Obstructive Sleep Apnea
January 23, 2017 | Author: Raharja | Category: N/A
Short Description
Download Obstructive Sleep Apnea...
Description
BAB I PENDAHULUAN Tidur merupakan suatu proses fisiologi kompleks yang terdiri dari stage 1–4 disebut nonrapid eye movement sleep (NREM) dan stage 5 disebut rapid eye movement sleep (REM). Lebih dari separuh tidur total adalah stage NREM sedangkan 20–35% adalah stage REM. Beberapa tahun terakhir, banyak penelitian yang mempelajari fisiologi tidur dan gangguan gangguan tidur, seperti obstructive sleep apnea (OSA) dan central sleep apnea (CSA). Ternyata 95% gangguan napas saat tidur adalah obstruksi saluran napas atas dan 5% adalah gangguan sistem saraf pusat. Gangguan pernapasan saat tidur dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Di Amerika sekitar 12 juta orang usia 30–60 tahun menderita OSA dan setiap tahun 38.000 meninggal karena penyakit kardiovaskular yang berhubungan dengan gangguan pernapasan saat tidur. Sekitar 40–50% penderita gagal jantung kongestif menderita OSA atau pernapasan cheyne–stokes dengan CSA. Gangguan ini menyebabkan progresivitas gagal jantung dan prognosis yang buruk. Pada orang dewasa normal, selama tidur volume tidal menurun 15–25% dan lebih dangkal pada stage REM dibandingkan stage NREM. Frekuensi napas meningkat perlahan selama stage NREM dan tidak teratur selama stage REM. Pernapasan tidak teratur selama tidur REM disebabkan perubahan aktivitas kortikal saraf pusat yang berhubungan dengan gerakan bola mata yang cepat atau terdapat mimpi. Berlanjutnya stage NREM 1–2 ke stage tidur dalam 3–4 atau gelombang tidur lambat, ventilasi menjadi teratur dan dipengaruhi oleh kontrol sistem regulasi metabolik. Sejumlah kecil apnea pada orang normal timbul kurang dari 20 detik dan frekuensinya kurang dari 5 kali dalam 1 jam tidur yang dapat menyebabkan sedikit penurunan saturasi O2 dan sering timbul pada stage REM dan NREM stadium 1–2, sangat jarang pada stage NREM 3–4. Keadaan apnea ini meningkat sesuai dengan umur, jenis kelamin laki–laki, obesitas dan riwayat mendengkur. Sleep-disordered breathing adalah sekelompok gangguan yang ditandai dengan kesulitan bernapas saat tidur.1 Obstructive sleep apnea (OSA) adalah yang paling umum dari gangguan ini. Obstructive sleep apnea (OSA) pertama kali
1
dipublikasikan pada tahun 1956 oleh Sidney Burwell, lebih dari 50 tahun yang lalu dan kepentingan klinisnya saat ini semakin dikenali. OSA merupakan gangguan tidur berupa gangguan pernafasan saat tidur yang paling sering terjadi, yang didefinisikan sebagai ketiadaan aliran udara meskipun terdapat usaha ventilasi yang ditandai dengan adanya kontraksi otot pernafasan (diafragma). Kelainan ini dapat disebabkan oleh penyempitan dan penutupan saluran nafas bagian atas saat tidur. Obstructive sleep apnea sering dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular. Akibat psikomotor pada obstructive sleep apnea adalah rasa kantuk berlebihan dan kelelahan pada siang hari serta kualitas tidur yang buruk karena pasien sering terbangun saat tidur.2
2
BAB II KOMPLIKASI “OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA” 2.1 Definisi Obstructive Sleep Apnea OSA merupakan gangguan tidur berupa gangguan pernafasan saat tidur yang paling sering terjadi. Didefinisikan sebagai ketiadaan aliran udara meskipun terdapat usaha ventilasi yang ditandai dengan adanya kontraksi otot pernafasan (diafragma).2 Menurut WHO, Obstructive Sleep Apnea merupakan gangguan klinis yang ditandai dengan berulangnya episode obstruksi saluran napas atas sehingga dapat mengurangi aliran udara pada hidung atau mulut. Episode ini biasanya disertai dengan dengkuran keras dan hipoksemia, dan biasanya diakhiri dengan terbangun secara berulang, yang menyebabkan fragmentasi tidur. Pasien dengan sindrom Obstructive Sleep Apnea biasanya tidak menyadari dirinya terbangun, namun hal tersebut mengakibatkan penurunan kualitas tidur yang menyebabkan kantuk di siang hari. Pada pasien dengan sindrom Obstructive Sleep Apnea, sebagian besar tidak terdeteksi adanya kelainan pernafasan saat terjaga. 2.2 Epidemiologi Obstructive Sleep Apnea Insidensi OSA diperkirakan 1–4% populasi umum. Pada penderita OSA dengan kebiasaan mendengkur, akan lebih banyak mengalami apnea, hipopnea dan penurunan saturasi oksihemoglobin sewaktu tidur dibandingkan dengan penderita OSA tanpa kebiasaan mendengkur. 60% pasien OSA memiliki kelebihan berat badan (berat badan lebih dari 20 persen diatas ideal). Ukuran leher, area distal faring dan indeks masa tubuh diketahui berhubungan dengan frekuensi apnea. Obstructive sleep apnea umumnya terjadi pada dewasa muda, biasanya antara umur 40–50 tahun, meskipun dapat terjadi juga pada anak–anak dan remaja. Mayoritas pasien OSA adalah kelebihan berat badan, namun tidak semua mengalami obesitas. Meskipun demikian, peningkatan berat badan mempengaruhi peningkatan frekuensi apnea/hypopnea dan penurunan berat badan mempengaruhi penurunan apnea/hypopnea index (AHI).3 3
2.3 Patofisiologi Obstructive Sleep Apnea Pada OSA terjadi pendorongan lidah dan palatum ke belakang sehingga mengalami aposisi dengan dinding faring posterior yang menyebabkan oklusi nasofaring dan orofaring. Sewaktu tidur, oklusi saluran napas menyebabkan berhentinya aliran udara meskipun pernapasan masih berlangsung sehingga timbul apnea, asfiksia sampai proses terbangun yang singkat dari tidur dan terjadi perbaikan patensi saluran napas atas sehingga aliran udara dapat diteruskan kembali. Dengan perbaikan asfiksia, penderita tidur kembali sampai kejadian berikutnya terulang kembali.2 Saluran napas atas kolaps jika tekanan faring negatif selama inspirasi melebihi kekuatan stabilisasi otot dilator dan abduktor saluran napas atas. Beberapa penderita mengalami penyempitan saluran napas akibat mikrognatia, retrognatia, hipertropiadenotonsilar, magroglossia atau akromegali. Reduksi ukuran orofaring menyebabkan compliance saluran napas atas menurun sehingga cenderung kolaps jika terdapat tekanan negatif.2 Obesitas juga berperan dalam penyempitan jalan napas. Berat badan yang berlebihan pada dinding dada dan disfungsi diafragma mengganggu upaya ventilasi saat tidur. Jaringan lemak pada leher dan lidah menurunkan diameter saluran napas yang merupakan predisposisi terjadinya penutupan prematur saat jaringan otot relaksasi waktu tidur.4 Saat bangun, aktivitas otot saluran napas atas lebih besar dari normal, kemungkinan merupakan kompensasi dari penyempitan dan tahanan saluran napas yang tinggi. Aktivitas otot yang menurun saat tidur menyebabkan kolaps saluran napas atas sewaktu inspirasi. Reduksi fisiologis aktivitas saluran napas atas terjadi selama tidur REM. Alkohol dan obat sedatif menyebabkan depresi aktivitas otot saluran napas atas sehingga terjadi kolaps.4 Pada beberapa penderita juga tampak obstruksi hidung. Tahanan tinggi pada hidung merupakan predisposisi kolaps saluran napas atas karena tekanan negatif meningkat di faring saat inspirasi menyebabkan kontraksi diafragma meningkat untuk mengatasi tahanan aliran udara di hidung. Akhir apnea obstructive bergantung dari proses terbangun dari tidur ke tingkat tidur yang lebih
4
dangkal dan diikuti oleh aktivitas otot dilator dan abduktor saluran napas atas dan perbaikan posisi saluran napas.4 Pada orang normal, ukuran dan panjang palatum lunak, uvula dan besar lidah, saluran napas atas pada tingkat nasofaring, orofaring dan hipofaring ukuran dan konturnya adalah normal (gambar 1).4 Namun pada penderita yang mengalami obstructive sleep apnea terdapat anatomi yang berbeda.
Gambar 1. Saluran napas atas normal dibandingkan penderita OSA 2.4 Manifestasi Klinis Obstructive Sleep Apnea Manifestasi klinis dibedakan dalam dua kelompok yaitu kelompok dominan neuropsikiatri dan perilaku dan kelompok dominan kardiorespirasi. Manifestasi klinis tersering adalah neuropsikiatri dan perilaku dengan keluhan tersering rasa mengantuk berat di siang hari. Gejala malam yang tersering adalah suara dengkuran keras yang disebabkan jalan napas yang sempit. Akhir tiap episode 5
apnea biasanya ditandai dengan hembusan napas dengkuran keras yang diikuti gerakan tubuh. Penderita tidak menyadari hal tersebut, tetapi dikeluhkan oleh teman tidurnya. Kadang penderita terbangun dan tersedak, kurang udara atau insomnia, tidak nyenyak, disorientasi dan sakit kepala di pagi hari. Gejala klinis yang umum terjadi pada OSA tampak pada tabel 1.3 Tabel 1. Gejala klinis pada OSA Gejala Klinis Suara dengkur Mengantuk Restless sleep Mental Abnormal Perubahan personality Impotensi Sakit kepala siang hari Nokturia
Insidensi (%) 95 75 99 58 48 40 35 30
Akibat gangguan pola tidur normal, penderita dengan apnea tidur sering merasa mengantuk, gangguan konsentrasi dan aktivitas di siang hari. Termasuk didalamnya depresi, iritabilitas, sulit belajar, gangguan seksual dan tertidur saat bekerja atau saat menyetir kendaraan. Diperkirakan sampai 50% penderita apnea tidur mempunyai tekanan darah tinggi meskipun tidak diketahui dengan jelas apakah merupakan penyebab atau efek apnea tidur. Risiko serangan jantung dan stroke meningkat pada penderita apnea tidur.4 2.5 Diagnosis Obstructive Sleep Apnea Pemeriksaan yang diperlukan untuk menegakkan diagnosa yaitu pemeriksaan riwayat medis pasien, pemeriksaan radiografi, pemeriksaan fiberoptic nasopharyngoscopy dan polisomnografi. Alat diagnostik tambahan untuk mendiagnostik pasien sleep apnea mencakup pemeriksaan darah rutin, serum elektrolit dan tes fungsi tiroid.5,6
2.5.1 Riwayat Medis
6
Langkah utama untuk mengevaluasi individu yang menderita sleep apnea adalah riwayat medis yang lengkap. Pasien ditanya mengenai kebiasaan tidur, rasa kantuk yang berlebihan di siang hari dan fatique. Penting untuk membedakan antara rasa kantuk, fatique atau rasa lelah, yang mana dapat mengacu pada masalah medis lainnya seperti depresi, anemia maupun gagal jantung. Suara dengkuran yang keras dan lama, khususnya jika disertai dengan terbangunnya pasien pada malam hari serta termegap-megap menunjukkan sleep apnea. Informasi tambahan berupa faktor resiko seperti kenaikan berat badan, konsumsi alkohol, merokok, penggunaan obat tidur dan sedasi. Kondisi medis predisposisi dan riwayat keluarga juga harus diperoleh dari pasien.5,6 Riwayat medis dapat diperoleh dari pasangan tidur pasien karena pasien cenderung tidak menyadari apa yang terjadi di saat tidur. Pasangan tidur mungkin melaporkan adanya dengkuran apnea dan tidur yang tidak lelap. Lebih lanjut, anggota keluarga dapat memberikan informasi yang berharga mengenai rasa kantuk di siang hari.5,6 2.5.2 Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik dapat dibagi menjadi dua yaitu pemeriksaan umum dan pemeriksaan spesifik terhadap saluran nafas bagian atas. Pemeriksaan umum bertujuan untuk mendeteksi faktor predisposisi terhadap penyakit sleep apnea obstructive seperti obesitas, hipertensi, abnormal endokrin, dan kelainan sistemik. Obesitas, terutama penumpukan lemak pada tubuh bagian atas sering diasosiasikan dengan keberadaan dan keparahan penyakit sleep apnea obstructive. Berat badan, tinggi badan dan lingkar leher dicatat dan Body Mass Index dikalkulasi.5,6 Pemeriksaan spesifik pada saluran nafas bagian atas bertujuan untuk menentukan penyebab dan lokasi penyempitan saluran nafas serta mendeteksi abnormalitas anatomi. Pemeriksaan khusus antara lain berupa pemeriksaan hidung, rongga mulut, faring dan laring. Pemeriksaan hidung mencakup deviasi septum nasal dan pembesaran turbin. Adanya mikrognatia, retrognatia dan makroglosia dapat ditemukan pada pemeriksaan rongga mulut. Retrognatia dan mikrognatia menyebabkan penempatan lidah pada daerah posterior sehingga
7
terjadi penyempitan jalur nafas pada faring. Keberadaan massa tumor pada nasofaring dan hipofaring juga harus diperiksa. Pada faring, hipertrofi adenotonsilar, palatum lunak yang panjang, dasar lidah yang besar dan mukosa faring yang berlebihan merupakan penyebab obstruksi yang potensial. Pemeriksaan laring mencakup selaput pita suara dan paralisa pita suara.5,6 2.5.3 Pemeriksaan Fiberoptic nasopharyngoscopy Pemeriksaan ini memberikan informasi yang berharga pada pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fiberoptic nasopharyngoscopy dilakukan dengan memasukkan alat tersebut melewati hidung dan diposisikan tepat di atas segmen. Pasien disuruh menarik nafas kuat-kuat pada akhir ekspirasi. Lokasi dan derajat kolapsnya saluran nafas diperiksa. Pemeriksaan ini dilakukan saat pasien dalam posisi duduk maupun terlentang. Penampilan saluran nafas faring dan derajat kolapsnya dinding faring dinilai dengan Müller Manuver.1,4,16 Teknik ini diusulkan oleh Borowiecki dan Sassin. Teknik ini mencoba menghasilkan kolapsnya saluran nafas atas pada level retroglosal dan retropalatal, yang mirip dengan kolaps yang terjadi sewaktu tidur. Manuver ini dilakukan dengan meminta pasien menghasilkan inspirasi yang kuat dengan mulut dan hidung tertutup. 2.5.4 Pemeriksaan Radiografi Peranan radiografi dalam menegakkan diagnosa masih kontroversial. Tujuan utama pemeriksaan radiografi adalah untuk mengidentifikasi lokasi dan keparahan kolapsnya saluran nafas bagian atas khususnya hipofaring. Radiografi saluran nafas bagian atas meliputi radiografi sefalometri lateral, komputer tomografi dan magnetic resonance imaging.5,6 Sefalometri merupakan metode yang paling sering digunakan untuk mengevaluasi jaringan lunak dan skeletal pada kepala dan leher. Gambaran dua dimensi ini memberikan informasi mengenai deformitas skeletal seperti retrognatia. Keuntungan penggunaan sefalometri adalah mudah dilakukan, tidak mahal dan pemaparan radiografi yang minimal, sedangkan keterbatasan sefalometri yaitu tidak dapat mengevaluasi secara tiga dimensi.5,6
8
Posisi maksila dan mandibula dapat dievaluasi dengan berbagai metode termasuk sudut SNA dan SNB. Pasien dengan defisiensi skeletal kebanyakan mengalami obstruksi pada dasar lidah atau pada level palatum lunak. Rilley dkk menyatakan bahwa pasien obstructive sleep apnea memiliki posisi tulang hyoid yang lebih inferior, palatum lunak yang lebih panjang dari normal dan penyempitan dasar lidah. Komputer tomografi merupakan metode alternatif selain sefalometri yang digunakan untuk menilai saluran nafas bagian atas secara kuantitatif. Dengan menggunakan rekonstruksi CT secara tiga dimensi, Lowe dkk melaporkan bahwa penderita obstructive sleep apnea memiliki permukaan lidah yang lebih besar dan permukaan saluran nafas yang lebih kecil.5,6 Magnetic Resonance Imaging (MRI) memberikan resolusi jaringan lunak yang lebih tinggi, radiografi multi bidang, rekonstruksi tiga dimensi, teknik radiografi ultrafast dan pemaparan radiografi yang minimal. MRI juga digunakan untuk mengevaluasi efikasi bedah jaringan lunak, namun bukan untuk memprediksi hasil bedah pasien sleep apnea. 2.5.5 Polisomnografi Polisomnografi merupakan alat diagnosa yang penting untuk mendiagnosa sleep apnea, melihat keparahan sleep apnea dan menentukan kesuksesan perawatan. Polisomnografi dilakukan di laboratorium tidur dengan memonitor tidur pasien sepanjang malam. Total waktu tidur yang dicatat paling sedikit 4 jam. Komponen
polisomnogram
adalah
electroencephalogram
(EEG),
electrooculogram (EOG), electromyogram (EMG) dan electrocardiogram (ECG). Tahapan dan pola tidur ditentukan oleh gambaran EEG, EOG, dan EMG. Kardiak disritmia yang berpotensi mematikan dapat dideteksi dengan ECG. Penurunan 5% atau lebih saturasi oksigen arteri dari nilai normal adalah signifikan selama episode apnea ataupun hipopnea. Usaha respirasi dan pola pernafasan diukur dengan respiratory inductive plethysmography ataupun dengan pengukuran perubahan tekanan intrathoraks dengan balon kateter esofagus. Perbedaan antara central sleep apnea dan obstructive sleep apnea adalah hubungan antara aliran udara hidung dan mulut
9
dengan pergerakan otot respirasi abdomen dan toraks. Central sleep apnea terjadi jika aliran udara dan pergerakan otot respirasi berhenti secara simultan, sedangkan obstructive sleep apnea terjadi jika aliran udara pada mulut dan hidung terhambat namun otot respirasi pada toraks dan abdomen tetap bergerak tanpa berfungsi.5,6 Tabel 2. Variabel yang direkam polisomnografi
2.6 Komplikasi Obstructive Sleep Apnea OSA merupakan kondisi medis yang serius dan dapat menimbulkan dampak pada banyak sistem dari tubuh manusia, di antaranya:8-15 1.
Neuropsikologis 30% anak-anak yang mengalami OSA mengalami gangguan belajar, gangguan mempertahankan atensi, dan gangguan perilaku. Penurunan kognitif, seperti kemampuan eksekutif, dan kemampuan memecahkan masalah juga mengalami penurunan, dan hal ini secara langsung mempengaruhi performa akademi anak-anak dengan OSA. Selain itu, gangguan tidur menyebabkan peningkatan iritabilitas, gangguan konsentrasi,
penurunan
motivasi untuk melakukan aktivitas sehari-hari serta mood depression, sehingga mempengaruhi hubungan dengan keluarga, teman-teman, guru, dan lingkungan sekitar.8,9 2.
Kardiovaskuler Dari penelitian epidemiologis diketahui adanya hubungan antara OSA dengan hipertensi, stroke dan penyakit jantung iskemik. Timbulnya penyakit kardiovaskular pada penderita OSA diduga sebagai akibat stimulasi simpatis yang berulang-ulang yang terjadi pada setiap akhir fase obstruktif. Pada 10
penderita OSA juga terjadi pelepasan faktor-faktor protrombin dan proinflamasi yang berperan penting pada terjadinya aterosklerosis.10 Terjadinya gangguan kardiovaskuler pada penderita OSA diperkirakan melalui dua komponen:10-14 1. Efek mekanis dari henti nafas terhadap tekanan intratorakal dan fungsi jantung. 2. Hipoksemia yang terjadi berulang-ulang mengakibatkan perangsangan simpatis yang berlebihan dan disfungsi sel-sel endotel. Episode OSA berulang menyebabkan hipoksia, hipercapnia, dan perubahan tekanan intratorakal mendadak, yang dapat menyebabkan gangguan pada fungsi otonomik. Gangguan pada fungsi sistem saraf otonom dapat dilihat dari adanya peningkatan tonus sistem saraf perifer, peningkatan sympathetic responsiveness dan adanya ketidakseimbangan antara simpatetikparasimpatetik. Pada orang dewasa, terdapat hubungan antara hipoksemia dan peningkatan respon simpatetik terhadap hipoksia apabila dibandingkan dengan kontrol. Level norepinefrin dalam sirkulasi pada orang dewasa dengan OSA adalah meningkat apabila dibandingkan dengan kontrol. Studi lain juga menyebutkan bahwa pada orang dewasa dengan OSA yang tidak diobati, terdapat peningkatan level katekolamin urin apabila dibandingkan dengan kontrol OSA yang telah mendapat pengobatan. Hasil penelitian tersebut mendukung hipotesis bahwa gangguan tidur dan pertukaran gas menyebabkan gangguan tonus vasomotor, menyebabkan adanya remodeling vaskular dan dapat menyebabkan morbiditas pada sistem kardiovaskular.9 Hipertensi sistemik. Sekitar 40% penderita OSA mengalami hipertensi ketika bangun tidur. OSA dikenal sebagai faktor risiko yang independen pada hipertensi. Gangguan pada regulasi sistem saraf otonom merupakan penyebab dari peningkatan yang konsisten pada tonus vasomotor pasien dengan OSA, menyebabkan hipertensi sistemik, yang merupakan komplikasi OSA pada orang dewasa. Penelitian menyebutkan bahwa anak-anak dengan OSA memiliki tekanan darah arterial yang lebih tinggi secara signifikan apabila dibandingkan dengan anak-anak yang tidak memiliki OSA, setelah faktor BMI
11
disesuaikan. Hipoksia intermiten dapat secara signifikan meningkatkan kadar katekolamin pada carotid body, organ barorefleks yang berperan penting dalam menginduksi terjadinya hipertensi pada penderita OSA. Mekanisme lain yang berpotensi meningkatkan tekanan darah pada penderita OSA adalah hiperleptinemia, resistensi insulin, peningkatan kadar angiotensin II dan aldosteron serta disfungsi sel-sel endotel.8-10 Ventricular remodeling. Adanya hipertensi merupakan salah satu penyebab
terjadinya
remodeling
pada
miokardium
yang
berpotensi
menyebabkan left ventricular hypertrophy serta penebalan pada septum interventrikuler. Penelitian terkini menyebutkan bahwa OSA tidak hanya dapat meningkatkan efek dari hipertensi terhadap cardiac remodelling, namun juga dapat menginduksi adanya cardiac remodelling walaupun tanpa terjadinya hipertensi.9,10 Inflamasi sistemik dan aterogenesis. Adanya hipoksia berulang dan episode arousal pada OSA menyebabkan induksi dari respon inflamasi sitemik dan terjadinya stres oksidatif. OSA mengaktivasi sekresi sitokin yang dapat mengaktivasi limfosit T dan sitokin tertentu tersebut juga terlibat dalam mekanisme yang menyebabkan aterosklerosis. Pada penderita OSA terjadi peningkatan IL-2, IL-6, CRP, TNF- serta sitokin pro inflamasi lain yang berbanding lurus dengan kejadian daytime sleepiness serta derajat hipoksia. Adanya penurunan level substansi pro inflamasi tersebut setelah dilakukan terapi terhadap OSA memperkuat hipotesis bahwa OSA merupakan faktor independen penyebab peningkatan sitokin pro inflamasi yang berperan dalam aterogenesis tersebut. Peningkatan dari level CRP dapat menyebabkan defisit neurokognitif. OSA juga diasosiasikan dengan peningkatan level adhesion molecules dalam sirkulasi (CD15 dan CD11c) yang dapat mengaktivasi respon inflamasi sistemik dan memfasilitasi aterogenesis. OSA juga dapat menginduksi status prokoagulan pada orang dewasa. Faktor prokoagulan, seperti XIIa, VIIa, kompleks trombin-antitrombin dan fibrinogen, semuanya mengalami peningkatan pada pasien dengan OSA, dan hal tersebut dapat berkontribusi lebih jauh dalam pembentukan plak aterosklerosis.8-10
12
Disfungsi endotelial. Adanya gangguan pada sistem saraf otonom dan tonus vasomotor diikuti dengan akvitas respon inflamasi sistemik dan peningkatan aterogenesis, dapat menginduksi terjadinya disrupsi endotelium. Hal ini dibuktikan oleh adanya peningkatan dari vascular endothelial growth factor yang menunjukkan adanya suatu respon kompensasi dari adanya cedera endotelial yang dilaporkan pada orang dewasa dan anak-anak dengan OSA.9 Infark miokard. Beberapa penelitian menunjukkan kemungkinan adanya hubungan antara OSA dan infark miokard. Hal tersebut mungkin terjadi melalui efek tidak langsung dari hipertensi, aterosklerosis, desaturasi oksigen, hiperaktivitas sistem saraf simpatis, peningkatan koagulopati dan respons inflamasi.10,12 Stroke. Insidensi OSA yang tinggi (45-90%) ditemukan pada penderita stroke. Kemungkinan peran OSA dalam patogenesis stroke di antaranya melalui proses aterosklerosis, hipertensi, berkurangnya perfusi serebral akibat penebalan dinding arteri karotis, output jantung yang rendah, peninggian tekanan intrakranial, peningkatan koagulopati dan peningkatan risiko terbentuknya bekuan darah akibat aritmia. Karena tingginya insidensi OSA dan potensi efeknya terhadap morbiditas dan mortalitas, pemeriksaan untuk mendiagnosis dan terapi OSA dianjurkan dilakukan pada penderita stroke.10 Aritmia. Aritmia dapat terjadi pada penderita OSA terutama berupa sinus bradikardi, sinus arrest, dan blokade jantung komplet. Risiko untuk terjadinya aritmia berhubungan dengan beratnya OSA. Mekanisme terjadinya aritmia pada penderita OSA kemungkinan melalui peningkatan tonus vagus yang dimediasi oleh kemoreseptor akibat apnea dan hipoksemia.10 3.
Respirasi Penelitian lain menyebutkan bahwa 37% anak-anak dengan OSA memiliki disfungsi ventrikel kanan, disertai dengan adanya peningkatan tekanan arteri pulmonari. Hal ini mendukung hipotesis bahwa adanya hipoksia berulang akan menyebabkan sirkulasi pulmoner untuk merespon berlebihan terhadap
4.
stimuli vasokontriksi, sehingga menyebabkan hipertensi pulmoner.8,9 Metabolik
13
Terjadinya sindrom metabolik pada anak-anak dengan OSA dan obesitas meningkat sebesar 50%. Pada anak-anak yang tidak mengalami obesitas, resistensi insulin lebih banyak disebabkan oleh derajat obesitas itu sendiri dengan kontribusi yang minimal dari OSA. Namun pada studi lain, orang dewasa dengan OSA cenderung memiliki risiko 6 kali lebih besar untuk menderita sindrom metabolik dibandingkan dengan orang dewasa yang tidak menderita OSA. Adipokine, seperti leptin, merupakan sitokin spesifik yang diproduksi oleh jaringan adiposa yang berperan penting pada regulasi nafsu makan, homeostasis metabolik, sensitivitas insulin, regulasi tidur dan kontrol respirasi. Beberapa studi menyebutkan bahwa level leptin dalam plasma dipengaruhi oleh ada atau tidaknya OSA secara independen pada orang dewasa. Adanya peningkatan level leptin dalam sirkulasi pada anak-anak dengan OSA merupakan suatu peristiwa independen dan tidak bergantung pada derajat obesitas, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya sindrom metabolik pada anak-anak dengan OSA.9 Gagal tumbuh (failure to thrive) tidak jarang terjadi pada anak-anak dengan OSA. Adanya peningkatan aktivitas metabolik tubuh akibat peningkatan usaha pernapasan selama tidur, penurunan asupan nutrisi akibat dari hipertrofi tonsilar dan gangguan dari jalur growth hormone-insulin growth factor pada hipoksemia berulang dan gangguan pola tidur berperan penting dalam terjadinya gagal tumbuh pada anak-anak dengan OSA.9 5.
Genitourinari13 Komplikasi OSA pada sistem genitourinaria antara lain adalah inkontinensia. Adanya overreactive bladder akibat perangsangan simpatis yang meningkat serta adanya ketidakseimbangan dalam sistem saraf otonom parasimpatis-simpatis
dicurigai
sebagai
faktor
penyebab
terjadinya
inkontinensia serta urgency pada penderita OSA 6.
Hematologi14 Penurunan level O2 yang drastis pada sirkulasi selama terjadinya OSA menyebabkan tubuh bereaksi dengan peningkatan sel darah merah yang berfungsi untuk mengangkut O2. Mekanisme kompensasi ini lambat laun
14
menyebabkan peningkatan proporsi antara sel darah merah dan volume darah. Hal ini menyebabkan terjadinya polisitemia sekunder dan peningkatan hematokrit pada pasien dengan OSA.
Gambar 2. Komplikasi Kardiovaskular pada OSA.9 2.7 Penatalaksanaan Obstructive Sleep Apnea Penanganan obstructive sleep apnea dapat dibagi menjadi penanganan non pembedahan
dan
pembedahan.
Penanganan
non
pembedahan
meliputi
penggunaan medikamentosa, terapi behavior dan lain-lain. Sedangkan penanganan pembedahan dapat digunakan beberapa teknik pembedahan.7,8 A. Penanganan Non Pembedahan 1. Tekanan jalan napas positive yang kontinu (Continuous positive airway pressure) CPAP merupakan pilihan untuk OSA sedang maupun berat dan juga merupakan pilihan yang baik untuk OSA ringan. CPAP tujuannya adalah untuk menyediakan udara yang tekanannya teratur dan stabil melalui masker yang digunakan pasien ketika tertidur. Aliran udara bertekanan positif akan menjaga patensi jalan napas tetap terbuka, 15
mencegah terjadinya penghentian dalam bernapas dan mengembalikan level oksigen yang normal. CPAP bentuk baru kini lebih kecil, ringan dan tidak berisik. Pasien dapat memilih ukuran masker dan tambahannya terdapat pelembab penghangat udara untuk membuat pasien nyaman. 2. Terapi behaviour Merubah gaya tidur dari tidur terlentang menjadi tidur miring ke sisi tubuh dapat membantu. Memperbaiki lingkungan tidur seperti kasur, level cahaya, temperature, dan lain-lain. Termasuk pengurangan berat badan. Pengurangan berat badan 10 % dari berat tubuh sekarang akan menurunkan index OSA sebesar 25 %. 3. Medikamentosa Bebarapa jenis nasal dilator dan spray lubrikan dapat mengurangi mendengkur. Pada orang dewasa dapat digunakan agen progesterone, acetazolamide, theophiline, protryptiline, opioid antagonist. 4. Aplikasi oral Diaplikasikan oleh dokter gigi. Efektif digunakan untuk penanganan OSA ringan sampai sedang. Tampilannya seperti sports mouth guards dan ia membantu mempertahankan posisi jalan napas tetap terbuka dan dapat mereposisi atau menstabilkan dagu bawah, lidah, palatum lunak atau uvula. Aplikasi dental ini akan efektif sampai 75%. B. Pembedahan Pembedahan merupakan opsi penanganan OSA yang dilaksanakan ketika cara non invasif seperti CPAP atau aplikasi oral tidak berhasil. Pembedahan dilakukan ketika terdapat deformitas anatomi yang jelas yang dapat
dikoreksi
untuk
mengurangi
masalah
pernapasan.
Metode
pembedahan dilakukan dengan mengurangi jaringan dari palatum lunak, uvula, tonsil, adenoid, atau lidah. Pembedahan yang lebih kompleks dilakukan untuk menyesuaikan struktur tulang kraniofasial.7 Terdapat banyak macam pembedahan, seperti: 1. Uvulopalatopharoingoplasty (UPPP): Operasi ini digunakan untuk mencegah kolaps palatum, tonsil dan faring. 2. Nasal surgery: memperbaiki deviasi septum dan menghilangkan nasal polip. 3. Genioglossus advancement: dilakukan dengan menarik lidah kedepan untuk memperlebar jalan napas.
16
4. Tongue Reduction Surgery: untuk mengurangi ukuran dasar lidah 5. Implant Palate: mengkakukan palatum untuk mencegah palatum kolaps 2.8 Prognosis Obstructive Sleep Apnea Konsekuensi yang paling serius pada OSA yang tidak ditangani adalah gangguan jantung. Berdasarkan penelitian, diketahui bahwa 45% pasien dengan obstructive sleep apnea, yang tidak memiliki riwayat hipertensi sebelumnya akan mengalami hipertensi dalam jangka waktu 4 tahun. Pada kasus yang berat dan tidak mendapat terapi adekuat, obstructive sleep apnea dapat menyebabkan gagal jantung kongestif (cor pulmonale). Studi menunjukkan bahwa adanya obstructive sleep apnea meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung kongestif sebesar 2.3 kali dan meningkatkan risiko terjadinya stroke sebesar 1.5 kali lebih besar dari kontrol. Obstructive sleep apnea yang tidak mendapatkan penanganan baik dapat menyebabkan kematian mendadak (sudden death).7,8
17
BAB III KESIMPULAN OSA merupakan gangguan tidur berupa gangguan pernafasan saat tidur yang paling sering terjadi, yang didefinisikan sebagai ketiadaan aliran udara meskipun terdapat usaha ventilasi yang ditandai dengan adanya kontraksi otot pernafasan (diafragma). Kelainan ini dapat disebabkan oleh penyempitan dan penutupan saluran nafas bagian atas saat tidur. Insidensi OSA diperkirakan 1–4% populasi umum. 60% persen pasien OSA adalah kelebihan berat badan. Obstructive sleep apnea umumnya terjadi pada dewasa muda, biasanya antara umur 40–50 tahun. Manifestasi klinis tersering adalah gangguan neuropsikiatri dan perilaku dengan keluhan tersering berupa rasa mengantuk berat di siang hari. Gejala malam tersering adalah suara dengkuran keras akibat penyempitan jalan napas. Akhir tiap episode apnea biasanya ditandai dengan hembusan napas atau dengkuran keras yang diikuti gerakan tubuh. Kadang penderita terbangun dan tersedak, kurang udara atau insomnia, tidak nyenyak, disorientasi dan sakit kepala di pagi hari. Komplikasi neuropsikologis OSA antara lain gangguan belajar, gangguan mempertahankan atensi, penurunan kognitif, dan gangguan perilaku pada anakanak yang secara langsung mempengaruhi performa akademik. OSA secara langsung berhubungan dengan hipertensi, stroke dan penyakit jantung iskemik. Penelitian lain menyebutkan bahwa 37% anak-anak dengan OSA memiliki disfungsi ventrikel kanan, disertai dengan adanya peningkatan tekanan arteri pulmonari. Terjadinya sindrom metabolik pada anak-anak dengan OSA dan obesitas meningkat sebesar 50%. Komplikasi OSA lainnya adalah inkontinensia dan polisitemia sekunder. Penanganan obstructive sleep apnea dapat berupa penanganan non pembedahan dan pembedahan. 45% pasien OSA akan mengalami hipertensi dalam 4 tahun. OSA menyebabkan peningkatan risiko terjadinya CHF sebesar 2.3 kali dan stroke sebesar 1.5 kali. OSA yang tidak tertangani dapat menyebabkan kematian mendadak. 18
DAFTAR PUSTAKA 1. Obstructive Sleep Apnea or Sleep-Disordered Breathing. American Lung Association State of Lung Disease in Diverse Communities 2010. 2. Rahman BU, Handoyo, Rohadi P. Obesitas dengan risiko obstructive sleep apnea (osa) pada remaja. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, Volume 8, No. 1, Februari 2012 3. Omidvari K. Sleep disorders. In: Ali juzar, Summer Warren, Levitzky Michael, editors. Pulmonary pathophysiology. New york: McGraw-Hill; 2000. p.283-90. 4. Ovid, Roux. Sleep related breathing disorder and cardiovascular disease. Am J med 2000;108:396-402. 5. Omidvari K. Sleep disorders. In: Ali juzar, Summer Warren, Levitzky Michael, editors. Pulmonary pathophysiology. New york: McGraw-Hill; 2000. p.283-90. 6. M. Safwan Badr, MD Pathophysiology of obstructive sleep apnea. Oral Maxillofacial Surg Clin N Am 14 (2002) 285–292 7. Strollo, Patrick J. Indications for treatment of obstructive sleep apnea in adults. Clin Chest Med 24 (2003) 307– 313 8. A national clinical guideline Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Management of Obstructive Sleep Apnoea/Hypopnoea Syndrome in Adults. June 2003. P 6-21 9. Harding, Susan. Complications and Consequences of Obstructive Sleep Apnea. Current Opinion in Pulmonary Medicine. 2000; 6(6): 485-489. 10. Bhattacharjee,
R.
Kheirandish-Gozal,
L.
Pillar,
G.
Gozal,
D.
Cardiovascular Complications of Obstructive Sleep Apnea Syndrome: Evidence from Children. Progress in Cardiovascular Diseases: 2009; 51(5): 416-433. 11. Febriani, Debi dkk. Hubungan Obstructive Sleep Apnea Dengan Kardiovaskular. Jurnal Kardiologi Indonesia 2011; 32:45-52.
19
12. Committee Advisory, 2005. Sleep Apnea-Assesment and Management of Obstructive Sleep Apnea in Adult. 13. Rodriguez, Hector P. Berggren, Diana A-V. Biology and treatment of Sleep Apnea. Otolaryngology chapter 6, 2006; 71-82. 14. Kemmer, H. Mathes, AM. Dilk, O. Groschel, A. Grass, C. Stockle, M. Obstructive Sleep Apnea Syndrome is Associated with Overreactive Bladder and Urgency in Incontinence Men. Sleep. 2009; 32(2): 271-275 15. Nistico, A. Iliescu, EA. Fitzpatrick, M. White, CA. Polycythemia due to Obstructive Sleep Apnea in a Patient on Hemodialysis. Hemodial Int. 2010; 14(3): 333-336.
20
View more...
Comments