PAPDI 352-372 Pulmonologi

March 26, 2017 | Author: Edward Arthur Iskandar | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download PAPDI 352-372 Pulmonologi...

Description

352 MANIFESTASI KLINIK DAN PENDEKATAN PADA PASIEN DENGAN KELAINAN SISTEM PERNAPASAN ZulkifliAmin

Gangguan napas sering merupakan keluhan mengapa seseorang datang berobat ke dokter. Di sini akan bahas tentang diagnosis dan tatalaksana empat keluhan utama sistim pernapasan: dispnea/rasa sesak, batuk, nyeri dada dan batuk darah.

DISPNEA(RASASESAK)

Gejala yang menyertal a). Nyeri dadayang disertai dengan sesak kemungkinan disebabkan oleh emboli paru, infark miokmd atau penyakitplerna; b). Batukyang disertai dengm sesak, khususnya sputum purulen rmmgkin disebabkan oleh infeksi napas atau proses radang laonik (misalnya bronkitis atau radangmukosa saluran napas lainnya); c). Demam dan menggigil mendukung adanya suatu infeksi; d). Hernoptisis mengisyaratkan rupttrr kapiler/vaskular, misahya karena emboli paru, tumor atatradamg saluran napas.

Dispnea (breathlessness) adalah keluhan yang sering memerlukan penanganan darurat tetapi intensitas dan tingkatannya dapat berupa rasa tidak nyaman di dada yang bisa membaik sendiri: yang membutuhkan bantuan napas yang serius (severe air hunger) sampai yang fatal. Tabel di bawah mencantumkan sebagian besar penyebab sesak-

Hal ini dapat diketahui dengan anamnesis teliti, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang foto toraks dan spirometri.

Terpajan keadaan lingkungan atau obat tertentu' a). Alergen seperti settuk, jamur ata,u zatt'tmiamengakibatkan terjadinya bronkospasme dengan berhlk keluhan sesak. Anamnesis harus mencakup riwayat terpapar penyebab alergi; b). Debu, asap, dan bahan kimia yang menimbulkan iritasi jalan napas berakibat te{adinya bronkospasme pada pasien yang sensitif. Menghindari penyebab alergi tersebut mencegah terjadinya penyakit ini; c). Obat-obatan yang

dimakan atau injeksi dapat menyebabkan reaksi hipersensitivitas yang menyebabkan sesak'

DIAGNOSIS Penyakit Saluran Napas

Anamnesis Keluhan awal. Keluhan awal akut mungkin disebabkan adanya gangguan fisiologis akut, seperti serangan asma bronkial, emboli paru, pneumotoraks atau infark miokard. Serangan berkepanjangan selama berjam-jam hingga berhari-hari lebih sering akibat eksaserbasi penyakit paru yang kronik atau perkernbangan proses sedikit demi sedikit seperti pada efusi pleura atau gagal jantung

kongestif.

Asma Bronkitis kronis Emfisema Sumbatan laring Tertelan benda asing

Penyakit Parenkimal Fneurnonia Gagal jantung kongestif Ad u lt Re spi ratory d i stre ss syndrome (ARDS) P u I mona ry infiltrate s w ith eosinophilia (PIE)

Penyakit Vaskular Paru Emboti paru Kor pulrnonal Hipertensi paru Primer Penyakit veno-oklusi Paru

Penyakit Pleura Pneumotoraks Eftsi pleura, hemotoraks Fibrosis Penyakit Dlnding Paru Trauma Penyakit neurologik Kelainan tulang

2190

Riwayat gangguan yang sama dapat menyingkat daftar penyebab penyakit, khususnya bila pasien tahu nama penyakitnya dan dapat menceritakan bentuk pengobatan terdahulu. Riwayat penyakit pada tabel berikut sebaiknya otomatis ditanyakan karena mungkin pasien tidak khusus menceritakan kecuali bila dokter menanyakannya.

Pemeriksaan Fisik Tanda Vital. Tekanan darah, temperatur, frekuensi nadi dan frekuensi napas menenhrkan tingkat keparahan penyakit. Seorang pasien sesak dengan tanda-tanda vital normal

biasanya hanya menderita penyakit kronik ata.u ringan, sementara pasien yang memperlihatkan adanya perubahan vital b iasanya menderita gangguan

ny a|a p ada tanda-tanda

akut yang memerlukan evaluasi dan pengobatan segera. a Temperatur di bawah 35"C (95'F) atau di atas 4loC (105.8 'F) atau tekanan darah sistolik di bawah 90 mm Hg menandakan keadaan gawat darurat.

h

PtJLI'ONOIIIGI

Tekanan vena jugularis harus dicatat. Peninggiannya menandakan adanyapeningkatan tekanan atrium kanan. Palpasi. a). Tertinggalnya pengembangan suatu hemitoraks yang dirasakan dengan palpasi bagian lateral bawah rib cage p aru bers angkutan menunj ukkan adany a gang guan pengembangan pada hemitoraks tersebut. Hal ini bisa akibat obstnrksi salah satubronkus utama, pneumotoraks atau efusi pleura; b). Fremitus taktil. Menurunnya fremitus taktil yang diperoleh dengan memerintahkan pasien menyebutkan tujuh puluh tujuh (77) berulang-ulang terpalpasi pada areayatg mengalami atelektasis seperti yang terjadi pada bronkus yang tersumbat atao area yang ada efusi pleura. Meningkabrya fremitus disebabkan oleh konsolidasi parenkim pada suatu area yang mengalami inflamasi.

Perkusi. a). Hipersonor akan ditemukan pada hiperinflasi paru seperti teq'adi selama serangan asma akut, emfisema, juga pada pneumotoraks. b). Redup (dullness) padaperkusi

Pulsus paradoksus-pada fase inspirasi terjadi

menunjukkan konsolidasi paru atau efusi pleura.

peningkatan tekanan arterial lebih besar dari 10 mm Hg-

tanda ini bermanfaat dalam menentukan adanya kemungkinan udara terperangkap (air trapping) pada

Auskultasi. a). Berkurangnya intensitas suara napas pada kedua bidang paru menunjukkan adanya obstruksi saluran napas. Keadaan ini dapat terdengar pada konsolidasi, efusi

keadaan asma dan PPOK eksaserbasi akut. Ketika

pleura atau pneumotoraks. b).Ronki kasar dan nyaring

obstruksi saluran napas memburuk, variasi itu meningkat; dan ketika obstruksi membaik, pulsus

atau penyempitan saluran napas. c). Ronki basahhahs (fine,

paradoxus menurun.

c. Frekuensi napas kurang dari 5 kali/menit mengisyaratkan hipoventilasi dan kemungkinan besar

respiratory aruest. Bila lebih dari 35kali/menit menunjukkan gangguan yang parah, frekuensi yang lebih cepat dapat terlihat beberapa jam sebelum otototot napas menjadi lelah dan te{adi gagal napas.

Pemeriksaan Umum Tampilan umum. Pasien dapatmemberikan isyarat atas diagnosis tersebut. Seorang pasien yang mengantuk dengan

napas yang lambat dan pendek bisa disebabkan: obat tertentu, retensi CO, atao gangguan sistem saraf pusat (misalnya strok, edema serebral, pendarahan subaraknoid). Seorang pasien yang gelisah dengan napas yang cepat dan dalam bisa disebabkan hipoksemia berat karena primer

penyakit paru/saluran napas, jantung atau bisa juga serangan cemas (awiety attack), histerical attack. Kontraksi otot bantu napas. Dapat mengungkapkan adanya tanda obstruksi saluran napas. Otot bantu pernapasan (accessory muscles) di leher dan otot-otot interkostal akan berkontraksi/digunakan pada keadaan adany a obstruksi saluran napas moderat hingga parah. Asimetri gerakan dinding dada atau deviasi trakeal dapat pula dideteksi

selama pemeriksaan otot-otot napas. Pada tension pneumothorax- suatu keadaan gawat darurat-sisi yang terkena akan membesar pada setiap inspirasi dan trakea akan terdorong kesisi yang sebelahnya.

(coarse rales andwheezing) sesuai dengan obstuksi parsial moist rales) terdengar pada parenkim paru yang berisi cairan. Ronki bilateral (bilateral rales) disertai dengan irama gallop

sesuai dengan gagal jantung kongestif. Ronki setempat sesuai dengan adanya konsolidasi paru di tempat itu. d). Adanya egofoni (diucapkan huruf 'll' seperti "e" datar) menandakan konsolidasi. e). Pada pasien dengan sesak dan rasa sakit di dada harus dipikirkan kemungkinan adanya friction rub,bila 2 komponen merupakan ciri pleuritis dan suara 3 komponen seperti perikarditis.

Evaluasi Laboratorium Pemeriksaan dahak . pemeriksaan dahak harus mencakup pemeriksaan bilasan sputum gram (gram-stained smear) trnhrk membuktikan adanyarudang saluran napas bawah dan penentuanjenis gram patogen. 2. Analisis gas darah arterial. Pengukuran gas darah arterial dilakukan pada evaluasi awal seluruh pasien sesak yang memperlihatkan

tekanan darah sistolik kurang dari 90 mm Hg, suatu frekuensi napas lebih dari 35 kali/menit atau kurang dari

l0

kali/menit atau sianosis. Apabila gas darah arterial tidak diukw pada tahap awal dan kondisi pasien memburuk di bawah perawatan; analisis gas darah tersebut harus tetap

perlu diperiksa. Nilai ini berguna sebagai petunjuk penggunaao suplemen oksigen dan keputusan untuk penggunaan ventilasi mekanis. 3. Spirometri/Pe ak F low Meter (Peak Expiratory Flow Rate- PEFR). Pada pasien yang mengalami eksaserbasi asma atau PPOK, spirometri memberi kita informasi beratnya obstruksi dan dapat digunakan untuk menentukan seriusnya keadaan penyakit

2l9l

MANIFESTASIKLIMKDANPENDEKAf,ANPADAPASIENDENGANKELAINAT{SISTEMPERNAPASAN

tersebut. Pengukuran PEFR bisa menggantikan

telinga atau gangguan perut yang mengakibatkan iritasi

pengukuran spirometri unflrk menenhrkan berat ringannya obstruksi, hasilnya dinyatakan dalam liter per menit. Nilai

diafragma.

normal ditentukan untuk setiap individu menurut jenis kelamin, usia dan tinggibadan. Nilai kurangdan50% dan yang diperkirakan menunjukkan obstruksi yang parah.

Diagnosis Batuk Anamnesis. Di sini dijelaskan deskripsi mengenai

Pemeriksaan PEFR ini harus diulangi setiap 30 menit untuk menentukan perj alanan penyakit.

lingkungan, toksin atau alergen dan gejala terkait' Anamnesis penyakit sebelumnya dapat mengarahkan

Pencitraan (imaging). Pembuatan foto toraks posteroanterior dan lateral dilakukan apabila dicurigai adanya kelainan pada pleura, parenkim paru atau jantung. Adanya bula, kista, paru emf,rsematus atau diafragma yang mendatar (/lattened diagrapft) mendukung diagnosis PPOK. Adanya kardiomegali mendukung kemungkinan penyebab sesak

yang berkaitan dengan jantung.

permulaan, lamanya dan ada dahak atau tidak, paparan

diagnosis telinga, hidung te atau sakit perut

sePerti sakit

pada

, nYeri ulu hati

temPat iritasi

tersebut. Batuk yang terjadi kadang-kadang dan berhubungan dengan paparat sesuatu keadaan lingkungan (hawa dingin, debu, asap, angin dan lainnya) akan menggiring kita kepada penyebab batuk itu' Batuk berdahak (sputum mukopurulen) menunjukkan adanya kelainan saluran napas bawah.

TATALAKSANA SESAK NAPAS Penanganan sesak pada dasarnya mencakup tatalaksana yang tepat atas penyakit yang melatarbelakanginya. Akan tetapi, apabila kondisi pasien memburuk hingga mungkin

terjadi gagal napas akut, maka lebih baik perhatian ditujukan pada keadaan daruratnya dulu sebelum dicari penyebab yang melatar belakanginya. Diagnosis gagal napas akut dengan anal,isis gas darah ditentukan ketika PaO, kurang dari 50 mm Hg atau PaCO, lebih besar dari 50

mm Hg denganpH dibawahnormal.

Saluran Napas Periksalah orofaring untuk memastikan salurarl napas tidak tersumbat karena pembengkakan (edema) atau suatu benda asing. Intubasi endotrakeal dapat dilakukan apabila pasien mengalami henti napas atau mengarah kepada gagal

Penyakit Saluran NaPas Akut Faringitis Laringitis Bronkitis Bronkiolitis

Penyakit Saluran NaPas Kronis Bronkitis Bronkiektasis

Penyakit Parenkimal Pneumonia Abses Parasit Penyakit interstisial granulomas fibrosing alveolitis alveolar proteinosis

Penyakit Kardiovaskular Edema paru lnfark paru

lritan Lingkunga-n^ gas debu perubahan temPeratur

Benda Asing Saluran naPas Membran timPanik

Neoplasma Karsinoma Paru Metastasis tumor

Alergi

Demam karena alergi jerami Rinitis vasomotor Asma bronkial

napas progresif.

Oksigen Oksigen harus diberikan kecuali apabila ada bukti bahwa

0-70 mm Hg dengan kenaikan minimal pada PaCOr. Ventilasi mekanis. Pasien yang diintubasi untuk sementara

dapat diberi oksigen melalui Ambu bag sambil mempersiapkan suatu ventilator sebagai kelanjutannya '

Pemeriksaan Fisis. 1). Telinga. Periksalah adanya benda asing pada saluran telinga luar. Periksa jugaadanyatadang

membran timpani; 2). Nasofaring' Sinus harus dipalpasi untuk mencari nyeri dan ostia diperiksa untuk mencari adanya ingus yang menyumbat. Edema mukosa hidung dan rinorea dapat disebabkan infeksi, alergi atau rinitis vasomotor yang kemudian dapat menyebabkan batuk karena drainase posterior di hipofaring. Faring dan encariperadanganatau hipofaring gnya vena-vena leher masa; 3). terlihat pada pasien dengan (neckvein karena tekanan Pada saraf masa med

BATUK

Batuk adalah suatu refleks napas yang terjadi karena adanya rangsangan reseptor iritan yang terdapat di seluruh saluran napas. Batuk juga dapat merupakan akibat penyakit

hiperekspansi atau kontraksi otot-otot bantu napas'

2192

PI.JLI'OIU.OGI

Auskultasi pada keadaan ini akan terdengar suatu ekspirasi

napas yang memanjang; ronki kasar atau mengi (wheezing). b. Penyakit parenkim seperti pneumonia, fibrosis interstisial dan edema paru biasanya menimbulkan

suara ronki. Pneumonia jluga dapat menyebabkan melernahnya suara napas, pekak (dullness) pada perkusi dan fremitus yang mengeras. Edema paru dan fibrosis interstisial biasanya menyebar meluas di kedua parenkim paru dan menimbulkan bunyi ronki; 5). Abdomen. adanya masa atau peradangan subdiafragma dapat menyebabkan iritasi pada diafragma. Banrk pada keadaan ini biasanya subakut atau kronis. Pemeriksaan abdomen harus dilakukan dengan teliti agar tak terlewatkan kelainan ini.

Pemeriksaan dahak. l).Pewamaan gram dan pemeriksaan basil tahan asam (BTA) adalah suatu tindakan rutin;2). Kultur mikobakteri dan jamur. Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien yang didapatkan adanya kelainan foto toraks berupa infilfrat di apeks atau kavitas atau pada pasien imunokompromis; 3). Pemeriksaan sitologi dilakukan pada pasien batuk yang dicurigai juga menderita kanker paru;

4). Pewarnaan silver pada dahak untuk mencari Pneumocystis carinii pada pasien imunokompromis.

Pencitraan. l.Foto toraks dilakukan pada setiap kasus dimana dicurigai adanya kelainan di pleura, parenkim atau mediastinum. 2. Foto sinus dianjurkan dibuat pada pasien yang merasa nyeri pada palpasi sinus atau adanya ingus purulen dari ostium. Hal ini juga harus dilakukan ketika mencari sinusitis kronik pada pasien dengan bronkospasme karena sinusitis kronik sering memicubronkospasme yang menetap karena mekanisme yang belum diketahui.

Tatalaksana Batuk Akut Bila bahrk diperkirakan bisa berkomplikasi (Tabet 2), maka pemberian obat penekan batuk dapat diberikan misalnya

kodein fosfat l5-30 mg dan dapat diulangi setiap

6

bermanfaat mencairkan sekret yang kental. Tiga hingga 5 mL larutan 20%o dapat diuapkan dengan nebulizer setiap 4-6 jam. Satu hingga 2 rnllarutan20% dapat diinfus secara

langsung ke dalam selang trakeostomi atau dengan bronkoskopi untuk membantu melarutkan plak mukus. Berhati-hati dengan pasien hiperreaktif bronkus karena asetilsistein bersifat mengiritasi dan dapat menyebabkan bronkospasme akut.

Hidrasi secara oral (minum air) atau melalui infus amat membantu mengencerkan dahak sehingga mudah dibatukkan.

Ekspektoran

secara luas tersedia sebagai obat yang dapat

dibeli tanpa resep.

Muskuloskeletal Patah iga Ruptur M. rektus abdominis Peninggian kreatin kinase serum Paru Pneumotoraks Pneumomediastinum

Kardiovaskular Bradiaritmia Sinkop Ruptur pembuluh darah supervisial

Lain-Lainnya lnkontinen urin dan feses Disrupsi luka bedah lritasi mukosa saluran nafas

HEMOPTISIS Batuk darah (hemoptisis) atau dahak bercampur darah harus dibedakan dari muntah darah (hematemesis), hematemesis disebabkan lesi pada saluran cerna (tukak peptik, gastritis, varises esofagus); sedangkan hemoptisis lesi di paru-paru atau bronkus/bronkioli.

jam.

Klasifikasi/Berat Ringan nya Tatalaksana Batuk Kronik Pengobatan terhadap penyebabnya adalah terapi terbaik,

Didasarkan dari perkiraan jumlah darah yang dibatukkan: B er cak (Str e a king). D ar ah bercampur dengan sputum hal

mengurangi pasienan pasien.

yang sering terjadi, paling umum pada bronkitis. Volume darah kurang dari 15-20 mll24 jam.

Antitusif.

Hemoptisis. Hemoptisis dipastikan ketika total volume

tetapi menekan batuknya untuk sementara akan I

). Obat yang beket'a di sentral, bekerja dengan

menekan batuk di bidang integratif medula alau area yang lebih tinggi. Obat yang paling sering dipakai adalah kodein

fosfat, diberikan 15-30 mg secara oral setiap 6 jam. Dekstrometorfan, 15-30 mg setiap 4-6 jam, juga dapat diberikan. 2). Obaf yang bekerja di perifer, menaikkan ambang-rangsang reseptor iritan di saluran napas dengan menganestesi atau menutupnya (coating). Agen ini

(benzonatat, anestetik topikal

) tersedia sebagai obat-

obatan tanpa-resep, tetapi hanya dianjurkan untuk mengontrol batuk yang parah.

Mukolitik. Pemberian asetilsistein telah terbukti

darah yang dibatukkan 20-600 mL di dalam waktu 24 jam. Walaupun tidak spesifft untuk penyakit tertentu, hal ini berarti pendarahan dari pembuluh darah lebih besar dan

biasanya karena kanker paru, pneumonia (necrotizing pneumonia),TB atau emboli paru. Hemoptisis Masif . Darahyang dibatukkan dalamwaktu24 lebih dari 600 mL- biasanya karena kanker paru, kavitas pada TB atau bronkiektasis.

j am

Pseudohemoptisis. Pseudohemoptisis adalah batuk darah dari struktur saluran napas bagian atas (di atas laring) atau dari saluran cema atas (gastrointestinal) atau hal ini dapat

2t93

MANIFESTASIKLINIKDANPENDEKAf,ANPAT'APASIENDENGANI(ELAINANSISTEMPERNAPASAN

berupa pendarahan buatan (factitious). Perdarahan yang terakhir biasanya karena luka disengaja di mulut, faring atau rongga hidung.

Diagnosis Anamnesis. 1). Volume dan frekuensi batuk darah menentukan kegawatannya dan hal tersebut dapat mengarahkan ke suatu penyebab spesifft; 2). Sumber paling umum berupa nasofaring (mimisan). Darah menetes ke faring, mengiritasi laring dan dibahrkkan. Pasien sering dapat menjabarkan rangkaian ini, maka kesan pasien atas sumber perdarahan umumnya benar. Misalnya, ketika darah berasal dari salah satu paru, maka pasien akan menunjukkan bagian paru tersebut dan dapat merasakannya seolah-olah darah

berasal dari paru kanan atau

kiri. Pastikan pasien bisa

membedakan dibatukkan dengan dimuntahkan; 3). Riwayat penyakit sebelumnya yang dapat mempengaruhi perdarahan

konsolidasi (disebabkan pneumonia, infark paru atau atelektasis pascaobstruksi dari benda asing atau kanker

. .

paru)-

Pleural friction rub dapat didengar pada area di atas infarkparu.

Ronki merata( difus), kardiomegali dan nyaring menunjukkan adanya kemungkinan edema paru kardiogenik.

Laboratorium. l).Pemeriksaan darah tepi lengkap. Peningkatan hemoglobin dan hematokrit menunjukkan adanya kehilangan datahyang akut. Jumlah sel darah

putih yang meninggi mendukung adatya infeksi' Trombositopenia mengisyaratkan kemungkinan koagulopati; trombositosis mengisyaratkan kemungkinan kanker paru; 2). Kajian koagulasi, pemeriksaan hemostase berupa waktu protrombin (PT) dan waktu tromboplastin parsial (aPTT) dianjurkan apabila dicurigai adanya

Timbul tiba-tiba karena sesak dan sakit di dada

koagulopati atau apabila pasien tersebut menerima warfarin/heparin; 3). Analisis gas darah arterial harus diukur apabila pasien itu sesak yang jelas dan sianosis; 4). Pemeriksaan dahak- Pasien dengan

mengindikasikan kemungkinan emboli paru atau infark miokard yang disertai dengan gagaljantung kongestif. c). Kehilangan berat badan yang signifftan mengisyaratkan kanker paru atau infeksi kronik seperti tuberkulosis atau

darah bercampur dahak, pewarnaan gram, BTA atau preparasi kalium hidroksida dapat mengurilkapkan penyebab infeksi dan pemeriksaan sitopatologik untuk kanker.

bronkieldasis.

Pencitraan (Imaging). 1). Radiografi dada akan

Pemeriksaan fisis. Tanda-tanda penting' Ketidakstabilan sirkulasi dengan tanda hipotensi dan takikardia merupakan suatu tanda darurat. Sebabnya dapat berupa kehilangan

menunjukkan adanya massa paru, kavitas atau infiltrat yang

saluran napas juga dicari; 4). Gejala lainnya yang berhubungan/terkait dapat membantu dalam mendiagnosis : a). Demam dan batuk produktif mengisyaratkan infeksi. b).

darah yang akut pada hemoptisis masif atau penyakit yang menyebabkan/menyertainya: emboli paru, sepsis, infark miokard dengan edema paru.

Perneriksaan nasofaring ditujukan untuk untuk rnencari sumber perdarahan dan pada hemoptisis masif untuk memastikan bahwa saluran napas masih paten (terbuka)-

Pemeriksaan j antung dibutuhkan untuk mengevaluasi kemungkinan adanya hipertensi paru akut (terdapat peninggian komponen paru suara jantung kedua) ,kegagalan ventrikel kiri alart (adanya srz mmation gallop) atau penyakit katup jantung seperti stenosis mitral. Endokarditis sebelah kanan dapat dideteksi dengan adanya bunyi desiran karena insufisiensi trikuspid, sering pada penyalah guna obat

intravena dan dapat menyebabkan hemoptisis karena

mungkin menjadi sumber pendarahan; 2). Arteriografr bronkial selektif dilakukan bila bronkoskopi (lihat bawah)

tidak dapat menunjukkan lokasi pendarahan masif' Embolisasi arteri bronkial selektif untuk mengendalikan perdarahan dapat berfungsi sebagai terapi yang defrnitif atau sebagai tindakan antara hingga torakotomi dapat dilalarkan.

Bronkoskopi. Saluran napas dapat divisualisasi dengan menggunakan bronkoskop kaku atau fiberoptik. 1)' Bronkoskopi frberoptik dengan anestesia topikal paling sering digunakan karena instrumen fleksibel ini dapat memvisualiasi bronki subsegmental dan saluran napas sentral serta lebih rryarflan bagi pasien. Satu kelemahan alat ini adalah diameter tempat menghisap c akatperdaruhan (suction port)yang kecil ( 65 tahun Pengobatan B-lactam dalam 3 bulan terakhir Alkoholisme Penyakit imunosupresif (termasuk terapi menggunakan kortikosteroid) Penyakit penyerta yang multiPel Kontak pada klinik lansia

Patogen gram negatif Tinggal di rumah jompo Penyakit kardiopulmonal penyerta Penyakit penyerta yang jamak Baru selesai mendapatkan terapi antibiotika

Pseudomonas aeruginoasa Penyakit paru struktural (bronchiektasis) Terapi kortikosteroid (>10m9 prednisone /hari) Terapi antibiotik spektrum luas > 7 hari pada bulan sebelumnYa

Malnutrisi

lingkungan pasien, tempat yang dikunjungi dan kontak dengan orang ataubinatang yang menderita penyakit yang serupa. Pneumonia diharapkan akan sembuh setelahterapi 2-3 minggu. Bila lebih lama perlu dicurigai adanya infeksi

kronik oleh bakteri anaerob atau non bakteri seperti oleh jamur, mikobakterium atau parasit.

Patogenesis PN Patogen yang sampai ke trakhea terutama berasal dari aspirasi bahan orofaring, kebocoran melalui mulut saluran endotrakheal, inhalasi, dan sumber bahan patogen yang mengalami kolonisasi di pipa endotrakeal. PN terjadi akibat

2198

REI,'MTTIOI.OGI

proses infeksi bila patogen yang masuk saluran napas

kini terjadi perubahan pola mikroorganisme penyebab

bagian bawah tersebut mengalami kolonisasi setelah dapat

ISNBA akibat adanya perubahan keadaan pasien seperti gangguan kekebalan dan penyakit kronik, polusi

meliwati hambatan mekanisme pertahanan inang berupa

daya tahan mekanik (epitel cilia dan mukus), humoral (antibodi dan komplemen) dan selular (lekosit polinuklir, makrofag, limfosit dan sitokinnya). Kolonisasi te{adi akibat adanya berbagai faktor inang dan terapi yang telah dilakukan yaitu adanya penyakit penyerta yang berat, tindakan bedah, pemberian antibiotik, obat-obatan lain dan tindakan invasif pada saluran pernapasan. Mekanisme lain

adalah pasasi bakteri pencernaan ke paru, penyebaran hematogen, dan akibat tindakan intubasi. Faktor risiko terjadinya PN dapat dikelompokkan atas 2 golongan yaittyang tidak bisa dirubah yaitu berkaitan dengan inang (seks pria, penyakit paru kronik, ata:u gagal organjamak), dan terkait tindakan yang diberikan (intubasi atau slang nasaogastrik). Pada faktor yang dapat dirubah

lingkungan, dan penggunaan antibiotik yang tidak tepat hingga menimbulkan perubahan karakteristik kuman. Te{adilah peningkatan patogenitas /jenis kuman. terutama S. aureus, B. cataruhalis, H. influenzae dan Enterobacteriacae oleh adanya berbagai mekanisme. Juga dijumpai pada berbagai bakteri enterik gram negatif. Etiologi pneumonia berbeda-beda pada berbagai tipe dari pneumonia, danhal ini berdampak kepada obat yang akan diberikan. Mikroorganisme penyebab yang tersering adalah bakteri, yangjenisnya berbeda antar rregara, anlara satu daerah dengan daerah lain pada satu negara, di luar RS dan di dalam RS, antara RS besar/ tersier dengan RS yang lebih kecil. Karena itu perlu diketahui dengan baik pola kuman di suatu tempat. Indonesia belum mempunyai

dapat dilakukan upaya berupa mengontrol infeksi,

data mengenai pola kuman penyebab secara umum, karena

disinfeksi dengan alkohol, pengawasan patogen resisten (multidrug resistent -MDR), penghentian dini pemakaian alat y ang invasif, dan pengatur an tatacara pemakaian AB. Faktor risiko kritis adalah ventilasi mekanik > 48 jam, lamanya perawatan di ICU, skorAPAClIE, adanyaARDs (acute respiratory distress syndrome). PN dan PBV onset dini terjadi dalam 4 hari pertama masuk RS, biasanya disebabkan oleh bakteri yang sensitif terhadap AB, kecuali bila telah pernah sebelumnya

itu meskipun pola kuman di luar negeri tidak sepenuhnya cocok dengan pola kuman di Indonesia, maka pedoman yang berdasarkan pola kuman diluar negeri dapat dipakai sebagai acuan secara umum.

mendapatAB atau dirawat di RS dalam waktu 90 hari. PN dan PBV onset lanjut (hari ke 5 atau lebih) lebih mungkin disebabkan oleh patogen MDR yang berkaitan dengan

mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Faktor risiko terjadinya infeksi pada PBV dapat dilihat pada Tabel 2.

Terapi dalam 90 hari sebelumnya Perawatan RS dalam 5 hari atau lebih

Frekuensi tinggi kuman resistens

Etiologi Pneumoni Komunitas Diketahui berbagai patogen yang cendrung dijumpai pada faktor risiko tertentu misalnya H. inJluenza pada pasien perokok, patogen atipikal pada lansia, gram negatifpada pasien dari rumahjompo, dengan adanya PPOK, penyakit

penyerta kardiopulmonal/ jamak, atau pasca terapi antibiotika spekrum luas. Ps. Aeruginosa pada pasien dengan bronkiektasis, terapi steroid (>10 mg/ hari), malnutrisi dan imunosupresi dengan disertai lekopeni. Pada PK rawat jalan jenis patogen tidak diketahui pada 40olo kasus. Dilaporkan adanya Str Pneumoniae pada 9-20o/o), M. pneumoniae (13-37%), Chlamydia pneumoniae

(sp t7%).

AB di RS atau

lingkungan pasien Faktor risiko PPK: o rawat di RS 2 hari atau lebih dalam 90 hari terakhir o berdiam di rumah jompo o terapi infus dirumah (termasuk antibiotika) o dialisis kronik dalam 30 hari o perawatan luka di rumah o anggota keluarga terinfksi patogenmultiresisten Penyakit imunosupresif +/- terapi

Patogen pada PK rawat inap diluar ICU. Pada2}- 70%o tidak diketahui penyebabnya. Str Pneumoniae dijvrnpai pada20-60Yo, H. influenzae (3-10%), dan oleh S. aureus, gram negatif enterik, M. pneumoniae, C. pneumoniae Legionella dan virus sebesar sp l0%. Kejadian infeksi kuman atipikal mencapai 40- 60%.Infeksi patogen gram

negatif bisa mencapai l0%o terutamapada pasien dengan

komorbiditas penyakit lain seperti disebut di atas. Ps.

Aeruginosa dilaporkan sebesar

4ol0.

lloh dari PK dirawat di ICU, 50-60% tidak diketahui Patogen pada PK Rawat Inap di ICU. Sebanyak

ETIOLOGI

eari-te4adlnya penularan berkaitan pula dengan jenis kq(nan, misalnya infeksi melalui droplet sering disebabkan pneumoniae, melalui slang infus oleh aureus sedangkan infeksi pada pemakaian ventilator oleh P aeruginosa dan Enterobacter. Padamasa

penyebabnya, sekitar 33% disebabkan Str. pneumoniae. Di samping patogen yang didapatkan pada paBien rawat inap non ICU, didapatkan peningkatan infeksi patogen Gram negatif. Enterobacteriacae dijttrnpai pada 20Yo, l020% di antaranya oleh Ps. Aeruginosa terutama pasien dengan bronkiektasis. Pada rumah jompo lebih sering dijumpai S. aureus yalg

2199

PNEI.N'ONIA

resisten methisilin (Methycilline resistant S. aureusMRSA), bakteri Gram negatif, M. tuberculosrs dan virus tertentu.(adenovirus, cyncytial virus (RSV) dan influenza. Secara in vitro di negara barat dilaporkan adanya resisten pneumokokkus terhadap penisillin (drug resistant Str. Pneumoniael DRSP) sampai sebesar 40olo kasus, yang biasanya disertai juga resisten terhadap sefalosporin, makrolid, doksisiklin, dan trimethoprim/sulpametoksazol.

Berbagai

AB lain aktif terhadap DRSP ini yaitu

fluoroquinolone antipneumokokus yang baru (seperti gatifloksasin, levofloksasin, atau moksifloksasin), juga ketolide, vankomisin atau linezolid. Patogen tertentu yang sering mengenai tiap kelompok di USA dan sekaligus terapinya dapat dilihat pada tabel 6. Penelitian PK rawat

inap di Asia misalnya Indonesia atau Malaysia mendapatkan patogen yang bukan Str. pneumoniae

sebagai penyebab tersering PK, antara

lain Kl.

pneumoniae.

Etiologi Kelompok Pneumonia Nosokomial Etiologi tergantun gpada 3 faktor yaitu: tingkat berat sakit, adanya risiko untuk jenis patogen tertentu, dan masa menjelang timbul onset pneumonia. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3.

Anamnesis. Ditujukan untuk mengetahui kemungkinan kuman penyebab yang berhubungan dengan faktor infeksi:

a. Evaluasi faktor pasien/predisposisi: PPOK (H. influenzae),penyakit kronik (kuman jamak), kejang/tidak sadar (aspirasi Gram negatif, anaerob), penurunan imunitas

(kuman Gram negatif), Pneumocystic carinii, CMY, Legionella,jamur, Mycobacterium), kecandtan obat bius (St ap hy I o c o c cus). b. B edakan lokasi infeksi : PK (S tr ept o coccus pneumoniae, H. inJluenzae, M. pneumoniae), nxnah jompo, PN (Srap hylococcus aureus), Gram negatif. c. Usia pasien: bayi (virus), muda (M. pneumoniae), dewasa (S. pneumoniae). d. Awitan: cepat, akut dengar, rusty coloured sputum (5. Pneumoniae);perlahan dengan batuk, dahak sedikit (M. pneumoniae).

Pemeriksaan fisis. Presentasi bervariasi tergantung etiologi, usia dan keadaan klinis. Perhatikan gejala klinis yang mengarah pada tipe kuman penyebab/ patogenitas kuman dan tingkat berat penyakit: a). Awitan akut biasanya oleh kuman patogen seperti S. pneumoniae. Streptococcus spp, Staphyloccus. Pneumonia virus ditandai dengan mialgia, malaise, batuk kering dan nonproduktif; b). Awitan lebih insidious dan ringan pada orang tua,/imunitas menurun akibat kuman yang kurang patogerVoporhrnistik, nlisalnya;

Klebsiella, Pseudomonas, Enterobacteriaceae, kuman anaerob, jamur; c). Tanda-tanda fisis pada tipe pneumonia klasik bisa didapatkan berupa demam, sesak napas, tanda-

Faktor Risiko

Patogen Staphylococcus

aureus

Methicillin resisten

aureus

S.

Ps. aeruginosa

Anaerob Acinobachter

spp.

Koma, cedera kepala,influenza, pemakaian obat lV, DM, gagal ginjal Pernah dapat antibiotik, ventilator > 2 hari Lama dirawat di lCU, terapi steroid/ antibiotik, Kelainaan struktur Paru (bronkiektasis,kistik fibrosis), malnutrisi Aspirasi, selesai operasi abdomen Antibiotik sebelum onset pneumonia dan ventilasi mekanik

tanda konsolidasi paru (perkusi paru yang pekak, ronki nyaring, suara pernapasan bronkial). Bentuk klasik pada PK primer berupa bronkopneumonia, pneumonia lobaris atau pleuropneumonia. Gejala atau bentuk yang tidak khas dijumpai pada PK yang sekunder (didahului penyakit dasar paru) ataupun PN. Dapat diperoleh bentuk manifestasi lain

infeksi paru seperti efusi pleura, pneumotoraksi hidropneumo toraks. Pada pasien PN atau dengan gangguan imun dapat dijumpai gangguan kesadaran oleh

hipoksia; d). Warna, konsistensi dan jumlah sputum penting untuk diperhatikan

Pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan radiologis. Pola radiologis dapat berupa pneumonia alveolar dengan

DIAGNOSIS

airspace disease) misalnya oleh Streptococcus pneumoniae, bronkopneumonia (segmen-

Penegakan Diagnosis

tal disease) oleh antara lair. staphylococcus, virus atau mikoplasma; dan pneumonia interstisial (interstitial

gambaran airbronkhogram

Penegakan diagnosis dibuat dengan maksud pengarahan

kepada pemberian terapi yaitu dengan cara mencakup bentuk dan luas penyakit, tingkat berat penyakit, dan

perkiraan jenis kuman penyebab infeksi. Dugaan mikroorganisme penyebab infeksi akan mengarahkan kepada pemilihan terapi empiris antibiotik yang tepat (Tabel 6). Seringkali bentuk pneumonia mirip meskipun disebabkan oleh kuman yang berbeda' Diagnosis pneumonia didasarkan kepada riwayat penyakit yang lengkap, pemeriksaan fisis yang teliti dan pemeriksaan penunj ang.

(

disease) oleh virus dan mikoplasma. Distribusi infiltratpada segmen apikal lobus bawah atau inferior lobus atas sugestif untuk kuman aspirasi. Tetapi pada pasien yang tidak sadar, lokasi ini bisa di mana saja. Infiltrat di lobus atas sering ditimbulkan Klebsiella spp, tuberkulosis atau amiloidosis. Pada lobus bawah dapat terj adi infiltrat at'rbat St ap hy lo c o c cus atau bakteriemia.

Bentuk lesi berupa kavitasi dengan air-fluid level sugestif untuk abses paru, infeksi anaerob, Gram negatif atau amiloidosis. Efusi pleura dengan pneumonia sering ditimbulkan S. pneumoniae. Dapat juga oleh kuman

2200

REI,'MANqOGI

anaerob, S. pyogenes,

E. coli dan Staphylococcus

(pada anak). Kadang-kadang oleh K. pneumoniae, P.pseudomallei.

Pembentukan kista terdapat pada pneumonia nekrotikans/ supurativa, abses dan fibrosis akibat terjadinya nekrosis jaringan paru oleh kuman S. aureus, K. pneumoniae dan kuman-kuman anaerob (Streptococcus

anaerob,

B acteroides, Fus

obacterium). IJlangan foto perlu

dilakukan untuk melihat kemungkinan adanya infeksi sekunder/tambahan, efu si pleura penye rta y angterinfeksi atau pembentukan abses. Pada pasien yang mengalami

perbaikan klinis ulangan foto dada dapat ditunda karena resolusi pneumonia berlangsung 4-12 mingga.

Pemeriksaan laboratorium. Leukositosis urnumnya menandai adanya infeksi bakteri; leukosit normaVrendah dapat disebabkan oleh infeksi virus/mikoplasma atau pada infeksi yang berat sehingga tidak terjadi respons leukosit, orang tua atau lemah. Leukopenia menunjukkan depresi imunitas, misalnya neutropenia pada infeksi kuman Gram negatifatau S. aureus pada pasien dengan keganasan dan gangguan kekebalan. Faal hati mungkin terganggu. Pemeriksaan bakteriologis. Bahan berasal dari sputum, darah, aspirasi nasotrakeal/transtrakeal, aspirasi jarum transtorakal, torakosentesis, bronkoskopi, atau biopsi. Untuk tujuan terapi empiris dilakukan pemeriksaan apus Gram, Burri Gin, QuellungtestdanZ. Nielsen. Kumanyang

predominan pada sputum yang disertai PMN yang kemungkinan merupakan penyebab infeksi. Kultur kuman merupakan pemeriksaan utama pra terapi dan bermanfaat untuk evaluasi terapi selanjutnya.

Pemeriksaan khusus. Titer antibodi tertiadap virus, legionella, dan mikoplasma. Nilai diagnostik bila titer tinggi atau ada kenaikan titer 4 kali. Analisis gas darah dilakukan

untuk menilai tingkat hipoksia dan kebutuhan oksigen.

Pada pasien PN/PK yang dirawat nginap perlu diperiksakan analisa gas darah, dan kultur darah.

Pneumonia Komunitas

Stratifikasi pada pneumonia komunitas. PORT (Pneumonia Patient Outcome Research Team) mengajt*arr faktor risiko berkaitan yang berkaitan dengan peningkatan angka mortalitas atau komplikasi yang dapat terjadi. Faktor risiko tersebut adalah: l). Usia di atas 65 tahun 2). Adanya infeksi pada paru yang multilober/nekrotikans, pasca obstruktif, atau aspirasi; 3). penyakit penyerta seperti PPOK, bronkiektasis, keganansan, DM, gagal ginjal, kronik,

gagal jantung, sirosis hepatic, penyakit serovaskular, alkoholik, malnutrisi, gangguan imun dan pasca spelektomi; 3). Manifestasi infeksi organ jamak atau komplikasi organ

ekstrapulmoner; 4). Tanda fisik yang memprediksi mortalitas, peningkatan mobiditas, dan komplikasi, berupa: Respirasi >30x/menit; tekanan diastolik 4ffC, bingung

atau penurunan kesadaran; and bukti adanya infeksi ekstraparu. 4. Hasil laboratorium lekosit < 4.000 atau >30.000/mm3;PaO2 50 mmHg; kreatinin >1,2 mgo/o atau BUN >20 mg%o; gambaran foto torak terlihat lesi lobus jamak, adanya rongga, perluasan yang cepat atau adanya efusi pleura; hematokrit 25 sernakin efektif dan bila AUC: MIC Ratio di atas 100, akan dapat menekan terjadinya perkembangan resistensi patogen. Hal ini penting terutama pada pengobatan pasien dengan imunokompromais.

CaraPemilihanAB Pilihan AB dapat berupa: a. AB tunggal. Dipilih yang paling cocok diberikan pada pasien PK yang asalnya sehat dan gambaran klinisnya sugestif disebabkan oleh tipe kuman tertentu yang sensitif; b. Kombinasi AB. Diberikan dengan maksud unhrk mencakup spektrum kuman-kuman yang dicurigai, untuk meningkatkan aktivitas spektrum,

dan pada infeksi jamak. Bila perlu diusahakan pula perbaikan penetrasi obat, misalnya drainase sputum pada bronkiektasis terinfeksi. Bila telah didapat hasil kultur dan tes kepekaan maka hasil ini dapat dijadikan pertimbangan untuk memberikanAB yang lebih terarah atau monoterapi.

Dalam rangka pemberian terapi PK dimasukkan shatifikasi atas 4 kelompok berdasarkan kepada tempat perawatan (rawal jalary rawat inap biasa atau ICfD, adalya

terhadap pneumokokkus resisten, infeksi patogen gram negatif dan infeksi Ps. aeruginosa. Kelompok I. Pasien berobat jalan tanpa riwayat penyakit jantung paru dan tanpa adanya " faktor perubah" (faktor risiko untuk Sh. Pneumonia resisten AB. Atau Gram negatif. Kelompok Il.Pasien berobat jalan dengan penyakit jantung paru, dengan/tanpa "faktor perubah". Kelompok IIIa. Pasien rawat RS diluar ICU, yang menderita penyakit jantungparu dan/ atau faktor "perubah".RS. Kelompok IIIb. Pasien tidak disertai penyakit jantung paru atau faktor perubah lainnya. IV. Pasien dirawat di ICU a. tanpa risiko untuk Ps. Aeruginosa dan b. dengasn risiko terhadap Ps. Aerugininoca. Pada pendekatan stratifikasi ini acuan terapi adalah cerminan dari beratnya sakit, indikasi rawat inap atau rawat di ICU. (lihat Tabel2). Pada prinsipnya sistim ini menunjukkan patogen yang umum dijumpai secara berurutan. Kelompok I. Pasien Rawat jalan tanpa riwayat penyakit kardiopulmonal dan'faktor perubah'. AB yang diberikan adalah AB dengan spektrum luas, yang kemudian sesuai hasil kultur dirubah menjadi AB

spektrum sempit. Lama pemberian terapi ditentukan

penyakit penyerta kardiopulmonal @POK penyakit jantung

kongestif), dan berdasarkan "faktor perubah"

berdasarkan adanya penyakit penyerta dan/atau bakteriemi, beratnya penyakit pada onset terapi dan perjalanan penyakit pasien. Umumnya terapi diberikan selama 7- 10 hari. Untuk

(modifying factor) yang mencakup adanya faktor risiko

infeksi M. pneumoniae dan C. pneumoniae selama 10- 14

2203

PNEI,'MONIA

hari, sedangkan pada pasien dengan terapi steroidjangka

SUSPEK PN, PBV,.atau PPK

panjang selama l4hai atau lebih. Pada terapi PK rawat inap, proses perbaikan akan terlihat 3 tahap yaitu tahap I . pada saat pemberian AB IV selama 3 hari akan terlihat pasien stabil secara klinik; kemudian terlihat perbaikan keluhan dan tanda fisik serta nilai laboratorium. Pada fase ke 3 terlihat penyembuhan

Dimulai Terapi Empirik AB Berdasarkan Algoritme bagan a dan pola patogen lokal

dan resolusi penyakit. Keterlambatan perbaikan klinik dapat disebabkan patogen yang resisten atau bakteriemi' Di samping itu faktor inang berupa usia tua, penyakit penyerta jamak atau progresifitas penyakit. Dapat pula disebabkan oleh alkoholik, pneumonia multilober, atau

Hari ke 2- 3: Evaluasi Klinis dan Oata Lab. igenasi, sputum Purulent, ik dn fungsi organ)

(Suhu,

Perbaikan klinik dana 48- 72 jam

empiema. Bila keadaan klinik membaik dengan berkurangnya batuk, afebril dalam2 x 8 jam berturutan, lekositosis menurun dan fungsi saluran cerna membaik, maka dilakukan alih terapi ke AB per oral yang dianggap cocok dengan patogen penyebabnya. Kepulangan pasien dari rawat inap tergantungjuga kepada kondisi pasien dan adanya penyakit penyerta. Bila belum ada respons yang baik dalam 72 jam (tetladi pada l\oh pasien), lakukan evaluasi terhadap adanya kemungkinan patogen yang resisten, komplikasi atau

lain? Komplikasi, D/ lain Lokasi infeksi lain

Pikirkan menyetop AB

B,

Cari patogen

lain,

'l'ingkatkan AB TeraPi 7- I hari, Evaluasi ulang

D/ lain, Lokasi infeksi lain

Gambar 1. Startegi tatalaksana suspek PN, PBV, ATAU PPK

penyakitnya bukan pneumonia. Reevaluasi ditujukan kepada faktor predisposisi dari terjadinya infeksi. Telah diketahui bahwa kuman penyebab berbeda pada pneumonia komunitas dengan pneumonia nosokomial, dan antara satu kasus dengan kasus lainnya. Dengan demikian

tidak ada patokan tetap dalam pemilihan jenis AB. Berdasarkan pengetahuan dan perkiraan jenis kuman penyebab tingkat berat sakit PK atau PN dapat dipilih

S. pneumoniae H.

terapi awaljenisAB, yang kemudian diikuti pemberianAB lanjutan dengan mempertimbangkan hasil bakteriologi dan respons klinis. Ketentuan untuk memberikan makrolid pada pasien PK berat di daerahAsia perlu diteliti lebih lanjut. Penelitian di Malaysia terhadap pasien PKyang diberikan makrolid dan tidak diberikan makrolid tidak didapat perbedaanmanfaat

Escherichia K.

yang bermakna khususnya mengenai mortalitas, penggunaan venltilator, ataupun lamanya rawat inap. Hal

dengan perbedaan jenis dan kepekaan patogen penyebab PK.

ini berkaitan

Antibiotika yang Disarankan

Patogen Potensial

influenzae

Gram (-) sensitif

:

antibiotik

Seftriakson Atau

Levofloksasin, moksifloksasin atau Ciprofloksasin

Atau coli pneumonias Ampisilin/sulbaktam o Enterobacter spp. Atau . Serratia marcescens Ertapenem

.

Catatan: Karena S. pneumoniaeyang resisten penisilin semakin sering terjadi maka Levofloksasin, moksifloksasin lebih dianjurkan

tidak ada risiko MDR. Hal ini untuk mencegah terjadinya resistensi patogen pada saat terapi terhadap P. Aeruginosa, dan pada saat memberikan sefalosporin gen ke-3 terhadap Enterobakter. Diberikan terapijangka pendek dalam 7 hari bila didapat respons yang baik, dan penyebabnya bukan P. Aeruginosa.

Strategi terapi pada PN berdasarkan keadaan klinik dan

Pada umumnya spektrum aktivitas AB apapun tidak mencakup semua kuman penting yang biasa menjadi

bakteriologik pasien seperti tercantum pada Bagan

penyebab PN, kecuali sefpirom dankarbapenem' Sefpirom

Pneumonia Nosokomial 1.

Berdasarkan pertimbangan adaltidak adanya onset lambat > 5 hari dan adanya faktor risiko patogen MDR, diberikan terapi empirik awal dengan terapi AB spektrum terbatas (Tabel 7), ata.u spektmm luas AB untuk patogen MDR (lhbet 8). Dosis untuk dapat dilihat pada Tabel9. Terapi

segera diberikan karena keterlambatan terapi dapat mengakibatkan peningkatan mortalitas. Pasien diberikan terapi empirik didasarkan kepada risiko infeksi MDR dan gram negatif dalam bentuk kombinasi, dan monoterapi bila

merupakan sefalosporin generasi ke-4 yang spektrumnya

mencakup sebagian besar kuman penyebab infeksi nosokomial di ruangan umum/IAJ @rffn$Jk Staplrylococcas

aureus dan Staphylococcus coagulase negatif. Seperti halnya sefalosporin lain dan karbapenern, sefoirom kurang aktif terhadap Methicillin Resistant Staplrylococcus Aureus (MRSA). Untuk MRSA yang diperkimkan terjadi pada2}Yodari infeksi Stap hylococcus dapat dipergunakan

vankomisin atau linezolid.

2204

REUMIIIOLJOGI

(switch therapy) kepada bentuk oral. ModifikasiAB perlu dilakukan bila telah didapat hasil bakteriologik dari bahan sputum atau darah. Respons terhadap AB di evaluasi dalam 72 jam. Kegagalan terapi

Suspek Patogen

Antibiotika yang Disarankan

Patogen seperti di Tabel b dair Patogen Resisten AB jamak:

Sefaloseporin antipseudomonas (cefeime, ceftazidime) Atau Carbepenem antipseudomonas (imipenem atau meropenem)

Ps. aeruginosa K. pneumoniae

Acinobachter spp Methicilin sensitif aureus Gram negatif sensitif antibiotik Escherichia coli K. pneumoniae Enterobacter spp. Proteus spp. Senatia marcescens :

-

Atau B- laktam/R- laktamase

inhobitor (piperasilin- tazobaktam) Plus

Kuinolon antipseudomonas (Ciprofloaksasin atau levofloksasin) Atau

-

methicillin resisten Staph. Aureus Legionella fi ika dicurigai)

@ffi

dapat disebabkan kesalahan diagnosis, kesalahan sangkaan patogen, atau komplikasi. Kesalahaan diagnosis karena terdapat penyakit lain berupa atelektasis, emboli paru, ARDS, penyakit dasar neoplasma. Patogen penyebab mungkin berupa MDR (bakteri, mikobakteri, virus, jamur) atau karena salah terapi misalnya dosis yang tak adekuat ata.u cara pemberian yang salah. Komplikasi yang mungkin terjadi misalnya empiema, abses paru, superinfeksi atau demam akibat obat (drugfever).Dapat juga karena faktor inang berupa berupa respons imun yang menurun, obstruksi saluran napas.

Bila telah ada hasil kultur, AB dimodifikasi bila

Aminoglikosida (amikasin, gentamisin, atau tobramisin)

didapatkan kuman yang resisten yang tidak tercakup dalam

Plus Linezolid atau vankomisin

spektrum Ats yang sedang diberikan, atau sebaliknya dipakaiAB dengan spektmmyang lebih sempit atau lebih ringan bila Ps. Aeruginosa dan Asinobakter tidak

makrolid (azithromisin) atau

ditemukan.

Meminimalkan Resistensi Patogen

terjadi maka Levofloksasin, moksifloksasin lebih dianjurkan

Secara teoritis pemilihanAB berdasarkan farmakodinamik akan meningkatkan eradikasi kumandan dengan demikian

membatasi timbulnya resistensi patogen. Pencegahan resistensiAB berdasarkan tes DNAmerupakan cara yang memberikan harapan.Di samping itu perlu dilaksanakan program penelitian dan pengawadan resistensi patogen Suspek Patogen

terhadap AB.

Antibiotik yang Disarankan

Sefaloseforin antipseudomonas Cefepime Ceftazidime Carbapenem: lmipenem

-

1-2 gram tiap 8- 12 jam 2 gram tiap 8 jam

-

0,5 gram tiap 6 jam atau gram tiap '12 jam 1 gram tiap 8 jam

- Meropenem B laktami B laktamase inhibitor: - Pipreasilin- tazobaktam Aminoglikosida Gentamisin Toramisin Amikasin

-

pengenceran dahak yang kental, dapat disertai nebulizer

untuk pemberian bronkodilator bila 1

4,5 gram tiap 6 jam

terdapat

bronkospasme; 3). Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak, khususnya anjuran untuk batuk dan napas dalam.

Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untnk melancarkan ekspirasi dan pengeluaran COr. Posisi tidur

setengah duduk untuk melancarkan pernapasan; 4).

:

Kuinolon antipseudomonas Levofloksasin Ciprofloksasin Vancomisin Linezolid

-

Terapi suportif. 1). Terapi 02 untuk mencapai PaO, 80-100 mmHg atau saturasi 95-96% berdasarkan pemeriksaan analisis gas darah; 2). Humidifft asi derrgar, nebulizer wfiik

7 mglkgl hari

Pengaturan cairan. Keutuhan kapiler paru sering terganggu

7 mg/kg/ hari 20 mg/kg/ hari

pada pneumonia, dan paru lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bi-

750 mg/ hari 400 g/ 8 jam '15 mg/ kg/ 12 jam 600 mg/ 12 jam

lateral. Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik, termasuk pada keadaan gangguan sirkulasi dan gagat ginjal. Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak

Dosis berdasarkan fungsi ginjal dan hati yang normal.

Pada PN dengan imunitas yang normal terapi AB biasanya diberikan selama 2 minggu, dapat diperpanjang

bila terdapat gangguan daya tahan tubuh. Pasien ini biasanya menyelesaikan terapi AB parenteral di RS dan tidak ada kesempatan untuk dilakukan pengalihan obat

diperkenankan; 5). Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan.Terapi ini tidak bermanfrat pada keadaan renjatan septik; 6). Pertimbangkan obat inotropik

seperti dobutamin atau doparnin kadang-kadang diperlukan bila terdapat komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal; 7). Ventilasi mekanis. Indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah: a). Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan Orl00%

2205

PNEl.rIlrlOllIA

dengan menggunakan masker. Konsentrasi O, yang tinggi

menyebabkan penunrnan kompliens paru hingga tekanan inflasi meninggi. Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP

untuk memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO, menjadi 50Yo atau lebih rendah; b). Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan COrdidapat asidosis, henti napas, retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif. 8). Drainase empiema bila ada; 9). Bila terdapat gagalnapas,

diberikan nutrisi yang cukup kalori terutama didapatkan dari lemak (50Yo),hnggadapat dihindari produksi COryang berlebihan.

KOMPLIKASI Dapat terjadi komplikasi pneumonia ekstrapulmoner,

misalnya pada pneumonia pneumokokkus dengan bakteriemi dijumpai pada l0%" kasus berupa meningitis. arthritis, endokarditis, perikarditis, peritonitis dan empiema.

Terkadang dijumpai komplikasi ekstrapulmoner non infeksius bisa dijumpai yang memperlambat resolusi gambaran radiologi paru, antara lain gagal ginjal, gagal

Faktor lnang

- Nukisi adekuat, makanan enteral dengan slang nasaogastrik - Reduksi/ penghentian terapi imunosupresif - Cegah ekstubasi yang tidak direncanakan (tangan diikat, beri sedasi) - Tempat tidur yang kinetik - Spirometer incentif,nafas dalam, kontrol rasa nyeri - Mengobati penyakit dasar - Menghindari penghambat histamin tipe 2 dan antasida Faktor Alat - Kurangi obat sedatif dan paralitik - Hindari overdistensi lanbung - Hindari intubasi dan reintubasi - Pencabutan slang endotrakheal dan nasogastrik yang -

terencana

/.duduk (30- 40 derajat) Jaga saluran ventilator bebas dari kondensasi Tekanan ujung slang endotrakheal > 20 cmHzO (menjaga kebocoran patogen ke saluran nafas bawah) Aspirasi sekresi epiglottis yang kontinyu Posisi

Faktor Lingkungan

-

Pendidikan Menjaga prosedur pengontrol infeksi oleh staf Program pengontrolan infeksi Mencuci tangan, desinfektasi peralatan

jantung, emboli paru atau infark paru, dan infark miokard akut. Dapat terj adi komplikasi lain berupa a cute respiratory distress syndrome (ARDS), gagal organ jamak, dan komplikasi lanjut berupa pneumonia nosokomial.

PROGNOS!S PENCEGAHAN

Pneumonia Komunitas Di luar negeri dianjurkan pemberian vaksinasi influenza dan pneumokokus pada orang dengan risiko tinggi, dengan gangguan imunologis, penyakit berat termasuk penyakitparukronik, hati, ginjal danjantung. Di samping itu vaksinasi juga perlu diberikan untuk penghuni rumah jompo atau rumah penampungan panyakit kronik, dan usia

di atas 65 tahun.

Pneumonia Nosokomial Pencegahan PN ditujukan kepada upaya program

pengawasan dan pengontrolan infeksi termasuk pendidikan staf pelaksana, pelaksanaan tehnik isolasi dan praktek pengontrolan infeksi. Pada pasien dengan gagal organ ganda,, skoTAPACIIE yang tinggi danpenyakit dasar

yang dapat berakibat fatal perlu diberikan terapi pencegahan. Terdapat berbagai faktor terjadinya PN. Dari berbagai risiko tersebut beberapa faktor penting tidak bisa

dikoreksi. Beberapa faktor dapat dikoreksi untuk mengurangi terjadinya PN, yaitu antara lain dengan pembatasan pemakaian selang nasogastrik atau endotrakeal atau pemakaian obat sitoprotektif sebagai pengganti antagonis H2 dan antasid. (Tabel 10)

Pneumonia Komunitas Kejadian PK di USA adalah 3.4- 4 juta kasus pertahun, dan 20o/o di afiaranya perlu dirawat di RS. Secara umum angka kematian pneumonia oleh pneumokokkus adalah sebesar 5olo, namun dapat meningkat pada orang tua dengan kondisi yang buruk. Pneumonia dengan influenza di USA

merupakan penyebab kematian no. 6 dengan kejadian sebesar 5 9olo. Sebagian besar pada lanjut usia yaitu sebesar 89%. Mortalitas pasien CAP yang dirawat di ICU adalah sebesar 20o/o.Mortalitas yang tinggi ini berkaitan dengan "faktor perubah" yang ada pada pasien.

Pneumonia Nosokomial Angka mortalitas PN dapat mencapai 33- 50yo, yang bisa

mencapai 70% bila termasuk yang meninggal akibat penyakit dasar yang dideritanya. Penyebab kematian biasanya adalah akibat bakteriemi terutama oleh Ps. Aeruginosa atau Acinobacter spp.

REFERENSI America Thoracic Society Documents. Guidelines for the with Hospital- acquired, Ventilator- associated, and Healthcare- associated Pneumonia. The Offcial Statement of America Thoracic Society and Infectious Doseases

Management of Adults

2206

REI,JMAIOI.OGI

Society of America. Am J Respir Crit Care Med 2005; 171: 3gg-

416. American Thoracic Society. Guidelines for the management of Adults with Community - Acquired Pneumonia. Diagnosis, Assessment of severity, Antimicrobial, Therapy and pevention, A J Respir

Crit Med Crit Care Med. 2001; 163: l73O-54. Bemstein MJ. Treatment of community-Acqufued pneumonia-IDSA Guidelines. Am College Chest Phys 1999; 115:9S-13S. Brannan PJ. Nosocomial pneumonia.

In: Fishman Ap (ed). Pulmonary Diseases and Disorders. Companion Book. Second Ed. New York: McGraw-Hill Int. Ed,. t994;39:325-3t.

CK Lim, KH Lim, and CMM Wong. Community acquired- pneumonia in patients requiring hospitalization. Respirology 2001; Sept, 6(3):2s9- 64.

BA. Pneumonia, Community (lan. 2);3(1): 1-35.

Cunha

Farber MO. Managing cmmunity

-

Acquired. eMedicine J 2002

- acquired pneumonia. Factors to

consider in outpatient care. h@://wwwpostgradmed.com/issues/ 1994104 _99 I farber.htm. Post graduate Medicine 1 999; 1 05(4)

(April).

Guthrie RM, Jacobs M, Low DE, Mandell, L. Slama T. How to Combat Escalating Resistance: Lessons Learned From MRSA. Treating Resistant Respiratory Infections in the Primary Care Setting: The Role of the Now Quinolone. Medscape, CME Circle 2001 :7 -47 . http://www.medscape.com./viewprograml 204 1nt Kohno S, Matsushima T, Saito A, Nakata K, Yamaguchi K, et al. The Japanese Respiratory Society Guidelines for the management of hospital-acquired pneumonia in adults. Japanese Respiratory Society. Respirology. 2004;9: S 1-555. Lim WS, Macfarlane JT, Boswell TCJ, Harrison TG, Rose D, Leinonen M, Saikku P. Study of community acquired pneumonia aetiology (SCAPA) in adults admitted to hospital: implications for management guidelines. Thorax 2001 ;56.296301. Loh LC, Quah SY,Khoo SK, Vijayasingham P and Thayaparan T.

Addition of Macrolide in treating adult hospitalized community-acquired pneumonia. Respirology. 2005; l0: 37 7-7. Tarsia P, Aliberti S, Cosentini R, dan Blasi F. Hospital acquired pneumonia. Breathe 2005 (June); l(4): 297-301. Winterbauer RlI. Atypical pneumonia syndrome. In: Clinics in Chest Medicine. Philadelphia: WB Saunders Co.: 1991; VoLl2 (2).

354 PNEUMONIA BENTUK KHUSUS ZulDahlan

PENDAHULUAN Pneumonia dapat memberikan gambaran yang berbeda dari pneumonia bakterial akut dan dapat terjadi di lingkungan masyarakat ataupun di rumah sakit. Keadaan ini terjadi karena latar belakang patofisiologinya berbeda dengan

. .

pembiusan, cedera kepala, tumor otak) Disfagia sekunder akibat penyakit esofagus atau saraf (kanker nasofaring, skleroderma) Kerusakan shngter esofagus oleh selang nasogastrik. Juga berperan jumlah bahan aspirasi, higienegigi yang tidak baik, dan gangguan mekanisme klirens saluran napas.

pneumonia bakterial akut.

Luas dan beratnya kondisi pasien sering tergantung kepada volume dan keasaman cairan lambung. Jumlah asarn

PNEUMONIAASPIRASI Aspirasi merupakan proses terbawanya bahan yang ada di orofaring pada saat respirasi ke safruan napas bawah dan dapat menimbulkan kerusakan parenkim paru. Kerusakanyang terjadi tergantung jumlah danjenis bahan yang teraspirasi serta dayatahantubuh. Sindrom aspirasi dikenal dalam berbagai bentuk berdasarkan etiologi dan patofisiologi yang berbeda dan cata terapi yang juga berbeda. Di Amerika pneumonia aspirasi yang terjadi pada komunitas (PAK) adalah sebanyak 1200 per 100.000 penduduk per tahun, sedangkan pneumonia aspirasi nosokomial (PAN) sebesar 800 pasien per 100.000 pasien rawat inap per tahun. PA lebih sering dijumpai pada pria daripada perempuan, terutama usia anak atau usia lanjut.

lambung yang banyak dapat menimbulkan gangguan pernapasan akut dalam waktu I jam setelah obstruksi sebagai akibat dari aspirat atau cairan yang masuk ke saluran

napas. Namun biasanya aspirasi sedikit hingga hanya menimbulkan sakit ringan. Pneumonia aspirasi (PA) sering

dijumpai pada keadaaan emergensi yaitu pada pasien dengan gangguan kesadaran dengan atau tanpa gangguan menelan. Karena itu perlu diwaspadai risiko terjadinya PA pada pasien dengan infeksi, intoksikasi obat, gangguan metabolisme, strok akut dengan atattanpa massa di otak

atau cedera kepala. Aspirasi cairan lambung dapat menimbulkan pneumonitis kimia (Sindrom Mendelson) dan pneumonitis bakteril sering tedadi akibat flora orofaring.

ETIOLOGI PATOFISIOLOGI

Infeksi terjadi secara endogen oleh kuman orofaring yang

Pneumonia aspirasi dapat disebabkan oleh infeksi kuman,

biasanya polimikrobial namun jenisnya tergantung kepada lokasi, tempat terjadinya, yaitu di komunitas atau di RS.

pneumonitis kimia akibat aspirasi bahan toksik, akibat aspirasi cairan inert misalnya cairan makanan atau lambung,

Pada PAK, kuman patogen terutama berupa kuman anaerob

obligat (41-46%) yang terdapat di sekitar gigi dan

edema paru, dan obstruksi mekanik simpel oleh bahan padat.

dikeluarkan melalui ludah, mi salnya Peptococcus yarrg juga

dapat disertai Klebsiella pneumoniae dan Stafilokokus,

atau Fusobacterium nucleatum,

Faktor predisposisi terj adinya aspirasi berulangkali adalah:

.

Bacteriodes

melaninogenicus, dan Peptostreptococcus. Pada PAN pasien di RS kumannya berasal dari kolonisasi kuman

Penurunan kesadaran yang mengganggu proses

penutupan glotis, refleks batuk (kejang, strok,

2207

2208

PULNilONO.OGI

anaerob fakultatif, batang Gram negatif, pseudomonas, proteus, serratia dan S. aureus di samping bisa juga

hasil terapi dan resolusi terhadap terapi berdasarkan

disertai oleh kuman anaerob obligat di atas. pada pasien yang berasal dari rumah perawatan (nursing home) dapat terinfeksi patogen seperti halnya pada infeksi nosokomial.

penggantian atau penyesuaian antibiotik (AB).

Manifestasi pneumonia aspirasi dapat berupa bronkopneumonia, pneumonia lobar, pneumonia nekrotikans, atau abses paru dan dapat diikuti terjadinya emprema.

DIAGNOSIS Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang menyokong adanya kemungkinan aspirasi yaitu pada pasien yang berisiko untuk mengalami pneumonia aspirasi yaitu pasien yang mendadak batuk dan sesak napas sesudah makan atau minum. Awitan umumnya insidious, walaupun pada infeksi anaerob bisa memberikan gambaran akut seperti pneumonia pneumokokus berupa sesak napas pada saat istirahat, sianosis Umumnya pasien datang l-2 minggu sesudah aspirasi, dengan keluhan demam menggigil, nyeri pleuritik, batuk, dan dahakpurulen berbau (pada 50% kasus).

Kemudian bisa ditemukan nyeri perut, anoreksia, dan penurunan berat badan. Dengan pewarnaan Gram terhadap bahan sputum saluran napas dijumpai banyak neutrofil dan kuman campuran. Terdapat leukositosis dan Lanju Endap Darah (LED) meningkat. Pada foto toraks terlihat gambaran infilhat pada segmen paru unilateral yang dependen yang mungkin disertai kavitasi dan efusi pleura. Lokasi tersering adalah lobus kanan tengah dan/ ata:o lobus atas, meskipun lokasi ini tergantung kepadajumlah aspirat dan posisi badan pada saat aspirasi. Perlu diperiksakan elektrolit, Blood t_Irea Nitrogen (BUN) dankreatinin, analisis gas darah, dankultur darah.

TERAP! Pasien dibaringkan setengah duduk. Pada pasien dengan disfagi dan atau gangguan refleks menelan mungkin perlu dipasang selang nasogastrik. Pada PAK terapi empirik haruslah mencakup patogen anaerob, sedangkan pada PAN harus pula mencakup patogen Gram negatif dan S. qureus sampai hasil kultur sputummemberikan hasil untuk penentuan terapi antibiotika. Pneumonia aspirasi (PA) dengan tipe yang didapat di masyarakat diberikan penisilin atau sefalosporin generasi ke 3, ataupun klindamisin 600 mg ivl8 jam bila penisilin tidak mempan atau alergi terhadap penisilin. Bila PA didapat di rumah sakit diberikan antibiotik spektrum luas terhadap

kuman aerob dan anaerob, misalnya aminoglikosida dikombinasikan dengan sefalosporin generasi ke-3 atau4, atau klindamisin. Perlu dipertimbangkan pola dan resistensi kuman di rumah sakit bersangkutan. Dilakukan evaluasi

gambaran

klinis bakteriologis untuk memutuskan

Tidak ada patokan pasti lamanya terapi. Antibiotik perlu diteruskan hingga kondisi pasien baik, gambaran radiologis bersih atau stabil selama 2 minggu. Biasanya diperlukan terapi 3-6 minggu. Pada empiema perlu dipasang water scaled drainase (WSD), dan pada pasien yang pada foto toraks memberikan gambaran abses paru yang diduga disertai penyumbatan saluran napas atau bekuan mukus perlu dilakukan bronkoskopi terapeutik. Bedah terhadap abses tidak diperlukan kecuali bila respons terapi kurang dan terjadi relaps infeksi di tempat yang sama.

Kortikosteroid diberikan sebagai obat tambahan bila terdapat bronkokonstriksi reaktif.

KOMPLIKASI DAN MORTALITAS Dapatteqadi gagal napas akut dengan/tanpa disertai reaktif saluran napas, empiema, abses paru dan superinfeksi paru.

Angka mortalitas PAK adalah sebesar menjadi20%pada PAN.

5olo

yang meningkat

PROGNOSIS

Angka mortalitas pneumonitis yang tidak disertai komplikasi adalah sebesar

5olo,

sedangkanpada aspirasi

masifdengan/tanpa disertai Sindrom Mendelson mencap ai7 0%o.

PNEUMONIA PADA GANGGUAN IMUN Pada pasien dengan gangguan imun terdapat faktor predisposisi berupa kekurangan imunitas akibat proses penyakit dasamya atau akibat terapi. Gangguan ini terdapat dalam berbagai kategori abnormalitas yaitu mekanisme pertahanan tubuh, misalnya gangguan dari imunoglobulin, defek sel granulosit, defek fungsi sel T. Benhrk pneumonia yang terjadi tergantung pada defek imunitas tersebut.

Pemberian kemoterapi merusak ketahanan mukosa sehingga memudahkan terjadinya invasi kuman. Infeksi merupakan penyebab kematian yang tersering terutama pada pasien leukemia akut. Lokasi infeksi yang utama adalah di saluran napas bawah. Infeksi pada pasien ini sulit didiagnosis, sulit diterapi, serta buruk prognosisnya. Penyebab infeksi dapat disebabkan oleh kuman patogen atau mikroorganisme yang biasanya nonvirulen, berupa bakteri, protozoa, parasit, virus,jamur, dan cacing. Perubahan flora kuman orofaring dan saluran napas atas pada gangguan imun cepat terjadi hingga terutama dijumpai kuman Gram negatif dan setelah terapi antibiotik

atau steroid juga didapatkan kandidiasis. Tindakan pengisapan, intubasi atau bronkoskopi menyebabkan

2209

PNEI'IUONIA BENTUK KHUSUS

PNEUMONIA PADA USIA LANJUT

adanyakolonisasi kuman di saluran napas bawah. Pasien granulositopenia dan gangguan granulosit cenderung peka untuk infeksi oleh kuman Gram negatif batang, S. aureus, atau jamur aspergilus dan zigomisetes. Sebaliknya pasien dengan gangguan imunitas selular cenderung terinfeksi oleh infeksi virus terutama grup virus herpes (CMV, Herpes simplex) dar, adenoviras, mikobakterium,

Pneumonia komunitas pada usia lanjut (di atas 60 tahun) terutama terjadi pada 2 kelompok yaitu usia lanjut yang tinggal di rumah dan yang tinggal di rumah perawatan.

carinii, toksoplasma, kriptokokus,

di antara pneumonia komunitas dan pneumonia nosokomial.

Pneumocystic

aspergilus, dan nokardia.

Diagnosis ditegakkan atas dasar adanya faktor predisposisi, status epidemiologi, tingkat awitan dan progresivitas penyakit. Gambaran klinis bervariasi, awitan akut mungkin oleh bakteri atau aspergilus; subakut yaitu dalam beberapa hari oleh P. carinii atat nokardia, dan dalam beberapa minggu mungkin oleh mikobakteria, atau jamur. Gambaran konsolidasi pada foto toraks mungkin

minimal atau tidak ada pada infeksi bakteri dengan granulositopenia berat, suatu hal yang tidak sesuai dengan beratnya proses patologi. Pemeriksaan invasif diperlukan bilamana diagnosis sulit ditegakkan. Bila setelah terapi

empiris febris timbul lagi, perlu dipertimbangkan kemungkinan terjadinya rekurensi atau infeksi oleh kuman lain, dan perlu dilakukan pemeriksaan ulangan. Diagnosis etiologi ditegakkan berdasarkan kepada 2 hal: . Gangguan imun yang mendasarinya. Gangguan imun tertentu merupakan predisposisi tipe infeksi tertentu. Misalnya gangguan imunitas humoral yang berperan terhadap infeksi kuman akan cenderung terinfeksi oleh

kuman, sedangkan gangguan imunitas selular cenderung terinfeksi oleh virus, jamur, mikobakterium dan protozoa. Keadaan neutropenia dan leukemia akut, pemberian kemoterapi, metaplasia mieloid merupakan predisposisi untuk terj adinya infeksi Staphyloc occus aureus, aspergilus, bakteri Gram negatif,, dan kandida Gambaran radiologi. Infiltrat difus biasanya didapat pada pneumonia oleh P carinii atatvirus. Infiltrat yang

Kelompok kedua ini bila ditinjau dari flora orofaring dan besarnya kontak dengan antibiotika dapat dianggap berada Gambaran klinik yang ditemukan umumnya berbeda daripada gambaran pada usia lebih muda, yaitu dengan onset yang insidius, sedikit batuk dan demam yang ringan, dan sering disertai dengan gangguan status mental atau bingung, dan lemah. Kelainan fisik paru biasanya ringan.

Patogen penyebab tersering adalah Slr. pneumonia (30-60%), H. InJluenza (20%), dan M. catarhalis. Dapat terjadi pneumonia aspirasi oleh campuran kuman aerob dan anaerob dari faring akibat adanya gangguan refleks menelan atau gangguan saraf motorik faring. Pada usia lanjut di rumah perawatan yang baru selesai rawat inap di

rumah sakit dengan pemberian antibistik dijumpai peningkatan kolonisasi kuman Gram negatif. Bila terjadi aspirasi maka akan dijumpai pneumonia oleh patogen K. pneumonia, E. coli, Enterobakteria lain danP aeruginosa. Pada usia lanjut dari rumah perawatan penyebab pneumonia adalah kuman Gram negatif (20-40%), S. a ureus (10%),

pneumonia menjadi penyebab pneumonia pada9 kasus yang berusia >65 tahun.

dan M. o/o

PNEUMONIAKRONIK Pneumonia kronik dapatberupa pneumonia karena infeksi dan bukan karena infeksi. Pneumonia yang non infektif

dapat dilakukan pemeriksaan secara invasif misalnya

antara lain pada pneumonia interstitial kronik yang disebabkan oleh proses degeneratif yang menyebabkan terjadinya inflamasi dan proses fibrosis pada alveoler yang diikuti indurasi dan atrofi paru. Pneumonia akibat infeksi merupakan pneumonia yang berkembang dan berlangsung berminggu-minggu sampai berbulan-bulan. Pneumonia ini dapat disebabkan bakteri (aktinomises, nokardia, P. pseudomallei, anaerob). mikobakterium (M. tuberculosis, M. kansasii, M. avium atau M. intracellulare), jamur (blastomyces, histoplas' m o s i s), protozoa (E. his t o ly t ic a), atau cacing. Pneumonia kronik yang disebabkan campuran patogen aerob dan anaerob dapat menimbulkan pneumonia nekrotikans berupa lesi infiltrat multipel dan rongga di paru' Diagnosis ditegakkan berdasarkan persangkaan lokasi

bronkoskopi untuk melakukan cuci bronkus, biopsi

kediaman

transtorakal, dan biopsi paru dengan cara video assisted thoracoscopy. Gambaran infiltrat paru pada foto torak perlu dipikirkan kemungkinan penyebab lain selain infeksi seperti edema paru, reaksi obat, infark paru, kanker paru, dan pneumonitis radiasi. Terapi empiris segera dimulai bila tindakan di atas dianggap kurang menguntungkan.

predisposisi/gangguan imunitas pasien (penyakit kronik atau penyakit dasar), gambaran manifestasi klinis di paru/ ekstra paru, hasil pemeriksaan radiologis dan bakteriologi. Didapatkan adanya gejala panas badan yang ringan,

. .

terlokalisasi oleh bakteri dan jamur.

Waktu terjadinya penyakit. Awitan akut biasanya disebabkan bakteri sedangkan awitan insidiouS oleh virus, jamur, protozoa atau mikobakteria. Pneumonia yang terjadi dalam 2-4 minggu setelah transplantasi biasanya disebabkan oleh bakteri, sedangkan bila beberapa bulan lebih mungkin oleh P carinii, virus (CMV), j amur (asp ergilus). Perlu diperiksa bahan dari sputum, darah atau cairan

terhadap kemungkinan penyebab tersebut. Bila diperlukan

di daerah endemik infeksi, adatya faktor

penurunan betatbadaq dan batuk yang lama dengan atau tanpa disertai hemoptisis. Foto toraks sering menunjukkan

2210

gambaran rongga tunggal atau multipel, dengan peningkatan corakan yang menghubungkan lesi dengan

hilus sepanjang saluran limfatik. Perlu dipikirkan diagnosis banding dengan penyakit noninfeksi seperti proses keganasan, sarkoidosis, vaskulitis, pneumonitis reaktifatau alergik. Terapi diberikan bila telah ditegakkan diagnosis pasti, kecuali pada dugaan kuat adanya infeksi anaerob atau mikobakterium. Pada keadaan ini dapat diberikan terapi empiris sementara menunggu hasil bakteriologi.

PI.JLMONOIOGI

Manifestasinya dapat sebagai penyakit yang terbatas pada paru atau sebagai penyakit sistemik. Hiperosinofilia mungkin tidak terdapat pada daerah perifer. Bentuk yang tersering adalah eosinofrlik paru yang simpel, pneumonia eosinofi lik akut, pneumonia eosinofilik kronik, pneumonia eosinofilik akut, Sindrom Churg-Strauss, Sindrom eosinofilik idiopatik, aspergilosis bronkopulmoner eosinofilik, granulomatosis bronkosentrik, akibat infeksi parasit atau akibat reaksi obat. Diagnosis ditegakkan berdasarkan pada gambaran klinik, hasil laboratorium, gambaran radiologik, hasil cucian bronkus, dan bilamana diperlukan dilakukan biopsi paru. Terapi diberikan terhadap penyebabnya.

PNEUMONIA BENTUK LAIN

Pneumonia Rekurens Disebut pneumonia rekurens (PR) atau berulang bila dijumpai 2 atau lebih episode infeksi paru non TB dengan berjarakwaku lebih dari I bulan, dan disertai adanya febris, gambaran infrltrat paru dan umumnya disertai sputum purulen, leukositosis dan respons terhadap antibiotik yang baik. Pneumonia rekurens perlu dibedakan dari Pneumonia Relaps yaitu dengan adanya 1 episode infeksi yang sama dan terjadi pada 2 waktu atau lebih serta berturutan dengan interval waktu yang lebih pendek. Pada pneumonia relaps ini perlu dicari kelainan dasar paru, apakah terdapatnya lokal atau pada beberapa tempat. Bila bersifat umum kelainan ini bisa dalambentukkelainan kongenital, herediter atau didapat yang berhubungan dengan adanya kelainan paru, jantung, gastrointestinal, gangguan imunitas, ataupun sebab lainnya. Pneumonia rekurens sering berhubungan dengan keadaan patologik intratoraks dan ekstratoraks. Penyakit intratoraks yang tersering dijumpai berhubungan dengan PR adalah PPOK, gagal jantung kongestif, gangguan imunitas lokal seperti bronkiektasis, benda asing pada bronkial, tumor endobronkial, TB paru, asma, dan pascaoperasi paru. Sedangkan penyakit ekstratoraks adalah

alkoholik, DM, sinusitis kronik, epilepsi, penyakit hematologi (misalnya leukemia limfositik kronik), penyakit keganasan dan terapi steroid sistemik. Di samping itu juga Sindrom lobus tengah kanan (right middle lobe syndrome) merupakan suatu bentuk infeksi rekurens lokal pada paru

oleh atelektasis lobus media kanan yang diakibatkan adany a perbe saran kelenj ar p eribronkial, gang guan ventilasi dan kelainan anatomis. Diagnosis penyakit dasar PR sering telah diketahui dari pemeriksaan klinis, namun kadang- kadang memerlukan pemeriksaan khusus.

PNEUMONIA RESOLUSI LAMBAT Dikatakan bila pneumonia mengalami resolusi lambat yaitu

bila pengurangan gambaran konsolidasi pada foto toraks lebih kecil dan5\%o dalam2 minggu dan berlangsung lebih

dan2lhari.

REFERENSI

N. In : Baum's textbook of pulmonary diseases. Eosinophilic lung diseases. 7'h edition. Philadephia:Lippincott W&W;

Allen

2004;27:27 511-37

.

Bihari DJ, Spencer RC. Bacterial infection in

intensive

care.UK:Medicom Excel; 1995. Brennan PJ. Nosocomial pneumonia. In: Fishman AP editor. Pulmonary diseases and disorders. Companion book. 2^d edition. New York: McGraw-Hill; 1994;39. 325-31. Conte PL et al. Pneumonia, aspiration. E medicine. 2005: April 7. http :/iwww.emedicine.com/EMERG/topic464.htm Cunha BA. The antibiotic treatment of community acquired, atypical and nosocomial pneumonias. Med Clin North Am 1995; '79:581-97. Fishman AP. Fishman's pulmonary diseases and disorders. 3'd edi-

tion. 1 998:

1

92

1

-5.

Goh Lee Gan. Treatment of pneumonia in general practice. Medical Progress. 1991; May: 33.-42, Hendro Wahjono. Penggunaan antibiotika secara rasionalpada penyakit infeksi. Medika. 1994; 2:42-7. Levison ME. The pneumonias. Clinical approaches to-infectious diseases

of the lower respiratory tract. Boston: JohnWright;

1984.p.3 8-

13 5.

Niederman MS. Clinics in chest medicine. Philadelphia: WB Saunders; 1987 .p.393 -404,467 -80, 529 -42. Soemantri ES, Dahlan Z. Buku pedoman pengelolaan dan penelitian

infeksi saluran pernapasan bawah akut.Bandung: Subunit Pulmonologi, Bagian/UPF IP Dalam FKUnpad,{RS Hasan Sadikin,

1992. Suchai Charoenratanakul. Community-acquired pneumonia.Medical

PENYAKIT PARU EOSINOFILIK Merupakan penyakit paru akibat kelompok gangguan paru yang beragam yang ditandai oleh adanya infiltrasi eosinofil

pada bronkus, alveoli dan interstitium dari paru.

Progress. I 993.p.5-10. Tatterfleld AE, McNicot MW. Respiratory disease. London: Springer veriag; 1 987.p.88-107. Thomas RL. Chronic interstitial pneumonia. The eclectic practice

of medicine.2005. http://www.ibiblio.org/herbmed/eclectic/ thomas/pneumonia-chr-int.html.

355 TRANSPLANTASI PARU ZulkifliAmin

INDIKASI, PROGNOSIS DAN ANGKA OPERASI

PENDAHULUAN Selama lebih dari 2 dekade,transplantasi paru telah menjadi

Transplantasi Paru (Unilateral dan Bilateral)

pilihan pengobatan yang sukses untuk pasien kelainan

Sejak tahun 1994, jumlah operasi yang berhasil dilalokan

parenkim dan pembuluh darah paru. Selamajangka waktu

tiap tahun, antara 1300-1500 operasi. Indikasi untuk

itu telah terjadi banyak perkembangan dalam hal

transplantasi paru adalah PPOK, fibrosis kistik, emfisema akibat defrsiensi al-antitripsin dan hipertensi paru primer. Sepuluh tahun terakhir transplantasi untuk hipertensi paru primer menurun dan B% 0990) menjadi 4% (2000) karena perkembangan ilmu kedokteran. Sebaliknya, transplantasi unhrk PPOK dan fibrosis paru idiopatik menin dkat darlzl% (1990) menjadi 42% (2000). Transplantasi paru unilateral dilakukan pada pasien dengan PPOK dan fibrosis paru idiopatik sedangkan pasien dengan PPOK dan fibrosis kistik akan mendapat transplantasi bilateral. Transplan paru bilati1l rlnpatbertahanhingga4,9 tahun (waktuparuh organ "ru1 transplan). Transplan paru unilateral dapat bertahan hingga 3.7 tahun. Sarkoidosis, hipertensi paru primer dan fibrosis paru idiopatik memiliki prognosis lebih buruk.

transplantasi paru. Sebagaimana diketahui transplantasi paru pertama dilakukan di Universitas MissisipiAmerika, dan pasiennya hanya bertahan hidup selama 18 hari.

Keberhasilan terapi imunosupresif (siklosporin) pada transplantasi ginjal danjantung mendorong para ahli untuk mulai mengembangkan lagi transplantasi paru pada awal tahun 1980-an. Sebelumnya pada tahun 1970-an pernah dicoba untuk melakukan transplantasi paru, namun terapi imunosupresif saat itu (azathioprine dan kostikosteroid) tidak mampu mengurangi komplikasi jalan napas pasca

transplantasi. Transplantasi j antung-paru selanjutnya yang berhasil dilalcukan terjadi pada tahun 1982. Saat itu kasusnya adalah

hipertensi paru primer lanjut. Kemudian para ahli mengembangkan transplantasi paru unilateral untuk penyakit paru interstisial. Sesuai dengan laporan dari

Transplantasi Jantung-Paru

ISHLT (International Society of Heart Lung transplantation),lebih dari 15.000 transplantasi paru dilakukan di seluruh dunia, Angka keberhasilan hidup mereka untuk 1,2 dan 5 tahun berhrrut-turut: 73yo,57yo dan45o/o. Teknik operasi selalu diperbaiki untuk menghasilkan metode transplantasi terbaik. Transplantasi paru bilateral secara sekuensial merupakan pilihan untuk mengatasi fibrosis kistik dan penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) stadium akhir. Dengan banyaknya metode transplantasi tersebut maka transplantasi jantung-paru hanya dilakukan pada keadaan tertentu seperti penyakit j antung kongenital yang

Dari tahun 1998-2000 terjadi penurunan jumlah transplantasi jantung-paru dari 250 (1988) menjadi 105 (2000) . Selr;rtax 20% transplantasi jantung-paru dilakukan pada pasien usia < 18

tahun. Indikasi transplantasi jantung-paru

ini lebih

adalah

Kriteria Umum dan Kontraindikasi Transplantasi Paru Serta Transplantasi Jantung-paru

tidak bisa dikoreksi dengan tindakan bedah serta hipertensi

paru yang terkait dengannya. Hal ini disebabkan karena

prognosis jangka panjang metode

ini

penyakit jantung kongenital (seperti Sindrom Eisenmenger yang tidak dapat dikoreksi secara bedah) dan hipertensi paru primer serta fibrosis kistik. Prognosis transplantasi jantung-paru lebih buruk daripada transplantasi paru. Waktu paruh transplantasi jantung-paru adalah 2,8 tahun.

rendah

Pasien/kandidat resipien transplantasi paru sebelumnya harus sudah mendapat terapi medis optimal dan selama

dibanding metode lain.

22tt

2212

PIJLIUONOI.OGI

itu terbukti penyakit terus memburuk. Batas usia untuk transplantasi jantung-paru, transplantasi paru unilateral dan transplantasi paru bilateral adalah 55 tahun, 65 tahun dan 60 tahun. Selain itu, penyakit medis non paru yang adapada pasien harus diterapi adekuat dan pasien juga mendapat perlindungan dari penyakit yang umum dengan cara vaksinasi influenza dan vaksinasi pneumokok. Tabel 1 dan 2 merangkum kontraindikasi relatif dan absolut transplantasi paru. Donor dan resipien juga

diperiksa kecocokan ABO-nya. Biasanya donor yang CMV+ akan diberikan kepada resipien yang CMV+ Juga.

Penilaian Klinis Klasifikasi New York Heaft Association Klas fungsional lll&lV Klas I dan ll Klas lll Klas lV Penurunan kapasitas latihan Sinkop Hemoptisis Tanda gagal ventrikel kanan Pengukuran hemodinamik Saturasi oksigen arteri pulmoner < 63%

. . .

. .

>63%

.

10 mmHg < 10 mmHg > 20 mmHg Respon vasodilatasi paru

. .

4 tahun 1 bulan

Pasien dengan hipertensi paru primer klas fungsional lV < 300 meter yang sudah mendapat terapi medis optimal. Pasien dengan terapi bosentan oral selama 3 bulan dan prostasiklin lV selama 3 bulan tetap gagal memperbaiki/menstabilkan klas fungsional, jarak berjalan selama 6 menit, dan hemodinamik. Pasien diatas ternyata mengalami efusi perikardium, peningkatan kadar natriuretik tipe B dan desaturasi dan jarak berjalan selama 6 menit

)

oksigen arteri (> 20%) selama tes latihan.

PPOK Dan Emfisema (Defisiensi o1 -antitripsin) Sama seperti hipertensi paruprimer, pasien dengan PPOK/ emfisema sebelumnya sudah mendapat terapi optimal dan tidak menderita asma bronkial. Kriteria yang harus dipenuhi adalah FEV I < 25%o dai nllai prediksi dan atau PaCO, >55

mmHg (7.3 kPa) dan atau terdapat peningkatan tekanan

. . .

Adanya gagal organ lainnya seperti hati atau ginjal HtV (+)

Hepatitis B Antigen (+) dan Hepatitis C dengan penyakit

arteri pulmonal. Transplantasi cenderung dilakukan pada pasien dengan PaCO, tinggi yang membutuhkan terapi O, jangka panjang.

hati.

Fibrosis Paru ldiopatik Masalah seputar fibrosis paru idiopatik adalah KAN DIDAT PEI.IYAKIT

U

Nru

K TRANSPI.ANTASI PARU

perkembangan penyakit yang cepat dan respons yang

buruk terhadap kortikosteroid; pasien usia tua; dan

Hipertensi Paru Primer Pasien dengan hipertensi paru primer yang tidak diterapi medis diperiksa kemampuan fungsionalnya (berdasarkan kriteria klas New York Heart Assosiation (NYHA) dan

keadaan hemodinamik) sehingga diperoleh prognosis untuk tiap keadaan (Tabel3). Kemudian pasien tersebut dapat menjalani transplantasi paru jika tidak berespon terhadap terapi medis dengan kriteria seperti tercantum dalamThbel4.

banyaknya komorbiditas penyakit. Karena itu, jika diagnosis fibrosis paru idiopatik telah ditegakkan sebaiknya rujuk pasien ke pusat transplantasi untuk evaluasi dan

follow-up. Transplantasi cenderung dilakukan j ika pasien semakin sesak napas, kapasitas vital < 60Yo dankoefisien difu si karbonmonoksida 80

%

BOS

O

BOS 0-p

BOS BOS BOS

'l 2 3

% % %

FEV1 66-80 FEV1 51-65 FEV1 < 50

BOS

1

BOS 2 BOS 3

FEV'I > 90

o/o

dan

FEF25-75o/o > 75 o/o FEVI 81-90 % dan atau FEF25-75 o/o < 75o/o

FEV1 66-80 % FEV'I 51-65 % FEVI < 50 %

BOS 0-p : stadium pre obliteransyang harus diwaspadai berkembang menjadi BOS

Thbel6. CO ST-BEN EFIT TRANS PLANTASI PARU

-

Siklosporin (inhibitor kalsineurin) dan mikofenolat mofetil (inhibitor siklus sel) Siklosporin dan azatioprin (inhibitor siklus sel) Takrolismus (makrolid) dan inikofenolat mofetil Takrolismus dan mikofenolat mofetil

Efek samping dari obat imunosupresif meliputi nefrotoksik, hipertensi, hipertrikosis, gangguan gastrointestinal, neurotoksik, hipertrofi gingival,

Transplantasi paru merupakan prosedur mahal dan membutuhkan perawatan terus-menerus berupa terapi

imunosupresif, monitor fungsi paru dan prosedur diagnostik. Hingga saat ini belum ada penelitian randomized control trial mengenai kemungkinan transplantasi paru untuk memperpanjang hidup resipien. Terdapat satu penelitian kohort pada sindrom Eisenmenger kemampuan hidup non tranplantasi lebih lama dari transplantasi. Sedangkan yang kemampuan hidup lebih baik pada pihak

hiperglikemik dan hiperkalemia. Takrolismus tidak memiliki kesamaan secara kimia dengan siklosporin namun memiliki efek yang sama. Keduanya dimetabolisme oleh sitokrom P450 34. dan berinteraksi dengan obat tertentu, Reaksi anafilaksis dapat terjadi baik pada takrolismus maupun siklosporin. Kedua obat ini bersifat nefrotoksik sehingga harus dipantau terus fungsi ginjal. Dibanding transplantasi organ lain, transplantasi paru sering disertai penunrnan

transplantasi adalah pasien dengan penyakit fibrosis kistik, PPOK, Fibrosis Paru Idiopatik, Hipertensi paru primer dan

flrngsi ginjal.

berkembang walaupun kemungkinan infeksi dan reaksi penolakan akut pada anak lebih tinggi. Jenis imrurosupresif yang digunakan pada anak sama dengan dewasa. Pada tahun 1990-an kurang lebih terdapat 60-80 operasi tiap tahunnya. Indikasi transplantasi pada anak sama seperti dewasa dengan jenis kasus fibrosis kistik yang

TATALAKSANA KOM

P LI

KASI

Komplikasi pasca operasi yang tersering adalah infeksi

bronkiektasis.

TRANSPLANTASI PARU PADA ANAK Tranplantasi paru pada anak selama 20 tahun terakhir terus

2215

TRAI{SPL/INTASI PARU

paling banyak. Komplikasi kematian pasca transplantasi disebabkan oleh bronkiolitis obliterans (60Yo) pada anak usia 3-6 tahun. Sedangkan pada anakusia < 1 tahun lebih sedikit kejadian bronkiolitis obliterans. Hal ini diperkirakan karena semakin muda usia anak maka toleransi terhadap organ transplan semakin baik.

PERKEMBANGAN TRANSPLANTASI PARU D! MASAAKAN DATANG

REFERENSI Bourke SJ dan Brewis RAL. Lung Transplantation. In: Lectures Notes on Respiratory Medicines. Blackwell Sciences. Hongkong 2000. 189-92. Higgenbottam T. Lung transplantation. In: Crapo JD dkk eds. Baum's

textbook of Pulmonary diseases. 7'\ ed. Lippincott Williams&Wilkins, Philadelphia. 2004, I 127 -38. Kaiser RL dan Wain JC. Lung transplantation. In: Fishman AP, Elias JA, Grippi MA,Kaiser LR, Senior RM ed.Fishman's manual of Pulmonary diseases and disorders. McGraw-Hill. New York1

Karena keterbatasan sumber donor, para ahli mulai memikirkan cara mendapatkan donorparu lainnya sepedi menggunakan sel induk untuk memperbaiki paru yang

rusak dan menggunakan organ dari binatang (xenotransplantasi). Organ dari binatang terpilih adalah babi. Namun donor ini memiliki banyak kekurangan berupa tingginya angka penolakan transplant dan zoonosis (transmisi retrovirus babi endogen ke manusia). Selain itu, anatomi paru babi berbeda dari paru manusia.

023-8.

Levine SM. Lung transplantation. In: ACCP Pulmonary board Review. American College of Chest Physician. Illinois 2003- 2138. Zuckerman A dan Klepetko W. Lung transplantation' In: Grassy D

dkk eds. McGraw- Hill International(UK)Ltd, London, 1999. 567 -7

l.

356 OBSTRUKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT Bambang Sigit Riyanto, Barmawi Hisyam

Saluran napas dapat mengalami obstruksi akut. Obstruksi bisa terjadi pada saluran napas bagian atas (supraglotik/di atas pita suara), tengah (intra glotik) atau bawah (infra glotik/ di bawah pita suara ) (Gambar 1). Pada saluran napas bagian bawah obstruksi bisa terjadi oleh karena penyakit Asma dan PPOK, sedangkan di bagian tengah obstruksi bisa terjadi oleh karena proses maligna dan benigna, seperti

daerah hipofaring pada dasar lidah danjuga pada pita suara asli atau palsu.

Etiologi Obstruksi saluran napas atas akut bisa disebabkan oleh karena fungsional atau mekanis. Sebab-sebab frrngsional yang biasanya menyebabkan kelainan ini adalah kelainan pada sistem saraf pusat dan disfungsi neuromuskuler

pertumbuhan tumor di dalam lumen endobronkhial atau

penekanan dari luar lumen yang disebabkan oleh pembesaran nodus limponodi atau neoplasma. Pada obstruksi di saluran napas tengah ini yang biasa

(Tabel 1).

menyebabkan obstruksi akut adalah adanya benda asing yang menyumbat saluran napas tengah tadi. Pada saluran napas atas yang sering memberikan gejala obstruksi akut

Penyebab obstruksi oleh karena gangguan fungsional Depresi sistem saraf pusat

ini adalah infeksi, edema laring, aspirasi benda asing.

Trauma kepala, kecelakaan serebrovaskuler, gagalnya sistem kardiorespiratori, syok, hipoksia, overdosis obat, ensepalopati oleh karena proses metabolik.

Abnormalitas neuromuskuler dan sistem saraf tepi

Har d pa

Recurrent laryngeal nerve palsy (pasca operasi, inflamasi atau infiltrasi tumor), obsfructive sleep apnoeae, spasme laring, miastenia gravis, Guillain-Bare polineuritis, spasme pita suara oleh karena hipokalsemi.

late

Soft palate Tonsil Palatin

Penyebab obstruksi oleh karena gangguan mekanis Aspirasi benda asing

Lidah

lnfeksi

Epiglotis Pita Suara

Epiglotitis, selulitis retropharin geal alau abses, Ang i n a Ludwig's, difteri dan tetanus, trakeitis bakterial, laringotrakeobronkitis. Edem laring Allergic laryngeal oedema dan hereditary angioneurotic oedema.

Lidah Esofagus

Gambar 1. Anatomi saluran pernapasan

Perdarahan dan haematom Pasca operasi, terapi antikoagulan

Trauma Luka Bakar

OBSTRU KSI SALU RAN PERNAPASAN ATAS AKUT

Neoplasma Karsinoma laring, faring dan trakheobronkhial, poliposis pita suara.

Pendahuluan

Kongenital

Saluran napas atas dimulai dari hidung dan mulut dan

Lain-lain

Vascular ings, laryngeal webs, laryngocele

berakhir pada carina. Obstruksi mungkin terjadi pada daerah yang secara stnrktur anatomi mengalami penyempitan seperli

Artritis Krikoaritenoid, akalasia, stridor histerikal, miksedema

2216

22t7

OBSTRUISI SALURAN PERNAPASAN AKUT

Gejala klinis

retroparingeal dan epiglotis. Foto lateral dilakukanpada saat

Tanda obstruksi komplet saluran napas atas yang mendadak sangat jelas. Pasien tidak dapat bernapas, berbicara atau

inspirasi dengan leher yang sepenuhnya dalam posisi

batuk dan pasien mungkin memegang kerongkongannya seperti mencelok(choking) (Gambar 2). Agitasi , panik dan

napas yang tersengal-sengal dan diikuti sianosis' Selanjutnya akan terjadi gagal napas diikuti dengan

ekstensi. Pembengkaan jaringan lunak epiglottis dan supra glottis dan ' 'ballooning " hipoparing merupakan tanda klasik adanya epiglotitis, tetapi tidak selalu muncul . CT:'scan dapat melihat tiroid, cricoid dan kartilago cricoid serta lumen

saluran pemapasan pada kondisi pasien yang stabil.

hilangnya kesadaran dan apabila sumbatan tidak segera ditangani akan menyebabkan kematian dalam waktu 2-5 hari.

Penatalaksanaan Al goritme penatalaksanaan sumbatarVobstruksi komplet dan obstruksi sebagian dari saluran napas atas bisa dilihat pada Gambar 3 dan 4.

@

@

ln@mplete UAO

Oxygen lV access Pulse oximetry Doctor in Continuous attendance

Gambar 2. Gambaran pasien seperti gerakan mencekik (choking)

Tanda adanya sumbatan saluran napas sebagian di antaranya adalah perasaan tercekik, tersumbat, batuk, stridor inspirasi serta disponi. Kemungkinan juga terjadi retraksi dinding inter kosta dan supra klavikula. -Gagalnya kekuatan inspirasi dapat menyebabkan ekimosis dermal

dan emfisema subkutan. Kegagalan respirasi bisa berlangsung cepat dan berkembang menjadi obstruksi/ sumbatan komplet. Letargi, gagal napas dan hilangnya kesadaran merupakan tanda akhir dari hipoksemia dan hiperkarbi. Bradikardi dan hipotensi merupakan pertanda ancaman terjadinya gagal jantung.

Soecial investigations lndirect laryngoscopy Fibreoptic endos@py Neck radiogEph CT scan

Skilled fibreoptic Bronchoscopy and

Special investigations lndirect laryngoscopY Fibreoptic endoscoPY

t\.4Rr

Flow/volume loop

intubatim

CT scan

( Diagnosis

I Deflnitive medical and Surgical management

st"ot"

@ Elective intubation

@ ./-

lvlanage as @mplete UAO (gambar 4)

Fibreoptic Orotracheal (LA or GA) retrograde TracheostomY

Gambar 3. Manajemen Obstruksi Parsial Saluran Napas Atas (UAO=upper airway obstruction, lY=intravenous, Cf =computed tom og ra ph y,MRl=m ag n eti c re so n a n ce i m ag i ng, LA=l o ca I a n a e s ffi esla, GA=ge neral anaesthesia).

LARINGOSKOPI DAN BRONKOSKOPI Laringoskopi indirek. Dilakukan pada kondisi pasien yang stabil dan kooperatifuntuk adanya benda asing dan massa retropharingeal dar laringeal. Penggunaan bronkoskopi fiber optik atau laringoskop memungkinkan untuk melihat secara langsung fungsi dan anatomi saluran napas atas.

Laringoskopi direk. Pemakaian alat ini memungkinkan untuk mengambil benda asing yang menyumbat dan membersihkan darah, muntahal ata\hasil sekret lainnya. Intubasi endohakheal juga bisa dilakukan untuk melihat secara langsung.

Orotracheal intubation ( 15-20s )

Surgical airway

Ciicothyroidotomy TTJV

PEMERIKSAAN RADIOGRAFI Foto sinar X leher dengan posisi anterior-posterior dan lateral dapat dilalarkan untuk mendeteksi adanya benda asing yang memberikan gambaran radio opaque, masa

Gambar 4. Manajemen Obstruksi Komplet Saluran Napas Atas (UAO=upper airway, pemasangan intubasi orotrakheal tidak boleh

lebih dari 15-20 detik, FB=foreign body,ffJV=transtracheal jet ventilation).

2218

PI,JLIilOI.IOLOGI

Pasien Tidak Sadar Jika saluran pernapasan atas tersumbat oleh lidah pada pasien yang tidak sadar, laringoskopi direk dapat dilakr:kan

untuk melihat sesuatu yang menyebabkan sumbatan supra glotik dan intubasi endotrakhea dapat juga

cocctts aureus. Mortalitas berkisar antara 6-7

dilakukan. Intubasi bisa dilakukan dengan: l). Intubasi fiber optik; 2). Intubasi retroged, 3). Intubasi nasotakheal,. 4). Intubasi laringoskopi direk dengan anestesi umum. Selain tindakan intubasi, tindakan pembedahan bisa dilakukan pada pasien ini. Tindakan pembedahan pada saluran napas ini bisa berupa: l). Ventilasi jet transtrakeal perkutan; 2).Krikotiroidotomi 3).Trakeostomi

Obstruksiyang Disebabkan oleh Benda Asing Obstruksi oleh karena benda asing merupakan kasus terbanyak yang dapat menyebabkan hambatan saluran napas akut. Diagnosis harus ditentukan pada kondisi gagal napas akut ketika pasien tidak dapat bemapas. pengeluaran

benda asing yang menyumbat saluran napas tadi dapat diusahakan dengan manuyer Heimlich.

Kompresi di Luar Saluran Napas Lesi pada ruang yang berdekatan dengan saluran napas dapat menyebabkan sumbatan saluran napas. Kompresi

yang disebabkan oleh adanya hematom mungkin berhubungan dengan hauma, pembedahan daerah leher, kateterisasi vena sentral, anti koagulan dan koagulopati. Hematom yang menyertai tindakan bedah harus segera dievakuasi. Sumbatan atau obstruksi sebagian saluran napas yang disebabkan oleh abses retroparingeal dapat diatasi dengan melakukan drainage abses tersebut dengan anestesi lokal.

Kompresi di Dalam Saluran Napas Jejas inhalasi. Pasien dengan luka bakar daerah wajah dan jejas inhalasi akan berkemb ang cepat menjadi edem supra glotik dalam waktu 24 jam. Sebagian besar pasien memerlukan tindakan intubasi trachea dengan segera. Penilaianjejas dan intubasi trakea dapat dilakukan dengan anestesi umum. Intubasi dengan laringoskopi fiber optik atau trakheostomi dengan anestesi lokal merupakan tindakan alternatif yang lebih baik.

Epiglotitis. Tadinya merupakan penyakit yang jarang dijumpai, tetapi kasusnya semakin hari semakin nleningkat.

Haf ini melibatkan epiltottis dan laring supra gtitfis lang menyebabkan pembengkakan dengan akibat sumbatan saluran napas. Organisme yang sering menyebabkan infeksi epiglottis ini adalah-FI inJluenzae, H.parainJluenzae, Streptococcus pneumoniae, S.haemolytic dan Staphylo-

yatg

Timbul rasa pedih/nyeri yang mendadak di kerongkongan Nyeri di daerah kerongkongan yang lebih sakit dari perkiraan tampilan gejala klinis Nyeri telan Terdapat perubahan suara Stridor Respiratory distress Sysfemlc toxaemia Nyeri pada perabaan di daerah laring

(v

KONDISI KLINIS YANG SERING MENYEBABKAN OBSTRUKSI SALURAN NAPAS ATAS AKUT

%o

disebabkan oleh karena diagnosis yang keliru dan pengobatan yang tidak sesuai. Gambaran klinis penyakit ini bisa dilihat pada Tabel2.

Untuk konfirmasi diagnosis bisa dilakukan dengan laringoskopi indireh sinar X leher lateral atau taringoskopi fiber optik. Intubasi trakea dan trakeostomi merupakan tindakan yang boleh dilakukan tetapi intubasi trakea mungkin memberikan hasil jangka lama yang lebih baik. Posisi pasien sangat penting, oleh karena perubahan dari posisi duduk ke posisi telentang (supine) dapat memicu terjadinya obstruksi komplit. Pada kebanyakan pasien yang dalam kondisi stabil dan sadar, intubasi dengan menggunakan fiber optik memungkinkan untuk dilakukan jika operator mempunyai keahlian. Intubasi endotrakeal dalam kondisi anestesi umum dengan menggunakan induksi per inhalasi, direkomendasikan untuk dilakukan. Obstruksi bisa terjadi dan prosedur ini hanya boleh dilakukan oleh ahli anestesi yang mempunyai keahlian dan dilakukan di kamar operasi serta didampingi

oleh dokter bedah yang siap untuk melakukan tindakan trakeostomi. Induksi secara cepat dengan menggunakan muscle-relaxan sangat berbahaya. Trakeostomi dengan menggunakan anestesi lokat jauh lebih aman.

Antibiotik yang sering digunakan sebagai terapi empirik pada kasus ini adalah sefuroksim 1,5 gram intra 8 jam, ampisilin 1-2 gram l-2 gramnnavena tiap jam sambil menunggu hasil kultur dari hasil usapan epiglottis dan kultur darah. Penatalaksanaan lainnya termasuk di antaranya adalah sedasi yang adekuat dan toilet tracheobronchial. Bila didapatkan adanya abses

vena tiap

6

harus dilakukan drainage. Manifestasi alergi. Respons alergi yang melibatkan saluran napas atas mungkin hanya bersifat local atau merupakan

bagian dari reaksi anafilaksis sistemik. Angioedem pada bibir, supra glottis, glottis dan infra glottis akan menyebabkan obstruksi saluran napas. Reaksi sistemik lainnya yang biasanya menyertai adalah beberapa gejala seperti urtikaria (79%), spasme bronkus (70%), syok, kolaps kardiovaskular dan nyeri abdomen. Penyebab terbanyak dari reaksi alergi ini adalah sengatan Hymenoptera, mengkonsumsi makanan jenis kerang-

2219

OBSTRUKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

kerangan dan obat. Angioedem yang disebabkan oleh penggunaan angiotensin converting enziminhibitor akhir-akhir ini kasusnya juga semakin banyak. Penatalaksanaannya terdiri dari segera terjaminnya saluran napas yang adekuat dan pemberian oksigen, adrenalin dan

steroid.

Penatalaksanaan Penatalaksanaan obstruksi saluran pernapasan tengah akut ini ada dua tahap. Tahap pertaria adalah tahap stabilisasi sedangkan tahap ke dua adalah tahap intervensi.

Tahap Stabilisasi Pada pasien dalam kondisi stabil, tes fungsi paru bisa

Edema Laring Setelah Tindakan Ekstubasi Edema laring segera setelah tindakan ekstubasi lebih banyak terjadi pada anak-anak. Kasus ini biasanya dihubungkan dengan manipulasi dan traumatik yang mengenai saluran napas serta pemakaian intubasi trakeal jangka lama. Penatalaksanaan kasus ini pada orang dewasa

bersifat konservatif dengan pengawasan ketat dan pemberian oksigen. Steroid dan nebuliser boleh diberikan pada kasus ini.

OBSTRUKSI SALURAN PERNAPASAN TENGAH AKUT Obstruksi saluran napas tengah dapat terjadi oleh karena proses malignansi atau benigna seperti pertumbuhan tumor endobronkhial yang terdapat di dalam saluran napas itu sendiri atau kompresi dari saluran napas oleh karena pembesaran limponodi atau neoplasma. Gejala bisa berkembang secara perlahan-lahan seperti pada kasus obstruksi saluran napas oleh karena proses keganasan atau memberikan gejala akut seperti pada kasus oleh karena

aspirasi benda asing.

Gejala Klinis dan Diagnosis Belum ada penelitian secara prospektif yang melaporkan tentang manfaat diagnosis secara klinis maupun kelainan gambaran radiologis pada seseorang yang dicurigai terdapat adanya aspirasi benda asing. Penelitian biasanya dilakukan secara retrospektif. Sesak napas dilaporkan

hanya terjadi pada 25%o pasier. pada satu penelitian. Gejala batuk didapatkan pada 80% pasien. Gejala lainnya

bisa berupa demam, batuk darah, nyeri dada dan wheezing.

Diagnosis aspirasi benda asing memiliki kesulitan tersendiri karena pasien tidak selalu menceritakan adanya riwayat perasaan seperti tercekik. Diagnosis seringkali susah ditemukan kecuali pasien menceritakan adanya episode perasaan seperti tercekik yang sangat khas atau ditemukannya gambaran benda asing yang terlihat radio

dilakukan. Pasien dengan obstruksi berat diharapkan mendapat jaminan ventilasi dan oksigenasi.

Intubasi endotrakea: dapat dan aman dilakukan pada pasien yang sadar atau dengan menggunakan obat sedasi

ringan. Pada kasus dengan obstruksi trakea berat, penggunaan "open ventilating rigid bronchoscope" dapat dipakai sebagai metode kontrol saluran pemapasan.

Tahap lntervensi Setelah diagnosis aspirasi benda asing ditegakkan perlu dipikirkan waktu dan tindakan yang tepat untuk mengatasi masalah tadi. Obstruksi bronkial oleh karena benda asing

dapat memberikan komplikasi yang serius termasuk di antaranya asf,rksia, batuk darah, infeksipos/ obstruksi dan bronkiekhasis. Benda asing yang teraspirasi, terutaura yang

mengandung kadar minyak tinggi seperti kacang, dapat menyebabkan inflamasi mukosa yang berat dan akumulasi jaringan granulasi dalam waktu beberapajam setelah diagnosis ditegakkan. Ekstraksi benda asing harus segera dilalcukan sebelum terlambat. Pengambilan benda aisng bisa

dilakukan dengan menggunakan "rigid bronchoscopy" ata;r- "flexible bronchoscopy". Pada kasus benda asing terbungkus dalam jaringan granulasi yang besar , tindakan pengambilan ini sangat sukar untuk dilalarkan. Pada kasus ini ekstraksi sebaiknya ditunda dan dapat diberikan injeksi intra vena kortikosteroid (l-2 mgkg prednisolon), sambil menunggu kondisi klinis pasien menjadi stabil.

Teknik Pada umumnya bronkhoskopi diperlukan untuk pengambilan benda asing, pada pasien yang mengalami aspirasi benda asing. Pada anak-anak atau orang dewasa dengan proporsi tubuh yang kecil, aspirasi benda asing yangberupabiji buah atau manik-manik, bronkoskopi bisa dilakukan dengan posisi tertentu (lateral decubitus atau

tredelenburgh). Ked:ua posisi

ini mungkin akan

menyebabkan keluarnya benda asing secara spontan atau benda asing tersebut akan berpindah ke posisi yang lebih proksimal.

bronchoscope Akan memberikan jalan masuk yang

opaq pada foto rontgen.

Rigi.d

Bronkoskopi fiber optik merupakan pilihan prosedur diagnosis untuk kasus aspirasi benda asing pada pasien dewasa. Tindakan bronkoskopi ini juga harus dapat pula sekaligus melakukan dengan segera prosedur tindakan pengambilan benda asing yang menyumbat saluran

baik ke ahrran pemapasan sr,l b glotic,memberikanjalan masuk pertukaran gas, dan dapat digunakan sebagaijalan lintasan untuk bermacam-macam instrumen term asttk gr a sp ing for ceps da;n suction catheter . Anestesi umum dengan aksi ke{ a

pemapasan tadi.

pendelq termasuk propofol, aman dipakai unh-rk tindakan ini, yangjarang membuhrhkan waktu sampai lebih dari 10 menit.

2220

Optical forceps dapat memberikan gambaran secara langsung terhadap benda asing. Sebagai altematif, rigid telescope danforceps dapat dipakai melalui bronkoskopi. Selama prosedur tindakan pengambilan benda asing, hal yang sangat penting adalah jangan sampai mendorong

benda asing ke arah distal pada saat melakukan bronkhoskopi, forceps atat suction catheter. Jika terdapat darah dan secret di proksimal benda asing tadi, dapat dibersihkan dengan suction secara hati-hati. Ephinephrin (0,25 mg) mungkin bisa disuntikkan untuk hemostasis dan agar mengurangi pembengkakan mukosa yang membungkus benda asing ta di. Optical forceps lalu masuk ke dalam sumbu bronkus beberapa milimeter proksimal benda asing. Pada kasus pengambilan benda asing yang besar dan

keras, pemecahan benda asing menjadi 2 atau 3 bagian mungkin akan memudahkan ekstraksi. Berlda asing yang berat seperti halnya logam, mungkin akan makin bergerak ke arah distal oleh karena gravitasi. Pada kasus ini posisi tredelenburgh mungkin akan membantu. F lexible broruch o s c opy. Angka rata-rata kesuksesan fiberoptic bronchoscopic untuk pengambilan benda asing berkisar antara 60-90%. Meskipun demikian ekstraksi

PI.JLMOT{OI.OGI

saluran pernapasan yang dihubungkan dengan hiperresponsif, keterbatas an aliranudara yang revers ible dan gejala pernapasan. Di Amerika kunjungan pasien asma pada pasien berjenis kelamin perempuan di bagian gawat darurat dan akhimyamemerlukanperawatan di rumah sakit dua kali lebih banyak dari pada pasien pria. Data penelitian mennnjukkan bahwa 40%o dari pasien yang dirawat tadi terjadi selama fase premenstmasi. Di Australia, Kanada dan Spanyol dilaporkan bahwa kunjungan pasien dengan asma akut di bagian gawat darurat berkisar antara l-l2Yo. Rata-rata biaya tahunan yang dikeluarkan pasien yang mengalami serangan adalah $ 600, sedangkan yang tidak mengalami serangan biaya berkisar $ 170. Patofisiologi Triger (pemicu) yang berbeda-beda dapat menyebabkan eksaserbasi asma oleh karena inflamasi saluran napas atau bronkhospasme akut atau keduanya. Sesuatu yang dapat memicu serangan asma ini sangat bervariasi antara safu individu dengan individu yang lain dan dari satu waktu ke

waktu yang lain. Beberapa hal di antaranya adalah

dengan menggunakan fiberoptic bronchoscopic

allergen, polusi udara, infeksi saluran napas, kecapaian, perubahan cuaca, makanan, obat atau ekspresi emosi yang

mempunyai beberapa risiko, di antaranya : . Ketika benda asing yang terjepit menyumbat batang pipa bronkus, secara tidak sengaja akan berpindah ke

bakterial, poliposis, menstruasi, refluks gastro esopageal

paru sisi kontra lateral, yang disebabkan oleh ketidakmampuan daya cengkeram forcep fiber optic, yang kemungkinan besar akan menyebabkan

.

kematian. Lesi inflamasi yang membungkus benda asing gampang

pecah dan berdarah saat tersentuh. Semenjak alat

penjepit/cengkeram dimasukkan melalui pintu suction fiber optic bronchoscopy, suctioning dan manipulasi benda asing secara simultan tidak mungkin

dilakukan saat flexible bronchoscope sedang

.

digunakan.

Usaha yang tidak berhasil mungkin malah akan mendorong benda asing lebih ke arah distal, masuk ke dalam posisi yang lebih sempit.

OBSTRUKSI SALURAN PERNAPASAN BAWAH AKUT

berlebihan. Faktor lain yang kemungkinan dapat menyebabkan eksaserbasi ini adalah rinitis, sinusitis dan kehamilan. Mekanisme keterbatasan aliran udara yang

bersifat akut ini bervariasi sesuai dengan rangsangan. Allergen akan memicu terjadinya bronkhokontriksi akibat dari pelepasan Ig-E dependent dari mast sel saluran pemapasan dari mediator, termasuk di antaranya histamin, prostaglandin, leukotrin sehingga akan terjadi kontraksi otot polos. Keterbatasan aliran udara yang bersifat akut

ini

kemungkinan juga terjadi oleh karena saluran

pernapasan pada pasien asma sangat hiper responsif terhadap bermacam-macam jenis rangsangan. Pada kasus asma akut mekanisme yang menyebabkan bronkhokontriksi terdiri dari kombinasi antara pelepasan mediator sel inflamasi dan rangsangan yang bersifat lokal atau refl eks saraf pusat. Akibatnya keterbatasan aliran tdara timbul oleh karena adanya pembengkakan dinding saluran napas dengan atau tanpa kontraksi otot polos. Peningkatan permeabilitas dan kebocoran mikrovaskular berperan terhadap penebalan dan pembengkaanpada sisi luar otot polos saluran pernapasan.

pada saluran napas bawah ini yaitu asma akut dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) eksaserbasi akut.

Penyempitan saluran pernapasan yang bersifat progresif yang disebabkan oleh inflamasi saluran pernapasan dan atau peningkatan tonus otot polos

ASMAAKUT

berperan terhadap peningkatan resistensi aliran, hiperinfl asi pulmoner dan ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi (V/

Ada dua keadaan yang sering menyebabkan obstruksi

bronkhioler merupakan gejala serangan asma akut dan

Q). Apabila tidak dilakukan koreksi terhadap obstruksi

Pendahuluan Asma merupakan penyakit gangguan inflamasi kronis

saluran pernapasan

ini, akan terjadi gagal napas yang

merupakan kosekuensi dari peningkatan kerja pernapasan,

2221

OBSTRUKST SALURAN PERNAPASAN AKUT

inefisiensi pertukaran gas dan kelelahan otot-otot pernapasan. Interaksi kardiopulmoner dan sistem kerja paru sehubungan dengan obstruksi saluran napas Obstruksi aliran udara merupakan gangguan fisiologis terpenting pada asma akut. Gangguan ini akan menghambat aliran udara selama inspirasi dan ekspilasi dan dapat dinilai

dengan tes fungsi paru yang sederhana seperti peak expiratoryJlow rate (PEFP.) dan FEV, (Forced expiration volume). Ketika terjadi obstruksi aliran udara saat ekspirasi yang relatif cukup berat akan menyebabkan pertukaran aliran udara yang kecil untuk mencegah kembalinya tekanan alveolar terhadap tekanan atmosfer maka akan

terjadi hiperinflasi dinamik. Besarnya hiperinflasi dapat dinilai dengan derajat penumnan kapasitas cadangan fungsional danvolume cadangan. Fenomena ini dapatpula terlihat pada foto toraks, yang memperlihatkan gambaran volume paru yang membesar dan diafragma yang mendatar. Hiperinfl asi dinamik terutama berhubungan dengan peningkatan aktivitas otot pernapasan, mungkin sangat

berpengaruh terhadap tampilan kardiovaskular. Hiperinflasi paru akan meingkatkan after load pada

perkembangan laju serangan asma. Ketika yang dominan adalah proses inflamasi saluran pemapasannya, pasien memperlihatkan perburukan gejala klinis dan fungsional tipe I atau serangan asma akut tipe lambat. Data penelitian menunjukkan bahwa sekitar 80-90% pasien asma yang berkunjung ke bagian gawat darurat adalah pasien dengan serangan asma tipe I ini. Infeksi saluran pernapasan atas

sering juga menjadi pemicu serangan dan pasien memperlihatkan respon terapetik yang lambat. Kemungkinan pasien ini juga mempunyai reaksi inflamasi akibat reaksi alergi dengan diketemukannya eosinofil pada saluran pernapasannya. Pada serangan tipe 2, y ang dominan adalah terj adinya bronkhospasme dan pasien memperlihatkan serangan asma yang muncul tiba-tiba atau mendadak (aspiksia atau asma hiper akut) yang ditandai dengan obstruksi saluran napas yang berkembang sangat cepat (sesak muncul < 3-6 jam setelah serangan). Allergenyang terhirup, latihan fisik dan stres psikis yang sering menjadi pemicu serangan ini. Dalam saluran pernapasannya yar'g dominan adalah sel netrofil

(Tabel3).

ventrikel kanan oleh karena peningkatan efek kompresi langsung terhadap pembuluh darah paru.

Pertukaran Gas Hipoksemia tingkat ringan-sedang, hipokapnea dalam jangka lama dan alkalosis respiratori merupakan hal yang umum dijumpai pada pemeriks aan analisa gas darah (AGD)

pada pasien dengan serangan asma akut berat. Jika obstruksi aliran udara sangat berat dan tak berkurang, mungkin akanberkembang cepat menjadi hiperkapnea dan asidosis metabolik. Awalnya akan timbul kelelahan otot dan ketidakmampuan untuk mempertahankan ventilasi alveolar secara adekuat. Akhirnya akan terjadi produksi laktat.

Ketika pasien asimptomatis, FEV, cenderung menjadi sekurang-kurangnya 40-50% dari prediksi. Ketika tandatanda fisik menghilang FEV, berkisar antara 60-700/o dari prediksi atau lebih tinggi lagi. Karena frrngsi paru danAGD menilai dua perbedaan mekanisme patofisiologis, sehingga tidak aneh bahwa hubungan antara FEV, dan PaCO, atau PaOrsangat lemah.

Kombinasi antara hiperkapnea akut dan tingginya tekanan intrathorakal pada pasien dengan asma akut berat akan menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial yang bermakna. Beberapa penulis melaporkan terjadinya gejala neurologis seperti midriasis unilateral atau bilateral dan kuadri paresis selama episode akut serta perdarahan sub arakhnoid dan sub konjungtiva

EVOLUSI SERANGAN ASMA

Tipe 1. Perkembangan Lambat

Tipe 2. Perkembangan Cepat

Asma akut berkembang lambat Laju perburukan: > 6jam (biasanya dalam hari/minggu) 80-90% pasien asma yang dating ke GD Kebanyakan dialami oleh wanita Kebanyakan dipicu oleh infeksi saluran pernapasan atas

Onset cepat, aspiksi, brltfle,

Obstruksi yang muncul tidak begitu berat Respon lambat terhadap pengobatan dan banyak yang memerlukan perawatan di RS Mekanisme:

infl amasi saluran

pernapasan

asma hiperakut Laju perburukan: < 6jam 10-20% pasien asma yang datang ke GD Kebanyakan pada laki-laki Kebanyakan oleh karena alergen, exercise, stres psikis Obstruksi yang muncul lebih berat Respon cepat terhadap

pengobatan dan sedi kit yang memerlukan perawatan di RS Mekanisme: perburukan bronkhospastik

Kematian Akibat Asma Kematian kebanyakan terjadi di rumah, saat kerja atau selama perjalanan ke RS. Petanda yang dihubungkan dengan peningkatan risiko terjadinya kematian akibat asma adalah riwayat seringnya pasien memerlukan perawatan di RS, terutama jika memerlukan ventilator. Ada dua kemungkinan yang dapat menyebabkan kematian pada pasien asma ini. Aritrnia berperan terhadap beberapa kasus kematian yang telah diamati terutama pada pasien dewasa. Aritmia bisa terjadi oleh karena peningkatan hipokalemia dan terjadinya pemanjangan segmen QT akibat

penggunaan p2-agonis dosis tinggi. Kematian juga bisa

terjadi oleh karena aspiksia yang disebabkan oleh Terdapat dua mekanisme yang berbeda dalam hal

keterbatasan aliran udara dan hipoksemia.

2222

PI.JLMONOT.OGI

Diagnosis

dada

Asma akut merupakan kegawatdaruratan medis yang harus

kardiovaskular atau suara napas yang asimetris), pada pasien yang secara klinis dicurigai adanya pneumoni atau pasien asma yang setelah 6-12 jam dilakukan pengobatan secara intensiftetapi tidak respons terhadap

segera didiagnosis dan diobati. Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

pleuritik, emfisema sub kutis, instabilitas

terapi.

Riwayat Penyakit Tujuannya untuk menentukan waktu saat timbulnya

serangan dan beratnya gejala, terutama untuk

Monitor irama jantung. Elektro kardiografi tidak diperlukan secara rutin, tetapi monitor secara terus

membandingkan dengan eksaserbasi sebelumnya, semua

menerus sangat tepat dilakukan pada pasien lansia dan pada pasien yang selain menderita asma juga menderita

obat yang digunakan selama ini, riwayat di RS sebelumnya,

penyakit jantung. hama jantung yang biasanya

kunjungan ke gawat darurat, riwayat episode gagal napas sebelumnya (intubasi, penggunaan ventilator) dan gangguan psikiatrik atau psikologis. Tidak adanya riwayat asma sebelumnya terutama pada pasien dewasa, harus dipikirkan diagnosis banding lainnya seperli gagal jantung kongestif, PPOK dan lainnya.

Pemeriksaan Fisis Perhatian terutama ditujukan kepada keadaan umum pasien. Pasien dengan kondisi sangat berat akan duduk tegak. Penggunaan otot-otot tambahan untuk membantu bernapas juga harus menjadi perhatian, sebagai indicator

adanya obstruksi yang berat. Adanya retraksi otot sternokleidomastoideus dan supra sternal menunjukkan adanya kelemahan fungsi paru. Frekwensi pernapasan Respiratory Rale (RR) > 30X/ menit, takikardi > l20)Omenit atatpulsus paradoxus > 12 mmHg merupakan tanda vital adanya serangan ama akut berat. Lebih dari 50%o pasien dengan asma akut berat, frekwensi jantungnya berkisar antara 90-120 X/menit. Umumnya keberhasilan pengobatan terhadap obstruksi saluran pernapasan dihubungkan dengan penurunan frekwensi denyut jantung, meskipun beberapa pasien tetap mengalami takikardi oleh karena efek bronkotropik dari bronkodilator. Pulse oximelry, Pengukuran saturasi oksigen dengan puls e oximetry (SpOr) perlu dilakukan pada seluruh pasien dengan asma akut untuk mengeksklusi hipoksemia. Pengukuran SpO, diindikasikan saat kemungkinan pasien j atuh ke dalam gagal napas dan kemudian memerlukan penatalaksanaan yang lebih intensif. Target pengobatan ditentukat agar SpO, > 92Yo tetap teqaga.

Analisa gas darah (AGD). Keputusan untuk dilakukan pemeriksaan AGD jarang diperlukan pada awal penatalaksanaan. Karena ketepatan dan kegmaan pulse oximetry,harrya pasien dengan terapi oksigenasi yang SpO, tak membaik sampai > g|yo,perlu dilalarkan pemeriksaan AGD. Meskipun sudah diberikan terapi oksigen tetapi oksigenasi tetap tidak adekuat perlu dipikirkan kondisi lain yang memperberat seperti adanya pneumoni.

Foto toraks. Foto toraks dilakukan hanya pada pasien dengan tanda dan gejala adanya pneumothoraks (nyeri

ditemukan adalah sinus takikardi dan supra ventrikular

takikardi. Jika gangguan irama jantung ini hanya disebabkan oleh penyakit asmanya saja, diharapkan gangguan irama tadi akan segera kembali ke irama normal dalam hitunganjam setelah ada respons terapi terhadap penyakit asmanya. Respons terhadap terapi. Pengukuran terhadap perubahan PEFR atau FEVr yang dilakukan setiap saat mungkin merupakan salah satu cara terbaik untuk menilai pasien asma akut dan untuk memperkirakan apakah pasien perlu dirawat atau tidak. Respon terhadap terapi awal di IGD merupakan prediktor terbaik tentang perlu tidaknya pasien

dirawat, bila dibandingkan dengan tampilan beratnya eksaserbasi. Respon awal terhadap pengobatan (PEFR atau FEV, pada 30' pertama), merupakan prediktor terpenting terhadap hasil terapi. Variasi nilai PEFR di atas 50 L/menit dan PEF > 40o/o normal yang diukur 30 menit setelah dimulainya pengobatan, merupakan prediktor yang baik bagi hasil akhir pengobatan yang baik pula.

Penatalaksanaan Target pengobatan asma meliputi beberapa hal, di antaranya adalah menjaga saturasi oksigen arteri tetap adekuat dengan oksigenasi, membebaskan obstruksi saluran pernapasan dengan pemberian bronkhodilator inhalasi kerja cepat (p2-agonis dan anti kolinergik) dan mengurangi inflamasi saluran pernapasan serta mencegah kekambuhan dengan pemberian kortikosteroid sistemik yang lebih awal.

Oksigen

Karena kondisi hipoksemia dihasilkan

oleh

ketidakseimbangan V/Q, hal ini biasanya dapat terkoreksi dengan pemberian oksigen 1-3 L/menit dengan kanul nasal atau masker. Meskipun demikian, penggunaan oksigen

dengan aliran cepat tidak membahayakan dan direkomendasikan pada semua pasien dengan asma akut.

Target pemberian oksigen ini adalah

dapat

mempertahankan SpO, pada kisarun> 92oh.

p2 - agonis Inhalasi p2-agonis kerja pendek merupakan obat pilihan untuk pengobatan asma akut. Onset aksi obat tadi cepat

2223

OBSTRUKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

dan efek sampingnya bisa ditoleransi. Salbutamol merupakan obat yang banyak dipakai di instalasi gawat darurat (IGD). Onset aksi obat ini sekitar 5 menit dengan lama aksi sekitar

6

jam. Obat lain yang juga sering digunakan

adalah metaproterenol, terbutalin dan fenoterol. Obat dengan aksi kerja panjang tidak direkomendasikan,

Kortikosteroid Pemberian kortikosteroid secara sistemik harus diberikan pada penatalaksanaan kecuali kalau derajat eksaserbasinya ringan. Agen ini tidak bersifat bronkodilator tetapi secara ekstrem sangat efektif dalam menurunkan inflamasi pada saluran napas. Pemberian hidrokortison 800 mg atau 160

untuk pengobatan kegawatdaruratan. Levalbuterol

mg metilprednisolon dalam 4 dosis terbagi setiap

mempunyai efikasi yang lebih baik dan efek toksik yang minimal bila dibandingkan dengan albuterol racemik. Pemberian ephineprin sub kutan jarang dilakukan oleh karena memicu timbulnya efek samping pada jantung. Obat ini hanya berfungsi sebagai cadangan saat pasien tidak mendapatkan keuntungan dengan pemakaian obat

harinya, umunnya sudah memberikan efek yang adekuat

pada kebanyakan pasien. Perbandingan pemberian kortikosteroid secara sistemik dan per inhalasi bisa dilihat pada Tabel 4.

secara inhalasi. Pemakaian secara inhalasi mempunyai onset yang lebih cepat dengan efek samping yang lebih sedikit serta lebih

Anti-inflamasi Timbulnya efek

Perbaikan fungsi paru sangat lambat (> 6 jam)

Mekanisme

Kortikosteroid akan mdmicu efek transkriptional -+ mensin- tesis protein yang baru

efektif bila dibandingkan pemakaian secara sistemik. Penggunaan p2-agonis secara intravena pada pasien dengan asma akut diberikan hanya jika respon terhadap obat per-inhalasi sangat kurang atau jika pasien batuk berlebihan dan hampir meninggal. Pemberian obat perinhalasi secara terus menerus diperkirakan lebih menguntungkan bila dibandingkan dengan pemberian secara berkala. Meskipun penelitian metaanalisis yang dilakukan secara acakpadapasien asma akut, tidak memberikan perbedaan yang bermakna dalam hal fungsi paru dan lamanya dirawat di rumah sakit tetapi

pemberian nebulizer secara berkesinambungan memberikan efek samping yang lebih sedikit. Efek samping dan ketergantungan dosis dapat terjadi pada semua cara pemberian, tetapi umumnya ditemukan pada pemakaian secara oral atau intravena. Efek samping pemakaian selektif p2-agonis diperantarai

melalui reseptor pada otot polos vaskular (takikardi dan takiaritmia), otot rangka (tremor, hipokalemi oleh karena masuknya kalium ke dalam sel otot) dan keterlibatan sel dalam metabolisme lipid dan karbohidrat (peningkatan

Topikal Perbaikan fungsi paru lebih cepat (< 3 jam) Kortikosteroid-+pera ngs

angan reseptor adrenergik pasca sinap -+ vasokonstrtriksi mukosa saluran pernapasan -) menurunkan aliran darah mukosa saluran pernapasan --) mucosadecongestion

Data penelitian menunjukkan bahwa pemberian' kortikossteroid per inhalasi akan menurunkan lama perawatan di rumah sakit pada pasien asma akut, bila dibandingkan dengan placebo. Penelitian lain menemukan bahwa pemberian kortikosteroid oral yang setara dengan

dosis 40-60 mg prednison atau prednisolon per hari selama '7-14 hai, lebih efektif, murah dan aman. Bagaimanapun juga dari beberapa penelitian, pemberian kortikosteroid tunggal dosis tinggi per inhalasi, lebih efektif dari pada kortikosteroid oral untuk mengatasi serangan asma ringan pada pasien yang berkunjung ke IGD.

kadar asam lemakbesar dalam darah, insulin, glukosa, dan

piruvat). Stimulasi p2-adrenoreseptor juga berperan terhadap patogenesis asidosis laktat selama serangan asma akut berat, terutama pada pasien yang mendapatkan p2-agonis secara intravena.

Teofilin Penggunaan

teofilin sebagai obat monoletapi,

efektivitasnya tidak sebaik obat golongan p2-agonis. Pemberian aminophilin dikombinasi dengan p2-agonis per

inhalasi, tidak memberikan manfaat yang bermakna.

Antikolinergik Penggunaan antikolinergik berdasarkan asumsi terdapatnya peningkatan tonus vagal saluran pernapasan

pada pasien asma akut, tetapi efeknya tidak sebaik p2-agonis. Penggunaan ipratropium bromida (IB) secara

inhalasi digunakan sebagai bronkho dilator awal pada pasien asma akut. Kombinasi pemberian IB dan p2-agonis diindikasikan sebagai terapi pertamapada pasien dewasa dengan eksaserbasi asma berat. Dosis 4 X semprot (80 mg) tiap 10 menit dengan MDI atau 500 mg setiap 20 menit dengan nebulizer akan lebih efektif.

Pemberian obat ini malah akanmeningkatkan efek samping seperti tremor, mual, cemas dan taki aritmia. Berdasarkan beberapa hasil penelitian akhimya dibuat kesepakatan dan

keputusan untuk tidak merekomendasikan pemberian teohlin secara rutin untuk pengobatan asma akut. Obat ini boleh digunakan hanya jika pasien tidak respon dengan terapi standar. Pada kasus ini pemberian loading doses 6 mglkg dan diberikan dalam waktu > 30 menit dilanjutkan secara per infus dengan dosis 0,5 mglkg BB/jam. Kadar teofilin dalam darah yang direkomendasikan berkisar antara 8-12mg/rnl.

2224

PULMOIiIoI.OGI

Magnesium sulfat Penggunaan obat ini untuk asma akut pertama kali dilaporkan oleh dokter di negara Urugay pada tahun 1936. Mekanisme obat ini kemungkinan melalui hambatan kontraksi otot polos akibat kanal kalsium terblokir oleh magnesium. Obat ini murah dan aman. Dosis yang biasa diberikan 1,2 -2 g intravena, diberikan dalam waktu > 20 menit. Dari hasil penelitian secara meta analisis, pemberian obat ini pada pasien asma akut tidak dianjurkan untuk diberikan secara rutin. Pemberian obat ini secara per inhalasi tidak memberikan efek yang bermakna. Penelitian

akhir melaporkan bahwa pemberian magnesium sulfat secara intravena hanya akan

memperbaiki fungsi paru jika

diberikan sebagai obat tambahan pada obat yang telah ditentukan sebagai standarterapi (nebulizer p2-agonis dan

terhadap pembentukan dan pelepasan mediator alergi dari sel-sel paru. Data penelitian juga memperlihatkan bahwa eksaserbasi asma dihubungkan dengan adanya infeksi

bakteri, terutama bakteri Chlamydia pneumoniae. Pada kebanyakan kasus, penggunaan antibiotik tidak diperlukan.

Antibiotik sering diberikan bila terdapat peningkatan volume dan purulensi sputum. Padahal sputum yang terlihat purulen mungkin banyak mengandung eosinofil dan bukan leukosit polimorfonuklear. Sputum yang terdiri atas eosinofil ini merupakan asma akut tipe inflamasi saluran pemapasan dan biasanya tidak didapatkan adanya infeksi. Antibiotik diberikan unhrk pasien dengan gejala panas dan pada sputumnya didapatkan adanya lekosit polimorfonuklear. Antibiotik juga diberikan jika dari gejala klinis mengarah ke diagnosis pnemoni atau sinusitis akut.

kortikosteroid intravena) pada pasien dengan FEV, < 20oA prediksi.

untuk terapi asma akut, tetapi belum banyak penelitian

Heliox

yang dilakukan adalah obat anestesi umum per inhalasi, lidokain dan furosemide per inhalasi. Obat mukolitik per

Serangan asma akut dapat menyebabkan turbulensi aliran udara..Turbulensi aliranudara ini dapat dikurangi pemberian

gas yang mempunyai densitas lebih rendah serta mempunyai viskositas yang lebih tinggi dari udara. Heliox (helium dan oksigen) merupakan campuran gas yang dapat

diberikan pada pasien asma akut untuk mengurangi turbulensi aliran udara. Beberapa penelitian melaporkan bahwapemberian gas heliox sebagai terapi tambahanpada terapi standar untuk kasus asma akut tidak lebih efektif dalam hal perbaikan fungsi parubila dibandingkan dengan oksigen atau udara.

Obat lain yang kemungkinan juga memberikan manfaat

inhalasi tidak memberikan manfaat dalam pengobatan asma akut. Obat ini malah dapat memperburuk obstruksi saluran pernapasan dan meningkatkan gejala batuk. Obat yang memberikan efek sedasi, harus diberikan secara hati-hati pada pasien asma akut, karena memberikan efek depresi

pernapasan. Hasil penelitian menemukan bahwa ada hubungan ar,tara pemakaian obat sedasi ini dengan kamatian pada pasien asma. Penatalaksanaan awal pasien asma akut di IGD secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 5.

FEVr atau PEFR < 50%

FEV1 atau PEFR > 50%

Antagonis Leukotrin Ada beberapa penelitian yang dilakukan untuk menguji efektivitas penggunaan obat ini. Pada satu penelitian, pemberian dua macam obat zafirlukast secan oral (20 mg dan 160 mg) pada pasien asma akut yang dating ke IGD, memperlihatkan adanya perbaikan fungsi paru dan skor sesak napasnya menjadi berkurang. Pada pasien asma akut refrakter yang sudah mendapatkan terapi B2-agonis, pemberian montelukast inta vena akan meningkatkan FEV, secara cepat, meskipun perubahannyahanya sedikit bila dibandingkan dengan plasebo.

Terapi Lain Banyak penelitian yang menemukan bahwa infeksi saluran pernapasan yang disebabkan oleh virus dapat memicu

terjadinya serangan asma. Virus common cold seperti halnya rhinoviruses dapat memicu terjadinya mengi pada remaja dan dewasa. Virus ini dapat memicu serangan asma melalui beberapa mekanisme. Infeksi virus kemungkinan dapat menyebabkan kerusakan epithelial dan inflamasi saluran pernapasan. Kerusakan epithelial dan saluran

inflamasi ini kemungkinan juga bertanggung jawab

Oksigenasi'1-3 l/menit melalui nasal kateter atau pemakaian masker oksigen dengan konsentrasi rendah sampai SpO2 mencapai > 92% p2-agonis inhalasi: albuterol 4X semprot (400 microgram) setiap 10 menit dengan MDI atau 2,5 mg albuterol dalam 4 ml larutan salin dengan nebulizer Oz (6-8 L/menit) setiap 20

Oksigenasi 1-3 l/menit melalui nasal catheter atau pemakaian masker oksigen dengan konsentrasi rendah sampai SpO2 mencapai > 92%.

p2-agonis inhalasi + antikolinergik; albuterol + lpratropium bro mide 4X semprot (400 pg dan 80 pg) setiap 10 menit dengan MDI

menit

Antikolinergik untuk pasien dengan respon a wal yang minimal kortikosteroid sistemik jika tidak segera memberikan respon terhadap bron kodilator

lnhalasi kortikosteroid dosis tinggi kortikostreroid sistemi: hidrokortikortison 200 mg iv atau metilpred nisolon 40 mg tiap 6 Jam

Keputusan untuk Memulangkan atau Merawat Pasien Spirometri dan gejala klinis dipakai untuk mengambil keputusan ini. Pasien harus dirawat jika meskipun sudah diberikan penatalaksanaan intensif selama 2-3 jam di IGD,

2225

OBSTRUKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

tetapi masih didapatkan adanya mengi yang nyata, penggunaan otot-otot bantu pernapasan, masih memerlukan pemberian oksigen untuk menj aga SpO r> 92o/o

dan fungsi paru yang masih belum membaik (FEV, atau

< 40%o predlksi). Kondisi lain yang perlu dipertimbangkan untuk mera\Mat pasien adalah bila pada pasien tersebut didapatkan adanya faktor risiko yang tinggi dan untuk terjadinya kematian oleh karena asma (tidak tersedianya akses untuk mendapatkan pengobatan/ke rumah sakit, kondisi rumah yang menyulitkan, sulitnya transportasi ke rumah sakit bila sewaktu-waktu terjadi PEF

perburukan gejala). Jika pasien bebas dari gejala dan fungsi parunya > 60% prediksi, pasien dapat dipulangkan. Pasien dengan

fungsi palrt 40-60Yo prediksi setelah mendapatkan pengobatan dapat melanjutkan pengobatan lagi. Pasien ini kemungkinan dapat dipulangkan dengan anggapan bahwa tersedianya tempat untuk pengawasan lanjutan yang adekuat. Umumnya 3-4 jam di IGD sudah cukup waktu untuk menentukan jika pasien asma akut dapat membaik gejalanya dan aman untuk dipulangkan. Berdasarkan penelitian terakhir relap dalamjangka waktu dekat jarang terjadi pada pasien asma akut

Keputusan untuk Memasukkan Pasien ke ICU (lntensive Care Unitl Pasien dengan obstruksi aliran udara derajat berat yang

memburuk atau hanya mengalami perbaikan minimal meskipun sudh diberikan terapi harus masuk ICU. Pertanda

klinis untuk memasukkan ke ICU adalah distress pernapasan, tingginya pulsus paradoksus atau hilangnya denyrt nadi pada pasien denganfatigue atau pasien yang secara subjektifmerasakan adanya ancaman gagal napas. Indikasi lain untuk memasukkan pasien ke ICU adalah bila didapatkan ad anya gagal napas, status mentalnya berubah, SpOr< 90% meskipun sudah mendapatkan oksigenasi dan

kenaikan PaCO, disertai dengan keadaan klinis yang tak mengalami perbaikan.

PPOK EKSASERBASI AKUT

Akhir-akhir ini chronic obstructive pulmonary disease (COPD) atau penyakit paru obstruksi kronik (PPOK)

Organization (WHO) memperkirakan bahwa menjelang tahun 2020 prevalensi PPOK akan meningkat. Akibat sebagai penyebab penyakit tersering peringkatnya akan meningkat dari ke duabelas menjadi ke lima dan sebagai penyebab kematian akan meningkat dari ke enam menjadi ke tiga. Berdasarkan survey kesehatan rumah tangga Dep.

Kes.

Sebagai penyebab kematian, PPOK menduduki peringkat

serebro vaskular. Biaya yang dikeluarkan unhrk penyakit

ini mencapai $ 24 milyar per tahunnya. World Health

1992, PPOK bersama asma bronkial

lainnya seperti polusi udara, faktor genetik dan lainlainnya.

Diagnosis PPOK Eksaserbasi Akut Penyakit paru obstruksi kronik sering dikaitkan dengan gejala eksaserbasi akut. Pasien PPOK dikatakan mengalami

eksaserbasi akut

bila kondisi pasien mengalami

perburukan yang bersifat akut dari kondisi sebelumnya yang stabil dan dengan variasi gejala harian normal sehingga pasien memerlukan perubahan pengobatan yang

sudah biasa digunakan. Eksaserbasi akut ini biasanya disebabkan oleh infeksi (bakteri atau virus), bronkospasme, polusi udara atau obat golongan sedatif. Sekitar sepertiga penyebab eksaserbasi akut ini tidak diketahui. Pasien yang mengalami eksaserbasi akut dapat ditandai dengan gejala yang khas seperti sesak napas yang semakin bertambah, batuk produktif dengan perubahan volume atau purulensi sputum, atau dapat juga memberikan gejalayatglidak khas seperti maloxi, fitigue dan ganggrtan susah tidur. Roisin membagi gejala klinis PPOK eksaserbasi akut menjadi gejala respirasi dan gejala sistemik. Gejala respirasi yaitu berupa sesak napas yang semakin bertambah berat, peningkatan volume dan purulensi sputum, batuk yang semakin sering dan napas yang dangkal dan cepat. Gejala

sistemik ditandai dengan peningkatan suhu tubuh, peningkatan denyrt nadi serta gangguan status mental pasien.

Pemeriksaan yang diperlukan untuk menilai tingkat keparahan pasien PPOK yang mengalami eksaserbasi akut

adalah: . Tesfungsiparu(mungkinsukardilakukanuntukpasien yang kondisinya parah) - PEF < 100 L/menit atau FEVr < 1 L mengindikasikan adanya eksaserbasi yang Parah. . Pemeriksaan analisis gas darah. - PaO, < 8,0 kPa (60 mmHg) dan atau Sa O, < 90% dengan atau tanp aPaCOr> 6,7 kPa (50 mmHg), saat bernapas dalam udara ruangan, mengindikasikan adanya gagal napas.

semakin menarik untuk dibicarakan oleh karena prevalensi dan angka mortalitas yang terus meningkat. Di Amerika kasus kunjungan pasien PPOK di instalasi gawat darurat mencapai angka 1, 5 jut a, 7 26.000 memerlukan perawatan di rumah sakit dan I 19.000 meninggal selama tahun 2000.

ke empat setelah penyakitjantung, kanker dan penyakit

RI tahun

menduduki peringkat ke enam. Merokok merupakan faktor risiko terpenting penyebab PPOK di samping faktor risiko

PaO, < 6,7 kPa (50 mmHg), PaCO, > 9,3 kPa (70 mmHg) dan pH < 7,30, memberi kesan episode yang mengancam jiwa dan perlu dilakukan monitor ketat serta penanganan intensif. Fototoraks. Dilakukanuntukmelihatadanyakomplikasi

-

. .

seperti pnemoni.

Elektrokardiografi (EKG). Pemeriksaan EKG dapat

2226

PI,JLII'ONOI.OGI

membantu penegakan diagnosis hiperhopi ventrikel kanan, aritmia dan iskemia.

.

Kultur dan sensitivitas kuman Diperlukan untuk mengetahui kuman penyebab serta

resistensi kuman terhadap antibiotik yang dipakai. Pemeriksaan ini juga diperlukan jika tidak ada respons terhadap antibiotik yang dipakai sebagai pengobatan pada permulaan penyakit. Kuman penyebab eksaserbasi akut yang paling sering ditemukan adalah Streptococcus pneumoniae, Moraxella catarrhalis dan H.influenzae. Pasien PPOK yang mengalami eksaserbasi akut dengan

kondisi seperti terlihat pada Tabel 6, perlu dilakukan perawatan di rumah

sakit.

\

Peningkatan gejala yang nyata, seperti sesak napas mendadak waktu istirahat. a

Riwayat PPOK bearat

a

Munculnya gejala fisik yang baru, (siamiosis, edema

a a a a a

perifer) Eksaserbasi tidak responsif terhadap pengobatan Komorbiditas signifikan Aritmia baru Diagnosis Usia lanjut Perawatan rumah tidak memadai

MANAJEMEN PPOK EKSASERBASI AKUT

Manajemen di Rumah

Antibiotik. Diberikan jika gejala sesak napas dan batuk disertai dengan peningkatan volume dan purulensi sputum. Antibiotik hendaknya diberikan dengan spektrum luas yang bisa menghadapi H.influenzae, S.pneumoniae dan M.catarrhalis sambil menunggu hasil kultur sensitivitas

kuman. Berdasarkan penelitian, ketiga kuman di atas merupakan kuman penyebab eksaserbasi akut yang paling sering ditemukan. Antibiotik yang sering digunakan pada kasus akut eksaserbasi ini bisa dilihat pada tabel 3.

Manajemen di Rumah Sakit Terapi farmakologi pada PPOK akut eksaserbasi di rumah sakit adalah : . Bronkodilator kerja cepat : pr-agonis dan anti kolinergik dosis ditinggikan dan frekuensi pemberian dinaikkan. . Steroid : oral atau intra vena . Antibiotik : oral atau intra vena

. .

Pertimbangkan teofilin oral atau intra vena (masih kontroversial) Pertimbangkan ventilator mekanik invasif Pada keadaan berat seperti ancaman gagal napas akut,

kelainan asam basa berat atau perburukan stafus mental, maka pemasangan ventilator mekanik invasif dapat dipertimbangkan.

Obat-obat Tambahan Lainnya

. .

Bronkodilator. Bronkodilator utama yang sering digunakan adalah : br-agonis, antikolinergik dan metilxantin. Obat tadi

dapat diberikan secara monoterapi atau kombinasi.

o,, antitripsin : diberikan pada pasien emphisema muda, bilaterdapat defisinsi zat ini. Obat ini agak mahal dan belum banyak tersedia di beberapa negara. Mukolitik: secara keseluruhan pemberian mukolitikpada pasien dengan sputum kental hanya memberi sedikit keuntungan, terutama pada keadaan akut eksaserbasi, sehingga jarang dipakai secara rutin. Antioksidan: hanya bermanfaat pada keadaan akut eksaserbasi dan tidak dipakai pada penggunaan secara rutin. Imunoregulator : terdapat penelitian yang menyatakan bahwaobat-obat ini dapat menurunkan beratnya akut

Pemberian secara inhalasi (MDI) lebih menguntungkan dari pada cara oral atau parenteral karena efeknya cepat pada organ paru dan efek sampingnya minimal. Pemberian secara

.

MDI lebih disarankan dari pada

pemb erian cara nebulizer. Obat dapat diberikan sebanyak 4-6kali,2-4 hirup sehari. Bronkodilator ke{a cepat (fenoterol, salbutamol, terbutalin)

.

lebih menguntungkan dari pada yang kerja lambat

. Antitusif dan narkotik : penggunaan

(salmeterol, formeterol), karena efek bronkodilatomya sudah dimulai dalam beberapa menit dan efek puncaknya terjadi setelah l5-20 menit dan berakhir setelah 4-5 jam. Bila tidak

segera memberikan perbaikan, bisa ditambah dengan pemakaian anti kolinergik sampai dengan perbaikan gejala.

Obat-obat bronkodilator yang sering digunakan untuk penanganan PPOK bisa dilihat pada Tabel 7.

eksaserbasi.Penggunaan secara rutin belum dianjurkan.

secara rutin

merupakan kontra indikasi.

Stop Merokok Menghentikan kebiasaan merokok pada pasien PPOK sebenamya merupakan usaha yang mudah dan ekonomis dalam rangka mengurangi progresivitas penyakit. Bila pasien dapatberhenti merokok makaprogresivitas penurunan FEV,-

Glukokortikosteroid. Jika FEV, < 50yo prediksi, dapat

nya dapat diperkecil. Pasien PPOK yang merokok akan

diberikan 40 mg prednisolon (oral) per hari selama 10-14

mengalami penurunan FEV, > 50 ml per tahun (pada orang normal yang tidak merokok, penurunan FEV, hanya 18 ml per tahun). Bila pasien dapat menghentikan merokok, maka pemrrunan FEVr yang drastis ini dapat dicegah seperti penurunan normal orang yang tidak merokok.

hari bersamaan dengan pemberian bronkodilator. Budesonid nebulizer bisa dipakai sebagai altematif terapi selain oral. Glukokosteroid dipakai untuk pengobatan yang non asidosis.

2227

OBSTRUKITI SALURAN PERNAPASAN AKUT

lnhaler (pg)

Antikolinergik lpratropium brom Tiotropium p2.agonis Fenoterol Salbutamol Terbutalin Procaterol Formoterol Salmeterol

'40

- 80 (MDl)

Nebuliser (mg/ml)

Oral (mg)

6-8 24

0,25-0,5

18 (DPl)

100-200 (MDl) 100-200 (MDl & DPI) 250 - 500 (DPl)

4-6

0,5 - 2,0 2,5 - 5,0 5 - 10

2,5-5 0,25

10

10

-

4-6 12-24

5 - 60 (pil) 4, 8, 16 (pil)

2000 mg

lnhaler (pg)

Glukokortikosteroid lnhaler

Triamsinolon

12 12

200

Prednison

Flutikasone

0,5

100 - 400

Glukokortikosteroid Sistemik

Budesonide

-

- 24 (MDl & DPI) 50 - 100 (MDl & DPI) 12

Metilxantin

Beklometason

4-6 4-6 6-8

2-4

Aminofilin Teofilin SR

Metilpred nisolon

Lama kerja 0am)

100,250,400 (MDl & DPI) 100, 200, 400 (DPr) 50 - 500 (MDl & DPI) 100

(MDl)

Nebulizer (mg/ml)

Oral

(mg)

Lama kerja (jam)

0,2-0,4 0,2 ; o,25 ; 0,5

40

Kombinasi Pz agonis lshod-actingl dengan antikolinergik dalam satu inhaler

Fenoterol/ lpratropium Salbutamol/

(MDl) 75115 (MDl)

200/80

1,25 I 0,5

6-8

O'75 I 4,5

6-8

lpratropium

Kombinasi 0z agonis (long-actingl dengan glukokortikosteroid dalam satu inhaler

Formoterol/ Budesonide Salmeterol/ Flutikasone

4,5/80,160(DPl) (e/320) (DPl) 50/100, 250, 500 (DPl) 25150,125,250 (MDl)

Strategi yang dianjurkan oleh Public Health Service Report USA adalah '.

. .

. . .

Ask:lalokan identifftasi perokokpada setiap kunjungan Advice:terangkantentangkeburukan/dampakmerokok sehingga pasien didesak mau berhenti merokok ,4ssess: yakinkan pasien untukberhenti merokok Assist: bantu pasien dalam program berhenti merokok Arrange'. jadwalkankontakusahaberikutnyayang lebih intensif, bilausaha pertama masih belum memuaskan

Beberapa usaha untuk berhenti merokok seperti: pemakaian nikotin gum, patch, spray/inhaler' obat-obat klonidin, bupropion tidak ada salahnya untuk dicoba.

Pilih laringoskop yang ukurannya sesuai dengan besar pasien. Pada anak besar dan dewasa lebih mudah menggunakan laringoskop berdaun lengkung. Mulut dibuka dengan jari-jari tangan kanan, tangan

kiri daun ujung memegang laringoskop kemudian

laringoskop dimasukkan di atas lidah pada sudut mulut sebelah kanan. Daun laringoskop didorong ke dalam mulut ke arah orofaring sambil menggeser lidah ke sebelah kiri ruang mulut.

Rahang bawah didorong ke bawah dengan menarik

laringoskop sesuai dengan sumbu pegangnya, sehingga terlihat ePiglottis.

Apabila digunakan laringoskop berdaun lengkung, INTUBASI ENDOTRAKEA DAN TRAKEOSTOMI

ePiglottis dan engan menarik

pita suara dan

Intubasi Endotrakea Caranya'.

lubang tenggorok. Dengan tangan kanan masukkan pipa endotrakheal

2228

PTJLMONOI.OGI

secara tumpul untuk memisah-misahkan

Eksaserbasi Ringan sampai Sedang*

LS

Eksaserbasi Sedang sampai Berat +

(Vibramycin), xlhari

,1-2gtV thari ,lglVtiap8-12

im-

satu tablet2x/hari sulfametoksazol,

Amoksisilin-klavulanat

mg mg sehari

Satu 500 mg/125 tablet3xsehari atau satu 875 mg/125 tablet 2 x

Makrolides Klarithromisin (Biaxin),

500mg2xsehari Azitrommisin (Zithromaks), 500 mg pertama, selanjutnya 250 mg /hari Fluoroquinolones Levofloksasin, 500

.

mg/hari

Gatifloksasln, 400

jaringan; 8). Kulit,

jaringan sub kutan, dan strap muscles (sterno hioidea,

Ceflazidime, 1 -2 g lVtiap 8 -

12jam

pen pi

al 3.375 g

Ticarcillin-clavulanate potassium, 3.1 g lV tiap 4 - 6 Jam

Fluoroquinolones Levofloksasin, 500 mg lV 1 x / hari

Gatifloksasin, 400 mg lV 1 x / hari

Aminoglikosid ToQramisin, 1 mg per kg lV tiap I - 12 jam, atau 5 mg per kg lV / hari

dan sternotiroidea) diretraksi ke lateral untuk memaparkan ismus tiroid. Venajugularis anterior dapat ditemukan, jika ada harus dipotong dan diikat. Ismus tiroid harus diretraksi ke atas atau ke bawah atau dipotong di antara dua ikatan,

tergantung mana yang paling mudah dan memberikan pandangan terbaik. (Gambar 7, 9). Sebelum mengiris hakea sebaiknya dipungsi dulu danjika yang keluar udara berarti

trakea; 10). Cincin trakea yang sering dipotong adalah cincin trakea III/IV, selain itu dapat juga pada cincin V/VI (trakeostomi suprastemal) (Gambar 8); l0). Kanul trakea hendaknya dipilih dengan diameter dan bentuk yang sesuai, biasanya sebesar jari kelingking pasien, sebab kanul trakea yang tidak sesuai dapat merusak jaringan atau dinding hakea; I I ). Sebelum kanul trakea dipasang, terlebih

dahulu ditetesi dengan 1-2 tetes pantokain untuk

mengurangi rangsangan pada mukosa trakea oleh gesekan kanul trakea; 12). Kanul trakea dimasukkan dari samping kiri pasien dan setelah ujungnya masuk kemudian diputar

searah jarum

jam. Setelah kanul trakea dipasang,

mg/hari

Moksifloksasin, 400 mg/hari

lV = lntraveana : Untuk antibiotik oral, lama pemberian umumnya 5 .10 hari + : Obat umumnya dikombinasi untuk mendapatkan efek

"

sinergi

(ukuran sesuai dengan pasien) ke dalam laring. Untuk orang dewasa dan anak usia di atas 6 tahun, gunakan pipa endotrakheal dengan balon (cuffl yang besar dan lunak serta bertekanan rendah. Pengisian balonjangan

berlebihan, karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa trakea. Gambar 5. Posisi intubasi pada pasien

Trakheostomi Carunya:. 1). Posisi pasien tidur telentang dengan kantong pasir di bawah bahu untuk membantu mengekstensikan leher. Dagu

harus difiksasi tepat pada garis tengah; 2). Desinfeksi daerah operasi;3). Lakukan anestesi lokal infiltrasi, dapat juga tanpa anestesi terutama pada kasus yang sangat darurat; 4). Lakukan insisi di daerah segitiga yang bebas dari pembuluh darah, dengan batas-batas, kranial: kartilago krikoidea, lateral: m. sternokleido-mastoideus, kaudal : fosa supra stemal;5). Insisi dapat ditakukan secara tranversal atau vertikal. Insisi tranversal memberikan hasil kosmetik yang lebih baik, tetapi insisi vertical memberikan pemaparan yang lebih baik dan perdarahalyarlglebih sedikit; 6). Insisi

vertikal di garis media mulai tepi bawah kartilago krikoid sampai fosa supra sternal. (Gambar 6, 7). Insisi diper dalam sampai ke permukaan trakea. Jangan terlalu banyak memotong pembuluh darah. Oleh karena itu bekerjalah

Gambar

6

lnsisi vertikal di garis media mulai tepi bawah

kartilago krikoid sampai fosa supra sternal.

2229

OBSIRUKIiI SALURAN PERNAPASAN AKUT

Carotid artery Jugular vein

obturator segera diangkat. Antara kanul dan luka iris diberi

Thyroid cartilage Thyroid gland

Recurrent laryngoal nerve lnnominato artory Gambar 7

kasa yang telah diolesi salep steril (Gambar 9); 13). Luka insisi yang masih tersisa di atas dan di bawah kanul trakea

ditutup dengan jahitan benang catgut, tetapi tidak perlu terlalu rapat untuk menghindari terjadinya emfisema sub akut; l4). Kanul trakea luar difiksasi dengan tali pita melingkar leher. Lubang kanul trakea ditutup dengan kasa tipis yang basah, untuk menghindari masuknya partikelpartiket kecil ke dalam trakea dan melembabkan udara pernapasan.

REFERENSI Asril-Bahar, 2003. Penyakit Paru Obstruksi Kronik: Pedoman Penatalaksanaan Terbaru d al am W igtno-Prodj osudj adi el a/. Pertemuan Ilmiah Nasional I (PB PAPDD 2003, Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit dalam FK-UI ha1. 34-45Buist, S., 2004. Diagnosis and Management of COPD. Head Pulmonary and Critical Care Medicine, Oregon Health Sciences, Uni-

versity Portland, Oregon. A.; Herth, F.; Becker, H., 2005. Overview of the management of central airway obstruction ln Rose (ed) Up To Date

Ernst,

13.1

Hunter, M.H.

& King, D.E., 2001. COPD: Management bf Acute

Exacerbations and Chronic Stable Disease. Am. Fam. Physician

2001; 64: 603-12, 621-22 Joynt, G.M., 1997. Acute upper airway obstruction in Teoh (ed) Intensive Care Manual 4'h Edilion, Butter Worth Heinnemann Marquette, C.,2005. Airway foreign bodies in Rose (ed) Up To date

Gambar 8.

13.1

Morgan, M.D.L. & Britton, J.R., 2003. Chronic Obstructive Pulmonary Disease.S Non-pharmacological management of COPD.

Thorax, 2003; 58: 453-457 & Steiner, M.C.,2004. COPD Pharmacological Management. Hospital Pharmacist 2004; ll: 367-372 Pauwels, R. Et al., 2003. Global Initiative for Chronic Obstructive

Murphy, A.C.

Lung Disease, Pocket Guide To COPD Diagnosis, Management and Prevention (Updated, July 2003). Practical Pointers. What's in The New COPD Guidelines? 2004. www.nice.org.uk Rodrigo, G.J.; Rodrigo, C.; Hall, J.B., 2004. Acute asthma in Adult (A review). CHEST 2004; 125: 1081-1102 Snider, G.L., 2004. Diagnosis of chronic obstructive pulmonary disease. 1n Rose, B.D., Up To Date 12.1 Stoller, J.K., 2004. Overview of management of acut exacerbations of chronic obstnrctive pulmonary disease. 1n Rose, B.D., Up 7o

Date 12.1 Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1992. Kerja sama Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI dengan Biro Pusat Statistik RI 1994. Sutherland, E.P & Cherniack, R.M., 2004. Current Consepts : Management of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. N Engl J

Med 2004; 350: 2689-9'7.

Gambar 9.

357 TUBERKULOSIS PARU Zulkifl i Amin, Asril Bahar

PENDAHULUAN

hampir seluruh tubuh manusia dapat terserang olehnya tetapi yang paling banyak adalah organ paru.

Tuberkulosis

paru (TB)

adalah suatu penyakit infeksi kronik yang sudah sangat lama dikenal pada manusia, misalnya dia dihubungkan dengan tempat tinggal didaerah urban, lingkun gan yangpadat, dibuktikan dengan adanya penemuan kerusakan tulang vertebra torak yang khas TB dari kerangka yang digali di Heidelberg dari kuburan zaman neolitikum, begitu juga penemuan yang berasal dari mumi dan ukiran dinding piramid di Mesir kuno pada tahun 20004000 SM. Hipokrates telah memperkenalkan terminologi

Pada permulaan abad 19, insidensi penyakit tuberkulosis di Eropa dan Amerika Serikat sangat besar.

Angka kematian cukup tinggi yakni 400 per 100.000 penduduk, dan angka kematian berkisar 15-30% dari semua kematian. Di antara yang mening gal lercatat orang-orang terkenal seperti: Voltaire, Sir Walter-Scott, EdgarAllan Poe, Frederick Chopin, Laenec, Anton-Chekov, dll. Usaha-usaha

untuk mengurangi angka kematian dilakukan seperti menghirup udara segar di alam terbuka, makan/minum makanan bergizi, memberikan obat-obat seperti tuberkulin (sebagai upaya terapi), digitalis, minyak ikan dan lain-lain, tetapi hasil-nya masih kurang memuaskan. Tahun 1840 George Bodingto dari Sutton Inggris mengemukakan konsep sanatorium untuk pengobatan TB tetapi ia tidak

phthisis yang diangkat dari bahasa Yunani yang menggambarkan tampilan TB paru ini. Bukti yang lain dari Mesir, pada mummi-mummi yang berasal dari tahun 3500 SM, Jordania (300 SM), Scandinavia (200 SM), Nesperehan (1000 SM), Peru (700), United Kingdom (200-400 SM) masing-masing dengan fosil tulang manusia yang melukiskan adanya Pottb disease atau abses paru yang berasal dari tuberkulosis, atau terdapatrya lukisan orang-orang dengan bongkok tulang belakang karena sakit spondilitrs TB. LiteraturArab: Al Razi (850-953 M) dan Ibnu Sina (9801037M) menyatakan adanya kavitas pada paru-paru dan hubungannya dengan lesi di kulit. Pencegahannya dengan

mendapat tanggapan pada waktu itu. B aru pada tahun I 85 9 Brehmen di Silesia Jerman, mendirikan sanatorium dan

berhasil menyembuhkan sebagian pasiennya.

Sejak itu banyak sanatorium didirikan seperti di Denmark, Amerika Serikat dan kemudian terbanyak di

Inggris yakni di Wales, England, Skotlandia. Setelah sukses dengan sanatorium, barulah dipikirkan usaha pencegahan seperti memusnahkan sapi yang tercemar TB,

makan-makanan yang bergizi, menghirup udara yang bersih dan kemungkinan (prognosis) dapat sembuh dari penyakit ini. Disebutkan juga bahwa TB sering didapat pada usia muda ( I 8-30 th) dengan tanda-tanda badan kurus dan dada yang kecil. Baru dalam tahun I 882 Robert Koch menemukan kuman penyebabnya semacam bakteri berbentuk batang dan dari

memberikan pendidikan kesehatan dan perbaikan lingkungan pada penduduk seperti makan/minum yang

baik, tidak menghirup udara buruk, menghindari lingkungan hidup yang terlalu padat, mengurangi pekerj aan yang meletihkan.

Sejak awal abad 19, angka kesakitan dan kematian pertahun dapat diturunkan karena program perbaikan gizi

sinilah diagnosis secara mikrobiologis dimulai dan

dan kesehatan lingkungan yang baik serta adanya

penatalaksanaannya lebih terarah. Apalagi pada tahun I 896

pengobatan lain/tindakan bedah seperti

Rontgen menemukan sinar

X

sebagai alat bantu

menegakkan diagnosis yang lebih tepat.

Penyakit ini kemudian dinamakan Tuberkulosis, dan

c o I I ap s

e th er apy.

Robert Koch mengidentifikasi basil tahan asam M.tuberculosls untuk pertama kali sebagai bakteri penyebab TB ini. Ia mendemontrasikan bahwa basil ini

2230

2231

TUBERKULOSISPARU

bisa dipindahkan kepada binatang yang rentan, yang akan memenuhi kriteria postulat Koch yang merupakan prinsip

utama dari patogenesis mikrobial. Selanjutnya ia menggambarkan suatu percobaan yang memakai guinea lunt.tk memastikan observasinya yang pertama yang menggambarkan bahwa imunitas didapat mengikuti infeksi primer sebagai suatu fenomena Koch. Konsep dari pada

pig,

imunitas yang didapat (acquired immunity) diperlihatkan dengan pengembangan vaksin TB, satu vaksin yang sangat sukses, yaitu vaksin Bacillus Calmette Guerin @CG) dibuat dari suatu strain Mikobakterium Bovis, vaksin ini ditemukan olehAlbert Calmette dan Camille Guerin di Institut Pasteur Perancis dan diberikan pertama kali kemanusia pada tahun 1921. Sejarah eradikasi TB dengan kemoterapi dimulai pada tahun 1944 ketika seorang perempuan umur 21 tahun denganpenyakit TB paru lanjut menerima injeksi pertama Streptomisin yang sebelumnya diisolasi oleh Selman Waksman. Segera disusul dengan penemuan asam para

amino salisilik (PAS) .Kemudian dilanjutkan dengan penemuan Iso niazid y angsignifikan yang dilaporkan oleh Robitzek dan Selikoff 1952. Kemudian diikuti penemuan berturut-turut pirazinamid tahun 1 954 dan Etambutol 19 52, Rifampisin 1963 yangmenjadi obatutamaTB sampai saatini.

berkembang. Di antara mereka 75 %oberada pada usia produktif yaitu 20-49 tahun. Karena penduduk yangpadat dan tingginya prevalensi maka lebih dari 650/o dari kasuskasus TB yang baru dan kematian yang murcul terjadi diAsia Alasan utama munculnya atau meningkatnya beban TB global ini antara lain disebabkan : 1. Kemiskinanpada berbagai penduduk, tidak hanya padanegatayang sedang berkembang tetapijuga pada penduduk perkotaan tertentu dinegara maju.2. Adanya perubahan demografik dengan

meningkatnya penduduk dunia dan perubahan dari struktur usia manusia yang hidup. 3. Perlindungan kesehatan yang tidak mencukupi pada penduduk di kelompok yang rentan terutama dinegeri-negeri miskin. 4.Tidak memadainya pendidikan mengenai TB di antara para dokter. 5.Terlantar dan kurangnyabiaya untuk obat, sarana diagnostik, dan pengawasan kasus TB dimana terjadi deteksi dan tatalaksana kasus yang tidak adekuat. 6. Adanya epidemi HIV terutama di Afrika dan Asia.

EPIDEMIOLOGI TB DI INDONESIA Indonesia adalah negeri dengan prevalensi TB ke-3 tertinggi

di dunia setelah China dan India. Pada tahun

1998 diperkirakan TB di China, India dan Indonesia berhrrut turut I . 828. 000,

EPIDEMIOLOGIGLOBAL

000, dan

5

9I

.000 kasus. Perkiraan kej adian

Indonesia. Prevalensi nasional terakhir TB paru diperkirakan 0,24 yo. Sampai sekarang angka kejadian TB di Indonesia relatifterlepas dari angka pandemi infeksi HIV karena masih relatif rendahnya infeksi HIV, tapi hal ini mungkin akan

berubah dimasa datang melihat semakin meningkatnya laporan infeksi HIV dari tahun ketahun. Suatu survei mengenai prevalensi TB yang dilaksanakan di 15 propinsi

kasus TB ini (95 %) dan

Indonesia tahun

kematiannya (98 %) terjadi dinegara-negaru yarrg sedang

1979 Jawa Tengah '1980 Bali 1980 DKI Jaya 1980 Dl Yogyakarta 1980 Jawa Timur 1980 Sumatra Utara 1980 Sulawesi Selatan '1980 Sumatra Selatan '1980 Jawa Barat '1980 Kalimantan Barat 1980 Sumatra Barat 198'l Aceh 1981 Kalimantan Timur 1981 Sulawesi Utara 1982 Nusa Tenggara Timur

4.

1985 dan survai kesehatan nasional 2001, TB menempati

mendeklarasikan TB sebagai global health emergency.TB dianggap sebagai masalah kesehatan dunia yang penting karena lebih kurang l/3 penduduk dunia terinfeksi oleh mikobakterium TB. Pada tahun 1998 ada 3.617.047 kasus TB yang tercatal diseluruh dunia.

Tahun Survei

1

ranking nomor 3 sebagai penyebab kematian tertinggi di

dunia yang utama. Pada bulan Maret 1993 WHO

dar-i-

.4

tahun 1998. Berdasarkan survei kesehatan rumah tangga

Walaupun pengobatan TB yang efektif sudah tersedia tapi sampai saat ini TB masih tetap menjadi problem kesehatan

Sebagian besar

1

BTA di sputum yang positif di Indonesia adalah 266.000

197 9

-1982 diperlihatkan pada Tabel 1.

Jumlah Penduduk th 1982 (juta)

Prevalensi Positif Hapusan BTA Sputum (%)

26.2 2.5 7.0 2.8 30.0 8.8 6.2 4.9 28.9

0.13 0.08 0.16

z.o

0.14 0.38 0.15 0.52 0.30 o.74

3.5 2.7 1.3

2.2 2.8

0.31

0.34 0.53 0.45 0.42 0.31

Modiflkasi dari Aditama : Rata - rata prevalensi TB pada 15 propinsi : 0 29%, prevalensi tertinggi ada di NTT 0]4o/oyangtercndahdi Bali 0,08%.Padatahun 1990prevalensi di Jakarta0,'16%

2232

PI.JIltrcNq.OGI

CARAPENULARAN

PATOGENES!S

Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman

di wilayah perkotaan kemungkinan besar telah

mempermudah proses penularan dan berperan sekali atas peningkatan jumlah kasus TB. Proses terjadinya infeksi oleh M. tuberculosis biasanya secara inhalasi, sehingga TB paru merupakan manifestasi klinis yang

paling sering dibanding organ lainnya. Penularan penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi basil yang mengandung droplet nuclei, khususnya yang didapat dari pasien TB paru dengan batuk berdarah atau berdahak yang mengandung basil tahan asam (BTA). Pada TB kulit atau jaringan lunak penularan bisa melalui inokulasi langsung. Infeksi yang disebabkan oleh M

boujs dapat disebabkan oleh susu yang kurang disterilkan dengan baik atau terkontaminasi. Sudah dibuktikan bahwa lingkungan sosial ekonomi yang baik, pengobatan teratur dan pengawasan minum obat ketat berhasil mengurangi angka morbiditas dan mortalitas di Amerika selama tahun 1950-1960.

Penyebab tuberkulosis adalah Mycobaclerium tuberculosis, sejenis kuman berbentuk batang dengan

ukuran panjang l-4lum dan tebal 0,3-0,6/um. Yang tergolong dalam kuman Mycobacterium tuberculosae complex adalah: l). M. tuberculosae,2). Varian Asian, 3). Varian African I, 4. Yarian African II, 5. M. bovis. Pembagian tersebut adalah berdasarkan perbedaan secara epidemiologi. Kelompokkuman Mycobacteria Other Than TB (MOU atypical adalah; l. M. kansasi, 2. M. avium, 3. M. intra

cellulare, 4. M.scrofulaceum, 5. M. malmacerse, 6. M. xenopt. Sebagian besar dinding kuman terdiri atas asam lemak

Tuberkulosis Primer Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama U.-jErm, tergantung pada ada tidaknya sinar ulhaviotet, yqqllllasi yang buruk dan kelembaban. Daldm suasana lembab dan gelap kuman

aapatffierhari-hari s ampai b erbulan-bulan. B ila partikel infeksi ini terisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran napas atau jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel < 5 mikrometer. Kuman akan dihadapi pertama kali oleh uputrofil, kemudian baru oleh makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau

dibersihkan oleh makrofag keluar dari percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya. Bila kuman menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam sito-plasma makrofag. Di sini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman yang bersarang di jaringan paru akan ber-bentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau afek priiner atau sarang (foku$ Ghon. Sarang primer ini dapat terjadi di setiap bagianjaringanparu. Bila menjalar sampai ke pleura, maka terjadilah efusi pleura. Kuman dapat juga masuk melalui saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi limfadenopati regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, tulang. Bila masukke arteripulmolalis maka te{adi penjalaran ke seluruh bagian paru menjadi TB milier. Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal), dan juga diikuti pembesaran kelenjaf getah bening hilus (limfadenitis

(ipid), kemudian pg{iclo€llkqn dan q&binoaalaqn. lQid inilah yang membuat kuman lehihlahan terhadap asam (asam alkohol) sehingga disebut bakteri tahan asam

regional). Sarang primer limfangitis lokal + limfadenitis regional : kompleks primer (Ranke). Semua proses ini

(BTA) dan ia juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis. Kuman dapat tahan hidup pada @La kel_rng maupun dalam keadaan dingin (dapat tahan bertahun-

.

tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi karena kuman berada

dalam

sifat.4lorW!.Dari sifat dormant ini kuman dapat

bangkit kembali dan menjadikan penyakit tuberkulosis menjadi aktif lagi.

Di dalam jaringan,

yakni-d-diIm yang semulamemfagosit intraselular

ai parasit Makrofag

enanginya karena banyak mengandung lipid. Sifat lain kuman ini adalahqerob. Sifat ini menunjukkan

bahwa kuman lebih menyenifti iaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian apikal paru-paru lebih tinggi dari bagian lain, sehingga bagian apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis.

memakan

Kompleks primer ini

selanjutnya Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini yang

banyakterjadi. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik, kalsifikasi di hilus, keadaan ini terdapatpadqlesi pneumonia yang luasnya > 5 mm dan

+ l0% di antaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dormant.

Berkomplikasi dan menyebar secara

: a). per

kontinuitatum, yakni menyebarke sekitamya, b). secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru di sebelahnya. Kuman dapat juga tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke [email protected] limfogen, ke organ tubuh lain-lainnya,@ secara hematogen, ke organ tubuh lainnya.

Semua kejadian

di

tuberkulosis primer.

atas tergolong dalam perjalanan

2233

TUBERKULOSISPARU

Tuberkulosis Pasca Primer (Tuberkulosis Sekunder) Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa (tuberkulosis post primer : TB pasca primer : TB sekunder). Mayoritas reinfeksi

mencapai 90%. Tuberkulosis sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti graLulElsi, alkoho.l penvakit gagal ginjal. Tuberkulosis pascasa1i884, diabr.lqs, S primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di regio atas paru (bagian apikal-posterior lobus superior atau inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus hiler paru. Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumoniakecil. Dalam 3.10 minggu sarang ini menjadi tuberkel

oleh fungus seperti Aspergillus dan kemudian menjadi mycetoma; c. bersih dan menyembuh, disebut op en heal ed cavity. Dapatjuga menyembuh dengan membungkus diri menjadi kecil. Kadang-kadang berakhir sebagai kavitas yang terbungkus, menciut dan berbentuk seperti bintang disebut

stellate shaped. Secara keseluruhan akan terdapat 3 macam sarang yakni: 1). Sarang yang sudah sembuh. Sarang bentuk ini tidak perlu pengobatan lagi;2). Sarang aktif eksudatif. Sarang bentuk ini perlu pengobatan yang lengkap dan sempuma; 3). Sarang yang berada antara aktif dan sembuh' Sarang bentuk ini dapat sembuh spontan, tetapi mengingat kemungkinan terj adinya eksaserbasi kembali, sebaiknya diberi pengob atar, yang sempurna juga.

yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel Histiosit dan sel Datia-Langhans (sel besar dengan banyak inti) yang dikelilingi oleh 93-l-selliry:lgit dan berbagai jaringan ikat. TB pasca primerjuga dapat berasal dari infeksi eksogen dari usia muda menj adi TB usia tua (elderly tuberculosis) . Tergantung dari jumlah kuman, virulensi-nya dan imunitas pasien, sarang dini ini dapat menjadi: . Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.

.

KLASIF!KASI TUBERKU LOSIS Sampai sekarang belum ada kesepakatan di anlatapata klinikus, ahli radiologi, ahli patologi, mikrobiologi dan ahli kesehatan masyarakat tentang keseragaman klasifikasi tuberkulosis. Dari sistem lama diketahui beberapa klasifrkasi seperti:

.

Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan serbukan jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras, menimbulkan perkapuran. Sarang dini yang meluas sebagai granu-

loma berkembang menghancurkan jaringan ikat sekitamya dan bagian tengahnya mengalami nekrosis, menjadi lembek membentukjaringan keju. Bilajaringan keju dibatukkan keluar akan terjadilah kavitas. Kavitas ini mula-mula berdinding tipis, lama-lama dindingnya menebal karena infiltasi j aringan fibroblas dalam jurnlah

besar, sehingga menjadi kavitas sklerotik (kronik). Terjadinya perkijuan dan kavitas adalah karena hidrolisis protein lipid dan asam nukleat oleh ensim yang diproduksi oleh makrofag, dan proses yang berlebihan sitokin dengan TNF-nya. Bentuk perkijuan lain yang jarang adalah cryptic disseminateTB yang terjadi pada imunodefisiensi dan usia lanjut. sangat kecil, tetapi berisi bakteri sangat banyak. Kavitas dapat: a. Meluaskembali danmenimbulkan sarang pneumonia baru. Bila isi kavitas ini masuk dalam peredaran darah arteri, maka akan terjadi TB milier. Dapat

Di sini lesi

juga masuk ke paru sebelahnya atau tertelan masuk lambung dan selanjutnya ke usus jadi TB usus. Sarang ini selanjuhrya mengikuti perjalanan seperti yang disebutkan

terdahulu. Bisa juga terjatli TB endobronkial dan TB

endotrakeal atau empiema bila ruptur ke pleura; b. memadat dan membungkus diri sehingga menjadi tuberkuloma. Tuberkuloma ini dapat mengapur dan menyembuh atau dapat aktif kembali menjadi cair dan jadi kavitas lagi. Komplikasi kronik kavitas adalah kolonisasi

. ..

Pembagian secara patologis

-

Tuberkulosis primer (childhood tuberculosis) Tuberkulosis post-primer (adult tuberculosis) Pembagian secara aktivitas radiologis Tuberkulosis paru (Koch Pulmonum) aktif, non aktif dan quiescent (bentuk aktif yang mulai menyembuh). Pembagian secara radiologis (luas lesi) - Tuberkulosis minimal. Terdapat sebagian kecil

infiltrat nonka-vitas pada satu paru maupun kedua paru, tetapi jumlahnya tidakmelebihi satu lobus paru.

-

Moderately advanced tuberculosis. Ada kavitas dengan diameter tidak lebih dari 4 cm. Jumlah infiltrat bayangan halus tidak lebih dari satu bagian paru' Bila bayangannya kasar tidak lebih dari sepertiga

-

Far advanced tuberculosis. Terdapat infiltrat dan

bagian satu paru. kavitas yang melebihi keadaan pada moderately advanced tuberculosis.

Pada tahun 1974 American Thoracic Society memberikan klasifrkasi baru yang diambil berdasarkan aspek

kesehatan masyarakat. . Kategori 0 : Tidakpemahterpajan, dantidakterinfeksi, riwayat kontak negatif, tes tuberkulin negatif. . Kategoril: Terpajan tuberkulosis, tapi tidak terbukti ada infeksi. Di sini riwayat kontak positif, tes tuberkulin negatif. . Kategori II : Terinfeksi tuberkulosis, tetapi tidak sakit. Tes hrberkulin positif, radiologis dan sputum negatif' . Kategori III : Terinfeksi tuberkulosis dan sakit.

Di

Indonesia klasifikasi yang banyak dipakai

adalah berdasarkan kelainan klinis, radiologis, dan mikro

biologis:

2234

. . .

PULMOIIDI.OGI

Tuberkulosis paru Bekas tuberkulosis paru

Tuberkulosis paru tersangka, yang terbagi dalam: a.) Tuberkulosis paru tersangka yang diobati. Di sini sputum BTA negatif, tetapi tanda-tanda lain positif. b). Tuberkulosis paru tersangka yang tidak diobati. Di sini sputum BTA negatif dan tanda-tanda lain juga meragukan.

Dalam 2-3 bulan, TB tersangka

ini

sudah harus

dipastikan apakah termasuk TB paru (aktif) atau bekas TB paru. Dalam klasifikasi ini perlu dicantumkan : 1. Status

bakteriologi, 2. Mikroskopik sputum BTA (langsung), 3. Biakan sputum BTA, 4. Status radiologis, kelainan yang relevan untuk tuberkulosis paru, 5. Status kemoterapi, riwayat pengobatan dengan obat anti tuberkulosis. WHO 1991 berdasarkan terapi membagi TB dalam 4 kategori yakni:

Kategori I, ditujukan terhadap : . Kasus baru dengan sputum positif. . Kasus baru dengan bentuk TB berat. Kategori II, ditujukan terhadap :

. .

Kasus kambuh Kasus gagal dengan sputum BTA positif Kategori III, ditujukan terhadap :

. .

Kasus TB ekstra paru selain dari yang disebut dalam kategori I Kategori IV, ditujukanterhadap : TB kronik.

GEJALA.GEJALA KLINIS Keluhan yang dirasakan pasien tuberku-losis dapat bemacam-macam atau malah banyak pasien ditemukan TB

paru tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan :

Demam. Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-kadang panas badan dapat mencapai 40-

4loC. Serangan demam pertama dapat sembuh

Sesak napas. Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak napas, Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.

Nyeri dada. Gejala ini agakjarangditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga

menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik/melepaskan napasnya.

Malaise. Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan makin kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam dll. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.

PEMERIKSAAN FISIS

Kasus BTAnegatifdengankelainanparuyang tidakluas.

kesehatan. Keluhan yang terbanyak adalah

peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa bahrk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberkulosis terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus.

sebentar,

tetapi kemudian dapat timbul kembali. Begitulah seterusnya

hilang timbulnya demam influenza ini, sehingga pasien merasa tidak pemah terbebas dari serangan demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman tuberkulosis yang masuk.

Batuk/Batuk Darah. Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan unhrk membuang produk-produk radang keluar. Karena terlibatrya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni setelah berminggu-minggu atau

berbulan-bulan peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul

Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena aneniia, suhu demam (subfebris), badan kurus atau berat badan menurun.

Pada pemeriksaan

fisis pasien sering tidak

menunjukkan suatu kelainan pun terutama pada kasuskasus dini atau yang sudah terinfiltrasi secara asimtomatik. Demikian juga bila sarang penyakit terletak di dalam, akan sulit menemukan kelainan pada pemeriksaan fisis, karena hantaran getarun/starayang lebih dari 4 cm ke dalam paru sulit dinilai secara palpasi, perkusi dan auskultasi. Secara anamnesis dan pemeriksaan fisis, TB paru sulit dibedakan dengan pneumonia biasa. Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks (puncak) paru. Bila dicurigai adanya

infiltrat yang agak luas, maka didapatkan perkusi yang .e1fup dan auskUltasi suara napas bronkial. Akan didapatkan juga suara napas tambahan berupa ronki basah, kasar, dan nyaring. Tetapi bila infiltrat ini diliputi oleh penebalan pleura, suara napasnya menjadi v_esl$lar melernah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi memberikan suara hipersonor atau timpani dan auskultasi memberikan su*u u-EF Pada tuberkulosis paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukanell€ dan 1g$Si otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit jadi menciut dan menarik isi mediastinum atau paru lainnya. Paru yang sehat menjadi leb Bila jaringan fibrotik amat luas yakni lebih umlahjaringanparu-paru, akan terjadi pengecilan daerah aliran darah paru dan selanjutnya

2235

TUBERKULOSISPARU

meningkatkan tekanan arteri pulmonalis (hipertensi

(oneumotoraks).

pulmonal) diikuti terjadinya kor pulmonal dan gagal jantung kanan. Di sini akan didapatkan tanda-tanda kor pulmonal dengan gagal jantung kanan seperti takipnea, takikaslia,

macam bayangan sekaligus (pada tuberkulosis yang sudah

sianqis, right ventricular lift, right atrial gallop, murmur Graham-Steel, bunyi P2 yang mengeras, tekanan vena jugularis yang meningkat, hepatomegali, asites, dan edema. Bila tuberkulosis mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura. Paru yang sakit terlihat agak tertinggal dalam pernapasan. Perkusi memberikan suara pka( Auskultasi

Pada satu foto dada sering didapatkan bermacam-

lanjut) seperti !g[][gt, gggseeri€-f,b+otrk, kalsifikasi, kanitas-(non sklerotik/sklerotik) maupun atelgklasis dan

-/

emfisema.

Tuberkulosis sering memberikan gambar-an yang anehaneh, terutama gambaran radiologis, sehingga dikatakan tuberculosis is the greatest imitator Gambaran infrltrasi

memberikan suara napas yang le{nah sampai tidak

dan tuberkuloma sering diartikan sebagai pgguo.6ia, lglEllrs+aru, k@gmE-hronkus atau kqlq@elasta-

terdengar sama sekali. Dalam penampilan klinis, TB paru sering asimtomatik

Di samping itu perlu diingat juga faktor kesalahan dalam

sis. Gambaran kavitas sering diartikan sebagai abses paru.

kelainan radiologis dada pada pemeriksaan rutin atau uji tuberkulin yang positif.

membaca foto. Faktor kesalahan ini dapat mencapai25%o. Oleh sebab itu untuk diagnostik radiologi sering dilakukan juga foto lateral, top lordotik, oblik, tomografi dan foto dengan proyeksi densitas keras.

PEMERIKSAAN RADIOLOGIS

Adanya bayangan (lesi) pada foto dada, bukanlah menunjukkan adanya aktivitas pe-nyakit, kecuali suatu infiltrat yang betul-betul nyata. Lesi penyakit yang sudah

Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakancara

non-aktif, sering menetap selama hidup pasien. Lesi yang

yang praktis untuk menemukan lesi tuberkulosis. Pemeriksaan ini memang membutuhkan biaya lebih

berupa

dan penyakit baru dicurigai dengan didapatkannya

E$8, k4jfikasi, y

dijumpai pada orang-orang

te, sering r..

dibandingkan pemeriksaan sputum, tetapi dalam beberapa hal ia memberikan keuntungan seperti pada tuberkulosis anak-anak dan tuberkulosis milier. Pada kedua hal di atas diagnosis dapat diperoleh melalui pemeriksaan radiologis

Pemeriksaan khusus yang kadang-kadang juga diperlukan adalah brn&g!1fi, yakni untuk melihat kerusakan bronkus atau paru yang disebabkan oleh tuberkulosis. Pemeriksaan ini umumnya dilakukan bila

dada, sedangkan pemeriksaan sputum hampir selalu

pasien akan menjalani pembedahan paru. Pemeriksaan radiologis dada yang lebih canggih dan saat ini sudah banyak dipakai di rumah sakit rujukan adalah Computed Tomography Scanning (CT Sc4n). Pemeriksaan ini lebih superior dibanding ruiioEffiasa. Perbedaan densitas jaringan terlihat lebih jelas dan sayatan dapat dibuat transversal.

negatif. Lokasi lesi tuberkulosis umumnya di daerah aggls paru (segmen apikal lobus atas atau segmen apikal lobus bawah), tetapi dapat juga mengenai lobus bawah (bagian inferior) atau di daerah hilus menyerupai tumor paru (misalnya pada

tuberkulosis endobronkial). Pada awal penyakit saat lesi masih merupakan sarangsarang p!!umon@ gambaran radiologis berupa bercakbercak seperti ryn dan dengan batas-batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa bulatan dengan U*a1gS_JgErcCCS. Lesi ini dikenal sebagai tu@lglorlra. Pada kavitas bayangannya berupa cincin yang mulamula berdinding tipis. Lama-lama dinding jadi sklerotik dan terlihat menehal. Bila terjadifibrosjs terlihat bayangar.yarrg bSfggru:ggfts. Pada kalsifikasi bayangannya tampak sebagai bercak-bercakpadat dengan densitas tinggi. Pada

Pemeriksaan lain yang lebih canggih lagi adalah Magnetic Resonance Imaging (MRI). Pemeriksaan MRI ini tidak sebaik CT Scan, tetapi dapat mengevaluasi

proses-proses dekat apeks paru, tulang belakang, perbatasan dada-perut. Sayatan bisa dibuat transversal, sagital dan koronal.,

PEM ERI KSAAN LABORATORI UM

Darah

atelektasis terlihat seperti Ebfqrls yang !I@ disertai Leaciutan yang dapat terjadi pada sebagian atau salu

Pemeriksaan

lobus maupun pada satu bagian paru. Gambaran Erberkulosis milier terlihat berupa b-Elcak-

hasilnya kadang-kadang meragukan, hasilnya tidak sensitif dan juga tidak spesifik. Pada saat tuberkulosis baru mulai

@aak helus yang umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan -paru.

Gambaran radiologis lain yang sering menyertai tuberkulosis paru adalah penebalan BIs.qIA (pleuritis), Eas sg_gggp di bagian

hasahl4El (etrg!-pleurdqnpiema), di pinggir paru/pleura

bayangan hitam radiolusen

ini kurang mendapat perhatian,

karena

(aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit ureninsgi dengan hitung jenis pergeseran ke kiri. Jumlah lr-forit masih di bawah normal. Iajryglap darah mulai rn@gktrt. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal dan jumlah limfosit masih tinggi L_gjg "qdep darah mulai Ullur ke arah normallagi.

2236

Hasil pemeriksaan darah lain didapatkan juga:

l). Anemia ringan

dengan gambaran portrrckrom dan normositer; 2). Gama globulin meningkat; 3). Kadar natrium darah menurun. Pemeriksaan tersebut di atas nilainya juga

tidak spesifik. Pemeriksaan serologis yang pernah dipakai adalah reaksi &kah€hi. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan proses tuberkulosis masih aktif atau tidak. Kdteria positif yang dipakai di Indonesia adalah titer l/128. pemeriksaan ini juga kurang mendapat perhatian karena angka-angka positif palsu dan negatif palsunya masih besar. Belakangan ini terdapat pemeriksaan serologis yang banyak juga dipakai yakni Peroksidase Anti peroksida (PAP-TB) yang oleh beberapa peneliti mendapatkan nilai sensitivitas dan spesihsitasnya cukup tinggi (85-95%), tetapi beberapa peneliti lain meragukannya karena

mendapatkan angka-angka yang lebih rendah.

PI,JLMOIIIoI.GI

alveolar lavage). BTA dari sputum bisa juga didapat dengan cara bilasan lambung. Hal ini sering dikerjakan pada anak-anak karena mereka sulit mengeluarkan dahaknya. Sputum yang akan diperiksa hendaknya sesegar mungkin.

Bila sputum sudah didapat, kuman BTA pun kadangkadang sulit ditemukan. Kuman baru dapat ditemukan bila bronkus yang terlibat proses penyakit ini terbuka ke luar, sehingga sputum yang mengandung kuman BTA mudah ke luar. Diperkirakan di Indonesia t efiapat 50o/o pasien BTA

positif tetapi kuman tersebut tidak ditemukan dalam spufummereka.

Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurangkurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5.000 kuman dalam

I

mL sputum. Untuk pewamaan sediaan dianjurkan memakai cara Tan

Sungguhpun begitu PAP-TB ini masih dapat dipakai, tetapi kurang bermanfaat bila digunakan sebagai sarana tunggal untuk diagnosis TB. Prinsip dasar uji PAP-TB ini adalah

Thiam Hok yang merupakan modifikasi gabungan cara pulasan Kinyoun dan Gabbet.

menentukan adanya antibodi IgG yang spesifik terhadap antigen M. tuberculos ae. Sebagaiantigen dipakai polimer sitoplasma M tuberculin yar bovis BCG yang dihancurkan secara ultrasonik dan dipisahkan secara ultrasentrifus.

.

Cara pemeriksaan sediaan sputum yang dilakukan adalah

.

:

Pemeriksaan sediaan langsung dengan mi-kroskop biasa.

Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop fluoresens (pewamaan khusus) Pemeriksaan dengan biakan (kultur)

Hasil uji PAP-TB dinyatakan patologis bila pada titer l:10.000 didapatkan hasil uji PAP-TB positif. Hasil positif palsu kadang-kadang masih didapatkat pada pasien

. .

reumatik, kehamilan danmasa 3 bulanrevaksinasi BCG. Uji serologis lain terhadap TB yang hampir sama cara

Pemeriksaan dengan mikroskop fluoresens dengan sinar ultra violet walaupun sensitivitasnya tinggi sangat

dan nilainya dengan uji PAP-TB adalah uji Mycodot. Di sini dipakai antigen LAM (Lipoarabinomannan) yang dilekatkan pada suatu alat berbentuk sisir plastik. Sisir ini dicelupkan ke dalam serum pasien. Antibodi spesifik anti LAM dalam serum akan terdeteksi sebagai perubahan warna pada sisir yang intensitasnya sesuai dengan jumlah

Pemeriksaan terhadap resistensi obat.

jarang dilahkan, karena pewamaan yang dipakai (auraminrho-damin) dicurigai bersifat karsinogenik. Pada pemeriksaan dengan biakan, setelah 4-6 minggu penanaman sputum dalam medium biakan, koloni kuman

tuberkuiosis mulai tampak. Bila setelah 8 minggu penanaman koloni tidak juga tampak, biakan dinyatakan

antibodi.

negatif. Medium biakan yang sering dipakai yaitu

Sputum

Lowenstein Jensen, Kudoh atau Ogawa. Saat ini sudah dikembangkan pemeriksa-an biakan sputum BTA dengan cara Bactec (Bactec 400 Radio metric System), di mana kuman sudah dapat dideteksi

Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya kuman BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Di samping itu pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan. Pemeriksaan ini mudah dan murah sehingga dapat dike{akan di lapangan (puskesmas). Tetapi kadang-kadang tidak mudah untuk mendapat sputum, terutama pasien yang tidak batuk atau batuk yang non produktif. Dalam hal ini dianjurkan satu hari sebelum

pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan minum air sebanyak + 2 liter dan diajarkan melakukan refleks batuk. Dapat juga dengan memberikan tambahan obat-obat mukolitik eks-pektoran atau dengan inhalasi larutan garam hipertonik selama 20-30 menit. Bila masih sulit, sputum dapat diperoleh dengan cara bronkos-kopi diambi'l dengan

brushing atat bronchial washing atau BAL (broncho

dalam 7-10 hari. Di samping itudengantefuikPolryerase Chain Reactior (PCR) dapat dideteksi DNA kuman TB

dalam waktu yang lebih cepat atau mendeteksi M.tuberculosae yang tidak tumbuh pada sediaan biakan. Dari hasil biakan biasanya dilakukan juga pemeriksaan terhadap resistensi obat dan identifikasi kuman.

Kadang-kadang dari hasil pemeriksaan mikroskopis biasa terdapat kuman BTA (positif) , letapi pada biakan hasilnya negatif. Ini terjadi pada fenomen dead bacilli atat non culturable bacilli yang disebabkan keampuhan panduan obat antituberkulosis jangka pendek yang cepat mematikan kuman BTA dalam waktu pendek. Untuk pemeriksaan BTA sediaan mikroskopis biasa dan sediaan biakan, bahan-bahan selain sputum dapat juga diambil dari bilasan bronkus, jaringan paru, pleura, cairan

pleura, cairan lambung, jaringan kelenjar, cairan serebrospinal, urin, dan tinja.

Kelemahan tes ini juga terdapat positif palsu yakni pada pelnberian BCG atau terinfeksi dengan Mycobacterium lain. Negatif palsu lebih banyak ditemui daripada positif palsu.

Tes Tuberkulin Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis tuberkuiosis terutama pada anakanak (balita). Biasanya dipakai tes Mantouxyakni dengan menl.untikkan 0,1 cc tuberkulin P.P.D. (Purified Protein D erivative) intrakutan berkekuatan5 T.lJ. (intermediate stretgth). Bila ditakutkan reaksi hebat

dengan 5 T.U. dapat diberikan dulu I atau 2 T.U (first strength). Kadang-kadang bila dengan 5 T.U. masih memberikan hasil negatif dapat diulangi dengan 250 T.U. (second strength). Blla dengan 250 T.U. masih memberikan

hasil negatif, berarti tuberkulosis dapat disingkirkan. Umumnya tes Mantouks dengan 5 T.U. saja sudah cukup berarti. Tes tuberkulin hanya menyatakan apakah seseorang

Hal-hal yang memberikan reaksi tuberkulin berkurang (negatifpalsu) yakni:

. . .

Pasien yang baru 2-10 minggu terpajan tuberkulosis.

Anergi, penyakit sistemikberat (Sarkoidosis, LE). Penyakit eksantematous dengan panas yang akut: morbili, cacar air, poliomielitis.

.

Reaksi hipersensitivitas menurun pada penyakit

. .

limforetikular (Hodgkin) Pemberian kortikosteroid yang lama, pemberian obatobat imunosupresi lainnYa. Ijsia tua, malnutrisi, uremia, penyakit keganasan.

Untuk pasien dengan HIV positif, test Mantoux

*

5 mm, dinilaipositif.

individu sedang atau pemah mengalami infeksi M. tuberculosae, M. bovis, vaksinasi BCG dan Mycobacteria patogen lainnya. Dasar tes tuberkulin ini adalah reaksi alergi tipe lambat. Pada penularan dengan kuman patogen

baik yang virulen ataupun tidak (Mycobacterium tuberculosae atau BCG) tubuh manusia akan mengadakan

reaksi imunologi dengan dibentuknya antibodi selular pada permulaan dan kemudian diikuti oleh pembentukan antibodi humoral yang dalam perannya akan menekankan antibodi selular. Bila pembentukan antibodi selular cukup misalnya pada penularan dengan kuman yang sangat virulen dan jumlah kuman sangat besar atau pada keadaan di mana pembentukan antibodi humora'l amat berkurang (pada

DIAGNOSIS Dari uraian-uraian sebelumnya tuberkulosis_ Piry .lryp mudah dikenal mulai dari keluhan-keluhan klinis, gejalagejala, kelainan fisis, kelainan radiologis sampai dengan kelainan bakteriologis. Tetapi dalam prakteknya tidaklah selalu mudah menegakkan diagnosisnya - ildentrrut American Thoracic Society dan WHO 1964 diagnosis pasti tuberkulosis paru adalah dengan menemukan kuman My cob acterium tub ercul os ae dalam sputum atau j aringan

pam secara biakan. Tidak semua pasien memberikan sediaan atau biakan sputum yang positif karena kelainan paru yang belum berhubungan dengan bronkus

hipogama-globulinemia), maka akan mudah terjadi

atau pasien tidak bisa membatukkan sputumnya

penyakit sesudah penularan.

dengan baik. Kelainan baru jelas setelah penyakit berlanjut sekali.

Setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan, akan timbul reaksi berupa indurasi kem erahan yatglerdiri dari infiltrat limfosit yakni reaksi perse nyawaan antara antibodi selular

dan antigen tuberkulin. Banyak sedikitnya reaksi persenyawaan antibodi selular dan antigen tuberkulin amat dipengaruhi oleh antibodi humoral, makin besar pengaruh

antibodi humoral, makin kecil indurasi yang ditimbulkan. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, hasil tes

: 1)' Indurasi 0-5 mm (diameternya) i Mantoux negatif : golongan no sensitiv-

Mantoux ini dibagi dalam

il1l. Di sini peran antibodi humoral paling menonjol; 2). Indurasi 6-9 mm : hasil meragukan: golongan low grade sensitivity. Di sini peran antibodi humoral masih menonjol; 3). Indurasi 10-15 mm: Mantoux positif : golongannormal sensitivity. Di sini peran kedua antibodi seimbang; 4). Indnrasi lebih dari 15 mm : Mantoltxpositifkuat: golongan

hypersensitivity.

Di sini peran antibodi selular paling

menonjol.

Biasanya hampir seluruh pasien tuberkuiosis memberikan reaksi Mantoux yang positif (99,8%).

Di Indonesia agak sulit menerapkan diagnosis di atas karena fasilitas laboratorium yang sangat terbatas untuk

pemeriksaan biakan. Sebenarnya dengan menemukan kuman BTA dalam sediaan sputum secara mikroskopik

biasa, sudah cukup untuk memastikan diagnosis tuberkulosis paru, karena kekerapan Mycobacterium atypic di Indonesia sangat rendah. Sungguhpun begitu hanya 30-70oh saja dari seluruh kasus tuberkulosis paru yang dapat didiagnosis secara bakteriologis. Diagnosis tuberkulosis paru masih banyak ditegakkan berdasarkan kelainan klinis dan radiologis saja. Kesalahan

diagnosis dengan cara

ini

cukup banyak sehingga

memberikan efek terhadap pengobatan yang sebenarnya

tidak diperlukan. Oleh sebab itu dalam diagnosis tuberkulosis paru sebaiknya dicantumkan status klinis,

status bakteriologis, status radiologis dan status kemoterapi. WHO tahun I 99 1 memberikan kriteria pasien tuberkulosis paru. . Pasien dengan sputum BTA positif: 1. pasien yang

2238

PI.JLMOI(X.oGI

pada pemeriksaan sputum-nya secara mikroskopis

ditemukan BTA, sekurang-kurangnya pada {3 pemeriksaan, atau2. satu sediaan sputumnya positif disertai kelainan radiologis yang sesuai dengan gambaran TB aktif, atau 3. satu sediaan sputumnya

.

positif diserrai biakan yang positif.

(Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis), kerusakan

parenkim berat-> fibrosis paru, kor pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, sindrom gagal napas dewasa (ARDS), sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB.

Pasien dengan sputum BTAnegatif: l. pasien yang pada pemeriksaan sputum-nya secara mikroskopis tidak ditemukan BTA sedikitnya pa da 2 x pemerlksaan tetapi gambaran radiologis sesuai dengan TB aktif atat, 2. pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis tidak ditemukan BTA sama sekali, tetapi pada biakannya positif.

Brunei Darussalam and the Philippines. Tubercle 7991;72:25560. Bames Pfl Barrow SA. Tuberculosis in the 1990s. Am Intern Med.

Di samping TB paru terdapatjuga TB ekstraparu, yakni

Batoeah HD. Beberapa pedoman pemberantasan tuberkulosis

REFERENSI Aditama TY. Prevalence of tuberculosis in Indonesia, Singapore,

1993;119:400-10.

pasien dengan kelainan histologis atauldengan gambaran klinis sesuai dengan TB aktif atau pasien dengan satu

sediaan dari organ ekstra parunya menunjukkan hasil bakteri M. tuberculosae.

Di luarpembagian tersebut di atas pasien digolongkan lagi berdasarkan riwayat penyakihrya, yakni : . kasus baru, yakni pasien yang tidak mendapat obat anti TB lebih dari I bul . kasus kambuh, yakni pasien yang pernah dinyatakan sembuh dari TB, tetapi kernudian timbul lagi TB aktifnya. . kasus gagal (smear positive failure), yakni: - Pasien yang sputum BTA-nya tetap positif setelah mendapat obat anti TB lebih dari 5 bulan, atau - Pasien yang menghentikan pengobatannya setelah mendapat obat anti TB 1-5 bulan dan sputum BTAnya masih positif. . kasus kronik, yakni pasien yang sputum BTAnya tetap

positif setelah mendapat pengobatan

ulang

(retreatment) lengkap yang disupervisi dengan baik. Hal lain yang agak jaratgditemukan adalah oyptic tuDi sini pemeriksaan radiologis dan laboratorium/ sputum menunjukkan hasil negatif dan kelainan klinisnya sangat minimal (biasanya demam saja dan dianggap sebagai fever of unknown origin. Diagnosis diberikan berdasarkan berculosi;is.

percobaan terapi dengan obat anti tuberkulosis seperti INH + Etambutol selama 2 minggu. Bila keluhan membaik terapi

dengan obat anti tuberkulosis diteruskan sebagaimana mestinya. Bila tidak ada perbaikan maka obat-obat di atas dihentikan.

KOMPLIKASI Penyakit tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan komplikasi lanjut.

.

Komplikasi dini: pleuritis, efusi pleura, empiema,

.

Komplikasi lanjut: Obstruksi jalan napas ->SOPT

laringitis, lsus, Poncet b arthropathy

di Indonesia. Majalah Kedokteran Indonesia 1969;5:158-61-. Bothamley GH, Grange JM. The Koch phenomenon and delayed hypersensitivity . Tubercle 1997 ;72 : 7-ll Collins FM. Pathogenecity of M.tuberculosis in experimental animal. In: Rom GN,Garay S.Tuberculosis. Little, and Brorvn Company. Boston. I 996:259-268. Dannenberg AM Jr, Rook GAW. Pathogesesis of pulmonary tuberculosis; an interplay of tissue-damaging and macrophage-activating immune responses-dual mechanisms that control bacillary multiplication. In: BR Bloom, ed. Tuberculosis: pathogenesis, protection and control. Washington DC: ASM Press,1994 Depkes Republik Indonesia. Proposed national health research priorities: the view of National Institute of Health Research and Development (NIHRD). lakarta: Depkes RI, 1999.

Depkes Republik Indonesia. Survai Kesehatan Rumah Tangga. Jakarta: Depkes Republik Indonesia. 1995. Depkes Republik Indonesia. Survai kesehatan nasional. Jakarta: Depkes Republik Indonesia. Indonesia, 2001. Ditjen P4M Depkes RI, Press Conference. Jakarta, 2000. Daniel TM, Bates JH, Downes KA. History of tuberculosis. In : Bloom BR, ed. Tuberculosis : Pathogenesis, Protection and Control. lSt ed. Washington DC: ASM Press, 1994;: Ij. Fishman AP. Pulmonary Disease and Disorder. 1* ed. New York:

McGraw

Hill;

1980.1229 -323.

Good RG, Mastro TD. The modem mycobacteriology laboratory. How it can help the clinician. Clinics in Chest Medicine, 1989; 10(3): 3Ls-22.

Handoyo

I. Uji

peroksidase anti peroksidase pada penyakit

tuberkulosis paru. Disertasi doktor FK Un-Air Surabaya. 1988.1-

47. Hinshaw HC, Munay JF. Disease of the chest kjaku. Shoin/Saunders

International Edition: 4" ed, 1980.298-355. Home N, Tuberculosis, respiratory disorders. Medicine Intemational.

1986;2(r2): 1490-8. Iseman, MD. How is Tuberculosis transmitted? In: A Clinician,s Guide to Tuberculosis. Lippincott Williams & Wiikins, Philadelphia, USA, 2000,51-62 Iseman, M..D. Extrapulmonary tuberculosis in adults. In: A Clinician's Guide to Tuberculosis. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, USA, 2000.145-197 Iseman, M,.D.. Clinical presentation pulmonary tuberculosis in adults. In: A Clinician's Guide to Tuberculosis. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, USA, 2000.129-144 ZS. lseman MD. Treatment of multidrug-resistant tuberculosis. N Engl J Med 1993; 329:784-91.

2239

TI,'BERKUI.OSISPARU

Iseman

M D. Immunity and Pathogenesis. In: Iseman MD, ed. A Clinician guide to tuberculosis. Philadelphia: Lippincott Will-

Snider DE. Tuberculosis: The world situation. History of the diseases and efforts to combat it. In: Porter JDH, McAdam PWJ. Tuber-

iams & Wi1kins.2000; 63-96. Kanai K. Introduction to tuberculosis and mycobacteria. SEAMIC

culosis back to the future. Chichester England: John Wiley & Sons;1994.13-31. Waksman SA' The conquest of tuberculosis. Berkeley, University of

Publication No.60,1990, Tokyo, 105-59. Manaf A. Kebijaksanaan baru pemerintah dalam penanggulangan tuberkulosis paru. Simposium Tuberkulosis Paru Kembali. Jakarta

23-t0-1993. Mitchison DA. Basic Concepts in the Chemotherapy of Tuberculosis. In (Gangadharam PRJ and Jenkns PA, eds) Mycobacteria II Chemotherapy, Chapman & Hall, 1998. 15-50. New Jersey Medical School National Tuberculosis Center. Brief History of Tuberculosis. Newark: Tuberculosis Centre, I 996: 1 -4. Ormerod LP. Respiratory tuberculosis. In: Davies PDO, Eds. Clinical Tuberculosis. London: Chapman and Hall; 1994.73-92. Prihatini S . D.O.T.S. Directly Observed Treatment Shortcourse. Proceeding of the Integrated Tuberculosis Symposium. Faculty of Medicine, Universiy Of Indonesia Jakarta, 1998. Robitzek EH, Selikoff IJ.Hydrazine derivatives of isonicotinic acid (Rimfon,Marsilid) in the treatment of active progressive caseouspneumonic tuberculosis. Am Rev Ttberc 1952;65:402-28 Sakula A. BCG: Who were Calmette and Guerin ? Thorax 1983; 38 i 806-12

California 1964. World Health Organization. Guidelines for tuberculosis treatment in adult and children in National Tuberculosis Programmes 1991.123. World Health Organization . Global Tuberculosis control . WHO report Geneva: WHO,2000.

World Health Organization. Tuberculosis control and medical schools. Report of WHO Workshop. Rome, Italy : WHO, 1997 World Health Organization. Tuberculosis control and research s trategies for the 1990s: Memorandum from a WHO meeting. WHO Bull. 1992;70:11 -21. World Health Organization. Global tuberculosis control. WHO Report 1999. Geneva: WHO, 1999. World Health Organization. Framework of effective tuberculosis control.WHO tuberculosis program. Geneva: WHO,1994

Yusuf A, Tjokronegoro A. Tuberkulosis Paru. penatalaksanaan diagnostik dan terapi.

Pedoman

FKUI, Jakarta,

1985.

358 PENGOBATAN TUBERKULOSIS MUTAKHIR Zulkifl i Amin, Asril Bahar

SEJARAH PENGOBATAN TU BERKULOSIS

PRINSIP PENGOBATAN TUBERKU LOSIS

Sepanjang sejarah penyakit tuberkulosis ini, berbagai cara sudah dilakukan untuk mengobati pasien. Mulai dari era sebelum dan sesudah ditemukan bakteri penyebab dan obat antituberkulosis, pengobatan tuberkulosis mengalami beberapa tahapan yakni :

Aktivitas Obat

Health ResoftEra Setiap pasien tuberkulosis harus dirawat di sanatorium, yakni tempat-tempat yang berudara segar, sinar matahari yang cukup, suasana yang menyenangkan dan makanan

Terdapat 2 macam sifaVaktivitas obat terhadap tuberkulosis

yakni

:

Aktivitas bakterisid. Di sini obat bersifat membunuh kuman-kuman yang sedang tumbuh (metabolismenya masih aktif). Aktivitas bakterisid biasanya diukur dari kecepatan obat tersebut membunuh atau melenyapkan kuman sehingga pada pembiakan akan didapatkan hasil yang negatif(2 bulan dari permulaan pengobatan).

yargbergizitinggi.

Aktivitas sterilisasi. Di sini obat bersifat membunuh

BedrestEra Dalam hal ini pasien tidak perlu dirawat di sanatorium, tetapi cukup diberi istirahat setempat terhadap fisiknya saja, di samping makanan yang bergizi tinggi. Usaha pengobatan pada health resort and bed rest era, masih bersifat pemberantasan terhadap gejala yang timbul.

kuman-kuman yang perhrmbuhannya lambat (metabolisme kurang aktif). Aktivitas sterilisasi diukur dari angka kekambuhan setelah pengobatan dihentikan.

Dari hasil percobaan pada binatang dan pengobatanpada manusia ternyata: . Hampir semua obat antituberkulosis mempunyai sifat bakterisid kecuali etambutol dan tiasetazon yang hanya

bersifat bakteriostatik dan masih berperan untuk

CollapseTherapy Era

.

Di sini cukup paru yang sakit saja diistirahatkan dengan melakukan pneumonia artifisial. Paru-paru yang sakit

mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap obat,

Rifampisin dan pirazinamid mempunyai aktivitas sterilisasi yang baik, sedangkan INH dan streptomisin menempati urutan yang lebih bawah. Dalam aktivitas

dibuang secara wedge resection, satu lobus atau satu bagian paru.

Di sini revolusi dalam pengobatan tuberkulosis, yakni dengan ditemukannya streptomisin suatu obat

bakterisid: - RifampisindanlNHdisebutbakterisidyanglengkap (complete bactericidal drug) oleh karena kedua obat ini dapat masuk ke seluruh populasi kuman. Kedua obat ini masing-masing mendapat nilai

antituberkulosis mulai tahun 1944 danbermacam-macam obat lainnya pada tahun-tahun berikutnya. Pada tahun

-

Chemotherapy Era

satu.

Pirazinamiddanstreptomisinmasing-masinghanya

mini

mendapat nilait s etengah, kar era ptr azinamid hanya

revolusi dalam kemoterapi terhadap tuberkulosis, karena jangka waktu pengobatan dapat dipersingkat menjadi 6-9

bekerja dalam lingkungan asam sedangkan

1964 dengan ditemukannya rifampisin terjadi semacam

-

bulan.

2240

streptomisin dalam lingkungan basa. Etambutol dan tiasetazon tidak mendapat nilai.

PENGOBITTAT{ TUBERKUI.OSIS

2241

MUTAI(HIR

dapat dimusnahkan oleh mekanisme pertahanan tubuh Program Pengobatan

1950's-1969 JangkaPanjang (> 12 bulan)

1

1

1

969-1 982 982-1 986

986-1 995

'1995-1997

1

997-skrg

Resimen Pengobatan TB Fase

lnisial

2-3 HSPAS 2-3 HSPAS 2-3 HS 2.3 HS 2-3 HPAS

Jangka panjang (1 2 bulan) Jangka panlang (12 bulan) Jangka pendek (6-9 bulan) Jangka pendek (6 bulan) Jangka pendek (6-8 bulan) : Kategori 1 Kategori 2

1HS

Kategori 3 Jangka pendek (6-8 bulan) :

1HE 1HS 1HE 1 HRE 1 HSZ ,I

HRE

manusia itu sendiri.

Fase Lanjutan

I

-10HS

9 - 10 HPAS

KEMOTERAPITB

12 HPAS

12H 12H 11 H2S2 11 H2E2

11 H2S2 11 H2E2 11 H2E2 5-8 H2S2S2 5 H2R2

Kronologis Program Pengobatan Program nasional pemberantasan TB di Indonesia sudah dilaksanakan sejak tahun 1950-an. Ada 6 macam obat esensial yang telah dipakai sbb; Isoniazid (H), para amino

salisilik asid (PAS), Streptomisin (S), Etambutol (E), Rifampisin (R), dan pirazinamid (P). Semenjak tahun 1994 program pengobatan TB di

2HRZE

4 H3R3

Indonesia sudah mengacrt pada program Directly

2 HRZES/1 HRZE

5 H3R3E3

Obsertted Treatment Short Course strateg) (DOTS) yang

2HRZ

4 H3R3

didasarkan pada rekomendasi WHO, strategi ini

Metode DOTS

Modifikasi dariAbdul Manaf dkk 1984 dan Batuah dkk 1989 Contohnya: 1 HS/1 1 H2S2 ini adalah regimen yang didisain untuk 1 bulan penuh isoniazid dan streptomisin, keduanya diberikan setiap hari kemudian diikuti dengan program 1 1 bulan berikutnya yang terdiri dari: isoniazid dan streptomisin 2 x semrnggu

FAKTOR KU MAN TUBERKULOSIS

Penelitian Mitchison telah membagi

memasukkan pendidikan kesehatan, penyediaan obat anti TB gratis dan pencarian secara aktif kasus TB. Sampai tahun 2000 cakupan dari program DOTS baru mencapai 28 Yo dari 206.000juta penduduk, dengan hasil pengobatan yang masihbelum memuaskan. Adabeberapa daerah yang sukses antara lain: Sulawesi. Pengobatan yang sukses di bawah program DOTS tetap tinggi walaupun turun dai 9l% menjadi 8lo/o di antara tahun 1985 -1996 kunci permasalahan dengan pengobatan sistem DOTS ini adalah rendahnya penemuan kasus-kasus

kuman

baru.

M.tub erculo s ae dalambeberapa populasi dalam hubungan

Faktor-faktor risiko yar^g sudah diketahui

antara pertumbuhannya dengan aktivitas obat yang membunuhnyayakni:

menyebabkan tingginya prevalensi TB di Indonesia al: kurangnya gizi, kemiskinan dan sanitasi yang buruk.

Populasi A. Dalam kelompok ini kuman twnbuh berkembang biak terus menerus dengan cepat. Kuman-kuman ini banyak terdapat pada dinding kavitas atau dalam lesi yang pH-nya netral. INH bekerja sangat baik pada populasi ini karena

Pengobatan tuberkulosis memiliki dua prinsip dasar.

aktivitas bakterisid segera kerjanya adalah tertinggi. Rifampisindan Streptomisin juga dapat bekerj a pada

dua macam obat yang basilnya peka terhadap obat tersebut,

populasi ini tetapi efeknya lebih kecil daripada INH.

Populasi B. Dalam kelompok ini kuman tumbuh sangat lambat dan berada dalam lingkungan asam (pH rendah). Lingkungan asam ini melindungi kuman terhadap obat antituberkulosis tertentu. Hanya pirazinamid yang dapat bekerja di sini. Populasi C. Pada kelompok ini kuman berada dalam keadan dormant (trdakada aktivitas metabolisme) hampir sepanj ang waktu. Hanya kadang-kadang saja kuman ini mengadakan metabolisme secara aktif dalam waktu yang singkat. Kuman jenis ini banyak terdapat pada dinding kavitas.Di stnt hanya rifampisin yang dapat bekerj a karena obat ini dapat segera bekerja bila kontak dengan kuman selama 20 menit.

Populasi D. Dalam kelompok ini terdapat kuman-kuman yang sepenuhnya bersifat dormant (complete dormant), sehingga sama sekali tidak bisa dipengaruhi oleh obat anti tuberkulosis. Jumlah populasi ini tidak jelas dan hanya

Dasar Teori Pengobatan TB Pertama. Bahwa terapi yang berhasil, memerlukan minimal dan salah satu daripadanya harus bakterisidik. Karena suatu resistensi obat dapat timbul spontan pada sejumlah

kecil basil, monoterapi memakai obat bakterisidik yang terkuatpun dapat menimbulkan kegagalan pengobatan dengan terjadinya pertumbuhan basil yang resisten. Keadaan ini lebih banyak dijumpai pada pasien dengan populasi basil yang besar, misalnya pada tuberkulosis paru dengan kavitas, oleh karena dapat terjadi mutasi I basil resisten dari l0 basil yang ada. Kemungkinan terjadinya resistensi spontan terhadap dua macam obat merupakan hasil probabilitas masingmasing obat, sehingga penggunaan dua macam obat yang aktif umumnya dapat mencegah perkembangan resistensi sekunder. Obat antituberkulosis mempunyai kemampuan yang berbeda dalam mencegah terjadinya resistensi terhadap obat lairmya. Obat H dan R merupakan obat yang paling efektif, E dan S dengan kemampuan

menengah, sedangkan terkecil.

Z

adalah yang efektifitasnya

2242

PULTilONCX.OGI

Kedua. Bahwa penyembuhan penyakit membutuhkan pengobatan yang baik setelah perbaikan gejala klinisnya,

perpanjangan lama pengobatan diperlukan untuk mengeliminasi basil yang persisten. Basil persisten ini merupakan suatu populasi kecil yang metabolismenya inaktif. Pengobatan yang tidak memadai akan mengakibatkan bertambahnya kemungkinan kekambuhan, beberapa bulan-tahun mendatang setelah seolah tampak sembuh. Resimen padapengobatan sekitar tahun I 950- I 960 memerlukan waktu 18-24 bulan untuk jaminan menjadi sembuh. Dengan adanya cara pengobatan pada masa kini (metode DOTS) yang menggunakan paduan beberapa obat, pada umumnya pasien tuberkulosis berhasil disembuhkan secara baik dalam waktu 6 bulan. Kegagalan menyelesaikan

program masa pengobatan suatu kategori merupakan penyebab dari kekambuhan.

Berdasarkan prinsip tersebut, program pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi 2 fase, yaitu: fase bakterisidal awal (inisial) dan fase sterilisasi (lanjutan). Obat yang bersifat bakterisidal aktif belum tentu merupakan obat sterilisator terbaik dan obat yang efektifpada fase sterilisasi belum tentu obat bakterisidal yang paling aktif. Telah diketahui bahwa obat H merupakan bakterisidal yang paling poten, sedangkan obat R dan Z merupakan sterilisator yang paling efektif. Pada binatang percobaan, obat H dapat menghambat aktivitas sterilisasi dari obat R

danZ. Daftar efek obat yang digunakan untuk terapi jangka pendek berdasarkan data dari laboratorium dan penetian klinis. Populasi basil yang terbesar terdiri dari: a. basil yang

metabolismenya aktif yang cepat terbunuh oleh obat berkemampuan bakterisidal terutama H, b. obat R terutama

efektif terhadap basil yang'dorman dan yang muncul berlipat ganda secara periodik, c. populasi lain, yang terdiri dari basil yang terdapat di lingkungan asam (basil intrasel dan basil yangterdapat di dalam lokasi perkijuan), yang

terutama peka terhadap efek obat Z, d. rrltrrgkin suatu populasi basil yang metabolismenya inaktif yang tidak dapat dipengaruhi oleh obat apapun, dan banya dapat dieliminasi oleh respons imun pejamu. (Gambar 1)

Keterangan : basil tumbuh aktif, terutama dibunuh oleh isoniazid

A: B: C: D:

basil semi-dorman, kadang-kadang metabolisme aktif basil semi-dorman dalam suasana asam, dibunuh oleh pirazinamide

basil dorman murni, tidak dapat dibunuh oleh obat

Kemoterapi Bertujuan: Mengobati pasien dengan sesedikit mungkin

.

mengganggu aktivitas hariannya, dalam periode pendelq

tidak memandang apakah dia peka atau resisten

. . . .

terhadap obat yang ada.

Mencegah kematian atau komplikasi lanjut akibat penyakitnya. Mencegah kambuh

Mencegah munculnya resistensi obat Mencegah lingkungannya dari penularan

Obat-obatan TB dapat diklasifrkasi menjadi dua jenis resimen,yaitu obat- lapis pertama dan lapis kedua. Kedua lapisan obat ini diarbhkan ke penghentian pertumbuhan

basil, pengurangan basil dorman dan petcegahan terjadinya resistensi. Obat-obatan lapis pertama terdiri dari

Isoniazid (INH), Rifampicin, Pyrazinamide, Ethambutol dan Streptomycin. Obat-obatan lapis kedua mencakup

Rifubutin, Ethionamide, Cycloserine, Para-Amino Salicylic acid, Clofazimine, Aminoglycosides di luar Streptomycin dan Quinolones. Isoniazid (NH) mempunyai kemampuan bakterisidal TB yang terkuat. Mekanisme ke{anya adalahmenghambat cell-wall biosynthesis pathway. INH dianggap sejenis obat yang aman; efek samping utamanya antara lain hepatitis dan neuropati perifer karena interferensi fungsi biologi vitamin 86 atau piridoksin. Rifampisin juga merupakan obat anti TB yang ampuh, dia menghambat polimerase DNA-dependent ribonucleic acid (RNA) M tuberculosis. Efek samping yang sering diakibatkannya antara lain hepatitis, flu-like syndromeis dan trombositopenia. Rifampisin meningkatkan metabolisme hepatik kontrasepsi oral sehingga dosis kontrasepsi oral

harus ditingkatkan. Pirazinamid merupakan obat bakterisidal untuk organisme intraselular dan agen antituberkulos ketiga yang juga cukup ampuh. Pirazinamid hanya diberikan untuk 2 bulan pertama pengobatan. Efek

,/.HlR,s'M\ Tumbuh aktif

I

/*

ffFi1r-

l,Dorman I

I

t;-

,/'

| ,".0"o"

l I

asam

l

Gambar 1. Hipotesis populasi M. Tuberctttosis. Bagian-bagian populasi basil yang dibunuh oleh obat tertentu (Mitchison, 1998. Mycobacteria ll, '1. ed.; p. 34)

samping yang sering diakibatkannya adalah hepatotoksisitas dan hiperurisemia. Etambutol satusatunya obat lapis pertama yang mempunyai efek bakteriostatis, tetapi bila dikombinasikan dengan INH dan Rifampisin terbukti bisa mencegah te{adinya resisten obat. Streptomisin merupakan salah satu obat antituberkulos pertama yang ditemukan. Streptomisin ini suatu antibiotik golongan aminoglikosida yang harus diberikan secara parenteral dan bekeq'a mencegah pertumbuhan organisme ekstraselular. Kekurangan obat ini adalah efek samping

toksik pada saraf kranial kedelapan yang dapat

2243

PENGOBAf,AN TI,'BERKI,'LOSIS MI,'IIAIGIIR

menyebabkan disfungsi vestibular dan/atau hilangnya pendengaran. Obat tuberkulosis yang aman diberikan pada

perempuan hamil adalah isoniazid, rifampisin dan etambutol. Obat lapisan kedua dicadangkan untuk pengobatan kasus-kasus resistan multi-obat.

Pengobatan TB memerlukan waktu sekurangkurangnya 6 bulan agar dapat mencegah perkembangan resistensi obat. Oleh karena itu, WHO telah menerapkan strategi DOTS dimana terdapat petugas kesehatan tambahan yang berfungsi secara ketat mengawasi pasien minum obat untuk memastikan kepatuhannyanya. WHO juga telah menetapkan resimen pengobatan standar yang membagi pasien menjadi empat kategori berbeda menurut def,rnisi kasus tersebut (Tabel 2).

bulan, ditambah dengan S selama 2 bulan pertama. Apabila sputum BTA menjadi negatif, fase lanjutan bisa segera 3

dimulai. Apabila sputum BTA masih positif pada minggu ke-12, fase inisial dengan 4 obat dilanjutkan I bulan lagi. Bila akhir bulan ke-4 sputum BTA masih positif, semua obat dihentikan selama 2-3 hai dan dilakukan kultur sputum untuk uji kepekaan. obat dilanjutkan memakai resimen fase lanjutan, yaitu 5H3\E3 atau 5HRE. 3. Pasien TBP dengan sputum BTAnegatif tetapi kelainan paru tidak luas dan kasus ekstra-pulmonal (selain dari kategori I). Pengobatan fase inisial terdiri dari 2HRZ

Kategori

atau 2

H,\E, Z,

y ang diteruskan dengan fase lanj utan

Kategori 4. Tuberkulosis kronik. Kategori

Pasien TB TBP sputum BTA positif baru Bentuk TBP berat, TB ekstra-paru (berat),

TBP BTA-negatif Relaps Kegagalan pengobatan Kembali ke default TBP sputum BTA-

Resimen Pengobatan' Fase Awal SHRZ (EHRZ) SHRZ (EHRZ) SHRZ (EHRZ)

HRZE 1 HRZE

SHZE/'I SHZE/

2 HRz atau

Fase Laniutan 6 4

HE HR

4

HsRs

5 5

HgR:ET

2 H3&Zr 6

2 2

HRE

HE

negatif TB ekstra-paru (menengah berat)

2HRZatau2 HtRoZe 2HRZalau2 H3R3Z3

Kasus kronis (masih BTA-positif setelah pengobatan ulang yang disuperuisi)

Tidak dapat diaplikasikan (mempertimbangkan menggunakan obatobatan badsan kedua)

HN4H H3R3/4H

2HR

atauHrRr. Pada pasien

ini mungkin

mengalami resistensi ganda, sputumnya harus dikultur dan ujikepekaan obat. Untuk seumurhidup diberiH saja (WHO)

atau sesuai rekomendasi WHO untuk pengobatan TB resistensi ganda (mulfidrugs resistant tuberculosrs (MDR-TB). Kortikosteroid diberikan untuk tuberkulosis yang mengenai sistem saraf pusat (meningitis) dan perikarditis namun tidak dianjurkan untuk diberikan sebagai tambahan

terapi pada tuberkulosis jenis lainnya. Pepgobatan tuberkulosis pada pasien dengan HIV positif pada dasarnya tidak berbeda dengan pengobatan pada pasien dengan HIV negatif. Hal yang perlu diperhatikan adalah Rifampin tidak diberikan pada pasien HIV positif yang

Singkatan: TB = TB; TBP = Tuberkulosis paru; S = Streplomisini H = lsoniazid: R = Rifampisin; Z = Pirazinamide; E = Etambutol

menggunakan obat protease inhibitor (kecuali obat ritonavir) atau obat non nucleoside reverse transcriptase

lHlTnLT :1"*JH:',;1ili"::%1ffi I L:"8[: Iil:t"ll',fi"* ;::"iX"H",Jfi:",

inhibitorlNNRTl (kecuali obat efavirenz). Untuk

diberikan setiap hari yang diikuti dengan 4 bulan isoniazid dan rifampisin yang diberikan tiap hari atau 3 kali seminggu

Resimen Pengobatan Saat lni (metode DOTS)

mengatasinya dengan menggunakan rifabutin sebagai pengganti rifampin. Rifabutin dapat diberikan bersamaan dengan protease inhibitor (kecuali obat saquinavir) dan NNRTI (kecuali obat delavirdin) dengan penyesuaian dosis. Sebaiknya tatalaksana tuberkulosis pada pasien

HIV

dilakukan oleh ahlinya. Pasien HIV yang mendapat obat

Keterangan Lengkap Kategori I. Pasien tuberkulosis paru (TBP) dengan sputum BTA positif dan kasus baru, TBP lainnya dalam keadaan TB berat, seperti meningitis tuberkulosis, miliaris,

perikarditis, peritonitis, pleuritis masif atau bilateral, spondilitis dengan gangguan neurologik, sputum BTA negatiftetapi kelainan di paru luas, tuberkulosis usus dan saluran kemih. Pengobatan fase inisial resimennya terdiri dari 2 HRZS (E), setiap hari selama dua bulan obat H,R, Z dan S atau E. Sputum BTA awal yang positif setelah dua bulan diharapkan menjadi negatif, dan kemudian dilanjutkan ke fase lanjutan 4HR atau 4HrR3 atau 6HE. Apabila sputum

BTA masih tetap positif setelah dua bulan, fase intensif

tuberkulosis dan antiretroviral dapat menunjukkan gejala dan tanda eksaserbasi tuberkulosis (reaksi paradoks).

Keadaan

ini disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas

lambat dan meningkatnya antigen kuman setelah pemberian antituberkulosis bakterisidal. Pasien HIV dengan CD4 < 100 tidak boleh diberikan pengobatan dengan resimen 2 kali seminggu.

Pengobatan tuberkulosis pada anak-anak tidak mengikutsertakan etambutol (kecuali terjadi resistensi INH atau anak tersebut menunjukkan gej ala tuberkulosis dewasa seperti infiltrat pada lobus atas dan kavitas). Pemberian obat pada fase lanjutan akan diperpanjang

menjadi 7 bulan (total pengobatan 9 bulan) jika tidak

diperpanjang dengan 4 minggu lagi, tanpa melihat apakah sputum sudah negatif atau tidak.

diberikan pirazinamid pada fase inisial. Salah satu masalah utama pengobatan TB ini adalah munculnya strairt M. tuberculosis yang bersifat resistensi

Kategori 2. Pasien kasus kambuh atau gagal dengan sputum BTA positif. Pengobatan fese insial terdiri dan

ganda terhadap obat primer. Resistensi ganda dapat berkembang dengan salah satu dari dua cara berikut ini yaitu resisten obat primer dan resistensi obat sekunder.

2HRZES/lHRZE, yaituR denganH,Z,E setiap hari selama

2244

R'LIIilONOT.OG,I

Resistensi obat primer berkembang pada seseorang yang belum menerima pengobatan TB sebelumnya, yaitu mereka yang terinfeksi dengan strain resistan, sedangkan resistensi sekunder atau yang diperoleh (acquired resistance) merujuk ke resistensi yang berkembang selama periode pengobatan.

Jenis resistensi sekunder khususnya merupakan akibat resimen atau lama pengobatan yang kurang memadai. Agar dapat dicegah, penemuan atau penambahan modus pengobatan lain yang lebih ampuh sangat dibutuhkan dengan salah satu tujuannya dapat mengurangijangkawaktu pengobatan. Pada akhirnya, mungkin beberapa obat yang

berperan sebagai imunomodulator berpotensi untuk memperbaiki hal ini. Tujuan jenis terapi ini adalah meningkatkan respons imun pejamu menuju proteksi optimal.

etambutol (fase lanjut).

Paduan ini selanjutnya berkembang menjadi terapi jangka pendek, dengan memberikan INH + rifampisin + streptomisin atau etambutol atau pirazinamid (Z) setiap hari sebagai fase initial selama l-2 bulan dilanjutkan dengan NH + rifampisin atau etambutol atau streptomisin 2-3 kali seminggu selama 4-7 bulan, sehingga lama pengobatan keseluruhan menjadi 6-9 bulan. Paduan obat yang dipakai di Indonesia dan dianjurkan juga oleh WHO adalah : 2 RIIZI4 RH dengan vaiasi 2 RHS/4RH, 2 Rrzl4\r1, 2 RHS/4R H,.

Untuk tuberkulosis paru yang berat (milier) dan tuberkulosis ekstraparu, terapi tahap lanjutan diperpanjang menjadi 7 bulan sehingga paduannya menjadi 2 RIIZIT RH, dll. Dengan pemberian terapi jangka pendek akan didapat beberapa keuntungan seperti waktu pengobatan

lebih singkat, biaya keseluruhan untuk pengobatan

PANDUANOBAT Dalam riwayat kemoterapi terhadap tuberkulosis dahulu dipakai satu macam obat saja. Kenyataannya dengan pemakaian obat tunggal ini banyak te{adi resistensi karena sebagian besar kuman tuberkulosis memang dapat dibinasakan tetapi sebagian kecil tidak. Kelompok kecil yang resisten ini malah berkembang biak dengan leluasa.

Untuk mencegah terjadinya resistensi ini, terapi tuberkulosis dilakukan dengan memakai paduan obat, sedikitnya dib eikan2 macam obat yang bersifat bakterisid. Dengan memakai paduan obat ini, kemungkinan resistensi awal dapat diabaikan karena : . Jarang ditemukan resistensi terhadap 2 macam obat atau lebih. . Pola resistensi yang terbanyak ditemukan ialah terhadap INH.

Tetapi belakangan

initial) dan diteruskan dengan INH + rifampisin atau

ini di beberapa

negara banyak terdapat resistensi terhadap lebih dari satu obat (multi drug resistance) terutama terhadap obat yang dipakai:

INH dan rifampisin.

menjadi lebih rendah, jumlah pasien yang membangkang menjadi berkurang, dan tenaga pengawas pengobatan menj adi lebih hemat/efisien.

Oleh karena itu Departemen Kesehatan Rl dalam rangka program pemberantasan penyakit tuberkulosis paru lebih menganjurkan terapi jangka pendek dengan paduan obat HRE/5 HaRa (isoniazid + rifampisin + etambutol setiap hari selama satu bulan, dan dilanjutkan dengan isoniazid + rifampisin 2 kali seminggu selama 5 bulan), daripada terapi jangka panjang }JSZ1ll H2Z2 (INH + streptomisin + pirazinamid2kali seminggu 11 bulan).

Di hegara-negara yang sedang

berkembang,

pengobatan j angka pendek ini banyak yang gagal mencapai kesembuhan yang ditargetkan (cure rate) yakni 85% karena

program pengobatan yang kurang baik, kepatuhan berobat pasien yang buruk, sehingga menimbulkan populasi tuberkulosis makin meluas, resistensi obat makin banyak.

Jenis

Obat Primer (obat antituberkulosis tingkat satu): isoniazid, rifampisin, pir aztnamid, streptomisin, etambutol

Obat Sekunder (obat antituberkulosis tingkat dua): kanamisin, pas (para amino salicylic acid), tiasetazon, etionamid, protionamid, sikloserin, viomisin, kapreomisin,

DOSIS OBAT Tabel 3 menunjukkan dosis obat yang dipakai (di Indonesia) secara harian maupun berkala dan disesuaikan dengan berat badan pasien.

amikasin, ofloksasin, siprofloksasin, norfloksasin, levofl oksasin, klofazimin.

Sebelum ditemukan rifampisin, metode terapi tuberkulosis paru adalah dengan sistem jangka panjang (terapi standar) yakni : INH (H) + streptomisin (S) + PAS atau etambutol (E) tiap hari dengan fase initial selama 1-3 bulan dan dilanjutkan dengan INH + etambutol atau PAS selama 12-18 bulan. Setelah Rifampisin ditemukanpaduan obat menjadi

INH

+ rifampisin + streptomisin atau etambutol setiap hari (fase

Nama Obat lsoniazid Rifampisin Pirazinamid Streptomisin Etambutol Etionamid PAS

Dosis Harian BB < 50

kg

BB > 50

kg

300 mg

400 mg

450 mg

600 mg 2.000 mg 1000m9 1000m9 750 mg

1000m9 750 mg 750 mg 500 mg 99

1og

Dosis Berkala 3 x Seminggu 600 mg 600 mg 2-3 g 1000m9 1-1 ,59

2245

PENGOB'If,AN TUBERKUI.OSIS MIITAKHIR

EFEKSAMPING OBAT Dalampemakaian obat-obat anti tuberkulosis tidak jarang

diiemukan efek samping yang mempersulit sasaran pengobatan. Bila efek samping ini ditemukan, mungkin obat anti tuberkulosis yang bersangkutan masih dapat diberikan dalam dosis terapeutikyang kecil, tetapi bila efek samping ini sangat mengganggu, obat antituberkulosis yang bersangkutan harus dihentikan pemberiannya, dan pengobatan tuberkulosis dapat diteruskan dengan obat lain. Perlu diketahui bahwa semua obat anti tuberkulosis mempunyai efek samping yang kadamya berbeda-beda padatiap-tiap individu. Adapun efek samping tiaptiap obat dapat dilihat pada Tabel 4.

kemudian dapat diberikan kembali sendiri-sendiri secara desensitisasi (dosis obat dimulai dari yang paling kecil

dan dinaikkan perlahan-lahan sambil menilai adakah kelainan toksik ialergi terjadi. Desentisasi dengan INH, dimulai dengan 25 mg dan dinaikkan 2 kali dosis sebelumnya seti ap 3 han Q5-50- I 00-200-300400 mg). Untuk rifampisin sama seperti INH dan dimulai dengan dosis 75 mg (hari pertama 75 mg, hari ke-475 mg,haike-7 150 mg, harike-10 150 mg, harike-13 450 mg, hari ke-16 450 mg, hari ke-19 600 mg). Untukmencegah terjadinya efek samping OAI perlu dilakukan pemeriksaan kontrol seperti:

.

Tes warna untuk mata, bagi pasien yang memakai obat

. .

etambutol Tes audiometri bagi yang memakai obat Streptomisin Pemeriksaan darah terhadap enzim hati, bilirubin, ureum/ kreatinin, darah perifer dan asam urat (untuk pemakai pirazinamid)

neuropati perifer dapat dicegah dengan

INH Rifampisin

Streptomisin Etambutol Etionamid PAS Cycloserin:

pemberian vitamin B6, hepatotoksik sindrom.fl u, hepatotoksik. nefrotoksik, gangguan nervus Vlll kranial. neuritis optika, nefrotoksik, skin rash/dermatitis. hepatotoksik, gangguan pencernaan. hepatotoksik, gangguan pencernaan seizure / kejang, depresi, psikosis

EVALUASI PENGOBATAN Klinis. Biasanya pasien dikontrol dalam I minggu pertama, selanjutnya setiap 2 minggu selama tahap intensif dan seterusnya sekali sebulan sampai akhirpengobatail' Secara

klinis hendaknya terdapat perbaikan keluhan-keluhan Ternyata sebagian besar obat-obat anti tuberkulosis yang banyak dipakai adalah hepatotoksik. Kelainan yang ditimbulkan mulai dari peningkatan kadar transminase

darah (SGOT/ SGPT) yang ringan saja sampai pada

pasien seperti batuk-batuk berkurang, batuk darah hilang, nafsu makan bertambah, berat badan meningkat, dll'

Bakteriologis. Biasanya setelah 2-3 minggu pengobatan

hepatitis fu lminan. Hepatitis karena obat antituberkulosis banyak terj adi karena pemakaian INH + rifampisin. Terdapat hipotesis yang menyatakan bahwa INH memproduksi hidrazin yakni suatu metabolik yang hepatotoksik. Hidrazin

ini lebih banyak lagi diproduksi bila pemberian INH dikombinasikan dengan rifampisin. Insidensi hepatitis ini tidak banyak, penelitian di RS Dr. Cipto Mangunkusumo (1987) mendapatkan 2,3oh dan kebanyakan terjadi pada usia tua. Biasanya bila kadar SGOT/SGPT meningkat tetapi angkanya tidak lebih dari 2 x nilai normal, INH-rifampisin masih dapat diteruskan. Bila

kadarnya meningkat terus, INH+rifampisin harus dihentikan pemberiannya. Bila memungkinkan hendaknya diperiksakan antibodi terhadap rifampisin. Jika ternyata

antibodi ini positif, pemberian INH masih dapat dipertimbangkan kelanjutannya. Untuk mencegah terjadinya hepatitis karena obat anti tuberkulosis, dianjurkan agar memilih paduan obat yang tidak terlalu berat efek hepatotoksiknya, dan diperlukan evaluasi yang cermat secara klinis dan laboratoris terhadap pasien pada minggu-minggu pertama pengobatan. Bila sudah terjadi hepatitis karena obat ini, biasanya hepatitis ini sembuh

sendiri

jika obat-obat hepatotoksik tadi dihentikan

pemberiannya, dan diganti dengan obat-obat yang tidak hepato-toksik. Pemberian steroid pada hepatitis karena

OAT dapat dipertimbangkan. Rifampisin atau INH

BTAdilakukan pada permulaan, akhirbulan Pemeriksaan resistensi dilak*all pengobatan. ke 2 dan akhir 5, dan 8. Biakan

untuk kontrol pada kasus-kasus yang dianggap selesai pengobatan/sembuh. Sewaktu-waktu mungkin terj adi silent bacterial shedding, yaitu terdapat sputum BTA positif tanpa disertai keluhan-keluhan tuberkulosis yang ielevan pada kasus-kasus yang memperoleh kesembuhan' Bila ini terjadi yakni BTApositif pada 3 kali pemeriksaan biakan (3 bulan), berarti pasien mulai kambuh lagi'

Radiologis. Evaluasi radiologis juga diperlu-kan untuk melihat kemajuan terapi. Beberapa ahli kedokteran

2246

PT.JIJI'OI{OI.GI

berkurang (misainya tetap batuk-batuk), dengan

sudah sembuh. Kegagalan pengobatan ini dapat mencapai 50%o pada terapi Jangka panjang, karena sebagian besar

pemeriksaan radiologis dapat dilihat keadaan tuberkuiosis parunya atau adakah penyakit lain yang menyertainya. Karena perubahan gambaran radiologis tidak secepat

pasien tuberkuiosis adalah golongan yang tidak mampu sedangkan pengobatan tuberkulosis memerlukan waktu

perubahan bakteriologis, evaluasi foto dada dilakukan

lama dan biaya banyak.

Untuk mencegah kegagalan pengobatan ini perlu

setiap 3 bulan sekali.

Bila secara bakteriologis ada perbaikan tetapi klinis dan radiologis tidak, harus dicurigai penyakit lain di samping tuberkuiosis paru. Bila secara klinis, bakteriologis dan radiologis tetap tidak ada perbaikan padahal pasien sudah diobati dengan dosis yang adekuat serta teratur, perlu dipikirkan adanya gangguan imunologis pada pasien tersebut, attara lain AIDS.

kerjasama yang baik dari dokter dan paramedis lainnya

serta motivasi pengobatan tersebut terhadap pasien. Penanggulangan terhadap kasus-kasus yang gagal ini adalah:

.

Pasien yang gagal pengobatan dapat diberikan resimen pengobatan yang dimodifikasi dengan menambahkan sedikitnya 3 obat baru (dimana kuman masih sensitif terhadap obat tersebut). Aturan utama untuk terapi gagal pengobatan adalah tidak pernah memberikan hanya satu obat tambahan pada resimen yang telah ada. Pasien dengan MDR diterapi dengan 4-6 obat (dimana

.

Terhadap pasien yang sudah berobat secara teratur. - Menilai kembali apakahpaduan obat sudah adekuat mengenai dosis dan cara pemberiannya. - Lakukan pemeriksaan uji kepekaan/tes resistensi kuman terhadap obat. - Bila sudah dicoba dengan obat-obat yang masih peka, tetapi temyata gagal juga, maka pertimbangkan terapi dengan pembedahan terutama pada pasien dengan kavitas atau destroyed lung.

Terhadap pasien dengan riwayat pengobatan tidak teratur.

kuman masih sensitive) selama l8-24 bulan fiika terdapat

resistensi terhadap etambutol dan pirazinamid maka pengobatan diberikan selama 24 bulan). Semua pasien tuberkulosis harus diperiksa terhadap kemungkinan menderita HIV. Pasien dengan faktor risiko terkena hepatitis B atau C juga harus diperiksa.

-

Teruskan pengobatan lama selama

-

evaluasi bakteriologis tiaptiap bulan. Nilai kembali tes resistensi kuman terhadap obat. Bilaternyataterdapatresistensi terhadap obat, ganti dengan paduan obat yang masih sensitif.

* 3 bulan

dengan

PASIEN KAMBUH

KEGAGALAN PENGOBATAN Sebab-sebab kegagalan pengobatan, antara

lain

:

Obat : I ). Paduan obat tidak adektat. 2). Dosis obat tidak cukup. 3).Minum obat tidak teranxlidak sesuai dengan petunjuk yang diberikat 4). Jangka waktu pengobatan kurang dari semestinya. 5). Terjadi resistensi obat. 6). Resistensi obat sudah harus diwaspadai yakni bila dalam l-2 bulan pengobatan tahap intensif, tidak terlihat perbaikan.

Di Amerika Serikat prevalensi pasien yang resisten terhadap OAT makin meningkat dan sudah mencapai9o/o. Di negara yang sedang berkembang seperti di Afrika, diperkirakan lebih tinggi lagi. BTA yang sudah resisten terhadap OAI saat ini sudah dapat dideteksi dengan cara PCR-SSCP (Polymerase Chain Reqction-Single Stranded

Confirmation Polymorphism) dalamwaktu I hari.

Drop out: 1. Kekurangan biaya pengobatan. 2. Merasa sudah sembuh. 3. Malas berobat/kurang motivasi.

Penyakit : l). Lesi paru yang sakit terlalu luas/sakit berat. 2). Penyakit lain yang menyertai tuberkuiosis seperti diabetes

melitus, alkoholisrae. 3). Adanya gatggoan imunologis. Sebab-sebab kegagalan pengobatan yang terbanyak adalah karena kekurangan biaya pengobatan atau merasa

Pasien kambuh adalah pasien yang telah menjalani pengobatan secara teratur dan.adekuat sesuai dengan rencana, tetapi dalam kontrol ulangan ternyata sputum BTAkembali positif baik secara mikroskopik langsung

ataupun secara biakan. Frekuensi kekambuhan ini adalah antara 2-l0oh tergantung pada jenis obat yang dipakai.

Umumnya kekambuhan terjadi pada tahun pertama setelah pengobatan selesai, dan sebagian besar kumannya

masih sensitif terhadap obat-obat yang dipergunakan semula. Penanggulangan terhadap pasien kambuh ini adalah:

. .

. . . .

berikan pengobatan yang sama dengan pengobatan peftama, lakukan pemeriksaan bakteriologis optimal yakni periksa sputum BTAmikroskopis langsung 3 kali, biakan, dan

resistensi, evaluasi secara radiologis luasnya kelainan paru, identifikasi adakah penyakit lain yang memberatkan tuberkulosis seperti diabetes melitus, alkoholisme atau pemberian kortikosteroid y atglama,

sesuaikan obat-obat dengan hasil tes kepekaan/ resistensi, nilai kembali secara ketat hasil pengobatan secara klinis, radiolo gis, dan bakteriolo gis tiap-tiap bulan.

2247

PENGOBr'If,AN TUBERKUI.OSIS MLMAKHIR

PENGOBATAN PEMBEDAHAN Pasien kambuh adalah pasien yang telah menjalani terapi

TB adekuat dan sudah dinyatakan sembuh oleh dokter secara

klinis, mikrobiologis maupun radiologis, kemudian

pada evaluasi berikutnya terdapat gejala klinis tuberkulosis

positif (mikrobiologi positif). Terapi bedah, banyak dilakukan dalam upaya penyembuhan pasien tuberkulosis

Lama profilaksis yang optimal belum diketahui, tetapi banyak peneliti menganjurkan waktu antara 6-12 btlan, antara lain dari American Thoracic Society dan US Centers for Diseases Control terhadap tersangka dengan hasil uji tuberkulin yang diametemya lebih dari 5-10 mm. Yang mendapat profilaksis 12 bulan adalah pasien HIV positif dan pasien dengan kelainan radiologis dada. Yang lainnya seperti kontak tuberkulosis dan sebagainya cukup

paru yang kambuh. Pada saat ini dengan banyaknya obatobat yang bersifat bakterisid, terapi bedah jarang sekali dilakukan terhadap pasien tuberkulosis paru. Indikasi terapi bedah saat ini adalah : a. pasien dengan sputum BTA tetap positif (persisten) setelah pengobatan diulang; b. pasien dengan batuk darah masif atau berulang;

6 bulan saja. Pada negara-regara dengan populasi tuberkulosis tinggi sebaiknya profilaksis diberikan terhadap semua pasien HIV positif dan pasien yang

c. Terapi fistula bronkopleura, d. Drainase empiema

REFERENSI

tuberkulosis ; d. Untuk mengatasi gangguan mekanik yang timbul pada tuberkulosis tulang (seperti stabilisasi tulang vertebra pada penyakit pott) Di samping syarat toleransi operasi (spirometri, analisis

gas darah dll) diperlukan juga syarat adanya obat-obat

antituberkulosis yang masih sensitif. Obat-obat antituberkulosis ini tetap diberikan sampai 6 bulan setelah operasi. Hasil operasi pasien dengan sputum BTA tetap positif, sebagian besar BTA menjadi negatif di samping perbaikan keluhan-keluhannya, sehingga dapat dikatakan tindakan bedah sangat berarti dalam penyembuhan pasien.

USAHA PREVENTIF TERHADAP TUBERKU LOSIS

VaksinasiBCG Dari beberapa peneliti diketahui bahwa vaksinasi BCG yang

telah dilakukan pada anak-anak selama ini hanya memberikan daya proteksi sebagian saja, yakni 0-80%. Tetapi BCGmasihtetap dipakai karena ia dapatmengurangi

kemungkinan terhadap tuberkulosis berat (meningitis, tuberkulosis milier dll) dan tuberkulosis ekstra paru lainnya.

Kemoprofilaksis Kemoprofilaksis terhadap tuberkulosis merupakan masalah tersendiri dalam penanggulangan tuberkulosis paru di samping diagnosis yang cepat dan pengobatan yang adekuat. Isoniazid banyak dipakai selama ini karena harganyamurah dan efek sampingnya sedikit (terbanyak hepatitis dengan frekuensi 1ol0, sedangkan yang berusia lebih dari 50 tahun adalah2%). Obat alternatif lain setelah Isoniazid adalah Rifampisin.

Beberapa peneliti pada I DNI (International Union Against Tuberculosis) menyatakan bahwa profilaksis

NH diberikan selama 1 tahun, dapat menurunkan insidens tuberkulosis sampai 55-83o/o, dan yang kepatuhan minum obatnya cukup baik dapat mencapai penurunan dengan

90Yo.Yang minum obatnya tidak teratur (intermittent), efektivitasnya masih cukup baik.

mendapat terapi imunosupresi.

American Thoracic Society, Centers for Disease Control and Prevention, Infectious Diseases Society of America. Treatment of tuberculosis. MMWR. 2003; 52 (RR-l 1):1. Bamer PF, Barrow SA. Tuberculosis in the 1990s. Ann Intem Med. 1993; ll9: 400-10. Batoeah HD. Beberapa pedoman pemberantasan tuberkulosis di Indonesia.Majalah Kedokteran Indonesia 1969;5:158-67. Chan ED, Laurel V, Strand MJ, et al. Treatment and outcgme analysis of 205 patients with multidrug-resistant tuberculosis. Am J Respir Cri: Care Med. 2004;169:1103 - 1109. Centers for Disease Control and Prevention. Prevention and Treatment of Tuberculosis among patients infected with human immunodeficiency virus: principles of therapy and revised recommendations. Fishman AP. Pulmonary disease and disorder. New York: 1't ed. McGrawHill; 1990, 1229'323. Havlir DV, Bames PF. Tuberculosis in patients with human immunodeficiency virus infection. N Engl J Med. 1999; 340:367. Hinshaw HC, Murray JF. Disease of the chest. 4'h ed, Igaku-Shoin/ Saunders International Edition; I 980,298-3 5 5. Holland, S.M. 2000. Cytokine therapy of mycobacterial infections. Acta.Intern. Med. 2000;45:431-452. Home N. Tuberculosis, Respiratory Disorders. Medicinelntemational.

t986; 2(12): 1490-1498. MD. Treatment of multidrug-resistant tuberculosis. N. Engi J Med 1993; 329:784-91. Kanai K. Introduction to tuberculosis and mycobacteria. Tokyo;

Iseman

SEAMIC Publication no.60; 1990' 105-59. Lobue PA.Tuberculosis treatment of disease. In: Manuai of Clinical Problems in Pulmonary Medicine. 6b ed, Bordow RA,Ries AL and Morris TA eds.Lippincott Wi[iams & Wilkins, Philladelphia 2005; 1 95-200 Manaf A. Kebijaksanaan baru pemerintah dalam pe-nanggulangan

tuberkulosis paru. Simposium Tuberku-losis Paru Kembali, Jakarta, 23-10-1993. Manaf A. National Pulmonary Tuberculosis eradication Program.

of the Integrated Tuberculosis Symposium. Faculty of Medicine University of Indonesia . Jakarta, 1998. Mitchison DA. Basic Concepts in the Chemotherapy of Tuberculosis. In (Gangadharam PRJ and Jenkns PA, eds) Mycobacteria II Chemotherapy, Chapman & Hall, 1998. l5-50. Narita M, Ashkin D, Hollender ES, et al' Paradoxical worsening of tuberculosis following antiretroviral therapy in patients with Proceeding

AIDS. Am J Respair Crit Care Med. 1998; 158:157.

2248

PtTIJUOi{CIrOGI

Ormerod LP. Respiratory tuberculosis. Clinical Tuber-culosis, Davies PDO, Ed. London: Chapman and Hall; 1994.73-92. Patterson PE, Kimerling ME, Bailey WC, and Dunlap NE. Chemo-

World Health Organization. Guidelines for tuberculosis treatrnent.in adult and children in National Tuberculosis Programmes 1991.

therapy of tuberculosis In; Schlossberg, D ed. Tuberculosis and non tuberculosis mycobacterial infections. 4th ed. W.B. Saunder Co. USA. 2000,71-82. Prihatini S . D.O.T.S. Directly Observed Treatment Shortcourse. Proceeding of the Integrated Tuberculosis Symposium. Faculty of Medicine, Universiy Of Indonesia Jakarta, 1998. Snider DE. Tuberculosis: The world situation. History of the diseases and efforts to combat it. Tuberculosis back to the future. Portor JDH and Me Adam PWJ, Ed. Chichester England: John Wiley & Sons, 1994. 13-31.

World Health Organization. Framework of effective tuberculosis control.WHO tuberculosis program. Geneva: WHO,1994 World Health Organization. 1993. Treatment of tuberculosis: Guidelines for national programmes. WHO, 1993.Geneva. WHO, . Guidelines for the Management of Drug-Resistant Tuberculosis. (Crofton Chaulet P, Maher D, Grosset J, Harris W, Home

l-23.

N, Iseman M and Watt B eds). 2 ed. l997,Geneva.

35e PENYAKIT MEDIASTINUM ZulkifliAmin

Terdapatnya penyakit mediastinum biasanya ditandai dengan ditemukan kelainan pada foto torak atau CT torak (chest computed tomograpfty). Penemuan ini dapat secara kebetulan atau sebagai bagian evaluasi rutin torak atau sebagai evaluasi keluhan spesifft, (misalnya pada kesulitan menelan) atau setelah trauma torak (misalnya, risiko pembedahan aorta torakalis)' Gejala yang muncul bisa terkait dengan proses penyakit primer atau akibat efek kompresi yang berhubungan dengan desakruang regional' Akan tetapi suatu gejala atau tanda pada satu sistem organ tertentu tidak dapat langsung dicap sebagai penyakit primer pada sistem tersebut. (Contohnya, disfagia mungkin terjadi akibat kelainan di esofagus atau kondisi

ekstrinsik). Walaupun belum bisa diperkirakan prevalensinya, kelainan struktur dalam mediastinum sangat bervariasi' Secara anatomi, mediastinum adalah rongga tertentu dalam

tubuh yang dibatasi oleh inlet toraksdi superior, diafragma di inferior, sternum di anterior, dan kolumna vertebralis serta pleura di posterior (Gambar 1)

Pembagian mediastinum ke dalam rongga anterior, superior, medial, dan posterior, adalah maya karena tidak ada sekat yang membagi anlaru satu rongga dengan rongga yang lainnya. Lokasi mediastinum di rongga torak

dapat bervariasi sebagai akibat proses di hemitorak (tekanan pneumotorak atau efusi pleura), yang dapat menyebabkan deviasi mediastinum dan menyebabkan pendorongan isinya dari satu tempat ke tempat lain. Sebagai catatan, penggabungan rongga anterior dan superior menjadi rongga anterior-superior mediastinum terkadang bermanfaat dalam proses penyakit yang meluas dari satu tempat ke tempat yang lain.

Berbagai penyakit bisa timbul atau melibatkan mediastinum. Bisa berupa tumor primer, metastasis, kista atau infeksi akut dan kronik. Rongga anterior-superior berisi beberapa struktur penting termasuk pembuluh

darah besar, aortic root,kelenjar timus, trakea inferior,

kelenjar limfe dan esofagus. Mungkin juga terdapat tiroid substernal dan paratiroid sebagai varian yang umum. Massa yang paling umum di mediastinum superior adalah tiroid substernal. Sedangkan massa yang paling sering ditemukan di mediastinum anterior adalah tumor

germ cell, limfoma Hodgkin's dan non-Hodgkin's' Mediastinum posterior berhadapan langsung dengan sulkus paravertebral dan kolumna vertebral anterior termasuk akar saraf spinal, yang bergabung membentuk

saraf interkostal, rantai saraf simpatis, dan duktus torasikus serta aorta desendens. Neurinomas, tumor saraf perifer yang hampir selalu jinak, adalah lesi yang paling umum ditemukan di rongga ini. Mediastinum medium, termasuk ruang yang dibatasi oleh pericardium di anterior, vertebra di posterior, diafragma di inferior, dan pleura di lateral, merupakan rongga mediastinum yang sebenarnya, dia berisi saktrs perikardial, kelenjar/ saluran limfe, saluran napas proksimal, esofagus, N.vagus (termasuk cabang laryngeal), N.phrenicus, dan pembuluh darah termasuk arteri pulmonari, vena cavae

superior dan inferior. Kelainan berupa tumor/kista jantung, perikardium, ttakea, bronkus utama, dan esophagus bila ada, juga bisa menempati rongga ini. Bila terjadi penimbunan lemak (mediastinum lipomatosis), yang dikaitkan dengan pemakaian steroid, dapat mendesak/memenuhi seluruh rongga mediastinum. Ada beda frekuensi relatif kelainan dalam rongga mediastinum pada anak-anak dan dewasa. Pada dewasa, sekitar 65% lesi ditemukan di anterior, 25% di posterior, dan lO% di mediastinum medium. Pada anak-anak hanya sekitar 25oh lesi yang ditemukan di anterior dan sebagian besar (65%) di mediastinum posterior' Lesi yang paling umum ditemukanpadadewasa adalah jinak (75%), sedangkan hampir separuhnya pada anak-anak adalah maligna.

2249

2250

Pr.rurfloNol.ocr

SymFthetic

laryngeal n

I BrachiocephalicW i L.pulminary a.

R hemidiaphragm

Tumor dan kista mediastinum

Anterior: Timoma Limfoma Gem cell neoplasma (teratoma) semi noma

Medial Posterior

Tumor endokrin (tiroid), pamtiroid carcinoid Karsinorma primer Tumor Mesenkimal : Kista Perikardial, Limfoma Kista bronkogenik Kista enterik

:

Berbagai tumor neurogenik (Schwanoma,

Neurofibroma dan lainJain) Limfoma

Gambar'1.

TUMOR MEDIASTINUM Tumor mediastinum sebagian besar adalah metastasis akibat dari tempat lain (yang paling sering karsinoma bronkogenik), kemudian limfoma, sebagian kecil lagi tumorneurogenik,teratoma, timoma dan lipoma. Tumorneurogen adalah salah satu tumor primer mediastinum yang

tersering (+19%), biasanya terletak di mediastinum posterior dekat lekukan paravertebra, neurogenik tumor ini umumnya bersifat jinak antara lain neurofibroma

neurilemmoma, Schwannoma dan ganglioneuroma. Sebagian ganas yaitu neurogenik sarkomas (malignant Schwannoma). Biasanya tak menyebabkan gejala apapun,

bila ada nyeri biasanya tumor berasal dari saraf interkosta atau bila massa besar bisa menimbulkan sesak dan bisa mengikis tulang. Neurofibroma bisa merupakan bagian dari sindrom Von Recklinghausen's dan tulang berubah jadi

sarkoma. Ganglioneuroma yang berasal dari trunkus simpatis, bersama dengan neuroblastoma dapat memproduksi hormon yang bisa menyebabkan diare, hipertensi, paraplegia dan sindrom Homer, nyeri dan muka

merah. Biasanya di urin bisa dideteksi adanya Vinil Mandelic Acid (VMA). Neuroblastoma mediastinum biasanya terdapat pada anak-anak, responsif terhadap

radiasi, prognosisnya lebih baik daripada neuroblastoma di abdomen atau intraperitoneal.

Meningoceles dan myelomeningoceles jarang. meningoceles isinya hanya cairan serebrio spinalis sedangkan myelomeningoceles juga berisi elemen saraf. Penampakannya pada foto dada seperti massa yang homogen dan biasanya ada hubungan dengan anomali vertebra toraka dan iga didekatnya.

Feokromositoma bisa terjadi di mediastinum tapi kasusnya jarang. Tumor akan mensekresi katekolamin. Gambaran klinis menyerupai feokomositoma di abdomen. Pengobatan definitif tumor neurogenik ini adalah operasi dan khusus untuk neuroblastoma harus ditambah radiasi

sesudah operasi. Kadang-kadang didapatkan tumor berupa abses paravertebral di mediastinum posterior. Biasanya gejala infeksi menyertai keadaan ini dan amat

membantu dalam menegakkan diagnosis. Abses paravertebral diobati dengan insisi abses serta antibiotik. Terato dermoid, umumny a ter dap at

di mediastinum

anterior, *l3o/o dari semua tumor mediastinum. Sering pada dewasa muda, Bisa terdiri atas kista derrnoid jinak sampai

teratoma ganas dan seminoma. Secara histologis mirip dengan tumor testis atau ovarium. Kadar B-human chori-

2251

PETIYAKIT MEI'IASTINruM

onic qonadotropin dan alfa feto protein biasanya meningkat 10-20% berkembang menjadi ganas ada asosiasi dengan sindrom klinefilter. Foto dada menampakkan garis-garis kalsihkasi pada tepi kista. tulang dan gigi Pengobatannya

emergensi yang cepat sekali mengancam keselamatan jiwa.

Terdiri dari : 1). Perforasi esofagus : akibat komplikasi

harus dengan eksisi.

endoskopi, dilatasi esofagus karena strikhrr, intubasi, benda asing dan trauma, 2). Ruptur esofagus : akibat reflek imunitas berlebihan (B oer Heave's syndrome),3). Sobekan dari trakea

Timoma, biasa terdapat di mediastinum superior dan ante-

Ulserasi karsinoma esofagus, 4. Supurasil abses orofarink.

rior, merupakan lebih kurang 12 o/o hxnor mediastinum primer.

bronkial sering sesudah trauma atau bronkoskopi, 4'

Lebih kurang seperempatnya adalah ganas tapi jarang

Infeksi kronik. Sering disebabkan tuberkulosis, histoplas-

bermetastasis. Gejala miastenia gravis timbul pada kurang lebih 50 % pasien timoma ini, tetapi anehnya sebagian besar pasien miastenia gravis tidak mempunyai tumor kelenjar timoma. Kelainan yang didapat pada timoma ini ar/tarulain adalah hypogama globulinemia aplasia sel darah merah,

adekuat.

SLE, inflamatory bowel disease dan polymiositis. Pada possi terlentang, tumor ini dapat menekan trakea sehingga

menimbulkan gejala sesak. Gejala bisa timbul karena perjalanan.lokal atau penekanan terhadap jaringan

sekitarnya foto bisa normal, tetapi CT scan jelas menunjukkan massa berbatas jelas terkadang dengan kalsifftasi. Pengobatan adalah eksisi. Timoma ganas bersifat radiosensitif. sebagian besar tumbuh di mediastinum superior anterior. Dengan CT scan mudah terdeteksi.

Lipoma

Limfadenopati. Muncul dari mediastinum anterior dan medius. Biasanya disebabkan oleh tuberkulosis, sarkoidosis, limfoma Hodgkin dan non Hodgkin, metastasis kanker paru (sebagian besar). Mungkin juga timbul

giant lymph node hyperplasia disease (Cistelman's disease), ditemui pada beberapa pasien terinfeksi HIV. retoostemal pada usia di atas 50 tahun terjadi + 6 % dari seluruh-massa-mediastinal. Biasanya tanpa gejala, dapat juga dengan batuk berulang, atat sesak/stridor bila massa membesar. Biasanya berhubungan dengan kelenjar

Tiroid. Tiroid

tiroid di leher yang memperlihatkan gambaran fibrotik hemoragik, kistik dan kalsifftasi yang terlihat jelas dengan

CT scan. Ultrasonografi daerah leher memperlihatkan hubungan tiroid di leher dengan lesi di mediastinum. Diagnosis ditegakkan dengan scanning.

Kista mediastinum. Kista bronkogenik sering ditemukan di paratrakea atau dekat karina. Dindingnya terdiri otot polos dan tulang rawan, berisi cairan. Biasanya tak ada hubungan langsung dengan trakea dan bronkus tapi bisa terkena infeksi.

Kista enterik, berada disepanjang esofagus, bisa terinfeksi dan membentuk abses. Apabila kista ini mengandung acid secreting cells bisajuga terbentuk ulkus perdarahan dan perforasi seperti saluran cema lain.

Kista perikardial adalah suatu anomali dalam proses pertumbuhan yang melekat ke perikardium tapi jarang membentuk lumen ke rongga perikardium.

Infeksi di mediastinum. Infeksi akut suatu keadaan

mosis, sarkoidosis, yang melibatkan kelenjar getah mediastinum atau sisa akut infeksi yang tak diobati dengan

Sindrom vena kaYa superior (VKS). Penekanan atau sumbatan terhadap VKS sebagian disebabkan oleh karsinoma bronkogenik dan sebagian lagi oleh limfoma. Penyebab lain sedikit sekali, seperti struma retro sternal, aneurisma aorta dan fibrosis mediastinitis yang idiopatik atau sekunder karena histoplasmosis maupun akibat tertelan metilsergid. Efek sumbatan karena penekanan atau infrltrasi terhadap VKS oleh massa di bagian superior mediastinum mengakibatkan gejala klinis yang khas berupa pelebaran vena kolateral di dada bagian atas, leher, edema

muka, konjungtiva dan sakit kepala, serta gangguan penglihatan dan perubahan kesadaran. Penekanan ke arah esofagus dan trakea menyebabkan sulit menelan, dan gangguan bernapas. Pemeriksaan yang invasif dengan risiko pendarahan seperti bronkoskopi, esofagoskopi dan mediastinoskopi untuk melakukan pengambilan jatingan/ biopsi adalah kontra indikasi pada sindrom VKS ini. Suatu tindakan diagnostik pengambilan jaringan harus didahului

radioterapi atau kemoterapi untuk mengecilkan/ menenangkarVmengurangi

risiko. Pemberian kortikosteroid

dengan tujuan mengurangi edema kadang-kadang diperlukan sebelum melakukan suatu tindakan. Pengobatan definitif tergantung dari hasil pemeriksaan histopatologis yang didapat.

Hernia diafragma ke mediastinum. Hernia ini akan membentuk massa di rongga mediastinum yang mungkin saja terisi udara dari saluran cerna. Biasanya terbentuk dari hiatus esofagus. Sebagian lagi karena defek di dinding

posterior lateral diafragma (disebut foramen Bochdalek)

serta melalui foramen Morgagni membentuk hernia retrosternal di mediastinum.

Emlisema Mediastinum. Udara dalam mediastinum bisa tejadi akibat trauma di dada, perforasi esofagus, trakea dan alveolars, penyebaran udara dari lapisan fasia leher atau faring atau dari diseksi udara rongga retroperitoneal. Bisa juga spontan dan disebut pneumo mediastinum spontan' Udara diperkirakan berasal dari alveoli terus ke rongga interstisial dar. ke lapisan adventisia pembuluh darah lalu

ke hilus, Dari sini ke mediastinum, leher atau rongga intraperitonal. Faktor predisposisi antara lain peninggian tekanan dalam rongga dada pada batuk, muntah dan manuver Valsalva serta dekompresi yang terlalu cepat pada

.

2252

saat naik ke permukaan pada olah raga menyelam. pernah juga dilaporkan pneumomediastinum timbul saat serangan

asma. Biasanya pasien datang dengan keluhan nyeri rehostemal atau sulit bemapas, tetapi bisa ju ga tanpa gejala. Pada pemeriksaan didapatkan krepitasi subkutis di dada

atas dan bunyi gesekan yang seirama dengan denyut jantung di daerah prekardial disebutllammanb sign.pada pnemomediastinum y ang tanpa komplikasi biasanya didapatkan demam dan lekositosis. Biasanya gangguan fungsi jantung tergantung dari berat ringan tamponade

jantung yang timbul. Harus dibuat foto torak pA dan lateral dan akan tampak udara mengitari trunkus arteri pulmonalis, pangkal aorta dan mengarah ke leher. Pnemomediastinum yang timbul karena perforasi esofagus

sesudah endoskopi/sesudah muntah disebut sindrom Boerhaave. Gejalanya antara lain nyeri yang bertambah

setiap menelan/demam. Pada foto dada didapatkan pembesaran mediastinum ke kiri dan kanan serta efusi pleura

PUI.MONOIOGI

ganas cenderung sama kemungkinan menjadi simptomatik atau asimptomatik. Lesi yang simptomatik cenderung untuk meqjadi ganas. Gejala tertentu biasanya berasal dari kelainan

mediastinum tertentu. Timbulnya suara serak mengindikasikan terjadinya penekanan N. laringeus oleh tumor. Edema daerah muka dan lengan adalah tanda

superior vena kava sindrom yang diakibatkan oleh penekanan vena kava superior oleh tumor atau fibrosis

mediastinum kronis. Nyeri torak terlokalisir biasanya merupakan invasi tumor ke dinding torak atau kelainan neulogi murni. Batuk, batuk darah, sesak mengindikasikan

adanya suatu gangguan saluran napas. Regurgitasi,

refluks, disfagia, atat odynophagia mengarah pada kelainan esofagus. Adanya penurunan berat badan, demam, atau berkeringat di waktu malam menindikasikan kemungkinan terjadinya limfoma. Hipotensi dan nyeri dada berat, mengarah ke diagnosis aorta disekans. Hipotensi dan pulsus paradoksus mengarah adanya

di kiri. Hal ini bersifat darurat dan memerlukan drainase, penutupan perforasi dan perlu antibiotik yang

tamponade perikardium. Hipertensi paroksismal

berspektrum luas karena keadaan ini selalu diikuti mediastinitis akut.

terjadi akibat penyakit ekstramediastinum yang tidak

TATALAKSANA

esofagogram dan terakhir tomogram jika perlu. Penentuan

biasanya akibat feokromositoma. Gejala di atas bisa juga

spesifik. Investigasi suatu massa di mediastinum harus dfunulai

dengan foto dada posterior anterior, lateral, oblik,

Pembagian mediastinum ke dalam rongga-rongga yang berbeda dapat membantu secara praktis proses penegakan diagnosis, sedangkan pendekatan dengan orientasi sistem mempermudah pemahaman patogenesis proses patologi di mediastinum. Pertimbangan untuk diagnosis

. .

. . . .

Pada umunmya kelainan yang terjadi di mediastinum adalah j inak dan asimtomatik.

Pembagian mediastinum ke dalam "rongga" anterior, superior, medial, dan posterior bertujuan memudahkan dalam menegakkan diagnosis. Lebih dari60%o lesi pada dewasa ditemukan di rongga anterior-superior mediastinum, sedangkan pada anak2,60yo lesi ditemukan di posterior mediastinum. Pada 75Yo dewasa dan 50Yo anak-anak massa yang

lokasi yang tepat amat penting untuk langkah diagnostik lebih lanjut. CT scan torak dengan kontras atau angiografi sirkulasi pulmonum./aorta mungkin pula diperlukan untuk membedakan apakah lesi berasal dari vaskular-bukan vaskular. Hal ini perlu menjadi pertimbangan bila biopsi akan dilakukan. Selain itr CT scan }uga berguna untuk menentukan apakah lesi tersebut bersifat kistik/tidak. Pada langkah selanjutnya untuk membedakan apakah masa tersebut adalah tumor metastasis, limfoma atau tuberkulosis/sarkoidosis maka mediastinoskopi dan biopsi perlu dilakukan. Massa di belakang trakea di sebelah kiri

di bawah arkus aorta sulit dicapai dengan biopsi/ mediastinokopi. Biopsi kelenjar limfe scalene bisa membantu menegakkan diagnosis bila tidak ada pembesaran kelenjar limfe di tempat lain. Bronkoskopi

te{adi adalahjinak. Massa ganas yang paling umum terjadi di rongga anterior-superior adalah timoma, penyakit Hodgkin, limfoma nonHodgkin, dan tumor ge rm cell. Neurinoma adalah tumor yang paling sering terjadi di rongga posterior dan mudah dikenali dari bentuknya yang klasik seperti dumbel (classic dumbetl-shaped

membantu. Sementara ittt, radionuklida Scintigraphy bermanfaat

conlour).

untuk evaluasi tiroid substernal

GEJALA KLINIS Gejala klinis penyakit mediastinum bervariasi tergantung dari diagnosis yang spesifik dan sistem sekitarnya yang terlibat. Secara umum, lesi jinakumumnya asimptomatik. Lesi

umumnya tak bermanfaat pada tumor mediastinum ini, kecuali bila ada tanda tanda proses di endobronkial (hemoptisis) kolaps lobus paru, konsolidasi paru/adanya massa di parenkim paru. Jika diperkirakan tiroid restrotemal sebagai penyebab, scan tiroid iodium 131 akan sangat

(131I

atau

r23I),

feokromositoma (13rI metaiodobenzyl-guanine), atau limfoma (galium). Emisi positron tomography (PET)

belum dapat dimanfaatkan, namun diperkirakan berguna untuk evaluasi metastatik dan lesi karena meradang. Pengukuran serum penanda biokimia dapat bermanfaat dalam beberapa kondisi. Penentuan SerumAFP dan p-HCG

2253

PETIYAKITMEDIASTINUM

harus dilaksanakan jika pasien dicurigai mempunyai tumor germ sel. Kadar katekolamin urin, asam vanillylmandelic, dan asam homovanilik biasanya meningkat

yang tepat dan tindakan bedah. Teknik pembedahan vaskular yang baru sangat efektifmengatasi berbagai lesi vaskular.

dengan adanya feokrromositoma atau tumor neurogenik.

te{ adinya berbagai kelainan mediastinum beragam.

Besarnya variasi individual penyakit mengakibatkan

Biopsi untuk kanker yang dicurigai harus di pertimbangkan secara individu. Adapun pertimbangannya meliputi gejala

yang nampak, status klinis pasien, peningkatan kadar penanda serum, bukti invasi secara radiologis, dan ada

KOMPLIKASI

tidaknya lesi ekstratorak, sebagai alternatif untuk biopsi. Reseksi total harus dipertimbangkan pada keadaan

Komplikasi dari kelainan mediastinum merefleksikan

misalnya suatu manipulasi feokromositoma dapat menyebabkan keadaan krisis hipertensi. Reseksi dapat juga dilakukan pada timoma apabila tindakan FNA dikawatirkan dapat menyebabkan penyebaran tumor. Histopatologis spesimen yang didapatkan secara FNA

dengan panduan CT atau ultrasound membantu menentukan rencana pembedahan yang pasti. Panduan CT pada pemeriksaan FNA cukup aman dan memberikan nilai diagnostik sampai 75%. Biopsi hilus atau kelenjar getah bening mediastinum dapat juga dilaksanakan secara

patologi primer yang utama dan hubunganantara stmktur anatomik dalam mediastinum. Tumor atau Infeksi dalam mediastinum dapat menyebabkan timbulnya komplikasi melalui: perluasan dan penyebaran secara langsung, dengan melibatkan struktur-struktur (sel-sel) bersebelahan,

dengan tekanan sel-sel bersebelahan, dengan menyebabkan sindrom paraneoplastik, atau melalui metastasis di tempat lain. Empat komplikasi terberat dari penyakit mediastinum adalah 1. Obstruksi trakea,2. Sindrom VCS, 3. Invasi vaskular dan catastrophic hemorrhage, dan 4. ruptur esofagus.

transbronchial. Teknik pembedahan yang mungkin digunakan untuk pelaksanaan biopsi jaringan maupun bagian tertentu yang dapat dibedah mencakup anterior mediastinotomi, servikal mediastinoskopi, dan video assited thoracoscopy.

PENGOBATAN Secaraumum, fumor ganas mediastinum seperti limfoma, tumor germ sel, atau timoma berespon baik terhadap terapi yang dilakukan secara agresif yang mencakup perawatan, radiasi, dan kemoterapi. Infeksi akut dengan jaringan

nekrotik/abses sering memerlukan intervensi bedah di samping pemberian antibiotik berspekhum luas. Infeksi kronis umumnya juga berespon baik terhadap pemberian terapi antibiotik. Tumor jinak terkadang dapat lebih mudah diatur penanganannya jika pasien asimptomatik. Pasien dengan massa di mediastinum berisiko untuk terjadinya kolaps/obstruksi saluran napas atau dan gangguan hemodinamik jika menjalani anestesi umum, keadaan ini memerlukan bronkoskopi preoperatif sebagai komponen penatalaksanaan perioperatif

REFERENSI

...

Bradley SP.Mediastinal mass. In: Bordow SA, Ries AL, Morris TA eds. Manual of Clinical problems in Pulmonary Medicine. Lippincott Williams & Wilkins. Phyladelphia. 2005: 607-12. Crausman RS, DePalo VA, Sid RL. Disease of the Mediastinum. In. Hanley ME, Welsh CH eds. Current D/T in Pulmonary Medicine. Lange Medical Books,{vlcGraw-Hi1ls, New York' 2003: 241-9.

Fishman AP. Nonneoplastic disorder of the mediastinum ' In : Fishman AP ed. Pulmonary Diseases and Disorder, 2'd ed. Mc Graw - Hill New York ;1994 ;259 Hudson MM, Donaldson SS: Hodgkin's disease. Pediatr Clin North

Am 1997;44:891. Light RW. Diorders of the pleura, mediastinum and diaphragma. In : Isselbacher, Braunwall Wilson et al (eds). Harrison's Principles of Internal Medicine, vol 2, 13h ed. Mc Graw-Hill ; New York ; 1994

;

1229.

Maki DD, Getter WB, Alavi A: Recent advances in pulmonary imaging. Chest 1999; 16:1388. Musani

AI

and Srerman DH. Tumors of the mediastinum, Pleura,

wall and diaphragma. In: Crapo JD, Glassroth J, Ikrlinsky J and King jr TE eds. Baum's textbook of Pulmonary diseases. 7'h ed. Lippincott Williams&Willkins, Phyladelphia 2004: 883-912. Robertson R, Muers M. mediastinum mass. Medicine lnt. 19951'369 Shad A, Magrath I: Non-Hodgkin's lymphoma. Pediatr Clin North chest

Am 1997;44:863.

PROGNOSIS Prognosis tumor mediastinum jinak cukup baik, terutama pada pasien dengan tumor mediastinum ganas, dimana hasil diagnosis spesifik, derajat keparahan penyakit, dan keadaan spesifik

jika tanpa gejala. Berbeda variasi prognosisnya

pasien yang lain (komorbid) akan mempengaruhi. Kebanyakan tumor mediastinum ganas berespon baik terhadap terapi konvensional. Umumnya penyakit infeksi berespons baik dan cepat terhadap pemberian antibiotik

Strollo DC, Rosado-de-Christenson ML, Jett JR: Primary mediastinum tumors. Part 1. "Tumor anterior mediastinum. Chest 1997 ll2:511. Strollo DC, Rosado-de-Christenson MI, Jett JR: Primary mediastinum tumors. Parr II. Tumor of the middle dan posterior mediastinum. Chest 1997 ;l12:1344. Walker R. Tumor and cyst of the mediastinum. In: Fishman AR ed.Pulmonary Diseases and Disorder, 2'd ed Mc Graw-Hill New

York;1994 ;245. Wood DE: Tumor germ cel mediastinum. Semin Thorac Cardiovase

Swg 2000;,12:278,

360 KANKER PARU ZulkifliAmin

PENDAHULUAN

in situ, atypical adenomatous hyperplasia, Dffise

Prevalensi kanker paru di negara maju sangat tinggi, di USA tahun 2002 dilaporkanterdapat 169.4OO kasus baru

(merupakan l3oh dari semua kanker baru yang terdiagnosi s) dengan

I

5

4. 9

00 kematian (merupakan 28yo

dari seluruh kematian akibat kanker), di Inggris prevalensi kejadiannya mencapai 40.0OOl tahun, sedangkan di Indonesia menduduki peringkat 4 kanker terbanyak, di RS Kanker Dharmais Jakarta tahun 1998 menduduki urutan ke 3 sesudah kanker payudara dan

idiopathic pulmonary neuroendocrine cell hyperplasia.

Malignant:

-

-

Squamous cell carcinoma: papillary, clear cell, basaloid, Small cell carcinoma: combined small cell carci-

-

Adenocarcinoma:

noma,

leher rahim. Angka kematian akibat kanker paru di

-

mengkonsumsi 30% rokok dunia. Sebagian besar kanker paru mengenai pria (65%) life time risk l:13 dan pada perempuan 1:20.

JENIS TUMOR PARU

papilary,

Bronchoalveolar : nonmucinots, mucinous,

mixed mucinous and nonmucinous or

seluruh dunia mencapai kurang lebih satu juta penduduk

tiap tahunnya. Karena sistem pencatatan kita yang belum baik prevalensi pastinya belum diketahui tapi klinik tumor dan paru di Rumah Sakit merasakan benar peningkatannya. Di negara berkembang lain dilaporkan insidennya naik dengan cepat anlara lain karena konsumsi rokok berlebihan seperti di China yang

acmar,

-

-

indeterminate cell type), Solid carcinoma with mucin formation, Adenocarcinoma with mixed subtypes, Yariants.

Large cell carcinoma : Large cell neuroendocrine carcinoma, Basaloid carcinoma, Lymphoe-

pithelioma-like carcinoma, Clear cell

-

carcinoma, Large cell carcinoma with rhabdoid phenotype. Adenosquamous curcinomu

Carcinoma with pleomorphic sarcomatoid or sarcomatous elemenls.

Carcinoid tumor

:

typical carcinoid, atypical

carcinoid, Pembagian praktis untuk tujuan pengobatan: a). small cell

-

cancerlkarsinoma skuamosa, adeno karsinoma, karsinoma

Carcinomas of salicary gland type : mucoepi dermoid carcinoma, adenoid cystic carcinoma Others : Soft tissue tumors

sel besar).

Mesothelial turnors : Benign, Malignant meso

lung cancer (SCLC), b). NSCLC (non small cell lung

Klasifikasi histologis WHO 1999 untuk tumor paru dan fumorpleura:

Epithelial tumors

. .

Benign: papiloma, adenoma. Prcinvasive lesions : Squamous dysplasia/carcinoma

thelioma Miscellaneous tumors Lymp hopr o I ifer atiy e d is eas e s Secondary tumors Unclassified tumors Tumor-like lesions

2255

KANIGRPARU

PATOLOGI

Small Cell Lung Cancer(SCLC) Gambaran histologinya yang khas adalah dominasi selsel kecil yang hampir semuanya diisi oleh mukus dengan

sebaran kromatin yang sedikit sekali tanpa nukleoli' Disebut juga " oat cell carcinoma"katerrabentuknya mirip dengan bentuk biji gandum, sel kecil ini cenderung berkumpul sekeliling pembuluh darah halus menyerupai

pseudoroset. Sel-sel yang bemitosis banyak sekali ditemukan begitu juga gambaran nekrosis. DNA yang terlepas menyebabkan wam a gelap sekitar pembuluh darah

Non Small Cell Carcinoma (NSCLC) Karsinoma sel skuamosa/karsinoma bronkogenik. Karsinoma sel skuamosa berciri khas proses keratinisasi dan pembenitkan "bridge" intraselular, studi sitologi memperlihatkan perubahan yang nyata dari displasia skuamosa ke karsinoma insitu.

Adenokarsinoma. Khas dengan bentuk formasi glandular dan kecendenrngan ke arah pembentukan konfigurasi papilari. Biasanya membentuk musin, sering tumbuh dari bekas kerusakan jaringan paru (scar). Dengan penanda tumor CEA (Carcinoma Embrionic Antigen) karsinoma ini

terkena kanker paru. Anak-anak yang terpapar asap rokok selama 25 tahun pada usia dewasa akan terkena risiko kankerparu duakali lipat dibandingkan denganyang tidak

terpapat, dan perempuat yang hidup dengan suami/ pasangan perokokjuga terkena risiko kanker paru 2-3

bersifat karsinogen terhadap organ tubuh tersebut' Zat-zat yargbersifat karsinogen (C), kokarsinogenik (CC), tumor promoter (TP), mutagen (M) yang telah dibuktikan terdapat dalam rokok dapat dilihat pada Tabel {..

bisa dibedakan dari mesotelioma

Karsinoma Bronkoalveolar. Merupakan subtipe dari adenokar-sinoma, dia mengikuti/meliputi permukaan alveolar tanpa menginvasi atau merusak jaringan paru.

Karsinoma Sel Besar. Ini suatu subtipe yang gambaran histologisnya dibuat secara ekslusi. Dia termasuk NSCLC tapi tak ada gambaran diferensiasi skuamosa atau glandular, sel bersifat anaplastik, tak berdiferensiasi, biasanya disertai oleh inhltrasi sel netrofil.

ETIOLOGIKANKER PARU Seperti umumnya kanker yang lain penyebab yang pasti daripada kanker paru belum diketahui, tapi paparan atau

kali

lipat. Diperkirakan25o/o kanker paru dari bukan perokok adalah berasal dari perokok pasif. Insiden kanker paru pada perempuan di USA dalam 10 tahun terakhir ini juga naik menjadi 5%o per tahun, antara lain karena meningkatnya jumlah perempuan perokok atau sebagai perokok pasif. Efek rokok bukan saja mengakibatkan kanker paru, tapi dapat juga menimbulkan kanker pada organ lain seperti mulut, laring dan esofagus. Laporan dari NCI (National Cancer Institute) di USA tahw 1992 menyatakan kanker pada organ lain seperti ginjal, vesika urinaria, ovarium, uterus, kolon, rekfum, hati, penis dan lain-lain lebih tinggi pada pasien yang merokok daripada yang bukan perokok. Diperkirakan terdapat metabolit dalam asap rokok yang

Substance Particulate Phase Neutral Fraction - Benzo (a) pyrene - Dibenz (a) anthracene B. Basic Fraction - Nicotene - Nitrosamine C. Acidic Fraction - Cathecol

A.

D.

- Unidentified Residue - Nickel - Cadmium - 210PO

- Gaseous Phase - Hydrazine - Vinyl chloride

C

Rodents

c

C

c CC+TP

TP

c C

c c c+M

C M

Dikutip dari; Cancer: Principte and Pructical Oncology

Mice Ames 4th

ed, 1989

inhalasi berkepanjangan suatu zat yang bersifat karsinogenik merupakan faktor penyebab utama di samping adanya faktor lain seperti kekebalan tubuh,

Etiologi lain dari kanker paru yang pernah dilaporkan

genetik dan lain-lain. Dari beberapa kepustakaan telah dilaporkan bahwa

Yang berhubungan dengan paparan zat karsinogen,

etiologi kanker paru sangat berhubungan dengan kebiasaan merokok. Lombard dan Doering (1928), telah melaporkan tingginya insiden kanker paru pada perokok dibandingkan dengan yang tidak merokok. Terdapat hubungan antara rata-ratajumlah rokok yang dihisap per hari dengan tingginya insiden kanker paru. Dikatakan bahwa, I dari 9 perokok berat akan menderita kanker paru. Belakangan, dari laporan beberapa penelitian

mengatakan bahwa perokok pasif pun akan be risiko

adalah:

seperti: . Asbestos, sering menimbulkan mesotelioma . Radiasi ion pada pekerja tambang uranium . Radon, arsen, kromium, nikel, polisiklik hidrokarbon,

vinilklorida Polusi udara. Pasien kanker paru lebih banyak di daerah urban yang banyak polusi udaranya dibandingkanyarl.g tinggal di daerah rural.

2256

Pl,L^niloMxocr

Genetik. Terdapat perubahan/mutasi beberapa gen yang berperanan dalam kanker paru, yakni : Proto oncogen, Tumor supressor gene, Gene encoding enzyme

Diet. Beberapa penelitian melaporkan bahwa rendahnya konsumsi terhadap betakarotene, selenium dan vitamin

Teori onkogenesis. Te{adinya kanker paru didasari dari perubahan tampilnya gen supresor tumor dalam genom

paru.

(onkogen). Adanya inisiator mengubah gen supresor tumor dengan cara menghilangkan (delesi/del) atau penyisipan (insersi/inS) sebagian suunan pasangan basanya, tampilnya gen erbB

I

dan atau neu/erbB 2berperan dalam anti apoptosis

(mekanisme sel untuk mati secara alamiah /programmed cell death)Perubahan tampilan gen kasus ini menyebabkan sel sasaran dalam hal ini sel paru berubah menjadi sel kanker dengan sifat pertumbuhan yang otonom. Thmpilan kromosom

A

GAMBARAN KLINIS KANKER PARU Pada fase awal kebanyakan kanker paru tidak menunjukkan

gejala-gejala klinis. Bila sudah menampakkan gejala berarti pasien dalam stadium lanjut. Gej ala-gej ala dapat bersifat

.

gen pada pasien kanker paru yang sudah tercatat dapat dilihat pada Thbel 2.

Reaffangement

Gen

Reanangement

Gen

terlibat Dell p36 Dell p32 Dell pl 1-13 Del1q22-qter Del'1q32-qter Dell q32

Del12-12 Del3q14,2 Del3p25 Del5q

7p11-13

terlibat

Fgr

del 8p

L-myc N-ras

del9p21 delp'l 1p13 delpl 1p15 delpl 3p12-1 5

ski Trk

menyebabkan tingginya risiko terkena kanker

.

cdkn2

-

saluran napas

Kadang terdapat kavitas seperti abses paru Atelektasis

Invasilokal: - Nyeri dada

H-ras

-

Dispnea karena efusi pleura

-

Sindrom vena cava superior Sindrom Homer (facial anhidrosis, ptosis, miosis) Suara seralg karena penekanan pada nerws laryn-

Fhit Fhit Fhit

delpl 3p14-23

Raf

del/ins17p13

p53

Fms

'17q12-22

neu/erbB2

erbBl

del22q

sis

delpl3q delpl3q

, Gen supresor tumor Predisposisi

lnisiator

Promoror

:

Lokal (tumorhrmbuh setempat) : - Batuk baru atau batuk lebih hebat pada batuk kronis. - Hemoptisis - Mengi (wheezing, slridor ) karena ada obstruksi

o"'"U"*'

Invasi ke perikardium -+ tedadi tamponade atau aritnia

geal recurrent Sindrom Pancoast, karena invasi pada pleksus

brakialis dan saraf simpatis servikalis. Gejala Penyakit Metastasis : - Pada otak, tulang, hati, adrenal - Limfadenopati servikal dan supraklavikula (sering menyeriai metastasis) Sindrom Paraneoplastik : Terdapat pada l0%o kanker paru, dengan gejala :

-

Sistemik: penurunan berat badan, anoreksia, demam

Prosresor

Tumor /otonomi

+ Ekspansi/imetastasis

Gambar 1. Kaskade onkogenesis

-

Rokok selain sebagai inisiator juga merupakan promotor dan progresor, dan rokok diketahui sangat berkaitan (terbesar) dengan te{adinya kankerparu Dengan demikian kanker merupakan penyakit genetik yang pada permulaan terbatas pada sel sasaran kemudian menjadi agresif pada jaringan sekitamya bahkan mengenai organ lain.

-

Hematologi: leukositosis,anemia,hiperkoagulasi

Hiperhofiosteoarhopati Neurologik : dementia, ataksia, tremor, neuropati perifer Neuromiopati

Endokrin : sekresi berlebihan hormon paratiroid (hiperkalsemia) Dermatologik : eritemamultiform, hiperkeratosis,jari

tabuh

Renal : syndrome of inappropriate andiuretic hormone(SIADH)

Asimtomatik dengan kelainan radiologis

.

Sering terdapat pada perokok dengan PPOK / COPD

.

yang terdeteksi secara radiologis. Kelainan berupa nodul soliter.

2257

KANKERPARU

DETEKSI DINI KANKER PARU

menemukan 61olo tumor paru terdeteksi dalam pemeriksaan

Anamnesis yang lengkap danpemeriksaan fisikyang teliti, merupakan kunci terhadap diagnosis yang tepat. Selain gejala klinis yang telah disebutkan di atas, beberapa faktor

pemeriksaan sitologi sputum hanya bisa mendeteksi I 9%. Kelainan pada foto dada untuk kanker paru dapat dilihat

perlu diperhatikan pada pasien tersangka kanker paru, seperti: faktor umur, kebiasaan merokok, adanya riwayat kanker dalam keluarga, terpapar zat karsinogen atau

Pada kankerparu, pemeriksaan foto rontgen dadaulang

terpaparjamur, dan infeksi yang dapat menyebabkan nodul soliter paru. Menemukan kanker paru pada stadium dini sangat sulit karena pada stadium ini tidak ada keluhan atau gejala. Ukuran tumor pada stadium dini relatif kecil (< I cm) dan tumor masih berada pada epitel bronkus. Foto rontgen dadajuga tidak dapat mendeteksi kanker tersebut.

Keadaan

ini disebut sebagai tumor in sitz (Tr.). Untuk

mendapatkan sel tumor tersebut hanya bisa dengan pemeriksaan sitologi sputum dengan bantuan bronkoskopi. Angka keberhasilan diagnosis pemeriksaan sitologi sputum ini pada pasien tanpa kelainan klinis dan radiologis relatif kecil, dan bila ditemukan maka juga sulit

rutin dengan foto rontgen dada biasa, sedangkan pada Tabel 3.

diperlukan juga untuk menilai doubling timetya. Dilaporkan bahwa, kebanyakan kanker paru mempunyai doubling time antara 37 -465 hari . Blla doubling time > 18 bulan, berarti tumornya benigna' Tanda-tanda tumor benigna lainnya adalah lesi berbentuk bulat konsentris, solid dan adanya kalsifikasi yang tegas. Pemeriksaan foto rontgen dada dengan cara tomografi lebih akurat menunjang kemungkinan adanya tumor paru,

bila dengan cara foto dada biasa tidak dapat memastikan keberadaan tumor. Pemeriksaan penunjang radiologis lain yang kadang-kadang diperlukan juga adalah bronkografi

,

fluoroskopi, superior vena cavogtafi, ventilation/ perfus ion s canning,ultras ound s onography.

menentukan asal sel tumor tersebut dalam traktus respiratorius. Untuk mempermudah penemuan dini ini dianjurkan melakukan pemeriksaan skrining dengan cara memeriksa sitologi sputum dan foto rontgen dada, secara

berkala. National Cancer institute (NCI) di USA menganjurkan skrining dilakukan setiap 4 bulan dan

terutama ditujukan pada laki-laki > 40 tahun, perokok >l bungkus perhari dan atau bekerja dilingkungan berpolusi yang memungkinkan terjadi kanker paru (pabrik cat, plastik, asbes dll). Penelitian yang dilakukan oleh NCI pada 3 pusat riset kanker selama > 20 tahun terhadap lebih dari 30.-000 sukarelawan laki-laki perokok berat, dimana setengahnya menjalani skrining intensif dengan pemeriksaan sitologi sputum tiap 4 bulan dan foto rontgen dada (PA dan lateral) tiap tahun dan setengah lainnya sebagai kelompok kontrol. Hasil penelitian ini menunjukkan angka positif tumor stadium awal pada kelompok pertama 45%o dan kelompok kontrol l5%. Pasien dengan kanker paru tersebut memiliki angka S-year survival sebesat 35%o dibandingkan kelompok kontrol l3oh. Dalam studi ini, pemeriksaan sel ganas dengan pemeriksaan sitologi sputum lebih mudah

menemukan karsinoma sel skuamosa, sedangkan foto rontgen dada lebih banyak menemukan adenokarsinoma dankarsinoma sel skuamosa. Small cell carcinoma jatang

terdeteksi pada stadium dini ini. Keseluruhan studi menyimpulkan bahwa terdapat nilai positif (manfaat) dalam deteksi dini kanker paru.

PROSEDUR DIAGNOSTIK

Sguamous

cell carctnoma

Small

cell

Adeno' carcrnoma

Large

cell

17Yo

Masa hilar atau perihilar Lesi parenkim < 4,0 cm > 4,0 cm

9Yo 19o/o

Obstruksi,pneumo

31%

21o/o 9Yo

45% 260/o

18% 41Yo

3204

nitis, kolaps atau konstriksi daerah peripleural Mediastinal enlargement

2Yo

13Yo

lOYo

3Yo

Pemeriksaa n Computed Tomography dan Magnetic

Resonance lmaging. Pemeriksaan CT Scan pada torak, lebih sensitif daripada

pemeriksaan foto dada biasa, karena bisa mendeteksi kelainan atau nodul dengan diameter minimal 3 mm'

walaupun positif palsu untuk kelainan sebesar itu mencapai 25-60%. Bila fasilitas ini memungkinkan, pemeriksaan CT Scan bisa sebagai pemeriksaan skrining

kedua setelah foto dada biasa. Pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MF.I) tidak rutin dikerjakan, karena ia hanya terbatas untuk menilai kelainan tumor yang menginvasi kedalam vertebra, medula spinal, mediastinum, di samping biayanya juga cukup mahal.

Pemeriksaan

MRI torak tidak lebih superior

ini

Pemeriksaan awal sederharra yang dapat mendeteksi

CT dikembangkan tekni Positron Emission

adanya kanker paru. Studi dari Mayo Clinic USA,

membedakan tumor j inak dan ganas berdasarkan perbedaan

Foto Rontgen Dada Secara Posterior-anterior (PA)

dan Lateral.

dibandingkan

Saat

sedang

g lebih akurat yakni

(PET) yang dapat

2258

PI,Li,OIIUJOG,I

biokimia dalam metabolisme zat-zat seperti glukosa, oksigen, protein, asam nukleat. Contoh zatyangdipakai ;

methionine 11C dan F-l8 fluorodeoxyglucose (FD6). Tumor yang kurang dari 1 cm, agak sulit dideteksi karena ukuran kecil tersebut kurang diresolusi oleh PET

Scanner. Sensitivitas dan spesifisitas cara PET ini

Bronkoskopi. Modifikasi dari bronkoskopi serat optik dapat berupa: . Trans bronchial lung biopsy (TBLB) dengan tuntunan

.

fluorescence bronchoscopy detgan memakai fluorescence exchancing agent seperti Hp D (hemato porphyrin derivative) memberikan konsentrat

dilaporkan 83-93% sensitif dan 60-90% spesifik.

Beberapa positif palsu untuk tanda malignan ditemukan juga pada lesi inflamasi dan infeksi seperti aspergilosis dan tuberkulosis. Sungguhpun begitu dari

fluoresensi pada jaringan kanker. Teknik yang lebih baru

lagi adalah dengan auto fluoresence bronchoscopy. Hasil pemeriksaan ini menunjukkan 50% lebih sensitif daripada white light bronchoscopy untuk deteksi

beberapa studi diketahui pemeriksaan PET mempunyai nilai akurasi lebih baik daripada pemeriksaan CT Scan.

Pemeriksaan Bone Scanning. Pemeriksaan ini diperlukan bila diduga ada tanda-tanda metastasis ke tulang. Insiden btrrror Non Small Cell Lung Cancer Q{SCLC) ke tulang dilaporkan sebesar 15ol0.

PEMERIKSAAN SITOLOGI Pemeriksaan sitologi sputum rutin dikerjakan terutama bila

pasien ada keluhan seperti batuk. Pemeriksaan sitologi tidak selalu memberikan hasil positif karena ia tergantung

fluroskopi, atau ultrasonografi Belakangan ini sedang dikembangkan pemeriksaan

.

karsinoma in situ dan displasia berat Ultrasound bronchoscopy, juga dikembangkan pada

.

endobronkial, kelenjar getah bening mediastinum dan lesi daerah hilus. Hasil positif dengan bronkoskopi ini dapat mencapai : 95% untuk tumor yang letaknya sentral dan70 - 80 % untuk tumor yang letaknya perifer

saat

ini untuk mendeteksi tumor perifer, tumor

. Trans-bronchial Needle-Aspiration

(TBNA).

Dikerjakan terhadap nodul getah bening dihilus atau mediastinum. Hasilrrya akan lebih baik bila dituntun dengan CT Scan.

dari:

. . . . .

Letak tumor terhadap bronkus. Jenis tumor Teknikmengeluarkansputum Jumlah sputumyang diperiksa. Dianjurkanpemeriksaan 3-5 hari berhrrut-turut

Waktu pemeriksaan sputum (sputum harus segar)

Pada kanker paru yang letaknya sentral, pemeriksaan sputum yang baik dapat memberikan hasil positif sampai

67-85% pada karsinoma sel skuamosa. Pemeriksaan sitologi sputum dianjurkan sebagai pemeriksaan rutin dan skrining untuk diagnosis dini kanker paru, dan saat ini sedang dikembangkan diagnosis dini pemeriksaan sputum memakai immune staining dengan MAb dengan antibodi 624H12 untuk antigen SCLC (small cell lung cancer) dan antibodi 703D4untuk antigenNSCLC (non small cell lung cancer). Laporan dari National Cancer Institute USA teknik ini memberikan hasil9l% sensitif dan 88% spesifik. Pemeriksaan sitologi lain untuk diagnostik kanker paru dapat dilalnrkan pada cairan pleura, aspirasi kelenjar getah

bening servikal, supraklavikula, bilasan dan sikatan

Trans Torakal Biopsi (TTB). Biopsi dengan TTB terutama untuk lesi yang letaknya perifer dengan dengan ukuran > 2 cm sensitivitasnya mencapai 90-95%. Komplikasi pneumotorak dapat mencapai

20-25% dan hemoptisis sampai 20

o/o.

Dengan persiapan

yang lebih baik, komplikasi ini bisa diperkecil. Hasil pemeriksaan akan lebih balk bila ada tuntunan CT Scan, USG atau fluoroskopi. Biopsi terhadap kelenjar getah bening yang teraba, dapat dilakukan secara Daniel's biopsi

yakni pada kelenjar-kelenjar getah bening scalaneus supraklavikular.

Torakoskopi Biopsi tumor didaerahpleura memberikan hasil yang lebih baik dengan cara torakoskopi daripada cara membuta (blind). Untuk tumor yang letaknya dipermukaan pleura

visceralis biopsi dengan cara Video Assisted Thorascoscopy memiliki sensitivitas dan spesifisitas hingga 100%, sedangkan komplikasi yang terjadi amat kecil

bronkus pada bronkoskopi.

Mediastinoskopi Lebih dari 20 % kanker paru bermetastasis ke mediastinum, P EM

ERI

KSAAN

H

ISTOPATOLOGI

Pemeriksaan histopatologi adalah standar emas diagnosis kanker paru untuk mendapatkan spesimennya dapat dengan cara biopsi melalui:

terutama Small Cell Ca dan Large Cell Ca. Untuk mendapatkan tumor metastasis atau kelenjar getah bening yang terlibat dapat dilakukan dengan cara mediastinoskopi di mana mediastinoskopi dimasukkan melalui insisi supra

sternal. Hasil biopsi memberikan nilai positif 40%.

2259

KAITIKERPARU

Dari studi lain nilai negatif palsu pada mediastinoskopi didapat sebesar 8-12 (diikuti dengan torakotomi).

Torakotomi Torakotomi untuk diagnostik kanker paru dikerjakan bila berbagai prosedur non invasif dan invasif sebelumnya gagal mendapatkan sel tumor.

P

EM ERIKSAAN S ERO LOGI/TU MOR M

ARKER

Sampai saat ini belum ada pemeriksaan serologi penanda tumor-tumor ( tumor- marker) unnrk diagnostik kanker paru yang spesifitasnya tinggi. Beberapa tes yang dipakai adalah : a). CEA (Carcinoma Embryonic Antigen), b). NSE (Neuron-spesific enolase).

DIAGNOSIS KANKERPARU

Langkah pertama adalah secara radiologis dengan menentukan apakah lesi intra torakal tersebut sebagai tumor jinak atau ganas. Bila fasilitas ada dengan teknik Positron Emission Tomography (PET) dapat dibedakan antara tumor jinak dan ganas serta untuk menentukan staging penyakit. Kemudian tentukan apakah letak lesi sentral atau perifer, yang bertujuan untuk menentukan bagaimana cara pengambilan jaringan tumor. Untuk lesi yang letaknya perifer, kombinasi bronkoskopi dengan biopsi, sikatan, bilasan, transtorakal biopsi/aspirasi dan tuntunan USG ata.o CT Scan akan memberikan hasil yang lebih baik. Sedangkan untuk lesi letak sentral, langkah pertama sebaiknya dengan pemeriksaan sitologi sputum diikuti bronkoskopi fleksibel. Secara radiologis dapat

2l-l (Cytokeratinfragments 19). NSE diketahui spesifik wntk Small Cell Carcinoma dan sensitivitasnya dilaporkan S2%o,sedangkan Cyfta 2l I mencapal 50% untuk kelompok LD (limited disease)' SCrc. Pada kelompok ED (extensive disease) SCLC,

ditentukan ukuran tumor (T), kelenjar getah bening torakal (N) dan mestasis ke organ lain (M).

sensitivitas NSE 42%dan Cyfra 21-1 mencapai 50%' Bila pemeriksaan ini digabung maka sensitivitas jadi

Staging yang dibuat oleh The International System for Staging Lung Cancer, serta diterima oleh The American Joint Committee on Cancer (AJCC) dan The Union

c). Cyfra

78% untuk kelompok LD dan 82o/o kelompok ED. Uji serologis tumor marker tersebut di atas sampai saat ini lebih banyak dipakai untuk evaluasi hasil pengobatan kankerparu.

Occult Ca

klasifikasi kanker paru pada tahun 1973 dan kemudian direvisi 1986 dan terakhir pada tahun I 997.

BARU 1997

Tx No Carcinoma NO

Mo

N1

N0-1

Mo Mo

14

N2 N0-3

Mo Mo

Stage Stage Stage Stage Stage

T1-3

N3

Mo

Stage lllB

T1-4

N't-3

M1

Stage lV

Tis T1-2 T1-2 T3 T1-3

Stage lllB

Stage lV

Internationale Contrele Cancer (UICC), membuat

in situ

Stage 0 Stage Stage ll Stage lll A I

STAG'NG KANKER PARU

lA

T1 NOMO

lB

llA

T2NOMO T1N1MO

llB

T2N,1MO

lllA

T1-3N2M0 T3 NlMO T4 Any NMO Any TN3MO Any T Any NM,I

Keterangan

Tx : Tis

Tt

r2 T3

14 No N1

N2 N3

: : : : : : : : :

Mo : Ml :

:

1). Tumor terbukti ganas didapat dari s€kret bronkopulmoner, tapi tidak terlihat secara

bionkoskopis dan radiologis. 2). Tumor tidak bisa dinilai pada staging retreatment. carcinoma in situ ( pre invasive cdrcinoma) tumor, diameter < 3 cm tumor, diameter > 3 cm atau terdapat atelektasis pada distal hilus turnor ukuran apapun meluas ke pleura,dinding dada,diafragma, perikardium, < 2 cm dari carina, terdapat atelektasis total. tumor ukuran apapun invasi ke mediastinum atau terdapat efusi pleura malignan tidak ada kelenjar getah bening (KGB) yang terlibat metastasis KGB bronkopulmoner atau ipsilateral hilus metastasis KGB mediastinal atas sub carina metastasis KGB mediastinal kontra lateral atau hilus atau KGB skaleneus atau supraklavikular tidak ada metastasis jinak metastasis jinak pada organ (otak, hati' dll)

2260

PI.'LMONOI.OGI

Stagingka*er paru dapdt dilakukan secara : l). Diagnosis klinis (c TNM), 2). Reseksi surgikal-patologis (p TNM), 3). Evaluasi surgikal (s TNM), 4). Retreatment (r TNM), 5). Autopsi (a TNM).

Untuk staging kanker paru, sedikitnya diperlukan pemeriksaan CT Scan torak, USG abdomen (atau CT Scan abdomen), CT Scan otak dan bone scanning.

NSCLC Staging TNM yang didasarkan ukuran tumor (T) ketenjar getah bening yang terlibat (N) dan ada tidaknya metastase bermanfaat sekali dalam penentuan tatalaksana NSCLC ini. Staging dimulai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik

yang teliti dengan perhatian khusus kepada keadaan sistemik, kardio pulmonal, neurologi dan skeletal. Hitung tepi dan pemeriksaan kimia darah diperlukan

j enis sel darah

KANKER PARU SEKUNDER Kanker paru sekunder adalah kanker yang bermetastasis ke paru-paru, sedangkan primernya berasal dari luar paru. Insiden kanker paru sekunder adalah 9.7oh dari seluruh kankerparu. Diperkirakan 300/o dari semuaneoplasma akan

bermetastasis ke paru. Insiden tumor yang banyak bermetastasis ke paru-paru berturut-turut adalah, Chorio Carcinoma (80%); Osteo sarcoma (75%); kanker ginjal

(70%), kanker tiroid (65%), melanoma. (60%); kanker payrdara (55%), kanker prostat (4s%),kanker nasofaring (20%) dankanker lambung (20%).

unfuk mencari kemungkinan adanya metastase ke sumsum tulang, hati dan tengkorak. Pengobatan NSCLC. Terapi bedah adalah pilihan pertama pada stadium I atau II pada pasien dengan sisa cadangan parenkim palunya yang adekuat. Reseksi paru biasanya ditoleransi baik bila prediktif "post reseksi FEV" yang didapat dari pemeriksaan spirometri preoperatif dan kuantitatif ventilasi perfusi scanning melebihi 1000 ml. Luasnya penyebaran intra torak yang ditemui saat operasi menjadi pegangan luas prosedur operasi yang dilaksanakan. Lobektomi atau pneumonektomi tetap sebagai standar di mana segmentektomi dan reseksi baji bilobektori atau reseksi sleeve jadi pilihan pada situasi tertentu.

Sedangkan gambaran yang ditimbulkannya bisa

Survival pasien yang dioperasi pada stadium I

sebagai nodul soliter yang sering terdapat pada kanker

mendekati 6002, pada stadium n26-37 % danlI a 17 -36,3%o.

kolon, kanker ginjal, kanker testis, kanker payudara,

Pada stadium

sarkoma dan melanoma. Tetapi gambaran terbanyak (7 5Yo) adalah lesi multipel. Metastasis ke paru jarang memberikan

keberhasilan operasi bila kelenjar mediastinum ipsilateral atau dinding torak terdapat metastasis. Pasien stadium III b dan IV tidak dioperasi Combined

keluhan atau gejala, misalnya batuk atau hemoptisis, karena lesi metastasis jarang menginvasi bronkus. Keluhan yang sering terjadi adalah sesak. Masalah bisa timbul bila didapatkan nodul soliter pada pasien yang diketahui menderlta kanker pada tempat lain.

Biasanya nodul soliter tersebut dianggap kanker paru primer, apalagi bila pasien berusia lebih dari 35 tahun dan faktor risikonya tinggi.

PENGOBATAN

Tujuan Pengobatan Kanker . Kuratif : menyembuhkan atau memperpanjang

masa

bebas penyakit dan meningkatkan angka harapan

hidup

. . .

pasien

Paliatif : mengurangi dampak kanker, meningkatkan kualitas hidup Rawat rumah (Hospice care) pada kasus terminal : mengurangi dampak fisik mauprur psikologis kanker baik pada pasien maupun keluarga Suportif : menunjang pengobatan kuratif paliatif dan terminal seperti pemberian nutrisi, transfusi darah dan komponen darah, growth factors obat anti nyeri dan obat anti infeksi

Terdapat beda fundamental perangai biologis Non Small Cell Lung Cance (NSCLC) denganSzall Cell Lung Cance (SCLC) sehingga pengobatannya harus dibedakan :

III A masih ada kontroversi mengenai

modality therapy yaitu gabungan radiasi, khemoterapi dengan operasi (dua atau tiga modalitas) dilaporkan memperpanjang survival dari studi-studi yang masih berlangsung.

Radioterapi Pada beberapa kasus yang inoperable, radio terapi dilakukan sebagai pengobatan kuratif dan bisa juga sebagai terapi adjuvanlpaliatif pada tumor dengan komplikasi seperti mengurangi efek obsrtruksi /penekanan terhadap pembuluh darah,/bronkus. Efek samping yang sering adalah disfagia karena esofagitis post radiasi, sedangkan pneumonitis post radiasijarang terjadi

( 50% tumorterukur atau > 50% jumlah lesi terdeteksi menghilang; c). stable disease pengecilan 50o/o atat < 2|%omembesar; d). progresiftampak beberapa lesi b aruatau> 25ohmembesar; e). Lokoprogresif tumor membesar di dalam radius tumor (lokal). Penggunaan kemoterapi pada pasien NSCLC dalam dua dekade terakhir ini sudah diteliti. Untuk pengobatan

kuratif

kemoterapi dikombinasikan secara terintegrasi dengan modalitas pengobatan kanker lainnya pada pasien dengan penyakit lokoregional lanjut. Kemoterapi digunakan sebagai terapi baku untuk pasien mulai dari stadium III A dan untuk pengobatan paliatif Kemoterapi neoadjuvan diberikan mulai dari stadium II dengan sasaran lokoregional tumor dapat direseksi lengkap. Cara pemberian diberikan setelah terapi lokal. Terapi definitif dengan pembedahan ,radioterapi, atau keduanya diberikan di antara siklus pemberian kemoterapi.

Kemoradioterapi konkomitan, bertujuan untuk meningkatkan kontrol lokoregional, radioterapi mulai dari s t age III ((Jnr e s e c t ab I e I o c o r e gi o n al). P emberian

respons yang akan berdampak pada harapan hidup.

Mula mula resimen CAMP yang terdiri dari siklofosfamid, doksorubisin, metotreksat dan prokarbasin, tingkat respons regimen ini 26% . Beberapa protokol resimen lainnya kemudian dikembangkan dan diperbandingkan dengan CAMP, seperti CAP membsrikan tingkat respons 260lo.

Obat lain. Obat obat baru

ini telah banyak dihasilkan

dan dicobakan sebagai obat tunggal seperti Paclitaxel' Docetaxsel, Vinorelbine, Gemcitabine, dan Irenotecan dengan hasil yang cukup menjanjikan, begitu juga bila dimasukkan ke regimen lama membentuk regimen baru.

Kemoterapi ajuvan dengan atau tanpa radioterapi. Mula-

mula yang dikembangkan adalah protokol CAP (siklofosfamid, doksorubisin, dan cisplatin)

Kemoradioterapi konkomitan. Mula-mula protokol yang digunakan adalah protokol dengan basis cisplatin misalnya FP (5-Fluorouracil dan cisplatin), selanjutnya dikembangkan dengan memasukkan etoposide menjadi protokol EFP.

Hasilnya dengan FP 68% menjadi komplit resectable sedangkan dengan EFP komplit resectable menjadi 76Y" sementara pa daEP 65Yo menjadi komplit resectdble. Terapi biologi. BCG levamisole, interferon dan interleukin, penggunaannya dengan kombinasi modalitas lainnya hasilnya masih kontroversial. Terapi gen. Akhir-aktrir ini dikembangkan penyelarasan gen (Chimeric) dengan cara transplantasi stem sel dari darah tepi maupun sumsum tulang alogenik

SMALL CELL LUNG CANCER (SCLC) SCLC dibagi menjadi dua, yaitu: l.limited-stage disease yang diobati dengan tujuan kuratif (kombinasi kemoterapi o% dan radiasi) dan angka keberhasilan terapi sebesar 20 serta 2. extensive-stage disease yang diobati dengan kemoterapi dan angka respon terapi inisial sebesar 60-70 Yo danangkarespon terapi komplit sebesar 20-30%. Aagka median-survival time urlttuk limited-stage disease adalah 18 bulan dan untuk extensive-stage disease adalah9 bulan.

PROGNOSIS

.

Small Cell Lung Cancer (SCLC)

-

kemoterapi bersama-sama radioterapi.

Dengan adanyaperubahanterapi dalam 15-20 tahun belakangan ini kemungkinan hidup rata-rata (me'

dian survival time) yang tadinya < 3 bulan

Pemilihan obat. Kebanyakan obat sitostatik mempunyai aktivitas cukup baik pada NSCLC dengan tingkat respons artara l5-33%o, walaupun demikian penggunaan obat tunggal tidak mencapai remisi komplit. Kombinasi beberapa sitostatik telah banyak diteliti untuk meningkatkan tingkat

saat

-

meningkat menjadi 1 tahun. Pada kelo mpok Limited D is e as e kemtxtgkinan hidup rata-rata naik menjadi l-2 tahttn, sedangkan 20o/o daripadanya tetap hidup dalam2 tahun.

30%meninggal karenakomplikasi lokal dari tumor

2262

.

PULIITOI,0LOGI

70Yo meninggal karena karsinomatosis

50% bermetastasis ke otak (autopsi)

Non Small Cell Lung Cancer (NSCLC) - Yang terpenting pada prognosis kanker paru ini adalah menentukan stadium dari penyakit. - Dibandingkan dengan jenis lain dari NSCLC,

karsinoma skuamosa tidaklah seburuk yang lainnya. Pada pasien yang dilakukan tindakan

-

bedah, kemungkinan hidup 5 tahun setelah operasi adalah30%o Survival setelah tindakan bedah, 70o/o pada occult

carcinoma;35-40% pada stadium l; l0-15%o pada stadium II dan kurang dai l0% pada stadium III.

75% karsinoma skuamosa meninggal akibat komplikasitorakal,25%okarcnaekstratorakal,2olo di antaranya meninggal karena gangguan sistem

-

saraf sentral.

40% adenokarsinoma dan karsinoma sel besar meninggal akibat komplikasi torakal, 55%o karena ekstra torakal. 15% adenokarsinoma dan karsinoma sel besar bermetastasis ke otak dartS-9a/o meninggal karena kelainan sistem saraf sentral.

Kemungkinan hidup tata-rala pasien tumor metastasis bervariasi, dari 6 bulan sampai dengan I tahun, dimana hal ini sangat tergantung pada : 1 s tatus (skala Kamofsky), 2. Luasnya penyakit, 3. Adanya pemrmnan berat badan dalam

P erformance 6

bulan terakhir.

PENCEGAHAN

.

Pencegahan yangpaling penting adalah tidak merokok sejak usia muda. Berhenti merokok dapat mengurangi

yang berhasil.

A-litrir-akhir ini pencegahan dengan chemoprevention banyak dilakukan, yakni dengan memakai derivat asam retinoid, carotenoid, vitamin C, selenium, dan lain-lain. Jika seseorang berisiko terkena kanker paru maka penggunaan betakaroten, retinol, isotretinoin ataupun N- ac ety I - cy s t ein dap at meningkatkan risiko kanker paru pada perokok.

FKUI /RSUPNCM.

Bunn PA, Jr. Lrmg Cancer: Cunent Understanding of Biology, Diagnosis, Staging and Treatnent. Bristol -Myers Co, Evarsvitle-lndiana, 1988.

Bordow W, Moser KM. Manual of Clinical Problems in Pulmonary Medicine. Little Brown Co, Boston, 6th ed. 2003, 457-481.

Cancer : Principles and Practice of Oncology. Curtailing The Tobacco Pandemic. Devita-Hellman-Rosenberg Eds. JB Lippincott Co, Philadelphia, 1989, 4M ed, 480-91. Givanella L, Piantanida R, Ceriani L,et al. Immunoassay of Neuron Specific Enolase (NSE) and Serum Fragments of Cyokeratin 1S (Cyfra 21-l) as Tumor Markers in Small Cell Lung Cancer : Clinical Evaluation and Biological Hypotesis. National Cancer Institute, Cancer.Lit, topic searches, 1997, Hoffman PC et al : Lung Cancer. Lancet 2000;355:479. nternational Union Against Cancer. Current Treatment of Cancer, Lung Tumors. Ed. Hoogstraten, Addis, Hanzen, Maltini, Spiro Springer-Verlag, Berlin, I 988,

Kvale, PA. Lung Cancer and Solitary Pulmonary Nodule. In: llth National American College of Chest Physician (ACCP). Pulmonary Board Review, 2003,41-56. Karlinsky JB, Lau J, Goldstein RH. Decision Making in Pulmonary Medicine. Neoplastic and Neoplastic Related Diseases of The Lung BC Decker, Philadelphia, 1991,25-49. Lazaar l, Pilewski J. Lung Cancer . Fishman AP, Kottloff RM. Eds. In: Pulmonary Diseases and Disorders. McGraw-Hill. Int. Editions. Singapore.1994 Leslie A Litzsky. Neoplasma of the lung. ln Fishman AP: Pulmonary Diseases and Disorders. 3rd ed. McGraw-Hill New York 1998. Minna JB. Neoplasms of The Lung. Harrison's Principles of intemal Medicine MC Graw-Hill Co, New York 14th ed. 1998, 552-62. Miller YE. Pulmonary Neoplasma. Cecil Textbook of Medicine Ed. Bennet Plum WB Saunders Co, Philadelphia 20th ed, 1996, 436-442. Pass-HI, Mitchell JB, Jhonson DH, Turrisi AT. Lung Cancer: Principles and Practice. LippincotlRaven Publisher, Philadel-

phia, 1996, 305-508. Pieterman RM et al : Preoperative staging of non-srrrall cell lung

risiko terkena kanker paru. Penelitian dari kelompok perokok yang berusaha berhenti merokok, hanya30Yo

.

Siang Klinik Bag.Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Juni 1998.

Untr* itu, penggunaan kemopreventif ini

masih memerlukan penelitian lebih lanjut sebelum akhimya direkomendasi untuk digunakan. Hingga saat ini belum ada konsensus yang diterima oleh semua pihak.

cancer with positron-emission tomography. N Engl J Med 2000;343:254. Pretreatment evaluation of non-small-cell lung cancer. Consensus Statement of the American Thoracic Society and the European Respiratory Society. Am J Respir Crit Care Med 1997;156:320.

Reksodiputro

American College of Chest Physician. Lung Cancer Guideline Consensus.2003. Asril Bahar dan Zulkifli Amin. Pendekatan diagnosis kanker paru.

Tambunan

K,

Atmakusumah

D

dkk:

Klinik Bag.Ilmu

Penyakit Dalam FKUI/RSUPNCM. Jakarta Juni 1998. Reif MS et al : Evidence-based medicine in the treatment of non small cell lung cancer. Clin Chest Med 2000;21:107. Rom WN et al : Molecular and genetic aspects of lung cancer. Am J Respir Crit Care Med 2000;161:1355. Schiepers, C. Role of Positron Emission Tomography in The Staging of Lung Cancer Lung Cancer, June 1997, Vol 17 supp, S.29-S.35. Smith RA et al : Epidemiology of lung cancer. Radiol Clin North Am 2000;3 8:45 3.

Turner-Warmick M, Hudson ME, Canin B, Ken lH. Clinical Atlas, Respiratory Diseases. JB Lippincott Co. Philadelphia, 1989, 7

REFERENSI

AH,

Penatalaksanaan terpadu kanker paru. Siang

.2-7 .43.

Zulkifli Amin.

Ketepatan Diagnosis Keg.anasan Paru Secara Fiberoptik Bronkoskopi KOPAPDI X, Padang, Juni 1996. Zulkifli Amin, Aryanto Suwondo: Tumor Paru. Dalam : Suparman , Waspaji Buku Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 2. Balai Penerbit FKUI,

Jakarta 1990,

361 PENYAKIT PARU I(ARENA MIKOBAKTERIUM ATIPIK Azhar Tanjung, E.N Keliat

PENDAHULUAN Kuman mikobakterium adalah golongan kuman berbentuk batang yang agak sulit diwarnai, tetapi sekali berhasil diwarnai, sulit pula dihapus dengan zat asam. Oleh karena itu disebut juga basil (kuman) tahan asam (BTA). Saat ini dikenal ada 4l spesies yang diakui oleh ICSB (International Committee on Systematic Bacteriology). Sebagian

besar bersifat saprofit, dan yang bersifat patogen bagi manusia hanya sebagian kecil, misalnya Mycobacterium

tuberculosae, Mycobacterium leprae, dan lainnya yang dapat menyebabkan infeksi kronik. Golongan saprofit ini dikenal juga dengan nama Mikobakterium atipik.

Mikobakterium atipik disebut juga dengan

mikobakterium non tuberkulosis, banyak dijumpai disekitar

pertumbuhan, pembentukan pigmen, tes biokimia dan suhu pertumbuhan. Di antara tes biokimia yang dilakukan adalah tes merah netral, percobaan niasin, tes nikotinarttida, tes arilsulfatasa, reduksi nitrat, hidrolisis Tween 80 selama 10 hari, pertumbuhan pada tiasetazon. Emest Runyon (1959), dapat langsung membedakan golongan mikobakterium atipik, hanya berdasarkan waktu

pertumbuhan, pembentukan pigmen, morfologi koloni. Runyon membagi mikobakterium atipik menjadi 4 grup, yaitu: Grup I @otokromogen). Pada grup ini wama koloni menj adi tebih tua bila terkena cahaya.Ada 3 spesies yang patogen, yaitu : M.kansasii, M. simiae, M.marinum. Spesies ini dapat menimbulkan penyakit paru, kulit, limfadenitis.

lingkungan seperti di tanah, air, makanan, dan lainlain. Mulanya dianggap tidak patogen. Pada permulaan t ahun 1950 baru mikobakterium atipik diakui sebagai

Grup tr (Skotokromogen). Pada grup ini wama koloni tidak dipengaruhi cahaya. Contoh yang paling dikenal adalah M,scrofulaceum, yang lain adalah M.szulgai.

penyebab penyakit pada manusia. Sejak itu golongan

Grup III (Nonfotokromogen). Padagrup ini kolonikuman tidak berwarna. Yang masuk grup ini adalah pasangan

kuman

ini

disangkutkan dengan penyakit paru,

limfadenitis, infeksi kulit dan jaringan lunak, infeksi yang dihubungkan dengan kateter, infeksi luka operasi dan

penyakitAIDS.

Tulisan ini selanjutnya lebih difokuskan pada mikobakterium atipik yang berhubungan dengan penyakit paru.

M.avium (patogen terhadap burung) dan M.intracellulare. Karakteristikbiakankedua spesies kuman ini hampir sama. Oleh beberapa ahli bakteriologi kedua spesies kuman ini dianggap tidak terpisah sehingga disebut dengan M. avium-intracellulare complex. Spesies yang lain adalah M.xenopi dan M.ulcerans. Spesies tersebut dapat menyebabkan infeksi paru, kulit dan jaringan lunak.

KLASIFIKASI

Grup IV (ftap id Growers). Grup ini pertumbuhannya cepat

Tidak semuakuman BTAyang dapat diisolasi dari medium Lowenstein-Jensen serupa Mikobakterium tuberkulosa. Harus dilakukan identifikasi untuk dapat membedakan spesiesnya. Dasar pemeriksaan identifftasi adalah waktu

bisa menimbulkan penyakit paru yaitu M.fortuitum,

(3-7 hari) pada media sederhana. Kami telah mendapatkan sebanyak 0,4oh grup IV ini dari pemeriksaan dahak dan cairan pleura dengan metode Kubica' Ada 3 spesies yang

M.chelonei dan M.abscessus.

2263

2264

PI.'LIUONOIOGI

PATOGENESIS DAN EPTDEM]OLOGI Mikobakterium atipik terdapat di seluruh dunia. Umumnya dijumpai di sekitar lingkungan misalnya di tanah, air, makanan, tumbuhan dan hewan. Tumbuh optimal pada

temperatur yang beragam sehingga mempengaruhi distribusinya. Misalnya M.avium dan M.intracellulare sering diisolasi dari sumber air hangat yang diminum, sedangkan M.marinum didapati di air lebih dingin seperti tangki penyimpanan ikan. Pasien yang lahir diAS penyakit paru yang disebabkan oleh basil tahan asam kelihatannya

lebih banyak disebabkan oleh mikobakterium atipik daripada M.tuberkulosis. Di Indonesia, dari Bandung didapat spesimen dari dahak, kelenjar getah bening dan cairan pleura, sebanyak 50,77%o adalahmkobakterium atipik dan 49,3Yo M.tuberkulosis kompleks.

Mikobakterium atipik ini bisa didapat melalui pernapasan, saluran cerna,

kulit, atau (yang jarang)

parenteral. Penyakit pada paru timbul oleh karena inhalasi kuman dalam bentuk aerosol. Pada pasien dengan status imun yang menurun, setelah kuman mengadakan infasi

M.szulgai, M.xenopi, M.simiae dan M.melmoense jarang menimbulkan infeksi paru. Belakangan ini ternyata MAI merupakan kuman patogen penting pada pasien AIDS, dimana infeksi MA disseminatamerupakan infeksi bakteri paling sering pada AIDS, yaihr 20-40 Yo. Adanya infeksi dengan MAI menandakan manifestasi lanjut penyakit AIDS, danbiasanyamunculbilajumlah CD4 tuun di bawah 100/mm.

MANIFESTASI KLINIS Gejala paru yang disebabkan infeksi mikobakterium atipik sama dengan yang disebabkan M.tuberculosae. Gejala yang ditimbulkannya bervariasi dan tidak spesifft, misalnya batuk produktif, sesak, malaise, lemah, batuk darah. Gejalagejala konstitusional seperti demam, keringat malam, berat badan menurun kurang menonjol. Pemeriksaan fisis dan

hasil laboratorium tidak spesifik. Kelainan fisis yang

didapat sering hanya dari penyakit paru yang

melalui mukosa usus halus dapat terjadi penyebaran.

mendasarinya. Gambaran radiologis juga tidak spesifik. Bisa dijumpai rongga berdinding tipis yang menyerupai

Penyebaran kuman dari binatang ke manusia atau dari manusia ke manusia lainnya tampaknya dapat diabaikan.

tuberkulosis paru, atau inf,rltrat difus, nodular tanpa rongga

Tidak ada bukti bahwa terdapat infeksi laten dari mikobakterium atipik yang mana ini tanda khas dari M.tuberkulosis. Kuman ini di dalam tubuh dimakan oleh

makrofag dan dapat hidup di dalam sel ini untuk berkembang biak dan menyebabkan infeksi yang sistemik.

Manifestasi penyakit pada orang yang imunokompeten adalah oleh karena respon imun selular dan pembentukan granuloma. Untuk membunuh kuman ini di dalam sel tersebutuntuk mengendalikan infeksinya, diperlukan peran mekanisme imun selular seperti proliferasi CD4+ limfosit I pelepasan g interferon dan interleukin 12. Defisiensi

dan berupa bronkiektasis. Paru yang terkena sering bilateral dan jarang mengenai pleura. Pada pasien AIDS yang terinfeksi MAI gambaran klinisnya berbeda dengan pasien tanpaAIDS. Pada pasien AIDS gejala bersifat diseminata dengan gejala paru tidak jelas. Dalam keadaan ini kuman sering menyerang kelenjar limfe intra abdominal, hati, limpa, sumsum tulang dan saluran gastrointestinal. Gejala yang menonjol berupa sakit

perut dan mencret. Secara radiologis biasanya normal, walaupun kuman bisa dijumpai di saluran napas. Pada gambaran radiologis dijumpai infiltrat yang nodular dan konsolidasi.

fungsi CD4+ sel T karena infeksi HIV dan defisiensi produksi atau respons g interferon berkaitan dengan infeksi mikobakterium atipik disseminata. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Centre for Disease Control and Prevention (CDC) pada tahun 1980 diAS, didapat prevalensi mikobakterium atipik 1,8 kasus per 100.000.Prevalensi M.avium intracellulare (MAI) adalah terbanyak yaitu l,l kasus per 100.000. Tampak adanya variasi geografis, misalnya golongan M.kansasii lebih banyak ditemukan di AS bagian Tengah atau Selatan, Inggris dan Eropah daratan. MAI paling sering ditemukan di AS bagian Timur dan Selatan, Australia Barat, dan Jepang. Penyakit parv yatg disebabkan M.kansasii dan MAI nmnrnnya timbul pada usia dekade 5 atatpadausia lebih lanjut. Umumnya pasien tersebut mempunyai penyakit dasar, berupa penyakit paru obstruktif menahun, pneumokoniosis, bronkiektasis, atau tuberkulosis. Penyakit paru yang disebabkan oleh M.fortuitum dat M.chelonei lebih sering didapati pada pasien perempuan yang tidak merokok dan

tidak mempunyai penyakit dasar. Spesies kuman dari

DIAGNOSIS Penyakit paru yang disebabkan infeksi M.atipik secara anamnesis, pemeriksaan fisis, dan radiologis tidak dapat

atau sukar dibedakan dengan yang disebabkan M.tuberkulosae, sehingga menyulitkan diagnosis di samping bisa dijumpai kuman M.atipik di sputum sebagai kolonisasi dari saluran napas bawah, sehingga diagnosis harus didasarkan atas kriteria yang valid dari klinis, temuan khas dari CT Scan, temuan berulang M.atipik dari dahak atau pertumbuhan M.atipik dari biopsi paru. (Tabel 1) Bila spesimen berasal dari jaringan, maka diagnosis berdasarkan gambaran histologis yang sesuai dengan gambaran penyakit disebabkan mikobakterium dan secara

kultur didapat adanya pertumbuhan kuman.

Tes laboratorium tambahan (misalnya pemeriksaan imunologi) tidak berguna untuk diagnosis.

2265

PENYAKIT PARU I(ARENA MIKOBAKTERIUM ATIPIK

Kategori

Temuan Gejala yang cocok (misalnya demam, batuk), dan perburukan keadaan klinis (bila penyakit

Klinis

paru yang

mendasarinya

ada),

dan

penyingkiran penyakit lain. Radiologis

X foto toraks

:

infiltrat dengan atau tanpa nodul, baik persisten (> 2 bulan) atau progresif atau kavitas atau nodul-nodul multipel sendiri.

:

CT scan resolusi tinggi : nodul-nodul kecil multipel ; atau bronkiektasis multifokal,

dengan atau tanpa nodul-nodul kecil. Bakteriologis

Dahak/bilasan bronkus : paling sedikit 3 kultur positif dalam 1 tahun Hanya bilasan bronkus : paling sedikit 'l kultur positif dengan pertumbuhan sedang atau pengecatan basil tahan asam positif Biopsi paru : Kultur positif

diisolasi dan s ecura in vitro sensitif terhadap hampir semua OAT. ATS (1997) memberikan rekomendasi pengobatan yaitumemberikanlNH (300 mg), Rifampisin(600 mg) dan etambutol (25 mglkguntuk 2 bulan pertama, selanjutnya 15 mg&g) diberikan setiap hari selama 18 bulan dengan paling sedikit 12 bulan kultur sputum negatif. Dengan regimen pengobatan ini didapat konversi dahak hampir l00o/o

setelah 4 bulan. Sedangkan (BTS) merekomendasikan dengan Ritumpisin (600 mg), etambutol (15 mglkg) dibedkan

setiap hari selama 9 bulan dengan penambahan Klaritromisin (500-750 mg) setiap hari selama 2 bulan awal pengobatan, memberikan angka kesembuhan 90%. Bila kuman resisten terhadap Rifampisin atau pasien tidak bisa

mentolerir Rifampisin, pengobatan kembali sebaiknya berdasarkan tes resistensi dan pertimbangkan reseksi dengan tindakan bedah.

'

Diagnosis memerlukan criteria klinis tambah 1 kriteria radiologis dan 1 kriteria bakteriologis CT = Computed Tomography (Dikutip dari Non Tuberculous Mycobacteria, Harrison's Principles of lnternel Medicine, 16th Ed, 2oos)

PENGOBATAN

Penyakit yang disebabkan M.atipik tanpa pengobatan cenderung berkembang secara perlahan-lahan, meskipun ada juga yang menetap untuk waktu lama. Dibandingkan dengan tuberkulosis paru, pada M.atipik ini didapat adanya

korelasi yang kurang sesuai antara hasil tes resistensi secara in vitro denganhasil pengobatan. Hasil pengobatan ternyata lebih baik dibandingkan hasil uji resistensi. Bila hasil yang dicapai dengan kemoterapi tidak memuaskan maka bisa dilakukan operasi secara reseksi. Tindakan

Mikobakterium Avium-intraselu Iar (MAl) Kuman ini juga merupakan M.atipikyang sering dijumpai. Pada pengobatan penyakit yang disebabkan kuman ini, laporan terdahulu menyebutkan bahwa obat-obatan saja hanya memeberikan hasil konversi dahak 20-25Yo saja. Beberapa peneliti menganjurkan penggunaan gatiungan 4 atau 5 macam obat sekaligus dan dengan ini didapat hasil konversi dahak sampai 7 5Yo. ATS (1997) merekomendasikanpemberian Klariftomisin (2 kali 500 mg sehari), atau Azitromisin (600 mg 3 kali seminggu), Rifampisin (600 mg sehari) atau Rifabutin (300

mg sehari) dan etambutol(2S mgkgperhari pada 2 bulan

pertama

diikuti l5 mg/kg perhari). Pertimbangkan

dapat menimbulkan penyakit fistula

penambahan Streptomisin 500-1000 mg 2 atau 3 kali seminggu untuk 2 bulan pertama. Lama pengobatan 18 bulan atau sampai 12 bulan setelah konversi sputum negatif

bronkopleural, terutama bila dahak dengan BTA masih positifpada waktu operasi dilakukan. Lobektomi misalnya lebih baik daripada reseksi segmental dan bila keadaan

20%. Reseksi bedah adalah suatu pilihan untuk pasien dengan penyakit terlokalisasi yang tidak toleran atau tidak

reseksi

ini

dengan kultur. Rata-rata terjadi kegagalan terapi atau relaps

memungkinkan dapat ditangguhkan sampai dahak negatif. Sampai sat ini belum ada kesepakatan tentang regimen pengobatan mana yang paling ampuh dalam pengobatan infeksi paru yang disebabkan M.atipik ini. Bila infeksinya

respon terhadap terapi banyak obat tersebut.

tidak menimbulkan gejala atau secara klinis stabil, pemberian obat antituberkulosis (OAT) dapat

mg sehari, etambutol 15 mg/kg sehari, dengan atautanpa Rifabutin (150-300 mg) sehari. Rifabutin bisa berinteraksi dengan obat antiretroviral. Pengobatan diberikan selama paling sedikit 12 bulan dan jumlah sel T CD4 > 100/ml

ditangguhkan dengan pengobatan hanya ditujukan pada penyakit yang mendasari saja. Bila penyakit menjadi progresif atau pasien dengan gejala menjadi lebih hebat maka diberikan OAT. Salah satu dari beberapa regimen pengobatan yanglazim dapat dipilih sesuai dengan situasi dan kondisi pasien. Hendaknya dipertimbangkan bahwa

infeksi yang disebabkan mikobakterium atipik membutuhkan seni tersendiri dalam pemilihan regimen pengobatan.

Pada pasien AIDS yang mendapat infeksi MAI diseminata (ATS 1997) menganjurkan terapi dengan Klaritromisin (500 mg 2 kali sehari) atatAzitromisin 500

selama

> 6 bulan sewaktu dapat pengobatan highly

active antiretroviral therapy (HAART)

Mikobakterium Fortuitum dan Mikobakterium Chelonae Kuman ini termasuk ke dalam M.atipik yang rapid growers, yang resisten terhadap semua OAT standard. Tetapi kuman M.fortuitum biasanya sensitif terhadap amikasin,

Micobakterium Kansasii

siprofloksasin, sefositin, imipenem, sulfonamida dan

M.kansasii merupakan mikobakterium atipik yang sering

doksisiklin. Sedang M.chelonae subspecies abscessus

2266

hanya sensitif terhadap amikasin, sefositin dan kira-kira 30o/o terhadap eritromisin. M.chelonae subspesies chelonae lebih sensitif terhadap eritromisin dan kadangkadang berespons terhadap doksisiklin. Oleh karena 90% dari kuman yang diisolasi akan sensitif terhadap amikasin dan sefositin, maka pada pasien yang pamnya diinfeksi oleh kedua kuman di atas, saat ini

iv amikasin (5-7,5 mglkgtiap l2jam) dan sefositin (3 g tiap 6 jam) dengan kalaritromisin oral (2 kali 500 mg sehari) dan pengobatan diteruskan selama 6-12 bulan. dianjurkan

REFERENSI

PI,'LMOIIOI.OGI

Dahlan Z. Mycobacteriosis and Phyllanthus Herba, dalam kumpulan Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Nasional ke-7 PERALMUNI Bandung, 2004, C.2.1-C.2.10. Iseman MD. Enviromental Mycobacteria. In: Hanley ME, Welsh C editors. Current Diagnosis & Treatment in Pulmonary Medicine, McGraw Hill, Inc; 2003, 409-13. O'Brien RJ. The epidemiology of nontuberculous mycobacterial disease. In: Clinics in Chest Medicine 1988; 10 (3).407-16. Rosihan A, Tanjung A. Penyakit paru yang disebabkan Mikobakteria atipik (Diagnosis Pengobatan). Medika; 1987. 687-93. Tanjung A, Rosihan A. Pemeriksaan basil tahan asam dengan metode Kubica di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran UISU. Dalam: J. Suharno, R.Utji, Warsa CH (eds). Mikrobiologi di Indonesia. Kumpulan Makalah Konas III. 1981. 167-69. Utji R, Harun H. Kuman tahan asam. Buku Ajar Mikrobiologi

Kedokteran. 1993. l9l-99. American Thoracic Socief. Diagnosis and treatment of disease caused

by non-tuberculosis mycobacteria. Am Rev Respir Dis 1990; 142:940-53

American Thoracic Society. Diagnosis and treatment of disease caused by non-tuberculosis mycobacteria. Am J Respir Crit Care 1997; 156:S1-S25. 972-7 6.

Von Reyen CF. Nontuberculous Mycobacteria. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL editors. Harrison's Principles of Intemal Medicine 16s ed, Vol.l, McGraw

Hill, Inc; 2005, Ztrckerman JM, Brennam PJ. Infection due to Mycobacterium other than tuberculosis. In: Fishman A (ed). Pulmonary disease and Disorders. 2"d ed Companion Handbook. McGraw Hill, Inc; 1994. 366-7 4.

362 PENYAKIT PARU I(A.RENA JAMUR Azhar Tanjung, E.N. Keliat

PENDAHULUAN

Secara klinis gejala mikosis paru sangat bervariasi, mulai dari tanp a gejalaberarti sampai dengan gejala paling

Perhatian terhadap penyakit yang disebabkan oleh infeksi jamur makin hari makin meningkat. Kasus-kasus infeksi jamur juga makin banyak ditemukan. Hal ini disebabkan karena perhatian dan teknik pemeriksaan laboratorium

berat yang bisa menimbulkan kematian. Gejala utama yang sering dijumpai adalah sama dengan gejala penyakit paru

yang makin maju. Makin banyak antibiotik yang ditemukan dan dipergunakan dalam pengobatan, ternyata di samping

dada, demam.

yang lainnya yaitu berupa batuk, batuk kronik dengan dahak, kadang-kadang sesak napas, batuk darah, sakit

bermanfaat untuk mengobati dan mencegah penyakit infeksi, juga menimbulkan makin berkembangnya jamur

KLASIFIKASI

saprofit dalam tubuh manusia. Hal ini juga dapat menimbulkan gangguan dan penyakit. Faktor predisposisi antara lain pemakaian obat-obat kortikosteroid, imunosupresif, dan sitostatika. Dengan

Di alam ini sebenarnya dijumpai sekitar 50.000-200.000 spesies jamur, dan sebagian besar umumnya bersifat saprofit. Jamur patogen dijumpai 175 spesies dan hanya 20 spesies saja sebagai penyebab mikosis sistemik.

penggunaan obat-obat tersebut bukan hanya jamur patogen yang lebih mudah menginfeksi, tetapi juga jamur saprofit. Belakangan dengan makin meningkatnya jumlah pasien AIDS, maka pasien AIDS yang mendapat infeksi

Berdasarkan jamur penyebab, Riddell membuat klasifikasi mikosis paru : 1). Aktinomisetes (aktinomikosis,

jamurjugameningkat. Penyakit paru karena jamur (mikosis paru) termasuk ke dalam mikosis sistemik. Kekerapan dan masalah yang ditimbulkan mikosis paru ini juga meningkat. Di Medan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan tenyata dijumpai 3,35olo mikosis paru pada pasien dengan gejala batuk kronik dan berdahak. Penyebab terbanyak adalah C an di da a I b i c an s 3 6,67 %o, kem.odrarr A sp e r gil I us fu m i gat u s 27,3 3yo, C an d i d a sp. dan A.fl avzs mas ing-m asing I l,6Yo, Rhizopus sp. 5,5 6%q A.niger 3,7 0o/o, Mucor sp. 1,8 5Yo dan Nocardia sp. 1,85o/o.Berbagai faktor predisposisi timbulnya mikosis paru pada penyelidikan tersebut umumnya terdiri atas beberapa gabungan faktor pencetus, di antararrya adalah tuberkulosis, penyakit paru obstruktif kronik, diabetes melitus, keganasan, gagal ginjal laonik dan obat antibiotik, kortikosteroid, dan sitostatika. Pada penelitian lain, dtdapat72,Slo/o jamrtr dari 13 I pemeriksaan dahak dan pada waktu itu tidak dinyatakan apakah jamur tersebut sebagai penyebab infeksi.

2267

nokardiosis), 2). Ragi dan jamur menyerupai ragi (kriptokokosis, kandidosis), 3). Jamur berfilamen (aspergillosis, mukormikosis), 4). Jamur dimorfik (histoplasmosis, koksidiodomikosis, blastomikosis, sporotrikosis)

Berdasarkan apakah mikosis paru disebabkan jamur patogen atau oporhrnistis dibagi : . Mikosis paru yang disebabkan jamur patogen, bisa bersifat: - Endemik yaitu histoplasmosis, blastomikosis, koksidioi-domikosis dan parakoksidioidomikosis.

.

-

Nonendemikyaitukriptokokosis

Disebabkan jamur oprtunis yaitu aspergilosis, kandidosis, nokardiosis, mukormikosis.

Infeksi jamur oprhrnis, yang umrmrnya didapati pada pasien dengan defisiensi sistim pedahanan tubuh temyata lebih sering terjadi dibandingkan infeksi jamur patogen. Blastomikosis, parakoksidio-domikosis, koksidiodomikosis

2268

PI,'LMOIiOI.OGI

belum pernah dilaporkan di Indonesia. Tulisan ini selanjutnya lebih difokuskan kepada mikosis paru yang mungkin dijumpai dan pernah dilaporkan di Indonesia.

HISTOPLASMOSIS

Histoplasmosis disebabkan jamur Histoplasma kapsulatum, bersifat dimorfft, hidup dalam tanah yang

mengandung kotoran burung, ayam, kelelawar. Histoplasmosis hidup dan tumbuh sangat baik pada suhu antara 22"C-29oC, dengan kelembaban udara berk:tsar 67 %o87%. Manusia mendapat inferksi dengan cara terhirup spora

jamur histoplasmosis. Tidak ditularkan dari manusia ke manusia lainnya maupun dari hewan ke manusia atau sebaliknya. Di Amerika Serikat, H.capsulatum adalah penyebab paling banyak mikosis paru. Di beberapa negara

bagian, penyakit endemik, ditunjukkan dengan tes histoplasmin positif mencap ai 80%o-9 5%. Infeksi dengan jamur ini telah dilaporkan dari banyak negara,Di Indonesia Irma SM telah mencatat ada 17 pasien histoplasmosis sejak tahun 1932 sampaidengan I 988.

H

istoplasmosis Paru Kronik

Biasanya dijumpai pada orang dewasa denganumurparuh baya riwayat penyakit paru kronik, misalnya tuberkulosis paru. Juga didapati pada pasien dengan diabetes melitus dan penyakit mikosis paru lainnya. Pada foto dada, kedua lobus atas paru sering terlibat, dengan adanya kaveme. Sering disangka tuberkulosis paru.

Histoplasmosis Diseminata Histoplasmosis diseminata biasanya timbul pada pasien dengan penyakit yang disertai gangguan fungsi sel T (misalnya penyakit Hodgkin), pasien yang mendapat sitostatik, kortikosteroid, pasien AIDS dan transplantasi organ. Secara klinis sering didapati seperti penyakit demam sistemik dan tidak spesifik. Dijumpai demam tinggi, hepatosplenomegali, limfadenopati, pansitopenia, dan lesi di mukosa dapat terjadi berupa lesi ulseratif di mulut, lidah, orofaring. Organ lain yang bisa kena adalah meningen dan endokardium. Pada pemeriksaan radiologis, foto dada kemungkinan dapat normal, walaupun kadang-kadang didapati gambaran

infiltrat difus.

Manifestasi klinis penyakit histoplasmosis ini merupakan penyakit endemik, dan kebanyakan tidak memberikan gejala. Masa inkubasi sekitar l4haridengan gambaran klinis kadang-kadang menyerupai tuberkulosis.

Gambaran klinis histoplasmosis paru dibagi atas : l). Asimtomatik, 2).Histoplasmosis akut, 3). Histoplasmosis kronik, 4). Histoplasmosis diseminata

DIAGNOSIS

.

Kasus histoplasmosis primer banyak yang belum

.

terdiagnosis. Pada histoplasmosis akut, pemeriksaan kultur jamur sangat sulit.

. Histoplasmosis Asimtomatik Pada daerah endemik 6isa dijumpai sekitar 90% penduduk

yang terinfeksi H.capsulatum, tidak menimbulkan gejala, walaupun tes histoplasmin positif.

Histoplasmosis Paru Akut Infeksi primer bisa terjadi misalnya pada sekelompok orang yang berkunjung ke daerah endemik. Setelah masa inkubasi bisa lebih 90%o dari mereka menunjukkan gejala klinis tidak khas, dan dianggap sebagai flu biasa. Bila spora

jamur yang terhirup cukup banyak, akan menimbulkan sesak napas, sianosis, sakit dada, rash, eritema multiforme, dan sakit pleura. Stadium akut ini akan berakhir dalam 3

minggu dengan terjadi penyembuhan sempurna. Hipersensitivitas kulit timbul 4-8 minggu setelah gejala pertama. Young (1975) telah menganalisis gejala 45 kasus

histoplasmosis paru akut

di

Panama yaitu berupa

demam(93%o),malaiseumum(77%),sakttdada(45%o),baik

(35%), menggigil (22%), sakit kepala (20%), sakit otot 07YiA.

Pemeriksaan radiologis bisa berupa gambaran infiltrat kecil yang tersebar, pembesaran kelenjar hilus, dan bila sudah lama bisa dijumpai kalsifikasi.

Pemeriksaan langsung dari dahak tidak banyak membantu. Tes kulit histoplasmin berguna untuk kepentingan epidemiologi. Tes serologik membantu diagnosis yang dilakukan secara fiksasi komplemen atau imunodifusi untuk mengukur antibodi terhadap H.capsulatum sangat berguna, tetapi negatif palsu terjadi pada pasien imunokompromais dan positif palsu pada pasien dengan blastomikosis, koksidioidomikosis

dan parakoksidioido-mikosis di samping antibodi terbentuk lama (4-8 minggu) setelah infeksi akut. Deteksi antigen dari polisakarida histoplasmosis merupakan pendekatan penting untuk diagnosis kasus

yang berat seperti histoplasmosis diseminata dan histoplasmosis paru akut ekstensif, dimana dijumpai di urinnya 90Yo dan 75%o berntrut dari pasien tersebut. Tetapi sensitivitas tes ini turun menjadi l0-25Yo pada kasus kronik dan subakut yang terlokalisasi. Antigen ini bisajuga dijumpai di serum, cairanbilasanbronkus, tetapi sensitivitas dan spesifitasnya lebih tinggi di urin daripada serum. Negatif palsu dapat terjadi pada

blastomikosis, parakoksidioidomikosis dan infeksi Penicillium mameffei. Antigen histoplasma ini menurun bila ada perbaikan terhadap terapi dan suatu peninggian menunjukkan penyakit yang kambuh kembali, sehingga

2269

PEI\TYAKIT PARU KARENA JAMUR

bisa digunakan sebagai monitor pengobatan.

Aspergilosis

Diagnosis dengan pendeteksian antigen tersebut perlu

Aspergilosis merupakan penyakit yang disebabkan jamur Aspergillus. Di alam ini banyak dijumpai spesies aspergilus dengan Konidia atau spora yang berhamburan diudara sehingga gampang dihirup melalui saluran napas. Dijumpai lebih dari 300 spesies jamur ini, tetapi yang sering menimbulkan infeksi pada manusia adalah A. fumigatus, kadang -kadang A.niger, A.flavus, A.clavatus dan A. nidulans jugabisa menimbulkan infeksi. Jamur ini tumbuh dalamjaringan sebagai hifa, sama seperti yang timbul dalam media laboratorium. Spora jamur secara teratur dihirup oleh manusia dan kemudian jamur ini mengadakan kolonisasi dipermukaan mukosa. Jamur dapat menembus jaringan hanya bila ada gangguan sistem imun baik lokal atau sistemik. Dengan demikian aspergilus ini tidak dapat menembus jaringan pada orang normal. Bergantung kepada status imunologis dan genetik A.fumigatus dapat menimbulkan berbagai manifestasi di paru, di antaranya berupa kolonisasi saprofit, menimbulkan infeksi dan manifestasi alergi imunologi.

dipastikan dengan kultur atau histopatologi karena adanya positif palsu tersebut. Pada histoplasmosis kronik dengan kaverne, kultur

jamur dari dahak biasanya positif. Tes serologik juga sering positif. Pada histoplasmosis diseminata, diagnosis sulit, karena

gambaran penyakit tidak spesifik. Yang membantu adalah antigen di urin dijumpai 90%o dari pasiennya. Kultur darah atau sumsum tulang positif leblh 75% kasus, dan tes serologi disini kurang berguna dengan adanya imunosupresi yang mendasarinya. Pada pasien dengan status imun menurun, tes serologi tidak banyak membantu. Pada pasien AIDS yang disertai histoplasmosis diseminata, bronchoalveol ar lav age (BAL) penting untuk pemeriksaan dahak langsung dan kultur.

Diagnosis pasti histoplasmosis dibuat dengan pemeriksaan langsung dengan pengecatan dan kultur yang positif dari spesimen jaringan.

Cryptococcus Penyakit ini disebabkan oleh jamur Cryptococcus neoformans, suatujamur berkapsul golongan ragi, yang telah dikenal sebagai jamur patogen bagi manusia sejak Bussse dan Busckhe dapat mengisolasi jamur ini pada

ini

didapat diseluruh dunia.

Pada tahr.rn 1950 Emmons di

Amerika Serikat telah berhasil

tahun 1894. Jamur mengisolasi jamur

ini dari tanah, terutama

MANIFESTASI KLINIS Al lergic Bronchopu I m o nary Aspergi I losi s (ABPA) Ini merupakan penyakit yang sering muncul dan ternyata lebih banyak dari dugaan semula. Penyakit ini dijumpai pada 8% pasien asma dan sampai2Oo/opasien asma kronik

yang

yang masuk rumah sakit di Inggris. Kasus pertamaABPA

Di Indonesia, Jan Susilo

dilaporkan pada tahun 1952 oleh Hinson di Inggris,

juga telah dapat mengisolasi jamur ini dari tanah yang mengandung kotoran merp ati di Jakarta. Sedangkan kasus Cryptococcus juga telah dilaporkan di Indonesia

sedangkan dari Amerika baru dilaporkan padaa tahun I 965 . Mulanya penyakit ini jarang terjadi di Amerika, tetapi sejak I 5 tahun kasus semakin meningkat baik pada orang dewasa

pada tahun 1917, 1926,1948 walaupun berakhir dengan kematian.

maupun anak-anak. Di Medan (Indonesia) ABPA ini juga

Biasanya infeksi jamur ini terjadi melalui alat pernapasan. Infeksi primer di paru jarang menimbulkan

A pada tahun 1987, kemudian dilaporkan beberapa kasus lagi. Patogenesis penyakit ini belum sepenuhnya dimengerti. Mungkin reaksi imunologis tipe I dan III

mengandung kotoran merpati.

gejala klinis. Gejala yang timbul menyerupai infeksi paru subakut dengan batuk. Kebanyakan akan menimbulkan meningitis subakut atau kronik. Sekurangnya 50% pasien adalah dengan status imun memrnrn. Di antara pasienAlDS

yang mendapat infeksi oportunis, jamtr Cryptococcus neoformans ini merupakan penyebab ketiga sesudah Pneumocystis dan Candida. Foto dada menunjukkan tidak spesifik dan bervariasi, bisa berupa infiltrat, konsolidasi lobus, abses, nodul,

bentuk milier, adenopati hilus, atau efusi pleura. Diagnosis ditegakkan dengan terlihatnya Crypto

co

ccus

pada pemeriksaan histopatologi atau terisolasinya Cryptococcus dari dahak, cairan bilasan bronkus, atau jaringan paru tetapi kultur dahak ini hanya I 0% kasus yang positip, dan tes antigen serum Cryptococcus hanya

sepertiga yang positip, sedangkan tes mempunyai arti.

kulit tidak

dijumpai dan pertama sekali dilaporkan oleh Tanjung

mempunyalperan.

Dengan meningkatnya kewaspadaan terhadap penyakit ini, di samping adanya perbaikan serta kemajuan kriteria diagnosis dan teknik tes serologi, penyakit ini sudah mempunyai kriteria secara klinis, imunologis, radiologis yang tingkatnya dapat dari asma ringan sampai timbulnya fibrosis paru. Manifestasi klinis ABPA sangat bervariasi, berupa badan tidak enak, demam, sesak, sakit dada, wheezing, dahak yang purulen dan batuk darah. Berdasarkan pemeriksaan klinis, laboratories dan serologis sudah dikenal 5 macam staging ABPAyaitu akut, remisi,

eksaserbasi berulang, asma dependen terhadap kortikosteroid dan fibrosis paru. Pada staging akut, pasien memberikan gejala demam, batuk, sesak, dan sulit mengeluarkan dahak. Laboratorium menunjukkanpeninggian serum IgE dan eosinofilia. Secara

2270

radiologi dapat dijumpai infiltrat di paru. Pada keadaan akut ini diberikan kortikosteroid sampai timbul remisi. Pada staging remisi, pasien tidak rriemberikan gejala sedangkan secara laborotorium menunjukkan penurunan

IgE dan eosinofil darah. Pemeriksaan radiologis menunjukkan resolusi infiltrat di paru. Tidak diperlukan kortikosteroid pemeliharaan. Pada staging eksaserbasi berulang, pasien dapat memberikan gejala asma yang memerlukan kortikosteroid jangka panjang. Laboratorium menunjukkan peningkatan

PIJLN'ONOI.OGI

sering tidak bisa sebagai diagnosis karena infeksi lain atau keadaan-keadaan lain dapat memberikanm gambaran yang sama. High resolution CT s can ja:uhlebih membantu untuk

diagnosis. Pada awal bisa dijumpai suatu nodul kecil di dasar pleura dengan suafu "halo sign" yaifu suatu area yang atenuasinya lemah mengelilingi lesi noduler tersebut.

Temuan selanjutnya berupa rongga dari lesi noduler tersebut berupa radiolusen seperti bulan sabit yang

menggambarkan jaringan paru yang

infark

dan

Aspergilosis Kronik Nekrotizing Penyakit ini merupakan bentuk antara aspergiloma

dan

kontraksi.

IgE sedangkan gambaran radiolo gis berubah-ubah. Pada staging fibrosis paru, pasien memberikan gejala sesak napas dan manifestasi fibrosis paru. Faal paru menunjukkan adanya obstruksi dan atau restriksi yang reversibel. Peninggian IgE menunjukkan aktivitas penyakit

masih berlanjut. Pemeriksaan radiologis menunjukkan ad,anya fibrosis paru. Pada staging ini diperlukan kortikosteroid j angka panj ang.

Aspergiloma

aspergilosis invasif. Pada penyakit ini, jamur tumbuh dan berkembang dalam suatu rongga udara yang tidak normal pada organ paru yang juga tidak normal. Infeksi menyebar secara perlahan, menembus dan menghancurkan daerah paru yang berdekatan, dijumpai lesi yang berongga pada lobus atas paru menyerupai gambaran tuberkulosis atau bisa infrlhat kronik yang berlanjut membentuk aspergiloma atau suatu lesi mulai sebagai aspergiloma dan menjadi

Aspergiloma ini biasanya terjadi pada pasien yang sudah mempunyai kelainan anatomis pada paru, misalnya ada kavitas karena tuberkulosis paru, bronkiektasis, abses paru, tumor paru. Pada penyakit ini temyata jamur tidak menembus sampai ke jaringan parenkimparu. Secara klinis,

invasifsecara lokal. Gejala yang ditimbulkannya dapat berupa sesak napas, batuk kronik, berdahak, berat badan menurun, keringat malam, demam, dan batuk darah intermiten

hemoptisis (batuk darah) merupakan gejala utama yang dapat masif sehingga mengancam jiwa pasien. Selain batuk darah dapat juga dijumpai gejala penyakit

DIAGNOSIS ASPERGILOSIS

dasarnya. Secara radiologis tampak kelompok hifa dan sporajamur

memberikan bayangan radioopak, sedangkan rongga kavitas radiolusen. Dengan demikian akan terlihat suatu bayangan bulat lonjong radioopak yang dikelilingi bayangan radiolusen yang disebut fungus ball.

Aspergilosis lnvasif Aspergilosis pneumonia merupakan penyakit infeksi jamur paru yang banyak dijumpai pada pasien yang mempunyai kelainan sel neutrofil baik dalam jumlah, fungsi atau keduanya. Apabila spora jamur terhirup oleh seseorang dengan gangguan sistim imun, maka dalam keadaan ini jamur dapat menimbulkan jaringan nekrosis yang tersebar di paru. Di samping itu timbul pula jaringan infark yang

multipel. Hal demikian menggambarkan adanya kecenderungan jamur aspergilus menyerbu pembuluh darah sehingga bisa menimbulkan abses di otak, hati, lesi dikulit, dan lainnya, tetapi 60Yo pasiennya penyakitnya hanya terlokalisasi di paru. Karena yang diserangnya pembuluh darah, bisa menyebabkan hemoptisis ringan atau perdarahan paru yang fatal. Secara klinis penyakit ini seperti infeksi paru akut, misalnya berupa demam, batuk dan sesak napas, kadangkadang disertai batuk darah dan nyeri pleura. Radiografr dada tidak normal pada 90% pasien, tetapi

Aspergilosis Bronkopulmoner Alergik (ABPA) ditegakkan berdasarkan kriteria yang terdiri atas : 1). asma, 2). eosinofilia (> 1000/mm3), 3). tes kulit positip terhadap A.Fumigatus, 4). presipitin antibodi terhadap Aspergilus, 5). radiologis adanya infi lhat, 6). serum Ig E total meninggi, 7). bronkiektasis proksimal dan 8. Ig E dan Ig G spesifik meninggi terhadap A.Fumigatus. Gambaran lain termasuk hasil kultur positip terhadap Aspergilus Fumigatus dan reaksi tes kulit tipe lambat positip.

Asperhgiloma, diagnosisnya ditegakkan secara radiologis. Dimana kelompok hifa dan spora jamur memberikan b ayanganradioopak, sehingga terlihat suatu

bayangan bulat lonjong radioopak yang dikelilingi bayangan radiolusen yang disebut fungus ball. Dengan CT scan, aspergiloma lebih mudah terlihat. Ig G antibodi terhadap antigen aspergilus di serum pasiennya hampir

semuanya positip. Diagnosis dugaan aspergilosis invasive sering dibuat berdasarkan dugaan klinis dan temuan radiologi terutama high resolution CT scan atau terdeteksinya antigen galactomannan di serum, tetapi

sensitivitasnyh rendah pada permulaan penyakit

dan positip palsu bisa terjadi terutama

pada

anak-anak. Diagnosis pasti dijumpainya hifa pada pemeriksaan histopatologi dan dipastikan dengan kultur dari spesimen tersebut.

227t

PEITYAKIT PARU KARENA JAMUR

Kandidosis

Infeksi pada paru diperkirakan terjadi setelah inhalasi

Penyakit ini disebabkan oleh jamur spesies kandida. Jamur kandida ini dapat hidup sebagai komensal dalam mulut, saluran cerna dan vagina, tetapi pada keadaan tertentu

jamur, kemudian terjadi trombosis pada pembuluh darah paru dan infark. Penulis telah mengisolasi 4 Mucor dan Rhizopus dari 60 pasien yang disangka mikosis paru,

dapat berubah menjadi patogen dan menyebabkan

sedang Pradono dkk di Jakarta telah mengisolasi dari dahak 2 Mucor dari254 kasus mikosis paru.

kandidosis. Di antara semuajamurkandida (7 spesies yang

terdapat pada manusia), Candida albicans dianggap

paling patogen dan menjadi penyebab terbanyak kandidosis. Di Medan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, juga didapatkan Candida albicans ini sebagai penyebab terbanyak mikosis paru. Bahkan pada pasien tuberkulosis paru yang diselidiki dijumpai sampai 36,36Yo, sedangkan dalam dahak pasien penyakit paru dijumpai

40,45oh, Oleh karena

itu sudah sepantasnya

mempertimbangkan adanya infeksi jamur (C.albicans) yang

menyertai pasien tuberkulosis paru. Infeksi jamur ini terbanyak terjadi secara endogen, walaupun infeksi eksogen dapat juga terjadi melalui inhalasi spora.

Manifestasi klinis kandidosis paru bisa berupa : . Jamur dapat hidup sebagai saprofit di saluran napas, misalnya pada penyakit paru kronik. . Kandidosis primer, timbul karena aspirasi jamur dari rongga mulut. Manifestasi klinis dapat berupa pneumonia atau dapat menyebar ke berbagai organ.

.

. .

Infeksi sistemik yang melibatkan berbagai organ. Primer umumnya berasal dari ekstra paru misalnya dari saluran pencemaan yang menyebar secara hematogen ke paru. Kelainan di paru berupa nodul dengan diameter sangat kecil sampai l0 mm. Selain ke paru, jamur dapat menyebarke hati, jantung, limpa, dan ginjal. Kadang-kadang berupa misetoma. Kandidosis bronkopulmoner alergi. Penulis di Medan baru mendapatkan I kasus dengan manifestasi sebagai

asma, tes kulit positip terhadap C.albicans, IgE meninggi, IgE spesifik terhadap C.albicans meninggi dan dijumpai C.albicans dalamjumlah banyak di dalam

Nokardiosis Penyakit ini disebabkan oleh Nocardia sp. N.astroides dijumpai diseluruh dunia di dalam tanah. Jamur ini bersifat aerob, gram positif, dan bakteri berfilamen yang bersifat tahan asam parsial. Kasus nokardiosis ini tidak banyak. Di Amerika Serikat kurang lebih 500- 1000 kasus per tahun, yang terbanyak disebabkan N.astroides. Sedangkan di

Indonesia tampaknya kasus ini juga sangat jarang dijumpai, terbukti Pradono dan Rasmin Rasyid berdasarkan survei yang dilakukan selama I tahun hanya mendapatkan I kasus. Sedangkan di Medan juga hanya didapatkan I kasus selamapenelitian 5 tahun. Baikkasus yang dijumpai oleh Pradono dan di Medan sama-sama telah diobati

sebagai tuberkulosis untuk bertahun-tahun. Ternyata dengan pengobatan selama beberapa bulan dengan obat sulfa tampak perbaikan. Diagnosis bisa dite gakkan berdasarkan dijumpainya Nokardia dalam dahak. Dan sekret bronkus pasien.

PENGOBATAN JAMUR PARU

. . .

dahak. Secara radiologis bisa dijumpai bercak-bercak segmental

atat adajuga berupa gambaran abses. Diagnosis dapat

.

dipastikan dengan biopsi paru. Namun, oleh karena biopsi paru berupa tindakan invasif yang berbahaya, maka dengan

ini anti jamur yang digunakan pada pengobatan mikosis sistemik adalah amfoterisin B, flusitosin, ketokonasol, itrakonasol dan flukonasol. Untuk infeksi jamur sistemik yang tidak mengancam jiwa, pilihan jatuh pada flukonasol. Bila flukonasol tidak aktif terhadap jamur penyebab, dipilih itrakonasol. Untuk infeksi jamur sistemikberat, mula-mula diberikan amfoterisin B sebagai terapi awal, kemudian baru diteruskan dengan flukonasol atau itrakonasol. Khusus terhadap aspergilosis bronkopulmoner alergik dan kandidosis bronkopulmoner alergik diberikan kortikosteroid oral. Pengobatan hendaknya dilanjutkan untuk beberapa bulan. Aspergilomatidakmemerlukanpengobatan,tetapibila terjadi batuk darah yang hebat dengan cadangan fungsi paru cukup memadai dilakukan operasi berupa reseksi Pada saat

dijumpainya kandida dalam jumlah banyak dan berulang dalam dahak dan sekret bronkus sudah memberi dugaan kuat bahwa jamur ini merupakan penyebab.

.

Mukormikosis

. Terapi histoplasmosis paru akut

paru.

Mukormikosis adalah infeksi jamur yang disebabkan oleh orde Mucorales yang terdiri atas Rhizopus, Absidia, Mortierella dan Mucor. Di alam, jamur ini cukup tersebar luas. Jamur ini jarang menimbulkan infeksi pada orang normal. Infeksi baru terjadi bila ada faktor predisposisi, berupa penyakit diabetes melitus, leukemia, gagal ginjal, atau luka bakar.

pada pasien

imunokompeten umumnya tidak diperlukan karena sembuh sendiri, kecuali pasien dengan demam persisten

lebih 3 minggu, gejala-gejala lebih I bulan, kelainan radiografi difus, arau hipoksemia bisa diberikan itrakonasol oral (200-400 mglhari), selama 6-l2minggu. Untuk histoplasmosis paru kronik atau diseminata lebih cocok dengan amfoterisin B deoksikolat (0,7-1,0 mgl

2272

PULMONOI.OGI

kf,han). Setelah terjadi perbaikan klinis ganti dengan itrakonasol oral 12-18 bulan. Pasien HIV atau

.

.

imunosupresi perlu terapi pemeliharaan itrakonasol oral (200 mg/hari). Formula lipid dari amfoterisin B (3 mg/kg,trari) bisa dipakai pada pasien tidak toleran terhadap amfoterisin B konvensional (Tabel 1). Pengobatan untuk aspergilosis dapat dilihat pada Tabel2.

Untuk penyakit paru karena kriptokokkosis pada pasien dengan imunosupresi beri amfoterisin B (0,7-1,0 mg/kg sehari) atau liposomal amfoterisin B (4-5 mgkgsehari) secara iv selama 2 minggu dan sampai gejala membaik, dilanjutkan flukonasol (400 mg,lhari) selama 8 minggu kemudian flukonasol (200 mg/hari) seumurhidup, atau sebagai altematifberi itrakonasol400 mglhari selama 8

minggu setelah pemberian amfoterisin B, kemudian 200 mg,/hari itrakonasol sebagai pemeliharaan, sedangkan

pada pasien yang normal sebelumnya bisa respon dengan flukonasol (400 mg/hari) selama 6-12 btlan, Jenis Penyakit Pulmonari akut Pulmonari kronik Diseminata Penderita imunokompeten, penyakitnya kurang berat Perburukan cepat, penyakit berat, terlibat susunan saraf pust, infeksi HIV atau imunokompromais lain

Pengobatan Lebih Cocok Tidak ada Itrakonazol Itrakonazol

Amfoterisin

Alternatif Amfoterisin Amfoterisin

B

. B B

Ganti ke itrakonazol setelah 2 minggu bila membaik dan stabil secara klinik

* Amfoterisin B diberikan i.v. : 0,5 mg/kg tiap hari selama 10-12 minggu. Dapat juga dipakai liposomal amfoterisin B i v (3-5 mg/kg tiap hari) Itrakonazol diberikan 2kali200 mg sehari selama 6-12 bulan, kecuali pada penderita AIDS diberikan seumur hidup. Pada histoplasmosis paru akut dapat diberikan itrakonazol (200 mg/hari) dengan maksud memperpendek perjalanan penyakit, walaupun efeknya belum teruji. (Dikutip dari Harrison's Principles of lnternal Medicine 16th ed,2005).

Jenispenyakit ["Jlfl""At:[ Fungus ball di paru Aspergilosis bronkopulmoner

Pembedahan

Glukokortikoid jangka pendek

Alternatif Untuk hemoptisis embolisasi Profi laksis itrakonasol

alergik

Aspergilosis invasif *

Varikonasol, liposomal atau amfoterisin B

Amfoterisin B koloidal dispersi atau kompleks lipid, itrakonasol, atau

konvensional

kaspofungin

'Dosis varikonasol i.v : 6 mg/kg 2 kali sehari untuk 2 dosis, kemudian 4 mg/kg 2 kali sehari kemudian 2 kali 200 mg oral. Dosis liposomal amfoterisin B i.v : 5 mg/kg sehari. Dosis Amfoterisin B konvensional i.v: 1,0-1,5 mg/kg sehari. Dosis amfoterisin B koloidal dispersi i.v:6 mg/kg sehari. Dosis amfoterisin B lipid kompleks i.v. : 5 mg/kg sehari Dosis itrakonasol i.v : 200 mg 2 kali sehari untuk 4 dosis, kemudian 200 mg sehari. Dosis kaspofungin : 70mg 1 kali, kemud-ian 50 mg sehari. (Dikutip dari Harrison's principle of internal medicine 16'" ed, 2005)

sebagai alternatifbisa dengan itrakonasol (400 mg/hari). Untuk kandidosis paru diberikan amfoterisin B i.v : 0,50,7 mgkgsehari selama 2-4 minggt,atau flukonasol.

REFERENSI Arth Nana. Pulmonary mycosis. Medical Progress 1995 ;22:75-23. Aini S. Antijamur sistemik. Farmakologik dan penggunaan terapi. Konas III PMKI Jakarta 1995.1-9. Bennet JE. Fungal and Algal Infectious in Kasper DL, Fauci AS, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, Harrison's Principles of Intemal Medicine editors, 16h ed, vol 1, The McGraw-Hill Companies, Inc USA, 2005;1176-86. Dietrich PJ, Pugin. Ragamey C. Disseminated histoplasmosis and AIDS in Switzerland. Lancet 1986;27:752 Fraser RG, Pare JAP, Pare PD, Fraser RS, Genereux GP Mycotic and antimycotic pleuropulmonary infection. In: Diagnosis of Disease ofthe Chest: 3d ed. Philadelphia: WB Saunders Co;1989.94010 16. Fishman JA. Fungal infections of the lung in Fishman AP, Ellas JA,

Fishman JA, Grippi MA, Kaisar LR, Senior RM editors, Fishman's Manual of Pulmonary Diseases and Disorders, 3'd ed, The McGraw-Hill Companies,Inc USA,2002;820-63. Frey D, Oldfield R, Britger RC. Colour Atlas of Pathogenic Fungy.l979.12-6.

Hy RC. Fungal infection. In: Medicine Intemational 1988;3: 22039

Horan TC, Culfer D, Jarvis W et al. Pathogens causing nosocomial infection. Preliminary data from the national nosocomial infection surveillance system. The Antimicrobe News Letters. September 1988;3:2-5.

Halde C, Hollander H. Infectious disease. Mycotic. In: Schroeder S, IGupp MA, Tierney R, McPhees (eds). Current Medical Diag-

nosis

&

Treatment. Int.Ed.Lange Medical Book;1989.995-

003. Irma SMD.Berbagai kasus histoplasmosis di Indonesia tahun 19321

Lama pengobatan yang optimal untuk aspergilosis invasiftidak diketahui, tetapi direkomendasikan sampai penyakitnya secara klinis sembuh. Dengan profilaksis itrakonasol oral2kali 200 mg sehari pada aspergilosis

bronkopulmoner alergik mengurangi pemakaian glukokortikoid dan eksaserbasi berkurang. Khusus terhadap aspergilosis bronkopulmoner alergik dan kandidosis bronkopulmoner alergik, diberikan kortikosteroid oral, pengobatan hendaknya diberikan beberapa bulan.

1988.Medika 1990,4(16) l2-8. Jan Susilo.Mikosis sistemik;penyakit yang semakin menonjol.Konas III PAMKI.Jakarta 1995 Pradono G, Chandrasasmita G, Soeprihatin SD, Sulaeman JR, Kartane gara D. Nocardiosis pulmonum. MKl. I 97 4 ;l -2 :2'7 2 - 5 Pradono Q Rasmin R, Soprihatin SD, Sulaeman JR, Kartanegara D. A survey on lung mycosis.MKl 1976 ;3-4:862-7 Pradono G Dumilah S.Jamur paru-paru dan pengobatarurya.KPPlK

X FKUI

1979;514-8

Proia LA, Fungal Pneumonias in Hanley ME, Wels CH, Current Diagnosis & Treatment in Pulmonary Medicine, The McGrawHill Companies, Inc USA,2003 ;385-397.

2273

PENYAKIT PARU KARENA JAMUR

Rosihan

A, Tanjung A, Nasution K.Candida albicans dalam

dahak

yang disangka menimbulkan infeksi paru. Naskah lengkap KOPAPDI VI Jakarta 1984:1943-7 Susilo J, Kartanegara D. Isolasi histoplasma capsulatum dari kelelawar di Jawa barat.MKl, 1973;78:-122-3 Soubani AO, Chandrasekar PH. The clinical specfrum ofPulmonary

Aspergillosis, Chest 2002;

121 : 1988-99.

UCLA Conference:Mucormycosis.Ann

Intern Med I 980;

93

(Part

1):93-1 68. Tanjung A, Rosihan A, Janis J.Jamur dalam dahak pasien tuberculosiS paru.Naskah lengkap KOPAPDI VI Jakarta 1984:2001-5

Tanjung A.Mikosis paru infeksi jamur sistemik yang layak diperhatikan.Suatu penelitian deskriptif selama 5 tahun di Medan.Dalam briku Simposium Penetalaksaan Infeksi Jamur Terbaru: Medan;1993.1-12

Tanjung A, Rosihan A, Kamarul N.Penelitian jamur dari dahak pasien selama 3 tahun (1980-1982).Dalam: Kumpulan naskah lengkap

KONAS III IDPI;1983.178-82 Tanjung A.Allergic Bronchopulmonary Aspergillosis.Dalam

:

Simposium Penyakit Alergi:Medan;1991.34-46. Tanjung A.Aspergillosis bronkopulmoner allergic'Dalam: Simposium Penatalaksaan Asma Secara Holistik dan Makalah Bebas:Manado; 1991. p.72-81. Tanjung A. Allergic bronchopulmonary aspergillosis earlier diagnosis is needed for preventing end stage fibrotic lung.In press l 995. Yonng RV, Atcom CZ, Eleve EA, Masterrali AV' Acute pulmonary

histoplasmosis

in the Isthmus of Panama. Arch Int

Med. I 957; 100:430-5

363 FIBROSIS KISTIK (CTSTIC FIBROSIS) Alwinsyah A, E.N. Keliat, Azhar Tanjung

heterogen dengan gambaran patobiologik yang

Kadar klor dalam keringat pasien Fibrosis Kistik > 60 mmoVl, dimana pada pasien non-klasik kadarnya lebih rendah (60-90 mmoVl) dibandingkan pada pasien yang klasik (90-l l0 mmol/l). Lebih dari itu, hasil tes kadang-

mencerminkan mutasi pada gen regulator transmembrana frbrosis kistik (cystis fibros is transmembrane conductance regulator: CFTR). Kelainan ini ditemukan sebagai penyakit multisistem. Keluhan dan gejala pertamanya secara khas terjadi

kadang borderline (40-59 mmoVl) atau normal ( 15oZ

dan simtomatik dapat dilakukan pemasangan tube torakostomi. Tindakan pleurodesis dengan talk, tetrasiklin,

doksisikline dan bleomisin dapat mencegah rekurensi pneumotoraks dan dapat menutup fistula bronkopleura.

Pneumotoraks pada Perjalanan Udara Insidensi pneumotoraks pada perjalanan udara komersial

belum diketahui karena belum adatya standarisasi kegawatan medis pada penerbangan. Dalam pengamatannya selama Av i at

i

o

n

2 tahun (1986-1988) Federal n (F AA) memer lks a 2.3 22

A ds m i n i s t r a t i o

kegawatan yang terjadi selama penerbangan, ternyata

REFERENSI Embran, P, 2001. Torakoskopi Medis, Pertemuan Ilmiah Paru Milenium 2001, Malang, hal : 136-143. Frye, M.D dan Sahn, S.A, 1999, Pneumothorax and Air Travel, Uptodate 12.2. Light, R.W, 2002, Primary Spontaneous Pneumothorax, Uptodate 12.2.

Light, R.W 2003 Causes and Management of Secondary Spontaneous Pneumothorax, Uptodate 72.2. Loddenkemper, R dan Frank, W 2003, Pleural Disease, dalam G.J. Gibson, D.M. Geddes, U. Costabel, P.J. Sterk, B. Corrin, Respiratoru Medicine, third edition, vol 2 pg : ll84-I937, Saunders.

Netter, F.H., 1979. Respiratory System, dalam Matthew B. Divertie, The Ciba Collection of Medical Illustration, vol. 7. Stark, P, 2002, lmaging of Pneumothorax, Uptodate 12.2. Tietjen, P.A dan Sahn, S.A, 2002, Pneumothorax in HlV-infected Patients, Uptodate 12.2.

372 SLEEP APNEA (GANGGUAN BERNAPAS SAAT TIDUR) Sumardi, Barmawi Hisjam, Bambang Sigit Ryanto, Eko Budiono

Tidur dan bernapas merupakan bagian proses fisiologis yang mendasar dalam kehidupan manusia sehari-hari' Bila

Tipe campuran (Mixed Sleep Apnea/MSlt). Kejadian MSA ini dimulai dengan CSA kemudian diikuti OSA. (Gambar 1)

proses bemapas berhenti sementara dalam beberapa menit, kehidupan manusia juga berhenti. Tidur merupakan bagian

lain dari proses fisiologis tersebut, bila terjadi gangguan pada proses tidur akan berakibat gangguan pada kualitas hidup

Apnea Obstruktif Aliran Udara

Gerakan Dada Gerakan Perut

Aliran Udara

DEFINISI

Sleep apnea adalah timbulnya episode abnormal pada frekuensi napas yang berhubungan dengan penyempitan saluran napas atas pada keadaan tidur, dapat

berupa henti napas (apnea) atau menurunnya ventilasi (hypopnea). Ada tiga tipe apnea/hipopnea yaitu:

Tipe obstruktif (Obstructive Sleep Apnea/OSL)' Tipe ini paling sering terjadi. Keadaan ini terjadi bila ventilasi menurun atau tidak ada ventilasi yang disebabkan oklusi parsial atau oklusi total pada saluran napas atas selama paling tidak 10 detik tiap episode yang terjadi. Episode henti napas (apnea) sering berlangsung antara 10 detik sampai 60 detik.

Tipe sentral (Central Sleep Apnea/CSA). Tipe ini lebih jarang terjadi. Ciri khas dari tipe ini adalah menurunnya frekuensi napas atau henti napas akibat menurunnya ventilasi atau tak ada ventilasi selama paling tidak 10 detik atau lebih. Keadaan ini abnormal bila terjadi lebih dari 5 kali perjam. Penyebab utamanya adalah kelainan pada sistem

Apnea Sentral

Gerakan Dada Gerakan Perut apnea syndrc_me,N

jl9l

J M"j_2992t31].

.-1T!:1.9ra "-lJtvlseep Gambar 1. Polisomnogram OSAdan CSA, Diikuti Arousal pada Keadaan Tidur Tipe Apnea Obstruktif (Obstructive Sleep Apnea/ _.

osA) EPIDEMIOLOGI Pada bangsa kaukasia, pria usia pertengahan prevalensi sebesar 4olo danperempuar.2o/o.Bangsa cina di Hongkong pria usia pertengahan sebesar 4o/o dan petemptat 2oh' iopulasi di atas usia 65 tahun prevalensinya lebih dari t0%.

PATOFISIOLOGI OSA merupakan hasil dari proses dinamik penyempitan atau lumpuhny a (collaps) saluran napas Tempat paling sering terjadi obstruk dewasa adalah di belakang ovula dan ve

molle), kemudian pada oropharynx, atau kombinasi

saraf pusat yang mengatur sistem kardiorespirasi. Pada keadaan ini, sistem sarafpusat gagal mengirim impuls saraf pada sarafotot diafragma dan otot-otot pernapasan di dada'

keduanya. Patensi saluran napas atas sebagian besar diatur oleh otot-otot farin E, Yaa1diklasifikasikan menj adi

2347

2348

PTJLII'ONOOGI

2bagian: l. Otot fase inspirasi, misalnya musculus genio_

glossus yang mengatur kontraksi regular dengan menyesuaikan pada gerakan pernapasan. Fungsinya seperti diafragma. Tonus otot pada kelompok ini diatur selama periode tidur; 2. Otot yang tonus ritmiknya konstan, misalnya musculus palatinus tensi. Tonus otot ini konstan, yang dapat hilang atau menurun tonusnya pada keadaan

tidur. Tahanan pada saluran napas atas meningkat bermakna

selama tidur, dan dapat lebih meningkat bila ada faktor predisposisi yang mendukung terjadinya penutupan

adalah menentukan Indeks Massa Tubuh (IMT). Obesitas merupakan salah satu faktor risiko tet'adinya sleep apnea. Obesitas sentral perlu diukur, karena dengan IMT normal,

obesitas senhal juga salah satu dari faktor risiko sleep apnea.

Morfologi saluran napas atas dan bentuk anatomis

kraniofasial perlu diperiksa untuk ditentukan kemungkinannya menj adi faktor risiko

s

I eep

apnea. Leher

yang pendek, mikrognatia, retrognatia, ukuran skor

Mallampati sangat berhubungan dengan OSA (Gambar2).

saluran napas, atau terjadi peningkatan beban pada otototot dilator faringeal. Lumpuhnya (collaps) saluran napas atas terjadi bila tekanan negatif yang dibuat oleh otot-

otot pernapasan lebih besar dari kemampuan otot_otot yang berfungsi melebarkan saluran napas atas. Periode apnea (tak bernapas), biasanya diakhiri dengan bentuk arousal dari tidur, di mana otot-otot yang berperan pada dilatasi saluran napas atas mulai bekerja normal dan aliran udara pernapasan kembali normal. proses arousal selama periode tidur berakibat proses tidur mengalami fragmentasi, kadang pasien bisa terbangun mendadak. Saturasi oksigen dapat menurun lebih dari 3oh, akrbat obstruksi saluran napas lebih dari 80%o. pada hipopnea, obstruksi jalan napas berkisar antara 3Ooh sampai 50% dengan penurunan saturasi oksigen lebih dari 3%. Kebanyakan pasien mengalami keadaan henti napas (apnea) antara 20 sampai

3

0 kej adian perj am dan bisa

lebih

dai 200 kali permalam. Keadaan ini menjadi penyebab utama hipersomnolen pada pasiennya. Faktor risiko OSA,

Sumber lt/allampati SR. Clinj€l dgns to pedid diffidlt tredreal intubation Can Anaesth Soc J 1983;30(3

pt 1 ):316-3i

7

Gambar 2. Klasifikasi mallampati tentang kelainan orofaring

Pengukuran saturasi oksigen selama tidur malam dengan oksimetri, dapat digunakan untuk menguji apakah te4adi sleep apneapada seorang pasien dengan gangguan

tidur. Walaupun demikian, sepertiga pasien OSA tidak terjadi penurunan saturasi oksigen (Gambar 3).

antara lain: obesitas, pria, usia lanjut, pemakaian obat depresan sarafpusat seperti alkohol dan sedatif, saluran

napas atas yang sempit; seperti mikrognathia dan retrognathia, hipotiroidisme atau akromegali, serta genetik dan

familial.

100

oxvoen saturition

90 19

("k) ;; 50

Snoring

GAMBARAN KLINIS

Supine

Position

o

s

Kebanyakan pasien dikirim ke

klinik oleh karena mendengkur keras, gangguan tidur (sleep choking),

Sumber : Flemons WW Obstructive steep apnea,N Engl J Med 2OO2;347:499-5Os

dilaporkan keluarganya ada henti napas (apnea) saat tidur,

Gambar 3. Pola saturasi oksigen pada seep apnea berat

dan gerakan-gerakan abnormal saat tidur, nokturia. Keluhan yang sering terjadi antara lain rasa kantuk terus menerus pada siang hari (hipersomnolen), gangguan

dengan Polisomnografi nokturnal yang dilakukan di

konsentrasi, sakit kepala pagi hari, gangguan intelektual,

gangguan personalitas dan pergaulan, depresi dan penurunan libido.

DIAGNOSTIK

Skala tidur dari Epworth sering digunakan untuk mengetahui kuantitas dari derajat gangguan tidur pada seorang pasien sleep apnea. Pemeriksaan fisik yang penting

Diagnostik baku untuk menentukan OSA adalah klinik sleep apnea. Alat ini menggunakan kombinasi dari elektroensefalografi untuk mencatat gelombang listrik saraf pusat, elektro-okulografi untuk mencatat gerakan mata, oksimetri untuk mencatat saturasi oksigen, monitor holter unhrk mencatat rekaman jantung, dan elektromiografi untuk mencatat gerakan otot pernapasan selama keadaan tidur malam, dan monitor posisi tidur. Parameter yang dihasilkan adalah hasil dari penghitungan terjadinya periode apnea

dan hipopnea disebut Indeks Apnea Hipopnea (AHI). Indeks normalnya adalah kurang dari 5 kejadian perjam.

2349

SIEEP APNH, (GANGGUAN BERNAPAS SAAT TIDUR)

Dinyatakan OSA bila AHI lebih dari 5 kali perjam. Polisomnografi dengan pelalatan monitor yang lebih sederhana dapat dilakukan di rumah. Alat ini digunakan selama 4 jam tidurmalam. Penilaian polisomnogram meliputi berhentinya aliran udara minimal l0 detik dengan gerakan napas masih berjalan (OSA), berhentinya aliran udara dengan diikuti juga berhentinya gerakan napas (CSA), dan campuran keduanya.

Derajat

Osa

Gangguan

lndeks

Saturasi Oz (%)

ResPirasi (lgr) Ringan Sedang Berat

5-1 5 1

6-30 >30

>85 65-84
View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF