Paper Akhir Semester Spiritualitas
August 10, 2022 | Author: Anonymous | Category: N/A
Short Description
Download Paper Akhir Semester Spiritualitas...
Description
MENGENAL DIRI: “Analisis Spiritual Personal melalui Enneagram, MBTI, dan Six Si x Wa Way ys of Be Beii ng R eligiou lig iouss” Antonius Prasetyo Jati1 01170110
Pendahuluan
“…toh “… toh jagat jagat di luar dan jagat di dalam sama saja. Siapa yang mengenal Tuhan akan mengenal dirinya. Siapa yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhan.” 2 (Sujiwo Tejo) Jagat atau alam semesta adalah realitas yang mencakup seluruh ruang dan waktu secara dinamis sebagai keberadaan dari mikrokosmos dan makrokosmos. Keberadaan tersebut sebagai satuan aktual antara Tuhan, manusia dan ciptaan lain. Sujiwo Tejo mengungkapkan bahwa jagat (entah yang di luar atau di dalam) itu saling terhubung. Dalam keterhubungan tersebut, pengenalan dan pengalaman akan Tuhan juga tidak bisa terpisahkan dari pengenalan akan diri, dan sebaliknya. Pengenalan diri menolong seseorang untuk menemukan makna keberadaaan diri dalam relasi dengan Tuhan, sesama dan dirinya sendiri. Keberadaan diri terkait erat dengan relasi dengan Tuhan, sesama dan dirinya sendiri. Namun, dalam relasi tersebut yang juga melahirkan sebuah konflik. Konflik menjadi realitas yang tidak terpisahkan dalam sebuah relasi manusia dengan Tuhan, sesama, dan dirinya sendiri. Asal kata konflik adalah confligere confligere yang berarti percikan
1 Mahasiswa
Angkatan 2017 Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta Sujiwo Tejo, Rahvayana Tejo, Rahvayana 2: Ada yang tiada, tiada, (Yogyakarta: Bentang, 2017), hal. 140
2
api.3 Dalam hal ini berarti jika tidak bisa mengelola konflik maka percikan api tersebut akan membakar dan menghanguskan diri dan sekitarnya. Sebaliknya, jika bisa mengelola konflik maka percikan api tersebut akan menghangatkan dan memberi kehidupan bagi diri dan sekitarnya. Hadirnya konflik oleh karena benturan-benturan dalam sebuah relasi dan termasuk relasi dengan diri sendiri. Sering kali seseorang tidak bisa mengelola konflik dalam diri oleh karena kurangnya pengenalan diri ( self-understanding ). ). Pengenalan diri dibutuhkan agar seseorang dapat mengelola konflik didalam relasinya dengan Tuhan, sesama, dan dirinya sendiri. Senada dengan ( self-understanding ), ), Stefanus C. Haryono mengungkapkan bahwa sebagai pribadi, seseorang seharusnya memiliki kesadaran diri ( self-awareness self-awareness)) dan penerimaan diri ( self-acceptance) self-acceptance) tentang siapakah dirinya.4 Lalu, bagaimanakah cara seseorang untuk mengenal dirinya agar dapat memiliki kesadaran diri dan penerimaan diri? Untuk merespon pertanyaan tersebut, penulis menggunakan Enneagram dan (MBTI sebagai alat untuk memetakan memetaka n tipologi kepribadian yang berhubungan dengan corak spiritualitas seseorang. Sedangkan, untuk mendalami corak spiritualitas penulis menggunakan teori Six Ways of Being Religious yang dicetuskan oleh Dale Cannon. Spiritualitas adalah pengalaman seseorang akan Allah, yang membentuk cara orang itu memandang dan berinteraksi dengan dunia. 5 Dengan demikian, kepribadian dan realitas pengalaman merupakan satu kesatuan yang utuh dalam kehidupannya. Dalam tulisan yang sederhana ini, ditujukan untuk menjadi analisis spiritual personal melalui Enneagram, MBTI, dan teori Six Ways of Being Religious. Religious. Analisis tersebut tidak hanya menjadi pengenalan diri, tetapi juga sebagai upaya untuk mengalami kesadaran diri dan penerimaan diri. Selain itu, tulisan ini juga menjadi teman peziarahan penulis untuk mengenal diri secara otentik. Untuk tujuan tersebut, penulis membagi tulisan ini dalam beberapa sub-judul. Pertama, dimulai dengan pemaparan tipologi enneagram penulis. Kedua, dilanjutkan dengan pemaparan tipologi MBTI penulis. Ketiga, pemaparan akan Six Ways of Being Religious (enam jalan beragama) penulis. Keempat, narasi diri penulis. Kelima, corak spiritual: St. Teresa dari 3
Daniel K. Listijabudi , , “ Dan Yesus Menulis di Pasir......” Pasir...... ”: Penelitian Retorik terhadap Kristologi dan Upaya Pematahan Kekerasannya dalam Yohanes 8:2-11), 8:2-11), Gema Teologi, Vol. 31, No. 2, 2017, h. 1-14 4 Stefanus Christian Haryono, “S “SPIRITUALITAS PIRITUALITAS PERDAMAIAN: Spiritual Freedom” Freedom”, dalam Alviani Permata (editor), Memulihkan, Merawat, dan Mengembangkan Roh Perdamaian. Perdamaian . (Yogyakarta: PSPP UKDW, 2011), h. 7986 5 Tabita Kartika Christiani, “Pendidikan Kristiani dengan Pendekatan Spiritualitas”, dalam d alam Jozef M.N. Hehanussa dan Budyanto (editor). Mendesain Ulang Pendidikan Teologi, Teologi , (Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 2012), h. 50-62
Avilla “vs” St. Ignatius dari Loyola. Loyola. Keenam, Image of God dari penulis. Dan, terakhir, “Mengenal Diri”. Diri”. Enneagram: T he C halle halleng nge er
Enneagram berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata (ennea ( ennea)) atau sembilan dan ( grammos) grammos) atau sebuah gambar. Enneagram berarti sebuah gambar yang bertitik sembilan sebagai salah satu cara untuk mengenal kepribadian seseorang berdasarkan sembilan tipe dasar manusia. Sembilan tipe tersebut, yaitu tipe 1 / pembaru, tipe 2 / penolong, tipe 3 / motivator, tipe 4 / individualis, tipe 5 / investigator, tipe 6 / loyalis, tipe 7 / antusias, tipe 8 / pemimpin, dan tipe 9 / pembawa damai. Tipe-tipe tersebut terhubung dalam sebuah lingkaran dengan sembilan titik berhubungan yang terdiri dari titik pada segitiga dan titik pada heksagram tidak beraturan. Enneagram terdiri dari tiga pusat yang terbagi masing-masing memiliki tiga tipe di sisinya. Tiga bagian tersebut adalah pusat naluriah ( Instinctive Instinctive Center ) yang mewakili tipe 8, 9, dan 1; pusat pikiran (Thinking Center ) yan mewakili tipe 5, 6, dan 7; dan pusat perasaan ( Feeling ( Feeling Center ) yang mewakili tipe 2, 3, dan 4. Terdapat juga sayap sebagai campuran unik dari tipe dasarnya sehingga tidak ada sebuah kepribadian yang orisinal dari satu tipe saja. Titik sayap dipengaruhi oleh tipe kiri dan kanan dari tipe dasarnya. Setiap tipe juga terdiri dari panah integrasi dan disintegrasi yang saling menunjuk satu tipe ke tipe yang lain. Panah integrasi merupakan suatu ketika dalam kondisi yang baik dan berkembang, suatu tipe akan bergerak mengambil karakter positif dari tipe lain sesuai arah panahnya. Sedangkan, S edangkan, panah p anah disintegrasi merupakan suatu ketika dalam kondisi yang tidak baik dan stres, suatu tipe tidak bergerak menuju arah panah dan mengambil karakter negatif dari arah berlawanan. Enneagram bertujuan untuk mengenal karakteristik dari berbagai tipe kepribadian. Enneagram
juga
bermanfaat
untuk
memperlihatkan
bagaimana
seseorang
berperilaku
berdasarkan caranya masing-masing dan bagaimana seseorang dapat mengarahkan pada pengembangan dirinya. Dengan demikian, enneagram menjadi alat yang signifikan untuk meningkatkan pengenalan akan diri dalam bagaimana meningkatkan relasi kepada Tuhan, sesama, dan dirinya sendiri. Dalam gambaran umum mengenai enneagram tersebut menjelaskan bahwa manusia memiliki kompleksitas yang tidak dapat terangkum secara utuh. Termasuk bagaimana mengenal
kepribadian masing-masing. Hal tersebut bukan untuk bermaksud untuk mengelompokkan masing-masing orang secara mutlak dan hirarkis, melainkan untuk melihat
seseorang dari
beberapa sisi oleh karena enneagram bersifat dimensional. Sistem enneagram menawarkan wawasan mendalam melalui perbedaan cara di mana seseorang berpikir, merasa, dan berperilaku. Perbedaan kepribadian dalam enneagram merepresentasikan distingsi cara pandang yang berhubungan dengan pola berpikir, merasa, dan mengambil sikap.6 Untuk itu, penulis mencoba untuk menjelaskan tipe enneagram 8 atau pemimpin sebagai tipe kepribadian dasar dan dominan dari diri penulis. Tipe 8 atau pemimpin 7, adalah orang yang bangga dengan kekuatan dan tenaga yang dimiliki. Penuh dengan kepercayaan diri, tidak mudah takut dan tegas dalam menghadapi permasalahan dan menggerakkan orang untuk memiliki inisiatif yang baik. Akan tetapi, tipe 8 sulit untuk menerima kelemahan dan perasaan kurang aman dalam dirinya. Dalam pekerjaan dan pelayanan tipe 8 tidak ingin dan mampu untuk menghindari kesulitan yang menghadang termasuk dalam memperjuangkan keadilan. Nilai kekuatan dan perjuangan tipe 8 didasarkan pada refleksi atas kekuatan Tuhan dan perjuangan Yesus memperjuangkan keadilan. Namun, dalam pengembangan dirinya, tipe 8 perlu belajar akan penerimaan terhadap kerapuhan sebagaimana Kristus yang adalah kekuatan Tuhan juga memiliki kelemahan dalam keberadaan Nya sebagai manusia. Tipe 8 juga memiliki gambaran yang ideal sebagai yang kuat dan mendominasi. Oleh karena itu, keinginan untuk mengendalikan lingkungan sehingga terkesan konfrontatif dan mengintimidasi. Tipe 8 memiliki kerentanan pada dinamika emosional diri dan takut menerima luka secara emosional. Namun, tipe 8 juga memiliki motivasi kuat untuk dapat menjadi mandiri, menguatkan diri agar kelemahan tertutupi, dan mengendalikan lingkungan. Motivasi tersebut sebenarnya terkoneksi pada satu dasar utama, yaitu bagaimana mereka dapat melindungi dan mengendalikan dirinya sendiri. Mereka memiliki komitmen untuk membangun kekuatan secara fisik dan psikis untuk melindungi perasaan dan menjaga orang lain pada jarak emosional yang aman dan terkendali. Namun, pada kondisi yang terbaik, tipe 8 menggunakan kemampuannya untuk meningkatkan kesejahteraan hidup orang lain, murah hati, dan menginspirasi. 6
Ginger Lapid-Bogda, What Type of Leader Are You?: Using the Enneagram System to Identify and Grow Your Leadership Strengths and Achieve Maximum Success, Success, (United States of America, 2007), h. 1 7 Diambil dari enneagram/stef.ch.hary.doc.2 enneagram/stef.ch.hary.doc.2 diakses diakses pada 16 Desember 2019
Tipe 8 juga terpengaruh oleh sayap di sisi kiri dan kanannya. Di sisi kiri, tipe 7 menjadi sumbangsih untuk memberi kecenderungan difat yang ekstrovert, penuh semangat, ambisius, gesit, dan egosentris. Di sisi kanan, tipe 9 menjadi sumbangsih untuk memberi kecenderungan sifat yang lebih teguh, mendukung, sabar, diam-diam mendominasi, memendam amarah, dingin, dan menjadi tidak peduli. Terdapat juga arah panah yang memiliki pengaruh pada tipe 8. Panah integrasi didapatkan dari sisi positif tipe 2 untuk menjadi pribadi yang lebih terbuka pada orang lain dan jujur terhadap kerapuhan diri. Sebaliknya, panah disintegrasi didapatkan dari sisi negatif tipe 5 sehingga memiliki kecenderungan menarik diri dan tidak banyak mengambil sikap. MBTI: ENTJ
MBTI atau Myer Briggs Type Indicator merupakan sebuah alat untuk mengenal kepribadian melalui refleksi dari preferensi terhadap fokus energinya (ekstrovert (ekstrovert (E) dan introvert (I)), cara menyerap informasi ( sensing (S) (S) dan intuitive intuitive (N)), (N)), cara mengambil keputusan (thinking (T) dan feeling (F)), dan gaya hidup ( judging (J) dan perceiving (P)). MBTI tidak bertujuan untuk mengukur tingkat intelegensi, kemampuan belajar, emosional, dan kematangan sosial. Namun, untuk mengenal cara berperilaku dalam kehidupan sehari-hari yang memiliki kemungkinan sebagai gambaran diri yang ideal atau pun diri yang sebenarnya. Pengenalan diri dalam cara berperilaku tersebut memperlihatkan juga bagaimana corak kepribadian dan cara penghayatan diri dalam berelasi. Corak kepribadian yang bervariasi juga merepresentasikan bagaimana corak co rak spiritualitas yang bervariasi satu sama lain. Terdapat enam belas kemungkinan corak kepribadian, yaitu ISTJ, ISFJ, ISTP, ISFP, INTJ, INFJ, INTP, INFP, ESTJ, ESFJ, ESTP, ESFP, ENTJ, ENFJ, ENTP, ENFP. Pembagian corak kepribadian tersebut merepresentasikan kecenderungan karakteristik seseorang dan bukan sebagai sebuah pemilahan satu sama lain. Dan, dalam pengembangan kepribadian dapat dicapai ketika seseorang juga belajar dengan nilai-nilai dari corak kepribadian yang lain.8 Dalam berbagai corak kepribadian MBTI ini, penulis akan memaparkan corak kepribadian penulis, yaitu ENTJ atau Ekstrovert-Intuitive-Thinking-Judging . Pertama, dari sisi ekstrovert , yaitu menampilkan diri sebagaimana adanya dalam sebuah relasi. Kedua, dari sisi intuitive,, yaitu bagaimana seseorang menaruh perhatian pada masa yang akan datang daripada intuitive
8
Charles J. Keating, Doa Keating, Doa dan Kepribadian, Kepribadian, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), h. 17
masa kini. Ketiga, dari sisi thinking , yaitu bagaimana seseorang menentukan keputusan berdasarkan hukum yang logis dan rasional. Keempat, dari sisi judging , yaitu bagaimana seseorang mengendalikan diri dengan membutuhkan dan melalui keputusan, jadwal, dan aturan permaianan dalam kehidupan. Dengan demikian, dapat ditarik sebuah implikasi bahwa corak kepribadian ENTJ9 merupakan seseorang yang menyukai rasio dan logika, memiliki mimpi dengan melihat kemungkinan-kemungkinan serta membutuhkan sebuah pengarahan yang teratur. Senada dengan corak kepribadian ENTJ, penulis juga mencoba untuk memaparkan bagaiaman corak spiritualitas ENTJ. Kepribadian ekstrovert memiliki memiliki kejelasan akan pengenalan terhadap lingkungan dan perspektif di mana dia bisa berkembang. Dalam hal ini, pribadi eksterovert-thinking dapat bertumbuh secara spiritual dengan baik di mana terdapat suatu orientasi teologis dan spriritualitas yang berkembang secara teratur. 10 Kepribadian intuitive menekankan pada masa kini dengan pertimbangan dan implikasi terhadap masa yang akan datang sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari yang adalah doa. Dengan bahasa lain, orang yang intuitive memiliki sebuah rekontruksi refleksi dan meditasi untuk mengembangkan aras pengembangan diri dalam kehidupan spiritualitasnya.11 Kepribadian thinking melihat bahwa spiritualitas membutuhkan dasar dalam prisip-prinsip logis sebagai preferensi primer atau pun sekunder dalam merefleksikan implikasi terhadap peristiwa-peristiwa masa kini. 12 Dan, kepribadian judging menekankan pada corak spiritualitas yang sistematis dalam peziarahan refleksinya.13
Si Sixx W Wa ays of Be Being ing R Re eligi ous Dale Cannon mengungkapkan bahwa setiap orang memiliki corak spiritualitas yang beragam dan bagaimana setiap orang mengekpresikan spiritualitasnya melalui enam cara atau jalan. Corak spiritulaitas tersebut dilatarbelakangi oleh kontek tradisi agama, lingkungan, pola hidup, dan kerpribadian masing-masing orang. Dengan demikian, dalam menghayati dan mengalami kehadiran Yang Ilahi dapat diperoleh dari berbagai cara. Atau bagaimana relasi setiap manusia bersama Yang Ilahi merupakan pengalaman iman yang unik dan otentik pada
9
Charles J. Keating, Doa Keating, Doa dan Kepribadian, Kepribadian, h. 39 Charles J. Keating, Doa Keating, Doa dan Kepribadian, Kepribadian, h. 81 11 Charles J. Keating, Doa Keating, Doa dan Kepribadian, Kepribadian, h. 94 12 Charles J. Keating, Doa Keating, Doa dan Kepribadian, Kepribadian, h. 137 13 Charles J. Keating, Doa Keating, Doa dan Kepribadian, Kepribadian, h. 152
10
dirinya sendiri. Namun, sifat dari enam jalan ialah dimensional atau bisa dikatakan bahwa setiap orang dapat merasakan kehadiran Yang Ilahi dengan keenam jalan ini dan setiap orang memiliki kecenderungan untuk salah satu atau lebih jalan tersebut. Enam jalan tersebut diteliti dan dianalisa dari berbagai tradisi agama di dunia, yaitu The Way of Sacred Rites, The Way of Reasoned Inquiry, The Way of Mystical Quest, The Way of Shamanic Mediation, The Way of Devotion, The Way of Right Action. Action.14 Pertama, The Way of Sacred Rites Rites adalah jalan yang menggunakan ritus sebagai pemaknaan dan penghayatan akan nilai kehadiran Yang Ilahi. Kedua, The Way of Reasoned Inquiry adalah jalan yang menggunakan penekanan pada penggalian makna Kitab Suci melalui proses hermeneutis dan refleksi dalam rangka menghayati kehadiran Yang Ilahi. Ketiga, The Way of Mystical Quest adalah jalan yang menekankan pada pengelolaan ruang batin terhadap kesatuan dengan Yang Ilahi dalam peristiwa hidup yang berkontribusi pada pengalaman mistik. Keempat, The Way of Shamanic Mediation adalah jalan yang menekankan pada pengalaman supranatural yang mampu mengatasi dunia yang natural sebagai kehadiran dari Yang Ilahi. Kelima, The Way of Devotion adalah jalan yang menekankan pada pemberian ruang untuk merasakan secara personal penyerahan dan ketaatan diri bersama Yang Ilahi. Terakhir, The Way of Right Action adalah jalan yang menekankan pada tindakan konkret sebagai sarana penghayatan akan Yang Ilahi. Dari enam jalan beragama menurut Dale Cannon, penulis lebih memiliki kecenderungan untuk merasakan kehadiran Yang Ilahi melalui The Way of Reasoned Inquiry.. Inquiry Narasi Diri
Narasi diri merupakan cara penulis untuk mengingat dan mencoba untuk menulis berbagai pengalaman hidup. Pengalaman tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari hidup penulis yang memiliki sumbangsih dalam membentuk kepribadian penulis. Untuk menarasikan diri, penulis membaginya dalam beberapa fase menurut tahap perkembangan iman oleh James W. Fowler 15, yaitu tahap awal-elementer (0-2 tahun), intuitif-proyektif (3-7 tahun), tahap mitis-literal (7-12 tahun), sintesis-konvensional (12-18 tahun), individual-reflektif (18-30 14
Dale Cannon, Six Ways of Being Religious: A Framework for Comparative Studies of Religion , (United States of America: Wadsworth Publishing Company, 1996), h. 49-85 15 James W. Fowler, Teori Perkembangan Kepercayaan: Karya-karya Penting James W. Fowler , Editor. A. Supratiknya, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1995), h. pengantar
tahun), konjungtif (>30 tahun), universal (>40 tahun). Berdasarkan tahap perkembangan iman tersebut maka penulis hanya menarasikan sampai pada p ada tahap individual-reflektif. Tahap Awal-Elementer – – penulis penulis lahir di sebuah desa kecil di kabupaten Klaten. Dalam
masa pertumbuhan tersebut, penulis telah kehilangan figur seorang Ayah di usia batita. Penulis mengingat bahwa pada masa tersebut tumbuh dalam pola didik dan pola asuh kakek dan nenek dari keluarga Ibu. Penulis pada masa tersebut memang belum bisa merasakan bagaimana kondisi konkret ketika diperhadapkan pada perceraian didalam keluarga. Penulis mendapatkan figur orang tua yang terdekat hanya bersama Ibu. Ayah menjadi mualaf dan sampai saat ini menurut pandangan sekilas penulis bahwa Ayah mengikuti kelompok dengan lingkup komunitas kecil yang beraliran “garis keras atau fundamentalis”. Bertolak pada penggunaan jubah setiap hari dan percakapan yang menekankan pada nilai eskalogis akhir zaman dan surga. Hal tersebut berdasarkan cerita sanak-kerabat dari keluarga Ayah A yah yang satu gereja dengan penulis dan sekilas dari perjumpaan singkat dan jarang dari penulis. penu lis. Tahap Intuitif-Proyektif – penulis tumbuh di lingkungan dengan sosial-kultural
masyarakat Jawa dan tumbuh dalam iman didalam naungan gereja dengan latar belakang budaya Jawa di GKJ Pedan. Dalam kehidupan bergereja, kakeklah yang memperkenalkan bagaimana kehidupan spiritualitas Kristen bagi penulis. Setiap hari minggu penulis selalu berangkat gereja bersama kakek kak ek untuk mengikuti ibadah umum dan pada saat itu penulis tidak pernah mengikuti m engikuti ibadah anak sekolah minggu. Dalam kehidupan akademik, kakek juga membimbing bagaimana cara dan pola belajar. Sebagai guru Matematika, kakek memberikan pola belajar yang mandiri dan tekun. Entah, bagaimana ceritanya ketika beranjak Sekolah Dasar (SD) kelas 1, penulis pernah mengikuti mata pelajaran agama Islam dan pada waktu ujian mendapatkan nilai yang tinggi. Nampaknya, persahabatan di tengah lingkungan yang plural membawa penulis sempat kabur dengan identitas diri dalam agama. Penulis sangat teringat ketika guru agama Islam bertanya kepada penulis bahwa “Apa agamamu, Nak?”, jawab penulis, “Saya “Sa ya tidak tahu, Bu?”. Tahap Mitis-Literal
Kekaburan identitas dalam agama tersebut hanya terjadi saat penulis berada di bangku kelas 1 saja. Pada saat menginjak kelas 6, penulis hendak dijagokan untuk mengikuti lomba siswa se-kabupaten. Oleh karena pada saat itu kemampuan dalam Matematika penulis cukup
mendapat apresiasi dari guru dan teman-teman. Saya sangat senang pada saat itu dipercaya untuk mewakili sekolah. Namun, ketika sebelum lomba ketika ada ulangan Ilmu Pengetahuan Sosial dan pada saat itu nilai penulis hanya 5. Akhirnya, wali kelas saya tidak jadi membawa penulis ke lomba tersebut. Beliau membawa teman saya yang lain (yang setiap ulangan selalu mencontek teman lain termasuk saya saat Matematika). Peristiwa tersebut terukir dalam hati dan pikiran saya sampai saat ini. Boleh dikatakan bahwa di titik itulah penulis mengalami dan merasakan apa yang namanya perjuangan batin. Kecewa, sedih, dan gundah mewarnai nuansa hati pada saat itu. Penulis hanya menyimpan itu pada diri sendiri. Memang peristiwa itu membawa bukti bahwa teman yang dipilih wali kelas saya tidak dapat berbicara banyak di lomba saat itu. Dan, begitu juga penulis tidak dapat berbicara apa-apa. Yang ada dalam diri penulis saat itu adalah “Angka 5 inilah kejujuranmu,,,jika kamu tidak berangkat lomba karena angka 5, itu tidak masalah...Yang menjadi masalah adalah ketika k etika kamu mendapatkan angka 10 dengan menihilkan sebuah kejujuran.” Ada sebuah nilai yang penulis pegang saat itu yang membuat penulis tetap memperjuangkan diri seba sebagaimana gaimana adanya penulis. Pada saat pengumuman nilai Matematika dari Ujian Nasional membuat teman-teman dan penulis bungkam. Pasalnya, nilai Matematika tertinggi di sekolah itu adalah “Jati”. Memang penulis tidak bisa berangkat lomba se-kabupaten oleh angka 5 dari kejujuran penulis. Akan tetapi, nilai yang penulis hidupi menjadi nilai yang membawa pada sebuah perayaan hidup tersendiri bagi penulis. Tahap Sintesis-Konvensional
Pada tahap ini, penulis memasuki masa-masa di Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Setelah lulus dari Sekolah Dasar, penulis tinggal bersama Ibu dan Ayah tiri di Pedan. Ayah Tiri penulis beragama Hindu dan beliau bekerja sebagai penyuluh agama Hindu. Pada saat itu, ketika suatu rumah tangga mengalami perceraian selalu mendapatkan sebuah “penghakiman” tersendiri baik baik dalam keluarga, masyarakat, dan bahkan gereja. Akan tetapi, pada masa-masa masa- masa itu, penulis tidak merasakan tajamnya “penghakiman” tersebut sebagai bagian keluarga yang bercerai. Entah penulis yang tidak tahu atau bahkan tidak peduli karena memiliki suatu kekosongan dalam diri. Meskipun demikian, penulis sangat senang dengan dunia bermain bersama teman-teman sekolah dan teman lingkungan desa.
Pada saat SMP kelas 7 dan 8 menjadi masa di mana penulis kenal dengan pergaulan yang semakin mengikis nilai apa yang penulis perjuangkan sewaktu SD kelas 6. Penulis menikmati waktu bermain yang tidak disadari menghabiskan tenaga dan waktu untuk belajar. Prestasi pada saat itu cukup tidak memuaskan bagi penulis. Secara lingkungan, pada saat itu penulis tidak segan-segan untuk merokok dan berkelahi. Penulis merefleksikan bahwa pada saat itu dengan lingkungan yang cukup bebas di luar rumah menjadi ruang bagi penulis untuk mencoba dan jatuh dalam keasyikan dalam bermain. Namun, ketika diperhadapkan dengan momen yang menentukan saat berada di bangku kelas 9 penulis mengupayakan diri untuk berubah. Penulis kembali menjadi diri yang disiplin dalam waktu belajar dan tidak merokok serta berkelahi lagi. Pada momen-momen menjelas ujian nasional, penulis mampu memberikan prestasi diri dan juga mendapatkan apresiasi dari teman-teman dan guru. Dengan berbagi dukungan dan apresiasi tersebut membawa penulis untuk memasuki sebuah transformasi pribadi. Transformasi pribadi tersebut penulis jalani ketika memasuki SMA. Penulis berada dalam pola didik rumah yang cukup disiplin dan ketat dari Ibu. Dalam perjalanan studi dalam masa SMA ini, penulis sering kali memberikan sebuah negosiasi kepada Ibu mengenai waktu bermain, tempat bermain, dan kebebasan untuk menjelajahi pengalaman secara mandiri tanpa arahan orang tua. Namun, negosiasi tersebut sering mendapat penolakan dan penulis pun mengupayakan diri untuk mencapai negosiasi sehingga perdebatan dan petengkaran pun sering juga terjadi. Dengan pola didik tersebut, penulis sering kali melepaskan nilai kejujuran demi mencapai negosiasi pada masa itu. Pernah suatu kali ketika upacara bendera kemerdekaan Republik Indonesia, pada saat itu Ibu di kantor dan akan pulang sore. Penulis melihat setelah upacara bendera sebagai sebuah ruang untuk mereaalisasikan semangat negosiasi dengan orang tua. Pada saat itu, penulis tidak merespon dengan apa adanya keadaan di rumah, tetapi penulis menjelajahi nuansa jalan-jalan di pantai bersama teman-teman. Namun, kejujuran tidak seutuhnya penulis nihilkan. Terungkap ketika banyak b anyak anak pada saat itu yang tidak memberitahu bahwa kenakalan (merokok) usia remaja, justru penulis nyatakan secara jujur kepada Ibu. Pada saat penulis jatuh dari kecelakaan tunggal dengan motor membuat penulis jujur bahwa penulis pernah merokok. Hal tersebut membawa penulis pada sebuah keterbukaan dan kejujuran akan kerapuhan penulis. Penulis sangat mengingat bahwa masa SMA menjadi masa penuh perjuangan bagi penulis. Pertama, penulis mengalami sebuah
kekaburan akan apa yang menjadi pilihan setelah SMA. Kedua, penulis mengalami kekecewaan pada ketika pilihan dalam diri penulis tidak dapat tercapai. Ketiga, penulis senantiasa memperjuangkan apa yang menjadi tujuan dari pilihan penulis sembari menyembuhkan kekecewaan sebelumnya. Kekecewaan itu hadir ketika pada 2016 penulis gagal lulus dalam ujian masuk Politeknik Keuangan Negara Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (PKN STAN). Setelah mengalami kekecewaan tersebut, penulis mencoba untuk merasakan studi di STT Intheos, Surakarta. Pada saat itu, penulis hanya mengikuti studi di sana selama empat bulan saja dan setelah itu keluar. Selama studi di sana penulis dapat menorehkan prestasi yang cukup unggul dari teman-teman. Dan, dukungan serta apresiasi penulis dapatkan dari teman, dosen, dan keluarga ditengah bayang-bayang kekecewaan dari kegagalan tersebut. Keputusan penulis untuk keluar dari STT Intheos adalah karena penulis tertekad untuk mengikuti ujian masuk PKN STAN pada tahun 2017, penulis bergulat berada di lingkungan pentakostal di sana, dan mencari waktu untuk menyembuhkan luka batin dari kegagalan 2016 dan relasi pribadi dengan seorang perempuan Manado yang pernah penulis sayangi. Kepergian penulis dari sekolah tersebut banyak disayangkan oleh teman-teman (termasuk seorang perempuan Manado tersebut) dan beberapa dosen di sana. Sebelum penulis memutuskan untuk keluar dari sana penulis mencoba untuk mengkomunikasikan hal tersebut dengan beberapa orang dalam mengambil sebuah pertimbangan. Dalam membangun komunikasi tersebut penulis dapat membangun sebuah nuansa persahabatan yang kuat. Namun, pertimbangan penulis adalah untuk mengejar PKN STAN tetap bulat. Setelah keluar dari sekolah itu, penulis sampai saat ini masih menjalin komunikasi yang baik dengan beberapa teman di sana. Dalam masa penantian dan pemantapan diri dalam segi akademis, psikis, dan fisik untuk ujian masuk PKN STAN telah penulis perjuangkan dengan sungguh-sungguh. Tidak ketinggalan juga sebuah kepasrahan dan pengharapan kepada Sang Bapa Sejati bagi hidup penulis. penu lis. Waktu telah tiba untuk kesempatan kedua memperjuangkan pilihan hidup. Pada tahap petama diikuti sekitar 177.717 peserta di seluruh Indonesia dan penulis dapat lolos pada tahap ini daripada tahun 2016 di mana penulis gagal pada tahap ini. Pada tahap kedua, penulis mengikuti ujian kesehatan dan kebugaran dan peserta yang tersisa ialah sekitar 20.000 peserta. Penulis dapat melalui tahapan ini meski sempat mengulang untuk lari angka 8 karena sebelumnya tidak
membentuk angka tersebut. Pada tahap ketiga, penulis mengikuti ujian Calon Pegawai Negeri Sipili (CPNS) dan lolos dengan peringkat 6100. Namun, secara nasional dan nilai akhir hanya diambil 5998 calon mahasiswa. Akhirulkalam, penulis harus kembali pil pahit didetik-detik akhir dalam perjuangan pilihan hidup penulis. Dengan waktu yang mendesak tersebut, penulis mengambil sikap untuk mendaftar di Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Fakultas Teologi. Pada waktu itu, penulis mendaftar tiga hari sebelum pendaftaran ditutup pada gelombang ke-3. Dalam sesi wawancara dengan salah satu dosen Teologi, yaitu Wahyu Nugroho, penulis menjawab setiap pertanyaan dengan penuh kejujuran sebagaimana adanya kehadiran penulis dalam ujian fakultas Teologi. Seminggu kemudian, penulis mendapatkan pengumuman bahwa penulis diterima sebagai mahasiswa Teologi UKDW. Dukungan dan apresiasi penulis terima dan raasakan dari Ibu, teman-teman, dan jemaat GKJ Pedan. Meskipun demikian, penulis pada saat itu masih memiliki sebuah bayang-bayang kekecewaan dari kegagalan untuk masuk PKN STAN. Pada saat retret I di panti semedi Klaten, pada saat sesi dimalam hari mengenai gambaran diri penulis tidak kuasa membendung derasnya air mata ketika melakukan meditasi dan refleksi secara pribadi di suatu sudut kapel. Nilai kejujuran akan diri sendiri membawa penulis pada sebuah kesadaran dan pengampunan diri terhadap kegagalan masuk di PKN STAN. Inilah salah satu momen ketik penulis mengalami dan merasakan secara otentik titik transformasi dalam perjuangan hidup penulis. Tahap Individual-Reflektif
Pada tahap ini penulis melanjutkan perjalanan masa-masa studi Teologi di UKDW. Banyak perjumpaan dan pengalaman yang membentuk pribadi penulis yang sebagaimana adanya dan seharusnya adanya. Pribadi yang sadar untuk terus-menerus belajar dalam setiap proses dalam menyadari pengenalan dan pengalaman dalam relasi dengan Tuhan, sesama, dan diri sendiri. Pada tahap ini menjadi narasi diri yang cukup signifikan oleh karena masih segar dalam ingatan. Narasi diri pada tahap inilah yang menjadi sumbangsih pembentukkan kepribadian penulis. Dalam narasi tahap ini, penulis akan memaparkan me maparkan pembentukan kepribadian dalam tiga locus pengalaman selama di asrama, live in in Seminari Anging Mammiri, menjalani Stage 1 di Bandung.
Pertama, perjumpaan di asrama bersama teman-teman baru dari latar belakang budaya,
sosial, dan habitus membuat penulis menemukan nilai-nilai dalam perjumpaan tersebut. Selama empat semester di Asrama, penulis menyadari bahwa tujuan dalam kehidupan di asrama menjadi locus penemuan dan pembentukan diri. Locus locus Locus tersebut tidak hanya memberikan dukungan dan apresiasi terhadap nilai-nilai dalam diri, tetapi juga menyedia nilai-nilai di luar diri yang menjadi bagian yang signifikan dalam pengembangan diri. Dalam pengembangan diri asrama menawarkan sebuah proses akan penerimaan terhadap yang lain dengan perbedaan dari setiap kepribadian dan penerimaan terhadap diri sebagaimana ada. Proses penerimaan terhadap perbedaan membawa pada sebuah benturan-benturan emosional dan batin yang kadang kala menimbulkan sebuah konflik. Hal tersebut wajar jika terus disadari dan terbuka untuk proses intropeksi diri. Proses penerimaan dapat terlihat ketika dalam lingkup satu kamar dengan habitus dan personalitas yang bervariasi. Ketika penulis menjadi adik kamar bersama tiga anggota an ggota yang lain. Dalam perjumpaan tersebut terlihat bagaimana habitus satu sama lain yang berbeda juga memberi sebuah kontribusi kontribusi dalam relasi yang “saling”. Konkretnya ketika penulis dan teman kamar penulis yang sering membersihkan kamar, sedangkan kakak kamar yang kurang menaruh perhatian pada kebersihan kamar. k amar. Lambat laun, ketika k kakak akak kamar penulis melihat habitus kami yang sering membersihkan kamar juga berkontribusi pada kakak kamar yang menyediakan diri untuk membersihkan kamar juga. Hal tersebut juga berlaku pada penulis, ketika kakak kamar sering membuka sebuah ruang sapaan. Menurut penulis, membuka sapaan menjadi penting dalam rangka memecah kebekuan dalam sebuah relasi. Dalam perjumpaan di asrama tersebut membawa sebuah relasi “saling” untuk memberi sebuah kontribusi. kontribusi. Kedua, perjumpaan live in seminari in seminari Anging Mammiri juga memberi sumbangsih dalam pengembangan diri penulis. Seminari Anging Mammiri merupakan asrama para frater yang berasal dari paroki-paroki atau projo di Sulawesi dan sekitarnya. Selama tiga hari live in in memberikan nilai-nilai yang menumbuhkan spiritualitas pribadi penulis. Dari segi lingkungan, keheningan menjadi nuansa yang mendukung penulis untuk menjalani setiap disiplin doa dan kegiatan lain serta solitude solitude pribadi penulis. Kesan penulis ketika berada di sana rasa-rasanya penulis cukup nyaman dan bahagia di seminari tersebut. Dalam sebuah canda gurau bersama teman-teman temanteman dari UKDW dan para frater, penulis mengungkapkan bahwa, “ Frater,,,sebentar lagi
kami (UKDW) akan meninggalkan asrama dan mencari tempat tinggal baru,,,bolehkan penulis tinggal di sini setelah meninggalkan asrama?” Ungkapan tersebut penulis penuli s nyatakan dalam sebuah kejujuran, meskipun dalam bungkusan suasana yang cair. Dari segi habitus para frater, penulis tertegun melihat bagaimana nilai kedisiplinan dan kemandirian di sana. Nilai-nilai tersebut penulis rasakan secara batin bahwa para frater menjalaninya dengan penuh syukur dan sukacita dalam rangka menyambut setiap rahmat Allah. Penulis menaruh perhatian pada pola didik dan habitus seperti itu dalam pengembangan diri. Nampaknya, pola dan habitus tersebut juga menjadi sarana bagi para frater untuk menghadapi tekanan dalam studi mereka. Ketika penulis sempat bertanya mengenai bagaimana kehidupan akademis mereka, ternyata kampus menerapkan sistem Drop Out (DO) bagi mereka yang mendapatkan Indeks Prestasi Semester (IPS) kurang dari 3.0. Kesan penulis ketika live in selama in selama tiga hari tersebut memberikan sebuah kesadaran dan ‘alarm’ ‘alarm’ tersendiri dalam proses pengembangan diri. Kesadaran tersebut mengungkapkan bahwa penulis belum ada apa-apanya sehingga ketika penulis mengeluh dan merasa tertekan akan selalu ingat akan perjumpaan di seminari Anging Mammiri. Ketiga, perjumpaan Stage 1 di Bandung menjadi ruang di mana penulis mengalami dan merasakan bagaimana kehidupan komunitas menggereja. Melalui stage 1 dua bulan tersebut memberi pada sumbangsih bagi gambaran diri penulis sebagai sahabat. Dalam perjumpaan tersebut penulis melihat bagaimana kehidupan komunitas menggereja yang mengalami kekeringan secara spiritual. Dengan sebuah semangat untuk menjadi sahabat bagi yang lain dapat meruntuhkan tembok batin yang memisahkan dan menghancurkan kebekuan dalam sebuah perjumpaan. Semangat tersebut menawarkan bagaimana dan sejauh mana seseorang mampu dan mau untuk memberikan keramahtamahan bagi yang lain. Sikap tersebut dilakukan dengan penuh keterbukaan dan kejujuran untuk bersama-sama bertumbuh secara spiritual dalam setiap perjumpaan. Setiap perjumpaan dalam peziarahan di Bandung penulis juga merekamnya dalam sebuah journaling . Penulisan jurnal ( journaling ) adalah ketajaman merenungkan terhadap perjumpaan diri dengan realitas hidupnya dengan melibatkan pikiraan dan perasaan secara reflektif dan
dialogis.16 Atau dengan bahasa lain, penulisan tersebut menjadi sebuah upaya penulis untuk melakukan sebuah praxis sebuah praxis.. Dalam setiap kegiatan ataau aksi, penulis tidak hanya melakukannya sebatas sebuah rutinitas semata. Akan tetapi, ketika penulis melakukan aksi pada titik itu juga penulis dapat menarik sebuah refleksi untuk penulis lanjutkan dalam sebuah aksi kembali sebagai sebuah pola yang terus berjalan. Dengan pola tersebut, pengembangan diri dapat penulis lakukan dalam setiap perjumpaan dengan penuh kesadaran diri. Kedasaran diri membawa penulis untuk memaknai setiap perjumpaan dalam peziarahan hidup penulis. Pola praxis Pola praxis yang yang penulis rekam dalam sebuah jurnal berangkat dari realitas konkret yang mendarat, tetapi penulis maknai secara mendalam. Salah satunya ketika dalam perjumpaan dengan para pekarya GKJ Bandung. Penulis memiliki ruang belajar untuk berada dan bersekutu dengan para pekarya di sana. Pada saat itu, penulis melihat bagaimana kebahagiaan yang tercermin dari salah satu pekarya yang berusia 84 tahun. Beliau setiap harinya berangkat dan pulang dari rumah ke gereja yang jaraknya sekitar 5 kilometer dengan jalan kaki. Dengan perkenalan dengan beliau, penulis mendengarkan bahwa beliau yang seharusnya telah pensiun tetap ingin ingin mengabdikan diri kepada GKJ Bandung. Penulis sangat
tersebtuh dengan
perjumpaan yang mengesankan ini. Perjumpaan tersebut penulis maknai dengan melihat dan mendengar secara langsung loyalitas dan penyerahan diri yang seutuhnya dari seorang “Adiyuswa” (orang lanjut usia) dalam sebuah pengabdian dan pelayanan kepada GKJ Bandung. Bandung. Pada saat itu penulis menyadari bahwa penulis memiliki sahabat lintas-usia, lintas-pandangan, dan lintas-keteladanan diri yang dipersatukan oleh sebuah keramahtamahan. Tiga locus locus pengalaman pengalaman itu yang menjadi sumbangsih pengembangan diri penulis dalam sebuah perjumpaan. Penulis juga menaruh perhatian pada masa ini terhadap epos Mahabarata. Bagi penulis, epos tersebut menjadi Kitab Suci kedua setelah Alkitab. Penulis sangat tertarik dan terkesan dengan narasi Mahabarata yang memperlihatkan bagaimana dan sejauh mana sebuah perjuangan sepanjang peziarahan hidup. Peziarahan hidup yang melukiskan bagaimana dan sejauh mana nilai-nilai dari berbagai tokoh memberikan kesadaran bagi penulis akan penemuan diri ( self-discovery), self-discovery), pengenalan diri ( self-understanding ), ), dan penerimaan diri ( self-acceptance self-acceptance). ). Bagaimana tidak? Pasalnya, dalam narasi Mahabarata tersebut melukiskan bagaimana manusia 16
Stefanus Christian Haryono, “SPIRITUALITAS PERDAMAIAN: Spiritual Freedom”, Freedom”, dalam Alviani Permata (editor), Memulihkan, (editor), Memulihkan, Merawat, dan Mengembangkan Roh Perdamaian. h. 79-86
senantiasa menjalani perjuangan hidup berdasarkan nilai-nilai yang menunjukkan kehadiran Yang Ilahi yang melibatkan diri secara aktif dalam kehidupan. Corak Spiritualitas: St. Teresa dari Avilla “vs” St. Ignatius dari Loyola Loyola
Dalam proses pengenalan diri dalam tulisan yang sederhana ini, penulis memilih dua tokoh spiritualitas sebagai role model pengembangan pengembangan spiritualitas diri. Pertama, St. Teresa dari Avilla merupakan seorang biarawati Karmelit yang mencetuskan warisan spiritualitas dalam buku “Puri Batin”. Intisari dalam buku tersebut menekankan bahwa keselamatan merupakan me rupakan persatuan dengan Allah di mana terdapat peran dari Allah sebagai pemberi rahmat dan peran manusia sebagai penyambut rahmat. Dalam puri batin, terdapat 7 (tujuh) tahap yang menggambarkan proses batin untuk bersatu dengan Allah melalui tujuh lapis ruang yang berpusat pada doa dan meditasi.17 Perjalanan dalam puri batin mengungkapkan bagaimana keberadaan diri yang berjalan menuju karya keselamatan. Makna keselamatan adalah persatuan dengan Allah dan diri ditransformasi oleh cinta akan Allah ketika seseorang memberi ruang untuk memiliki pengenalan akan diri dan pengenalan akan Allah. 18 Corak teologis dan spiritualitas Teresa menjadi sumbangsih yang cukup signifikan bagi penulis mengenai keterlibatan peran dari Allah dan manusia. Kedua, beralih kepada St. Ignatius dari Loyola yang sebagai seorang pendiri dari Serikat Yesus. Ia merupakan tokoh yang mewariskan harta karun spiritulitas dalam sebuah buku “Latihan Rohani” yang berakar dari pengelaman hidup yang secara ters -menerus direfleksikan. Ignatius adalah anak yang hampir tidak mengetahui siapa ibunya karena ibunya meninggal dunia ketika masih ia kanak-kanak dan pada usia remaja harus kehilangan ayahnya yang telah meninggal. Ignatius awalnya adalah seorang prajurit perang yang pada saat itu sebuah peluru meriam memecahkan kakinya. Dalam proses penyembuhan, Ignatius mengalami sebuah keadaan di mana ia harus memilih apa yang hendak dilakukan pada masa yang akan datang. Latihan Rohani sebagai warisan spiritualitas menekankan pada setiap cara memeriksa hati, meditasi, kontemplasi, doa lisan, dan batin serta segala kegiatan rohani lainnya – untuk mencari dan
17
Hariawan Adji, “Puri Batin: Belajar dari Spiritualitas Teresa dari Yesus”, Yesus” , dalam J.B. Banawiratma dan Hendri M. Sendjaja (editor), Spiritualitas dari Berbagai Tradisi, Tradisi, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius,2017), h. 261 18 Hariawan Adji, “Puri Batin: Belajar dari Spiritualitas Teresa dari Yesus”, dalam J.B. Banawiratma dan Hendri M. Sendjaja (editor), Spiritualitas dari Berbagai Tradisi, Tradisi, h. 264-275
menemukan kehendak Allah.19 latihan Rohani dijalankan selama 4 minggu dengan beberapa fase di mana pendahuluan sebagai jembatan masuk pada minggu pertama dan kontemplasi terakhir sebagai jembatan untuk menapaki kehidupan sehari-hari. Dalam proses pemilihan itu Ignatius belajar mengenali roh-roh yang beragam dalam pergerakan batinnya – seni discernment of spirits. spirits. Pada keadaan yang kemudian, ketika melakukan Latihan Rohani bersama para sahabatnya dengan memikirkan bersama-sama mengenai komunitas mereka (communal (communal discernment ) untuk membentuk Serikat Yesus (compania de Jesus). Jesus). Senada dengan pengalaman penulis di Bandung ketika journaling , sebuah discernment dilakukan dilakukan juga dalam sebuah paksis ( aksi yang disertai kontemplasi). 20 Pengalaman yang dimaknai teersebut tidak hanya melihat bagaimana kehadiran Allah Trinitas, tetaapi juga mengalami kesatuan dengan Allah Trinitas. Artinya ketika seseorang berjumpa dengan realitas pengalaman menjadi sebuah tanda dan sarana kehadiran Yang Ilahi – sakramen Ilahi.21 Dalam corak spiritualitas Ignatius ini, penulis menemukan resonansi dengan pengalaman penulis. Discernment , journaling dan praxis praxis menjadi sarana kesadaran diri penulis bahwa perjumpaan dengan realitas dunia membawa pada sebuah kesatuan dengan Allah Trinitas secara kreatif dan dinamis.
I mage o off G od
22
19
J.B. Banawiratma, “Spiritualitas Ignatius Loyola”, dalam J.B. Banawiratma d dan an Hendri M. Sendjaja (editor), Spiritualitas dari Berbagai Tradisi, Tradisi , (Yogyakarta: Penerbit Kanisius,2017), h. 115 20 J.B. Banawiratma, “Spiritualitas Ignatius Loyola”, dalam J.B. Banawiratma dan Hendri M. Sendjaja (editor), Spiritualitas dari Berbagai Tradisi, Tradisi , h. 117 21 J.B. Banawiratma, “Spiritualitas Ignatius Loyola”, dalam J.B. Banawiratma dan Hendri M. Sendjaja (editor), Spiritualitas dari Berbagai Tradisi, Tradisi , h. 133 22 Diambil dari postingan Instagram Romo Bayu Edvra pada 18 Desember 2019
“Mengenal Diri” Diri”
Dalam enneagram dengan tipe 8 dan MBTI degan tipe kepribadian ENTJ, penulis merepresentasikan Image merepresentasikan Image of God sebagai Aquaman (dalam gambar di atas). Aquaman menjadi role model dengan dengan kepribadian yang penuh dengan kekuatan, semangat, dan perjuangan. Image of God tersebut yang menjadi preferensi penulis akan spiritualitas personal pada masa modern saat ini. Namun, penulis juga memiliki kesadaran diri ( self-awareness self-awareness)) terhadap realitas kerapuhan diri ( self-vulnerability). self-vulnerability). Penulis teringat ketika journaling pada tanggal 6 Juni 2019 bahwa, “Surrender “ Surrender in Vulnerability Vulnerability – – setelah setelah mengajar kelas katekisasi,,,saya tinggal di ruangan tersebut. Sejenak sebelum keluar dari ruangan, saya seketika memiliki kerinduan dan kesadaran untuk bertelut dalam doa untuk mengakui kerapuhan didalam hangatnya rengkuhan cinta kasih Allah.” Pengembangan diri ketika journaling ketika journaling dampak dampak yang penulis rasakan tidak hanay berhenti pada peristiwa itu saja, tetapi juga dalam tulisan yang sederhana ini sebagai teman peziarahan batin penulis. Penulis menyadari journaling menyadari journaling sebagai sebagai dari habitus praxis dan discernment dalam dalam pengembangan spiritualitas diri. Dari warisan nilai-nilai spiritualitas dari Teresa dan Ignatius beresonansi dengan realitas pengalaman penulis dalam tahap mitis-literal, sintesis-konvensional, dan individual-reflektif. St. Teresa dari Avilla yang memberi sumbangsih bagi keterbukaan penulis untuk memberi ruang batin sebagai kehadiran Allah. Dan, St. Ignatius dari Loyola yang memberi sumbangsih dalam kesetiaan terhadap pengembangan nilai spiritualitas personal. Hal tersebut juga nampak dari tiga locus pengalaman saat di asrama, live in locus in Anging Mammiri, dan stage 1 di Bandung. Penulis ditemani dengan preferensi-preferensi yang didapatkan dari penggalian makna terhadap proses hermeneutis dan refleksi akan Kitab Suci, literatur-literatur lain, dan pengalaman pen galaman personal. Akhirulkalam, dalam tulisan yang sederhana ini penulis telah, sedang, dan akan menjalankan peziarahan spiritual personal melalui enneagram tipe 8 dan MBTI tipe kepribadian ENTJ dan The Way of Reasoned Inquiry. Inquiry. Dari analisis tersebut membawa penulis pada pengenalan diri (self-understanding) dengan proses penerimaan diri (self-acceptance) dan kesadaran diri (self-awareness) yang terlukis dalam sebuah ungkapan di bawah ini. “Pulanglah, berdamailah dengan diri Anda. Cintailah dir i Anda. Mencintai diri Anda berarti menerima diri Anda apa adanya.” adanya.” (Megacinta, Ajahn Brahm)
Daftar Pustaka
Adji, Hariawan. 2017. “Puri Batin: Belajar dari Spiritualitas Teresa dari Yesus”, dalam J.B. Banawiratma dan Hendri M. Sendjaja (editor). Spiritualitas dari Berbagai Tradisi. Tradisi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Banawiratma, J.B. 2017. “Spiritualitas Ignatius Loyola”, dalam J.B. Banawiratma dan Hendri M. Sendjaja (editor). Spiritualitas dari Berbagai Tradisi. Tradisi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Cannon, Dale. 1996. Six Ways of Being Religious: A Framework for Comparative Studies of Religion.. United States of America: Wadsworth Publishing Company. Religion Christiani , Tabita Kartika. 2012. “Pendidikan Kristiani dengan Pendekatan Spiritualitas”. Spiritualitas”. Dalam Jozef M.N. Hehanussa dan Budyanto (editor). Mendesain Ulang Pendidikan Teologi. Teologi. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. h. 50-62. Fowler, James W. 1995. Teori Perkembangan Kepercayaan: Karya-karya Penting James W. Fowler . Editor. A. Supratiknya. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Haryono, Stefanus Christian. 2011. “SPIRITUALITAS “SPIRITUALITAS PERDAMAIAN: Spiritual Freedom” Freedom”. Dalam Alviani Permata (editor). Memulihkan, (editor). Memulihkan, Merawat, dan da n Mengembangkan Roh Perdamaian Perdamaian.. Yogyakarta: PSPP UKDW. h. 79-86. Lapid-Bogda, Ginger. 2007. What Type of Leader Are You?: Using the Enneagram System to Identify and Grow Your Leadership Strengths and Achieve Maximum Success. United States of America. Listijabudi, Daniel K. 2017. “Dan Yesus Menulis di Pasir......”: Penelitian Retorik terhadap Kristologi dan Upaya Pematahan Kekerasannya dalam Yohanes 8:2-11). 8:2-11). Gema Teologi, Vol. 31, No. 2. h. 1-14. Tejo, Sujiwo. Rahvayana Sujiwo. Rahvayana 2: Ada yang tiada. tiada . Yogyakarta: Bentang. 2017. Modul Perkuliahan
enneagram/stef.ch.hary.doc.2 diakses enneagram/stef.ch.hary.doc.2 diakses pada 16 Desember 2019.
View more...
Comments