Neo Al-maun Tauhid Sosial
March 17, 2017 | Author: nur kholik | Category: N/A
Short Description
Download Neo Al-maun Tauhid Sosial...
Description
NEO AL-MAUN: TAUHID SOSIAL UNTUK PEMIHAKAN DAN PEMBERDAYAAN DI TENGAH ARUS GLOBALISASI Zakiyuddin Baidhawy Pendahuluan Jumlah kaum dhuafa dan mustadh`afin dalam satu dekade terakhir terus tumbuh dan meningkat lebih-lebih setelah periode krisis ekonomi yang meluas. Reformasi tanpa arah jelas menambah ruwet penyelenggaraan negara untuk menyejahterakan warganya. Keadaan semacam ini membuat populasi kaum tertindas dan termiskinkan terus meluas. Orang-orang miskin di perkotaan maupun pedesaan semakin tertekan dan tidak punya cukup kemampuan untuk melompati gerbang harapan (treshold of hope) yang membawa mereka lepas dari jurang kemelaratan dan penindasan struktural. Dominasi dan hegemoni sistem ekonomi-politik neo-kapitalis sama sekali tidak memberi kesempatan bagi mereka untuk menentang ketidakadilan sekaligus melakukan perubahan. Nasib mereka makin terjepit. Kesengsaraan dan deprivasi sistemik semakin terasa setidaknya dalam beberapa hal berikut ini. Pertama, Orang-orang miskin dibuat mati menyedihkan karena kelaparan dan gizi buruk justru terjadi "di lumbung padi" sendiri. Ada "busung lapar di pusat penghasil padi terbesar" di wilayah Indonesia bagian tengah. Pada saat yang sama, penyakit "lapar korupsi" juga terus menjangkiti para pejabat di Nusa Tenggara Timur, di mana angka penderita gizi buruk dan busung lapar sangat tinggi. Kematian satu jiwa adalah tragedi. Sayangnya, di negeri ini kematian banyak jiwa lebih dipandang sebagai angka statistik, meminjam Stalin. Akankah kemiskinan dan kematian akibat kelangkaan kebutuhan dasar dan pelayanan kesehatan yang mendera sebagian saudara kita, dibiarkan seperti adanya? Tidak ada jaminan dari negara atas pemenuhan 1
kebutuhan hidup minimum bagi orang miskin. Mereka yang hidup dibawah garis subsistens ini "harus" terus sehat. Jangan sakit, karena obat mahal, jasa dokter setinggi langit. Kartu jaminan kesehatan bagi kaum miskin bukan jaminan atas pelayanan medis yang memadai. Boleh jadi, justru merupakan pangkal diskriminasi. Kedua, situasi deprivasi orang-orang miskin bukan semata pada urusan perut dan kesehatan. Untuk jadi orang melek huruf sekalipun mereka sulit setengah hidup. Kasus-kasus siswa-siswi gantung dan bunuh diri karena malu menunggak SPP, tidak mampu bayar iuran ketrampilan sekolah, belakangan makin kerap terjadi. Negara seolah lari dari tanggung jawab "mencerdaskan kehidupan bangsa" sebagai bagian dari tujuan luhur negara ini diproklamirkan. Banyak orang miskin tidak sanggup menyekolahkan anak-anaknya secara layak. Angka putus sekolah dari tahun ke tahun terus meningkat. Dalam pada itu, sekolah-sekolah unggulan, terpadu, internasional, berbiaya mahal terus tumbuh bagai jamur. Sebuah paradoks yang mencolok mata. Pendidikan inklusi berbasis pada filosofi education for all. Sayangnya, pendidikan ini tidak termasuk terbuka bagi mereka papa. Pendidikan inklusi bukan untuk orang kere yang berat bayar uang gedung dan SPP. Alhasil, sudah miskin bodoh lagi. Dijamin indeks pembangunan sumberdaya insani negeri ini makin menurun. Ketiga, orang-orang miskin dibuat nelangsa oleh keadaan dan struktur karena mereka tidak punya pekerjaan, kehilangan pekerjaan, atau menjadi setengah pengangguran. Padahal pekerjaan merupakan sarana untuk meningkatkan kesejahteraan hidup setiap warga. Kewajiban negara menyediakan kesempatan yang sama bagi setiap orang dan membuka lapangan kerja bagi yang membutuhkan. Namun, karena demi pertumbuhan ekonomi, bahan bakar minyak (BBM) dinaikkan dalam prosentasi cukup drastis (tahun 2005 dan 2008) disusul kenaikan TDL (2010), jumlah pekerjaan menjadi semakin berkurang. PHK tak terelakkan. Sementara jumlah penduduk usia 2
produktif mesti bertambah. Ratusan ribu sarjana baru lahir tiap tahunnya. Pengangguran intelektual otomatis meningkat. Jumlah pendaftar pegawai negeri membludak. Bursa kerja dikerumuni insaninsan pencari lowongan kerja. Berbekal ijazah sarjana jauh dari cukup untuk memperoleh pekerjaan bagus dengan gaji bagus pula. Ijazah hanya syarat administratif. Selanjutnya sistem koneksi berlaku. Jaringan jauh lebih efektif untuk mengisi lowongan. Nah, mereka yang sekolah tinggi saja sulit dapat kerjaan, lebih-lebih orang miskin sekaligus bodoh dan sakitsakitan. Mereka tidak punya cukup kapasitas, apalagi otoritas. Bekal pengetahuan dan ketrampilan yang minim membuat mereka terus tergilas. Partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan dan mengontrol jalannya implementasi kebijakan jauh panggang dari api. Orang miskin harus puas dengan pekerjaan kasar, dengan upah rendah, jongos yang selalu siap jadi "keranjang sampah" sumpah serapah para majikan kapitalis. Keempat, beribadah menuntut syarat "kemampuan", baik fisik, material, dan psikis. Berpuasa di bulan Ramadan hukumnya wajib bagi Muslim. Di beberapa daerah yang memberlakukan syariat Islam, razia atas orang tidak berpuasa sering dilakukan. Mereka yang tertangkap kebanyakan pekerja kasar, buruh bangunan, kuli panggul, dan tentu saja miskin. Akhirnya Pemda melepaskan mereka. Mereka hutang puasa. Batal puasa harus diganti pada hari lain. Di bulan Ramadan saja mereka sulit berpuasa, apalagi harus bayar puasa di luar Ramadan. Mana tahan. Puasa di lain hari hampir mustahil karena tantangannya jauh lebih berat. Kalau tidak mengganti dengan puasa, bisa diganti fidyah. Namun mana mungkin bayar fidyah, buat makan sehari-hari saja susah minta ampun. Membayar zakat juga ibadah. Tapi apa yang akan dizakati dari orang miskin. Kebutuhan minimal sehari-hari pun sudah senin-kamis. Memberi infak dan sedekah rasanya juga jauh dari kenyataan. Bahkan mereka hidup dari uluran tangan orang lain. 3
Demikian juga menunaikan haji ke tanah suci. Wah, yang ini persis seperti mimpi di siang bolong. Nelangsanya menjadi orang miskin. Sudah jatuh tertimpa tangga, sengsara murakab (berlapis-lapis). Inilah “rukun Islam kaum dhuafa dan mustadh`afin”: harus selalu sehat karena sakit biayanya mahal; siap menjadi "manusia bodoh" karena pintar ongkosnya selangit; menerima kerja kasar dengan upah pas-pasan, karena kerja bagus butuh kolusi dan uang suap; dan marjinal dalam perebutan "kapling surga" karena ibadah butuh modal. Dalam situasi dan kondisi semacam ini, tepat kiranya membincangkan kembali suatu visi al-Maun yang menjadi basis teologis perjuangan sosial yang memihak dan memberdayakan masyarakat akar rumput agar dapat mengentaskan diri dari ketertindasan. Tulisan ini hendak mengapresiasi tentang suatu pandangan betapa pentingnya tauhid sosial berhadap-hadapan dengan tantangan globalisasi yang berhasil melahirkan banyak pecundang dan penindasan sistemik-struktural; juga bagaimana tauhid sosial mampu merespon tantangan tersebut dengan suatu visi keberpihakan baru yang lebih lugas, cerdas, dan bernas. Tauhid Sosial: Asal-usul dan Perluasannya Tauhid
sosial
pengertian
merupakan
tradisional,
perluasan
yang
makna
terbatas
pada
dari
tauhid
dimensi
dalam
uluhiyah,
rububiyah, mulkiyah, dan ubudiyah. Empat dimensi tauhid di muka melukiskan
hubungan
vertikal
antara
hamba
dan
Tuhannya.
Karenanya bersifat pribadi dan individual. Hubungan vertikal ini mulai dari keyakinan bahwa Allah ada satu-satunya yang pantas di-Tuhankan, tiada Tuhan Selain Dia. Tuhan dalam tauhid juga dipercaya sebagai al-Khaliq, Sang Pencipta dan Pemelihara (rabb) seluruh makhluk yang ada di alam semesta. Karena Dia Pencipta seluruh yang ada dan mungkin ada, maka Dia berhak memiliki sekaligus menguasai 4
seluruhnya. Pada akhirnya atas segala keagungan dan kebesaran-Nya sebagai Tuhan, Pencipta dan Pemelihara, serta Penguasa jagat raya, maka Dia adalah Tuhan yang patut dan layak disembah dan menerima puja-puji dari semua makhluk. Inilah yang disebut sebagai hablullah (QS. Ali Imran 3: 103), mengikat dan menyandarkan diri kepada tali Allah, yang juga sering dikenal dengan istilah hablun min Allah (QS. Ali Imran 3: 112). Tauhid sosial sebagai sebuah konsep dan istilah diperkenalkan dan dipopulerkan oleh M. Amien Rais, salah seorang Ketua PP Muhammadiyah, pada muktamar ke-45 di Aceh (1995). Tauhid sosial dipandang sebagai upaya mereformulasi apa yang selama ini menjadi komitmen pendiri Muhammadiyah KH. Ahmad Dahlan, yakni komitmen dan aktualisasi Islam dalam berbagai domain kehidupan masyarakat dalam bentuk amal salih sosial. Tauhid sosial dapat dijadikan sebagai energi
baru,
pemaknaan
baru,
dan
kesadaran
baru
untuk
mengembangkan ijtihad dan langkah-Iangkah monumental untuk pembaruan
Islam
dalam
merespon
tantangan-tantangan
baru
kehidupan umat dan bangsa kini dan mendatang (Nashir, 2007). Benih-benih pemahaman tauhid sosial sebenarnya bisa dirunut dari pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha (tth., vol. 2: 55). Guru-murid ini kali pertama memperkenalkan konsep “dosa sosial” (aldhunub al-ijtima`iyah) ketika mereka menafsirkan sebuah ayat dalam surat Ali Imran 3: 108: “Itulah ayat-ayat Allah. Kami bacakan ayat-ayat itu kepadamu dengan benar; dan tiadalah Allah berkehendak untuk menganiaya (penghuni) alam semesta”. Penafsiran tentang dosa sosial ini lahir dari pemahaman tentang pembedaan antara dua wilayah moralitas. Yang pertama berkaitan erat dengan “moralitas individual” (al-akhlaq al-fardiyyah), moralitas yang berkaitan dengan realitas hubungan vertikal manusia dengan Allah.
Bentuk-bentuk
pelanggaran
atas
moralitas
individual
ini
merentang dari perbuatan syirik, tidak menjalankan amanat-Nya, 5
mendustakan ayat-ayat-Nya, dan tidak bersyukur terhadap nikmatnikmat-Nya serta kealpaan dalam mengurus dan menghargai diri sendiri. Yang kedua berkenaan dengan “moralitas publik” (al-akhlaq al-ijtima`iyyah), yaitu hubungan horizontal. Bentuk-bentuk tindakan pelanggaran atas moralitas ini mencakup antara lain
kekerasan
terhadap sesama manusia, seperti memakan harta anak yatim, melakukan manipulasi dan penipuan, memberikan kesaksian palsu, dan kezaliman terhadap seluruh makhluk yang ada di alam semesta. Seluruh bentuk penyimpangan dan pertentangan atas moralitas individual
akan
berdampak
buruk
terhadap
individu
yang
bersangkutan, dan bentuk pertanggungjawaban yang diminta bersifat pribadi dan tidak dapat dibebankan kepada orang lain. Sementara kejahatan atas
moralitas publik berarti kejahatan atas
manusia. Akibat buruknya
seluruh
akan dirasakan oleh seluruh manusia
termasuk mereka yang tidak berbuat kejahatan sekalipun. Inilah dosa sosial yang juga disebut dalam ayat lain sebagai fitnah (QS. Al-Anfal 8: 25). Al-Alusi (1994, vol. 5: 180-182) mendefinisikan fitnah sebagai musibah yang ditimpakan oleh Allah melalui sunnatullah yang berlaku di alam semesta, kepada orang-orang yang berbuat aniaya sekaligus berlaku umum untuk lainnya. Sebab keberlakuan yang diperluas ini karena mereka yang tidak berbuat aniaya secara langsung, tidak berupaya mencegah dan atau menghentikan “kemunkaran sosial” sehingga harus menanggung risiko atas kelalaian tersebut. Untuk menguatkan penafsirannya ini, ia mengutip sebuah hadis berikut:
َ أ َمر الله تعاَلى ال ْمؤ ْمن ِي:ل َ ْ سو ن ِ ل الل ْ نأ ََ ُ ّ َس ا ُ ن َر َ ْ ِ ُ َ َ َ ه صلعم َقا ٍ ن ع َّبا ِ ْ ن اب ِ َع َ ّ ْ ْ َ َه ب ِع م َو غ َي َْر ِ ُب ي ِ َل َ ي ُ ْ صي َ ِ ب الظال ُ م الل ُ ُ مه ّ ُم فَي َع ْ ِ ن أظهَرِه ُ قّروا ال ٍ ذا َ ْ من ْك ََر ب َي ّ ِ الظال ِم "Dari Ibnu `Abbas bahwasannya Rasulullah bersabda: Allah memerintahkan orang-orang Mukmin agar tidak mendiamkan kemunkaran yang tampak di depan mereka karena (sekiranya itu
6
terjadi) Allah akan menimpakan siksa kepada orang yang berbuat aniaya maupun tidak berbuat aniaya" (HR. Turmudhi).1 Tafsir tentang “dosa sosial” dan “fitnah” di atas pada dasarnya mengintrodusir tentang pentingnya kepedulian Muslim atas problemproblem bersama, masalah-masalah yang terkait dengan kepentingan publik (maslahah `ammah) yang menjadi tanggung jawab sosial. Meskipun penafsiran ini tidak secara khusus (tematik, mawdhu`i) berada di bawah entri akidah atau tauhid karena tafsir mereka itu bersifat tahlili (analitik), namun pemahaman tersebut telah berkontribusi memperluas paham tauhid dalam kerangka hubungan horizontal – manusia dengan sesamanya (hablun min al-nas). Sejatinya apa yang dilakukan oleh Amien Rais ialah reinterpretasi dan revitalisasi teologi al-Maun yang diintrodusir oleh pendiri Muhammadiyah KHA. Dahlan awal abad 20. Amien Rais (1998) menyatakan bahwa yang disebut tauhid sosial ialah dimensi sosial dalam arti seluas-Iuasnya dari "tauhidullah". Tauhid yang memancar dan mengaktual dalam sistem dan proses sosial secara keseluruhan kehidupan umat. Aktualisasi Untuk pemberdayaan jika ditarik ke dalam wilayah kepentingan tauhid sesungguhnya mempunyai banyak dimensi aktual, salah satunya adalah dimensi pemerdekaan atau pembebasan. Di tengah-tengah rutinitas amal usaha dan kejumudan estafet kepempinan nasional di penghujung abad 20, M. Amien Rais (1998) berupaya membumikan tauhid sosial dalam konteks perjuangan 1 Hadis diriwayatkan oleh Turmudzi. Hadis lain yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Qays bin Hazim dari Abu Bakar berkata, aku mendengar Rasulullah bersabda: إن الناس إذا رأوا الظالم فلم يأخذوا على يده أو شك ان يعمهم الله تعلى بعقاب “Sesungguhnya manusia apabila melihat orang berbuat aniaya, lalu mereka tidak menghentikan dengan tangannya atau merasa bimbang, niscaya Allah akan menimpakan siksa kepada mereka semua”. Hadis lain yang agak serupa maknanya diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dari Jarir bahwa Rasulullah bersabda: مهم الله بعقاب ّ م لم يغيروه إل ّ ع ّ مامن قوم يعمل فيهم بالمعاصي هم أعّز وأكثر ممن يعملون ث “Tidaklah suatu kaum yang berbuat kemaksiatan di antara mereka, lalu mereka mendukung dan memperbesar kelompok yang berbuat kemaksiatan, kemudian mereka tidak mencegahnya, melainkan Allah membinasakan mereka semua” (Ahmad bin Hanbal, al-Musnad cetakan al-Halabi, jilid 4 no. 361).
7
politik. Karena itu, sesuai dengan situasi dan kondisi pada saat itu, tauhid sosial memperoleh momentum dalam bentuk perjuangan praksis membongkar kebobrokan regim orde baru yang telah bercokol selama tiga dekade. Dengan menghela gerbong Muhammadiyah, ia mengasah keberanian membuka muka bopeng di balik topeng orde baru. Di saat-saat semua orang tiarap dan diam seribu bahasa menyaksikan kezaliman pemerintahan Soeharto, melalui sidang Tanwir Muhammadiyah di Surabaya, muncul gagasan cerdas perlunya menggulirkan kepemimpinan nasional. Amien Rais menangkap problem krisis kepemimpinan yang diikuti krisis multidimensi. Kejatuhan dan kebebalan bangkitnya perekonomian nasional menjadi semakin haru biru oleh kebobrokan moral yang hampir sempurna, meminjam Syafii Maarif. Kejahatan kerah putih berupa korupsi dan kolusi penguasa-pengusaha lebih terbuka dan terang-terangan. Nepotisme merajalela. Dalam situasi semacam ini dan tarikan politik praktis yang menguat di seputar pergantian rezim, ia memaknai doktrin tauhid sosial sebagai penegasan gerakan purifikasi jilid II. Isu takhayul, bid'ah, dan khurafat (TBC) ditafsir menjadi kultus individu dan KKN. Kultus individu adalah bentuk khurafat dan syirik. Karenanya harus dienyahkan. Korupsi, kolusi dan nepotisme adalah bid’ah bagi penegakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa (clean government) dan tata kelola yang baik (good governance), yang ciri-cirinya adalah bersendikan hukum, akuntabel, demokratis dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Di sinilah kemudian Amien membawa orientasi politik Muhammadiyah berpegang pada perjuangan politik adiluhung (high politic) yang tidak karut marut dalam perebutan jejaring kekuasaan. Doktrin tauhid sosial dari Amien Rais, bagi penulis, menampilkan kesan Faruqian. Karena cara Amien Rais menafsir sejalan dengan gagasan-gagasan Ismail Raji al-Faruqi tentang tauhid sebagai termaktub dalam karyanya Al-Tawhid: Its Implication for Thought and 8
Life (1992). Tauhid mengandung lima prinsip: kesatuan Tuhan (the unity of Godhead), kesatuan makhluk (the unity of creature), kesatuan kemanusiaan (the unity of mankind), kesatuan petunjuk (the unity of guidance), dan kesatuan tujuan hidup (the unity of purpose of life). Kini, kita berada di awal abad 21. Tantangan kemanusiaan yang digaungkan oleh PBB melalui Millenium Development Goals, bertautan erat dengan isu perubahan iklim (climate change) dan pemanasan global (global warming). Yang terakhir hakikatnya memperhadapkan kita pada tantangan ekologis yang semakin berat. Tentu saja, sebagai bagian dari umat manusia, kita membutuhkan energi baru untuk memperluas pemaknaan tauhid sosial dengan mempertimbangkan spesies non-manusia (non-human species) dalam kerangka pikir dan kerangka tindaknya. Spesies non-manusia meliputi sumber daya alam dan lingkungan. Keduanya secara kasat mata kini menghadapi tantangan eksploitasi untuk memenuhi kebutuhan dan utamanya keinginan manusia tanpa batas. Pada asalnya bukanlah hal buruk sejauh kebutuhan dan keinginan tidak membahayakan kelangsungan (sustainability) masyarakat manusia, serta spesies lainnya yang juga mempunyai hak hidup (QS. Al-Rahman 55: 10). Pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan tidak semata berorientasi duniawi dan jangka pendek. Namun juga untuk memastikan kehidupan jangka panjang dan bekerja untuk kesejahteraan ekologis dan kemanusiaan melalui suatu pengurangan dalam pemborosan dan eksploitasi yang tidak penting. Tauhid sosial, karena itu, perlu menetapkan sejumlah prinsip keselamatan ekologis yang berpijak pada sustainability dan investasi masa depan. Prinsip-prinsip itu antara lain sebagai berikut. Pertama, visi masa depan dan kesinambungan generasi.2 Sumber daya yang 2 "Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaknya setiap diri memperhatikan perbuatannya untuk kepentingan masa depan, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu perbuat" (QS. Al-Hasyr 59: 18).
9
berlimpah dapat disimpan dan pada saatnya dapat dialihkan untuk menambah produksi dan distribusi guna memenuhi kebutuhan barangbarang. Keyakinan pentingnya masa depan dan pertanggung jawaban Hari Akhir, dapat mencegah seseorang untuk memperkaya diri melalui sarana-sarana yang haram dan merugikan, dan ini berarti membantu orang lain dengan tidak menyembunyikan batas-batas peluang mereka dan tidak mencabutnya dari mata pencaharian mereka. Prinsip ini mengedepankan suatu perspektif jangka panjang untuk tindakan produktif dan konsumtif manusia terhadap sumber daya tersebut. Tauhid tidak menghendaki individu melupakan kepentingan mereka sendiri, namun karena sumber daya itu terbatas, sebagai khalifah manusia tidak layak bertindak ekstrem untuk menjadi homo economicus dan mengabaikan kelangsungan hidup ekologis dan kemanusiaan secara individual maupun sosial. Kedua, prinsip konservasi lingkungan alam (non-human) dan manusia (human). Prinsip konservasi ini tercermin dalam ungkapan larangan, yakni fasad fi al-ardh dan al-`ayth fi al-ard. Ungkapan fasad fi al-ardh bicara dalam dua konteks: pertama, membincang tentang perlunya proteksi dan jaminan terhadap kehidupan kemanusiaan: “Barangsiapa membunuh seorang manusia bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di muka bumi, maka seolah-olah dia telah membunuh semua manusia. Dan barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia maka seolah-olah ia telah memelihara kehidupan semua manusia” (QS. al-Ma’idah 5:32). Membunuh jiwa bi ghayr nafs adalah menghilangkan kehidupan seorang manusia tanpa sebab yang mewajibkan qisas atau tanpa sebab berbuat kerusakan di muka bumi yang dapat mengganggu keamanan dan ketentraman (al-Zuhaily, 1998, vol. 6: 156). Pembunuhan semacam itu layak dipandang sebagai membunuh semua orang karena di hadapan Allah tidak ada perbedaan antara orang
10
perorang, musuh bagi satu orang adalah musuh bagi masyarakat manusia secara menyeluruh. Demikian juga dengan perusak alam dan lingkungan hidup, mereka adalah “pembunuh” kehidupan ini. Sebaliknya orang yang menghidupkan manusia lain adalah mereka yang mengharamkan pembunuhan atas manusia atau mencegah terjadinya pembunuhan. Tindakan mereka itu merupakan wujud pemberian kehidupan bagi semua manusia dengan cara memperluas jaminan keamanan dan ketentraman. Demikian pula para pejuang lingkungan adalah para “mujahid” yang telah menyelamatkan kehidupan bagi semua makhluk di muka bumi. Jadi ada dua manifesto yang dapat disebutkan di sini: perlindungan atas hak asasi manusia -jaminan atas kebebasan setiap individu manusia untuk hidup (hifz alnafs)-- sekaligus jaminan atas kehidupan bersama semua masyarakat manusia. Kedua, membincang jaminan kesinambungan lingkungan alam. "Telah tampak kerusakan di darat dan laut disebabkan perbuatan manusia supaya Allah merasakan kepadanya sebagian dari akibat perbuatannya, agar mereka kembali ke jalan yang benar" (QS. Al-Rum 30: 41). Berbuat kerusakan di muka bumi itu banyak macamnya, mulai dari perbuatan syirik, membunuh sesama manusia tanpa alasan yang benar, penguasa tiran yang suka merampas harta rakyatnya, dan seluruh tindakan yang membuat kehidupan di desa-desa dan kota-kota tidak nyaman dan aman bagi penghuninya (al-Qurtubi, 2002, vol. 7: 364-365). Ungkapan al-`ayth fi al-ardh mengemukakan konsep yang juga tak kurang komprehensifnya berkenaan dengan apakah manusia mempunyai otoritas tak terbatas dalam menangani sumber daya alam dan lingkungan. "Dan Syu`aib berkata: “Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu berbuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan” (QS. Hud 11: 85-86). 11
Al-Asfahani (tt.: 333) menjelaskan larangan berbuat kerusakan dalam dua pengertian. Ungkapan wa la ta`thaw sebagai
al-`ayth,
yang
artinya
segala
dapat
tindakan
dimaknai
yang
dapat
menyebabkan kerusakan di muka bumi dan perbuatan tersebut dapat ditangkap secara inderawi atau de facto. Dengan kata lain, meskipun belum ada aturan hukum yang secara eksplisit menyatakan suatu tindakan dapat dikategorikan dalam perbuatan merusak, namun jika pada kenyataannya menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan di muka bumi, maka tindakan tersebut harus dicegah/dilarang. Lebih jauh dapat pula ditafsirkan bahwa suatu tindakan yang secara de jure memperoleh legitimasi, namun bila dari segi dampaknya de facto merugikan, maka tindakan itu juga harus dicegah/dilarang. Ungkapan itu juga dipahami sebagai al-`athi, yakni perbuatan-perbuatan yang jelas dapat dikategorikan dapat menyebabkan kerusakan dan secara de jure termasuk
dalam tindakan pelanggaran atas aturan hukum
yang ada. Pentingnya menjaga sustainability generasi masa depan, dan proteksi atas lingkungan manusia dan alam, memperoleh penguatan al-Qur’an berupa
perjuangan untuk menciptakan kemakmuran dan
kesejahteraan di muka bumi: “Dia telah menciptakan kamu dari bumi dan menjadikan kamu pemakmurnya” (QS. Hud 11: 61). Dengan demikian, tauhid sosial juga memiliki kepedulian untuk menjaga lingkungan secara menyeluruh –kemanusiaan dan alam– demi terpeliharanya kesinambungan generasi dan menyelamatkan masa depan melalui tindakan pemakmuran bumi dan mencegah kerusakan baik secara de facto maupun de jure. Tauhid Sosial: Ancangan Paradigmatik Menurut penulis, tauhid sosial kontemporer terlebih dahulu memerlukan pembaruan epistemik. Kerangka epsitemik yang
12
sistematik dan jelas dapat memandu untuk mengadaptasi tauhid sosial berhadapan dengan isu-isu yang berkembang. Karena itu, penulis mengusulkan penggunaan nalar profetik-transformatif (al-`aql alnubuwwah wa al-taghyir) dan model tafsirnya yang menggabungkan pendekatan bawah-atas secara emansipatif-reflektif. Tauhid sosial bersandar pada paradigma profetik. Karena itu Nabi Muhammad adalah modelnya. Penamaan paradigma ini sudah diperkenalkan oleh M. Iqbal, intelektual dan cendekiawan Muslim Pakistan. Ia membedakan antara kesadaran profetik (prophetic consciousness) dan kesadaran mistik (mystical consciousnes). Berpangkal pada pengalaman mi’raj, Nabi tidak menenggelamkan dirinya sebagai mistikus yang hanyut dalam asyik masyuk perjumpaan dengan Tuhannya dan tidak kembali ke bumi. sebaliknya, dengan kesadaran penuh beliau kembali ke bumi untuk melakukan perubahan sosial guna mengubah jalannya sejarah (Iqbal, 1981: 124). Tampaknya Kuntowijoyo (1991: 288-289) menyetujui paradigma ini. Menurutnya, Nabi Muhammad telah memulai suatu transformasi berdasarkan citacita profetik. Ia juga menyebut ilmu sosial Islam sebagai ilmu sosial profetik dengan metodologi ilmuisasi Islam, bukan islamisasi ilmu pengetahuan sebagaimana ditawarkan oleh al-Faruqi, yang diikuti oleh M. Amien Rais. Penulis memahami bahwa pada hakikatnya nabi dan rasul merupakan teorisi sekaligus praktisi tauhid sosial. Mereka mengajarkan tentang (dan memberi teladan) ketidaktakutan untuk mengkritik masyarakat di zamannya; sekaligus memberikan visi tentang masyarakat masa depan yang adil, rasional, dan sejahtera; dan mereka terlibat menjadi agent of social change par excellent. Secara garis besar dapat disebutkan tiga ajaran sosial profetik sebagai berikut: Pertama, mereka menentang penindasan, ketidakadilan dan eksploitasi orang miskin, mustadh’afin, minoritas, dan kelas pekerja dalam berbagai bentuk dan motif. Kedua, secara 13
normatif mereka mengartikulasikan teori masyarakat yang benar sebagai alternatif dan jawaban realistik untuk zamannya. Ketiga, mereka terlibat dalam kehidupan masyarakat dan berpartisipasi dalam aksi sosial yang bertujuan mengubah masyarakat. Menurut kacamata posmodernisme, mode of thinking semacam ini disebut sebagai dekonstruksi kreatif. Tiga ajaran sosial di muka disebut sebagai paradigma profetik yang merupakan kesatuan dari: teori kritik sosial (naqd al-ijtima`iy), yakni kritik yang konsisten, sistematik, komprehensif dan koheren terhadap masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat dalam lapisan kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politik; teori normatif sosial mengartikulasikan dan menawarkan suatu model masyarakat di mana penyakit-penyakit sosial dapat dieliminasi; dan transformasi praksis sebagai strategi aksi sosial yang bertujuan untuk mengubah, mereformasi, dan atau mentransformasi masyarakat secara rasional, adil dan benar. Paradigma profetik mendorong tauhid sosial menjadi tauhid yang “memihak”. Karena itu tauhid sosial tidak netral, selalu terkait dengan nilai-nilai. Maka penting untuk dipahami bahwa gerak spiral tauhid sosial mesti dimulai dengan teori kritik yang kritis – bukan tradisional -atas tatanan masyarakat yang sedang berjalan. Meminjam penjelasan Horkheimer (1968), teori kritis memiliki perbedaan karakter dari teori tradisional.3 Teori kritis menggunakan metode dialektika terbuka yang 3 Dalam pemahaman tradisional teori adalah perumusan prinsip-prinsip umum dan akhir yang melukiskan dan menginterpretasikan realitas. Maka teori tidak lain adalah keseluruhan proposisi tentang sesuatu. Ada keterpaduan di antara proposisi-proposisi itu yang terdiri dari beberapa proposisi dasar dan turunan. Horkheimer mengkaitkan lahirnya teori tradisional ini dengan Descartes yang berusaha mencapai proposisi-proposisi umum dengan cara kerja deduktif berdasarkan metode ilmu pasti. Metode ilmu pasti ini hendak digunakan dalam ilmu-ilmu pengetahuan yang lain. Teori tradisional memisahkan fakta dari nilai dan hanya menganalisis fakta dengan hukum-hukum dan metode-metodenya. Teori tradisional netral terhadap fakta di luar dirinya. Oleh karena itu teori tradisional itu bersifat ideologis: Pertama, sikap netral melestarikan keadaan yang ada. Kenetralan berarti tidak mempertanyakan realitas, tetapi hanya menerima dan membenarkannya. Maka toeri tradisional berlaku sebagai ideologi yang melestarikan kenyataan itu. Kedua, sifat teori tradisional itu a-historis: dengan memutlakkan ilmu pengetahuan universal, teori tradisional melupakan masyarakat dalam proses historisnya. Dengan cara ini teori merupakan penipuan ideologis karena menutupi kenyataan bahwa ilmu pengetahuan hanyalah salah satu aktivitas dalam masyarakat. Ketiga, teori tradisional memisahkan teori dengan praksis. Tidak dipikirkan implikasi 14
mempunyai kekuatan kritis karena pemikiran dialektis mencari kontradiksi-kontradiksi di dalam masyarakat konkret. Teori Kritis hendak memberi kesadaran bagi pembebasan manusia. Fungsinya emansipatoris. Sesuai dengan karakter teori kritis, maka kritik sosial dalam tauhid sosial bercirikan: pertama, kesadaran kritis terhadap masyarakat aktual. Dengan kacamata ini, tauhid sosial perlu melakukan pembongkaran atas topeng-topeng sosial yang digunakan untuk menutup-nutupi manipulasi, ketimpangan dan kontradiksi-kontradiksi dalam masyarakat. Kedua, berpikir secara historis dan berpijak pada proses masyarakat yang historis. Tauhid sosial berakar pada situasi pemikiran dan situasi sosial tertentu. Ketiga, bersifat kritis terhadap dirinya sendiri. Maksudnya, tauhid sosial menyadari risiko bahwa setiap kritik sosial yang dikemukakannya sangat mungkin jatuh ke dalam salah satu bentuk kecenderungan ideologis, karenanya ia perlu mempertahankan kesahihannya melalui evaluasi, kritik dan refleksi terhadap dirinya sendiri. Terakhir, teori dengan maksud praksis. Artinya tauhid sosial merupaka serangkaian teori – kritik sosial dan normatif sosial -- yang tidak memisahkan dirinya dari praksis. Karena itu tauhid sosial dibangun justru untuk mendorong transformasi masyarakat dan transformasi masyarakat itu dilakukan hingga ke tahap praksis. Jadi, tauhid sosial merupakan komitmen praksis pemikirpemikir kritis di dalam sejarahnya. Paradigma profetik dan tiga ajaran sosial di muka memandu arah perubahan sosial dalam sistem masyarakat. Masyarakat sebagai sebuah sistem terdiri dari lima sub sistem yang menopangnya: sub sistem politik, ekonomi, sosial, budaya, dan personalitas. Yang termasuk ke dalam sistem politik ialah negara, pemerintahan, partai sosial dari teori. Maka teori tradisional tidak bertujuan mengubah keadaan, malah melestarikan status quo masyarakat.
15
politik, dewan perwakilan, peradilan, birokrasi, pemilihan umum, dsb. Sistem ekonomi mencakup pembagian kerja, dunia kerja bisnis enterprise, sistem perbankan, finansial publik, organisasi perusahaan, distribusi kekayaan dan pendapatan nasional, dst. sosial melingkupi keluarga, hubungan dan jaringan kekeluargaan, persahabatan dan sebagainya. Sistem budaya meliputi institusi keagamaan, institusi pendidikan, organisasi ilmiah, organisasi seni, dll. Dan sistem personalitas mencakup tipe personal yang dilahirkan oleh masyarakatnya, pola-pola akulturasi, sosialisasi dan motivasi yang diinginkan oleh masyarakat terhadap individu anggotanya untuk menginternalisasi dan menerimanya dengan tujuan agar setiap diri setia untuk merealisasikan nilai-nilai dan tujuan masyarakatnya. Gambar 1: Paradigma Profetik
NABI SEB MODE
Berpijak pada tiga ajaran sosial di atas, nyata bahwa tauhid sosial pertama sekali berpijak pada situasi konkret eksploitasi, pemiskinan,
dan penindasan (burhani). Dalam situasi semacam ini, para eksponen
16
tauhid sosial menemukan bahwa perjuangan aktual demi keadilan (jihad) sebagai kacamata untuk “membaca ulang” dan “memperdengarkan kembali” kitab suci (al-Qur’an) dan tradisi (sunnah) yang membuat mereka mempu melihat dan mendengar sesuatu yang sebelumnya tersembunyi (unthinkable, meminjam M. Arkoun). Praksis bukan semata petunjuk bahkan menyatakan pemahaman, keterlibatan aktif dan setia dengan perjuangan demi keadilan dan kesejahteraan kemanusiaan dan ekologis. Jadi, komitmen atas praksis sosial yang profetik-transformatif senantiasa mendahului refleksi teologis (bayani), dan menjadi obyek dari refleksi teologis, dan sekaligus menilai refleksi teologis. Praksis sosial ini, baik sebagai titik berangkat maupun sebagai realitas yang terus berjalan menjadi fondasi bagi tauhid sosial. Tauhid sosial tidak memulai dari percakapan atau wacana tentang doktrin atau ritual, bukan doa atau meditasi, meskipun upaya-upaya akademik dan spiritual merupakan komponen integral di dalamnya. Manifestasi tauhid sosial dimulai pada level pembebasan (liberasi, nahy `an al-munkar). Upaya ini bermaksud untuk menemukan realitas dan contoh-contoh konkret dari penderitaan sebagai akibat penindasan kemanusiaan dan ekologis yang dihadapi oleh eksponen, baik sebagai manusia biasa atau orang beriman. Secara partisipatoris mereka berusaha membuat penekanan mengenai realitas kemiskinan, kelaparan, eksploitasi kemanusiaan dan kebinasaan lingkungan. Ini merupakan pekerjaan yang kompleks. Meski membutuhkan berbagai analisis dan pembacaan ulang, namun pasti ini akan menghasilkan suatu konteks dan atmosfer, sensitivitas baru sebagai basis untuk memahami korban sekaligus diri sendiri dengan cara baru. Penganjur tauhid sosial membutuhkan prasyarat dalam tindakan memahami realitas, yakni empati. Empati adalah syarat yang memungkinkan untuk memulai perjumpaan dengan orang-orang dari berbagai komunitas yang menjadi korban penindasan dan merasa haru 17
terhadap mereka yang menderita atau bumi yang merana. Merasa demi orang lain, dan bangkit humanitasnya, suatu kebangkitan yang diwarnai oleh pengalaman dan keyakinan agamanya. Empati ini akan mempertemukan dua pihak – antara aku yang merasa terharu dengan korban yang menderita—dan sekaligus juga bertemu dengan mereka yang memiliki empati serupa. Empati membuat mereka bersaudara dan membawa kepada solidaritas komunitas (ihsan). Untuk dapat merasa bersama dan untuk orang lain yang tertindas, dibutuhkan perasaan yang mendalam dan sejati (‘irfani). Perasaan ini bukan hanya menyentuh sensitivitas namun juga respon kita. Merasa dengan sungguh-sungguh akan mendorong konversi, yaitu pengalaman bahwa kehidupan ini mesti berputar dan berubah. Konversi ini memanggil nurani kita untuk melakukan sesuatu terhadap penindasan dan ketidakadilan yang dipikul korban secara bersamasama. Pada tahap ini empati telah mendorong kita untuk merasa terkonversi sebagai korban dari ketidakadilan dan bagaimana menjadi korban langsung. Inilah yang membuat pertemuan pikiran dan hati untuk bicara dan terpanggil untuk melakukan perubahan, melakukan sesuatu untuk mengatasi kelangkaan sandang pangan, kekurangan obat-obatan, ketidakpastian masa depan dan harapan, keterbelakangan, kebodohan, dan ketidakberdayaan. Gambar 2: Metode Pembacaan Tauhid Sosial
18
Empati dan konversi membuat kita dapat berhubungan dengan kebutuhan orang lain/korban dan ini sejatinya berhubungan dengan panggilan dari Tuhan Yang Maha Adil. Inilah yang dalam Islam disebut sebagai salah satu manifestasi ‘irfani. Merasa empati terhadap dan konversi atas penderitaan korban adalah sama nilai dan efektifitasnya, jika tidak dapat dikatakan lebih efektif, dengan pengalaman keagamaan melalui doa, ritual, dan meditasi. Dua sikap di atas pada akhirnya menuntun kepada kolaborasi antara penganjur dan korban untuk lebih banyak terlibat dan bergairah dalam mengatasi problem kemanusiaan dan ekologis. Singkatnya, tauhid sosial untuk pembebasan (pemihakan dan pemberdayaan) menghendaki titik berangkat dari fakta untuk dapat menyimpulkan berbagai adanya kemungkinan jalan keluar yang manusiawi dan beradab. Al-Maun sebagai Option for Mustadh’afin Globalisasi dan perubahan iklim menengarai dimulainya suatu masa penuh kekacauan. Keduanya bersumber dari sistem ekonomi
19
l i n e M
dan sistem politik yang gagal. Kita kini hidup dalam suatu masa yang paling “menakjubkan”
sepanjang pengalaman manusia.
Sebagai
suatu spesies, kita sedang menghadapi ancaman bagi seluruh spesies manusia dan non-manusia, peluang sekaligus keniscayaan untuk menerima tanggung jawab dan peran dalam membawa dunia ini agar bekerja untuk semua manusia dan alam semesta. Ada tantangan bersama yang dihadirkan oleh tatanan ekonomi global dan anak kandungnya berupa disintegritas lingkungan dan ketidakadilan. Lebih tepatnya dapat dikatakan ada hubungan antara globalisasi
kapital
dengan
kehancuran
lingkungan
hidup
dan
ketidakadilan. Kejahatan-kejahatan
globalisasi
perlu
secara
terus-menerus
diperbincangkan dan disebarluaskan kepada seluruh penduduk dunia agar mereka melek tentang sisi hitam dari ideologi ini. Globalisasi tanpa arah merupakan kejahatan kemanusiaan karena ia telah merusak tatanan kehidupan melalui pelipatgandaan kemiskinan dan pemiskinan. Ketidakadilan global semacam ini sepertinya merupakan representasi kontemporer dari empat gembong kriminal yang pernah diilustrasikan oleh al-Qur’an: Qarun, Fir`aun, Haman, dan Samiri. Qorun adalah wajah dari rejim neo-liberalisme yang merupakan corong
dari
menindas
kekuatan-kekuatan
banyak
penduduk
ekonomi dunia.
global
Fir`aun
hegemonik
adalah
dan
gambaran
penguasa-penguasa politik yang korup dan dipaksa korup untuk melahirkan
sejumlah
deregulasi-deregulasi
yang
memenangkan
kepentingan-kepentingan kekuatan-kekuatan ekonomi global di atas, melalui forum-forum pertemuan atau konferensi tingkat tinggi kepalakepala negara; juga rejim-rejim nasional dan lokal yang diperalat untuk mendahulukan kepentingan mereka dengan tumbal kepentingan rakyat dan kemaslahatan publik umumnya. Mereka adalah penguasa ”penyembelih” yang kemaruk harta/uang walau harus mengkhianati amanah rakyat yang telah memilihnya. 20
Haman merupakan kaum intelektual ”begundal”
dan teknokrat
tukang yang digaji besar dan diberi kedudukan terhormat oleh para Qarun dan Fir`aun. Tugas suci mereka adalah membuat rasionalisasi dan
justifikasi
atas
segala
kepentingan
dan
kebijakan
yang
menguntungkan rejim ekonomi dan elit penguasa. Mereka juga menciptakan teori-teori pembenaran yang melegitimasi perampasan, perampokan, pencurian atas aset-aset negara, menindas warga negaranya,
dan
mengeruk
keuntungan
sebesar-besar
di
atas
penderitaan penduduknya. Karakter kaum intelektual dan teknokrat tukang
ini
dukungan
mudah atas
dikenali:
mereka
kebijakan
suka
penguasanya
membuat yang
penyataan
sudah
pasti
menyesengsarakan rakyatnya; kerja intelektual dan teknokrasinya ialah melanggengkan kemiskinan dan pemiskinan. Samiri adalah agamawan ”bandit” yang cenderung pro status quo. Mereka suka berdalil, mengutip firman-firman suci namun tujuannya untuk memanipulasi doktrin-doktrin dan hukum-hukum agama untuk eksploitasi terhadap kaum fakir miskin dan mustadh`afin. Melalui cara ini mereka memperoleh keuntungan finansial dan material dari Qarun, Fir`aun dan Haman yang menjadi patronnya. Inilah tipikal agamawan candu, sebagaimana disitir oleh Karl Marx, agama adalah opium bagi masyarakat karena ia meninabobokan mereka dalam kesadaran palsu dan membuat mereka lemah, letih dan lesu gairahnya untuk bangkit melawan kemiskinan, pemiskinan dan penindasan. Upaya memahami kemiskinan-pemiskinan-penindasan dan caracara manusiawi untuk mengatasinya adalah pekerjaan besar. Karena itu, penting dengan
pembahasan tentang beberapa aspek penting
perlunya
transformasi
kebudayaan
dan
terkait
institusi-institusi
dominasi yang bukan hanya merupakan imperatif moral bahkan suatu prasyarat yang harus ada bagi survival bersama. Pemahaman ini sangat mendasar jika kita hendak menjadi agen Islam transformatif yang efektif, beritikad baik untuk menjadi “pejuang anti-kemiskinan” 21
sekaligus “pembela orang-orang miskin”. Pendusta Agama: Ekonomi Kemaruk Ada pertarungan sengit antara Libertarianisme dan Keynesianisme mengenai seberapa besar alam semesta ini memiliki kemampuan untuk menyediakan sumber daya bagi penduduk planet bumi. Kaum libertarian mengklaim bahwa dalam alam ini terkandung sumber daya yang tanpa batas untuk memenuhi semua kebutuhan dan keinginan manusia. Mereka, karena itu, tidak mempertimbangkan sumber daya alam
dan
lingkungan
pendapatan
nasional
sebagai dan
satu
faktor
untuk
pembangunan
menentukan
berkesinambungan.
Sementara itu, kaum Keynesian memandang sumber daya yang tersedia dalam alam ini terbatas
untuk memuaskan kebutuhan dan
keinginan manusia. Paradoksnya, mereka juga tidak memasukkan faktor sumber daya alam dan lingkungan dalam memperhitungkan pendapatan nasional dan pembangunan berkelanjutan. Intinya dua sistem ekonomi kontemporer ini sama-sama mendukung terjadinya eksploitasi dan konsumsi tanpa batas atas sumber daya alam dan lingkungan, yang berakibat pada kelaparan dan kekurangan gizi bagi ratusan juta umat manusia. Konsumsi manusia modern telah menghabiskan kapital alam, baik kapital yang tidak dapat diperbarui (non-renewable capital), seperti bahan
bakar
minyak
fosil,
dan
kapital
yang
dapat
diperbarui
(renewable capital), seperti hutan, perikanan, tanah, air, dan sistem iklim. Sekitar 85% dari kapital yang tersisa telah diambil alih oleh 20% orang yang beruntung dari penduduk dunia untuk mendukung pola konsumsi yang seringkali boros dan berlebihan. Sekitar 20% penduduk dunia yang tidak beruntung harus berjuang keras untuk tetap survival dengan kapital lebih dari 1%. Sayang sekali, kebanyakan
orang lupa tentang implikasi yang
sesungguhnya dari kesenjangan dan ketidakadilan karena mereka 22
mabuk oleh cara berpikir tentang uang sebagai kekayaan. Uang adalah klaim tentang kekayaan. Hanya angka yang ada dalam otak sebagian besar penduduk dunia sekarang ini. Gambaran berikut menunjukkan suatu sistem ekonomi kemaruk yang beraliansi dengan kepentingankepentingan
korporasi,
daripada
aliansi
dengan
kepentingan
kemanusiaan dan lingkungan alam. Trio lembaga-lembaga Bretton Woods – World Bank, IMF, WTO -adalah pemain
utama
dalam menuliskan aturan-aturan ekonomi
global yang sesuai dengan konsentrasi kekayaan dan kekuasaan. Ketiganya mengklaim berdedikasi untuk menghilangkan sebab-sebab kemiskinan. Namun, coba perhatikan kebijakan-kebijakan dan aksi-aski mereka yang keblinger, memandang
suatu negara ideal adalah
negara yang aset-aset dan sumber dayanya dimiliki oleh korporasi asing
yang
memperoleh
memproduksi foreign
untuk
exchange
ekspor
guna
dengan
membayar
tujuan
untuk
hutang-hutang
internasional. Negara ideal menurut mereka adalah yang tidak memiliki jasa layanan publik. Energi listrik, air, pendidikan, pelayanan kesehatan, jaminan sosial dan jasa keuangan semuanya dimiliki dan dijalankan oleh korporasi asing untuk mengeruk profit atas dasar bayaran berbasis layanan. Makanan dan barang-barang lain untuk konsumsi domestik semuanya diimpor dari luar dan membayarnya dengan uang yang dipinjam dari bank-bank asing. Apa yang ada dalam otak trio Bretton Woods kemaruk ini bukan tentang pemenuhan kebutuhan-kebutuhan penduduk, apalagi orangorang miskin. Otak mereka hanya bicara mengenai konsentrasi kekuasaan
secara
leluasa
di
tangan-tangan
lembaga-lembaga
keuangan global yang mengendalikan korporasi-korporasi yang terus memonopoli sumber daya dunia, pasar, pekerjaan, informasi, uang, dan politik untuk tujuan-tujuan mereka sendiri. Sistem semacam ini tak dapat dimungkiri telah merampas kekayaan dan kekuasaan dari mayoritas ke minoritas;
menciptakan 23
konsentrasi kekayaan dan kekuasaan yang terus meningkat, sehingga mendorong gaya hidup extravagan yang mubadzir, boros dan sia-sia pada sebagian kecil orang,
dan pada saat yang sama
melahirkan
deprivasi dan perbudakan bagi bilyunan orang; dan mempercepat kehancuran kekayaan alam yang telah merampas kehidupan bilyunan penduduk bumi. Kecenderungan semacam ini akan menjegal nasib umat manusia jika dibiarkan terus berlanjut. Shalat yang Memihak Gambaran seperti di atas menyerupai, meski dengan representasi yang lebih sederhana, konteks historis turunnya surat al-Maun. Sebagaimana trio Bretton Woods, symptom masyarakat Mekkah pra Islam mengenal “trio jahiliyah” – Abu Sufyan, Abu Jahl, dan al-`Ash Ibn Walid (Shihab, 2002: vol. 15, 545). Mereka adalah tokoh-tokoh yang memiliki sifat kemaruk harta dan kekayaan dan gemar berfoya-foya secara mencolok di hadapan mayoritas penduduk yang miskin dan serba kekurangan. Mereka juga tidak memiliki kepekaan sama sekali atas ketertindasan kaum papa. Kutukan sebagai “pendusta agama” ditujukan kepada individu, kelompok, dan sistem yang apatis dan tidak memiliki solidaritas sosial atas kaum mustadh`afin. Karakteristik yang mudah dikenali pada diri mereka
adalah
suka
menghardik,
menakut-nakuti,
mengancam,
menindas individu, kelompok, masyarakat dan negara “yatim” yang tidak berdaya secara sosial, ekonomi dan politik; mereka juga tidak peduli kepada kemiskinan dan pemiskinan; bahkan mereka sendiri pelaku pemiskinan dan penindasan atau kompradornya; melakukan “pembiaran” (yutm) atas kemiskinan dan pemiskinan; serta tidak berdiri dalam posisi memihak kepada kaum dhuafa. Hal serupa berlaku bagi kaum agamawan, kaum Muslim yang rajin melakukan shalat lima waktu sehari semalam. Shalat mereka tidak menyelamatkan diri mereka sendiri dari api neraka pada hari akhir, 24
karena toh mereka juga tidak berbuat apa-apa, tidak menyelamatkan orang lain yang yatim dan miskin selama hidup di dunia. Ini merupakan sifat “shalat yang mencelakakan” sebagai akibat mereka “lalai, abai” terhadap problem kemiskinan dan penindasan yang kasat mata di hadapan mereka. Kaum agamawan dan para penegak shalat yang celaka adalah juga mereka yang “menghalangi, menghambat” individu, kelompok, atau sistem yang berusaha memberikan bantuan, pertolongan dan pemberdayaan kepada kaum miskin. Oleh karena itu, perlawanan atas sistem yang rakus dan menindas hanya dapat muncul dari kesadaran keagamaan dan “shalat yang memihak”, yakni shalat yang memihak keadilan dan demokrasi – hak setiap orang untuk bicara dan hak atas sarana-sarana kehidupan dan penghidupan. Siapa yang berjuang untuk mempertahankan kehidupan dari
regim
perompak,
memberikan
bantuan
karitas,
dan
pemberdayaan kapasitas dan otoritas kepada kaum miskin, itulah dia yang “shalatnya menyelamatkan” kemanusiaan, ia mujahid antipemiskinan dan pembela kaum miskin; ia juga siap mati syahid dalam membela
hak-hak
kaum
miskin
dari
para
begundal
kapitalis-
neoliberalis dan kaki tangannya yang “jahil murakab” (triple idiots). Al-Takathur:
“Kapitalisasi”
untuk
Pemihakan
dan
Pemberdayaan Visi keberpihakan terhadap kaum duhafa dan mustadh`afin sebagaimana tersurat dalam al-Maun berhubungan erat dengan alTakathur. Pertama, karena surat al-Maun itu sendiri secara kronologis turun sesudah surat al-Takathur. Kedua, secara substantif ada kesamaan pesan yang menegaskan larangan bersikap dan bertindak “abai, lalai, dan lengah, leha-leha” dalam hal kapital dan kepedulian terhadap sesama yang membutuhkan. Al-Takathur
sendiri
secara
harfiah
bermakna
“menumpuk,
memperbanyak, menimbun” sesuatu. Secara maknawi mengandung 25
beberapa hal antara lain: al-takathur secara alamiah merupakan sifat manusiawi oleh karena setiap individu memiliki kecenderungan untuk menumpuk
harta/kekayaan
sebanyak-banyaknya;
secara
hukum,
menumpuk harta dan kekayaan adalah diperkenankan (mubah), karena dianjurkan agar setiap orang berkecukupan secara ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya, dan tidak memintaminta; al-takathur secara sistem merupakan aktivitas “kapitalisasi” melalui proses dan prosedur yang berlaku dan terjaga keadilannya. Ketika prasyarat ketiga ini tidak terpenuhi, maka al-takathur telah menjerumuskan diri pada regim “kapitalisme”, yang cirinya antara lain: selalu suka “menumpuk dan menimbun” harta/kekayaan untuk kepentingan sendiri bahkan dalam situasi krisis dan kelangkaan, termasuk di dalamnya tindakan memonopoli barang dan atau jasa; senantiasa senang “menghitung-hitung” harta/kekayaan dan untung rugi dari bisnisnya dari perspektif materialistik semata; dan percaya bahwa harta/kekayaan itu abadi dan mengekalkan sehingga abai terhadap kewajiban-kewajiban yang harus dibayarkan kepada mereka yang berhak menerimanya (QS. Al-Humazah 104:2-3). Ciri lain yang tak kalah pentingnya adalah bahwa kapitalisme yakin terhadap “persaingan bebas” antara dua atau lebih patron melalui cara-cara yang tidak manusiawi dan tidak beradab. Al-Takathur yang dibenci dan harus dilawan adalah regim yang membuat banyak orang – terutama kaum miskin dan papa – tersungkur, merasakan penderitaan yang mendalam, sampai-sampai banyak di antara mereka menemukan ajal dan terkubur (maqabir, terpinggirkan, termajinalkan) baik secara sosial, ekonomi, maupun politik. Regim semacam ini merupakan manifestasi dari al-Takathur yang “bego, lengah” atas kesengsaraan dan deprivasi yang dirasakan sebagian besar umat manusia. Oleh karena itu, sejalan dengan visi keberpihakan dari al-Maun, alTakathur yang rasional-bertujuan adalah kapitalisasi yang peduli 26
kepada kemiskinan dan ketertindasan, serta diabdikan untuk membela dan memberdayakan kaum miskin dari kemiskinan karitas, kapasitas dan otoritas mereka, dan bukan semata-mata kapitalisasi untuk pelipat gandaan modal itu sendiri. Dengan demikian dapat dipahami bahwa visi al-Takathur adalah kapitalisasi atau penumpukan modal dalam kerangka
filantropi
ekonomi, sosial, dan politik. Filantropi ekonomi di sini merujuk pada upaya pengumpulan modal dari berbagai donasi wajib dan sukarela – zakat,
infak,
sedekah,
mengembangkan kehidupan
dan
wakaf
kemandirian,
perekonomian
kaum
–
yang
keswadayaan, miskin
dan
bertujuan dan
untuk
swakelola
tertindas,
serta
meningkatkan ketrampilan hidup dan kapasitas mereka. Filantropi sosial merupakan kapitalisasi dalam kerangka pengentasan kaum mustadh`afin dari marjinalisasi sosial, seperti pengucilan di mana mereka mengalami diskriminasi dan stigma, dan dipaksa untuk terlibat dalam aktivitas ekonomi dan relasi sosial yang memelihara mereka agar tetap miskin. Sedangkan filantropi politik adalah upaya kapitalisasi yang bermaksud
untuk
membebaskan
kaum
miskin
dari
marjinalisasi
partisipasi, marjinalisasi hak-hak asasi, dan marjinalisasi perlindungan hukum. Inilah yang dimaksud dengan kapitalisasi untuk pemihakan; altakathur untuk menegakkan visi al-Maun. Visi semacam ini hendaknya tergambar dalam setiap amal usaha dan layanan sosial yang dibangun oleh komunitas keagamaan, komunitas Muslim. Artinya, sebuah amal usaha dan layanan sosial – baik dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan kemaslahatan publik lainnya – bukan berorientasi profit. Lembagalembaga ini perlu dikelola dengan manajemen yang baik agar tetap dapat survival dan sustainable. Sustainabilitas lembaga ini di samping ditopang dengan pemanfaatan donasi filantropi, juga keuntungan dari layanan yang diberikan. Marjin keuntungan yang diperoleh disisihkan untuk membantu mereka yang kurang beruntung. Dengan cara ini, lembaga-
27
lembaga amal usaha dan layanan sosial tetap bertahan hidup dengan tetap teguh memegang visi pemihakan, pembelaan, dan pemberdayaan kepada kaum miskin. Dengan kata lain, al-Takathur hanya dapat terselamatkan bila ia melandaskan diri pada solidaritas dan keberpihakan al-Maun; “keuntungan mengabdi kepada kebajikan”.
Ummah Wasath: Pejuang Keadilan dan Kemanusiaan Ide tentang pemihakan dalam kerangka tauhid sosial juga ditunjukkan melalui ungkapan ummah wasath. Secara
bahasa wasath adalah
sesuatu yang terletak diantara dua ujung. Kata ini tertulis sebanyak 5 kali dalam al-Qur’an. Merujuk pada makna yang dikandung dalam ayat-ayat al-Qur’an, wasath mencakup tiga pengertian yaitu: Pertama, tengah-tengah (QS.Al-Baqarah 2:238). Kedua, adil (QS.Al-Baqarah 2:143): “Dan demikian pula kami telah menjadikan kamu umat yang adil dan terpilih agar kamu menjadi pejuang atas nama kemanusiaan dan agar Rasul menjadi saksi atas kamu.” Wahbah al-Zuhayli (1998: vol. 2, 14-15) menjelaskan al-wasath dalam ayat ini dengan menyatakan bahwa umat Muslim adalah umat yang adil dan cinta keadilan, yang pada hakekatnya melukiskan suatu keadaan yang terbaik dan terpuji dalam hal anugerah, ciptaan, syariat, hukum, ibadah, keistimewaan dan fitrah. Umat muslim disebut sebagai ummah
wasath
karena
mereka
mengutamakan
prinsip
equilibrium/keseimbangan (al-tawazun) antara kebutuhan jasmani dan rohani,
antara
kemaslahatan
dunia
dan
akhirat;
mereka
juga
berlomba-lomba untuk menjadi kaum yang moderat dan tawassut dalam
arti
memberikan
hak
kepada
yang
berhak
menerima,
melaksanakan segala hak dan kewajiban dalam suatu konstruk kehidupan sosial baik untuk kepentingan yang berjangka pendek maupun berjangka panjang. Karena sifat al-wasath dan al-‘adl itulah umat Muslim disebut sebagai ummat wasath (al-Maraghi, 1994.: vol. 2,
28
5-6). Sementara Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha dalam al-Manar (tt., vol. 2, 4-5) memaknakan wasath sebagai keadilan dan keterpilihan. Lafaz wasath digunakan karena mencakup pilihan dan keadilan; dan kaum Muslim tidak suka berlebihan maupun minimalis dalam persoalan-persoalan keagamaan, etika dan praksis sosial. Pendapat yang serupa dengan al-Manar juga dikemukakan oleh Ahmad Mustafa al-Maraghi dalam kitab tafsirnya. Pengertian ketiga dari wasath adalah terbaik (QS. Al-Maidah 5:89): “maka kaffarat melanggar sumpah itu adalah memberi makan sepuluh orang miskin dari makanan terbaik yang biasa kamu berikan kepada keluargamu,
atau
memberi
pakaian
kepada
mereka
atau
memerdekakan seorang budak”. Ditegaskan pula dalam sebuah adagium Arab:”Perkara yang terbaik adalah yang tengah-tengah”. Dari paparan di atas, serta memerhatikan kelengkapan ayat alBaqarah 2:143, nyata bahwa Muslim yang memegang teguh tauhid (sosial) adalah manusia yang memiliki karakter jelas sebagai pejuang radikal untuk menegakkan keadilan dan kemanusiaan (syuhada’ ‘ala al-nas) dengan cara-cara nirkekerasan/moderat. Memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan dengan kesabaran (upaya sistematik) adalah tanda Muslim transformatif. Ketika diperlukan, mereka harus berjuang menegakkan hukum dan kondisi sosial yang sepadan dengan martabat kemanusiaan. Orang beriman tidak punya pilihan. Dalam menghadapi ketidakadilan dan penindasan, ia harus berdiri di hadapan Tuhan untuk menjadi penentang abadi ketidakadilan dan penindasan. Pelanggaran atas hak-hak Tuhan harus dikutuk, dan semua orang yang berkehendak baik harus terlibat dalam memegang dan memelihara hak-hak tersebut sebagai tugas suci. Karena itu pula, keyakinan ini harus mampu membangkitkan para pengikut agama-agama untuk menjadi pelindung aktif terhadap hak-hak individu. Para pejuang militan demi martabat manusia bisa menentang
kejahatan dengan 29
kekerasan, tetapi kekerasan-kekerasan dengan batasan-batasan yang sangat ketat, daripada menggunakannya atas nama keistimewaan taqwa dan sebagai sarana suci untuk mencapai tujuan politik. Qaryah Thayyibah: Membangkitkan Daulat Komunitas Pertanyaan
penting
selanjutnya
yang
mesti
dijawab
ialah
darimana pembumian neo al-Maun harus dimulai? Tentu saja jawaban atas pertanyaan ini dapat mencakup beberapa level pendekatan, baik level negara, komunitas, dan keluarga. Tulisan ini tidak akan mengemukakan pendekatan semua level di atas, namun mencoba sedikit mengelaborasi pendekatan kedua, komunitas, yang dalam bahasa Muhammadiyah disebut dengan ranting. Komunitas
merupakan
basis
sekaligus
sasaran
gerakan
penyadaran dan politik keberpihakan yang dapat dimainkan. Mereka dapat diarahkan menuju basis pengembangan aksi-aksi kemandirian dan anti-penindasan yang dilakukan oleh quartet kriminal – Fir’aun, Qarun,
Haman
dan
Samiri
–
dengan
berbagai
bentuk
dan
manifestasinya. Mempertimbangkan konteks di atas, tentu saja mengagas peran komunitas sebagai basis pemihakan dan pemberdayaan civil society sangat relavan, apalagi bila dikaitkan dengan reformasi politik, ekonomi dan sosial-kultural di negeri ini yang belum menentu arah dan langkahnya. Gagasan penyadaran politik dan aksi-aksi keberpihakan komunitas dalam kerangka civil society memperoleh tempat yang layak. Bila civil society merupakan terjemahan dari visi Islam tentang khayr ummah, yang dulu pernah ditegaskan oleh salah satu kekuatan terbesar civil Islam di Indonesia Muhammadiyah sebagai “masyarakat utama” misalnya, tentu saja ini mencerminkan bahwa gagasan tersebut terikat dengan nilai-nilai keberpihakan kepada mereka yang menjadi korban. 30
Pertama kali perlu disadarkan kepada kekuatan-kekuatan sipil dalam masyarakat bahwa organisasi dan gerakan mereka sudah pasti bukan merupakan masyarakat politik dan bukan pula pasar atau masyarakat ekonomi. Mereka adalah pelaku dari civil society yang bermain dalam ruang interaksi sosial-kultural di antara politik dan ekonomi. Dalam ruang ini mereka hadir dalam bentuk organisasi sukarela sekaligus gerakan sosial yang bekerja mulai dari tingkat keluarga (usrah), komunitas (qaryah), dan jika memungkinkan hingga masyarakat/negara (baldah). Walaupun bekerja di antara ruang politik dan ekonomi, bukan berarti mereka identik dengan seluruh kehidupan sosial
di
luar
administrasi
negara
dan proses
ekonomi
dalam
pengertian sempit. Misalnya, menurut definisi ini, organisasi politik, partai politik dan parlemen, sekaligus organisasi produksi, dan distribusi barang, seperti perusahaan, bentuk-bentuk kerjasama dan kemitraan adalah bukan bagian dari civil society. Mereka tetap memiliki peran politik dan peran ekonomi sebagai pelaku dari civil society itu. Peran itu tidak berhubungan langsung dengan kontrol atas kekuatan politik dan ekonomi, namun lebih muncul sebagai kekuatan yang memengaruhi politik dan ekonomi melalui kehidupan asosiasi demokratis dan diskusi di ruang publik kultural. Patut dicatat bahwa civil society tak terelakkan melalui satu cara atau lainnya dapat memberikan kontribusi terhadap ruang politik dan ekonomi. Dalam
aras
membangkitkan moderasi,
yaitu
multikulturalitas
politik, komunitas
aktualisasi
gerakan
basis
sadar
menegakkan dalam
kehidupan
yang
pluralisme bersama,
neo
akan
al-Maun
pentingnya
dan
menghargai
serta
memelihara
keadaban dalam proses kehidupan bersama. Pluralisme adalah suatu keniscayaan yang tak terelakkan pada tingkat realitas, dan karenanya pada tingkat komunitas dan masyarakat, pluralitas itu niscaya pula menjadi manajemen kehidupan bersama. Dalam aras ekonomi, gerakan neo al-Maun mengaktualisasikan 31
kemampuan komunitas untuk membangun kemandirian, menegakkan keadilan dan kesejahteraan ekonomi. Komunitas basis bukanlah pasar, namun mereka ia dapat hadir dengan misi-misi ekonomi antara lain: Pertama, merintis, memantapkan serta memelihara keswadayaan bagi dirinya sendiri serta lingkungan sekitar di mana mereka
berkiprah.
Kedua, menegakkan keadilan bagi masyarakat dan memihak kepada mereka yang dhuafa dan mustadh`afin. Jelas bahwa penindasan dan pemiskinan
kontemporer
lebih
karena
problem
dan
kebijakan-
kebijakan struktural. Karena itu, komunitas dapat berfungsi lebih tegas sebagai protektor bagi warganya yang menjadi korban. Ketiga, membantu mewujudkan kesejahteraan, baik pada tingkat keluarga maupun komunitas. Untuk memanifestasikan misi tersebut, gerakan neo al-Maun mesti diarahkan untuk mendorong komunitas mampu membangun:
1)
lembaga filantropi yang piawai dalam hal manajemen pengumpulan donasi dan voluntarisme, dan pemanfaatan atau distribusinya secara transparan dan akuntabel, baik dalam jangka pendek maupun panjang; 2) bangkit sebagai artikulator dan advokator bagi kepentingankepentingan kaum mustadh`afin yang menjadi korban pemiskinan dan penindasan struktural, sesuai dengan spirit al-Maun sebagaimana diintrodusir dan dijalankan oleh tokoh-tokoh semacam KHA. Dahlan dan Muhammad Yunus misalnya; dan 3) mereka boleh membangun bisnis yang sehat
dan bertanggung jawab secara sosial dan
lingkungan, dan bukan untuk tujuan semata-mata kapitalisasi. Dalam aras kultural, gerakan neo al-Maun bermain dalam ruang intelektual dan moral, dan menguatkan ideologi keberpihakan. Karena itu misi yang dijalankan dapat meliputi: Pertama, menggali nilai-nilai yang hidup dalam komunitas dalam kerangka pencerahan intelektual dan pencerahan moral (tanwir al-`uqul wa al-qulub) di tengah-tengah masyarakat dan bangsa yang makin tergerus moralitasnya dan mengalami degradasi/krisis spiritual. Komunitas perlu disadarkan akan 32
tanggung jawab untuk mendedah virus korupsi dan kolusi yang telah meruntuhkan
sendi-sendi
kehidupan
bersama,
mengamputasinya
sekaligus menggantinya dengan moralitas baru yang segar dan bercahaya. Kedua, memberanikan
gerakan neo al-Maun sangat diharapkan untuk
komunitas
untuk
menciptakan
resistensi
atas
penindasan atau membuat alternatif sebagai counter bagi hegemoni. Misalnya,
mereka
dapat
membangun
aktivitas-aktivitas
ekonomi
informal yang membuat mungkin terjadinya produksi, distribusi dan pertukaran barang dan jasa. Al-Maun: Masjid untuk Kaum Miskin Masjid biasanya dikenal sebagai tempat ibadah dan hal-hal yang lekat dengan ritual. Dalam konteks tauhid sosial, mestikah masjid tetap dengan fungsi-fungsi konvensionalnya itu? Bagaimana mesjid harus dimaknai dalam lingkaran hermeneutis patologi sosial dan ekologis? Masjid Membangun
adalah epitome Kerajaan Surgawi Tuhan di muka bumi. masjid
berarti
menegakkan
tiang-tiang
penyangga
Singgasana Tuhan di atas dunia. Karena itu, bangunan masjid berarti mewujudkan rumah/surga Allah dalam kehidupan kini dan di sini. Kepemimpinan profetik-transformatif memanifestasi diri dalam bentuk solidaritas komunitas sosial-keagamaan. Masjid untuk
orang miskin
bukan untuk mendramatisir kesengsaraan orang-orang miskin dan tunawisma atas nama agama dan khutbah-khutbahnya, namun untuk memberdayakan mereka dalam proses membangun komunitas yang peduli orang miskin. Sejalan dengan semakin bertambahnya saudara-saudara kita jatuh dalam kemiskinan dan pengangguran, kita sebagai penganut dan pemilik iman harus merengkuh mereka. Hanya dengan mencelupkan diri (sibghah) dalam perjuangan atas kemiskinan
bahwa kita benar-
benar dapat memahaminya dari dalam. Di tengah-tengah kegalauan 33
dan krisis, komunitas dan perlawanan dapat terlahirkan dari sini. Masjid bukan direduksi sekadar tempat ibadah, dzikir individu maupun dzikir massal yang mengeksploitasi air mata, memanjatkan doa-doa, dan pertobatan spiritual. Reduksi fungsional atas masjid semacam ini justru sangat merugikan para ahli ibadah, karena ibadah mereka ibarat
fatamorgana, bayang-bayang tanpa pahala nyata,
karena ibadah mereka digerogoti oleh ketidakpedulian dan nirsolidaritas atas kaum dhu’afa dan mustadh’afin. Bahkan sebaliknya ibadah
tanpa
kepedulian
atas
masalah
kemiskinan
justru
mencelakakan, menciptakan neraka di dunia (wayl). Masjid adalah payung bagi komunitas iman yang harus secara aktif menjelaskan “tanda-tanda zaman” dalam pengertian teologis dan menerjemahkan tanda-tanda itu secara konkret dalam dakwah agama dan komunitas. Jadi, tauhid sosial harus mencoba secara aktif merespon panggilan Allah melalui proses menjadi tanda dan rumah tinggal Allah (baytullah, masjid) di muka bumi. Rumah tinggal atau masjid sebagai tanda menghendaki gerakan dan intervensi Allah di dunia dan bahwa gerakan ini dapat dijelaskan oleh kita. Allah mempertemukan orang-orang di mana mereka hidup dan
berjuang.
Komunitas
dipersatukan
dalam
perjuangan
dan
solidaritas dengan dan untuk orang-orang miskin dan tertindas. Masjid untuk orang-orang miskin tidak hanya mengidentifikasi diri dengan orang-orang miskin dan tertindas, namun juga termasuk partisipasi mereka, pembebasan dan humanisasi, yang dengan cara ini ia dapat menjadi tanda dan benih Rumah Allah di muka bumi. Misi
masjid
harus
mempertimbangkan
tantangan-tantangan
konkret yang dipaparkan oleh sejarah panjang
penderitaan dan
penindasan, sembari tidak meniadakan kebutuhan akan keselamatan. Pada hakekatnya ini berarti bahwa kehidupan Muslim berpusat pada komitmen konkret dan kreatif untuk pelayanan bagi orang lain dan refleksi atas makna transformasi dunia. Penyelamatan semacam ini 34
tidak dapat bersifat individualistik dan eksklusif perhatian pada kehidupan setelah mati, bahkan ia harus muncul dari solidaritas dan “terealisasi dalam bentuk pembebasan dan humanisasi” (amr ma`ruf nahy munkar) dalam ruang dan waktu konkret. Penutup Neo al-Maun adalah sebuah upaya menafsir kembali teologi al-Maun KHA. Dahlan dan tauhid sosial M. Amien Rais. Disebut neo karena interpretasi
ini
mengaktualisasikan memperoleh
berupaya wacana
penekanan;
mencari dan
karena
praksis dalam
ranah keduanya penafsiran
baru yang ini
dalam belum penulis
mencoba menawarkan suatu paradigma dan metode pembacaan atas al-Maun dan tauhid sosial. Cara ini memungkinkan kita untuk melakukan proses pembacaan sesuai dengan konteks ruang dan waktu, serta kebutuhan dan isu-isu kontemporer yang dihadapi. Dengan paradigma dan metode pembacaan itu, siapa pun dapat mencoba membuat tafsiran-tafsiran pada tingkat diskursus, sekaligus perwujudan-perwujudan praksis sosialnya dalam gerakan. Pembacaan itu
juga
dapat dilakukan
sesuai dengan
fokus
yang hendak
dibicarakan, apakah menyangkut persoalan sistem sosial, budaya, politik, ekonomi, dan personalitas. Daftar Pustaka Abduh, Muhammad dan Rasyid Ridha. Tafsir al-Manar. Beirut: Dar alFikr, tt. Al-Alusi, Abu al-Fadl Shihab al-Din. Ruh al-Ma`ani fi Tafsir al-Qur’an al`Azhim wa al-Sab` al-Mathani. Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyah, 1994. Al-Faruqi, Ismail Raji. Al-Tawhid: Its Implications for Thought and Life. Herndon: IIIT, 1992. Al-Asfahani, Al-Raghib. Mu`jam Mufradat Alfazh al-Qur'an. Beirut: Dar al-Fikr, tt. Iqbal, M. Reconstruction of Religious Thought in Islam. New Delhi: Kitab Bhavan, 1981. Kuntowijoyo. Paradigma Islam. Bandung: Mizan, 1991. 35
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsir al-Maraghi. Beirut: Dar al-Fikr, 1994. Nashir, Haedar. “Perspektif Tauhid Sosial Untuk Pemberdayaan Masyarakat”, Suara Muhammadiyah, http://www.muhammadiyah.or.id, 09 September 2007. Al-Qurtubi. al-Jami` li Ahkam al-Qur’an. Kairo: Dar al-Hadith, 2002. Rais, M. Amien. Tauhid Sosial: Formula Menggempur Kesenjangan. Bandung: Mizan, 1998. Shihab, Quraish. Tafsir al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2002. Al-Zuhayli, Wahbah. Al-Tafsir al-Munir fi al-`Aqidah wa al-Shariah wa alManhaj. Beirut: Dar al-Fikr, 1991.
36
View more...
Comments