PAPDI 290-324 Metabolik Endokrin
March 28, 2017 | Author: Edward Arthur Iskandar | Category: N/A
Short Description
Download PAPDI 290-324 Metabolik Endokrin...
Description
290 SINDROM METABOLIK Sidartawan Soegondo, Dyah Purnamasari
Di US, peningkatan kejadian
PENDAHULUAN
obesitas mengiringi Prevalensi metabolik. prevalensi sindrom peningkatan
Pada tahun 1988, Reaven menunjukkan konstelasi faktor
sindrom metabolik pada populasi usia > 20 tahun sebesar 25Yo dan pada usia > 50 tahun sebesar 45%o. Pandemi
risiko pada pasien-pasien dengan resistensi insulin yang dihubungkan dengan peningkatan penyakit kardiovaskular yang disebutnya sebagai sindrom X. Selanjutnya, sindrom X ini dikenal sebagai sindrom resistensi insulin dan akhirnya sindrom metabolik. Resistensi insulin adalah suatu kondisi di mana terjadi penurunan sensitivitas jaringan terhadap kerja insulin sehingga terjadi peningkatan sekresi insulin sebagai bentuk kompensasi sel beta pankreas. Resistensi insulin terjadi beberapa dekade sebelum timbulnya penyakit diabetes mellitus dan kardiovaskular lainnya. Sedangkan sindrom resistensi insulin atau sindrom metabolik adalah
sindrom metabolik juga berkembang seiring dengan peningkatan prevalensi obesitas yang terjadi pada populasi Asia, termasuk Indonesia. Studi yang dilakukan di Depok
(2001) menunjukkan prevalensi sindrom metabolik menggunakan kriteria National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel III (NCEP-ATP III)
dengan modifikasi Asia Pasifik,
(2004) melaporkan prevalensi sindrom metabolik sebesar 13,l3oh dan menunjukkan bahwa kriteria Indeks Massa Tubuh (IMT) obesitas >25 kglm2 lebih cocok untuk diterapkan pada orang Indonesia. Penelitian di DKI Jakarta pada tahun 2006 melaporkan prevalensi sindrom metabolik yang tidak jauh berbeda dengan Depok yaitu 26,3Yo dengan obesitas sentral merupakan komponen terbanyak (59,4%). Laporan
kumpulan gejala yang menunjukkan risiko kejadian kardiovaskular lebih tinggi pada individu tersebut. Resistensi insulin juga berhubungan dengan beberapa keadaan seperti hiperurisemia, sindrom ovarium polikistik dan perlemakan hati non alkoholik.
Peneliti Budhiarta
2004
Bali
Denpasar D. Sangsit D. Sembiran
Arifin
2003
N (usia)
Daerah
Tahun
Bandung Medical check up
terdapat
pada 25.7Yo pria dan 25Yo wanita. Penelitian Soegondo
Prevalensi (%) (ATP lll Asia)
888 354
20,3 24,8
443 90 (30-60)
7,8
Komponen sindrom metabolic Terbanyak (%) J Kolesterol HDL (39,1)
19,2
22,94 (bukan modifikasi)
497 C)
190 (> 50)
'16,6
1230 (> 30)
20,3
100 (-)
34
Obesitas sentral Hipertrigliseridemia (85,29)
12't9 (21-82)
33,4
Obesitas sentral (58,2)
Suhartono
2005
Semarang (poli RS) Pekajangan
1
Pranoto
2005
Surabaya (general check up)
Adam
2002-2004
Makasar (general check up)
Hipertensi (89,7)
Dikutip dari Purnamasari. Gambaran Resistensi lnsulin Subyek dengan Saudara Kandung DM tipe 2. Tesis 2006.
186
1866
prevalensi sindrom metabolik di beberapa daerah di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.
Dibandingkan dengan komponen-komponen pada sindrom metabolik, obesitas sentral paling dekat untuk memprediksi ada tidaknya sindrom metabolik. Beberapa studi di wilayah Indonesia termasuk Jakarta menunjukkan obesitas sentral merupakan komponen yang paling banyak ditemukan pada individu dengan sindrom metabolik. Meski mendapat sebutan sindrom, namun secara r[num
penatalaksanaan sindrom metabolik sejauh ini masih merupakan penatalaksanaan masing-masing komponennya. Masih menjadi perdebatan apakah sebutan sindrom ini masih memiliki arti klinis mengingat tidak ada perbedaan penatalaksanaan pada tiap komponennya. Pada akhirnya tampilan klinis sindrom metabolik ini
MEf,ABOLIKENDOIRIN
istilah sindrom resistensi insulin tidak digunakan lagi. Dua tahun kemudian, pada tahun 2005, International Diabetes Federation (IDF) kembali memodifikasi laiteriaATP III. IDF menganggap obesitas sentral sangat berkorelasi dengan
resistensi insulin, sehingga memakai obesitas sentral sebagai kriteria utama. Nilai cut-offyang digunakan juga dipengaruhi oleh etnik. UntukAsia dipakai cut-offlingkar perut > 90 cm untuk pria dan > 80 cm untuk wanita. Beberapa kriteria sindrom metabolik dapat dilihat pada Tabel2. Kriteria yang diajukan oleh NCEP-ATP III lebih banyak digunakan, karena lebih memudahkan seorang klinisi untuk mengidentifikasi seseorang dengan sindrom metabolik. Sindrom metabolik ditegakkan apabila seseorang memiliki sedikitnya 3 (tiga) kriteria.
sangat dipengaruhi oleh faktor etnik dan herediter, sehingga pola klinis di setiap populasi berbeda. PATOFISIOLOGI KRITERIA Sejak munculnya sindrom resistensi insulin, beberapa organisasi berusaha membuat kriteria sindrom metabolik supaya dapat diterapkan secara praktis klinis sehari-hari. Secara umum, semua kriteria yang diajukan memerlukan minimal 3 kriteria untuk mendiagnosis sondrom metabolik atau sindrom resistensi insulin. World Health Organiza-
tion (WHO) merupakan organisasi pertama yang mengusulkan kriteria sindrom metabolik pada tahun 1998. Menurut WHO pula, istilah sindrom metabolik dapat dipakai pada penyandangi DM mengingat penyandang
DM juga dapat memenuhi kriteria tersebut dan menunjukkan besarnya risiko terhadap kejadian kardiovaskular. Setahun kemudian pada tahun 1999, the European Group for Study of Insulin Resistance (EGIR) melakukan modifikasi pada kriteria WHO. EGIR cenderung menggunakan istilah sindrom resistensi insulin. Berbeda
dengan WHO, EGIR lebih memlih qbesitas sentral dibandingkan IMT dan istilah sindrom resistensi insulin tidak dapat dipakai pada penyandang DM karena resistensi insulin merupakan faktor risiko timbulnya DM. Pada tahr.rn 2001, National Cholesterol Education Program (NCEP) Adult Treatment Panel III (ATP III) mengajukan kriteria
baru yang tidak mengharuskan adanya komponen resistensi insulin. Meski tidak pula mewajibkan adanya komponen obesitas sentral, kriteria ini menganggap bahwa obesitas sentral merupakan faktor utama yang mendasari sindrom metabolik. Nilai cut-offlingkar perut diambil dari National Institute of Health Obesity Clinical Guidelines; > 102 cmuntukpriadan > 88 cmuntukwanita. Untuketnik tertentu seperti Asia, dengan cut-off lingkar perut lebih rendah dari AIP III, sudah berisiko terkena sindrom metabolik. Pada tahun 2003, American Association o/ Clinical Endocrinologrsls (AACE) memodifikasi definisi dari AIP III. Sama seperti EGIR, bila sudah ada DM, maka
Pengetahuan mengenai patofisiologi masing-masing komponen sindrom metabolik sebaiknya diketahui untuk dapat memprediksi pengaruh perubahan gaya hidup dan medikamentosa dalam penatalaksanaan sindrom metabolik.
Obesitas sentral Obesitas yang digambarkan dengan indeks massa tubuh
tidak begitu sensitif dalam menggambarkan risiko kardiovaskular dan gangguan metabolik yang terjadi. Studi menunjukkan bahwa obesitas sentral yang digambarkan oleh lingkar perut (dengan cut-off yang berbeda antara jenis kelamin) lebih sensitif dalam memprediksi gangguan
metabolik dan risiko kardiovaskular. Lingkar perut menggambarkan baik jaringan adiposa subkutan dan vis-
ceral. Meski dikatakan bahwa lemak viseral lebih berhubungan dengan komplikasi metabolik dan kardiovaskular, hal ini masih kontroversial. Peningkatan obesitas berisiko pada peningkatan kejadian kardiovaskular. Variasi faktor genetik membuat perbedaan dampak metabolik maupun kardiovaskular dari suatu
obesitas. Seorang dengan obesitas dapat tidak berkembang menjadi resistensi insulin, dan sebaliknya resistensi insulin dapat ditemukan pada individu tanpa obes (lean subjects). Interaksi faktor genetik dan lingkungan akan memodifikasi tampilan metabolik dari suatu resistensi insulin maupun obesitas. Jaringan adiposa merupaka sebuah organ endokrin yang aktif mensekresi berbagai faktor pro dan anti inflamasi seperti leptin, adiponektin, Tumor nekrosis factor d (TNF-
a), Interleukin-6 (IL-6) dan resistin. Konsentrasi
adiponektin plasma menurun pada kondisi DM tipe 2 dan obesitas. Senyawa ini diprcaya memiliki efek antiaterogenik pada hewan coba dan manusia. Sebaliknya, konsentrasi
leptin meningkat pada kondisi resistensi insulin dan obesitas dan berhubungan dengan risiko kejadian
1867
SINDROMMEIABOUK
Kriteria Klinis
wHo (1e98)
ATP
EGIR
il
(2001)
AACE (2003)
Resistensi insulin
TGT, GDPT, DMT2, atau sensitivitas insulin menurun* Ditambah 2 dari kriteria berikut
lnsulin plasma > persentil ke-75 Ditambah dua dari kriteria berikut
Tidak ada, tetapi mempunyai 3 dari 5 kriteria berikut
badan
Pria: rasio pinggang panggul > 0,90 Wanita: rasio pinggang panggul > 0,85 dan/atau IMT > 30
LP > 94 cm pada pria atau > 80 cm pada wanita
LP > 1 02 cm pada pria atau > 88 cm pada wanitaf
TG > 150 mg/dL dan/atau HDL-C < 35 mg/dL pada pria atau < 39 mg/dl pada wanita
TG > 150 mg/dl dan/atau HDL-C < 39 mg/dl pada pria atau wanita
TG
> 140/90 mm Hg
> 140/90 mmHg atau
> 130i85 mmHg
> 130/85 mmHg
2 110 mg/dl
TGT atau GDPT (tetapi bukan diabetes)
Berat
TGT atau GDPT Ditambah salah satu dari kriteria berikut berdasarkan penilaian klinisIMT > 25 kg/m'
kg/m2
Lipid
2150 mg/dl
HDL-C < 40 mg/dl pada pria atau < 50 mg/dL pada wanita
TG > 150 mg/dL dan HDL-C < 40 mg/dl pada pria atau < 50 mg/dL pada wanita
!DF (2005) Tidak ada
LP yang
meningkat (spesifik tergantung populasi) ditambah dua dari kriteria berikut TG > 150 mg/dl atau dalam pengobatan TG HDL-C < 40 mg/dL pada pria atau < 50 mg/dL pada wanita atau dalam pengobatan HDL-
c Tekanan
darah
Glukosa
dalam pengobatan hipertensi
TGT, GDPT atau DMT2
TGT atau GDPT (tetapi bukan diabetes)
(termasuk penderita
> '130 mm Hg sistolik atau > 85 mm Hg diastolik atau dalam pengobatan hipertensi > 100 mg/dL (termasuk diabetes)
diabetes)f
Lainnya
Kriteria resistensi insulin lainnya$
Mikroalbuminuria
DMT2 menunjukkan diabetes melitus tipe 2; LP, lingkar pinggang; lMT, indeks massa tubuh; dan TG, trigliserida, semua singkatan lainnya terdapat dalam teks. * Sensitivitas insulin diukur pada kondisi euglikemia hiperinsulinemia, ambilan glukosa di bawah kuartil terendah sebagai latar belakang populasi yang diteliti
ng in.
04
ovarium polikistik, gaya hidup yang kurang banyak gerak, usia lanjut dan etnis tertentu yang rentan terhadap diabetes melitus tipe 2. Dikutip dari Grundy et al. Diagnosis and management of metabolic syndrome. circulation 2005
kardiovaskular tidak tergantung dari faktor risiko tradisional kardiovaskular, IMT dan konsentrasi
CRP.
Sejauh ini belum diketahui apakah pengukuran pengukuran marker hormonal dari jaringan adiposa lebih baik daripada
pengukuran secara anatomi dala memprediksi risiko kejadian kardiovaskular dan kelainan metabolik yang terkait.
Resistensi lnsulin Resistensi insulin mendasari kelompok kelainan pada
berkorelasi erat dengan pemeriksaan standar, sehingga dapat disarankan untuk mengukur resistensi insulin. Bila melihat dari patofisiologi resistensi insulin yang melibatkan
jaringan adiposa dan sistem kekebalan tubuh, maka pengukuran resistensi insulin hanya dari pengukuran glukosa dan insulin (seperti rumus HOMA dan QUICKI) perlu ditinjau ulang. Oleh karenanya, penggunaan nrmus ini secara rutin di klinis belum disarankan maupun disepakati.
sindrom metabolik. Sejauh ini belum disepakati pengukuran yang ideal dan praktis untuk resistensi insulin. Teknik clamp
Dislipidemia
merupakan teknik yang ideal namun tidak praktis untuk klinis sehari-hari. Pemeriksaan glukosa plaama puasa juga tidak ideal mengingat gangguan toleransi glukosa puasa hanya dijumpai pada 1 0% sindrom metabolik. Pengukuran Homeostasis Model Asessment (HOMA) dan Quantitative Insulin Sensitivity Checklndex (QUICKI) dibuktikan
Dislipidemia yang khas pada sindrom metabolik ditandai dengan peningkatan trigliserida dan penurunan kolesterol HDL. Kolesterol LDL biasanya nornal, namun mengalami perubahan struktur berupa peningkatan small dense LDL Peningkatan konsentrasi trigliserida plasma dipikirkan akibat peningkatan masukan asam lemak bebas ke hati
1868
METABOLIKENT'OI(RIN
sehingga terjadi peningkatan produksi trigliserida. Namun
studi pada manusia dan hewan menunjukkan bahwa peningkatan trigliserida tersebut bersifat multifaktorial dan tidak hanya diakibatkan oleh peningkatan masukan asam lemakbebas ke hati. Penurunan kolesterol HDL disebabkan peningkatan trigliserida sehingga terjadi transfer trigliserida ke HDL.
Namun, pada subyek dengan resistensi insulin dan konsentrasi trigliserida normal dapat ditemukan pemrmnan kolesterol HDL. Sehingga dipikirkan terdapat mekanisme
lain yang menyebabkan penurunan kolesterol HDL disamping peningkatan trigliserida. Mekanisme yang dipikirkan berkaitan dengan gangguan masukan lipid post prandial pada kondisi resistensi insulin sehingga terjadi gangguan produksi Apolipoprotein A-I (Apo A-1) oleh
hati yang selanjutnya mengakibatkan penurunan kolesterol HDL. Peran sistem imunitas pada resistensi insulin juga berpengaruh pada perubahan profil leipid pada subyek dengan resistensi insulin. Studi pada hewan
menunjukkan bahwa aktivasi sistem imun akan menyebabkan gangguan pada lipoprotein, protein transport, reseptor dan enzim yang berkaitan sehingga terjadi
perubahanprofil lipid.
Peran sistem imunitas pada resistensi insulin Inflamasi subklinis kronik juga merupakan bagian dari sindrom metabolik. Marker inflamasi berperan pada progresifitas DM dan komplikasi kardiovaskular. C reactive protein (CRP) dilaporkan menjadi data prognosis tambahan tentang keparahan inflamasi pada subyek wanita sehat dengan sindrom metabolik. Namun, belum didapatkan kesepakatan alur diagnosis yang mampu menggabungkan peningkatan CRP, koagulasi, dan
gangguan fibrinolisis dalam memprediksi risiko
yang telah memiliki sindrom metabolik, diperlukan pemantauan yang terus menerus dengan modifikasi komponen sindrom metabolik yang ada. Penatalaksanaan sindrom metabolik masih merupakan penatalaksanaan dari masing-masing komponennya (Tabet 3) Penatalaksanaan sindrom metabolik terutama bertujuan
untuk menurunkan risiko penyakit kardiovaskular aterosklerosis dan risiko diabetes melitus tipe 2 pada pasien yang belum diabetes. Penatalaksanaan sindrom metabolik terdiri atas 2 pilar, yaitu tatalaksana penyebab (berat badan lebih/obesitas dan inaktifitas fisik) serta tatalaksana faktor risiko lipid dan non lipid.
Obesitas dan Obesitas Sentral Pemahaman tentang hubungan antara obesitas dan sindrom metabolik serta peranan otak dalam pengaturan
energi, merupakan titik tolak yang penting dalam penatalaksanaan klinik. Pengaturan berat badan merupakan dasar tidak hanya bagi obesitas tapi juga sindrom metabolik. Mempertahankan berat badan yang lebih rendah dikombinasi dengan pengurangan asupan kalori dan peningkatan aktifitas fisik merupakan prioritas utama pada penyandang sindrom metabolik. Target penurunan berat badan 5-10% dalam tempo 6-12 btlan, dapat dicapai dengan mengurangi asupan kalori sebesar 500-1000 kalori per hari ditunjang dengan aktifitas fisik yang sesuai. Aktifitas fisik yang disarankan adalah selama 30 menit atau lebih setiap hari. Untuk subyek dengan
komorbid penyakit jantung koroner, perlu dilakukan evaluasi kebugaran sebelum diberikan anjuran jenis-jenis olah raga yang sesuai.
Pemakaian obat-obatan dapat berguna sehingga dipertimbangkan pada beberapa pasien. Dua obat yang dapat digunakan dalam menurunkan berat badan adalah
sibutramin dan orlistat. Dengan mempertimbangkan
kardiovaskular.
peranan otak sebagai regulator berat badan, sibutramin
Hipertensi Resistensi insulin juga berperan pada pathogenesis hipertensi. Insulin merangsang sistem saraf simpatis meningkatkan reabsorpsi natrium ginjal, mempengaruhi transport kation dan mengakibatkan hipertrofi sel otot polos pembuluh darah. Pemberian infus insulin akut dapat
menyebabkan hipotensi akibat vasodilatasi. Sehingga disimpulkan bahwa hipertensi akibat resistensi insulin terjadi akibat ketidakseimbangan antara efek pressor dan depressor. The Insulin Resistance Atherosclerosis Study melaporkan hubungan antara resistensi insulin dengan hipertensi pada subyek normal namun tidak pada subyek dengan DM tipe 2
TERAPI
dapat menjadi pertimbangan walaupun tanpa mengesampingkan kemungkinan efek samping yang mungkin timbul. Cara ke{anya di sentral memberikan efek mengurangi asupan energi melalui efek mempercepat rasa kenyang dan mempertahankan pengeluaran energi setelah berat badan turun dapat memberikan efek tidak hanya
untuk penurunan berat badan namun juga mempertahankan berat badan yang sudah turun. Demikian pula dengan efek metabolik, sebagai efek dari penurunan beratbadanpemberian sibutramin setelah 24 minggu yang
disertai dengan diet dan aktifitas fisik, memperbaiki konsentrasi trigliserida dan kolesterol HDL.Terapi pembedahan dapat dipertimbangkan pada pasien-pasien yang berisiko serius akibat obesitasnya.
Hipertensi Hipertensi merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskular.
Untr.rk mencegah
komplikasi kardiovaskular pada individu
Hipertensi juga mengakibatkan mikroalbuminuria yang
1869
SINDROMMETABOUK
Rekomendasi terapi
Target dan tujuan terapi
Pencegahan jangka panjang penyakit KVR dan pencegahan (terapi) diabetes melitus tipe 2
Faktor risiko gaya hidup Obesitas abdomen Mengurangi berat badan sebanyak 77o hingga 10% selama satu tahun pertama terapi. Sesudah itu, teruskan penurunan berat badan sebisa mungkin dengan tujuan akhir mencapai berat badan yang diinginkan (lMT 100 mg/dl,
mulailah terapi obat
penurun LDL.
Bila dalam pengobatan kadar LDL-C > 100 mg/dL, tingkatkan terapi obat penurun LDL (mungkin memerlukan kombinasi obat penurun LDL)
Bila kadar LDL-C dasar < 100 mg/dl, mulai terapi penurun kadar LDL berdasarkan penilaian klinis (yakni penilaian yang menunjukkan bahwa pasien termasuk yang berisiko sangat tinggi)
Pasien berisiko tinggi-sedang$: < 130 mg/dl (3,4 mmol/L) (untuk pasien berisiko lebih tinggi)ll dalam kategori ini, target lainnya adalah < 100 mg/dL (2,6 mmol/L)
Pasien berisiko tinggi-sedang: terapi gaya hidup + terapi obat
penurun LDL bila dibutuhkan untuk mencapai target yang > 130 mg/dL (3,4 mmol/L)
direkomendasikan bila kadar LDL-C setelah terapi gaya hidup
Bila kadar LDL-C adalah 100 hingga 129 mg/dl, terapi penurun LDL dapat dimulai saat risiko pasien dinilai berada di kisaran atas Pasien berisiko sedangtl: < 130 mg/dl (3,4 mmol/L)
Pasien berisiko rendah#: < 160 mg/dL (4,9 mmol/L)
dari kategori risiko tersebut Pasien berisiko sedang: terapi gaya hidup + obat penurun LDL-C bila dibutuhkan untuk mencapai target yang direkomendasikan ketika kadar LDL-C: 160 mg/dl (4,1 mmol/L) setelah terapi gaya hidup diberikan Pasien berisiko rendah: terapi gaya hidup + obat penurun LpL-C bila dibutuhkan untuk mencapai target yang direkomendasikan ketika kadar LDL-C > 190 mg/dl setelah terapi gaya hidup (untuk kadar LDL-C 160 hingga 189 mgidL, obat penurun LDL bersifat opsional)
*Pasien berisiko tinggi adalah pasien dengan diagnosis ASCVD, diabetes atau risiko '10 tahun penyakit iantung koroner > 20%. Untuk penyakit serebrovaskular, t 200 mg/dl (11,1 mmol/L) Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir 2
Atau
Gejala klasik DIV + glukosa plasma puasa > 126 mg/dl (7,0 mmol/L) Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
:
Glukosa plasma 2 jam pada TTGO 200 mg/dL (11,1 mmol/L) TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air
Cara pelaksanaan TTGO (WHO 1 994): 3 (tiga) hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa 8 j am (mulai malam hari) sebelum
berpuasa paling sedikit
pemeriksaan, minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan diperiksa konsentrasi glukosa darah puasa diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa) atau 1,75 grarnlkgtsB (anak-anak), dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai diperiksa glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap
<
140mg/dl )
normal
140-200mgldL
)
toleransi glukosa terganggu diabetes
GD 2 jam pasca pem
Gambar 1. : Langkah diagnostik DM dan TGT dari TTGO Pemeriksaan penyaring dikelakan pada semua individu dewasa dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) > 25 kglm2 dengan faktor risiko lain sebagai berikut: 1) aktivitas fisik kurang, 2) riwayat keluarga mengidap DM pada turunan pertama (first degree relative),3) masuk kelompok etnik risiko tinggi (AfricanAmerican, Latino, Native American,
Asian American, Pacific Islander),4). Wanita dengan riwayat melahirkan bayi dengan berat > 4000 gram atau riwayat Diabetes Melitus Gestasional (DMG), 5). Hipertensi (tekanan darah > l4}lg0 mmHg atau sedang dalam terapi obat anti hipertensi), 6) Kolesterol HDL < 35 mg/dl dan atau trigliserida> 250 mgdL,7) wanita dengan sindrom polikistik ovarium, 8) riwayat Toleransi glukosa terganggu (TGT) atau Glukosa darah puasa terganggu (GDPT), 9) keadaan lain yang berhubungan dengan resistansi insulin (obesitas, akantosis nigrikans) dan 10) riwayat penyakit kardiovaskular. Pada penapisan dapat dilakukan pemeriksaan glukosa darah puasa atau sewaktu atau TTGO. Untuk kelompok risiko tinggi yang hasil pemeriksaan penyaringnya negatif,
pemeriksaan penyaring ulangan dilakukan tiap tahun; sedangkan bagi mereka yang berusia > 45 tahun tanpa faktor risiko, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun atau lebih cepat tergantung dari klinis masingmasing pasien. Pemeriksaan penyaring yang khusus ditujukan untuk DM pada penduduk umumnya (mass screening) tidak dianjurkan karena di samping biaya yang mahal, rencana tindak lanjut bagi mereka yang positif belum ada. Bagi mereka yang mendapat kesempatan untuk pemeriksaan
penyaring bersama penyakit lain (general check-up) adanya pemeriksaan penyaring untuk DM dalam rangkaian
istirahat dan tidak merokok
pemeriksaan tersebut sangat dianjurkan.
Hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam pasca
Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, toleransi glukosa terganggu (TGT) dan
pembebanan dibagi menjadi 3 yaitu:
1882
METABOLIKENDOKRIN
glukosa darah puasa terganggu (GDPT), sehingga dapat
ditentukan langkah yang tepat untuk mereka. Pasien dengan TGT dan GDPT merupakan tahapan sementara menuju DM. Setelah 5-10 tahun kemudian 1/3 kelompok TGT akan berkembang menjadi DM, ll3 tetap TGT dan l/ 3 lainnya kembali normal. Adanya TGT sering berkaitan dengan resistensi insulin. Pada kelompok TGT ini risiko
terjadinya aterosklerosis lebih tinggi dibandingkan kelompok normal. TGT sering berkaitan dengan penyakit kardiovaskular, hiperlensi dan dislipidemia. Peran aktif para
pengelola kesehatan sangat diperlukan agar deteksi DM dapat ditegakkan sedini mungkin dan pencegahan primer dan sekunder dapat segera diterapkan.
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan konsentrasi glukosa darah sewaktu atau konsentrasi glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes tolerasi glukosa orat (TTGO) standar. - Evaluasi Penyulit Dl\,4 - Evaluasi dan Perencanaan [,,lakan sesuai Kebutuhan
Konsentrasi
glukosa
Darah sewaktu
Bukan Belum DM DM pasti DM < 100 100 - 199 ?-200 1,3 mgl dL pada perempuan dan > 1,5 mg/dl pada laki-laki). Metformin juga dikontraindikasikan pada gangguan fungsi hati, infeksi berat, penggunaan alkohol berlebihan serta
penyandang gagal jantung yang memerlukan terapi. Pemberian metformin perlu pemantauan ketat pada usia lanjut (> 80 tahun) dimana masaa otot bebas lemaknya
Glitazone Farmakokinetik dan Farmakodinamik
Glitazone diabsorbsi dengan cepat dan mencapai konsentrasi tertinggi terjadi setelah l-2 jam. Makanan tidak
mempengaruhi farmakokinetik obat ini. Waktu paruh berkisar antara3-4 jambagi rosiglitazone dart 3-7 jambagi pioglitazon.
MekanismeKerja.
Glitazon (Thiazolidinediones), merupakan agonist peroxisome proliferator-activated receptor gamma (PPAR6) yang sangat selektif dan poten. Reseptor PPARa terdapat di jaringan target kerja insulin seperti jaringan adiposa, otot skelet dan hati. Glitazon merupakan regulator homeostasis lipid, diferensiasi adiposit, dan kerja insulin. Sama seperti metfomin, glitazon tidak menstimulasi
produksi insulin oleh sel beta pankreas bahkan menurunkan konsentrasi insulin lebih besar daripada metformin. Mengingat efeknya dalam metabolisme glukosa dan lipid, glitazon dapat meningkatkan efisiensi dan
respons sel beta pankreas dengan menurunkan glukotoksisitas dan lipotoksisitas.' Glitazon dapat merangsang ekspresi beberapa protein yang dapat memperbaiki sensitivitas insulin dan memperbaiki glikemia, seperti gluco s e transp orter-1 (GLUTl), GLUT 4, p856PI-3K dan uncouplingprotein-2 (UCP-2). Selain itu juga dapat mempengaruhi ekspresi dan pelepasan
mediator resistensi insulin, seperti TNF-6 dan leptin. Glitazon dapat meningkatkan berat badan dan edema p ada
3 - 5o/o
pasien akibat beberapa mekanisme antara lain
:
.
penumpukan lemak subkutan
.
pengurangan lemak viseral meningkatnya volume plasma akibat aktivasi reseptor
.
di perifer
dengan
PPARadiginjal edema dapat disebabkan penurunan ekskresi natrium
di ginjal sehingga terjadi peningkatan natrium dan retensi cakat. ..-
Troglitazone
Gambar 2. Sarana farmakologis dan titik kerja obat untuk pengendalian kadar glukosa darah
Rosiglitazon dan pioglitazon memiliki efek pada profrl lipid pasien. Rosiglitazon meningkatkan kolesterol LDL dan HDL namun tidak pada trigliserida. Sedangkan pioglitazon memiliki efek netral pada kolesterol LDL, menurunkan trigliserida dan meningkatkan HDL. Baik rosi maupun pioglitazon dapat menurunkan small dense LDL.
FARMAKOTERAPI PADA PENGENDAIJAN GLIKEMIA DIABETES MELITUS TIPE 2
Glitazon dapat sedikit menurunkan tekanan darah, meningkatkan fibrinolisis dan memperbaiki fungsi endotel. Penggunaan Dalam Klinik dan EefekHipoglikemia Rosiglitazon dan pioglitazon saat ini dapat digunakan sebagai monoterapi dan juga sebagai kombinasi dengan metformin dan sekretagok insulin. Kemasan rosiglitazon terdiri dari 4 dan 8 mg sedangkan pioglitazon 15 dan 30 mg. Pemakaian bersama dengan insulin tidak disarankan karena dapat mengakibatkan peningkatan berat badan yang berlebih dan retensi cairan. Secara klinik rosiglitazon dengan dosis 4 dan 8 mg/hari (dosis tunggal atau dosis
terbagi 2 kali sehari) memperbaiki konsentrasi glukosa
puasa sampai 55
mg/dl dan HbAlc sampai l,5oh
dibandingkan dengan plasebo. Sedang pioglitazon juga mempunyai kemampuan menurunkan glukosa darah bila
digunakan sebagai monoterapi atau sebagai terapi kombinasi dengan dosis maksimal45 mgldl dosis tunggal.
Monoterapi dengan glitazon dapat memperbaiki konsentrasi glukosa darah puasa hingga 59-80 mgldL dan IIbAlc 1,4-2,6oh drbandingkan dengan plasebo (ekuivalen dengan metformin dan SU).
Efek Samping dan Kontraindikasi Glitazon dapat menyebabkan penambahan berat badan yang bermakna sama atau bahkan lebih dari SU serta edema.
Keluhan infeksi saluran nafas atas (16%), sakit kepala (7,1%) dan anemia dilusional (penurunan hemoglobin (Hb) sekitar I grldl) juga dilaporkan. Insiden fraktur eksftemitas distal pada wanita pasca menopause dilaporkan meningkat. Pemakaian glitazon dihentikan bila terdapat kenaikan enzim hati (ALT dan AST) lebih dari tiga kali batas atas normal. Pemakaiannya harus hati-hati pada pasien dengan
riwayat penyakit hati. sebelumnya, gagaljantung kelas 3 dan 4 (klasifrkasi New york Heart Association,I.IYHA) dan pada edema. Meski pada hasil meta analisis dilaporkan risiko kematian akibat kardiovaskular meningkat 43o/o dan infark miokard 43Yo, belum ada simpulan yang jelas mengenai hal tersebut.
Golongan Sekretagok lnsulin Sekretagok insulin mempunyai efek hipoglikemik dengan cara stimulasi sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Golongan ini meliputi SU dan non SU (glinid).
Sulfonilurea Sulfonilurea telah digunakan untuk pengobatan DM tipe 2 sejak tahun 1950-an. Obat ini digunakan sebagai terapi
farmakologis pada awal pengobatan diabetes dimulai, terutama bila konsentrasi glukosa tinggi dan sudah terjadi
1887
relatifmurah. Berbagai macam obat golongan ini umumnya mempunyai sifat farmakologis yang serupa, demikian juga efek klinis dan mekanisme kerjanya.
Farmakokinetik dan Farmakodinamik Efek akut obat golongan sulfonilureaberbeda dengan efek pada pemakaian jangka lama. Glibenklamid misalnya mempunyai masa paruh 4 jam pada pemakaian akut, tetapi pada pemakaian jangka lama > 12 minggu, masa paruhnya memanj ang sampai 12 jam. @ahkan sampai >20 j am pada
pemakaian kronik dengan dosis maksimal). Karena itu dianjurkan unflrk memakai glibenklamid sehari sekali.
MekanismeKerja Golongan obat ini bekerja dengan merangsang sel beta pankreas untuk melepaskan insulin yang tersimpan , sehingga hanya bermanfaat pada pasien yang masih mampu mensekresi insulin. Golongan obat ini tidak dapat dipakai pada diabetes melitus tipe 1. Efek hipoglikemia sulfonilurea adalah dengan merangsang channel K yang tergantung pada AIP dari sel beta pankreas. Bila sulfonilurea terikat pada reseptor (SUR) channel tersebut maka akan terjadi penutupan. Keadaan ini akan menyebabkan terjadinya penurunan permeabilitas K pada membran sel beta, terjadi depolarisasi membran dan membuka channel Ca tergantung voltase, dan menyebabkan peningkatan Ca intrasel. Ion Ca akan terikat pada Calmodulin, dan menyebabkan eksositosis granul yang mengandung insulin. Penggunaan Dalam Klinik Beberapa obat golongan SU yang ada di Indonesia dapat dilihat pada tabel l. Semuanya mempunyai cara kerja yang serupa, berbeda dalam hal masa kerja, degradasi dan aktivitas metabolitnya. Berdasarkan lama kerjanya, SU
dibagi menjadi tiga golongan yaitu generasi pertama generasi kedua dan ketiga. SU generasi pertama adalah acetohexamide, tolbutamide dan chlorpropamide. SU generasi kedua adalah glibenclamide, glipizide dan gliclazide. SU generasi ketiga adalah glimepiride. Glibenklamid menurunkan glukosa darah puasa lebih besar daripada glukosa sesudah makan, masing-masing sampai 36%dan2l%. Bila diperlukan, dosis terbagi dapat diberikan dengan dosis sore yang lebih rendah. Pada pemakaian jangka lama, efektivitas obat golongan ini dapat berkurang. Pemberian SU sebagai terapi tunggal dapat menurunkan [Ib Alc 1,5-2o/o. Pada pernakaian sulfonilureaSU, umumtya selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk menghindari kemungkinan hipoglikemia. Pada keadaan tertentu di mana kadar glukosa darah sangat tinggi, dapat diberikan SU dengan dosis yang
gangguan pada sekresi insulin. Sulfonilurea sering
lebih besar dengan perhatian khusus bahwa dalam beberapa
digunakan sebagai terapi kombinasi karena kemampuannya
hari sudah dapat diperoleh efekklinis yangjelas dan dalam I minggu sudah te{adi penurunan kadar glukosa darah yang cukup bermakna. Segeralah periksa kadar glukosa darah dan sesuaikan dosisnya.
untuk meningkatkan atau mempertahankan sekresi insulin. Mempunyai sejarah penggunaan yang panjang dengan sedikit efek samping (termasukhipoglikemia) dan
1888
MEI]ABOLIKENDOKRIN
Dosis permulaan sunfonilurea tergantung pada beratnya hiperglikemia. Bila konsentrasi glukosa puasa < 200mgldL, SU sebaiknya dimulai denganpemberian dosis
kecil dan titrasi secara bertahap setelah l-2 minggt sehinggatercapai glukosa darahpuasa 90-130 mg/dl Bila glukosa darah puasa > 200 mgldL dapat diberikan dosis awal yang lebih besar. Obat sebaiknya diberikan setengah jam sebelum makan karena diserap dengan lebih baik. Pada obat yang diberikan satu kali sehari, sebaiknya diberikan pada waktu makan pagi atau pada makan makanan porsi terbesar.
Kombinasi'SU dengan insulin diberikan berdasarkan rerata kadar glukosa darah sepanjang hari terutama ditentukan oleh kadar glukosa darah puasanya. Umumnya kenaikan kadar glukosa darah sesudah makan kurang lebih sama, tidak tergantung dari kadar glukosa darah pada keadaan puasa. Dengan memberikan dosis insulin kerja sedang atau insulin glargin pada malam hari, produksi glukosa hati malam hari dapat dikurangi sehingga kadar
glukosa darah puasa dapat turun. Selanjutnya kadar glukosa darah siang hari dapat diatur dengan pemberian SU seperti biasanya.
Kombinasi sulfonilurea dan insulin ini temyata lebih baik daripada insulin sendiri, dosis insulin yang diperlukan pun temyata lebih rendah dan cara kombinasi ini lebih dapat diterima pasien daripada penggunaan insulin multi injeksi.
Nama dagang Biguanid
hipoglikemia juga lebih sering terjadi pada pasien dengan gagal ginjal, ganguan fungsi hati berat dan pasien dengan masukan makan yang kurang danjika dipakai bersama obat sulfa. Obat yang mempunyai metabolit aktif tentu akan
lebih mungkin menyebabkan hipoglikemia yang berkepanjangan jika diberikan pada pasien dengan gagal ginjal atau gagalhati. Selain itu terjadi kenaikan berat badan sekitar 4-6 kg, gangguan pencernaan, fotosensitifitas, gangguan enzim
hati danflushing. Pemakaiannya dikontraindikasikan pada DM tipe hipersensitif terhadap sulfa, hamil dan menyusui.
Farmakokinetik dan Farmakodinamik Mekanisme kerja glinid juga melalui reseptor sulfonilurea
(SUR) dan mempunyai struktur yar,g mirip dengan sulfonilurea, perbedaannya dengan SU adalah pada masa
Kerja
mg/tab
Dosis arian
500-850
250-3000
6-8
1-3
500 500-750 500 4
500-3000
6-8
2-3
500-2000
24
1
Rosiglitazon
Glumin Glucophage-XR Glumin-XR Avandia
4-8
24
1
Pioglitazon
Actos
5-30
24
1
Lama
FreU hari
I
glitazone
Sulfonilurea
Klorpropamid Glibenklamid Glipizid Gliklazid Glikuidon Glimepirid
Deculin Diabenese Daonil Euglukon Minidiab Glucotrol-XL Diamicron Diamicron-MR Glurenorm Amaryl Gluvas
Amadiab Glinid Penghambat
15,30
1
15,30 100-250 2,5-5
15-45 1 00-500
24
I
24-36
1
2,5-15 5-20
12-24 10-16
1-2 1-2
5-1 0 5-1 0
5-20
12-16*
1
80 30 30 1,2,3,4 1,2,3,4 1,2,3,4 1,2,3,4
80-240 30-120 30-120
10-20
1-2
0,5-6
24 24 24 24
1,5-6 360
3
00-300
3
1-6 1-6 1-6
Repaglinid Nateglinid
Metrix NovoNorm Starlix
0.5, 1,2
Acarbose
Glucobay
50-1 00
Metformin + Glibenklamid
Glucovance
Metformin + Rosiglitazon
Avandamet
120 1
3
Glukosidase q Obat Kombinasi Tetap
l,
Glinid
Glucophage
Metformin Metformin XR
Tiazolidindion/
Efek Samping dan Kontraindikasi Hipoglikemi merupakan efek samping terpenting dari SU terutama bila asupan pasien tidak adekuat. Untuk mengurangi kemungkinan hipoglikem ia, apalagi pada orang tua dipilih obat yang masa kerjanya paling singkat. Obat SU dengan masa kerja panjang sebaiknya tidak dipakai pada usia lanjut. Selain pada orang tua,
1-2
25011,25
500t2,5 500/5
2mgl500 4mg/500
mg mg
4mg/1000 mg 8mg/1000 mg
12
FARMAKOTERAPI
PATTA
1889
PENGENDALIAI{ GLIKEMIA DIABETES MELITUS TIPE 2
kerjanya yang lebih pendek. Mengingat lama ke{anya yang
mengurangi dampak pengobatan terhadap glukosa posl
pendek maka glinid digunakan sebagai obat prandial.
prandial.
Repaglinid dan nateglinid kedua-duanya diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan cepat dikeluarkan melalui metabolisme dalam hati sehingga
Monoterapi dengan acarbose dapat menurunk an talarata glukosa post prandial sebesar 40-60 mgldl- dan glukosa puasarata-rata10-20 mgldL dan IIbAlc 0.5-l %. Dengan terapi kombinasi bersama SU, metformin dan insulin maka acarbose dapat menurunkan lebih banyak terhadap A I C sebesar 0,3 -0,5Yo dan rata'rata glukosaposl prandial sebesar 20-30 mgldL dari keadaan sebelumnya.
diberikan dua sampai tiga kali sehari. Repaglinid dapat menurunkan glukosa darah puasa walaupun mempunyai masa paruh yang singkat karena lama menempel pada kompleks SUR sehingga dapat menurunkan ekuivalen
HbAlc pada SU.
Nateglinid mempunyai masa tinggal lebih singkat dan tidak menurunkan glukosa darah puasa. Sedang
Sehinga keduanya merupakan sekretagok yang khusus
menurunkan glukosa postprandial dengan efek hipoglikemik yang minimal. Mengingat efeknya terhadap glukosa puasa tidak begitu baik maka glinid tidak begitu kuat menurunkan
IIbAlc.
Penghambat Alfa Glukosidase
Efek Samping dan Kontraindikasi Efek samping akibat maldigesti karbohidrat akan berupa gejala gastrointestinal seperti; meteorismus, flatulence dan diare. Flatulence merupakan efek yang tersering terjadi pada hampir 50% pengguna obat ini. Penghambat alfa glukosidase dapat menghambat bioavailabilitas metformin jika diberikan bersamaan pada orang normal. Acarbose dikontraindikasikan pada kondisi irritable bowel syndrone, obstruksi saluran cerna, sirosis hati dan gangguan fungsi ginjal.
Farmakokinetik dan Farmakodinamik Acarbose hampir tidak diabsorbsi dan bekerja lokal pada saluran pencernaan. Acarbose mengalami metabolisme didalam saluran pencernaan, metabolisme terutama oleh flora mikrobiologis, hidrolisis intestinal dan aktifitas ensim pencemaan. Waktu paruh eliminasi plasma kira -kira 2 jam pada orang sehat dan sebagian besar diekskresi melalui feses. Obat ini bekerja secara kompetitifmenghambat kerja enzim alfa glukosidase di dalam saluran cema sehingga dengan demikian dapat menurunkan penyerapan glukosa
dan menurunkan hiperglikemia postprandial. Obat ini beke{a di lumen usus dan tidak menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin.
MekanismeKerja Obat ini memperlambat dan pemecahan dan penyerapan karbohirat kompleks dengan menghambat enzim alpha glukosidase yang terdapat pada dinding enterosit yang terletak pada bagian proksimal usus halus. Secara klinis akan te{adi hambatan pembentukan monosakarida intraluminal, menghambat dan memperpanjang peningkatan glukosa darah postprandial, dan mempengaruhi respons insulin plasma. Hasil akhimya adalah penurunan glukosa darah post prandial. Sebagai monoterapi tidak akan
merangsang sekresi insulin sehingga tidak dapat menyebabkan hipoglikemia. Penggunaan dalam
klinik
Acarbose dapat digunakan sebagai monoterapi atau sebagai kombinasi dengan insulin, metformin, glitazone atau sulfonilurea. Unhrk mendapat efek maksimal, obat ini harus diberikan segera pada saat makanan utama. Hal ini perlu karena merupakan penghambat kompetitif dan sudah harus ada pada saat kerja enzimatik pada saat yang sama karbohidrat berada di usus halus. Dengan memberikannya
15 menit sebelum atau sesudahnya makan akan
Golongan lncretin Terdapat 2 hormon incretin yang dikeluarkan oleh'saluran cerna yaitu glucose dependent insulinotropic polyeptide (GIP) dan glucagon-like peptide- 1 (GLP -l) . Kedua hormon ini dikeluarkan sebagai respon terhadap asupan makanan sehingga meningkatkan sekresi insulin. GIP diekspresikan oleh sel K yang banyak terdapat diduodenum dan mukosa usus halus. GLP- 1 diekspresikan di sel L mukosa usus dan juga di sel alfa pancreas. Selain membantu meningkatkan respon sekresi insulin oleh makanan, GLP-1 juga menekan
sel alfa pankreas dalam mensekresi glukagon, memperlambat pengosongan lambung dan memiliki efek
anoreksia sentral sehingga menurunkan hiperglikemia. Studi melaporkan penurunan GLP-I dan respons GLP-I sebagai respons terhadap makanan. Penghambat Dipeptidyl peptidase
lY (Penghambat DPP-
1[) GLP- I endogen memiliki waktu paruh yang sangat pendek (< I menit) akibat proses inaktivasi oleh enzim DPP-IV.
Penghambatan enzim DPP-IV diharapkan dapat memperpanjang masa kerja GLP-I sehingga membantu
menurunkan hiperglikemia. Terdapat dua macam penghambatDPP-IV yang ada saat ini yaitu sitagliptin dan vitdagliptin. Pada terapi tunggal, penghambat DPP-IV dapat menurunakn llbAl c sebesar 0 ,79-0,94Yo danmemiliki efek pada glukosa puasadanpost prandial. Penghambat DPPIV dapat digunakan sebagai terapi alternatifbila terdapat intoleransi pada pemakaian metformin atau pada usia lanjut.
DPP-N tidak mengakibatkan hipoglikemia maupun kenaikan berat badan. Efek samping yang dapat ditemukan adalah nasofaringitis, peningkatan risiko infeksi saluran
1890
MEIABOLIKENDOIRIN
kemih dan sakit kepala. Rbaksi alergi yang berat jarang ditemukan.
GLP-I Mimetik dan Analog Mengingat waktu paruh GLP-I yang pendek, penggunaan GLP-I alamiah tidak banyak membantu, namun begitu terdapat GLP-I mimetik dan analog yang memiliki ketahanan terhadap degradasi oleh enzim DPP-IV. Berbeda
dengan penghambat DPP-IY GLP-I mimetik diberikan dalam bentuk injeksi subkutan satu atau dua kali sehari. Obat golongan ini masih belum beredar di Indonesia.
Hal-hal yang Perlu Diperhatikan Dalam Memllih Obat Hipoglikemik Oral
a.
b.
Terapi dimulai dengan dosis rendah yang kemudian dinaikkan secara beriahap. Harus diketahui betul bagaimana c arukeqa,lama kerja
dan efek samping obat-obat tersebut. (misalnya
c. d.
klorpropamid jangan diberikan 3 kali I tablet, karena lamaket'anya24 jam) Bila memberikannya bersama obat lain, pikirkan kemungkinan adanya interaksi obat. Pada kegagalan sekunder terhadap obat hipoglikemik
oral, usahakanlah menggunakan obat oral golongan
e.
lain, bila gagal, baru beralih kepada insulin. Usahakan agar harga obat teq'angkau oleh pasien.
Dengan berbagai macam usaha tersebut, diharapkan sasaran pengendalian glikemia pada diabetes melitus seperti yang dianjurkan oleh pakar diabetes di Indonesia dapat dicapai, sehingga pada gilirannyananti komplikasi kronik diabetes melitus iuga dapat dicegah dan pasien diabetes melitus dapat hidup berbahagia bersama diabetes yang disandangnya.
REFERENSI
American Diabetes Association: Clinical
Practice
Recommendations, 2006 American Diabetes Association: Medical Management of Type 2 Diabetes, fifth edition, 2004 Bailey CJ. Biguanide in the treatment of type II diabetes. Current Opinion in Endocrinology and Diabetes 1995;2:348-54.
Edelman SY White D, Henry RR. Intensive insulin therapy for patients with type II diabetes. Current Opinion in Endocrinology and Diabetes 1995;2: 333-40. Holst JJ, Orskov C. The incretin approach for diabetes treatment. Modulation of islet hormone release by GLP-1 agonism. Diabetes2O04: 53 (3): Sl97-204
Inzucchi SE. Oral antihyperglycemic therapy for type
2
diabetes:scientific review. JAMA 2002; 287 (3): 360-72 Joshi. Oral hypoglycaemic drugs and newer agents use in type diabetes mellitus. SA Fam Practice 2009; 51(1): 10-6.
2
Lebovitz HE. Stepwise and combination drug therapy for the treatment of NIDDM. Diabetes Care 1994;17:1542-44. Olefsky JM. Insulin resistance in NIDDM. Curent Opinion in Endocrinology and Diabetes 1995; 2:290-9. Pengurus Besar PERKENL Konsensus Pencegahan dan Pengeloaan Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia, 2006 Peters AL, Davidson MB. Sulfonylurea in the ffeatment of type II
Sedang Glukosa darah (ms/dL) - puasa
-2jam
postprandial A1c (%) Kol.total (mg/dL) Kol LDL (mg/dl) Kol.HDL (mg/dL) Trigliserida (mg/dL)
80 - 100
80 - 144 < 6.5
100 145
- 125
-
179
6.5-8
> 126 > 180
:8
< 200
200 - 239
< 100
100
-
129
> 240 > 130
< 150
150
-
199
> 200
>45
IMT(kg/m'z)
18.5 - 23
23 -25
>25
Tekanandarah (mmHg)
< 130/80
30140/80-90
140t90
1
Sumber: Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2, Perkeni 2006
Sasaran pengelolaan diabetes melitus bukan hanya glukosa darah saja, tetapijuga termasuk faktor-faktor lain yaitu berat badan, tekanan darah, dan prof,rl lipid, seperti tampak pada sasaran pengendalian diabetes melitus yang dianjurkan dalam Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan
DM Tipe 2 di Indonesia tahun 2006 (Perkumpulan Endokrinolo gi Indonesia).
Diabetes. Curent Opinion
in Endocrinology and Diabetes
1995;2:325-32.
Saltiel A, Horikoshi H. Thiazolidinediones are novel insulin sensitizing agents. Current Opinion in Endocrinolgy and Diabetes 1995;2:341-7. Soegondo S. Prinsip pengobatan diabetes, obat hipoglikemik oral dan insulin. Dalam. Soegondo S, Soewondo P, Subekti I Eds. Diabetes Melitus: Penatalaksanaan Terpadu. Balai Penerbit
FKUI 2005, ttt-29. UK Prospective Diabetes Study (UKPDS) Group, Intensive bloodglucose control with sulphonylureas or insulin compared with conventional treatment and risk of complications in patients with type 2 diabetes (UKPDS 33).Lancet 1998: 352:837. Widen E, Groop L. Biguanide: metabolic effects and potensial use in the treatment of insulin resistance syndrome. The Diabetes Annual 8. Eds. Marshall SM and Home PD. Amsterdam, Elsevier Publication 994; 227 -241
294 TERAPI NON FARMAKOLOGIS PADA DIABETES MELITUS Em Yunir, Suharko Soebardi
PENDAHULUAN
Tujuan Terapi Gizi Medis Adapun tujuan dari terapi gizi medis ini adalah untuk
Modalitas yang ada pada penatalaksanaan diabetes
mencapai dan mempertahankan : 1. kadar glukosa darah mendekati normal, . glukosa puasa berkisar 90-130 mg/dl
melitus terdiri dari; pertama terapi non farmakologis yang
meliputi perubahan gaya hidup dengan melakukan pengaturan pola makan yang dikenal sebagai terapi gizi medis, meningkatkan aktivitas jasmani dan edukasi berbagai masalah yang berkaitan dengan penyakit
. .
2. 3.
diabetes yang dilakukan secara terus menerus, kedua terapi farmakologis, yang meliputi pemberian obat anti diabetes oral dan injeksi insulin. Terapi farmakologis ini pada prinsipnya diberikan jika penerapan terapi non
glukosadarah2jamsetelahmakan< l80mg/dl
kadarAlc 40 mg/dl . Trigliserida < 150 mgldl berat badan senormal mungkin
farmakologis yang telah dilakukan tidak dapat
4.
mengendalikan kadar glukosa darah sebagaimana yang diharapkan. Pemberian terapi farmakologis tetap tidak
individu target pencapaian terapi gizi medis ini lebih difokuskan pada perubahan pola makan yang didasarkan pada gaya hidup dan pola kebiasaan makan, status nutrisi dan faktor khusus lain yang perlu diberikan prioritas. Pencapaian target perlu dibicarakan bersama dengan diabetisi, sehingga perubahan pola makan yang dianjurkan dapat dengan mudah dilaksanakan, realistik dan Pada tingkat
meninggalkan terapi non farmakologis yang telah diterapkan sebelumnya.
TERAPIGIZIMEDIS
sederhana.
Terapi gizi medis merupakan salah satu terapi non farmakologi yang sangat direkomendasikan bagi penyandang diabetes (diabetisi). Terapi gizi medis ini
Beberapa faktor yang harus diperhatikan sebelum melalcrkan perubahan pola makan diabetisi antara lain, tinggi badan, berat badan, status gizi, status kesehatan, aktivitas fisik, dan faktor usia. Selain itu juga terdapat beberapa faktor fisiologi seperti masa kehamilan, masa
pada prinsipnya adalah melakukan pengaturan pola makan yang didasarkanpada status gizi diabetisi dan melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individual. Beberapa manfaat yang telah terbukti dai terapi gizi medis ini antara lain: 1). Menurunkan berat badan; 2). Menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik; 3). Menurunkan kadar glukosa darah; 4). Memperbaiki profil lipid; 5). Meningkatkan sensitivitas reseptor insulin; 6). Memperbaiki sistem koagulasi darah.
pertumbuhan, gangguan pencemaan pada usia tua, dan lain lain. Pada keadaan infeksi berat dimana tet'adi proses katabolisme yang tinggi perlu dipertimbangkan pemberian
nutrisi khusus. Masalah lain yang juga tidak kalah pentingnya adalah masalah status ekonomi, lingkungan,
kebiasaan atau tradisi
di dalam lingkungan
yang
bersangkutan serta kemampuan petugas kesehatan yang ada.
189
1892
MEIABOLIKENDOIRIN
Petugas kesehatan harus dapat menentukan jumlah, komposisi dari makanan yang akan dimakan oleh diabetisi. Diabetisi harus dapat melakukan perubahan pola makan ini secara konsisten baik dalam jadwal, jumlah dan jenis makanan sehari-hari Komposisi bahan makanan terdiri dari makronutrien yang meliputi karbohidrat, protein, dan lemak, serta mikronutrien yang meliputi vitamin dan mineral, harus diatur sedemikian rupa sehing ga dapat memenuhi kebutuhan diabetisi secara tepat.
JENIS BAHAN MAKANAN
Karbohidrat. Sebagai sumber energi, karbohidrat yang diberikan pada diabetisi tidak boleh lebih dai 55-65 % dari total kebuhrhan energi sehari, atau tidak boleh lebih dari 7 0 % jka dkombinasi dengan pemberian asam lemak tidak jenuh rantai tunggal (MUFA : monounsaturated fatty acids). Pada setiap gram karbohidrat terdapat kandungan energi sebesar 4 kilokalori. Rekomendasi pemberian karbohidrat
jumlahnya dibandingkan dengan jenis karbohidrat itu sendiri 2. dari total kebutuhankaloriperhai, 60 - 70yo diantaranya berasal dari sumber karbohidrat. 3. jika ditambah MUFA sebagai sumber energi, maka jumlah karbohidrat maksimal 7 0%o dai total kebutuhan
kaloriperhari
4. jumlah serat25-50 gramper hari 5. jumlah sukrosa sebagai sumber energi tidak perlu
7.
dibatasi, namun jangan sampai lebih dari total kalori per hari sebagai pemanis dapat digunakan pemanis non kalori seperti sakarin, aspartame, acesulfam dan sukralosa penggunaan alkohol harus dibatasi tidak boleh lebih
dari
10
gram/hari
8. fruktosa tidak boleh lebih,dari 60 gram/hari 9. makanan yang banyak mengandung sukrosa tidak perlu dibatasi.
Protein. Jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10-15 % dari total kalori per hari. Pada penderita dengan kelainan ginjal, dimana diperlukan pembatasan asupan protein sampai 40 gram per hari, maka perlu ditambahkan pemberian suplementasi asam amino esensial. Protein mengandung energi sebesar 4 kilokalori/gram. Rekomendasi pemberian protein : 1. kebutuhanprotein 15 -20% dari total kebutuhan energi
2.
4. 5.
Ppada keadaan kadar glukosa darah tidak terkontrol, pemberian protein sekitar 0, 8- 1,0 mglkg berut badan/ hari pada gangguan fungsi ginjal, jumlah asupan protein diturunkan sampai 0,85 gram/kg berat badanlhari dan tidak kurang dari 40 gram jika terdapat komplikasi kardiovaskular, maka sumber protein nabati lebih dianjurkan dari protein hewani.
Lemak. Lemak mempunyai kandungan energi sebesar 9
kilokalori per gramnya. Bahan makanan ini sangat penting untuk membawa vitamin yang larut dalam lemak seperti vitamin A, D, E, dan K. Berdasarkan ikatan rantai karbomya, lemak dikelompokkan menjadi lemak jenuh dan lemak tidak jenuh. Pembatasan asupan
lemak jenuh dan kolesterol sangat disarankan bagi diabetisi karena terbukti dapat memperbaiki profil lipid
tidak normal yang sering dijumpai pada diabetes. Asam lemak tidak jenuh rantai tunggal (monounsaturated
fatty acid : MUFA), merupakan salah satu
asam lemak yang dapat memperbaiki kadar glukosa darah dan
profil lipid. Pemberian MUFA pada diet diabetisi :
1. kandungan total kalori pada makanan yang mengandung karbohidrat, lebih ditentukan oleh
6.
3.
dapat menurunkan kadar trigliserida, kolesterol total, kolesterol VLDL dan meningkatkan kadar kolesterol HDL.
Sedangkan asam lemak tidak jenuh rantai panjang (ltolyunsaturated fatty qcid : PUFA) dapat melindungi
jantung, menurunkan kadar trigliserida, memperbaiki agregasi trombosit. PUFA mengandung asam lemak omega 3 yang dapat menurunkan sintesis VLDL di dalam hati dan meningkatkan aktivitas enzim lipoprotein lipase yang dapat menurunkan kadar VLDL di jaringan perifer, sehingga dapat menurunkan kadar kolesterol LDL. Rekomendasi pemberian lemak : 1. batasi konsumsi makanan yang mengandung lemak j enuh, jumlah maksimal lUyo dat', total kebutuhan kalori
2.
perhari. jika kadar kolesterol LDL > 100 mgldl, asupan asam lemak jenuh diturunkan sampai maksimal 7%o dai1rrral
kaloriperhari
3. 4. 5.
6.
konsumsi kolesterol maksimal 300 mglhari, jika kadar kolesterol LDL > 100 mgldl, maka maksimal kolesterol yang dapat dikomsumsi 200 mg per hari batasi asupan asam lemak bentuk trans
konsumsi ikan seminggu 2-3 kali untuk mencukupi kebutuhan asam lemak tidak jenuh rantai panjang asupan asam lemak tidakjenuh rantaipanjangmaksimal l0%o dari asupan kalori per hari.
PERHITUNGAN JUMLAH KALORI
per hari
Perhitungan jumlah kalori ditentukan oleh status gizi, umur,
pada keadaan kadar glukosa darah yang terkontrol, asupan protein tidak akan mempengaruhi konsentrasi
ada tidaknya stres akut, dan kegiatan jasmani. Penentuan status gizi dapat dipakai indeks massa tubuh (IMT) atau
glukosa darah.
rumus Brocca.
1893
TERAPI NON FARMAKOLOGIS PADA DIABETES MELITUS
Penentuan Status Gizi Berdasarkan IMT
Pasien seorang lakilakiberusia48 tahun, mempunyai tinggi
IMT dihitung berdasarkan pembagian berat badan (dalam kilogram) dibagi dengan tinggi badan (dalam meter)
160 cm dan berat badan 63 kg, mempunyai pekerjaan sebagai penjaga toko.
kuadrat.
Perhitungan kebutuhan kalori
Klasifikasi status gizi berdasarkan IMT
. Berat badan kurang < 18,5 . BBnormal 18,5-22,9 . BBlebih >23,0 dengan
obes obes
.
:
:(160cm- 100)kg- l0%
.
risiko 23 - 24,9 >30
Penentuan Status Gizi Berdasarkan Rumus Brocca Pertama-tama dilakukan perhitungan berat badan idaman berdasarkan rumus : beratbadan idaman ( BBI kg ): ( TB
cm- 100)- 10%. Untuk laki-laki < 160 cm, wanita < 150 cm, perhitungan BB idaman tidak dikurangi l0 %. Penentuan status gizi dihitung dari : (BB aktual : BB idaman)x 100%
. . . .
Berat badan kurang Berat badan normal Berat badan lebih
Gemtk
BB I2O%BBI
Untuk kepentingan praktis dalam praktek di lapangan, digunakan rumus Brocca. Penentuan kebutuhan kalori per hari : 1. kebutuhan basal : . Irki-laki : BB idaman (kg) X 30 kalor
. Wanita
2.
3.
:
BB idaman (kg) X 25 kalori
koreksi ataupenyesuaian : . IJmur diatas 40 tahun :-5Yo . Aktivitas ringan :+ lUYo (duduk-duduk, nonton televisi dll) . Aktivitas sedang :+20o/o (ke{a kantoran, ibu rumah tang ga, peraw at, dokter)
.
Aktivitas berat
. . .
(olahragawan, tukang becak dll) Berat badan gemuk Berat badan lebih Berat badan kurus
metabolik (infeksi, operasi, stroke, dll) Stres
4. kehamilan 5. kehamilan
trimester I dan II trimester III dan menyusui
.
:60kg-6kg 54kg.
(BBaktual: BBideal)x 100% (63kg:54kg)x100% 116 % ( termasuk berat badan lebih)
Jumlah kebutuhan kalori perhari : - kebutuhan kalori basal : BB ideal x 30 kalori
:
-
54 x 30
kalori:
1620 kalori
kebutuhan unirk aktivitas ditambah 20%: 20oh x 1620 kalori : 324kaloi koreksi karena kelebihan berat badan dikuran gi l0%
:
llo/ox1620: l62kaloi
Jadi total kebutuhan kalori perhari untuk penderita 1 620
kalori + 324 kalori - 162 kalori: 1782 kalori. Untuk mempermudah perhitungan dalam konsultasi gizi digenapkan menj adi 1 700 kalori.
Distribusi makanan : l. Karbohidrat 60%o : 60Yo x I 700 kalori : 1 020 kalori dari karbohidrat yang setara dengan 255 gramkarbohidrat (1 020 kalori : 4 kalorilgram karbohidrat) 2. Protern2}Yo:2}%ox 1700 kalori : 340 kalori dari protein yang setara dengan 85 gram protein (340 kalori : 4 kalori/ gramprotein) 3. Lemak 20Yo : 20o/, x 1 700 kalori : 340 kalori dari lemak yuang setara dengan 37,7 gram lemak (340 kalori : 9 kalorilgramlemak)
LATIHAN JASMAN!
:+30Yo :
-20%o
:
- l0%o
:+20%o
:+
10-30o/o
: +300Kalori : + 500 Kalori
Makanan tersebut dibagi dalam 3 porsi besar untuk makanpagi (20%), makan siang (30%), makan malanQ5o/o) serta 2-3 porsi ringan (10-15%) di antara makan besar. Pengaturan makan ini tidak berbeda dengan orang normal, kecuali dalam pengaturanjadwal makan dan jumlah kalori. Usahakan untuk merubah pola makan ini secara bertahap sesuai dengan kondisi dan kebiasaan penderita.
Contoh:
Status gizi
: :
25 - 29,9
I II
:
Beratbadanideal: (TB cm - 100) kg - l0%
Pengelolaan diabetes melitus (DM) yang meliputi 4pllar, aktivitas fisik merupakan salah satu dari keempat pilar tersebut. Aktivitas minimal otot skeletal lebih dari sekedar
yang diperlukan untuk ventilasi basal paru, dibutuhkan oleh semua orang termasuk diabetisi sebagai kegiatan sehari-hari, seperti misalnya: bangun tidur, memasak, berpakaian, mencuci, makan bahkan tersenyum. Berangkat kerj a, bekerj a, berbicara, berfikir, tertawa, merencanakan kegiatan esok, kemudian tidur. Semua kegiatan tadi tanpa
disadari oleh diabetisi, telah sekaligus menjalankan pengelolaan terhadap DM sehari-hari.
Diabetes merupakan penyakit sehari-hari. Penyakit yang akan berlangsung seumur hidup. Kadang, diabetes dipandang sebagai tanlatgan, diwaktu lain dianggap sebagai beban. Tanggung jawab terhadap pengelolaan diabetes sehari-hari, merupakan milik masing-masing
1894
MEIABOLIKENDOIRII{
diabetisi. Mereka yang telah memutuskan untuk hidup
Ambilan glukosa oleh jaringan otot pada keadaan
dengan diabetes dalam keadaan sehat mempunyai satu
istirahat membutuhkan insulin, hingga disebut sebagai jaringan insulin-dependent. Sedatgpada otot aktif, walau terjadi peningkatan kebutuhan glukosa, tapi kadar insulin tak meningkat. Mungkin hal ini disebabkan karena peningkatan kepekaan reseptor insulin otot dan pertambahan reseptor insulin otot pada saat melakukan latihan jasmani.Hingga, jaringan otot aktif disebut juga sebagai jaringan non-insulin dependent. Kepekaan ini akan berlangsung lama, bahkan hingga latihan telah berakhir. Pada latihan jasmani akan terjadi peningkatan aliran darah, menyebabkan lebih banyak jala-jala kapiler terbuka hingga lebih banyak tersedia reseptor insulin dan reseptor menjadi lebih aktif.
persamaan, bahwa mereka harus melakukankegiatan fisik.
Aajuran untuk melakukan kegiatan fisik bagi diabetisi telah dilakukan sejak seabad yang lalu oleh seorang dokter dari dinasti Sui di China, dan manfaat kegiatan ini masih
terus diteliti oleh para ahli hingga kini. Kesimpulan sementara dari penelitian itu ialah bahwa kegiatan fisik diabetisi (ipe I maupun 2), akan mengurangi risiko kejadian kardiovaskular dan meningkatkan harapan hidup. Kegiatan fisik akan meningkatkan rasa nyaman, baik secara fisik, psikis maupun sosial dan tampak sehat. Kemajuan teknologi
agak berseberatgan dengan anjuran untuk melakukan kegiatan fisik, karena akan membuat seseorang kurang bergiat. Mengingat hal ini, maka harus dibuat suatu kegiatan fisik yang ter-rencana dengan baik dan teratur bagi diabetisi.
FISIOLOGI KEGIATAN FISIK Bila seseorang sehat melakukan kegiatan fisik dinamik yang berat dengan melibatkan kelompok otot-otot utamanya, maka akan terjadi peningkatan ambilan oksigen sebesar 15-20 kali lipat, karena peningkatan laju metabolik pada otot yang aktif. Kemudian akan terjadi dilatasi pada arteriol maupun kapiler dan juga terjadi pengumpulan cairan, baik intra maupun ekstra selular. Ventilasi pulmoner dapat melewati angka 100 Vmenit dan keluaran janhurg meningkat
hingga 20-30 Vmenit, untuk memenuhi kebutuhan otot yang aktif. Bersamaan dengan itu, akan terjadi penurunan aliran darah ke otot yang tak aktif, daerah splangnik dan ginjal. Panas yang ditimbulkan akan terkumpul pada tubuh dan sebagian besar akan terbuang lewat proses evaporasi. Pada kegiatan fisik dalam keadaan panas dan lembab, dapat dihasilkar 250
7,25-7,30 7,O0-7,24
>250
> 600
320
Anion gap
> 10
>'12
Beruariasi
Kesaderan
Sadar
12 Sadar, drowsy
Stupor,
Stupor, koma
Osmolaritas Serum Efektif (mosrh/ko)
penyebab tersering (57.1%). Compliance yang buruk terhadap pengobatan DM juga sering menyebabkan HHNK(21%).
>
koma
Faktor yang memulai timbulnya HHNK adalah diwesis glukosuria. Glukosuria mengakibatk an kegagalan pada kemampuan ginjal dalam mengkonsentrasikan urin, yang akan semakin memperberat derajat kehilangan air. pada keadaan normal, ginjal berfirngsi mengeliminasi glukosa di atas ambang batas tertentu. Namun demikian, penurunan
Dikutip dari Kitabchi AE, Umpierrez GE, Murphy MB, Barrett EJ, Kreisberg RA, i,{alone Jl, et al. Hyperglycemic crises in diabetes. Diabetes Care 2004;27(suppl 1 ):S95.
volume intravaskular atau penyakit ginjal yang telah ada
9
1913
KOMA HIPEROSMOIAR HIPERGLIKEMIK NON I(ETOTIK
hilangnya cairan intravaskular menyebabkan keadaan Penyakit Penyerta lnfark miokard akut Tumor yang menghasilkan hormon adrenokortikotropin Kejadian
serebrovaskular Sindrom cushing Hipertermia Hipotermia Trombosis mesenterika Pankreatitis Emboli paru Gagal ginjal Luka bakar berat
Tirotoksikosis lnfeksi Selulitis lnfeksi gigi
Pengobatan
Antagonis kalsium Obat kemoterapi Klorpromazin (thorazine) Simetidin (tagamet) Diazoxid (hyperstat) Glukokortikoid Loop diuretics Olanzapin (zyprexa) Fenitoin (dilantin) Propranolol (inderal) Diuretik tiazid Nutrisi parenteral total Noncompliance Penyalahgunaan obat Alkohol Kokain DM tidak terdiagnosis
Pneumonia Sepsis lnfeksi saluran kemih Dikutip dari Stoner, Hyperglycemic hyperosmolar state, American Academy of Family Physician, http://www.aafp.org/afpl20050501 11723 html
sebelumnya akan menurunkan laju filtrasi glomerular, menyebabkan konsentrasi glukosa meningkat. Hilangnya air yang lebih banyak dibanding natrium menyebabkan keadaan hiperosmolar. Insulin yang ada tidak cukup untuk menurunkan konsentrasi glukosa darah, terutama jika terdapat resistensi insulin. Tidak seperti pasein dengan KAD, pasien HHNKtidak mengalami ketoasidosis, namun tidak diketahui dengan jelas alasannya. Faktor yang diduga ikut berpengaruh
adalah keterbatasan ketogenesis karena keadaan hiperosmolar, konsentrasi asam lemak bebas yang rendah untuk ketogenesis, ketersediaan insulin yang cukup untuk
menghambat ketogenesis namun tidak cukup untuk mencegah hiperglikemia, dan resistensi hati terhadap glukagon. Tidak tercukupinya kebutuhan insulin menyebabkan timbulnya hiperglikemia. Penurunan pemakaian glukosa oleh jaringan perifer termasuk oleh sel otot dan sel lemak, ketidakmampuan menyimpan glukosa sebagai glikogen pada otot dan hati, dan stimulasi glukagon pada sel hati untuk glukoneo gsnesis mengakibatkan semakin naiknya konsentrasi glukosa darah. Pada keadaan dimana insulin tidak mencukupi, maka besarnya kenaikan konsenffasi glukosa darah juga tergantung dari status hidrasi dan masukan karbohidrat oral. Hiperglikemia mengakibatkan timbulnya diuresis osmotik, dan rnengakibatkan menurunnya cairan tubuh total. Dalam ruang vaskular, dimana glukoneogenesis dan masukan makanan terus menambah glukosa, kehilangan cairan akan semakin mengakibatkan hiperglikemia dan hilangnya volume sirkulasi. Hiperglikemia dan peningkatan konsentrasi protein plasma yang mengikuti
hiperosmolar. Keadaan hiperosmolar ini memicu sekresi hormone anti diuretik. Keadaa hiperosmolar ini juga akan memicu tirnbulnya rasa haus. Adanya keadaan hiperglikemia dan hiperosmolar ini j ika
kehilangan cairan tidak dikornpensasi dengan masukan
cairan oral maka akan timbul dehidrasi dan kemudain hipovolemia. Hipovolemia akan mengakibatkan hipotensi dan nantinya akan menyebabkan gangguan pada perfusi jaringan. Keadaan koma merupakan suatu stadium terakhir dari proses hiperglikemik ini, dimana telah timbul gangguan elektrolit berat dalam kaitannya dengan hipotensi.
GEJALA KLINIS Pasien dengan HFINK, umumnya berusia lanjut, belum diketahui mempunyai DM, dan pasien DM tipe-2 yang mendapat pengaturan diet dan atau obat hipoglikemik oral.
Seringkali dijumpai penggunaan obat yang semakin memperberat masalah, misalnya diuretik. Keluhan pasien IIHNK ialah: rasa lemah, gangguan penglihatan, atau kaki kejang. Dapat pula ditemukan keluhan rmral dan muntah, namun lebih jarang jika dibandingkan dengan KAD. Kadang, pasien datang dengan disertai keluhan saraf seperti letargi, disorientasi, hemiparesis, kejang atau koma-
Pada pemeriksaan
fisik ditemukan
tanda-tanda
dehidrasi berat seperti hrgor yang buruk, mukosa pipi yang kering, mata cekung, perabaan ekstremitas yang dingin dan denyut nadi yang cepat dan lemah. Dapat pula ditemukan peningkatan suhutubuhyang tak terlalu tinggi. Akibat gastroparesis dapat pula dijumpai distensi abdomen, yang membaik setelah rehidrasi adekuat. Perubahan pada stafus m€ntal dapat berkisar dari disorientasi sampai koma. Derajat gangguan neurologis yang timbul berhubungan secara langsung dengan osmolaritas efektif serum. Koma terjadi saat osmolaritas semmmencapai lebih dari 350 mOsmperkg (350 mmolper kg). Kejang ditemukan pada25%opasien, dan dapat berupa kejang umum, lokal, maupun miokJonik. Dapat juga terjadi hemiparesis yang bersifat reversibel dengan koreksi defisit calran. Secaraklinis HHNK akan sulit dibedakan denganKAD terutama bila hasil laboratorium seperti konsentrasi glukosa darah, keton dan analisis gas darah belum ada hasilnya. Berikut di bawah ini adalah beberapa gejala dan tanda sebagai pegangan : . Sering ditemukan pada usia lanjut yaitu usia lebih dari 60 tahun, semakin muda semakin berkutang, dan pada
. .
anak belum pemah ditemukan.
Hampir separuh pasien tidak mempunyai riwayat DM atau DM tanpa insulin. Mempunyai penyakit dasar lain, ditemukan 85% pasien
1914
MEf,ABOUKENDOKRIN
mengidap penyakit ginjal atau kardiovaskular, pernah
ditemukan penyakit akromegali, tirotoksikosis, dan
penyakit Cushing. Sering disebabkan oleh obat-obatan, antara lain tiazid,
mEq per L (145 mmol per L) dan konsentrasi glukosa darah I . I 00 mg per dL (61 . 1 mmol per L) maka konsentrasi natrium
(2xsodium(mEqperL)-l-
furosemid, manitol, digitalis, reserpin, steroid, klorpromazin, hidralazin, dilantin, simetidin dan haloperidol (neuroleptik). Mempunyai faktor pencetus misalnya infeksi, penyakit kardi ovaskular, aritmia, p endarahan, gang guan keseimbangan cairan, pankreatitis, koma hepatik dan operasi.
W
koreksi:
Untuk menghitung osmolaritas serum efektif dapat digunakan rumus: (2
x
150)
* t.lP
= 300 + 61
:361 mOsm/kg
18
PEM ERI KSAAN LABORATORIUM
Temuan laboratorium awal pada pasien dengan HHNK
adalah konsentrasi glukosa darah yang sangat tinggi (> 600 mg per dL) dan osmolaritas serum yang tinggi (> 320 mOsm per kg air [normal :290 + 5]), dengan pH lebih besar dari 7.30 dan disertai ketonemia ringan atau
Misalkan, konsentrasi natrium 150 mEqperL (150 mmol per L), dan konsentrasi glukosa darah 1,100 mg per dL. Maka osmolaritas serum efektifnya :
PENATALAKSANAAN
tidak. Separuh pasien akan menunjukkan asidosis metabolik dengan anion gap yang ringan (10 - 12). Jika
Penatalaksanaannya serupa dengan KAD, hanya cairan yang diberikan adalah cairan hipotonis (l/2N, 2A).
anion gap nya berat (>12), harus dipikirkan diagnosis
Pemantauan konsentrasi glukosa darah harus lebih ketat, dan pemberian insulin harus lebih cermat dan hati-hati. Respons penurunan konsentrasi glukosa darah lebih baik. Walaupun demikian, angka kematian lebih tinggi, karena lebih banyak terjadi pada usia lanjut, yang tentu saja lebih banyak disertai kelainan organ-organ lainnya. Penatalaksanaan HHNK memerlukan monitoring ketat terhadap kondisi pasien dan responsnya terhadap terapi yang diberikan. Pasien-pasien tersebut harus dirawat, dan
diferensial asidosis laktat ataupenyebab lain. Muntah dan penggnnaan diuretik tiazid dapat menyebabkan alkalosis
metabolik yang dapat menutupi tingkat keparahan asidosis. Konsentrasi kalium dapat meningkat atau normal. Konsentrasi kreatinin, blood urea nitrogen (BUN),
dan hematokrit hampir selalu meningkat. HHNK menyebabkan tubuh banyak kehilangan berbagai macam
elektrolit. Konsentrasi natrium harus dikoreksi jika konsentrasi glukosa darah pasein sangat meningkat. Jenis cairan yang
sebagian besar dari pasien-pasien tersebut sebaiknya dirawat di ruang rawat intensif atau intermediate. Penatalaksanaan HHNK meliputi lima pendekatan:
Sodium + 165 x (Glukosa darah (mg per dL)
(mEqlL)
-
100)
100
diberikan tergantung dari konsentrasi natrium yang sudah dikoreksi, yang dapat dihitung dengan rumus : Misalkan, konsentrasi natrium hasil pemeriksaan 145
I ).
Rehidrasi intravena agresif; 2). Penggantian elektrolit; 3). Pemberian insulin intravena; 4). Diagnosis dan manajemen faktor pencetus dan penyakit penyerta; 5). Pencegahan.
Cairan Langkah pertama dan terpenting dalam penatalaksaan
HHNK adalah penggantian cairan yang agresif, dimana 14t
*
165 x (1.1_09100
100)
:
A5 +
16,5:
161,5 mEq/L
sebaiknya dimulai dengan mempertimbangkan perkiraan defisit cairan (biasanya 100 sampai 200 mL per kg, atau
totalrata-rata 9 L). Penggunaan cairan isotonik akan dapat
menyebabkan overload cairan dan cairan hipotonik Elektrolit Natrium Klorida Kalium Fosfat Kalsium Magnesium Air
Hilang 7 - 13 mEq per kg
3-7mEqperkg
- 15 mEq per kg 70 - 140 mmol per kg 50 - 100 mEq per kg 50 - 100 mEq per kg 100 - 200 mL per kg 5
Dikutip dari Stoner, Hyperglycemic hyperosmolar state, American Academy of Family Physician, html
mungkin dapat mengkoreksi defisit cairan terlalu cepat dan potensial menyebabkan kematian dan lisis mielin difus. Sehingga pada awalnya sebaiknya diberikan lL normal saline per j am. Jika pasiennya mengalami syok hipovolemilg mungkin dibutuhkan plasma expanders. Jika pasien dalam keadaan syok kardiogenik, maka diperlukan monitor hemodinamik.
Pada orang dewasa, risiko edema serebri rendah sedangkan konsekuensi dari terapi yang tidak memadai meliputi oklusi vaskular dan peningkatan mortalitas.
1915
KOMAHIPEROSMOI.AR HIPERGLIKEMIKNON KETOTIK
Pada awal terapi, konsentrasi glukosa darah akan menurun, bahkan sebelum insulin diberikan, dan hal ini dapat menjadi indikator yang baik akan cukupnyaterapi cairanyang diberikan. Jika konsentrasi glukosa darah tidak bisa diturunkan sebesar 75-100 mg per dL per jam, hal ini biasanya menunjukkan penggantian cairan yang kurang atau gangguan ginjal.
pasien dengan hipotensi. Berdasarkan penelitian terkini,
peningkatan konsentrasi C-reactive protein dan interleukin-6 merupakan indikator awal sepsis pada pasien
denganHHNK.
KOMPLIKASITERAPI Komplikasi dari terapi yang tidak adekuat meliputi oklusi
Elektrolit Kehilangan kalium tubuh total seringkali tidak diketahui pasti, karena konsentrasi kalium dalam tubuh dapat normal atau tinggi. Konsentrasi kalium yang sebenarnya akan
terlihat ketika diberikan insulin, karena ini akan mengakibatkan kalium serum masuk ke dalam sel. Konsentrasi elektrolit harus dipantau terus-menerus dan irama jantung pasien juga harus dimonitor. Jika konsentrasi kalium awal 2,5 mmol/L. Dari penelitian itu
DIAGNOSIS Asidosis laktat adalah suatu keadaan asidosis metabolik dengan peningkatan asam laktat dan nilai anion gap. Pada pasiensakit berat, nilai asam laktat masih dianggap normal sampai < 2 mmoW. Batasan peningkatan konsenfrasi asam laktat yang digrurakan bervariasi drantara masing-masing peneliti antara 1,3-9,0 mmol/L sedangkan nilai pH bervariasi ar:dara7,37 -7,20 namunkriteria manapun yang digunakan temyata tetap didapatkan hubungan bermakna antara semakin
tingginya konsentrasi asam laktat dalam darah dengan
didapatkan bahwa peningkatan konsentrasi asam laktat dalam darah tanpa memandang berat ringannya asidosis yang terjadi, berhubungan dengan prognosis pasien yang dirawat di ICU. Broder & Weil mendapatkan 89 % dai
angka mortalitas pada pasien yang dirawat di rumah sakit.
pasiensyok dengan konsentrasi laktat > 4 mmol/L
Anion gap menggambarkan selisih antara nilai anion dan kation serum tak terukur dan bisa dihitung dengan rumus: Anion gap: Na - (Cl + HCO3). Peningkatan nilai anion gap sering terjadi akibat peningkatan anion tak
meninggal dunia. Pengukuran laktat untuk memprediksi kemungkinan timbulnya syok sepsis maupun gagal organ multipel juga dinilai lebih baik dibanding dengan pengukuran variabel - variabel transpor oksigen. Beberapa penulis mengatakan bahwa pemeriksaan konsentrasi asam laktat secara serial selama pengobatan merupakan parameter yang lebih bermakna untuk menilai prognosis penyakit dibanding pemeriksaan konsentrasi laktat non serial. Denganmemantaunilai laktat serial dapat dibedakan antara pasien yang prognosisnya baik atau buruk. Dari sebuah penelitian didapatkan bahwa pasien yang menderita syok temyata pro gnosisnya lebih baik j ika
terukur, misal akibat peningkatan anion organik sepedi pada kasus asidosis laktat atau ketoasidosis dan nilai normalnya adalatr sekitar 8 mM. Nilai az ion gapyargmeningkat disertai denganpenurunanpH serum lazim digunakan sebagai dasar diagnosis asidosis laktat meskipun pada prakteknya sering dijumpai keadaan dimana konsentrasi asam laktat meningkat dalam serum namun tidak disertai dengan peningkatan nilai anion gap. Ibefii dhk menunjukkan bahwa temyata anion gap b*an merupakan parameter yang sensitif untuk menilai tef adinya asidosis laktat. Hasil ini sesuai dengan penelitian
didapatkan penurunan konsentrasi laktat (5 -10 %) dalam
jam setelah mulainya pengobatan.
1
1920
METABOIJKENDOI(RIN
pada sepsis karena endotoksin menghambat enzim tersebut. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa Tipe A : Syok (kardiogenik, sepsis, hipovolemi) Hipoperfusi setempat (hipoksia mesentrika) Hipoksemia berat Peningkatan karbon monoksida Asma berat Tipe B, terdiri dari : - Tipe 81: Diabetes melitus Gangguan fungsi hati Keganasan Sepsis Feokromasitoma Defisiensi tiamin - Tipe 82 : Biguanid Etanol Metanol Stilene glikol Fruktosa Sorbitol Xilitol Salisilat Asetaminofen Epinefrin Ritodrin Terbutalin Sianida Nitroprusid lsoniazid Propilen glikol - Tipe 83 : Defisiensi glukosa-6-fosfatase Defisiensi fruktosa-1,6.difosfatase Defisiensi piruvaf karboksilase Defisiensi pir:uvat dehidrogenase Gangguan fosforilasi oksidatif
-
-
-
peningkatan metabolisme aerob mungkin lebih penting daripada defek metabolisme atau metabolisme anaerob. Produksi serta oksidasi glukosa dan piruvat justru meningkat pada keadaan sepsis. Jika piruvat dehidrogenase distimulasi oleh dikloroasetat, konsumsi oksigen akan meningkat tetapi produksi glukosa dan piruvat akan menurun. Hal ini menunjukkan bahwa hiperlaktatemia pada sepsis terjadi akibat peningkatan metabolisme aerob.
ASI DOSIS LAKTAT KARE NA OBAT
Biguanid Metformin sudah digunakan lebih dari 40 tahun dalam pengobatan DM tipe II. Walaupun demikian, terdapat kekhawatiran akan efek samping dari metforminyang dapat menyebabkan timbulnya asidosis laktat, dimana angka mortalitasnya dapat mencap ai 50o/o. Penyakit hati dan ginjal, alkoholisme, dan kondisi yang berkaitan dengan hipoksia (misalnyapenyakit jantung dan paru, pembedahan) merupakan kontraindikasi penggunaan metformin. Faktor risiko lain asidosis laktatyang diinduksi oleh metformin adalah sepsis, dehidrasi, dosis tinggi dan
usia tua. Asidosis laktat itu mungkin disebabkan oleh pengaruh biguanid menyebabkan naiknya produksi dan penumnan klirens dari asam laktat yang mengakibatkan naiknya konsentrasi laktat seluler. Potensial redo.ks intraseluler akan beralih dari metabolisme aerobik ke anaerobik. Penurunan aktivitas piruvat karboksilase yang
ASIDOSIS LAKTATPADA PASIEN SEPSIS
merupakan rate limiting enzyme pada pembentukan glukosa dari laktat dapat juga menurunkim metabolisme
Hubungan ar,tara perfusi jaringan dengan pH darah
laktat di hati. Pada tahun 1998 Brown dkk membandingkan angka
pertama kali dilaporkan oleh Cannon pada tahun 1918. Metabolisme oksidatif akan tertekan sebagai respon dari efek sitotoksik yang disebabkan oleh gangguan lintasan H* di mitokondria-sitoplasma. Hal ini akan.menyebabkan kebutuhan ATP tidak dapat dipenuhi melalui proses glikolisis dan menyebabkan terjadinya asidosis laktat.
Berdasarkan logika di atas, sehar,usnya peningkatan konsentrasi laktat akan berkurang sebanding dengan perbaikan oksigenasi selular. Namun dalam banyak kasus seringkali didapatkan konsentrasi laktat yang tetap meningkat meskipun oksigenasi selular membaik. Defek produksi energi oksidatif memang menyebabkan peningkatan laktat namun hal sebaliknya belum tentu benar, yaitu peningkatan laktat tidak harus merupakan akibat dari defek proses energi oksidatif. Saat ini asidosis laktat pada pasiensepsis diduga lebih banyak disebabkan oleh perubahan pada regulasi
metabolisme dibanding akibat hipoksia jaringan. Gangguan pada enzim piruvat dehidrogenase dapat terjadi
insidens dari asidosis laktat sebelum dan sesudah beredarnya Metformin di Amerika Serikat, mereka menemukan tidak ada perbedaan insidens. Sebelum ad,atya metformin, insidensnya sebesar 9,7-16,9 per 100,000. Pada suatu meta analisis oleh Salpeteq insidens asidosis laktat pada pasien DM tipe II yang menggunakan metformin sebesar 9;9 per 100.000, sedangkan yang tidak
menggunakan metformin sebesar 8,1 per 100.000. Sepertinya memang tidak terdapat perbedaan yang benrrakna antara insindens asidosis laktat pada pengguna Metform-in dengan insidens pada pasien dengan DM tipe II. Hal ini rnenunjukkan bahwa DM rnerupakan fakor risiko
untuk terjadinya asidosis laktat, bukan penggunaan metformin.
Sementara
itu pada penelitian lain diternukan
bahwa konsentrasi plasma metforrnin tidak berhubungan dengan konsentrasi, asam, laktat dalam darah. Temuan ini
tentunya semakin mempertanyakan hubungan kausal antara penggunaan mefformin dan asidosis laktat.
t92l
ASIDOSISLAKTITT
Etanol Penyebab penting dari asidosis laktat tipe B adalah intoksikasi etanol. Metabolisme etanol akan mengasilkan NADH dan akan mengakibatkan konversi dari piruvat menjadi laktat (Gambar 4).Keadaan ini biasanya ringan dan tidak membutuhkan pengobatan.
Guyton AC. Human physiology and mechanisms of disease. 3'd ed. W.B. Saunders Company, Philadelphia 1982. Huckabee W. Relationships of pyruvate and lactate during anaerobic metaboiism: Effects of infusion of pymvate or glucose and of hyperventilation. J Clin Invest 1958; 37:244-54 Iberti TJ, Leibowitz AB, Papadakps PJ, Fischer EP. Low sensitivity of the anion gap as a screen to detect hyperlactatemia in criticaly
ilI
patients. Crit Care Med 1990; 18: 275-6-
Mc CarterFD, Fischer JE. Lactate is an unreliable indicator of tissue hypoxia in injury or sepsis. Lancet 1999; 354:505-8. Kitabchi AE, Fisher N, Murphy MB, Rumbak MJ. Diabetic ketoacidosis and the hyperglycemic, hlperosmolar nonketotic state. In: Kahn CR & Weir GC, eds. Joslin's Diabetes, 2'd ed. A Waverly
James JH, Luchette FA,
Etanol NA Laktat
{-
-Asetildehid DH
+H-
Company 1994:738-770.
Piruvat
I
Glukosa Gambar 4. Etanol menyebabkan asidosis laktat
KESIMPULAN Asidosis laktat terjadi akibat peningkatan konsentrasi asam laktat darah, yang disebabkan gangguan perfusi dan hipoksemia. Dalam keadaan normoksemia, asidosis laktat dapat disebabkan oleh beberapa keadaan seperti biguanid dan etanol. Tingginya konsentrasi asam laktat dapat dipakai sebagai prediktor kegagalan metabolisme karbohidrat dan berat penyakit/kematian.
REFERENSI Bakker J, Coffemils M, Leon M, Gris B Vincent J-L. Blood lactate levels are superior to oxygen-derived variables in predicting outcome in human septic shock. Chest 1991; 99(4):956-62. Bakker J, Gris P, Coffernils M, Kahn RJ, Vincent J-L. Serial blood lactate levels can predict te development of multiple organ failure following septic shock. Am J Surg 1996; l7l(2):221-6. Broder G, Weil MH. Excess lactate : An index of reversibility of shock in human patients. Science, Match 7964; 143: 1457-9. Glycolysis and the catabolism of hexoses. In: Lehninger AL, Nelson DL, Cox M, eds. Principies of Biochrmistry, 2"d ed, Worth Publishers Inc 1993: 400-39.
Luft Friedrich. Lactic Acidosis Update for Critical Care Clinicians J Am Soc Nephrol 12:S15-S19, 2001. Disitasi dar\ : http:ll jasn.asnjournals.org/cgilcontent/full/12lsuppl-1/Sl 5 Disitasi tanggal 20 Januari 2006.
Luft FC. Lactic acidosis update for critical care clinicians. J Am Soc Nephrol 2A0l; 12: S15-S19. Luft D, Deichsel G, Schmulling RM, Stein W, Eggstein M. Definition of clinically relevant lactic acidosis in patients with internal diseases. Am J Clin Pathol 1983; 80: 484-9. McCormacUames, Kevin Johns, Hugh Tildesley. Metformin's contra indications should be contraindicated. Canadian Medical
Association. Journal. Ottawa: Aug 30, 2005. Vol.173, Iss.5; pg. 5o2,3 pgs. Disitasi dari : http://proquest.umi.com/
pqdweb?did: 893593471 &sid:1&Fmt= 3&clientld: 45625&RQT:309&VName:PQD Disitasi tanggal 15 September 2005. Mizock BA, Falk JL. Lactic acidosis in critical illness. Crit care med
1992;20:80-93. Mizock BA. Controversies in lactic acidosis: Implications in critically ill patients. Jama 1987;258(4): 497-501. Mustafa I. Pintas jantung paru pada bedah jantung menyebabkan gangguan metabolisme laktat di hati. Disertasi. Jakarta: Bagian
Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2000. Oh MS, Canoll HJ. Current concepts: The anion gap. N Engl J Med 197'1 ; 29'l(15): 814-7. Pillans. Metformin and fatal lactic acidosis. Centre for Adverse Reactions Monitoring (CARM), Dunedin. Disitasi dari http:// www.medsafe.govt.nzlProfs/Puarticles/5.Jrtm. Disitasi tanggal 20 Januari 2006.
The peripheral circulation during septic shock. In: Dhainaut JF, Thijs LG, Park G, eds. Septic shock, l"ted. WB Saunders 2000: 149-94.
300 KOMPLIKASI KRONIK DIABETES: MEKANISME TERIADINYA, DIAGNOSIS DAN STRATEGI PENGELOL L\N Sanryono Waspadji
PENDAHULUAN
primer sebagai mini klinik diabetes. Demikian pula beibagai rumah sakit dengan saranapengelolaan yang lebih canggih akan disibukkan dengan rujukan untuk kasus yang lebih kompleks. Baik apabilapara penyandang diabetes melitus tersebut di kelola pada tingkat pelayanan kesehatan primer maupun kemudian di tingkat pelayanan kesehatan yang
Dari berbagai penelitian epidemiologis sudah jelas terbukti
bahwa insidensi diabetes melitus (DM) meningkat menyeluruh di semua tempat di bumi kita ini. penelitian epidemiologis yang dikerjakan di Indonesia dan terutama di Jakarta dan berbagai kota besar di Indonesiajugajelas
lebih lengkap peralatannya, jelas tidak diragukan lagi perlunya identilftasi dini orang yang mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya komplikasi dan kemudian perlunya ditegakkan diagnosis dini komplikasi kronik DM. Semua hal tersebut diharapkan akan dapat mengurangi beban biaya yang harus dipikul masyarakat dibandingkan dengan mengelola komplikasi yang sudah terjadi. Walaupun jelas akan terjadinya beban komplikasi kronik DM yang semakin menggunung di depan kita, saat ini agaknya nasib para penyandang DM mungkin akan lebih cerah. Dari berbagai penelitian berskala besar sudah dapat dibuktikan bahwa dengan cara pengelolaan yang modern, disertai dengan pemantauan yang juga lebih baik akan dapat dicapai pengendalian keadaan metabolik yang lebih baik lagi. Demikian pula halnya dengan pengaruh yangjelas nyata dan baik dari pendidikan dan penyuluhan,
menunjukkan kecenderungan serupa. Peningkatan insidensi diabetes melitus yang eksponesial ini tentu akan
diikuti oleh meningkatnya kemungkinan terjadinya komplikasi kronik diabetes melitus. Berbagai penelitian prospektif j elas menunjukkan meningkatnya penyakit akibat penyumbatan pembuluh darah, baik mikrovaskular seperti retinopati, nefropati maupun makrovaskular seperti
penyakit pembuluh darah koroner dan juga pembuluh darah tungkai bawah. Retinopati merupakan sebab kebutaan yang paling mencolok pada penyandang diabetes melitus. Penyandang diabetes melitus semakin banyak memenuhi ruang dialisis dibanding dengan beberapa dekade sebelumnya. Demikian pula halnya dengan penyakit jantung koroner. Tentu saja pengaruh terhadap kesehatan masyarakat terutama jika ditinjau dari sudut biaya yang perlu dikeluarkan untuk mengelola komplikasi kronik tersebut akan sangat membengkak. Berbagai penelitian baik di negara maju maupun negara berkembang seperti di Republik Rakyat Cina jelas menunjukkan peningkatan biaya yang harus dikeluarkan jika komplikasi kronik diabetes sudah terjadi. Mengelola penyandang diabetes merupakan tugas yang akan menjadi semakin penting pada pelayanan kesehatan saat ini. Pengelolaan diabetes melitus akan banyak dilaksanakan pada tingkat pelayanan kesehatan
semuanya bersama secara bermakna akan dapat mencegah kemungkinan terjadinya komplikasi kronik DM, setidaknya
mengurangi laju perburukan komplikasi DM yang sudah terjadi.
Mengingat adanya berbagai kemajuan dalam bidang ilmu biologi kedokteran dan juga teknologi informasi, para klinisi dan para peneliti ditantang untuk selalu menambah khasanah pengetahuannya dan menerapkan apa yalg diketahuinya sedemikian rupa sehingga bermanfaat untuk efisiensi dan keberhasilan pengelolaan kesehatan terutama
1922
t923
KOMPLIKAITI KRONIK DIABETES
untuk penyandang diabetes. Diabetes memberikan pengaruh terhadap terjadinya komplikasi kronik melalui
adanya perubahan pada sistem vaskular. Pada penyandang diabetes melitus terjadi berbagai macam perubahan biologis vaskular dan perubahan-perubahan tersebut meningkatkan kemungkinan terj adinya komplikasi kronik diabetes melitus. Dengan demikian, pengetahuan mengenai diabetes dan komplikasi vaskularnya baik mengenai mekanisme terjadinya, metoda deteksi dini maupun strategi pengelolaannya menjadi penting unhrk dimengerti dan diketahui.
darah maupun sel mesangial keduanya distimulasi oleh sitokin. Kedua macam sel tersebut juga berespons terhadap
berbagai susbtansi vasoaktif dalam darah, terutama angiotensin II. Di pihak lain adanya hiperinsulinemia seperti yang tanpak pada DM tipe 2 alao pun juga pemberian insulin eksogen tetuyata akan memberikan stimulus mitogenik yang akan menambah perubahan yang
terjadi akibat pengaruh angiotensin pada sel otot polos pembuluh darah maupun pada sel mesangial. Jelas baik faktor hormonal maupun faktor metabolikberperan dalam patogenesis terjadinya kelainan vaskular diabetes. Jaringan kardiovaskular, demikian juga jaringan lain
yang rentan terhadap terjadinya komplikasi kronik MEKANISME TERJADINYA KOMPLIKASI KRONIK DIABETES MELITUS Jika dibiarkan tidak dikelola dengan baik, diabetes melitus akan menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi kronik,
baik mikroangiopati maupun makroangiopati. Adanya pertumbuhan sel dan juga kematian sel yang tidak normal
merupakan dasar terjadinya komplikasi kronik diabetes melitus. Kelainan dasar tersebut sudah dibuktikan
terjadi pada para penyandang diabetes melitus maupun juga pada berbagai binatang percobaan. Perubahan dasar/ disfungsi tersebut terutama terjadi pada endotel pembuluh darah, sel otot polos pembuluh darah maupun pada sel mesangial ginjal, semuanya menyebabkan perubahan pada pertumbuhan dan kesintasan sel, yang kemudian pada gilirannya akan menyebabkan terjadinya komplikasi vaskular diabetes. Pada retinopati diabetik proliferatif, didapatkan hilangnya sel perisit dan terjadi pembentukan mikroaneurisma. Di samping itu juga terjadi hambatan pada aliran pembuluh darah dan kemudian terjadi penlumbatan kapiler. Semua kelainan tersebut akan meyebabkan kelainan mikrovaskular berupa lokus iskemik dan hipoksia lokal.
Sel retina kemudian merespons dengan meningkatnya ekspresi faktor pertumbuhan endotel vaskular (Vascular Endothetial Gr ow th F actor : VE GF) dan selanjutnya memacu terjadinya neovaskularisasi pembuluh darah- Pada
nefropati diabetik, terjadi peningkatan tekanan glomerular, dan disertai meningkatnya matriks ekstraselular akan menyebabkan terjadinya penebalan membran basal, ekspansi mesangial dan hipertrofi glomerular. Semua itu akan menyebabkan berkurangnya area filtrasi dan kemudian terjadi perubahan selanjutny a yang mengarah ke terj adinya glomerulosklerosis. Terjadinya plak aterosklerosis pada daerah subintimal pembuluh darah yang kemudian berlanjut pada terbentuknya penyrmbatan pembuluh darah dan kemudian sindrom koroner akut semuanya sudah dibicarakan dengan
lebih rinci pada berbagai kesempatan lain.
Patogenesis terjadinya kelainan vaskular pada diabetes melitus meliputi terjadinya imbalans metabolik maupun hormonal. Pertumbuhan sel otot polos pembuluh
diabetes (aringan syaraf, sel endotel pembuluh darah dan
sel retina serta lensa) mempunyai kemampuan untuk memasukkan glukosa dari lingkungan sekitarke dalam sel tanpa harus memerlukan ins dtn (in s ul in i n d ep en d ent), agar dengan demikian jaringan yang sangat penting tersebut akan diyakinkan mendapat cukup pasokan glukosa sebelum glukosa tersebut dipakai untuk energi di otot maupun untuk kemudian disimpan sebagai cadangan lemak. Tetapi pada keadaan hiperglikemia kronik, tidak cukup teqadi down
regulation dari sistem transportasi glukosa yP+g noninsulin dependen ini, sehingga sel akan kebanjiran masuknya glukosa; suatu keadaan yang disebut sebagai
hiperglisolia.
Hiperglisolia kronik akan mengubah homeostasis biokimiawi sel tersebut yang kemudian berpotensi unflrk terjadinya perubahan dasar terbentuknya komplikasi kronik diabetes, yang meliputi beberapa jalur biokimiawi seperti jalur reduktase aldosa, jalur stres oksidatif sitoplasmik, jalur pleiotropik protein kinase C dan terbenfliknya spesies glikosilasi lanjut intraselular.
Jalur Reduktase Aldosa Padajalur reduktase aldosa ini, oleh enzim reduktase aldosa,
dengan adarrya coenzim NADPH, glukosa akan diubah menjadi sorbitol. Kemudian oleh sorbitol dehidrogenase dengan memanfaatkan nikotiamid adenin dinukleotida
teroksidasi (NAD*), sorbitol akan dioksidasi menjadi
fruktosa. Sorbitol dan fruktosa keduanya tidak terfosforilisasi, tetapi bersifat sangat hidrofi lik, sehing ga
lamban penetrasinya melalui membran lipid bilayer. Akibatnya te{adi akumulasi poliol intraselular, dan sel akan kembang, bengkak akibat masuknya air ke dalam sel karena proses osmotik. Sebagai akibat lain keadaan tersebut, akan terjadi pula imbalans ionik dan imbalans metabolit yang
secara keseluruhan akan mengakibatkan terjadinya kerusakan sel terkait. Aktivasi jalur poliol akan menyebabkan meningkatnya turn over NADPH, diikuti dengan menurunnya raslo NADPH sitosol bebas terhadap NADP*. Rasio sitosol NADPH terhadap NADP* ini sangat penting dan laitikal untuk fungsi pembuluh darah. Menurunnya rasio NADPH
1924
MEIABOLIKENDOI(RIN
sitosol terhadap NADP*
ini dikenal
sebagai keadaan
pseudohipoksia. Hal lain yang penting pula adalah bahwa sitosolik NADPH juga sangat penting dan diperlukan untuk proses defens antioksidans. Glutation reduktase juga memerlukan sitosolik NADPH untuk menetralisasikan berbagai oksidans intraselular. Menurunnya rasio NADpH
terhadap NADPT dengan demikian menyebabkan terjadinya stres oksidatif yang lebih besar. Terjadinya hipergliksolia melalui jalur sorbitol ini juga memberikan
pengaruh pada beberapa jalur metabolik lain seperti terj adinya glikasi nonenzimatik intraselular dan aktivasi protein kinase C.
Jalur Pembentukan Produk Akhir Glikasi Lanjut Proses glikasi protein non-enzimatik terjadi baik intra maupun ekstraselular. Proses glikasi ini dipercepat oleh adanya stres oksidatif yang meningkat akibat berbagai keadaan dan juga oleh peningkatan aldosa. Modifrkasi protein oleh karena proses glikasi ini akan menyebabkan terjadinya perubahan pada jaringan dan perubahan pada
sifat sel melalui terjadinya cross linking protein yang terglikosilasi tersebut. Perubahan ini akan menyebabkan perubahan {hngsi sel secara langsung, dapatjuga secara
tidak langsung melalui perubahan pengenalan oleh reseptornya atau perubahan pada tempat pengenalannya sendiri. Pengenalan produk glikasi lanjut yang berubah oleh
reseptorAGE (RAGE : Receplorfor Advanced Glycation End Product) mungkinmerupakan hal yangpenting untuk kemudian terjadinya komplikasi kronik diabetes. Segera setelah perikatan antara RAGE dan ligandnya, akan terjadi
aktivasi mitogen aclivated protein kinase (MAPK) dan transformasi
inti dari faktor traskripsi NF-kB, sehingga
terjadi perubahan transkripsi gen target terkait dengan mekanisme proinflamatori dan molekul perusak jaringan.
Jalur Protein Kinase Hiperglikemia intraselutar (hiperglisolia) akan menyebabkan meningkatnya diasilgliserol (DAG) intraselular, dan kemudian selanjutnya peningkatan protein Kinase C, terutama PKC Beta. Perubahan tersebut
kemudian akan berpengaruh pada sel endotel, menyebabkan terjadinya perubahan vasoreaktivitas
melalui keadaan meningkatnya endotelin
I
dan
menunmnya e-NOS. Peningkatan PKC akan menyebabkan
proliferasi sel otot polos dan juga menyebabkan terbentuknya sitokin serta berbagai faktor pertumbuhan seperti TGF Beta dan VEGF. Protein kinase C juga akan berpengaruh menurunkan aktivitas fibrinolisis. Semua
Jalur Stres Oksidatif Stres oksidatif terjadi jika ada peningkatan pembentukan radikal bebas dan menurunnya sistem penetralan dan pembuangan radikal bebas tersebut. Adanya peningkatan
stres oksidatif pada penyandang diabetes akan menyebabkan terjadinya proses autooksidasi glukosa dan
berbagai substrat lain seperti asam amino dan lipid. Peningkatan stres oksidatif juga akan menyebabkan terjadinya peningkatan proses glikasi protein yang kemudian berlanjut dengan meningkatnya produk glikasi lanjut. Peningkatan stres oksidatif pada gilirannya akan menyebabkan pengaruh langsung maupun tidak langsung
terhadap sel endotel pembuluh darah yaitu dengan terjadinya peroksidasi membran lipid, aktivasi faktor transkripsi (NF-rB), peningkatan oksidasi LDL dan kemudian juga pembentukan produk glikasi tanjut. Memang didapatkan saling pengaruh antara produk glikasi lanjut dan spesies oksigen reaktif (reactive oxygen spesies : ROS). Produk glikasi lanjut akan memfasilitasi
pembentukan spesies oksigen reaktif, sebaliknya spesies oksigen reaktif akan memfasilitasi pembentukan produk glikasi lanjut. Spesies okigen reaktif akan merusak lipid dan protein melalui proses oksidasi, cross linking dan fragmentasi yang kemudian memfasilitasi meningkatnya
produksi AGE. Sebaliknya produksi AGE juga akan memfasilitasi pembentukan ROS, melalui perubahan struktural dan perubahan fungsi protein (pembuluh darah, membran sel dsb) Seperti telah dikemukakan, proses selanjutnya setelah berbagai jalur biokimiawi yang mungkin berperan pada pembentukan komplikasi kronik DM melibatkan berbagai proses patobiologik seperti proses inflamasi, prokoagulasi
dan sistem renin angiotensin. PPAR juga dikatakan mungkin terlibat pada proses patobiologik terjadinya komplikasikronikDM.
lnflamasi Dari pembicaraan di atas tampak bahwa berbagai mekanisme dasar mungkin berperan dalam terbentuknya komplikasi kronik DM yaitu antaru lain aktivasi jalur
reduktase aldosa, stres oksidatif, terbentuknya produk akhir glikasi lanjut atau prekursornya serta aktivasi PKC, yang semuanya itu akan menyebabkan te{adinya disfungsi endotel, mengganggu dan mengubah sifat berbagai protein penting dan kemudian akan memacu terbentuknya sitokin proinflamasi serta faktor pertumbuhan seperti TGF-B danVEGF. Berbagai macam sitokin seperti molekul adhesi (ICAM, VICAM, E-selectin, P-selectin dsb.) dengan jelas sudah terbukti meningkat jumlahnya pada penyandang DM. Prototipe petanda adanya proses
keadaan tersebut akan menyebabkan perubahanperubahan yang selanjutnya akan mengarah kepada
inflamasi yaitu CRP danNF-rB padapenyandang DMjuga jelas meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi Alc. Jelas bahwa proses inflamasi penting pada terjadinya
proses angiopati diabetik.
komplikasikronikDM.
1925
KOMPLII(AIII KRONIK DIABETES
Peptida Vasoaktif Berbagai peptida berpengaruh pada pengaturan pembuluh
darah, dan disangka mungkin berperan pada terjadinya komplikasi kronik DM. Insulin merupakari peptida pengatur
yang terutama mengatur konsentrasi glukosa darah.
Setelah melihat berbagai kemungkinan j alur mekanisme
terjadinya komplikasi kronik DM serta selanjutnya keterlibatan berbagai proses patobiologik lain, tampak bahwa yang terpenting pada pembentukan dan kemudian lebih lanjut progresi komplikasi vaskular diabetes adalah
konsentrasi yang biasa didapatkan pada penyandang DM
hiperglikemia, resistensi insulin, sitokin dan substrat vasoaktif. Tampak pula bahwa apa pun jalur mekanisme
dan hipertensi, insulin dapat memfasilitasi terjadinya
yang terjadi dan proses lain yang terlibat yang terpenting
Insulin juga mempunyai peran pengatur mitogenik. Pada
hormon vasoaktif. Insulin secara fisiologis melalui NO dari
adalah adanya hiperglikemia kronik dan selanjutnya peningkatan glukosa sitosolik (hiperglisolia)' Apakah dengan menurunkan dan memperbaiki keadaan
endotel, mempunyai pengaruh terhadap terjadinya
hiperglikemia ini kemudian dapat terbukti akan menwunkan
vasodilatasi pembuluh darah. Pengaruh ini bergantung pada banyaknya insulin dalam darah (dose dependent).
komplikasi kronik DM? Beberapa penelitian epidemiologis dalam skala besar dan jangka lama seperti UKPDS telah dapat membuktikan
proliferasi sel seperti sel otot polos pembuluh darah. Insulin juga mempunyai pengaruh lain yaitu sebagai
Pada keadaan resistensi insulin dengan adanya hiperinsulinemia pengaruh insulin untuk terjadinya vasodilatasi akan menurun. Peptida vasoaktifyang lain adalah angiotensin II, yang
dikenal berperan pada patogenesis terjadinya pertumbuhan abnormal pada jaringan kardiovaskular dan
II dapat terjadi melalui 2 macam reseptor yaitu reseptor AI I dan reseptor
jaringan ginjal. Pengaruh angiotensin
AT2. Sebagian besar respons fisiologis terhadap angiotensin berjalan melalui reseptor AI1. Penghambatan
terhadap kerja angiotensin II memakai Ace inhibitor terbukti dapat mengurangi kemungkinan terjadinya penyakit kardiovaskular.
Prokoagulan Segera setelah terjadi aktivasi PKC akan terjadi penurunan
fungsi fibrinolisis dan kemudian akan menyebabkan meningkatnya keadaan prokoagulasi yang kemudian pada gilirannya akan menyebabkan kemungkinan penyumbatan pembuluh darah. Pada penyandang DM denganadanya
Liperglikemia melalui UerUagai mekanisnG akan menyebabkan terjadinya gangguan terhadap pengaturan berbagai macam fungsi trombosit, yang kemudian juga akan menambah kemungkinan terjadinya keadaan prokoagulasi pada penyandang DM. Dengan demikian jelas adanya peran faktor prokoagulasi pada kemungkinan terjadinya komplikasi kronik DM.
PPAR Ekspresi PPAR didapatkan pada berbagai jaringan
vaskular dan berbagai kelainan vaskular, terutama pada sel otot polos, endotel dan monosit. Ligand terhadap PPAR alpha terbukti mempunyai efek inflamasi. Pada tikus percobaan yang tidak mempunyai PPAR alpha didapatkan respons inflamasi yang memanjang jika tikus tersebut distimulasi dengan berbagai stimulus. Pada sel otot polos pembuluh darah, asam fibrat, (suatu ligand PPAR) terbukti dapat menghambat signal proinflamatori akibat rangsangan sitokin dari NF-kB dan APl. Dari beberapakenyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa PPAR terkait juga dengan terjadinya komplikasi kronik DM.
dengan sangat baik bahwa dengan memperbaiki hiperglikemia melalui berbagai cara dapat secara bermakna menurunldn komplikasi kronik DM, terutama komplikasi mikrovaskul ar, yatgmerupakan komplikasi kronik khas DM akibat hiperglikemia. Sedangkan untuk komplikasi makrovaskular walaupun jelas didapatkan penurunan tetapi penurunan tersebut tidak bermakna. Kemungkinan besar karena untuk terjadinya komplikasi makr.ovakular banyak sekali faktor lain selain hiperglikemia yang juga berpengaruh, seperti faktor tekanan darah danjuga faktor lipid. Pada UKPDS jelas didapatkan bahwa menurunkan tekanan darah tinggi dapat memberikan pengaruh yang
nyata bermakna terhadap penurunan komplikasi makrovaskular DM. Berbagai faktor lain terkait komplikasi
kronik DM, termasuk merokok tentu saja harus diperhatikan dalam usaha menurunkan tingkat kejadian berbagai komplikasi laonik DM. Pada pembicaraan berikut akan dikemukakan hal-hal yang perlu dikerjakan untuk berbagai faktor terkait komplikasi DM tersebut, yaitu untuk diagnosis dini dan strategi pengelolaannya.
CARADIAGNOSIS DINI Mencegah jauh lebih baik dari mengobati. Pemeo ini juga sangat tepat untuk diterapkan pada komplikasi kronik DM. Biaya yang diperlukan akan sangat membengkak
sekiranya sudah terjadi komplikasi kronik DM. Oleh karena itu mengenal berbagai faktor risiko terjadinya komplikasi vaskular kronik DM dan kemudian usaha menegakkan diagnosis dini menjadi sangat penting maknanya.
Retinopati Berbagai kelainan akibat DM dapat terjadi pada retina, mulai dari retinopati diabetik non-proliferatif sampai perdarahan
retina, kemudian juga ablasio retina dan lebih lanjut lagi dapat mengakibatkan kebutaan. Diagnosis dini retinopati dapat diketahui melalui pemeriksaan retina secara rutin.
1926
Pada
MEf,ABOIII(ENDOKRIN
praktik pengeloaan DM sehari-hari, dianjurkan untuk
memeriksa retina mata pada kesempatan pertama pertemuan dengan penyandang DM dan kemudian setiap tahun atau lebih cepat lagi kalau diperlukan sesuai dengan keadaan kelainan retinanya Ada beberapa cara untuk memeriksa retina:
Penyakit Jantung Koroner Kewaspadaan untuk kemungkinan terj adinya penyakit pembuluh darah koroner harus ditingkatkan terutama untuk mereka yatgmempunyai risiko tinggi terjadinya
kelainan aterosklerosis seperti mereka yang
. .
Fotografi Retina (cara penjaringan yang paling
.
Kelainan yang ada pada retina sangat bervariasi.
mempunyai riwayat keluarga penyakit pembuluh darah koroner atau pun riwayat keluarga DM yang kuat. Jika ada kecurigaan seperti misalnya ketidak-nyamanan pada daerah dada, harus segera dilanjutkan dengan pemeriksaan penjaring yang teliti untuk mencari dan menangkap kemungkinan adany a penyakit pembuluh darah koroner,paling sedikit dengan pemeriksaan EKG
Beberapa keadaaan memerlukan rujukan pada ahli penyakitmata.
pemeriksaan EKG dengan beban, serta sarana
.
. . .
Cara Langsung dengan memanfaatkan oftalmoskop standard Oftalmoskopi Indirek dengan slit lamp bio-microscope dianjurkan)
Rujukanharus sesegeramungkin: retinopatiproliveratif rubeosis iridis/glaukoma neovaskular, perdarahan
vitreous, retinopati lanjut
Rujukan sedini mungkin: Perubahan-perubahan pre-proliveratii Makulopati, Menurunnya tajam penglihatan lebih dari 2barispada karhr Snellen
Rujukan Rutin: katarak, retinopati diabetik non proliferatif yang tidak mengancam makula./ fovea
Nefropati Kelainan yang terjadipada ginjalpenyandang DM dimulai
dengan adanya mikroalbuminuria, dan kemudian berkembang menjadi proteinuria secara klinis, berlanjut dengan penurunan fungsi laju filtrasi glomerular dan berakhir dengan keadaan gagal ginjal yang memerlukan pengelolSan dengan pengobatan substitusi. Pemeriksaan untuk mencari mikroalbuminuria seyogyanya selalu dilakukan pada saat diagnosis DM ditegakkan dan setelah itu diulang setiap tahun. Penilaian terhadap adanya
mikroalbuminuria harus dilakukan dengan cermat dan perlu diulang beberapa kali untuk memberikan keyakinan yang lebih besar. Beberapa keadaan dapat
saat istirahat, kemudian dilanjutkan
dengan
konfirmasi diagnosis lain untuk deteksi dini CAD. Pada penyandang DM, rasa nyeri mungkin tidak nyata akibat adanya neruopati yang sering sekali terjadi pada penyandang DM.
Penyakit Pembuluh Darah Perifer Mengenali dan mengelola berbagai faktor risiko terkait terjadinya kaki diabetes dan ulkus diabetes merupakan hal yang paling penting dalam usaha pencegahan terjadinya masalah kaki diabetes. Adanya perubahan bentuk kaki (callus, kapalan, dll.), neurupati dan adanya penurunan suplai darah ke kaki merupakan hal yang
harus selalu dicari dan diperhatikan pada praktik pengelolaan DM sehari-hari. Penyuluhan pada para penyandang DM mengenai diabetes melitus pada umumnya serta perawatan kaki pada khususnya harus digalakkan. Memberdayakan penyandang diabetes agar dapat mandiri mencegah dan mengelola berbagai hal sederhana terkait terbentuknya ulkus kaki diabetes maupun berbagai komplikasi kronik DM lain merupakan
jasmani, infeksi saluran kemih, hematuria, minum
hal yang sangat penting untuk dilewatkan begitu saja. Penggunaan monofilamen SemmesWeinstein yang sangat mudah dan sangat sederhana perlu digalakkan untuk mendeteksi insensitivitas pada kaki yang
berlebihan, cara penampungan yang tidak tepat danjuga
potensial rentan untuk menyebabkan terjadinya
semen. dan mengharuskan agar dilakukan pengelolaan DM yang
masalah kaki diabetes dan ulkus diabetes. Demikian juga pengukuran rutin indeks ankle-brachial merupakan hal yang harus dilakukan pada setiap pengunjung poliklinik
lebih intensif termasuk pengelolaan berbagai faktor
DM.
risiko lain untuk terjadinya komplikasi kronik DM seperti tekanan darah, lipid dan kegemukan serta merokok.
Pendekatan multidisipliner dengan mengaktifkan tim multidisiplin pengelola kaki sangat penting dikembangkan di setiap sarana pengelola DM. Setiap penyandang
memberikan hasil positif palsu, seperti misalnya latihan
Ditemukannya mikroalbuminuria mendorong
Penyandang
DM dengan mikroalbuminuria seyogyanya
dikelola oleh dokter yang berpengalaman
dan
mumpuni dalam memodifikasi berbagai faktor risiko terkait terjadinya komplikasi kronik DM. Penyandang DM dengan
laju filtrasi glomerulus atau bersihan kreatinin < 30 mLl menit seyogyanya sudah dirujuk ke ahli penyakit ginjal untuk menjajagi kemungkinan dan untuk persiapan terapi pengganti bagi kelainan ginjalnya, baik nantinya berupa dialisis maupun transplantasi ginjal.
DM seyogyanya mendapatkan pencerahan
dan
kemudahan untuk mendap at lay anan tim multidisipliner tersebut. Pemeriksaan kaki lengkap berkala setiap tahun merupakan hal yang perlu dikerjakan untuk mencegah
terjadinya kaki diabetes/ulkus-gangren diabetes yang merupakan salah satu kompliksai kronik DM yang paling
ditakuti para penyandang DM maupun para pengelola DM.
t927
KOMPT,IKAIII KRONIK DIABETES
STRATEGI PENGELOI.AAN BERBAGAI KOMPLIKASI
KRONIKDM Dengan mengetahui berbagai faktor risiko terkait terjadinya komplikasi kronik diabetes melitus secara umum maupun faktorrisiko khusus kompikasi kronik diabetes melitus yang
tertentu seperti mikroalbuminuria untuk nefropati atau pun deformitas kaki untuk penyakit pembuluh darah perifer, kemudian dapat segera dilakukan berbagai usaha umum untuk pencegahan kemungkinan terjadinya komplikasi
kronik diabetes melitus.
Pengendalian Konsentrasi Glukosa ini pilar utama pengelolaan DM meliputi penyuluhan, pengaturan makan, kegiatan jasmani dan pemakaian obat hipoglikemiak oral maupun insulin, baik sendiri maupun dengan cara kombinasi berbagai obat hipoglikemiak. Usaha menggabungkan berbagai sarana pengelolaan tersebut sudah terbukti dapat dengan bermakna menurunkan Saat
insidensi komplikasi kronik DM, seperti yang sudah dibuktikanpada studi UKPDS, dan studi Kumamoto pada serta studi DCCT pada penyandang DM tipe l.Banyak sekali ditemui berbagai algoritma dan petunjuk praktis pengelolaan DM, termasuk yang diajukan oleh Perkumpulan Endokrinologi Indonesia pada tahwr 2002. Mengenai sasaran pengelolaan konsentrasi glukosa darah untuk dapat menghasilkan pencegahan komplikasi kronik yang maksimal juga banyak didapatkan pada berbagai buku dan sumber/ bacaan lain.
DM tipe 2
Tekanan Darah Untuk mendapatkan tekanan darah yang sebaik-baiknya guna mencegah komplikasi kronik DM, sudah banyak buku
petunjuk dan algoritma yarrg dikemukakan, juga oleh Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Obat penghambat sistem renin angiotensin (Inhibitor ACE, ARB atau pun kombinasi keduanya) dapat dipergunakan untuk mencegah
kemungkinan terjadinya dan kemungkinan semakin bertambah beratnya mikroalbuminuria. Cara menurunkan tekanan darah dan sasaran tekanan darah yang harus
dicapai pada penyandang DM juga sudah dibicarakan dengan lebih rinci pada bagian lain buku ini.
Pengendalian Lipid Mengenai pengelolaan lipid pada penyandang diabetes melitus juga sudah dibicarakan secara ekstensif. Pada pengelolaan dislipidemia, DM dianggap sebagai faktor risiko yang setara dengan penyakit jantung koroner, sehingga adanya DM pada dislipidemia harus dikelola secara lebih agresif dan sasaran pengelolaan lipid untuk penyandang DM seyogyanya lebih rendah daripada orang yang normal, non-DM, yaitu konsentrasi kolesterol
LDL kurang dari
100
mg/dl. Dianjurkan unflrk menurunkan
konsentrasi kolesterol LDL sampai 70 mgldLpada pasien dengan penyakit pembuluh darah koroner yang disertai DM atau dengan berbagai komponen sindrom metabolik lain seperti konsentrasi kolesterol HDL yang rendah, dan konsentrasi trigliserida yang tinggi. Demikian juga dengan adanya faktor risiko lain yang kuat, seperti misalnya pada
perokok berat.
Faktor Lain Pola hidup sehat: Pengubahan pola hidup ke arah pola hidup yang lebih sehat merupakan dasar penting utama usaha pencegahan dan pengelolaan komplikasi kronik DM. Pola hidup sehat harus selalu diterapkan dan dibudayakan sepanjang hidup. Walaupun belum ada bukti yang meyakinkan, merokok dikatakan dapat mempercepat timbulnya mikroalbuminuria
dan kemudian perkembangan lebih lanjut ke arah makroproteinuria. Merokok juga sudah dengan sangat jelas berperan penting pada terjadinya kelainan makrovaskular pada penyandang DM. Oleh karena itu berhenti merokok merupakan satu anjuran yang harus digalakkan bagi semua penyandang DM dalam. rangka pencegahan terjadinya komplikasi kronik DM secara umum.
Perencanaan makan: Perencanaan makan yang sesuai dengan anjuran pelaksanaan pola hidup meliputi anjuran mengenai jumlah masukan kalori secara keseluruhan
maupun persentase masing komponen diet baik makronutrien maupun mikronutrienny a, y ang tercakup secara keseluruhan dalam anjuran gizi seimbang bagi penyandang DM. Walaupun hubungan antara masukan protein tinggi dengan risiko terjadinya mikroalbuminuria maupun perburukan lebih lanjut mikroalbumiuria belum secara konklusif terbukti, pada metanalisis sudah dapat ditunjukkan bahwa paling sedikit pada penyandang DM tipe 1 yang disertai nefropati, restriksi masukan protein terbukti dapat memperlambat perburukan laju frltrasi glomerular. Saat ini dianjurkan untuk memberikan masukan protein sebanyak 0,8 g /kg berat badan idaman bagi penyandang DM dengan nefropati. Dianjurkan untuk memberikan protein dengan nilai
biologis yang tinggi. Sebagai pencegahan primer terjadinya komplikasi
konik DM, Aspirin sebanyak 75-162 mg terbukti bermanfaat dan dianjurkan pada semua penyandang DM di atas umur 40 tahun yang mempunyai risiko tambahan untuk terjadinya komplikasi seperti riwayat keluarga yang kuat, adanya hipertensi, dislipemia, merokok dan mikroalbuniuria.
Alfa tokoferol, asam alfa lipoik, dan asam askorbat merupakan zat yang dikatakan dapat mengurangi efek negatif stres oksidatif dan inflamasi pada penyandang DM.
1928
MEIABOLIKENT'OKRIN
CARA KHUSUS PENCEGAHAN DAN PENGELOI.AAN BERBAGAI KOMPLIKASI KRONIK DM
Di samping usaha pencegahan primer komplikasi kronik DM secaraumum seperti yang sudah dikemukakan di atas, berbagai usaha khusus dapat dikerjakan untuk masingmasing komplikasi kronik DM, baik berupa pencegahan primer komplikasi kronik maupun usaha memperlambat progresi komplikasi kronik yang sudah terjadi.
diperhatikan bahwa berbagai aspek pengelolaan harus dicermati dengan baik: kendali metabolik, kendali infeksi, kendali vaskular, keharusan untuk mengistirahatkan kaki untuk tidak mendapat beban, penyuluhar, agar penyandang DM dengan ulkus dan gangren DM dapat bekerja sama mencapai tujuan untuk menyelamatkan kaki, semua harus dikerjakan secara menyeluruh. Pendekatan pengelolaan dengan memanfaatkan kerja sama tim akan sangat membantu tercapainya keberhasilan usaha penyelamatan kaki diabetes ini.
Retinopati Pengobatan koagulasi dengan sinar laser terbukti dapat bermanfaat mencegah perburukan retina lebih lanjut yang kemudian mungkin akan mengancam mata. Fotokoagulasi dapat dikerjakan secara pan-retinal. Tindakan lain yang mungkin dilakukan adalah vitrektomi dengan berbagai macam cara. Demikian pula tindakan operatif lain seperti
perbaikan ablasio retinanya dapat dilakukan untuk menolong mencegah perburukan fungsi mata.
Nefropati Setelah berbagai cara pencegahan konservatif tidak berhasil menghambat laju perburukan filtrasi glomerular, dan kemudian sudah mencapai tahap gagal
ginjal-penyakit
ginjal tahap terminal, dapat dilakukan pengelolaan pengganti untuk membantu fungsi ginjal, baik berupa hemodialisis maupun dialisis peritoneal. Di samping kedua modalitas tersebut di atas, transplantasi ginjal merupakan
pilihan lain terapi pengganti fungsi ginjal yang dapat dilakukan pada penyandang DM dengan gagal ginjal.
Neuropati Adanya keluhan dan kemudian ditegakkannya diagnosis neuropati diabetik mengharuskan kita untuk berusaha mengendalikan konsentrasi glukosa darah sebaik mungkin. Pengelolaan keluhan neuropati umumnya bersifat simtomatik, dan sering pula hasilnya kurang memuaskan. Pada keadaan neuropati perifer yang disertai rasa sakit, berbagai usaha untuk pencegahan dan pengelolaan DM serta berbagai faktor risikonya harus juga dikerjakan. Berbagai obat simtomatik untuk nyerinya dapat pula diberikan, namun umumnya tidak banyak menj anjikan hasil yang baik. Saat ini didapatkan berbagai sarana yangdapat diberikan untuk mengatasi keluhan rasa nyeri yang hebat pada penyandang neuropati DM dengan nyeri ini. Berbagai
obat untuk mengurangi rasa nyeri dapat diberikan, Demikian pula obat berupa obat gosok seperti krim Capsaicin (Capzactn) dapat dipakai pada penyandang DM dengan neuropati yang menyakitkan. Dengan adanya pengetahuan baru mengenai terjadinya
komplikasi kronik DM, dan berbagai cara baru untuk
Penyakit Pembuluh Darah Koroner
mendeteksi dan kemudian mengelola komplikasi kronik DM dapat dimungkinkan keberhasilan usaha untuk mencegah,
Pengelolaan konservatif untuk penyakit pembuluh darah koroner dapat diberikan kepada penyandang DM. Berbagai
memperbaiki, atau paling sedikit mengurangi berbagai akibat komplikasi kronik DM ini. Nasib penyandang DM
obat tersedia untuk keperluan ini. Saat ini banyak cara baik semi-invasif maupun invasif yang dapat dipakai untuk menolong penyandang DM dengan penyakit pembuluh darah koroner. Tindakan melebarkan pembuluh darah koroner secara peniupan dengan balon dan pemasangan
gorong-gorotg (stent) merupakan cara yang banyak dimanfaatkan untuk memperbaiki fungsi pembuluh darah koronerjantung. Beberapa kasus lain memerlukan tindakan operatif bedah pintas koroner untuk memperbaiki fungsi
jantungnya.
Penyakit Pembuluh Darah Perifer Usaha mencegah terjadinya ulkus dan gangren kaki diabetik sering gagal dan penyandang DM jatuh ke keadaan terjadinya ulkus bahkan kemudian disertai gangren yang dapat merenggut nyawa. Usaha untuk menyelamatkan kaki dengan meng-optimalisasikan pengelolaan kaki menjadi sangat penting untuk dikerjakan. Pada pengelolaan ulkus/gangren kaki diabetik harus selalu
diharapkan akan lebih cerah.
KESIMPULAN DAN SARAN
. . .
Insidensi DM dan komplikasi kronik akibat DM meningkat dengan pesat di seluruh dunia, termasuk di Indonesia Mekanisme terjadinya komplikasi kronik DM sangat kompleks, mencakup beberapa jalur mekanisme biokimiawi dan beberapa proses patobiologik Deteksi dini berbagai komplikasi laonik DM seyogyanya
merupakanbagianrutin
.
praktik pengelolaan DM
sehari-hari Usaha pencegahan terjadinya komplikasi kronik DM
seyogyanya dilakukan dengan cermat dan sedini mungkin, yaitu dengan melakukan pengelolaan DM
sedemikian rupa sehingga tercapai sasaran pengendalian metabolik DM secara komprehensif
d
a
n
1929
KOMPLIKASI KRONIK DIABETES
holistik (mencakup bukan hanya mengenai konsentrasi
.
tetapijuga
mengenai tekanan darah, lipid, kegemukan dan mencegah merokok serta berbagai faktor risiko terjadinya komplikasi DM yang lain) Kemungkian terjadinya komplikasi kronik DM harus glukosa darah,
diantisipasi sedini mungkin dengan usaha deteksi dini, dan kemudian komplikasi yang sudah timbul segera dikelola sebaik-baiknya dengan memanfaatkan berbagai sarana dan cara yang mungkin dilakukan baik cara yang non invasif maupun kemudian jugaberbagai carayang invasif .
REFERENSI Devaraj S, Vega-Lopez S, Jialal I. Antioxidants, oxidative stress and inflammation in diabetes. In: Marso SP, Stern DM, Eds. Diabetes and Cardiovascular Disease: Integrating Science and Clinical Medicine. Philadelphia: Lipincot Williams & Wilkins; 2004.p.
t9-29.
LaRosa JC et al. N Engl J Med 2005;352:e-pages. Maclsaac RJ, Watts GF. Diabetes and the Kidney. In: Shaw
KM
and
Cummings MH, Eds. Diabetes Chronic Complications. Second Edition. John Wiley & Sons Ltd. 2005.p. 21-41. Marrero MB, Stem DM. Structure and Function of the Vessel Wall. In: Marso SP, Stern DM, Eds. Diabetes and Cardiovascular
Disease: Integrating Science and Clinical Medicine. Philadelphia:Lipincot Williams & Wilkins; 2004.p. 3-18. Meeking D, Holland E, Land D. Diabetes and Foot Disease. In: Shaw KM and Cummings MH, Eds. Diabetes Chronic Complications. Second Edition. John Wiley & Sons Ltd; 2005.p. 2l-41. Shotliff K, Duncan G. Diabetes and the Eye. In : Shaw KM and Cummings MH, Eds. Diabetes Chronic Complications Second Edition. John Wiley & Sons Ltd. 2005.p. l-21. The Indonesian Society of Endocrinology. Guidelines for the Management of Diabetes in Indonesia. Jakarta 2002. The American Diabetes Association. Standard of Medical Care in Diabetes. Diabetes Care. 2004; 27(1); S15-35.
The American Diabetes Association. Nutrition Principles and Recommendation in Diabetes. Diabetes Care. 2004;27(1); 53646. The American Diabetes Association Preventive foot care in
Fisher M, Shaw KM. Diabetes and the heart. In: Shaw KM and Cummings MH, Eds Diabetes Chronic complications, Second Edition. John Wiley & Sons Ltd; 2005.p. l2l-41. Grant PJ, Lucinda K, Summers M. Diabetes, impaired fibrinolysis and thrombosis. In: Marso SP, Stern DM, Eds. Diabetes and Cardiovascular Disease: Integrating Science and Clinical Medicine. Philadelphia: Liphcot Williams & Wilkins; 2004.p.269-85.
diabetes 2004; 27(l); S$'4. The American Diabetes Association. Dyslipidemia danagement in adults with diabetes. Diabetes Care. 2004;27(l); 568-71.
Grundy SM, et al. Circulation 2004;110:227 -39. He Zhiheng, Ma RCW, King GL. Role of Protein Kinase C Isoforms in Diabetic Vascular Dysfunction. In: Marso SR Stem DM, Eds.
The American Diabetes Association Nephropathy in diabetes Diabetes Care 2004;27(1); 579-83. The American Diabetes Association. Retinopathy in Diabetes. Diabetes Carc 2004; 27(1); 584-87. The American diabetes association. Hypertension Management in Adults with Diabetes Mellitus. Diabetes Care 2004; 27(l): 565-7. West IC. Radicals and oxidative stress in diabetes Diabetic Medicine. 2000; 17: 171-80.
Diabetes and Cardiovascular Disease: Integrating Science and Clinical Medicine. Philadelphia: Lipincot Williams & Wilkins; 2004.p. 37 -48. Kelly R, Steinhubl SR. Platelet Dysfunction. In: Marso SR Stem DM, Eds. Diabetes and Cardiovascular Disease: Integrating Science and Clinical Medicine. Philadelphia: Lipincot Williams& Wikins;
2004.p.251-61.
The American Diabetes Association. Smoking and,diabetes. Diabetes Carc. 20O4;27(1); 574-5. The American Diabetes Association. Aspirin Carc. 2004; 27(1); 572-3.
in
diabetes. Diabetes
301 RETINOPATI DIABETIK KarelPandelaki
PENDAHULUAN
Jalur Poliol Hiperglikemia yang berlangsung lama akan menyebabkan
Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan paling sering ditemukan pada usia dewasa antara 20 sampai 74 tahun. Pasien diabetes memiliki risiko 25 kati lebihmudah
produksi berlebihan serta akumulasi dari poliol yaitu suatu senyawa gula dan alkohol, dalam jaringan termasuk di lensa dan sarafoptik. Salah satu sifat dari senyawa poliol ialah tidak dapat melewati membrana basalis sehingga akan tertimbun dalam jumlah yang banyak di dalam sel. Senyawa poliol menyebabkan peningkatan tekanan osmotik sel dan menimbulkan gangguan morfologi maupun fungsional sel. Percobaan pada binatang menunjukkan inhibitor enzim
mengalami kebutaan dibanding nondiabetes. Risiko mengalami retinopati pada pasien diabetes meningkat sejalan dengan lamanya diabetes. Pada wal:tu diagnosis diabetes tipe I ditegakkan, retinopati diabetik hanya ditemukan pada kurang dari 5Yo pasien. Setelah 1 0 tahun, prevalensi meningkat medadi 40-50% dan sesudah 20 tahun lebih dari 90%o pasien sudah menderita retinopati diabetik. Pada diabetes tipe 2 ketika diagnosis diabetes ditegakkan, sekitar 25Yo sudah menderita retinopati diabetik nonp roliferatif (b ackground retinop athy). Setelah 20 tahun, prevalensi retinopati diabetik meningkat menjadi lebih dari 60Yo dalamberbagai derajat. DiAmerika Utara, 3,6ohpasiendiabetes tipe I dan 1,60lo pasien diabetes tipe 2 mengalami kebutaan total. Di Inggris dan Wales, sekitar
aldose reduktase (sorbinil) yang bekerja menghambat pembentukan poliol, dapat mengurangi atau memperlambat terjadinya retinopati diabetik. Namun, uji klinik pada manusia belum menunjukkan perlambatan dari progresifitas retinopati. Penggunaan sorbinil dalam penelitian Sorbinil Retinopathy Trialterhadap 497 pasien diabetes tipe I yang diamati selama 3-4 tahun tidak memberi pengaruh terhadap timbulnya retinopati dan neuropati. Sampai saat ini masih
terus diupayakan penelitian dengan menggunakan
1000 pasien diabetes tercatat mengalami kebutaan sebagian
penghambat enzim aldose reduktase yang lebih kuat.
atau total setiap tahun. Metode pengobatan retinopati diabetik dewasa ini telah mengalami perkembangan yang
Glikasi Nonenzimatik Glikasi nonenzimatik terhadap protein dan asam
sangat pesat sehingga risiko kebutaan banyak berkurang. Namun demikian, karenaangkakejadian diabetes di seluruh dunia cenderung makin meningkat maka retinopati diabetik masih tetap menjadi masalah penting.
deoksiribonukleat @NA) yang te{adi selama hiperglikemia dapat menghambat aktivitas enzim dan keutuhan DNA. Protein yang terglikosilasi membentuk radikal bebas dan akan menyebabkan perubahan fungsi sel. Penggunaan
ETIO.PATOGENESIS
aminoguanidin, yaitu suatu bahan yang menghambat pembentukan advanced glycation end product (AGE),
Meskipun penyebab retinopati diabetik sampai saat ini belum diketahui secara pasti, namun keadaaan hiperglikemia yarrg berlangsung lama dianggap sebagai faktor risiko utama. Ada tiga proses biokimiawi yang terjadi
pada tikus diabetes dilapurkan dapat mengurangi pengaruh diabetes terhadap aliran darah di retina, permeabilitas dan parameter mikrovaskular yang lain. Juga dilapurkan bahwa
pada hiperglikemia yang diduga berkaitan dengan timbulnya retinopati diabetik yaitu jalur poliol, glikasi
vasoaktif oksida nitrat. Beberapa efek lain dari
nonenzimatik dan pembentukan protein kinase C.
aminoguanidin kemungkinan bukan hanya disebabkan oleh
aminoguanidin dapat menghambat produksi senyawa
1930
1931
RETINOPAIIDIABETIK
penghambatan terhadap pembentukan AGE. Penelitian dengan menggunakan penghambat pembentukan AGE saat ini juga masih terus dilakukan.
Protein Kinase C Protein kinase C (PKC) diketahui memiliki pengaruh terhadap permeabilitas vaskular, kontraktilitas, sintesis membrana basalis dan proliferasi sel vaskular. Dalam kondisi hiperglikemia, aktivitas PKC di retina dan sel endotel meningkat akibat peningkatan sintesis de novo dari diasilgliserol, yaitu suatu regulator PKC, dari glukosa. Diasilgliserol terbukti diproduksi dalam jumlah yang banyak di retina mata dari anjing dengan galaktosemia yang disertai retinopati. Saat ini sedang dilakukan uji klinik penggunaan ruboxistaurin, suatu penghambat PKCaisoform, pada pasien retinopati diabetik. Frank RN,
Mekanisme Aldose reduktase lnflamasi
Protein kinase C
ROS
AGE
mengemukakan beberapa hipotesis mengenai mekanisme patogenesis retinopati diabetik dan kemungkinan terapi
Nitrit oxide
yang dapat dilakukan (Tabel 1). Selain pengaruh
Menghambat ekspresi gen
hiperglikemia melalui berbagai jalur metabolisme, sejumlah faktor lain yang terkait dengan diabetes melitus seperti peningkatan agregasi trombosit, peningkatan agregasi
eritrosit, viskositas darah, hipertensi, peningkatan lemak darah dan faktor pertumbuhan, diduga turut juga berperan dalam timbulnya retinopati diabetik.
synthase
Apoptosis sel perisit dan sel endotel kapiler retina VEGF
PEDF
PATOFISIOLOGI Retina merupakan suatu struktur berlapis ganda dari fotoreseptor dan sel saraf. Kesehatan dan aktivitas metabolisme retina sangat tergantung pada jaringan kapiler retina. Kapiler retina membentuk jaringan yang menyebar ke seluruh permukaan retina kecuali suatu daerah yang
disebut fovea. Kelainan dasar dari berbagai bentuk retinopati diabetik terletak pada kapiler retina tersebut. Dinding kapiler retina terdiri dari tiga lapisan dari luar ke
GH dan IGF-l
Terapi
Cara kerja Meningkatkan produksi sorbitol, menyebabkan kerusakan sel Meningkatkan perlekatan leukosit pada endotel kapiler, hipoksia, kebocoran, edema makula Mengaktifkan VEGF, diaktifkan oleh DAG Pada hiperglikemia Menyebabkan kerusakan enzim dan komponen sel yang penting Mengaktifkan enzim-enzim yang merusak Meningkatkan produksi radikal bebas, meningkatkan VEGF Menyebabkan hambatan terhadap jalur metabolisme sel Penurunan aliran darah ke retina, meningkatkan hipoksia Meningkat pada hiPoksia retina, nenimbulkan kebocoran, edema makula, neovaskular Menghambat neovasku larisesi, menurun pada hiperglikemia Merangsang neovaskularisasi
Aldose reduktase inhibitor Aspirin
lnhibitor terhadap PKC Bisoform Antioksidan
Aminoguanidi n
Amioguanidin
Belum ada
Belum ada
Fotokoagulasi pan-retinal
lnduksi produksi PEDF oleh gen PEDF Hipofisektomi, GH- receptor blocker, octreotide.
p116= protein kinase C; VEGF= vascular endothel grovtth factor; DAG= diacylglycerol; ROS= reactive oxygen species; AGE= advanced glycation end-product; PEDF= pigment-
epithetium-derived factor; 651= grovih factor; IGF-l= isulinlike grovtth factor l.
dalam yaitu sel perisit, membrana basalis dan sel endotel. Sel perisit dan sel endotel dihubungkan oleh pori yang
terdapat pada membran sel yang terletak diantara keduanya. Dalam keadaan normal, perbandingan jumlah
sel perisit dan sel endotel kapiler retina adalah l:1 sedangkan pada kapiler perifer yang lain perbandingan
tersebut mencapai 20:1. Sel perisit berfungsi mempertahankan struktur kapiler, mengatur kontraktilitas, membantu mempertahankan fungsi barrier dan transportasi kapiler serta mengendalikan proliferasi endotel. Membran basalis berfungsi sebagai barrier dengan mempertahankan
permeabilitas kapiler agar tidak terjadi kebocoran. Sel endotel saling berikatar, erat satu sama lain dan bersamasama dengan matriks ekstasel dari membran basalis
kapiler retina. Perubahan histopatologis kapiler retina pada retinopati diabetik dimulai dari penebalan membran basalis, hilangnya perisit dan proliferasi endotel dimana pada keadaan lanjut perbandingan antara sel endotel dan sel perisit dapat mencapai 10: I . Patofisiologi retinopati diabetik melibatkan lima proses dasar yang terjadi di tingkat kapiler yaitu: l) pembentukan mikroaneurisma, 2) peningkatan permeabilitas pembuluh darah, 3) penyumbatan pembuluh daruh,4) proliferasi pembuluh darah baru (neovascular) dan jaringan fibrosa di retina, 5) kontraksi dari jaringan
membentuk barrier yang bersifat selektif terhadap beberapa
fibrosis kapiler dan jaringan vitreus. Penyrmbatan dan hilangnya perfusi (nonperfusion) menyebabkan iskemia retina sedangkan kebocoran dapat terjadi pada semua
jenis protein dan molekul kecil termasuk bahan kontras fluoresensi yang digunakan untuk diagnosis penyakit
komponen darah. Kebutaan akibat retinopati diabetik dapat terjadi melalui beberapa mekanisme berikut: 1). edema
1932
makula atau nonperfusi kapileq 2). pembentukan pembuluh
METABOLIKENDOKRIN
diameter antara 15-60 im dan sering kelihatan pada bagian
darah baru pada retinopati diabetik proliferatif dan kontraksi jaringan fibrosis menyebabkan ablasio retina (retinal detachment), 3). pembuluh darah baru yang
posterior. Meskipun belum jelas penyebabnya, namun
terbentuk menimbulkan perdarahan preretina dan vitreus, 4). pembentukan pembuluh darah baru dapat menimbulkan glaukoma.
dinding kapiler akibat berkurangnya sel perisit, serta meningkatnya tekanan intra luminal kapiler. Kelainan morfologi lain ialah penebalan membran basalis, perdarahan ringan, eksudat keras yang tampak sebagai
Perdarahan adalah bagian dari stadium retinopati diabetik proliferatif dan merupakan penyebab utama dari kebutaan pernanen. Selain itu, kontraksi dari jaringan
fibrovaskular yang menyebabkan ablasio retina (terlepasnya lapisan retina) juga merupakan salah satu penyebab kebutaan pada retinopati diabetik proliferatif.
DIAGNOSIS DAN KLASIFIKASI
terjadinya mikroaneurisma diduga berhubungan dengan faktor vasoproliferatif yang dihasilkan endotel, kelemahan
bercak berwarna kuning dan eksudat lunak yang tampak
sebagai cotton wool spot. Perdarahan terjadi akibat kebocoran eritrosit, eksudat terj adi akibat keboco ran dan
deposisi lipoprotein plasma, sedangkan edema terjadi akibat kebocoran cairan plasma. Retinopati diabetik nonproliferatif berat sering disebut juga sebagai retinopati diabetik iskemik, obstruktif atau preproliferatif. Gambaran yang dapat ditemukan yaitu bentuk kapiler yang berkelok
tidak teratur akibat dilatasi yang tidak beraturan dan Diagnosis retinopati diabetik didasarkan atas hasil pemeriksaan funduskopi. Pemeriksaan dengan fundal fluorescein angiography (FFA) merupakan metode diagnosis yang paling dipercaya. Namun dalam klinik pemeriksaan dengan oftalmoskopi masih dapat digunakan unhrk skrining. Ada banyak klasifftasi retinopati diabetik yang dibuat oleh para ahli. Pada umumnya klasifikasi didasarkan atas beratnya perubahan mikrovaskular retina dan ada atau tidakadanya pembentukan pembuluh darah baru di retina. Early Treatment Diabetic Retinopathy Study Research Group (ETDRS) membagi retinopati diabetik atas nonproliferatif dan proliferatif. pertemuan Airlie House membagi retinopati diabetik atas 3 stadium yaitu stadium nonproliferatif, preproliferatif dan proliferatif. Retinopati diabetik digolongkan sebagai retinopati diabetik
nonproliferatif (RDNP) apabila hanya ditemukan perubahan mikrovaskular dalam retina. Kelainan fundus pada RDNP dapat berupa mikroaneurisma atau kelainan
intraretina yang disebut intraretinal microvascular abnormalities (IRMA) akibat peningkatan permeabilitas kapiler. Penyumbatan kapiler retina akan menimbulkan hambatan perfusi yang secara klinik ditandai dengan perdarahan, kelainan vena dan IRMA. Iskemia retina akibat hambatan perfusi akan merangsang proliferasi pembuluh darah baru (neovaskular). Neovaskular merupakan tanda khas retinopati diabetik proliferatif (RDP).
Retinopati Diabetik Nonproliferatif Retinopati diabetik nonproliferatif merupakan bentuk yang paling ringan dan sering tidak memperlihatkan gejala.
cotton wool spot, yaiit daerah retina dengan gambaran bercak berwarna putih pucat dimana kapiler mengalami sumbatan. Dalamwaktu 1-3 tahun, RDNP berat (retinopati preproliferatif) sering berkembang menjadi retinopati diabetik proliferatif sehingga merupakan calon untuk mendapat terapi fotokoagulasi, baik disertai maupun tidak disertai edemamakula.
Retinopati Diabetik Proliferatif Retinopati diabetik proliferatif ditandai dengan pembentukan pembuluh darah baru. Pembuluh darah baru tersebut hanya terdiri dari satu lapisan sel endotel tanpa sel perisit dan membrana basalis sehingga bersifat sangat rapuh dan mudah mengalami perdarahan. Pembuluh darah baru tersebut yatgat berbahaya karena bertumbuh secara abnormal keluar dari retina dan meluas sampai ke vitreus, menyebabkanperdarahan di sana dan dapat menimbulkan kebutaan. Perdarahan kedalam vitreus akan menghalangi transmisi cahaya ke dalam mata dan memberi penampakan berupa bercak warna merah, abu-abu atau hitam pada lapangan penglihatan. Apabila perdarahan terus berulang, dapat terjadi jaringan fibrosis atau sikatriks pada retina. Oleh karena retina hanya berupa lapisan tipis yang terdiri dari beberapa lapis sel saja, maka sikatriks dan jaringan fibrosis yang terjadi dapat menarik retina sampai terlepas
sehingga terjadi ablasio retina (retinal detachment). Pembuluh darahbaru dapatjuga terbentuk di dalam stroma dari iris dan bersama dengan jaringan fibrosis yang terjadi
dapat meluas sampai ke sudut dari chamber antrior. Keadaan tersebut dapat menghambat aliran keluar dari qqueous humor dan menimbulkan glaukoma neovaskular yang ditandai dengan meningkatnya tekanan intraokular.
Stadium ini sulit dideteksi hanya dengan pemeriksaan oftalmoskopi langsung maupun tidak langsung. Cara yang paling baik ialah dengan menggunakan foto fundus dan FFA. Mikroaneurisma yang terjadi pada kapiler retina merupakan tanda paling awal yang dapat dilihat pada RDNP. Dengan oftalmoskopi atau foto warna fundus,
baru yang meliputi
mikroaneurisma tampak berupa bintik merah dengan
vitreus.
Kebutaan dapat terjadi apabila ditemukan pembuluh darah Y+ daerah diskus, adanya perdarahan pre-retina, pembuluh darah baru yang terjadi di mana saja (neovas cul arization els auhere) yang disertai perdarahan, atau perdarahan di lebih dari separuh daerah diskus atau
1933
RETINOPAIIDABETIK
PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN Retinopati diabetik nonproliferatif Retinopati nonproliferatif minimal: terdapat > 1 tanda berupa dilatasi vena, mikoroaneurisma, perdarahan intraretina yang kecil atau eksudat keras Retinopati nonproliferatif rin$an sampai sedang: terdapat > 1 tanda berupa dilatasi vena derajat ringan, perdarahan, eksudat keras, eksudat lunak atau IRMA Retinopati nonproliferatif berat: terdapat > 1 tanda berupa perdarahan dan mikroaneurisma pada 4 kuadran retina, dilatasi vena pada 2 kuadran, atau IRMA pada 1 kuadran Retinopati nonproliferatif sangat berat: ditemukan > 2 tanda pada retinopati non-proliferatif berat.
1.
2.
Pencegahan dan pengobatan retinopati diabetik merupakan upaya yang harus dilakukan secara bersama untuk mencegah atau menunda timbulnya retinopati dan juga untuk memperlambat perburukan retinopati. Tujuan
utama pengobatan retinopati diabetik ialah untuk
3.
mencegah terjadinya kebutaan permanen. Pendekatan multidisiplin dengan melibatkan ahli diabetes, perawat edukator, ahli gizi, spesialis mata, optometris dan dokter
4.
umum, akan memberi harapan bagi pasien untuk
Retinopati diabetik proliferatif Retinopati proliferatif ringan (tanpa risiko tinggi): bila ditemukan minimal adanya neovaskular pada diskus (NVD) yang mencakup < lo dari daerah diskus tanpa disertai perdarahan preretina atau vitreus; atau neovaskular di mana saja di retina (NVE) tanpa disertai perdarahan preretina atau vitreus Retinopati proliferatif risiko tinggi: apabila ditemukan 3 atau 4 dari faktor risiko sebagai berikut, a) ditemukan pembuluh darah baru di mana saja di retina, b) ditemukan pembuluh darah baru pada atau dekat diskus optikus, c) pembuluh darah baru yang tergolong sedang atau berat yang mencakup > % daerah diskus, d) perdarahan vitreus Adanya pembuluh darah baru yang jelas pada diskus optikus atau setiap adanya pembuluh darah baru yang disertai perdarahan, merupakan dua gambaran yang paling sering ditemukan pada retinopati proliferatif dengan risiko tinggi.
1
2.
EIDRS= Early Treatment Diabetic Retinopathy Study; NVD= new vesse/s on disc; NVE= new vesse/s elsewhere
Makulopati Diabetik Makulopati diabetik merupakan penyebab kebutaan paling sering pada retinopati diabetik. Makulopati diabetik cenderung berhubungan dengan diabetes tipe 2 usia
lanjut, sedangkan retinopati proliferatif cenderung ditemukan pada usia muda. Tergantung perubahan utama yang terjadi pada kapiler retina, makulopati diabetik dapat
dibedakan dalam beberapa bentuk yaitu makulopati iskemik, makulopati eksudatif dan edema makula.
mendapatkan pengobatan yang optimal sehingga kebutaan
dapat dicegah. Kontrol glukosa darah yang baik merupakan dasar dalam mencegah timbulnya retinopati diabetik atau memburuknya retinopati diabetik yang sudah
ada. Metode pencegahan dan pengobatan retinopati diabetik saat ini meliputi:
. . .
.
kontrol glukosa darah kontrol tekanan darah ablasikelenjarhipofisismelaluipembedahanatauradiasi (jarang dilakukan) fotokoagulasi dengan sinar laser:
.
fotokoagulasi panretinal untuk RDP atau gfuukoma
neovaskular fotokoagulasi fokal untuk edema makula vitrektomi untuk perdarahan vitreus atau ablasio retina.
-
Pasien dengan retina normal atau RDNP minimal perlu
diperiksa setiap tahun karena pasien yang sebelumnya tanpa retinopati pada waktu diagnosis diabetes ditegakkan, 5%- lo%akan mengalami retinopati setelah 1 tahun. Pasien
RDNP derajat sedang dengan mikroaneurisma, perdarahan yalng jarang, atat ada eksudat keras tetapi tidak disertai edema makula perlu pemeriksaan ulang setiap 6-l2buJatt karena sering progresif. Suatu penelitian terhadap pasien diabetes tipe I ditemukan 16%o dari RDNP derajat sedang yang hanya ditandai eksudat keras dan mikroaneurisma, berkembang kearah stadium proliferatifhanya dalam waktu 4 tahun.
Makulopati iskemik terjadi akibat penyumbatan yang luas dari kapiler di daerah sentral retina. Makulopati eksudatif terjadi karena kebocoran setempat sehingga terbentuk eksudat keras seperti pada RDNP. Makulopati akesudatif
KontrolGlukosa Darah Untuk mengetahui pengaruh kontrol glukosa darah terhadap retinopati diabetik, Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) melakukan penelitian pada 1441 pasien diabetes tipe I yang belum disertai retinopati
perlu segera dilakukan terapi fotokoagulasi untuk
dan yang sudah menderita RDNP. Kelompok pasien yang
mencegah hilangnya visus secara permanen. Edema
belum disertai retinopati dan mendapat terapi intensif
makula terjadi akibat kebocoran yang difus. Apabila
dengan insulin selama 36 bulan mengalami penurunan risiko tejadi retinopati sebesar 76%. Demikian juga pada kelompok
keadaan tersebut menetap, maka akan terbentuk kista berisi
cairan yang dikenal sebagai edema makula kistoid. Bila keadaan ini terjadi maka gangguan visus akan menetap dan sukar diperbaiki. Dibanding dengan metode diagnostik yan glain, optical coherence tomography (OCT) merupakan metode yang paling baik untuk mendiagnosis makulopati diabetik.
yang sudah menderita retinopati, terapi intensif dapat mencegah risiko perburukan retinopati sebesar 54%. Efek perlindungan melalui mengendalikan glukosa darah juga terlihat dari hasil penelitian United Kingdom Prospective Diabetes Study (UI(JDS) terhadap diabetes tipe 2. Pasien diabetes yang diterapi secara intensif, setiap penurunan
1934
lo/o
HbAlc akan diikuti
MEIABOLIKENDOKRIN
dengan penurunan risiko
komplikasi mikrovaskular sebesar 35%. Hasil penelitian dari
DCCT dan UKPDS tersebut memperlihatkan bahwa meskipun kontrol glukosa darah secara intensif tidak dapat mencegah terjadinya retinopati secara sempurna, namun dapat mengurangi risiko timbulnya retinopati diabetik dan
memburuknya retinopati diabetik yang sudah ada. Secara klinik, kontrol glukosa darah yang baik dapat melindungi visus dan mengurangi risiko kemungkinan menjalani terapi fotokoagulasi dengan sinar laser.
Kontrol Hipertensi Untuk mengetahui pengaruh hipertensi terhadap retinopati diabetik, UKPDS menganalisis pasien diabetes tipe 2 yang dilakukan konhol tekanan darah secara ketat dibanding dengan konhol tekanan darah sedang melalui pengamatan selama 8 tahun. Kelompok pasien dengan kontrol tekanan darah secara ketat mengalami penurunan resiko progresifitas retinopati sebanyak 3 4Yo. Ap r opr i at e
Blood Control in Diabetes (ABCD) Study melakttkan penelitian terhadap kelompok pasien diabetes yang mendapat terapi hipertensi dengan target tekanan diastolik 240 mgldl,kolesterol LDL Z I 60 mgldl, kolesterol HDL < 35 mg/dl, tekanan darah > 140190 mmHg,
merokok, riwayat keluarga menderita PJK, mikroalbuminuria atau proteinuria
PENATAI-AKSANAAN Berdasarkan rekomendasi ADA, penatalaksanaan terhadap semua pasieh DM terutama ditujukan terhadap penurunan
risiko kardiovaskular secara komprehensif , yaitu meliputi . Pengobatan hiperglikemia dengan diet, obat-obat hipoglikemiak oral atau insulin . Pengobatanterhadapdislipidemia . Pemberianaspirin . Pengobatan terhadap hipertensi untuk mencapai tekanan darah < 130/80 mmHg denganACE inhibitor, angiotensin receptor blockers (ARB) atau penyekat p
.
300 mgl24 jam atau>200 ig/menit) pada minimal duakali pemeriksaan dalamkurun
Tahap 1. Terjadi hiperkofi dan hiperfiltrasi pada saat diagnosis ditegakkan. Laju filtrasi glomerulus dan laju
waktu3sampai6bulan.
ekskresi albumin dalam urin meningkat.
Di Amerika dan Eropa, nefropati diabetik merupakan penyebab utama gagal ginjal terminal. Angka kejadian nefropati diabetik pada diabetes melitus tipe I dan 2 sebanding, tetapi insidens pada tipe 2 sering lebih besar daripada tipe I karena jumlah pasien diabetes melitus tipe 2
Tahap 2. Secara klinis belum tampak kelainan yang berarti, laju filtrasi glomerulus tetap meningkat, ekskresi albumin dalam urin dan tekanan darah normal. Terdapat perubahan histologis awal berupa penebalan membrana basalis yang
tidak spesifik. Terdapat pula peningkatan volume mesangium fraksional (dengan peningkatan matriks
lebih banyak daripada tipe I . Di Amerika, nefropati diabetik merupakan salah satupenyebab kematiantertinggi di antara
mesangium).
komplikasi diabetes melitus, dan penyebab kematian tersering adalah karena komplikasi kardiovaskular. Secara epidemiologis, ditemukan perbedaan terhadap kerentanan untuk timbulnya nefropati daibetik, yang antara lain dipengaruhi oleh etnis, jenis kelamin serta umur saat diabetes timbul. semua
Tahap 3. Pada tahap ini ditemukan mikroalbuminuria atau nefropati insipien. Laju frltrasi glomerulus meningkat atau dapat menurun sampai derajat normal. Laju ekskresi albumin dalam urin adalah 20 - 200 ig/menit (30-300 mgl24 jam). Tekanan darah mulai meningkat. Secara histologis, didapatkan peningkatan ketebalan membrana basalis dan volume mesangium fraksional dalam glomerulus.
KLASIFIKASI
Tahap 4. Merupakan tahap nefropati yang sudah lanjut. Perubahan histologis lebih jelas, juga timbul hipertensi
Perjalanan penyakit serta kelainan ginjal pada diabetes
Tahap
1 2 3 4 5
pada sebagian besar pasien. Sindroma nefrotik sering
Kondisi Ginjal Hipertrofi Hiperfungsi Kelainan struktur Mikroalbuminuria persisten Makroalbuminuria Proteinuria
Uremia
AER = Albumin Excretion
Prognosis
N
Reversibel
N,lt Mungkinreversibel {./N mg/menit ,1. / N Mungkin reverdbel 6 > 200 mg/menit Rendah Hipertensi Mungkinbisastabilisasi Tinggi/ Rendah < 10 ml/ menit Hipertensi Kesintasan 2 tahun + 50%
20-
200
Rate , LFG = Laju Filtrasi Glomerulus (GFR),
N = normal, TD
42
=
Tekanan Darah
1943
NEFROPATIDIABETIK
ditemukan pada tahap ini. Laju filtrasi glomerulus menurun' sekitar l0 ml/menit/tahun dan kecepatan penurunan ini berhubungan dengan tingginya tekanan darah. Tahap 5. Timbulnya gagal ginjal terminal.
Disamping klasifikasi dari Mogensen, ada beberapa pembagian-pembagian lain seperti oleh National Kidney
Foundation (NKF) (dalam kelompok Diabetic Kidney Disease),kementerian kesehatan Jepang dan lainJain yang
umumnya bertujuan untuk menyeragamkan serta mempermudah diagnosis dan tatalaksana.
MIKROALBUMINURIA Mikroalbumimria umumnya didefinisikan sebagai ekskresi albumin lebih dari 30 mg per hari dan dianggap sebagai
prediktor penting untuk timbulnya nefropati diabetik
Gambar 1. Penapisan untuk mikroalbuminuria. (Disadur dari DeFronzo Diabetic Nephropathy, ADA, 2004)
(Thbel2).
Laju Ekskresi Albumin Urin
3OO 20 -2OO >200 >300
Mikroalbuminuria 30 -
Makroalbuminuia
Perbandingan Albumin Urin
30
-
300 (299)
>300
Internalional Society of Nephrolog,t (ISN) menganjurkan penggunaan perbandingan albumin
- kreatinine (albumin-
Gambar 2. Pemeriksaan lanjutan mikroalbuminuria. (Disadur dari
Vora JP & lbrahim M: Clinical Manifestations and Natural History of Diabetic Nephropathy, 2003)
creatinine ratlo -ACR) untuk kuantifikasi proteinuria serta
sebagai sarara follow-up. Perlu diingat bahwa banyak penyebab mikroalbuminuria di samping diabetes. Beberapa penyebab proteinuria lain yang
juga sering ditemukan adalah tekanan darah tinggi, serta umur lanjut. Selain itu, kehamilan, asupan protein yang sangat tinggi, stress, infeksi sistemik atau saluran kemih, dekompensasi metabolik akut, demam, latihan berat dan gagal jantung dapat meningkatkan laju ekskresi albumin urin.
Diagnosis ditegakkan jrka 2 dari 3 pemeriksaan berturut-turut dalam 3 bulan menunjukkan adanya milaoalbuminuria (Gambar 1).
Ada beberapa kondisi yang berhubungan dengan mikroalbuminuri a, antaralain: 1). milaoangiopati diabetik; 2). penyakit kardiovaskular; 3). hipertensi, 4). hiperlipidemia karena itu jika ditemukan mikroalbuminuria, maka perlu
dari mekanisme patogenik dalam laju kerusakan ginjal. Penelitian Brenner dkk pada hewan menunjukkan bahwa
saat jumlah nefron mengalami pengurangan yang berkelanjutan, filtrasi glomerulus dari nefron yang masih
sehat akan meningkat sebagai bentuk kompensasi' Hiperfiltrasi yang terjadi pada sisa nefron yang sehat lambat laun akan menyebabkan sklerosis dari nefron tersebut.
Mekanisme terjadinya peningkatan laju filtrasi
glomerulus pada nefropati diabetik ini masih belum jelas benal tetapi kemungkinan disebabkan oleh dilatasi arteriol aferen oleh efek yang tergafltung glukosa, yar,g diperantarai hormon vasoaktif, IGF-1, Nitric Oxide,
(Gambar2).
prostaglandin dan glukagon. Efek langsung dari hiperglikemi a adalah rangsangan hipertrofi sel, sintesis matriks ekstraseluler, serta produksi TGF-p yang
PATOFISIOLOGI
termasuk dalam serine-threonin kinase yang memiliki fungsi pada vaskular seperti kontraktilitas, aliran darah, proliferasi
dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan lanjutan lain
Sampai saat ini, hiperfiltrasi masih dianggap sebagai awal
diperantarai oleh aktivasi protein kinase-C (PKC) yang
sel dan permeabilitas kapiler. Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan terjadinya glikasi nonenzimatik asam amino
1944
METABOIIKENDOIRIN
dan protein (reaksi Mallard dan Browning). pada awalnya, glukosa akan mengikat residu amino secara non-enzimatik menjadi basa Schiff glikasi, lalu tery'adi penyusunan ulang
untuk mencapai bentuk yang lebih stabil tetapi masih reversibel dan disebut sebagai produk amadori. Jika proses
ini berlanjut terus, akan terbentuk Advanced Glycation End-Products (AGEs) yang ireversibel. AGEs diperkirakan menjadi perantara bagi beberapa kegiatan seluler seperti
ekspresi adhesion molecules yang berperan dalam penarikan sel-sel mononuklear, juga pada terjadinya hipertrofi sel, sintesa matriks ekstraseluler serta inhibisi sintesis Nitric Oxide. Proses ini akan terus berlanjut sampai terjadi ekspansi mesangium dan pembentukan nodul serta fibrosis tubulointerstisialis sesuai dengan tahap-tahap dari Mogensen. Hipertensi yang timbul bersama dengan bertambahnya kerusakan ginjal, juga akan
mendorong sklerosis pada ginjal pasien diabetes. Penelitian pada hewan diabetes menunjukkan adanya vasokonstriksi arteriol sebagai akibat kelainan renin/ angiotensin sistem. Diperkirakan bahwa hipertensi pada diabetes terutama disebabkan oleh spasme arteriol eferen intrarenal atau intraglomerulus. Secara ringkas, faktor-faktor etiologis timbulnya penyakit ginjal diabetik adalah : . kurang terkendalinya kadar gula darah (gula darah
. .
puasa > 1 4G- I 60 mgl dl [7,7 -8, 8 mmot/l]
faktor-faktorgenetis
);
A I C >7 -8yo
pelepasan growth factors kelainan metabolisme karbohidrat / lemak/protein kelainan struktural (hipertrofi glomerulus, ekspansi mesangium, penebalan membrana basalis glomerulus) gangguan ion pumps (peningkatan Na*-H* pump dan
.
penumnan Ca2*-ATPase pump)
. .
hiperlipidemia(hiperkolester:rclemiadanhipertrlgliseridemia)
aktivasi protein kinase C
PATOLOGI Secara histologis, gambaran utama yang tampak adalah penebalan membran basalis, ekspansi mesangium (berupa akumulasi matriks ekstra seluler; penimbunan kolagen tipe
IV, laminin dan fibronektin) yang kemudian
akan menimbulkan glomerulosklerosis noduler dan/atau difu s (Kimmelstiel-Wilson), hyalinosis arteriolar aferen dan eferen, serta fibrosis tubulo-interstisial (Tabel 3).
. .
o
.
o
o
Peningkatan material matriks mesangium Penebalan membrantasalis glomerulus Hialinosis arteriol aferen dan eferen Penebalan membran basalis tubulus Atrofi tubulus Fibrosis interstisial
kelainan hemodinamik (peningkatan aliran darah ginjal
dan laju filtrasi glomerulus, peningkatan tekanan
. . . . . .
. . .
inhaglomerulus) hipertensi sistemik sindrom resistensi insulin (sindroma metabolik) keradangan perubahan permeabilitas pembuluh darah asupan protein berlebih
gangguan metabolik (kelainan metabolisme polyol,
pembentukan advanced glycation end products, peningkatan produksi sitokin)
TATA!.AKSANA Evaluasi. Pada saat diagnosa diabetes melitus ditegakkan, kemungkinan adanya pemrrunan fungsi ginjal juga harus diperiksa, demikian pula saat pasien sudah menjalani pengobatan rutin. Pemantauan yang dianjurkan oleh
American Diabetes Association (ADA) adalah pemeriksaan terhadap adanya mikroalbuminuria serta penentuan kreatinin serum dan klirens kreatinin (Tabel 4).
Penentuan
mikroalbuminuria
Evaluasi awal
Follow-up*
Sesudah pengendalian gula darah awal (dalam 3
Diabetestipel:tiap
bulan
Klirens kreatinin
diagnosis ditegakkan) Saat awal diagnosis ditegakkan
tahun setelah 5 tahun Diabetes tipe 2; tiap tahun setelah diagnosis ditegakkan
Tiapl-2tahun sampai laju filtrasi glomerulus 6 mg/dl) dianjurkan untuk memulai dialisis (hemodialisis atau peritoneal dialisis),
walaupun masih ada perbedaan pendapat mengenai kapan
sebaiknya terapi pengganti ginjal
ini dimulai. Pilihan
pengobatan gagal ginjalterminal yang lain adalah cangkok ginjal, dan pada kasus nefropati diabetik di negara maju
sudah sering dilakukan cangkok ginjal dan pankreas sekaligus.
Rujukan. BaikADAmaupun ISN dan NKI menganjurkan rujukan kepada seorang dokter yang ahli dalam perawatan nefropati diabetikjika laju frltrasi glomerulus mencapai < 60 mllmen/1,73m2, atau jika ada kesulitan dalam mengatasi
hipertensi atau hiperkalemia, serta rujukan kepada konsultan nefrologijika laju filtrasi glomerulus mencapai < 30 mVmen/l,73m2, atau lebih awal jika pasien berisiko
mengalami penurunan fungsi ginjal yang cepat atau diagnosis dan prognosis pasien difagukan.
REFERENSI American Diabetes Association: Standards of medical care in diabetes (Position statement). Diabetes Carc, 2004; 27(Suppl. l):S 1 5. American Diabetes Association: Nephropathy in diabetes (Position statement). Diabetes Care, 2004; 27(Supp1. l):S79. Brownlee M: Mechanisms of hyperglycemic damage in diabetes, in: Kahn CR (ed): Atlas of diabetes. Science Press Ltn;2000, p.l2l. Car SJ: Management of end-stage renal disease in diabetes, in Johnson RJ et al (eds): Comprehensive Clinical Nephrol, 2"d ed. St Louis:Mosby; 2001. p.451. Chobanian AV et al: The Seventh report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure: the JNC 7 report. JAMA 2003;
289:2560, Cooper ME, Gilobert RE: Pathogenesis, prevention, and treatment of diabetic nephropathy, in Johnson RJ et al (eds): Comprehensive Clinical Nephrology, 2"d ed. St Louis: Mosby; 2001,p.439. The DCCT / EDIC Research Group: Retinopathy and nephropathy in patients with type 1 diabetes four years after a trial of intensive therapy. N Eng J Med 2000; 342:381.
DeFronzo RA: Diabetic nephropathy, in Lebovitz HE (ed): Therapy for diabetes mellitus and related disorders, 4ft ed, American Diabetes Associatiot, 2004, p. 369. Haneda M, Koya D, Kikkawa: Mesangial cell dysfunction as a pathogenesis of diabetic nephropathy, in Tomino Y (ed): Diabetic nephropathy in Japan. From bench to bedside. Tokyo; Karger: 2001. p.16. The Heart Outcomes Prevention Evaluation (HOPE) Study Investigators: Effects of ramipril on cardiovascular and microvascular outcomes in people with diabetes mellitus: Results of the HOPE study and MICRO-HOPE study. Lancet 2000;355: 253. Lubis HR: Penanganan dini untuk memperlambat progresi penyakit ginjal diabetik. The 5th Jakarta Nephrology and Hypertension Course and Symposium on Hypertension. Jakarta: 2005. Mogensen CE: Nephropathy and hypertension in diabetic patient, in: Belfrore F, Mogensem CE (eds): New concept in diabetes and its treatment. Bazel, Karger,2000. p.52. National Kidney Foundation: K.TDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification and Stratification. Am J Kidney Dis 2002;39:S1. National Kidney Foundation: IUDOQI Clinical Practice Guidelines on Hypertension and Antihypertensive Agents in Chronic Kidney Disease. Am J Kidney Dis 2004;43:S1. Powers AC: Diabetes Mellitus, in Kasper DL et.al (eds): Harrison's Principles of Internal Medicine, 16ti ed. New York: McGraw
Hill;2005. p.2ls2. Roesli RMA: Peran faktor risiko pada progresivitas penyakit ginjal diabetik. The 5u Jakarta Nephrology and Hypertension Course and Symposium on Hypertension. Jakarta: 2005. Schrier et a1 (eds): The role of hypertension in progression of chronic renal disease, in: Essential atlas of nephrology. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2001.p.153. Situmorang TD: Perjalanan klinik penyakit ginjal diabetik. The 5th Jakarta Nephrology and Hypertension Course and Symposium on Hypertension. Jakarta: 2005.
Skyler JS: Microvascular complications, retinopathy nephropathy. Endocrinol. Metab. Clin. North.
The
and
Am 2001;30:833.
UK Prospective Diabetes Study Group: Tight blood
pressure
control and risk of macrovaScular and microvascular complications
in type 2 diabetes: UKPDS 38.
BMJ
1998;317:703 . Vora JP, Ibrahim AAH: Clinical Manifestation and natural history of diabetic nephropathy, in Johnson RJ et al (eds): Comprehensive Clinical Nephrology, 2"d ed. St Louis: Mosby; 2001. p.425. Wolf G Ritz E: Diabetic nephropathy in type 2 diabetes. Prevention and patient management. J. Am. Soc. Nephrot 2003;14:2.
304 NEUROPATI DIABETIK Imam SubeKi
PENDAHULUAN
tidak mengurangi keluhan, sehingga kualitas hidup dapat diperbaiki.
Neuropati diabetik (ND) merupakan salah satu komplikasi
Dengan demikian, memahami mekanisme terjadinya ND dan faktor-faktor yang berperan, merupakan landasan
kronis paling sering ditemukanpada diabetes melitus @M). Risiko yang dihadapi pasien DM dengan ND antara lain ialah infeksi berulang, ulkus yang tidak sembuh-sembuh dan amputasi jari/kaki. Kondisi inilah yang menyebabkan
penting dalam pengelolaan dan pencegahan ND yang lebih
rasional.
bertambahnya angka kesakitan dan kematian, yang berakibat pada meningkatnya beaya pengobatan pasien DM denganND. Hingga saat ini patogenesis ND belum seluruhnya diketahui denganjelas. Namun demikian dianggap bahwa hiperglikemia persisten merupakan faktor primer. Faktor metabolik ini bukan satu-satunyayang bertanggung jawab terhadap terjadinya ND, tetapi beberapa teori lain yang diterima ialah teori vaskular, autoimun dannerve growth factor. Studi prospektif oleh Solomon dkk, menyebutkan bahwa selain peran kendali glikemik, kejadian neuropati juga berhubungan dengan risiko kardiovaskular yang
DEFINISI Dalam konferensi neuropati perifer pada bulan Februari 1988 di SanAntonio, disebutkanbahwaND adalah istilah deskriptif yang menunjukkan adanya gangguan, baik klinis maupun subklinis, yang terjadi pada diabetes melitus tanpa penyebab neuropati perifer yang lain. Gangguan neuropati ini termasuk manifestasi somatik dan atau autonom dari sistem sarafperifer.
potensial masih dapat dimodifikasi. Manifestasi ND bisa sangat bervariasi, mulai dari tanpa keluhan dan hanya bisa terdeteksi dengan pemeriksaan elektrofisiologis, hingga keluhan nyeri yang hebat. Bisa
Berbagai studi melaporkan prevalensi ND yang bervariasi. Bergantung pada batasan definisi yang digunakan, kriteria
juga keluhannya dalam bentuk neuropati lokal atau
diagnostik, metode seleksi pasien dan populasi yang
sistemik, yang semua itu bergantung pada lokasi dan jenis saraf yang terkena lesi. Mengingat terj adinya ND merupakan rangkaian proses yang dinamis dan bergantung pada banyak faktor, maka
diteliti, prevalensi ND berkisar dari 12-50%. Andkakejadian dan derajat keparahan ND juga bervariasi sesuai dengan usia, lama menderita DM, kendali glikemik, juga fluktuasi kadar glukosa darah sejak diketahui DM. Pada suatu penelitian besar, neuropati simtomatis ditemukan pada 28,syo dari 6.500 pasien DM. Pada studi Rochester,
pengelolaan atau pencegahan ND pada dasarnya merupakan bagian dari pengelolaan diabetes secara
PREVALENSI
keseluruhan. Untuk mencegah agar ND tidak berkembang menjadi ulkus diabetik seperti ulkus atau gangren pada kaki, diperlukan berbagai upaya khususnya pemahaman pentingnya perawatan kaki. Bila ND disertai dengan nyeri, dapat diberikan berbagai jenis obat-obatan sesuai tipe
walaupun neuropati simtomatis ditemukan hanyapada l3o/o pasien DM, ternyata lebih dari setengahnya ditemukan
nyerinya, dengan harapan menghilangkan atau paling
neuropati hanya dijump ai pada 2,3Yo.
neuropati dengan pemeriksaan klinis. Studi lain melaporkan kelainan kecepatan hantar saraf sudah didapati
pada
1947
15,2%o
pasien DM baru, sementara tanda klinis
1948
PATOGENESIS
Proses kejadian ND berawal dari hiperglikemia berkepanj angan yang berakibat terjadinya peningkatan aktivitas jalur poliol, sintesis adyance glycosilation end products (AGEs), pembentukan radikal bebas dan aktivasi protein kinase C (PKC). Aktivasi berbagai jalur tersebut
MEIABOIJI(ENDOKRIN
Kelainan Vaskular Penelitian membuktikan bahwa hiperglikemia juga mempunyai hubungan dengan kerusakan mikrovaskular. Hiperglikemia persisten merangsang produksi radikal bebas oksidatif yang disebut reactive oxygen species (ROS). Radikal bebas ini membuat kerusakan endotel vaskular dan menetralisasi NO, yang berefek menghalangi
berujung pada kurangnya vasodilatasi, sehingga aliran
vasodilatasi mikrovaskular. Mekanisme kelainan
darah ke saraf menurun dan bersama rendahnya
mikrovaskular tersebut dapat melalui penebalan membrana basalis ; trombosis pada arteriol intraneural; peningkatan
mioinositol dalam sel terjadilah ND. Berbagai penelitian membuktikan bahwa kejadian ND berhubungan sangat kuat dengan lama dan beratnya DM.
Faktor Metabolik Proses terjadinya ND berawal dari hiperglikemia yang berkepanjangan. Hiperglikemia persisten menyebabkan aktivitas j alur poliol meningkat, yaitu te{'adi aktivasi enzim aldose-reduktase, yang merubah glukosa menjadi sorbi-
agregasi trombosit dan berkurangnya deformabilitas eritrosit; berkurangnya aliran darah saraf dan peningkatan resistensi vaskular; stasis aksonal, pembengkakan dan demielinisasi pada saraf akibat iskemia akut. Kejadian neuropati yang didasari oleh kelainan vaskular masih bisa dicegah dengan modifikasi faktor risiko kardiovaskular, yaitu kadar trigliserida yang tinggi, indeks massa tubuh, merokok dan hipertensi.
tol, yang kemudian dimetabolisasi oleh sorbitol dehidrogenase menjadi fruktosa. Akumulasi sorbitol dan
Mekanisme lmun
fruktosa dalam sel saraf merusak sel saraf melalui
Suatu penelitian menunjukkan bahwa 22o/o dari 120 penyandang DM tipe 1 memiliki complement fi.xing
mekanisme yang belum jelas. Salah satu kemungkinannya
ialah akibat akumulasi sorbitol dalam sel saraf menyebabkan keadaan hipertonik intraselular sehingga mengakibatkan edem saraf. Peningkatan sintesis sorbitol berakibat terhambatnya mioinositol masuk ke dalam sel saraf. Penurunan mioinositol dan akumulasi sorbitol secara langsung menimbulkan stres osmotik yang akan merusak mitokondria dan akan menstimulasi protein kinase C
(PKC). Aktivasi PKC ini akan menekan fungsi NaK-ATP-ase, sehingga kadar Na intraselular menjadi berlebihan, yang berakibat terhambatnya mioinositol masuk ke dalam sel saraf sehingga terjadi gangguan transduksi sinyal pada saraf. Reaksi jalur poliol ini juga menyebabkan turunnya persediaan NADPH saraf yang merupakan kofaktor penting dalam metabolisme oksidatif. Karena NADPH merupakan kofaktor penting wtok glutathion dan nitric oxide synthase (NOS), pengurangan kofaktor tersebut membatasi kemampuan saraf untuk mengurangi radikal bebas dan pennnman produksi nitric oxide Q\O).
Disamping meningkatkan aktivitas jalur poliol, hiperglikemia berkepanjangan akan menyebabkan terbentuknya adyance glycosilation end products (AGEs). AGEs ini sangat toksik dan merusak semua
protein tubuh, termasuk sel saraf. Dengan terbentuknya AGEs dan sorbitol, maka sintesis dan fungsi NO akan menurun, yang berakibat vasodilatasi berkurang, aliran
darah ke saraf menurun, dan bersama rendahnya mioinositol dalam sel saraf, terjadilah ND. Kerusakan aksonal metabolik awal masih dapat kembalipulih dengan kendali glikemik yang optimal. Tetapi bila kerusakan
metabolik ini berlanjut menjadi kerusakan iskemik, maka kerusakan struktural akson tersebut tidak dapat diperbaiki lagt.
antisciatic nerve antibodies dan 25% DM tipe
2
memperlihatkan hasil yang positip. Hal ini menunjukkan bahwa antibodi tersebut berperan pada patogenesis ND.
Bukti lain yang menyokong peran antibodi dalam mekanisme patogenik ND adalah adanya antineurql anti-
bodies pada serum sebagian penyandang DM. Autoantibodi yang beredar ini secara langsung dapat merusak struktur saraf motorik dan sensorik yang bisa dideteksi dengan imunofloresens indirek. Disamping itu adanya penumpukan antibodi dan komplemen pada
berbagai komponen saraf suralis memperlihatkan kemungkinan peran proses imun pada patogenesis ND.
Peran Nerve Growth Factor(NGFI NGF diperlukan unruk mempercepat dan mempertahankan pertumbuhan saraf. Pada penyandang diabetes, kadar NGF serum cenderung turun dan berhubungan dengan derajat neuropati. NGF juga berperan dalam regulasi gen
substance
P
dan calcitonin-gen-regulated peptide
(CGRP). Peptida ini mempunyai efek terhadap vasodilatasi, motilitas intestinal dan nosiseptif, yang kesemuanya itu mengalami gangguan pada ND.
KLASIFIKAS! Neuropati diabetik merupakan kelainan yang heterogen, sehingga ditemukan berbagai ragam klasifikasi. Secara umum ND yang dikemukakan bergantung pada 2 hal, pertama, menurut perjalanan penyakitnya (lama menderita DM) dan kedua, menurut jenis serabut saraf yang terkena lesi.
1949
NEI.JROPAIIDIABETIK
.
Menurut perjalanan penyakitnya, ND dibagi menjadi: - neuropati fungsionaVsubklinis, yaitu gejala yang
dengan jawaban tidak ada keluhan neuropati saja tidak
muncul sebagai akibat perubahan biokimiawi. Pada fase ini belum ada kelainan patologik sehingga masih reversibel.
neuropati. Pada evaluasi tahunan, perlu dilakukan pengkajian
-
neuropati struktural/klinis, yaitu gejala timbul sebagai akibat kerusakan struktural serabut saraf. Pada fase ini masih ada komponen yan greversible.
-
kematian neuron/tingkat lanjut, yaitu terjadi penurunan ke padatan serabut saraf akibat kematian neuron. Pada fase ini sudah irueversible. Kerusakan
.
.
distal paling banyak ditemukan,
.
seperti
otonom (parasimpatis dan simpatis) atat diabetic autonomic neuropathy (DAN).
polineuropati simetris distal. Menurut jenis serabut saraf yang terkena lesi:
Polineuropatisensori-motorsimetrisdistal, Neuropati otonom : Neuropati sudomotor, Neuropati otonom kardiovaskular, Neuropati gastrointestinal, Neuropati genitourinaria
Uji komponen parasimpatis DAN dilakukan dengan
:
1). Tes respons denyut jantung terhadap maneuver valsava; 2). Variasi denyut jantung (interval RR) selama
.
(denyutjantung maksimum-minimum Uji komponen simpatis DAN dilakukan dengan : 1). Respons tekanan darah terhadap berdiri (penurunan napas dalam
sistolik); 2). Respons tekanan darah terhadap genggaman (peningkatan diastolik).
Neuropati lower limb motor simetris proksimal
Neuropati Fokal
. .
elektromiografi. Benhrk lain ND yang juga sering ditemukan ialah neuropati
(amiotopi)
.
terhadap: 1). refleks motoik;2). fungsi serabut sarafbesar dengan tes kuantifikasi sensasi kulit seperti tes rasa getar (biotesiometer) dan rasa tekan (estesiometer dengan filamen mono Semmes-Weinstein); 3). fungsi serabut saraf kecil dengan tes sensasi suhu; 4). unhrk mengetahui dengan lebih awal adanya gangguan hantar sarafdapat dikerjakan
serabut saraf pada umumnya dimulai dari distal menuju ke proksimal, sedangkan proses perbaikan mulai dari proksimal ke distal. Oleh karena itu lesi
NeuropatiDifus
. .
cukup untuk mengeluarkan kemungkinan adanya
Neuropatikranial Radikulopati/pleksopati Entrapmentneuropathy
PENGELOI-AAN Strategi pengelolaan pasien DM dengan keluhan neuropati 3 bagian. Strategi pertama adalah
diabetik dibagi ke dalam
diagnosis ND sedini mungkin, diikuti strategi kedua dengan kendali glikemik dan perawatan kaki sebaikbaiknya, dan strategi ketiga ditujukan pada pengendalian
Klasifikasi ND di atas berdasarkan anatomi serabut saraf periferyang secaraumum dibagi atas 3 sistemyaitu sistem motorik, sensorik dan sistem autonom. Manifestasi klinis ND bergantung dari jenis serabut saraf yang mengalami lesi. Mengingat jenis serabut saraf yang terkena lesi bisa yang kecil atau besar, lokasi proksimal atau distal, fokal
keluhan neuropati/ nyeri neuropati diabetik setelah strategi
atau difus, motorik atau sensorik atau autonom, maka manifestasi klinis ND menjadi bervariasi, mulai kesemutan; kebas; tebal; mati rasa; rasa terbakar; seperti ditusuk; disobeh ditikam.
metabolik lain sebagai komponen tak terpisahkan secara terus menerus.
kedua dike{akan.
Mengingat ND merupakan komplikasi kronik dengan berbagai faktor risiko yang terlibat, maka pada pengelolaan ND perlu melibatkan banyak aspek, seperti perawatan
umum, pengendalian glukosa darah dan parameter
Perawatan Umum/Kaki kulit, hindari trauma kaki seperti sepatu yang sempit. Cegah trauma berulang pada neuropati Jaga kebersihan
DIAGNOSIS
kompresi.
Polineuropati sensori-motor simetris distal atau distal symmetrical sensorymotor polyneuropathy (DPN)
Pengendalian Glukosa Darah
merupakan jenis kelainan ND yang paling sering terjadi. DPN ditandai denganberkurangnya fungsi sensorik secara
Berdasarkan patogenesisnya, maka langkah pertama yang harus dilakukan ialah pengedalian glukosa darah dan
progresif dan fungsi motorik (lebih jarang) yang
monitor HbAlc secara berkala. Disamping itu
berlangsung pada bagian distal yang berkembang ke arah
pengendalian faktor metabolik lain seperti hemoglobin, albumin, dan lipid sebagai komponen tak terpisahkan juga perlu dilakukan. Tiga studi epidemiologi besar, Diabetes Control and
proksimal. Diagnosis neuropati perifer diabetik dalam praktek sehari-hari, sangat bergantung pada ketelitian pengambilan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Hanya
1950
MEIABOLIKENDOIGIN
Complications Trial (DCCT), Kumamoto Study danlJ nited
Kingdom Prospective Diabetes .S/adl (UKPDS) membuktikan bahwa dengan mengendalikan glukosa darah,
komplikasi kronik diabetes termasuk neuropati dapat dikurangi. Pada
DCCI
kelompok pasien dengan terapi intensif yang berhasil menurunkan HbAlc dair 9 ke 7%o, telah menurunkan risiko timbul dan berkembangnya komplikasi mikrovaskular, termasuk menurunkan risiko timbulnya neuropati sebesar 60Yo dalaml tahun. Pada studi Kumamoto, suatu penelitian mirip DCCT tetapi pada DM tipe 2,juga membuktikan bahwa dengan terapi intensif mampu menurunkan risiko komplikasi, termasuk perbaikan kecepatan konduksi sarafdan ambang rangsang vibrasi. Demikian juga dengan UKPDS yang memberikan hasil sempa dengan 2 studi sebelumnya.
Terapi Medikamentosa Sejauh ini, selain kendali glikemik yangketat,belum ada bukti kuat suatu terapi dapat memperbaiki atau mencegah
neuropati diabetik.a Namun demikian, untuk mencegah
timbulnya atau berlanjutnya komplikasi kronik DM ini sedang diteliti penggunaan obat-obat yang berperan pada proses timbulnya
termasuk neuropati, saat
komplikasi kronik diabetes, yaitu: . golongan aldose reductase inhibitor, yang berfungsi menghambat penimbunan sorbitol dan fruktosa
. . .
penghambat ACE
neurotropin - Nerve growth factor - Brain-derived neurotrophic factor alpha Lipoic Acid, xratu antioksidan kuat yang dapat
membersihkan radikal hidroksil, superoksida dan
. . . . .
peroksil serta membentuk kembali glutation. penghatrhat protein kinase C Gangiiosides, merupakan komponen utama membran sel
Pedoman pengelolaan ND dengan nyeri, yang dianjurkan ialah:
.
. . . .
NSAID (ibuprofen 600mg4xlhai, sulindac 200mg 2xl ha.i) antidepresan trisiklik (amitriptilin 50- l50mg malam hari, l0OngAari, nortriptilin 50- I 50mg malam hari, paroxetine 4Omg/hari) antikonvulsan (gabapentin 900mg 3xhar\ karbamazepin
2}fimg4x/harl) antiaritrnia(mexilletin 150450m9/hari) topikal: capsaicin 0,075Yo4x/hai,fliryhenazine lmg 3xl hati, lranscutaneous electrical nerve stimulation.
Dalam praktek sehari-hari, jarang ada obat tunggal mampu mengatasi nyeri neuropati diabetes. Meskipun demikian, pengobatan nyeri umumnya dimulai dengan obat anti-depresan atau anti-konvulsan tergantung ada tidaknya efek samping. Dosis obat dapat ditingkatkan hingga dosis maksimum atau sampai efek samping muncul. Kadangkadang kombinasi anti-depresan dan anti-konvulsan cukup efektif. Bila dengan regimen ini belum atau kurang ada perbaikan nyeri, dapat ditambahkan obat topikal. Bila tetap tidak atau kurang berhasil, kombinasi obat yang lain dapat
dilalokan.
Edukasi Disadari bahwa perbaikan total sangat jarang terjadi, sehingga dengan kenyataan seperti itu, edukasi pasien
menjadi sangat penting dalam pengelolaan nyeri ND. Target pengobatan dibuat serealistik mungkin sejak awal, dan hindari memberi pengharapan yang berlebihan. Perlu
penjelasan tentang bahaya kurang atau hilangnya sensasi rasa di kaki, perlunya pemeriksaan kaki pada setiap pertemuan dengan dokter, dan pentingnya evaluasi secara teratur terhadap kemungkinan timbulnya ND pada pasien
DM.
Gamma linoleic acid (GLA), suatu prekursor membran
fosfolipid Aminoguanidin, bertrrngsi menghambat pembentukan AGEs
Human intravenous immunoglobulin, memperbaiki gangguan neurologik maupun non neurologik akibat penyakit autoimun. Sedangkan untuk mengatasi berbagai keluhan nyeri,
KES!MPULAN Neuropati diabetik merupakan salah satu komplikasi kronik
DM dengan prevalensi dan manifestasi klinis amat bervariasi. Dari 4 faktor (metabolilg vaskular, imrn danNGF)
yang berperan pada mekanisme patogenik ND,
sangat dianjurkan untuk memahami mekanisme yang mendasari keluhan nyeri tersebut, antara lain aktivasi reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) yang berlokasi di membran post sinaptik spinal cord dan pengeluaran substance P dari serabut saraf besar A yang berfungsi sebagai neuromodulator nyeri. Manifestasi nyeri dapat berupa rasa terbakar; hiperalgesia; alodinia, nyeri menjalar dll. Pemahaman terhadap mekanisme nyeri penting agar dapat memberi terapi yang lebih rasional, meskipun terapi
hiperglikemia berkepanjangan sebagai komponen faktor metabolik- merupakan dasar utama patogenesis ND. Oleh karena itu, dalam pencegahan dan pengelolaan ND pada pasien DM, yang penting ialah diagnosis diikuti pengendalian glukosa darah dan perawatan kaki sebaikbaiknya. Usaha mengatasi keluhan nyeri pada dasarnya bersifat simtomatis, dilakukan dengan memberikan obat yang bekerja sesuai mekanisme yang mendasari keluhan nyeri tersebut. Pendekatan nonfarmakologis termasuk edukasi sangat diperlukan, mengingat perbaikan total sulit
nyeri neuropati diabetik pada dasamya bersifat simtomatis.
bisa dicapai.
NEUROPATIDIABTITIK
REFERENSI American Diabetes Association Position Statement: Implications of the United Kingdom Prospective Diabetes Study. Diabetes Care 2003 ;26(Suppl 1):S28-S32.
Boulton AJM. Management of diabetic peripheral neuropathy. Prescribers' Journal 2000;40:107 -12.
DCCT Research Group. N Eng J Med 1993;329:977-86. Duby JJ., Campbell RK., Setter SM., dkk. Diabetic neuropathy: an intensive review. Am J Health-Syst Pharm 2004;61(2):160t7 6. Feldman EL., Stevens MJ., Greene DA. Diabetic neuropathy. Dalam Diabetes ir the New Millennium. John R Turtle, Toshio Kaneko
and Shuichi Osato (ed). The Endocrinology and Diabetes Research Foundation of the University of Sidney, Sidney, NSW 2006, Australia 1999:387 -402. Jude EB., Boulton AJM. The diabetic foot. Dalam Diabetes Current Perspective. Betteridge DJ (ed). Martin Dunitz Ltd, United Kingdom 2000:179-196.
Lehtinen JM., UUsitupa M., Siitonen O., dkk. Prevalence of
19s1
neuropathy in newly diagnosed NIDDM and non diabetic control subjects. Diabetes 1989;38:1307-1313. Malik RA. Curent and future strategies for the management of diabetic neuropathy. Treat Endocrinol 2003;2(6):389-400. Report and Recommendation of the San Antonio Conference on Diabetic Neuropathy. Diabetes 1 98 8;37 : 1 000-4. Shichiri M., Kishikawa H., Ohkubo Y., dkk. Long-term results of the Kumamoto study on optimal diabetes control in type 2 diabetic patients. Diabetes Care 2000 ;23 (Suppl 2):B2l -829. Tesfaye S., Chaturvedi N., Eaton SEM., dkk. Vascular risk factors and diabetic neuropathy. N Engl J Med 2005;352:341-50. Thomas PK. Classification, differential diagnosis and staging of diabetic peripheral neuropathy. Diabetes 1997;46(suppl 2):554s57. Vinik AI., Park TS., Stansberry KB., dkk. Diabetic neuropathies.
Diabetologia 2000;43 :9 57 -7 3. Vinik AI. Diabetic neuropathy: pathogenesis and therapy. Am J Med 1999; 107(2B):17S-265. Vinik AI. Neuropathy: new concepts in evaluation and treatment. Shouth Med J 2002;95(l):21-3.
305 DIABETES MELITUS GESTASIONAL lohn M.F. Adam, Dyah Purnamasari
PENDAHULUAN
sebelumnya dan kemudian menjadi hamil (Diabetes Mellitus HamiV DMH/ DM pragestasional) dan 2) DM yang baru ditemukan saat hamil (Diabetes Mellitus Gestasional/ DMG). Diabetes melitus gestasional
Publikasi pertama mengenai diabetes melitus dan kehamilan dilaporkan oleh Duncan pada tahun 1982 yang melaporkan sebanyak 22 wanita diabetes melitus hamil. Peel dkkpada tahun 1909 mengumpulkan 66 kasus diabetes melitus hamil, dimana22o/o di antaranya meninggal saat hamil atau l-2 minggu setelah persalinan. Seperdelapan dari kehamilan berakhir dengan abortus, sedang sepertiga
dari kehamilan aterm melahirkan bayi yang mati. Kecenderungan kematian ibu dan janin yang tinggi berkurang setelah ditemukan insulin pada tahun 1922.
didehnisikan sebagai suatu intoleransi glukosa yang te{adi atau pertama kali ditemukan pada saat hamil. Definisi ini berlaku dengan tidak memandang apakah pasien diabetes melitus hamil yang mendapat terapi insulin atau diet saja, juga apabila pada pasca persalinan keadaan intoleransi glukosa masih menetap. Demikian pula ada kemungkinan pasien tersebut sebelum hamil sudah terjadi intoleransi
glukosa. Meskipun memiliki perbedaan pada awal
Setelah era insulin angka kematian ibu menurun dengan mencolok, dari 45% menurun sampai hanya 2%(garrrbarl). Namun demikian angka kematian perinatal menurun sangat lambat, dari angka kematian sekitar 80o/o menurun sampai mencapai sekitar 3-5% di sentra yang maju.
perjalanan penyakitnya, baik penyandang DM tipe I dan 2 yang hamil maupun DMG memiliki penatalaks ar:aar.yang kurang lebih sama. Prevalensi diabetes melitus gestasional sangat bervariasi
Menurunnya angka kematian perinatal disebabkan karena penatalaksanaan diabetes melitus yang semakin
terutama dari kriteria diagnosis yang digunakan. Dengan menggunakan kriteria yang sama yaitu yang digunakan oleh American Diabetes Association prevalensi berkisar antara 2-3%o.Perclitian di Makassar menggunakan kriteria yang sedikit berbeda melaporkan angka prevalensi sebesar 2,0%. Ksanti melakukan studi retrospektif pada37 wanita hamil
baik, antara lain melalui penatalaksanaan terpadu, adanya insulin jenis baru, dan diperkenalkannya cara memantau glukosa darah sendiri oleh pasien untuk mencapai kendali glikemik yang ketat. Pada saat ini di sentra yang maju pasien diabetes melitus hamil diperlakukan sebagai kehamilan dengan risiko tinggi, karena itu perlu pentalaksanaan terpadu antara ahli penyakit dalam/endokrinologis, ahli obstetri-ginekologi, dan ahli gizi. Dengan penatalaksanaan diabetes melitus yang semakin baik, komplikasi perinatal akan lebih ditentukan oleh keadaan normoglikemi sebelum dan selama hamil.
dari
l4Yo, tergantung dari subyek yang diteliti dan
yang dikelola sebagai DMG di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dalam rentang tahun 2000-2003. DMG lebih banyak didapatkan pada usia di atas 32 tahun dan lebih dari 50% memiliki riwayat keluarga DM. Pada kelompok DMG dengan hasil pemeriksaan TTGO menunjukkan TGT (3 dari 37 subyek), semuanya dapat terkendali dengan pengaturan diet saja. Sedangkan pada kelompok yang memenuhi kriteria DM pada pemeriksaan awal (18 dai37 subyek), sebanyak 70%o mendapat terapi insulin. Sedangkan pada kelompok DMG yang meragukan (tidak memenuhi kriteria diagnosis ADA I 9 9 7 maupun Perke ni 2002 untuk DMG), sebanyak
DEFINISI DAN PREVALENSI Secara urnurn,
I-
80% dikelola dengan pengaturan diet saja. Tidak ada
DM pada kehamilan dibagi menjadi dua
kelompok yaitu 1) DM yang memang sudah diketahui
pemakaian insulin analog pada periode tersebut.
1952
1953
DIABETES MELITUS GESTASIOII,AL
B
s
:
s
E
3
E E
.g
e G
G
o
E
Y
o
Y
05 10 15
20
'25 '30
',35
40
',45 '50 ',55 ',60
'65
',70 ',75 '80
Tahun
85
05 10 15 20 25 30 35 40',45'50',55 60 65 70 75 80 Tahun
85
Gambar 1. GambarA memperlihatkan penurunan kematian ibu yang tajam setelah era insulin, dan gambar B tampak penurunan kematian perinatal yang lebih lambat setelah era insulin dibandingkan dengan kematian ibu
PATOFISIOLOGI Pada kehamilan terjadi resistensi insulin fisiologis akibat
peningkatan hofinone-hormon kehamilan (human placental lactogen/ HPL, progesterone, kortisol, prolaktin) yang
mencapai puncaknya pada trimester ketiga kehamilan. Tidak berbeda pada patofisiologi DM tipe 2, pada DMG juga terjadi gangguan sekresi sel beta pancreas. Kegagalan sel beta ini dipikirkan karena beberapa hal diantaranya: 1)
autoimun, 2) kelainan genetic dan 3) resistensi insulin kronik. Studi oleh Xiang melaporkan bahwa pada wanita dengan DMG mengalami gangguan kompensasi produksi insulin oleh sel beta sebesar 67%o dlbandingkan kehamilan normal. Ada sebagian kecil populasi wanita ini yang antibody isclet cell (1,6-3,8%). Sedangkan sekitar 5o/o dari populasi DMG diketahuimemiliki gangguan selbeta akibat defek pada sel beta seperti mutasi pada glukokinase. Resistensi insulin selama kehamilan merupakan mekanisme adaptif tubuh untuk menjaga asupan nutrisi ke janin. Resistensi insulin kronik sudah terjadi sebelum kehamilan pada ibu-ibu dengan obesitas. Kebanyakan wanita dengan DMG memiliki kedua jenis resistensi insulin ini yaitu kronik dan fisiologis sehingga resistensi insulinnya biasanya lebih berat dibandingkan kehamilan normal. Kondisi ini akan membaik segera setelah partus dan akan kembali ke kondisi awal setelah selesai masa nifas, dimana kotrsentrasi HPL sudah kembali seperti awal
PENJARINGAN DAN DIAGNOSIS
banyak dipakai diperkenalkan oleh American Diabetes Association dan umumnya digunakan di negara Amerika Utara, dan kriteria diagnosis dari WHO yang banyak digunakan di luarAmerika Utara.
Kriteria American Drabefes As sociation Americ an D iab etes As s ociation menggunakan skrining diabetes melitus gestasional melalui pemeriksaan glukosa darah dua tahap. Tahap pertama dikenal dengan nama tes tantangan glukosa yang merupakan tes skrining. Pada semua wanita hamil yang datang di klinik diberikan minum glukosa sebanyak 50 gramkemudian diambil contoh darah satu jam kemudian. Hasil glukosa darah (umumnya contoh darah adalah plasma vena) > 140 mg/dl disebut tes tantangan positif dan harus dilanjutkan dengan tahap kedua yaitu tes toleransi glukosa oral. Untuk tes toleransi
glukosa oral harus dipersiapkan sama dengan pada pemeriksaan bukan pada wanita hamil. Perlu diin gat apabila
pada pemeriksaan awal ditemukan konsentrasi glukosa plasma puasa > 126 mgldl atau glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dl, maka mereka hanya dilakukan pengulangan tes darah, apabila hasilnya sama maka diagnosis diabetes melitus sudah dapat ditegakkan dan tidak diperlukan lagi pemeriksaan tes toleransi glukosa oral. Unhrk tes toleransi glukosa oral American Diabetes Associationmengusulkan dua jenis tes yaitu yang disebut tes toleransi glukosa oral tiga jam, dan tes toleransi glukosa oral duajam. Perbedaan utama ialah jumlah beban glukosa, yaifi pada yang tiga jam menggunakan beban glukosa 100 gram sedang yang pada dua jam hanya 75 gram
(Gambar2) Berbeda dengan diabetes melitus yang sudah mempunyai
Penilaian hasil tes toleransi glukosa oral untuk
keseragaman kriteria diagnosis, diabetes melitus gestasional sampai saat ini belum ada kesepakatan mengenai kriteria diagnosis mana yang harus digunakan. Pada saat ini terdapat dua kriteria diagnosis yaitu yang
menyatakan diabetes melitus gestasional, baik untuk tes
toleransi glukosa tiga jam maupun yang hanya dua jam berlaku sama yaitu ditemukannya dua atau lebih angka yang abnormal (Tabel 1).
1954
METABOLIKENDOKRIN
Dinyatakan diabetes melitus gestasional bila glukosa
> 126 mg/dl danJatau 2 jam setelah beban glukosa > 200 mg. atau toleransi glukosa terganggu. Definition, Diagnosis and classification of diabetes mellitus and its complications. Report of a WHO Consulplasma puasa
Hasil tes toleransi glukosa oral 3 jam dengan beban glukosa 100 gr (mg/dl)
Hasil tes toleransi glukosa oral2jam dengan beban glukosa 100 gr (mg/dl)
Puasa 'l jam
OE
Puasa
95
tation. WorldHealth Organization, Geneva 1999 (TechRep
'180
1-jam
180
Ser 894).
2-
jam
155
2-
155
3-jam
140
-
jam
Diagnosis diabetes melitus gestasional ditegakkan apabila ditemukan dua atau lebih angka yang abnormal
Wanita dengan diabetes melitus gestasional hampir tidak pernah memberikan keluhan, sehingga perlu dilakukan skrining. Oleh karena hanya sekitar 3 -4% daiwanta hamil
Wanita hamil
I
yang menjadi diabetes melitus gestasional, menjadi
Glukosa 50 gr
< 140
Siapa yang Harus Diskrining dan Kapan Harus Diskrining
mgo/o
> 140 mg%
IJ
TTGO-2jam
Normat -
100 (75) gr glukosa
pertanyaan apakah semua wanita hamil harus dilakukan skrining untuk diabetes melitus gestasional atau hanya pada mereka yang dikelompokkan sebagai risiko tinggi. Penelitian di Makassar olehAdamdari20T4 wanita hamil yang diskrining ditemukan prevalensi 3,0o/o pada mereka yang berisiko tinggi dan hanya 1,2%o pada mereka yang
tanpa risiko. Sebaiknya semua wanita hamil harus dilakukan skrining untuk diabetes melitus gestasiohal. Gambar 2. Tes toleransi glukosa oral 2 jam dengan beban glukosa 75 g
KRITERIA DIAGNOSIS MENURUT WHO
WHO dalam buku Diagnosis and classification of Diabetes mellitus tahun 1999 menganjurkan untuk diagnosis diabetes melitus gestasional harus dilakukan tes toleransi glukosa oral dengan beban glukos a 7 5 gram. Kriteria diagnosis sama dengan yang bukan wanita hamil yaitu puasa > 126 mgldl dan dua jam pasca beban > 200
mg/dl, dengan tambahan mereka yang tergolong toleransi glukosa terganggu didiagnosis juga sebagai diabetes melitus gestasional. (Tabel 2)
Beberapa klinik menganjurkan skrining diabetes melitus gestasional hanya dilakukan pada mereka dengan risiko tinggi diabetes melitus gestasional. Pada mereka dengan risiko tinggi, skrining sebaiknya sudah dimulai pada saat
pertama kali datang ke klinik tanpa memandang umur kehamilan. Apabila hasil tes normal, maka perlu dilakukan tes ulangan pada minggu kehamilan antara24-28 minggu. Sedang pada mereka yang tidak berisiko tinggi tidak perlu dilakukan skrining. Faktor risiko DMG yang dikenal adalah: a. Faktor risiko obstetri Riwayat keguguran beberapa kali Riwayat melahirkan bayi meninggal tanpa sebab jelas Riwayat melahirkan bayi dengan cacat bawaan Riwayat melahirkan bayi > 4000 gram Riwayatpre eklamsia
Polihidramnion
b. Riwayatumum Glukosa plasma puasa
Normal
Glukosa puasa Diabetes
110 mg/dl - < 126 mg/dl > 126 mg/dl
terganggu
melitus
Glukosa plasma 2 jam setelah pemberian 75 gram glukosa oral
Normal
< 140 mg/dl Toleransi glukosa terganggu > 140 mg/dl - < 200 mg/dl sedang puasa < 126 mg/dl Diabetes melitus
2 200 mg/dl
Dinyatakan diabetes melitus gestasional bila glukosa plasma puasa 2 126 mgldl dan/atau 2 jam setelah beban glukosa > 200 mg. atau toleransi glukosa terganggu Definition, Daagnosls and classification of diabetes mellitus and its complications. Repoft of a WHO Consultation. World Health Organization, Geneva 1999 (Tech Rep Ser 894)
Usia saat hamil > 30 tahun Riwayat DM dalam keluarga Riwayat DMG pada kehamilan sebelumnya Infeksi saluran kemih berulang saat hamil Di Indonesia, untuk dapat meningkatkan diagnosis lebih
baik, Perkeni menyarankan untuk melakukan penapisan pada semua ibu hamil pada pertemuan pertama dan mengulanginya pada usia kehamllan26-28 minggu apabila hasilnya negatif.
Perkeni memodifikasi cara yang dianjurkan WHO dengan menganjurkan pemeriksaan TTGO menggunakan 75 gram glukosa dan penegakan diagnosis cukup melihat
1955
DIABETES MELXTUS GESTASIOI,TAL
hasil pemeriksaan glukosa d arah 2 jam pasca pembebanan glukosa. Seperti yang tercantum pada consensus Perkeni 2006, persiapan TTGO adalah sebagai berikut: - Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa.
-
Berpuasapaling sedikit delapanjam (mulai malamhari) sebelum pemeriksaan, minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan. Diberikan glukosa 75 gramyatgdilarutkan dalam250 ml air dan diminum dalam waktu lima menit. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah
untuk pemeriksaan dua jam setelah minum larutan glukosa selesai Diperiksa konsentrasi glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap
beristirahat dan tidak merokok.
berolah ruEa agar dapat mendeteksi kontraksi subklinis dan bila ada segera menghentikan olah raganya. Namun, mengingat dampak positif yang didapat dengan berolah raga (penurunan Alc, glukosa puasadan I jam post prandial), ADA menyarankan untuk melanjutkan aktifits fisik sedang pada ibuhamil tanpa kontraindikasi medis maupun obstetric. Sasaran glukosa darah yang ingin dicapai adalah konsentrasi glukosa plasma puasa puasa < 105 mg/dl dan dua jam setelah makan < 120 mgldL Apabila sasaran tersebut tidak tercapai maka perlu ditambahkan insulin. Beberapa klinik menganjurkan apabila konsentrasi glukosa
plasma puasa > 130 mg/dl dapat segera dimulai dengan insulin (Gambar 3).
. cDP < 130
GDP > 130 mg/dl
I
Hasil pemeriksan TTGO dibagi menjadi 3 yaitu: - Glukosadarah2jam 105 dan GD 2 jam setelah makan > '130
"'
Perencanaan makan + insulin
Gambar 3. Bagan penatalaksanaan diabetes melitus gestasional
Jenis insulin yang dipakai adalah insulin human. Insulin analog belum dianjurkan untuk wanita hamil mengingat struktur asam aminonya berbeda dengan insulin human. Perbedaan struktur ini menimbulkan perbedaan afinitas ar,tara insulin analog dan insulin human terhadap reseptor insulin dan reseptor IGF-I. Mengingat ke qa Human Placental Lactogez (HPL) melalui reseptor IGF- 1, maka perubahan afinitas ini dikhawatirkan dapat mempengaruhi janin atau kehamilan. Beberapa studi tentang pemakaian insulin lispro menunjukkan dapat memperbaiki profil glikemia dengan episode hipoglikemia yang lebih sedikit, pada usia kehamilan 14-32 minggt. Namun dirasa masih perlu penelitian jangka penjang untuk
menilai keamanannya pada kehamilan dan FDA mengkategorikan keamanannya di tingkat B.
Dosis dan frekuensi pemberian insulin sangat tergantung dari karakteristik rerata konsentrasi glukosa darah setiap pasien. Berbeda dengan diabetes hamil pragestasional, pemberian insulin pada diabetes melitus gestasional selain dosis yang lebih rendahjuga frekuensi pemberian lebih sederhana. Pemberian insulin kombinasi
kerja singkat dan kerja sedang seperti Mixtard (Novo-Nordik) atau Humulin 30-70 (Eli Lilly) dilaporkan sangat berhasil.
1956
Kendali glikemik ketat sangat dibutuhkan pada semua wanita diabetes melitus dengan kehamilan. penting sekali memantau glukosa darah sendiri oleh pasien di rumah, terutama pada mereka yang mendapat suntikan insulin. Pasien perlu dibekali dengan alat meter (Reflectance meter)
untuk memantau glukosa darah sendiri di rumah. Penggunaan HbAlc sebagai pemantauan belum menunjukkan dampak yang signifikan dalam kendali glukosa darah.
METABOLIKENT'OKRIN
toleransi glukosa pasca melahirkan pada kelompok wanita
hamil dengan gangguan toleransi glukosa selama kehamilan. Hasil studi tersebut menyarankan untuk mengulang pemeriksaan skrining TTGO pada 6 minggu post parhrm dan setiap tahun setelahnya. Studi di Ujung Pandang dengan lama pemantauan selama 6 tahun pada 46 wanita pasca DMG melaporkan angka kejadian DM tipe 2 dan toleransi glukosa terganggu sebesar 56,6%. Mengingat diabetes melitus gestasional mempunyai risiko tinggi untuk mendapat diabetes melitus di kemudian hari, maka disepakati agar enam minggu pasca persalinan
KOMPLIKASI PADA IBU DAN ANAK
harus dilakukan tes toleransi glukosa oral untuk mendeteksi adanya diabetes melitus, glukosa puasa
Dibandingkan dengan diabetes melitus pragestasional, komplikasi pada ibu hamil diabetes melitus gestasional sangat kurang. Komplikasi dapat mengenai baik ibu
terganggu, atau toleransi glukosa terganggu. Apabila hasil tes toleransi glukosa oral normal, maka dianjurkan untuk
maupun bayinya. Komplikasi yang dapat ditemukan pada ibu antara lain preeklamsi, infeksi saluran kemih, persalinan seksio sesaria, dan trauma persalinan akibat bayi besar. Hasil penelitiain di Ujung Pandang dari 40 pasien diabetes melitus gestasional yang dipantau selama3,5 tahun, seksio sesaria dilakukan sebanyak 17,5yo. Komplikasi pada bayi antara lain makrosomia, hambatan
pertumbuhan janin, cacat bawaan, hipoglikemia, hipokalsemia dan hipomagnesemia, hiperbilirubinemia, polisitemia hiperviskositas, sindrom gawat napas neonatal. Komplikasi yang paling sering adalah terjadinya makrosomia, hal ini mungkin karena pada umumnya diabetes melitus gestasional didiagnosis agak terlambat terutama di negara kita. Selain komplikasi jangka pendek, juga teradapat komplikasi jangka panjang. Pada anak. dapat terjadi gangguan toleransi glukosa, diabetes dan obesitas, sedangkan pada ibu adalah gangguan toleransi glukosa sampaiDM.
PEMANTAUAN PASCA PERSALINAN Mestman et al (1972)meneliti kekerapankejadian gangguan toleransi glukosa pasca persalinan sampai dengan lima
tahun kemudian pada 360 wanita hamil. Pada masa kehamilan, sebanyak 51 subyek (14,2%) memiliki peningkatan glukosa darah puasa, l8l subyek (50,3%) memiliki hasil pemeriksaan TTGO abnormal, 90 subyek (25%) memiliki hasil positif pada Prednisolone Glucose Tblerance ksl (PGTT) dan 38 subyek (10,5%) sisanya normal. Pada kelompok dengan GDP menrns 180 mg/dl, HbArc > 10olo.
.
Yang kadang-kadang perlu insulin. Pasien DM tipe 2 dengan diit dan OHO, glukosadarahpuasa < 180 mgl
.
dL HbAIC < 10% lamapembedahar 80 mg, infus insulin mulai lagi. Mungkin perlu penyesuaian pedoman ini selanjutnya.
Kebutuhan insulin berkurang: pasien dengan diit saja, OHO atau insulin 50 U sehari, penyakit endokrin lain.
Kebutuhan insulin naik: obesitas, sepsis, terapi steroid, cangkok ginjal, pintas koroner jantung.
pembedahan untuk mencegah asidosis laktat dan dapat diganti dengan sulfonilurea sementara.
PEMBEDAHAN RAWATJALAN
Pemantauan Glukosa Selama pembedahan konsentrasi glukosa harus ditetapkan
: 1). Sebelum induksi anestesia; 2). 30 menit sesudah induksi; 3). Setiap 45 menit selama tindakan; 4). Pada akhir tindakan; 5). 30 menit sesudah sadar; 6). Setiap jam selama 6 jam atau sampai boleh makan. Pemeriksaan glukosa lebih sering (iap 30 menit) bila glukosa > 200 mg/dl dan tiap 1 5 muritjika < 80 mg/dl selama anestesia.
Cara ini dapat menguntungkan pasien, karena ia dapat pulang sesudah tindakan bedah selesai. Walaupun tindakan termasuk bedah minor, ada kemungkinan diperlukan anestesia umum. Dalam hal ini insulin perlu digunakan dan cara infus insulin sebaiknya dipakai. Jika anestesia umum tidak diperlukan, pasien sebaiknya mendapat giliran sepagi mungkin, jadi sebelum atau sesudah makan pagi. Kalau ia harus menunggu lama, penggunaan insulin lalu memakai cara infus insulin. Pedoman untuktindakan bedahminortertera di bawah ini.
lnfus Glukosa Tujuannya ialah pengendalian konsentrasi glukosa dan pencegahan hipoglikemiaa. Juga sebagai pemasok energi
ASUHAN PASCA.BEDAH
unhrkmenekanpembentukan gliserol dan asam lemak serta mengurangi katabolisme protein, yang dapat menghambat pemulihan. Laju infus 0,07 - 0,1 g glukosa/kg/jam temyata
Infus glukosa dan insulin dilanjutkan sampai pasien dapat makan lagi dan kemudian kembali ke cara pengobatan
memadai.
sebelumnya.
1959
DIABETES MELITUS DAI.AM PEMBEDAHAN
Bila infus insulin akan dihentikan, insulin subkutan
emosional menghadapi "serangan" terhadap tubuhnya. pengetahuan tentang kejadian pasca bedah yang dapat diperkirakan, menambah rasa mampu kendali pasien. penjelasan tentang tugas dokter dan karyawan rumah sakit selama masa pasca bedah dapat memberikan gambaran tentang pertolongan yang dapat diharapkan.
.
harus segera disuntikkan, karena insulin i.v. tidakberperan lagi sejak 30 menitpenghentian infus. Bagaimanakitamulai dengan terapi insulin pasca bedah ?
.
G avin memakai cara berikut : . Hitung jumlah insulin selama24 jam(:dosis lama) . Dosis baru ialah 80- 100 % jumlah ini, diberikan sebagai insulin reguler sebelum makan pagi (25 o/o), sebelum makan siang (25 %) sebelum makan malam (25 %), o/o) seb agai NPH. s eb elum tidur (2 5 . Tujuan : GD 120 -220 mg / dl. . Diteruskan untuk mendapat dosis insulin tepat, atau dosis sebelum pembedahan.
PROSES PENJAJAGAN PERSETUJUAN Diabetes melitus sudah sering ditemukan di Indonesia seperti dijelaskan sebelum ini. Pasien tanpa komplikasi biasanya dikelola oleh dokter umum atau spesialis penyakit dalam.
Bila timbul komplikasi akut dokter umum merujuk pasien Pasien dengan insulin
Pasien dengan OHO
DM tipe 1 dan DM tipe 2
Hentikan OHO pagi Periksa GD sebelum dan sesudah tindakan Berikan OHO petang Jarang perlu insulin Bila perlu berikan sesuai pedoman ini :
lnfus insulin GD diperiksa tiap 2-4 jam DM tipe 2 (< 50 U /hari) Hentikan insulin intermediet pagi, ganti dengan insulin requler GD
(mg / dl)
240
dokter primer (dokter umum atau - dokter konsulen (spesialis tercapainya persetujuan. akan mempermudah bedah) ke tiga unsur : pasien
-
spesialis penyakit dalam)
1.
0
4
-
sesudah penjelasan awal disampaikan. Kerja sama antara
lnsulin reguler (U) (subkutan tiap 6 jam)
160
-
ke spesialis penyakit dalam. Jika masalahnya perlu pembedahan rujukan diteruskan ke spesialis bedah
2.
8
10
3.
4. 5.
Arti dan tujuan tindakan akan ditentukan dan dijelaskan dalam bahasa awam. Risiko, kendala, budaya dan masalah masa pemulihan akan dibeberkan sehingga semua keterangan yang diperlukan untuk penetapan keputusan oleh orang wajar, disampaikan. Kemungkinan cara pengobatan lain akan dijelaskan. Semua pertanyaan pasien dijawab. Barulah, persetujuan tanpa tekanan dapat diberikan.
Rockwell, 1979 GD sebelum makan (mg / dl)
300
Dosis baru
(insulin reguler) Kurangi 4 U Kurangi 3 U Dosis lama Ditambah 2 U Ditambah 3 U Ditambah 4 U
PENUTUP Prevalensi diabetes melitus tipe 2 (DM tipe 2) meningkat di seluruh dunia, juga di Indonesia.
Penggunaan obat baru a.l. generasi ke 2 dan ke 3 sulfonilurea, repaglinid, troglitazon berhasil mengatur
PERSIAPAN PASIEN SECARA PSIKOLOGIS Keadaan sakit merupakan sesuatu yang memberatkan pasien apalagi jika ia perlu menjalani pembedahan. Warga masyarakat yang sudah maju dengan mudah mendapat pengetahuan berbagai bidang dan akan meminta penjelasan tentang perlunya pembedahan. Pengetahuan akan menambah kekuatan ke arah positif, kata Maslow,
seorang psikolog dan mengurangi kemungkinan perjalanan pasca bedah yang buruk. Informed Consent (izin berdasarkan pemahaman) dari pasien membuka
.
3j
alan
:
pembahasan risiko dan manfaat tindakan bedah menolong pasien mempersiapkan dirinya secara
konsentrasi glukosa darah. Penambahan umur pasien diabetes menambah kemungkinan perlunya tindakan bedah karena suafu sebab suatu saat. Cara pengelolaan diabetes pdda tahap pra bedah, selama pembedahan dan pasca bedah dijelaskan. Kerja sama antara pasien, dokter primer (dokter umum, spesialis penyakit dalam) dan dokter korlsulen (spesialis
bedah, anestetis) sangat penting.
REFERENSI Colagiuri S. Diabetes and surgery theory and practice. In Baba S et al (eds) Diabetes 1994. Proceedings l5ti IDF Congress, Kobe 1994. A 'dam : Elsevier, 1995,p,649 - 52.
1960
Diabetes towards the new Millennium (abstract), 3'd IDF Western Pacific reg. Congress 1996 Hongkong; 1996. p.9O - 4.
Gavin LA.Perioperative management of the diabetic patient.Endocrin Metab Clin North An 1992; 2l : 457- 471.
Kidson W. Surgery, Anesthesia and Diagnostic Procedures in Diabetes. In Diabetes in the New Millennium, Endocrin Diab Res Found, Univ Sydney 1999.p.495-504. NHANES II, Diabetes 1987 ; 36 : 523-534. b. NHANES III,
Diabetes Care 1998; 2l :518 -24. Rockwell DA and Papitone - Rockwell F. The emotional impact of surgery and the value of informed consent. Med Clin North Am
1979:63 : L34l-52.
METABOLIKENDOICtr{
307 KAKI DIABETES Sarwono Waspadji
PENDAHULUAN
usaha menormalkan konsentrasi glukosa darah unfuk mencegah terjadinya berbagai komplikasi DM tipe 2 sudah
Diabetes melitus (DM) adalah suatu sindrom klinis kelainan metabolik, ditandai oleh adanya hiperglikemia yang disebabkan oleh defek sekresi insulin, defek kerja
terbukti pada berbagai penelitian epidemiologis skala besar dan lama seperti misalnya pada UKPDS. Hiperglikemia pada DM dapat terjadi karena hiasukan karbohidrat yang berlebih, pemakaian glukosa dijaringan
insulin atau keduanya. Dari berbagai penelitian epidemiologis, seiring dengan perubahan pola hidup didapatkan bahwa prevalensi DM meningkat terutama di kota besar. Jika tidak ditangani dengan baik tentu saja
tepi berkurang, akibat produksi glukosa hati yang
angka kejadian komplikasi kronik DM juga akan meningkat, termasuk komplikasi kaki diabetes, yang akan menj adi topik bahasan utama kali ini. Pada penyandang DM dapat terjadi komplikasi pada
terjadinya hiperglikemia ini, dapat ditempuh berbagai langkah yang tepat dalam usaha untuk menurunkan
semua tingkat sel dan semua tingkatan anatomik. Manifestasi komplikasi kronik dapat terjadi pada tingkat pembuluh darah kecil (mikrovaskular) berupa kelainan pada retina mata, glomerulus ginjal, syaraf dan pada otot jantung (kardiomiopati). Pada pembuluh darah besar, manifestasi komplikasi kronik DM dapat terjadi pada pembuluh darah serebral, jantung (penyakit jantung koroner) dan pembuluh darah perifer (tungkai bawah). Komplikasi lain DM dapat berupa kerentanan berlebih terhadap infeksi dengan akibat mudahnya terjadi infeksi saluran kemih, tuberkulosis paru dan infeksi kaki, yang kemudian dapat berkembang menjadi ulkus/gangren
bertambah, serta akibat insulin berkurang jumlah maupun
kerjanya. Dengan memperhatikan mekanisme asal
konsentrasi glukosa darah sampai batas yang aman untuk menghindari terjadinya komplikasi kronik DM.
Pilar pengelolaan diabetes terdiri dari penyuluhan, perencanaan makan yang baik, kegiatan jasmani yang
memadai dan penggunaan obat berkhasiat menurunkan konsentrasi glukosa darah seperti golongan sekretagog insulin (sulfonilurea, repaglinid dan nateglinid), golongan metformin, golongan inhibitor alfa glukosidase, golongan tiazolidindion dan insulin. Dengan mengkombinasikan berbagai macam obat berkhasiat menurunkan konsentrasi glukosa darah, akan dapat dicapai sasaran pengendalian konsentrasi glukosa darah yang optimal untuk mencegah terjadinya komplikasi kronik DM.
diabetes.
Berbagai teori dikemukakan untuk menjelaskan patogenesis terj adinya komplikasi DM. Di antaranya yang terkenal adalah teori jalur poliol, teori glikosilasi dan terakhir
KAKIDIABETES
semuanya masih berpangkal pada kejadian hiperglikemia, sehingga usaha untuk menurunkan terjadinya komplikasi DM harus dilakukan dengan memperbaiki, mengendalikan
Kaki diabetes merupakan salah satukomplikasi laonikDM yang paling ditakuti. Hasil pengelolaan kaki diabetes sering mengecewakan baik bagi dokter pengelola maupun penyandang DM dan keluarganya. Sering kaki diabetes berakhir dengan kecacatan dan kematian. Sampai saat ini, di Indonesia kaki diabetes masihmerupakan masalah yang rumit dan tidak terkelola dengan maksimal, karena sedikit
dan menormalkan konsentrasi glukosa darah. Manfaat
sekali orang berminat menggeluti kaki diabetes. Juga belum
adalah teori stress oksidatif, yang dikatakan dapat menj elaskan secara keseluruhan berbagai teori sebelumnya
(unifying mechanism). Apapun teori yang dianut,
t96r
1962
ada pendidikan khusus untuk mengelola kaki diabetes (podiatrist, chiropodistbelum ada). Di samping itu, ketidaktahuan masyarakat mengenai kaki diabetes masih sangat
mencolok, lagi pula adanya permasalahan biaya pengelolaan yang besar yang tidak terjangkau oleh masyarakat pada umumnya, semua menambah peliknya masalah kaki diabetes.
Di negara maju kaki diabetes memang juga masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang besar, tetapi dengan kemajuan cara pengelolaan, dan adanya klinik kaki diabetes yang aktif mengelola sejak pencegahan primer, nasib penyandang kaki diabetes menjadi lebih cerah. Angka kematian dan angka amputasi dapat ditekan
sampai sangat rendah, menurun sebanyak 49-85o/o dari sebelumnya. Tahun 2005 International Diabetes Federation mengambil tema Tahun Kaki Diabetes mengingat
pentingnya pengelolaan kaki diabetes untuk dikembangkan. Di RSUPN dr CiptoMangunkusumo, masalah kaki diabetes masih merupakan masalah besar. Sebagian besar perawatan penyandang DM selalu menyangkut kaki diabetes. Angka kematian dan angka amputasi masih tinggi, masing-masing sebesar 16 %o dat25 %o (dataRSUPNCM tahun 2003). Nasib para penyandang DM pasca amputasi pun masih sangat buruk. Sebanyak 14,3 Yo akan meninggal dalam setahun pasca amputasi,dan sebanyak 37 o/o akan meninggal 3 tahun pasca amputasi.
PATOFISIOLOGI KAKI DIABETES Terjadinya masalah kaki diawali adanya hiperglikemia pada penyandang DM yang menyebabkan kelainan neuropati
dan kelainan pada pembuluh darah. Neuropati, baik neuropati sensorik maupun motorik dan autonomik akan mengakibatkan berbagai perubahan pada kulit dan otot, yang kemudian menyebabkan terjadinya perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki dan selanjutnya akan mempermudah terjadinya ulkus. Adanya kerentanan terhadap infeksi menyebabkan infeksi mudah merebak menjadi infeksi yang luas. Faktor aliran darah yang kurang juga akan lebih lanjut menambah rumitnya pengelolaan kaki diabetes (gambar patofisiologi terjadinya kaki diabetes-lampiran).
KLASIFIKASI KAKI DIABETES Ada berbagai macam klasifrkasi kaki diabetes, mulai dari yang sederhana seperti klasifikasi Edmonds dari Kingb
College Hospital London, Klasifikasi Liverpool yang sedikit lebih ruwet, sampai klasifikasi Wagner yang lebih terkait dengan pengelolaan kaki diabetes, dan juga klasihkasi Texas yang lebih kompleks tetapi juga lebih mengacu kepada pengelolaan kaki diabetes. Suatu
MEIABOIJKENDOICIN
klasifikasi mutakhir dianjurkan oleh International Working Group on Diabetic Fool (Klasifikasi PEDIS 2003-lihat lampiran). Adanya klasifrkasi kaki diabetes yang dapat diterima semua pihak akan mempermudahpara
peneliti dalam membandingkan hasil penelitian dari berbagai tempat di muka bumi. Dengan klasifikasi PEDIS akan dapat ditentukan kelainan apayang lebih dominan,
vaskular, infeksi atau neuropatik, sehingga arah pengelolaan pun dapat terhrju dengan lebih baik. Misalnya suatu ulkus gangren dengan critical limb ischemia (P3) tentu lebih memerlukan tindakan untuk mengevaluasi dan memperbaiki keadaan vaskularnya dahulu. Sebaliknya
kalau faktor infeksi menonjol (I4), tentu pemberian antibiotik harus adekuat. Demikian juga kalau faktor mekanik yang dominan (insensitivefoot, S2), tentu koreksi untuk mengurangi tekanan plantar harus diutamakan. Suatu klasifikasi lain yang juga sangat praktis dan sangat erat dengan dengan pengelolaan adalah klasifikasi yang berdasar pada perjalanan alamiah kaki diabetes @dmonds 2004-2005):
. .
. . . .
Stagel:NormalFoot Stage 2: High Risk Foot Stage 3 : Ucerated Fool Stage 4: Infected Foot Stage 5 : Necrotic Fool Stage 6 : Unsalvable Foot
Unhtk stage I dan2, peran pencegahan primer sangat penting, dan semuanya dapat dikefakan pada pelayanan kesehatan primer, baik olehpo diatrist/chiropodlst maupun oleh dokter umum/dokter keluarga. UnJl.k stage 3 dan 4 kebanyakan sudah memerlukan
di tingkat pelayanan kesehatan yang lebih memadai umumnya sudah memerlukan pelayanan perawatan
spesialistik.
Unitk stage 5, apalagi stage 6, jelas merupakan kasus rawat inap, dan jelas sekali memerlukan suatu kerja sama tim yang sangat erat, di mana harus ada dokter bedah, utamanya dokter ahli bedah vaskularlahli bedah plastik dan rekonstruksi. Untuk optimalisasi pengelolaan kaki diabetes, pada setiap tahap harus diingat b erbagai faktor yang yang harus dikendalikan, yaitu:
' . . . . .
mechanical Control-Pressure Control metabolic Control vascular Control educational Control wound Control microbiological Control-Infection Control
Pada tahap yang berbeda diperlukan optimalisasi hal yang berbeda pula. Misalnya pada stadium I dan 2 tentu saja faktor wound control dan infection control behtm diperlukan, sedangkan untuk untuk stadium 3 dan selanjutnya tentu semua faktor tersebut harus dikendalikan, disertai keharusan adanya kerjasama multidisipliner yalg
1963
KAKIDIABETES
baik. Sebaliknya, untuk stadium I dan 2, peran usaha pencegahan untuk tidak terjadi ulkus sangat mencolok. Peran rehabilitasi medis dalam usaha mencegah te{adinya ulkus dengan usaha mendistribusikan tekanan plantar kaki memakai alas kaki khusus, serta berbagai usaha unhrk zon weight bearing lain merupakan contoh usaha yang yang sangat bermanfaat untuk mengurangi kecacatan akibat deformitas yang terjadi pada kaki diabetes.
terj adinya ulkus karena faktor mekanik akan dapat dicegah.
Penyuluhan diperlukan untuk semua kategori risiko tersebut: Untuk kaki yang kurang merasa/insensitif (kategori 3 dan 5), alas kaki perlu diperhatikan benar, untuk melindungi kaki yang insensitif tersebut. Kalau sudah ada deformitas (kategori risiko 2 dan 5), perlu perhatian khusus meng€nai sepatu/alas kaki yang dipakai, untuk meratakan penyebaran tekanan pada kaki.
Untuk kasus dengan kategori risiko 4 (permasalahan vaskular), latihan kaki perlu diperhatikan benar untuk
PENGELOLAAN KAKI DIABETES Pengelolaankaki diabetes dapat dibagimenjadi kelompok besar, yaitu pencegahan terjadinya kaki diabetes dan terjadinya ulkus (pencegahan primer sebelum terjadi perlukaan pada kulit) dan pencegahat agar tidak terjadi kecacatan yang lebih parah (pencegahan sekunder dan pengelolaan ulkus/gangren diabetik yang sudah terjadi). 2
memperbaiki vaskularisasi kaki. Untuk ulkus y ang complicated, tenlt saja semua usaha dan dana seyogyanya perlu dikerahkan untuk mencoba menyelamatkan kaki dan usaha ini masuk ke usaha pencegahan sekunder yang akan dibahas lebih lanjut di bawah ini.
PENCEGAHAN SEKUNDER
PENCEGAHAN PRIMER
Pengelolaan HolistikUlkus/Gangren Diabetik Kiat-kiat Pencegahan Teriadinya Kaki Diabetes Penyuluhan mengenai terjadinya kaki diabetes sangat penting untuk pencegahan kaki diabetes. Penyuluhan ini harus selalu dilakukan pada setiap kesempatan pertemuan dengan penyandang DM, dan harus selalu diingatkan kembali tanpa bosan. Anjuran ini berlaku untuk semua pihak terkait pengelolaan DM, baik para ners, ahli gizi, ahli
perawatan kaki, maupun dokter sebagai dirigen pengelolaan. Khusus untuk dokter, sempatkan selalu melihat dan memeriksa kaki penyandang DM sambil mengingatkan kembali mengenai cara pencegahan dan cara perawatan kaki yang baik. Berb agaikejadran/tindakan kecil yang tampak sepele dapat mengakibatkan kejadian yang mungkin fatal. Demikian pula pemeriksaan yang tampaknya
sepele dapat memberikan manfaat yang sangat besar. Periksalah selalu kaki pasien setelah mereka melepaskan sepatu dan kausnya.
Keadaan kaki penyandang diabetes digolongkan berdasar risiko terjadinya dan risiko besamya masalah yang
mungkin timbul. Penggolongan kaki diabetes berdasar risiko terjadinya masalah (Frykberg): 1). sensasi normal tanpa deformitas; 2). sensasi normal dengan deformitas atau tekanan plantar tinggi; 3). insensitivitas tanpa deformitas; 4). iskemia tanpa deformitas; 5). kombinasi/ complicated: (a) kombinasi insensitivitas, iskemia danlatau deformitas, (b) riwayat adanya tukak, deformitas Charcot. Pengelolaan kaki diabetes terutama ditujukan untuk pencegahan terjadinya tukak, disesuaikan dengan keadaan risiko kaki. Berbagai usaha pencegahan dilakukan sesuai
dengan tingkat besarnya risiko tersebut. Peran ahli rehabilitasi medis terutama dari segi ortotik sangat besar pada usaha pencegahan terjadinya ulkus. Dengan memberikan alas kaki yang baik, berbagai hal terkait
Dalam pengelolaan kaki diabetes, kerja sama'multidisipliner sangat diperlukan. Berbagai hal yang harus ditangani dengan baik agar diperoleh hasil pengelolaan yang maksimal dapat digolongkan sebagai berikut, dan semuanya harus dikelola bersama:
. . . . . .
mechanical Control-Pressttre Control
wound Control microbiological Control-Infection Control vascular Control metabolic Control educational Control
Untuk pengelolaan ulkus/gangren diabetik yang optimal, berbagai hal di bawah ini merupakan penjabaran lebih rinci dari keenam aspek tersebut pada tingkat
pencegahan sekunder dan tersier,yaitu pengelolaan optimal ulkus/gangren diabetik
Keadaan umum pasien harus Konsentrasi glukosa darah diperbaiki. dan diperhatikan
Kontrol metabolik.
diusahakan agar selalu senormal mungkin, untuk memperbaiki berbagai faktor terkait hiperglikemia yang
dapat menghambat penyembuhan luka. Umumnya diperlukan insulin untuk menormalisasi konsentasi glukosa darah. Status nutrisi harus diperhatikan dan diperbaiki.
Nutrisi yang baik jelas membantu kesembuhan luka. Berbagai hal lain harus juga diperhatikan dan diperbaiki , seperti konsentrasi albumin serum, konsentrasi Hb dan
derajat oksigenisasi jaringan. Demikian juga fungsi ginjalnya. Semua faktor tersebut tentu akan dapat menghambat kesembuhan luka sekiranya tidak diperhatikan dan tidak diperbaiki.
Kontrol vaskular. Keadaan vaskular yang buruk tentu akan
1964
MEIABOLIKENDOIGIN
menghambat kesembuhan luka. Berbagai langkah diagnostik dan terapi dapat dikerjakan sesuai keadaan pasien dan juga sesuai kondisi pasien. Umumnya kelainan pembuluh darah perifer dapat dikenali melalui berbagai cara
sederhana seperti: warna dan suhu kulit, perabaan arteri Dorsalis Pedis dan arteri Tibialis Posterior serta ditambah pengukuran tekanan darah; Di samping itu saat ini juga tersedia berbagai fasilitas mutakhir untuk mengevaluasi keadaan pembuluh darah dengan cara non-invasifmaupun yang invasif dan semiinvasif, seperti pemeriksaan ankle brachial index, ankle pressure, toe pressure,T:PO2, dart
pemeriksaan ekhodopler dan kemudian pemeriksaan arteriografi.
Setelah dilakukan diagnosis keadaan vaskularnya, dapat dilakukan pengelolaan untuk kelainan pembuluh darah perifer dari sudut vakular, yaitu berupa:
Modifikasi Faktor Risiko
. .
Stop merokok
Memperbaiki berbagai faktor risiko terkait aterosklerosis . Hiperglikemia
. .
Hipertensi Dislipidemia
Walking Program - Latihan kaki merupakan domain usaha yang dapat diisi oleh jajaran rehabilitasi medik.
Terapi Farmakologis
bergantung pada berbagai faktor lain yang juga masih banyak jumlahnya. Terapi hiperbarik dilaporkan juga bermanfaat untuk memperbaiki vaskularisasi dan oksigenisasi jaringan luka pada kaki diabetes sebagai terapi ajuvan. Walaupun demikian masih banyak kendala untuk menerapkan terapi hiperbarik secara rutin pada pengelolaan umum kaki diabetes. Wound control. Perawatan luka sejak pertama kali pasien datang merupakan hal yang harus dikerjakan dengan baik dan teliti. Evaluasi luka harus dike{akan secermat mungkin. Klasifikasi ulkus PEDIS dilakukan setelah debridemen yang adekuat. Saat ini terdapat banyak sekali macam dressing (pembalut) yang masing-masing tentu dapat dimanfaatkan sesuai dengan keadaan luka, danjuga letak luka tersebut. Dressingyarrg mengandung komponen zat penyerap seperti carbonated dressing, alginate dressing akan bermanfaat pada keadaan luka yang masih produktif. Demikian pula
hydrophilic
fiber dressing
atau
silver impregnated
dressing akan dapat bermanfaat unhk luka produktif dan terinfeksi. Tetapi jangan lupa bahwa tindakan debridemen
yang adekuat merupakan syarat mutlak yang harus dikerjakan dahulu sebelum menilai dan mengklasikasikan htka. Debridementyangbaik dan adekuattentu akan sangat
membantu mengurangi jaringan nekrotik yang harus dikeluarkan tubuh, dengan demikian tentu akan sangat mengurangi produksi pus/cairan dari ulkus/gangren.
Berbagai terapi topikal dapat dimanfaatkan untuk
Kalau mengacu pada berbagai penelitian yang sudah dikerjakan pada kelainan akibat aterosklerosis di tempat lain fiantung, otak), mungkin obat seperti aspirin dan lain sebagainya yang jelas dikatakan bermanfaat, akan
mengurangi mikroba pada luka, sqlerti cairan salin sebagai pembersih luka, atau yodine encer, senyawa silver sebagai bagian dari dressing, dll. Demikian pula berbagai cara
bermanfaat pula untuk pembuluh darah kaki penyandang DM. Tetapi sampai saat ini belum ada bukti yang cukup kuat untuk menganjurkan pemakaian obat secara rutin guna memperbaiki patensi pada penyakit pembuluh darah kaki
mempercepat pembersihan jaringan nekrotik luka, seperti preparat enzim. Jika luka sudah lebih baik dan tidak terinfeksi lagi,
penyandang DM.
Revaskularisasi Jika kemungkinan kesembuhan luka rendah atau jikalau
ada klaudikasio intermiten yang hebat, tindakan revaskularisasi dapat dianjurkan. Sebelum tindakan revaskularisasi diperlukan pemeriksaan arteriografi untuk mendapatkan gambaran pembuluh darah yang lebih jelas, sehingga dokter ahli bedah vaskular dapat lebih mudah melakukan rencana tindakan dan mengerjakannya. Untuk oklusi yang panjang dianjurkan operasi bedah pintas terbuka. Untuk oklusi yang pendek dapat dipikirkan untuk prosedur endovascular - PTCA. Pada keadaan sumbatan akut dapat pula dilakukan tromboarterektomi. Dengan berbagai teknik bedah tersebut, vaskularisasi daerah distal dapat diperbaiki, sehingga hasil pengelolaan ulkus diharapkan lebih baik. Paling tidak faktor vaskular sudah lebih memadai, sehingga kesembuhan luka tinggal
debridemen non surgikal dapat dimanfaatkan untuk
dressing seperti hydrocolloid dressing yang dapat dipertahankan beberapa hari dapat digunakan. Tentu saja
untuk kesembuhan luka kronik seperti pada luka kaki diabetes, suasana sekitar luka yang kondusif untuk penyembuhan harus dipertahankan. Yakinkan bahwa luka selalu dalam keadaan optimal, dengan demikian penyembuhan luka akan terjadi sesuai dengan tahapan yang harus selalu dilewati dalam rangka proses penyembuhan.
Selama proses inflamasi masih ada, proses penyembuhan luka tidak akan beranj ak pada proses selanjutnya yaitu proses granulasi dan kemudian epitelialisasi. Unhrk menjaga suasana kondusif bagi kesembuhan luka dapat pula dipakai kasa yang dibasahi dengan salin. Cara tersebut saat ini dipakai di banyak sekali tempat perawatan kaki diabetes.
Berbagai sarana dan penemuan baru dapat dimanfaatkan untvk wound control seperti: dermagraft, apligraft, growth factor, protease inhibitor dsb, untuk mempercepat kesembuhan luka, Bahkan ada dilaporkan
1965
KAKIDIABETES
terapi gen nntuk mendapatkan bakteri E coli yang dapat menghasilkan berbagai faktor pertumbuhan. Ada pula dilaporkan pemakaian maggot (belatung) lalat (lalat hijau) untuk membantu membersihkan luka. Berbagai laporan tersebut umumnya belum berdasar penelitian besar dan belum cukup terbukti secara luas untuk dapat diterapkan dalam pengelolaan rutin kaki diabetes.
Microbiologicul control Data mengenai pola kuman perlu diperbaiki secara berkala untuk setiap daerah yang berbeda.
Di RS. Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta data terakhir memrnjukkan bahwa pada pasien yang datang dari luar, umumnya didapatkan infeksi bakteri yang multipel, anaeob dan anerob. Antibiotik yang dianjurkan harus selalu disesuaikan dengan hasil biakan kuman dan resistensinya. Sebagai acuan, dari penelitian tahun 2004 di RS. Dr.Cipto Mangunkusumo Jakarla, umumnya didapatkan pola kuman
keluarganya diharapkan akan dapat membantu dan mendukung berbagai tindakan yang diperlukan untuk kesembuhan luk a y ang optimal. Rehabilitasi merupakan program yang sangat penting yang harus dilaksanakan untuk pengelolaan kaki diabetes. Bahkan sejak pencegahan terjadinya ulkus diabetik dan kemudian segera setelah perawatan, keterlibatan ahli rehabilitasi medis sangat diperlukan untuk mengurangi k6cacatan yang mugkin timbul pada pasien. Keterlibatan ahli rehabilitasi medis berlanjut sampai jauh sesudah amputasi, untuk memberikan bantuan bagipara amputee menghindari terjadinya ulkus baru. Pemakaian alas kaki/ sepatu khusus untuk mengurangi tekanan plantar akan sangat membantu mencegah terjadinya ulkus baru. Ulkus yang terjadi berikut memberikan prognosis yang jauh lebih
buruk daripada ulkus yang pertama.
yang polimikrobial, campuran gram positif dan gram negatif serta kuman anaerob untuk luka yang dalam dan berbau. Karena itu untuk lini pertama pemberian antibiotik harus
diberikan antibiotik dengan spektrum luas, mencakup kuman gram positif dan negatif (seperti misalnya golongan
sefalosporin), dikombinasikan dengan obat yang bermanfaat terhadap kuman anaerob (seperti misalnya metqnidazsl). Pressure controL Jkatetap dipakai untuk be{alan (berarti kaki dipakai untuk menahan berat badan-weight bearing), luka yang selalu mendapat tekanan tidak akan sempat menyembuh, apalagi kalau luka tersebut terletak di bagian
plantar seperti luka pada kaki Charcot. Peran jajatan rehabilitasi medis pada tsaha pressure control ini juga sangat mencolok.
Berbagai cara untuk mencapai keadaan non weightbearing dapat dilakukan antara lain dengan: . Removable cast walker . Total contact casting
. . . . . .
Temporary shoes
Felt padding Crutches Wheelchair Electric carts
Craddled insoles
Berbagai cara surgikal dapat dipakai untuk mengurangi tekanan pada luka seperti: l). Dekompresi ulkus/abses dengan insisi abses, 2). Prosedur koreksi bedah seperti
operasi untuk hammer toe, metatarsal head resection, Achilles tendon lengthening, partial calcanectomy.
Education control. Edukasi sangat penting untuk semua tahap pengelolaan kaki diabetes. Dengan penyuluhan yang baik, penyandang DM dan ulkus/gangren diabetik maupun
REFERENSI American Diabetes Association Expert Committee. Report of the Expert Committee on the Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. Diabetes Carc 1997 :20-1783American Diabetes Association. Peripheral Arterial Diseas.e,.in People
with Diabetes. Diabetes Carc 2003;26(12): 3333-41.
Boulton AJM. The Diabetic Foot. Medicine International 2002;2(1):36-40. Edmonds ME, Foster AVM, Sanders LJ. A Practical Manual of Diabetic Footcare. Blackwell Publishing Ltd. 2004. Edmonds ME, Foster AVM. Managing the Diabetic Foot. Second edition. Blackwell Pubiishing Ltd. 2005. Flakol PJ, Carlson M, Cherington A. Physiologic action of insulin. Dalam: Diabetes Mellltus. A Fundamental and Clinical Text. LeRoith D, Taylor SI, Olefsky JM (eds)' Edisi ke-2. Philadelphia: Lippincot- Williams & Wilkins; 2000. p.148-61 Giugliano D, Ceriello A. Paulisso G Oxidative stress and diabetic vascular complications. Diabetes Care 1996;19(3):257 -61. International Working Group on the Diabetic Foot. International Consensus on the Diabetic Foot. Noordwijkerhout, the
Netherland 2003. Kusmardi Suma{o. Hubungan gambaran klinis pasiendan jenis kuman penyebab infeksi kaki diabetes. Tesis PPDS Ilrnu Penyakit Dalam
FKUI 2005. Levin ME. Pathogenesis and general management of foot lesions in the diabetic patients. Dalam: Levin ME, O'Neal LW, Bowker JH, Pfeifer MA, editors. The Diabetic Foot, Edisi 6, St Louis. The CV Mosby CompanY 2001.
Perkeni. Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus di Indonesia. Jakarta:PB Perkeni; 2002. Retno Gustaviani. Data Perawatan Kaki Diabetes di Ruang Rawat Inap Kelas 2 dan 3 RSUPN dr. CiptoMangunkusumo 2003' Sarwono Waspadji. Pengelolaan Kaki Diabetes Sebagai Suatu Model Pengelolaan Holistik, Terpadu dan Komprehensif di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Pidato pada Upacara Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap IPD FKUI 2004 Sarwono Waspadji. Antibiotic choices in the infected diabetic foot/
ulcer. Acta Medica Indonesiam 2005;37(2): 94-101'
1966
MEIABOLIKENT'OKRIN
LAMPIRAN
Tingkat
Stadium Tanpa
tukak
Klasifikasi PEDIS ,nfernational Consensus on the Diabetic Foot20O3
Luka
Luka
i i
sampar
.
tendon atau kapsul sendi
Luka sampar tulang/ sendi
Dengan lnfeksl....
:
..Dengan lskemia...
D
Dengan infeksi dan iskemia
lmpaired Perfusion
1 =
None
2 3
PAD + but not critical Critical limb ischemia
l=
Superficial fullthickness, not deepdr than dermis Deep ulcer, below dermis, involving subcutaneous structures, fascia, muscle or tendon All subsequent layers of the foot involved including bone and or joint No symptoms or signs of infection lnfection of skin and subcutaneous tissue only Erythema > 2 cm or infection involving subcutaneous structure(s) No systemic sign(s) of inflammatory response lnfection with systemic manifestation: Fever, leucocytosis, shift to the left Metabolic instability Hypotension,azotemia
Size/Extent in mm2
Tissue Loss/Depth
2= != 'l= l=
lnfection
o-
4 =
1 =
lmpaired
Sensation
j nfeks
Lampiran 2. Patofisiologi terjadinya ulkus pada kaki diabetik (Sumber: Boulton AJM. Diabetic Med. 1996:3;(Suppl.1)
2 =
Absent Present
Klasifikasi Wagner (Klasifikasi yang saat ini masih banyak dipakai)
0. Kulit intak / utuh 1. Tukak superfisial 2. Tukak Dalam (sampai tendo, tulang) 3. Tukak Dalam dengan lnfeksi 4. Tukak dengan gangren pada 1-2 jari kaki 5. Tukak dengan gangren luas seluruh kaki Klasifikasi Liverpool Klasifikasi primer
Klasifikasi
sekunder
:
-
Vaskular Neuropati Neuroiskemik Tukak sederhana, tanpa komplikasi Tukak dengan komplikasi
309 DIABETES MELITUS PADA USIA LANJUT Wasilah Rochmah
PENDAHULUAN Umur merupakan salah faktor yang sangat penting dalam
pengaruhnya terhadap prevalensi diabetes maupun gangguan toleransi glukosa. Dalam studi epidemiologi, baik yang dilakukan secara cross-sectional matpun longitudinal, menunjukkan bahwa prevalensi diabetes maupun gangguan toleransi glukosa naik bersama bertambahan umur, dan membentuk slntu plateau dan kemudian menurun. Waktu terjadinya kenaikan dan kecepatan kenaikan prevalensi tersebut serta pencapaian
cepat pula. Yang menjadi pefianyaan sekarang: Apakah pengelolaan diabetes yang timbul pada usia lanjut sama dengan diabetes yang telah diderita sejak usia muda? Hal ini perlu difrkirkan dan dicermati mengingat bahwa populasi ini umumnya telah disertai dengan berbagai penumnan baik fisis, psikis maupun finansial dengan segala akibat-
akibatnya.
TUADAN PROSES MENUA
puncak dan pemrrunannya sangat bervariasi diantara studi yang pemah dilakukan. Namun demikian tampaknya para
Menjadi tua atau menua (aging) adalah suatu keadaan yang terjadi karena suatu proses yang disebut proses
peneliti mensepakati bahwa kenaikan prevalensi didapatkan mulai sejak awal masa dewasa. WHO
menua. Proses menua merupakan fenomena universal,
menyebutkan bahwa setelah seseorang mencapal umur 30 tahun, maka konsentrasi glukosa darah akan r.a;ik
l-2
mg%oltahw pada saat puasa dan akan naik sekitar 5,6-13 mgYopada2jam setelah makan. Berdasarkan hal tersebut tidaklah mengherankan apabila umur merupakan faktor utama te{adinya kenaikan prevalensi diabetes serta gangguan toleransi glukosa. Dalam dua dekade terakhir
ini dari pengamatan berbagai peneliti tentang perkembangan penduduk dunia, jumlah usia lanjut semakin bertambah, Pada saat ini statistik penduduk dunia menunjukkan
bahwa jumlah usia lanjut umur 65 tahun atau lebih, berjumlah sekitar 450 juta jiwa (7% dari jumlah total penduduk dunia). Diperkirakan bahwa jumlah tersebut pada tahun 2025 dapatmencapai dua kali lipat jumlah saat ini. Dari beberapa hasil penelitian yang pernah dilakukan, usia lanjut yang mengalami gangguan toleransi glukosa mencapai sekitar 50 - 92%. Dapat dibayangkan bahwa dengan laju kenaikan jumlah penduduk usia lanjut yang semakin cepat, maka prevalensi pasienganguan toleransi glukosa dan diabetes usia lanjut akan meningkat lebih
yang kecepatannya atau laju prosesnya bervariasi dari satu ke lain individu. Perbedaan ini dipengaruhi oleh faktorfaktor endogen (genetis dan biologis) serta faktor- faktor eksogen (lingkungan, gizi, pola dan gaya hidup, sosial, budaya, ekonomi dan penyakit). Menua adalah proses sepanjang hidup, yang dimulai sejak permulaan kehidupan itu sendiri, tidak dimulai dari umur 55 tahun, atau umur 60 tahun, atau dari umur 65 tahun sebagai batas umur usia
lanjut menurut WHO. Oleh karena itu proses menua merupakan suatu proses sepanjang hidup, yang dimulai dari sejak kehidupan janin, berkembang ke kehidupan bayi, balita, anak-anak, remaja, dewasa muda, dewasa tua, dan akhirnya proses menua ini akan sampai pada segmen akhir kehidupan. Segmen akhir kehidupan menurut Krammer dan Schrier dibagi menjadi tiga subkelas, yaitu kelas young
old,mwantaru65-T4tahw,kelasaged(old)mwantata 75-84 tahun, dan yang terakhir oldest old atau extreme agedialahmereka yang berumur lebih dari 84 tahun. Proses menua yang berlangsung sebelum umur 30 tahun, akan berjalan bersama dengan proses-tumbuh kembang yang bersifat lebih dominan. Kedua proses yang berjalan bersama ini akan mengakibatkan perubahap
1967
1968
METABOLIKENDOKRIN
anatomis, fisiologis, dan biokimiawi menuju suatu titik kehidupan maksimal sebagai seorang manusia pada puncak kehidupan produktif. proses menua yang
mutasi DNA mitokondria (mtDNA), mengatakan bahwa telah lama diduga kalau metabolisme energi dan nutrisi yang berlangsung dalam mitokondria berperan penting
berlangsung sesudah umur 30 tahun akan mengakibatkan perubahan-perubahan anatomis, fi siologis dan biokimiawi juga, tetapi menuju jalan penurunan kualitas hidup sebesar l%o tiap tahun. Selanjutnya Miller mengatakan bahwa
dalam proses menua. Manusia dapat dipandang sebagai suatu mesin dengan kehebatan susunan dan ketahanannya. Namun suatu mesin yang tanpa henti-hentinya menunaikan tugas yang menjadi bebannya, cepat atau lambat akhirnya akan
proses menua ini mengubah seorang dewasa sehat menjadi seorang tua yangrapvh (frall), yang mengalami penurunan
mengalami penyusutan, dan akhirnya cacat. Tingkat kecacatan atau kerusakal yalg terjadi pada suatu mesin
dari hampir seluruh sistem fisiologis tubuh. penurunan ini akan meningkatkan kerentanan tubuh terhadap penyakit, dan akhirnya meninggal dunia. Pada usia 60 tahun, proses
tergantung kompleksitas komposisi mesin tersebut. Derajat paling rendah adalahkerusakan yang tidak dapat dielakkan karena umur suatu bahan dasar dari salah safu komponen,
menua berjalan lebih cepat; sehingga memperlihatkan
fisik yang tarnpak progresif. Menua, karakteristis ditandai oleh kegagalan tubuh dalam mempertahankan homeostasis terhadap suatu stres walaupun stres tersebut masih dalam batas-batas penurunan
sedangkan tingkat tertinggi adalah kerusakan dari beberapa komponen mesin yang mengampu satu fungsi. Demikian pula yang terjadi pada proses menua, ada tiga tingkatan sampai terjadinya kecacatan atau kerusakan. Kerusakan yang pertama pada tingkat sel, kedua pada tingkat jaringan, dan akhimya pada tingkaf organ. Tingkat
fisiologis. Kegagalan mempertahankan homeostasis akan
menurunkan ketahanan tubuh untuk hidup dan mengakibatkan meningkatnya kemudahan kerusakan pada
kerusakan tertinggi pada apabila terjadi pada berbagai organ yang mengampu satu fungsi. Salah satu contoh yang dapat diibaratkan fungsi pada suatu mesin adalah firngsi homeostasis glukosa.
diri individu tersebut. Tiga fakta yang penting dalam biologi menua yaitu: pertama sifatnya yang universal (semua yang hidup dimanapun juga akan mengalaminya), kedta deteriorative (makinlama akan makin memburuk), dan yang ketiga walaupun memburuk tidakmenyebabkan berhentinya fungsi suaru sistem secara total. Tua adalah suatu keadaan yang dapat dipandang dari tiga sisi, yaitu sisi kronologis, biologis, dan psikologis. Sesuatu dianggap atau dipandang tua apabila dinyatakan telah berumur lama. Hal tersebut pertama kali dilontarkan oleh Weismanir pada tahun 1882, kemudian dipelajari oleh Pearl tahun 1928 dan Wartin tah:on 1929, dan muncul
Toleransi tubuh terhadap glukosa merupakan manifestasi dari tanggung jawab beberapa komponen tubuh yang mengampu satu fungsi, yaitu fungsi ambilan glukosa. Komponen yang dimaksud di atas adalah sel-sel beta pankreas yang menghasilkan hormon insulin, sel-sel
jaringan target yang menggunakan glukosa, sistem lain seperti sistem saraf dan peran hormon-hormon lain yang
diproduksi oleh berbagai organ seperti glukagon, kortikosteroid, epinefrin dan lain sebagainya. Walaupun demikian kompleksnya fungsi homeostasis glukosa
kemudian theories related to wear and tear. WHO
tersebut, tetapi tubuh selalu berusaha untuk
memberikan definisi bahwa seseorang disebut tua atau usia lanjut apabrla orang tersebut secara kronologis telah berumur 65 tahun atau lebih. Seseorang yang belum berumur 65 tahun, tetapi secara frsik sudah tampak setua usia 65 tahun karena suafu stres emosional, maka orang tersebut masuk dalam definisi tua psikologis; lain halnya apabila seseorang tampak tua karena menderita suatu penyakit kronik, maka orang tersebut termasuk tua fisik. Cox mengatakan bahwa tua kronologis disebut menua primer dan yang lainnya disebut menua sekunder. Seperti telah disebutkan sebelumnya, Miller mengatakan bahwa proses menua adalah suatu proses yang mengubah seorang dewasa sehat menjadi seorang tuayang bersifat rapuh. Apa yang terjadi dan apa yang bisa menyebabkan keadaan seperti itu, sampai saat ini belum ada satu teori ataupun pembuktian yang dapat menerangkan dengan jelas. Lebih dari 200 teori menua yang pemah diajukan, namun sekarang tinggal beberapa saja yang masih banyak pendukungnya,antara lain adalah: l. Teori radikal bebas Harmon, 2. Teori glikosilasi Monnier, 3. Teori laju reparasi
mempertahankannya. Namun demikian, seperti halnya mesin, akhirnya terjadi kecacatanyang dapat kita amati dengan timbulnya apa yarrg disebut gangguan toleransi glukosa (GTG). Dikatakan bahwa 50-92% usia lanjut menderita GTG. Gangguan toleransi glukosa yang timbul pada usia lanjut tersebut, ada yang masuk kriteria toleransi glukosa terganggu, ada yang masuk kriteria diabetes melitus. Hal tersebut menggambarkan adanyapenurunan kemampuan ambilan glukosa oleh sel-sel jaringan sasaran, khususnya otot rangka. Seperti disebutkan dalam teoriteori proses menua sebelumnya, kemampuan ambilan glukosa ini tidak lepas dari peran mitokondria, yang merupakan pusat metabolisme energi. Dampak yang ditimbulkan oleh penurunan kemampuan ambilan glukosa tersebut adalah terjadinya kelambatan pembentukan molekul AIP (adenosintrifosfat) sebagai energi siap pakai. Hal ini akan mengakibatkan kelambatan aktivitas dalam sel,jaringan dan akhirnya organ dan manifestasinya dapat terlihat dari penampilan seorang usia lanjut, karena
penurunan fungsi sistem muskuloskeletal, neuromuskuler, dan berbagai penurunan fungsi sistem lain,
DNAHart dan Setlow, merupakan hasil penelitian Hartdan Setlow, 4. Teori pemendekan telomer Hastie dkk, 5. Teori
.
seperti sistem kardiovaskular dan respirasi.
1969
DIABETES MEIJTUS PADA USIA LANJUT
Proses menua yang berjalan setelah seseorang berusia 30 tahun, secara fisik memberikan akibat terhadap susunan komposisi tubuh. Pada saat umur di bawah 30 tahun, tubuh sel solid, 14% lemak, 6oh tulang lebih dai 65 tahun, komposisi tubuh tersebut berubah menjadi ait 53oh, sel solid l2%o,lemak
terdiri atas 6loh air, lgYo dan mineral. Pada usia
30o2, sedangkan tulang dan mineral memrrun I % sehingga
tinggal 5%. Perubahan fisik karena perubahan komposisi tubuh yang menyertai pertambahan umur umumnya bersifat fisiologis, seperti kulit yang keriput, turunnya tinggi badan; berat badan, kekuatan otot, daya llhat, daya dengar, kemampuan berbagai rasa (senses), dan penurunan frrngsi berbagai organ termasuk apa yang terjadi terhadap fungsi homeostasis glukosa.
diketemukan pada otopsi dari mereka yang meninggal dunia pada usia lanjut. Sedangkan ahli-ahli lain menemukan
konsentrasi insulin plasma yang cukup tinggipada2 jam setelah pembebanan glukosa 75 gram dengan konsentrasi
glukosa yang tinggi pula, oleh karena itu kenaikan konsentrasi glukosa darah 2 j am setelah makan atau setelah pembebanan glukosa pada usia lanjut diduga disebabkan oleh karena adanyaresistensi insulin. Kedua pendapat di
atas merupakan pendapat yang bersifat kontroversial. Goldberg dan Coon menyebutkan bahwa umur memang
sangat erat kaitannya dengan terjadinya kenaikan konsentrasi glukosa darah, sehing ga pada golongan umur yang makin tua prevalensi gangguan toleransi glukosa akan meningkat dan demikian pula prevalensi diabetes melitus berdasarkan kriteria yang telah disetujui.
Timbulnya resistensi insulin pada usia lanjut TUA DAN PERUBAHAN HOMEOSTASIS GLUKOSA Secara garis besar konsentrasi glukosa darah pada orang
dewasa normal merupakan manifestasi dari kemampuan
sekresi insulin oleh pankreas dan kemampuan ambilan glukosa oleh sel-seljaringan sasaran. Pada situasi tertentu konsentrasi glukosa darah dipengaruhi oleh berbagai hal, seperti proses glukogenolisis pada saat puasa, glukoneogenesis apabila diperlukan sumber tenaga tambahan karena sumber tenaga dari karbohidrat tidak dapat memenuhi kebutuhan.. Gangguan toleransi glukosa (GTG) adalah suatu
keadaan perubahan homeostasis glukosa sehingga am sesudah makan tersebut konsentrasi lebih tinggi dari 140 mg/dl. Apabila tersebut keadaan mgldl gan200 lebih tinggi atau sama den didapatkan konsentrasi glukosa darah
2j
dimasukkan dalam kriteria diabetes melitus (DM)' WHO'?
menyebutkan bahwa tiap kenaikan satu dekade umur, konsentrasi glukosa darahpuasa akannaik sekitar l-2mgl dl dan 5,6-13 mg/dl pada 2 jam sesudah makan' Morrow dan Halter, mengatakan bahwa KGD 2 jam sesudah
glukosa dltiappenambahan 1 melampaui umur 30
pembebanan
5mgl telah
hasil
kelompok umur, yaitu kelompok umur penelitian Sampai saat ini, belum ada laporan 6. dekade 4,5 dan di atas 30 tahun pada 3 jam setelah usia KGD bagaimana glukosa. Namun demikian setelahpembebanan atau makan terhadap 3
Morrow & Halter selanjutnya mengatakan bahwa patofisiologi gangguan toleransi glukosa pada usia lanjut sampai saat ini belum jelas atau dapat dikatakan belum seluruhnya diketahui. Selain faktor intrinsik, faktor ekstrinsik seperti memrrunnya ukuran masa tubuh dan naiknya lemak tubuh mengakibatkan kecenderungan timbulnya penurunan aksi insulin pada jaringan sasaran' Timbulnya gangguan toleransi glukosa pada usia lanjut semula oleh sementara ahli diduga karena menurunnya sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Hal ini didasarkan atas adanya perubahan gambaran
histologis pankreas yang
disebabkan oleh 4 faktor yaitu pertama adanya perubahan komposisi tubuh sepeti telah diterangkan sebelumnya. Penurunan jumlah masa otot dari l9Yo menjadi l2Yo, disamping peningkatan jumlah jaringan lemak dai l4Vo
mengakibatkan menurunnya jumlah serta sensitivitas reseptor insulin. Faktor yang kedua adalah
menjadi
300/o,
turunnya aktivitas fisik yang akan mengakibatkan penurunan jumlah reseptor insulin yang siap"berikatan dengan insulin sehingga kecepatan translokasi GLUT-4 juga menurun. Kedua hal tersebut akan menurunkan baik
kecepatan maupun jumlah ambilan glukosa. Ketiga perubahan pola makan pada usia lanjut yang disebabkan oleh berkurangnya gigi geligi sehingga prosentase bahan makanan karbohidrat akan meningkat. Faktor keempat adalah perubahan neuro-hormonal, khususny a insulinlike growth factor'l (IGF'L) dan dehydroepandrosteron (DHEAS) plasma. Konsentras IGF-I serum turun sampar 50o/o pada usia lanjut. Penurunan hormon ini akan
mengakibatkan penurunan ambilan glukosa karena
menurunnya sensitivitas reseptor insulin serta menunxlnya aksi insulin. Hal ini didasarkan atas percobaan
in vitro serta in vivo bahwa IGF-I meningkatkan baik ambilan glukosa maupun kecepatan oksidasi. Demikian pula konsentrasi DHEAS plasma mentrun pada usia lanjut' Tampaknya penurunan DHEAS tersebut ada kaitannya dengan kenaikan lemak tubuh serta turunnya aktivitas fisik. Hal ini dibuktikan dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa penurunan DHEAS mempunyai hubungan terbalik dengan tingginya konsentrasi insulin plasma puasa' Keempat faktor di atas menunjukkan bahwa kenaikan konsentrasi glukosa darah pada usia lanjut karena resistensi insulin. Barb\ei et almenemukan adanya penurunan resistensi insulin pada usia lanjut umur 90-100. Dari penemuan ini Barbieri et al.metgajukan suatu hipotesis yang isinya bahwa selama proses menua berjalan, tetjadi metabolic age remodeling yang menumbuhkan age related metabolic adaptallon sehingga pada usia lanjfi terdapat age related insulin action dar. preserved insulin action de-
1970
spite age. Wasilah pada studi tes toleransi glukosa terhadap usia lanjut sehat tanpa kelainan fungsi hati dan ginjal dengan bebanT5 gram yang diikuti sampai jam ke 3, menemukan bahwa konsentrasi glukosa darah rerata usia lanjut sehat tersebut lebih rendah dari konsentrasi glukosa darah puasanya, dengan konsentrasi insulin plasma dalam batas normal puasa. Sedangkan pada saat 2 jam setelah pembebanan masih didapatkan konsentrasi glukosa darah yang lebih tinggi dari l4}mg%o dengan konsentrasi insu-
lin rerata yang tinggi pula. Hasil tes klem euglikemik
menunjukkan bahwa kecepatan ambilan glukosa oleh sel
jaringan sasaran pada usia lanjut memang lebih rendah kecepatannya dibanding pada usia muda. Hasil studi tersebut memberikan kesan adanya suatu inefisiensi insulin. bukan resistensi insulin, karena fungsi homeostasis glukosa pada usia lanjut tersebut akhimya selesai walaupun diselesaikan sampai 3 jam. Berdasarkan teori proses menua baik teori radikal bebas yang menimbulkan stres oksidatif atau teori mutasi DNA mitokhondria serta hasil penelitian di atas, dapat dik atakan
MEIABOIII(ENDOKRIN
Selain terjadi gangguan metabolisme gula pada pasiendiabetes mengalami juga gangguan metabolisme lipid, sering disertai kenaikan berat badan samp aite4adinya obesitas dan tidak sedikit pula timbul gejala hipertensi. Kalau keadaan tersebut didapatkan pada seorang diabetes maka yang kita hadapi adalah seorang pasiensindroma metabolik. Patofisiologi diabetes tipe 2 secaragaris besar disebabkan oleh kegagalan kelenjar pankreas dalam memproduksi insulin danJ atau terj adinya resistensi insulin baik pada hati maupun pada jaringan sasaran. Kedua
hal tersebut mengakibatkan kegagalan hati dalam meregulasi pelepasan glukosa dan menyebabkan ketidakmampuan jaringan otot serta jaringan lemak dalam tugas ambilan glukosa. Sampai saat ini masih merupakan pendapat yang bersifat kontroversi antara kemungkinan
penyebab diabetes usia lanjut. Apakah suatu resistensi insulin, inefisiensi insulin atau penurunan produksi insu-
lin? Penyebab tersebut memang akan memberikan penanganan yang agak berbeda modelnya, walaupun dasar dan tujuannya sama. Perlu ditentukan dahulu apakah dia-
terjadinya perubahan toleransi tubuh terhadap glukosa
betes yang
pada usia lanjut cenderung karena proses pasca reseptor. Penelitian dasar tentang mitokhondria sehubungan dengan
dewasa, atau Qaru diderita pada saat menjelang/sudah tua (usia lanjut)?
metabolisme karbohirdat pada usia lanjut sangat diperlukan. Sedangkan di bidang klinis tampaknya perlu difikirkan apakah diagnosis diabetes pada usia lanjut memerlukan hasil konsentrasi glukosa darah 3 jam sesudah makan atau akan tetap seperti konsensus, mengingat bahwa proses menua memang berperan dalam terjadinya perubahan homeostasis glukosa. Hal ini sangat berkaitan dengan pengelolaan yang akan dilakukan, khususnya pada pemberian terapi medikamentosa yang sangat
berisiko terjadinya hipoglikemiaa. Di bidang Geriatric Medicine dapat diambil manfaat bahwa pada diabetes usia lanjut tidak harus diketemukan adanya resisitensi insulin, dan dari fakta bahwa pada diabetes usia lanjut terjadi preserved insulin action despite age atau ineficienfy insulin despite age menggambarkan suatu model gaya hidup yang baik yang merup akanciri successful metabolic agtng.
dideritausia lanjutmemang dimulai sejakwaktu
Untuk menentukan apakah diabetes usia lanjut baru timbul pada saat tua, pendekatan selalu dimulai dengan anamnesis, yaitu tidak adanya gejala klasik seperti poliuri
polidipsi dan polivagi. Demikian pula gejala komplikasi seperti newopati, retinopati dan lain sebagainya, umumnya bias dengan perubahan fisik karena proses menua, oleh karena itu memerlukan konfirmasi pemeriksaan fisik, kalau perlu dengan pemeriksaan penunjang. Pada pemeriksaan fisis, pasien diabetes yang timbul pada usia lanjut dikatakan kebanyakan tidak diketemukan adanya kelainan-kelainan yang sehubungan dengan diabetes seperti misalnya kaki diabetes serta tumbuhnya jamur pada tempat-tempat tertentu. Konsentrasi glukosa darah, sampai saat ini baik diabetes usia lanjut yang diderita sejak muda atau timbul setelah tua, kriteria yang dipakai adalah konsentrasi glukosa darah puasa > 126 mg%o mentrutAmerican Diabetes Association. Sedangkan menurut WHO konsentrasi glukosa darah puasa > 140 mgo/o dan/atart 2 jam sesudah makan >200 mg%. Oleh karena itu pemeriksaan konsentrasi
TUA DAN DIABETES MELITUS
insulin plasma baik pada saat puasa dan 2 jam sesudah makan sangat membantu untuk menentukan penyebab
Umur ternyata merupakan salah satu faktor yang bersifat mandiri dalam pengaruhnya terhadap perubahan toleransi tubuh terhadap glukosa. Hampir setiap studi epidemiologi baik yang bersifat cross-sectional maupun longitudinal
diagnosis tersebut, apakah produksi insulin yang menurun atau resistensi insulin. Namun di Indonesia pemeriksaan
menunjukkan bahwa prevalensi gangguan toleransi glukosa dan diabetes meningkat bersama pertambahan umur. Umumnya diabetes orang dewasahampir 90% masuk diabetes tipe 2. Dari jumlah tersebut dikatakan bahwa50%o adalah pasienberumur lebih dari 60 tahun. Kita menyadari
bahwa penyakit diabetes tidak hanya sekedar adanya kenaikan konsentrasi glukosa darah atau hiperglikemia.
insulin atau peptida-C belum lazim dilakukan untuk pendukung diagnosis. Berdasarkan hasil penelitian Wasilah, bahwa konsentrasi glukosa darah rerata usia lanjut pada 3 jam setelah pembebanan glukosa, tanpa perlakuan apapun menurun sendiri sampai setinggi sebelum pembebanan glukosa, walaupun pada 2 jam sesudah pembebanan masuk kriteria gangguan toleransi glukosa. Hai ini memberikan kesan bahwa pada usia lanjut tet'adi inefisiensi insulin.Oleh karena itu apakah prosedur
t97t
DIABETES MELITUS PADA USA LANJI.TT
guna menentukan apakah diabetes pada usia lanjut tersebut disebabkan oleh resistensi insulin atau karena
mengingat protein binding drug pada usia lanjut sangat menurun, agar tidak sampai terjadi hipoglikemiaa. Dari pembicaraan di atas tampaknya perlu dipertimbangkan
inefisiensi insulin. Hal ini akan lebih mendasar lagi apabila
sudtu konsensus khusus dalam menangani pasiendiabetes
dilakukan pemeriksaan insulin basal guna mendukung penilaian adanya resistensi insulin. Semua itu sangat penting untuk mempertimbangkan pemberian terapi
usia lanjut.
farmakologis, agar kemungkinan terjadinya hipoglikemiaa dapat dihindari.
RINGKASAN
Mengingat pola makan dan pola hidup usia lanjut sudah berbeda dengan usia muda, maka terapi diit dan latihan tidak dapat diharapkan sebagaimana mestinya.
Diabetes melitus usia lanjut, prevalensinya semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh karena jumlah usia
pemeriksaan
3
jam sesudah makan dapat dipertimbangkan
Namun demikian, bagaimanapun juga konsentrasi glukosa darah kapan saja lebih dari 165 mg%obaik akut maupun kronis akan memudahkan timbulnya berbagai Eauggluan, antara lain hemoreologi, vaskular atau neuropati. Oleh karena itu apabila konsentrasi glukosa darah seorang usia lanjut sewaktu atatt2 jampasca makan melampaui kriteria konsensus diagnosis diabetes, tentu saja hal ini akan membawa konsekuensi pemberian terapi. Menurut Orimo
indikasi pengobatan diabetes usia lanjut apabila konsentrasi glukosa darahpuasa sama atau lebih dari 140
mg%o, atau
HbAIC sama atau lebih dari lYo, alau
konsentrasi glukosa darah 2 jam pasca makan setinggi 250 mgolo dan pasienmemperlihatkan adanya retinopati diabetik atau mikroalbuminuria. Lain halnya dengan pendapat dari Edelman & Chau indikasi pengobatan diabetes pada usia lanjut memakai dasar kriteria ADA (American Diabetes
Association) Mengingat farmakokinetik
dan
farmakodinamik obat pada usia lanjut mengalami perubahan, serta terjadinya perubahan komposisi tubuh, maka dianjurkan dosis obat yang diberikan dimulai dengan dosis rendah dan kenaikannya dilakukan secara lambat baik mengenai dosis maupun wakit (start low go slow).
Pemilihan obat didasarkan atas kasus perkasus, bisa
Ianjut yang makin meningkat pula. Jumlah pasiendiabetes usia lanjut terdiri atas pasiendiabetes yang telah dimulai sejak muda, karena umur harapan hidup yang makin tinggi sebagai dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan pasiendiabetes yang timbul karena pertambahan usia. Patofisiologi diabetes yang timbul pada usia lanjut belum dapat diterangkan seluruhnya, namun dapat didasarkan atas faktor-faktor yang muncul oleh perubahan proses
menuanya sendiri. Faktor-faktor tersebut antara lain perubahan komposisi tubuh, menurunnya aktivitas fisik, perubahan life- s tyle,faktor perubahan neuro-hormonal khususnya penurunan konsentrasi DHES dal'IGF-1 plasma, serta meningkatnya stres oksidatif. Pada usia lanjut
diduga terjadi age related.metabolic adaptation, oleh
karena itu munculnya diabetes pada usia lanjut kemungkinan karena age related insulin resistance atat age related insulin inefficiency sebagai hasil dari preserved insulin action despite age. Berdasarkan hal tersebut maka pada diabetes usia lanjut tidak harus diketemukan adanya resistensi insulin, sehingga seorang usia lanjut sehat merupakan contoh model gaya hidup dari su c c es sful met ab ol i c a gin g. D asat diagnosis diabetes usia lanjut perlu dikembangkan, serta perlu modifikasi terapi dari konsensus-konsensus yang telah ada.
dengan guar gum (belumberedar di Indonesia), alpha glu-
cosidase inhibitor (acarbose), bisa dengan biguanide (metformin) dan dapat juga dengan sulfonilurea. Acarbose dan metformin umumnya diberikan bersama dengan waktu makan, sedangkan usia lanjut pola makan sering mengalami
perubahan, baik waktu, jumlah maupun frekuensi. Mana yang makan pokok dan mana yang makan tambahan sulit
dibedakan. Oleh karena itu pemberian acarbose alau metformin masih memerlukan pertimbangan pula' Untuk sulfonilurea perlu dipilih yang mempunyai sifat menaikkan
sensitifitas insulin di perifir, efek hipogliglikemik yang rendah, meningkatkan glikogen sintase dan menurunkan pembentukan glukosa hepatik. Saat ini telah banyak sulfonilurea generasi kedua yang dibuat sedemikian rupa sehingga dapat mengatur konsentrasi insulin yang alami. Obat-obat tersebut diharapkan lebih aman bagi kedua jenis diabetes pada usia lanjut. Kliusus diabetes usia lanjut yang dimulai sejak umur lebih muda prinsipnya sama dengan
diabetes tipe 2, obat yang telah dipakai dan cocok dapat
dilanjutkan, hanya dosis mungkin perlu diturunkan
REFERENSI Aguilar-Salinas CA,Garcia-Garcia E, Lerman-Garber I, Perez FJG, Rull JA. Making Things Easier Is Not So Easy' The 1997 American Diabetes Association Criteria and Glucose Tolerance' Diabetes Carc 1998;21:1027 -8. Askandar Tjokropawiro, Diabetes Mellitus: Kapita Selekta-l999A (DM-Praktis dan OHO dalam Menyongsong Milenium Baru)'
Kumpulan Naskah Lengkap Simposium Diabetes Mellitus 1999;1-45 Barbieri M, Rizzo MR, Manzella D, Paulisso G. Age-related insulin resistance: is it an obligatory finding? The lesson from healthy centerians. Diabetes Metab Res Rev 2001;17: 19-26' Brocklehurst JC & Allen SC. Theory on the nature of aging' Dalam
Geriatric Medicine for Student, 3'd ed. London New York: Churchill Livingstone;
198'7
:
3-12.
Broughton DL, Taylor R. Deterioration of Glucose Tolerance with
Age: The Role of Insulin Resistance. Age and Ageing, 199l:20:221-225. Carter RJM. Energy metabolism, nutrition and ageing' Congress of
1972
MEDABOLIKENT'OKRIN
Gerontology. Austr J Agoirig (Suppt), 1997;t7 (1):56-9. AD. Drug therapy: Current and Emerging Agents, in Sinclair AJ & Finucane p (Eds.) Diabetes in Old Age, 2"d ed. John Wiley & Son LTD Chichester New york Singapore, 2001: 199-214. Cox HG. Later Life. The Reality of aging. 2,d ed. New yersey: Prentice-Hall, Englewood Cliffs; 1 988.p. 1 -2 1. Cox GH, Cortright RN, Dohm GL, et al. Effect of aging on response to exercise training in humans: Skeletal muscle GLUT-4 and insulin sensitivity. J Appl physiol 1999;86:2019-25. Cusi K, De Fronzo RA. Treatment of NIDDM, IDDM and other insulin resistant state with IGF-1. physiological and clinical considerations. Diabetes Rev 1995;3: 206-36. Davidson, MB. The effect of aging on carbohydrate metabolism. A. review of the English literatue and a practical approach to the diagnosis of diabetes mellitus in elderly. Metabolism 1979;28 68 8-705. Davidson, MB. Diabetes Mellitus Diagnosis and Treatment. New York Brisbane Toronto: A Wiley Medical publication John & Sons; 1 98 1 .p. 3-24. Chechade JM and Mooradian
deFronzo RA. Glucose intolerance and aging: evidence for tissue in-
sensitivity to insulin. Diabetes, 1979; 2g:1095-101. Dimitriadis Q Parry-Billing M, Bevan S, et al. Effect of insulin like growth factor I on the rates of glucose transport and utilisation in rat skeletal muscle in vitro. Biochem J 1992,285:269-74.
Ebeling B Kolvisto PA. Physiological importance of dehydroepiandrosterone. Latcet 1994;343:1479-81. Edelman SV and Chau D. Clinical Management of Diabetes in the Elderly. Clinical Diabetes 2001 ;t9(4):t72-7 5. Fink R.I. Mechanism of insulin resistance on aging. J. Clin. Invest.
1983:71:1523-1535 Finucane P
1994.p.3- 18.
O'Sullivan, J.B. & Mahan, C. Relationship of age to diagnostic blood glucose level. Diabetes 7969;28:1039' 1042. Orimo H. Management of diabetes mellitus in the elderly. Asian Med. J. 1997:40(6):310-315. PERKINI, Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus di Indonesia, 1
998.
A, Snehalatha C, Syiamak B Vrjay V & Viswanathan M. High prevalence of NIDDM & IGT in an Elderly South lndian population with low rates of Obesity. Diabetes Care, l994,Oct.;
Ramachandran
17(10):1190-2.
& Popplewell P. Diabetes Mellitus
and Impaired Glucose Regulation in Old Age: The Scale of the problem. In Sinclair AJ, Finucane P @ds.) Diabetes in Old Age, 2,d ed. New york Singapoe
Toronto: John Wiley & Sons, tTD Chichester; 2001.p. 3-14. Goldberg, AP & Coon PJ. Diabetes Mellitus and Glucose Metabolism in the Elderly dalam W. R. Hazzard, E. L. Bierman, J. p. Blass, W. H. Ettinger Jr., J. B. Halter (Eds.), R. Andres (Ed.Em.) principle of Geriatric Medicine and Gerontology, 3.d ed. International Ed. New York Paris Sydney Tokyo: McGraw-HiI, Inc;
1994.p.82s-43. Haffner SM, Valdez RA, Mykkanen I, et al. Decreased testosteron and dehydroepiandrosterone sulfate cocentrations are associated
colorectal carcinoma and with ageing . Nature, 1990;346:g66. Katz P; Dube D. and Calkins E. Aging and Disease. Dalam Calkin E, Davis PJ, and Ford AB (Eds.) The Practice of Geriatrics. philadelphia Londoir Toronto: WB Saunders Company; 19g6.p.1-2. Kramer AM & Schrier RW. Demographic, Social, and Economic Issues. Dalam R. W. Schrier (Ed.) Geriatric Medicine. philadelphia London Toronto: W. B. Saunders Company; 1990.p.1-10. Meneilly GS. Pathophysiology of Diabetes in the Elderly in Sinclair AJ & Finucane P (Eds.) Diabetes in Old Age, 2"d ed. New york Singapore: John Wiley & Son LTD Chichester; 2001.p.17-23. Merriman A. Handbook of International Geriatric Medicine_ Singapore Hongkong New Delhi Boston Auckland: pG publishing; 1989.p.117-123. Morrow LA and Halter JB. Treatment of the Elderly with Diabetes Mellitus dalam CR Kahn &CG Weir (Eds.) Joslin's Diabetes Mellitus 13tl ed. Philadelphia London Tokyo: Lea & Febriger, A Waverly Company; 1994.p.552-559Miller RA. The biology of aging and longevity. In: Hazard WR, Bieman EL, Blass JP, Ettinger Jr. WH, Halter JB (eds.) Principle of Geriar ric Medicine and Gerontology, 3'd ed. New York: McGraw-Hill Inc;
with
increased insulin and glucose concentrations in nondiabetic men. Metabolism 1994;43: 599-603. Haffner SM, Valdez RA,. Endogenous sex hormones: impact on lipids, lipoproteins and insulin. Am J Med 1995;98 (Suppl. lA):
40s-47S.
Hall DA. Theory of Ageing, The Biomedical Basic of Gerontology, 1984: 18-47 Harmon D. Aging: A theory based on free radical and radiation chemistry. J Gerontol, 1956;ll:298. Hart RW, and Setlow RB. Correlation between deoxyribonucleic acid excision repair and lifespan in a number of mammalian species. Proc Natl Acad Sci USA, 1974;71:2169. Hastie ND, Dempster M, Dunlop MG. Telomere reduction in human
& Wilcock GK. Hyperinsulinemia and Alzheimer Disease. Age and Ageing, 1994;Sep.23(5):396-9.
Razay G
Sell DR, Monnier VM. End-stage renal disease and diabetes catalyze the formation of a pentose-derived cross-link from aging human collagen. J Clin Invest 1990;85:380. Sinha B and Nattras SS. EfEcacy of New Drug Therapies for Diabetes in Elderly. Annals of Long-Term Care 2001;9(6):23-9. Troll LE. Continuations: Adult Development and Aging. Brooks Publishing Company Monterey, California 1982. Walker M. Obesity, Insulin Resistance and its link to Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus. Metabolism, 1995:Sep. 44 (9 Suppl.3): I 8-20.
Wasilah-Rochmah. Hubungan antara KoDsentrasi Insulin dan Kadar
Glukosa Plasma Darah pada Golongan Lanjut usia, Laporan
penelitian DPP UGM. 1994. Wasilah-Rochmah. Gangguan toleransi glukosa pada usia lanjut lakilaki: Kajian pengaruh pembebanan glukosa terhadap sekresi insulin dan peran insulin dalam ambilan glukosa oleh sel jaringan sasaran (in vivo). Desertasi Universitas Gadjah Mada, 2002: Feb. 25. WHO Diabetes Mellitus. Report of a WHO Study Group. WHO Technical Report Series 727.1985. Williams DP, Boyden TW, Pamenter RW, et al. Relationship of
body fat percentage and fat distribution with dehydroepiandrosterone sulfat in premenopausal women. J Clin Endocrinol Metab 1993;77: 80-5.
310 OBESITAS Sidartawan Sugondo
orang-orang dengan obesitas masif dengan berat badan berkisar antara 280 hingga 485 kg. Sauvages dan Cullen pertama kali mencoba melalcukan klasifikasi obesitas. Istilah yang dipakai pada saat itu adalahpolysarcie. Padaabad ke lg kata "obesitds'" mulai
PENDAHULUAN Obesitas merupakan suatu penyakit multifaktorial, yang
terjadi akibat akumulasi jaringan lemak berlebihan, sehingga dapat mengganggu kesehatan. Obesitas terjadi bila besar dan jumlah sel lemak bertambah pada tubuh seseorang. Bila seseorang bertambah berat badannya maka
menggantikan nama-nama sebelurnnya sep er'ti, polysarcie, embonpoint dan corpulence. Penelitian untuk mempelajari berbagai hormon dan
ukuran sel lemak akan bertambah besar dan kemudian
sistem neuroendokrin, yang mengatur keseimbangan
jumlahnya bertambah banyak. Di daerah antara Perancis dan Rusia (sekitar laut Hitam) diketemukan artefak mengenai obesitas dari zaman batu (era paleolitik, 23.000-25.000 tahun yang lalu), yang
energi dan lemak tubuh merupakan tantangan lama dalam
bidang biologi, dengan obesitas sebagai fokus kesehatan masyarakat yang penting. Saat ini kita hidup pada masadimanaberatbadan lebih (indeks massa tubuh (IMT) 23-24.9 kglm2) dan obesitas (IMT 25-30 kg/m2) sudah menjadi suatu epidemi, dengan dugaan bahwa peningkatan prevalensi obesitas akan mencapai 50 % pada tahun 2025baginegara-negaramaju' Dokter dan tenaga kesehatan yang berhubungan dari semua subspesialisasi, saat ini menghadapi dampak dari
umumnya terbuat dari gading, granit, atau terakota,. Venus dari Willendorf adalah artefakyang paling terkenal. Artefak tersebut berupa sebuah patung kecil setinggi 12 cm dengan gambaran obesitas abdominal dan buah dada yang besar. Desain serupa juga terdapat di seluruh daratan eropa yang diperkirakan berasal dari periode glasiasi. Berbagai artefak tersebut menggambarkan bahwa pada
peningkatan epidemi obesitas baik diklinik maupun rumah sakit. Obesitas merupakan salah satu masalah kesehatan yang sukar diatasi. Kegagalan para dokter dan spesialis untuk secara sistematis dan efektif mengatasi peningkatan
sudah merupakan suatu fakta, setidaknya dialami oleh wanita Paleolitik. Selain itu, juga zamatt
itu obesitas
ditemukan artefak terbuat dari terakota, granit atau alabaster, dengan gambaran dada yang besar dan daerah abdominogluteal yang besar yang berasal dari era Neolitik (8000-5500 SM), dimana manusia mulai menetap dan
problem abad keduapuluh satu ini, telah membuat masyarakat berpaling pada banyak program yang
diiklankan, yang menjanjikan keadaan yang kurang pada tempatnya, karena mengklaim mempunyai efek yang cepat
bercocok tanam. Ketika kedokteran tradisional berkembang pada semua kultur di dunia, ditemukan pula bukti mengenai obesitas. Kedokteran Mesop0tamia, Mesir, India, Cina-Tibet, Mesoamerika, Greco-Roman danArab semua mempunyai cara-
dan menyembuhkan bagi masalah "kosmetik" yang menakutkan ini. Belum lagi, mass media didominasi oleh iklan pengobat an overweighl atau obesitas yang tidakjelas dan kurang memiliki bukti-bukti ilmiah. Saat ini sebenamya tenaga kesehatan harus bersama-sama lebih tampil dan lebih tahu mengenai regulasi berat badan, mekanisme perkembangn berat badan dan obesitas, dan banyaknya komorbiditas yang berhubungan dengan hampir semua subspesialisasi. Karena hanya dengan mendalami ini kita
cara mengobati obesitas. Pada masa kedokteran ilmiah (1500 hingga sekarang) obesitas dipelajari dengan menggunakan ilmu anatomi, hiStologi, fisiologi, kimia danbiokimia, genetika dan biologi molekular, farmakologi, ilmu syaraf, dan kedokteran klinik. Sebelum era ilmiah (awal 1500 M) dilaporkan adanya
L97
1974
dapat melakukan pendekatan komprehensif pengobatan yang efektif bagi obesitas.
SEL LEMAK DAN JARINGAN LEMAK Jaringan lemak merupakan depot penyimpanan energi yang
paling besar bagi mamalia. Tugas utamanya adalah untuk menyimpan energi daiam bentuk trigliserida melalui proses
lipogenesis yang terjadi sebagai respons terhadap kelebihan energi dan memobilisasi energi melalui proses lipolisis sebagai respons terhadap kekurangan energi. pada keadaan normal, kedua proses ini diregulasi dengan ketat.
Jaringan lemak merupakan jaringan ikat yang mempunyai fungsi sebagai tempat penyimpanan lemak dalam bentuk trigliserida. pada mamalia, jaringan lemak terdapat dalam 2 bentuk jaringan lemak putih dan jaringan lemak coklat. Keberadaannya, jumlah dan distribusi tergantung pada spesies. Jaringan lemak putih mempunyai 3 fungsi, yaitu isolasi panas, bantalan mekanik, dan yang paling penting sebagai sumber energi. Jaringan lemak subkutan yang terletak langsung di bawah kulit, merupakan penahan panas bagi tubuh, karena ia mempunyai daya konduksi sebesar l/3 dibandingkan denganjaringan lain. Kemampuan menahan panas tergantung pada tebal lapisan lemak. Jaringan lemak juga melapisi organ tubuh bagian dalam dan bertindak sebagai pelindung organ tersebut. Jaringan lemak coklat berfirngsl ,rotut mempertahankan panas tubuh (termogenesis). Fungsi utamajaringan lemak
adalah untuk tempat penyimpanan energi dalam bentuk trigliserida dan melepaskannya sebagai asam lemak bebas dan gliserol yang merupakan sumber energi yang berasal dari lemak.
Tubuh manusia dibagi menja di 2 bagian yang saling berhubungan, yaitu bahan yang diperlukan untuk energi (lemak dan glikogen) dan air. Sebenarnya komposisi tubuh manusia jauh le5ih kompleks dan terdiri dari 4 macam
MEIABOLIKENIDIRIN
Komposisi selular. Komposisi selular terdiri dari
dan bagian yang aktif secara metabolik yaitu massa sel tubuh. Sehing ga pada akhirnya akan terdiri dai- bo dy cell mass, cairan ekstrasel dan solld ekshasel.
Komposisi jaringan dan organ. Sel akan membentuk jaringan dan organ tubuh, seperti jaringan adiposa, otot skelet, tulang, kulit, jantung, dan organ viseral lainnya. Jaringan dan organ tubuh akan membentuk tubuh manusia
yang merupakan perpaduan 5 komponen tubuh, yaitu atomik, molekular, selular, jaringan, dan organ serta fubuh secara keseluruhan.
Morfologi dan Perkembangan Jaringan Lemak Droplet lemak dalam jaringan lemak dapat berbentuk unilokular dar/atau multilokular. Sel unilokular merupakan suatu droplet lipid yang besar, yang akan mendorong inti sel ke arah membran plasma sehingga sel akan menyerupai sebuah cincin. Sel unilokular merupakan karakteristik jaringan lemak putih dan mempunyai berbagai ukuran yang
berkisar antara 20-200 mikron. Mitokondriany a terulama ditemukan pada daerah pinggir sel yang lebih tebal sitoplasmanya di dekat inti sel. Sel droplet lemak besar tidak mempunyai organel kecil intrasel. Sel multilokular yang umunnya didapat di sel lemak coklat mengandung banyak droplet yang lebih kecil.
Distribusi Jaringan Lemak Akumulasi lemak ditentukan oleh keseimbangan antara sintesis lemak (lipogenesis) dan pemecahan lemak (lipolisis - oksidasi asam lemak). Di samping kedua faktor tersebut, faktor lain yang juga berpengaruh adalah gender.
Faktor yang berhubungan dengan peningkatan risiko penyakit adalah kelebihan lemak viseral dan bukan lemak subkutan pada tubuh.
komposisi: Komposisi atomik. Dari sudut pandang komposisi atomik, berat badan merupakan akumulasi sepanjang hidup dari 6 elemenutama, yaifu: oksigen, karbon, hidrogen, nitrogen, kalsium, dan fosfor. Kurang dari 2yoberatbadanterdiri dari sulfur, kalium, natrium, klorida, magnesium dan40 elemen lain yang secara normal terdapat dalam jumlah kurang dari 10gram.
Komposisi molekular. Elemen terbagi dalam komponen molekular yang dapat dikelompokkan dalam 5 kategori besar, yaitu: lemak, protein, glikogen, air, dan mineral. Tingkat molekular ini secara praktis seringkali dibagi atas: lemak dan massa bebas lemak. Model yang lain adalah pembagian menurut lemak, lean soft tissue, dan mineral tulang. Komposisi molekular menyusun dasar untuk sel yang fungsional.
3
komponen: sel, cairan ekstrasel dan bagian padat ekstrasel. Massa sel dibagi lagi atas lemak (komponen molekular)
Metabolisme Lemak Pemahaman mengenai nutrisi, hormonal, dan terutama
regulasi transkripsional lipogenesis telah berkembang pesat. Lipogenesis dirangsang oleh diet tinggi karbohidrat, namun juga dapat dihambat oleh adanya asam lemak tak jenuh ganda dan dengan berpuasa. Efek tersebut sebagian diperantarai oleh hormon yang dapat menghambat (seperti
hormon pertumbuhan, leptin) atau merangsang (seperti insulin) lipogenesis. Sterol regulatory element binding protein- I adalah mediator penting pada kerja proJipogenik atau anti-lipogenik beberapa hormon dan nutrisi. Faktor transkripsi lain yang berhubungan dengan lipogenesis adalah peroxisome proliferator activated receptor-f. Kedua faktor transkripsi tersebut merupakan target menarik
untuk intervensi farmakologi pada kelainan seperti hipertrigliseridemia dan obesitas.
t975
OBESIIIPTS
baik dari yang masuk maupun yang akan keluar (Gambar 1). Insulinmungkin merupakan faktor hormonal terpenting
Lipogenesis. Lipogenesis harus dibedakan dengan adipogenesis yang merupakan proses diferensiasi pra-adiposit menjadi sel lemak dewasa. Lipogenesis adalah proses deposisi lemak dan meliputi proses sintesis asam lemak dan kemudian sintesis kigliserida yang terjadi di hati pada daerah sitoplasma dan mitokondria dan jaringan adiposa. Energi yang berasal dari lemak dan melebihi kebutuhan tubuh akan disimpan dalam jaringan lemak. Demikian pula dengan energi yang berasal dari karbohidrat dan protein yang berasal dari makanan dapat disimpan dalam jaringan
yang mempengaruhi lipogenesis. Insulin menstimulasi lipogenesis dengan cara meningkatkan pengambilan glukosa di jaringan adiposa melalui transporter glukosa menuju membran plasma. Insulin juga mengaktivasi enzim
lipogenik dan glikolitik nielalui modifikasi kovalen (Gambar 2). Efek tersebut dicapai dengan mengikat insulin pada reseptor insulin di permukaan sel sehingga mengaktivasi kerja tirosin kinasenya dan meningkatkan efek downstream melalui fosforilasi tirosin. Insulin juga mempunyai efek jangka panjang pada gen lipogenik, mungkin melalui faktor transkripsi Sterol Regulatory Elemmt Binding Protein-l (SREBP-I) (Gambar 2). Selain itu,
lemak(Gambarl). Asam lemak, dalam bentuk trigliserida dan asam lemak yang terikat pada albumin didapat dari asupan makanan atau hasil sintesis lemak di hati. Trigliserida yang dibentuk dari kilomikron atau lipoprotein akan dihidrolisis menjadi gliserol dan asam lemak bebas oleh enzim lipoprotein lipase (LPL) yang dibentuk oleh adiposit dan disekresi ke
insulin menyebabkan SREBP-I meningkatkan ekspresi dan
kerja enzim glukokinase, dan sebagai akibatnya, meningkatkan konsentrasi metabolit glukosa yang dianggap menjadi perantara dari efek glukosa pada
dalam sel endotelial yang berdekatan dengannya (adjacent). Aktivasi LPL dilakukan oleh apoprotein C-II yang dikandung oleh kilomikron dan lipoprotein (VLDL).
ekspresi gen lipogenik.
Hormon pertumbuhan (growth hormonelGH) menurunkan lipogenesis di jaringan adiposa secara dramatis, sehingga terjadi penurunan lemak yang
Kemudian asam lemakbebas akan diambil oleh sel adiposit sesuai dengan derajat konsentrasinya oleh suatu protein transpor transmembran. Bila asam lemak bebas sudah
bermakna, dan berhubungan dengan penambahpu massa otot. Efektersebut diperantarai melalui dua jalur:
masuk ke dalam adiposit maka akan membentuk pool asam lemak. Pool imakan mengandung asam lemak yang berasal
.
Hormon pertumbuhan menurunkan sensitivitas
Pool
Asam Lemak bebas
Glukosa Ruang Ekstra selular
Sirkulasi Pool Substrat Gambar 1. Mekanisme keseimbangan lipolisis dan lipogenesis
1976
METABOLIKENDOKRIN
Asam Lemak Tidak
jenuh rantai Ganda
Glukosa
+
Asetil KoA Sitrat
Enzim I I
Asam lemak
Lias"
+
Malonil KoA
Asam Lemak
o*J",,0 KoA
I
TG
Gambar 2. Regulasi lipogenesis pada hepatosit dan adiposit
insulin sehingga terjadi down-regulatior ekspresi enzim sintetase asam lemak di jaringan adiposa. Mekanisme tersebut masih belum jelas, namun GII mungkin mempengaruhi sinyal insulin di thgkat po st-
.
reseptor.
GH dapat menurunkan lipogenesis dengan cara memfosforilasi faktor transkripsi Stat5a dan 5b. Hilangnya Stat5a dan 5b pada model knock-out memperlihatkan penurunan akumulasi lemak di jaringan
adiposa. Mekanisme bagaimana protein Stat5 meningkatkan penyimpanan lemak, masih belum diketahui.
Leptin adalah hormon yang berhubungan dengan lipogenesis. Leptin membatasi penyimpanan lemak tidak hanya dengan mengurangi masukan makanan, tetapi juga dengan mempengamhi jalur metabolik yang spesifik di adiposa dan jaringan lainnya. Leptin merangsang pengeluaran gliserol dari adiposit, dengan menstimulasi oksidasi asam lemak dan menghambat lipogenesis. Efek yang terakhir tercapai dengan down-regulatloz ekspresi gen yang berhubungan dengan asam lemak dan sintesis trigliserida, sebagaimana digambarkan pada oligonucleotide micro-array analysis. Target negatif leptin yang lain mungkin SREBP-1, karena faktor transkripsi ini mungkin ikut berperan dalam mediasi efek inhibisi leptin dalam ekspresi gen lipogenik. Faktor endokrin atau autokrin yang berhubungan dengan sintesis trigliserida setelah insulin, GH dan leptin adalah Acylation Stimulating Protein (ASP). ASP adalah peptida kecil yang sama dengan C3adesArg, suatu produk dari faktor komplemen q ASP diproduksi oleh jaringan
adiposa dan kemungkinan bekerja secara autokrin.
Beberapa studi in vitro menunjukkan bahwa ASp menstimulasi akumulasi trigliserida di sel adiposa. Akumulasi tersebut terjadi karena terdapat peningkatan sintesis trigliserida dan penurunan lipolisis jaringan adiposa pada saat yang bersamaan.
Lipolisis. Lipolisis merupakan suatu proses di mana terjadi dekomposisi kimiawi danpenglepasan lemak dari janngan lemak. Bilamana diperlukan energi tambahan maka lipolisis merupakan proses yang predominan terhadap proses lipo-
genesis. Enzim Hormone Sensitive Lipase (I1SZ) akan menyebabkan teq adinya hidrolisis trigliserida menjadi asam lemak bebas dan gliserol. Asam lemak yang dihasilkan akan masuk k e dalamp o o I
asam lemak, di mana akan terjadi proses re-esterifikasi, beta oksidasi atau asam lemak tersebut akan dilepas masuk
ke dalam sirkulasi darah untuk menjadi substrat bagi otot skelet, otot jantung, dan hati. Asam lemak akan dibentuk menjadi AIP melalui proses beta oksidasi dan asam lemak akan dibawa ke luar jaringan lemak melalui sirkulasi darah untuk kemudian menjadi sumber energi bagi jaringan yang membutuhkan. Hormon insulin akanmengurangi mobilisasi asam lemak
dari jaringan lemak dengan cara menghambat enzim trigliserid lipase. Mekanisme penghambatan ini terjadi melalui proses pengurangan siklik AMP yang pada waktunya akan menghambat siklik ANIP dependent protein kinase. Supresi lipolisis ini akan mengurangi jumlah asam lemak ke hati dan jaringan perifer. Dengan berkurangnya asam lemak ke hati maka pembentukan asam keto berkurang. Insulinjuga akan merangsang penggunaan asam keto ini oleh jaringan perifer sehingga tidak akan terjadi akumulasi asam ini di darah.
1977
OBESII|PTS
Jaringan Lemak sebagai Keleniar Endokrin Adiposit yang sebelumnya dikenal hanya sebagai tempat penyimpanan trigliserida, sekarang diketahui dapat mensekresi beberapa peptida dengan berbagai efek kerja yang sebagian mempunyai sifat sebagai kelenjar endokrin. Sel endokrin akan mensekresi hormon untuk suatu efek
yang terletak jauh (efek endokrin) dan juga mempunyai efek lokal (parakrin). Selain itu, dapatjuga mempunyai efek terhadap dirinya sendiri (autokrin). Penetitian eksperimental pada hewan menunjukkan bahwa hormon dan sitokin yang dihasilkan adiposit mempunyai efek terhadap susunan syarafpusat, hati, otot, dan fulang serta beberapa orgaujaringan lain.
Penemuan baru yang menggunakan pendekatan genomik dan proteomik telah mengidentifikasi berbagai faktor sekresi adiposit baru yang fungsinya belum jelas. Jaringan adiposa yang terlalu sedikit maupun terlalu
banyak menyebabkan gangguan metabolik seperti resistensi insulin. Obesitas sentral sangat berkorelasi dengan timbulnya diabetes, hipertensi, dan penyakit kardiovaskular.
OBESITAS
Definisi dan Klasifikasi Obesitas Obesitas merupakan suatu kelainan kompleks pengaturan nafsu makan dan metabolisme energi yang dikendalikan
oleh beberapa faktor biologik spesifik. Faktor genetik diketahui sangat berpengaruh bagi perkembangan penyakit ini. Secara fisiologis, obesitas didefinisikan sebagai suatu keadaan dengan akumulasi lemak yang tidak normal atauberlebihan di jaringan adiposa sehingga dapat mengganggu kesehatan.
Keadaan obesitas ini, terutama obesitas sentral, meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular karena keterkaitannya dengan sindrom metabolik atau sindrom resistensi insulin yang terdiri dari resistensi insulin/ hiperinsulinemia, intoleransi glukosa/diabetes melitus, dislipidemia, hiperuresemia, gangguan f,tbrinolisis, hiperfibrinogenemia dan hipertensi. Mengukur lemak tubuh secara langsung sangat sulit dan sebagai pengukur pengganti dipakai body mass in-
gemuk, akan lebih berat dari orang yang lebih kecil. Karena IMT menggunakan ukuran tinggi badan, maka pengukurannya harus dilakukan dengan teliti. IMT dapat memperkirakan jumlah lemak tubuh yang dapat dinilai
dengan menimbang di bawah air (r2: 79Yo) dengan kemudian melakukan koreksi terhadap umur dan jenis kelamin. Bila melakukan penilaian IMI perlu diperhatikan akan adanya perbedaan individu dan etnik.
Hubungan antara lemak tubuh dan IMT ditentukan oleh bentuk tubuh dan proporsi tubuh, sehingga dengan demikian IMT belum tentu memberikan kegemukan yang sama bagi semua populasi. IMT dapat memberikan kesan yang umum mengenai derajat kegemukan (kelebihan jumlah lemak) pada populasi, terutama pada kelompok usia lanjut dan pada atlit dengan banyak otot. IMT dapat memberikan gambaran yang tidak sesuai mengenai keadaan obesitas karena variasi lean body mass. Tabel 1, merupakan klasifikasi yan g ditetapkan World
Health Organization (WHO), nilai IMT3 30 kglm2 dikatakan sebagai obesitas dan nilai lilldT 25-29,9 kglm2, sebagai "Pra Obese".
Meta-analisis beberapa kelompok etnik yang berbeda, dengan konsentrasi lemak tubuh, usia, dan gender yang sama, menunjukkan etnikAmerika berkulit hitam memiliki IMT lebih tinggi 1,3 kglm2 danetnik Polinesia m6miliki
IMT lebih tinggi 4,5 kg/nf dibandingkan dengan etnik Kaukasia. Sebaliknya, nilai IMT pada bangsa Cina, Ethiopia, Indonesia, dan Thailand adalah 1,9, 4,6, 3,2 dan2,9 kgl
m2
lebih rendah daripada etnik Kaukasia. Hal itu
memperlihatkat adanya nilai cutoffIMT untuk obesitas yang spesifik untuk populasi tertentu.
WilayahAsia Pasifft pada
saat
ini telah mengusulkan
kriteria dan klasifikasi obesitas sendiri (Tabel 2). Penelitian lainnya melaporkan bahwa orang Indonesia dengan berat badan, tinggi badan, umur, dan jenis kelamin o/olemak yang samaumumnyamemiliki 4,8 + 0,5 (SEM) tubuh lebih tinggi daripada otang Belanda. Dengan persentase lemak tubuh, umur, dan jenis kelamin yang sama, IMT antara orang Indonesia dan Belanda (etnik Kaukasia) berbeda sekitar 3 vilt(2,9 + 0,3 (SEM) kglm2. Mengacu pada angka-angka ini, maka titik cutoff IMT
dex (BMI) atau indeks massa tubuh (IMT) untuk menentukan berat badan lebih dan obesitas pada orang dewasa.
IMT merupakan indikator yang paling sering digunakan dan praktis untuk mengukur tingkat populasi berat badan lebih dan obes pada orang dewasa. Untuk penelitian epidemiologi digunakan IMT atau indeks Quetelet, yaitu berat badan dalam kilogram (kg) dibagi
tinggi dalam meter kuadrat (nf). Saat ini IMT merupakan
indikator yang paling bermanfaat untuk menentukan berat badan lebih atau obes. Orang yang lebih besar-tinggi dan
Klasifikasi Berat Badan Kurang Kisaran Normal Berat Badan Lebih
30,0
< 90 cm (Laki.Laki) < 80 cm (Perempuan)
> 90 cm (Laki-Laki) > 80cm (Perempuan)
rendah (risiko meningkat pada masalah klinis lain) sedang
Sedang
meningkat moderat berat
meningkat moderat berat sangat berat
WHO WPR/IASO/IOTF dalam The Asia-Pacffic Perspective: Redefining Obesity and its Treatment (2OOO\
orang Indonesia seharusnya2T danbukan 30 kg/mr. Sebenarnya sangat sulit untuk mendapatkan angka
obesitas secara global dengan tepat karena sulit didapatkannya angka-angka yang akurat dan yang dapat saling dibandingkan. Pada obesitas, jumlah lemak tubuh lebih banyak. Pada dewasa muda laki-laki lemak tubuh > 25o/o dan perempuan > 35%o. Keadaan ini sesuai dengan indeks masa tubuh (IMT) : 30 kglrfi pada orang Kaukasia
berkembang berdampak pada peningkatan prevalensi obesitas pada populasi di negara-negara ini, termasuk di Indonesia. Walaupun belum ada penelitian epidemiologi yang baku mengenai obesitas, datayangada saat ini sudah menunjukkan terjadinya pertambahan jumlah penduduk dengan obesitas, khususnya di kota-kota besar. Penelitian epidemiologi yang dilakukan di daerah sub urban di daerah
yang tidakjauh berbeda. Berat badan seseorang 40-70%
Koja, Jakarta Utara, pada tahun 1982, mendapatkan prevalensi obesitas sebesar 4,2%o; di daerah Kayu Putih, Jakarta Pusat, sepuluh tahun kemudian, yaitu pada tahun 1992, prevalensi obesitas sudah mencap ai ll,lYo,di mana ditemukan prevalensi obesitas pada laki-laki dan perempuan masing-masing, 10,9%o dan 24,lYo. Pada populasi obesitas ini, dislipidemia terdapat pada 19% lakilaki dan I 0, 8 o/o perempuan, dan hipertrigliseridem ia pada 16,60/o laki-laki. Pada penelitian epidemiologi di daerah
ditentukan secara genetik. Berat badan dipengaruhi
Abadijaya, Depokpada tahun 2001 didapatkan 48,6o/o,pada
lingkungan, kebiasaan makan, kurangnya kegiatan fisik, dan kemiskinan/ kemakmuran. Obesitas pada perempuan berakar pada obesitas pada masa kecil, obesitas pada lakilaki terjadi setelah umur 30 tahun.
tahtn 2002 didapat 45Yo dan 2003 didapat 44oh orang dengan berat badan lebih dan obes; sedang IMT pada tahun 2 00 I adalah 2 5,1 kd m', tahttr, 2002 ; 24,8 kg rfi dan
muda.
Jumlah lemak tubuh dapat ditentukan in vivo dengan cara menimbang di bawah permukaan air, Dual
Energt X-
Ray Absorptiometry (DEXA) atau dengan mengukur tebal
lipatankulit. Obesitas dapat disebabkan oleh banyak hal. Kembar identik yang hidup terpisah akan mempunyai berat badan
Epidemiologi Obesitas Saat
ini diperkirakanjumlah orang di seluruh dunia dengan
IMT 3 30 kg/m? melebihi 250 juta orang, yaitu sekitar
7%o
dari populasi orang dewasa di dunia. Bila kita mempertimbangkan masing-masing negara, kisaran prevalensi obesitas meliputi hampir semua spektrum, dari < 5% di China, Jepang, dan negara-negaraAfrika tertentu sampai lebih dari 75% di daerah urban Samoa. Angka obesitas tertinggi di dunia berada di Kepulauan Pasifik
pada populasi Melanesia, Polinesia and Mikronesia.
Misalnya pada tahun 1991, di daerah urban Samoa diperkirakan 75Yo perempuan dan 60%o laki-laki diklasifikasikan sebagai obes. Prevalensi obesitas berhubungan dengan urbanisasi dan mudahnya mendapatkan makanan serta banyaknya jumlah makanan yang tersedia. Urbanisasi dan perubahan status ekonomi yang terjadi di negara-negara yang sedang
tahun 2003; 24,3kg1m2.
Pada tahun 1997 d,an 1998 dilakukan penelitian komposisi tubuh di beberapa daerah di Indonesia dan didapatkan bahwa pada umur, gender dan IMT yang sama dibandingkan dengan Kaukasia (Belanda), lemak tubuh orang Indonesia 5o/o lebih tinggi, sehingga seharusnya IMT juga 3 kglm2 lebih rendah. Dalam penelitian pada 6.3 I 8 orang pada tahun 2003-2004 HISOBI (Himpunan Studi Obesitas Indonesia) mendapatkan nilai IMT dan lingkar perut yang tidak berbeda jauh dari yang diusulkan oleh WHO/IOTF/IDF Westem Pacific (Asia Paci/ic Criteria), yaitu nilai batas (cutffi IMT: 24,9 kg/nf untuk perempuan dan laki-laki dengan lingkarperut 82,5 cm untukperempuan dan 88,7 cm untuk laki-laki.23 Penelitian-penelitian mengenai
obesitas di Indonesia tidak melaporkan konsentrasi leptin, kecuali penelitian pada populasi obes di Minahasa di mana dilaporkan bahwa hiperleptinemia didapatkan pada 63,4o/o
dari populasi obes. Pada subyek obes, konsentrasi asam lemak bebas,
1979
OBESIIiPTS
trigliserida, kolesterol LDL dan apoB lebih tinggi
Obesitas Sentral
dibandingkan orang non-obes dan terdapat morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi akibat PJK dan stroke dibandingkan dengan orang non-obes. Pada laki-laki yang berumur 30-59 tahun didapatkan perbedaan yang kuat antara jenis pekerjaan dan insidensi Infark Miokard Akut (IMA), kejadian koroner dan angka kematian. Di Indonesia saat ini penyakit kardiovaskular masih merupakan penyebab kematian utama. Menurut survei kesehatan rumah tatgga, prevalensi penyakit jantung dan pembuluh darah menduduki urutan ke-3 pada tahun 1980 dengan prevalensi sebesar 9,902, meningkat menjadi 9,7yo di urutan ke-2 pada tahun 1986, dan menduduki peringkat I pada tahun 1990 dengan prevalensi sebesar
Pada obesitas yang moderat, distribusi lemak regional tampaknya dapat merupakan indikator yang cukup penting
16,5Yo.
Mortalitas yang berkaitan dengan obesitas, terutama
obesitas sentral, sangat erat hubungannya dengan sindrom metabolik. Sindrom metabolik merupakan satu
kelompok kelainan metabolik yang, selain obesitas, meliputi, resistensi insulin, gangguan toleransi glukosa, abnormalitas trigliserida dan hemostasis, disfungsi endotel dan hipertensi yang kesemuanya secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menrpakan faktor risiko utama untuk
terjadinya aterosklerosis dengan manifestasi penyakit
jantung koroner danlatau strok. Mekanisme dasar bagaimana komponen-komponen sindrom metabolik ini dapat terjadi pada seorang dengan obesitas sentral dan bagaimanakomponen-komponen ini dapat menyebabkan terjadinya gangguan vaskular, hingga saat ini masih dalam penelitian. Meskipun struktur, fungsi dan metabolisme lipoprotein telah diteliti selama lebih dari tiga dasawarsa, namun hubungan fungsi heterogenitas lipoprotein ini dengan peningkatan maupun penghambatan terhadap proses aterogenesis masih belum diketahui dengan j elas. Sebagai contoh, partikel LDL. Ukuran partikel LDL berkorelasi positif dengan konsentrasi trigliserida dan apoB, tetapi berkorelasi negatif dengan konsentrasi HDL. Di samping itu tidak kalah pentingnya adalah interaksi faktor-faktor yang berperan dalam metabolisme lipoprotein. Misalnya, ekspresi LDL subklas fenotipe B (small dense LDl)tidak hanya ditentukan oleh faktor genetik, tetapi juga oleh faktor-faktor lain, seperti obesitas, hiperinsulinemia dan hiperlipidemia. Insidensi obesitas di negara-negara berkembang makin meningkat, sehingga saat ini banyaknya orang dengan obesitas di dunia hampir sama jumlahnya dengan mereka yang menderita karena kelaparan. Beban finansial, risiko kesehatan dan dampak pada kualitas hidup berhubungan
dengan epidemi tersebut sehingga memerlukan pemahaman mendalam tentang mekanisme molekular yang
mengatur berat badan untuk kemudian dapat mengidentifikasi cara-cara pengobatan baru untuk mengatasinya.
terhadap terjadinya perubahan metabolik dan kelainan kardiovaskular, walaupun hubungan afltara IMT dan komplikasi-komplikasi tersebut belum terlalu meyakinkan. Lemak daerah abdomen terdiri dari lemak subkutan dan lemak intra-abdominal yang dapat dinilai dengan cara CT dan MRI. Jaringan lemak intra abdominal terdiri dari lemak viseral atau intraperitoneal yang terutama terdiri dari lemak omental dan mesenterial serta massa lemak retroperito-
neal (sepanjang perbatasan dorsal usus dan bagian permukaan ventral ginj al). Pada laki-laki, massa retroperitoneal hanya merupakan
sebagian kecil dari lemak intra abdominal. Kira-kira seperempafilya terdiri dari lemak viseral. Lemak subkutan daerah abdomen sebagai komponen obesitas sentral mempunyai korelasi yang kuat dengan resistensi insulin seperti lemak viseral. Keadaan ini tetap berbeda bermakna setelah disesuaikan lemak viseralnya. Vena porta merupakan saluran pembuluh darah tunggal
bagi jaringan adiposa dan berhubungan langsung dengan hati. Mobilisasi asam lemak bebas akan lebih oepat dari
daerah viseral dibandingkan lemak daerah subkutan. Aktivitas lipolitik yang lebih besar dari lemak viseral, baik pada obes maupun non-obes merupakan kontributor terbesar asam lemak bebas dalam sirkulasi.
Lingkar Perut pada Obesitas Sentral Obesitas sentral dapat dinilai memakai beberapa cara. Cata
yang paling baik adalah memakai computed tomography
(CT)atatmagneticresonanceimagingQvlRl),tetapikedua cara ini mahal harganya dan jarang digunakan untuk menilai keadaan ini. Lingkar perut atau rasio antara lingkar perut dan lingkar pinggul (WHR, Waist-Hip ratio) metupakan altematif klinis yang lebih praktis' Lingkar perut dan rasio lingkarperut dengan lingkar pinggul berhubungan dengan besarnya risiko untuk terjadinya gangg:uan kesehatan.
WHO menganjurkan agar lingkar perut sebaiknya diukur pada pertengahan antara batas bawah iga dan krista iliaka, dengan menggunakan ukuran pita secara horisontal pada saat akhir ekspirasi dengan kedua tungkai dilebarkan 20-30 cm. Subyek diminta untuk tidak menahan perutnya dan diukur memakai pita dengan tegangan pegas yang konstan.
Lingkar perut menggambarkan lemak tubuh dan di antaranya tidak termasuk sebagian besar berat tulang (kecuali tulang belakang) atau massa otot yang besar yang
mungkih akan bervariasi dan mempengaruhi hasil pengukuran. Ukuran lingkar perut ini berkorelasi baik dengan rasio lingkar perut dan pinggul (WHR) baik pada laki-laki maupun perempuan serta dapat memperkirakan
luasnya obesitas abdominal yang tampaknya sudah mendekati deposisi lemak abdominal bagian viseral' Lingkar
1980
MEIABOIJKENDOIRIN
perut juga berkorelasi baik dengan perempuan: r
:
IMT (laki-laki
dan
0,89, P 102 cm pada laki-laki dan > 88 cm
pada perempuan, berhubungan dengan peningkatan substansial risiko obesitas dan komplikasi metabolik. Sedangkan Asia Pasifik memakai ukuran lingkar pinggang
laki-laki: 90 cm dan perempuan 80 cm sebagai batasan. Walaupun IMT < 25kglm2, obesitas sentral dapat saja terjadi, sehingga penyesuaian IMT pada keadaan obesitas sentral perlu diperhatikan, terutama bila IMT di antara 22-29 kfl m2. Lingkar perut dikatakan mempunyai korelasi yang tinggi denganjumlah lemakintra abdominal dan lemak total dan telah digrrnakan baik secara mandiri atau bersamasama tebal kulit subkutan untuk mengembangkan suatu
korelasi regresi untuk mengoreksi massa lemak intra abdominal. Ekuasi ini telah divalidasi dalam sebuah penelitian yang besarjumlahnya di negeri Belanda. Ekuasi dengan menggunakan lingkar perut saja disesuaikan untuk umur, memrnjukkan prediksi lemak tubuh yang baik pada
spesimen subyek orang Belanda (r2:78%o) dengan kesalahan yang sama dalam prediksi seperti penelitian lainnya.
Hubungan Obesitas Sentral dengan Resistensi lnsulin dan Dislipidemia Resistensi insulinpada obesitas sentral diduga merupakan penyebab sindrom metabolik. Insulin mempunyai peran penting karena berpengaruh baik pada penyimpanan lemak maupnn sintesis lemak dalam j aringan adiposa. Resistensi
insulin dapat menyebabkan terganggunya proses
penunrnan berat badan sebesar 5 sampai l0 persen dari berat awal dapat mengakibatkan perbaikan kesehatan secara signifikan. Walaupun belum ada penelitian retrospektif yang menunjukkan perubahan pada atgka kematian dengan penurunan berat badan pada pasien obese, dengan penurunan berat badan, pengurangan pada faktor risiko ini dianggap akan menurunkan perkembangan diabetes tipe 2 serta kardiovaskular Terdapat bukti kuat bahwa penurunan berat badan pada individu obesitas dan overweight mengtrangi faktor risiko diabetes dan penyakit kardiovaskular. Bukti kuat lainnya juga menunjukkan bahwa penurunan berat badan dapat menurunkan tekanan darah pada individu overweight normotensi dan hipertensi; mengurangi serum trigliserida dan meningkatkan kolesterol-HDl; dan secara umum mengakibatkan beberapa pengurangan pada kolesterol serum total dan kolesterol-LDl. Penurunan berat badan juga dapat mengurangi konsentrasi glukosa darah pada individu overweight dan obesitas tanpa diabetes; danjuga mengurangi konsentrasi glukosa darah serta HbA," pada beberapa pasien dengan diabetes tipe 2. Tidak ada terapi tunggal yang efektif untuk or4ng dengan kelebihan berat badan dan obesitas, dan masalah cenderung muncul setelah penurunan berat badan Harapan penurunan berat badan dari seseorang seringkali melebihi kemampuan dari program yang ada sehingga untuk mencapai keberhasilan semakin sulit. Terapi penurunan berat badan yang sukses meliputi empat pilar, yaitu diet rendah kalori, aktivitas fisik, perubahan perilaku dan obat-obatan/bedah.
penyimpanan lemak maupun sintesis lemak.
Hubungan sebab-akibat (kausatif) antara resistensi
insulin dan penyakit jantung koroner dan stroke dapat diterangkan dengan adanya efek anabolik insulin. Insulin merangsang lipogenesis pada jaingan arterial dan jaringan
adiposa melalui peningkatan produksi acetyl-CoA,
meningkatkan asupan trigliserida dan glukosa. Dislipidemia yang ditandai dengan peningkatan konsentrasi trigliserida dan penurunan kolesterol HDL merupakan akibat dari pengaruh insulin terhadap Cholesterol Ester Transfer Proteln (CETP) yang memperlancar
transfer Cholesteryl Ester (CE) dari HDL ke VLDL (trigliserida) dan mengakibatkan terj adinya katabolisme dari apoA, komponen protein HDL. Resistensi insulin dapat disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan. Jenis kelamin mempengaruhi sensitivitas insulin dan otot rangka laki-laki lebih resisten dibandingkan perempuan.
MANAJEMEN BERAT BADAN PADAPASIEN OYER. WEIGHTDAN OBESITAS
Penurunan berat badan mempunyai efek yang menguntungkan terhadap komorbid obesitas. Bahkan,
Tujuan Penurunan Berat Badan Penurunan berat badan harus SMARI Spestfic, Measurable, Achievable, Realistic and Time limited. Tujuan awal
dari terapi penurunan berat badan adalah untuk l0 persen dari
mengurangi berat badan sebesar sekitar
berat awal. Batas waktu yang masuk akal unhrk penurunan berat badan sebesar 1 0 persen adalah 6 bulan terapi. Untuk pasien overweight dengan rentang BMI sebesar 27 sampai 35, pemrnrnan kalori sebesar 300 hingga 500 kcal,/hari akan menyebabkan penunrnan berat badan sebesar Yz sampai 7 kglminggu dan penunman sebesar l0 persen dalam 6 bulan. Setelah 6 bulan, kecepatan pemrrunan berat badan lazimnya akanmelambat dan berat badan menetap karena
seiring dengan berat badan yang berkurang terjadi penumnan energi ekspenditure. Oleh karena itu, setelah terapi penurunan berat badan selama 6 bulan, program penurunan berat badan harus terus dilakukan. Jika dibutuhkan penurunan berat badan lebih banyak, dapat dilakukan penyesuaian lebih lanjut terhadap anjuran diet dan aktivitas fisik. Untuk pasien yang tidak mampu untuk mencapai penurunan berat badan yang signifikan, pencegahan
1981
OBESTTAS
kenaikan berat badan lebih lanjut merupakan tujuan yang paling penting. Pasien seperti ini tetap diikutsertakan dalam program manajemen berat badan.
selama 30 menit dengan jangka waktu 3 kali seminggu dan dapat ditingkatkan intensitasnya selama 45 menit dengan
jangka waktu 5 kali seminggu. Dengan regimen ini,
Terapi Diet. Pada program manajemen berat badan, terapi
pengeluaran energi tambahan sebanyak 100 sampai 200 kalori per hari dapat dicapai. Regimen ini dapatdiadaptasi ke dalam berbagai bentuk aktivitas fisik lain, tetapi jalan kaki lebih menarik karena keamanannya dan kemudahannya. Pasien harus dimotivasi
diet direncanakan berdasarkan individu. Terapi diet ini harus
untuk meningkatkan aktivitas sehari-hari seperti naik
Strategi Penurunan dan Pemeliharaan Berat Badan
dimasukkan ke dalam status pasien overweight. Hal ini bertujuan untuk membuat defisit 500 hingga 1000 kcal/hari
menjadi bagian yang tak terpisahkan dari program penunrnan berat badan apapun.
Sebelum menganjurkan defisit kalori sebesar 500 hingga 100 kcal/hari sebaiknya diukur kebutuhan energi basal pasien terlebih dahulu. Pengukuran kebutuhan energi basal dapat menggunakan rumus dari Harris-Benedict :
Laki-laki: B.E.E:66.5 + (13.75 xkg) + (5.003 x cm) - (6.775xage)
tangga dari pada rarik lift. Seiring waktu, pasien dapat melakukan aktivitas yang lebih berat. Strategi lain untuk meningkatkan aktivitas fi sik adalah mengurangi waktu santai (sedentary) dengan cara melakukan aktivitas fisik rutin lain dengan risiko cedera rendah.
Terapi perilaku. Untuk mencapai penurunan berat badan dan mempertahankannya, diperlukan suatu strategi untuk mengatasi hambatan yang muncul pada saat terapi diet
dan aktivitas fisik. Strategi yang spesifik meliputi pengawasan mandiri terhadap kebiasaan makan dan
aktivitas fisik, manajemen stress, stimulus control,
Wanita:
: 655. I + (9.563 x kg) + (1. 850 x cm) - (4.67 6 x age)
pemecahan masalah, contigency management, cognitive
Kebutuhan kalori total sama dengan BEE dikali dengan jumlah faktor stress dan aktMtas. Faktor stress ditambah aktivitas berkisar dari 1,2 sampai leblhdai2.
Farmakoterapi. Farmakoterapi merupakan salah satu
Disamping pengurangan lemak jenuh, total lemak
Sibutramine dan orlistat merupakan obat-obatan penurun berat badan yang telah disetujui oleh FDA di Amerika Serikat, untuk penggunaan jangka panjang. Pada pasien dengan indikasi obesitas, sibutramine dan orlistat sangat
B.E.E
seharusnya kurang dan sama dengan 30 persen dari total kalori. Pengurangan persentase lemak dalam menu seharihari saja tidak dapat menyebabkan penurunan berat badan, kecuali total kalori jugaberkurang. Ketikan asupan lemak dikurangi, prioritas harus diberikan untuk mengurangi lemak jenuh. Hal tersebut bermaksud untuk menurunkan konsentrasi kolesterol-LDl.
Aktivitas fisik. Peningkatan aktivitas fisik merupakan komponen penting dari program penurunan berat badan; walaupun aktivitas fisik tidak menyebabkan pemrrunan berat badan lebihbanyak dalamjangka waktu enam bulan. Kebanyakan penurunan berat badan terjadi karena pemmnan asupan kalori. Aktivitas fisik yang lama sangat membantu pada pencegahan peningkatan berat badan.
Keuntungan tambahan aktivitas fisik adalah terjadi pengurangan risiko kardiovaskular dan diabetes lebih banyak dibandingkan dengan pengurangan berat badan tanpa aktivitas frsik saja. Aktivitas fisik yang berdasarkan gaya hidup cenderung lebih berhasil menurunkan berat badan dalam jangka panjang dibandingkan dengan program latihan yang terstruktur. Untuk pasien obese, terapi harus dimulai secara perlahan, dan intensitas sebaiknya ditingkatkan secara bertahap. Latihan dapat dilakukan seluruhnya pada satu saat atau secara bertahap sepanjang hari. Pasien dapat memulai aktivitas fisik dengan berjalan
restructuring dan dukungan sosial. komponen penting dalam program manajemen berat badan.
berguna.
Sibutramine ditambah diet rendah kalori dan aktivitas dan mempertahankannya. Dengan pemberian sibutramine dapat muncul peningkatan tekanan darah dan denyut
fisik terbukti efektif menurunkan berat badan
Sibutramine sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan riwayat hipertensi, penyakit jantung koroner, gagal jantung kongestif, at'rtmia atau riwayat strok. Orlistat menghambat absorpsi lemak sebanyak 30 persen. Dengan pemberian orlitas, dibutuhkan penggantian
j antung.
vitamin larut lemak karena terjadi malabsorpsi parsial. Semua pasien harus dipantau untuk efek samping yang timbul. Pengawasan secara berkelanjutan oleh dokter
dibutuhkan untuk mengawasi tingkat efikasi dan keamanan.
Terapi bedah. Terapi bedah merupakan salah satu pilihan untuk menurunkan berat badan. Terapi ini hanya diberikan kepada pasien obesitas berat secara klinis dengan BMI > 40 atau > 35 dengan kondisi komorbid. Terapi Bedah ini harus dilakukan sebagai altematif terakhir untuk pasien yang gagal dengan farmakoterapi dan menderita komplikasi
obesitas yang ekstrem.
Bedah Gastrointestinal (restriksi gastrik lbanding vertical gastricf atau bypass gastric (Roux-en Y) adalah
1982
suatu intervensi penurunan berat badan pada subyek yang bermotivasi dengan risiko operasi yang rendah. Suatu program yang terintegrasi harus dilakukan baik sebelum maupun sesudah untuk memberikan panduan diet,
aktivitas fisik, dan perubahan perilaku serta dukungan sosial.
REFERENSI Assimacopoulos-Jeannet F, Brichard S, Rencurel F, et al: In vivo effects of hyperinsulinemia on lipogenic enzymes and glucose transporter expression in rat liver and adipose tissues. Metabo-
lism 44:228, 1995
BaiY, Zhatg S, Kim K, et al: Obese gene expression altbrs the ability of 30A5 preadipocytes to respond to lipogenic hormones. J Biol Chem 1996;271:13939, Boden G, Chen X, Capulong E, et al: Effects of free fatty acids on gluconeogenesis and autoregulation of glucose production in type 2 diabetes. Diabetes 2001;50:810, Bray G: Contemporary diagnosis and management of obesity. Health Care CO 1998; I:6, Bray G: Historical framework for the development of Ideas about obesity. 1n Bray GA, Bouchard C (eds): Handbook of Obesity, Etiology and Pathophysiology. New York: Marcel Dekker Inc; 2004, p. I Carey D: Abdominal obesity. Curr Opin Lipidol 1998;9;35. Carpentier A, Mittelman S, Bergman R, et al: Prolonged elevation of plasma free fatty acids impairs pancreatic beta-cell function in obese nondiabetic humans but not in individuals with type 2 diabetes. Diabetes 2000 ;49 :399. Corry D, Tuck M: Selective aspects of the insulin resistance syndrome. Curr Opin Nephrol Hypertens 2001;10:507. Despres J, Prud'homme D, Pouliot M, et al: Estimation of deep abdominal adipose-tissue accumulation from simple anthropometric measurements in men. Am J Clin Nutr 199I;'54l.471. Deurenberg P, Yap M, van Staveren W: Body mass index and percent trcrl. f'at: a meta analysis among different ethnic groups. Int J Obes Relat Metab Disord 1998;22:1164, Etherton T: The biology of somatotropin in adipose tissue growth and nutrient partitioning. J Nutr 2000;130:2623. Executive summary of the third report of the national cholesterol education program (NCEP) expert panel on detection, evaluation, and treatment of high blood cholesterol in adults (adult treatment panel III). lama 2001;285:2486. Faraj M, Havel P, Phelis S, et al: Plasma acylation-stimulating protein, adiponectin, leptin, and ghrelin before and after weight loss induced by gastric bypass surgery in morbidly obese subjects. J Clin Endocrinol Metab 2003;88:1594. Foretz M, Guichard C, Ferre P, et al: Sterol regulatory element binding protein-lc is a major mediator of insulin action on the hepatic expression of glucokinase and lipogenesis-related genes. Proc Natl Acad Sci U S A 1999;96:12737. Fruhbeck G, Aguado M, Martinez J: In viho lipolytic effect of leptin on mouse adipocytes: evidence for a possible autocrine/paracrine role of leptin. Biochem Biophys Res Commun 1997;240:590. Goodpaster B, Thaete F, Simoneau J, et al: Subcutaneous abdominal fat and thigh muscle composition predict insulin sensitivity independently of visceral fat. Diabetes 1997;46:1579. Gurrici S, Hartriyanti Y, Hautvast J, et al: Relationship between body fat and body mass index: differences between Indonesians
METABOLIKEIYDOKRIN
and Dutch Caucasians. Eur J Clin Nutr 1998;52:779. I Richmond P, Avenell A, et al: Waist circumference reduction and cardiovascular benefits during weight loss in women. Int J Obes Relat Metab Disord 1997;21:127. Han T, Seidell J, Cunall J, et a1: The influences of height and age on waist circumference as an index of adiposity in adults. Int J Obes Relat Metab Disord 1997;21:83. Heo Y, Claycombe K, Jones B, et al: Effects of fatty (fa) allele and high-fat diet on adipose tissue leptin and lipid metabolism. Horm Metab Res 2002;34:686. Heymsfield S, Hoffman D, Testolin C, et al: Evaluation of human Han
adiposity. 1n Bjorntorp P (ed): International textbook of obesity. New York: John Wiley & Sons, Ltd; 2001. p. 85 Indriyanti R, Harijanto T: Optimal cut-off value for obesity: using anthropometdc indices to predict atherogenic dyslipidemia in Indonesian population. : ljokroprawiro A, Soegih R, Soegondo S, et al (eds): 3rd National Obesity Symposium (NOS III) 2004.
Jakarta: Himpunan Studi Obesitas Indonbsia (HISOBI), 2004, Vol 3, p. I
Inoue S, Zimmet P: The Asia-Pacifik perspective, redefining obesity and its treatment. Australia: Health communications Australia Pty limited on behalf of the steering commitee, 2000 Kakuma T, Lee Y, Higa M, et al: Leptin, lroglitazone, and the expression of sterol regulatory .l"msff [inding proteins in liver and pancreatic islets. Proc Natl Acad Sci U S A 2000;97:8536. Kopelman P: Obesity bs a medical problem. Nature 404:635,.2,000 Lane M, Flores-Riveros J, Hresko R, et al: Insulin-receptor tyrosine kinase and glucose transport. Diabetes Care 1990;13:565. Lang T, Ducimetiere P, Arveiler D, et al: Incidence, case fatality, risk factors of acute coronary heart disease and occupational
categories in men aged 30-59 in France. Int J Epidemiol ,1997;26:47 Laws A: Free fatty acids, insulin resistance, and lipoprotein metabo.
lism. Curr Opin Lipidol 1996;7:172. ! Morrison C: Waist circumference as a measure for indicating need for weight management. Bmj 1995;311:158.
Lean M, Han
Leyva F, Godsland I, Ghatei M, et al: Hyperleptinemia as a component of a metabolic syndrome of cardiovascular risk. Arterioscler Thromb Vasc Biol 1998;18:928, Lonnqvist F, Thome A, Large V, et al: Sex differences in visceral fat lipolysis and metabolic complications of obesity. Arterioscler Thromb Vasc Biol 1997;17:1472. Lukito B, Sumual A, Pandelaki K: Konsentrasi leptin serum pada suku Minahasa yang obes dan hubungannya dengan resistensi insulin. In: Buku abstrak KONAS VI Perkeni. Medan: PERKENI
MEDAN, 2OO3 Marin P, Andersson B, Ottosson M, et al: The morphology and metabolism of intraabdominal adipose tissue in men. Metabo-
lism 1992;41:1242. McGarvey S, Forrest W, Weeks D, et al: Human leptin locus (LEP) alleles and BMI in Samoans. Int J Obes Relat Metab Disord 2002:26:783. Obesity: preventing and managing the global epidemic. Report of a WHO consultation. World health organ tech rep ser 2000;894:i. Rosen E, Spiegelman B: Molecular regulation of adipogenesis. Annu Rev Cell Dev Biol 2000;16:145. Seidell J, Oosterlee A, Deurenberg P, et al: Abdominal fat depots measured with computed tomography: effects of degree of obesity, sex, and age. Eur J Clin Nutr 1988;42:805. Siegrist-Kaiser C, Pauli V, Juge-Aubry C, et al: Direct effects of
leptin on brown and white adipose tissue. J Clin Invest 1997;100:2858.
1983
oBESTXAS
A, Cianflone K, Amer P, et al: The adipocyte, fatty acid trapping, and atherogenesis. Arterioscler Thromb Vasc Biol
Sniderman
1998;18:147. Sniderman A, Maslowska M, Cianflone K: Of mice and men (and women) and the acylation-stimulating protein pathway. Curr
Opin Lipidol 2000;ll:291.
A, Cohen P, Socci N, et al: Leptin-specific pattems of gene expression in white adipose tissue. Genes Dev 2000;14:963. Subekti I, Yunir E, Soebardi S, et al: Studi prevalensi DM dan faktor risiko yang berhubungan di desa Abadi Jaya Depok. In Buku abstrak KONAS VI Perkeni. Medan: PERKENI MEDAN; 2003 Teglund S, McKay C, Schuetz E, et al: Stat5a and Stat5b proteins have essential and nonessential, or redundant, roles in cy'tokine Soukas
responses.
Cell 1998;93:841.
van Baak M: The peripheral sympathetic nervous system in human obesity. Obes Rev 2001;2:3. Wang M, Lee Y, Unger R: Novel form of lipolysis induced by leptin. J Biol Chem 1999;274:l'7541.
Waspadji S: Kegemukan: risiko untuk berbagai penyakit dan pengelolaannya, in Pusat Diabetes dan Lipid, Sub-bag MetabEndo, Bag IPD FKUI/RSUPN Cipto Mangunkusumo. Jakarta. 1982, p. I Waspadji S, Soewondo P, Suyono S, et a1: Obesitas berdasarkan tebal lemak bawah kulit pada pasienhiperlipidemia. In: Waspadji S,
Suyono S, Sukardji
K
(eds): Pengkajian status gizi. Studi
epidemiologi. Jakarta: Balai penerbit FKUI; 1993 Waspadji S, Suyono S, Soewondo P, et al: Pengkajian diet pada pasienpenyakit jantung koroner. In: Waspadji S, Suyono S, Sukardji K (eds): Pengkajian status gizi. studi epidemiologi. Jakarta: Balai penerbit FKUI; 2003 Wijaya A: Leptin, TNF-cx, dan reseptor adrenergik-b3, peranannya pada obesitas dan resistensi insulin. Forum Diagnosticum 1997; Suppl 2:1,
310 DISLIPIDEMIA lohn
MF.
Adam
LIPID DAN LIPOPROTEIN
protein berbentuk sferik dan mempunyai inti trigliserid dan kolesterol ester dan dikelilingi oleh fosfolipid dan sedikit kolesterol bebas. Apoprotein ditemukan pada permukaan
darah kita ditemukan tiga jenis lipid yaitu kolesterol, trigliserid, dan fosolipid. Oleh karena sifat lipid yang susah larut dalam lemak, maka perlu dibuat bentuk yang terlarut. Untuk itu dibutuhkan suatu zat pelarut yaitu suatu protein yang dikenal dengan nama apolipoprotein atau apoprotein. Pada saat ini dikenal sembilan jenis apoprotein yang diberi nama secara alfabetis yaitu Apo A, Apo B, Apo C, dan Apo E. Senyawa lipid dengan apoprotein ini dikenal dengan nama lipoprotein. Setiap
Di dalam
lipoprotein (Gambar 1) Setiap lipoprotein berbeda dalam ukutan, derlsitas, komposisi lemak, dan komposisi apoprotein. Dengan
menggunakan ultrasentrifusi, pada manusia dapat dibedakan enam jenis lipoproteisn yaifi l-high-density
lipoprotein (HDL), low-density lipoprotein (LDL), intermediate-density lipoprotein (IDL), very low density lipoprotein (VLDL), kilomikron, dan lipoprotein a kecil
jenis lipoprotein mempunyai Apo tersendiri. Sebagai contohuntukVlDl, IDL, dan LDL mengandungApo 8100, sedang
Apo B48 ditemukan pada kilomikron. Apo A
I
,
(Lp(a) (Tabel 2).
Apo
ditemukan terutama pada lipoprotein HDL dan kilomikron (Tabel 1) Setiap lipoprotein akan terdiri atas kolesterol (bebas atau ester), trigliserid, fosfolipid, dan apoprotein. Lipo-
42, danApo
,A.3
Apolipoprotein Massa
METABOLISME LIPOPROTEIN Metabolisme lipoprotein dapat dibagi atas tiga jalur yaitu jalur metabolisme eksogen, jalur metabolisme endogen, dan
Lipoprotein
Fungsi Metabolik
Molekul Apo Al Apo All Apo AIV
Apo Apo
B48 8100
Apo Cl Apo Cll Apo Clll
28.016 17.414 46.465
HDL, Kilomikron HDL, Kilomikron HDL, Kilomikron
264.000 540.000
VLDL, lDL, LDL
6630 8900 8800
Kilomikron
Kilomikron,
VLDL, IDL, LDL Kilomikron,
Komponen struktural HDL; aktivator LCAT Belum diketahui Belum diketahui: mungkin sebagai fasilitator transfer Apo lain antara HDL dan kilomikron Dibutuhkan for assembly dan sekresi kilomikron dari usus halus Dibutuhkan for assembly dan sekresi VLDL dari hati, struktur protein dari VLDL, lDL, LDL; ligand untuk reseptor LDL Dapat menghambat ambilan hati terhadap LDL lDL, LDL, kilomikron dan remnant VLDL Aktifator enzim lipoprotein lipase
VLDL, IDL, HDL
lnhibitor enzim lipoprotein lipase; dapat menghambat ambilan kilomikron,VlDl, lDL, HDL, dan VLDL di hati Apo E 34.145 Kilomikron, Ligand untuk beberapa lipoprotein dari reseptor LDL, LRP, dan kemungkinan VLDL, lDL, terhadap apo E reseDtor hati lain Dikutipdari.GinsbergHN,GoldberglJ.Disordersof lipoproteinmetabolism Principlesof internal medicinel4th. lnternational edition Harrison's1998; 2: Kilomikron, LDL,
LDL, HDL
2138
-2152
1984
1985
DISLIPIDEMIA
asam lemak bebas (free
fatty acid (FFA)
:
non-esterified
fatty acid (NEFA). Asam lemak bebas dapat disimpan sebagai trigliserid kembali di jaringan lemak (adiposa), tetapi bila terdapat dalam jumlah yang banyak sebagian akan diambil oleh hati menjadi bahan untuk pembentukkan trigliserid hati. Kilomikron yang sudah kehilangan sebagian
besar trigliserid akan menjadi kilomikron remnant yang mengandung kolesterol ester dan akan dibawa ke hati.
JALUR METABOLISME ENDOGEN
Trigliserid dan kolesterol yang disintesis di hati dan disekresi ke dalam sirkulasi sebagai lipoprotein VLDL. Apolipoprotein yang terkandung dalam VLDL adalah apolipoprotein B 100. Dalam sirkulasi, trigliserid di VLDL
Apolipoprotein + Lipid = Lipoprotein Gambar 1. Bentuk Suatu Lipoprotein. (Feher MD, Richmond W. Lipoproteins: structure and function. ln: Lipids and Lipid Disorders 2nd
ed. Bayer. 1996, 6
-
13)
jalur reverse cholesterol transport. Kedua jalur pertama berhubungan dengan metabolisme kolesterol-LDl dan trigliserid, sedang jalur reverse chlesterol transport khusus mengenai metabolisme kolesterol-HDl.
Jalur Metabolisme Eksogen Makanan berlemak yang kita makan terdiri atas trigliserid dan kolesterol. Selain kolesterol yang berasal dari makanan, dalam ususjuga terdapat kolesterol dari hati yang diekskresi bersama empedu ke usus halus. Baik lemak di usus halus yang berasal dari makanan maupun yang berasal dari hati disebut lemak eksogen. Trigliserid dan kolesterol dalam usus halus akan diserap ke dalam enterosit mukosa usus halus. Trigliserid akan diserap sebagai asam lemak bebas sedang kolesterol sebagai kolesterol. Di dalam usus halus asam lemak bebas akan diubah lagi menjadi trigliserid, sedang kolesterol akan mengalami esterifikasi menjadi kolesterol ester dan keduanya bersama dengan fosfolipid
akan mengalami hidrolisis oleh enzim lipoprotein lipase (LPL), dan VLDL berubah menjadi IDL yang juga akan mengalami hidrolisis dan berubah menjadi LDL. Sebagian dari VLDL, IDL, dan LDL akan mengangkut kolesterol ester kembali ke hati. LDL adalah lipoprotein yang paling banyak mengandung kolesterol. Sebagian dari kolesterol di LDL akan dibawa ke hati dan jaringan steroidogenik lainnya seperti kelenjar adrenal, testis, dan ovarium yang mempunyai reseptor untuk kolesterol-LDl. Sebagian lagi dari kolesterol-LDl akan mengalami oksidasi dan ditangkap oleh reseptor scavenger-A (SR-A) di makrofag dan akan
menjadi sel busa (foam cell). Makin banyak kadar kolesterol-LDl dalam plasma makin banyak yang akan mengalami oksidasi dan ditangkap oleh sel makrofag. Jumlah kolesterol yang akan teroksidasi tergantung dari kadar kolesterol yang terkandung di LDL. Beberapa keadaan mempengamhi tingkat oksidasi seperti: . Meningkatnya jumlah LDL kecil padat (small dense LDL) seperti pada sindrom metabolik dan diabetes
.
dan apolipoprotein akan membentuk lipoprotein yang dikenal dengan kilomikron.
Kilomikron ini akan masuk ke saluran limfe dan akhimya melalui duktus torasikus akan masuk ke dalam aliran darah. Trigliserid dalam kilomikron akan mengalami hidrolisis oleh er:zim lipoprotein lipase yang berasal dari endotel menjadi
Densitas HDL LDL IDL VLDL Kilomikron Lp (a)
1.21-1.063 1.063-'1.019 1 .019-1 .006 < 1.006 < 1,006 1.04-1.08
u r Revers e C holesterol Tra n spott HDL dilepaskan sebagai partikel kecil miskin kolesterol yang mengandung apolipoprotein (apo) A, C dan E; dan
Jal
disebut HDL r ascent. HDL nascent berasal dari usus halus
Lipid utama Kolesterol Kolesterol Kolesterol Trigliserid Trigliserid Kolesterol
melitus Kadar kolesterol-HDl, makin tinggi kadar kolesterolHDL akan bersifat protektif terhadap oksidasi LDL.
ester ester ester, trigliserid
Diameter 7.5-'10.5
21.5
25-3 39-1 00
60-500 ester
21-30
Apolipoprotein menurut urutan yang terpenting A-1, A-il, C, E B-1 00 B-100, C dan E B-100, c, E B-48, C, E, A-1, A-ll, A-lV B-100, Lp (a)
Dikutip dari: l/alloy MJ, Kane JP. Disorder of lipoprotein metabolism. Greenspan FS, Gardner DG (eds). Basic and clinical endocrinology. 7th ed., 2004; 766-793
1986
METABOUKENDOKRIN
fungsi HDL sebagai "penyerap" kolesterol dari makrofag mempunyai dua jalur yaitu langsung ke hati dan jalur tidak
langsung melalui
VLDL dan IDL untuk membawa
kolesterol kembali ke hati.
Pada gambar
4 diperlihatkan keseluruhan jalur
i., ( t:
Reseptor LDL Scavenger reptor-A / CD 36
ABC-1 SRB-1
-+Tinja Gambar 2. Jalur metabolisme eksogen. (Dikutip dari: Shepherd J. Eur Heart J Supplements 2001;3(Suppl E):E2-E5)
Gambar 4. Jalur reverse cholesterol transpoti. (Dikutip dari, Kwiterovich PO, Jr.. Am J Cardiol 2000; 86: 5L
- 101)
ReseptorLDL
.. i
i
Adenosine triphosphate - binding Cassette transporter-1(ABC-1)
Gambar 3. Jalur metabolisme endogen. (Dikutip dari: Kwiterovich PO, Jr. Am J Cardiol 2000: 86; 5L
-
10 L)
dan hati, mempunyai bentuk gepeng dan mengandung apolipoprotein A1 .T{DL nascent akanmendekati grakrofag untuk mengambil kolesterol yang tersimpan di makrofag. Setelah mengambil kolesterol dari makro fag, HDL nas cent berubah menjadi HDL dewasa yang berbentukbulat. Agar dapat diambil oleh HDL nascent, kolesterol (kolesterol bebas) di bagian dalam dari makrofag harus dibawa ke permukaan membran sel makrofag oleh suatu transporter yang disebut adenosine triphosphate-binding cassette transporter- I atau disingkat ABC- I . Setelah mengambil kolesterol bebas dari sel makrofag, kolesterol bebas akan diesterifikasi menjadi kolesterol
ester oleh enzim lecithin cholesterol acyltransferase (LCAT). Selanjutnya sebagian kolesterol ester yang dibawa oleh HDL akan mengambil dua jalur. Jalurpertama ialah ke hati dan ditangkap oleh scavenger receptor class B type I dikenal dengan SR-BI. Jalur kedua adalah kolesterol ester dalam HDL akan dipertukarkan dengan trigliserid dari VLDL dan IDL dengan bantuan cholesterol ester transfer protein (CETP). Dengan demikian
Gambar 5. Jalur metabolisme lipoprotein. (Dikutip dari: Shepherd
J
Eur Heart J Supplements 2001;3(suppl E):E2-E5)
metabolisme lipoprotein baik yang berasal dari eksogen, endogen, dan jalur reyerse cholesterol lransport.
KLASIFIKASI DISLIPIDEMIA, DAN KADAR LIPID NORMAL Klasif,rkasi dislipidemia dapat berdasarkan atas primer yang
tidak jelas sebabnya dan sekunder yang mempunyai penyakit dasar seperti pada sindroma nefrotik, diabetes melitus, hipotiroidisme. Selain itu dislipidemi dapat juga dibagi berdasarkan profil lipid yang menonjol, seperti hiperkolesterolemi, hipertrigliseridemi, isolated low HDLcholestrol,dan dislipidemi campuran. Bentuk yang terakhir ini yang paling banyak ditemukan. Dilihat dari pemilihan obat penurun lipid mungkin klasifikasi yang terakhir yang lebih tepat.
1987
DISIJPIDEMIA
Kapan disebut lipid normal, sebenamya sulit dipatok pada satu angka, oleh karena normal untuk seseorang belum tentu normal untuk orang lain yang disertai faktor risiko koroner multiple (lihat bawah)' Walaupun demikian National Cholesterol Education Program Adult Panel III (NCEP-ATP III) telah membuat satu batasan yang dapat dipakai secara umum tanpa melihat faktor risiko koroner
Umur pria > 45 tahun dan wanita > 55 tahun Riwayat keluarga PAK dini yaitu ayah usia < 55 tahun dan ibu < 65 tahun Kebiasaan merokok Hipertensi (> 140/90 mmHg atau sedang mendapat obat antihipertensi) Kolesterol HDL rendah (< 40 mg/dl)-
i: Executive summary of
seseorang (Tabel 3).
the
of the National
el on Detection, Education Program (NCEP) in Adults (Adult and Treatment of High blood Treatment Panel lll). JAMA 2001; 285:2486-2497 * Kolesterol HDL > 60 mg/dl, mengurangi satu faktor risiko
Klasifikasi kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, dan trigliserid menurut NCEP ATP lll 2001 mg/dl
Kolesterol total < 200 200 -239 > 240
Optimal Diinginkan Tinggi
Kategori Risiko
Kolesterol LDL < 100
-
100 129 130 159 160 189 > 190
Kolesterol HDL 60
Optimal Mendekati optimal Diinginkan Tinggi Sangat tinggi Rendah Tinggi
Trigliserid < 150 150
-
199
200-499 > 500
'
Optimal Diinginkan Tinggi Sangat tinggi
Sasaran Kolesterol LDL (ms/dl)
Risiko tinggi Mempunyai riwaYat PAK dan Mereka yang disamakan dengan PAK Diabetes melitus Bentuk lain PenYakit aterosklerotik Yaitu strok, penyakit arteri Perifer, aneurisma aorta abdominalis Faktor risiko multipel (> 2 risiko) yang diPerkirakan dalam kurun waktu 10 tahun memPunYai risiko
< 100
a) b)
-
-
< 130 < 160
PAK> 20%
lH[:l'JliJ. in Adults (Adult
Treatment Panel lll). JAMA 2001; 285'.2486-2497
FAKTORRISIKO KORONER DAN MENENTUKAN RISIKO SESEORANG Langkah pertama untuk pencegahan penyakit arteri koroner ialah menentukan seberapa banyak faktor risiko yang dimiliki seseorang (selain kadar kolesterol LDL) untuk menentukan sasaran kadar kolesterol LDL yang akan dicapai. National Cholesterol Education Programme, Adult Panel Treatment III (NCEP-ATP III) telah menetapkan faktor risiko selain kolesterol LDL yang digunakan untuk menenhrkan sasaran kadarkolesterol LDL yang diinginkan pada orang dewasa > 20 tahun (Tabel 4)'
Tiga Kelompok Risiko Penyakit Arteri Koroner Berdasarkan banyaknya faktor risiko di atas yang
ditemukan pada seorang pasien, maka NCEP - ATP III membagi tiga kelompok risiko penyakit arteri koroner yaitu mereka dengan risiko tinggi, risiko sedang, dan risiko rendah. Berbeda dengan NCEP-ATP II' mereka yang tergolong risiko tinggi dimasukkan juga kelompok yang disamakan dengan penyakit arteri koroner yaitu diabetes melitus, mereka dengan risiko multiple yang diperkirakan dalam l0 tahun mempunyai risiko PAK > 20 yo (Tabel 5).
Risiko multipel (> 2 faktor risiko) Risiko rendah (0 't faktor risiko)
-
D 6 5
:
the National I on Detection,
in Adults (Adult
Treatment Panel lll). JAMA 2001; 285:2486-2497 PAK = Penyakit arteri koroner
OBAT UNTUK DISLIPIDEMIA Pada saat ini dikenal sedikitnya 6 jenis obat yang dapat memperbaiki profil lipid serum yaittt b ile acid s equestran, HMG-CoA reductase inhibitor (statin), deivat asam fibrat, asam nikotinik, ezetimibe, dan asam lemak omega-3. Selain obat tersebut; pada saat ini telah dipasarkan obat kombinasi dua jenis penunrn lipid dalam satu tablet seperti Advicor
(lofastatin dan niaspan), Vytorin (simvastatin dan ezetimibe).
BileAcid Sequestrants Terdapat tiga jenis bile acid sequestrans yaittt cholestyramin, colestipol, dan colesevelam' Obat ini tidak diserap diusus, danbekerja mengikat asam empedu di usus halus dan akan dikeluarkan dengan tinja. Dengan demikian asam empedu yang kembali ke hati akan menurun, hal ini akan memacu hati memecahkan kolesterol lebih banyak
untuk menghasilkan asam empedu yang dikeluarkan ke
1988
MEIABOLIKENDOKRIN
usus. Akibatnya kolesterol darah akan lebih banyak ditarik ke hati sehingga kolesterol serum menurun.
Dosis untukkolestiramin adalah 8 16 g,/hari, kolestipol 10-20 grhari (keduanya dalam bentuk granul), dan6,5 gl
hari kolesevelam. Obat golongan resin ini dapat menurunkan kadar kolesterol-LDl sebesar 15 -30%o1 . Obat ini digunakan untuk pasiendengan hiperkoleterolemi saja
(isolated high hypercholesterolaemia).
Sejak
diperkenalkannya obat HMG-CoA reductase inhibitor, obat bile acid sequestrarets semakin jarang digunakan. HM G
-CoA Reducfase
In h
ib
ito r
Pada saat ini telah dipasarkan enam jenis yaitu lofastatin,
simvastatin, pravastatin, fluvastatin, atrovastatin, dan rosuvastatin. Obat ini bekerj a mencegah k erja err;im HMGCoA reductase yaittt suatu enzim di hati yang berperan pada sintesis kolesterol. Dengan menurunnya sintesis kolesterol di hati akan menurunkan sintesis Apo 8100, disamping itu meningkatkan reseptorLDL pada permukaan hati. Dengan demikian kadar kolesterol-LDl darah akan ditarik ke hati, hal mana akan menurunkan kadar kolesterol-
Gambar 7. Mekanisme kerja HMG-CoA reductase inhibitor.
(Betterridge DJ and Morretl JM. Lipid lowering drugs. In Clinician's Guide to lipid and coronary Heaft Disease. 2nd ed, 2003; 208
-
235)
kerjanya memecahkan trigliserid. Selain menurunkan kadar trigliserid, obat ini juga meningkatkan kadar kolesterol-
HDL yang diduga melalui peningkatan apoprotein A-I, danA-II. Pada saat ini yang banyak dipasarkan di Indo-
LDL, danjuga\ILDL. Efek samping yang sering terjadi ialah adanya miositis yang ditandai dengan nyeri otot dan meningkatrryakadar
nesia adalah gemfibrozil dan fenofibrat.
creatin phophokinase. Efek samping yang paling
Asam Nikotinik
ditakutkan adalah terjadinya rhabdomyolisis yang dapat mematikan. Efek samping tainnya ialah te{adinya gangguan fungis hati. OIeh karena itu penting sekali untuk memantau fungsi hati. Tampaknya ada korelasi antara efek samping
dengan dosis obat, makin tinggi dosis makin besar kemungkinan terjadinya efek samping obat.
Derivat Asam Fibrat Terdapat empat jenis yaitu gemfibrozil, bezafrbrat, ciprohbrat, dan fenofibrat. Obat ini menurunkan trigliserid plasma, selain menurunkan sintesis trigliserid di hati. Obat ini bekerja mengaktifkan enzim lipoprotein lipase yang
Tanpa
obat
Asam empedu berkurang
Asam nikotinik merupakan obat penurun lipid yang pertama kali dipekenalkan. Oleh karena bentuk yang lama yaitu asam nikotinik serap cepat mempunyai efek samping cukup banyak, maka obat ini tidak banyak dipakai. Dengan
diperkenalkannya asam nikotinik yang lepas lambat (Niaspan) sehingga absorpsi di usus berjalan lambat, maka efek samping menjadi lebih kurang. Obat ini diduga bekerja menghambat enzim hormone sensitive lipase di jainean adiposa, dengan demikian akan mengurangi jumlah asam lemak bebas. Diketahui bahwa
asam lemak bebas ada dalam darah sebagian akan
ditangkap oleh hati dan akan menjadi sumber pembentukkan VLD. Dengan menurumya sintesis VLDL di hati, akan mengakibatkan penunrnan kadar trigliserid, dan juga kolesterol-LDl di plasma. Pemberian asam nikotinik temyata juga meningkatkan kadar kolesterol-
HDL bahkan merupakan obat yang terbaik untuk meningkatkan kolesterol-HDl. Oeh karena menurunkan trigliserid, menurunkan kolesterol-HDl, dan meningkatkan
kolesterol-HDl maka disebut juga sebagai broad
Gambar 6. Mekanisme kerja resin. (Betterridge DJ and Morrelt
JM. Lipid lowering drugs. ln Clinician's Guide to lipid and coronary Heart Disease. 2nd ed, 2003; 208
-
235\
spectrum lipid lowering agent. Efek samping yang paling sering terjadi adalahflushing yaitu perasaan panas pada muka bahkan di badan. Unfuk mencegah hal tersebut, pada penggunaan asam nikotinik sebaiknya dimulai dengan dosis rendah kemudian ditingkatkan, misalnya selama satu minggu 375 mglhari kemudian dtingkatkan secara bertahap sampai mencapai dosis maksiak sekitar 1500-2000 mg,4rari. Dengan asam nikotikin yang baru yaitu lepas lambat Q.{iaspan) efek
1989
DISLIPIDEMIA
samping sangat berkuiang. Hasil yang sangat baik didapatkan bila dikombinasikan dengan golongan HMGCoA reductase inhibitor.
PENAf,ALAKSANAAN
bekerj a sebagai penghambat selektif penyerapan kolesterol baik yag berasal dari makanan maupun dari asam empedu
Sudah disebut di atas, langkah awal penatalaksanaan dislipidemi harus dimulai dengan penilaian jumlah faktor risiko koroner yang ditemukan pada pasientersebut (rlst assesment) untuk menenfukan sasaran kolesterol - LDL yang harus dicapai. Penatalaksanaan dislipidemi terdiri atas penatalaksanaan non-farmakologis dan penggunaan obat penurun lipid. Pada Gambar 8 diperlihatkan langkah-
di usus halus. Pada umumnya obat ini tidak digunakan secara tunggal, tetapi dikombinasikan dengan obat penurun lipid lain misalnya HMG-CoA reductase
langkah yang harus dilakukan dalam mengambil keputusan apakah seseorang harus mendapat obat atau tidak. Dianjurkan agar pada semua pasiendislipidemi harus
inhibitor.
dimulai dengan pengobatan non-farmakologis terlebih
Ezetimib Ezetimib tergolong obat penurun lipid yang terbaru dan
dahulu, baru dilanjutkan dengan pemberian obat penurun
lipid. Pada umumnya pengobatan non-farmakologis Asam Lemak Omega -3
dilakukan selama tiga bulan sebelum memutuskan untuk
Minyak ikan, kaya akan asam lemak omega -3 yaitu asam
menambahkan obat penurun lipid. Pada keadaan tertentu pengobatan non-farmakologis dapat bersamaan dengan pemberian obat (Tabel 7).
eicosapentaenoic (EPA) dan asam docasahexaenoic
(DHA). Minyak ikan menurunkan sintesiss VLDL. Dengan demikian dapat juga menurunkan kadal.kolesterol. Obat ini dipasarkan dalam bentuk kapsul dengan dosis yang tergantung dari jenis asam lemak omega - 3. Dosis obat tergantung dari jenis kombinasi asam lemak. Sebagai contoh Maxepa yang terdiri atas 18olo asam
eicosapentaenoic dan l2%o asam docasahexaenoic diberikan dengan dosis 10 kapsul sehari.
Jenis
Menghambat sirkUlasi enterohepatik asam empedu; Sintesis asam empedu dan resptor LDL
J LDL-C 2O-3OYO t ttoL-c, and
HMG-CoA reductase inhibitors
J Sintesis kolesterol
J
Derivat asam fibrat
t
Bile acidsequestran
t
t
Reseptor LDL
J
t
LPL dan hidrolisis TG J Sintesis VLDL Katabolisme LDL
t
Asam nikotinik
TG
J Sintesis VLDL
lol-c
Yo
zs-+o
vlol
Itc 2s-40 Yo t or J Lot-c t Hol 25-85
J
o/o
vlol-c 35
-
zs-
Yo
Efek samping
Kolestiramin 8-12 g Dua atau tiga kali Pemberian Kolestipol 10-15 g Dua atau tiga kali pemberian Lovastatin 10-80mg/dl Pravastatin 10-40mg/dl Simvastatin 5-40m9/dl Fluvastatin 20-40mg/dl Atorvastatin 10-80m9/dl Rosuyastatin 10-20 mg Gemfibrozil 600 '1200 mg Fenofibrat 160 mg
Obstipasi, mual, perut tidak enak,
Niasin 50-100 mg tiga kali pemberian,kemudian tingkatkan 1.0-2.5 g tiga kali pemberian
Flushing, takikardia, gatal, mual, diare, hiperurisemia, ulkus peptik, intoleransi glukosa, gangguan fungsi hati
-
J Trigliserida
dan LDL
farmokologis dikenal juga dengan namaperubahan gayahidup, meliputi terapi nutrisi medis, aktivitas fisik, serta beberapa upaya lain seperti hentikan Penatalaksanaan non
Dosis
Lipoprotein
Cara kerja
PENATALAKSANAAN NON - FARMOKOLOGI
Gangguan fungsi hati, miositis
Mual, gangguan fungsi hati, miositis
J LDL-c 2s-4o\o HDL mungkin Ezetimibe
J Absorpsi kolesterol di usus halus
Asam lemak omega 3
J Sintesis VLDL
J
lol-c
t
to-
1lYo
J 50 -60% pada hiper TG berat
10 mg / hari
Sakit kepala, Nyeri perut, dan diare Mua
Dikutip dari Ginsberg HN, Goldberg lJ. Disorders of lipoprotein metabolism. Harrison's Principles of internal medicine lnternational edition. 1998; 2: 2138 - 2152. (dengan modifikasi)
14th
1990
MEDABOLIKENDOIRIN
LDL (mg/dl)
Kadar kolesterol LDL dimana harus mulai perubahan gaya hidup
PAK atau yang disamakan PAK
< 100
> 100
> 2 faktor risiko
< 130
> 130
1
0-lfaktorrisiko
< 160
> 160
> 190 ('160-189 pemberian obat opsional)
Kelompok risiko
Sasaran
kolesterol
Kadar kolesterol LDL dimana perlu dipertimbangkan pemberian obat Kadar kolesterol LDL di mana perlu dipertimbangkan pemberian obat 0 tahun risiko 10 - 20 o/o '. > 130 10 tahun risiko < 10 %o: > 160
Dikutip dari: Penatalaksanaan dislipidemia. Buku petunjuk praktis penatalaksanaan dislipidemia. Perkumpulan Endokrinologi lndonesia. 2OO5;5 - 14
Asupan yang dianjurkan
Makanan Total lemak
-
lemakjenuh lemak PUFA lemak MUFA
Karbohidrat
menentukan sasaran
sasaran kolesterol -LDL
0-1 Faktor risiko
Serat Protein Kolesterol
- 25 % dari kalori total < 7 o/o dari kalori total sampai 10 % dari kalori total sampai 10 7o dari kalori total 20
60 % dari kalori total (terutama karbohidrat kompleks) 30 gr per hari sekitar 15 % dari kalori total < 200 mg / hari
Dikutip dari: Penatalaksanaan dislipidemia. Buku petunjuk praktis penatalaksanaan dislipidemia. Perkumpulan Endokrinologi lndonesia 2005i 5 - 14
raga disesuaikan dengan kemampuan dan kesenangan pasien, selain itu agar berlangsung terus menerus.
Gambar 8. Urutan penatalaksanaan dislipidemia (PAK = Penyakit
arteri koroner)
PENATALAKSANAAN FARMAKOLOGI
merokok, menurunkan berat badan bagi mereka yang
Apabila gagal dengan pengobatan non-farmakologis maka harus dimulai dengan pemberian obat penurun lipid. NCEPAIP III menganjurkan sebagai obat pilihan pertama adalah golongan HMG-CoA reductase inhibitor, oleh karena
gemuk, dan mengurangi asupan alkohol.
Terapi Nutrisi Medis Selalu merupakan tahap awal penatalaksanaan seseorang
dengan dislipidemi, oleh karena itu disarankan untuk berkonsulatsi dengan ahli gizi. Pada dasarnya adalah pembatasan jumlah kalori dan jumlah lemak. Pasiendengan kadar kolesterol LDL atau kolesterol total tinggi dianjurkan
unhrk mengurangi asupan lemak jenuh, dan meningkatkan asupan lemak tidak jenuh rantai tunggal dan ganda (mono
unsaturated fatty acid: MUFA dan poly unsaturated : PUFA). Pada pasiendengan kadar trigliserid yang tinggi perlu dikurangi asupan karbohidrat, alkohol dan lemak (Tabel8).
fatQ acid
Aktivitas Fisik Pada prinsipnya pasiendianjurkan untuk meningkatkan aktivitas fisik sesuai dengan kondisi dan kemampuannya. Semua jenis aktivitas fisikbermanfaat, seperti jalan kaki, naik sepeda, berenang, dll. Penting sekali agarjenis olah
sesuai dengan kesepakatan kadar kolesterol-LDL merupakan sasaran utama pencegahan penyakit arteri koroner. Pada keadaan dimana kadar trigliserid tinggi misalnya > 400 mgldl makaperlu dimulai dengan golongan derivat asam fibrat untuk menurunkan kadar trigliserid, oleh karena kadar trigliserid yang tinggi dapat mengakibatkan pankreatitis akut. Apabila kadar trigliserid sudah turun dan kadar kolesterol-LDl belum mencapai sasaran maka dapat diberikan pengobatan kombinasi
dengan HMG CoA reductase inhibitor. Kombinasi tersebut sebaiknya dipilih asam fibrat fenofibrat jangan gemfibrozil. Dengan dikembangkannya obat kombinasi dalam satu tablet(fixed dose combinatioz), makapilihan obat mungkin akan mengalami perubahan. Sebagai contoh kombinasi lovastatin dan asam nikotinik lepas lambat (Niaspan) dikenal dengan nama Advicor telah dibuktikan jauh lebih efektifdibandingkan dengan lovastatin sendiri atau asam
t99l
DISLIPIDEIT,IIA
A
Jumlah faktor risiko
Gaya hldup sehat periksa ulang setiap 1-2 tahun atau 3-5 tahun bila kol-LDL45 highly suggestive,25-44 suggestive of impending storm, di bawah
kemungkinankecil. Pengobatan harus segera diberikan, kalau mungkin dirawat di bangsal dengan kontrol baik . IJmum. Diberikan cairan untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit (NaCl dan cairan lain) dan kalori (glukosa), vitamin, oksigen, kalau perlu obat sedasi, kompres es. . Mengoreksi hipertiroidisme dengan cepat: a). Memblok sintesis hormonbaru : PTU dosisbesat (load'
25
ing dose 600-1000 mg) diikuti dosis 200 mg PTU tiap 4
jam dengan dosis sehari total 1000-1500 mg); b). Memblok keluarnya cikal bakal hormon dengan solusio lugol (l0tetes setiap 6-8jam) atau SSKI (arutankalium
.
atau kortikosteroid. Pemberian hidrokortison dosis stres (100 mg tiap 8 jam
atau deksametason 2 mg tiap 6 jam). Rasional
.
pemberiannya ialah karena defisiensi steroid relatif akibat hipermetabolisme dan menghambat konversi perifer T4.
Untuk antipiretik digunakan asetaminofen jangan aspirin (aspirin akan melepas ikatan protein-hormon tiroid, hingga free-hormon meningkat). Apabila dibutuhkan , propranolol dapat digunakan,
.
sebab di samping mengurangi takikardi juga mengharnbat
konversiTo ) T, diperifer. Dosis20-40mgtiap 6jam. Mengobati faktor pencetus (misalnya infeksi)' Respons pasien (klinis dan membaiknya kesadaran) umumnya
.
terlihat dalam24 jam, meskipun adayang berlanjut hingga seminggu.
PENYAKIT GRAVES PADA WANITA HAMIL Secara klinis mende teksi Gravespada wanita hamil tidak selalu mudah, sebab banyak keluhan yang mirip dengan hipertiroidisme (keringat banyak, berdebar dan sebagainya). Diagrrosis biokimiawi ditegakkan dengan memeriksa hormon
Kriteria diagnostik untuk Krisis Tiroid Disfungsi Kardiovaskular Takikardi 99 - 109
Disfungsi pengaturan panas
Suhu
5
99- 99 0 1 00-1 00.9 '1
01-10 1 .9
102-102.9 03-1 03.9 >104.0 Efek pada susunan saraf Pusat Tidak ada Ringan (agitasi) Sedang (delirium,psikosis,letargi berat) Berat (koma,kejang) 1
10 15 20
110-119 120 - 129
25
130 - 139
30
>140 Gagal jantung Tidak ada Ringan (edema kaki) Sedang (ronki basal) Berat (edema paru) Fibrilasi atrium Tidak ada Ada Riwayat pencetus Negatif Positif
0
10 20 30
Disf ungsi gastrointestinal-hepar
Tidak ada Ringan (diare, nausea/muntah/nyeri perut) Berat (ikterus tanpa sebab yang jelas)
U
10
20
5 10
15 20 25 0 5 '10 '15
0 10 0 '10
Pada kasus toksikosis pilih angka tertinggi, > 45 highly suggestive,25-44 suggestlve of impending storm, di bawah 25 kemungkinan kecil.
Hipertiroidisme Subklinis
Hipotiroidisme Subklinis Prevalensi
!
Riwayat alamiah
wanita > pria (2-3x) usia lanjut > muda TSH pulih dalam 5% Hipoitiroidisme pd 5% kasus per tahun (risiko: wanita dengan Ab) 25-30% membaik dengan T4
Pengelolaan
60/o
!
1o/o
wanita > pria ( '1,5 x) usia lanjut > muda TSH pulih normal pada t55% Hipertiroidisme dalam t 10% (struma noduler berisiko)
Terapi dengan nodosa
1131
pada AF atau pada struma
2008
METABOLIKENDOXRIN
macam, AIT tipe I dan AIT tipe II, yang dibedakan karena AIT tipe
Ada penyakit tiroid sebelumnya Struma
Ml-upfake tL-6
Patogenesis
Terapi
I
AIT tipe ll
Ada
Tidak ada
Sering, difus atau noduler Normal atau tinggi Agak naik Sintesis hormon tiroid karena yod berlebihan Kalium perklorat,
Jarang Struma kecil dan difus Rendah - tertekan Banyak hormon sebab Tiroiditis destruktif Prednison
MMZ
troid, bebas (fl odan TSII), bukan hormon total. Sehubungan dengan pengelolaan pada wanita hamil perlu diingat hal sbb: l). Pengobatan radioaktif adalah kontaindikasi 2). kalau diperlukan operasi dapat dilakukan pada trimester kedua, 3. OAI dapat diberikan dengan dosis minimal yang masih efektif (meski semua OAI sama efektifnya, PTU lebih
dianjurkan). Karena aksis tiroid-hipofisis baru mulai berfungsi setelah 12 minggu gestasi, maka penggunaan OAT penuh di trimesterpertama masih aman.
Dianjurkan untuk memberi dosis OAI sedemikian hingga kadar tiroksin ibu berada dalam tingkat normal tinggi atau mildly thyrotoxic range. Jangan gunakan metoda blok-suplemen pada wanita hamil.
Hipertiroidisme Subklinis (HSK) HSKialahkeadaan dimana kadar TSH rendah danhormon tiroid bebas normal, 'tanpa' atau sedikit disertai tanda atau gejala tirotoksikosis. Penyebabnya: endogen (struma MN, nodul otonom, morbus Graves, tiroiditispostpartum) atau eksogen (kelebihan tiroksin). Dalam kurun waktu tertentu 55% TSH rendah akan naik, 3 5%o menetap. Kira kira l0% HSK berubah menjadi klinis. Wanita > 60th denganTSH<
mU/nrlber- RR 3.gxmengalami fibrilasi atrium dalam 10 tahun. Keluhan hipertiroidisme memang ku.ang klas @MD menuruq nadi lebih cepat, kadang AF, kontraksi jantung meningkat, biokimiawi : LDL menwun, 0. I
osteokalsinmeningkag CPKmeningkat, enzim hati meningkat).
Meskipun studi pengobatan secara sistematis belum banyak, namun banyak kasus denganAF dan HSK membaik dengan Ir3r atau karbimazol. Hingga sekarang memang belum ada konsensus tentang pemberian obat pada HSK ini. Perlu diperhatikan bahwa keadaan serupa (fT4 dan fT3 normal sedang TSH rendah) dapat terlihat akibat pengob atanatau resolusi spontan ov er t thyr o t oxi c o s is, karena supresi T SH yang persisten, dikenal sebagai lazy pituitary.
Am i od aro ne I nd u ced Thyrotoxicosrs (AlT) Karena sekarang banyak digunakan amiodaron dalam pengobatan gangguan kardiovaskul ar, maka di bawah ini disajikan keluhan, gejala serta pengelolaan Amiodarone Induced Tbxicosis (AIT). Gambaran klinik AIT ada dua
sebelumnya ada atatt tidak ada kelainan dasar tiroid. Penggunaan I tablet amiodaron 200mg mengekskresikan I 50.000 ug/yodium/24 jamatau I 00x kebutuhan manusia. Efek pada tiroid disebabkan karena amiodaron sendiri dan metabolitnya (desethyylamiodaron) yang jauh lebih kuat, mampu mengakibatkan tiroiditis destruktif.
REFERENSI Bartalena L, Pinchera A, Marcocci C. Management of Graves' Opthalmopathy: reality and perspectives. Endocrine Reviews, 2000;21:168-199. Billewicz WZ, Chapman RS, Crooks J, Day ME, Cossage J, Sir Edward Wayne and JA Young. Statistical methods applied to the diagnosis of hlpothyroidism. Quarterly J Med 1969; 150 :255. Braverman LE, Roti E. Iodine excess and thyroid firnction. In: 'The Thyroid and Iodine'. Eds. J Naumann, D Glinoer, LE Braverman, U Hostalek. Merck European Thyroid Sympsoium, Warsaw 1996. Schattauer, Stuttgartd new York, 1996 Burggraaf J, Lalezai S, Emeis JJ et al. Endothelial function in patients with hyperthyroidism before and after treatment with propanolol and thiamazol. THYROID 2001;11 : 153. Djokomoeljanto R, Davis JRF. Endocrine diseases. In: Drug benefits and riks. International Textbook of Clinical Pharmacology. Eds: CJ van Boxtel, Budiono Santosa and IR Edwards. Chichester Toronto: John Wiley and ons, Ltd; 2001.p 659. Dunn JT, Dunn AD. Thyroid physiology. In: Comprehensive Clinical Endocrinology. 3d edition. Editors: GM Besser, MO Thomer. Section 2 Chapter 10. Mosby 2002 Greenspan FS. The Thyroid Gland. In. Basic & Clinical Endocrinology. 7h edition. Editors FS Greenpan, DG Gardner, Lange Medical Books? New York-Toronto: mcGraw-Hill Medical Publishing Division;2004 Pinchera A, Vitti P, Chiovato L, Tonacchera M, Giachetti M. Stategy in the evaluation of the hypothyroidism and thyrotoxicosis in pregnant women. In: The Thyroid and pregnancy. Eds: Beckers
C, Reinein D.
Int'l Merck
Symposium in Brussels, 1991.
Schattauer, 1991. p. 95. Ross DS. Subclinical thyrotoxicosis. In: Werner & Ingbar's The Thyroid. A fundamental and clinical text. 86 ed. LE Braverman and RD tiger. philadelphia, Tokyo: Lippincott Williams Wilkins. A Woler Kliwer Co; 2000.p 1007 Stevenson JC, Chalal P. Aids to Endocrinology, Edinburg London Melbourne New York, Chur-chill Livingstone, 1986. Weetman AP. Chronic autoimmune thyroiditis . In: In: Werner & Ingbar's The Thyroid. A fundamental and clinical text. 8t ed. LE Braverman and RD Utiger. Philadelphia, Tokyo: Lippincott Williams Wilkins. A Woler Kluwer Co; 2000. p. 721. Werner & Ingbar's The THYROID, a fundamentral and clinical text. 9tl edition. In: L.E.Braverman, R. D Unger, editors.
Lippincott Williams & Wilkins; 2005.
Wiersinga WM, Krenning EP. Thyreotoxicosis.
In
Schildklierziekten. 2e druk. Bohn Stafleu Van Loghum. Houten/ Diegem 1998 (a) , pagina 95 Wiersinga WM, Krening EP Schildklierziektan. Tweede dnrk. Bohn Stafleu Van Loghum, Houten / Diegem 1998. Zantut-Wittman DE, Tambascia MA, da Silva Trevisan MA et al. Antithyroid drugs inhibit in vivo HLA-DR expression in thyroid follicular cells in Graves' disease. THYROID 11: 575, 2001.
313 GANGGUAN AKIBAT KURANG IODIUM R. Djokomoeljanto
PENDAHULUAN Sampai tahun 1960-an defisiensi yodium (DY) selalu dihubungkan dengan gondok, sehingga muncullah kata gondok endemik. Memang benar bahwa etiologi terpenting
dari gondok endemik ialah defisiensi yodium. Adapun kgadaan lain yang sering dihubungkan dengan gondok endemik ialah: faktor goitrogen, kelebihan unsur yodium, faktor nutrisi, faktor 'trace element' lain dan faktor genetik' Namun kemudian terungkap bahwa bagi manusia dampak
defisiensi yodium terbesar adalah adatya gangguan perkembangan susunan saraf pusat termasuk intelegensi' DY dengan mengganggu perkembangan otak manusia telahmenyebabkanberjuta juta orang menjadi kurang maju'
WHO menyebutkan bahwa secara global "'iodine deJiciency is the single most important preventable cause
of brain damage...Dai berbagai deklarasi internasional dimana Indonesia juga ikut menandatangani, muncullah semboyan sebagai berikut:
Every child has the right to an adequate supply of iodine to ensure his (or her) normal developments.... "' "' ......fo, the unborn child... Every mother has the right to an adequate iodine nutri' tion to ensure her unborn child experiences normal men'
tal development ............
laut. Hal ini terlihat jelas bahwa banyak daerah gondok endemik terjadi pada daerah berkapur dan daerah yang banyak mengalami erosi. Sumber yodium antara lain: a)' air lanah, tergantung sumber air berasal dari batuan tertentu (kadar paling tinggi apabila air ini bersumber dari igneous rock,900 uglkg bahan); b)' air laut mengandung sedikit yodium, sehingga kandungan yodium gararn rendah; c). plankton, garlggalg laut dan organisme laut
lain berkadar yodium tinggi sebab organisme ini
mengkonsentrasikan yodium dari lingkungan sekitarnya; d). sumber bahan organik yang berada dalarn oksidan, desinfektan, yodofor (iodophor), zat wama makanan dan kosmetik, dan vitamin yang beredar di pasaran menambah
yodium juga; e). ikan laut, cumi-cumi yang dikeringkan ang langkaini laut. Unsur ini melewati kembali ke daratan hujan dibawa oleh angin dan minum air umumnya Pada siklus laut udara daratan.
merupakan sumber yodium yang sangat terbatas' Kebanyakan unsur yodium didapat lewat makanan' Tumbuhan memperoleh yodium dari lahan di mana tanaman tumbuh, sehingga makin tinggi kadar yodium lahan, makin tinggi pula kadar yodium tanaman yang tumbuh disitu'
felirangan yodium berakibat jelek, tidak hanya untuk manusia tetapi juga untuk hewan.
Declarations from 1989, 1990' 1991' 1992
FAKTOR DEFISIENSI YODIUM YODIUM DIALAM Yodium termasuk unsur kelumit (trace elements). Meskipun
kadar yodiurn dalam air laut dan udara sedikit, tetapi merupakan sumber utama yodium alam. Karena yodium larut dalam air, maka erosi karena sebab apapun akan mengikisnya dari permukaan tanah dan membawanya ke
Defisiensi yodium merupakan sebab utama terjadinya
lah cara yodium ditimbun
dalam kelenjar tiroid atau diekskresikan lewat urin, Mengingat bahwa dalam keadaan seimbang, kecepatan
2010
METABOLIKENDOKRIN
clearance yodium konstan dan ekskresi bergantung pada kadar yodium plasma (dan ini bergantung pada resopsi di usus) maka secara praktis jumlah yang keluar dalam urin sepadan dengan yang masuk tubuh lewat resorpsi usus.
Klinis terbukti juga bahwa ada korelasi negatif antara ambilanyodium radioaktif dengan ekskresi yodium urin di berbagai daerah endemik. Belum ada kesepakatan akan kebutuhan tubuh atas yodium. Dengan dasar perhitungan P 1 I (plasma inorganic iodide) kebutuhan sehari diduga antaral00200 mg I untuk dewasa dan 200 ug I untuk usia akil baliq. Sebaliknya dari studi epidemiologis membuktikan bahwa 100 mg sudah dianggap cukup untuk menanggulangi gondok masyarakat dengan segala akibatnya. Korelasi negatif terlih at arfiara prevalensi gondok dengan masukan yodium serta ekskresi
apablla setelah yodium secara adekuat dibenkan tetapi tak
terlihat penurunan prevalensi gondok seperti yang diharapkan. Bagaimanapun juga, seperti di Zaire dan Columbia, defisiensi yodium tetap merupakan faktorpokok dan permissive terhadap timbulnya gondok dan bukan faktor tiosianat. Meskipun sayur kol bersifat goitrogen pada binatang, pada manusiahanya akan bersifat membesarkan gondok apabila orang tersebut makan dalam jumlah yatg amat besar (sampai 10 kg kol sehari). Terhadap kenyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa makanan atau zat yang
pada binatang berpotensi bersifat goitrogen, belum konklusif sebagai penyebab gondok pada manusia. Periksalah Tabel
I
dan Gambar 1.
yodium urin, lagipula pemberian yodium menurunkan prevalensi gondok endemik secara drastis. Kadang kadang kelainan ini ditemukan di tempat di mana nilai ekskresi yodium urin44lmg sehari seperti di Sri Langka, namun
juga di Hokkaido di mana yodium amat lebih tinggi. Sedangkan di
liatlaya,di
Lembah Mulia, dengan ekskresi yodium urin 13,6 ug sehari, PBI normal, tak ditemukan gondok maupun kretin endemik.
W'HO, Unicef dan ICCIDD menganjurkan kebutuhan yodium sehari sebagai berikut: . 90 mg untuk anakprasekolah (0 - 59 bulan) . 120 mg untuk anak sekolah dasar (6 - l2 tahun)
. .
Mekanisme yang
Kelompok
goitrogen
dipengaruhi Transportasi yodium
Tiosianat cyanogentc Glycosides
Oksidasi, organifikasi
Tioglikosid, isotiosianat, disulfid dan water borne goitrogens
l50mguntukdewasa(di atas 12 tahun) dan; 200 mg untuk wanita hamil dan wanita menyrsui
menganalisis makanan duplikat yang terdapat dalam makanan seseorang. Sedang untuk pemeriksaan tidak langsung dipakai berbagai cara : antara lain dengan memeriksa kadar yodium dalam urin, dan dengan studi kinetikyodium. Hasil observasi di atas jelas menunjukkan bahwa defisiensi yodium memang merupakan penyebab utama endemi ini, namun pada beberapa keadaan defisiensi yodium merupakan faktor yang mempermudah (per-missive
factor) bagi terjadinya gondok.
Dampak kelompok ini dapat dicegah dengan pemberian yodium cukup Banyak terdapat di alam: crucifera, cassava, rebung, ubi jalar, lima beans Efeknya tak dapat dihambat Hanya dengan yodium saja. Contoh: brambang, bawang, Brassica, yellow
Masukan yodium diperiksa dengan cara langsung maupun tidak langsung. Pemeriksaan langsung deng al cara
Keterangan
Proteolisis, penglepasan hormon dan dehalogenasi
Yodida (ganggang laut dan sebagainya)
Tiosianat (Glikosid Sianogenik)
Tioglikosid 'Goitrin'
lsotiosianat Disulfid 'Water - borne' Goitrogen
turnips Yodium lebih dari 2 gram sehari akan menghambat sintesis dan penglepasan hormon
Yodida (Rumput Laut) 'Coast Goiter'
FAKTORGOITROGEN
Goitrogen adalah zatlbahan yang dapat mengganggu hormonogenesis tiroid sehingga akibatnya tiroid dapat membesar. Sebagian besar efek goitrogen dibuktikan secara
pasti pada binatang percobaan, tetapi pada manusia perannya kecil. Secara epiderniologis hanya ada dua daerah endemis di mana goihogen penting. Pertama di pulau Idjwi, Zaire, karena cyano genicglucoside (liosianat) berasal dari
ketela; dan di Candelaria, Columbia, karena sulphurated hydrocarbon dalam airminum yang bersumber dari karang sedimen tertentu. Peran klinis goitrogen baru dipikirkan,
Gambar 1. beberapa goitrogen dan letak titik tangkapnya dalam proses hormonogenesis
20tt
GANGGUAN AKIBITT KI'RANG IODIUM
YODIUM BERLEBIHAN (lODlDE EXCESS) Yodium disebut berlebih apabila masukan melebihi jumlah yang diperlukan untuk sintesis hormon secara fisiologis' Syarat mutlak terjadinya iodide excess ialah masukan yodium dosis besar dan terus menerus, seperti halnya yang terjadi di Hok-kaido, Jepang. Mereka sangat suka akan ga;n1gang laut yang kaya yodium (mengandung I 4,5 g yodium/kg bahan kering). Dengan dosis besar yodium terjadi inhibisi hormono-genesis khusus yodinisasi tironin dan proses coupling nya. Pada pemberian secara kronik, dapat terjadi escape atau adaptasi terhadap hambatan tersebut.(vide Wolff-Chaifoff effect) Bila tidak mampu melaksanakan escape terhadap hambatani, maka ia akan
mengalami inhibisi hormoge-nesis dan terjadilah hipotiroidisme. TSH meninggi dan muncul gondok.
Dengan demikian kepentingan klinisnya tidak saja didasarkan atas akibat desakan mekanis yang ditimbulkan oleh gondok, tetapi justru gangguan fungsi lainyang dapat dan sering menyertainya seperti gangguan perkembangan
mental dan rendahnya IQ, hipotiroidisme dan kretin endemik.
GangguanAkibat Kurang Iodium (GAKI)
ata:u
lodine
Deficiency Disorders (IDD) adalah satu spektrum gangguan yang luas sebagai akibat defisiensi yodium dalam makanan yang berakibat atas menurunnya kapasitas intelektual dan fisik pada mereka yang kurang yodium ;
serta dapat bermanifestasi sebagai gondok, retardasi mental, defek mental serta frsik dan kretin endemik' Semua gangguan pada populasi tersebut akan tercegah dengan masukan yodium cukup pada penduduknya.
Epidemiologi GAKI
KONSEPGAKI
Telah banyak diterbitkan buku dan publi-kasi yang
Gondok endemik hingga kini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting, di Indonesia maupun di negara berkembang. Akhir ini masalah mulai mencuat kembali di Eropa. Seperti disebutkan di atas kalau dahulu
kita selalu ter-pancang pada gondok endemik
saja, sekarang kita lebih memfokuskan pada masalah gangguan
yang iebih luas yang digabung dalam GAKI atau IDD (GangguanAkibat Kekurangan lodinm, Iodine Deficiency Disorders), di mana akibat defrsiensi yodium merupakan satu spektrum luas dan mengenai semua segmen usia, dad fetus hingga dewasa. Dengan demikian jelaslah bahwa
melaporkan prevalensi serta penye-baran gondok endemik di dunia. Terakhir dila-porkan dalam MDIS Working Paper, 1993. Gondok memang sering ditemukan di daerah
pegunungan seperti pegunungan Alpen, Hima-laya, Andes, Bukit Barisan dan sebagainya. Meskipun'demikian terlihatjuga di dataran ren-dah seperti Finlandia, Belanda dan malahan ditepi pantai seperti di Junani, Jepang, pantai Ke-bumen di Jawa Tengah dan kepulauan Maluku'
Survei Epidemiologis Gondok Endemik Survei epidemiologis untuk gondok en-demik biasanya
gondok tidak identik dengan GAKI. Dari tabel terlihat gondok hanya merupakan sebagian kecil saja dari spektrum
didasarkan atas besamya kelenjar tiroid , dilakukan dengan
GAKI(Tabel2).
modifikasinya (1960):
metoda palpasi, menurut klasifikasi Perez atau (A)
Neonatus
Anak dan remaJa
Dewasa
Abortus Lahir mati (stillbirth) Anomali kongenital Meningkatnya kematian perinatal (PMR) Meningkatnya kematian anak (lMR) Kretin endemik tiPe neurologik Retardasi mental Bisu tuli Diplegia spastik Mata juling Kretin miksudematosa Cebol Defisit mental Hipotiroidisme Defek psikomotor Gondok neonatal Hipotiroidisme neonatal Gondok Hipotiroidisme juvenil Retardasi mental Gangguan perkembangan fisik lodine induced hyperthyroidism (llT) Gondok dengan segala akibatnYa Hipotiroidisme Gangguan fungsi mental Kepekaan thd radiasi nuklir meningkat
Grade0 :tidakteraba
GradeI : teraba dan terlihat hanya dengan kepala ditengadahkan
II
: mudah dilihat, kepala posisi biasa Grade Grade III : terlihat dari j arak tertentu
. .
Grade la : tidak teraba atau jika teraba tidak lebih besar dari kelenjar tiroid normal. Grade lb : jelas teraba dan membesar, tetapi umumnya tidak terlihat meskipun kepala posisi tengadah. Ukuran tiroid disebut normal apabila sama atau lebih besar dari
falangs akhir ibu jari tangan pasien
(c) Akhir ini kriteria palpasi disederhanakan untuk mencegah kesulitan membedakan grade Ia dan Grade Ib di atas dengan modifikasi sebagai berikut (2001) Grade O : tidak terlihat maupun teraba gondok
.
2012
.
Grade
METABOLIKENDOXRIN
I
: Gondok teraba tetapi tidak terlihat apabila
leher dalam posisi normal (tiroid tak terlihat membesar). Meskipun tidak membesar adany a n o dut mes?,tptm lidak membesar dimasukkan dalam grade ini.
.
Grade 2 : Pembengkakan di leher yang jelas terlihat pada leher dalam posisi normal dan pada palpasi memaflg memb es ar (kelenlar tiroid dianggap membes ar apabila besar setiap lobus lateral lebih dallvolume falangs terminal ibu jari pasienyang diperiksa.
Oleh sebab itu dianjurkan mulai dengan survei anak sekolah dahulu dan jika angka melebihi lO% maka dapat diteruskan dengan survei pada masyarakat seluruhnya. Penulis sendiri menganjurkan untuk mulai melakukan studi masyarakat apabila angka ini sama atau lebih dari 30% (termasuk grade I nya). Di samping untuk menilai berat ringannya defisiensi yodium, survei epidemiologis digunakan untuk mengikuti dampak pengobatan dan profilaksis. Di th 1974 k;riteira
WHO untuk satu daerah sebagai endemi yaitu
(D)
Untuk masa depan besarnya tiroid dianjurkan diperiksa dengan ultrasonografi, sebab cara ini mudah, peka, reliabel,
objektif dibanding palpasi. Nilai normatif volum tiroid berbeda dari satu populasi ke populasi lain. Di Indonesia, berdasarkan pemeriksaan 7447 anak sekolah usia 6-12
tahun dari propinsi Sumatra Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY dan Bali telah dibuat nilai normatif volume tiroid sebagai berikut (bandingkan nilai Eropa) Tabel 3.
Usia
lndonesia
(tahun) 6 7
5.4 5.7
8
6.'1
I
6.8
10
78
11
9.0
12
10.4
5.0 5.9 6.9 8.0 9.2 10.4 11 .7
Djokomoeljant et al. 2001
.
2.4 3.9 4.6 5.9
4.0 4.1 6.1
6.7 7.5
6.8
7.8
8.0
8.1
9.9
epidemiologis perlu dipikirkan faktor kerawan an yulner-
ability segmen (sejauh mana mudah terkena gangguan, danrespons biokimiawi maupunklinis yang terlihat akibat kekurangan maupun intervensi), terwakil inya repres entativeness penduduk secara menyeluruh, dan mudahnya
Angka berdasar 97 persentil
Dalam survei epidemiologi dapat digunakan duateknik deteksi a. memeriksa seluruh penduduk atau b. memeriksa satu kelompok terbatas (anak sekolah calon perwira, calon pegawai negeri, dan sebagainya). Dengan memakai cara pertama diperoleh angkapasti, menemukan gondok dengan berbagai variasi besar, menemukan kasus kretin endemik yang biasanya tak diperoleh pada survei terbatas, tetapi cara mengorganisasinya lebih sulit, butuh waktu, tenaga dan dana banyak. Dengan memakai cara kedua, cepat diperoleh kesan pada populasi tertentu, tetapi jelas akan
sulit menjumpai komplikasi yang sering menyertai defisiensi yodium berat, yaitu kretin endemik dan berbagai
kelainan lainnya. Juga gondok yang besar tidak akan dijumpai pada anak sekolah.
Tanpa Endemi
lndikator
gondok
Prevalensi 0.0- 4.9 o/o Kretin dan hipotiroidi Tidak ada
median creat
UEI pg l/dl pg l/gr
(N.8. UEI 5 pg
l/dl=50
pg
> 10 > 100
l/L)
ditemukannya 5%o gondokatau lebih pada penduduk usia remaja atau lebih muda, berderajat Ib atau apabila > 3Oy" populasi dengan gondok Iaatau >. Gondok dapat terjadi secara fisiologis pada wanita meskipun yodium cukup. Gondok dapat terjadi pada 4 5% penduduk normal. Untuk mudahnya endemi perlu mendapat perhatian apabila TGR (total goiter rate) > 5%o dan perlu mendapat pencegahan apabila >l\yo. Batas ini dipitih berdasarkan kenyataan bahwa prevalensi yang > l0o/oternyatadisebabkan akibat pengaruh faktor lingkungan, sedang di bawah l\Yo ifi dapat terladi meskipun tampaknya "semua" faktor telah disingkirkan. Namun akhir akhir ini para ahli sepakat untuk tetap menggunakan nilai 5%o sebagaibatas, sebab banyak ditemukan kelainan metabolik (T* yang rendah serta kenaikan TSH pada penduduk ketika prevalensi gondoknya ditemukan ant ara 5 l0o/o). Dalam memilih segmen penduduk yang dipantau secara
Endemi
ringan
% Tidak ada
5-19,9
50-9.9 >50
diperoleh datanya accessibility. Untuk ini yang diajurkan adalah segmen anak sekolah dan wanita hamil atau menyusui yang ada di KIA atau puskesmas.
Berat ringannya endemi
di samping dapat dinilai
dengan prevalensi, dapat juga dengan memeriksa ekskresi yodium urin (EYLI). Dalam keadaan seimbang yodium yang masuk tubuh dianggap sama dengan yang diekskresikan
lewat urin. Jadi pemeriksaan urin
dianggap
menggambarkan masukan yodium. Data yang dimaksud
dinyatakan sebagai jumlah mikrogram ekskresi yodium sehari (ug I-124 jam:urin) atau (karena sulit mendapatkan
sampel win 24 jam di lapangan), dinyatakan dalam mikrogram yodiumper gramlreatinin urin sewaktu (ug Vg kreatinin trin) atau ug I/dl urin.
Endemi sedang
20-29,90/o Kretin tidak terlihat jelas, namun risiko hipotiroidisme ada 2.0 - 4.9
25-50
Endemi
berat > 1
30o/o
-
10o/o
50 th Metastasis : metastasis jauh/tanpa metastasis jauh Extent: papilare intratiroid atau folikulare dengan infasi kapsul minimal/ papilare ekstratiroidal atau folikulare dengan invasi mayor Size : 5 cm/> 5 cm. Risiko rendah : I ). Setiap usia risiko rendah tanpa metastasis, 2). Usia risiko tinggi tanpa meta dan dengan ekstensi. dan ukuran tumor risiko rendah. Risiko tinggi : 1). Setiap pasien dengan metastasis, atau 2). Usia risiko tinggi dengan salah satu ekstensi atau ukuran tumor untuk risiko tinggi.
2036
METABOLIKENDOTRIN
DAMES (AMES + pemeriksaan DNA flow cytometry)
sel tumor dengan
AMES risiko rendah + DNA euploid : risiko rendah AMES risiko rendah + DNA aneuploid : risiko sedang AMES risiko tinggi + DNA aneuploid : risiko tinggi
AGES (Age, tumor Grade, tumor Extent, tumor Size) Skor prognostik : 0.05 x usiaft (kecuali usia 6.
MACIS (Metastasis, Age, Completeness of resection, Invasion, Size) Skor prognostik : 3.1 (usia40s), + 0.3 x ukuran tumor dalam cm, +l (ika diangkat tidak komplit), +1 (ika invasi lokal), +3 fiika metastasis jauh). Kategori risiko skor prognostik : 0-5.99; 6-6.99; 7-7.99;>8. Dengan pengelompokan faktor risiko prognostik tersebut, dapat diperkirakan angka kelangsungan pasien keganasan tiroid, seperti pada Tabel 2.
dan pemeriksaan petanda keganasan (tiroglobulin dab kalsitonin) serum.
Sintigrafi Seluruh Tubuh (Whote Body Scanning/ t/yBS) WB S dengan iodium radioaktif perlu dikerj akan 6- 1 2 bulan
setelah terapi ablasi pertama. Bila pada WBS tidak ditemukan abnormalitas, angka bebas kekambuhan dalam 10 tahun diprediksikan sebesar 90%. Sedangkan bila dari 2 kali WBS berturut-turut tidak ada kelainan, angka bebas kekambuhan diprediksikan sebesar 9l%o.Dalamhal tidak ada uptake yodium pada WB S tetapi terdapat peningkatan
kadar tiroglobulin serum, atau sebaliknya ditemukan
uptake
di daerah tiroid pada WBS meskipun
tiroglobulinnya tidak meningkat, direkomendasikan terapi ablasi 1r1-I ulangan dosis sama, atau dosis l5OmCi bila ditemukan adany a metastasis.
Ultrasonografi (USG) Ultrasonografi berperan pada evaluasi adanya kekarnbuhan atau adanya kelenjar getah bening (KGB) lokal
atau metastasis regional. Walaupun USG ini dapat digunakan untuk membedakan KGB jinak dari yang ganas (berdasarkan ukuran, bentuk, ekogenisitas), tetapi BAJAH guided AMES Rsk Group Overall suruival rate Disease free suruival rate
98o/o
54Yo
Pencitraan Lain
4SVo
Pemeriksaan pencitraan lain seperti CT scan,rongent dada,
9SYo
Risk Group
AGES PS 20-year suruival rate MACIS PS
20-year
perlu dilakukan untuk konfirmasi diagnostik
Tinggi
DAMES Disease free suruival rate
U,SG
adanya metastasis.
Rendah
92Yo PeEentil 85 BB sesuai TB gB > '120o/o dari BB ideal sesuai TB DAN Dua (2) Faktor Risiko
4. Tes Skrining
Dewasa > 45 tahun
ATAU ATAU
3. Faktor Risiko
Dewasa > 45 tahun
v,u^voo
,erYa,,ggu
\
Darah Puasa Terganggu (GDPT) Kondisi klinis yang berhubungan dengan rsistensi insulin (@: akantosis nigrikan)
. .
SindromPolikistikOvarium
PERLU PEMERIKSAAN TAMBAHAN, JIKA
Glukosa Darah Puasa (GDP).,,,........... '100-125 mg/dl (Pa-Diabetes) Glukosa Darah Puas .... ..1 126 mg/dl (Diabetes) Toleransi GlukosaTerganggu(TGT)....2iam,setelahT5grglukosa,nilai
(cDP),
>140-199(pr+Dhbetes),>20O(Diabetes)
5. Frekuensi
Hasil abnomal Ulangi tes pada hari berikutnya untuk diagmsis 2- Lakukan ren€na terapi termasuk modillkasi gaya hidup 3. Skrining dan terapi faktorrisiko Penyakit Kardiovaskular Hipertensi Dislipidemia Penggunaan tembakau
1
6, Hasil/tindakan
Hasil Nomal Skrining seperti 1 sampai 3
. . .
Gambar 1. Penapisan pre diabetes (Dante 2009), dimodifikasi dari WHO4
resistensi tersebut, antara lain disampaikan dalam bentuk
.
terminologi yang kemudian dikenal sebagai Sindrom Metabolik. Beberapa kriteria sindrom metabolik
Mikroalbuminuria:Albuminurin22Dm{mefitataurasio albumin:kreatinin> 30
disampaikan oleh:
ilt (THE US NATTONAL EDUCATTON PROGRAM ADULT TREATMENT PANEL ilt\,2001
NECP ATP
wHo (rHE woRLD HEALTH ORGANIZ}.TIOtI Diagnosis ditegakkan sedikitnya 3 dari gejala berikut:
Sindrom metabolik ditegakkan bila terdapat gangguan regulasi glukosa (DM, TGT atau TGPT) yang diikuti dengan sedikitnya 2k,riteriadi bawah ini: . Tekanandaruh> l40l90mmHg. . Dispilidemi: Total kolesterol > dan/atau HDL < 40 mgl
.
dl (laki-laki); < 50 mg/dl (wanita) Obesitas sentral: rasio lingkar perut/lingkar pinggang > 0.9 (aki-laki);> 0.85 (wanita) dan/atatindeks massa
tubuh>
3}kglrfi
.
Obesitas sentral,lingkarpinggarg> 102 cm (pria);> 88
. . . .
cm(wanita) Dislipidemia:Trigliseride> 150mg/dl Dislipidemia: HDL < 40 mgldl (pria); < 50 mg/dl (wanita) Tekanandarah> 130/85 mmHg Guladarahpuasa> ll0mg/dl
Pada perkembangannya, berbagai studi dilakukan di berbagai tempat untuk menilai seberapa sensitif dan spesifisik sindrom metabolik tersebut dapat digunakan
2085
PREDIABETES
untuk memprediksi diabetes dan penyakit jantung dan pembuluh darah pada kelompok ini. American Diabetes Association (ADA) dan The European Associationfor the Study of Diabetes (EASD), menyampaikan pernyataan bersama atas keberatan terhadap kriteria diagnosis sindrom metabolik untuk memprediksi diabetes. Pertama, bahwa berbagai studi dengan sampel yang besar menunjukkan bahwa faktor prediksi diabetes dengan menggunakan kriteria sindrom
resistensi menjadi dasar untuk patofisiologinya, ada beberapa penelitian yang mengukur resistensi insulin
metabolik sebagian besar hanya ditentukan oleh intoleransi glukosa saja. Kedua, pada pemakaian praktis diagnosis
tetapi selama ini, Framingham Score lidak banyak
sindrom metabolic tidak mempunyai kekuatan untuk memprediksi diabetes, tetapi lebih banyak dikaitkan dengan hubungan multivariat berbagai faktor risiko penjakit jantung dan pembuluh darah. Hingga saat ini belum ada satu tulisan pun yang dapat menjelaskan patofisiologi hubungan masing-masing komponen sindrommetabolik. Lebihjauh lagi, ada beberapa pertanyaan kunci yang harus dijawab berkaitan dengan sindrom metabolik, antara lain:
l.
Seberapa besar definisi sindrom metabolik dapat digunakan untuk kepentingan diagnosis? . Apakah sindrom metabolik dapat digunakan untuk memprediksi risiko penyakit jantung dan pembuluh
.
2.
darah?, adakah perbedaan risiko seseorang dengan satu saja kriteria dengan kriteria yang lengkap?
Apakah gejala yang timbul selalu terkait dengan patofisiologi penyakit jantung dan pembuluh darah? Apakah pengobatan pada seseorang dengan kriteria lengkap sindrom metabolik berbeda dengan sesorang yang tidak lengkap sindrom metaboliknya?
Kalau dilihat dua kriteria sindrom metabolik di atas, terdapat berbagai perbedaan, misalnya kriteria batasan tekanan darah. Mana yang lebih baikt Antara dua patokan di atas (WHO dan NCEPATP III),
terdapat perbedaan kriteria yang diperlukan untuk mengatakan sindrom metabolik, misalnya, mikroalbumin masuk dalam kriteria WHO, tetapi tidak pada kriteria AIP
m.
WHO menempatkan gangguan toleransi glukosa
menjadi sesuatu yang harus terpenuhi, tetapi tidak pada ATP III. Setiap kali revisi pada berbagai kriteria yang disampaikan tidak pernah didasarkan atas patofisiologi yang mendasarinya, tetapi lebih berdasarkan angka-angka dari hasil analisis studi yang desainnya berbeda-beda. Hal lain yang agak membingungkan adalah, bagaimana
secara langsung, dan ternyata tidak berhubungan dengan kriteria klinis yang disampaikanpada sindrom metabolik.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa Framingham Score, mempunyai kemampuan yang lebih baik untuk memprediksi diabetes dan PJK . Hal ini sesuai dengan hasil evaluasi Famingham Score jangka pendek oleh Grundy dan jangka panjang oleh Warmamethee. Akan digunakan secara luas karena tidak terlalu praktis untuk praktik klinik sehari-hari. Framingham s core leblhbanyak digunakan pada penelitian. Studi terakhir dari Wilson menunjukkan bahwa resiko relatif PJK sama pada 5 kriteria, 3 kriteria dan 1 kriteria.
Kurang lebih hingga kini ada 7 studi besar yang memperlihatkan bahwa risiko PJK antara simdrom secara keseluruhan dan masing-masing komponen saja, sama. Q0,23-29Bmpror).
Berbagai pusat studi dan asosiasi profesional (American Diabetes Association (ADA) dan European Associa-
tion
for
Study of DiaDeles (EASD)) mengetengahkan
pendekatan baru untuk menjawab polemik yang.timbul
pada istilah sindrom metabolik, yang sesungguhnya adalah identifikasi dari kelompok yang mengalami resistensi
insulin, yang dulu dikenal sebagai pre diabetes. ini disebut Cardiometabolic Risk A ssessment (CRA). CRA berusaha untuk memprediksi Pendekatan baru
kelompok risiko diabetes dan PJK pada kelompok pre diabetes tersebut. CRA menempatkan faktor resiko klasik DM dan PJK sebagai komponen terpisah (profil lipid,
perokok, Gangguan Toleransi Glukosa, peningkatan tekanan darah) ditambah berbagai parameter yang terkait
dengan obesitas sentral seperti resistensi insulin, gula darah yang meningkat, faktor inflamasi (CRP, TPAI- I , TNFa) serta perubahan fungsi pembekuan (peningkatan fibrinogen).
Titik tolak baru yang significant pada pendekatan ini adalah orientasi yang lebih serius pada obesitas sentral. Jaringan lemak sentral melepaskan berbagai mediator
bioaktif tidak hanya mempengaruhi homeostasis berat badan, tetapi juga resistensi insulin, yang kemudian berpengaruh pada berbagai faktor risiko diabetes dan PJK.
PENATALAKSANAAN
dua faktor bisa dijelaskan saling berhubungan untuk menggambarkan resistensi insulin?. Lebih lanjut lagi, mengapa hanya 3 kriteria yang
digunakan?, mengapa tidak satu, dua, empat atau keseluruhannya?. Apabila resistensi insulin adalah faktor
Kita semua sepakat bahwa managemen penatalaksanaan diabetes tipe2 harus dilakukan secara intensif. Berbagai konsensus yang disampaikan oleh PERKENI (Persatuan
Endokrinologi Indonesia), American Diabetes
yang mendasari, mengapa tidak memasukkan kriteria
Association (ADA), American Association of Clinical
umur? (berbagai penelitian menunjukkan umur merupakan
Endo crino I ogy (AACE) dan sebagainya, secara konsisten
prediktor yang kuat untuk resistensi insulin). Apabila
memberikan rekomendasi kunci untuk menurunkan
2086
METABOIJKENT'OIRII\
komplikasi diabetes jangka panjang dengan target kadar AIC senormal mungkin. The Diabetes Complications Control and Complication Trial (DCCT) menggunakan acuan noflnalAlC kurang dari6.l%. Ironisnya, dengan berbagaijenis terapi yang telah digunakan, lebih dari 15 tahun, kita hanya dapat mendapatkan kurang leblh 56% pasien DM tipe 2 yatgdapat mencapai AIC < 7 (2)
Kita tidak dapat menyalahkan pasien
karena
ketidakmampuan mereka mencapai kontrol gula darah yang baik. Diabetes adalah kelainan progesif yang merupakan perpaduan antara resistensi insulin dan penurunan fungsi sel beta. Dengan tidak ada jaminan bahwa semua pasien akan patuh untuk menjaga diit dan aktivitas frsilg diperlukan berbagai 'penyesuaian' agar target kontrol gula darah dapat tercapai. Tentu saja semua itu bisa terlaksana kalu kita melakukan pendekatan terapi berdasarkan patofi siologi diabetes.
Berbagai studi menunjukkan bahwa fungsi beta sel pankreas sudah mulai menurun pada pasien dengan pre diabetes. Pasien prediabetes dengan TTGO 180-199 mgl dL, telah mempunyai penurunan fungsi sel beta sebanyak 75-80% dan masa sel beta pankreas hanya 50o/o saja.. Sebagian dari mereka, ketika benar-benar menjadi diabetes sebenarnya telah mengalami komplikasi mikro dan makroangiopati jauh-jauh hari sebelumya, . Berbagai penelitian menyampaikan bahwa pre diabetes dapat dikurangi risikonya menjadi diabetes dengan melakukan perubahan pola hidup yang berkaitan dengan
peningkatan resistensi insulin seperti menurunkan obesitas, mengatasi dislipidemia, meningkatkan aktivitas
fisik yang berkaitan
dengan pembakaran kalori d11. Kesulitannya adalah bahwa hanya sebagian sangat kecil
saja penyandang GDPT dan TGT yang mampu mempertakankan pola hidup yang diajarkan secara baik dalamjangka waktu yang lama. Terapi medika mentosa untuk pre diabetes sampai saat
ini hanya direkomendaskan apabila terdapat kondisi disfungsi metabolik yang menyertainya, misalnya: . Mengatasi hipenensi,
. . . .
Memperbaikiprofillipid. Menurunkanproteinuria. Menurunkanhiperurisemia. Mengatasi gangguan fungsi hemostasis dan agregrasi trombosit.
Beberapa studi mulai dilakukan untuk melukan pendekatan penatalaksanaan secara prinsipil pada kelompok pre diabetes. Pendekatan terapi tersebut saat ini berpegang pada bagaimana mengatasi patofisiologi risiko yang mungkin timbul pada pasien pre diabetes apabila perj alanan "kelainannya" dibiarkan. Pendekatan terapi di masa dating adalah: l. Menurunkan resistensi insulin di perifer. 2. Meningkatkan sekresi insulin di pankreas 3. Melalerkan preservasi frrngsi sel beta pankreas
4. Melindungi berbagai 5.
komplikasi jangka panjang dan jangka pendek yang berkaitan dengan risiko kelainan vaskular Mengurangi berat badan dan obesitas sentral secara efektif.
REFERENSI
1. 2.
3.
Engelgau
MM, Geiss LS, Saaddine JB, Boyle
JP, Benjamin SM,
AH Ford ES et al. The evolving diabetes burden in United State. Ann Intern Med. 2004;140:945-950 Haffnq SM, Lehto S, Ronnemma T, Pyorala K, Laakso M. Mortality from coronary heart disease in subjects with type 2 diabetes and in nondiabetic subjects with and without prior myocardial infarction. N Eng J Med. 1998;339:229-234
4.
Reaven GM. Role of Insulin resistance in human disease. Diabetes 1988;37:1595-1607 World Health Organization: Definition, Diagnosis, and Classification of Diabetes Mellitus and its complication: Report of
5.
WHO consultation. Geneva, World Health Org 1999 Chel KI, Abbasi F, Lamendola C, Mclaughlin I Raeven GM, Ford ES. Relationship to Insulin resistance of the Adult Panel
III
diagnostic criteria for identification of metabolic syndrome.
Diabetes 2004 ;53 : I 19 5 -l 200 6. Liao Y, Kwon S, Shaughnessy S, Wallace B Hutto R Jenkins AJ, Klein RL, Garvey WT. Critical evaluation of Adult Treatment Phanel III criteria in identifying insulin resistance with dyslipidemia. Diabetes Carc 2004;27 :97 8-983 7. Mclaughlin I Abbasi 4 Cheal K Chu J, Lamendola C, Raeven G Use of metabolic markers to identiff overweight individuals who are insulin resistant. Ann Intem Med 2003;139:802-809 8. Wannamethee SCa Sharper AG, Lennon L, Moris RW Metabolic syndrome vs Framingham Risk Score for prediction of coronary heart disease, stroke, and type 2 diabetes mellitus. Arch Intern Med 2005; 165:2644-2650 9. Wilson PW, D'Agostino RB, Parise H, Sulivan L, Meigs JB. Metabolic Syndrome as a precursor of cardiovascular disease and type 2 diabetes mellitus. Circulation 2005;112:3066-3072 10. Golden SH, Folsom AR, Coresh J, Shanett AR, Szko M, Brancati F. Risk factor groupings related to insulin resistance and their synergistic effects on subclinical atherosclerosis: the atherosclerosis risk Community Study. Diabetes 2002;51:3069-76 11. Yarnell JW, Patterson CC, Bainton D, Sweetnam PM. Is metabolic syndrome a discrete entity in general population? Evidence from Caerphilly and Speedwell population studies 1998:'79:248-252 12. McNeill AM, Rosamond WD, Girman CJ, Golden SH, Schmidt MI, East HE, Ballatyne CM, Heiss G The metabolic syndrome and I 1 year risk of incident cardiovascular disease in the
Atherosclerosis Risk
in Community Study.
Diabetes Care
2005;2 8:3 85 -3 90
13. Sattar N, Gaw A, Shcherbakova O, Ford I, O'Reilly DS, Itrafher SM, Isles C, Macfarlane PW, Packard CJ, Cobbe SM, Shepherd J. Metabolic syndrome with and without C-reactive protein as a predictor of coronary heart disease and diabetes in the West of Scotland Coronary Prevention Study. 2003:108:414-419 14. Alexander CM, Landsman PB, Teutsch SM, Hafftrer SM. NCEP-
defined metabolic syndrome, diabetes, and prevalence of coronary heart disease among NHANES II participants age 50 years and older. Diabetes 2003;52:1210-7214
PREDIABETES
1
5. Eberly LE, Pineas R, Cohen JD, Vazques C\ Zhi X, Neaton JD, Kuller LH. Metabolic syndrome :risk factor distribution and 18-year mortality in the multiple risk factor intervention trial. Diabetes Care 2006;29 :123 -130 Sundstrom J, Vallhagen E, Riserus U, Bysberg L. Beme C, Lind L, Ingelsson E. Risk associated with the metabolic syndrome versus the sum of its individual components. Diabetes Care 2006;29:1673-167 4
16.
2087
View more...
Comments