NSTEMI<DVT<EMBOLI

June 8, 2016 | Author: Sophia Yustina Phasa | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

kasus kematian...

Description

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Infark Miokard Non ST Elevasi (NSTEMI) 2.1.1 Definisi Merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh menurunnya suplai oksigen dan atau peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi koroner akibat dari trombosis akut atau proses vasokontriksi koroner. 2.1.2 Epidemiologi Penyakit arteri koroner (CAD) adalah penyebab utama kematian di amerika serikat. NSTEMI (Non ST-Elevation Miocardial Infarction) adalah salah satu manifestasi akut kondisi ini. Pada tahun 2004, pusat nasional untuk statistik kesehatan dilaporkan dirawat di rumah sakit 896.000 penderita infark miokard (MI). 2.1.3 Etiologi NSTEMI disebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan atau peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi koroner. NSTEMI terjadi karena thrombosis akut atau proses vasokonstrikai koroner sehingga terjadi iskemia miokard dan dapat menyebabkakn nekrosis jaringan miokard dengan derajat lebih kecil, biasanya terbatas pada subendokardium. Kedaan ini tidak dapat menyebabkan elevasi segmen ST, namun menyebabkan pelepasan penanda nekrosis. 2.1.4 Faktor Risiko 1. Tidak dapat diubah



Umur Seiring dengan bertambahnya umur, maka resiko penyakit jantung akan meningkat, sama seperti penyakit-penyakit lainnya. Hal ini terkait dengan kemungkinan terjadinya atherosclerosis yang makin besar, terkait dengan deposit lemak serta elastisistas pembuluh darah yang makin menurun seiring dengan bertambahnya umur.

5

Sebagian besar kasus kematian terjadi pada laki-laki umur 3544 tahun dan meningkat dengan bertambahnya umur. Kadar kolesterol pada laki-laki dan perempuan mulai meningkat umur 20 tahun. Pada laki-laki kolesterol meningkat sampai umur 50 tahun. Pada perempuan sebelum menopause ( 45-0 tahun ) lebih rendah dari pada laki-laki dengan umur yang sama. Setelah menopause kadar kolesterol perempuan meningkat menjadi lebih tinggi dari pada laki-laki. 

Jenis kelamin lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita. Diduga karena pengaruh estrogen. Namun, setelah wanita menopause, insidensi terjadinya hampir sama



Genetik terjadinya aterosklerosis premature karena reaktivitas arteria brakhialis, pelebaran tunika intima arteri karotis, penebalan tunika media.



RasPerbedaan resiko PJK antara ras didapatkan sangat menyolok, walaupun bercampur baur dengan faktor geografis, sosial dan ekonomi. Di Amerika serikat perbedaan ras perbedaan antara ras caucasia dengan non caucasia ( tidak termasuk Negro) didapatkan resiko PJK pada non caucasia kira-kira separuhnya.



DietDidapatkan hubungan antara kolesterol darah dengan jumlah lemak di dalam susunan makanan sehari-hari ( diet ). Makanan orang Amerika rata-rata mengandung lemak dan kolesterol yang tinggi sehingga kadar kolesterol cendrung tinggi. Sedangkan orang Jepang umumnya berupa nasi dan sayur-sayuran dan ikan sehingga orang jepang rata-rata kadar kolesterol rendah dan didapatkan resiko PJK yang lebih rendah dari pada Amerika.

.



ObesitasObesitas adalah kelebihan jumlah lemak tubuh > 19 % pada lakilaki dan > 21 % pada perempuan . Obesitas sering didapatkan bersama-sama dengan hipertensi, DM, dan hipertrigliseridemi. Obesitas juga dapat meningkatkan kadar kolesterol dan LDL kolesterol . Resiko PJK akan jelas meningkat bila BB mulai melebihi 20 % dari

6

BB ideal. penderita yang gemuk dengan kadar kolesterol yang tinggi dapat menurunkan kolesterolnya dengan mengurangi berat badan melalui diet ataupun menambah exercise 2. Dapat diubah 

Merokok Merokok dapat memicu terjadinya aterosclerosis, melingkupi meningkatnya proses oksidasi modifikasi dari LDL dan menurunkan HDL dalam sirkulasi. Kelainan disfungsi endotel pembuluh darah disebabkan karena jaringan tersebut mengalami hipoksia dan peningkatan adhesi dari trombosit, peningkatan molekul leukosit dan respon inflamasi stimulasi yang tidak sesuai dari nervus simpotikus oleh nikotin dan perpindahan dari oksigen menjadi karbon monoksida pada hemoglobin. Dari percobaan yang dilakukan pada hewan merokok mempunyai konstribusi dalam terjadinya aterosklerosis.



Hipertensi Kenaikan tekanan darah (sistolik atau diastolik) memperbesar kemungkinan untuk beresiko aterosklerosis, peyakit jantung koroner dan stroke. Hubungan kenaikan darah dengan penyakit kardiovaskular tidak memperlihatkan hasil akhir yang baik. Lebih dari itu resiko akan terus naik dengan nilai progresif yang tinggi. Tekanan sistolik diprediksi menurunkan out come lebih nyata dari pada tekanan diastolik terutama pada usia tua. Hipertensi mungkin memicu aterosklerosis dengan berbagai cara. Penelitian yang dilakukan pada bintang memperlihatkan kenaikan tekanan darah dapat melukai endotel dan meningkatkan permeabilitas dinding pembuluh darah sehingga lipoprotein menjadi lebih mudah untuk masuk ke dinding pembuluh darah tersebut. Peningkatan hemodinamik stress dapat juga meningkatkan jumlah reseptor scanvanger di makrofag, juga meningkatkan foam sel. Siklus rantai circum ferential, dapat meningkatkan tekanan arteri yang dapat

7

meningkatkan produksi sel otot polos yang mengikat proteoglikan dan menahan partikel LDL, memacu akumulasi di tunika intima dan memfasilitasi perubahan oksidatif. Angiotensin II adalah sebuah mediator hipertensi tidak hanya sebagai vasokontriktor tetapi juga sebagai sitokin pro-inflamasi. Dengan demikian hipertensi juga dapat menimbulkan proses aterogenesis yang melibatkan proses inflamasi. 

Diabetes mellitus Diabetes meningkatkan resiko terjadinya aterosklerosis dan orang dengan diabetes melitus memiliki 2-3 kali peningkatan kemungkinan terjadi gangguan pada kardiovaskular. Mekanismenya bisa berhubungan dengan non-enzim glycation dari lipoprotein pada pasien diabetes (hal tersebut berhubungan dengan besarnya ambilan kolesterol oleh makrofag scavenger) atau kecenderungan protrombotik dan anti fibrinolitik. Keadaan tersebut mungkin banyak terjadi pada pasien dengan kondisi ini. Seseorang dengan diabetes seringkali memiliki fungsi endotel yang lemah ini dapat diukur dari menurunnya bioavailabilitas dari NO dan meningkatnya perlekatan leukosit. Contoh : kadar serum glukosa yang terjaga pada pasien diabetes mengurangi resiko komplikasi mikrovaskuler antaralain seperti retinophati dan neprophaty. Diabetes tipe- II adalah bagian tersering dalam syndrom metabolik dalam hal ini berhubungan dengan hipertensi, kadar lemak yang abnormal (hipertrigliserida, HDL rendah, partikel LDL padat) dan bertambahnya ukuran lingkar perut. Pada diabetes terjadi resistensi insulin pada sel-sel perpheral dan mendorong terjadinya aterosklerosis.



Dislipidemia Dislipidemia adalah keadaan terjadinya peningkatan kadar LDL kolesterol dalam darah atau trigliserida dalam darah yang dapat disertaipenurunan kadar HDL kolesterol. Jumlah lipid yang abnormal

8

dalam sirkulasi menjadi bukti tetap dan terbesar sebagai faktor risiko utama

terhadap

perkembangan

arterosklerosis.Menurut

studi

Framingham menunjukkan bahwa risiko penyakit jantung iskemik meningkat seiring dengan total kolesterol serum yang tinggi. Risiko penyakit jantung koroner meningkat kira-kira dua kali lipat pada individu yang level total kolesterolnya 240 mg/dL dari pada individu yang level kolesterolnya 200 mg/dL. Normalnya, kandungan kolesterol intraseluler dipertahankan dengan memperketat regulasi asupan kolesterol, sintesis de novo, penyimpanan, dan membuangnya dari sel. Enzim HMG CoA reductase adalah langkah untuk membatasi biosintesis kolesterol intraseluler dan dikontrol oleh reseptor terkait endositosis dari partikel LDL sirkulasi. Level kolesterol yang tinggi dapat menghambat enzim HMG CoA reduktase dan sinyal sel untuk mengurangi produksi reseptor LDL. Jumlah kolesterol intraseluler yang cukup pada sel perifer selalu dipicu oleh peningkatan produksi Cholesterol efflux regulatory protein (CERP), produk yang baru-baru ini teridentifikasi adalah gen ATP binding Cassette 1 (ABC A-1). CERP memediasi transfer kolesterol membran ke partikel HDL, yang mengirim kolesterol berlebih kembali ke hati dalam proses yang dikenal sebagai transport balik kolesterol. Dengan kemampuan ini dapat membuang lipid intraseluler, HDL melindungi lagi akumulasi lipid, dan level HDL

serum

berbanding

terbalik

dengan

kejadian

penyakit

arterosklerotik. HDL sering juga disebut sebagai “ kolesterol baik.” Sebaliknya, jumlah LDL yang tinggi berhubungan dengan meningkatnya kejadian arterosklerosis dan penyakit kardiovaskuler. Saat jumlahnya berlebihan, LDL dapat terakumulasi di rongga subendothelial dan mengalami modifikasi kimia dan merusak tunika intima mengakibatkan perkembangan arterosklerosis. LDL sering disebut juga “ Lemak Jahat.“

9

2.1.5 Patofisiologi Kejadian infark miokard diawali dengan terbentuknya aterosklerosis yang kemudian ruptur dan menyumbat pembuluh darah. Penyakit aterosklerosis ditandai dengan formasi bertahap fatty plaque di dalam dinding arteri. Lamakelamaan plak ini terus tumbuh ke dalam lumen, sehingga diameter lumen menyempit. Penyempitan lumen mengganggu aliran darah ke distal dari tempat penyumbatan terjadi. Faktor-faktor seperti usia, genetik, diet, merokok, diabetes mellitus tipe II, hipertensi, reactive oxygen species dan inflamasi menyebabkan disfungsi dan aktivasi endotelial. Pemaparan terhadap faktor-faktor di atas menimbulkan injury bagi sel endotel. Akibat disfungsi endotel, sel-sel tidak dapat lagi memproduksi molekul-molekul vasoaktif seperti nitric oxide, yang berkerja sebagai vasodilator, anti-trombotik

dan

anti-proliferasi.

Sebaliknya,

disfungsi

endotel

justru

meningkatkan produksi vasokonstriktor, endotelin-1, dan angiotensin II yang berperan dalam migrasi dan pertumbuhan sel. Leukosit yang bersirkulasi menempel pada sel endotel teraktivasi. Kemudian leukosit bermigrasi ke sub endotel dan berubah menjadi makrofag. Di sini makrofag berperan sebagai pembersih dan bekerja mengeliminasi kolesterol LDL. Sel makrofag yang terpajan dengan kolesterol LDL teroksidasi disebut sel busa (foam cell). Makrofag dan trombosit melepaskan faktor pertumbuhan sehingga menyebabkan migrasi otot polos dari tunika media ke dalam tunika intima dan proliferasi matriks. Proses ini mengubah bercak lemak menjadi ateroma matur. Lapisan fibrosa menutupi ateroma matur, membatasi lesi dari lumen pembuluh darah. Perlekatan trombosit ke tepian ateroma yang kasar menyebabkan terbentuknya trombosis. Makrofag dan limfosit T melepaskan metaloprotease dan sitokin sehingga melemahkan selubung fibrosa. Hal ini mengakibatkan ulserasi atau ruptur mendadak lapisan fibrosa atau perdarahan yang terjadi dalam ateroma menyebabkan oklusi arteri. Penyempitan arteri koroner segmental banyak disebabkan oleh formasi plak. Kejadian tersebut secara temporer dapat memperburuk keadaan obstruksi, menurunkan aliran darah koroner, dan menyebabkan manifestasi klinis infark

10

miokard. Lokasi obstruksi berpengaruh terhadap kuantitas iskemia miokard dan keparahan manifestasi klinis penyakit. Oleh sebab itu, obstruksi kritis pada arteri koroner kiri atau arteri koroner desendens kiri berbahaya. Pada saat episode perfusi yang inadekuat, kadar oksigen ke jaringan miokard menurun dan dapat menyebabkan gangguan dalam fungsi mekanis, biokimia dan elektrikal miokard. Perfusi yang buruk ke subendokard jantung menyebabkan iskemia yang lebih berbahaya. Perkembangan cepat iskemia yang disebabkan oklusi total atau subtotal arteri koroner berhubungan dengan kegagalan otot jantung berkontraksi dan berelaksasi. Selama kejadian iskemia, terjadi beragam abnormalitas metabolisme, fungsi dan struktur sel. Miokard normal memetabolisme asam lemak dan glukosa menjadi karbon dioksida dan air. Akibat kadar oksigen yang berkurang, asam lemak tidak dapat dioksidasi, glukosa diubah menjadi asam laktat dan pH intrasel menurun. Keadaaan ini mengganggu stabilitas membran sel. Gangguan fungsi membran sel menyebabkan kebocoran kanal K+ dan ambilan Na+ oleh monosit. Keparahan dan durasi dari ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen menentukan apakah kerusakan miokard yang terjadi reversibel (20 menit). Iskemia yang ireversibel berakhir pada infark miokard. Ketika aliran darah menurun tiba-tiba akibat oklusi trombus di arteri koroner, maka terjadi infark miokard tipe elevasi segmen ST (STEMI). Perkembangan perlahan dari stenosis koroner tidak menimbulkan STEMI karena dalam rentang waktu tersebut dapat terbentuk pembuluh darah kolateral. Dengan kata lain STEMI hanya terjadi jika arteri koroner tersumbat cepat. Non STEMI merupakan tipe infark miokard tanpa elevasi segmen ST yang disebabkan oleh obstruksi koroner akibat erosi dan ruptur plak. Erosi dan ruptur plak ateroma menimbulkan ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen. Pada Non STEMI, trombus yang terbentuk biasanya tidak menyebabkan oklusi menyeluruh lumen arteri koroner. Infark

miokard

dapat

bersifat

transmural

dan

subendokardial

(nontransmural). Infark miokard transmural disebabkan oleh oklusi arteri koroner

11

yang terjadi cepat yaitu dalam beberapa jam hingga minimal 6-8 jam. Semua otot jantung yang terlibat mengalami nekrosis dalam waktu yang bersamaan. Infark miokard subendokardial terjadi hanya di sebagian miokard dan terdiri dari bagian nekrosis yang telah terjadi pada waktu berbeda-beda. 2.1.6 Diagnosis IMA tanpa ST elevasi (NSTEMI) Nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadang epigastrium dengan ciri seperti diperas, perasaan seperti diikat, perasaan terbakar, nyeri tumpul, rasa penuh, berat atau tertekan menjadi manifestasi gejala yang sering ditemui pada NSTEMI. Analisis berdasarkan gambaran klinis menunjukkan bahwa mereka yang memiliki gejala dengan onset baru angina berat memiliki prognosis lebih baik jika dibandingkan dengan yang nyeri dada pada saat istirahat.Walaupun gejala khas rasa tidak enak di dada, iskemia pada NSTEMI telah diketahui dengan baik, gejala tidak khas seperti dispneu, mual, diaforesis, sinkop atau nyeri di lengan, epigastrium, bahu atas, atau leher juga terjadi dalam kelompok yang lebih besar pada pasien-pasien berusia lebih dari 65 tahun. a. Anamnesis Diagnosis adanya suatu SKA harus ditegakkan secara cepat dan tepat dan didasarkan pada tiga kriteria, yaitu gejala klinis nyeri dada spesifik, gambaran EKG (elektrokardiogram) dan evaluasi biokimia dari enzim jantung. Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien SKA. Nyeri dada atau rasa tidak nyaman di dada merupakan keluhan dari sebagian besar pasien dengan SKA. Seorang dokter harus mampu mengenal nyeri dada angina dan mampu membedakan dengan nyeri dada lainnya karena gejala ini merupakan penanda awal dalam pengelolaan pasien SKA. Sifat nyeri dada yang spesifik angina sebagai berikut: • Lokasi : substermal, retrostermal, dan prekordial • Sifat nyeri : rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir. • Penjalaran ke : leher, lengan kiri, mandibula, gigi, punggung atau interskapula, dan dapat juga ke lengan kanan.

12

• Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin, dan lemas. Berat ringannya nyeri bervariasi. Sulit untuk membedakan Angina Pektoris Tidak Stabil /NSTEMI dan STEMI berdasarkan gejala sematamata. Presentasi klinis klasik SKA tanpa elevasi segmen ST berupa: 

angina saat istirahat lebih dari 20 menit (angina at rest)



angina yang dialami pertama kali dan timbul saat aktivitas yang lebih ringan dari aktivitas sehari-hari (new onset angina)



peningkatan intensitas, frekuensi dan durasi angina (angina kresendo)



angina pasca infark

Pada beberapa pasien dapat ditemukan tanda-tanda gagal ventrikel kiri akut. Gejala yang tidak tipikal seperti rasa lelah yang tidak jelas, nafas pendek, rasa tidak nyaman di epigastrium atau mual dan muntah dapat terjadi, terutama pada wanita, penderita diabetes dan pasien lanjut usia. Kecurigaan harus lebih besar pada pasien dengan faktor risiko kardiovaskular multipel dengan tujuan agar tidak terjadi kesalahan diagnosis atau bahkan sampai tidak terdiagnosis/ under estimate . b. Pemeriksaan Fisik Tujuan dari pemeriksaan fisik adalah untuk mengidentifikasi faktor pencetus dan kondisi lain sebagai konsekuensi dari SKA. Keadaan disfungsi ventrikel kiri (hipotensi, ronki dan gallop S3) menunjukkan prognosis yang buruk. c. Elektrokardiografi EKG memberi bantuan untuk diagnosis dan prognosis. Rekaman yang dilakukan saat sedang nyeri dada sangat bermanfaat. Gambaran diagnosis dari EKG adalah : 1. Depresi segmen ST > 0,05 mV (1/2 kotak kecil) 2. Inversi gelombang T, ditandai dengan > 0,2 mV (2 kotak kecil) inversi gelombang T yang simetris di sandapan prekordial Perubahan EKG lainnya termasuk bundle branch block (BBB) dan aritmia jantung, terutama Sustained VT. Serial EKG harus dibuat jika ditemukan adanya 13

perubahan segmen ST. Namun EKG yang normal pun tidak menyingkirkan diagnosis APTS/NSTEMI. Pemeriksaaan EKG 12 sadapan pada pasien SKA dapat mengambarkan kelainan yang terjadi dan ini dilakukan secara serial untuk evaluasi lebih lanjut, dengan berbagai ciri dan kategori: • Angina pektoris tidak stabil: depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T, kadang-kadang elevasi segmen ST sewaktu nyeri, tidak dijumpai gelombang Q. • Infark miokard non-Q: depresi segmen ST, inversi gelombang T d. Penanda Biokimia Jantung Penanda biokimia seperti troponin I (TnI) dan troponin T (TnT) mempunyai nilai prognostik yang lebih baik dari pada CK-MB. Troponin T juga didapatkan selama jejas otot, pada penyakit otot (misal polimiositis), regenerasi otot, gagal ginjal kronik. Hal ini dapat mengurangi spesifisitas troponin T terhadap jejas otot jantung. Sehingga pada keadaan-keadadan tersebut, troponin T tidak lagi dapat digunakan sebagai penanda biokimia.Troponin C, TnI dan TnT berkaitan dengan kontraksi dari sel miokard. Susunan asam amino dari Troponin C sama antara sel otot jantung dan rangka, sedangkan pada TnI dan TnT berbeda. Nilai prognostik dari TnI atau TnT untuk memprediksi risiko kematian, infark miokard dan kebutuhan revaskularisasi dalam 30 hari adalah sama. Kadar serum creatinine kinase (CK) dengan fraksi MB merupakan indikator penting dari nekrosis miokard. Keterbatasan utama dari kedua penanda tersebut adalah relatif rendahnya spesifikasi dan sensitivitas saat awal (100mmHg, interval PR 5 mg. Penelitian secara elektrofisiologi pada manusia menunjukkan bahwa bisoprolol secara signifikan mengurangi frekuensi denyut jantung, meningkatkan waktu pemulihan sinus node, memperpanjang periode refrakter AV node dan dengan stimulasi atrial yang cepat, memperpanjang konduksi/W node. Bisoprolol juga dapat diberikan bersamaan dengan diuretik tiazid. Hidroklorotiazid dosis rendah (6,25 mg) digunakan bersamaan dengan bisoprolol fumarate untuk menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi rengan sampai sedang.

e. Clopidrogel Indikasi Mengurangi kejadian atherosclerotic (myocardial infarction, stroke, kematian pembuluh darah) pada pasien dengan atherosclerosis dibuktikan

21

oleh myocardial infarction (MI) yang belum lama berselang terjadi, stroke yang belum lama berselang terjadi, atau penyakit arterial peripheral yang sudah terbukti; sindrom coronary akut (angina tidak stabil atau MI non-Qwave) yang terkontrol secara medis atau melalui percutaneous coronary intervention/PCI (dengan atau tanpa stent) Kontra-indikasi Hipersensitivitas terhadap clopidogrel atau komponen lain dari formulasinya; perdarahan patologis aktif seperti PUD atau hemoragi intrakranial; gangguan koagulasi; active peptic ulcer (tukak lambung aktif). Bentuk sediaan: Tablet 75 mg Dosis 

Oral, dewasa: myocardial infarction (MI) yang belum lama berselang terjadi, stroke yang belum lama berselang terjadi, atau penyakit arterial peripheral yang sudah terbukti: satu kali sehari satu tablet 75 mg



Sindrom coronary akut: initial: loading dose 300 mg; diikuti dengan satu kali sehari satu tablet 75 mg (dikombinasikan dengan aspirin 75325 mg satu kali sehari satu tablet).



Pencegahan penutupan coronary artery bypass graft (saphenous vein): pasien dengan alergi terhadap aspirin: dosis loading: 300 mg 6 jam ; dosis maintenance: 50-100 mg/hari

f. Ranitidin histamin antagonis reseptor H2 yang menghambat kerja histamin secara kompetitif pada reseptor H2 dan mengurangi sekresi asam lambung. Dosis : Injeksi i.m. : 50 mg (tanpa pengenceran) tiap 6 – 8 jam. g. Sukralfat Indikasi Benign Gastric, tukak duodenal, gastritis kronis, Profilaksis tukak akibat stres. Dosis, Cara Pemberian dan Lama Pemberian 22

Dosis dewasa : Pengobatan Tukak duodenal : 1 gram per oral sehari empat kali atau 2 gram sehari dua kali selama 4-8 minggu. Perawatan Tukak duodenal : 1 gram per oral sehari dua kali. Perawatan Tukak peptik : 1 gram per oral sehari dua kali. Profilaksis tukak akibat stres : 1 gram secara nasogastrik atau per oral setiap 6 jam. Farmakologi Absorpsi : setelah pemberian oral, Sukralfat diabsorpsi dalam jumlah kecil dari saluran cerna, kemungkinan disebabkan karena polaritas yang tinggi dan kelarutan yang rendah dari Sukralfat pada saluran cerna.2,7 Bioavailabilitas oral (lokal) : komponen disakarida 5%, aluminium < 0.02%. (1) Distribusi (2) : distribusi ke dalam jaringan dan cairan tubuh setelah absorpsi sistemik belum ditentukan. Studi pada hewan, volume distribusi kurang lebih 20% dari berat badan. Ekskresi (1,2) : Sukralfat bereaksi dengan asam klorida dalam saluran cerna, membentuk sukrosa sulfat yang tidak dimetabolisme. Efek Samping Konstipasi (paling sering, sekitar 2%). mual, muntah, kembung, mulut kering, gatal-gatal, sakit kepala, insomnia, diare (sangat jarang, < 1%)

2.2. EMBOLI PARU 2.2.1 ETIOLOGI Penyebab emboli paru terbanyak adalah trombus terutama berasal dari vena dalam.2,4 Material lain juga bisa masuk sirkulasi darah seperti sel atau fragmen tumor, lemak, cairan amnion, udara dan benda asing.2 Berbagai faktor resiko dapat menyebabkan terjadinya emboli paru, seperti faktor herediter trombofilia dan faktor yang didapat. Faktor herediter trombofilia ini sekitar

24 - 37% dari semua tromboemboli vena. Herediter trombofilia

23

merupakan akibat defek dari faktor inhibitor koagulan (antitrombin, protein C, protein S), peningkatan level atau fungsi faktor koagulan (activated protein C resistance, factor V leiden mutation, prothrombin gene mutation, elevated factor VIII levels). Faktor resiko yang didapat lebih banyak ditemukan daripada herediter. Faktor yang didapat seperti bedah atau trauma, umur, kehamilan, keganasan, obesitas, kontrasepsi hormon, immobilisasi yang lama, gagal jantung kongestif, aterosklerotis kardiovaskuler, PPOK dan varises. 4

2.2.2. PATOFISIOLOGI Ruldoph Virchow yang pertama kali mendeskripsikan fenomena emboli dan trombus pada tahun 1856 dan mengidentifikasi tiga faktor yang berperan utama dalam terjadinya emboli paru yang disebut Virchow’s Triad yaitu : dikutip dari 2,3,10

a.

Stasis aliran darah vena

b. Hiperkoagulabel c.

Trauma vaskuler yang menyebabkan kerusakan endotelium Beberapa faktor resiko terjadinya emboli paru berdasarkan Virchow’s Triad seperti :3

1. Stasis aliran vena : immobilisasi, tirah baring, anestesi, gagal jantung kongestif, Cor Pulmonale, PPOK 2. Hiperkoagulabel : keganasan, sindrom nefrotik, terapi estrogen, heparin induced thrombositopenia, dessiminated intravascular coagulation, defesiensi protein C, defesiensi Protein S, defisiensi antitrombin III 3. Kerusakan endotel vaskuler : trauma, bedah Efek fisiologik dan konsekuensi klinis dari emboli paru sangat bervariasi, mulai asimptomatis sampai kolaps hemodinamik dan kematian. Faktor utama yang menentukannya adalah : 3 1. Ukuran dan lokasi emboli 2. Adanya penyakit kardiopulmonari yang bersamaan 3. Pelepasan mediator humoral sekunder dan respon hipoksik vaskuler 4. Kecepatan perbaikan emboli

24

Hipoksemia merupakan akibat yang umum terjadi pada emboli paru. Obstruksi pembuluh darah paru mengakibatkan hambatan aliran darah dari vena sistemik mencapai kapiler paru. Hal ini menyebabkan peningkatan shunting intra pulmoner, ketidaksamaan ventilasi-perfusi (V/Q) dan penurunan kadar O2 vena. Selanjutnya, shunting dan peningkatan ruang rugi alveolar dapat terjadi akibat perdarahan alveolar atau atelektasis yang berhubungan dengan berkurangnya surfaktan. Konstriksi bronkiolus terminal dapat meningkatkan ruang rugi alveolar akibat dari hipokapnia dan pelepasan substansi vasokonstriktor dari agregasi platelet dan sel mast. Walaupun terjadi peningkatan ruang rugi alveolar, pasien dengan emboli paru biasanya terjadi hipokapnia. Hal ini diduga karena hipoksia yang disebabkan oleh stimulasi reflek fagal intrapulmoner dengan menghasilkan hiperventilasi. Akhirnya terjadi hipoksemia merupakan petunjuk peningkatan simpatik sehingga menyebabkan vasokontriksi sistemik. Pasien yang tidak mempunyai penyakit kardiopulmoner akan memberi respon kompensasi dengan meningkatkan venous return dan stroke volume. Kemudian, emboli akan meningkatkan tekanan atrium kanan.3,4,10 Emboli paru bisa menyebabkan terjadinya infark paru (walaupun kasusnya jarang), karena terjadi kerusakan parenkim paru. Infark terjadi sekitar 20% karena kerusakan aliran arteri bronkial dan saluran nafas yang nyata.3,11 Respon hemodinamik terhadap emboli paru berhubungan dengan cadangan hemodinamik dan respon adaptasi kompensasi. Setelah melewati jantung kanan, trombus/embolus menyumbat arteri pulmonalis utama atau bagian distal percabangannya sampai menyebabkan perubahan hemodinamik. Emboli paru akut merangsang pelepasan substansi vasoaktif yang kemudian menghasilkan peningkatan resistensi vaskuler paru dan afterload ventrikel kanan. Karena peningkatan afterload ventrikel kanan, menyebabkan peningkatan tekanan dinding ventrikel kanan sehingga terjadi dilatasi ventrikel kanan dan hipokinesis yang akhirnya menyebabkan disfungsi ventrikel kanan, regurgitasi trikuspidal, dan gagal ventrikel kanan.4,5,10 Jika tidak ada penyakit kardiopulmonari sebelumnya, obstruksi < 20% pembuluh darah paru mengakibatkan gangguan hemodinamik yang minimal.

25

Ketika obstruksi 30 – 40%, kenaikan tekanan ventrikel kanan sudah terjadi tapi curah jantung masih dipertahankan melalui peningkatan denyut jantung dan kontraktilitas miokard. Mekanisme kompensasi mulai gagal bila obstruksi arteri pulmonalis melebihi 50 – 60%. Curah jantung mulai berkurang dan tekanan atrium kanan meningkat sehingga terjadi gangguan hemodinamik yang nyata.3 Satu dari komponen trias virchow (stasis, hiperkoagulabilitas dan cedera intimal), menggambarkan hampir semua pasien dengan emboli paru. Risiko penyakit meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Faktor idiopatik ikut terlibat dalam salah satu faktor yang menyebabkan keadaan protrombotik. Trombosis vena dalam paling sering berasal dari vena yang berasal dari tungkai bawah dan biasanya menyebar ke bagian proksimal sebelum akhirnya mengalami embolisasi. Ada beberapa emboli yang berasal langsung dari trombus vena yang terdapat di tungkai bawah, sekitar 95% trombus mengalami embolisasi ke paruparu dan melepaskan diri dari vena dalam bagian proksimal bagian bawah kaki ( termasuk bagian atas vena poplitea). Trombosis yang berkembang di vena subklavia aksilaris disebabkan oleh munculnya kateter pada vena sentral, biasanya terdapat pada pasien dengan penyakit yang ganas dan trombosis pada ekstremitas atas yang diinfuksi oleh aktivitas. Kejadian hipoksemia menstimulasi saraf-saraf simpatik yang mengakibatkan vasokonstriksi di pembuluh-pembuluh darah sistemik, meningkatkan vena balik dan strok volume. Pada emboli yang masih masif, kardiak output biasanya berkurang akan tetapi terus-menerus meningkat tekanan pada atrium kanannya. Peningkatan resistensi pembuluh darah pulmonal menghalangi aliran darah ventrikel kanan sehingga mengurangi beban dari ventrikel kiri. Sekitar 25% hingga 30% oklusi dari vaskular oleh emboli berhubungan dengan peningkatan tekanan di arteri pulmonalis. Dengan keadaan lebih lanjut seperti obstruksi pembuluh darah, hipoksemia yang memburuk, stimulasi vasokonstriksi dan peningkatan tekanan arteri pulmonalis. Lebih dari 50% obstruksi yang terdapat pada arteri pulmonalis biasanya muncul sebelum terdapat peningkatan yang besar dari tekanan arteri pulmonalis. Ketika obstruksi yang terdapat pada sirkulasi arteri pulmonalis makin membesar, ventrikel kanan harus menghasilkan tekanan sistolik lebih dari 50mmHg dan rata-rata tekanan

26

arteri pulmonalis lebih dari 40 mmHg untuk mempertahankan perfusi pulmonal. Pasien dengan penyakit kardiopulmonal sering terjadi kerusakan substansial pada kardiak outputnya dibandingkan dengan orang dengan kondisi tubuh yang normal.

Gambar 1. Patofisiologi emboli paru

2.2.3

DIAGNOSIS Menegakkan diagnosis emboli paru merupakan sebuah tantangan yang

sulit. Tanda klinis yang muncul seperti dispnea atau nyeri dada tidak spesifik dan dapat merupakan manifestasi penyakit lain seperti infark miokard atau pneumonia. Banyak pasien dengan penyakit tromboemboli mempunyai gejala tidak spesifik dan diagnosis lebih sulit lagi jika disertai penyakit gagal jantung kongestif atau penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).4,7 Emboli paru bahkan bisa tanpa gejala dan kadang didiagnosis dengan prosedur diagnosis yang dilakukan untuk tujuan lain. 9

27

2.2.3. 1. Manifestasi Klinis : Emboli paru bisa dipikirkan bila ditemukan satu dari tiga sindrom klinik, yaitu: 3 a.

Dispnea

b. Nyeri pleura atau hemoptisis c.

Kollap sirkulasi Dispnea merupakan gejala yang sering muncul (walaupun ada sekitar 25% yang tidak muncul dispnea), diikuti dengan nyeri pleura, hemoptisis. Gejala lain seperti pembengkakan atau nyeri tungkai.3,12 Pada pemeriksaan fisik ditemukan takipnea (frekuensi nafas > 20 kali/menit), takikardi, ronki, deman.7,12 Mengenai gejala dan tanda emboli paru dapat dilihat pada tabel 1 dan tabel 2 dari dua sumber berbeda. Tes probabiliti dapat digunakan untuk menilai kemungkinan emboli paru. Ada 2 macam tes yang biasa digunakan yaitu sistem skor menurut Wells dan Genewa seperti yang dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 2. Frekuensi gejala dan tanda emboli paru akut dikutip dari

-

4

Gejala Dispnea

Frekuensi (%) 73

Nyeri pleuritik

66

Batuk

37

Leg swelling

33

Batuk darah

13

Mengi

6

Tanda

Frekuensi (%)

Frekuensi nafas ≥ 20x/menit

70

Ronkhi

51

Frekuensi jantung ≥ 100 x/menit

30

Bunyi jantung 3 atau 4

26

Suhu > 38,5 ºC

7

28

Tabel 3. Frekuensi gejala dan tanda emboli paru dikutip dari 3 Gejala

Emboli Paru Masif (%)

Emboli Paru sub Masif (%)

85

82

Nyeri pleura

64

85

Batuk

53

52

Batuk darah

23

40

Takipneu

95

87

Takikardi

48

38

Bunyi P2

58

45

Ronki

57

60

Plebitis

36

26

Di Dispnea

meningkat

Tabel 4. Sistem skoring Wells dan Genewa untuk menilai kemungkinan Emboli Parudikutip dari 4

-

Skor Wells Adanya riwayat VTE*

Poin 1,5

Skor Genewa Adanya riwayat VTE*

Poin 2

Denyut jantung >100x/menit

1,5

Denyut jantung >100x/menit

1

Setelah tindakan bedah

3

Umur (tahun) 60 - 79

1

Se Setelah tindakan bedah atau 1,5 imobilsasi Gejala DVT** 3 Al Alternatif diagnosis lain 3 sedikit Hemoptisis 1 Keganasan 1 Atelektasis 1 Elevasi Diafragma 1

≥80 PaCO2 45mmHg walaupun kasusnya sedikit.7,12

2.2.3.3. Pemeriksaan D-dimer : Trombosis vena terdiri dari fibrin dan eritrosit yang terperangkap dalam benang–benang fibrin. Fibrin ini terbentuk akibat adanya aktivasi sistem koagulasi yang tidak dapat dinetralkan oleh antikoagulan alamiah. Jika terjadi aktivasi koagulasi maka akan terbentuk thrombin dari protrombin dengan melepaskan fragmen protrombin 1 dan 2 (F1.2). Trombin akan diikat oleh antitrombin sehingga terbentuk kompleks trombin-antitrombin (TAT). Trombin juga mengubah fibrinogen menjadi fibrin monomer yang akan mengalami polimerasi membentuk fibrin polimer. Selanjutnya F XIII akan terjadi ikatan silang sehingga terbentuk cross-linked fibrin. Kemudian plasmin akan memecah cross-linked fibrin menghasilkan D-dimer. Oleh karena itu, parameter yang dapat dipakai untuk menilai aktivasi koagulasi adalah F 1.2, TAT, fibrin monomer dan D-dimer. Dari semua parameter, yang sering dipakai adalah D-dimer.14 Pemeriksaan D-dimer cara ELISA dengan nilai cut off 500 ng/ml mempunyai sensitifitas paling tinggi yaitu > 99%. Namun ELISA cara klasik

33

membutuhkan waktu lama, sehingga dikembangkan berbagai cara cepat antara lain SimpliRed yang memakai darah lengkap dan Vidas DD yang berdasarkan enzyme linked fluorescence assay . SimpliRed mempunyai sensitifitas 85% dan spesifisitas 71% dan nilai prediksi negatif 92%. Vidas DD mempunyai sensitifitas 98% dan spesifisitas 41% dengan nilai prediksi negatif 98%. 14 Penelitian prospektif yang dilakukan Palareti dkk tahun 2006 di Italia mengenai penggunaan tes D-dimer pada pasien tromboemboli idiopatik yang menggunakan antikoagulan jangka panjang dan yang tidak. Pada penelitian ini didapatkan bahwa pasien yang memiliki nilai abnormal D-dimer abnormal setelah penghentian pemakaian antikoagulan 1 bulan mempunyai insiden berulang yang signifikan terjadinya tromboemboli vena (15% dibandingkan dengan yang tetap memakai antikoagulan 2,9%) dan akan berkurang bila kembali digunakan antikoagulan.15

Gambar 2. D-Dimer

34

2.2.3.4. Pemeriksaan Foto Toraks : Gambaran foto toraks biasanya menunjukkan kelainan, walaupun tidak jelas, non spesifik dan tidak memastikan diagnosis. Gambaran yang nampak berupa atelektasis atau infiltrat seperti yang dapat dilihat pada gambar 2.4 Gambaran lain dapat berupa konsolidasi, perubahan letak diafragma, penurunan gambaran vaskuler paru, edema paru.8 2.2.3.5. Pemeriksaan Angiogram : Pemeriksaan angiogram paru ini merupakan standar baku emas untuk memastikan emboli paru. Pemeriksaan ini invasif dan mempunyai resiko. Temuan angiografik emboli paru berupa filling defect dan abrupt cutoff dari pembuluh darah.3,16,17 Arteriogram negatif menyingkirkan diagnosis tromboemboli, sedangkan arteriogram positif merupakan konfirmasi diagnosis. Di tangan operator yang berpengalaman, komplikasi angiografi paru ini jarang terjadi. Komplikasi ini meliputi reaksi pirogen terhadap kontras, reaksi alergik terhadap kontras, perforasi arteri pulmoner, aritmia, bronkospasme, perforasi ventrikel kanan dan gagal jantung kongestif. Arteriografi sangat invasif, tidak nyaman pada penderita, mahal dan tidak selalu dapat dilakukan serta menimbulkan resiko pada penderita.1

Gambar 3. Angiograi Paru

35

2.2.3.6. Pemeriksaan Computed Tomography (CT) : Computed Tomography (CT) merupakan tes yang dapat mendiagnosis emboli paru. Pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas 86% dan spesifisitas 96%. Pada saat sekarang dapat dipakai untuk menyikirkan diagnosis emboli paru pada pasien dengan

resiko

rendah dan mendekati

intermediet, serta

dapat

mengkonfirmasi diagnosis emboli paru pada pasien dengan resiko intermediat dan tinggi.3 Pemeriksaan CT Pulmonary Angiogram (CTPA) telah lama dipakai dalam evaluasi emboli paru (gambar 4). CTPA ini memberi banyak keunggulan dalam mendiagnosis emboli paru yaitu : 4 a.

Visualisasi langsung embolus

b. Kemampuan menilai etiologi lain pada pasien lain seperti pneumonia Dalam kepustakaan lain disebutkan bahwa CT angiografi mempunyai sensitifitas 50 % sampai 100% dan spesifisitasnya 81% sampai 100%. 18 Penelitian prospektif yang dilakukan oleh Sood dkk tahun 2006 dengan membandingkan CT angiografi dengan angiografi paru konvensional. Penelitian ini menyimpulkan bahwa CT angiografi dapat dipakai sebagai alternatif untuk mendiagnosis emboli paru dengan sensitivitas 80% dan spesifisitas 85% dengan keuntungan tidak invasif dan harga lebih murah. 19

2.2.3.7. Pemeriksaan Ventilation Perfusion Scanning : Walaupun ada keterbatasan, pemeriksaan Ventilation-Perfusion Scanning dapat memberikan informasi yang berguna dan dapat diinterpretasikan dengan cepat. Gabungan Ventilation-Perfusion Scanning dan penilaian klinis dapat memberikan akurasi diagnosis yang baik dibandingkan dengan hanya scan. 3,17 Payar perfusi (Perfusion Lung Scan) yang benar – benar normal dapat menyingkirkan dugaan klinis emboli paru. Kriteria untuk kemungkinan besar positif atau kemungkinan kecil negatif bervariasi menurut penafsiran, tetapi secara umum tergantung pada ukuran, jumlah dan distribusi defek perfusi, yang dihubungkan dengan foto toraks dan abnormalitas payar ventilasi. Emboli yang terisolasi di lobus atas jarang terjadi pada penderita berobat jalan, karena aliran

36

darah saat posisi berdiri lebih terdistribusi ke basal (berbeda dengan penderita yang harus tirah baring). Defek perfusi yang lebih luas dari konsolidasi yang tampak pada foto toraks pada daerah yang sama menyokong ada emboli, defek dengan ukuran sama atau lebih kecil dari abnormalitas radiologi tidak mendukung kearah emboli. 1 Payar ventilasi paru (Ventilation Lung Scan) memperbaiki spesifisitas diagnosis emboli. Daerah dengan pengurangan aktifitas ventilasi regional yang terganggu. 1 Penelitian yang dilakukan Stein dkk bertujuan untuk menentukan apakah paparan radiasi untuk pasien yang diduga dengan emboli paru bisa menurun dengan meningkatkan penggunaan ventilasi-perfusi (V/Q) scanning dan mengurangi penggunaan CT paru angiografi (CTPA) melalui intervensi pendidikan. Jumlah pemeriksaan yang dilakukan CTPA menurun dari 1.234 pada tahun 2006 untuk 920 tahun 2007, dan jumlah V/Q scan meningkat dari 745 pada 2006 menjadi 1.216 pada tahun 2007. Berarti dosis efektif berkurang sebesar 20%, dari 8,0 mSv pada 2006-6,4 mSv pada tahun 2007 (p
View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF