolahnya belum terdapat sarana pendidikan di Desa Belandingan. Selain itu, kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan juga masih sangat kurang. Sebanyak 30% responden memiliki pendidikan SMP dan 26% merupakan lulusan SMA / SMK atau setara SMA (kejar paket C). Sangat disayangkan bahwa hingga saat ini masih terdapat warga Desa Belandingan yang tidak mendapatkan
82
pendidikan formal. Dari 50 responden, sebanyak 5 orang (10%) mengaku tidak menamatkan pendidikan mereka. d. Pekerjaan Dalam penelitian ini, diketahui bahwa mayoritas masyarakat di Desa Belandingan bermatapencaharian sebagai petani. Jenis-jenis mata pencaharian masyarakat Desa Belandingan dapat dilihat pada Tabel 4.10 berikut: Tabel 4.10 Jumlah Responden Berdasarkan Pekerjaan n = 50
Jenis Pekerjaan
Jumlah Orang
%
Petani PNS Pegawai Swasta Lainnya
43 1 5 1
86 2 10 2
Jumlah
50
100
Sumber: Hasil Penelitian, 2015
Tabel 4.10 menunjukkan bahwa mata pencaharian utama masyarakat Desa Belandingan adalah sebagai petani. Walaupun pertanian merupakan mata pencaharian utama masyarakat, ternyata masih terdapat beberapa profesi lain yang digeluti masyarakat Desa Belandingan meskipun dengan persentase yang sangat kecil. Sebanyak 86 % dari keseluruhan responden menyatakan pekerjaan utamanya adalah sebagai petani. Hal ini juga sesuai dengan tata guna lahan di desa itu sendiri yang sebagian besar adalah lahan pertanian.
83
Komoditas utama dari pertanian di Desa Belandingan adalah sayuran seperti tomat, cabai, bawang, kol dan beberapa jenis sayuran lainnya. e. Pendapatan Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, hampir seluruh masyarakat Desa Belandingan menggantungkan hidup mereka dari hasil pertanian. Rata-rata pendapatan masyarakat Desa Belandingan setiap bulannya dapat dilihat pada Tabel 4.11. Tabel 4.11 Jumlah Responden Berdasarkan Pendapatan Per Bulan n = 50 Jumlah Pendapatan Per Bulan Orang % ≤ Rp.1.000.000 6 12 Rp.1.100.000 – Rp.2.000.000 42 84 Rp.2.100.000 – Rp.3.000.000 2 4 Jumlah 50 100 Sumber: Hasil Penelitian, 2015
Berdasarkan
Tabel
4.11
diketahui
bahwa
pendapatan
maksimal per bulan masyarakat di Desa Belandingan sekitar Rp.3.000.000. Sebagian besar masyarakat Desa Belandingan menyatakan bahwa pendapatan rata – rata mereka per bulan berkisar antara Rp.1.100.000 – Rp.2.000.000. Pertanian memang tidak dapat memberi jaminan besarnya nominal yang dapat diraih setiap bulannya, karena pertanian sangat rentan terhadap kondisi cuaca dan lingkungan termasuk serangan hama. Hal ini menyebabkan pendapatan penduduk Desa Belandingan yang bermatapencaharian sebagai petani tidak tetap setiap bulannya.
84
Kabupaten Bangli merupakan kabupaten dengan upah minimum terendah di Bali. Pada tahun 2015, UMK Kabupten Bangli sebesar Rp.1.622.000. Dengan pendapatan dari hasil pertanian yang tidak tetap setiap bulannya, besar kemungkinan masih banyak penduduk Desa Belandingan yang berpenghasilan di bawah upah minimum Kabupaten Bangli itu sendiri. 4.3.2 Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Pengembangan Desa Belandingan Sebagai Desa Wisata Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa partisipasi masyarakat lokal dalam pengembangan Desa Belandingan sebagai desa wisata masih sangat rendah. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya masyarakat di Desa Belandingan yang belum mengetahui bahwa desanya telah ditetapkan sebagai desa wisata oleh Pemerintah Kabupaten Bangli yang terlihat pada Gambar 4.8 berikut:
Gambar 4.8: Pengetahuan Masyarakat Terhadap Penetapan Desa Wisata Belandingan Sumber: Hasil Penelitian yang Diolah, 2015
Berdasarkan Gambar 4.8 dapat dipaparkan bahwa dari 50 orang responden, yang mengetahui Desa Belandingan telah ditetapkan
85
sebagai Desa Wisata hanya 24%, sedangkan sisanya 76% belum mengetahui penetapan tersebut. Hal ini juga dapat menggambarkan bahwa sebagian besar masyarakat di Desa Belandingan belum mengetahui bahwa desanya telah ditetapkan sebagai desa wisata. Berdasarkan
hasil
wawancara
dengan
beberapa
tokoh
masyarakat Desa Belandingan, diketahui bahwa masyarakat desa tersebut mengetahui adanya pengembangan pariwisata di Kintamani, termasuk di Desa Belandingan itu sendiri. Hal ini didasari atas dipilihnya beberapa orang masyarakat Desa Belandingan sebagai Local Working Group (LWG) yang menjadi penghubung antara masyarakat dengan DMO Batur Kintamani. Mereka juga mengakui bahwa pernah mendapat penyuluhan terkait ditetapkannya kawasan Gunung Batur sebagi anggota Global Geopark Network (GGN) yang dapat meningkatkan nilai jual bagi pariwisata di Kintamani. Namun sayangnya, penyuluhan tersebut masih kurang intensif, sehingga masyarakat di Desa Belandingan belum memahami apa sesungguhnya Geopark. Hingga saat ini, masih banyak warga Desa Belandingan yang mengetahui atau mengganggap Geopark adalah pariwisata. Pengetahuan masyarakat tentang Geopark yang keliru tersebut dapat mempengaruhi partisipasi mereka dalam pengembangan desa wisata di Desa Belandingan. Hal ini bisa saja terjadi jika masyarakat Desa Belandingan hanya terfokus pada kata “Geopark” dan menganggap kata tersebut dapat meningkatkan kepariwisataan di
86
daerahnya. Padahal nyatanya Geopark bukanlah pariwisata, melainkan adanya Geopark dapat mendorong pertumbuhan pariwisata atau menjadi nilai tambah (added value) bagi pariwisata yang ada, dengan cara merevitalisasi kepariwisataan yang ada serta mengemas berbagai kekayaan yang dimiliki daerah – daerah di Kintamani termasuk di Desa Belandingan. Untuk memaksimalkan hal tersebut, salah satu cara yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bangli adalah dengan menetapkan Desa Belandingan sebagai desa wisata. Namun sayangnya, ketidaktahuan masyarakat tentang penetapan desa wisata tersebut menjadi penghambat masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengembangan desanya sebagai desa wisata. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.9 berikut.
Gambar 4.9: Partisipasi Masyarakat Dalam Pengembangan Desa Wisata Belandingan Sumber: Hasil Penelitian yang Diolah, 2015
Berdasarkan Gambar 4.9 dapat dipaparkan bahwa, dari 50 orang responden hanya 12% yang telah berpartisipasi dalam pengembangan desa wisata. Sebagian besar dari mereka berpartisipasi sebagai LWG.
87
Selebihnya
yaitu
sekitar
88%
responden
menyatakan
belum
berpartisipasi dalam pengembangan Desa Wisata Belandingan. Sebagian besar responden yang belum berpartisipasi menyatakan bahwa ketidaktahuan tentang penetapan desa wisata menjadi alasan utama mereka belum ikut berpartisipasi. Beberapa responden lainnya menyatakan bahwa mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan untuk dapat membantu mengembangkan Desa Wisata Belandingan. Jika dilihat dari karakteristik responden, sebagian besar masyarakat di Desa Belandingan hanya lulusan Sekolah Dasar (SD) dan dari 50 responden yang merupakan tokoh – tokoh masyarakat di Desa Belandingan, belum ada yang menamatkan pendidikannya hingga jenjang perguran tinggi. Terlebih lagi mayoritas masyarakat bermatapencaharian sebagai petani. Hal ini juga dapat mempengaruhi partisipasi
masyarakat
dalam
pengembangan
Desa
Wisata
Belandingan. Pengetahuan dan kemampuan yang kurang khususnya dalam bidang pariwisata membuat masyarakat Desa Belandingan mengalami hambatan dalam berpartisipasi untuk mengembangan Desa Wisata Belandingan. 4.3.3 Intensitas Partisipasi Masyarakat Lokal pada Setiap Tahapan Pengembangan Desa Wisata Belandingan Walaupun sebagian besar masyarakat
Desa
Belandingan
menyatakan bahwa mereka belum berpartisipasi dalam pengembangan desa wisata, namun secara tidak langsung atau tanpa mereka sadari,
88
mereka telah melakukan beberapa hal untuk Desa Wisata Belandingan. Partisipasi yang dilakukan masyarakat Desa Belandingan sesuai dengan konsep yang dijabarkan oleh Huraerah (2011:116) mengenai bentukbentuk partisipasi, serta Priasukmana dan Mulyadin (2001:39-40) mengenai partisipasi mayarakat pada setiap tahapan pengembangan desa wisata dapat dilihat pada Gambar 4.10 berikut:
Gambar 4.10: Intensitas Partisipasi Masyarakat Pada Setiap Tahap Pengembangan Desa Wisata Belandingan Sumber: Hasil Penelitian yang Diolah, 2015
Partispasi masyarakat lokal di Desa Belandingan dapat dilihat dari intensitas masyarakat melakukan kegiatan sesuai indikator yang dijabarkan oleh Huraerah (2011:116) serta Priasukmana dan Mulyadin (2001:39-40). Berdasarkan Gambar 4.10 dapat diketahui bahwa partisipasi masyarakat paling tinggi terjadi pada tahap pengelolaan dan evaluasi dengan nilai rata-rata sebesar 2,62 dan 2,63 dengan kategori jarang. Hal ini dilihat dari rentang nilai antara 1 (tidak pernah) sampai 5 (sangat sering), dan yang diperoleh dari masyarakat Desa Belandingan
89
berkisar pada rentang nilai 1,00 – 1,79 (tidak pernah), 1,80 – 2,59 (sangat jarang) dan 2,60 – 3,39 (jarang). Walaupun berdasarkan perhitungan nilai rata-rata menunjukkan bahwa intensitas masyarakat dalam berpartisipasi paling tinggi terjadi pada tahap pengelolaan dan evaluasi, namun nyatanya sebagian besar partisipasi masyarakat yang dilakukan pada tahap tersebut hanya berupa aktivitas sehari – hari atau partispasi yang dilakukan tanpa mereka sadari. Bentuk – bentuk partispasi masyarakat Desa Belandingan pada setiap tahap pengembangan desa wisata dapat dijabarkan sebagai berikut. 4.3.4 Bentuk-Bentuk Partisipasi Masyarakat Lokal Pada Tahap Perencanaan di Desa Wisata Belandingan Tahap
perencanaan
merupakan
tahapan
awal
dalam
pengembangan sebuah desa wisata. Walaupun sebuah desa telah ditetapkan sebagai desa wisata, bukan berarti desa tersebut telah melewati tahapan awal ini. Terdapat beberapa indikator yang dapat menentukan suatu desa telah melewati tahap perencanaan atau masih berada pada tahap tersebut. Partisipasi masyarakat pada tahap perencaan desa wisata di Desa Belandingan dapat dilihat pada Tabel 4.12 berikut:
90
Tabel 4.12 Bentuk-Bentuk Partisipasi Masyarakat Lokal Pada Tahap Perencanaan di Desa Wisata Belandingan Tahap Pengembangan Desa Wisata
Bentuk Partisipasi
a. Mengikuti pertemuan atau sosialisasi pariwisata b. Mengikuti rapat dan berkonsultasi dengan pihak pengelola atau pemerintah mengenai pengembangan Desa Wisata Belandingan
Tahap Perencanaan
c. Memberikan informasi dan ikut mengindentifikasi potensi wisata yang ada di Desa Wisata Belandingan d. Menyampaikan pendapat atau mengusulkan rencana atau ide terkait pengembangan desa wisata di Desa Belandingan e. Terlibat dalam penyusunan anggaran pembangunan di Desa Wisata Belandingan Nilai Rataan
Rata Rata
Keterangan
2.40
Sangat Jarang
1.64
Tidak Pernah
1.84
Sangat Jarang
1.64
Tidak Pernah
1.40
Tidak Pernah
1.78
Tidak Pernah
Sumber: Hasil Penelitian yang Telah Diolah, 2015
Berdasarkan Tabel 4.12 diketahui bahwa bentuk partisipasi yang paling banyak dilakukan oleh masyarakat Desa Belandingan adalah dengan mengikuti pertemuan atau sosialisasi pariwisata. Nilai rata-rata seringnya masyarakat mengikuti pertemuan atau sosialisasi pariwisata tersebut adalah 2,40 dengan kategori “sangat jarang”. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu LWG di Desa Belandingan, pertemuan atau sosialisasi mengenai pariwisata memang jarang dilakukan di Desa Belandingan. Pemerintah desa hanya melakukan sosialisasi terkait pengembangan kepariwisatan dari DMO yang dilakukan pada tahun 2012. Sedangkan sosialisasi mengenai desa
91
wisata belum pernah dilaksanakan baik dari pemerintah kabupaten ataupun desa itu sendiri. Hal ini menjadi faktor utama penyebab ketidaktahuan masyarakat tentang penetapan Desa Wisata Belandingan itu sendiri. Partisipasi dalam bentuk mengikuti rapat dan berkonsultasi dengan pihak pengelola atau pemerintah mengenai pengembangan desa wisata hanya pernah dilakukan oleh anggota LWG. Kegiatan itupun hanya dilakukan pada rapat-rapat yang diselenggarakan oleh DMO Batur Kintamani. Nilai dari partisipasi ini hanya 1,64 yang termasuk ke dalam kategori “tidak pernah”. Bentuk partisipasi berupa memberikan informasi dan ikut mengindentifikasi potensi wisata yang ada di Desa Wisata Belandingan hanya mendapat nilai 1,84 yang termasuk dalam kategori “sangat jarang”. Hal ini dikarenakan masyarakat yang ikut berpartisipasi dalam hal tersebut hanyalah anggota LWG yang dibantu oleh beberapa tokoh Desa Belandingan. Partispasi berupa menyampaikan pendapat atau mengusulkan rencana atau ide terkait pengembangan desa wisata di Desa Belandingan juga hanya dilakukan oleh anggota LWG pada rapat-rapat
yang
diselenggarakan oleh DMO. Sehingga bentuk partisipasi ini hanya mendapat nilai 1,64 atau dengan kategori “tidak pernah”. Sedangkan partisipasi dalam bentuk keterlibatan dalam penyusunan anggaran pembangunan di Desa Wisata Belandingan memang belum pernah
92
dilaksakan. Sehingga nilai dari partisipasi ini hanya 1,40 dengan kategori “tidak pernah”. Dari paparan tersebut dapat dikatakan bahwa partisipasi masyarakat Desa Belandingan pada tahap perencanaan masih sangat kurang. Partisipasi yang dilakukan hanya berupa mengikuti pertemuan atau sosialisasi pariwisata serta memberikan informasi dan ikut mengindentifikasi
potensi
wisata
yang ada
di
Desa Wisata
Belandingan. 4.3.5 Bentuk-Bentuk Partisipasi Masyarakat Lokal Pada Tahap Pelaksanaan Pembangunan di Desa Wisata Belandingan Partispasi
masyarakat
Desa
Belandingan
pada
tahap
pelaksanaan pembangunan dapat dilihat pada Tabel 4.13 berikut. Tabel 4.13 Bentu-Bentuk Partisipasi Masyarakat Lokal Pada Tahap Pelaksanaan Pembangunan di Desa Wisata Belandingan Tahap Pengembangan Desa Wisata
Bentuk Partisipasi
a. Terlibat dalam kegiatan perbaikan infrastruktur di Desa Wisata Belandingan b. Turut memberikan sumbangan berupa uang (iuran) atau makanan dan minuman dalam berbagai kegiatan pembangunan di Desa Wisata Belandingan Tahap Pelaksanaan c. Terlibat dalam setiap pengambilan keputusan mengenai pengembangan Desa Pembangunan Wisata Belandingan d. Mengikuti pelatihan pariwisata atau kursus bahasa asing guna meningkatkan keterampilan dalam bidang pariwisata.
Nilai Rataan Sumber: Hasil Penelitian yang Telah Diolah, 2015
RataRata
Keterangan
3.72
Sering
1.40
Tidak Pernah
1.41
Sangat Jarang
1.75
Tidak Pernah
2.07
Sangat Jarang
93
Berasarkan Tabel 4.13 dapat dipaparkan bahwa bentuk partisipasi yang paling sering diakukan masyarakat Desa Belandingan pada tahap pelaksanaan pembangunan adalah terlibat dalam kegiatan perbaikan infrastruktur di Desa Wisata Belandingan dengan nilai 3,72 atau termasuk dalam kategori “sering”. Masyarakat Desa Belandingan memang sering malakukan kegiatan perbaikan insfrastruktur desa dimana saat ini mereka sedang memperbaiki 2 buah pura yaitu Pura Tirta Manik Muncar dan Pura sang Hyang Song yang mereka harapkan dapat dikembangkan sebagai daya tarik wisata spiritual. Namun kegitan tersebut mereka lakukan dalam bentuk Ngayah atau kegiatan tulus ikhlas tanpa pamrih untuk kepentingan bersama. Namun hingga saat ini belum terdapat kegiatan pembangunan infrastruktur yang mendukung pengembangan desa wisata. Partisipasi berupa ikut memberikan sumbangan baik berupa uang
(iuran)
atau
makanan
dan
minuman
dalam
kegiatan
pembangunan terkait desa wisata juga belum pernah dilakukan oleh masyarakat. Sehingga nilai dalam bentuk partisipasi ini adalah 1,40 atau dengan kategori “tidak pernah”. Hal ini juga terjadi pada partisipasi
berupa
keterlibatan
dalam
pengambilan
keputusan
mengenai pengembangan desa wisata yang hanya mendapat nilai 1,41 dengan kategori “tidak pernah”. Dalam pembangunan sebuah desa wisata, pembangunan yang dilakukan tidak hanya berupa pembangunan infrastruktur fisik,
94
malainkan juga membangun sumber daya manusia yang kompeten. Namun sayangnya, masyarakat yang pernah mengikuti pelatihan pariwisata atau kursus bahasa asing guna meningkatkan keterampilan dalam bidang pariwisata sangatlah sedikit. Nilai pada indikator ini hanya 1,75 dengan kategori “tidak pernah”. Berdasarkan paparan tersebut, dapat dikatakan bahwa pelaksanaan pembangunan Desa Wisata Belandingan belum dapat berjalan dengan baik. 4.3.6 Bentuk-Bentuk Partisipasi Masyarakat Lokal Pada Tahap Pengelolaan di Desa Wisata Belandingan Bentuk-bentuk partisipasi masyarakat Desa Belandingan pada tahap pengelolaan desa wisata dapat dilihat pada Tabel 4.14 berikut : Tabel 4.14 Bentuk-Bentuk Partisipasi Masyarakat Lokal Pada Tahap Pengelolaan di Desa Wisata Belandingan Tahap Pengembangan Desa Wisata
Bentuk Partisipasi
RataRata
Keterangan
1.72
Tidak Pernah
1.40
Tidak Pernah
4.07
Sering
1.70
Tidak Pernah
4.25
Sangat Setuju
2.62
Jarang
a. Turut berpartisipasi dalam mengelola
b.
Tahap Pengelolaan
c.
d. e.
pariwisata di Desa Belandingan, yang meliputi tenaga pemungut retribusi, juru parkir, juru keamanan, guide, LWG Ikut berpartisipasi dalam pembangunan fasilitas penunjang pariwisata di Desa Wisata Belandingan Ikut berpartisipasi dalam mewujudkan sapta pesona pariwisata (keamanan, ketertiban, kebersihan, kesejukan, keindahan, keramahtamahan) di Desa Belandingan Turut membantu mempromosikan Desa Wisata Belandingan Mendukung kegiatan pariwisata yang telah ditentukan dengan baik
Nilai Rataan
Sumber: Hasil Penelitian yang Telah Diolah, 2015
95
Idealnya pada tahap pengelolaan sebuah desa wisata telah dilaksanakan pembangunan berbagai infrastruktur yang mendukung kegiatan kepariwisataan pada desa wisata tersebut. Namun, sesuai dengan paparan di atas, belum terdapat pembangunan infrastruktur kepariwisataan di Desa Wisata Belandingan. Hal ini juga berpengaruh pada tahapan pengelolaannya. Tahapan pengelolaan di Desa Wisata Belandingan belum dapat dilaksakan dengan baik karena belum adanya sumberdaya yang dapat dikelola. Berdasarkan Tabel 4.14 dapat diketahui bahwa partisipasi yang paling sering dilakukan oleh masyarakat Desa Belandingan adalah partisipasi dalam mewujudkan sapta pesona pariwisata (keamanan, ketertiban, kebersihan, kesejukan, keindahan, keramah-tamahan) di Desa Belandingan, dengan nilai 4,07 atau termasuk dalam kategori “sering”. Partisipasi berupa mewujudkan sapta pesona pariwisata memang sering dilakukan oleh masyarakat Desa Belandingan terutama dalam hal menjaga kebersihan dan keamanan desa serta sikap masyarakat yang ramah pada setiap orang termasuk wisatawan yang berkujung. Namun partisipasi yang mereka lakukan tersebut merupakan partisipasi yang tidak mereka sadari. Dengan kata lain, hal tersebut merupakan kegiatan rutin masyarakat di Desa Belandingan dan bukan dikarenakan adanya pengembangan desa wisata. Partisipasi yang memang dilakukan untuk pengembangan kepariwisataan di Desa Belandingan adalah dengan berpartisipasi
96
dalam mengelola pariwisata di Desa Belandingan, yaitu dengan ikut serta menjadi anggota LWG. Namun hal ini hanya dilakukan oleh 5 orang dengan nilai 1,72 dengan kategori “tidak pernah”. Selain itu, promosi terkait potensi kepariwisataan Desa Belandingan juga hanya dilakukan oleh anggota LGW tersebut dalam forum DMO Batur Kintamani. Sehingga nilai dari partisipasi ini hanya 1,70 atau dengan kategori “tidak pernah”. Masyarakat Desa Belandingan sangat menginginkan pariwisata di desa mereka dapat berkembang dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan seluruh responden mendukung kegiatan pariwisata yang telah ditentukan dengan baik, dengan nilai 4,25 atau dengan kategori “sangat setuju”. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa partisipasi yang dilakukan masyarakat Desa Belandingan pada tahap pengelolaan hanya berupa menjaga kebersihan dan keamanan desa (sapta pesona) serta mendukung kegiatan pariwisata yang telah ditentukan dengan baik yaitu dengan mendukung setiap kebijakan pemerintah daerah ataupun desa untuk pengembangan desa wisata yang lebih baik. Masyarakat Desa Belandingan senantiasa melaksanakan kegiatan gotong royong untuk membersihkan setiap hari munggu. Sedangkan kegiatan dalam pengelolaan aktivitas wisata yang termasuk di dalamnya adalah pembangunan fasilitas wisata serta partisipasi dalam kegiatan pengelolaan lainnya belum dapat dilaksakan
97
karena
belum
adanya
pembangunan
infrastruktur
fisik
serta
manajemen (pengelola) desa wisata. 4.3.7 Bentuk-Bentuk Partisipasi Masyarakat Lokal Pada Tahap Monitoring dan Evaluasi di Desa Wisata Belandingan Tahapan terakhir dalam pengembangan desa wisata adalah melakukan monitoring dan evaluasi. Tabel 4.15 berikut merupakan partisipasi masyarakat pada tahap monitoring dan evaluasi. Tabel 4.15 Bentuk-Bentuk Partisipasi Masyarakat Lokal Pada Tahap Monioring dan Evaluasi di Desa Wisata Belandingan Tahap Pengembangan Desa Wisata
Bentuk Partisipasi a. Ikut mengawasi kegiatan pariwisata di Desa
Belandingan b. Ikut mengawasi tindakan-tindakan negatif yang dapat merusak citra Desa Wisata Belandingan Tahap Monitoring dan c. Ikut mengevaluasi penyelenggaraan pariwisata di Desa Belandingan Evaluasi d. Terlibat dalam kegiatan penelitian dan pengembangan serta menyusun laporan evaluasi
Nilai Rataan Sumber: Hasil Penelitian yang Telah Diolah, 2015
RataRata
Keterangan
3.80
Sering
3.94
Sering
1.40
Tidak Pernah
1.40
Tidak Pernah
2.63
Jarang
Monitoring dan evaluasi penting dilakukan karena melalui kegiatan ini akan diketahui kekurangan serta apa yang perlu ditingkatkan dari kegiatan pengelolaan yang telah dilaksanakan. Namun, kegiatan monitoring dan evaluasi tersebut tidak hanya dapat dilakukan pada desa wisata yang telah berkembang. Desa wisata yang
98
belum berkembang dengan baik juga perlu melakukan kegiatan monitoring dan evaluasi pada setiap tahapan yang dilalui. Berdasarkan Tabel 4.15 diketahui bahwa, partisipasi yang sering dilakukan oleh masyarakat Desa Belandingan adalah dengan ikut mengawasi kegiatan pariwisata di Desa Belandingan dan ikut mengawasi tindakan-tindakan negatif yang dapat merusak citra Desa Wisata Belandingan. Masing-masing dari partisipasi tersebut mendapat nilai rata-rata sebesar 3,80 dan 3,94 yang termasuk dalam kategori “sering”. Hingga saat ini memang terdapat beberapa wisatawan yang berkunjung ke Desa Belandingan untuk melakuka kegiatan trekking ataupun cycling. Masyarakat Desa Belandinganpun senantiasa turut mengawasi kegiatan tersebut agar dapat berjalan dengan baik dan tidak mengganggu aktivitas wisatawan maupun aktivitas masyarakat Desa Belandingan itu sendiri. Salain itu, masyarakat Desa Belandingan senatiasa mengawasi berbagai tindakan negatif yang dapat merusak citra serta keamanan Desa Belandingan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kegiatan monitoring memang sudah biasa dilakukan oleh masyarakat Desa Belandingan bahkan jauh sebelum penetapan desa wisata. Meskipun kegiatan monitoring telah dilaksanakan dengan baik, namun kegiatan evaluasi belum pernah dilakuka khususnya mengenai desa wisata. Hal ini dibuktikan dengan nilai rata-rata kegiatan evaluasi masih sangat redah. Seluruh responden menyatakan bahwa mere belum
99
pernah ikut mengevaluasi penyelenggaraan pariwisata di Desa Belandingan
ataupun
terlibat
dalam
kegiatan
penelitian
dan
pengembangan serta menyusun laporan evaluasi Desa Wisata Belandingan. Sehingga nilai dari dua indikator tersebut adalah 1,40 atau dengan kategori “tidak pernah”. LWG dan pemerintah desa seyogyanya berkerja sama dalam mengevaluasi pengembangan Desa Wisata Belandingan serta melukakan upaya untuk meningkatkan partisiapasi masyarakat agar kedepannya Desa Wisata Belandingan dapat berkembang dengan lebih baik lagi. Berdasarkan paparan tersebut serta hasil dari uji validitas dan reliabilitas, diketahui bahwa hingga saat ini partisipasi masyarakat Desa Belandingan masih dalam tahap perencanaan desa wisata. Belum terdapat partisipasi aktif masyarakat pada tahapan pengambangan berikutnya, baik tahap pelaksanaan pembangunan, pengelolaan ataupun tahap evaluasi. Sehingga dapat dikatakan bahwa pengembangan Desa Wisata Belandingan masih berada pada tahap perencanaan. 4.3.8
Hambatan
yang
Dihadapi
oleh
Masyarakat
Lokal
Saat
Berpartisipasi Dalam Pengembangan Desa Wisata Belandingan Berdasarkan hasil penelitian, masyarakat Desa Belandingan menyatakan bahwa mereka mengalami hambatan ketika berpartisipasi dalam pengembangan Desa Wisata Belandingan. Pada dasarnya masyarakat Desa Belandingan sangat ingin untuk ikut berpartisipasi dalam pengembangan pariwisata di desanya. Namun, hambatan-
100
hambatan yang mereka hadapi membuat partisipasi yang mereka lakukan belum maksimal atau bahkan belum bisa berpartisipasi. Secara umum,
hambatan-hambatan
yang
dihadapi
masyarakat
Desa
Belandingan dalam berpartisipasi dapat dijabarkan sebagai berikut: a. Ketidaktahuan masyarakat mengenai penetapan Desa Wisata Belandingan Seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, bahwa masih banyak masyarakat Desa Belandingan yang belum mengetahui ditetapkannya desa mereka menjadi desa wisata. Masyarakat Desa Belandingan hanya mengetahui adanya pengembangan pariwisata yang dilakukan oleh DMO dan ditetapkannya Gunung Batur sebagai anggota jaringan Geopark dunia oleh UNESCO. Ketidaktahuan tersebut
menjadi
salah
satu
faktor penghambat partisipasi
masyarakat dalam pengembangan desa wisata di Desa Belandingan. b. Kurangnya
pengetahuan
kepariwisataan
masyarakat
Desa
Belandingan Pengetahuan terhadap kepariwisataan menjadi salah satu modal dasar masyarakat dalam mengembangkan pariwisata di daerahnya.
Sayanganya,
pengetahuan
ataupun
keterampilan
masyarakat Desa Belandingan dalam bidang pariwisata masih sangat rendah. Akses terhadap informasi terkait kepariwisataan juga masih sulit didapatkan di Desa Belandingan. Masyarakat Desa Belandingan berharap adanya peningkatan intensitas penyuluhan
101
kepariwisataan bagi masyarakat di Desa Belandingan. Salah satu upaya yang telah dilakukan masyarakat Desa Belandingan untuk meningkatkan
pengetahuan
kepariwisataan
adalah
dengan
menyekolahkan putra – putri mereka hingga jenjang SMK dangan program keahlian pariwisata. Masyarakat Desa Belandingan juga berharap agar kedepannya generasi muda Desa Belandingan dapat membangun pariwisata di daerahnya agar bisa berkembang dengan lebih baik. c. Kurangnya kualitas sumber daya manusia (SDM) dalam bidang pariwisata Hingga saat penelitian ini dilakukan memang belum terbentuk sebuah lembaga khusus yang mengelola Desa Wisata Belandingan. Seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, bahwa pengelola yang ada saat ini hanyalah LWG yang terbentuk oleh dorongan
DMO
Batur
Kintamani.
LWG
tersebut
telah
melaksanakan beberapa fungsinya pada tahap perencanaan desa wisata. Namun, kurangnya pengetahuan kepariwisataan kembali menjadi hambatan dari usaha yang telah mereka lakukan. Hingga saat ini belum ada lagi instruksi dari DMO Batur Kintamani terkait pengembangan kepariwisataan, sehingga anggota LWG tersebut juga tidak tahu apa
yang harus mereka lakukan dalam
pengambangan desa wisata di Desa Belandingan. Oleh karena itulah Desa Belandingan seyogyanya memiliki sebuah pegelola yang dapat
102
mengelola Desa Wisata Belandingan secara kompeten dan profesional. Masyarakat Desa Belandingan juga memerlukan seorang figur atau tokoh yang dapat mereka jadikan sebagai panutan dalam pengembangan kepariwisataan di
desa tersebut. Kurangnya
pengalaman dalam bidang pariwisata membuat hiangga saat ini belum ada masyarakat di Desa Belandingan yang dapat dijadikan figure yang dapat memeberikan inspirasi bagi masyarakat dalam pengembangan desa wisata di Desa Belandingan Belandingan. d. Terbatasnya pendanaan Memang tidak dapat pungkiri, pendanaan memang menjadi salah satu faktor pendorong ataupun penghambat pengembangan sebuah desa wisata. Kurangnya pendanaan yang dimiliki oleh Desa Belandingan
juga
mempengaruhi
keterbatasan
partisipasi
masyarakat lokal dalam pengembangan Desa Wisata Belandingan. Keterbatasan dana menjadi salah satu faktor utama yang membuat Desa Belandingan hingga saat ini belum dapat membangun infrastruktur desa taupun fasilitas penunjang kepariwisataan. Masyarakat Desa Belandingan berharap adanya bantuan pendanaan dari
pemerintah
yang
nantinya
dapat
digunakan
dalam
pembangunan infrastruktur terutama akesessibilitas menuju Desa Belandingan yang saat ini kondisinya sangat memperihatinkan.
103
BAB V PENUTUP
5.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian serta pembahasan yang telah dilakukan, maka hasil penelitian partisipasi masyarakat lokal dalam pengembangan Desa Belandingan sebagai desa wisata di Kabupaten Bangli dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Masyarakat lokal Desa Belandingan telah berpartisipasi pada setiap tahap pengembangan desa wisata. Namun sebagian besar partisipasi yang mereka lakukan merupakan partisipasi yang tanpa mereka sadari. Bentukbentuk partisipasi aktif yang dilakukan oleh masyarakat Desa Belandingan yang memang bertujuan untuk mengembangkan desa wisata hanya berupa mengikuti pertemuan atau sosialisasi terkait pariwisata, serta ikut memberi informasi dan mengidentifikasi potensi yang ada di Desa Wisata Belandingan. Intensitas partisipasi yang dilakukan masyarakat terkait masih tergolong sangat jarang. Berdasarkan analisis data yang dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa Desa Wisata Belandingan hingga saat ini masih berada pada tahap perencanan yang merupakan tahapan awal dalam pengembangan desa wisata. Hal tersebut memang sesuai dengan temuan dilapangan yaitu belum adanya pembangunan infrastruktur ataupun fasilitas penunjang kepariwisataan baik berupa sarana akomodasi, rumah makan, loket tiket ataupun fasilitas lainnya.
104
2. Masyarakat Desa Belandingan menemui beberapa hambatan untuk berpartisipasi dalam pengembangan Desa Belandingan sebagai desa wisata. Berdasarkan hasil penelitian, hambatan utama yang ditemui masyarakat Desa Belandingan dalam berpartisipasi adalah ketidaktahuan masyarakat akan penetapan desanya sebagai desa wisata. Hambatan lain yang dihadapi masyarakat dalam berpartisipasi antara lain: kurangnya pengetahuan kepariwisataan yang dimiliki masyarakat Desa Belandingan, kurangnya sumber daya manusia dalam bidang pariwisata serta terbatasnya
pendanaan
yang
dimiliki
Desa
Belandingan
untuk
pengembangan kepariwisataan.
5.2 Saran Untuk dapat meningkatkan partisipasi masyarakat lokal dalam pengembangan Desa Belandingan sebagai desa wisata, maka terdapat beberapa hal yang dapat disarankan, yaitu: 1. Untuk Masyarakat Desa Belandingan Masyarakat hendaknya lebih aktif untuk melakukan berbagai kegiatan yang dapat meningkatkan kepariwisataan di Desa Belandingan. Beberapa hal yang dapat dilakukan oleh masyarakat antara lain: meningkatkan
edukasi,
mengikuti
pelatihan
atau
kursus
terkait
kepariwisataan dan bahasa asing serta berkonsultasi atau menggali informasi terkait kepariwisataan dari berbagai sumber.
105
2. Untuk LWG Desa Belandingan Kegiatan
yang
dilakukan
LWG
dalam
pengembangan
kepariwisataan di Desa Belandingan hendaknya tidak hanya berpatokan pada instruksi dari DMO. LWG seyogyanya dapat berpartisipasi secara aktif dalam mempromosikan Desa Belandingan tidak hanya pada forum DMO, tetapi juga berbagai forum pariwisata lainnya. LWG juga diharapkan dapat menjadi panutan serta dapat mengajak masyarakat untuk turut berpartisipasi aktif untuk pengembangan Desa Wisata Belandingan. 3. Untuk Perbekel Desa Belandingan Perbekel Desa Belandingan beserta seluruh staffnya hendaknya dapat bekerja sama dengan LWG dalam pengembangan Desa Wisata Belandingan. Perangkat desa dan LWG dapat bekerja sama untuk mengajukan proposal kepada pemerintah Kabupaten Bangli agar dapat diberikan bantuan terutama pendanaan desa wisata. Dengan demikian, pembangunan infrastruktur kepariwisataan dapat berjalan dan masyarakat dapat berpartisipasi dengan lebih baik. Selain itu, Perangkat desa dan lwg juga dapat mengajukan bantuan berupa sosialisasi terkait kepariwisataan pada berbagai perguruan tinggi pariwisata, salah satunya adalah STP Nusa Dua Bali. 4. Untuk Pemerintah Kabupaten Bangli Pemeritah Kabupaten Bangli selaku pemegang kebijakan, terutama dalam penetapan desa wisata hendaknya konsisten terhadap kebijakan pengembangan desa wisata yang telah dibuat. Desa wisata yang telah
106
ditetapkan melalui Peraturan Bupati (Perbup) No. 16 Tahun 2014, hendaknya diberikan bantuan pendampingan baik berupa pendanaan ataupun pemberdayaan untuk masyarakat lokal, sehingga kedepannya masyarakat lokal dapat berpartisipasi aktif dan desa wisata dapat berkembang dengan lebih baik. Pemerintah Kabupaten Bangli juga seharusnya melakukan evaluasi secara berkala pada setiap desa wisata, agar perkembangan desa wisata serta program pemerintah untuk desa tersebut dapat terus terpantau dengan baik.
107
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2012. Bali 1912, Seratus Tahun Kemudian & Revitalisasi Pariwisata Bangli. DMO Batur – Kintamani ______. 2012. Desa Gerbang Sadu Tahun 2012. Pemerintah Provinsi Bali (http://www.gerbangsadumandara.provbali.info diakses 17 Mei 2015) ______. 2014. Data Kunjungan Wisatawan Ke Bali. Dinas Pariwisata Provinsi Bali ______. 2014. Sekilas Bangli. Pemerintah Kabupaten (http://www.banglikab.go.id diakses 23 November 2014)
Bangli
______. 2014. Peraturan Bupati Bangli No 16 Tahun 2014 tentang Desa Wisata Di Kabupaten Bangli ______. 2015. Bangli Dalam Angka 2014. BPS Kabupaten Bangli Agustina, Ni Ketut Wiwiek. 2012. Desa Budaya Kertalangu Sebagai Usaha Daya Tarik Wisata di Kota Denpasar. Tesis. Denpasar: Universitas Udayana Butcher, Jim. 2007. Ecotourism, Ngos and Development. Oxon : Routledge Dalimunthe, Narrudin. 2007. Partisipasi Masyarakat Dalam Pengembangan Potensi Wisata Bahari Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai. Tesis. Medan: Universitas Sumatera Utara Dewi, Made Heny Urmila. 2014. Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Pengembangan Desa Wisata Di Kabupaten Tabanan, Bali. Disertasi. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Dewi, Ni Putu Ayu Trisna. 2014. Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Pengembangan Desa Wisata Pangsan Di Kabupaten Badung. Skripsi. Denpasar: Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali Destination Field Research (DFR). 2014. Persepsi Pemangku Kepentingan Kepariwisataan Kintamani Terhadap Pengembangan Kepariwisataan di Kintamani. Laporan Penelitian. Denpasar: Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali Huraerah, Abu. 2008. Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat; Model dan Strategi Pembangunan Berbasis Kerakyatan, Cetakan Kedua. Bandung: Humaniora
Marpaung, Happy. 2012. Pengetahuan Kepariwisataan, Edisi Revisi. Bandung: Alfabeta Martadiputra, Bambang Avip Priatna. 2013. (http://file.upi.edu diakses 11 Januari 2015)
Populasi
dan
Sampel.
Mowfort, Martin, dkk. 2008. Tourism and Responsibility Perspectives from Latin America and the Caribbean. Oxon: Routledge Mowfort, M dan Munt. 2009. Tourism and Sustainability, Development, Globalization and New Tourism in the World, Edisi Ketiga. Oxon: Routledge Noviantara, I Putu Eka. 2014. “Sistem Pemerintahan Ulu-Apad di Desa Pakraman Sukawana, Bangli, Bali”. Jurnal Widya Winayata. Vol. 2, No.1. Pitana, I Gde dan I Ketut Surya Diarta. 2009. Pengantar Ilmu Pariwisata. Jakarta: Andi Yogyakarta Pitana, I Gde dan I Nyoman Darma Putra. 2011. Pemberdayaan & Hiperdemokrasi Dalam Pembangunan Pariwisata. Denpasar: Pustaka Larasan Priasukmana, Soetarso dan R. Mohamad Mulyadin. 2001. “Pembangunan Desa Wisata: Pelaksanaan Undang-undang Otonomi Daerah”. Jurnal Info Sosial Ekonomi. Vol. 2, No.1. hlm. 37-44 Putra, Agus Muriawan. 2006. “Konsep Desa Wisata”. Jurnal Manajemen Pariwisata. Vol. 5, No.1. hlm. 65-79 Putra, I Nyoman Darma dan I Gde Pitana. 2010. Pariwisata Pro-Rakyat Meretas Jalan Mengentaskan Kemiskinan di Indonesia. Jakarta: Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Purwanto, Erwan Agus dan Dyah Ratih Sulistyastuti. 2007. Metode Penelitian Kualitatif Untuk Administrasi Publik dan Masalah – Masalah Sosial. Yogyakarta: Gava Media Rahardiani, A. A. Sagung Dewi. 2014. Partisipasi Masyarakat Sekitar Danau Beratan Dalam Konservasi Sumber Daya Air. Tesis. Denpasar: Universitas Udayana Raharjana, Destha Titi. 2012. “Membangun Pariwisata Bersama Rakyat: Kajian Partisipasi Lokal Dalam Membangun Desa Wisata Di Dieng Plateau”. Jurnal Kawistara. Vol. 2, No. 3. hlm. 225 – 328
Riduwan, dkk. 2011. Cara Mudah Belajar SPSS 17.0 dan Aplikasi Statistik Penelitian. Bandung: Alfabeta Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1995. Metode Penelitian Survai, Cetakan Kedua. Jakarta: PT. Pustaka LP3ES Indonesia Soemarno. 2010. Desa Wisata. (http://marno.lecture.ub.ac.id/ diakses 23 Desember 2014) Subagyo, Joko. 2004. Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Cetakan Keempat. Jakarta : Asdi Mahasatya Sudjana. 1997. Statistika Untuk Ekonomi dan Niaga, Edisi kedua. Bandung: Tarsito Sumarni, Murti dan Salamah Wahyuni. 2006. Metodologi Penelitian Bisnis. Yogyakarta: Andi Yogyakarta Sunaryo, Bambang. 2012. Kebijakan Pembangunan Destinasi Pariwisata Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Yogyakarta: Gava Media Sugihyamasi, Ida Ayu Agry. 2013. Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan Desa Jasri sebagai Desa Wisata di kabupaten Karangasem. Skripsi. Denpasar: Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabeta Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Cetakan ke17. Bandung : Alfabeta Tim KKN-PPM Desa Wisata Cirangkong. 2012. Pedoman Umum Pengembangan Desa Wisata Cirangkong Tahap Awal. (http://www.academia.edu/ diakses 25 Desember 2014) UNWTO. 2013. UNWTO Tourism Highlight 2014 Edition. (http://mkt.unwto.org/ diakses 25 Desember 2014)
Lampiran 1
Kuesioner Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Pengembangan Desa Belandingan Sebagai Desa Wisata di Kabupaten Bangli
Responden yang terhormat, Dalam rangka menyelesaikan skripsi di STP Nusa Dua Bali dengan judul “Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Pengembangan Desa Belandingan Sebagai Desa Wisata di Kabupaten Bangli”, saya mohon partisipasi anda untuk mengisi kuesioner ini. Jawaban anda akan digunakan sebagai salah satu sumber data dalam penulisan skripsi. Atas partisipasi anda, saya ucapkan terima kasih.
A. Identitas Responden Jenis Kelamin:
2.
Posisi di Desa : Pemerintahan Desa Tokoh Adat
3.
Pendidikan SD SMP SMA
Pendapatan Perbulan ≤ Rp.1.000.000
Ibu Rumah Tangga Wiraswasta / Pedagang Militer
Rp.3.100.000 – Rp.4.000.000
Rp.1.100.000 – Rp.2.000.000
Rp.4.100.000 – Rp.5.000.000
Rp.2.100.000 – Rp.3.000.000
> Rp.5.000.000
7.
Apakah anda mengetahui keberadaan Desa Belandingan sebagai desa wisata? Ya Tidak
8.
Apakah anda berpartisipasi dalam kegiatan pengembangan pariwisata di Desa Wisata Belandingan? Ya Tidak Alasan : ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………....
9.
Apakah anda menemui hambatan ketika berpartisipasi dalam pengembangan Desa Wisata Belandingan? Ya Tidak *Jika Ya, apa sajakah hambatan yang anda rasakan? ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………
Perempuan
Organisasi Pemuda Pengelola Desa Wisata (LWG)
Usia: 15-24 tahun 25-34 tahun 35-44 tahun
4.
Laki-laki
6.
Pekerjaan PNS Petani Pegawai Swasta Lainnya__________
B. Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan Desa Wisata Belandingan
* Berikan tanda centang (√ ) untuk jawaban yang anda pilih
1.
5.
45-54 tahun 55-64 tahun > 64 tahun
Sarjana Tidak Sekolah Lainnya__________
10. Berilah tanda centang (√ ) pada kolom skor di bawah ini sesuai dengan intensitas keterlibatan anda dalam pengembangan Desa Wisata Belandingan Keterangan : 5 = sangat setuju / sangat sering
4 = setuju / sering
2 = tidak setuju / sangat jarang
1 = sangat tidak setuju / tidak pernah
Tahap Partisipasi Masyarakat
3 = cukup setuju / jarang
Indikator Partisipasi dalam Tahapan Pengembangan Desa Wisata Belandingan a. Saya sering mengikuti pertemuan atau sosialisasi pariwisata b. Saya sering mengikuti rapat dan berkonsultasi dengan pihak pengelola atau pemerintah mengenai pengembangan Desa Wisata Belandingan
Tahap Perencanaan
c. Saya sering memberikan informasi dan ikut mengindentifikasi potensi wisata yang ada di Desa Wisata Belandingan d. Saya sering menyampaikan pendapat atau mengusulkan rencana atau ide terkait pengembangan desa wisata di Desa Belandingan e. Saya sering terlibat dalam penyusunan anggaran pembangunan di Desa Wisata Belandingan a. Saya sering terlibat dalam kegiatan perbaikan infrastruktur di Desa Wisata Belandingan
Tahap Pelaksanaan Pembangunan
b. Saya turut memberikan sumbangan berupa uang (iuran) atau makanan dan minuman dalam berbagai kegiatan pembangunan di Desa Wisata Belandingan c. Saya terlibat dalam setiap pengambilan keputusan mengenai pengembangan Desa Wisata Belandingan d. Saya mengikuti pelatihan pariwisata atau kursus bahasa asing guna meningkatkan keterampilan dalam bidang pariwisata.
5
4
3
2
1
Tahap Partisipasi Masyarakat
Indikator Partisipasi dalam Tahapan Pengembangan Desa Wisata Belandingan a. Saya turut berpartisipasi dalam mengelola pariwisata di Desa Belandingan, yang meliputi tenaga pemungut retribusi, juru parkir, juru keamanan, guide, LWG b. Saya ikut berpartisipasi dalam pembangunan fasilitas penunjang pariwisata di Desa Wisata Belandingan
Tahap Pengelolaan
c. Saya ikut berpartisipasi dalam mewujudkan sapta pesona pariwisata (keamanan, ketertiban, kebersihan, kesejukan, keindahan, keramah-tamahan) di Desa Belandingan d. Saya turut membantu mempromosikan Desa Wisata Belandingan e. Saya mendukung kegiatan pariwisata yang telah ditentukan dengan baik a. Saya ikut mengawasi kegiatan pariwisata di Desa Belandingan
Tahap Monitoring dan Evaluasi
b. Saya ikut mengawasi tindakan-tindakan negatif yang dapat merusak citra Desa Wisata Belandingan c. Saya ikut mengevaluasi penyelenggaraan pariwisata di Desa Belandingan d. Saya terlibat dalam kegiatan penelitian dan pengembangan serta menyusun laporan evaluasi
5
4
3
2
1
Lampiran 2
Panduan Wawancara Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Pengembangan Desa Belandingan Sebagai Desa Wisata di Kabupaten Bangli
Narasumber: a. Perbekel Desa Belandingan b. LWG Desa Belandigan
1. Bagaimanakah sejarah Desa Belandingan? 2. Bagaimanakah kondisi kepariwisataan di Desa Belandingan? (atraksi, amenitas, aksesibilitas dan ancillaries) 3. Bagaimanakah partisipasi masyarakat pada setiap tahap pengembangan Desa Wisata Belandingan? (perencanaan, pelaksanaan pembangunan, pengelolaan, dan evaluasi) 4. Apa sajakah bentuk – bentuk partisipasi masyarakat dalam pengembangan Desa Wisata Belandingan? (partisipasi buah pikiran, tenaga, harta benda, keterampilan dan kemahiran, sosial) 5. Hambatan
apa
sajakah
yang
dialami
selama
berpartisipasi
dalam
pengembangan Desa Wisata Belandingan? 6. Bagaimankah peran serta pemerintah dalam pengembangan Desa Wisata Belandingan? 7. Apasajakah upaya-upaya yang akan dilakukan untuk pengembangan Desa Wisata Belandingan kedepannya?
Lampiran 3
Uji Validitas dan Reliabilitas Tahap Perencanaan di Desa Wisata Belandingan
Lampiran 3
Uji Validitas dan Reliabilitas Tahap Pelaksanaan Pembangunan di Desa Wisata Belandingan
Lampiran 3
Uji Validitas dan Reliabilitas Tahap Pengelolaan di Desa Wisata Belandingan
Lampiran 3
Uji Validitas dan Reliabilitas Tahap Monitoring dan Evaluasi di Desa Wisata Belandingan
Lampiran 4 Proses Perhitungan Nilai Rata-Rata Bentuk-Bentuk Partisipasi Pada Setiap Tahap Pengembangan Desa Wisata Belandingan
Salah satu proses perhitungan nilai rata-rata pada tahap perencanaan indikator a : Kriteria Penilaian Sangat Setuju / Sangat Sering Setuju / Sering Cukup Setuju / Jarang Tidak Setuju / Sangat Jarang Sangat Tidak Setuju / Tidak Pernah
Total
∑ (ti . fi) x = ∑ fi 120.16 = 50 = 2.40
Interval 4,20 - 5,00 3,40 - 4,19 2,60 - 3,39 1,80 - 2,59 1,00 - 1,79
fi 2 4 6 31 7 50
ti 4.600 3.795 2.995 2.195 1.395
ti.fi 9.2 15.18 17.97 68.045 9.765 120.16
Lampiran 5
PHOTO-PHOTO DESA WISATA BELANDINGAN
Gambar 1. Perbatasan Desa Belandingan dengan Desa Songan
Gambar 2. Pemukiman Masyarakat Desa Belandingan Dilihat dari Bubung Temu
Lampiran 5
Gambar 3. Sekolah Dasar Negeri Belandingan
Gambar 4. Puskesmas Pembantu di Desa Belandingan
Lampiran 5
Gambar 5. Pelang di Depan Kantor Desa Belandingan
Gambar 4. Jalur Trekking di Bubung Temu
Lampiran 6
PHOTO-PHOTO KEGIATAN PENELITIAN DI DESA WISATA BELANDINGAN
Gambar 1. Kegiatan Wawancara dengan Perbekel Desa Belandingan
Gambar 2. Kegiatan Pengisian Kuesioner
View more...
Comments