PAPDI 122-145 Geriatri

March 26, 2017 | Author: Edward Arthur Iskandar | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download PAPDI 122-145 Geriatri...

Description

122 PROSES MENUA DAN IMPLIKASI KLINIKNYA SitiSetiati, Kuntjoro Harimufti, Arya Govinda

PENDAHULUAN

R

berusia lanjut umumnya tidak berespons terhadap berbagai

rangsangan, internal atau eksternal, seefektif yang dapat

dilakukan oleh orang yang lebih muda. Menurunnya

Pembahasan tentang proses menua semakin sering muncul seiring dengan semakin bertambahnya populasi usia lanjut

kapasitas untuk berespon terhadap lingkungan internal yang berubah cenderung membuat orang usia lanjut sulit untuk memelihara kestabilan status fisikawi dan kimiawi di dalam tubuh, atau memelihara homeostasis tubuh. Gangguan terhadap homeostasis tersebut menyebabkan disfungsi berbagai sistem organ lebih mungkin tedadi dan juga toleransi terhadap obat-obatan menurun. Perlu disadari bahwa amat sulit membedakan apakah proses menua yang terjadi pada seseorang mumi sematamata karena proses menua itu sendiri atau akibat penyakit

di berbagai belahan dunia. Penelitian-penelitian mengenai perubahan yang terkait usia merupakan areayang menarik dan penting belakangan ini. Berbagai aspek mengenai

proses menua banyak dibahas seperti aspek sosial, psikologi, ekonomi, atau fisik. Telah banyak dikemukakan bahwa proses menua amat

dipengaruhi oleh interaksi antara faktor genetik dan lingkungan. Usia kronologi yang diukur dengan tahun dan

usia fisiologi yang diukur dengan kapasitas fungsional tidaklah selalu seiring sejalan. Seseorang dapat terlihat lebih muda atau lebih tua dari umurnya, dan mungkin memiliki kapasitas fungsional yang lebih besar atau lebih

yang menyertai usia tua tersebut. Amat dibutuhkan penelitian yang dapat membedakan penurunan fungsi akibat penyakit atau proses menua nornal yang tentunya tidak mudah, karena proses menua normal belum dapat sepenuhnya dijelaskan dan kebanyakan oftIng berusia lanjut juga sudah mengalami beragam penyakit ketika

kecil dari yang diperkirakan dimilikinya pada umur tertentu. Proses menua bukanlah sesuatu yang terjadi hanya pada orang berusia lanjut, melainkan suatu proses normal

mereka bertambah tua. Penelitian yang sudah ada, sebenarnya lebih banyak menggunakan disain potong lintang dimana parameter yang diteliti, diukur dan dibandingkan pada saat yang sama untuk berbagai kelompok umur. Kelemahan penelitian dengan disain tersebut adalah amat sulit untuk menetapkan apakah

yang berlangsung sejak maturitas dan berakhir dengan

kematian. Namun demikian, efek penuaan tersebut umunnya menjadi lebih terlihat setelah usia 40 tahun. Proses menua seyogianya dianggap sebagai suatu proses normal dan tidak selalu menyebabkan gangguan fungsi organ atau penyakit. Berbagai faktor seperti faktor genetik, gaya hidup, dan lingkungan, mungkin lebih besar

perubahan-perubahan fungsi organ yang terjadi disebabkan

karena usia atau perubahan akibat sejumlah faktor sosial dan lingkungan, karena semuanya diuku pada satu saat yang sama dan tidak diikuti dari waktu ke waktu (kohort). Sebuah penelitian kohort besar, Framingham Study, yang melibatkan sekitar 5000 orang sejak tahun 1950-an, atau biasa disebut studi longitudinal Framingham, dan

mengakibatkan gangguan fungsi, daripada penambahan usia itu sendiri. Di sisi lain, hubungan antara usia dan penyakit

amatlah erat. Laju kematian untuk banyak penyakit meningkat seiring dengan menuanya seseorang, terutama disebabkan oleh menurunnya kemampuan orang usia lanjut berespons terhadap stres, baik stres fisik maupun psikologik. Secara umum dapat dikatakan terdapat kecenderungan menurunnya kapasitas fungsional baik pada tingkat selular maupun pada tingkat organ sejalan dengan proses menua. Akibat penurunan kapasitas fungsional tersebut, orang

Baltimore Longitudinal Study of Aging (BLSA) yang dimulai pada tahun 1958 dan melibatkan lebih dari 1000 subyek, mencoba mengikuti berbagai perubahan pada manusia dari waktu ke waktu seiring dengan penuaan.

757

758

GERI'TIRI

Penelitian-penelitian mengenai perubahan akibat proses menua menjadi semakin populer dan dirasakan penting pada tahun-tahun belakangan ini seiring dengan semakin bertambahnya populasi usia lanjut di berbagai belahan dunia. Berbagai artikel ihniah danpopuler semakin banyak membincangkan masalah proses menua tersebut dari berbagai aspek, baik sosial, psikologi, ekonomi, atau fisik. Tulisan ini akan lebih banyak membahas aspek biologi proses menua, yakni berbagai perubahan pada tubuh akibat proses menua padatataranmikroskopik dan makro skopik. Selanjutnya fisiolo gi pro ses menua disertai dengan implikasi kliniknya akan dibicarakan lebih jauh, dan akhirnya konsep menua yang sukses/sehat akan dikemukakan untuk melengkapi pembahasan mengenai proses menua mr.

DEFINISI DAN TERMINOLOGI Menua didefinisikan sebagai proses yang mengubah seorang dewasa sehat menjadi seorang yan g

frail ' (lemah,

rentan) dengan berkurangnya sebagian besar cadangan sistem fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit dan kematian secara eksponensial. Menua

juga didefinisikan sebagai pemrmnan seiring-waktu yang terjadi pada sebagian besar makhluk hidup, yang berupa kelemahan, meningkatnya kerentanan terhadap penyakit dan perubahan lingkungan, hilangnya mobilitas dan ketangkasan, serta perubahan fi siologis yang terkait-usia.

Terdapat beberapa istilah yang digunakan oleh gerontologis ketika membicarakan proses menua:

l.

aging @errarrrbahnya umur): menunjukkan efek waktu;

suatu proses perubahan, biasanya bertahap dan spontan

2. 3.

senescence (menjadi tua): hilangnya kemampuan sel untuk membelah dan berkembang (dan seiring waktu akan menyebabkan kematian) homeostenosls: penyempitan/berkurangnya cadangan homeostatis yang terjadi selama penuaan pada setiap sistem organ

Membedakan antara aging dan senescence dianggap perlu, karena banyak perubahan selama aging mung) 0,05) dan laju rehospitalisasi namun terdapat perbaikan pada parameter lain. Perbaikan

yang nampak adalah: status fungsional, memendeknya lama rawat, serta jumlah yang harus masuk ke panti rawat werdha makin kecil pada kelompok intervensi ; biayalangsung rawat inap juga lebih rendah pada kelompok intervensi.

KESIMPULAN Transisi demografi yang sedang terjadi saat ini membawa

Adelman AM. Managing Chronic Illness.

ft:

Adelman AM, Daly New

MP, eds.20 Common Problems Geriatrics,lst ed.

York:McGraw-Hi11; 200 1.p.3-14. Agostini JV, Inouye SK. Delirium. In: Hazzard WR, Blass JP, Ettinger WH, Halter JF, Ouslander JG, Tinetti ME, eds. Principles of

Geriatric Medicine and Gerontology. New York: McGrawHill;2003.p.1503-5. Aminzadeh F. Adherence to Recommendations of Community-Based Comprehensive Geriatric Assessment Programmes. Age and Age-

ing.2000;29:401-07

.

Apfeldorf WJ, Alexopoulos GS. Late-Life Mood Disorders.

ft:

Hazzard WR, Blass JP, Ettinger WH, Halter JF, Ouslander JG Tinetti ME, eds. Principles of Geriatric Medicine and Gerontology. New York: McGraw-Hi11,2003 :1443-7 . Betes-Jensen BM. Quality Indicators for Prevention and Management of Pressure ljlcers in Vulnerable Elders. Ann Intem Med 2001;,135:7 44-51.

Brummel-Smith K. Assessment in Rehabilitation. In: Osterweil D, Brummel-Smith K, Beck JC, eds. Comprehensive Geriatric Assessment. New York: McGraw-Hill; 2000.p.154-5. Butler RN et al. Uinary Incontinence: Keys to Diagnosis of The Older Woman. Geriatrics October 1999;54(10):22-6. Cohen HJ, Feussner JR, Weinberger M, et al. A Controlled Trial of

Inpatient and Outpatient Geriatric Evaluation and Management.

N Engl J Med,2002;346(12):905-91

1.

Damping CE. Depresi pada Geriatri: Apa Kekhususannya? Dalam: Prosiding Temu Ilmiah Geriatri 2003. Iakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian I.Penyakit Dalam FKUI; 2003.p.107-11. Elliot JR, Wilkinson TJ, Hanger HC, Gilchrist NL, Sainsbury R, Shamy S, Rothwell A. The Added Effectiveness of Early Geriatrician Involvement on Acute Orthopaedic Wards to Orthogeriatric Rehabilitation. N Z Med J. 1996 Mar 8 ; 109

(t0r7) :72-73

Elon R, Phillips C, Loome JF, Denman S, Woods A. General Issues and Comprehensive Approach to Assessment of Elders. 1z: Osterweil D,Brummel-Smith K, Beck JC,eds. Comprehensive Geriatric Assessment. New York:McGraw-Hill;2000.p.1-17. Fetter MS. Geriatric Assessment and Management Protocols: Issues

for Home Infusion Therapy Providers. J Infus Nurs. May-June; 26 (3) : 153-160. Fitzpatrick R, Davey C. Assessing Quality of Life.

2003

In: Evans LG,

775

PENGI(A"IIAII PARIPURNA PADA PASIEN GERIATRI

Williams TF, Beattie BL, Michel J-P, Wilcock GK, eds. Oxford Textbook of Geriatric Medicine. New York:Oxford University Press;2000.p.

1

147

ciples of Geriatric Medicine and Gerontology. New York:

-52.

Geriatric Interdisciplinary Team Training Implementation l\{anual 2001. Model Approaches to GITT. Chapter 6. New York :John A Hartford Foundation;2001.p.1 -12. Kalache A, Keller I. Population Ageing in Developing Countries: Demographic Aspects. In: Evans LG, Williams TF, Beattie BL, Michel J-P, Wilcock GK, eds. Oxford Textbook of Geriatric Medicine. New York:Oxford University Press;2000.p.26-32. Kenny RA. Falls and Syncope. In: Evans JG Williams TF, Beattie BL, Michel J-P, Wilcock GK, eds. Oxford Textbook of Geriatric Medicine. Oxford: Oxford University Press; 2000.p. 111-4. King MB. Falls. 1n: Hazzard WR, Blass JP, Ettinger WH, Halter JF, Ouslander JG Tinetti ME, eds. Principles of Geriatric Medicine and Gerontology. New York: McGraw-Hi11;2003.p. 1517-20. Kossovsky MP, Sarasin FP, Chopard P, et al. Relationship Between Hospital Lengthf of Stay And Quality of Care in Patients with Congestive Heart Failure. Qual Saf Health Care 2002;ll:219223.

Luk JK, Or KH, Woo J Using the Comprehensive Geriatric Assessment Technique to assess Elderly Patients. Hong Kong Med J. 2000 Mar; 6 (1) : 93-98. Makmun LH, Soejono CZH, Setiati S, Sari NK, Govinda A. Laporan Tahunan Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUPN CM / FKUI Tahun 2000. Jakarta: tidak diterbitkan. Nasrun MWS. Diagnosis dan Tatalaksana Demensia Alzheimer dalam Praktik. Dalam: Prosiding Temu Ilmiah Geria.;.i 2002. Jakafia: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian I.Penyakit Dalam FKUI;

2002.p. 5l-6. National Institutes of Health Consensus Development Conference Statement. Geriatric Assessment Methods for Clinical Decision Making. 1998. New York: NIH: 1-7. Naylor MD, e/ al. Comprehensive Discharge Planning and Home Follow-up of Hospitalized Elders. JAMA. 1999 ;281' : 613-620 Nikolaus ! Specht-leible N, Bach M, Oster P, Schlierf G A Randomized Trial of Comprehensive Geriatric Assessment and Home Intervention in the Care of Hospitalized Patients. Age and Ageing 1999;28:543-550. Nuhonni SA. Jenis dan Penyebab Mengompol dan Beser. Makalah: Masalah Mengompol dan Beser. Iakarta, Simposium Sehari Inkontinensia pada Usia Lanjut, 2001. Osterweil D, Brummel-Smith K, Beck JC. Preface. 1n: Comprehensive Geriatric Assessment. New York: McGraw-Hi11,2000:xiii:

xv1.

Penhall RK. Understanding Geriatric Assessment. Dalam: Asuhan Berkesinambungan pada Usia Lanjut dan Pasien Geriatri. Prosiding Temu Ilmiah Nasional Geriatri III. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Penyakit Dalam FKUI;2004.p.60-65. Purba JS. Demensia dan Penyakit Alzheimer. Dalam: Prosiding Temu Ilmiah Geriatri 2002. lakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian I.Penyakit Dalam FKUI; 2002.p. 78-83. Rainfray M, Bourdel_marchasson I, Dehail B Richard-Harston S.

Comprehensive Geriatric Assessment:

Reuben DB. Principles of Geriatric Care. In: Hazzard WR, Blass JP, Ettinger WH, Halter JF, Ouslander JG, Tinetti ME, eds. Prin-

A Useful Tool

for

Prevention of Acute Situation in the Elderly. Ann Med Intern. 2002 Oct;153 (6) : 397-402.

McGraw-Hill;2003.p. 99- 1 02. Satin DG. The Interdisciplinary, Integrated Approach to Profesional Practice with the Aged. In: Satin DG Blakeney BA, Bottomley JM, Howe MC, Smith HD, eds. The Clinical Care of the Aged Person, An Interdisciplinary Perspective. New York: Oxford University Press ; I 996.p.39I -402. Semeraro STM, Motta M. Effectiveness of Geriatric Evaluation and C4r6. One-year results of a Multicenter Randomized Clinical Trial. Aging (Milano),2001;13(5):395-404. Setiati S. Implikasi Klinik Imobilitas pada Pasien Geriatri. Dalam: Prosiding Temu ilmiah Geriatri 2004. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2004.p. I-5. Soejono CH. Imobilisasi dan Penyulitnya. Dalam: Prosiding Temu Ilmiah Nasional Geriatri I-Kongres Nasional ke-2 PERGEMI. Semarang: Panitia KONAS II PERGEMI,2003. Soejono CH. Pendekatan Klinis Pasien Geriatri dengan 'Jatuh'. Dalam: Prosiding Temu Ilmiah Geriatri 2003. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI;

2003.p.129-32. Stuck AE. Multidimensional Geriatric Assessment in the Acute Hospital and Ambulatory Practice Schweiz Med Wochenschr. 1997:127

(4j):

I 78 I -8 8.

Supartondo. Pendekatan Holistik Seorang Dokter Penyakit Dalam, Pada Penatalaksanaan Pasien. Disampaikan pada:"sarasehan 'Pendekatan Holistik Terhadap Pasien' , 14 Maret 2002. Jakarta: Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN CM. Supartondo. Pendekatan Klinik Pasien Geriatri di Rawat Jalan dan

Rawat Inap. Dalam: Prosiding Temu Ilmiah Geriatri 2002 :P etatalaksanaan Pasien Geriatri/Usia Lanjut secara Terpadu dan Paripurna. Jakarta: PIP Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2002.p.18-21. Thorsten N, Specht-Leible N, Bach M, Ostewr B Schlierl G. A Randomized Trial of Comprehensive Geriatric Assessment and Home Intervention in the Care of Hospitalized Patients. Age and Ageing. 1999;28:543-550.

Trentini M. Semeraro S, Motta M. Effectiveness of Geriatric Evaluation and Care. One -year Results of a Multicenter RCT. Aging (Milano). 2001 Oct ; 13(5) : 395-405. White SJ, el al. Effectiveness of an Inpatient Geriatric Service in a University Hospital. J Tenn Med Assoc. 1994 Oct; 87 (10) : 425-8. Wieland D, Hifih V. Comprehensive Geriatric Assessment in Cancer Patients. Cancer Control. 2003 Nov-Dec; 10 (6) :454 - 462. Williams ME. The Approach to Managing the Elderly Patients. In'.Hazzard WR, Blass JP, Ettinger WH, Halter JF, Ouslander JG, eds. Principles of Geriatric Medicine and Gerontology. New York: McGraw -Hill;l 999.p.249 - 52.

World Health Organization. International Classification of Functioning, Disability and Health. Geneva: World Health Organization, 2001.

t24 PEDOMAN MEMBERI OBAT PADA PASIEN GERIATRI SERTA MENGATASI MASALAH POLIEARMASI Supaftondo, Arya Govinda Roosheroe

menyesuaikan dosis obat dengan berat badan untuk

USIA LANJUT DAN OBAT

meningkatkan rasio risikolkegunaan pada pasien tua yang kurus. Metabolisme di hati dipengaruhi oleh umur, genotipe, gaya hidup, curahjantung, penyakit dan interaksi antara berbagai obat. Obat dapat mengalami bio-transformasi di hati dengan cara oksidasi (mengaktifkan obat) dan

Mengapa segi ini perlu mendapat perhatian khusus ? Apakah pengolahan obat pada pasien berumur lanjut berbeda dengan prosesnya pada pasien dewasa ? Meskipun judul lain sudah membahas segi ini, ada baiknya menekankan kembali perubahan penting pada pasien usia lanj lut, y aitufarmakokinesis (perlakuan badan terhadap obat) danfarmakodinamik (yterlakuan obat pada badan).

konjugasi (obat jadi inaktif). Mengecilnya massa hati dan proses menua dapat memengaruhi metabolisme obat.

Unhrk obat yang ekskresinya terutama liwat ginjal pedoman bersihan kreatinin 24 jam penting diperhatikan, yaitu untuk memperkirakan dosis awal.

Kadar kreatinin serum tidak menggambarkan

FARMAKOK!NES!S

penurunan fungsi ginjal karena massa otot berkurang pada

Ini terdiri dari absorpsi, distribusi, metabolisme

dan ekskresi obat. Sesudah diabsorpsi, obat melewati hati dan mengalami metabolisme pintas awal. Bila tahap ini turun, sisa dosis obat yang masuk dalam darah dapat melebihi

proses menua . GFP' {6lom.filtrrate) lebihpenting dan jika iurun sampai l0-50 mVmenit, dosis obat harus disesuaikan.

perkiraan dan mungkin menambah efek obat, bahkan sampai efek yang merugikan (ADR, adverse drug

FARMAKODINAMIK

reaction: efek obat yang merugikan).

Ada perubahan lain pada usia lanjut, yaitu perubahan

Pada obat dengan metabolisme pintas awal

linggi

ada

reaksi pada reseptor seperti penurunan kegiatan reseptor

beda besar antara dosis intravena (rendah) dan dosis oral

adrenergik p atau perubahan di jaringan dan organ,

(tinggi). Makanan dan obat lain dapat memengaruhi absorpsi obatyangdiberikan oral (lihat pembahasan segi interaksi). Distribusi obat dipengaruhi oleh berat dan komposisi tubuh, yaitu cairan tubuh, massa otot, fungsi dan peredaran

berakibat kesadaran makin turun. Sebagai contoh : hilang ingatan dengan b enzo diazepin.

Perubahan mekanisme homeostasis tidak mampu mengurangi denyut jantung dan menurunkan curah jantung waktu tekanan darah naik akibat obat pada pasien muda. Hipotensi postural akibat obat tertentu pada pasien tua disebabkan kurang tanggapnya pengendalian liwat pembuluh darah tepi yang menghasilkan tekanan darah. Perubahan farmakokinesis dan farmakodinamik obat

darah berbagai organ, juga organ yang mengatur ekskresi

obat.

Kadar albumin plasma memastikan kadar obat bebas ini memerlukan pedoman yang

dalam sirkulasi. Hal

776

777

PEI,OMAN PEMBERIAN OBAT PAI,A PASIEN GERIITIRI SERTA MENGITf,ASI MASALAH P'OLIFARMASI

harus diperhatikan oleh dokter yang meresepkan obat kepada pasien tua. Makin besar jumlah obat baru tidak

Kebanyakan obat digunakan untuk sistem kardiovaskular dan saraf pusat

memudahkantugas ini. Faktor lain yang berperan pada pemberian obat ialah multipatologi (adanya lebih dari satu penyakit) pada pasien

MENGAPA POLIFARMASI SUKAR DIHINDARI ?

geriatri. B

MU

LTIPATOLOGI DAN PENGOBATAN

Walaupun cara nonfarmakologi juga merupakan pilihan dalam penanganan berbagai masalah, obat tetap menjadi

pilihan utama sehingga macam dan jumlah obat

erbagai alasan dikemukakan. Penyakit yang diderita banyak dan biasanya kronis. Obat diresepkan oleh beberapa dokter. Kurang koordinasi dalam pengelolaan. Gejala yang dirasakan pasien tidakjelas. Pasien meminta resep.

Untuk menghilangkan efek samping obat justru ditambah obat baru.

banyak.

Adanya berbagai alasan di atas tidak dapat menutup upaya mencari jalan keluar. Leipzig mengusulkan pedoman ini. Prinsip pemberian obat yang benar unhrk pasien usia lanjut.

POLIFARMASI Ada beberapa definisi untuk istilah ini :

. . . . . .

l).

Meresepken

obat melebihi indikasi klinis; 2). Pengobatan yang mencakup paling tidak satu obat yang tidak perlu; 3). Penggunaan empirik lima obat atau lebih. Telah dibuktikan bahwa pada pasien usia lanjut sering te{adi interaksi antara obat yang digunakan; makinbanyak obat, makin sering interaksinya Beberapa jenis interaksi serta akibatnya perlu diketahui:

Riwayat pengobatan lengkap. Pasien harus membawa semua obat, termasuk obat tanpa resep, vitamin dan bahan

dari

toko

bahan kesehatan. Tanya tentang alergi, efek

yang merugikan (ADE), merokolg alkohol, kopi, obat wakhr santai dan siapa pemberi obat.

Jangan memberikan obat sebelum waktunya. Hindari memberikan resep sebelum diagnosis ditegakkan, bila

keluhan ringan atau tidak khas, atau

jika

manfaat

Jenis lnteraksi dan Akibatnya

pengobatan meragukan.

Obat-makanan. Bila absorpsi obat sangat dipengaruhi makanan, obat harus digunakan sebelum atau sesudah

Jangan menggunakan obat terlalu lama. Lihat kembali

makan, tergantung toleransi pasien terhadap obat waktu puasa.

Contoh : antikoagulasi warfarin berkurang pada

daftar obat setiap pemeriksaan dan sesuaikan obat dengan

kebutuhan. Hentikan obat yang tidak perlu lagi. Nilai penggunaan obat sesuai kebutuhan, juga obat tanpa resep.

suplemen nutrisi berisi vitamin K.

Kenali obat yang digunakan. Ketahui sifat farmakologi

Obat-penyakit. Penyakit yang mengenai hati dan ginjal atau yar^g menghambat sampainya obat ke organ itu

obat yang diberikan, efek merugikan dan keracunan yang

menyebabkan interaksi yang landasannya farmakokinesis dan farmakodinamik. Contoh : perubahan prednison menjadi bentuk aktif

prednisolon terhambat, obstipasi bertambah karena

mungkin terjadi. Nilai dengan teliti tanda-tanda kemunduran segi fungsi dan mental yang mungkin disebabkan obat.

Mulai dengan

dosis rendah

naikkan perlahan-lahan. Pakai

suplemen Ca dan opioid.

selalu dosis terendah untuk mendapat hasil. Gunakan kadar obat dalam darah bila ada dan tepat untuk masalah ini.

Obat-obat. Interaksi di sinijugaberlandasan farmakokinesis

Obati sesuai patokan. Gunakan dosis cukup untuk

dari tahap absorpsi sampai ekskresi. Landasan farmakodinamik dapat terjadi bila NSAID diberikan bersama

antikoagulan oral, yang dapat menambah risiko perdarahan.

Risiko dan akibat yang dibahas di atas sebaiknya menjadi pedoman untuk menghindari polifarmasi. Suatu tulisan tentang 50 pasien diabetes usia lanjut

dengan berbagai komplikasi melaporkan bahwa 74 menggunakan kurang dari lima obat.

oh

Linjakumpu melaporkan penggunaan lebih dari 5 obat bertambah dari 19 Yo ke 25 o/o pada pasien usia lanjut.

mencapai tujuan terapi, yang sesuai toleransi. Jangan mengurungkan terapi untuk penyakit yang dapat diobati.

Beri dorongan supaya patuh berobat. Jelaskan kepada pasien tujuan pengobatan dan cara mencapainya. Buat instruksi tertulis. Pertimbangkan sulit tidaknya jadwal pengobatan, biaya dan kemungkinan efek merugikan bila memilihobat. Hati-hati menggunakan obat baru. Obat baru belum dinilai tuntas untuk kelompok usia lanjut, dan rasio risiko/ kegunaan sering tidak diketahui.

778

GERIISTI

KESIMPULAN Pengalaman

Dalam FKUI

Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit

RSCM menunjukkan bahwa pengelolaan interdisiplin oleh suatu Tim Terpadu Geriatri telah lama

-

mengatasi berbagai kendala yang menyebabkan berlangsungnya polifarmasi. Pasien geriatri yang merupakan kesatuan bio-psikososio-spiritual tetap dapat menggunakan beberapa pilihan : obat, tindakan non farmakologi/tradisional untuk segi biologi, obat dan bimbingan untuk segi psikologi.Untuk segi sosio-spiritual digunakan berbagai pendekatan berupa asuhan non farmakologi. Dengan cara pendekatan holistik

ini sangat mungkin polifarmasi dihindari.

REFERENSI Setiati S, Roosheroe, AG, Proses menua dan implikasi klinis, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed. 4, sedang dicetak. Edelberg, HK and Leipzig RM, Pharmacology, in Eskin BA, Troen BR (eds) The Geripause, London, Parthenon Publ., 2003 : 31-50. Swonger AK and Burbank FM. Altered Pharmacokinetics and Pharmacodynamics in the Elderly 1995, p.46. Jones and Bartlett Pub1.

Michocki RJ. Polypharmacy and Principles of Drug Therapy in Adelman AM, Daly MP (eds) 20 Common Problems in Geriatrics, Intern. Ed., S'pore, McGraw Hill, 2001 : 72-73. Supartondo, Supriadi E. Penatalaksanaan Diabetes Melitus pada Usia ...Lanjut. PIT Ilmu Penyakit Dalam 2002, hal. 154-158, Pusat

' Informasi dan Penerbitan, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FKUI. Linjakumpu, T et al. Use of medications and polypharmacy are increasing among the elderly. J Clin. Epid 2002 ;55 : 809-817. Supartondo. Kecenderungan Polifarmasi pada Multipatologi, Apa Masalahnya ? Prosiding TI Geriatri 2003, hal. 1 - 5. Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FKUI Shenfield G. Prescribers and drug withdrawal (editorial). Australian Prescriber vol. 28 no. 3 June 2005. Rahayu RA, Bahar A. Penatalaksanaan infeksi pada usia lanjut secara menyeluruh. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed. 4 jilid III.

r25 PELAYANAN KESEHATAN, SOSIAL DAN KESEJAHTERAAN PADA USIA LANJUT Hadi Martono,I Dewa Putu Pramantara S.

PENDAHULUAN

usia lanjut, sehingga dalam GBHN 1993 usia lanjut

Pelayanan kesehatan dan sosial-kesejahteraan pada

mendapat perlakuan tersendiri, walaupun masih dalam seksi bersama perempuan dan remaj a. GBHN I 998 diharapkan

segmen usia lanjut (usila) tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Hal ini sesuai dengan definisi Geriatri yaitu:"Health and Social Care of the Elderly". Paradigma pelayanan kesehatan yang tak terpisahkan dengan pelayanan sosial tersebut merupakan konsekuensi karakteristik usia lanjut. Seperti diketahui, penyakit pada populasi usia lanjut

memberikan perhatian yang lebih bagi para usia lanjut. Undang-undang mengenai kesejahteraan usia lanjut (JU no.13 tahun 1998) telah secara jelas mengatur berbagai

upaya kesejahteraan bagi para usia lanjut, akan tetapi sayang sekali bahwa peraturan pelaksanaarurya belum ada,

sehingga dapat dimengerti bahwa pelaksanaannyapun menjadi belum seperti yang diharapkan. Dibandingkan

berbeda perjalanan dan penampilannya dengan yang terdapat pada populasi lain. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa pada usia lanjut:

.

negara maju, misalnya Amerika atau Australia, Indonesia sangat tertinggal dalam hal pemberian kesejahteraan bagi

penyakit bersifat multipatologis atau mengenai

usia lanjut ini.

Bahasan berikut akan mengemukakan konsep

multiorgarVsistem, bersifat degeneratif, saling terkait.

. penyakit biasanya bersifat kronis, cenderung

pelayanan kesehatan, sosial, dan kesejahteraan pada usia lanjut di Indonesia dan di luar negeri.

menyebabkan kecacatan lama sebelum terjadinya

. .

kematian. sering terdapat polifarmasi dan iatrogenesis. biasanya juga mengandung komponen psikologis dan sosial.

PELAYANAN KESEHATAN PADA USIA LANJ UT

Brocklehurst dan Allen pada tahun (1987)

Konsep Kesehatan pada Usia Lanjut

menambahkan satu hal lagi yang penting, yaitu: usia lanjut juga lebih sensitif terhadap penyakit akut.

Sebelum membicarakan tentang pelayanan kesehatan pada usia lanjut, terlebih dahulu akan dijelaskan perbedaan apa yangterdapat dalam konsep kesehatan pada usia lanjut dan populasi lain.

Mengingat hal tersebut di atas, maka jelaslah bahwa pelayanan kesehatan pada usia lanjut dengan sendirinya berbeda dengan pelayanan kesehatan pada golongan populasi lain. Sebaliknya, pelayanan kesejahteraan sosiai

Pada usia lanjut terdapat 3 hal yang perlu diingat dalam konsep kesehatannya, yaitu:

bagi warga usia lanjut secara umum boleh dikatakan masih merupakan hal yang baru. Hal ini dikarenakan prioritas

Status/kapasitas fungsional. Keadaan usia lanjut sebagai akibat interaksi antara fungsi kesehatan fisik, psikologis dan sosial-ekonomi (religius spiritual). Interaksi dari ketiga komponen tersebut menunjukkan keadaan fungsional or-

yang diberikan pada populasi usia lanjut memang baru saja mulai diperhatikan. Sebelum GBHN 1993, upayakepada populasi usia lanjut selalu dikaitkan dengan istilah "usia lanjut dan jompo". Pandangan ini mulai diperbaiki, seiring dengan peningkatan pengertian dan pemahaman tentang

ganl dan atau

itbuh secara keseluruhan, sebagai gambaran

"kesehatan" pada usia lanjut. Status fungsional ini, yang

779

780

GERIAIRI

pada manifestasinya benipa kemampuan melakukan aktivitas hidup sehari-hari (AHS) baik dasar maupun instrumental seringkali bahkan lebih penting dibanding penegakkan diagnosis penyakit pada seseorang dan dinilai dengan cara " scoring" antara lain dengan indeks dariKatz.

Aktivitas Hidup Sehari-

Aktivitas Hidup Sehari-hari

hari (Dasar)

(lnstrumental)

Makan Berpakaian Berjalan (ambulasi) Buang air besar/kecil ("toileting") Mandi

Bergerak (dari tempat tidur atau toilet) Mengontrol BAB/BAK (kontinensia) Mematut diri (grooming) Berkomunikasi

Menulis Membaca Memasak Membersihkan peralatan rumah Berbelanja Membersihkan pakaian (cuci-

. .

Mampu mengerjakan tugas yang dibayar atau pekerjaan di luar rumah(misalnya berkebun) Mampu melakukan perjalanan jauh (menggunakan transportasi publik, keluar kota sendiri)

Pada usia lain hal ini tidak terjadi, dan keadaan fisik,

psikis dan sosial-ekonomi seolah-olah tidak saling berkaitan.

Pada lansia:

Incontinence

Dari Solomon

et al,

California, UCLA "the Impaction' latrogenic

ImmobiliQ Isolation Instability Impotence Intelectual Impairment Incontinencelnfection

Inanition

13

I"

:

Imuno-dfficiencylnsomiia Imapirmentofvision.smell

hearing etc

Brocklehurst, Allen et al "the Geriatric Giants"

:

Bone diseases and fractures Cerebral syndromes Autonomic disorders Incontinence Confusion and dementia Prsesure sores (decubitus)

Falls

setrika) Naik tangga di rumah bertingkat

Pakai telepon Menangani keuangan

Instability/Immobility

Pembagian manapun yang dipakai, seorang dokter

wajib mencari penyebab/penyakit dari keluhan tersebut untuk kemudian mengupayakan pengobatan dan pencegahannya lebih lanjut.

akit : D i s e as e : D i agn osls. Jenis-j enis penyakit/ diagnosis pada usia lanjut serupa dengan apayalgterjadi pada usia muda,walaupun pada usia lanjut seringkali lebih banyak jenis yang diakibatkan penyakit degeneratif dan dengan penampilan yang tidak sama dengan yang terjadi pada usia muda. Stieglitz (1954) telah menunjukkan perbedaan penyakit pada usia muda dan usia lanjut sebagai berikut: Mengingat berbagai kekhususan konsep kesehatan pada usia lanjut seperti dikemukakan di atas, terdapat2 prinsip utama yang harus dipenuhi guna melaksanakan pelayanan kesehatan pada usia lanjut, yaitu pendekatan P eny

Holistik

serta tatakerja dan tatalaksana dalam

Tim.

Prinsip holistik pada pelayanan kesehatan usia lanjut sangat unik karena menyangkut berbagai aspek, yaitu: Seorang pasien usia lanjut harus dipandang sebagai

.

manusia seutuhnya, meliputi pula lingkungan kejiwaan

(psikologis) dan sosial ekonomi. Hal ini ditunjuktan

Pada populasi lain:

antara lain bahwa aspek diagnosis penyakit pada pasien usia lanjut menggunakan tata cara khusus yang disebut sebagai pengkajian geriatri, yang bukan saja meliputi

. Sindrom geriatri. Sindrom geriatri adalah kumpulan gejala (:sindrom) yang sering dikeluhkan oleh para usia lanjut

datlatau keluarganya bergantung pada peneliti dan tempat penelitian, maka terdapat berbagai pembagian atas sindrom geriatri ini yaitu: Cape et al : "the O complex" :

. Fall . Incontinence . Irnpairedhomeostasis

. .

Coffision Iatrogenic disorders

ConirWeber and Davison , "the Big Three":

.

Intelectual Failure

seluruh organ dan sistem, akan tetapi menyangkut pula aspekkejiwaan dan lingkungan sosial ekonomi. Sifat holistik mengandung artian baik secara vertikal atau horisontal. Secara vertikal dalam arti pemberian pelayanan harus dimulai dari pelayanan di masyarakat sampai ke pelayanan rujukan tertinggi, yaitu rumah sakit

yang mempunyai pelayanan subspesialis geriatri. Holistik secara horisontal berarti bahwa pelayanan kesehatan harus merupakan bagian dari pelayanan kesejahteraan usia lanjut secara menyeluruh. Oleh karenanya, pelayanan kesehatan harus bekerja secara lintas sektoral dengan dinas/lembaga terkait di bidang kesejahteraan, misalnya agan,a, pendidikan dan kebudayaan, serta dinas sosial.

781

PELAYANAI{ KESEHATAN SOSIAL DAI{ IGSEtrA}ITERAAN PADA USIA LANJUT

.

Pelayanan holistik juga berarti bahwa pelayanan harus

mencakup aspek pencegahan (preventif), promotif, penyembuhan (kuratif), dan pemulihan (rehabilitatif). Begitu pentingnya aspek pemulihan ini, sehingga WHO menganjurkan agar diagnosis penyakit pada usia lanjut harus meliputi 4 tingkatan penyakit, sebagai berikut: - Diseuse (penyakit), yaitu diagnosis penyakit pada pasien, misalnya penyakit j antung iskemik. - Impairmenl (kerusakan atau gangguan), yaitu adanya gangguan atau kerusakan dari organ akibat penyakit, misalnya pada keadaan di atas: infark miokard akut atau kronis.

-

Disabilily (ketidak-mampuan), yaitu akibat obyektif pada kemampuan fungsional dari organ atau individu tersebut. Pada kasus di atas misalnya terjadi dekompensasi jantung.

-

Handicap (hambatan) yaitu akibat sosial dari penyakit. Pada kasus tersebut di atas adalah ketidakmampuan pasien untuk melakukan aktivitas sosial baik di rumah, maupun di lingkungan sosialnya.

Prinsip tatakerja dan tatalaksana dalam tim yang harus dilaksanakan di manapun pelayanan geriatri diberikan. Tim geriatri merupakan bentuk kerjasama multidisiplin yang bekerja secara interdisiplin dalam mencapai tujuan pelayanan geriatri yang dilaksanakan. Yang dirnaksud dengan kata multi disiplin di sini adalah berbagai disiplin ilmu kesehatan yang secara bersama-sama melakukan penanganan pada pasien usia lanjut . Komponennya

Istilah interdisiplin diberikan sebagai suatu tatakerja dimana masing-masing anggotanya saling tergantung (:interdependent) satu sama lain. Perbedaan dengan tim multidisiplin yang beke{a secara multidisiplin pula (seperti banyak tim kesehatan yang lain) dimana tujuan seolaholah dibagi secara kaku berdasarkan disiplin masingmasing anggota. Pada tim interdisiplin, tujuan merupakan tujuan bersama. Masing-masing anggota mengerjakan tugas sesuai disiplinnya sendiri-sendiri, akan tetapi tidak secara kaku. (Pada skema di bawah digambarkan sebagai garis terputus). Disiplin lain bisa memberi saran demi tercapainya tujuan bersama. Secara periodik dilakukan pertemuan antar anggota tim untuk mengadakan evaluasi kerja yang telah dicapai, dan kalau perlu mengadakan perubahan demi tujuan bersama yang hendak dicapai. Dengan perkataan lain, pada tim multidisipHn kerjasama terutama bersifat pada pembuatan dan penyerasian konsep,

sedangkan pada tim interdisiplin kerjasama meliputi pembuatan dan penyerasian konsep serta penyerasian tindakan. Secara praktis, tatakerja interdisiplin dari Tim Geriatri adalah melalui konferensi, bersama-sama

menentukan prioritas masalah (setting priority), menekankan kualitas hidup, membuat program penanganan

dan evaluasi berdasarkan prioritas masaliih, serta menentukan kondisi "setting limits".Secata skematis perbedaan antara tim multidisiplin dan tim interdisiplin dapat

dilihatpada Gambar 1.

berbeda dengan berbagai tim yang kita kenal pada populasi . usia lain. Pada tim geriatri, komponen utama terdiri dari dokter, pekerja sosio medik, dan perawat. Tergantung dari

kompleksitas dan jenis layanan yang diberikan, anggota tim bisa ditambah dengan tenaga rehabilitasi medik (dokter, fisioterapis, terapi okupasi, terapi wicara, dan lain-lain), psikolog dan/atau psikiater, ahli farmasi, ahli gizi, dan tenaga lain yang bekerja dalam layanan tersebut.

Tim multi

disiplin

Tim inter disiplin

Gambar '1. Perbedaan skematis antara tim multidisiplin dan tim lnterdisiplin

Tim geriatri di samping mengadakan pengkajian Parameter Etiologi a

a

Awitan gejala Perjalanan penyakit

a

a

Variasi gejala

Pada Usia Lanjut

Pada Usia Muda

Endogen Tersembunyi (occulf) Kumulatif/multipel Telah lama terjadi /nsidious/kronik Kronis/menahun, progresif menyebabkan cacat lama sebelum terjadinya kematian Justru membuat lebih rentan terhadap penyakit lain Besar, aneka ragam bentuk

Eksogen Jelas, nyata Spesifik, tunggal Recent (baru terjadi) F/orid (ielas sekali) -self limitting

atas

masalah yang ada, juga mengadakan pengkajian atas sumber daya manusia dan sosial ekonomi yang bisa digunakan untuk membantu penatalaksanaan masalah pasien tersebut. Cara kerja seterusnya dapat dilihat seperti dalam skemaberikut.

PELAKSANAAN PELAYANAN KESEHATAN USIA LANJUT

Memberi kekebalan Kecil

Dengan prinsip pelayanan geriatri seperti di atas, konsep pelayanan kesehatan pada populasi usia lanjut harus

direncanakan dan dilaksanakan. Untuk mengupayakan prinsip holistik yang berkesinambungan, secara garis besar pelayanan kesehatan pada usia lanjut dapat dibagi sebagai

berikut.

782

GERIATRI

rumah sakit harus selalu bersedia berlindak sebagai rujukan dari layanan kesehatan yang ada di masyarakat. lde ntifikasi sumber daya

Layanan Kesehatan Usia lanjut Berbasis Rumah Sakit (Hospital Based Geriatric Service) ini rumah sakit, tergantung dari jenis layanan yang ada, menyediakan berbagai layanat bagi para usia

Pada layanan

lanj ut. Mulai dari layanan sederhana berupa poliklinik usia lanjut, sampai pada layanan yang lebih maju, misalnya

Pembagian Tugas

Gambar 2. Alur kerja penatalaksanaan pasien geriatri

Pelayanan Kesehatan Usia lanjut di Masyarakat (Co m m u n ity Based G eri atri c Se rvi ce I Pada pelayanan kesehatan ini, semua upaya kesehatan

yang berhubungan dan dilaksanakan oleh masyarakat harus diupayakan berperan serta pula dalam menangani kesehatan para usia lanjut. Puskesmas dan dokter praktek

swasta merupakan tulang punggung layanan di tingkat ini. Puskesmas berperan dalam membentuk kelompok usia lanjut. Di dalam dan melalui kelompk usia lanjut ini pelayanan kesehatan dapat lebih mudah dilaksanakan, baik usaha promotif, preventif, kuratif, atau rehabilitatif. Dokter praktek swasta terutama menangani para usia lanjul yang memerlukan tindakan kuratif insidental. Seperti telah dikemukakan di atas, semua pelayanan kesehatan harus diintegrasikan dengan layanan kesejahteraan yang lain dari dinas sosial, agama, pendidikan dan kebudayaan, dan lain-lain. Peran serta LSM untuk membentuk layanan sukarela misalnya dalam pendirian badan yang memberikan

layanan bantu perawatan (home nursing), kebersihan rumah atau pemberian makanan bagi para usia lanjut (:meals on wheels) juga perlu didorong. Pada dasarnya layanan kesehatan usia lanjut di tingkat

masyarakat seharusnya mendayagunakan dan mengikutsertakan masyarakat (termasuk para usia

bangsal akut, klinik siang terpadu (day-hospital), bangsal kronis dan/atau panti rawat wreda, (nursing homes). Di samping itu, rumah sakit jiwa juga menyediakan layanan kesehatan jiwa bagi usia lanjut dengan pola yang sama. Pada tingkat ini, sebaiknya dilaksanakan suatu layanan terkait (con-joint care) antara unit geriatri rumah sakit umum dengan unit psikogeriaki suatu rumah sakit jiwa, terutama untuk menangani pasien penyakit fisik dengan komponen gangguan psikis berat atau sebaliknya.

Pada Gambar

3 dapat dilihat konsep pelayanan

kesehatan usia lanjut, mulai dari tingkat pelayanan kesehatan di masyarakat sampai dengan rujukan tertinggi di rumah sakit dengan layanan geriatri paripuma.

Layanan berbasis rurnah sakit

P0LIKLINIK/Bangsal/ - Pengkajianikonsultasi - Kuratit (sederhana) BANGSAL AKI,IT: - Pengkajian/konsultasi - Kuratit (akut) - Rehab "jlr cepat'

D

ay-hospital dll Berbagai penyakit psikis - Depresi berat - Demensia (SDAT) - Paraphrenia,dil

DAY HOSPITAL: -Terapi terencan aiterpad u - Ambulat lnon ambulatory BANGSAL KRONIS - Pengkajian/konsultasi - kuratif (kronis) - Konsultatif - Rehabil

REHAB'JALUR LAMBAT' lcare>cure) P E N D ID

IKA N.LATIH AN.

PENELITIAN

lanjutnya) semaksimal mungkin. Yang perlu dikerjakan adalah meningkatkan kepedulian dan pengetahuan masyarakat, dengan berbagai cara, attara lain ceramah, simposium, lokakarya, dan penluluhan-penyuluhan.

Pelayanan Kesehatan Usia lanjut di Masyarakat Berbasis Rumah Sakit (Hospital Based Community Geriatric Service) Pada layanan tingkat ini, rumah sakit setempat yang telah

melakukan layanan geriatri bertugas membina usia lanjut yang berada di wilayahnya, baik secara langsung atau tidak langsung melalui pembinaan pada puskesmas yang berada di wilayah kerjanya "Transfer of Knowledge" berupa

Dokter prakt swasta

Mental Flsik

Dinas sosial

Sosial

lokakarya, simposium, ceramah-ceramah baik kepadateflaga kesehatan ataupun kepada awam dilaksanakan.

Di lain piha(

Gambar 3. Skema pelayanan geriatrik komprehensif

783

PELAYANAN KESEHATAN SOSIAL DAN KESE'AHTERAAT{ PADA USIA LANJUT

kerja (pasien tidak rawat inap), pelayanan diberikanpada pasien baik yang telah atau belum dilakukan pengkajian geriatri, baik yang di dalam RS maupun yang di rumah

Keterangan: Placement: adalah jenis pelayanan, di mana unit geriatri di suatu rumah sakit setelah mengadakan pengkajian pada seorang pasien, memberikan rekomendasi pada pasien tersebut untuk dapat diterima di suatu institusi usia lanjut,

terutama bila institusi tersebut dilaksanakan oleh/atau mendapatkan subsidi dari pemerintah.

(ambulatory). Tindakan yang dilakukan antara lain pengkajian, kuratif (ambulatory), rehabilitasi, dan

.

Tim Pengembangan Pelayanan dan Pendidikan Geriatri

PB. PAPDI telah menyusun konsep dasar pelayanan geriatri di berbagai jenis rumah sakit. Tingkatan-tingkatan pelayanan yang diberikan berdasarkan pada kemampuan rumah sakit yang bersangkutan, dan dapat dibagi sebagai berikut. . Tingkat sederhana, hanya menyediakan layanan

. . .

poliklinik usia lanjut. Tingkat sedang, dimana layananyang diberikan selain poliklinik juga klinik siang terpadu (: day-hospital). Tingkat lengkap, sama seperti layanan pada tingkat sederhana ditambah dengan pengadaan bangsal usia lanjut dengan penyakit akut.

Tingkat paripurn:t, dimana diberikan semua jenis layanan yang ada pada tingkat lengkap ditambah dengan adanya bangsal usia lanjut dengan penyakit kronis.

Pada semua tingkatan, pengadaan upaya pendidikan dan pelatihan merupakan suatu keharusan. Tabel dan skema di bawah ini menunjukkan berbagai layanan dari berbagai tingkat pelayanan geriatri dengan ketenagaannya.

.

rekreasi.

Konsultan: konsultan dalampelayanan geriatri adalah dokter spesialis/subspesialis klinis yang dapat dimintai b antuan p er dap at I e k s p e r t i s e I tindakan me di s guna peningkatan pemeliharaan/pemulihan kesehatan pasien usia lanjut di RS. Tenaga*): - Dokterumum + pelatihan pelayanan geriatri - Perawat * pelatihan pelayanalgeriatri

-

Pekerja sosial medik

Fisioterapis Dokter umum * pelatihan rehabilitasi medik Speechteraprsl (terapi wicara) Internis + pelatihan pelayanan geriatri Okupasi terapis Terapis ortotis

Dokterahlirehabilitasimedik Psikolog/Psikiater Geriatris Farmasis/asisten farmasis

Berbagai pengertian dari tabel dan skema di atas dapat dij elaskan sebagai berikut

:

Poliklinik geriatri: yaitu suatu layanan geriatri di mana diberikan jasa pengkajian, tindakan kuratif sederhana dan

konsultasi, bagi pasien rawat jalan. Perlu

Sumber

daya

Sederhana Sedang Lengkap Paripurna Keterangan

Keterangan a. Tenaga tim geriatri

1-2.)

1-7.)

++

b. Konsultan

dengan ahli hukum

dalam pelayanan geriatri Fasilitas pelayanan

RJ

RJ

RM DaY H

RJ RJ RI RI RM RM Day Hos. Day Hos. Diklat Diklat Peneliti Peneliti

Berbeda dalam

dikonsulkan ke poliklinik ini.

jumlah

Bangsal geriatri akut: adalah bangsal di mana pasien geriatri dengan penyakit akut

Tergantung tenaga spesialis yang ada

atau subakut (oleh Coni dan Davidson

disebut sebagai "hot" dan "warm"

admission, antara lain: strok, pneumonia, ketoasidosis diabetika, penyakit jantung kongestif akut, dll). Pada pasien tersebut dilakukan tindakan pengkajian, kuratif, dan rehabilitasijalur cepat oleh tim geriatri.

RI:Rawatinap

Day-hospital (klinik siang) adalah suatu layanan geiafryang dapat melaksanakan semua tindakan yang dilakukan oleh bangsal akut atau kronis, tetapi tanpa pasien harus rawat inap, dan layanan hanya dilakukan pada jam kerja. Layanan yang diberikan antara lain: pengkajian,

RM: PelayananRehabilitasiMedik

kuratif ambulatory, rehabilitasi, dan rekreasi. Oleh

Diklat:Pendidikandanlatihan

karenanya ten aga yatgdiperlukan selain geriatrisiintemis (+), perawat dan sosio-medik, juga tenaga rehabilitasi (FT, Ol IV), psikolog, rekreasionis, dan lain-lain.

Keterangan: . RI: Rawatjalan

. . . '

diingatkan bahwa poliklinik geriatri bersifat subspesialistik, sehingga hanya pasien yang telah melewati poliklinik spesialis lain dan memenuhi syarat sebagai pasien geriatri bisa

Day-hospital: Tempat di mana dilakukan tindakan seperti pada bangsal geriatri, tetapi hanya pada jam

784

GERIATRI

Bangsal geriatri kronis: bangsal ini diperlukan untuk merawat pasien dengan penyakit kronis yang memerlukan tindakan kuratif inap dalam j angka waktu I ama. " Turn over

POLISPESIALIS

rate" -nya rendah, sehingga pembiayaannya menjadi sangat mahal. POLIGERIATRI pes peny,Dalam

(Panti rawat wreda). Di negara maju, layanan ini disebut

(+

sebagai nursing home, yaitl suatu institusi yang memberikan layanan bagi pasien usia lanjut dengan masalah medis kronis yang sudah tidak memerlukan DAY-HOSPITAL

tindakan perawatan di RS, akan tetapi masih terlalu berat

untuk bisa dirawat di rumah sendiri. Oleh karena tidak memerlukan tindakan spesialistik oleh dokter, maka biayanya bisa ditekan. Turn over rate juga rendah, akan tetapi untuk kepentingan pendidikan, adanya bangsal ini di suatu RS pemerintah dapat menggantikan keberadaan

Dr Praktek Swasta

PUSKESMAS

suatu bangsal kronis.

Rehabilitasi geriatri: merupakan suatu keharusan untuk dikerjakan pada semua pasien geriatri. Rehabilitasi jalur cepat (fas t s tream r ehabil itat ion) dkeqakan selama pasien

masih dirawat di bangsal geriatri, oleh karena itu pelaksanaannya sebaiknya diintegrasikan dengan

POPULASI GOLONGAN USIA LANJUT

Gambar 4. Alur pelayanan kesehatan usia lanjut di rumah sakit

dan masyarakat

pelayanan geriatri. Rehabilitasi jalur lambat (slow stream

rehabilitation) dilaksanakan secara kronis, yang bisa dilaksanakan oleh unit rehabilitasi medik atau bisa juga diintegrasikan ke dalam pelayanan geriatri.

Gerialric home heallhs care (rawat-rumah geriatri): adalah komponen perawatan kesehatan komprehensif

kepada pasien geriatri dan keluarganya

di tempat

tinggalnya dengan tujuan meningkatkan, mempertahankan, memulihkan kesehatannya atau meminimalkan efek sakit

dan keterbatasan. Pelayanan yang diberikan harus direncanakan, dikoordinasikan, dan dilaksanakan oleh suatu agen atau institusi dengan melibatkan komponen medis, dental, keperawatan, fisioterapi, terapi okupasi, terapi wicara, pelayanan sosial, nutrisi, alat bantu kesehatan, laboratorium, dan peralatan medis.

Konsultasi geriatri: yaitu suatu layanan konsultasi dari bagian lain terhadap seorang pasien usia lanjut. Dari tindakan konsultasi ini, pada pasien yang bersangkutan dapat diberikan pengobatan bahkan pindah perawatan ke bagian geriatri Pendidikan dan penelitian: merupakan bagian implisit dari pelayanan geriatri. Penelitian dilaksanakan baik untuk publikasi atau, dan ini yang lebih penting, adalah untuk upaya memperbaiki pelayanan itu sendiri.

TATAKE RJA

PE

LAYANAN

GE

RIATRI

Tatakerja pelayanan geriatri seperti yang telah disepakati dalam Lokakarya Geriatri yang diadakan oleh Direktorat Rumah Sakit Umum-Pendidikan dan Rehabilitasi di Ciloto tahun 1994 tergambar dalam Gambar 4.

Dari skema terlihat bahwa pelayanan kesehatan di tingkat masyarakat yang dijalankan oleh puskesmas, dokter praktek swasta, dan dokter keluarga pada suatu tahap dapat merujuk pasien ke RS yang mempunyai pelayanan geriatri, atau ke poliklinik spesialis bidang lain. Di instalasi gawat darurat atau poliklinik lain, apabila pasien ternyata merupakan pasien geriatri, akan dirujuk ke poliklinik geriatri (yang bisa ditangani oleh spesialis penyakit dalam (+)/ geriatris) yang akan melaksanakan pengkajian geriatri untuk kemudian:

.

.

kalau perlu dikonsultasikan ke konsultan untuk mendapatkan pemeriksaarVtindakan khusus sesuai pengkajian dan/atatr konsultasi yang didapat, pasien bisa dirawat di ruang geriatri akut, ruang geriatri kronis, atau dirawatjalan di klinik siang terpadu (dayhospital). Kalau dipertimbangkan bahwa pasien bukan pasien geriatri atau memerlukan perawatan lain yang lebih penting, pasien bisa dirujuk untuk dirawat di ruang rawat lain.

PELAYANAN SOSIAL.KESEJAHTERAAN Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memberikan pelayanan kesejahteraan sosial bagi populasi usia lanjut, sebagai berikut: Populasi usia lanjut merupakan populasi yang heterogen.

Tidak semua individu dalam populasi usia lanjut memerlukan pelayanan sosial dalam bentuk yang sama. Ini karena populasi usia lanjut, walaupun secara keseluruhan termasuk golongan populasi yang rapuh

kesehatan/kesejahteraan, tetapi dalam derajat yang

PELAYAT{AN KESEHATAIY SOSIAL DAN KESE'AHTERAAN PAT'A USIA LANJUT

berbeda-beda. Perbedaan ini terlihatbukan saja dari aspek kesehatan (ada yang "sehat", setengah sehat setengah sakit, sakit akut, sakit kronis sampai sakit terminal), tetapi juga dari segi psikologis dan sosial-ekonomi.

.

Jenis pelayanan yang dibutuhkan sangat bervariasi. Mengingat heterogenitas populasi usia lanjut yang ada, disertai kenyataan bahwa aspek fungsional seorang individu usia lanjut tergantung dari 3 faktor (fisik, psikis, dan sosial-ekonomi) maka jelaslah bahwa akan terdapat banyak segi pelayanan yang dibutuhkan.

Pelayanan kesejahteraan sosial pada usia lanjut

.

membutuhkan keterkaitan antara semua bidang kesejahteraan, antaralain: kesehatan, sosial, agama, olahraga, kesenian, koperasi, dan lain-lain. Hubungan antara heterogenitas populasi usia lanjut dan berbagai jenis pelayanan kesejahteraan sosial yang dibutuhkan akan dijelaskan lebih lanjut berikut ini.

Heterogenitas Populasi Usia Lanjut Untuk melihat jenis pelayanan yang diperlukan oleh populasi usia lanjut, cara yang paling praktis adalah melihat heterogenitas populasi usia lanjut ditinjau dari aspek fungsional dan kesehatannya. Dari aspek tersebut, maka populasi usia lanjut bisa diklasifikasikan sebagai berikut:

78s

spesialistik, karenanya perlu dirawat di bangsal geriatri akut suatu RS. Mereka yang menderita sakit kronis/tak bisa mandiri di rumah: untuk golongan ini suatu pelayanan geriatri di bangsal kronis atau panti raw atwredha (nursing home) merupakan suatu kebutuhan, hingga pengadaannya perlu diupayakan. Apabila jenis penyakitnya hanya memerlukan perawatan di rumah, maka perawat/dokter/ petugas kesehatan lain dapat mengadakan kunjungan rumah.

Mereka yang menderita gangguan mental danlatau demensia berat: untuk golongan usia lanjut ini, suatu layanan psikogeriatri di berbagai tingkat pelayanan sudah harus mulai diupayakan keberadaannya. Bagi mereka yang juga menderita sakit fisik berat, suatu kerja

.

sama dengan institusi geriahi merupakan pemecahan yang baik. Perlindungan hukum melalui suaf't " guardianship board' untuk melindungi kepentingan mereka perlu dipikirkan.

Mereka yang memerlukan bantuan rehabilitasi: tergantung dari jenis rehabilitasinya, maka pasien

ini

bisa mendapat bantuan dari perawat/petugas rehabilitasi/klinik rawat siang atau dari institusi rehabilitasi lain.

Populasi usia lanjut dengan penyakit terminal: upaya

Populasi usia lanjut yang "sehat": golongan populasi usia lanjut ini secara fungsional masih tidak tergantung pada orang lain, aktivitas hidup sehari-hari (AHS) masih penuh, walaupun mungkin ada keterbatasan dari segi

yang diberikan bagi populasi ini lebih mengarah ke

sosial-ekonomi yang memerlukan beberapa pelayanan,

Dari berbagai penjelasan di atas beberapa hal perlu

misalnya perumahan, peningkatan pendapatan, dan pelayanan lain. Pelayanan kesehatan yang diperlukan

mendapatkan keterangan lebih lanjut, antara lain adalah mengenai:

terutama adalah dari segi pencegahan danpromosi. Upaya dari parausia lanjutnya sendiri memerlukan motivasi dan fasilitasi dari petugas yang terkait, antara lain dengan membentuk klub usia lanjut atau "karang wteda".

Populasi usia lanjut dengan penyakit akut maupun kronis: populasi golongan ini jelas memerlukan pelayanan kesehatan khusus, misalnya penyediaan bangsal akuti kronis dan rehabilitasi termasuk upaya penyediaan dana perawatan. Walaupun tergantung pada keadaan individu, secara umum populasi usia lanjut sangat rawan dalam bidang sosial ekonominya, sehingga pelayanan sosial bagi golongan ini juga perlu mendapatkan perhatian khusus. Populasi usia lanjut yang termasuk golongan ini dapat dibagi lagi menjadi beberapa golongan, antara lain: . Merekayang mempunyai sakit akutringan atau sedang:

untuk golongan ini diperlukan upaya pelayanan kesehatan di puskesmas atau dokter praktek swasta,

.

dengan dukungan pendanaan yangjelas. Apabila perlu rujukan maka bangsal geriatri akut baik di RS kabupaten atau propinsi sudah harus dipersiapkan.

Mereka dengan sakit akut berat: golongan ini memerlukan pelayanan geri atriyang lebih lengkap dan

pemberian rumatan kesehatan, baik di rumah atau di rumah

sakit, tetapi beberapa dukungan peraturan mungkin diperlukan.

Klub usia lanjut: adalah suatu perkumpulan atau paguyuban para usia lanjut yang sebaiknya berasal dari satu lingkungan hunian. Dalam istilah sosial, klub ini sering disebut sebagai "karang wtedha". Di dalam klub ini para usia lanjut yang sehaVmandiri dapat mengadakan berbagai

kegiatan fisik/rohani-kejiwaan/sosial-ekonomi

secara

bersama-sama. Salah satu kegiatan dari klub ini adalah yang

disebut rumatan siang (day care) yang berupa kegiatan pemeriksaan kesehatan, rumatan fisik ringan, olahraga bersama dan upaya pencegahan dan promosi kesehatan lain secara bersama-sama. Kegiatan lain yang mungkin

bermanfaat untuk semua anggota klub, antara lain: peningkatan kesejahteraan bersama (dengan membentuk usaha ekonomikoperasi) yang merupakan upaya produktif yang menghasilkan. Pengadaan dan pengiriman makanan (meals on wheels), upaya pendalaman keagamaan (pengajian) dan lain-lain. Apabila klub ini mempunyai tempat khusus untuk melakukan kegiatan bersama, biasanya disebut sebagai pusat kegiatan usila. Meals on wheels adalah suatu usaha penyediaan dan pengiriman makanan bagi parausia lanjut/cacat yang tidak bisa menyediakan makanannya sendiri (baik karena tidak

786

mampu secara fisik/sosial ekonomi maupun karena jenis makanannya yang khusus (diet, vegetarian, dll). Upaya penyediaan makanan ini seringkali diorganisasikan oleh badan sosiaVLSM swasta. Pelayanan bantuan di rumah (home help service) merupakan suatu kegiatan pemberian bantuan pada para usia lanjut dengan berbagai keterbatasan fisik. Layanan bisa berupa pengerjaan berbagai kegiatan rumah tangga

GERIAIRI

bisa disediakan oleh suatu panti wredha atau bangsal geriatri kronis, berupa masuknya sementara seorang pasien geriatri kronis yang tadinya dirawat di rumah, dimaksudkan untuk memberi istirahat/liburan bagi keluarga yang merawatnya untuk menghindari kejenuhan dalam merawat pasien. Secara garis besar pelayanan kesejahteraan sosial bagi berbagai golongan usia lanjut dapat dilihat dari Tabel 4.

(pembersihan rumah, cucillaundry) atau pemberian rawatan/rehab llitasi (h o m e nu r s i n g I r e h a b i I i t a t i o n) di rumah. Pelayanan ini bisa diupayakan oleh layanan geriatri suatu puskesmas atau badan kesehatan swasta.

Hunian khusus usia lanjut: di samping para usia lanjut yang masih bisa dan mau tetap tinggal di rumahnya yang lama, terdapat beberapajenis hunian yang dirancang dan diperuntukkan bagi para usia lanjut, antara lain adalah: 1). Perumahan khusus usia lanjut: biasanya merupakan suatu kompleks dimana rumah-rumahnya sudah dibentuk

dan diatur sedemikian sehingga ukuran, perabotan dan peralatan sudah disesuaikan dengan kepentingan para usia lanjut. Lantaitidak licin, penerangan cukup, ukuran kursi, meja, tempat tidur, dan peralatan dapur sudah disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan para usia lanjut. Biasanya diperuntukkan bagi keluarga usia lanjut yang masih mandiri, yang anak-anaknya sudah berkeluarga dan hidup terpisah. 2). Perumahan usia lanjut yang terlindungi (sheltered housing): merupakan kelompok rumah dengan berbagai fasilitas khusus usia lanjut yang mempunyai berbagai keterbatasan fisik. Anak

tangga dilengkapi dengan ram (ramp) sehingga memudahkan akses dengan kursi roda, berbagai penyediaan pelayanan, misalnya penyediaan makanan, kebersihan rumah, kunjungan perawatan dll disediakan

oleh pengurus perumahan yang biasanya tinggal di daerah yang sama. 3). Panti wredha adalah suatu institusi hunian bersama dari para usia lanjut yang secara fisik/

UPAYAPEMERINTAH

Dalam berbagai upaya peningkatan kesehatan/ kesejahteraan/sosial bagi para usia lanjut, pemerintah tidak bisa dan tidakmungkin akan mampubertindak danbekerja

sendiri. Berbagai organisasi sosial-keagamaan perlu dimotivasi agar bersedia mendirikan berbagai pelayanan

yang diperlukan. Dalam hal ini pemerintah perlu mengadakan percontohan-percontohan.

Peran pemerintah yang penting

di samping upaya

percontohan adalah pembuatan peraturan/kebijakan yang diperlukan guna membantu memberikan jaminan atau pendapatan bagi para usia lanjut yang memerlukannya. UU Jaminan Kesehatan bagipara usia lanjut bisa dibuat

untuk menjamin agar setiap warga usia lanjut bisa memperoleh pelayanan kesehatan di institusi kesehatan milik pemerintah dengan biaya minimal atau bahkan tanpa biaya. UU Kesejahteraan Sosial dapat dibuat untuk memberikan bantuan sosial bagi semua usia lanjut yang tentu saja setelah melalui penglitian oleh petugas sosial

pendapatan per bulannya berada

di bawah

batas

kemiskinan. Dalam masalah perawatan pasien terminal perlu ditambahkan pasal (bilamana saat ini belum terdapat) dalam UU Narkotik yang memperlonggar syarat penggunaan narkotik-analgetik bagi pasien terminal untuk mengurangi rasa nyeri (biasanya pada pasien kanker stadium lanjuQ. Di masa depan diperkirakan akan banyak pasien dengan

kesehatan masih mandiri, akan tetapi (terutama) mempunyai keterbatasan di bidang sosial-ekonomi. Kebutuhan harian dari para penghuni biasanya

demensia yang memerlukan perhatian dalam hal perlindungan hak-haknya secara hukum. Untuk itu

disediakan oleh pengurus panti. Diselenggarakan oleh pemerintah atau swasta. 4). Panti-rawat wreda adalah suatu institusi hunian bagi usia lanjut yang oleh karena menderita penyakit kronis tetap memerlukan perawatan (nursing-care) dan atau rehabilitasi jangka panjang. Misalnya pasien pasca strok, PPOM, arhitis rematoid berat dan lain sebagainya. Pasien tersebut sudah tidak memerlukan perumatan di RS, namun akan menghadapi kesulitan untuk hidup di rumah sendiri. Sebagai suatu

lanjut yang termasuk golongan ini perlu diperhatikan. Pembentukan suatu badan perlindungan hukum mirip dengan guardianship board yang terdapat di negara maju juga mulai harus dipikirkan. Di samping itu beberapa konsesi bagi para usia lanjut di berbagai bidang, ar,tara lain bidang perumahan,

"aneks" dari suatu rumah sakit, institusi ini bisa menggantikan kedudukan suatu bangsal kronis geriafii yang seringkali pendiriannya terkendala oleh karena berbagai perbedaan kebutuhan dengan suatu rumah sakit (misalnya lama rawat yang panjang dsb). 5). Respilecare atau rumatan liburan adalah suatu pelayanan yang

pembuatan perangkat hukum yang mencakup para usia

transportasi, keuangan/perbankan bisa diatur secara nasional. Institusi-institusi perumahan, peralatan dan berbagai hal yang berkaitan dengan usia lanjut perlu didorong agar membuat desain khusus bagi keperluan para usia lanjut. Suatu pusat pelayanan kesej ahteraanbagipara usia lanjut dengan inti berupa pelayanan kesehatan, yang mencakup berbagai sektor kesejahteraan lain, terdapat di negara-negara maju dengan rama extended care service

for

the elderly.

787

PELAYAITAN KESEHATAITI SOSIAL DAN KESE'A}ITERAAN PADA USIA LANJUT

Layanan di Komunitas Sasaran

Dukungan Sosial

usia lanjut sehat

Klub usia lanjut (berbagai kegiatan) Dr.Praktek Swasta. Puskesmas

usia lanjut sakit akut flngan sampar sedang usia lanjut sakit akut berat usia lanjut yang perlu layanan perawatan/bantuan (di rumah)

Puskesmas / Dokter Praktek Swasta Bangsal geriatri akut

Bantuan ahli / sarana tingkatkan kesejahteraan

Rujukan ke Bagian Geriatri RS

Undang-Undang Jaminan Kesehatan usia lanjut

perawatan/Klinik rawat siang/bantuan makan/

usia lanjut yang perlu berbagai rehabilitasi usia lanjut yang tergantung secara sosial, masalah kesehatan minimal, mereka yang sangat rapuh / sangat tua

--

sda

--

-- sda -Peraturan Kesehatan lain

. Kunjungan rutin perawat petugas

.

kesehatan Bantuan makan/upaya kesejahteraan lain

. Puskesmas/Dr. Praktek

usia lanjut dengan gangguan mental

swasta . Psikogeriatri

Modifikasi rumah (bila perlu)

--

sda

--

--

sda

--

--

sda

--

--

sda

--

--

sda

--

Kunjungan

kerja di rumah Kunjungan perawatan/ petugas rehabilitasi/Klinik rawat srang

Dukungan Hunian

Jangka Panjang

Jangka Sedang

Perluasan UU Jaminan Kesejahteraan Sosial

Modifikasi rumah / peralatan

--

sda

--

UU Jaminan UU Jaminan Kesehatan &

Sosial bagi usia lanjut

. r

Kesejahteraan Sosial (untuk semua usia lanjut), Berbagai konsesi

Panti wredha / rawat wredha

UU Jaminan Kesehatan &

Panti wredha / rawat

lnstalasi Psikogeriatri RSJ

Badan Perlindungan usia lanjut

Sosial

wredha

(Guardianshipboardl Disorientasi berat, ambulatorik tapi perlu pengawasan usia lanjut dengan sakit kronis tak bisa hidup sendiri usia lanjut dengan sakit terminal

Bangsal psikogeriatri di RS Jiwa Bangsal geriatri kronis/Panti Rawat Wredha Perawatan hospis di rumah/RS,Kon-sultasi keluarga

--

--

sda

UU Jaminan Kesejahteraan

Sosial bagi usia lanjut

.

o

UU narkotika

Tim Hospis di RS

MASA DEPAN PELAYANAN PADA USIA LANJUT DIINDONESIA Dengan makin meningkatnya jumlah populasi usia lanjut di Indonesia, jelaslah pelayanan pada usia lanjut akan makin dibutuhkan. Akan tetapi beberapa masalah perlu

digarisbawahi sebelum keberhasilan dalam pelayanan tersebut dapat dicapai. Masalah yang mungkin timbul adalah:

.

kesiapan sumber daya, baik fasilitas fisik maupun

.

ketenagaan pelayanan geriatri hanyalah merupakan sebagian dari

pelayanan kesehatan menyeluruh yang seperti diketahui berupa pelayanan kesejahteraan itu sendiri. Oleh karenanya kesiapan dari pemerintah, masyarakat, dan populasi usia lanjut harus sedemikian rupa sehingga keterpaduan tpaya dapat dilaksanakan. Oleh karena itu beberapa upaya perlu dipersiapkan agar

geiatri

sda

sda

sda

--- sda

--

Panti wredha / rawat wredha

--- sda

--

di rumah sakit tipe A. Sumber daya manusia meliputi semua tenaga kesehatan dan kesejahteraan yang diharapkan memberikan layanan pada populasi usia lanjut, mulai perawat, tenaga sosiaUsosio-medik, tenaga rehabilitasi, dan lain-lain. Hal ini membutuhkanupayabukan saja dari departemen kesehatan akan tetapi juga dari departemen P dan K, dan departemen lain yang terkait. 2). Pengertian tentang kesehatan usia lanjut bukan saja hanya perlu dimengerti dan dipahami oleh jajaran tenaga kesehatan, akan tetapi juga oleh jajaran tenaga kesejahteraan, sehingga upaya yang perlu dilakukan bisa dijalankan

secara terpadu.

KESIMPULAN Di bidang peningkatan kesehatan dan kesejahteraan sosial

bagi para usia lanjut, Indonesia sangat tertinggal

khususnya dan pelayanan

dibandingkan negara-negara maju. Karena sifat kerapuhan

kesejahteraan usia lanjut pada umumnya dapat dicapai, yaitu: l). Penyiapan fasilitas dan sumber daya fisikmaupun manusia. Fasilitas meliputi kelengkapan mulai di tingkat layanan berbasis masyarakat sampai ke fasilitas rujukan

pada usia lanjut yang merupakan kombinasi afltara berbagai aspek fisik, psikis, sosial dan lingkungan, maka

usaha pelayar.ar,

bantuan kesehatan, kesejahteraan dan sosial bagi para usia lanjut harus merupakan suatu kesatuan antara berbagai

788

GERIAIRI

aspek kesejahteraan. Oleh karena sifat heterogenitas populasi usia lanjut, maka jenis dan macam bantuan

Hazzard, WR. Introduction, the practice

kesejahteraan bagi para usia lanjutjuga bermacam-macam.

Halter, editors.l994. Kane RL, Ouslander Jr, Abrass IT. The geriatric department in essentials of clinical geriatrics. New York: McGraw-Hill Inform.

Dua hal yang merupakan dasar bagi bantuan tersebut adalah bantuan peningkatan pendapatan, pelayanan

Di samping itu hunian perlu

kesehatan, dan bantuan upaya kesehatan.

upaya bantuan berbagai jenis

diselenggarakan bagi para usia lanjut yang memerlukannya.

Statt extended care seryice bagi usia lanjut yang merupakan pelayanan multidimensional di bidang kesejahteraan sosial yang berintikan pelayanan kesehatan,

terdapat di berbagai negara maju, yang mungkin bisa dikembangkan di Indonesia. Kita menyadari bahwa banyak dari bahasan tersebut di atas barulah merupakan konsep yang dibuat atas dasar pengalaman di luar negeri, yang kemudian sesuai dengan kondisi dan situasi yang ada dicoba diterapkan di Indonesia. Konsep tersebut tentu saja akan tinggal menjadi konsep yang tidak berguna tanpa upaya untuk mewujudkannya menjadi kenyataan.

of geratric medicine. In: WR. Hazzard, EL. Bierman, JP. Blass, WH. Ettinger, JB.

Ser.Coy;1989. Martono H. Department of geriatric and rehabilitation medicine, a comparative study from Royal Adelaide hospital and its posible application in Indonesia, paper presented at Royal Adelaide

Hospital, 1987. Martono H. Aspek fisiologik dan patologik usia lanjut. Lokakarya Geriatri BagiaruiUPF Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP/ RS Dr. Kariadi Semarang. t993. Martono H. Geriatri pencegahan dalam simposium awam tentang kesehatan usia lanjut dalam rangka HUT PMI Semarang, 1993. 7.

Martono H. Beberapa prinsip geriatri. Simposium geriatri dalam rangka KOPAPDI Padang, Juni 1996. Martono H, Darmojo B. Pelayanan kesehatan usia lanjut di masyarakat berbasis rumah sakit, lokakarya kesehatan jiwa. Ciawi: DEPKES R.I.; 1993. Martono H. Pelayanan sosial dan kesejahteraan bagi usia lanjuL In: R Boedhi-Darmojo, Hadi-Martono, editors. Buku ajar geriatri. Edisi

3;2003.

REFERENSI Burvill PB. Psychiatric assesment of the elderly. In: Wame RW, Prinsley DM, editors. A manual of geriatric care. Sidney: Williams&Wilkins Assc; 1988. p. 53-65. Coni N, Davidson W, Webster S. The geriatric department in lecture notes in geriatric medicine. 2nd edition. Oxford: Blackwell Sc.Publ; 1980. p. 60-78. Editor(s). The role of consultant physician in geriatric medicine The Newsletter, The Australian Society of Geriatric Medicine, September, 1996,1.

Maguire GH, et al. The team approach in action. In: Maguire GH, editor. Care of the elderly: a health team approach. Boston: Little Brown and Coy; 1985. p. 221-69. Mykyta L. Aged care, the South Australia experience. Simposium Usia lanjut menjelang tahun 2000, Jakarta 1992. Stieglitz EJ. Geriatric medicine. 3'd edition. Philadelphia, London

Montreal: JB Lippincott Co; 1954. TPPG: Katalog Pendidikan dan Pelayanan Geriatri PB PAPDI, 1993. Wieland D, Ferrell BA, Rubenstein LZ. Geriatrrc home health care,

BA. Fenell, LZ. Rubenstein, editors. Geriatric home care. Philadeiphia: W.B. Saunders Comp; 1991. p.645 - 54. conceptual and demographic consideration. In:

tzB REGULASI SUHU PAT'A USIA LANJUT Siti Setiati, Nina Kemala Sari

PENDAHULUAN

kurang gerak,krxangnya tingkat kebugaran, dan berbagai penyakit. Pada usia lanjut, suhu oral rata-rataadalah36C. Berbagai studi yang menunjukkan suhu tubuh inti pada usia lanjut lebih rendah daripada dewasa muda tampaknya mencerminkan pengaruh status nutrisi, penyakit,'dian obat-

Kemampuan mengatur suhu pada usia lanjut berkurang dengan meningkatnya usia. Dengan bertambahnya usia, irama sirkadian suhu tubuh berkurang amplitudonya. Irama sirkadian pada temperatur inti disebabkan oleh irama sirkadian dalam produksi dan kehilangan panas. Suhu tubuh inti maksimal pada sore hari dan mencapai minimum pada dini hari. Suhu tubuh inti merupakan satu indikator yang paling kuat dan stabil yang mencerminkan aktivitas

obatan.

PERUBAHAN PADA TERMORESEPSI USIA I.ANJUT

irama sirkadian. Sistem termoregulasi dapat dikonsep mengandung 3

Ujung sarafbebas yang terkait dengan sensasi suhu tetap utuh pada usia lanjut, beilawanan dengan berkurangnya jumlah reseptor kulit rasa sentuh seperti badan Meissner

bagian: jalur aferen termosensitif, integrasi neuron dan sistem kontrol, danjalur efektor desenden yang mangubah perolehan atau kehilangan panas. Anatomi fungsional dan mekanisme fisiologis kompartemen-kompartemen ini,

mencakup perubahan

-

dan Pacini. Selain itu, kecepatan hantaran juga tetap utuh pada usia lanjut. Daerah sensoris primer neokortikal juga

perubahan karena modulasi

tetap relatifintak pada usia lanjut. Disregulasi suhu pada usia lanjut merupakan contoh

sirkadian dan proses menua seperti termoresepsi, termogenesis (perolehan dan retensi panas), kehilangan

berkurangnya regulasi mekanisme homeostatis yang te{adi dengan meningkatnya usia. Orang-orang tua kurang dapat menyesuaikan diri terhadap suhu lingkunganyang ekstrim. Keadaan hipotermi dan hipertermi merupakan gangguan regulasi suhu yang sering terdapat pada usia lanjut. Terdapat bukti peningkatan morbiditas dan mortalitas pada periode musim panas dan musim dingin

panas dan kurangnya perolehan panas, kontrol termoregulasi sentral, perubahan-perubahan terkait usia lanjut dalam modulasi sirkadian suhu tubuh, siklus suhu

harian yang memiliki implikasi fungsional penting. Meningkatnya kerentanan terhadap deviasi dari batas normal siklus ini pada usia lanjut memiliki konsekuensi

pada populasi usia lanjut. Mayoritas penyakit ini disebabkan oleh peningkatan insidensi gangguan

fungsi dan kesehatan fisik dan mental. Karena itu, ponting

untuk memeriksa faktor-faktor yang memengaruhi termoregulasi dan amplitudo irama suhu.

kardiovaskular (infark miokard dan strok) dan penyakitpenyakit infeksi (pneumonia) selama masa suhu ekstrim.

Penting juga dibedakan pembahan-perubahan terkait usia yang primer dan sekunder. Perubahan terkait usia

primer adalah hal yangjuga terdapat pada usia lanjut sehat, atau setelah koreksi perubahan-perubahan sekunder. Perubahan-perubahan terkait usia sekunder adalah hal yang bukan semata-mata disebabkan oleh proses menua tetapi torhadap faktor-faktor yang mana orang tua berada pada risiko tinggi. Sebagai contoh adalah gaya hidup

HIPOTERMIA

Definisi Hipotermia didefinisikan sebagai temperatur tubuh inti (rektal, esofageal, timpani) kurang dari 35"C.

789

790

GERI'TIRI

Patofisiologi Kerentanan seorang usia lanjut terhadap hipotermia berhubungan dengan adanya penyakit dan perubahan fisiologis. Pusat termoregulasi menjaga suhu tubuh melalui

kontrol keringat, vasokonstriksi,

vasodilatasi,

Gangguan termoregulapi dapat terjadi sebagai hasil disfungsi sistem hipotalamus dan sistem saraf pusat atau karena obat. Trauma, hipoksia, tumor, atau penyakit serebrovaskular dapat mengganggu regulasi sentral suhu. Obat-obat yang paling sering terkait hipotermia adalah

termogenesis kimia, dan menggigil. Berkurangnya sensasi terhadap suhu dingin dan gangguan sensitivitas terhadap

etanol, barbiturat, fenotiazin, benzodiazepin, obat anestesi,

perubahan temperatur dikaitkan dengan memburuknya termoregulasi pada usia lanjut dan dapat menyebabkan perilaku maladaptif pada lingkungan dingin. Pada usia lanjut, proses menggigil biasanya kurang intens, meskipun terdapat kehilangan suhu tubuh inti yang lebih besar.

karena bekerja sebagai vasodilator, penekan sistem saraf pusat, anestetik, penyebab hipoglikemia, dan faktor risiko trauma dan pajanan lingkungan. Fenotiazin menghambat menggigil melalui efek kurare perifer. Pada sepsis, hipotermia mencerminkan perubahan titik setting hipotalamus dan tanggapan tubuh yang berkurang serta sering paradoks terhadap pirogen sebagai mekanisme

Karena proses menggigil yang maksimal akan meningkatkan produksi panas 3 hingga 5 kali lipat lebih besar daripada saat istirahat, orang tua dengan gangguan proses menggigil atau proses menggigil yang kurang efisien akan meningkatkan risiko terjadinya hipotermia. Mekanisme di mana defisit adrenergik berkontribusi terhadap timbulnya hipotermia pada populasi usia lanjut

belum dapat ditentukan. Bagaimana pun, respons vasokonstriktor otonom abnormal terhadap dingin merupakan faktor kunci terjadinya disregulasi suhu pada usia lanjut. Disregulasi otonom ini juga bermanifestasi pada

insidensi hipotensi ortostatik yang lebih tinggi pada orang-orang dengan risiko hipotermia. Berkurangnya termogenesis merupakan faktor kunci lainnya dalam terjadinya disregulasi suhu pada usia lanjut. Ketuaan berkaitan dengan berkurangnya termogenesis yang diperantarai oleh beta adrenergik. Laju metabolisme juga lebih rendah pada usia lanjut karena berkurangnya massa tubuh kering sehingga berkontribusi terhadap risiko hipotermia pada individu-individu ini. Efek termal makanan juga berkurang pada usia lanjut. Karena lemak tubuh berkontribusi untuk menahan kehilangan panas, usia lanjut yang kurus dengan berkurangnya massa lemak juga meningkatkan risiko hipotermia. Di samping pajanan aktual terhadap dingin, terdapat faktor-faktor predisposisi tubuh terhadap hipotermia. Gangguan terkait pemrnrnan produksi panas mencakup hipotiroidisme, hipoglikemia, kelaparan, dan malnutrisi. Kondisi endokrinopati yang paling sering menimbulkan hipotermia adalah hipotiroidisme, yakni 80% pasien yang dialami karena penurunan laju metabolisme dan

kalorigenesis. Hipoglikemia juga menyebabkan

berkurangnya proses menggigil, mungkin melalui efek sental. Hipotermia juga terjadi pada lebih dari 50% pasien

dengan hipoglikemia. Kelaparan dan malnutrisi berkontribusi terhadap risiko hipotermia karena berkurangnya massa tubuh kering total dan simpanan energi untuk kalorigenesis seperti kehilangan lemak tubuh dengan efek penyekatnya. Imobilisasi dan berkurangnya aktivitas karena strok, artritis, dan parkinsonism juga menyebabkan berkurangnya produksi panas. Pada pasien

dengan parkinsonism, disfungsi autonom juga berkontribusi terhadap disregulasi suhu.

dan opioid. Etanol merupakan predisposisi hipotermia

pertahanan tubuh yang berlebihan. Pada penyakit

kardiovaskular, sistem sirkulasi mungkin tak dapat merespons perubahan-perubahan tekanan suhu tubuh atau terhadap kebutuhan mekanisme regulasi seperti menggigil. Pada individu usia lanjut, terutama yang tinggal sendiri atau hidup sendiri, kurangnya pemanasan sentral,

kegagalan menggunakan panas (apa pun jenisnya), dan demensia atau konfusi berkaitan dengan meningkatnya risiko hipotermia. Berikut ini adalah tabel faktor-faktor yang meningkatkan risiko hipotermia pada usia lanjut:

Gangguan termoregulasi Kegagalan vasokonstriksi segera pada pajanan dingin Kegagalan merasakan dingin

Kegagalan tanggapan perilaku untuk melindungi diri dari cuaca dingin

Berkurang atau tidak adanya proses menggigil untuk membentuk panas Kegagalan respons peningkatan laju metabolisme terhadap dingin

Kondisi-kondisi yang menurunkan produksi panas Hipotiroidisme, hipopituitarisme, hipoglikemia, anemia, malnutrisi, kelaparan lmobilisasi/berkurangnya aktivitas (contoh: strok, kelumpuhan, parkinson, demensia, artritis, fraktur panggul, koma) Ketoasidosis diabetikum

Kondisi-kondisi yang meningkatkan kehilangan panas Luka terbuka, inflamasi umum di kulit, luka bakar

Kondisi-kondisi yang mengganggu kontrol termoregulasi sentral atau perifer Strok, tumor otak, ensefalopati Wernicke, perdarahan subarachnoid Uremia, neuropati (contoh: diabetes, alkoholisme) Penyakit akut (contoh: pneumonia, sepsis, Ml, CHF, emboli paru, pankreatitis)

Obat-obat yang mengganggu termoregulasi Penenang (contoh: fenotiazin) Hipnotik sedatif (contoh: barbiturat, benzodiazepin) Antidepresi (contoh: trisiklik) Obat-obat vasoaktif (contoh: vasodilator) Alkohol (menyebabkan vasodilatasi superfisial) Lain-lain: metildopa, litium, morfin

791

REGULASI SUHU PADA USIA LANJUT

Klinis Karena gejala awal sangat tidak spesifik dan samar-samar, perlu kewaspadaan yang tinggi untuk deteksi dini. Riwayat adanya pajandn akan sangat membantu tetapi pasien usia lanjut dapat mengalami hipotermia bahkan pada suhu sedang. Tanda-tanda awal yang terjadi pada suhu inti 3235'C adalah kelelahan, kelemahan, melambatnya gerakan,

apati, bicara tidakjelas, kebingungan, dan kulit dingin. Hipopnea dan sianosis ada, pertama karena berkurangnya kebutuhan metabolik dan kemudian karena depresi dorongan respirasi sentral. Bradikardia, aritmia atrium dan ventrikel serta hipotensi juga terjadi. Semikoma atau koma dan rigiditas muskular juga terdapat. Hilang kesadaran biasanya terjadi bila suhu otak mencapai 3 2-30"C. Refleksrefleks melambat dan pupil kurang reaktif. Bisa terdapat edema umum dan poliuria atau oliguria. Pajanan dingin dikaitkan dengan diuresis ar dar. zat terlarutnya. Kontraksi volume terjadi karena diuresis danjuga karena pergeseran cairan ekstrasel dan intrasel. Ketika suhu tubuh turun dari 28'C, kulit menjadi sangat kering, individu menjadi tidak responsif, kah.r/rigid, arefleksia dan terfiksir, pupil dilatasi. Apnea dan fibrilasi ventrikel sering terjadi. Pasien kadangkadang disangka sudah meninggal. Berbagai laporan kasus menggambarkan pasien-pasien yang bertahan

setelah ditemukan tidak bernapas atau nadinya tak berdenyut.

Komplikasi dini yang paling penting dari hipotermia

berat adalah aritmia serta henti jantung dan napas. Komplikasi lanjut mencakup bronkopneumonia dan pneumonia aspirasi. Refleks batuk ditekan oleh hipotermia, dan dingin menyebabkan banyaknya produksi sekresi bronkial yang kental. Edema paru mungkin terjadi terutama pada

individu dengan penyakit kardiovaskular. Pankreatitis dan perdarahan traktus gastrointestinal merupakan komplikasi yang sering meskipun perdarahan masif jarang terjadi.

QRS. Kelainan ini kembali hilang bila suhu kembali normal. Kelainan lain yang sering adalah bradikardia dan pemanjangan interval P-R, QRS kompleks, segmen Ql selain fibrilasi atrial, kontraksi ventrikel prematur, dan fibrilasi ventrikel. Perubahan-perubahan EKG bisa menyerupai iskemi atau infark miokard akut. Seringkali, diagnosis banding tersulit pada hipotermia

adalah hipotiroidisme, penyebab tersering hipotermia. Riwayat adanya penyakit tiroid terdahulu, jaringan parut di leher bekas operasi tiroid, dan melambatnya fase relaksasi refleks tendon dalam dapat membantu diagnosis hipotiroidisme.

Terapi Perawatan gawat darurat. Di lapangan, pasien dengan hipotermia harus segera dipindahkan dari lingkungan dingin, daerah berangin, dan kontak dengan objek yang dingin, Pakaian basah harus disingkirkan untuk mencegah kehilangan panas lebih jauh. Harus digunakan beberapa lapis selimut. Pasien harus dipindahkan dengan hati-hati, karena dingin, jantung dengan bradikardia sangat sensitif sehingga stimulus ringan pun dapat mencetuskan fibrilasi

ventrikel atau asistol. Monitor jantung harus segera dilakukan. Pasien dengan denyutjantung yang terdeteksi dan dapat bernapas spontan meskipun sangat lambat, jangan mendapat perlakuan salah dengan tindakan yang tidak perlu seperti kompresi dada atat pemasangan pacu jantung. Sebaliknya, pasien dengan fibrilasi ventrikel atau asistole harus diresusitasi tetapi jantun gyalgdingin dapat

menjadi relatif tidak responsif terhadap obat-obat atau stimulasi listrik. Cairan intravena, lebih baik dekstrosa 5olo, natrium fisiologis tanpa kalium, harus dihangatkan sebelum

digunakan.

Mungkin terjadi gagal ginjal akut. Trombosis intravaskular

Perawatan umum. Di rumah sakit, terapi dukunganumum untuk hipotermia berat terdiri dari tatalaksana perawatan

merupakan komplikasi hemokonsentrasi dan perubahan-

intensif dari disfungsi multisistem yang kompleks.

perubahan viskositas yang diinduksi oleh suhu.

Mortalitas biasanya lebih dari 50% untuk hipotermia berat dan meningkat dengan bertambahnya usia dan sangat

Abnormalitas EKG sering terjadi. Temuan EKG yang paling spesifik adalah gelombang Osborne setelah kompleks

Tanda Awal Suhu 32-35'C Kelelahan Kelemahan Berjalan lambat Apatis Bicara tak jelas Kebingungan/konfus Menggigil (t) Kulit dingin Sensasi dingin (t)

Tanda-tanda Lanjut Suhu 28-30'C Kulit dingin Hipo.pnea

Sianosis Bradikardia Aritmia atrial dan ventrikular Hipotensi Semikoma dan koma Otot kaku Edema umum Refleks melambat Reaksi pupil lambat Poliuria atau oliguria

berhubungan dengan penyakit yang mendasarinya.

Tanda-tanda Lebih Lanjut Suhu < 28oC Kulit sangat dingin Rigiditas Apnea Tak ada denyut nadi- fibrilasi ventrikel Arefleksia Tidak bereaksi Pupil kaku, tidak bergerak

792

G,ERIITIXI

Tiap usaha harus dilalarkan untuk menilai dan mengatasi setiap gangguan medis yang mungkin berkontribusi (contoh: infeksi, hipotiroidisme, atau hipoglikemia). Sering terdapat infeksi yang mendasari. Hipotermia pada pasien usia lanjut awalnya harus ditatalaksana sebagai sepsis sampai terbukti tidak ada. Jika dicurigai hipotiroidisme, pasien harus segera diberi levotiroksin 0,5 mg intravena dan kortikosteroid. Meskipun pada pasien harus segera dipasang monitor EKG rutin, jalur vena sentral harus dihindari jika mungkin, karena iritabilitas miokard.

.Karena

metabolisme melambat, banyak obat

memberikan sedikit efek pada pasien hipotermia yang berat

namun dapat menimbulkan masalah saat pasien dihangatkan kembali. Aritmia biasanya resisten terhadap kardioversi dan terapi obat. Insulin tidak efektifpada suhu

kurang dari 30"C dan harus dihindari pada pasien hiperglikemia dengan hipotermia. Jika diberikan selama hipotermia, insul!1 dapat nrenimbulkan hipoglikemia saat pasien telah dihaigatkan. Resistensi insulin membaik spontan saat suhu tubuh inti meningkat. Pada hipotermia kronik (berlangsung lebih dari 12 jam),kekurangan cairan

bisa berat dan diperlukan penggantian cairan saat pemanasan terjadi. Gas darah harus diobservasi untuk menilai fungsi pernapasan. Terapi oksigen, sedotan paru,

dan intubasi endotrakea mungkin dibutuhkan saat pemanasan terjadi. Pada kasus dengan aritmia serius, asidosis, serta gangguan cairan dan elektrolit, biasanya

digunakan untuk mengatasi hipotermia pada pasien dengan penyakit kritis. Pada prosedur ini kateter arteri dan

vena femoral dipasang perkutan, dihubungkan ke saluran masuk keluar cairan lebih hangat untuk msrnbuat fistel melalui mekanisme pemanasan. Pada sebuah studi yang membandingkan CAVR dan teknik pemanasan standar, CAVR berkaitan dengan mernbaiknya kelangsungan hidup setelah trauma sedang berat dan berkurangnya secara bermakna kebutuhan darah dan cairan, gagal organ, dan

lama rawat di ICU. Pendekatan lain adalah dengan menggunakan lavase gaster, dimana ditempatkan balon di lambung dan diisi dengan air. Dengan metode ini, daerah yang diFanaskan lebih kecil daripada dengan dialisis peritoneal dan iritasi faring lokal dapat mencetuskan aritrnia.

Dialisis peritoneal dan pemanas6 inhalasi mungkin merupakan teknik yang paling praktis. Namun, terapi inhalasi tidak begitu efektif pada hipoGrmia sedang sampai berat. Dialisis peritoneal monberi sedikit risiko bagr pasieg

mudah dilakukan, butuh peralatan sederhana,,lan dapat dilakukan di setiap rumah sakit. Lebih baik dipilih dialisis dengan2liter larutan bebas kalium. Biasanya normotennia dicapai setelah 6 sampai 8 kali penggantian. Enernajarang dilakukan namun dapat dikerjakan bersamaan deqgan dialisis. Mortalitas biasanya lebih dari 5OYo pada hipotermia berat, yang bertambah dengan meningkatnya usia dan terutama berhubungan dengan penyakit yang mendasari.

tanggapan terhadap terapi hanya setelah dilakukan pemanasan. Lebih baik menstabilkan pasien dan segera melakukan teknik pemanasan spesifft .

Pemanasan. Unhrk hipotermia ringan (>32"C) biasanya diberikan pemanasan pasif dengan bahan penyekat/ pengisolasi dan menempatkanpasien di lingkungan hangat (>21 "C). Pemanasan eksternal aktif (selimut listrik, matras hangat, dan botol air hangat, berendam/mandi air hangat) merupakan teknik yang lebih cepat untuk pemanasan daripada prosedur pasif. Bagaimana pun, pemanasan

eksternal aktif pada kondisi

ini berkaitan

dengan

peningkatan morbiditas dan mortalitas karena darah yang

dingin dapat secara tiba-tiba dialihkan ke suhu inti sehingga menurunkan suhu inti lebih jauh lagi. Vasodilatasi

perifer karena pematrasan eksternal dapat mencetuskan syok hipovolemik dengan berkuranpya volume darah sirkulasi. Untuk hipotermia yang lebih berat (40'C dan abnormalitas sistem saraf pusat seperti delirium, kejang, atau koma pajanan terhadap lingkungan panas (sengatan panas klasik) atau latihan fisis yang berat (sengatan panas terkait aktivitas). Kelanjutan perubahan-perubahan yang terjadi pada lebih dari satu sistem organ setelah adanya gangguan seperti trauma, sepsis atau senqatan panas. Perasaan

obat

Heat exhaustion

/kelelahan panas

di

Heat sfroke/sengatan panas

karena

Sindrom disfungsi

multiorgan

Fungsi Kelenjar Keringat Gangguan sistem termoregulasi dengan berkurang atau tidak adanya keringat merupakan penyebab terpenting sengatan panas pada lingkungan panas. Respons berkeringat terhadap stimulasi panas dan neurokimia berkurang pada usia lanjut dibandingkan dengan dewasa muda. Juga terdapat ambang suhu inti yang lebih tinggi pada usia lanjut untuk memulai proses berkeringat. Pada kondisi stres panas, manusia mengaktifkan kelenjar keringat ekrin (di bawah kontrol kolinergis simpatis) dan kemampuan kelenjar tersebut untuk mengeluarkan keringat untuk mengatur suhu tubuh. Meskipun terdapat variasi luas antar individu sebagai respons kelenjar keringat terhadap stimulus farmakologis (contohnya oleh analog kolinergis seperti metilkolin atau pilokarpin), terdapat pengaruh proses menua yang jelas. Laju berkeringat lokal lebih rendah pada usia lanjut yang mendapat stimulus

sangat kecil pada kelenjar yang diaktifkan secara farmakologis sampai usia 60 tahun namun setelah usia 70 dan 80 tahun fungsi kelenjar merurrun secara bertahap. Temuan lain memperlihatkan perbedaan pola distribusi keringat. Pengaruh penuaan terhadap menurunnya fungsi kelenjar keringat lebih jelas terlihat di daerah dahi dan ekstremitas daripada di badan.

Aliran Darah Kulit Respons aliran darah kulit terhadap pemanasan lokal langsung pada kulit nonakral berkurang pada usia lanjut. Berkurangnya perfusi kulit pada usia lanjut berkaitan dengan hilangnya unit-unit fungsional pleksus kapiler. Pada kulit yang menua, bagian dalam epidermis mendatar

sehingga menjadi rata pada orang yang sangat tua. Transformasi ini berhubungan dengan kolapsnya, disorganisasi, dan hilangnya pembuluh-pembuluh darah mikrosirkulasi di papilaris kulit dan pleksus vaskular superfisial. Perubahan anatomis ini mendukung peran perubahan struktural pada berkurangnya kapasitas aliran darah kulit maksimal pada usia lanjut. Meskipun ambilan

oksigen maksimal, status penyesuaian

diri, hidrasi,

penyakit-penyakit, dan obat-obatan dapat memengaruhi aliran darah kulit, ketidakmampuan relatifkulit yang menua untuk vasodilatasi tampaknya merupakan konsekuensi utama pada usia lanjut.

Gurah Jantung Adaptasi kardiovaskular normal terhadap stres panas berat adalah dengan meningkatkan curah jantung hingga 20

liter per menit dan pergeseran darah yang panas dari sirkulasi inti ke sirkulasi perifer. Ketidakmampuan untuk meningkatkan curah jantung karena adanya deplesi air dan

garam, penyakit kardiovaskular, atau pengaruh obatobatan yang menganggu fungsi jantung dapat menghambat toleransi panas yang mengakibatkan kerentanan terhadap sengatan panas. Berkurangnya cqrah jantung pada usia lanjut terutama merupakan akibat dari berkurangnya isi sekuncup karena orang tua dapat meningkatkan denyut jantungnya seperti pada dewasa muda. Bagaimanapun, untuk mencapai peningkatan denyut

jantung ini, usia lanjut perlu mencapai proporsi yang lebih besar dari cadangan denyutjantungnya. Meskipun hasil ini untuk pria, sebuah studi yang menggunakan protokol pemanasan yang sama menemukan bahwa perempuan (5280 tahun) tidak mengalami penurunan isi sekuncup dengan

pemanasan pasif langsung. Ini benar untuk perempuan yang tidak mendapat HRT ataupun estrogen, progesteron,

dan kombinasi terapi hormon. Mekanisme adanya perbedaan antarjenis kelamin ini masih belum diketahui.

farmakolo gis. Densitas kelenj ar-kelenj ar yang diaktifkan

secara farmakologis tidak dipengaruhi usia, efek ini disebabkan oleh produksi keringat yang lebih sedikit per kelenjar yang diaktifkan. Menurut Sato, pengaruh usia

Redistribusi Aliran Darah Studi yang menunjukkan berkurangnya aliran darah kulit pada usia lanjut ternyata tidak saja berhubungan dengan

794

GERIITTRI

berkurangnya peningkatan curah jantung namun juga dengan berkurangnya redistribusi aliran darah dari sirkulasi splanknikus dan ginj al. Bila pengaruh ortostatik ditambahkan pada pemanasan

pasif, pria usia lanjut bereaksi bermakna

pada berkurangnya aliran darah perifer dibandingkan dewasa muda. Karena itu, tampaknya penuaan berhubungan dengan berkurangnya respons aliran darah kulit baik

terhadap refleks vasodilatasi aktif maupun refleks nontermoregulasi (barorefleks) di pembuluh darah kulit selama stres panas. Bukti lebih lanjut untuk perubahan respons perifer ditunjang oleh studi yang menunjukkan

bahwa selama tes kemiringan kepala pada kondisi normotermi, pria usia lanjut menunjukkan berkuralgnya

diantaranya dapat mengganggu respons terhadap kondisi

panas. Antikolinergik, fenotiazin, dan antidepresi menimbulkan hipohidrosis. Diuretik berkaitan dengan hipovolemia dan hipokalemia, dan beta bloker dapat menekan fungsi miokard. Sengatan panas dan progresivitas menjadi sindrom disfungsi multiorgan disebabkan olen interaksi kompleks perubahan-perubahan fisiologis akut terkait hipertermia (kegagalan sirkulasi, hipoksia, dan peningkatan kebutuhan metabolik), efek sitotoksik langsung dari panas, dan respon inflamasi dan koagulasi tubuh. Rangkaian peristiwa ini menimbulkan perubahan-perubahan dalam aliran darah mikrosirkulasi dan mengakibatkan trauma pada endotel vaskular danjaringan.

peningkatan resistensi vaskular dahi dibandingkan dewasa muda. Bagaimanapun pada studi ini, resistensi vaskular splanknikus meningkat lebih besar pada kelompok usia lanjut. Temuan ini menunjukkan bahwa perubahan-

perubahan terkait usia pada struktur dan regulasi pembuluh darah perifer mengharuskan adanya modifikasi mekanisme kontrol homeostatik sistem kardiovaskular. Kematian orang-orang tua pada masa gelombang panas biasanya dianggap karena penyakitjantung atau masalah kardiovaskular lainnya yang dieksaserbasi oleh stres panas. Bagaimana pun, beberapa morbiditas berhubungan

langsung dengan kegagalan termoregulasi primer. Melambatnya dilatasi vaskular kulit dan berkurangnya curah jantung dan redistribusi sirkulasi splanknikus dengan pemanasan juga menganggu terjadinya kehilangan panas pada usia lanjut. Perubahan laju keringat dan aliran darah

ini lebih berhubungan dengan pengaruh deconditioning daripada penuaan itu sendiri. Bila ambilan oksigen maksimal disesuaikan antara orang tua dan dewasa muda, tidak terdapat perbedaan bermakna laju keringat atau aliran darah lengan atas selama latihan. Gangguan sensitivitas terhadap perubahan-perubahan suhu dapat menimbulkan

perilaku yang tidak sesuai pada lingkungan panas. Penyesuaian diri terhadap panas kurang berjalan dengan baik pada usia lanjut karena itu berkontribusi pada defisit

fisiologis. Ketidakmampuan melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan seperti mengganti pakaian tebal, pindah ke lingkungan sejuk, dan meningkatkan asupan cairan, akan meningkatkan sengatan panas pada usia lanjut dengan mobilitas yang terbatas. Tinggal sendiri dan kebingungan/ delirium juga akan meningkatkan risiko ini. Usia lanjut dengan penyakit kardiovaskular mungkin tak dapat

meningkatkan curah jantung secara adekuat dalam merespons stres panas. Gagal jantung kongestif, diabetes melitus, obesitas, dan penyakit paru obstruktif berkaitan

dengan meningkatnya risiko kematian pada korban sengatan panas. Faktor risiko lain kematian dari sengatan panas adalah alkoholisme, penggunaan obat-obat penenang dan antikolinergik, serta berkurangnya aktivitas

fisik. Orang tua rentan polifarmasi yang

beberapa

KIinis Sengatan panas memiliki ciri khas dimana suhu tubuh inti lebih dari 40,6'C disertai disfungsi sistem sarafpusatyang berat (psikosis, delirium, koma), dan anhidrosis ftulityang panas dan kering). Manifestasi dini, disebut heat exhaustionkelelahanpanas, tidak khas dan terdiri dari rasa pusing, kelemahan, sensasi panas, anoreksia, mual, muntah, sakit kepala, dan sesak napas. Komplikasi sengatan panas mencakup gagal jantung kongestif dan aritmia jantung, edema serebral dengan kejang dan defisit neurologis difus dan fokal, nekrosis hepatoselular dengan ikterik dan gagal hati, hipokalemia,

alkalosis respiratorik dan asidosis metabolik, serta hipovolemia dan syok. Rabdomiolisis, koagulasi intravaskular diseminata, dan gagal ginjal akut jarang terjadi pada usia lanjut dibandingkan pada dewasa muda dengan sengatan panas terkait aktivitas. Komplikasi terberat, kematian, terjadi pada 80% pasien yang sindrom sengatan panasnya telah muncul secara penuh.

Terapi Kunci mengatasi hipertermia adalah pendinginan cepat. Hal ini harus dimulai segera di lapangan dan suhu tubuh inti harus diturunkan mencapai 39"C dalam jam pertama. Lamanya hipertermia merupakan penentu utama hasil akhir. Berendam dalam air es lebih baik dari pada pendinginan dengan alkohol atau fan listrik. Komplikasi membutuhkan perawatan di ruang intensif.

Pendinginan Kehilangan panas efektif tergantung pada transfer cepat dari inti ke kulit dan dari kulit ke lingkungan luar. Pada orang-orang dengan hipertermia, transfer panas dari inti ke kulit difasilitasi oleh vasodilatasi kulit aktif. Tujuan teknik pendinginan terapi adalah meningkatkan transfer panas dari kulit ke lingkungan. Hal ini dicapai dengan meningkatkan gradien suhu antara kulit dan lingkungan (untuk pendinginan dengan induksi) atau dengan meningkatkan gradien tekanan air-uap air antara kulit dan

795

REGULASI SUHU PAT'A USIA LANJUT

lingkungan (untuk pendinginan dengan penguapan) Teknik pendinginan konduksi Eksternal* Berendam dalam air dingin Penggunaan kompres es di seluruh tubuh atau bagianbagian tubuh tertentu Penggunaan selimut pendingin

. .

.

lnternal*.

o o

Lavase lambung dengan es Lavase peritoneal dengan es

Teknik pendinginan evaporasi/penguapan atau konveksi

. .

.

Berikan kipas angin pada pasien yang telah dibuka bajunya pada suhu ruangan (20-22'C) Basahi permukaan tubuh selama pemakaian kipas angin terus menerus (kulit ditutupi dengan lembaran kasa halus yang telah direndam dalam air 20"C saat pasien dikipasi. Kipas angin dikurangi atau dihentikan jika suhu kulit turun 40'C, pindahkan pasien ke tempat sejuk, lepaskan pakaiannya, mulai pendinginan eksternal: kompres es batu di leher, aksila, lipat paha; kipas angin terus menerus (atau buka jendela ambulans); dan semprot kulit dengan air bersuhu 25'C hingga 30'C. Posisikan pasien tak sadar menyamping dan bebaskan jalan napas. Berikan oksigen 4 l/menit. Berikan kristaloid isotonik/garam fisiologis. Segera bawa pasien ke ruang gawat darurat.

Stres panas (karena gelombang panas, musim panas, atau latihan berat) dengan perubahan status mental (ansietas, delirium, kejang, atau koma)

a a

a a

Diagnosis sengatan panas. Turunkan suhu inti sampai 20 mmHg ternyata menderita kegemukan (obese) dan PaOr- nya relatifrendah saat

bangun penuh. OSA juga berperan

pada ketidakseimbangan vasodilator dan vasokonstriktor akibat terjadinya stres oksidatif karena terjadinya katabolisme nitric oxide (NO), peningkatan aktivitas saraf simpatik, peningkatan aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAA) dan sintesis endotelin. Akibat ketidakseimbangan ini terjadi disfungsi endotel dan fisiologi pembuluh darah sehingga kejadian strok dan serangan jantung meningkat.

lemahnya otot saluran napas atas pada pasien GTGP.

Gambaran klinis pasien GTGP adalah pada saat tidur

Faktor risiko terjadinya GTGP antara lain : obesitas, jenis kelamin laki-laki, ras (lebih banyak pada kulit hitam), usia lanjut, depresi sistem saraf pusat (alkohol, obat-obatan

terdapat mengorok sangat keras, tersedak dan batuk-batuk, henti napas beberapa detik, dan gerakan-gerakan seperti

sedatif), penyempitan saluran napas atas (micrognathia,

retrognathia), hipertensi, penyakit jantung, strok, hipotiroid, akromegali, keturunan, penyakit paru obstruktif, penyakit degeneratif saraf seperti sindrom Shy-Dragger dan penyakit-penyakit penyebab kejang.

Frekuensi terjadinya GTGP cukup tinggi pada usia lanjut. Di Amerika terdapat 28-67% laki-laki dan 20-54%o perempuan usia lanjut yang menderita GTGP tipe henti napas karena obstruksi (OSA), dimana pasien

laki-laki

8

kali lebih berat manifestasinya dibandingkan perempuan. Di Hongkong terdapat l0% usia lanjut (umur > 65 tahun) menderita henti napas karena obstruksi. Pasien CSA lebih jarangditemui, biasanya berhubungan atau sebagai akibat

orang kehabisan napas. Gambaran tersebut biasanya dilaporkan oleh teman tidurnya. Yang dirasakan oleh pasien adalah sering terbangun tanpa sebab, nokturia, dan merasa tidak tidur semalaman, Pada pagi hari sering muncul keluhan nyeri kepala, kepala terasa ringan, dan mengantuk terus. Bila berlangsung terus akan muncul gangguan koglitif,

penurunan intelektual, perubahan perilaku dan kepribadian, depresi, dan penurunan gairah seksual.

Diagnosis GTGP dibuat berdasarkan penilaian lengkap yang terdiri atas anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunj ang,

Anamnesis dilakukan kepada pasien dan keluarganya, terutama teman tidurnya; meliputi; kebiasaan tidur, kebiasaan mengorok waktu tidur, penyaksian henti napas

806

GERI'TIRI

saat tidur, kepuasan tidur, mengantuk pada siang hari, perubahan perilaku, perubahan emosi, perubahan sikap saat berhubungan dengan orang lain, kemampuan seksual (impotensi), penyakit-penyakit lain yang diderita terutama penyakit kardiovaskular, kebiasaan kencing malam hari (nokturia), obat-obatan yang sedang dan sering diminum

baik dengan resep dokter atau beli sendiri, pemakaian alkohol dan rokok kretek. Pemeriksaan fi sis meliputi: adanya obesitas dan

tidur ini juga diperlukan untuk menghitung apneuhipopnea index (AIID, yaitu menghitung jumlah total episode apnea dan hipopnea dibagi lama tidur. Jika AHI >5 kali episode per jam maka diagnosis OSA bisa ditegakkan.

palatum, lidah besar, oklusi gigi, kesejajaran mandibula). Obesitas diidentifrkasi dengan mengukur antropometri

seperti berat badan, tinggi badan dan atau panjang rentang tangan serta indeks masa tubuh (body mass index/BMI). BMI >28 sangatberisiko mengalami OSA. Status mental: dilakukan untuk mencari depresi (dengan skor depresi), kecemasan (ansietas) dan penyakit psikiatrik lain (dikonsulkan pada spesialis jiwa). Tekanan darah: hipertensi muncul pada >50o% kasus GTGP. Dianjurkan pada pasien hipertensi agar diperiksa adanyakejadian GTGP. Ukuran leher: lingkar leher dapat untuk memprediksi

ukuran membran krikotiroid. Pada laki-laki dengan lingkar leher >17 inci, prevalensi OSA 30o/o. Pada perempuan dengan lingkar leher >15 inci risiko OSA jugameningkat. Pemeriksaan hidung: Penting untuk mengidentifrkasi adanya kelainan penyebab obstruksijalan napas, antara lain: deviasi septum, adenoid yang besar, polip atau

massa tumor

.

Pemeriksaan di laboratorium tidur: Pemeriksaan yang dilakukan selama tidur dengan alat polisomnogram dapat memberikan informasi yang akurat mengenai pola tidur pasien sehingga dapat diketahui apakah pasien menderita OSA atau CSA (Gambar 4). Pemeriksaan di laboratorium

dismorfologi kepala, wajah, dan gigi. (micrognathia, retro gnathia, hipoplasia maksilaris, sumbing pada bibir/

Karakteristik umum: identiflrkasi

.

berdasarkan indikasi individual untuk menunjang diagnosis. Pemeriksaan blood gas analyzes ( BGA) dibutuhkan apabila terdapat tanda-tanda hipoksia yang jelas, terutama pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronik.

di hidung

Uvula

Class

lass ll

Class lll

Class

lV

Apnu obstuktif Aliran udara Dinding dada

Pemeriksaan ini

Aliran

udara

nasofaringoskop.

Dinding dada

Orofaring: periksa adanya kelainan anatomi yang menyebabkan penurunan luas orofaring seperti hipertroh tonsil, palatum lunak terlalu panjang, ulula

Abdomen

yang besar, flap faringeal, stenosis, tumor dan jaringan

C

Gambar 3. Klasifikasi saluran napas

Abdomen

menggunakan

I

Sumber: MallampaliSR Clinicalsigns lo pr.dictdifficulthechealintubation Can Anaoslh Soc J 1983;30(3 Pi 1):316-317

maupun nasofaring, pembengkakan mukosa hidung dan nasofaring.

biasanya

Hard palate

APnu senrral

Sumber: Drazen JM Sleep apnea syndrome,N Engl J Med 2002i346i390-391

Gambar 4, Polisomnogram menunjukkan OSA dan CSA, diikuti oleh arousal dari tidur

parut di faring posterior. Untuk mendeteksi tingkat

.

. .

kesulitan intubasi dan luasnya orofaring perlu dilakukan pemeriksaan dengan skor Mallamp ati y ang membagi menjadi 4 kelas (Gambar 3). Leher: deposit lemak yang cukup banyak di sekitar leher dapat melemahkan tonus otot pemapasan terutama selama tidur fase REM. Tumor, termasuk limfadenopati yatg tyata harus dievaluasi.

Pemeriksaan fisis lain (sistem organ): untuk mengidentifikasi adanya penyakit kardiovaskular dan penyakit paru obstmktif. Pemeriksaan fungsi kognitif dan memori: terutama penurunan konsentrasi, intelektual, dan daya ingat.

Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan: Laboratorium klinik: Pemeriksaan yang dibutuhkan

Pemeriksaan lain yang dilakukan adalah multiple sleep latency /esl (MSLT). MSLT dilakukan untuk pasien yang mengeluh mengantuk terus sepanjang hari dengan riwayat GTGP tidak jelas. Dengan alat polisomnogram, uji ini mengukurperiode laten (waktu/kecepatan) dari saat masih bangun sampai tertidur. Uji dilakukan berulang kali pada siang hari sesuai jadwal yang ditentukan. Uji ini juga mencatat munculnya stadium REM. Adanya 2 atau lebih stadium REM saat uji ini dilakukan, menunjukkan pasien dalam kondisi narcolepsy. Narcolepsy adalah gangguan tidur yang ditandai dengan 4 gejala, yaitu serangan mendadak tidur, katapleksi, paralisis sementara dan halusinasi. MSLT dapat membantu diagnosis hipersomnia

pri-o

807

GAIGGUAT{ TIDUR PADA USIA LANJUT

Pemeriksaan mirip MSLT yang disebut repeated lest of suslained wakefulnes (RTSW) juga mengukur periode laten tetapi dengan perintah agar pasien memertahankan

agar tetap bangun selama

uji dilakukan

dan pasien

ditempatkan di ruang tenang dengan lampu temaram.

Pemeriksaan pencitraan: Pemeriksaan

ini

hanya dilakukan dalam penelitian atau untuk persiapan terapi pembedahan. Pemeriksaan ini meliputi: refleksi akustik yang digunakan untuk melihat dinamika jalan napas atas,

somnofluoroskopi digunakan untuk melihat kolapsnya faring dan penyempitan maksimal jalan napas saat tidur, pemeriksaan radiologis sefalometri untuk melihat defisiensi skeletor kraniofasial, CT-scan jalan napas atas diperlukan bila ada tanda-tanda tumor di nasofaring/

orofaring posterior, magnetic resonance imaging pemeriksaan yang menghasilkan resolusi bagus dari jalan napas, jaringan lunak, dan deposit lemak di leher.

Pengelolaan GTGP terutama ditujukan untuk menghilangkan risiko kejadian penyakit kardiovaskular dan keluhan mengantuk berat pada siang hari. Pada OSA yang

berat terjadi hipoksia selama tidur dan sering mengakibatkan serangan jantung atau strok. Gambaran saturasi oksigen pasien OSA berat dapat dilihat di gambar 5. Untuk dapat mengelola dengan baik, perlu diketahui berat ringannya GTGP terutama OSA. Berdasarkan hasil pemeriksaan polisomnografr, The American Academy of Sl e ep Me dic ine pada tahun I 999, mengklasifrkasikan O SA sebagai berikut: . OSA ringan bila terdapat 5-15 kali apnea per jam tidur . OSA sedangbilaterdapat 15-30 kali apneaperjamtidur . OSA berat bila terdapat >30 kali apnea perjam tidur Terapi konservatif: Strategi yang dipakai untuk OSA antara lain: posisi tidur miring, terapi hidung tersumbat, hentikan pemakaian alkohol dan obat-obat sedatif, serta penurunan berat badan. Dari penelitian di laboratorium tidur ternyata episode apnu/hipopnu lebih banyak terjadi saat tidur terlentang dan setelah pemakaian obat benzodiazepine atau

setelah minum alkohol. Penurunan berat badan lUYo temyata memrrunkan 26%o episode apnea per jam. Untuk CSA terapi ditujukan untuk menyembuhkan penyakit yang

00

saturas okstoen \rcI

9o 8o

60

50

\t

\itiY

l\rengorok pada posisi terle

n

tan g

Menit S!mber I Flemons WW Obstructve sleep apnea,N Engl J iled 2002;347:498-505

Gambar 5. Pola saturasi oksigen pada pasien dengan s/eep apnea berat

mendasarinya, pemberian oksigen dapat membantu meringankan gejala apnea, tetapi kadang-kadang diperlukan bantuan ventilator bertekanan positif yang diberikan intermitent bila terdapat tatda-tanda hipoksia.

Terapi dengan conlinuous positive airway pressure (CPAP). CPAP adalah suatu alat bantu napas berupa masker yang dihubungkan dengan alat elektronik pompa udara. Alat ini memberikan tekanan udara yang stabil pada

saluran napas atas. Tekanan

ini membuat "pneumatic

pada saluran napas atas dan membuat peningkatan pernapasan pada pasien OSA. Alat ini dikenakan selama pasien tidur dan sudah terbukti efektif. Indikasi pemakaian alat ini adalah OSA berat tanpa gejala, OSA ringan sampai sedang dengan gejala mengantuk berat pada siang hari, pemrrunan kognitif, dan adanya penyakit kardiovaskular (hipertensi, penyakit jantung iskemik, dan strok). Terapi

splint"

dengan CPAP ini juga ditujukan untuk pasien sindrom hipoventilasi karena obesitas dan cukup efektif untuk mengatasi CSA idiopatik.

Terapi dengan alat-alat mulut(oral aplliance:OA), Alat ini direkomendasikan untuk pasien OSA ringan dan sedang yang tidak dapat mentoleransi penggunaan CPAP. Alat ini biasa dipasang pada gigi saat tidur untuk mbieposisi bentuk mandibula, memodifikasi palatum posterior dan bagian belakang lidah. Penggunaan alat tersebut hanya efektif untuk beberapa pasien GTGP dengan kelainan anatomi faring. Terapi pembedahan. Prosedur bedah yang biasa dilakukan

untuk OSA adalah pembedahan untuk menghilangkan sumbatan hidung seperti rhinosinusitis, deviasi septum, adenoidektomi; uvulopalato-pharingoplasty (UPPP), las er-asis sted uvulopalatoplasty (LAUP), tonsilektomi, reseksi sebagian atau ablasi lidah, rekonstruksi mandibula atau maksila, dan trakeostomi. Indikasi terapi bedah adalah

pasien dengan OSA berat simtomatik. atau bila penanganan konservatif dan pemakaian alat CPAP dan atau alat mulut tidak berhasil memperbaiki gejala GTGP.

Sindrom Kaki Kurang Tenang (Resfless Legs Syndrome=R[S) dan angguan Gerakan Tungkai yang Periodik (Periodic limb movement disorder =PLMSI Sindrom kaki kurang tenanC GLS) ditandai oleh rasa tidak enak yang berlebihan terutama pada kaki selama malam saat pasien istirahat. Ini adalah bentuk dari akathisia, sering disebut sebagai perasaan seperti dirayapi semut atau

hewan

kecil.

Perasaan

ini

menyebabkan pasien

menggerakkan kakinya, atau bangun lagi untuk berjalan berkeliling guna menghilangkan rasa tidak enak ini. Secara nyata gangguan ini menyebabkan usia lanjut sulit tidur atau terbangun berkali-kali.

Gangguan gerakan tungkai yang periodik (PLMS), mungkin menyertai sindrom kaki kurang tenang atau berdiri

808

GERIAIR

sendiri. PLMS ditandai oleh munculnya episode gerakan yang sama dan berulang, biasanya pada kaki tapi tidak jarang muncul juga pada tangan. Biasanya pasangan tidumya melaporkan ada episode gerakan menendang yang muncul selama 20-40 detik saat tidur dan muncul berulang-ulang. Gerakan-gerakan ini sebagian besar tidak membangunkan pasien meskipun pasien melalcukan 100

kali tendangan semalam. Hanya tendangan

dengan

frekuensi dan intensitas tinggi dapat membangunkan pasien. Pasien sering mengeluhkan rasa lelah yang berlebihan saat bangun tidur dan tidur tidak nyenyak, sehingga berakibat mengantuk sepanjang hari. Prevalensi gangguan tidur RLS dan PLMS meningkat pada usia lanjut. Prevalensi pada usia lanjut sekitar 45Yo, sedangkanpada dewasa muda5-6%. Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, Sebagian besar pasien dengan RLS juga menderita PLMS, dan PLMS tidak j arang merupakan penyakit penyerta GTGP. Patofisiologi terjadinya RLS maupun PLMS sampai saat

ini belum jelas. Hipotesis terbaru menyatakan mungkin disfungsi sistem dopamin dan opiat di saraf pusat yang mendasari kelainan ini. Hipotesis ini dibuat karena melihat

efek terapi agonis dopamin dan opiat yang efektif mengatasi kedua gangguan tidur ini. Faktor risiko kedua kelainan ini antara lain usia lanjut, gagal ginjal, defisiensi besi (kadar ferritin serum < 50 ngl ml), dan polineuropati perifer. Diagnosis kedua kelainan ini dibuat berdasarkan gejala klinik seperti tersebut di atas dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan elektromiografi (EMG) pada otottungkai atas di laboratoriumtidur. Terapi konservatifdengan merendam kaki dan tungkai atas dengan air hangat serta olahraga ringan (alan kaki) yang dilakukat terafix dapat membantu menghilangkan gejala kedua gangguan tidur ini. Bila belum berhasil dapat

(formula 25-100 mg) dengan dosis awal I kali setengah tablet saat mau tidur. Dosis dapat ditingkatkan % tablet tiap 3-4 hari bila belum membaik. Hati-hati bila gejala gangguan ini muncul lebih awal atau siang hari, mungkin ini akibat efek samping obat, dosis harus diturunkan atau digabung dengan obat anti parkinson lain seperti bromokriptin, karbarrazepin, dan klonazepam. Pergolid dapat digunakan disini, dosis awal sangat rendah (0,05 mg ) yang diberikan 2 jam sebelum tidur, secara bertahap dosis dinaikkan sampai dosis 0,5 mg. Obat lainyangdapat digunakan untuk kedua gangguan tidur ini adalah benzodiazepin (l kali saat tidur), atau kodein atau oksikodon.

Gangguan Perilaku REM (GPR) Gangguan perilaku REM ini sangatjarang, tetapi sering muncul pada usia lanjut. Proses yang mendasari terjadinya gangguan ini adalah adanya disinhibisi transmisi aktivitas motorik saat bermimpi. Gangguan ini sering muncul pada tengah malam saat periode REM terjadi. Bentuk gangguan

dapat bervariasi seperti mengigau, bicara sambil tidur, berjalan, bahkan makan sambil tidur. Pasien sering jatuh atau melompat dari tempat tidur sehingga terjadi perlukaan. Prevalensi GPR sampai saat ini tidak diketahui, tetapi dari beberapa laporan menunjukkanbahwa prevalensi pada usia lanjut laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan.

Patofisiologi terjadinya gangguan perilaku REM ini tidak diketahui. Beberapa laporan

sampai saat

menunjukkan ada hubungan kejadian GPR akut dengan pemakaian obat-obatan antidepresi seperti antidepresi trisiklik, fluoksetin, inhibitor monoamin oksidase, dan ketagihan alkohol atau sedatif. GPR kronik dihubungkan

dengan narkolepsi dan beberapa penyakit neurodegeneratif idiopatik seperti demensia dan penyakit Parkinson.

di$unakan obat anti parkinson karbidopa-levodopa

Rabu Jam masuk tidur Waktu untuk jatuh tidur (setelah berbaring) Jumlah terbangun malam hari Jam bangun Jam keluar dari tempat tidur Jumlah waktu total tidur malam hari Jumlah waktu total bangun malam hari Waktu istirahat Obat yang diminum (dosis dan jam minum)

Alkohol (dosis dan waktu minum) Bagaimana kualitas tidur semalam Seberapa lelah waktu bangun tidur pagi hari* '1 sampai 5, nilai 1 untuk sama sekali tak lelah/ tidur puas dan 5 untuk sangat lelah/ tidur tak puas sama sekali Sumber :Cohen-Zion & Ancoli-lsrael, 2003.

Keterangan : nilai

Minggu

809

GANGGUAN TIDUR PAI'A USIA LANJUT

Diagnosis dibuat berdasarkan penilaian lengkap terutama mengenai riwayat tidur. Oleh karena pasien tidak menyadari apa yatg dilakukannya sambil tidur, maka anamnesis lengkap dilakukan terhadap keluarganya atau

teman tidurnya. Anamnesis mengenai apa saja yang dilakukan pasien sambil tidur, frekuensi dan lama te4adinya, serta sejak kapan GPR ini diderita oleh pasien. Terhadap pasien ditanyakan apayarrg dirasakan selama tidumya, mimpinya, dan juga perasaannya saat bangun tidur. Pemeriksaan dengan polisomnogram dan rekaman video tiap malam di laboratorium tidur perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis GPR.

Obat golongan benzodiazepin kerja lama seperti klonazepam yang diberikan saat mau tidur sekali sehari, dapat mengontrol gejala gangguan ini. Namun, bila obat

dihentikan biasanya gejala akan muncul lagi. Demi mencegah terjadinya perlukaan pada pasien dan teman tidurnya, perlu diatur kamar tidumya. Jangan ada bendabenda tajam di kamar tidur, tempat tidur sebaiknya rendah, jendela sebaiknya dipasang teralis besi dan pintu kamar selalu dikunci untuk mencegah pasien berjalan keluar rumah.

Gangguan Tidur Karena Gangguan lrama Sirkadian Seperti diterangkan di muka, irama sirkadian tidur diatur oleh proses endogen berupa pengaturan temperatur badan

dan pengeluaran hormon-hormon kortisol, hormon pertumbuhan, dan melatonin yang dipicu oleh NSC; dan proses eksogen berupa perubahan terang dan gelap. Pada usia lanjut terdapat gangguan tidur akibat gangguan irama sirkadian ini. Kelainan tersebut antara lain: . Ketidaksinkronan respons proses endogen terhadap rangsang eksogen, dimana terjadi penurunan respons

.

endogen terhadap perubahan siang dan malam, sehingga dapat te{adi tidur bangun tak beraturan lagi. Sindrom fase tidur lebih cepat, disini gangguan berupa

minggu berturut-turut sebelum dapat dipakai sebagai penilaian siklus tidur pasien.

PENATALAKSANAAN

Untuk gangguan irama sirkadian perlu dijelaskan pada pasien bahwa gangguan tidur

masuk tidurnya, jangan terlalu dini dengan melakukan kegiatan/kesibukan pada petang hari dan baru masuk tidur pada jam yang sama dengan keluarga lain. Kalau tetap tak dapat mengatasi, diberikan terapi lampu terang' pada saat seharusnya pasien masih bangun di pagi hari dan petang hari, lampu dipadamkan/gelap pada saat harus tidur.

Penatalaksanaan Menyeluruh Gangguan Tidur pada Usia Lanjut Karena banyaknya penyebab gangguan tidur pada usia lanjut, maka penatalaksanaan gangguan tidur pada usia lanjut harus dilakukan secara individual, dengan meneliti dan menilai gejala dan tanda yang ada pada tiap.pasien. Beberapa hal dapat diterapkan secara umum pada semua jenis gangguan tidurpada usia lanjut, yaitu: edukasi tidur, mengubah gaya hidup, psikoterapi, dan medikamentosa. Edukasi tidur diberikan baik kepada pasien maupun keluarga atau care giver. Edlkasi tersebut meliputi: . Tunggu sampai terasa sangat mengantuk sebelum naik

.

. .

periode atau siklus tidur bangun lebih cepat/maju dibandingkan usia dewasa muda. Usia lanjut sudah tidur lebih sore sehingga bangun lebih dini hari. Gangguan

. .

terletak padir pengaturan temperatur badan; temperatur badan sudah turun pada pukul 6-7 sore dan sudah meningkat pada pukul 2- 3 dini hari.

.

Prevalensi gangguan tidur tipe ini tidak jelas. Hal ini karena banyak orang usia lanjut yang menderita namun

merasa tidak membutuhkan bantuan terapi karena menganggap perubahan ini biasa. Pada usia pertengahan prevalensi sindrom fase tidur lebih cepat sekitar l% populasi usia tersebut (USA). Diagnosis kelainan ini dapat dibuat dengan membuat buku catatan harian tidur dari pasien. Catatan harian tersebut dapat dilihat pada tabel 5. Selain untuk diagnosis, tabel ini dapat untuk menilai siklus sirkadian tidur pasien. Catatanharian ini minimal harus dibuat selama2

ini bukan penyakit, tak

membutuhkan obat khusus, hanya perlu pengaturan waktu

. . . .

ke tempat tidur.

Bila

dalam 20 menit berbaring belum bisa tidur maka lebih baik bangun lagi, lakukan kegiatan lagi dengan tenang dan lakukan relaksasi. Bila mengantuk baru

kembali ke tempat tidur.

Hindarkan penggunaan kamar tidur untuk bekerja, membaca atau menonton televisi Bangun tidur pagi hari pada jam yang sama, tidak peduli sudah berapa lama ia tidur Hindarkan minum kopi atau merokok. Lakukan olahraga ringan setiap pagi setelah bangun tidur.

Kurangi tidur siang, lakukan kegiatan/hobi yang menyenangkan.

Kurangi jumlah minum setelah makan malam, hindari minumalkohol. Pelajari teknik relaksasi atau lakukan meditasi.

Hindarkan gerakan badan berlebihan saat di tempat tidur. Berdoa sebelum tidur. Mengubah gaya hidup (life style), diperlukan untuk memperbaiki faktor fisis dan psikis yang mendasari te{adinya gangguan tidur pada usia lanjut. Perubahan tersebut meliputi:

- Usaha menurunkan berat badan dengan memperbaiki pola makan pada pasien GTGP.

-

Menghindari perjalanan jauh atau bekerja sampai

810

GE,RIITIRI

malam hari (shift mdlam), agar tidak te4adij et lag.

-

Menghindari membaca atau menonton atau mendengarkan cerita-cerita yang menakutkan atau sangat menyedihkan. Bila memungkinkan buat suasana lingkungan rumah bersih dan menyenangkan

Perbaiki hubungan antar anggota keluarga, tumbuhkan suasana aman dan penuh kasih antar

sesama penghuni rumah. Lakukan aktivitas fisis,jangan duduk diam sepanjang hari. Psikoterapi perlu diberikan pada pasien gangguan tidur yang disebabkan oleh ansietas dan depresi. Di samping

-

psikoterapi dari seorang psikolog, psikoterapi berupa dorongan dan penghiburan sebaiknya dilakukan oleh anak atau cucu pasien.

Terapi medikamentosa diberikan sesuai dengan penyebab yang mendasari terjadinya gangguan tidur dan jenis gangguan tidur yang terjadi. Obat-obat transkuiliser

minor seperti golongan benzodiazepin dapat diberikan pada pasien insomnia akut, diberikan dosis kecil dan dalam waktu yang tidak lama. Terapi terhadap penyakit penyerta

yang diderita usia lanjut harus dilakukan dengan menghindarkan sebisa mungkin obat-obatan yang menyebabkan gangguan tidur. Melatonin yang sedang marak dipakai sebagai obat tidur, sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang memuaskan dalam mengatasi gangguan tidur pada usia lanjut. Langkah-langkah umum yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan gangguan tidur pada usia lanjut dapat dilihat pada algoritme (Gambar 6).

Pertanyaan-pertanyaan Saringan: 1 Apakah anda puas dengan tidur anda? 2. Apakah tidur atau kelelahan mengganggu aktivitas harian? 3. Apakah teman tidur anda atau yang lainnya mengeluhkan sikap yang tidak biasa selama tidur, seperti mendengkur, gangguan napas, atau gerakan tangan? Jika 1 tidak atau ya untuk 2 atau 3: l,Apakah ini sudah menjadi masalah selama lebih dari 2-3 minggu?

Jika tidak: '1 Apakah ada alasan stres yang lain (m is.alasan menderita kerugian/kekalahan, kehilangan, perawatan rumah sakit yang akut)? Atau kondisi kesehatan yang mengganggu tidur?

Jika ya, pusatkan perhatian pada stresor/kondisikondisi ini. Rx: a. Higiene tidur, b. Terapi kondisi medis yang menyertai c Jika stresor bersifat sementara (selama perawatan rumah sakit akut atau sedang dalam kedukaan) dan kesulitan tidur sangat nyata, pertimbangkan pem berian hipnotik langka pendek (jika tidak ada kontra

Gambar

6.

ike ya: 1. Fokus pada latar belakang dan pengobatan fisik,

J

2. Evaluasi higiene tidur 3. Apakah ada bukti dari gangguan tidur utama?

Jika tidak, evaluasi higiene tidur, Rx: a Usahakan meningkatkan higiene tidur b Evaluasi ulang jika tidak ada kemajuan dalam 2-3 mrnggu.

Jika ya: '1 Apakah ada kejadian sleep apnea? Rx: turunkan bb, hilangkan sedatif, rujuk ke spesialis tidur 2 Apakah ada kejadian gerakan-gerakan periodik dari badan selama tidur? Rx: coba levodopa/karbidopa, rujuk ke spesialis tidur 3 Apakah ada kejadian abnormaiitas irama sirkadian? Rx: tingkatkan kebersihan tidur, terapi sinar terang

Jika tidak: 1 Apakeh ada penyebab medis potensial (seperti nyeri karena artritis, refluks, dll)? Jika ya, terapi kondisi-kondisi tersebut, 2, Apakah ada penyebab obat-obatan yang potensial? Jika ya, hilangkan/ turunkan dosis obat tersebut. 3, Apakah ada depresi? Jika ya, obati depresi 4, Apakah ada tanda-tanda demensia? Jika ya, tingkatkan higiene tidur, terapi semua kondisi yang menyertai, pastikan lingkungan rumah aman (jika ada mesalah sering pergi malam hari)l pertimbangkan pemberian obat sedatif malam hari, 5. Apakah pasien pemakai kronik benzodiazepin/hipnotik? Jika ya, coba turunkan dosis obat untuk menghentikan atau turunkan penggunaan hanya 2-3 malam tiap minggu. Jika tidak berhasil, rujuk ke spesialis tidur, 6 Apakah ada indikasi masalah dengan pemakaian alkohol? Jika ya, rekomendasikan untuk mengurangi atau menghilangkan pemakaian alkohol, atau rujuk ke pusat rehabilitasi pemakai alkohol

Algoritme untuk penapisan gangguan tidur dan pendekatan untuk diagnosis dan perawatan

811

GAT{GGUAT{ TIDUR PADA USIA LAT{JUT

Mallampati SR. Clinical Signs to predict difficult tracheal intuba-

REFERENSI Bliwise D. Sleep in normal aging and dementia . Sleep, 1993; 16

:

40-8 1. Cohen-Zion M, Ancoli-Israel S. Sleep disorders. In: Hazzard WR, Blass JP, Halter JB, et al, editors. Principles of geriatric medicine and gerontology. 5m edition. New York: Mc Graw-Hill Companies, Inc; 2003. p. 1531- 41. Coll PP. Sleep disorders. In: Adelman AM, Daly MB Weiss BD, editors. 20 commoo problems in geriatrics. Boston: Mc GrawHill Companies, Inc; 2001. p. 187-203. Drazen JM. Sleep apnea sydrome. N Engl J Med. 2002;346:390-1. eMedicine. Breathing-related sleep disorder. www.emedicine.com. Feldman S, Abernathy J. Management of sleep disorders in the eld-

erly. American Society

Consultant Pharmacists. 2000;

15

2):l-13. Flemons WW. Obstructive sleep apnea. N Engl J Med. (supplement

2O02;347:498-505. Jao DV, Alessi CA. Sleep disorders. In: Landefeld CS, Palmer RM, Johnson MAG et al, editors. Current geriatric diagnosis & treat-

ment. New York: Mc Graw'Hill Companies, Inc, Boston; 2004.

p. ll4-21. Kribbs NB, Pack AI, Kline LR, et al. Effect of one night without nassal CPAP treatment on sleep and sleepines in patients with obstuctive sleep apnea. Am Rev Respire Dis. 1993;147:1162-8. Lam J, Lam B. Seep apnoea/ hypopnoea syndrome. Medical Progress, 2004; 3 1 :543 -8.

tion. Can Anaesth Soc J. 1983;30:316-7. K. Sleep, aging and latelife insomnia. In: Tallis RC, Fillit HM, editors. Brocklehurst's textbook of geriatric medicine and

Morgan

gerontology. 6'h edition. Churchill Livingstone Elsevier Scince

Limited; 2003. p. 1367-80. National Sleep Foundation Washington DC. Melatonin the basic facts. www.sleepfoundation.org, Juni 2004. Neubaurer DN. Sleep problems in the elderly. J American Family

Physician,1999.

I Palta M, et al. Longitudinal study of moderate weight change and sleep disordered breathing. JAMA. 2000;284:3015-21. Shimidt-Nowara W, Lowe A, Wiegand L, et al. Oral appliances for

Peppard PE, Young

the treatment of snoring and obstructive sleep apnea: a review. Sleep. 1995;18: 511-3. Sloan EP, Alastair JF, Reinish LR, et al. Circadian rhythms and psychiatric disorders in the elderly. J Geriatr Psychiatry Neurol.

1996;9:164-70. Smith JF. Sleep disorders. wrilw.chclibrary.org. Van Cauter E, Plat L, Leproult M, et al. Alterations of circadian rhytmicity and sleep and aging: endocrine consequences. Horm Res. 1998;49:147-52. Wei WI, Ho WK. Surgery for snoring. Medical Progress.

2004;31:538-42.

t29 GANGGUAN KESEIMBANGAN, JATUH, DAN FRAKTUR Siti Setiati, Punarita W. Laksmi

PENDAHULUAN

EPIDEMIOLOGI

Gangguan keseimbangan dan jatuh merupakan salah satu masalah yang sering terjadi pada orang berusia lanjut akibat berbagai perubahan fungsi organ, penyakit, dan faktor lingkungan. Akibat yang ditimbulkan oleh jatuh tidak jarang tidak ringan, seperti cedera kepala, cedera jaringan lunak, sampai dengan patah tulang. Jatuh juga seringkali merupakan petanda kerapuhan

Kejadian jatuh dilaporkan terjadi pada sekitar 30oh'orang berusia 65 tahunke atas setiap tahunnya, dan40% sampai 50% dari mereka yang berusia 80 tahun ke atas. Sepertiga dari mereka yang berusia 65 tahun ke atas dan tinggal di rumah (komunitas) mengalami satu kali jatuh setiap tahun, dan sekitar I dari 40 orang yang jatuh tersebut memerlukan perawatan di rumah sakit. Hanya sekitar setengah dari pasien usia lanjut yang dirawat akibat jatuh akan hidup setahun kemudian. Di panti rawat werda (nursing homes), sekitar 50% penghuninya mengalami satu kali jatuh setiap tahunnya; setengah dari jumlah tersebut mengalami jatuh berulang, l0 sampai dengan 25Yo mengalami komplikasi serius. Jatuh mengakibatkan dua pertiga kematian karena kecelakaan (accidental deaths). Jatuh dapat mempengaruhi kualitas hidup. Ketakutan mengalami jatuh dialami oleh 2 5-40Yo orangberusia lanjut, yang kebanyakan dari mereka belum mengalami jatuh. Rasa

(frailty), dan merupakan faktor prediktor kematian atau penyebab tidak langsung kematian melalui patah

tulang. Bersamaan dengan masalah jatuh, kejadian patah tulang panggul, vertebra, lengan bawah, pelvis, dan persendian kaki juga meningkat, dengan peningkatan

paling cepat terjadi setelah usia 75 tahun. Patah tulang tersebut merupakan penyebab utama, kesakitan, kematian,

dan pengeluaran biaya untuk pelayanan kesehatan dan sosial orang usia lanjut yang bersangkutan.

takut jatuh merupakan faktor risiko terjadinya hendaya fungsional. Rasa takut jatuh juga seringkali memicu atau dikaitkan dengan depresi dan isolasi sosial Data Indonesia mengenai kejadian instabilitas dan jatuh masih amat sedikit. Penelitian Handayani (2003) di divisi Geriatri RSUPN Cipto Mangunkusumo mendapatkan angka kejadian instabilitas sebesar 23,3yo.

Kematian dan kesakitan yang terjadi akibat patah tulang umumnya disebabkan oleh komplikasi akibat patah tulang dan imobilisasi yang ditimbulkannya.

Beberapa

di

antara komplikasi tersebut adalah

timbulnya dekubitus akibat tirah baring berkepanjangan;

perdarahan, trombosis vena dalam dan emboli paru; infeksi pneumonia atau infeksi saluran kemih akibat tirah baring lama; gangguan nutrisi, dan sebagainya Hampir 50 persen pasien pasca patah tulang panggul

KESEIMBANGAN, KONTROL POSTURAL, SIKLUS BERJALAN, DAN MOBILITAS FUNGSIONAL

menjadi lebih tergantung pada bantuan pendamping, orang lain, atau keluarga. Biaya yang dikeluarkan juga tidak sedikit. Di Inggris, biaya yang dikeluarkan untuk penatalaksanaan patah tulang akibat osteoporosis tersebut diperkirakan 942 juta poundsterling, dengan 87%

di

Keseimbangan Keseimbangan merupakan proses kompleks yang

arttaranya untuk biaya patah tulang panggul.

melibatkan penerimaan dan integrasi input sensorik serta

812

GAIIIGGIHN KESEIMBANGAN JAIUH

DAITI

813

FRAKTI,R

perencanaan dan pelaksanaan gerakan untuk mencapai tujuan yang membutuhkan postur tegak; suatu kemampuan

untuk mengontrol pusat gravitasi tetap berada di atas landasan penopang.

Pusat gravitasi adalah suatu titik imajiner dimana jumlah semua gaya adalah nol. Pada orang dewasa dengan postur normal yang sedang berdiri (posisi anatomis), pusat gravitasi berada I inci di depan tulangbelakang setinggi sakrum 2. Jika tubuh atau bagian tubuh bergerak, lokasi pusat gravitasi akan berubah. Landasan penopang adalah permukaan tubuh yang mengalami penekanan dari berat

sistem sarafpusat. Komponen muskuloskeletal antara lain meliputi lingkup gerak sendi, fleksibilitas tulaug belakang, otot, dan hubungan biomekanik antar segmen tubuh. Tiga input sensorik perifer primer yang memberikan kontribusi dalam kontrol postural adalah sistem reseptor somatosensorik, visual, dan vestibular bilateral. Sistem vestibular sangat penting untuk keseimbangan karena dapat mengidentifikasi dan membedakan gerakan tubuh sendiri dengan gerakan dari lingkungan serta memberikan kestabilan visual ketika kepala bergerak.

Sistem somatosensorik sendiri tidak mampu

badan dan gravitasi, dalam posisi berdiri adalah kaki sedangkan dalam posisi duduk adalah paha dan bokong. Sesuai dengan landasan penopang yang ada" terdapat keterbatasan jarak tubuh dapat bergerak tanpa menjadi jatuh (pusat gravitasi melewati landasan penopang) atau

membedakan antara gerakan dari pijakan dengan gerakan dari tubuh, demikian pula dengan sistem visual yang bila berdiri sendiri tidak mampu untuk membedakan gerakan dari lingkungan dengan gerakan dari tubuh, sehingga

membuat landasan penopang baru dengan menggapai atau

untuk menentukan keakuratan input pada keadaan

melangkah (untuk menempatkan kembali landasan

terdapat pertedaan antara input somatosensorik dengan visual atau bila input somatosensorik atau visual tidak tersedia. Oleh karena itu" otak memerlukan informasi dari ketiga sistem sensorik untuk secara tepat membedakan gerakan dari tubuh sendiri dengan gerakan dari lingkungan.

penopang di bawah pusat gravitasi). Keterbatasan jarak tersebut disebut sebagai batas stabilitas, yakni jarak terjauh pada arah manapun seseofimg dapat bergerak dari garis tengah tanpa mengubah landasan p€nopang awal dengan melangkah, menggapai, atau jatuh. Derajat stabilitas tubuh tergantung pada empat faktor yaitu, tinggi pusat gravitasi di atas landasan penopang, besamya ukuran landasan penopang, lokasi garis gravitasi pada landasan peropang, dan berat badan. Stabilitas lebih baik bila pusat gravitasi rendah, landasan penoparg yang Iebar, garis gravitasi berada di tengah landasan, dan berat badan yang besar. Untuk mempertahankan keseimbangan, tubuh secara konstan mengubah dan mengkoreksi posisi pusat gravitasi

sistem vesfibular digunakan sebagai referensi internal

Ada empat strategi gerakan yang paling -sering digunakan sebagai reaksi keseimbangan pada"iespon postural, yaitu strategi pergelangan kaki, panggul, suspensori, dan melangkah/menggapai. Keempat strategi tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.

r-\

^ )9-', Y-/ )

// /\ q\,)

terhadap landasan penopang, yang disebut sebagai ayunan postural Qtoslural swq,).Kontrol ayunan postural berasal dari input visual, yestibular, proprioseptif

\ t/

\r

dan organ eksteroseptif-

Kontrol Postural Kontrol postural meliputi kontrol posisi tubuh untuk

stabilitas sehingga keseimbangan tubuh dapat dipertahankan dan untuk orientasi agar hubungan yang tepat antar segmen tubuh serta antara tubuh dan lingkungan saat rnelakukan kegiatan dapat dipertahankan.

Terdapat dua komponen keseimbangan, yaitu keseimbangan statis untuk mempertahankan ruatu posisi dalam periode tertentu dan keseirnbangan dinamis untuk memelihara keseimbangan pada saat melakukan gerakan. Kemampuan untuk mengonfrol posisi tubuh dalam ruang merupakan suatu interaksi kompleks dari sistem saraf dan muskuloskeletal yang kesernuanya dikenal sebagai sistem

kontrol postural. Yang termasuk dalam komponen saraf adalah proses

motorik (neuromuskular), proses sensorik (sistem visual" vestibular, dan somatosensorik), dan proses integratif

Gambar 1. Strategi postural. A, Strategi pergelangan kaki, B, $rategi panggul. C, Strategi suspensori. D, Strategi melangkah/ menggapar.

A. Strategi Pergelangan Kaki lankle strategyl Strategi pergelangan kaki paling sering digunakan pada situasi dimana gangguan terhadap keseimbangan kecil, lambat dan dekat dengan garis tengah, serta dasar permukaan pijakan yang keras, stabil, dan luas. Strategi ini membutuhkan kekuatan otot dan lingkup gerak sendi pergelangan kaki yang utuh. Strategi pergelangan kaki dan sinergi otot yang berhubungan merupakan pola pertama untuk mengontrol gerakan ayunan tubuh pada posisi tegak (upright sway), Strategi ini mempertahankan pusat gravitasi tubuh dalam posisi stabil melalui gerakan tubuh yang terutama berpusat

814

di sekitar sendi pergelangan kaki. Kontraksi otot berpola dari distal menuju proksimal. Pada gerakan ke depan, dimulai dari kontraksi otot gastroknemius kemudian diikuti oleh otot hamstring dan otot paraspinal yang menyebabkan plantar-fleksi serta mempertahankan panggul dan lutut dalam posisi ekstensi. Pada gerakan ke belakang, kontraksi otot dimulai dari otot

tibialis anterior, kemudian diikuti oleh kontraksi otot kuadrisep dan abdominal.

B. Strategi Panggul (Hip Strategy) Shategi panggul mengontrol pusat massa tubuh dengan membuat gerakan yang kuat dan cepat pada sendi panggul, punggung, dan rotasi pergelangan kaki. Kepala dan panggul bergerak pada arah yang berlawanan, dengan kontraksi ototberpola dari proksimal menuju distal, dimulai

dari kontraksi otot abdominal kemudian diikuti oleh kontraksi otot kuadrisep dan tibialis anterior. Strategi panggul digunakan untuk mempertahankan keseimbangan sebagai respon terhadap gangguan yang lebih besar, cepat, dan hampir mendekati batas stabilitas, maupun ketika landasan pijakan tidak stabil atau terlalu sempit, misalnya ketika berdiri dengan kaki tandem atau pada satu kaki.

GERIATRI

terdapat fase kaki bersentuhan dengan pijakan (stance phase) atau fase kakiberada di udara(swingphase). Stance phase dim.ulai ketika kaki bersentuhan dengan pijakan

(heel-strike) dan berakhir ketika kaki terangkat meninggalkan pijakan (toe-offl, sedangkan swing phase dimulai ketika kaki terangkat meninggalkan pijakan dan berakhir ketika kaki kembali bersentuhan dengan pijakan. Stance phase dapat terjadi dengan hanya satu kaki yang bersentuhan dengan pijakan sedangkan kaki yang lain dalam swing phase (single limb support) atau kedua kaki bersentuhan dengan prjakan (double limb support, kedta kaki dalam stance phase). Pada kecepatan berjalan yang normal, stance phase mencaktp 600/o dan swing phase 40%o dari dtrasi satu siklus berjalan (Gambar 2).

r{f[il]ttt

Tumit Jari kaki kanan kir

t kanan

Tlm

Jari k

r

kaki

Tlmlt kanan

Jari kaki kr

Waklu, persen dari sik us

C. Strategi Suspensori (Suspensory Strategyl Strategi suspensori merupakan strategi yang seringkali

digunakan bila kombinasi stabilitas dan mobilitas dibutuhkan, seperti pada saat berselancar angin. Strategi ini merendahkan pusat gravitasi terhadap landasan penopang dengan cara fleksi kedua ekstremitas bawah atau sedikit berjongkok. Dengan memendekkan jarak antara pusat gravitasi dan landasan penopang, usaha untuk mengontrol pusat gravitasi menjadi lebih mudah.

D. Strategi Melangkah dan Menggapai(Sfepping and Reaching Strategyl Jika strategi yang sedang berlangsung seperti strategi pergelangan kaki maupun strategi panggul tidak memadai untuk memulihkan keseimbangan atau jika pusat gravitasi

sudah melewati landasan penopang awal, kaki akan melangkah atau tangan akan menggapai untuk membuat landasan penopang baru.

SIKLUS BERJALAN Dalam berjalan dikenal istilah gait yaitu cara atav gaya berjalan yang umumnya meliputi pula kecepatan bergerak (meter per detik) dan jumlah langkah per unit waktu (langkahpermenit: cadence). Durasi satu siklus berjalan dimulai ketika tumit salah satu kaki menyentuh prjakan (heel-strike/heel-on) sampai dengan tumit yang sama kembali menyentuh pijakan. Selama satu siklus berjalan,

Gambar 2. Elemen dasar dari siklus berjalan

MOB!LITAS FUNGSIONAL Kemandirian fungsional merupakan kemampuan untuk melaksanakan aktivitas sehari-hari tanpa bantuan, termasuk dalam hal mobilitas. Mobilitas fungsional didehnisikan sebagai kemampuan untuk bergerak dari satu

posisi ke posisi lain (duduk, berbaring, berdiri, dan sebagainya) tanpa memperhatikan jarak antara titik awal dan akhir perpindahan. Mobilitas fungsional meliputi mobilitas di tempat tidur, transfer, ambulasi, mobilitas dengan kursi roda, dan mengemudikan kendaraan' Mobilitas di tempattidur merupakan aktivitas mobilitas yang paling dasar, membutuhkan kemampuan kontrol

kepala yang baik selain kekuatan dan ketahanan otot ekstremitas atas. Transfer menunjukkan perpindahan dari satu posisi ke posisi lain dalamjarak dekat, seperti transfer dari duduk ke berdiri kemudian duduk di kursi lain atau dari duduk di kursi roda untuk duduk di kursi lain tanpa berdiri, transfer dengan bantuan sliding board, dan transfer dari kursi roda ke lantai atau sebaliknya. Transfer

membutuhkan keseimbangan duduk yang baik serta kekuatan dan ketahanan otot ekstremitas atas maupun ekstensi panggul dan lutut yang adekuat. Ambulasi adalah

815

GANGGUAI{ I(ESEIMBAT{GAN JAiIUH DAN FRAKruR

bergerak dengan be{alan. Tingkat kemandirian fungsional

seseorang dipengaruhi secara bermakna oleh kemampuannya untuk ambulasi. Untuk dapat berjalan, seseorang harus memiliki kekuatan otot punggung dan ekstremitas bawah yang baik selain keseimbangan, koordinasi, dan ketrampilan kognitif. Kompensasi tubuh, ortosis, maupun alat bantu berjalan seperti walker dapat

digunakan untuk membantu ambulasi tersebut. Jika seseorang tidak mampu ambulasi atal hanya mampu ambulasi dalam jarak dekat, penggunaan kursi roda ataupun kendaraan yang telah dimodifikasi dapat

yang melambat, dan melemahnya kekuatan otot yang amat penting dalam memelihara postur. Kelemahan otot dan ketidakstabilan atau nyeri sendi dapat menjadi sumber

,

gangguan postural selama gerakan volunter. Keseimbangan dapat pula terganggu oleh adanya penyakit, obat-obatan, dan proses penuaan yang berakibat ketakutan akan jatuh sehingga mengurangi aktivitas seseorang. Semua perubahan tersebut dapat berperan untuk terjadinya jatuh, terutama pada kemampuan untuk mencegah jatuh manakala terpeleset atau menghadapi situasi lingkungan yang'membahayakan' (Tabet 1).

mempertahankan kemandirian frrngsional. Selama gerakan dan ambulasi normal, pusat gravitasi tubuh dipertahankan secara dinamis terhadap landasan

penopang. Ambulasi normal dan stabilitas postural tergantung pula pada fungsi sensorik, neuromuskular, sistem muskuloskeletal, dan proses integrasi dari sistem saraf pusat. Dalam sistem muskuloskeletal, kekuatan otot

Fakor yang Perubahan kontrol postural

rangka dan lingkup gerak sendi yang adekuat, terutama pada ekstremitas bawah, esensial untuk terjadinya respon

yang efektif terhadap gangguan postural dan untuk mempertahankan kontrol po stural.

Perubahan gaya berjalan

langkah pendek-pendek

Perempuan: kedua kaki menyempit

dengan gaya jalan bergoyang-

terhadap landasan penopang pada waktu yang tepat untuk

goyang

Peningkatan prevalensi kondisi patologis yang terkait dengan stabilitas

Penyakit sendi degeneratif Patah tulang panggul dan femur

Stroke dengan gejala sisa (defisit residual)

gravitasi tubuh, gangguan kemampuan sistem saraf pusat

untuk mengorganisasi dan menghantarkan respon postural, dan respon postural yang tidak efektif akibat terganggunya sistem neuromuskular, gaya jalan abnormal, refleks postural tidak memadai, instabilitas sendi, dan kelemahan otot.

Menurunnya proprioseptif Melambatnya refleks Menurunnya tonus otot Meningkatnya ayunan postural Hipotensi ortostatik Kaki tidak terangkat cukup tinggi Laki-laki: postur tubuh membungkuk,

dengan kedua kaki melebar dan

Jatuh terjadi ketika sistem konhol postural tubuh gagal mendeteksi pergeseran dan tidak mereposisi pusat gravitasi

menghindari hilangnya keseimbangan. Kegagalan ini antara lain disebabkan oleh pergeseran pusat gravitasi tubuh yang besar, cepat, dan terjadi tiba-tiba; gangguan lingkungan; serta faktor inhinsik seperli hilangnya fungsi sensorik yang esensial untuk mendeteksi gerakan pusat

Perubahan

Berkontribusi

Peningkatan prevalensi kondisi yang menyebabkan nokturia Peningkatan prevalensi demensia

otot

Kelemahan akibat tidak digunakan dan decondition i ng Neuropati perifer Penyakit atau deformitas kaki Gangguan penglihatan Gangguan pendengaran Pelupa dan demensia Proses penyakit lain (penyakit kardiovaskular, parkinsonisme, dll) Penyakit jantung kongestif lnsuflsiensi vena dll Gangguan fungsi kognitif

PERUBAHAN AKIBAT PROSES MENUA YANG BERKAITAN DENGAN INSTABILITAS DAN JATUH Berbagai faktor berperan untuk terjadinya gangguan keseimbangan danjatuh. Umumnya merupakan kombinasi beberapa faktor yang saling berinteraksi dengan masalah

lingkungan. Proses menua mengakibatkan perubahan pada kontrol

postural yang mungkin memegang peran penting pada sebagian besar kejadian jatuh. Perubahan komponen dari kapabilitas biomekanik meliputi latensi mioelektrik, waktu untuk bereaksi, proprioseptif, lingkup gerak sendi, dan kekuatan otot. Selain itu, terdapat pula perubahan pada postur tubuh, gaya berjalan, a)runan postural, sistem sensorik, dan mobilitas fungsional. Usia yang lanjut dikaitkan dengan input proprioseptif yang berkurang, proses degeneratif pada sistem vestibuler, refleks posisi

Latensi mioelektrik atau waktu pramotor adalah keterlambatan attara stimulus yang diberikan hingga timbulnya perubahan peruama dari aktivitas mioelektrik otot yang dapat diukur. Aktivitas mioelektrik berkaitan dengan sinyal elektrik yang dikirim melalui saraf untuk memulai atau memodifikasi proses kontraksi otot. Latensi mioelektrik

tersebut pada usia lanjut 10-20 milidetik lebih lama dibandingkan pada dewasa muda, tanpa ada perbedaan antarjenis kelamin. Waktu bereaksi berkaitan dengan keterlamb atan antara

sinyal stimulus yang membutuhkan reaksi hingga timbulnya kekuatan atau melakukan gerakan.Waktu ini lebih lama dibandingkan dengan latensi

bereaksi

mioelektrik karena meliputi baik latensi mioelektrik maupun

816

waktu yang dibutuhkan oleh otot untuk membangkitkan

atau mengubah besarnya kekuatan setelah aktivitas miolektrik dimulai. Pertambahan waktu interval ini disebut

waktu motor. Waktu bereaksi akan meningkat dengan semakin bertambahnya usia, semakin jauhnya perpindahan tubuh, semakin banyak pilihan aktivitas, dan pada aktivitas

yang membutuhkan akurasi. Tiap dekade umur antara dekade kedua dan kesepuluh, waktu untuk bereaksi meningkat 2 milidetik. Sebagai contoh, pada usia lanjut dibutuhkan l0-30 milidetik lebih lama untuk memulai langkah kaki setelah mengalami kehilangan keseimbangan. Proprioseptif berkaitan dengan kesadaraan mengenai orientasi dan posisi segmen tubuh. Sistem proprioseptif yang memberikan inforrnasi ke sarafpusat mengenai posisi

tubuh melalui sendi, tendon, otot, ligamen, dan kulit, mengalami gangguan akibat penuaan sehingga turut berperan pada teqadinya gar,1g;an keseimbangan. Lingkup gerak sendi menurun dengan bertambahnya

GERII\TRI

transkripsi gen, melalui jalur cepat yang tidak melibatkan sintesis DNA, dan melalui varian alel reseptor vitamin D. Diperkirakan vitamin D akan mencegah terjadinya fraktur melalui 2 cara, dengan memperbaiki fungsi muskuloskeletal dan dengan memngkatkan homeostasis kalsium. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa vitamin D berperan dalam

meningkatkan kekuatan otot, fungsi otot, koordinasi neuromuskular, dan vitalitas secara umum sehingga kecenderungan untuk jatuh menurun. Penelitian di beberapa panti di Jakarta dan Bekasi mendapatkan korelasi yang cukup baik antara konsentrasi vitamin D (25OH)DI

dan kekuatan otot kuadrisep perempuan usia lanjut Indonesia. Postur tubuh usia lanjut saat berdiri ditandai dengan jarakyang lebar antara kedua kaki pada pijakan, lutut dan panggul sedikit fleksi, punggung membentuk sudut ke arah depan terhadap bidang vertikal, vertebra lumbal mendatar, kifosis vertebra torakal meningkat, dan kepala maju ke

usia. Penurunan lingkup gerak sendi tersebut akan

depan, Perubahan tersebut berkaitan dengan proses

mempengaruhi kemampuan seseorang unfuk melaksanakan

penuaan pada sistem muskuloskeletal yang antara lain berupa berkurangnya densitas massa fulang, degenerasi diskus vertebra, dathilangnya kekuatan ligamentum spinal sehingga tubuh menjadi lebih pendek dan kepala lebih majuke depan (Gambar 3).

aktivitas tertentu yang memang membutuhkan lingkup gerak sendi yang baik.

Melemahnya kekuatan otot akibat inaktivitas, tidak digunakannya otot, dan deconditioning dapat berperan pada terjadinya gangguan carabelalan serta kemampuan memperbaiki posisi setelah kehilangan keseimbangan. Terjadi penunrnan kekuatan otot sejalan dengan proses penuaan, bahkan pada orang usia lanjut yang sehat dan aktit. Orang usia lanjut cenderung untuk kehilangan puntiran sendi (torque) pada kecepatan tinggi untuk menghasilkan kekuatan otot yang besar (kekuatan otot : puntiran x kecepatan sudut) karena hilangnya motor unit secara ireversibel sejalan dengan bertambahnya usia. Laju

pembentukan puntiran tersebut lebih rendah pada perempuan usia ianjut dibandingkan laki-laki usia lanjut. Dengan berkurangnya kemampuan membentuk puntiran

Perubahan gaya berjalan terjadi seiring dengan meningkatnya usia. Kendati perubahan tersebut tidak terlalu menonjol untuk dianggap patologis, kondisi perubahan gaya belalan tersebut dapat meningkatkan kejadian jatuh. Pada umumnya orang usia lanjut tidak dapat mengangkat atau menarik kakinya cukup tinggi sehingga

cenderung mudah terantuk (trip). Orang usia lanjut lakilaki cenderung memiliki gayaberjalan dengan kedua kaki melebar dan langkah pendek-pendek (wide-based, short stepped gaits); sedangkan perempuan usia lanjut seringkali berjalan dengan kedua kaki menyempit (narrow based)

dan gaya jalan bergoyang-goyang (waddling gait).

sendi, kapasitas untuk mempertahankan keseimbangan atau melakukan aktivitas lain yang memerlukan presisi

Orang usia lanjut cenderung untuk berjalan lebih lambat

waktu dengan kekuatan cukup, seperti menghindari

meningkatkan jumlah langkah per unit waktu dibandingkan

hambatan yang datangtiba-tiba, akan berkurang pada usia lanjut yang sehat sekalipun. Penurunan massa otot merupakan penyebab langsung menurunnya kekuatan otot. Perubahan massa otot terjadi

jarak satu siklus berjalan, serta terdapat peningkatan

karena gangguan pada sintesis dan degradasi protein, yang pada usia lanjut proses ini dipengaruhi olehwasting yaitu proses pemecahan protein sel (hiperkatabolisme) untuk memenuhi kebutuhan asam amino bagi sintesis protein dan metabolisme energi pada kondisi asupan kalori yang tidak adekuat dan kondisi sakit, serta sarkopenia yakni penurunan massa otot dan kekuatan otot yang berjalan paralel pada usia lanjut yang sehat. Defisiensi vitamin D temyata juga berperan penting untuk terjadinya jatuh, diduga karena perannya pada massa

dan kekuatan otot, Metabolit vitamin D dapat mempengaruhi metabolisme sel otot melalui mediasi

dan meningkatkan kecepatan berjalan dengan cara

Gar s vedikal gravilasr

&rb vedkl grryhB

Telinga melalu bagian lengah daun lelinga

(kepa a €brh ke depan dan klfosis)

Bahu Msalui b4ian l6ngah

DamlneElsasi lulang di tulang be akaf,g-

prtah

tu ang)

H langnya kekuatani

kssulilan yang ebih besar dalam melakukan Eklivasi lun!sional Fleksib li1as monurun padE panggul

(lsr!EmE dan luluL) PgrubaMn saya

dabm6E/

bedslanismkdan

mnysb.btrn bfr!6ngnya leri khakiyaN teEngkat dsd piakEn

Gambar 3. Perubahan postur usia lanjut

GANGGI,'AN IGSEIMBANGAN

JAII'H

DAN

817

FRAKII'R

ayunan postural. Pada uSia lanjut yang sehat, kecepatan

isometrik otot ekstensor lutut di bawah 3 Nm/kg berat

berjalan menurun l-2oh tiap tahunnya dan berkaitan dengan berkurangnya patjang langkah dan jarak satu

badan.

siklus berjalan. Gerak ekstensi sendi pergelangan kaki dan

diperlukan kekuatan dari otot ekstensor lutut dan panggul. Pada usia lanjut sehat dengan berat badan seperti saat masih muda dan fungsi kedua ekstremitas yang simetris, kekuatan otot lutut harus berkurang hingga 70oh bart menjadi tidak adekuat. Di sisi lain, jika berat badan usia lanjut tersebut 2kaliberatbadan saat masih muda, kekuatan otot lutut hanyaperluberkurang 35% untuk menjadi tidak adekuat saat bangkit dari kursi dan membutuhkan bantuan tarrgar,, serta bertambah sulit jika kursinya rendah dan landasan penopang sempit. Untuk bangkit dari tempat tidur, usia lanjut cenderung

rotasi pelvis menurun, serta periode double support meningkat untuk membuat gaya berjalan lebih stabil. Bertambahnya waktu untuk menyelesaikan satu siklus berjalan berkaitan dengan paningkatan sebesar 5 kali risiko untuk jatuh. Strategi postural yang sering digunakan pada usia lanjut adalah strategi panggul, oleh karena penggunaan

strategi pergelangan kaki membutuhkan informasi somatosensorik yang adekuat sementara pada usia lanjut mungkin terdapat kelemahan sendi atau sulit melakukan

rotasi pada pergelangan kaki, hilangnya sensasi somatosensorik perifer, dan kelemahan otot distal. Walaupun demikian, penggunaan strategi panggul membutuhkan informasi vestibular yang adekuat dan gerakan pada panggul akan meningkatkan gaya horisontal

antara pijakan dan telapak kaki sehingga risiko untuk

Untuk bangkit dari kursi ukuran standar, terutama

untuk memperlama waktu kontak antara lengan dan tempat tidur, melakukan rotasi dengan punggung miring ke salah satu sisi, menahan berat badan pada daerah panggul atau gluteal, dan menggunakan siku untuk membantu berputar saat bangun. Hal ini mungkin karena terdapat pemrnman kekuatan otot punggung. Sedangkan untuk bangkit dari

lantai, usia lanjut cenderung menggunakan posisi

terpeleset danjatuh menjadi lebih besar. Jika respon ayunan postural tidak dapat mempertahankan keseimbangan saat

peralihan, seperti bertopang pada keempat ekstremitas,

ada gangguan dan diperlukan strategi melangkah, usia

untuk mengurangi kekuatan yang dibutuhkan dan

lanjut cenderung melakukan beberapa langkah untuk

memperbaiki stabilitas postural.

mengembalikan keseirnban gaffty a. Gangguan visual terjadi pula sejalan dengan menuanya seseorang. Penurunan visus akibat proses degenerasi pada berbagai jaringan pada bola mata, berkurangnya elastisitas lensa, dan berkurangnya sel-sel reseptor mata. Gangguan keseimbangan akan terjadi bila informasi visual terganggu. Stabilitas orangberusia lebih dari 60 tahun berkurang 50% pada saat kedua mata ditutup. Tajam penglihatan yang

prevalensinya sejalan dengan meningkatnya usia turut berperan terhadap terjadinya instabilitas dan jatuh. Penyakit sendi degeneratif (terutama vertebra servikal leher, lumbosakral, dan ekstremitas bawah) dapat menimbulkan rasa nyeri, sendi tak stabil, kelemahan otot, dan gangguan neurologis. Frakturpanggul dan femur yang

kurang pada usia lanjut berkorelasi secara bermakna dengan peningkatan insidens jatuh dan ayunan postural pada pijakan yang lunak.

Sistem vestibuler juga mengalami gangguan seiring dengan penuaan berupa proses degeneratif pada utrikulus

dan sakulus sehingga terjadi penurunan kemampuan bereaksi terhadap gravitasi dan percepatan linier.

Hipotensi ortostatik (menurunnya tekanan darah sistolik 20 mmHg atau lebih ketika berubah posisi dari berbaring ke berdiri) terjadi pada I 1-30 persen orang usia lanjut. Penelitian pada 4.436 penduduk Indonesia berusia 40 tahun ke atas mendapatkan kejadian hipotensi ortostatik sebesar l2,6yu Walaupun tidak semua hipotensi ortostatik

bergejala, respons fisiologis yang terganggu tersebut dapat berperan dalam gangguan keseimbangan dan mernicu terjadinya j atuh. Penurunan kemampuan mobilitas fungsional pada usia

lanjut yang sehat akan terlihat pada aktivitas yang membuffikan kemampuan fisik dan/atau kognitif serta berkaitan dengan pemrnman variabel biomekanik. Pada usia lanjut di komunitas, kesulitan dalam aktivitas bangkit dari kursi, menaiki dan menuruni tangga, serta berjalan cepat, berkaitan dengan penurunan kapasitas kekuatan

Beberapa kondisi patologis yang meningkat

baru menyembuh dapat mengakibatkan gaya berjalan yang

tidak normal dan kurang mantap. Kelemahan otot dan defisit sensorik akibat strok yang baru dialami dapat menyebabkan instabilitas. Berkurangnya input sensorik,

seperti pada neuropati diabetik dan neuropati perifer lainnya, gangguan penglihatan, dan gangguan pendengaran mengakibatkan berkurangnya isyarat dari lingkungan yang sebenarnya berperan pada kestabilan, dan karenanya merupakan predisposisi untuk terjadinya jatuh. Gangguan fungsi kognitif dapat mengakibatkan seseorang befalan-jalan (wandering) ke tempat atau lingkungan yang tidak aman dan memudahkan untuk jatuh. Masalah podiatri (bunion, kalus, penyakit kuku, maupun

deformitas sendi) yang menyebabkan rasa nyeri. deformitas, dan perubahan dalam cara berjalan merupakan

penyebab instabilitas yang seringkali dapat diperbaiki. Penyakit lain yang sering dialami oleh orang usia lanjut, seperti penyakit Parkinson dan penyakit jantung, dapat mengakibatkan instabilitas dan jatuh pula.

INSTABILITAS DAN JATUH Terdapat banyak faktor (Gambar 4 dan Tabel 2) yang

818

GERIATRI

sistemik. Faktor intrinsik lokal antara lain adanya

Bahaya

lingkungan

osteoartritis genu ataupun vertebra lumbal, gangguan

\,

pendengaran, gangguan penglihatan, gangguan pada alat keseimbangan seperti vertigo yang dapat ditimbulkan oleh

gangguan aliran darah ke otak akibat hiperkoagulasi, hiperagregasi, atau osteoartritis servikal. Kelemahan otot kuadrisep femoris turut berperan untuk terjadinya jatuh karena ketidakmampuan mengangkat tungkai secara optimal saat berjalan dan mengangkat tubuh saat bangun dari duduk. Ke ra puha

n/kere n ta na terkait usia

n

FAKTOR RISIKO

Gambar 4. Faktor-faktor dan interaksi dari berbagai etiologi jatuh

Faktor intrinsik sistemik dapat berupa berbagai penyakit yang dapat memicu timbulnya gangguan keseimbangan dan jatuh seperti penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), pneumonia, infark miokard akut, gagal jantung, infeksi saluran kemih; demikian pula gangguan

metabolik seperti hiponatremia, hipoglikemia atau hiperglikemia, maupun hipoksia serta adanya gangguan Penyebab Jatuh Kecelakaan

Sinkop Drop attacks Dizziness dan/atau vertigo Hipotensi ortostatik

Obat-obatan

Proses penyakit

Keterangan Kecelakaan murni (terantuk, terpleset, dll) lnteraksi antara bahaya di lingkungan dan faktor yang meningkatkan kerentanan Hilangnya kesadaran mendadak Kelemahan tungkai bawah mendadak yang menyebabkan jatuh tanpa kehilangan kesadaran Penyakit vestibular Penyakit sistem saraf pusat

Hipovolemia atau kardiak output yang rendah Disfungsi otonom Gangguan aliran darah balik vena Tirah baring lama Hipotensi akibat obat-obatan Hipotensi postprandial Diuretika Antihipertensi Antidepresi golongan trisiklik Sedatif Antipsikotik Hipoglikemia Alkohol Berbagai penyakit akut Kardiovaskular: aritmia, penyakit katup jantung (stenosis aorta), sinkop sinus karotid Neurologis: TlA, strok akut, gangguan kejang, penyakit Parkinson, spondilosis lumbar atau servikal (dengan kompresi pada korda spinalis atau cabang saraf), penyakit serebelum, hidrosefalus tekanan

normal (ganggual gaya berjalan), lesi sistem saraf pusat (tumor, hematom subdural) ldiopatik

Tak ada

penyebab

yang

dapat

diidentifikasi

berperair untuk terjadinya instabilitas dan jatuh pada orang usia lanjut. Berbagai faktor tersebut dapat diklasilftasikan menjadi faktor risiko intrinsik (faktor risiko yang ada pada pasien) dan faktor risiko ekstrinsik (faktor yang terdapat di lingkungan). Faktor intrinsik terdiri atas faktor lokal dan faktor

aliran darah ke otak seperti pada keadaan hiperkoagulasi, strok, dan transient ischemic attact (TIA).

Faktor Risiko lntrinsik Sinkop, drop attacks, dan dizziness merupakan penyebab

jatuh pada orang usia lanjut yang sering disebut-sebut. Beberapa penyebab sinkop pada orang usia lanjut yang perlu dikenali antara lain respons vasovagal, gangguan kardiovaskular (bradi dan takiaritmia, stenosis aorta), gangguan neurologis akut (TIA, strok, atau kejang), emboli paru, dan gangguan metabolik. Drop attacks merupakan kelemahan tungkai bawah mendadak yang menyebabkan jatuh tanpa kehilangan kesadaran. Kondisi tersebut seringkali dikaitkan dengan insufisiensi vertebrobasiler yaflg dipicu oleh perubahan posisi kepala. Dizziness atau rasa tidak stabil merupakan keluhan yang sering diutarakan oleh orang usia lanjut yang mengalami jatuh. Pasien yang mengeluh rasa ringan di kepala harus dievaluasi secermat mungkin akan adanya hipotensi postural atau deplesi volume intravaskular. Di sisi lain, vertigo merupakan gejala yang lebih spesifik walaupun merupakan pemicu jatuh yang lebih jarang. Kondisi ini dikaitkan dengan kelainan pada telinga bagian dalam seperti labirinitis, penyakit Meniere, dan benign parorysmal positional yert g,o (BPPV). Iskemia dan infark vertebrobasiler, serta infark serebelum juga dapat menyebabkan vertigo.

Kebanyakan pasien usia lanjut dengan gejala diz zin e s s dan un s t e adines.r merasa cemas, depresi, sangat takut jatuh, sehingga evaluasi gejala mereka menjadi sulit. Beberapa pasien, terutama pada mereka dengan gejala ke arah vertigo, memerlukan pemeriksaan otologi, termasuk

uji auditori, yang dapat membedakan lebih jelas antara gejala akibat gangguan telinga dalam atau adanya keterlibatan sistem saraf pusat. Sekitar 10-20 persen orang usia lanjut mengalami

GAIIIGGUAT{ KESEIMBANGAT{

819

JAIUH DAN FRAKTUR

hipotensi ortostatik yang sebagian besar tidak bergejala. Namun demikian, beberapa kondisi dapat menyebabkan

ke kamar kecil untuk buang air kecil atau efek mengantuk

hipotensi ortostatik yang berat sehingga memicu timbulnya jatuh. Kondisi-kondisi tersebut antara lain curah jantung rendah akibat gagal jantung'atau

waspada saat berjalan.

hipovolemia, disfungsi otonom (sebagai akibat diabetes melitus), gangguan aliran balik vena (insufisiensi vena), tirah baring lama dengan deconditioning otot dan refleks,

PENGKAJIAN INSTABILITAS DAN JATUH

serta beberapa obat. Hubungan hipotensi ortostatik dengan hipertensi perlu dipahami sehingga tatalaksana hipertensi yang baik amat diperlukan untuk mencegah timbulnya hipotensi ortostatik tersebut. Berbagai penyakit, terutama penyakit kardiovaskular dan neurologis, dapat berkaitan dengan jatuh. Sinkop dapat merupakan gejala stenosis aorta dan merupakan indikasi perlunya evalua'si pasien akan adanya stenosis aorta yang memerlukan penggantian katup. Beberapa pasien memiliki baroreseptor karotis yang sensitif dan rentan mengalami sinkop karena refleks tonus vagal yang

meningkat akibat batuk, mengedan, atau berkemih sehingga terjadi bradikardia atau hipotensi. ' Strok akut dapatmenyebabkan jatuh atau memberikan gejala jatuh. TIA sirkulasi anterior dapat menyebabkan

kelemahan unilateral dan memicu jatuh.

TIA sirkulasi posterior (vertebrobasiler) mungkin juga dapat mengakibatkan vertigo, namun perlu disertai dengan satu atau lebih gejala lain seperti disartria, ataksia, kelemahan tungkai, dan berkurangnya lapangan paqdang. Insufisiensi vertebrobasiler seringkali disebut sebagai peny ebab drop attacks; kompresi mekanik arteri vertebralis oleh osteofit spina vertebra servikal manakala kepala diputar disebutkan pula sebagai penyebab ketidakstabilan dan jatuh. Penyakit lain pada otak dan sistem sarafpusat dapat

dari obat sedatif sehingga seseorang menjadi kurang

Evaluasi yang komprehensif terdiri atas riwayat jatuh dan medis yang rinci, pemeriksaan fisik, pengkajian cara berjalan dan keseimbangan, pengkajian terhadap kondisi lingkungan tempat pasien tinggal atau terjatuh, serta pada keadaan tertentu, pemeriksaan laboratorium (Tabel 3).

Keterangan Anamnesis Riwayat medis umum Tingkat mobilitas Riwayat jatuh sebelumnya Obat-obatan yang dikonsumsi Apa yang dipikirkan pasien sebagai penyebab jatuh? Lingkungan sekitar tempat jatuh

Gejala yang terkait

Hilangnya kesadaran

pula menyebabkan jatuh. Penyakit Parkinson dan hidrosefalus tekanan normal menyebabkan gangguan gaya

berjalan yang menyebabkan instabilitas dan jatuh. Gangguan serebelum, tumor intrakranial, dan hematoma

subdural j,rga menyebabkan ketidakstabilan (unsteadiness) dengan kecenderungan mudah jatuh.

Faktor Risiko Ekstrinsik Faktor risiko ekstrinsik merupakan faktor-faktor yang berada di lingkungan yang memudahkan orang usia lanjut mengalami jatuh. Berbagai faktor tersebut antara lain lampu ruangan yang kurang terang, lantai yang licin, basah, atau tidak rata, furnitur yang terlalu rendah atau tinggi, tangga

yang tak aman, kamar mandi dengan bak mandlJcloset terlalu rendah atau tinggi dan tak memiliki alat bantu untuk berpegangan,

tali atau kabel yang berserakan di lantai,

karpet yang terlipat, dan benda-benda di lantai yang membuat seseorang teranhrk. Obat-obatan juga dapat menjadi penyebab jatuh pada orang usia lanjut (Tabel2). Misalnya obat diuretikayang dikonsumsi menyebabkan seseorang berulang kali harus

Terutama obat antihipertensi dan psikotropika Apakah pasien sadar bahwa akan jatuh? Apakah kejadian jatuh tersebut sama sekali tak terduga? Apakah pasien terpleset atau terbhtuk? Waktu dan tempat jatuh Saksi Kaitannya dengan perubahan postur, batuk, buang air kecil, memutar kepala Kepala terasa ringan, dizziness, vertigo Palpitasi, nyeri dada, sesak Gejala neurologis fokal mendadak (kelemahan, gangguan sensorik, disartria, ataksia, bingung, afasia) Aura lnkontinensia urin atau alvi Apakah yang langsung diingat segera setelah jatuh? Apakah pasien dapat bangkit kembali setelah jatuh dan jika dapat, berapa lama waktu yang diperlukan untuk dapat bangkit setelah jatuh? Apakah adanya hilangnya kesadaran dapat dijelaskan oleh saksi?

Pemeriksaan Fisik: Tanda vital

Kulit Mata Kardiovaskular Ekstremitas

Neurologis

Demam, hipotermia, frekuensi pernapasan, frekuensi nadi dan tekanan darah saat berbaring, duduk, dan berdiri Turgor, trauma, kepucatan Visus Aritmia, bruit karotis, tanda stenosis aorta, sensitivitas sinus karotis Penyakit sendi degeneratif, Iingkup gerak sendi, deformitas, fraktur, masalah podiatrik (kalus, bunion, ulserasi, sepatu yang tidak sesuai, kesempitan/kebesaran, atau rusak Status mental, tanda fokal, otot (kelemahan, rigiditas, spastisitas), saraf perifer (terutama sensasi posisi), proprioseptif, refl eks, fungsi saraf kranial, fungsi serebelum (terutama uji tumit ke tulang kering), gejala ekstrapiramidal: tremor saat istirahat, bradikinesia, gerakan involunter lain, keseimbangan dan cara berjalan dengan mengobservasi cara Pasien berdiri dan berialan (uii set up and sol

820

GERIAMI

Riwayat penyakit seyogyanya difokuskan pada riwayat medis umum dan pengobatan yang dijalani pasien, pendapat pasien tentang penyebab jatuh yang dialami mereka, lingkungan tempat pasien jatuh, gejala dan tanda yang menyertai (seperli palpitasi akibat arihnia atau gejala neurologis fokal akibat TIA), dan apakah terdapat riwayat

pemeriksaan penunjang seperti pemeriksan darah perifer lengkap, elektrolit, ureum, foto toraks, ata:u elektrokardiogram. Jika dicurigai adanya aritrnia sesaat atau

blok jantung, elektrokardiogram perlu dikerjakan. Ekokardiografi perlu dilakukan bila dicurigai terdapat murmur jantung lebih keras dari derajat 2. Pencitraan

kehilangan kesadaran. Manakala terdapat riwayat hilangnya kesadaran perlu dipertimbangkan adanya kejang (terutama bila terdapat inkontinensia) maupun kelainan j antung seperti aritmia sesaat atau blok jantung (heart block). Ekstremitas, kulit, dan jaringan lunak yang dirasakan nyeri oleh pasien perlu dikaji untuk mendeteksi adanya luka yang diakibatkan oleh jatuh. Beberapa masalah lain

dengan CT scan danelektroensefalogram perlu dikerjakan bila dicurigai kuat terdapat lesi intrakranial atau kejang.

instabilitas danjatuh. Oleh karena jatuh dapat diakibatkan oleh berbagai penyakit akut, perhatian seksama perlu diberikan padatanda vital. Demam, takipneu, takikardia, dan hipotensi perlu dikaji untuk mencari adanya penyakit akut seperti pneumonia atau sepsis, infark miokard, emboli paru, dan perdarahan saluran cerna. Adanya hipotensi postural perlu diwaspadai karena selain dapat terjadi pada usia lanjut yang sehat dan tanpa gejala, dapat pula terjadi pada orang yang mengalami de c o ndit io n in g akibat imobilisasi b erkep anj an gan atau mengalami insufisiensi vena. Adanya hipotensi postural dapat pula diakibatkan oleh dehidrasi, kehilangan darah

mobilitas sehingga dapat mendeteksi perubahan klinis

perlu juga ditelusuri untuk menetapkan penyebab

akut, atan efek samping obat.

Ketajaman penglihatan perlu dikaji, apakah berperan pada instabilitas dan jatuh. Pemeriksaan kardiovaskular perlu difokuskan pada adanya aritmia dan tanda stenosis aorta. Bila kedua kondisi tersebut dicurigai ada pada pasien, seyogyanya dilakukan pemantauan berkesinambungan dan ekokardiograf,r.

Pemeriksaan ekstremitas seyogyanya dilakukan untuk

mencari adanya deformitas, keterbatasan lingkup gerak sendi, atau inflamasi aktif yang mendasari instabilitas dan menyebabkan jatuh. Perhatian khusus sebaiknya diberikan pada kaki pasien untuk mencari adanya deformitas, lesi yang nyeri (kalus, bunion, ulkus), maupun sepatu yang tidak sesuai ukuran dan tidak nyaman. Pemeriksaan neurologis juga merupakan komponen penting yang harus dikaji. Status mental harus dievaluasi dengan mencari tanda neurologis fokal. Adanya kelemahan

PEMERIKSAAN KESEIMBANGAN DAN MOBIUTAS FUNGSIONAL Terdapat sejumlah pemeriksaan untuk mengevaluasi fungsi

bermakna yang menyebabkan seseorang berisiko untuk jatuh atau timbul disabilitas dalam mobilitas. Tidak ada baku emas untuk mengukur keseimbangan dan mobilitas fungsional, namun telah dikembangkan berbagai alat ukur untuk mengukur kemampuan keseimbangan dan mobilitas serta pemantauan perubahan kemampuan ini sejalan dengan waktu, baik yang dilakukan di laboratorium untuk penilaian obyektif penampilan biomekanik maupun uji fungsional yang lebih mudah dilakukan, berbiayarendah,

dan dapat diinterpretasikan langsung relevansi Uji fungsional tersebut antara lairr: the timed up-and-go test (TUG), uji menggapai fungsional

fungsionalnya.

(functional reach test), dan uji keseimbangan tserg (the Berg balance sub-scale of the mobility index).

Uii The Timed Up and Go Uji TUG merupakan modihkasi danuji get up and go (GUG) untuk menghilangkan unsur subyektivitas dalam penilaian uji GUG. Pada uji GUG subyek diminta untuk bangkit dari kursi, berjalan sepanjang 3 meter, berbalik arah kembali menuju kursi, dan duduk kembali. Oleh pemeriksa dinilai cara berjalan dan ada tidaknya gangguan gaya berjalan subyek, kemudian diberikannilai berskala l-5; nilai I berarti normal, sedangkan nilai 5 menunjukkan abnormalitas berat. Uji TUG dapat digunakan untuk rnengukur mobilitas, keseimbangan, dan pergerakan pada usila. Fungsi mobilitas fungsional dasar tersebut diukur dari berapa detik waktu

otot, rigiditas atau spastisitas, abnormalitas fungsi

yang diperlukan subyek untuk melakukan aktivitas

serebelum, tanda penyakit Parkinson, dan tanda neuropati perifer perlu dicari.

berturut-turut: bangkit dari kursi bertinggi duduk 46 cm

Pengkajian cara berjalan dan keseimbangan juga merupakan komponen penting dalam pemeriksaan fisik.

sepanjang 3 meteq berbalik arah kembali menuju kursi, dan duduk kembali. Nilai < I 0 detik menunjukkan kemandirian penuh, nilai 1 0 - 20

m

Algoritme untuk mengevaluasi penyebab dizziness pada pasien lanjut usia Sumber : Rochmah & Probosuseno cit Jonsson PV and Lipsitz in WR Hazzard, EL Bierman, JP Blass, WH Ettinger Jr, JB Halter (Eds.) Principles of Geriatric Medicine ands Gerontology 3nd. Ed. New York London Singapore, 2001:'11'l-18

_ -

Pertimbangkan - lihat evaluasi Pertimbangkan penyakit saraf

penyakit kardiovaskular sinkop labirintin atau pusat

Pertimbangkan penyakit psikiakik

lVeliputi tanda vital postural, pemeriksaan jantung, pemijatan sinus karolis, pemeriksaan neurologis/otologis detil dan hiperventilasi

Penyakit kardiovaskular lihat evaluasi sinkop

Delisit sensorik m ul tipel

Ke la in an la

birintin

Diagnosis atau respons tak lelas terhadap resep

Pertimbangkan pemeriksaan khusus atau rujukan

Sistem sarai

perifer

n terhadap panas Audiogram Elektronistagmografi CT Scan/l\,4 R I

Sistem saraf

pusat

Wffi Psikiatri

kan

Algoritme untuk mengevaluasi penyebab dizziness pada pasien lanjut usia Sumber : Carson L, Suskind-Liu DL, Knox GW. Dizziness and vertigo ln: Forciea MA, Schwab EP, Raziano DB, Lavizzo-Mourey R, ed. Geriatric secrets 3 edition. Mosby 2004:74-7

834

GERIITIRI

fr{ilg

I

Manuver Eplay: untuk terapi dari pasien dengan Benign Paroxysmal Positional Vertigo yang mengenai telinga kanan. Posisi dugaan dari debris yang berada dalam labirin selama manuver ditampilkan pada tiap panel. Manuver ini merupakan prosedur tiga langkah. Pertama tes Dix-Hallpike dilakukan dengan merotasi kepala pasien 45 derajat ke telinga kanan, dan leher agak diekstensikan dengan posisi dagu hampir tegak lurus. Posisi ini menyebabkan kepala pasien bergantung di sebelah kanan (Panel A). Ketika vertigo dan nistagmus tercetus oleh tes Dix-Hallpike kepala pasien dirotasi rostral sumbu tubuh sampai telinga kiri di bawah (Panel B). Kemudian kepala dan tubuh dirotasi lebih jauh sampai muka menghadap ke bawah (Panel C). Puncak kepala dibuat agar tetap mengarah ke bawah selama rotasi. Manuver ini biasanya mencetuskan vertigo singkat. Pasien harus tetap dalam posisi terakhir, muka menghadap ke bawah untuk 10 sampai 15 detik. Dengan kepala tetap dalam posisi menoleh bahu kiri, pasien didudukkan (Panel D). Setelah pasien dalam kondisi tegak, kepala dimiringkan

sehingga posisi dagu agak ke bawah. (Sumber : Furman JM, Cass SP. Benign paroxysmal positional vertigo. New England Journal of Medicine 1999;21 ;1590-1596)

30

&rie

*"aJ-*

3$ detih

Senam vertigo (sumber : Lumbantobing, 2003)

Io dsil(

835

DIZZINES PAT'A USIA LANJUT

Analgesics

Antimicrobial Drugs

An

aI

gesic-a nti pyti c

a

nd

Va

sodil ators and Anti a ngi n al

Antiinflammatory Drugs

Drugs Nitroglycerin and other organic

Butorphanol

Amithiozone

Salicylates*

Dezocine Hydromorphone Meperidine* Metazimide Morphine Nalorphine Pentazocine Propoxyphene

ColistinGentamicin* Griseofulvin' lsoniazidKanamycin* Minocycline* Nalidixic Acid* Paromomycin* PolymyxinStreptomycin*

Phenylbutazone* Apazone*

Perhexiline lsoxuprine

lndomethacin* Sulindac Tolmetin lbuprofen

Nylidrin

Diuretics Treamterene

Naproxen

Ergot Alkaloids

Fenoprofen Ketoprofen*

Drug Used in the Treafinent of

SulfonamidesTobramycin* Trimethoprin*

Allopurinol*

nitras

Anasthelics

Parasific Disease Ketamin Methoxyflurane

Antiarrhythmic Drugs

Antiarrhytnic Drugs Aprindine

Anticonvulsants Diphenylhydantoin. Ethosuximide* Phensuximide* Primidone*

Quinidine* Procainamide

Antiprotozoal and antihelminthic Drug

Lidocaine Bretylium

Hydrochloroquine* Omidazole Oxamniquine Piperazine adipate* Thiabendazole

nti hyperten sive Methyldopa* Clonidine Hydralazine Prazocin Nitroprusside Spectinomycin

A

D

rugs

Hycanthone Pyrantel pamoate Thiabendazole Chloroquine * Amodiaquine QuininePentamidine Metronidazole* Quinacrine

Antimiuobial Drugs *

Antihypertensive Drugs

CNS Sfimulan(s

Polymyxin B

Nalidixiac acid Oxolinic acid Nitrofurantoin* Aminoglycosides* any (streptomycin, kanomycin, tobramycin, etc) Minocyline*

Bethanidine Clonidine*

Methylphemidate

Antiinflammatory

Acetazolamide*

Colistin Vancomycin Griseofluvin* Vidarabine

lsoniazid Rifampin Cycloserine* Ethambutol

Appetite depressanfs Antihistamines Cimetidine

Fenfluramine* Mazindol

Diuretics Drugs Aspirin* Apazone

erythromycin Drugs for the Treatment

of

Psyxhiatric Disorders Diflunisal Flurbiprofen

Benzodiazepines*

Gold

Meprobamate* Phenothiazines* Tricyclic Antidepressants*

lndomethacin. Phenylbutazone

Drugs Used in neoplastic Dlsease Cyclophosphamide Fluorouracil Azaribine Cisplatin

Lithium

Hormon and related Agents Hormones and Homone Antagonists

Estrogents

Bromocriptime Progesterone-estrogen combinations "The Pill"*

lnsulins Oral hypoglycemic agents

Parasympatholylic Drugs* Dicvclomine. *Vertigo specifically Source: Medlars ll Search; reference geberated weew from

mentioned. '1973-1980

date

.vertigo or vetibular dysfunction specilly mentioned. Source:Compiled from side effects listed in goodman and Gilman's The Pharmocological Basis of Therapeutics.

Sumber : Finestone AJJ982 Evaluation and Clinical Management of Dizzines and Vertigo

836

GERIATRI

Automic Drug

Local Anesthetrbs

Lidocaine Cholinesterase Reactivators Pralidoxime

Antimuscarinic Drugs Atropine Scopolamin Sympathomimetics Epinephrine lsoproterenol Amphetamine Drugs lnhibiting Adrenergic Nerues or Blrcking Adrenergic Receptors Phenorybenzamine Phentolamine Tolazoline Propranolol Timolol Metoprolol Guanethidine G anglionix Stimulants and Blockers Nicotine Ganglionic Blocking drug (any) Antihistamines HrBlockers (diphenhydramine, tripelennamine, etc) H, Blockers (cimetidine)

Drugs Actingon the CNS Benzodiazepines' (chlordiazepoxide, diazepam, fl urazepam, etc) Barbiturates* Ethchlorvynol Meprobamate' Methaqualone Ethyl alcohol Disulfiram* Phenothiazines (chlorpromazine, etc) Tricyclic antidepressants (imipramine, amitriptyline, etc)

Phenytoin' Primidonet Carbamazepine Ethosuximide Clonazepam Levodopa Amantadine Baclofen Dentrolene Morphine and other opiates LSD Xanthenes (amonophylline, theophylline, caffeine, etc)

Sumber : Finestone AJ.1982 Evaluation and Clinical Management of Dizzines and Vertigo

131 DEMENSIA Wasilah Rochmah, Kuntjoro Harimurti

wajar pada seorang yang sudah menua. Akibatnya,

PENDAHULUAN

penurunan fungsi kognitif terus akan berlanjut sampai akhimya mulai memengaruhi status fungsional pasien dan pasien akanjatuh pada ketergantungan kepada lingkungan sekitamya. Saat ini telah disadari bahwa diperlukan deteksi

Demensia merupakan masalah besar dan serius yang dihadapi oleh negara-negara maju, dan telah pula menjadi masalah kesehatan yang mulai muncul di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini disebabkan oleh makin mengemukanya penyakit-penyakit degeneratif (yang beberapa di antaranya merupakan faktor risiko timbulnya demensia) serta makin meningkatnya usia harapan hidup di hampir seluruh belahan dunia. Studi prevalensi menunjukkan bahwa di Amerika Serikat, pada populasi di atas umur 65 tahun, persentase orang dengan

dini terhadap munculnya demensia, karena ternyata berbagai penelitian telah menunj ukkan bila gej ala-gej ala penurunan fungsi kognitif dikenali sejak awal maka dapat dilakukan upaya-upaya meningkatkan atau paling tidak mempertahankan fungsi kognitif agar tidak jatuh pada keadaan demensia. Selain peran pasien dan keluarga dalam pengenalan gejala-gejalapenurunan fungsi kognitif dan demensia awal, dokter dan tenaga kesehatan lain juga mempunyai peran

penyakit Alzheimer (penyebab terbesar demensia) meningkat dua kali lipat setiap pertambahan umur 5 tahun. Tanpa pencegahan dan pengobatan yang memadai, jumlah

yang besar dalam deteksi dini dan terutama dalam pengelolaan pasien dengan penurunan fungsi kognitif ringan. Dengan diketahuinya berbagai faktor risiko (seperti hipertensi, diabetes melitus, strok, riwayat keluarga, dan lain-lain) berhubungan dengan penurunan fungsi kognitif yang lebih cepat pada sebagian orang usia lanjut, maka diharapkan dokter dan tenaga kesehatan lain dapat melakukan upaya-upaya pencegahan timbulnya demensia pada pasien-pasiennya. Selain itu, bila ditemukan gejala awal penurunan fungsi kognitif yang disertai beberapa faktor yang mungkin dapat memperburuk fungsi kognitif

pasien dengan penyakit Alzheimer di negara tersebut meningkat dari 4,5 juta pada tahun 2000 menjadi 13,2 juta orang pada tahun 2050. Biaya yang dikeluarkan untuk merawat pasien dengan penyakit Alzheimer juga sangat luar biasa, sekitar US$83,9 milyar sampai US$100 milyar pertahun (data di Amerika Serikat tahun 1996).Biaya-biaya

tersebut selain meliputi biaya medis, perawatan jangka panjang (longlerm care), danperawatan di rumah (home care), j:uga perlu diperhitungkan hilangnya produktivitas pramuwerdha (caregivers). Dari segi sosial, keterlibatan emosional pasien dan keluarganya juga patut menjadi

pasien maka seorang dokter dapat merencanakan berbagai upaya untuk memodifikasinya, baik secara farmakologis

pertimbangan karena akan menjadi sumber morbiditas yang bermakna, antara lain akan mengalami stres psikologis yang bermakna, Secara klinis munculnya demensi a pada seorang usia lanjut sering tidak disadari karena awitannya yang tidak

maupun non-farmakol ogis.

DEFINISI

jelas dan perjalanan penyakitnya yang progresif namun perlahan. Selain itu, pasien dan keluarga juga sering menganggap bahwa penurunan fungsi kognitif yang terjadi pada awal demensia (biasanya ditandai dengan

Demensia adalah gangguan fungsi intelektual dan memori didapat yang disebabkan oleh penyakit otak, yang tidak

berkurangnya fungsi memori) merupakan suatu hal yang

Demensia merujuk pada sindrom klinis yang mempunyai

berhubungan dengan gangguan tingkat kesadaran.

837

838

GERIr'TIRI

bermacam penyebab. Pasien dengan demensia harus mempunyai gangguan memori selain kemampuan mental lain seperti berpikir abshak, penilaian, kepribadian, bahasa, praksis, dan visuospasial. Defisit yang terjadi harus cukup berat sehingga memengaruhi aktivitas kerja dan sosial secara bermakna.

Walaupun sebagian besar kasus demensia menunjukkan penumnan yang progresif dan tidak dapat pulih (irreversible), namur bila merujuk pada definisi di atas maka demensia dapatpula terjadi mendadak (misalnya: pasca strok atau cedera kepala), dan beberapa penyebab demensia dapat sepenuhnya pulih (misalnya: hematoma

subdural, toksisitas obat, depresi) bila dapat diatasi dengan cepat dan tepat. Demensia dapat muncul pada usia berapapun meskipun umumnya muncul setelah usia 65 tahun. Penting pula membedakan demensia dengan delirium. Delirium merupakan keadaan confus ion (kebingungan), biasanya timbul mendadak, ditandai dengan gangguan memori dan orientasi (sering dengan konfabulasi) dan biasanya disertai gerakan abnormal, halusinasi, ilusi, dan perubahan afek. Untuk membedakan dari demensia,pada delirium terdapat pemrunan tingkat kesadaran selain dapat

pula hyperalert. Delirium biasanya berfluktuasi intensitasnya dan dapat menjadi demensia bila kelainan yang mendasari tidak teratasi. Penyebab paling sering delirium meliputi ensefalopati akibat penyakit infeksi, toksik dan faktor nutrisi, atau penyakit sistemik. Pasien demensia sendiri secara khusus cenderung untuk timbul delirium.

Alzheimer. Faktor-faktor risiko lain yang dari berbagai penelitian diketahui berhubungan dengan penyakit Alzheimer adalah hipertensi, diabetes melitus, terj adinya penyakit

dislipidemia, serta berbagai faktor risiko timbulnya aterosklerosis dan gangguan sirkulasi pembuluh darah otak.

Mutasi beberapa gen familial penyakitAlzheimer pada kromosom 2 I , kromosom 14, dan kromosom 1 ditemukan pada kurang dari 5%o pasien dengan penyakit Alzheimer. Sementara riwayat keluarga dan munculnya alel e4 dari Apolipoprotein E pada lebih dari 30% pasien dengan penyakit ini mengindikasikan adanya faktor genetikyang berperan pada munculnya penyakit ini. Seseorang dengan riwayat keluarga pada anggota keluarga tingkat-pertama (first-degree relative) mempunyai risiko dua sampai tiga kali menderita penyakit Alzheimer, walaupun sebagian besar pasien tidak mempunyai riwayat keluarga yang positif. Walaupun alel e4 Apo E bukan penyebab timbulnya demensia, namun munculnya alel ini merupakan faktor utama yang mempermudah seseorang menderita penyakit Alzheimer.

EPIDEMIOLOGI Insidensi demensia meningkat secara bermakna seiring meningkatnya usia. Setelah usia 65 tahun, prevalensi demensia meningkat dua kali lipat setiap pertambahan usia 5 tahun. Secara keseluruhan prevalensi demensia pada

populasi berusia lebih dari 60 tahun adalah

penurunan insidensi pada usia 95 tahun yang diduga karena terbatasnya jumlah subyek di atas usia 90 tahun. Secara umum dapat dikatakan bahwa frekuensi penyakit Alzheimer meningkat seiring usia, dan mencapai 20-40% populasi berusia 85 tahun atau lebih. Proporsi perempuan yang mengalami penyakitAlzeimer lebih tinggi dibandingkan laki-laki (sekitar 2/3 pasien adalah perempuan), hal ini disebabkan perempuan memiliki harapan hidup lebih baik dan bukan karena perempuan lebih mudah menderita penyakit ini. Tingkat pendidikan yang rendah juga disebutkan berhubungan dengan risiko

5,60/o.

Penyebab tersering demensia diAmerika Serikat dan Eropa adalah penyakit Alzheimer, sedangkan di Asia diperkirakan

demensia vaskular merupakan penyebab tersering demensia. Tipe demensia lain yang lebih jarang adalah demensiatipeLewybody,demensiafrontolemporal(FTD), dan demensia pada penyakit Parkinson. Sebuah penelitian pada populasi usia lanjut di AS mendapatkan lebih dari 45% mereka yangberusia 85 tahun

atau lebih menderita penyakit Alzheimer. Hasil ini dikonfirmasi oleh penelitian di Swedia yang menyebutkan 44Yo dari usia lanjut yang berusia lebih dari 85 tahun mengalami penyakit Alzheimer. Di Jepang dari seluruh penduduk sentenarian (usia 100 tahun atau lebih), 70 persen mengalami demensia dengan 76o/o-rrya menderita penyakit Alzheimer. Berbagai penelitian menunjukkan laju insidensi penyakit Alzheimer meningkat secara eksponensial seiring bertambahnya umur, walaupun terjadi

PATOBIOLOGI DAN PATOGENESIS Komponen utama patologi penyakitAlzheimer adalah plak

senilis dan neuritik, neurofibrillary tangles, hilangnya neuron/sinaps, degenerasi granulovakuolar, dan Hirano b odies. Plak neuritik mengandung b-amyloid ekstraselular yang dikelilingi neuritis distroftk, sementara plak difus (atau nonneuritik) adalah istilah yang kadang digunakan untuk deposisi amyloid tanpa abnormalitas neuron. Deteksi adanyaApo E di dalam plak p-amyloid dan studi mengenai ikatan high-avidity antara Apo E dengan p-amyloid menunjukkan bukti hubung an arrtara amyloidogenesis dan Apo E. Plak neuritikjuga mengandung protein komplemen, mikroglia yang teraktivasi, sitokin-sitokin, dan protein faseakut, sehingga komponen inflamasi juga diduga terlibat pada patogenesis penyakitAlzheimer. Gen yang mengkode the amyloid precursor protein (APP) terletak pada kromosom 2 1, menunjukkan hubungan potensial patologi penyakit Alzheimer dengan sindrom Down (trisomi-21), yang diderita oleh semua pasien penyakitAlzheimer yang muncul pada usia 40 tahun.

839

DEMENSIA

Pada Gambar 1 dapat dilihat bagaimana pembentukan amyloid merupakan pencetus berbagai proses sekunder yang terlibat pada patogenesis penyakit Alzheimer (hipotesis kaskade amyloid). Berbagai mekanisme yang terlibat pada patogenesis tersebut bila dapat dimodifikasi

dengan obat yang tepat diharapkan dapat memengaruhi

Alzheimer. Adanya dan jumlah plak senilis adalah satu gambaran patologis utama yang penting untuk diagnosis penyakit Alzheimer. Sebenamya jumlah plak meningkat seiring usia, danplak ini juga muncul di jaringan otak orang usia lanjut yang tidak demensia. Juga dilaporkan bahwa satu dari tiga orang berusia 85 tahun yang tidak demensia mempunyai deposisi amyloid yang cukup di korteks serebri untuk memenuhi kriteria diagnosis penyakit Alzheimer, namun apakah ini mencerminkan fase preklinik dari penyakit masih belum diketahui. N eur ofi brill ary t angl e s merupakan struktur intraneuron yang mengandung tau yang terhiperfosforilasi pada pasangan filamen helix. Individu usia lanjut yang normal perj alanan penyakit

juga diketahui mempunyai neurofibrillary tangles di beberapa lapisan hipokampus dan korteks entorhinal, tapi struktur inijarang ditemukan di neokodeks pada seseorang

tanpa demensia. Neurofibrillary tangles ini tidak spesifik

untuk penyakit Alzheimer dan juga timbul pada penyakit lain, seperti subacute sclerosing panencephalitis (SSPE), demensia pugilistika (boxer b dementia), dar, the parkinsonian dementia complex of Guam. Pada demensia vaskular patologi yang dominan adalah adanya infark multipel dan abnormalitas substansia alba (white matter). Infark jaringan otak yang terjadi pasca strok dapat menyebabkan demensia bergantung pada volume total korteks yang rusak dan bagian (hemisfer) mana yang terkena. Umumnya demensia muncul pada strok yang mengenai beberapa bagian otak (multi-infarct dementia)

Pem

atau hemisfer

kiri otak. Sementara abnormalitas substansia

(dffise white matter disease atau leukoaraiosis atau penyakit Binswanger) biasanya terjadi berhubungan dengan infark lakunar. Abnormalitas substansia alba ini dapat ditemukan pada pemeriksaan MRI pada daerah subkorteks bilateral, berupa gambaran hiperdens abnormal yang umumnya tampak di beberapa tempat. alba

Abnormalitas substansia alba ini juga dapat timbul pada suatu kelainan genetik yang dikenal sebagai cerebral

autosomal dominant arteriopathy with subaortical infarc ts and I euko enc ephal op athy (CADASIL), YatE secara klinis terjadi demensia yang progresif yang muncul pada dekade kelima sampai ketujuh kehidupan pada beberapa anggota keluarga yang mempunyai riwayat

migren dan strok berulang tanpa hipertensi. Petanda anatomis pada fronto -t emp or al dementia (FTD) adalah terjadinya atrofi yang jelas pada lobus temporal dan/atau frontal, yang dapat dilihat pada pemeriksaan pencitraan saraf (neuroimagirg) seperti MRI dan CT. Atrofi yang terjadi terkadang sangat tidak simetris. Secara mikroskopis selalu didapatkan gliosis dan hilangnya neuron, serta pada beberapa kasus terjadi pembengkakan dan penggelembungan neuron yang beisi cytoplasmic inclusion. Sementara pada demensia dengan Lewy body, sesuai dengan namanya, gambaran neuropatologinya adalah adanya Lewy body di seluruh korteks, amigdala, cingulated corlex, dan substansia nigra. Lewy body adalah cytoplasmic inclusion intraneuron yang terwarnai dengan periodic acid-Schiff (PAS) dan ubiquitin, yang terdiri dari neurofilamen lurus sepanjang 7 sampai 20 nm yang dikelilingi material amorfik. Lewy body dikenali melalui antigen terhadap protein neurofilamen yang terfosforilasi maupun yang tidak terfosforilasi, ubiquitin, dan protein presinap yang disebut a-synuclein Jika pada seorang demensia tidak ditemukan gambaran patologis selain

bentukan p-amyloid

Agregasi p-amyloid

pe rfosfo rila s

H

i

p

rote in ta u

i

Plak senilis dengan aktivasi mikroglial

Defisit neu rotra nsm iter

Abnormalitas kognitif dan perilaku (penyakit Alzheim er)

Gambar 1. Hipotesis kaskade amyloid yang menunjukkan konsekuensi sekunder akibat pembentukan dan deposisi amiloid.

840

GERI'TIfl

adanya Lewy body maka kondisi ini disebut dffise Lewy body disease, sementara bila ditemukan juga plak amyloid

Kriteria diagnosis klinis untuk probable penyakit Alzheimer mencakup: Demensia yang ditegakkan oleh pemeriksaan klinis dan tercatat dengan pemeriksaan the mini-mental test, B/essed Dementia Sca/e, atau pemeriksaan sejenis, dan dikonfirmasi oleh tes neuropsikologis Defisit pada dua atau lebih area kognitif Tidak ada gangguan kesadaran Awitan antara umur 40 dan 90, umumnya setelah umur 65 tahun

da;r neurofibrillary tangles maka disebut varian Lewy body dari penyakit Alzheimer (the Lewy body variant of

-

AD), Defisit neurohansmiter utama pada penyakit Alzheimer, juga pada demensia tipe lain, adalah sistem kolinergik.

Walaupun sistem noradrenergik dan serotonin, omato s tatin- like reactiv ity, dan. corticotropin-releas ing factor juga berpengaruh pada penyakitAlzheimer, defisit asetilkolin tetap menjadi proses utama penyakit dan menjadi target sebagian besar terapi yang tersedia saat ini

-

s

2

untuk penyakit Alzheimer.

DIAGNOSIS

tidak, juga harus ditentukan berat-ringannya penyakit, serta

atau tipe yang lain). Hal

ini berpengaruh

dan kognitif Diagnosis probable penyakit Alzheimer didukung oleh: Penurunan progresif fungsi kognitif spesifik seperti afasia, apraksia, dan agnosia Gangguan aktivitas hidup sehari-hari dan perubahan pola perilaku Riwayat keluarga dengan gangguan yang sama, terutama bila sudah dikonfirmasi secara neuropatologi Hasil laboratorium yang menunjukkan: Pungsi lumbal yang normal yang dievaluasi dengan teknik standar Pola normal atau perubahan yang nonspesifik pada EEG, seperti peningkatan aktivitas slow-wave Bukti adanya atrofi otak pada pemeriksaan CT yang progresif dan terdokumentasi oleh pemeriksaan serial Gambaran klinis lain yang konsisten dengan diagnosis probable penyakit Alzheimer, setelah mengeksklusi penyebab demensia selain penyakit Alzheimer:

-

-

Evaluasi terhadap pasien dengan kecurigaan demensia harus dilakukan dari berbagai segi, karena selain menetapkan seorang pasien mengalami demensia atau tipe demensianya (penyakit Alzheimer, demensia vaskular,

Tidak adanya kelainan sistemik atau penyakit otak lain yang dapat menyebabkan defisit progresif pada memori

3

pada

-

penatataksanaan dan prognosisnya. Diagnosis demensia ditegakkan berdasarkan kriteria diagaosis yang sesuai dengan Diagnosis and Statistical

Perjalanan penyakit yang progresif namun lambat (plateau)

Gejala-gejala yang berhubungan seperti depresi, insomnia, inkontinensia, delusi, halusinasi, verbal

katastrofik, emosional, gangguan seksual,

Manual of Mental Disorders, edisi keempat (DSM-IV)

-

dapat dilihat pada Tabel 1.

dan

penurunan berat badan

Abnormalitas neurologis pada beberapa pasien, terutama pada penyakit tahap lanjut, seperti peningkatan

tonus otot, mioklonus, dan gangguan melangkah (gatt

A. Munculnya defisit kognitif multipel yang bermanifestasi pada kedua keadaan berikut 1. Gangguan memori (ketidakmampuan untuk mempelajari informasi baru atau untuk mengingat informasi yang baru saja dipelajari) 2. Satu (atau lebih) gangguan kognitif berikut a. Afasia (gangguan berbahasa) b. Apraksia (ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas motorik walaupun fungsi motorik masih normal) c. Agnosia (kegagalan mengenali atau mengidentifikasi benda walaupun fungsi sensorik masih

4

-

Gangguan fungsi eksekutif (seperti merencanakan, mengorganisasi, berpikir runut, berpikir abstrak)

Defisit kognitif yang terdapat pada kriteria

Al

dan

Sementara untuk diagnosis klinis penyakit Alzheimer

diterbitkan suatu konsensus oleh the National Institute of Neurological and Communicative Disorders and Stroke (NINCDS) dan the Alzheimer's Disease and Related Disorders Association (ADRDA) (Tabel 2).

Berdasarkan kedua kriteria diagnosis

di

-

A2

menyebabkan gangguan bermakna pada fungsi sosial dan okupasi serta menunjukkan penurunan yang bermakna dari fungsi sebelumnya. Defisit yang terjadi bukan terjadi khusus saat timbulnya delirium.

atas,

menegakkan diagnosis penyakit Alzheimer dan demensia

6

7

Terdapat defisit neurologis fokal seperti hemiparesis,

gangguan sensorik, defisit lapang pandang,

dan

inkoordinasi pada tahap awal penyakit; dan kejang atau gangguan melangkah pada saat awitan atau tahap awal perjalanan penyakit Diagnosis possib/e penyakit Alzheimer: Dibuat berdasarkan adanya sindrom demensia, tanpa adanya gangguan neurologis, psikiatrik, atau sistemik lain yang dapat menyebabkan demensia, dan adanya variasi pada awitan, gajala klinis, atau perjalanan penyakit Dibuat berdasarkan adanya gangguan otak atau sistemik sekunder yang cukup untuk menyebabkan demensia, namun penyebab primernya bukan merupakan penyebab demensia Kriteria untuk diagnosis definite penyakit Alzheimer adalah: Kriteria klinis untuk probable penyakit Alzheimer Bukti histopatologi yang didapat dari biopsi atau autopsi Klasifikasi penyakit Alzheimer untuk tujuan penelitian dilakukan bila terdapat gambaran khusus yang mungkin merupakan subtipe penyakit Alzheimer, seperti: Banyak anggota keluarga yang mengalami hal yang sama Awitan sebelum usia 65 tahun Adanya trisomi-2'1 Terjadi bersamaan dengan kondisi lain yang relevan seperti penyakit Parkinson

-

normal)

B.

Gambaran yang membuat diagnosis probable penyakit Alzheimer menjadi tidak cocok adalah: Onset yang mendadak dan apolectic

untuk

d

disorder) Kejang pada penyakit yang lanjut Pemeriksaan CT normal untuk usianya

-

-

DEMENSIA

tipe lain harus dilakukan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti, serta didukung oleh pemeriksaan penunjang yang tepat.

Anamnesis. Anamnesis harus terfokus pada awitan (on-

set),lamanya, dan bagaimana laju progresi penurunan fungsi kognitif yang terjadi. Kebingungan (confusion) yang terjadi akut dan subakut mungkin merupakan manifestasi delirium dan harus dicari kemungkinan penyebabnya seperti intoksikasi, infeksi, atau perubahan metabolik. Seorang usia lanjut dengan kehilangan memori

yang berlangsung lambat selama beberapa tahun kemungkinan menderita penyakit Alzheimer. Hampir 7 5o/o pasien penyakit Alzheimer dimulai dengan gejala memori, tetapi gejala awal juga dapat meliputi kesulitan mengunrs keuangan, berbelanja, mengikuti perintah, menemukan kata, atau mengemudi. Perubahan kepribadian, disinhibisi, peningkatan berat badan, atau obsesi terhadap makanan

mengarah pada frontolemporal dementia (FTD), bukan penyakit Alzheimer. FTD juga patut diduga bila ditemukan apati, hilangnya fungsi eksekutif, abnormalitas progresif fungsi berbicata, atan keterbatasan kemampuan memori atau spasial. Diagnosis demensia denganlewy body (DLB) dicurigai bila terdapat adanyagejala awal berupa halusinasi visual, parkinsonisme, delirium, ganguan tidur (rapid-eye

movement) REM, atau sindrom Capgras, yaitu delusi bahwa seseorang yang dikenal digantikan oleh penipu, Riwayat adanya strok dengan progresi bertahap dan

tidak teratur mengarah pada demensia multi-infark. Demensia multi-infark umumnya terj adi pada pasien-pasien

dengan faktor risiko hipertensi, fibrilasi atrium, penyakit vaskular perifer, dan diabetes. Pada pasien yang menderita penyakit serebrovaskular dapat sulit ditentukan apakah demensia yang terj adi adalah penyakit Alzheimer, demensia

multi-infark, atau campuran keduanya. Bila dikaitkan dengan berbagai penyebab demensia, maka anamnesis harus diarahkan pula pada berbagai faktor risiko seperti trauma kepala berulang, infeksi susunan saraf pusat akibat

sifilis (neurosifilis), konsumsi alkohol berlebihan, intoksikasi bahan kimia pada pekerja pabrik, serta penggunaan obat-obat jangka panjang (sedatif dan tranquilizer). Riwayat keluarga juga harus selalu menjadi bagian dari evaluasi, mengingat bahwa pada penyakit Alzeimer, FTD, dan penyakit Huntington (sebagai salah satu penyebab demensia) terdapat kecenderungan familial. Gejala depresi seperti insomnia dan kehilangan berat badan sering tampak pada pseudodemensia akibat depresi,

yang dapat disebabkan oleh anggota keluarga yang barubaru ini meninggal. Pemeriksaan fisis dan neurologis. Pemeriksaan fisis dan neurologis pada pasien dengan demensia dilakukan untuk mencari keterlibatan sistem saraf dan penyakit sistemik yang mungkin dapat dihubungkan dengan gangguan

kognitifnya. Umumnya penyakit Alzheimer tidak menunjulkan gangguan sistem motorik kecuali pada tahap

841

lanjut. Kekakuan motorik dan bagian tubuh aksial, hemi-

paresis, parkinsonisme, mioklonus, atau berbagai gangguan motorik lain umumnya timbul pada FTD, DLB, atau demensia multi-infark. Penyebab sistemik seperti defisiensi vitamin B12, intoksikasi logam berat, dan hipotiroidisme dapat menunjukkan gejala-gej ala yang khas.

Yang tidak boleh dilupakan adalah adanya gangguan

pendengaran dan penglihatan yang menimbulkan kebingungan dan disorientasi pada pasien yang sering disalahartikan sebagai demensia, Pada usia lanjut defisit sensorik seperti ini sering terjadi. Pemeriksaan kognitif dan neuropsikiatrik. Pemeriksaan yang sering digunakan untuk evaluasi dan konfirmasi penurunan fungsi kognitif adalah the mini mental status examination (MMSE), yang dapat pula digunakan untuk

memantau perjalanan penyakit. MMSE merupakan pemeriksaan yang mudah dan cepat dikerjakan, berupa 30 point-test terhadap fungsi kognitifdan berisikan pula uji orientasi, memori ke{a dan memori episodik, komprehensi bahasa, menyebutkan kata, dan mengulang kata. Pada

penyakit Alzheimer defisit yang terlibat berupa memori episodik, category generation (sebutkan sebanyakbanyaknya binatang dalam satu menit), dan kemampuan visuokonstruktif. Defisit pada kemampuan verbal dan memori episodik visual sering merupakan abnormalitas

neuropsikologis awal yang terlihat pada penyakit Alzheimer, dan tugas yang membutuhkan pasien untuk menyebutkan ulang daftar panjang kata atau gambaf setelah jeda waktu tertentu akan menunjukkan defisitpada sebagian pasien penyakitAlzheimer. Pada FTD def,rsit awal sering melibatkan fungsi eksekutif frontal atau bahasa (berbicara atau menyebutkan kata). Pasien DLB mempunyai

defisit lebih berat pada fungsi visuospasial tetapi melakukan tugas memori episodik lebih baik dibandingkan

pasien dengan penyakit Alzheimer. Pasien dengan demensia vaskular sering menunjukkan campuran defisit eksekutif frontal dan visuospasial. Pada delirium, defisit cenderung terjadi pada area pemusatan perhatian, memori kerja, dan fungsi frontal. Pengkajian status fungsional harus juga dilakukan.

Dokter harus menentukan dampak kelainan terhadap memori pasien, hubungan di komunitas, hobi, penilaian, berpakaian, dan makan. Pengetahuan mengenai status fungsional pasien sehari-hari akan membantu mengatur pendekatan terapi dengan keluarga. Pemeriksaan penunjang. Tes laboratorium pada pasien demensia tidak dilakukan dengan serta merta pada semua

kasus. Penyebab yang reversibel dan dapat diatasi seharusnya tidak boleh terlewat. Pemeriksaan fungsi tiroid, kadar vitamin Bl2, darah lengkap, elektrolit, dan VDRL

direkomendasikan untuk diperiksa secara rutin. Pemeriksaan tambahan yang perlu dipertimbangkan adalah

pungsi lumbal, fungsi hati, fungsi ginjal, pemeriksaan toksin di urin/darah, dan Apolipoprotein E.

842

GE,RIITITI

Pemeriksaan penunjang yang juga direkomendasikan

adalah CT/MRI kepala. Pemeriksaan

ini

dapat mengidentifikasi tumor primer atau sekunder, lokasi area infark, hematoma subdural, dan memperkirakan adanya

intervention) menunjukkan kedua pendekatan tersebut sama efektifnya. Walaupun demikian, karena terkadang

hidrosefalus bertekanan-normal atau penyakit white matter yang luas. MRI dan CT juga dapat mendukung

terapi perilaku yang dilakukan secara benar dan dilakukan setiap hari dengan intensif sulit dilakukan, maka pilihan terapi medikamentosa lebih disukai. Terapi kolinesterase inhibitor sebagai terapi terpilih untuk meningkatkan fungsi

diagnosis penyakit Alzheimer, terutama bila terdapat atrofi

kognitif pada pasien demensia, seringkali dapat pula

hipokampus selain adanya atrofi kortikal yang difus.

mengurangi gejala apati, halusinasi visual, dan beberapa gejala psikiatrik lain. Dalam mengelola pasien dengan demensia, perlu pula diperhatikan vpaya-upaya mempedahankan kondisi fi sis atau kesehatan pasien. Seiring dengan progresi demensia, maka banyak sekali komplikasi yang akan muncul seperti

Abnormalitas white mqtter yang luas berkorelasi dengan demensia vaskular. Peran pencitraan fungsional seperti single photon emission computed tomography (SPECT) danpositron emission tomography (PET) scanning maslh dalam penelitian. SPECT dan PET scanning dapat memrnjukkan hipoperfusi atau hipometabolisme temporalparietal pada penyakit Alzheimer dan hipoperfusi atau hipometabolisme frontotemporal pada FTD.

pneumonia dan infeksi saluran napas bagian atas, septikemia, ulkus dekubitus, fraktuq dan berbagai masalah

nutrisi. Kondisi-kondisi ini terkadang merupakan sebab utama kematian pasien dengan demensia, sehingga pencegahan dan penatalaksanaan menjadi sangat penting.

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan Umum Tujuan utama penatalaksanaan pada seorang pasien dengan demensia adalah mengobati penyebab demensia

yang dapat dikoreksi dan menyediakan situasi yang nyaman dan mendukung bagi pasien dan pramuwerdhanya (c or e giv er s). Menghentikan obat- ob at y ang bersifat

sedatif dan memengaruhi fungsi kognitif banyak

memberikan manfaat. Bila pasien cenderung depresi ketimbang demensia, maka depresi harus diatasi dengan adekuat. Pasien dengan penyakit degeneratif sering muncul gejala depresi, dan sebagian dari mereka akan

respons pada terapi antidepresi. Antidepresi yang mempunyai efek samping minimal terhadap fungsi kognitif seperti s erotonin s el ectiv e reuptakeinhibllor (S SRI), lebih dianjurkan pada pasien demensia dengan gejala depresi.

Antikonvulsi kadang-kadang dibutuhkan untuk mengendalikan kejang.

Agitasi, halusinasi, delusi, dan kebingungan (coffision) seringkali sulit ditatalaksana, dan sering menjadi alasan utama memasukkan seorang usia lanjut dengan demensia ke panti werdha atau rumah rawat usia lanjut. Sebelum memberikan obat untuk berbagai gangguan perilaku tersebut, harus disingkirkan faktor lingkungan atau metabolik yang mungkin dapat dikoreksi atau dimodifikasi.

Imobilisasi, asupan makanan yang kurang, nyeri, konstipasi, infeksi, dan intoksikasi obat adalah beberapa faktor yang dapat mencetuskan gangguan perilaku, dan bila diatasi maka tidak perlu memberikan obat-obatan antipsikosis. Obat-obatan yang dapat digunakan untuk

Pada stadium awal penyakit, seorang dokter harus mengusahakan berbagai aktivitas dalam rangka mempertahankan status kesehatan pasien, seperti melakukan latihan (olahraga), mengendalikan hipertensi dan berbagai penyakit [ain, imunisasi terhadap pneumokok dan influenza, memperhatikan higiene mulut dan gigi, serta mengupayakan kaca mata dan alat bantu dengar bila terdapat gangguan penglihatan atau pendengaran. Pada fase lanjut demensia, merupakan hal yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhan dasar pasien seperti nutrisi, hidrasi, mobilisasi, dan perawatan kulit untuk mencegah ulkus dekubitus. Pada beberapa keadaan mungkin dapat dipertimbangkan tindakan gastrostomi, pemberian nutrisi dan cairan intravena, serta pemberian antibiotika dalam

upaya memperpanjang hidup yang tentunya perlu pertimbangan bersama dengan keluarga pasien. Yang juga sangat penting dalam pengelolaan secara paripurna pasien dengan demensia adalah kerja sama yang

baik antara dokter dengan pramuwerdha (caregivers). Pramuwerdha pasien dengan demensia merupakan orang yang sangat mengerti kondisi pasien dari hari ke hari dan

bertanggung jawab terhadap berbagai hal seperti pemberian obat dan makanan, mengimplementasikan terapi nonfarmakologis kepada pasien, meningkatkan status kesehatan umum pasien, sertra mampu memberikan waktu-

waktu yang sangat berarti sebagai bagian dari upaya meningkatkan kualitas hidup pasien dengan demensia. Walaupun demikian, perlu pula diperhatikan kondisi fisik dan mental pramuwerdha, mengingat apa yang mereka lakukan sangat menguras tenaga, pikiran, bahkan emosi yang terkadang menimbulkan morbiditas tersendiri,

meredam agitasi dan insomnia tanpa memperberat demensia di antaranya haloperidol dosis rendah (Q,S sampai

2 mg), trazodone, buspiron, atau propranolol. Beberapa penelitian yang membandingkan terapi obat (farmakoterapi) dengan intervensi perilaku (behavioral

Pengobatan untuk Mempertahankan Fungsi Kognitif Penyakit Alzheimer tidak dapat disembuhkan dan belum ada obat yang terbukti tinggi efektivitasnya. Selain

843

DEMENITIA

mengatasi gejala perubahan tingkah laku dan membangun

gangguan kognitif ringan. Sebagian penelitian

'rapport' dengan pasien, anggota keluarga,

menunjukkan terdapat perbedaan dengan plasebo pada pemakaian 6 bulan, walaupun ada pula yang tetap menunjukkan perbaikan pada pemakaian sampai satu tahun bahkan sampai dua atau tiga tahun. Satu penelitian menunjukkan perlambatan penurunan fungsi kognitif yang

dan

pramuwerdha, saat ini fokus pengobatan fungsi kognitif adalah pada defisit sistem kolinergik. Selain itu beberapa penelitian klinis juga mencoba mengarah pada terapi lain

yang disesuaikan dengan patofisiologi timbulnya demensia yang melibatkan berbagai mekanisme.

Kolinesterase inhibitor. Tacrine (tetrahydroaminoacridine), donepezil, rivastigmin, dan galantamin adalah kolinesterase inhibitor yang telah disetuj u i oleh U. S. F o o d and Drug Administration (FDA) untuk pengobatan penyakit Alzheimer. Efek farmakologik obat-obatan ini adalah dengan menghambat enzim kolinesterase, dengan hasil meningkatnya kadar asetilkolin di jaringan otak. Dari

ini jarang digunakan karena efek sampingnya ke organ hati (hepatotoksik). keempat obat tersebut, tacrine saat

Donepezil dimulai pada dosis 5 mg perhari, dan dosis dinaikkan menjadi l0 mg perhari setelah I bulan pemakaian. Dosis rivastigmin dinaikkan dari 1,5 mg dua kali perhari menjadi 3 mg dua kali perhari, kemudian 4,5 mg dua kali perhari, sampai dosis maksimal 6 mg dua kali perhari. Dosis dapat dinaikkan pada interval antara I sampai 4 minggu; efek samping umumnya lebih minimal bila peningkatan

dosisnya dilakukan lebih lama. Sementara galantamin diberikan dengan dosis awal 4 mg dua kali perhari, untuk dinaikkan menjadi 8 mg dua kali perhari dan kemudian 12 mg perhari. Seperti rivastigmin, interval peningkatan dosis yang lebih lama akan meminimalkan efek samping yang terjadi. Dosis harian efektif untuk masing-masing obat adalah 5 sampai 10 mg untuk donepezil, 6 sampai 12 mg untuk rivastigmin, dan 16 sampar24 mg untuk galantamin. Berbagai uji klinis telah menunjukkan obat-obatan

tersebut dapat meningkatkan fungsi kognitif secara bermakna dibandingkan plasebo, terutama pada kelompok pasien dengan demensia ringan dan sedang. Selain itu pasien-pasien yang menggunakan kolinesterase inhibitor lebih dapat mempertahankan kemampuan mereka untuk

bermakna pada pasien yang mendapat donepezil dibandingkan vitamin E dan plasebo pada satu tahun pertama pemakaian, namun perbedaan tersebut tidak bermakna bila pemakaian dilanjutkan sampai 2tahun. Perbedaan antara masing-masing obat kolinesterase

inhibitor masih belum dapat dibuktikan. Indikasi untuk berpindah dari satu kolinesterase inhibitor ke obat yang lain adalah adanya reaksi alergi, efek samping yang tidak dapat diatasi, keinginan keluarga, dan tidak ada respons pengobatan setelah pemakaian enam bulan. Bila akan mengganti satu kolinesterase inhibitor dengan yang lainnya maka dianjurkan untuk menghentikan sementara pemberian obat (washout period) selama 3-4 minggu. Penggunaan bersama-sama lebih dari satu kolinesterase inhibitor pada saat yang bersamaan belum pernah diteliti

dan tidak dianjurkan. Kolinesterase inhibitor umunmya digunakan bersama-sama dengan memantin dan vitamin E.

Antioksidan. Antioksidan yang telah diteliti dan memberikan hasil yang cukup baik adalah alfa tokoferol (vitamin E). Pemberian vitamin E pada satu penelitian dapat memperlambat progresi penyakit Alzheimer menjadi lebih berat. Vitamin E telah banyak digunakan sebagai terapi tambahan pada pasien dengan penyakit Alzheimer dan demensia tipe lain karena harganya murah dan dianggap aman. Dengan mempertimbangkan stres oksidatif sebagai

salah satu dasar proses menua yang terlibat pada patofisiologi penyakit Alzheimer, ditambah hasil yang didapat pada beberapa studi epidemiologis, vitamin E bahkan digunakan sebagai pencegahan primer demensia pada individu dengan fungsi kognitif normal. Namun suatu

pramuwerdha dan lingkungan sekitar, serta dapat menunda masuk ke panti werdha. Efek samping yang dapat timbul pada pemakaian obatobatan kolinesterase inhibitor ini antara lain adalah mual,

studi terakhir gagal membuktikan perbedaan efek terapi antara vitamin E sebagai obat tunggal dan plasebo terhadap pencegahan penurunan fungsi kognitif pada pasien-pasien dengan gangguan fungsi kognitif ringan. Efek terapi vitamin E pada pasien demensia maupun gangguan kognitif ringan tampaknya hanya bermanfaat bila dikombinasi dengan kolinesterase inhibitior.

muntah, dan diare, dapat pula timbul penurunan berat

Memantin. Obat yang saat ini juga telah disetujui oleh

badan, insomnia, mimpi abnormal, kram otot, bradikardia, sinkop, dan fatig. Efek-efek samping tersebut umunnya muncul saat awal terapi, dan seperti telah disinggung di atas, dapat dikurangi bila interval peningkatan dosisnya

FDA sebagai terapi pada demensia sedang dan berat

aktivitas kehidupan sehari-hari, lebih sedikit timbul perubahan perilaku, lebih tidak tergantung kepada

diperpanjang dan dosis rumatan diminimalkan. Efek samping pada gastrointestinal juga dapat diminimalkan bila obat-obat tersebut diberikan bersamaan dengan makan. Sampai saat ini masih belum didapatkan data yang pasti mengenai berapa lama pemberian kolinesterase inhibitor yang dianjurkan pada pasien dengan demensia dan

adalah memantin, suatu antagonis N-metil-o-aspartat. Efek terapinya diduga adalah melalui pengaruhnya pada

glutaminergic excitotoxicity dan fungsi neuron di hipokampus. Suatu uji klinis tersamar ganda yang menggunakan memantin pada pasien dengan penyakit

Alzheimer stadium sedang dan berat menunjukkan kelebihan memantin dibandingkan plasebo dalam perbaikan status fungsional, namun tidak ada perbedaan dalam hal penurunan status fungsi kognitif. Bila memantin

844

GEXUAIRI

ditambahkan pada pasienAlzheimer yang telah mendapat kolinesterase inhibitor dosis tetap, didapatkan perbaikan

REFERENSI

fungsi kognitif, berkurangnya penurunan status

Amar K, Wilcock G. Vascular dementia. BMJ. 1996;312:227-31. Bird TD, Miller BL. Alzheimer's disease and other dementias. Dalam: Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, penyunting. Harrison's Principles of Intemal Medicine, Edisi ke-16. New York: McGraw-Hill Medical Publishing

fungsional, dan berkwangnya gejala perubahan perilaku baru bila dib4ndingkan penambahan plasebo. Terapi lain. Dengan adanyabukti bahwaproses inflamasi pada jaringan otak terlibat pada patogenesis timbulnya penyakit Alzheimer, maka beberapa penelitian mencoba mendapatkan manfaat obat-obat antiinflamasi baik dalam hal pencegahan maupun terapi demensiaAlzheimer. Hasil negatif (tidak berbeda dengan plasebo) ditunjukkan baik pada predaison, rofecoxib, maupun naproxen, sehingga

sampai saat

ini tidak

ada data yang mendukung

penggunaan obat antiinflamasi dalam pengelolaan pasien

demensia. Selain itu, walaupun beberapa studi epidemiologik menduga bahwa terapi sulih-estrogen mungkin dapat mengurangi insidensi demensia, namun

penelitian klinis menunjukkan ternyata tidak ada manfaatnya pada perempuan pascamenopause. Beberapa obat lain yang dari beberapa studi pendahuluan nampaknya punya potensi untuk dapat digunakan sebagai pencegahan dan pengobatan demensia di antaranya ginko

biloba, huperzin A (suatu kolinesterase inhibitor), imunisasi/vaksinasi terhadap amyloid, dan beberapa pendekatan yang bersifat neuroprotektif.

Division; 2005. p. 2393-406. Black S, Roman GC, Geldmacher DS, Salloway S, Hecker J, Burns Alistair. Efficacy and tolerability of donepezil in vascular dementia. Stroke. 2003;34:2323 -32. Cummings JL. Alzheimer's disease. N Engl J Med. 2004;351:56-67. Erkinjuntti T, Roman G Gauthier S, Feldman H, Rockwood K. Emerging therapies for vascular dementia and vascular cognitive impairment. Stroke. 2004;35:1010-7. Friedland RP, Wilcock GK. Dementia. Dalam: Evans JG William TF, Beattie BL, Michel J-B Wilcock GK, penyunting. Oxford Textbook of Geriatric Medicine, Edisi ke-2. New York: Oxford University Press; 2000. p.922-31.

Kawas CH. Alzheimer's disease. Dalam: Hazzard WR, Blass JB Ettinger WH, Halter JB, Ouslander JG, penyunting. Principles of Geriatric Medicine and Gerontology, Edisi ke-4. New York: McGraw-Hill Health Professions Division; 1999. p. 1257-69. Kivipelto M, Helkaka E-L, Laakso MP, Hanninen Hallikainen M, Alhainen K, dkk. Midlife vascular risk factors and Alzbeimer's disease in later life: longitudinal, population based study. BMJ. 2001;322:1447 -51. Sachdev PS, Brodaty H, Looi JCL. Vascular dementia: diagnosis, managemert and possible prevention. MJA. 1999; 170: 8l-5. van der Flier WM, Scheltens P. Epidemiology and risk factors of dementia. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2005:76:2-7. Wilcock G, Howe I, Coles H, Lilienfeld S, Truyen L, Zhu Y, dkk. A long-term comparison of galantamine and donepezil in the treatment of Alzheimer's disease. Drugs Aging. 2003;20:77:l-89.

I

t32 DEPRESI PADA PASIEN USIA LANJUT Czeresna H. Soejono, Probosuseno, Nina Kemala Sari

PENDAHULUAN

mempunyai konsekuensi medis, sosial, dan ekonomi penting. Hal ini menyebabkan penderitaan bagi pasien dan

Depre,si merupakan penyakit mental yang paling sering

keluarganya, memperburuk kondisi medis dan

pada pasien berusia di atas 60 tahun dan merupakan contoh

membutuhkan sistem pendukung yang mahal. Depresi pada geriatri sulit diidentifftasi sehitgga tidak /terlambat diterapi, mungkin karena perbedaan pola gejala tiap kelompokumur. Selain itu, depresi pada geriatri sering tidak diakui pasien dan tidak dikenali dokter karena gejala yang tumpang tindih, sering komorbiditas dengan penyakil medis lain sehingga lebih menonjolkan gejala somatik daripada gejala depresinya. Tulisan ini akan membahas secara umum perihal cara mengenali gejala depresi pada pasien geriatri, komorbiditas yang sering terdapat pada penderita depresi usia lanjut, tatalaksana, hingga evaluasi pengobatan.

penyakit yang paling umum dengan tampilan gejala yang tidak spesifik/tidak khas pada populasi geriatri. Terdapat beberapa faktor biologis, fisis, psikologis, dan sosial yang membuat seorang berusia lanjut rentan terhadap depresi. Perubahan pada sistem saraf pusat seperti meningkatnya aktivitas monoamin oksidase dan berkurangnya konsentrasi neurotransmiter (terutama neurotransmiter katekolaminergik) dapat berperan dalam terj adinya depresi pada usia lanjut. Kondisi multipatolo gi dengan berbagai penyakit kronik dan polifarmasi kian meningkatkan kejadian depresi pada usia lanjut. Pasien geriatri yang menderita depresi juga sering memiliki komorbid penyakit vaskular dengan lesi di daerah ganglia basalis dan prefrontal otak. Pasien-pasien ini sering memperlihatkan kemunduran fungsi motorik, kurangnya kemampuan penilaian (j udgement), dan terganggunya

EPIDEMIOLOGI Prevalensi terbesar gangguan psikiatri pada geriatri adalah depresi. Prevalensi dipengaruhi oleh lokasi pengambilan subyek penelitian dan komorbiditas. Prevalensi depresi pada usia lanjut di pelayanan kesehatan primer adalah 5l7oh, semeniara prevalensi depresi pada usia lanjut yang mendapat pelayanan asuhan rumah (home care) adalah

fungsi eksekusi. Faktor-faktor psikososial juga berperan sebagai faktor predisposisi depresi. Orang tua seringkali mengalami periode kehilangan orang-orang yang dikasihinya. Faktor kehilangan fisik juga meningkatkan kerentanan terhadap depresi dengan berkurangnya kemauan merawat diri serta hilangnya kemandirian. Berkurangnya kapasitas sensoris

l3,5yo. Prevalensi depresi geriatri lebih tinggi di ruang perawatan daripada di masyarakat. Usia lanjut di perawatan

jangka panjang memiliki tingkat depresi yang lebih tinggi

(terutama penglihatan dan pendengaran) akan

daripada di masyarakat. Data prevalensi depresi pada usia lanjut di Indonesia diperoleh dari ruang rawat akut geriatri dengan kejadian depresi sebanyak 76,3yo. Proporsi pasien geriatri dengan depresi ringan adalah 44,lyo sedangkan depresi sedang sebanyak 18%, depresi berat sebanyak 10,8% dan depresi sangat berat s ebanyak3,2%o. Semakin berat tingkat depresi maka semakin lama masa rawat. Studi unflrk populasi

mengakibatkan penderita terisolasi dan berujung pada depresi. Berkurangnya kemampuan daya ingat dan fungsi intelektual sering dikaitkan dengan depresi. Kehilangan pekerjaan, penghasilan, dan dukungan sosial sejalan

dengan bertambahnya usia turut menjadi faktor predisposisi seorang berusia lanjut untuk menderita depresi. Depresi pada pasien geriatri adalah masalah besar yang

Indonesia Timur dilakukan di Kabupaten Buru, Maluku

84s

846

GERIAMI

pada tahun 2003 dengan subyek sebanyak 401 orang usia

lanjut. Penapisan depresi pada usia lanjut yang berada di daerah pasca konflik tersebut menunjukkan hasil positif

dan kondisi multipatologi tadi dengan sensasi passive helplessness yang sering terjadi pada usia lanjut.

Menurut teori Erik Erikson, kepribadian terus berkembang dan terus tumbuh dengan perjalanan

pada52,4oh subyek.

kehidupan. Perkembangan ini melalui beberapa tahapan

psikososial seperti melalui konflik-konflik yang ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

terselesaikan oleh individu tersebut yang dipengaruhi oleh

Berbagai teori mengenai etiologi dan patogenesis diajukan para ahli tentang gangguan depresi usia lanjut namun pada banyak kasus jelas berhubungan dengan polifarmasi yang berkaitan erat dengan multipatologi. Beberapa penyebab lain adalah kondisi medik seperti strok dan hipotiroidisme.

sebelumnya, dukungan lingkungan terdekatnya dan tekanan hidup yang dihadapinya. Erikson menyebutkan adanya krisis integrity versus despairyait:rt individu yang

maturitas kepribadian pada fase perkembangan

Obat-obatan dan beberapa kondisi umum yang berhubungan dengan depresi dapat dilihat pada Tabel 1.

Beberapa

golongan obat yang dapat menimbulkan

depresi: Analgetika

OAINS

Antihipertensi Antipsikotik Ansiolitika Antikanker Sedativa

Lain-lain

: kodein, morfin : ibuprofen, naproksen, indometasin

:klonidin,propranolol,kaptopril : haloperidol, klorpromazin : diazepam : vinkristin : :

fenobarbital, triazolam, pentobarbital simetidin, ranitidin, deksametason

Beberapa kondisi medik umum yang berhubungan dengan depresi: Hipotiroidisme Tumor otak (terutama lobus frontalis)

CVD hemisfer kanan, Alzheimer, Parkinson,

demensia

vaskular SLE

Defisiensi vitamin Brz, defisiensi folat

sukses melampaui tahapan tadi akan dapat beradaptasi dengan baik, menerima segala perubahan yang terjadi dengan tulus dan memandang kehidupan dengan rasa

damai dan bijaksana. Contoh resolusi yang berhasil dari krisis dicirikan dengan perasaan individu tersebut yang hidup dengan baik dan nyaman. Sebaliknya resolusi yang kurang berhasil akan dicirikan dengan perasaan bahwa hidup ini terlalu pendek, dengan perasaan tidak memiliki, pemberontakan, rasa marah, putus asa dan juga dengan kegetiran bahwa ia tidak akan mau hidup lagi jika diberi kesempatan. Kondisi ini akan menyebabkan orang usia lanjut rentan terhadap depresi. Penelitian akhir-akhir ini juga mengatakan bahwa konflik integritas versus despair berhasil baik pada usia lanjut yang lebih muda dibanding usia lanjut yang lebih tua. Teori Heinz Kohut menekankan pada aspek hilangnya rasa kecintaaatpada diri sendiri akibat proses penuaan ditambah dengan rasa harga diri dan kepuasan diri yang kurang, juga dukungan sosial yang tidak terpenuhi akan menyebabkan usia lanjut tidak mampu lagi memelihara dan mempertahankan rasa harga diri. Mereka sering merasa tegang dan takut, cemas, murung, kecewa dan tidak merasa

sejahtera di usia senja.

Faktor-faktor lain yang memperberat depresi perlu pula diperhatikan, arrtara lain kehilangan (pasangan hidup, perpisahan teman dekat dan anggota keluarga, taraf

kesehatan yang menurun, kehilangan rasa aman,

DIAGNOSIS DAN KOMORBIDITAS

kekuasaan/jabatan dan kebebasan), serta pemiskinan sosial dan lingkungan. Beberapa teori tentang etiologi depresi antara lain teori

Depresi pada usia lanjut lebih sulit dideteksi karena 1). penyakit fisis yang diderita sering mengacaukan gambaran depresi, antara lain mudah lelah dan penurunan berat

neurobiologi yang menyebutkan bahwa faktor genetik belperan. Kemungkinan terjadinya depresi pada saudara

badan, 2). usia lanjut sering menutupi rasa sedihnya dengan justru menunjukkan dia lebih aktif, 3). kecemasan, histeria dan hipokondria yang sering merupakan gejala depresi justru sering menutupi depresinya dan 4). masalah sosial sering membuat depresi menjadi lebih rumit. Diperkirakan sampai 40Yo depresi pada usia lanjut tidak terdiagnosis karena 1). dokter, pasien maupun keluarga mengira gejala depresi adalah normal pada usia lanjut, 2).

kembar mono zigot adalah 60-80% sedangkan pada saudara kembar heterozigot adalah 25 -3 5%. Freud dan Karl Abraham berpendapat bahwa pada proses berkabung akibat hilangnya obyek cinta (orang

maupun obyek abstrak seperti status sosial) dapat terintrojeksikan ke dalam individu sehingga menyatu atau merupakan bagian dari individu itu. Obyek cinta yang hilang bisa berupa kebugaran yang tidak muda lagi,

kemunduran kondisi

fisik akibat berbagai kondisi

gambaran depresi pada usia lanjut berbeda dari yang muda dalam penggunaan kriteria ICD-10 maupun DSM-IY 3).

polifarmasi dan adanya komorbiditas.

multipatologi, kehilangan fungsi seksual, dan lain-lain.

Istilah komorbiditas digunakan untuk menyatakan

Seligman berpendapat bahwa terdapat hubungan antara kehilangan yang tak terhindarkan akibat proses penuaan

adanya dua atau lebih penyakit pada seorang pasien pada waktu yang sama. Pada pasien usia lanjut sering ditemukan

847

DEPRESI PADA PASIEN USIA LAT{JUT

dua atau lebih penyakit fisis (adanya multipatologi) dan

tidak jarang dijumpai kelainan fisis bersamaan (komorbiditas) dengan gangguan psikis seperti depresi.

Komorbiditas antara dua penyakit dapat merupakan hubungan sebab akibat dan dapat pula saling memperberat. Diagnosis depresi yang menyefiai atat bersama-sama dengan penyakit fisis tidak mudah karena tampilan klinisnya sering tidak sesuai dengan kriteria diagnosis yang ada dalam DSM-IV maupun PPDGJ-IIL

Gejala depresi pada usia lanjut sering tumpang tindih dengan komorbiditas penyakit medis lain, dimana depresi

geriatri sering menonjolkan gejala somatiknya dibandingkan gejala depresinya sendiri. Penyakit yang sering te{adi bersamaan dengan depresi

antara lain diabetes melitus, hipertensi, gagal jantung, penurunan fungsi hepar dan ginjal, penyakit Parkinson, penyakitAlzheimeq strok, artritis. Penyakit serebrovaskular merupakan predisposisi dan presipitasi sindrom depresi. Infeksi virus, endokrinopati seperti kelainan tiroid dan paratiroid, serta keganasan seperti limfoma dan karsinoma pankreas kerap menimbulkan komplikasi depresi. Penderita hepatitis C lebih dari 5 tahun akan mengalami depresi sebanyak22,4% dan pasien-pasien yang berusia lebih dari 50 tahun secaraklinis lebih mangalami depresi dibandingkan dengan mereka yang berusia lebih muda. Pasien dengan

Menurut ICD-10 gejala-gejala depresi terdiri dari: Gejala utama,yakni:

. . .

perasaan depresif. hilangnya minat dan semangat mudah lelah dan lenaga hilang.

Gejalalain adalah:

. . . . . . . .

konsentrasi menurun. harga dirimenurun.

perasaan bersalah. pesimis terhadap masa depan. gagasan membahayakan diri (self harm) atau bunuh diri. gangguan tidur. gangguan nafsu makan.

memrrunnyalibido.

Tingkat Depresi

Gejala Utama

Ringan

2

Sedang

2

Berat

3

Gejala Lain

2 4 >4

3-

Fungsi

Keterangan

Baik Terganggu Sangat terganggu

Nampak distress Sangat dlsfress

penyakit ginjal stadium akhir yang menjalani dialisis, prevalensi untuk terjadi depresi dapat mencapai25,4%o. Diagnosis awal dan terapi segera terhadap depresi pada pasien geriatri dapat menaikkan kualitas hidup, status fungsional dan mencegah kematian dini. Ada beberapa cara pe,negakan diaposis depresi, menurut DSM-IV atau menurut ICD-I 0. Memrut DSM-IV laiteria depresi berat mencakup 5 atau lebih gejala berikut, dan telah berlangsung 2 minggu atau lebih, yakni:

. . . . . .

. . .

Perasaan depresi.

Hilangnya minat atau rasa senang, hampir setiap hari. Berat badan menurun atau bertambah yang bermakna. Insomnia atau hipersomnia, hampir tiap hari. Agitasi atau retardasi psikomotor, hampir tiap hari. Kelelahan (rasa lelah atau hilangnya energi), hampir tiap hari. Rasa bersalah atau tidak berharga, hampir tiap hari. Sulit konsentrasi. Pikiran berulang tentang kematian atau gagasan bunuh diri.

Gejala-gejala tersebut di atas harus menimbulkan gangguan klinis yang bermakna dalam kehidupan individu.

Dalam menegakkan diagnosis, gejala perasaan depresif dan atau hilangnya minat harus ada. Penggunaan DSM

IV

mungkin tidak spesifik, dan dianjurkan dengan skala Depresi Khusus Usia Lanjut (Geriatric Depression Scale).Gejala fisis yang tiba-tiba yang tidak sesuai atau tak dapat diterangkan, perlu dikaitkan dengan depresi sebagai penyebabnya.

Berdasarkan gejala di atas, pasien yang didiagnosis depresi dapat digolongkan dalam depresi ringan, sedang dan berat, sebagai berikut: Depresi pada usia lanjut dapat muncul dalam bentuk

keluhan fisis seperti insomnia, kelemahan umum, kehilangan nafsu makan, masalah pencernaan, dan sakit kepala.

Gallo dan Gonzales (2001), menuliskan bahwa untuk memudahkan diagaosis depresi dibuat jembatan keledai (mnemonic) SIGEM CAPS (sleep, interest, guilt, energl mood, concentration, appetite, psychomotor retardation or agitation, suicide). Ciri khas depresi pada usia lanjut anlaralain 1). terdapat fluktuasi yangjelas dari gejala,2). gejala depresi mungkin tertutup keluhan somatik, 3). adanya depresi yang berbarengan dengan demensia

mengganggu pengenalan dan pelaporan depresi, 4).terdapat hubungan yang erat antara penyakit fisis dan depresi. Pasien depresi bisa mengalami imobilisasi lebih lama

dan secara bermakna mengalami perburukan status fungsional lebih besar dibandingkan dengan penderita penyakit kronis saja. Depresi dapat memperberat penyakit medik, sebaliknya penyakit medik dapat memperberat depresi, oleh karena itu pengobatan antidepresi yang efektif mempunyai potensi untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarganya serta dapat menurunkan biaya perawatan.

848

GERIII|IRI

PROGNOSIS Depresi pada geriatri sering berlanjut kronis dan kambuhkambuhan, ini berhubungan dengan komorbiditas medis,

kemunduran kognitif dan faktor-faktor psikososial. Kemungkinan kambuh cukup tinggi pada pasien dengan riwayat episode berulang, awitan pada usia lebih tua, riwayat distimia, sakit medis yang sedang terjadi, kian beratnya depresi dan kronisitas depresi.

Komplikasi yang dapat terjadi adalah rnalnukisi dan

pneumonia (akibat imobilitas atau berbaring terusmenerus) serta akibat sampingan dari pemberian obat antidepresi. Pasien yang depresi mempunyai risiko lebih tinggi untuk bunuh diri dari populasi lain. Sepertiga pasien usia lanjut melaporkan kesepian sebagai alasan utama untuk bunuh diri, sepuluh persen karena masalah keuangan. Kirakira 60%o yang melakukan bunuh diri adalah laki-laki, dan 75o/oyang mencoba bunuh diri adalah perempuan.

mampu dan harga diri. Pendekatan aspek sosial dalam penanganan pasien depresi meliputi antaralain diikutkan

dalam lembaga sosial kemasyarakatan yang berperan dalam mendukung sosialisasi dan mengatasi beberapa masalah sosial ekonomi (day care centres, senior club, self help groups, domiciliary care, dll); jangan lupa untuk melibatkan keluarga pada saat yang tepat.

Faktor-faktor yang memperberat depresi perlu diperhatikan, antara lain penyakit fisis, penyakit neurologis (didapat sekitar 50% depresi pasca strok yang timbulnya

dapat tertunda sampai 12 b:ulan, 30-50% penderita Alzheimer menderita depresi), obat-obatan, kehilangan (pasangan hidup, perpisahan teman dekat dan anggota keluarga, taraf kesehatanyafig menurun, kehilangan rasa

aman, kekuasaan/ jabatan dan kebebasan), serta kemiskinan sosial dan lingkungan.

lndikasi Pemberian Obat Antidepresi Secara umum indikasi pemberian obat antidepresi adalah

untuk gangguan depresi sedang sampai berat, episode depresi berulang, dan depresi dengan gambaran

PENATALAKSANAAN

Tujuan utama terapi adalah untuk mencegah relaps, rekuren dan kronisitas. Depresi pada geriatri dapat lebih efektif diobati dengan kombinasi terapi psikologis dan farmakologis disertai pendekatan interdisiplin yang menyeluruh. Terapi harus diberikan dengan memperhatikan

secara individual hardpan-harapan pasien, martabat (dignity) dan otonomi/ kemandirian pasien. Problem-problem fisis yang ada bersama-sama dengan penyakit mental harus diobati. Serhua teknik psikoterapi (psikodinamik, kognitif, perilaku, dll) dapat dipergunakan. Intervensi terapeutik untuk memacu kemandirian seperti melatih keterampilan sehari-hari dan peningkatan keamanan di rumah, terapi okupasi dan berbagai program rehabilitasi yang praktis serta pemberian informasi jangan dilupakan. Penanganan depresi pada usia lanjut memerlukan perhatian ekstra, segala kesulitan dan keluhan perlu

melankolia atau psikotik. Karena manifestasi klinis depresi pada usia lanjut seringkali tidak khas, maka menentukan indikasi pemberian obat antidepresi pada pasien geriatri seringkali merupakan pertimbangan klinis berdasarkan pada pengalaman klinis dalam mengenali tanda dan gejala

depresi yang terselubung.

Pemilihan Obat Antidepresi Pemilihan jenis obat antidepresi bagi pasien usia lanjut lebih merujuk pada prohl efek samping obat. Antidepresi generasi lama seperti golongan trisiklik dan golongan penghambat enzim monoamin oksidase, meskipun cukup efektif meredakan gejala-gej ala depresi namun mempunyai profil efek samping yang kurang menguntungkan untuk

digunakan pada pasien geriatri. Efek samping antikolinergik, hipotensi ortostatik, serta gangguan konduksi jantung, dapat menjadi beban tambahan bagi

didengarkan dengan sabar. Karena ketidaksabaran terapis

status fisis pasien geriatri, bahkan dapat memicu

dianggap sebagai penolakan (empati terapis sangat diperlukan karena penghormatan dan perhatian dapat

komplikasi medik yang serius. Profil efek samping ini

mengembalikan harga diri pasien). Strategi praktis pada terapi individu adalah :l).menyusun jadwal pertemuan

untuk menjaga kepatuhan dan

komitmen,

2).mengetengahkan topik pembicaraan tentang kehidupan sosial yang umum untuk membangun hubungan dokterpasien yang baik, 3). secara terfokus membicarakan masalah dan menetapkan sasaran realistis yang dapat dicapai untuk memberikan arah yang pasti bagi pasien, 4).mendorong pasien terlibat dalam kegiatan yang berarti dan berguna untuk meningkatkan kemampuan menikmati pengalaman yang menyenangkan, 5).menunjukkan kepedulian melalui sentuhan fisis yang wajar, 6).meninjau kembali apayang telah dicapai di masa lalu untuk membangkitkan rasa

terutama sangat menonjol pada obat-obat golongan tersier trisiklik (amitriptilin, imipramin) sehingga obat-obat ini

kurang dianjurkan penggunaannya pada usia lanjut. Preparat sekunder trisiklik (desipramin, nortriptilin) masih cukup aman dan efektifuntuk digunakan pada usia lanjut.

Antidepresi generasi baru bekerja pada reseptor susunan saraf otak, bersifat lebih selektif dan spesifik sehingga profil efek sampingnya lebih baik. Termasuk dalam kelompok ini adalah Serotonin Selective Reuptake

Inhibitor/SSRI Qfluoxetin, sertralin, paroksetin, fluvoksamin, sitalopram), Serotonin Enhancer (tianeptin), Reversible MAOIs (moclobemide), antidepresi lainnya (trazodone, nefazodone, mirtazepirt, venlafaksin). Profil efek samping yang baik akan mengurangi risiko komplikasi

849

DEPRESI PADA PASIEN USIA LANJUT

dan memperbaiki kepatuhan pasien. Oleh sebab itu saat ini pemilihan antidepresi lini pertama untuk pasien geriatri mulai bergeser ke generasi baru. Saat ini golongan SSRI merupakan obat antidepresi yang dianjurkan sebagai lini pertama pengobatan depresi pada usia lanjut. Dari golongan SSRI, sitalopram dan

sertralin dianggap paling aman karena kedua obat ini sangat sedikit dimetabolisme oleh isoenzim cytochrom P450, sehingga mengurangi risiko interaksi obat yang merugikan. Efek samping SSRI umumnya berkaitan dengan keluhan serotoninergik seperti sakit kepala, mual, diare, insomnia, dan agitasi psikomotor. SSRI juga dapat menimbulkan efek samping ekstrapiramidal khususnya pada pasien depresi

dengan komorbiditas penyakit saraf. Salah satu efek samping berbahaya dari SSRI adalah Central Serotonine Syndrome, yang dapat timbul bila digunakan bersama obatobat yang dapat memacu transmisi serotonin, seperti MAOIs dan obat-obat dekongestan (misalnya: phenylpr op ano I amin e). P enggunaan fl uvoksamin bers ama teofilin harus dihindari karena dapat menyebabkan takikardi supraventrikular yang serius. Pertimbangan lain dari pemilihan obat antidepresi adalah tampilan gejala-gejala klinis yang akan menjadi bagian dari target terapi. Pasien dengan keluhan insomnia dapat dipilihkan preparat antidepresi yang bersifat sedatif kuat seperti mirtazepinatau trazodone. SSRI dan tianeptin bersifat non-sedatif dan dikatakan efektif memperbaiki

keluhan gangguan kognitif pada pseudodemensia. Trazodone baik untuk mereka dengan keluhan disfungsi seksual, tetapi hati-hati terhadap efek samping hipotensi

ortostatik. Pemberian antidepresi dimulai dengan dosis rendah,

dinaikkan perlahan-lahan (start low and go slow). Pengobatan antidepresi dibedakan atasliga fase, yaitu: . Fase akut yang berlangsung antara6-12 minggu. Pada tahap ini dosis optimal obat untuk memperbaiki gejala depresi diharapkan telah tercapai. . Tahap kedua disebut sebagai fase lanjutan yakni dosis optimal dipertahankan selama 4 sampai dengan 9 bulan untuk mencegah terjadinya relaps. . Tahap berikutnya disebut sebagai terapi rumatan yang dapat berlangsung hingga satu tahun atau lebih. Terapi rumatan diberikan terutama untuk gangguan depresi dengan riwayat episode berulang. Beberapa penelitian

terakhir meneguhkan anjuran pemberian obat antidepresi pada pasien geriatri sampai minimal satu tahun karena terbukti menurunkan risiko relaps maupun rekurens dibandingkan apabila hanya diberikan sampai 6

bulan.

Terapi Elektrokonvulsi (ECT) Untuk pasien depresi yang tidak bisa makan dan minum, intoleransi terhadap efek samping obat antidepresi atau

gagal terapi, kecenderungan tidak patuh minum obat, berniat bunuh diri atau retardasi hebat maka ECT diberikan

l-2kali seminggu pada pasien rawat inap, unilateral untuk mengurangi problem memori. Terapi ECT diberikan sampai ada perbaikan mood (sekitar 5-1 0 kali), dilanjutkan dengan obat antidepresi untuk mencegah kekambuhan. Terapi ini masih efektif dan aman (kematian kurang dari I per 10.000) bagi depresi mayor, angka remisi lebih dari 90%o detgan efek samping paling sedikit (kemunduran ingatan, bingung/ confusion). Olahraga temy atabermanfaat dalam tatalaks ana depresi

namun efeknya lambat, dan hasil nampak sesudah

16

mmggu.

Nutrisi sangat perlu diperhatikan, karena penderita depresi sangat sering mengalami malnutrisi, jika perlu dipasang NGT (makanan lewat sonde). Komplikasi depresi yang dapat te{adi adalah malnutrisi dan pneumonia (akibat imobilisasi dan berbaring terus). Dalam mengelola pasien depresi perlu diingat beberapa hal yang berkaitan dengan edukasi, yakni: 1). pasienjangan

menghentikan obat tanpa instruksi dokter, 2). ada jarak waktu untuk sembuh (membutuhkan waktu) sekitar 1-2 minggu sesudah obat diminum, 3). terangkan tentang efek samping yang mungkin te{adi, 4) olahraga dan psikoterapi adalah hal yang sangat menunjang kesembuhan.

Perawatan Lanjut dan Asuhan Rumah (Home Care) Setelah terdapat perbaikan selama 6 bulan, biasanya pasien

mempunyai sedikit risiko untuk episode baru depresi (kambuh). Pengobatan antidepresi harus dilanjutkan sedikitnya 6 bulan lagi (fase lanjutan). Pengobatan ini digunakan untuk mencegah kekambuhan. Pasien dengan

risiko tinggi untuk kambuh harus mendapat pengobatan berkelanjutan untuk sedikitnya l-2 tahtn, antidepresi yang dapat dipakai antara lain serhalin, fluoxetin danparoxetin. Pelayanan kesehatan asuhan rumah bagi usia lanjut

adalah salah satu unsur pelayanan kesehatan yang ditujukan untuk kesehatan perorangan ata:u kesehatan keluarga di tempat tinggal mereka dalam segi promotif,

rehabilitatif, kuratif, dalam upaya mempertahankan kemampuan individu untuk mandiri secara optimal selama mungkin. Asuhan rumah bagi para usia lanjut merupakan

bagian yang tidak terpisahkan dari perawatan dalam menghadapi kondisi tubuh yang makin rapuh atau sakit kronik. Upaya penyelenggaraan asuhan rumah yang dikoordinasikan oleh rumah sakit merupakan upaya yang secara ekonomis layak sebagai altematif lain dari perawatan

di RS sejauh pertimbangan-pertimbangan

medis,

lingkungan sosial dan aspek-aspek psikologik dapat te{aga secara cocok dan serasi. Kunjungan rumah oleh seorang

dokter dan atau paramedis sebagai satu tim amat bermanfaat bagi penderita karcna dapat meningkatkan pemahaman menyeluruh penderita dan akan dapat

8s0

memberikan pilihan terbaik untuk penderitayang dirawat,

GERI'TIRT

REFERENS!

selain dapat meningkatkan kepuasan penderita yang akhirnya akan mempercepat proses perbaikan. Idealnya asuhan rumah dilaksanakan oleh suatu tim dengan melibatkan dokter keluarga, bila diperlukan dokter spesialis, ahli gizi,paramedis, care giver (pramuwerdha),

relawan usia lanjut, dan lain-lain dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup usia lanjut, sedang tujuan khususnya adalah: l). menekan serendah mungkin biaya perawatan kesehatan (penghematan biaya pemondokan di RS), 2). mengurangi frekuensi hospitalisasi dan memperpendek lama perawatan di rumah sakit setelah fase akut, 3). meningkatkan usaha promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, 4). melakukan pence-gahan primer, sekunder dan tersier misalnya melaksanakan imunisasi (in-

fluenza dan pneumonia), melakukan penatalaksanaan paliatif penderita dengan keganasan, serta memperlambat / mencegah timbulnya gangguan fungsi tubuh (disabil-

l/y)

sehingga penderita dapat mempertahankan otonominya (dititikberatkan pada kemampuan ADL dan IADL) selama mungkin. Keuntungan/manfaat program lainnya dari asuhan rumah ini bagi pasien depresi dan keluarganya adalah mengurangi stres akibat perawatan di RS dan pasien lebih mudah berkomunikasi dengan orangorang sekitarnya; serta memberikan suasana yang lebih nyaman dan akrab bagi pasien.

KESIMPULAN Depresi pada pasien geriatri sulit didiagnosis antara lain karena gejalatya tidak khas, dan keluarga pasien maupun dokter acap kali tidak mewaspadai kondisi ini. Kondisi multipatologi selain menyulitkan pengenalan gej ala dini, juga merupakan faktor risiko penting selain polifarmasi, obat-obat tertentu, rasa kehilangan dan berbagai faktor lain. Penatalaksanaan meliputi psikoterapi suportif pada tahap ringan dan obat antidepresi untuk depresi sedang sampai berat. Terapi elektrokonulsi masih ada tempatnya terutama pada depresi berat. Keluarga amat penting perannya jika dilibatkan pada saat yang tepat. Asuhan rumah juga dapat memberikan alternatif solusi lain yang lebih mendekatkan pasien pada suasana 'rumah'.

Apfeldorf WJ, Alexopoulos GS. Late-life mood disorders. [n: Hazzard WR, Blass JP, Halter JB, Ouslander JG Tinetti ME, eds. Principles of Geriatric Medicine and Gerontology. New York: McGrawHill; 2004.p. 1443-1457. Damping CE. Depresi pada pasien geriatri: Apa kekhususannya. Temu Ilmiah Geriatri ke-2. Jakarta: PIP FKUI; 2003.p. 107-9. Dharmono S. Pertimbangan pemilihan obat antidepresan pada pasien geriatri. Temu Ilmiah Geriatri ke-2. Jakarta: PIP FKUI; 2003.p

123-28. Evers M.M. Marins D.B. Mood disorder effective management of major depressive disorder in the geriatric patient. Geriatric, 2002; 57(10): 36-40. quiz. Gallo, J, J; Gonzales, J. 2001 Depression and other mood disorders. in: A, M, Adelman; M, R Daly; B, D, Weiss (eds): 20 problems in Geriatrics Laksmana (1996); Pieper (20M); Passik & Kirsh (2004); Paulsen (2004.b).

Kane RL, Ouslander JG, Abrass IB. Diagnosis and management of depression. In: Essentials of clinical geriatrics. 4ed. New York :McGraw-Hi11; .p.1999: 154-80. Kaplan, H.I., Saddock, B.J., Mood disorder, comprehensive Textbook of Psychiatry, 7'l ED. William & Wilkins. 2000. Katon, W; Clechanowski. Treatment of depression I-II. Up to date.2004. Kemala Sari N. Wibisono S. Survey on depression among elderly populations in Buru Island, Maluku. Acta Medi Indones. 2003;4: t70-7 s. Kraus M.R., Csef, A.S.H., Scheurlen, M., Faller H., 2000, Emotional State, Coping styles, and somatic variables in patients with chronic hepatitrs C, Psychomatics 2000; 4l: 377-384. Krishnan K.R., Deleong W., Kraemer H., et al, , Comorbidity of depression with other medical diseases in elderly, Biologycal Psychiatry, 2002;56 (6): 559-88. Mudjaddid E. Depresi dan komorbiditasnya pada pasien geriatri. Temu Ilmiah Geriatri ke-2. Jakarta: PIP FKUI; 2003.p. 113-5. Montano C.B.Primary case issues related to the treatment of depression in elderly joumal of clinical psychiafy, 1999; 60 Suppl 20: 45-51. Nelson J.C. Diagnosing and treatting depression in elderly, Journal of Clinical Psychiatry.2001 Nuhriawangsa,

I.

Penatalaksanaan depresi yang rasional pada lansia.

Naskah Lengkap Temu Ilmiah Nasional

I

dan Konferensi Kerja

III

PERGEMI. Semarang: Badan Penerbit UNDIP; 2002. p. 689-7 02. O'Connor D.W., Rosswame R., Bruce A., , Depression in primary care 2'. geteral practitioners' recognition of major depression in elderly patient, International Psychogeriatric, 2001; 13 (3): 367

-'7

4.

Paradiso S., Hermann B.D., Blumer D., et al. Impact of depresses mood on neuropsychological status in temporal lobe epilepsy, J Neurol Neurosurg Psychiatry 20011'70: 180-185. Periyakoil V.S., Hallenbeck J., Indentiffing and managing prepatory

133 PENYAKIT PARKINSON Rejel{ Andayani Rahayu

PENDAHULUAN

inklusi sitoplasmik eosinofilik yang disebut Lewy bodies.

Penyakit parkinson (PP) adalah suatu kelainan fungsi otak

tremor waktu istirahat, kekakuan, bradikinesia, dan hilangnya refleks postural akibat penurunan kadar

Parkinsonism adalah suatu sindrom yang ditandai oleh

yang disebabkan oleh proses degeneratif progresif

dopamin dengan berbagai macam sebab. Sindrom ini

di sel-sel substansia nigra pars compacta (SNc) dan karakteristik ditandai dengan tremor waktu istirahat, kekakuan otot dan sendi (rigidity),kelambanan gerak dan bicara (bradikinesia), dan instabilitas posisi tegak Qtos tural ins tability). Prevalensi PP di Amerika Serikat berkisar l% jumlah penduduk, meningkat dari0,6 yo pada usia 60-64 tahun menj adi3 ,5 Yo pada umur 85-89 tahun. PP dapat mengenai semua usia, tapi lebih sering pada usia lanjut. Dengan perawatan yang baik penderita PP dapat bertahan hidup dengan baik lebih sehubungan dengan proses menua

sering disebut sebagai Sindrom Parkinson. Berdasarkan pengertian tersebut di atas maka Sindrom Parkinson (SP) diklasifftasikan sebagai berikut:

.

.

dari 20 tahun. PP dimulai perlahan, tidak disadari, dan secara berangsur-angsur memburuk. Gejala seperti tremor waktu

Primeratauidiopatik:

-

Sekunderatauakuisita: - timbul setelah terpajan suatu penyakit/zat

-

istirahat awalnya hanya muncul kadang-kadang, menjadi memberat dan menetap saat ada stres fisik maupun psikis. Penyebab PP sampai saat ini belum diketahui dengan pasti, tetapi beberapa penelitian terhadap anak kembar monozigot menunjukkan bahwa terdapat faktor genetik yang mendasari terjadinya PP. Faktor lain yang juga

Penyebab tidak diketahui sebagian besar merupakan Penyakit Parkinson adaperan toksin yang berasal dari lingkungan adaperan faktor genetik, bersifat sporadis

infeksi dan pasca infeksi otak (ensefalitis) terpapar kronis oleh toksin seperti L-methyl-4p h e ny I - l, 2, 3, 6 I etr a hy dr opyr i dine (MPTP), Mn (mangan), CO (karbon monoksida), sianida, dan lainlain.

-

menjadi penyebab proses degenerasi ini antara lain proses menua otak, stres oksidatif, terpapar pestisida/herbisida atau anti jamur cukup lama, infeksi, kafein, alkohol, trauma kepala, depresi, dan merokok.

.

efek samping obat penghambat reseptor dopamin (sebagian besar obat anti psikotik) dan obat yang menwunkan cadangan dopamin (reserpin) pasca strok (vaskular) Iain-lain: hipotiroid, hipoparatiroid, tumor/trauma otak, hidrosefalus bertekanan normal

SindromParkinsonPlus: Gejala Parkinson timbul bersama gejala neurologi lain seperti: progressive supraneural palsy, multiple systern

DEFINISI DAN KLASIFIKASI

atrophy, cortical-basal ganglionic degeneration,

Penyakit Parkinson merupakan 80Yo dari kasus-kasus

P arkins on-dernentia-AlS complex of Guam, pro gres s ive

Parkinsonism. Terdapat dua istilah yang harus dibedakan yaitu Penyakit Parkinson dan Parkinsonism:

palidal atrophy, dffise Lewy bofu disease (DLBD).

. Kelainan Degeneratif Diturunkan (heredodegenerative disorders)

Penyakit Parkinson adalah bagian dari Parkinsonism yang secara patologis ditandai oleh degenerasi ganglia basalis terutama substansia nigra pars compacta disertai adanya

Gejala Parkinsonism menyertai penyakit-penyakit yang

diduga berhubungan dengan penyakit neurologi lain

851

852

GERI'IIRI

yang faktor keturunan memegang peran sebagai etiologi, seperti: PenyakitAlzheimer, Penyakit Wilson, Penyakit

Hutington, Demensia frontotemporal pada kromosom l7q2l, X-linked dystonia parkinsonism (di Filipina disebut lubag)

ETIOLOGI PENYAKIT PARKINSON Sampai saat ini penyebab kematian sel-sel SNc belum diketahui dengan pasti. Beberapa penelitian pada penderita PP baik penelitian berdasarkan autopsi pasien yang sudah meninggal dan penelitian epidemiologis, maupun penelitian pada hewan primata yang dibuat menderita PP, menghasilkan beberapa dugaan penyebab PP seperti tersebut di bawah ini:

Umur (Proses Menua) Tidak semua orang tua akan menderita PP, tetapi dugaan adanya peranan proses menua terhadap terjadinya PP didasarkan pada penelitian-penelitian epidemiologis tentang kejadian PP (evidence based). Ditemukan angka kejadianPP padausia 50 tahun diAmerika lO-l2per 100.000 pendudulg meningkat manjadi200-250 per I 00.000 penduduk pada usia 80 tahun. Pada penderita PP terdapat suatu tanda reaksi mikroglial pada neuron yang rusak dan tanda ini tidak

terdapat pada proses menua yang normal, sehingga disimpulkan bahwa proses menua merupakan faktor risiko yang mempermudah terjadinya proses degenerasi di SNc tetapi memerlukan penyebab lain (biasanya multifaktorial) untuk tefadinya PP.

Ras

Angka kejadian PP lebih linggi pada orang kulit putih dibandingkan kulit berwarna.

Faktor Genetik Ditemukan 3 gen yang menjadi penyebab gangguan degradasi protein dan mengakibatkan protein beracun tak dapat didegradasi di ubiquitin-proteasomal pathway.

Kegagalan degradasi

ini menyebabkan peningkatan

apoptosis di sel-sel SNc sehingga meningkatkan kematian sel neuron di SNc. Inilah yang mendasari terjadinya PP sporadik yang bersifat familial. Pada penelitian didapatkan kadar sub unit alfa dari proteasome 20S menunrn secara bermakna pada sel neuron SNc penderita PP, dibandingkan

Cedera Kranioserebral Prosesnya belum jelas. Trauma kepala, infeksi, dan tumor

di otak lebih berhubungan dengan Sindrom Parkinson daripada PP.

Stres Emosional Diduga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya

PP.

dengan orang normal, demikian juga didapatkan penurunan sekitar 40oh 3 komponen (chymotriptic, trytic dan postacidic) dari proteasome 265 pada sel neuron SNc penderita PP.

Peranan faktor genetik juga ditemukan dari hasil penelitian terhadap kembar monozigot (MZ) dandizigot (DZ), dimana angka intrapair ioncordance padaMZ ja:uh lebih tinggi dibandingkan DZ.

PATOFISIOLOGI PENYAKIT PARKINSON Secara umum dapat dikatakan bahwa Penyakit Parkinson terjadi karena penurunan kadar dopamin akibat kematian nenron di substansia nigrapars compacta (SNc) sebesar 40-50% yarydisertai dengan inklusi sitoplasmik eosinofilik (Lewy bodies) dengan penyebab multifaktor.

Substansia nigra (sering disebut sebagai black

Faktor Lingkungan Faktor lingkungan sebagai penyebab terjadinya PP sudah diteliti sejak 40 tahun yang lalu, sebagian setuju bahanbahan beracun seperti carbon disuffide, manganese, dan

substance), adalah suatu regio kecil di otak(brain stem) yang terletak sedikit di atas medula spinalis. Bagian ini menjadi pusat kontroVkoordinasi dari seluruh pergerakan. Sel-selnya menghasilkan neurotransmiter yang disebut

pelarut hidrokarbon yang menyebabkan Sindrom

dopamin, yang berfungsi untuk mengatur seluruh

Parkinson; demikian juga pasca ensefalitis. Pada penelitian selanjutnya ternyata parkinsonism yang terjadi bukan PP. Saat ini yang paling diterima sebagai etiologi PP adalah

pergerakan otot dan keseimbangan badan yang dilakukan

proses stres oksidatif yang terjadi di ganglia basalis, apapun penyebabnya. Berbagai penelitian telah dilakukan

terutama dalam mengatur pergerakan, keseimbangan dan

antara lain peranan xenobiotik (MPTP), pestisida/ herbisida, terpapar pekerjaan terutama zat kimia seperti bahan-bahan cat dan logam, kafein, alkohol, diet tinggi

Pada PP sel-sel neuron di SNc mengalami degenerasi, sehingga produksi dopamin menurun, akibatnya semua fungsi neuron di sistem saraf pusat (SSP) menurun dan

protein, merokok, trauma kepala, depresi dan stres;

menghasilkan kelambanan gerak (bradikinesia),

semuanya menunjukkan peranan masing-masing melalui

kelambanan bicara dan berpikir (bradifrenia), tremor, dan kekakuan (rigiditas).

jalan yang berbeda dapat menyebabkan PP maupun Sindrom Parkinson baik pada penelitian epidemiologis maupun eksperimental pada prim4ta.

oleh sistem saraf pusat. Dopamin diperlukan untuk komunikasi elektrokimia antara sel-sel neuron di otak refleks postural, serta kelancaran komunikasi (bicara).

Hipotesis terbaru proses patologi yang mendasari proses degenerasi neuron SNc adalah stres oksidatif. Stres

8s3

PENYAKITPARKINIiON

oksidatif menyebabkan terbentuknya formasi oksiradikal, seperti dopamin quinon yang dapat bereaksi dengan alfa sinuklein (disebut protofibrils). Formasi ini menumpuk, tidak dapat di degradasi oleh ubiquitin-proteas omal pathway, sehingga menyebabkan kematian sel-sel SNc. Mekanisme patogenik lain yang perlu dipertimbangkan antaralain: . Efek lain dari stres oksidatif adalah terjadinya reaksi antara oksiradikal dengan nitric-oxide Q.{O) yang menghasilkan perorynitric radical. . Kerusakan mitokondria sebagai akibat penurunan

1

3.

Trauma kepala Strok

PSP

obat Adanya rigiditas satu sisi dengan atau

MSA

tanpa distonia, apraksia,

4

terdapat gaya berjalan jatuh atau kaku - Disfungsi otonom yang bukan karena obat - Mengeluarkan air liur terus - Demensia awal atau halusinasi karena memakai obat - Distonia yang diinduksi oleh levodopa Neuroimaging (MRl atau CT-scan) terdapat - lnfark lakunar

-

CT-scan,MRl, dan PET atas indikasi untuk menyingkirkan diagnosis Sindrom Parkinson selain PP. Pada Tabel I dapat dilihat cara menyingkirkan diagnosis PP pada penderita parkinsonism yang didasarkan atas adanya suatu gejala.

5

Ventrikel-ventrikelserebral melemah

Atropi serebelar Atropi otak tengah atau bagian lain dari brain-stem Efek obat Responsjelek terhadap levodopa

CBGD CBGD, MSA PSP

MSA MSA DLBD MSA vaskular NPH

OPCA, MSA PSP, MSA

PSP, MSA,

Tidak ada diskinesia meskipun mendapat CBGD, vaskular, dosis tinggi

levodopa

NPH

sama seperti di atas

Keterangan: CBGD, cortical-basal gahglionic degenerationi DLBD, diffuse Lewy body disease, juga disebut demensia dengan Lewy Bodies; MSA, multiple system atrophy; NPH, normal pressure hydrocephalus; OPCA, olivo-ponto-cercbellar atrophy, mungkin merupakan suatu bentuk dari MSA; PSP, progressiye supranuclear

GAMBARAN KLINIS PENYAKIT PARKINSON Umum: l. Gej ala mulai pada satu sisi (hemiparkins onism), 2. Tremor saat istirahat, 3. Tidak didapatkan gejala neurologis lain,4. Tidak dijumpai kelainan laboratorik dan

palsy.

KRITERIA DIAGNOSIS KLINIS

postural tidak dijumpai pada awal penyakit

.

Khusus: gejala motorik pada penyakit parkinson (rRAP): . Tremor: l.Laten,2. Saat istirahat, 3. Bertahan saat

.

istirahat, 4. Saat gerak disamping adanya tremor saat istirahat Rigiditas Akinesia/bradikinesia : l. Kedipan mataberkrtrang, 2. Wajah seperti topeng, 3. Hipofonia (suara kecil), 4. Air liur menetes, 5. Akatisia/takikinesia (gerakan cepat tidak terkontol), 6. Mikrografia (tulisan semakin kecil),7 . Cara be{alan: langkah kecil-kecil, 8. Kegelisahan motorik (sulit duduk atau berdiri)

.

Hilangnya refleks postural. Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan sejumlah kriteria: 1 Klinis, 2. Menurut

.

Koller,3. MenurutGelb

kehilangan

sensor kortikal Myoclonus

Diagnosis PP dibuat terutama berdasarkan gambaran klinis, di samping adanya pemeriksaan penunjang seperti

levodopa cepat dan dramatis, 7. Gangguan refleks

OPCA, MSA

Gerakan ke bawah okuler menghilang Adanya hipotensi postural tanpa makan

- Pada awal penyakit

radiologis, 5. Perkembangan lambat, 6. Respon terhadap

Pasca trauma Vaskular

Ataksia serebeler

kematian sel.

Perubahan akibat proses inflamasi di sel nigra, memproduksi sitokin yang memicu apoptosis sel-sel

Pasca ensefalitis Toxin-induced Drug-induced

Ditemukan gejala ini pada pemeriksaan flsik

-

DIAGNOSIS

.

lain Mendapat obat-obat neuroleptik Munculnya gejala parkinsonism mengikuti

elektron--elektron yang memperburuk stres oksidatif, akhirnya menghasilkan peningkatan apoptosis dan

SNc

. .

Riwayat dari : Ensefalitis Terpapar lama dengan CO, Mn atau toksin

2.

produksi adenosin trifosfat (ATP) dan akumulasi

.

Kemungkinan diagnosis

Kriteria

Didapatkan 2 dari3 tanda kardinal gangguan motorik: tremor, rigiditas, bradikinesia, atau Tigadai4 tanda motorik: tremor, rigiditas, bradikinesia, ketidakstabilan postural

KRITERIA DIAGNOSIS KLINIS MODIFIKASI Diagrosis possible (mungkin): adanya salah satu gejala: tremor, rigiditas, akinesia atau bradikinesia, gangguan refleks postural. Tanda-tanda minor yang membantu ke arah diagnosis

klinis possible: Myerson sign, menghilang atau berkurangnya ayunan lengan, refleks menggenggam. Diagnosis probable (kemungkinan besar): kombinasi dari dua gejala tersebut di atas (termasuk ganggoan

8s4

GERIIIIT

refleks postural), salah satu dari tiga gejala pertama

.

asimetris.

Diagnosis deJinite (pasti): setiap kombinasi 3 dari 4 gejala; pilihan lain: setiap dua dengan satu dari tiga gejala pertama terlihat asimetri s.

KRITERIA DIAGNOSIS KOLLER

. .

. . .

Protektif, dengan cara mempengaruhi patofisiologi penyakit Restoratif, mendorong neuron baru atau merangsang pertumbuhan dan fungsi sel neuron yang masih ada.

Pilihan terapi PP dapat dibagi menj adi beberapa pendekatan sebagai berikut:

. Didapatt2dari 3 tandakardinal gangguanmotorik: tremor istirahat atau gangguan refleks postural, rigiditas, bradikinesia yang berlangsung satu tahun atau lebih. Respons terhadap terapi levodopa yang diberikan sampai perbaikan sedang (minimal 1 .000 mglhari selama 1 bulan), dan lama perbaikan I tahun atau lebih.

Simtomatis, untuk memperbaiki gejala dan tanda penyakit

Meningkatkan transmisi dopaminergik dengan jalan: 1). meningkatkan konsentrasi dopamin pada sinap (levodopa), 2). memberikan agonis dopamin, 3). meningkatkan pelepasan dopamin, 4). menghambat

re-uptake dopamin, 5). menghambat degradasi

.

dopamin

Manipulasi neurotransmiter non-dopaminergik dengan obat-obat antikolinergik dan obat-obat lain yang dapat memodulasi sistem non-dopaminergik

KRITERIA DIAGNOSIS GELB

.

.

. Memberikan obat-obat neuroprotektif

Diagnosis possible (mungkin): adanya 2 dari 4 gejala

kardinal (resting tremor, bradikinesia, rigiditas, onset asimetrik). Tidak ada gambaran yang menuju ke arah diagnosis

parkinsonism yang muncul

.

.

Untuk menentukan berat ringannya penyakit, digunakan penetapan stadium klinis Penyakit Parkinson berdasarkan Hoehn and Yahr, sebagai berikut:

il

Unilateral, ekspresi wajah berkurang, posisi fleksi lengan yang terkena, tremor, ayunan lengan berkurang. Bilateral, postur membungkuk ke depan, gaya jalan lambat dengan langkah kecil-kecil, sukar membalikkan badan. Gangguan gaya berjalan menonjol, terdapat ketidakstabilan postural.

Disabilitasnya jelas, berjalan terbatas tanpa bantuan, lebih cenderung jatuh

Hanya berbaring atau duduk di kursi roda, tidak mampu berdiri/berjalan meskipun dibantu, bicara tidak jelas, wajah tanpa ekspresi, jarang berkedip.

untuk

menghambat progresivitas PP dengan mencegah

.

lain termasuk halusinasi yang tidak berhubungan dengan obat, demensia, supranuclear gaze palsy ata.u disotonom. Mempunyai respons yang baik terhadap levodopa atau agonis dopamin. Diagnosis probable (kemungkinan besar): terdapat tiga dari 4 gejala kardinal, tidak ada gejala yang mengarah ke diagnosis lain dalam 3 tahun, terdapat respon yang baik terhadap levodopa atau agonis dopamin. Diagnosis deJinile (pasti): seperti probable disertai dengan pemeriksaan histopatologis yang positif.

Memberikan terapi simtomatik terhadap gejala

.

kematian sel-sel neuron. Terapi pembedahan: ablasi (tallamotomy, pallidotomy), stimulasi otak dalam, brain grafting (bertujuan untuk memperbaiki atau mengembalikan seperti semula proses patologis yang mendasari).

Terapi pencegahar/preventif: menghilangkan faktor

risiko atau penyebab

PP.

Tujuan utama terapi PP adalah memulihkan disabilitas

fungsional yang disandang penderita. Biasanya penatalaksanaan dilakukan secara komprehensif baik dengan obat (langkah-langkah pemilihan obat seperti terlihat pada Gambar 1), perbaikan diet dengan mengruangi asupan protein sampai 0,5-0,8 gram/kg BB per hari, terapi

fi.sik berupa latihan teratur untuk mempertahankan penderita tetap dapat berjalan. Untuk dapat memahami pemilihan terapi obat kita perlu mengetahui proses degradasi dopamin (DA) di otak. Dopamin memiliki 2 reseptor yaitu Dl yang bersifat eksitatorik dan reseptor D2 yang bersifat inhibitorik. Dalam keadaan normal setelah DA dilepaskan dari ujung saraf nigrostriatum akan merangsang reseptor Dl dan D2. Keberadaan DA bila tak diperlukan lagi akan dikonversi sebagai:

. 3-}-methyldopa oleh enzim .

m e t hy I tr an

cathecol-)-

sfer as e (COMT).

3-4 dihydroxyphenilacetic acid oleh enzim monoamine oxidas e (MAO). (Lihat Gambar 2)

PENATALAKSANAAN PENYAKIT PARKINSON

TERAPIMEDIKAMENTOSA

Secara garis besar konsep terapi farmakologis maupun pembedahan pada PP dibedakan menjadi 3 hal yaitu:

penatalaksanaan PP, yaitu:

Ada 6 macam obat utama yang dipergunakan untuk

PE,ITTYAKIT

855

PANKINSON

Gambar 1. Algoritme manajemen penyakit parkinson

I

arur. 9l,II^=^

i

-

Gambar 2, Terapi farmakologis pada penyakit parkinson

856

GERIITIRI

Obat yang Mengganti Dopamin (Levodopa, Carbidopa) Obat ini merupakan obat utama, hampir selalu digunakan unhrk terapi PP. Di dalam badan levodopa akan diubah

sebagai dopamin. Obat

ini

sangat efektif untuk

menghilangkan gejala karena langsung mengganti DA yang produksinya sangat memrun akibat degenerasi SNc. Efek

samping obat

ini antara lain: mtal, dizziness, muntah,

hipotensi postural, dan konstipasi. Obat ini juga mempunyai

di bagian lain otak. Obat ini dulu ditemukan sebagai obat

antivirus, selanjutnya diketahui ternyata dapat menghilangkan gejala PP yaitu menurunkan gejalatremor, bradikinesia, dan fatigue pada awal PP dan dapat menghilangkan fluktuasi motorik (fenomena on-ofi) dan

diskinesia pada penderita PP lanjut. Dapat dipakai sendirian, atau sebagai kombinasi dengan levodopa atau agonis dopamin. Efek samping obat yang paling menonjol mengakibatkan mengantuk.

efek samping jangka lama yaitu munculnya diskinesia (gerakan involunter yang tidak dikehendaki seperti korea, mioklonus, distonia, akatisia). Ada kecenderungan obat ini memerlukan peningkatan dosis bila dipakai sendirian. Pada pemakaian obat ini juga dikenal fenomena "On-Off' atau disebut fenomena "wearing

off'.

Olehsebab itu pemakaian

obat ini harus dipantau dengan baik.

Agonis Dopamin (Bromocriptine, Pergolide, Prami pexole, Ropi ni roll Merupakan obat yang memptrnyai efek serupa dopamin pada reseptor Dl maupun D2. Di dalam badan tidak akan mengalami konversi, sehingga dapat digunakan sebagai obat tunggal pengganti levodopa. Biasanya dipakai sebagai

kombinasi utama dengan levodopa-carbidopa agar dapat memrrunkan dosis levodopa, sehingga dapat menghindari terjadinya diskinesia atau mengurangi fenomena o n-olf. Efek samping obat ini adalah: halusinasi, psikosis, eritromelalgia, edema kaki, mual, dan muntah. Sayangnya obat ini tidak dapat menghambat progresivitas PP.

Penghambat Catechol O-Methyl TransferaselGOMT (To I c a po

n

e, E nta c a po

n

e)

Ini merupakan obat yang masih relatif banr, berfungsi menghambat degradasi dopamin oleh enzim COMT dan

memperbaiki transfer levodopa ke otak. Mulai dipakai sebagai kombinasi levodopa saat efektivitas levodopa menurun. Diberikan bersama setiap dosis levodopa. Obat ini dapat memperbaiki fenomena on-off, memperbaiki kemampuan aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS). Efek

samping obat berupa ganggloan terhadap fungsi hati, sehingga perlu diperiksa tes fungsi hati secara serial pada penggunanya. Obat ini juga menyebabkan perubahan warnaurin menjadi merah oranye. Titik tangkap keenam macam obat tersebut di atas dapat dilihat secara singkat pada Gambar 2 di bawah. Selain obat utama tersebut di atas sering juga diberikan obat-obat neuroprotektif seperti antioksidan dan obat-obat yang memperbaiki metabolisme otak. Obat lain yang sering digunakanjuga adalah obat anti depresi dan anti ansietas

(berdasarkan indikasi yang tepat).

Antikol i nergik (Benztropi n, Tri heksifen idil, Biperiden) Obat ini menghambat aksi neurotransmiter otak yang disebut asetilkolin. Obat ini membantu mengkoreksi keseimbangan antara dopamin dan asetilkolin, sehingga dapat mengurangi gejala tremor. Efek samping obat ini antara lain mulut kering, dan mata kabur. Sebaiknya jenis

obat ini tidak diberikan pada penderita PP yang berusia diatas 70 tahun; karena dapat menyebabkan pemrrunan daya ingat dan retensio urin pada laki-laki. Pen ghambat M onoami n oxruaselMAO (SetegrTine). Peranan obat ini untuk mencegah degradasi dopamin menjadi 3-4 dihydroxyphenilacetic di otak. Karena MAO dihambat maka umur dopamin menjadi lebih panjang. Biasa

dipakai sebagai kombinasi dengan gabungan levodopacarbidopa. Selain itu obat ini bisa berfungsi sebagai antidepresi ringan (merupakan obat pilihan pada PP dengan

gejala depresi menonjol). Efek samping obat penurunan tekanan darah dan aritmia.

ini berupa

Amantadin Berperan sebagai pengganti dopamin, tetapi bekerja

TERAPI PEMBEDAHAN Sebagian besar penderita PP dapat memperbaiki kualitas hidupnya dengan terap medikamentosa seperti tersebut di atas, tetapi ada juga yang tidak dapat dikendalikan dengan obat, terutama efek fluktuasi motorik (fenomena " on-off'). P ada saat " on" penderita dapat bergerak dengan mudah, terdapat perbaikan pada gejala tremor dan kekakuannya. Pada saat "off' penderita akan sangat sulit

bergerak, tremor dan kekakuan tubuhnya meningkat. Periode "off' adakalanya muncul sejak awal pemberian levodopa dan tak dapat diatasi dengan meningkatkan dosis, kejadian ini disebut"wearing off". Pemakai lama levodopa sering terkena efek samping obat berupa munculnya gejala diskinesia. "Wearing off' dan diskinesia yang terjadi pada penderita PP kadang-kadang tidak dapat dikontrol dengan terapi medikamentosa dan memerlukan terapi pembedahan. Ada beberapa tipe prosedur pembedahan yang dikerjakan untuk penderita PP, yaitu: Terapi ablasi lesi di otak. Termasuk dalam kategori ini adalah thalamotomy dan pallidotomy. Pada prosedur ini dokter bedah melakukan penghancuran di pusat lesi di

857

PEIYYAKITPARKINSiON

otak dengan menggunakan kauterisasi. Tidak ada instrumen apapun yang dipasang di otak setelah penghancuran tersebut. Efek operasi ini bersifat pernanen

berpegangan pada dinding. Hindari eskalator atau pintu

seumur hidup, dan sangat tidak aman untuk melakukan ablasi di kedua tempat tersebut. Pembedahan thallamic saat ini secara umum diterima untuk terapi definitif penderita tremor esensial, dan tidak lagi diterima sebagai terapi pada PP.

sekitar.

Terapi stimulasi otak dalam (deep brain stimalation, DB.y). Pada operasi ini dokter bedah menempatkan semacam elektroda pada beberapa pusat lesi di otak yang

dihubungkan dengan alat pemacunyayaug dipasang di bawah kulit dada seperti alat pemacu jantung. Pada prosedur ini tidak adapenghancuran lesi di otak,jadi relatif aman. Prosedur ini termasukbaru sehinggabelum ada data mengenai efek samping.

berputar. Saat berjalan di tempat ramai atat lantai tidak rata harus konsentrasi penuh jangan bicara atau melihat Seorang psikolog diperlukan untuk mengkaji fungsi

kognitif, kepribadian, status mental pasien

dan

keluarganya. Hasilnya digunakan untuk melakukan terapi rehabilitasi kognitif dan melakukan intervensi psikoterapi.

PENUTUP Penyakit parkinson (PP) merupakan bagian dari Sindrom Parkinson primer. Perlu dipahami perbedaal ar:tara keduanya. PP merupakan penyakit yang berhubungan dengan proses menua di otak yaifu merupakan proses

penelitian terhadap penderita yang telah menjalani

degenerasi di substansianigra pars compacta (SNc) disertai dengan inklusi sitoplasmik eosinofilik Zewy bodies. Etiologi masih belum jelas benar, tetapi beberapa faktor risiko telah diidentifftasi menjadi penyebab PP, antara lain: umur, ras, genetik, lingkungan (berbagai macam zat toksik seperti MPTP, CO, Mn, alkohol, merokok, infeksi otak, diet tinggi protein, pestisida, dan lain-lain), cedera kepala, dan

prosedur ini memberikan harapan baikbagi penyembuhan

stres emosional.

Transpantasi otak (brain grafting). Prosedur ini menggunakan graft sel otak janin atau "autologous adrenal". Teknik operasi ini sering terbentur pada bermacam hambatan seperti ketiadaan donor, kesulitan prosedur baik teknis, maupun perijinan. Namun hasil-hasil

PP.

P atofi s iolo g i terj adiny a PP adalah berkurangnya neurotransmiter dopamin akibat kematian sel-sel neuron

TERAPI REHABILITASI

di SNc yang mengakibatkan gangguan motorik dan keseimbangan postural seperti tremor saat istirahat,

Rehabilitasi penderita PP sangat penting. Tanpa terapi rehabilitasi penderita PP akan kehilangan kemampuan aktivitas fungsional kehidupan sehari-hari (AKS). Latlhan yang diperlukan penderita PP meliputi latihan fisioterapi,

kelambanan gerak (bradikinesia), penurunan refleks postural, dan kekakuan (rigiditas). Diagnosis dibuat berdasarkan kriteria klinis dan menyingkirkan penyakit lain yang termasuk dalam sindrom Parkinson.

okupasi, dan psikoterapi. Latihan fisioterapi meliputi: latihan gelang bahu dengan tongkat, latihan ekstensi trunkus, latihan Frenkle untuk berjalan dengan menapakkan kaki pada tanda-tanda di lantai, latihan isometrik untuk otot kuadrisep femoris dan otot ekstensor panggul agar memudahkan menaiki tangga dan bangkit dari kursi. Latihan okupasi yang memerlukan pengkajian AKS pasien, pengkajian lingkungan tempat tinggal atau pekerjaan. Dalam pelaksanaan latihan dipakai berbagai macam strategi, antara lain:

Penatalaksanaan penderita PP ditujukan untuk meminimalkan disabilitas fungsional dan menghambat progresivitas penyakit. Terapi yang diberikan meliputi

Strategi kognitif, untuk menarik perhatian penuh/ konsentrasi, bicara jelas dan tidak cepat, mampu menggunakan tanda-tanda verbal maupun visual dan

Amin-Husni. Penyakit Parkinson, patofisiologi, diagnosis dan

hanya melakukan satu tugas kognitif maupun motorik.

Strategi geralq seperti bila akan berbelok saat berjalan gunakan tikungan yang agak lebar,jarak kedua kaki harus agak lebar bila ingin memungut sesuatu dari lantai.

Strategi keseimbangan : melakukanAKS dengan duduk atau berdiri dengan kedua kaki terbuka lebar dan dengan

terapi medikamentosa, terapi bedah, dan terapi rehabilitasi.

Selain itu pendekatan terapi juga dilakukan melalui pencegahan, pengobatan, dan modifikasi faktor-faktor

risiko.

REFERENSI

wacana terapi. Dalam : Boedhi-Darmojo, Martono H, Andayani

R, dkk, ed; Naskah lengkap temu ilmiah nasional I dan konferensi kerja III Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia (PERGEMI), Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 2O02.p. 499-

5t4. BUPA. Parkinson's disease. www.parkinsons.org.uk/.

25

cited on March

7005

Carey E, Adler J. Parkinson's disease and essential tremor. In; Landefeld CS, Palmer RM, Johnson MA, et al, ed. Current Geriatric Diagnosis & Treatment. The Mc Graw-Hill Companies;

2004.p.88-99.

858

Fahn S. Parkinson's Disease and related disorders. In: Hazzard WR, Blass JP, Halter JB, et al, ed. Principles of Geriatric Medicine & Gerontology 5tr ed. New York: Mc Graw-Hill Companies ,Inc;

2003.p.1401-8 Elbaz A, Levegue C, Clavel J, et al. Cyp 206 polimorphism, pestiside exposure and Parkinson's disease. Ann Neurol. 2004; 55:430-4. Hoehn MM, Yahr MD. Parkinsonism: Onset, progression, and mor-

tality. Neurology. 1967 ;17 :427. Jankovic JJ. Therapeutic strategies in Parkinson's disease. In: Jankovic JJ, Tolosa E, ed. Parkinson's Disease and Movement Disorders 4h ed, Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins; 2002.p. 116-41 McGeer P, Itagaki S, Akiyama H, et al. Rate of cell death in parkinsonism indicates active neuropathological process. Ann Neurol. 7988;24:57 4-6

Olanow CW, Tatton WG, Jenner P. Mechanisms of cell death in Parkinson's disease. In: Jankovic JJ, Tolosa E, ed. Parkinson's disease and movement disorders 4'h ed, Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins; 2002.p. 38-53. Olanow CW, Tatton WG Etiology and pathogenesis of parkinson's Disease. Ann Rev Neurosci 7999;22:123-44. Poewe W, Wenning G. Levodopa in Parkinson's disease: mechanisms of action and pathophysiology of late failure. In: Jankovic JJ, Tolosa E, ed. Parkinson's Disease and Movement Disorders 4'h ed. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins; 2002.p.

104-rt2.

GERIITIru

Silver DE, Ruggieri S. Initiating therapy for Parkinson's disease. Neurology 1998; 50(supp1 6): 518-22. Tanner CM, Aston DA. Epidemiology of Parkinson's disease and akinetic syndromes. Curr Opin Neurol 2000;13: 427-30. Tanner CM, Goldman SM, Ross GW. Etiology of Parkinson's disease. ln: Jankovic JJ, Tolosa E, ed, Parkinson's disease and movement disorders 4m ed, Philadelphia, Lippincot Williams & Wilkins:2002 : 90-9. Tagliati M, Alterman R, Shils J, et al. Surgical treatment for Parkinson disease. eMedicine. www.emedicine.com. Cited on March 25,

2005.

The National Parkinson Foundation USA. Treatment options. www.parkinson.org/siteipp.asp?. c=9dJFJLPwB&b:71 1 17 . cited on March 25, 2005. Worldwide Educator and Awarness for Movement Disorders. The substancia nigra in PD. www.wemove.org/parldefault'htm. Updated March 26,2005. Waters CH. Diagnosis and management of Parkinson's disease'2'd ed. Caddo: Profesional Communication,lnc, 1999.

Wijaya S. Rehabilitasi komprehensif pada penderita Parkinson' Dalam: Boedhi-Darmojo, Martono H, Andayani R, dkk, ed.

I dan Konferensi Kerja Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia (PERGEMI). Semarang:Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 2002.p. 5I5 -

Naskah Lengkap Temu Ilmiah Nasional

III 9.

t34 IMOBILISASI PADA USIA LANJUT Siti Setiati, Arya Govinda Roosheroe

PENDAHULUAN

PENYEBAB IMOBILISASI

Imobilisasi merupakan salah satu masalah kesehatan yang cukup besar di bidang geriatri yang timbul sebagai akibat penyakit atau masalah psikososial yang diderita.

Berbagai faktor fisik, psikologis, dan lingkungan dapal

Di ruang rawat inap geriatri RSUPN Dr. Cipto

menyebabkan imobilisasi pada usia lanjut. Penyebab utama imobilisasi adalah adanya rasa nyeri, lemah, kekakuan otot, ketidakseimbaflgan, dan masalah psikologis. Rasa lemah

Mangunkusumo Jakarta pada tahun 2000 didapatkan prevalensi imobilisasi sebesar 33,6yo dan pada tahun

tidak digunakannya otot, anemia, gangguan neurologis

sering kali disebabkan oleh malnutrisi, gangguan elektrolit,

atau miopati. Osteoartritis merupakan penyebab utama kekakuan pada usia lanjut. Penyakit Parkinson, artritis reumatoid, gout, dan obat-obatan antipsikotik seperti haloperidol juga dapat menyebabkan kekakuan. Rasa nyeri, baik dari tulang (osteoporosis, osteomalasia, Pagetb

2001 sebesar 31,5%.

Imobilisasi didefinisikan sebagai keadaan tidak bergerak/tirah baring selama 3 hari atau lebih, dengan gerak anatomik tubuh menghilang akibat perubahan fungsi fisiologik. Di dalam praktek medik istilah imobilisasi digunakan untuk menggambarkan sebuah sindrom degenerasi fisiologis yang merupakan akibat menurunnya aktivitas atat deconditioning. Terdapat beberapa faktor risiko utama imobilisasi seperti kontraktur, demensia berat, osteoporosis, ulkus,

disease, metastase kanker tulang, trauma), sendi (osteoartritis, artritis reumatoid, gout), otot (polimalgia,

pseudoclaudication) atau masalah pada kaki dapat menyebabkan imobilisasi. Ketidakseimbangan dapat disebabkan karena kelemahan, faktor neurologis (shok,

gangguan penglihatan, dan fraktur merupakan beberapa faktor risiko utama imobilisasi.

kehilangan refleks tubuh, neuropati karena diabetes melitus, malnutrisi, dan gangguan vestibulosereberal),

Imobilisasi seringkali tidak dapat dicegah, namun

hipotensi ortostatik, atau obat-obatan (diuretik,

beberapa komplikasi akibat imobilisasi dapat dicegah.

antihipertensi, neuroleptik, dan antidepresan). Gangguan fungsi kognitif berat seperti pada demensia dan gangguan fungsi mental seperti pada depresi tentu

Perubahan pada beberapa sistem organ dan fungsi metabolik akan terjadi sebagai akibat imobilisasi. Perubahan-perubahan tersebut akan menimbulkan

sangat sering menyebabkan terjadinya imobilisasi. Kekhawatiran keluarga yang berlebihan atau kemalasan petugas kesehatan dapat pula menyebabkan orang usia lanjutterus menerus berbaring di tempattidurbaik dirumah maupun di rumah sakit. Efek samping beberapa obat dapat menyebabkan gangguan pada mobilisasi, namun biasanya tidak teridentif,rkasi oleh petugas kesehatan. Obat-obat hipnotik dan sedatif menyebabkan rasa kantuk dan ataksia yang mengganggu mobilisasi. Untuk itu kontrol teratur dan seksama terhadap obat-obat yang dikonsumsi oleh pasien sangat penting untuk dilakukan.

berbagai komplikasi yang akan memperberat kondisi dan

memperlambat proses penyembuhan serta dapat menyebabkan kematian. Upaya seperti mobilisasi dini

dapat dilakukan untuk mengurangi insiden dan mengurangi beratnya komplikasi imobilisasi, sehingga dapat mempercepat proses penyembuhan dan kualitas hidup pasien. Berikut ini akan dibahas masalah imobilisasi pada usia lanjut, berbagai komplikasi yang ditimbulkan serta upayaupaya pencegahannya.

859

860

PENGKAJ IAN PASIEN ]MOBILISASI Anamnesis riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik penting dilakukan dalam mengkaji pasien imobilisasi. Beberapa informasi penting meliputi lamanya menderita disabilitas

yang menyebabkan imobilisasi, penyakit yang mempengaruhi kemampuan mobilisasi, dan pemakaian obat-obatan untuk mengeliminasi masalah iatrogenesis yang menyebabkan imobilisasi. Adanya keluhan rasa nyeri penting untuk dikaji secara rutin karena mungkin dapat sebagai penyebab utama imobilisasi. Pengkajian faktor psikologis, seperti depresi dan rasa takut, serta pengkajian

GERIITIRI

faktor X dan merangsang akumulasi leukosit dan trombosit.

Sel endotel pembuluh darah belakangan ini tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang tidak berperan dan pasif di dalam proses koagulasi. Sebaliknya, berbagai perubahan yang terjadi di sel-sel endotel pembuluh darah akan mengubah sifat alamiah sel tersebut yakni yang semula bersifat antitrombotik menj adi bersifat trombotik, sehingga justru memudahkan terj adinya keadaan trombo sis. Gejala trombosis vena dalam timbul pada kurang dari separuh pasien dengan trombosis vena dalam. Gejala yang

timbul bervariasi, tergantung pada ukuran dan lokasi trombosis vena dalam, dapat berupa rasa panas, bengkak,

lingkungan penting untuk dilakukan. Pemeriksaan terhadap

kemerahan, dan rasa nyeri pada tungkai; sebagian besar

kulit penting dilakukan untuk mengidentifikasi adatya

trombosis vena dalam timbul hanya pada satu kaki; trombosis vena dalam pada betis menimbulkan gejala

ulkus dekubitus.

Status kardiopulmonal, khususnya volume intravaskular dan perubahan tekanan darah dan nadi akibat perubahan posisi penting untuk diketahui sebagai dasar

untuk penatalaksanaan imobilisasi. Pengkajian muskuloskeletal secara rinci seperti evaluasi kekuatan dan tekanan otot, gerakan sendi, serta adatya masalah pada kaki (lesi dan deformitas pada kaki) penting juga untuk

dilakukan. Selain itu, perlu juga diberikan perhatian terhadap pengkajian neurologis unhrk mengidentifikasi adanya kelemahan fokal, dan masalah persepsi serta sensor. Status imobilisasi pasien harus selalu dikaji secara terus-menerus.

KOMPLIKASI IMOBILISASI

hanyapada betis, sedangkan trombosis vena dalam pada paha menimbulkan gejala p adapaha dan atau betis. Untuk penapisan adanya trombosis vena dalam akhir-akhir ini dilakukan dengan pemeriksaan test D-dimer dan pletismografi. Sedangkan untuk diagnosis pasti trombosis vena dalam dapat digunakan pemeriksaan venografi, ultrasonografi, tomografi terkomputerisasi, dan dengan magnetic resonance imaging (l|4RI).

Emboli Paru Emboli paru dapat diakibatkan oleh banyak faktor seperti emboli airketuban, emboli udara, dan sebagainya. Emboli paru dapat menghambat aliran darah ke paru dan memicu refleks tertentu yang dapat menyebabkan panas yang mengakibatkan nafas berhenti secara tiba-tiba. Sebagian besar emboli paru disebabkan oleh emboli karena trombosis

Trombosis Trombosis vena dalam merupakan salah satu gangguan vaskular perifer yang penyebabnya bersifat multifaktorial, meliputi faktor genetik dan lingkungan. Terdapat tiga faktor yang meningkatkan risiko kombosis vena dalam yaitu adanya luka di vena dalam karena trauma atau pembedahan,

sirkulasi darah yang tidak baik pada vena dalam, dan berbagai kondisi yang meningkatkan risiko pembekuan darah. Luka di vena dalam karena pembedahan atau trauma

menyebabkan penglepasan beberapa substansi yang mengaktivasi sistem pembekuan. Darah yang tidak mengalir akan cenderung untuk mengalami pembekuan. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan sirkulasi darah tidak baik di vena dalam meliputi gagal jantung kongestif, imobilisasi lama (tidak berjalan atau bergerak), dan adanya gumpalan darah yang telah timbul sebelumnya.

Kondisi imobilisasi akan menyebabkan terjadinya akumulasi leukosit teraktivasi dan akumulasi trombosit yang teraktivasi. Kondisi tersebut menyebabkan gangguan pada sel-sel endotel dan juga memudahkan terjadinya trombosis. Selain itu, imobilisasi yang menyebabkan stasis akan menyebabkan timbulnya hipoksia lokal pada sel endotel yang selanjutnya akan menghasilkan aktivator

vena dalam. Berkaitan dengan trombosis vena dalam, emboli paru disebabkan oleh lepasnya trombus yang biasanya berlokasi pada tungkai bawah yang pada gilirannya akan mencapai pembuluh darah paru dan menimbulkan sumbatan yang dapat berakibat fatal. Emboli paru sebagai akibat trombosis merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian pada pasienpasien di rumah sakit, terutama pada pasien usia lanjut. Suatu penelitian yang dilakukan pada 617 pasien yang

mengalami imobilisasi menunjukkan adany a kej adian emboli paru s ebesar 27o/o, dimana sebagian besar kejadian emboli paru tersebut tidak terdiagnosis sebelum pasien meninggal. Emboli paru timbul pada lebih dari 300.000 orang setiap tahun di Amerika Serikat yang menyebabkan kematian paling sedikit 50.000 orang setiap tahun. Gejala emboli paru dapat berupa sesak napas, nyeri dada, dan peningkatan denyut nadi.

Kelemahan Otot Imobilisasi lama akan mengakibatkan atrofi otot dengan penurunan ukuran dan kekuatan otot. Penurunan kekuatan otot diperkirakan l-2 persen sehari. Untuk mengetahui pemrmnan kekuatan otot dapat juga dilihat dari ukuran

861

IMOBILISASI PADA USIA LANJUT

lingkar otot (mu s c I e c ir c t tmfe r e n c e). IJkur an lingkar otot tersebut biasanya akan menurun sebanyak 2,1-2lo/o. Kelemahan otot pada pasien dengan imobilisasi seringkali

terjadi dan berkaitan dengan penurunan fungsional, kelemahan, danjatuh. Terdapat beberapa faktor lainyang menyebabkan atrofi otot yaitu perubahan biologis proses menua itu sendiri, akumulasi penyakit akut dan kronik, serta

malnutrisi. Perubahan otot selama imobilisasi lama menyebabkan degenerasi serat otot, peningkatan jaringan lemak, serta fibrosis. Massa otot berkurang setengah dari pada uk-uran semula setelah mengalami 2 bulan imobilisasi. Massa otot sebagian besar menurun dari kaki bawah dan otot-otot tubuh.

Posisi imobilisasi juga berperan terhadap beratnya pengurangan otot. Imobilisasi dengan posisi meringkuk akan mengakibatkan pengurangan otot yang lebih banyak dibandingkan posisi imobilisasi terlentang (lurus).

Kontraktur Otot dan Sendi Pasien yang mengalami tirah baring lama berisiko mengalami kontraktur karena sendi-sendi tidak digerakkan. Akibatnya timbul rasa nyeri yang menyebabkan seseorang semakin tidak mau menggerakkan sendi yang kontraktur

tersebut. Kontraktur dapat terjadi karena perubahan patologis pada bagian tulang sendi, pada otot, atau pada jaringan penunjang di sekitar sendi. Penyebab kontraktur otot lainnya adalah spastisitas dan neuroleptik. Faktor posisi dan mekanik juga dapat menyebabkan kontraktur pada pasien usia lanjut dengan imobilisasi. Kontraktur artrogenik seringkali disebabkan karena inflamasi, luka sendi degeneratif, infeksi, dan trauma. Kolagen sendi dan jaringan lunak sekitar akan mengerut. Kontraktur akan menghalangi pergerakan sendi dan mobilisasi pasif yang akan memperburuk kondisi kontraktur. Deteksi dini, pencegahan, dan penatalaksanaan penyebab kontraktur seperti penatalaksanaan inflamasi, nyeri, dan infeksi akan menurunkan risiko kontraktur atau mengurangi tingkat keparahan kontraktur. Metode yang biasa digunakan untuk mencegah kontraktur adalah mobilisasi sendi dini dengan penatalaksanaan nyeri yang sesuai serta positioning yang optimal dari ekstrimitas yang terlibat.

Osteoporosis Osteoporosis timbul sebagai akibat ketidakseimbangan antara resorpsi tulang dan pembentukan tulang. Imobilisasi lemyata meningkatkan resorpsi tulang, meningkatkan kadar kalsium serum, rnenghambat sekresi PTH, dan

inorganik dan organik tidak berubah. Konsentrasi kalsium, pospor, dan hidroksiprolin di urin meningkat pada minggu pertama imobilisasi. Kalsium tubuh total menurun hingga 4%o selama7 minggu imobilisasi. Suatu penelitian terhadap

170 usia lanjut strok dan 72 kontrol, mendapatkan imobilisasi meningkatkan kalsium serum dan berkorelasi negatif dengan indeks Barthel, yang menunjukkan bahwa imobilisasi meningkatkan resorpsi tulang. Didapatkan pula adanya penurunan kadar 1,25 (OH) 2D dan 25-OHD, sementara serum PTH tidak meningkat.

Ulkus Dekubitus Pasien imobilisasi umumnya tidak bergerak pada malam hari karena tidak adanya gerakan pasif maupun aktif. Skor aktivitas sakral pasien pada kondisi tersebut adalah nol gerakan perjam, yang mengakibatkan peningkatan tekanan pada daerah kulit yang sama secara terus menerus. Tekanan akan memberikan pengaruh pada daerah kulit sakral ketika dalam posisi berbaring. Aliran darah akan terhambat pada

daerah kulit yang tertekan dan menghasilkan anoksia jaringan dan nekrosis.

Jumlah tekanan yar,g dapat mempengaruhi mikrosirkulasi kulit pada usia lanjut berkisar artara 25 mmHg. Tekanan lebih dai 25 mmHg secara terus menerus pada kulit atau jaringan lunak dalam waktu yang lama akan menyebabkan kompresi pembuluh kapiler. Kompresi pembuluh darah dalam waktu lama akan mengakibatkan trombosis intra-arteri dan gumpalan fibrin yang secara pennanen mempertahankan iskemia kulit. Relief bekas tekanan pada keadaan tersebut mengakibatkan pembuluh

darah tidak dapat terbuka dat pada akhirnya akan terbentuk luka akibat tekanan. Luka akibat tekanan merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada pasien usia lanjut dengan imobilisasi. Faktor risiko timbulnya ulkus dekubitus adalah semua jenis penyakit dan kondisi yang menyebabkan seseorang terbatas aktivitasnya. Faktor-faktor risiko tersebut memperpanjang waktu tekanan ke kulit dan menurunkan resistensi jumlah tekanan. Faktor risiko yang sering pada usia lanjut adalah demam, kondisi koma, penyakit serebrovaskular, infeksi, anemia, malnutrisi, kaheksia, hipotensi, syok, dehidrasi, penyakit neurologis dengan paralisis, limfosit, imobilisasi, penurunan berat badan, kulit kering, dan eritema.

Hipotensi Postural

berperan pula pada turunnya vitamin D3 aktif. Faktor utama

Komplikasi yang sering timbul akibat imobilisasi lama pada pasien usia lanjut adalah penurunan efisiensi jantung, perubahan tanggapan kardiovaskular postural, dan penyakit tromboemboli. Hipotensi postural adalah penurunan tekanan darah sebanyak 20 mmHg dari posisi

yang menyebabkan kehilangan massa tulang pada

baring ke duduk dengan salah satu gejala klinik yang sering

imobilisasi adalah meningkatnya resorpsi tulang. Massa tulang menurun tetapi komponen rasio antara matriks

timbul adalah iskemia serebral, khususnya sinkop. Peningkatan denyut jantung lebih dari l0 kali/menit

produksi vitamin D3 aktif (1,25-(OH)2D). Selain itu, insufisiensi vitamin D3 inaktif (25-(OH)D) mungkin

862

menunjukkan adanya hipcitensi postural tipe simpatis sedangkan denyutjantung kurang dari 10 kalilmenit adalah tipe asimpatis. Pada posisi berdiri, secara nornal 600-800 ml darah

dialirkan ke bagian tubuh inferior terutama tungkai. Penyebaran cairan tubuh tersebut menyebabkan penurunan curah jantung sebanyak 20oh, pentrutan volume sekuncup jantung sebanyak 35Yo dan akselerasi frekuensi jantung sebanyak 30%o.Pada orartg normal sehat, mekanisme kompensasi menyebabkan vasokonstriksi dan

peningkatan denyrt jantung yang menyebabkan tekanan darah tidak menurun. Tekanan darah tidak berubah atau sedikit meningkat pada kondisi bangun (dari berbaring ke duduk) dengan tiba-tiba. Pada usia lanjut umumnya fungsi baroreseptor menurun. Tirah baring total selama paling sedikit 3 minggu akan mengganggu kemampuan seseorang untuk menyesuaikan posisi berdiri dari berbaring pada orang sehat, hal ini akan lebih terlihat pada pasien usia lanjut. Pada posisi baring, secara normal 600-800 ml volume plasmakembali ke paru-paru danjantung dan terjadi

peningkatan stimulasi baroreseptor, denyut jantung, volume sekuncup jantung, dan curah jantung. Pelepasan hormon antidiuretik berkurang selama minggu awal imobilisasi yang mengakibatkan diuresis dan penurunan volume plasma. Penurunan volume plasma mencapai 100/o selama 2 minggu pertama imobilisasi dan bisa mencapai 20% setelah itu.

Tirah baring lama akan membalikkan respons kardiovaskular normal menjadi tidak normal yang akan menghasilkan pemrmnan volume sekuncup jantung dan curah jantung. Curah jantung rendah mengakibatkan terjadinya hipotensi poshral. Gajala dan tanda hipotensi postural adalah penurunan tekanan darah sistolik dari tidur

ke duduk lebih dari 20 mmHg, berkeringat, pucat, kebingungan, peningkatan denyutjantung, letih, dan pada

keadaan berat dapat menyebabkan jatuh yang pada akhirnya akan mengakibatkan fraktur, hematoma jaringan lunak dan perdarahan otak.

Pneumonia dan lnfeksi Saluran Kemih Imobilisasi juga dikaitkan dengan terjadinya pneumonia dan infeksi saluran kemih. Akibat imobilisasi retensi sputum dan aspirasi lebih mudah terjadi pada pasien geriatri. Pada posisi berbaring otot diafragma dan interkostal tidak berfungsi dengan baik sehingga gerakan dinding dada juga menjadi terbatas yang menyebabkan sputum sulit keluar. Manakala kondisi ini dibarengi dengan daya pegas (recoil) elastik yang sudah berkurang (karena proses menua) yang mengakibatkan perubahan pada tekanan penutup saluran udara kecil, kondisi tersebut akan memudahkan usia lanjut untuk mengalami atelektasis paru dan pneumonia. Aliran urin juga terganggu akibat tirah baring yang kemudian menyebabkan infeksi saluran kemih lebih mudah

GERIITIRI

terjadi. Inkontinensia urin juga sering terjadi pada usia lanjut yang mengalami imobilisasi, yang umumnya disebabkan ketidalonampuan ke toilet, berkemih yang tidak sempurna, gangguan status mental, dan gangguan sensasi kandung kemih. Pengisian kandung kemih yang berlebihan

akan menyebabkan mengembangnya dinding kandung

kemih yang kemudian akan meningkatkan kapasitas kandung kemih dan retensi urin. Retensi urin ini akan memudahkan terjadinya infeksi saluran kemih dan bila dibarengi dengan hiperkalsiuria akan mengakibatkan terjadinya pembentukan batu ginjal kalsium. Bila hal ini dibiarkan, maka akan menurunkan fungsi saluran kemih bawah dan timbulnya hidronefrosis.

Gangguan Nutrisi (Hipoalbuminemia) Selain infeksi, imobilisasi ternyata juga berperan pada terjadinya hipoalbuminemia pada pasien usia lanjut yang menjalani perawatan di rumah sakit. Imobilisasi akan mempengaruhi sistem metabolik dan endokrin yang akibatnya akan terjadi perubahan terhadap metabolisme zat gizi. Salah satu perubahan yang terjadi adalah pada metabolisme protein. Kadar plasma kortisol lebih tinggi pada usia lanjut dengan imobilisasi dibandingkan dengan usia lanjut tanpa imobilisasi. Kadar plasma kortisol yang lebih tinggi mengubah metabolisme menjadi katabolisme sehingga metabolisme protein akan lebih rendah pada pasien usia lanjut dengan imobilisasi. Keadaan tidak beraktivitas dan imobilisasi selama 7 hari akan meningkatkan ekskresi nitogen urin. Peningkatan

ekskresi nitrogen mencapai puncak dengan tata'rata kehilangan 2 mg/hari, sehingga pasien akan mengalami hipoproteinemia, edema, dan penurunan berat badan. Kehilangan nihogen (nitrogen /oss) meningkathhgga 12 gram pada keadaan imobilisasi dengan malnutrisi, trauma, fraktur pinggul, atau infeksi. Penekanan sekresi hormon antidiuretik selama imobilisasi juga akan terjadi yang akan meningkatkan diuresis danpemecahan otot sehingga akan mengakibatkan penurunan berat badan. Pasien usia lanjut yang mengalami imobilisasi lama akan memiliki natium serum dan natriumurin yang lebihrendah dibandingkanpada yang tidak imobilisasi, sehingga pasien dengan tirah baring lama akanmemiliki defisiensi natrium kronik. Tirah baring lama dan malnutrisi, baik di rumah sakit maupun di rumah, menyebabkan atrofi otot dan turunnya kekuatan dan ukuran otot. Kelemahan otot pada pasien geriatri yang mengalami imobilisasi sering terjadi dan

sangat berkaitan dengan kerapuhan (frailty), mengakibatkan penurunan status fungsional yang berat sehingga imobilisasi terus terjadi, seperti lingkaran setan, dan mengakibatkan pula terjadinya instabilitas, jatuh dan trauma senus.

Konstipasi dan Skibala Konstipasi, skibala, dan obstruksi usus merupakan

863

IMOBIIJSASI PADA USIA LI\NJUT

masalah utama pada usia lanjut dengan imobilisasi. Imobilisasi lama akan menurunkan waktu tinggal feses di kolon. Semakin lama feses tinggal di usus besar, maka absorbsi cairah akan lebih besar sehingga feses akan

darah serta mobilisasi dini perlu dilalarkan untuk mencegah terjadinya hipotensi. Latihan kekuatan otot serta kontraksi abdomen dan ototpadakaki akanmenyebabkan aliran darah balik vena lebih efisien. Khusus untuk mencegah te{adinya

menjadi lebih keras. Asupan cairan yang kurang, dehidrasi,

trombosis dapat dilakukan tindakan kompresi intermiten pada tungkai bawah. Teknik tersebut meningkatkan aliran darah

dan penggunaan obat-obatan juga dapat menyebabkan konstipasi pada pasien imobilisasi

dari vena di kaki dan menstimulasi aktivitas fibrinolitik. Kompresi intermiten bebas dmi efek samping tetapi menrpakan kontraindikasi pada pasien dengan penyakit vaskular perifer.

UPAYA PENCEGAHAN KOM PLI KAS! Pencegahan timbulnya komplikasi dapat dilakukan dengan

memberikan penatalaksanaan yang tepat terhadap imobilisasi. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan meliputi penatalaksanaan farmakologik dan non farmakologik.

Non Farmakologis Penatalaksanaan non farmakologis memegang peran penting dalam mencegah terjadinya komplikasi akibat imobilisasi. Berbagai \paya yarrg dapat dilalarkan adalah dengan beberapa terapi fisik dan latihan jasmani secara teratur. Pada pasien yang mengalami tirah baring total, perubahan posisi secara teratur dan latihan di tempat tidur dapat dilakukan sebagai upaya mencegah terjadinya kelemahan dan kontraktur otot serta kontraktur sendi. Selain itu, mobilisasi dini berupa turun dari tempat tidur, berpindah dari tempat tidur ke kursi dan latihan fungsional dapat dilakukan secara bertahap. Latihan isometris secara teratur 10-20% dantekanan maksimal selama beberapa kali

dalam sehari dapat dilakukan untuk mempertahankan kekuatan isometri. Untuk mencegah terjadinya kontraktur otot dapat dilakukan latihan gerakan pasi€sebanyak satu atau dua kali sehari selama 20 menit. Untuk mencegah terjadinya dekubitus, hal yang harus

dilakukan adalah menghilangkan penyebab terjadinya ulkus yaitu bekas tekanat pada kulit. Untuk itu dapat dilakukan perubahan posisi lateral 30", penggunaan kasur anti dekubitus, atau menggunakan bantal berongga. Pada pasien dengan kursi roda dapat dilakukan reposisi tiap jam atau diistirahatkan dari duduk. Melatih pergerakan dengan memiringkan pasien ke kiri dan ke kanan serta mencegah terjadinya gesekan juga dapat mencegah dekubitus. Pemberian minyak setelah mandi atau mengompol dapat dilakukan untuk mencegah maserasi. Program latihan jasmani yang dilakukan harus disesuaikan dengan kondisi pasien, berdasarkan ada tidaknya penyakit, status imobilisasinya, tingkat aktivitas, dan latihannya. Pasien yang baru sembuh dari penyakit akut tetapi masih belum banyak bergerak harus menghindari

latihan jasmani yangberat secara tiba-tiba. Sebaliknya pasien harus didorong untuk program latlhanjasmani secara bertahap. Kontol tekanan darah secara terafur dan penggunaan obat-obatan yang dapat menyebabkan penunman tekanan

Monitor asupan cairan dan makanan yang mengandung serat perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya konstipasi. Selain itu juga perlu dilakukan evaluasi dan pengkajian terhadap kebiasaan buang air besar pasien. Pemberian nutrisi yang adekuat perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya malnutrisi pada pasien imobilisasi. Pada pasien yang mengalami hipokinesis perlu diberikan suplementasi vitamin dan mineral.

Farmakologis Penatalaksanaan farmakologis dapat diberikan sebagai salah satu upaya pencegahan komplikasi akibat imobilisasi, terutama pencegahan terhadap terj adinya trorrtbosis. Pemberian antikoagulan merupakan terapi farmakologik yang dapat diberikan untuk mencegah terj adinya trombosis pada pasien geriatri dengan imobilisasi. Low dose hep-

arin (LDH) dan low molecular weight heparin (LMWH) merupakan profilaksis yang aman dan efektif untuk pasien

geriatri dengan imobilisasi dan risiko trombosis non pembedahan terutama strok. Namun pemberian antikoagulan pada pasien geriatri perlu dilakukan dengan hati-hati dan penuh pertimbangan. Penurunan faal organ ginjal dan hati serta adanya interaksi obat terutama antara

rvarfarin dengan beberapa obat analgetik atau NSAID merupakan hal yang harus amat diperhatikan.

REFERENSI Anderson LC, Cutter NC. Immobility.In: Hazzard WR, Blass JP, Ettinger WH, Halter JB, Ouslander JG. Principles of geriatric

medicine and gerontology. 4'h ed. New York:McGrawHill;1999.p.1565-75. Albers GW, Amrenco

bolytic

B

Easton JD, et al. Antithrombotic and throm-

therapy for

ischemic stroke.

Chest

200 I ; I I 9(Suppl):300S-20S

Aschwanden M, Labs KH, Jeanneret C, Gehrig A, Jaeger KA. The value of rapid D-dimer testing combined with structured clinical evaluation for the diagnosis of deep vein thrombosis. J Vasc Surg 1999;30:929-35 Aschwanden M, Labs KH, Jeanneret C, Gehrig A, laeger KA. The value of rapid D-dimer testing combined with structured clinical evaluation for the diagnosis of deep vein thrombosis. J Vasc Surg 1999;30:929-35. Cohen AT, Zaw HM, Alikhan R. Benefits of deep-vein thrombosis prophylaxis in the nonsurgical patient: The MEDENOX trial.

864

Seminars in Hematology 2001; 38(2):31-8.

GERIIIIIRI

Piliotis G Geerts WH. Prevention of venous thromboembolism in

2004;329:821-9 Geerts WH., Heit JA, Clagett GP, et al. Late deep venous thrombosis and dilayed weightbearing after total hip arthoplasty. Clin Orthop 1999;361:123-3O. Geiger M, Binder BR. Pathophysiologic der immobilisation. Wiener Medizinische Wochenscrhrift 1999 Jan;t49(2-4):33-4.

the elderly. Geriatrics and aging 2001;4(8):20-1,38 Resnick NM. Geriatric medicine. In: Braunwald, Fauci, Kasper, Hausel Longo, Jameson. Editors. Harisson's principles of internal medicine. 15'h ed. USA: McGraww-Hill; 2001.p. 36-46. Sato Y, Oizumi K, Kuno H, Kaji M. Effect of immobilization upon renal sl.nthesis of 1,25-dihydroxivitamin D in disabled elderly stroke patients. Bone 1999 March;24(3):271-5 Sato Y, Kuno H, Asoh T, Honda Y, Oizumi K. Effect of immobilization on vitamin D status and bone mass in chronically hospitalized disabled stroke patients. Age and Ageing 1999;28:265-9 Setiati S. Imobilisasi: masalah dan pengelolaannya di bidang geriatri. Maj Kedokt Indon 1999 Agust; 49(8):328-31. Seiler WO. Consequences of immobility. Dalam: Evans JG Williams TF, Beattie BL, Michel JB Wileock GK. Editors. Geriatric medicine, New York: Oxford University Press; 2000'p.1175-81.

Hale LP, Owen J. Thrombotic and hemonhagic disorden. h HazzNd W\ Blass JP, Ettinger WH, Halter JB, Ouslander JG Principles of Geriatric Medicine and Gerontology. 4h ed. New York:McGraw-

Setiati S. Pedoman pengelolaan imobilisasi pada pasien geriatri. Dalam: Soejono CH, Setiati S, Wiwie M, Silaswati S. Editor. Pedoman pengelolaan kesehatan pasien geriatri untuk dokter dan perawat.

Denstman F, Lowry A, Vemava A, Burnstein M, Fazio Y Gleruron E, et al. Practice parameters for the prevention of venous throm-

boembolism. Practice parameters 2000 August;43(8). Didapat dari: http://www.fascrs.org/ascrspppvt.html. Ebell MH. Evaluation of the patient with suspected deep vein thrombosis. J Fam Pract 2001;50:167-71 Fancher TL, White RH, Kravitz RL. Combined use of rapid DDimer testing and estimation of clinical probability in the diag-

'

nosis of deep vein thrombosis:systematic review. BMJ

Hill;1999.p.933-47. Kane RL, Ouslander JG, Abras IB. Immobility. In : Kane RL. Editors. Essential of clinical geriatrics. New York: McGraw Hill; 2004.p.

24s-77. Kahn RS. The clinical diagnosis of deep venous thrombosis integrating incidence, risk factors, and symptoms and signs. Arch

Intern Med 1998;158:23 15-23. Kiekegaard A, Norgen L, Olson C-G Castenfors J, Perrson Q Persson S. Incidence of deep vein thrombosis in bedridden non-surgical patients. Acta Med Scand. 1987;22:409-14. Neuhaus A, Berfrzz RR, Weg JG. Pulmonary embolism in respiratory failure. Chest 1978;73:460-5

Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Penyakit Dalam FKUI; 2000.p. 115-22. Samama MM, Cohen AT, Darmon J-Y, et al. A comparison of enoxaparin with placebo for the prevention of venous thromboembolism in acute ill medical patiens. N Eng J Med

1999;341:793-800. Tovey C, Wyatt S. Diagnosis, investigation, and management of deep vein thrombosis. BMJ 2003;326:1180-4 Van Gorp ACM, Brandjes DPM, Cate JWT' Rational antithrombotic therapy and prophylaxis in elderly, immobile patient' Drug &

Aging 1998, Aug 13(2):145-57.

135 INKONTINENSIA URIN DAN K^A.NDUNG KEMIH HIPERAKTIF Siti Setiati,

I

Dewa Putu Pramantara

PENDAHULUAN

sebagai keluamya urin yang tidak terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan

cukup sering dijumpai pada orang berusia lanjut,

jumlahnya, yang mengakibatkan masalah sosial dan higienis penderitanya. Untuk kepentingan penelitian

khususnya perempuan. Inkontinensia urin seringkali tidak dilaporkan oleh pasien atau keluarganya, antara lain karena menganggap bahwa masalah tersebut merupakan masalah

epidemiologi, definisi di atas yang dipergunakan. Dalam menentukan prevalensi inkontinensia urin di klinik, tempat perawatan kronik, klinik rawat siang, dan masyarakat masih

yang memalukan atau tabu untuk diceritakan,

digunakan definisi yang beragam dalam hal frekuensi, derajat keparahan, volume urin yang keluar, dan

Inkontinensia urin merupakan masalah kesehatan yang

ketidaktahuan mengenai masalah inkontinensia urin, dan menganggap bahwa kondisi tersebut merupakan sesuatu yang wajar terjadi pada orang usia lanjut serta tidak perlu diobati. Pihak kesehatan, baik dokter maupun tenaga medis yang lain juga tidak jarang tidak memahami tatalaksana

determinasi keluarnya urin. Tabel

I

menunjukkan

keragaman definisi yang dipergunakan dalam penelitian

prevalusi inkontinensia urin.

inkontinensia urin dengan baik atau bahkan tidak mengetahui bahwa inkontinensia urin merupakan masalah kesehatan yang dan dapat diselesaikan. Berbagai komplikasi dapat menyertai inkontinensia urin seperti infeksi saluran kemih, kelainan kulit, gangguan tidur, problem psikososial seperti depresi, mudah marah, dan rasa terisolasi. Secara tidak langsung masalah - masalah

1.

2.

tersebut juga dapat menyebabkan dehidrasi karena umumnya pasien akan mengurangi minum karena khawatir mengompol. Dekubitus, infeksi saluran kemih berulang, jatuh, dan tidak kalah pentingnya adalah biaya perawatan yang tinggi untuk pembelian popok. Berbagaiupaya dapat

3.

dilakukan untuk mengatasi masalah inkontinensia urin, baik bersifat nonfarmakologis maupun terapi obat dan pembedahan

jika diketahui

dengan tepat jenis atau tipe

Definisi Keluarnya Urin Kesulitan menahan berkemih sampai mencapai toilet. Keluarnya air kencing yang tidak diharapkan. Hilangnya pengendalian berkemih. Underpanfs basah. Definisi Keparahan Sekali atau lebih. Dua kali atau lebih. Tiga kali atau lebih. Menyebabkan problem sosial atau kebersihan. Definisi Frekuensi Selalu terjadi. Terjadi 1 tahun yang lalu. Terjadi 1 bulan yang lalu. Terjadi 1 minggu yang lalu. Terjadi setiap hari.

inkontinensianya. Overactive bladder atau kandung kemih hiperaktif (KKH) adalah kelainan pada kandung kemih yang mengakibatkan

DEFINISI

penderitanya mengalami keinginan berkemih tidak tertahankan (urgensi), miksi yang sering, dengan atau

Dari aspek klinis praktis, inkontinensia urin didefinisikan

tanpa inkontinensia urin.

865

866

GERI'ITRI

dan disuplai oleh saraf pudendal, sedangkan otot

PREVALENSI

detrusor kandung kemih dan sfingter uretra intemal berada Prevalensi inkontinensia urin sulit ditentukan dengan pasti. Hal ini disebabkan karena hasil penelitian epidemiologi yang beragam dalam subjek penelitian, metode kuesioner, dan definisi inkontinensia urin yang digunakan. Sekitar 50% usia lanjut di instalasi perawatan kronis dan ll-30% di masyarakat mengalami inkontinensia urin. Prevalensinya meningkat seiring dengan peningkatan umur. Perempuan lebih sering mengalami inkontinensia urin daripada lai-laki denganperbandingan 1,5 : 1. Survei inkontinensiaurin yang dilakukan oleh Divisi

Geriatri Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo pada 208 orang usia lanjut di lingkungan Pusat Santunan Keluarga (PUSAKA) di Jakarta (2002) mendapatkan angka kejadian inkontinensia urin tipe stres sebesar 32,20 . Sedangkan survei yang dilakukan di Poliklinik Geriatri RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (2003) terhadap 179 pasien geriatri didapatkan angka kejadian inkontinensia urin stres pada laki-laki sebesar 20,50 dan pada perempuan sebesar 32,5yo. Penelitian di Poli Geriatri RS Dr. Sardjito mendapatkan angkaprevalensi

inkontinensia urin I 4,7 4o/o. KKH terjadi pada 16,50/o pada populasi di Amerika Serikat dengan 6,lYo disertaiinkontinensia (KKH basah) dan 10,4 %otanpa inkontinensia (KKH kering). National Ov er a c t iv e B I add er Ev alu at i on (N O B L E), pr o gr am y ang meneliti inkontinensia urin pada 5204 orang dewasa di Amerika Serikat memperkirakan jumlah perempuan di ll.egara tersebut yang mengalami inkontinensia urin sebesar 14,8 juta orang, sepertiga di antarar,ya merupakan

inkontinensia urin tipe campuran (34,4oh). Penelilian lain yang dilakukan oleh Diokno dkk, pada perempuan usia lanjut di atas 60 tahun (Medical, Epidemiological, and Social Aspect of AginglMESA) mendapatkan dari 1150

subyek yang dipilih secara random, 434 orang di arfiarartya mengalami inkontinensia urin. Dari mereka yang mengalami inkontinensia urin

merupakan inkontinensia urin tipe campuran, 26,7o/o dengan inkontinensia urin tipe stres saja, 9o/o dengan inkontinensia urin tipe urgensi saja, dan 8,8olo dengan diagnosis lain. 55,5o/o

FISIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI BERKEMIH Proses berkemih normal merupakan proses dinamis yang

memerlukan rangkaian koordinasi proses fisiologik berurutan yang pada dasamya dibagi menjadi 2 fase yaitu fase penyimpanan dan fase pengosongan. Diperlukan keutuhan struktur dan fungsi komponen saluran kemih bawah, kognitif, fisik, motivasi, dan lingkungan .

'

Proses berkemih normal melibatkan mekanisme dikendalikan dan tanpa kendali. Sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul berada di bawah kontrol volunter

di bawah kontrol sistem saraf otonom, yang mungkin dimodulasi oleh korteks otak. Kandung kemih terdiri atas 4lapisan, yakni lapisan serosa, lapisan otot detruso! lapisan submukosa, dan

lapisan mukosa. Ketika otot detrusor berelaksasi, pengisian kandung kemih terjadi, dan bila otot kandung kemih berkontraksi pengosongan kandung kemih atau proses berkemih berlangsung. Kontraksi kandung kemih disebabkan oleh aktivitas parasimpatis yang dipicu oleh asetilkolin pada reseptor muskarinik. Sf,rngter uretra internal menyebabkan uretra terhltup, sebagai akibat kerja

aktivitas saraf simpatis yang dipicu oleh noradrenalin. Otot detrusor adalah otot kontraktil yang terdiri atas beberapa lapisan kandung kemih. Mekanisme detrusor meliputi otot detrusor, saraf pelvis, medula spinalis, dan pusat saraf yang mengontrol berkemih. Ketika kandung kemih seseorang mulai terisi oleh urin, rangsang saraf diteruskan melalui saraf pelvis dan medula spinalis ke pusat saraf kortikal dan subkortikal. Pusat subkortikal

(pada ganglia basal dan serebelum) menyebabkan kandung kemih berelaksasi sehingga dapat mengisi tanpa menyebabkan seseorang mengalami desakan untuk berkemih. Ketika pengisian kandung kemih berlanjut, rasa

penggembungan kandung kemih disadari, dan pusat kortikal (pada lobus frontal), bekerja menghambat pengeluaran urin. Gangguan pada pusat kortikal dan subkortikal karena obat atau penyakit dapat mengurangi kemampuan menunda pengeluaran urin. Ketika terjadi desakan berkemih, rangsang saraf dari koteks disalurkan melalui medula spinalis dan syaraf pel-

vis ke otot detrusor. Aksi kolinergik dari saraf pelvis kemudian menyebabkan otot detrusor berkontraksi sehingga terjadi pengosongan kandung kemih. Interferensi aktivitas kolinergik saraf pelvis menyebabkan pengurangan kontraktilitas otot. Kontraksi otot dekusor tidak hanya tergantung pada inervasi kolinergik oleh saraf pelvis. Otot detrusor juga mengandung reseptor prostaglandin . Prostaglandin-inhibiting drugs dapat mengganggu kontraksi detrusor. Kontraksi kandung kemih juga calcium-channel dependent. Oleh karena ito, calcium channel blockers dapat juga mengganggu kontraksi kandung kemih. Inervasi sfingter uretra intemal dan eksternal bersifat

kompleks. Untuk memberikan pengobatan dan penatalaksanaan inkontinensia yang efektif, petugas kesehatan harus mengerti dasar inervasi adrenergik dari sfingter danhubungan anatomi ureter dan kandung kemih. Aktivitas adrenergik-alfa menyebabkan sfingter uretra berkontraksi. Untuk itu, pengobatan dengan agonis adrenergik-alfa (pseudoefedrin) dapat memperkuat

kontraksi sfingter, sedangkan zat alpha-blocking (terazosin tHyfrin]) dapat mengganggu penutupan sfingter.

867

INKONTINENSIA URIN DAIY KANDUNG KEMIH HIPERAKTIF

Inervasi adrenergik-beta menyebabkan relaksasi sfingter uretra. Karena ilu, zat beta-adrenergic blocking (propra-

nolol) dapat mengganggu karena menyebabkan relaksasi uretra dan melepaskan aktivitas kontraktil adrenergik-alfa. Komponen penting lainnya dalam mekanisme sfingter adalah hubungan uretra dengan kandung kemih dan rongga perut. Mekanisme sfingter berkemih memerlukan

1

2

angulasi yang tepat antara uretra dan kandung kemih. Fungsi sfingter uretra normaljuga tergantung pada posisi yang tepat dari uretra sehingga dapat meningkatkan tekanan intra-abdomen secara efektif ditransmisikan ke uretra. Bila uretra pada posisi yang tepat, urin tidak akan keluar pada saat terdapat tekanan atau batuk yang

t!!-q51

A

Gambar

C

I

darr 2 berikut melukiskan beberapa komponen yang terlibat dalam mempertahankan proses miksi dan sekaligus kontinen urin. Mekanisme dasar proses berkemih diatur oleh refleksrefleks yang berpusat di medula spinalis segmen sakral yang dikenal sebagai pusat berkemih. Pada fase pengisian

(penyimpanan) kandung kemih, terjadi peningkatan aktivitas saraf otonom simpatis yang mengakibatkan penutupan leher kandung kemih, relaksasi dinding

kandung kemih, serta penghambatan aktivitas parasimpatis dan mempertahankan inervasi somatik pada

h

(Nervus erigenus)

B

meningkatkan tekanan intra-abdomen.

Kontraks kandung kem

Ko nergik paras mpatk

Relaksasi kandung kemih (denqan menghambat Lonus pa rasim pa lis) Relaksas kandung kem h (adreaenerik Il) Kontraksi leher kand!n! kemih dan uretra (adgenerik 0) Kontraksi oiot dasar paiggu

Simpatetk Simpatetik

D

Simpatetik

E

Somatik (Nerv!s pudendus)

Gambar 2. Saraf-saraf perifer yang terlibat dalam proses berkemih

batang otak, korteks serebri, dan serebelum. Bagaimana proses neurofisiologik ini beroperasi dalam proses miksi belum diketahui dengan jelas. Umumnya dikatakan bahwa peranan korteks serebri adalah menghambat sedangkan

otot dasar panggul. Pada fase pengosongan, aktivitas simpatis dan somatik menurun, sedangkan parasimpatis meningkat sehingga terjadi kontraksi otot detrusor dan pembukaan leher kandung kemih. Proses refleks ini dipengaruhi oleh sistem saraf yang lebih tinggi yaitu

Aktiv las EMG (dasar 25

Aliran ur n (mL/men t) 0

50 Tekanan (cm H,0 U

)

teka

De[usor 0

Pengisian volume kandung kemih

(mL)

Lama pengosongan kandung kem

h

(d e Uk)

Gambar 3. Skematik fungsi dinamik traktus urinarius bawah dalam proses pengisian dan pengosongan kandung kemih

batang otak dan supra spinal memfasilitasi. Secara urodinamik proses berkemih dapat dilihat pada Gambar 3. Nervus Hipogastrik (simpateiik)

1-----_:t-

.,r

y

PROSES MENUA DAN INKONTINENSIA URIN

Telah disebutkan sebelumnya bahwa kejadian Drostat 1l? Uret€ ..-.^,1-)

rusat miksi

,_'r.sakral

Gambar 1. Komponen-komponen struktural proses berkemih normal

inkontinensia urin meningkat seiring dengan lanjutnya usia. Usia lanjut bukan penyebab terjadinya inkontinensia urin, artinya sindrom ini bukan merupakan kondisi normal pada usia lanjut melainkan merupakan faktor predisposisi

(kontributor) terjadinya inkontinensia urin.

868

GERIATRI

Proses menua baik pada laki-laki maupun perempuan

telah diketahui mengakibatkan perubahan-perubahan anatomis dan fisiologis pada sistem urogenital bagian bawah. Perubahan-perubahan tersebut berkaitan dengan menurunkan kadar estrogen pada perempuan dan hormon

androgen pada laki-laki. Secara singkat perubahan anatomik dan fisiologik saluran urogenital bagian bawah dapat dilihat pada Tabel 3 . Pada dinding kandung kemih terjadi peningkatan fibrosis dan kandungan kolagen sehingga mengakibatkan fungsi kontraktil tidak efektif lagi, dan mudah terbentuk trabekulasi sampai

pada sistem urogenital bawah mengakibatkan posisi kandung kemih prolaps sehingga melemahkan tekan ar ata,u tekanan akhiran kemih keluar seperti terlihat pada Gambar4. Dari pembahasan dampak proses menua terhadap struktur anatomi dan fisiologis sistem urogenital bawah

dapat dipahami bahwa usia lanjut merupakan faktor kontributor terj adinya inkontinensia tipe stres, urgensi. dan luapan (overflow).

Tekanan

divertikel.

lniraabdomen

Atrofi mukosa, perubahan vaskularisasi submukosa, dan menipisnya lapisan otot uretra mengakibatkan menunrnnya tekanan penufupan uretra dan tekanan out-

stres

Kandung Kemih

Perubahan Morfologis Trabekulasi Fibrosis

Gambar 4. Posisi kandung kemih pada 2 situasi yang berbeda. a = normal; 5 = prolaps akibat lemahnya otot dasar panggul

Saraf autonom J Pembentukan divertikula Perubahan Fisiologis Kapasitas J

FAKTOR RISIKO

. . . . . . . .

t

t

Kemampuan menahan kencing

t

Kontraksi lnvolunter Volume residu pasca berkemih Perubahan Morfologis Komponen selular

Uretra

I

. .

t

I

t

Deposit kolagen Perubahan Fisiologis Tekanan penutupan J

. .

Prostat

Tekanan akhiran keluar 0 Hiperplasi dan membesar

Vagina

Komponen selular J Mukosa atrofi

Dasar Panggul

Deposit kolagen Rasio jaringan ikalotot Otot melemah

Jlow.

P

Prevalensi inkontinensia urin meningkat seiring meningkatnya usia. Inkontinensia urin lebih banyak terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki. Usia lanjut seringkali memiliki kondisi medik yang dapat mengganggu proses berkemih yang secara langsung mempengaruhi fungsi saluran berkemih, perubahan status volume dan ekskresi urin, atau gangguan kemampuan untuk ke jamban. Pada orang usia lanjut di masyarakat, inkontinensia urin dikaitkan dengan depresi, transienl ischaemic altacks dan

strok, gagal jantung kongestif, konstipasi

dan

inkontinensia feses, obesitas, penyakit paru obstruktif

t

f

adalakt-laki terjadi pengecilan testis dan pembesaran

kelenjar prostat sedangkan pada perempuan terjadi penipisan dinding vagina dengan timbulnya eritema atau ptekie, pemendekan dan penyempitan ruang vagina serta berkurangnya lubrikasi dengan akibat meningkatnya pH lingkungan vagina. Telah diketahui dengan baik bahwa dasar panggul (pelvic /loor) mempunyai peran penting dalam dinamika miksi dan mempertahankan kondisi kontinen. Melemahnya fungsi dasar panggul disebabkan oleh banyak faktor baik fisiologis maupun patologis (trauma, operasi, denervasi neurologik). Perubahan fisiologis akibat proses menua pada organ dasar panggul seperti tercantum pada Tabel 3. Secara keseluruhan perubahan akibat proses menua

kronik, batuk kronik, dan gangguan mobilitas. Pada orang usia lanjut di panti, inkontinensia urin dikaitkan dengan terdapatnya gangguan mobilitas, demensia, depresi, strok, diabetes, dan Parkinson. Risiko inkontinensia urin meningkat padaperempuan dengan nilai indeks massa tubuh yang iebih besar, dengan riwayat histerektomi, infeksi utin, dan trauma perineal. Melahirkan per vaginam akan meningkatkan risiko inkontinesia urin tipe stres dan tipe campuran. Penelitian terhadap 5418 usia lanjut di luar negeri mendapatkan tiga faktor risiko yang dapat dimodifikasi

dan berhubungan secara bermakna dengan inkontinenisa

urin, yaitu infeksi saluran kemih, keterbatasan aktivitas, dan faktor gangguan lingkungan.

PENYEBAB DAN TIPE INKONTINENSIA Perlu ditekankan sekaU lagi bahwa usia lanjut bukan

869

INKONTINENSIA URIN DAN KANDUNG KEMIH HIPERAKTIF

sebagai penyebab inkontinensia urin. Mengetahui penyebab inkontinensia urin penting dalam penatalaksanaannya yang tepat. Perlu dibedakan 4 penyebab pokok yaitu: gangguan urologik, neurologis,

tungkai bawah akan mengakibatkan nokturia dan inkontinensia akut malam hari. Jangan dilupakan bahwa inkontinensia urin akut terutama pada laki-laki sering berkaitan dengan retensi

fungsional/psikologis, dan iatrogenik/lingkungan. Perlu dibedakan pula antara inkontinensia urin akut dan kronik (persisten). Inkontinensia akut terjadi secara mendadak, biasanya berkaitan dengan kondisi sakit akut atau problem iatrogenik yang menghilang jika bila kondisi akut teratasi atau problem medikasi dihentikan. Inkontinensia persisten merujuk pada kondisi urikontinensia yang tidak berkaitan dengan kondisi akut/iatrogenik dan berlangsung lama. Penyebab inkontinensia urin akut dapat di ingat dengan akronim DRIP seperti tercantum

urin akibat hipertrofi prostat. Skibala

padaTabel4.

channel, dan lain lain.

dapat mengakibatkan obstruksi mekanik pada bagian distal kandung kemih baik pada laki-laki maupun perempuan yang selanjutnya menstimulasi kontraksi otot detrusor involunter. Evaluasi terhadap pemakaian obat penting dalam menentukan kemungkinan penyebab inkontinensia urin baik akut maupun kronik. Beberapa golongan obat

telah diketahui seperti: diuretik, anti kolinergik, psikotropik, analgesik-narkotik, penghambat adrenergik alfa, agonis adrenergik alfa, penghambat calsium

Ahli lain memakai akronim yang lebih lengkap yaitu DIAPPERS seperti terlihat pada Tabel 5.

Delirium merupakan gangguan kognitif akut dengan

INKONTINENSIA URIN KRONIK.PERSISTEN

latar belakang yang beragam seperti dehidrasi, infeksi paru,

gangguan metabolisme, dan elektrolit. Delirium

sementara. Usia lanjut dengan kecenderungan mengalami frekuensi, urgensi, dan nokturia akibatproses menua akan mengalami inkontinensia kalau terjadi gangguan mobilitas

klinis, dibagi 4 tipe, namun dalam kenyataannya sering terjadi tumpang tindih satu dengan lainnya. Ada 2 kelainan mendasar pada fungsi saluran kemih bawah yang melatarbelakangi inkontinensia persisten y?itu: 1). Kegagalan menyimpan urin pada kandung kemih akibat hiperaktif atau menurunnya kapasitas kandung kemih atau

oleh karena berbagai sebab seperti

menyebabkan proses hambatan refleks miksi berkurang

sehingga menimbulkan inkontinensia yang bersifat

Secara

gangguan

lemahnya tahanan saluran keluar, dan 2). Kegagalan

muskuloskeletal, tirah baring dan perawatan di rumah sakit. Inflamasi dan infeksi pada saluran kemih bawah akan

pengosongan kandung kemih akibat lemahnya kontraksi

meningkatkan kejadian frekuensi, urgensi, dan dapat mengakibatkan inkontinensia. Kondisi-kondisi yang

keluar.

mengakibatkan poliuria seperti hiperglikemia,

ketidakmampuan menunda berkemih setelah sensasi berkemih muncul. Manifestasinya berupa urgensi, frekuensi, dan nokturia. Kelainan ini dlbagi2 subtipe yaitu motorik dan sensorik. Subtipe motorik disebabkan oleh

hiperkalsemia, pemakaian diuretika dan minum banyak dapat mencetuskan inkontinensia akut. Kondisi kelebihan cairan seperti gagaljantung kongestif insufisiensi vena

otot detrusor atau meningkatnya tahanan aliran Inkontinensia urin tipe urgensi ditandai dengan

lesi pada sistem saraf pusat seperti stroke, parkinsonism,

tumor otak dan sklerosis multipel atau adanya lesi pada medula spinalis suprasakral. Subtipe sensorik disebabkan D

Delirium

R

Restricted Mobility, retention

I P

Polyuria, pharmaceuticals

I

nfection, I nfl a m m atio n,

Im

paction

oleh hipersensitivitas kandung kemih akibat sistitis, uretritis, dan divertikulitis. Inkontinensia urin tipe stres terjadi akibat tekanan intraabdominal yang meningkat seperti batuk, bersin, atau mengejan, terutama terjadi pada

perempuan usia lanjut yang mengalami hipermobilitas uretra dan lemahnya otot dasar panggul akibat seringnya D I A

P

P

E R

s

Delirium or acute confusional state

lnfection, urinary Atrophic vaginitis or urethitis Pharmaceutical

. . . . .

Sedative hypnotic Loop diuretics Anti-cholinergic agents Alpha-adrenergic agonist and antagonist Calcium channel blochers P sychologic di sorde rs : d e pre ssi on Endocrine disorders Restricted mobility Stoolilmpaction

melahirkan, operasi dan penurunan estrogen. Meningkatnya tegangan kandung kemih akibat obstruksi

prostat hipertrofi pada laki-laki atau lemahnya otot detrusor akibat diabetes melitus, trauma medula spinalis, obat-obatan dapat menimbulkan inkontinensia urin tipe ove(low. Manifestasi klinisnya berupa berkemih sedikit,

pengosongan kandung kemih tidak sempurna, dan nokturia. Inkontinensia urin tipe fungsional terjadi akibat penur"unan berat frrngsi fisik dan kognitif sehingga pasien tidak dapat mencapai toilet pada saat yang tepat. Hal ini terjadi biasanya pada demensia berat, gangguan mobilitas

870

(artritis genu, kontraktur), gangguan neurologik dan psikologik. Secara skematis ke 4 tipe inkontinensia urin dapat dilihatpada Gambar 5. Pada pasien geriatri sering pula terjadi inkontinensia tidak satu tipe melainkan merupakan tipe campurat, ata:u kombinasi dari 2 tipe atau lebih. Inkontinensia tipe campuran yang sering terjadi adalah kombinasi antara inkontinensia urin tipe stres dan urgensi.

GERI,IITRI

Semua Pasien Riwayat penyakit termasuk kartu catatan berkemih Pemeriksaan fisik Urinalisis Pengukuran volume residu urin postmiksi Pasien Dengan Kondisi Tertentu Laboratorium Kultur urin Sitologi urin Gula darah, Kalsium darah Uji fungsi ginjal USG ginjal

. . . . 2.

.

. . . .

Gambar 5. Tipe-tipe inkontinensia urin persisten

DIAGNOSIS Diagnosis inkontinensia urin berhrjuan untuk : 1. Menentukan kemungkinan inkontinensia urin tersebut reversibel.

Menentukan kondisi yang memerlukan uji diagnostik khusus.

Menentukan jenis penanganan operatif, obat, dan perilaku. Langkah pertama proses diagnosis adalah identifrkasi

inkontinensia urin melalui observasi langsung atau mengajukan pertanyaan-pertanyaan penapis. Untuk mencapai tujuan diagnosis dilakukan pendekatan yang

komprehensif beberapa aspek: riwayat penyakit, pemeriksaan fisik terarah, urinalisis, volume residu urin pasca berkemih dan pemeriksaan penunjang khusus. Komponen-komponen evaluasi diagnostik dapat dilihat pada Tabel 6.

Melalui anamnesis kita harus dapat memperkirakan karakteristik inkontinensia, problem medik dan medikasi yang sedang dijalani, gejala-gejala lain yang sangat mengganggu, dan dampak inkontinensia urin terhadap kualitas hidup pasien dan orang yang merawatnya. Pemeriksaan fisik lebih ditekankan pada pemeriksaan abdomen, rektum, genital dan evaluasi persyarafan lumbosakral. Pemeriksaan pelvis perempuan penting untuk menemukan beberapa kelainan seperti prolaps,

) F F > >

Pemeriksaanginekologik Pemeriksaan urologik Cystouretroskopi Uji Urodinamik Simpel : Observasi proses pengosongan kandung kemih Uji batuk Cystometri simpel Kompleks : Uine flowmetry Multichannelcystometrogram Pressure-flow study Leak-point pressure Urethral pressure profilometry

!

. . , F . . . . . . .

Sphincterelectromyography Video urodynamics.

inflamasi, keganasan. Penilaian khusus terhadap mobilitas pasien, status mental, kemampuan mengakses toilet akan membantu penanganan pasien yang holistik. Pencatatan aktivitas berkemih (bladder record alau voiding diary), baik untuk pasien rawat jalan maupun rawat inap dapat membantu menentukan jenis dan beratnya inkontinensia urin serta evaluasi respon terapi. Contoh pencatatan

aktivitas berkemih dapat dilihat pada lampiran. Pengambilan sampel urin untuk dianalisis dengan cara yang benar dapat memberikan informasi tentang adanya infeksi, sumbatan akibat batu saluran kemih atau tumor. Pemeriksaan residu urin pasca miksi baik dengan kateter maupun ultrosonografi dapat membantu menentukan ada tidaknya obstruksi saluran kemih. Bila volume residu urin sekitar 50 ml menunjukkan gambaran inkontinensia tipe stres, sedangkan volume residu urin lebih dari 200 cc menunjukkan kelemahan detrusor atau obstruksi. Pemeriksaan-pemeriksaan dengan prosedur khusus seperti pada Tabel 6hanya dilakukan pada kasus-kasus dengan riwayat dan pemeriksaan fisik sebagai berikut : operasi atau radiasi daerah urigenital bawah, infeksi saluran

kemih berulang, prolaps (cystocele) berat, hipertrofi prostat atau kanker, gagahya kateterisasi nomor 14, vol' ume residu urin pasca miksi > 200 ml, hematuria tanpa petunjuk infeksi saluran kemih, dan gagal terapi yang telah

diberikan. Berdasarkan pendekatan diagnostik yang meliputi beberapa aspek, dapat dipahami bahwa sejak awal evaluasi

871

INKONTINENSIA URIN DAN KANDUNG KEMIH HIPERAKTIF

penderita inkontinensia urin harus bersifat multidimensi yang sebaiknya dilakukan oleh sebuah tim. Pendekatan multidimensi ini dikenal dengan pengkajian geriatri khusus inkontinensia urin. Pada Gambar 6 berikut disampaikan algoritme evaluasi inkontinensia urin.

yang baik dari pasien. Secara umum strategi meliputi edukasi pada pasien atau pengasuh pasien (caregiver).

Intervensi perilaku meliputi bladder training, habit training, prompted voiding, dan latihan otot dasar panggul. Teknikteknik canggih yang dapat melengkapi teknik behavioral ini antara lain stimulasi elektrik, biofeedback, dan neuromodulasi. Bladder training merupakan salah satu terapi yang efektifdi antara terapi non farmakologik lainnya. Terapi ini bertujuan mempetpanjang interval berkemih yang normal dengan teknik distraksi atau teknik relaksasi sehingga frekuensi berkemih hanya 6-7 kali per hari atau 3-4 jamsekali. Pasien diharapkan dapat menahan sensasi untuk berkemih. Pasien diinstruksikan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam,

Evaluasi awal - Riwayat yang terfokus - Pemeriksaan fisis terarah - U rinalisis - Residu pascam iksi I

t I

selanjutnya interval berkemih diperpanjang secara ldentifikasi pemeriksaan khusus

?

t. r..^r.. -lEvaluasi:

I

1 Tidak |

-

u rologi - Ginekologi - Urodinamik

I

Terapi empiris - 0bat dan atau behavioral - Suportif dan behavioral

I T dak memba

k

Gambar 6. Algoritme evaluasi inkontinensia urin

bertahap sampai pasien ingin berkemih setiap 2-3 jam. Teknik ini terbukti bermanfaat pada inkontinensia urgensi dan stres, namun untuk ifu diperlukan motivasi yang kuat dari pasien untuk berlatih menahan keluarnya urin dan hanya berkemih pada interval waktu tertentu saja. Latihan otot dasar panggul merupakan terapi yang efektif untuk inkontinensia urin tipe stres atau campuran dan tipe urgensi. Latihan dilakukan tiga sampai lima kali sehari dengan 1 5 kontraksi dan menahan hingga I 0 detik. Penelitian uji klinik menunjukkan bahwa 56-77% pasien mengalami perbaikan dalam jangkapendek dengan latihan tersebut. Terdapat pula penelitian yang menunjukkan bahwa peningkatan perbaikan akan timbul selama paling tidak l0 tahun. Latihan dilakukan dengan membuat

kontraksi berulang-ulang pada otot dasar panggul. Dengan memperkuat otot tersebut, latihan ini diharapkan

dapat meningkatkan kekuatan uretra untuk menutup TATALAKSANA

secara sempuma. Sebelum pasien menjalani latihan, harus

Telah dikenal beberapa modalitas terapi dalam

untuk menetapkan apakah mereka

penatalaksanaan pasien dengan inkontinensia urin.

mengkontraksikan otot dasar panggulnya.

Umumnya berupa tatalaksana non farmakologis,

inkontinensia urin diatasi dengan beberapa modalitas

Habit training memerlukan penjadwalan waktu berkemih. Diupayakan agar jadwal berkemih sesuai dengan pola berkemih pasien sendiri. Teknik ini sebaiknya digunakan pada inkontinensia urin tipe fungsional dan membutuhkan keterlibatan petugas

terapi bersama-sama. Spektrum modalitas terapi meliputi:

kesehatan atau pengasuh pasien. Prompted voiding

terapi non farmakologis meliputi terapi suportif nonspesif,rk (edukasi, manipulasi lingkungan, pakaian dan pads tertentr); intervensi tingkah laku (latihan otot dasar

dilakukan dengan cara mengajari pasien mengenali kondisi atau status kontinensia mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini digunakan pada pasien dengan gangguan fungsi kognitif.

dilakukan lebih dahulu pemeriksaan vagina atau rektum

farmakalo gis, maupun pembedahan. Tidak ada satu modalitas terapi yang dapat mengatasi semua jenis inkontinensia urin, sebaliknya satu tipe

panggul, latihan kandung kemih, penjadwalan berkemih, latihan kebiasaan); terapi medikamentosa; operasi; dan pemakaian kateter. Keberhasilan penanganan pasien tergantung pada keberhasilan proses diagnosis dalam menentukan tipe inkontinensia, faktor-faktor kontribusi reversibel, dan problem medik akut. Intervensi perilaku yang merupakan tatalaksana non farmakologis memiliki risiko yang rendah dengan sedikit efek samping, namun memerlukan motivasi dan kerjasama

dapat

Terapi biofeedback bertujuan agar pasien mempu mengontrol/menahan kontraksi involunter otot detrusor kandung kemihrya. Cara biofeedback mempunyai kendala

karena penderita perlu mempunyai intelegensia yang cukup untuk dapat mengikuti petunjuk pelatihnya, sementara pelatihnya sendiri harus mempunyai kesadaran

dan motivasi yang tinggi karena waktu yang diperlukan

872

GERI'IIRI

untuk dapat mendidik satu orang pasien dengan cara ini cukup lama.

Stimulasi elektrik merupakan terapi yang menggunakan dasar kejutan kontraksi otot pelvis dengan menggunakan alat-alat bantu pada vagina atau rektum. Terapi ini tidak begitu disukai oleh pasien, karena pasien

harus menggunakan alat dan kemajuan dari terapi ini terlihat lamban.

Neuromodulasi merupakan terapi dengan menggunakan stimulasi saraf sakral. Mekanisme yang pasti dari teknik ini masih belum diketahui, tetapi diduga karena adanya kegiatan interneuron tulang belakang atau

neuron adrenergik beta yang menghambat kegiatan kandung kemih. Beberapa penelitian menunjukkan

bahwa neuromodulasi merupakan salah satu cara penatalaksanaan kandung kemih hiperaktif yang berhasil. Penggunaan keteter menetap (indwelling catheter)

sebaiknya tidak digunakan secara rutin dalam pengelolaan inkontinensia urin karena dapat terjadi infeksi saluran kemih bahkan sampai sepsis, pembentukan batu, abses, dan bocor. Kateter menetap ini dapat digunakan bila terjadi retensi urin yang lama sehingga menyebabkan

Modalitas sgportif non-spesifi k Edukasi Memakai substitusi toilet Manipulasi lingkungan Pakaian tertentu dan pads Modifikasi intaks cairan dan obat lntervensi behavioral Bergantung pasien Latihan otot pelvis Bladder training Bladder retraining Bergantung caregiver Penjadwalan miksi Latihan kebiasaan Prompted voiding Obat Relaksan kandung kemih agonrs o antagonis o estrogen Periuretral infeksi Operasi Peralatan mekanik Urethral plugs, champs

. . . . . .

. . .

.

'. . .

o o o o o o o o

infeksi saluran kemih atau gangguan ginjal. Kateter intermiten merupakan alat yang secara rutin digunakan

. .

Artificialsphincters

Kateter Eksternal lnterniten Menetap

. . .

untuk mengosongkan kandung kemih. Teknik ini diajarkan kepada pasien yang tidak dapat mengosongkan kandung

ini berisiko untuk terjadinya infeksi saluran kemih. Pilihan terapi kemih. Namun demikian teknik

inkontinensia urin pada pasien geriatri dapat dilihat pada Tabel 7, sementara terapi primer yang ditujukan untuk mengatasi berbagai tipe inkontinensia urin dapat dilihat pada Tabel 8.

Tipe Stres

a a

Terapi farmakologis atau medikamentosa telah dibuktikan mempunyai efek yang baik terhadap inkontinensia urin tipe urge dan stres. Obat-obat yang dipergunakan dapat digolongkan menjadi: antikolinergikantispasmodik, agonis adrenergik cr, estrogen topikal, dan antagonis adrenergik cr. Pada semua obat yang digunakan untuk terapi inkontinensia urin, efek samping harus diperhatikan apabila dipergunakan pada pasien geiafi,, seperti mulut kering, mata kabur, peningkatan tekanan bola mata, konstipasi, dan delirium. Sementara obat yang lain dapat menimbulkan hipotensi postural, bradikardia, sakit kepala, dan lain-lain. Daftar obat yang sering dipakai tercantum pada Tabel 9.

Terapi Primer

lnkontinensia

o a

Urgensi

a a a

Luber (Oveilow) a a a

Fungsional

a a o

Latihan Kegel Agonis adrenergik o estrogen lnjeksi periuretral Operasi bagian leher kandung kemih Relaksan kandung kemih Estrogen Bladder training Operasi untuk menghilangkan sumbatan Bladder retraining Kateterisasi intermiten Kateterisasi menetap lntervensi behavioral Manipulasi lingkungan Pads

Obat fenilpropanolamin saat ini dihentikan penggunaannya untuk inkotinensia urin tipe stres karena uji klinik menunjukkan adanya peningkatan risiko strok.

jantung, dan angina. Dengan demikian penggunaannya

Pseudoefedrin dapat digunakan untuk tatalaksana inkontinensia tipe stres karena meningkatkan tekanan

jarang ditemui pada orang usia lanjut. Antikolinergik dapat digunakan untuk tatalaksana

sfingter uretra, sehingga menghambat pengeluaran urin. Pseudoefedrin memiliki efek samping seperti insomnia, sakit kepala, dan gugup/gelisah. Penggunaannya harus

inkontinensia urgensi. Oksibutinin memiliki efek

amat hati-hati pada pasien dengan hipertensi, aritmia

antikolinergik dan merelaksasikan otot halus. Tolterodin

Uji klinik menunjukkan bahwa oksibutinin dan tolterodin merupakan kompetitif bloker reseptor M3.

873

INKONTINENSIA URIN DAN I(ANDUNG KEMIH HIPERAKTIF

ileosistoplasti dan miektomi detrusor. Teknikpembedahan Obat

Dosis

Tipe

Efek Samping

intraurethral bulking agents, suspensi leher kandung

lnkontinensia Hyoscamin

3 x 0,125 mg

Urge atau campuran

sphincters. Teknik pembedahan untuk inkontinensia tipe urgensi adalah augmentation cystoplasty, dan stimulasi elektrik. Salah satu modalitas terapi yang perlu mendapat

perhatian bagi tenaga kesehatan adalah pemakaian kateter dan perawatannya. Dalam praktek klinik,

2x4mg

Urgensi dan OAB

lmipramin

3 x 25-50 mg

Urgensi

Delirium,hipote nsi ortostatik

Pseudoephedrin

3 x 30-60 mg

Stres

Sakit kepala, takikardi,

tekanan darah tinggi.

Doxazosin

Urgensi dan stres

4x14mg

BPH dengan urgensr

lritasi lokal Hipotensi postural

0,4{,8 mg

Tamsulosin

1x

Terazosin

4x1-5mg

kemih, urethral slings, dan artificial urinary

Mulut kering, mata kabur, glaukoma, delirium, konstipasi Mulut kering, Konstipasi

Tolterodin

Topikal estrogen

untuk inkontinensia tipe stres adalah injectable

menyebabkan penurunan frekuensi inkontinensia urgensi dibandingkan dengan plasebo. Pemberian dosis sehari sekali berhubungan dengan efek samping yang lebih rendah khususnya efek mulut kering. Beberapa

efek samping antikolinergik adalah xerostomia, xeroftalmia, konstipasi, gangguan penglihatan, sedatii

retensi urin, insomnia, takikardia, ortostasis, kebingungan, dan delirium. Tolterodin lebih selektif untuk resptor muskarinik di kandung kemih dari pada di kelenjar parotis, sehingga diharapkan dapat memberikan efek samping kolinergik yang lebih sedikit, seperti xerostomia. Penggunaan agen trisiklik seperti imipramin dibatasi pada usia lanjut karena efek samping yang

ditimbulkannnya. Uji klinik juga tidak menunjukkan adanya efektifitas penggunaan imipramin. Tindakan operatif dilakukan atas pertimbangan yang matang dan didahului dengan evaluasi urodinamik. Pada perempuan dengan prolaps pelvik yang signifikan dan inkontinensia tipe stres yang tidak membaik dengan penanganan konservatif harus dilakukan upaya operatif. Pada laki-laki dengan tanda obstruksi saluran kemih akibat hipertrofi prostat dapat dilakukan operasi sebagai upaya pencegahan inkontinensia tipe overflow dikemudian hari.

Beberapa cara untuk melemahkan detrusor dilakukan dengan menggunakan pendekatan postsakral atau paravaginal. Teknik pembedahan yang bertujuan untuk merusak struktur dan kekuatan detrusor seperti transeksi terbuka kandung kemih, transeksi endoskopik, injeksi penol periureter dan sistolisis telah banyak digunakan. Teknik pembedahan yang paling sering digunakan adalah

kateterisasi sering merupakan tindakan pertama yang dilakukan untuk penderita inkontinensia urin akut. Datadata yang ada menunjukkan pemakaian kateter yang berlebihan. Terdapat 3 cara atau prosedur pemakaian kateter yaitu : kateter eksternal (kateter kondom), kateterisasi intermiten, dan kateterisasi kronik atau menetap. Kateter eksternal hanya dipakai pada inkontinensia intractable tanpa retensi urin yang secara fisik dependenl bedridden. Bahaya pemakaian kateter tersebut adalah risiko infeksi dan iritasi kulit.

Kateterisasi intermiten dipakai untuk mengatasi retensi urin dan inkontinensia tipe overJlow akibat kandung kemih yang akontraktil atau Detruss"o.r hyper' activiQ with impaired contractilif/ (DHIC). Prosedur

ini dapat dilakukan 2 - 4kali per-hari oleh pasien atau tenaga kesehatan. Biasanya teknik ini dilakukan pada pasien dengan inkontinensia urin akut. Risiko infeksi sering terjadi pada prosedur ini, oleh karenanya harus dicegah dengan melakukan teknik aseptik. Sedangkan kateterisasi menetap harus dilakukan secara selektif oleh

karena risiko bakteriuria kronik, batu kandung kemih, abses periuretral, dan bahkan kanker kandung kemih. Induksi pemakaian kateter kronik adalah retensi urin akibat inkontinensia overfl ow persisten, tak layak operasi, tidak efektif dilakukan kateterisasi intermiten, ada dalam perawatan dekubitus, dan perawatan terminal dengan demensia berat. Konsensus mengenai rekomendasi dan panduan tata laksana inkontinensia urin pada perempuan dan laki-laki

dengan inkontinensia urin neurogenik dan pada usia

lanjut telah dikeluarkan oleh The Scientific Committee on the First International Consultation on Incontinence. Tujuan tata laksana pada risia lanjut akan berbeda pada tiap individu dan harus didasari oleh keinginan dan motivasi dari pasien dan keluarga untuk ditangani, komorbiditas, prognosis, dan harapan hidup. Gambar 7 menunjukkan algoritme tata laksana inkontinensia urin

pada usia lanjut yang direkomendasikan oleh The

Scientific Committee on the First International Consultation on Incontinence.

874

GERIITTRI

lU aktivitas fisik

lU dengan urgensi/ frekuensi

lU dengan nyeri, hematuria, infeksi berulang, lvl assa pelvis/iradiasi/

lU dengan gejala retensi

bedah

Pengkajian umum Catatan berkemih Pen gkajian kua litas hidu p/keingina n u ntu k d iterapi Pem eriksaan fisis: abdom en rektum,neurologis Tes batuk untuk diagnosis inkontinensia stres Analisis urin +/- kultur urin (iika ada infeksi, diterapi) Kaji PVR

tt

tt ++ Menduga tipe

lU

Stres

I U

I I

I

+

+

Latihan otot dasar panggul Biofeedback Stimulasi otot dasar panggul

l--.-..-.

Latihan berkemih Antimuskarinik Biofeedback

I

Antagonis alfa

v

Assisted toileting

Pem bedahan

I

I

v

Prompted voiding

I

I

I

v Alat bantu

Overtlow

rgensi

v Pads

Catheters

I

v

I

Tata laksana khusus

Gambar 7. Algoritme tatalaksana inkontinensia urin pada usia lanjut

REFERENSI Abrams, P. & Wein, A.J. The Oyeractive Bladder A widespread but trealable condition Eric Sparre Medical, Stockholm, Swedien. 1 998. Abrams P dkk. The standardisation of terminology of lower urinary tract function: report from the Standardization Sub-committee

of the Internatignal Continence Society. Neurourol Urodyn 2002;21: 167-78 Augspurger, R.R. Urinary incontinence and catheters in the elderly male and female dalam R.W. Schrier : Geriatric Medicine. W.B. Saunders, Philadelphia 1990.p.156 - 67. Abrams P, Cardozo L, Fall M, Griffrths D, Rosier P, Ulmsten U, dkk.

The standardization of terminology of lower urinary tract function: report from the standardization sub-committee of the International Continence Society. Neurology and Urodynamics 2002;21 :167

-17 8

Artibani W. Difficult to manage patient populations: mixed symptomatology. BJU Int 2000; 85 (suppl 3):53-54 Bravo, C.V. Aging and the urogenital system. Reviews in Clinical G eronto I o gy 2000;10 :3 1 5-24. Chaliha C, Khullar V. Mixed incontinence. J. Urology 2004;63 (suppl

3A):51-7

Chutha, D.S., Fleming, K.C. dkk. Urinary incontinence in elderly populattor,. Mayo Clin Proc 1996.:,71:93-101. Dubeau CE. Urinary incontinence. In: Evans JG, Williams TF, Beattie BL, Michel JP, Wilcock GK, Editor. Oxford text-

book of geriatric medicine. 2'd ed. NewYork: Oxford University Press; 2000.p. 677-89. DuBeau, C.E. Epidemiology, risk factor, and pathogenesis of urinary incontinence Up to Date 2002.;10(2). Diokno AC, dkk. J Urol 1986:'136:1022-25 Graffith, W.R. Urinary Incontinence in the Elderly. Health & Age. Novartis Foundation for Gerontology 2003;357- 60. Hextall A. Estrogens and lower urinary tract function. Maturitas

2000;36:83-92 Kane RL, Ouslander JG, Abrass IB. Incontinence. New York: McGraw-

Hill; 2004.p 173-218. Klimas TCK. Current management of urinary incontinence. Journal of Pharmacy Practice 2004;17(2):103-ll4 Khullar V, Hill S, Laval K, Schotz HA, Jonas U, Versi E.Treatment

of urge-predominant mixed urinary incontinence with tolterodine extended release : a randomized, placebo-controlled trial. Urology 2004;64: 269-7 5. Kris-Pranarka, Inkontinensia dalam R. Boedhi - Darmojo dan H. Hadi Martono (Eds) : Buku Ajar Geriatri Ed. 3. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2004.p.197-215. Lagro-janssen ALM, dkk. Value of the patient's case history in diagnosing urinary incontinence in general practice. Br J Urol

1991;67:569-572 Lockher, J.L., Goode, P.S. et a1.. Reability assesment of the bladder diary for urinary incontinence. Journal of Geroniology. Medical Science 2001; 56,4'(1):14 - 18. Minem,. Gambaran tipe inkontinensia urin pada pasien usia lanjut di

INKONTINENSIA URIN DAN KANDUNG IGMIH HIPERAKTIF

Poliklinik Geriatri RS Dr, Sardjito Yogyakarta. Karya Tulis llmiah Program studi Ilmu Keperawatan FK UGM. Yogyakarta. 2004. Mc Intosh LJ, Richardson DA. 30-minute evaluation of incontinence in the older vr'oman. Geriatrics 1994 Feb;49:36-44. Norton PA, Zinner NR, Yalcin I. Duloxetine versus placebo in the treatment of stress urinary incontinence. Am J Obstet Gynecol 2002;187:40-48 Nihira MA, Henderson N. Epidemiology of urinary incontinence in women. Current Womens's Helath Reports 2003;3:340-7 Ouslander JG Urinary incontinence. In: Osterweil Dan, Smith KB, Beck JC, Editor. Comprehensive geriatric assessment. New York:

McGraw-Hill; 2000,p.5 5 5 -7 2 Ouslander JG Johnson TM. Incontinence. ln: Hazzard WR, Blass JP, Ettinger WH, et al (eds). Principles of Geriatric Medicine and Gerontology. 4'h ed. New York: McGraw-Hill;1999.p 1505-

614.

I. Urinary incontinence Clinical Gerialric 3'd. Ed. Philadelphia: Lippinncot Company; 199 6.p.7 0 I -7 07 Pauls, J. Urinary incontinence and impairment of the pelvic floor in the older ad:ult. dalam A.A. Guccione : Geriatric Physical Therapy 2n Ed. St Louis: Mosby; 2000.p. 340 - 50. Pramantara, D.P. & Wasilah Rochmah. Sindroma Geriatrik yang berkaitan dengan gangguan sistem muskuloskeletal. Naskah

Rossman,

.

875

Lengkap Simposium Gangguan Muskuloskeletal pada usia lanjut, Medrka FK UGM & Klinik Lansia FK UGM. 2003 Setiati S, Istanti R. Survei inkontinensia urin (mengompol) pada usia lanjut di lingkungan Pusat Santunan Keluarga (PUSAKA). Maj Kedokt Indon 2003 April;53 (4):137-9 Setiati S. Pedoman penatalaksanaan inkontinensia urin pada pasien geriatri. Dalam: Soejono CH, Setiati S, Wiwie M, Silaswati S, Editor. Pedoman Pengelolaan Kesehatan Pasien Geriatri. Edisi pertama. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Penyakit Dalam FKUI, 2000;85-94 Sorbera LA, Castaner RM, Castaner J. Duloxetine oxalate. Drugs of the future 2000;25:907 -16 Steers WD. Pathophysiology of overactive bladder and urge urinary incontinence. Rev Urol 2002;4 (suppl 4) : S7-S18. Stewart WF, dkk. Prevalence and burden of overactive bladder in the United States.World J Urol 2003; 20: 327-36 Wells, dkk. Urinary incontinence in elderly women: clinical findings. J Am Geriatr Soc 1997;35 :933-39 Weiss BD. Diagnosis evaluation of urinary incontinence in geriatric patients. Am.Fam Physic 1998. Weiss BD. Urinary incontinence. In: Adelman AM, Daly MB editors. 20 Common Problems Geriatrics. Singapore: McGrawHill; 2001.p.85-114.

136 KONSTIPASI DAN INKONTINENSIA ALVI Kris Pranarka, RejekiAndayani R

PENDAHULUAN

ditemukannya sejumlah besar feses memenuhi ampula rektum pada colok dubur, dan atau timbunan feses pada

Konstipasi merupakan suatu keluhan, bukan penyakit.

kolon, rektum, atau keduanya yang tampak pada foto polos perut. Studi epidemiologis menunjukkan kenaikan pesat dari konstipasi terkait dengan usia terutama berdasarkan keluhan pasien dan bukan karena konstipasi klinis. Banyak orang mengira dirinya konstipasi bila tidak buang air besar (BAB) tiap hari sehingga sering terdapat perbedaan pandang antara dokter dan pasien tentang arti konstipasi itu sendiri. Frekuensi BAB bervariasi dari 3 kali per hari sampai 3

Sekitar 80% manusia pernah menderita konstipasi dalam hidupnya dan konstipasi yang berlangsung singkat masih

dianggap normal. Menurut National Health Interview rv ey pada tahun I 99 l, sekitar 4, 5 juta penduduk Amerika mengeluh menderita konstipasi terutama anak-anak, perempuan, dan orang berusia 65 tahun ke atas. Hal ini menyebabkan kunjungan ke dokter sebanyak2,5 j:utakalil tahun dan menghabiskan dana sekitar 725 juta dolar untuk obat-obatan pencahar. Konstipasi merupakan keluhan saluran cetrra yarrg terbanyak pada usia lanjut. Terjadi peningkatan keluhan ini dengan bertambahnya usia; 30-40% orang berusia di atas 65 tahun mengeluh konstipasi. Di Inggris, 30o/o Su

kali per minggu. Secara umum, bila 3 hari belum BAB, massa feses akan mengeras dan ada kesulitan sampai rasa

sakit saat BAB. Konstipasi sering diartikan sebagai kurangnya frekuensi BAB, biasanya kurang dari 3 kali per minggu dengan feses yang kecil-kecil dan keras, serta kadangkala disertai kesulitan sampai rasa sakit saat BAB. Orang usia lanjut seringkali terpancang dengan kebiasaan BAB-nya. Hal ini mungkin merupakan kelanjutan dari pola hidup semasa kanak-kanak dan saat masih muda, dimana setiap usaha dikerahkan untuk BAB teratur tiaphai,kalau perlu dengan menggunakan pencahar unhrk mendapatkan perasaan sudah bersih. Ada anggapan umum yang salah bahwa kotoran yang tertimbun dalam usus besar akan

penduduk berusia di atas 60 tahun merupakan konsumen yang teratur menggunakan obat pencahar. Di Australia, sekitar 20o/o dari populasi berusia di atas 65 tahun mengeluh mengalami konstipasi dan terjadi lebih banyak pada

perempuan dibandingkan pria. Suatu penelitian yang

melibatkan 3.000 orang berusia di atas 65 tahun menunjukkan sekitar 34o/o perempuan dan 26o/o pria mengeluh mengalami konstipasi.

diserap lagi, berbahaya untuk kesehatan, dan dapat memperpendek usia. Ada pula yang mengkhawatirkan keracunan dari fesesnya sendiri bila dalamjangka waktu tertentu tidak dikeluarkan. Suatu batasan dari konstipasi diusulkan oleh Holson, meliputi paling sedikit2 datj' keluhan di bawah ini dan terjadi dalam waktu 3 bulan: a). konsistensi feses yang keras; b). mengejan dengan keras saat BAB; c). rasa tidak tuntas saat BAB, meliputi 25oh daikeseluruhan BAB; d). frekuensi BAB 2 kali seminggu atau kurang. Int ernational Worlcs hop on C ons t ip ati on berusaha lebih jelas memberikan batasan konstipasi. Berdasarkan

DEFINISI KONSTIPASI Pada umumnya konstipasi sulit didefinisikan secara tegas

karena sebagai suatu keluhan terdapat variasi yang berlainan antara individu. Penggunaan istilah konstipasi secara keliru dan belum adanya dehnisi yang universal menyebabkan lebih kaburnya hal ini. Biasanya konstipasi

berdasarkan laporan pasien sendiri atau kdnstipasi anamnestik dipakai sebagai data pada penelitian-penelitian. Batasan dari konstipasi klinis yang sesungguhnya adalah

876

877

KONSTIPASI DAN INKONTINENSTA ALVI

rekomendasinya, konstipasi dikategorikan dalam dua golongan: 1). konstipasi fungsional, 2). konstipasi karena penundaan keluamya feses pada muara rekto-sigmoid. Konstipasi fungsional disebabkan waktu perj alanan yang lambat dari feses, sedangkan pemrndaan pada muara rektosigmoid menunjukkan adanya disfirngsi anorektal. Yang terakhir ini ditandai adanya perasaafl sumbatan pada anus.

Penelitian dengan petanda radioopak yang ditelan oleh orang usia lanjut yang sehat tidak mendapatkan adanya

perubahan dari total waktu gerakan usus, termasuk aktivitas motorik dari kolon. Total waktu pergerakan usus dengan mengikuti petanda radioopak yang ditelan, normalnya kurang dari 3 hari sudah dikeluarkan. Sebaliknya, penelitian pada orang usia lanjut yang menderita konstipasi menunjukkan perpanjangan waktu

t hari. Pada mereka yang dirawat atau terbaring di tempat tidur, dapat lebih panjang lagi sampai l4hari. Petanda radioaktif yang dipakai terutama lambat j alarurya pada kolon sebelah kiri dan paling lambat saat pengeluaran dari kolon sigmoid. Pemeriksaan elektrofi siologis untuk mengukur aktivitas motorik dari kolon pasien dengan konstipasi menunjukkan gerakan usus dari 4 sampai

Tipe

1. Konstipasi fungsional

2.

Penundaan pada muara rektum

Dua atau lebih dari keluhan ini ada paling sedikit dalam 12 bulan: mengedan keras 25o/o dari BAB feses yang keras 25% dari BAB rasa tidak tuntas 25o/o dari BAB BAB kurang dari 2 kali per minggu hambatan pada anus lebih dari 25% BAB waktu untuk BAB lebih lama perlu bantuan jari-jari untuk mengeluarkan feses

-

PATOFISIOLOGI KONSTIPASI Defekasi seperti juga pada berkemih adalah suatu proses fisiologis yang menyertakan kerja otot-otot polos dan serat lintang, persarafan sentral dan perifer, koordinasi dari sistem refleks, kesadaran yang baik dan kemampuan fisis untuk mencapai tempat BAB. Kesukaran diagnosis dan pengelolaan dari konstipasi adalah karena banyaknya

mekanisme yang terlibat pada proses BAB normal. Gangguan dari salah satu mekanisme ini dapat berakibat

konstipasi. Defekasi dimulai dari gerakan peristaltik usus besar yang menghantarkan feses ke rektum untuk dikeluarkan. Feses masuk dan meregangkan ampula dari rektum diikuti relaksasi

dari sfingter anus interna. Untuk menghindarkan pengeluaran feses yang spontan, terjadi refleks kontraksi dari sfingter anus ekstema dan kontraksi otot dasar pelvis

yang dipersarafi oleh saraf pudendus. Otak menerima rangsang keinginan untuk BAB dan sfingter anus ekstema

diperintahkan untuk relaksasi, sehingga rektum mengeluarkan isinya dengan bantuan kontraksi otot dinding perut. Kontraksi ini akan menaikkan tekanan dalam perut, relaksasi sfingter dan otot levator ani. Baik persarafan simpatis maupun parasimpatis terlibat dalam proses BAB. Patogenesis dari konstipasi bervariasi, penyebabnya multipel, mencakup beberapa faktoryang tumpang tindih.

berkurangnya respons motorik dari sigmoid akibat berkurangnya inervasi intrinsik karena degenerasi pleksus mienterikus. Ditemukan juga berkurangnya rangsang saraf

pada otot polos sirkuler yang dapat menyebabkan memanjangnya waktu gerakan usus. Individu di atas usia 60 tahun juga terbukti mempunyai

kadar plasma beta-endorfin yang meningkat, disertai peningkatan ikatanpada reseptor opiat endogen di usus. Hal ini dibuktikan dengan efek konstipatif dari sediaan opiat yang dapat menyebabkan relaksasi tonus kolon, motilitas berkurang, dan menghambat refleks gaster-kolon. Selain ifu, terdapat kecenderungan menurunnya tonus sfingter dan kekuatan otot-otot polos berkaitan dengan

usia, khususnya pada perempuan. Pasien dengan konstipasi mempunyai kesulitan lebih besar untuk mengeluarkan feses yang kecil dan keras, sehingga upaya mengejan lebih keras dan lebih lama. Hal ini dapat berakibat penekanan pada saraf pudendus sehingga menimbulkan kelemahan lebih lanjut. Sensasi dan tonus dari rektum tidak banyak berubah pada usia lanjut. Sebaliknya pada mereka yang mengalami konstipasi dapat mengalami tiga perubahan patologis pada rektum:

Diskesia Rektum Ditandai dengan penurunan tonus rektum, dilatasi rektum, gangguan sensasi rektum, dan peningkatan ambang kapasitas. Dibutuhkan lebih besar regangan rektum untuk menginduksi refleks relaksasi dari sfingter eksterna dan intema. Pada colok dubur pasien dengan diskesia rektum sering didapatkan impaksi feses yang tidak disadari karena dorongan untuk BAB sering sudah tumpul. Diskesia rektum juga dapat diakibatkan kurang tanggapnya ata,u

Walaupun konstipasi merupakan keluhan yang banyak pada usia lanjut, motilitas kolon tidak terpengaruh oleh bertambahnya usia. Proses menua yang normal tidak

penekanan pada dorongan untuk BAB seperti yang dijumpai pada penderita demensia, imobilitas, atau sakit

mengakibatkan perlambatan dari perjalanan saluran cerna.

daerah anus dan rektum.

Perubahan patofisiologi yang menyebabkan konstipasi bukanlah karena bertambahnya usia tetapi memang khusus terjadi pada mereka dengan konstipasi.

Dis-sinergia Pelvis Terdapat kegagalan untuk relaksasi otot pubo-rektalis dan

878

GERI'TTRI

sfingter anus eksterna saat BAB. Pemeriksaan secara manometrik menunjukkan peningkatan tekanan pada

penyebabnya. Konstipasi merupakan suatu keluhan klinis yang umum dengan berbagai tanda dan keluhan lain yang

saluran anus saat mengejan.

berhubungan. Pasien yang mengeluh konstipasi tidak selalu sesuai dengan patokan-patokan yang obyektif. Misalnya bila dalam24 jambelum BAB atau ada kesulitan harus mengejan dan perasaan tidak tuntas untuk BAB sudah mengira dirinya menderita konstipasi.

Peningkatan Tonus Rektum Te{adi kesulitan mengeluarkan feses yang bentuknya kecil. Sering ditemukan pada kolon yang spastik seperti pada penyakit iritable bowel syndrome, dimana konstipasi

Beberapa keluhan yang mungkin berhubungan dengan konstipasi adalah:

merupakan hal yang dominan.

FAKTOR.FAKTOR RISIKO KONSTIPASI PADA USIA LANJUT Dibutuhkan pengenalan faktor-faktor risiko yang berkaitan

dengan konstipasi pada usia lanjut untuk memahami

masalah

ini.

Sebagai contoh, polifarmasi dapat

menyebabkan konstipasi karena beberapa golongan obat

mempunyai potensi untuk hal ini. Beberapa kelainan neurologis dan endokrin-metabolik juga dapat mengakibatkan konstipasi yang berat. Secara singkat, sebagian faktor-faktor risiko tersebut dapat dilihat pada Thbel2.

Obat-obatan

. . . . .

golongan golongan golongan golongan NSAID

antikolinergik narkotik analgetik diuretik

Kondisi neurologis

. .

strok Penyakit Parkinson

. . . . . . .

kalsium antagonis preparat kalsium preparat besi antasida aluminium penyalahgunaan pencahar trauma medula spinalis neuropati diabetik

hiperkalsemia hipokalemia hipotiroid

Kausa psikologis

. . .

psikosis depresi demensia

Penyakit-penyakit saluran cerna

. . . . .

kanker kolon divertikel ileus hernia volvulus

Lain-lain

. . .

diet rendah serat kurang cairan imobilitas/kurang olahraga

. kurang privasi untuk BAB . mengabaikan dorongan BAB . konstipasi imajiner . . . . .

lritable bowel syndrome rektokel

wasir fistulaifisura ani inersia kolon

. bepergian jauh . pasca tindakan

kesulitan memulai dan menyelesaikan BAB mengejan keras saat BAB massa feses yang keras dan sulit keluar perasaan tidak tuntas saat BAB sakit pada daerah rektum saat BAB rasa sakit pada perut saat BAB adanya perembesan feses cair pada pakaian dalam

.

feses menggunakan obat-obatan pencahar untuk bisa BAB

menggunakan bantuan jari-jari untuk mengeluarkan

Pemeriksaan fisis pada konstipasi sebagian besar tidak

didapatkan kelainan yang jelas. Walaupun demikian pemeriksaan'fisis yang teliti dan menyeluruh diperlukan untuk menemukan kelainan-kelainan yang berpotensi mempengaruhi khususnya fungsi usus besar. Diawali dengan pemeriksaan rongga mulut meliputi gigi-geligi, adanya lesi selaput lendir mulut dan tumor yang dapat

Gangguan metabolik

. . .

. . . . . . . .

mengganggu rasa pengecap dan proses menelan. Pemeriksaan daerah perut dimulai dengan inspeksi adakah pembesaran abdomen, peregangatT, atalu tonjolan. Selanjutnya palpasi pada permukaan perut untuk menilai kekuatan otot-otot perut. Palpasi lebih dalam dapat meraba massa feses di kolon, adanyatumor atau aneurisma aorta. Pada perkusi dicari antara lain pengumpulan gas berlebihan, pembesaran organ, asites, atau adanya massa feses. Auskultasi antara lain untuk mendengarkan suara gerakan usus besar, normal atau berlebihan, misalnya pada

sumbatan usus. Pemeriksaan daerah anus memberikan petunjuk penting, misalnya adakah \Masir, prolaps, fisura, fistula, dan massa tumor di daerah anus yang dapat mengganggu proses BAB. Pemeriksaan colok dubur harus dikerjakan antara lain untuk mengetahui ukuran dan kondisi rektum serta besar

dan konsistensi feses. Colok dubur dapat memberikan informasi tentang: bedah

perut

TAMPILAN KLINIS KONSTIPASI Anamnesis yang terperinci merupakan hal terpenting untuk mengungkapkan adakah konstipasi dan faktor risiko

. . . . . . .

tonus rektum tonus dan kekuatan sfingter kekuatan otot pubo-rektalis dan otot-otot dasar pelvis adakah timbunan massa feses adakah massa lain (misalnyahemoroid)

adakah darah adakah perlukaan di anus

Pemeriksaaan laboratorium dikaitkan dengan upaya

879

KONSTIPASI DAN INKONTINENSIA ALVI

mendeteksi faktor-faktor risiko penyebab konstipasi, misalnya glukosa darah, kadar hormon tiroid, elektrolit, anemia yang berhubungan dengan keluarnya darah dari rektum, dan sebagainya. Prosedur lain misalnya anuskopi dianjurkan dikerjakan secara rutin pada semua pasien dengan konstipasi untuk menemukan adakah fisura, ulkus, wasir dan keganasan. Foto polos perut harus dikerjakan pada penderita konstipasi, terutama yang terjadinya akut. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi adakah impaksi feses dan adanya massa feses yang keras yang dapat menyebabkan sumbatan dan perforasi kolon. Bila diperkirakan ada sumbatan kolon, dapat dilanjutkan dengan barium enema untuk memastikan tempat dan sifat sumbatan. Pemeriksaan yang intensif ini dikerjakan secara selektif setelah 3-6 bulan pengobatan konstipasi kurang berhasil dan dilakukan hanya pada pusatpusat pengelolaan konstipasi tertentu. Uji yang dikerjakan dapat bersifat anatomik (enema,

proktosigmoidoskopi, kolonoskbpi) atau hsiologik (waktu singgah di kolon, cinedefecografi, manometri dan

elektromiografi). Proktosig-moidoskopi biasanya dikerjakan pada konstipasi yang baru terjadi sebagai prosedur penapisan adanya keganasan kolon-rektum. Bila ada penurunan berat badan, anemia, keluarnya darah da/, rektum atau adanya riwayat keluarga dengan kanker kolon perlu dikerj akan kolonoskopi. Waktu persinggahan suatu bahan radio-opak di kolon dapat diikuti dengan melakukan pemeriksaan radiologis setelah menelan bahan tersebut. Bila timbunan zat ini terutama ditemukan di rektum menunjukkan kegagalan fungsi ekspulsi, sedangkan bila di kolon menunjukkan kelemahan yang menyeluruh. Sinedefecografi adalah pemeriksaan radiologis daerah anorektal untuk menilai evakuasi feses secara funtas, mengidentifikasi kelainan anorektal dan mengevaluasi kontraksi serta relaksasi otot rektum. Uji ini memakai semacam pasta yang konsistensinya mirip feses, dimasukkan ke dalam rektum. Kemudian penderita duduk pada toilet yang diletakkan dalam pesawat sinar X. Penderita diminta mengejan untuk mengeluarkan pasta tersebut. Dinilai kelainan anorektal saat proses berlangsung.

Uji manometri dikerjakan untuk mengukur tekanan pada rektum dan saluran anus saat istirahat dan pada berbagai rangsang untuk menilai fungsi anorektal. Pemeriksaan elektromiograf,r dapat mengukur misalnya tekanan sfingter dan fungsi sarafpudendus, adakah atrofi saraf yang dibuktikan dengan respons sfingter yang terhambat. Pada kebanyakan kasus tidak didapatkan kelainan anatomik maupun fungsional, sehingga penyebab dari konstipasi disebut sebagai non-spesifik.

KOMPLIKASI KONSTIPASI PADA USIA LANJUT Walaupun untuk kebanyakan orang usia lanjut, konstipasi

hanya sekedar mengganggu,tetapi untuk sebagian kecil dapat berakibat komplikasi yang serius, misalnya impaksi feses. Impaksi feses merupakan akibat dari terpaparnya feses pada daya penyerapan dari kolon dan rektum yang berkepanjangan. Feses dapat menjadi sekeras batu, di rekixn(70yo), sigmoid (2002), dan kolon bagian proksimal (10%o).

Impaksi feses merupakan penyebab yang penting dari morbiditas pada usia lanjut, meningkatkan risiko perawatan di rumah sakit dan mempunyai potensi untuk komplikasi

yang fatal. Penampilannya sering hanya berupa kemunduran klinis yang tidak spesiflft. Kadang-kadang dari pemeriksaan fisis didapatkan panas sampai 39,5oC, delirium, perut yang tegang, suara usus melemah, aritmia serta takipnea karena peregangan dari diafragma. Pemeriksaan

laboratorium didapatkan lekositosis. Peristiwa ini bisa diakibatkan ulserasi sterkoraseus dari suatu fecaloma yang keras menyebabkan ulkus dengan tepi yang nekrotik dan meradang. Dapat terjadi perforasi dan penderita datang dengan sakit perut berat yang mendadak. Impaksi feses yang berat pada daerah rektosigmoid dapat menekan leher kandung kemih menyebabkan retensio urin, hidronefrosis bilateral, dan kadang-kadang gagal ginjal yang membaik setelah impaksi dihiiangkan. Inkontinensia alvi juga sering didapatkan, karena impaksi feses di daerah kolorektal. Volvulus daerah sigmoid juga sering terjadi sebagai komplikasi dari konstipasi. Mengejan berlebihan dalam jangka waktu lama pada penderita dengan konstipasi dapat berakibat prolaps dari rektum.

PENGOBATAN Banyaknya macam-macam obat yang dipasarkan untuk

mengatasi konstipasi, merangsang upaya untuk memberikan pengobatan secara simtomatik. Sedangkan bila mungkin, pengobatan harus ditujukkan pada penyebab dari konstipasi. Penggunaan obat pencahar jangka panjang terutama yang bersifat merangsang peristaltik usus, harus

dibatasi. Strategi pengobatan dibagi menjadi: l).Pengobatan non farmakologis, 2). Pengobatan farmakologis

Pengobatan Non Farmakologis Latihan usus besar. Melatih usus besar adalah suatu bentuk latihan perilaku yang disarankan pada penderita konstipasi yang tidak jelas penyebabnya. Penderita dianjurkan mengadakan waktu s ecaratetat;)r tiap hari untuk memanfaatkan gerakan usus besarnya. Dianjurkan waktu ini adalah 5-10 menit setelah makan, sehingga dapat memanfaatkan refleks gastro-kolon untuk BAB. Diharapkan kebiasaan ini dapat menyebabkan

880

GERIATRI

penderita tanggap terhadap tanda-tanda dan rangsang

INKONTINENSIA ALVI

untuk BAB, dan tidak menahan atau menunda dorongan

untukBAB ini.

Pendahuluan

Diet. Peran diet penting untuk mengatasi konstipasi

Inkontinensia alvi sering digambarkan sebagai peristiwa

terutama pada golongan usia lanjut. Data epidemiologis

yang tidak menyenangkan tetapi tidak terelakkan, berkaitan

menunjukkan bahwa diet yang mengandung banyak

dengan usia lanjut. Sebenarnya, seperti halnya dengan ulkus dekubitus, inkontinensia alvi seringkali tef adi akibat sikap dokter dan tindakan keperawatan yang kurang tepat.

serat mengurangi angka kejadian konstipasi dan macam-

macam penyakit gastrointestinal lainnya, misalnya divertikel dan kanker kolorektal. Serat meningkatkan massa

dan berat feses serta mempersingkat waktu transit

Dengan diagnosis dan pengobatat yar,g sesuai, inkontinensia alvi pada usia lanjut hampir seluruhnya

di usus.

dapat dicegah.

Untuk mendukung manfaat serat ini, diharapkan cukup asupan cairan sekitar 6-8 gelas sehari, bila tidak ada kontraindikasi untuk asupan cairan.

Inkontinensia alvi lebihjarang ditemukan dibandingkan inkontinensia urin. Tiga puluh hingga lima puluh persen

Olahraga. Cukup aktivitas atau mobilitas dan olahraga juga membantu mengatasi konstipasi. Jalan kaki atau larilari kecil yang dilakukan sesuai dengan umur dan kemampuan pasien, akan menggiatkan sirkulasi dan meningkatkan tonus otot usus. Dianjurkan juga untuk melakukan senam perut untuk memperkuat otot-otot dinding perut, terutama pada penderita dengan atoni pada

otot perut.

sekali seminggu, dan sampai 50o% dari mereka yang dirawat

terapi farmakologis, dan biasanya dipakai obat-obatan golongan pencahar. Ada 4 tipe golongan obat pencahar: . memperbesar dan melunakkan massa feses, antara lain: Cereal, Methyl selulose, Psilium

. .

ini bekerja

dengan menurunkan tegangan permukaan feses, sehingga mempermudah penyerapan air. Contohnya antara lain: Minyak kastor, Golongan docusate golongan osmotik yang tidak diserap, sehingga cukup aman untuk digunakan, misalnya pada penderita gagal gtnjal, antaralain: Sorbitol, Lactulose, Glycerin

merangsang peristaltik, sehingga meningkatkan motilitas usus besar. Golongan ini yang banyak dipakai. Perlu diperhatikan bahwa pencahar golongan ini bila dipakai untuk jangka panjang, dapat merusak pleksus

mesenterikus dan berakibat dismotilitas kolon. Contohnya antara lain: Bisakodil, Fenolptalein

Bila dijumpai konstipasi kronis yang berat dan tidak dapat diatasi dengan cara-caratersebut di atas, mungkin

dibutuhkan tindakan pembedahan. Misalnya kolektomi sub total dengan anastomosis ileorektal. Prosedur ini dikerjakan pada konstipasi berat dengan masa transit yang lambat dan tidak diketahui penyebabnya serta tidak ada

respons dengan pengobatan yang diberikan. Pada umumnya, bila tidak dijumpai sumbatan karena massa

atau adanya volvulus, tidak dilakukan tindakan pembedahan.

dapat mengakibatkan pengurangan aktivitas fisis, kehilangan kontak sosial, dan lebih jelek lagi sampai diisolasi. Inkontinensia alvi saat ini merupakan penyebab kedua di Amerika Serikat untuk memasukkan orang usia lanjut di rumah-rumah perawatan. Sekitar 7% dari populasi

Pengobatan Farmakologis

melunakkan dan melicinkan feses, obat

inkontinensia alvi. Untuk sebagian orang usia lanjut, inkontinensia alvi

usia lanjut mengalami inkontinensia alvi paling sedikit

Jika modifikasi perilaku ini kurang berhasil, ditambahkan

.

pasien dengan inkontinensia urin, juga menderita inkontinensia alvi. Keadaan ini menunjukkan mekanisme patofisiologi yang sama antara inkontinensia urin dan

di rumah-rumah perawatan bagi usia lanjut, menderita inkontinensia alvi. Kebanyakan pasien tidak pernah melaporkan masalah ini pada doktemya. Pria usia lanjut lebih sering mengalami inkontinensia alvi dibandingkan perempuan usia lanjut, dan bentuk inkontinensianya lebih sering cair daripada bentuk padat.

PENGATURAN DEFEKASI NORMAL Defekasi, seperti juga halnya berkemih, adalah suatu proses fisiologis yang melibatkan :

.

koordinasi susunan sarafpusat dan perifer serta sistem

.

refleks kontraksi yang baik dari otot-otot polos dan serat lintang

.

yang terlibat kesadaran dan kemampuan untuk mencapai tempat buang air besar.

Di daerah rektum dan anus sendiri, adaliga hal yang penting untuk mekanisme pengaturan buang air besar, yang tugasnyamempertahankan penutupan yang baik dari

saluran anus, yaitu

: a). Sudut anorektal

yang

dipertahankan pada posisi yang paling ideal, di bawah 100" oleh posisi otot-otot pubo-rektal; b). Sfingter anus eksterna yang melindungi terutama terhadap kenaikan mendadak dari tekanan intra-abdominal, misalnya batuk, bersin, olahraga, dan sebagainya; c). Bentuk anus sendiri

KONSTIPASI DAN IIIKONTINENSIA ALVI

881

yang seakan menguncup berbentuk katup, dengan otototot serta lipatan mukosa yang saling mendukung.

lunak sebagai penyebab. Pengelolaan yang sesuai untuk konstipasi akan menyembuhkan inkontinensia alvi.

GAMBARAN KLINIS Klinis inkontinensia alvi tampak dalam dua keadaan: l).

Langkah pertama adalah mengidentifikasi semua kemungkinan penyebabnya. Secara umum diet yang kurang baik, imobilitas, kebiasaan buang air besar yang tidak tertib dan penggunaan laksans yang tidak tepat merupakan penyebab paling sering untuk inkontinensia

Feses yang cair atau belum terbentuk, sering bahkan selalu

pada usia lanjut.

keluar merembes; 2). Keluarnya feses yang sudah

Pemberian diet tinggi serat dengan cairan cukup dan meningkatkan aktivitas/mobilitas merupakan langkah

terbentuk, sekali atau dua kali per hari, di pakaian atau di tempat tidur. Perbedaan dari penampilan klinis kedua macam inkontinensia alvi ini dapat mengarahkan pada penyebab yang berbeda dan merupakan petunjuk untuk diagnosis. Penyebab dari inkontinensia alvi dapat dibagi menjadi 4 kelompok:

. .

inkontinensia alvi akibat konstipasi inkontinensia alvi simtomatik, yang berkaitan dengan penyakit pada usus besar . inkontinensia alvi akibat gangguan kontrol persarafan dari proses defekasi (inkontinensia neurogenik) . inkontinensia alvikarenahilangnyarefleks anal Jenis-j enis Inkontinensia Alvi Selanjutnya akan dibicarakan masing-masing tipe dari inkontinensia dan pengelol aarffiya.

lnkontinensia Alvi Akibat Konstipasi Batasan dari konstipasi (obstipasi) masih belum tegas. Secara teknis dimaksudkan untuk buang air besar kurang dari tiga kali per minggu, tetapi banyak pasien sudah mengeluhkan konstipasi bila ada kesulitan mengeluarkan feses yang keras atau merasa kurang puas saat buang air besar. Konstipasi sering sekali dijumpai pada usia lanjut dan merupakan penyebab utama pada inkontinensia alvi pada usia lanjut. Obstipasi bila berlangsung lama dapat mengakibatkan sumbatan/impaksi dari massa feses yang keras (skibala). Massa feses yang tidak dapat keluar ini akan menyumbat lumen bawah dari anus dan menyebabkan perubahan dari sudut anorektal. Kemampuan sensor menumpul dan tidak dapat membedakan antara flatus, cairan atau feses. Akibatnya feses yang cair akan merembes keluar. Skibalayang te{adi juga akan meyebabkan iritasi pada mukosa rektum sehingga akan diproduksi cairan dan mukus, yang selanjutnya melalui sela-sela dari feses yang

impaksi akan keluar dan terjadi inkontinensia alvi. Diagnosis ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisis, antara lain meraba adanya skibala pada colok dubur. Dari anamnesis didapatkan keterangan keluarnya feses yang tidak berbentuk atau lunak sekali, beberapa kali sehari dan penderita hampir selalu basah tercemar. Pada colok dubur bila didapatkan massa feses yang keras akan mendukung diagnosis konstipasi sebagai penyebab inkontinensia alvi, tetapi dapat juga massa feses yang

pertama yang harus diperhatikan: Buang air besar secara teratur dengan menyesuaikan refleks gaster-kolon yang

timbul beberapa menit setelah selesai makan harus dimanfaatkan, dengan mengatur waktu untuk buang air besar pada saat itu. Tempat buang air besar yang tenang dan pribadijuga akan mendukung. Bila konstipasi merupakan keluhan yang baru saja dialami dan ada perubahan dari buang air besar, maka macam-macam kelainan/penyakit kolo-rektal harus dicari. Demikian juga kelainan metabolik, misalnya neuropati diabetik, kelainan-kelainan neurologis lain seperti strok, gangguan medula spinalis, depresi, dan lain-lain. Akhirnya tidak boleh dilupakan adalah efek.samping

obat yang penggunaannya kurang tepat. Beberapa golongan obat-obatan memang sering dimanfaatkan untuk pengobatan konstipasi, dengan catatarr digunakan secara

rasional sesuai tipe konstipasi yang dihadapi. Bila indikasinya tidak sesuai, obat tersebut bahkan dapat berakibat konstipasi. Misalnya penggunaan secara berlebihan dapat menyebabkan atoni kolon, sehingga dianjurkan pemakaian tidak lebih dari tiga kali seminggu. Obat-obatan yang disebut sebagai laksans atau pencahar tersebut, kerjanyaantara lain dengan menambah volume feses, atau dengan cara melunakkan dan melicinkan permukaan feses hingga mudah keluar, meningkatkan pembentukan cairan dalam lumen usus, menstimulasi pergerakan usus dan meningkatkan refleks buang air besar.

lnkontinensia Alvi Simtomatik Inkontinensia alvi simtomatik dapat merupakan penampilan klinis dari berbagai macam kelainan patologis

yang dapat meyebabkan diare. Keadaan ini mungkin dipermudah dengan adanya perubahan berkaitan dengan bertambahnya usia dari proses kontrol yang rumit pada fungsi sfingter terhadap feses yang cair dan gangguan pada saluran anus bagian atas dalam membedakan flatus dan feses yang cair. Beberapa penyebab diare yang mengakibatkan inkontinensia alvi simtomatik ini antara lain gastroenteritis, divertikulitis, proktitis, kolitis-iskemik, kolitis ulseratif, karsinoma kolon-rektum. Semua pertimbangan diagnosis di atas, menunjukkan perlunya pemeriksaan tambahan misalnya kolonoskopi dan foto kolon dengan barium enema. Penyebab lain dari inkontinensia alvi simtomatik

882

GERIAIRI

misalnya kelainan metabolik, seperti diabetes melitus, kelainan endokrin, seperti tirotoksikosis, kerusakan sfingter anus sebagai komplikasi dari operasi hemoroid

menunjukkaq berkurangnya unit-unit yang berfungsi motorik pada otot-otot daerah sfingter dan pubo-rektal. Keadaan ini menyebabkan hilangnya refleks anal,

yang kurang berhasil, dan prolaps-rektum. Akhimyajangan dilupakan penyebab paling umum dari diare pada usia lanjut adalah obat-obatan, antara lain yang

berkurangnya sensasi pada anus disertai menurunnya tonus anus. Hal ini dapat berakibat inkontinensia alvi pada peningkatan tekanan intra-abdomen dan prolaps dari

mengandung unsur besi atau memang akibat kerja

rektum. Pengelolaan inkontinensia

pencahar. Pengobatan dari inkontinensia alvi simtomatik adalah

diserahkan pada ahli proktologi untuk pengobatannya.

terhadap kelainan penyebabnya, dan bila tidak dapat diobati dengan cara tersebut, maka diusahakan terkontrol dengan obat-obatan yang menyebabkan obstipasi.

lnkontinensia Alvi Neurogenik Inkontinensia alvi neurogenik terjadi akibat

gangguan

fungsi menghambat dari korteks serebri saat terjadi regangan/distensi rektum. Proses normal dari defekasi melalui refleks gatro-kolon. Beberapa menit setelah makanan sampai di lambung/gaster, akan menyebabkan pergerakan feses dari kolon desenden ke arah rektum. Distensi rektum akan diikuti relaksasi sfingter interna. Dan

seperti halnya kandung kemih, tidak terjadi kontraksi intrinsik dari rektum pada orang dewasa normal, karena ada inhibisi/hambatan dari pusat di korteks serebri. Bila buang air besar tidak memungkinkan, maka hal ini tetap ditunda dengan inhibisi yang disadari terhadap kontraksi rektum dan sfingter eksternanya. Pada usia lanjut dan terutama pada pasien dengan penyakit serebrovaskular, kemampuan untuk menghambat proses defekasi ini dapat terganggu bahkan hilang. Karakteristik inkontinensia neurogenik ini tampak pada penderita dengan infark serebri multiple atau penderita demensia. Gambaran klinisnya ditemukan satu-dua potong feses yang sudah berbentuk di tempat tidur, dan biasanya setelah minum panas atau makan.

Pengelolaan inkontinensia alvi neurogenik kadangkadang dengan cara yang sederhana dan cukup baik hasilnya, tetapi sering dilupakan. Penderita disiapkan pada suatu komodo (commode), duduk santai dengan ditutup

kain sebatas lututnya, kemudian diberi minumanhangat, relaks dan dijaga ketenangannya sambil ditunggu sampai feses keluar. Bila dengan cara tersebut tidak berhasil, diberikan obat-

obatan yang menyebabkan konstipasi, tetapi dipastikan

diikuti evaluasi usus bagian bawah satu atau dua kali seminggu dengan supositoria atau enema. Cara ini membutuhkan penyesuaian individual yang hati-hati dan

teliti, agar tidak mengubah inkontinensia menjadi konstipasi sesungguhnya.

ini

sebaiknya

KESIMPULAN Konstipasi merupakan keluhan terbanyak dari saluran cerna pada usia lanjut. Konstipasi sulit diberikan batasan secara tegas karena sebagai suatu keluhan terdapat variasi yang berbeda antar individu. Konstipasi-anamnestik sering dipakai sebagai patokan dalam penelitian-penelitian. International Workshop on C onstip ation memberikan rekomendasi konstipasi sebagai berikut : l.Konstipasi fungsional, 2. Konstipasi karena penundaan keluarnya feses pada muara rektosigmoid. Walaupun konstipasi merupakan keluhan yang banyak pada lanjut usia, motilitas kolon tidak terpengaruh dengan

bertambahnya usia. Proses menua yang normal tidak mengakibatkan perlambatan dari perjalanan saluran cema. Perubahan patofi siologis yang menyebabkan konstipasi bukanlah karenabertambahnya usia tetapi memang khusus terjadi pada mereka dengan konstipasi.

Anamnesis merupakan hal terpenting untuk mengr.rngkapkan etiologi dan faktor-faktor risiko penyebab

konstipasi, sedangkan pemeriksaan fisis pada umumnya tidak mendapatkan kelainan yang jelas. Pemeriksaan colbk dubur dapat memberikan banyak informasi' yang berguna pemeriksaan-pemeriksaan lain yang intensifdikerjakan secara seleklifsetelah 3 sampai 6 bulan pengobatan konstipasi kurang berhasil dan dilakukan hanya pada pusat-pusat pengelolaan konstipasi tertentu. Pengobatan konstipasi sebaiknya ditujukan untuk

menghilangkan penyebabnya. Langkah-langkah pengobatan adalah secara nonfarmakologis, farmakologis dan pada keadaan khusus antara lain dilakukan tindakan pembedahan. Inkontinensia alvi lebih jarang ditemukan dibandingkan

inkontinensia urin. Defekasi, seperti halnya berkemih, adalah suatu proses fisiologis yang melibatkan koordinasi

dari sistem saraf pusat dan perifer, respons refleks, kontraksi otot-otot polos dan serat lintang, kesadaran yang cukup baik serta kemampuan mencapai tempat buang air besar.

Perubahan-perubahan akibat proses menua dapat

lnkontinensia Alvi Akibat Hilangnya Refleks Anal Inkontinensia alvi ini terjadi akibat hilangnya refleks anal, disertai kelemahan otot-otot serat lintang.

Parks, Henry, dan Swash dalam penelitiannya,

mencetuskan terjadinya inkontinensia, tetapi inkontinensia bukan suatu hal yang normal pada usia lanjut. Penampilan klinis dari inkontinensia dapat memberikan petunjuk penyebabnya, dan selanjutnya pengelolaannya

883

KONSTIPASI DAN INKONTINENSIA ALVI

yang terutama berdasarkan penyebab, baik dengan tindakan suportif, obat-obatan dan bila perlu tindakan pembedahan.

Dengan diagnosis yang tepat dan pengobatan yang sesuai, inkontinensia alvi pada usia lanjut hampir seluruhnya dapat dicegah dan diobati. Tujuannya tidak hanya terletak pada keadpan yang kurang nyaman, bahkan

memalukan pada penderita, telapi fakta bahwa inkontinensia alvi dapat merupakan petunjuk pertama adanya penyakit serius pada saluran cerna bawah yang mungkin dapat diobati bila ditemukan dini

REFERENSI American Society of Colon and Rectal Surgeons ( ASCRS ) : Constipation June 3,2002 : 7-3 Azer, S A : Constipation Medicine, Nov.7, 2002 : 1-13 Brocklehurst JC, Alllen SC. Faecal incontinence. Geriatric Medicine for Studenta, 3'd ed. Churchill-Livingstone: 1987.p. 92-97. Brocklehurst JC, Allen SC. Urinary incontinence. Geriatric Medicine for Students, 3'd ed. Churchill-Livingstone, 1987;73-91 Cahill,M : Constipation. Mastering geriatric Care, Springhouse Corp:.1997 .p.65-67 Cheskin LJ ; Schuster MM : Constipation. In Hazzard WR 2'd ed.Principles of Geriatric medicine and Gerontology, Mc Graw Hill inc: 1990.p. 1161-1167. Cheskin L J; Schaefer, D.C : Constipation in the Elderly. American

Family Physician, Sept.15,1998. Fonda D. Management of the incontinent elderly patient. In : Update in Geriatric Medicine. The MSD General Practitioner Universities Programme.

Harari, D. Constipation in the elderly. ln Hazzatd WR 4 th ed. Principles of Geriatric Medicine and Gerontology, Mc Graw Hill inc: 1999.p. 149l-1505. Hamdy RC. Altered Bowel Habits. Geriatric Medicine, a problem oriented approach. Bailiere Tindall ed. 1984.p. 158-164. Holson,

D. : Constipation Medicine, May 14, 2002 : l-I4

Kane RL, Ouslander JG, Abrass IB. Incontinence. Essentials of clini-

cal geriatrics, 2'd ed. Mc Graw-Hill Information Services Co; 1989.p.139-182. Kane RL ; Ouslander JG ; Abrass IB : Constipation. Essentials of Clinical Ceriatrics, Mc Graw-Hill inc; 1995.p. 224-227 Landefeld C.S ; Lyons W.L. : Anorectal Disorders, Fecal Incontinence. Current Geriatric Diagnosis & Treatment. Intemational Edition. 2004 .p.229-231, . Morley, M.D.; Khan, A : Constipation in the Elderly. St.Louis University Health Sbiences center, October,1999. National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney diseases (NIDDK): Constipation. NIH Publication ro. 95-2754, May

2000

:

1-14.

Robert -Thomson IC : Constipation. The M S D general practitioner Universities Programme, 1989. Resnick B : Constipation In Adelman AM ed : 20 common problems in Geriatrics Mc Graw-Hill inc. International ed. 2001.p. 31135. Reuben, DB; Yoshikawa TT; Besdine RW : Small and Large Bowels disorders. American geriatric Society, Geriatric review syllabus 1996 : 289-294 Reuben DB, Yoshikawa TT, Besdine RW. Urinary incontinence. Geriatric review syllabus. Kendall/Hunt Publ. Co., 1996;12413 3. Whitehead JB. Urinary incontinence.

In : William Reichel eds. Care Williams and Wilkins, 1995: 280-286. Van der Cammen TJM, Rai GS, Exton-Smith AN. Urinary incontinence. Manual of Geriatric Medicine. Churchill Livingstone, of the elderly,

4th ed.

t99t:'254-263.

t37 PENATALAKSAN A/TN INFEKSI PADA USIA LANJUT SECARA MENYELURUH Rejeki Andayani Rahayu, Asril Bahar

PENDAHULUAN

Infeksi pada usia lanjut (usila) merupakan penyebab

kesakitan dan kematian no.

.-'

lnfeksi virus saluran napas atas

2

Fibrilasr

atrium

/J

setelah penyakit

kardiovaskular di dunia. Hal ini terjadi akibat beberapa hal antara lain: adanya penyakit komorbid kronik yang cukup banyak, menurunnya daya tahanlimunitas terhadap infeksi, menurunnya daya komunikasi usila sehingga sulit/ jarang mengeluh, sulitnya mengenal tanda infeksi secara dini. Populasi usia lanjut juga sangat rentan terhadap infeksi nosokomial karena menurunnya daya tahan selular, perubahan gaya hidup yang sering bepergian atau bahkan terikat di tempat tidur serta adanya kondisi lingkungan yang sering tidak mendukung hidup sehat. Ciri utama pada semua penyakit infeksi biasanya ditandai dengan meningkatnya temperatur badan, dan hal ini sering tidak dijumpai pada usia lanjut, 30-65 % usia lanjut yang terinfeksi sering tidak disertai peningkatan suhu badan, malah suhu badan dibawah 360 C lebih sering dijumpai. Keluhan dan gejala infeksi menjadi tidak khas antara lain berupa konfusio / delirium sampai koma, adanya penurunan nafsu makan tiba-tiba, badan menjadi lemas, dan adanya perubahan tingkah laku sering terjadi pada pasien usia lanjut. Karena sangat bervariasinya keluhan dan gejala untuk infeksi pada usia lanjut maka perubahan apapun yang terjadi di luar kebiasaan pasien usila harus dipikirkan adanya penyakit infeksi dan harus ditelusuri secara aktif dengan asesmen geriatri yang lengkap sampai terbukti benar-benar tidak ada infeksi. Kenapa begitu? Hal ini disebabkan karena penyakit infeksi yang diderita tadinya ringan saja dapat berubah dengan cepat menjadi

-____\\_

I

lnfeksi

I

Edema Paru

nlr,,= --\

Konfusio tol(sil(

I

Emboli {-

\

I Jatuh dan lm m obilitas

------..-f

---/

Fraktu r fem ur

--------r

I

v

^/t

Kontraktur

\

lnkontinensia

---'-'

Terika t tem pat tidur

I I I

+ Dekubitus

-/ Disabilitas permanen

-------, Mat

Gambar 1. Diagram untuk menunjukkan penyakit flu biasa pada lanjut usia dapat menyebabkan penyakit serius/kematian

PERUBAHAN AKIBAT PROSES MENUA Terdapat berbagai perubahan pada daya tahan tubuh dan perubahan anatomi maupun fungsi pada sistem organ tubuh seorang usia lanjut yang dapat menjadi alasan

kenapa seorang usila lebih mudah terkena infeksi dibanding usia muda. Perubahan-perubahan tersebut antara lain:

.

lebih berat, angka kematian infeksi pada usia lanjut 3 sampai l0 x lebihtinggi dibandingusia dewasamuda dan kematian bisa terjadi pada infeksi yang paling ringan sekalipun seperti terlihat pada Gambar 1.

. 884

Pada kulit, terjadi penipisan dermis dan penurunan vaskularisasi pada kulit yang dapat meningkatkan risiko terjadinya selulitis dan infeksi pada dekubitus. Pada salwannapas, terjadi penurunan fungsi danjumlah

88s

PEIIAf,N. TSANAAN INFEKSI PADA USIA LAT{JUT SECARA MENYELURUH

mukosilia serta penurunan reflek batuk memudahkan terjadinya pemmonia.

Perubahan pada peristaltik usus yang cenderung melambat dan atropi dari vili usus serta menunrnnya imunitas menyebabkan lansia mudah terkena gastroenteritis akut baik yang ditularkan melalui air maupun

.

usia lanjut juga sangat mempengaruhi daya tahan tubuh terhadap infeksi, dimana akan menghasilkan tampilan klinik ataupun pengobatan yang jauh berbeda antara usia lanjut dan dewasa muda.

Kondisi ko-morbid lain berupa penwunan fungsional seperti: nafsu makan berkurang, kesadaran menurun,

jatuh berulang, inkontinensia sering menjadi faktor

makanan yang tercemar. Pada saluran kemih, te{ adi pengosongan vesika urinaria

pemicu sekaligus faktor risiko te{adinya infeksi dan penurunan daya tahan.

yang tidak sempurna dan penurunan keasaman urin, menyebabkan lebih mudah/ sering terkena ISK (infeksi salurankemih)

Secara singkat perubahan imunitas pada usia lanjut yang terjadi karena proses menua dapat dilihat pada

Terjadi penurunan imunitas selular akibat penuaan pada thymus, produksi sel T juga menurun, sehingga terjadi peningkatan kejadian anergi. Respon proliferasi sel T

Tabel 1.

terhadap antigen/mitogen juga menurun, dan juga terj adi penurunan aktivitas sel T-helper dan sel T-Cyto-

PREDISPOSISI PENYAKIT INFEKSI PADA USIA LANJUT

foxlc. Sintesis sitokin juga menurun disebabkan karena kesalahan ekspresi m-RNA atau tanda transduksi pada usia lanjut. Peningkatan antagonis sitokin pada usia lanjut juga menjadi salah satu penyebab memrnrnnya produksi/proliferasi sel T yang berakibat supresi

Infeksi berarti te{adi keberadaan mikro-organisme di dalam

jaringan tubuh penderita dan mengalami replikasi. Jadi infeksi merupakan proses interaksi antara kuman (agent), lingkungan. Faktor predisposisi pada usia lanjut yang memudahkan

pej amu (ho s t) dan

imunitas. Pada percobaan binatang ditemukan penurunan fungsi netrofil dan makrofagpada usia lanjut, sedang pada manusia masih belum jelas. Perurrunan fungsi limfosit B dan pembentukan antibodi secara tidak bermakna berkurang pada usia lanjut, tetapi beberapa penelitian

.' terjadinyainfeksiantaralain: . Faktor intrinsik penderita usia lanjut sendiri seperti yang .

menunjukkan sebaliknya karena fungsi sel B juga

.

bergantung pada limfosit T.

telah ditulis diatas yang terjadi akibat proses menua Faktor kuman: a). jumlah kuman yang masuk dan bereplikasi, b). virulensi kuman Faktor lingkungan: apakah infeksi terjadi/didapat di masyarakat, rumah sakit atau di panti werda.

Berbagai penyakit kronis seperti diabetes melitus, penyakit jantung koroner, penyakit paru obstruksi kronik, gagalhati,gagal ginjal dllyang diderita seorang

Gambar 2 dapat menjelaskan hubungan ke-3 faktor predisposisi tersebut.

Perubahan akibat proses menua

Fungsi limfosit

lmmunitas bawaan KuliVmembran mukosa

Perubahan akibat proses menua

+++ Tipis dan kering

Komplemen

Netiofil

Respon proliferasi

++ Menurun

Produksi sitokin i sekresi Reseptor lL2llL-2

+++ Menurun

Polimorfonuklear

Adherencelchemotaxis lngestion Pembunuhan intraselular

+

tL-4 lL-6 Menurun

lmmunitas didapat Hormon-hormon timus Kumpulan limfosit

tL-1 0

IFN-y

+++ MenUrun

PGEz H

ipersensitivitas

tipe lambat Sel T Natural killer cells

+++ Berubah

++

Autoimunitas

+++ Meningkat +++ Meningkat +++ Meningkat

++ ++

Meningkat Meningkat +++ Menurun

++

Meningkat

Menurun

Keterangan : lL, interleukin; lFN, interferon; PGE2, prostaglandin E2 tidak berubah karena menua; +, ringan; ++ sedang; +++, berat

"-,

Kebanyakan imunitas bawaan berubah karena penyakit ko-morbid, bukan dari proses menua sendiri. " Fenotip sel T berubah dari bentuk asli menjadi sel T aktif / sel T memori

oJumlah sel NK meningkat, tapi status fungsionalnya menurun. eAutoantibodi sering teridentifikasi; hubungan sebagai penyebab penyakit belum diketahui.

886

GERIATRI

biasa (outbreak) gastroenteritis akut pada usila di Milwaukee AS pada tahun 1993 yang disebabkan oleh virus Cryptosporidium, suatu virus yang biasa hidup pada air minum dan banyak menyebabkan kematian, sedangkan bila menyerang orang dewasa muda biasanya tidak parah dan dapat sembuh sendiri.

DIAGNOSIS Penurunan fisiol, organ : tgiljal, hati, oaru-paru, ola(. jantung,

lmunitas:

Kulit,mukosa,

Nutrisi

:

dalll !b,albumin cL, Zn patologi:

LyT,LyB,makrofag,dll

l'idral

Proses

Dl\'4,malignancy,PPoK, Gagal jantung dll

Gambar 2. lnteraksi Beberapa faktor predisposisi infeksi pada usia lanjut

Berbagai jenis penyakit infeksi dapat mgngenai usia lanjut mulai dari yang paling ringan seperti influenza sampai dengan yang dapat mengancam jiwa seperti pneumonia. dan dari keadaan yang sederhana sampai sepsis. Dari Tabel 2dapat dilihat berbagai jenis infeksi yang terjadi pada usia lanjut dan risiko angka kematiaffiya.

Imuno-defisiensi pada usia lanjut juga menjadi penyebab penyakit Sarkoma Kaposi klasik yang kebanyakan diderita oleh para usia lanjut keturunanYahudi, Italia dan Eropa tengah. Laki-laki lebih banyak dari wanita (2;1) dan berlokasi di bagian bawah pantat. Sarkoma

Kaposi ini merupakan faktor predisposisi infeksi herpes virus yang asimtomatik. Pemeriksaan serologi terhadap herpes virus Sarkoma Kaposi dapat menjadi petanda adanya imuno-defisensi berat pada usia lanjut di Eropa Tengah dan Timur serta Israel dan Amerika Serikat. Imunodefisiensi juga menjadi dasar terjadinya kejadian luar

Seperti telah dikemukakan diatas, penampilan klinik infeksi pada usia lanjut sangat bervariasi dan tidak khas (atipikal),

diperlukan kewaspadaan dan kejelian pengasuh/perawat/ dokter yang merawat penderita, terhadap adanya perubahan yang terjadi baik perubahan fisik, kesadaran, psikis, fungsional dan kebiasaan sehari-hari. Bila ada perubahan tersebut terutama yang terjadi secara akut, harus dipikirkan salah satu penyebabnya adalah infeksi. Asesmen lengkap perlu dilakukan dengan segera untuk menegakkan diagnosis infeksi atau bukan infeksi, karena bila terlambat angka kematiannya tinggi. Panas yang merupakan gejala utama bagi adanya infeksi, sering tidak muncul pada usia lanjut. Hal ini disebabkan penumnan respon interleukin- 1 , fakor nekrosis tumor dan interleukin-6 terhadap adanyapirogen endogen.

Hasil penelitian dari Norman dan Yoshikawa (1996) mengusulkan kriteria baru untuk panas pada usia lanjut sebagai berikut: l.Peningkatan suhu badan lebih atau sama dengan 20 Fahrenheit yang menetap dari suhu normal 2.Temperatur oraT > 37 .20 C setelah pengukuran berulang, 3.Temperatur rektal > 37 .50 C pada pengukuran berulang. Tidak adanya panas pada setiap infeksi pada usia lanjut

selain menyulitkan diagnosis, juga menunjukkan prognosis yang je1ek, karena panas itu sendiri menunjukkan adanya kemampuan badan dalam melawan infeksi.

Penilaian dimulai dari anamnesis lengkap baik auto maupun allo-anamnesis, ditanyakan bukan hanya keluhan utama penyakit tetapi juga riwayat penyakit yang pemah lnfeksi

Angka kematian relatif dibandingkan usia muda*

Pneumonia lnfeksi saluran kemih lnfeksi kulit dan jaringan lunak Endokarditis infektif Meningitis bakterialis

J

5-1

ot

NA

z-5 J

Tuberkulosis

1o+

Herpes zoster

NA

Sepsis Kolesistitis

3

2-8

Appendiksitis

15-20

Divertikulitis

NA

Catatan NA = Tidak ada data untuk pembanding .Tidak, Faktor-faktor yang diindikasikan (contoh 3 kali lebih besar) f Untuk infeksi ginjal lnfeksi HIV dikeluarkan dari usia muda

t

diderita, riwayat obat-obatan yang digunakan, riwayat perjalanannya atau lingkungannya, riwayat makan atau minum sebelumnya dan riwayat kenapa sampai terjadi adanya infeksi ini. Yang tak kalah penting juga perlu ditanyakan pemakaian prothese seperti katup jantung, prothese sendi/kapsul sendi, lensa tanam, pacu jantung, graft pembuluh darah dan lain-lain. Hal ini karena sering terjadi interaksi antara benda asing tersebut dengan bakteri maupun antibodi usila yang menimbulkan infeksi misalnya pada endokarditis bakterial, artritis terinfeksi. Pemeriksaan fisik lengkap perlu dilakukan organ-per organ secara teliti, termasuk keadaan gigi, hidung, telinga dan tenggorokan sampai colok dubur atau vagira pada wanita. Penunjang diagnostik standar yang harus dilakukan

untuk mendeteksi adanya infeksi ar,tara lain darah

887

PENATALAKSANAAI\ INFEKSI PADA USIA LAT{JUT SECARA MET{YELURUH

rutin, urinalisa, feses, foto torak, dan bila terjadi di daerah endemik suatu penyakit maka lakukan pemeriksaan terhadap jenis penyakit tersebut misalnya malaria, tifoid, hepatitis virus dan lain-lain. Di samping penunjang diagnostik untuk infeksi perlu dilakukan pemeriksaan lain utnuk mencari faktor penyakit ko-morbid atau penurunan fungsi organ seperti gula darah, protein darah, ureum, kreatinin, elektrolit, analisis gas darah bila terdapat sesak napas, EKG dan lain-lain sesuai dengan kebutuhan. Bila ternyata ada sumber infeksi maka lakukan kultur darah/ urirVpus/sekret/sputum sesuai dengan lokasi infeksi untuk mencari mikro-organisme penyebab infeksi.

masih terdapat kontroversi terhadap penurunan fungsi limfosit B pada usila. Limfosit B lah yang dibutuhkan

Begitu diagnosis infeksi telah dibuat maka p enanganan/ terapi harus segera dilakukan (dengan antibiotika yang diberikan secara empirik) tanpa harus menunggu hasil kultur. Tatalaksana mulai dari penegakan diagnosis sampai penatalaksanaan infeksi pada usia lanjut dapat dilihat pada

Pasien immunocompromised seperti: HIV (+) sebelum muncul AIDS, nefrosis akut, multipel mieloma, limfoma,

peranannya dalam keberhasilan imunisasi. Masih banyak

yang setuju dan berbagai penelitian menunjukkan hasil baik dari imunisasi pada usila untuk pencegahan terhadap infeksi virus terutama untuk usila dengan risiko tinggi. Yang termasuk usila dengan risiko tinggi merutrut The

National Health dan Medical Research Council Q.{HMRC) Amerika Serikat adalah sebagai berikut: . Seluruh individu dengan umur > 65 tahun

.

.

Individu dengan asplenia baik fungsional maupun anatomi, termasuk penyakit sickle-cell

penyakit Hodgkin dan pasien dengan transplantasi

.

Gambar3.

organ Pasien dengan immunocompetent, tetapi menderita

penyakit kronik seperti: penyakit jantung kronik, penyakit ginjal kronik, diabetes mellitus, penyakitparu kronik, pecandu alkohol Orang Aborigin dan Tbrrest Strait Islander dengan umur > 50 tahun Pasien dengan kelemahan CSF.

PENATAI.AKSANAAN

.

Terapi infeksi selalumemerlukan anti mikrobayang sesuai dengan penyebab infeksi. Tetapi pada infeksi virus banyak

.

virus tidak ada anti virusnya, sehingga diperlukan peningkatan daya tahan tubuh yang prima untuk mengeliminasi virus tersebut. Beberapa infeksi virus

Untuk infeksi bakterial diperlukan terapi antibiotika yang sesuai dengan hasil kultur. Tetapi bila hasil kultur belum ada, diperlukan terapi empirik yang sesuai dengan lokasi infeksi, lokasi penderita dan lokasi terjadinya infeksi

seperti influenza, pneumonia, hepatitis, meningitis, enterovirus dapat dilakukan pencegahan dengan vaksinasi

(di masyarakat atau di rumah sakit). Dalampemberian dosis

dan pemilihan jenis antibiotika perlu diingat adanya perubahan fungsi organ akibat proses menua serta ko-

untuk mencegah terjadinya penyakit tersebut. Vaksinasi pada usila kenapatidak? Seperti dikemukakan dimuka bahwa

pilan m asalah/problem non-spesifik (konfusio, jatuh, kehilangan nafsu makan, dll)

Tam

Riwayat penyakit secara detil Kemajuan evaluasi pasien, diagnosis dan penatalaksanaan infeksi pada pasien usia lanjut

(contoh riwayat demam repatik)

Temuan

pemeriksaan fisik (contoh terdengar suara 54 dan bising anterior)

Pengkajian lab. Dasar

Pengkajian lab. Awal dan radiografi(contoh kultur darah serial, ekokardiografi) Diagnosis spesifik (contoh Endokarditis infeksi, identitas bakteri penyebab)

Terapi organism e spesifik -Nilai ambang rendah untuk penelitian objektif (kultur darah, foto toraks, dll) dibutuhkan untuk pasien dengan gangguan kognitif

Gambar 3. Penampilan penyakit dan evaluasi infeksi pada usia lanjut

888

GERIAIRI

morbid yang ada pada usila yang kesemuanya akan berakibat pada terjadinya perubahan distribusi obat, metabolisme obat, ekskresi dan interaksi obat. Penuaan sendiri telah menyebabkan menurunnya filtrasi glomerulus sebanyak 50 % padausia 70 tahun, sehingga diperlukan

penurunan dosis obat yang diekskresi lewat ginjal. Beberapa antibiotika juga berinteraksi dengan obat-obat lain yang secara bersamaan sering diminum usila untuk terapi penyakit ko-morbidnya. Interaksi tersebut dapat dilihat pada Tabel3. Interaksi obat tersebut dapat meningkatkan toksisitas

obat, atau penurunan efektivitas obat. Contohnya makrolid, tetrasiklin, sulfa dll (tidak termasuk azitromisin) dapat meningkatkan toksisitas digoksin, warfarin, teofilin dan terfenadin, atau pemakaian antasid atau I! bloker akan menurunkan absorbsi kuinolon. Efektivitas antibiotika juga dapat berubah atau menurun karena adanya perubahan motilitas gaster,

penurunan permukaan untuk absorbsi, peningkatan jaringan adiposa dan interaksi obat.

Antibiotika p-Laktam (golongan penisilin, sefalosporin, karbapenem, monobaktam)

Tabel 4 dibawah dapat dipakai sebagai contoh terapi antibiotika empirik pada usila. Penatalaksanaan infeksi pada usila tidak hanya dengan

antibiotika saja, tetapi terapi terhadap penyakit komorbidnya dan perbaikan keadaan umum (nukisi, hidrasi, oksigenasi, elektrolit, albumin,dll) sangat diperlukan juga untuk mengeliminasi infeksi. Penyakit ko-morbid yang berat serta keadaanumum yang jelek sering menimbulkan sepsis. Terapi nutrisi sangat penting bagi usila, dan perlu diingat bahwa usila yang tidak sakitpun sudah susah makan apalagi bila sakit, karena itu evaluasi terhadap diet harus sangat ketat. Bila penderita tidak dapat / mau makan seperti biasa, perlu diberikan per-sonde atau kalau perlu secara parenteral. Cairan juga harus cukup, monitor osmolaritas plasma atau kalau perlu monitor CVP serta balans cairan,

diperlukan untuk mengetahui kecukupan cairan pada penderita. Peranan asuhan keperawatan yang baik sangat

diperlukan, seperti menjaga kenyamanan penderita, kebersihan penderita dan tempat tidurnya terutama bila ada inkontinensia, mencegah terjadinya dekubitus dan

Rute primer pembuangan Ginjal

lnteraksi obat Beberapa sefalosforin dengan rantai samping MTT (contoh sefoperazon, sefotetan) mungkin bereaksi dengan warfarin

(f

PT)

Digoksin, warfarin, terfenadin, teofi lin

Makrolidb (eritrom isin, klaritromisin, roksitrom isin, azitrom isin)

Hati

Tetrasiklin

Hati (?)

Digoxin, antasid, "besi"

Fluoroquinolon (ciprofloxacin, ofloxacin, levofloxacin, etc)

Ginjal

Teofi lin,

Ginjal/Hati

Digoxin,procainamide,phenytoin,

Trimetoprim-sulfametoksazol

dantasid,

"besi"

warfarin, Obat hipoglikemik oral Vancomycin

Ginjal

Rifampisin (rifampin, rifabutin) Lain-lain Clindamycin Metronidazole Azole anti jamul

Hati

,

'Sedikit interaksi Beberapa"

Hati

Hati Hati

ETOH Beberapa,"H2 b lockerlantasid

(ketokonazol, itrakonazol, flukonazol)

'Catatan kecuali yang dibuang lewat hati: nafcillin, ceftriaxone, cefoperazone b

Azithromycin aOitatr gotonban azalide, bukan macrolide, dan hanya mempunyai sangat sedikit interaksi obat. Penelitian PK spesifik-mengindikasikan tidak ada perubaha pada kadar digoxin, terfenadine, warfarin atau Theophylline dengan azithromycin. " Suplemen Fe2** dan antasid menghalangi dan menghambat absorbsi quinolon dan tetracyclin Penurunan asam lambung sendiri tidak penting mereka bukan asli penghambat H2. d Kadar Teofilin meningkat dengan beberapa fluoroquinolon, " rifampins dan azole antijamur menghambat dan kemudian menginduksi Cyp 3 A4 di system P450 apa, interaksi (fatau J kadar beberapa obat lain). e memerlukan asam lambung untuk absorbsinya sedangkan fluconazole tidak.

dan rKe

889

PENAIAL/\KSANAAN INFEKSI PAT'A USIA LANJUT SECARA MENIELURUH

Komentar Didapat di masyarakat (Community Acquited) i Penderita rawat jalan Sinusitis akut Bronkitis kronik Pneumonia Selulitis lnfeksi ulkus kaki lnfeksi saluran kemih simtomatik Diare infeksi Antibiotik berhubungan dengan diare Herpes zoster

Amoksisilin

Amox-clav, jika sumbernya dari gigi

Amoksisilin Amox-clav/ azitromisi n/ FQ generasi ke-2l3 Cephalexin Amox-clav TMP-SMZ (wanita); Fa (lakilaki) FQ Metronidazol

Eksaserbasi lnfeksi Perokold PPOK sering dijumpai

Famsiklovir atau valasiklovir

Terapi awal untuk infeksi kaki diabetik Sistitis biasa (Uncomplicated cysf,Iis) atau pielonefritis Kuncinya rehidrasi per oral Panas dan nyeri abdominal atau mual dapat disebabkan oleh C difficile Harus dimulai terapi dalam 72 jam

Terapi pasien rawat inap Pneumonia Pneumonia (berat)

Seftriakson + makrolid Seftriakson ditambah makrolid/Generasi ke-2l3 FQ

Pielonefritis (tanpa katete0 Urosepsis (dengan kateter)

Generasi ke-3/4 sefalosporin Generasi ke-3/4 sefalosporin ditambah ampisilin

Meningitis Akut

Seftriakson ditambah vankomisin

Kolesistitis Akut Komplikasi kolesistitis akut (perforasi, gangrene, kolesistitis emfisematosa, cholangitis) Appendisitis Divertikulitis

Ampisilin-sulbaktam ESPCN-BL + gentamisin

Sefoksitin/ sefotetan/ amp-

FQ untuk pasien alergi p-lactam Penyakit sangat serius (lCU); dapat disingkirkan penyebab legionell a; tambahkan vancomycin jika terdapat S pneumoniaeyang sangat resisten terhadap penicillin AZreonam atau FO jika pasien alergi p-laKam Urosepsis yang berhubungan dengan kateter sering polimikrobial, termasuk spesies enterococcal, ditambah dengan aerobic basilus gram negative Vankomisin plus TMP-SMZ untuk pasien alergi/anafilakgi pJaktam; diperlukan vanc.untuk kasus S. pneumoniaeyang resisten terhadap penisilin Sering diperlukan pembedahan Peranan esensial untuk pembedahan gawat darurat atau dekompresi/ drainase eksternal

Jika tidak ada respons diperlukan pembedahan

sulbaKam Generasi ke-3/4 sefalosporin + klindamisin/ESPCN-BL Penisilin + nafsilin Amp-sulbactam atau ESPCNBL 0ika Rx terdahulu) Sefazolin lmipenem/ silastatin

Kolitis lskemik Endokarditis katup lnfeksi ulkus kaki diabetik Selulitis Sindrom syok septik; tanpa ketemu sumbemya

Perlu intervensi pembedahan jika terjadi perforasi dan infark Vankomisin untuk penderita alergi penisilin Generasi ke-3/4 ceph. Atau FQ dan clinda. Untuk penderita alergi PCN Vankomisin atau klindamisin untuk penderita alergi pJaktam Perawatan suportif perlu agresif

Panti rawat werda (Nursing home): Dekubitus terinfeksi

FO + klindamisin (PO); ESPCNBL (rv)

Pneumonia

cenerasi ke-2l3 FQ (PO);

Pemerataan tekanan (alih baring), nutrisi, esentta/ debridement; kultur/foto Rof untuk mengidentifikasi adanya osteomielitis dan MRSA Pertimbangkan tuberkulosis

Urosepsis

seftriakson (lV) Siprofloksasin (PO); seft riakson

Tambahkan terapi untuk enterokokus jika memakai kateter

(rM/rv) kolitis C.drfficlle

Metronidazol

Perhatian melekat untuk mengontrol infeksi seperti infeksi nosocomial yang terdokumentasi

Pneumonia

Klindamisin + seftazidim atau FQ;ESPCN-BL

Pemilihan antibiotik dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mendasari kondisi medis, status mental, alat Bantu pernapasan, antibiotik terdahulu, pengecatan gram sputum, resiko terhadap MRSA

Urosepsis yang berhubungan dengan kateter lnfeksi yang berhubungan dengan kateter intravena (selulitis, phlebitis, abses, bakteriemi)

Ampisilin +generasi ke-3/4 seph Vankomisin

Diperlukan kultur untuk pemilihan terapi Pada penderita immunocompromise4 tambahkan seftazidim; diperlukan pembedahan pada sepsis trombophlebitis

Diare yang berhubungan dengan C difficile

Metronidazol

Jika mungkin putuskan hubungan dengan antimikrobial;

lnfeksi insisi jaringan Post-operasi (abdominal) dengan selulitis, abses, atau baKeriemi

Sefazolin (infeksi ringan); vankomisin + Generasi ke-3/4 seph. (infeksi berat)

Nosokomial/Rumah sakit

:

perhatian untuk kontrol infeksi Pembukaan kembali dan pembersihan jaringan merupakan terapi definitif, pemilihan antibiotik berdasarkan kultur

Keterangan : Amoks-klav., amoksisilin-klavulanat; Amp-sulb , ampisilin-sulbaktam; Seph., seftralosporin; ESPCN-BL, ekstendedspektrum penicillin-betalactamase combination (contoh, tikarsilin-klavulanat, piperasilin-tazobaktam); FQ, fluorokuinolon (generasi pertama: siprofloksasin, ofloksasin, lomefloksasin; Generasi kedua: levofloksasin, trovafloksasin, grepafloksasin); Ticar-clav., tikarsilin-klavulanat; TMP-SMZ, trimeto-pri-sulfametoksazol. Catatan: Pemilihan antibiotik untuk terapi empirik harus segera diganti apabila sudah ditemukan hasil kultur dan tes sensitivitas.

890

GERIAIRI

kontraktur pada penderita-penderita yang tidak dapat bergerak ataupun kesadaran menurun. Jadi jelas bahwa penatalaksanaan infeksi pada usia lanjut sangat membutuhkan kerja sama tim multi-disiplin yang bekerja secara inter-disiplin.

puluh persen FUO pada usia lanjut berhubungan dengan penyakit keganasan terutama keganasan hematologik. LangkahJangkah penatalaksanaan FUO dapat dilihat pada tabel 5. Asesmen lengkap perlu dilakukan ditambah dengan berbagai pemeriksaan canggih seperti CT scan dan MRI terutama untuk kepala, abdomen dan tulang. Terapi diberikan sesuai dengan faktor penyebabnya.

FEVEROF UNKNOWN ORtGtN (FUO) FUO adalah suatq keadaan yang klasik ditandai dengan panas >

KESIMPULAN

minggu dan tetap tidak diketahui penyebabnya setelah dilakukan berbagai pemeriksaan selama I minggu. Penyebab FUO pada usia lanjut relatif tidak sama dengan pada usia muda. Faktor penyebab dapat dilihat pada Tabel 5 dibawah ini. 3

8.30C yang sudah berlangsung

minimal

3

Penyakit infeksi pada usia lanjut perlu diwaspadai pada setiap adanya perubahan mendadak (akut) dari tingkat kesadarannya, kebiasaannya maupun keadaan fisiknya.

Setiap perubahan akut yang cenderung menurun / membwuk harus dipikirkan adanya penyakit infeksi dan

Sekitar 1/3 kasus FUO pada usia lanjut ternyata berhubungan dengan infeksi bakteri seperti abses

perlu di nilai secara teliti, sampai terbukti tidak ada penyakit infeksi. Bila terlambat akan mempertinggi angka kematian pada usia lanjut. Panas yang merupakan tanda kardinal pada penyakit infeksi, kadang-kadang tidak ditemukan pada usia lanjut (sekitar 20-35% kasus infeksi usia lanjut tidak panas),

abdominal, endokarditis bakterial, tuberkulosis, abses periginjal atau osteomielitis tersembunyi. Lebih banyak kasus FUO pada usia lanjut ternyata berhubungan dengan penyakit jaringan penghubung seperti arteritis temporal, polimialgia reumatika, poliarhitis nodosa. Dua

Penyebab lnfeksi

Abses inkaabdominal

Jumlah 35 6

Endokarditis infeksi

10

28

Temporal arteritis/ polimialgia reumatika

19

Poliarteritis nodosa

6

Lain-lain

3

Limfoma/hematologik

1:

Pastikan panasnya dengan pengukuran secara serial, riwayat sebelumnya ,contoh. perjalanan, terpapar TB, obat-obatan yang diminum (dari resep dokter maupun beli sendiri), gejala-gejala yang dialami (gejala temporal arteritis), dan fisik. Hentikan obat-obatan yang tidak penting

Step

2:

Step

3:

Evaluasi laboratorik dasar: kadar leukosit dengan hitung jenisnya, enzim hati, laju endap darah (LED), kultur darah 3x, PPD, TSH, ANA, pertimbangkan ANCA atau HIV tidak spesifik. (A) CT-scan abdominal/pelvis jika tidak diketahui sumbernya, atau (B) Biopsi arteri temporal jika gejala dan tanda menyerupai polimialgia reumatika/temporal artritis dan peningkatan LED atau (C) Tempat ditunjukkan berdasarkan pada gejala dan tanda dan abnormalitas hasil laborat

Step

4:

Step

5:

Step

6:

7

Penyakit vaskular kolagen

Malignansi

Step

12

Tuberkulosis Lain-lain

Langkah-langkah Evaluasi FUO

Kasus (%)

19 10

Solid tumor Lain-lain (e.,9 emboli pulmonal, drug fevef

I I

Tidak terdiagnosis

I

Jika 3A dikerjakan dan tetap tidak diketahui sumbernya 38, dan sebaliknya (A) Hasil terbaik biopsi BM jika hemogram abnormal dikirimkan untuk H&E, pengecatan spesial, Cx's atau (B) Hasil biopsi hati hampir nol kecuali jika ditemukan LFT yang abnormal atau hepatomegali (A) Laparoskopi atau laparotomi eksplorasi; atau

)

(B) Dalam skaning-1 11/Ga-67, skan nuclear dapat efektif mengenyampingkan penyebab infeksi pada FUO jika negatif Step

7:

Terapi ekjuvantivus untuk TB dapat diterima untuk penderita immunocompromlsed atau sangat dicurigai TB (sebelumnya PPD tes positif)

Persentase ini dihitung berdasarkan 3 penelitian FUO pada usia lanjut. TB: Tuberkulosis

891

PENATALAKSANAAN INFEKSI PADA USIA LAT{JUT SECARA MENIELURUH

sehingga batasan panas pada usia lanjut berubah.

Penatalaksanaan infeksi pada usia lanjut, selain antibiotika yang sesuai, memerlukan terapi adekuat untuk penyakit-penyakit ko-morbid yang diderita para usia lanjut. Juga diperlukan penatalaksanaan keperawatan yang komplek dan terapi suportif seperti nutrisi, cairan dan elekholit, oksigen dan lain-larn.

High I(P. Infection in the elderly. In:Hr.zzmd WR, Blass JP, Ettinger WH, Halter JB, Ouslander JG, editors. Principles of geriatric medicine and gerontology. 4s ed. New York: Mc Graw-Hill, Inc; 1999. p. 1443-54. Kane RL, Ouslander JG, Abrass IB. Essentials of clinical geriatrics.

3th ed. New York: Mc Graw-Hill, hq 1994. p.201-12. Kamal A, Brocklehurst JC. A colour atlas of geriatric medicine, 1983: 9.

AI, Morris RD, Griffith JK. The elderly and waterborne cryptosporidium infection: gastroenteritis hospitalizations before and during the 1993 Milwaukee outbreak. Emerging Infectious Disease. 2003 ; 9 :4:418-23. Norman DC, Yoshikawa TT. Fever in the elderly. Infect Dis Clin North Am. 1996;10 (1):93. Richardson JP. Infections. In: Adelman AM, Daly MB ed. 20 Common problem in geriatrics. Boston: Mc Graw-Hill, Inc; Naumova EN, Egorov

REFERENSI Departement of Veterans' Affairs 13 Keltie Street, Woden ACT 2606. Pneumoccal infection and vaccination in the elderly, 2003. Engels EA, Clark E, Aledort LM, Goedert JJ, Whitby D. Kaposi's sarcoma- associated herpesvirus infection in elderly Jews and

non-Jews from New York

City. International J

Epid.

2003;31:946-50.

HH.

Infeksi pada usia lanjut. Buku ajar geriatri. In: Darmojo B, Martono H, editors. Jakarta: Balai penerbit FKUI; 1999. p.323-38.

Hadisaputro S, Martono

2001. p.349-65. Strausbaugh LJ. Emerging health care-associated infections in the geriatric population. Emerging infectious diseases. 2007;7:2:268-

71. Williams GO, Jogerst GJ. Infectious disease problems in the elderly. In: Reichel W, ed. Care of the elderly: Clinical aspects of aging. 4'b ed.

Baltimore: Williams & Wilkins; 1995. p.206-17.

138 STROK DAN PENATALAKSAN LINNYA OLEH INTERNIS Hadi Maftono, RA Tuty Kuswardani

PENDAHULUAN

JENIS DAN EPIDEMIOLOG!

Strok didefinisikan sebagai suatu manifestasi klinis gangguan peredaran darah otak yang menyebabkan defisit

Di seluruh dunia strok merupakan penyakit yang terutama mengenai populasi usia lanjut. Insidens pada usia 75-84

neurologis.Definisi lain lebih mementingkan defisit

tahun sekitar 10 kali dari populasi berusia 55-64 tahun.

neurologis yang terladi sehingga batasan strok adalah sebagai berikut: "suatu defisit neurologis mendadak sebagai akibat iskemia atau hemoragi sirkulasi saraf otak". Dari definisi tersebut jelas bahwa kelainan utama strok adalah kelainan pembuluh darah yang tentu saja,

Inggris strok merupakan penyakit ke-2 setelah infark miokard akut sebhgai penyebab kematian utama,

Di

sedangkan di Amerika strok masih merupakan penyebab

kematian ke-3. Total biaya yang diperlukan untuk penatalaksanaan I (satu) kasus strok diperkirakan sekitar US $ 8 0.000- 1 00. 000. Dengan makin meningkatny a lopay a pencegahan terhadap penyakit hipertensi, diabetes melitus dan gangguan lipid, insidens strok di negara-negara maju

merupakan bagian dari pembuluh darah sistemik. Penyebab dan kelainan pembuluh darah tersebut secara patologis bisa didapati pada pembuluh darah di bagian

makin menurun. Di Perancis strok disebut sebagai

lain tubuh. Oleh karenanya strok harus dianggap merupakan akibat komplikasi penyakit sistemik.

"serangan otz/r. (attaque cerebrale)" yang menunjukkan analogi kedekatan strok dengan serangan jantung. Berdasarkan atas jenisnya strok terbagi atas:

Komplikasi yang terjadi, mengingat pembuluh darah di otak masih merupakan bagian dari pembuluh darah sistemik. Di samping itu, kematian otakyang sudahterjadi tidak akan dapat diobati dengan cara apap:ur;. Obat-

Strok Non Hemoragik Jenis strok ini pada dasarnya disebabkan oleh oklusi pembuluh darah otak yang kemudian menyebabkan terhentinya pasokan oksigen dan glukosa ke otak. Stok ini

obatan neuroprotektor yang sering digunakan oleh para

dokter ternyata tidak terbukti bermanfaat berdasrkan penelitian-penelitian ilmiah (EUSI 2003). Oleh karena itu, penatalaksanaan utama strok berupa perawatan umum dan mengatasi komplikasi sistemik, yang pada giliran

sering diakibatkan oleh trombosis akibat plak aterosklerosis arteiotaUatatyang memberi vaskularisasi pada otak atau

selanjutnya diharapkan dapat mencegah perluasan

suatu emboli dari pembuluh darah di luar otak yang

kerusakan jaringan otak. Karena itu seyogyanya semua spesialis penyakit dalam harus berperan, bahkan berperan

tersangkut di arteri otak. Strok jenis ini merupakan strok yang tersering didapatkan, sekitar 80% dai semua strok. Strok jenis ini juga bisa disebabkan berbagai hal yang menyebabkan terhentinya aliran darah otak, antara lain syok atau hipovolemia dan berbagai penyakit lain.

utama, dalam penatalaksanaan strok, termasuk pula dokter yang berkecimpung dalam bidang geriatri, sebagai

subbagian ilmu penyakit dalam, harus menguasai penatalaksanaan strok pada usia lanjut, mengingat pada

ini insidens kelainan ini sangat tinggi dan komorbiditas berbagai organ dan sistem merupakan hal yang sangat penting.

populasi

Strok Hemoragik Strok jenis ini merupakan sekitar 20o/o dari semua strok,

892

893

STROK DAN PENATALAKSANAANNYA OLEH INTERNIS

diakibatkan oleh pecahnya suatu mikro aneurisma dari

GEJALADAN TANDA

Charcot atalu etat crible di otak. Dibedakan attara: perdarahan intraserebral, subdural, dan subaraknoid. Secara patologis pada strok non hemoragik, yang merupakan jenis terbanyak dari seluruh strok, apa yang terjadi pada pembuluh darah di otak sempa dengan apa yang te{adi di jantung, terutamajenis emboli dan trombosis. Oleh karena itu faktor, risiko terjadinya strok serupa dengan faktor risiko penyakit jantung iskemik, yaitu:

.

Usia, yang merupakan faktor risiko independen

.

terjadinya strok Jenis kelamin, pada perempuan pre menopause lebih rendah dibanding pria. Setelah menopause faktor

perlindungan pada wanita

.

Gejala strok bisa dibedakan atas gejalaltanda akibat lesi

dan gejalaltanda yang diakibatkan oleh komplikasinya.Gejala akibat lesi bisa sangat jelas dan mudah unhrk

didiagnosis, akan tetapi bisa sedemikian tidak jelas sehingga diperlukan kecermatan tinggi untuk mengenalinya. Pasien bisa datang dalam keadaan sadar dengan keluhan lemah separuh badan pada saat bangun tidur atau sedang bekerja, akan tetapi tidakjarang pasien datang dalam keadaan koma dalam sehingga memerlukan penyingkiran diagnosis banding sebelum mengarah ke strok. Secara umum gejala tergantung pada besar dan letak lesi di otak, yang menyebabkan gejala dan tanda organ yang dipersarafi oleh bagian tersebut. Jenis patologi (hemoragik atau non hemoragik) secara umum tidak menyebabkan perbedaan dari tampilan gejala, kecuali bahwa pada jenis hemoragi seringkali ditandai dengan nyeri kepala hebat, terutama terjadi saat bekerja. Beberapa perbedaan yang terdapat pada strok hemisfer kiri dan kanan dapat dilihat dari tanda-tanda yang didapatkan dan dengan pemeriksaan neurologis sederhana dapat diketahui kira-kira letak lesi, seperti yang terlihat di bawah ini.

ini menghilang, dan

insidensnya menjadi hampir sama dengan pria Hipertensi, baik sistolik maupun diastolik merupakan

faktor risiko dominan untuk terjadinya strok baik

. .

hemoragik maupun non hemoragik

diabetesmelitus,hiperlipidemia Keadaan hiperviskositas berbagai kelainan jantung, antara lain gangguan irama (fibrilasi-atrial), infark

miokard akut atau kronis, yang mengakibatkan hipoperfusi (dekompensasi jantung), infeksi yang disertai vegetasi (endokarditis bakterialis subakut), tu-

.

Lesi di korteks

moratrium.

.

Penyebab jantung dikatakan bertanggung jawab atas sekitar 30o/o daripenyebab strok

.

Koagulopati karena gangguan berbagai komponen

.

Faktor keturunan juga memegang peranan penting

.

Hipovolemia dan syok terutama pada populasi usia

darah antara lain hiperhbrinogenemia,

.

dll

. .

dalam epidemiologi strok

gejala terlokalisasi, mengenai daerah lawan dari letak lesi hilangnya sensasi kortikal (stereognosis, diskriminasi 2 itlk) ambang sensorik yang bervariasi kurang perhatian terhadap rangsang sensorik bicara dan penglihatan mungkin terkena

Lesi di kapsula . lebih luas, mengenai daerah lawan letak lesi

lanjut, di mana refleks sirkulasi sudah tidak baik lagi.

Gagal pompa jantung H ipotensi sistem ik (syok) Pen ingktan tekanan intrakranial

Arteri

Penebalan dinding pembuluh darah Obstruksi lum inal tromboem boli spasme

Kompresi eksternal

Fokal

Subaraknoid

Ruptur anerisme

Hemoragik Ru ptu r a ln te

rsereb ra

I

rteri/intrasere bra a rtriol

I

(Ebrahim and lammie,2003) Gambar 1. Skema pembagian strok

(Ebrahim and Lam mIe,2003)

894

GERIAIRI

Kerusakan otak sebelah kiri

Paralisis sisi kanan

Defisit-bahasab ica ra

Tipe prilaku: impulsif cepat

Tipe prilaku:

hati-hatilambat

Defisit ingatan (bahasa)

Defisit ingatan (tampilan)

Gambar 1. Perbedaan antara strok hemisfer kiri dan kanan (Harrel, 1988)

. .

sensasi primer menghilang

Gangguan respirasi, baik akibat infeksi maupun akibat

bicara dan penglihatan mungkin terganggu

penekanan di pusat napas.

Lesi dibatang otak . luas, bertentangan letak lesr . kenai sarafkepala sesisi dengan letak lesi tengah)

.

Infeksi dan sepsis merupakankomplikasi strokyang serius. Gangguan ginjal dan hati.

(III-IV otak

(V,VI,VII, dan VIII di pons), (IX,X,XI, XII di medula)

Lesi di medula spinalis . neuron motorik bawah di daerah lesi, sesisi . neuron motorik atas di bawah lesi, berlawanan letak

.

lesi

gangguan sensorik

Gejala akibat komplikasi akut menyebabkan kematian 5 kali lebih banyak dibandingkan akibat lesi, dan bersamasama keduanya menyebabkansekitar 20Yo kematian pada

haripertama. Komplikasi akut yang terjadi adalah: Kenaikan tekanan darah. Keadaan ini biasanya merupakan

Cairan, elektrolit, asam, dan basa.

Ulcer stres, yanE sering menyebabkan terjadinya hematemesis danmelena Penelitian Clifford Rose, 1990 di Inggris tentang kematian akibat strok akut dapat dilihat pada Tabel 1. Komplikasi kronis akibat strok yang sering terjadi dan perlu diperhatikan adalah: . Akibat tirah baring lama di tempat tidur bisa teg'adi pneumonia, dekubitus, inkontinensia serta berbagai akibat

. ' .

imobilisasi lain Rekurensi strok

Gangguansosial-ekonomt Gangguan psikologis.

mekanisme kompensasi sebagai upaya mengejar kekurangan pasokan darah di tempat lesi . Oleh karena itu kecuali bila menunjukkan nilai yang sangat tinggi (sistolik > 22}ldiastolik >130) tekanan darah tidak perlu diturunkan, karena akan turun sendiri setelah 48 jam. Pada pasien hipertensi kronis tekanan darah juga tidak perlu

diturunkan segera. Kadar gula darah. Pasien sfrok seringkalimerupakanpasien DM sehingga kadar gula darah pasca strok tinggi. Akan tetapi seringkali te{adi kenaikan gula darah pasien sebagai reaksi kompensasi atau akibat mekanisme stres.

Penyebab

kematian Kematian otak pnmer Pneumonia Emboli paru lnsufisiensi ginjal lnsufisiensi jantung lnfark jantung Rekurensi strok

lnfark Hemoragia iskemik serebral 9o/o 4OY" 20o/o 8o/o 13yo
View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF