P. Anthonius Sitepu – Peranan Militer Dalam Konfigurasi Politik Indonesia Kontemporer – Paper.

December 3, 2017 | Author: bunjur | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Militer...

Description

Jurnal POLITEIA|Vol.1|No.2|Juli 2009 ISSN: 0216-9290 P. Anthonius Sitepu Peranan Militer dalam Konfigurasi Politik Indonesia Kontemporer

Peranan Militer dalam Konfigurasi Politik Indonesia Kontemporer P. ANTHONIUS SITEPU Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan, Jl. Dr. Sofyan No.1 Medan, 20155, Telepon: 061-8211965 Diterima tanggal 21 Juli 2006/Disetujui tanggal 3 September 2006 The role of military has come to interesting attention in political study about developing countries. This happened because in developing countries, military has had main role in politics compared to civil, especially after World War II. This study addressed to see how military role in political development in Indonesia. The result seen that there is relation between economic development and need to care of military existence to economic stabilization even with limited norms. Beside of that the role of regime military can be more efficient compares to civilian in political development orientation. This study also has found since the new political order system there is displacement characteristic of organization from in character bureaucratic polity to patrimonial political system. This situation is marked military dominated refer to personality form of authoritarian ruled and has culminated at singular capacity of President Soeharto. Keywords: Military dominated, Political development, Bureaucratic polity.

Pendahuluan Bagaimana militer melihat atau memandang politik itu? Adakah perbedaan yang prinsipil dalam cara pandang antara militer dan sipil? Apa konsekuenesinya manakala militer akan memainkan peranannya (dominan) dalam bidang/sektor pemerintahan?1 Ternyata ada memang perbedaan-perbedaan dari beberapa kecenderungan yang ada terhadap perkembangan antara tahun 1950-an dan 1990-an yang menandai intensitas pengaruh militer dalam masalah-masalah politik dan pemerintahan. Dalam hal ini William Thompson (1972) menunjukkan sejumlah data dari tahun 19461970 telah terjadi beberapa kudeta terutama yang dialami oleh negara-negara berkembang. Eskalasi peranan militer dalam masalah-masalah politik dan pemerintahan (pembangunan politik) lebih dari dua dekade sejak usai Perang Dunia II, memperkuat pendapat

bahwa untuk masa-masa mendatang, pemerintahan yang dikendalikan oleh pihak militer akan terus semakin kuat. Hal ini disebabkan semakin melemahnya kemampuan demokrasi dan rejim karismatik untuk memimpin negara mereka dalam menyangkut kerangka pembangunan ekonomi. Namun demikian, ada pula pandangan yang mengatakan bahwa hancurnya rejim demokratik dikarenakan tidak disadarinya bahwa dalam kondisi tertentu, diperlukan suatu keadaan yang stabil dan disiplin. Semua ini tentunya akan diperoleh dalam diri kelompok militer. Oleh karena itu kehadiran mereka diperlukan jika kehendak untuk memenuhi suatu pembangunan yang berkelanjutan?2 Dominasi dalam politik oleh militer tentunya diharapkan akan memperkuat negara namun tidak demikian halnya semua negara-negara 2

1

Harold Crouch, The Military Mind and the Developmental Proccess, (Singapore: Institute of Southeast Asia Studies, 1987), hal. 1.

Monte Palmer, Dilemmas of Political Development and Introduction to the Political of Developing Countries, (Ithaca Ilonis: F E Peacock Publishing, 1989), hal. 233.

1

Jurnal POLITEIA|Vol.1|No.2|Juli 2009 ISSN: 0216-9290 P. Anthonius Sitepu Peranan Militer dalam Konfigurasi Politik Indonesia Kontemporer di dunia ketiga seperti misalnya Afrika. Secara kelembagan. Untuk melakukan suatu tindakan represi sedikit agak melemah. Ada beberapa faktor yang dianggap faktor penyebabnya bahwa militer disana, tidak memiliki disiplin yang bedasarkan kepada perbuatan pretorian, organisasi yang dimiliki sifat-sifat professional semangat kelompok (espirit de corps). Lagi pula militer tidak membuka peluang bagi dukungan terhadap apa yang disebut dengan istilah: “personalized rule” dan malah dapat dikatakan hampir tidak komit terhadap pembangunan ekonomi, Militer telah berada dalam komposisi yang lives off destate.3 Tapi sebaliknya, kondisi di negara-negara kawasan Asia, Timur Tengah, dapat dikatakan bahwa pengaruh militer akan cenderung mendominasi dan menunjukkan gayanya yang profesional dan lebih dapat merasuk lebih dalam berkaitan dengan masalah ekonomi dan politik. Di Korea Selatan, merupakan contoh dan Indonesia, Thailand dan Taiwan dimana peranan militer dinilai positif khususnya dalam bidang ekonomi. Namun pengaruh tersebut tidak secara langsung dapat dirasakan dalam praktek secara berlebih-lebihan. Di Indonesia militer mengelola perusahaan negara dan Taiwan, Korea Selatan dan Filipina militer secara langsung aktif dalam menguasai pemerintahan serta pada sektor-sektor perusahaan lainnya.4 Pada akhir tahun 1950-an, dan permulaan 1960-an pada saat ilmuan politik barat menanggapi bahwa peranan militer yang memiliki peran bidang menanggapi bahwa peranan militer yang memiliki peran bidang pemerintahan demokrasi barat akan memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan politik di negara-negara Dunia Ketiga pada umumnya. Banyak negara-negara di dunia mencoba mengupayakan sistem demokrasi dengan berdasarkan pada model yang terdapat di Barat. Tapi dalam kenyataannya kebanyakan model demokrasi liberal, seperti yang diterapkan di 3

Myron Weiner & Samuel P. Huntington (eds), Understanding Political Development, (Boston, Toronto: Little Brown and Company, 1987), hal. 40. 4 Ibid.

110

banyak negara barat, senantiasa akhirnya melahirkan rejim authoritarian di mana pihak militer turut serta bermain di dalamnya. Oleh karena itu demokrasi model barat itu terutama dibidang sosial, budaya dan ekonomi sering menghasilkan pemerintahan yang korup dan didominasi oleh partai-partai yang hanya mewakili kepentingan-kepentingan pribadi yang tanpa bisa mengangkat kondisi perekonomian yang lebih baik. Dalam kelembagaan yang bersifat professionalisme maka percaya untuk dapat memberikan etos kerja bagi pejabat militer yang berbeda dengan pejabat sipil. Mereka (militer) berjuang atas kepentingan nasional dan bukan dengan kepentingan bersifat seksional. Barangkali atas dasar inilah sepertinya mereka terhindar dari kecenderungan-kecenderungan berbuat korup.5 Maka timbul banyak pandangan ataupun persepsi mengenai peranan militer terutama di negara-negara Dunia Ketiga. Semula orang cenderung menekankan pada isu komunisme di negara-negara Dunia Ketiga itu sebagai fokus perhatiannya. Namun demikian, kajian mengenai peranan militer dalam bidang politik (pembangunan) tetap menarik untuk dianalisa. Intervensi militer dalam kehidupan politik negara-negara dunia ketiga (negara-negara berkembang) telah menumbuhkan semakin maraknya jumlah kepustakaan berkaitan dengan persoalan bahwa rejim militer bisa lebih efesien dibanding dengan kaum sipil sebagai penggerak pembangunan politik. Setelah itu setidak-tidaknya dalam teori rejim militer memiliki tiga dorongan utama yang sekaligus dijadikan sarana/atribut mendorong ke arah itu yang antaranya: (1).Nilai-nilai yang dimiliki oleh militer pada umumnya didasarkan kepada (lebih kental), developmental oriented dari pada yang dimiliki oleh rakyat kebanyakan; (2).Rejim militer dapat lebih tegas memisahkan dengan membuat keputusan yang tanpa terikat oleh kebutuhan-kebutuhan kompromistis; (3).Militer memiliki akses yang lebih menunjukkan sifatnya yang koersif/ kekerasan dan aparat-aparat organisasi yang diperlukannya kebijakannya dan memberikan peluang terhadap stabilitas yakni pada saat-saat krisis demi aksesnya pembangunan.6 5 6

Harold Crouch, op.cit., hal. 251. Monte Palmer, op.cit., 251.

Jurnal POLITEIA|Vol.1|No.2|Juli 2009 ISSN: 0216-9290 P. Anthonius Sitepu Peranan Militer dalam Konfigurasi Politik Indonesia Kontemporer Dalam pengertian istilah orientasi nilai-nilai jadi tadi yang kondusif, senantiasa dihadapkan dengan modernisasi. Di dalam hal ini sejumlah penulis telah mengungkapkan pendapatnya bahwa militer, lebih bersifat nasionalis, modern, dengan pandangan yang jauh ke depan, disiplin dan sebagainya. Lebih-lebih lagi dengan siap dan pola perilaku yang senantiasa diasosiasikan dengan nilai-nilai modernisasi itu ke dalam negara-negara berkembang, maka aksentuasi nilai-nilai modernisassi yang dimiliki oleh militer akan memberikan kontribusi lebih besar lagi kepada peran militer dalam pembangunan politik itu jika dihadapkan dengan faktor-faktor sebagai berikut; (1).Profesionalisme militer yang memiliki norma-norma yang menekankan pada nasionalisme atau mengarah kepada nilai-nilai pelayanan umum; (2).Anggota militer memiliki sifat-sifat parochial-kelompok yang mendukung yang lebih condong nilai-nilai perkembangan dan lebih toleran; (3).Pengangkatan lebih cenderung kepada sifat-sifat yang berdasarkan atas prestasi; (4).Tehnologi di bidang kemiliteran berkembang dengan pesat dan semakin kompleks dan ini akan membutuhkan latihan ketrampilan yang intensif; (5).Keefektifan membutuhkan sitem persenjatan yang modern. Sebab dukungan bagi mesin militer pada umumnya memerlukan basis yang kuat dalam industri militer.7 Dibanyak negara-negara baru saja merdeka dan masuk ke dalam era dekolonialisasi peran militer dilihat sebagai suatu kekuatan yang vital. Dalam ilmu-ilmu sosial, khususnya secara sungguh-sunggh telah berusaha secara terus menerus untuk mempelajari peran militer terutama di negara-negara baru berkembang (dunia ketiga) yang berbasis pada studi perbandingan. Di lebih dari tiga puluh negara-negara yang memperoleh kedaulatannya sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua, kekuatan militer memposisikan dirinya dengan sangat strategis dan sangat penting artinya. Hanya beberapa dari negaranegara yang baru itu saja memiliki militer sebagai kekuatan (armed forces) yang selama ini berjuang sebagai gerilya yang ini lebih signifikan dengan perang kemerdekaan (perjuangan kemerdekaan).

7

Di Indonesia, dan Burma, kekuatan gerilya itu berlangsung terus selama pendudukan pemerintahan militer Jepang dan selanjutnya ini juga yang memainkan peranannya sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam angka pencapaian kemerdekaan dari kekuasaan pemerintahan asing umumnya. Atau paling tidak sedikitnya lima dari negara-negara yang baru itu militer menempatkan dirinya, sebagai pusat (central position) dalam kehidupan politik. Di Amerika Latin, dalam sejarah negeri itu yakni dalam sejarah politik militer tampaknya militer memainkan perannya yang penting yang sama dengan pentingnya peranan militer di negara-negara wilayah Asia dan Afrika. Kebanyakan negara-negara yang baru tersebut telah memberikan pengaruhnya terhadap kebijakan dalam negeri dan kebijakan luar negeri. Meskipun telah banyak dan meluas perkembangan literatur mengenai peran politik militer khususnya di negara-negara Dunia Ketiga tampaknya masih ada jurang pemisah (gap) secara pengetahuan ilmiah yang sangat mendasar terutama jika dikaitkan dengan peranan militer khususnya ke dalam kerangka atau teminologi hubungan sipil militer (in ternm of military-civilian relationship). Pendekatan dan Metode Studi ini dilakukan dengan pendekatan prilaku politik. Fokusnya pada prilaku politik militer pada orde lama dan Orde Baru, atau tepatnya peran militer dalam politik di Indonesia pada era kemerdekaan sampai tahun 1980-an. Metode pengumpulan data menggunakan studi pustaka dan dokumen. Studi hubungan sipil-militer melihat beberapa pola yang dapat diamati secara empiris dalam sistem pemerintahan suatu negara. Negara-negara yang mengadopsi aliran pemikiran politik, ketatanegaraan yang “liberal demokratik” biasanya menganut pola supremasi sipil. Sedangkan negara-negara yang menganut sistem politik atau rejim-rejim pemerintahan otoriter biasanya cenderung menggunakan pola supremasi militer. Namun demikian dalam teori politik demokrasi yakni kedaulatan rakyat menjadi pusat perhatiannya adalah sebagai pemegang supremasi adalah rakyat. Oleh sebab itu dalam konteks ini tidak mempersoalkan sipil atau militer. Dalam titik ini

Ibid., 251-252

111

Jurnal POLITEIA|Vol.1|No.2|Juli 2009 ISSN: 0216-9290 P. Anthonius Sitepu Peranan Militer dalam Konfigurasi Politik Indonesia Kontemporer tidak ada “supreme”. Kemudian di dalam pola lainnya adalah pola campuran antara supremasi sipil dan supremasi militer. Namun sekali lagi dikatakan bahwa pemikiran tentang hubungan sipil-militer itu ternyata memiliki titik perbedaan-perbedaan dengan segala variannya adalah yang sesuai dengan rejim pemerintahannya atau sistem politik yang dianutnya. Perbedaan tersebut tidak saja terletak pada peran dan pola hubungannya, akan tetapi juga meliputi perbedaan-perbedaan persepsi siapa itu militer dan siapa itu sipil. Maka oleh sebab itu, penekanan pada soal peran dan pola hubungan sipil militer yang relatif berbeda variannya yakni yang menjadi substansi. Namun pengaturan mengenai pengertian tentang hubungan sipil-militer kebanyakannya itu merujuk kepada hubungan yang berupa hubungan militer dengan masyarakat (society), lembaga-lembaga militer (military institution) dengan lembaga-lembaga swasta dan para perwira senior dengan para politik. Dan ada juga yang mengatakan bahwa hubungan sipil militer adalah hubungan antara pihak militer dengan masyarakat politik (policy) yang diwakili oleh partai-partai politik. Substansi dari hubungan sipil-militer yang memiliki pola dan dan peranan yang berbeda-beda pula. Jikalau dilihat dari polanya, adanya hubungan yang lebih menonjolkan peran sipil (supremasi sipil) atau supremasi militer ataupun dengan sebaliknya. Sehingga terlihat hubungan yang bersifat kemitraan (partnerships). Mana kala hubungan itu yang menonjolkan supremasi sipil, maka dengan demikian pada akhirnya memberikan dampak pada peran militer hanya sebagai alat negara yang mengurusi masalah pertahanan ataupun melebur menjadi subordinasi pemerintahan sipil. Akan tetapi, apabila terjadi yang sebaliknya, maka peran militer akan melurus tidak hanya berfungsi sebagai alat negara, akan tetapi lebih menjadi alat kekuasaan mengarah kepada dominasi semua peran yang ada termasuk peran sipil itu sendiri, walaupun demikian, pola hubungan sipil militer, dalam tiap negara itu seperti dikatakan sebelumnya berbeda pada regime pemerintahannya yang dianut negara itu. Berkaitan

112

dengan soal ini Ikrar Nusa Bhakti8 mengartikan hubungan sipil militer (civilian supremacy upon the military) atau militer adalah sub ordinasi dari pemerintahan sipil yang dipilih secara demokratis dengan melalui suatu pemilihan umum. Kedua, model negara-negara berkembang yang menganggap bahwa dikotomi sipil militer (model demokrasi liberal) tidak menggambarkan realitas sesungguhnya yang ada. Hal ini dikatakan keduanya beranggapan bahwa dikhotomi sipil-militer hanya akan mengakibatkan konfrontasi. Mengacu kepada teoritik klasik tentang pola hubungan sipil-militer tampaknya lebih menekankan kepada pola dua kutub yang berbeda yakni pertama, supremasi sipil, dan campur tangan militer dalam politik tidak sah. Dan dalam kutub kedua, tidak adanya supremasi sipil dan campur tangan militer dalam politik adalah demi kepentingan bangsa dibenarkan. Dalam hubungan ini apa yang dikemukakan oleh Samuel P. Huntington9 bahwa jalan untuk mengarah ke sana dapat digunakan dengan dua cara yakni; (a). Subjective civilian control (pengendalian sipil objective. Pengendalian sipil objektif dapat dilakukan dengan cara memperbesar kekuasaan sipil dibandingkan dengan kekuasaan militer. Maka dengan cara seperti ini menurutnya, mengakibatkan hubungan sipil kurang sehat karena memberikan pengaruh kepada upaya untuk mengontrol posisi militer dengan memposisikan mereka dan menjadikan mereka lebih dekat dengan sipil. Dan sebaliknya, dalam pengendalian (b).sipil objektif, militarizing the military, hal ini dapat dicapai dengan cara memperbesar profesionalisme kelompok militer dalam hal ini kekuasaannya akan diminimalisir, Namun tidak sama sekali dilenyapkan kekuasaan kelompok militer ini akan tetapi tetap menyediakan kekuasaan yang terbatas tertentu yang diperlukan untuk melaksanakan profesinya. Militer, SOB, dan Dewan Nasional Persoalan militer dan politik yang menunjukkan militer (tentara) sebagai kekuatan politik 8

Syahdatul Kahfi, “Peran Militer Indonesia: Tuntutan atau Kepentingan”, Jurnal Progresif 1 (Oktober 2002), hal. 34. 9 Ibid., hal. 34-35.

Jurnal POLITEIA|Vol.1|No.2|Juli 2009 ISSN: 0216-9290 P. Anthonius Sitepu Peranan Militer dalam Konfigurasi Politik Indonesia Kontemporer (political power) berasal dari kaburnya makna tentang persepsi militer sebagai fungsi bersenjata. Perjuangan kemerdekaan melawan Belanda untuk merebut kemerdekaan itu sendiri sudah bersifat politis sekaligus juga bernuansa militer.10 Militer yang lahir di Medan perjuangan mempunyai latar belakang yang berbeda-beda. Pertama, militer yang lahir tanpa basis pendidikan yang jelas seperti Laskar atau tentara organik. Kedua, militer yang dilatih oleh Jepang yakni PETA (Pembela Tanah Air). Ketiga, KNIL (Koninklijk Nederlandsch Leger) sebagai tentara nasional dengan latar belakang pendidikan Belanda. Namun demikian, proses pembentukan militer di Indonesia pada umumnya dipengaruhi oleh dua faktor yang dianggap dapat menjelaskannya yakni; Pertama, tersingkirnya laskar dari kehidupan militer di Indonesia. Awalnya, kelahiran tentara dibadani oleh partai yang mengabdi pada kepentingan ideologi partai seperti halnya dengan Laskar Napindo (PNI), Laskar Hizbullah (Golongan Islam), Barisan Pemuda Kristen (Devisi Pnah) dari Parikindo dan Barisan Pemuda Sosialis Indonesia (PSI). Kemudian laskar-laskar perjuangan ini menjadi bagian dari BKR (Badan Keamanan Rakyat), TNI (Tentara Nasional Indonesia) atau ABRI (Angkatan Republik Indonesia) dan sekarang kembali lagi menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Kedua, ambiguitas pemerintah dalam kebijakan. Di satu sisi pemerintah menganjurkan agar laskar-laskar itu menjadi organisasi yang rasional akan tetapi di sisi lain pemerintah itu merampingkan kekuatan bersenjata dan menyudutkan posisi tentara, dengan melakukan intrik dan provokasi. Akibatnya tentara lahir dengan sendirinya dan berada di luar sistem pada saat itu.11 Laskar-laskar perjuangan yang ada menjadi bagian dari BKR (Badan Keamanan Rakyat) yang berada di bawah wewenang Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang dibangun mulai Pusat sampai ke daerah tanggal 22 Agustus 1945, statusnya bukan dimaksudkan sebagai organisasi kemiliteran tetapi bersifat kerakyatan, juga ditentukan atas dasar 10 11

Ibid., 34. Ibid.

individual bukan secara en block persekutan.12 Pemerintah yang baru saja dibangun itu lantas benar-benar mempertimbangkan pembentukan sebuah tentara republik. Oerip Soemahardjo seorang bekas mayor KNIL dipanggil dan diberi tugas untuk segera membentuk sebuah tentara. Akhirnya pada tanggal 5 Oktober 1945, Soekarno menandatangani Maklumat Pemerintah tentang pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR).13 Selanjutnya atas prakarsa dari Markas Tertinggi TKR, pada 1 Januari 1946, Pemerintah mengeluarkan Penetapakan Pemerintah No.2/ SD 1946 yang mengubah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) menjadi Tentara Keselamatan Rakyat. Namun belum sampai satu bulan, keluarlah pula Maklumat Pemerintah No.Z Tanggal 26 Januari 1946 menggantikan Tentara Keselamatan Rakyat dengan Tentara Republik Rakyat Indonesia dalam pandangan A Hasnan Habib14 mengenai asal usul keterlibatan militer dalam politik adalah merupakan fenomena umum dunia ketiga. Penyebabnya banyak walaupun tidak dapat dikatakan universal dalam arti jika di negara A berlaku kondisi X,Y,Z, yang mengandung intervensi militer, di negara B yang juga terdapat kondisi yang relatif serupa, belum tentu militernya melakukan intrvensi yang menentukan ialah karakteristik sosial yang unit bagi setiap negara, unit penampilannya, unit proses sejarahnya dan unik pula dampaknya bagi masyarakat bersangkutan. Bahkan Amos Perlmutter15 mengatakan bahwa terdapat suatu hubungan (korelasi) antara stabilitas lembaga-lembaga sipil dan kecenderungan militer untuk melakukan intervensi. Semakin lemah infrastruktur politik, semakin besar kemungkinan aparat sipil semakin kecil

12

Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1982), hal. 22. 13 Hendri Supiyatmoko, Nasution, Dwi Fungsi ABRI dan Kontribusi ke Arah Reformasi Politik, (Solo: Sebelas Maret University Press, 1994), hal. 15-16. 14 A. Hasnan Habib, “Hubungan Sipil Militer Pasca Orde Baru dan Prospeknya di Masa Depan”, Jurnal Progresif, op.cit., hal. 15-17. 15 Hendri Supriyatmoko, op.cit., hal.18.

113

Jurnal POLITEIA|Vol.1|No.2|Juli 2009 ISSN: 0216-9290 P. Anthonius Sitepu Peranan Militer dalam Konfigurasi Politik Indonesia Kontemporer kemungkinan militer untuk mengambil alih kekuasaan dan menjalankan pemerintahan. Militer telah menjadi fenomea politik yang menarik di negara-negara berkembang (Dunia Ketiga) pada umumnya, sepertinya misalnya Indonesia. Karena tampilnya militer di panggung politik, menjadi salah satu faktor penentu dalam melakukan perubahan politik (political change). Perusahaan politik akhirnya menjadi titik problem mendasar di beberapa negara yang baru merdeka adalah menciptakan stabilitas politik dalam rangka mencari identitias diri. Akan tetap sebaliknya, jika hal itu mengalami ketimbangan tentunya resiko yang dihadapinya yakni instabilitas politik (kekacauan Politik) dalam mana para politisi sipil tidak memiliki kemampuan untuk menata struktur kelembagaan politik (TRI)16. Dari maklumat Soekarno 25 Januari 1946 itu, yang isinya tentang penggantian nama TKR menjadi TRI dipandang sebagai salah satu hasil penting dari negosiasi itu adalah ditegaskannya TRI sebagai satu-satunya organisasi militer di Indonesia17. Dari serangkaian proses perkembangan yang dialami militer Indonesia sejak masa pembentukannya sampai dengan berakhirnya perang kemederkaan, atau sampai pada dekrit Presiden 7 Juni 1947 bahwa semua organisasi bersenjata dinyatakan melebar kedalam satu organisasi kemiliteran yakni bernama Tentara Nasional Indonesia (TNI). Melihat perkembangan di Indonesia yang merupakan salah satu negara yang masih berada di bawah rejim otoritarianisme-militeristik di mana pengaruh militer dalam kehidupan politik dominan Peran Politik militer dalam sistem politik menimbulkan persoalan yang rumit. Karena kekuatan fisik senantiasa mengandung unsur politik. Maka penting untuk diajukan pertanyaan, mengapa militer secara aktif memasuki arena (dominan) politik dengan memainkan peranan politik dalam kehidupan politik18.

16

Yahya Muhaimin, op.cit., hal. 26. Hendri Supriyatmoko, op.cit., hal.18. 18 Yahya Muhaimin, op.cit., hal. 3-4.

Ada tiga faktor yang mendorong militer masuk ke dalam arena politik yakni, (a). Rangkaian sebab yang menyangkut adanya ketidakstabilan system politik; (b).Rangkaian sebab bertalian dengan kemampuan golongan militer untuk mempengaruhi atmosfer kehidupan politik dan bahkan untuk mempengaruhi peranan-peranan politik yang menentukan; (c).Rangkaian sebab yang berhubungan dengan “political perspective” kaum militer. Akan tetapi kondisi semacam inilah kiranya mengundang militer sebagai lembaga yang teroganisir menjadi kekuatan menjaga pertahanan dan keamanan untuk menata stabilitas politik. Dalam kekacauan sosial politik, militer sebagai unsur yang teroganisasi secara efektif yang mampu bersaing untuk memperoleh kekuasaan politik (political power). Keterlibatan mereka (militer) yang intens dalam soal-soal politik yang luas dan kehadiran mereka menjadi sebuah kekuatan strategis yang menentukan perkembangan bangsa selanjutnya. Jelas hal ini tidak dapat dipandang sebagai fenomena kecenderungan yang secara tiba-tiba, akan tetapi hendaklah diamati dan dipahami dari prosesnya yang panjang.19 Dikatakan bahwa sejak kemerdekaan diproklamirkan, kosistensi politik dan maraknya percaturan politik tidak terlepas dari faktor dan pengaruh keberadaan militer. Sehingga dapat dikatakan pula bahwa dunia politik di Indonesia di dominasi oleh pejuang kemerdekaan yang bersenjata. Perang kemerdekaan sebagai perjalanan yang berharga memberi persiapan bagi militer untuk tampil ke depan mengatasi kemelut politik setelah hampir 15 tahun menyediakan diri sebagai pendukung pemerintahan sipil (1945-1959) dan kemudian jalan tengah militer (19591966) sampai dengan dwifungsi ABRI memperlihatkan bentuknya. Di Indonesia keterlibatan militer dalam politik diawali oleh kekecewaannya terhadap partai politik. Partai politik dilihat yang mendominsi dan mengontrol kehidupan militer secara subjektif terutama pada masa sistem politik demokrasi parlementer. Secara konstitusional kekuasaan politik memang berpusat di parlemen dan di dalam prakteknya partai

17

114

19

Syahdatul Kahfie, op.cit., hal. 39

Jurnal POLITEIA|Vol.1|No.2|Juli 2009 ISSN: 0216-9290 P. Anthonius Sitepu Peranan Militer dalam Konfigurasi Politik Indonesia Kontemporer politiklah yang secara tradisional saling bergantian menguasai (pemerintah) yang sedang berkuasa. Kondisi seperti ini kemudian menetapkan picu sebelum akhirnya meletus sebagai Peristiwa 17 Oktober 1952 atau sebuah kudeta kecil yang gagal, ketika sejumlah pasukan elit TNI AD mengarahkan moncong meriam ke Istana Merdeka untuk memaksa Presiden Soekarno membumbarkan konstituante; karena mereka mengangap bahwa telah terlalu jauh mencampuri urusan internal militer. Aksi yang ditujukan ke parlemen yang dicatat sebagai peristiwa 17 Oktober 1952 adalah merupakan suatu manuver politik dan juga merupakan salah satu potret (gambar) atas perjuangan kelompok militer sebagai satu rentetan (serangkaian) proses di mana militer melakukan upaya-upaya mencari posisinya yang paling tepat dalam kehidupan kenegaraan. Peristiwa itu pula yang mencerminkan fenomena kuat bahwa militer concern terhadap persoalan-persoalan politik negara. Ini menunjukkan bagaimana militer berpotensi dan berpretensi mengambil suatu peranan politik tertentu dalam pengelolaan penyelenggaraan negara dan menghendaki suatu posisi atu kedudukan politik. Terlepas dari seberapa besar pretensi politik dikalangan militer pasca peristiwa 17 Oktober 1952 itu, bahwa sebagai manuver politik pada akhirnya mengalami kegagalan. Kegagalan tersebut disebabkan sebagian besar Soekarno sebagai faktor (faktor Soekarno) justru ganda yang sama menunjukkan dirinya faktor politik yang semakin kuat dan juga faktor internal militer (AD) yang pada saat itu masih begitu terpolarisasi dalam persoalan-persoalan politik. Di samping itu, konsepsi Soekarno tentang demokrasi terpimpin dengan SOB (Staat van Oorlog en Beleg) dijadikan pula sebagai sarana yang baik untuk mendorong militer masuk ke dalam kawasan justifikasi kepada militer untuk melakukan peran-peran politiknya. Diberlakukannya jawaban atas persoalanpersoalan politik yang sedang terjadi di Indonesia pada saat itu. Meskipun demikian, peran-peran politik militer yang lebih konkret lagi terjadi pada fenomena yang menarik karena dalam hal ini Soekarno menghendaki adanya perwakilan militer dalam dewan ini. Di dalamnya duduk Kepala Staf Angkatan

Darat, Kepala Staf Angkatan Laut, Kepala Staf Angkatan Udara, dan Kepala Kepolisian Negara sebagai anggota ex-officio yang terbentuk dalam golongan fungsional dan bukan pada partai-partai politik. Dan juga sebagaimana terdapat di Parlemen (DPR) atau dalam badan-badan yang bersifat legislatif dan di kabinet-kabinet. Hal ini harus dipandang sebagai pengakuan secara de jure atas kedudukan dan pernan politik militer secara implikasinya lebih lanjut yang secara formal legitimasi militer dalam struktur pemerintahan. Dwifungsi ABRI dan Partisipasi Politik Militer Konsepsi Nasution yang kemudian dikenal sebagian “jalan tengah tentara”, memberikan pintu terbuka pada political will secara mendasar bagi kelompok militer untuk masuk ke dalam domain politik yang lebih nyata dan luas. Dan itu pula yang pertama-tama kalinya inti formulasi konsep Dwi Fungsi ABRI. Dalam hubungan ini militer Indonesia tidak saja berfungsi sebagai kekuatan keamanan juga harus mengambil peranan sebagai kekuatan sosial politik dalam pengeloaan negara. Dwi fungsi ABRI pada intinya, terdapat dalam jalan tengah tentara yang merupakan gambaran bagaimanakah bentuk yang paling ideal dari kedudukan dan peranan militer di Indonesia. Pemahaman lebih tegas Dwi Fungsi ABRI adalah konsep pokok dalam kehidupan politik dan pada prakteknya, konsep Dwi Fungsi ABRI menjadi mesin politik untuk mempertahankan kekuasan. Dwi fungsi ABRI dipersoalkan bukan lagi peranan militer di masa revoluasi, atau jalan tengah tentara, yang dirumuskan AH. Nasution pada tahun 1957-an, melainkan sebagai sebilah realitas sosial politik yang dibangun secara sistematis dan dalam pandangan lain, bahwa Dwi Fungsi ABRI ini merupakan perluasan peran militer diluar bidang militer (non militer). Di dalam praktek kerjanya, Dwi Fungsi ABRI ini ditransformasikan ke dalam golongan Karya (Golkar). Dalam MPR hasil pemilihan umum 1971, mengukuhkan Dwi Fungsi ABRI di bidang hukum dan konsepsi stabilitator dan dinamisator. Maka dengan demikian Hankamnas dengan konsep stabilisator dan dinamisator di dalamnya terdapat mesin politik utamanya untuk

115

Jurnal POLITEIA|Vol.1|No.2|Juli 2009 ISSN: 0216-9290 P. Anthonius Sitepu Peranan Militer dalam Konfigurasi Politik Indonesia Kontemporer memutar roda politik Dwi Fungsi ABRI baru dapat pembenaran konstitusi di tahun 1992 dengan melalui UU.20 Tahun 1982, tentang ketentuan-ketentuan pokok pertahanan keamanan negara. Di sana dikatakan bahwa ABRI pada Pasal 26 sebagai kekuatan sosial politik. Lebih lanjut peran seperti itu diperkuat dalam Undang-undang No.1 Tahun 1988 tentang Konsensus Nasional. UndangUndang ini merupakan kelanjutan dari Tap MPT/No.IV tahun 1978 tentang GBHN yang mengukuhkan peran militer dalam sosial politik ABRI. Dwi Fungsi ABRI dalam prakteknya (sosial politik) dapat dijumpai dalam beberapa kebijakan-kebijakan politik negara, seperti misalnya hampir sebagian besar Gubernur dan wakil Gubernur berasal dari militer. Demikian pula dengan jabatan Bupati dan bahkan sebagian besar Ketua Fraksi DPR I dan DPRD II dari ABRI. Dengan demikian, jika dihitung Fraksi utusan daerah di MPR 90% adalah dari militer (ABRI). Karena yang menjadi utusan Daerah itu selalu Gubernur. Dan tidak sedikit Kadit Sospol, Ijen, Sekjen dan Dirjen sampai kepada pengangkatan duta duta besar diluar negeri dari perwira-perwira sebagai perwakilan Indonesia di luar negeri.20 Selain itu dibentuklah pula pemerintahan militer yang menguasai teritorial yang dimulai dari Kodam, Kodim, Koramil dan sampai dengan Babinsa (Badan Pembinaan Masyarakat). Untuk mengawasi/kontrol perkembangan politik lokal dibentuk Muspida (Musyawarah pimpinan daerah), Muspika serta Kadit sospol pada tiap provinsi dan kabupaten/ kota bahkan dalam lembaga perwakilan (MPR/DPR) ABRI Fraksi Golkar. Kekuasaan seperti ini ditingkatkan pula dengan hubungan-hubungan dengan organisasi-organisasi masyarakat (ormas) atau organisasi Massa kepemudaaan dan berbagai organisasi massa (ormas) yang berafiliasi dengan instansi militer. Meskipun tampaknya tidak signifikan hubungan antara Dwifungsi ABRI ini dengan pertumbuhan neo-feodalisme dan peternalistik ikut dalam konfigurasi politik orde baru

yang tampaknya lebih jelas ada dalam kolusi dan nepotisme. Seperti yang dikatakan oleh Cornelis Lay bahwa sebagai proses pembentukan kelas baru dalam masyarakat Indonesia adalah khas yang mendominasi ekonomi dan politik atas hubungan-hubungan darah dan keluarga atau munculnya kasta itu dalam konfigurasi politik Orde Baru. Dalam kasta elit politik inilah menjamur kolusi dan nepotisme. Berkaitan dengan soal di atas, Ulf Sundhausen21 membangun teori sebab keterlibatan militer dalam perpolitikan Indonesia. Sundhaussen melihat ada tiga hal utama yang perlu untuk diperhatikan untuk menjawab pertanyaan mengapa militer Indonesia turut serta dalam masalah-masalah Politik: (a).Semata-mata untuk membela dan memajukan kepentingan militer itu sendiri secara luas (TNI-AD); (b).Kepentingan-kepentingan individu-individu yang secara langsung ataupun tidak secara langsung sering ikut mempengaruhi berbagai kebijakan yang akan diambil para pimpinan militer itu sendiri. Yang menjadi persoalan sebetulnya terletak dalam pertanyaan bagaimana formulasi peran militer itu dalam pembangunan politik? Sejauh manakah peran mereka itu dalam rangka meningkatkan pengaruh terhadap pembangunan politik? Jawaban atas pertanyaan itu coba dikembangkan dalam bagian tulisan ini yang ternyata bahwa peran militer pada prinsipnya berkembang secara berbedabeda terutama di negara-negara berkembang khususnya Asia Tenggara seperti yang pernah dikemukakan oleh Harold Crouch22, bahwa militer di Singapura, Malyasia, dan Brunai, tidak sedemikian dominan terutama dalam politik dan pemerintahan sebab disana pemerintahan sipil. Di Indonesia dan Brunai peranan militer amat mencolok. Akan tetapi militer tidak memperoleh porsi secara langsung untuk akses dalam bidang pemerintahan itu, meskipun ada dalam bidang politik dan pemerintah. Di Thailand, militer tetap memiliki akses yang kuat dan penuh dalam politik pemerintahan yang di pegang oleh seorang 21

20

Amiruddin, “Dwi Fungsi ABRI, Perspektif Sejarah dan Masa Depannya”, Jurnal HAM dan Demokrasi 7 (1999), hal. 21-27.

116

Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967, Menuju Dwi Fungsi ABRI, (Jakarta: LP3ES, 1998), hal. 400-448. 22 Harold Crouch, op.cit., hal. 4.

Jurnal POLITEIA|Vol.1|No.2|Juli 2009 ISSN: 0216-9290 P. Anthonius Sitepu Peranan Militer dalam Konfigurasi Politik Indonesia Kontemporer Jenderal. Kemudian kalau di Filipina, pada masa pemerintahan Ferdinand Marcos, kelompok militer memegang berbagai posisi walau yang semestinya harus diserahkan kepada pihak sipil. Namun mereka tetap sebagai subordinat dari seorang Presiden. Semenjak Cory Aquino naik ke atas pentas perpolitikan Manila, peranan militer ini tetap dipertahankan sebagai faktor penting sektor-sektor politik dan pemerintahan meskipun pejabatpejabat militer itu tidak secara langsung menguasai posisi di pemerintahan. Dengan berdasarkan penuturan di atas, Harold Crouch membuat kategorisasi bagi polapola sejauh mana peranan militer dalam politik terutama berlaku di kawasan Asia Tenggara; (a).Para pejabat militer jelas secara langsung mendominasi (Indonesia dan Burma); (b).Militer mempunyai kekuatan (akses) yang cukup besar kendati relatif terbatas (Thailand dan Singapura); (c).Militer mempunyai pengaruh terbatas hanya pada bidang seperti keamanan dan para pejabat militer tidak signifikan dengan kontribusinya terhadap pembuatan kebijakan (Singapura, Malaysia, dan Brunai); (d).Semacam kasus khusus usainya revolusi rejim komunis dimana militer otonomi sebagai akibat rembesan dari pengaruh partai politik yang terbatas (Indocina). Sejak munculnya gagasan yang melahirkan Orde Baru pada tahun 1966 tampaknya secara tidak langsung disertai dengan munculnya suatu pergeseran arti yang “system of personal rule” yang mengarah kepada sifatsifat perlembagaan yang berakrakter presidential military bureaucratic complex23. Tentunya yang menjadi pertanyaan di sini adalah bagaimana dan sejauh mana peran militer dalam politik dan pemerintahan serta bagaimana formulasinya peran militer setelah terjadinya pergeseran tadi. Untuk itu Liddle membangun argumentasinya dengan membuat sebuah kontruksi politik berupa sebuah “piramida” dari struktur sebagai titik puncaknya di dominasi oleh seorang aktor tunggal yaitu seorang presiden. Presiden memainkan perannya sebagai komandan militer yang

“primus inter pares”, ke dalam birokrasi. Terdapat suatu departemen yakni Departemen pertahanan dan keamanan (Denhamkam) yang memainkan perananya yang menurut Liddle termasuk jenis yang unik; Pertama, setiap ibukota provinsi diwakili oleh seorang komandan militer (Pangdam) yang bertanggungjawab penuh terhadap keamanan daerah (Subversi datang dari dalam negeri) dan memberikan benang merah batas antara fungsi militer dan sipil di daerah (pemerintah), Pemilihan umum tahun 1971, 1977, dan 1982 yang merupakan contoh konkrit sejauh manakah peranan pejabat militer memegang kunci dalam memberhasilkan golkar keluar sebagai pemenang dalam beberapa kali pelaksanaan pemilihan umum terebut; Kedua, suatu kebiasaan dari pada pejabat yang menduduki jabatan pemerintahan sering harus melalui badan tersebut yang secara sengaja diciptakan untuk mengejar target (tujuan) tersebut. Dari 37 menteri ada saja 14 orang yang berlatar belakang militer; Ketiga, para pejabat pemerintahan (pertahanan dan keamanan) memainkan peranannya yang sangat penting dalam suatu pemecahan masalah atau isu-isu yang terkadang melebihi batas-batas norma-norma yang seharusnya dapat dipertanggunjawabkan. Aksentuasi yang lebih dalam arti peranan militer ini ditunjukan dalam burecratic populits ideolgy yang bepusat pada konsep Dwi Fungsi ABRI (pertahanan Keamanan sebagai kekuatan politik). Berbagai terminologi melekat dalam fungi-fungi tersebut. Ada yang mengatakan ABRI sebagai penyelamat (juru selamat) negara dalam keadaan genting (krisis) sebagaimana yang pernah ditunjukkan dalam masa tahun 1945-1949 dan awal tahun 1950-an dan tahun 1965 ABRI sebagai sarana atau alat pemersatu dari sifat bangsa Indonesia yang pluralistik, pengayom dan dinamisator (driving force) masyarakat dan pembangunan ekonomi politik. Meskipun kekuasaan beradaa pada tangan seorang presiden, kata Karl, D Jackson24 birokrasi Indonesia itu berkembang di mana pejabat militer dijadikan sebagai tulang punggung (back boned) 24

23

R. William Liddle, “Soeharto’s Indonesia Personal Rule and Political Institutions”, Pasific Affairs 1 (1985), hal. 70-71.

Karl D. Jackson & Lucian Pye (eds), Political Power and Communication in Indonesia (Barkely, Los Angels: University of California Press, 1978), hal. 13.

117

Jurnal POLITEIA|Vol.1|No.2|Juli 2009 ISSN: 0216-9290 P. Anthonius Sitepu Peranan Militer dalam Konfigurasi Politik Indonesia Kontemporer yang secara terus menerus dicerminkan ke dalam prioritas kebijaksanaan, namun bukan bersifat tipikal yang bersosiasi kebijaksanaan yang berasosiasi dengan diktator militerisme kendati Presiden sendiripun adalah seorang Jenderal. Di dalam Musyawarah Nasional (Munas) IV Golkar pada tanggal 20-25 Oktober 1988, terdapat hal-hal yang dipersoalkan yang membuat argumentasi posisi militer, terutama dalam sektor politik dan pemerintahan Indonesia. Musyawarah Nasional Golongan Karya (Golkar) 1988 tersebut telah memberikan suatu indiaksi bahwa fungsi Golongan Karya adalah untuk memperkuat posisi atau kedudukan atupun peranan militer di mana ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) sebagai pendukung kuat Golongan Karya. Ada sertus dua puluh ketua-ketua Golongan Karya yang di daerah-daerah, diambil alih oleh militer (ABRI) termasuk di dalamnya 19 dari 27 Provinsi daerah Tingkat I di Indonesia, menjabat Ketua Golongan Karya.25 Dalam tahun-tahun sebelumnyapun, fenomena seperti ini dapat dikatakan sebagai suatu gambaran dari peranan militer yang terkonsepsikan ke dalam konstruksi-konstuksi kekuatan militer yang bersumber dari akarnya yang disebut: dwi fungsi militer. Konstruksikonstruksi dalam konsep Golongan Karya ini diletakkan kembali ke dalam tataran fungsi sebuah partai politik atau katakan sebagai “organisasi Masyarakat” (Ormas). Gagasan ini dikembangkan lagi menjadi suatu konsep yang lebih bersifat kekeluargaan dan dipadankan dengan sosialisme tanpa perjuangan kelas-kelas. Bisa juga diartikan sebagai suatu pencerminan atau sebuah kebajikan menuju sifat paternalisme. Perkembangan sistem hubungan seperti ini akan sangat diperlukan dan dibutuhkan demi menjaga tertib dan damai, dalam kaitannya dengan kedudukan militer. Maka pola hubungan antara militer (ABRI) dengan sipil. Berakumulasi ke dalam sifatnya sebagai badan kerja sama yang akan memberikan peluang bagi cetak birunya restruktursasi dalam konteks hubungan negara dan masyarakat. 25

Arif Budiman (ed), State and Civil Society in Indonesia, (Australia: Aristic Press, 1990), hal. 156.

118

Maka kalau kita berpijak pada konsep seperti diatas, militer sebenarnya melakukan proses “golkarisasi” sistem politik yang kemudian dicoba diperluas lagi ke dalam sistem politik Orde Baru. Untuk menuju ke arah itu dianggap perlu untuk membentuk beberapa elemen-elemen pokok yakni: (a). Memasukkan militer yang sudah senior sebagai figur dalam lembaga-lembaga politik dan menekan birokrasi sipil dengan melalui penempatan pejabat-pejabat tertentu berdasarkan kepada kekayaan; (b).Kampanye melawan partaipartai politik dengan tujuan utama adalah untuk membubarkannya atau setidak-tidaknya dengan melaksanakan penyederhanaan sistem kepartaian (simplikasi); (c). Dikampanyekan untuk menciptakan Golongan Karya (Golkar) dengan melalui cara atau langkahlangkah, bagaimana agar organisasi-organisasi Masyarakat (Ormas) bisa berfungsi dengan Golongan Karya (golkar) dan dengan memantapkan organisasi-organisasi masyarakat ini; (d).Menarik organisasi-organisasi profesi kedalam Golongan Karya (Golkar); (e).Meningkatkan lebih giat konsep-konsep karyawan dalam perusahaan negara.26 Konsep karyawan dalam perusahaan-perusahaan negara, dilaksanakan dengan melalui organsiasi yang disebut dengan Serikat Organisasi Karyawan Seluruh Indonesia (SOKSI) sebagai anggota Golongan Karya (Golkar). Konsep ini berkembang terus merembes lebih dalam dan jauh lagi kedalam sistem politik Orde Baru dan akan membuka peluang pembenaran atas teori bagi implementasi sifatnya yang monoloyalitas terhap pegawai negeri yang tergabung ke dalam Korps Pegawai Reublik Indonesia (KORRPI). Maka sejak tahun 1973-an, Golongan Karya menyatakan diri bahwa ada hubungan antara militer ABRI-KORPRI-GOLKAR. Sistem hubungan ini merupakan sebuah keluarga besar Golongan Karya. Penutup Terutama di negara-negara Asia Tenggara, peranan militer dalam pembangunan politik (politik dan pemerintahan) memang tidaklah sama di setiap negara. Dalam hal tertentu kehadiran militer diperlukan sebagai alat 26

David Reeve, ibid., hal. 165.

Jurnal POLITEIA|Vol.1|No.2|Juli 2009 ISSN: 0216-9290 P. Anthonius Sitepu Peranan Militer dalam Konfigurasi Politik Indonesia Kontemporer keamanan negara saja, tapi sebaliknya dalam kesempatan lain, sebagai akibat perbedaan kepemilikan perangkat, maka militer seringkali yang lebih menonjol dalam bidang politik dibanding sipil. Peran militer yang secara khusus di Indonesia menunjuk pada fungsinya yang menjaga stabilitas politik ketimbang untuk lebih meningkatkan pembangunan sosial-ekonomi. Ada keterhubungan antara pembangunan ekonomi dan kebutuhan demi menjaga kehadiran militer bagi stabilitas ekonomi meskipun dalam normanorma yang terbatas. Namun sejak sistem politik orde baru telah terjadi suatu pergeseran organisasi politik dari sifatnya yang “burecratic politiy” kepada sifatnya yang “patrimonialis political system” ditandai dengan dominasi kelompok militer (ABRI) yang menunjuk pada “personalictic form of authoritarian ruled” berpuncak pada “singular capacity of President” Soeharto. Daftar Pustaka Amiruddin. 1999. Dwi Fungsi ABRI, Perspektif Sejarah dan Masa Depannya. Jurnal HAM dan Demokrasi 7. Budiman, Arif (ed). 1990. State and Civil Society in Indonesia. Australia: Aristic Press.

Crouch, Harold. 1987. The Military Mind and The Developmental Process. Singapore: Institute of Southeast Asia Studies. Habib, A. Hasnan. 2002. Hubungan Sipil Militer Pasca Orde Baru dan Prospeknya di Masa Depan. Jurnal Progresif 1 (Oktober). Jackson, Karl D. et al (eds). 1978. Political Power and Communication in Indonesia. Barkley: University of California Press. Liddle, R. William. 1985. Soeharto’s Indonesia Personal Rule and Political Institutions. Pasific Affairs 1. Muhaimin, Yahya A.. 1982. Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Palmer, Monte. 1989. Dilemmas of Political Development and Introduction to the Political of Developing Countries. Ithaca Ilonis: F.E. Peacock. Publishing. Sundhaussen, Ulf. 1998. Politik Militer Indonesia 1945-1967, Menuju Dwi Fungsi ABRI. Jakarta: LP3ES. Supiyatmoko, Hendri. 1994. Nasution, Dwi Fungsi ABRI dan Kontribusi ke Arah Reformasi Politik. Solo: Sebelas Maret University Press. Weiner, Myron et al (eds). 1987. Understanding Political Development. Toronto: Little Brown and Company Boston. Kahfi, Syahdatul. 2002. Peran Militer Indonesia: Tuntutan atau Kepentingan. Jurnal Progresif 1 (Oktober).

119

Jurnal POLITEIA|Vol.1|No.2|Juli 2009 Petunjuk Penulisan

120

ISSN: 0216-9290 Volume 1

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF