Oref Dan Orif Muskuloskeletal

December 11, 2018 | Author: Iina Nouveiraa | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

oref oref oref oref oref oref...

Description

TUGAS INDIVIDU BLOK SISTEM MUSKULOSKELETAL

OLEH:

 Ni Nengah Vera Vera Sekarendra 1202105087

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2014

2. Uraikan bagaimana pasien post operasi OREF dan ORIF mulai melakukan aktifitasnya, dari hari pertama post operasi sampai dengan operasi kedua, apa penkes yang perlu diberikan pada pasien. Fraktur menurut Smeltzer (2002) adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Menurut Sjamsuhidayat (2005), fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Doengoes (2000) memberikan batasan, fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang. Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik (Price, 1995). Fraktur menurut Reeves (2001), adalah setiap retak atau patah tulang yang ututh. Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan, baik yang bersifat total maupun sebagian (Chairudin Rasjad, 1998). Fraktur dapat terjadi akibat adanya tekanan yang melebihi kemampuan tulang dalam menahan tekanan,  pukulan langsung, gaya meremuk, dan bahkan kontraksi otot ekstrem. Pada orang tua,  perempuan lebih sering mengalami fraktur daripada laki-laki yang berhubungan dengan meningkatnya insiden osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormon pada menopause. Tanda dan gejala fraktur biasanya meliputi nyeri, hilangnya fungsi organ yang mengalami fraktur, deformitas, pemendekan ekstremitas, krepitasi, pembengkakan lokal, dan perubahan warna kulih pada daerah fraktur. Secara umum, fraktur dapat dibedakan atas fraktur tertutup (close fracture) dan fraktur terbuka (open fracture). Fraktur tertutup adalah fraktur yang fragmen tulangnya tidak menembus kulit sehingga tempat fraktur tidak tercemar oleh lingkungan/tidak mempunyai hubungan dengan dunia luar. Sedangkan fraktur terbuka adalah fraktur yang mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui luka pada kulit dan jaringan lunak, dapat berbentuk from within (dari dalam) atau from without (dari luar). Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari adanya fraktur antara lain infeksi, dekubitus (akibat imobilisasi), terputusnya serabut otot, trombus, perdarahan terus menerus, kekakuan sendi, dan terganggunya peredarah darah. Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan pengembalian fungsi serta kekuatan normal dengan rehabilitasi (smeltzer, 2002). Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan posisi anatomis. Metode untuk mencapai reduksi fraktur adalah dengan reduksi tertutup, traksi, dan reduksi terbuka.

Metode yang dipilih untuk mereduksi fraktur bergantung pada sifat frakturnya. Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, skrup, paku, atau batangan logam dapat digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai  penyembuhan tulang solid terjadi. Tahapan selanjutnya setelah fraktur direduksi adalah mengimobilisasi dan mempertahankan fragmen tulang dalam posisi dan kesejajaran yang  benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi interna dan eksterna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin, dan teknik gips. Sedangkan implant logam digunakan untuk fiksasi interna. Mempertahankan dan mengembalikan fragmen tulang dapat dilakukan dengan mempertahankan reduksi dan imobilisasi. Pantau terus neurovaskular, latihan isometrik, dan memotivasi klien untuk berpartisipasi dalam memperbaiki kemandirian fungsi dan harga diri. Metode pengobatan pada fraktur pada umumnya dibagi dalam:  Konservatif.  Reduksi tertutup dengan fiksasi eksterna atau fiksasi kutaneus.  Reduksi terbuka dan fiksasi interna atau fiksasi eksterna tulang.  Eksisi fragmen tulang dan penggantian proses.

Konservatif terdiri atas:  Proteksi semata-mata dengan cara memberikan sling (mitella) pada anggota gerak

atas atau tongkat pada anggota gerak bawah.  Imobilisasi dengan bidai eksterna (tanpa reduksi).  Reduksi tertutup dengan manipulasi dan imobilisasi posisinya dalam proses

 penyembuhan.  Reduksi tertutup dengan traksi berlanjut diikuti dengan imobilisasi.  Reduksi tertutup dengan traksi kontinu dan counter traksi.

Reduksi tertutup dengan fiksasi eksterna atau fiksasi prekutaneus dengan K-wire. Setelah dilakukan reduksi tertutup pada fraktur yang bersifat tidak stabil, maka reduksi dapat dipertahankan dengan memasukkan K-wire prekutaneus misalnya pada fraktur suprakondiler humeri pada anak-anak atau fraktur colles. Juga dapat dilakukan pada fraktur leher femur dan pertrokanter dengan memasukkan batang metal, serta pada fraktur

 batang femur dengan teknik tertutup dan hanya membuat lubang kecil pada daerah  proksimal femur. Teknik ini biasanya memerlukan bantuan alat rontgen image intensifer (C-arm). Reduksi terbuka dengan fiksasi interna atau fiksasi eksterna tulang. Tindakan operasi harus diputuskan dengan cermat dan dilakukan oleh ahli bedah serta  pembantunya yang berpengalaman dalam ruangan aseptik. Operasi harus dilakukan secepatnya (dalam 1 minggu) kecuali bila ada halangan. Alat0alat yang dipergunakan dalam operasi yaitu kawat bedah, kawat Kirschner, Screw, Screw and plate, pin Kuntscher intrameduler, pin rush, pin Steinmann, pin Trephine, pin smith peterson, plate and screw smith Peterson, pin plate telekospik, pin J ewett dan protesis. Eksisi fragmen tulang dan penggantian dengan protesis. Pada fraktur leher femur dan sendi siku orang tua, biasanya terjadi nekrosis avaskuler dari fragmen atau nounion, oleh karena itu dilakukan pemasangan protesis yaitu alat dengan komposisi metal tertentu untuk menggantikan bagian yang nekrosis. Sebagai bahan tambahan sering dipergunakan metilmetakrilat. Setelah dilakukan reduksi dengan menggunakan alat yang sesuai dengan jenis fraktur, prinsip penanganan fraktur yang selanjutnya dilakukan adalah imobilisasi, dan  pengembalian fungsi serta kekuatan normal dengan rehabilitasi. Pada bagian tubuh yang mengalami fraktur telah dilakukan operasi dan tentunya sudah difiksasi dengan alat yang sesuai dengan kondisi pasca operasi. Imobilisasi dilakukan sesuai dengan perkembangan kondisi bagian tubuh yang dioperasi, dan selama itu pula dilakukan pengembalian fungsi serta kekuatan normal tubuh yang tidak mengalami fraktur. Dalam hal ini dilakukan mobilisasi/latihan rentang gerak yang dapat mencegah terjadinya kontraktur, atropi otot, meningkatkan peredaran darah ke ekstremitas, mengurangi kelumpuhan vaskuler, dan memberikan kenyamanan pada klien. Mobilisasi dini merupakan tahapan kegiatan yang dilakukan segera pada pasien  pasca operasi dimulai dari bangun duduk, dan duduk sampai pasien turun dari tempat tidur, dan mulai berjalan dengan bantuan alat sesuai dengan kondisi pasien (Roper, 2002). Perawat harus mempersiapkan, membantu, dan memberikan kenyamanan pada

klien. Selain itu, perawat juga harus mengajarkan klien untuk latihan rentang gerak yang meliputi semua sendi tubuh. Mobilisasi dini merupakan komponen penting dalam  perawatan pasca operasi fraktur karena jika pasien membatasi pergerakannya di tempat tidur dan sama sekali tidak melakukan mobilisasi pasien akan semakin sulit untuk memulai berjalan. Manfaat mobilisasi dalam hal ini yaitu menurunkan insiden komplikasi imobilisasi pasca operasi (penurunan curah jantung, peningkatan beban kerja jantung, hipotensi ortostatik, infeksi saluran kemih, iritasi kulit dan luka yang disebabkan oleh  penekanan, atropi otot, hilangnya kekuatan otot, hiperkalsemia, osteoporosis, konstipasi, anoreksia, dan gangguan metabolisme), menurangi komplikasi respirasi dan sirkulasi, mempercepat

pemulihan

peristaltik

usus

dan

kemungkinan

distensi

abdomen,

mempercepat proses pemulihan pasien pasca operasi, mengurangi tekanan pada kulit/dekubitus, penurunan intensitas nyeri, frekuensi nadi dan suhu tubuh kembali normal. Jenis mobilisasi/latihan rentang gerak dibagi menjadi 2, yaitu rentang gerak aktif dan rentang gerak pasif. Gerakan rentang gerak dapat dilakukan pada leher, ekstremitas atas, dan ekstremitas bawah. Letihan rentang gerak pada leher, meliputi gerakan fleksi ekstensi, rotasi lateral, dan fleksi lateral. Menurut Reeves (2001), rentang gerak (ROM) standar untuk ekstremitas atas dan bawah, sebagai berikut.  Ekstremitas atas

Bahu: abduksi, fleksi, ekstensi, dan hiperekstensi. Siku: fleksi dan ekstensi. Lengan depan: pronasi dan supinasi. Pergelangan

tangan:

fleksi

pergelangan,

fleksi

radialis,

fleksi

ulnaris,

hiperekstensi pergelangan. Ibu jari: fleksi, ekstensi, oposisi (ibu jari berhadapan dengan jarib kelingking). Jari-jari: abduksi, adduksi, fleksi, dan ekstensi  Ekstremitas bawah

Kaki: fleksi,ekstensi, hiperekstensi, adduksi, abduksi, rotasi internal, dan rotasi eksternal.

Lutut: fleksi dan ekstensi. Pergelangan kaki: dorso fleksi, plantar fleksi. Telapak kaki: supinasi, pronasi. Persiapan mobilisasi dini yang dapat dilakukan oleh pasien antara lain: 1. Latihan otot-otot kuadriseps femoris dan otot-otot gluteal  Instruksikan pasien mengontraksikan otot-otot panjang pada paha, tahan

selama 10 detik lalu dilepaskan.  Instruksikan pasien mengontraksikan otot-otot pada bokong bersamaan, tahan

selama 10 detik lalu lepaskan.  Ulangi latihan ini 10-15 kali semampu pasien (Hoeman, 2001)

2. Latihan untuk menguatkan otot-otot ekstremitas atas dan lingkar bahu  Bengkokkan dan luruskan lengan pelan-pelan sambil memegang berat traksi

atau

benda

yang

beratnya

berangsur-angsur

ditambah

dan

jumlah

 pengulangannya. Ini berguna untuk menambah kekuatan otot ekstremitas atas.  Menekan balon karet ini berguna untuk meningkatkan kekuatan genggaman.  Angkat kepala dan bahu dari tempat tidur kemudian rentangkan tangan sejauh

mungkin.  Duduk di tempat tidur/kursi (Asmadi, 2008)

Dalam melakukan mobilisasi, alat bantu juga diperlukan untuk menunjang kegiatan mobilisasi yang dilakukan. Alat bantu yang dapat digunakan, antara lain: a. Kruk sering digunakan untuk meningkatkan mobilisasi, terbuat dari logam dan kayu dan sering digunakan permanen, misalnya conventional, adjustable, dan lofstrand. Kruk biasanya digunakan pada pasien fraktur hip dan ekstremitas  bawah. Kedua lengan yang benar-benar kuat untuk menopang tubuh pasien dengan keseimbangan yang bagus.  b. Canes (tongkat) alat yang ringan, mudah dipindahkan,setinggi pinggang, terbuat dari kayu atau logam, digunakan pada pasien dengan lengan yang mampu dan sehat, meliputi tongkat kaki panjang lurus (single straight-legged) dan tongkat  berkaki segiempat (Quad cane). c. Walkers adalah satu alat yang sangat ringan, mudah dipindahkan, setinggi  pinggang dan terbuat dari logam, walker mempunyai 4 penyangga yang kokoh.

Klien memegang pemegang tangan pada batang dibagian atas, melangkah memindahkan walker lebih lanjut, dan melangkah lagi. Digunakan pada pasien yang mengalami kelemahan umum, lengan yang kuat dan mampu menopang tubuh, pasien dengan masalah gangguan keseimbangan, pasien dengan fraktur hip, dan ekstremitas bawah. (Gartland, 1987: potter dan perry, 1999). Mobilisasi yang aman memerlukan keseimbangan dan kekuatan yang cukup untuk menopang berat badan dan menjaga postur. Beberapa pasien memerlukan bantuan dari perawat untuk bergerak dengan aman (Hoeman, 2001). Pelaksanaan mobilisasi dini  pada pasien pasca operasi ORIF dengan disfungsi ekstremitas bawah biasanya dimulai dari duduk ditempat tidur. Aktivitas ini seharusnya dilakukan 2 atau 3 kali selama 10 sampai dengan 15 menit, kemudian dilatih untuk turun dari tempat tidur dengan bantuan  perawat sesuai dengan kebutuhan pasien. (Lewis et al, 1998). Jangan terlalu memaksakan pasien untuk melakukan banyak pergerakan pada saat  bangun, untuk menghindari kelelahan standing balance, yaitu melatih diri dan mulai  berjalan. Perhatikan waktu pasien turun dari tempat tidur apakah menunjukkan gejalagejala pusing dan sulit bernapas. Tidak jarang pasien tiba-tiba lemas akibat hipotensi ortostatik. Ketika membantu pasien turun dari tempat tidur, perawat harus berdiri tepat di depannya. Pasien meletakkan tangannya di pundak perawat dan perawat meletakkan tangannya dibawha ketiak pasien. Pasien dibiarkan berdiri sebentar untuk memastikan tidak merasa pusing. Bila telah terbiasa dengan posisi berdiri, pasien dapat memulai untuk berjalan. Perawat harus berada disebelah pasien untuk memberikan dorongan dan dukungan fisik, harus hati-hati untuk tidak membuat pasien merasa letih, lamanya  periode mobilisasi beragam tergantung pada jenis prosedur bedah dan kondisi fisik serta usia pasien (Brunner & Suddarth, 2002) Mobilisasi biasanya dimulai dari parallel bars untuk latihan berjalan dengan menggunakan bantuan alat. Ketika pasien mulai jalan, perawat harus tahu weight bearing ambulation, meliputi: non weight bearing ambulation; tidak menggunakan alat  bantujalan sama sekali, berjalan dengan tungkai tidak diberi beban (menggantung) dilakukan selama 3 minggu pasca operasi.  Partial weight bearing ambulation; menggunakan alat bantu jalan pada sebagian aktivias, berjalan dengan tungkai diberi  beban hanya dari beban tungkai itu sendiri dilakukan bila kallus mulai terbentuk (3-6

minggu) pasca operasi.  Full weight bearing ambulation; semua aktivitas sehari-hari memerlukan bantuan alat, berjalan dengan beban penuh dari tubuh dilakukan setelah 3  bulan pasca operasi dimana tulang telah terjadi konsolidasi. (Lewis et al, 1998). Pasien pasca fraktur hip (pangkal femur) dengan ORIF dianjurkan untuk mobilisasi duduk dala periode yang singkat pada hari pertama pasca operasi. Menurut Oldmeadow et al (2006) mobilisasi dini dianjurkan segera pada 48 jam pada pasien  pasca operasi fraktur hip. Berangsur-angsur lakukan mobilisasi dengan menggunakan kruk (tongkat)no weight bearing selama 3 s.d 5 bulan proses penyembuhan baru akan terjadi. Pasien dengan pasca operasi batang femur perlu dilakukan latihan otot kuadrisep dan gluteal untuk melatih kekuatan otot-otot, ini penting untuk mobilisasi, proses  penyembuhan 10 s.d 16 minggu, berangsur angsur mulai partial weight bearing 4-6 minggu dan kemudian  full weight bearing dalam 12 minggu. Fraktur patella segera lakukan mobilisasi weight bearing sesuai dengan kemampuan pasien setelah operasi, dan lakukan latihan isometris otot kuadrisep dengan lutut berada pada posisi ekstensi. Pasca operasi fraktur tibia dan fibula lakukan mobilisasi dengan partial weight bearing disesuaikan dengan tingkat cedera yang dialami pasien. Aktivitas-aktivitas tersebut dilakukan oleh pasien sampai pasien benar-benar sembuh dan akan menjalani operasi kedua (pembukaan alat fiksasi internal yang tertanam pada tulangnya). Selain dilakukan tindakan diatas, hal lain yang perlu diperhatikan oleh pasien yang mengalami fraktur yaitu gizi yang diperlukan oleh tubuh khususnya tulang yang ceddera. Diet yang dibutuhkan pada pasien fraktur yaitu diet tinggi kalsium, magnesium, dan fosfor, tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP), diet bervitamin terutama vitamin D. Vitamin D didapatkan dari 3 cara yaitu, melalui kulit, diet dan suplemen. Vitamin D secara alami didapat dari terpaparnya sinar matahari ditambah asupan vitamin D 400 –  800 IU. Sumber vitamin D seperti kuning telur, ikan laut, hati dan susu yang telah difortifikasi. Kalsium dan magnesium diedarkan oleh tubuh melalui albumin dalam darah. Tubuh tidak dapat menyerap kalsium bila tidak memiliki cukup magnesium dan fosfor. Makanan yang tinggi kalsium diantaranya: susu skim, keju, bandeng, teri kering, udang, bayam merah, daun kelor, dan belut. Perawatan pada daerah yang terpasang fiksasi internal perlu dilakukan agar terhindar dari komplikasi. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf

yang berkaitan dengan pembengkakan yang tidak ditangani dapat menurunkan asupan darah ke ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila tidak terkontrol  pembengkakan dapat mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dapat berakibat anoksia jaringan yang mengakibatkan rusaknya serabut saraf maupun  jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan sindrom kompartemen (Brunner & suddarth, 2002: 2287). Informasi yang perlu diberikan kepada klien mengenai hal tersebut yaitu:   pasien diperbolehkan untuk bergerak setelah operasi dilakukan apabila merasa

kuat dan mampu untuk bergerak maupun berdiri.  Apabila terasa sangat nyeri pada daerah yang terfiksasi maka langsung

laporkan kepada perawat.  Apabila ingin melakukan aktivitas, mulai dengan posisi duduk terlebih dahulu,

lakukan secara bertahap sampai mampu untuk berjalan seperti biasa.  Pasien wajib mengikuti program terapi yang direncanakan oleh ahli medis

dengan baik dan rutin.  Melakukan teknik ROM secara mandiri apabila mampu melakukan, jika tidak

mampu minta bantuan kepada perawat/keluarga untuk menggerakkan anggota tubuh yang akan dilatih.  Menganjurkan pasien untuk makan 3x1 hari dan mengonsumsi bahan makanan

yang tinggi kalsium agar proses penyembuhan tulang dapat berlangsung dengan baik dan lebih cepat.  Luka post operasi harus rutin dibersihkan agar tidak terjadi infeksi.  Berikan lotion/pelembab pada daerah tubuh yang tertekan agar tidak terjadi

decubitus. Pendidikan Kesehatan yang perlu diberikan kepada pasien :  Ajarkan kepada pasien dan keluarga tindakan keamanan pada area yang

spesifik, Berikan materi pendidikan yang berhubungan dengan strategi untuk mencegah trauma, Berikan informasi tentang bahaya lingkungan dan ciri  –  cirinya (misal tangga, jendela, kunci pintu, kolam renang, jalan atau gerbang).

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF