PAPDI 176-222 Hematologi

March 26, 2017 | Author: Edward Arthur Iskandar | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download PAPDI 176-222 Hematologi...

Description

t76 HEMOPOESIS Soebandiri

3. Kompartemen ke-3

terdiri atas zat-zat yang dapat menstimulasi sel-sel darah untuk berproliferasi,

BATASAN

berdiferensiasi dan/atau berfungsi sesuai dengan tugas

Hemopoesis adalah proses pembuatan darah. Sebagaimana diketahui, darah terbagi atas:

Bagian yang Berbentuk (formed elements). Terdiri

yang sudah direncanakan. Komponen ini disebut hemopoetic growtlt factors (HGF) atau .faktor

atas

pertumbuhan hemopoetik (FPH).

sel-sel darah merah (eritrosit), sel-sel darah putih (leukosit)

dan keping-keping darah (trombosit; plateLet) yar,g bentuknya dapat dilihat dengan mikroskop. I. KOMPARTEMEN SEL.SEL DABAH

Bagian yang Tidak Berbentuk. Plasma yang terdiri atas molekul-molekul air, protein-protein, lemak, karbohidrat, vitamin-vitamin, enzim-enzim dan sebagainya, yang larut

Komparlemen sel darah terdiri atas:

dalamplasma.

A. Sel lnduk Pluripoten (SlP)

ini hanyalah proses (bagian ke-1 yaitu formed pembentukan sel-sel darah Yang dibicarakan dalam bab

Menurut teori unitarian. sel-sel darah berasal dari satu sel induk pluripoten (Pluripotent Stem Cells). Sel-sel ini jumlahnya sedikit, namun mempunyai kemampuan besar berproliferasi berkali-kali sesuai kebutuhan. Pengenalan SIP ini dipelopori oleh Till dan Mc Culloch

elements). Akan dibahas 3 komponen (kompartemen) yang berperan penting pada hemopoesis, yaitu : . Kompartemen sel-sel darah

. .

Kompartemenlingkungan-mikro

pada tahun 1960-an dengan penelitiannya yang

Komparte mefi zat-zat pemicu/perangsang (stimulator) hemopoesis

menggunakan teknologi pembiakan in-vivo pada tikus. Mereka menamakan SIP itu sebagai CFU-S (Colony Forming Unit Spleen). Selanjutnya Dexter pada dekade berikutnya mengembangkan suatu media pembiakan yang

KOMPONEN-KOMPONEN HEMOPOESIS

baik untuk pembiakan in-vitro dari SIP ini (DexterCulture). Media ini mengkaitkan juga pentingnya LMH

Hernopoesis adalah suatu proses yang kompleks yang melibatkan banyak komponen-komponen yang saling terkait antara lain: l. Komponen atau Kompartemen yang terdiri atas sel-sel darah baik sel-sel induk, sel-sel bakal dan sel-sel matur. 2. Komponen atau Kompartemen yang disebut stroma atau lingkungan mikrohemopoetik (LMH) atau

sedemikian sehingga CFU-S

menghasilkan stimulator-stimulator pertumbuhan hemopoesis yang disebut Hemopoetic Growth Factors (HGF) atau juga Colony Stimulating Factors (CSF) yang dapat menstimulasi koloni-koloni sel-sel bakal darah untuk terus berprolifrerasi dan berdiferensiasi sesuai jalur turunannya (lineage)nya. Hal ini akan dibahas berikut ini. Dengan majunya ilmu imunologi ditemukan teknologi hibridoma yang memungkinkan kita membuat antibodi

hemo po e tic - mic r o - env ir onment.

dianggap sebagai benih sedangkan dapat dianggap sebagai tanah di mana benih itu tumbuh. Kedua kompartemen ini tidak sendirisendiri tetapi berbaur.

Komponen komponen

ini dapat hidup lama dan

dinamakan Long Term Culture Initiating Cells (LTC-IC). Dalam media Dexter terdapat sel-sel lingkungan mikro yang

1 dapat

2

110

1106

HEMAIOIOGI

monoklonal (Monoc Lonal Antibody ) (MoAb) dalam jumlah banyak; kemudian dikembangkan penemuan-penemuan petanda-petanda imunologis di permukaan sel-sel darah yang dinamai menurut sistem CD (Cluster of Dffirentiation). Petanda-petanda ini dapat dideteksi dengan MoAb dan dengan teknik imunohistokimia atatt flovt cytometry. SIP mempunyai petanda imunologis CD-34. Selain itu juga belum didapatkan petanda yang mengarah ke suatu

jalur turunan yang lain. HLA-DR sering masih negatif, sehingga baik sekali untuk pencangkokan sumsum tulang (PST) yaitu pencangkokan SIP (Stem Cell Transplantation).

B. Sel Bakal Terkait Tugas (SBTT) atau Co m

itted P rogen ito r H e m o poeti c Ce I I s

Dengan stimulasi faktor pertumbuhan yang berasal dari LMH yang dinamakan faktor sel induk (Steru Cell Factor = SCF), SIP dapat berdifferensiasi menjadi sel-sel bakal darah yang terkait tugas (SBTT) yang terkait pada tugas menurunkan turunan-turunan sel-sel darah. yaitu jalur-jalur turunan mieloid dan makrofag disebtt colony forming unit g r an ul o cy t e, e ry t h r o cy t e, m e g ak a ry- o cy t e, mo n o cy t e ( CFU GEMM) dan jalur turunan limfosit (Lltmphoid Progeniror

Cells=LPC). SBTT yang bertugas menurunkan sistem granulosit, eritrosit, monosit/makrofag dan megakariosit dalam teknologi pembiakan pada tikus disebut CFU-GEMM.

lebih tua (sel-sel matur).

Hierarki pertumbuhan sel-sel darah dapat dilihat pada Gambarl.

C. Sel-sel Darah Dewasa Subkompartemen ini terdiri atas golongan granulosit (eosinofil, basofil, neutrofi l), golongan-golongan mor-rosit/ makrofag, trombosit, eritrosit dan limfosit B dan T yang perlu dibahas tersendiri.

II. KOMPABTEMEN LINGKUNGAN Di

sumsum tulang sel-sel darah berada berbaur dengan

kompartemen

II

yaitu jaringan lain yang terdiri

Stroma terdiri atas bermacam subkompartemen yaitu fibroblas, adiposit, matriks ekstraselular, monosit, makrofag dan sel-sel endotel yang dapat menghasilkan macam-macam

DARAH TEPI/ORGAN PERIFER SEL MATUR

MY+MetaMyP-

G

i

Mo#MoaMpg I

I

i

-K#Tr

I

i

CFU-E tll lll Gambar 1. Hierarki sel-sel darah

l-Batl I

poti

atas

kumpulan macam-macam sel dan matriks yang disebut stroma dari sumsum tulang.

MY+

PSC

MIKRO

HEMOPOETTK(LMH)

SUMSUM TULANG/ORGAN SENTRAL SEL.SEL MATUR

I.2.SBTT

l.1.stP

CFU-GEMM ini distimulasi oleh GEMM-CSF untuk berdiferensiasi menjadi CFU-G, CFU-M, CFU-Meg dan CFU-E (melalui BFU-E = Burst Forming Unit Erythrocyte). Seterusnya CFU-G distimulasi G-CSF ; GM-CSF dapat menstimulasi CFU-G dan CFU-MK manjadi sel-sel yang

KromatoNorm.bl

i

Eo

ERY

lRetic I

-

-

tt07

HEMOFOIESIS

Nomenklatur FPH menggunakan

zat y ar,g dapat menstimulasi peftumbuhan sel-sel induk, selsel bakal, dan sel-sel darah yang

.

lallt.Zat-zatint dinamakan

colony stimulating factors (CSF) atau jtga Hemopoetic

..

Growth Factors (HGF). CSF yang merangsang

pertumbuhan granulocyte disebut granulocyte colony stimulating facror (G-CSF), sedangkan yang monosit dan

.

makrofag disebut Monocyte/Macrophage Colony Stimulating Factors (M-CSF). Zat-zat ini akan dibahas lebih lengkap di bagian berikutnya dari bab ini. Stroma yang terdiri atas fibroblas, monosit, makrofag,

3 cara

yaitu:

Memakai akhiran CSF seperti GM-CSF, G-CSF, M-CSF

dan sebagainya.

Memakai awalan

IL

(Interleukin=senyawa yang

diproduksi suatu sel yang dapat mempengaruhi sel darah lain) seperti IL-l, IL-2 dst. Memakai nama-nama khusus seperli Stem-cell-factor (SCF), eritropoetin, trombopoetin dan seterusnya.

Stimulasi dapat berarti dua arah yaitu positif bila betul menstimulasi atau negatif bila ia menghambat

endotel dan sebagainya itu disebut juga sebagai

proses.

lingkungan mikro hemopoetik (LMH). Jadi jaringan LMH ini seakan-akan merupakan tanah yang menghidupi selsel induk dan sel-sel bakal yang dianggap sebagai benih di persemaian. Kalau stroma atau LMH ini rusak atau defisien maka pertumbuhan sel-sel darah akan terganggu (hipoplastik sampai aplastik). Awalnya sel-sel bakal darah melekat pada LMH melalui suatu molekul adhesi yang

Senyawa-senyawa FPH mempunyai 3 sifat biologis, yaitu: Pleiotrofi artinya

satu FPH dapat menstimulasi beberapa

sel-sel bakal; misalnya: IL-3 dapat menstimulasi CFU-G maupun CFU-E dan CFU-Meg, meskipun dalam derajat yang berbeda (Multi-CSF)

diproduksi oleh stroma, kemudian melalui interaksi antar sel

matriks sel bakal dirangsang untuk berdifferensiasi dan

Redundansi artinya satu sel bakal dapat distimulasi oleh 2 FPH, misalnya:CtrU-E dapat distimulasi oleh IL-3 maupun oleh E-CSF (eritropoetin) meskipun dalam derajat yang

berfungsi seperti yang sudah direncanakan.

berbeda.

KOMPONEN (KOMPARTEMEN) FPH (FAKTOR PERTUMBUHAN HEMOPOETIK), DISEBUT JUGA

T[ansmodulasi reseptor artinya reseptor sel bakal A dapat pula berfungsi sebagai reseptor sel bakal B.

HGF (HEMOPOETTC GROWTH FACTORI

Hal ini mempunyai arti klinis yang penting, karena Batasan: FPH adalah senyawa-senyawa yang dapat menstimulasi proliferasi, diferensiasi dan aktifasi

dengan demikian berarti pengobatan dengan kombinasi FPH akanjauh lebih berhasil daripada dengan satu FPH

fungsional dari sel-sel bakal darah.

(tentu bila ada indikasi), namun biayanya tentu lebih mahal juga. Proses produksi selanjutnya dari sel-sel darah seperti eritrosit, granulosit, trombosit, limfosit (kompartemen I) tidak dibahas di bab ini. Proses ini

FPH diproduksi oleh stroma (kompartemen II). Normalnya FPH hanya didapatkan dalam kadar sedikit di dalam darah. Awalnya orang membuat FPH dari sel-sel stroma yang dibiakkan (teknologi pembiakan). Dengan

disebut juga sebagai eritropoesis, granulopoesis,

jumlah banyak dan dipasarkan di seluruh dunia oleh

trombopoesis, limfopoesis dan seterusnya yang dapat terjadi di sumsum tulang maupun di sistem hemopoetik perifer, namun perlu pembahasan khusus. Makin lama makin banyak FPH baru yang ditemukan dan

industri farmasi sebagai senyawa-senyawa FPH (HGF).

diproduksi.

majunya ilmu biologi molekular gen-gen pada kromosomkromosom yang menyandi FPH dapat ditentukan, lalu di klon dan dengan teknologi rekombinan dapat dibuat dalam

Jenis Sel

G-CSF GM-CSF FGF VWF H-CAM Selektin

Cadherin

LMH Fibroblast Endotil Adiposit Matriks Ekstra Selular (ECM)

+

++

+

+++

+++

++

+ +

+

+

+++

++

++

+++

++

+

+++

+++

+++

+

+++

1108

HEIVTANOI.OGI

Lokasi gen

FPH

----tL-2 -----

Menstimulasi FPH lain ; CFU-GEMM

lL-1

lL-3

Aktivitas/ sel sasaran

FPH sel-sel T

-----

CFU-GEMM;CFU-G

CFU-M ; CFU-E dan sebagainya

(multiCSF) lL-4

-----

Sel-B;CFU-GM 3.1

r\-s

-----

Eos

differentiating factor

NK cell

_ z_J-J. 5q----------t

;

Tc

Stimulasi dan aktivasi G dan M

a4aa

Stimulasi dan aktivasi G (Granulosit)

G-CSF Epo

Stimulasi dan aktivasi BFU-E dan CFU-E

SCF

Stimulasi dan aktlvasi SIP : CFU-GEMM

factor

)

Trombopoetin

-

(Stem cell

Trombopoesis

Gambar 2, Beberapa FPH, lokasi gen dan aktivitas/ sel sasaran

REFERENSI L. Hampson IN, Dexter TM. The biology of hemopoesis. Education Programme of The 26 r' Conggress of The ISH. Singapore: 25-29 August: t996. p 399. Koury MJ, Boudurant MC. Origin and development of blood cells. In: Lee GR. et al, editors. Wintrobe's clinical hematology Volume IA. Chapter 8, 10'i'edition. Phjladelhia: Lippincott Williams & Wilkins; 1999. p. 145. Mazzl Jl Hematopoesis In : Massa JJ, editor. Manual of clinical hematology. 2"d edition. Boston: Little, Brown; 1995. p. 1. Hampson

Mollineux G, Mazanet R Hemopoetic growth factors. In: Provan D, Gribben J, editors. Molecular hematology. Oxford, London: Blackwell Science; 2000. p. 198. Soebandiri. Hemopoetic growth factors Naskah Lengkap Konas VIII PHTDI, Surabaya 11-13 Oktober 1997 (Kuliah UMUM

It).

of hemopoetic cell production. In: Hoffbrand AV, Lewis SM, Tuddenham EGD, Editors. Post graduate hematology. 4'h edition. Oxford, Boston. Singapore: Butterworth Heinemann; 1999. p. l.

Testa NG, Dexter TM. The regulation

177 PENDEI(ATAN TERHADAP PASIEN ANEMIA I Made BaKa

PENDAHULUAN

ke arah penyakit berbahaya yang tersembunyi. Penentuan penyakit dasarjuga penting dalam pengelolaan kasus anemia, karena tanpa mengetahui penyebab yang mendasari memia tidak dapat diberikan terapi yang tuntas pada kasus anemia tersebut.

Anemia merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai di klinik di seluruh dunia, di samping sebagai masalah kesehatan utama masyarakat, terutama di negara berkembang. Kelainan ini merupakan penyebab debilitas kronik (chronic debility) yang mempunyai dampak besar terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi. serta kesehatan fisik. Oleh karena frekuensinya yang demikian sering. anemia, terutama anemia ringan seringkali tidak rnendapat perhatian dan dilewati oleh para dokter di praktek klinik.

Pendekatan terhadap pasien anemia memerlukan pemahaman tentang patogenesis dan patofisiologi anemia, serta ketrampilan dalam memilih, menganalisis serta

merangkum hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. Tulisan ini bertujuan untuk membahas pendekatan praktis dalam diagnosis dan terapi anemia yang sering dihadapi oleh dokter umum ataupun spesialis penyakit

Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen

dalam.

dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan

oxygen carrlting capacity). Secara praktis anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit (.red cell courtt). Tetapi yang paling

KRITERIAANEMIA

lazrm dipakai adalah kadar hemoglobin, kemudian

Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan

hematokrit. Harus diingat bahwa terdapat keadaan-keadaan tertentu di mana ketiga parameter tersebut tidak sejalan dengan massa eritrosit, seperti pada dehidrasi, perdarahan akut dan kehamilan. Permasalahan yang timbul adalah berapa kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit paling rendah yang dianggap anemia. Kadar hemoglobin dan eritrosit sangat bervariasi tergantung pada usia. jenis kelamin, ketinggian tempat tinggal serla keadaan fisiologis tertentu seperti misalnya kehamilan. Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri (disease entity), tetapi merupakan gejala berbagai macam penyakit dasar (underlying disease) . Oleh karena itu dalam diagnosis anemia tidaklah cukup hanya sampai kepada label anemia tetapi harus dapat ditetapkan penyakit dasar yang menyebabkan anemia tersebut. Hal ini penting karena seringkali penyakit dasar tersebut tersembunyi, sehingga apabila hal ini dapat diungkap akan menuntun para klinisi

penurunan massa eritrosit adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit. Pada umumnya ketiga parameter tersebut saling bersesuaian. Yang menjadi

masalah adalah berapakah kadar hemoglobin yang dianggap abnormal. Harga normal hemoglobin sangat bervariasi secara fisiologik tergantung pada umur, jenis kelamin, adanyakehamilan dan ketinggian tempat tinggal. Oleh karena itu perlu ditentukan titikpemilah (czt offpoint) di bawah kadar mana kita anggap terdapat anemia. Di Negara Barat kadar hemoglobin paling rendah untuk lakilaki adalah 14 gldl dan 12 g/dl pada perempuan dewasa pada permukaan laut. Peneliti lain memberikan angka yang berbeda yait:u 12 g/dl (hematokrit3SEo) untuk perempuan dewasa, I I g/dl (hematokrit 367o) untuk perempuan hamil, dan 13 g/dl untuk laki dewasa. WHO menetapkan cut off point anemia untuk keperluan penelitian lapangan seperti

terlihat pada Tabel 1.

110

1110

HEMIffOIOGI

disebabkan oleh karena: 1). Gangguan pembentukan Kelompok

Kriteria Anemia (Hb)

dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis). Garnbaran lebih

< 13 g/dl < 12 gldl < 1 1gldl

Laki-laki dewasa Wanita dewasa tidak hamil Wanita hamil

eritrosit oleh sumsum tulang; 2). Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan); 3). Proses penghancuran eritrosit

rinci tentang etiologi anemia dapat dilihat pada Thbel 3.

Untuk keperluan klinik (rumah sakit atau praktek dokter) di Indonesia dan negara berkembang lainnya,

Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit Anemia defisiensi besi Anemia defisiensi asam folat Anemia defisiensi vitamin 812 Gangguan penggunaan (utilisasi) besi Anemia akibat penyakit kronik Anemia sideroblastik Kerusakan sumsum tulang Anemia aplastik Anemia mieloptisik Anemia pada keganasan hematologi Anemia diseritropoietik Anemia pada sindrom mielodisplastik Anemia akibat kekurangan eritropoietin: anemia pada gagal ginjal kronik Anemia akibat hemoragi Anemia pasca perdarahan akut Anemia akibat perdarahan kronik

kriteria WHO sulit dilaksanakan karena tidak praktis. Apabila kriteria WHO dipergunakan secara ketat maka sebagian besar pasien yang mengunjungi poliklinik atau

1

dirawat di rumah sakit akan memerlukan pemeriksaan work up anemialebih lanjut. Oleh karena itu beberapa peneliti di Indonesia mengambil jalan tengah dengan memakai kriteria

2. 3

hemoglobin kurang dari 10 g/dl sebagai awal dari workup anemia, atau di India dipakai angka 10-1 1 g/dl.

PREVALENSIANEMIA Anemia merupakan kelainan yang sangat sering dijumpai baik di klinik maupun di lapangan. Diperkirakan lebih dari 30% penduduk dunia atau 1500 juta orang menderita anemia dengan sebagian besar tinggal di daerah tropik. De Maeyer memberikan gambaran prevalensi anemia di dunia untuk tahun 1985 seperti terlihat pada Tabel 2.

a b c

a. b

a. b. c. d. e.

1 2

Anemia hemolitik

1.

Anemiahemolitikintrakorpuskular

a. b.

Gangguan membran eritrosit (membranopati) Gangguan ensim eritrosit (enzimopati): anemia akibat defisiensi G6PD Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati) Thalassemia Hemogloblnopati struktural: HbS, HbE, dll Anemia hemolitikekstrakorpuskuler a, Anemia hemolitik autoimun b, Anemia hemolitik mikroangiopatik Lain-lain

c

Anak Anak 0-4th 5-12 th Negara maju 12% 7% Negara 51% 46% berkembang Dunia 43% 37%

Laki dewasa

3% 26% 18yo

Wanita 1 5-49 th

14% 59% 51yo

2. Wanita hamil 11% 47% 350/"

Untuk Indonesia, Husaini dkk memberikan gambaran prevalensi anemia pada tahun 1989 sebagai berikut: Anak prasekolah :30-40Vo Anak usia sekolah :25 -357o Perempuan dewasa tidak h amll : 30 - 40Vo

Perempuanhamil Laki-laki dewasa

50-1O7o :20-30Vo :

Pekeria berpenghasilan rendah : 30 - 40Vo

-

c.

D.

Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis yang kompleks

Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran morfologik dengan melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Dalam klasifikasi ini anemia dibagi menjadi tiga golongan: 1). Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV < 80 fl dan MCH < 27 pg;2). Anemia normokromik normosirer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg;3). Anemiamakrositer, bilaMCV > 95 fl. Klasifikasi etiologi dan morfologi bila digabungkan

Berbagai survei yang telah pernah dilakukan di Bali memberikan angka-angka yang tidakjauh berbeda dengan angka di atas.

(Tabel 4) akan sangat menolong dalam mengetahui penyebab suatu anemia berdasarkan jenis morfologi

ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI ANEMIA

PATOFISIOLOGI DAN GEJALA ANEMIA

Anemia hanyalah suatu kumpulan gejala yang disebabkan

Gejala umum anemia (sindrom anemia atav anemic syndrome) adalah gejala yang timbul pada setiap kasus

oleh bermacam penyebab. Pada dasarnya anemia

anemla.

1111

PENDEKATAN TERHADAP PASIEN ANEMIA

Anemia hipokromik mikrositer Anemia defisiensi besi Thalassemia major Anemia akibat penyakit kronik Anemia sideroblastik Anemia normokromik normositer Anemia pasca perdarahan akut Anemia aplastik Anemia hemolitik didapat Anemia akibat penyakit kronik Anemia pada gagal ginjal kronik Anemia pada sindrom mielodisplastik S. Anemia pada keganasan hematologik Anemia makrositer

a. b. c. d.

a. b. c. d. e. f. a.

Bentukmegaloblastik

b.

Anemia defisiensi asam folat Anemia defisiensi B12, termasuk anemia perntstosa Bentuk non-megaloblastik Anemia pada penyakit hati kronik Anemia pada hipotiroidisme Anemia pada sindrom mielodisplastik

1.

.

Anemia hemolitik: ikterus, splenomegali dan

.

Anemia

hepatomegali

3. Gejala

aplastik:

dan tanda-tanda infeksi

penyakit dasar. Gejala yang timbul akibat penyakit

dasar yang menyebabkan anemia sangat bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut- Misalnya gejala akibat infeksi cacing tambang: sakit perug pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak tangan. Pada kasus tertentu sering gejala penyakit dasar lebih dominan, seperti misalnya pada anemia akibat penyakit kronik oleh kalena artritis reumatoid. Meskipun tidak spesifik, anamnesis dan pemeriksaan fi sik sangat penting pada kasus anemia untuk mengarahkan

diagnosis anemia. Tetapi pada umumnya diagnosis

2.

anemia memerlukan pemeriksaan laboratorium.

1. 2. 3.

PEMERIKSAAN UNTUK DIAGNOSIS ANEMIA

Pemeriksaan Laboratorium anemia, apapun penyebabnya, apabila kadar hemoglobin turun di bawah harga tertentu. Gejala umum anemia ini

Pemeriksaan laboratorium merupakan penunjang

timbul karena: 1). Anoksia organ; 2). Mekanisme

diagnostik pokok dalam diagnosis anemia. Pemeriksaan ini terdiri dari: 1). Pemeriksaan penyaring (screening test):

kompensasi tubuh terhadap berkurangnya daya angkut

2). Pemeriksaan darah seri anemia;3). Pemeriksaan sumsum

oksigen.

tulang; 4). Pemeriksaan khusus.

Gejala umum anemia menjadi jelas (anemia simtomatik) apabila kadar hemoglobin telah turun di bawah 7 g/dl. Berat

ringannya gejala umum anemia tergantung pada: a). Derajat penurunan hemoglobin; b). Kecepatan penurunan hemoglobin; c). Usia; d). Adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya. Gejala anemia dapat digolongkan menjadi tiga jenis gejala, yartu: 1. Gejala umum anemia. Gejala umum anemia, disebutjuga sebagai sindrom anemia, timbul karena iskemia organ

target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunal kadar hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia setelah penurunan hemoglobin sampai kadar tertentu (Hb50 pg/l

Elektrofoesis Hb.

Hb 42 meningkat

Meningkat >200k

N

1135

ANEMIADEFISIENSI BESI

enteric coated yang dianggap memberikan efek samping lebih rendah, tetapi dapat mengurangi absorbsi besi. Preparat besi oral sebaiknya diberikan saat lambung kosong, tetapi efek samping lebih sering dibandingkan dengan pemberian setelah makan. Pada pasien yang mengalami intoleransi, sulfas ferosus dapat diberikan saat

1000 mg. Dosis yang diberikan dapat dihitung melalui rumus di bawah ini:

Kebutuhan besi (mg) = (1s-Hb sekarang) x BB x 2,4 + 500 atau 1000 mg

makan atau setelah makan.

Efek samping utama besi per oral adalah gangguan gastrointestinal yang dijumpai pada 15 sampai 207o,yang sangat mengurangi kepatuhan pasien. Keluhan ini dapat berupa mual, muntah, serta konstipasi. Untuk mengurangi

efek samping besi diberikan saat makan atau dosis dikurangi menjadi 3 x 100 mg. Pengobatan besi diberikan 3 sampai 6 bulan, adajuga

yang menganjurkan sampai

l2

bulan, setelah kadar

Dosis ini dapat diberikan sekaligus atau diberikan dalam beberapa kali pemberian.

c.

. .

.

hemoglobin normal untuk mengisi cadangan besi tubuh. Dosis pemeliharaan yang diberikan adalah 100 sampai 200 kambuhkembali. Untuk meningkatkan penyerapan besi dapat diberikan preparat vitamin C, tetapi dapat meningkatkan efek samping

terapi. Dianjurkan pemberian diet yang banyak mengandung hati dan daging yang banyak mengandung besi.

oral; (2) kepatuhan terhadap obat yang rendah; (3) gangguan pencernaan seperti kolitis ulseratif yang dapat kambuh

jika diberikan besi; (4) penyerapan besi

terganggu, seperti misalnya pada gastrektomi; (5) keadaan

di mana kehilangan darah yang banyak sehingga tidak cukup dikompensasi oleh pemberian besi oral, seperti misalnya pada hereditary hemoruha gic te leangi e c to s iai

transfusi darah: ADB jarang memerlukan transfusi darah. Indikasi pemberian transfusi darah pada anemia kekurangan besi adalah: - Adanya penyakit jantung anemik dengan ancaman payah jantung - Anemia yang sangat simtomatik, misalnya anemia dengan gejala pusing yang sangat menyolok - Pasien memerlukan peningkatan kadar hemoglobin yang cepat seperti pada kehamilan trimester akhir atau preoperasl.

mg. Jika tidak diberikan dosis pemeliharaan, anemia sering

Terapi besi parenteral. Terapi besi parenteral sangat efektif tetapi mempunyai risiko lebih besar dan harganya lebih mahal. Oleh karena risiko ini maka besi parenteral hanya diberikan atas indikasi tertentu. Indikasi pemberian besi parenteral adalah: (1) intoleransi terhadap pemberian besi

Pengobatan lain diet: sebaiknyadiberikan makananbergizi dengan tinggi protein terutama yang berasal dari protein hewani vitamin c: vitamin c diberikan 3 x 100 mg per hari untuk meningkatkan absorposi besi

Jenis darah yang diberikan adalah PRC (packed red

cell) untuk mengurangi bahaya overload. Sebagai premedikasi dapat dipertimbangkan pemberian furosemid rntravena.

Respons Terhadap Terapi Dalam pengobatan dengan preparat besi, seorang pasien dinyatakan memberikan respons baik bila retikulosit naik pada minggu pertama, mencapai puncak pada hari ke-10 dan normal lagi setelah hari ke14, diikuti kenaikan Hb 0,15 g/hari atau 2 g/dl setelah 3-4 minggu. Hemoglobin menjadi normal setelah 4-10 minggu.

(6) kebutuhan besi yang besar dalam waktu pendek, seperti pada kehamilan trimester tiga atau sebelum operasi; (7)

Jika respons terhadap terapi tidak baik, maka perlu

defisiensi besi fungsional relatif akibat pemberian

. . . .

eritropoetin pada anemia gagal ginjal kronik atau anemia akibat penyakit kronik. Preparat yang tersedia ialah iron dextran complex (mengandung 50 mg besi/ml), iron sorbitol citric acid complex dan yang terbaru adalah iron fenic gluconate dan iron sucrose yang lebih aman. Besi parenteral dapat diberikan secara intramuskular dalam atau intravena pelan. Pemberian secara intramuskular memberikan rasa nyeri dan memberikan warna hitam pada kulit. Efek samping yang dapat timbul adalah reaksi anafilaksis, meskipun jarang(0,6Vo). Efek samping lain adalah flebitis, sakit kepala, flushing, mual, muntah, nyeri perut dan sinkop. Terapi besi parenteral berlujuan untuk mengembalikan kadar hemoglobin dan mengisi besi sebesar 500 sampai

.

dipikirkan: Pasien tidak patuh sehingga obat tidak diminum.

Dosis besi kurang Masih ada perdarahan cukup banyak Ada penyakit lain seperti misalnya penyakit kronik, keradangan menahun atau pada saat yang sama ada defisiensi asam folat Diagnosis defisiensi besi salah. Jika dijumpai keadaan di atas, lakukan evaluasi kembali dan ambil tindakan yang tepat.

PENCEGAHAN Mengingat tingginya prevalensi anemia defisiensi besi di masyarakat maka diperlukan suatu tindakan pencegahan yang terpadu. Tindakan pencegahan tersebut dapat

tt36

HEMIIiIOI.OGI

berupa: . Pendidikankesehatan: - kesehatan lingkungan, misalnya tentang pemakaian

jamban, perbaikan lingkungan kerja, misalnya pemakaian alas kaki sehingga dapat mencegah penyakit cacing tambang

.

penyuluhan gizi untuk mendorong konsumsi makanan yang membantu absorbsi besi

Pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber perdarahan kronik paling yang sering dijumpai di daerah

tropik. Pengendalian infeksi cacing tambang dapat

dilakukan dengan pengobatan masal dengan

.

anthelmentik dan perbaikan sanitasi. Suplementasi besi yaitu pemberian besi profilaksis pada segmen penduduk yang rentan, seperti ibu hamil dan

anak balita. Di Indonesia diberikan pada perempuan hamil dan anak balita memakai pil besi dan folat.

. Fortifikasi

bahan makanan dengan besi, yaitu

mencampurkan besi pada bahan makan. Di negara Barat dilakukan dengan mecampur tepung untuk roti atau bubuk susu dengan besi.

REFERENSI Adamson

JW Iron Deficiency and others Hypoproliverative Ane-

mias. In: Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo

DL, Jameson JL (editors). Harrison's Principle of Intemal Medicine. 15'h edition. New York: McGraw Hill, 2001. p. 491-762 Andrews NC. Iron Deficiency and Related Disorders. In: Greer GM, Paraskevas fl Glader B (editors). Wintrobe's Clinical Hematology. 11'h edition. Philadelphia: Lippincot, Williams, Wilkins, 2O04.

p 947-1009.

Brittenham GM. Disorders of Iron Metabolism: Iron Deficiency and Overload. In: Hoffman R, Benz EJ, Shttil SJ, Furie B, Cohen HJ, Silberstein LE, McGlove P (editors). Hematology: Basic Principles and Practice. 3'd edition. New York: Churchill Livingstone, 2000. p 367-382. Conrad ME. Iron Deficiency Anemia. eMedicine Joumal, Vo1 3, No 2, February 19,2002. DeMaeyer EM. Preventing and Controlling Deficiency Anemia Through Primary Health Care. Geneva: WHO; 1989. Fairbanks VF, Beutler E . Iron Deficiency In: Beutler E, Coller BS, Lichtman MA, Kipps TJ (editors). Williams Hematology. 6th edirion. New York: McGraw Hill, 2001 p 441 - 410. Flemrng RE, Sly WS Hepcidin: a putative iron-regulatory hormone relevant to hereditary hemochromatosis and the anemia of chronic disease. PNAS 2001;98:6160-8162. Frewin R, Henson A, Provan D ABC of Clinical Haematology: Iron Deficiency Anaemia BMJ. 1997;314:360 Goddard AF, Mclntyre AS, Scott BB. Guidelines for the management of iron deficiency anaemia. Gut 2000; 46(Supp1 IV):iv1-iv5. Hercberg S. Iron and Folat Deficiency Anaemias. Intemational Child Health 1991; ll:44-60 Hoffbrand AV, Petit JE, Moss PAH. Essential Haematology. 4'h edition. Oxford: Blackwell Science. 2001 Hoffbrand AV, Lewis SM, Tuddenham EGD Postgraduate Haematology 4'h edition. Oxford:Butterworth Heineman, 1999

Andrews NC. Disorders of Iron Metabolism. N Engl J Med 1999;341:1986-1995.

Baker WF. Iron Deficiency in Pregnancy, Obstetrics,

and

Gynecology. Hematol/Oncol Clin N Amer 20001,14(2).

Bakta IM. Hematologi Ringkas. Denpasar : UPT Penerbit Universitas Udayana, 2001. Bakta IM. Infeksi Cacing Tambang pada Orang Dewasa dan Perannya sebagai salah satu Penyebab Anemia Defisiensi Besi: studi

imunoepidemiologik

Med Public Healrh 1994;25: 459-463. Bakta IM. The role of hookworm infection as an etiologic factor of iron dehciency anemia in Bali (Indonesia): an intervention study. Proceedings of VIIIth Congress of Asian Pacific Division International Society of Hematology. Brisbane l5-18 October 1995. Bakta IM, Wijana DP, Sutisna IP. Hookworm infeqtion and iron stores: a survey in a rural community in Bali, Indonesia. Southeast Asian J Trop Med Public Health 1993;25: 501. Bakta IM. The relationship between hookworm infection and iron stores: a study in adult population of Jagapati Village, Bali, Indonesia. International Journal of Hematology 1996; 64(Suppl 1): S33

di desa Jagapati, Bali

(Disertasi).

Surabaya:Universitas Airlangga, 1993.

IM. Lila IN. Widjana DP & Sutisna P. Anemia dan anemia defisiensi besi di Desa Belumbang, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan Bali. Yogyakarta : Naskah Lengkap KOPAPDI VIII, 1990. Bakta IM. Aspek epidemiologi anemia defisiensi besi. Acta Medica Bakta

Indonesiana 1993;XXV: 1054-1073. Bakta IM. Anemia defisiensi besi pada penduduk dewasa desa Jagapati,

Bali. Acta Medica Indonesiana 1993;XXY:1237-7244. Bakta IM. Anemia kekurangan besi pada usia lanjut Majalah Kedokteran Indonesia 1989; 39: 504-506. Bakta IM. Anemia Defisiensi Besi pada Praktek Swasta seorang Spesialis Penyakit Dalam di Denpasar. Majalah Kedokteran Udayana 19961'27 :ll2-118. Bakta IM, Budhianto FX. Hookworm anemia in the adult population of Jagapati Village, Bali, Indonesia. Southeast Asian J Trop

Hillman RS, Ault KA Hematology in Clinical Practice: A Guide to Diagnosis and Management. 3'd edition. New York: McGraw

Hiil,2002. Kandarini Y. Pemeriksaan indeks eritrosit sebagai uji saring diagnosis anemia defisiensi besi (karya tulis akhir). Denpasar: Program Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit Dalam ,rK Universitas Udayana/RS Sanglah, 2003

Kerlin P, Reiner R, Davies M, Sage RE, Grant AK. Iron Deficiency Anemia - A hospective Study Aust NZ Med I 1979;9:402-401 Mast AE, Blinder MA, Gronowski AM, Chumley C, Scott MG Clinical utility of the soluble transferrin receptor and compari-

.

son with serum ferritin

in

several populations.

Clin Chemistry

1998;44:45-57 Martoatmojo S, Abunain D, Muhilal, Enoch M, Sastroamidjojo S. Masalah anemia gizi pada perempuan hamil dan hubungannya

Gizi dan Makanan 79'73:3:22-41 Schmaier AH, Ptruzzelli KM. Hematology for Medical Student Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2003. Shalr A. Iron Deficiency Anemia Part-I. Indian J Med Sci 2O04;58:1981. Shah A. Iron Deficiency Anemia Part-II. Indian J Med Sci 2004',58:134-137 Shah A. Iron Deficiency Anemia Part-III. Indian J Med Sci dengan pola konsumsi makanan. Penelitian

.

2004;58:214-276.

AT{EMIA DEFISIENSI BESI

Suega K, Dharmayuda TG, Sutarga M, Bakta IM. Iron deficiency in pregnant women in Bali, Indonesia: a profile of risk factors and

epidemiology. Southeast Asian J Trop Med Public Health 2002;33:604-607

.

feritin serum sebagai sarana diagnosis anemia defisiensi besi (karya tulis akhir). Denpasar: Denpasar:

Somayana G. Pemeriksaan

Program Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit Dalam FK .Universitas Udayana/RS Sanglah, 2005. WHO Technicai Report Series No. 405. Nutritional Anemia. Geneva:

WHO; 1968.

tl37

180 ANEMIA PADA PENYAKIT KRONIS Iman Supandiman, Heri Fadjari, Lugyanti Sukrisman

PENDAHULUAN

reumatoid merupakan penyebab terbanyak. Enteritis regional, kolitis ulseratif serta sindrom inflamasi lainnya juga dapat disertai anemia pada penyakit kronis.

Anemia sering dijumpai pada pasien dengan infeksi atau inflamasi kronis maupun keganasan. Anemia ini umumnya

Penyakit lain yang sering disertai anemia adalah kanker, walaupun masih dalam stadium dini dan asimtomatik, seperti

ringan atau sedang, disertai oleh rasa lemah dan penurunan

berat badan dan disebut anemia pada penyakit kronis. Cartwright dan Wintrobe melaporkan bahwa pada tahun 1842, peneliti-peneliti di Perancis telah menemukan adanya massa eritrosit yang lebih rendah pada penderita tifoid dan cacar dibandingkan dengan orang normal. Diketahui

pada sarkoma dan limfoma. Anemia ini biasanya disebut dengan anemia pada kanker (cancer-related anemia).

a. Pemendekan Masa Hidup Eritrosit Diduga anemia yang terjadi merupakan bagian dari sindrom stres hematologik (haematological,stress syndrome), di mana terjadi produksi sitokin yang berlebihan karena kerusakan jaringan akibat infeksi,

di kemudian hari bahwa penyakit infeksi

seperti pneumonia, sifilis, HIV-AIDS dan juga pada penyakit lain seperti artritis reumatoid, limfoma Hodgkin dan kanker sering disertai anemia dan disebut sebagai anemia pada penyakit kronis. Pada umumnya, anemia pada penyakit kronis ditandai oleh kadar Hb berkisar 7- I

I

inflamasi atau kanker. Sitokin tersebut dapat menyebabkan sekuestrasi makrofag sehingga mengikat lebih banyak zat besi, meningkatkan destruksi eritrosit di limpa, menekan produksi eritropoietin oleh ginjal. serta menyebabkan

gl dL,kadar Fe serum menurun

disertai TIBC yang rendah, cadangan Fe yang tinggi di jaringan serta produksi sel darah merah berkurang.

perangsangan yang inadekuat pada eritropoiesis di sumsum tulang. Pada keadaan lebih lanjut, malnutrisi dapat

menyebabkan penurunan transformasi T4 (tetra-

iodothyronine) menjadi T3 (tri-iodothl,ronine), di mana terjadi penurunan kebutuhan Hb yang mengangkut 02 sehingga

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

menyebabkan hipotiroid fungsional

Laporan/data penyakit tuberkulosis, abses paru,

sintesis eritropoietin-pun akhirnya berkurang.

endokarditis bakteri subakut, osteomielitis dan infeksi jamur kronis serta HfV membuktikan bahwa hampir semua

b. Penghancuran Eritrosit

infeksi supuratif kronis berkaitan dengan anemia. Deraj at anemia sebanding dengan berat ringannya gejala, seperti

Beberapa penelitian membuktikan bahwa masa hidup eritrosit memendek pada sekitar 20-30Eo pasierl Defek ini terjadi di ekstrakorpuskular, karena bila eritrosit pasien

demam, penurunan beratbadan dan debilitas umum. Untuk

terjadinya anemia memerlukan waktu 1-2 bulan setelah infeksi terjadi dan menetap, setelah terjadi keseimbangan

ditranfusikan ke resipien normal, maka dapat hidup normal.Aktivasi makrofag oleh sitokin menyebabkan

anlara produksi dan penghancuran eritrosit dan Hb menjadi stabil.

peningkatan daya fagositosis makrofag tersebut dan sebagai bagian dari filter Timpa (compulsive screeningl, menjadi kurang toleran terhadap perubahan/kerusakan

Anemia pada inflamasi kronis secara fungsional sama sepefii pada infeksi kronis, tetapi lebih sulit karena terapi yang efektif lebih sedikit. Penyakit kolagen dan artritis

minor dari eritrosit.

1138

1139

ANEMIA PADA PENYAKIT KRONIS

menyebabkan anemia ringan dengan gambaran khas

c. Produksi Eritrosit Gangguan metabolisme zat besi. Kadar besi yang rendah meskipun cadangan besi cukup menunjukkan adanya gangguan metabolisme zat besi pada penyakit kronis. Hal ini memberikan konsep bahwa anemia disebabkan oleh penurlrnan kemampuan Fe dalam sintesis Hb. Penelitian akhir menunjukkan parameter Fe yang terganggu mungkin tebih penting untuk diagnosis daripada untuk patogenesis anemia tersebut (Tabel 1).

seperti anemia penyakit kronis. Pada kultur sumsum tulang manusia ia akan menekan eritropoiesis pada pembentukan

BFU-E dan CFU-E. Penelitian terkini menunjukkan bahwa efekTNF-o ini melalui IFN-1yang diinduksi oleh TNF dari sel stroma. IL- 1 berperan dalam berbagai manifestasi inflamasi. juga

terdapat dalam serum penderita penyakit kronis. IL-1, seperti halnya TNF, akan menginduksi anemia pada tikus dan menekan pembentukan CFU-E pada kultur sumsum tulang manusia.

Kedua interferon tadi diduga dapat langsung

Anemia Normal Defisiensi Fe Fe plasma (mg/L) TIBC Persen saturasi Kandungan Fe di makrofag Feritin serum Reseptor transferin serum

70-90 250-400 30 ++

20-200 8-28

Anemia Penyakit Kronis

30

30

>450

30 000/mm3 Tidak diterapi

Tidak diterapi

Penghambat klirens trombosit Prednison lmunoglobulin lntravena Alkaloid vinka Danazol

Terapi medis

Obat-obat imunosupresif Azatioprin Siklofosfamid Sikloporin

obat-obat percobaan Antibodi penyerang CD 20

Antibodi penyerang CD 145 Transplantasi sumsum tulang Trombopoietrn

Gambar 3. Pengelolaan PTI awitan dewasa (Sumber: Cines DB, Blancheite VS, 2002)

tt72

HEMAiTOI.OGI

(vi) Obat imunosupresif; azathioprin, siklofosfamid, (vii) kemoterapi kombinasi; dan (viii)

Danazol;

Dapsone. Luasnya variasi terapi untuk terapi

lini

kedua

menggambarkan relatif kurangnya efikasi dan terapi bersifat individual. . Steroid Dosis tinggi. Terapi penderita PTI refrakter selain prednisolone dapat

berespon dengan terapi lainnya. Terapi dengan azathioprin (2 mg/kg maksimal 150 mg/hari) atau

Deksametason 40 mglhari selama 4 hari, diulang setiap 28 hari untuk 6 siklus. Dari 10 penderita dalam penelitian kecil ini semua memberi respons yang baik (dengan AI

siklofosfamid sebagai obat tunggal dapat diperlimbangkan dan responnya bertahan sampai 257o. Pada penderita yang berat, simptomatik, PTI kronik

> 100.000/pL) bertahan sekurang-kurangnya dalam

6

refrakter terhadap berbagai terapi sebelumnya.

dengan

Pemakaian siklofoslamid, vinkristin dan prednisolon sebagai kombinasi telah efektifdugunakan sepeni pada limfoma . Siklofosfamid 50-100 mg p.o atau 200 mg/iv/ bulan selama 3 bulan. Azathioprin 50- 100 mg p.o, bila 3 bulan tidak ada respon obat dihentikan, bila ada respon sampai 3 bulan turunkan sampai dosis terkecil . Dapsone Dapson dosis 75 mg p.o.per hari, respon terjadi dalam 2 bulan. Pasien-pasien harus diperiksa G6PD, karena pasien dengan kadar G6PD yang rendah mempunyai risiko hemolisis yang serius.

deksametason dosis tinggi segera diganti obat lainnya.

Metilprednisolon Steroid parenteral seperti metilprednisolon digunakan sebagai terapi lini kedua dan ketiga pada PTI refrakter. Metilprednisolon dosis tinggi dapat diberikan pada PTI

anak dan dewasa yang resisten terhadap terapi prednison dosis konvensional.

Dari penelitian Weil pada penderita PTI berat menggunakan dosis tinggi metilprednisolon 30 mg/kg iv kemudian dosis diturunkan tiap 3 hari sampai 1 mg/ kg sekali sehari dibandingkan dengan penderita PTI klinis ringan yang telah mendapat terapi prednison dosis

konvesional. Penderita yang mendapat terapi metilprednisolon dosis tinggi mempunyai respon lebih cepat (4,7 vs 8,4 hari) dan mempunyai angka respon (80% vs 537o). Respon steroid intravena bersifat

.

.

sementara pada semua pasien dan memerlukan steroid oral untuk menjaga agar AI tetap adekwat.

IgIV dosis tinggi Imunoglobulin intravena dosis tinggi 1mg/kg/hari selama 2 hari berturut-turut, sering dikombinasi dengan kortikosteroid, akan meningkatkan AI dengan cepat. Efek samping, terutama sakit kepala, namun jika berhasil maka dapat diberikan secara intermiten atau disubtitusi dengan anti-D intravena.

Anti-Dintravena

Anti-D intravena telah menunjukkan peningkatan 19-90Vo pada orang dewasa. Dosis anti-D 50

.

.

Pendekatan Penderita yang Gagal Terapi Standar dan Terapi Lini Kedua Sekitar 25Vo PTI refrakter dewasa gagal berespon dengan terapi lini perlama atau kedua dan memberi masalah besar. Beberapa diantaranya mengalami perdarahan aktif namun lebih banyak yang berpotensi untuk perdarahan serta masalah penanganannya. Pada umumnya PTI refrakter kronis bisa mentoleransi tlombositopenia dengan baik dan bisa mempunyai kualitas hidup normal atau mendekati normal. Bagi mereka yang gagal dengan terapi lini pertama dan kedua hanya memilih terapi yang terbatas meliputi: (i) interferon-a, ii) anti-CD20, (iii) Campath- 1 H, (iv) mycophenolate mofetil, (v) protein A columns, dan (vi) terapi lainnya.

AI

- 75 pg/kg

perhari IV. Mekanisme kerja anti-D yakni destruksi sel

.

.

diteruskan sampai dosis maksimai sekurang-kurangnya 1 tahun dan kemudian diturunkan 200 mg/hari setiap 4 bulan. Immunosupresif dan kemoterapi kombinasi Immunosupresif diperlukan pada penderita yang gagal

digunakan deksametason oral dosis tinggi.

bulan. Pasien yang tidak berespon

.

diperiksa setiap bulan. Bila respon terjadi, dosis

REKOMENDASI TERAPI PTI YANG GAGALTERAPI LINIPERTAMA DAN KEDUA

darah merah rhesus D-positif yang secara khusus dibersihkan oleh RES terutama di lien, jadi bersaing dengan autoantibodi yang menyelimuti trombosit melalui Fc reseptor blockade.

Campath-lH dan riturimab adalah obat yang mungkin bermanfaat pada pasien tidak berespon dengan terapi lain

Alkaloid vinka

dan dibutuhkan untuk meningkatkan AT (misalnya

Semua terapi golongan alkaloid vinkajarang digunakan,

perdarahan

meskipun mungkin bernilai ketika terapi lainnya gagal dan ini diperlukan untuk meningkatkan AT dengan cepat, misalnya Vinknstin I mg atar 2 mg iv, Mnblastin 5- 10 mg, setiap minggu selama 4-6 minggu Danazol Dosis danazol 200 mg p.o 4x sehari selama sedikitnya 6 bulan karena respon sering lambat. Fungsi liver harus

pada beberapa pasien PTI refrakter tetapi studi lebih besar

akti|. Mycophenolate mofetil tampak efektif

diperlukan untuk mengkonfirmasikan efikasi dan keamanannya. Dalam hal risiko: rasio manfaat. terapi dengan interferon-cx, protein A columns, plasmapheresis dan liposomal doxorubicin tidaklah direkomendasikan. Rituximab adalah suatu antibodi monoklonal anti-CD 20 yang mendeplesi CD20+ sel B secara sementara yang

1173

PURPURA TROMBOSITOPENIA IMUN

selama ini dipergunakan sebagai pengobtan limfoma Non-

Hodgkin, telah dipergunakan untuk pengobatan PTI pada

beberapa penelitian pendahuluan dengan respon berlansung 1 2 bulan sej ak di hiyung dari onset pengobatan awal diberikan. Relaps jarang terjadi setelah 2,5 tahun dan sekitar 507o pasien diperkirakan akan terus berespon tanpa tambahan terapi untuk 5 tahun selanjutnya. Penelitian di Italia menggunakan dosis pemberian rituximab dosis tinggi 375 mgrlm2iapminggu selama4 minggu didapatkan angka respon secara keseluruhan adalah 527o. Penelitian di London, Inggris menggunakan rituximab dosis rendah 100 mg per minggu selama 4 minggu menunjukkan rituximab dosis rendah dapat menghasilkan respon yang signifikan dan bertahan lama sehubungan dengan deplesi sel B.

PELUANG PEMAKAIAN AGEN TEBKINI Beberapa agen terapi baru menjadi peluang untuk pengobatan PTI. Beberapa penelitian terkini memberi perhatian akan peluang terhadap studi yang tentang efikasi dari agen stimulai trombopoiesis. Yang pefiama melalui

Agen trombopoietin (TPO) dan yang kedua melalui inhibitor spesifik terhadap Phagocyte-mediated Comsumption of Platelet.

Cines DB, Blanchette VS Immune Thrombocytopenic Purpura. N Engl J Med. 2002;316 (13): 995-1006 Emilin G, Morcellj M, Luppi M, Longo G Marasca R, Gandini G Ferr:rra L. Long-Lerm Salvage Therapy with Cyclosporin A in

Refractory Idiopathic Thrombocytopenic Purpura. Blood 2002;99(:l): t 482--5 George JN, Rizvi MA Clinical Manifestations and Diagnosis of Idiopathic Thrombocitopenic Purpura I-II in: Up ToDate, Rose B D. editor. Up ToDate, Wellesley. MA, 2004

George, JN. Treatment and prognosis of ldiopathic

Thrombocitopenic Purpura in: Up ToDate, Rose B D (Ed). Up ToDate, Wellesley, MA, editors. 2004 Handin RI. Platelet Disorder and Vascular Wall in: KJ. Isselbacher, E. Braunwald, JD Wilson, JB. Martin, AS. Fauci, DL. Kasper editors llurison's Principles ol hrternal Medicine, 15'h ed. 2001. Levine SP Thrombocylopenia Caused by Imlnunologic Platelet Destruction in GR. Lee, J Foerster, J Lukens, F Paraskevas, JP.Greer, GM Rodgers editors. Wntrobe's Clinical Hematology 10' edition. Baltimore, Philadelphia, London.: William & Wilkins a Waverly Company; 1999. p. 1583-611. McMillan R Therapy for Adults with Refractory Chronic Immune Thrombocytopenic Purpura. Ann Int Med 1997; 1261,301-314 Provan D, Newland A Fifty Years of Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (PTI): Management of Refractory in Adults British J Hemato[ 2OO2: 118: 933-94.1. Provan D, Norfolk D. Bolton-Maggs P, Newland PA, Lilleyman JP, Greer PI, May A, Murphy M, Ouwehand W, Watson"S. Guidelines for the Investigation and Management of PTI in Adults. Children and in Pregnancy British J Hematol. 2003; 120 574596

Provan, D., Butler,

PROGNOSIS

Respon terapi dapat mencapai 50Vo-107o dengan kortikosteroid . Pasien PTI dewasa hanya sebagian kecil dapat mengalami remisi spontan penyebab kematian pada PTI biasanya disebabkan oleh perdarahan intra kranial yang berakibat fatal berkisar 2,2 7o :untu,ktrsia lebih dari 40 tahun dan sampai 41 ,8 Vo untuk usia lebih dari 60 tahun.

REFERENSI Braendstrup P, Bjerrrunr OW, Nielsen OJ, Jensen BA, Clausen Nl Hansen PB, Andersen l, Schmidt K, Andersen TM, Peterslund NA, Birgens HS, Plesner T, Pedersen BB, and Hasselbalch HC.

Rituximab Chimeric Anti - CD20 monoclonal Antibody treatment for Adult refractory Idiopathic thrombocytopenic purpura. Am J ol Hematol 2005 ;78 :275-280 Cheng \ S.M. Raymond, MB. Wong Initlal Treatment Idiopathic Thromocytopenic Purpura wlth High Dose Dexamethason N Ensl J Med 2003: 349: 831-6.

T,, Activity

Rituximab for the Treatment

and safety profile

ol

Low-dose

of

Autoimmune Cytopenia rn Adults Haematologica. 2001 92(12): 1695-98 Psaila, B., Podolanczuk, AJ., Bussel, J., 2007 Recent Advances in

the Treatment of immune Thrombocytopenic

Purpura

ww medscape com Schwarlz J, Leber MD, Gillis S, Giunta A, Eldor A, Bussel JB. Long

Term Follow-Up after Splenectomy Performed for Immune Thrombocytopenic Purpura (PTI). Am J Hematol. 2003; 12: 94-98

A, Stipa E, Amadori S Riturimab Chimeric AntiCD20 Monoclonal Antibody Treatment tbr Adult with Chronic Idiopathic Thrombocytopenia Purpura. Blood. 2001 ;98:952-

Stasi R, Pagano

9 5'7

Vcsell, g, Buchanan GR. Cohen A, Raskop G, George J. Self-reported diagnostic and management strategies in childhood idiopathic

thrombocytopenic purpura: Result of a survey of practicing, pediatric hematology/oncology specislists.J Pediatric Hematol Oncol 2000: 22: 55-61.

185 PAROXYSMAL NOCTURNAL HEMOGLOBINURIA (PNH) Made Putra Sedana

PENDAHULUAN

sering terjadi di Asia Tenggara. PNH adalah penyakit yang

jarang, dengan pemeriksaan yang tepat angka kejadian Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH) adalah suatu kelainan kronis didapat (acquired) yang ditandai terjadinya

hemolisis intravaskuler dan hemoglobinuria yang

PNH hampir sama denganAnemiaAplastik. PNH biasanya terjadi pada usia muda tetapi juga bisa terjadi pada anakanak dan orang tua.

umumnya terjadi pada saatpasien tidur dimalam hari.. yang disebabkan oleh kelainan seluler karena mutasi somatic pada totipotet H ematop o etic s tem c e ll y angmenyebabkan

dengan " Median Survival " 8 - l0 tahun, umumnya sebagai penyebab kematian adalah terjadinya trombosis vena yang

Perjalanan PNH umumnya terjadi pada usia lanjut,

kerusakan intrinsic pada membrane sel darah merah

disertai dengan infeksi sekunder oleh karena Neutropenia berat dan perdarahan oleh karena trombositopenia.

sehingga lebih rentan terhadap aksi lisis dari komplemen, hal ini dapat pula menimblkan trombositopenia, lekopenia dan kegawatan akibat trombosis vena. Gambaran kelainan ini pertama kali dipublikasikan oleh

Strubbing pada tahun 1882, sedangkan karateristik klinisnya pertama kali dijelaskan oleh Marchiavafa dan Nazari pada tahun I 9 1 1 serta Micheli ditahun 193 1 , kar-ena

itulah kelainan PNH sering juga disebut MarchiavafaMicheli syndrome. Meskipun PNH umumnya terjadi pada dekade keempat dan kelima , tetapi dapat pula terjadi pada anak-anak dan orang tua.

Secara umum gambaran klinis PNH meliputi gejala

anemia, hemoglobinuria, tanda-tanda perdarahan, serta keluhan gastrointestinal. Penegakan diagnosis dapat

PATOGENESIS Patogenesis terjadinya PNH adalah akibat gangguan mutasi somatic pada totipotent haematopoetic stdm cell. Mutasi somatic ini kemudian menyebabkan terjadinya defesiensi berbagai jenis protein yang diperlukan bagi pembentukan g ly c o sy lp ho sp hati dy lino s it o I anc ho re d (GPI anchored), yakni antara lain leucocyte alkaline phosphatase, acethylcholineesterase, decay accelerating factor (DAF,CD55), membrane inhibitor of reactive lysis

(MIRL,CD59), FcgammaRlllb , c8 binding protein, lymphocyte function associated antigen 3, CD14, dan urokinase receotor Akibat defesiensi ini, GPI anchored

ditentukan melalui pemeriksaan darah, urine, sumsum tuJang

dan sitogenetik.

yaitu suatu struktur kompleks yang berfungsi mengatur protein permukaan sel haematopoetik sefla mengatur kadar complement-mediated lysls. Juga mengalami defesiensi absolute atau relative. Hal ini kemudian memberikan efek langsung terhadap proses hemolisis normal lewat dua cara. Pertama, bahwa kekurangan satu atau lebih protein GPI

EPIDEMIOLOGI

Penderita dengan kelainan PNH pertama kali dipublikasikan oleh Strubing pada tahun 1882, tetapi gambaran klinis yang khas penderita PNH pertama kali dijelaskan oleh Marchiavafa dan Micheli di Italia. Insiden PNH sangat bervariasi pada berbagai populasi dan lebih

anchored akan menimbulkan kegagalan dalam menginhibisi alternative pathway dari proses hemolisis fisiologik dan akibatnya terjadilah pengaktifan comple-

tl74

tt75

PAROXYSMAL NOCTURNAL HEMOGLOBINURIA (PNH)

Leukosit Alkalin Fosfatase rendah. Sucrose Waters Test dan Acid Hams Test: Positif. Pada pemeriksaan Urine didapatkan : Hemoglobinuria,

me nt - me di ate d hemo b, tic S ebagai akibatny a, sel eri tros it PNH ekan mengikat lebih banyak C3 aktif dari pada eritrosit normal dan banyaknya jumlah ikatan C3 ini selanjutnya berpengaruh terhadap sensitivitas lysis eritrosit. Semakin .

Hemosiderinuria. Karena itu warna urine paling berwarna gelap (seperti the) pada pagi hari waktu

besar proporsi eritrosit yang sensitive terhadap complement-mediated lysis semakin berat derajat dari

bangun tidur dan makin siang wama urine makin terang, seperti tampak pada gan'rbar berikut:

hemolisisnya. Kedua : terjadinya defisiensi dari protein-

protein anchored akan menyebabkan terganggunya struktur dan kadar protein permukaan hemopoetik serta

terjadinya kerusakan membrane sel hemopoetik, yang menyebabkan eritrosit PNH lebih peka terhadap proses Lysis dari komplemen. Berdasar sensitivitasnya terhadap komplemen, secara invitro PNH dibagi menjadi 3 type yaitu : PNH I,II,[. PNH

I : adalah sel eritrosit PNH yang memilki normal terhadap komplemen. PNH

turut memiliki sensitivitas

3

II dan III

-,1 kali serta

sensitivitas

.l:fu1+s +$-ld*4ir di#*..*

befturut25 kali dari

secara

15

-

!!4*

:+if $ j'*+t-! !lliFs :$*&s

sensitivitas normal.

Mutasi somatic yang terjadi pada PNH tidak hanya terbatas pada eritrosit, tetapi dapat juga mencakup trombosit, leukosit dan sel-sel pluripoten hematopoesis. Karena itulah, kelainan ini dapat bermanifestasi pula sebagai kelainan displasia sumsum tulang seperti : anernia aplastik, sindroma mielodisplastik dan leukemia akut.

i 1

Gambar 1. Urin tampung pada penderita dengan PNH

TANDA DAN GEJALA KLINIS

DIAGNOSIS

. .

. .

" . . . . "

Anemia . ikterus, splenomegali. Hemoglobinuria, terutama pagi hari. Sebagian besar kasus hemoglobinuria tidak tampak dengan jelas, walaupun teriadi hemolisis kronis.

Adanyaanemiahemolitikkronik.

.

Kekurangan zat besi sebagai akibat keluarnya zat besi melalui urine. Perdarahan akibat terjadinya trombositopenia.

.

Trombosis vena ditempat-tempat yang tidak biasa : vena hepatica, sindroma Budd-Chiari. vena serebral, vena lienalis, vena subklrtis , vena mesenterika

. .

Tepi : gambaran anemia hemolitik, gambaran anemia defesiensi besi, dapat disefiai sering juga menyerupai anemia aplasrik. Aspirasi Sumsum Tulang : hiperplasi eritropoesis atau hypoplasi. Flowsitometri : pemeriksaan CD 59 pada eritrosit; CD 55 atau CD 59 pada granulosit. Sucrose waters Test dan Acid Hams Test : positif. Manifestasi trombosis Pada Urine : hemoglobinuria; hemosiderinuria.

Kehamilan pada pasien PNH dapat dihubungkan dengan aborsi dan trombosis vena. Manifestasi pada ginjal : hypostenuria , kelainan fungsi tubulus, gagal ginjal akut dan kronik.

LABORATORIUM

. .

. . .

Gejala : anen-ia, hemoglobinuria. Hapr.rsan Darah

Cambaran anemia hemolitik. Hapusan darah tepi : sesuai dengan gambaran anemia hemolitik, sering disertai gambaran anemia defesiensi

DIAGNOSIS BANDING

. . . . .

Anemia Hemolitik Lun. Anemia Def'esiensi besi Anemia aplastik

Black v,ater fever. Paroxysmal cold hemoglobinuria.

besi, dapat pula menyerupai anemia aplastik.

PENGOBATAN

Retikulositosis Aspirasi sumsum tulang : hyperplasia eritropoesis atau hypoplasia.

. Bila

anemia transfusi darah dengan Washed

Ery-throcyte.

tt76 . . . . . . . .

HEMANOLOGI

Asamfolat 1 mg/hari Bila ada defesiensi besi diberi sulfas ferosus Prednison 20

-

Leukemia Limfositik Kronik: Leukemia Mielositik 3

X

1 tab.

60 mgftrari, tetapi tidak untuk pemberian

jangka panjang.. Hormon androgen : Fluoxymesteron : 5 - 30 mg/hari; Oxymetholon 10 - 50 mg/trari diberikan selama 6 - 8 minggu, bila tidak ada respon obat dihentikan.

Kronik; Polisitemia Vera dan Eritroleukemia.

Prognosis buruk bila: Usia diatas 55 tahun saat diagnosis ditegakan; adanya trombosis; perubahan menjadi : pansitopenia, sindroma mielodisplasia atau leukemia akut

Antikoagulan : tidak terbukti bermanfaat untuk mencegah terj adinya trombosi s. Streptokinase; urokinase : bila ada trombosis.

REFERENSI

Transplantasi sumsum tulang merupakan indikasi

Hilln'ren P, Young NS, Schubert J et al (2006). The Complement Inhibitor Eculizumab in Paroxysrnal Nocturnal Hemoglobinuria. N.Engl.J Mcd. 355:1233 Lichtmzrn MA, Bentlir E, Kipps TJ. Williams WJ (2003) Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuna In : Williams N'[anual ol ]{erlatology, 6 th edition. Eds : Lichtman MA. Bentlir E, Kipps TJ. Williams WJ Mc Graw Hill, Toronto. p 233. Luzatto L (1996). Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria. Tn Hematology 1996 Education ProgrrLmme of the 26 th Congress of International Society of Haemulology. Ed : Mc Arthur

defenitifkemudian dilanjutkan dengan imunosupresan. Perkembangan pengobatan PNH dengan obat antibody monoklonan yaitu Eculizumab yang langsung mengikat komplemen C5. Dengan memblokade kaskade C5, antibodi ini dapat mengontrol teiadinya hemolisis pada PNH yang tergantung komplemen. Pada penelitian

International "Multicenter Placebo Controlled Trial" pada 87 pendrita yang sudah ketergantungan dengan transfuse diberikan Eculizumab dengan dosis 600 mg IV tiap minggu selama 4 minggu, I minggu kemudian 900 mg IV selanjutnya 900 mg IV tiap minggu sampai,

.

.

minggu ke 26.

Untuk penderita dengan PNH-AA syndrome dapat

diberikan pengobatan imunosupresif

dengan Antilimfosit Globulin (ALG atauAIG) dan Cyclosporin.

:

JR, Sinagapore August, 2-5-26 Parker CJ, Lee GR (1999). Parox-vsmal Nocturnal Hemoglobinuria, In : Winrrobes Clinical Hematolog-v, 10 th cdition Eds : Lee GR. Foerster J. Rodger Gl4 Lipprncott William & Wilkins. Philadelphia. p 1261 Parker C. Omine M. Richards S et al (2005) Diagnosis and Management of Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria. Blood 106 :

3

699

Rosse W, Bunn HF (2008). Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria

In : Harrisons Principle of Internal Medicine, 17 th edition

PROGNOSIS

. . .

Eds : Fauci AS, BraunwaldE,Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J N{c Graw Hill Publishing Co, Ne\\'}brk,

p Penderita PNH rata-rata hidup 10 - 50 tahun. Kematian biasanya disebabkan oleh karena komplikasi: trombosis; pansitopenia. Penderita PNH dapat mengalami perubahan menjadi: Leukemia akut; Sindroma Mielodisplasia; Mielofibrosis;

660

Socie C. Mary JY. de Cramont A, Rio B. Lepporier M. Rose C. Heudier. Rochant H. Cahn JY, Gluckman E. Paroxysmal Nocturnal Haerroglobinuria : Long-term follow-up an Prognostic Factors. Lancet, 3ul8 : 573

186 KELAINAN HEMATOLOGI PADA LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK Zubaii Djoerban

hiposelularitas menyelurrh (47,6Vo), peningkatan

PENDAHULUAN Lupus eritematosus sistemik

(sy

s te

m

proliferasi retlklJin (7 6,24o) dengan mielofibrosis pada satu pasien, dan nekrosis (I9E;). Plasmasitosis tampak.pada 26,1% pasren dan cadangan besi menurun atau tidak ada

ic lup u s e ry, the ntat o s Lts,

SLE) dapat mempengaruhi banyak organ di tubuh dan menunjukkan manifestasi klinis dan imunologis dengan

pada13,3Vo pasien.

spektrum yang luas. Kelainan hematologi seringkali ditemukan pada SLE,. Anemia dan trombositopenia,

ANEMIA

kelainan hematolo-ui yang sering terjadi pada perjalanan penyakit pasien SLE, biasanya bukan merupakan kondisi yang fatal, namun pada beberapa pasien dapat terjadi

Prevalensi

gangguan yang berat sehingga membutuhkan manajemen yang agresif. Leukopeniajuga sering terjadi, hampir selalu merupakan limfopenia, bukan granulositopenia, kondisi ini jarang menjadi predisposisi terjadinya infeksi dan biasanya

Sebagian besar pasien menderita anemia pada suatu waktu di sepanjang perjalanan penyakitnya. Prevalensinya cukup

tinggi, sekitar 5l-987o pasien pernah menunjukkan kadar hemoglobin kurang dari 12 g/dl. Pada umumnya, yang terjadi adalah anemia derajat sedang, tetapi beberapa

tidak membutuhkan terapi. Trombosis merupakan salah satu penyebab kematian pada pasien SLE,. Kriteria Diagnosis SLE dari ACR pada I 971 menyatakan bahwa leukopenia, trombositopenia, dan anemia hemolitik merupakan kriteria individual untuk SLE. Sementara pada

pasien menunjukkan anemia berat.

Etiologi

revisi tahun 1982 dinyatakan bahwa kelainan hematologi dikelompokkan menjadi satu kelompok yang terdiri dari: 1) anemia hemolitik autoimun, 2) leukopenia ( 400 000 atau splenomegali yang progresif

Tanpa mielosupresi * pertimbangkan kembali jika ada komplikasi * aspirin sebagai profilaksis

Gambar 1. Manajemen terapi polisitemia vera

Terapi mielosupresi dengan hydroxiurea (pertimbangkan interferon atau anagrelid pada pasien muda) dan aspirin sebagai profilaksis

1218

-

HEMATOLOGI

Trombositosis persisten di atas 800.000/mL,

dari dosis pertama, dan diberikan sekitar 10-12 minggu

terutama jika disertai gejala trombosis.

setelah dosis pertama.

Leukositosis progresif. Splenomegali yang simtomatik atau menimbulkan s it o p e nia problematik. Gejala sistemik yang tidak terkontrol seperti pruri-

Dengan cara ini panmielosis dapat dikontrol pada sekitar 807o pasien untukjangka waktu sekitar l-2 bulan dan mungkin berakhir 2 tahun atau lebih lama lagi. Sitopenia yang serius setelah pengobatan ini jarang terjadi. Pasien diperiksa sekitar 2-3 bulan sekali setelah keadaan stabil. Trombositosis dan trombositemia yang mengancam (hiper aggregasi) atau terbukti menimbulkan trombosis masih dapat terjadi meskipun eritrositosis dan lekositosis dapat terkontrol.

tus yang sukar dikendalikan, penurunan berat badan atau hiperurikosuria yang sulit diatasi.

Media Pengobatan Flebotomi. Flebotomi dapat merupakan pengobatan yang adekuat bagi seorang pasien polisitemia selama

bertahun-tahun dan merupakan pengobatan yang dianjurkan. Indikasi flebotomi:

. .

Polisitemia sekunder fisiologis han1,a dilakukan jika Ht >55% (targetHt2 kali

Cara pemberian kemoterapi sitostatika:

dilakukan dengan prinsip isovolemik yaitu mengganti plasma darah yang dikeluarkan dengan cairan pengganti plasma (coloid/pLasma expander') setiap kali, untuk

hanya untuk Polisitemia rubra primer (PV),

Pasien dengan pangobatan cara ini harus diperiksa lebih sering (sekitar dua sampai tiga minggu sekali). Kebanyakan

yang tidak kooperatif atau dengan keadaan sosio-ekonomi yang tidak nrerrungkinkan untuk berobat secara teratur. P.,. perlama kali diberikan dengan dosis sekitar 2-3 mCi/m2 secara intravena, apabila diberikan per oral maka dosis

klinisi rnenghentikan pemberian obat jika hematokrit:

dinaikkan 2-57o. Selanjutnya apabila setelah 3-4 minggu

Kemoterapi biologi (sitokin). Tujuan pengobatan dengan

pemberian P,, pertama: 1). Mendapatkan hasil,

produk biologi pada PV terutama adalah untuk mengontrol trombositemia (hitung trombosi t >800.000/mm r,), produk biologi yang digunakan adalah Interferon a. Intetferon a (alntron-A 3 & 5 juta Iu, eRoveron-A 3 & 9 juta Iu) digunakan

re-evaluasi setelah 10-12 minggu. Jika diperlukan dapat

diulang akan tetapi hal ini jarang dibutuhkan. 2). Tidak mendapatkan hasil sel anj utnya dosi

s

kedua di nai kk an 25o/o

. .

lagi jika>527o, Pada perempuan 600 x I 0e/1 minimal dalam waktu 2 bulan

menjadi mielofibrosis dan leukemia mieloblastik akut.

42. Mutasi JAK2

Bl. Tidak DIAGNOSIS Peningkatan jumlah trombosit yang menetap merupakan

gambaran diagnosis utama trombositosis esensial. Walaupun demikian penyebab lain peningkatan jumlah trombosit harus disingkirkan. Trombositosis yang disertai dengan splenomegali lebih mengarahkan diagnosis kepada

trombositosis esensial dibandingkan dengan trombosis reaktif.

Kriteria diagnosis: . Hitung trombosit >450.000 ul (dikonfirmasi lebih dari

. . . . .

84. Tidak didapatkan bukti leukemia mielositik kronik 85. Tidak didapatkan bukti mielofibrosis 86. Tidak didapatkan bukti sindrom mielodisplasia

Diagnosis trombositosis esensial dapat ditegakkan apabilaA-/ + A2 + B3 - 86 (V617F- trombositosis esensial positif) atau Al + Bl - 86 (V6l7F-trontbositr.tsis esettsictl negatif ) Keadaan klinis yang berkaitan dengan trombositosis realrtif:

1

kali)

Tidak ditemukan penyebab lain peningkatan hitung trombosit Tidak ditemukan sindrorr mielodisplasia atau gangguan mieloprol iferatif lainnya. Sumsum tulang dengan:

Akut dan transient

. ..

hiperylasiamegakariositik fibrosis 1500 X 10efl. Aspirin dosis rendah ditambah hydroxyurea (anagrelide atau interferon alfa sebagai pilihan kedua); 3). Pasien dengan risiko menengah yakni pasien dengan usia 40-60 tahun dan tidak didapatkan gambaran risiko tinggi. Aspirin dosis rendah dan pertimbangkan terapi cytore ductiv ejika didapatkan faktor risiko kardiovaskular; 4). Pasien dengan risiko rendah yakni pasien dengan usia < 40 tahun dan tidak didapatkan gambaran risiko tinggi. Aspirin dosis rendah.

mengurangi jumlah trombosit tetapi juga dalam mengurangi

risiko timbulnya trombosis. Dosis yang digunakan adalah 15 mg/kgbb. Efek samping yang dapat timbul adalah anemia, netropenia, lebih jarang lagi dapat timbul ulkus pada kaki/mulut dan lesi pada kulit. Efek leukemogeniknya masih dalam perdebatan. Anagrelid suatu derivat quinazolin dapat menghambat proliferasi dan diferensiasi megakariosit. Anagrelid telah

REFERENSI Anagrelide Study Group. Anagrelide, a theraphy for thrombocythemic states: experience in 517 Patients. Am J Med. 1992;92:69-76.

Barbui T, F\nazzy G. When and how to treat essential thrombocythemia. N Engl J Med. 2005;353:85-6. Campbell PJ, Green AR. Management of polycythemia vera and essential thrombocythemia. Hematology. 2005:201-9.

1224

HEMAIOLOGI

Caldwell BS. Chronic myeloproliferative disorders, Harmening DM

Clinical hematology and fundamentals of hemostasis. 4'h edition In: Fratantoro C, Waltner P, Brandt J, editors Philadelphia: F.A Davis Company; 2002. p.331-5'7. Cortelazzo S, Finazzi G, Ruggeri M, et al Hydroxyurea for patients with essential thrombocythemia and high risk of thrombosis. N

Engl J Med. 1995;332:1132-6.

Frenkel EP, Mammen EF. Sticky platelet syndromeand thrombocythemia. Hematol Oncol Clin N Am 2003;17:63 Harrison CN. Platelets and thrombosis in myeloproliverative diseases. Hematology. 2005 :409-15. Kausansky KO. The molecular origins of the chronic myeloprolif90.

Spivak JL, Barosi G, Tognoni G et al. Chronic myeloproliferative disorders. Hematology. 2005:200-24. Storen EC, Teffery A. Long-term use of anagrelide in young patients with essential thrombocythemia Blood. 2001;9'7:8636.

A. Effects of anagrelide on in vivo megakaryocyte proliferation and maturation in essential thrombocythemia. Blood. 2002;99 : 1602-9.

Tomer

83

erative disorders:

Messinezy M, Pearson TC. ABC of clinical haematology: polycythemia, primary (essential) thrombocythemia and myelofibrosis. BMJ. 1997;314:587. Schafer AI. Thrombocytosis. N Engl J Med. 2004;350:72II- 9.

it all

makes sense. Blood. 2005;105:4187-

195 MIELOFIBROSIS SuradiMaryono

PENDAHULUAN

Mielofibrosis merupakan suatu kelainan yang dihubungkan dengan adanya timbunan substansi kolagen

berlebihan dalam sumsum tulang. Kelainan

ini

secara

definitif merupakan kelainan sel stem hematopoiesis klonal,

dihubungkandengan chronic myeloproliferative disorders (CMPD), dimana adanya hematopoeisis ekstramedular merupakan gambaran menyolok. Penyakit ini termasukjarang didapatkan dalam praktek sehari-hari, pertama kali dilaporkan oleh Heuck G., pada tahun I 879 (Sit. Clark dan William 2005), dengan nama lebih

30 macam, termasuk: Mielofibrosis primer, osteomielofibrosis, metaplasia mieloid agnogenik, mielofibrosis idiopatik dan lebih sering disebut sebagai Mielofibrosis dengan Metaplasia Mieloid (MMM). MMM perlu dibedakan dengan beberapa jenis lainnya, dimana mielofibrosis disini merupakan fenomena sekunder. ( Thbel 1) Terdapat kelainan bersifat familial yang j arang terdapat,

misalnya primer hyperthrophic osteoarthropathy, mielofibrosis yang terjadi primer akibat gangguan perlumbuhan fibroblas sumsum tulang.

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

MMM belum diketahui dengan jelas. Tidak diketemukan adanya faktor pencetus, secara epidemiologi ada beberapa substansi diperkirakan

Kondisi Neoplastik. Gangguan mieloproliferatif kronik Metaplasia mieloid agnogenik Polisitemia rubra vera Leukemi mieloid kronik

Kondisi neoplastik lainnya. Leukemia megakarioblastik akut (M7) Fibrosis dengan mielodisplasia Agnogenik transisional Mielodisplatik metaplasia mieloid Sindrom mieloproliferatif Mieoloid akut lain Leukemia Leukemia limfoid akut Leukemia Hairy cell Mieloma Karsinoma Mastositosis sistemik

Kondisi Non Neoplastik. Penyakit granulomatosa Penyakit paget Hipoparatiroidisme Hiperparatiroidisme Osteoporosis Osteodistrofi ginjal Defisiensi Vitamin D Gray pletelet syndrome Lupus eritematosus sistemik Sklerosis sistemik Diadaptasi dari Clark dan William (Wintrobe's clinical hematology, 2005)

Penyebab

sebagai penyebab, misalnya: Toluen, benzen, radiasi ionisasi. Insidensi tertinggi MMM pada pasien akibat pemberian material kontras radiografi dengan bahan dasar torium yaitu, Torotras. Korban akibat bom atom Hiroshima juga mempunyai risiko MMM 18 kali lebih besar daripada populasi lainnya, simtom pertama muncul

6 tahun setelah eksposur.

MMM

Tefferi (2003) menemukan insidens

di Amerika utara 0,3-1,5 kasus per 100.000 populasi.

HEMATOPOIESIS KLONAL

MMM dengan CML (chronic myeloid leukemia), PY

Pada tahun 1951, Dameshak mengelompokkan

1226

HEMATOLOGI

i cy t he mi a v e r a ) dan ET ( E s s ential thr omb o cy the mi a ) seperti halnya CMPD, karena klinis dan morfologi hampir sama. Semua memperlihatkan adanya: hiperplasia sumsum

FIBBOSIS SUMSUM TULANG DAN HEMATO.

tulang, hematopoiesis yang tidak tergantung rangsangan fisiologis, suatu fase adanya kenaikan konsentrasi sel darah dalam sirkulasi, tendensi fibrosis sumsum tulang dan suatu tendensi terhadap terminasi leukemia akut.

Mielofibrosis pada MMM merupakan reaksi sekunder terhadap hemopatia klonal. Sel fibroblas mensekresi

poliklonal. Mereka distimulasi oleh sitokin yang

Semua gambaran CMPD yang muncul, adalah suatu mutasi somatik sel stem hematopiesis pluripoten. Beberapa observasi memperj elas adany a hem atopoi e-

dibebaskan dari megakariosit neoplastik dan dari klonal sel hemopoietik yang dikembangkan lainnya. Perusakan dan sintesis kolagen terjadi sehingga adanyakonsentrasi

sis klonal neoplastik pada MMM. Separuh pasien yang terdiagnosis, memperlihatkan abnormalitas sitogenetik klonal. Petanda lain klonalitas yang diobservasi adalah: neutrofil sirkulasi, eritrosit, platelet, limfosit dan beberapa prekusornya dalam sumsum tulang, meliputi distribusi isoenzim glukose-6-fosfat dehidrogenase, pola inaktivasi kromosom x pada perempuan, defek sel membran dan

prokolagen (hasil pemecahan kolagen) merupakan

(P o I

mutasi gen N-ras. Konsentrasi sel progenitor dalam sirkulasi pada MMM, 10-20 kali normal dan CD34+ sel progenitor dalam sirkulasi meningkat400 kali di atas level normal. Sel progenitor dari MMM hipersensitif terhadap sitokin dan dapat terjadi proliferasi secara in vitro tanpa rangsangan

sitokin. Sifat-sifat di atas konsisten dengan semua gambaran pada CMPD. Progenitor megakariosit pada pasien

MMM mungkin juga mengalami deferensiasi yang

tidak tergantung trombopoietin (TPO), sebagai rangsangan

POIESIS EKSTRAMEDULABE

kolagen yang akan diakumulasi, sel ini normal dan bersifat

petanda sintesis kolagen baru yang dihubungkan dengan

aktivitas penyakit tersebut. Kolagen ditimbun dalam ruang ekstraselular dan elemen vaskular dalam sumsum

tulang. Empat dari lima tipe kolagen terdapat disini. Kolagen tipe 1 dan 3 merupakan komponen fibrosis utama pada MMM, dan timbunan kolagen meningkat setara

dengan lamanya penyakit. Pada tahap awal MMM persentase kolagen tertinggi adalah tipe 3, sedangkan

pada tahap akhir kolagen tipe 1 (kolagen polimerik) tertinggi. Pada MMM sebagian kecil terdapat molekul matrik yang lebih banyak mengandung heksosamin daripada normal. Vaskularisasi juga meningkat, luasnya

neovaskularisasi

ini

berhubungan dengan luasnya

penyakit dan mungkin hal ini penting terhadap timbulnya fibrosis. Transforming growth factor (TGF)-p sebagai mediator utama terhadap akumulasi kolagen pada MMM. Sitokin ini disintesa oleh megakariosit dan sel endotel

fisiologis.

Adanya mutagen diperkirakan sebagai faktor pencetus

seperti halnya pada sistem monosit-makrofag. TGF-p lebih poten dalam mensekresi kolagen daripada grortth factor derivat platelet atal epidernml growth factor dan mungkin meregulasi kedua sitokin tersebut. TGF-p juga

yang menghasilkan hemopatia klonal pada MMM.

stimulus yang poten terhadap angiogenesis.

Abnormalitas sitogenetik temyata tidak konsisten seperti

Peningkatan angiogenesis ini sesuai penelitian Lundberg et al (2000), dengan membandingkan penyakit mieloproliferatif (PY CML dan mielofibrosis/ MF) dengan pemeriksaan biopsi sumsum tulang normal, disini terjadi peningkatan vaskularisasi secara

PERUBAHAN TINGKAT MOLEKULAR

halnya perubahan gene bcr/abl pada CML, yang

dihadirkan sebagai kandidat gen penting pada patogenesisnya. Perubahan tingkat molekular terjadinya

MMM belum jelas, sampai sekarang masih dalam penelitian. Perbedaan ekspresi panel gen kandidat telah diteliti antara sel progenitor cytokine-independent dari pasien

MMM dengan progenitor

cytokine-dependent

(diperkirakan normal). Immunophilin FKBP5 1 berekspresi berlebihan pada semua pasien yang diteliti dan fungsi ini terutama pada cytokine- independence. Faktor transkripsi GATA-1 aktif pada diferensiasi megakariosit normal. Pada

penelitian tikus terdapat kegagalan ekspresi GATA-l menghasilkan sindrom yang menyerupai MMM. Sehingga peru-bahan langsung pada GATA-1 penting untuk terjadinya MMM. Beberapa gen yang berhubungan dengan pertumbuhan lain telah diteliti, misalnya: Gen retino-blastoma yang mungkin mengalami delesi atau perubahan ekspresi dan gen kalsitonin yang mengalami metilasi. Perkembangan MMM mungkin berhubungan dengan abnormalitas gen p53 atau gen ras.

bermakna pada CML dan MF, sedikit peningkatan pada

PV dibandingkan dengan normal (Gambar 1c). Peningkatan vaskularisasi ini akibat adanya neoangiogenesis karena rangsangan faktor angiogenetik yang dipicu adanya sel ganas. Faktor angiogenetik tersebut

adalah: basic Fibroblast growth factor (bFGF) dar, vascuLar endothial cell growth factor (VEGF), yang akan memicu sel endotel untuk migrasi, proliferasi dan membentuk jaringan pembuluh darah pada tempat

tersebut. Kenaikan kadar TGF-B dapat dideteksi dengan naiknya

sirkulasi platelet dan megakariosit yang merupakan fragmen MMM. Beberapa

g

rowth.facto r lain diperkirakan

juga merangsang fibroblas pada MMM, antara lain: Platelet derived growth factor yang terdapat pada megakariosit MMM, epidermal growth factor, endothelial cell growth factor, interleukin-1 , basic fibroblast

t227

MIELOFIBROSIS

growth factor dan kalmodulin. Beberapa mekanisme bebasnya kenaikan kadar sitokin ke dalam lingkungan sumsum tulang antara lain: Sekresi sederhana dari granulao,megakariosit, megakariosit displastik yang rusak dalam sumsum tulang dan rusaknya megakariosit sitoplasma oleh

leukositPMN. Tikus percobaan yang diberi TPO konsentrasi tinggi, akan terjadi sindrom yang menyerupai MMM. Tikus yang

diinjeksi secara cepat dengan polietilen-glikolconjugated TPO untuk mempercepat hiperplasia megakariosit, trombositosis, fibrosis sumsum tulang dan hematopoiesis ekstramedulare. Walaupun begitu peranan TPO pada MMM belum jelas, walaupun kadar TPO pada MMM meningkat tetapi tidak berkorelasi dengan masa megakariosit. Kenaikan kadar TPO ini diperkirakan karena mekanisme klirens yang berubah. Lebih lanjut ternyata TPO menghambat proliferasi sel stem hemopoietik pada

Sangat sering ditemukan (>50% kasus) S

plenomegali

Hepato megali

Fatique Anemia Le ukosito sis

Trombositosis

Sering ditemukan (10-50% kasus) Asimtomatik Penuru nan berat badan Keringat malam Perdarahan Nyeri splenik Le ukosito penia

Trombositopenia

Kurang sering ditemukan ( 100 x 10e/L dan tidak adahepatomegali. Pasien lebih muda mempunyai kemampuan swvival lebih baik, seperti halnya rendahnya konsentrasi mieloblas dalam sirkulasi. Adanya abnormalitas sitogenetik termasuk single clone dengantranslokasi kromosom 1, 5q-, trisomy 8, l3qatau 20q-, mungkin dengan prognosis lebih baik, tetapi secara keseluruhan pasien dengan kromosom abnormal mempunyai prognosis lebih jelek daripada kariotipe normal. Demikian juga pasien dengan peningkatan volume

plasma atau peningkatan kadar reseptor IL-2 terlalut mempunyai surulval lebih jelek. Reilly, Snowden dan Spearing et al (1997) membuat beberapa skor prognosis meliputi: usia, kadar Hb, simptom konstitusi dan kariotipe. Pasien dikelompokan berdasar grup risiko dengan kemungkinan hidup terpendek 16 bulan

dan terpanjang 180 bulan. Dengan berjalannya waktu simptom dan sitopenia menjadi memberat walaupun secara spontan terjadi perbaikan. Beberapa masalah yang timbul

misalnya: penurunan berat badan, edema ekstremitas bawah, infeksi terutama pnemonia. Hampir semua pasien

1231

MIELOFIBROSIS

terjadi splenomegali yang semakin memberat sehingga

related donor. Pada seri Seatle, 8 dari 19 pasien donor

timbul rasa sakit dan nyeri tulang. Sebagian pasien terjadi hipertensi portal dengan varises esofagus, akibat dari: Kenaikan aliran darah splenoportal, trombosis vena hepatika, trombosis vena portal, hemokromatosis pasca transfusi dan hematopoiesis intrasinusoidal. Perdarahan dapat akibat: trombositopenia, defek platelet, Disseminated intravascular coagulation (DIC) atau defisiensi faktor pembekuan. Kematian pasien MMM, bervariasi antara lain: infeksi, perdarahan, gagal jantung, cerebrovascular accidents, gagal ginjal, gagal hati dan trombosis. Konversi ke arah leukemia dilaporkan 5-20Vo kasus. Perubahan ke arah leukemia tidakjelas, beberapa kasus tanpa eksposur terapi

HLA-matched tetapi unrelated,2 dari 19 donor adalah one-antigen mismatches. Suryival keseluruhan dalam 5 tahun sebanyak 50Vo. Adanya kariotipe abnormal, anemia dan umur tua diikuti outcome yang jelek. MMM dengan umur > 45 tahun kemampuan hidup 5 tahun

sitostatika, kejadian kearah leukemia limfositik akut serupa dengan leukemia mieloid akut.

sebanyak l4Vo. Semakinmenjadi jelas, bahwa pada pasien

lebih muda dengan 2faktor risiko, dengan prediksi sarvival rendah, tanpa pengobatan kuratif, dipertimbangkan dilakukan HSCT secepatnya setelah diagnosis tegak.

Untuk pasien lebih tua dengan HSCT mungkin memberikan outcome yang rendah dan faktor risiko jelek tidak ditemukan, maka sebaiknya ditunda dahulu sampai faktor risiko muncul, walaupun data tentang hal ini belum banyak dilaporkan.

Terapi Androgen dan Kortikosteroid Hormon androgen dapat diberikan pada anemia akibat

PENATALAKSANAAN

MMM mungkin

dapat disembuhkan dengam hematopoietic stem cells Transplantation (HSCT), tetapi HSCT biasanya berhasil untuk pasien muda dan merupakan risiko kematian

yang bermakna. Tidak ada bentuk terapi lain untuk survival atau mencegah progresi

memperpanj ang mielofibrosis.

Terapi suportif diarahkan langsung terhadap komplikasi yang terjadi. Beberapa pasien asimptomatis dan memerlukan observasi. Allopurinol diberikan untuk mempertahankan urat darah tetap normal, untuk menghambat: nefropatia urat, renal kalkuli dan gout. Anemia dan trombositopenia dapat timbul, dan akan berkembang terus sampai timbul gejala. Bila beberapa

terapi gagal memperbaiki hematopoiesis, transfusi diperlukan untuk mempertahankan hitung darah. Suplemen asam folat diperlukan karena seringnya kejadian

hemolisis.

ALLOGENEIC HEMATOPOIETIC STEM CELL

MMM. Dengan respon rate 29-577a. Perbaikan spontan mungkin dapat terjadi pada MMM, sehingga respon terhadap terapi perlu dianalisa secara cernat. Perempuan dengan splenomegali minimal dan pasien dengan kariotipe normal memberikan prognosis lebih baik. Sebelumlerapi dengan androgen, pria perlu diskrining kelenjar prostat baik secara fisis maupun dengan antigen spesifik untuk prostat, pada perempuan perlu diperhatikan adanya efek virilisasi. Selama terapi dengan androgen perlu dimonitor faal hati. Beberapa skedul dosis telah memberikan hasil cukup baik, diantaranya androgen sintetik oral: fluoksimesteron, dosis: 2-3 kali 10 mg sehari. Bila tidak ada perbaikan setelah 3-6 bulan terapi, androgen harus dihentikan. Beberapa

pasien yang tidak berespon terhadap androgen, kemungkinan memberikan respon preparat lain, karena daya hidup eritrosit memendek pada MMM, kemungkinan

kortikosteroid adrenal memperbaiki daya hidup eritrosit dan memperbaiki anemianya. Prednison oral, dengan dosis: I mg/kg. berat badan sehari, memberikan respon pada 25-507o pasien. Respon paling baik dilaporkan terdapat pada pasien perempuan. Pasien dengan hemolisis perlu

diberikan suplemen asam folat. Androgen dan kortikosteroid kadang dapat dikombinasikan. Dosis

T ra n s p I a

ntafion (AHSCT)

Hampir semua pasien CMPD mungkin dapat disembuhkan dengan HSCT. Terbatasnya pendekatan ini karena faktor

dimulai dengan prednison 30 mg/ hari, dengan kombinasi fluoksimesteron 10 mg dua kali sehari, bila terdapat respons setelah satu bulan terapi, dosis prednison diturunkan

off,

umur dan kondisi pasien, dengan menggunakan donor

secara tapering

yang cocok serasi dan morbiditas serta mortalitas yang dihubungkan dengan prosedur. Adanya fibrosis sumsum tulang dan splenomegali rupanya bukan hambatan untuk

dilanjutkan.

HSCT.

Kemoterapi jarang memberikan remisi hematologis, dan tidak memberikan perubahan secara umum pada MMM, tetapi mungkin sangat memberikan perbaikan pada gejala.

Dilaporkan oleh Guardiole et al (1999) dan Jurado et al. William (2005 ) kelompok I nt e rnatio nal cooperative trial dengan 55 pasien, hampir semua umur muda, umur rerala 42 tahun, dengan HLA-identical (200 1 ) sit. Clark dan

sedangkan fluoksimestefon

Kemoterapi

Kemoterapi dapat mengurangi hepatomegali dan splenomegali sefta memperbaiki penurunan berat badan,

1232

demam dan keringat malam sampai 707o pasiery serta mengurangi leukositosis, trombositosis dan anemia. Kemoterapi yang pernah digunakan: busulfan, melfalan, 6-tioguanin dan hidroksiurea. Pada MMM pemberian kemoterapi harus lebih hati-hati karena cenderung terjadi toksik sumsum tulang daripada CMPD lainnya. Misalnya pemberian Busulfan 2-4 mg/hai sudah merupakan dosis

maksimum yang dapat diberikan dengan derajat keselamatan pada MMM. Pasien harus dimonitor secara frekuen dan kontinyu, terutama bila timbul sitopenia. Hidroksiurea dapat diberikan dosis teneduksi 500- 1000 mg

selang sehari, dengan penyesuaian dosis tergantung respons klinis dan hitung darah.

lradiasi Pasien dengan hipersplenisme mungkin dapat memberikan

respon dengan iradiasi splenik, terutama bila ada kontraindikasi untuk splenektomi. Hampir semua pasien mengalami perbaikan keluhan nyeri dan > 507o te4adi pengurangan ukuran lien. Iradiasi splenik akan memberikan perbaikan sitopenia, diberikan dengan fraksi kecil dengan

pemantauan ketat. Dosis fraksi 15-100 cGy,2-3 kali per minggu. Dosis total 700-2400 cGy dapat memberikan hasil yang nyaman dengan toleransi toksisitas. Hasil sementara baru dapat dilihat setelah beberapa bulan terakhir. Tumor hematopoiesis eksffamedular simptomatis juga memberikan respons terhadap terapi iradiasi, terutama cocok pada nyeri tulang dari tumor atau periostitis dan pada deposit susunan saraf pusat.

Splenektomi Splenektomi dipertimbangkan pada pasien refrakter terhadap terapi: Sitopenia, hipertensi portal, atau gejala akibat hipersplenisme. Dengan splenektomi memberikan

perbaikan: simptom hipersplenisme, hipertensi portal, anemia dan trombositopenia, walaupun perbaikan ini tidak selalu dapat dipertahankan setelah satu tahun tindakan.

Splenektomi pada MMM harus hati-hati, karena organomegali yang besar sehingga mungkin terjadi adhesi, naiknya aliran darah dan status compromised pasien. Adanya DIC(KID) ringan yang ditandai kenaikan kadar D-dimer sering ditemukan pada MMM, dengan nsiko perdarahan yang tidak mudah diperbaiki preoperatif. Mortalitas operasi akut dapat mencapai 38Vo, pada stadium awal penyakit, sedangkan mortalitas pada perawatan rumah sakit yang lebih modern turun 2 extranodal sites) 0.1 Low Low intermediate High intermediate

35 27 22

87 67

70 50

51

55

4.5

16

44

49 40

43 26

22

92 78 57

86 66

83

32 32 14

46

2 3

High

Patients < 60 y old (adverse risk factors: Ann Arbor stage lll or lV, LDH greater than normal, performance status >2 Low '1 Low intermediate High intermediate

0

2 3

High

53 58

73

69 46 32

12s8

HEMIIiTOI.OGI

LNH Agresif

R dan Djumhana melaporkan di Indonesia angka angka ini

LNIJ Intermediate/High Grade Terlokalisin Non bullty

lebih rendah, belum diketahui faktor pasti penyebabnya. Penelitian secara acak terhadap protokol CHOP (generasi peftama) dibandingkan dengan beberapa protokol generasi II / m seperti: m-BACOD, MACOP-B, dan PToMACECYtaBOM oleh"The Inter Group Study" melaporkan tidak ada perbedaan bermakna dari sudut angka harapan hidup dan masa bebas penyakit. Harapan hidup aktuarial berkisar anlara4)Vo sampai45Vo. Dengan demikian protokol CHOP tetap merupakan protokol baku terapi awal LNH agresif. Selain itu, hasil GELA study (Coiffrer et al) menunjukkan

IA dan IIA, dengan keterlibatan ekstranodal (E), dapat diterapi dengan regimen yang mengandung doxorubicin (CHOP/CHVmP/BV) minimal 3 siklus, stadium

dilanjutkan dengan IFRT (ekuivalen dengan 3000 cGy dalam 10 fraksi). Kombinasi kemoterapi dan radioterapi pada

stadium awal memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan kemoterapi saja.

$adium I-tr

(B

ullq),fr

danlY.diterapi dengan CHOP siklus

CHVmP/BV 8 siklus (dalam penelirian). Untuk daerah "bullq" IFRT dapat diberikan guna meningkatkan lokalkontrol. Mc Kelvey melaporkan denganregimen CHOP 5A7o sarnpaiT lTo pasienmencapai remisilengkap danT 57o diantaranya bertahan hidup lebih dari tiga tahun. Harryanto lengkap_atau

Response Category

Physical Examinations

bahwa pasien usia tua dengan LNH agresif dengan penambahan rituximab pada setiap siklus CHOP meningkatkan oyerall surviyal dengan pengamatan 3 tahun dari 497o menjadi

62%o

blla dibandingkan dengan

CHOP saja. Selain itu, regimen yang sama dapat

Lymph node

Lymph Node Masses

Bone Marrow

CR

Normal

Normal

Normal

Normal

Cru

Normal Normal Normal Normal Decrease in Liver/Spleen Enlarging liver/Spleen, newsites

Normal

Normal >75% decrease Normal > 50% decrease > 50% decrease New or increased

lndeterminate Normal or indeterminate Positive lrrelevant lrrelevant Reappearence

PR

Relapse/Progression

Normal

Normal > 50% decrease > 50% decrease New or increased

Terapi dalam Trial LNH limfoplasmasiter makroglobulinemra LNH ektranodal Sel B zone Marginaljenis MALT

W & S, chloorambucil, fludarabine atau CVP Lambung I dan HP + Lambung I dan HP -

PiR P/R P/R

t-tv

LNH sel , zona marginal nodal

Eradikasi HP RT, chloorambucil, CVP W & S, RT, (chirurgie); chloorambucil, CVP Chloorambucil, CVP, fludarabine

P/R

LNH sel B zona marginal pada limpa LNH follicular derajat 1-2

Splenectomi, chloorambucil tiil

> 15

t/il

P

> 18

P

>65

P R

of

refractair

R-CHOP = CHOP + rituximab 'hanya bila CD 20 + t. bila residif/ refrakter pada berbagai pengobatan S dalam waktu dekat !T setelah 1 atau 2 protokol yang tanpa antrasiklin W & S Wait and see

P/R

IF-RT W & S, chloorambucil, CVP,

R

>18

LNH folikular derajat 3

EORTC 20971SIF-RT +/- low dose TBI

RT

HOVON 48* (bila CR/PR setelah 8x CVP oral / bila tidak 90y - ibritumomab tiuxetan (Zevalin) HOVON 47: chloorambucil vs2x2 Gy lF-RT EORTC 20981/ HOVON 39.fl : R-CHOP vs CHOP, +l rituximab "maintenance" Lihat LNH difus

W & S, chloorambucil, CVP, fludarabine

W & S, chloorambucil, CVP, fludarabine, RT CVP, chloorambucil, fludarabine, RT, CHOP; p m non-myeloablative allo SCT-.

I.IMFIOMA NON-HODGKIN

1259

(IJ{II)

menengah dan tinggi

sumsum tulang atau dosis pemeliharaan dengan INF-ct setelah tercapai remisi dan sitoreduksi dengan kemoterapi yang mengandung kombinasi antrasiklin

LNH infermediate/high grade yang refrakter/ relaps:

Terapi induksi I : (R-Hyper VCAD) Rituximab 375 mg/m2IV hari I dan 8 Sikiofosfamid 300mg/m2IV setiap 12 jam hari I-3

menghasilkan "disease control" (cure) sekitar 30-4O7o pada pasien stadium lanjut LNH derajat keganasan

.

Vinkristin 2mg IV hari ke 4 dan 11 Doksorubisin 25 mglm2,infus selama 24 jam hari ke 4

pasien refrakter yang gagal mencapu complete respons

diberikan terapi salvage dengan RT jika area yang terkena tidak ekstensif. Terapi pilihan bila mungkin adalah kemoterapi salvage diikuti dengan transplantasi

.

. .

dan 5 Deksametason 40 mg fV atau PO, hari I-4 dan hari ke 11-

stem cell autologus/PBSCT Kemoterapi salvage terdiri dari high-dose sitosin arabi-

t4 Granulosit

nose, kortikosteroid dan cisplatin dengan atau tanpa etoposide. Pilihan lain ICE, MINE, dan yang lain seperti CEPP/B, EVA, miniBEAM, VAPEC B dan intus EPOCH. Kemoterapi dosis tinggi dengan RT diikuti PBSCT

IV

Allogenic BMT

MCL(Mantle Celllymphoma) agresif. Hyper CVAD alternating dengan metotreksat dosis tinggi plus sitarabin dosis tinggi. Rituximab ditambahkan untuk regimen ini. Pasien 60 tahun dengan serum kreatinin lebih dari 1,5mg/dl)

Premier/

Terapi dalam frial

Residif

1.5 x ULN) CHOP vs |-CHOP HOVON 26:

LNH sel B besar

P

HOVON 46. : (aa-lPl*. > Ll) CHOP - 14 +lrituximab HOVON 44. DHAP-VlM-DHAP +/- rituximab, diikuti SCT auto :

il-lv il-tv

B x CHVmP/BV

66

B

x CHVmP/BV

HOVON 44, lanpa rituximab p.m. non-myeloablatieve allo SCT DHAP, (CHOP), RT; P.m. nonmyeloablatieve allo SCT

6xCHVmp/BV+tF_RT

P

I

t- lv

LNH mantel sel

8 x CHVmP/BV

(LDH65 Mediastinal

t o r (G-C S F), 5 pglkg dimulaiharike 6 sampai neutropil

timul atin g fac

Terapi Induksi 2: (dimulai setelah pulih dari siklus 1) Rituximab 375mg/m2 iv infus hari 1 Metotreksat 200 mg/m'ziv bolus hari 1, diikuti 800mg/ m2 infus IV selam 24 jam; berikan larutan IV alkalin Leukovorin, 50mg PO diberikan 24 jam setelah infus metotreksat selesai diikuti l5mgPO setiap 6 jam total 8 dosis (dosis disesuaikan berdasarkan kadar serum

P/R

LNH sel B sel besar difus

-s

>4500/pL

autologus atau alogenik setelah dua atau empat siklus kemoterapi. Siklus regimen ini diulang setiap 2l hai. Protokol Leiden khususnya untuk stadium III dan IY mengikuti " European Intergroup Trial" membandingkan mieloablatif radiokemoterapi diikuti dengan transplantasi

wHo

Co

atau SC setiap hari,

P R

Lihat LNH sel B besar difus + IF-RT Lihat LNH sel B besar difus

P

HOVON 45-$: 3 x R-CHOP, HD-Ara-C + auto SCT HOVON 46-+ (lihat LNH sel B sel besar)

CHVmP/Bf + auto SCT; p.m. nyeloablatieve Pada usia muda 8 x CHVmP/BV*

8X

DHAP 'hanya apabila CD 20 + *. aa-lPl age-adjusted lPl =

$ dalam waktu dekat dibuka Y ingat criteria inklusi pada penelitian P35 ULN = upper limit of normal R-CHOP = CHOP + rituximab

1260

HEMIIiTOI.OGI

Ilmu Penyakit Dalam FKUI RSCM. Terapi Dalam Trial

Stadium LNH limfoblastik LNH Burkitt

I_ IV |

- tv

ALL-4 ALL 3-95

ALL.4 ALL 3-95

Childhood NonHodgkin's Lymphoma (PDQ@) National Cancer Institute

Coiffier B, Herbrecht R, Tilly H, Sebban C, et

a1. Gela Study Comparing CHOP and R-CHOP in elderly patients with DLCL:3year median foliow-up with an analysis according to comorbidity

factors.Presentation

Limfoblastik limfoma. Terapi sama dengan ALL (misal: protokol ALL-4 ). Pasien dengan prognosis jelek dipertimbangkan untuk transplantasi sumsum tulang awal atau regimen kemoterapi awal yang lebih intensif. Universitas Stanford mengusulkan regimen:

. . . .

Terapi induksi 1 bulan Profilaksis CNS I bulan Terapi konsolidasi 3 bulan Terapi maintenance 7 bulan.

Regimen . Siklofosfamid 400 mg/m2 PO untuk

. . . .

. .

3 hari pada minggu 1,4,9,12,15 danlS Doksorubisin 50mg/m2 iv pada minggt 1,4,9 ,12,15 darr 18

Vinkristin 2 mg IV mingg.tl,2,3,4,5,6,9,12,15,dan l8 Prednison 40 mglm2 setiap hari selama 6 minggu (tappering offi, dilatjtkan selama 5 hari pada minggu 9, 12,15,dan 18

Profilaksis CNS dengan radioterapi whole-brain (2400 cGy dalam 12 fraksi) dan metotreksat intratekal (12 mg setiap kali untuk 6 dosis) diberikan antara minggu 4 dan 9. L-asparaginase 6000 U/m2 (maximum 10.ffi0 U) untuk 5 dosis pada awal peberian profilaksis CNS.

Terapi maintenance terdiri dari metotreksat (30 mglm2 PO setiap minggu) dan 6-merkaptopurin (7 5 mg/m2PO setiap hari) dari minggu 23 sampai 52.

Difuse Small Cleaved CelllBurkitt's Limfoma.Terapi jenis ini sama dengan limfoma agresif (sel besar difuse) stadium lanjut ; mengunakan regimen kombinasi yang agresif. Pasien dengan limfomajenis ini mempunyai risiko 20-30 Vo selama perjalanan hidupnya untuk menyebar ke SSP; pemberian metotreksat intratekal (4- 6 kalD direkomendasikan untuk

semua pasien. Beberapa pusat kesehatan mempertimbangkan konsolidasi dengan transplantasi sumsum tulang.

REFERENSI

at the

39'h Annual Meeting of the jl May-3 June 2003,

American Society of ClinicaL Oncology,

Chicago, USA Complete Summary of GUIDELINE:The use of chemotherapy and growth factors in older patients with newly diagnosed, advancedstage, aggressive histology non-Hodgkins' lymphcima. 19982004 National Guideline Clearinghouse Cntczmar MS, Weaver R, Alkuzweny B, Berlfein J, Grillo-Lopez AJ. Prolonged Clinical and Molecular Remission in Patienls With Low-Grade or Follicular Non-Hodgkin's Lymphoma Treated With Rituximab Plus CHOP Chemotherapy: 9-year Follow-Up. Journal of Clinical Oncology. VoLume 22 NLtmber 23. December I 2004 Davis TA, Grillo-Lopez A, White CA, et.al. Rituximab Anti-CD20 Monoclonal Antibocy Therapy in Non-Hodgkins's Lymphoma: Safety and Efficacy of Re-Treatment. Jowrnal oJ Clinical Oncology, Vol l8 No. 17, 2000:pp 3135-43.

Emmanouillides C, Casciato DA. Hodgkin and non-Hodgkin lymphoma In Manual of clinical oncology, 5'h Ed Edited by Casciato DA. Lippincot Williams & Wilkins, 2004 : 435-56 Fisher RI, Mauch PM, Harris LN, Friedberg JW Non Hodgkins lymphomas.In Cancer priciples & practice of oncology 7'h Ed Edited by DeVita VT, Hellman S, Rosenberg SA. 2005 : 1957 93t Fisher RI, Gaynour ER, Dahlberg S et al. Comparison of standart regimen (CHOP) with three intensive chemotherapy regimen

for advanced NHL. N Engl J Med 1993;328: 1002-6. Forspointner R, Dreyling M, Repp R, et all. The summary: the addition of rituximab to a combination of fludarabine. cyclophosphamide, mitoxantrone (FCM) significantly increases the response rate and prolongs survival as compared to FCM alone in patienrs with relapsed and refractory follicular and mantle cell lymphomas - results from a prospective randomized study of the German Low Grade Lymphoma Study Group

(GLSG). Blood 2004; 104: 3064-7

1.

Ghiemilmini Michele, Schmitz Shu-Fang Hsu, Cogliatti Sergio B.et.al. Prolonged treatment with rituximab in patients with follicular

lymphoma significantly increases event-free survival and response duration compared with the standard weekly x 4 schedule. Blood, l1 June 2004.Volume 103, Number 12 Gordon LI. Non-Hodgkin lymphoma. Manual of clinical Hematology, 3'd Ed. Edited by Mazza lJ. Lippincot Williams & wilkins, 2002 : 318-33. Gutierrez Martin, Wilson WH. Non-Hodgkin lymphoma. In Bethesda handbook of clinical oncology. Edited by Abraham J, Allegra CJ. Lippincot williams & wilkins, 2001: 319-31. Hematologie klapper.Editor Ottolander GJ, Willemze R. Non-

Hodgkin lymphoma (NHL). Hematologie leids universitair Adult Non-Hodgkin's Lymphoma

Health Professional Version. National Cancer Institute.U.S. National In(PDQ@) Treatment-

stitutes of Healt Armitage J O, et al, Non Hogkin Lymphomas. Cancer, principai and practice of oncology. Editor: DeVita Vl Hellman S, Rosenberg SA. 2001;2256-303.

D. Aspek Selular dan Molekular Limfoma NonHodgkin.Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen

Atmakusuma

medisch centrum.Leiden,l999 :82-98 http://www.nci.nih.gov/ cancer: Adult Non-Hodgkin lymphoma 2004. Intemational Non-Hodgkin's Lymphoma Prognostic Factors Project A predictive model for aggressive non-Hodgkins lymphoma . N Engl J Med 1993;329 :987-94. Mclaughlin P, Grillo-Lopez AJ et. Al. Rituximab Chimeric Anti-CD

20 Monoclonal Antibody Therapy for Relapsed Indolent

t26t

LIMFOMA NON-HODGKIN CJ{H)

of Patients Respond to a Four-Dose Treatment Program. Journal of Clinical Oncology, Vol 16, No Lymphoma: Half

with IPI=0 and no bulky disease. Oral presentation at ASH 2004.

8,1998:pp2825-33 Mounier N, Brier J, Gisselbrecht C, et.al. Rituximab plus CHOP (RCHOP) overcomes bcl2-associated resistance to chemotherapy

Protokol Limfoma Non Hodgkin.Timja Kanker Darah dan KGB. Reksodiputro H, Cosphiadi I. Limfoma non-Hodgkin.Buku ajar Ilmu penyakit dalam .Jilid II.Ed 3.Balai penerbit FKUI,2001: 607-

in elderly patients with diffuse large B-cell lymphoma (DLBDCL).Blood, I June 2003. Volume l0l, number ll.

Rituximab plus chemotherapy: expanding first-line treatment

National Comprehensive Cancer Network, Clinical Practice Guidelines in Oncology-v.1.2004. Non-Hodgkin's Lymphoma Version1.2004. National Comprehensive Cancer Nenvork

Pathology and genetis tumours of haematopoeitic and lymphoid tissues. WHO classification of tumours, Edited by Jaffe ES, Haris NL, Steir H, Vardiman JW. 2001 Pettengell Ruth, Linch David. Position paper on the therapeutic use of rituximab in CD20-positive diffuse large B-cell non-

Hodgkin's lymphoma. British Journal of Haematology, 2003.12 I .44-48 M, et al. Frist Analysis of the completed MabThera@

Pfreundschuh

International (MInT) Trial in young patients with low risk diffuse large B-cell lymphoma (DLBCL): Addition of rituximab to a CHOPlike regimen significantly improves outcome of all patients with the identification of a very favorable subgroup

20 .

options in indolent non-Hodgkin's lymphoma. Highlight from Ash 2003. Roche Pharmaceuticals Rituximab for Aggressive Non-Hodgkin's Lymphoma. National Institute ;for Clinical Excellence. Technology Appraisal 65. September 2003

Robinson AS and Goldstone A. Clinical Use of Rituximab in Haematological Malignancies. Britisth Journal of Cancer (2003) 89, 1389-1394 Stein RS, John PG. Non Hodgkin lymphoma. In Hand book of cancer chemotherapy, 6'h Ed. Editor Skeel RT. Lippincot williams & wilkins, 2003: 503-23 The Use of Chemotherapy and Growth Factors in Older Patients with Newly Diagnosed, Advance-Stage, Aggressive Histology Non-Hodgkin's Lymphoma. Patience Guideline Report #6-7, June 25, 2003. Program in Evidence-Based Care - A Cancer Care Ontario Program.

200 PENYAKIT HODGKIN Rachmat Sumantri

PENDAHULUAN

sumsum tulang. Keluarga dari pasien Hodgkin (adik-kakak)

juga mempunyai risiko untuk terjadi penyakit Hodgkin. Penyakit Hodgkin termasuk dalam keganasan limforetikular

yaitu limfoma malignum,yang terbagi dalam limfoma malignum Hodgkin dan limfoma lalignum non Hodgkin. Kedua penyakit tersebut dibedakan secara histopatologis, di mana pada limfoma Hodgkin ditemukan sel Reed-

Terdapat pembesaran kelenjar getah bening yang tidak

Sternberg.

nyeri.

Penyakit ini dilaporkan pertama kali oleh Thomas Hodgkin pada tahun 1832,kemudian gambaran histopatologis dilaporkan oleh Langerhans tahun 1

S72,disusul oleh laporan terpisah dari Sternberg dan Reed

yang menggambarkan suatu sel raksasa yang kemudian diberi nama Sel Reed-Sternberg. Analisis PCR menunjukkan bahwa sel Reed Sternberg berasal dari folikel sel B yang mengalami gangguan sffuktur pada imunoglobulin,sel ini juga mengandung suatu faktor transkripsi inti sel (NFkB),kedua hal tersebut menyebabkan gangguan apoptosis.

EPIDEMIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO

Di Amerika Serikat krdapat 7500 kasus baru Penyakit Hodgkin setiap tahunnya,rasio kekerapan antara laki-laki dan perempuan adalah 1,3-I,4 berbanding 1. Terdapat distribusi umur bimodal,yaitu pada usia 15-34 tahun dan

RIWAYATPENYAKIT

Gejala sistemikyaitu demam (tipe Pel-Ebstein),berkeringat

malam hari,penurunan berat badan, lemah badan Can pruritus terutama pada jenis Nodular Sklerosis.Selain itu terdapat nyeri di daerah abdomen akibat splenomegali atau

pembesaran kelenjar yang masif, nyeri tulang akibat destruksi lokal atau infiltrasi sumsum tulang

GEJALA KLINIS

. . . .

Limfadenopati dengan konsistensi rubbery dan tidak nyeri Demam,tipePel-Ebstein Hepatosplenomegali

Neuropati

Tanda-tanda obstruksi seperti edema ekstrimitas, sindrom vena cava, kompresi medulla spinalis, disfungsi

hollow viscera.

usia di atas 55 tahun.

Faktor risiko untuk penyakit ini adalah infeksi virus;infeksi virus onkogenik diduga berperan dalam

PEMER!KSAAN PENUNJANG

menimbulkan lesi genetik,virus memperkenalkan gen asing

ke dalam sel target. Virus-virus tersebut adalah virus

Laboratorium

Epstein-Barr, Sitomegalovirus, HIV dan Human Herpes Virus-6 (HHV-6). Faktorrisiko lain adalah defisiensi imun, misalnya pada pasien transplantasi organ dengan pemberian obat imunosupresif atau pada pasien cangkok

Pemeriksaan darah: anemi, eosinofilia, peningkatan laju endap darah, padaflow cytometry dapat terdeteksi limfosit abnormal atau limfositosis dalam sirkulasi. Pada pemeriksaan faal hati terdapat gangguan faal hati

1262

1263

PEITYAKITHODGKIN

yang tidak sejalan dengan keterlibatan limfoma pada hati. Peningkatan alkali fosfatase dan adanya ikterus kolestatik dapat merupakan gejala paraneoplastik tanpa keterlibatan hati. Dapat terjadi obstruksi biliaris ekstrahepatik karena pembesaran kelenjar getah bening porta hepatis. Pemeriksaan faal ginjal: peningkatan kreatinin dan

ureum dapat diakibatkan obstruksi ureter. Adanya nefropati urat dan hiperkalsemi dapat memperberat fungsi ginjal. Sindroma nefrotik sebagai fenomena paraneoplastik

dapat terjadi pada limfoma Hodgkin. Hiperurikemi merupakan manifestasi peningkatan turn-over akibat limfoma. Hiperkalsemi dapat disebabkan sekunder karena produksi limfotoksin (osteoclast activating factor) oleh jaringan limfoma.Kadar LDH darah yang meningkat dapat menggambarkan massa tumor dan turn-over. Poliklonal hipergamaglobulinemi sering didapatkan pada limfoma Hodgkin dan Non Hodgkin.

Biopsi sumsum tulang

keterlibatan 1 organ eksfranodal

@)

atau keduanya (ItrSE).

III,

Dengan atau tanpa keterlibatan kelenjar getah bening splenik, hilar,seliak atau por1al.

III,

Dengan keterlibatan kelenjar getah bening paraaorta, iliaka dan mesenterika.

Stadium IV Keterlibatan difus/diseminata padal atau lebih organ ekstranodal atau jaringan dengan atau tanpa keterlibatan kelenjar getah bemng. Keterangan yang dicantumkan pada setiap stadium:

A B X E 6 B

Tanpagejala Demam (suhu >38"C), keringatmalam, penurunanberat badan >10 7o dalamwaktu 6 bulan sebelumnya) Bullq disectse (pembesaran mediastium >113, adanya massa kelenjar dengan diameter maksimal I 0 cm) Keterlibatan 1 organ ekstranodal yang contiguous atau proksimal terhadap regio kelenjar getak bening

Clinical stage P atho lo g ic

s

(misalnya ditentukan pada laparotomi)

ta g e

Dilakukan pada stadium lanjut untuk keperluan staging, keterlibatan sumsum tulang pada limfoma Hodgkin sulit didiagnosis dengan aspirasi sumsum tulang. Limfoma non Hodgkin

Karakteristik

Radiologis Pemeriksaan foto torak untuk melihat limfodenopati hilar dan mediastinal, efusi pleura atau lesi parenkim paru. Obstruksi aliran limfotik mediastinal dapat menyebabkan

l=i.mr?Y.a

Intemediatl

llocrgx,n

Low -oracte

Nodal

Ekstranodal (10%)

Ekstranodal

Distribusi nodal

Sentripetal

Sentrifugal

Sentrifugal

Penyebaran

Contiguous

Tempat asal

efusi chylous (seperti susu). USG abdomen kurang sensitif dalam mendiagnosis adanya limfodenopati. PemeriksaatCT Scan torak untuk mendeteksi abnormalitas parenkim paru dan mediastinal

n,gn graoe (35%)

(aksial)

Noncontiguous

Noncontiguous

nodal

Keterlibatan susunan saraf pusat Keterlibatan hepar Keterlibatan sumsum tulang Keterlibatan sumsum tulang mempengaruhi

sedangkan CT Scan abdomen memberi jawaban limfodenopati retro peritoneal, mesenterik, portal, hepatosplenomegali atau lesi di ginjal.

PENTAHAPAN (STAGT JG)

Jarang

(.1

ok)

Jarang

Jarang

(.

1%)

Sering

Jarang ( s0 %)

Jarang (< 1o%)

Sering (>50 %)

Jarang (< 20 ok\

Ya

Tidak

ya

buruknya prognosrs

Penentuan staging sangat penting untuk terapi dan menilai prognosis. Staging dilakukan menurut Cotswolds (1990)

Sembuh dengan kemoterapi

yang merupakan modifikasi dari klasifikasi Ann Arbor (1971).

Stadium I keterlibatan satu regio kelenjar getah bening atau struktur jaringan limfoid (limpa, timus, cincin Waldeyer) atau keterlibatan 1 organ ekstralimfatik. Stadium II Keterlibatan >2 regio kelenjar getah bening pada sisi diafragma yang sama (kelenjar hilus bila terkena pada kedua sisi termasuk stadium II); keterlibatan lokal 1 organ ekstranodal atau 1 tempat dan kelenjar getah bening pada sisi diafragma yang sama (IIE). Jumlah regio anatomik yang

terlibat ditulis dengan angka (contoh :IIr). Stadium III Keterlibatan regio kelenjar getah bening pada kedua sisi diafragma (III), dapat disertai lien (IIIs), atau

KLASIFIKASI LIMFOMA HODGKIN Biopsi kelenjar secara eksisi biasanya memberi hasil gambaran histopatologis lebih jelas dari biopsi cucukjarum

(Fine Needle Biopsy);

Klasifikasi Rye:

' . . .

Lymphocyte Predominant

Nodular sclerosis Mixed cellularity Lymphocyte depletion

1264

Jackson and Parker

HEMANOLOGI

Lukes and Butler

WHO classification

REAL classification

Rye Conference

-

Paragranuloma

Lymphocytic or histiocytic, nodular Lymphocytic or histiocytic, diffuse

Lymphocytepredominant

Nodular lymphocyte-predominant classic HD Lymphocyte -rich classic HD

Lymphocyte predominant,nodular HD Lymphocyte-rich classic HD

Granuloma

Nodular sclerosis Mixed cellurarity

Nodular sclerosis Mixed cellularity

Nodular sclerosis Mixed cellularity

Nodular sclerosis Mixed cellularity

Sarcoma

Diffuse fibrosis Reticular

Lymphocyte-depleted

Lymphocyte-depleted

Lymphocyte -depleted Unclassifiable classic HD

KlasifikasiWHO:

imunotoksin anti CD 25, bispesifik monoklonal antibodi

. Nodular lymphocyte

predominance Hodgkin Lymphoma (Nodular LPHL):Saat ini dikenal sebagai

CD 16/CD 30 bispesifik antibodi dan

radio

immunoconjugates.

indolent B-cell Non Hodgkin Lymphoma dan bukan true Hodgkin Disease. Tipe ini mempunyai sel limfosit

.

dan histiosit, CD 20 positif tetapi tidak memberikan

PENYAKIT HODGKIN DAN KEHAMILAN

gambaran sel Reed-Stenberg. Classic Hodgkin Limphoma: Lymphocyte rich, Nodular sclerosis, Mixed cellurarity, Lymphocyte depleted.

Penyakit Hodgkin dapat dijumpai pada kehamilan, beberapa hal penting yang perlu diketahui: . Tidak ada transmisi penyakit Hodgkin ke bayi

.

Bila memerlukan radiasi sebaiknya ditunda sampai

.

melahirkan kecl.lal:. pada" Bullcy Disease" dan dibenkan dengan pelindung. Bila diperlukan radiasi pada semester pertama dapat dipertimbangkan abortus terapeutik. Malformasi fetus terjadi pada 157o kasus bila kemoterapi diberikan pada

TERAPI Pengobatan limfoma Hodgkin adalah radioterapi ditambah kemoterapi, tergantung dari staging (Clinical s/age = CS) dan faktor risiko.

Radioterapi meliputi Extended Field Radiotherapy (EFRT), Inyolved Field Radiotherapy (IFRT) dan radioterapi (RT) pada Limfoma Residual ata:u Bulky

semester pertama, tidak terjadi pada semester

.

berikutnya.

Hindarkan kemoterapi dalam 3 minggu sebelum melahirkan untuk menghindari netropeni pada bayi.

Disease.

Faktor risiko untuk terapi menurut German Hodgkin's Lymphoma Study Group (GHSG) meliputi: . Massa mediastinal yang besar . Ekstranodal . Peningkatan laju endap darah, > 50 untuk tanpa gejala atau > 30 untuk dengan gejala (B) . Tiga atau lebih regio yang terkena

Menurut EORTC/GEL A (European Organization

for

Research and Treatment of Carcinoma/Groupe d'Etude des Lymphomes de I'Adulte) faktor risiko yaitu: . Massa mediastinal yang besar . Usia 50 tahun atau lebih . Peningkatan laju endap darah

.

4 regio atau lebih

Dalam guideline yang dikeluarkan oleh National Comprehensive Cancer Network (2004) kemoterapi yang direkomendasikan adalah ABVD dan Stanford V sebagai kemoterapi terpilih. Terapi lain Penyakit Hodgkin yang masih diteliti adalah: Imunoterapi dengan antibodi monoklonal anti CD 20,

Kelompok

Stadium

dini CS l-llA /B tanpa (favorable) faktor risiko

Stadium

dini

69

lanjut

CS llB +RF;CS

Stadium (unfavorable) Stadium

1-11

PriS + RF

ilttuB CS IV A/B

Rekomendasi EFRT (30-36 Gy) atau 4-6 siklus kemoterapi + IFRT 20-36 cy 4-6 siklus kemoterapi + IFRT 20-36 Gy 6-8 siklus kemoterapi + RT 20-36 cy pada limfoma residual dan bulky disease

PROGNOSIS Ada tujuh faktor risiko independen untuk memprediksi masa bebas progresi penyakit FFP. (Freedom From Progression), yaitu : 1). Jenis Kelamin, 2). Usia >45 tahun; 3). StadiumIV;4). Hb 15000/mm3; 6). Limfosit 100.000/mm3 dan neutrofil > 1000/mm3 untuk konfirmasi respons komplit. Selama pemberian asparaginase harus dipenksa kadar fibrinogen. Bila fibrinogen < I 00 mgl dL bet'rkan fre s h

Modifikasi Dosis:

. .

Mnkristin 1 mgbilabilirubh>2mg%o Doksorubisin: dosis diturunkan 25To,bilabilirubin 2-3 mgVo , 50Vob11a

. .

bilirubin 3 -4 mg%o , 7 5Vo bila bilirubin >4

mg%o

Metotreksat: dosis diturunkan: 25Tobllakreatinin 1,5-2 mg%, 5 07o blla W e atinin >2 mgTo HIDAC 1 gram/m?: bila: - Usia >60 tahun - Kreatinin >2mg7o - Kadarmetotreksat >20 mmoL/L

PROGNOSIS Kebanyakan pasien LLA dewasa dapat mencapai remisi

tapi tidak sembuh dengan kemoterapi saja, dan hanya 307o yang bertahan hidup lama. Kebanyakan pasien yang sembuh dengan kemoterapi adalah usia 15-20 tahun dengan faktor prognostik baik lainnya. Harapan sembuh untuk pasien LLA dewasa lainnya tergantung dari terapi yang lebih intensif dengan transplantasi sumsum tulang. Overall disease-free survival rate untuk LLA dewasa kira-kira 30%. Pasien usia >60 tahun mempunyai disease-free survival rate llVo setelah remisi komplit.

Faktor prognostik TabelT.

LLA

dewasa dapat dilihat pada

t272

HEMISIOI.OGI

Obat A. Kemoterapi dosis intensif Hyper - CVAD (siklus 1, 3, 5, 7) Siklofosfamid

1

Mesna

300 mg/m'z lV 3 jam tiap 12 jam (6 dosis) 300 mg/m'z lV kontinu sampai 6 jam setelah dosis siklofosfamid terakhir 2mg lV 50 mg/m2 lV

Vinkristin Doksorubisin Deksametason

4-11 4

1-4,11-14

40 mg / hari

MetotreksaVsitosin arabinoside dosis tinggi (MTX / HIDAC) (siklus 2, 4, 6, 200 mg/m'z lV 2 jam Metotreksat 800 mg/m' lV 24 jam '15 mg setiap 6 jam (B dosis) Lekovorin mulai 24 jam setelah selesai metotreksat 3 gram/m2 lV 2 jam, tiap Ara-C jam (4 dosis) 50 mg lV, 2kali lhari

2.

-3 1-3 '1

12

Metilprednisolon

B) 1

2,3

1-3

3. Profilaksis SSP

Metotreksat Ara-C

12 mg intratekal (lT)

100m9

Tinggi 16 lT Rendah 4 fi Tidak diketahui I lT

Penderita dengan risiko

4

2

I

:

Profilaksis antibiotik Siprofloksasin atau Levofloksasin Flukonazol Asiklovir atau Valasiklovir

500 mg/hari PO 500 mg/hari PO

200 mg/hari PO

2x200mglhari

PO

500 mg/hari PO

B. Terapi Pemeliharaan

Kromosom Philadelphia

)

(+)

)

transplantasi sumsum tulang alogenik atau

IFN +

ara-C selama2tahun

tanpa terapi pemeliharaan Mature B - cell ALL terapi POMP selama 2 tahun Sub tipe lain 1. POMP (Oral 6 merkaptopurine (6 MP), vinkristin, metotreksat, prednison)

)

6MP

3x50mg PO/hari

Metotreksat Vinkristin Prednison

200mg/hari

20 mglm' PO / minggu 2 mg lV / bulan

-

5x/bulan

(bersama vinkristin)

2

Profilaksis antibiotik (selama 6 bulan pertama)

Trimetoprim-sulfametoksazol 2xlhari Asiklovir

atau

Valasiklovir

200 mg PO 500 mg PO

Pada akhir minggu 3 hari / minggu 3 hari / minggu

1273

LEUKEMIA LIMFIOBI.ASITIK AKUT

Dosis

Obat lnduksi

1lv 6lv 6 5lv 1tv

Vinkristin Siklofosfamid Prednison

Daunorubisin atau Zorubisin Metotreksat

12

1

1,8

1-21

tv/Po

1-3 1-3

I,8,

mg lT

Salvage (hari ke 28) Amsacrine Sitosin arabinosid

,8, 15,22

15,22

120 mg/m2 lV

1-3

500mg/m2 (12jam) lV

'1

-3

Konsolidasi (3 siklus tiap 4 minggu)

Daunorubisin atau Zorubisin Sitosin arabincsid Asparaginase

60 mg/m'.lV '120 mg/m' lV

1 1

60 mg/m'z S-C / lM 1000 lU / m' lV / lM

1

B-12

Konsolidasi sebelum transplantasi sumsum tulang alogenik (1 siklus) 60 mg/m'? lV Siklofosfamid 'I Vinkristin ,5 mg/m'z lV 60 mg/m2 lV atau Po Prednison

P

n Terapi A (siklus '1. 3. 5 dan isin

atau

B

1

1-5

1-8

60 mq/m' PO '1,5 mg/m2 lV 60 mg/m'z lV 120 mglm2 lv 60 mq/m' PO 15 mg/m2 Po 1000 6 / m'z lV

at Doktinomisin Terapi

7)

1

1,8 15 15

28-54 35,42,49,56 64

(siklus 2, 4, 6, 8)

Prednison

1-8

Vinkristin

1,8 15

Siklofosfamid Karmustin

'15

28-54

6MP

35,42,49,56

Metotreksat

64

1000 6 / m'z lV

Daktinomisin

Karakteristik pasien

Faktor

prognostik

Usia (tahun) Praterapi

Siklofosfamid Prednison Blok A

lV ^

Vinkristin

2mg

l\4etotreksat

1500 mq/m' i^fus24 800 mg/m2 infus 1 100 mg/m2 infus 1 150 mg/m' infus 1

lfosfamid VMr6 (Ien,poslde) Sitosin arabinosde

jam jam jam jam,

1

'1, diikuti lekovorin 1

4 4

tiap 12 jam

Deksametason

Metotreksat Ara-C

Deksametason

Blok

B (setelah istirahat

n'l Metotreksat

Ara-C

Deksametason

- 5' -5 -5

10 mg/m'z PO 15 mg lT 40 mg lT 4 mg lT

1-5

16 hari) 2

1

1 2 2

15

mg

lus24iam

1, diikuti

15 menit)

4,5

1-5

-5

Profilaksis SSP : radiasi kranial24 Gy setelah terapi Blok B Terapi pada CNS involvement: radiasi kranial dan neuroaksis Metotreksat, Ara - C, deksametason lT

Jumlah lekosit (x106/ml) < 30.000 > 30.000 (> 100.000 untuk sel T) lmmunophenotype T-cell ALL Mature B-cell ALL, early T-cell ALL Sitogenetika Kelai nan 12p; t(1 0;1 4)G2a;q1 1 ) Normal; hiperdiploid t(9;22), t(4 ;1 1), t( 1 ; 1 9), hipodiploid, -7,+8

1-5

lT

40 mg lT 4 mg lT

30

1-5 1-5

200 mg/m2 lV 60 mg/m'z PO

lekovorin

Respons terapi Remisi komplit dalam 4 minggu Minimal residual dlsease persisten

Baik

Buruk Baik Buruk Baik Buruk Baik Sedang Buruk Baik Buruk

1274

HEMATIOI.OGI

Obat

Dosis

Fase I : lnduksi (4 minggu) Siklofosfamid . Daunorubisin * Vinkristin Prednison " L - asparaginase (E - coli)

lV lV 1,2,3 mg lV 1, B, 15,22 tV 1 - 21 6000tu/m'zsc/tM 5,8, 11, 15, 18,

1200 mg/m'z 45 mg/m' 2 60 mg/m2 PO /

1

22 Fase ll A:lntensifikasi dini (4 minggu, ulang lagi 1 kali untukfase ll B) Metotreksat 15 mg 1000 mg/m'z lV 6 60 mg/m'z PO -14 75 mg/m'z SC -4,8-11 2 mg lV 15,22 L - asparaginase (E 6000 lU /m'z SC / lM 15, 18,22,25

intratekal Siklofosfamid MP Sitarabin Vinkristin coli) lll : Profilaksis SSP Radiasi Metotreksat

Fase

dan pemeliharaan (12 minggu)

kranial intratekal

MP Metotreksat Fase lV : lntensifikasi lanjut (B 6

1-12 1 - 8, 15 -22,29 1-70

2400 cGy 15 mg

60 mg/m'z PO 20 mg/m'z PO

36, 43, 50, 57, 64

minggu)

Doksorubisin Vinkristin Deksametason Siklofosfamid 6 - Tioguanin Sitarabin

1,8,15

30 mg/m'z lV 2 mg lV

1, 8, 15

1-14

10 mg/m2 PO 10OO mg/m'? lV

29

60 mg/m2 PO 75 mg/m' SC

29-42 29-32,36-39

Fase V : Pemeliharaan jangka panjang (sampai 24 bulan setelah diagnosis) 'l Vinkristin 2mg lV ,tiap4minggu Prednison 60 mg/m2 PO

1-5,tiap4

mrnggu

6MP

:':

1-28

60 mg/m'z Po 20 mg/m'z Po

Metotreksat

1

,8, 15,22

untuk penderita > 60 tahun 800 mg/m2, hari 1 30 mg/m', hari 1,2,3 60 mg/m2, hari 1 G - CSF 5 pg/kg SC / hari diberikan pada hari ke 4 sampai netrofil > 1000/mm3 pada 2 kali pemeriksaan dengan jarak > 24 jam. Keterangan

:

Siklofosfamid Daunorubisin

Prednison

REFERENSI Baxter Oncology. Selected schedules of therapy for malignant tumours Part 1: Haematologic Malignancies, lO'h ed; 2001. Cao TM, Coutre SE. Acute lymphoblastic leukemia in adults. In: Greer JP Foerster J, Lukens JN, Rodgers GM, Paraskevas F, Glader

B, editors. Wintrobe's Clinical Hematology. 11th edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wi,lkins; 2004. p 2071-96. Charrin C. Cytogenetic abnormalities in adult acute lymphoblastic leukemia: correlations with hematologic findings and outcome.

A collaborative study of the Groupe Francais de Cytogenetique Hematologigue. Blood. 1996;87 :3135-42. In: Schmaier AH. Petruzzelli LM, editors. Hematology for the medical student. Philadelphia: Lippincott Wiliams & Wilkins; 2003. p. 173-84. Freedman AS, Nadler LM. Malignancies of lymphoid cells. In: Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, et al, editors. Harrison's Principles of Intemal Medicine. 14th edition. New York: Mc GrawHill; 1998. p. 695-712. Erba HP Acute leukemia.

-7

Garcia-Manero G, Kantarjian HM. The Hyper-CVAD regimen in adult acute lymphocytic leukemia. In: Kantarjian HM, Hoelzer D, Larson RA, editors. Hematology/oncology clinics of North

America. Advances in the treatment of adult

acute

lymphocytic leukemia, Part I. Philadelphia: W.B. Saunders Company. 2000. p. 1381-96. Hallbook H, Simonsson B, Bjorklolm M, et al. High dose ara-c as upfront therapy for adult patients with acute lymphoblastic leukemia (ALL). B1ood. 79991,94:1327 a. Hoelzer D, Gokbuge N, Ottmann O, et a1. Acute lymphoblastic leukemia. Hematology. 2002: 162-92. Howard MR, Hamilton PJ. Haematology: An illustrated colour text. Second edition. Edinburgh: Churchill Livingstone; 2002. Larson RA, Dodge RK, Linker CA, et al. A randomized controlled

trial of filgrastim during remission induction consolidation chemotherapy for adults with acute lymphoblastic leukemia: CALGB study 9111. Blood. 1998;92:1556-64. Larson RA, Dodge RK, Burns CP, et al. A five-drug remission induction regimen with intensive consolidation for adults with

t275

LEUIGMIA LIMF1OBIASTIK AKUT

acute lymphoblastic leukemia: cancer and leukemia group B study 8811. Blood. 1995;85:2025-37. Larson RA. Recent Clinical trials in acute lymphocytic leukemia by the cancer and leukemia Group B. In: Kantarjian HM, Hoelzer D, Larson RA, editors. Hematology/oncology clinics of North America. Advances in the treatment of adult acute lymphocytic leukemia, Part I. Philadelphia: W.B. Saunders Company. 2000. p. 1367-79. Mandelli F, Annino L, Rotoli B. The GIMEMA ALL 0183 trial: analysis of l0-year follow-up. GIMEMA Cooperative Group, Italy. Br J Haemotol. 7996;92: 665-12. Supandiman I, Sumantri R, Fadjari H, Irani P, Oehadian A. Pedoman diagnosis dan terapi hematologi onkologi medik. Bandung: Q-

Communication;2003.

Treatment statement for Health professionals. Adult acute lymphoblastic leukemia. Available from:URL:http ://www.meb. unibonn.de/cancer. gov/CDR0000062864.html Thiebaut A, Vernant JP, Degos L, et al. Adult acute lymphocytic leukemia study testing chemotherapy and autologous and allogeneic transplantation: A follow-up report of the French Protocol LALA 87. In: Kantarjian HM, Hoelzer D, Larson RA, editors. Hematology/oncology clinics of North America. Advances in the treatment of adult acute lymphocytic leukemia, Part I. Philadelphia: W.B. Saunders Company. 2000. p. 135366.

Wetzler M, Dodge RK, Mrozek K, et al. Prospective karyotype

in adult acute lymphoblastic leukemia: The cancer and leukemia group B experience. Blood. 1999;93: 3983-93. analysis

202 LEUKEMIA LIMFOSITIK KRONIK Linda W.A. Rotty

DEFINISI

menunjukkan keterlibatan gen bcl-1 dan bcl-2 pada5-15Vo pasien sedangkan gen bcl-3 hanya kadang-kadang terlibat.

Leukemia limfositik kronik (LLK) adalah suatu keganasan

Protoonkogen lcr dan c-fgr, yang mengkode protein kinase tirosin diekspresikan pada limfosit yang terkena LLK tetapi tidak pada sel B mumi yang normal. Saat ini

hematologik yang ditandai oleh proliferasi klonal dan penumpukan limfosit B neoplastik dalam darah, sumsum tulang, limfonodi, limpa, hati dan organ-organ lain. LLK

LLK didapatkan delesi homozigot dari regio genom telomerik gen retinoblastoma tipe-1 dl3s25. Hal ini pasien

ini masuk dalam kelainan limfoproliferatif. Tanda-tandanya meliputi limfositosis, limfadenopati dan splenomegali. Kebanyakan LLK (95Eo) adalah neoplasma sel B, sisanya

menunjukkan bahwa gen supresor tumor baru terlibat dalam

LLK

neoplasma sel T.

Sel B darah tepi normal adalah subpopulasi limfosit B CD5+ matur (sama dengan Sel B-1a) yang terdapat pada zona mantel limfonodi dan dalam jumlah kecil di darah. Sel

B LLK mengekspresikan imunoglobulin membran

EPIDEMIOLOGI Usia rerata pasien saat diagnosis 65 tahun, hanya l}-l5Vo kurang dari 50 tahun. Angka kejadian di negara Barat3l 100.000. Pada populasi geriatri, insidens di atas usia 70 tahun sekitar 50/ I 00. 000. Risiko terj adinya LLK meningkat seiring usia. Perbandingan risiko relatif pada pria tua adalah 2,8: I perempuan tua. Kebanyakan pasien memiliki ras Kaukasia dan berpendapatan menbngah. Perjalanan penyakit bervariasi. Kondisi penyakit sel B dapat diramal kelangsungan hidupnya antara lebih dari 10 tahun sampai kurang dari 19 bulan, dan 9 tahun untuk seluruh populasi pasien LLK. Beberapa pasien dengan

LLK mempunyai

masa hidup normal dan yang lain

meninggal dalam waktu 5 tahun setelah diagnosis. Beberapa tahun terakhir kemajuan penting dicapai dalam pemahaman biologi, perjalanan alami dan pengobatan.

PENYEBAB

permukaan yang umumnya rendah kadarnya, kebanyakan IgM, IgD dibandingkan sel B darah tepi normal, dan single light chain (kappa dan lambda). Juga mengekspresi antigen sel T CD5, antigen HLA-DR dan antigen sel B (CD19 dan CD20) mempunyai reseptor untuk sel darah merah tikus, dan menghasilkan autoantibodi polireaktif. Ekspresi gen VH dan VL terbatas pada sel-sel tersebut. Berdasarkan karakteristik tersebut, LLK kemungkinan merupakan akibat dari suatu proses bertahap, dimulai dengan ekspansi poliklonal yang ditimbulkan oleh antigen terhadap limfosit B CD5+ yang di bawah pengaruh agen mutasi pada

akhimya ditransformasi menjadi proliferasi monoklonal. Limfosit B CD5+ neoplastik menumpuk akibat hambatan apoptosis (kematian sel terprogram). Meskipun genbcl-2

jarang mengalami translokasi, tetapi terus menerus diekspresikan secara berlebihan, yang mengakibatkan bertambah panjangnya kelangsungan hidup sel LLK. Selain itu sitokin terlibat dalam pengaturan pertumbuhan dan diferensiasi sel-sel tersebut. Pada LLK, TNF alfa dan IL-10 berperan sebagai growthfactor. Dalam perjalanan

masih belum diketahui. Kemungkinan yang berperan adalah abnormalitas kromosom, onkogen dan

penyakit ekspresi berlebihan CD38, onko gen c-myc, delesi gen RB-1, dan mutasi gen supresor tumor p53 juga terjadi.

retrovirus (RNA tumour virus) Penelitian awal

Sekitar 507o pasien LLK mempunyai abnormalitas

Penyebab

LLK

t276

1277

LEUKEMIA LIMF1OSITIK KRONIK

sitogenik, khususnya trisomi 12, kelainan kromosom 13 pada lajur q14 ( lokasi gen supresor RB-1), 14q+, delesi kromosom 6 dan delesi kromosom 1 1. Hal ini baik dideteksi melalui fluoresensi in situ, hibridisasi dibandingkan analisis

limfosit). Infiltrasi limfosit ke sumsum tulang bervariasi

sitogenik konvensional. Belum jelas makna kelainan

infiltrasi limfosit ke sumsum tulang belum berarti pasti LLK. LLK dapat didiagnosis jika ditemukan peningkatan absolut limfosit di dalam darah (>5000/uL) dan morfologi serta imunofenotipnya menunjukkan gambaran khas.

tersebut pada tingkat molekular. Kelainan kariotipik bertambah pada LLK stadium lanjut

dan menunjukkan abnormalitas yang didapat. Evolusi kariotipik umumnya berhubungan dengan perjalanan penyakit, terjadi pada 15-40% pasien LLK.

DIAGNOSIS

Manifestasi Klinis Pada awal diagnosis, kebanyakan pasien LLK tidak menunjukkan gejala (asimptomatik). Pada pasien dengan gejala, paling sering ditemukan limfadenopati generalisata, penurunan berat badan dan kelelahan. Gejala lain meliputi hilangnya nafsu makan dan penurunan kemampuan latihan/olahraga. Demam, keringat malam dan infeksi jarang

terjadi pada awalnya, tetapi semakin menyolok sejalan dengan perjalanan penyakitnya. Akibat penumpukan sel B neoplastik, pasien yang asimptomatik pada saat

dalam 4 gambaran yaitu interstisial(337o), nodular (10%), campuran interstisial dan nodular (25Vo) serta infiltrasi difus (25Vo). Meskipun telah didapatkan limfositosis dan

Klasifikasi France-America-British fAB) membagi tiga tipe morfologi berdasarkan perbandingan limfosit atipikal di dalam darah, yaitu: . LLK tipikal terdiri dari lebih 907o limfosit kecil

. .

LLK tipe prolimfositik

LLK atipikal

20-307o pasien tidak menunjukkan kelainan fisik. Kelainan

fisik yang sering dijumpai adalah limfadenopati. Sekitar 50Vo pasien mengalami limfadenopati datlatal hepatosplenomegali. Pembesaran limfonodi dapat terlokalisir atau merata dan bervariasi dalam ukuran. Splenomegali dan/atau hepatomegali ditemukan pada 2550% kasus. Infiltrasi pada kulit, kelopak mata, jantung, pleura, paru dan saluran cerna umumnya jarang dan timbul pada akhir perjalanan penyakit. Sejalan dengan perjalanan

prolimfositikll-54%o)

yang heterogen tetapi proporsi prolimfosit kurang dari IjVo.

Kriteria ini tidak selalu menetap. Pada kasus LLK atipikal, gangguan limfoproliferatif lainnya harus dipertimbangkan dulu sebelum membuat diagnosis LLK atipikal; oleh karena itu analisis imunofenotip sel B neoplastik, data sitogenetik dan molekular dapat bermanfaat.

diagnosis pada akhirnya akan mengalami limfadenopati, splenomegali dan hepatomegali.

Pemeriksaan Fisis

(sel

yang ditandai dengan morfologi sel limfosit

Risiko rendah Jenis kelamin Stadium Klinik

Wanita

Pria

Binet A

Binet B / C RAt il, ilt, tv

RAt O, Morfologi limfosit Gambaran dari infiltrasi sumsum tulang Waktu penggandaan limfosit Penanda serum Ekspresi CD 38 Abnormalitas gen

Risiko Tinggi

I

Tipikal Non diffuse

> 12 bulan Normal < 20

Atipikal Diffuse < 12 bulan Meningkat > 20 -30% Delesi 1 1q23 Loss/ mutation

- 30o/o

Tidak ada

p

53

Status gen lgVH

Mutasi

Mutasi (-)

penyakit, limfadenopati masif dapat menimbulkan obstruksi lumen termasuk ikterus obstruktif, disfagia uropati obstruktif, edema ekstremitas bawah, dan obstruksi

usus parsial. Timbulnya efusi pleura atau asires

STADIUM

berhubungan dengan prognosis yang buruk.

KRITERIA DIAGNOSIS

Stadium

Gejala klinis dan

laboratorium

Median

survival (bulan)

Tanda patognomonik LLK adalah peningkatan jumlah lekosit dengan limfositosis kecil sekitar 95Vo. IJntuk menegakkan diagnosis sebaiknya dilakukan pemeriksaan

o

gambaran darah tepi secarahati-hati dan cermat. Gambaran

il

darah tepi tampak limfositosis dengan gambaran limfosit kecil matur dan smudge cell yang dominan; imunofenotip khas limfosit (CD5+, CD19+, CD20+, CD23+,FMC7-/+, DAN CD22-l+); dan infiltrasi limfosit ke sumsum tulan g (>30Vo

IV

Limfositosis darah tepi dan

sumsum

> 150

tulang I

ilt

Limfositosis + Pembesaran Limfonodi Limfositosis + Splenomegali / Hepatomegali Limfositosis + anemia (Hb < 11 gr/dl) Limfositosis + trombositopenia (trombosit < 1 00.000/uL)

101

>71 19 19

1278

Stadium

HEMIIilOI.OGI

Gejala klinis dan

laboratorium

Median

survival (bulan)

Limfositosis darah tepi dan sumsum

>7

tulang + < 3 daerah limfoid yang membesar Limfositosis darah tepi dan sumsum tulang + > 3 daerah limfoid yang mebesar Stadium B + anemia (Hb < 11 g/dl pd pria dan < 10 gr/dl pada perempuan atau trombositopenia (5 cm dan status ECOG yang buruk (> 2) mempunyai respon terhadap alentuzumab yang rendah secara bermakna. Pengobatan dengan antibodi ini dapat menimbulkan eksaserbasi neutropenia yang telah ada sebelumnya dan berhubungan baik dengan infeksi bakterial maupun oportunistik.

Autologous transplantation. Terdapat sejumlah laporan penelitian tentang autotransplantasi pada LLK. Sekitar 40 pasien telah dilaporkan, dan semuanya mempunyai penyakit yang lanjut sebelum transplantasi, serta semua menerima siklofosfamid dan iradiasi total

tubuh sebagai regimen. Sekitar separuh pasien transplantasi sumsum tulang disterilkan dengan antibodi monoklonal terhadap sel B (CD19, CD20, CD10 dan CD5). Namun/ollow uplya terlalu singkat untuk ditarik suatu kesimpulan.

Meskipun hasilnya menjanjikan, transplantasi sebaiknya masih dipertimbangkan sebagai terapi eksperimental. Infeksi oportunistik (toksoplasmosis) merupakan hal yang perlu diperhatikan. Transplantasi, sebaiknya dipertimbangkan pada pasien muda dengan risiko tinggi LLK.

TRAN SP LANTASI

H

EMATO POI ETIC

PROGENITORS BIOTERAPI

Allogeneic Transplantqtion. Data pada

seri

alotransplantasi, melibatkan 54 pasien, telah dikumpulkan

oleh European and International Bone Marrow Transplant Registries. Usia rerata pasien transplantasi 4l tahun, dengan kisaran 21-57 tahun. Sebelum transplantasi sebagian besar pasien mendapatkan siklofosfamjd dan

iradiasi total tubuh demikian pula siklosporin dan metotreksat dipakai sebagai preparat mencegah graftversus host disease. Dari 54 pasien, 38 (1)Vo) mengalami remisi dan 24 (447a) hidup dengan usia median 2J tahtn

(kisaran 5-80 tahun) setelah transplantasi. Probabilitas kelangsungan hidup 3 tahun adalah 467o (95Vo CI,32-607o). Lima pasien (97o) meninggal akibat leukemia progresif, dan 25 (467o) pasien mengalami komplikasi pengobatan. Hasil

akhir didapatkan lebih baik pada pasien dengan penyakit stabil yang respons terhadap terapi dibandingkan yang progresif. Relaps kadang terjadi selambat-lambatnya 4 tahun setelah transplantasi.

Kriteria

CR

Gejala Limfonodi

Tidak ada Tidak membesar

Hepar / Limpa Hb

Tidak teraba > 1'1 gr/dl

Netrofil

> 1,5 x 10s/L

Limfosit Trombosit

< 4,0 x 1Oe/L > 100 x 1Os/L

Aspirasi

50% Mengecil > 50% > 'l'l gridl atau membaik > 50% > 1,5 x 1Oe/L atau meningkat > 50% Menurun > 50% > 100 x 10s/L atau Meningkat > 50%

PD Membesar > 50% atau nodus baru Membesar > 50%

l\,4eningkat > 50%

SUMSUM

tulang Biopsi sumsum tulang

Tidak ada infiltrasi interstisial atau nodul

Residu lymphoid nodul

Keterangan: CR= complete respons (remisi lengkap), P R= p a fii a I respons (remisi parsial), p!=psrslsfent dlsease (penyakit menetap ?)

1282

HEMIIfiOI.OGI

REFERENSI Bynd J.C, Stilgenbauer S, Flinn IW. Chronic lymphocytic leukemia. Hematology 2004:163-83. Chiorazzi N, Kanti R, Ferrarini M. Chronic lymphocytic leukemia. N Eng J Med 2005;352(8):804-15. Chronic Lymphocytic Leukemia Trialist's Collaboration Group. Chemotherapeutic options in CLL : a meta-analysis of the

randomized trials. Journal

of National Cancer Institute

1999;91(10):861-8. Dyer Martin J.S . Risk stratification in the treatment of chronic lymphocytic leukemia Business briefing : North American Pharmacotherapy 2004;2: I -4.

Erlich RB, Ghayee HK, Noga SJ. Chronic lymphocytic leukemia: Will recent major advances lead to cure ? Oncology 2004:12(12):41-9. Goldin LR, Ishibe N, Sgaenbati M et al. A genome scan of 18 families with CLL. British Joumal of Hemarology 200312l:866-73

Guidelines on the diagnosis and management of CLL. British Journal of Hematology 2004;125:294-317. Hyde C, Wake B, Bryan S et al. Fludarabine as second-line therapy for B-CLL : a technology assessment. Health Technology Assesment 2002;6(2).

Kalil N,

Cheson BD. Chronic lymphocytic -leukemia. The oncologist 199 4;4:352-69.

London Cancer New Drug Group. APC/DTC Briefing. Alemtuzumab for the treatment of relaps CLL. March 2004.

for Chronic Lymphocytic Leukemia. Blood (Reviews) 2004:18;137-48. Rai KR, Kalra J. Chronic lymphocytic leukemia. In : Brain C, Carbone PP. Current Therapy in Hematology-Oncology. Fifth edition. Mosby Co 1995.p.251-4. Recent advances of Clinical aspects and treatment of CLL.20O4. Rozman C, Montserrat E. Chronic lymphocytic leukemia. N Eng J Mavromatis BH, Cheson BD. Novel therapies

Med 1995;333(16): 1052-57.

203 MIELOMA MULTIPEL DAT{ PENYAKIT GAMOPATI LAIN Mediarty Syahrir

PENDAHULUAN

Penyakit Mieloma multipel adalah keganasan sel B dari

Keganasan sel plasma dikenal sebagai neoplasma monoklonal yang berkembang dari lini sel B; terdiri dari

globulin monoklonal. Walaupun masih kontroversial dikatakan bahwa semua kasus Mieloma multipel

Waldemstrom's, amiloidosis primer dan penyakit rantai berat. Neoplasma monoklonal dikenal dengan banyak

berkembang dari gammopatia monoklonal esensial atau MGUS. Prognosis sangat bergantung pada kadar serum b2-mikroglobulin dan C-reaktif protein, serta sel plasma labelling indeks.

sel plasma neoplastik yang memproduksi protein

mieloma multipel (MM), makroglobulinemia nama antara

lain adalah gamopatia monoklonal,

immuno-

paraproteinemia, diskrasia sel plasma dan disproteinemia. Penyakit ini biasanya diserlai produksi imunoglobulin atau

fragmen-fragmennya dengan satu penanda idiotipik, yang ditentukan oleh regio variabel identik dalam rantai ringan dan berat. Istilah paraprotein, protein monoklonal atu komponen M, menunjukkan adanya komponen yang elektroforetik homogen ini dalam serum dan urin. paraprotein dapat merupakan imunoglobulin lengkap, biasanya tipe IgG atau IgA, jarang juga tipe IgD arau IgE. Dalam kira-kira 2OVo kaws oleh sel plasma neoplastik hanya diproduksi rantai ringan lambda atau kappa. Rantai ringan ini oleh ginjal cepat disekresi dan karena itu terutama dapat ditunjukkan dalam urin (Protein Bence Jones). Klasifikasi penyakit yang disertai adanya paraprotein dalam serum atau urin terdapat pada tabel 1. Penyebab terbanyak para protein serum adalah gamopatia monoklonal esensial: ditemukannya secara kebetulan para protein serum pada orang yang betapapun sehat . Gamopatia monoklonal esensial disebut juga gamopatia monoklonal benigna,

ETIOLOGI Kejadian keganasan sel plasma mungkin merupakan suatu proses multi langkah. Faktor genetik mungkin berperan pada orang-orang yang rentan untuk terjadinya perubahan

yang menghasilkan proliferasi sel plasma sebagai prekursor, membentuk klon yang stabil dari sel plasma yang

memproduksi protein M seperti pada MGUS. Dalam sel mana terjadi transformasi maligna tepatnya terjadi belum jelas. Dapat ditunjukkan sel limfosit B yang agak dewasa yang termasuk klon sel maligna di darah dan sumsum tulang, yang dapat menjadi dewasa menjadi sel plasma.

Terjadinya onkogen yang paling penting diduga berlangsung dalam sel pendahulu yang mulai dewasa ini atau bahkan mungkin dalam sel plasma sendiri.

Suatu kelainan genetik yang spesifik belum teridentifikasi. Kromosom yang sering terlibat hanya

MGUS (monoclonal gammopathy of undetermined

kromosom 1, 1 3 ( 1 3q-) dan I 4 ( 1 4q+) menimbulkan dugaan bahwa gen-gen yang terlokalisasi pada kromosom ini telah

significance). Ekspansi tidak terkontrol atau maligna klon sel yang memproduksi para protein, seperti mieloma multipel, berakibat kenaikan konsentrasi paraprotein, terjadinya tumor-tumor limfoplasmaseluler, destruksi tulang, insufisiensi sumsum tulang dan lain-lain gejala penyakit.

terganggu regulasinya. Antara lain dijumpai kelainan dalam gen supresor Rb yang terletak pada 13 q dan cmyc-gen dan bcl-1-gen, yang berhubungan dengan 1 1 ;14). Perubahan-perubahan di dalam gen ras dan dalam gen supresor tumor p53 terutama dijumpai dalam stadium

t(

128

t284

HEM'$OI.OGI

lanjut pertumbuhan sel plasma maligna. Laporan-laporan terakhir menunjukkan bahwa pentingnya stimulasi autokrin dari klon ganas oleh IL-6 dan proses aktifasi onkogen dari berbagai stadium penyakit ini. Pertumbuhan dan diferensiasi sel mieloma mungkin diregulasi oleh berbagai sitokin, dengan menggunakan sistem pengaturan autokrin

dan parakrin. Terutama IL-6 ternyata merupakan faktor pertumbuhan penting dan sentral untuk sel mieloma in vitro dan in vivo. Konversi dari sel monoklonal stabil yang terkontrol menjadi tidak terkontrol, progresif menjadi tumor ganas MM memerlukan satu atau lebih perubahan

ke dua. Penyakit ini menyebabkan kematian rata-rata 12.000 orang pertahun di Amerika Serikat. Di Inggris terdapat angka kematian tahunan tala - rata 9 orang perjuta penduduk. Kejadian MM dua pertiga lebih tinggi pada laki-laki orang kulit hitam dibandingkan dengan

wanita, dengan kejadian yang lebih tinggi secara signifikan pada laki-laki pada setiap populasi diAmerika Serikat. Di Poli Hematologi Bagian Penyakit Dalam RSCM Jakarta rata-rata berumur 52 tahun, berkisar dari I 5 tahun sampai :usia 12 tahun, laki-laki lebih sering dari pada

wanita.A

tambahan. Predisposisi genetik, paparan radiasi, rangsangan antigenik yang kronis dan berbagai kondisi lingkungan dan pekerjaan mempengaruhi terjadinya MM ini walau hanya dalam persentasi yang kecil (Tabel 1).

Ras Afrika-Amerika Laki-laki Usia tua Monoclonal Gammopathy of Undetermined Significance (MGUS) Rangsangan imun kronik Paparan radiasi Paparan dari pekerjaan yang berhubungan dengan pestisida, industri cat, metal, kayu, kulit, tekstil, asbestos, bensin dan pelarut Predisposisi genetik

MIELOMA MULTIPEL

Mieloma multipel ditandai oleh lesi

litik

tulang,

penimbunan sel plasma dalam sumsum tulang, dan adanya

protein monoklonal dalam serum dan urin. Manifestasi klinis dari MM heterogen oleh karena adanya masa tumor,

Patofisiologi Mieloma MultiPel Perkembangan sel plasma maligna mungkin merupakan suatu proses multi langkah, diawali dengan adanya serial

perubahan gen yang mengakibatkan penumpukan se1 plasma maligna, adanya perkembangan perubahan di lingkungan mikro sumsum tulang, dan adanya kegagalan sistem imun untuk mengontrol penyakit. Dalam proses multi langkah ini melibatkan di dalamnya aktivasi onkogen

seluler, hilangnya atau inaktivasi gen supresor tumor, dan gangguan regulasi gen sitokin.

Keluhan dan gejala pada pasien MM berhubungan dengan ukuran masa tumor, kinetik pertumbuhan sel plasma dan efek fisikokimia, imunologik dan humoral produk yang dibuat dan disekresi oleh sel plasma ini, seperti antara lain para protein dan faktor pengaktivasi osteoklastik (o s t e o clas tic ac tiv atin g fac t o r/ O A F). P ada waktu timbul gejala klinik jumlah total sel plasma ditaksir 10lratau 1012. Paraprotein dalam sirkulasi dapat memberi berbagai komplikasi, seperti hipervolemia, hiperviskositas, diatesis hemoragik dan krioglobulinemia. Karena pengendapan rantai ringan, dalam bentuk amiloid atau sejenis, dapat terjadi terutama gangguan fungsi ginjal dan jantung.

produksi immunoglobulin monoklonal, penurunan sekresi

Faktor pengaktif osteoklast (OAF) seperti IL1-8,

immunoglobulin oleh sel plasma normal yang

limfotoksin dan tumor necrosis factor (TNF) bertanggung jawab atas osteolisis dan osteoporosis yang demikian khas untuk penyakit ini. Karena kelainan tersebut pada penyakit ini dapat terjadi fraktur (mikro) yang menyebabkan nyeri tulang, hiperkalsemia dan hiperkalsiuria. Konsentrasi imunoglobulin normal dalam serum yang sering sangat menurun dan fungsi sumsum tulang yang menurun dan

mengakibatkan terjadinya hipogammaglobulinemia, gangguan hematopoisis dan penyakit osteolitik pada tulang, hiperkalsemia dan disfungsi ginjal. Simptom terjadi akibat dari tekanan masa tumor, pelepasan sitokin secara

langsung dari tumor atau secara tidak langsung dari sel host (stroma sumsum tulang dan sel-sel tulang) sebagai respon pada adesi sel-sel tumor, dan terakhir oleh karena penyakit-penyakit akibat depososisi protein MM (AL Amiloidosis dan penyakit rantai berat) atau oleh karena kelainan autoimun (Contoh : koagulopati).

netropenia yang kadang-kadang ada menyebabkan kenaikan kerentanan terhadap infeksi.

keganasan hematologi tersering yang kedua di Amerika

Gagal ginjal pada MM disebabkan oleh karena hiperkalsemia, adanya deposit mieloid pada glomerulus, hiperurisemia, infeksi yang rekuren, infiltrasi sel plasma pada ginjal, dan kerusakan tubulus ginjal oleh karena infiltrasi rantai berat yang berlebihan: Sedangkan anemia disebabkan oleh karena tumor menyebabkan penggantian sumsum tulang dan inhibisi secara langsung terhadap

Serikat. Umur median penderita rata-rata 65 tahun, meskipun kadang-kadang MM terjadi pada umur dekade

menurunkan produksi vitamin B 12 dan asam folat.

Epidemiologi Mieloma MultiPel Mieloma multipel merupakan 77o dai semua keganasan dan l07o dari tumor hematologik. MM merupakan

proses hematopoisis, perubahan megaloblastik akan

t285

MIELOMA MULIIPEL DAN PEITYAKIT GAMOPATI LAIN

Gambaran Klinis Mieloma Multipel MM harus difikirkan

(viii) Neuropati : umumnya

pada pasien di atas 40 tahun dengan

disebabkan oleh kompresi pada

medulla spinalais atau saraf kepala. Polineuropati dapat terjadi oleh karena adanya endapan amiloid

anemia yang sulit diketahui penyebabnya, disfungsi ginjal atau adanya lesi tulang (hanya < zEa pendeitaMM berusia

pada perineuronal atau perivaskuler (vasa nervorum),

< 40 tahun. Penderita MM biasanya dengan gejala anemia, nyeri tulang, fraktur patologik, tendensi

tetapi dapat juga karena osteosklerotik myeloma. Kadang-kadang merupakan bagian dari sindrom

perdarahan, dan atau neuropati perifer. Kelainan ini akibat dari tekanan masa tumor atau sekresi protein atau sitokin oleh sel tumor, atau sel-sel dari produk tumor. Pada perneriksaan fisik biasanya tidak ditemukan

POEM {polineuropati, organomegali, endokrinopati, monoklonal gammopati dan perubahan kulit)

kelainan spesifik. Kadang-kadang terdapat nyeri lokal bagian-bagian tulang. Panjang tubuh pederita MM yang lanjut dapat banyak menurun karena infraksi vertebra. (i) Nyeri : terutama nyeri tulang tulang karena fraktur kompresi pada tempat osteopenia atau karena lesi

litik tulang, biasanya tulang punggung. Keadaan ini disebabkan oleh aktifitas yang berlebihan dari faktor pengaktif osteoklast (OAF) sepefti IL-18, TNF-p dan atau LI-6. Faktor-faktor ini juga menghambat aktivitas

osteoblastik kompensatori. Nyeri lokal dapat juga

disebabkan oleh tekanan tumor pada medulla spinalis dan saraf-saraf yang keluar dari rnedulla spinalis.

(ii)

Gejala anemia : letargi, kelemahan, dispnea, pucat,

(iii)

Infeksi berulang : ini berkaitan dengan kekurangan

takhikardia, dst.

produksi antibodi, dan pada penyakit lanjut. karena

Diagnosis Mieloma Multipel Diagnosis MM ditegakkan mulai dari trias diagnostik klasik ( sel plasma, biasanya > l07o +Mprotein + lesi litik). Pada 98Vo pasien protein monoklonal ditemukan dalam serum atau urin atau keduanya. Para protein serum adalah

IgM pada dua-pertiga, IgA pada satu pertiga, dengan jarang IgM atau IgD atau kasus campuran. Sebab - sebab paraprotein serum lain dimuat pada Tabel 2. Pada kasus yang ragu - ragu, penyelidikan "follow up" akan menunjukkan kenaikan progresif dalam konsentrasi paraprotein pada mieloma yang tidak diobati. Imunoglobin

serum normal (IgG, IgA, dan IgM) ditekan. Urin mengandung protein Bence-Jones pada dua pertiga kasus. Ini terdiri atas rantai ringan bebas, baik kappa atau lambda, dari jenis yang sama dengan paraprotein serum. Akan tetapi, pada I 5 7o kasus proteinuria Bence-Jones ada tanpa

paraprotein serum.

netropenia

(iv)

Nefropati : Fungsi ginjal terganggu bila kapasitas absorpsi dari rantai berat haus (lelah) yang akan menyebabkan nefritis interstisiil dengan rantai berat..

Penyebab kedua nefropati adalah hiperkalsemia dengan hiperkalsiuria, yang menyebabkan prerenal

azotemia. Hiperkalsemia dapat menyebabkan

(v)

penimbunan di hrbulus renal, yangjuga menyebabkan nefritis interstisiil. Penyebab lain gagal ginjal pada MM adalah seringnya menggunakan antiinflamasi nonsteroid untuk mengatasi nyeri pada MM

Kecenderungan perdarahan abnormal : protein mieloma mengganggu fungsi trombosit dan faktor pembekuan : trombositopenia terdapat pada penyakit lanjut.

(vi)

Kadang

-

kadang terdapat makroglossia, "carpal

turruel syndrome" dan diare yang disebabkan

(vii)

penyakit amiloid. "Sindroma hiperviskositas" terjadi pada kurang lebih lOVo pasien MM di mana viskositas plasma sudah 4 kali viskositas plasma normal yang menyebabkan

Gammopati monoclonal benigna Mieloma multipel Makroglobulinem ia Limfoma malignum atau leukemia limfositik kronis Penyakit haemaglutinin dingin kronis Jarang dengan karsinoma

Sumsum tulang memperlihatkan sel plasma meningkat

(> 707o dan biasanya lebih dari 30Vo), seing dengan bentuk

abnormal

- "sel mieloma".

Pengujian imunologis

menunjukkan sel - sel ini bersifat monoklonal serum.

Penelitian tulang rangka (skeletal survey)

memperlihatkan daerah osteolisis atau penipisan tulang merata (generalized bone rarefaction) (2oo/o). Fraktur patologis biasa terjadi. Tanpa lesi ditemukan pada 207o

pasien. Biasanya paling sedikit dua atau tiga sifat diagnostik yang tersebut diatas ditemukan, seperti pada Thbel3.

kelainan pada sirkulasi sehingga mengakibatkan disfungsi organ serebral, paru, ginjal, mata dan organ-organ lain, biasanya berupa trombosis dengan purpura, perdarahan, kelainan penglihatan, gejala SSP

dan neuropati, dan payah jantung. Ini diakibatkan polimerisasi imunoglobin abnormal dan agak khusus terjadi bitra ini IgA, IgM atau IgD.

Laboratorium Mieloma Multipel

(,

Biasanya ada anemia normokrom normositik atau makrositik. Pembentukan " r o ul e aux" menonj ol pada sebagian besar kasus (gambar 4). Neutropenia dan trombositopenia ditemukan pada penyakit lanjut. Sel plasma abnormal nampakdalam filem darah padal5Vo

1286

HEMANOI.OGI

a. Serum

pr otein electroPhoresis

b. Lesi multipel litik pada tengkorak

Gambar 1. Serum protein elektroforese (a) dan lesi multipel lilik (punch out) pada tengkorak pada Multipel Mieloma (b)

Terdapat fosfatase lindi serum norrnal (kecuali setelah Mieloma lVultipel (MM)

Kriteria Mayor

:

I ll lll

Plasmasitoma pada biopsi jaringan Sel Plasma sumsum tulang >30% l\4 protein : lgG > 359/dl, lgA >2ogldl, kappa atau lambda rantai ringan pada elektroforese urin

Kriteria Minor

Sel Plasma sumsum tulang 10% -

B

l\,4

l\,4ieloma lndolen

Smoldering Mieloma

Sel Plasma sumsum tulang 2000, dapat merupakan prediktor perdarahan.

D-Dimer untuk menegakkan diagnosis KID pada sirosis hati. Karena D-Dimer adalah hasil degradasi dari ikatsilang fibrin maka D-Dimer hanya positif pada trombosis atau KID (Can 1989a).

Penurunan Kemampuan Bersihan Hati Zat toksis yang ada dalam usus melalui vena porta akan masuk dalam sirkulasi darah. Dalam keadaan normal zat toksis ini akan dibersihkan oleh hati. Pada sirosis hati kemampuan untuk membersihkan zat toksis ini kurang, sehingga zat toksis tersebut akan mengaktifasi proses pembekuan darah dan terjadi KID. Pen ing

katan Tromboplastin

Pada sirosis hati sel hati yang mengalami nekosis dapat

berperan sebagai tromboplastin dan mengaktivasi sistem pembekuan. Pembekuan intravaskular yang terjadi oleh karena diaktifkan oleh tromboplastin paling jelas terlihat pada hepatitis fulminan.

TROMBOSITOPENIA Frekuensi trombositopenia pada sirosis hati cukup tinggi yaitl3T -77V0. Penyebab trombositopenia pada sirosis hati

bermacam-macam, dapat karena hipersplenisma, KID, alkohol, Selain karena trombositopenia perdarahan pada sirosis hati dapat terjadi akibat gangguan fungsi trombosit yang disebabkan HDF yang meningkat. Berbeda dengan laporan sirosis hati di negara Barat, Tambunan melaporkan dari 120 kasus sirosis hati, hanya 13 kasus (lO,83Vo). Perbedaan ini kemungkinan disebabkan penyebab sirosis hati yang berbeda yaitu di negara barat adalah karena alkohol sedangkan di Indonesia sirosis hati disebabkan karena infeksi virus hepatitis.

Stasis Sistem Porta Pada pasien sirosis hati sering ditemukan hipertensi porta,

Pada hipertensi porta terdapat bendungan yang

PEMBENTU KAN FAKTOR PEMBEKUAN YANG AB.

mengakibatkan hipoksia sel endotel pembuluh darah. Hipoksia sel endotel pembuluh darah menyebabkan

NORMAL

dilepaskannya aktivator yang merangsang sistem pembukuan darah. Uji klinis yang dikemukakan sebagai bukti bahwa KID

ada pada sirosis hati antara lain pemberian heparin memperlihatkan perbaikan uji laboratorium KID yang

terlihat dari kenaikan fibrinogen dan trombosit. Fibrinopeptida A yang meningkat pada sirosis hati berkurang setelah pemberian heparin menunjukkan bahwa pada sirosis hati terjadi pembentukan trombin intravaskular. Pemberian heparin dosis rendah pada sirosis hati selama operasi elektif yang menunjukkan perbaikan fagositosis dan fungsi katabolik sistem retikulo endotelial, dapat menerangkan perbaikan hasil laboratorium karena bersihan

Pada sirosis hati dapat terjadi pembentukan fibrinogen yang tidak normal yang disebut disfibrinogenemia. Fibrinogen yang abnormal ini mengandung asam sialat yang tinggi. Kadar fibrinogen pada disfibrinogenemia bila diukur dengan cara pemeriksaan immunologis atau cara presipitasi hasilnya normal. Tapi pemeriksaan masa trombin akan memanjang. Ini akibat gangguan polimerasi fibrinogen. Masa trombin yang memanjang karena disfibrinogenomia ini dapat dikoreksi dengan memberikan neuromidase karena mengikat asam sialat.

GABUNGAN ANTARA BEBERAPA KELAINAN

substansi toksis dan fragmen faktor pembekuan. Meskipun heparin berguna pada pe.natalaksanaan KID,

HEMOSTASIS

tetapi pada nekrosis hati akut masih dipertanyakan, karena walaupun hasil laboratorium menunjukkan perbarkan tetapi tidak jelas menurunkan mortalitas.

Pada sirosis hati sering dijumpai gabungan beberapa kelainan hemostasis seperti defisiensi faktor pembekuan yang disertai dengan fibrinolisis primer atau pembekuan intravaskular diseminata. Yang sering menjadi masalah ialah membedakan antara fibrinolisis primer yang disertai dengan trombositopenia di satu pihak dengan defisiensi faktor pembekuan yang disertai dengan

Minna pada tahun 7974 mengemukakan kriteria laboratorium definitif pada sirosis hati untuk membedakan anlata gangguan hemostasis disertai KID dan tanpa disertai KID, yaitu pada SH yang disertai KID ditemukan fibrinogen rendah kurang dari l25mg%o, masa protrombin sangat memanjang lebih dari 25 detik, trombosit kurang

dari 50.000/mm3 dan respon positif terhadap pemberian heparin. Tetapi banyak peneliti lain kurang menyetujui kriteria

trombositopenia di satu pihak dengan defisiensi faktor pembekuan yang terjadi karena KID. Masalah ini sekarang dapat diatasi dengan tersedianya pemeriksaan

D-Dimer yang dapat membedakan antara

tersebut, dengan alasan hemostasis pada sirosis hati

fibrinogenolisis dan fibrinolisis. Hal ini sangat penting dari segi klinis karena pengobatannya sangat

sangat kompleks mengemukakan pentingnya pemeriksaan

berbeda.

1331

GANGGUAT{ HEMOSTASIS PADA SIROSIS HATI

SIROSIS HATI

Beta blocker. Propanolol mengurangi perdarahan gastrointestinal karena menurunkan tekanan vena porta.

Tindakan yang harus dilakukan pada pasien sirosis hati

Keuntungan lainnya akibat sirkulasi pada vena porta yang berkurang, menyebabkan aktivitas fibrinolisis mukosa

PENATALAKSANAAN PERDARAHAN PADA

dengan perdarahan ditujukan untuk menghentikan perdarahan dan mengembalikan volume darah. Untuk mencapai tujuan tersebut dapat dilakukan melalui pendekatan medikamentosa dan bedah.

Iambung juga berkurang.

Terapi sklerosing (skleroterapi). Tujuan terapi sklerosing adalah menghentikan perdarahan dengan cara menyuntikan sklerosan pada varises osofagus (Terblance et al, 1981;

Paquet dan Feussner, 1985). Selain menghentikan

Medikamentosa tansfusi darah atau komponen darah.

Transfusi darah dan plasma beku segar merupakan pilihan pertama untuk

mengatasi perdarahan pada sirosis hati yang bukan masalah beclah. Walaupun demikian transfusi darah atau komponen darah pada sirosis hati tidak selalu memberi hasil yang diinginkan, Finkber pada tahun 1959, melaporkan transfusi darah segar dapat menghentikan perdarahan. Sebaliknya Spector melaporkan transfusi darah segaLr malah dapat memperberat perdarahan.

Konsentrat kompleks protrombin dan plasma beku segar dilaporkan mempunyai efektifitas yang tinggi dalam mengatasi perdarahan pada sirosis hati. Konsentrat AT III juga dilaporkan bermanfaat mengatasi perdarahan pada

sirosis hati. Tambunan melaporkan transfusi plasma beku segar dengan dosis rata-rata l5 ml/kgBB dapat rnenaikkan secara bermakna faktor I[, VII,tX, X.

Heparin. Pemberian heparin pada sirosis hati dengan perdarahan masih kontroversial. Pertentangan ini timbul disebabkan oleh hal yang dijelaskan sebelumnya yaitu adanya keraguan KID pada sirosis hati. Minna pada tahun 1974, melaporkan bahwa ia berhasil mengatasi perdarahan

KID dengan memberikan heparin 5000-7500 U tiap 4-6 jam. Pengobatan dengan heparin pada si"iosis hati yang disertai koagulasi intravaskular derajat rendah menaikkan kadar fibrinogen, plasminogen dan memperbaiki masa protrombin. Fischer pada tahun 1973 menganjurkan pemberian heparin pada sirosis hati dengan perdarahan karena terbukti memperbaiki faktor pembekuan. Walaupun pemberian heparin pada sirosis hati dengan perdarahan terbukti memperbaiki faktor pembekuan, tetapi banyak yang kurang setuju karena alasan tidak terbukti menurunkan mortalitas. Tambunan melaporkan pemberian heparin 10 menit sebelum transfusi plasma beku segar dibandingkan dengan tanpa memberikan heparin pada pasien dengan sirosis hati di sertai asites dan D-Dimer positif , kadar fibrinogen meningkat secara bermakna pada pasien yang pada sirosis hati yang disertai dengan

mendapat heparin.

Antifibrinolisis. Epsilon amino caproic acid (EACA), memperlihatkan beberapa keuntungan, tetapi sekarang tidak dianjurkan karena risiko terjadinya trombosis tinggi. Antifibrinolisis lainnya seperti asam traneksamat dapat diberikan bila ada fibrinolisis.

perdarahan darurat terapi ini j uga dapat dipakai mencegah perdarahan jangka parijang (Mac Dougal et al, 1982).

Balon tamponade (SB Tube). Balon tamponade dipergunakan pada perdarahan varises yang masif. Balon tamponade bekerja dengan cara mekanik yaitu menekan langsung pembuluh darah varises yang robek (Terblance et al, 1 98L; Fleig et al 1983),

Operasi Tujuan operasi adalah untuk menghentikan atau mencegah perdarahan (Tabak et al 1982). Tindakan bedah dapat berupa pintas porta sistemik (Spleno renal shunt) atalu transeksi esofagus.

REFERENS! Aster RH. 1966. Pooling ofplatelets in the spleen: role in the pathogenesis of "hypersplenic thrombocytopenia". J Clin lnvest 45:645-57.

Biland L, Duckert F, Prisender S et al. 1978. Quantitative Estimation of Coagulation Factors in Liver Disease, The Diagnostik and Prognostic Value of Factor XIII, Factor V and Plasminogen. New Eng J Med 305,242-8. Bloom AL. 1975 Intravascular coagulation and the liver. Br J Haematol. 30:l -7. Bloom AL.1975. Intravascular coagulation and the liver. Br J Haematol. 30: I -7. Corrigan JJ. 1981. Diagnosis and Therapy of Coagulopathies in Patients with Liver Disease, Contemp Anesth Pract,

4:l-li

Clark R, Rake MO, Flute PT, et al. 1973. Coagulation Abnormalities in Acute Liver Failure: Pathogenetic and Therapeutic Implications. Scand J Gastro enteroi 8: (Suppl.19):63-70. Carr JM. 1989b Disseminated Intravascular Coagulation in Cirrhosis. Hepatology 10,103-10. Cowan DH, Hine JD. 1971. Thrombocytopenia in severe alcoholism. Ann Intern Med 74, 34-43. Cowan DH. 1980. Effect of alcoholism on hemostasis Semin

Hematol 11:137-47 Consensus Conference. 1985. Fresh Frozen Plasma JAMA. 253:551-3. Corrigan JJ. 1981. Diagnosis and Therapy of coagulopatjies in patients with liver disease. Contemp Anesth Pract,4:1-11. Cordova C, Musca A, Violi F, et al. 1982. Improvement of some blood coagulation factors in cirrhotic patients treated with low doses of heparin. Scan J Haematol;29:235-40' Coccheri S, Manucci PM, Palareti G et al. 1982. Significance of plasma fibrinopeptida A and high molecular weight fibrinogen in patients with liver cirrhosis. Br J Haematol, 52:503-9.

1332

HEMANOIPGI

Capel P. 1984. Platelet involvement in the hemostatic failure of liver disease In hemostatic failure in liver disease, Thijs O dan Fondu P, Editor. Martinus Nijhoff Publisher, Boston;69-80. Cooney D, Smith A. 1978. The pathophysiology of hipersplenic thrombocytopenia. Arch Intern Med I2l:332-'7. Coleman M, Finlayson N, Bettygole RE, et al. 1975. Fibrinogen survival in cirrhosis: Improvement by "Low Dose" heparin. Ann Intern Med.:83:79-81. De Groote J. 1984 Introduction. In Haemostasis Failure in Liver disease. Fondu P dan Thijs O. Martinus Nijhoff Publisher. 1-4. Deutsch E. 1965. Blood Coagulation Changes in Liver Disease Prog Liver Dis. 2:69-93. Donaldson GWK, DavieSH, Darg A, et a1. 1969. Coagulation Factors in Chronic Liver Diseases. J Clin Pathol, 22:199-204.

Fletcher AP, Biederman O, Moore D, et al, 1964. Abnormal Plasminogen-plasmin System Activity (fibrinolisis) in Patients with Hepatic Cirrhosis : Its cause and consequences. J Clin Inevst, 43:68 1 -95

Francis CW dan Marder VJ. Mechanism of fibrinolysis in Hematology. Williams et al. MCGraw Hill Publishing company.1313-21. Feinstein DI. 1982. Diagnosis and management of disseminated intravascular coagulation : the Role of heparin therapy. Blood :60:284-'7. Fischer M, Gauss P, Korp W, et al 1973. Heparin therapy in the case od acute liver cinhosis. Scand j Gastroenterol 8 (Suppl 19): 135-8. Finkbiner RB, McGovem JJ, Goldstein R, et al. 1959. Coagulation defects in liver disease and response to transfusion during surgery Am J Med, 26:199-213. Fleig WE, Stange EF, Reuttenaueur K, et al. 1983. Emergency endoscopy slerotherapy for bleeding esophageal varices: a

prospective study

in patients not responding to

ballon

tamponade. Gastrointest endosc 29,8-14. Green G, Dymock IW, Poller L, Thompson JM, et al 1976. Factor VII as a marker of Hepatocellular Synthetic Function in Liver Disease. J Clin Pathol . 29:971-5. Green G, Poller L, Thompson JM, et al. 1977. Association of abnormal fibrin polymerization with liver disease. Gut;18:90912. Green G, Poller L, Thompson JM, et al. 1977. Association of abnormal fibrin polymerization with severe liver disease. Gut; I 8:909-12. Grossi C, Rousselot L, Panke W. 1962 Coagulation defects in patients with cirrhosis of the liver undergoing porta systemic shunts. Am J Surg, 104:512-26. Hallen A, Nilsson IM.1964. Coagulation Studies in Liver Disease.

Thromb Diath Haemorrh 11:41. Herold R, Straub PW.1973. Acute Hepatic Necrosis of Hepatitis and Mushroom Poisoning. Helv Med Acta 37:5-24 Jacobson RJ, Wagner S, Weinberg R, et al. 1971. Bleeding complications in the fulminant hepatitis. Lancet, 2:1426. Koller F. 1973. Theory and Experience Behind the Use of Coagulation Tests in Diagnosis and Prognosis of Liver Disease. Scand J Gastreoenterol, 8 (Suppl), 19:51-61. Kupfer HG, Gee W, Ewald AI et al. 1964 Statistical Correlation of

Liver Function Tests with Coagulation Factor Deficiencies in Laennec's cirrhosis. Thromb Diathes Haematol, 11:317-31. Karpathin S, Freedman ML. 1978. Hipersplenic thrombocytopenia differentiated from increased peripheral destruction by platelet. Ann Intern Med 89:200-3. Lord JW, Andrus W de W. 1941. Differentiation of Intra Hepatic and Extra Hepatic Jaundice. Response of the Plasma Prothrom-

bin to Intramuscular Injection of Menadione (3-methyl-1.4 Napthoquinon) as a Diagnostic Aid. Arch Intern Med 68. 199-

2t0. Laursen B, Mortensen JZ, Frost L et al. 1981. Disseminated Intravascular Coagulation in Hepatic Failure Treated with Antithrombin IIL Thromb Res,22:1 0l -1 04. Lahnborg G, Berghem L, Lagergen H, et al. 1976. Effect of low-dose heparin on the phagocytic and catabolic function of the reticuloendothelial system in man during surgery. Ann Chir Gyn,65:376-81. Lechner K, Niesser H, Thaler E. 1911 . Coagulation abnormalities in liver disease. Sem Thromb Hemostas,4:1:40-56. Langley P, Hughes R, Williams R. 1982. Platelet adhesiveness to glass beads in liver disease. Acta Haemat. 67:124-7. Linderbaum J, Hargrove R 1968. Thronrbocytopenia in alcoholic. Ann Intern Med 68:526-32

al. 1977. Acquired dysfibrinogenemia in acute and chronic liver disease. Br J Haematol 35.301-8. Lebrec D, Poynard T, Hillon P, et al. 1981. Propanolol for prevention of recurrent gastrointestinal bleedings in patients with cirrhosis. N Eng J Med, 305l.7311-14. Lane DA., Scully MF, Thomas DP, et

Manucci PM. 1970 Estimation of Prothrombin in Liver Disease J Clin Pathol 23:291-5. Mindrum G. Glueck HI 1959. Plasma Prothrombin Time in Liver Disease: Its Clinical and Prognosis Significance. Ann Intern Med 50:1370-84. Mason fW and Colman RW. 1971. The Role of Hageman Factor in Disseminated Intravascular Coagulation Induced by Septicemia, Neoplasia or Liver Disease. Thrombos Diathes Haemorrh,

26:325-37. Manucci L, Diguardi N, DelNinno E, et al, 1973. Value of Normotest and antithrombin III in the Assessment of Liver Function. Scand J Gastroenterol , 8 (Suppl 19):103-7. Mosser KM, Hajjar GC. 1966 Age and Disease-related alterations in Fibrinogen-euglobulin (fibrinolytic) Behaviour. Am J Med Sci,

251.:536-44 Minna JD, Robboy SJ, Colman RW. 1974. Liver disease in DIC. In Disseminated intravascular coagulation in man. Springfield, I1Iinois, Charles C Thomas. 160-6.

Maisonneuve P, Sultan Y. 1977 . Modification of Factor VIII Complex Properties in Patients with Liver Disease J Clin Pathol, 30:221-1 . Martinez J, MacDonald KA, Palasoak JE. 1983 The role of sialic acid in the dysfibrinogenemia assoclated with liver disease: Distribution of sialic acid on the constitutive chains. Blood

6l:1196-201. Masure R. 1984. Strategies for rational haemotherapy. In Haemostatic Failure in Liver Disease., Thijs O dan Fondu P. Martinus Nijhoff Publisher, Boston;162-168. MacDougal BRD, Westaby D, Theodossi A, et al. 1982. Increased

long-term survival in variceal hemorrhage using injection sclerotherapy. Lancet 1,124-'7.

Manucci PM, Franchi F, Dioguardi

N. 1976. Correction of

abnormal coagulation in chronic liver disease by combine use of fresh frozen plasma and ptothrombin complex concentrates.

Lancet,2:542-5.

Nanji AA, Blank DW. l983.Clinical Status as Reflected in Biochemical Tests on Patients with Chronic Alcoholic Liver Disease.

Clin Chem. 29:992-3.

Oka K dan Tanaka K.1979. Local fibrinoysis of esophagus and stomach u, u .urr" of hemorrhage in liver cirrhosis. Thromb Res, l4:837-44.

1333

GANGGUAT{ HEMOSTASIS PADA SIROSIS HATI

Palasoak JE, Martinez

L

1977. Dysfibrinogenemia associated with

liver disease. J Clin Invest. 60:89-95. Poller L. 1977. Coagulation Abnormalities in Liver Disease. In Poller, L (ed): Recent Advances in Blood Coagulation 2"d ed London , Churcill Livingstone. Penny R, Rozenberg MC, and Firkin BG. 1966, The Splenic platelet pool. Br J Haematol 21 , I-16. Pallasoak JE, Martinez

l.

1977. Dysfibrinogenemia associated with

liver disease J Clin Invest. 60:89-95. Paquet KJ, Feusner H.1985. Endoscopic sclerosis and esophageal ballon tamponade in acute hemorrhage from esophagogastric varices. Prospective controlled randomized trial. Hepatology

5,580-3. Reksodiputro AH, Djoerban Z, Muthalib

A. dkk. 1978. Kelainan

Hemostasis pada Sirosis Hati. Kumpulan Naskah Ilmiah Simposium Nasional Penyakit Hati Menahun. Pang RTL dkk. Ediror'.216-82. Ratnoff OD. 1984. Hemostatic Defect in Liver and Billiary Tract Disease In Disorders of Hemostasis.Ratnoff OD and Forbes

CD

Grune

&

Stratton,Inc :451-72

Al. 1912. The Liver and Blood Coagulation. : Physiology and Pathology Gastro Enterol.

Roberts HR and Cederbaum 63:297 -320.

Rock W. 1984. Laboratory assessment of coagulation in liver disease. Clin Lab Med:4:479-42 Roberts HR, dan Cederbaum AI. 19'72. The Liver and blood coagulation: Physiology and pathology. Gastro enterol, 63:297320. Sulaiman A 1990. Virus Hepatitis B, Sirosis Hati dan Karsinoma Hepatoselular (Kumpulan Naskah Ilmiah dalam rangka tesis) 139-s8. Sherlock S, Alpert L.1965. Bleeding in Surgery in Relation to Liver Disease. Proc R Soc Med, 58, 257-9

Straub, PW.1977. Diffuse Intravascular Coagulation in Liver Disease. Thromb Hemost 4,29-39. Shearer MJ, McBumey A, Breckenridge AM, et al. 1977. Effect of Warfarin on the Metabolism Phyloquinone (vitamin K): Dose relationship in Man. Clin Sci and Mol Med 52.621-30. Shearer MJ, Allan V, Haroon Y, et a1. 1980. Nutritional Aspect of Vitamin K in the Human.In Suttie (ed). Vitamin K Metabolism and Vitamin K Dependent Protein. Univ Park Press. Baltimore. 317.

of Several Coagulation Tests in Evaluation of the Risk of Bleeding, in Hemostatic Failure in Liver Disease, Thijs O dan Fondu P Martinus Nijhoff Publisher.

Samama m.1984. The Significance

Boston:8 1 -93. Soria J, Soria C. 1984. Abnormalities of Fibrin Formation in Severe Hepatic Diseases, in Hemostatic Failure in Liver Disease, Thijs O, Fondu P. Martinus Nijhoff Publisher. Boston : 52-68.

Prydz H. 1977. Vitamin-dependent clotting factors. Semin Thromb Hemostas.4: 1 1-4. Straub PW. 1977 Diffuse Intravascular Coagulation in Liver Disease.Thromb Hemos 4, 29-39.

I, Best C. 1989. Protein-C and antithrombin III are the Best Coagulation Markers for Decreased Liver Synthesis in Liver Cirrhosis and CAH. Abstract. Thrombosis and Hemostasis. XII'h

Scharer

Congress of the International Society on Thrombosis and Haemostasis, Tokyo, Japan. 215 (882). Schipper HG ten Cate JW. 1982. Antithrombin III transfusion in patients with hepatic cirrhosis. Br J Haematol;52:25-33.

I dan Corn M.196'7. Laboratory Tests of Hemostasis. The Relationship to Hemonhage in Liver Disease. Arch Intern Med.

Spector

l19:517 -82. I, Com M , Ticktin HE. 1966. Effect of plasma transfusion on the prothrombon time and clotting factors in liver disease. N Eng J Med,275:1032-'7 Sirinek KR, Levine BA. 1988. High-dose vasopressin for acute variceal; hemorrhage. Arch Surg 123:876-80 Tambunan.1993. Gangguan Hemostasis pada Sirosis Hati dan Saran Penatalaksanaanya di Indonesia. Disertasi Balai Penerbit FKUI. Tucker JS, Woolf IL, Boyes BE, et aI. 1973. Coagulation Studies in Acute Hepatic Failure. Gut, 14:418. Tytgat G, Collen D, de Vreker RR, Verstraete M. 1968. Investigation on the fibrinolytic system in liver cir-rhosis. Acta Haematol Spector

40:265-14. Sherman IA. 1982. DIC in Massive Transfussion. Prog Clin Biol Res, 108, 171-89. Thomas DP. 19'72. Abnormalities of platelet aggregation in patients with alcoholic cirrhosis. Ann NY Acad Sci, 201:24350. Tabak C, Eugene J, Juler GL, et al. 1982. Upper Sastrointestinal hemorrhage in cirrhosis: timing and indications for active intervention. Am J gastroenterol,'17 :947 -8. Terblanche J, Yakoob HI, Bordas JM, et al. 1981. Acute bleeding varices. A five -years a prospective evaluation of tamponade and schlerotherapy. Ann Surg.521 -30.

Thomas DP. 1912. Abnormalities of Platelet Aggregation in Patients with Alcoholic Cirrhosis. Ann NY Acad Sci, 201:243' 50.

Tytgat GN, Collen D, Verstraete M. 1971. Metabolism of fibrinogen in cinhosis of the liver, J Clin Invest;50:1690-701. Verstraete M, Vermylen, J, dan Collen D. 1974. Intravascular coagulation in liver disease. Ann Rev Med,25:447'55 van Outryve M, Baele G DeWeerdt GA et al. 1973. Anti Haemophilic Factor A (F VIII) and Serum Fibrin-fibrinogen Degradation Products in Hepatic Cirrhosis. Scan J Haematol, 11:48-152. van Vliet ACM, van Vliet HHDM, Dzoljic-Danilovic G et al. Plasma Prekallikrein and Endotoxemia in Liver Cirrhosis. Thrombosis Haemostas, 45:65-7. Verhaeghe R, Van Damme B, Mol1a A, et al. 1972. Dysfibrinogenemia associated with primary hepatoma. Scand J Haematol, 9:451-8. Veltkamp JJ, and Kreuning

J. 1973 The Diagnostic

Value of

Coagulation Studies in Chronic Liver Disease. Scan J Gastroenterol,S

(Suppl. 19):93-5. Walsh WD, Losowosky MD.1971. The Hemostatic Defect of Liver Disease. Gastro enterol, 60. 108-19.

2tt GA,NGGUAN HEMOSTASIS PADA DIABETES MELITUS Andi Fachruddin Benyamin

PENDAHULUAN Penyandang Diabetes Melitus (DM) tipe 2 telah terbukti memiliki risiko untuk mengalami kelainan kardiovaskular

yang jauh lebih tinggi dibanding populasi normal.

Komplikasi vaskular dapat berupa mikrovaskular (pembuluh darah mata, ginjal dan saraf) dan/atau makrovaskular (pembuluh darah jantung, otak dan arteri

menghentikan perdarahan pada lesi vaskular. Monolayer sel endotel yang ruptur membuka struktur sub endotel, menyebabkan adhesi dan aktivasi trombosit pada lokasi ruptur, dan secara simultan faktorjaringan yang terpapar dan menyebabkan aktivasi faktor koagulasi yang dimulai dengan pembentukan fibrin. Trombus merupakan agregasi

trombosit dan fibrin, menghentikan perdarahan dan membentuk sikatrik. Proses fibrinolisis, yang terjadi

perifer). Kelainan mikro dan makrovakular ini dapat

secepat pembentukan

meningkatkan morbiditas dan mortalitas penyandang DM. Aterosklerosis dapat terjadi lebih cepat pada penyandang DM. Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa jauh sebelum terdiagnosis DM tipe 2,balk pada fase glukosa darah puasa terganggu (GDPT) maupun pada toleransi glukosa terganggu (TGT), sebenarnya telah berlangsung berbagai bentuk perubahan yang pada gilirannya akan menyebabkan peningkatan risiko tersebut, Sekitar 80Vo dai, penyandang DM meninggal akibat komplikasi trombotik.

trombus dan kembali diserap pembuluh darah.Hemostasis adalah suatu fenomena kekuatan lokal, dengan pengerasan lokal sendiri, tetapi diatur oleh beberapajalur penghambat yang membatasi perluasan trombus. Beberapa perubahan

Faktor risiko tradisional, seperti hipertensi, kadar high density lipoprotein (HDL) yang rendah, meningkat pada penyandang DM tipe 2 dan toleransi glukosa terganggu

DIABETES

GC,T).

Patogenesis terjadinya kelainan kardiovaskular pada penderita DM tipe 2 bersifat multifaktorial sebagai akibat dari berbagai faktor antara lain faktor-faktor metabolik,

oksidasi/gliko-oksidasi, disfungsi sel endotel, inflamasi, dan gangguan trombosis atau fibrinolisis. Disini hanya akan dibahas pada gangguan hemostasis yang terjadi pada penyandang DM tipe 2.

SISTEM HEMOSTASIS Hemostasis adalah proses fisiologis yang bertujuan untuk

fibrin, menyebabkan destruksi

dalam keseimbangan antara aktivasi dan inhibisi menyebabkan kelainan pada perdarahan atau trombosis.

GANGGUAN PENGATURAN HEMOSTASIS PADA

Telah lama diketahui bahwa pada penderita diabetes melitus, terutama DM tipe 2, terdapat keadaan yang disebut kondisi protrombotik, dimana lebih mudah timbul trombosis dibanding keadaan fisiologis normal. Kondisi protrombotik

menunjukkan adanya abnormalitas baik pada aktivasi trombosis maupun fibrinolisis. Salah satu penyebab dari kedua abnormalitas tersebut adalah resistensi insulin, hiperglikemia dan inflamasi. Selain itu, pada DM tipe 2 ditemukan bukti adanya perubahan dari berbagai faktor yang berperan pada faal hemostasis. . Peningkatan Kadar Fibrinogen, Kadar fibrinogen yang meningkat akan menyebabkan agregasi trombosit dan perubahan reologik serta bekuan yang kaya akan fibrin. Banyak penelitian pada DM tipe 2 melaporkan

t334

1335

GAI{GGUAN HEMOSTASIS PADA DIABETES MELITUS

peningkatan kadar fibrinogen. Pada pasien DM tipe 2 didapatkan penekanan fibrinolisis yang disebabkan

oleh peningkatan kadar Plasminogen Activator Inhibitor-l (PAI-1). Penurunan aktivitas fibrinolitik trombosit mengakibatkan penurunan deposit fibrin dan perubahan pada komponen-komponen dari pembuluh

darah. Kadar PAI-1 meningkat pada pasien-pasien resistensi insulin yang obes, seperti pada pasien DM tipe 2 dan pada kisaran normal pada pasien DM tipe 1. Kadar plasma PAI-1 berhubungan dengan indeks massa tubuh, Iemak viseral, tekanan darah dan kadar plasma

, ,

insulin, trigliserida, small dense LDL, dan... kolesterol I{DL. PeningkatanAktivitasFaktorVll,Terjadi sebagai akibat adanya hiperlipidemia post-prandial. Ekspresi Plasminogen Aktivator Inhibitor-1 yang berlebihan, Adanya perubahan ini telah dibuktikan terjadi baik pada penderita DM tipe 2, resistensi insulin, maupun hiperinsulinemia. Hal ini diduga sebagai akibat efek langsung dari insulin dan pro-insulin. Sebagaimana telah diketahui, insulin akan merangsang sintesis PAI-1. Selanjutnya peningkatan

.

PAI-l dalam

darah akan menyebabkan penghambatan aktivitas fibrinolisis. Menurunnya kadar PAI-1 pada penderita t2DM setelah pemberian terapi dengan obat golongan tiazolidindion memperkuat bukti peranan resistensi insulin sebagai penyebab. Peningkatan Agregasi Trombosit, Telah terbukti bahwa pada penyandang DM tipe 2 diperlukan dosis asam

asetil salisilat yang lebih tinggi untuk mencegah terjadinya agregasi trombosit dibanding pada non-

.

diabetes. Masih belum dapat dipastikan apakah faktor glukosa sendiri atau gangguan metabolik penyerta yang merupakan penyebabnya. Penurunan Kadar Urokinase pada PlakAterosklerotik.

Peningkatan PAI-1 baik dalam plasma maupun pada plak tak hanya berakibat rendahnya migrasi sel otot polos

(smooth muscle cell) vaskttlar, tetapi juga akan

menyebabkan penurunan ekspresi urokinase pada dinding pembuluh darah serta plak. P adafibrous c ap y ang tipis,berlangsungnya proteolisis dibagian bahu dari plak (oleh karena aktivasi sel limposit T dan makrofag) dapat mempermudah terjadinya ruptur plak serta sindrom koroner akut seperti angina pektoris tidak stabil maupun infark miokard akut'

REFERENSI Eckel RH, Wassef CM, Chait A et al, AHA Conference Proceedings.

VI: Diabetes and Cardiovascular Disease,Pathogenesis of Atherosclerosis in Diabetes' Circulation, 2002, 105-109. Juhan-Vague I, Alessi MC, Vague P. Increased plasma Plasminogen Activatorlnhibitor-1 levels : a probable link between insulin resistance and athero- thrombosis. Diabetologia, 1991:34:457 Prevention Conference

-

462.

Minamikawa J, Yamanouchi M, Inoue D et al. Another potential use of troglitazone in non-insulin dependent diabetes mellitus. J Clin Endocrinol Metab, 1998 : 83 :1041-1042. Schneider DJ, Sobel BE.Diabetes and Thrombosis in Johnstone MI,Veves A Eds, Diabetes and Cardiovascular Disease, Totowa NJ, Humana Press, 2001.

Sobel BE, Woodcock-Mitchell J, Schneider DJ et al : Increased Plasminogen Activator Inhibitor type 1 in Coronary Artery Atherectomy Specimens From Type 2 Diabetic Compared With Nondiabetic Patients. A Potential Factor Predisposing to Thrombosis and Its Persistence, Circulation, 1998 : 9'7:2213'

222t. Sobel BE

:

Increased Plasminogen Activator Inhibitor-1 and

Vasculopathy,

A Reconcilable Paradox, Circulation, 1999 :99 :2496-2498. Sobol AB, Watala C. The role of platelets in diabetes-related vascularComplication. Diabetes Res Clin Pract. 2000 :50 16.

EFEK ADANYA KEADAAN PROTROMBOTIK PADA

PENYANDANG DIABETES

M

ELITUS

Keadaan protrombotik yang terjadi pada penyandang DM

tipe 2 berperan dalam dua hal penting yaitu pada patogenesis terj adinya aterosklerosis yang progresif, serta timbulnya kejadian koroner akut(acute coronary events).

: i-

212 KONDI SI HIPERKOAGULABILITAS Hilman Tadjoedin

PENDAHULUAN

olehAnti Trombin III (AT III), Protein C (PC) dan Protein S (PS). Pada Tabel 2 diperlihatkan beberapa penyebab hypercoagulable states kongenital. Hal yang menarik pada keadaan ini adalah pada saat ditegakkan diagnosis, 507o kelompok ini tidak menunjukkan

Pada tahun 1860, Virchow mengusulkan teori tentang patogenesis terjadinya trombus yang melibatkan: sel endotel, aliran darah, dan kondisi hiperkoagulabilitas. Saat ini risiko terjadinya trombosis diduga dapat

gejala 4danya trombosis.Terdapat kecenderungan meningkatnya perbedaan antara populasi yang menunjukkan gejala dengan yang tidak menunjukkan gejala, pada kelompok umur, tetapi20-307o kelompok ini

diakibatkan oleh beberapa faktor, yaitu: genetik, lingkungan, dan faktor didapat. Keadaan di atas memicu berkembangnya teori two hit ata:u multihit sebagai risiko independen terjadinya trombosis. Pada perkembangan berikutnya, faktor genetik dan atau didapat diperberat

tetap tidak menunjukkan gejala.

dengan beberapa faktor risiko, yaitu: imobilisasi, inflamasi, rokok, terapi hormon dan lain sebagainya. Resistensi protein Cteraktivasi Defisiensi alfa-makroglobulin Antibodi Defisiensi

antikardiolipin antitrombin Disfibrinogenemia Faktor V leiden Defisiensi/ekses faktor V Ekses faktor Vll Ekses faktor Vlll Ekses faktor Xl Defisiensi kofaktor ll heparin

DEFINISI Hypercoagulable states merupakan keadaan kongenitaU didapat yang telah diketahui atau dicurigai berhubungan dengan hipereaktivitas sistem koagulasi dan atau perkembangan ke arah tromboemboli. Manifestasi klinis kelainan ini adalah: meningkatnya kejadian trombosis, yang muncul pada usia muda, trombosis familial, dan trombosis di lokasi yang tidak lazim (di vena otak). Menurut penyebab hypercoagulable states, dibagi menjadi 3 kelompok: kondisi kongenital, hiperkoagulabel didapat, gabungan

Hiperhomosisteinuemia Hiperflbrinogenemia Antikoagulan lupus Ekses PAI-I Defisiensi plasminogen Defisiensi protein C Defisiensi protein S Protrombin G2O210A Defisiensi tPA Defisiensi TFPI Defisiensi Trombomodnuli

P Al-1 =plasminogen activator i nhibitor-1 ; TFPI=tissue factor pathway inhibito,: tPA=trssue plasminogen activator

1 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

HY PEBCOAG U LAB LE STATES KONGENITAL

Bentuk kelainan ini terutama (607o perryebab tersering) adalah resistensi protein C teraktivasi (APC resistance)l kelainan genetik padap oint of mutation (faktor V Leiden) dan berkuran gny a natural anticoagulan, yang diperankan

1336

Resistensi Activated Protein C (APC reslstance) Defisiensi Anti Trombin lll (AT lll) Defisiensi Protein C (PC) Defisiensi Protein S (PS) Gangguan pada ko-faktor ll heparin Disfibrinogenemia Kombinasi gangguan (PC + APC resrstance + PS) Gangguan pada sistem fibrinolisis Hiperhomosisteinemia

t337

KONDISI HIPERKOAGULABILITAS

Protein C Teraktivasi Dengan ditemukannya faktor V Leiden, maka identifikasi terhadap pasien dengan riwayat keluarga yang memiliki kecenderungan trombosis menjadi lebih besar. Dahlbiick dkk melakukan pengamatan terhadap resistensi protein C

pada sekelompok populasi dan menyimpulkan bahwa pasien dengan trombofilia familial yang berhubungan

dengan gangguan pada

titik mutasi tingkat

genetik

(genetic point of mutation), yattr pada perubahan posisi

tunggal

padaposisi

506, akan menyebabkan aktifnya resistensi faktor V Leiden

terhadap antikoagulan alamiah, yaitu APC (autoantibodi APC). Selain hal di atas, secara hipotesis, resistensi APC diakibatkan oleh defisiensi PS dan gangguan faktor VIII atau V pada tempat pembelahan APC. Ciri khas kelainan

. . .

Tipe I: kadar antigen dan aktivitas PC rendah. Tipe II: kadar antigen PC normal, tetapi berkurang aktivitasnya. Tipe III: kadar antigen PC berkurang dan aktivitasnya rendah.

Defisiensi Protein S (PS) Protein S merupakan glikoprotein plasma (berat molekul 84000 D) yang juga disintesis di hati dan sel endotel. PS merupakan kofaktor PC aktif dan membentuk kompleks dengan ikatan protein C4b. Di dalam plasma PS dapat bersifat bebas atau berikatan dengan protein C4b, tetapi hanya bentuk PS bebas saja yang aktif. Hingga saat ini, klasifikasi gangguan PS belum dapat dipastikan.

ini adalah respons yang buruk terhadap antikoagulan. Bentuk gangguan ini adalah abnormalitas faktor V (faktor V Leiden), yang didapat pada15-307o kasus trombosis.

Defisiensi AntiTrombin lll (AT lll) AI merupakan glikoprotein plasma (berat molekul:58.000 D), yang disintesis di hati dan sel endotel. Fungsi AT

Faktor lXa

(+faktorVllla)

adalah menghambat trombin, faktor Xa, lXa, XIa, XIIa serta plasmrn dan kalikrein. Fungsi AI menjadi lebih aktif dengan

-

bantuan heparin atau mukopolisakarida yang mirip heparin, yang terdapat pada permukaan sel endotel. Defisiensi AI merupakan kelainan autosom dominan,

bentuk heterozigot dapat menjadi risiko terjadinya trombosis vena. Padapopulasi umum, prevalensi defisiensi AI adalah 1: 2000 sampai dengan 1: 5000.

Untuk penggunaan praktis, gangguan pada AT dikelompokkan menj adi : . Tipe I delisiensi murni. . Tipe II abnormalitas AL . Tipe III, gabungan tipe I dan II.

Manifestasi tersering kejadian trombosis pada bentuk gangguan koagulasi ini adalah trombosis vena dalam, emboli paru, trombosis splanknik, di samping tercatat pula

Gambar 1. Jalur antikoagulan fisiologis: AT lll menghambat Trombin (F lla) dan F Xa, APC mendegradasi ko{aktor Va dan Xa, flssue factor pathway inhibitor (TFPI) menghambat kompleks F Vlla.

Gangguan pada Heparin Ko-faktor ll Heparin kofaktor II (HC II) merupakan glikoprotein plasma

dengan berat molekul 65.000

D, yang berfungsi

menghambat aktivitas trombin. Reaksi di atas diperkuat dengan adanya heparin dan dermatan sulfat.

beberapa angka kejadian trombosis arteri.

Disf ibrinogenemia

Defisiensi Protein C (PC)

Merupakan kelainan kongenital yang jarang didapat, ditandai dengan gangguan fungsi fibrinogen tingkat

PC merupakan glikoprotein dependen (beratmolekul 63.000

molekular. Kelainan

D), yang disintesis di hati. Setelah diaktivasi oleh kompleks trombin-trombomodulin di permukaan sel endotel, PC akan

dominan.

menghambat kerja faktor VIIIa dan Va serta menstimulasi

dikaitkan dengan manifestasi trombosis, baik arteri maupun vena. Melemahnya ikatan dengan t-PA atau plasminogen

proses fibrinolisis. Seperti halnya AT, defisiensi PC diturunkan secara autosom dominan, sedangkan sifat heterozigot merupakan risiko timbulnya trombosis. Pada pasien homozigot, kadar PC yang tidak terdeteksi

didapatkan dari kedua orangtua dengan kondisi

ini diturunkan

secara autosom

Sekitar l5Vo dari 243 kelainan molekul fibrinogen

terhadap fibrin yang abnormal, berkurangnya aktivitas plasminogen pada fibrin yang abnormal, dan resistensi terhadap fibrin, diperkirakan merupakan mekanisme yang bertanggung jawab terhadap gangguan fibrin.

heterozigot.

Berdasarkan temuan laboratorium, gangguan PC

Kombinasi Gangguan

dikelompokkan menj adi :

Telah dilaporkan beberapa kasus kombinasi gangguan atau

1338

HEMr'INOLOGI

kaitannya dengan gangguan pada sistem fibrinolisis. Walaupun kemungkinan akan ditemukan kejadian

H Y P E R CO AG U LA B L

E STAT ES

DI DA

PAT

Kondisi di atas merupakan penyebab hypercoagulable

trombosis di tempat-tempat yang tidak lazim, terny ata 50Vo pasien dengan kelainan ini tidak menunjukkan gejala. Dengan kata lain, kejadian trombosis tidaklah bertambah berat pada kombinasi gangguan dibandingkan dengan

state didapat:

Pada kesempatan

ini penulis

membatasi

diri

untuk

membahas tentang kehamilan, keganasan, dan sindrom

antifosfolipid.

gangguan tunggal.

Gangguan pada Sistem Fibrinolisis

Kehamilan

Efektivitas sistem fibrinolisis amat tergantung pada kemampuannya untuk membentuk plasmin. Meningkatnya aktivitas fibrinolisis akan memicu terjadinya lisis bekuan, hingga hasil akhirnya adalah perdarahan. Sebaliknya, kejadian hipofibrinolisis akan memudahkan terbentuknya fibrin, yang berakhir dengan

Perubahan fisiologis dan anatomis selama kehamilan dapat memperberat keadaan tromboemboli. Sebagaimana halnya

trombosis.

perempuan hamil, namun dibandingkan dengan

Hingga saat ini, hubungan antara gangguan sistem fibrinolisis dengan risiko terbentuknya trombosis masih

perempuan yang tidak hamil beberapa jenis pemeriksaan menjadi amat sangat terbatas pemakaiannya, terutama yang berkaitan dengan radiasi. Perempuan tanpa riwayat trombosis, pada saat

perempuan yang tidak hamil, diagnosis tromboemboli

seringkali sukar ditegakkan, sehingga dibutuhkan pemeriksaan yang akurat. Beberapa pendekatan diagnostik dapat dilakukan pada

dalam perdebatan.

kehamilan akan memiliki risiko kejadian trombosis;

Hiperhomosisteinemia

walaupun besar risiko masih belum dapat dipastikan. Studi terakhir menyatakan perempuan hamil dengan defisiensi AI III. PC atau PS akan memiliki risiko trombosis 8 kali

Merupakan kelainan metabolik yang diakibatkan oleh beberapa kelainan genetik. Homosistein darah akan

menyebabkan kerusakan jaringan penyambung dan

lebih besar dibandingkan dengan kontrol. Walaupun

memicu gangguan sistem koagulasi. Mekanisme di atas diduga akibat pengaruh aktivitas trombomodulin atau meningkatnya aktivitas F V.

Penerima metil Fosfatid ileta n ola

m in

Guamidoasetat ilr I rD uuPor dopamin Penghantar TYt tgil4iltdr Dor saraf dt (neurotransmitters) \t tEur uU dr tDr ilr(Er D,, mis Protein (mielin) \. r

I

rr

\\

DNA

RNA Fosfatirlilkolinkreatin

Kreatinin

-

4 /' ., S-adenosil n

t

Bru:,."+ru,:';i:l"i:ffii:?" *61tll termetilasi RNAtermetilas

Poliamin a

\

\

\ ..-.'.V

Betain

\

Homosisrei Homos,ste. a"rn; {1 (SAM Activation) PLP J+ Sistationin

A-Ketobutirat

Gambar 2

ATP

metionin \1 mbat metil rH

penerimavangsudahtermetirasi

DNA

demikian, kejadian risiko trombosis absolut di atas masih rendah (7 dan169 kehamilan), 2 episode selama trimester ketiga, 5 episode setelah kelahiran.

protein

O

serin

--zruc rHF

/

-(orc

$'cri'i" tHF

Metilen

r/+ -r!+ 10 >10

are from Hirsh and Hoak, Hyers et al , and Kearon

Examplesofmajortransientriskfactorsaremajorsurgery,amajormedical illness,andlegcasting Examplesof minor

transient risk factors are the use of an oral contraceptive and hormone-replacement therapy Examples of low-risk thrombophilias are heterozygosity for the factor V Leiden and G20210A prothrombin-gene mutations Examples of highrisk thrombophilia are antithrombin, protein C, and protein S deficiencies; homozygosity for the factor V Leiden or prothrombin-gene mutation or heterozygosity for both; and the presence of antiphospholipid antibodies + Therapy may be prolonged if the patient prefers to prolong it or if the risk of bleeding is low

t342

HEMANOISGI

Risk Factor

t

Estimated Prevalence (%)+

Estimated Relative Risk of Recurrence

Antithrombin deficiency 1 1,5-3 5 Protein C deficiency 1,5-3 '1 5 Protein S deficiency ,5-3 Factor V Leiden mutalion 20 Heterozygous 1-4 2 Homozygous About 4 65 kg) 10 mg, i.v bolus, selama 1-2 menit, dilanjutkan dengan 50 mg, i.v selama l jam dan 40 mg, i.v dua jam berikut (dosis total: 100 mg). . Streptokinase-untuk emboli paru, trombosis arleri atau vena dalam: 250.000 ru, iv selama 30 menit, selanjutnya 100.000 IU/jam selama 24 jam (untuk kasus emboli paru); atau selama 72 jam (untuk kasus trombosis arteri/vena

.

dalam).

Urokinase-untuk emboli paru 4400 IU/kg BB, i.v selama

Faktor risiko didapat

Trombosis arteri merokok hipertensi diabetes melitus hiperlipidemia

kontrasepsi oral polisitemia hiperviskositas

Trombosis

Faktor risiko kongenital

vena imobilisasi operasr

keganasan sindrom nefritik

kontrasepsi oral gagal jantung kongestif sindrom obesitas

defisiensi protein C defisiensi protein S defisiensi protein AT lll resistensi protein C teraktivasi (Faktor V Leiden) Alel protrombin 20210 aktivator plasminogen polimorfisme inhibitor-1 Peningkatan factor Vll defek faktor Xll disfibrinogenemia homosisteinemia

I

1343

KONDISI HIPERKOAGULABLMAS

Clinical manifestations

Percentage (%)

Livedo retikularis Trombosis vena afterial Keterlibatan SSP Trombositopenia Aborsi berulang (>2) Anemia hemolitik Ulkus tungkai

Hypercoagulabre State

49

Risiko relatif dari VTE tunggal sepanjang hidup

Faktor V Leiden Protrombin G202104 Faktor V Leiden dan protrombin G20210A (heterozigoLganda) Defisiensi protein C Defisiensi protein S Defisiensi antitrombin H iperhomosisteinem ia Lupus anticoagulant Antibodi antikardiolipin

43 E

44 41

26 ZJ o

2-10 2-6

200 6 5-3'1-

2-36. 5-402-4 11

aa

* Risiko relatif variabilitasnya tinggi, tergantung, tergantung

Hvpercoawtabte

t;*1ff

Pasien denoan

lromboembolt -Trombofilik :... ::-"'-j-"'--; vena I unggal %l

Factor V Leiden Prothrombin G20210A Antithrombin deficiency Protein C deficiency Protein S deficiency Hiperhomosisteinemia Antibodi antifosfoliDid

3-7

\ tot

1-3

20 6

0,02

1

50 18 4-A

0,2-0,4 tidak diketahui 5-1 0

1-2

3-1 3

10-25

0-7

5-1 5

tidak diketahui tidak diketahui

pada apakah mereka diturunkan dari studi-studi berbasis keluarga atau populasi Perbedaan risiko dapat dijelaskan pada kesulitan lebih besar dalam mendapatkan reliabilitas perkiraan berbasis populasi karena secara keseluruhan prevalensi kelainan ini rendah. Mungkin angka kejadian ini ove re stimated pada studi-studi familial awal..

6-8

N/A=not readily available or unknown

Presentasi tromboemboli vena (VTE) Trombosis vena serebral

Trombosis vena serebral Pada perempuan pengguna pil konirasepsi oral Trombosis vena kava, vena renal, vena mesenterika, dan vena hepatik Tromboflebitis superfisial migratori

(Trousseau's syndrome) Tromboflebitis superfisial rekuren

Nekrosis kulit warfarin Purpura neonatal fulminal Kehilangan fetal yang tidak dapat dijelaskan (tiga atau lebih abortus trimester pertama atau kematian pada trimester kedua atau ketiga yang tidak dapat dijelaskan pada fetus normal secara morfologi)

Risiko Relatif

Kondisi Hypercoagu lable Protrombin G2O21 0 A, antibodi antifosfolipid, defisiensi antitrombin, trombositemia esential, PNH Protrombin G2O210A

Antibodi antifosfolipid, kanker, defisiensi antitrombin, sindrom mieloproliferatif, PNH Kanker (terutama adenokarsinoma saluran gastrointestinal) Faktor V leiden, polisitemia vera, defisien antikoagulan alamiah Defisiensi protein C dan S Defisiensi protein C dan S homozigot Antibodi antifosfolipid

Perempuan nonkarrier Perempuan nonkarrier pengguna pil kontrasepsi oral Faktor V Leiden heterozigositas Heterozigositas faktor V Leiden perempuan pengguna pil kontrasepsi oral

1

4 7

35

Risiko

Absolut* 0,8/10000 3,2/10000 5.7/1 0000 28 5/'10000

*Perkiraan jumlah kasus VTE per 1 0 000 orang per tahun

Pemeriksaan Skrining Resistensi protein C teraktivasi Pemeriksaan mutasi protrombin G2021 0A dengan PCR Tingkat aktivitas antitrombin, protein C, dan protein S Tingkat aktivitas faktor Vlll Lupus antikoagulans (aPTT sensitif, aPfT mixing, dilute Russell viper venom time) Antibodi antikardiolipin dengan ELISA Kadar homosistein plasma total

Pemeriksaan Konfirmasi PCR Faktor V Leiden Pemeriksaan antigenik untuk antitrombin, protein C, dan/atau protein S Pemeriksaan konfirmasi untuk /upus anticoagulants*

* lnclude at least one of the following: platelent neutralization procedure, hexagonal phase phospholipids, Textarin/Ecarin test, platelet vesicles, DVV Confirm PCR=polymerase chain reaction; aPTT=activated partial thromboplastin time; ELISA=enzyme-linked immunosorbent assay

t344 REFERENSI Bertina RM. Hypercoagulable States. In : Semin in Hematol t991 ;34(3):16'7 -7 0. Bates SM, Ginsberg JS. How we manage venous thromboembolism

during pregnancy Blood 2002;100(10):3470-8. Cobb ME, Hollensead SC. Molecular Testing for Inherited Thrombotic Disease Available from : http://www.uoflhealthcare.org. Cattaneo M, Martinelli I, Mannucci PM. Hyperhomocysteinemia as a risk factor for Deep Vein Thrombosis. NEJM 1996;335:9'74-6. Chadha P Thrombotic Disorders : Hypercoagulable State. In : Kasper DL, Braunwald D, Fauci AS, et al. Harrison's Manual of Medicine 16d eds. McGraw-Hill 2005, 217-280. Deloughery T. Hypercoagulable States - 2004.

HEM/{IOLOGI

Girolami A, Sarlori MT, Patrassi GM et al. Hypercoagulability : An Updated Review. Available from : http://haem.nus.edu.sg/ishapd/ 1996/1996/087 .pdf. Kyrle P, Minar E,Bialonczyk C et al. The Risk of Recurrent Venous Thromboembolism in Men and Woman. NEJM 2004;350:255863. Levine JS, Branch DW, Rauch J. The Antiphospholipid Syndrome. NEJM 2002;346(10):1 52-63.

Nema SK Thrombosis-The Newer Dimensions. MJAFI 2004l,60:278-9 Solymoss S. Factor V Leiden : Who should be tested ?. CMAJ 1996;155:296-8. Setiabudy RD, Trombosis pada keganasan. Dalam : Kongres Nasional dan Temu Ilmiah - Perhimpunan Hematologi dan Transfusi

Darah (PHTDI); 2005.hlm. 40.

2t3 SINDROM ANTIBODI ANTIFOSFOLIPID: ASPEK HEMATOLOGIK DAN PENATALAKSANA/TN Shufrie Effendy

enzimPLA2, terutama pada kehamilan dan kematian sel (apoptosis). Penghambat PLA2 yang secara patologis terbentuk diketahui sebagai inhibitor Lupus yang lebih dikenal sebagai Antikoagulan Llupls (Lup us Antic o agulant, L A\

DEFINISI

Sindroma antibodi antifosfolipid

(antibody

antiphospholipid syndrome, APS) didefinisikan sebagai penyakit trombofilia autoimun yang ditandai dengan adanya 1) antibodi antifosfolipid (antibodi antikardiolipin dan/atau antikoagulan lupus) yang menetap (persisten)

yang terdiri dair 2 subgrup, yaitu: a).

LA sensitif

tromboplastin yang menghambat kompleks VIIa, III, PL, dan Ca*, mengakibatkan pemanjangan masa protrombin (PT), khususnya pada pemeriksaan dengan "diluted PT';

sefia 2) kejadian berulang trombosis vena/arteri, keguguran, atau trombositopenia. Sindrom ini pertama kali diusulkan oleh Hughes dan Harris antara tahun 1983-1986, oleh karena itu sindrom ini dikenal juga sebagai sindrom Hughes.

b). LA non-sensitif tromboplastin yang menghambat kompleks VIIIa, IXa, PL, Ca* mengakibatkanpemanjangan masa tromboplastin teraktifasi parsial (aPTT) dan/atau yang menghambat kompleks Xa, Va, PL, dan Ca* mengakibatkan pemanjangan dRWT- 1 pada dRWT-2 normal. Berbagai jenis aPLA dapat dibangun oleh berbagai antigen yang terikat pada epitope fosfolipid pada bagian luar dinding biologis sel yang terpapar. Sebagai contoh,

ANTIBODI ANTIFOSFOLIPID

Antibodi antifosfolipid (antiphospholipid antibody, aPLA) didefinisikan sebagai immunoglobulin yang bereaksi dengan dinding biologis sel bagian luar yang

aPLA dependen protrombin dibangun oleh epitope fosfolipid pengikat apolipoprotein, pengikat LA atau protrombin; aPLA dependen B2-GPI dibangun oleh epitope fosfolipid pengikat Apo-H pengikat B2-GPI; dan aPLA dependen anneksin V dibangun oleh epitope fosfolipid pengikat apolipoprotein-pengikat annexin V; sedangkan aPLA dependen LDL teroksidasi dibangun oleh epitope

komponen utamanya adalah fosfolipid.

Fosfolipid antikoagulan disebut juga sebagai antifosfolipid (antiphospholipid, aPL), yang secara struktural hampir menyerupai komplemen. Secara alamiah

(fisiologis), aPL yang dibentuk oleh tubuh adalah B2 glikoprotein I (P2GPI), berfungsi sebagai pengontrol

fosfolipid pengikat apolipoprotein-pengikat LDL teroksidasi.

aktivitas fosfolipid prokoagulan (PL) yang mengandung enzim fosfolipase A, Qthospholipase A, PLAr). B2GPI merupakan enzim yang terikat oleh apolipoprotein-H (ApoH) sebagai perighambat enzim PLA2. Selain dari p2GPI,

Kebanyakan jenis aPLA yang ditemukan dapat bereaksi

langsung terhadap kofaktor plasma protein (apolipoprotein) yang terikat kardiolipin (difosfatidilgliserol) yang dapat dideteksi secara ELISA atat radioimmunoassay (RIA), disebut sebagai antibodi antikardiolipin (antic ardioplip in antib o dy, ACA).

secara alamiah tubuh juga membenttk annexin V atau

"placental anticoagulant protein 1" yang disebut juga sebagai "placental aPL", yang sangat kuat menghambat

t34

1346

FIEIT{AIOI.oGI

EPIDEMIOLOGI

Antibodi antifosfolipid di3umpai sejak usia rnuda,

dapat berkenrbang dalam 20 tahun pada 50-707o pasien baik dengan lupus eritematosus sistemik maupLrn antibodi antif'osfolipid. Meskipun demikian, hampir 307o pasien

prevalensi ACA dari LA pada si"rbvek kontrol sehat adalah

luptrs eritematosus sistemik dan dengan antibocii

1-5%. Sebagaimana a,-itoantibodi lainnya, prevalensi

antikardiolipin, sedikit sekali menunjukkan bukti klinis APS pada pemantauan sekitar 7 tahun. Studi prospektif telah menunjukkan hubungan antara antibodi antifosfolipid dan episode perlama dari trombosis vena dan intark miokard, serta strok berulang. Oleh karena itu, hal yang menjadi penting adalah identifikasi pasien dengan antibodi antifosfolipid yang risikonya terhadap kejadian trornbotik meningkat. Faktor risiko penting adalah riu,ayat trombosis, adanya antibodi antikoagulan lupus,

antibodi antifosf olipicl ureningkat seiring dengan bertambahnya Llmur, khususnya dr iintara pasien usia lanjut dengan penyakit kronis penyerta. Di antara pasien dengan SLF,, prevalensi ACA positif sekitar 12-30%.daln sekitar l5-317c dengan antibodi LA

positif. Banyak pasien yang menunjukkan bukti laboratorium adanya antibodi irntifosfolipid, tidak mentrnjukkan gejala klinis. L)afe 1,3no ada untuk

suLr1r66

kontrol sehat, tidak cukup untr-rk lnemperhitungkan persentase rnereka yang nrerni liki autibodi .rntifosfblipid dan akan menunjr-rkkan gejala trombosis atau komplikasi

kehtrmilan yang sesuai dengan APS. Sebaliknyn, AFS

dan peningkatan kadar antibodi antikardiolipin lgG. Masing-masing meningkatkar.r risiko trombosis sampai lima kali lipat. meskipun tidak sernua studi rlelaporkan hasil yang sama. Namun, kecuali riwayat kejadian trombotik,

faktor risiko yang iain tidak cukup untuk digunakan sebagai faktor prediktif dilakukannya terapi. Kepala hidrofilik Prote n spes fik

cH2-N(CH2)3 APO -Ht

':l

CH2

o

KRITERIA DIAGNOSTIK

I

O=P-O I

o I

CH2-CI]-CH2

tt oo tl c-o tt c-o cH2 CH2 lt CHZ CH2 lt CH2 CH t\ CH2 CH CH2 CH2 l\ CH2 CH2 t\ CHZ QH2 t\ CH3 CH3

Ekor hidrofobik

_--

|iru

--

I

Gambar 1. Antigen fosfolipid pada permukaan dinding sel, protein spesif ik antigenik, protein kofaktor plasrna. (apolipoprotein),

Diagnosis APS ditegakkan dengan I kriteria klinjs dan kriteria laboratorium. sesuai dengan konsensus pada sirnposium intemasional mengenai antibodi antifbsfolipid di Sapporo pada 1998. 1

KBITERIA KLINIS

Trombosis Pembuluh Darah Satu atau lebih episode klinis dari trombosis arteri. r'ena ataLr pembuluh darah kecil padajaringan atau organ yang

dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan pencitraan/ Doppler atau histopatologis (tanpa inflamasi dinding pembuluh darah)

dan fosfolipid

Morbiditas Kehamilan

Anribocii Antifosiolipid

.

PIA2

o

E2cPt

O

O

La

a

Antlbod \ ant 82GPl

.

Annexin V

Protein kofaktor plasma

@6@

.

TromboplastinApo-H Tromboplaslin non-sensitif

Pt rergantung E2-GPlh I anti E2-g koprole Ps E ant phosphat dil serene

n

PE

E anti phosphatdi ethanolamine Pi E anti phosphatidil inosltol Diphosphatrdil g ycerol E antica.d o ipin

Gambar 2. Antibodi Antifosfolipid (PLA2=fosfolipase A2, P2GPI= B2 glikoprotein l, LA = 2p{i(esgulan lupus, Apo-H=apolipoprotein H, aPs=antifosfatidil serin)

Satu atau lebih kematian janin berusia 10 minggu atau kurang, yang tidak dapat dijelaskan-diketahui dengan

ultrasonografi atau pemeriksaan langsung, atau Satu atau lebih kelahiran prematur dari neonatus normal berusia 34 minggu atau kurang, akibat eklampsia atau insufisiensi plasenta berat, atau Tiga atau lebih aborsi spontan konsekutif sebelum usia kehamilan l0 minggu yang tidak dapat drjelaskan dimana kelainan anatomi, genetika, atau hormonal telah disingkirkan.

Kriteria Laboratorium

.

IgG AntibodiAntikardiolipin, &ur/atau isotipe IgM pada titer sedang atau tinggi p'..,t1a2 atau lebih pemeriksaan

1347

SINDROM AI\TIBODI AIITIF1OSF1OLIPID

@Rntie"n@

binding apolipoprotein bind phospholipid

s

Hiperagregrasi Trombosit Antikoagulan fosfolipid

inefektif

Gambar 3. Patogenesis trombosis akibat adanya antibodi antifosfolipid

.

dengan interval sekurang-kurangnya 6 minggu, diukur dengan ELISA terstandarisasi untuk antibodi dependen

Antibodi antifosfolipid secara langs ung menginaktivasi

B2GPr.

berlebihan mengakibatkan hiperkoagulasi. Antibodi antifosfolipid secara langsung berinterferensi

protein C mengakibatkan aktivitas FV dan FVIII

AdanyaAntikoagulan Lupus dalam plasma pada 2 atau lebih pemenksaan dengan interval sekurang-kurangnya

dengan autoantibodi kompleks heparan-antitrombin,

6 minggu, dideteksi menurut panduan dari

The International Societln on Thrombosis and Hemostasis

mengaktifkan reseptor

(Scientific Subcommitte on Ltrpus Anticoagttlants/ nt Ant ibo die s ).

mengaktivasi koagulasi.

Fc sel

imunoefektor

mengekspresikan tromboplastin jaringan yang akan

P ho spho I ip i ds - D ep ende

KLASIFIKASIAPS PATOFISIOLOGI Asosiasi klinik trombosis dari anti-p2GPl dan anti-anneksin V berupa trombosis vena dan/atau arteri; antioksidan LDL berupa trombosis arteri; sedangkan LA (aPL dependen

Pada "The ll'h International Congress on " di Sydney, 2004, telah

Antiphospholipid Antibodle.r

protrombin) dapat berupa perdarahan atau trombosis,

diusulkan klasifikasi sebagai berikut: . APS sebagai penyakit tunggal . APS yangberhubungandenganpenyakitlaintermasuk

tetapi trombosis vena dar/atau arleri lebih sering dijumpai daripada perdarahan.

.

SLE

APS katastrofa

TROMBOGENESIS Trombosis dapat terjadi melalui beberapa mekanisme berikut ini: . Antibodi antifosfolipid merupakan antagonis p2GPI mengakibatkan ekspresi berlebihan PL-A2

.

Antibodi antifosfolipid merupakan antagonis Anneksin V mengakibatkan ekspresi berlebihan PL-A2

. Antibodi antifosfolipid

merupakan antagonis

trombomodulin, sehingga secara tidak langsung

.

antibodi antifosfolipid menghambat aktivasi protein C. Antibodiantifosfolipidsecaralangsungmenginaktivasi protein S sebagai kofaktor protein C.

,

t

penurunan ekspresi

Fosfolipid anionik Glikoprotein l-p2 Anneksin V

Trofoblas

Trombomodulin

Trombosit) pelepasan PAF & ekspresi

Protein Protein

Protrombin

berlebihan GPllb/llla Apoptosis cPLA2, PMP, Trombositopenia Eritrosit Anemia hemolitik

Faktor Xlc lL-3 &

Ekspresi lL-3 & G|\4-CSF

Apoptosis HCG

Endotel

) Apoptosis ) pelepasan EMP a VCAM-1, ECAM-1, E-selectin, Faktor Jaringan

C S

GM-CSF

)

)

pelepasan

)

I )

Leukopenia

EMP -- endothelial micropafticle, PMP = platelet micropafticle, PAF = platelet activating factors, :PLA2 = cytosol phospholipase A2

1348

HEM/{I1OLrOGI

Klasifikasi ini memenuhi untuk stratifikasi risiko dan pilihan terapi. Sebelumnya, pada "The 8'h International Congress on Antiphospholipid Antibodies" di Sapporo, 1998, APS diklasifikasikan menj adi : 1 ). APS Primer, jika tidak ada SLE atau kelainan autoimun lain. 2). APS Sekunder, jika drjumpai

kemungkinan manifestasi pada organ yang spesifik. Penyakitinimemiliki spektrumklinis yang luas, mulai dari yang asimptomatik secara klinis dan indolen sampai yang perjalanan penyakitnya progresif secara cepat.

.

penglihatan (sebagian lapang pandang, total) Kardiorespirasi. Nyeri dada, menjalarke lengan; napas

SLE.

pendek Gastrointestinal. Nyeri perut, kembung, muntah. Pembuluh darah perifer. Nyeri atau pembengkakan tungkai, klaudikasio, ulserasi jari/tungkai, nyeri jari tanganikaki yang dicetuskan oleh dingin. Muskuloskeletal. Nyeri tulang, nyeri sendi Kulit. Purpura dar/atau petekie, ruam livedo retikularis temporer atau menetap, jari-jad tangan/kaki kehitamhitaman atau terlihat pucat. Neurologi dan psikiatri. Pingsan, kejang, nyeri kepala (migrain), parestesi, paralisis, ascending weakness, tremor, gerakan abnormal, hilangnya memori, masalah dalam pendidikan (sulit berkonsentrasi, mengerti yang dibaca dan berhitung). Endokrin. Rasa lemah, fatigue, artralgia, nyeri abdomen (gambaran Penyakit Addison) Urogenital. Hematuri, edema perifer

SPEKTRUM GAMBARAN KLINIS APS

. .

Asimptomatik pada LA dan/atauACApositif Simptomatik pada LA dan/atau ACApositif:

-

-

Mata. Penglihatan kabur atau ganda, gangguan penglihatan (melihat kilatan cahaya), kehilangan

Perempuan dengan:

-

Riwayat infertilitas primer tanpa kelainan

ginekologis dan kesuburan. Riwayat keguguran. Riwayattoksemiakehamilan Adanya trombosis - Arteri, vena atau pembuluh darah kecil pada

-

Janngan atau organ. Sindrom antibodi antifosfolipidkatastrofa.

Sindrom antibodi antifosfolipid katastrofa adalah kegagalan organ multisistem, sekunder terhadap trombosis/

infark dan menunjukkan gambaran mikroangiopati pada

Riwayat kehamilan. Keguguran berulang, kelahiran

pemeriksaan histologi.

prematur, pertumbuhan janin terhambat Riwayat keluarga. Risiko APS meningkat pada pasien yang memiliki anggota keluarga dengan:

MANIFESTASI KLINIS

-

Aspek klinis pada sindrom antifosfolipid dapat berupa aspek klinis seluler dan sistem. Aspek klinis selular adalah

toksemia kehamilan, tlomboembolisme neonatorum.

sebagai berikut:

. . .

-

Anemiahemolitik

-

hormonhCG.

Leukopenia

2). PT memanjang (tromboplastin sensitif-fosfolipid inefisien), 3). aPTT memanjang (Defisiensi FXIc dan/atau tromboplastin sensitif-fosfolipid inefisien), dan 4). hipoprotrombinemia didapat. Sementara trombosis disebabkan oleh: 1)apoptosis endotelial, sehingga terjadi pelepasan mikropartikel endotelial dan material adhesi, 2)trombosit teraktivasi, sehingga terjadi sticky platelet syndrome, 3)keadaan hiperkoagulabilitas, dan 4)keadaan trombofilik.

Gejala dan Tanda Kejadian vasospastik atau vaso-oklusif dapat terjadi pada setiap sistem organ, maka pada anamnesis sangat penting untuk mendapatkan riwayat penyakit pasien dan

Infark miokard atau strok pada anggota keluarga

yang berusia kurang dari 50 tahun Trombosis vena dalam, flebitis atau emboli pulmoner Migrain, penyakit Raynaud, atau TIA Riwayat pengobatan. Menggunakan kontrasepsi oral

Apoptosis trofoblastik, sehingga terjadi penurunan

Aspek klinis sistem dapat berupa perdarahan dan trombosis. Perdarahan disebabkan oleh I ). trombositopenia.

Keguguran berulang, kelahiran prematur, pertumbuhan janin terhambat, oligohidramnion, khorea gravidarum, infark plasenta, preeklampsi.

Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan tanda yang sesuai

dengan organ yang terkena dan dapat melibatkan sistem

organ apapun.

.

Pembuluh darah perifer - Palpasi tulang atau sendi : nyeri tekan (infarktulang) - Nyeri saat sendi digerakkan, tanpa artritis (nekrosis avaskular) - Pembengkakan tungkai (trombosis vena dalam)

-

Penurunan pengisian kapiler, denyut nadi, dan perfusi (trombosis arteriaUvasospasm)

-

Gangren (trombosis arteri atau infark)

.

Paru: Respiratory distress, takipnea (emboli pulmoner,

.

hipertensi pulmoner) Ginjal

1349

SINDROM ANTIBODI ANTIF1OSF1OLIPID

. .

-

Hematuria (trombosis vena renalis) Jantung: - Murmur pada katup aofia atau mitral (endokarditis) - Nyeri dada, diaforesis (infark miokard) Gastrointestinal:

-

-

Hipertensi (trombosis arteri renalis, lesi pembuluh darah intrarenal)

Nyeri tekan pada abdomen kuadran kanan

atas,

.

. .

-

autoimun)

Defisiensisistemkoagulasi:

. . -

Oklusi arleri retina Trombosis vena retina

Protein C Protein S

Antitrombin

III

Antibodi protein koagulasi, seperti antibodi antifaktor II (protrombin)

Polimorfisme genetik: - Mutasi Faktor V Leiden

-

Mata

Mutasi gen protrombin202l1A

Mutasi Methylene tetrahydrofolate reductase (MTHFR) (mengarah ke hiperhomosisteinemia)

Manifestasi kulit:

-

Livedo retikularis Lesi purpura Tromboflebitissuperflisial

Pemeriksaan Badiologis

.

Vasospasme (fenomena Raynaud)

Splinter hemonhages (perdarahan di bawah kuku) periungual atau subungual Infark perifer (digital pitting)

.

Ulserasi

Memar (berhubungan dengan trombosito.-nia) Kelainan sistem saraf pusat atau l :'ei

-

TIA

-

(i skemia/intark vasovorum) Paralisis, hiperrefleksi, rasa lemah (transverse mye/ltls, sindrom Guillain-B arre)

-

Strok Parcstesia. polineuritis atru mononeuritis multipleks

Kelainan pergerakan-tremor khoreiform (infark serebral, serebelum, basal ganglia) Kelainan yang menyerupai sklerosis multipel Kehilangan memori jangkapendek

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium

. .

.

(infark/perdarahan adrenal).

-

.

pembuluh darah kecil hati, infark hati) Nyeri tekan abdomen (trombosis arteri mesenterika)

Endokrin: kelemahanotot,kekakuanprogresifpada otot-otot pelvis dan paha dengan kontraktur fleksi yang berhubungan dengan insufisiensi adrenal

LDH, bilirubin, haptoglobin Tes Coombs direk/indirek Analisis urin dipstik untuk hemoglobin Antibodi antiplatelet (untuk mengevaluasi adanya

hubungan dengan purpura trombositopenik

hepatomegali (sindrom Budd-Chiari, trombosis

-

Pemeriksaan darah perifer lengkap

Pemeriksaanantibodiantifosfolipid Identifikasi ffombosis intrarenal. arleri renalis atau vena renalis:

-

Analisis urin dipstik untuk hemoglobin atau pro-

'

Untuk kejadian trombotik (mis. Trombosis Vena Dalam) - Ultrasonografi (USG) Doppler - Venograh - Ventilation/perfusion scan (untuk emboli pulmoner.) Untuk kejadian trombotik arterial (mis. oklusi/iskemia pembuluh darah serebral, jantung, perifer): - Computerized tomograpizy (CT) - Magnetic resonance imagint (MP*I)

-

Arteriografi USGDoppler Untuk kelainan jantung: - Ekokardiografi dua dimensi - Ekokardiografitransesofageal

-

Angiografi dengan kateterisasi

Patologi Biopsi dari organ yang terkena, seperti kulit atau ginjal, mungkin diperlukan untuk menegakkan diagnosis vaskulopati/mikroangiopati pada APS. Pemeriksaan histologi pada mikroangiopati trombotik menunjukkan adanya vaskulopati non-inflamasi tanpa vaskulitis. Fibrin thrombl dihubungkan dengan obstruksi dan hiperplasia intima hbrosa dengan rekanalisasi jaringan penyambung intima. Lesi ginjal, terutama, ditandai dengan oklusi vaskular yang fibrotik dengan trombosis akut dan lesi vasooklusif pada pembuluh-pembuluh darah intrarenal. Juga dapat ditemukan fibrosis interstisial dan atrofi tubuler.

teln

.

Pemeriksaan urin: adanya sel darah merah Urin 24 jam untuk pemeriksaan protein dan klirens

DIAGNOSIS BANDING

kreatinin

Identifikasi trombositopenia persisten atau anemia

Sindrom antifosfolipid adalah satu dari beberapa keadaan protrombotik dimana trombosis terjadi baikpada vena atau

hemolitik:

arteri. Meskipun kondisi lain yang dapat menjadi

13s0

HErUA*DOLOGI

predisposisi terjadinya trombosis arteri dan vena (misal. trombositopenia diinduksi heparin, homosisteinemia, kelainan mieloproliferatif, dan hiperviskositas) dapat dideteksi melalui pemeriksaan laboratorium rutin, adanya antibodi antifosfolipid mungkin menjadi satu-satunya kelainan pada pasien dengan sindrom antifosfolipid primer.

Penting untuk dicatat bahwa karena waktu tromboplastin parsial teraktivasi yang normal tidak menyingkirkan adanya antibodi antikoagulan lupus, seorang pasien yang menunjukkan kejadian trombotik

pertama kali harus diskrining terhadap antibodi antikardiolipin dan pemeriksaan lain yang sensitif dengan

antibodi antikoagulan lupus. Diagnosis dapat tidak diperkirakan pada pasien yang sindrom antifosfolipid-nya menunjukkan proses yang kronik dan lebih indolen, mengakibatkan terjadinya iskemia dan hilangnya fungsi organ yang lambat dan progresif.

-

Inkompatibilitas ibu dan bayi (ABO, Rh, HLA) Talasemia

PENGOBATAN Pengobatan digolongkan dalam 4 kelompok: 1). Profilaksis, trombosis pembuluh darah k ect'l 2). Pencegahan trombosis

lanjutan pada pembuluh darah sedang dan besar; 3). Pengobatan mikroangiopati trombotik akut, dan 4). Penanganan kehamilan yang berhubungan dengan antibodi antifosfolipid. Uraian berikut akan membahas mengenai pengobatan dua kelompok pertama. Jenis-jenis obat yang digunakan dalam terapi medikamentosa APS dapat dilihat pada Thbel2.

Faktor risiko sekunder yang meningkatkan kecenderungan trombosis harus dicari. Beberapa faktor dapat mempengaruhi dinding vena dan arteri, termasuk stasis, cedera vaskular, obat-obatan seperti kontrasepsi oral, dan faktor risiko tradisional untuk aterosklerosis. Sangat penting untuk menghilangkan atau mengurangi faktor-faktor ini, karena kehadiran antibodi antifosfolipid saja tidak cukup untuk menyebabkan terjadinya trombosis;

Aspirin Tiklopidin Dipiridamol

1-2 mglkglhari 250 mg, 2 kali sehari 75-400 mg/hari, 3 atau 4 kali sehari

Heparin

Dosis inisial: 40-170 U/kg lV lnfus pemeliharaan: 1B U/kg/jam lV atau:

Dosis inisial: 50 U/kg/jam lV, diikuti dengan infus 15-25 U/kg/jam, dosis ditingkatkan 5 U/kg/jam q4h prn berdasarkan hasil PTT

"serangan kedua" dikombinasikan dengan dengan antibodi antifosfolipid diperlukan untuk terjadinya trombosis. Akhirnya, bahkan pada pasien yang terbukti menderita sindrom antifosfolipid, menguraikan penyebab dan efeknya dapat sangat sulit. Sebagai contoh, sindrom antifosfolipid dikaitkan dengan sindrom nefritis, yang juga

Enoksaparin

.

ITP (Immune Thrombocytopenic Purpura), Anemia

.

hemolitik autoimun Kelainan autoimun sekunder:

-

SLE, dan penyakit kolagen lainnya (artritis rematoid dan Behget's)

Warfarin

.

Pasien asimptomatik tanpa faktor risiko dan riwayat keluarga dengan trombosis arteri/vena atau keguguran tidak diberikan terapi yang spesifik. Pasien asimptomatik dan terdapat anggota keluarga yang menderita trombosis vena/arteri atau keguguran

penisilin. Penyakitkanker:

tidak terdapat faktor risiko yang lain. Sebuah studi potong lintang pada the Physicians' Health Study meneliti peranan aspirin 325 mg per hari sebagai obat profilaksis. Aspirin tidak menimbulkan proteksi terhadap trombosis vena dalam dan emboli paru pada pria dengan antibodi antikardiolipin. Sebaliknya' aspririn dapat menimbulkan proteksi terhadap trombosis

Kanker hematologi (mis.leukemia, penyakit limfoproliferatif dan sel plasma, dll)

.

ad1

dapat diberikan profilaksis dengan aspirin, Namun sebagian klinisi tidak menganjurkan pengobatan ini jika

.

5-15 mg/hari, dosis dinaikkan berdasarkan INR yang ingin dicapai (2.5-3 5)

- Induksi

obat-obatan (drug induced), oleh prokainamid, hidralazin, kuinidin, fenotiazin,

.

Profilaksis (dosis rata-rata): 30 mg subkutan,

setiap 12 jam Terapi : '1 mg/kg, subkutan setiap 12 jam

merupakan faktor risiko tromboemboli. Penyakit lain yang berhubungan dengan APS adalah seperli berikut:

Dosis

Nama

-

Kanker padat Penyakitinfeksi: - Viral (misalnyaCMV, Hepatitis C, HIV HTLV-I, dll) - Bakterial (misalnya S. hemolyticus, H. pylori, Rickettsia spp, dll.) - Parasit (misalnya malaria) Penyakit hati kronis/sirosis hati: Alkoholik, Hepatitis C

Sindromhemolitik

pada perempuan dengan sindrom antifosfolipid dan riwayat keguguran. Hidroksiklorokuin dapat memproteksi

pasien lupus eritematosus sistemik dan sindrom antifosfolipid sekunder terhadap terj adinya trombosis' Tentunya, faktor-faktor lain yang menjadi predisposisi trombosis harus disingkirkan.

1351

SINDROM AI\TIBODI ANTIF1OSF1OLIPID

Modifikasi faktor risiko sekunder untuk aterosklerosis sebaiknya dilakukan, sehubungan dengan peranan cedera

Beberapa hal penting harus diperhatikan. Pertama, penghentian warfarin tampaknya berhubungan dengan

vaskular dalam pembentukan trombosis yang berhubungan dengan antibodi antifosfolipid, dan

peningkatan risiko trombosis dan bahkan kematian, khususnya pada enam bulan pertama setelah terapi antikoagulan dihentikan. Karena angka rekurensi pada pasien yang telah mendapat antikoagulan optimal dapat mencapai 707o, pergobatan dengan warfarin seharusnya dilakukan jangka panjang, jika tidak seumur hidup. Kedua, masih belum jelas apakah pasien dengan sindrom antifosfolipid dapat diobati dengan aman menggunakan

hubungannya dengan antibodi antifosfolipid dan LDL teroksidasi.

ad2 Peranan antikoagulan dalam menurunkan angka kejadian

trombosis berulang telah ditunjukkan melalui tiga penelitian retrospektif. Studi pada 19 pasien dengan sindrom antifosfolipid menunjukkan angka rekurensi pada

8 tahun sebesar 07o pada pasien yang mendapat antikoagulan oral. Pada pasien yang pengobatan antikoagulannya dihentikan, angka rekurensinya adalah 507o setelah 2 tahun dan 787o setelah 8 tahun. Dua seri studi lain yang lebih besar menunjukkan tingkat proteksi terhadap trombosis vena dan arteri berhubungan langsung dengan tingkat antikoagulasinya. Pada 70 pasien sindrom

antifosfolipid, pengobatan dengan warfarin intensitas menengah (untuk mencapai International Normalized Rario (INR) 2,0-2,9) dan intensitas tinggi (INR 3,0 atau

lebih) mengurangi angka trombosis rekurens secara bermakna, dimana pengobatan intensitas rendah (INR 1,9 atau kurang) tidak memberikan proteksi yang bermakna. Hasil yang serupa dilaporkan oleh studi pada 147 pasien dengan sindrom antifosfolipid. Pada kedua studi tersebut.

aspirin saja tidak efektif dalam menurunkan angka trombosis rekurens. PasienAPS primer dengan trombosis vena dapat diobati dengan terapi inisial yang terdiri dari heparin diikuti dengan

warfarin atau heparin berat molekul rendah (/ow molecular weight heparin, LMWH). Risiko kekambuhan tertinggi terjadi dalam 6-1,2 minggu pertama setelah

trombosis, namun biasanya pengobatan diteruskan setidaknya sampai 6 bulan pada pasien tanpa faktor risiko lain. PasienAPS primer dengan trombosis arlerilinfark tanpa faktor risiko lain dapat diobati dengan aspirin, sementara pemberian antikoagulan masih kontroversial. Sebagian

menganjurkan pemberian antikoagulan jangka panj ang. namun Antiphospholipid Antibodies in Stroke Study (APASS) melaporkan bahwa tidak adaperbedaan bermakna

dalam rekurensi stroke antara kelompok yang diobati dengan aspirin saja dibandingkan dengan kelompok yang diobati dengan aspirin dan warfarin. Pasien APS sekunder dengan trombosis arteri atau

warfarin intensitas menengah atau apakah dibutuhkan pengobatan intensitas tinggi. Hal ini merupakan hal penting

yang belum terpecahkan, karena warfarin intensitas tinggi

menyebabkan risiko lebih tinggi untuk terjadinya komplikasi perdarahan. Pada beberapa studi, warfarin intensitas menengah telah menunjukkan efek penekanan koagulasi yang sepenuhnya efektif, sebagaimana dinilai menurut kadar fragmen protrombin dan pencegahan

trombosis rekurens. Akhirnya, pemantauan tingkat antikoagulasi pada pasien sindrom antifosfolipid dipersulit

oleh kurangnya reagerr terstandarisasi untuk penentuan INR dan kemungkinan potensial adanya interferensi oleh antibodi antifosfolipid pada pengukurannya.

PENGOBATAN PADA IBU HAMIL Perempuan hamil dengan antibodi antifosfolipid positif dan riwayat dua atau lebih kehilangan kehamilan dini atau satu

atau lebih kehilangan kehamilan akhir, preeklampsi, pertumbuhan janin terhambat, atau abrupsio, disarankan pemberian aspirin antepartum ditambah profilaksis hep-

ain (unfractioned heparin UFH,

atau

LMWH)

dosis kecil

atau sedang (Grade 2B). Perempuan hamil dengan antibodi antifosfolipid positif

tanpa riwayat tromboemboli vena atau kehilangan kehamilan harus diperlimbangkan mempunyai peningkatan

risiko timbulnya trombosis vena dan, barangkali, kehilangan kehamilan. Pendekatan yang dapat dilakukan adalah observasi, pemberian heparin dosis kecil, profilaksis LMWH, dan/atau aspirin dosis rendah,75-762 mg sehari (semua Grade 2C). Pasien dengan APLA dan riwayat trombosis vena, pada umumnya mendapat antikoagulan oral jangka panjang oleh karena risiko kambuh yang tinggi. Selama dalam masa

kehamilan, di samping pemberian aspirin dosis mini

hidroksiklorokuin dan pentoksifilin) ditambah antikoagulan (warfarin atau LMWH). Pasa pasien dengan LA positif dan memiliki faktor risiko lain (seperti mutasi faktor V

direkomendasikan dosis terapi LMWH atau UFH. Saat pascapartum, terapi antikoagulan oral jangka panjang dilanjutkan (Grade 1C). Perempuan homozygous MTHFR varian termolabil (C611T), disarankan pemberian suplemen asam folat sebelum konsepsi atau, jika telah hamil, secepat mungkin,

Leiden, gen protrombin, atau MTHFR) pemberian

dan selama kehamilan (Grade 2C).

vena diindikasikan untuk pemberian terapi antiplatelet

(seringkali merupakan kombinasi antar asipirin.

antikoagulan seumur hidup mungkin diperlukan.

Perempuan dengan suatu trombofilia kongenital dan

1352

HEM/{IOLOGI

keguguran berulang pada trimester kedua atau setelahnya, preeklampsi berulang atau berat, atau abrupsio, disarankan pemberian aspirin dosis mini di samping profilaksis UFH atau LMWH dosis kecil (Grade 2C). Saat pascapartum, juga disarankan pemberian antikoagulan pada perempuan ini (Grade 2C).

REFERENSI D, Delezd M, Oria CV, et al. Antiphospholipid antibodies and the antiphospholipid syndrome in systemic lupus erythematosus: a prospective analysis of 500 consecutive patients Medicine (Baltimore). 1989;68:353-65. Alarc6n-Segovia D, P6rez-V6zqtez ME, Villa AR, Drenkard C, Alarc6n-Segovia

J. Preliminary classification criteria for the antiphospholipid syndrome within systemic lupus erythematosus. Semin Arthritis Rheum 1992: 2l:215-86. Alarc6n-Segovia D, Sanchez-Guerrero J. Primary antiphospholipid syndrome. J Rheumatol. 1989;16:482-8. Cabiedes

Ames PRJ. Antiphospholipid antibodies, thrombosis

and

atherosclerosis in systemlc lupus erythematosus: a unifying 'membrane stress syndrome' hypothesis. Lupus 1994;3:371-7 Arnout J. The pathogenesis of the antiphospholipid syndrome: a

hypothesis based on parallelisms with heparin-induced thrombocytopenia. Thromb Haemost 199675:536-41. Arvieux J, Roussel B, Jacob MC, Colomb MG. Measurement of antiphospholipid antibodies by ELISA using beta 2-glycoprotein I as an antigen. J Immunol Methods. 1991;143:223-9. Asherson RA, Khamashta MA, Ordi-Ros J, et al. The "primary" antiphospholipid syndrome: major clinical and serological features. Medicine. 1989;68:366-74. Asherson RA. Antiphospholipid antibodies and syndromes. In: Lahita RG, editor. Systemic iupus erythematosus. 2nd edition New York: Churchill Livingstone; 1992. p. 587-635.

Bajaj SP, Rapaport SI, Barclay S, Herbst KD. Acquired hypoprothrombinemia due to non-neutralizing antibodies to prothrombin: mechanism and management Blood 1985;65:1538-43.

Bemini JC, Buchanan GR, Ashcraft J. Hypoprothrombinemia and severe hemorrhage associated with a lupus anticoagulant. J Pediatr. 1993'.123:937 -9. Bevers EM, Galli M, Barbui T, Comfurius P, Zwaal RFA. Lupus anticoagulant IgG's (LA) are not directed to phospholipids only, but to a complex of lipid-bound human prolhrombin. Thromb Haemost. 1 991',66:629-32. Brandt JT, Triplett DA, Alving B, Scharrer I. Criteria for the diagnosis 1

of lupus anticoagulants: an update. Thromb Haemost.

995;74: I I

85

-90.

Cabral AR, Amigo MC, Cabiedes J, Alarc6n-Segovia D. The antiphospholipid /cofactor syndromes: a primary variant with antibodies to b2-glycoprotein-I but no antibodies detectable in standard antiphospholipid assays Am J Med. 1996.101:41281. Carreras LO. Forastiero RR. Martinuzzo ME. Which are the best biological biological markers of the antiphospholipid syndrome? J Autoimmun. 2000;1 5 :763-1 2. Cervera R, Khamashta MA, Font J, et al. Systemic lupus erythematosus: clinical and immunologic patterns of disease expression in a cohort of 1,000 patients. Medicine. 1993'72:71324.

de Groot PG, Derksen RHWM. Specificity and clinical relevance of

lupus anticoagulant. Vessels. 1995l.l:22-6. Erkan D, Lockshin MD. What is antiphospholipid syndrome? Curr Rhem Reports. 20041,6:451-7 Esmon NL, Safa O, Smirnov MD, Esmon CT. Antiphospholipid .

antibodies and the protein

C pathway. J

Autoimmun.

20O0:15:221-5. Calli M, Comfurius P, Barbui T, Zwaal RFA, Bevers EM. Anticoagulant activity of b2-glycoprotein I is potentiated by a distinct subgroup of anticardiolipin antibodies. Thromb Haemost 1992t68:29'7 -300 Galli M, Comfurius P, Maassen C, et al. Anticardiolipin antibodies

(ACA) directed not to cardiolipin but to a plasma protein cofactor. Lancet. 1990;335:1544-7. Galli M. Should we include anti-prothombin antibodies in the screening for the antiphospholipid syndrome? J Autoimmun 2000;15:l0l-5. Gruel Y. Antiphospholipid syndrome and heparin-induced thrombocytopenia: update on similarjties and differences J Autoimmun 2000:1 5:265- 8. Harris EN, Gharavi AE, Boey ML, et al. Anticardiolipin antibodies: detection by radioimmunoassay and association with thrombosis in systemic lupus erythematosus. Lancet. 1983 2:l2ll-4. Hift RJ, Bird AR, Sarembock BD Acquired hypoprothrombinaemia and Iupus anti-coagulanr: response to steroid therapy. Br J Rheumatol 1991 :30:308-10. H6rkko S, Miller E, Dudl E. et al Antiphospholipid antibodies are directed against epitopes of oxidized phospholipids: recognition of cardiolipin by monoclonal antibodies to epitopes of oxidized low density lipoprotein. J Clin Invest. 1996;98:81525. Hughes GRV, Hanis EN, Gharavi AE. The anticardioiipin syndrome J Rheumatol. 1986;13:486-9. Hughson MD, McCarty GA, Brumback RA. Spectrum of vascular

pathotogy affecting patients

with the

antiphospholipid

syndrome. Hum Pathol. 1995:26:T 16'24 Kandiah DA, Krilis SA Beta2-glycoprotein i Lupus. 1994'.3:207-

12. Levine JS, Subang R, Koh JS, Rauch J Induction of anti-phospholipid autoantibodies by b2-glycoprotein I bound to apoptotic thymocytes. J Autoimmun. 7998,ll:413-24 Lie JT. Pathology of the antiphospholipid syndrome. In: Asherson RA, Cervera R, Piette J-C, Shoenfeld Y, editors. The antiphospholipid syndrome. Boca Raton, Fla.: CRC Press; 1996

p. 89-104.

Lotz BP, Schutte C-M, Colin PF, Biermann LD.

Sneddon's complications and syndrome with anticardiolipin antibodies treatment. S Afr Med J. 1993183:663-4. Mclntyre JA, Wagenknecht DR. Anti-phosphatidylethanolamine (aPE) antibodies: a survey. J Autoimmun.2000;15:185-93. McNeil HP, Chesterman CN, Krilis SA. Immunology and clinical

importance of antiphospholipid antibodies. Adv Immunol. 1991:49:193-280 McNeil HP, Simpson RJ, Chesterman CN, Krilis SA Anti-phospholipid antibodies are directed against a complex antigen that includes a lipid-binding inhibitor of coagulation: b2-glycoprotein I (apolipoprotein H). Proc Natl Acad Sci, 87:4120-4.Hunt JE, McNeil HP, Morgan GJ, Crameri RM, Krilis SA. 1992. A phospholipids beta 2-glycoprotein I complex is an antigen for anticardiolipin antibodies occurring in autoimmune disease but not with infection. Lupus. 1990;1:75-81. Merkel PA, Chang YC, Pierangeli SS, Convery K, Harris EN, Polisson

13s3

SINDROM ANTIBODI ANTIFOSFOLIPID

RP The prevalence and clinical associations of anticardiolipin antibodies in a large inception cohort of patients with connective tissue diseases" Am J Med. 1996;101:576-83 Meroni PL, Del Papa N, Raschi E, et al. b2-Glycoprotein I as a 'cofactor' for anti-phospholipid reactivity with endothelial cells. Lupus. 1998;7(Suppl 2):S44-S7. Meroni PL, Raschi E, Camera M, et al. Endothelial activation by aPL: a potential pathogenetic mechanism for the clinical manifestations of the syndrome. J Autoimmun. 2000;15:237-40. Mufloz-Rodriguez FJ, Reverter JC, Font J, et al. Prevalence and

Rand JH, Wu X-X, Andree HAM, et al Pregnancy loss in the antiphospholipid- antibody syndrome - a possible thrombogenic mechanism. N Engl I Med. 1997;33'7:154-6O. Roubey RAS. Tissue factor pathway and the antiphospholipid syndrome. J Autoimmun. 20001,15:217 -20. Roubey RAS. Immunology of the antiphospholipid antibody syndrome. Arthritis Rheum. 199639:1 444-54. Shi W, Chong BH, Chesterman CN. b2-Glycoprotein I is a requirement for anticardiolipin antibodies binding to activated platelets: differences with lupus anticoagulants. Blood.

clinical significance of antiprothrombin antibodies in patients with systemic lupus elythematosus or with primary

1993:.81:7255-62. Tincani A, Balestrieri G Allegri F, et al. Overview on anticardiolipin ELISA standardization. I Autoimmun. 2000; 1 5 : I 95 -7. Vaarala O, Alfthan G Jauhiainen M, Leirisalo-Repo M, Aho K,

antiphospholipid syndrome. Haematologica. 2000;85 632-1.

Ohlson S, Zetterstrand K. Detection of circulating immune complexes by PEG precipitation combined with ELISA. J Immunol Methods. 19851,7'7 :87 -93. Oosting JD. Derksen RHWM, Bobbink IWG, Hackeng TM. Bouma BN, de Groot PG. Antiphospholipid antibodies directed against a combination of phospholipids with prothrombin, protein C or protein S: an explanation for their pathogenic mechanism?

Blood 1993:81 :2618-25. Permpikul P, Rao L\', Rapapod

SI Functional and binding studies of the roles of prothrombin and A2-glycoprotein I in the expression of iupus anticoagulant activity. Blood. 1994:'8}2878-

primary and secondary antiphospholipid syndrome: European multicenter study

of

a

114 patients. Am J Med.

1994:96:3-9.

Viard J-P, Amoura Z, Bach J-F. Association of anti-b2 glycoprotein I antibodies with lupus-type circulating anticoagulant and thrombosis in systemic lupus erythematosus. Am J Med. 1992;93:781-6.

92. Pernod G, Arvieux J, Carpentier PH, Mossuz P, Bosson JL, Polack

B. Successful treatnrent of lupus anticoagulant hypoprothrombinemia syndrome using i.ntravenous immunogiobulins. Thromb

Haemost. 1991

Palosuo T. Crossreaction between antibodies to oxidised low-density lipoprotein and to cardiolipin in systemic lupus erythematosus. Lancet. i993;341:923-5. Vianna JL, Khamashta MA, Ordi-Ros J, et al. Comparison of the

:1 8:969 -7 A

Petn M. Epidemiology of the antiphospholipid antibody syndrome J Autoimmun. 2000:l 5: 14.5-5 I Piette J-C, Wechsler B. Frances C, Papo T, Codeau P Exclusion criteria for primary antiphospholipid syndrome. J Rheumatol. 1993:20:1802-4. Price BE, Rauch J, Shia MA, et al. Anti-phospholipid autoantibodies bind to apoptotic, but not viable, thymocytes in a b2-glycoproteirr Idependent manner. J Immunol. 1996;157:2201-8.

Williams S, Linardic C, Wilson O, Comp P, Gralnick HR. Acquired hypoprothrombinemia: effects of danazol treatment. Am J Hematol. 1996:53:21 2-6. Wilson WA, Gharavi AE, Koike T, et al. International consensus statement on preliminary classification criteria for definite antiphospholipid syndrome: report of an international workshop. Arthritis Rheum. 79991'42:1309-ll. Wurm H. b2-Glycoprotein-I (apolipoprotein H) interactions with phospholipid vesicles. Int J Biochem. 1984;16:511-5.

214 TROMBOSIS VENA DALAM DAN EMBOLI PARU Lugyanti Sukrisman

PENDAHULUAN Gangguan pada Arteri

Trombosis adalah terbentuknya bekuan darah dalam

pada Vena

Gangguan

Gangguan pada Darah/ Trombosit Sindrom anti fosfolipid Reslstensi protein C (Faktor V Leiden) Sticky platelet syndrome Gangguan protein C Gangguan protein S Gangguan antitrombin Gangguan heparin kofaktor ll Gangguan plasminogen

pembuluh darah. Trombus atau bekuan darah ini dapat terbentuk pada vena, arteri, jantung atau mikrosirkulasi

Aterosklerosis Merokok

Operasi (umum) Operasi odopedi

dan menyebabkan komplikasi akibat obstruksi atau

H

ipertensi Diabetes melitus Kolesterol LDL Hipertrigliserida Riwayat trombosis pada keluarga Gagal jantung kiri

Artroskopi Trauma Keganasan lmobilisasi Sepsis

emboli. DiAmerika Serikat, trombosis merupakan penyebab utama kematian dengan angka kematian sekitar 2 juta penduduk setiap tahun akibat trombosis arteri, vena atau komplikasinya. Angka kejadian trombosis vena dalam (deep venous thrombosisIDVT) yang bam berkisar 50 per

Kontrasepsi oral

100.000 penduduk, sedangkan pada usia lebih dari 70 tahun diperkirakan 200 per 100.000 penduduk.

Trombosis vena dan emboli paru berkaitan dengan berbagai kondisi medis atau prosedur bedah tertentu. Risiko tromboemboli pada pasien dengan defisiensi antitrombin III dapat mencapai 807o,107o pada gagal jantung kong estif dan 40Vo pada infark miokard akut. Pada pasien yang menjalani operasi, kejadian DVT berkisar 30% di Eropa dan l6Vo di Amerika Serikat. Pada pasien yang menjalani operasi panggul atau lutut, kejadian DVT berkisar 45-107o sedangkan kejadian emboli paru dapat mencapai 20dto;7-37o di antaranya fatal. Pada operasi giuekologi dan obstetri, risiko DVT berkisar 1-45Vo sedangkan pada operasi saraf antara 9 -5ATo.TabeTberikut menggambarkan berbagai faktor yang dapat menyebabkan trombosis.

PATOGENESIS Dalam keadaan normal, darah yang bersirkulasi berada dalam keadaan cair, tetapi akan membentuk bekuan jika

teraktivasi atau terpapar dengan suatu permukaan. Virchow mengungkapkan suatu triad yang merupakan

Estrogen Lipoprotein (a) Polisitemia Sindrom hiperviskositas Sindrom leukostasis

Gagal jantung kongestif Sindrom nefrotik Obesitas Varicose vein Sindrom pascaflebitis Kontrasepsi oral

Gangguan plasminogen activator inhibitor Gangguan faktor Xll D

isfib rinog enem ia

Homosisteinemia

Estrogen

dasar terbentuknya trombus, yang dikenal sebagai Triad

Virchow. Triad ini terdiri dari: 1). gangguan pada aliran darah yang mengakibatkan stasis, 2). gangguan pada keseimbangan antara prokoaguian dan antikoagulan yang

menyebabkan aktivasi faktor pelnbekuan, dan 3). gangguan pada dinding pembuluh darah (endotel) yang menyebabkan prokoagul an.

Trombosis terjadi jika keseimbangan antara faktor trombogenik dan mekanisme protektif terganggu. Faktor trombogenik meliputi: . gangguan sel endotel . terpaparnya subendotel akibat hilangnya sel endotel . aktivasi trombosit atau interaksinya dengan kolagen subendotel atau faktor von Willebrand. . aktivasi koagulasi

t354

1355

TROMBOSIS VENA DALAM DAN EMBOLI PARU

. .

terganggunya fibrinolisis stasis

pasien dengan DVT proksimal yang simtomatikadalah94To

Mekanisme protektif terdiri dari: . faktor antitrombotik yang dilepaskan oleh sel endotel

. . . . .

netralisasi faktor pembekuan yang aktif oleh komponen sel ehdotel hambatan faktor pembekuan yang aktif oleh inhibitor pemecahan faktor pembekuan oleh protease

aktif

dan

trombosit yang beragregasi oleh aliran darah lisisnya trombus oleh sistem fibrinolisis

Trombus terdiri dari fibrin dan sel-se1 darah. Trombus arleri, karena aliran yang cepat, terdiri dari trombosit yang diikat oleh fibrin yang tipis, sedangkan trombus vena terutama terbentuk di daerah stasis dan terdiri dari eritrosit

dengan

omp r e.s.s ion wltr as o unfi m empunyai sensitivitas 89 7o darr spesivisitas 91o/o pada DVT proksimal yang simtomatik, sedangkan pada DVT di daerah betis, hasil negatif palsu

c

yaqg Lituh

pengenceran faktor pembekuan yang

dibandingkan dengan venografi, sedangkan pada pasien dengan DVT pada betis dan asimtomatik, ketepatannya rendah. Ultrasonografi kompresi (Real-Time B- mode

fibrin dalam jumlah yang besar dan sedikit

dapat mencapai 507o. Pemeriksaan duplex scanning mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi untuk mendiagnosis DVT proksimal. Venografi atau flebografi merupakan pemeriksaan standar untuk mendiagnosis

DVI

baik pada betis, paha, maupun sistem ileofemoral. Kerugiannya adalah pemasangan kateter vena dan risiko alergi terhadap bahan radiokontras atau yodium. MRI

umumnya digunakan untuk mendiagnosis DVT pada perempuan hamil atau pada DVT di daerah pelvis, iliaka dan vena kava di mana duplex scanning pada ekstremitas bawah menunjukkan hasil negatif.

trombosit.

Emboli Paru DIAGNOSIS

Trombosis Vena Dalam Anamnesis dan pemeriksaan fisis merupakan hal yang sangat penting dalam pendekatan pasien dengan dugaan trombosis. Keluhan utama pasien dengan DVT adalah kaki yang bengkak dan nyeri. Riwayat penyakit sebelumnya merupakan hal penting karena dapat diketahui faktor risiko

dan riwayat trombosis sebelumnya. Adanya riwayat trombosis dalam keluarga juga merupakan hal penting. Pada pemeriksaan fisis, tanda-tanda klinis yang klasik tidak selalu ditemukan. Gambaran klasik DVT adalah edema

tungkai unilateral, eritema, hangat, nyeri, dapat diraba pembuluh darah superfisial, dan tanda Homan yang positif. Pada pemeriksaan laboratorium hemostasis didapatkan

peningkatan D-dimer dan penurunan antitrombin. Peningkatan D-dimer merupakan indikator adanya trombosis yang aktif. Pemeriksaan ini sensitif tetapi tidak

spesifik dan sebenarnya lebih berperan untuk menyingkirkan adanya trombosis jika hasilnya negatif. Pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas 93 7o, spesi visitas ll Vo dan nilai prediksi negatif 987o pada DVT proksimal,

Pada emboli paru pasien umumnya mengeluh nyeri dada mendadak (seperli nyeri pleuritik), sesak napas, hemoptisis.

banyak berkeringat dan gelisah. Keluhan ini dapat menyerupai nyeri dada pada sindrom koroner akut, sehingga diperlukan anamnesis dan evaluasi yang lebih cermat. Gejala klasik emboli paru berupa sesak (dengan atau tanpa disertai nyeri dada pleuritik atau hemoptisis), takipnea, takikardia dan banyak berkeringat. Tanda ini sering tidak spesifik, sehingga harus dipikirkan diagnosis banding atau kemungkinan lain. Pemeriksaan foto dada (toraks) tidak spesifik tetapi dapat membantu mendiagnosis emboli paru, meskipun dapat dijumpai gambaran normal hingga 407o kasus. Elektrokardiogram dapat menunjukkan gambaran normal atau sinus takikardia. Gambaran yang klasik seperli gelombang S,-T., gelombang T yang terbalik di sandapan prekordial kanan, deviasi aksis ke kanan dan right bundle branch blocft (RBBB) Iengkap atau tidak lengkap dapat dijumpai tetapi tidak memastikan diagnosis. Pemeriksaan analisis gas darah dapat menunjukkan penurunan tekanan pO, dan pCO, yang disertai alkalosis, meskipun nilai analisis gas darah yang normal tidak menyingkirkan adanya

emboli paru.

sedangkan pada DVT daerah betis sensitivitasnyaT0To.

Pemeriksaan Ventilation-Perfusion (V/Q) Lung

Pemeriksaan laboratorium lain umumnya tidak terlalu bermakna untuk mendiagnosis adanya trombosis, tetapi dapat membantu menentukan faktor risiko. Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan yang

Scanning merupakan prosedur baku untuk mendiagnosis emboli paru. Interpretasi hasil pemeriksaan ini berdasarkan daerah V/Q yang 'mismatch' , yaitu tidak terdapatnya gambaran perfusi sedangkan gambaran ventilasi tampak normal atau tersebar merata. Hasil yang diperoleh dibagi

penting untuk mendiagnosis trombosis. Pada DVT, pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah venografi/ flebografi, ultrasonografi (USG) doppler (duplex s c

annin

g

), US G kompre si, Veno us I mp e danc e P I e thy smo -

graphy (IPG) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI).

Ketepatan pemeriksaan ultrasonografi doppler pada

gat mungki n (hi gh p r ob abi 116r), kemungki nan sedang (interme diate p rob ability'), rendah (low pro babi L'

m enj adi : s an

lD,), sangat rendah (very low probability'; atau normal. Angiografi pulmonal juga merupakan prosedur standar untuk mendiagnosis emboli paru. Mengingat prosedur ini

1356

HEMAT1OIOGI

invasif dengan risiko morbiditas0,2To dan mortalitas 1,97o karena reaksi alergi terhadap bahan kontras, perforasi jantung dan aritmia, prosedur ini digunakan jika hasil V/Q scanning menunjukkan kemungkinan sedang atau rendah dan ultrasonografi ekstrernitas normal sedangkan kemungkinan klinis sedang atau tinggi. Spiral CT angiograph\ mertpakan prosedur yang tidak invasif dengan sensitivitas 95,5Vo dan spesifisitas 97,6Vo, kecuali pada emboli paru subsegmental yang menunjukkan hasil yang lebih rendah.

PENATALAKSANAAN

Trombosis Vena Dalam Tujuan penatalaksanaan DVT pada fase akut adalah:

. . . .

Menghentikanbertambahnyatrombus Membatasi bengkak yang progresif pada tungkai Melisiskan atau membuang bekuan darah (trombektomi) dan mencegah disfungsi vena atau sindrom pasca trombosis Qtost thrombotic syndrome) di kemudian hari Mencegah emboli

Antikoagulan, Unfractionated heparin (UFH) merupakan antikoagulan yang sudah lama digunakan untuk

penatalaksanaan DVT pada saat awal. Mekanisme kerja utama heparin adalah: 1). meningkatkan kerja antitrombin III sebagai inhibitor faktor pembekuan, dan2). melepaskan

tissue factor pathway

inhibitor (TFPI) dari dinding

pembuluh darah. Terapi ini diberikan dengan bolus 80IU/ kg berat badan (BB) intravena dilanjutkan dengan infus 1 8 IU/kgBB/jam dengan pemantauan nrlai Activated Partial Thromboplastin Time (APTT) sekitar 6 jam setelah bolus untuk mencapai target APTT 1,5-2,5 kali nilai kontrol dan kemudian dipantar sedikitnya setiap hari. Sebelum memulai terapi heparin, APTT, masa protrombin(prothrombin timel PT) dan jumlah trombosit harus diperiksa, terutama pada pasien dengan risiko perdarahan yang tinggi atau dengan gangguan hati atau ginjal. Heparin berat molekul rendah (low molecular weight heparinllMWH) dapat diberikan satu atau dua kali sehari

secara subkutan dan mempunyai efikasi yang baik. Keuntungan LMWH adalah risiko perdarahan mayor yang lebih kecil dan tidak memerlukan pemantauan laboratorium yang sering dibandingkan dengan UFH, kecuali pada pasien-pasien tertentu seperti gagal ginjal atau sangat

Lama pemberian antikoagulan masih bervariasi. tetapi

pada urnumnya bergantung pada faktor risiko DVT tersebut. Pasien yang mengalami DVT harus mendapat

antikoagulan selama 6 minggu hrngga 3 bulan jika mempunyai faktor risiko yang reversibel, atau sedikitnya 6 bulan jika faktor risikonya tidak diketahui (idiopatik). Sedangkan pada pasien yang mempunyai faktor risiko molekular yang diturunkan seperti defisiensi antitrornbin III, protein C atau S, activated protein C resistdnce atatr dengan lupus anticoagulantl antibodi antikardiolipin, antikoagulan oral diberikan lebih lama, bahkan dapat seumur hidup. Pemberian antikoagulan seumur hidup ini juga diindikasikan pada pasien yang mengalami lebih dari dua kali episode trombosis vena atau satu kali trombosis pada kanker yang aktif. Terapi trombolitik. Terapi ini berlujuan untuk melisiskan trombus secara cepat dengan cara mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin. Terapi ini umumnyahanyaefektif pada

fase awal dan penggunaannya harus benar-benar dipertimbangkan secara baik karena mempunyai risiko perdarahan tiga kali lipat dibandingkan dengan terapi antikoagulan saj a. Pada umumnya terapi ini hanya dilakukan pada DVT dengan oklusi total, terutama pada iliofemoral.

Trombektomi. Trombektomi, terutama dengan fistula arteriovena sementara, harus dipertimbangkan pada trombosis vena iliofemoral akut yang kurang dari 7 hari dengan harapan hidup lebih dari l0 tahun.

Filter vena kava inferior. Filter ini digunakan

pada

trombosis di atas lutut pada kasus di mana antikoagulan merupakan kontraindikasi atau gagal mencegah emboli berulang.

Emboli Paru Pasien yang kesakitan harus diberikan analgetik tetapi harus hati-hati jika akan memberikan opiat pada pasien yang hipotensi. Jika terjadi hipoksemia refrakter meskipun

sudah diberikan oksigen, tindakan intubasi dan ventilasi

mekanik mungkin diperlukan, meskipun dapat memperburuk hemodinamik karena gangguan aliran darah

balik ke jantung (venous return). Pada pasien yang mengalami renjatan, pemasangan katetervena senffal perlu

dipeftimbangkan.

Antikoagulan, Seperti halnya DVT, UFH merupakan terapi

gemuk.

Pemberian antikoagulan UFH atau LMWH ini dilanjutkan dengan antikoagulan oral yang bekerja dengan menghambat faktor pembekuan yang memerlukan vitamin K. Antikoagulan oral yang sering digunakan adalah warfarin atau coumarin/derivatnya. Obat ini diberikan bersama-sama saat awal terapi heparin dengan pemantauan (I nt e rnat i o nal N o rmalize d Ratio) INR. Heparin diberikan

selama minimal

antikoagulan oral ini mencapai target INR yaitu 2,0-3,0 selama dua hari berturut-turut.

5 hari dan dapat dihentikan bila

standar dan dapat diberikan secara intravena atau subkutan. Karena efikasi heparin sangat bergantung pada konsentrasi yang harus dicapai dalam beberapa jam pasca terapi, pemberian secara subkutan tidak dapat mencapai respon yang adekuatkecualijikadosis awal UFH sedikitnya 17.500 IU (atau 250IUlkgBB) setiap 12 jam. Selain UFH, LMWH dapat diberikan dengan efikasi yang sama, meskipun masih belum direkomendasikan pada emboli paru masif yang

1357

TROMBOSIS VENA DALAIVI DAN EMBOLI PARU

disetar gangguan hemodinamik. Antikoagulan oral dimulai

akibat emboli paru yang fatal, pencegahan trombosis atau

bersamaan dengan terapi heparin. Kedua obat ini diberikan selama minimal 5 hari dan heparin dihentikan jika sudah

tromboprofilaksis harus dipertimbangkan pada kasus-

mencapai target INR di atas 2,0 selama dua hari berturut-

kasus yang mempunyai risiko terjadinya tromboemboli vena. Tabel berikut menggambarkan risiko tromboemboli

turut.

pada pasien yang menjalani operasi

Penghambat langsung trombin (direct thrombin inhibitor) seperti hirudin atau lepirudin merupakan

tomboprofilaksis.

antikoagulan y-ang digunakan pada pasien yang mengalami

pada tabel

trombositopenia akibat pemakaian heparin (HeparinInduc ed Thrombo cytctpenialHlT). Obat ini bekerja dengan

menghambat trombin secara langsung tanpa melalui antitrombin IIl. Hasil penelitian ximelagatran, obat pengharnbat langsung trombin yang terbaru, menunjukkan bahwa efikasi obat ini tidak lebih rendah dibandingkan dengan enoksaparin/warfarin dan tidak terdapat perbedaan

tanpa

Untuk mencegah tromboemboli vena, sepefii tercantum

di atas, dapat diberikan Low Dose Unfractionated Heparin (LDUH), yaitu UFH 5.000 IU subkutan setiap 8-12 jam yang dimulai l-2 jam sebelum operasi; ADH yaitu UFH subkutan setiap 8 jam, mulai sekitar 3.500 IU sk dan disesuaikan + 500 IU dengan target nilai aPTT normal tinggi, atau LMWH/heparinoid yang dapat diberi sesuai dengan jenis operasi dan risiko tromboemboli prosedur tersebut.

yang bermakna pada efek samping perdarahan mayor ataupun mortalitas dibandingkan dengan terapi standar.

Terapi trombolitik, Terapi ini dicadangkan untuk pasien dengan gangguan sirkulasi berat seperti hipotensi, oliguria dan hipoksemia berat. Risiko perdarahan mayor berkisar I 0%. Risiko perdarahan serebral berkisar 0,5-1,57o, terutama pada pasien usia lanjut dengan hipertensi yang

tidak terkontrol, pasien yang baru menjalani operasi kraniotomi atau strok.

PENCEGAHAN

Mengingat sebagian besar tromboemboli vena bersifat asimtomatik atau tidak diserlai gejala klinis yang khas, biaya yang tinggi jika terjadi komplikasi dan risiko kematian

Derajat Risiko Risiko rendah

DVT

Betis f/.1 2

REFERENSI Bick RL, Kaplan H. Syndromes of trombosis and hypercoagulability. Congenital and acquired causes of thrombosis. In: Bick RL. Guest editor The medical clinics of north America. Current concepts of thrombosis. Prevalent trends for diagnosis and management 1998;82:3 :409-5 8 Bandoljer. Evidence based thinking about health care. DVTs and all that, April 2003; 110-2. Disitasi dari http://www.jr2.ox.ac.uk/ bandolier/band110/b1 10-2.html tar,ggal 29 Mei 2005. Baker WF. Diagnosis of deep venous thrombosis and pulmonary embolism. In: Bick RL Guest editor. The medical clinics of north America Current concepts of thrombosis. Prevalent trends for diagnosis and management 1998;82:3:459-76. Goodnight SH, Hathaway WE. Mechanisms of hemostasis and thrombosis In: Disorders of hemostasis and thrombosis. A clinical

DVT (%l 04

Operasi minor pada pasien usia 3xkontrol)

Stop infus, ditunda pemberian selama 4 jam

Absolut: a). perdarahan aktil b). perdarahan serebrospinal, c).riwayat hipersensitivitas terhadap heparin, d).riwayat adanya trombositopenia terinduksi heparin, e). diatesis haemoragik.

Efek samping pemberian obat-obat antikoagulan adalah: a). perdarahan, b). trombositopenia, c). rambut rontok, biasanya reversibel, c). osteoporosis, dalam keadaan berat bisa sampai fraktur

Untuk mengurangi timbulnya efek samping ini. diperlukan monitor waktu pembekuan darah dan jumlah trombosit secara teratur

HEPARIN

Heparin merupakan mukopolisakarida (glukosaminoglikan) yang terdiri dari glukosamin sulfat dan asam glukuronat. Penelitian mengenai efektifitas heparin dan

anti koagulan oral, telah dimulai sejak tahun 1960. Kemudian, telah banyak dilakukan penelitian-penelitian

untuk menentukan dosis dan lama pemberian

Kurangi kecepatan infus

Heparin Biasa/Tidak Terfraksionasi (UF) Cara pemberian.Heparin dapat diberikan secara intra vena

atau subkutan, tidak boleh diberikan intramuskuler.

Dosis pemberian. Unfractionated heparin diberikan dengan dosis inisial 5000 U bolus IY kemudian dilanjutkan dengan drip 1000 U/jam, dosis ini harus selalu di evaluasi dan disesuaikan untuk mendapatkan nilai aPTT 1,5-2,5

kontrol (46-70 deiil:), aPTT ini diperiksa setiap 4-6 jam. Salah satu pedoman untuk pemberian UH dapat dilihat pada tabel.1

.

Alternatif lain pemberian UH adalah, diberikan 5.000 unit secara subkutan setiap 4-6 jam, dengan catatan besarnya dosis yang diberikan harus disesuaikan dengan hasil pemeriksaan aPTT, nilai aPTT tetap dipertahankan

I,5-2,5 kontrol. Cara ini terutama diberikan pada

antikoagulan pada pengobatan dan pencegahan timbulnya trombosis. Trombosis berulang dapat terjadi 20Vo pada kelompok yang tidak mendapat heparin, dan

pencegahan terjadinya trombosis vena dalam pada

hanya6,77o pada kelompok yang mendapat heparin pada masafollow up selama 6 bulan.

keterbatasan/ kekurangan sebagai berikut:

Secara farmakologis, heparin berfungsi sebagai antikoagulan yang mempunyai efek langsung sebagai antitrombin III, akan tetapi juga dapat melepaskan plasminogen aktifator jaringan dar tissue factor pathway inhibitor (TPFD dari endotel. TPFI ini dapat menekan/ menetralisir pembentukan faktor pembekuan Xa, sehingga tidak terj adi pembekuan. Heparin mempunyai berat molekul yang cukup besar sehingga tidak bisa melewati membran, tidak bisa diserap usus, dan tidak dapat meliwati plasenta. Dengan demikian heparin hanya dapat diberikan secara intra vena atau subkutan.

penyakit paru berat dan payah jantung yang lanjut.

Pemberian

UH secara kontinu, mempunyai

.

Tidak bisa diprediksi respon antikoagulannya, oleh

.

karena UH bisa di inaktifkan oleh protein plasma dan faktor trombosit 4. Membutuhkan monitor yang ketat fungsi pembekuan darah

. . .

Adanya "rebound" gejala klinis pada penghentian pemberian UH secara tiba-tiba. Bisa mengaktifasi fungsi trombosit Mempunyai risiko Heparin induced thrombocytopeni

Larna pemberian. Lama pemberian heparin adalah selama 5 hari, kemudian dilanjutkan dengan pemberian antikoagulan oral.

136L

PEMAKAIAN DAI\ PEMANIAUAN OBATOBATAN ANTITROMBOSIS

Heparin Berat Molekul Rendah (Low molecular weight heparinlLMWHl LMWH berasal dari degradasi unfractionated heparin, Dibandingkan dengan UH, LMWH mempunyai beberapa

tidak langsung (indirek) yaitu, bekerja secara kompetitif dengan vitamin K, sehingga akan mengganggu pembentukan faktor-faktor pembekuan II, VII, IX, dan X.

keunggulan. yaitu:

antikoagulan oral yang banyak dipakai adalah warfarin dan coumarin (Sintrom). Antikoagulan oral biasanya diberikan mengikuti pemberian heparin.

.

.

.

LMWH merupakan polisakarida dengan berat molekul (BM) yang lebih rendah yaitu 4.000 6.000 dalton, dibandingkan dengan UH yang mempunyai BM 12.000 14.000 dalton. Ukuran yang kecil ini memiliki aktivitas anti-Ila dan Xa yang lebih tinggi. LMWH diabsorpsi secara konsisten melalui pemberian subkutan dengan bioavailabilitas 85Vo, dibandingkan 15Vo pada UH, dan terutama dieksresi melalui ginjal dengan waktu paruh berkisar 3,5 4,5 jam dibandingkan 1,5 jam pada UH. Tingginya bioavailabilitas dan lamanya masa paruh, maka LMWH, memungkinkan diberikan 1 2 kali per hari. Pada pemberian LMWH, Partial thromboplastin time

(PTT) tidak akan memanjang, sehingga tidak perlu dievaluasi secara berkala. Dari berbagai penelitian dilaporkan bahwa LIvIWH lebih aman, efektif, dan cukup murah untuk tatalaksana trombosis vena dalam dan emboli paru non masif. Efektivitas.LMWH lebih baik terhadap regresi trombus

dibandingkan dengan UH. Pemberian UH menghasilkan regresi trombus pada 40,27o kasus, sedangkan pada pemberian LMWH dua kali sehari adalah 53,47c kasus dan pada terapi

LMWH sekali sehari

adalah 53,5r/o

.

Obat-obat yang termasuk kepada golongan

WARFAR!N Pemberian warfarin secara tunggal untuk pengobatan proses tromboemboli kurang bermanfaat, akan tetapi memberikan hasil yang memuaskan apabila diberikan mengikuti terapi hepari n. Beberapa peneliti telah mendapatkan bahwa, terapi warfarin pada proses tromboemboli vena yang pertama kali terjadi, memiliki angka kekambuhat22%o dalam masa "follow up" 3bulan, dibandingkan 77ob1la diterapi hanya dengan heparin atau LMWH. Pemberian warfarin selama 3 bulan pada pasien trombosis vena dalam yang telah diberi heparin selama 57 hari, akan mendapatkan insiden-trombosis berulang lebih rendah pada kelompok yang mendapat terapi'lanjutan dengan warfarin dibandingkan dengan kelompok tanpa pemberian warfarin.

Dosis dan Cara Pemberian

Akan tetapi dengan pengontrolan yang ketat,

Pemberian warfarin dimulai 24 jam setelah pemberian hep-

pemberian UH tidak akan memberikan efek samping yang banyak berbeda dengan pemberian LMWH. Oleh karena LMWH merupakan anti koagulan yang efektif, aman dan tidak perlu monitoring yang ketat untuk tatalaksana trombosis vena dalam, maka dikembangkan pemakaian LMWH secara mandiri bagi pasien rawat jalan, tanpa perlu dirawat inap di rumah sakit.

arin, dengan dosis 5-10 mg peroral, kemudian dosis disesuaikan dengan nilai INR. Setelah tercapai targetINR: 2-3 selarna2hari berturut turut (biasanya memerlukan waktu

4-5 hari), heparin dapat dihentikan,

pemberian

warfarin diteruskan sesuai dengan protokol yang dipakai. Salah satu protokol/pedoman pemberian warfarin adalah seperli Tabel 2.

Dosis dan Cara Pemberian LMWH. LMWH diberikan secara subkutan,

I

atau 2 kali sehari selama 5 hari, dengan

dosis sebagai berikut: . Enoksaparin (Lovenox): 100 U/KgBB, sekali sehari subkutan atau 40 mg subkutan tiap 12 jam, dosis pertama dapat didahului 30 mg IV bolus.

.

. . .

Nadroparine (Fraxiparin): 4.000 IU subkutan, diberikan tiap 12jam Dalteparin (Fragmin): 120IU/KgBB subkutan diberikan setiap 12jam. Maksimum 10.000 ru, 2kalilhari. Reviparin (Clivarin): 4.000 IU subkutan, diberikan tiap

12jarn Adreparin (Nurmilo): l20IU/KgBB subkutan, diberikan tiap 12jam.

ANTIKOAGULAN ORAL Golongan obat-obat antikoagulan oral ini berfungsi secara

Lama Pemberian Warfarin:

.

.

Pada trombosis vena asimtomatik, untuk vena distal: 4 minggu, dan vena proksimal: 3 bulan. Pada trombosis vena disertai faktor risiko yang berlanjut, diberikan minimal selama 6 bulan. Apabila faktor risiko tersebut tidak dapat dihilangkan, terapi diteruskan untuk

.

jangka waktu yang tidak terbatas. Pada trombosis vena dengan faktor risiko yang bersifat sementara (operasi, immobilisasi), terapi antikoagulan diberikan selama 4 minggu.

ANTIAGREGASI TROMBOSIT Trombosit merupakan faktor penting yang memulai dan

yang mempropagasi terjadinya suatu pembentukan trombus. Oleh karena itu antiaggregasi trombosit

1362

HEMATIOI.OGI

dan untuk mengurangi besarnya bekuan darah pada Penyesuaian Dosis

,4 ,9

1,1-1 I ,5- 1

2,0-3,0 3,0-4,9 4,0-5,0 >

5,0

Naikkan dosis l0 - 20%. Kontrol 1 minggu Naikkan dosis 5 -10% Kontrol 2 minggu Dosis tetap. Kontrol 1 minggu Turunkan dosis 5 -10%. Kontrol 2 minggu Turunkan dosis 10 - 20%. Kontrol 1 minggu Stop pemberian Dipantau s/d INR turun menjadi 3

merupakan suatu golongan obat pilihan untuk pengobatan dan pencegahan serangan iskemia yang disebabkan oleh

trombosis vena dalam.

Beberapa penelitian melaporkan, pada pasien trombosis vena dalam (DVT) yang mendapat obat trombolitik, angka kejadian sindroma pasca trombotik (Post Thrombo sis Syndrome ) berkurang.

Indikasi pemberian obat-obat golongan trombolitik adalah: . infark miokard akut

. . .

adanya proses trombosis arterial. Peran antiaggregasi

trombosit, berbeda dengan obat-obat golongan antikoagulan yang lebih bermanfaat pada trombosis vena.

Golongan obat anti aggregasi trombosit pertama yang masih banyak dipakai sampai saat ini adalah asam salisilat (aspirin). Asam salisilat berfungsi menghambat/inhibisi pembentukan prostasiklin dan tromboksan A2 yang berperan pada jalur pengaktifan aggregasi trombosit. Akan tetapi, karena efek samping aspirin yang dibenkan dalam jangka waktu yang cukup lama berupa iritasi lambung yang cukup mengganggu pasien, maka dikembangkan obat-obat

baru golongan antiaggregasi trombosit. Salah satu obat antiaggregasi trombosit baru adalah "ADP Receptor Antagonist, yang juga berperan menghambat aktifasi trombosit, contohnya klopidogrel. Obat-obat lain yang juga diteliti bermanfaat untuk mencegah aggregasi trombosit adalah ticlopidin, dipiridamol dan sulfin pirazon. Telah diteliti perbandingan efek tiklopidin dan klopidogrel pada pengobatan penyakit arteri koroner, dan didapatkan hasil yang hampir sama. Indikasi pemberian obat-obat antiaggregasi trombosit adalah untuk pencegahan terjadinya serangan iskemia akut seperti iskemia strok, "transient ischaemic attack", angina pektoris, penyakit vaskular perifer.

Dosis dan Cara Pemberian Anti-aggregasi Trombosit:

. .

. .

Aspirin: 150-325 mg, diberikanperoral. Untuk maintenen dilanjutkan dengan dosis 75-150 mg/hari. Klopidrogel: 15 mg/hari, diberikan per oral. Bisa diberikan dosis awal 300-600 mg apabila dibutuhkan mula kerja (onset of action) yatg cepat. Tiklopidin: 2 x 250 mg/hari, diberikan peroral. Bisa diberikan dosis awal 500 mg apabila dibutuhkan mula kerla (onset of action) yang cepat. Dipiridamol 2-3 x 25 mglhai, diberikan per oral.

OBATTROMBOLITIK Pengobatan dengan obat trombolitik seperti streptokinase,

urokinase, recombinant tissue plasminogen acth)ator (tPA) diberikan pada keadaan terjadinya emboli di arteri

emboli paru

ffombosis vena dalam penyakit aneri oklusifkronis

Kontraindikasi pemberian obat-obat golongan trombolitik adalah: Hipertensi berat, endokarditis bakterialis subakut, hamil trimester pertama, gangguan fungsi hati, gangguan fungsi ginjal, dan usia lanjut dengan kecendrungan degenerasi arteriosklerotik

Prepa rat Streptokinase, Obat ini berfungsi dan bertujuan untuk mengaktifkan pembentukan plasmin dari plasminogen. Dosis awal 250.000 ru, diberikan perinfus selama 30 menit, dan dilanjutkan dengan dosis 100.000 I.U./jam, dengan

pengontrolan waktu protrombin yang ketat. I-ama pemberian adalah 21-12 jam, dan dilanjutkan dengan pemberian heparin dan antikoagulan oral sesuai protokol yang sudah dibahas sebelum ini.

Urokinase, Dosis awal diberikan 4.000 uniVKgBB, dan dilanjutkan dengan infus 4.000 unit/KgBB/jam. Pemberian obat ini tidak memerlukan kontrol waktu protrombin.

Tissue P lasm i nogen Activator (rTPA)

.

Pada pasien dengan BB >65, dosis awal 1 5 mg, diberikan

bollus I.V pelan-pelan, kemudian 50 mg perinfus selama 30 menit pertama,

.

diikuti 35 mg selama 60 merut. sampai

dengan dosis maksimal 100 mg dalam waktu 3 jam pemberian. Pada pasien dengan BB GTGGT' atau p.Val6Glu), sehingga timbul anemia sel sickle. HbS banyak dijumpai di Amerika

ganda thalassemia a atau p dengan varian

Contohnya, thalassemia-p/tlbE: diwarisi dari salah satu orang tua yang pembawa sifat thalassemia p, dan yang lainnya adalah pembawa sifat HbE,.

BENTUK

H

EMOGLOBINOPATI LAINNYA

Serikat.

b. Heterozigot ganda HbS

dengan varian hemoglobin

1. Hb SC, dijumpai

2. 3. 4.

Di samping hemoglobinopati struktural dan thalassemia, termasuk ke dalam kelompok kelainan hemoglobinopati

thalassemik:

pada

3 7o

Afro-amerikan,

adalah varian hemoglobin thalassemik, hemoglobin

merupakan kombinasi antara HbS dan HbC yang

persisten herediter dan hemoglobinopati didapat.

diwarisi dari orang tua yang masing-masing membawa salah satu Hb varian (misalnya ayah

1.

pembawa sifat HbS dan ibu pembawa sifat HbC; atau sebaliknya)... Hb SD: adalah kombinasi HbS dengan HbD Hb SE: adalah kombinasi HbS dengan HbE. Hb S-thatassemia-o: adalah kombinasi HbS dengan

Varian hemoglobin thalassemik : Hemoglobin yang abnormal secara struktur (hemoglobin struktural), dikaitkan dengan fenotip thalassemia. yang diwariskan bersama-sama (c o inhe rite Q : a. Varian rantai globin p yang dikaitkan dengan fenotip thalassemia-p*: - HbC, Asam amino glutamat digantikan oleh asam

DASAR-DASAR THALASSEMIA

:

1381

SiALAH SATU JENIS HEMOGLOBINOPATI

amino lysin pada posisi 6 rantai globin p (Cd 6 GAGGT">AAGLv., atau

p.Glu6lys). Mutasi ini

drjumpai diAfrika.

-

Jenis thalassemia

Peta sebaran

Thalassemia-p

Populasi Mediteranian, Timur Tengah, lndia, Pakistan, Asia Tenggara, Rusia Selatan, Cina Jarang di: Afrika, kecuali Liberia, dan di beberapa bagian Afrika Utara Sporadik: pada semua ras

Thalassemia-o

Terentang dari Afrika ke Mediteranian, Timur Tengah, Asia Timur dan Tenggara Hb Baft's hydrops syndrome dan HbH disease sebagian besar terbatas di populasi Asia Tenggara dan Mediteranian

HbD-Punjab, Asam amino glutamat digantikan oleh asam amino glisin pada posisi l2l rantu

globin 0 (C0 121 GAAcr'>GGAcrn, atau p.Glul2lGly).

-

-

HbE, Asam amino glutamat digantikan oleh asam amino lysin pada posisi 26 rantai globin p (Cd 26 GAGG|'>AAGLv', atau p.Glu26lys). Mutasi ini banyak dijumpai di Asia Tenggara Hb Lepore (6P)0, Varian hemoglobin yang diproduksi oleh gen fusi ii6, akibat delesi bagian 3' gen 5 dan bagian 5' gen B. Gen fusi ini mengkode rantai fusi 6B varian yangjauh lebih sedikit diproduksi dibandingkan dengan rantai

thalassemia-p trait. Sedangkan homozigositas atau heterozigositas ganda disebut juga sebagai thalassemiap mayor. Tabel 3 menunjukkan genotip dan fenotip

p normal.

thalassemia-p

Dijumpai dengan frekuensi rendah pada

populasi Italia, Yunani dan Afro-amerikan dan

Afro-Inggris. Varian rantai globin cr yang dikaitkan dengan fenotip

Bentuk thalassemia-B

thalassemia u*

-

Hb Constant Spring. Disebabkan oleh mutasi pada codon stop gen o,2 yang selanjutnya menyebabkan penambahan 32 asam amino pada

rantai a2 (a2 Cdl42; TAu{srcp>CAAcrn+30aa 31nu p.Xl42GlnextX33) Frekuensi di Thailand 1 - 8 7a

2.

Hemoglobin persisten herediter (Hereditary persistent of fetal hemoglobin = IIPFH): kadar HbF tetap tinggi sampai dengan dewasa

Genotip

Fenotip

Thalassemia-Bo (B-zerothalassemia)

Thalassemia homozigot (Bopo)

Bervariasi (ringan s/d berat)

lhalassemra-F

Mutasi gen bervariasi heterozigot

Bervariasi (ringan s/d berat)

(B-plus-

thalassemia) Thalassemia-Bo dan

Thalassemia-B-

Heterozigot ganda: 2 Pu berbeda atau 2 p- berbeda atau Bodan B.

-

3. Hemoglobinopati

didapat (acquiret): Methemoglobin akibat terpajan bahan toksik, sulflremoglobin akibat terpajan bahan toksik, karboksihemoglobin, HbH pada

1.

eritroleukemia, HbF yang meningkat pada keadaan s/ress eritroid dan displasia sumsum tulang.

homozigot dan heterozigot Thalassemia-p0 (F-zerothalassemia) Terjadi karena gen normal tidak diekspresikan atau terjadi delesi gen (arang). Pada thalassemia homozigot (p0p0) rantai-p tidak diproduksi sama sekali dan hemoglobin A tidak dapat diproduksi. Pada thalassemia-p. (p-plus-thalassemia) ekspresi gen

EPIDEMIOLOGI THALASSEMIA Sebaran thalassemia terentang lebar dari Eropa SelatanMediteranian, Timur Tengah, dan Afrika sampai dengan Asia Selatan, Asia Timur, Asia Tenggara. Tabel 2 menunjukkan sebaran populasi thalassemia di dunia.

GENOTTP

normalmenurun, namun tidakmenghilang sama sekali, sehingga hemoglobin A masih diproduksi. Hingga saat ini telah ditemukan banyak jenis mutasi thalassemia-p* B

dengan berat defek sintesis rantai-p yang bervariasi, dari yang ringan sampai yang berat. Genotip homozigot thalassemia-B menunjukkan fenotip yang juga bervariasi, dari yang ringan sampai yang sangat berat. Sementara itu, heterozigot ganda dapat memiliki dua gen thalassemia-poyang berbeda, atau dua gen thalassemia-p'yang berbeda, atau kombinasi gen thalassemia po dan 6*.

DAN FENOTTp THALASSEMTA-p

Lebih dari dua ratus bentuk mutasi gen dijumpai pada thalassemia-o,, namun beratnya defek bervariasi. Individu normal memiliki dua alel gen globin-B, sehingga

genotip thalassemia-p dapat muncul dalam bentuk heterozigot atau homozigot. Kedua bentuk genotip ini dapat melahirkan berbagai bentuk fenotip thalassemia-B.

Heterozigositas thalassemia-B disebut juga sebagai

Thalassemia-p0, Thalassemia-p+, Thalassemia

,,

Thalassemia-p

trait

Thalassemia-p trait mempunyai genotip berupa heterozigot thalassemia-p, seringkali disebut juga

1382

HEM/!TT1OI.oGI

sebagai thalassemia-B minor. Fenotip kelainan

Penderita kelainan ini merupakan pembawa sifat yang fenotipnya tidak memberikan gejala dan tanda (an as-

ini secara

klinis tidak memberikan gejala (asimtomatik).

3. Thalassemia-p

ymptomatic, silent carrier state). Kelainan ini

mayor

Thalassemia-B mayor, dengan genotip homozigot atau heterozigot ganda thalassemia-p, menunjukkan fenotip

)

-

20

Eo

populasi keturunan Afrika.

Thalassemia-l-a trait (-o /-G atau oo /- -)

klinis berupa kelainan yang berat karena penderita

Pada penderita ditemukan delesi dua loki. Delesi ini dapat

bergantung pada transfusi darah untuk memperyanjang usla.

berbentuk thalassemia-2"-cx homozigot (-od-cx)

4. Thalassemia-pintermedia Thalassemia-p intermedia menunjukkan fenotip klinis

atau

thalassemia-1'-o heterozigot (cxo/- -). Fenotip thalassemia-l -o" trait menyerupai fenotip thalassemia-cr minor.

yang heterogen dengan derajat beratnya kelainan

Hemoglobin H disease (- -/- c[) Pada penderita ditemukan delesi tiga loki, berbentuk heterozigot ganda untuk thalassemia-2-o dan thalassemia-1-cr (-l-u) . Pada fetus terjadi akumulasi beberapa rantai -B yang tidak ada pasangannya (unpaired Schains). Sedangkan pada orang dewasa akumulasi unpaired-p chains yang mudah larut ini

bervariasi, mencakup:

membentuk tetramer P,,, yung disebut HbH. HbH

di antara thalassemia-B mayor dan thalassemia-B minor. Penderita thalassemia-p intermedia secara klinis

dapat berupa asimtomatik, namun kadang kadang memerlukan transfusi darah yang umumnya tidak bertujuan untuk mempertahankan hidup. Thalassemia-B intermedia merupakan kelompok kelainan

-

homozigot dan heterozigot ganda thalassemia-B* minor. atau

5.

ditemukan pada 15

heterozigot thalassemia-B yang diperberat dengan faktor pemberat genetik berupa triplikasi alfa baik

membentuk sejumlah kecil inklusi di dalam eritroblast, tetapi tidak berpresipitasi dalam eritrosit yang beredar. Delesi tiga loki ini memberikan fenotip yang lebih berat. Bentuk kelainan ini disebut E[bHdisease. Fenotip HbH

dalam bentuk heterozigot maupun homosigot. Thalassemia-Bdominan Mutasi thalassemia yang dikaitkan dengan fenotip kinis

disease berupa thalassemia intermedia, ditandai

yang abnormal dari bentuk heterozigot disebut juga

Hydrops fetalis dengan Hb Bart's (- - / - -) Pada fetus ditemukan delesi 4 loki. Pada keadaan embrional ini sama sekali tidak diproduksi rantai globin o. Akibatnya, produksi rantai globin-6 berlebihan dan membentuk tetramer globin-d, yang disebut Hb Barts (a,-). qini memiliki afinitas oksigen yang sangat tinggi. Akibatnya, oksigen tidak ada yang mencapai jaringan

sebagai th alassemia- p dominan

GENOTIP DAN FENOTIP SINDROM THALAS. SEMIA-cl Thalassemia-6 dikelompokkan ke dalam empat bentuk genotip klasik dengan fenotip yang berbeda, seperti tertera pada Thbel 4.

dengan anemia hemolitik sedang-berat, namun dengan

inefektivitas eritropoiesis yang lebih ringan.

fetus, sehingga terjadi asfiksia jaringan, edema (hydrops fetalis), gagal jantung kongestif, dan meninggal dalam uterus.

Gambar 1 di bawah ini menunjukkan jenis jenis Bentuk thalassemia-a Thalassemia-2-q tralf

Genotip (-o / oo)

thalassemia-u didasarkan atas lesi genetik.

Fenotip asimtomatik

Thalassemia-1 -q tralt:

-

Thalassemia-2"-o homozigot Thalassemia-1"-o heterozigot

(-o/-o) (oo

I

-)

J- q)

Hemoglobin H disease

(-

Hydrops fetalis dengan Hb Barts

(--l--)

1.

menyerupar

PATOGENESIS THALASSEMIA

thalassemia-B mtnor

Thalassemia merupakan sindrom kelainan yang

thalassemia intermedia

)

hydrops fetalis meninggal in utero

Thalassemia-2-a trqit (-a I crfl): Pada penderita hanya dijumpai delesi satu rantai cr (-cr), yang diwarisi dari salah satu orang tuanya. Sedangkan rantai-cr lainnya yang lengkap (cru), diwarisi dari pasangan orang tuanya dengan rantai-cr normal.

disebabkan oleh gangguan sintesis hemoglobin akibat mutasi di dalam atau dekat gen globin. Pada thalassemia mutasi gen globin ini dapat menimbulkan perubahan rantai globin cr atau p, berupa perubahan kecepatan sintesis (rafe of synthesis) atau kemampuan produksi rantai globin

tertentu, dengan akibat menurunnya atau tidak diproduksinya rantai globin tersebut. Perubahan ini diakibatkan oleh adanya mutasi gen globin pada clusters gen o, atau B berupa bentuk delesi atau non delesi. Walaupun telah lebih dari dua ratus mutasi gen thalassemia yang telah diidentifikasi, tidak jarang pada analisis

DASAR-DASAR THALASSEMIA

:

1383

SALAH SATU JENIS HEMOGLOBINOPATI

o. trait homozigot

HbH disease

hydrops fetalis

Gambar 1. Jenis jenis thalassemia-cr yang berbeda. Kotak hitam menunjukkan gen normal, sedangkan kotak putih menggambarkan delesi gen atau gen yang tidak aktif sebagian (parsial) atau seluruhnya (komplit)

DNA thalassemia belum dapat ditentukan jenis mutasi gennya. Hal inilah yang merupakan kendala terapi gen

-

pada thalassemia.

Clusters Gen Globin 1. Cluster gen-O( terletak pada kromosom

-

16:

terdiri atas satu gen-( fungsional dan dua gen-o (u. dan a,) exon kedua gen globin-cr memiliki sekuens yang identikal

2.

produksi mRNA a. melebihi produksi mRNA u,, oleh faktor 1,5 ke 3

Cluster gen B terletak pada kromosom I l: - terdiri atas satu gen e fungsional, gen c5, gen Ad, gen 6, dan gen p

- .flanking regions

mengandung conserved

sequences, pentlng untuk ekspresi gen

3.

Pengaturan cluster gen globin

-

Transkrip primer adalah prekursor mRNA yang besar, dengan kedua sekuens intron dan exon, yang secara ekstensif diproses di dalam nukleus untuk

4.

DASAB MOLUKELAR THALASSEMIA-P Thalassemia-p merupakan kelainan hemoglobin yang memilikr banyak bentuk mutasi gen. Hampir dari dua ratus bentuk mutasi gen yang terjadi pada thalassemia B. Setiap kelompok populasi memiliki satu set mutasi thalasemia B yang berbeda, umumnya terdiri atas dua atau tiga jenis mutasi yang membenttk bulk, dikombinasikan dengan sejumlah besar bentuk mutasi yang jarang. Begitu luas pola distribusi, hanya 20 allel yang dicakup untuk sebagian besar determinan thalassemia- B. Secara garis besar mutasi gen pada thalasssemia -p dibagi menjadi dua kelompok bentuk mutasi gen, yakni bentuk delesi dan non delesi.

1.

Pada saat kelahiran globin-p dan globin-d

-

diproduksi secara seimbang Pada usia 1 tahun, produksi globin-6kurang dari persen dari produski globin non-cr total

-

Mekanisme perubahan tidak jelas, mungkin

I

Delesi gen globin-B: Paling sedikit 17 delesi yang berbeda yang hanya dijumpai pada thalassemia-B,

menghasilkan mRNA akhir. - Ekspresi gen globin diatur oleh mekanisme kontrol yang kompleks. Perubahan dan perkembangan ekspresi gen globin - Globin-B yang diproduksi dalam konsentrasi rendah mulai minggu ke 8 sampai ke 10 masa fetus.dan sangat meningkat pada gestasi 36 minggu. - Globin-d yang diproduksi dalam konsentrasi pada awalnya, mulai menurun pada gestasi 36 minggu

-

melibatkan "a time clock" dalam sel asal (stent ceLls) hemopoiesis Sintesis hemoglobin fetal dapat direaktivasi pada orang deasa bila terjadi s/re.ts hemopoiesis

namun jarang dan tampaknya terisolasi, berupa kejadian tunggal (single event),keatali delesi 619-bp pada ujung

akhir 3' gen

-0

lebih sering ditemukan, walaupun

terbatas pada populasi Sind dan Gujarat di Pakistan dan India. Delesi ini mencakup lebih kurang 50 7o allel

thalassemia-B. Bentuk homozigot delesi ini menghasilkan thalassemia-Bo. Heterozigot delesi ini menghasilkan peningkatan HbA, dan HbF, sama yang dijumpai pada bentuk mutasi lainnya thalassemia-B

2.

Mutasi non delesi globin-B: Mutasi non delelesi globinp mencakup proses transkripsi, prosesing dan translasi, berupa mutasi titik (point mutations): - region promotor (promotor regions),

1384

-

HEMATOI.OGI

mutasi transkripsional pada lokasi CAP (CAP sites,

Kelas Mutasi Gen pada Thalassemia-cr

5' -untranslated region)

Tabel 5 di bawah menunjukkan jenis jenis mutasi gen-cr yang menyebabkan thalassemia-u.

mutasi prosesing RNA: intron-exon boundaries, polyadenilation signal (Poly A signal), splice site consensus .sequences, cryptic sites in exons, ct))p-

tic sites in introns.

-

mutasi yang menyebabkan translasi abnormal RNA

messengeri inisiasi (initiation), nonsense, dan

Jenis thalassemia-o Thalassemia-oo

Delesi mencakup cluster gen globin-o Truncations of telomeric region of 16p Delesi HS40 reglon

Thalassemia-o*

Delesi mencakup gen-o2 atau -o1 Point mutations mencakup gen-q2 atau -o1: prosesing mRNA: . IVS 1 donor * IVS 1 acceptor . Poly (A) signal translation mRNA: . initiation codon

mutasi frameshift.

3. Bentuk mutasi lainnya: Di samping kedua bentuk mutasi di atas dapat dijumpai juga bentuk bentuk mutasi lainnya yang khas pada thalassemia B diwariskan secara dom inan (.dominantly inhe r it e d B thalas s e mi as ), v aian

-

globin p tidak stabil (unstable p-globin variants), thalassemia p tersembunyi (silent $-thalassemia), mutasi thalassemia D yurg tidak terkait kluster gen

globin p ( p-thalassemia mutations unlinked to the Bglobin gene cluster), dan bentuk bentuk bervariasi thalassemia $ (variant forms of Bthalassemia) .

Bentuk mutasi gen

-

Thalassemia-q retardasi mental

. Exon I atau I " Termination codon posftranslation codon:. unstable a-globin

ATR-'I6: - delesi atau telomeric truncations

-

of 16p translokasi

ATR-X: - Mutasi KH2: . delesi

* missense * nonsense - spilce site

DASAR MOLEKULAR THALASSEMIA-o Haplotip gen globin-cr dapat ditulis sebagai

crcr, yang

menunjukkan gen-o,2 dan gen-cr,. Individu normal memiliki genotip cxcx/crq,. Pada thalassemia-5 dapat terjadi mutasi gen yang berbentuk delesi dan non-delesi gen-cx,.

Delesi Gen-o Delesi pada thalassemia-u yang mencakup satu (-cr) atau kedua (- -) gen -o dapat diklasifikasikan berdasarkan ukurannya, ditulis di atas (superscrDl). Contohnya (-cr37) menunjukkan delesi 3,7 kb pada satu gen-cx,. Bila ukuran delesi belum dapat ditentukan, maka ditulis sebagai (- - MED) yang artinya delesi kedua gen-cx, yang pertama kali diidentifikasi pada individu yang berasal dari

Mediteranian. kedua gen-o,, sehingga produksi rantai-o, hilang sama sekali

cra'2)

Pada thalassemia terjadi pengurangan atau tidak ada sama sekali produksi rantai globin satu atau lebih rantai globin. Penurunan secara bermakna kecepatan sintesis salah satu

jenis rantai globin (rantai-u atau rantai-p) menyebabkan sinstesis rantai globin yang tidak seimbang. Bila pada keadaan normal rantai globin yang disintesis seimbang antara rantai u dan rantai p, yakni berupa or9,, maka pada thalassemia-p0, di mana tidak disintesis sama sekali rantai B, maka

Pada thalassemia-o,0, terdapat 14 delesi yang mengenai

dari kormosom yang abnormal. Bentuk thalassemia-u* yang paling umum (-

PATOFISIOLOGI THALASSEMIA

o3,7

rantai globin yang diproduksi berupa rantai

cx,

yang

berlebihan (cro). Sedangkan pada thalassemia-o0, di mana tidak disintesis sama sekali rantai o,, maka rantai globin yang diproduksi berupa rantai B yang berlebihan (P,,).

dan-

mencakup delesi satu atau duplikasi lainnya gen

globin-o

Non-delesi Gen- a Pada lesi non-delesi kedua haplotip gen-cx utuh (cru), sehingga diberikan nomenklatur (crrcx), di mana s up e r s c r ip t T menunjukkan bahwa gen tersebut thalassemik. Namun bila defek molekular diketahui, seperti pada hemoglobin Constant Spring, nomenklatur (oru) dapat diubah menjadi (attcx).

Ekspresi gen-cx,2 lebih kuat dua sampai tiga kali dari ekspresi gen- or, sehingga sebagian besar mutasi nondelesi ditemukan predominasi pada ekspresi gen-o(,

Patof

isiologi thalassem ia-p

Pada thalassemia-B, di mana terdapat penurunan produksi

rantai p, terjadi produksi berlebihan rantai o,. Produksi rantai globin d, di mana pasca kelahiran masih tetap diproduksirantai globin %4 GbF), tidakmencukupi untuk

mengkompensasi defisiensi crrp, (HbA).

Hal ini

menunjukkan behwwa produksi rantai globin B dan rantai globin d tidak pernah dapat mencukupi untuk mengikat rantai cr yang berlebihan. Rantai o yang berlebihan ini merupakan ciri khas pada patogenesisi thalassemia-8. Rantai cr yang belebihan, yang tidak dapat berikatan dengan rantai gobin lainnya, akan berpresipitasi pada prekursor sel darah merah dalam sumsum tulang dan dalam

DASAR-DASAR THALASSEMIA

:

SAL/*I

sel progenitor dalam darah tepi. Presipitasi ini akan menimbulkan gangguan pematangan prekursor eritroid dan eritropoiesis yang tidak efektif (inefektifl, sehingga umur eritrosit menjadi pendek. Akibatnya, timbul anemia. Anemia ini lebih lanjut lagi akan menjadi pendorong(drive) profiferasi eritroid yang terus menerus (intens) dalam sumsum tulang yang inefektif, sehingga terjadi ekspansi sumsum tulang. Hal ini kemudian akan menyebabkan deformitas skeletal dan berbagai gangguan perlumbuhan dan metabolisme. Anemia kemudian akan ditimbulkan lagi (exacerbated) dengan adanya hemodilusi akibat adanya hubungan langsung (shunting) darah akibat sumsum

tulang yang berekspansi dan juga oleh adanya splenomegali. Pada limpa yang membesar makin banyak sel darah merah abnormal yang terjebak, untuk kemudian akan dihancurkan oleh sistemfagosit. Hiperplasia sumsum tulang kemudian akan meningkatkan absorpsi dan muatan

/- -)

memberi fenotip seperti thalassemia-B carrier. Kehilangan 3 dari 4 gen globin-u memberikan fenotip tingkat penyakit berat menengah (moderat), yang dikatakan sebagai HbH disease. Sedangkan thalassemia-

homozigot (-/-) tidak dapat berlahan hidup, disebut sebagai Hb-Bart's hydrops syndrome. Kelainan dasar thalssemia-u sama dengan thalassemiap, yakni ketidak seimbangan sintesis rantai globin. Namun ada perbedaan besar dalam hal patofisiologi kedua jenis thalassemia ini. . Peftama, karena rantai-u dimiliki bersama oleh hemoglobin fetus ataupun dewasa (tidak seperli pada thalassemia-B), maka thalassemia-u bermanifestasi pada masa u,0

.

fetus. Kedua, sifarsifat yang ditimbulkan akibat produksi

secara berlebihan rantai globin- d dan -0 yung disebabkan oleh defek produksi rantai globin-c[ sangat

besi. Transfusi yang diberikan secara teratur juga menambah muatan besi. Hal ini akan menyebabkan

berbeda dibandingkan dengan akibat produksi berlebihan rantai-o, pada thalassemia-B. Bila kelebihan

penimbunan besi yang progresif di jaringan berbagai organ, yang akan diikuti kerusakan organ dan diakhiri dengan kematian. bila besi ini tidak segera dikeluarkan. Tabet 6 memperlihatkan patofisiologi thalassemia-p.

Patof

1385

SATU JENIS HEMOGLOBINOPATI

rantai-cr tersebut menyebabkan presipitasi pada prekursel eritrosit, maka thalassemia-o menimbulkan tetramer yang larut (soluble), yakni q, Hb Barl's dan 00, seperti diperlihatkan pada Gambar 2 dan Tabel 7.

isiologi thalassemia-cr

Patofisiologi thalassemia-u umumnya sama dengan yang dijumpai pada thalassemia-B kecuali beberapa perbedaan utama akibat delesi (-) atau mutasi (T) rantai globin-u. Hilangnya gen globin-cr tunggal (-orluo, atau crro/oo) tidak berdampak pada fenotip. Sedangkan thalassemia-2^-cr homozigot (-ol-o) atau thalassemia- 1u-cx heterozigot (crcr

BEBERAPA PERBEDAAN PENTING ANTABA THALASSEMIA-a DAN THALASEMIA-P Tabel 7 di bawah ini memperlihatkan beberapa perbedaan penting antara thalassemia-cr dan thalassemia-p, mencakup kelainan gen sampai dengan manifestasi klinik.

Akibatnya/Manifestasi nya

Hal yang Terjadi Mutasi primer terhadap produksi globin:

Sintesis globin yang tidak seimbang

Rantai globin yang berlebihan terhadap metabolisme dan ketahanan hidup (suruival) eritrosit

Anemia

Eritrosit abnormal terhadap fungsi organ

Anemia, splenomegali, hepatomegali, dan kondisi h iperkoagu la bilitas

Anemia terhadap fungsi organ

Produksi eritropoietin dan ekspansi sumsum tulang, deformitas skeletal, gangguan metabolisme, dan perubahan adaptif fungsi kardiovaskular

Metabolisme besi yang abnormal

Muatan besi berlebih miokardium, kulit

)

kerusakan jaringan hati, endokrin,

Rentan terhadap infeksi spesifik Sel seleksi

Peningkatan kadar HbF; Heterogenitas populasi sel darah merah

Modifiers genetik sekunder

Variasi fenotip: khususnya melalui respons HbF Variasi metabolisme bilirubin, besi, dan tulang

Pengobatan

Muatan besi berlebih, kelainan tulang, infeksi yang ditularkan lewat darah, toksisitas obat

Riwayat evolusioner

Variasi dari latar belakang genetik: respon terhadap infeksi

Faktor ekologi dan etnologi

1386

HEM/r$OLOGI

Dewasa

Fetus

Hb Bart's

HbH Afinitas oksigen tinggi E HIPOKSIA lnstabilitas homotetramer lnclusionbodies Kerusakan membran. Umur eritrosit pendek I HEMOLISIS Splenomegali I HIPERSPLENISME

Gambar 2. Garis besar patofisiologi talasemia-o

Mutasi

Sifat-sifat globin yang berlebihan

Sel darah merah

Anemia Perubahan tulang Besi berlebih

Thalassemia-q

Thalassemia-B

Delesi gen umum terjadi Tetramer y4 atau P4 yang larut Pembentukan hemikrom lambat Band 4.1 tidak teroksidasi Terikat kepada band 3 Hidrasi berlebihan (overhydrated) Kaku (ngld) Membra hiperstabil p50 menurun Terutama hemolitik Jarang

Delesi gen umum jarang terjadi Agregat rantai-o yang tidak larut Pembentukan hemikrom cepat Band 4 1 teroksidasi lnteraksi kurang dengan band 3

Jarang

Umum

Higgs DR, Thein SL, Wood WG. The biology of the thallssenria. In: Wearherall DJ, Clegg JB, editors The Thzrlassemia Syndromes. zlth ed, New York: Blackwell Science: 2001,p 65Bain BJ Hemoglobinopathy Diagnosis. lst ed. Mald'en,MA: Blackwell Science: 2001. I 186.

3

McGhee DB Structurai Defects in Hemoglobin (Hemoglobinopathies). In: Hematology Clinical Principles and Applications. 2nd ed, Philadelphia, PA: Saunders: 2002, p 319 - 358.

Membran tidak stabil p50 menurun Terutama diseritropoietik Umum

editors. Wintrobe's Clinical Hematology, 7rh

ed,

& Wilkins: 2004, p

1247

Philadelphia,PA: Lippincott Williams

284

2

Kaku

Lukens JN Abnormal Hemoglobins: Hereditary Disorders of Hemoglobin Structure and Synthesis. Abnormal Hemoglobins: General Principles. In: Greer JP, Foersier J, Lukens JN, et atl,

REFERENSI

1

Dehidrasi

-

1262.

-

601.

Benz EJ. Hemoglobinopathies. In: Harrison's Principies of Internal Medicine 16th ed, New York: McGraw-Hill: 2005, p 593

6 '7.

Weatherall DJ, Clegg JB The Thalassemia Syndromes. 4th Malden, MA: Blackwell Science: 2OOl, p 3 - 82 Konsensus Naasional Penatalaksanaan Thalassemia

ed.

220 THALASSEMIA: MANIFESTASI KLINIS, PENDEI(ATAN DIAGNOSIS, DAN THALASSEMIA INTERMEDIA Djumhana Atmakusuma

MANIFESTASI KLINIS THALASSEMIA Kelainan genotip thalassemia memberikan fenotip yang khusus, bervariasi, dan tidak jarang tidak sesuai dengan yang diperkirakan.

MANTFESTAST KLTNTS THALASSEMIA-p

b. Gambaran Fenotip Tampilan klinis normal dengan kadar hemoglobiii normal, kadar IIbA2 normal dan kemungkinan adanya mikrositosis yang sangat ringan.

Adanya pembawa sifat tersembunyi diketahui saat dilakukan studi keluarga (saudara kandung dan keluarga dekat) pada anak dengan sindroma thalassemia-B yang

lebih berat daripada kedua orangtuanya

yang

menunjukkan thalassemia- p rralr. Thalassemia-B dibagi 3 (tiga) sindrom klinik ditambah satu sindrom yang baru ditentukan, yakni:

. .

. .

Thalassemia-B minor (trait) I heterozigot: anemia hemolitik mikrositik hipokrom Thalassemia-B mayor / homozigot: Anemia berat yang bergantung pada transfusi darah Thalasssemia-B intermedia: Gejala di antara thalssemiap mayor dan minor

Pembawa sifat tersembunyi thalassemia-B $ilent carrier)

PEMBAWA SIFAT TERSEMBUNY! THALASSEMIA.

9 GTLENT CABRTER)

a. Kelainan Genotip Pembawa sifat tersembunyi adalah penderita thalassemia dengan variasi mutasi F yung heterogen, di mana hanya sedikit terjadi gangguan produksi rantai-p, sehingga dihasilkan rasio yang hampir normal antara rantai globin p dan o, tanpa menyebabkan kelainan hematologis

THALASSEMTA-p MINOR (TRAtr)

a. Gambaran Klinis Tampilan klinis normal. Hepatomegali dan splenomegali ditemukan pada sedikit penderita.

b. Gambaran Laboratoris Pada penderita thalassemia-p minor biasanya ditemukan anemia hemolitik ringan yang tidak bergejala (asimtomatik). Kadar hemboglobin terentang antara 10 13 g7o dengarr

-

jumlah eritrosit normal atau sedikit tinggi. Darah tepi menunjukkan gambaran mikrositik hipokrom, poikilositosis,

sel target dan eliptosit, termasuk kemungkinan ditemukannya peningkatan eritrosit stippled. Sumsum tulang menunjukkan hiperplasia eritroid ringan sampai sedang dengan eritropoiesis yang sedikit tidak efektif. Umumnya kadar HbA2 tinggi (antara 3,5 - 8 Vo). Kadat

IIbF biasanya terentang antara I - 5 Vo.Padabentuk varian lainnya yang jarang, ditemukan HbF berkisar antara 5

1387

-207o.

1388

HEMANOLOGI

THALASSEMTA-p MAYOB

yang sangat bergantung transfusi darah dan thalassemia trait yang asimtomatik

a. Gambaran Klinis Thalassemia-B mayor.biasanya ditemukan pada anak

b. Kelainan Genotip

berusia 6 bulan sampai dengan 2 tahun dengan klinis ane-

Penderita thalassemia-p intermedia dapat menunjukkan kelainan kelainan genotip yang berbentuk:

mia berat. Bila anak tersebut tidak diobati dengan hipertransfusi (transfusi darah yang bertujuan mencapai

kadar Hb tinggi) akan terjadi

peningkatan

hepatosplenomegali, ikterus, perubahan tulang yang nyata karena rongga sumsum tulang mengalami ekspansi akibat hiperplasia eritroid yang ekstrim.

. .

heterozigot ganda untuk untuk mutasi ringan atau mutasi yang menyebabkan pengurangan yang lebih nyata ekspresi globin-p

. pewarisan bersama (co-inheritance)

dengan

thalassemia-cr, yang menyebabkan bentuk homozigot mutasi thalassemia-B yang lebih berat, namun dapat

b. Gambaran Radiologis Radiologi menunjukkan gambaran khas "hctir on end". Tulang panjang menjadi tipis akibat ekspansi sumsum tulang yang dapat berakibat fraktur patologis. Wajah meniadi khas, berupa menonjolnya dahi, tulang pipi dan dagu atas. Pertumbuhan fisik dan perkembangannya

homozigot untuk mutasi yang menyebabkan penurunan ringan ekspresi globin-B

.

terhambat.

. c. Gambaran Laboratoris

tetap berbentuk thalassemia yang tidak bergantung pada transfusi, karena rasio antara rantai-o/rantai-B lebih seimbang. peningkatan kapasitas untuk memproduksi rantai globin-d dari mekanisme non-delesi ke bentuk delesi dengan hasil meningkatnya produksi HbF

bentuk bentuk mutasi gen lainnya, seperti delesi thalassemia-8B, bentuk homozigot untuk bentuk mutasi

Kadar Hb rendah mencapai 3 ata.u 4 g7o. Erifrosit hipokrom,

sangat poikilositosis, termasuk sel target, sd. teardrop, dan eliptosit. Fragmen eritrosit dan mikrosferosit terjadi

akibat ketidak-seimbangan sintesis rantai globin. Pada darah tepi ditemukan eritrosit stippled d4n banyak sel eritrosit bemukleus. MCV terentang antara 50 - 60 fL. Sel darah merah khas berukuran besar dan sangat tipis. biasanya wrinkled dan folded dan mengandung hemoglobin clump. Hitung retikulosit berkisar antara 1 7o - 8 7c, di mana nilai ini kurang berkaitan dengan hiperplasia eritroid dan hemolisis yang terjadi. Rantai globin-cr yang berlebihan dan merusakmembran sel merupakan penyebab kematian prekursor sel darah merah intramedula, sehingga

tersebut, atau bentuk heterozigot ganda antara

.

thalassemia-6B dan mutasi thalassemia-B

pewarisan bersama antara thalassemia lokus-u rnple (ocru) dan thalassemia-p heterozigot.

c. Gambaran Laboratoris Morfologi eritrosit pada thalassemia intermedia menyerupai thalassemia mayor. Elektroforesis Hb dapat menunjukkan HbF 2 - 1 00 Vo, IIb1^2 sampai dengan 7 7o, dan HbA 0 - 80 Vo, bergantung pada fenotip penderita. HbF didistrubusikan secara heterogen dalam peredaran darah.

menimbulkan eritopoiesis inefektif. Elektroforesis Hb

d. Gambaran Klinis

menunjukkan terutama HbF. dengan sedikit peningkatan HbA,. HbA dapat tidak ada sama sekali atau menurun. Sumsum tulang menunjukkan hiperplasia eritroid dengan rasio eritroid dan mieloid kurang lebih 20: l. Besi serum sangat meningkat, tetapi total iron binding, capacity (TIBC) normal atau sedikit meningkat. Saturasi transferrin 80 7o ata.u lebih. Ferritin serum biasanya meningkat.

Gambaran klinik bervanasi dari bentuk ringan, walaupun dengan anemia sedang, sampai dengan anemia berat yang tidak dapat mentoleransi aktivitas berat dan fraktur patologik.

turnover besi dalam plasma, kemudian merangsang penyerapan besi via saluran cema. Komplikasi jantung dan endokrin muncul 10 - 20 tahun kemudian pada penderita thalassemia intermedia yang tidak mendapat transfusi darah.

THALASSEMI-p TNTERMEDTA

a. Pengertian Tentang Thalassemia lntermedia Thalassemia-B intermedia adalah penderita thalassemia yang dapat mempertahankan hemoglobin

Muatan besi berlebih dijumpai , walaupun tidak mendapat tran sfusi darah. Eritropoiesis nyata meningkat, namun tidak efektif, sehingga menyebabkan peningkatan

minimtm+J

THALASSEMTA-p/H EMOGLO BrN-E

g7o

Kelainan Genotip dan Gambaran Fenotip

atau lebih tinggi tanpa mendapat transfusi. Ketidak seimbangan sintesis ranta-o( dan -B berada di antara thalasernia trait dan mayor, sehingga fenotip klinik

Thalassemia-B/Hemoglobin-E (HbE) umumnya dijumpai di Asia Tenggara, di mana prevalensi kedua mutasi genetik

menyerupai gambaran di antara fenotip thaiassemia mayor

ini cukup tinggi. Karena HbE kurang diproduksi,

sama

1389

TTIALASSEMIA: MANIFESTASI KLINIS, PENDEKAIAI\ DIAGNOSIS, DAN THALASSEMIA INTERMEDIA

halnya dengan pada thalassemia-F, maka bila kedua mutasi gen ini diwariskan bersama, terjadi defisiensi yang nyata produksi rantai globin-p.

7

-

lO g7o dan retikulosit ar,rtaru 5

-

lO

Vo.

Limpa biasanya

membesar. Sumsum tulang menunjukkan hiperplasia eritroid.

intermedia sampai dengan thalassemia yang bergantung

Retardasi mental yang terakait dengan thalassemia-o, loki dekat cluster gen-cr pada kromosom 16, bermutasi atau ko-delesi dengan cluster

transfusi darah dan tidak dapat dibedakan dengan

gen-cI,.

Gambaran

klinik bervariasi di antara thalassemia

thalassemia-B homozigot.

dapat terjadi bila lokus atau

Krisis hemolitik terjadi bila penderita mengalami infeksi,

hamil atau terpapar dengan obat-obat oksidatif. Krisis

SINDROM KLINIS THALASSEMIA-o Empat sindrom klinik thalassemia-o terjadi pada thalassemia-o,, bergantung pada nomor gen dan pasangan

cis atau trans dan jumlah rantai-o yang diproduksi. Ke empat sindrom tersebut adalah pembawa sifat tersembunyi

thalassemia-u (silent carrier), thalassemia-a trait (thalassemia-d minor), HbH diseases dan thalassemia-cr homozigot (hydrop s fetalis)

hemolitik dapat menjadi penyebab terdeteksinya kelainan ini, karena penderita HbH disease ini biasanya menunjukkan gambaran klinik normal. Eritrosit menunjukkan mikrositik hipokromik dengan poikilositosis yang nyata, termasuk sel target dan gambaran beraneka-ragam. HbH mudah teroksidasi dan in vivo secara perlahan berubah ke bentuk Heinz-lika bodies daihemoglobin yang terdenaturasi. Inclusion bodies mengubah bentuk dan sifat viskoelastik eritrosit, menyebabkan umur eritrosit menurun. Splenektomi sering memberikan perbaikan.

PEMBAWA SIFAT TERSEMBUNYI THALASSEMIA-o

HYDROPS FETALIS

Kelainan Genotip, Gambaran Fenotip dan Laboratorium

Kelainan Genotip, Gambaran Fenotip,

Delesi satu gen globin-o menyisakan tiga gen globin-a

Laboratorium dan Tindak Lanjut

fungsional (-slucxs), menyebabkan sindrom sllenl

Thalassemia-u homozigot (- -/- -) tidak dapat bertahan hidup karena sintesis rantai globin-u tidak terjadi. Bayi lahir dengan hydrops fetalis, yakni edema disebabkan penumpukan cairan serosa dalam jaringan fetus akibat anemia berat. Hemoglobin didominasi oleh Hb Bart's (5r), bersama dengan Hb Portland 5-20 7o, dan sedikit HbH. Hb Bart's mempunyai afinitas oksigen yang tinggi, sehingga tidak dapat membawa oksigen ke jaringan . Fetus dapat bertahan hidup karena adanya Hb Portland, tetapi Hb jenis ini tidak dapat mendukung tahap berikutnya pertumbuhan fetus, dan akhirnya fetus meninggal karena anoksia.

carrier. Rasio rantai globin-or/-B hampir normal. Gambaran klinis normal. Tidak ditemukan kelainan hematologis. Saat dilahirkan, Hb Bart's (5.,) datam rentangan 1-2 Vo.Tidzk ada cara yang pasti untuk mendiagnosis silent carrier dengan kriteria hematologis. Bila diperlukan, dapat dilakukan studi gen.

THALASSEMIA-o TBArI (MINOR)

Kelainan Genotip, Gambaran Fenotip dan Laboratorium Thalassemia-o" trait dapat berupa bentuk homozigot-u*

(-ol-ct) atau heterozigot-u0 (- -/ocx). Sindrom ini menunjukkan tampilan klinis normal, anemiaringan dengan peningkatan eritrosit yang mikrositik hipokrom. Pada saat dilahirkan, Hb B art' s dalam rentan gan 2 - l0 Vo . Biasany a pada penderita dewasa tidak ditemukan HbH (p,,).

HBH DISEASE

Kelainan Genotip, Gambaran Fenotip dan Laboratorium

Bayi dilahirkan prematur, dapat lahir hidup lalu meninggal beberapa saat kemudian. Fetus menunjukkan anemia, edema, asites, hepatosplenomegali berat dan kardiomegali. Pada saat lahir bayi menunjukkan anemia mikrositik hipokrom. Rongga sumsum tulang melebar

dengan hiperplasia eritroid yang nyata.

Hal ini

menunjukkan eritropoi esis ekstramedular. Kehamilan dengan hydrops fetalis berbahaya bagi si ibu, karena dapat menyebabkan toksemia dan perdarahan

berat pasca partus. Adanya hydrops fetalis ini dapat diketahui pada pertengahan umur kehamilan dengan ultrasonografi. Terminasi awal dapat menghindarkan kejadian berbahaya ini pada si ibu.

HbH disease biasanya disebabkan oleh hanya adanya satu gen yang memproduksi rantai globin-o (- J- o) atau dapat juga disebabkan oleh kombinasi u0 dengan Hb Constant

PENDEKATAN DIAGNOSIS THALASSEMIA

Spring (- -/ ocs cx). Penderita mengalami anemia hemolitik kronik ringan sampai dengan sedang, dengan kadar Hb terentang antara

Untuk menegakkan diagnosis thalassemia diperlukan langkah langkah sebagai berikut, seperli yang digambarkan pada algoritma di bawah ini:

1390

HEM/rlifl)tOGI

Riwayat penyakit (Ras, riwayat keluarga, usia awal penyakit, pertumbuhan) I

Pemeritiaan fisik (Pucat, ikterus, splenomegali, deformitas skeletal, pigmentasi)

I Laboratorium darah dan sediaan apus (Hemoglobin, MCV, MCH, retikulosit, jumlah eritrosit, gambaran darah tepi/termasuk badan inklusi dalam eritrosit darah tepi atau sumsum tulang, dan presipitasi HbH

t I

Elektrofosresis hemoglobin (Adanya Hb abnormal, termasuk analisis pada pH 6-7 untuk HbH dan H Barts)

t I

Penentuan HbA2 dan HbF (Untuk memastikan thalassemia-B)

Distribusi HbF intraselular

Sintesis rantai globin

Analisis struktural Hb varian (misal:Hb Lepore)

Gambar 1. Algoritma pendekatan diagnosis thalassemia

Riwayat penderita dan keluarga sangat penting dalam mendiagnosis thalassemia, karena pada populasi dengan ras dan etnik tefientu terdapat frekuensi yang tinggi jenis

mikrositik dengan poikilositosis ringan sampai

gen abnormal thalassemia yang spesifik. Pemeriksaan fisik mengarahkan ke diagnosis thalassemia, bila dijumpai gejala

poikilositosis. Pada thalassemia-B homzigot dan

dengan

menengah. Pada thalassemia-s0 heterozigot terdapat

mikrositik dan hipokrom ringan, tetapi

kurang

heterozigot berganda, dapat ditemukan poikilosotpsi

s

yang

dan tanda pucat yang menunjukkan anemia, ikterus yang menunjukkan hemolitik, splenomegali yang menunjukkan

ekstrim, termasuk sel target dan eliptosit, dan juga

adanya penumpukan (pooling') sel abnormal, dan

retikulosit meningkat, menunjukkan sumsum tulang merespon proses hemolitik. Pada HbH Disease, hitung reikulosit dapat mencapai l0%. Pada thalassemia-B homozigot hitung retikulosit kurang leblh 57c; hal ini

deformitas skeletal, terutama pada thalassemia-p, yang

menunjukkan ekpansi rongga'sumsum tulang, pada thalassemia mayor. Penderita sindrom talassemia umumnya menunjukkan anemia mikrositik hipokrom. Kadar hemoglobin dan hematokrit menumn, tetapi hitung jenis eritrosit biasanya secara disproporsi relatif tinggi terhadap derajat anemia, yang menyebabkan MCV yang sangat rendah. MCHC biasanya sedikit menurun. Pada thalassemia mayor yang

tidak diobati, relative distribution u,ldth (RDW) meningkat karena anisosotosis yang nyata. Namun, pada

thalassemia minor RDW biasanya normal; hal ini membedakannya dengan anemia defisiensi besi. Pada pewamaan Wright eritorsit khas mikrositik dan hipokrom, kecuali pada fenotip pembawa sifat tersembunyi. Pada thalassemia-p heterozigot dan HbH disease, eritrosit

polikromasia, basophillic stippling, dan nRBCs. Hitung

secara tidak proporsional relatif rendah terhadap derajat

anemia. Penyebabnya paling mungkin akibat eritropoiesis

inefektif. Sumsum tulang penderita thalassemia-B yang tidak diobati menunjukkan hiperselularitas yang nyata dengan

hiperplasia eritroid yang ekstrim. Hemopoiesis ekstramedula terlihat menonjol. Namun HbH disease kurang menunjukkan hiperplasia eritroid. Sementara itu, thalassemia heterozigot hanya menunjukkan hiperplasia eritroid ringan. Eritrosit thalassemi a yang mikrositik hrpokrom memiliki fragilitas osmotik yang menurun. Hal ini digunakan sebagai dasar dari variasi one-tube tes fragilitas osmotik sebagai

TIIALASSEMIA: MANIFESTASI KLINIS, PENDEKATAI\ DIAGNOSIS, DAN THALASSEMIA INTERMEDIA

uji tapis pembawa sifat thalassemia pada populasi di mana thalassemia sering dijumpai. Namun, tes ini tidak dapat membedakannya dengan anemia defisiensi besi, karena pada pada anemia defisiensi besi ditemukan fragilitas osmotik yang menurun. Pada thalassemia-o minor (trait), HbH disease, dal thalassemia-u pembawa sifat tersembunyi (silent) tes pewarnaan brilliant cresyl blue :unltk HbH inclusions dapat digunakan untuk merangsang presipitasi HbH yang secara intdnsik tidak stabil. HbH inclusions (rantai globin-B yang terdenaturasi) mempunyai ciri khas berupa materi (bodies) yang kecil, multipel, berbentuk iregular, berwarna biru kehijauan, yang mirip bola golf atau buah raspberry. Materi ini biasanya tersebar merata dalam eritrsoit. Pada HbH disease. Hampir seluruh eritrosit mengandung inclusions, sedangkan pada thalassemia-

minor hanya sedikit eritrosit yang mengandung inclusions, sementara itu pada thalassemia-cx pembawa sifat tersembunyi inclusions ini jarang sekali ditemukan. Inclusions ini berbeda dengan Heinz bodies, di mana

1391

thalassemia intermedia.

a. Komplikasi Thalassemia lntermedia Komplikasi yang terjadi pada thalassemia intermedia dapat

diakibatkan oleh proses penyakitnya atau oleh -pengobatannya. Komplikasi akibat penyakit thalassemia, mencakup:

. . . . . .

. .

Kardiomiopati Ekstramedullary hematopoiesis

Kolelitiasis Splenomegali Hemokromatosis Kejadian trombosis (hiperkoagulasi, nsiko aterogenesis. lesi iskemik cerebral asimtomatis) Ulkus maleolar Deformitas dan kelainan tulang (osteoporosis)

cx,

materi ini menunjukkan ukuran yang lebih besar, jumlahnya sedikit, dan sering letaknya eksentrik di sepanjang membran eritrosit. Bila tidak ditemukan

llbIl

inclusions tidak berarti menghilangkan kemungkinan diagnosis thalassemia-o minor atau pembawa sifat tersembunyi. Untuk itu diperlukan matoda pemeriksaan khusus.

Elektroforesis dengan selulosa asetat pada pH basa penting untuk menapis diagnosis hemoglobin H, Bart's, Constrant Spring, Lepore, dan variasi lainnya. HbH dan Bafi's cepat bergerak pada selulosa asetat pada pH basa

b. Diagnosis Thalassemia lntermedia Diagnosis thalassemia intermedia mencakup anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium, seperti diuraikan di bawah ini, yang dikutip dari Panduan Penatalakasanaan Thalassemia Intermedia Perhimpunan Hematologi & Transfusi Darah Indonesia (PHTDI) Juli 2008.

b.1. Anamnesis

.

.

nwayat

. . . . ' . . .

tetapi pada pH asam hanya mereka merupakan hemoglobin yang bermigrasi anodally. Peningkatan HbA, dengan elektroforesis hemoglobin dapat dilakukan pada uji tapis thalassemia-B minor, yang diukur dengan menggunakan

mikrohematografi. Nilai HbA, Peningkatan HbF yang ditemukan pada thalassemia-bB, HPFH dan varian thalassemia-B lainnya dapat dideteksi juga dengan elektroforesis. Prosedur khusus lainnya seperti tes rantai globin dan analisis DNA dikerjakan untuk mengidentifikasi genotip spesifik. Uji ini dapat dilakukan untuk tujuan penelitian, untuk membedakan thalassemia-cx c arrier dari thalassemia-

ap carrier, untuk mengidentifikasi gen pembawa sifat tersembunyi, atau melihat pola pewarisan keluarga dengan gen yang banyak. Harus ditentukan apakah keuntungan uji lengkap ini melebihi biayanya

Usia tersering >18-67 tahun (dapat terjadi pada usia 2 I 8 tahun) Adanya tanda dan gejala anemia dengan atau tanpa Splenomegali Batu empedu Trombosis (DVT, stroke,fetalloss syndrome,APS)

Kardiomiopati Hemopoiesisekstramedular

Penyakithatikronik Ulkus maleolar Kelainan endokrin /diabetes melitus

b.2. Pemeriksaan Fisik

. . . . .

Facies Thalassemia

Pucat.

Ikterik+/Hepatosplenomegalisedang-berat Gangguan pertumbuhan tulang +/-

b.3. Laboratorium

THALASSEMIA INTERMEDIA Sebelum kita mendiagnosis thalassemia intermedia, seyogyanya kita mengetahui komplikasi akibat penyakit thalasemia itu sendiri, karena dengan mengetahui komplikasi tersebut, bila kita temukan gejala dan tanda tersebut kita harus berfikir kemungkinan orang ini penderita

.

Darah tepi lengkap

-

Hemoglobin Hematokrit

Retikulosit

Sediaan apus darah tepi : anemia mikrositer, hipokrom, anisositosis, poikilositosis, sel eritrosit muda (normoblast), fragmentosit, sel target.

t392

HE|MANOI.OGI

.

Indeks eritrosir (MCV MCH, MCHC, RDW) bila tidak ada cell counter,lakrtkzm uji resistensi osmotik 1 tabung (fragilitas) Analisis hemoglobin: 1 . Elektroforesis Hemoglobin - Hb varian kualitatif (elektroforesis cellulose acetaet membrane)

-

HbA2kuantitatif(metodamikrokolom) HbF (alkali denaturasi modifikasi Betke 2

pengobatan.

c.3. Pasca splenektomi bila Hb
View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF