Panduan Pengisian Catatan Dokter Metode Soap

June 20, 2019 | Author: Anonymous cDosy4Vn | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

ya...

Description

PANDUAN PENGISIAN CATATAN DOKTER METODE S-O-A-P

BAB I DEFINISI

S (SUBJECTIVE) atau Subyektif adalah keluhan pasien saat ini yang didapatkan dari anamnesa (autoanamnesa atau aloanamnesa). O (OBJECTIVE) atau Objektif adalah hasil pemeriksaan fisik termasuk pemeriksaan tandatanda vital, skala nyeri dan hasil pemeriksaan penunjang pasien pada saat ini. A (ASSESSMENT) atau penilaian keadaan adalah berisi diagnosis kerja, diagnosis diferensial atau problem pasien, yang didapatkan dari menggabungkan penilaian subyektif dan obyektif. P (PLAN) atau rencana asuhan adalah berisi rencana untuk menegakan diagnosis (pemeriksaan penunjang yang akan dilakukan untuk menegakkan diagnosis pasti), rencana terapi (tindakan, diet, obat-obat yang akan diberikan), rencana monitoring (tindakan monitoring yang akan dilakukan, misalnya pengukuran tensi, nadi, suhu, pengukuran keseimbangan cairan, pengukuran skala nyeri) dan rencana pendidikan (misalnya apa yang harus dilakukan, makanan apa yang boleh dan tidak, bagaimana posisi….. dst).

BAB II RUANG LINGKUP

2.1. Ruang Lingkup Kelompok Staf Medis (KSM). Semua KSM di RS harus mengunakan format S-O-A-P untuk mengisi catatan terintegrasi dalam menilai pasien. KSM yang ada adalah : 1. KSM Bedah : Bedah Umum. Bedah Ortopedi, Bedah Digestif, Bedah Syaraf, Bedah Kosmetik, Bedah Urologi, Kebidanan dan Kandungan, Mata, 2. KSM non Bedah : Penyakit Dalam, Anak, Paru, Syaraf, RehabilitasiMedik, 3. KSM

2.2. Ruang Lingkup Tempat Perawatan. 1. Pasien Rawat

2. Pasien Rawat

BAB III TATA LAKSANA

S-O-A-P dilaksanakan pada saat dokter menulis penilaian ulang terhadap pasien rawat inap atau saat visit pasien. S-O-A-P di tulis dicatatan terintegrasi pada status rekam medis pasien rawat inap, sedangkan untuk pasien rawat jalan S-O-A-P di tulis di dalam status rawat jalan pasien. Cara menulis metode S-O-A-P adalah sebagai berikut : SUBJECTIVE (S): Lakukan anamnesa untuk mendapatkan keluhan pasien saat ini, riwayat penyakit yang lalu, riwayat penyakit keluarga. Kemudian tuliskan pada kolom S Contoh : S :sesak nafas sejak 3 jam yang lalu, riwayat astma bronchiale sejak 5 tahun lalu OBJECTIVE (O) : Lakukan pemeriksaan fisik dan kalau perlu pemeriksaan penunjang terhadap pasien, tulis hasil pemeriksaan pada kolom O. Contoh : O : Keadaan umum gelisah, Tensi…..,Nadi…….. …….. ronki -/-………………. Wheezing +/+ …… dst ASSESSMENT (A) : Buat kesimpulan dalam bentuk suatu Diagnosis Kerja, Diagnosis Differensial, atau suatu penilaian keadaan berdasarkan hasil S dan O. Isi di kolom A Contoh : A : WD/ Status Astmatikus ; DD/ ALO ……dst PLAN (P): Tuliskan rencana diagnostik, rencana terapi / tindakan, rencana monitoring, dan rencana edukasi.

Contoh : Rencana Diagnostik ( D ) : Lakukan foto Ro thorax ap/lat; periksa GDP dan 2 jam pp.… dst Rencana Terapi/Tindakan (Tx ) : Pasang Infus…… , berikan medika mentosa……. Dst Rencana Monitoring ( M ) : pasang monitor , catat tanda-tanda vital tiap 4 jam… ukur saturasi O2 … dst Rencana Edukasi( E ) : posisi harus……. Kegiatan fisik terbatas pada………. Diet yg boleh…….Dst

BAB IV DOKUMENTASI

Catatan dokter dengan S-O-A-P terdokumentasi dalam status rekam medis pasien baik rawat inap (didalam catatan terintegrasi) dan rawat jalan di status rekam medis rawat jalan. Semua catatan ini akan dievaluasi secara periodik.

PERATURAN RS TENTANG KEBIJAKAN PELAYANAN PASIEN Menimbang : … Mengingat : …

….

Lampiran KEBIJAKAN PELAYANAN PASIEN DI RS …. # PEMBERIAN PELAYANAN UNTUK SEMUA PASIEN 1. Kebijakan dan prosedur pelayanan pasien di RS adalah seragam dan sesuai dengan undang-undang dan peraturan dan peraturan yang berlaku. 2. RS Menetapkan prosedur untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasi pelayanan yang diberikan kepada setiap pasien. 3. Pelayanan kepada pasien direncanakan dan tertulis di rekam medis pasien. 4. Mereka yang diizinkan memberikan perintah pelayanan menulis perintah ini dalam rekam medis pasien di lokasi yang sama/seragam. 5. Prosedur yang dilaksanakan harus dicatat dalam rekam medis pasien 6. Pasien dan keluarga diberi tahu tentang hasil pelayanan dan pengobatan termasuk kejadian tidak diharapkan.

# PELAYANAN PASIEN RISIKO TINGGI DAN PENYEDIAAN PELAYANAN RISIKO TINGGI 1. Kebijakan dan prosedur harus dibuat secara khusus untuk kelompok pasien yang berisiko atau pelayanan yang berisiko tinggi, agar tepat dan efektif dalam mengurangi risiko terkait. Antara lain : 

Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelayanan kasus emergensi



Kebijakan dan prosedur mengarahkan penanganan pelayanan resusitasi di seluruh unit rumah sakit



Kebijakan dan prosedur mengarahkan penanganan, penggunaan, dan pemberian darah dan komponen darah.



Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelayanan pasien yang menggunakan peralatan bantu hidup dasar dan mereka dalam koma.



Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelayanan pasien dengan penyakit menular dan mereka yang daya tahannya direndahkan.



Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelayanan pasien dialisis (cuci darah)



Kebijakan dan prosedur mengarahkan penggunaan peralatan mengurangi kebebasan pasien.



Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelayanan pasien usia lanjut, mereka yang cacat, anak-anak dan mereka yang berisiko disakiti.



Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelayanan pada pasien yang mendapat kemoterapi atau terapi risiko tinggi.

# MAKANAN DAN TERAPI NUTRISI 1. RS memberika pilihan berbagai variasi makanan sesuai dengan status gizi pasien dan konsisten dengan pelayanan klinis tersedia secara rutin. 2. Penyiapan makanan, penanganan, penyimpanan dan distribusinya, aman dan memenuhi undang-undang, peraturan dan praktek terkini yang dapat diterima. 3. Pasien yang berisiko nutrisi mendapat terapi gizi.

# PENGELOLAAN PELAYANAN RASA NYERI 1. Pasien dibantu dalam pengelolaan rasa nyeri.

# PELAYANAN PADA TAHAP TERMINAL (AKHIR HIDUP) 1. Rumah sakit memberi pelayanan akhir kehidupan 2. Pelayanan pasien dalam proses meninggal harus meningkatkan ketenangan dan kehormatannya.

DAFTAR ISI STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL PELAYANAN PASIEN 1. Restrain 2. Pemasangan ETT 3. Pemasangan Ventilator 4. Transfusi Darah 5. Pelayanan PAsien Gawat Darurat 6. Pemberian Obat Streptase 7. Permintaan Darah 8. Penggunaan Traksi Leher 9. Penanganan Penyakit Menular (PPIRS) 10. Penatalaksanaan Pasien HD 11. Pengelolaan Rasa Nyeri (AP) 12. Pengelolaan Pasien Tahap Terminasl (AP) 13. Pemberian Obat Sitostatika (Kemoterapi) 14. Pertolongan Pertama Pd Px yang Mengalami Kegawatan di ruang perawatan 15. Serah terima px IRJ di IRI (APK) 16. Serah Terima Px di IPI (APK) 17. Serah Terima Px Rujukan (APK) 18. Prosedur penerimaan pasien baru (APK) 19. Prosedur serah terima pasien di IKO (APK)

PANDUAN BANTUAN HIDUP DASAR Posted on January 29, 2016 by Penulis TKJ

PANDUAN BANTUAN HIDUP DASAR ……………………. TAHUN 2014 BAB I DEFINISI Bantuan hidup dasar adalah upaya mempertahankan hidup seseorang untuk sementara melalui membantu mempertahankan hidup seseorang untuk sementara melaluipenguasaan jalan nafas, memberikan bantuan penafasan dan membantu mengalirkan darah ke tempat yang penting dalam tubuh korban, sehingga pasokan oksigen ke otak terjaga untuk mencegah matinya sel otak.

BAB II RUANG LINGKUP BHD diberikan pada korban yang mengalami gangguan sumbatan jalan nafas, henti nafas dan henti nadi.Beberapa keadaan korban dibawah ini dapat menyebabkan terjadinya henti nafas :

1. Tenggelam 2. Stroke 3. Obstruksi jalan nafas 4. Epiglotitis 5. Overdosis obat – obatan 6. Tersengat listrik 7. Infark miokard 8. Tersambar petir 9. Koma akibat bertbagai macam kasus

BAB III TATA LAKSANA Kejadian gawat darurat biasanya berlangsung cepat dan tiba-tiba sehingga sulit memprediksi kapan terjadinya.Langkah terbaik untuk situasi ini adalah waspada dan melakukan upaya kongkrit untuk mengantisipasinya.Harus dipikirkan satu bentuk mekanisme bantuan kepada korban dari awal tempat kejadian, selama perjalanan menuju sarana kesehatan, bantuan di fasilitas kesehatan sampai pasca kejadian cedera.Tercapainya kualitas hidup penderita pada akhir bantuan harus tetap menjadi tujuan dari seluruh rangkai pertolongan yang diberikan. Bantuan hidup dasar merupakan bagian dari pengelolaan gawat darurat medik yang bertujuan : 1. Mencegah berhentinya sirkulasi atau berhentinya 2. Memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi dan ventilasi dari korban yang mengalami henti jantung atau henti napas melalui Resusitasi Jantung Paru (RJP).

Resusitasi Jantung Paru terdiri dari 2 tahap, yaitu :  

Survei Primer (Primary Surgery), yang dapat dilakukan oleh setiap Survei Sekunder (Secondary Survey), yang hanya dapat dilakukan oleh tenaga medis dan paramedis terlatih dan merupakan lanjutan dari survei

3.1 SURVEI PRIMER Dalam survei primer difokuskan pada bantuan napas dan bantuan sirkulasi serta defibrilasi. Untuk dapat mengingatkan dengan mudah tindakan survei primer dirumuskan dengan abjad A, B, C, dan D, yaitu :  

airway (jalan napas) breathing (bantuan napas)



circulation (bantuan sirkulasi)

Sebelum melakukan tahapan A(airway), harus terlebih dahulu dilakukan prosedur awal pada korban / pasien, yaitu : 1. Memastikan keamanan lingkungan bagi 2. Memastikan kesadaran dari korban /

Untuk memastikan korban dalam keadaan sadar atau tidak, penolong harus melakukan upaya agar dapat memastikan kesadaran korban / pasien, dapat dengan cara menyentuh atau menggoyangkan bahu korban / pasien dengan lembut dan mantap untuk mencegah pergerakan yang berlebihan, sambil memanggil namanya atau Pak !!! / Bu !!! / Mas !!! / Mbak !!! 3. Meminta pertolongan

Jika ternyata korban / pasien tidak memberikan respon terhadap panggilan, segera minta bantuan dengan cara berteriak “Tolong !!!” untuk mengaktifkan sistem pelayanan medis yang lebih lanjut. penolong dapat meminta bantuan kepada orang di sekitarnya untuk menghubungi panggilan darurat/ rumah sakit terdekat supaya dapat mengirimkan bantuan tenaga kesehatan yang lebih ahli. 4. Memperbaiki posisi korban / pasien

Untuk melakukan tindakan BHD yang efektif, korban / pasien harus dalam posisi terlentang dan berada pada permukaan yang rata dan keras.Jika korban ditemukan dalam posisi miring atau tengkurap, ubahlah posisi korban ke posisi terlentang.Ingat !penolong harus membalikkan korban sebagai satu kesatuan antara kepala, leher dan bahu digerakkan secara bersama-sama. Jika posisi sudah terlentang, korban harus dipertahankan pada posisi horisontal dengan alas tidur yang keras dan kedua tangan diletakkan di samping tubuh. 5. Mengatur posisi penolong

Segera berlutut sejajar dengan bahu korban agar saat memberikan bantuan napas dan sirkulasi, penolong tidak perlu mengubah posisi atau menggerakan lutut. A (AIRWAY) Jalan Napas Setelah selesai melakukan prosedur dasar, kemudian dilanjutkan dengan melakukan tindakan : 1. Pemeriksaan jalan napas

Tindakan ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya sumbatan jalan napas oleh benda asing.Jika terdapat sumbatan harus dibersihkan dahulu, kalau sumbatan berupa cairan dapat dibersihkan dengan jari telunjuk atau jari tengah yang dilapisi dengan sepotong kain, sedangkan sumbatan oleh benda keras dapat dikorek dengan menggunakan jari telunjuk yang dibengkokkan.Mulut dapat dibuka dengan tehnik Cross Finger, dimana ibu jari diletakkan berlawanan dengan jari telunjuk pada mulut korban.

2. Membuka jalan napas

Setelah jalan napas dipastikan bebas dari sumbatan benda asing, biasa pada korban tidak sadar tonus otot–otot menghilang, maka lidah dan epiglotis akan menutup farink dan larink, inilah salah satu penyebab sumbatan jalan napas. Pembebasan jalan napas oleh lidah dapat dilakukan dengan cara tengadah kepala topang dagu (Head tilt – chin lift) dan Manuver Pendorongan Mandibula. Teknik membuka jalan napas yang direkomendasikan untuk orang awam dan petugas kesehatan adalah tengadah kepala topang dagu, namun demikian petugas kesehatan harus dapat melakukan manuver lainnya. B ( BREATHING) Bantuan napas Terdiri dari 2 tahap : 1. Memastikan korban / pasien tidak

Dengan cara melihat pergerakan naik turunnya dada, mendengar bunyi napas dan merasakan hembusan napas korban / pasien. Untuk itu penolong harus mendekatkan telinga di atas mulut dan hidung korban / pasien, sambil tetap mempertahankan jalan napas tetap terbuka.Prosedur ini dilakukan tidak boleh melebihi 10 detik. 2. Memberikan bantuan

Jika korban / pasien tidak bernapas, bantuan napas dapat dilakukan melalui mulut ke mulut, mulut ke hidung atau mulut ke stoma (lubang yang dibuat pada tenggorokan) dengan cara memberikan hembusan napas sebanyak 2 kali hembusan, waktu yang dibutuhkan untuk tiap kali hembusan adalah 1,5–2 detik dan volume udara yang dihembuskan adalah 400 -500 ml (10 ml/kg) atau sampai dada korban / pasien terlihat mengembang. Penolong harus menarik napas dalam pada saat akan menghembuskan napas agar tercapai volume udara yang cukup. Konsentrasi oksigen yang dapat diberikan hanya 16– 17%.Penolong juga harus memperhatikan respon dari korban / pasien setelah diberikan bantuan napas. Cara memberikan bantuan pernapasan : 

Mulut ke mulut

Bantuan pernapasan dengan menggunakan cara ini merupakan cara yang cepat dan efektif untuk memberikan udara ke paru–paru korban / pasien. Pada saat dilakukan hembusan napas dari mulut ke mulut, penolong harus mengambil napas dalam terlebih dahulu dan mulut penolong harus dapat menutup seluruhnya mulut korban dengan baik agar tidak terjadi kebocoran saat menghembuskan napas dan juga penolong harus menutup lubang hidung korban / pasien dengan ibu jari dan jari telunjuk untuk mencegah udara keluar kembali dari hidung. Volume udara yang diberikan pada kebanyakan orang dewasa adalah 400 – 500 ml (10 ml/kg).

Volume udara yang berlebihan dan laju inspirasi yang terlalu cepat dapat menyebabkan udara memasuki lambung, sehingga terjadi distensi lambung. 

Mulut ke hidung

Teknik ini direkomendasikan jika usaha ventilasi dari mulut korban tidak memungkinkan, misalnya pada Trismus atau dimana mulut korban mengalami luka yang berat, dan sebaliknya jika melalui mulut ke hidung, penolong harus menutup mulut korban / pasien. C (CIRCULATION) Bantuan sirkulasi Terdiri dari 2 tahapan : 1. Memastikan ada tidaknya denyut jantung korban / pasien.

Ada tidaknya denyut jantung korban / pasien dapat ditentukan dengan meraba arteri karotis didaerah leher korban / pasien, dengan dua atau tifa jari tangan (jari telunjuk dan tengah) penolong dapat meraba pertengahan leher sehingga teraba trakhea, kemudian kedua jari digeser ke bagian sisi kanan atau kiri kira–kira 1–2 cm, raba dengan lembut selama 5–10 detik. Jika teraba denyutan nadi, penolong harus kembali memeriksa pernapasan korban dengan melakukan manuver tengadah kepala topang dagu untuk menilai pernapasan korban / pasien.Jika tidak bernapas lakukan bantuan pernapasan, dan jika bernapas pertahankan jalan napas. 2. Melakukan bantuan sirkulasi

Jika telah dipastikan tidak ada denyut jantung, selanjutnya dapat diberikan bantuan sirkulasi atau yang disebut dengan kompresi jantung luar, dilakukan dengan teknik sebagai berikut :  

Dengan jari telunjuk dan jari tengah penolong menelusuri tulang iga kanan atau kiri sehingga bertemu dengan tulang dada (sternum). Dari pertemuan tulang iga (tulang sternum) diukur kurang lebih 2 atau 3 jari ke atas. Daerah tersebut merupakan tempat untuk meletakkan tangan penolong dalam memberikan bantuan



Letakkan kedua tangan pada posisi tadi dengan cara menumpuk satu telapak tangan diatas telapak tangan yang lainnya, hindari jari–jari tangan menyentuh dinding dada korban / pasien, jari–jari tangan dapat diluruskan atau



Dengan posisi badan tegak lurus, penolong menekan dinding dada korban dengan tenaga dari berat badannya secara teratur sebanyak 30 kali dengan kedalaman penekanan berkisar antara 1,5–2 inci (3,8–5 cm).



Tekanan pada dada harus dilepaskan keseluruhannya dan dada dibiarkan mengembang kembali ke posisi semula setiap kali melakukan kompresi dada. Selang waktu yang dipergunakan untuk melepaskan kompresi harus sama dengan pada saat melakukan kompresi. (50% Duty Cycle).



Tangan tidak boleh lepas dari permukaan dada dan atau merubah posisi tangan pada saat melepaskan



Rasio bantuan sirkulasi dan pemberian napas adalah 30 : 2 dilakukan baik oleh 1 atau 2 penolong jika korban / pasien tidak terintubasi dan kecepatan kompresi adalah 100 kali permenit (dilakukan 4 siklus permenit), untuk kemudian dinilai apakah perlu dilakukan siklus berikutnya atau tidak.Dari tindakan kompresi yang benar hanya akan mencapai tekanan sistolik 60–80 mmHg, dan diastolik yang sangat rendah, sedangkan curah jantung (cardiac output) hanya 25% dari curah jantung normal. Selang waktu mulai dari menemukan pasien dan dilakukan prosedur dasar sampai dilakukannya tindakan bantuan sirkulasi (kompresi dada) tidak boleh melebihi 30 detik.

3.2.

MELAKUKAN BHD 1 DAN 2 PENOLONG.

Orang awam hanya mempelajari cara melakukan BHD 1 penolong. Teknik BHD yang dilakukan oleh 2 penolong menyebabkan kebingungan koordinasi. BHD 1 penolong pada orang awam lebih efektif mempertahankan sirkulasi dan ventilasi yang adekuat, tetapi konsekuensinya akan menyebabkan penolong cepat lelah. BHD 1 penolong dapat mengikuti urutan sebagai berikut : 1. Penilaian korban.

Tentukan kesadaran korban / pasien (sentuh dan goyangkan korban dengan lembut dan mantap), jika tidak sadar, maka 2. Minta pertolongan serta aktifkan sistem 3. Jalan napas (AIRWAY) o

Posisikan korban / pasien

o

Buka jalan napas dengan manuver tengadah kepala – topang

4. Pernapasan (BREATHING)

Nilai pernapasan untuk melihat ada tidaknya pernapasan dan adekuat atau tidak pernapasan korban / pasien. 



Jika korban / pasien dewasa tidak sadar dengan napas spontan, serta tidak adanya trauma leher (trauma tulang belakang) posisikan korban pada posisi mantap (Recovery position), dengan tetap menjaga jalan napas tetap Jika korban / pasien dewasa tidak sadar dan tidak bernapas, lakukan bantuan napas. Di Amerika Serikat dan dinegara lainnya dilakukan bantuan napas awal sebanyak 2 kali, sedangkan di Eropa, Australia, New Zealand diberikan 5 kali. Jika pemberian napas awal terdapat kesulitan, dapat dicoba dengan membetulkan posisi kepala korban / pasien, atau ternyata tidak bisa juga maka dilakukan :

o

Untuk orang awam dapat dilanjutkan dengan kompresi dada sebanyak 30 kali dan 2 kali ventilasi, setiap kali membuka jalan napas untuk menghembuskan napas, sambil mencari benda yang menyumbat di jalan napas, jika terlihat usahakan

o

Untuk petugas kesehatan yang terlatih dilakukan manajemen obstruksi jalan napas oleh benda

o

Pastikan dada pasien mengembang pada saat diberikan bantuan

o

Setelah memberikan napas 8-10 kali (1 menit), nilai kembali tanda – tanda adanya sirkulasi dengan meraba arteri karotis, bila nadi ada cek napas, jika tidak bernapas lanjutkan kembali bantuan

5. Sirkulasi (CIRCULATION)

Periksa tanda–tanda adanya sirkulasi setelah memberikan 2 kali bantuan pernapasan dengan cara melihat ada tidaknya pernapasan spontan, batuk atau pergerakan. Untuk petugas kesehatan terlatih hendaknya memeriksa denyut nadi pada arteri Karotis. 



Jika ada tanda–tanda sirkulasi, dan ada denyut nadi tidak dilakukan kompresi dada, hanya menilai pernapasan korban / pasien (ada atau tidak ada pernapasan) Jika tidak ada tanda–tanda sirkulasi, denyut nadi tidak ada lakukan kompresi dada : o

Letakkan telapak tangan pada posisi yang benar.

o

Lakukan kompresi dada sebanyak 30 kali dengan kecepatan 100 kali per

o

Buka jalan napas dan berikan 2 kali bantuan

o

Letakkan kembali telapak tangan pada posisi yang tepat dan mulai kembali kompresi 30 kali dengan kecepatan 100 kali per

6. Penilaian Ulang

Sesudah 5 siklus ventilasi dan kompresi (+2Menit) kemudian korban dievaluasi kembali,  

Jika tidak ada nadi dilakukan kembali kompresi dan bantuan napas dengan rasion 30 : 2. Jika ada napas dan denyut nadi teraba letakkan korban pada posisi



Jika tidak ada napas tetapi nadi teraba, berikan bantuan napas sebanyak 810 kali permenit dan monitor nadi setiap



Jika sudah terdapat pernapasan spontan dan adekuat serta nadi teraba, jaga agar jalan napas tetap terbuka kemudian korban / pasien ditidurkan pada posisi sisi yang benar.

BAB IV DOKUMENTASI Untuk pencatatan kasus bukan pasien RS pencatatan cukup didokumentasikan di status gawat darurat.Untuk pasien Rawat inap didokumentasikan pada file RM 07(Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi).

PANDUAN MANAJEMEN NYERI Posted on January 29, 2016 by Penulis TKJ DAFTAR ISI

 

Halaman Judul Daftar Isi



Lembar Pengesahan



I. DEFINISI



II. RUANG LINGKUP



III. TATA LAKSANA o

3.1. MANAJEMEN NYERI AKUT

o

3.2. MANAJEMEN NYERI KRONIK

o

3.3. MANAJEMEN NYERI PADA KELOMPOK USIA LANJUT (GERIATRI)



IV. DOKUMENTASI



REFERENSI

——————————————————————————————————————— ——–

I. DEFINISI Nyeri merupakan perasaan tidak nyaman,baik ringan maupun berat yang hanya dapat dirasakan oleh individu tersebut tanpa dapat dirasakan oleh orang lain,mencakup pola pikir,aktifitas seseorang secara langsung,dan perubahan hidup seseorang.Nyeri merupakan tanda dan gejala penting yang dapat menunjukkan telah terjadinya gangguan fisiological, Menurut beberapa tokoh atau sumber: 



IASP 1979 (International for the Study of Pain)nyeri adalah”Suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan,yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang nyata atau yang berpotensi untuk menimbulkan kerusakan jaringan”dari definisi tersebut dapat di simpulkan bahwa nyeri bersifat subyektif dimana individu mempelajari apa itu nyeri,melalaui pengalaman yang langsung berhubungan dengan luka (injuri),yang dimulai dari awal masa kehidupannya. Sternbach (1968) mengatakan nyeri sebagai “konsep yang abstrak “ yang merujuk pada sensasi pribadi tentang sakit,suatu stimulus berbahaya yang menggambarkan akan terjadinya kerusakan jaringan,suatu pola respon untuk melindungi organism dari bahaya.



McCafferi (1979) mengatakan nyeri sebagai penjelasan pribadi tentang nyeri ketika dia mengatakan tentang nyeri “apapun yang di katakan tentang nyeri dan di manapun ketika dia mengatakan,hal itu ada.



Tamsuri (2007) nyeri di definisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan eksistensinya di ketahui bila seseorang pernah mengalaminya.

Pada tahun 1999,the Veteran?s Health Administrasion mengeluarkan kebijakan untuk memasukkan nyeri sebagai tanda vital ke lima,jadi perawat tidak hanya mengkaji suhu tubuh,nadi,tekanan darah,dan respirasi tetapi juga harus mengkaji tentang nyeri. Saat ini telah di akui bahwa manajemen nyeri merupakan komponen penting dalam perawatan pasien.

II. RUANG LINGKUP Ruang lingkup pelayanan nyeri yaitu semua pasien dengan kondisi nyeri yang membutuhkan pelayanan manajemen nyeri, pengobatan dan observasi nyeri. Pada tahun 1986, The Nasional Institutes of Health Consensus Conference on Pain mengkategorikan nyeri menjadi 2 tipe yaitu : 1. Nyeri Akut, merupakan hasil dari injuri acut,penyakit dan pembedahan. Nyeri akut adalah nyeri dengan onset segera dan durasi yang terbatas, memiliki hubungan temporal dan kausal dengan adanya cedera atau penyakit. 2. Nyeri Kronik : o

Non keganasan di hubungkan dengan kerusakan jaringan yang dalam masa penyembuhan atau tidak progresif

o

Keganasan adalah nyeri yang di hubungkan dengan kanker atau proses penyakit lain yang progresif.

o

Nyeri kronik adalah nyeri yang bertahan untuk periode waktu yang lama. Nyeri kronik adalah nyeri yang terus ada meskipun telah terjadi proses penyembuhan dan sering sekali tidak diketahui penyebab yang pasti Karakteristik Nyeri Akut Nyeri Kronis

III. TATA LAKSANA 3.1. MANAJEMEN NYERI AKUT 1. Nyeri akut merupakan nyeri yang terjadi < 6 minggu. 2. Lakukan asesmen nyeri: mulai dari anamnesis hingga pemeriksaan penunjang. 3. Tentukan mekanisme nyeri: o

Nyeri somatik: 

Diakibatkan adanya kerusakan jaringan yang menyebabkan pelepasan zat kima dari sel yang cedera dan memediasi inflamasi dan nyeri melalui nosiseptor kulit.

o

o



Karakteristik: onset cepat, terlokalisasi dengan baik, dan nyeri bersifat tajam, menusuk, atau seperti ditikam.



Contoh: nyeri akibat laserasi, sprain, fraktur, dislokasi.

Nyeri visceral: 

Nosiseptor visceral lebih setikit dibandingkan somatic, sehingga jika terstimulasi akan menimbulkan nyeri yang kurang bisa dilokalisasi, bersifat difus, tumpul, seperti ditekan benda berat.



Penyebab: iskemi/nekrosis, inflamasi, peregangan ligament, spasme otot polos, distensi organ berongga / lumen.



Biasanya disertai dengan gejala otonom, seperti mual, muntah, hipotensi, bradikardia, berkeringat.

c. Nyeri neuropatik: 

Berasal dari cedera jaringan saraf



Sifat nyeri: rasa terbakar, nyeri menjalar, kesemutan, alodinia (nyeri saat disentuh), hiperalgesia.



Gejala nyeri biasanya dialami pada bagian distal dari tempat cedera (sementara pada nyeri nosiseptif, nyeri dialami pada tempat cederanya)



Biasanya diderita oleh pasien dengan diabetes, multiple sclerosis, herniasi diskus, AIDS, pasien yang menjalani kemoterapi / radioterapi.

4. Tatalaksana sesuai mekanisme nyerinya. o

Farmakologi: gunakan Step-Ladder WHO 11

OAINS efektif untuk nyeri ringan-sedang, opioid efektif untuk nyeri sedang-berat.

11

Mulailah dengan pemberian OAINS / opioid lemah (langkah 1 dan 2) dnegan pemberian intermiten (pro re nata-prn) opioid kuat yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien.

11

Jika langkah 1 dan 2 kurang efektif / nyeri menjadi sedang- berat, dapat ditingkatkan menjadi langkah 3 (ganti dengan opioid kuat dan prn analgesik dalam kurun waktu 24 jam setelah langkah 1).

11

Penggunaan opioid harus dititrasi. Opioid standar yang sering digunakan adalah morfin, kodein.

11

Jika pasien memiliki kontraindikasi absolut OAINS, dapat diberikan opioid ringan.

11

11

Jika fase nyeri akut pasien telah terlewati, lakukan pengurangan dosis secara bertahap 

Intravena: antikonvulsan, ketamine, OAINS, opioid



Oral: antikonvulsan, antidepresan, antihistamin, anxiolytic, kortikosteroid, anestesi lokal, OAINS, opioid, tramadol.



Rektal (supositoria): parasetamol, aspirin, opioid, fenotiazin



Topical: lidokain patch, EMLA



Subkutan: opioid, anestesi lokal

….

2. Manajemen efek samping: o

o

opioid 

Mual dan muntah: antiemetic



Konstipasi: berikan stimulant buang air besar, hindari laksatif yang mengandung serat karena dapat menyebabkan produksi gas-kembungkram perut.



Gatal: pertimbangkan untuk mengganti opioid jenis lain, dapat juga menggunakan antihistamin.



Mioklonus: pertimbangkan untuk mengganti opioid, atau berikan benzodiazepine untuk mengatasi mioklonus.



Depresi pernapasan akibat opioid: berikan nalokson (campur 0,4mg nalokson dengan NaCl 0,9% sehingga total volume mencapai 10ml). Berikan 0,02 mg (0,5ml) bolus setiap menit hingga kecepatan pernapasan meningkat. Dapat diulang jika pasien mendapat terapi opioid jangka panjang.

OAINS: 

Gangguan gastrointestinal: berikan PPI (proton pump inhibitor)



Perdarahan akibat disfungsi platelet: pertimbangkan untuk mengganti OAINS yang tidak memiliki efek terhadap agregasi platelet.

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF