panduan PMKP
February 28, 2018 | Author: David Rainer Irianto Hutajulu | Category: N/A
Short Description
Descripción: panduan PMKP...
Description
PEDOMAN PENINGKATAN MUTU PELAYANAN DAN KESELAMATAN PASIEN
RS BERSALIN NABASA PONTIANAK – KALIMANTAN BARAT TAHUN 2016
ii
KATA PENGANTAR
Perubahan budayamerupakan hal yang penting dan diperlukan. Hal ini akan memerlukan waktu yang tidak sebentar.Meskipun struktur organisasi dapat diubah relatif cepat, tetapi tetap saja diperlukan waktu untuk beroperasi dengan lancar dan untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Peningkatan mutu dan keselamatan pasien dan manajemen resiko tergantung pada kemampuan individu untuk mengatur diri sendiri dan mengetahui apa benar apa yang harus dilakukan daripada bergantung pada aturan perintah dan pendekatan control. Clinical
Governance
terdiri
dari
7
(tujuh)
pilar
yang
merupakanserangkaian atribut kualitas berakar kuat dalam dasar budaya organisasi bekerja menuju peningkatan kualitas yang berkelanjutan dan tempaan yang bermakna kemitraan antara pasien dan penyedia layanan kesehatan. Salah satu pilar tersebut adalah manajemen resiko dan pasien safety. Dalam memberi pelayanan untuk pasien dilaksanakan dengan melibatkan berbagai tenaga profesional yang terdiri dari interdisiplin ilmu yang bekerja sama dalam tim dengan single management. Pedoman ini berisi tentang peningkatan mutu, keselamatan pasien dan manajemen risiko.Penulis berharap semoga penulisan pedoman ini bermanfaat agar bisa dijadikan pedoman dalam manajemen risiko tatanan rumah sakit.
Direktur Rumah Sakit Bersalin Nabasa Pontianak
Dr. Indah
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN UPAYA PENINGKATAN MUTU PELAYANAN RUMAH SAKIT BERSALIN NABASA BAB III KONSEP DASAR UPAYA PENINGKATAN MUTU PELAYANAN RS BERSALIN NABASA KALIMANTAN . BARAT ...................................................................................... A. Mutu Pelayanan RS Bersalin nabasa .............................. 1. Pengertian mutu ........................................................... 2. Definisi mutu pelayanan RS Bersalin Nabasa ............. 3. Pihak yang bekepentingan dengan mutu ....................... 4. Dimensi mutu ................................................................ 5. Mutu terkait dengan input, proses, output dan outcomes ....................................................................... 6. Strategi mutu ................................................................. B. Upaya peningkatan mutu pelayanan RS Bersalin Nabas Definisi upaya peningkatan mutu pelayanan RS .......... 14 1. Tujuan Upaya peningkatan mutu pelayanan RS ........... 2. Indikator mutu ............................................................... 3. Strategi .......................................................................... 4. Pendekatan pemecahan masalah ................................... BAB IV PRINSIP DASAR UPAYA PENINGKATAN MUTU PELAYANAN ............................................................................. A. Indikator area klinis ................................................................. 1. Pengkajian awal pasien baru dalam 24 jam ...................... 2. Waktu tunggu hasil pemeriksaan darah ............................ 3. Angka reaksi obat kontras ................................................ 4. Angka penundaan operasi.................................................. 5. Operasi bersih tanpa penggunaan antibiotic Profikaksis ......................................................................... 6. Ketepatan waktu pemberian injeksi antibiotika Pada pasien rawat inap ..................................................... 7. Pengkajian anastesi pra induksi pada pasien yang akan di operasi ........................................................................... 8. Angka reaksi transfusi darah ............................................ 9. Kelengkapan catatan laporan operasi ............................... 10. Infeksi luka operasi ............................................................ B. Indikator area manajemen ...................................................... 1. Ketersediaan obat dan alkes life saving di trolley
1 3
7 7 7 7 7 8 9 11 13 14 14 14 15 16 17 17 19 19 21 22 31 32 33 37 38 39
iv
Emergensi atau emergency kit di ruang rawat inap ........... 2. Insiden tertusuk jarum ....................................................... 3. Survey kepuasan pelanggan menggunakan kuesioner Kepuasan pelanggan ......................................................... 4. Angka kepuasan staf rumah sakit ..................................... 5. Edukasi hand hygiene di ruang rawat inap ....................... C. Indikator area keselamatan pasien .......................................... 1. Ketepatan memasang gelang identitas pasien .................. 2. Komunikasi Efektif ........................................................... 3. Kepatuhan melaksanakan hand hygiene ........................... 4. Pasien jatuh dengan atau tanpa cedera di ruang Rawat inap ........................................................................
39 40
BAB V PENGENDALIAN KUALITAS PELAYANAN ...................... BAB VI MANAJEMEN RISIKO KLINIS .............................................. A. Pengertian .............................................................................. B. Tujuan Manajemen risiko ................................................... C. Unsur-unsur dalam program manajemen risiko ................. D. Cakupan program manajemen risiko .................................. E. Proses Manajemen risiko .................................................... F. Langkah untuk mengkaji risiko di tempat kerja .................. G. Laporan insiden .................................................................. H. Pemeriksaan kejadian umum .............................................. I. Dokumentasi ........................................................................ J. Kebijakan dan prosedur ...................................................... K. Keamanan dan kepuasan klien ........................................... L. Manajemen risiko dan keperawatan ...................................
57 62 62 64 64 65 66 68 72 73 73 73 74 74
DAFTAR PUSTAKA
41 42 44 46 46 47 55 55
1
BAB I PENDAHULUAN
Tercapainya kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal, sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum bagi masyarakat merupakan tujuan dari pembangunan kesehatan.
Untuk itu perlu ditingkatkan upaya guna memperluas dan
mendekatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dengan mutu yang baik dan biaya yang terjangkau. Pelayanan kesehatan yang bermutu merupakan salah satu kebutuhan dasar yang diperlukan setiap orang. Para ahli kedokteran dan kesehatan termasuk profesi keperawatan senantiasa berusaha meningkatkan mutu dirinya, profesinya, maupun peralatan kedokteran, khususnya manajemen mutu pelayanan kesehatan perlu ditingkatkan. Keperawatan sebagai salah satu profesi, mempunyai kedudukan penting dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan serta merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan tercapainya tujuan pembangunan kesehatan di Indonesia. Rumah sakit merupakan salah satu bentuk sarana kesehatan yang berfungsi untuk melakukan upaya kesehatan dasar atau kesehatan rujukan dan upaya kesehatan penunjang. Keberhasilan rumah sakit dalam menjalankan fungsinya ditandai
dengan
adanya
mutu
pelayanan
prima.Faktor
dominan
yang
mempengaruhi mutu adalah sumber daya manusia.Sumber daya manusia yang terlibat secara langsung dalam pemberian pelayanan kepada pasien paling banyak jumlahnya adalah perawat dan bidan yaitu 40%. Mutu pelayanan adalah ukuran dari penilaian atas beberapa unit pelayanan, penilaian mutu erat hubungan dengan proses penyusunan standar pelayanan, meliputi empat langkah utama, yaitu menentukan kebutuhan dan lingkup standar, menyusun standar, menerapkan standar, evaluasi, dan pembaruan (updating) standar. Ada 3 (tiga) pendekatan penilaian standar mutu ,yaitu (1) Standar struktur yang meliputi aspek fisik, sarana organisasi dan sumber daya manusia (2) Standar
2
proses, tahapan kegiatan yang dilakukan dalam pelayanan. (3) Standar hasil, outcome dari proses kegiatan pelayanan yang diharapkan. Era globalisasi ini berkembang cara pandang baru, lingkungan usaha semakin cepat berubah, persaingan semakin tajam, pelayanan yang berkualitas dihasilkan sumber daya manusia berkualitas, akan mampu bertahan. Pelayanan prima atau excellent service adalah pelayanan yang bermutu tinggi dan memuaskan. Semakin meningkatnya pendidikan dan keadaan social ekonomi masyarakat, maka system nilai dan orientasi dalam masyarakatpun mulai berubah. Masyarakat mulai cenderung menuntut pelayanan umum yang lebih baik, lebih ramah dan lebih bermutu termasuk pelayanan kesehatan. Semakin meningkatnya tuntutan masyarakat akan mutu pelayanan rumah sakit maka fungsi pelayanan RS Bersalin Nabasa secara bertahap perlu terus ditingkatkan agar menjadi lebih efektif dan efisien serta memberi kepuasan kepada pasien, keluarga maupun masyarakat. Peningkatan mutu pelayanan RS bersalin nabasa seperti sangat diharapkan maka perlu disusun Pedoman Upaya Peningkatan Mutu Pelayanan RS bersalin nabasa.Buku pedoman tersebut merupakan konsep dan program peningkatan mutu pelayanan RS bersalin nabasa yang disusun sebagai acuan bagi pengelola RS bersalin nabasa dalam melaksanakan upaya peningkatan mutu pelayanan rumah sakit.Buku pedoman ini diuraikan tentang prinsip upaya peningkatan mutu, langkah-langkah pelaksanaannya dan dilengkapi dengan indikator mutu.
3
BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN UPAYA PENINGKATAN MUTU PELAYANAN RUMAH SAKIT BERSALIN NABASA
Upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan sebenarnya bukanlah hal yang baru. Pada tahun 1820 sampai dengan 1910 Frorence Nightingale seorang perawat dari Inggris menekankan pada asepk-aspek keperawatan pada peningkatan mutu pelayanan. Salah satu ajarannya yang terkenal sampai sekarang adalah “hospital should do the patient no harm” yang artinya adalah rumah sakit jangan sampai merugikan dan mencelakakan pasien. Di Amerika Serikat, upaya peningkatan mutu pelayanan medic dimulai oleh ahli bedah Dr. E.A. Codman dari Boston pada tahun 1917. Dr. E.A Codman dan beberapa ahli bedah lain.Kecewa dengan hasil operasi yang seringkali buruk, karena seringnya terjadi penyulit.
Mereka berkesimpulan bahwa penyulit itu
terjadi karena kondisi yang tidak memenuhi syarat di rumah sakit. Untuk itu perlu ada penilaian dan penyempurnaan tentang segala sesuatu yang terkait dengan pembedahan. Hal ini merupakan upaya pertama yang berusaha mengidentifikasi masalah klinis serta mencari jalan keluarnya. Kelanjutan dari upaya ini pada tahun 1918 The American College of Surgeions menyusun suatu Hospital Standardization Programmed.
Program
standarisasi adalah upaya pertama yang terorganisasi dengan tujuan meningkatkan mutu pelayanan.
Program ini ternyata sangat berhasil meningkatkan mutu
pelayanan sehingga banyak rumah sakit tertarik untuk ikut serta.
Dengan
berkembangnya ilmu dan teknologi maka spesialisasi ilmu kedokteran di luar bedah cepat berkembang. Oleh karena itu program standarisasi perlu diperluas agar dapat mencakup disiplin lain secara umum. Pada tahun 1951 American College of Surgeon, American College of Physicians, American Hospital Association bekerja sama membentuk suatu Joint Commision on Accreditation of Hospital (JCAH) suatu badan gabungan untuk menilai dan mengakreditasi rumah sakit.
4
Pada akhir tahun 1960 JCAH tidak lagi hanya menentukan syarat minimal dan essensial untuk mengatasi kelemahan yang ada di rumah sakit, namun telah memacu rumah sakit agar memberikan mutu pelayanan yang setinggi-tingginya sesuai dnegan sumber daya yang ada. Untuk memenuhi tuntutan yang baru ini antara tahun 1953 – 1965 standar akreditasi di revisi enam kali, selanjutnya beberapa tahun sekali diadakan revisi. Di Australia, Australian Council on Hosptal Standards (ACHS) didirikan dengan susah payah pada tahun 1971, namun sampai tahun 1980 badan ini baru berhasil beroperasi dalam 3 negara bagian. Tetapi lambat laun ACHS dapat diterima kehadirannya dan diakui manfaatnya dalam upaya peningkatan mutu pelayanan sehingga sekarang kegiatan ACHS telah mencakup semua Negara bagian. Pelaksanaan peningkatan mutu di Australia pada dasarnya hampir sama dengan di Amerika. Di Eropa Barat perhatian terhadap peningkatan mutu pelayanan sangat tinggi, namun masalah itu tetap merupakan hal baru dengan konsepsi yang masih kabur bagi kebanyakan tenaga profesi kesehatan. Pendekatan secara Amerika sukar diterapkan karena perbedaan system kesehatan di masing-masing Negara di Eropa. Karena itu kantor Regional WHO untuk eropa pada awal tahun 1980-an mengambil inisiatif untuk membantu negara-negara eropa mengembangkan pendekatan peningkatan mutu pelayanan disesuaikan dengan sistem pelayanan kesehatan masing-masing. Pada tahun 1982 kantor regional tersebut telah menerbitkan buku tentang upaya peningkatan mutu dan penyelenggaraan symposium di Utrecht, negeri belanda tentang metodologi peningkatan mutu pelayanan. Dalam bulan Mei 1983 di Barcelona, Spanyol suatu kelompok kerja yang dibnetuk oleh WHO telah mengadakan pertemuan untuk mempelajari peningkatan mutu khusus untuk Eropa. Walaupun secara regional WHO telah melakukan berbagai upaya, namun pada symposium peningkatan mutu pada bulan Mei 1989 terdapat kesan bahwa secara nasional upaya peningkatan mutu di berbagai Negara Eropa Barat masih pada perkembangan awal.
5
Di Asia, negara pertama yang sudah mempunyai program peningkatan mutu dan akreditasi rumah sakit secara nasional adalah Taiwan. banyak
menerapkan
metodologi
dari
Amerika.
Sedangkan
Negara ini Malaysia
mengembangkan peningkatan mutu pelayanan dengan bantuan konsultan ahli dari negeri Belanda. Di Indonesia langkah awal yang sangat mendasar dan terarah yang telah dilakukan Departemen Kesehatan dalam rangka upaya peningkatan mutu yaitu penetapan kelas rumah sakit pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 033/Birhup/1972.
Secara umum telah ditetapkan beberapa
kriteria untuk tiap kelas rumah sakit A, B, C, D. berkembang menjadi standar-standar.
kriteria ini kemudian
Dari tahun ke tahun disusun berbagai
standar baik menyangkut pelayanan, ketenagaan, sarana dan prasarana untuk masing-masing kelas rumah sakit. Di samping standar, Departemen Kesehatan juga mengeluarkan berbagai pedoman dalam rangka meningkatkan penampilan pelayanan rumah sakit. Sejak tahun 1984 Departemen Kesehatan telah mengembangkan berbagai indikator untuk mengukur dan mengevaluasi penampilan (performance) rumah sakit pemerintah kelas C dan rumah sakit swasata setara yaitu dalam rangka Hari Kesehatan Nasional.
Indikator ini setiap dua tahun ditinjau kembali dan
disempurnakan. Evaluasi penampilan untuk tahun 1991 telah dilengkapi dengan indikator keberhasilan dan ketertiban rumah sakit dan yang dievaluasi selain kelas C juga kelas D dan kelas B serta rumah sakit swasta setara. Sedangkan evaluasi penampilan tahun 1992 telah dilengkapi pula dengan instrument mengukur kemampuan pelayanan. Evaluasi penampilan rumah sakit ini merupakan langkah awal dari konsep Continouous Quality Improvement(CGI).
Berbeda dengan
konsep QA tradisional dimana dalam monitor dan evaluasi dititik beratkan kepada pencapaian standar, maka pada CQI focus lebih diarahkan kepada penampilan organisasi melalui penilaian pemilik, manajemen, klinik dan pelayanan penunjang. Perbedaan yang sangat mendasar yaitu keterlibatan seluruh karyawan. Selain itu secara sendiri-sendiri beberapa rumah sakit telah mengadakan monitoring dan evaluasi mutu pelayanan rumah sakitnya. Pada tahun 1981 RS
6
Gatot Subroto telah melakukan kegiatan penilaian mutu yang berdasarkan atas derajat
kepuasan
pasien.
Rumah
Sakit
Husada
pada
tahun
1984
melakukankegiatan yang sama. Rumah Sakit Adi Husada di Surabaya membuat penilaian mutu atas dasar penilaian perilaku dan penampilan kerja perawat. Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya menilai mutu melalui penilaian infeksi nosocomial sebagai salah satu indicator mutu pelayanan. Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo menggunakan upaya penggunaan obat secara rasional. Rumah Sakit Islam Jakarta pernah menggunakan pengendalian mutu terpadu (TQC) dan Gugus Kendali Mutu (Quality Control Circle=QCC).
Beberapa rumah sakit
lainnya juga telah mencoba menerapkan gugus kendali mutu, walaupun hasilnya belum ada yang dilaporkan. Upaya peningkatan mutu dan keselamatan pasien di Rumah Sakit Bersalin Nabasa Pontianak telah dilakukan sejak adanya Akreditasi tahun 2007 tepatnya dalam upaya peningkatan mutu pelayanan Kesehatan melalui Akreditasi 5 Pelayanan dasar. Dalam upaya peningkatan mutu RS ini dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan dan dilanjutkan mela lui moment akreditasi lanjutan 12 pelayanan Kesehatan sampai akreditasi tingkat penuh yang telah dicapai oleh Rumah Sakit Bersalin Nabasa Pontianak yang didalamnya menetapkan garis-garis besar program peningkatan mutu dan ditambah dengan peningkatan mutu melalui Program 14 indikator area klinis, 9 indikator area manajemen, serta 4 indikator Keselamatan pasien. Sejalan dengan hal tersebut maka Departemen Kesehatan telah mengadakan pelatihan peningkatan mutu pelayanan rumah sakit pada beberapa rumah sakit. Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa kesadaran untuk meningkatkan mutu sudah cukup meluas walaupun dalam penerapannya sering ada perbedaan.
7
BAB III KONSEP DASAR UPAYA PENINGKATAN MUTU PELAYANAN RS BERSALIN NABASA KALIMANTAN BARAT
Upaya Peningkatan mutu di RS bersalin nabasa agar dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien maka diperlukan adanya kesatuan bahasa tentang konsep dasar upaya peningkatan mutu pelayanan. A. Mutu Pelayanan RS bersalin nabasa 1. Pengertian mutu Beberapa pengertian mutu antara lain di artikan sebagai kesempurnaan suatu produk atau jasa. Mutu juga dapat diartikan sebagai expertise atau keahlian dan keterikatan (commitment) yang selalu dicurahkan pada pekerjaan.
Ada yang mengartikan sebagai kegiatan tanpa salam
melakukan pekerjaan. 2. Definisi mutu pelayanan RS bersalin nabasa Mutu pelayanan di RS bersalin nabasa adalah derajat kesempurnaan pelayanan RS bersalin nabasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat/ konsumen akan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan standar profesi dan standar pelayanan dengan menggunakan potenti sumber daya yang tersedia di RS Bersalin Nabasa secara wajar, efisien dan efektif serta diberikan secara aman dan memuaskan sesuai dengan norma, etika, hukum dan sosio budaya dengan memperhatikan keterbatasan dan kemampuan RS Bersalin Nabasa dan masyarakat sebagai konsumen. 3. Pihak yang berkepentingan dengan mutu Banyak pihak yang berkepentingan dengan mutu, yaitu : a. Konsumen b. Pembayar/perusahaan/asuransi c. Manajemen RS Bersalin Nabasa d. Karyawan RS Bersalin Nabasa e. Masyarakat
8
f. Pemerintah g. Ikatan profesi Setiap
kepentingan
tersebut
diatas
kepentingannya terhadap mutu.
bebeda
sudut
pandang
dan
Karena itu mutu merupakan multi
dimensional. 4. Dimensi mutu Dimensi atau aspeknya adalah : a. Keprofesian b. Efisiensi c. Keamanan pasien d. Kepuasan pasien e. Aspek sosial budaya Irawan (2006) merumuskan lima dimensi mutu yang menjadi dasar untuk mengukur kepuasan, yaitu : a.
Tangible (bukti langsung), yang meliputi fasilitas fisik, peralatan, personil, dan media komunikasi yang dapat dirasakan langsung oleh pelanggan.
Dan
untuk
mengukur
dimensi
mutu
ini
perlu
menggunakan indera penglihatan. b.
Reliability (keandalan), yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan yang tepat dan terpercaya. Pelayanan yang terpercaya artinya adalah konsisten. Sehingga reliability mempunyai dua aspek penting yaitu kemampuan memberikan pelayanan seperti yang dijanjikan dan seberapa jauh mampu memberikan pelayanan yang tepat atau akurat.
c.
Responsiveness (ketanggapan), yaitu kesediaan/kemauan untuk membantu pelanggan dan memberikan pelayanan yang cepat. Dengan kata lain bahwa pemberi pelayanan harus responsif terhadap kebutuhan pelanggan. Responsiveness juga didasarkan pada persepsi pelanggan sehingga factor komunikasi dan situasi fisik disekitar pelanggan merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Assurance (jaminan kepastian), yaitu pengetahuan dan kesopanan
9
karyawan dan kemampuannya untuk memberikan rasa percaya dan keyakinan atas pelayanan yang diberikan kepada pelanggan. Dan komponen dari dimensi ini yaitu keramahan, kompetensi, dan keamanan. d.
Emphaty (empati), yaitu membina hubungan dan memberikan pelayanan serta perhatian secara individual pada pelanggannya.
Pendapat lain mengenai dimensi mutu dijelaskan oleh Tjong (2004) yaitu: a.
Dapat Dipercaya (Reliability) Dapat dipercaya artinya konsisten, dan pelayanan akan dapat diberikan jika dapat dipercaya oleh pelanggan.
b.
Responsif (Responsiveness) Responsif secara sederhana dapat didefinisikan sebagai kecepatan dan ketanggapan. Buat Pelanggan Merasa Dihargai (Makes Customer Feel Valued) Pelanggan mempunyai pikiran bahwa merekalah yang orang yang sangat penting saat itu, sehingga perlu diperhatikan bagaimana menghargai pelanggan.
c.
Empati (Empaty) Empati merupakan keahlian yang sangat bermanfaat, karena melalui empati dapat menjembatani pembicaraan kepada solusi. Dan melalui empati, pemberi pelayanan akan berada di sisi yang sama dengan pelanggan sehingga dapat lebih memahami kebutuhan pelanggan.
d.
Kompetensi (Competency) Kompetensi dalam hal ini lebih difokuskan pada staf yang langsung berhubungan dengan pelanggan. Pelanggan cenderung tidak mau berhubungan dengan manajer, tetapi mereka lebih menginginkan orang pertama yang bertemu merekalah yang harus dapat menyelesaikan masalah mereka.
5. Mutu terkait dengan Input, Proses, output dan outcomes Pengukuran mutu pelayanan kesehatan dapat diukur dengan menggunakan 3 variabel, yaitu
10
a. Input merupakan segala sumber daya yang diperlukan utnuk melakukan pelayanan kesehatan, seperti tenaga, dana, obat, fasilitas, peralatan, bahan, teknologi, organisasi, informasi dan lain-lain. Pelayanan kesehatan yang bermutu memerlukan dukungan input yang bermutu pula. Hubungan struktur dengan mutu pelayanan kesehatan adalah dalam perencanaan dan penggerakkan pelaksanaan pelayanan kesehatan. b. Proses merupakan aktifitas dalam bekerja yaitu interaktsi professional antara pemberi pelayanan dengan konsumen (pasien/masyarakat). Proses ini merupakan variable penilaian mutu yang penting. c. Output ialah jumlah pelayanan yang dilakukan oleh kerja/rumah sakit. d. Outcomes
merupakan
hasil
pelayanan
kesehatan,
merupakan
perubahan yang terjadi pada konsumen (pasien/masyarakat), termasuk kepuasan dari konsumen tersebut.
RS Bersalin Nabasa adalah suatu institusi pelayanan kesehatan yang kompleks, padat pakar dan padat model. Kompleksitas ini muncul karena pelayanan di RS Besalin Nabasa menyangkut berbagai fungsi pelayanan serta mencakup berbagai tingkatan maupun jenis disiplin. RS Bersalin Nabasa harus memampu melaksanakan fungsi yang demikian kompleks, harus memiliki sumber daya manusia yang professional baik di bidang teknis medis maupun administrasi kesehatan.
Untuk menjaga dan
meningkatkan mutu RS bersalin nabasa harus mempunyai suatu ukuran yang menjamin peningkatan mutu di semua tingkatan. Pengukuran mutu pelayanan kesehatan di RS bersalin nabasa awali dengan penilaian akreditasi RS bersalin nabasa yang mengukur dan memecahkan masalah pada tingkat input dan proses. Pada kegiatan ini RS bersalin nabasa harus menetapkan standar input, proses, output dan outcomes serta membakukan seluruh standar prosedur yang telah ditetapkan. RS bersalin nabasa dipacu untuk dapat menilai diri (self assessment) dan memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
Sebagai
11
kelanjutan untuk mengukur hasil kerjanya perlu ada alat ukur yaitu instrument mutu pelayanan RS bersalin nabasa yang
memecahkan
masalah pada hasil baik output maupun outcomes. Tanpa mengukur hasil kinerja RS bersalin nabasa maka tidak akan dapat diketahui apakah input dan proses yang baik telah menghasilkan output yang baik pula. Indikator pelayanan di RS bersalin nabasa yang disusun dengan tujuan agar dapat mengukur kinerja mutu RS bersalin Nabasa secara nyata. 6. Strategi Mutu a. Quality Assurance (Jaminan Mutu) Quality Assurance mulai digunakan di rumah sakit sejak tahun 1960-an implementasi pertama yaitu audit keperawatan.Strategi ini merupakan program untuk mendesain standar pelayanan keperawatan dan mengevaluasi pelaksanaan standar (Swansburg, 1999).Sedangkan menurut Wijono (2000), Quality Assurance sering diartikan sebagai menjamin mutu atau memastikan mutu karena Quality Assurance berasal dari kata “to assure” yang artinya meyakinkan orang, mengusahakan sebaik-baiknya, mengamankan atau menjaga. Dimana dalam pelaksanaannya menggunakan teknik-teknik seperti inspeksi, internal audit dan surveilan untuk menjaga mutu yang mencakup dua tujuan yaitu : organisasi mengikuti prosedur pegangan kualitas, dan efektifitas
prosedur
tersebut
untuk
menghasilkan
hasil
yang
diinginkan. Quality assurance dalam pelayanan adalah kegiatan menjamin mutu yang berfokus pada proses agar mutu pelayanan yang diberikan sesuai dengan standar. Dimana metode yang digunakan adalah : audit internal dan surveilan untuk memastikan apakah proses pengerjaannya (pelayanan keperawatan yang diberikan kepada pasien) telah sesuai dengan standar operating procedure (SOP); evaluasi proses; mengelola mutu; dan penyelesaian masalah. Sehingga sebagai suatu system (input, proses, outcome), menjaga mutu pelayanan difokuskan hanya pada satu sisi yaitu pada proses pemberian pelayanan untuk menjaga mutu pelayanan.
12
b. Continuous Quality Improvement (Peningkatan Mutu Berkelanjutan) Continuous Quality Improvement dalam pelayanan kesehatan merupakan perkembangan dari Quality Assurance yang dimulai sejak tahun 1980-an. Continuous Quality Improvement (Peningkatan mutu berkelanjutan)
sering
diartikan
sama
dengan
Total
Quality
Management karena semuanya mengacu pada kepuasan pasien dan perbaikan mutu menyeluruh. Namun menurut Loughlin dan Kaluzny (1994, dalam Wijono 2000) bahwa ada perbedaan sedikit yaitu Total Quality Management dimaksudkan pada program industry sedangkan Continuous Quality Improvement mengacu pada klinis. Wijono (2000) mengatakan bahwa Continuous Quality Improvement itu merupakan upaya peningkatan mutu secara terus menerus yang dimotivasi
oleh
keinginan
pasien.
Tujuannya
adalah
untuk
meningkatkan mutu yang tinggi dalam pelayanan keperawatan yang komprehensif dan baik, tidak hanya memenuhi harapan aturan yang ditetapkan standar yang berlaku. Shortell dan Kaluzny (1994) mengemukakan bahwa Quality Improvement merupakan manajemen filosofi untuk menghasilkan pelayanan yang baik.Continuous Quality Improvement sebagai filosofi peningkatan mutu yang berkelanjutan yaitu proses yang dihubungkan dengan
memberikan
pelayanan
dapat
menimbulkan
kepuasan
pelanggan (Shortell, Bennett & Byck, 1998). Continuous Quality Improvement dalam pelayanan adalah upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan secara terus menerus yang memfokuskan pada perbaikan mutu secara keseluruhan dan kepuasan pasien. Oleh karena itu perlu dipahami mengenai karakteristikkarakteristik yang dapat mempengaruhi mutu dari outcome yang ditandai dengan kepuasan pasien.
13
c. Total quality manajemen (TQM) Total Quality Manajemen (manajemen kualitas menyeluruh) adalah suatu cara meningkatkan performansi secara terus menerus pada setiap level operasi atau proses, dalam setiap area fungsional dari suatu organisasi, dengan menggunakan semua sumber daya manusia dan modal yang tersedia dan berfokus pada kepuasan pasien dan perbaikan mutu menyeluruh.
B. UPAYA PENINGATAN MUTU PELAYANAN RS BERSALIN NABASA Upaya peningatan mutu pelayanan kesehatan dapat diartikan keseluruhan upaya dan kegiatan secara komprehensif dan integrative memantau dan menilai mutu pelayanan RS Bersalin Nabasa yang memecahkan masalah-masalah yang ada serta mencari jalan keluar sehingga mutu pelayanan RS Bersalin Nabasa akan menjadi lebih baik. Upaya peningkatan mutu pelayanan di RS Bersalin nabasa merupakan kegiatan yang bertujuan memberikan asuhan atau pelayanan sebaik-baiknya kepada pasien. Upaya peningkatan mutu pelayanan RS bersalin nabasa akan sangat berarti dan efektif bilamana upaya peningkatan mutu menjadi tujuan sehari-hari dari setiap unsur di Rs bersalin Nabasa termasuk pimpinan, pelaksana pelayanan langsung dan staf penunjang. Upaya peningkatan mutu termasuk kegiatan yang melibatkan mutu asuhan atau pelayanan dengan penggunaan sumber daya secara tepat dan efisien.
Walaupun disadari bahwa mutu memerlukan biaya, tetapi tidak
berarti mutu yang lebih baik selalu memerlukan biaya lebih banyak atau mutu rendah biayanya lebh sedikit. Berdasarkan hal diatas maka disusunlah definisi dan tujuan dari upaya peningkatan mutu pelayanan RS Bersalin Nabasa.
14
1. Definisi upaya peningkatan mutu pelayanan RS bersalin Nabasa Upaya peningkatan mutu pelayanan RS bersalin nabasa merupakan keseluruhan upaya dan kegiatan yang komprehensif dan integrative yang menyangkut input, proses dan output secara objektif, sistematik dan berlanjut memantau dan menilai mutu dan kewajaran pelayanan kepada pasien, dan memecahkan masalah-masalah yang terungkap sehingga pelayanan yang diberikan di RS Bersalin Nabasa berdaya guna dan berhasil guna. 2. Tujuan upaya peningaktan mutu pelayanan RS Bersalin Nabasa Umum : Meningkatkan pelayanan kesehatan melalui upaya peningkatan mutu pelalayanan RS Bersalin Nabasa secara efektif dan efisien agar tercapai derajat kesehatan yang optimal. Khusus : Tercapainya peningkatan mutu pelayanan RS bersalin nabasa melalui : a. Optimalisasi tenaga, sarana dan prasarana b. Pemberian pelayanan sesuai dengan standar profesi dan star pelayanan yang dilaksanakan secara menyeluruh dan terpadu sesuai dengan kebutuhan pasien. c. Pemanfaatan teknologi tepat guna, hasil peneli penelitian dan pengembangan pelayanan kesehatan. 3. Indikator mutu Indikator mutu RS bersalin Nabasa meliputi indikator klinik, indikator manajemen dan indikator keselamatan pasien yang berdasarkan pada efektifitas, efisiensi, keselamatan dan kelayakan. 4. Strategi Untuk meningkatkan mutu pelayananan kesehatan RS bersalin nabasa maka disusunlah strategi sebagai berikut : a. Setiap petugas harus memahami dan menghayati konsep dasar dan prinsip mutu pelayanan RS bersalin nabasa sehingga dapat
15
menerapkan langkah-langkah upaya peningkatan mutu di masingmasing unit kerjanya. b. Memberi prioritas kepada peningkatan kompetensi sumber daya manusia
di
RS
bersalin
nabasa
serta
upaya
meningkatkan
kesejahteraan karyawan. c. Menciptakan budaya mutu di RS bersalin nabasa termasuk di dalamnya menyusun program mutu RS bersalin nabasa dengan pendekatan PDCA cycle. 5. Pendekatan pemecahan masalah Pendekatan pemecahan masalah merupakan suatu proses siklus (daur) yagn berkesinambungan. Langkah pertama dalam proses siklus ini adalah identifikasi masalah.
Identifikasi masalah merupakan bagian sangat
penting dari seluruh proses siklus karena akan menentukan kegiatankegiatan selanjutnya dari pendekatan pemecahan masalah ini. Masalah akan timbul apabila ; a. Hasil yang dicapai dibandingkan dengan standar yang ada terdapat penyimpangan. b. Merasa tidak puas akan penyimpangan tersebut c. Merasa bertanggung jawab atas penyimpangan tersebut. Dengan telah jelasnya cara memceahkan masalah maka bias dilakukan tindakan perbaikan. Namun agar pemecahan masalah bias tuntas, setelah diadakan tindakan perbaikan perlu dinilai kembali apakah masih ada yang tertinggal. Dari penilaian kembali maka akan didapatkan masalah yang telah terpecahkan dan masalah yang masih tetap merupakan masalah sehingga proses siklus akan berulang mulai tahap pertama.
16
BAB IV PRINSIP DASAR UPAYA PENINGKATAN MUTU PELAYANAN
Prinsip dasar upaya peningkatan mutu pelayanan adalah pemilihan aspek yang akan ditingkatkan dengan menetapkan indikator, kriteria serta standar yang digunakan untuk mengukur mutu pelayanan RS bersalin nabasa
Indikator : Indikator adalah ukuran atau cara mengukur sehingga menunjukkan suatu indikasi. Indikator merupakan suatu variable yang digunakan untuk bisa melihat perubahan. Indikator yang baik adalah yang sensitive tapi juga spesifik. Kriteria adalah spesifikasi dari indikator. Standar adalah tingkat kinerja atau keadaan yang dapat diterima oleh seseorang yang berwenang dalam situasi tersebut atau oleh mereka yang bertanggung jawab untuk mempertahankan tingkat kinerja atau kondisi tersebut. Standar merupakan suatu norma atau persetujuan mengenai keadaan atau prestasi yang sangat baik. Sesuatu ukuran atau patokan untuk mengukur kuantitas, berat, nilai atau mutu. Dalam
melaksanakan
upaya
peningkatan
mutu
pelayanan
maka
harus
memperhatikan prinsip dasar sebagai berikut : 1. Aspek yang dipilih untuk diitingkatkan adalah a. Keprofesian. b. Efisiensi c. Keamanan pasien d. Kepuasan pasien e. Sarana dan lingkungan fisik 2. Indikator yang dipilih a. Indikator lebih diutamakan untuk menilai output daripada input dan proses b. Bersifat umum yaitu lebih baik indikator untuk situasi dan kelompok daripada untuk perorangan. c. Dapat digunakan untuk membandingkan dengan rumah sakit lain.
17
d. Dapat mendorong intervensi sejak tahap awal pada aspek yang dipilih untuk dimonitor. e. Didasarkan pada data yang ada 3. Kriteria yang digunakan Kriteria yang digunakan harus dapat diukur dan dihitung untuk dapat menilai indikator sehingga dapat sebagai bagian yang memisahkan antara mutu baik dan mutu yang tidak baik. 4. Standar yang digunakan Standar yang digunakan ditetapkan berdasarkan : a. Acuan dari berbagai sumber b. Benchmarking dengan rumah sakit yang setara c. Berdasarkan tren yang menuju kebaikan. Adapun indikator yang digunakan di Rumah Sakit bersalin nabasa Pontianak terdapat 3 indikator pada area klinis, manajemen, dan keselamatan pasien. Adapun indikator-indikatornya adalah : A. Indikator area klinis 1. Pengkajian awal pasien baru dalam 24 jam Pengkajian adalah tahapan dari proses dimana dokter, perawat, dietisien mengevaluasi data pasien subyektif maupun obyektif untuk membuat keputusan terkait status kesehatan pasien, kebutuhan perawatan, intervensi dan evaluasi. Pengkajian awal adalah pengkajian yang dilakukan pada setiap pasien masuk ke Rumah Sakit meliputi status medis pasien melalui pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatannya. Dilakukan juga evaluasi terhadap faktor psikologis, visual dan ekonomi serta kebutuhan khusus pasien termasuk juga penentuan dibutuhkan atau tidaknya perencanaan pemulangan pasien (discharge planning). Pengkajian awal terdiri dari pengkajian awal gawat darurat, pengkajian awal rawat jalan, dan pengkajian awal rawat inap yang harus di isi dalam waktu 24 jam. Kualifikasi petugas kesehatan yang melakukan pengkajian adalah petugas kesehatan
yang
mempunyai
kompetensi,
seperti
dokter,
SDM
18
keperawatan, farmasi klinis, terafis, dietisien dan lain-lain yang melakukan kolaborasi dalam pelayanan pasien dengan melakukan analisa dan mengintegrasikan hasil pengkajian. Ruang lingkup kategori pengkajian pasien adalah dari segi medis, keperawatan, gizi dan lain-lain. Komponen utama dari proses pelayanan pasien rawat inap dan rawat jalan untuk memperoleh informasi terkait status medis pasien. Untuk dapat berhasil memberikan terapi/asuhan yang berorientasi kepada pasien, dalam prakteknya, doker, perawat dan dietisein harus memiliki pengetahuan dan keahlian dalam melakukan pengkajian pasien. Pengkajian pasien diperoleh dari pasien dan sumber-sumber lain. Pengkajian pasien dibutuhkan dalam membuat keputusan-keputusan terkait status kesehatan pasien, kebutuhan dan permasalahan keperawatan, intervensi guna memecahkan permasalahan kesehatan yang sudah teridentifikasi atau juga mencegah permasalahan yang bisa timbul dimasa mendatang serta tindak lanjut untuk memastikan hasil-hasil yang diharapkan pasien terpenuhi. Proses asuhan kepada pasien saling berhubugnan/terjadi kolaborasi antara dokter, perawat dan gizi.
Dalam pengkajian, pasien dan keluarga harus diikutsertakan dalam seluruh proses agar asuhan kepada pasien menjadi optimal.
Pada sat
evaluasi, bila terjadi perubahan yang signifikan terhadap kondisi klinis pasien maka harus segera dilakukan pengkajian ulang.
19
Pengkajian awal diperlukan untuk mengidentifikasi adanya permasalahan yang terjadi pada pasien dan memastikan bahwa pasien dalam keadaan aman dan nyaman sehingga dapat menghindari terjadinya kejadian yang tidak diharapkan seperti pasien jatuh. Penelitian yang dilakukan oleh Atkinson (2013) tentang pengkajian pasien yang dilakukan oleh perawat di unit medical didapatkan hasil pengkajian yang dilakukan oleh perawat mempunyai masalah dalam memastikan pasien aman termasuk verbal.
pengkajian secara visual maupun
Perawat mengobservasi warna kulit, ekpresi, penampilan dan
respon verbal. Perawat telah menampilkan pengetahuan secara umum serta menafsirkan
pengkajian yang telah didapatkan dan menangani
masalah pasien secara kompleks meskipun mempunyai tantangan pada waktu yang sempit. Perawat menunjukkan keahlian walaupun mempunyai pengalaman yang baru.
Dari penelitian tersebut dapatlah disimpulkan
bahwa perlu dilakukan observasi apakah pengkajian 2. Waktu tunggu hasil pemeriksaan darah Waktu tunggu hasil pemeriksaan darah didefinisikan sebagai waktu yang diukur mulai dari specimen diterima di laboratorium sampai hasil dilaporkan. Menurut permenkes No. 129/Menkes/SK/II/2008 tentang standar pelayanan minimal rumah sakit, waktu tunggu hasil pelayanan laboratium untuk pemeriksaan darah adalah tenggang waktu mulai pasien diambil sampel sampai dengan menerima hasil yang sudah di ekspertisi dengan standar waktu ≤ 140 menit untuk pemeriksaan kimia darah dan darah rutin. Penelitian Chung et al (2009) mendapatkan bahwa untuk rerata pemeriksaan kimia klinik adalah 43,6±7,7 menit. Sebanyak 98% dari specimen diselesaikan dalam waktu 60 menit. 3. Angka reaksi obat kontras Bahan kontras yang diinjeksi intravaskuler pada dasarnya mempunyai risiko
definitive
terhadap
terjadinya
reaksi
dan
efek
samping.
Kemungkinan timbulnya reaksi itu pada seseorang tidak dapat diramalkan
20
dengan tegas.
Tindakan preventif untuk mencegah terjadinya efek
samping dengan memberikan obat-obatan tertentu sebelum injeksi tidak mempunyai pengaruhi yang bermakna dalam menguangi atau mencegah reaksi terhadap bahan kontras (Shehadi, 1982). Cara lain dengan tindakan sugesti hipnotis berhasil dengan efektif mengurangi nausea, vomitus dan urtikaria (Laili, 1974). Reaksi terhadap pemakaian bahan kontras intravaskuler tidak diketahui sebabnya, tetapi banyak hipotesis yang dikemukakan dan tampaknya beberapa factor ikut berperan. Menurut Laser (1968) yang mendasari terjadinya reaksi terhadap injeksi bahan kontras adalah proses alergi atau idiosinkrasi dan kemoktasis.
Factor-faktor lain yang diduga sebagai
penyebab adalah pelepasan histamain, reaksi-reaksi protein tubuh, penekanan asetilkolin-ewsterase atau aktivitas komplemen darah (Fischer dan Colgan, 1976). Faisal (1992) mendapatkan reaksi yang terjadi 6% pada penggunaan obat kontras untuk urografin 76%. Hal ini sama dengan penelitian yang dilaporkan oleh Ansel (1970) dan Shehadi dan Taniolo (1980) yaitu 5 – 8,5%. Radiokontras yang mengandung iodine intravena diketahui mempunyai efek toksik terhadap ginjal (nephrotoxicity). Saat ini terus dikembangkan radiokontras yang lebih fisiologis untuk mengurangi efek samping terjadinya nefropati radiokontras. Penelitian yang dilakukan Lalli, et al. (2009) menemukan 228 pasien meninggal setelah pemberian radiokontras yang melibatkan prosedur cholangiography, angiography dan urography. Angka kematian pada penelitian ini cukup tinggi dan dikatakan sebagai penyebabnya adalah adanya reaksi akibat radiokontras.Angka kejadian dan risiko nefropati radiokontras telah banyak dipelajari, yaitu perubahan pada fungsi ginjal yang terjadi pada semua kasus atau yang lebih berat yaitu nefrotoksik radiokontras yang biasanya bersifat akut, reversibel, sampai gagal ginjal dengan derajat yang berbeda. Gagal ginjal yang terjadi tidak selalu bersifat reversibel oleh karena banyak faktor lain yang mempengaruhi nefrotoksisitas.. Faktor penting lain yang mempengaruhi
21
kejadian ini seperti adanya gagal jantung dan dosis radiokontras yang besar. Risiko gagal ginjal setelah penggunaan radiokontras meningkat sesuai dengan banyaknya faktor risiko yang ada. Sebuah studi oleh Rich, et al. (2009) menemukan insiden gagal ginjal meningkat secara progresif dari 1,2% sampai 100% sesuai dengan jumlah faktor risiko. Mengingat risiko terjadinya nefropati radiokontras cukup tinggi, maka diperlukan data yang jelas dan bagaimana penanganannya. 4. Angka penundaan operasi Elective surgery merupakan terminology untuk semua operasi yang kurang mendesak dimana waktu masuk ke rumah sakit dapat ditunda paling tidak 24 jam. Mereka yang menunggu giliran untuk dioperasi diberi kategori klinis yang berdasarkan atas penilaian dari dokter spesialis. Berdasarkan keadaan yang normal, pasien dengan klasifikasi paling mendesak (Kategori 1 – mendesak) akan dijadwalkan sebelum pasien-pasien lainnya. Ada
tiga
kategori
klinis
yang
dipakai
secara
nasional
untuk
mengklasifikasi pasienpasienyang memerlukan operasi: Kategori 1 – mendesak Kemungkinan waktu menunggu untuk operasi mendesak adalah 30 hari atau kurang. Kategori 2 – cukup mendesak Kemungkinan waktu menunggu untuk operasi yang kurang mendesak adalah 90 hariatau kurang. Kategori 3 – tidak mendesak Kemungkinan waktu menunggu untuk operasi yang tidak mendesak adalah 12 bulan atau kurang. Walaupun rumah sakit umum berupaya untuk memenuhi jadwal tersebut, rumah sakit harus memberi prioritas kepada pasien gawat yang memerlukan tempat tidur di sebuah rumah sakit. Walaupun dilakukan penjadwalkan kadang-kadang terjadi penundaan karena banyak hal seperti keadaan pasien yang tidak memungkinkan untuk dioperasi, alat yang rusak, ataupun keadaan yang diluar dari rencana semula.
22
5. Operasi bersih tanpa penggunaan antibiotic profilaksis Antibiotika profilaksis adalah antibiotika yang diberikan dalam waktu singkat sebelum opeasi dengan tujuan menurunkan resiko terjadinya infeksi daerah operasi.
Walaupun antibiotika profilaksis penting
menurunkan angka infeksi tetapi bila penggunaan tidak tepat akan menimbulkan perkembangan bakteri resistensi terhadap antibiotic yang dapat mempersulit pengobatan.
Pada operasi bersih tidak perlu
menggunakan antibiotic profilaksis. Operasi bersih adalah operasi yang dilakukan pada daerah dengan kondisi pra bedah tanpa infeksi, tanpa membuka trakturs (respiratorius, gastro intestinal, urinarius, bilier), operasi terencana, atau penutupan kulit primer dengan atau tanpa digunakan drain tertutup.
Pada operasi ini umumnya tidak memerlukan antibiotika
profilaksis kecuali pada beberapa jenis operasi, misalnya mata, jantung, dan sendi. Penggunaan antibiotik prabedah dapat mengurangi kejadian infeksi, khususnya infeksi luka, setelah pembedahan tertentu. Namun manfaat itu harus dipertimbangkan dengan risiko reaksi alergi dan toksik, munculnya bakteri resistan, interaksi obat, superinfeksi dan biaya. Sekitar 5% pasien yang menerima antibiotik diperkirakan akan mengalami infeksi serius untuk pengobatan ini. Di Amerika kerugian diperkirakan sebesar 400-2600 dolar per luka operasi yang berarti antara 130-840 juta dolar pertahun. Di Indonesia infeksi pasca bedah ini memperpanjang waktu perawatan antara 15-19 hari. Pemberian antibiotik sebelum, saat dan hingga 24 jam pasca operasi pada kasus yang secara klinis tidak didapatkan tanda-tanda infeksi dengan tujuan untuk mencegah terjadi infeksi luka operasi. Diharapkan pada saat operasi antibiotik di jaringan target operasi sudah mencapai kadar optimal yang efektif untuk menghambat pertumbuhan bakteri (Avenia, 2009). Prinsip penggunaan antibiotik profilaksis selain tepat dalam pemilihan jenis juga mempertimbangkan konsentrasi antibiotik
23
dalam jaringan saat mulai dan selama operasi berlangsung. Rekomendasi antibiotic yang digunakan pada profilaksis bedah sebagaimana diuraikan di bawah ini. Rekomendasi Antibiotik Pada Profilaksis Bedah Prosedur Bedah Rekomendasi Indikasi Antibiotik Profilaksi Intracranial Craniotomy A Recommended Cerebrospinal fluid (CSF)shuntA Recommended Spinal surgery A Recommended Ophtalmic Operasi katarak A Highly recommended Glaukoma atau corneal grafts B Recommended Operasi lakrimal C Recommended Penetrating eye injury B Recommended Facial Open reduction dan internal fixationcompound mandibular fractures A Recommended A Lama pemberian antibiotik tidak boleh dari 24 jam Intraoral bone grafting Procedures B Recommended Prosedur Bedah Rekomendasi Indikasi Antibiotik Profilaksi Orthognathic surgery A Recommended A Lama pemberian antibiotik tidak boleh dari 24 jam B Antibiotik spektrum luas yang tepat untuk oral flora dapat diberikan Facial surgery (clean) Not recommended Facial plastic surgery (with implant) Should be considered Ear, nose and throat Ear surgery (clean/clean-contaminated) A Not recommended Routine nose, sinus and endoscopic sinus surgery A Not recommended Complex septorhinoplasty (including grafts)
24
Lama pemberian antibiotik tidak boleh dari 24 jam Tonsillectomy ANot recommended Adenoidectomy (by curettage) A Not recommended Grommet insertion B recommended Head and neck Head and neck surgery (clean, benign) D Not recommended Head and neck surgery (clean, malignant; neck dissection) C should be considered Head and neck surgery(contaminated/cleancontaminated) A recommended C Lama pemberian antibiotik tidak boleh dari 24 jam D Pastikan broad spectrum antimicrobial meliputiaerobic dan anaerobic organisms Thorax Breast cancer surgery A should be considered Breast reshaping procedures C should be considered Breast surgery with implant (reconstructive or aesthetic) C recommended Cardiac pacemaker insertion A recommended Open heart surgery C recommended C Lama pemberian antibiotik tidak boleh dari 24 jam Pulmonary resection A recommended Upper Gastrointestinal Oesophageal surgery D recommended Stomach and duodenal surgery A recommended Gastric bypass surgery D recommended Small intestine surgery D Recommended Hepatobiliary Bile duct surgery A recommended Pancreatic surgery B recommended Liver surgery B recommended
25
Gall bladder surgery (open) A recommended Gall bladder surgery (laparoscopic) A Not recommended Lower Gastrointestinal Appendicectomy AHighly recommended Colorectal surgery A Highly recommended Abdomen Hernia repair-groin (inguinal/femoral with or without mesh) A Not recommended Hernia repair-groin (laparoscopic with or without mesh) B Not recommended Hernia repair (incisional with or without mesh) C Not recommended Open/laparoscopic surgery with mesh (eg gastric band or rectoplexy) B Not recommended Diagnostic endoscopic procedures D Not recommended Therapeutic endoscopic procedures D should be considered in high risk
Prosedur Bedah Rekomendasi Indikasi Antibiotik Profilaksi (endoscopic retrograde cholangio pancreatography and percutaneous endoscopic gastrostomy) patient Spleen Splenectomy - Not recommended should be considered in high risk patient Gynecological Abdominal hysterectomy A recommended Vaginal hysterectomy A recommended Caesarean section A Highly recommended Assisted delivery ANot recommended Perineal tear D Recommended for third/fourth degree perineal tear Abdomen Gynecological Manual removal of the placenta D should be considered D recommended pada pasien terbukti chlamydia atau infeksi gonorrhoea Induced abortion A Highly recommended
26
Evacuation of incomplete miscarriage A Not recommended Intrauterine contraceptive device (IUCD) insertion A Not recommended Urogenital Transrectal prostate biopsy A recommended Shock wave lithotripsy A recommended Percutaneous nephrolithotomy B recommended untuk pasien dengan batu ≥ 20 mm atau dengan pelvicalyceal dilation Endoscopic ureteric stonefragmentation/removalB recommended Transurethral resection of the prostate A Highly recommendedAbdomen Urogenital Transurethral resection of bladder tumoursD Not recommended Radical cystectomy – recommended Limb Arthroplasty B Highly recommendedB Antibiotic-loaded cement is recommended in addition to intravenous antibiotics B Lama pemberian antibiotik tidak boleh dari 24 jam Open fracture A Highly recommended Open surgery for closed fracture A Highly recommended Hip fracture A Highly recommended Orthopaedic surgery (without implant) D Not recommended Lower limb amputation Arecommended Vascular surgery (abdominal and lower limb arterial reconstruction) A recommended Soft tissue surgery of the hand - should be considered Non-operative intervention Intravascular catheter insertion: onon-tunnelled central venous catheter (CVC) D Not recommended otunnelled CVC
A Not recommended
27
General Clean-contaminated procedures –where nospecific evidence is available Drecommended Insertion of a prosthetic device or implant –where no specific evidence is available Drecommended Head and Neck Prosedur Bedah Rekomendasi Indikasi Antibiotik Profilaksi Craniotomy B recommended CSF shunt Arecommended Spinal surgery B recommended Tonsillectomy - Not recommended Cleft lip and palate - Recommended untuk major cleftpalate repairs Adenoidectomy (by curettage) A Not recommended Grommet insertion B recommended Thorax Open heart surgery D recommended Closed cardiac procedures (clean) - Not recommended Interventional cardiac catheter device placement- Highly recommended Gastrointestinal Appendicectomy AHighly recommended Colorectal surgery B Highly recommended Insertion of percutaneous endoscopic gastrostomy (PEG) B recommended Splenectomy - Not recommended Urogenital Circumcision (routine elective) - Not recommended Hypospadias repair B should be considered sampai kateter dilepas Hydrocoeles/hernia repair C Not recommended Shock wave lithotripsy B recommended Percutaneous nephrolithotomy C recommended
28
Endoscopic ureteric stonefragmentation/removalC recommended Cystoscopy - Not recommended - Hanya jika ada risiko tinggi UTI Nephrectomy - Not recommended Pyeloplasty - recommended Surgery for vesicoureteric reflux (endoscopic oropen)- recommended Non-operative interventions Intravascular catheter insertion: onon-tunnelled central venouscatheter (CVC) otunnelled CVCDD Not recommended General Clean-contaminated procedures –where nospecific evidence is available D recommended Insertion of a prosthetic device or implant –where no specific evidence is available D recommended 1. Tujuan pemberian antibiotik profilaksis pada kasus pembedahan: a. Penurunan dan pencegahan kejadian Infeksi Luka Operasi (ILO). b. Penurunan morbiditas dan mortalitas pasca operasi. c. Penghambatan muncul flora normal resisten. d. Meminimalkan biaya pelayanan kesehatan. 2. Indikasi penggunaan antibiotik profilaksis didasarkan kelas operasi, yaitu operasi bersih dan bersih kontaminasi. 3. Dasar pemilihan jenis antibiotik untuk tujuan profilaksis: a. Sesuai dengan sensitivitas dan pola bakteri patogen terbanyak pada kasus bersangkutan. b. Spektrum sempit untuk mengurangi risiko resistensi bakteri. c. Toksisitas rendah. d.
Tidak
menimbulkan
obatanestesi.
reaksi
merugikan
terhadap
pemberian
29
e. Bersifat bakterisidal. f. Harga terjangkau. Gunakan sefalosporin generasi I – II untuk profilaksis bedah.Pada kasus tertentu yang dicurigai melibatkan bakteri anaerob dapat ditambahkan metronidazol.Tidak dianjurkan menggunakan sefalosporin generasi III dan IV,golongan karbapenem, dan golongan kuinolon untuk profilaksis bedah. 4. Rute pemberian a. Antibiotik profilaksis diberikan secara intravena. b.Untuk menghindari risiko yang tidak diharapkan dianjurkan pemberianantibiotik intravena drip. 5. Waktu pemberian Antibiotik profilaksis diberikan ≤ 30 menit sebelum insisi kulit. Idealnya diberikan pada saat induksi anestesi. 6. Dosis pemberian Untuk menjamin kadar puncak yang tinggi serta dapat berdifusi dalam jaringan dengan baik, maka diperlukan antibiotik dengan dosis yang cukup tinggi. Pada jaringan target operasi kadar antibiotik harus mencapai kadar hambat minimal hingga 2 kali lipat kadar terapi. 7. Lama pemberian Durasi pemberian adalah dosis tunggal.Dosis ulangan dapat diberikan atas indikasi perdarahan lebih dari1500 ml atau operasi berlangsung lebih dari 3 jam.(SIGN, 2008). 8. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap risiko terjadinya ILO, antara lain: a. Kategori/kelas operasi (Mayhall Classification) (SIGN, 2008) Operasi Bersih Operasi yang dilakukan pada daerah dengan kondisi pra bedah tanpa infeksi, tanpa membuka traktus (respiratorius, gastro intestinal, urinarius, bilier), operasi terencana, atau penutupan kulit primer dengan atau tanpa digunakan drain tertutup.
30
Kelas operasi bersih terencana umumnya tidak memerlukan antibiotil profilaksis kecuali pada beberapa jenis operasi, misalnya mata, jantung, dan sendi. Operasi Bersih – Kontaminasi Operasi yang dilakukan pada traktus (digestivus, bilier,urinarius, respiratorius, reproduksi kecuali ovarium) atau operasi tanpa disertai kontaminasi yang nyata. Pemberian
antibiotika
profilaksis
pada
kelas
operasi
bersihkontaminasi perlu dipertimbangkan manfaat dan risikonya karena bukti ilmiah mengenai efektivitas antibiotik profilaksis belum ditemukan. OperasiKontaminasi Operasi yang membuka saluran cerna, saluran empedu, saluran kemih,saluran napas sampaiorofaring, saluran reproduksi kecuali ovarium atau operasi yang tanpa pencemaran nyata (Gross Spillage). Kelas operasi kontaminasi memerlukan antibiotic terapi (bukan profilaksis). Operasi Kotor Operasi pada perforasi saluran cerna, saluranurogenital atau saluran napas yang terinfeksi ataupun operasi yang melibatkan daerah yang purulen (inflamasibakterial). Dapat pula operasi pada luka terbuka lebih dari 4 jam setelah kejadian atau terdapat jaringan nonvital yang luas atau nyata kotor. Kelas operasi kotor memerlukan antibiotic terapi. Penelitian yang dilakukan oleh Desiyana dkk (2008) hasilnya dari 150 pasien yang menjalani operasi di RS Darmais sejumlah 131 pasien yang dapat dipantau hingga 30 hari pasca operasi. Antibiotika profilaksis digunakan pada 111 dari 131 operasi yang operasi yang dilakukan (84,73%).
Antibiotika yang yang paling banyak digunakan adalah
sefalosporin genersasi III yaitu ceftriaxone (52,25%).
84,68% pasien
menerima antibitoka profilaksis tidak tepat waktu dan 81,98% menerima
31
antibiotika profilaksis > 24 jam. Infeksi luka operasi terjadi 3 dari 131 (2,29%) pasien tersebut.
Hasil analisa multivariat menunjukkan luka
rawat sebelum operasi merupakan factor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian infeksi luka operasi dengan p=0,021 dan OR 3,259. Penelitian oleh Marityaningsih (2012) tentang kualitas penggunaan antibiotic di bangsal bedah dan obstetric Rumah Sakit Dr. Karyadi dapatkan hasil kualitas penggunaan antibiotic dengan tepat indikasi dan tepat waktu pemberian sebesar 30,3% dan tepat indikasi sebesar 3,6%. Penggunaan antibiotik yang tanpa indikasi di bangsal bedah sebesar 56,9% dan ruang obstetric-ginekologi 48,2%. Penelitian Laras (2012) tentang kuantitas penggunaan antibiotik di RSUP Dr. Karyadi didapatkan ruang bedah lebih tinggi daripada bangsal obsgin. Jenis antbitok yang tidak sesuai dengan pedoman penggunaan antibiotik secara statistic lebih banyak di bangsal bedah. Dari beberapa penelitian tersebut diperlukan peningkatan mutu untuk operasi bersih tanpa penggunaan antibiotic profilaksis. 6. Ketepatan waktu pemberian injeksi antibiotika pada pasien rawat inap Penggunaan antibiotik oleh pasien harus memperhatikan waktu, frekuensi dan lama pemberian sesuai rejimen terapi dan memperhatikan kondisi pasien. Penghentian otomatis pemberian antibiotik dilakukan bila penggunaan sudah sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan. Pengobatan penyembuhan
merupakan penyakit
salah dan
satu
unsur
pemulihan
penting
kesehatan.
dalam
upaya
Perawat
turut
bertanggung jawab dalam memastikan bahwa pemberian obat tersebut aman bagi pasien dan membantu mengawasi efek pemberian obat tersebut. Untuk dapat menjalankan peranan ini, perawat harus dibekali dengan ilmu keperawatan (UU No.23 th. 1992 pasal 32 ayat (3)). Dalam pemberian obat yang aman, perawat perlu memperhatikan lima tepat (five rights). Selama ini istilah five rights sering diterjemahkan sebagai lima tepat. Lima tepat ini meliputi tepat pasien (right client), tepat obat (right drug), tepat dosis (right dose), tepat waktu (right time), dan tepat rute (right route).
32
Setiap ke”tepat”an memerlukan pengetahuan, keterampilan, dan tindakan keperawatan
khusus
(Abrams,
1995).
Kee
dan
Hayes
(2000)
mengemukakan bahwa pengalaman menunjukkan ada five rights lainnya yang juga penting dalam praktek keperawatan profesional, yaitu: righ assessment (tepat pengkajian), right documentation (tepat pencatatan), client’s right to get education (hak klien mendapatkan pendidikan), right evaluation (tepat evaluasi), dan client’s right to refuse medication (hak pasien untuk menolak). Kee dan Hayes menyebut penambahan ini dengan istilah five plusfive rights. Data tentang kesalahan pemberian obat(medication error) di Indonesia belum dapatditemukan. Darmansjah, (Nainggolan, 2003), ahlifarmakologi dari FKUI menyatakan bahwa kasuspemberian obat yang tidak benar maupun tindakanmedis yang berlebihan (tidak perlu dilakukan tetapidilakukan) sering terjadi di Indonesia, hanya sajatidak terekspos media massa. Berdasarkan penelitianyang dilakukan oleh peneliti dari Auburn Universitydi 36 rumah sakit dan nursing home di Colorado danpemberian obat, 43% diberikan pada waktu yangsalah, 30% tidak diberikan, 17% diberikan dengandosis yang salah, dan 4% diberikan obat yang salah (Joint Commission on Accreditation of HealthOrganization (JCAHO), 2002). Peneliti padapenelitian ini juga mengemukakan hasil penelitiansebelumnya yang dilakukan oleh Institute of Medicinepada tahun 1999, yaitu kesalahan medis (medicalerror) telah menyebabkan lebih dari 1 (satu) jutacedera dan 98.000 kematian dalam setahun. Data yangdidapat JCAHO juga menunjukkan bahwa 44.000 dari98.000 kematian yang terjadi di rumah sakit setiaptahun disebabkan oleh kesalahan medis. (Kinninger& Reeder, 2003). 7. Pengkajian anestesi pra induksi pada pasien yang akan dioperasi Penelitian dari(Ferschl, Tung, Sweitzer, Huo, & Glick, 2005) menyatakan bahwa pengkajian anesti pra induksi pada pasien yang akan dioperasi akan berdampak signifikan akan mengurangi terjadinya penundaan ataupun pembalatan operasi.
33
8. Angka reaksi tranfusi darah Tranfusi
merupakan
proses
tranplantasi
paling
sederhana,
yaitu
pemindahan darah dan donor ke resipien. Tranfusi hanya dilakukan atas dasar indikasi dan urgensi (Fasano dan Luban, 2008). Jika dilakukan secara tidak tetap dan tidak rasional dapat menimbulkan berbagai akibat yang fatal. Salah satu akbiat tranfusi yang dapat terjadi adalah reaksi hemolitik (Ness, 2000; Sandler dan Johnson, 2009).
Insidensi reaksi
hemolitik akibat tranfusi diperkiarakan 1 : 70.000 unit kantong darah (Strobel, 2008). Risiko transfusi darah sebagai akibat langsung transfusi merupakan bagian situasi klinis yang kompleks. Risiko transfusi darah ini dapat dibedakan berdasarkan atas reaksi yang di mediasi sistem imunologi (reaksi imunologis), tidak di mediasi sistem imunologi (non –imunologis) dan penularan penyakit infeksi. 1) Reaksi Imunologis Reaksi imunologis terjadi akibat respon kekebalan tubuh penerima komponen darah terhadap komponen darah yang diterimanya. Hal ini banyak terjadi, dan dibagi menjadi : a) Hemolisis intravaskular akut Reaksi hemolisis intravaskular akut adalah reaksi yang disebabkan inkompatibilitas sel darah merah.
Antibodi dalam plasma
penderita akan melisiskan sel darah merah yang inkompatibel, meskipun volume darah inkompatibel hanya sedikit (10-50 ml) namun sudah dapat menyebabkan reaksi berat. Volume darah yang inkompatibel makin banyak maka akan semakin meningkatkan risiko.Penyebab terbanyak adalah inkompatibilitas ABO. Hal ini biasanya terjadi akibat kesalahan dalam permintaan darah, pengambilan contoh darah dari penderita ke tabung yang belum diberikan label, kesalahan pemberian label pada tabung dan ketidaktelitian memeriksa identitas penderita sebelum transfusi.
34
Etiologi lainnya adalah adanya antibodi dalam plasma penderita melawan antigen golongan darah lain (selain golongan darah ABO) dari darah yang ditransfusikan, seperti sistem Idd, Kell atau Duffy. b) Reaksi Hemolisis Intra vaskular lambat Reaksi hemolitik lambat timbul 5-10 hari setelah transfusi dengan gejala dan tanda demam, anemia, ikterik dan hemoglobinuria. Reaksi hemolitik lambat yang berat dan mengancam nyawa disertai syok, gagal ginjal dan DIC jarang terjadi. Pencegahan dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium antibodi sel darah merah dalam plasma penderita dan pemilihan sel darah kompatibel dengan antibodi tersebut. c)
Urtikaria Urtikaria meliputi 1% angka kejadian reaksi transfusi. Urtikaria terjadi karena entah adanya reaksi antara alergen dalam plasma donor yang bukan berasal dari si donor dengan antibodi resipien atau reaksi alergen resipien dengan antibodi donor yang tertransfusi.
d) Anafilaktik syok Risiko meningkat sesuai dengan kecepatan transfusi. Sitokin dalam plasma merupakan salah satu penyebab bronkokonstriksi dan vasokonstriksi pada resipien tertentu, selain itu, defisiensi IgA dapat menyebabkan reaksi anafilaksis sangat berat. Hal itu dapat disebabkan produk darah yang banyak mengandung IgA. Reaksi ini terjadi dalam beberapa menit awal transfusi dan ditandai dengan syok (kolaps kardiovaskular),distress pernapasan dan tanpa demam. Anafilaksis dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan cepat dan agresif. e) Transfusion Related Acute Lung Injury (TRALI) Cedera paru akut disebabkan oleh plasma donor yang mengandung antibodi yang melawan leukosit penderita. Kegagalan fungsi paru
35
biasanya timbul dalam 1-4 jam sejak awal transfusi, dengan gambaran foto toraks kesuraman yang difus. Terapi spesifik tidak ada, namun diperlukan bantuan pernapasan di ruang rawat intensif. f) Graft vs host disease Komplikasi ini jarang terjadi namun potensial membahayakan. Biasanya
terjadi
pada
penderita
imunodefisiensi,
terutama
penderita dengan transplantasi sumsum tulang dan penderita imunokompeten yang diberi transfusi dari individu yang memiliki tipe jaringan kompatibel (HLA: human leucocyte antigen), biasanya yang memiliki hubungan darah. Gejala dan tanda, seperti demam, rash kulit dan deskuamasi, diare, hepatitis, pansitopenia, biasanya timbul 10-12 hari setelah transfusi. Terapi spesifik tidak ada, terapi hanya bersifat suportif. g) Transfusion Related Immuno Modulation(TRIM) Transfusi darah dapat mengubah sistem imun resipien dalam beberapa cara, hal ini menjadi perhatian karena adanya pendapat yang menyatakan bahwa angka rekurensi tumor dapat meningkat, selain itu juga ada pendapat yang menyatakan bahwa transfusi darah meningkatkan risiko infeksi pasca bedah karena menurunnya respons imun, namun sampai saat ini penelitian klinis gagal membuktikan hal ini. Busch dkk (1993) melakukan randomized trial terhadap 475 penderita kanker kolorektal, membandingkan prognosis antara penderita kanker kolorektal yang dilakukan transfusi autolog dengan transfusi allogenik. Hasil yang didapatkan menunjukan bahwa risiko rekurensi meningkat secara bermakna pada penderita yang dilakukan transfusi darah, baik allogenik maupun autolog. h) Alloimune Reaksi transfusi alloimune terjadi akibat si resipien membentuk antibodi-antibodi
baru
sebagai
akibat
dari
darah
atau
36
komponennya, sehingga mempengaruhi kompabilitas resipien terhadap darah dari donor yang lain. i) Purpura pasca transfusi Purpura pasca transfusi merupakan komplikasi yang jarang tetapi potensial membahayakan pada transfusi sel darah merah atau trombosit.
Hal ini disebabkan adanya antibodi langsung yang
melawan antigen spesifik trombosit pada resipien, lebih banyak terjadi pada wanita.
Gejala dan tanda yang timbul adalah
perdarahan dan adanya trombositopenia berat akut 5-10 hari setelah transfusi yang biasanya terjadi bila hitung trombosit
View more...
Comments