Nervus i Dan Kelainannya

April 28, 2019 | Author: Suriana Dwi Sartika | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Nervus i Dan Kelainannya...

Description

NERVUS I DAN KELAINANNYA

A.

PENDAHULUAN

Saraf otak (nervus cranialis) adalah saraf perifer yang berpangkal pada batang otak dan otak. Fungsinya sebagai sensorik, motorik dan khusus. Fungsi khusus adalah fungsi yang bersifat  panca indera, seperti penghidu, penglihatan, pengecapan, pendengaran dan keseimbangan. Saraf  otak terdiri atas 12 pasang, saraf otak pertama langsung berhubungan dengan otak tanpa melalui  batang otak, saraf otak kedua sampai keduabelas semuanya berasal dari batang otak. Saraf otak  kedua dan ketiga berpangkal di mesensefalon, saraf otak keempat, lima, enam dan tujuh berinduk  di pons, dan saraf otak kedelapan sampai keduabelas berasal dari medulla oblongata. (1) Dari sudut pandang evolusi, penciuman merupakan indera yang paling primitive dan   paling penting dibandingkan dengan indera lainnya. Alat indera penciuman ini mempunyai kedudukan utama di kepala, yang sesuai sebagai indera yang dimaksudkan untuk menuntun  perilaku. Penciuman mempunyai jalur yang lebih langsung ke otak daripada indera-indera lain. Reseptor pada badian atas hidung, dalam olfactory ephitelium setiap rongga hidung dihubungkan langsung tanpa sinapsis ke umbi-umbi olfactory otak, yang terletak di bawah lipatan frontal ( frontal   frontal lobes). lobes). Gangguan penciuman bisa sekunder akibat proses perjalanan penyakit atau bisa  juga sebagai keluhan primer .Daya menghidu yang hilang atau berkurang terjadi pada kira-kira 1% dari mereka yang berusia di bawah 60 tahun dan lebih dari 50 % pada mereka yang berusia (2)

lebih dari 60 tahun.

B. ANATOMI

Sistem pembauan manusia dimulai dari reseptor olfaktorius yang terdiri dari

osa muk osa

olfactoriu  s, fila olfak tori, tori, bulbu  s olfak tori toriu  s, trak t  t u  s olfak tori toriu s, k orte ortek   s (paleok orte ortek  s) unku s 3

lobu s tem poralis, dan area subk alosal  alosal  . Mukosa olfaktorius terletak pada atap masing-masing kavitas nasal dan meluas sampai konkha nasalais superior serta septum nasi. Pada mukosa ini dijumpai epitel olfaktorius, jaringan ikat, pembuluh darah, dan kelenjar Bowman.yang memproduksi cairam mucus yang disebut

1

mucus olfaktorius (berfungsi sebagai pelarut aroma pe mbauan). Epitel olfaktorius terdiri dari tiga tipe sel yaitu : 1. Sel olfaktorius 2. Sel penunjang/sel sustentakular  3. Sel basal Sel olfaktorius adalah neuron-neuron bipolar yang nantinya akan membentuk saraf olfaktorius. Sel penunjang sebagai penunjang fisik dan metabolic dari sel olfaktorius. Sel basal merupakan 3

sel punca (stem cell) yang dapat berdiferensiasi sebagai sel olfaktorius atau sel penunjang . Prosessus perifer neuron bipolar akan bergabung menjadi suatu fasikulus tak bermielin yang disebut fila olfaktoria. Pada tiap sisi terdapat sekitar 25 fila yang selanjutnya akan menembus foramen lamina fibrosa os ethmoid dan bergabung ke dalam bulbus olfaktorius. Bulbus olfaktorius merupakan tonjolan otak (telesenfalon) yang terd iri dari lima lapisan yaitu : 1. Lapisan glomerular  2. Lapisan pleksiform eksternal 3. Lapisan sel mitral 4. Lapisan pleksiform internal 5. Lapisan sel granuler  3

Bulbus olfaktorius mengandung sinaps rumit dari sel mitral, sel tufted, dan sel granuler .  Neuron pertama sistem olfaktorius adalah sel bipolar. Sel mitral dan sel tufted merupakan neuron kedua sistem olfaktorius. Akson neuron-neuron ini bergabung membentuk traktur  olfaktorius 9masing-masing terletak di sulkus olfaktorius pada permukaan inferior). Traktur  olfaktorius akan pecah menjadi tiga jalur yaitu : 1. Stria lateralis 2. Stria intermediate 3. Stria medialis Serabut striae lateralis berjalan di atas limen insula menuju garis semilunaris dan ambiens (area  pre-piriformis), serta berakhir di amygdale. Disinilah awal neuron ketiga sistem olfaktorius yang  berikutny akan meluas sampai girus parahipokampus (area Broadmann 28/ entorhinal area), yang merupakan region proyeksi kortikal primer dan pusat asosiasi sistem olfaktorius. Serabut stria medialis berlanjut ke area di bawah korpus kallosum (area subkalosal) dan area septal. Disini sistem olfaktorius dihubungkan dengan sistem limbik. Striae intermediate berlokasi di bawah 2

trigonum olfaktorius. Sejumlah serabut diproyeksikan ke area ini dan nampaknya tidak terlalu 3

 penting/ berarti pada manusia .

Gambar 1. Skema Nervus I3

3

Gambar 2. Nervus olfaktorius di nasal cavity4

4

Gambar 3. Anatomi Nervus Olfaktorius

5

B.FISIOLOGI PENCIUMAN

Sel-sel reseptor untuk sensasi penghidu adalah sel olfaktorius yang pada dasarnya merupakan sel saraf bipolar yang berasal dari sistem saraf itu sendiri. Bagian sel olfaktorius yang member respons terhadap rangsangan kimia olfaktorius adalah silia olfaktorius. Substansi yang  berbau yang tercium saat kontak dengan permukaan membrane olfaktorius mula-mula menyebar  secara difus ke dalam mucus yang menutupi silia. Selanjutnya, akan berikatan dengan protein reseptor di membrane setiap silium. Setiap protein resptor sebenarnya merupakan molekul  panjang yang menyusupkan diri melalui membrane, yang melipat kea rah dalam dan ke arah luar  kira-kira sebanyak tujuh kali. Bau tersebut berikatan dengan bagian protein reseptor yang melipat ke

arah

luar. Namun demikian, bagian dalam protein yang melipat akan saling

  berpasangan untuk membentuk yang disebut protein G, yang merupakan kombinasi dari tiga subunit. Pada perangsangan protein reseptor, subunit alfa akan memecahkan diri dari protein-G dan segera mengaktifasi adenila siklase, yang melekat pada sisi dalam membrane siliar di dekat   badan sel reseptor. Siklase yang teraktifasi kemudian mengubah banyak molekul adenosine trifosfat intrasel menjadi adenosis monofosfat siklik (cAMP). Akhirnya, cAMP ini mengaktifasi   protein membrane lain di dekatnya, yaitu gerbang kanal ion natrium, yang akan membuka ³gerbangnya´, dan memungkinkan sejumlah besar ion natrium mengalir melewati membrane ke reseptor di dalam sitoplasma sel. Ion natrium akan meningkatkan potensial listrik dengan arah   positif di sisi dalam membrane sel, sehingga merangsang neuron olfaktorius dan menjalarkan  potensial aksi ke dalam sistem saraf pusat melalui nervus olfaktorius. Untuk merangsang sel-sel olfaktorius, selain mekanisme kimiawi dasar masih terdapat beberapa factor fisik yang mepengaruhi derajat perangsangan. Pertama, hanya substansi yang dapat menguap yang dapat tercium baunya yaitu dapat terhirup ke dalam nostril-nostril. Kedua, substansi yang merangsang tersebut paling sedikit harus bersifat larut dalam air, sehingga bau tersebut dapat melewati mucus untuk mencapai silia olfaktorius. Ketiga, silia ini akan sangat membantu bagi bau yang paling sedikit larut dalam lemak, diduga karena konstituen lipid pada silium itu sendiri merupakan 5

 penghalang yang lemah terhadap bau yang tidak larut dalam lemak . Serabut saraf yang kembali dari bulbus disebut nervus kranialis I atau traktus olfaktorius.   Namun demikian, pada kenyataannya kedua traktus dan bulbus merupakan pertumbuhan  jaringan otak dari dasar otak ke arah anterior ; pembesaran yang berbentuk bulat pada ujungnya disebut bulbus olfaktorius, terletak pada lempeng kribiformis yang memisahkan rongga otak dari 6

  bagian atas rongga hidung. Lamina kribiformis memiliki banyak lubang kecil yang merupakan tempat masuknya saraf-saraf kecil dalam jumlah yang sesuai berjalan naik dari membrane olfaktorius di rongga hidung memasuki bulbus olfaktorius di rongga cranial. Terdapat hubungan yang erat antara sel-sel olfaktorius di membrane olfaktorius dengan bulbus olfaktorius yang memperlihatkan bahwa akson-akson pendek dari sel olfaktorius akan berakhir di struktur  globular yang multiple di dalam bulbus olfaktorius yang disebut glomeruli. Setiap glomeruli merupakan ujung untuk dendrite yang berasal dari sekitar 25 sel-sel mitral yang besar dan sekitar  60 sel-sel berumbai yang lebih kecil, dengan badan sel yang terletak di bulbus olfaktorius pada  bagian superior glomeruli. Dendrite ini menerima sinaps dari sel saraf olfaktorius, sel mitral, dan sel berumbai yang mengirimkan akson-akson melalui traktur olfaktorius untuk menjalarkan sinyal-sinyal olfaktorius untuk menjalarkan sinyal-sinyal olfaktorius ke tingkat lebih tinggi di sitem saraf pusat. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa glomeruli yang berbeda akan memberikan respon bau yang berbeda pula. Kemungkinan bahwa glomeruli tertentu merupakan   petunjuk sebenarnya untuk menganalisis berbagai sinyal bau yang dijalarkan ke dalam sistem 5

saraf pusat . Traktus olfaktorius memasuki otak pada sambungan anterior antara mesensefalon dan serebrum ; disini traktus akan terbagi menjadi dua jaras, satu berjalan medial menuju area olfaktori medial, dan yang lain berjalan lateral menuju area olfaktorius lateral. Area olfaktorius medial mewakili sistem olfaktorius yang paling tua sedangkan area olfaktorius lateral merupakan input untuk sistem olfaktorius yang tuda dan sistem olfaktorius yang paling baru. Sistem olfaktorius paling tua/ medial terdiri dari sekelompok nuclei yang terletak di bagian tengah basal otak tepat di anterior hipotalamus. Sebagian besar bentuk yang mencolok ini adlaha nuklei septum yang merupakan nuclei di garis tengah yang masuk ke dalam hipotalamus dan bagian   primitive lainnya dalam sistem limbic otak. Sistem ini mencetuskan reflex olfaktorius paling dasar. Sistem olfaktorius kurang tua/lateral terutama dari korteks piriformis dan korteks  prepiriformis ditambah bagian kortikal niklei amygdaloid. Dari daerah ini, jaras sinyal berjalan hampir ke semua bagian sistem limbic seperti hipokampups yang tampaknya menjadi hal penting dalam prose belajar untuk menyukasi atau tidak menyukai makanan tertentu yang bergantung   pada pengalaman seseorang terhadap makanan sehingga sistem ini

yang

memberikan

  pengaturan otomatis tetapi sebagian berasal dari pengendalian mengenai asupan makanan dan   penolakan makanan yang tidak sehat dan beracun. Gambaran penting area olfaktorius lateral 7

adalah bahwa sebagian besar jaras sinyal dari area ini langsung masuk ke bagian korteks serebri yang lebih tua yang disebut paleokorteks dalam bagian anteromedial lobus temporalis. Ini adalah satu-satunya area dari seluruh korteks serebri yang merupakan tempat sinyal sensorik berjalan langsung ke korteks tanpa terlebih dahulu melewati thalamus. Sistem yang lebih baru berjalan melalui thalamus melewati dorsomedial nucleus talamik kemudian ke kuadran lateroposterior  korteks orbitofrontalis. Sitem yang lebih baru yang sebanding dengan sebagian besar sistem sensorik kortikan lainnya dan digunakan untuk persepsi dan analisis olfaksi secara sadar 5. Sistem olfaktorius memiliki hubungan dengan sistem limbic seperti yang telah dijelaskan di atas. Hal ini dapat terlihat bahwa penciuman dapat terekam dan memicu suatu respon emosional6.

Gambar 4. Fisiologi sistem olfaktorius 7 8

C. ETIOLOGI 8

Disfungsi olfaktorius dapat dikelompokkan dalam tiga ke las yaitu : y

Gangguan konduktif atau transport

y

Gangguan sensorineural akibat kerusakan neuroepitel

y

Gangguan pada central olfaktorius dikarenakan kerusakan sistem saraf pusat

Terdapat beberapa penyebab dari gangguan olfaktorius yaitu : 1. Gangguan Nasal atau Sinus Gangguan pada cavum nasal digolongkan dalam gangguan konduksi dan sensorineural. Pada gangguan konduksi, bau tidak dapat kontak dengan epitel olfaktorius sedangkan gangguan sensorineural bau dapat melakukan kontak dengan epitel olfaktorius namun tidak mampu mampu diproses untuk menghasilkan impuls yang akan diteruskan ke sistem yang lebih tinggi. Contoh nya : poliposis intranasal, sinusitis kronik, dan rhinitis 8

alergi . 2. Trauma kepala/ post trauma Pada umumnya, trauma pada lobus frontal dan lobus oksipital dapat menyebabkan gangguan penciuman. Gangguan olfaktorius sebanding dengan luas serta tingkat 8

keparahan trauma .Heywood et al (1990) mencocokkan GCS pasien dengan skore tes olfaktorius dan menemukan adanya korelasi antara tingkat keparahan dari trauma capitis dengan disfungsi olfaktorius. Pada cedera ringan (GCS 13-15), 13% pasien mengalami anosmia total dan 27% menunjukkan perbaikan. Pada cedera sedang, (GCS 9-12), 11%   pasien mengalami anosmia dan 67% mengalami perbaikan. Pada cedera berat, 25%   pasien mengalami anosmia dan 67% mengalami perbaikan. Disfungsi olfaktorius pada   post trauma disebabkan oleh beberapa mekanisme yaitu : (1) perubahan dari traktus sinonasal (2) robekan dari filament nervus olfaktorius (3) kontusio cerebri dan hemoragik pada region olfaktorius. Pada trauma kepala, pasien biasanya mengalami hematom, edema, dan avulse pada olfactory cleft oleh karena trauma pada neuroepitel olfaktorius. Selain itu didapat kan juga scar dengan formasi sinekia, fraktur os nasal. Hal ini dapat menghalangi partikel bau untuk sampai ke neuroepitel olfaktorius. Axon dari reseptor olfaktorius sangat lembut dan masuk melalui foramina kecil dari lamina kribiformis pada basal cranial dan melakukan sinaps di bulbus olfaktorius. Adanya sobekan ataupun gesekan pada axon selama proses trauma dapat menyebabkan disfungsi 9

olfaktorius. Hal ini dapat terjadi disertai dnegan fraktur region naso-orbita-ethmoid region, meliputi lamina kribiformis. Trauma kepala menyebabkan suatu contusion atau   perdarahan intraparenkim. Contusion dari bulbus olfaktorius atau lesi cortical pada region olfaktorius (amygdale, lobus temporal, lobus frontal) dapat menyebablan anosmia   post traumatic. Doty et al (1997) meneliti 66 pasien dengan disfungsi olfaktorius dikarenakan trauma kepala selama 1 bulan hingga 13 tahun. 36,6% menunjukkan  perbaikan, 18% menjadi semakin buruk, dan 45% tidak mengalami perubahan9. 3. Infeksi saluran nafas atas Disfungsi olfaktorius yang disebabkan karena infeksi saluran nafas atas terjadi pada 2030 % kasus. Dikatakan bahwa gangguan penciuman pada kasus ini sulit untuk ditangani karena melibatkan kehilangan sensoris dari olfaktorius. Penelitian yang dilakukan oleh Jafek and Eller pada epite olfaktorius manusia menunjukkan bahwa hilangnya cilia olfaktorius pada pasien dengan infeksi saluran nafas atas. Biopsi menunjukkan bahwa cilia hilangdari dendrite olfaktorius dan hanya sedikit neuron olfaktorius serta axonnya  pada pasien infeksi saluran nafas atas. Hal ini sejalan dengan teori bahwa virus influensi 9

dapat mempengaruhi aktivitas silia pada epitel resp iratori . 4. Gangguan pada sistem saraf pusat Pada umumnya, CNS disorder dapat memberikan pengaruh pada sistem olfaktorius. Kehilangan sensitivitas penciuman merupakan gejala pertama pada penyakir Alzheime. Hal ini merupakan tanda dari terjadinya plaq neural, gangguan pada neurofibrial dan kehilangan sel pada nucleus olfaktorius anterior. Selain itu, penurunan daya penciuman terjadi pada pasien ini dikarenakan bulbus olfaktorius memiliki hubungan yang luas dengan area otak yang mengalami kerusakan dikarenakan Alzheimer Disease. Parkinson Disease juga dapat member manifestasi gangguan penciuman namun dengan 9

 patomekanisme yang belum jelas . Tumor yang mencakup lobus temporalis anterior dan   basisnya (tumor intrinsic atau ekstrinsik), yang dapat menghasilkan serangkaian unsinatus dalam bentuk yang tidak menyenangkan, atau kadang-kadang halusinasi olfaktorius yang menyenangkan. Serangkaian lobus temporalis dapat dimulai dengan aura olfaktorius. Giri prepiriformis dan hipokampus (Brodmann 28) mungkin terlibat dalam persepsi dan pengenalan bau, dan membandingkannya dengan impresi olfaktorius sebelumnya, dan dalam menghubungkan impresi tersebut dengan pengalaman pada 10

10

situasi yang tidak jelas . Meningioma di fosa kranii anterior (misalnya olfaktorius meningioma) akan dapat menimbulkan sindrom dari Foster-Kennedy, yaitu: anosmia di sisi tumor, buta dan atrofi papil primer di sisi tumor, dan papil edema di sisi 11

kontralateral . 5. Kausa lain Inhalasi dari limbah industry dapat menyebabkan suatu disfungsi olfaktorius. Paparan yang kronik dari benzene, butyl asetats, formaldehyde dilaporkan memiliki korelasi dengan

gangguan

penciuman.

Tumor

intranasal

(papiloma,

hemangioma,

esthesioneuroblastoma) serta tumor intracranial (meningima olfactory groove, tumor    pituitary, tumor lobus frontal) dapat menyebabkan disfungsi olfaktorius. Gangguan endokrin juga memiliki korelasi dengan gangguan penciuman. Mekanisme dari kehilangan penciuman ini masih belum jelas. Penyakit endokrin yang dapat menyebabkan disfungsi olfaktorius yaitu Addison¶s disease, Turner syndrome, Cushing¶s syndrome, hypotiroidsm, pseudohipotiroidism, dan Kallman¶s syndrome. Gangguan psikiatrik serta halusinasi kronin juga dpaat bermanisfestasi pada fungsi   penciuman. Faktor malnutrisi berupa defisiensi vitamin dan zinc dikatakan memiliki   peran dalam disfungsi olfaktorius. Namun demikian, terapi zinc pada disfungsi 9

olfaktorius masih diperdebatkan .

D.

GEJALA KLINIS 12

Gangguan penciuman dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu : 1. Gangguan kuantitatif : kehilangan atau penurunan kemampuan penciuman (anosmia,  parosmia) atau peningkatan kepekaan penciuman (hiperosmia) 2. Gangguan kualitatif : distorsi atau ilusi dari penciuman (d ysosmia atau parosmia) 3. Halusinasi penciuman dan delusi dikarenakan gangguan lobus temporal atau gangguan  psikiatrik  4. Kehilangan kemampuan dalam diskriminasi penciuman  Anosmia

Anosmia adalah hilangnya suatu penciuman yang dapat disebabkan oleh kelainankelainan yaitu agenesis traktus olfaktorius (cacat bawaan), gangguan mukosa olfaktorius 11

(rhinitis, tumor hidung), robekan fila olfaktori akibat fraktur lamina kribrosa, destruksi bulbus dan traktur olfaktorius akibat adanya kontusio kontrakoup, trauma region orbita, infeksi sekitarnya seperti sinusitis ethmoid, dan inflamasi menings, tumor fossa cranial anterior seperto meningioma fossa ethmoida/olfactory groove (yang menampilkan trias anosmia, sindrom Foster  3

Kennedy, dan gangguan personal lobus orbital, adenoma pituitary (yang meluas ke rostral) . Anosmia unilateral jarang dikeluhkan oleh pasien dan anosmia bilateral biasanya dikeluhkan oleh pasien sebagai tidak adanya sensasi pengecapan (ageusia). Hal ini menunjukkan bahwa sensasi pengecapan bergantung pada partikel makanan yang mencapai reseptor olfaktorius kemudian ke nasofaring dan dipersepsi, ini merupakan kombinasi dari penciuman, pengecapan, dan sensasi taktil. Gangguan penciuman dapat diidentifikasi dengan tes penciuman dan menggunakan stimulus bau yang noniritatif. Pertama diletakkan di nostril kemudian di sebelahnya dan meminta pasien untuk menncium dan mengidentifikasinya. Jika bau dapat tercium dan dideskripsikan namun tidak dapat diketahui jenisnya maka nervus olfaktorius nya intak. Namun jika bau tidak dapat tercium maka terjadi gangguan pada nervus olfaktorius. Ammonia ataupun substansi sejenis tidak dapat digunakan sebagai stimulus pada tes ini karena tidak menguji penciuman namun mengiritasi mukosa yang berakhir di nervus trigeminus. Hilangnya penciuman biasanya terjadi di tiga aspek yaitu hidung (bau tidak mencapai reseptor  olfaktorius), neuroepitheil olfaktorius (destruksi dari reseptor atau filament axon), dan central (lesi di traktur olfaktorius). Hendriks menemukan bahwa infeksi saluran nafas bagian atas,   penyakit sinus paranasalis, dan trauma kepala merupakan kasus yang paling banyak  menyebabkan anosmia. Hiposmia bilateral atau anosmia paling sering disebabkan oleh hipertrofi atau hiperemi mukosa sehingga stimulus olfaktorius tidak mampu mencapai sel reseptor. Paling sering didapatkan pada perokok berat, rhinitis atrofi, sinusitis atau alergi, vasomotor, polip nasal,  penggunaan berlebihan dari vasokontriksi topical. Biopsy dari mukosa olfaktorius pada rhinitis alergi menunjukkan bahwa sel epitel sensori masih ada namun terjadi atrofi dan perbuhan  bentuk. Influenza, herpes simplex, dan virus hepatitis dapat menyebabkan hiposmia atau anosmia  jika terjadi destruksi sel reseptor dan dapat bersifat permanen jika menyerang sel basal.Terdapat  juga kondisi dimana tidak adanya neuron reseptor primer atau hipoplastik dan kurangnya silia, hal ini terjadi pada sindrom Kallman dan hypogonadotropic hypogonadism. Kelainan ini juga terjadi pada sindrom Turner dan albino karena tidak adanya pigmen olfaktorius atau kelainan struktur congenital12. 12

Anosmia yang terjadi pada pasien trauma kepala biasanya disebakan karena fraktur  lamina kribiformis. Kerusakan dapat terjadi unilateral atau bilateral. Pembedahan cranium,   perdarahan subarachmoid, dan inflamasi kronik dari meanings juga dapat memberikan efek  anosmia. Namun, sebagian besar kasus anosmia traumatic juga menyebabkan ageusia yang   biasanya pulih setelah beberapa minggu. Lesi bilateral dekat dengan frontal dan region   paralimbik, dimana reseptor olfaktorius dan gustatory berdekatan, mungkin dapat menjelaskan hal ini namun belum dapat dibuktikan. Penyakit nutrisi dan metabolic seperti defisiensi thiamin, defisiensi vitamin A, insuffisiensi adrenal dan tiroid, sirosis, dan gagal ginjal kronik dapat  bermanifestasi pada transient anosmia sebagai akibat dari disfungsi sensorineural. Beberapa agen toksik (benzene, metals, cocaine, corticosterois, methotrexate, antibiotic aminoglycosida, 12

tertrasiklin, L-dopa) dapat merusak epitel olfaktorius . Dilaporkan bahwa terdapat beberapa pasien degenerative pada otak menunjukkan gejala anosmia atau hiposmia dengan patofisiologi yang belum jelas yaitu Alzheimer, Parkinson, Huntington, dan Pick Disease. Anosmia juga ditemukan pada pasien dengan epilepsy lobus 12

temporal dan pasien yang pernah menjalani anterior temporal lobectomy . Fungsi penciuman akan menurun dengan bertambahnya usia. Sel reseptor akan menurun dan jika terjadi di regional, neuroephiteliaum secara lambat akan diganti dengan respiratory ephitelium. Neuron dari bulbus olfaktorius juga akan menurun sebagai bagian proses penuaan. Epitel nasal dan nervus olfaktorius dapat terganggu pada Wegener granulomatosis dan craniopharyngioma. Meningioma di area olfaktorius dapat menginvasi hingga bulbus olfaktorius dan traktusnya juga dapat meluas hingga posterior sehingga melibatkan nervus optikus, kadangkadang dengan atrofi optic, dan jika diikuti dengan papil edema kontralateral, kelainan ini disebut dengan Foster Kennedy Sindrom. Aneurysma pada anterior cerebral atau anterior  communicate

artery

dapat

memberikan

manifestasi

yang

sama.

Anak-anak

dengan

12

meningoenchepaloceles juga dapat menyebabkan anosmia dan CSf rhinorea . Kebenaran mengenai suatu hiperosmia hanya merupakan perkiraan saja. Individu   biasanya mengeluh terlalu sensitive terhadap suatu bau tapi tidak ada bukti yang menyatakan mengenai ambang batas dari persepsi terhadap suatu bau. Selama serangan migraine dari aseptic meningitis, pasien biasanya tidak hanya sensitive terhadap cahaya tetapi juga terhadao bau.

13

 P arosmia

Parosmia atau disosmia adalah abnormalitas penciuman dimana seseorang salah persepsi terhadap sesuatu yang ia cium. Parosmia dapat terjadi pada kasus-kasus skizofrenia, lesi-lesi 3

unsinatus, dan hysteria .Parosmia juga dapat terjadi pada gangguan nasopharyngeal seperti emphyiema sinus nasal dan ozena. Jaringan yang abnormal kemungkinan menjadi sumber bau yang tidak menyenangkan bagi pasien. Parosmia bisa didapatkan pada pasien di usia muda atau  pertengahan yang memiliki depresi.  H alusinasi

olfaktorius

Pasien mengaku dapat mencium bau dimana orang lain tidak mampu menciumnya disebut dengan phantosmia. Jika pasien mengaku sering mengalami halusinasi dan memberikan gangguan kepribadian, maka gejala yang dialami diasumsikan sebagai suatu delusi. Gabungan antara halusinasi olfaktorius dan delusi merupakan suatu gangguan psikiatrik. Pada skizofrenia, stimulus berasal dari ekstrinsik dan disebabkan oleh seseorang yang menjadi stressor pasien. Pada depresi, stimulus berasal dari intrinsic dan lebih meluas. Ada beberapa pendapat yang mempercayai bahwa kelompok amygdale nuclei adalah sumber dari halusinasi. Halusinasi olfaktorius dan delusi dapat terjadi pada demensia Alzheimer, namun jika hal ini sudah terjadi 12

diperkirakan sudah terdapat late-life depression . Agnosia Olfaktorius

Harus dipertimbangkan kelainan dimana aspek persepsi primer dari penciuman (deteksi  bau, adaptasi bau, dan mengenal kualitas berbeda dari bau yang sama) masih baik namun terjadi ketidakmampuan untuk membedakan bau dan mengenal kualitas bau. Ketidakmampuan untuk  mengidentifikasi atau mendeskripsikan sensasi disebut agnosia. Untuk mengetahui kelainan ini dibutuhkan tes yang khusus, seperti mencocokkan sampel, identifikasi, dan memberi nama   berbagai macam bau dan mengelompokkan dimana dua bau identik atau berbeda. Perubahan fungsi dari olfaktorius merupakan karakteristik pasien dengan Psikosis Korsakoff dengan alkoholik. Sebagian besar pasien Korsakoff terdapat lesi medial nucleus dorsal dari thalamus. Beberapa penelitian dilakukan pada hewan yang menggambarkan bahwa nucleus dan hubungannya dengan korteks orbitofrontal member efek gangguan pada diskriminasi bau. Eichenbaum dan beberapa peneliti menunjukkan bahwa kelainan penciuman dapat terjadi pada   pasien yang pernah menjalani reseksi ekstensif lobus temporal medial bilateral. Operasi ini

14

dipercaya telah menghilangkan aferen olfaktorius ke korteks frontal dan thalamus, namun belum 12

ada bukti anatomi untuk hal ini .

E. DIAGNOSIS 1. Anamnesis Dari anamnesis, didapatkan beberapa keluhan berupa dalah hilangnya daya penghiduan, kurang tajamnya penciuman, daya penciuman yang terlalu peka, gangguan penciuman  bilamana tercium bau yang tidak sesuai misalnya minyak kayu putih tercium sebagai bau  bawang goring, penciuman yang tidak menyenangkan atau yang memuakan seperti bacin , pesing dsb, maka digunakan istilah lain yaitu kakosmia, bila tercium suatu modalitas olfaktorik tanpa adanya perangsangan. Selain itu, harus diketahui gejala lain yang mendasari misalnya kejang, gangguan memori, tanda-tanda peningkatan intracranial 13

(mual, muntah, sakit kepala), adanya demam, rhiore, ketajaman penglihatan ,.

2. Pemeriksaan Fisis 13 Pemeriksaan fisis untuk menilai letak kelaianan pada gangguan penciuman dapat dilakukan evaluasi nasal berupa rhinoskopi anterior dan endoscopy. Dengan cara ini, maka dapat dievaluasi neuroepitel olfaktorius dan mengetahui jika terjadi hambatan udara   pada neuroepitel. Pada pemeriksaan nasal, mukosa nasal dievaluasi warna, struktur, edema, imflamasi, eksudat, ulserasi, metaplasia epitel, erosi, ataupun atrofi. Jika didapatkan rhinore purulen pada cavitas nasi, mungkin terjadi suatu rhinitis. Jika rhinore   berasal dari meatus media, maka mungkin terjadi sinusitis maxillaries dan ethmoidalis anterior. Jika rhinore berasal dari meatus superior atau recessus sphenoethmoidalis maka kemungkinan terjadi sinusitis ethmoidal posterior atau sphenoid. Adanya massa, polip, adhesi, ataupun deviasi septum memiliki potensi dalam penurunan aliran udara menuju epitel olfaktorius. Jika terjadi alergi, maka mukosa akan terlihat pucat dan edem. Paparan   polutan pabrik yang akut ataupun kronik akan memberikan gambaran metaplasia epitel   berupa edem, inflamasi, eksudat, erosi, ataupun ulserasi. Atrori dari lamina propria menunjukkan suatu rhitnitis atrofi atau rhinitis medikamentosa. Setelah dilakukan  pemeriksaan rhinoskopi anterior, maka dilakukan tes penc iuman. Pemeriksaan sensoris fungsi penciuman dibutuhkan untuk memastikan keluhan  pasien, mengevaluasi kemanjran terapi, dan menentukan derajat gangguan permanen.

15

1. Langkah pertama menentukan sensasi kualitatif  Langkah pertama dalam pemeriksaan sensorik adalah menentukan derajat sejauh mana keberadaan sensasi kualitatif. Beberapa metode sudah tersedia untuk   pemeriksaan penciuman. a. Tes Odor stix Tes Odor stix menggunakan sebuah pena ajaib mirip spidol yang menghasilkan bau-bauan. Pena ini dipegang dalam jarak sekitar 3-6 inci dari hidung pasien untuk memeriksa persepsi bau oleh pasien secara kasar. Tes alkohol 12 inci ± Satu lagi tes yang memeriksa persepsi kasar terhadap  bau, tes alkohol 12 inci, menggunakan paket alkohol isopropil yang baru saja dibuka dan dipegang pada jarak sekitar 12 inci dari hidung pasien.  b. Scratch and sniff card Tersedia scratch and sniff card yang mengandung 3 bau untuk menguji  penciuman secara kasar. c. The University of Pennyslvania Smeel Identification Test (UPSIT) Tes yang jauh lebih baik dibanding yang lain adalah UPSIT; ia sangat dianjurkan untuk pemeriksaan pasien dengan gangguan penciuman. Tes ini menggunakan 40 item pilihan-ganda yang berisi bau-bauan scratch and sniff   berkapsul mikro. Sebagai contoh, salah satu itemnya berbunyi ³Bau ini paling mirip seperti bau (a) coklat, (b) pisang, (c) bawang putih, atau (d) jus buah,´ dan pasien diharuskan menjawab salah satu dari pilihan jawaban yang ada. Tes ini sangat reliabel (reliabilitas tes-retes jangka pendek r = 0, 95) dan sensitif terhadap perbedaan usia dan jenis kelamin. Tes ini merupakan  penentuan kuantitatif yang akurat untuk derajat relatif defisit penciuman. Orang-orang yang kehilangan seluruh fungsi penciumannya akan mencapai skor pada kisaran 7-19 dari maksimal 40. Skor rata-rata untuk pasien-pasien anosmia total sedikit lebih tinggi dibanding yang diperkirakan menurut  peluang saja karena dimasukannya sejumlah bau-bauan yang beraksi melalui rangsangan trigeminal. 2. Langkah ke-dua menentukan ambang deteksi Setelah dokter menentukan derajat sejauh mana keberadaan sensasi kualitatif, 16

langkah kedua pada pemeriksaan sensorik adalah menetapkan ambang deteksi untuk bau alkohol feniletil. Ambang ini ditetapkan menggunakan rangsangan  bertingkat. Sensitivitas untuk masing-masing lubang hidung ditentukan de ngan ambang deteksi untuk fenil-teil metil etil karbinol. Tahanan hidung juga dapat diukur dengan rinomanometri anterior untuk masing-masing sisi hidung. Dalam pemeriksaan fisis, kita juga harus memperhatikan adanya tanda-tanda demensia (intensi, disfungsi memori, apati, disorientasi) pada pasien dengan gangguan   penciuman. Hal ini dikarenakan penurunan kemampuan penciuman merupakan gejala  pertama yang muncul pada penyakit seperti Alzheimer disease, Huntington corea, multi infarct dementia, dan Pick Disease. Bukti adanya disorientasi, kejang, dan perubahan mood dapat meningkatkan dan menurunkan fungsi penciuman pada pasien dengan epilepsy lobus temporal. Kehilangan kemampuan penciuman dengan ada masalah pada memori jangka pendek dapat membantu untuk menemukan adanya defisiensi vitamin B1 dan sindrom Wernicke-Korsakoff. Perubahan kognitif (depresi, bingungm halusinasi) dapat merupakan tanda bagi anemia defisiensi. Pemeriksaan optikus sebagai tanda peningkatan tekanan intraocular ataupun intracranial (papil edem) harus dilakukan dikarenakan tumor di olfactory groove atau sphenoid ridge dapat menyebabkan Foster Kennedy syndrome, dimana dengan gejala klinis ipsilateral anosmia atau hiposmia, atrofi opric ipsilateral, dan papiledem kontrallateral. Pasien dengan Korsakoff sindrom, tidak hanya memiki penurunan dalam memori dan penciuman tetap i juga dalam mendiskriminasi warna dan persepsi auditori. Adanya ataksia, apraksia pada pergerakan orolingual, kelainan oculomotor, masalah koordinasi, gangguan cara jalan, tremor, bradikinersia, dan rigiditas, serta adanya gangguan dari kemampuan penciuman terjadi pada pasien dengan Huntington¶s chorea dan multiple sclerosis. Penurunan sensori berupa suhu, vibrasi, dan nyeri biasanya terjadi pada pasien dengan neuropati yang mengalami hiposmia. Dalam hal ini, neuropati dapat terjadi pada diabetes, gagal hati, serta gagal ginjal. Pada pasien dengan hepatitis, imunidefisiensi, dan infeksi virus, hiposmia dapat terjadi bersamaan dengan polineuropati tibe Gullain Barre. Adanya demam dan kaku kuduk dapat membantu untuk  mengidentifikasi adanya infeksi serois seperti meningitis yang dapat menyebabkan disfungsi kemosensoris. 17

13

3. Pemeriksaan Penunjang y

Pemeriksaan laboratorium Jika penyebab gangguan penciuman tidak jelas, maka pemeriksaan laboratorium lengkap dapat diindikasikan untuk menemukan suatu proses infeksi, nutrisi, serta   proses hematopoietic. Untuk mengidentifikasi proses autoimun atau inflamasi dapat dilakukan pemeriksaan sedimen eritrosit.

y

CT Scan Sensitivitas dari Computed Tomografi (CT) pada jaringan lunak menjadikan   pemeriksaan ideal pada cavitas sinonasal. Semua cavitas nasal, sinur paranasal,   palatum durum, anterior skull base, orbit, dan nasopharyng dapat terlihat. Potongan coronal dapat menilai anatomi dari paranasal dan region anterior nasoethmoidal. Untuk menilai lesi vaskuler, tumor, abses, dan prosessus meningeal dan  parameningeal, CT scan dengan kontras dapat dilakukan.

y

MRI MRI lebih baik dari pada CT untuk mengidentifikasi jaringan lunak namun kurang sensitive untuk kelainan kortikal tulang. MRI dapat mengidentifikasi bulbus olfaktorius, traktus olfaktorius, dan proses intracranial yang dapat menyebabkan disfungsi penciuman serta lebih jelas pada poto ngan coronal.

y

 Neurophisiology test Adanya keterkaitan antara kehilangan kemampuan penciuman dan demensia pada   pasien Alzheimer¶s disease dan multi-infarct dementia, maka neurophysiology test dilakukan untuk mengidentifikasi adanya demensia. The Mini mental State Examination adalah alat yang digunakan untuk mengidentifikasi demensia.

y

Pemeriksaan lain Pemeriksaan sellular neuroepitel olfaktorius dan biopsy neuroepitel dapat dilakukan. Pada pemeriksaan ini, jaringan neuroepitel olfakorius diambil di daerah septum dengan menggunakan forcep atau instrument khusus dan kemudian diperiksa secara histology. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan adanya metaplasia dari neuroepitel olfaktorius. 18

F. TATA LAKSANA Pasien dengan keluhan disfungsi olfaktorius harus menjalani berbagai pemeriksaan untuk  mengetahui penyebab dasarnya karena akan diterapi beradasarkan penyebab nya. 1. Penyakit nasal dan sinus. Ada beberapa consensus yang menyatakan bahwa pasien dengan rhinitis alergi dan polip nasal dapat diterpai dengan kortikosteroid sistemik dan kortikosteroid intranasak topical. Kosrtikosteroid sistemik adalah anti inflamasi potensial yang bekerja dengan mengurangi   produksi mucus sehingga partikel bau dapat mencapai neuroepitel olfaktorius. Efek  samping dari pemakaian kortikosteroid sistemik adalah meningkatkan tekanan darah sehingga hanya dianjurkan untuk pemakaian jangka pendek.

Kortikosteroid topical

intranasal merupakan alternative lain. Efek samping dari pemakaian biasanya ringan yaitu mukaosa kering dan bersin. Golding-Wood et al melakukan studi pada lima belas   pasien dengan hiposmia disertai rhinistis perinnial. Setiap pasien diberikan tiga tetes   betametason setiap hari selama 6 minggu dan dievaluasi dengan UPSIT sebelum dan setelah terapi. Hasilnya menunjukkan bahwa semua pasien mengalami perbaikan dalam score tes setelah terapi. Oleh karena itu steroid topical dianjurkan sebagai terapi yang efektif untuk polip nasal dan rhinitis perennial. Beberapa factor mempengaruhi dalam terapi penyakit nasal dan sinus, sebagai contoh angka rekuren pada polip nasal dan kesulitan dalam terapi local. Sebagai contoh efek steroid topical akan terbatas pada edema mukosa cavitas nasal dimana akan menghambat penerimaan steroid. Selain itu, intervensi bedah dapat dilakukan untuk mengurangi obstruksi nasal dan memperbaiki kemampuan penciuman. Prosedur pembedahan berupa endoscopi ethmoidectomy.  Namun hal ini merupakan pilihan terakhir karena akan memberikan rasa sakit yang hebat 9

dan tidak menjamin akan sukses . 2. Trauma kepala/ post trauma Sistem olfaktorius memiliki kemampuan untu beregenerasi.Namun demikian, pada  beberapa kasus trauma kepala berat, fungsi olfaktorius tidak mengalami perbaikan. Tidak  9

diketahui secara pasti factor yang dapat menyebabkan hal ini . Onset regenerasi terjadi tiga bulan setelah trauma, diatas satu tahun kemungkinan perbaikan sangat tipis. 19

Perbaikan yang cepat dpat terjadi contohnya pemisahan bekuan darah dan perbaikan yang lambat dikarenakan regenerasi pada elemen neural. Perbaiakn secara menyeluruh dapat   berlangsung hingga 5 tahun. Selama penyembuhan, beberapa anosmia dilaporkan memiliki episode parosmia. Wright (1987) memperkirakan hal ini terjadi karena fungsi dari sistem olfaktorius sangat minimal. Penyembuan dari sistem olfaktorius pada trauma kepala bergantung pada tingkat keparahan dari kerusakan bulbus olfaktorius, respon inflamasi local, dan luas kerusakan jaringan yang terakumulasi antara bulbus olfaktorius dengan lamina kribiformis. Penelitian yang dilakukan oleh Masayohsi dan Richard menunjukkan bahwa pemberian dexamethason pada pasien disfungsi olfaktorius post trauma kepala menunjukkan penurunan luas jaringan yang rusak serta akumulasi dari makrofag dan astrosit. Hal ini menunjukkan efek dari anti inflamasi memilki fungsi theraupetic pada olfactory nerve injury. Selain itu, dilaporkan pula bahwa steroid efektif  dalam mengurangi scar formasi jaringan dalam cedera spinal cord. Studiini menunjukkan  bahwa pemberian steroid pada fase akut memnerikan hasil efektif dalam perbaikan sistem olfaktorius. Oleh karena itu, waktu pemberian steroid meurpakan factor utama dalam dan 9

akan memberikan hasil yang berbeda pada pemberian steroid yang lambat . 3. Infeksi saluran nafas atas Pada kasus ini , tidak ada pengobatan yang spesifik yang dapat dilakukan. Beberapa studi menjelaskan bahwa terjadi penyembuhan secara spontan dengan mekanisme yang masih  belum jelas. Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar mengalami perbaikan pada 6   bulan setelah onset. Penggunaan vitamin A dan zinc masih memberikan kontroversi. Pasien dengan gangguan penciuman dan pengecapan yang diterapi dengan suplemen zinc tidak memberikan perbaikan. Terapi dengan vitamin A tidak sepenuhnya dianjurkan. Studi yang dilakukan oleh Duncan dan Briggs (1962) menunjukkan bahwa pasien dengan anosmia yang diterapi dengan vitamin A memberikan respon yang baik. Vitamin A 9

 berfungsi dalam regenerasi sel olfaktorius pada mucus dan k elenjar serous . 4. Gangguan pada sistem saraf pusat Pada kasus dimana tumor merupakan penyebab primer, maka pengangkatan tumor  dengan tujuan memperbaiki jalur olfaktorius merupakan terapi yang tepat. Terapi pada meningioma adalah eksisi total, termasuk perlekatan pada dura. Pada tumor di fossa anterior dilakukan anterior dan anterolateral craniofacial resection (CFR) untuk  20

mengeluarkan tumor dari fossa anterior dan medial. Anterior CFR mencakup struktur  anterior-mid line dan paramedian dari basis crania. Sinus ethmoidalis superior, dinding anterior dari sphenoid posterior, sinus frontal bagian anterior, dan nasofaring bagian inferior juga termasuk dalam CFR. Indikasi dari CFR ini adalah : a. reseksi

tumor

malignan

pada

sinus

paranasal

yang

mencakup

sinus

frontal/ethmoid dengan keterlibatan bagian proksimal dari atas ethmoid atau lamina kribiformi  b. reseksi dari tumor benigna di sinus paranasal, meanings, dan basis crania yang melibatkan atau meluas ke seluruh basis crania. Anterior CFR dapat dilakukan secara bicoronal dan insisi dari facial paranasal diikuti dengan pembukaan tulang facial, dinding medial dari orbita, identifikasi dan kauterisasi  pembuluh darah ethmoidal anterior dan posterior. Secara anterior, dilakukan pemotongan dari level fossa lacrimal dingga level nasion dan secara posterior, pada level posterior  dari foramina ethmoidal. Pada keadaan ini, craniotomy bifrontal dilakukan. Insisi   bicoronal dilakukan untuk dapat mencapai secara luas bagian tulang frontal dan dilakukan untuk memperbaiki defek dari fossa anterior. Bagian bawah dura dapat dlihat dari lamina kribiformis ke planum sphenoidake (jika dura juga terlibat maka mobilisasi dilakukan lebih lateral dan dura yang terlibat akan diresesksi bersama tumor. Pemotongan dilakukan di bagian luar tumor, melewati atap ethmoid/lateral orbit, planum sphenoidal ke posterior sinus sphenoidale, atap sinus frontal ke anterior sinus ethmoidal. Tumor yang melekat pada lamina perpendicular dari ethmoid dipisahkan dengan gunting. Massa .

dikeluarkan melalui transfacial, dan memisahkan perlekatan dengan mukosa sekitar  Perawatan post operasi ditujukan untuk meminimalkan terjadinya udem cerebri. Terapi steroid dapat diberikan dengan tapering dosis. Selain itu juga harus dicegah terjadi hidrasi yang berlebihan dengan edukasi pasien untuk sering melakukan elevasi pada kepala demi mencegah aliran balik vena. Resiko tumor mengalami rekuren tergantung dari luasnya 14

eksisi . Pada kasus neuroblastoma olfaktori, dilakukan kombinasi antara permbedahan dan radioterapi dengan angka survival rate nya 60% untuk 3 tahun dan 40% untuk 5 tahun15. Pada beberapa kasus, kronik disosmia dapat memberikan manifestasi depresi, nausea, dan penurunan berat badan, maka dalam kondisi ini intervensi bedah dapat 21

dilakukan. Jika disosmia terjadi unilateral, maka intervensi bedah unilateral dapat memperbaiki masalah yang terjadi. Pendekatan bedah, ablasi intranasal dan jaringan dari epitel olfaktorius pada sisi yang bermasalah lebih konservatif dan kurang invasive dibandingkan operasi perbaikin bulbus olfaktorius dan traktusnya melalui suatu proses craniotomy. Terapi pada pasien dengan anosmia diserta gangguan sensorineural merupakan suatu tantangan. Walaupun ada beberapa pendapat mengenai terapi zink dan vitamin, namun belum memiliki bukti empiris. Pada pasieng dengan kehilangan   penciuman dalam waktu yang lama dapat mengindikasikan suatu kerusakan neral dan neuroepitel olfaktorius dan memberikan suatu prognosis yang buruk serta tidak dapat diterapi13. Pada pasien psikiatrik, haloperidol dapat mengontrol halusinasi dan parosmia. Intervensi bedah dapat dilakukan yaitu eksisi dari mukosa olfaktorius pada pasien dengan unilateral phantosmia. Setelah operasi, pasien tidak memilki kemampuan penciuman tapi kemudian akan membaik. Disimpulkan bahwa ada dua alasan yang mendasari sehingga operasi jenis ini dapat berhasil yaitu : (1) neuron yang melakuakn regenerasi dan menghasilkan bau yang tidak menyenangkan telah diangkat (2) epitel olfaktorius di eksisi dan

dihubungkan

dengan

bulbus

olfaktorius

yang

tidak

benar

sehingga

9

menginterpretasikan sinyal .

G. PROGNOSIS Disfungsi olfaktorius yang disebabkan oleh proses inflamasi seperti rhinosinusitis kronik dan rhinitis alergi dilaporkan memiliki prognosis baik dengan angka penyembuhan 68-86%. Prognosis dari penyembuhan sistem olfaktorius yang disebabkan oleh trauma kepala lumayan   buruk, hanya 10-38%, dilaporkan hanya 4 dari 17 (24%) pasien anosmia menunjukkan   penyembuahan yang sedikit pada fungsi olfaktorius dengan munggunakan kortikosteroid sistemik atau topical. Hendrik 91998) menganalisa insidensi dari dsifungsi o lfaktorius dari 32 kauss, 8% disebabkan oleh trauma kepala.

22

DAFTAR  PUSTAKA

1.

Mardjono M, Sidharta P. Sarafotak dan Patologinya. Dalam: Neurologi Klinis Dasar. Penerbit PT. Dian Rakyat. Jakarta. 2000: hal. 114 ± 82.

2. Septinur. Anosmia. Available from : http://septinur.blogspot.com/2010_01_01_archive.html). Acessed : 13/11/2011. 3. Satyanegara. Ilmu Bedah Saraf. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta . 2010 : hal. 2931; 111-112 4.  Netter, Frank H dkk. Atlas of Neuroanatomy and Neurophysiology. Comtan. USA. 2002 5. Guyton and Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 2007 :hal. 697-700. 6. Monkhouse, Stanley. Cranial Nerves Functional Anatomy. Cambridge university Press. 2006. United States of America. 2006: hal.106-8 7. Barker, Roger dkk. Neuroscience at a Glance. Blackwell Science. United States of  America. 2000 : hal.68 8. Shen Jing. Olfactory Dysfunction and Disorder.Available from : http://www.utmb.edu/otoref/grnds/Olfactory-2003-1126/Olfactory-2003-1126.htm. Acessed : 6/12/2011. 9. Gatchum Helen. Anosmia. Available from : Shen Jing. Olfactory Dysfunction and Disorder.Available from : http://www.utmb.edu/otoref/grnds/Olfactory-20031126/Olfactory-2003-1126.htm. Acessed : 6/12/2011. 10. Lindsay,Kenneth dkk. Neurology and Neurosurgery Illustrated. Third Edition. Churcill Livingstone. London. 1997: Hal 137 11. Suherti. Parese Nervus Olfaktorius. Available from : http://dokmud.wordpress.com/2009/10/23/parese -nervus-olfaktorius.html. Acessed:13/11/2011 12. Irwandi. Sistem Olfaktorius. Available from : http://dokterirwandigafima.blogspot.com/2010/07/anatomi-nervus-i.html. Acessed:13/11/2011

23

13. Wilkinson Iain. Essential Neurology. Fourth Edition. Blackwell Publishing. USA. 2005: hal. 112 14. Ropper Alan, Robert. Principles of Neurology. Eight Edition. McGraw-Hill. NewYork: 2005: hal.195-9 15. Goetz Christopher. Textbook of Clinical Neurology. Second Edition. Sauders. United States of America L :2007. Hal. 104-9 16. Suarez Jose. Critical Care Neurology and Neuro surgery. Humana Press. New Jersey : 2004. Hal. 51-2 17. Moore, Anne. Neurosurgery Principle and Practice. Springer. London : 2005. Hal.270-5. 18. Kobayashi Masayoshi dan Richard M.Cintanzo. Olfactory Nerve Recovery Following Mild and Severe Injury and The Efficiacy of Dexamethasone Treatment. Available from : http://chemse.oxfordjournals.org/content/34/7/573.full. Acessed : 6/12/2011.

24

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF