Opini Going Concern Dan Risk Based Audit
May 26, 2018 | Author: Pujangga Abdillah | Category: N/A
Short Description
OPINI AUDIIT...
Description
Ringkasan Materi Terkait Going Concern dan Risk Based Audit Diajukan untuk memenuhi tugas matakuliah Auditing dan Atestasi
DISUSUN OLEH : Chris Aditya Siahaan
160020110011003
Pujangga Abdillah
160020110011018
Muhammad Aliza Shofy
160020110011017
Wima Rakayana
160020110011015
JOINT PROGRAM ANGKATAN ANGKATAN 29 KELAS B FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2017
Latar Belakang Sejarah
Going concern telah menjadi akar dari asumsi dasar terhadap pertanyaan tentang penilaian akuntansi mana yang menjadi dasar dari going concern. Paton (1922) dalam bukunya yang berjudul Accounting Theory, menyatakan going concern sebagai postulat kedua, dan merupakan asumsi kebijakan yang hanya bisa dimulai oleh akuntan. Dengan kata lain, tanpa akuntan maka tidak ada yang mampu untuk memulai asumsi going concern. Pemisahan perhatian formal pertama yang telah dilakukan terhadap kepastian going concern adalah “Statement on Auditing Standards” (SAS) No. 2 (1974) yang menyimpulkan bahwa per timbangan ketidakpastian suatu kemampuan entitas untuk berlanjut seharusnya dilaporkan dengan cara yang sama seperti ketidakpastian lainnya. Pada tahun 1981, the Auditing Standards Board menetapkan SAS No. 34, “The Auditor’s Consideration When a Question Arises About an Entity’s Continued Existence,” untuk menyediakan petunjuk operasional bagi auditor ketika pertanyaan tentang kelanjutan perusahaan muncul. Berdasarkan dengan pernyataan bahwa laporan dimodifikasi untuk ketidakpastian going concern, SAS No. 34 mempertahankan subyek yang memenuhi kualifikasi. Walaupun begitu, berdasarkan SAS No. 34, auditor diminta untuk mempertimbangkan masalah going concern hanya ketika hasil dari prosedur audit lain selanjutnya menimbulkan informasi yang berlawanan dengan munculnya kelangsungan entitas. Tetapi SAS No. 34 hanya bersifat pasif sehingga auditor tidak diminta untuk mencari bahan bukti yang berhubungan dengan kelangsungan perusahaan, sehingga pada akhirnya going concern masih menjadi asumsi. Setelah melakukan pertimbangan, the Auditing Standards Board pada tahun 1988 menetapkan SAS No. 59, “The Auditor’s Consideration of an Entity’s Ability to Continue as a Going Concern,” sebagai salah satu dari sembilan SASs yang mengarahkan pada expectation gap. SAS No. 59 mengganti subyek terhadap qualified opinion dengan paragraph penjelas yang mengikuti atau memodifikasi laporan. Bagaimanapun, pengaruh utama dari SAS No. 59 adalah bahwa auditor diminta untuk mengambil pendekatan yang lebih proaktif terhadap pemikiran going concern. Sekarang auditor mempunyai tanggung jawab untuk mengevaluasi apakah terdapat kesalahan yang substansial mengenai kemampuan perusahaan untuk berlanjut dalam periode waktu yang masuk akal, tidak lebih dari satu tahun melebihi tanggal laporan keuangan. Kemudian auditor mempunyai tugas afirmatif untuk mempertimbangkan dengan hati-hati kondisi dan peristiwa (trend negatif dan kemungkinan kesulitan keuangan) yang mungkin dapat
mempengaruhi status going concern. Jika pengujian dan mencari bukti lain telah dilakukan tetapi auditor masih mempunyai kesalahan yang substansial tentang kemampuan klien untuk berlanjut sebagai going concern, maka laporan modifikasian dengan paragraph penjelas tentang going concern harus ditambahkan. Pada akhirnya, SAS No. 59 sebagai standar auditing yang baru membawa banyak perubahan dibandingkan standar terdahulu dengan cara (Goodman et al. 2003): 1. Deteksi. Auditor mempunyai kewajiban untuk membuat penilaian pada kesimpulan dari audit terhadap kemampuan klien untuk berlanjut sebagai going concern. 2. Periode waktu. Fokus penilaian auditor terhadap penilaian klien untuk berlanjut sebagai going concern berdasarkan pada periode waktu yang layak yaitu selama satu tahun. 3. Evaluasi. Pada masa lalu, keputusan untuk memodifikasi laporan audit tergantung pada kemampuan untuk memperoleh kembali asset, pengakuan dan klasifikasi utang. Saat ini, status going concern adalah masalah yang terpisah. 4. Pelaporan. Subyek kualifikasi seharusnya digantikan dengan paragraph penjelas untuk seluruh ketidakpastian yang material termasuk ketidakpastian going concern, meskipun penggunaan ditolak tidak dihindari.
Auditor dan Going Concern Opinion
Tugas auditor adalah menilai laporan keuangan perusahaan dan memberikan pendapat atas laporan keuangan tersebut. pendapat yang diberikan menyangkut semua hal yang material dalam laporan keuangan misalnya posisi keuangan, hasil usaha, dan arus kas sesuai dengan prinsip akuntansi
berterima
umum.
Setelah
memberikan
pendapatnya,
maka
auditor
harus
bertanggungjawab. Pertanggungjawaban tersebut diukur dari patuh tidaknya auditor mengikuti standar-standar yang mengatur pelaksanaan tugasnya. Tetapi tentu saja tugas auditor tidak hanya memberikan pandapat atas laporan keuangan perusahaan. Auditor juga dituntut untuk mengetahui masalah yang berhubungan dengan kontinuitas perusahaan. Masalah kontinuitas perusahaan penting untuk diketahui auditor karena
laporan keuangan disusun dengan melihat aktivitas yang dilakukan perusahaan. Oleh karena itu, masalah kelangsungan hidup juga perlu diaudit. Tanggung jawab auditor ini terasa sangat berat karena auditor dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab jika di kemudian hari ternyata perusahaan yang diauditnya mengalami kebangkrutan. Dalam melakukan audit keuangan, auditor tidak hanya menilai ketaatan dalam penggunaan prinsip akuntansi untuk penyusunan laporan keuangan, tapi turut juga menilai aspek wajar dan logis dari transaksi yang terjadi dalam laporan keuangan. Menurut Kel dkk (1989) dalam Ishak (1999) mengingatkan bahwa kewajaran penyajian laporan keuangan tidak menjamin kalau keuangan suatu entitas baik. Oleh karena itu, walaupun pihak klien yang yang bertanggung jawab atas laporan keuangan telah menyusun laporan keuangan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berterima umum, dan juga telah diterapkan dengan konsisten, belum menjamin kalau halhal yang berkaitan dengan kelangsungan hidup entitas klien dapat dipertanggungjawabkan. Berdasarkan standar professional (PSA No. 30 dalam Altman dan McGough (1974)), auditor bertanggung jawab untuk menilai empat kondisi atau kejadian dalam menentukan tingkat going concern kliennya, yaitu: 1. Trend negative Misalnya kerugian operasi yang berulangkali terjadi, kekurangan modal kerja, arus kas negatif dari kegiatan usaha, rasio keuangan utama yang jelek. 2. Petunjuk lain tentang kemungkinan kesulitan keuangan Misalnya kegagalan memenuhi kewajiban utangnya atau perjanjian serupa, penunggakan pembayaran deviden, penolakan oleh pemasok terhadap pengajuan permintaan pembelian kredit biasa, restrukturisasi utang, tidak dipenuhinya persyaratan permodalan menurut undang-undang (seperti pasal 47 KUHP), kebutuhan untuk mencari sumber atau metode pembelanjaan baru, atau penjualan sebagian besar aktiva. 3. Masalah intern Sebagai contoh pemogokan kerja atau kesulitan hubungan perburuhan yang lain, ketergantungan besar atas sukses proyek tertentu, komitmen jangka panjang yang tidak bersifat ekonomis, kebutuhan untuk secara signifikan memperbaiki operasi. 4. Masalah luar yang telah terjadi Sebagai contoh, pengaduan gugatan pengadilan, keluarnya undang-undang atau masalahmasalah lain yang kemungkinan membahayakan kemampuan satuan usaha untuk
beroperasi, kehilangan franchise, lisensi, atau paten yang penting, kehilangan pelanggan atau pemasok utama, kerugian akan bencana besar seperti gempa bumi, banjir, kekeringan, yang tidak diasuransikan atau diasuransikan tetapi dengan pertanggungan rendah. Tucker dan Matsumura (1996) melakukan penelitian untuk menguji pengaruh insentif ekonomik pada hubungan strategik diantara auditor dan klien ketika situasi going concern muncul. Auditor menghasilkan informasi yang relevan dalam memprediksi kelangsungan hidup perusahaan dan kemudian menyampaikannya kepada klien dengan maksud menyatakan pendapat yang baik atau pendapat going concern. Klien dapat mengganti auditor dalam usaha untuk menghindari pendapat going concern dan sifat self-fulfilling dari prediksi auditor terhadap penghentian bisnis.
Tanggung Jawab Auditor dan Hubungan Dengan Konsep Going Concern
Pada bulan Juni 1999, International Auditing Practices Committee (IAPC) melakukan revisi terhadap ISA 570 tentang tanggung jawab auditor terhadap laporan keuangan yang berhubungan dengan asumsi going concern yang digunakan dalam penyajian laporan keuangan. Asumsi going concern merupakan prinsip yang fundamental di dalam penyajian laporan keuangan. Karena itu ISA mengakui bahwa manajemen yang mempunyai tanggung jawab untuk menilai kemampuan entitasnya dalam melanjutkan usahanya (going concern), walaupun hal ini tidak terdapat dalam kerangka dasar penyajian laporan keuangan. Management Assesment mungkin tidak selalu meliputi analisis secara detail, khususnya tentang kegiatan operasi yang profitable dan merupakan sumber-sumber keuangan. Terlepas dari hal diatas, Management Assesment tetap merupakan kunci bagi auditor atas asumsi going concern. Tanggung jawab auditor adalah mempertimbangkan appropriateness atas asumsi going concern
yang
digunakan
manajemen
didalam
penyajian
laporan
keuangan,
dan
mempertimbangkan apakah terdapat ketidakpastian yang material mengenai kemampuan entitas bisnis dalam melanjutkan usahanya yang tercermin dari laporan keuangan yang disajikan. Tentunya auditor tidak dapat memprediksikan kejadian atau kondisi yang terjadi di masa yang akan datang yang berhubungan dengan kelanjutan usahanya. Karenanya, audit report tidak dapat memberikan jaminan bahwa entitas akan mampu going concern. ISA merekomendasikan bahwa didalam melakukan perencanaan audit, auditor harus mempertimbangkan apakah terdapat
kejadian atau kondisi yang meragukan secara signifikan yang nantinya dapat mempengaruhi perusahaan dalam going concern. Jika meragukan, maka auditor harus memasukkannya ke dalam komponen audit risk dan merencanakan prosedur auditnya. Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa taksiran manajemen sangatlah penting bagi auditor dan auditor melakukan penilaian assessment management melalui pertimbangan dan proses manajemen yang dilakukan disertai asumsi yang dipakai dan rencana manajemen ke depan. Auditor juga harus mempertimbangkan apakah manajemen sudah memasukkan semua perkiraan ke dalam informasi yang relevan dan telah diidentifikasikan sebagai hasil dari prosedur auditnya. Significance terhadap kejadian-kejadian yang sudah diidentifikasikan atau kondisi penilaian maka auditor menggunakan periode assessment yang sama dengan yang digunakan oleh manajemen. Bagaimanapun, periode yang paling minimum adalah 12 bulan dari tanggal neraca, dan auditor dapat meminta manajemen untuk memperluas periode penilaiannya apabila penilaian mereka tercover dalam periode yang lebih pendek. Auditor juga meneliti kejadian atau transaksi-transaksi manajemen selama periode penilaian, dan mungkin juga perlu bertanya kepada manajemen untuk menentukan potential kelanjutan usaha mereka. Apabila hasil dari prosedur diatas memperlihatkan adanya kondisi atau kejadian yang meragukan secara signifikan terhadap kelangsungan usaha, maka auditor harus mereview perencanaan manajemen mengenai kegiatannya kedepan dan melihat representasi tertulis dari mereka serta mengumpulkan bukti bukti untuk mengkonfirmasikan apakah ketidakpastian yang eksis itu material atau tidak.
Pedoman Pelaporan
ISA juga memberikan pedoman pelaporan. Apakah laporan auditor akan menambah satu paragraph atau memberikan qualified opinion atau adverse opinion, tergantung pada apakah laporan keuangan benar-benar fully disclose atau tidak, terhadap kondisi atau kejadian yang mengandung ketidakpastian yang material tersebut. Apabila asumsi going concern sudah dimasukkan kedalam laporan keuangannya tetapi tidak tepat, maka auditor akan memberikan adverse opinion. Selain itu, auditor mungkin perlu menanyakan kepada manajemen untuk memperluas penilaiannya. Apabila manajemen tidak berkeinginan untuk melakukannya, hal itu bukan tanggung jawab auditor untuk meralatnya dan auditor harus mempertimbangkan keperluan untuk memodifikasikan laporannya karena ketidakcukupan bukti yang tepat.
Pengertian Audit Berbasis Risiko
Audit Berbasis Risiko (Risk Based Audit) adalah metodologi pemeriksaan yang dipergunakan untuk memberikan jaminan bahwa risiko telah dikelola di dalam batasan risiko yang telah ditetapkan manajemen pada tingkatan korporasi. Pendekatan audit ini berfokus dalam mengevaluasi risiko-risiko baik strategis, finansial, operasional, regulasi dan lainnya yang dihadapi oleh organisasi. Dalam Audit berbasis risiko, risiko-risiko yang tinggi diaudit, sehingga kemudian manajemen bisa mengetahui area baru mana yang berisiko dan area mana yang kontrolnya harus diperbaiki. Risk-Based Audit memastikan bahwa seluruh tanggung jawab manajemen telah dilakukan secara efektif. Tanggung jawab manajemen yang utama termasuk memastikan internal control telah memadai dan manajemen risiko telah dilakukan dengan tepat, diikuti oleh berbagai fungsi dan unit kerja di perusahaan. Peran Risk-Based Audit dalam peningkatan Internal Control dan Proses Manajemen Risiko sangat menyeluruh dan strategis. Oleh karena itu apabila Risk Based Auditdiimplementasikan dengan konsisten, maka efektivitas Internal Control dan Proses Manajemen Risiko perusahaan akan meningkat. Pendekatan
audit
berpeduli
risiko
bukan
berarti
menggantikan
pendekatan
audit
konvensional yang dijalankan oleh lembaga audit intern yang sudah berjalan selama ini. Pendekatan ini hanya membawa suatu metodologi audit yang dapat dijalankan oleh auditor intern dalam pelaksanaanpenugasan auditnya melalui pendekatan dan pemahaman atas risiko yang harus diantisipasi, dihadapi, atau dialihkan oleh manajemen guna mencapai tujuan. Perbedaan pendekatan audit berpeduli risiko dengan pendekatan audit konvensional adalah pada metodologi yang digunakan dimana auditor mengurangi perhatian pada pengujian transaksi individual dan lebih berfokus pada pengujian atas sistem dan proses bagaimana manajemen mengatasi hambatan pencapaian tujuan, serta berusaha untuk membantu manajemen mengatasi (mengalihkan) hambatan yang dikarenakan faktor risiko dalam pengambilan keputusan.
Tujuan Audit Berbasis Risiko
Tujuannya audit berbasis risiko adalah memberikan keyakinan kepada Komite Audit, Dewan Komisaris dan Direksi bahwa: 1.
Perusahaan telah memiliki proses manajemen risiko, dan proses tersebut telah dirancang dengan baik.
2.
Proses manajemen risiko telah diintegrasikan oleh manajemen ke dalam semua tingkatan organisasi mulai tingkat korporasi, divisi sampai unit kerja terkecil dan telah berfungsi dengan baik.
3.
Kerangka kerja internal dan tata kelola yang baik telah tersedia secara cukup dan berfungsi dengan baik guna mengendalikan risiko.
Manfaat Audit Berbasis Risiko
Audit berbasis risiko mempunyai manfaat yang banyak bagi organisasi, antara lain adalah sebagai berikut: 1.
menjadi sistem check dan balance terhadap kontrol organisasi
2.
meningkatkan kemampuan dalam mengidentifikasi kesalahan dalam laporan keuangan
3.
meningkatkan kemampuan dalam mengidentifikasi dan mengukur risiko
4.
meningkatkan kemampuan dalam mengidentifikasi adanya fraud atau masalah lainnya
5.
mengungkap temuan mengenai kelemahan yang dimiliki manajemen
Ruang Lingkup Audit Berbasis Risiko
1.
Penilaian atas identifikasi risiko yang dilakukan oleh manajemen termasuk risiko bisnis yang dapat menghalangi pencapaian tujuan perusahaan.
2.
Mengetahui kadar dan dampak risiko yang menimpa perusahaan.
3.
Mempercepat eskalasi risiko tinggi kepada manajemen puncak.
4.
Kemampuan melakukan pemeriksaan manajemen risiko yang akan ditularkan kepada seluruh anggota auditor maupun auditee.
Peran Audit Berbasis Risiko
1.
Dengan analisis risiko yang berkesinambungan, Internal Audit akan memiliki Early Warning Signals, sehingga penanganan risiko dapat dilakukan lebih proaktif dan dini.
2.
Mengomunikasikan visi, misi, strategi kebijakan direksi dan mekanisme pelaporan yang berkaitan dengan manajemen risiko perusahaan ke seluruh jajaran perusahaan.
3.
Mengidentifikasi KPI (Key Performance Index) dan CSA ( Control Self-Assessment) yang berkaitan dengan risiko.
4.
Mengikutsertakan stakeholders
utama dan komunitas investasi dalam kegiatan dan
perkembangan manajemen risiko perusahaan. Agar ABR dapat berhasil dengan baik diperlukan kerjasama antara auditor intern dengan manajemen dalam melakukan penilaian kelemahan pengendalian diri sendiri (control self assessment).
Kategori Risiko Yang Ada Di Risk Based Audit
Pertama ada inherent risk yaitu risiko yang melekat di dalam proses bisnis di perusahaan, risiko ini selalu timbul di dalam perusahaan baik material atau non material sehingga pengendalian internal tidak mampu mencegah risiko ini, tetapibisa membatasi risiko ini. Kedua, adanya risiko pengendalian dimana risiko ini memiliki tingakt kesalahan yang material yang tidak bisa dicegah oleh system pegendalian internal. Ketiga, adanya risiko deteksi dimana risiko ini berpengaruh pada saat auditor melaksanakan penugasan tidak menggunakan prosedur audit dengan benar sehingga auditor membuat opini bahwa tidak ada risiko, namun sebenarnya daerah yang di audit memiliki risiko yang tinggi.
Aspek yang perlu diperhatikan auditor internal
Auditor internal harus memperhatikan aspek-aspek untuk melakukan pendekatan audit berbasis risiko yaitu: 1. Auditor internal harus mengidentifikasi daerah-daerah atau divisi yang ada di dalam organisasi. Misalnya di bagian persediaan, auditor harus mengidentifikasi persediaan fisik, catatatn, faktur dan bukti transaksi yang sudah disetujui. Hal ini berfungsi untuk mengetahui apakah ada indikasi risiko terhadap persediaan, apabila terjadi risiko maka aka nada pengujian yang lebih mendalam. 2. Ketua tim audit internal harus mengalokasikan anggota tim audit ke daerah-daerah yang memiliki risiko yang tinggi sesuai dengan kemampuan dari auditor te rsebut. 3. Adanya audit assurance yang bertujuan untuk melihat hasil audit sebelumnya sesuai dengan area yang memiliki risiko yang tinggi. Oleh karena itu auditor akan membuat perencanaan audit sesuai identifikasi.
Tindakan yang harus dilakukan Auditor
Tindakan yang harus dilakukan auditor yaitu berdiskusi dengan manajemen mengenai kematangan risiko di dalam daerah organisasi, hal ini dilakukan untuk menentukan nilai dari kematangan risiko serta meyakinkan manajemen untuk memahami dampak dari risiko tersebut. Auditor harus mendapatkan bukti dokumen yang bertujuan untuk mempertimbangkan risiko sebagai pengambilan keputusan serta digunakan untuk membuat kerangka kerja audit. Selanjutnya, auditor harus membuat kesimpulan dari tingkat risiko yang bertujuan untuk mengelompokkan masing-masing risiko ke dalam wilayahnya. Kemudian auditor melaporkan hasil kesimpulan mengenai kematangan risiko ke dalam manajemen dan komite audit serta auditor membuat strategi audit.
Proses Risk Based Audit
·Tahap 1 menilai kematangan risiko Pada tahap ini auditor berusaha untuk memeriksa gambaran sejauh mana manajemen menilai, mengukur, mengelola dan memantau risiko. Manfaat dari auditor menilai kematangan risiko untuk membuat perencanaan audit. Rencana audit berbasis risiko akan mempertimbangkan tingkat kematangan risiko.
·Tahap 2 menetapkan strategi audit. Pada tahap ini auditor berusaha untuk menetapkan strategi audit, dimana bentuk strategi akan berbeda sesuai dengan tingkat risiko berdasarkan wilayah-wilayah yang sudah teridentifikasi risikonya.
·Tahap 3 penugasan audit individual Pada tahap ini auditor melaksanakan tugas berdasarkan risiko individu untuk memberikan jaminan terhadap kerangka kerja manajemen.
View more...
Comments