March 12, 2018 | Author: Puslitbang Humaniora dan Manajemen Kesehatan | Category: N/A
Penyakit kusta masih menimbulkan stigma negatif, sehingga masyarakatpun menjauhi dan mengucilkan penderita kusta. Namun ...
Nomphoboas yang Mengganas di Mumugu
Tumaji Nurcahyo Tri Arianto Amelia Rizky Rachmalina Soerachman
i
Nomphoboas yang Mengganas di Mumugu ©2014 Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Penulis Tumaji Nurcahyo Tri Arianto Amelia Rizky Rachmalina Soerachman Editor Rachmalina Soerachman Desain Cover Agung Dwi Laksono
Cetakan 1, November 2014 Buku ini diterbitkan atas kerjasama PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Badan Penelitan dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Jl. Indrapura 17 Surabaya Telp. 031-3528748, Fax. 031-3528749 dan LEMBAGA PENERBITAN BALITBANGKES (Anggota IKAPI) Jl. Percetakan Negara 20 Jakarta Telepon: 021-4261088; Fax: 021-4243933 e mail:
[email protected]
ISBN 978-602-1099-08-7 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis dari penerbit.
ii
Buku seri ini merupakan satu dari dua puluh buku hasil kegiatan Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2014 di 20 etnik. Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Nomor HK.02.04/1/45/2014, tanggal 3 Januari 2014, dengan susunan tim sebagai berikut: Pembina
: Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Penanggung Jawab
: Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat
Wakil Penanggung Jawab : Dr. dr. Lestari H., MMed (PH) Ketua Pelaksana
: dr. Tri Juni Angkasawati, MSc
Ketua Tim Teknis
: dra. Suharmiati, M.Si
Anggota Tim Teknis
: drs. Setia Pranata, M.Si Agung Dwi Laksono, SKM., M.Kes drg. Made Asri Budisuari, M.Kes Sugeng Rahanto, MPH., MPHM dra.Rachmalina S.,MSc. PH drs. Kasno Dihardjo Aan Kurniawan, S.Ant Yunita Fitrianti, S.Ant Syarifah Nuraini, S.Sos Sri Handayani, S.Sos
iii
Koordinator wilayah
:
1. dra. Rachmalina Soerachman, MSc. PH : Kab. Boven Digoel dan Kab. Asmat 2. dr. Tri Juni Angkasawati, MSc : Kab. Kaimana dan Kab. Teluk Wondama 3. Sugeng Rahanto, MPH., MPHM : Kab. Aceh Barat, Kab. Kep. Mentawai 4. drs. Kasno Dihardjo : Kab. Lebak, Kab. Musi Banyuasin 5. Gurendro Putro : Kab. Kapuas, Kab. Landak 6. Dr. dr. Lestari Handayani, MMed (PH) : Kab. Kolaka Utara, Kab. Boalemo 7. Dr. drg. Niniek Lely Pratiwi, M.Kes : Kab. Jeneponto, Kab. Mamuju Utara 8. drg. Made Asri Budisuari, M.Kes : Kab. Sarolangun, Kab. Indragiri Hilir 9. dr. Betty Roosihermiatie, MSPH., Ph.D : Kab. Sumba Timur. Kab. Rote Ndao 10. dra. Suharmiati, M.Si : Kab. Buru, Kab. Cirebon
iv
KATA PENGANTAR
Mengapa Riset Etnografi Kesehatan 2014 perlu dilakukan ? Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin komplek. Disaat pendekatan rasional yang sudah mentok dalam menangani masalah kesehatan, maka dirasa perlu dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat. Untuk itulah maka dilakukan Riset Etnografi sebagai salah satu alternatif mengungkap berbagai fakta kehidupan sosial masyarakat terkait kesehatan. Dengan mempertemukan pandangan rasional dan indigenous knowledge (kaum humanis) diharapkan akan menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk mengembangkan caracara pemecahan masalah kesehatan masyarakat. Simbiose ini juga dapat menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam menyelesaikan masalah untuk meningkatkan status kesehatan di Indonesia. Tulisan dalam buku seri ini merupakan bagian dari 20 buku seri hasil Riset Etnografi Kesehatan 2014 yang dilaksanakan di berbagai provinsi di Indonesia. Buku seri ini sangat penting guna menyingkap kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun agar dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan upaya pelayanan kesehatan dengan memperhatikan kearifan lokal. Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh informan, partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam penyelesaian buku seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan-Kementerian Kesehatan
v
RI yang telah memberikan kesempatan pada Pusat Humaniora untuk melaksanakan Riset Etnografi Kesehatan 2014, sehingga dapat tersusun beberapa buku seri dari hasil riset ini.
Surabaya, Nopember 2014 Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Litbang Kementerian Kesehatan RI.
drg. Agus Suprapto, M.Kes
vi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR
v vii ix x
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. 1.2. 1.3. 1.4. 1.5. 1.6. 1.7.
1
Latar Belakang Gambaran Umum Kabupaten Asmat Gambaran Umum Distrik Sawa Erma Tujuan Penelitian Waktu Penelitian Instrumen dan Cara Pengumpulan Data Analisis Data
1 4 10 12 12 13 16
BAB 2 BUDAYA SUKU ASMAT DI KAMPUNG MUMUGU
19
2.1. 2.2. 2.3. 2.4. 2.4. 2.5. 2.6. 2.7. 2.8. 2.9.
19 31 33 45 48 47 49 52 54 60
Sejarah Geografi dan Kependudukan Pola Tempat Tinggal Religi Organisasi Sosial dan Kemasyarakatan Pengetahuan Bahasa Kesenian Mata Pencaharian Teknologi dan Peralatan
BAB 3 POTRET KESEHATAN MASYARAKAT MUMUGU
65
3.1. Status Kesehatan
65
vii
3.2. Sistem Pelayanan Kesehatan 3.3. Health seeking Behavior
118 126
BAB 4 NOMPHOBOAS DI KAMPUNG MUMUGU
129
4.1. 4.2. 4.3. 4.4 4.5
129 136 146 153 154
Sejarah Nomphoboas Di Kampung Mumugu Nomphoboas Di Kehidupan Masyarakat Mumugu Perilaku Masyarakat Untuk Pengobatan Nomphoboas Pantangan dan Anjuran Bagi Penderita Nomphoboas Pencegahan yang Dilakukan
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
157
INDEKS GLOSARIUM DAFTAR PUSTAKA UCAPAN TERIMA KASIH
161 164 169 173
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Model Daftar Susunan Pegawai (DSP) Puskesmas di Daerah Terpencil Tabel 4.1. Jenis obat kusta berdasarkan tipe kusta dan usia penderita
ix
121 152
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Jumlah penderita kusta di Kab. Asmat tahun 2010-2012 Gambar 1.2. Peta Wilayah Kabupaten Asmat Gambar 1.3. Ruas jalan yang berupa papan (kiri) dan beton (kanan). Gambar 1.4. Pesawat AMA yang melayani penerbangan Timika–Asmat Gambar 1.5. Rumah dan jalan yang dibangun di atas papan Gambar 1.6. Peta Wilayah Distrik Sawa Erma Gambar 1.7. Kantor Distrik Sawa Erma Gambar 2.1. Dermaga fery, jaringan listrik, hotel, dan motor elektrik di Agats. Gambar 2.2. Kelangkaan batu di Mumugu Bawah (kiri) dan Batu yang dengan mudah ditemukan di Mumugu Atas (kanan). Gambar 2.3. Pelabuhan sungai di Batas Batu Gambar 2.4. Salah satu alat transportasi untuk ke Mumugu Gambar 2.5. Truk yang kesulitan melewati tanjakan Gambar 2.6. Rumah tradisional orang Mumugu yang telah ditinggalkan Gambar 2.7. Perumahan Kampung Mumugu Bawah. Gambar 2.8. Denah pemukiman kampung Mumugu Atas. Gambar 2.9. Perumahan Kampung Mumugu Atas. Gambar 2.10. Rumah Jew Kampung Mumugu Bawah (kiri) dan Kampung Mumugu Atas (kanan)
x
3 6 7 9 10 11 12 25 29
30 32 32 34 35 36 37 38
Gambar 2.11. Rumah jew yang selalu dipinggir sungai Gambar 2.12. Tunggu tempat memasak. Gambar 2.13. Bivak sebagai tempat tinggal sementara di hutan Gambar 2.14. Inkulturasi gereja (kiri) dan Tungku beserta Patung Bis dalam gereja (kanan) Gambar 2.15. Got depan rumah yang digunakan untuk mandi lumpur (kiri) dan seorang kakek yang mengantar cucunya ke pemakanan setelah menjalani ritual mandi lumpur (kanan). Gambar 2.16. Seorang bujang memanen Etnikn (kiri) dan Bujang sedang membuat perahu kayu (kanan) Gambar 2.17. Gedung Sosial milik kampung yang dimanfaatkan sebagai tempat sekolah Gambar 2.18. Salah satu masyarakat yang terkena cascado Gambar 2.19. Wilayah Kepulauan Melanesia Gambar 2.20. Variasi Bahasa Asmat Gambar 2.21. Hasil seni ukir dan pahat Etnik Asmat yang di pajang di Museum Asmat Gambar 2.22. Aktivitas masyarakat Kampung Sawa yang sedang membuat patung Gambar 2.23. Kayu yang ditumbangkan sebagai jalan setapak. Gambar 2.24. Aktivitas masyarakat yang sedang memangkur sagu. Gambar 2.25. Ulat sagu yang biasa dikonsumsi masyarakat Gambar 2.26. Salah satu pekerjaan masyarakat menjadi kuli angkut Gambar 2.27. Kegiatan pembagian dana respek Gambar 2.28. Perahu kecil (cole) yang biasa dipergunakan Gambar 2.29. Salah satu kios yang ada di Mumugu Atas Gambar 3.1. Kebiasaan merokok di Kampung Mumugu tidak xi
39 40 42 43 45
46 48 49 51 51 53 54 55 56 58 59 60 61 63 69
hanya pada orang tua tetapi juga pada remaja dan anak-anak. Gambar 3.2. Ibu hamil yang selesai mencari kayu bakardi hutan Gambar 3.3. Seorang ibu yang tetap saja merokok meski dalam kondisi hamil besar Gambar 3.4. Seorang ibu yang habis melahirkan di hutan. Gambar 3.5. Tali pusat yang baru saja dipotong relatif panjang lalu hanya digulungkan saja Gambar 3.6. Seorang ibu yang sedang menyusui di dalam kamar yang juga diberi tungku sebagai penghangat ruangan Gambar 3.7. Anak-anak dengan perut yang buncit Gambar 3.8. Anak-anak Mumugu yang sedang bermain lempar karet. Gambar 3.9. Seorang ibu yang tidur dekat tungku api menunggu saat-saat melahirkan. Gambar 3.10. Penimbangan badan (kiri) dan pemberian vaksin (kanan) pada kegiatan Posyandu perdana di Puskesmas Mumugu Gambar 3.11. Seorang ibu yang merokok di depan bayi yang baru dilahirkannya Gambar 3.12. WC umum yang dibangun oleh pemerintah Gambar 3.13. Seorang anak sedang buang air besar di sekitar rumah. Gambar 3.14. Kondisi rumah salah seorang warga yang hampir tidak pernah dibersihkan. Gambar 3.15. Buah Rotan yang biasa dikonsumsi masyarakat. Gambar 3.16. Seorang Ibu yang sedang mencari kangkung yang tumbuh liar Gambar 3.17. Seorang ibu yang merokok sambil menggendong bayi xii
72 76 78 80 82
85 86 88 91
94 97 98 100 101 102 104
Gambar 3.18. Seorang Ibu yang sedang mengambil air kolam untuk mencuci dan mandi Gambar 3.19. Kondisi air sumur yang ada di masyarakat Gambar 3.20. Penampungan air hujan milik salah seorang masyarakat Gambar 3.21. Posisi tempat tidur yang berdekatan dengan tungku api Gambar 3.22. Puskesmas Mumugu Gambar 3.23. Pasien luka bakar pada kedua kakinya akibat tersiram minyak panas sehingga perlu rawat inap. Gambar 3.24. Luka bekas jesmak pada orang dewasa (kiri) dan bayi (kanan) Gambar 4.1. Mycobacterium leprae Gambar 4.2. Penderita kusta yang memiliki gejala (mulai dari kiri atas, searah jarum jam) bercak kemerahan, bercak keputihan, Ulkus, dan mutilasi jari Gambar 4.3. Salah satu penderita kusta di Mumugu yang masih berusia 10 tahun Gambar 4.4. Penderita kusta yang telah mengalami mutilasi jari tangan dan kaki. Gambar 4.5. Penderita kusta yang tinggal serumah dengan keluarga yang lain. Gambar 4.6. Kemasan (blister) obat kusta Tipe PB Dewasa Gambar 4.7. Satu blister obat kusta tipeMB (anak-anak) yang dibuang meski belum habis diminum.
xiii
107 108 110 112 119 122 126 133 138
139 142 145 148 150
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penyakit Kusta merupakan penyakit kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Bakteri yang berbentuk batang panjang, sisi pararel dengang ujung bulat, ukuran 0,3–0,5 mikron (µ) x 1–8 mikron (µ) ini ditemukan pertama kali pada tahun 1873. Penularan kuman kusta terjadi melalui saluran pernapasan bagian atas dan melalui kontak kulit. Untuk membelah diri, mycobacterium leprae memerlukan waktu 12-21 hari dan masa tunasnya rata-rata 2-5 tahun. Mycobacterium leprae menyerang system syaraf perifer, kulit, dan jaringan tertentu lainnya. Sebagai penyebab penyakit kusta, mycobacterium leprae dapat mengakibatkan deformitas yang luas dan permanen pada kulit dan syaraf perifer sehingga dapat timbul kecacatan yang berat dan bersifat irreversible. Penyakit kusta dapat menyerang semua orang. Namun laki-laki lebih banyak terkena dibandingkan dengan wanita, kecuali di Afrika yang kondisinya justru sebaliknya. Dari segi umur, penyakit kusta dapat menyerang semua umur, namun frekuensi terbanyak adalah pada usia muda dan produktif (Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, 2012). Menurut data terlapor di World Health Organization (WHO) seperti yang dikutip dalam Buku Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta yang diterbitkan oleh 1
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan (2012) menyebutkan bahwa penyakit kusta tersebar di seluruh dunia dengan komposisi terbanyak di regional Asia Tenggara, kedua regional Amerika, dan ketiga regional Afrika. Tiga negara yang memiliki penderita kusta terbanyak di dunia adalah India, Brazil, dan Indonesia. Pada tahun 2011, penemuan kasus baru penderita penyakit kusta di India mencapai 127.295 kasus, di Brazil 33.955 kasus, dan di Indonesia 20.023 kasus. Selain data jumlah penemuan kasus baru, juga terdapat data jumlah kasus kusta terdaftar (prevalensi). Menurut data dari Diretorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan (2012) menyebutkan bahwa penderita kusta di Indonesia pada tahun 2011 tercatat sebanyak 23.169 orang. Jumlah ini jauh meningkat bila dibanding jumlah penderita pada tahun 2005 (21.537 orang) maupun tahun 2000 (17.539 orang). Disamping itu, kecacatan (cacat tingkat 2) yang ditimbulkan akibat penyakit kusta semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2011, terdapat 2.025 penderita penyakit kusta yang mengalami cacat tingkat 2. Lebih tinggi dibanding tahun 2005 (1.722 orang) dan 2000 (1.231 orang). Hal ini tentu akan menjadi masalah yang serius. Tidak hanya dari segi medis karena merupakan penyakit yang menular, tetapi lebih dari itu penyakit kusta akan menimbulkan masalah baik dari segi sosial, ekonomi, budaya, maupun keamanan dan ketahanan nasional. Hingga saat ini masih ada stigma negatif di masyarakat tentang penyakit kusta. Masyarakat menganggap bahwa penyakit kusta merupakan penyakit kutukan, dosa, gunaguna, makanan, atau keturunan. Sehingga penderita penyakit kusta menderita tidak hanya karena penyakitnya saja tetapi juga menderita secara sosial karena dijauhi dan dikucilkan oleh masyarakat atau bahkan oleh keluarganya sendiri.
2
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
Penyakit kusta tersebar di hampir seluruh propinsi yang ada di Indonesia. Lima propinsi dengan penemuan kasus penderita kusta terbanyak pada tahun 2011 adalah Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Papua, dan Sulawesi Selatan. Di Propinsi Papua, jumlah penemuan kasus baru penderita penyakit kusta pada tahun 2011 mencapai 1.515 kasus dengan insiden rate (IR) mencapai 50,8/100.000 penduduk. Jumlah IR tersebut jauh diatas IR penemuan kasus baru penyakit kusta nasional yang ‘hanya’ 8,3/100.000 penduduk (Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2012). 640
700 600 399
Jumlah
500 400 300 200 29
100 0 2010
2011
2012
Tahun Gambar 1.1. Jumlah penderita kusta di Kab. Asmat tahun 2010-2012 Sumber : Bappeda dan BPS, 2013
Di Propinsi Papua, penderita penyakit kusta tersebar di seluruh kabupaten/kota. Salah satu kabupaten dengan jumlah penyakit penyakit kusta yang masih cukup tinggi adalah Kabupaten Asmat. Pada tahun 2012, jumlah penderita penyakit kusta di Kabupaten Asmat mencapai 640 orang. Jumlah ini dua kali lipat lebih banyak dibanding tahun 2011 (lihat gambar 1.1).
3
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Dari 640 penderita penyakit kusta tersebut, 619 diantaranya berada di wilayah Distrik Sawa Erma (Bappeda dan BPS, 2013). Salah satu kampung di Distrik Sawa Erma yang memiliki penderita penyakit kusta cukup banyak adalah Kampung Mumugu. Menurut Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Papua, saat ini terdapat lebih dari 150 penderita penyakit kusta ditemukan di kampung tersebut (www.Republika.co.id/berita/nasional/ 14/04/18/n478z8-ratusan-penderita-kusta-ditemukan-di-asmat). Hal ini tentu sangat mengejutkan, karena jumlah penduduk di kampung tersebut hanya berkisar 300 orang saja. Ini artinya setengah dari penduduknya (atau bahkan lebih) mengidap penyakit kusta. Mengetahui kondisi tersebut, menteri kesehatan lantas menyempatkan diri untuk mengunjungi kampung Mumugu lebih tepatnya di Kampung Mumugu Atas. Bahkan hingga 2 kali kunjungan, tepatnya pada bulan Januari 2013 dan April 2014. Berdasarkan uraian masalah tersebut diatas maka diperlukan penelitian untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi penyebab tingginya penderita penyakit kusta di Kampung Mumugu, khususnya faktor yang terkait dengan budaya masyarakat setempat. 1.2.
Gambaran Umum Kabupaten Asmat
Kabupaten Asmat merupakan salah satu kabupaten dari 29 kabupaten/kota yang ada di Propinsi Papua. Sebelumnya daerah ini merupakan bagian dari Kabupaten Merauke. Namun sejak tahun 2002, memisahkan diri menjadi sebuah kabupaten baru, yaitu Kabupaten Asmat dengan ibukota di Agats. Dari Buku Asmat Dalam Angka 2013 yang dikeluarkan oleh Bappeda dan BPS Kabupaten Asmat diketahui bahwa Kabupaten Asmat memiliki luas wilayah 23.746 km2. Terletakdi bagian Selatan Provinsi Papua tepatnya antara 137030’– 139090’ Bujur Timur
4
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
(BT) dan 4040’–6050’ Lintang Selatan (LS). Kabupaten Asmat berbatasan di sebelah Utara dengan Kabupaten Nduga dan Yahukimo, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Mappi dan Laut Arafura, sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Mimika dan Laut Arafura, serta sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Mappi dan Boven Digoel. Topografi Kabupaten Asmat umumnya adalah dataran dengan kemiringan 0–8 persen serta memiliki ketinggian antara 0–100 meter diatas permukaan laut (mdpl). Daerah bergelombang dan berbukit berada di wilayah bagian Utara mulai Barat sampai Timur tepatnya dari Distrik Sawa Erma di bagian Barat sampai Distrik Suator di bagian Timur. Pada daerah dataran rendah dan berawa dialiri oleh sungai-sungai besar seperti Sungai Siretz (panjang 517,5 km), Jats (200 km), Pomats (152 km), Unir (127,5 km) dan Asswet (122 km), serta sungai-sungai besar lainnya yang memiliki panjang sampai puluhan kilometer. Kabupaten Asmat beriklim tropis dengan curah hujan dalam setahun rata-rata 3000–4000 mm dengan temperatur udara antara 17–260C. Saat ini Kabupaten Asmat terbagi menjadi 19 distrik (kecamatan) yang mencakup 221 kampung (desa) dan masingmasing kampung dikepalai oleh seorang kepala kampung. Selain itu, hampir disetiap kampung juga terdapat “tua adat” yaitu orang yang mengerti tentang adat setempat. Penduduk Asmat terbagi menjadi 12 rumpun Etnik. Kedua belas rumpun Etnik tersebut adalah Joirat, Emari, Ducur, Bismam, Becembub, Simai, Kenekap, Unir Siraw, Unir Epmak, Safan, Armatak, Brasm, dan Yupmakcain. Berdasarkan data dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, pada tahun 2013 Kabupaten Asmat dihuni oleh 104.299 jiwa. Jumlah yang masih relatif sedikit bila dibandingkan dengan luas wilayah kabupaten.
5
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Gambar 1.2. Peta Wilayah Kabupaten Asmat Sumber: Bapeda Kabupaten Asmat, 2014.
Tingkat kepadatan penduduk hanya sekitar 4,4 jiwa/km2. Persebaran pendudukpun belum merata. Penduduk hanya terkonsentrasi di pusat pemerintahan baik di kota maupun di distrik. Dari segi infrastruktur kesehatan dan pendidikan, Kabupaten Asmat saat ini memiliki 1 Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD), 13 Puskesmas yang terdiri dari 11 Puskesmas perawatan dan 2 Puskesmas non perawatan. Terdapat 141 Sekolah Dasar (SD), 12 Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan 5 Sekolah Menengah Umum (SMU) baik swasta maupun negeri.
6
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
Gambar 1.3. Ruas jalan yang berupa papan (kiri) dan beton (kanan). Sumber: Dokumentasi Peneliti.
Mengingat sebagian besar wilayah Asmat dialiri sungaisungai besar maka tak heran bila sebagian besar orang Asmat menggunakan sungai sebagai jalur transportasi. Sehingga wajar bila jalan darat yang ada di Kabupaten Asmat relatif masih belum mencukupi bila dibanding dengan luas wilayahnya. Saat ini, jalan darat yang sudah dibangun sepanjang 167.418,34 km. Sebagian besar jalan tersebut merupakan jembatan kayu yang ditata sedemikian rupa dengan lebar antara 1–2meter (94.323,34 km); sedangkan sebagian kecil berupa tanah (71.091 km), baja komposit (1.112 km), dan jembatan beton (892 km). Wilayah Asmat dapat dijangkau dari Timika atau Merauke dengan dua sarana transportasi berbeda, yaitu kapal laut mupun pesawat udara. Tidak ada jalan darat dari suatu tempat yang bisa ditempuh supaya dapat sampai di Kabupaten Asmat. Ada dua kapal laut yang secara regular singgah di dermaga feri Agats yaitu KM. Kelimutu dan Tatamalau. Rute pelayaran kedua kapal tersebut adalah Manado, Sorong, Kaimana, Tual, Timika, Agats, Merauke, dan sebaliknya. Perjalanan kapal laut dari Timika menuju Agats menempuh sekitar 12 jam pelayaran dengan harga tiket kelas ekonomi sekitar Rp. 115.000,00. Sedangkan bila
7
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
ditempuh dari Merauke memerlukan waktu sekitar 36 jam pelayaran dengan harga tiket kelas ekonomi sekitar Rp. 200,000,00. Kapal-kapal perintis atau speed boat adalah alternatif lain dalam mencapai wilayah Asmat dalam keadaan mendesak. Namun hal itu menimbulkan risiko yang sangat berat, gelombang pasang dan kerusakan mesin dapat berakibat fatal. Sarana lain yang dapat digunakan untuk menjangkau wilayah Asmat ialah dengan menggunakan pesawat udara. Bandara Ewer sebagai pintu gerbang utama merupakan landasan pacu yang berperan sangat penting dalam rangka mobilitas penduduk. Pesawat udara yang secara regular melayani penerbangan tujuan ke Bandara Ewer adalah Trigana Air, AMA air, dan Susi Air. Pesawat Trigana dan AMA berangkat dari Bandara Mozes Kilangin Timika, sedangkan Susi Air berangkat dari Bandara Mopah Merauke. Trigana Air melayani penerbangan setiap hari Rabu dan Kamis, AMA Air melayani penerbangan setiap hari Selasa dan Jumat, dan Susi Air melayani penerbangan setiap hari sabtu. Namun cuaca buruk, kerusakan pesawat, tenggelamnya permukaan landasan pacu bandara akibat air pasang ataupun perubahan rute penerbangan tujuan lain adalah persoalan yang dapat membatalkan jadwal penerbangan ke Ewer. Jarak dari Timika ke Ewer dapat ditempuh kurang lebih dalam waktu 45 menit penerbangan. Adapun harga tiket selalu mengalami fluktuasi, sangat tergantung kepada jumlah penduduk yang berkepentingan melakukan mobilitas. Setiap minggu jumlah mobilitas selalu lebih tinggi dari kapasitas daya tampung pesawat. Sehingga harga tiket meningkat mengikuti kebutuhan pasar. Harga tiket Timika–Ewer atau sebaliknya dengan Trigana berkisar antara Rp.300.000–Rp.800.000, Sedangkan dengan AMA sekitar Rp. 1.300.000. Sementara bila menggunakan Susi Air yang
8
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
terbang dari Merauke harga tiketnya sekitar Rp.350.000– Rp.1.000.000 dengan lama perjalanan sekitar 1 jam 45 menit.
Gambar 1.4. Pesawat AMA yang melayani penerbangan Timika–Asmat Sumber : Dokumentasi Peneliti
Dari Bandara Ewer ke Agats mobilitas penduduk dilakukan dengan menggunakan speed boat, dengan harga Rp. 100,000,00 per orang. Waktu tempuh dari Ewer ke dermaga feri di Agats kurang lebih 30 menit. “Kota Di Atas Papan”, begitulah orang menjuluki Kota Agats, ibukota Kabupaten Asmat. Julukan sebagai Kota Di Atas Papan merujuk kondisi riil di Agats. Hal ini terjadi karena daerah Agats dan sebagian besar wilayah Asmat merupakan daerah rawa yang berlumpur. Kondisi ini tidak memungkinkan orang yang tinggal di Kota Agats maupun Asmat secara umum, melakukan aktifitas sehari-hari atau mendirikan bangunan langsung diatas tanah berlumpur. Karena ketika kita menginjakkan kaki, ditanah berlumpur tersebut, maka sebagian tubuh kita akan terjerembab ke dalam kubangan lumpur. Sehingga untuk menyiasati keadaan
9
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
tersebut, semua bangunan rumah ataupun jalan dibangun diatas papan. Tidak terkecuali gedung perkantoran, pasar, sekolahan, termasuk lapangan sepak bola juga dibangun di atas papan.
Gambar 1.5. Rumah dan jalan yang dibangun di atas papan Sumber : Dokumentasi Peneliti
1.3. Gambaran Umum Distrik Sawa Erma Distrik Sawa Erma merupakan salah satu distrik dari 19 distrik yang ada di Kabupaten Asmat. Distrik ini berada dibagian Utara dari Kabupaten Asmat. Distrik Sawa Erma berbatasan langsung di sebelah Utara dengan Kabupaten Nduga, sebelah Selatan berbatasan dengan Distrik Joerat dan Distrik Unir Siraw, sebelah Barat dengan Distrik Pulau Tiga, serta sebelah Timur berbatasan dengan Distrik Suru-suru dan Distrik Unir Siraw. Jumlah kampung yang ada di Distrik Sawa Erma saat ini sebanyak 10 kampung, diantaranya adalah Kampung Sawa, Erma,
10
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
Er, Sauti, Sona, Bu, Agani, Pupis, Mumugu (=Mumugu Bawah), dan Mumugu II (=Mumugu Atas). Ibukota Distrik Sawa Erma berada di Kampung Erma. Sama saperti daerah lain di Kabupaten Asmat, Kampung Sauti juga dibangun di pinggir tepian sungai, tepatnya Sungai Pomats. Untuk menuju ke Distrik Sawa Erma dapat ditempuh dengan menggunakan speed boat, perahu fiber, long boat, maupun belang. Waktu yang diperlukan untuk sampai ke ibukota Distrik Sawa Erma dari Agats berkisar antara 3–4 jam, tergantung jenis transport yang digunakan, kapasitas mesin dan jumlah muatan yang dibawa.
Gambar 1.6. Peta Wilayah Distrik Sawa Erma Sumber: Bappeda Kab. Asmat
Saat ini Distrik Sawa Erma memiliki 2 buah Puskesmas yaitu 1 Puskesmas rawat inap dan 1 buah Puskesmas rawat jalan, serta Puskesmas pembantu (pustu), yaitu suatu bangunan fisik gedung sederhana yang ditempati oleh 1 atau 2 orang tenaga kesehatan baik perawat ataupun bidan yang bertanggung jawab dalam hal pelayanan kesehatan masyarakat setempat. Namun
11
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
saat ini belum semua kampung memiliki pustu. Dari 10 kampung yang ada, baru terdapat 5 pustu yang mencakup 8 kampung, diantaranya : Kampung Sawa (1 perawat merangkap Kampung Zona), Erma (1 perawat merangkap Kampung Er), Bu (1 perawat, 1 bidan merangkap Kampung Agani), Pupis (Tidak terdapat tenaga kesehatan), Mumugu Bawah (1 perawat). Sedangkan Puskesmas rawat inap berada di Kampung Sauti sementara Puskesmas rawat jalan berada di Kampung Mumugu Atas.
Gambar 1.7. Kantor Distrik Sawa Erma Sumber : Dokumentasi Peneliti
1.4.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapat gambaran secara menyeluruh aspek secara sejarah, geografi dan sosial budaya terkait penyakit kusta pada Etnik Asmat yang men-diami Kampung Mumugu, Distrik Sawaerma, Kab. Asmat. 1.5.
Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di kampung Mumugu I (Bawah) dan Mumugu II (Atas atau Batas Batu) selama 2 bulan, tepatnya
12
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
mulai tanggal 5 bulan Mei sampai dengan tanggal 3 bulan Juli 2014. Kampung Mumugu I adalah tempat asal kampung Mumugu II, sehingga secara historis keduanya saling berhubungan. Dipilihnya kedua kampung itu karena sebagian besar (sekitar 85%) warganya menderita kusta. Penyakit dan penderita kusta memang menjadi topik penelitian ini. 1.6.
Instrumen dan Cara Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan metode etnografi, yang pengumpulan datanya dilakukan dengan cara observasi partisipasi, wawancara, foto, video, dan penggunaan data sekunder (dokumen). Hal ini dilakukan supaya data yang terkumpul benar-benar akurat dan terpercaya. Beberapa cara pengumpulan data tersebut adalah sebagai berikut ini. 1.6.1. Observasi Partisipasif Observasi partisipasif merupakan salah satu cara yang digunakan dalam penelitian ini guna mendapatkan gambaran umum subyek penelitian. Observasi dan partisipasi dilakukan dengan terlibat langsung dengan segala kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh masyarakat. Pada penelitian ini yang kami observasi adalah masyarakat di Kampung Mumugu, khususnya perilaku yang berkaitan dengan penyakit kusta diantaranya pola perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Observasi partisipasif dilakukan dengan mengikuti semua aktifitas sehari-hari di rumah, aktifitas pekerjaan yang berkaitan dengan kesehatan, hingga ritual-ritual dan upacara-upacara yang sedang dilakukan di kampung itu. Pengamatan dilakukan atas dasar pengalaman langsung, yakni peneliti melihat dan mengamati sendiri, kemudian mencatat perilaku maupun kejadian yang terjadi sebagai keadaan yang sebenarnya di
13
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
lapangan. Alat yang digunakan dalam observasi partisipasif ini adalah handycam dan kamera digital. 1.6.2. Wawancara Cara pengumpulan data berikutnya adalah dengan melakukan wawancara. Cara ini dilakukan guna mendapatkan data yang lebih mendalam dari hasil kegiatan observasi dan partisipasi yang telah dilakukan sebelumnya. Dalam penelitian ini, model wawancara yang dilakukan adalah wawancara tak berstruktur (unstructured interview) dan berfokus (focused interview). Dengan cara ini wawancara yang dilakukan tersebut berlangsung seperti percakapan biasa/sambil lalu tanpa ada pembatas (atau merasa dibatasi) antara peneliti dan informan, tetapi tetap fokus pada suatu pokok permasalahan (intercept interview). Untuk menggali informasi lebih dalam dari informan, dalam penelitian ini peneliti melakukan wawancara mendalam (indepth interview),yaitu wawancara yang terfokus untuk pendalaman data sesuai dengan topik penelitian. Wawancara mendalam dilakukan dengan informan yang dianggap bisa memberikan gambaran yang jelas dan mendalam atas kejadian atau peristiwa tertentu.Hal ini dilakukan agar data yang didapatkan lebih valid. Untuk itu, dalam wawancara mendalam ini diperlukan informan yang benar-benar memahami topik yang akan didiskusikan. Wawancara mendalam dalam penelitian ini dilakukan antara lain dengan kepala kampung, tetua adat, tokoh agama, penderita kusta, termasuk dengan tenaga kesehatan. Pemilihan informan disesuaikan dengan jenis atau pokok pertanyaan peneliti. Sebelum mengajukan pertanyaan sesuai dengan pokok permasalahan, peneliti terlebih dahulu melakukan pembicara-an ringan, seperti menanyakan keadaan informan maupun keadaan 14
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
yang terjadi di lingkungan sekitar lokasi wawancara saat itu. Dalam wawancara, pertanyaan yang diajukan peneliti tidak hanya sebatas pada topik yang diinginkan. Tetapi peneliti juga menyelinginya dengan pertanyaan-pertanyaan lain yang tidak terkait dengan topik, sehingga tidak terkesan kaku. Terkadang, dalam sela-sela wawancara peneliti juga bercanda dengan informan layaknya perbincangan biasa. Dengan begitu diharapkan, informan dapat memberikan jawaban-jawaban yang sebenarnya tanpa ada yang disembunyikan. Namun ada kalanya peneliti juga melakukan wawancara secara formal. Data yang telah diperoleh dari hasil wawancara, kemudian dilakukan cross check dengan informan yang lain maupun hasil dari observasi partisipasif (triangulasi data, triangulasi informan). Hal ini dilakukan agar data yang diperoleh benar-benar dapat dipertanggungjawabkan. Data yang telah diperoleh segera diproses untuk menghindari kesalahan persepsi dari data yang telah diperoleh. 1.6.3. Data Sekunder Pengumpulan data berikutnya yang dilakukan peneliti adalah dengan mencari data-data sekunder. Data-data tersebut berupa data statistik, data-data kesehatan secara umum, buku, maupun penelusuran informasi melalui internet terkait dengan kondisi di Kabupaten Asmat. 1.6.4. Data Visual Data lain yang tak kalah penting untuk dikumpulkan adalah data visual berupa foto dan video. Data ini berfungsi sebagai data penguat, yang menjadi penunjang bagi data-data yang telah dikumpulkan sebelumnya. Data visual ini diharapkan
15
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
dapat memperjelas gambaran fenomena atau peristiwa yang terjadi, yang tidak cukup hanya digambarkan dalam bentuk tulisan. 1.6.5. Studi Kepustakaan Teknik pengambilan data terakhir adalah dengan melakukan studi kepustakaan. Studi pustaka yang dimaksud adalah cara memperoleh informasi atau data mengenai topik permasalahan yang dibahas dari buku-buku maupun dari internet. 1.7.
Analisis Data
Analisis data dilakukan sebagai upaya untuk mencari dan menata secara sistematis catatan-catatan hasil observasi, wawancara, dan dokumentasi untuk meningkatkan pemahanan peneliti tentang persoalan yang diteliti, kemudian menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain. Dalam penelitian ini teknik analisis data yang digunakan adalah analisa tema. Data hasil wawancara dengan informan bersifat etnografis. Selama penelitian berlangsung peneliti selalu melakukan triangulasi data bahkan sampai penelitian ini selesai. Peneliti juga melakukan pengecekan ulang dengan semua informan, bila menurut peneliti data yang didapat mempunyai kekurangan atau kesalahan. Hal ini akan mendukung keaslian data yang berhubungan dengan topik penelitian. Tahapan analisis tematik dalam penelitian ini dapat dikemukakan sebagai berikut. Pertama, peneliti membaca data yang diperoleh peneliti, baik melalui kegiatan observasi, wawancara, data hasil catatan lapangan, fieldnote, dan hasil transkip wawancara. Kedua, setelah semua dipahami oleh
16
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
peneliti, kemudian peneliti memilah-milah data yang diperoleh dan mengambil hal yang pokok terkait dengan topik penelitian, yaitu mengenai penyakit kusta yang terjadi di kampung Mumugu. Ketiga, peneliti menyusun data yang telah diperoleh dan mengklasifikasikan data tersebut.
17
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
18
BAB 2 BUDAYA ETNIK ASMAT DI KAMPUNG MUMUGU
2.1.
Sejarah
Kabupaten Asmat tidak hanya merupakan suatu daerah administrasi yang mencakup wilayah secara fisik. Namun Kabupaten Asmat juga merupakan sebuah kabupaten yang masyarakatnya merupakan Etnik Asmat itu sendiri. Sehingga tak heran jika mereka memiliki budaya dan pola hidup yang yang relatif sama, meski terdiri dari beberapa sub rumpun. Dalam penulisan sejarah ini diuraikan sejarah awal mula Etnik Asmat berdasarkan versi yang berkembang di masyarakat, baru kemudian diuraikan sejarah kampung Mumugu Bawah dan Mumugu Atas tempat penelitian etnografi kesehatan ini dilakukan. 2.1.1. Asal mula Etnik Asmat Pada zaman dahulu kala hiduplah seorang pemuda yang gagah perkasa yang bernama Fumiripits. Fumiripits hidup di tengah hutan belantara seorang diri. Pada suatu ketika, Fumiripits melakukan perjalanan menyusuri sungai menuju daerah hilir. Dalam perjalanan tersebut, perahu yang digunakan Fumiripits terkena ombak yang semakin lama semakin kencang. Hal ini mengakibatkan Fumiripits terjatuh ke sungai, dan akhirnya terdampar di tepi sungai dalam keadaan sekarat. Dalam kondisi demikian, datanglah sekawanan burung yang menolong
19
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Fumiripits. Hingga akhirnya Fumiripits dapat kembali pulih seperti semula. Namun kini Fumiripits hidup di daerah yang baru dengan kesendiriannya. Untuk tempat tinggal, Fumiripits membangun rumah panjang. Sedangkan untuk menghilangkan rasa sepinya, Fumiripits membuat dan mengisi rumah panjangnya dengan patung-patung yang ia buat sendiri. Patung-patung tersebut ia buat sangat halus dan menyerupai bentuk manusia.Mulai dari bentuk kepala, tangan, badan, dan kaki. Akan tetapi patung tetaplah benda mati yang tidak bisa bergerak atau bicara. Sehingga dirinya masih merasa kesepian. Fumiripits akhirnya membuat tifa yaitu sebuah gendang kecil.Gendang tersebut dibuat dengan cara melubangi kayu hingga membentuk seperti tabung. Lalu salah satu lubang tabung tersebut ditutup dengan kulit binatang seperti kulit kadal yang diikat melingkar dengan rotan. Setelah tifa itu jadi, ia pun menabuhnya setiap hari. Tifa yang ditabuh oleh Fumiripits menghasilkan suara yang sangat merdu sehingga membuat patung tersentak.Patung-patung itu mulai bergerak dan menyentak-nyentak mengikuti irama pukulan tifa. Semakin cepat tifa dipukul, patung-patung itupun bergerak semakin lincah. Sungguh ajaib, patung-patung itupun akhirnya hidup selayaknya manusia. Semenjak itu, Fumiripits melanglang ke berbagai tempat dan disetiap tempat yang disinggahi tersebut, ia membangun rumah panjang dan menciptakan manusia-manusia baru yang kemudian menjadi orang-orang Asmat seperti sekarang ini. (www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/kabupaten/ id/91/ name/papua/detail/9118/asmat).
20
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
2.1.2. Sejarah Kontak Pertama Etnik Asmat dengan Dunia Luar Menurut catatan, pada akhirtahun 1770-an sebuah kapal yang dinahkodai oleh Kapten James Cook berlabuh di sebuah teluk di daerah Asmat yang kemudian menyebut daerah tersebut dengan sebutan Teluk Cook. Pada saat itu James Cook dan awak kapalnya menyatakan bertemu dengan orang Asmat yaitu dengan munculnya puluhan perahu lesung panjang didayungi ratusan laki-laki berkulit gelap dengan wajah dan tubuh yang diolesi warna-warna merah, hitam, dan putih. Mereka menyerang dan berhasil melukai serta membunuh beberapa anak buah James Cook. Satu setengah abad dari peristiwa tersebut, tepatnya pada tahun 1904, Kapal SS Flamingo mendarat di sebuah teluk di pesisir Barat daya Papua. Apa yang dialami oleh James Cook dan anak buahnya, juga terjadi pada awak kapal SS Flamingo. Ratusan pendayung perahu lesung panjang yang berkulit gelap mendatangi kapal SS Flamingo. Namun kali ini tidak terjadi kontak berdarah seperti yang dialami oleh James Cook. Kronologis kontak orang Asmat dengan dunia luar yang dimulai pada tahun 1904. Kontak itu terjadi, karena ekspedisiekpspedisi yang dilakukan orang Eropa di wilayah Pasifik. Ekspedisi berikutnya terjadi pada tahun 1907, 1909–1910 dan tahun 1912–1913. Ekspedisi pertama dan kedua dipimpin Lorentz dan terakhir Franssen Herderschee. Dua ekspedisi berikutnya terjadi pada tahun 1922 dan 1923, keseluruhan ekspedisi tersebut adalah dalam rangka ekspedisi ilmiah. Kunjungan lain berasal dari pihak Pemerintah Belanda yang terjadi pada tahun 1904 disusul kunjungan-kunjungan berikut. Tahun 1936 Pemerintah Belanda membangun Pos untuk kepentingan keamanan. Felix Maturbongs diangkat menjadi Bestir Assistant di Agats untuk masa tugas 1938–1943 kemudian mendatangkan tukang-tukang dari Kei untuk membangun 21
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Kompleks Pos Pemerintahan di Agats. Orang Asmat Pos Pemerintahan itu disebut Akat yang berarti “baik” atau “bagus”. Lidah orang Belanda ternyata sulit untuk mengatakan “Akat”, yang terucap ialah “Agats”, maka daerah sekitar Pos Pemerintahan hingga kini disebut dengan Agats. Selanjutnya Agats menjadi nama ibu kota wilayah Asmat. Pada tahun yang sama dengan tahun pembangunan Pos Pemerintahan (1936), P. Tillemans mengunjungi daerah Asmat bagian Utara dengan perahu dayung dari Pusat Misi MSC di Mimika dalam rangka pewartaan Injil. Tahun 1938 P. Cornelisse, MSC mengunjungi Asmat dari Langgur, Kei. Dari kunjungan itu dua gereja dibangun di Syuru dan Ayam. Tahun 1943 tentara Jepang memasuki daerah Mimika. Bestir Felix Maturbongs mendapat telegram dari Resident Merauke supaya penduduk Agats segera diungsikan ke Merauke dan Pos Pemerintahan Agats dimusnahkan. Pada tanggal 26 Januari 1943 Bestir dan semua pendatang di Agats berangkat ke Merauke dengan menumpang KM. Herman, sementara semua bangunan Pos Pemerintahan Agats telah hangus dibakar. Sampai pada tahun ini segala upaya pewartaan dan pembangunan di wilayah Asmat terhenti, Perang Dunia ke II yang terus berkecamuk tak memungkinkan adanya upaya termaksud. Tahun 1950 ketika situasi kembali damai, pastor Gerald Zegwaard mengunjungi Asmat dan berusaha memulangkan kembali penduduk Asmat yang semula mengungsi ke Kamoro. Pastor Zegwaard menempatkan lima orang Katekis di Kampung Ao, Kapi, As-Atat, dan Nakai, yang sekarang berkembang menjadi Paroki Yamas. Tahun 1951, dr. Fisher, seorang tenaga medis dari WHO bertandang ke Asmat dan diterima masyarakat dengan baik. Wabah frambusia menyebar, sehingga pengobatan yang dilakukan dr. Fisher menyebabkan kehadiran dokter termaksud memberikan sumbangan positif bagi kesehatan masyarakat. Pada
22
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
Januari 1953 Pastor Zegwaard mulai menetap di Agats (Linggasari, 2001). Satu dekade berselang, tepatnya sejak tanggal 1 Mei 1963 Irian Jaya diserahkan kepada Pemerintah Indonesia. Sejak saat itu maka wilayah Asmat dipimpin oleh seorang KPS (Kepala Pejabat Setempat) setara dengan kedudukan kepala distrik saat ini. Kehadiran missionaries serta jajaran pemerintah, meski berusia sangat muda perlahan-lahan mulai mengubah kehidupan masyarakat dari system berperang menjadi kehidupan yang lebih damai, praktis adat mengayau perlahan memudar kemudian hilang sama sekali. Akan tetapi sistem kepercayaan yang mendasar akan relasi dengan roh leluhur tetap bertahan dan menjadi dasar dari perilaku masyarakat, terutama dalam hal seni ukir. 2.1.3. Lahirnya Kabupaten Asmat Kabupaten Asmat berdiri sejak tahun 2002. Hal ini didasarkan pada UU Nomor 26 Tahun 2002. Selain Kabupaten Asmat, dalam undang-undang tersebut juga mengatur tentang pembentukan kabupaten baru yang terpisah dari kabupaten induknya. Kabupaten-kabupaten baru tersebut adalah Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Kaimana, Kabupaten Teluk Wondama, dan Kabupaten Teluk Bintuni (di Propinsi Papua Barat); serta Kabupaten Sarmi, Kabupaten Keerom, Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten Yahokimo, Kabupaten Tolikara, Kabupaten Waropen, Kabupaten Boven Digul, Kabupaten Mapi, dan Kabupaten Asmat (di Propinsi Papua). Kabupaten Asmat sendiri sebelumnya merupakan bagian dari Kabupaten Merauke, bersama-sama dengan Kabupaten Mappi dan Kabupaten Boven Digoel. Dengan undang-undang
23
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
tersebut, secara resmi Asmat, Mappi dan Boven Digoel masingmasing membentuk pemerintahan sendiri yang terpisah dari Kabupaten Merauke. Kabupaten Asmat beribukotakan di Agats, Kabupaten Mappi beribukota-kan di Kepi, sementara Kabupaten Boven Digoel beribukota-kan di Tanah Merah. Pelantikan Pejabat Pejabat Bupati Kabupaten Pemekaran di seluruh Propinsi Papua sendiri dilaksanakan pada Bulan April 2003 di Jayapura. Berselang 1 bulan berikutnya, Bupati Merauke beserta jajaran serta masyarakat Merauke menyelenggarakan upacara adat penyerahan pejabat bupati kepada masyarakat yang akan dipimpinnya, secara simbolis. Sejak saat itu Kabupaten Asmat, maupun kabupaten lain hasil pemekaran, memasuki babak sejarah baru dalam rangka pembangunan wilayah dalam tatanan pemerintah kabupaten. Dalam perkembangannya, pembentukan wilayah Kabupaten Asmat, secara perlahan namun pasti memberikan arah perubahan dalam kehidupan masyarakat dalam satu dekade terakhir. Distrik dimekarkan dari yang semula 7 distrik menjadi 10 distrik, dan akhirnya menjadi 19 distrik seperti sekarang ini. Kesembilan belas distrik tersebut adalah Distrik Agats, Akat, Atsy, Ayip, Betc Bamu, Der Koumur, Fayit, Jetsy, Joerat, Kolf Brasa, Kopay, Pantai Kasuari, Pulau Tiga, Safan, Sawa Erma, Sirets, Suator, Suru-suru, dan Unir Siraw. Infrastruktur di Agats sebagai ibukotapun mulai dibangun. Jaringan telekomunikasi milik pemerintah mulai didirikan, jalanjalan penghubung mulai dibangun yang semula hanya dari papan diganti menjadi jalan beton. Dermaga fery sebagai salah satu pintu keluar-masuk ke Agats dari jalur laut juga tidak luput dari pembangunan. Listrik yang semulamenyala hanya 6 jam di malam hari, kini menyala pula di siang hari selama 6-8 jam. Fasilitas sosialpun mulai banyak bermunculan, seperti hotel, bank, sekolahan, warnet, dan rumah ibadah. Bahkan rumah makan
24
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
maupun toko-toko yang menjual kebutuhan sehari-hari hampir berderet disepanjang jalan-jalan utama di Kota Agats. Alat transportasi masyarakat di Agats pun juga mulai berkembang. Semula orang hanya jalan kaki dari satu tempat ke tempat lain.Kondisi itu digantikan dengan keberadaan sepeda mini, sepeda federal, dan akhirnya motor listrik sebagai sarana mobilitas utama di dalam kota Agats. Sehingga tidak heran bila di Kota Agats ini tidak ada polusi suara maupun polusi udara yang ditimbulkan oleh kendaraan bermotor roda dua ataupun roda empat sebagaimana yang terjadi di kota-kota yang lain.
Gambar 2.1. Dermaga fery, jaringan listrik, hotel, dan motor elektrik di Agats. (Searah jarum jam dari kiri atas) Sumber : Dokumentasi Peneliti
25
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
2.1.4. Kepercayaan Etnik Asmat Terkait kepercayaan, Etnik Asmat percaya bahwa alam semesta dihuni oleh roh, jin, makhluk halus, yang semuanya disebut dengan setan. Bagi Etnik Asmat, setan digolongkan menjadi dua kategori yaitu setan yang membahayakan hidup (osbopan) dan setan yang tidak membahayakan hidup. Osbopan yaitu setan yang dapat mengancam nyawa dan jiwa seseorang seperti setan perempuan hamil yang telah meninggal atau setan yang hidup di pohon beringin, roh yang membawa penyakit dan bencana.Sedangkan setan yang tidak membahayakan hidup, nyawa dan jiwa seseorang, hanya menakut-nakuti dan mengganggu. Selain itu orang Asmat juga mengenal roh yang sifatnya baik terutama bagi keturunannya, yang berasal dari roh nenek moyang dan disebut yi-ow.Roh leluhur dipresentasikan dalam ukiran kayu spektakuler di perahu, tameng atau tiang kayu yang berukir figur manusia.Suatu keyakinan masih mengakar, bahwa roh-roh orang yang telah meninggal masih tetap berada di dalam kampung, terutama kalau kerabat tersebut diwujudkan dalam bentuk patung mbis, yaitu patung kayu dengan ketinggian 5-8 meter. Sistem kepercayaan yang mendasar akan relasi dengan roh leluhur tetap bertahan dan menjadi dasar dari perilaku masyarakat, terutama dalam hal seni ukir (Linggasari, 2001). Etnik Asmat memandang kehidupan menjadi tiga bagian. Bagian pertama adalah alam kehidupan sekarang yang disebut dengan Amat ow capinmi.Bagian kedua adalah tempat persinggahan orang-orang yang sudah meninggal dan belum memasuki tempat istirahat kekal di safar (surga) yang disebut Dampu ow capinmi. Roh-roh yang tinggal di Dampu ow capinmi adalah penyebab penyakit, penderitaan, gempa bumi, dan peperangan. Orang-orang yang masih hidup harus menebus rohroh ini dengan membuat pesta-pesta dan ukiran serta 26
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
memberinya nama agar mereka dapat masuk ke alam Safar yang merupakan tujuan akhir, bagian ketiga dari kehidupan orang Asmat. 2.1.5. Sejarah Kampung Mumugu Telah dikemukakan pada Bab 1 bahwa Kabupaten Asmat saat ini memiliki 221 kampung, dan yang menjadi lokasi penelitian ini adalah Kampung Mumugu baik Mumugu Bawah maupun Mumugu Atas. Kampung Mumugu tepanya Mumugu Bawah didirikan sekitar tahun 1974. Sebagaimana kampunglainnya di Kabupaten Asmat, Kampung Mumugu pun dibangun di tepi sungai, tepatnya Sungai Pomats. Kampung Mumugu merupakan bagian dari rumpun Unir Siraw sebagaimana diungkapkan oleh informan A sebagai berikut : “....Rumpun Unir Siraw ini mereka berada dijajaran Sungai Unir dan sebagian Sungai Pomats. Salah satu kampung dari Distrik Sawa Erma yang sekarang ini adalah Kampung Mumugu. Kampung Mumugu ini sejalur dengan Sungai Pomats dan Kampung Mumugu sendiri merupakan bagian dari Rumpun Unir Siraw....,”
Awalnya, kampung ini dihuni oleh 4 fam (masyarakat setempat biasa menyebut dengan klen atau marga), yaitu: Mumugu (RT 1), Jumunje (RT 2), Tumu (RT 3), dan Sakapu (RT4). Masing-masing fam menghuni dalam kelompok pemukiman sendiri. Dalam setiap fam tersebut terdapat satu rumah panjang atau biasa disebut dengan rumah bujang atau jew. Pengertian tentang jew akan diulas dalam subbab pola tempat tinggal. Jew terletak di depan kelompok pemukiman mereka. Karena letaknya di tepi Sungai Pomats, kampung ini mudah dijangkau dan sering dikunjungi orang dari kampung lain, termasuk para pedagang.
27
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Pada bulan September-Oktober, ketika musim kemarau tiba, banyak pedagang yang datang ke kampung ini untuk membeli penyu (penyu moncong babi) dari penduduk. Tiap kepala keluarga biasanya mempunyai wilayah tempat bertelurnya penyu, yaitu di kelokan (tanjung) sungai. Ketika kemarau, sungai menjadi berkurang airnya, sehingga muncullah dataran pasir di kelokan-kelokan sungai. Sementara itu, Kampung Mumugu Atas merupakan pecahan dari Kampung Mumugu Bawah. Mereka yang pindah ke Mumugu Atas berasal dari fam Tumu dan Sakapu. Menurut beberapa cerita dari informan yang mempunyai andil dalam pembentukkan kampung Mumugu Atas, diketahui bahwa terbentuknya kampung ini berawal ketika pada tahun 2009, pemerintah daerah Kabupaten Nduga meminta izin kepada pemerintah daerah Kabupaten Asmat untuk membuka jalan dari Nduga sampai di daerah yang disebut dengan Batas Batu. Batas Batu merupakan daerah perbatasan wilayah Selatan Kabupaten Nduga dengan wilayah Utara Kabupaten Asmat. Wilayah Batas Batu ini masuh ke dalam wilayah Kabupaten Asmat. Disebut Batas Batu karena hanya sampai di daerah inilah, batu-batu gunung yang berasal dari wilayah Kabupaten Nduga sampai ke bawah. Dan ini benar adanya, bila dicermati dengan seksama, maka tidak akan diketemukan batu gunung atau batu kali di Kampung Mumugu Bawah. Sehingga tak heran bila batu menjadi barang berharga bagi sebagian masyarakat di Kabupaten Asmat. Maksud pembukaan jalan dari Kabupaten Nduga ke Batas Batu tersebut adalah sebagai jalur alternatif untuk arus barang masuk menuju Kabupaten Nduga. Karena selama ini barang kebutuhan sehari-hari masyarakat Kabupaten Nduga hanya disuplai dengan menggunakan pesawat udara. Hal ini dikarenakan wilayah Kabupaten Nduga merupakan daerah
28
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
pegunungan yang tidak mempunyai akses transportasi lain selain melalui udara. Sehingga tidak heran bila harga barang kebutuhan sehari-hari sangat mahal.
Gambar 2.2. Kelangkaan batu di Mumugu Bawah (kiri) dan Batu yang dengan mudah ditemukan di Mumugu Atas (kanan). Sumber : Dokumentasi Peneliti
Maksud pembukaan jalan dari Kabupaten Nduga ke Batas Batu tersebut adalah sebagai jalur alternatif untuk arus barang masuk menuju Kabupaten Nduga. Karena selama ini barang kebutuhan sehari-hari masyarakat Kabupaten Nduga hanya disuplai dengan menggunakan pesawat udara. Hal ini dikarenakan wilayah Kabupaten Nduga merupakan daerah pegunungan yang tidak mempunyai akses transportasi lain selain melalui udara. Sehingga tidak heran bila harga barang kebutuhan sehari-hari sangat mahal. Dengan dibukanya jalan tersebut, maka barang kebutuhan sehari-hari yang didatangkan dari Merauke maupun Timika menggunakan kapal, diharapkan tidak hanya berlabuh di Agats saja, namun dapat dilanjutkan ke pelabuhan sungai yang telah dibangun di Batas Batu. Dari situ distribusi barang diangkut ke Kabupaten Nduga dengan menggunakan truk melalui jalan darat. Hal ini dilakukan, karena kapal pengangkut barang tidak memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan ke Kabupaten 29
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Nduga yang merupakan daerah pegunungan. Karena semakin ke hulu sungai, kedalamannya tentu semakin berkurang sehingga tidak memungkinkan untuk dilalui kapal. Namun hal ini menimbulkan masalah baru. Ada isu yang berkembang di masyarakat yang menyebutkan bahwa masyarakat Kabupaten Nduga mengklaim wilayah Batas Batu sebagai wilayahnya. Mereka menyebut wilayah ini dengan nama Kripkuri (Krip=batas; kuri=batu).Hal ini membuat masyarakat Kampung Mumugu Bawah merasa terusik. Untuk menjaga wilayah yang telah diwariskan secara turun temurun oleh leluhurnya, maka mereka membangun perkampungan di Batas Batu. Ada lebih dari separuh penduduk Mumugu Bawah yang pindah ke Batas Batu. Berhubung mereka merupakan pindahan dari Kampung Mumugu Bawah, maka daerah Batas Batu juga biasa disebut dengan Kampung Mumugu II atau Mumugu Atas.
Gambar 2.3. Pelabuhan sungai di Batas Batu Sumber : Dokumentasi Peneliti
30
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
Sampai saat ini, belum diketahui arti nama Kampung Mumugu. Baik masyarakat ataupun tua adat, ketika ditanya mengaku tidak mengetahui apa arti dari “Mumugu”. Pemberikan nama Mumugu sendiri sudah ada ketika wilayah Asmat masih bergabung dengan Kabupaten Merauke. Menurut cerita, dahulu Mumugu sendiri bernama Wiptieu namun diganti menjadi nama Mumugu oleh Pemerintah Kabupaten Merauke. 2.2.
Geografi dan Kependudukan
Kampung Mumugu baik Mumugu Bawah maupun Mumugu Atas berada di satu aliran sungai yang sama. Bila ingin ke Kampung Mumugu Atas dari Kota Agats maka kita akan melewati Kampung Mumugu Bawah. Waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke Kampung Mumugu Atas dari kota Agats adalah sekitar 6–9 jam perjalanan. Tergantung jenis transportasi yang digunakan (Speedboat, longboat, atau perahu beelang), kapasitas mesin dan jumlah muatan yang dibawa. Waktu naik menuju Kampung Mumugu Atas relatif lebih lama dibanding arah sebaliknya (turun). Hal ini dikarenakan perjalanan naik harus melawan arus air yang berasal dari hulu sungai. Kampung Mumugu Atas, selain dapat ditempuh melalui jalur sungai, saat ini juga sudah dapat ditempuh melalui jalur darat yaitu melalui Kenyam (Ibukota Kabupaten Nduga). Waktu yang dibutuhkan untuk sampai di Kampung Mumugu Atas dari Kenyam sekitar 1,5–2 jam dengan menggunakan truk atau mobil jenis ranger malalui kondisi jalan batu dan medan yang berbukit. Bila menggunakan truk ukuran yang kecil, maka bak truk harus diisi pemberat seperti pasir atau batu-batu. Hal ini dilakukan agar truk mampu melewati tanjakan yang cukup tinggi. Truk yang tanpa pemberat atau dalam kondisi ringan dipastikan tidak akan mampu melewati beberapa tanjakan yang reltif tinggi
31
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
tersebut, seperti terlihat pada gambar. Tampak truk kesulitan melewati tanjakan di jalanan berbatu dan berbukit di ruas jalan yang menghubungkan Kenyam (Kab. Nduga) dengan Kampung Mumugu Atas.
Gambar 2.4. Salah satu alat transportasi untuk ke Mumugu Sumber : Dokumentasi Peneliti
Gambar 2.5. Truk yang kesulitan melewati tanjakan Sumber: Dokumentasi Peneliti
32
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
Kampung Mumugu baik Mumugu Bawah maupun Mumugu Atas, saat ini dihuni oleh 136 KK (kepala keluarga) yang terdiri dari 473 orang. Jumlah ini didasarkan pada hasil pendataan yang dilakukan oleh tim Puskesmas Mumugu secara door to door pada bulan Mei–Juni 2014. Dari data tersebut juga diketahui bahwa perbandingan antara jumlah penduduk laki-laki dengan penduduk perempuan relatif berimbang, yaitu penduduk laki-laki berjumlah 233 orang dan perempuan berjumlah 240 orang. Saat ini di Kampung Mumugu Atas telah berdiri sebuah Puskesmas, yaitu Puskesmas Mumugu. Selain Puskesmas, fasilitas umum yang ada di Kampung Mumugu Atas adalah 1 Gedung Sosial, 1 rumah panjang (jew), 1 tempat ibadah, 1 dapur umum, 4 buah penampungan air hujan, 2 buah sumur gali, 2 tempat toilet umum masing-masing 4 ruang, dan 1 balai kampung yang dimanfaatkan untuk sekolah. Namun saat dilakukan penelitian ini, kegiatan belajar-mengajar tidak berjalan karena ketiadaan guru. Demikian juga dapur umum, sampai saat ini belum difungsikan. Sementara fasilitas umum yang ada di Kampung Mumugu Bawah selain pustu adalah 2 jew, 1 tempat ibadah, 1 panggung tempat pertunjukan, 1 tempat toilet umum yang terdiri dari 4 ruang, 1 dapur umum, dan 1 gedung sekolah. Sama dengan di Mumugu Atas, gedung sekolah tersebut saat ini tidak digunakan karena ketiadaan guru, demikian pula dengan dapur umumnya. 2.3.
Pola Tempat Tinggal
Sebagaimana telah diuraikan pada gambaran wilayah Kabupaten Asmat secara umum adalah tanah lumpur berawa. Pun demikian dengan wilayah yang ada di Kampung Mumugu. Tanah rawa berlumpur yang menggenangi hampir seluruh
33
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
wilayah kampung.Hujan yang turun hampir sepanjang tahun menyebabkan kondisi tanah tidak pernah kering dari genangan air. Kondisi ini mengharuskan masyarakat membuat rumah dalam bentuk rumah panggung, sebagaimana orang Asmat pada umumnya. Perkampungan Mumugu Bawah yang berada di tepi Sungai Pomats berpola konsentris, yaitu memusat atau berkumpul menurut klen masing-masing. Tiap klen terdiri atas 10-15 kepala keluarga. Secara tradisional, rumah masyarakat Mumugu sangatlah sederhana. Tiang dan lantai dibuat dari kayu, sedangkan dinding dan atap dibuat dari daun pohon sagu.
Gambar 2.6. Rumah tradisional orang Mumugu yang telah ditinggalkan Sumber: Dokumen peneliti
Pada tahun 2010, pemerintah telah membangun 20 rumah sederhana, yang terdiri dari: 10 rumah untuk fam Mumugu dan 10 rumah untuk fam Jumunje. Rumah sederhana tersebut
34
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
dibangun dari papan untuk lantai dan dindingnya, sedangkan atapnya dari seng. Ke dua-puluh rumah sederhana itu dibangun berjajar memanjang, sekitar 25 meter dari tepi sungai Pomats.
Gambar 2.7. Perumahan Kampung Mumugu Bawah. Sumber: Dokumen peneliti
Setiap rumah terdapat bagian untuk tempat tidur, ruang tamu, dan tempat untuk memasak meski setiap bagian tersebut tidak terlalu luas. Ada 2 pintu dan 3 jendela disetiap rumah. Untuk pintu posisinya masing-masing 1 buah di bagian depan dan belakang. Sedangkan untuk jendela, 1 buah di sisi bagian depan rumah dan 2 buah di sisi samping rumah. Jendela terbuat dari kaca yang bisa dibuka tutup. Masing-masing rumah dihuni oleh 1 kepala keluarga yang terdiri dari 3-5 orang. Namun ada juga yang dalam 1 rumah ditempati lebih dari 12 orang, terutama bagi mereka yang kepala keluarganya memiliki 2 istri. Pola tempat tinggal yang relatif sama juga ada di Kampung Mumugu Atas. Masyarakat Mumugu Atas saat ini juga
35
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
menempati rumah panggung sederhana yang dibangun oleh pemerintah.Total ada 50 rumah sederhana di Kampung Mumugu Atas. Bahan material yang digunakan untuk membangun rumah di Kampung Mumugu Atas juga tidak berbeda dengan di Kampung Mumugu Bawah yaitu lantai dan dinding dari papan, sedangkan atap dari seng. Yang membedakan perumahan antara ke dua kampung hanya pada model dan tata letak bangunan rumah.
Gambar 2.8. Denah pemukiman kampung Mumugu Atas. Sumber: Puskesmas Mumugu
Untuk model rumah di Kampung Mumugu Atas adalah persegi panjang, dimana sisi panjangnya menyamping. Sedangkan di Mumugu Bawah, sama persegi panjang, tetapi sisi panjangnya kebelakang. Jika di Kampung Mumugu Bawah bangunannya berjajar memanjang di pinggir sungai, maka di Kampung Mumugu Atas berjajar ke belakang dengan masing-
36
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
masing deret berjajar 5 rumah. Setiap 2 deret (10 rumah) posisinya saling berhadapan.
Gambar 2.9. Perumahan Kampung Mumugu Atas. Sumber: Dokumen peneliti
Sama dengan perumahan di Kampung Mumugu Bawah, rumah di Kampung Mumugu Atas juga terdapat 2 pintu, yaitu masing-masing 1 pintu di bagian depan dan belakang. Sedangkan jendela hanya ada 2 dimana keduanya berada di dinding sisi depan rumah. Satu jendela tepat di samping pintu, sedangkan 1 lagi agak ke samping tepat dibagian kamar tidur. Setiap rumah dihuni oleh 1 kepala keluarga yang terdiri dari 3-5 orang. Namun demikian ada beberapa rumah yang dalam 1 rumah itu diisi 2 bahkan ada yang 3 kepala keluarga sekaligus. Sehingga dalam satu rumah tersebut ditempati lebih dari 5 orang bahkan ada yang sampai 12 orang dalam satu rumah.
37
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Selain tipe rumah keluarga sebagaimana yang telah diuraikan diatas, masyarakat Mumugu maupun masyarakat Asmat pada umumnya, memiliki tipe rumah yang lain yaitu Rumah Bujang atau disebut juga Rumah Jew. Rumah jew adalah rumah panggung dengan bentuk persegi panjang yang dibuat dari kayu dengan dinding dan atap dari daun pohon sagu atau daun nipah yang telah dianyam. Mereka tidak menggunakan bahan lain untuk membuat rumah jew, termasuk paku sekalipun. Untuk mengikat satu kayu dengan kayu yang lain, atau satu anyaman daun sagu dengan anyaman yang lain, mereka cukup menggunakan rotan sebagai talinya. Rumah jew dianggap tempat yang sakral bagi masyarakat Kampung Mumugu maupun Etnik Asmat pada umumnya. Di rumah ini, dibicarakan segala urusan yang menyangkut kehidupan warga, seperti merencanakan suatu pesta, perang, perdamaian, termasuk menyelesaikan segala permasalahan yang mungkin terjadi antar sesama warga.
Gambar 2.10. Rumah Jew Kampung Mumugu Bawah (kiri) dan Kampung Mumugu Atas (kanan) Sumber : Dokumentasi Peneliti
Rumah jew berukuran panjang 30-60 meter dengan lebar 10 meter, namun juga ada yang besar. Di beberapa kampung yang lain, ada yang panjangnya sampai puluhan meter dengan lebar belasan meter. Untuk akses keluar masuk, terdapat pintu dikedua sisi dinding, yaitu sisi depan dan sisi belakang. Jumlah
38
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
pintu rumah jew sama dengan jumlah tungku api yang ada di dalam jew. Jumlah pintu ini juga dianggap mencerminkan jumlah rumpun Etnik Asmat yang berdiam di sekitar rumah adat Etnik asmat. Rumah jew ini selalu dibangun di pinggir sungai terutama di daerah kelokan sungai. Menurut mereka, hal ini dilakukan karena pada waktu dulu sering terjadi peperangan antar Etnik. Dengan membangun rumah jew di pinggir sungai terutama di daerah kelokan maka akan akan mengetahui lebih awal jika ada serangan musuh. Dengan begitu diharapkan mereka dapat dengan cepat mempersiapkan diri dalam menghadapi serangan musuh. Meskipun saat ini sudah jarang terjadi peperangan antar Etnik, namun adat kebiasaan membangun rumah di pinggir sungai ini masih dipertahankan sampai sekarang. Karena bagi mereka dengan membangun Rumah Jew maupun rumah tinggal dekat sungai akan membuat merekalebih dekat dalam mencari ikan. Mereka tidak perlu berjalan kaki terlalu jauh untuk menambatkan dan mendayung perahu untuk mencari ikan.
Gambar 2.11. Rumah jew yang selalu dipinggir sungai Sumber : Dokumentasi Peneliti
39
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Tempat memasak yang mereka gunakan sehari-hari adalah tungku api yang letaknya didalam rumah dan berada ditengahtengah. Hal ini dilakukan karena menurut mereka, bagian tengah rumah merupakan bagian yang paling tinggi jarak antara lantai dengan atap. Bila tungku diletakkan dibagian pinggir, dekat dengan dinding, maka dikhawatirkan akan mudah membakar atap yang posisinya relatif lebih rendah (dibanding bagian tengah) ataupun dinding yang hanya terbuat dari daun pohon sagu atau daun nipah yang kondisinya sudah kering. Asap api yang berasal dari kayu bakar yang mengepul dalam rumah menyebabkan polusi udara dan dihirup oleh penghuni rumah. Akibatnya, banyak anak-anak yang mengidap penyakit ISPA (Inspeksi Saluran Pernapasan Akut) dan wajah yang tampak lebih tua dari pada usia sebenarnya. Kondisi tersebut diperparah dengan kebiasaan masyarakat yangtidur tanpa menggunakan alas seperti kasur dan bantal. Mereka hanya menggunakan tikar pandan yang dibuat sendiri. Baik orang tua, anak-anak bahkan bayi sekalipun, tidur dengan keadaan yang sama tanpa alas.
Gambar 2.12. Tunggu tempat memasak. Sumber : Dokumentasi Peneliti
40
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
Sehari-hari mereka mengkonsumsi sagu, yang dibakar dengan bentuk bola ataupun menyerupai dadar gulung. Pun demikian dengan ikan hasil dari sungai, diolah hanya dengan dibakar tanpa menggunakan bumbu. Mereka jarang mengkonsumsi nasi. Hal ini dikarenakan mereka tidak memiliki penghasilan sehingga tidak mampu untuk membeli beras. Lain halnya dengan sagu, mereka tinggal ke hutan dan menebang sagu dengan mudah. Hutan menyediakan banyak pohon sagu yang siap dipanen kapanpun karena sagu merupakan pohon yang tumbuh dengan sendirinya. Meski untuk mencarinya mereka harus berjalan selama 1-2 jam masuk kedalam hutan. Pun demikian dengan ikan, mereka tinggal mendayung ke sungai untuk menjaring atau memancing ikan tanpa harus mengeluarkan uang. Selain Rumah Keluarga dan Rumah Jew, di Mumugu maupaun di daerah pedalaman Asmat juga di kenal yang namanya “bivak”. Bivak merupakan sebuah tempat tinggal sementara bagi masyarakat Asmat disaat mereka mencari bahan makanan. Saat ini untuk mencari bahan makan baik sagu maupun ikan tidak semudah waktu dulu. Untuk mendapatkan bahan makanan itu, mereka harus berjalan atau mendayung perahu ataupun cole-cole yang cukup jauh jaraknya dari rumah. Kondisi ini tidak memungkinkan bagi mereka untuk pulang ke rumah pada hari yang sama. Sehinggauntuk menyiasati hal itu, merekamembangun bivak di tepi sungai pedalaman hutan. Bivak dibangun juga dengan model rumah panggung yang terbuat dari anyaman daun pohon sagu baik pada dinding maupun atapnya. Bivak mempunyai ukuran lebih kecil bila dibanding dengan rumah keluarga, apalagi bila dibanding rumah jew. Hal ini mengingat bivak hanyalah tempat tinggal sementara selama mencari bahan makanan. Ketika mereka sudah mendapatkan bahan makanan yang dicari atau di daerah
41
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
tersebut sudah tidak diketemukan bahan makanan lagi maka mereka akan kembali ke rumah dan meninggalkan bivak begitu saja.
Gambar 2.13. Bivak sebagai tempat tinggal sementara di hutan Sumber : Dokumentasi Peneliti
2.4. Religi Mayoritas masyarakat Kampung Mumugu memeluk agama Katolik, namun mereka jarang beribadah di gereja. Seorang pastor paroki yang membawahi distrik Sawa Erma, telah lama mencoba memadukan antara ajaran agama Katolik dengan budaya orang Mumugu. Usaha semacam itu dikenal dengan istilah inkulturasi budaya, dan dalam pandangan pastor disebut “iman menerangi budaya”. Nilai-nilai budaya yang ada, mendasar, dan mengakar di dalam diri orang Asmat dan Mumugu khususnya, memiliki tempatnya untuk mengungkapkan kepercayaan dan keyakinannya kepada Tuhan.
42
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
Gambar 2.14. Inkulturasi gereja(kiri) dan Tungku beserta Patung Bis dalam gereja (kanan) Sumber : Dokumentasi Peneliti
Iman memberi arti pada tanggapan manusia atas sapaan Allah, atau penyerahan diri manusia secara total kepada Allah, Sang Pencipta. Kepercayaan yang dianut orang Asmat ternyata tidak mudah diterangi oleh iman kepercayaan yang dianutnya. Sebagaimana diungkapkan oleh informan A berikut : “....karena berbenturan dengan banyak perilaku-perilaku berhubungan dengan dasar-dasar membagi didalam budaya dan sistem perkawinan yang cenderung selingkuh, cenderung poligami, yang cenderung lebih memanfaatkan kepuasan egonya, dirinya dari pada membagi kasih untuk menguatkan kehidupan diri, pasangan, maupun anak-anaknya.”
Sehingga, masih menurutnya, saat ini diperlukan cara-cara yang lebih cocok, cara yang lebih berguna dalam mengembangkan kehidupan yang telah mengakar budaya tersebut untuk dapat diterangi oleh iman. “Mengawinkan iman dengan budaya saja belum tentu melahirkan pribadi-pribadi yang sungguh-sungguh
43
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
menjadi manusia yang bermutu. Juga sebaliknya, mengawinkan budaya dengan iman belum sungguhsungguh menjiwai hasrat hidup sebagai manuisa yang utuh. Manusia-manusia yang sungguh ingin memenuhi aspek kehidupannya, lahir dan batin, atau material dan spiritual.”
Ritual merupakan bentuk ekspresi religi manusia atas kepercayaannya pada Tuhan atau nenek moyang manusia dan ekspresi sosial. Orang Mumugu sangat percaya adanya roh nenek moyang, yang disebut dengan “tuan tanah”, yang menghuni pada lingkungan hidup mereka. Namun, selama penelitian tidak dijumpai aktivitas ritual untuk menghormati roh leluhur mereka. Ritual yang dijumpai adalah ritual kematian, yaitu dengan mandi lumpur. Ritual mandi lumpur merupakan ekspresi duka atas kematian anggota keluarganya. Sebagai-mana diungkapkan oleh informan B berikut : “Yaa… jadi pas meninggal itu, keluarganya tho yang meninggal ini yang mandi lumpur di got-got kah, di depan rumah, pokoknya yang becek-becek itu dia mandi lumpur di situ...”
Hal senada diungkapkan oleh informan LD. Pria yang juga berprofesi sebagai sekretaris kampung ini menyebutkan bahwa mandi lumpur merupakan bentuk kesedihan keluarga atas meninggalnya salah satu dari anggota keluarga mereka. “Kita orang Asmat, bila ada keluarga meninggal, kita menangis, habis itu mandi lumpur...”
Dirinya menambahkan, untuk mandi lumpur tersebut tempatnya bebas, tidak ditentukan, bisa dimana saja. “Bebas...Kita banting-banting (ke lumpur). Karena sudah hidup dengan kita, temani kita, teman bermain, dia
44
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
sudah hilang, pindah di dunia sebelah. Kita kecewa, kita rindu....”
Gambar 2.15. Got depan rumah yang digunakan untuk mandi lumpur (kiri) dan seorang kakek yang mengantar cucunya ke pemakanan setelah menjalani ritual mandi lumpur (kanan). Sumber : Dokumentasi Peneliti
2.4. Organisasi Sosial dan Kemasyarakatan Keluarga merupakan unit yang yang terkecil dari suatu organisasi sosial, di samping komunitas dan adat. Keluarga orang Mumugu terdiri atas seorang ayah sebagai kepala keluarga, satu istri atau lebih, dan anak-anak hasil perkawinan maupun hasil pengambilan dari keluarga lain (anak piara). Konflik dalam keluarga sering terjadi antar istri dan anak-anaknya. Motif konflik adalah kecemburuan dan perselingkuhan, antara lain persaingan dalam memperebutkan calon istri, antar istri dalam persaingan mendapatkan bahan makan, serta antar suami yang berselingkuh dengan istri orang lain. Sistem perkawinan dalam Etnik Asmat membuat dinamika sosialnya sangat bervariasi interaksinya dan bervariasi karakter diri. Sistem perkawinan mereka tidak mengenal disebut satu fam moyang turun ke anak cucu. Tetapi nama mereka didalam bahasa Asmat itu memberi tanda anak ini lahir, generasi ini ada dan
45
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
generasi ini bergaul satu dengan yang lain. Dengan perkawinan itu membuat antara satu tungku dengan tungku yang lain menjadi bersahabat. Perkawinan itu membuat bersahabat antara satu kampung dengan kampung yang lain. Sebagaimana diungkap-kan oleh informan A sebagai berikut : “.......dalam sistem perkawinannya, mereka tidak menggunakan pihak bapak, pihak mama atau berdasarkan sebuah fam. Tetapi mereka merata saja dalam pengaturan pasangan.”
Bagi orang Mumugu, fungsi kawin dapat dibagi menjadi tiga. Pertama, kerjasama dengan istri atau istri-istri dalam pemenuhan kebutuhan makan keluarga, antara lain mencari sagu di hutan maupun mencari ikan di sungai dan rawa. Kedua, pemenuhan kebutuhan seksual dan ketiga adalah mendapat keturunan (anak).
Gambar 2.16. Seorang bujang memanen Etnikn (kiri) dan Bujang sedang membuat perahu kayu (kanan) Sumber : Dokumentasi Peneliti
Ketika seorang anak laki-laki Mumugu sudah menginjak usia 10 tahunan, ia harus tinggal di rumah panjang atau rumah bujang (jew). Selama tinggal di rumah bujang, ia bekerja untuk mempersiapkan diri melamar seorang janda atau gadis yang ia
46
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
inginkan sebagai istrinya. Ia bekerja mengumpulkan bahan makan di hutan, rawa, sungai, berkebun di sekitar kampung, serta membuat perahu. Ia sudah tidak terikat dan mendapat orang tuanya, karena ia harus mandiri.Bila bahan makanan sudah habis dan malas pergi ke hutan, beberapa orang Mumugu, biasanya bujang, sering mencuri. Barang-barang yang dicuri biasanya rokok, bahan makan, bahkan hasil kebun. 2.5.
Pengetahuan
Orang Mumugu sangat paham dengan lingkungan alam sekitar maupun jauh dari kampungnya. Sejak usia 5 tahun, anak Mumugu sudah diajak orang tuanya mencari makan dan mengenal lingkungan di hutan, rawa, dan sungai. Usia sekitar 10 tahun, anak Mumugu sudah bisa mencari makan sendiri. Bagi masyarakat Mumugu, seorang anak sungguh amat berarti. Tidak hanya sebagi penerus keturunan, namun lebih dari itu adalah membantu orang tua dalam mencari makan baik berburu, memancing ataupun mencari sagu. Dalam hal pendidikan formal, kesadaran masyarakat untuk menyekolahkan anaknya masih sangat rendah. Hanya ada beberapa orang saja yang pernah mengenyam pendidikan di tingkat sekolah dasar (SD), itupun tidak sampai lulus. Rendahnya kesadaran masyarakati ini diperparah dengan belum adanya bangunan sekolah yang berdiri di Kampung Mumugu. Sudah ada gedung sosial yang merupakan fasilitas kampung yang dimanfaatkan untuk gedung sekolah. Namun sayang guru yang mengajar tidak selalu ada. Sehingga aktifitas belajar tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Kondisi yang hampir sama juga terjadi di Kampung Mumugu Bawah. Meski di kampung ini sudah memiliki gedung sekolah, namun kegiatan belajar mengajar tidak berjalan semestinya karena ketiadaan guru.
47
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Gambar 2.17. Gedung Sosial milik kampung yang dimanfaatkan sebagai tempat sekolah Sumber : Dokumentasi Peneliti
Rendahnya tingkat pendidikan berpengaruh terhadap rendahnya pengetahuan yang mereka miliki termasuk pengetahuan terhadap kesehatan. Pengetahuan kesehatan masyarakat Mumugu dapat dikatakan masih rendah. Banyak perilaku kesehatan yang tidak disadari akan merugikan kesehatannya. Sebagai contoh adalah masalah penggunaan pakaian. Masyarakat Mumugu jarang sekali mengganti pakaian yang dipakainya. Baju yang dipakai bisa berhari-hari tidak diganti. Baju yang basah terkena air, akan dibiarkan mengering di badan. Sehingga tak heran bila banyak masyarakat Mumugu yang terkena penyakit kulit seperti tinea imbrikata atau yang lebih dikenal dengan nama cascado. Cascado adalah penyakit kulit
48
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
pada manusia yang disebabkan oleh jamur trichophyton concentricum (Dagun, 2006).
Gambar 2.18. Salah satu masyarakat yang terkena cascado Sumber : Dokumentasi Peneliti
2.6. Bahasa Bahasa merupakan salah satu unsur budaya yang sangat penting. Banyak ahli antropologi dan bahasa yang percaya bahwa awal kebudayaan manusia ditandai dengan penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi. Perbedaan bahasa juga merupakan tanda adanya identitas yang berbeda dari suatu kelompok masyarakat. Karena itulah tidak mengherankan bila pada Etnik Asmat terdapat variasi bahasa, yang sekaligus sebagai penanda identitas suatu Etnik, sub Etnik atau rumpun. Menurut C.L.Voorhoeve (1965) dalam Koentjaraningrat (1993) mengemukakan bahwa bahasa pada masyarakat Asmat
49
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
termasuk dalam kelompok bahasa Language Of The Southern Divisionyaitu bahasa-bahasa bagian Selatan Papua. Bahasabahasa tersebut masuk pada golongan phylum (fila) bahasa Papua Non-Melanesia. Seperti diketahui bahwa bahasa yang digunakan di Propinsi Papua oleh para ahli linguistik diklasifikasikan ke dalam dua golongan besar (phylum) yaitu phylum bahasa–bahasa Melanesia dan phylum bahasa–bahasa Non-Melanesia. Propinsi Papua berada di wilayah Kepulauan Melanesia yang melingkar mulai dari kepulauan di sebelah Timur Laut Papua hingga ke arah Timur Benua Australia dan Kepulauan Fiji di sebelah Utara Selandia Baru. Merujuk pembagian wilayah tersebut, sebenarnya bahasa di seluruh Papua dapat digolongkan ke dalam phylum Bahasa Melanesia. Namun ternyata ada bahasa–bahasa khas Papua yang tidak mempunyai hubungan linguistik dengan bahasa-bahasa di luar Papua dan Papua Nugini kecuali dengan beberapa bahasa di Pulau Timur, Alor, dan Halmahera Utara. Bahasa itulah yang kemudian disebut dengan Bahasa Papua Non-Melanesia. Bahasa-bahasa Papua Non-Melanesia di daerah Asmat,secara khusus oleh para ahli linguistik dibagi lagi menjadi dua yaitu bahasa Asmat wilayah hilir sungai (pantai) dan bahasa Asmat wilayah hulu sungai. Di bagian hilir sungai dibagi lagi menjadi dua yaitu kelompok pantai Flamingo dan kelompokpantai Kasuarina. Untuk kelompok pantai Flamingo diantaranya adalah bahasa Kainiak, Bisman, Simay, dan Bacembub, sedangkan kelompok pantai Kasuari terdapat bahasa Batia dan Sapan. Semetara itu, pada bagian hulu sungai terdapat bahasa Keenok dan Kaimok (Koentjaraningrat, 1993).
50
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
Gambar 2.19. Wilayah Kepulauan Melanesia Sumber : http://commons.wikimedia.org/wiki/File:Melanesian_Cultural_Area.png
Gambar 2.20. Variasi Bahasa Asmat Sumber : Koentjaraningrat (1993)
51
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Kampung Mumugu terdapat di wilayah hulu sungai. Sehingga bahasa yang digunakan di Kampung Mumugu adalah termasuk rumpun bahasa Keenok. Selain di Kampung Mumugu, bahasa Keenok juga digunakan di Kampung Pupis, Roko, Wayo, Abamu, Sekapu Winyir, Ci, dan Jin Suko. Bahasa Keenok ini sangat sederhana dan sering dijumpai kata majemuk. Misalnya, kata jaine bisa berarti sehat, baik, cantik, jujur. Dalam bahasa ini tidak mengenal perbedaan antara bahasa halus dan kasar. 2.7.
Kesenian
Etnik Asmat telah kesohor hingga ke luar negeri dengan ukiran dan pahatan kayunya yang menawan. Hasil ukiran Etnik Asmat memiliki ciri khas tersendiri yaitu memiliki pola yang unik dan bersifat naturalis. Unik karena ukiran yang dibuat tidak didasari sketa atau gambar kerja layaknya para seniman, namun mereka langsung menuangkan imajinasinya kedalam pahatan dan ukiran kayu. Sehingga satu hasil ukiran atau pahatan kayu yang dibuat tidak akan sama dengan ukiran atau pahatan yang lain. Dengan pola-pola unik yang dihasilkan dan dengan melihat alat-alat yang digunakan untuk mengukir, maka akan tampak kerumitan cara membuatnya. Hal ini membuat hasil ukiran Etnik Asmat memiliki nilai yang cukup tinggi. Apalagi ditambah dengan motif ukiran yang cukup bagus (Hernasari, 2012). Selain seni ukir dan seni pahat, Etnik Asmat juga memiliki alat musik yang disebut dengan tifa. Sebenarnya tifa ini bukan hanya terdapat di Etnik Asmat saja melainkan hampir seluruh wilayah di Papua, bahkan di Maluku juga mengenal alat musik ini. Alat musik ini dibuat dari dari selonjor batang kayu yang dihilangkan bagian tengahnya sehingga menjadi berlubang. Pada salah satu ujung kayu yang berlubang tersebut, ditutup dengan kulit rusa atau kulit kadal yang sebelumnya telah dikeringkan
52
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
terlebih dahulu. Pada bagian luar kayu diukir sedemikian rupa sehingga menjadi lebih menarik. Alat musik ini dimainkan dengan cara dipukul atau di tabuh (www.alatmusiktradisional.com)
Gambar 2.21. Hasil seni ukir dan pahat Etnik Asmat yang di pajang di Museum Asmat Sumber : Dokumentasi Peneliti
Namun rupanya dari hasil pengamatan saat pengumpulan data penelitian di Kampung Mumugu, tidak ditemukan aktivitas membuat ukiran atau pahatan kayu. Kondisi ini tidak seperti beberapa tempat di Asmat lainnya, misalnya di kampung Sawa dan Erma. Di sana masih ditemukan aktivitas membuat patung yang dilakukan oleh beberapa masyarakat setempat. Setali tiga uang dengan tidak adanya aktivitas pembuatan ukiran dan pahatan kayu. Aktivitas pembuatan alat musik tifa juga tidak ditemukan di Kampung Mumugu. Pun demikian dengan pertunjukkan pukul tifa, juga tidak pernah ditemui selama dua bulan pengumpulan data penelitian. Pukul tifa
53
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
memang biasa dilakukan hanya untuk menyambut tamu penting, pejabat ataupun dalam rangka pesta adat yang dikenal dengan pesta setan. Dan selama dua bulan tersebut tidak ada pesta adat yang berlangsung.
Gambar 2.22. Aktivitas masyarakat Kampung Sawa yang sedang membuat patung Sumber : Dokumentasi Peneliti
2.8 . Mata Pencaharian Mata pencaharian masyarakat Mumugu masih tergolong subsisten, yaitu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga dalam beberapa hari dan tidak bertujuan untuk mendapatkan hasil lebih. Untuk mendapatkan bahan makan, masyarakat Mumugu masih bergantung dari alam baik dari hasil hutan maupun sungai. Untuk hasil hutan mereka biasa mencari sagu sebagai bahan makanan pokoknya. Kegiatan mencari sagu ini, biasa mereka lakukan seminggu sekali atau ketika persediaan sagu dalam rumah sudah habis. Untuk mencari sagu, tidak hanya
54
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
dilakukan oleh pria (suami) saja namun juga dibantu oleh istri maupun anak-anaknya.Mereka biasa berangkat ke hutan untuk mencari pohon sagu sejak pagi hari, sekitar jam 05.30 WIT. Peralatan yang biasa mereka bawa antara lain : kapak, kayu pangkur parang, wajan, dan noken. Tak lupa mereka membawa senapan angin (tiis), untuk menembak burung yang mungkin saja mereka temukan di hutan. Tak ketinggalan pula mereka membawa serta anjing piaraannya.
Gambar 2.23. Kayu yang ditumbangkan sebagai jalan setapak. Sumber : Dokumentasi Peneliti
Untuk mendapatkan pohon sagu yang diinginkan mereka harus berjalan kurang lebih 2–3 jam masuk kedalam hutan. Hal ini dilakukan karena untuk hutan sekitar pemukiman, pohon sagu sudah jarang ditemui. Jalan yang dilalui untuk mendapatkan pohon sagu yang diinginkan tidaklah mudah. Jalan dengan kedua sisi tanah yang berlumpur dan tergenang air, membentang sepanjang jalan. Namun jangan dibayangkan jalan tersebut merupakan jalan setapak yang biasa ditemukan dihutan-hutan. Tapi jalan yang dimaksud adalah pohon yang ditumbangkan yang
55
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
saling terhubung satu sama lain sehingga menjadi sebuah rangkaian jalan setapak yang dapat dilewati untuk membelah rimbunnya hutan. Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan tersebut, akhirnya mereka menemukan juga pohon sagu yang diharapkan. Pohon sagu yang memiliki tinggi sekitar 6-8 meter dan lingkar batang yang cukup besar. Dengan batang yang besar tersebut diharapkan akan mendapatkanbanyak sagu. Masingmasing dari mereka sudah mengerti apa yang menjadi tugasnya. Ada yang bertugas menebang pohon sagu dan mengupas batangnya (terutama laki-laki), ada yang membuat kubangan ditanah lumpuruntuk mendapatkan air yang digunakan untuk memeras sagu, dan ada juga yang membuat tempat pemerasan sagu. Tempat pemerasan sagu ini dibuat dari pelepah daun sagu.
Gambar 2.24. Aktivitas masyarakat yang sedang memangkur sagu. Sumber : Dokumentasi Peneliti
56
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
Ketika pohon sagu telah tumbang, maka akan segera dikuliti dan dibantu anggota keluarga yang lain mereka memulai memangkurnya. Dari kegiatan pangkur tersebut maka akan dihasilkan serpihan-serpihan isi batang pohon sagu. Serpihanserpihan inilah yang diambil untuk diperas ditempat yang telah dibuat sebelumnnya. Air perasan serpihan isi batang sagu tersebut dibiarkan mengendap di pelepah daun sagu yang terhubung dengan tempat memeras. Ketika telah mengendap, air akan dibuang dengan cara mengalirkannya. Endapan air yang tersisa inilah yang merupakan tepung sagu yang akan menjadi bahan makanan pokok mereka. Waktu yang mereka butuhkan hingga semua proses selesai sekitar 4–5 jam. Dalam rentang waktu tersebut, entah berapa banyak gigitan lalat babi maupun nyamuk yang mereka alami. Namun mereka seolah tak menghiraukannya. Sekitar jam 14.00 WIT semua kegiatan telah selesai dan merekapun bersiap untuk pulang. Dari hasil tebang pohon sagu tersebut mereka mampu menghasilkan dua tumang tepung sagu. Biasanya dua tumang tersebut, bisa mereka makan sampai satu minggu. Namun jika banyak orang dirumah misalnya 6 sampai 10 orang, maka sagu akan cepat habis dan mereka akan kembali lagi memangkur di hutan. Tetapi jika orang sedikit, sagu tersebut bisa bertahan sampai dua minggu. Selain mencari sagu, masyarakat Mumugu terutama yang laki-laki biasa pergi ke hutan untuk berburu. Binatang yang menjadi buruan mereka antara lain babi hutan, kasuari maupun burung kecil yang lain. Tak jarang mereka juga mencari ulat sagu yang biasa berkembang biak di batang pohon sagu yang telah membusuk.Kadang mereka juga pergi ke sungai untuk mencari ikan ataupun udang. Untuk kegiatan ini tidak hanya dilakukan oleh laki-laki saja, namun juga perempuan. Hasil-hasil buruan
57
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
yang mereka dapatkan dari hutan maupun sungai inilah yang menjadi pelengkap makanan selain sagu. Namun ketika mereka tidak mendapat binatang buruan, maka mereka hanya makan sagu bakar saja.
Gambar 2.25 Ulat sagu yang biasa dikonsumsi masyarakat Sumber : Dokumentasi Peneliti
Disamping mencari sagu dan berburu sebagai mata pencaharian, masyarakat Mumugu terutama yang ada di Kampung Mumugu Atas memiliki pekerjaan tambahan yaitu sebagai kuli angkut. Sebagaimana yang diungkapkan oleh informan B,seorang tenaga kesehatan yang juga memiliki usaha kios sebagai berikut : “Selain itu...., mereka... dia bongkar mungkin pedagang punya longboat naik bawa barang mereka bongkar, mereka dapat uang dari situ.”
Informan B menambahkan, untuk kuli angkut ini sangat tidak tentu tergantung ada tidaknya longboat (kapal dari kayu yang biasa membawa barang kebutuhan pokok) yang masuk.
58
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
“ Tapi kalo tidak ada longboat yang datang, tidak ada kapal yang masuk, ya sepi-sepi saja….”
Gambar 2.26. Salah satu pekerjaan masyarakat menjadi kuli angkut Sumber. Dokumen Peneliti
Tapi ketika ada longboat masuk, akan ada banyak laki-laki yang bekerja menjadi kuli angkut. Jumlahnya antara 20– 30 an orang. Untuk sekali bongkar barang, upah yang mereka peroleh hanya sekitar Rp. 100.000 an saja per orang. “ .....(hasilnya) Tidak tentu juga, tapi tiap orang dah patokan, kalo 1 longboat yang besar itu 2 juta per longboat, jadi terserah mo berapa orang yang bongkar. Tapi biasanya 20 orang, jadi tiap orang 100 ribu. Kalo yang longboat yang besar lagi, kaya belang Pak H (pemilik kios yang lain) punya, itu 4 juta.”
Selain itu, kadang kala masyarakat mendapat bantuan uang tunai dari pemerintah, yang biasa mereka sebut dengan dana respek. Menurut beberapa informasi, dana respek merupakan dana didapatkan dari anggaran otonomi khusus papua. Antara satu keluarga dengan keluarga yang lain akan
59
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
mendapatkan jumlah uang yang sama. Pembagian dana respek biasa dilakukan di rumah jew. Rumah adat yang juga difungsikan untuk kegiatan-kegiatan yang menyangkut kepentingan masyarakat, termasuk diantaranya adalah pembagian dana respek.
Gambar 2.27. Kegiatan pembagian dana respek Sumber : Dokumentasi Peneliti
2.9. Teknologi dan Peralatan Teknologi yang diterapkan orang Mumugu dalam menopang kehidupannya merupakan perpaduan antara yang tergolong tradisional dan modern. Teknologi tradisional yang masih digunakan antara lain: penggunaan tungku dan kayu bakar untuk memasak di dapur, penggunaan pangkur untuk memangkur sagu di hutan, dan juga pembuatan perahu kecil atau yang biasa disebut dengan cole yang digunakan sebagai sarana
60
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
transportasi dari satu tempat ke tempat lain ataupun untuk mencari ikan.
Gambar 2.28. Perahu kecil (cole) yang biasa dipergunakan Sumber : Dokumentasi Peneliti
Sementara teknologi modern yang diterapkan orang Mumugu antara lain adalah peralatan masak dan peralatan makan. Untuk peralatan masak yang biasa mereka gunakan adalah panci dan wajan yang terbuat dari aluminium. Sedangkan untuk alat makan mereka biasa menggunakan piring dan gelas baik yang terbuat dari kaca ataupun plastik. Penggunaan peralatan tersebut menunjukkan bahwa teknologi yang digunakan masyarakat Mumugu sudah cukup modern. Selain peralatan masak dan peralatan makanan, masyarakat Mumugu juga memanfaatkan alat-alat elektronik seperti diesel sebagai sumber listrik, tape recorder, speaker aktif, televisi, dan bahkan ada beberapa orang yang memiliki handphone. Namun rupanya alat-alat elektronik tersebut kurang maksimal dalam penggunaannya. Ada banyak hal mengapa itu terjadi. Diantaranya adalah bahwa semua alat elektonik tersebut membutuhkan listrik sebagai sumber energinya. Padahal di
61
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Kampung Mumugu, sebagaimana wilayah pedalaman Asmat yang lain, belum tersedia jaringan listrik. Sehingga mereka membeli diesel sebagai sumber listriknya. Ketika mereka tidak memiliki uang untuk membeli bensin (dan kondisi ini lebih sering mereka alami), tentu diesel tidak bisa dinyalakan sehingga otomatis tidak tersedia litrik untuk menyalakan alat-alat elektroniknya. Sebab lain adalah belum adanya jaringan pendukung seperti tower sinyal komunikasi. Meskipun beberapa orang memeiliki handphone tetapi alat tersebut tidak dapat digunakan sebagai alat komunikasi karena tidak adanya sinyal. Sehingga handphone hanya digunakan sebagai pemutar musik. Itupun kalau baterai handphone-nya ada. Penyebab lain kurang maksimalnya dalam penggunaan alat elektronik adalah adanya kerusakan pada alatalat elektronik tersebut. Ketika alat-alat elektronik tersebut rusak, mereka tidak bisa membawanya ketempat service, mengingat memang belum ada jasa service alat elektronik di sana. Sehingga ketika alat-alat elektronik tersebut rusak, maka akan dibiarkan saja menjadi pajangan dalam rumah. Kerusakan alat-alat elektronik tersebut kadang disebabkan oleh hal sepele saja, misalnya adalah ketidak-tahuan cara pengunaannya. Sudah menjadi hal yang lumrah bagi masyarakat Mumugu untuk membelanjakan uangnya ketika mendapatkan pembagian dana respek. Beragam alat elekronik mereka beli meskipun kadang mereka tidak tahu cara pemanfaatannya seperti yang diungkapkan oleh salah satu pemilik kios yangada di Kampung Mumugu Atas sebagai berikut : ”...pokoknya kalau habis ada pembagian dana respek di masyarakat, sampai malampun kios ini tak pernah sepi. Masyarakat pada membelanjakan uangnya ke kios. Apa saja mereka beli termasuk alat-alat elekronik, meski kadang mereka juga tidak tahu cara menggunakannya...”
62
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
Saat ini di Kampung Mumugu Atas terdapat sekitar 5 kios. Kios adalah sebutan masyarakat setempat untuk menyebut sebuah bangunan rumah yang menjual kebutuhan sehari-hari, meski sebenarnya kurang tepat kalau disebut kios. Karena kalau menurut Kamus Besar Ilmu Pengetahuan yang ditulis oleh Dagun (2006) disebutkan bahwa kios adalah bangunan kecil penjualan koran, majalah, rokok, bahan makanan, dan lain-lain. Sementara kalau dilihat kondisi sesungguhnya, bangunan-bangunan kios tersebut relatif cukup besar dan barang-barang yang dijualpun tidak hanya satu macam tetapi beragam. Sehingga lebih tepat kalau disebut sebagai toko serba ada atau Toserba.
Gambar 2.29. Salah satu kios yang ada di Mumugu Atas Sumber : Dokumentasi Peneliti
Ada beragam barang yang dijual di toko-toko tersebut mulai dari bahan-bahan sembako seperti beras, gula, minyak goreng, tepung, mie instant, telur, ayam, ikan, minuman dalam kaleng, ataupun bahan makanan yang lain. Ada juga yang
63
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
menjual pakaian baik untuk orang dewasa maupun anak-anak, tas, alat-alat tulis, alat-alat kebutuhan rumah tangga, alat dan bahan bangunan, alat-alat elektonik. Mereka yang berjualan dikios rata-rata adalah para pendatang dari daerah Sulawesi. Sebenarnya beragam barang yang dijual di kios tersebut tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Kampung Mumugu saja. Tetapi juga untuk menyuplai kebutuhan masyarakat dari Keneyam Kabupaten Nduga. Karena harga yang ditawarkan di kios-kios tersebut, meski lebih mahal bila dibandingkan harga di Jawa, masih jauh lebih murah bila dibandingkan dengan harga di Keneyam. Perbedaan harganya bisa mencapai dua kali lipat, bahkan hingga tiga sampai empat kali lipat untuk barang-barang tertentu. Sebagai contoh minuman teh dalam kemasan, yang di Mumugu harganya Rp. 5.000,00 di Keneyam harganya bisa mencapai Rp. 20.000,00 per kotak.
64
BAB 3 POTRET KESEHATAN MASYARAKAT MUMUGU
3.1.
Status Kesehatan
3.1.1. Kesehatan Ibu dan Anak 3.1.1.1. Pra Hamil a. Remaja Berdasarkan hasil pengamatan selama satu bulan lebih dan wawancara dengan beberapa informan, remaja (usia 10 tahun sampai 20 tahun) di Kampung Mumugu sama sekali belum mengenal apa itu kesehatan reproduksi. Ketidaktahuan mereka disebabkan selama ini tidak pernah ada yang memberitahukan mereka tentang kesehatan reproduksi, baik orang tua maupun petugas kesehatan. Sehingga kesehatan reproduksi bagi remaja sama sekali mereka tidak mengerti. Bukan hanya remaja yang tidak paham tentang kesehatan reproduksi, wanita dewasa dan sebagian besar masyarakat Mumugu juga sampai saat ini tidak mengerti akan hal tersebut. Menstruasi oleh masyarakat setempat biasa disebut dengan istilah kain kotor. Namun demikian, istilah kain kotor yang menandakan bahwa seorang wanita sudah bisa bereproduksi tidak juga mereka ketahui. Istilah kain kotor itu sendiri dari mana didapat juga belum ada yang tahu. Menurut mereka itu sudah nama dari orang-orang terdahulu seperti yang diungkapkan salah satu remaja berikut :
65
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
“.....kita tidak tahu kain kotor itu dari mana. Pokoknya kalo kita lagi....apa itu....ee...namanya sudah dapat kain kotor”
Di Kampung Mumugu sendiri, hampir sebagian besar remaja sudah memiliki pasangan hidup dan memiliki anak. Remaja perempuan 10 tahun berarti dia siap untuk kawin. Orang tua yang tidak mengerti tentang kesehatan reproduksi, kebanyakan menikahkan anaknya pada usia 10 tahun ke atas. Dengan menikahkan anaknya berarti orang tua akan mendapatkan mas kawin dari calon menantunya, hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh informan B sebagai berikut : “Kalo di sini bayar ada, tapi klo tunangan tidak. Biasanya di sini, orang tua sama orang tua kasih cocok-cocok begitu. Ahh…saya punya anak nanti mau kasih sama yang ini punya anak begitu. Jadi nanti kalo dia sudah besar, sudah, langsung dia bayar harta, kasih kawin.”
Informan tersebut menambahkan untuk saat ini harta yang digunakan sebagai mas kawin adalah uang. Ini berbeda dengan waktu dulu. Kalau dulu harta yang dapat digunakan sebagai mas kawin adalah kapak, pakaian, “Kalo harta, khusus untuk orang di sini tu, uang itu baru, tapi kalo yang lama, yang sudah biasa itu kampak, ada bia besar sekaali macam tempat di laut warna putih terus besar, terus sama pakaian, kalau sekarang minta uang kalo siput sudah tidak ada sekarang, itu semua sebagai mas kawin. Itu sudah mereka dianggap sebagai suami istri. Cuma begitu, kapan nikahnya dari belakang yang penting bayar itu dulu.”
Perkawinan usia remaja, membuat kampung Mumugu hampir tidak memiliki remaja yang belum kawin.Bagi sebagian masyarakat Mumugu kain kotor adalah sebuah penyakit dan
66
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
sebagiannya lagi menganggap itu hal yang biasa. Para remaja dan juga wanita dewasa di kampung Mumugu akan menggunakan celana pendek berlapis-lapis agar darah tidak sampai tembus ke celana yang berikutnya. Cara membersihkannya juga, dengan mandi dikali dan mencuci celana yang penuh darah kemudian mereka pakai lagi hingga kering di badan. Dari keterangan beberapa pemilik kios yang ada di Kampung Mumugu Atas, hampir tidak pernah ada masyarakat yang membeli pembalut. Hal tersebut dibenarkan oleh informan B, tenaga kesehatan yang juga memiliki usaha kios ini menyebutkan bahwa bahwa selama ini perempuan yang ada dikampung ini rata-rata kurang mengerti tentang cara membersihkan diri ketika menstruasi. Mereka lebih cenderung memakai celana berlapis hingga darah tidak tembus ke celana dan terlihat orang lain. Hal ini lebih disebabkan pada kebiasaan mereka lakukan selama ini. Mereka saat ini belum terbiasa menggunakan pembalut sebagaimana yang dijual di kios-kios. Disamping karena faktor ketiadaan uang. Informan B juga menambahkan bahwa ada hal unik yang terjadi pada wanitawanita di Kampung Mumugu yaitu menstruasi yang hampir bersamaan. “....Perempuan disini kalau dapat kain kotor, bisa kompakkan.....Tetapi saya juga heran, disini kok perempuannya kalau dapat kain kotor darahnya tidak pernah banyak. Hanya sedikit saja dan juga tidak sampai seminggu,”.
Sementara itu keterangan dari AM, informan yang juga berprofesi seorang dokter didapatkan informasi bahwa penyuluhan tentang kesehatan reproduksi bagi remaja di Kampung Mumugu selama ini belum pernah dilakukan. Petugas kesehatan yang berasal dari Puskesmas induk, Puskesmas yang dulunya membawahi Kampung Mumugu, belum pernah 67
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
melakukan sosialisasi tentang kesehatan reproduksi meskipun mereka mempunyai POA (Plan Of Actions) untuk itu, sebagaimana yang diungkapkannya sebagai berikut : “....Mereka (masyarakat Kampung Mumugu) tidak mengerti tentang kesehatan reproduksi karena tidak ada sosialisasi yang dilakukan selama ini. Tetapi kita sendiri akan mencoba pelan-pelan memberitahukan kepada masyarakat tentang kesehatan reproduksi. Karena kita baru aktif bulan April dan masih melakukan observasi dulu, makanya kita pelan-pelan.”
Penyuluhan tentang KB, penggunaan alat kontrasepsi, menstruasi, mimpi basah, sunat, inses dan lainnya sama sekali belum pernah dilakukan oleh Puskesmas yang membawahi Kampung Mumugu saat itu. Sehingga di kampung ini hampir semua tidak mengerti tenang kesehatan. Masyarakat disini kurang mengerti tentang hubungan sex, mereka menyebut hubungan sex dengan istilah baku naik dan enak. Mimpi basah bagi kaum laki-laki mereka artikan sebagai mimpi setan. Kalau KB sendiri, sekarang sudah ada yang datang suntik meski jumlahnya masih terbatas. Itupun kalau petugas yang memberi pengertian baru mereka ikut saja. Masalah lain yang juga dihadapi oleh remaja di Kampung Mumugu adalah masalah gizi dan kebiasaan merokok. Kedua masalah ini sebenarnya tidak hanya dialami oleh remaja saja tetapi juga anak-anak.Merokok tidak hanya dilakukan oleh para orang dewasa. Remaja dan anak-anak juga sudah mulai biasa merokok. Kebiasaan merokok pada anak-anak di Kampung Mumugu tersebut kemungkinan besar disebabkan karena pengaruh dari orang tua, baik laki-laki maupun perempuan, yang hampir sebagian besar adalah perokok. Karena menurut Laventhal dan Cleraly dalam Cahyani (1995) disebutkan bahwa salah satu tahapan dalam perilaku seseorang anak mulai tidak
68
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
merokok hingga menjadi perokok aktif adalah tahap preparatory. Dalam tahap awal ini, seorang anak mendapatkan gambaran yang menyenangkan mengenai orang yang merokok dengan cara melihat, mendengar, atau dari hasil bacaan. Sehingga hal-hal tersebut menimbulkan minat untuk merokok.
Gambar 3.1. Kebiasaan merokok di Kampung Mumugu tidak hanya pada orang tua tetapi juga pada remaja dan anak-anak. Sumber. Dokumen Peneliti
Dalam hal pergaulan remaja, masyarakat masih menjaga tradisi dan adat bagi remaja wanita di kampungnya. Remaja wanita yang belum kawin tidak boleh jalan dengan sembarang. Termasuk jika laki-laki tersebut adalah saudara sepupu sekalipun. Jika ketahuan mereka jalan bersama, maka akan ada sanksi yang diberikan berupa denda adat dengan membayar harta berupa kapak batu dan uang senilai yang diminta oleh pihak perempuan. Remaja wanita yang belum kawin hanya boleh jalan dengan ibu dan saudara perempuannya serta adik laki-lakinya yang masih kecil. Mereka akan ikut orang tuanya (ibu) ke hutan untuk mencari makan dan juga mencari kayu bakar serta menjaga
69
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
adiknya. Anak perempuan di kampung Mumugu sangatlah dijaga ketat oleh keluarganya. Mereka sejak lahir sudah dijodohkan oleh orang tua dengan laki-laki yang dianggap mampu memberikan kehidupan dan harta yang banyak. Sehingga tidak diperbolehkan untuk menyukai atau berpacaran dengan laki-laki lain. dari informan A diketahui bahwa : “Anak perempuan disini itu harta, sehingga harus dijaga baik-baik. Kalau mereka melanggar adat yang ada dan memilih untuk menikah dengan laki-laki lain, maka mereka tidak akan dianggap sebagai keluarga lagi dan harus pergi dari kampung ini.”
Sementara dari hasil wawancara dengan seorang remaja diketahui bahwa mereka tidak boleh jalan dengan laki-laki yang bukan saudara kandung. “Kami disini masih takut dengan adat. Karena kita pu paitua(suami) itu nanti orang tua yang pilih. Kalau kita langgar berarti kita harus pergi dari kampung. Itu sudah jadi hukuman bagi orang yang melanggar.”
b. Pasangan Suami Istri Yang Belum Pernah Hamil Setiap pasangan yang menikah tentu menginginkan hadirnya seorang anak dalam keluarga mereka. Pun demikian halnya dengan masyarakat Mumugu. Bagi masyarakat Mumugu, kehadiran seorang anak tidak hanya menambah lengkapnya keluarga, tetapi lebih dari itu mempunyai anak sama saja memiliki harta. Terutama jika anak mereka perempuan. Karena jika memiliki anak perempuan mereka bisa memilih laki-laki yang akan menjadi menantunya yang dapat memberikan mas kawin yang banyak. Sehingga ada sebagian pasangan suami istri yang belum dikarunia anak akan meminta bantuan kepada Suster yang sudah lama bertugas di Mumugu untuk memberikan mereka obat yang
70
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
dapat membuat istrinya hamil. Tidak ada obat alam yang mereka gunakan untuk memperoleh keturunan. Masyarakat sendiri tidak mengerti artinya mandul. Dari keterangan beberapa orang masyarakat diketahui bahwa jika pasangan mereka tidak memiliki anak, mereka akan langsung mencari pasangan lainnya atau mengambil anak dari saudara yang sudah memiliki banyak anak dan tidak sanggup untuk merawat anak. Di Kampung Mumugu sendiri belum ada data pasangan yang menikah usia muda. Karena sistem pernikahan mereka masih menggunakan kawin adat dan tidak ada kawin gereja maupun catatan sipil. Sehingga dimanapun mereka berada baik di hutan maupun di kampung pernikahan adat bisa saja terjadi. Tidak ada pesta yang menandakan bahwa mereka sudah resmi menjadi suami istri. Hanya sebagian keluarga saja yang mengetahui bahwa mereka adalah pasangan. Tetapi dari beberapa wawancara dengan informan diketahui banyak pasangan suami istri usia muda di kampung ini. Mereka yang sudah menikah dan masih memiliki orang tua wajib memberikan makan dan menafkahi orang tua serta keluarga mereka. Di dalam rumah, siapapun yang sudah berkeluarga dan dianggap mampu mencari makan serta berburu binatang dihutan wajib memberikan kehidupan bagi keluarga yang tinggal dalam satu rumah. Makanan yang mereka makan harus sama-sama dan tidurpun tanpa ada sekat. Sehingga tidak ada perbedaan dalam satu rumah. 3.1.1.2. Hamil a. Masa Kehamilan Kehamilan merupakan hal yang lumrah bagi setiap wanita termasuk bagi masyarakat Kampung Mumugu. Masa kehamilan
71
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
atau hamil oleh masyarakat Mumugu disebut dengan istilah jak. Perempuan yang sedang jak bukanlah sebuah alasan untuk tidak bekerja. Tidak ada yang istimewa ataupun perlakuan yang berlebih dari pasangan atau keluarga mereka bagi ibu yang sedang jak. Aktifitas mereka sama saja dengan ibu yang tidak hamil dan wanita yang sudah mempunyai anak. Mereka masih terus melakukan pekerjaan-pekerjaan sebagaimana biasanya. Mencari sagu dihutan, mencari kayu bakar, mencari ikan di sungai, mendayung perahu.
Gambar 3.2. Ibu hamil yang selesai mencari kayu bakardi hutan Sumber. Dokumen Peneliti
Hampir sebagian besar suami yang memiliki istri sedang hamil membiarkan istrinya mencari makan di hutan dan melakukan aktivitas biasa. Tugas sebagai seorang perempuan tetap dijalankan seperti biasa. Hanya sebagian kecil, suami yang mengerti dan menggantikan pekerjaan istri, ketika istrinya sedang jak.
72
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
Selama seorang ibu sedang hamil, maka ada beberapa jenis makanan yang menjadi pantangan atau pamali untuk dimakan. Bila dilanggar diyakini akan membawa permasalahan selama proses kehamilan dan persalinannya nanti. Pantangan makanan tersebut diantaranya adalah seperti tidak boleh makan buah rotan, karena rotan dianggap sebagi simbol tali. Jika seorang ibu hamil makan buah rotan maka janin yang dikandungnya diyakini akan meninggal karena terlilit tali pusat. Yang ke dua adalah pantang untuk makan buah merah. Sesuai namanya, buah merah ini bagi kepercayaan mereka melambangkan darah. Ibu hamil yang nekat mengkonsumsi buah merah, maka diyakini kelak saat proses melahirkan akan terjadi banyak pendarahan yang dapat berakibat pada kematian. Selanjutnya adalah tidak boleh makan buah pisang, jenis apapun. Karena menurut kepercayaan mereka pohon pisang merupakan tempat tinggal dan menjadi sarang dari kuntilanak. Makanan lain yang menjadi pamali adalah jenis ikan-ikanan, seperti ikan Kakap dan ikan Sembilan. Hal ini dilarang karena sudah menjadi adat turun temurun dan pantang untuk dilanggar oleh masyarakat. Hal tersebut sebagaimana yang diungkapkan oleh beberapa informan, salah satunya oleh informan GM sebagai berikut : “Ya... pamali itu....tidak usah makan buah rotan, buah rotan kasih dia makan, karena dia tali tho, nanti dia lingkar di dalam, jadi dia tidak boleh. Kedua buah merah, buah merah tidak boleh karena darah banyak (pendarahan). Terus ikan kakap, ikan sembilan juga tidak boleh. Karena itu kita punya rahasia, kan adat tho?! tidak boleh, sudah turun temurun....pamali”
Hal tersebut juga dibenarkan oleh informan DM. Pria paruh baya yang juga sebagai tetua adat ini juga menambahkan bahwa selain makanan, ibu hamil juga dilarang untuk memasuki rumah adat jew karena dikhawatirkan roh orang yang sudah
73
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
meninggal dapat bersarang dalam kandungannya yang dapat menyebakan kematian pada janinnya. Terkait pantangan makan, sebenarnya hal ini patut disayangkan. Karena pada saat seorang perempuan sedang hamil, tentu membutuhkan makan-makanan yang bergizi dalam jumlah yang cukup. Makanan jenis buah-buahan dan ikan-ikanan, tidak dapat dipungkiri tentu merupakan sumber vitamin, mineral, dan protein yang sangat dibutuhkan bagi seorang ibu yang sedang hamil. Disamping makan-makanan bergizi yang lain. Sebagai contoh buah merah, buah yang dalam nama latin disebut Pandanus conoideus Lamk ini merupakan salah satu jenis tanaman tradisional Papua yang memiliki banyak khasiat. Tanaman ini merupakan sumber nutrisi yang baik karena didalamnya banyak mengandung energi, lemak, alfa-karoten, beta-karoten, beta-kriptosantin, dan juga vitamin E. Buah merah juga berkahasiat sebagai penghambat sel kanker, penyakit malaria, dan juga menurunkan glukosa darah (Limbongan dan Malik, 2009) Sementara itu menurut informan B, tenaga kesehatan yang berprofesi sebagai bidan di Kampung Mumugu, didapatkan informasi bahwa ibu hamil di Kampung Mumugu jarang sekali memeriksakan kehamilannya.Hal ini lebih disebabkan karena rendahnya kesadaran mereka dalam hal menjaga kesehatan terutama selama kehamilannya. Informan B juga menambahkan bahwa ibu hamil hanya mau datang untuk memeriksakan kehamilannya bila ada pembagian susu, kelambu, ataupun biskuit gratis dari pemerintah, sebagaimana yang diungkapkannya berikut ini : “Oo….Klo untuk ibu hamil, klo cuma kita ajak biasa, dia tidak terlalu ini untuk periksa. Dia rutin, klo kita ada susu, ada kelambu, ada biscuit untuk ibu hamil, itu baru dia rutin datang untuk periksa.”
74
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
Tentu hal ini perlu menjadi perhatian serius bagi pemerintah. Karena salah satu cara untuk menurunkan angka kematian ibu adalah dengan melakukan perawatan kehamilan. Perawatan atau pemeriksaan kehamilan oleh tenaga kesehatan yang dianjurkan pemerintah sebagaimana yang tertuang dalam Pedoman Pelayanan Antenatal dari Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan RI (2007) adalah minimal 4 kali selama kehamilannya, dengan pola 1-1-2. Satu kali pada trimester pertama, satu kali pada trimester kedua, dan dua kali pada trimester ketiga. Dengan pemeriksaan kehamilan tersebut diharapkan dapat diketahui kondisi kesehatan ibu maupun janin yang dikandungnya. Sehingga bila terjadi masalah kesehatan, baik pada ibu maupun janin yang dikandung, dapat segera ditangani. Selain itu selama pemeriksaan kehamilan tersebut, ibu juga akan diberi tablet tambah darah untuk menghindarkan ibu dari anemia. Sebagaimana diketahui bahwa sebagian besar kematian ibu selama kehamilan dan persalinan serta masa nifasnya disebabkan karena terjadinya perdarahan akibat adanya anemia maupun kekurangan energi kronis (Khan et al., 2006). Kebiasaan kurang baik yang masih ditemukan pada ibu hamil di Kampung Mumugu adalah kebiasaan merokok. Mereka tidak bisa menghentikan kebiasaan merokoknya meskipun sedang hamil besar. Tentu hal ini akan berdampak kurang baik bagi janin yang dikandungnya. Ibu yang merokok pada saat hamil akan berisiko melahirkan bayi sebelum waktunya (prematur) yang akan mempunyai ukuran paru lebih kecil, bayi yang dilahirkan juga berisiko menderita mengi pada usia neonatus.Di samping itu asap rokok juga akan mengurangi fungsi paru bayi. Ibu yang merokok saat hamil juga menyebabkan bayi sudah mengalami obstrukti saluran napas derajat ringan pada saat usianya masih dalam hitungan hari (Siregar, 2000)
75
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Gambar 3.3. Seorang ibu yang tetap saja merokok meski dalam kondisi hamil besar Sumber : Dokumentasi Peneliti
b. Persalinan dan Nifas Sebagaimana halnya kehamilan, proses persalinan ibu hamil di Kampung Mumugu juga merupakan hal yang biasa. Persalinan oleh masyarakat biasa disebut dengan istilah bongkar. Ibu hamil yang menunggu waktu bongkar, tidak pernah tahu kalau mereka sudah masuk waktu bongkar. Mereka tetap saja masih bekerja seperti biasa seperti mengangkat kayu bakar, ke sungai mencari ikan, maupun memangkur sagu di hutan. Para suami yang istrinya hamil, membiarkan istrinya tetap bekerja dan tidak pernah ada larangan apapun. Sehingga tidak jarang, terjadi bongkar ketika sedang mencari sagu di tengah-tengah hutan yang jauh dari perkampungannya. Jika hal itu terjadi maka bongkar akan dilakukan disitu dan yang akan menolong adalah suaminya sendiri ataupun orang lain yang ada saat itu. Jika tidak ada masalah pada saat bongkar, misal perdarahan atau lilitan tali pusat, maka ibu dan janin akan lahir dengan selamat. Namun jika
76
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
terjadi masalah kesehatan, tentu tak dapat dihindarkan dari ancaman kematian baik pada ibu atau janin yang dilahirkan. Sebagaimana yang dialami oleh salah satu ibu berikut ini. Menurutnya, sudah kurang lebih dari bulan terakhir dirinya bersama ke dua kakak iparnya (laki-laki dan perempuan) pergi ke hutan untuk mencari makan. Sementara suaminya tidak ikut, karena sedang berada di Mimika. Saat pergi ke hutan tersebut, dirinya dalam kondisi hamil. Karena kegiatan mencari makan tersebut tidak sehari dua hari, bahkan berminggu-minggu atau dalam hitungan bulan, maka merekapun membangun bivak di hutan sebagaimana kebiasaan masyarakat yang lain. Ketika dalam bivak di hutan tersebut, si ibu ini mengalami kontraksi yang berujung pada keinginan untuk bongkar. Berhubung lokasi bivak jauh dari perkampungan dan tidak memungkinkan untuk perjalanan pulang, maka bongkar-pun dilakukan di tengah hutan. Bongkar hanya ditolong oleh kakak ipar perempuannya yang dibantu oleh kakak ipar laki-lakinya. Setelah beberapa saat kemudian waktu bongkar-pun selesai. Namun sayang, bayi yang dilahirkannya tidak dapat diselamatkan. Bayi tersebut meninggal saat proses bongkar. Bayipun dikubur dekat bivak di tengah hutan. Rupanya tidak hanya bayinya yang mengalami masalah kesehatan. Si ibu tersebut juga mengalami masalah kesehatan, dirinya mengalami perdarahan, sehingga diputuskan untuk dibawa pulang. Setelah melalui perjalanan selama 2 hari 2 malam, si ibu dan kedua kakak iparnya itupun sampai di kampung. Mereka pun langsung menuju ke Puskesmas untuk dirawat. Karena pendarahan yang dialami sebelumnya, kurangnya konsumsi makanan, serta perjalanan yang melelahkan, si ibu tersebut tiba di Puskesmas dengan kondisi yang memprihatinkan. Matanya cowong sekali, salah satu tanda kalau dirinya mengalami
77
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
dehidrasi berat. Tenaga kesehatan di Puskesmaspun segera pertolongan yang diperlukan. Itu merupakan salah satu contoh kasus yang sering terjadi di Kampung Mumugu maupun daerah pedalaman Asmat yang lain, terkait dengan kehamilan dan persalinan. Mereka sering menjalani proses persalinan di tengah hutan dengan bantuan dan kondisi yang seadanya.
Gambar 3.4. Seorang ibu yang habis melahirkan di hutan. Sumber : Dokumentasi Peneliti
Namun secara umum, tata cara persalinan masyarakat Kampung Mumugu dapat dikemukakan sebagai berikut. Ketika seorang ibu akan melahirkan, maka yang mempunyai peran untuk membantu proses persalinannya adalah dukun. Dukun yang dimaksud bukan merujuk seorang perempuan yang memang berprofesi sebagi dukun bayi sebagaimana kita ketahuipada umumnya. Tapi dukun yang dimaksud adalah mamak-mamak tua yang sudah pernah menolong ibu melahirkan. Dengan demikian jumlah dukun bayi dalam satu
78
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
kampung tidak hanya tetapi banyak. Sebagaimana yang diungkapkanoleh informan B berikut : “Mamak-mamak yang tua-tua itu, sudah dianggap jadi dukun. Pokoknya kalau dia sudah pernah tolong ibu yang melahirkan, nanti ada yang melahirkan, dia dipanggil lagi.” “Pokoknya banyak. Mamak-mamak yang sudah tua itu disebut dukun.”
Bila tidak ada dukun yang dapat membantu persalinan maka keluarga sendirilah yang akan membantu. Keluarga tersebut seperti ibu, saudara perempuan dan juga ipar perempuan. Kalaupun masih tetap tidak memungkinkan, maka sang suami sendiri yang akan membantu melahirkan seperti misalnya melahirkan ketika sedang di hutan sebagaimana contoh kasus diatas. Ketika anak telah lahir maka tali pusat akan dipotong dengan menggunakan potongan pelepah daun sagu yang ditipiskan ataupun pecahan kulit siput. Mereka akan memotong tali pusat bayi yang baru lahir dengan ukuran yang cukup panjang dari pangkal pusatnya. Panjangnya bisa mencapai dua jengkal tangan orang dewasa. Menurut mereka, tidak ada alasan khusus mengapa tali pusat dipotong begitu panjang. Hanya saja dengan memotong tali pusat yang cukup panjang tersebut, maka tali pusat akan mudah digulung atau dililitkan. Karena memang tali pusat bayi tersebut tidak diikat tali atau di-klem. Tali pusat yang habis dipotong dibiarkan saja, tanpa diikat, tanpa diberi antiseptik, dan hanya digulungkan begitu saja. Dari segi kesehatan ini sangat tidak dianjurkan. Karena tali pusat yang dipotong cukup panjang, ditambah dengan cara pemotongan yang tidak steril akan menjadi sumber infeksi. Bila hal ini terjadi tentu akan mengancam jiwa sang bayi.
79
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Gambar 3.5. Tali pusat yang baru saja dipotong relatif panjang lalu hanya digulungkan saja Sumber : Dokumentasi Peneliti
Selama masa nifas tidak ada pantangan makanan bagi ibu, sebagaimana ketika masih dalamkeadaan hamil. Mereka dapat mengkonsumsi makanan apa saja. Kurang lebih satu minggu setelah melahirkan, ibu akan beraktifitas sebagaimana biasanya. Mencari kayu bakar, mencari sagu ke hutan, atau mencari ikan di sungai. Bahkan ada beberapa ibu yang baru beberapa hari melahirkan, tetapi sudah harus bekerja mencari makan sebagaimana yang diungkapkan oleh informan B berikut : “....tergantung suaminya. Kalo suaminya rajin, dia mo cari makan untuk istrinya, istrinya dia bikin begitu, tidak boleh kerja, dia mandi dulu (kurang lebih 1 minggu setelah melahirkan) baru boleh kerja. Tapi ada yang malas, ya terpaksa istrinya yang baru melahirkan..., sudah cari kayu bakar, cari makan….”
80
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
c. Menyusui Setelah seorang ibu di kampung Mumugu melahirkan, ibu tersebut selalu menyusui bayinya. Kesadaran ibu-ibu untuk menyusui bayi cukup tinggi. Hal ini juga diakui oleh informan AM, informan yang juga seorang dokter tersebut mengatakan : “....kesadaran dari minum ASI. Dari setiap mama-mama yang memiliki bayi, hampir mayoritas, sebagian besar memberikan ASI kecuali anak piara. Kalau anak piara, misal dia tidak memiliki air susu, mereka beli ataupun mendpatkan susu formula, 0 sampai 6 bulan untuk susu formula pengganti ASI...”
Ibu-ibu di sana lebih mandiri, mereka mengurus semua pekerjaan dan merawat bayinya sendiri. Untungnya air susu ibu yang baru melahirkan, jarang yang mengalami hambatan. Tetapi jika ada air susu yang tidak lancar, maka peran suami untuk mencari dedaunan dihutan untuk dijadikan sayur sebagaimana yang diungkapkan oleh informan GM berikut ini : “....biasa pake sayuran-sayuran. Maksudnya kita cari daun petatas di hutan atau daun ubi dan sayur kasbi. Sayur-sayur tersebut direbus dan dimakan oleh ibu yang menyusui... Sayuran tersebut tidak hanya satu kali makan tetapi makan setiap hari sampai air susu keluar .”
Di Mumugu sendiri, tidak ada pantangan makanan bagi ibu yang baru melahirkan dan menyusui. Semua bisa mereka makan. Karena makanan yang mereka ketahui hanyalah sagu yang dibuat bola kemudian dibakar selain itu juga sayur paku yang direbus dan ditumis tanpa bumbu apapun.
81
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Gambar 3.6. Seorang ibu yang sedang menyusui di dalam kamar yang juga diberi tungku sebagai penghangat ruangan Sumber : Dokumentasi Peneliti
d. Neonatus dan Bayi Di Kampung Mumugu, bayi yang baru saja dilahirkan yang dibantu oleh keluarga sendiri tidak memiliki ritual bagi kelahiran bayi maupun setelah kelahiran. Tidak ada ritual pijet bayi ataupun tradisi yang dilakukan untuk menyambut kelahiran sang bayi. Bayi laki-laki di sini hampir semuanya tidak di sunat. Mereka tidak mengerti artinya sunat. Sehingga bayi yang baru dilahirkan akan dibiarkan begitu saja. Hanya saja,bayi di sini akan dimandikan setelah tujuh hari. Air yang dipakai untuk mandi adalah air sungai yang diambil oleh suami pada jam 6 pagi. Air sungai ini diyakini akan membuat bayi menjadi sehat. Tanpa dimasak, bayi tersebut hanya disiram oleh sang ayah beberapa kali hingga dianggap bersih. Setelah itu bayi akan ditaruh disamping ibunya.
82
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
Di Mumugu sendiri bayi yang baru lahir bahkan bayi yang berumur tiga bulan ke atas tidak dipakaikan baju. Mereka menganggap bahwa baju akan membuat anak merasa kepanasan. Para ibu dikampung ini juga tidak mengerti caranya membedong bayi. Di Kampung Mumugu, hampir semua bayi dimandikan dan dirawat dengan cara yang sama. Jika sudah berumur satu bulan, maka bayi akan diberikan makan sagu dan juga mie instant. Berikut penuturan dari salah seorang informan GM : “Kalau anak bayi disini sudah bisa makan umur 3 bulan kita kasih makan s..... (menyebut salah satu mie instant). Kalau air susu masih tetap dikasih, tapi kalau dia lapar kita kasih makan mie yang lembek jadi da bisa makan,”
Tentu hal ini kurang disarankan, memberi makan bayi kurang dari 6 bulan diberi makanan selain ASI (Air Susu Ibu). Karena sebagaimana program pemerintah, setiap bayi baru lahir hendaknya diberi ASI eksklusif. Hanya diberi ASI saja tanpa makanan dan minuman lain selama minimal 6 bulan pertama sejak kelahirannya. Hal ini perlu dilakukan karena besarnya manfaat ASI bagi bayi yang barulahir. Dengan ASI bayi akan mendapatkan zat kekebalan tubuh secara alami. Pemberian ASI selama 6 bulan pertama atau lebih,menurunkan risiko menderita penyakit gangguan pencernan, alergi, asma, diabetes, obesitas, kanker, infeksi saluran pernapasan, infeksi kandung kemih dan sindrom kematian mendadak pada anak. ASI juga lebih mudah dicerna dan diserap oleh sistem pencernaan bayi sehingga bayi jarang mengalami konstipasi maupun diare. Manfaat lainnya dalah ASI selalu siap tersedia dalam suhu yang sesuai sehingga sangat praktis (Aprillia, 2009)
83
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
e. Anak dan Balita Di Kampung Mumugu, seorang anak lebih banyak diasuh oleh orang tuanya. Namun jika dalam satu keluarga sudah memiliki banyak anak, maka anak yang dilahirkan berikutnya akan diserahkan kepada keluarga yang belum memiliki anak. Misalnya Ipar perempuan atau saudara jauh yang dianggap mampu merawat anak tersebut. Karena sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa anak selain untuk menambah lengkapnya keluarga, tetapi mempunyai anak sama saja memiliki harta, terutama jika anak mereka perempuan. Karena dengan anak perempuan mereka bisa mendapatkan mas kawin dari calon menantunya. Anak-anak di Kampung Mumugu jarang tidak diberikan pakaian oleh orang tuanya. Mereka dibiasakan telanjang tanpa menggunakan busana. Karena orang tuanya menganggap bahwa anak akan merasa kepanasan jika menggunakan baju. Untuk anak maupun bayi hampir tidak ada perbedaan dalam memberikan makanan. Apa yang dimakan oleh orang tuanya akan dimakan oleh anak tersebut, yang membedakan hanyalah jika seorang bayi akan diberikan makanan yang lebih lunak karena belum mempunyai gigi sedangkan anak yang sudah bertumbuh gigi asupan makananannya akan sama dengan orang dewasa. Puskesmas Mumugu sendiri belum memiliki data lengkap dan pasti tentang profil gizi dan berat anak dan balita karena baru pertama kali mengadakan Posyandu. Namun, dari pengamatan tampak anak-anak di Kampung Mumugu, terutama yang berusia 3-10 tahun, memiliki perut yang buncit dan besar.
84
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
Gambar 3.7. Anak-anak dengan perut yang buncit Sumber : Dokumentasi Peneliti
Perut yang membuncit dan membesar pada anak-anak, merupakan salah satu tanda bahwa anak-anak tersebut kurang gizi (malnutrisi). Salah satu jenis penyakit kurang gizi pada anak adalah kwashiorkor atau biasa disebut dengan busung lapar. Jenis penyakit yang ditemukan pertama kali di Afrika ini merupakan penyakit pada anak-anak sebagai akibat dari kurangnya asupan protein dalam jangka waktu yang lama. Salah satu gejala dari anak yang menderita kwashiorkor adalah perut yang membuncit. Sedangkan gejala lainnya adalah pertumbuhan anak yang buruk, hilangnya massa otot, anemia, pembengkakan, rambut yang abnormal (jarang, tipis, rambut merah atau abu-abu pada anak-anak berkulit gelap), dan perubahan warna kulit yang menggelap. Kwashiorkor membawa dampak yang buruk bagi anak. Akibat dari kwashiorkor adalah dapat menurunkan sistem
85
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
kekebalan tubuh sehingga anak menjadi rentan terkena penyakit menular (MedicineNet.com, 2012). Intensitas waktu bertemu antara anak dan orang tua dapat dikatakan sangat banyak. Hampir 24 jam orang tua dan anak selalu bersama, terutama bagi ibunya. Kasih sayang orang tua di kampung ini sangat besar terhadap anak. Mereka akan menggendong anaknya berkeliling kampung dan tidak membiarkan anak tersebut untuk jalan kaki karena takut mereka akan kelelahan. Namun kasih sayang tersebut tidak dibarengi dengan pola hidup yang baik. Walaupun orang tua sangat sayang terhadap anaknya, namun untuk menjaga kebersihan anak masih sangat kurang. Anak-anak tidak pernah diajarkan bagaimana cara mencuci tangan sebelum makan, mandi dua kali sehari, menggosok gigi dan berpakaian yang baik.
Gambar 3.8. Anak-anak Mumugu yang sedang bermain lempar karet. Sumber : Dokumentasi Peneliti
86
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
Dari kecil, anak-anak sudah biasa diajak oleh orang tuanya ke hutan untuk mencari makanan. Mereka sengaja diikutsertakan karena orang tua khawatir tidak ada yang menjaga mereka dirumah. Selain ke hutan mencari makan, anak usia sekolah di Kampung Mumugu menghabiskan waktu luangnya hanya dengan bermain. Mereka tidak bersekolah sebagaimana layaknya anakanak seusianya. Selain karena kurangnya kesadaran orang tua untuk menyekolahkan anaknya, adalah karena belum adanya gedung sekolah maupun guru yang mengajar secara menetap terutama di Mumugu Atas. 3.1.2. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat 3.1.2.1 Persalinan oleh Tenaga Kesehatan Para ibu hamil di Kampung Mumugu banyak yang tidak tahu berapa usia kandungan mereka. Walaupun perut sudah membesar seperti masa kehamilan yang sudah memasuki proses kelahiran, tetapi mereka tidak juga mengetahui dan merasakannya. Ketidaktahuan para ibu hamil tersebut dikarenakan mereka menganggap melahirkan atau bongkar tersebuta adalah hal yang biasa dan tidak perlu tenaga kesehatan untuk membantu bongkar. Jarak rumah warga dengan Puskesmas tidak jauh, hanya berjarak 100 meter. Namun masyarakat memilih untuk tetap melahirkan di rumah yang dibantu dukun ataupun keluarga sendiri. Padahal tenaga kesehatan yang ada sudah sering meminta masyarakat agar melakukan proses bongkar dengan ditolong oleh tenaga kesehatan. Tetapi mereka tetap tidak mau melakukan anjuran tersebut. Bahkan itu tidak hanya terjadi pada keluarga yang awam, tetapi juga terjadi pada keluarga yang merupakan kader kesehatan. Sang suami, yang juga kader kesehatan, tetap bersikukuh tidak mau membawa istrinya ke
87
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Puskesmas untuk proses bongkarnya meski telah dibujuk dan di rayu. Mereka tetap ingin melakukan proses bongkar di rumah. Berikut pendapat BJ, informan yang juga seorang kader kesehatan yang istrinya sedang hamil tu : “Biar saja, bongkar (melahirkan) di rumah. Nanti ada sodara perempuan yang bantu. Kalau sudah tidak bisa baru kita bawa ke Puskesmas.”
Gambar 3.9. Seorang ibu yang tidur dekat tungku api menunggu saat-saat melahirkan. Sumber : Dokumen Peneliti
Menurut mereka, mereka lebih nyaman bila dibantu oleh keluarga sendiri dari orang lain. Mereka malu jika ada orang dari luar (pendatang) melihat darah orang melahirkan. Mereka baru memanggil tenaga tenaga kesehatan ketika ada masalah dengan proses persalinannya sebagaimana yang diungkapkan oleh iinforman B yang juga bidan tersebut : “Dia malu. Kalo kita pas buka-buka begitu. Klo sama orang dia sendiri tidak apa. Kalo sama pendatang
88
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
mereka malu. Anak-anak juga melihat tidak apa-apa. Sama pendatang malu, kecuali kalau dia sudah tidak bisa lagi, macam plasentanya tertinggal, atau terjadi pendarahan, baru dia panggil saya. Tapi kalau selama dia melahirkan normal-normal, tidak panggil....”
Ibu dan saudara perempuan ataupun tetangga perempuan yang biasa membantu proses bongkar akan dipanggil oleh sang suami jika istrinya dianggap sudah mau melahirkan. Tetapi jika tetangga tidak ada dan berhalangan, maka suami akan berperan untuk membantu bongkar sang istri. Tidak ada larangan ataupun pantangan bagi seorang yang akan melahirkan. Hanya mereka yang akan melahirkan akan tidur didekat tungku api yang ada didalam kamar. Ini dimaksudkan agar mereka dan bayi yang dilahirkan tidak mengalami kedinginan. Informan B menambahkan dirinya akan dipanggil jika proses bongkar si ibu sudah selesai. Misalnya Bila si ibu bongkar pada malam hari, maka paginya pasti akan memberitahukan kepada tenaga kesehatanbahwa istrinya telah bongkar. Mereka meminta dirinya untuk memeriksa kondisi ibu dan bayi atau memberikan suntikan vitamin pada ibu. Seperti yang disampaikannya berikut ini : “Selama ini saya dipanggil kalau mereka sudah selesai melahirkan. Biasanya suaminya yang panggil dan meminta untuk memeriksa kondisi istri dan anaknya atau sudah melahirkan tapi badanya masih lemas, baru minta suntik vitamin.”
3.1.2.2. Penimbangan Bayi dan Balita Puskesmas Mumugu yang baru beroperasi pada Bulan April 2014 dan baru pertama kali melakukan Posyandu pada
89
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
pertengahan bulan Mei 2014. Dibantu kader Posyandu dan kader Kusta, Posyandu perdana dilakukan di halaman Puskesmas. Posyandu tersebut hanya dihadiri oleh beberpa orang ibu dan bayinya, selebihnya adalah bapak-bapak yang turut mengantarkan istrinya dan mengambil jatah bubur kacang ijo yang dibagikan seusai melakukan penimbangan bayi. Masyarakat setempat sama sekali tidak mengerti apa itu Posyandu. Mereka datang ke Puskesmas hanya mengincar kacang ijo yang diberikan sebagai makanan tambahan. Sebagaimana kita ketahui bersama, imunisasi sangat diperlukan penting bagi anak balita. Imunisasi merupakan tindakan medis memberikan vaksin (zat yang mengandung kuman, racun kuman yang telah dilemahkan atau dimatikan) kepada seseorang, agar orang tersebut membentuk kekebalan (antibodi) terhadap penyakit tertentu (Hendrarto, 2014). Imunisasi merupakan prosedur terpercaya untuk mencegah penyakit menular yang menimbulkan kematian dan kecacatan yang tinggi. Penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi meliputi tuberkulosis, hepatitis B, difteri, pertusis, tetanus, campak dan banyak lagi. Ada beberapa vaksin yang semestinya diberikan pada anak usia 0–12 bulan. Diantara vaksin tersebut adalah BCG, Hepatitis B, DPT, Polio, Hib, PCV dan Campak. Kesemua vaksin tersebut terbagi dalam dalam 16 kali suntikan yang menyebabkan semakin padatnya jadwal vaksin yang harus diberikan. Untuk itu, saat ini telah dikembangkan beberapa vaksin kombinasi. Vaksin kombinasi adalah vaksin yang mengandung sejumlah antigen penyakit yang diberikan dalam satu kali suntikan. Selain vaksin DPT (Koombinasi vaksin difteri, pertusis, dan tetanus), telah dikembangkan vaksin kombinasi measles, mumps, dan rubella (MMR).Selanjutnya adalah kombinasi DPT dengan vaksin
90
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
hepatitis B atau dengan vaksin Haemophilus influenzae tipe b (Hendrarto, 2014).
Gambar 3.10. Penimbangan badan (kiri) dan pemberian vaksin (kanan) pada kegiatan Posyandu perdana di Puskesmas Mumugu Sumber : Dokumen Peneliti
Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia setiap anak di Indonesia wajib diberikan 5 jenis imunisasi dasar, diantaranya adalah sebagai berikut : (1) Imunisasi BCG yang diberikan ketika bayi berumur kurang dari 3 tahun; (2) Hepatitis B yang diberikan sebanyak 3 kali dengan waktu sesaat setelah lahir, bulan pertama, dan antara bulan ke-3 sampai dengan bulan ke-6; (3) Polio diberikan sebanyak 6 kali dengan waktu bulan ke-0, 2, 4, 6, 18, dan tahun ke-5; (4) DPT diberikan sebanyak 6 kali dengan waktu bulan ke-2, 4, 6, 18 dan tahun ke-5 serta ke-12; dan terakhir (5) imunisasi Campak yang diberikan sebanyak 2 kali yaitu pada bulan ke-9 dan di tahun ke-6 (http://meetdoctor.com). 3.1.2.3. Memberikan Asi Eksklusif Sudah menjadi tradisi dari nenek moyang masyarakat Kampung Mumugu bahwa seorang ibu yang baru saja melahirkan untuk memberikan ASI bagi anaknya. Pemberian ASI ini, dilakukan sampai anak berusia satu tahun atau sampai anak bisa
91
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
berjalan. Masyarakat Mumugu percaya bahwa pemberian ASI dapat mendekatkan ibu dan anak. Selain itu, anak yang diberi ASI akan mendengar atau patuh dengan orang tuanya. Kepercayaan mereka, anak yang diberi ASI akan mengikuti sifat orang tuanya. Memberikan anak yang baru lahir dengan ASI sudah dilakukan sejak dahulu, masyarakat Mumugu baik pria maupun wanita mengetahui bahwa anak akan baik dan sehat jika diberi ASI dari orang tua mereka. Masyarakat mendapatkan informasi tentang pentingnya memberikan ASI juga dari Pastor dan Suster biarawati yang melakukan pelayanan di kampung mereka. Masyarakat Kampung Mumugu hampir semua tidak dapat baca tulis, sehingga mereka takut untuk memberikan susu pada anak yang dibeli dari kios. Seperti yang dikemukakan oleh informan DM berikut ini : “…. Masyarakat di sini tidak tau beli susu di kios. Di sini banyak yang tidak tau baca tulis, jadi takut salah beli. Karena ada susu untuk anak 6 bulan, takut salah kasih minum karena tidak tau baca. Kita juga di sini, sudah adat dari dulu kalau anak itu harus kasih susu mama. Karena dari orang tua dulu memang su ajar begitu jadi kita ikut saja.”
Jika seorang ibu yang baru melahirkan tidak memiliki air susu atau hanya sedikit saja air susu yang keluar, maka suaminya akan pergi ke hutan mencari beberapa sayur atau tumbuhan yang akan dibuat ramuan yang mereka percaya mampu memperlancar keluarnya air susu. Beberapa sayuran yang dipercaya mampu memperlancar keluarnya air susu ibu adalah daun ubi atau singkong. Daun ubi ini bisa direbus maupun ditumis kemudian dimakan oleh ibu yang sedang menyusui. Cara yang lain yaitu daun ubi di rebus kemudian masih hangat-hangat ditempelkan pada buah dada ibu. Mereka meyakini bahwa daun
92
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
ubi yang dimakan maupun ditempelkan, akan memperlancar air susu yang sebelumnya tidak keluar. Namun sayang, pengetahuan mereka tentang aspek lain dalam hal menyusui masih kurang. Termasuk tentang pemberian ASI eksklusif. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, pada saat anak usia masih 3 bulan sudah diberi makanan tambahan selain ASI baik itu mie instant maupun sagu yang dimasak lembek. Tentu ini sangat tidak dianjurkankan. Karena hanya ASI lah makanan yang tepat bagi bayi selama 6 bulan pertama kehidupannya. Baru setelah 6 bulan keatas dapat diberi makanan pandamping ASI. Selain ASI-nya sendiri sebisa mungkin masih tetap diberikan. Di samping itu para ibu di Kampung Mumugu juga belum mengetahui tentang kebersihan sebelum dan sesudah menyusui bayi mereka. Puting susu mereka tidak pernah dibersihkan baik dengan air dingin maupun hangat sebelum dan sesudah menyusui bayi. Puting susu hanya dibersihkan dengan kain tanpa dibasahi. Kain tersebut bukanlah kain khusus untuk membersihkan air susu, melainkan kain yang ada didekat mereka baik berupa handuk, sarung, baju dan apapun yang ada disekitar tempat duduknya. Tidak ada pantangan bagi seorang ibu yang sedang menyusui untuk mengkonsumsi berbagai jenis makanan. Sehabis melahirkan, mereka bisa langsung memakan apa saja yang bisa mereka makan seperti sagu bakar dan sayur pakis ataupun mie instant yang dibeli dari kios. Namun rupanya kebiasaan merokok, tidak bisa mereka hilangkan. Mereka tetap saja merokok dimanapun tempatnya. Termasuk di dekat bayi yang baru dilahirkan. Tentu hal ini sangat tidak dianjurkan. Karena merokok tidak hanya berpengaruh buruk pada dirinya sendiri tetapi pada orang yang ada di dekatnya yang dalam kasus ini adalah bayi yang baru dilahirkannya. Bayi yang masih berumur beberapa saat tersebut
93
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
tentu rawan sekali untuk terkena penyakit saluran pernapasan semisal ISPA.
Gambar 3.11. Seorang ibu yang merokok di depan bayi yang baru dilahirkannya Sumber . Dokumen Peneliti
3.1.2.4. Mencuci Tangan Dengan Air Bersih Kampung Mumugu yang masih jauh dari jangkauan pemerintah dan juga pola pikir masyarakat setempat yang masih terbelakang, masalah kebersihan menjadi suatu ancaman bagi kesehatan mereka. Hanya sedikit masyarakat yang mempunyai tempat penampungan air hujan, sementara lainnya masih memanfaatkan sumur yang dibuat pemerintah, kubangan kolam, maupun sungai yang airnya keruh untuk keperluan sehari-hari. Jika diperhatikan, hampir semua masyarakat asli di Kampung Mumugu terkena berbagai macam penyakit seperti kusta, ISPA, malaria, kaskado, diare, cacingan, frambusia dan masih banyak penyakit lainnya. Salah satu penyebabnya adalah mereka tidak mengerti dan menerapkan pola hidup sehat dalam keluarga dan lingkungan.Para ibu maupun anggota rumah yang 94
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
bertugas menyiapkan makanan, hampir tidak pernah mencuci tangan mereka. Bahkan setelah melakukan berbagai macam aktifitas, seperti angkat barang, menceboki bayi dan makanpun mereka jarang mencuci tangan. Di rumah mereka hampir tidak pernah ada sendok dan garpu untuk makan. Mereka makan dengan menggunakan tangan langsung. Budaya cuci tangan sebelum menyiapkan makan atau makan masih belum mereka lakukan. Akan tetapi, ada beberapa masyarakat yang sudah mengetahui harus mencuci tangan sesudah memegang pestisida seperti obat nyamuk bakar seperti yang dikatakan oleh informan DM berikut : “… kalau itu kita sudah tau toh karena racun. Obat nyamuk itu kan racun jadi kalau abis bakar dia kita harus cuci tangan, kalau tidak nanti mati,”.
Untuk mencuci baju maupun mandi, masyarakat Kampung Mumugu menggunakan air sumur dari pemerintah dan juga air sumur buatan mereka yang terdapat di depan rumahnya. Air tersebut berwarna cokelat dan tampak kotor. Sumur yang mereka buat tidak ada pembatas dan rata dengan tanah. Di sumur itu, hewan peliharaan mereka juga bisa meminum air tersebut. Selain itu juga, sumur yang dibuat tanpa ada pembatas bisa digenangi sampah plastik. Dari beberapa orang informan, diketahui bahwa masyarakat memang kurang paham dengan budaya cuci tangan dan juga mereka belum mengetahui pentingnya cuci tangan memakai sabun seperti yang diungkapkan informan sebagai berikut : “…sedikit saja yang tau tentang kebersihan. Ada yang cuci tangan sebelum makan dengan air baik tapi banyak sekali yang tidak cuci tangan. Di sini masyarakat kamu lihat sendiri toh, susah sekali. Jadi kalau ada uang ya beli sabun kalau tidak ada uang tidak beli. Tapi banyak yang 95
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
tidak tau pake sabun kecuali waktu ibu menteri datang dan bagi sabun baru kita bisa pake sabun.”
3.1.2.5. Memakai Jamban Sehat Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa saat ini masyarakat di kampung Mumugu menempati rumah yang dibangunolehpemerintah. Rumah dengan tipe tipe 36 tersebut memiliki satu buah kamar dan satu ruang keluarga yang merangkap menjadi ruang tamu didalamnya. Tidak ada ruangan seperti dapur, kamar mandi ataupuntoilet didalamnya. Untuk memenuhi kebutuhan mandi, cuci, dan kencing (MCK), pemerintah menyediakan fasilitas dengan membangun WC umum bagi masyarakat setempat. Di Kampung Mumugu Atas, fasilitas MCK ini dibangun sebanyak 5 buah banguan. Setiap 1 buah banguan berada diantara dua buah deret rumah (masing-masing deret terdiri dari 5 rumah). setiap bangunan tersebut terdiri dari 4 buah ruang untuk keperluan MCK. Dengan jumlah tersebut dirasa sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan akan MCK bagi 10 rumah di sekitar bangunan MCK. Namun sayang banguan untuk MCK tersebut dalam keadaan tertutup rapat dan tidak dimanfaatkan oleh masyarakat. Mereka enggan untuk menggunakannya. Selain karena ketersediaan air yang tidak ada, mereka merasa tidak nyaman bila harus buang air besar di WC. Sebagaimana yang diungkapkan informan LD berikut ini : “Tidak, orang tidak mau pakai itu. Orang lari ke hutan dan sungai. Orang tidak mau buang air di situ....”
Ditambah lagi dengan jarak sungai yang tidak jauh dari pemukiman masyarakat, membuat merekamerasa lebih praktis di sungai untuk keperluan mandi maupun buang air besar daripada 96
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
harus ke fasilitas yang telah dibangun. Sedangkan untuk anakanak kecil biasa buang air besar di rumput-rumput di sekitar rumah sebagaimana tampak pada gambar.
Gambar 3.12. WC umum yang dibangun oleh pemerintah Sumber : Dokumentasi Peneliti
Masyarakat sebenarnya sedikit-sedikit sudah mulai mengerti apa itu kegunaan WC. Namun karena kebiasaan yang sudah dari dulu-dulu ditambah dengan rendahnyakesadaran masyarakat untuk buang air besar tidak disembarang tempat menyebabkan mereka masih enggan untuk buang air besar di WC sebagaimana yang diungkapkan oleh informan LD sebagai berikut: “… sebenarnya kita sudah tau kalau harus berak atau kencing di WC. Tapi karena masyarakat sini masih kurang kesadaran tentang kebersihan makanya sembarangan saja buang kotoran. Kalau pemerintah kasih pengertian terus-terus pasti kita tau juga.”
97
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Gambar 3.13. Seorang anak sedang buang air besar di sekitar rumah. Sumber. Dokumen Peneliti
Buang air disembarang tempat tentu sangat tidak baik bagi kesehatan. Menurut Kusnoputro (2001), Buang air besar di sungai dapat menimbulkan pencemaran lingkungan dan dapat memicu penyebaran wabah penyakit yang dapat ditularkan melalui tinja. Pun demikian dengan buang air besar di tanah terbuka dapat mengundang serangga seperti lalat, kecoa, kaki seribu, dan sebagainya yang dapat menyebarkan penyakit akibat tinja (http:// publichealth-journal. helpingpeopleideas. com). Kebiasaan buang air sembarangan dapat menyebabkan tersebarnya bakteri Escherichia Coli. Bakteri E.coli merupakan bakteri yang dapat menyebabkan penyakit diare. Penyakit diare tidak dapat dianggap sebagai penyakit yang sepele. Diare yang tidak ditangani secara cepat dan tepat dapat menyebabkan kematian. Selain itu, diare yang berulang juga menyebabkan gizi buruk pada anak-anak.
98
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
3.1.2.6. Melakukan aktifitas fisik Selama pengamatan dilapangan, masyarakat Mumugu tidak memiliki aktifitas yang rutin sebagaimana kebanyakan orang kota lakukan setiap hari. Aktifitas mereka hanyalah terkait dengan pekerjaan mencari sagu di hutan. Bila persediaan sagu sudah habis, maka pagi-pagi sekali mereka sekeluarga akan pergi ke hutan untuk mencari sagu. Kegiatan tersebut mereka lakukan mulai dari pagi hari hingga sore hari saat tiba sampai di rumah. Namun sebaliknya bila di rumah masih ada persediaan sagu yang mencukupi, maka mereka akan berdiam di rumah atau kalau tidak mencari ikan di sungai atau berburu ke hutan di sekitar perkampungan. Ketika sore mulai menjelang masyarakat sudah ramai berdatangan ke kios yang ada di kampung Mumugu. Terutama bagi mereka yang pada waktu pagi hingga siang tidak ada aktifitas mencari sagu. Tidak hanya remaja dan orang tua, anakanak yang masih kecil-kecil juga mereka bawa. Hampir setiap sore mereka lakukan seperti itu. Alasan mereka cukup sederhana, karena dirumah tidak ada lampu ataupun penerang. Dengan ada di kios, anak-anak mereka bisa bermain berlarian kesana kemari tanpa takut tersandung. Mereka akan tetap di sana sampai kios tutup pada jam 9 malam. Namun sebenarnya tidak itu saja tujuan mereka kumpul di kios. Terutama bagi yang laki-laki, kebiasaan kumpul di kios adalah mengadu keberuntungan, barang kali hari itu ada kapal datang yang membawa barang-barang. Sehingga tenaga mereka dibutuhkan untuk mengangkut barang-barang tersebut. Kapalkapal yang membawa barang, dapat dipastikan berangkat dari Agats pada pagi hari. Dengan lama perjalanan menuju Mumugu yang dapat mencapai 10 jam, maka kapal tersebut akan sampai di Mumugu pada sore atau petang hari. Kapal-kapal tersebut akan berlabuh tepat di belakang kios yang selama ini mereka 99
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
jadikan tempat berkumpul. Jika ada kapal yang datang tiba-tiba, mereka bisa langsung menjadi kuli angkut barang. Meskipun kapal barang tersebut belum tentu ada setiap hari.
Gambar3.14. Kondisi rumah salah seorang warga yang hampir tidak pernah dibersihkan. Sumber: Dokumen Peneliti
Keadaan ini sudah menjadi kebiasaan masyarakat, sehingga jarang ada yang membersihkan rumah seperti menyapu, mengepel dan membersihkan debu didinding rumah. Hanya satu atau dua orang saja yang melakukan kegiatan membersihkan rumah. Sebagian besar banyak yang tidak pernah membersihkan rumah mereka, sebagaimana yang disampaikan informan A berikut : ”… adoh itu rumah debu tebal. Pangkotor tidak tau kasih bersih rumah. Ada yang dari masuk rumah sampai sekarang tidak bisa kasih bersih. Kalau bangun tidur hanya lipat tikar saja baru taro ditempat tapi tidak pernah sapu atau slaber (ngepel). Satu dua orang saja yang bisa kasih bersih rumah. Itu kalau dorang sudah
100
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
main dengan pendatang. Kalau tidak, biar tidur diatas nasi kotor juga bisa.”
3.1.2.7. Konsumsi buah dan sayur setiap hari Mencari sagu ataupun berburu ke hutan, itulah kegiatan sehari-hari yang sering dilakukan masyarakat di kampungkampung pedalaman di Asmat, tak terkecuali juga bagi masyarakat di Kampung Mumugu.
Gambar 3.15. Buah Rotan yang biasa dikonsumsi masyarakat. Sumber : Dokumentasi Peneliti
Ketika mencari makan di hutan, masyarakat setempat hampir semua mengkonsumsi jenis buah yang terdapat di hutan. Mereka tidak pernah menanam atau berkebun. Apa yang mereka makan semua berasal dari hutan dan sudah disediakan hutan untuk kehidupan mereka. Buah-buahan hasil dari hutan yang sering mereka makan antara lain: buah rotan, buah merah, buah
101
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
kom, tebuh rawa, buah asam dan buah kayu. Mereka lebih memilih buah-buahan tersebut karena sejak zaman nenek moyangnya sudah terbiasa mengkonsumsinya. Mereka tidak perlu repot dan capek untuk menanam dan menunggu panen, alam sudah memberikan segala kemudahan dan mereka hanya tinggal menggambilnya saja. Selain itu, ketika mereka ke hutan untuk memangkur sagu, mereka juga bisa sekalian mengambil beberapa jenis sayuran yang tertanam liar di dalam hutan seperti sayur paku, sayur gedi, genemo. Namun ada juga sayuran yang tumbuh liar di sekitar rumah seperti daun ubi maupun kangkung rawa.
Gambar 3.16 Seorang Ibu yang sedang mencari kangkung yang tumbuh liar Sumber. Dokumen Peneliti
Sayur yang mereka dapat biasanya dicuci terlebih dahulu dengan menggunakan air sumur yang berwana cokelat sebanyak satu atau dua kali. Bahkan ada yang tidak mencuci dan memakan mentah. Mereka biasa memasak sayur tersebut dengan cara direbus dan sesekali di tumis. Tidak ada bumbu yang mereka
102
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
berikan kecuali garam saja. Sayuran tersebut biasa sebagai pelengkap menu utama yaitu sagu. Untuk sagu, karena sudah berbentuk tepung padat maka mereka hanya tinggal membentuknya menjadi bola-bola kemudian membakarnya diatas bara api.
3.1.2.8. Tidak Merokok dalam rumah Bukan pemandangan yang aneh jika melihat hampir semua masyarakat Kampung Mumugumelakukan kebiasaan merokok. Tidak hanya para laki-laki, para perempuan juga sudah biasa merokok termasuk juga anak-anak, meski tidak seluruhnya. Bagi masyarakat setempat merokok adalah hal yang sangat biasa. Siapapun boleh menghisap rokok. Jika anak yang baru berumur 10 tahun meminta orang tua untuk ikut ambil bagian dalam melakukan kebiasan merokok, orang tua tidak akan menolak. Karena orang tua mereka, dari jaman nenek moyang sudah membiasakan diri dan dilihat anak mereka merokok sebagaimana yang diungkapkan informan DM berikut : “… perempuan lebih kencang lagi merokok. Mau hamil ka tidak sama saja, oh… itu paling hebat sudah. Kita sebenarnya sudah tahu bahayanya. Tapi, sa lebih baik lapar daripada tidak merokok. Hahahahaha………. Kayaknya tidak bisa hilang kebiasaan ini. kalau tidak merokok rasanya beda saja. Rokok itu enak dan baik. Orang tua isap rokok didepan anak. Trus anak lihat dan pikir itu bagus, jadi anak minta sama bapaknya. Bapak sa boleh rasa ka, itu enak ka. Da bapak kasih saja, anak rasa enak jadi sampai sekarang tra bisa hilang kebiasaan itu,”
Sehari mereka bisa menghabiskan rokok hingga dua bungkus bahkan lebih. Kebanyakan orang di sini menghisap rokok buatan pabrik. Namun untuk orang tua lebih suka rokok jenis
103
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
lempeng. Sebenarnya ini bukan rokok, namun tembakau yang dibentuk lempengan. Tembakau tersebut dibungkus dan digulung dengan menggunakan daun pohon sagu yang telah dikeringkan.
Gambar 3.17. Seorang ibu yang merokok sambil menggendong bayi. Sumber : Dokumentasi Peneliti
Tidak ada tempat dimana mereka boleh dan tidak boleh merokok. Semua tempat bisa mereka jadikan tempat untuk menghisap rokok. Bahkan seorang ibu yang tengah menggendong bayi di rumah juga dilakukan sambil merokok. Ibu yang hamilpun sama, di Puskesmas tempat mereka berobatpun masih bisa merokok. Seorang ibu yang baru satu jam melahirkanpun, langsung melenting rokok dan meng-hisapnya di depan bayi yang baru saja dilahirkannya. Tidak ada batasan untuk merokok, kapan dan dimanapun ketika mulut pahit maka rokokpun akan menjadi obat yang menurut mereka paling mujarab. Bahkan menurut mereka lebih baik lapar daripada tidak merokok sebagaimana yang disampaikan oleh seorang ibu yang sedang memeriksakan kehamilannya di Puskesmas Mumugu berikut :
104
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
“… rokok itu enak, tidak bisa kalau tidak merokok. Suami larang juga tidak bisa. Lebih baik lapar daripada tidak merokok. Tidak papa kalau hamil merokok, itu sehat dan enak,”.
Ada beberapa orang yang sudah tau dan mengerti bahaya merokok namun lebih banyak yang tidak tahu terutama para ibu. Hanya saja mereka yang sudah mengertipun tidak bisa menghentikan kebiasaan itu. Keterbatasan pengetahuan dan bahasa membuat mereka sulit untuk mencerna apa yang disampaikan oleh pastor dan biarawati tentang bahaya dari merokok. Budaya merokok baik pada orangtua maupun anakanak sulit untuk dihilangkan dari kehidupan mereka. Seperti pernyataan yang disampaikan oleh Informan GM berikut : “… saya tahu kalau merokok bikin hitam badan dan nanti cepat mati. Tapi karena sudah biasa jadi susah untuk berhenti,....”
Sudah menjadi pengetahuan bagi kita semua tentang bahayanya merokok. Merokok dapat menjadi penyebab timbulnya gangguan kesehatan terutama pada jantung dan paruparu. Sehingga menurut Ubell (1997) dalam Fawzani dan Triratnawati (2005), merokok dapat dikategorikan sebagai salah satu perilaku berisiko tinggi, selain alkohol dan free sex, yang dapat menyebabkan terjadinya kecacatan dan kematian dini pada seseorang. Sehingga rokok menjadi salah satu penyebab utama kematian di dunia. Merokok tidak hanya berdampak negatif bagi orang yang merokok saja. Tetapi juga berdampak negatif bagiorang yang ada di sekelilingnya. Orang-orang yang tidak merokok namun terkena dampak negatif dari orang yang merokok inilah yang disebut dengan perokok pasif. Para perokok pasif ini ikut menghisap asap rokok yang dihasilkan oleh perokok yang berada didekatnya.
105
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Perokok pasif tidak hanya terjadi pada orang dewasa saja tapi juga terjadi pada anak-anak dan balita. Terjadinya perokok pasif pada anak-anak dan balita disebabkan karena ada orang tua atau saudara yang lain merokok di dalam rumah.Asap rokok yang terhisap dapat merangsang bulu-bulu halus yang terdapat pada permukaan saluran napas (silia) sehingga menyebabkan meningkatnya sekret mukus. Hal ini menyebabkan silia mengalami kerusakan dan mengakibatkan menurunnya fungsi ventilasi paru. Sehingga perokok pasif, termasuk anak-anak dan balita, memiliki risiko terkena penyakit yang sama dengan risiko yang akan dialami oleh perokok aktif. (Pradono & Cristanti, 2003). 3.1.2.9. Penggunaan air bersih Keterbatasan air bersih merupakan salah satu masalah dari sekian masalah yang dihadapi oleh masyarakat Mumugu maupun sebagian besar masyarakat Asmat yang memang tinggal didaerah rawa dan berlumpur. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, masyarakat Mumugu biasa mengguna-kan air sungai yang keruh dan berwarna kecoklatan. Air tersebut biasa digunakan untuk mandi maupun mencuci pakaian. Buang air besar kadang juga mereka lakukan di sungai. Selain menggunakan air sungai, masyarakat Mumugu juga biasa menggunakan air kolam yang berada di sekitar rumahnya. Hampir semua masyarakat Kampung Mumugu membuat sumur atau yang lebih tepatnya kolam tanah dengan diameter antara 1– 2 meter dengan kedalaman sekitar ½--1 meter di sekitar rumahnya. Kualitas air kolam tidak jauh berbeda dengan air sungai. Bahkan ketika tidak ada hujan turun, air kolam lebih kotor bila dibandingkan air sungai. Air kolam tersebut juga digunakan
106
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
untuk keperluan sehari-hari seperti mandi, mencuci pakian, maupun cuci piring.
Gambar 3.18. Seorang Ibu yang sedang mengambil air kolam untuk mencuci dan mandi Sumber: Dokumen Peneliti
Untuk keperluan minum dan masak, mereka menggunakan air hujan yang ditampung di dalam jerigen-jerigen kecil atau bak-bak penampungan yang dimiliki oleh sebagian warga. Namun, ketika hujan tidak turun maka masyarakat akan mengambil air sungai maupun air sumur. Air tersebut diendapkan terlebih dahulu sebelum dipergunakan.Untuk air minum, mereka jarang merebusnya. Air hujandi penampungan ataupun air yang sudah diendapkan tersebut langsung diminum dalam kondisi mentah. Menurut mereka air mentah terasa lebih segar daripada air yang dimasaksebagaimana yang diungkapkan oleh salah satu informan sebagai berikut : “… kita pakai air di bak yang ada dirumah dan yang pemerintah sudah bangun itu. Kalau air di bak karena 107
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
dari air hujan kita pakai untuk minum. Kalau yang disumur dan sungai kita pakai untuk mandi, cuci pakaian dan cuci piring. Tapi kita jarang masak air, karena enak minum air mentah. Lebih dingin dan segar karena langsung diminum. Kalau sudah dimasak rasanya lain, tidak enak,”
Gambar 3.19. Kondisi air sumur yang ada di masyarakat Sumber : Dokumentasi Peneliti
Sebenarnya pemerintah juga sudah membangun sumur gali. Sumur tersebut dibangun sebanyak 5 buah. Masing masing sumur dibangun diujung depan diantara 2 deret rumah. Dinding sumur dibuat dengan lapisan semen dan memilki kedalaman antara 4–5 meter. Namun sayang air sumur tersebut tidak jauh berbeda dengan air sungai, maupun air kolam, berwarna merah, terlihat keruh, dan kotor.
108
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
3.1.2.10. Memberantas jentik nyamuk Tidak semua masyarakat kampung Mumugu memiliki bak penampungan air hujan. Beberapa yang memilikipun kondisinya tidak semuanya baik dan bahkan ada yang rusak. Mereka meletakkan bak penampungan tersebut didepan rumahnya dan hampir semua tidak ditutup. Banyak kotoran yang masuk dalam bak tersebut, dan tampak sudah mulai berlumut. Kesadaran masyarakat untuk menjaga kebersihan bak penampungan iar tersebut masih sangat kurang seperti yang disampaikan informan DM berikut ini : “… ada beberapa yang sering menguras bak air minum dan lebih banyak yang tidak. Itu semua karena dorang tidak tahu tentang kebersihan. Kalau untuk bahaya nyamuk malaria, masyarakat dorang sudah tau dan sadar. karena paling banyak masyarakat sini kena malaria. Kalau su muntah-muntah dan panas pasti itu karena malaria,”
Tempat penampungan air hujan ataupun tempat penampungan air yang lainnya, bila tidak dibersihkan maka akan menjadi tempat untuk berkembangbiaknya nyamuk, terutama nyamuk aedes aegypti. Nyamuk yang menjadi vektor penularan penyakit demam berdarah. Jentik-jentik nyamuk aedes aegypti akan mudah ditemukan ditempat tersebut, bila tidak dibersikan secara teratur. Pun demikian dengan genangan-genangan air payau yang berada disekitar rumah masyarakat, akan menjadi perkembangbiakan nyamuk anopheles. Jenis nyamuk yang menjadi vektor penularan penyakit malaria.
109
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Gambar 3.20. Penampungan air hujan milik salah seorang masyarakat Sumber. Dokumen Penelti
3.1.3. Penyakit Menular Penyakit menular atau yang juga dikenal sebagai penyakit infeksi merupakan sebuah penyakit yang dapat ditularkan dari orang satu ke orang yang lain, baik secara langsung maupun perantara. Penyakit menular ini ditandai dengan adanya agen penyakit, seperti virus, bakteri, ataupun parasit, yang hidup dan dapat berpindah serta menyerang host atau inang. Cara penularan antara satu orang ke orang lain dapat melalui : (1) Media langsung (kontak kulit) dari orang ke orang, (2) Media udara,penyakit yang dapat ditularkan dan menyebar melalui udara pernapasan disebut sebagai air borne disease, (3) Media air,penyakit dapat menular dan menyebar melalui air disebut sebagai water borne disease atau water related disease (http://www.penyakitkesehatan.com).
110
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
Terkait dengan penyakit menular tersebut, ada beberapa penyakit menular yang berkembang di masyarakat Kampung Mumugu. Penyakit menular yang sering dijumpai di Kampung Mumugu adalah ISPA, Malaria, Diare, dan Kusta. Hampir semua warga Kampung Mumugupernah atau bahkan saat ini sedang menderita salah satu atau lebih dari beberapa penyakit tersebut. Menurut salah satu informan AM, ISPA menempati posisi teratas penyakit yang menyerang masyarakat. Lebih lanjut, informan yang juga seorang dokter menjelaskan bahwa masyarakat Kampung Mumugu banyak yang terkena ISPA salah satunya karena kebiasaan masyarakat yang suka merokok. Baik orang dewasa maupun anak-anak, laki-laki ataupun perempuan di Kampung Mumugu sudah biasa merokok. Disamping itu, masyarakat juga biasa tidur di dekat tungku api di dalam rumah. Pada hal tidak ada ventilasi udara yang tersedia, karena pada saat malam hari pintu dan jendela dalam keadaan tertutup.Hal ini berakibat sirkulasi udara tidak bejalan dengan baik. Asap yang berasal dari tungku api tidak bisa keluar dan hanya mengepul di dalam ruangan itu saja. Sebagaimana yang diungkapkannya sebagai berikut : “....ISPA, Infeksi Saluran Penyakit Atas ini sangat banyak karena dari pola..., dari riwayat merokok itu sendiri. Karena sebagian besar masyarakat adalah merokok dan juga tidur di tungku asap dan juga sering mandi di kali. Mereka sering ber-ingus, batuk, jadi sesak-sesak. Dan di sini pola hidup seperti itu, makanya 10 penyakit terbesar itu salah satunya ISPA.”
Selain ISPA, penyakit menular lain yang juga banyak di derita oleh masyarakat di Kampung Mumugu menurut informan AM adalah penyakit malaria. Kampung Mumugu, sebagaimana Asmat dan juga Papua pada umunya, merupakan daerah endemis malaria, sebagaimana yang diungkapkannya sebagai berikut :
111
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
“...Untuk malaria, mereka itu, penyakit tertinggi itu adalah di sini tempat endemis untuk penyakit malaria yaitu Nyamuk Anopheles. Jadi di sini sangat tinggi sekali.”
Gambar 3.21. Posisi tempat tidur yang berdekatan dengan tungku api Sumber : Dokumentasi Peneliti
Lebih lanjut, informan AM menambahkan bahwa berdasar dari hasil observasinya ada beberapa kasus pasien yang mengalami kekambuhan hanya dalam waktu kurang dari satu bulan. Hal ini salah satunya disebabkan karena kurang tuntasnya pengobatan dan pencegahan yang tidak optimal, sebagaimana yang diungkapkannya sebagai berikut : “Diperlukan ketuntasan dari pengobatan malaria, karena sering kambuh. Setelah saya observasi ataupun saya memantau dari surat rawat jalan, ternyata mereka sering kambuh, satu bulan sekali malaria lagi, dua bulan
112
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
sekali malaria lagi. Makanya tingkat malaria perbulan masih tinggi....” “....pencegahan melalui kelambu, kami belum ada ataupun…apa namanya…nutrisi yang baik akan dilakukan penyuluhan untuk pencegahan itu sendiri. Sedangkan pengobatan kalau belum tuntas itu akan terjadi kekambuhan kurang 6 bulan.”
Penyakit malaria merupakan salah satu penyakit yang penularannya melalui gigitan nyamuk anopheles betina. Nyamuk anopheles biasa hidup di daerah tertentu dengan kondisi habitat lingkungan yang khusus seperti daerah persawahan, pantai, rawa-rawa, hutan maupun pegunungan. Sementara itu, penyakit malaria sendiri sebenarnya disebabkan oleh protozoa dari genus plasmodium.Ada 4 jenis plasmodium yang menjadi penyebab malaria pada manusia yaitu Plasmodium falciparum sebagai penyebab malaria tropika, Plasmodium vivax sebagaipenyebab malaria tertiana, Plasmodium malariae sebagai penyebab malaria quartiana, dan Plasmodium ovale sebagai penyebab malaria ovale (Arsin, 2012). Genus plasmodium sebagai penyebab malaria, menurut Trager (1986) dalam Syaifudin dkk (2008), memiliki ciri utama yaitu siklus hidupnya terjadi dalam dua inang yang berbeda. Pertama adalah siklus seksual yang terjadi dalam tubuh nyamuk Anopheles betina, yang bertindak sebagai vektor perantara penyebaran parasit, dan kedua adalah siklus aseksual yang terjadi dalam tubuh manusia. Penyakit malaria dapat menyerang siapa saja baik laki-laki, perempuan, orang dewasa maupun anak-anak. Untuk mencegah terjadinya penyakit malaria, ada beberapa hal yang perlu dilakukan, diantaranya : (a) mengurangi pengandung gametosit yang merupakan sumber infeksi, yaitu dengan cara mengobati penderita malaria akut dengan obat yang efektif, (b) memberantas nyamuk sebagai vektor malaria dengan
113
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
cara menghilangkan tempat-tempat perindukan nyamuk dengan cara melancarkan saluran air ataupun menimbun lubang-lubang yang mengandung air, membunuh jentik nyamuk dengan cara memelihara ikan pemangsa jentik ditempat penampungan air maupun kolam-kolam tanah, dan membunuh nyamuk dewasa dengan cara menggunakan insektisida, (c) melindungi orang yang rentan dan berisiko terinfeksi malaria dengan cara penggunaan kelambu atau pemakaian repellent (Arsin, 2012) Untuk penyakit menular ketiga terbanyak yang ada di Kampung Mumugu adalah diare atau mencret. Hal ini terjadi karena kebiasaan masyarakat kampung Mumugu yang kurang menjaga pola hidup bersih dan sehat, sebagaimana yang diungkapkan oleh informan AM berikut : “Yang ketiga adalah mencret, untuk mencret itu merupakan tingkat mencret yang tinggi, kenapa? Karena mereka masih belum memiliki perilaku yaitu cuci tangan, bersih-bersih, ataupun piring-piring, rumah, begitu. Jadi mencret masih tinggi. Kebanyakan mereka disentri tapi tidak ee…sampai kearah menghilangkan nyawa, belum.
Sebagaimana telah dipaparkan dalam uraian sebelumnya bahwa dari sepuluh indikator perilaku hidup bersih dan sehat, masih banyak yang belum dilakukan oleh masyarakat Kampung Mumugu. Terutama terkait dengan perilaku mencuci tangan dengan air bersih, menggunakan jamban sehat, dan penggunaan air bersih. Banyak masyarakat yang tidak mencuci tangan ketika akan makan, buang air besar sembarangan, dan penggunaan air yang tidak bersih untuk kebutuhan sehari-hari termasuk untuk kebutuhan konsumsi. Perilaku-perilaku tersebut dapat berisiko untuk menimbulkan gangguan kesehatan, dalam hal ini adalah diare atau mencret. Diare merupakan suatu gejala klinis dari gangguan pencernaan yang ditandai dengan buang air besar lebih dari 3 kali
114
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
sehari dengan disertai adanya perubahan bentuk dan konsistensi feses dari lembek atau cair (Ajizah,2004). Diare karena infeksi disebabkan oleh bakteri, parasit, ataupun virus. Penyebab diare dari jenis bakteri diantaranya adalah Escherichia coli, Salmonella typhi, Salmonella paratyphi, Shigella dysentriae, Shigella flexneri, vibrio cholera, vibrio eltor, vibrio parahemolitycus, chostridium perfringens, campilobacter jejuni, staphyllococcus sp, streptokok sp, Yersinia intestinalis, coccidiosis. Sedangkan dari jenis parasit dibagi dua yaitu jenis protozoa dan jenis cacing.Dari jenis protozoa antara lain Entamoeba hystolitica, Giardialambia, Trichomonas haminis, Isospora sp. Sedangkan dari jenis cacing antara lain A.lumbricoides, A.duodenale, N.americanus, T.trichiura, O.velmicularis, S.stercoralis, T.saginata, dan T.solium. Sementara dari jenis virus diantaraanya adalah Rotavirus, Adenovirus, dan Norwalk. Namun berdasarkan penelitian di sebuah rumah sakit di Jakarta menyebutkan bahwa penyebab diare terbanyak adalah dari jenis bakteri yaituEscherichia coliatau lebih dikenal dengan nama E.coli (Hendrawanto, 1996). E.coli secara normal dapat ditemukan dalam usus manusia ataupun hewan yang fungsinya untuk membantu dalam pemecahan selulosa dan penyerapan vitamin K (http://kamuskesehatan.com).Menurut Nurwanto (2007) dalam Kurniadi dkk (2013) keberadaan E.coli diluar tubuh manusia menjadi indikator tercemarnya sumber air ataupun makanan tersebut oleh tinja manusia. E.coli dapat berpindah dengan kegiatan tangan ke mulut atau dengan perpindahan pasif lewat air, makanan, atau yang lain.E.coli yang terdapat terdapat dalam air atau makanan dan masuk kedalam tubuh dapat menyebabkan gangguan pada saluran pencernaan salah satunya adalah diare. Penyakit menular berikutnya yang juga banyak diderita oleh masyarakat Kampung Mumugu adalah penyakit kusta.Penyakit kusta di Kampung Mumugu tidak hanya dialami
115
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
oleh orang dewasa namun juga pada anak-anak. Untuk lebih detail tentang penyakit kusta ini akan dibahas lebih lanjut pada bab berikutnya. Masyarakat kampung Mumugu yang terkena penyakit sama sekali tidak pernah merasa mereka sakitsehingga perlu mendapatkan pengobatan, terutama untuk penyakit kusta. Sebelum ada tenaga kesehatan maupun Puskesmas, masyarakat biasa mengobati penyakitnya dengan obat alam yaitu dengan menggunakan daun gatalataupun dengan metode bakar-bakar ataupun iris. Hampir semua bisa mengobati dirinya sendiri dengan cara dibakar dibagian yang luka dan juga diiris pada bagian yang sakit. Sehingga banyak sekali orang di kampung Mumugu yang memiliki tanda luka melepuh di tubuh mereka. 3.1.4. Penyakit Tidak Menular Penyakit tidak menular adalah jenis penyakit yang tidak menular seperti penyakit degeneratif, penyakit gangguan metabolik, gangguan mental, kanker, obesitas, maupun kelainankelainan organ tubuh lain seperti penyakit jantung, hernia, maupun penyakit-penyakit pembuluh darah. Penyakit tidak menular yang banyak dialami oleh masyarakat Kampung Mumugu adalah hernia. Masyarakat biasa menyebut penyakit hernia dengan sebutan klot besar. Hal ini terjadi karena diantaranya adalah pekerjaan para laki-laki yang biasa menjadi kuli angkut ataupun kebiasaan mengangkut kayu besi dari hutansebagaimana yang diungkapkannya oleh informan AM sebagai berikut : “....untuk penyakit salah satu contohnya hernia, itu mungkin agak banyak. Karena dari salah satu mata pencaharian mereka adalah kuli bangunan, angkat barang berat.”
116
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
Mereka yang mengalami penyakit klot besar, tidak mengetahui apa-apa tentang penyakit tersebut. Jika dilakukan pemeriksaan oleh tenaga kesehatan, barulah mereka mengetahui bahwa ada masalah dengan alat kelaminnya. Beberapa orang pernah melakukan operasi hernia di ibu kota Kabupaten, namun saat ini kondisinya kembali lagi mengalami penyakit yang sama. Tidak ada pencegahan yang dilakukan oleh masyarakat setempat tentang penyakit ini. Mereka terus saja melakukan pekerjaan sebagai kuli angkut. Karena memang inilah satusatunya pekerjaan yang bisa menghasilkan uang bagi mereka. Walaupun petugas kesehatan sudah memberikan peringatan kepada mereka agar menggunakan celana dalam setiap hari dan mengurangi pekerjaan angkat berat, terutama bagi yang mengalami hernia, namun anjuran tersebut tetap diabaikan. Mereka yang sakit tidak melakukan pengobatan tradisional dan menganggap penyakit tersebut adalah hal yang biasa saja. Menurut Sabiston (1994) dalam Agustina (2014) menyebutkan bahwa penyakit hernia merupakan penyakit yang ditunjukkan dengan adanya penonjolan isi perut dari rongga yang normal melalui suatu defek pada fasia dan muskuloaponeuretik dinding perut, baik secara kongenital atau didapat, yang memberi jalan keluar pada setiap alat tubuh selain yang biasa melalui dinding tersebut. Lubang itu dapat timbul karena lubang embrional yang tidak menutup atau melebar, akibat tekanan rongga perut yang meninggi. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab timbulnya penyakit hernia selain karena faktor bawaan. Menurut hasil penelitian Aram (2009) dalam Agustina (2014) pekerjaan berat dan batuk kronik merupakan dua faktor yang penyebab timbulnya hernia. Pekerjaan berat mempunyai hubungan yang signifikan terhadap terjadinya hernia inguinalis dengan kemungkinan kejadian sebesar 3,73. Sedangkan batuk kronik
117
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
menjadi faktor risiko terjadinya hernia inguinalis dengan kemungkinan terkena 3,8. Sementara merokok bukan faktor langsung terjadinya hernia inguinalis. Namun merokok merupakan faktor penyebab batuk kronik yang menjadi faktor terjadinya hernia inguinalis. 3.2.
Sistem Pelayanan Kesehatan
3.2.1. Sistem Pelayanan Kesehatan Formal Saat ini, di kampung Mumugu telah didirikan sebuah Puskesmas rawat jalan, yaitu Puskesmas Mumugu. Sebelum ditingkatkan statusnya menjadi Puskesmas, Puskesmas Mumugu merupakan Puskesmas pembantu (Pustu) dan merupakan bagian dari wilayah kerja dari Puskesmas Sawa Erma, disamping juga ada pustu di Mumugu Bawah.Pada saat itu tenaga kesehatan yang bertugas di Pustu Mumugu Atas sebanyak 3 orang yaitu 2 orang mantri dan 1 orang bidan desa. Sedangkan di Pustu Mumugu Bawah ada 2 orang yaitu 1 orang mantri dan 1 orang suster. Semenjak Januari 2014, status puskemas pembantu Kampung Mumugu ditingkatkan menjadi pukesmas. Namun karena satu dan lain hal, Puskesmas baru bisa beroperasional mulai April 2014. Wilayah kerja Puskesmas Mumugu mencakup 2 kampung yaitu Kampung Mumugu Atas dan Mumugu Bawah. Meski statusnya telah ditingkatkan menjadi sebuah Puskesmas, namun fasilitas maupun sumber daya manusia yang dimiliki masih sangat minim, sebagaimana yang diungkapkan oleh informan AM yang juga sebagai kepala Puskesmas Mumugu berikut ini : “....Kami memiliki jumlah dari fasilitas yang tidak sesuai dengan kriteria untuk Puskesmas itu sendiri....”
118
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
Gambar 3.22. Puskesmas Mumugu Sumber : Dokumentasi Peneliti
Demikian pula dengan jumlah tenaga kesehatan yang bertugas. Saat ini tenaga kesehatan yang bertugas di wilayah kerja Puskesmas Mumugu sebanyak 7 orang, dengan rincian: 1 dokter merangkap kepala Puskesmas (PTT pusat), 2 orang mantri (tenaga kontrak), 1 orang suster (tenaga kontrak), 1 orang bidan (tenaga sukarela), 1 orang bidan desa (PNS), dan 1 orang suster di pustu Mumugu Bawah (tenaga kontrak). Jumlah tenaga kesehatan tersebut tentu sangat kurang bila dibandingkan dengan standar kebutuhan tenaga kesehatan yang harusnya bertugas di Puskesmas daerah terpencil seperti halnya di Kampung Mumugu. Dalam Kepmenkes RI Nomor 81/Menkes/SK/I/2004 diberikan contoh-contoh model kebutuhan tenaga kesehatan di pukesmas, termasuk Puskesmas daerah terpencil. Bila mengacu pada Kepmenkes tersebut, maka
119
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
untuk Puskesmas daerah terpencil jumlah tenaga yang dibutuhkan minimal sebanyak 17 orang dengan rincian sebagaimana tampak pada tabel. Meski dengan berbagai keterbatasan yang dimiliki, tidak mengurangi semangat para tenaga kesehatan untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Mereka melayani masyarakat yang ingin berobat hingga 24 jam meskipun statusnya hanya Puskesmas rawat jalan yang mestinya hanya beroperasional mulai jam 08.00 sampai jam 12.00. Kepala Puskesmas mengingat kepada stafnya untuk tidak menolak masyarakat yang datang untuk berobat meskipun pada malam hari. Bahkan kalau harus rawat inap sekalipun, pasien tetap dilayani. Untuk itu setiap tenaga kesehatan yang tinggal di rumah dinas Puskesmas (2 mantri, 1 suster, 1 bidan) digilir untuk tugas jaga. Mereka yang mendapat tugas jaga, akan melayani masyarakat yang datang berobat diluar jam kerja. Meskipun untuk itu, petugas jaga tidak mendapat tambahan uang makan ataupun uang jaga. “Dua puluh empat (24) jam kami akan menerima semua pasien, walaupun Puskesmas di sini tergolong Puskesmas rawat jalan... Di sini kami melakukan pelayanan dasar mulai dari jam 08.00 sampai jam 12.00, jam kerja. Sisanya selama 24 jam diisi oleh petugas jaga. Walaupun tidak mendapatkan uang jaga...”
120
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
Tabel 3.1. Model Daftar Susunan Pegawai (DSP) Puskesmas Di Daerah Terpencil*) Jenis Kegiatan
Kepala Puskesmas
Jenis Tenaga Dokter / Sarjana kesehatan lain yang terdidik dalam Kesehatan masyarakat Perawat Perawat SMEA/ SMA SMTP SD Perawat gigi Perawat Pekarya Bidan Bidan PAG
Jumlah
Keterangan
1
Kepala Tata Usaha 1 R/R, Perencana, Ev 1 Tenaga-tenaga Bendahr& Ur. Umum 1 ketatausahaan Sopir 1 (Administrasi) Penjaga Pusk/ Pramu 1 Poliklinik Gigi 1 Unit 3 Poliklinik Umum 1 Poliklinik Umum 1 KIA., KB 1 Unit 2 Perkesmas Tugas rangkap Gizi Keluarga 1 Imunisasi & Perawat 1 Pencegahan Unit 1 & Unit 4 Surveilance & Kesling Sanitarian 1 Laboratorium Analis 1 Unit 6 Apotik Pekarya 1 Perawat terlatih JPKM Perawat/D3 Askes bekerja rangkap Setiap pustu Perawat 1 Setiap bidan desa Bidan 1 Jumlah 17**) Sumber: Kepmenkes RI Nomor 81/Menkes/SK/I/2004 Keterangan: *) Puskesmas daerah terpencil merupakan Puskesmas yang memiliki masalah kondisi geografis dan transportasi yang sulit, penduduk yang jarang serta pelayan yang kurang. **) Jumlah 17 orang adalah jumlah tenaga yang terkecil dengan Pustu dan Bidan Desa rata-rata satu, jumlah ini akan meningkat dengan bertambah banyaknya jumlah Pustu atau Bidan Desa.
121
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Pun demikian untuk perawatan pasien. Meskipun hanya sebagai Puskesmas rawat jalan dan bukan Puskesmas rawat inap, kalau ada pasien yang sekiranya perlu untuk dilakukan observasi selama 24 jam sehingga perlu dilakukan rawat inap, maka pasien akan di rawat inap di Puskesmas. Namun berhubung fasilitas yang dimiliki Puskesmas masih sangat terbatas, maka pasien rawat inap juga harus bersedia untuk dirawat dengan kondisi yang serba terbatas.
Gambar 3.23. Pasien luka bakar pada kedua kakinya akibat tersiram minyak panas sehingga perlu rawat inap. Sumber : Dokumentasi Peneliti
Untuk bed pasien misalnya, hanya tersedia tempat tidur yang terbuat dari dengan alas tidur seadanya. Pun demikian dengan masalah makanan. Karena tidak tersedia anggaran khusus untuk makan minum pasien, maka pasien makan sama dengan apa yang dikonsumsi oleh tenaga kesehatan. Jadi petugas
122
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
kesehatan berbagi makan dengan pasien, diungkapkan oleh informan AM berikut :
seperti yang
“Tidak ada makan minum pasien, ataupun ee..tempat untuk menginap ataupun rawat inap. Tetap kami menerima semua pasien maupun dirawat inap maupun rawat jalan...” “Di sini pasien-pasien rawat inap mendapatkan makanan atau minuman sama seperti kami semua makan dan minum. Jadi sebagian dari sisa nasi ataupun sebagian dari sisa lauk, kami berbagi dengan pasien.”
3.2.2. Sistem Pelayanan Kesehatan Tradisional Jauh sebelum tenaga kesehatan dan sistem pengobatan modern hadir di tengah-tengah masyarakat kampung Mumugu, mereka telah biasa menggunakan cara tradisional untuk mengobati penyakitnya. Jenis pengobatan tradisional yang biasa mereka lakukan adalah dengan menggunakan daun gatal, iris-iris, ataupun bakar-bakar. Daun gatal, daun ini biasa digunakan oleh masyarakat Kampung Mumugu untuk mengobati sakitnya Arih, begitulah masyarakat biasa menyebut daun gatal.Arih biasa digunakan oleh masyarakat untuk mengurangi rasa pegal-pegal dibadan sebagimana yang disampaikan informan AM berikut : “.....melakukan pengobatan dengan daun gatal. Daun gatal ini ternyata efeknya gatal tetapi ketika mereka melakukan gosokan dibagian yang sakit ataupun dibagian yang pegal-pegal ataupun panas, mereka melakukan gosokan itu dan ternyata keluar keringat.”
Hal senada juga disampaikan oleh informan B. Menurutnya masyarakat saat ini menggunakan arih sebagai obat pertama sebelum ke tenaga kesehatan. Cara mengguna-kan arih 123
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
cukup sederhana, yaitu dengan menggosok-gosokkannya dibagian tubuh yang sakit atau pegal-pegal. Meski untuk itu akan menimbulkan rasa yang sangat gatal. Informan B, yang juga tenaga kesehatan ini, mengakui akan khasiat dari arih tersebut. Hal ini karena dirinya juga pernah mencoba menggunakannya untuk mengobati kakinya yang terasa pegal sebagaimana yang diungkapkannya berikut : “...masyarakat biasa kalau sakit-sakit begitu, dia bilang obat pertama itu dulu, daun gatal dia ambil, gosok-gosok untuk hilang rasa sakit. Tapi kalau daun gatal saya percaya juga…(tertawa…) soalnya pernah ambil, pernah pakae.” “Saya pernah, saya pernah ngalami. Cuma di kaki-kaki saja untuk kasih hilang pegal-pegal, kalau di badan belum berani, gatal sekali itu…” “Jadi kalau pas kita gosok itu, eihhh..... rasa mo garukgaruk terus. Tapi kalau mau supaya rasa betul dia punya itu, kalau saya tidak garuk. Begitu kasih daun gatal, langsung gosok minyak tawon sudah, kasih tinggal saja. Rasa gatal tahan sebentar, langsung rasa enak… (tertawa).”
Pengobatan dengan menggunakan daun gatal sebenarnya tidak hanya dilakukan oleh masyarakat di Kampung Mumugu saja tetapi juga dilakukan oleh masyarakat Papua secara luas. Tumbuhan daun gatal merupakan salah satu jenis tumbuhan yang tumbuh subur di daerah Timur Indonesia, terutama di Papua. Tumbuhan yang memiliki nama latin Laportea decumana ini merupakan tanaman perdu dari famili Urticaceae. Kandungan kimiawi yang terdapat pada daun gatal diantaranya adalah : monoridin, tryptophan, histidine, alkaloid, flavonoid, asam formiat (asam semut) dan authraguinones. Daun gatal biasa
124
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
dijual di pasar-pasar tradisional di Papua dengan harga satu ikat antara Rp 5.000,- sampai Rp. 10.000,Pada permukaan daun gatal terdapat kelenjar duri. Di dalam kelenjar duri tersebut terkandung asam semut. Ketika kelenjar duri tersebut mengenai tubuh maka asam semut dalam kelenjar itu akan terlepaskan. Tubuh akan akan merespon keberadaan benda asing ini yang dianggap sebagai racun dengan mengeluarkan antihistamin yang ditandai dengan bentol-bentol. Ini artinya terjadi pelebaran pembuluh darah yang secara tidak langsung berdampak pada lancarnya aliran darah. Darah yang mengalir lancar akan membawa tumpukan asam laktat, sebagai penyebab pegal linu akibat dari proses oksidasi yang kurang sempurna, lebih cepat menuju organ hati. Dengan terangkutnya asam laktat ke organ hati maka pegal-pegal yang dialami oleh seseorang akan hilang (Dhave, 2014). Selain daun gatal, masyarakat di Kampung Mumugu biasa mengobati sakit yang dialaminya dengan cara iris-iris. Iris-iris ini biasa dilakukan dikening dengan menggunakan pecahan kulit siput. Tujuan dari iris-iris ini adalahuntuk mengeluarkan darah kotor penyebab sakit kepala.Dengan keluarnya darah kotor diharapkan sakit kepalanya juga sembuh. Pengobatan tradisional berikutnya yang juga biasa dilakukan oleh masyarakat Mumugu adalah dengan bakar-bakar. Bakar-bakar dalam bahasa setempat disebut dengan istilah jesmak. Seseorang yang merasakan sakit akan diobati dengan menggunakan arang hasil dari tungku api. Arang yang masih panas akan ditaruh diatas badan seperti muka, dada, perut, tangan, kaki, ataupun punggung. Tergantung bagian tubuh mana yang terasa sakit. Jumlah bakar-bakar mulai dari belasan hingga sampai puluhan. Mereka mengganggap jesmak merupakan salah satu cara untuk menyembuhkan seseorang dari penyakit. Sebagaimana yang disampaikan oleh informan B berikut :
125
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
“Ya…kalau dulu begitu..,dia bakar begitu.Maksudnya kalau sakit di tangan, dia bakar di tangan, sakit gigi dia bakar di gigi, sakit di dada dia bakar di dada.”
Pengobatan dengan metode jesmak tersebut dilakukan terhadap semua orang. Tidak hanya pada orang dewasa, tetapi juga pada anak-anak bahkan bayi sekalipun. Sebagai-mana tampak pada gambar berikut :
Gambar 3.24. Luka bekas jesmak pada orang dewasa (kiri) dan bayi (kanan) Sumber : Dokumentasi Peneliti
3.3.
Health seeking behavior
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, saat ini telah ada Puskesmas di Kampung Mumugu. Masyarakat dapat berobat di Puskesmas Mumugu tanpa dipungut biaya sepeserpun. Kapanpun mereka sakit dan membutuhkan pengobatan, tenaga kesehatan di Puskesmas siap melayani 24 jam. Tidak hanya pengobatan tapi juga termasuk pertolongan persalinan. Ibu-ibu hamil di Mumugu, juga sudah dihimbau oleh pihak Puskesmas untuk melahirkan di Puskesmas ataupun pustu. Kapanpun mereka mau melahirkan, diminta untuk datang ke Puskesmas atau pustu. Bila mereka tidak bisa datang ke Puskesmas, tenaga kesehatan juga bersedia untuk membantu persalinan di rumah.
126
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
Namun rupanya masyarakat masih belum sepenuhnya memanfaatkan fasilitas pengobatan yang ada di kampung mereka. Meski sudah ada yang berobat ke Puskesmas, namun tidak jarang pula ketika sakit mereka masih melakukan pengobatan tradisional sebagaimana yang mereka lakukan selama ini. Menggunakan daun gatal, iris-iris ataupun bakarbakar. Ketika dirasa dengan pengobatan tradisional tersebut tidak sembuh, mereka baru memanggil ataupun datang ke Puskesmas untuk berobat. Ketika ditanyakan kenapa tidak sejak awal berobat ke Puskesmas, mereka menjawab dengan berbagai alasan. Rasa sakit terjadi pada malam hari, kondisi hujan deras ataupun ketika sedang berada jauh dari Puskesmas, sehingga tidak memungkinkan datang ke Puskesmas. Sebagaimana yang disampaikan oleh informan DM berikut : “Masih pake sekarang...., kalau jauh dari Puskesmas orang masih iris. Kalau sudah gelap, hujan, dan yang lain...., tidak bisa datang ke sini (Puskesmas)...itu malammalam iris....untuk membantu dulu, begitu.”
Pun demikian dengan ibu-ibu hamil. Meskipun sudah dihimbau untuk melahirkan di Puskesmas ataupun di rumah dengan dibantu tenaga kesehatan, dengan berbagai alasan mereka tetap saja tidak mau dan memilih melahirkan di rumah dengan dibantu oleh suami atau saudara-saudara perempuannya. Mereka baru memanggil tenaga kesehatan ketika proses persalinan sudah selesai. Nampaknya memang tidak mudah untuk mengubah perilaku masyarakat dalam waktu sekejap. Dibutuhkan waktu dan kesabaran dari tenaga kesehatan untuk membiasakan masyarakat berobat ke tenaga kesehatan ketika sedang sakit. Apalagi keberadaan Puskesmas terbilang masih baru, masih dalam hitungan bulan. Sehingga masih diperlukan waktu untuk membangun kepercayaan antara tenaga kesehatan dengan 127
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
masyarakat setempat. Dengan adanya kepercayaan dari masyarakat tersebut, lambat laun diharapkan masyarakat dapat berobat ke Puskesmas ataupun pustu ketika sakit. Tanpa harus menggunakan bakar-bakar ataupun iris-iris yang dapat memakan waktu lama sehingga penyakit bertambah parah. Dengan segera berobat ke Puskesmas atau pustu diharapkan pasien dapat segera diobati sehingga penyakit tidak sampai parah yang dapat berujung pada kematian.
128
BAB 4 NOMPHOBOAS DI KAMPUNG MUMUGU
Telah disebutkan pada bagian sebelumnya bahwa salah satu penyakit menular yang ada di masyarakat Kampung Mumugu selain ISPA, Malaria, dan Diare adalah kusta. Kusta oleh masyarakat setempat biasa disebut juga dengan nama Nomphoboas. Untuk selanjutnya kata kusta dan nomphoboas akan digunakan secara bergantian. 4.1.
Sejarah Nomphoboas Di Kampung Mumugu
4.1.1. Asal Mula Nomphoboas Nomphoboas, begitulah masyarakat Kampung Mumugu menyebut orang yang mengalami gejala-gejala seperti putihputih pada kulit, benjol-benjol dan bengkak pada hidung sebagaimana yang diungkapkan oleh informan DM berikut : “....kita biasa bilang itu nomphoboas. Nomphoboas itu kaki bengkak, terus tangan bengkak itu nomphoboas dinamakan nomphoboas …., dibilang nomphoboas.”
Hal yang sama juga diungkapkan oleh informan BJ. Menurutnya penyakit yang biasa di sebut orang lain dengan kusta itu, di Kampung Mumugu disebut dengan nomphoboas sebagaimana yang diungkapkannya berikut : “Itu sudah....., orang sebut kusta tho..., satu bahasa tho…, itu sudah. Nomphoboas.”
129
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Masyarakat Kampung Mumugu sendiri belum mengetahui secara pasti apa yang menjadi penyebab nomphoboas tersebut. Mereka menganggap penyakit itu hanya sebagai gangguan kulit biasa yang tidak akan menimbulkan dampak apa-apa bagi kehidupan mereka. Ada cerita yang berkembang dimasyarakat tentang asal mula timbulnya penyakit ini sebagaimana disampaikan oleh Informan DM. Menurutnya ada 2 hal yang dicurigai sebagai penyebab nomphoboas. “Masyarakat waktu kejadian kusta, dulu tidak ada kejadian kusta itu. Kami tahu yang pertama itu dari lemon, getah lemon dan kedua itu pelanggaran kita punya pesta budaya. Dua itu yang kami curigai” ujarnya.
Pertama adalah mengenai getah lemon. Pada waktu itu, ketika masih di Kampung Mumugu Bawah, ada seorang yang menanam buah lemon di samping rumahnya. Lemon yang dia tanam ada 2 jenis yaitu lemon asam yang buahnya kecil-kecil dan lemon besar. Singkat cerita buah lemon tersebut berbuah yang membuat anak-anak tertarik untuk memetik-nya. Beramai-ramai mereka memetik buah lemon tersebut. Ketika buah lemon tersebut dikupas, keluarlah getah yang menyembur hingga mengenai muka. Inilah awal mula timbulnya nomphoboas. Kedua adalah karena pelanggaran pesta. Pada waktu dulu masyarakat sangat patuh untuk melaksanakan pesta adat. Namun semenjak kedatangan perusahaan, masyarakat lebih banyak bekerja. Sehingga kayu-kayu untuk membangun jew akhirnya busuk dengan sendiri. Pesta adat tidak dilaksanakan lagi. Dari situlah kecurigaan kedua timbulnya nomphoboas. “Akhirnya kita yang lain curiga itu. Oo…dulu tidak begitu. Sekarang kita sudah begini, pasti penyakit akan muncul. Entah mati, kejadian apa nanti, kita rasa sendiri. Kami
130
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
bilang begitu. Akhirnya sudah, dua itu yang kami curigai, tidak ada lain” ungkapnya dengan nada prihatin.
Sementara itu, cerita berbeda diungkapkan oleh informan LB. Menurut pria yang juga menderita filariasis (kaki gajah) ini, nomphoboas disebabkan karena kebiasaan makan kodok yang biasa keluar dari air sumur. “Orang biasa makan kodok, kodok itu bukan besar...seperti kodok, orang biasa itu.... Kodok besar punya itu, telur di dalam perut biasa keluar dari air sumur,” ungkapnya.
Dengan nada meyakinkan, ia menambahkann bahwa penderita nomphoboas itu tidak mengalami rasa sakit. Sehingga, masih menurutnya, masyarakat tidak mengganggap nomphoboas itu sebagai suatu penyakit. “Kusta itu badan tidak sakit....orang tidak sakit,” jelasnya.
Hal senada diungkapkan oleh informan GM. Menurut pria yang juga menderita nomphoboas ini, kebiasaan makan kodoklah yang menjadi penyebabnya. “ Kusta itu biasa makan...ini tho?! Kodok. Kodok hutan yang biasa berteriak-berteriak, suara-suara itu, malammalam tho. Biasa makan kodok, ah itu kena kusta, begitu. Asalnya dari makan itu..., kodok. Kalau tidak makan kodok boleh. Kodok kecil-kecil kah, besar kah, itu biasa makan. Gara-gara lain tidak ada,” jelasnya.
Tentu pandangan ataupun anggapan yang berkembang di masyarakat tentang penyebab nomphoboas (penyakit kusta), yang diungkapkan oleh beberapa informan tersebut kurang tepat. Masyarakat sendiri sebenarnya baru mengetahui kalau nomphoboas itu adalah kusta, semenjak diperkenalkan oleh
131
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
pastor paroki yang membawahi Distrik Sawa Erma pada tahun 2006an. “Jadi masyarakat tidak tahu nama kusta, penyakit ini nama kusta, tidak tahu. Kami semua tidak tahu. Hanya Pastor lihat begini….ehh ini penyakit lain tidak, ini kusta.” ungkap DM menirukan ucapan pastor.
Namun saat itu belum menjadi masalah yang serius. Mulai tahun 2010, kusta menjadi perhatian ketika pastor menunjukkan foto-foto masyarakat Kampung Mumugu yang sebagian besar terkena kusta. Hal ini sejalan dengan ungkapan yang disampaikan oleh informan B. Menurutnya pada bulan Agustus (2010) ada pastor yang datang ke Kampung Mumugu, melihat semakin banyak masyarakat yang menderita kusta lalu pastor melakukan pengambilan gambar sebagaimana yang diungkapkannya berikut: ”Di Kampung Bawah, terus kesini lagi (Kampung Atas), pas saya juga disini. Ambil gambar, terus lapor ke dinas, dari 2010 sampai 2011 bulan April, baru ada tanggapan dari Dinas.” Kata Bidan Blandina yang juga memiliki toko yang menjual aneka macam kebutuhan rumah tangga ini.
Kusta sendiri merupakan penyakit kronis yang disebabkan oleh kuman Mycobaceterium leprae yang pertama kali menyerang susunan syaraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa (mulut), saluran pernapasan bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis. Penyakit kusta juga dikenal dengan penyakit leprae atau disebut juga Morbus Hansen (Harahap, 2000 dalam Selum & Wahyuni, 2012). Kuman penyebab penyakit kusta ini ditemukan pertama kali oleh Gerhard Armauer Hansen pada tahun 1873. Penyakit kusta telah menyebar di seluruh belahan dunia, dimana tiga negara tertinggi dengan penemuan kasus baru pada tahun 2011
132
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
adalah India (127.295), Brazil (33.955), dan Indonesia (20.032). Sampai saat ini hanya manusia satu-satunya yang dianggap sebagai sumber penularan penyakit kusta, dimana kuman ini banyak ditemukan di mukosa hidung. Cara penularan kuman yang mempunyai masa inkubasi 2-5 tahun, ini melalui saluran pernapasan bagian atas dan melalui kontak yang lama dengan pasien. Namun sebenarnya hanya sebagian kecil orang yang yang akan terjangkit kusta setelah kontak dengan pasien. (Ditjen P2PL, 2012).
Gambar 4.1. Mycobacterium leprae Sumber: http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/14/04/18/ n478z8-ratusan-penderita-kusta-ditemukan-di-asmat
Seseorang yang terkena penyakit kusta akan memiliki tanda dan gejala diantaranya adalah adanya bercak keputihan atau kemerahan pada kulit. Namun untuk mereka yang berkulit putih, bercak tersebut berwarna seperti tembaga sebagaimana yang diungkapkan oleh informan H yang juga merupakan dokter ahli Mycobacterium sebagai berikut:
133
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
“...bercak di kulit, biasanya berwarna lebih putih dari yang sekitarnya. Tapi untuk kulit putih biasanya berwarna seperti tembaga.”
Selain tanda bercak pada kulit tersebut, juga terdapat tanda cardinal lain (cardinal signs) yang menunjukkan bahwa seseorang menderita kusta yaitu: 1) Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf, baik gangguan saraf sensoris (mati rasa), gangguan syaraf motoris (kelemahan atau kelumpuhan otot), serta gangguan syaraf otonom (kulit kering dan retak-retak); 2) Adanya basil tahan asam (BTA) di dalam kerokan jaringan kulit. Seseorang dinyatakan sebagai penderita penyakit kusta bilamana terdapat satu dari tanda-tanda utama di atas. Namun ada kalanya hasil pemeriksaan terhadap seseorang masih meragukan, maka orang tersebut dianggap sebagai penderita yang dicurigai (suspeck). Tanda-tanda tersangka kusta/suspect adalah: 1) Tanda-tanda pada kulit : bercak kulit yang merah atau putih dan atau plakat pada kulit terutama di wajah dan telinga, bercak mati rasa, bercak yang tidak gatal, kulit mengkilap atau kering bersisik, adanya kelainan yang tidak berkeringat dan atau tidak berambut, lepuh tidak nyeri tekan; 2) Tanda-tanda pada saraf : nyeri tekan dan atau spontan pada saraf, rasa kesemutan pada anggota gerak, kelemahan anggota gerak, adanya cacat (deformitas), luka yang sulit sembuh; 3) Lahir dan tinggal di daerah endemik kusta dan mempunyai kelainan kulit yang tidak sembuh dengan pengobatan rutin (Ditjen P2PL, 2012).
134
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
4.1.2. Pertama Kali Nomphoboas Menyerang Masyarakat Kampung Mumugu Sampai saat ini, belum diketahui secara pasti kapan nomphoboas pertama kali mulai meyerang masyarakat Kampung Mumugu. Menurut informan LD, gejala penyakit ini sudah ditemukan sejakdirinya dan masyarakat yang lain masih tinggal di Kampung Mumugu Bawah. Pria yang telah menyelesaikan kejar paket B ini menambahkan bahwa sebenarnya waktu di Kampung Bawah dulu sudah ada suster dan mantri, tapi masyarakat takut obat dan tak mau minum obat. “Sehingga penyakit tambah banyak sampai ke sini juga”
Hal yang sama diungkapkan oleh informan DM. Dengan nada prihatin, pria paruh baya ini mengungkapkan, ”....Saya tidak tahu, kusta itu dari tahun berapa…., sampai sekarang. Dia mengular (bertambah banyak) terus.”
Namun dilain kesempatan, informan DM pernah mengungkapkan bahwa penyakit ini kemungkinan mulai menyerang masyarakat Kampung Mumugu sekitar 8 tahunan yang lalu ketika masih berada di Kampung Lama (Kampung Bawah). Pendapat yang tidak jauh berbeda di sampaikan oleh informan BJ. Pria berkumis yang juga menderita nomphoboas ini menyebutkan bahwa penyakit ini mulai ada sejak masyarakat masih di Kampung Lama. “Kampung lama mulai dari sapa…., om. Om…kena, dia punya anak kena, semau kena, jadinya semua masyarakat habis…., kena. Awalnya 1 orang saja. Siapa….om saja. Mulai pertama”
135
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Pria yang juga sebagai kader kusta ini memperkirakan bahwa berdasarkan gejala yang ada pada masyarakat, penyakit ini mulai ada sejak tahun 2005. “itu sudah tahun 2005 mulai dari situ. Mulai pertama siapa…om tua. Itu kusta pertama, badan semua bengkak. Hidung, kaki, tangan…., bengkak semua. Itu siapa….?! Om sungguh,”
Dengan kondisi masyarakat yang sebagian besar masih belum bisa baca tulis dan jauhnya dari fasilitas pelayanan kesehatan pada saat itu, menyebabkan kapan pertama kali penyakit nomphoboas menyerang masyarakat Kampung Mumugu tidak dapat diketahui secara pasti. Menurut indofmanH susah untuk memprediksi kapan masyarakat Kampung Mumugu terserangnomphoboas sebagaimana yang diungkapkannya berikut : “Susah (memprediksi kapan mulai terkena kusta)..... tergantung (kondisi) badan”
4.2.
Nomphoboas Di Kehidupan Masyarakat Mumugu
4.2.1. Jumlah Penderita Nomphoboas di Kampung Mumugu Selama kurang lebih 6 minggu tepatnya antara bulan Mei dan Juni 2014, Puskesmas Mumugu melakukan pendataan dan pemeriksaan secara langsung terhadap setiap masyarakat Kampung Mumugu, dari rumah ke rumah. Pendataan dan Pemeriksaan tidak hanya masyarakat yang ada di Kampung Mumugu Atas tetapi juga masyarakat Kampung Mumugu Bawah maupun masyarakat di seberang sungai di depan Puskesmas. Tim dari Puskesmas melakukan pendataan pada pagi hari mulai pukul 06.00–08.00, saat dimana jam kerja Puskesmas
136
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
belum buka dan dilanjutkan pada sore hari sebagaimana diungkapkan oleh informan AM berikut : “....sebelum jam 08.00 kami sudah melakukan pendataan rumah ke rumah yaitu jam 06.00 pagi kami bangun dan sebelum jam 08.00 kami singgah lagi, tiba di Puskesmas untuk pelayanan biasa. Selesai dari jam 12.00 orang yang sudah mendapatkan tugas untuk jaga tidak ikut pendataan. Tetapi sisanya kami langsung terjun ke rumah ke rumah untuk melakukan pendataan...,”
Dari hasil kunjungan rumah ke rumah tersebut didapatkan bahwa sebanyak 360 orang sudah dilakukan pemeriksaan. Sedangkan sianya, 113 belum sempat diperiksa, karena pada saat dikunjungi di rumahnya, tidak berada di tempat ataupun kalau ada, kepala keluarganya tidak ada. Tim Puskesmas tidak akan mendata rumah yang kepala keluarganya tidak berada di tempat. “.....kendalanya di sini mobilitas dari masyarakat itu sendiri cukup tinggi karena mereka ke hutan ataupun ke kios ataupun ke Nduga. Jadi di sini Kami tetap tidak memaksa apabila tidak ada kepala keluarga, Kami tidak akan masuk ke dalam rumah.”
Berdasarkan hasil pemeriksaanterhadap360 orang tersebut, didapatkan bahwa sebanyak 126 orang didiagnosis menderita kusta. Ini artinya hampir setengah dari orang yang telah diperiksa mengidap penyakit kusta atau yang juga disebut nomphoboas ini. Jumlah ini bisa jadi bertambah lebih banyak, mengingat ada sebanyak 113 orang lainnya yang belum diperiksa. Jumlah penderita kusta di Kampung Mumugu yang demikian banyak ini agak mengherankan. Mengingat kusta bukanlah penyakit yang mudah menular. Hanya sedikit orang yang akan terjangkit kusta setelah kontak lama dengan pasien
137
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
kusta. Bila seseorang terinfeksi M.leprae, sebagian besar (95%) akan sembuh sendiri dan 5% akan menjadi intermediate. Dari 5% intermediate, 30% bermanifestasi klinis menjadi determinate dan 70% sembuh (Mansjoer, 2010)
Gambar 4.2. Penderita kusta yang memiliki gejala (mulai dari kiri atas, searah jarum jam) bercak kemerahan, bercak keputihan, Ulkus, dan mutilasi jari Sumber: Dokumentasi Peneliti
Dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Puskesmas Mumugu tersebut juga didapatkan bahwa nomphoboas di Kampung Mumugu tidak hanya menyerang pada laki-laki namun juga perempuan, termasuk juga pada anak-anak.Dari jumlah penderita yang telah didiagnosis kusta, 54,8% penderita berjenis kelamin laki-laki dan sisanya, 45,2% berjenis kelamin perempuan. Sementara dari segi umur, 14,3% diantaranya diderita oleh anak yang berumur kurang dari 15 tahun.
138
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
Gambar 4.3. Salah satu penderita kusta di Mumugu yang masih berusia 10 tahun Sumber : Dokumentasi Peneliti
Hal ini sesuai dengan distribusi penyakit kusta menurut jenis kelamin dan umur. Menurut Buku Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta (Ditjen P2PL, 2012) disebutkan bahwa berdasar dari laporan sebagian besar negara di dunia menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak terserang daripada perempuan, kecuali beberapa negara di Afrika. Sedangkan menurut umur, kusta diketahui terjadi pada semua kelompok usia, mulai bayi sampai usia lanjut. Meski yang terbanyak adalah pada usia muda dan produktif. Seseorang yang telah didiagnosa menderita kusta, maka perlu ditetapkan juga tipe kustanya. Hal ini perlu dilakukan karena akan berpengaruh terhadap jenis dan lamanya pengobatan. Saat ini tipe kusta hanya diklasifikasikan dalam 2 tipe yaitu Pausi Basiler (PB) dan Multi Basiler (MB). Pedoman utama untuk menentukan klasifikasi tipe kusta adalah sebagai berikut ; Pertama adalah jumlah bercak kusta. Pada tipe PB
139
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
jumlahnya antara 1–5, sedangkan pada tipe MB, jumlahnya >5. Kedua adalah penebalan saraf tepi yang disertai gangguan fungsi. Pada tipe PB terjadi hanya pada 1 saraf, sedangkan pada tipe MB lebih dari 1 saraf. Ketiga adalah kerokan jaringan kulit. Pada tipe PB hasil BTA nya negatif, sedangkan pada MB hasil BTA nya positif. Disamping itu terdapat tanda lain yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan klasifikasi penyakit kusta. Pada tipe PB, distribusinya unilateral atau bilateral asimetris dan tidak terdapat ciri khas. Sementara pada tipe MB, distribusinya bilateral simetris dan memiliki ciri khas, yaitu : Madarosis, hidung pelana, wajah singa (facies leonina), ginekomastia (pembesaran kelenjar mamae) pada laki-laki. Ciri khas tersebut tidak ditemukan pada penderita kusta tipe PB (Ditjen P2PL, 2012). Dari 126 orang yang terdiagnosa kusta tersebut, sebagian besar merupakan kusta tipe MB yaitu sebanyak 116 orang, sedangkan sisanya 10 orang merupakan kusta tipe PB. Banyaknya penderita kusta tipe MB dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Diantaranya adalah penderita terlambat dalam melakukan pengobatan, tidak mengonsumsi obat kusta secara teratur serta penemuan kasus secara aktif belum optimal. Terlambatnya penderita untuk berobat sendiri disebabkan karena penderita tidak mengerti tanda dini kusta, malu untukberobat, Puskesmas yang belum siap, tidak tahu bahwa ada obat yang tersedia cumacuma di Puskesmas ataupun jarak penderita ke Puskesmas yang cukup jauh (Hiswani, 2001 dalam Selum & Wahyuni, 2012). Kusta tipe MB sangat berisiko untuk mengalami kecacatan. Hasil penelitian Mukminin (2006) dalam Selum & Wahyuni (2012) menunjuk-kan bahwa kusta tipe MB berisiko 7,8 kali lebih besar untuk menderita cacat dibandingkan tipe PB. Cacat pada penderita kusta terjadi sebagai akibat gangguan fungsi saraf pada mata, tangan, ataupun kaki. Ada 2 jenis cacat kusta, yaitu cacat primer dan cacat sekunder. Cacat
140
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
primer merupakan cacat yang disebabkan langsung oleh aktifitas penyakit, terutama kerusakan akibat respons jaringan terhadap mycobacterium leprae, seperti mati rasa, claw hand, dan dan kulit kering. Sementara cacat sekunder merupakan cacat yangterjadi akibat cacat primer, terutama akibat ada-nya kerusakan saraf, seperti ulkus dan kontraktur.Tingkat cacat kusta menurut WHO terbagi menjadi tiga yaitu : Pertama cacat tingkat 0, pada tingkat ini tidak ada kelainan pada mata akibat kusta. Pun demikian juga pada telapak tangan/kaki, juga tidak ada cacat akibat kusta. Kedua adalah cacat tingkat 1, pada tingkat ini terdapat kerusakan pada mata karena kusta (anestesi pada kornea, tetapi gangguan visus tidak berat visus > 6/60 : masih dapat menghitung jari dari jarak 6 m). Sedangkan pada telapak tangan/kaki terdapat anestesi, kelemahan otot. (Tidak ada cacat/ kerusakan yang kelihatan akibat kusta). Ketiga adalah cacat tingkat 2, pada mata terdapat lagoftalmos, iridosiklitis, opasitas pada kornea serta gangguan visus berat (visus < 6/60= tidak mampu menghitung jari dari jarak 6 meter).Sedangkan pada telapak tangan/kaki terdapat cacat atau kerusakan yang kelihatan akibat kusta, misalnya ulkus, jari keriting, kaki semper, dan atau hilangnya jaringan (Ditjen P2PL, 2012). Saat ini masyarakat yang menderita kusta di Kampung Mumugu tidak hanya sebatas memiliki gejala bercak-bercak dikulit yang mati rasa saja. Namun sudah ada penderita yang mengalami cacat tangan maupun kaki. Salah satunya adalah CT. Remaja perempuan ini sudah mengalami cacat tingkat 2, yaitu terdapat pada telapak jari-jari tangan dan juga kaki. Ketika ditanya mulai kapan menderita kusta, remaja yang tidak bisa berbahasa Indonesia ini, melalui penerjemah, mengungkapkan ketidaktahuannnya. Namun ketika ditanya mulai kapan mulai luka hingga akhirnya jari-jari tangan dan kakinya putus, dirinya
141
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
mengatakan hal itu terjadi kurang lebih 4–5 tahun yang lalu (2009–2010an). Berawal ketika dirinya tidur dekat tungku api. Sudah menjadi kebiasaan bagi masyarakat di Kampung Mumugu untuk menyalakan api tungku dimalam hari. Selain sebagai penerangan rumah, hal ini dilakukan untuk mengusir hawa dingin yang menusuk tulang. Karena memang hawa di Kampung Mumugu sangat dingin ketika malam menjelang. Kondisi ini bertambah parah bila hujan turun. Ketika bangun pagi, CT kaget setengah mati, karena kakinya dalam kondisi melepuh, merah dan luka. Berawal dari situlah jari kaki dan tangan, mulai luka hingga akhirnya putus semua hingga seperti saat ini.
Gambar 4.4. Penderita kusta yang telah mengalami mutilasi jari tangan dan kaki. Sumber : Dokumentasi Peneliti
142
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
4.2.2. Pandangan Nomphoboas
Masyarakat
Terhadap
Penderita
Sebagaimana diketahui bersama bahwa penyakit kusta memberikan stigma negatif bagi penderitanya. Penyakit kusta oleh sebagian besar masyarakat masih dianggap sebagai penyakit kutukan, akibat dosa, terkena guna-guna, karena makanan, ataupun merupakan penyakit keturunan. Stigma ini membuat masyarakat takut terhadap penderita kusta (leprophobia). Sehingga masyarakat atau bahkan mungkin keluarganya sendiri berusaha menjauhi serta mengucilkan anggota keluarganya yang menderita kusta. Kondisi membuat penderita kusta semakin menderita, tidak hanya karena penyakitnya namun juga karena beban sosial yang dihadapinya. Sehingga tidak jarang ditemukan berbagai kasus kemanusiaan, seperti dalam percobaan bunuh diri pada penderita kusta, tidak mau berobat ke pelayanan kesehatan, dan atau terisolir dari kehidupan masyarakat. Akibatnya hal ini semakin memperburuk kondisi psikis penderita itu sendiri yang pada akhirnya akan berdampak pada peningkatan jumlah penderita baru di masyarakat melalui berbagai bentuk penularan yang mungkin terjadi (Fajar, 2010). Namun rupanya budaya menjauhi dan mengucilkan penderita kusta tidak ada di Kampung Mumugu. Dikatakan budaya karena stigma atau anggapan yang keliru tersebut dilakukan secara terus menerus sehingga memperkuat peranannya sebagai norma budaya (Soemardjan 1992 dalam Fajar 2010).Penyakit kusta atau oleh masyarakat disebut nomphoboas ini, dianggap biasa saja oleh masyarakat. Mereka tidak terlalu khawatir ataupun takut terhadap penderita nomphobooas sebagaimana yang diungkapkan oleh informan B berikut :
143
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
“Tidak ada stigma di masyarakat. Masyarakat mengaggap biasa saja. Karena baru juga, tidak ada yang meninggal karena kusta, sebenarnya mungkin ada kusta, tapi mungkin karena mencret kah, tapi memang ada kusta di dalam. Tapi mereka pikir karena mencret kah, karena apa kah, tidak pikir karena kusta. Makanya tidak terlalu takut sama kusta,”
Dirinya juga menambahkan, masyarakat di sini juga tidak menganggap nomphoboas sebagai penyakit kutukan. “Kalau masyarakat di sini tidak. Kalau dengar penyakit kutukan itu datang dari masyarakat luar. Bukan dari sini, bukan masyarakat di sini, bukan,”
Tidak adanya stigma negatif maupun adanya lepropobiadi masyarakat berdampak pada tidak adanya pengucilan terhadappenderita nomphoboas. Mereka tidak pernah menjauhi ataupun mengusir anggota keluarga atau anggota masyarakatyang menderita nomphoboas. Penderita nomphoboas tetap tinggal bersama dengan istri/suami, anak-anaknya, maupun keluarga yang lain dalam satu rumah tanpa sekat. Demikian pula dengan penderita kusta yang lain, sebagaimana yang diungkapkan oleh informan LD berikut : “....tanggapan masyarakat terhadap kusta, kusta itu sendiri masyarakat mengaggap itu bukan sebagai penyakit stigma yang harus dijauhkan. Mereka satu sama lain masih tetap hidup bersama-sama,”
Hal tersebut dibenarkan oleh informan DM. Menurutnya, mereka yang menderita nomphoboas bahkan sampai cacat sekalipun, tetaplah keluarganya. Mereka bukan bukan binatang. Sehingga tidak mungkin keluarga akan menjauhi anggota keluarganya yang mengalami kecacatan.
144
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
“...Jadi anggaplah kita, penyakit ini tidak, apa ini…, dia tidak akan menular ke teman. Tapi anggap itu kita bisa tidur dengan dia. Tidak bisa, dia bukan binatang. Ada bapak, ada mama, saudara di samping dia, untuk aturatur dia, malam dia sakit kah? atau apa kah? pijit atau apa itu saudara dia, bapak dia, mama dia. Kita tidak bisa buang dia jauh. Itu kebiasaan begitu. Kami tidak tahu, penyakit kusta ini berbahaya. Dia akan menular ke teman, dia akan menular ke bapak, ke mama atau kah tidak?. Kami tidak tahu. Jadi kalau orang kusta itu tidur sama-sama dengan kita itu biasa. Anggaplah biasa begitu,”
Gambar 4.5. Penderita kusta yang tinggal serumah dengan keluarga yang lain. Sumber : Dokumentasi Peneliti
Hal ini mungkin dirasa cukup baik. Dengan tidak adanya stigma negatif terhadap penderita nomphoboas tersebut, membuat mereka tidak merasa rendah diri ataupun depresi yang dapat membuat penyakitnya semakin parah. Mereka dapat
145
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
beraktifitas sehari-hari sebagaimana layaknya masyarakat Kampung Mumugu yang dalam keadaan sehat. Bekerja mencari sagu ke hutan, berburu, mencari ikan di sungai maupun aktifitas yang lain. 4.3.
Perilaku Masyarakat Untuk Pengobatan Nomphoboas
4.3.1. Pengobatan Secara Tradisional Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa gejala nomphoboas adalah bercak-bercak putih atau kemerahan. Tidak ada gejala lain yang menimbulkan rasa sakit ataupun gejala lain yang membuat seseorang yang terkena nomphoboas berusaha mencari pengobatan. Sehingga dari masyarakat setempat, tidak ada pola pengobatan terhadap nomphoboas termasuk pengobatan tradisional sebagaimana yang diungkapkan oleh informan DM, seorang tetua adat setempat: “Kami dari masyarakat itu, tidak ada obat alam yang…., obat untuk menghilangkan penyakit itu…, tidak ada. Sama sekali tidak ada. Karena penyakit ini, baru dapat, baru muncul. Tahun berapa saja baru dapat…, sampai hari ini. Kalau penyakit lain itu ada. Tapi kusta tidak. Dia punya obat, tidak ada, untuk menghilangkan penyakit itu tidak ada,“
Hal tersebut dibenarkan oleh informan LD. Menurut-nya, tidak ada obat alami untuk nomphoboas. Hal ini dikarenakan masyarakat menganggap penyakit nomphoboasmerupakan penyakit yang biasa saja, sehingga tidak diobati. Sebagaimana yang diungkapkannya berikut ini : “Ya, dibiarkan saja. Tidak ada obat alami. (Kami menganggap penyakit kusta ini) biasa saja....,”
146
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
Hal tersebut juga dibenarkan oleh informan B. Menurutnya, tidak ada pengobatan tradisional atau upacaraupaca adat yang dilakukan masyarakat untuk menghilangkan nomphoboas. Selama ini yang ada hanya pesta setan, yaitu sebuah pesta yang dilakukan untuk mengenang leluhurnya yang sudah meninggal. “Kalo saya selama di sini belum ada. Belum ada yang bikin ritual khusus untuk sakit kusta ini. Yang dia bikin pesta yang ada itu cuma pesta setan yang sudah biasa di bikin tiap tahun,”.
Dirinya menambahkan, kalau penyakit lain, itukan menimbulkan rasa sakit. Makanya mereka ada pengobatan alaminya seperti jesmak itu. Maka tidak heran bila hampir seluruh masyarakat baik laki-laki atau perempuan, orang dewasa maupun anak-anak,di bagian tubuhnya terdapat tanda bekas jesmak. 4.3.2. Pengobatan Secara Medis Sementara dari segi medis, nomphoboas di Kampung Mumugu sebenarnya sudah mulai diobati sejak tahun 2011. Menurut informan B pengobatannomphoboas ini dimulai berbarengan dengan datangnya tim dari Dinas Kesehatan Propinsi Papua. Sebagaimana yang diungkapkannya berikut : “…..2011 bulan April, baru ada dokter, dari propinsi, yang ke sini. Kita sama-sama pengobatan di sini, di Kampung Bawah. Jadi dari situ awal kita mulai kegiatan untuk kusta,”
Saat itu jumlah penderita nomphoboas yang sudah diberi obat sebanyak 105 orang dengan rincian 95 menderita tipe MB
147
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
dan sisanya 10 orang menderita tipe PB. Teknik pengobatan tersebut hanya sebatas pemberian obat saja. Tanpa ada pengawasan ataupun pendampingan dari petugas untuk memantau diminum atau tidaknya obat tersebut. Saat itu, masyarakat yang menderita nomphoboas diberi 1 blister untuk diminum selama 1 bulan. Pada hari pertama dari setiap pemberian blister saja mereka minum obat di depan petugas, selebihnya di minum di rumah. Sebagaimana yang disampaikan oleh informan B berikut : “Klo pengobatan awal itu kita cuma kasih minum hari pertama di depan kita. Terus obat sisanya itu kita kasih ke…satu blister sisanya itu kita kasih ke pasiennya, dia bawa pulang. Cuma kita kasih tahu pokoknya tiap hari minum. Tiap pagi. klo pagi lupa boleh siang ato malam,”
Gambar 4.6. Kemasan (blister) obat kusta Tipe PB Dewasa Sumber : Dokumentasi Peneliti
148
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
Pada bulan kedua, penderita nomphoboas tersebut dihimbau untuk datang guna mengambil blister obat berikutnya dengan cacatan membawa blister yang telah kosong yang diberikan pada bulan sebelumnya. Begitu seterusnya sampai 6 bllister untuk tipe PB dan 9 blister untuk tipe MB. Dari 105 penderita nomphoboas tersebut hanya 10 orang (semuanya penderita tipe MB) yang menyerahkan kembali blister kosongnya lebih dari 12 blister. Sedangkan yang lain hanya menyerahkan 3-6 saja, bahkan ada yang hanya menyerahkann 1 bliser saja. Namun demikian, dari mereka yang menyerahkan kembali blister kosongnya lebih dari 12 tersebut, juga tidak dapat dipastikan apakah obat yang dibawa pulang dan blister kosong yang diserahkan kembali tersebut diminum semuanya atau tidak. Besar kemungkinan masyarakat tidak mengkonsumsinya secara rutin. Mengingat masyarakat masih belum paham benar tentang nomphoboas dan cara pengobatannya. Hal ini diakui oleh informan B. Menurutnya, masyarakat apabila didepannya mengaku kalau minum obat tersebut. Namun entah kalau dirumah, obat tersebut diminum atau tidak, dirinya tidak tahu sebagaimana yang diungkapkannya sebagai berikut : ”Jadi ya…di depan saya memang mengaku tapi saya tidak tau klo dibelakangnya. Kalo di depan saya, dia bilang …’ah suster, kita minum, bagus karena waktu kita begitu dapat e…e...benjolan-benjolan di badan, setelah kita minum itu benjolannya mulai hilang, tidak kelihatan lagi. Jadi memang ada yang mengaku begitu, tapi saya tidak dapat pastikan bahwa itu dia rutin minum tiap hari apa tidak, saya tidak tahu,”
Hal ini diperkuat oleh pernyataan informan DM. Menurutnya masyakarat mau minum obat ketika ada yang menyuruhnya minum. Namun ketika tidak ada yang
149
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
menyuruhnya minum, maka obat tersebut akan dibuang. Sebagaimana yang diungkapkannya sebagai berikut : “Orang kasih, ajak minum…, minum. Ada yang tu orang buang, kebanyakan tidak ada yang minum. Semua itu tidak tahu minum.”
Hal senada juga disampaikan oleh informan LD. Menurutnya, kalau masyarakat ingin sembuh, ya diminumlah obat itu. Tapi bagi mereka yang kesadaran untuk sembuh kurang, obat tersebut tidak diminum, dan bahkan dibuang begitu saja. Sebagaimana yang diungkapkannya berikut : ”Iya memang, ada yang diminum, dia yang punya usaha sembuhkan badan bikin baik badan, dia minum. Tapi sama sekali ada yang tidak mau minum obat, dia dibuang. Ada yang hanya minum 1, 2 biji di depan suster habis itu buang,”
Gambar 4.7. Satu blister obat kusta tipeMB (anak-anak) yang dibuang meski belum habis diminum. Sumber : Dokumentasi Peneliti.
150
Etnik Asmat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua
Rendahnya kesadaran masyarakat untuk meng-konsumsi obat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Diantaranya adalah ketidaktahuan mereka kalau dirinya terkena kusta. Dalam acara seminar tentang “Pencegahan Cacat Akibat Kusta” di Jakarta pada tahun 2011, Menteri kesehatan pernah mengatakan bahwa tidak semua orang sadar bahwa dirinya terjangkit penyakit kusta. Hal ini disebabkan karena gejala awal kustayang tidak spesifik, hanya seperti panu (Agustia, 2011). Kondisi ini diperparah dengan kurangnya pengetahun mereka tentang akibat yang ditimbulkan dari penyakit tersebut bila tidak diobati. Penyakit kusta yang tidak diobati dapat menimbulkan terjadinya kecacatan sebagai akibat dari adanya kerusakan pada syaraf sensorik. Tujuan utama dari pengobatan kusta adalah menyembuhkan penderita kusta, mencegah timbulnya kecacatan dan memutus rantai penularan dari penderita kusta kepada orang lain (Mansjoer, 2010). Saat ini sebenarnya telah ada pengobatan untuk penyakit kusta. Sejak tahun 1982 WHO merkomendasikan pengobatan kusta dengan Multi Drug Therapi (MDT) untuk tipe PB maupun MB.MDT merupakan kombinasi dua atau lebih obat antikusta, salah satunya rifamfisin sebagai antikusta yang bersifat bakterisidal kuat sedangkan obat antikusta lain bersifat bekteriostatik. Orang-orang yang membutuhkan MDT adalah (1) Pasien yang baru didiagnosis kusta dan belum pernah mendapat MDT, dan (2) Pasien ulangan, yaitu pasien yang mengalami : relaps, masuk kembali setelah default, pindahan, atau ganti klasifikasi/tipe.Regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan yang direkomendasikan oleh WHO tampak pada tabel.
151
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Tabel 4.1. Jenis obat kusta berdasarkan tipe kusta dan usia penderita Tipe Kusta
Jenis Obat Rifampisin
PB
5-9
thn
10-15 th
>15 th
300 mg/bln
450 mg/bln
600 mg/bln
25 mg/bln
50 mg/bln
100 mg/bln
25 mg/hr
50 mg/hr
100 mg/hr
300 mg/bln
450 mg/bln
600 mg/bln
25 mg/bln
50 mg/bln
100 mg/bln
25 mg/bln
50 mg/bln
100 mg/ bln
Minum di rumah
100 mg/bln
150 mg/bln
300 mg/bln
Minum di depan petugas
50 mg 2x/mgg
50 mg tiap 2 hr
50 mg per hr
Minum di rumah
DDS
Rifampisin
Dapson MB
Lampren
Keterangan
Minum di depan petugas Minum di rumah Minum di depan petugas
Sumber: WHO
Untuk anak