Ontologi Epistemologi Dan Aksiologi Ilmu

May 23, 2018 | Author: Phy Elf | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

filsafat...

Description

ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI ILMU SAIN

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Filsafat Ilmu Integratif  Dosen Pengampu : Prof. Dr. Musa Asy’arie Dr. Imam Khanafie, M.Ag Dr. Waryani Fajar Riyanto, M.Ag

Disusun oleh: TRI ASTUTI

2052113022

KUDUNG ISNAINI

2052113023

PROGRAM PASCASARJANA SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

STAIN PEKALONGAN TAHUN 2013

ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI ILMU SAINS

I. PENDAHULUAN

Perkembangan sebagai produk berpikir merupakan obor dan semen  peradaban di mana manusia menemukan dirinya diri nya dan menghayati hidup dengan lebih sempurna. Berbagai peralatan dikembangkan manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya dengan jalan menerapkan pengetahuan yang diperolehnya. Proses penemuan dan penerapan itulah menghasilkan kapak dan batu zaman dulu sampai komputer hari ini. Berbagai masalah memasuki benak pemikiran manusia dalam menghadapi kenyataan hidup sehari-hari dan beragam buah  pikiran telah dihasilkan sebagai bagian dari sejarah kebudayannya. Meskipun kelihatannya betapa banyak dan beraneka ragamnya buah pemikiran itu, namun  pada hakikatnya upaya manusia dalam memperoleh pengetahuan didasarkan  pada tiga masalah pokok yakni: Apakah yang ingin kita ketahui? (Ontologi) Bagaimanakah cara kita memperoleh pengetahuan? (Epistemologi) dan apakah nilai pengetahuan tersebut bagi kita? (Aksiologi).

1

Sedangkan untuk istilah ilmu atau  science   science  merupakan suatu kata yang sering diartikan dengan berbagai makna, atau mengandung lebih dari satu arti. Science dalam arti sebagai natural science natural science,, biasanya dimaksud dalam ungkapan “sains dan teknologi”. Menurut Charles Singer merumuskan bahwa ilmu adalah  proses yang membuat pengetahuan ( science is the process which makes 2

knowledge). knowledge).

Pengetahuan merupakan khazanah kekayaan mental yang secara langsung atau tidak langsung turut memperkaya kehidupan kita, sebab secara ontologis ilmu membatasi diri pada pengkajian objek yang berada dalam lingkup pengalaman manusia, sedangkan agama memasuki pula daerah di luar  penjajahan yang bersifat diluar transendental yang berada di luar pengalaman 3

kita.  Setiap pengetahuan yang dimiliki manusia selalu dipertanyakan dan 1

 Mohammad Adib, Filsafat Adib,  Filsafat Ilmu; Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan logika Ilmu  pengetahuan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajara, 2011), cetakan II, hlm. 45 2  Ibid., hlm. 49 3

Aceng Rachmat, Filsafat Rachmat,  Filsafat Ilmu Lanjutan, Lanjutan, (Jakrta:  (Jakrta: Kencana, 2011), cet. 1, hlm. 134

1

dikritisi oleh diri sendiri maupun orang lain. Bahwa pengetahuan yang dimilikinya adalah pengetahuan tentang “apa” atau apanya yang perlu diketahui maka jawabannya ada pada ontologi pengetahuan itu sendiri. Adapun  pertanyaan bagaimana cara menemukannya atau metode apa yang akan kita gunakan dalam menemukan dan memperoleh pengetahuan itu adalah kajian epistemologi. Selanjutnya pertanyaan apa kegunaan pengetahuan itu bagi manusia, dan makhluk lainnya, termasuk lingkungan dimana manusia berada, disebut kajian aksiologi.

4

Ketiga dimensi utama filsafat ilmu diatas yaitu ontologi merupakan asas dalam menetapkan batas atau ruang lingkup yang menjadi objek penelaahan serta penafsiran tentang hakikat realitas dari objek penelaahan tersebut. Epistemologi merupakan asas mengenai cara bagaimana materi pengetahuan diperoleh dan disusun menjadi suatu tubuh pengetahuan. Aksiologi merupakan asas dalam menggunakan pengetahuan yang telah diperoleh dan disusun dalam tubuh pengetahuan tersebut, yang mana ketiganya (ontologi, epistemologi, dan aksiologi) merupakan tiang penyangga bagi tubuh pengetahuan yang 5

disusunnya.

II. PEMBAHASAN

Sepanjang sejarahnya manusia dalam usahanya memahami dunia sekelilingnya mengenal dua sarana, yaitu pengetahuan ilmiah ( scientific knowledge) dan penjelasan gaib (mystical explanations). Kini di satu pihak  manusia memiliki sekelompok pengetahuan yang sistematis dengan berbagai hipotesis yang telah dibuktikan kebenarannya secara sah, tetapi di pihak lain sebagian mengenal pula aneka keterangan serba gaib yang tidak mungkin diuji sahnya untuk menjelaskan rangkaian peristiwa yang masih berada di luar  jangkauan pemahamannya. Di antara rentangan pengetahuan ilmiah dan

4

 Ibid., hlm. 135

5

Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), cet. 5, hlm. 146

2

 penjelasan gaib itu terdapatlah persoalan ilmiah yang merupakan kumpulan hipotesis yang dapat diuji, tetapi belum secara sah dibuktikan kebenarannya.

6

Berbicara mengenai ilmu erat kaitannya dengan filsafat, baik secara substansial maupun historis. Karena kelahiran ilmu itu sendiri tidak bisa lepas dari peranan filsafat, sebaliknya perkembangan ilmu akan selalu memperkuat 7

keberadaan filsafat.   Dalam bahasa Inggris ilmu pengetahuan disebut sebagai  science, yang berasal dari bahasa latin scientia dari bentuk kata kerja scire yang 8

 berarti mempelajari, mengetahui.   Pengertian ilmu juga dapat dirujukkan pada 9

kata ‘ilm  (Arab), waenschap  (Belanda), dan wissen haf   (Jerman).   The Liang Gie (1987) memberikan pengertian ilmu adalah rangkaian aktivitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai seginya, dan keseluruhan  pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang ingin dimengerti 10

manusia.  R. Harre menulis ilmu adalah kumpulan teori yang sudah diuji coba yang menjelaskan tentang pola-pola yang teratur atau pun tidak teratur di antara 11

fenomena yang dipelajari secara hati-hati.

Ilmu adalah suatu cara untuk mengetahui. Yang hendak diketahui adalah realitas, yakni segala sesuatu, baik yang konkret maupun yang abstrak, yang ada dilingkungan manusia, the khower.  Yang dimaksudkan dengan lingkungan disini adalah lingungan alam dan lingkungan sosial, dan bukan hanya yang dekat dan “bersentuhan” langsung dengan kita, melainkan juga yang berjarak keruang waktu ( spatio-temporal ) bukan alang-kepalang jauhnya.

12

Kemunculan ilmu pengetahuan di Eropa dimulai pada zaman Yunani Kuno. Periode ini merupakan awal terjadinya perubahan pola pikir manusia, dari  pola pikir mitosentris yang sangat mengandalkan mitos dalam menjelaskan 6

 Ibid., hlm. 55

7

1

8 9

Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), cet. 10, hlm.

Surajiyo, Op.Cit., hlm. 56

Mohammad Adib, Op.Cit., hlm. 46 Surajiyo, Op.Cit., hlm. 56 11 Mohammad Adib, Op.Cit., hlm. 46 10

12

Zainal Abidin Baqir, Integrasi Ilmu dan Agama; Interpretasi dan Aksi, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2005), cet. 1, hlm. 113

3

fenomena

alam,

menuju

kepada

pola

pikir

logosentris  yang

sangat

memerhatikan penggunaan kausalitas dalam memahami fenomena alam. Akibat  perubahan pola pikir ini, manusia yang sebelumnya pasif dalam menghadapi fenomena alam berubah menjadi aktif dan kritis sehingga alam dijadikan objek 13

 penelitian.

Untuk lebih memahami konstruksi ilmu pengetahuan, maka harus didekati dari ketiga komponen tiang penyangga tubuh pengetahuan yakni ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Mujamil Qomar dalam bukunya yang  berjudul “Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode Kritik” menjelaskan bahwa ontologi, epistemologi dan aksiologi dikenal sebagai sub sistem dari filsafat. Demikian juga setiap jenis pengetahuan selalu mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi), dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan; ontologi ilmu terkait dengan epistemologi ilmu, epistemologi ilmu terkait dengan aksiologi ilmu dan seterusnya. Secara detail, tidak mungkin bahasan epistemologi terlepas sama sekali dari ontologi dan aksiologi. Apalagi bahasan yang didasarkan model sistemik, justru ketiganya harus

senantiasa

14

dikaitkan.   Jadi,

ketiganya

adalah

interdependensi (saling berkaitan dan saling bergantungan).

interrelasi

dan

15

A. Ontologi 1. Pengertian Ontologi Ilmu (Hakikat Ilmu)

Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan penyelidikan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Awal mula alam pikiran Yunani telah menunjukkan munculnya perenungan di bidang ontologi. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada masanya, kebanyakan orang  belum membedaan antara penampakan dengan kenyataan. Thales 13

Aceng Rachmat, Op.Cit., hlm. 114

14

Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode  Kritik, (Jakarta: Erlangga, 2007), hlm. 1 15  Ibid., hlm. 2

4

merupakan tokoh filsafat Yunani tertua, atas perenungannya sehingga sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu. Namun yang lebih penting ialah  pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari satu substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri 16

sendiri).

Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos  berarti sesuatu yang berwujud (being ) dan logos  berarti ilmu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ontologi artinya cabang ilmu filsafat yg  berhubungan dengan hakikat hidup

17

. Jadi ontologi adalah bidang pokok

filsafat yang mempersoalkan hakikat keberadaan segala sesuatu yang ada menurut tata hubungan sistematis berdasarkan hukum sebab akibat yaitu ada manusia, ada alam, dan ada kausa prima dalam suatu hubungan yang menyeluruh, teratur, dan tertib dalam keharmonisan.

18

  Ontologi dapat

 pula diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang ada. Objek ilmu atau keilmuan itu adalah dunia empirik, dunia yang dapat dijangkau

pancaindera.

Dengan

demikian,

objek

ilmu

adalah

 pengalaman inderawi. Dengan kata lain, ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hakikat sesuatu yang berwujud (yang ada) dengan  berdasarkan pada logika semata. Pengertian ini didukung pula oleh  pernyataan Runes bahwa “ontology is the theory of being qua being” , artinya ontologi adalah teori tentang wujud.  Noeng Muhadjir dalam bukunya “Filsafat Ilmu” mengatakan, ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu  perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam 16 17

Amsal Bakhtiar, hlm. 131 http://kbbi.web.id/

18

Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Kelompok Penerbit Ar-Ruzz Media, 2007)

5

semua bentuknya. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan  bahwa objek formal dari ontologi adalah hakikat seluruh realitas.

19

Dari sini dapat disimpulkan bahwa ontologi ilmu merupakan  pembahasan tentang sesuatu yang ada atau wujud, riil, serta universal dengan mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan atau objek yang akan ditelaah dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindra) sehingga membuahkan sebuah pengetahuan. Serta menjadi asas dalam menetapkan batas atau ruang lingkup yang menjadi objek penelaahan serta penafsiran tentang hakikat realitas dari objek penelaahan tersebut. 2. Pandangan Pokok Pemikir dalam Pemahaman Ontologi

Term ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius  pada tahun 1636 M. Untuk menamai teori tentang hakikat yang ada yang  bersifat metafisis. Dalam perkembangannya Christian Wolf (1679-1754) membagi metafisika menjadi dua, yaitu:

20

a. Metafisika umum Metafisika umum dimaksudkan sebagai istilah lain dari ontologi. Dengan demikian, metafisika umum atau ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan prinsip yang paling dasar atau paling dalam dari segala sesuatu yang ada.  b. Metafisika khusus. 1) Kosmologi Cabang filsafat yang secara khusus membicarakan te ntang alam semesta 2) Psikologi Cabang filsafat yang secara khusus membicarakan te ntang jiwa manusia 3) Teologi Cabang filsafat yang secara khusus membicarakan Tuhan. 19

Amsal Bakhtiar, hlm. 133  Ibid., hlm. 134

20

6

Sedangkan arti metafisika itu sendiri menurut Reza A.A Wattimena, dalam bukunya yang berjudul “Filsafat dan Sains; Sebuah Pengantar” adalah cabang filsafat yang merefleksikan hakekat dari realitas pada levelnya yang paling abstrak. Ada

beberapa

pandangan

21

pemahaman

tentang

ontologi,

diantaranya yaitu: 1. Monoisme Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak mungkin dua. Thomas Davidson menyebut dengan  Block Universe. Kemudian paham ini terbagi ke dalam dua aliran: a.  Materialisme (naturalisme) Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, 22

 bukan rohani.   Seperti halnya manusia, karena manusia pada instansi terakhir adalah benda dunia (materi) seperti benda (materi) 23

lainnya.

b.  Idealisme Aliran ini menyatakan bahwa hakikat benda adalah nurani, spirit atau sebangsanya.

24

2.  Dualisme Paham ini menganggap bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit. Materi bukan muncul dari ruh, dan ruh bukan muncul dari benda.

25

3. Pluralisme

10

21

Reza A.A Wattimena, Filsafat dan Sains; Sebuah Pengantar, (Jakarta: Grasindo), hlm.

22

Amsal Bakhtiar ., hlm. 135 Burhanuddin Salam,  Pengantar Filsafat, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), cet. 8, hlm.

23

158

24

 Ibid., hlm. 138  Ibid., hlm. 142

25

7

Paham ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata.

26

4.  Nihilisme Sebuah doktrin yang tidak mengakui validitas alternatif yang  positif. Pertama, tidak ada sesuatu pun yang eksis.  Kedua, bila sesuatu itu ada, ia tidak dapat diketahui. Disebabkan penginderaan tidak dapat dipercaya karena sumber ilusi.  Ketiga,  sekalipun realitas itu dapat diketahui, ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain.

27

5. Agnostisisme Paham

ini

mengingkari

kesanggupan

manusia

untuk

mengetahui hakikat benda. Baik hakikat materi maupun hakikat ruhani. Aliran ini dengan tegas selalu menyangkal adanya suatu 28

kenyataan mutlak yang bersifat trancendent. 3. Pendekatan Ontologis

Secara

ontologis

ilmu

membatasi

lingkup

penelaahan

keilmuannya hanya pada daerah-daerah yang berada dalam jangkauan  pengalaman manusia. Objek penelaahan yang berada dalam batas pra pengalaman dan pasca-pengalaman diserahkan ilmu kepada pengetahuan ilmu. Ilmu hanya merupakan salah satu pengetahuan dari sekian banyak  pengetahuan yang mencoba menelaah kehidupan dalam batas ontologis tertentu. Penetapan lingkup batas penelaahan keilmuan yang bersifat empiris ini adalah konsisten dengan asas epistemologi keilmuan yang mensyaratkan adanya verifikasi secara empiris dalam proses penemuan dan penyusunan pernyataan yang bersifat benar secara ilmiah. Dalam kaitannya dengan kaidah moral, bahwa dalam menetapkan objek penelaahan tidak boleh melakukan upaya yang bersifat mengubah kodrat manusia, merendahkan martabat manusia, dan 26

 Ibid., hlm. 143-144  Ibid., hlm. 145-146 28  Ibid., hlm. 146 27

8

mencampuri permasalahan kehidupan. Di samping itu, secara ontologis ilmu bersifat netral terhadap nilai-nilai yang bersifat dogmatik dalam menafsirkan hakikat realitas, sebab ilmu merupakan upaya manusia untuk mempelajari alam sebagaimana adanya.

29

B. Epistemologi 1. Pengertian Epistemologi

Sebagaimana ontologi, epistemologi juga merupakan salah satu dari sub sistem filsafat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, epistemologi dimaknai dengan cabang ilmu filsafat tertentu, dasar-dasar  dan batas-batas pengetahuan.

30

Istilah epistemologi sendiri berasal dari

 bahasa Yunani episteme = pengetahuan dan logos = perkataan, pikiran, ilmu. Kata “episteme” dalam bahasa Yunani berasal dari kata kerja epistamai, artinya mendudukkan, menempatkan, atau meletakkan. Maka, harfiah episteme  berarti pengetahuan sebagai upaya intelektual untuk “menempatkan sesuatu dalam kedudukan setepatnya.” Selain kata “episteme”, untuk kata “pengetahuan” dalam bahasa Yunani juga dipakai kata “gnosis”, maka istilah “epistemologi” dalam sejarah pernah  juga disebut gnoseologi. Sebagian kajian filosofis yang membuat telaah kritis dan analitis tentang dasar-dasar teoritis pengetahuan, epistemologi kadang juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge; 31

 Erkentnistheorie).

Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi ternyata menyimpan “misteri” pemaknaan atau pengertian yang tidak mudah dipahami. Pengertian epistemologi ini cukup menjadi perhatian para ahli, tetapi mereka

memiliki

sudut

 pandang

yang

 berbeda

ketika

mengungkapkannya, sehingga didapatkan pengertian yang berbeda-beda,

29 30

Surajiyo, hlm. 151 http://kbbi.web.id/

31

J. Sudarminta, Epistemologi Dasar; Pengantar Filsafat Pengetahuan, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), cet. 9, hlm. 18

9

 bukan

saja

pada

redaksinya,

melainkan

juga

pada

substansi

32

 persoalannya.

Menurut P. Hardono Hadi menyatakan, bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Sedangkan D.W. Hamlyn mendefinisikan epistemologi sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan lingkup pengandaian-pengandaiannya serta secara umum hal itu dapat diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang memiliki  pengetahuan. Inti pemahaman dari kedua pengertian tersebut hampir sama. Tetapi ada perbedaan pada persoalan kodrat pengetahuan dan hakikat  pengetahuan. Kodrat pengetahuan berkaitan dengan sifat asli dari  pengetahuan, sedang hakikat pengetahuan berkaitan dengan ciri-ciri  pengetahuan, sehingga menghasilkan pengertian yang sebenarnya.

33

Sedangkan menurut Surajiyo, epistemologi merupakan cabang filsafat yang membicarakan tentang asal muasal, sumber, metode, struktur dan validitas atau kebenaran pengetahuan. Dalam kaitan dengan ilmu, landasan epistemologi mempertanyakan bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana  prosedurnya?

Hal-hal

apa

yang

harus

diperhatikan

agar

kita

mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara atau teknik atau sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?. 2. Objek dan Tujuan Epistemologi

Objek epistemologi menurut Jujun S. Suriasumantri berupa “segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh  pengetahuan.” Proses untuk memperoleh pengetahuan inilah yang 32

Mujamil Qomar, hlm. 2  Ibid., hlm. 3

33

10

menjadi

sasaran

teori

pengetahuan

dan

sekaligus

berfungsi

mengantarkan tercapainya tujuan, sebab sasaran itu merupakan suatu tahap pengantara yang harus dilalui dalam mewujudkan tujuan. Tanpa suatu sasaran, mustahil tujuan bisa terealisir, sebaliknya tanpa suatu 34

tujuan, maka sasaran menjadi tidak terarah sama sekali.

Sedangkan tujuan epistemologi yaitu ingin memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan. Karena epistemologi merupakan sub sistem filsafat yang bertugas memberdayakan pemikiran. Akhirnya epistemologi dikenal sebagai pusat dinamika keilmuan.

35

3. Landasan Epistemologi

Landasan epistemologi ilmu tercermin secara operasional dalam metode ilmiah. Pada dasarnya metode ilmiah merupakan cara ilmu memperoleh dan menyusun tubuh pengetahuannya berdasarkan: (a) kerangka pemikiran yang bersifat logis dengan argumentasi yang bersifat konsisten dengan pengetahuan sebelumnya yang telah berhasil disusun; (b) menjabarkan hipotesis yang merupakan deduksi dari kerangka  pemikiran

tersebut;

(c)

melakukan

verifikasi

terhadap

hipotesis

termaksud untuk menguji kebenaran pernyataannya secara faktual.

36

Kerangka pemikiran yang logis adalah argumentasi yang bersifat rasional dalam mengembangkan penjelasan terhadap fenomena alam. Dalam kaitannya dengan moral, dalam proses kegiatan ilmuan setiap upaya ilmiah harus ditunjukan untuk menemukan kebenaran, yang dilakukan dengan penuh kejujuran, tanpa mempunyai kepentingan langsung tertentu dan hak hidup yang berdasarkan kekuatan argumentasi secara individual. Jadi, ilmu merupakan sikap hidup untuk mencintai kebenaran dan membenci kebohongan.

37

Diantara gejala-gejala eksistensi manusia yang dialami, satu hal yang amat menyolok mata dan amat penting ialah pengetahuan. Sebab ia 34

 Ibid., hlm. 8  Ibid., hlm. 10 36 Surajiyo, hlm. 151 37  Ibid., hlm. 152 35

11

merefleksikan pengetahuannya juga. Bagian filsafat yang dengan sengaja  berusaha menjalankan refleksi atas pengetahuan manusia itu disebut “epistemologi”, atau “ajaran tentang pengetahuan”.38 4. Metode dan Metodologi

Perlu ditelusuri di mana posisi metode dan metodologi dalam konteks epistemologi untuk mengetahui kaitan-kaitannya, antara metode, metodologi dan epistemologi. Dalam dunia keilmuan, ada upaya ilmiah yang disebut metode yaitu cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang sedang dikaji. Sedangkan metodologi adalah ilmu yang mempelajari prosedur atau cara-cara mengetahui sesuatu. Oleh karena itu, dapat dijelaskan urutan-urutan secara struktural teoritis

antara

epistemologi,

dilanjutkan

dengan

merinci

metodologi, yang biasanya terfokus pada metode atau tehnik.

39

pada

  Karena

makna epistemologi itu sendiri merupakan hal yang mengkaji perilah urutan langkah-langkah yang ditempuh supaya pengetahuan yang diperoleh

memenuhi

ciri-ciri

40

ilmiah.   Epistemologi itu sendiri

merupakan sub sistem dari filsafat, maka metode sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari filsafat. Filsafat mencakup bahasan epistemologi, epistemologi mencakup bahasan metodologi, dan dari metodologi itulah akhirnya diperoleh metode.

41

5. Hubungan Epistemologi dengan Ilmu-Ilmu Lain

1. Hubungan Epistemologi dengan Ilmu Logika. Ilmu logika adalah suatu ilmu yang mengajarkan tentang metode berpikir benar, yakni metode yang digunakan oleh akal untuk menyelami dan memahami realitas eksternal sebagaimana adanya dalam penggambaran dan  pembenaran. Dengan memperhatikan definisi ini, bisa dikatakan  bahwa epistemologi jika dikaitkan dengan ilmu logika dikategorikan

38

Suparman Syukur, Epistemologi Islam Skolastik; Pengaruhnya pada Pemikiran Islam  Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), cet. 1, hlm. 42 39 Mujamil Qomar, hlm. 20-21 40 41

Surajiyo, hlm. 90 Mujamil Qomar, hlm. 20-21

12

sebagai pendahuluan dan mukadimah, karena apabila kemampuan dan validitas akal belum dikaji dan ditegaskan, maka mustahil kita membahas tentang metode akal untuk mengungkap suatu hakikat dan  bahkan metode-metode yang ditetapkan oleh ilmu logika masih perlu dipertanyakan dan rekonstruksi, walhasil masih menjadi hal yang diragukan. 2. Hubungan epistemologi dengan Filsafat. Pengertian umum filsafat adalah pengenalan terhadap eksistensi (ontologi), realitas eksternal, dan hakikat keberadaan. Sementara filsafat dalam pengertian khusus (metafisika)

adalah

membahas

kaidah-kaidah

umum

tentang

eksistensi. Dalam dua pengertian tersebut, telah diasumsikan mengenai kemampuan, kodrat, dan validitas akal dalam memahami hakikat dan realitas eksternal. Jadi, epistemologi dan ilmu logika merupakan mukadimah bagi filsafat. 3. Hubungan epistemologi dengan Teologi dan ilmu tafsir. Ilmu kalam (teologi) ialah suatu ilmu yang menjabarkan proposisi-proposisi teks suci agama dan penyusunan argumentasi demi mempertahankan  peran dan posisi agama. Ilmu tafsir adalah suatu ilmu yang  berhubungan

dengan

metode

penafsiran

kitab

suci.

Jadi,

epistemologi berperan sentral sebagai alat penting bagi kedua ilmu tersebut, khususnya pembahasan yang terkait dengan kontradiksi ilmu dan agama, atau akal dan agama, atau pengkajian seputar  pluralisme dan hermeneutik, karena akar pembahasan ini terkait langsung dengan pembahasan epistemologi. C. Aksiologi 1. Pengertian Aksiologi Adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang orientasi atau nilai suatu kehidupan. Disebut juga teori nilai, karena ia dapat menjadi 42

sarana orientasi manusia dalam usaha menjawab suatu pertanyaan   yang amat fundamental, yakni bagaimana manusia harus hidup dan bertindak? 42

 Mohammad Adib, hlm. 74

13

Teori nilai atau aksiologi ini kemudian melahirkan etika dan estetika. Dengan kata lain, aksiologi adalah ilmu yang menyoroti masalah nilai dan kegunaan ilmu pengetahuan itu. Secara moral dapat dilihat apakah nilai dan kegunaan ilmu itu berguna untuk peningkatan kualitas kesejahteraan dan kemaslahatan umat manusia atau tidak.

43

Dasar aksiologis ilmu membahas tentang manfaat yang diperoleh manusia dari pengetahuan yang didapatkanya. Tidak dapat dipungkiri  bahwa ilmu telah memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia dalam mengendalikan kekuatan-kekuatan alam. Dangan mempelajari atom kita dapat memanfaatkan untuk sumber energi bagi keselamatan manusa, tetapi hal ini juga dapat menimbulkan malapetaka bagi manusia. Penciptaan bom atom akan meningkatkan kualitas persenjataan dalam  perang, sehingga jika senjata itu dipergunakan akan mengancam 44

keselamatan umat manusia. 2. Landasan Aksiologi Ilmu

Landasan aksiologi ilmu menyangkut permasalahan pertama, apakah ilmu mendekatkan manusia pada kebenaran Tuhan itu sendiri. Kedua, apakah ilmu bermanfaat bagi kehidupan manusia itu sendiri. Ketiga, apakah ilmu itu bebas nilai atau tidak bebas nilai, sebab nilainilai menyatu dengan ilmu itu sendiri. 3. Hakikat dan Makna Nilai

Pertanyaan mengenai hakikat nilai dapat dijawab dengan tiga macam cara: orang dapat mengatakan bahwa: a. Nilai sepenuhnya  berhakikat subjektif  Ditinjau dari sudut pandangan ini, nilai-nilai merupakan reaksi-reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai pelaku dan keberadaannya tergantung pada pengalaman-pengalaman mereka. Yang demikian ini dapat dinamakan “subjektivitas”.

43

 Ibid., hlm. 79

44

Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM,  Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Penerbit Liberty Yogyakarta bekerjasama dengan YP Fakultas filsafat, 2000), hlm. 91

14

 b.  Nilai merupakan kenyataan ditinjau dari segi ontologi, namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu  Nilai-nilai tersebut merupakan esensi-esensi logis dan dapat diketahui melaui akal. Pendirian ini dinamakan “obyektivitas logis”. c.  Nilai merupakan unsur-unsur obyektif yang menyusun kenyataan Pendirian ini disebut “obyektivitas metafisik”. 45 Secara singkat dapat dikatakan bahwa “nilai” memiliki  bermacam makna, diantaranya: a. Mengandung nilai (artinya berguna)  b. Merupakan nilai (artinya “baik” atau “benar” atau “indah”) c. Mempunyai

nilai

(artinya,

merupakan

obyek

keinginan,

mempunyai kualitas yang dapat menyebabkan orang mengambil sikap “menyetujui”, atau mempunyai sifat nilai tertentu) d. Memberi nilai (artinya, menanggapi sesuatu sebagai hal yang diinginkan

atau

sebagai

hal

yang

menggambarkan

nilai

46

tertentu).

4. Kegunaan dan Nilai Ilmu

Kegunaan ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia

tanpa

merendahkan

martabat

atau

mengubah

hakikat

kemanusiaan. Tiap ilmu terutama dalam implementasinya selalu terkait dengan aksiologinya. Dalam hal ini akan dijelaskan seberapa jauh ilmu mempunyai peranan dalam membatu mencapai kehidupan manusia yang sejahtera di dunia ini atau apakah manfaat ilmu bagi kehidupan manusia di dunia ini. Manusia belajar dari pengalamannya dan berasumsi bahwa alam mengikuti hukum-hukum dan aturan-aturannya. Ilmu merupakan hasil kebudayaan manusia, dimana lebih mengutamakan kuantitas yang obyektif dan mengesampingkan kualitas subjektif yang berhubungan

45

 Kattsoff, Louis O, Pengantar Filsafat, Alih Bahasa oleh Soedjono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), hlm. 331 46  Ibid., hlm. 332

15

dengan keinginan pribadi sehingga dengan ilmu, manusia tidak akan mementingkan dirinya sendiri. Ilmu merupakan wahana dalam menjawab semua permasalahan (sampai batas tertentu), berdasarkan pemahaman yang dimiliki sekaligus ilmu mampu memprediksikan masa depan walaupun banyak hal yang kadang terjadi di luar dugaan. Peradaban manusia sekarang ini tak lepas dari  perkembangan ilmu dan teknologi. Berkat kemajuan ilmu dan teknologi,  pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan secara lebih cepat dan lebih mudah di samping penciptaan kemudahan dalam bidang-bidang seperti kesehatan, pengangkutan, pemukiman, pendidikan, dan komunikasi. Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu  bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi, namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kamanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu  bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri. “bukan lagi Goethe yang menciptakan Faust.” Meminjamkan  perkataan ahli ilmu jiwa terkenal Carl Gustav Jung,” melainkan faust yang menciptakan Goethe.” Menghadapi kenyataan seperti ini, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang  bersifat seharusnya: untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Dimana

batas

wewenang

penjelajahan

keilmuan?

Ke

arah

mana

 perkembangan keilmuan harus diarahkan? Pertanyaan semacam ini jelas tidak merupakan urgensi bagi ilmuan seperti Copernicus, Galileo dan ilmuwan seangkatannya; namun bagi ilmuan yang hidup dalam abad kedua  puluh yang telah mengalami dua kali perang dunia dan hidup dalam  bayangan kekhawatiran perang dunia ketiga, pertanyaan-pertanyaan ini tak dapat dielakkan. Dan untuk menjawan pertanyaan ini maka ilmuan berpaling kepada hakikat moral. Ada pertentangan sengit yang dilontarkan oleh kaum ilmuwan dan humanis. Kalangan humanis mengajukan beberapa pertan yaan yang penting,

16

antara lain: untuk apa ilmu digunakan? Dimanakah batas ilmu harusnya  berkembang? Namun pertanyaan itu tidak urgen lagi bagi beberapa ilmuwan dan tidak merupakan tanggung jawab bagi perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Hal ini tentunya tidak berarti bahwa perkembangan ilmu berhenti cukup di situ saja, namun ruang gerak prospek ilmu pengetahuan hendaknya dibatasi. Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun dalam perspektif yang berbeda. Ini berarti  bahwa secara metafisika ilmu terbebas dari nilai-nilai yang bersifat dogmatik Galileo (1564-1642).

47

  Yaitu ketika Copernicus (1473-1543)

mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti apa yang dinyatakan oleh ajaran agama, maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain, terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran diluar bidang keilmuan di antaranya agama. Timbullah konflik yang  bersumber pada penafsiran metafisik ini yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo oleh pengadilan agama tersebut, dipaksa untuk mencabut pernyataanya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari. Sejarah kemanusiaan dihiasi dengan semangat para martir yang rela mengorbankan nyawanya dalam mempertahankan apa yang mereka anggap  benar. Peradaban telah menyaksikan sokrates di paksa meminum racun dan John Huss dibakar. Dan sejarah tidak berhenti di sini: kemanusiaan tak  pernah urung di halangi untuk menemukan kebenaran. Tanpa landasan moral maka ilmuwan mudah sekali tergelincir dapat melakukan prostitusi intelektual. Penalaran secara rasional yang telah membawa manusia mencapai harkatnya seperti sekarang ini berganti dengan proses rasionalisasi 47

Aceng Rahmat., hlm. 140

17

yang bersifat mendustakan kebenaran. “segalanya punya moral,” kata Alice dalam

petualangannya

di

negeri

ajaib,

“asalkan

kau

mampu

menemukannya.” (adakah yang lebih kemerlap dalam gelap; keberanian yang esensial dalam avontur intelektual?). Tahap aksiologis inilah dari sejumlah rangkaian kegiatan keimuan suatu pengetahuan yang kerap menimbulkan kontroversi dan paradoks. Hal ini dimungkinkan karena adanya kemampuan manusia melakukan artikulasi dan manipulasi terhadap kejadian-kejadian alam untuk kepentingannya. Kepentingan manusia sangat ditentukan oleh motif dan kesadaran yang ada  pada manusia itu sendiri. Jadi fokus persoalan ilmu pengetahuan pada tingkat aksiologis ini ada pada manusia. Oleh karena itu, maka tinjauan kita tentang manusia akan sangat membantu memahami dan menyusun  pengertian tentang bagaimana sebaiknya ilmu pengetahuan dan teknologi diteruskan pengembangannya dalam tataran aksiologis. Jadi pada dasarnya apa yang menjadi kajian dalam bidang aksiologi ini

adalah

berusaha

menjawab

pertanyaan-pertanyaan;

untuk

apa

 pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana  penentuan

obyek

yang ditelaah

berdasarkan

pilihan-pilihan

moral?

Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/professional?

48

Oleh karena itu, pada tingkat aksiologis, pemahaman tentang nilainilai adalah hal yang mutlak. Nilai menyangkut etika, moral, dan tanggung  jawab manusia itu sendiri. Oleh karena dalam penerapannya ilmu  pengetahuan juga mempunyai efek negatif dan desktruktif, maka diperlukan aturan nilai dan norma untuk mengendalikan potensi nafsu angkara murka manusia ketika hendak bergelut dengan ilmu pengetahuan. Di sininlah etika menjadi ketentuan mutlak yang akan menjadi penyemangat yang baik bagi  pengetahuan untuk meningkatkan derajat hidup serta kesejahteraan dan 48

 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer , (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003), hlm. 34-35

18

kebahagiaan manusia. Etika adalah pembahasan mengenai baik, buruk, semestinya, benar atau salah. Hal ini bertalian dengan hati nurani, bernaung di bawah filsafat moral. Etika merupakan tatanan konsep yang melahirkan kewajiban, dengan asumsi bahwa kalau sesuatu tidak dijalankan akan mendatangkan bencana atau keburukan bagi manusia.

III. PENUTUP

Ontologi membahas tentang apa yang diketahui oleh manusia. Karena tak mungkin yang tiada memberikan efek pada pikiran manusia, maka pasti yang tercermin dalam pikiran manusia adalah suatu realitas. Realitas (kenyataan) adalah segala sesuatu yang ada. Pentingnya

pembahasan

ontologis

berkaitan

dengan

pembuktian

kebenaran pikiran dari isi yang dikandung oleh pikiran. Apakah sebuah  pengetahuan sesuai dengan realitas atau tidak. Jika tidak, maka pengetahuan tersebut bernilai salah. Selain itu ontologi juga digunakan untuk menetapkan  batas-batas dari obyek pengetahuan atau ilmu yang sedang dibahas. Jika obyeknya adalah materi, maka batasannya juga harus materi. Jika obyeknya nonmateri, maka batasannya juga nonmateri. Begitu juga dengan epistemologi, pentingnya pembahasan ini berkaitan dengan apakah suatu ilmu apakah ia diperoleh dengan cara yang bisa didapatkan orang lain atau tidak. Jika tidak dapat diketahui orang lain maka  pengetahuannya tidak dapat dipelajari oleh orang lain. Secara garis besar, dalam epistemologi cara mendapatkan pengetahuan ada dua yaitu secara ilmiah dan secara tidak ilmiah. Pengetahuan secara ilmiah  bukan berarti lebih benar dari pengetahuan secara tidak ilmiah. Pembagian ini hanya didasarkan pada dapat atau tidaknya semua orang memperoleh  pengetahuan tersebut. Sedangkan aksiologi membahas tentang nilai suatu pengetahuan. Nilai dari sesuatu tergantung pada tujuannya. Maka pembahasan tentang nilai  pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari tujuannya. Masing-masing manusia mempunyai tujuan sendiri. Namun pasti ada kesamaan tujuan secara obyektif 

19

 bagi semua manusia. Begitu juga dengan pengetahuan. Semua pengetahuan memiliki tujuan obyektif. Tujuan dari pengetahuan adalah untuk mendapatkan kebenaran. Maka nilai dari pengetahuan atau ilmu adalah untuk mendapatkan kebenaran. Hal ini terlepas dari kebenaran yang didapatkan untuk tujuan apa. Apakah untuk memperbaiki atau untuk merusak diri. Dalam penilaian sebuah kebenaran ada dua pandangan yang berbeda. Pertama adalah pandangan bahwa kebenaran bersifat mutlak. Pandangan ini disebut sebagai absolutisme. Pandangan kedua menyatakan bahwa kebenaran  bersifat relatif (Relativisme).

DAFTAR PUSTAKA

Adib, Mohammad, Filsafat Ilmu; Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan logika  Ilmu pengetahuan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajara, 2011) Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011) Baqir, Z.A., Integrasi Ilmu dan Agama; Interpretasi dan Aksi, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2005) http://kbbi.web.id/ Kattsoff, Louis O, Pengantar Filsafat , Alih Bahasa oleh Soedjono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996) Qomar, Mujamil, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga  Metode Kritik, (Jakarta: Erlangga, 2007) Rachmat, Aceng, Filsafat Ilmu Lanjutan, (Jakarta: Kencana, 2011) Salam, Burhanuddin, Pengantar Filsafat, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009)

20

Sudarminta,

J.,  Epistemologi

Dasar;

Pengantar

Filsafat   Pengetahuan,

(Yogyakarta: Kanisius, 2002) Suhartono, Suparlan,  Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Kelompok Penerbit ArRuzz Media, 2007) Surajiyo,  Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010) Suriasumantri, J.S.,  Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer , (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003) Syukur, Suparman,  Epistemologi Islam Skolastik; Pengaruhnya pada Pemikiran  Islam Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM,  Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Penerbit Liberty Yogyakarta bekerjasama dengan YP Fakultas filsafat, 2000)

Wattimena, Reza A.A, Filsafat dan Sains; Sebuah Pengantar, (Jakarta: Grasindo)

21

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF