PAPDI 239-289 Kardiologi
March 26, 2017 | Author: Edward Arthur Iskandar | Category: N/A
Short Description
Download PAPDI 239-289 Kardiologi...
Description
239 ELEKTROKARDIOGRAFI Sunoto Pratanu, M. Yamin, Sjaharuddin Harun
PENDAHULUAN
dirangsang, sifat permeabel membran berubah sehingga
Sejak Einthoven pada tahun 1903 berhasil mencatat
ion Na* masuk ke dalam sel, yang menyebabkan potensial membran berubah dari -90 mV menjadi +20 mV (potensial diukur intraselular terhadap ekstraselular). Perubahan
potensial listrik yang terjadi pada waktu jantung
potensial membran karena stimulus
berkontraksi, pemeriksaan eleklrokardiogram @KG) menjadi pemeriksaan diagnostik yang penting. Saat ini pemeriksaan jantung tanpa pemeriksaan EKG dianggap kurang lengkap.
ini
disebut
depolarisasi. Setelah proses depolarisasi selesai, maka potensial membran kembali mencapai keadaan semula, yang disebut proses repolarisasi.
Beberapa kelainan jantung sering hanya diketahui berdasarkan EKG saja. Tetapi sebaliknya juga. jangan memberikan penilaian yang berlebihan pada hasil pemeriksaan EKG dan mengabaikan anamnesis dan
PotensialAksi Bila kita mengukur potensial listrik yang terjadi dalam sel otot jantung dibandingkan dengan potensial di luar sel, pada saat sel mendapat stimulus, maka perubahan potensial yang terjadi sebagai fungsi dari waktu, disebut
pemeriksaan fisik. Keadaan pasien harus diperhatikan secara keseluruhan, misalnya umur, jenis kelamin, berat badan, tekanan darah, obat-obat yang diminum, dan sebagainya. EKG adalah pencatatan grafis potensial listrik yang ditimbulkan oleh jantung pada waktu berkontraksi.
potensial aksi. Kurva potensial aksi menunjukkan karakteristik yang khas dan dibagi menjadi 4 fase yaitu: Fase 0: awal potensial aksi yang berupa garis vertikal ke atas yang merupakan lonjakan potensial hingga mencapai +20 mV Lonjakan potensial dalam daerah intraselular ini disebabkan oleh masuknya ion Na+ dari luar ke dalam sel.
KONSEP DASAR ELEKTROKARDIOGRAFI
Sifat-sifat Listrik Sel Jantung
Fase 1: masa repolarisasi awal yang pendek, di mana potensial kembali dan +20 mV mendekati 0 mV.
Sel-sel ototjantung mempunyai susunan ion yang berbeda antara ruang dalam sel (intraselular) dan ruang luar sel
Fase 2: fase datar di mana potensial berkisar pada 0 mV. Dalam fase ini terjadi gerak masuk dari ion Ca** untuk mengimbangi gerak keluar dari ion K*.
(ekstraselular). Dari ion-ion ini, yang terpenting ialah ion Natrium (Na*) dan ion Kalium (Kt). Kadar K* intraselular
sekitar 30 kali lebih tinggi dalam ruang ekstraselular
Fase 3: masa repolarisasi cepat dimana potensial kembali secara tajam pada tingkat awal yaitu fase 4.
daripada dalam ruan g i ntraselul ar.
Membran sel otot jantung ternyata lebih permeabel untuk ion negatif daripada untuk ion Na*. Dalam keadan istirahat, karena perbedaan kadar ion-ion, potensial
Sistem Konduksi Jantung Pada umumnya, sel otot jantung yang mendapat stimulus dari luar, akan menjawab dengan timbulnya potensial aksi, yang disertai dengan kontraksi, dan kemudian repolarisasi yang disertai dengan-relaksasi. Potensial aksi dari satu
membran bagian dalam dan bagian luar tidak sama. Membran sel otot jantung saat istirahat berada pada keadaan polarisasi,dengan bagian luar berpotensial lebih
positif diban dingkan dengan bagian dalam. Selisih ini disebut potensial membran, yang dalam
sel otot jantung akan diteruskan ke arah sekitarnya, sehingga sel-sel otot jantung di sekitarnya akan
potensial
keadaan istirahat berkisar -90 mV. Bila membran otot jantung
t52
L524
KAR.DIOLOGI
mengalami juga proses eksitasi, kontlaksi. dan relaksasi. Fenj al aran peristi wa iistrik i rri di sebut konduksi . Beriainan dengan sel-sel jantung biasa, dalam.jantung
teldapat kunrpulan sel-sel jantung khLrsus yang mempunyai sii'at dapat rnenimbulkan potensial aksi sendiri tanpa ardanya stirrulus dari luar. Sifat sel-sel ini discbut sifat automatisitas. Sel-sel ini terkunipul dalam suilu sistenr 1,ang clisebut sistem konduksi jantung. Sistem kondr-rksi jantung terdiri atas : Simpul Sinoatrial (sering disebut nodus sinus, disingkat sinus). Sinrprll ini terletak pada batas antara vena kava su-
Sistem konduksi intra atrial. Akhir-akhir ini dianggap bahwa dalarr-r atrium terdapat jalLrr-jaiur khLlsus sistern konduksi jantung 1,ang terdiri dari 3 jalur internodal yang menghubur.r-ekan simi:rul sino-atrial dan sirnpul atrioventrikular, dan jalur Bachman yang rlenghubungkan atr-iur.n kanan dan
atriurlkiri.
Simpul ario-ventrikular (sering disebut nodus atrioventrikular disingkat nodus). Simpu! ini terletak di bagian bawah atrium kanan. antirra sinus koronarius dan daurr katup trikuspid bagian septal. Berkas His. Berkas His adaiah sebuah berkas pendek
perior dan atriunr kanan. Simpul ini mempLrnyai sifat
yang merupakan kelanjutan bagian bawah simpul
alrtomatisitas yang tertinggi daiam sistem konduksi jlntung.
atrioventrikuiar yang rnenernbus anulus fibrosLrs dan septum brigian membrau. Sinrpr-rl atriorenirikular bersarra berkas IIis disebut penghubung aino-ventrikular'.
Cabang berkas. Ke arah distal, berkas His bercabang menjadi dua bagian, yaitLr caban-s berkas kiri dan cabang berkas kanan. Cabang berkas kiri membelikan cabangcabang ke ventrikel kiri, sedangkan cabang berkas kanan bercnbang-cabang ke alah ventrikel kanan. Gamball. Sel otot jantung dalam keadaan isiirahat
membran
sel dalam keadaan polarisasi
0
K+
Na'
Fasikel. Cabang berkas kiri bcrcabang menjadi duabagian. ,v..aitu tasikel kiri anterior dan fasikel kiri posterior.
Serabut purkinje. Bagian terakhir clari sisterr konduksi jantLrng ialah serabut-serabut PLrrkinje. yang merupakan anyaman halus dan berhubungan erat dengan sel-sel otot 0mV
0
Gambar 2. Sel otot jantung mengalami aktivasi, membran sel dalam keadaan depolarisasi
Jantun-9.
Pengendalian Siklus Jantung Pengendali utama siklus iantung ialah simpul sinus yang
mengawali tirnbulnl,a potensial aksi yang diteruskan melalui atriunr kanan dan kiri menuju -qimptrl AV, tertLs ke berkas His. selanjutnva kc cabang berkas kanan dan kiri. dan akhirn_va nrencapai serabut-serabLrt Purkinje.
lmpuls listrik yang ditemskan melalLri atlium :st:r:hat '1.',,ai-isasi)
(d
klir'asi
.
olarrsasi)
Reoo,arrsa:r
Garnhar 3. Proses aktivasi otot jantung Suatu stimulus listrik menyebabkan aktivasi yang disusul dengan repolarisasi
S mpul SA
Jalur bachman Ja ur-jalur internodal
SLmpulAV
Berkas HIS Cabang be.kas kiri Cabang berkas kanan Fasikel kin oosterior Fasikel kirl anierior
Serabut Purkinj--
Garnbar 4. Sistem konduksi jantung
rrenvebabkan depolarisasi atrium. sehingga terjadi sistol
atrium. Impuls yang kemudian mcncapai simpul
AV,
mengalami perlambatan konduksi, sesuai dengan sifat fisiologis simpul AV. Selanjutnya, impuls yang rnencapai serabut-serabut Purkinje akan menyebabkan kontraksi otot-otot ventrikel secara bersamaan sehingga terjadi sistol ventrikel. Karena merupakan pengendali utarna siklus jantung. simpul sinus disehtrt pelnacu janlung utrlrna.
Gambaran Siklus Jantung pada Elektrokardiograrn Elektrokardiogram (EKC) adalah rekanran potensiel listrik yang tinbul sebagai Lrkibat aktivitas iantung. Yan-e drLpat clirekam adalah aktivitas lisLrik yang tim[rul pada waktu otot-otol jantung berhontraksi. Sedangkan potensial aksi pada sistem konduksi jantung tak terukur dari luar karena terlalu kecil.
1525
FI F"KTROKAtrTDIOGRAFI
Rekaman EKG biasanya dibuat pada kertas yang berjalan dengan kecepatan baku 25 mm/detik dan clet'leksi l0 mm sesuai dengan potensial I m\l Ganrbaran EKG yang normai menunjukkan bentuk dasar sbb:
Elektroda TKa selalu dihubungkan dengan bumi untuk menjan.rin potensial nol yan-u sttrl-.i1.
Gelombang P. Gelombang ini pada umumnya berukuran kecil dan mertLpakan hasil depolarisasi attiurr kanan dan kiri. Segmen PR. Segmen ini rnerupakan garis isoelekti'ik lrnpo menghubungkan gelombang P dan gelombang QRS.
Gelombang Kompleks QRS. Gelombang kompleks QRS ialah suatu kelompok gelombang yang merupakan hasll depolarisasi verrtrikel kanan dan kiri. Celombang kompleks QRS pada umumnya terdili dari gelombang Q yang tnerupakan gelombang ke bawah iiang pefiama, gelornbang
R yang merupakan gelontbang ke atas yang pertama, dan gelornbang S yang nerupakan geiombang ke bawah pertama setelah gelombang R.
Gambar 6. Elektroda-elektroda ekstremitas
Segmen ST. Segmen ini merupakan garis isoelektrik yang men-uhubungkan korrpleks QRS dan gelomban_u T.
Gelombang T. Gelombang
T
merupakan potensial
repolarisasi ventrikel kanan dan kiri.
Gelombang U. Gelombang ini berukuran kecil dan seling tidak ada. Asal gelornbang ini masih belum jelas. Gelomban-s \i an-s mcrupakan hasii repolarisasi ulriun.r sering tak dapat dikeniili karena berLrkurar kecil dan 'biasanya
terbenam dalarn ge lornbang QRS. Kaclan-u-kaclang
gelombang repolarisasi atrir-rm ini bisa terlihat jelas pada se-glrren PR atau ST. dan disebut Ta. -eelornbang
Elektroda-elektroda prekordial diberi nama-nama V I srirnpai V6, dengan lokalisasi sebagai berikut: Vl : garis parasternal kanan, pada interkostal lV \2 : garis parasternal kiri, padainterkostal IV
\B : titik
tengah antara V2 dirn V4.
V4 : garis k1al'ikula tengah, pada interkostal V, V-i : garis aksila depan. sama tinggi dengan V.1, V6 : saris aksila tengah, sama tinggi dengan V:l dan VS.
Kadang-kadang cliperlLrkan elektroda-elektroda prekordial sebelah kanan. yang disebut V3R. V,lR, VSR dan V6R irang letaknya berseberangan clengan V3. V4, V5 dan v6.
RR RR
T K avlku a U
Kosta
I
Kosla li PR
PP
Kosta ili Kosta lV Kosta V
Gambar 5. Bentuk dasar EKG dan nama-nama interval
Kosta lV
Sandapan-sandapan pada Elektrokardiografi Untuk nrembuat rekaman EKC. pada tubuh dilekatkan elektroda-elektroda yang dapat men eruskan poten si al I i stri k dari tubuh ke sebuah aiat pencatilt potensial yang disebut elektrokardiograf. Pada rekarnan EKG yang konvensional dipakai 10 bLrah elektroda, yaitu 4 blrah elektroda ekstremitas dan 5 bLrah elektroda plekotdial. Elektrodaelektroda ekstremitas masing-masing dilekatkan pada: lengan kanan (LKa), lengan kiri (LKi), tungkai kanarr (TKa), tungkai kiri (TKi).
Gambar 7. Elektroda-elektroda prekordial
Sandapan Standard Ekstrernltas Dari elektroda-elektroda ekstremitas diclapatkan sandapan dengan rekaman potensial bipolar yaitu
o | = Poiensial LKi -Potensial LKa o l] = Potensial LKa -Potensial TKi . III = Potensial TKi -Potensial LKi
:
1526
I(ARDIOLOGI
Untuk mendapatkan sandapan unipolar, gabungan dari sandapan I, II dan III disebut Terminal Sentral dan
dianggap berpotensial nol. Bila potensial dari suatu elektroda dibandingkan dengan terrninal sentral, maka didapatkan potensial mutlak elektroda tersebut dan sandapan yang diperoleh disebut sandapan unipolar.
Sandapan-sandapan berikut sandapan unipolar yaitu:
ini
semuanya adalah
Sandapan prekordial. Sesuai dengan nama-nama el
ektrodany a, sandapan prekordi al disebu
r V 1,V2.V3,V4,V5,
Gambar 8. Vektor V dengan proyeksinya pada bidang F (VF)
dan pada bidang H (VH) Selanjutnya VH dan VF dapat diproyeksikan lagi pada sumbu-sumbu yang dibuat pada bidan
danV6. Sandapan ekstremitas unipolar. Sandapan ini menunjukkan
potensial mutlak dari masing-masing ekstremitas, yaltu
. . .
H
dan F
Penelitian menunjukkan bahwa letak sumbu-sumbu ittr
:
ialah sebagai berikut : 0 - pusal jxntung
aVR = Potensial LKa
aVL=Potensial LKi aVF = Potensial Tungkai
KONSEP VEKTOB PADA ELEKTROKARDIOGRAFI Karena gaya listrik mempunyai besar dan arah. maka ia adalah sebuah vektor. Suatu vektor dapat dinyatakan dengan sebuah anak panah dengan arah anak panah menunjukkan arah vektor dan panjang anak panah
I tr
=
garis mendatar 00 membuat sudut 600 dengan I, searah jarum jam. yaitu +60')
m
=
+1200
aVR =
a\il- aVF =
-150) - 300
+9if
menyatakan besarnya vektor. Dalam satu siklus jantung,
terjadi gaya listrik pada saat depolarisasi atrium, ventrikel, dan repolarisasi
ventrikel. Pada rekaman disebut sebagai gelombang P, QRS dan T. Yang sebenarnya gelombang P, QRS, dan T ini adalah vektor-vektor ruang yang selalu berubah-Lrbah besar dan arahnya sehingga disebut vektor P, vektor QRS, dan vektor T. Untuk mempelajari vektor pada umumnya dipakai suatu sistem sumbu. Untuk vektor ruang. dipakai sistem sumbu ruang yang terdiri dari tiga buah bidang yang saling tegak I urus. Untuk mempelaj ari vektor-vektor li strik pada j antun g, ketiga bidang berikut ini dipilih : bidang Horisontal. (H), bidang Frontal (F) dan bidang Sagital (S). Untuk keperluan elektrokardiografi yang konvensional, cukup dipakai dua bidang saja yaitu bidang H dan bidang F . Selanjutnya vektor-vektor yang proyeksinya pada bidang F dan H dapat diproyeksikan lagi pada garis-garis sumbu yang dibuat pada bidang F dan bidang H.
Dari sandapan-sandapan konvensional, ternyata sandapan-sandapan yang diperoleh itu terletak dalam bidang frontal dan bidang horizontal sebagai berikut L Pada bidang frontal: I, II, III, aVR, aVL, aVF II. Pada bidang horisontal : Vl, V2,V3,V4, V5, V6
6o' r
ill+
6o'
aVF'
Gambar 9. Sistem sumbu pada bidang frontal
Sistem Sumbu pada Bidang Horisontal Sesuai dengan nama sandapan, maka sumbu- sumbu pada
bidang horisontal disebut sebagai berikut Yg = garis mendatar 0(l Y5=+220
:
Y4=4lo V3 =+580 Y2=+94t)
Vt
=+1150 K.K
:
Sistem Sumbu pada Bidang Frontal
I
v3(58")
Sesuai dengan nama sandapan, maka sumbu-sumbu pada bidang frontal disebut sumbu I, II, III, aVR, aVL, dan aVF.
Gambar 10. Sistem sumbu pada bidang horisontal
r527
FI FKTROKAIIDIOGRAFI
Bila selama siklus jantung kita tinjau vekltor-vekor listrik yang timbul, maka selama depolarisasi atrium, terjadi vektor P dalam ruang yang dimulai dari nol, muncul dengan besar dan arah yang berubah-ubah dan akhirnya menjadi nol lagi. Bila vektor P ini diproyeksikan pada bidang H dan bidang F. maka terdapat garis tertutup yang mulai dari titik awal 0
dan kembali lagi pada
titik 0. Garis
(bila ada) satu sandapan yang mempunyai jumlah aljabar
defleksi nol (defleksi positif sama dengan defleksi negatif). Maka sumbu QRS adalah tegak lurus pada sandapan ini. Dalam menentukan arah sumbu QRS, dapat
ditinjau salah satu dari sandapan iainnya, untuk memilih satu dari dua arah.
tertutup yang
menggambarkan perjalanan dari vektor P ini disebut bulatan P.
Jadi depolarisasi atrium menghasilkan bulatan P pada bidang F dan juga pada bidang H. Demikian juga selama depolarisasi ventrikel, timbul bulatan QRS pada bidang F dan bidang H. Pada repolarisasi dari ventrikel timbul juga
bulatan T. Dari ketiga bulatan vektor itu, bulatan vektor QRS ialah
yang terpenting dan terbesar ukurannya. Suatu vektor yang menjalani bulatan vektor, besar dan arahnya selalu berubah-ubah. Tetapi selama perubahan itu, dapat ditentukan satu vektor yang merupakan ratarata atau sumbu listrik. Secara pendekatan, sumbu listrik ialah vektor yang membagi bulatan vektor menjadi dua yang sama. Sumbu listrik merupakan sifat penting dari masing-masing ruang jantung.
Gambar 12. Menentukan sumbu lisirik QRS pada bidang frontal dengan menggunakan sandapan I dan aVF V adalah sumbu ORS
Untuk lebih tepatnya, yang diukur bukan tingginya defleksin, tetapi dari luas area yang berada dj bawah defleksi itu.
Kelainan Sumbu QRS pada Bidang Frontal Sumbu QRS pada bidang frontal yang dianggap normal bervariasi antara -300 hingga +900. l. Sumbu QRS antara -30" hingga -900 disebut deviasi
sumbukekiri (DSKi)
2. Gambar 11. Bulatan vektor QRS pada bidang F.
1,2,3,
dan 4
adalah beberapa kedudukan vektor dalam perjalanannya membentuk bulatan QRS M adalah vektor rata-rata atau sumbu listrik
3.
Sumbu QRS antara +900 hingga - 1800 disebut deviasi sumbu ke kanan (DSKa) Sumbu QRS antara +1800 hingga -900 disebut sumbu superior.
Menentukan Sumbu QRS pada Bldang Horisontal
SUMBU LISTRIK VEKTOR QRS Sumbu listrik vektor QRS dapat disingkat dengan sumbu QRS saja. Sumbu QRS dapat ditentukan dari hasil rekaman EKG konvensional.
Menentukan Sumbu QRS pada Bidang Frontal
Dari 6 sandapan yang ada pada bidang F, 2 sandapan sudah cukup untuk menentukan sumbu QRS. Untuk praktisnya penentuan sumbu QRS dapat dilakukan dengan beberapa eara, antara lain : l). Pilih 2 sandapan yang termudah yaitu saling tegak lurus misalnya I dan aVF. Tentukan jumlah aljabar defleksi pada masing-masing sandapan dan gambarkan sebagai vektor pada masing-
masing sumbu. Dari kedua vektor
ini
dapat dibuat
resultante yang menggambarkan sumbu QRS; 2). Pilihlah
Pada dasarnya menentukan sumbu QRS pada bidang horisontal adalah sama dengan sumbu QRS pada bidang frontal. Yang umum dipakai ialah cara II, yaitu mencari sandapan yang jumlah aljabar defleksinya nol. Dari sini didapatkan arah vektor yaitu tegak lurus pada sadapan ini. Suatu kebiasaan, bahwa sumbu QRS pada bidang horisontal tidak dinyatakan dalam derajat, tetapi cukup ditentukan sadapan yang tegak lurus pada sumbu itu. Jadi cukup ditentukan sadapan yang mempunyai jumlah aljabar defleksi nol. Sadapan ini disebut daerah transisi pada bidang prekordial. Dianggap bahwa daerah transisi yang normal ialah V3 dan V4. Bila daerah transisi berpindah ke arah jarum jam (dilihat dari arah tungkai), misalnya di V5 atau V6, maka dikatakan bahwa sumbu QRS mengalami rotasi searah jarum jam. Bila daerah transisi berpindah ke arah V2, maka dikatakan terjadi rotasi lawan arah jarumjam.
1528
KARDIOI-OGI
R
S
. ra mil ' '4 mm
ebar I mm luas (%)x4xl = +4 ebai 2mm Luas (%)x4x2 = -8 l!mlah = -4
Gambar 13. Seperti pada gambai' 12. tetapi lebar defleksi tidak
I
sama, yaitu di sandapan Di sini dipakai perhitunEan luas Karena bentuk segitiga, maka luas defleksi ialah 1i2 x tinggi x lebar Faktor 112 dap'al dihiiangkan karena yang dipakai adalah perbandingan
Gambar 17. Sumbu listrik QRS pada bidang horisontai Daerah transisi di V5, yang menunjukkan rotasi searah jarum jam
SUMBU LISTR!K VEKTOR P Cara menentukar sunrbu P pada dasarnva sama dengan penentuan surlbu QRS. Karena defleksi gelontbang P kecil. rlraka cara menentukan sumbu P sering tak bisa terlalu tepat,
dan biasanya dipakai cara II.
Sumbu P pada Bidang Frontal Celorrbang P yang berasai dari sinrpLrl sinus mempunyri Gambar 14. Meneniukan sumbu listrik QRS paoa bidang frontal dengn mencari sandapan yang jurnlah defieksinya nol, dalam contoh ini aVL Maka sur,rrbu listrik ialah tegak lurus pada aVL Selanjutnya untuk menentukan arah ke atas atau ke bawah. diperhatikan jumlah defleksi pada l; karena defleksinya positif, maka arah sumbu ialah ke kanan
sumbu yall-c beruariasi antara 0 hingga +750. Gelombang F
,N menrpunyai sumbu -90%. Dikatakan sutnbu P ini memputlyai arah lawan-arus. Gelombang P yang berasal dnri airium. arahnya tergantung dari letak pelracu ektopik di atrium. Sering sumbunva me unyai arah antara +900 dan 1 800.
_vang her:asai
antala 180''
dari pen-uhubung
darr
Surnbu F pada Bidang Horisontal
lupericr
Gelornbang P 1,ang berasal dari simpul sinus metnpttnvli s,,rnrbu rang arahnya sekitar di tengah-tengah antara Vl dan V6. Surnbu P yang buknn bei'asal dari simpLrl sinLrs
r'.
memp,Jn;-ai alah yang terganttln-s dari letak pemacll ektopik dari gelombang P.
Sumbu ke kanan
Gambar 15. Kelainan sumbu QRS pada bidang frontal Sumbu listrik yang mendekati 00 sering disebut "jantung horisontal" yang mendekati 900 disebut "jantung vertikal"
Gambar 18. Menentukan riektor P oada bidang frontal Karena total defleksi nol terdapat pada sandapan lll, maka vel 0,10 detik; 2). S yang lebar di I dan V6; 3). R' yang lebar di V1.
QRS pada bidang frontal yang bergeser ke
Bila interval QRS 0, lO-0,I2 detik, maka disebut BCBKa
Kriteria EKG untuk IfVKa
1.
Rasio R/S yang terbalik
. .
2. Sumbu 3.
fase yang terakhir, vektorberasal dari ventrikel kanan, yang
>
: :
1
kanan, meskipun belum mencapai DSKa.
inkomplit.
Beberapa kriteria tambahan yang tidak begitu kuat,
Bila interval QRS > 0, 12 detik, maka disebut BCBKa komplit.
misalnya: WAV di VI > 0,035 detik, depresi ST dan inversi T di V1, S, di I,[, dan III. Beberapa catatan tentang IfVKa: 1. Diagnosis HVKa pada EKG mempunyai sensitivitas yang rendah tapi spesifisitas yang tinggi. 2. Kriteria EKG untuk HVKa yang paling kuat ialah rasio
R/SdiVI. Berdasarkan konfigurasi QRS di V1, maka HVKa dibagi menjadi 3 tipe: l). Tipe A: di sini terdapat R yang tinggi. Sering disertai depresi ST dan inversi T di Vl dan V2. Tipe ini menunjukkan beban tekanan yang tinggi; 2). Tipe B: di sini terdapat bentuk RS, yang menunjukkan HVKa yang
sedang; 3). Tipe C: di sini terdapat bentuk rsR', yang merupakan blok cabang berkas kanan yang inkomplit. Bentuk ini biasanya menunjukkan adanya hipenrofi jalur keluar dari ventrikel kanan.
Gambar 32. Blok cabang berkas kanan. QRS melebar, S yang lebar dan dalam di I dan V6 (V5), dan berbentuk RR' di V1 (V2)
Blok Cabang Berkas Kirl (BCBKi) Bila CBKi mengalami blok, maka depolarisasi ventrikel kiri mengalami kelambatan. Pada awal depolarisasi ventrikel, QRS inisial menggambarkan depolarisasi ventrikel kanan dan septum, kemudian menyusul depolarisasi ventrikel kiri. Jadi pada BCBKi vektor terminal berasal dari ventrikel kiri yang kuat, yang bergeser ke arah kiri (pada bidang F) dan ke arah belakang (pada bidang H). Dari sini didapatkan gambaran EKG pada BCBKi :
1.
Interval QRS melebar> 0,10 detik R yang lebar, sering berlekuk di I, V5 dan V6, dengan WAV > 0,08 detik rS atau QS di V1, disertai rotasi searah jarum jam.
2. Gelombang 3. Gambar 31. Hipedrofi ventrikel kanan. Kriteria terpenting: rasio R/S terbalik di V1 (V2) dan V6 (V5)
Bila interval QRS 0,10-0,12 det1k, maka disebut BCBKi inkomplit Bila interval QRS >
DEFEK KONDUKSI INTRA VENTRIKULAR Gangguan penghantaran impuls melalui suatu jalur disebut blok. Yang dimaksudkan dengan konduksi intraventrikular
0,
1
2 detik, maka disebut BCB
Ki komplit.
Blok lntraventrikular Nonspesif ik Istilah ini dipakai bila interval QRS melebar (> 0,10 detik) tetapi tidakkhas untukBCBKa atau BCBKi.
ialah konduksi melalui cabang berkas kanan (CBKa), cabang berkas kiri (CBKi), fasikel-fasikel dan serabut-
Blok Fasikular
serabut Purkinje.
Blok Fasikular sering disebut juga hemiblok.
,
1533
ELEKTROKARDIOGRAFI
.
III dan aVF. Blok Fasikular Kiri Posterior jauh lebihjarang dari pada blok fasikular kiri anterior. qR di II,
Gambar 33. Blok cabang berkas kiri. QRS yang melebar, bentuk B di I dan V6 (V5), dan S yang dalam di V1 (V2, V3)
Blok fasikular
kiri anterior.
Fasikel
kiri
anterior
menghantarkan impuls dari puncak septum ke muskulus papilaris anterior. Bila terjadi blok padajalur ini, maka bagian posterior-inferior mengalami depolarisasi lebih dulu dari pada bagian anterior-superior. Vektor QRS awal selama 0,02 detik mengarah ke bawah dan ke kanan, sehingga terbentuk r kecil di II, m, dan aVF, dan q kecil di 1, aVL dan kadang-kadang di V5 dan V6. Vekor QRS awal selama 0,04 detik mengarah ke kiri dan ke atas, sehingga terbentuk R tinggi menyusul q di 1, dan aVL, dan S dalam menyusul r di II,[I, dan aVF (bentuk QIS[I). Sumbu QRS mengalami deviasi ke kiri hingga > -450 Sebagai ringkasan, gambaran EKG pada 81ok Fasikular Kiri anterior ialah : l).Interval QRS sedikit memanjang 0,090,1 1 detik; 2). Sumbu QRS deviasi ke kiri > -450. Ini disebut kriteria yang paling kuat; 3). Di I dar aVL terdapat R tinggi, dengan atau tanpa q; 4). Di II,III dan aVF terdapat rS, dengan S yang dalam.
Gambar 35. Blok fasikular kiri posterior. Tanda terpenting ialah sumbu QRS pada bidang frontal: deviasi ke kanan lebih dari +1100,
tanpa adanya penyebab lain dari deviasi sumbu ke kanan
Sindrom Pre-eksitasi Sindrom pre-eksitasi ialah suatu sindrom EKG di mana ventrikel mengalami depolarisasi lebih awal dari biasa. Hal
ini disebabkan karena adanyajalur-jalur lain di samping jalur-jalur pada sistem konduksi jantung. Ja-lur-jalur ini disebut jalur-jalur aksesori. Ada 3 macam jalur aksesori, yaitu : 1). Jalur Kent. Jalur ini ialah yang terpenting di antarajalur-jalur aksesori. Jalur
ini menghubungkan atrium langsung dengan ventrikel, tanpa melalui simpul -AV. Jalur ini menembus cincin AV di
tempat-tempat yang berbeda. 2). Jahr James. Jalur ini berawal dari atrium dan berakhir di berkas His. 3). Jalur Mahaim. Jalur ini berawal di berkas His dan berakhir di ventrikel.
Jalur-jalur aksesori dianggap sebagai kelainan kongenital dan terdapat pada l-2 permil dari populasi umum. Jalur aksesori bisa bersifat non fungsional pada waktu lahir dan manifes pada masa kanak atau dewasa. Gambar 34. Blok fasikular kiri anterior Tanda terpenting ialah sumbu QRS pada bidang frontal: deviasi ke kiri lebih dari -450
GAMBARAN EKG PADA SINDROM PRE.EKSITASI
Blok fasikular kiri posterior. Fasikel kiri posterior
Pre-eksitasi pada Jalur Kent
menghantarkan impuls dan CBKi ke muskulus papilaris posterior dari ventrikel kiri. Suatu blok pada jalur ini mengakibatkan bagian anterior-superior dari ventrikel kiri
Pre-eksitasi pada jalur Kent disebut luga sindrom Wolff Parkinson White (WPW). Gambaran EKG pada sindrom WPW menggambarkan kompleks fusi antara aktivasi ventrikel melalui jalur normal dan melalui jalur aksesori. Impuls dari atrium yang melalui jalur Kent lebih cepat sampai di ventrikel karena tidak
mengalami depolarisasi lebih dahulu dari pada bagian posterior-inferior. Vektor QRS awal selama 0,02 detik mengarah ke krri dan superior, sehingga terbentuk r kecil di I dan aVL, dan 1 kecil di II,[, dan aVF. Vektor QRS awal selama 0,06 detik mengarah ke bawah, sehinggaterbentukR tinggi di II, III, dan aVF dan S di I dan aVl.Sumbu QRS bergeser ke kanan
>+1lff. Sebagai ringkasan, gambaran EKG pada blok fasikular
kiri posterior ialah
. . .
:
Interval QRS memanjang 0,09 -0,1 1 detik Sumbu QRS bergeser ke kanan > + 110o rS di I dan aVL
melewati simpul AV yang mempunyai sifat memperlambat
impuls. Impuls yang melalui jalur Kent ini mengawali depolarisasi ventrikel di suatu tempat di ventrikel, yang menyebabkan timbulnya suatu gelombang khas pada awal kompleks QRS, yang disebut gelombang delta. Gelombang delta merupakan bagian landai pada awal kompleks QRS. Adanya gelombang delta ini menyebabkan kompleks QRS melebar. Waktu konduksi atrio-ventrikular yang memendek menyebabkan interval PR yang memendek. Dengan demikian gambaran EKG pada sindrom W-P-W
t534
KARDIOLOGI
ialah: 1). Interval PR memendek < 0,12 detik; 2). Adanya gelombang delta; 3). Kompleks QRS melebar (karena gelombang delta).
Dengan demikian gambaran EKG pada sindrom L-G-L
ialah
:
Interval PR memendek (0,12 det); 2). Tak ada gelombang delta, kompleks QRS normal. 1).
Pre-eksitasi pada Jalur Mahaim Karena jalur Mahaim dimulai dari berkas His, maka interval
PR tidak terpengaruh. Jalur Mahaim mengawali aktivasi pada sebagian ventrikel, sehingga terjadi gelombang delta.
Jalur
Kent
Jalur
James
Jalur Mahain
Dengan demikian gambaran EKG pada sindrom preeksitasi melalui ialur Mahaim iatah: l). Interval PR normal; 2). Terdapat gelombang delta, kompleks QRS melebar.
Gambar 36. Jalur-jalur aksesori
- interval PR memendek - tak ada gelombang delta QRS tak melebar
- lnterval PR memendek - ada gelombang delta, QRS melebar Gambar 37. Pre-eksitasi pada jalur Kent: sindrom WPW. lmpuls dari sinus menempuh dua jalur: jalur 1 ialah jalur normal, jalur 2 melalui lalur Kent. lmpuls yang melalui jalur 2 mencapai ventrikel lebih awal dan mengaktivasi suatu daerah D di ventrikel, yang pada EKG menggambarkan gelombang delta (D). Aktivasi ventrikel
Gambar 38. Pre-eksitasi jalur James: Sindrom Lown Ganong Levine. lmpuls dari sinus menempuh dua jalur: jalur 1 ialah jalur normal, jalur2 melaluijalurJames lmpuls melalui jalur2 mencapai berkas His lebih awal karena tidak mengalami perlambatan di simpul AV, sehingga interval PB memendek, sedangkan bentuk kompleks QBS normal Aktivasi melaluijalur 2 tak mempunyai efek karena ventrikel dalam periode refakter mutlak
melalui jalur 2 menyusul sehingga bentuk akhir EKG ialah fusi antara aktivasi melalui jalur 1 dan ialur 2
Meskipun letak jalur Kent sangat bervariasi, pada garis besarnya dapat dibedakan 2 tipe, yaitu : Sindrom W-P-W tipe A. Di sini j alur Kent terletak di sebelah kiri, sehingga aktivasi dini terjadi di ventrikel kiri. Garnbaran EKG menyerupai bentuk BCBKa, dengan R yang tinggi di
- interval PR normal - ada gelombang delta, QRS melebar
V1danV2. Sindrom WPW tipe B. Di sini jalur Kent terletak di sebelah kanan, sehingga aktivasi dini terjadi di ventrikel kanan. Gambaran EKG menyerupai bentuk BCBKi, dengan defleksi QRS yang negatif di Vl dan V2.
Pre-eksitasl pada Jalur James Pre-eksitasi padajalur James disebutjuga sindrom lownGanong-Levine (L-G-L). Gambaran EKG pada sindrom LG-L menggambarkan interval PR yang memendek karena impuls yang melalui jalur ini mencapai ventrikel lebih cepat karena tidak diperlambat oleh simpul-AV. Tetapi aktivasi ventrikel ini berpangkal dari berkas His sehingga jalur
aktivasi ini tidak berbeda dari aktivasi normal. Ini menghasilkan kompleks QRS yang normal, tanpa gelombang delta.
Gambar 39. Pre-eksitasi jalur Mahaim. lmpuls dari sinus hingga simpul AV berjalan biasa, sehingga tak ada pengaruh terhadap interval PR lmpuls melali jalur 2 yang berawal dari berkas His, mencapai suatu daerah D di ventrikel (sedikit) lebih awal dari pada aktivsi ventrikel melalui jalur biasa (1), sehingga pada EKG terdapat gelombang delta Selanjutnya terjadi fusi dari aktivasi melalui kedua jalur tersebut
PENYAKIT JANTUNG KORONER
Elektrokardiografi ialah sarana diagnostik yang penting untuk penyakit jantung koroner.Yang dapat ditangkap oleh EKG ialah kelainan miokard yang disebabkan oleh terganggunya aliran koroner. Terganggunya aliran koroner menyebabkan kerusakan miokard yang dapat dibagi menjadi 3 tingkat : 1). Iskemia.
1535
EI.EKTROI(ARDIOGRAFI
kelainan yang paling ringan dan masih reversibel; 2). Injuri, yaitu kelainan yang lebih berat, tetapi masih reversibel; 3). Nekrosis, yaitu kelainan yang sudah ireversibel, karena kerusakan sel-sel miokard sudah permanen.
kiri, maka adalah penting untuk menentukan lokalisasi bagian-bagian dinding ventrikel kiri pada EKG. Pada umumnya dipakai istilah-istilah sebagai berikut
1.
:
Daerah anteroseptal:Vl -V4
2. Daerahanterior ekstensif : Vl -V6, I dan aVL 3. Daerah anterolateral: V4-V6. I dan aVL 4. Daerah anterior terbatas : V3-V5 5. Daerah inferior: II. III dan aVF 6. Daerah lateral tinggi : I dan aVL 7. Daerah posterior mumi memberikan bayangan cermin
Daerah lskemia Daerah injuri Daerah nekrosis
Vl, Y2 dan V3 terhadap garis horisontal. Proyeksi dinding-dinding ventrikel kanan pada dari
Endokard
umumnya terlihat pada V4R-V6R. Sering bersamaan dengan [,III, danaVF.
Epikard
Gambar 40. Berbagai derajat iskemia pada infark miokard
Masing-marsing kelainan ini mempunyai ciri-ciri ylng khas pada EKG. Pada umumnya iskemia dan injuri
menunjukkan kelainan pada proses repolarisasi miokard, yaitu segmen ST dan gelombang T. Nekrosis miokard menyebabkan gangguan pada proses depolari sasi, yaitu gelombang QRS. Gambar 41. Depresi ST pada iskemia miokard
lskemia Depresi ST. Ini ialah ciri dasar iskemia miokard. Ada
3
rnacam jenis depresi ST, yaitu : a). Horisontal, b). Landai ke bawah, c). Landai ke atas
Yang dianggap spesifik ialah a dan b. Depresi ST
a. Depresi ST horisontal, spesifik untuk iskemia b. Depresi ST landai ke bawah, spesifik untuk iskemia c. Depresi ST landai ke atas, kurang spesifik untuk iskemia
dianggap bermi*na bila lebih dzLri I mm, makin dalam makin
spesilik.
Inversi T. Gelombang T yang negatif (vektor T berlawanan arah dengan vektor QRS) bisa terdapat pada iskemia miokard, tetapi tanda ini tidak terlalu spesifik. Yang lebih spesifik ialah bila gelombang T ini simetris dan berujung lancip.
Inversi U. Gelombang U yang negatif (terhadap l) cukup spesifik untuk iskemia miokard. Gambar 42. Depresi T pada iskemia miokard
lnjuri
a
Ciri dasar injuri ialah elevasi ST dan yang khas ialah
b
konveks ke atas. Pada umumnya dianggap bahwa elevasi ST menunjukkan injuri di daerah subepikardial, sedangkan injuri di daerah subendokordial menunjukkan depresi ST yang dalam.
lnversi T pada umumnya kurang spesifik untuk iskemia lnversi T yang berujung lancip darr simetris (seperti ujung anak panah), spesifik untuk iskemia
Nekrosis Ciri dasar nekrosis miokard ialah adanya gelombang Q patologis yaitu Q yang lebar dan daJam, dengan syaratsyarat: lebar > 0,04 detik dalam >4 mm atau > 257o tinggi R
Lokalisasi Dinding Ventrikel pada EKG Karena iskemia miokard sebagian besar mengenai ventrikel
Gambar 43. lnversi U, cukup spesifik untuk iskemia
1536
IQ{RDIOI.OGI
fase sebagai berikut:
Fase awal atau fase hiperakut: l). Elevasi ST yang nonspesifik, 2).T yang tinggi dan melebar. Fase evolusi lengkap : 1). Elevasi ST yang spesifik, konveks ke atas, 2).T yangnegatif dan simetris, 3). Q patologis.
a. b. c.
infark lama: 1). Q patologis, bisa QS atau Qr. 2). ST yang kembali iso-elektrik, 3). T bisa normal atau negatif
Fase
Gambar 44. lnjuri miokard Elevasi ST cembung ke atas, spesifik untuk injuri (epikard)
Beberapa catatan tentang EKG pada infark miokard : 1).
Elevasi ST cekung ke atas, tidak spesifik Depresi ST yang dalam, menunjukkan injuri subendokardial
D-
Timbulnya kelainan-kelainan EKG pada infark miokard akut bisa terlambat, sehingga untuk menyingkirkan diagnosis infark miokard akut, diperlukan rekaman EKG serial; 2). Fase evolusi berlangsung sangat bervariasi, bisa beberapa jam hingga2 minggu. Bila elevasi ST bertahan hingga 3 bulan, maka dianggap telah terjadi aneurisma ventrikel; 3). Selama
evolusi atau sesudahnya, gelombang Q bisa hilang sehingga disebut infark mrokard non-Q. Ini terj adi 20-30%o
kasus infark miokard; 4). Gambaran infark miokard Gambar 45. Nekrosis miokard. Pada umumnya dianggap: Q menunjukkan tebalnya nekrosis, R menunjukkan sisa miokard yang masih hidup
a. Bentuk qR: nekrosis dengan sisa miokard sehat yang cukup b. Bentuk Qr: nekrosis tebal dengan sisa miokard sehat yang tipis Bentuk QS: nekrosis seluruh tebal miokard, yaitu transmural
c
lnferlor Lateral tinggi Anteroseptal Anterior ekstensil Anterolateral Anterior terbatas Ventrikel kanal
Posteior murni
subendokardial pada EKG tidak begitu jelas dan memerlukan konfirmasi klinis dan laboratoris. Pada umumnya terdapat depresi ST yang disertai inversi T yang dalam yang berlahan beberapa hari; 5). Pada infark miokard pada umumnya dianggap bahwa Q menunjukkan nekrosis miokard, sedangkan R menunjukkan miokard yang masih hidup, sehingga bentuk Qr menunjukkan infark non-transmural sedangkan bentuk QS menunjukkan infark transmural. Pada infark miokard non-Q, berkurangnya tinggi R menunjukkan nekrosis miokard; 6). Pada infark miokard dinding posterior murni, gambaran EKG menunjukkan bayangan cermin dari infark miokard anteroseptal terhadap garis horisontal, jadi terdapat R yang tinggi di V1, V2, V3 dan disertai T yang simetris.
Gambar 46. Lokalisasi dinding ventrikel pada EKG
Gambar 47. Gambaran EKG pada infark miokard akut : evolusi
Gambar 48. Contoh lokasi infark miokard
a. Fase hiperakut
a. lnfark akut anteroseptal
b. Fase ovulasi lengkap c. Fase infark lama
b. lnfark akut posterior murni
GAMBARAN EKG PADA INFARK MIOKARD AKUT
ANEKA KELAINAN ELEKTROKABDIOGRAFI
Hiperkalemia
Umumnya pada infark miokard akut terdapat gambaran iskemia, injuri dan nekrosis yang timbul menurut urutan tertentu sesuai dengan perubahan-perubahan pada
Bila kadar kalium darah meningkat, berturut-turut
miokard yang disebut evolusi EKG. Evolusi terdiri dari fase-
menjadi lebih pendek, 3). QRS menjadi lebar, 4). QRS bersahr
akan
nampak kelainan: 1).T menjadi tinggi dan lancip, 2). R
t537
tr.I F-KIROIQq'RDIOGRAFT
I sehingga segmen ST hilang, 5). P mengecil dan akhirnya menghilang. dengan
Hipokalemia Bila kadar kalium darah menurun. berturut-turut akan tampak kelainan-kelainan: 1). U menjadi prominen, 2).7 makin mendatar dan akhirnya terbalik, 3). Depresi ST, 4). Interval PR memanjang. Sering U yang prominen dikrra T sehingga seolah-olah interval QT memanjang.
Gambar 51. Gambaran EKG pada hipo dan hiperkalsemia Hipokalsemia Hiperkalsemia
:
QT memanjang terutama karena perpanjangan ST QT memendek, terutama karena pemendekan ST
:
Hiperkalsemia Kelainan EKG yang terpenting ialah interval QT yang memendek.
Hipokalsemia Kelainan EKG yang terpenting ialah perpanjangan segmen Sl sehingga interval QT memanlang.
Gambar 52. Efek digitalis. QT yang memendek, depresi ST yang menurun landai dan kemudian naik dengan curam dan T yang rendah
Digitalis Digitalis dapat mempengaruhi bentuk QRS-T, yang disebut efek digitalis: l). Memperpendek interval QT, 2) Depresi ST, mulai dengan menurun landai disusul bagian akhir yang naik dengan curam. 3). Sering menjadi rendah. Selain
itu bisa terjadi gangguan pembentukan dan penghantar impuls.
:\^r\A -]4
Gambar 53. Perikarditis akut. Elevasi ST kurang dari 5 mm, bentuk cekung ke atas, tidak timbul Q
Perikarditis
Gambar 49. Gambaran EKG pada hiperkalemia. Bila kadar K-
Pada perikarditis, biasanya teriadi peradangan pada epikard, sehingga gambaran EKG menyerupai gambaran iniuri pada epikard berupa elevasi ST. Pada perikarditis
makin meningkat:
yang hanya sedikit menimbulkan peradangan pada epikard
a. T meninggi dan lancip, R menjadi pendek
maka EKGbisanormal. Kelainan EKG yang khas untuk perikarditis ialah sebagai
K+ meningkat
K+ normal
b
QBS melebar dan bersatu dengan T
berikut: 1. Elevasi segmen ST : a). Biasanya luas kecuali
c. P merendah dan hilang
2.
Vl
dan
aVR, b).Bentuk konkaf ke atas, c). Kurang dari 5 mm T menjadi terbalik, terutama setelah segmen ST kembali ke garis isoelektrik.
3.
;\^ K+ normal
TidaktimbulQ. Pada efusi perikardial, tanpa adanya peradangan
K+ menurun
a. U prominen, T mendatar
epikardial; tidak terdapat elevasi ST. Dalam hal ini gambaran EKG hanya menunjukkan voltase yang rendah pada QRS dan T. Mengenai gambaran EKG pada kelainan irama jantung (aritmia) dibahas khusus pada topik khusus di bagian lain
b. Depresi ST, Tterbalik, PR memanjang
buku ini.
Gambar 50. Gambaran EKG pada hipokalemia Bila K. makin menurun:
1538
KARDIOI.OGI
BEFERENSI Arrhytmia -a Guide to Clinical Electrocardiology. Erik Sandoe, Sigurd' Publishing Partners Verlags GmbH., 1991. Arrhytmia. Diagnosis and Management. Erit Sandoe, Bjarne Fachmed AG-Verlag fur Fach-medien, 1984.
fUark Silverman
Bjame Sigurd
A, Kessler KM, Meyerburg RJ. The resting McGrawHilll nc. lgg4, 321-52, Fish C. Electrocardiography and vectocardiog- raphy. In: Braunwald, Heart Disease, Fourth Edition, WB Saunders Company. 1992: 1 16_60. Castellanos
electrocardiogram. In: Hurst, The Heart, Eight Edition,
Hein J.J. Wellens, Mury B. Conover. The ECG in Emergency Dedsion Making WB. Saunders Com- pany.l992.
E
Myerburg RJ. Willis HurstJW. Electrocardio-
graphy, Basic Concepts and Clinical Application. McGraw-Hill Book Company, 1983.
Thomas Bigger, J.Jr. The electrical activity of the heart. In :Hurst .The Heart, , Eight Edition,1994:.645-57. Waldo AL, Wit AL. Mechanism of cardiac anhythmias and conduction disturbances. In: Hurst, The Hearl, Eight Edition, McGrawHilllnc 1994: 656-97. WHO ISFC Task Force. Classification of cardiac arrhytmias and conduction disturbances. Am Heart J, 19'79l' 98(2): 263-7. WHO/ISFCTaskForce. Definition of terms related to cardiac rhytm. Am Heart t, 7978;95(6): 796-806.
240 RADIOLOGI JANTUNG Idrus Alwi
sloping bagian inferior mediastinum pada foto lateral.
RADIOLOGI DADA NORMAL
dimaksud dengan normal. Pada pemeriksaarr rontgen dada PA standar, diameter
Jantung mudah dibedakan dari paru-paru karena jantung lebih mengandung darah dengan densitas air lebih besar dibandingkan dengan udara. Karena darah melemahkan x-ray lebih kuat dibandingkan dengan udara, jantung relatif tampak berwarna putih (namun kur"ang putih dibandingkan dengan tulang) dan paru-paru relatif hitam (kurang hitam dibandingkan dengan ujung-ujung film di
keseluruhan jantung yang normal adalah kurang dari
mana tidak ada jaringan yang menghalangi). Bantalan lemak
setengah diameter tranversal toraks. Jantung pada daerah toraks kisarannya tiga perempat ke kiri dan seperempat ke kanan dari tulang belakang. Mediastinum lebih sempit, dan
dengan ketebalan yang berbeda mengelilingi apeks jantung. Lemak memiliki kepadatan yang lebih besar dibandingkan dengan udara dan sedikit lebih kecil
biasanya aorta descendens dapat didefinisikan dari arkus ke kubah diafragma di sisi kiri. Di bawah arkus aorla, dapat dilihat hilus pulmonal, sedikit lebih tinggi pada bagian kiri
dibandingkan dengan darah. Kantong perikardium tjdak dapat didefinisikan secara normal. Pinggiran dari siluet jantung biasanya cukup tajam namun konturnya tidaktajam secara keseluruhan. Meskipun waktu pajanan terhadap sinar x sangat singkat (kurang dari 100 milidetik), biasanya terdapat gerakanjantung yang cukup mengakibatkan agak buramnya siluet tersebut. Jika sebagian pinggiran j antung tidak bergerak, seperti dalam kasus aneurisma ventrikel kiri, pinggirannya nampak tajam. Arkus aorta biasanya terlihat, karena aorta mengalirkan darah secara posterior
Pada pembacaan foto rontgen dada, pendekatan secara sistematis adalah penting, berdasarkan penilai an pertama pada anatomi dan selanjutnya fisiologi. Pendekatan ini tentu saja didasarkan pada pemahaman mengenai apa yang
dibandingkan dengan bagian kanan. Pada foto lateral, arteri pulmonalis utama kiri dapat terlihat superior dan posterior
dibandingkan dengan yang kanan. Pada penampakan frontal sekaligus lateral, aorta asendens (akar aorta) biasanya terhalang oleh arteri pulmonalis utama dan kedua atrium. Lokasi pulmonary outflow tractbiasany aielas pada foto lateral.
dan dikelilingi oleh udara. Sebagian besar aorta desendens juga dapat terlihat. Posisi dan ukuran masing-masing dapat dievaluasi dengan mudah dengan pandangan frontal dan lateral.
RUANG JANTUNG DAN AORTA Pada pandangan PA, kontur bagian kanan mediastinum berisi atrium kanan, aorta asendens dan vena kava. Ventrikel kanan, setengahnya menutupi ventrikel kiri pada penampakan frontal sekaligus lateral. Atrium kiri terdapat inferior dari hilus pulmonal kiri. Pada kondisi normal, terdapat cekungan pada tingkat ini, yaitu pada left atrial
PARU DAN VASKULARISASI PARU Ukuran paru-paru bervariasi sebagai fungsi inspirasi, usia, bentuk tubuh, kandungan air, dan proses-proses patologis intrinsik. Dengan adany a peningkatan disfun gsi ventrikular kiri, cairan interstisial dalam paru-paru meningkat dan ekspansi paru-paru menurun. Di sisi lain, paru-paru nampak lebih besar dan lebih gelap jika disertai penyakit paru
appendage. Atrium membentuk sebagian atas kontur posterior jantung pada foto lateral namun tak dapat dipisahkan dari ventrikel kiri. Ventrikel kiri membentuk apeks jantung pada pandangan frontal seperti halnya
153
1540
Ii{RDIOI.OGI
obstruktif kronis dengan pembentukan bula. Jika ekspansi paru-paru menurun, jantung nampak sedikit lebih besar meskipun jantung sebenarnya tidak berubah ukurannya. Namun, jantung tersebut tidak melebihi setengah diameter transversal dada pada foto PA yang berkualitas baik kecuali jika benar-benar ada kardiomegali. Penting untuk diingat bahwa pembesaran yang nyata kemungkinan di sebabkan
oleh pembesaran j antung secara kesel uruhan,
pelebaran satu ruang jantung atau lebih, atau cairan perikardial. Pada pasien-pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis, jantung seringkali nampak berukuran kecil atau normal pada kondisi disfungsijantung. Pada subyek normal, arteri pulmonalis biasanya dapat
terlihat dengan mudah pada hilus dan secara bertahap berkurang lebih perifer. Afieri-arleri pulmonalis kanan dan kiri utama biasanya tak dapat diidentifikasi secara terpisah,
jantung yang menyempit, meningkatkan diameter transversal, sehingga jantung mungkin nampak membesar pada penampakan frontal namun diameterAP yang sempit yang terlihat pada penampakan lateral dapat menjelaskan hal ini. Kifosis atau skoliosis juga dapat menyebabkan jantung
atau mediastinum nampak abnormal. Oleh karena itu penting halnya untuk memeriksa tulang belakang dan
struktur tulang lainnya secara sistematis
saat
memperhatikan radiografi dada.
EVALUASI FOTO RONTGEN DADA PADA PENYAKITJANTUNG
Penyakit kardiovaskular menyebabkan perubahanperubahan yang beragam dan kompleks dalam gambaran
kirena rnereka terletak dengan mediastinum. Jika paru-paru
foto rontgen dada. Kardiomegali secara keseluruhan
diandaikan terbagi menjadi tiga bagian, arteri utama adalah sentral, arteri-arteri kecil yang mudah dibedakan dengan jelas di zona tengah, dan arteri-arleri kecil dan arteriol yang
dapat ditentukan dengan akurat pada penampakan frontal dengan mencatat apakah diameter jantung melebihi setengah diameter toraks atau tidak. Kardiomegali paling sering terlihat karena kardiomiopati iskemia yang
biasanya di bawah batas resolusi pada zona luar. Dalam keadaan standar, pandangan frontal berdiri, arleri-arteri pada zona yang lebih rendah lebih besar dibandingkan dengan yang berada dr zona yang lebih tinggi, padajarak yang sama dari hilus. Penampakan tersebut sehubungan efek gravitasi pada sirkulasi paru-paru bertekanan rendah yang normal. Hal tersebut terjadi demikian, jika gravitasi
mengarah pada volum intravaskular yang sedikit lebih besar pada dasar-dasar paru-paru dibandingkan dengan padazona-zona yang lebih tinggi. Sudut yang dibuat oleh paru-paru dengan diafragma biasanya sangat tajam dan dapat ditandai dari dua sisi pada penampakan frontal dan lateral. Kontur yang dibentuk oleh vena kava inferior denganjantung terlihatjelas pada foto lateral. Jika pasien diletakkan pada sisinya dengan sisi kiri menghadap film, bagian kanan relatif sedikit diperbesar dibandingkan dengan yang
mengikuti infark miokard. Dalam penilaian foto rontgen dada secara sistematis, langkah pertama adalah untuk menetapkan tipe film apa yang akan dievaluasi-PA dan lateral, PA saja, atau AP (entah portabel atau satu diambil dalam pandangan AP karena pasien tidak mampu berdiri). Langkah berikutnya adalah menentukan apakah foto-foto
sebelumnya tersedia untuk perbandingan.
kiri.
VARIASINORMAL Variabel anatomis dan penuaan merupakan tantangan dalam evaluasi foto rontgen dada karena penurunan compliance paru. Aorta dan pembuluh darah besar biasanya menyempit dan menjadi lebih berTrkl(tourtuous) dan lebih jelas seiring bertambahnya usia, mengarah pada
pelebaran mediastinum superior. Jantung nampak lebih
besar karena penurunan komplaiens paru kecuali jika melnang ada penyakitjantung, jantung ukurannya kurang dari setengah diameter transversal dada pada pandangan PA. Pasien yang obes lebih mungkin memiliki derajat hambatan ekspansi paru-paru maksimal, sehingga mungkin akan membuat jantung normal nampak sedikit lebih besar. Pasien dengan pektus ekskavatum memiliki diameter AP
Gambar 1. A). Proyeksi frontal jantung dan pembuluh darah; B). Gambar garis pada proyeksi frontal menunjukkan hubungan katup jantung, cincin, dan sulci ke garis mediastinal A= ascending aoftai AA= aoriic archi Az= azygous vein; LA= left atrial appendage; LB= left lower border of pulmonary arlery, LV= left ventricle; PA= main pulmonary afteiy, RA= right atrium, S= superior vena cava;
SC= subclavian aftery
PABU DAN VASKULARISASI PARU Pemeriksaan terhadap pola vaskularisasi paru merupakan hal yang sulit namun sangatpenting. Pemeriksaan tersebut
t54r
RADIOI.OGIJANTUNG
bervariasi tergantung posisi pasien (berdirr versus berbaring) dan berubah secara mendasar oleh penyakit paru yang mendasarinya. Cara terbaik untuk menilai
RUANG.RUANG JANTUNG DAN PEMBULUH BESAR
vaskularisasi paru adalah dengan memperhatikar, zona tengah paru-paru (misalnya sepertiga dari paru-paru di
Evaluasi terhadap jantung harus dilakukan secara sistematis. Setelah menilai ukuran keseluruhan dan pola vaskular paru sebagai refleksi status fisiologis jantung bagian kiri-ruang
antara daerah hilus dan daerah perifer lateral) dan
jantung harus diperiksa. Seperti telah disebutkan, tidak
membandingkan daerah pada lapangan paru atas dengan daerah pada daerah yang lebih rendah pada jarak yang sebanding dari hilus. Pembuluh darah harus lebih besar pada paru-paru bagian bawah namun berbeda dengan jelas pada zora-zor\a atas dan bawah. Pada kondisi normal, pembuluh-pembuluh menyempit dan bercabangcabang dan sulit ditemukan pada sepertiga luar dari paru-paru. Dalam kondisi normal tak terlihat di dekat pleura. Pada pasien dengan high-output s/a/e (misalnya kehamilan, anemia berat seperti pada penyakit sickle cell, hipertiroidisme) atau shuntkiri ke kanan, karena aliran
mungkin untuk menunjukkan ruang jantung dengan jelas pada sebuah foto rontgen dada normal. Pada penyakit valvular yang didapat dan pada banyak jenis penyakit jantung kongenital, ditemukan pembesaran ruang jantung.
arteri pulmonalis meningkat, pembuluh-pembuluh pulmonalis dapat terlihat lebih jelas dibandingkan dengan biasanya pada paru-paru perifer. Pada keadaan tekanan arteri pulmonalis yang meningkat, batas-batas pembuluh menjadi tidak jelas, pembuluh-pembuluh pada zona rendah menyempit dan yang berada pada zona lebih tinggi membesar, dan pembuluh-pembuluh menjadi lebih
ATRIUM KANAN Perbesaran atrium kanan biasanya tak pernah terbatas
(isolated') kecuali dengan adanya atresia trikuspid kongenital atau kelainan Ebstein, keduanya jarang terj adi meskipun pada kelompok usia anak. Atrium kanan dapat melebar dengan adanya hipertensi pulmonal atau regurgitasi trikuspid, namun pelebaran ventrikel kanan biasanya melebihi atau menghalangi atrium. Kontur atrium
kanan bergabung dengan vena kava superior, arteri pulmonalis utama kanan dan ventrikel kiri.
jelas ke arah pleura, pada sepertiga luar paru-paru. Dengan tekanan akhir diastolik ventrikel ktri (left ventricular end-diastolic pressltre =LVEDP) ata:u left atrial pressure yang meningkat, edema interstisial
VENTRIKEL KANAN
meningkat dan akhirnya muncul edema paru. Biasanya
retrosternal. Pemenuhan tersebut disebabkan oleh pergeseran letak tranversal apeks ventrikel kanan saat ventrikel kanan melebar. Karena pada orang dewasa
terdapat korelasi pola vaskular paru dar, pulmonary capillary wedge pressure (PCWP). Pada PCWP yang lebih kecil dari 8 mm Hg, pola vaskular adalah normal. Sementara PCWP meningkat menjadi 10 sampai 72mm Hg, diameter pembuluh-pembuluh pada zona lebih rendah
Tanda klasik pembesaran ventrikel kanan adalah jantung "boot-shaped' dan pementhat (filling in) ruang udara
ventrikel kananjarang melebar tanpa pelebaran ventrikel kiri secara bersamaan, bentuk boot ini seringkali tidak jelas. Bentuk tersebut paling sering terlihat pada penyakit
nampak sebanding atau lebih kecil dari pembuluhpembuluh padazona yang lebih tinggi. Pada tekanan 12 sampai 18 mm Hg batasan-batasan pembuluh menjadi lebih buram secara bertahap karena meningkatnya ekstravasasi cairan ke dalam interstisium. Efek ini terkadang mudah dikenali sebagai Kerley B lines, yatg horizontal, basis pada pleura, densitas linier perifer. Bersamaan dengan meningkatnya PCWP melebihi 18 sampai 20 mm Hg, muncul edema paru dengan adanya
jantung kongenital, biasanya pada tetralogi
cairan interstisial dalam jumlah cukup untuk
pembesaran bilik kanan yang dapat dipercaya. Pembesaran ventrikel kanan paling sering ditemukan
mengakibatkan gambaran bat wing perihilar. Gambaran khas tersebut dapat berubah untuk beberapa hal. Pada pasien fibrosis paru luas atau bula multipel, terdapat pola vaskular abnormal pada baseline dan jika terdapat peningkatan PCWP, tak ada perubahan yang dapat diprediksi. Pada pasien gagal jantung kronis, terdapat perubahan-perubahan kronis pada pola vaskular paru yang tidak berhubungan dengan perubahan yang muncul pada pasien dengan tekanan ventrikel kiri yang normal pada baseline.
FaLLot.
Bersamaan dengan melebarnya ventrikel kanan, ventrikel tersebut meluas secara superior juga secara lateral dan posterior, memenuhi ruang udara retrosternal. Ajaran yang klasik adalah pada foto rontgen dada lateral, pada pasien normal densitas jaringan lunak terbatas pada kurang dari sepertiga jarak dari suprasternal notch sampai ke ujung xyphoid. Jika jaringan lunak tersebut memenuhi lebih dari setengah jarak ini, hal tersebut merupakan indikasi
pada penyakit katup mitral, setelah terjadi hipertensi pulmonal. Yang lebih jarang adalah karena hipertensi pulmonalprimer.
ATRIUM KIRI Terdapat beberapa tanda klasik yang menunjukkan pembesaran atrium kiri. Yang pertama adalah pelebaran
1542
KARDIOI.OGI
kanan. Ventrikel kiri tetap berukuran normal. Pada regurgitasi mitral, atrium dan ventrikel kiri keduanya beflambah besar karena meningkatnya aliran. Redistribusi
vaskular paru lebih bervariasi pada regurgitasi mitrai dibandingkan dengan stenosis mitral, seperti halnya pelebaran ventrikel kanan.
VENTRIKEL KIRI Pembesaran ventrikel kiri dicirikan dengan kontur apeks yangjelas dan mengarah ke bawah, yang dibedakan dari pergeseran letak transversal seperti yang terlihat pada pembesaran ventrikel kanan. Kontur keseluruhan jantung biasanya juga membesar, meskipun hal ini tidak spesifik. Juga penting mengevaluasi ventrikel kiri pada posisi lateral, di mana tampak sebagai tonjolan posterior, di bawah tingkatan anulus mitral. Pembesaran ventrikel kiri fokal pada orang dewasa paling sering terlihat pada insufisiensi aofta atau regurgitasi mitral (dengan pelebaran atrium kiri). Pelebaran ventrikel kiri lebih jarang pada stenosis aorta, rneskipun hal tersebut dapat terjadi, bersamaan dengan gagal jantung kongesti l. Gambar 2. A) Radiografi dada lateral; B). Gambaran anatomis ruang jantung dan pembuluh darah; C). Diagram proyeksi lateral pada ruang jantung, cincin katup dan sulci
ARTER! PULMONALIS
Arteri pulmonalis utama dapat terlihat abnormal pada left atrial appendage di mana biasanya tampak sebagai cembungan fokal dalam keadaan normal terdapat cekungan di antara arteri pulmonalis utama kiri dan batas kiri ventrikel kiri pada penampakan frontal. Yang kedua, dikarenakan lokasinya, bersamaan dengan membesarnya atrium kiri, hal tersebut akan mengan gkat left main stem bronchu.s sehingga akan melebarkan sudut karina. Yang ketiga bersamaan dengan membesamya atrium kiri secara
posterior, hal tersebut mungkin menyebabkan membengkoknya aorta torakalis tengah sampai yang rendah ke arah
banyak keadaan. Pada stenosis pulmonal, arteri pulmonalis utama dan arteri pulmonalis kiri melebar. Pelebaran ini dianggap disebabkan oleh efek jet melalui katup stenotik. Pembesaran ini dapat terlihat dengan hilus kiri yang jelas pada penampakan frontal dan prominent pulmonary outflow tract pada penampakan lateral. Penting halnya untuk mengingat bahwa katup pulmonal berada lebih tinggi dan perifer dari out'low tract dibandingkan dengan katup aorta. Katup tersebut juga terletak di depan katup aorta pada penampakan lateral.
kiri. Pembengkokan ini dapat dibedakan
dari liku (tourtuous') yang terlihat pada aterosklerosis, yang melibatkan aorta torasik desendens pada bagian atasnya atau keseluruhan. Selanjutnya, dengan
AORTA
pembesaran atrium
kiri yang khas, densitas ganda dapat dilihat pada penampakan frontal, karena atrium kiri
Pada foto dada frontal, pelebaran aorta terlihat sebagai tonjolan mediastinum tengah ke arah kanan. Juga terdapat
memberikan proyeksi secara lateral ke arah kanan juga
sebuah tonjolan pada anterior mediastinum pada penampakan lateral, di belakang dan superior terhadap pulmonary outflow tract. Pelebaran aortic root paling sering terlihat pada hipertensi sistemik lama yang tak terkontrol. Pembesaran aortic root jlga ditemukan pada penyakit katup aorta.
secara posterior dan dikelilingi oleh paru-paru. Yang terakhir, pada foto lateral, pembesaran atrium kiri nampak sebagai tonjolan khas yang mengarah ke posterior.
Pembesaran atrium
kiri
yang terbatas pada orang
dewasa paling sering terlihat pada stenosis mitral, dan pembesaran atrium kiri merupakan ciri penyakit katup mitral. Pada stenosis mitral, atrium kiri membesar, terdapat bukti redistribusi vaskular paru (seringkali dengan Kerley B lines'), dan pada akhimya terdapat pembesaran ventrikel
Pada stenosis aorta, biasanya terdapat pelebaran fokal
aortic root yang seringkali jelas, dan seringkali tanpa disertai pembesaran ventrikel kiri. Ventrikel kiri biasanya menjadi hipertrofi sebagai respons terhadap peningkatan
t543
RADIOI.OGIJANTUNG
resistensi terhadap out'low dibandingkan dengan melebar seperti yang terjadi sebagai respons terhadap peningkatan
volume aliran yang terjadi karena insufisiensi aorta. Penebalan dinding ventrikel pada hipertrofi dapat dilihat dengan pemeriksaan ekokardiografi, CT atau MRI, namun ventrikel mungkin tampak normal pada pemeriksaan foto rontgen dada walaupun terdapat stenosis katup aorta berat. Pada keadaan di mana sudah terjadi dekompensasi ventrikel
kiri, terdapat pembesaran aortic root dan ventrikel kiri. Pada regurgitasi aorta, keterlibatan aorta biasanya lebih
difus dibandingkan dengan stenosis aorta dan lebih mudah terlihat. Pada regurgitasi aorta murni, atrium kiri biasanya tidak membesar. Namun, seiring dengan waktu, mungkin
muncul pelebaran anulus mitral sekunder terhadap pelebaran ventrikel kiri dengan hasil regurgitasi mitral dan pelebaran atrium kiri. Meskipun regurgitasi aorta secara klasik muncul pada demam reumatik (dengan penyakit katup mitral yang terkait), defek kongenital, atau penyakit katup degeneratif, mungkinjuga disebabkan oleh penyakit pada aortic root, termasuk cystic medial necrosls, dengan atau tanpa sindrom Marfan. Pada cystic medial necrosis, keterlibatannya difus, dan biasanya terdapat pelebaran aorta pada tingkatan katup setidaknya melalui arkus. Pada sifilis tersier, sekarang jarang terlihat, penemuan khasnya adalah pelebaran khas aorta dari akar sampai ke arkusnya, namun mendadak menjadi normal diameternya pada
tingkatan ini. Pelebaran aneurisma aorta asendens juga terjadi pada cystic medial necrosis. Kelainan aorta lainnya, seperti diseksi akut atau kronis dan ruptur traumatik atau pseudoaneurisma, lebih baik dilihat dengan CT.
PLEURA DAN PERIKARDIUM Perikardium jarang dapat dibedakan pada pemeriksaan foto rontgen dada. Terdapat dua keadaan di mana perikardium
dapat dilihat. Pada efusi berat, perikardium viseral dan parietal akan terpisah. Karena terdapat bantalan lemak yang berhubungan dengan masing-masing, terkadang mungkin untuk membedakan dua garis lucent yar,g paralel pada foto lateral, biasanya pada daerah puncak (apeks) jantung, dengan kepadatan (cairan) di antaranya. Biasanya, siluet
jantung tersebut memiliki bentuk "water bottle" jlka terdapat efusi perikard berat, namun bentuk seperli itu sendiri tidak memastikan diagnostik.
Kalsifikasi pleura sekaligus perikard dapat muncul, namun seringkali tidak jelas. Kalsifikasi perikardial berhubungan dengan riwayat perikarditis dan paling sering berhubungan dengan tuberkulosis danjuga karena etiologi lainnya, seperti infeksi viral, biasanya tipis dan linear dan mengikuti kontur perikardium. Karena kalsifikasi tersebut tipis, hal tersebut seringkali hanya terlihat pada satu sisi.
REFERENSI Bettmann MA. The chest radiograph in cardiovascular disease. In: Braunwald E, Zipes DP, Libby P, eds. Heart disease: a textbook
of cardiovascular medicine 7th ed. Philadelphia: Saunders;2005.p.21
WB
l-86.
Boxt LM. Radiology of the right ventricle. Radiol Clin North Am. 1999:.37:379
Lipton MJ, Coulden R. Valvular heart disease. Radiol Clin North
Am. 1999;37:31. Murray JG, Brown AL, Anagnostou EA, et al. Widening of the tracheal bifurcation of chest radiographs:value as a sign of left atrial enlargement.AJR 1995 ; 1 64: 1089. Thomas JT, Kelly RF, Thomas SJ et al: Utility of history, physical examination, electrocardiogram, and chest radiograph for differentiating normal from decreased systolic function in patients with heart failure. Am J Med 2O02;172:43'7.
24t ELEKTROKARDIOGRAFI PADA UJI LATIH JANTUNG Ika Prasetya Wijaya
PENDAHULUAN Mutlak
Uji latih jantung dengan menggunakan treadmil sering dikenal dengan tes treadmil. Uji latih ini sudah sering dilakukan sebagai cara untuk mengetahui adanya
lnfark miokard akut dalam 2 hari Angina tak stabil yang risiko tinggi Aritmia jantung tak terkontrol dengan gejala dan gangguan hemodinamik Stenosis aorta berat dengan gejala lnfark paru atau emboli paru akut Perikarditis atau miokarditis akut Diseksi aorta akut
gangguan pada pembuluh darah koroner, gangguan irama serta menjadi bahan referensi untuk pemeriksaan lanjutan untuk mengetahui adanya kelainan jantung. Ada dua cara yang dikenal sebagai uji latih yakni dengan treadmil atau dengan sepeda ergometri. Sebelum pelaksanaan tes semua alat dan perlengkapan guna tindakan kedaruratan harus tersedia dalamjangkauan
Relatif Stenosis di pembuluh koroner left main Penyakit jantung katup stenosis yang sedang Gangguan elektrolit Hipertensi berat Takiaritmia dan bradiaritmia Kardiomiopati hipertrofi dan bentuk lain hambatan aliran ke luar jantung Gangguan fisik dan mental yang mengganggu jalannya pemeriksaan Blok atrioventrikular deraiat tinqoi
tenaga pelaksana. Defibrilator, oksigen dan obat-obat untuk mengatasi terjadinya gangguan pada jantung
merupakan hal yang wajib tersedia. Tenaga yang melaksanakan harus mengerti tatalaksana tindakan kedaruratan kardiak dan sudah menjalani pelatihan sebelumnya.
. Alat treadmil sebaiknya mempunyai jalur aman di sisinya untuk menjaga keamanan pasien. Lengan pasien juga harus bebas dari alat agar mudah dilakukan
Pelaksana tes wajib pula mengetahui obat-obat yang
pemeriksaan tekanan darah oleh pemeriksa.
dikonsumsi pasien sebelum melaksanankan tes. Penggunaan obat penghambat B sebaiknya tidak
PERSIAPAN SEBELUM TES
dihentikan bila memang sangat diperlukan pasien walau dapat mempengaruhi hasil tes. Persiapan juga dilakukan terhadap kebersihan kulit agar tidak menimbulkan banyak
Pasien disarankan untuk tidak makan, minum dan merokok duajam sebelum tes. Lakukan anamnesis tentang riwayat
artefak pada rekaman EKG. Pemeriksaan EKG 12 lead wajlb dilakukan sebelum
penyakit pasien dan kemampuan aktivitas fisik pasien
tes baik pada posisi berbaring dan berdiri. Pemasangan elektroda sebaiknya menghindari daerah lengan agar
terakhir untuk melengkapi status. Laksanakan pemeriksaan awal dalam keadaan istirahat pada pasien dalam posisi yang
nyaman. Semua
ini untuk mengetahui apakah
pasien
memiliki gejala yang menjadi kontraindikasi mutlak maupun relatif tes ini. (Tabel l)
tidak menimbulkan gangguan rekaman. Jadi elektrode lengan sebaiknya diletakkan di bahu, elektroda hijau (grounds di spina pinggang dan untuk kaki kanan di bawah umbilikus, atau modifikasi lainnya.
1s44
ELEKTROKARDIOGRAFI
PADA UJI
t545
LAIIH JANTUNG
PELAKSANAAN TES
Komplikasi dapat diketahui segera bila kita tetap
mengurangi terjadinya perubahan gambaran EKG. Setelah dianggap cukup, pasien duduk atau dapat pula berbaring sambil tetap dilakukan pengawasan dan rekaman 10 detik
melakukan pengawasan pada tekanan darah, mengawasi hasil rekaman EKG bertanya pada pasien tentang gejala
pertama setelah kaki berhenti. Pengawasan pasca tes
yang dialami dan gejala keletihan dan melakukan penilaian terhadap semua gejala atau tanda yang muncul saat tes.
lama sampai gejala atau gambaran perubahan EKG
Selama tes berlangsung sebaiknya lengan pasien tidak memegang dengan kencang pada tempat pegangan agar tidak menimbulkan hasil yang tidak sesuai dengan
dilakukan selama 5 menit walau terkadang dilakukan lebih berkurang atau hilang.
PROTOKOL YANG DIGUNAKAN
kemampuan pasien.
Target frekuensi nadi sebaiknya tidak terlalu bergantung pada umur agar tidak mengacaukan kemampuan yang dimiliki pasien, karena kemampuan yang ada bersifat individual. Walau demikian sebagai patokan pencapaian kerja fisik dapat digunakan. Kapan kita melakukan penghentian tes dapat dilihat di
Ada beberapa macam protokol. Yang sering digunakan
Tabel 2.
perlahan saja.
Mutlak Tekanan darah sistolik turun drastis > '10 mmHg dari hasil pemeriksan sebelum uji latih disertai bukti lain adanya gejala iskemia Angina sedang ke berat Gejala sistem saraf meningkat (seperti ataksia, mengantuk dan gejala sinkop) Tanda rendahnya perfusi (sianosis dan pucat) Sulit untuk evaluasi EKG dan tekanan darah Pasien meminta berhenti Takikardia ventrikel menetap
E/evasl ST (>1.0 mm) tanpa ada diagnosis gelombang Q (selain /eadVlatau aV)
Relatif Tekanan darah sistolik turun drastis > 10 mmHg dari hasil pemeriksaan sebelumnya namun tanpa disertai gejala iskemia Perubahan ST dan QRS seperti menurunnya ST (>3 mm penurunan segmen ST baik horisontal maupun downsloping) atau perubahan aksis tetap Aritmia selain aritmia ventrikel suslalned Lemas, sesak napas, timbul mengi, kram kaki atau gejala klaudikasio ferjadi bundle branch block pada konduksi intraventrikular yang tidak dapat dibedakan dengan takikardia ventrikel Nyeri dada yang meningkat Hipertensi yang meningkat
Untuk mengetahui kemampuan pasien sesungguhnya, dapat digunakan skala Borg.
adalah protokol Bruce dan Naughton. Pada metode Bruce, selama menjalani uji latih, pasien akan mendapatkan beban dari alat dengan menaikkan ban berjalan beberapa derajat disertai penambahan kecepatan setiap peningkatat stage.
Metode Naughton hanya ada peningkatan kecepatan
l,ll-Grade Scale
1i-Grade Scale b 7 8
Very, very light
9
Very light
2
11
Fairly light
12 13 14
4 5
Somewhat hard
6
15
Hard
0
0.5 1
'10
Nothing Very, very weak (jusl Very weak Weak (light)
,.
J
7
16 17
Somewhat strong Strong (. ) Very strong
B
I
10
Very, very strong (hampir maksimum)
'18
19
Very, very hard
Maksimum
20
* From berg GA Med Sport. 1982;14:377-381 Reproduced with permission
FREKUENSI NADI Target denyutjantung yang akan dicapai sebaiknya bukan menjadi masalah untuk tidak memastkan bahwa hasil tes tidak dapat diolah. Semua hasil tes disimpulkan sesuai dengan gejala atau gambaran rekaman yang terjadi selama pelaksanaan tes.
PEMULIHAN DENYUT JANTUNG FASE PEMULIHAN SETELAH TES
Denyut Jantung atau frekuensi nadi akan berkurang Setelah mencapai kemampuan maksimal, maka pasien diminta untuk berhenti secara teratur. Setelah alat teadmil berhenti sempurna, pasien tetap menggerakkan kakinya
seperti jalan
di tempat dengan santai. Hal ini untuk
dengan cepat setelah tes dihentikan. Apabila berkurangnya
denyut jantung kurang dari 20 kali/menit pada menit pertama dan kedua, maka ini menjadi prediktor meningkatnya risiko kemalian.
1546
I(ARDIOLOGI
TEKANAN DARAH
A.resting ST elevation--------| Exercise induced ST depression or at PQ level
i"'
Tekanan darah sistolik seharusnya naik saat tes berlangsung. Bila terjadi penurunan tekanan darah di
ii l
ii
li it
I
btiwah tekanan darah sebelum tes, bisa menjadi kriteria yang diwaspadai. Bila terjadi aktivitas yang menyebabkan terjadin-va hipotensi, maka dianggap terjadi disfungsi ventrikel kiri, iskemia atau obstruksi alilan keluar.
,
J-Junction
Standing pro- exercise Exercise response
Peningkatan tekanan darah yang cepat saat tes beriangsung menjadi penilaian adanya kemungkinan
B. When the ST level begins below the isoelectric line:
tir-nbulnya iskemia.
Standing pre- exercise Exercise response
KAPASITAS FUNGSIONAL Kemampuan mencapai kapasiias maksimal saat aktivitas menjadi salah satu penilaian. Untuk mengetahui dapat disesuaikan dengan skala MET. (Tabel 4)
J-JunoUon - ,-'
\
ResUng ST depression with
Exercise induced St dePression
D Rest ng ST depresion with spasmor exercise lnduced ST elevalron
1 MET
2 METs
4 METs 60 =
High Probability
?
Reason for stopping
Gambar
=
?
Exercise Test induced angina
Probabolity
=
Definite/Typical
Angina History
,12A 7A
:
>55 yrs
Ag"
,80 60 65
8
12
190 to 220 bpm
..
1
bpm =
-
5
Total Score =
1.
Muimal
Lama ercerclse dalam menit. deviasi ST dalam mm dan indeks angina TM (treadmil) adalah: 0 untuk tidak ada
Heart
100 130
angina, 1 untuk angina yang tidak mempengaruhi
160
excercise,2 untuk angina yang menyebabkan hambatan excercise. Bila skor kurang atau sama dengan -11 maka risiko meningkat. Sedangkan skor Iebih atau sama dengan +5 risiko rendah.
Sebelum melakukan tes aktivitas sebaiknya kita mengetahui kira-kira pasien perlu menjalani pemeriksaan angiografi atau tidak. Dapat digunakan tabel berikut. Bila pasien telah menjalani ujr latih jantung maka untuk tindakan
lanjut yang diperlukan pasien dapat diprediksi melalui tabel-tabel di bawah ini:
Less than I 00 bpm
:
20
Rate
I
Exercise ST Dcpression
1
90 to 220 bprr 1-2mm
=
-
4
2mm: 10 >65 yrs:25
Age
50 to 65
Angina History
Women
to 129 bpm = 16 to 159 bpm : 2 to 159 bpm : 8
yrs:
15
Definite/Typical: l0
31-75 =
Intermediate Probability
=
6 Probable/arypical Non- cardio pain: 2
>57 =
High Probability
Hypercholesterolemia ? Diaberes ? Excrcise Test induccd angina ?
l0
Reason for stopping: 15 Positive: -5, negative = Variable
Age
Gircle response
Men 4o-55, women =
\4en Bstrogen
5
sum
Total Score =
Men 70 milidetik).
Laju dan irama,laju (rate)YT berkisar antara 120-300 kali per menit dengan irama yang teratur atau hampir teratur (variasi antar denyut adalah 2.5 cm2 2. Ringan : bila area 1.4-2.5 crfi 3. Sedang : bila area l-1.4 crfi 4. Berat :bilaarea 1.5 >1 dan < 1.5
< 5 mmHg 5-10 mmHg >'10 mmHg
A2-OS :Waktu antara penutupan katup aorta dan pembukaan katup mitral
Kalau kita lihat fungsi lama waktu pengisian dan besarnya pengisian, gejala/simtom akan muncul bila waktu pengisian menjadi pendek dan aliran transmitral besar,
sehingga terjadi kenaikan tekanan atrium kiri walaupun area belum terlalu sempit (>1.5 cm2). Pada stenosis mitral Gambar 2. Ekokardiografikardiografi transesofageal Potongan 4-ruang, menunjukan penebalan daun katup mitral dengan fusi khorda mengakibatkan penyempitan dari orifisium sekunder. (Sumber : A. Ghanie. Div. Kardiologi. Dept. lnt. Med. FK. UNSRI /RSMH Palembang)
ringan simtom yang muncul biasanya dicetuskan oleh faktor yang meningkatkan kecepatan aliran atau curah jantung, atau menurunkan periode pengisian diastol, yang akan meningkatkan tekanan atrium kiri secara dramatis. Beberapa keadaan antara lain: (1) latihan, (2) stres emosi,
STENOSISMITRAL
1673
(3) infeksi, (4) kehamilan, dan (5) fibrilasi atrium dengan respons ventrikel cepat. Dengan bertambah sempitnya area mitral maka tekanan atrium kiri akan meningkat bersamaan dengan progresi keluhan. Apabila area mitral 1,5 cnf , gradien 0,60 dan dimensi sistolik akhir 55mm
Peningkatan cepat
left ventricular diameters, Bicuspid aoftic valve atau Marfan syndrome dengan diameter aorta > 50 mm
1692
KARDIOI.OGI
bedah lebih sering terhadap perempuan dengan gejala yang berat, tetapi proporsi kematian setelah tindakan bedah pada perempuan dan pria adalah sama. Secara umum rekomendasi untuk tindakan pengobatan
dan pembedahan adalah pasien dengan pembesaran ventrikel l10 mm
.
atau ukuran vegetasi meningkat setelah terapi
. . . . .
antimikroba 4 minggu. Regurgitasi aorla atau mitral akut dengan tanda-tanda gagal ventrikel Gagal jantung kongestif yang tidak responsif terhadap
terapi medis
Perforasi atau ruptur katup Ekstensi perivalvular: abses- besar atau ekstensi abses walaupun terapi antimikroba adekuat Bakteriemia menetap setelah pemberian terapi medis yang adekuat.
4-6 minggu
4-6 minggu 4-6 minggu
4-6 minggu
6 minggu 2 minggu 6 minggu 6 minggu
)
(2004)
jalan. Beberapa penelitian lain juga melaporkan efektivitas regimen terapi oral: siprofloksasin 2 x 750 mg dan rifampisin 2 x 300 mg selama 4 minggu dan dapat diberikan pada pasien rawatjalan Regimen terapi vankomisin merupakan terapi pilihan pada kasus EI dengan methicillin resistant Staphylococcus oureus (MRSA), walaupun demikian respons klinis yang lambat masih cukup sering ditemukan. Infeksi HIV sering ditemukan pada pasien EI yang di sebabkan PNIY sekitar'7 5 Vo . P enatalaksanaanny a pada prinsipnya sama, terapi antibiotika diberikan secara maksimal dan tidak boleh,dengan regimen terapi jangka
4-6 minggu
Katup Asli ( Native Valve I Vankomisin 15 mg/kg lV tiaP '12 jam + gentamisin 1 mg/kg lV tiap 8 jam Katup Prostetik Vankomisin 15 mg/kg lV tiap 12 jam
+ rifampisin 300-450 mg per oral tiap 8 jam + gentamisin 1 mg/kg lV tiap B jam
4-6 minggu 2 minggu 4-6 minggu 4-6 minggu 2 minggu
KOMPLIKASI Komplikasi EI dapat terjadi pada setiap organ, sesuai dengan patofisiologi terjadinya manifestasi klinis (lihat patofisiologi): . Jantung: katup jantung: regurgitasi, gagal jantung.
. ' .
abses Paru : emboli paru, pneumonia, pneumotoraks, empiema
dan abses. Ginjzrl: glomerulonelrifis Otak: perdarahan subaraknoid, strok emboli, infark serebral
PENCEGAHAN ENDOKARDITIS INFEKTIF Beberapa kondisi jantung dikaitkan dengan risiko endokarditis lebih besar dari populasi norunal. Kondisi ini dikelompokkan pada 3 kategori; risiko tinggi, risiko sedang dan risiko rendah./tanpa risiko (Tabel 8). Kondisi non kardiak yang meningkatkan risiko El adalah
penyalahguna narkoba intravena (PNIV) yang
dikalkulasikan 12 x lebih tinggi daripada non PNIV. Kondisi lain yang menjadi predisposisi EI adalah hiperkoagulasi,
1708
KARDIOITOGI
Regimen H ig h
ly
Lama Minggu
Dosis dan Cara
Kekuatan Rekomendasi
Pen i ci I li n-Susceptib/e
crystalline sodium
Aqueous Penicillin G Atau Ceftriaxone sodium Aqueous crystalline Penicillin G sodium Atau
12-18 juta Ul24 jam lV secara kontinyus atau dalam 4 atau 6 dosis terbagi sama
A
2 grl24 jam lV/lM dalam 1 dosis
A
12-18 jula Ul24 jam lV secara kontinyus atau dalam 6 dosis terbagi sama
B
Ceftriaxone sodium Ditambah Gentamisin sulfat Vankomisin
2 grl24 jam lV/lM dalam 1 dosis
2
3 mg/kg per 24 jam lV/lM dalam 1 dosis atau dalam 3 dosis terbagi sama 30 mg/kg per 24 jam lV dalam 2 dosis terbagi tidak lebih dari 2 grl24 jam
4
B
4
B
Rel atively Re
si
stant to
crystalline
Oxaci
I Ii
Nafcillin oxacillin
n- s u
24 jula Ul24 jdm lV secara kontinyus atau dalam 4 atau 6 dosis terbagi sama
2grl24 jam lV/lM dalam
1 dosis
3 mg/kg pet 24 jarn lV/lM dalam '1 dosis atau dalam 3 dosis terbagi sama 30 mg/kg pet 24 jam lV dalam 2 dosis terbagi tidak lebih dari 2 grl24 jam
scepti ble stra i n s 12 grl24 jam lY dalam 4-6 dosis terbagi sama
atau
Oxac
3 mg/kg per 24
mrnggu
3-5 hari
6 grl24 jam lV dalam 3 dosis
Gentamisin
opsional Gentamisin sulfat
t)
B
30 mg/kg per 24
jam lV dalam 2
>6
3 mg/kg per 24
Vankomisin 30 mg/kg per 24
>6
B
jam lV dalam 2 dosis terbagi
2atau3dosis
Vankomisin
>6
Ox a c i I i n-resi sta nt stra i ns
3-5 hari
sama
terbagi sama
nt strai n s
Kekuatan Rekomendasi
atau 3 dosis terbagi sama
jam lV/lM dalam
Oxac i li n -resista
Lama
Minggu
jam lV/lM dalam2
mrnggu
terbagi sama 3 mg/kg per 24
900 mg per 24 jam lV/Per oral dalam 3 dosis terbagi
B
sama
Ditambah
Tambahan
sceptibl e strai n s 12 grl24 jam lV dalam 6 dosis terbagi sama
2
4
Ditambah
Untuk pasien alergi penisilin
Cefazolin
i I I i n- s u
Nafcillin atau oxacillin Ditambah Rifampin
b
Ditambah
opsional jam lV/lM dalam Gentamisin 2 atau3dosis sulfat terbagi sama
uosls dan Gara
Regimen
Dosis dan Cara
Tambahan
2
Pe n ic i I I i n
Aqueous Penicillin G sodium Atau Ceftriaxone sodium Ditambah Gentamisin sulfat Vankomisin
Regimen
B
Ditambah
Rifampin 6
m nggu
dosis terbagi sama
900 mg per 24 jam lV/Peroral dalam 3 dosis terbagi sama
Ditambah
Gentamisin
3 mg/kg per 24
jam lV/lM dalam2
penyakit kolon inflamasi, lupus eritematosus sistemik, pengobatan steroid, diabetes melitus, luka bakar,
atau 3 dosis terbagi sama
pemakaian respirator, status gizi buruk dan hemodialisis.
Target primer pencegahan pada prosedur yang melibatkan rongga mulut, saluran pernapasan atau esofagus adalah Streptococcus viridans, yang merupakan penyebab sering katup asli dan katup jantung prostetik onset akhir-. Prosedur yang melibatkan traktus genitourinari
dan gastrointestinal sering mendahului berkembangnya endokarditis enterokokkal sehingga target kumannya adalah enterokokkus. Jika dilakukan insisi dat drainage kulit dan jaringan lunak yang terifeksi, profilaksis difokuskan pada S.aureus.
1709
ENDOKARDIfiS
Risiko Tinggi Relatif Katup jantung
prostetik
Endokarditis infektif sebelumnya
Risiko
Sedang
Risiko Sangat
Rendah atau Tak Ada
Prolaps katup mitral dengan regurgitasi atau penebalan katup Stenosis mitral
Prolaps katup mitral tanpa regurgitasi atau penebalan katup Regurgitasi katup trivial pada ekokardiografi tanpa abnormalitas struktural
Penyakit katup trikuspid
Defek septum atrial (sekundum)
Duktus arteriosus paten
Stenosis pulmonal
Plak arterisklerotik
Hipertrofi septal asimetris
Penyakit arteri koroner sebelumnya Pacu jantung, defibrilator implant
(PDA) Regurgitasi Stenosis aorta
Regurgitasi mitral
Katup aorta bikuspid atau sklerosis aorta kalsifikasi dengan gangguan hemodinamik minimal Penyakit valvular generatif pada usia lanjut
Lesi intrakardiak yang dioperasi dengan tanpa/ minimal abnormalitas hemodinamik, pasca operasi > 6 bulan (ASD.
Stenosrs mitral dan regurgitasi
Defek septum ventrikular (VSD)
Koartasio aorta Lesi intakardiak yang sudah dioperasi dengan abnormalitas hemodinamik alau device prostetik Shunt pulmonal sistemik yang dioperasi
Lesi intrakardiak yang dioperasi dengan tanpa / minimal abnormalitas hemodinamik pasca operasr < 6 bulan
Regimen
Regimen standar
Amoksisilin 3 gram per oral '1 jam sebelum prosedur, kemudian 1,5 gram 6 jam setelah dosis inisial
Pasien allergi penisilin
Eritromisisn etilsuksinat 800 mg, atau eritromisisn stearat 1 gram, peroral2 jam sebelum prosedur, kemudian setengah dosis 6 jam seteiah dosis inisiai
/ amoksisilin
Penyakit jantung kongenital sianotik
aorta
Sett ng
Pasien tak bisa mendapat terapi oral
Ampisilin 2 gram lM atau lV 30 menit sebelum prosedur, kemudian ampisilin 1 gram lM atau lV, atau amoksisilin 1,5 gram per oral 6 jam setelah dosis rnisial
Pasien alergr penisilin / amoksisilin / Ampisilin tak bisa mendapat terapi oral Pasien dianggap sebagai risrko sangat Tinggi dan bukan kandidat untuk regimen standar
Klindamisin 300 mg lV 30 menit sebelum prosedur, kemudian 150 mg 6 jam setelah dosis inisial
Pasien dianggap risiko sangat tinggi Alergi pen isilin/amoksilin/ ampisilin
Gunakan regimen untuk pasien alergi yang menjalani prosedur genitourinari dan gastrointestinal
Gunakan regimen standar untuk prosedur genitourinari dan gastrointestinal
VSD, PDA,
stenosis pulmonal ) Operasi graft pintas koroner sebelumya
Penyakit Kawasaki sebelumnya atau demam reumatik tanpa disfungsi valvular
Antibiotik
Regimen
Pasien risiko tinggi
Ampisilin plus
Ampisilin 2 gram lV/lM plus gentamisin 1,5 mg/kg dalam 30 menit prosedur, ulangi ampisilin 1 gram lV/lM atau diberikan amoksisilin 1 gr peroral 6 jam kemudian
Settrng
gentamrsin
Vankomisin 1 gram lV diinfus dalam 1-2 jam dan selesai dalam 30 mentt prosedur plus gentamisin 1,5 mg/kg lM/lV Tidak direkomendasikan dosis
Pasien risiko
Vankomisin
tinggi,
plus
Allergi penislin
gentamisin
Pasien risiko sedang
Amoksisilin atau ampisilin
Amoksisilin 2 gram peroral 1 jam sebelum prosedur atau ampisilin 2 gram lM/lV 30 menit sebelum prosedur
Pasien alergi
Vankomisin
Vankomisin 1 gram lV dinfus dalam 1-2 jam dan selesai dalam 30 rnenit prosedur
kedua.
penisilin,
risiko sedang
17t0
KARDIOLOGI
Prosedur di mana pencegahan endokarditis infektif direkomendasikan dapat dilihat pada tabel 9,10. Prosedur dianjurkan pada semua pasien dengan semua risiko yang menjzLlani prosedur gigi yang menyebabkan perdarahan,
namun ekstraksi merupakan risiko yang paling kuat terjadinya EI. Profilalsis tidak rutin direkomendasikarr pada prosedur endoskopi dengan atau tanpa biopsi, karena
kejadian EI jarang dilaporkan. Profilaksis tidak direkomendasikan secara rutin pada kateterjsasi jantung atau TEE.
REFERENSI Alwi I, Rahman AM, Mad-iid A, Ismail D, Harutr S, Suryadipradja RM. Endokarditis inleksi pada penyalahgunaan obat intraveu;t: spektrum ekokardiografi pada 26 kasus Nlakalah Bebas Oral KOPAPDI XI. Surabaya. 2000 Iladdour LM, Wilson WR, Bayer AS, er
al
[nfective endocarditis
Diagnosis. antirnicrobial therapy. and nrarragement of conlplications. A Statement for Heaithcare Prolessionals From tLre Committee on Rheumatic Fever, Endocuditis, and Kawasaki Disease, Council on Cardiovascular Disease in the \bung, and the Councils on Clinical Cardiology, Stroke tnd Cardiovascular
Surgery and Anesthesia, American EIeart Association. Circulation 2005: I I I :e39:l-e.133 Bayer AS, Bolger AN. Tauberr KA. Wilson W, Steckclberg J. Karchmel AW et al AHA Scientific Statement Diagnosis and
of inf-ective endocarditis and its cornplications Circulation 1998 ;98:2936-48. Brown M, Gdffin GE Immune responses in endocarditis. Editorial Heart 1998l.19:l-2. Charnbers HE. Korzenioski OM, Sande MA. Staphylococcus aureus endocarditis: clinical manitestations in addicts and nonaddicts managernent
N{edicine 1983;62:170-1. Cheitlein MD, Alpert JS, Armstrong WF, Aungemma CP, Beller GA, Biermzln FZ et al. ACC/AI{A Guidelines for the Clinical Application of Ekokaldiograficardiography. A report of [he American College of Cardiology/American Heart Assoeiarion Task Force on Practice GuideUnes (Comrnittee on Clinical AppLcation of Ekokardiograficardiography). Circulation 1997:95:1 686-'7 44. Durack DT, Lukes AS, Bright DK. New criteria for diagnosis of infective endocarditis: utilization of spesific ekokardiograficardiographic
findings. Am J Med 199196:200-9 Dwolkin RJ, Lee 81, Sande MA, Chambers HF. Treatment of right sidcd Staphyloccus aurcus endocarditis in intravenous drug users wiLh ciprofloxacin and rifampicin. Lancet 1989:107i-3
Durack DT. Infective and non-infective endocarditis. In : Schlant RC, Alexander RW, O'Rourke RA, Robert R, Sonnenblick EH. The Heart 8 th Eds. New York , Mc Graw Hill Inc. 1994 p 1681709. Francioii P, Etienne J. Hoigne R, Thys JP, Gerber A. Treatment of streptococcal endoc:rditis with a single daily dose of ceftriaxone and outpatient Lieatment feasibility. JAMA 1992:261 :264-7. Horstkotte D, Follath F, Cutschik E, et al. Guidelines on prevention. diagnosi-s and treatment of infective endocarditis The Task Force on Inlective Endocarditis of the European Society of Cardiology. Eur Heart J 2004100:1-37 Heldman AW, Hartert TY Ray SC, Daoud EG Kowalski TE, Pompili EJ et al. Oral antibiotic treatment of right sided staphylococcal endocarditis in injection drug users : plospective randomized cornparison with parenterzrI therapy. Am J Mcd 1996;l0l:6816. Heeht SR, Berger
M Right sided endocarditis in intravenous drug users Ann lntern NIed 1992:117:560-6.
Habib G Derumeaux G Avierinos JF, Casalta JP, jamal F. Volot F et al. Value and limitations of the Duke criteria for the di.rgnosis of infective endocarditis. J Am Coll Cardiol 1999;33:2023-9 Karchmer AW. Infective endocarditis ln : Braunwald's Heart Disease. A Textbook of Cardivascular Medicine 7 th Eds. Philadel-
phia, Elsevier Saunders. 2005.p. t633--58
BR Slow response to vancomycin or vancomycin plus rifampin in neth jcillin-resistant Staphl lococcus aure[rs endocarCitis, Ann lntern \4ed l99l;115:674-80 Mathew J. Addai T Anau A. Morrobel A, Maheshwari P, Freels S Clinical featnres, site of involvement, bacteriologic findings,
Levine DP Fromm BS, Reddy
and outcome ol infective endocarditis in intravenous drug Arch Intern Med 1995;15-5:1641-8.
users
Nalass RG Weinstein MP, Bartels J, Gocke DJ. Infective endocarditis in intravenous drug users : a comparison of human inrmttnodeliciency virus tipe-l negative and positive patients J Infect Dis 1990:162:967-70. Ribera E. N4ilo JM, Cortes E, Cruceta A. Melce J, Marco F et al Influence of human irnmunodeticiency virus-1 infection and degree of immunosuppression in the clinical characteristics and outcome of infectire endocarditis in intlavenous drug users. Arch Intern Med 1998;158:2043-9. Roberts R, Slovis CM. Endocarditis in intravenous drug abusers. Emergency Med Clin North Am. 1990;8:665-81. Shanson DC. New guidelines for the antibiotic treatment of streptococcal, enterococcal and staphylococcal endocarditis J Anti-
microbial Chemotherapy 19981,42:292-6 Wilson WR, Karchmer A1il, Dajani AS, Taubert KA. Bayer A. Kaye D et al. Antibiotic treatment of adult with infective endocarditis due to streptococci, enterococci, sraphylococci, and HACEK microorganisms. JAMA 1995:.21 4:1706-13.
269 MIOKARDITIS Idrus Alwi, Lukman H. Makmun
PENDAHULUAN Miokarditis merupakan penyakit ffiamasi pada miokard, yang
bisa disebabkan karena infeksi maupun non infeksi. Patofisologi miokarditis belum sepenuhnya dimengerti. Miokarditis primer diduga karena infeksi virus akut atau
penelitian miokarditis pada hewan oleh virus kardi200 dan diastolik >100 mm Hg, bradi atau takiaritmia, kardiomiopatia hipertrofik, UAP (kecuali yang berisiko rendah dan sudah bebas nyeri), dan gangguan fisik yang menyulitkan melakukan tes ini. Treadmill exercise tesr memiliki sensitivitas dan spesifisitas masing-masing sebesar 687o +l-16 Vo danll% +l-117o. Tes ini ternyata sensitivitasnya lebih rendah dari s/ress testlainnya.
Ekokardiograf i Pemeriksaan ini bermanfaat sekali pada pasien
dengan
murmur sistolik untuk memperlihatkan ada tidaknya stenosis aorta yang signifikan atau kardiomiopati hipertrofik. Selain itu dapat pula menentukan luasnya iskemia bila dilakukan waktu nyeri dada sedang berlangsung. Pemeriksaan ini bermanfaat untuk menganalisis fungsi miokardium segmental bila hal ini telah
t737
ANGINAPEKTORIS STABIL
terjadi pada pasien AP stabil kronik atau bila telah pernah infark jantung sebelumnya, walaupun hal ini tidak dapat
memperlihatkan iskemia yang baru terjadi. Bila ekokardiografi dilakukan dalam waktu sampai 30 menit dan
serangan angina, mungkin sekali masih dapat memperlihatkan adanya segmen miokardium yang mengalami disfungsi karena iskemia akut. Segmen ini akan
pulih lagi setelah hilangnya iskemia akut. Kuantitas iskemia
dapat diperlihatkan dengan sistem skor. Bila daerah disfungsi iskemik itu sukar terlihat, maka sensitivitas dapat ditambah dengan memakai alat eko yang menggunakan harmonic imaging atau dapat dipakai juga eko kontras memakai gelembung-gelembung mikro (micro bubbles) yang terjadi waktu injeksi IV larutan kontras. Pada saat terjadi iskemia dapat timbul MR, yang dapat diperlihatkan pula dengan eko doppler.
Stress lmaging, dengan Ekokardiograf i atau Radionuklir Pemeriksaan stres ekokardiografi ini bermanfaat dikerj akan pada pasien yang dicurigai menderitaAPS sedangkan EKG
istirahatnya menunjukkan ST depresi I mm atau lebih atau
memperlihatkan adanya sindrom WPW. Kedua tes ini bergunajuga pada pasien pre revaskularisasi atau pasienpasien dengan pacu jantung atau LBBB. Ekokardiografi stres dengan memakai obat-obatan bermanfaat sekali dilakukan pada pasien-pasien yang tak dapat melakukan
stres dengan latihan ataupun yang akan dilakukan revaskularisasi (dengan PCI atau CABG).Tes-tes ini kurang bermanfaat bila dikerjakan pada pasien-pasien yang sudah hampir pasti atau sama sekali belum jelas menderita iskemia miokardium. Pemeriksaan-pemeriksaan stres tes ini dapat diterapkan juga bagi pasien-pasien asimtomatik, terutama
pada pasien-pasien asimtomatik yang berisiko tinggi. Sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan stres
karakteristik klinisnya tergolon g risiko tinggi. Pemeriksaan ini diperlukan juga bagi pasien-pasien yang diketahui mempunyai disfungsi ventrikel kiri (EF kurang dari 457a) walaupun dengan angina klas I-II dan pemeriksaan non invasif tidak menunjukkan risiko tinggi, serta pasien-pasien yang tidak dapat ditentukan status koronernya dengan pemeriksaan non invasif.
Keterbatasan angiografi koroner misalnya adalah bahwa ia tak dapat menentukan perubahan fungsi miokardium berdasarkan stenosis koroner yang ada dan insensitif dalam menentukan adanya trombus. Lagipula ia
juga tak dapat menunjukkan plak sklerosis yang akan menyebabkan berkembangnya menjadi UAP, yang tergantung pada isi dan kapsul plak tersebut. Tidakjarang
plak yang demikian biasanya hanyalah menunjukkan stenosis 50Vo. Dengan tambahan beratnya disfungsi LV,
angiografi koroner bermanfaat sekali untuk stratifikasi prognostik, yang berkorelasi dengan jumlah pembuluh darah yang mengalami stenosis, yaitu l, 2, 3 pembuluh atau LM. Surviv al 1 2 th untuk pasien dg 0,1,2,3 pembuluh adalah masing-masing 9 I
Vo,
I 4Vo, 59 Vo dan 407o, sedan gkan
LV fungsi sistolis dengan EF 50-1007o,35-497o dan130 mg/dl (target 2mm. minimal pada 2 sandapan
(culprit) kemudian akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri agregat trombosit dan fibrin.
L743
INFARK MIOKAR.D AKUT DENGAN ELEVASI ST
prekordial yang berdampingan atau > 1mm pada 2 sandapan
ekstremitas. Perneriksaan enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat, lnemperkuat diagnosis, namun
keputusan memberikan terapi revaskularisasi tak perlu menunggu hasil pemeriksaan enzim, mengingat dalam tatalaksana IMA, prinsip utama penatalaksanaan adalah
Diagnosis banding nyeri dada STEIVII ant-ara lain perikarditis akut, emboii paru, diseksi aorta akul, kostokondritis.dan gangguan gastrointestinai. Nyeri dada tidak selalu ditemukan pada STEN{I. In miokard akuf dengan elevasi ST (STEMD tempa nyeri lebih sering dijumpai pada diabetes melitus dan usia lan-iut
time is muscle.
PEMERIKSAAN FISIS ANAMNESIS Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali ekstrernitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernai >30 menit dan banyak keringat dicurigai kuiit adanya STEMI. Sekitar seperempat pasien infark an reli or me mp un y ai mani f-estas i
Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anarnnesis secara cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau dari luarjantung. Jika dicurigai nyeri dada yang berasal dari jantung perlu dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner atau bukan. Perlu dianarnnesis pula apakah ada riwayat infark ntiokard sebelurnnya serta iaktot--faktor risiko antara lain hipefiensi, diabetes melitus. dislipidemra. merokok, stres serta riwayat sakit jantun-u koroner pada keluarga. Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi STENII, seperti aktivitas fisik berat, stres emosi atau penyakit medis atau beclah. Walaupun STEMI bisa terjadi sepiurjang hari atau malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam setelah bangun tidur.
pertama dan split paradoksikal buni,i jantung kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau iate sistolik apikal yang bersifat sementara karena disfungsi aparatus katup mitral dan pericardiaL Jriction ruD. Peningkatan suhu sampai 380C dapat dijumpai dtriam nringgu peftama pusca STEMI.
NYERI DADA
ELEKTROKABDIOGRAM
Bila dijumpai pasien dengan nyeri dada akut perlu dipastikan secara cepat dan tepat apakah pasien menderita IMA atau trdak. Diagnosis yang terlambat atau yang salah, dalam jangka panjang dapat menyebabkan konsekuensi yang berat. Nyeri dada tipikal (an-eina) merupakan gejala kardinal pasien IMA. Seorang dokter harus mampu mengenal nyeri dada angina dan mampu membedakan dengan nyeri dada lainnya, karena gejala ini merupakan petanda awal dalam pengelolaan pasien IMA.
Silat nyeri dada angina sebagai berikut: . Lokasi: substernal, retrosternal, dan prekordial. . Sjf'at nyeri: rasa sakit. seperli ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, seperli ditusuk, rasa diperas, dan
. . . .
dipelintir. Penjalaran: biasanya ke lengan kiri, dapatjuga ke ieher, rahang bawah, gigr, punggrrng/interskapula, perut, dan dapatjuga ke lengan kauan. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau obat nrtrat. Faktor pencetus: latihtm fisik, stres emosi, udara dingin, dan sesudah makan. Gejala yang menyefiai: mual. muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas dan lemas.
hiperakti vitas s araf simp atis (ta.krkardia cian /atau h j poten si.1 dan hampir setengah pasien inlark inferior nienunjukkan
hiperaktivitas parasirnpatis (bradikardia dan/atau hipotensi) Tanda lisis Jain pada dislungsi ventrikr-rlal adalah Srl
dan 53 gallop, penurunan intensitas bunyi jiintung
Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pacla semua pasien dengan nyeri dada atali keiuhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini harus dilakukan segera dalam 10 menit sejak kedatangan di IGD. Pcmerik-saan EKG di IGD merupakan landasan dalam menentukan keputusan terapi karena bukti kuat menunjukkan ganrbaran ele,,'asi segmen ST dapat mengidentilikasi pasien yang benlanfaai untuk dilakukan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan EKC awal tidak diagnostik untuk STEMI tetapr pasien lcrap simtomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan intervai 5-10 rnenit atau pemantauan EKG i2
sandapan secara kontinyu harus dilakukan untuk mende[eksi potensi perkembangan elevasi segmen S'I. Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan harus
diambil untuk mendeteksi kemungkinan infark pada ventrikel kanan. Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elcvasi segmen ST mengalami evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhimya didiagnosis infnrk miokard gelombang
Q. sebagian kecil menetap menjadi infark miokard gelombang non Q. Jika obstruksi trombus tidak total. obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak diternukan elevasi segmen ST. Pasien tersebut biasanya mengalami angina pektoris tak
t744
I(ARDIOI.OGI
stabil atau non STEMI. Pada sebagian pasien tanpa elevasi ST berkembang tanpa menunjukkan gelombang Q disebut infark non Q. Sebelumnya istilah infark miokard transmural digunakan jika EKG menuniukkan gelombang Q atau hilangnya gelombang R dan infark miokard non transmural jika EKG hanya menunjukkan perubahan sementara segmen ST dan gelombang T, namun ternyata tidak selalu ada korelasi gambaran patologis EKG dengan lokasi infark (mural/transmural) sehingga terminologi IMA gelombang
Q dan non Q menggantikan IMA mural/nontransmural. Pada gambar 5 dapat dilihat EKG yang menyebabkan STEMI anterior ekstensif
dan dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai
petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan inijuga akan
diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi reperfusi diberikan segera mungkin dan tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker. Peningkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan ada nekrosis j antung (infark m i okard). . CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4hai. Operasi jantung, miokarditis dan
.
kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB.
cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jamblla ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5- l0 hari.
Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu:
.
.
I
.
Mioglobin: dapat dideteksi
satu
jam setelah infark dan
mencapai puncak dalam 4-8 j am.
Creatinin kinase (CK): Meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari. Lttctic dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark miokard, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8- 14 hari.
Gambar 5. EKG menunjukkan STEMI anterior ekstensif.
Garis horizontal menunjukkal upper reference limit (URL) biomarker jantung pada laboratorium kimia klinis. URL adalah nilai yang mempresentasikan 99th percentile
LABORATORIUM
kelompok kontrol tanpa STEMI. Reaksi non spesifik terhadap injuri miokard adalah leukositosis polimorfonuklear yang dapat terjadi dalam
Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bagian menghambat implementasi terapi repefusi.
beberapa jam setelah onset nyei dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 1 2.000- 1 5.000/u1.
PETANDA (B'OMAR KEH) KERUSAKAN JANTUNG
PENATALAKSANAAN
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah creatinine kinase (CK)MB dan cardiac specific troponin (cTn)T atau cTn I
Tatalaksana IMA dengan elevasi ST saat ini mengacu pada
dalam tatalaksana pasien STEMI namun tidak boleh
Biomarker
Berat Molekul, Da
data-data dari evidence based berdasarkan penelitian
Rentang
waktu untuk meningkat
Rerata Waktu Elevasi Puncak (Non reperfusi)
Waktu Kembali ke Rentang Normal
24 jam 24 jam
48-72 jam 5-1 0 hari
Sering Digunakan di Praktek Klinik
CK-MB cTnl cTnT
86 OOO 23 500 33 000
3-12 jam
3-12 jam 3-12 jam
Jarang Digunakan di Praktek Klinik 1-4iam 17 800
Myoglobin CK-MB tissue isoform CK-MM tlssue lsoform
000 BO 000
86
12
jam-2 hari 6-7 jam
jam
2-6 iam
'18
1-6 jam
12 jam
5-'14 hari
24 hari Tak diketahui 38 jam
Da = Daltons; CK-MB = MB isoenzyme of creatine klnase; cTnl = cardiac troponin l; cTnf = cardiac troponin CK-Ml\l = MM isoenzyme of creatine klnase (Modifikasi dari Adams et al. Circulation 1993;88:750)
I
t745
INFARK MIOKARD AKUT DENGAN ELEVASI ST
Keterlambatan terbanyak yang terjadi pada
J
50
-_""'"-"
t t^^
I
o
; Io =5 E
Card ac ropon
Cardiac
-------
I
10
n
koponrn
CK-MB
no
no repedut
o.
repetrusion
repe{ls
on
CK-MB -reperfusion
penanganan pasien biasanya bukan selama transportasi ke Rumah sakit, namun karena lama waktu mulai on,rer nyeri dada sampai keputusan pasien untttk meminta pertolongan. Hal ini bisa ditanggulangi dengan cara edukasi kepada masyarakat oleh tenaga profesional kesehatan mengenai pentingnya tatalaksana dini. n olitik pra hospital hanya bis a dikerj akan ada paramedis di ambulans yang sudah terlatih untuk menginterpretasi EKG dan tatalaksana STEMI dan kendali
Pemberian fibri
jika 2
komando medis online yang bertanggungjawab pada 1B Days After onset of STEMI
pemberian terapi. Di Indonesia saat ini pemberian trombolitik prahospital ini belum bisa dilakukan. U e of Reference Conto Group
URL =991h ?o
Gambar 6. Biomarker jantung pada infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI)
randomizecl clinical trial yang terus berkembang ataupun konsensus dari para ahli sesuai pedoman (guideline). Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat. menghilangkan nyeri dada, penilaian dan implementasi
strategi reperfusi yang mungkin dilakukan, pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi IMA. Terdapat beberapa pedoman (guicleline) dalam tatalaksana IMA dengan elevasi ST yaitu dari ACC/AHA tahun 2009 dan ESC tahun 2008. Walaupun demikian perlu disesuaikan dengan kondisr sarana/fasilitas di tempat masing-masing
Panel A: Pasien dibawa oleh EMS setelah memanggil 9- I 1 : Reperfusi pada pasien STEMI dapat dilakukan dengan terapi farmakologis (fibrinolisis) atau pendekatan kateter (PCI primer). Implementasi strategi ini berryariasi tergantung cara transpoftasi pasien dan kemampuan penerimaan rumah sakit. Sasaran adalah waktu iskemia total 120 menit. Waktu transport ke rumah sakit bervariasi dari kasus ke kasus lainnya. tetapi sasaran waktu iskemia total adalah 120 menit. Terdapat 3 kemungkinan:
1) Jika EMS mempunyai kemampuan memberikan fibrinolitik dan pasien memenuhi syarat terapi. fibrinolisis pra rumah sakit dapat dimulai dalam 30 menit
2)
senter dan kemampuan ahli yang ada (khususnya di bidang
kardiologi intervensi).
3) TATALAKSANA AWAL
Talaksana Pra Rumah Sakit Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok komplikasi umum yaitu :komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik (p ump fai I u r e). Sebagian besar kematian di luar Rumah Sakit pada STEMI disebabkan adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam pertama onsef gejala. Dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam pefiama. Sehingga elemen utama tatalaksana pra hospital pada pasien yang dicurigai STEMI antara lain: . Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis . Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat
. .
melakukan tindakan resusilasi Transportasi pasien ke Rumah Sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU serta staf medis dokter dan perawat yang terlatih. Melakukan terapi reperfusi
sejak EMS tiba. Jika EMS tidak mampu memberikan f,rbrinolisis sebelum ke rumah sakit dan pasien dibawa ke rumah sakit yang tak tersedia sarana PCI, hospitcl door to needle time
harus dalam 30 menit untuk pasien yang mempunyai indikasi trbrinolitik. JikaEMS tidak mampu memberikan fibrinolisis sebelum ke rumah sakit dan pasien dibawa ke rumah sakit dengan sarana PCI, hospital door-to-balloon time harus dalam waktu 90menit.
Tatalaksana di Ruang Emergensi Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup: mengurangi/menghilangkan nyeri dada,
identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di rumah sakit dan menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEML
TATALAKSANA UMUM Oksigen Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen afieri 100 mmHg, interval PR 90%. Morfin sulfat: diberikan 2,5 mg (2-4 mg) intravena, dapat diulang tiap 5-10 menit sampai dosis total 20m9.
.
mempertahankan perfusi adekuat.
Diuretik: furosemid 40-80 mg bolus intravena, dapat diulang atau dosis diringkatkan setelah 4 jam, atau dilanjutkan dengan drip kontinyu sampai mencapai produksi urin I mUkgBB/jam. Penyekat beta harus diberikan sebelum pulang untuk pencegahan sekunder. Pada pasien yang tetap mengalami gagal jantung selama perawatan, dosis kecil dapat dimulai, dengan titrasi bertahap pada saat rawat jalan. Antagonis aldosteron jangka panjang harus diberikan pada pasien STEMI tanpa disfungsi ginjal bermakna (kreatinin harus 8 (35,9)
bedside
sederhana; 33 gallop, kongesti paru dan syok kardiogenik
Klasifikasi Forrester berdasarkan monitoring hemodinamik indeks jantung dan pulmonary capillary wedge pressure (PCWP)
TIMI risk score adalah
Usia 65-74 tahun (2 poin) Usia > 75 tahun (3 poin) ' Diabetes mellitus/hipertensi atau angina (1 poin) Tekanan darah sistolik < 100mm Hg (3 poin)
sistem prognostik paling akhir yang
menggabungkan anamnesis sederhana dan pemeriksaan fisis yang dinilai pada pasien STEMI yang mendapat terapi trombolitik.
REFERENSI Van de Werf, Bax.J, Betriu.A, et al. Management of acute myocardial infrction in patients presenting with persistent STsegment elevation. Eur Heart I 2008;29:2909-45 Antman EM, Anbe DT, Armstrong PW et al. ACC/AHA Guidelines for the Management of Patients Wirh ST--Elevation
Myocardial lnfarction A Report of the American College of
Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines (Committee to Revise the 1999 Guidelines
Management of Patients With Acute Myocardial Infarction) Circularion 2004;l 10:588-636 Antman E, Braunwald E. ST elevation myocardial infarction:
for the
I
il ilt IV
Mortalitas
Definisi
Klas
("/"1
Tak ada tanda gagal jantung kongestif + 53 dan/atau ronki basah edema paru syok kardiogenik
6 17
30-40 60-80
management In: Braunwald E, Zipes DP, Libby P, eds. Heart Disease: A Textbook of Cardiovascular Medicine. 7th ed. Phila-
delphia, Pa: WB Saunders12005:1167-226. Rogels WJ, Canto JG Lambrew CT. et al. Temporal trends in the treatment of over 1.5 million patients with myocardial infarction in the US from 1990 through 1999: the National Registry
of Myocardial Infarction 1, 2 and 3. J Am Coll Cardiol. 2000;36:2056-63.
Klas I
il ilt IV
lndeks Kardiak (L/min/m'z) > > < <
2,2 2,2 2,2 2,2
,l?,T!, Mortaritas (%) < 18
J
>18
I
< 18 > 18
23
PCWPr pulmonary capillary wedge pressure
51
Wiviott SD, Morrow DA, Giugliano RP, et al. Performance of thethrombolysis in myocardial infarction risk index for early acute coronarysyndrome in the National Registry of Myocardial Infarction: a simple risk index predicts mortality in both ST and non-ST elevation myocardial infarction J Am Coll Cardiol
2003 ;4 I :365A-366A.
National Cholesterol Education Program. Third Report of the Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol in Adults (Adult Treatment Panel IIl. NIH publication No. 02-5125. Bethesda, Md: National Heart, Lung, and Blood
t755
INEARK MIOKARD AKUT DENGAI{ ELEVASI ST
Institute, 2002. Guidelines, Related Toois, and Patient Information, available at: http://www.nhlbi.nih.gov/guidelines/cholesterol/ index.htm. Accessed
April 12,
2003.
Eisenberg MJ, Topol EJ. Prehospital administration of aspirin in patients with unstable angina and acute myocardial infarction.
Arch Intern Med. 1996;1 56: 1506-10. Fibrinolytic Therapy Trialists' (FTT) Collaborative Group. Indications for fibrinolytic therapy in suspected acute myocardial infarction: collaborative overview of early mortality and major morbidity results from all randomized trials of more than 1000 patients. Lanc et. 1994;343 :3 1 l-22. Gruppo Italiano per lo Studio della Streptochinasi nell'Infarto Miocardico (GISSI). Effectiveness of intravenous thrombolytic treatment in acute myocardial infarction. Lancet. 1986;l:39'l402. The American Heart Association in collaboration with the International Liaison Committee on Resuscitation. Guidelines 2000 for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care: Part 7: the era of reperfusion: section 1: acute coronary
syndromes (acute myocardial infarction). Circulation. 2000; 1 02(suppl I ),1l1 2-I-203. Antithrombotic Trialists' Collaboration. Collaborative meta-analysis of randomized trials of antiplatelet therapy for prevention of death, myocardial infarction, and stroke in high risk patients.
8MJ.2002;324:11-86. De Luca G, Suryapranata H, Zijlstra F, et al, for the ZWOLLE Myocardial Infarction Study Group. Symptom-onset-to-balloon time and mortality in patients with acute myocardial infarction treated by primary angioplasty. J Am Coll Cardiol 2003 42:9917.
N. Poldermans D. er al Acure myocardial infarction. Lancet 2003.36I:847-58 De Luca G, Suryapranata H, Ottervanger JP, et al Time de)ay to treatment and mortality in primary angioplasty for acute Boersma E, Mercado
myocardiaI infarction: every minute of delay counts. Ci r c ulatio n. 2004:109 :1223-5. The Task Force on the Management of Acute Myocardial Infarction of the European Society of Cardiology. Management of acute myocardial infarction in patients presenting with ST-segment elevation. Eur Heart J.2003;24:2866
Morrow DA, Antman EM, Charlesworth A, et al TIMI risk score for ST-elevation myocardial infarction: a convenient, bedside,
clinical score for risk assessment at presentation: an intravenous nPA for treatment of infarcting myocardium early Il trial substudy. Circulation. 2000;102 2031-7
multicentre trial: PRAGUE-2. Eur Heart J.2003;24:94-104 Lincoff AM, Califf RM, Van de Werf P, et al, for the Global Use of Strategies To Open Coronary Arteries (GUSTO) Investigators. Mortality at 1 year with combination platelet glycoprotein IIb/ IIIa inhibition and reduced-dose fibrinolytic therapy vs conventional fibrinolytic therapy for acute myocardial infarction: GUSTO V randomized trial. JAMA. 2002;288:2130-5 Widimsky P, Groch L, Zel(zko M, et al. Multicentre randomized trial comparing transport to primary angioplasty vs immediate
thrombolysis vs combined strategy for patients with acute myocardial infarction presenting to a community hospital without a catheterization laboratory: the PRAGUE study. Eur Heart
J. 2000:21:823-31 Grines CL, Browne
Kfl
.
Marco J, et al, for the Primary Angioplasty
in Myocardial Infarction Study Group. A
comparison of immediate angioplasty with thrombolytic therapy for acute myocardial infarction. N Engl J Med. 1993;328:673-9. Schcimig A, Kastrati A, Dirschinger J, et al, for the Stent versus Thrombolysis for Occluded Coronary Arteries in Patients with Acute Myocardial Infarction Study Investigators Coronary stenting plus platelet glycoprotein IIb/llIa blockade compared
with tissue plasminogen activator in acute
myocardial infarction. N EngL J Med. 2000;143:385-91. Andersen HR, Nielsen Tl Rasmussen K, et al. tbr the DANAMI-2 Investigators. Thrombolytic therapy vs plimzu'y percutaneous coronary intervention for myocaldial inl'arction in patients presenting to hospitals wirhour on-site cardiirc sufgery: a randomized controlled trial. JAMA. 2002;281 1943-51. Andersen HR, Nielsen TT, Rasmussen K, et al, for the DANAMI-2 Investigators. A comparison of coronary angioplasty with fibrinolytic therapy in acute myocardial infarction. N Engl J Med 2003;349: '733-42.
Hochman JS, Sleeper LA, Webb JG et al, for the Should We Emergently Revascularize Occluded Coronaries for Cardiogenic Shock (SHOCK) Investigators. Early revascularization in acute myocardial infarction complicated by cardiogenic shock N Engl J Mecl. 1999:341: 625-34.
Keeley EC, Boura JA, Grines CL. Primary angioplasty versus intravenous thrombolytic therapy for acute myocardial infarction: a quantitative review of 23 randomised trials. Lancet. 2003:.361 :1 3-20. Berger PB, Ellis SG Holmes DR, et al. Relationship between deJay in performing direct coronary angioplasty and early clinical outcome ln patients with acute myocardial infarction: results from the Global Use of Strategies To Open Occluded Arteries in
Acute Coronary Syndromes (GUSTO-IIb) triaL. Circulation.
.
Lee KL, Woodlief LH, Topol EJ, et al, for the GUSTO-I
1
999: I 00:
I
4-20.
Investigators Predictors of 30-day mortality in the era of reperfusion for acute myocardial infarction: results from an international trial of 41,021 patients. Circulation.
Juliard JM, Feldman LJ, Golmard JL, et al. Relation of mortality of
I995:9I:I659-68.
Am J CardioL. 2003:91: 1401-5. Suryapranata H, Ottervanger JP, Nibbering E, et al. Long term
Bonnefoy
E, Lapostolle F, Leizorovicz A, et al., for
the Comparison of Angioplasty and Prehospital Thrombolysis in Acute Myocardial Infarction study group Primary angioplasty versus prehospital fibrinolysis in acute myocardial infarction: a randomised stldy. Lancet. 2002;360:825-9. Steg PG, Bonnefoy E, Chabaud S, et al. Impact of time to treatment
on mortality after prehospital fibrinolysis or
primary
angioplasty: data from the CAPTIM randomized clinical trial. Circulation. 2003 ; 1 08:285 1-6 Widimsky P, Budesinsky T, Vorac D, et al. Long distance transport
for primary angioplasty vs immediate thrombolysis in
acute
myocardial infarction: final results of the randomized national
primary angioplasty during acute myocardial infarction to door-to- Thrombolysis In Myocardial Infarction (TIMI) time.
outcome and cost-effectiveness of stenting versus balloon angioplasty for acute myocardial infarction. Heart. 2001:85:661 -1
1
DA, et a1, for the Controlled Abciximab and Device Investigation to Lower Late Angioplasty Complications (CADILLAC) Invesrigators. Comparison of angioplasty with stenting, with or without abciximab, in acute myocardial infarction. N Engl J Med. 2002;346:957-66. The TIMI Research Group. Immediate vs delayed catheterization Stone GW, Grines CL, Cox
and angioplasty following thrombolytic therapy for acute A restits JAMA 1988;260:2849-
myocardial infarction: TIMI II
t756 58.
Hochman JS, Sleeper LA, White HD, et al, for the SHOCK Investigators: Should We Emergently Revascularize Occluded Coronaries for Cardiogenic Shock: one-year survival following early revascularization for cardiogenic shock. JAMA.
2001 285:190-2.
Y Sleeper LA, Cocke TP, et al, for the SHOCK Investigators. Early revascularization is associated with improved survival in elderly patients with acute myocardial infarction
Dzavik
complicated by cardiogenic shock: a report from the SHOCK
Trial Registry. Eur Heart J.2003;24:828-37 Montalescot G, Barragan P, Wittenberg O, et al, for the ADMIRAL
(Abciximab before Direct Angioplasty and Stenting in Myocardial Infarction Regarding Acute and Long-Term Follow-up). lnvestigators. Platelet glycoprotein IIb/IIIa
inhibition with coronary stenting for acute myocardial infarction. N Engl J Med. 2001;344:1895-903. Braunwald E, Antman E, Beasley J, et al. ACC/AHA 2002 guideline updatefor the management of patients with unstable angina and
non-ST-segment elevation myocardial infarction: summary article: a report of the American College of Cardiology/ American Heart Association Task Force on Practice Guidelines (Committee on the Management of Patients With Unstable Angina). J Am Coll Cardiol.20O2;40:1366. Gupta M, Chang WC, Van de Werf F, et al, for the ASSENT II
Investigators. International differences in in-hospital revascularization and outcomes following acute myocardial infarction: a multilevel analysis of patients in ASSENT-2. Ear Heart J. 2001',24:1640-50. Gibson CM, Karha J, Murphy SA, et al, for the TIMI Study Group. Early and long-term clinical outcomes associated with
reinfarction following fibrinolytic administration in the
thrombolysis in myocardial infarction trials. J Am Coll Cardiol. 2003 42:1 -16. ISIS-2 (Second International Study of Infarct Survival) Collaborative Croup. Randomised trial of intravenous streptokinase, oral aspirin, both, or neither among 17,187 cases of suspected acute myocardial infarction : ISIS -2. Lanc et. 1 98 8 ;2: 349-60. Bertrand ME, Rupprecht HJ, Urban R et al. Double-blind study of the safety of clopidogrel with and without a loading dose in
combination with aspirin compared with ticlopidine in combination with aspirin after coronary stenting : the Clopidogrel
Aspirin Stent International Cooperative Study (CLASSICS). C i r c ulat i o n 2O00 tl 02:624-9. Mehta SR, Yusul S, Peters RJ, et al, for the Clopidogrel in Unstable angina to prevent Recurrent Events trial (CURE) Investiga-
tors. Effects of pretreatment with clopidogrel and aspirin followed by long-term therapy in patients undergoing percutaneous coronary intervention: the PCI-CURE study. Lancet. 2001:358:527 -33. Steinhubl SR, Berger PB, Mann JT
III, et al, for the CREDO (Clopidogrel for the Reduction of Events During Observation) Investigators. Early and sustained dual oral antiplatelet therapy following percutaneous coronary intervention: a randomized controlled trial. JAMA. 2O02; 288:241 I-20.
Patrono C, Bachmann F, Baigent C, et al. Expert consensus document on the use of antip'latelet agents: The J45k Force on
KARDIOI.OGI
the Use of Antiplatelet Agents in Patients
With
Atherosclerotic Cardiovascular Disease of the European Society of Cardiology. Eur Heart J.200425:166-81 Levine GN, Kern MJ, Berger PB, et al, for the American Heart Association Diagnostic and Interventional Catheterization Committee and Council on Clinical Cardiology. Management of patients undergoing percutaneous coronary revascularization. Ann Intern Med. 2003:139:123-36. Third Report of the National Cholesterol Education Program (NCEP) Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol in Adults (Adult Treatment Panel III) final
report. C ircuLation. 2002;106:3143-421. Pitt B, Zannad F, Remme WJ, et al, for the Randomized Aldactone Evaluation Study Investigators. The effect of spironolactone on morbidity and mortality in patients with severe heart failure. N Engl J Med. 1999;341:'709-11 . Pfeffer MA, McMurray JJ, Velazquez EJ, et al, for the Valsartao in Acute Myocardial Inlarction Trial Investigators Valsartan, captopril, or both in myocardial infarclion complicated by heart failure, left ventricular dysfunction, or both. N Engl J Med. 2003;349:1893-1906. Yusuf S, Zhao F, Mehta SR, et al, ibr the Clopidogrel in Unstable Angina to Prevent Recurrent Events Trial Investigators Effects of clopidogrel in addition to aspirin in patients with acute coronary syndromes without ST-segment elevation N Engl J
Med 2001:345:494-502. Brouwer MA, van den Bergh PJ, Aengevaeren WR, et al. Aspirin
plus coumarin versus aspirin alone in the prevention of reocclusion after fibrinolysis for acute myocardial infarction: results of the Antithrombotics in the Prevention of Reocclusion
In Coronary Thrombolysis (APRICOT)-2 Trial. Circulation. 2002: 1 06:65 9-65 . Yusuf S, Sleight P, Pogue J, et al, for the Heart Outcomes Preven-
tion Evaluation Study Investigators. Effects of angiotensin-convertingenzyme inhibitor, ramipril,
an
on
cardiovascular events in high-risk patients. N Engl J Med 2000t342:145-53 Fox KM, for the EURopean trial On reduction of cardiac events with Perindopril in stable coronary Artery disease Investigators. Efficacy of perindopril in reduction of cardiovascular events .
with stable coronary artery disease: randomised, double-blind, placebocontrolled. multicentre trial (the EUROPA strdy). Lancer. 2003 ;362: 7 82-8. Granger CB, McMurray JJ, Yusuf S, et al, for the CHARM Investigators and Committees. Eff'ects of candesartan in patients with among patients
chronic heart failure and reduced left-ventricular systolic function intolerant to angiotensin- converting-enzyme inhibitors: the CHARM-Alternative trial. Lancet. 2003;362:112-6' McMurray JJ, Ostergren J, Swedberg K, et al, for the CHARM Investigators and Committees. Effects of candesartan in patients with chronic heart failure and reduced left-ventricular
systolic function taking angiotensin-converting-enzyme inhibitors: the CHARM-Added trial. Lancet. 2003:362:76771. Yusuf S, Pfeffer MA, Swedberg K, et al, for the CHARM Investigators and Committees. Effects of candesartan in patients with chronic heart failure and preserved left-ventricular ejection
fraction: the CHARMPreserved fiial. Lancet. 2003 ;362:'7 7 1 81.
Seventh report
of the Joint National Committee on
the
Prevention. Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7): resetting the hypertension sails' Hy pe rtension. 2003:.41:1 178 -9.
275 INFARK MIOI(ARD AKUT TANPA ELEVASI ST Sjaharuddin Harun, Idrus Alwi
PENDAHULUAN
oleh obstruksi koroner. NSTEMI terjadi karena trombosis akut atau proses vasokonstriksi koroner. Trombosis akut pada arteri koroner diawali dengan adanya ruptur plak yang tak stabil. Plak yang tidak stabil ini biasanya mempunyai inti lipid yang besar, densitas otot polos yang rqndah, fibrous cap yangtipis dan konsentrasi faktorjaringan yang
Angina pektoris tak stabil (unstable angina = UA) dan infark miokard akut tanpa elevasi ST (non ST elevation myocardial infarction = NSTEMI) diketahui merupakan suatu kesinambungan dengan kemiripan patofisiologi dan
gambaran klinis sehingga pada prinsipnya
tinggi. Inti lemak yang cenderung ruptur mempunyai
penatalaksanaan keduanya tidak berbeda. Diagnosis
konsentrasi ester kolesterol dengan proporsi asam lemak tak jenuh yang tinggi. Pada lokasi ruptur plak dapat dijumpai sel makrofag dan limfosit T yang menunjukkan adanya proses inflamasi. Sel-sel ini akan mengeluarkan sitokin proinflamasi seperti TNF cr, dan IL-6. Selanjutnya IL-6 akan merangsang pengeluaran hsCRP di hati.
NSTEMI ditegakkan jika pasien dengan manifestasi klinis UA menunjukkan bukti adanya nekrosis miokard berupa peningkatan biomarker j antung.
Gejala yang paling sering dikeluhkan adalah nyeri dada, yang menjadi salah satu gejala yang paling sering didapatkan pada pasien yang datang ke IGD, diperkirakan 5,3 juta kunjungan/tahun. Kira-kira l/3 darinya disebabkan
oleh UA/NSTEMI, dan merupakan penyebab tersering kunjungan ke rumah sakit pada penyakit jantung. Angka kunjungan RS untuk pasien UA/NSTEMI semakin meningkat, sementara angka infark miokard dengan elevasi ST (STEMD menurun. Penatalaksanaan UA/ NSTEMI telah disusun dalam
EVALUASIKLINIS Nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadangkala di epigastrium dengan ciri seperti diperas, perasaan seperti diikat, perasaan terbakar, nyeri tumpul, rasa penuh, berat
atau tertekan, menjadi presentasi gejala yang sering
pedoman (guidelines) oleh American College of Cardiology (ACC) dan American Heart Association
klinis menunjukkan bahwa mereka yang memiliki gejala
(AHA). Guidelines untuk tatalaksana UA./N-STEMI juga dibuat oleh European Society of Cardiology dan memiliki
dengan onset baru angina berat/terakselerasi memiliki prognosis lebih baik dibandingkan dengan yang memiliki nyeri
kemiripan den gan g uide lines Am erika. Perlu diingat bahwa prinsip penatalaksanaan sangat tergantung kepada sarana./
pada waktu istirahat. Walaupun gejala khas rasa tidak enak di dada iskemia pada NSTEMI telah diketahui dengan baik, gejala tidak khas seperti dispneu, mual, diaforesis, sinkop atau nyeri di lengan, epigastrium, bahu atas, atau leherjuga terjadi dalam kelompok yang lebih besar pada pasien-pasien berusia lebih dari 65 tahun.
ditemukan pada NSTEMI. Analisis berdasarkan gambaran
prasarana yang tersedia di tempat pelayanan masingmasing khususnya untuk tindakan intervensi koroner.
PATOFISIOLOGI Non ST elevation myocardial Infarction (NSTEMI) dapat disebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan atau peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang diperberat
EKG Gambaran elektrokardiogram (EKG), secara spesihk berupa
t75
1758
I(ARDIOI.OGI
deviasi segmen ST merupakan hal penting yang menentukan risiko pada pasien. Pada Thrombolysis in Mltocardial (TIMI) III Registry, adanya depresi segmen ST baru sebanyak 0,05 mV merupakan prediktor oLttcome
yang buruk. Kaul et al. menunjukkan peningkatan risiko outcome yang buruk meningkat secara progresif dengan memberatnya depresi segmen ST, dan baik depresi segmen ST maupun perubahan troponin T keduanya memberikan tambahan informasi prognosis pasien-pasien dengan NSTEIVII.
BIOMARKER KEBUSAKAN MIOKARD
dengan skor risiko 0- I , sampai 4l7o dengan skor risiko 6-7.
Skor risiko ini berasal dari analisis pasien-pasien pada penelitian TIMI l18 dan telah divalidasi pada empat penelitian tambahan dan satu registry. Dengan meningkatnya skor risiko, telah diobservasi manfaat yang lebih besar secara progresif pada terapi dengan LMWH versus UFH, detgan Platelet GP IIb/IIIa receptor blocker
tirofiban versus plasebo, dan strategi invasif versus konservatif. Pada pasien untuk semua level skor risiko TIMI, penggunaan klopidogrel menunjukkan penu;runan outc ome yang buruk relatif sama. Skor risiko juga efektif dalam memprediksi olttcome yang buruk pada pasien setelah pulang.
Troponin T atau troponin I merupakan petanda nekrosis miokard yang lebih disukai, karena lebih spesifik daripada enzim jantung tradisonal seperti CK dan CKMB. Pada pasien dengan lMA, peningkatan awal troponin pada darah perifer setelah 3-4 jamdan dapat menetap sampai 2 minggu. Pada gambar- I dapat dilihat kinetik biomarker jantung seperti mioglobin, CKMB dan troponin.
SERUM KREATININ Terdapat banyak bukti yang menunjukkan disfungsi ginjal
berhubungan dengan peningkatan risiko outcome yang buruk. Beberapa penelitian seperti Platelet Receptor
STRATIFIKASI RISIKO
Inhibition in Ischemic S),ndrome Managemenl in Patients Limited by Unstable Sign and Syntptom (PRISM-PLUS), Treat Angina with Aggrastctt and Detennine Cost of
Penilaian klinis dan EKG keduanya merupakan parameter
(TACTICS)-TIMI 18, dan Global Use Stategies to Open
utama dalam pengenalan dan penilaian risiko NSTEMI. Jika ditemukan risiko tinggi, maka keadaan ini memerlukan terapi awal yang segera. Penatalaksanaan sebaiknya terkait dengan faktor rjsikonya (Garnbar l). Terdapat beberapa pendekatan untuk stratifikasi risiko pada NSTEML
kesemuanya menunjukkan pasien-pasien dengan kadar klirens kreatinin yang lebih rendah memiliki gambar-an risiko tinggi yang lebih besar dan outcome yang kurang baik. Walaupun strategi invasif banyak bermanfaat pada pasien
Therapy with Invasive or Conservative Strategy
dengan disfungsi ginjal, namun mempunyai risiko perdarahan yang lebih banyak. Karena "molekul kecil'' inhibitor GP IIb/IIIadan LMWH diekskresikan lewat ginjal,
50
=o, o o
o.
.r..rtr..t.
=
E
o (E
penglepasan awal dari mioglobin atau CK-MB isoform
20 Troponin, setelah IMA klasik kardiak 10
-g .E
-
----
5
-
-
CK-IVB setelah lM
-
Troponin kardiak setelah mikro infark
PETANDA BTOLOGTS (BTOMARKEB IIULTIPEL
1
UNTUK PENILAIAN RISIKO
=
=
terapi ini seharusnya diberikan dengan perhatian khusus pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Walaupun disfungsi ginjal dapat mengganggu kiirens troponin. namun tetap merupakan prediktor keluaran yang benilai pada pasien tersebut.
2
.= ,9
E
Occluded Coronary Arteries (GUSTO) IV-ACS,
2345678
Jumlah hari setelah onset IMA
Gambar 1. Kinetik berbagai petanda biokimia jantung
Newby et al. mendemonstra-sikan bahwa strategi bedside menggunakan mioglobin, creatinin kinase-MB dan troponin I menunjukkan stratifikasi risiko yang lebih akurat dibandingkan j i ka menggunakan petanda tunggal berbasis
SKOR RISIKO TIMI Skor risiko merupakan suatu metoda sederhana untuk stratifikasi risiko, dan angka faktor risiko. Insidens outcome yatrg buruk (kematian, (re) infark miokard, atau iskemia berat rekuren) pada 14 hari berkisar antara 5Eo
laboratorium. Sabatine et al. mempertimbangkan 3 faktor patofisiologi yang terjadi pada UAAJSTEMI yaitu : . Ketidakstabilan plak dan nekrosis otot yang terjadi
. .
akrbat mikroembol isasi, Inflamasi vaskular. Kerusakan ventrikel kiri.
1759
INFARK MIOKARD AKUT TANPA ELEVASI ST
Masing-masing dapat dinilai secara independen berdasarkan penilaian terhadap petanda-petanda seperti cardiac-spesific Iroponin, C-reactive protein dan brain natrittret ic p eptide, berturut-turut. Pada peneli tian TACTICS-TIMI 18, di mana risiko relatif, mortalitas 30 hari pasien-pasien dengan biomarker 0, l, 2, dan 3 semakin meningkat berkali lipat 1;2,I;5,1; dan 13,0 berturut-turut. Pendekatan dengan berbagai petanda laboratorium ini sebaiknya tidak digunakan sendiri-sendiri tapi seharusnya dapat memperjelas penemuan klinis.
TERAPI ANTIISKEMIA Untuk menghilangkan nyeri dada dan mencegah nyeri dada berulang, dapat diberikan terapi awal mencakup nitrat dan penyekat beta. Terapi anti iskemia terdiri dari nitrogliserin sub lingual dan dapat dilanjutkan dengan intravena, dan penyekat beta oral (pada keadaan tertentu dapat diberikan intravena). Antagonis kalsium nondihidropiridin diberikan pada pasien dengan iskemia refrakter atau yang tidak toleran dengan obat penyekat beta.
Usia > 65 tahun > 3 faktor risiko PJK Stenosis sebelumnya > 50 % Deviasi ST > 2 kejadian angina < 24 jam Aspirin dalam 7 hari terakhir Peningkatan petanda jantung
PENATALAKSANAAN Pasien NSTEMI harus istirahat di tempat tidur dengan pemantauan EKG untuk deviasi segmen ST dan irama jantung. Empat komponen utama terapi harus dipertimbangkan pada setiap pasien NSTEMI yaitu :
.. . . .
Terapi antiiskemia,
Terapi antiplatelet/antikoagulan, Terapi invasif (kateterisasi dini/revaskularisasi),
NITRAT
Perawatan sebelum meninggalkan RS dan sesudah
Nitrat pertama kali harus diberikan sublingual atalu sPrcty bukal jika pasien mengalami nyeri dada iskemia. Jika nyeri
perawatan RS.
lskemia berulang dan/atau perubahan segmen ST atau inversi gelombang T dalam atau petanda kardiak yang positif
AsPirin
Penyekat reseptor beta Nitrat Regimen antitrombin Penghambat GP llb/llla Monitoring (ritme cjan iskemia)
Angiografi dalam
Braunwald et al. Circulation 2002;106:1893-900 Gambar 2. Jalur iskemia akut
1760
I(ARDIOI.OGI
menetap setelah diberikan nitrat sublingual 3 kali dengan interval 5 menit, direkomendasikan pemberian nitrogliserin
intravena (mulai 5-10 ug/menit). Laju infus dapat ditingkatkan l0 ug/menit tiap 3-5 menit sampai keluhan menghilang atau tekanan darah sistolik < 100 mmHg. Setelah nyeri dada hilang dapat digantikan dengan nitral oral atau dapat menggantikan nitrogliserin intravena jika pasien sudah bebas nyeri selama 12-24 jam. Kontraindikasi absolut adalah hipotensi atau penggunaan sildenafil atau
obat sekelasnya dalam 24 jam sebeiumnya.
PENYEKATBETA Penyekat beta oral diberikan dengan target frekuensi jantung 50-60 kali/menit. Antagonis kalsium yang mengurangi frekuensi jantung seperti verapamil atau
diltiazem direkomendasikan pada pasien dengan nyeri dada persisten atau rekuren setelah terapi nitrat dosis penuh dan penyekat beta dan pada pasien dengan kontraindikasi penyekat beta. Jika nyeri dada menetap walaupun dengan pemberian nitrogliserin intravena, morfin sulfat dengan dosis 1-5 mg dapat diberikan tiap 5-30 menit sampai dosis total 20 mg.
TERAPI ANTIPLATELET
Aspirin
Peran penting aspirin adalah
menghambat
siklooksigenase-1 yang telah dibuktikan dari penelitian klinis multipel dan beberapa meta-analisis, sehingga aspirin menjadi tulang punggung dalam penatalaksanaan UAA{STEMI. Sindrom "resistensi aspirin" dapat terjadi pada pemberian aspiran. Sindrom ini dideskripsikan dengan bervariasi sebagai kegagalan relatif untuk menghambat (inhibisi) agregasi platelet dan/atau kegagalan untuk memperpanjang waktu perdarahan, atau perkembangan kejadian klinis sepanjang terapi aspirin. Pasien-pasien dengan resistensi aspirin mempunyai risiko tinggi kejadian rekuren. Walaupun penelitian prospektif secara acak belum
pernah dilaporkan pada pasien-pasien ini, adalah logis untuk memberikan terapi klopidogrel, walaupun aspirin sebaiknya juga tidak dihentikan. Alexander et al. mendemonstrasikan tingginya kejadian (event rate) dan efek terapi yang besar dengan eptifibatide pada pasien sindrom koroner akut meskipun sebelumnya diterapi asplnn.
Klopidogrel Thienopyridine ini memblok reseptor adenosine Aktivitas
Obat
selektivitas Agonis
Propranolol
Tidak
Metoprolol
Beta l
Dosis Umum untuk Angina
parsial Tidak 20-80 mg 2 kali sehari
Tidak
50-200 mg 2 kali sehari
Atenolol
Betal
Nadolol
Tidak Tidak Beta l
Timolol Asebutolol
Esmolol
Betal Betal Betal
(intravena) Labetalol.
Tidak
Pindolol
Tidak
Betaksolol Bisoprolol
Tidak Tidak Tidak Ya Tidak Tidak Tidak Ya Ya
50-200 mg/hari 40-80 mg/hari 10 mg 2 kali sehari
200-600 mg 2 kali sehari
10-20 mg/hari 10 mg/hari 50-300 mcg / kg/ menit 200-600 mg 2 kali sehari 2 5-7.5 mg 3 kali sehari
*Labetalol adalah kombinasi penyekat alfa dan beta Gibbons, et al J Am Coll Cardiol 1999;33:2092-'197
diphospate P2Y,rpada permukaan platelet dan dengan demikian menginhibisi aktivasi platelet. Penggunaannya
pada UA/NSTEMI terutama berdasarkan penelitian Clopidogrel in Unstable Angina to Prevent Recurrent Ischemic Events (CURE) dan Clopidogrel for the Reduction of Events During Observation (CREDO). Dilakukan randomisasi terhadap 12.562 pasien dengan UA/NSETMI (semuanya mendapat terapi aspirin) ditambahkan klopidogrel (dosis awal 300 mg dilanjutkan dengan 75 mg/hari) atau plasebo. Setelah di pantau rata-
rata 9 bulan, hard end point primer (kematian kardiovaskular, infark miokard dan strok) menurun secara bermakna yaifi207o yaitu I 1,5 Vo padakelompok plasebo
menjadi 9,3 7o pada kelompok klopidogrel. Penurunan kejadian iskemia rekuren mulai terlihat dalam 6 jam randomisasi. Efek bermanfaat ditemukan untuk semua subkelompok, termasuk kelompok tanpa deviasi segmen ST atau pelepasan troponin dan kelompok yang memiliki skor risiko TIMI rendah.
TERAPIANTITROMBOTIK Oklusi trombus sub total pada koroner mempunyai peran utama dalam patogenesis NSTEMI dan keduanya mulai
dari agregasi platelet dan pembentlkan thrombinactivated fibrin befianggtng jawab atas perkembangan klot. Oleh karena itu, terapi antiplatelet dan anti trombin menjadi komponen kunci dalam perawatan.
Keuntungan terbesar adalah penurunan kejadian infark miokard, walaupun kecenderungan kematian dan strok tidak bermakna secara statistik. Namun, klopidogrel dikaitkan dengan peningkatan perdarahan mayor (3,77o versus 2,7Vo) dar' minor, sejalan dengan kecenderungan peningkatan perdarahan yang mengancam nyawa
(lfe-
threatening bleeding). Perdarahan yang berlebihan banyak ditemukan pada pasien dengan aspirin dosis tinggi atau pada mereka yang menjalani CABG selama 5
L76l
INFARK MIOKARD AKUT TANPA ELEVASI ST
hari penghentian klopidogrel. Telah dibuktikan
Antagonis GP llb/llla
peningkatan risiko perdarahan pada pemakaian kombinasi
Terdapat bukti kuat pada penelitian multipel bahwa
aspirin dan klopidogrel pada pasien-pasien yang
antagonis GP IIa/IIIb mengurangi insidens kematian atau
menjalaniCABG. Pada sub studi pengamatan penelitian CURE yang melibatkan 2.658 pasien yang menjalani PCI, dengan median 10 hari setelah randomisasi (PA-CURE study),
infark miokard pada pasien UA/NSTEMI yang menjalani PCI dan penggunaannya pada keadaan ini diindikasikan
kebanyakan pasien mendap at thienopy r idine y ang selama
4 minggu setelah menjalani prosedur. menunjukkan penatalaksanaan dengan klopidogrel dikaitkan dengan risiko relatif 30 7o lebih rendah terhadap kematian kardiovaskular, infark miokard atau revaskularisasi selama 30 hari (6,47o vs 4,5Vo). Manfaat klopidogrel telah diteliti selama 8 bulan pada penelitian tersamar (klopidogrel atau
plasebo) dengan kesimpulan yang ditentukan I bulan setelah PCI. Keuntungan pengobatan sebelumnya dan pemantauan terapi jangka panjang dengan klopidogrel juga diamati padapenelitian CREDO, pada sekitar 2.116 pasien, 55Vo pasiet dengan UA/NSTEMI yang hendak menjalani
secarajelas. Padapenelitian GUSTO IV-ACS yang didesain khusus untuk menguji manfaat abciximab pada pasien UAA{STEMI di mana PCI tidak dianjurkan, tidak didapat adanya manfaat, termasuk end point sekunder, misalnya kematian dalam 48 jam. Antagonis GP IIb/IIIa eptifibatid atau tirofiban manfaatnya masih kurang jelas. Suatu analisis retrospektif penelitian PRISM-PLUS menunjukkan bahwa tirofiban mengurangi insidens outcome yang buruk pada pasien risiko tinggi (skor risiko TIMI > 4) yang tidak menjalaniPCL Meta-analisis terhadap antagonis GP IIb/IIIa dari 6 penelitian besar yang melibatkan 3l .402 pasien UA/
NSTEMI yang tidak dijadwalkan menjalani PCI menunjukkan penurunan yang bermakna (-97o relatif , -l7o
PCI.
absolut), pada rasio odd untuk gabungan endpoint
Berdasarkan hasil penelitian-penelitian tersebut, maka klopidogrel direkomendasikan sebagai obat lini pertama
kematian atau infark miokard pada kelompok antagonis GP IIb/IIIa, sedangkan perdarahan meningkat secara bermakna dat', 1,4 Vo pada kelompok plasebo menjadi 2,4 Vo pada kelompok antagonis GP IIb/IIIa. Dalam analisis
(first-line drug) pada UA/NSTEMI dan ditambahkan aspirin pada pasien dengan UA/NSTEMI, kecuali mereka
dengan risiko tinggi perdarahan dan pasien yang memerlukan CABG segera. Klopidogrel sebaiknya
tambahan ditemukan bahwa 5.841
diberikan pada pasien dengan UA/NSTEMI pada pasien-
hari) dan pengamatan manfaat antagonis GP IIb/IIIa misalnya, pengurangan kematian atau infark miokard sebagian besar terbatas ke dalam sub grup ini (-2lVo). Penemuan ini termasuk dan diperkuat oleh analisis
pasren:
. .
Yang direncanakan untuk mendapat pendekatan non invasif dini. Yang diketahui tidak merupakan kandidat operasi koroner segera berdasarkan pengetahuan sebelumnya tentang anatomi koroner/ memiliki kontraindikasi untuk
.
operasl, Kateterisasi ditunda/ditangguhkan selama > 24-36 jam.
Pada Pasien-pasien yang direncanakan untuk kateterisasi diagnostik dalam 24-36 jam presentasi, menj adi alasan untuk tidak memberikan klopidogrel sampai dengan
temuan angiogram koroner meniadakan kebutuhan operasi bypass segera. Dosis awal klopidogrel dapat diberikan di
dai3l .402 (19 %o) pasien sebenamya menjalani revaskularisasi dini (dalam waktu 5
terperinci penelitian PURSUIT di Amerika Serikat. Pada penelitian itu strategi invasifdini cukup sering digunakan. Guideline ACC/AHA menetapkan pasien-pasien risiko tinggi terutama pasien dengan troponin-positif yang menjalani angiografi, mungkin sebaiknya mendapatkan antagonis GP IIb/IIIa. Dua agen molekul kecil, eptifibatid dan tirofiban, mungkin dimulu " up s tr e am" mis alnya I atau 2 hari sebelumnya dan dilanjutkan selama menjalani prosedur. Salah satu dari 3 antagonis GPIIb/IIIayatgada dapat dimulai secepatnya sebelum atau selama menjalani prosedur. Berdasarkan temuan GUSTO -I\'/ ACS, abciximab
laboratorium kateterisasi sebelum PCI atau dimulai
tidak diindikasikan pada pasien-pasien yang tidak
secepatnya setelah kateterisasi. Klopidogrel (seperti aspirin) adalah inhibitor fungsi platelet yang ireversibel, maka
direncanakan menjalani PCI. Tak ada satupun antagonis GP IIb/IIIa terlihat efektif atau diindikasikan secara rutin untuk penatalaksanaan pasien risiko rendah, pasien-pasien dengan troponin-negatif yang tidak menjalani angiografi dini. Berdasarkan pengamatan pada penelitian PCI-CURE dan CREDO, klopidogrel tidak terlihat menambah risiko
direkomendasikan juga agar obat ini dihentikan selama 5 atau lebih disukai 7 hari sebelum operasi elektif, termasuk CABG Risiko perdarahan berlebihan dapat ditoleransi pada
pasien yang belum dilakukan angiografi, dan dapat mencegah kejadian iskemia selama periode menunggu. Pandangan ini didukung oleh pengamatan pada penelitian CREDO bahwa terapi sebelumnya >6 hari sebelum PCI cenderung memperkuat manfaat obatnya dan kombinasi klopidogrel dan inhibitor GP IIb/trIa tampaknya menambah manfaat tanpa meningkatkan risiko perdarahan.
perdarahan terhadap antagonis GP IIb/IIIa. Efikasi thienopyridine dan antagonis GP IIb/IIIa tampaknya perlu ditambahkan dan terapi platelet tripel (aspirin, klopidogrel dan antagonis GP IIb/IIIa) diindikasikan pada pasien risiko tinggi yang direncanakan untuk menjalani PCI dan tidak
mempunyai risiko perdarahan berlebihan.
1762
TERAPI ANTIKOAGULAN
IGRDIOI.OGI
Holter selanjutnya menurun hampir separuhnya pada kelompok enoxaparin.
UFH (U nfa ra cti onated Hepari n) Manfaat UFH jika ditambah aspirin telah dibuktikan dalam tujuh penelitian acak dan kombinasi UFH dan aspirin telah digunakan dalam tatalaksana UA/NSTEMI untuk lebih dari 15 tahun. Penelitian sebelumnya menunjukkan keuntungan klopidogrel dan inhibitor GP IIb/IIIa. Namun demikian terdapat banyak kerugian UFH, termasuk di dalamnya ikatan yang non spesifik dan menyebabkan inaktivasi platelet, endotel vaskular, fibrin, platelet faktor 4 dan sejumlah protein sirkulasi. Produksi antibodi antiheparin
mungkin berhubungan dengan heparin-induced thrombocytopenia. Ikatan ini menimbulkan efek antikoagulan yang tak menentu, memerlukan monitor lebih
sering terhadap activated partial thromboplastin time (aPTT), pengaturan dosis dan membutuhkan infus intravena kontinyu.
LMWH (Low Molecular Weight Heparin) Akhir-akhir ini perhatian lebih difokuskan pada LMWH, dan kerugian-kerugian pada penggunaan UFH sebagian
besar dapat diatasi. Pentingnya pemantauan efek antikoagulan tidak diperlukan dan kejadian trombositopenia yang diinduksi heparin berkurang. LMWH adalah inhibitor utama pada sirkulasi trombin dan
STRATEGI INVASIF DINI VS KONSERVATIF DINI Berbagai penelitian telah dilakukan untuk membandingkan strategi invasif dini (arteriografi koroner dini dilanjutkan dengan revaskularisasi sebagaimana diindikasikan sesuai
temuan arteriografi) dengan strategi konservatif dini (kateterisasi dan jika diindikasikan revaskularisasi, hanya pada yang mengalami kegagalan terhadap terapi oral/obatobatan). Lima penelitian besar telah dilakukan secara
prospektifdan acak; dua di antaranya dilakukan sebelum
stenting rutin digunakan. Penelitian TIMI IIIB
menunjukkan tidak ada perbedaan bermakn a outcome pada
kedua strategi
ini,
walaupun analisis retrospektif
mengidentifikasi faktor-faktor risiko tinggi yang dapat
digunakan untuk memprediksi kegagalan strategi konservatif dan superioritas strategi invasif. Penelitian dini lainnya, The Veterans Affairs Non Q-Wave Infarction Strategies in Hospital (VANQWISH), menunjukkan kematian lebih banyak sejalan dengan kematian atau infark miokard dengan strategi invasif.
juga pada faktor X a sehingga obat ini mempengaruhi tidak hanya kinerja trombin dalam sirkulasi (efek anti faktor IIanya), seperti juga UFH, tapi juga mengurangi pembentukan
Terapi Antiplatelet
trombin (efek anti faktor X a-nya). Keuntungan praktis LMWH lainnya adalah absorbsi yang cepat dan dapat
Klopidogrel
diprediksi setelah pemberian subkutan. Dua penelitian acak tersamar ganda, Efficacy and Safety of Subcutaneous
Terapi Antiplatelet lntravena
Enoxap ar in in N on- Q-Wav e C o ro nary Evenrs (ES SENCE) dan TIMI 1 1B, yang melibatkan 7.081 pasien menunjukkan
keuntungan enoxaparin di atas UFH secara bermakna, dan suatu meta-analisis menunjukkan pengurangan kematian atau infark miokard secara bermakna. Karena ditemukan kesulitan untuk menentukan level antikoagulan, maka perlu dipikirkan dosis LMWH yang sesuai untuk pasien-pasien yang menjalani PCI dan keamanan LMWH pada pasien yang mendapat terapi inhibitor GP IIb/IIIa. Pada penelitian yang membandingkan enoxaparin dengan UFH pada 746 pasien UA/NSTEMI
yang mendapat aspirin dan eptifibatid yaitu penelitian Integrilin and Enoxaparin Randomized Assessment of Acute Coronary Syndrome Treatment (INTERACT), didapatkan outcome utama perdarahan mayor yang
Aspirin
Dosis awal 160-325 mg formula nonenterik dilajutkan 75-'160 mg/hari formula enterik atau nonenterik Dosis /oadlng 300 mg dilajutkan 75 mg/hari
(Plavix)
Abciximab (Reopro)
Eptifibatid (lntegrilin) Tirofiban
(Aggrastat)
0,25 mg/kg bolus dilanlutkan infus 0,125lkg per menit (maksimum 10 ug/menit) untuk 1224 )am
'lB0 ug/kg bolus dilanjutkan infus 2 ug/kg permenit untuk 72-96 jam 0,4 ug/kg permenit untuk 30 menit dilanjutkan infus 0,1 ug/kg permenit untuk 48-96 jam
Heparin
Dalteparin (Fragmin) Enoksaparin
(Lovenox) Heparin (UFH)
120 lU/kg SC tiap 12 jam (maksimum 10.000 lU 2 kali sehari ) 1 mg/kg SC tiap 12 jam; dosis awal boleh didahului bolus 30 mg intravena Bolus 60-70 U/kg (maksimum 5000 U) lV dilanjutkan infus 12-15 U/kg perjam (maksimum awal 1000 U/jam) dititrasi sampai aPTT 1,5-2,5 kali kontrol
Terdapat tiga penelitian sejalan dengan "era stent",
dikaitkan non CABG, lebih rendah secara bermakna pada
dan semua penelitian itu menunjukkan superioritas strategi
kelompok enoxaparin dibandingkan dengan kelompok UFH ( 1, 8 7o Vs 4,6 7o), w alaupun in siden relatif perdarahan minor adalah sebaliknya. Juga angka kematian atau infark miokard non fatal pada 30 hari dan iskemia pada monitor
menunjukkan penurunan yang bermakna mortalitas total
invasif. Penelitian Fragmin and Fast Revascularization during Instability in Coronary Artery Disease (FRISC) II dan kematian atau infark miokard dalam
I tahun
pada pasien
1763
INFARK MIOKARD AKUT TANPA ELEVASI ST
yang mendapat strategi invasif. Pasien-pasien pada kelompok invasif (invasive arm) pada penelitian ini telah diterapi di RS dengan regimen intensif yang termasuk di
dalamnya LMWH untuk rata-rata 6 hari sebelum
Dike uarkan dari Protokol
kateterisasi. Pada penelitian TACTICS-TIMI 18, semna pasien
mendapatkan tidak hanya aspirin dan UFH tapi juga "up-front" misalnya pemberian inhibitor tirofiban GP IIb/ IIIa segera. Berlawanan dengan FRISC II, kateterisasi jantung pada kelompok invasif dilakukan relatif dini, misalnya rata-tata22 jam setelah randomisasi. Kematian atau infark pada 6 bulan menurun secara bermakna dari 237o rnenjadi 9,57c pada kelompok konservatif dan menjadi 7,3Vo pada kelompok invasif. Keuntungan terbatas hanya untuk pasien dengan risiko tinggi dan sedang, yang didefinisikan sebagai skor risiko TIMI 3, semua peninggian troponin T (> 0,01 mg/ml) atau deviasi segment ST. Pada pasien tanpa gambaran risiko ini outcome dengan kedua strategi adalah sama. Lamanya perawatan di RS juga menurun dengan strategi invasif dan keseluruhan biaya penggunaan kedua strategi ini sama.
Penelitian Randomized Intenention Trial o.f Unstable Anginct (RITA)3 dilakukan pada pasien UA/NSTEMI, dan semua telah di terapi aspirin dan enoxaparin. Pada pasien-
pasien yang masuk untuk kelompok invasif, dilakukan angiografi koroner rata-rata 2 hari setelah randoriisasi. Setelah 4 bulan, terdapat reduksi 347c end point ?rinler kematian, (re) infark atau angina refrakter (dari l1.5Vc, menjadi 9,6a/o') dengan strategi invasif. dan waktu l2 bularr terdapat perbedaan bermakna. Hord end point kematian atau (re) infark sebagaimana telah didefinisikan oleh Eu-
ropean Society
of Cardiologylkriteria ACC, juga
menunjukkan penurunan bermakna sebesar 2lo/o dalam tahun dengan strategi invasif. Pada kondisi tidak ditemukan kontraindikasi spesifik, strategi invasif saat ini direkomendasikan pada pasien UA/ NSTEMI dengan risiko tinggi/sedang. Pasien itu sebaiknya 1
mendapatkan aspirin dan heparin atau mungkin enoksaparin. Sebagaimana disebutkan di atas, klopidogrel sebaiknya dimulai segera, jika kateterisasi diundur >24 36 jam, dan angiogram awal menyingkirkan indikasi untuk
CABG segera.
PERAWATAN UNTUK PASIEN RISIKO RENDAH Tes stres noninvasif sebaiknya dilakukan pada pasien risiko rendah, dan pasien yang hasil tesnya menunjukkan gambaran risiko tinggi sebaiknya segera menjalani arteriografi koroner dan berdasarkan temuan anatomis, revaskularisasi dapat dilakukan. Arteriografi koroner dapat dipilih pada pasien-pasien dengan tes positif tapi tanpa temuan risiko tinggi.
1 oT
2 vesse Dlsease
2 Vessel Disease dengan Keter batan LAD proksimal
PCI atau CABG
Gambar 3. Strategi revaskularisasi pada NSTEMI/UAP
lndikasi Klas I (/evel of evidence: Al
-
-
Angina rekuren saat istirahaU aktivitas tingkat rendah walaupun mendapat terapi Peninggian troponin I atau T Depresi segmen ST baru Angina/iskemia rekuren baru dengan gejala gagal jantung kongestif, ronki, regurgitasi mitral Tes stres positif Fraksi ejeksi kurang dari 40% Penurunan tekanan darah Takikardia ventrikel sustained PCI < 6 bulan, CABG sebelumnya
TATAI-AKSA\ lA PREDISCHAPGEDAN PENCEGAHAN SEKUNDER Tatalaksana terhadap faktor risiko antara lain mencapai
berat badan yang optimal, nasihat diet, rnenghentikan merokok, olahraga, pengontrolan hipertensi dan tatalaksana intensif diabetes melitus dan deteksi adanya diabetes yang tidak dikenali sebelumnya. Terdapat satu penelitian besar double-blind, placeboc:ontrolled, The MyocLcrdial Ischemia Reduction with Aggressire Chole.sterol Lovuerin g (MIRACL), yang menunjukkan manfaat penggunaan statin secara dini. Pasien-pasien UA/NSTEMI sebaiknya diterapi, sestai National Cholesterol Education Program (NCEP III), dan konsentrasi kolesterol LDL sebaiknya tereduksi hingga kurang dari 100mg/dl.
1764
KARDIOI.OGI
of Patients with Unstabie Angina) J Am 2000l,36:91
Obat antiiskemik dan
Kerja Obat
Antitrombotik/ Antiplatelet Aspirin Klopidogrel. atau tiklodipin Penyekat beta lnhibitor ACE
KlaslLevel of Evidence A
Antiplatelet Antiplatelet Jika kontraindikasi Aspirin Anti-iskemik Fraksi ejeksi < 40
A A
atau Gagal jantung
Nitrat Antagonis kalsium (antagonis dihidropiridin kerja
l/A lla/A
kongestif Fraksi ejeksi > 40 Antianginal untuk gejala iskemik Antiangina
IC I
Untuk gejala iskemik (harus dihindari) jika penyekat beta tidak berhasil (/evel of evidence: B\
singkat harus dihindari)
atau
kontraindikasi atau
Warfarin intensitas rendah dengan Atau tanpa aspirin Dipiridamol
Obat lnhibitor HMG-CoA reduktase lnhibitor HMG-CoA reduktase Gemfibrozil
Antitrombotik
Antiplatelet
Faktor Risiko Kolesterol LDL >130 mg/dL Kolesterol LDL 100'130 mg/dL Kolesterol HDL 135/85 mm Hg Kondisi pascamenopause Kondisi
lla/B
Col1 Cardiol.
0-1062
Braunwald E, Antman EM, Beasiey JW, et al. ACC/AHA guideline update for the management of patients with unstable angina and non-ST-segment elevation myocardial infarction-2002: Summary article. Circulation. 20021 106: 1893-900. Bertrand ME, Simoons ML, Fox KAA, et al Management of acute coronary syndromes in patients presenting without persistent ST-segment elevation. Task Force of the European Society of Cardiology. Eur Heart J. 2002; 23: I 809-40. Braunwald E. Application of current guidelines to the management ofunstable angina and non-ST elevation myocardial infarction Circulatio.n.2003 ; 108(suppl III):III-28-III-37. Scirica BM, Cannon CP, McCabe CH, et al. Prognosis in the Thrombolysis in Myocardial Ischemia III Registry according to the Braunwald unstable angina pectoris classification. Am J Cardiol 2002; 90: 821-6. Cannon CP, McCabe CH, Stone PH, et al., for the TIMI III Registry ECG Ancillary Study Investigators The electrocardiogram predicts one-year outcome of patients with unstable angina and non-Q wave myocardial infarction: Results of the TIMI III Registry ECG Ancillary Study. J Am Col1 Cardiol. 7997; 30:
t33-40.
Y et al. Troponin T and quantitative STsegment depression offer complementary prognostic information in the risk stratification of acute coronary
Kaul P, Newby LK, Fu
syndrome patients. J Am Col1 Cardiol. 2003; 41: 371-80. Boersma E, Pieper KS, Steyerberg EW, et al. Predictors of outcome in patients with acute coronary syndromes without persistent
ST segment elevation: Results from an international trial of 9461 patients. The PURSUIT investigators. Circulation. 2000; l0l: 2557-67. Antman EM, Cohen M, Bernink PJLM, et al. The TIMI risk score for unstable angina/non-ST elevation MI: A method for prognostication and therapeutic decision making. JAMA. 2000; 284: 835-42. Morrow DA. Antman EM, Snapinn S, et al. An integrated clinical approach to predicting the benefit of tirofiban in non-ST elevation acute coronary syndromes: Application of the TIMI Risk Score for UA/NSTEMI in PRISM-PLUS. Eur Heart J. 2002:
23: 223-9.
lla/B
LA, et al. Comparison of early invasive and conservative strategies in patients with
ilb/c
IIIa inhibitor tirofiban. N Engl J Med. 2001; 344:1819-87.
ilb/c
Budaj A, Yusuf S, Mehta SR, et al. Benefit of clopidogrel in patients with acute coronary syndromes without ST-segment elevation
Cannon CP, Weintraub WS, Demopoulos
unstable coronary syndromes treated with the glycoprotein IIb/
t/A
ilt/B IIA/C
pascamenopause
in various risk groups. Circulation. 2002;106: 1622-6. Scirica BM, Cannon CP, Antman EM, et al. Validation of the Thrombolysis in Myocardial Infarction (TIMI) Risk score for unstable angina and non-ST-elevation myocardial infarction in the TIMI III registry. Am J Cardiol. 2002; 90: 303-5 James SK, Lindahl B, Siegbahn A, et al. N-terminal pro-brain
natriuretic peptide and other risk markers for the separate
REFERENSI Braunwald E, Antman EM, Beasley JW et al. ACC/AHA guidelines for the management of patients with unstable angina non-ST segment elevation myocardial infarction: A report of the American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines (Committee on the Management
prediction of mortality and subsequent myocardial infarction in patients with unstable coronary artery disease: A global utilization of strategies to open occluded arteries (GUSTO)-N substudy. Circulation. 2003; 108: 215-81. Jan:uzzi JL, Cannon CP, DiBattiste PM, et al. Effects of renal insufficiency on early invasive management in patients with acute
coronary syndromes (The TACTICS-TIMI Cardiol. 2002; 90: 1246-9.
l8 Trial). Am
J
1765
INFARK MIOKARD AKUT TANPA ELEVASI ST
Aviles RJ, Askari AT, Lindahl B, et al. Troponin T levels in patients
with acute coronary
syndro.mes, with or without renal dysfunction N Engt J Med. 2002; 346:2047-52. Sabatine MS, Morrow DA, del-ernos J, et al. Multimarker approach to risk stratification in non-ST elevation acute coronary syndromes: Simultaneous assessment of rroponin I, C-reactive protein, and B-type natriuretic peptide. Circulation. 2002;105: r 760-3. Morrow DA, Braunwald E. Future of biomarkers in acute coronary
syndlomes: Moving toward a multimarker strateg)/. rculation. 2003; 1 08: 250-2. Antithrombotic Trialists' Collaboration. Collaborative meta-analysis of randomised trials of antiplatelet therapy for prevention of death, myocardial infarction, and stroke in high risk patients. BMJ 2U02: 124: 7l-86. Yusuf S, Zhao F, Mehta SR, et al Effects of clopidogrel in addition to aspirin in patients with acute coronary syndromes without ST-segment elevation. N Engl J NIed 2001; 345: 491-502. Yrrsuf S, Mehta SR. Zhao F, et al Early and late effects of clopidogrel in patients with acute coronary syndromes. Circulation. 2003; Ci
myocardial infarction: TIMI llB ESSENCE meta-analysis Circulation. 1999; 100: 1602-8. Kereiakes DJ, Mbntalescot G Antman EM, et al. Low-molecularweight heparin therapy for non-ST-elevation acute coron:try syndromes and during percutaneous cororary intervention: An expert consensus. Am Heart J.2002; 144: 615-24.
Goodman SG, Fitchett D, Armstrong PW, et al. Randomized evaluation of the safety and efficacy of enoxaparin versus unlractionated heparin in high-risk patients with non-ST-seg ment elevation acute coronarysyndromes receiving the glycoprotein IIb/IIIa inhibitor eptifibatide. Circulation. 2003;
l0i:238-44. The SYNERCI' Executive Committee. Superior yield of the new strategy of enoxaparin, revascularization and glycoprotein IIb/
IIla inhibitors. Am Heart 1.20O2;143:952-60. TIMI ltl Study Group. Effects of tissue plasminogen activator
and
Hongo RH. Ley J, Dick SE, Yee RR. The effect of clopidogrel in cornbination with aspirin when given before coronary artery bypass grafting. J Arn Coll Cardiol. 2002,40:231 7. Mehta SR, Yusuf S, Peters RJ, et al Effects of pretreatment with
a comparison of early invasive and conseNative strategies in unstable angina an 48 jam untuk selanjutnya diper-timbangkan antikoagtLlan oral jangka panjang. Streptokinase atau APSAC Heparin IV hanya diberikan pada kasus dengan risikc.r tinggi terhadap trombosis vena atau sistemik seperli IMA anterior, CHF, riwayat emboli sebelumnya, dan AF. Pemberian hepiuin bilaAPTT setelah < 2 x kontrol. Setelah lewat48jam diberikan subkutan 2 x sehari untuk
Pada kasus yang tidak mendapat terapi trombolitik: Heparin diberikan pada kasus yang berisiko tinggi. Diberikan bolus 75 U/KgBB IV lalu dosis pemeliharaan
. .
l00Gl2fi)U/jam.
1770
.
I(ARDIOLOGI
Antikoagulan oral hingga 3 bulan, kecuali pada AF
.
diberikan selamanya.
Di atas dari kasus-kasus tersebut pada semua IMA dianjurkan heparin loyv dose subkutan 2 x 7500 U per hari sampai berobat jalan.
.
. . . . . . . .
Aspirin diberikan sesegera mungkin dengan dosis 160325 mg.
Aspirin diteruskan meski pasien mendapat terapi tromboUtik dan atau heparin. Bila pasien tkan mendapat antikoagulan oral aspirin dihentikan sementara. Disarankan aspirin tidak diberikan bersamaan dengan lvafarin kecuali pada kasus risiko emboli sangat tinggi atau kasus yang gagal bila hanya diberi salah satunya. Aspirin jangkapanjang lebih diutamakan dibandingkan
. .
. . .
dengan klopidogrel.
Sulfinpirazon, tidak dianjurkan pada pasca-IMA.
Heparin diberikan untuk target ACT (activated c'lotting time) 300- 350 detik. Dosis heparin diberikan bolus 70- 1 50 U/kg dan s he ath dicabut bi Ia ACT < I 5 0 detik.
Bila penghambat GIIb/IIIa diberikan, dosis heparin diturunkan 70 U/KgBB. Heparin pascatindakan tidak diberikan secara rutin.
Dipiridamoltidaklagi direkomendasikan. klopidogrel dengan dosis muatan 300 mg dilanjutkan dengan 75 mglhari atau tiklopidin 2x 250 mg/hari, mulai 24 jam sebelum PTCA atau tiklopidin 250-500 mg/hari diberikan paling tidak selama 14 hari dan hingga 30 hari pada kasus risiko tinggi terhadap .r/erzr trombosis.
memberikan antikoagulan oral hingga 1-3 bulan yang selanj utnya di sambung dengan aspirin. Pasien yang tak tahan dengan aspirin direkomendasikan
abciximab
direkomendasikan.
Kasus yang dipasang .stenr . Aspirin diteruskan pascatindakan 1 60-325mg.
Pada kasus yang risiko trombosis dapat dipilih
. .
LMWH dapat diberikan
sebagai tambahan.
Warfarin tak direkomendasikan. PenghambatGllb/Illadirekomendasikan.
Dipiridamol secara sendiri atau bersama aspirin tidak
Coronary Artery Bypass Graff (CABG) PascaCABG . Aspirin 325 mgflrari, dimulai 6 jam pascaoperasi sarnpai
Pasca-lMA Risiko Tinggi
.
.
wafi-arin karena ef'ektif, aman, dan murah.
dianjurkan pada pasca-IMA.
.
karena alasan mahal.
. Pada kasus angioplasti primer, .
Antiplatelet
Penghambat GIIb/IIIa (abciximab. eptifibatid. atau tirofiban) direkomendasikan pada semua kandidat PTCA terutama yang berisiko tinggi. Tidak diberikan rutin
Pasca-IMA risiko tinggi, yaitu kasus dengan usia > 75 tahun, gagal jantung klinis, gangguan fungsi sistolik (LVEF < 4OVo), riw ayat emboli kiri atau kanan, ri w ayat strok dan TIA, pasca-IMA anterior luas, dan atrial
.
trbrilasi.
Antikoagulan oral jangka panjang, menurunkan risft rtfiio 687o dibandingkan dengan kontrol)) dengan
.
target INR 2,5 (rentang 2,0-3,0).
Aspirin dosis rendah, menurunkan risk rcttio
217o
dibandingkan dengan kontrol.
.
selama setahun untuk rtenurunkan risiko terjaclinva penutupan vena safena graft. Aspirin tidak direkomendasikan dibelikan > l2 bulan untuk tujuan mempertahankan grafl potency,. meskipun aspirin disarankan tetap dipakai seumur hidup pada pasien CAD. Bila tak bisa menerima aspirin, dapat diberikan tiklopidin 2 x 250 mg/hNidimulai 48 jant pascaoperasi. Pada CABG dengan arteri mamaria interna, aspirin
hanya optional.
Pada kasus risiko tinggi ini antikoagulan oral lebih direkomendasikan dibandingkan dengan aspirin.
REFERENSI
Percutaneous Tranluminal Coronary Angioplasty (PTCA) Waktu tindakan dan pascatindakan:
. .
. .
Sebelum tindakan aspirin 80-325 mg diberikan minimal 2 jam sebelumnya. Aspirin jangka panjang (.long term aspirin) 160-325 mg per hari untuk selamanya kecuali ada penyulit. Dipiridamol tak diberikan rutin. Untuk pasien yang tak bisa mendapat aspirin, diberikan klopidogrel dengan dosis muatan 300 mg dilanjutkan dengan 75 mgfliari atau tiklopidin 2x25}mglhari, mulai 24 jam sebelum PTCA bila tidak ditemukan kontra indikasi
DeWood MA, Spores J, Notske R. et
al
Prevalence
of
total
coronary occlusion during the early hours of transmurli myocardial infarction. N Engl J Med 1980; 303:897 902 Fatk E. Unstable angina with fatal outcome: dynamic coronar-v thrombosis Ieading to infalction andior sudden death: autopsy evidence of recurrent mural thrombosis with peripheral
embolization culminating in total vascular occlusion Circulation 1985: 7l :699-708. Fifth ACCP consensus conference on antithromboLic therapy. Chest 1998: 1 1 z1(suppl) Braunwald
E. Unslable angina An eriologic approach
tcr
management (editorial). Circulation 1998;98:2219-22. Ambrose JA, Dangas G. Unstable angina current concepts of pathogenesis and treat-ment Arch Intern Med 2000;160:25-37
AI{TTTROMBOTIK DAN TROMBC'LITIK PADA PJK
Gumiwang
G Antikoagulan
pada penyakit jantung koroner. kapan
diberikan dan bagaimana pemantauannya?. httpill w ww.interna.fk.ui. ac.id/ Antman EM, Fox KM for the intemational cardiology forum. Guidelines for the diagno-sis and management of unstable angina and non-Q-wave myocardial infarction: proposed revisions. Am Heart J 2000;139:461-'/ 5. Ryan TJ. 1999 Update ACC/AIIA guidelines for the management of patients with acute myocardial infarction. A report of the American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines (Committee on Management of Acute Myocardial Infarction). Circulation 1999;100: 1016-30. Frishman WH et aI. Antiplatelet and antithrombotic drugs Dalam
Frishman WH et al editor. Cardivascular pharmacotherapeutics manual. Edisi 2. New York. McGraw-Hi11.2004
l77l
277 EDEMA PARU AKUT Sjaharuddin Harun, Sally Aman Nasution
PENDAHULUAN Q,''-,n,, Edema paru akut (EPA) adalah akumulasi cairan di paru-
paru yang terjadi secara mendadak. Hal
ini
dapat
= Krl(Pi,-Pi",)
-
5r
(ll,-ll ",)l
di manal Q = Kecepatan transudasi dari pembuluh darah ke ruang
disebabkan oleh tekanan intravaskular yang tinggi (edema
paru kardiak) atau karena peningkatan permeabilitas membran kapiler (edema paru non kardiak) yang
interstitial.
P,,
= Tekanan hidrostatik intravaskular. Tekanan hidrostatik interstisial. - Tekanan osmotik koloid intravaskular.
men gakibatkan terj adiny a eks travasasi cairan secara cepat.
P
Pada sebagian besar edema paru secara klinis mempunyai
ll,,
kedua aspek tersebut di atas, sebab sangat sulit terjadi gangguan permeabilitas kapiler tanpa adanya gangguan fekanan pada mikrosirkulasi atau sebaliknya. Walaupun demikian penting sekali untuk menetapkan faktor mana yang dominan dari kedua mekanisme tersebut sebagai pedoman pengobatan. EPA adalah suatu keadaan gawat darurat dengan tingkat mortalitas yang masih tinggi. Berikut ini akan dibahas mengenai mekanisme, klasifikasi dan aspekklinis EPA, sedangkan penatalaksanaan lebih difokuskan pada
ll ., =
= ",
1sk.r, osmotik koloid interstisial 6r = Koeffisien refleksi protein. q = Konduktans hidraulik. Sistem Limfatik
Siste.m pembuluh ini dipersiapkan untuk menerima larutan, koloid dan cairan balik dari pembuluh darah. Akibat tekanan yang lebih negatif di daerah interstisial peribronkial dan perivaskular dan dengan peningkatan kemampuan dari interstisium nonalveolar ini, cairan lebih
EPAkardiak.
sering meningkat jumlahnya di tempat ini ketika kemampuan memompa dari saluran limfatik tersebut berlebihan. Bila kapasitas dzri saluran limfe terlampaui dalam hal jumlah cairan maka akan terjadi edema. Diperkirakan pada pasien dengan berat 70 kg dalam
MEKANISME Terdapat dua mekanisme terjadinya edema paru:
keadaan istirahat kapasitas sistem limfe kira-kira2O ml/ jam. Pada percobaan didapatkan kapasitas sistem limfe bisa mencapai 20O ml/jam pada orang dewasa dengan
Membran Kapiler Alveoli Edema paru terjadijika terdapat pelpindahan cairan dari darah ke ruang interstisial atau ke alveoli yang melebihi jumlah pengembalian cairan ke dalam pembuluh darah dan aliran cairan ke sistem pembuluh limfe. Dalam keadaan nomal terjadi pertukaran cairan, koloid dan solute dai pembuluh darah ke ruang interstitial. Studi eksperimental membuktikan bahwa hukum Starling dapat diterapkan pada sirkulasi paru sama dengan sirkulasi sistemik.
ukuran rata-rata. Jika terjadi peningkatan tekanan arium kiri yang kronik, sistem limfe akan mengalami hipertrofi dan mempunyai kemampuan untuk mentransportasi
filtrat
kapiler dalim jumlah yang lebih besar sehingga dapat mencegah terjadinya edema. Sehingga sebagai konsekuensi terjadinya edema interstitial, saluran napas yang kecil dan pembuluh darah akan terkompresi.
1772
1773
EDEMAPARUAKUT
KLASIFIKASI
Immunologi : pnemonitis hipersensitif Shock-lung pada trauma non toraks.
Klasifikasi edema paru berdasarkan mekanisme pencetus
Pankreatiti s hemoragik akut.
Ketidakseimbangan " Starling Force" Peningkatan tekanan v ena pulmonafis. Edema paru akan terjadi hanya apabila tekanan kapiler pulmonal meningkat sampai melebihi tekanan osmotik koloid plasma, yang
lnsufisiensi Sistem Limfe
. . .
Pasca transplantasi paru.
Karsinomatosis,limfangitis Limfangitis fibrotik (silikosis)
biasanya berkisar 28 mmHg pada manusia. Sedangkan nilai
normal dari tekanan vena pulmonalis adalah antara 8-72 mmHg, yang merupakan batas aman dari mulai terjadinya edema paru tersebut. Etiologi dari keadaan ini antara lain : (l) Tanpa gagal ventrikel kiri (mis : stenosis mitral), (2) Sekunder akibat gagal ventrikel kiri, (3) Peningkatan tekanan kapiler pam sekunder akibat peningkatan tekanan arterial paru (sehingga disebut edema paru overperfusi).
nurunan tekanan onkotik plasma. Hipoalbuminemia saja tidak menimbulkan edema paru, diperlukan juga
Pe
peningkatan tekanan kapiler paru. Peningkatan tekanan
Tidak Diketahuiatau Belum Jelas Mekanisme nya
. . . . . . . .
High altitude pulmonary edema. Edemaparu neurogenik. Over dosis obat narkotik Emboli paru. Eklampsia Pasca kardioversi. Pasca anastesi Pasca operasi pintas jantung paru
yang sedikit saja pada hipoalbuminemia akan menimbulkan
edema paru. Hipoalbuminemia dapat menyebabkan perubahan konduktivitas cairan rongga interstitial, sehingga cairan dapat berpindah dengan lebih mudah di antara sistem kapiler dan limfatik. P eruingkatan ne gativitas
dari tekanan inters tis ial. Edema paru dapat terjadi akibat perpindahan yang cepat dari udara pleural. Keadaan yang sering menjadi etiologi adalah : (l). Perpindahan yang cepat pa{a pengobatan pneumotoraks dengan tekanan negatif yang besar. Keadaan ini disebut 'edema paru re-ekspansi'. Edema biasanya terjadi unilateral dan seringkali ditemukan dari gambaran radiologis dengan penemuan klinis yang minimal. Jarang sekali kasus yang menjadikan 'edema paru re-ekspansi' ini berat dan
membutuhkan tatalaksana yang cepat dan ekstensif. (2). Tekanan negatif pleura yang besar akibat obstruksi jalan
nafas akut dan peningkatan volume ekspirasi akhir (misalnya pada asma bronkial).
EDEMAPARU KARDIOGENIK Secara patofisiologi edema paru kardiogenik .ditandai dengan transudasi cairan dengan kandungan protein yang rendah ke paru, akibat terjadinya peningkatan tekanan di atrium kiri dan sebagian kapiler paru. Transudasi ini terjadi tanpa perubahan pada permeabilitas atau integritas dari membran alveoli-kapiler, dan hasil akhir yang terjadi adalah
penurunan kemampuan difusi, hipoksemia dan sesak nafas.
Seringkali keadaan ini berlangsung dengan derajat yang berbeda-beda. Dikatakan pada stage
I distensi dan
keterlibatan pembuluh darah kecil di paru akibat peningkatan tekanan di atrium kiri dapat memperbaiki pertukaran udara di paru dan meningkatkan kemampuan difusi dari gas karbon monoksida. Pada keadaan ini akan terjadi sesak nafas saat melakukan aktivitas fisik, dan
disertai ronki inspirasi akibat terbukanya saluran
Gangguan Permeabilitas Membran Kapiler Alveoli: (ARDS = Adult Respiratory Disfress
Syndrome) ini merupakan akibat langsung dari kerusakan pembatas antara kapiler dan alveolar. Cukup banyak kondisi medis maupun surgikal tertentu yang berhubungan dengan edema paru akibat kerusakan Keadaan
pembatas ini daripada akibat ketidakseimbangan Starling
Force.
. . . . . . .
Pneumonia (bakteri, virus, parasit) Terisap toksin (NO, asap). Bisa ular, endotoksin dalam sirkulasi Aspirasi asam lambung. Pneumonitis akut akibat radiasi Zat vasoaktif endogen (histamin, kinin)
Disseminated intravascular coagulation
pernafasan yang tertutup. Apabila keadaan berlanjut hingga derajat berikutnya atal stage 2, edema interstitial diakibatkan peningkatan cairan pada daerah interstitial yang longgar dengan jaringan perivaskular dari pembuluh darah besar, hal ini akan mengakibatkan hilangnya gambaran paru yang normal secara radiografik dari petanda vaskular paru, hilangnya demarkasi dari bayangan hilus paru dan penebalan septa interlobular (garis Kerley B). Pada derajat ini akan terjadi kompetisi untuk memperebutkan tempat antara pembuluh
darah, saluran nafas dan peningkatan jumlah cairan di daerah interstisium yang longgar tersebut, dan akan terjadi pengisian di lumen saluran nafas yang kecil yang menimbulkan refl eks bronkokonstriksi. Ketidakseimbangan antara ventilasi dan perfusi akan mengakibatkan terjadinya
hipoksemia yang berhubungan dengan ventilasi yang
L774
KARDIOI.OGI
EPK
EPNK
Anamnesis Jarang Penyakit dasar I B-C,
(+)
Acute cardiac event
il, tv Penemuan Klinis Perifer
Dingin (low flow slate)
Hangat (high flow state) Nadi kuat
53 gallop / kardiomegali
(+)
(,
JVP
Meningkat Basah
Tak meningkai
Ronki
Kering Tanda penyakit dasar
Laboratorium EKG
Foto toraks Enzim kardiak PCWP Shunt intra pulmoner Protein cairan edema JVP:
lskemia / infark Disiribusi perihiler Bisa meningkat > lB mmHg. Sedikit
o.7
jugular venous pressure
PCWP: Pulmonary Capilory wedge pressure
semakin memburuk. Pada keadaan infark miokard akut misalnya, beratnya hipoksernia berhubungan dengan tingkat peningkatan tekanan baji kapiler paru. Sehingga seringkali ditemukan manifestasi klinis takipnu. Pada proses yang terus berlanjut, atau meningkat
yang ditimbulkan adalah keadaan hipoksia berat. Bersamaan dengan hal tersebut terjadi juga rasa takut
menjadi stage 3 edema paru tersebut, proses pertukaran gas sudah menjadi abnormal, dengan hipoksemia yang berat dan seringkali bahkan menjadi hipokapnea. Alveolar yang sudah terisi cairan ini terjadi akibat sebagian besar saluran nafas yang besar terisi cairan berbusa dan
Dengan peningkatan rasa tidak nyaman dan usaha
mengandung darah, yang seringkali dibatukkan keluar oleh si pasien. Secara keseluruhan kapasitas vital dan volume paru semakin berkurang di bawah normal. Terjadi pirai dari kanan ke kiri pada intrapulmonar akibat perfusi dari alveoli yang telah terisi oleh cairan. Walaupun hipokapnea yang
pada pasien karena kesulitan bernafas, yang berakibat peningkatan denyut jantung dan tekanar darah sehingga mengurangi kemampuan pengisian dari ventrikel kiri. bernapas yang harus kuat akan menambah beban pada jantung sehingga fungsi kardiak akan semakin menurun, dan diperberat oleh keadaan hipoksia. Bila kejadian ini tidak diatasi dengan segera, tingkat mortalitas edema paru akut kardiogenik masih tinggi.
Manifestasi Klinis Anamnesis. Edema paru akut kardiak berbeda dari ortopnea dan paroksismal nokturnal dispnea, karena
terjadi pada awalnya, tetapi apabila keadaan semakin
kejadiannya yang sangat cepat dan terjadinl,a hipertensi
memburuk maka dapat terjadi hiperkapnea dengan asidosis respiratorik akut apalagi bila pasien sebelumnya telah menderita penyakit paru obstruktif kronik. Dalam hal ini terapi morfin, yang diketahui memiliki efek depresi pada
pada kapiler paru secara ekstrim. Keadaan ini merupakan
pernafasan, bila akan dipergunakan harus dengan pemantauan yang ketat.
Diagnosis dan Etiologi Edema paru kardiogenik akut merupakan gejala yang dramatik kejadian gagal jantung kiri yang akut. Hal ini dapat diakibatkan oleh gangguan padaj alur keluar di atrium kiri, peningkatan volume yang berlebihan di ventrikel kiri, disfungsi diastolik atau sistolik dari ventrikel kiri atau obstruksi pada jalur keluar dari ventrikel kiri. Peningkatan tekanan di atrium kiri dan tekanan baji paru mengawali terjadinya edema paru kardiogenik tersebut. Akibat akhir
pengalaman yang menakutkan bagi pasien karena mereka merasakan ketakutan, batuk-batuk dan seperti seorang yang akan tenggelam. Pasien biasanya dalam posisi duduk agar dapat mempergunakan otot-otot bantu nafas dengan lebih baik saat respirasi, atau sedikit membungkuk ke depan, sesak hebat, mungkin disertai sianosis, sering berkeringat dingin, batuk dengan sputum yang berwarna kemerahan Qtink frothy sputum).
Pemeriksaan fisis. Dapat ditemukan frekuensi nafas yang meningkat, dilatasi alae nasi, akan terlihat retraksi inspirasi
pada sela interkostal dan fossa supraklavikula yang menunjukkan tekanan negatif intrapleural yang besar dibutuhkan pada saat inspirasi. Pemeriksaan pada paru akan terdengar ronki basah kasar setengah lapangan paru atau lebih, sering disertai wheezing. Pemeriksaan jantung dapat
1775
EDEMAPARUAKUT
ditemukan protodiastolik gallop, bunyi jantung II pulmonal mengeras, dan tekanan darah dapat meningkat.
maka perlu dilakukan intubasi endotrakheal , suction dan penggunaan ventilator.
Radiologis. Pada foto toraks menunjukkan hilus yang
Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin
melebar dan densitas meningkat disertai tanda bendungan paru, akibat edema interstisial atau alveolar.
diberikan peroral 0,4
Lab o r at o r i um. Kelainan pemeriksaan I aboratorium
se su
ai
dengan penyakit dasar. f,Iji diagnostik yang dapat dipergunakan untuk membedakan dengan penyakit lain misalnya asma bronkial adalah pemeriksaan kadar BNP (brain natriuretic peptide) plasma. Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat dan dapat menyingkirkan penyebab dyspneu lain seperti asma bronkial akut. Pada kadar BNP plasma yang menengah atau sedang dan gambaran radiologis yang tidak spesifik, harus dipikirkan penyebab lain yang dapat mengakibatkan terjadinya gagal
-
0,6 mg tiap 5
-
10
menit . Jika tekanan
darah sistolik cukup baik (> 95 mmHg). Nitrogliserin intravena dapat diberikan dimulai dengan dosis 0.3 - 0.5 mglkgBB. Jika nitrogliserin tidak memberi hasil yang memuaskan, maka dapat diberikan nitroprusid.
Morfin Sulfat. Diberikan 3 15
5 mg i.v., dapat diulangi tiap menit. Sampai total dosis I 5 mg biasa cukup efektif.
Diuretik i.v. Diberikzm furosemid 40-80 mg i.v. bolus, dapat diulangi atau dosis ditingkatkan setelah 4 jam, atau dilanjutkan dengan drip kontinyu sampai dicapai produksi urine l mVkgBB/jam.
yang lebar dengan QT memanjang yang khas, dimana akan membaik dalam 24 jam setelah klinis stabil dan menghilang dalam 1 minggu. Penyebab dari keadaan non-iskemik ini
Obat untuk Menstabilkan Klinis Hemodinamik . Nitroprusid i.v.: dimulai dosis 0,1 mglkg BB/menit. diberikan pada pasien yang tidak memperlihatkan respons yang baik dengan terapi nitrat atau pada pasien dengan regugitasi mitral, regurgitasi aorta, hipertensi berat. Dosis dinaikkan sampai didapat perbaikan klinis dan hemodinamik, atau sampai tekanan darah sistolik 85-90 mmHg pada pasien yang tadinya mempunyai tekanan darah yang normal atau selarna dapat dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital. . Dopamin 2 - 5 pg &g BB/menit : atau dobutamin2 - 10 mg kgBB I menit. osis dapat ditingkatkan sesu ai respon klinis, dan kedua otiat ini bila diperlukan dapat diberikan
belum diketahui tetapi ada beberapa keadaan yang dikatakan dapat menjadi penyebab, antara lain : iskemia
.
jantung tersebut, misalnya restriksi pada aliran darah di katup mitral yang harus dievaluasi dengan pemeriksaan penunjang lain seperti ekokardiografi.
EKG. Pemeriksaan EKG bisa normal atau seringkali didapatkan tanda-tanda iskemia atau infark pada infarks miokard akut dengan edema paru. Pasien dengan krisis hipertensi gambaran elektrokardiografi biasanya menunjukkan gambaran hipertrofi ventrikel kiri. Pasien dengan edema paru kardiogenik tetapi yang non-iskemik
biasanya menunjukkan gambaran gelombang
T negatif
sub-endokardial yang berhubungan dengan peningkatan tekanan pada dinding, peningkatan akut dari tonus simpatis
kardiak atau peningkatan elektrikal akibat perubahan metabolik atau katekol amin.
Penatalaksanaan Penatalaksanaan terutama untuk edema paru akut kardiogenik. Terapi EPA harus segera dimulai setelah diagnosis ditegakkan meskipun pemeriksaan untuk rnelengkapi anamnesis dan pemeriksaan fisis masih berlangsung. Pasien diletakkan pada posisi setengah
duduk atau duduk, harus segera diberi oksigen, nitrogliserin, diuretik i.v., morfin sulfat, obat untuk
bersama-sama.
Digitalisasi bila ada fibrilasi atrium (AF) atau kardiomegali.
; atau revaskularisasi (urgent PTCA, CABG) padapasien infark miokard akut.
Obat trombolitik
pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis atau tidak berhasil dengan terapi oksigen.
Intubasi dan ventilator
Terapi terhadap artimia atau gangguan konduksi.
Koreksi defrnitif misalnya penggantian katup atatt repair pada regurgitasi mitral berat bila ada indikasi dan keadaan
klinis mengizinkan.
PROGNOSIS
menstabilkan hemodinamik, trombolitik dan revaskularisasi,
intubasi dan ventilator, terapi aritmia dan gangguan konduksi. serta koreksi definitif kelainan anatomi. Terapi oksigen. Oksigen (40-507o) diberikan sampai dengan 8 L/menit, untuk mempertahankan PaOr.kalau perlu dengan masker. Jika kondisi pasien makin memburuk, timbul sianosis, makin sesak, takipneu, ronki bertambah, PaO, tidak bisa dipertahankan > 60 mmHg dengan terapi O, konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO, hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat,
Hingga saat ini mortalitas akibat edema paru akut termasuk yang disebabkan kelainan kardiak masih tinggi. Setelah mendapatkan penanganan yang tepat dan cepat pasien dapat membaik dengan cepat dan kembali pada keadaan seperti sebelum serangan. Kebanyakan dari mereka yang selamat mengatakan sangat kelelahan pada saat serangan tersebut. Diantara beberapa gejala edema paru ini terdapat tanda dan gejala gagal jantung. Prognosis jangka panjang dari edema paru akut ini
1776
I(ARDIOI.OGI
sangat tergantung dari penyakit yang mendasarinya, misalnya infark miokard akut serta keadaan komorbiditas yang menyertai seperti diabetes melitus atau penyakit ginjal terminal. Sedangkan prediktor dari kematian di rumah sakit
antara lain adalah
: diabetes, disfungsi ventrikel kiri,
hipotensi atau syok dan kebutuhan akan ventilasi mekanik.
AM et al. The pathogenesis of acute pulmonary edema associated with hypertension N Engl J Med
Gandhi SK, Powers JC, Nomeir
2001: 344: 1.7. Hunt SA, Baker DW, Chin MH et a1. ACC/AHA guidelines for the evaluation and management of chronic heart failure in the adult: Executive Summary. A report of the American College of
Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines (Committee to Revise the 1995 Guidelines
for the Evaluation and Management of Heart
Failure) Circulation 200I: 104: 2996. Kawanishi DT, Rahimtoola S.H. Acute Pulmanary Edema in Hurst J.W. Current Therapy in : Cardiovascular Disease, 3'd ed
REFERENSI ACC/AHA Task Force Report : Guidelines for the Evaluation and
of
Heart Failure. Circulati-oo 1995 ;92:27 64-21 84. Braundwauld E, Colucci WS and Grossman W : Clinical Aspect of Heart Failure : Pulmonary Edema in : Braundwauld E : Heart Disease, A Textbook of Cardiovascular Medicine, 7'h ed. Philadelphia : WB Saunders Company; 2005.p. 539-68. Goldberger E, Wheat MV : Treatment of Cardiac Emergency: Cardiopulmonary Emergencies 5'h ed, St Louis: The CV Mosby Companyi 1990 p. 194 210. Galloway JM, Fenster PE : Acute Pulmonary Edema in : Green HL, Johnson WP, Maricic MJ : Decision Making in Medicine. St Louis: Mosby Year Book Inc; 1993.p. 70-71. Management
Philadelphia: B.C. Decker Inc; 1991.p. 3-7. F, Remme WJ et a1. The effect of spironolactone on morbidity and mortality in patients with severe heart failure N Engl J Med 1999; 347: 109-17. Schlant RC, Sonnenblick EH : Phatophysiology of Heart Failure ln: Schlant RC, Alexander RW : The Heart Arteries and Veins 8h ed, New York: McGraw-Hill, Inc; 1994.p. 515-55. Schuller D, Lynch JP, Fine D. Protocol-guided diuretic management: Comparison of furosemide by continuous infusion and intermittent bolus. Critical Care Med 1991l,25:1969-'75.
PittB, Zarnad
278 PENYAKIT JANTUNG HIPERTENSI Marulam M. Panggabean
PENDAHULUAN Sampai saat ini prevalensi hipertensi di Indonesia berkisar antara 5-l}Vo sedangkan tercatat pada tahun 1 978 proporsi penyakit jantung hipertensi sekitar 14,37o dan meningkat menjadi sekitar 39Vo pada tahun 1985 sebagai penyebab penyakit jantung di Indonesia.
Sejumlah 85-90Vo hipertensi tidak diketahui penyebabnya atau disebut sebagai hipertensi primer (hipertensi esensial atau Idiopatik). Hanya sebagian kecil hipertensi yang dapat ditetapkan penyebabnya (hipertensi
sekunder).Tidak ada data akurat mengenai prevalensi hiperlensi sekunder dan sangat tergantung di mana angka itu diteliti. Diperkirakan terdapatseT 90Vo. Hasil
analisis ini menyerupai gambaran analisis perikard perikarditis bakterial, yang dapat ditemukan juga pada pasien LES yang mendapat terapi steroid. Beberapa laporan
lain menunjukkan penurunan aktivitas komplemen dan ANAmeningkat.
Diagnosis tamponad ditentukan bila pada pemeriksaan
ekokardiografi ditemukan kolaps atrium kanan dan kolaps diastolik ventrikel kanan, yang menunjukkan spesifisitas IOOVo pada pasien tamponad yang dikonfirmasi dengan kateterisasi. Ini merupakan teknik diagnostik non-invasif terbaik untuk diagnosis tamponad. Untuk menentukan etiologi efusi perikard pada pasien LES dilakukan analisis cairan perikard, pemeriksaanANA anti dsDNA, komplemen, dan sel LE pada cairan perikard. Untuk menyingkirkan kemungkinan perikard septik, dilakukan pemeriksaan kultur cairan peri kard.
Karena risiko komplikasi pada tindakan perikardiosentesis cukup besar, diagnosis etiologi ditegakkan secara klinis. Bila pasien LES dalam keadaan aktif, maka efusi perikard pada LES secara klinis dianggap sebagai bagian dari serositis LE. Tetapijika efusi perikard merupakan satu-satunya manifestasi aktivitas r-ES dan terdapat kecurigaan perikarditis septik dapat dilakukan perikardiosentesis diagnostik.
Penatalaksanaan Penatalaksanaan perikarditis lupus terutama tergantung
pada beratnya kondisi perikarditis dan memperhatikan aktivitas penyakit LES di luarjantung. Pasien perikarditis
simtomatik akut harus dirawat di rumah sakit karena perkembangan efusi ke arah tamponad jantung tidak dapat diprediksi. Pasien perlu istirahat sampai nyeri dada dan demam hilang karena aktivitas akan memperburuk gejala. Pasien LES dengan gejala ringan dan dengan efusi perikard ringan atau tanpa efusi perikard dapat diterapi dengan salisilat 1 gram setiap 4jam sampai tercapai kadar terapi 20-30 mg/hari. Atau dapat juga diberikan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) lain seperti indometasin 100-150 mg/ hari. Jika tidak ada respons, dapat ditambahkan antimalaria hidroksiklorokuin sulfat 200 mg sehari (5 -7 mgl kgBBftrari), klorokuin fosfat 250 mg/hari, atau kuinakrin
Gambaran Histopatologi
hidroklorida 100 mg/hari. Bila perlu, dapat diberikan
Gambaran patologi perikard pada pasien LES dipengaruhi oleh terapi steroid. Pada penelitian autopsi terhadap 28 pasien LES didapatkan bahwa sebelum masa terapi ste-
prednison 2,5-10 mglhari. Pada keadaan yang lebih berat, dapat diberikan prednison 20-40 mg/hari. Efusi perikard masif diberikan terapi prednison dosis tinggi 60-100 mg/ hari. Pada pasien yang sangat kritis, steroid dosis tinggi
roid, kasus-kasus autopsi menunjukkan perikarditis fibrinosa difus atau fokal. Dengan penggunaan steroid yang luas untuk pengobatan, perikarditis fibrosa lebih
(1 g metil prednisolon intravena) yang diberikan secara parenteral, dapat mengurangi gejala dengan cepat dan
PEhTYAKIT JAI\TTUNG PADA PENYAKIT JARINGAN
1807
II(AT
mengurangi tingkat efusi secara bertahap.
MIOKARDITIS DAN ABNORMALITAS MIOKABD Pada evaluasi klinis pasien LES, prevalensi miokarditis
dilaporkan berkisar antara 8-257o. Pada penelitian prospektif manifestasi kardiovaskular pada 100 pasien LES, kejadian miokarditis didaparkar I 47o.
Gambaran Histopatologi Abnormalitas patologis bervariasi sesuai beratnya miokarditis, biasanya terdiri atas fokus kecil sel plasma interstisial dan infiltrasi limfosit dan jarang terjadi inflamasi interstisial difus. Dapat ditemukan juga perubahan fibrinoid dan hematoxyllin bodies. Pada pasien yang mendapat terapi steroid sering ditemukan fibrosis miokard.
Diagnosis
Manifestasi Klinis Manifestasi klinis miokarditis pada LES sama dengan miokarditis yang berasal dari infeksi viral atau beberapa penyebab lain. Tanda paling awal adalah takikardia yang tak sesuai dengan demam. Pasien dapat mengalami sesak atau berdebar. Pada pemeriksaan tisis, sering ditandai titik impuls maksimal pada linea aksilaris anterior, dapat ditemukan juga murmur! irama gallop dan/atau manifestasi gagal jantung kongestif. Pada pemeriksaan EKG dapat
ditemukan takikardia sinus atau aritmia ventrikular. Pemeriksaan fbto toraks dapat terlihat jantung membesar secara difus.
Diagnosis miokarditis LES sering sulit ditegakkan secara klinis karena faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan gagal jantung kongestif mungkin ditemukan seperti anemia, hipertensi yang tak terkontrol, infeksi sistemik, penyakit valvular atau retensi garam dan air yang berasal dari penyakit ginjal atau penggunaan kortikosteroid sistemik.
Diagnosis klinis miokarditis LES ditegakkan berdasarkan kombinasi keadaan sebagai berikut l. Takikardia saat istirahat yang tak sesuai dengan suhu
tubuh
2. Perubahan ST-T nonspesifik pada pemeriksaan EKG 3. Sa[u atau lebih keadaan berikut: kardiomegali pada pemeriksaan rontgen dada tanpa adanya efusi perikard, irama derap (gallop), gagal jantung kongestif, aritmia ventrikular dan peningkatan kadar enzim CKMB
-NSAID - + klorokurn Bila perlu - Prednison 2,5 - 10 mg/hari
- Prednison 20-40 mgliari
- Prednison dosis tinggi 60-100 mg/hari
Penatalaksanaan Pasien LES dengan miokarditis akut diterapi dengan prednison sekurang-kurangnya 1 mg/kgBB/hari. Obat sitotoksik seperti azatioprin dan siklofosfamid juga pernah digunakan pada beberapa pasien.
ENDOKARDITIS DAN PENYAKIT JANTUNG VALVULAR
- Perikardiosentesis
- Prednison intra perikard
Tamponade Prednison dosis tinggi Perikardiosentesis Jendela perikard
Gambar 2. Algoritme penatalaksanaan elusi perikard pada LES
Endokarditis pertama kali dilaporkan oleh Libman dan Sacks pada tahw 1924, jauh sebelum hubungannya dengan LES diketahui. Lesi endokarditis ini secara patologis berbeda dengan endokarditis karena etiologi lain,
dan dipercayai karakteristik untuk LES, yaitu berupa vegetasi verrucous,non-bakterial, 3-4 mm pada katup dan/ atau permukaan endokard mural. Vegetasi ini dapat tunggal atau berkelompok berupa kluster seperti mulberry. Katup yang sering terkena adalah katup mitral. Vegetasi Libman Sacks ditemukan 35-65% pada
Biopsi Endomiokardial
penelitian autopsi awal pasien LES, namun tidak ditemukan gejala secara klinis (sllenr) dan pengaruhnya terhadap hemodinamik kecil. Penelitian post mortem
Biopsi endomiokardial telah digunakan untuk diagnosis
selanjutnya menunjukkan kejadian dan ukuran vegetasi
miokarditis LES pada sejumlah kecil pasien LES. Tindakan
menjadi lebih kecil. Penyakit jantung valvular pada beberapa penelitian dilaporkan berhubungan dengan
ini
tidak hanya menunjang diagnostik tetapi juga
menentukan perluasan miokarditis pada LES.
anti bodi antiposfolipid.
1808
Ekokardiograf
KARDIOI.OGI
i
Dengan pemeriksaan ekokardiografi, penebalan katup mitral y ang didlga v e r rucae dilaporkan p ada 3 - 47o kasts, namun vegetasi biasanya terlalu kecil untuk dideteksi.
(morning stffiess), arfialgia atau arlritis terutama pada metakarpopalangeal atau sendi interpalang proksimal, nodul reumatoid, faktor reumatoid IgM atau IgG serum dan erosi artikular pada pemeriksaan foto rontgen.
Penelitian dengan menggunakan ekokardiografi
Penyebab kematian tersering adalah komplikasi
transesofageal (TEE) pada69 pasien LES yang dilakukan pemantauan selama 57 bulan menunjukkan abnormalitas valvular sering ditemukan, baik pada saat awal dan tindak lanjut masing-masing 617o dat53Vo. Abtormalitas katup tersebut antara lain:
artikular dan ekstraartikular seperti subluksasi
Faseawal Tindaklanjut
. Penebalan katup . Vegetasi . Regurgitasi valvular . Stenosis
5lVo 437o 257o 4Vo
52Vo 34Vo
287o 3Vo
Pada penelitian tersebut, penyakit j antung valvular tidak berhubungan dengan lama penyakit, aktivitas penyakit, beratnya lupus atau pengobatan yang diberikan.
atlantoaksial, sinovitis krikoaritenoid, sepsis, komplikasi jantung paru dan vaskulitis difus. Penyakit kardiovaskular reumatoid disebabkan karena inflamasi imun nonspesifik, vaskulitis atau deposisi granulomatous pada perikardium, miokardium, katup jantung, arteri koroner, aorta atau sistem konduksi. Penyakit jantung reumatoid secara klinis ditemukan pada sepertiga
pasien, dibandingkan sampai 807o pada pemeriksaan
autopsi. Penyakit jantung reumatoid dapat berupa perikarditis, miokarditis, penyakit jantung valvular, gangguan konduksi, arteritis koroner, artitis atau kor pulmonal.
Penelitian kohort prospektif yang membandingkan insidens infark miokard dan bencana serebrovaskular antara
Gambaran Hispatologi Secara mikroskopis vegetasi terdiri atas proliferasi dan degenerasi sel, fibrin, jaringan fibrosa, dan jarang
RA menunjukkan pasien RA mempunyai insiden bencana vaskular dan mortalitas lebih tinggi. pasien RA dan non
hematoxyllin bodies. Terdapat pula deposit imunoglobulin dan komplemen sepanjang dinding yerrucae, yarrg
Aterosklerosis juga menunjukkan laju akselerasi pada RA. Terdapat korelasi yang kuat antara adanya petanda biokimia inflamasi dan plak aterosklerosis karotis pada RA.
menyokong dugaan adanya kompleks imun dalam sirkulasi yang berperan dalam pertumbuhan dan proliferasi vegetasi yerrucous Libman-Sacks.
mencakup jenis kelamin laki-laki, usia lanjut, awitan penyakit, hipertensi, terapi kortikosteroid dini, penyakit
Prediktor penyakit kardiovaskular secara klinis
yang lama, manifestasi ekstraartikular yang aktif,
Diagnosis Sebelum ditemukan ekokardiografi, sulit menegakkan diagnosis klinis. Pemeriksaan fisis dan ekokardiografi dapat menduga adanya yerrucae, tetapi tidak diagnostik. Murmur dapat disebabkan demam, takikardia, hipertensi atau anemia. Diagnosis endokarditis Libman-Sacks primer ditegakkan berdasarkan pemeriksaan autopsi.
poliartikular erosif dan penyakit nodular, vaskulitis sistemik dan kadar faktor reumatoid serum yang tinggi. Pasien yang mengalami bencana kardiovaskular mempunyai LED yang tinggi, kadar haptoglobin, kadar faktor von Willebrand dan
plasminogen activator inhibitor yang lebih tinggi dibandingkan pasien tanpa penyakit kardiovaskular. Hal ini menunjukkan bahwa proses inflamasi dan protrombotik mengakibatkan penyakit kardiovaskular.
Penatalaksanaan Penatalaksanaan endokarditis dan abnormalitas valvular
PERIKARDITIS
pada LES, tergantung pada aktivitas LES secara keseluruhan. Pada pasien lupus yang stabil, penyakit val-
vular yang baru didiagnosis, tidak merefleksikan peningkatan aktivitas atau beratnya penyakit, sehingga mungkrn tidak memerlukan modifikasi terapi antiinfl amasi. Pada keadaan di mana ditemukan stenosis berat atau regurgitasi berat yang biasanya mengenai katup mitral, dilakukan tindakan operatif penggatian katup.
Keterlibatan jantung jarang pada RA, namun terjadi dalam berbagai bentuk. Perikarditis fibrofibrinous non spesifik difus terjadi pada sekitar 50 7o pasien RA, biasanya secara kTinis silent dan tertutupi oleh pleuritis atau nyeri sendi. Penyakit perikard cenderung benigna, namun efusi berat dapat terjadi dan memerlukan tindakan perikardiosentesis, dan konstriksi perikarditis konstriktif jarang memerlukan
tindakan perikardiektomi. Perikarditis konstriktif terjadi pada 4 dari
REUMATOID ARTRITIS
Artritis reumatoid adalah penyakit inflamasi kronik yang dimediasi imun dengan ciri kekakuan pada pagi hari
4l
pasien RA yang kasusnya dipantau selama
periode 10 tahun. Prevalensi perikarditis ditemukan lebih tinggi pada pasien dengan penyakit aktif yang dirawat. Terdapat hubungan kuat antara perikarditis dan faktor reumatoid
1809
PENYAKIT JANTUNG PADA PENWAKIT JARINGAN IKAT
IgM atau Ig G yang positif, penyakit nodular reumatoid LED > 55 mrr/jam. Perikarditis reumatoid terjadi melalui 3 mekanisme: proses inflamasi imun nonspesifik, vaskulitis dan jarang penyakit nodular atau granulomatous.
PENYAKIT JANTUNG VALVULAR REU MATOID
dan
Manifestasi Klinis
Penyakit jantung valwlar reumatoid diakibatkal oleh proses inflamasi akut nonspesifik, kronik atau rekuren, vaskulitis atau deposisi granulomata pada katup. Proses inflamasi ini terdiri dari infrltrasi sel plasma, histiosit, limfosit dan eusinofil yang mengakibatkan fibrosis, penebalan dan retraksi katup.
fisis dapat didengar pericardial rub. Tamponad dan
Granulomata katup yang merupakan nodul reumatoid, ditemukan pada katup, cincin katup, puncak musculus papilans dan endokardium atrial atau ventrikular. Katup jantung yang sering terlibat adalah katup mitral dan aorta.
perikarditis konstriktif jarang dijumpai, biasanya pada pasien dewasayarrg aktif dan berat yang lama dan pasien
Granulomata tersering dijumpai pada basal melekatnya kah-rp, biasanya fokal dan biasanya tidak mengakibatkan disfungsi
Perikarditis reumatoid umumnya tanpa komplikasi dan sangat sering dengan tanda nyeri pleuritik, fibrilasi atrial atau fluter. Sepertiga pasien asimtomatik. Pada pemeriksaan
dengan keterlibatan ekstrartikular. Keluhan lain seperti dispnu, ortopnu, edema, distensi vena jugularis, ronki, pulsus paradoksus, tanda Kusmaull dan distensi vena hepatojugular sering dijumpai jika terjadi kompresi jantung.
Pemeriksaan Penuniang EKG sering menunjukkan perubahan gelombang T dan segmen ST nonspesifik, demikian juga elevasi segmen ST difus yang klasik. Pada efusi perikard yang banyak dapat
ditemukan low voltage atatt electrical alternans. Pemeriksaan foto rontgen dada biasanya normal, Kardiomegali ditemukan pada pasien dengan efusi perikard yang berat. Kalsifikasi perikard jarang dr.lumpai.
Pemeriksaan ekokardiografi merupakan teknik diagnostik yang sangat penting yang kelainan tersering dijumpai adalah efusi perikard dan penebalan perikard. Kompresi diastolik ventrikel kanan dan atrium kanan dapat ditemukan pada efusi perikard berat yang menunjukkan adanya tamponad. Tidak dijumpai abnormalitas perikard pada pemeriksaan ekokardiografi tidak menyingkirkan adanya perikarditis pada pasien dengan gejala khas atau pericardial rub. Pemeriksaan laboratorium sering menunjukkan LED meningkat > 55 mm/jam. Cairan perikard eksudatif dan serosanguineus dan kadar protein dan LDH yang tinggi, tapi kadar glukosa rendah dan dapat mengandung faktor reumatoid. Hitung jenis sel biasanya > 2000, dengan neutrofil predominan. Pada biopsi perikard dapat ditemukan deposit granular IgG, IgM, C3 dan Clq pada interstisium dan dinding pembuluh darah perikard.
Penatalaksanaan Pada perikarditis reumatoid ringan tanpa komplikasi
dianjurkan istirahat di tempat tidur dan pemberian antiinflamasi non steroid. Pada kasus yang berat dan tak
respons dengan terapi OAINS dapat diberikan steroid. Pada efusi perikard masif atau tamponad dilakukan perikardiosentesis atau perikardiotomi. Pada perikarditis konstriktif dilakukan perikardiektomi. Penggunaan steroid intraperikard saat perikardiosentesis masih kontroversial.
katup. Penyakit katup reumatoid terjadi pada pasien dengan
penyakit reumatoid yang sudah lama dan berat dengan penyakit nodular dan poliartikular erosif, vaskulitis sistemik dan kadar faktor reumatoid yang tinggi. Penyakit katup mitral atau aorta reumatoid biasanya ringan dan asimtomatik, akut atau kronikjarang berkembang
menjadi berat. Valvulitis akut dan berat atau ruptur ganulumata katup yang mengakibatkan regurgitasi berat
dan gagal jantung jarang dijumpai. Aortitis yang menyebabkan dilatasi aorta (aortic root) dan regurgitasi aorta juga jarang ditemukan. Regurgitasi aorta reuinatoid
Iebih berkembang cepat jika dibandingkan dengan penyebab lain.
Manifestasi Klinis Pada pemeriksaan fisis penyakit jantung reumatoid mungkin tak tampak kelainan karena sebagian besar kasus ringan. Pada kasus yang jarang berupa regurgitasi mitral atau aorta akut atau kronik, dapat ditemukan auskultasi yang klasik dan tanda-tanda yang berhubungan dengan kegagalan ventrikel dapat ditemukan.
Diagnosis Pemeriksaan EKG dan foto rontgen dada mempunyai nilai diagnostik yang terbatas. Pada kasus penyakit katup berat dapat menunjukkan pembesaran ruang jantung. Ekokardiografi transtorakal dengan Dopler berwama merupakan pemeriksaan tersering yang digunakan untuk mendeteksi dan menilai beratnya penyakit katup reumatoid.
Katup mitral dan aorta yang tersering terlibat dapat menunjukkan penebalan nodular lokal atau difus, dengan atau tanpa kalsifikasi. Pada pemeriksaan ekokardiografi transesofageal, regurgitasi mitral atau aorta pada semua derajat ditemukan masing-masing pada 80 Vo dan 33 7o pasien. Nodul katup reumatoid biasanya berukuran kecil < 0,5 cm2, berbentuk oval yang homogen, biasanya tunggal.
Penatalaksanaan Tak ada terapi antiinflamasi khusus pada penyakit katup reumatoid. Penggunaan steroid dan imunosupresif lain
1810
KARDIOI.OGI
pada beberapa kasus valvulitis berat akut ,menunjukkan perbaikan yang nyata. Penggantian katup mitral atalu aorta berhasil dilakukan pada regurgitasi berat akut atau kronik.
jika
MIOKARDITIS REUMATOID
PENYAKIT JANTUNG KORONER REUMATOID
Miokarditis reumatoid ditemukan sebanyak 307o pada
Prevalensi PJK pada pasien RA pada penelitian post
pasien post mortemnamsnjarang pada laporan klinis dan ekokardiografi. Biasanya lebih sering dijumpai pada pasien
mortem sekitar 20Vo. Terdapat 2 tipe etiologi: 1. Yang tersering adalah aterosklerosis koroner yang
RA aktif dan penyakit ekstraartikular, faktor reumatoid
mungkin diakselerasi steroid dan episod arteritis
positif yang tinggi, ANA, dan vaskulitis sistemik. Miokarditis reumatoid dapat berasal dari proses autoimun, vaskulitis, atau deposisi granulomata, jarang karena
infiltrasi amiloid. Kecuali granulomata, miokarditis reumatoid sukar dibedakan pada pemeriksaan
ada keluhan din pemantauan jantung sekurangkurangnya 48-12 jam. Pada beberapa kasus berat steroid oral atau IV dosis tinggi menunjukkan manfaat.
koroner berulang.
2. Yang jarang karena arteritis
titer faktor reumatoid yang tinggi dan peningkatan
histopatologi dari eosinofilik, toksik atau infeksi.
mortalitas kardiovaskular.
Manifestasi Klinis
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis miokarditis reumatoid adalah sama dengan miokarditis karena sebab lain. Yang sangat sering ringan, asimtomatik dan tak dikenali secara klinis. Jika simtomatik, gejala nonspesifik seperti lelah, sesak, palpitasi
dan nyeri dada dapat ditemukan. Nyeri dada biasanya
pleuritik, dan mungkin menggambarkan
adanya
mioperikarditis. Miokarditis akut berat dengan disfungsi ventrikel kiri dengan manifestasi gagal jantung kongestif atau aritmia atrial / ventrikularjarang dijumpai. Pada pemeriksaan fisis sering dijumpai demam dan takikardia sinus. Bunyi jantung I dan II normal, bunyi jantung III dan IV jarang terdengar. Murmur sistolik fungsional dapat terdengar. Jika terdapat mioperikarditis, dapat ditemukan pericardial rub.
Diagnosis Pada pemeriksaan EKG biasanya menunjukkan abnormalitas gelombang T dan segmen ST non spesifik. Dapat ditemukan juga gangguan konduksi atrioventrikular dan ektopi atrial atau ventrikular.
Ekokardiografi dapat menunjukkan abnormalitas gerakan dinding segmental atau disfungsi kontraksi ventrikel kiri difus dan dilatasi ruang jantung pada kasus miokarditis fokal berat atau difus. Namun pada sebagian besar pasien miokarditis nngan, pemeriksaan ekokardiografi
tidak menunjukkan kelainan . Scanning radionuklid dengan
indium 111, galium 6J atau technitium 99 dapar menunjukkan uptake miokardial fokal atau difus yang menunjukkan inflamasi miokard, nekrosis atau keduanya.
Pemeriksaan laboratorium pada kasus berat, menunjukkan peningkatan ringan CKMB atau LDH.
Penatalaksanaan Pasien perlu istihat di tempat tidur, diberikan analgesik
koroner sendiri
Pasien arteritis koroner biasanya mempunyai nodul reumatoid, vaskulitis, penyakit reumatoid progresif cepat,
Sebagian besar pasien artritis reumatoid dengan PJK asimtomatik. Penyakit koroner aterosklerotik dapat bergejala angina pektoris stabil kronik, angina pektoris tak stabil atau infark miokard akut, di mana arteritis koroner lebih sering muncul sebagai angina pektoris tak stabil dan jarang sebagai infark miokard akut. Pada pemeriksaan fisis selama sindrom iskemia akut dapat ditemukan takikardia, bunyi jantung ketiga atau
keempat dan ronki basah pada paru jantung kiri.
jika terdapat gagal
Diagnosis Pada pemeriksaan EKG dapat ditemukan gelombang Q yang menunjukkan infark miokard sebelumnya, elevasi atau depresi segmen ST menunjukkan kerusakan iskemia subendokard atau epikard, atau inversi gelombang T yang menunjukkan iskemia. Pemeriksaan ekokardiografi selama iskemia berat dapat menunjukkan abnormalitas gerakan dinding atau jariangan parut miokard jika terdapat infark miokard sebelumnya.
Juga dapat ditentukan ada tidaknya serta beratnya disfungsi ventrikel kiri. Pemeriksaan laboratorium CKMB, troponin, dan LDH dapat meningkat jika terjadi nekrosis miokard. Angiografi koroner dapat dilakukan jika terdapat kecurigaan tinggi adanya PJK atau pemeriksaan treadmill yang dicurigai PJK. Diagnosis arleritis koroner dicurigai jika teradapat lesi stenosis multipel pada arteri koroner epikardial.
Penatalaksanaan Jika terdapat kecurigaan arteritis koroner simtomatik dan berat dapat diberikan terapi steroid dosis tinggi dan siklofosfamid sebagai tambahan dengan heparin, aspirin. nitrat, penyekat beta atau antagonis kalsium. Tak ada data
1811
PENYAI(T JANTUNG PADA PEI\IYAKIT JARINGAN IKAT
penggunaan PCI pada arteritis koroner reumatoid.
Diagnosis
Aterosklerosi s koroner si mtomatik dapat diberikan terapi medis atau revaskularisasi koroner.
Pada pemeriksaan EKG dapat ditemukan pembesaran atrium dan ventrikel kanan dan blok cabang berkas.
Pemeriksaan ekokardiografi dapat menunjukkan
Gangguan Konduksi Prevalensi gangguan konduksi atrioventrikular atau intraventrikular pada pasien artritis reumatoid mungkin tak berbeda dengan populasi umum. Mekanismenya antara lain inflamasi akut pada nodus AV atau berkas His, vaskulitis
pada arteriol yang mensuplai jalur konduksi, deposisi granulomata pada sistem konduksi dan infiltrasi amiloid.
pembesaran atrium dan ventrikel kanan, hipertrofi atau disfungsi, regurgitasi trikuspid dan bukti tekanan sistolik arteri pulmonal yang tinggi.
Biopsi paru terbuka dan lavage bronkoalveolar merupakan metoda yang dikerjakan jika vaskulitis paru berat atau bronkolitis obliterans dicurigai sebagai penyebab hipertensi pulmonal.
Penatalaksanaan
Manifestasi Klinis Rerata usia pasien dengan gangguan konduksi biasanya
> 60 tahun, dan sebagian besar mempunyai gambaran penyakit berat dengan penyakit nodular yang rnembutuhkan terapi steroid. Gangguan konduksi biasanya
ringan dan asimtomatik dan didiagnosis secara kebetulan pada pemeriksaan EKG. Pada kasus yang jarang di mana terdapat blok AV derajat tinggi dapat ditemukan keluhan pusing, lelah, prasinkop atau sinkop. Walaupun jarang, blok AV total mungkin asimtomatik karenas penyakit sendi
berat mernbatasi aktivitas pasien. Blok AV selintas dan kembali normal setelah terapi antiinflamasi jarang dijumpai.
Penalatalaksanaan hipertensi pulmonal karena vaskulitis
pulmonal adalah imunosupresan atau steroid, namun prognosis buruk dan sebagian besar pasien meninggal dalam satu tahun sejak diagnosis.
SKLERODERMA Skleroderma atau sklerosis sistemik adalah penyakit sistemik dengan ciri akumulasi jaringan ikat berlebihan, fibrosis dan perubahan degeneratif pada kulit, otot
Diagnosis
skeletal, sinovium, pembuluh darah, saluran cerna, ginjal, paru dan jantung. Penyakit paru terutama hipertensi pulmonal dan
Metode diagnosis terbaik adalah pemeriksaan EKG rutin, pemantauan EKG 24 jam (Holter) atau keduanya.
penyakit ginjal merupakan penyebab utama mortalitas, diikuti penyakitjantung, dengan suruival kumulatif hanya
Penatalaksanaan Penatalaksanaan blok AV derajat tinggi simtomatik atau blok intraventrikular terdiri dari pacu jantung sementara dan steroid dosis tinggi. Pasien yang tak responsif harus mendapatkan pacu jantung permanen.
HIPERTENSI PULMONAL REUMATOID
20 7o dalam 7 tahun. Penyebab kematian karena jantung yang utama adalah penyakit jantung iskemia, kemudian gagal jantung refrakter, kematian mendadak dan perikarditis. Penyakit jantung skleroderma manifestasinya predominan sebagai PJK, miokarditis dan hipertensi pulmonal dengan atau tanpa kor pulmonal. Perikarditis, gangguan konduksi dan aritmia jarang dijumpai. Penyakit jantung skleroderma yang nyata secara klinis dilaporkan kurang dari seperempat pasien, kejadiannya meningkat sampai 80 7o padapemeriksaan autopsi. Penyakitjantung skleroderma umumnya kurang sering dan kurang berat pada
Penyebab hipertensi pulmonal denian tekanan vena pulmonal normal mencakup hiperviskositas serum, fibrosis interstisial, bronkiolitis obliteratif dan vaskulitis
pulmonal. Prevalensinya masih belum jelas. tetapi rendah.
tipe limited (terbatas) dibandingkan tipe difus.
PENYAKIT JANTUNG KORONER Walaupun arteri koroner epikardial biasanya normal, arteri
Manifestasi Klinis
koroner intramural dan arteriol sering menunjukkan
Sesak merupakan manifestasi yang biasa dijumpai pada hipertensi pulmonal dan kor pulmonal. Hipertensi pulmonal sedang yang tak berhubungan dengan kor pulmonal dapat asimtomatik.
penyempitan. fibrosis, nekrosis fibrinoid dan hipetrofi intima. Kerusakan endotel yang dimediasi imun, stimulasi
Pada pemeriksaan
fisis dapat ditemukan heaving
parasternal, bunyi jantun g II split, regurgitasi trikuspid, gallop 53 sisi kanan dan jarang hepatomegali dan edema.
fibroblas, deposisi kolagen dan peningkatan produksi platelet derived growthfactor dapat menurunkan respons endotel terhadap trombosis, inflamasi dan vasodilatasi. Selanjutnya degranulasi sel mast melepas zat vasoaktif seperti histamin, prostaglandin D2 dan leukotrien C4 dan
t8t2 D3 yang dapat menyebabkan vasospasme. Hampir semua pasien dengan bukti PJK intramiokardial mempunyai
I(ARDIOI,OGI
pasien skleroderma dengan penyakit kutaneus difus,
fenomena Raynaud's perifer.
antibodi antiSclT0 dan usia > 60 tahun. Miokarditis secara klinis jarang dijumpai, namun pada
Manifestasi Klinis
penelitian post mortem menunjukkan prevalensi yang tinggi. Fibrosis miokardial difus atau fokal dan nekrosis
Nyeri dadajarang ditemukan;jika ada, dikaitkan lebih sering dengan perikarditis atau refluks esofageal daripada iskemia miokard. Sebagian besar pasien, bahkan dengan defek pada pencitraan perfusi miokard yang dinduksi latihan atau istirahat adalah asimtomatik. Walaupun vasospasme koroner intramiokardial dapat ditemukan, vasospasme berat arteri koroner epikardial yang menyebabkan infark miokard transmural jarang dilaporkan.
Diagnosis Pemeriksaan tes treadmill merupakan metode dengan sensitivitas terbatas karena prevalensi PJK epikardial pada pasien skleroderma rendah. Pada pemeriksaan radionuklid, abnormalitas perfusi multisegmental yang dinduksi latihan atau istirahat sering ditemukan. Keadaan ini sering kembali normal atau membaik dengan nifedipin atau dipiridamol yang menunjukkan episode vasospasme berulang yang meyebabkan iskemia
miokard atau fibrosis. Pada pemeriksan ekokardiografi infark miokard transmural yang khas biasanya tidak ditemukan. Pasien biasanya
menunjukkan disfungsi diastolik atau sistolik global. Jarang dijumpai infark miokard transmural karena vasospasme koroner epikardial.
Angiografi koroner biasanya menunjukkan arteri koroner epikardial normal, aliran yang lambat menunjukkan resistensi koroner intramiokardial yang meninggi dan
penurunan aliran darah sinus koronarius menunjukkan cadangan aliran koroner abnormal.
Penatalaksanaan Walaupun antagonis kalsium seperti nifedipin dan nikardipin jelas menunjukkan perbaikan jangka pendek dalam jumlah dan beratnya defek perfusi, manfaat jangka panjang belum diketahui. Kaptopril menunjukkan manfaat
yang sama.
pita kontraksi (contraction-band) sering ditemukan.
Manifestasi Klinis Penyakit fibrosis miokardial difus atau fokal dapat mengakibatkan disfungsi diastolik atau sistolik ventrikel kiri yang bermakna, aritmia dan gangguan konduksi. Pasien dengan miopati skletal dan dengan miokarditis lebih sering
mengalami gagal jantung klinis yang sering intraktabel. Gejala yang muncul perlahan seperti dispnu, ortopnu dan edema perifer merupakan gejala yang paling sering ditemukan. Gejala akut gagal jantung dan mati mendadak jarang dijumpai. Pada pemeriksaan fisis dapat menunjukkan kardiomegali,
gallop 53 atau 54, murrnur sistolik, penurunan intensitas bunyijantung, ronki paru dan edema perifer.
Diagnosis Jika terdapat bukti miokarditis secara klinis atau laboratorium, penapisan diagnosis keterlibatan j antung yang asimtomatik harus dilakukan. Pada pemeriksaan EKG dapat ditemukan pola infark
septal pada beberapa pasien, berhubungan dengan abnormalitas perfusi thalium anteroseptal atau septal, walaupun arteri koroner epikardial normal. Keadaan ini diduga menunj ukkan fibrosis septal. Pada pemeriksaan ekokardiografi sebagian besar pasien menunjukkan fungsi sistolik ventrikel kiri yang masih baik. Dapat dijumpai abnormalitas gerakan dinding ventrikel kiri regional atau global dan jarang abnormalitas gerakan dinding ventrikel kanan dan lebih sering tampak pada pasien dengan penyakitjantung secara klinis.
Biopsi endomiokardial merupakan pemeriksaan pemeriksaan yang jarag, digunakan untuk diagnosis penyakit miokardial skleroderma, namun pola keterlibatan
yang heterogen dan nonspesifik membatasi sensitivitas dan spesilisitas teknik ini.
Penatalaksanaan MIOKARDITIS
Jika ditemukan disfungsi sistolik ventrikel kiri asimtomatik,
terapi bersifat nonspesifik dan terdiri dari diuretik, digiTerdapat 2 tipe penyakit miokardial skleroderma. Yang tersering karena iskemia intramiokardial berulang yang
talis dan vasodilator. Penggunaan metilprednisolon intravena pada miokarditis inflamasi akut masih
mengakibatkan fibrosis; yang kedua jarang di mana
kontroversial.
patogenesisnya tak diketahui adalah miokarditis inflamasi
Adanya gallop 53 menunjukkan disfungsi sistolik
akut. Pasien skleroderma dengan miopati skeletal aktif mempunyai prevalensi penyakit niokardial sampai21 7o, dibandingkan hanya l0 7o pada pasien tanpa miopati perifer. Penyakit miokardialjuga lebih sering dan berat pada
ventrikel kiri dan meningkatkan risiko kematian lebih dari 50OVo. Pasien dengan gagal jantung mempunyai laju mortalitas lOOTo dalam 7 tahun, dengan angka tertinggi (82 Eo) terjadi dalam tahun pertama diagnosis.
r813
PENYAKIT JANTUNG PADA PENYAKIT JARINGAN IKAT
GANGGUAN KONDUKSI DAN ARITMIA Defek konduksi terjadi sampai 20Vo pasien skleroderma.
Prevalensi tertinggi pada ditemukan pada pasien miokarditis atau defek perfusi miokardial. Penggantian fibrosa pada nodus SA dan AY cabang berkas dan miokardium tampak pada pemeriksaanp ost mortem pasien dengan gangguan konduksi.
Manifestasi Klinis Bukti klinis pada penyakit perikard ditemukan 5-15 Vo pasien dan lebih sering pada pasien dengan tipe kutaneus terbatas. Manifestasi klinis tersering adalah efusi perikard kronik dengan sesak, ortopnu dan edema; dan jarang tampak sebagai perikarditis akut dengan demam, nyeri dada
pleuritik, dispnu dan pericardial rub. Tamponadjantung atau perikarditis konstriktif kronik j arang dijumpai.
Manifestasi Klinis
Diagnosis
Aritmia sering dijumpai dan dikaitkan dengan miokarditis aktif. Kontraksi ventrikel dan atrial prematur, takikardia
Ekokardiografi sering menunjukkan efusi perikard ringan asimtomatik dan penebalan dan dapat mengkonfirmasi tamponad jantung yang dicurigai secara klinis.
supraventrikular dan takikardia ventrikular non sustained dan supraventrikular lebih sering terjadi pada pasien dengan penyakit kutaneus difus daripada pasien dengan tipe terbatas. Palpitasi terjadi pada 50 % pasien. Sinkop dapat terjadi dan dikaitkan dengan blok AV derajat tinggi atau aritmia ventrikular; j arang merupakan manifestasi pertama skleroderma. Sinkop dapat juga terjadi pada pasien
juga sering dijumpai. Aritmia ventrikular
hipertensi pulmonal berat. Sekitar 40-70 % kematian jantung pada pasien skleroderma yang mempunyai miopati skel-
etal aktif dan miokarditis mungkin tiba-tiba dan terkait dengan aritmia ventrikular.
Diagnosis Mayoritas pasien mempunyai EKG normal, yang mempunyai prediksi tinggi fungsi ventrikel kiri normal.
Penatalaksanaan Perikarditis simtomatik atau efusi perikard bermakna dapat
diterapi dengan obat antiinflamasi nonsteroid. Jika
dicurigai tamponad, perikardiosentesis atau perikardiektomi biasanya bermanfaat. Steroid tidak efektif pada pasien efusi perikard kronik yang berat. PENYAKIT JANTUNG VALVULAR Prevalensi sebenarnya tak diketahui, danjarang dijumpai secara klinis. Prevalensi pada penelitian post mortem dilaporkan sampai 18 Vo. P adapemeriksaan ekokardiografi,
frekuensi regurgitasi mitral pada pasien skleroderma
Adanya blok cabang berkas kiri dan kanan atau bifasikular
dilaporkan 67 Vo dibandingkan hanya 15 7o padakeTompok
umumnya berhubungan dengan disfungsi sistolik
kontrol. Dapat dijumpai penebalan nonspesifik pada katup mitral dan aofta tanpa disertai regurgitasi bermakna.
ventrikel
kiri
saat istirahat atau yang diinduksi latihan.
Terdapat peningkatan frekuensi aritmia atrial dan vetrikular
atau abnormalitas konduksi pada pemeriksaan EKG dan berhubungan dengan disfungsi ventrikel kiri.
Penatalaksanaan Pacu jantung diindikasikan pada gangguan konduksi derajat tinggi yang simtomatik dan terapi anriarirmia diberikan pada aritmia simtomatik. Belum diketahui apakah supresi aritmia menurunkan risiko mati mendadak pada pasien skleroderma.
PENYAKIT JANTUNG SKLERODERMA SEKUNDER
Penyebab sekunder penyakit jantung skleroderma dikaitkan dengan hipertensi sistemik dan pulmonal. Fibrosis paru dapat terjadi sampai 80 7o dan hipertensi pulmonal dengan kor pulmonal sampai 40-5OVo pasien. Hipertensi pulmonal sekunder karena vaskulopati infl amasi atau vasospasme pulmonal jarang terjadi dan lebih sering dikaitkan dengan tipe kutaneus terbatas (limited cutaneus)
dan sindrom overlap. Hipertensi pulmonal dikaitkan PER!KARDIT!S Patogenesis penyakit perikardial skleroderma tak diketahui
dan biasanya secara klinis silent. Perikarditis akut simtomatik jarang dijumpai, kontras dengan prevalensi penyakit perikard yang tinggi pada pemeriksaan post mortem. Perikarditis fibrinosa, perikarditis fibrosa kronik, adhesi perikardial dan efusi perikardial adalah tipe patologis yang dijumpai. Penyakit perikardial lebih sering terjadi pada pasien dengan bentuk kutaneus terbatas.
dengan 50 Vo mortalitas dalam 8 tahun. Oksigen, antagonis
kalsium dan inhibitor ACE menunjukkan manfaat jangka
panjang. Hipertensi dan penyakit jantung hipertensi biasanya dikaitkan dengan penyakit renovaskular. Prognosis dikaitkan dengan beratnya penyakit jantung.
SPOND!LITIS ANK!LOSING Spondilitis ankilosing merupakan penyakit inflamasi yang
1814
asalnya tak diketahui yang melibatkan predominan pada vertebra dan sendi sakroiliaka. Manifestasinya sebagai nyeri pinggang bawah dan hambatan gerakan bagian belakang dan pengembangan dada. Jarang melibatkan sendi perifer dan organ ekstrartikular seperti jantung.
Manifestasi kardiovaskular umumnya mengikuti sindrom artritis setelah l0-20 tahun, kadang-kadang mendahulai artritis. Manifestasi kardiovaskular terpenting
adalah aortitis dengan alau tanpa regurgitasi aorta.
gangguan konduksi, regurgitasi mitral, disfungsi miokardial dan penyakit perikard. Prevalensi penyakit kardiovaskular secara klinis bervariasi luas. Prevalensinya lebih tinggi pada pasien dengan lama penyakit >20 tahun, pasien dengan usia >50 tahun dan keterlibatan artikular
I(ARDIOI.OGI
anterior. Regurgitasi katup yang tampak pada hampir 50 Vo pasien adalah sedang pada sepertiga kasus. Penyakit aorta
dan katup dikaitkan dengan lama penyakit spondilitis ankilosing tapi tidak terhadap aktivitas penyakit, berat penyakit dan terapi.
Penatalaksanaan Belum ada data mengenai peran terapi medis dengan antiinf'lamasi spesifik seperli kortikosteroid. Terapi dengan diuretik dan vasodilator dapat digunakan pada regurgitasi aorta yang bermakna. Profilaksis antibiotik pada endokarditis infektif diindikasikan pada penyakit katup aorta dengan regurgitasi.
perifer.
GANGGUAN KONDUKSI AORTITIS DAN BEGUBGITASI AOBTA Patogenesis aortitis belum diketahui. Meningkatnya aktivitas agregasi trombosit dan plate let- deriv e d g rorvth factor dipercayai sebagai faktor yang berperan pada patogenesis. Proses inflamasi juga dimediasi oleh sel plasma dan limfosit.
Manifestasi Klinis Manifestasi penyakit jantung yang terkait spondilitis ankilosing tersering adalah aortitis proksimal dengan atau tanpa regurgitasi. Penyakit katup mitral yang terkait juga sering dijumpai. Aortitis dan regurgitasi aorta umumnya ringan sampai sedang, secara klinis silent dan kronik. Jarang te{adi regurgitasi aorta berat berasal dari aortitis
kronik atau akut berat atau valvulitis atau komplikasi endokarditis infektif. Penyakit katup aorta silent secara klinis dengan atau tanpa regurgitasi aorta dapat terjadi pada seperliga pasien sebelum manifestasi penyakit sendi.
Walaupun penyakit aofta dan regurgitasi katup dapat ditemukan pada pemeriksaan ekokardiografi pada 60 7o pasien, karena biasanya ringan sampai sedang, hanya sedikit yang terdeteksi secara klinis.
Diagnosis Pada pemeriksaan foto rontgen dada siluet jantung dan
pembuluh darah besar biasanya normal. Jika terdapat penyakit aorta berat atau regurgitasi aorta, aorta asenden dapat menunjukkan dilatasi atau elongasi dan pembesaran atrium dan ventrikel kiri dapat ditemukan. Pada pemeriksaan ekokardiografi transesofageal,
Gangguan konduksi merupakan penyakit jantung terkait
spondilitis ankilosing kedua tersering ditemukan
dan
pato-eenesisnya belum diketahui. Gangguan konduksi dapat merupakan akibat proses fibrosis subaortik yang meluas ke septum basilar. mengakibatkan destruksi atau disfungsi nodus atrioventrikular, bagian proksimal berkas His, cabang berkas dan fasikel.
Manifestasi Klinis Prevalensi gangguan konduksi bervariasi sangat luas, sekurang-kurangnya 20 7o. Blok atrioventrikular (derajat satu, derajat dua dan jarang derajat tiga) tersering ditemukan, diikuti disfungsi nodus sinus (aritmia sinus, blok sinoatrial, henti sinus, dan sicft siias st'ndronte) dan blok fasikular dan cabang berkas.
Pasien dengan gangguan konduksi umumnya asimtomatik dan dapat dideteksi sebelum manifestasi secara klinis pada kurang dari seperlima pasien. Prevalensi penyakit aorta dan regurgitasi katup tinggi pada gangguan konduksi. Jarang terjadi, gangguan konduksi berat yang berhubungan dengan gejala pusing, prasinkop atau sinkop dan membutuhkan pacu jantung mendahului diagnosis spondilitis ankilosing. Pada pemeriksaan fisis bradiaritmia berat dapat secara klinis dideteksi jika pasien simtomatik. Gangguan konduksi umumnya insidental dideteksi dengan EKG.
Diagnosis EKG mencakup pemantauan ambulatori 21 jam, dapat secara mudah mendeteksi adanya gangguan konduksi.
penebalan aorta, peningkatan kekakuan dan dilatasi didapatkan masing-masin g 60 Vo, 60 Vo dan 25 7o pasien.
Penatalaksanaan
Penebalan katup aorta pada 40 70 pasien,manifestasi predominan sebagai nodularitas katup aorta. Penebalan katup mitral yang tampak pada 30 Vo pasien, manifestasi
Terapi antiinflamasi tidak menunjukkan manfaat pada pasien dengan gangguan konduksi. Pacu jantung dapat dilakukan dengan sukses dengan indikasi terbanyak adalah blokjantung total dan sick sinus syndrome.
predominan sebagai penebalan basal katup mitral
PENYAKIT JANTUNG PADA
PETTTYAKIT
1815
JARINGAN IKAT
PENYAKIT KATUP MITRAL
terbanyak pada permukaan ekstensor, terutama punggung
Prevalensi penyakitkatup mrtral sekitar 307r, namun secara
keganasan, sepsis dan penyakit kardiovaskular. Indikator prognosis yang buruk mencakup usia >45 tahun, penyakit kardiopulmoner dan lesi nekrotik kutaneus.
tangan dan umum tak bermakna dan sering tak diketahui. Penyakit katup mitral umumnya asimtomatik dan sering secara insidentil dideteksi dengan ekokardiografi. Patogenesisnya dikaitkan dengan perluasan fibrosis aorta sampai bagian basilar subaortik dari katup mitral anterior, mengaibatkan subaortic bump.Regwgitasi mitral berasal dari mobilitas katup anterior yang menurun yang disebabkan subaortic bump basllr atau jarang akibat dilatasi ventrikel karena
regurgitasi aorta. Kecuali profilaksis antibiotik untuk pencegahan endokarditis infektif pada pasien dengan regurgitasi mitral, tak ada terapi lain yang direkomendasikan.
jari. Penyebab utama mortalitas
adalah
Manifestasi Klinis Penyakit jantung yang terkait polimiositis /dermatomiositis
tidak jarang dijumpai dan manifestasinya predominan sebagai aritmia atau gangguan konduksi dan miokarditis.
Kardiomiopati dilatasi, perikarditis, vaskulitis koroner, hipertensi pulmonal dengan kor pulmonal, prolaps katup mitral dan sindrom jantung hiperkinetik pernah dilaporkan.
Penyakit jantung yang nyata secara klinis jarang dibandingkan pada penemuan post mortem. Penyakit jantung klinis lebih sering ditemukan pada polimiositis dan
sindrom overlap daripada dermatomiositis. Adanya PENYAKIT MIOKARD, PENYAKIT PERIKARD DAN ENDOKARDITIS BAKTERIALIS
penyakit jantung tidak berhubungan dengan usia, aktivitas , berat atau lamanya penyakit dan tak berbeda antara pria dan perempuan.
Penyakit miokard primer jarang dijumpai. Patogenesisnya belum diketahui, diduga karena peningkatanjaringan ikat
interstisial miokardial yang difus dan serat retikulum. Manifestasinya dapat berupa disfungsi sistolik dan dilatasi ventrikel kiri sampai seperlima pasien. Fungsi diastolik
ARITMIA DAN GANGGUAN KONDUKSI
ventrikel kiri abnormal dengan
pemerikasaan ekokardiografi Doppler dan ventrikulografi radionuklid
Abnormalitas gelombang T dan segmen ST non spesifik ditemukan pada separuh pasien. Gangguan lain mencakup blok cabang berkas kanan, blok fasikular anterior kiri, blok
dilaporkan sebanyak 50 7o pasien. Disfungsi diastolik tidak terkait dengan usia, lama penyakit atau aktivitas penyakit. Disfungsi miokard sekunder terkait dengan overloadyol-
bifasikular, perlambatan konduksi intraventrikular nonspesifik, bok cabang berkas kiri, blok AV derajat satu dan blok AV derajat tinggi. Gangguan konduksi jarang
ume kronik pada regurgitasi mitral dan aorta. Dapat
berkembang menjadi lebih berat, meskipun pada beberapa kasus memerlukan pacu jantung permanen. Aritmia yang tersering ditemukan adalah komplek atrial dan ventrikel prematur. Takiaritmia supraventrikular dan takikardia ventrikular jarang terjadi. Miokarditis aktif atau
didengar bunyijantung ketiga dan keempat dan ronki paru jika terdapat disfungsi sistolik atau diastolik ventrikel kiri
yang bermakna. Ekokardiografi merupakan metode diagnostik terbaik untuk melihat disfungsi ventrikel kiri primer atau sekunder. Tak ada terapi spesifik untuk penyakit miokardial pnmer. Prevalensi penyakit perikardial tak diketahui, dan jarang
ditemukan pada spondilitis ankilosing. Patogenesisnya belum diketahui dengan pasti. Umumnya asimtomatik dan tak ada gangguan hepodinamik bermakna. Biasanya
secara insidental terdeteksi pada pemeriksaan ekokardiografi berupa penebalan perikard atau efusi perikard ringan. Tak ada terapi spesifik.
degenerasi miokardial dan fibrosis yang meluas ke sinoatrial, nodus AV dan cabang berkas menjelaskan adanya aritmia dan abnormalitas konduksi.
MIOKARDITIS Pada penelitian, miokarditis ditemukan pada separuh pasien, dengan manifestasi sama sebagai miokarditis aktif atau fibrosis miokardial fokal. Sekitar 10-207o mengalami kardiomiopati dilatasi. Terdapat korelasi kuat antara
POLI MIOSITIS/DERMATOM IOS!T!S
miokarditis dan miositis aktif. Miokarditis dapat bermanifestasi secara klinis sebagai gagal jantung
Polimiositis atau dermatomiositis adalah miopati infl amasi kronik, didapat yang penyebabnya tak diketahui dengan manifestasi klinis kelelahan otot proksimal yang simetri
kongestif atau kardiomiopati dilatasi.
pada ekstremitas, tulang belakang dan leher.
ARTERITIS KORONER
Dermatomiositis berbeda dengan polimiositis dengan adanya rash pada muka, leher, dada dan ekstremitas,
Prevalensi klinis tak diketahui. Salah satu penelitian posr
1816
KARDIOI.OGI
mortem menunjukkan adanya arteritis koroner pada30
Vo
pasien, manifestasi sebagai vaskulitis aktif dengan proliferasi intima atau nekrosis medial dengan kalsifikasi.
PENYAKIT JANTUNG VALVULAR
Prevalensi prolaps katup mitral dilaporkan lebih dari separuh pasien. Tidak ada penyakit katup spesifik ditemukan. Penyebab prolaps katup mitral belum dapat ditentukan.
Manifestasi klinis penyakit jantung primer, hipertensi pulmonal dan kor pulmonal yang terkait MCTD tidak berbeda dengan penyakitjaringan ikat lain.
Diagnosis Metode yang digunakan untuk mendiagnosis penyakit jantung yang terkait MCTD sama dengan penyakit jaringan ikat lain.
Penatalaksanaan Data yang ada masih sedikit dalam hal penatalaksanaan
penyakit jantung yang terkait MCTD. Perikarditis PERIKARDITIS Perikarditis akut tanpa komplikasi dengan efusi perikard ringan sampai sedang pernah dilaporkan. Perikarditis akut dengan tamponad dan perikarditis konstriktif kronis jarang
umunmya memberikan respons baik dengan kofiikosteroid. Nifedipin 30 mg/hari menunjukkan penurunan resistensi vaskular pulmonal akut dan menetap pada pasien hipertensi
pulmonal.
drjumpai. Perikarditis melibatkan 10 METs Olahraga renang, tenis tunggal, bola kaki, bola basket atau main ski?
Risiko Pembedahan Spesifik Jenis operasi yang akan dilakukan dapat mempengaruhi/
menambah risiko bagi pasien yang menderita kelainan Mayor
.
sindrom koroner tak stabil IMA baru (>7 hari dan 5%) operasi emergensi, major terutama pada usia tua aorta dan vaskular major lainnya vaskular perifer tindakan bedah yang lama dan terjadi pergeseran cairan dan/atau darah hilang yang banyak
Sedang (risiko kardiak < 5%) carotid end arterectomy kepala dan leher intra peritoneal dan intratorak ortopedi prostat
Rendah (risiko kardiak < 1%) prosedur endoskopi preosedur superficial katarak payudara
1856
I(ARDIOI.OGI
ALGORITME EVALUASI KARDIOVASKULAR
Algoritme lll
PRABEDAH
Langkah 6. Pasien dengan risiko prediktor klinis intermediate dan kapasitas fungsional baik atau sedang, kemungkinan terjadinya kematian atau infark miokard adalah kecil bila dilakukan operasi (risiko sedang).
Algoritma evaluasi kardiovaskular yang akan dibicarakan di bawah ini, diambil dariThe AHNACC joint taskforce on Guidelines for Perioperatiye Cardiovascular Evaluation for Noncardiac Surgery 2002. Pada algoritma ini ditekankan pentingnya untuk mengidentifikasi prediktor klinis risiko perioperatif, terutama untuk pasien yang
tampaknya mempunyai kelainan koroner yang lanjut ataupun kelainanan jantung lainnya. Tujuannya adalah
untuk mengenal pasien dengan kelainan koroner tersembunyi ataupun yangjelas dan melakukan cara untuk
Sebaliknya pemeriksaan noninvasif dipertimbangkan pada
pasien dengan kapasitas fungsional buruk atau sedang tetapi risiko operasi lebih tinggi dan terutama untuk pasien yang mempunyai dua atau lebih prediktor klirns intermediate.
Algoritme lV
perlu dilakukan pemeriksaan kardiovaskular. Perlu
Langkah 7. Operasi non jantung umumnya aman pada pasien tanpa risiko prediktor klinis mayor atau intermediate dan kapasitas fungsional baik atau sedang (4 METs atau lebih). Pemeriksaan lanjut dipertimbangkan pada pasien dengan kapasitas fungsional buruk yang akan dilakukan tindakan operasi tinggi, terutama bila didapati beberapa
dipertimbangkan berbagai interaksi variabel sehingga
risiko prediktor klinis minor dan pasien yang akan
diberikan bobot yang sesuai.
mengalami operasi vaskular.
Algoritme
Langkah 8. Hasil pemeriksaan noninvasif akan menentukan penatalaksanaan prabedah selanjutnya. Penatalaks.anan antara lain adalah pengobatan intensif atau pertimbangan kateterisasi jantung (algoritma III dan IV).
mengurangi risiko jantung perioperatif maupun risiko
jangka panjang. Dengan demikian pemeriksaanpemeriksaan yang dilakukan benar-benar rasional sehingga dapat menekan biaya. Pada gambar dapat dilihat pasien-pasien mana yang
Langkah
I
1. Tentukan apakah tindakan bedah
nonjantung
ini sifatnya elektif, urgensi atau emergensi. Pada operasi emergensi tidak dapat dilakukan evaluasi jantung prabedah mengingat waktu yang mendesak. Bagi pasien yang sebelumnya tidak pernah mengalami pemeriksaan kardiovaskular, dilakukan stratifikasi risiko pasca operasi.
Langkah 2. Pada operasi elektif, pasien yang telah
PENGOBATAN RISIKO KARDIOVASKULAR PRABEDAH
biasanya tidak perlu tes ulang. Pemeriksaan ulang
. . . . . . . .
dilakukan bila ada keluhan iskemia koroner yang baru. Bila evaluasi koroner belum pernah dilakukan atau hasilnya buruk, maka evaluasi selanjutnya tergantung kepada prediktor klinis.
RIWAYAT JANTUNG KORON ER
dilakukan revakularisasi koroner dalam 5 tahun yang lalu dan secara klinis tetap stabil tanpa serangan ulang keluhan maupun tanda iskemia, pemeriksaan lanjut biasanya tidak
diperlukan.
Langkah 3. Pasien yang telah dilakukan evaluasi koroner 2 tahun
terakhir, dan penilaian risiko koroner hasilnya baik,
Algoritma l! Langkah 4. Pasien dengan prediktor klinis mayor (CHF dekompensasi, aritmia simtomatik dan/atau penyakit katup jantung yang berat) maka biasanya operasi dapat ditunda atau dibatalkan sampai keadaan ini dapat diidentifikasi dan diobati. Bila tidak stabil, maka dapat dipertimbangkan rev
akularisasi koroner.
Langkah 5. Untuk pasien dengan prediktor klinis intermediate dan minor, maka tentukan kapasitas fungsional pasien. Pemeriksaan noninvasif lanjutan dilakukan dengan melihat kapasitas fungsional dan risiko bedah spesifik.
Penyakitjantungkoroner(PJK) Gagal jantung kongestif (CHF)
Aritmia dan gangguan konduksi Penyakitkatupjantung Pasien dengan pacu jantung Pencegahar/pengobatan tromboemboli vena
Pencegahanendokarditisbakterial Hipertensi
Menghadapi pasien dengan PJK (dengan diagnosis klinis angina, riwayat infark miokard, atau angiografi koroner positif) sikap yang diambil sebagai berikut: 1. PJK tidak diketahui, status fungsional jantung baik (kelas I atau awal kelas II - dapat menaiki satu trap anak tangga membawa beban 1 5 sampai 30 kg tanpa simtom jantung).
.
prosedur diagnosis khusus prabedah tidak
.
dilakukan pengobatan khusus tidak diperlukan
2. Pasien kelas
PJK stabil, status fungsional baik (kelas I atau II). Prosedur diagnosis khusus prabedah tidak
1857
PENYAKIT JANTUNG DAN OPERASI NON JANTUNG
Argoritma Stratifikasi pasca operasi dan pengurangan faktor risiko
@ @
Revaskularisasi koroner dalam 5 tahun?
Keluhan atau tanda kambuh kem
Angiogram koroner atau tes stress terakhir
Argoritma ll
(Tahap
a)
Prediktor klinis mayor Prediktor klinis intermediate
Operasi non-kardiak ditunda atau dibatalkan
t I
|
Pertimbangan angiografi koroner
Lanjut
algoritma ilt
Lanjut algoritma
tv
I I
t
Prediktor klinis major:
Tatalaksana medis dan Pengawasan selanjutnya. modifikasi faktor risiko atas dasar hasil temuan dan pengobatan
- Sindrom koroner koroner tidak stabil
- CHF dekompensasi - Aritmia signifikan
- Penyakit katup jantung
Gambar 1. Algoritme tahapan evaluasi kardiologi prabedah
dilakukan. Pengobatan konservatif obat untuk jantung diteruskan pada masa perioperatif. Rekomendasi:
.
EKGharipertamapascaoperatifdan pada saatkeluar dari rumah sakit
. Teliti apakah terjadi IMA bila ada hal yang mencurigakan. Pasien PJKjelas, status fungsional tidakjelas. Prosedur
diagnosis khusus prabedah: monitor iskemia ambulatoar, ekokardiografi, s/ress echocardio graphy,
exercise thallium testing, dan dypiridamol thalium. Rekomendasi: . bila tes negatif; pengobatan konservatif . bila tes positif: pengobatan medis agresif. - Obat PJK prabedah diberikan, cari faktor risiko non PJK (antara lain usia 70 tahun, DM, CHF, aritmia ventrikular/ atrial yang penting, penyakit vaskular atau tindakan bedah abdomen dan
4.
dada), dan pertimbangan tes non invasif ulang (bila tes negatif: pengobatan konservatif; bila tes positif: lanjut ke b dan c. - Pemantauan intensif perioperatif untuk kontrol tekanan darah dan denyut jantung atau - Angiografi koroner dan revaskularisasi sesuai indikasi. Pasien IMA + tindakan operasi emergensi. Sikap : - Kerjasama tim dengan ahli anestesi dan ahli bedah untuk meminimalkan risiko. Hindari hal-hal yang dapat meningkatkan kebutuhan O, maupun masalah
-
ritmejantung. Monitor hemodinamik secara menyeluruh. Obat anti iskemia diteruskan baik sebelum, sewaktu atau
-
Pemantauan ritme secara teliti dan segera obati bila
sesudah operasi.
ada aritmia. Pasien dengan gangguan sistem konduksi yang dapat berlanjut menjadi blokjantung
1858
Ii{RDIOI.OGI
komplit dilakukan pemasangan pacu jantung
Kelas I: penyekat beta digunakan untuk kontrol keluhan aritmia simtomatik dan
sementara (TPM). Riwayat infark miokard atau gelombang Q patologis,
hipertensi.
termasuk predrktor intermediate.IMA baru (7 hari dan
Kelas
kurang dari 30 hari), termasuk prediktol mayor dan tindakan bedah ditunda. Pembagian interval infark
hipcrtensi yang tidak diobati. adanya PJK. atau faktor
miokard 3 atau 6 bulan tidak digunakan lagi. Pada IMA bila tes stres tidak menunjukkan risiko miokardium residu, kemungkinan untuk timbtrlnya reinfark pada pembedahan non jantung adalah rendah. Dianjurkan tindakan pembedahan dilakukan ,1-6 ming-eu pasca
Berbagai ienis penyekat beta seperti metoptolol, labctalol. atenolol. bennanfaat dalam mengurangi
an-gina ataupun pasien den-9an
kejadian iskemia perioperatif. Pada satu studi, pemberian
atenolol pada 200 pasien dapat mengurangi angka morteilitas dan komplikasi kardiovaskular perioperatif pada pasien dengan PJK ataupun mempunyai risiko untuk P.lK (sekurang-kurangnya dua dari lima kriteria: r,rsia > 65 tahun, hipertensi, perokok, serum kolesterol
Indikasi revaskularisasi prabedah.
.
Bedah pintas koroner (CABG)
Pasien dengan operasi elektif yang mempunyai risiko tinggi dan akan dilakukan tindakan operirsi non jantung risiko tinggi dan intermecliate, m'aka CABG dilakukan sebelum tindakan bedah. Indikasi untuk CABG (sesuai rekomendasi,4CO
AHA task force)
-
lefi rnain stenosis dan miokard cukLrp baik three vessel CAD dengan disfungsi ventrikel kiri ttro vessel disease termasuk obstruksi berat dari le.ft cLrtericLl clescending orter\ proxin.al
- iskemia koroner intractuble .
walaupun
pengobatan medis sudah maksimal. Intervensi koroner perkutan (PCI) Indikasi PCI padaprabedah sesuai dengan guitlelites ACCI AHA untuk PCI. Kapan sebaiknya dilakLrkan tindakan bedah pasca- PCI?
-
Belum ada ketentuan berapa lama jarak antara
-
pasca-PCl dengan bedah nonkardiak. Dianjurkan tindakan bedah ditunda sekurangkurangnya I minggu pasca angioplasti balon.
pada penilaian prabedah diidentifikasi
mayol PJK.
IMA. 6.
II:
>2210
mg/dl dan DM) yang dilakukan operasi non
Jantullg.
GAGAL JANTUNG KONGESTIF Pasien -ra-ual .jantung yang harus dilakukan opelasi non jantun-u menrpunyai pro-unosis yan-e burr-rk. Pasien dengan ga-9al jantun-u kon-uestif yang harus dilakukan operasi emergensi mempunyai risiko tinggi morbiditas dan mortalitas tanpa memandang etiologi gagal jantung. Risiko jantung, edema paru, aritmia dan yang ter.jadi adalah -ea-gal
kematian. Risiko komplikasi menin-ekat bila NYHA berlambah buruk. Pada CHF NYHA IY kentatian mencapai 70ck.
Gagal jantung harus diobati secara adekuat sebelum
dilakukan tindakan operasi, sebaiknya setelah kondisi pasien stabil palin-s sedikit satu ntin,ggu sebelum pernbedahan dan diupayakan agarjangan terjadi intoksikasi
digitalis dan hipokalemia akibat diuretika.
untuk memungkinkan penyembuhan luka
Persiapan Prabedah
pembuluh darah.
-
Pascapemasangan stenkoroner, tindakan bedah ditunda sekurang-kurangnya 2 minggu dan
. .
sebaiknya 4-6 minggu agar pengobatan anti
-
trombosit optimal dan terjadi reendotelisasi stert. Bagi pasien pasca-PCl 6 bulan sampai 5 tahun dan asimtomatis dan aktif, diharapkan masih
mendapat perlindungan terhadap komplikasi iskemia perioperatif, mengingat pasca-PCl lebih dari 6 bulan jarang terjadi restenosis. Penggunaan obat perioperatif Penyekat beta, antagoni
s
cari penyebab gagal jantung atasi faktor predisposisi yang dapat mencetuskan gagal jantung seperti demam. anemia. gangguan elektrolit,
gangguan asam-basa. hipoksia, hiperkarbia,
.
hipovolemia, hipertensi dan aritmia jantung. Penggunaan obat-obatan
-
menyebabkan hipovolemia dan pengaruh anestesi (general dan spinal) dapat mengakibatkan hipotensi intraoperatif. Dosi s di uretik (fu rosemid) disesuaikan berdasarkan status klinis dan fungsi ginjal. Diuretik biasanya tidak diberikan pada pagi hari operasi dan penilaian klinis dilakukan pascaoperasi.
kalsi um tidak perl u dihentikan
prabedah. Regimen pengobatan yang agresif yaitu penggunaan penyekat beta dan nitrat dapat mengurangi
kejadian iskemia pada pasien dengan iskemia perioperatif asimtomatik. ACC/AHA merekomendasi kan pengobatan perioperatif dengan penyekat beta sebagai berikut:
diuretik: pemberian diuretik yang agresif dapat
-
Digitalis (digoksin) - Pasien gagnl jantung yang telah mendapat digoksin diteruskan pemberiannya. Biasanya digoksin tidak diberikan pada pagi hari operasi
1859
PENYAKIT JAIYTUNG DAN OPERASI NON JANTUNG
untuk mengurangi risiko toksisitas.
ARITMIA DAN GANGGUAN KONDUKSI
Bila digitalis diperlukan pada pasien gagal jantung prabedah, diberikan digitalisasi
Aritmia dan gangguan konduksi jantung selalu dijunpai pada masa perioperatif ferutama pada pasien usia tua. Adanya aritmia supraventrikular maupun ventrikular harus
beberapa hari sebel um operasi. Profr I aksis digi talis tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan
dicari penyakit yang mendasarinya yaitu penyakit kardiopulmonal, intoksikasi obat, ataupun kelainan
aritmia pasca operatif. Vasodilator: penggunaan ACE (.cLngioten.sin conve rting enzyme) inhibitor diteruskan sampai
pada hari operasi dan selanjutnya. Bila diperlukan dapat diberi nitroprussid i.v.,
metabolik. Pada pasien dengan gangguan hemodinamik dan/ataupun aritmia simtomatik diperlukan pemantauan EKG ambulatoar ataupun studi elektrofisiologi jantung
hidralazin i.v.
dengan penggunaan obat-obat yang munculnya kembali
Argoritma lll
Prediktor klinis mayor
Kapasitas fungsional
Prediktor klinis(-)/minor
Prediktor klinis intermediate
Sedang atau baik (> 4 METs)
(< 4 METs) Risiko operasr
Risiko operasi
tinggi
Risiko operasi sedang
Risiko operasi rendah
Risiko rendah
Stratifikasi risiko pasca bedah dan
Risiko tinggi
dasar temuan dan hasil pengo
Prediktor klinis intermediate: -Angina pektoris ringan -Riwayat infark miokard -CHF kompensasi -DM
Argoritma lV
Prediktor klinis /:--:-------f.
I lahaD /
I
Kapasitas fungsional
> 4 METs)
Stratifikasi risiko pasca bedah dan mengurangi faktor risiko Pertimbangkan angiografi koroner Pemeriksaan invasif Pengawasan selanjutnya atas dasar temuan dan hasil pengobatan
Gambar 2. Lanjutan tahapan evaluasi kardiologi prabedah
Prediktor klinis minor: - Usia lanjut - EKG abnormal - Ritme selain sinus - Kapasitas fungsional rendah - Riwayat strok - Hipertensi tak terkontrol
1860
KARDIOLOGI
aritmia. Pengobatan aritmia sama dengan pasien yang tidak mengalami operrsi non jantung.
.
Aritmia Supraventrikular
.
Bila simtom (+)/gangguan hemodinamik, dilakukan kardioversi secara elektris atau farmakologis. Bila kardioversi tidak memungkinkan, beri obat oral
atar'l
digitalis intravena, penyekat beta, atau penghambat saluran kalsium. Pasien fibrilasi atrial disertai CHF pilihan adalah digitalis atau amiodaron. Bila pasien fibrilasi atrial
memakai antikoagulan maka antikoagulan dihentikan beberapa hari sebelum operasi. Bila waktu mendesak dan pasien harusnya tidak memakai antikoagulan, maka efek warfarin dapat diatasi dengan vitamin K parenteral atau plasma beku segar (.fresh frozen pLasma).
Aritmia Ventrikular
.
.
ekstrasistol ventrikular, VES kompJeks, atau takikardi ventrikular Qrcn sustained) biasanya tidak memerlukan pengobatan, kecuali bila ditemukan iskemia miokard dan disfungsi ventrikel kiri. TakikeLrdia ventrikular simtomatik ataupun menetap harus
mendapat terapi prabedah dengan lidokain i.v. atau amiodaron (terutamabila disertai CIIF) atau prokainamid.
Gangguan Konduksi
.
.
Pasien dengan intraventrictLlctr conduction deLal' (IVCD) segera EKG dan jika tanpa simtom atau bukti blok jantung lanjut secara elektris, tampaknya tidak berisiko untuk berlanjut menjadi blok jantung yang komplit pada masa perioperatif. Pasien dengan IVCD, blok bifasikular (right bwtdle branch block dengan Left anterior atat posterior hemiblctck), atau left bundle branch block, dengan atau tanpa first degree antriov entricular block tidak memerlukan implantasi temporat) pace maker bila tidak ada sinkop atau blok
pada masa perioperatif.
Pasien regurgitasi aorta sensitif terhadap bradikardia (interval diastolik ber-tambah dan meni ngkatkan vol ume regurgitasi). Pengobatan : perlu pemantauan status volume pasien. obat untuk mengurangi c{ier locrd seperti: penghambat ACE (ACE inhibintr),penghambat saluran kalsium atau nitrogliserin dan hi dralazin.
Stenosis Mitral Pasien dengan stenosis rnitral ringan atau sedang : . Kontrol denyut jantung selatrna masa perioperatif kar-ena peningkatan denyut jantung men-uakibatkan masa diastol menjadi lebih singkat pada siklus jantung. Hal ini mengakibatkan timbulnya kongesti pulmonal yang dipresipitasi oleh takikardia (kebalikan dari regurgitasi
.
aorta yang sensitif terhadap bradikardia). Hindari obat yang meningkatkan denyutjantung. Pasien dengar.r stenosis mitral berat dan opetusi non
jantung risiko tinggi dilakukan percutoneous hullon rnit rctl vcrlt' ulotorttt', surgi caL conltl1is Ltrotolnl' atau penggantian katup nritr-ai.
Regurgitasi Mitral Berbagai penyebab regurgitasi mitral (MR) antara lain disfungsi muskulus papilaris, prolaps katup mitral (MVP)' penyakit jantung iskemia, penyakit jantung kongenital, endokarditis dan lain-lain. Pasien regurgitasi mitral dapat menyebabkan t,olwne overlc,ud dan kongesti pulmonal secara signifikan. Pengobatan:
.
.
atrioventrikular lanjut. Bila timbul blok konduksi derajat tinggi, diatasi dengan
Regurgitasi mitral: untuk mengutangi after load, diberikan diuretika sebelum operasi. Bila perlu pasien dirawat di unit intensif (ICU) untuk pemantauan tekanan arteri pulmonalis dengan menggunakan kateter. Pasien dengan katup prostesis, diperlukan profilaksis antibiotika (lihat lampiran 3) dan penyesuaian terapi antikoagulan.
pemasangan pacu Jantung sementara.
PASIEN DENGAN PACU JANTUNG PENYAKIT KATUP JANTUNG
Pacu Jantung Permanen Stenosis Aorta Stenosis aorta berat mempunyai risiko sangat tinggi sehingga
tindakan bedah efektif haruslah ditunda atau dibatalkan. Pengobatan dilakukan dengan penggantian katup aorta atau
percutaneous bqllon aortic valvuloplasty.
Regurgitasi Aorta
.
Pasien-pasien dengan regurgitasi aorta signifikan mempunyai kecenderungan terjadi volume overload
Hal-hal yang perlu dievaluasi, yaitu: . Pada prabedah diteliti apakah alat pacu berfungsi
.
dengan baik. Bila pada pembedahan digunakan alat kauter elektris, alat kauter diletakkan sejauh mungkin dari alat pacu (untuk mengurangi gangguan elektromagnetik). Harus tersedia magnit di kamar bedah untuk merubah alat pacu dari demand menjadi fixed rate.Kautetisasi juga dapat mengganggu monitor EKG. Sebaiknya kauterisasi tidak
dilakukan secara kontinu.
1861
PENYAKIT JANTUNG DAN OPERASI NON JANTUNG
Pacu Jantung Sementara Indikasi pemasangan
pacLr
HIPERTENSI
jantung temporer profilaksis
prabedah:
.
. . .
Bradikardia simtomatik pada kondisi berikut : sick sinus svndronre. tibrilasi atau fluter atrial dengan blok AV derajat tinggi, dan blok AV total. Takikardia simtomatik: takikardia ventrikul ar intc-rmi ten dan fibri lasi ventrikular i ntermiten. Malfungsi pacu jantung permanen Sinkop sinus karotis
Hipertensi (HT) tanpa disertai penyakit koroner atau disfungsi miokard yang nyata, tidak menambah risiko kardiovaskular yang berarti pada bedah non jantung. Demikian juga HT tanpa kornplikasi, walaupun disertai h ipertrofi ventrikel kiri (LVH), dapat mentol erir pembedahan tanpa meningkatkan mortalitas yang nyata bila tidak ada tanda-tanda PJK, CHF dan bila fungsi ginjal normal. Namun di sisi lain dilaporkan bahwa adanya tiwayat hipertensi prabedah dapat meningkatkan mortalitas perioperatif dan pemberian obat anti HT dapat mengurangi
risiko. Pasien hipertensi pada prabedah
PENCEGAHAN TROMBOEMBOLI
Tindakan operasi dapat merupakan predisposisi tirnbulnya deep vein thrombosis (DVT) pada ekstremitas bawah dan emboli paru (PE) sekunder. Dari berbagai hasil penelitian di Eropa dan USA, dilaporkan bahwa insiden DVT berkisar l-25Vo pada pasien usia di atas 40 tahun yang dilakukan operasi abdomen mayor. Pencegahan DVT
sesudah operasi dapat mengurangi angka kejadian sebesar 19-867o.
Prabedah direncanakan pada pasien-pasien yang kemungkinar.r dapat terjadi risiko tromboemboli pasca bedah. antara lain imobilitas lanra. usia tua. paralisis.
riwayat tromboemboli vena. proses
ke-qanasan. operasi mayor (terutama abdomen. pelvis, ekstremitas bawah). obesitas, vena varikosa. CHF, infark miokard, strok, fraktur pelvis. pinggul atau kaki, gangguan
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada pasien dengan riwayat hipertensi:
. . .
pneumatik intermiten. dan heparin berat molekul
.
Pasien dengan kelainan katup ataupun katup jantung buatan perlu diberikan profilaksis antibiotika bila dilakukan tindakan operasi.
Antibiotika y ang dianj urkan
. . .
. . . .
Obat anti hiperlensi yang digunakan pasien sebelumnya dapar diteruskan pada perioperatif. Tekanan darah dipertahankan mendekati nilai tekanan
miokard. Bedah elektifpada hipertensi berat (tekanan darah >1 80/
ll0): kontrol tekanan darah sebelum pembedahan (efektivitas regimen pengobatan dapat dicapai dalam beberapa hari s/d beberapa minggu). Bedah urgensi pada hipertensi berat: obati dengan anti hipertensi kerja cepat (dalam beberapa menit sampai beberapa jam. misalnya penyekat beta intravena.
.
Perhatian khusus untuk pasien hipertensi dengan
.
tindakan bedah vaskular karena pada keadaan ini selalu terjadi hipertensi pasca operasi. Hindari penghentian obat penyekat beta dan klonidin secara tiba-tiba (karena rebound phenomena). Pengobatan : pada umumnya sama dengan hipertensi
rendah.
PENCEGAHAN ENDOKARDITIS INFEKTIF
Tindakan bedah tidak perlu ditunda atau dibatalkan pada pasien deugan hipertensi ringan atau sedang tanpa komplikasi.
darah prabedah untuk mengurangi risiko iskemia
koagulasi dan penggunaan dosis tinggi estrogen. Pencegahan DVT didukung antara lain dengan kompresi stoking elastis, heparin subkutan dosis rendah, kompresi
cenderun-e
mempunyai fluktuasi tekanan darah yang signilikan pada intraoperatif dan mengalami iskemia miokard.
.
pada nonbedah; pilihan pertama lebih diutamakan penyekat beta kardioselektif.
KESIMPULAN
:
Standar: Amoksisilin 2,0 gr oral l jam sebelum tindakan Bila oral tidak bisa : Ampisilin 2,0 gr IM atau IV
Alergi penisilin: Klindamisin atau 600 mg oral 1 jam sebelum tindakan.
Sepaleksin atau sefadroksil ata:u 2,0 gr oral 1 jam sebelum tindakan.
Azitromisin atau klaritromisin 500 mg oral l jam sebelum
Risiko jantung perioperatif pada pasien jantung yang mengalami operasi nonjantung berhubungan dengan kelainan jantung, kapasitas fungsional pasien, penyakit penyerta, jenis operasi dan jenis anestesi. Dalam upaya mengurangi risiko jantung perioperatif ini diperlukan evaluasi yang tepat oleh dokter klinisi
tindakan.
(spesialis penyakit dalam/jantung) untuk menetapkan jenis
Alergi penisilin: Klindamisin atau 600 mg IV 30 menit
kelainan jantung, kapasitas fungsional, prevensi dan
sebelum tindakan
pengobatan yang diperlukan prabedah.
dan tidak bisa oral : Sefazolin I ,0 gr
tindakan
IM
30 menit sebelum
Informasi yang diberikan oleh dokter klinisi dapat digunakan/diperlukan oleh spesialis anestesi dan spesialis
1862
I(ARDIOI.OGI
Lampiran
1
Faktor Risiko
Poin
lnterprestasi
5 10
Klas I : 0-5 poin = risiko rendah Klas ll :6-'12 poin = risiko sedang .13-25 poin Klas lll :
Goldman dkk Usia > 70 tahun IMA dalam 6 bulan terakhir Gallop 53 atau distensi vena jugular Stenosis aoda lrama selain sinus atau kompleks atriol prematur pada EKG
11
Risiko tinggi
J
7
terakhir praoperatif Kompleks ventrikel prematur 5/menit ditemukan pada setiap saat sebelum operasi PO2 < 60 atau PaOz > 50 mmHg; K* < 3 atau HCO3 < 20 mEq/L; BUN > 50 atau CR > 3 mg/dl; AST abnormal, tanda penyakit hati kronis, -atauOperasi intraperitoneal, intra toraks, atau aofta. Operasi darurat
7 3
Detsky dkk IMA dalam 6 bulan terakhir lma > 6 bulan Angina Canadian Cardiovaskular Society Klas lll Klas lV Angina tidak stabil dalam 6 bulan terakhir Edema paru alveolar dalam '1 minggu
Klas lV : > 26 poin
10
< 15 poin = risiko rendah > 15 poin = risiko tinggi
E
10
20 10 10
Ever Dicurigai stenosis aorta kritis lrama selain sinus atau sinus dengan kompleks atrial premature pada EKG terakhir praoperatif Kompleks ventrikel premature pada saat sebelum operasi Status medis umum buruk Usia > 70 tahun Operasi darurat
5
20 A
t A
5 10
< 15 poin = risiko rendah
Larsen dkk Gagal jantung kongestif Kongesti paru persisten Riwayat edema paru Riwayat gagal jantung Penyakit jantung iskemi IMA dala 3 bulan terakhir lnfark lama atau angina pektoris Diabetes melitus Kreatinin serum > 1,6 mg/dl Operasi darurat Prosedur bedah mayor Operasi aorta Operasi intraperitoneal atau intraleura lain
12
5-8 poin = risiko sedang > 8 poin = risiko tinggi
B
4 11 J c
2
J 6 2
Key : AST = aspartate aminotransferase; BUN = blood urea nitrogen; Cr = creatinine; ECG = electrocardiogram; K+ = potassium; Ml = myocardial infarction; PAC = premature atrial contraction; PVC = premature ventricular contraction
1863
PENYAKIT JANTUNG DAN OPERASI NON JANTUNG
bedah dalam melaksanakan tindakan operasi. Kerjasanru
yang harmonis dan professional antara spesialis klinis dengan spesialis anestesi serta spesialis bedah sangat diperlukan pasien untuk mencapai hasil yang optimal.
REFERENSI ACC/AHA Task Force On Pracrice Ciuidelines: Guidelines for perioperative cardiovaskulal evaluation for non crrdiac surgery Circulation. 2002; 105: l2-57. ACC/AHA task ftrrce report: _uuidelines fbr coronary angio-traphy Circulation I999: 99: 23,1-5--57 ACC/AHA task force report: guidelines lor thc clinical tpplication
of echocardiography.
2003-
ACC/AHA task fbrce report: guidelines fbr inrplantaLion of carcliac pacemakers and antiarrytlrmia deviccs JACC l99l: liil: l-13. AHA Scientific statemcn[: Prcvention ol baliLerial endocarditis. recommendations by the American Heart Asstrcintion. Circulation 1997; 96: 358-66 Barrels C. Bechtel M. Hossmann V. Horsch S: Cardiac ri\ strxtitlextion fbr high risk vaskular surgery. Circulation. 1997: 9-5: 2.i73-
15. Clagett GP, Anderson FA, Levine MN. et al: PreYention o1'rcnous thromboembolism. Chest 1992'. 107: 4. 391S-402S Eagle KA, Rihal CS. Michel MC, et al: Cardi:rc risk of nott curcliac surgery influence of coronary disease and tvpe ol rurgerr in 3368 operations Circulation. 1997: 96: lE8l-7 Falcone RA, Ziegelstein RC: Cardiovaskular disease dnd hvpertension in: Richards JG. Grecorv MC Eds Karrmerer and Gross'
Medical Consultation The internist on surgical, Obstelric and Psychiatric Services 3 d ed. Williams & Wilkins, 19981 149-70. Foxwell M, Meyerson M: Cardiovascular assessmenl and management. In: Wolfsthal'S a Lange Clinical Manual's Medical Perioper-ative Management 89/90, 1989: 84-90 Froehlich JB, Karavite D, Erdrurlr N, et al: ImpJementation of ACC/ AHA guidelines fbr preoperative cardiac risk assessment before aortic surgery: Lrplications fbr resource utilization. J Am Coll Cardiol. 1991l. 29: 392 (abstract.l Goldman L: Generrl anesthesia and non-cardiztc surgery in patients with heart disease in Braunwald's Heart Disease. A textbook of cardiovaskular medicine, 7'| ed, 2005t 2021-2038.
Joint National Committee on Detection. Evaluarion
and
Treatment of High Blood Pressure The sixth report of the Joint National Committee on Detection. Evaluation and Treatment of high hlood pressure (JNC VI). Arch lntern Med 1997; t51 Kaplan NM: Clinical Hypertension, 8'h edition. 2002: 311 Magallanes M: Cardiac concerns. In : Perioperative pocket manual .
2005, 3'd edition. Mangano DT, Layug EL, Wallace
A, Tareo I: Efl-ects of atenolol on
mortality and cardiovaskular morbidity after non-cardiac surgery. The nrulticenter study of perioperatif ischemic research group. N Engl J Med 1996; 335: 1'713-20. Mangano DT: Perioperative cardiac morbidity. Anestesiology, 1990;
72: I 53-84 Palda AV, Detsky AS: Clinical guidelines part lI, pelioperntive assessme[t and management of risk from coronary artery disease. Ann lntern Med, 1997; 121: 313-28 Smith WT, Kelly RA, Stevenson, Braunwald E: Management of heart lailure in Braunwald's heart disease. A Teaxtbook ol Cardior rrculrr Medicine. 7r crlition. 2005.
View more...
Comments