Nan Gwaenchana
July 11, 2019 | Author: Ayunur | Category: N/A
Short Description
key...
Description
Nan Gwaenchana || jimin by littlevmin * 1. Apakah Ini Mimpi? * 2. Bukan Karena Benci * 3. Jangan Seperti Nene * 4. Jangan Menangis * 5. Kau Boleh Menangis * 6. Ada Yang Salah Pada Suaranya * 7. Es Yang Mencair * 8. Teror Dari Anti Fans * 9. #ArmysWillProtectJimin * 10. Yang Selalu Bersembunyi * 11. Si Merah Yang Mengalir * 13. Aku Pasti Kembali * 14. Park Jimin * 15. Kabar Dari Chicago * 16. Jimin Pulang * 17. Ketika Dunia Mengkhianati
Apakah Ini Mimpi? ~~~~~~~~~~~~~~~~~~ | Nan Gwaenchana | ~~~~~~~~~~~~~~~~~~ Apakah ini adalah mimpi? Kuharap iya. ~ [1] ~ Satu hal yang sampai detik ini Jimin syukuri dalam hidup adalah dapat melihat lautan manusia di depannya yang memegang lightstick yang menyala sambil menyerukan sebuah fanchant. "Kim Namjoon!Kim Seokjin!Min Yoongi!Jung Hoseok!Park Jimin!Kim Taehyung!Jeon Jungkook! BTS!" Mereka tiada lelah. Menyerukan namanya. Berteriak untuknya. Bahkan ada yang menangis untuknya. Tangan mereka yang ringkih tanpa lelah mengangkat lightstick untuk melakukan fanchant hampir di setiap penampilannya. Ada juga beberapa tangan yang yang mengangkat tinggi-tinggi spanduk bertuliskan namanya, dukungan untuknya, dan ungkapan rasa cinta mereka padanya agar dapat dibaca olehnya ketika sedang melakukan penampilan di atas panggung. Sekali lagi, Jimin bersyukur memiliki mereka dan masih dapat melihat mereka hingga detik ini
Commented [U1]:
Anggap saja, mereka adalah vitamin bagi hidupnya. ARMY---para penggemar Bangtan Boys--orang-orang yang Jimin cintai. "Uri Bang---" "---Tan! Kamsahamnida!" Dan tak ada hal yang lebih menyedihkan ketika akhirnya Jimin bersama enam temannya pamit undur diri untuk mengakhiri konser dan menyaksikan ekspresi sedih mereka karena konser sudah berakhir yang menandakan mereka harus berpisah. Setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Jimin tahu hal itu. Tapi entah kenapa, setiap kali ia mengucapkan slogan grupnya untuk mengakhiri konser, berpamitan dengan para ARMY, dan melambaikan tangan untuk mereka, Jimin selalu merasa takut. Ya, takut. Ia takut tidak bisa bertemu lagi dengan mereka---ARMY di penampilan berikutnya. ∆∆∆ "Bagaimana konsernya, Jimin?"
Seokjin bertanya pada Jimin setibanya mereka di backstage, yang lalu dibalas dengan senyuman oleh lelaki yang lebih muda. "Menyenangkan," jawabnya singkat. "Kau terlihat lelah. Ingin kuambilkan air minum?" tanya Seokjin lagi. "Tidak, terima kasih." "Kau butuh sesuatu? Akan kuambilkan untukmu." "Tidak, Hyung." "Atau kau ingin---" "Hyung, jangan perlakukan aku seperti anak kecil," ucapan Jimin membuat Seokjin menelan kembali perkataannya. "Perlakukan aku seperti biasa saja. Aku baik-baik saja." "Lebih baik kau ambilkan air minum untukku, Hyung," tiba-tiba saja Taehyung masuk ke dalam percakapan, membuat Seokjin dan Jimin menoleh padanya. "Aku haus." "Aku kan menawarkan untuk Jimin, bukan untukmu, Taehyung." "Tetapi Jimin tidak membutuhkannya, Hyung, jadi lebih baik untukku saja."
"Sudah jelas dia pasti membutuhkannya." "Dia bilang dia 'baik-baik saja', Hyung. Itu tandanya dia baik-baik saja." Seokjin tak menyahut lagi setelah mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Taehyung. Ia baru saja sadar, bahwa melayani ucapan Taehyung sama sekali tak berguna, maka dari itu ia mengalah dan menuruti ucapan lelaki yang lebih muda itu. Ketika Seokjin pergi mengambil air minum untuk Taehyung, netra Jimin dan Taehyung kemudian ber temu. Hanya sedetik, karena pada detik berikutnya Taehyung memalingkan pandangannya lalu pergi begitu saja meninggalkan Jimin. Jimin hanya memandang punggung Taehyung yang semakin menjauh dengan pandangan sedih sebelum akhirnya ia menundukkan kepala. Dan hal yang paling sedih lainnya bagi Jimin adalah melihat Taehyung yang menghindar darinya. ∆∆∆ Biasanya, usai konser dilaksanakan, para memb er Bangtan Boys akan kembali naik ke panggung. Untuk sekedar menengok saksi bisu atas penampilan hebat mereka di hadapan para penggemar. Tentu saja, para penggemar sudah pulang, hanya menyisakan bangku-bangku kosong
yang baru saja beberapa jam lalu dipenuhi oleh lautan manusia yang memegang lightstick dan spanduk. Kepala Jungkook celingukan. Bukan untuk melihat pemandangan kosong di depannya. Melainkan karena ia mencari keberadaan seseorang. Seokjin dan Yoongi sedang melakukan talk-to-camera pada kamera yang menyoroti wajahnya, biasalah mereka sedang memberi konsumsi untuk para penggemar. Namjoon dan Hoseok saling mengobrol sambil terus berjalan menelusuri sepanjang panggung. Sementara Taehyung dengan tingkah anehnya memainkan isi dari confetti yang memberantaki lantai panggung. Kurang satu orang. Tidak ada Jimin di sana. Lantas Jungkook memutar tubuh, menuruni kembali anak tangga panggung menuju backstage. Dan Taehyung adalah satu-satunya orang yang menyadari kepergian lelaki yang lebih muda darinya itu, sebelum ia menyadari pula kalau tak ada Park Jimin di sekitarnya. ∆∆∆ Jimin tahu ini konyol. Satu jam yang lalu, ia baru saja bernyanyi di hadapan para penggemarnya. Tersenyum dan tertawa menatap mereka. Melambaikan tangan dengan penuh cinta. Dan
membagikan seluruh kebahagiaan pada para penggemar. Ia terbang mengawang, menikmati segala penampilan yang ia lakukan bersama teman-temannya. Meninggalkan sejenak segala rasa sakit yang membelenggu dadanya. Tetapi, kini, saat ini, di detik ini juga, ia kembali pada kenyataan. Ia tak lagi terbang mengawang. Kakinya sudah kembali berpijak di lantai, dan saat ini ia sedang berdiri di anak tangga darurat paling atas. Ada sekitar 30 anak tangga tepat di bawah kakinya. Selangkah lagi ia menggerakkan kakinya ke depan, ia akan terjatuh. Terguling. Lalu berakhir di bawah sana dengan seluruh luka di tubuhnya. Tapi, memang itulah yang ia inginkan sekarang. Sungguh, konyol. Benar-benar konyol. Jimin baru saja berbahagia satu jam yang lalu b ersama para penggemarnya di atas panggung. Tapi, kini, kebahagiaan itu lenyap seketika. Tergantikan oleh rasa sakit yang memang sejak awal sudah bersarang disana. Seharusnya ia sadar, kalau semua yang ia lakukan dalam hidup hanyalah kebahagiaan semu untuknya. Nyatanya, ia tak pernah benar-benar bahagia. Pun, di hadapan teman-temannya. Ketika kakinya hendak melangkah maju, sebuah tangan menahan lengannya dari belakang, serta merta menarik tubuhnya untuk menjauh dari anak tangga.
"Apa yang kau lakukan?!" Tangan Jungkook mencengkeram erat lengan Jimin, diiringi oleh suara bentakan yang keluar dari bibirnya. Jimin memberontak. Namun meskipun demikian, tangan itu tetap berada di sana. Menggenggamnya. Mencengkeramnya. Dengan penuh kekuatan. "Lepaskan, Jungkook-ah." "Jangan lakukan tindakan bodoh, hyung," suara Jungkook menggema di telinganya. "Sayangi nyawamu, sebelum yang jahat itu menggerogoti tubuhmu." Lantas Jimin terpekur. Ia berhenti memberontak, seiring dengan membuncahnya air mata yang tertahan di pelupuk mata. Tubuhnya merosot ke bawah, dan sekejap kemudian wajahnya tenggelam di balik kedua lututnya. "Aku benci diriku sendiri," isaknya lirih. Sementara Jungkook mencelos. Tangannya melepas lengan Jimin yang melemas hingga terjatuh begitu saja di samping tubuh lelaki itu. Pandangannya menembus pada kaca jendela di samping, berusaha keras untuk menahan air mata di pelupuk agar tidak mengalir karena mendengar suara isakan dari bibir Jimin. Tak jauh dari sana, di balik tembok yang memisahkan mereka, Kim Taehyung berdiri bersandar. Bibir bawahnya digigit kuat-kuat. Sementara matanya yang terpejam
mengalirkan segaris air mata yang tertahan di pelupuk mata. "Jimin-ah..." Hatinya menangis. Melihat kerapuhan seorang Park Jimin. Lagi. ∆∆∆ Dulu, aku merasa ini adalah mimpi. Berdiri di hadapan sejuta penggemar yang menyaksikanku saat aku bernyanyi. Dulu, aku merasa ini adalah mimpi. Mendapat cinta dari jutaan penggemar yang terus menerus mendukungku tanpa lelah. Dulu, aku merasa ini adalah mimpi. Dikenali oleh banyak orang, dan mendengar namaku diteriaki oleh jutaan penggemar. Dan kini, aku pun merasa ini adalah mimpi. Ketika aku merasa tak bisa lagi berdiri di hadapan mereka sambil mendengar suara teriakan mereka yangmenyebut namaku. Ya, mereka--para penggemar yang kucintai dan mencintaiku.
Hanya karena sesuatu yang kini bersarang di dalam tubuhku. Benarkah ini hanya mimpi? Kuharap adalah iya. ~~~~~~~~~~~~~~~~~~ | Nan Gwaenchana | ~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Bukan Karena Benci ~~~~~~~~~~~~~~~~~~ | Nan Gwaenchana | ~~~~~~~~~~~~~~~~~~ Aku begini bukan karena benar-benar membencimu. ~ [2] ~ "Kalian dari mana saja?" Pertanyaan Namjoon ditujukan pada Jungkook dan Jimin yang baru saja kembali ke backstage. Keduanya tidak menjawab, hanya balas memandang Namjoon, juga Yoongi, Seokjin, Hoseok, dan Taehyung yang berdiri di belakang dengan pandangan tanpa ekspresi. Sampai ketika pandangan Jungkook mengarah pada Jimin sambil mengedikkan dagu, Namjoon bergerak maju mendekati lelaki bertubuh pendek itu. "Astaga, apa lagi yang kau lakukan, Jimin?" tanya Namjoon khawatir setelah mengerti kode yang diberikan oleh Jungkook. Jimin tersenyum miris. "Tidak apa-apa, Hyung. Aku baik baik saja." Di belakang sana, Taehyung mendengus mendengar Jimin mengatakan 'aku baik-baik saja', entah untuk yang keberapa kalinya pada hari ini.
"Di mana kau menemukannya, Jungkook?" Kali ini Yoongi yang bertanya.Juga menatap dengan khawatir. "Seperti biasa, masih di tempat yang sama." "Oh,astaga! Berhentilah melakukan hal tak berguna seperti itu, Park Jimin! Bagaimana kalau kau benar-benar--" Namjoon tak melanjutkan kalimatnya. Sementara Jimin hanya tersenyum miris mendengar kalimat yang diucapkan leader grupnya itu. "--mati?" tambah Jimin, melanjutkan ucapan Namjoon yang terputus dengan tanda tanya pada kalimatnya. Kembali, Jimin tersenyum miris ketika melihat Namjoon malah menghela napas berat setelah sadar bahwa ia baru saja salah berbicara. "Tidak apa-apa, Hyung. Pada akhirnya semua makhluk yang hidup akan mati, bukan? Aku pun juga akan seperti itu." "Bisakah kita mengganti topik pembicaraan?" celetuk Taehyung. "Yang benar saja! Kita baru saja menyelesaikan konser, apakah harus selalu topik seperti ini yang kita bicarakan setelah konser selesai?" Netra Jimin mengarah pada netra Taehyung yang mengkilat marah. Seperti biasa, setelah sedetik tatapan mereka bertemu, detik berikutnya lelaki yang lebih muda itu mengalihkan pandangan lebih dulu. Miris. Membuat
Jimin ingin kembali menangis. "Kau sudah minum berapa liter air hari ini?" "Tak usah khawatirkan aku, Hyung. Aku benar-benar baik baik saja." Taehyung kembali mendengus di tempatnya. "Huh, aku tak tahan." Kemudian tungkai kaki Taehyung melangkah melewati Hoseok, Yoongi, Seokjin, Namjoon, terakhir Jimin dan Jungkook untuk berlalu keluar ruangan. "Kim Taehyung," suara serak Jimin menghentikan tungkai kaki Taehyung di bingkai pintu. "Sampai kapan kau akan terus menghindariku?" Taehyung tidak berbalik. Netranya yang tadinya mengkilat marah saat bertatapan dengan Jimin tergantikan oleh air mata yang kini menghalangi pandangan matanya ketika mendengar suara Jimin yang terdengar bergetar. Oh, ia benar-benar bersyukur sedang berdiri membelakangi para member saat ini. Beberapa detik kemudian, Taehyung menjawab dengan suara baritonnya, "Sampai kau berhenti mengatakan 'baik-baik saja'." Setelah itu, Taehyung benar-benar keluar dari ruangan. Meninggalkan kesenyapan yang kini tersisa di dalam
ruangan, juga helaan napas berat yang masing-masing dikeluarkan oleh beberapa orang di sana, kecuali Park Jimin. Keadaan masih senyap sampai akhirnya manajer mereka-Kim Sejin — memasuki ruangan. "Mobil sudah siap. Ayo, kita pulang ke dorm!" ∆∆∆ Beberapa bulan yang lalu, Jimin masih sekamar dengan Taehyung. Mereka berdua berbagi ranjang bersama di ranjang bertingkat. Taehyung di ranjang atas, dan Jimin di ranjang bawah. Sementara Hoseok yang juga sekamar dengan mereka tidur di single bed tak jauh dari m ereka. Hingga pada suatu hari, tiba-tiba saja Taehyung menarik diri dari kamar dan melapor pada Namjoon. "Hyung, aku ingin sekamar denganmu." Ucapan itu cukup untuk membuat Jimin dan Hoseok sebagai teman sekamar terkejut. Terlebih, Jimin, karena ia sudah merasakan perubahan lelaki itu yang mulai menghindar darinya pada hari-hari sebelumnya. Ketika ditanyai alasan oleh Namjoon, lelaki yang lebih muda hanya menjawab, bosan. Dan tak ada satu pun orang yang berkutik saat Taehyung menjawab demikian. Bahkan Namjoon sampai gelagapan sendiri ketika akhirnya ia menganggukkan kepala sambil berkata, baiklah.
Sejak saat itulah, Jimin benar-benar merasa Taehyung sedang menghindarinya. Hingga saat ini. ∆∆∆ Jimin tidak bisa tidur. Sedari tadi ia membolak-balik tubuhnya di atas ranjang. Menghadap ke kanan. Menghadap ke kiri. Menghadap langit-langit kamar. Tapi ia tak kunjung menemukan posisi nyaman yang dapat membuatnya tertidur. Di ranjang sebelah, Hoseok sudah tertidur dengan suara dengkuran yang halus. Jimin hanya dapat memandang lelaki itu dengan tatapan iri. Sungguh, ia ingin tidur cepat malam ini. Kemudian, ia mendengar suara pintu dibuka. Bukan pintu kamarnya. Suara itu terdengar dari luar kamar. Pasti pintu kamar di sebelah kamarnya yang terbuka. Kamar milik Taehyung dan Namjoon. Jimin menegakkan tubuh. Kakinya bergerak turun ke lantai, lalu melangkah keluar kamar. Persis seperti dugaannya, ia melihat Taehyung kini berdiri di dalam dapur. Tangannya baru saja mengambil sebotol obat dari dalam laci di atas kulkas. Sementara tan gan lainnya memegang segelas air.
Lelaki yang lebih muda itu minum obat tidur lagi. "Kau tak bisa tidur lagi?" Taehyung terlonjak kaget. Kepalanya berputar dengan cepat dan saat itu juga tatapannya berubah datar ketika bertemu pandang dengan Jimin.
Jimin berjalan mendekat, menghampiri Taehyung dan berdiri di sebelahnya. Ia mengambil botol obat di tangan Taehyung dan mengeluarkan tiga pil dari dalam sana. “Aku juga tidak bisa tidur,” ucap Jimin sambil memasukkan pil itu ke dalam mulut. Tanganya meraih gelas di tangan Taehyung lalu meneguk sisa air yang baru saja diminum oleh lelaki yang lebih muda darinya itu.menelan ketiga pl itu bersamaan dengan air dengan susah payah. Sementara Taehyung hanya memandang tanpa ekspresi lelaki yang berdiri di sebelahnya. “Kau tahu, kita berdua memiliki insomnia yang sama.” Jimin kembali berbicara setelah menelan pilnya. Tanganya bergerak untuk menutup botol pil dan mengebalikan ke tempat semula. “Obrolan malam biasa kita lakukan di dalam kam ar, sampai kita berdua sama-sama lelah berceloteh hingga akhirnya jatuh tertidur tanpa sadar,” Jimin lalu membalik tubuhnya, berhadapan dengan Taehyung yang masih
berdiri menyamping. “Kupikir kau sudah bisa mengatasi insomniamu makanya kau memilih tidak lagi sekamar denganku, karena... yah, mungkin kau takut terggangu olehku yang selalu mengajakmu mengobrol di malam hari.” “Tapi ternyata,”Jimin berhenti sejenak, menoleh sekilas pada obat-obatan yang baru saja ia kembalikan pada tempatnya. “Kau belum berubah. Kau masih saja mengkonsumsi obat tidur itu. Lantas, kenapa kau pindah kamar apabila kau masih mengalami insomnia?” Taehyung tidak menjawab. “Kau bisa kembali ke kamarku dan Hosoek hyung. Aku akan menemanimu sampai kau jatuh tertidur. Mengobrol denganku akan lebih baik daripada kau mengkonsumsi obat-obatan seperti ini. Itu membahayakan kesehatanmu.” “Lihat dirimu sendiri, Park Jimin.” Akhirnya Taehyungberbicara. Membuat Jimin kembali menoleh padanya. “Lihat dirimu sendiri. Memangnya kau tidak melakukan hal seperti yang kulakukan? Bahkan obat yang kau minum jauh lebih banyak dan beragam dariku. Bukankah itu lebih membahayakan kesehatanmu? Dan bicara soal kesehatan, siapa yang lebih sehat di sini sekarang? Kau yakin tidak salah berbicara?”
Jimin tertegun. Ia memalingkan pandangannya sejenak. Pandangannya mendadak mengabur setelah mendengar Taehyung berkata demikian. “Itu berbeda Taehyung-ah. Jangan samakan itu dengan obat tidur. Dan jangan ungkit soal siapa yang lebih sehat di sini.” “Beda ataupun bukan, tetap saja itu bernama obat-obatan Park Jimin. Dan soal kesehatan itu, kau yang mulai duluan. Bukan aku.” Kemudian hening diantara mereka. Merasa tak ada hal lagi yang perlu dibicarakan, Taehyung berbalik. Hendak melangkah meninggalkan dapur untuk kembali menuju kamarnya. “Kim Taehyung,” lagi-lagi suara Jimin bergetar saat menyebut nama itu. Sukses pula menghentikan langkah Taehyung. Kali ini, mereka saling membelakangi. “Apakah kau akan terus seperti ini?” tanya Jimin. “Menghindariku?” Tak ada jawaban dari Kim Taehyung. “Kalau aku berhenti mengatakan ‘aku baik - baik saja’, apakah kau tidak akan menghindariku lagi?” Jimin kembali bertanya. “Tidak mungkin. Nyatanya, kau akan selalu berkata demikian.”
“Karena aku memang baik - baik saja, Kim Taehyung.” “Berhentilah mengatakan kau ‘baik - baik saja’, Park Jimin!” bentak Taehyung akhirnya. Ia membalik tubuh, kembali berhadapab dengan Jimin yang rupanya j uga sudah berdiri menghadap ke arahnya. Dengan mata berkaca-kaca. “Memangnya kenapa? Apakah aku salah berbicara seperti itu? Apakah salah seseorang yang sudah tak memiliki harapan untuk hidup berkata bahwa dirinya baik-baik saja? Apakah salah aku berkata seperti itu untuk menyemangati diriku sendiri bahwa aku pasti baik-baik saja? bahwa takkan ada hal buruk yang terjadi padaku nanti? Apakah itu salah?” Napas Jimin sampai terengah-engah saat berbicara, sementara Taehyung malah tak berniat untuk menjawab. “Jawab aku, Kim Taehyung. Apakah itu salah, hah?!” Taehyung masih tidak menjawab. Jimin mnyeka air matanya yang tanpa aba-aba mnengalir begitu saja. “Aku benar -beanr baik-baik saja. ketika aku melihat ARMY dan kalian---BangtanBoys, aku selalu merasa baik-baik saja, Taehyung-ah.” “Jangan bohongi dirimu sendiri, Park Jimin.” Kali ini Taehyung berbicara, dengan suara datar. Berbeda dengan lawan bicaranya yang sudah terisak. “Aku tak suka itu.”
“Lalu, apa yang harus kulakukan agar kau tak menghindariku lagi?” Jimin memilih untuk melunak sekarang. Lagipula ia merasa pusing setelah berbicara dengan penuh emosi seperti tadi, rasanya ia sudah tidak sanggup apabila membentak Taehyung lagi. “Sudah kubilang sebelumnya, Jimin, berhentilah mengatakan kau ‘baik -baik saja’,” jawab Taehyung kemudian. Juga memutuskan untuk melunak. “Apa yang kalian lakukan malam-malam begini?” Taehyung dan jimin sama-sama menoleh ke sumber suara. Kim Namjoon sudah berdiri di bingkai pintu kamar, memandang ke arah mereka dengan wajah setengah ngantuk. “Bertengkar lagi?” tanya Namjoon. Masih tidak ada jawaban dari Taehyung maupun Jimin. “Ya Tuhan, apakah kalian ini tidak lelah? Ini sudah lar ut malam! Semua orang di sini sudah tisur dan kalian menggangu mereka! Tak bisakah kalian ini akur sejenak?” “Aku sudah selesai berbicara kok, Hyung. Maaf menggangu tidurmu,” ucap Taehyung. Taehyung lalu berbalik, kembali melangkah tungkai kakinya menuju kamar, mendekati Namjoon sampai akhirnya ia mendengar suara ‘gedebuk’ di belakang. “Park Jimin!”
Namjoon mendadak berlari melewati Taehyung, mendekati Jimin yang juga mendadak ambruk di dalam dapur. Berbeda dengan yang dilakukan Taehyung. Langkah Taehyung mendadak terhenti, seiring dengan napasnya yang tercekat di tenggorokan. Kepalanya tidak menoleh, kakinya pun tak segera beranjak untuk kembalimelangkah ke dapur. Meskipun ia tak melihatnya, tapi ia tahu apa yang sedang terjadi di dapur. Ia tahu apa yang baru saja terjadi pada Park Jimin. Dan mendadak kejadian yang sama beberapa bulan lalu terngiang dalam ingatannya. Membuatnya merasa de javu. Membuat tubuhnya mati rasa. Membuat pandangannya mendadak mengabur oleh air mata. “Kim Taehyung, kenapa kau diam saja di sana?!” Bahkan bentakan Namjoon tak bisa membuat Taehyung kembali berpijak pada kenyataan. “Park Jimin pingsan! Cepat bantu aku,bodoh!” Percayalah, yang saat ini ingin Tehyung lakukan adalah membenturkan kepalanya sendiri ke tembok hingga pecah, hingga ia tak bisa merasakan sakit dan sedih yang sebesar ini lagi saat dihadapkan kenyataan tentang apa yang dialami Park Jimin.
Ya, Park Jimin, sahabatnya itu, lead vocalist serta lead dancer Bangtan Boys itu. Lelaki dengan eyesmile diwajahnya itu. Dia... sakit. ∆∆∆ Kau hadir dihidupku dengan senyuman yang terhias di seluruh wajahmu. Matamu, bibirmu, bahkan wajahmu tersenyum saat pertama kali bertem denganku. Bagaimana aku bisa membenci sosok malaikat sepertimu? Bertemu denganmu adalah kebahagiaanku. Melihat senyummu adalah penyemangatku. Bersama dengamu adalah hal yang kuinginkan dan kubutuhkan. Tapi, bagaimna bila nanti pada akhirnya kau pergi meninggalkanku? Aku memang menghindarimu dan tak ingin bertatap muka dengamu. Aku memang tak ingin terikat dengamu lagi. Bahkan sebisa mungkin aku menghindar untuk terlibat percakapan dengamu. Tapi, percayalah, aku begini bukan karena aku benar-benar membencimu Aku hanya takk ingin merasa sakit yang berlebih ketika nantinya kau pergi meninggalkanku dengan menyisakan sejuta kenangan yang justru akan membuatku lebih sakit saat mengingatnya.
Aku hanya tak bisa menerima kenyataan pahit tentang apa yang terjadi pada tubuhmu. Yang selalu kau katakan bahwa ‘kau baik -baik saja’. Aku benci kau berpura-pura kuat dan sehat. Aku benci saat kau mengatakan bahwa kau baik-baik saja. Karena nyatanya, aku tahu bahwa kau tak pernah baikbaik saja. Dan aku benci itu. Aku benci dirimu yang... sakit. ~~~~~~~~~~~~~~~~~~ | Nan Gwaenchana | ~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Jangan Seperti Nenek ~~~~~~~~~~~~~~~~~~ | Nan Gwaenchana | ~~~~~~~~~~~~~~~~~~ Jangan seperti nenek yang pergi meninggalkanku. ~ [3] ~ Sebelumnya, Jimin juga pernah pingsan. Sekali. Tepat ketika konser jumpa penggemar Bangtan Boys pada bulan November tahun lalu usai digelar di Gocheok Sky Dome. Peristiwa itu terjadi tepat di hadapan para member Bangtan Boys. Menghentikan kebahagiaan mereka. Menghentikan tawa canda mereka. Tanpa pertanda. Tanpa aba-aba. Bahwa tubuh Jimin akan ambruk secara mendadak begitu masuk ke backstage. Dengan Kim Taehyung yang berdiri tepat di sebelahnya. Lelaki itu pingsan. Untuk yang pertama kalinya. Dan pada hari itulah, penyakit yang diderita oleh Jimin sejak sebelum debut itu akhirnya terkuak. ∆∆∆
Taehyung berdiri bersandar di tembok, persis di sebelah pintu kamar Jimin yang setengah terbuka. Karena terbuka itulah, Taehyung masih dapat mendengar suara isak tangis Jungkook dan Hoseok dari dalam sana. Taehyung menoleh pada Yoongi ketika dilihatnya lelaki itu keluar dari ruangan dengan wajah dan mata memerah. "Kau tak ingin melihatnya?" tanya Yoongi pada Taehyung. Taehyung memalingkan pandangan, lalu menggeleng. "Apakah kau benar-benar membenci Jimin? Bahkan untuk melihat keadaan Jimin yang tak sadarkan diri saja kau tak mau?" bentak Yoongi. "Yoongi Hyung," Namjoon menegur dari dalam ruangan. Tampaknya suara bentakan Yoongi terdengar sampai dalam kamar. Yoongi hanya melirik Namjoon sekilas sebelum kembali memusatkan pandangannya pada Taehyung. "Aku sudah tak peduli lagi denganmu, Kim Taehyung. Kau menghancurkan hatiku. Kukira kau adalah sahabat Jimin, orang yang paling bisa mengerti Jimin untuk saat ini. Tapi ternyata--" Yoongi tak menyelesaikan kalimatnya. Ia sudah muak dengan lelaki di hadapannya. Lantas ia melangkah menuju kamarnya, lalu menutup pintu dengan keras.
Taehyung memejamkan mata setelah kepergian Yoongi. Tangannya terkepal. Rahangnya mengeras, berusaha keras mengontrol dadanya yang sudah bergemuruh sejak Jimin pingsan beberapa menit lalu. Beberapa menit lalu, ia masih tak beranjak ketika Namjoon meminta bantuannya untuk mengangkat tubuh Jimin. Sampai akhirnya Jungkook terbangun, lalu dengan sigap ia berlari menghampiri tubuh Jimin yang ambruk di dapur. Taehyung tak dapat melakukan apapun. Ia hanya memandang tubuh Jimin yang kemudian diangkat oleh Namjoon dan Jungkook menuju kamar, lalu Seokjin dan Yoongi juga ikut terbangun dan langsung menghampiri kamar Jimin. Di sana, Hoseok juga baru saja terbangun. Keadaan di dorm mendadak panik. Namjoon menghubungi Sejin — manajer mereka--lewat telepon untuk datang ke dorm sekarang. Yoongi mengobrak-abrik isi laci yang berisi obat-obatan di atas kulkas, mencari obat khusus milik Jimin. Seokjin menyiapkan air hangat untuk mengkompres tubuh Jimin. Jungkook dan Hoseok menemani Jimin yang masih tak sadarkan diri di dalam kamar, mereka berdua menangis. Sementara Taehyung masih tak beranjak dari tempatnya. Bergeming di sana. Sampai akhirnya Seokjin yang membawa sebaskom air hangat di tangannya tak sengaja menyenggol Taehyung dan air hangat itu tumpah sebagian, mengenai punggung kaki Taehyung yang telanjang. Taehyung memekik. Terkejut. Merasakan sensasi panas pada punggung
kakinya. Dan barulah setelah itu Taehyung tersadar, bahwa Jimin baru saja pingsan... karena penyakitnya. Dulu, saat usianya masih belia, Taehyung ingin sekali hidup seperti di dalam drama. Yang selalu memili ki kisah happy ending meskipun harus melewati banyak kesedihan dalam hidupnya. Tapi, hari ini, setelah ia merasakan sendiri salah satu kesedihan di dalam drama itu, Taehyung menarik kembali perkataannya. Ia tak ingin hidup di dalam drama. Ia hanya ingin hidup normal, bersama Jimin dan juga member lain. Namun nyatanya, hidup ini telah menjadi drama untuknya. Jimin sakit. Seperti di dalam drama-drama sialan itu. Jimin menderita kanker langka bernama Aphonia. Sel kanker tersebut muncul dari pangkal tenggorokannya, dan jika tidak segera diobati, sel kanker tersebut akan menjalar ke bagian otak, menuntunnya menuju kematian. Jimin telah didiagnosa mengidap penyakit ini sejak SMA. Sejak sebelum debut Bangtan Boys. Jimin memiliki mimpi menjadi seorang idol, bernyanyi di hadapan para penggemar. Tapi, ia malah mendengar kabar diagnosa itu sehari setelah ia dikabarkan oleh Bang PDnim bahwa ia akan debut bersama Bangtan Boys. Harta paling berharga bagi Jimin adalah suaranya. Tapi, ia malah diberi dua pilihan oleh dokter. Apakah menjalani terapi penyembuhan yang akan membuatnya menjadi bisu
atau bertahan selama beberapa tahun namun ia masih bisa memiliki suaranya. Beberapa tahun lalu, Jimin senang akan pilihannya. Ia berhasil debut bersama Bangtan Boys setelah melewati masa trainee yang hanya setahun. Ia bernyanyi di hadapan para penggemarnya, menyapa seluruh orang di dunia lewat suara emasnya. Katanya, ia tak pernah merasa seyakin ini dengan pilihannya. Ya, ia memilih pilihan yang terakhir. Bertahan dengan penyakitnya tanpa menjalani terapi penyembuhan. Dan ia bertahan. Memang, ia bertahan. Bahkan, hingga saat ini. Tapi, sel kanker tersebut kini sudah menjalar sampai pada bagian otaknya. ∆∆∆ Jimin tak pernah memberitahu siapapun tentang penyakitnya. Ia menutup rapat seluruh penderitaan yang terjadi pada tubuhnya dari para member. Ia menahan rasa sakit yang terjadi pada tubuhnya itu sendirian. Menutupi semuanya dengan senyuman dan eyesmile pada wajahnya. Dia adalah seorang penipu yang hebat.
Jimin adalah member yang paling jarang sakit. Jarang mengeluh sakit pada member lain. Namun, pada hari it u, pada hari kedua konser jumpa penggemar di Gocheok Sky Dome usai digelar, untuk yang pertama kalinya setelah tiga tahun mereka debut, Jimin pingsan. Membuat tawa para member mendadak terhenti. Dengan tubuh terpaku. Termasuk, Taehyung. Yang tak bisa melakukan apapun ketika melihat tubuh Jimin yang tiba-tiba saja ambruk. Jimin tersadar setengah jam kemudian, dan seluruh orang di sana terkejut mendengar apa yang terjadi pada Jimin. "Soal penyakit ini, jangan beritahu Bang PD-nim, hyung," ucap Jimin lirih pada Sejin setelah ia menyelesaikan ceritanya. Ia juga menoleh pada seluruh member yang berdiri di sekitar tubuhnya yang berbaring dan mengucapkan kalimat yang sama pada mereka. "Cukup para member dan manajer hyung saja yang tahu hal ini," tambahnya. "Kau sakit, Jimin. Bang PD-nim harus tahu agar kau diberikan waktu istirahat," ucap Sejin waktu itu. Ia masih merasa syok dengan penyakit yang diderita oleh salah satu member grup yang digawanginya itu.
View more...
Comments