Muhammad Akbar Aidin (21709164)

July 12, 2022 | Author: Anonymous | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Muhammad Akbar Aidin (21709164)...

Description

 

HUKUM ADAT 

Oleh :  Nama

: Muhammad Akbar Aidin

 Nim

: 21709164

Kelas

: II B

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KENDARI 2018

 

KATA PENGANTAR   Ucapan syukur penyusun haturkan kepada Allah SWT., karena dengan nikmat-Nya dan Rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh Dosen dengan mata kuliah Hukum Adat. Makalah ini merupakan salah satu upaya dalam memberikan pemahaman tentang Adat Tolaki yang membahas Peran Pabitara dan Tolea dan Kalosara sebagai media penyelesaian sengketa. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih cukup sederhana oleh karena itu untuk kesempurnaan makalah ini,kritik dan saran yang membangun akan sangat berharga guna perbaikan makalah ini . Kendari, 4 Agustus 2018

Penulis

2

 

DAFTAR ISI 

KATA PENGANTAR ................. .................................. .................................. .................................. .................................. .......................... ......... 2 DAFTAR ISI............................... ................................................. ................................... .................................. .................................. .......................... ......... 3 BAB I PENDAHULU PENDAHULUAN AN ............... ................................ .................................. .................................. .................................. ....................... ...... 4 A.  LATAR BELAKANG.... ..................... .................................. .................................. .................................. ................................ ............... 4 B.  RUMUSAN MASALAH ........................... ............................................. ................................... .................................. .................... ... 6 C.  TUJUAN PENULISAN ........................... ............................................ .................................. .................................. ....................... ...... 6 D.  MANFAAT PENULISAN.............. ............................... .................................. ................................... ................................ .............. 6 BAB II PEMBAHA PEMBAHASAN SAN .............................. ............................................... .................................. .................................. .......................... ......... 7 A. PENGERTIAN KALO SEBAGAI ALAT PENYELESAIAN SENGKETA ADAT ................. ................................... ................................... .................................. .................................. .................................. .......................... ......... 7 B. KONSEP DAN JENIS-JEN JENIS-JENIS IS KALO................. .................................. .................................. ............................. ............ 8 C. PEMANFAATAN INSTRUMEN KALOSARA DALAM KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKA MASYARAKAT T TOLAKI ............... ................................ .................................. ..............................12 .............12 D. PROSPEK PEMANFAATAN INSTRUMEN KALOSARA DALAM KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT TOLAKI DAN PERAN PABITARA DAN TOLEA DALAM ADAT SUKU TOLAKI ....................................................... ...................................................................................................... ............................................... 16 

BAB III PENUTUP .............. ............................... .................................. .................................. .................................. ..............................21 .............21 A. KESIMPUL KESIMPULAN AN ................. .................................. .................................. .................................. .................................. ...........................21 ..........21 B. SARAN ............... ................................. ................................... .................................. .................................. .................................. ........................22 .......22 DAFTAR PUSTAKA ................................ ................................................. .................................. .................................. ...........................23 ..........23

3

 

BAB I A.  Latar Belakang  Suku Tolaki telah lama mendiami Jazirah Tenggara Pulau Sulawesi. Suku ini menyebar di  beberapa wilayah yang cukup luas yakni wilayah Kota Kendari, Konawe, Konawe Utara, Konawe Selatan, dan Kolaka. Persebaran Suku Tolaki ini membawa serta pranata-pranata sosial,  politik, ekonomi eko nomi dan tata nilai. Sumber nilai n ilai dalam Suku Tolaki baik b aik yang berdiam di pedesaan p edesaan sebagai petani tradisional maupun yang bermukim di perkotaan sebagai pegawai negeri atau  pengusaha, sampai saat ini mesih menempatkan instrumen adat yang disebut  Kalo  Kalo sebagai  sebagai suatu yang sakral (Tarimana, 1993; Idaman, 2012).  Kalo  Kalo,, dapat berfungsi sebagai lambang pemersatu dan alat penyelesaian berbagai masalah masalah dalam kehidupan masyarakat. Secara sosio-psikologis, budaya masyarakat Tolaki di Sulawesi Tenggara dewasa ini memiliki ciri-ciri umum, yang berpotensi besar sebagai pendorong pembangunan daerah. Ciriciri itu, adalah: 1.  Memiliki naluri untuk hidup bertetangga secara baik 2.  Mempunyai keinginan dan sikap kerja sama dalam bentuk gotong royong, yang diaplikasikan dalam budaya samaturu. budaya samaturu.   3.  Memiliki sikap kekerabatan yang dicerminkan dalam solidaritas dan tenggang rasa terhadap sesama yang diaplikasikan dalam budaya medulu. medulu.   4.  Rukun dalam kehidupan, mau bermusyawarah yang diaplikasikan budaya mepokoaso mepokoaso.. 5.  Memiliki sifat penyabar, 6.  Menghormati orang lain yang memiliki status sosial yang lebih tinggi di masyarakat atau lingkungan kerjanya, tercermin dal dalam am ungkapan inggomiu inggomiu (Hafid,  (Hafid, 2008).

4

 

Potensi inovatif dari budaya Suku Tolaki saat ini, harus dipandang sebagai suatu potensi dan peluang, bukan tantangan dan hambatan pembangunan menuju kesejahteraan masyarakat. Bagi Masyarakat Tolaki, kalo kalo   merupakan suatu pedoman yang mempengaruhi kehidupan masyarakat.  Kalo  Kalo   pada tingkat nilai budaya merupakan sistem norma adat yang berfungsi mewujudkan ide-ide yang mengkonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat.  Kalo  Kalo   pada tingkat aturan khusus mengatur aktivitas-aktivitas yang amat jelas dan terbatas ruang lingkupnya dalam kehidupan masyarakat. Dalam konsep kalo kalo   yang mengatur aktivitas tersebut dikenal meraou meraou,, yaitu aturan khusus yang mengatur setiap individu dalam  berbahasa yang menunjukan sopan santun (bertata krama);  Atora  Atora,, yakni aturan khusus dalam komunikasi sosial. Supaya setiap individu dapat terhindari dari pelanggaran yang menyebabkan hadirnya kalo, maka anggota

dikembangkanlah

kata-kata

falsafah

yang

dapat

masyarakat untuk bertingkah laku dengan

baik.

memberi

sugesti

kepada

Misalnya:  Inae kosara iee

nggopinesara, Inae lia sara iee nggopinekasara. Artinya: Siapa yang tahu adat, ia yang akan dihargai

dan

(dihukum).

dihormati Ungkapan

dan ini

sebaliknya

mempunyai

siapa

yang

melanggar

makna

yang

sangat

adat

dalam

akan bagi

dikasari kehidupan

masyarakat. Tiap orang diharapkan untuk hidup dan bertingkah laku sesuai dengan norma adat istiadat yang hidup dalam masyarakat. Seseorang akan mendapat penilaian y yang ang baik dari masyarakat,

apabila

sikap

dan

tingkah

lakunya

sesuai

dengan

norma-norma

yang

 berlaku. Sebaliknya seseorang akan mendapat penilaian yang negatif atau kurang baik, bila yang  bersangkutan sering melakukan perbuatan tercelah yang bertentangan dengan norma-norma yang  berlaku (Mazi, 2004).

5

 

B.  Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, masalah –  masalah  –  masalah   masalah yang di bahas dapat dirumuskan sebagai berikut : 1.  Apa yang dimaksud dengan Kalosara dengan Kalosara ?  ? 2.  Bagaimana Peran  Kalosara  Kalosara   sebagai sarana penyelesaian kasus  –   kasus sosial dalam masyarakat ? C.  Tujuan Penulisan

Dapat memberikan pengetahuan mengenai kalosara dalam adat Tolaki yang digunakan untuk menyelesaikan berbagai sengketa. D.  Manfaat

Menambah pengetahuan mengenai bagaimana suku atau adat tolaki dalam menyelesaikan sengketa.

6

 

BAB II PEMBAHASAN A.  Pengertian Kalo Sebagai Alat Penyelesaian Sengketa Adat 

Secara harfiah kalosara kalosara atau  atau yang biasa disebut kalo kalo adalah  adalah suatu benda yang berbentuk lingkaran, cara-cara mengikat yang melingkar, dan pertemuan-pertemuan atau kegiatan bersama dimana pelaku membentuk lingkaran. selain itu, kalosara kalosara   merupakan lambang pemersatu dan  perdamaian yang sangat sacral dan tetap dipandang keramat oleh suku tolaki yan selalu tampil dalam berbagai bentuk upacara ritual atau upacara adat dalam kehidupan suku tolaki. Penghargaan kalo kalo   sebagai simbol tertinggi tertinggi yang sudah lama dijunjung oleh masyarakat suku tolaki telah menjadi sesuatu benda yang keramat dan perlu dijaga serta dilestarikan. hal ini karena adanya keterkaitan erat antara kalo kalo   dan system yang mengatur kehidupan suku tolaki, yaitu mencakup seluruh perwujudan adat istiadat, mulai dari system kehidupan social hingga ekonomi yang bercorak tradisional, system budaya yang mencakup bahasa, seni, keagamaan, hingga sampai pada system pengkonsepsian untuk memandang manusia dalam kaitan eratnya dengan alam semesta. Secara fisik, kalosara kalosara   ini diwujudkan dengan seutas rotan berbentuk lingkaran yang kedua ujungnya disimpul lalu diletakkan di atas selembar anyaman kain berbentuk bujur sangkar. tradisi yang tetap lestari hingga saat ini, biasa digelar dalam berbagai acara, seperti halnya acara perkawinan atau penyelesaian suatu pertikaian atau perselisihan dalam kehidupan masyarakat suku tolaki yang saat ini sebagian besar tersebar di wilayah kabupaten konawe, kabupaten konawe selatan, kabupaten konawe utara, kota kendari dan masyarakat suku tolaki yang kini sudah tersebar di wilayah lainnya.

7

 

B.  Konsep dan Jenis  –  Jenis  Jenis Kalo

Secara harfiah, kalo kalo adalah  adalah suatu benda yang berbentuk lingkaran, cara-cara mengikat yang melingkar, dan pertemuan atau kegiatan bersama dengan pelaku membentuk lingkaran. Sebagai  benda lingkaran, kalo kalo   dibuat dari rotan, dan ada juga yang terbuat dari bahan lainnya, seperti emas, besi, perak, benang, kain putih, akar, daun pandan, bambu dan sebagainya (Tarimana, 1993).  Kalosara terdiri atas 3 bagian, yaitu: (1) kalo,  berupa lilitan tiga rotan yang melingkar, (2) kain putih sebagai mengalas, dan (3)  siwoleuwa, yaitu anyaman dari daun palem berbentuk  persegi empat. emp at. Ketiga wadah ini jika berdiri sendiri send iri tidak memiliki arti dan fungsi adat, kecuali ketiganya menyatu dalam suatu tatanan dengan struktur sebagai wadah pengalas paling bawah  berupa simoleuwa,  berupa  simoleuwa, kemudian dilapisi di atasnya dengan kain putih, dan di atas kedua wadah ini diletakkan kalo. Berdasarkan bahan pembuatannya dan pemanfatannya, maka kalo kalo   banyak jenisnya.  Pertama, kalo dari rotan ada yang disebut kalosara, yaitu kalo kalo   yang digunakan sebagai alat upacara perkawinan adat, upacara pelantikan raja, upacara penyambutan tamu penting, upacara  perdamaian atas suatu sengketa, alat bagi sejumlah tokoh untuk menyampaikan sesuatu saran/pendapat kepada pejabat, alat untuk menyampaikan undangan pesta keluarga. Kalosara keluarga.  Kalosara ini dalam pemanfaatannya dilengkapi dengan wadah anyaman dari tangkai daun pelem, dan kain  putih sebagai alas.  Kedua, kalo dari emas disebut kalo eno-eno, eno-eno, yaitu kalo yang digunakan sebagai alat upacara sesaji, alat tebusan atas pelanggaran janji untuk melangsungkan upacara peminangan gadis dalam rangkaian perkawinan, sebagai salah satu dari maskawin, dan dipakai sebagai kalung perhiasan bagi wanita.

8

 

 Ketiga, kalo  kalo  dari besi disebut kalo kalelawu, yaitu kalo yang digunakan sebagai cincin hidung kerbau.  kerbau.   Keempat, kalo dari perak disebut kalo sambiala, kalo bolosu, dan kalo o langge, yaitu kalo yang masing-masing dipakai sebagai perhiasan dada, pergelangan tangan, pergelangan kaki, baik bagi anak-anak maupun bagi remaja putri.  Kelima, kalo dari benang ada yang disebut kalo kale-kale¸  kale-kale¸  dipakai sebagai pengikat  pergelangan tangan dan kaki bayi; dan kalo ula-ula  ula-ula  yang digunakan sebagai alat pekabaran tentang adanya orang yang meninggal.  Keenam, kalo dari kain putih disebut kalo lowani,

yaitu kalo yang dipakai di kepala

sebagai tanda berkabung, dan kalo dari kain biasa disebut kalo usu-usu, yaitu kalo kalo yang  yang dipakai di kepala sebagai pengikat dan penutup kepala bagi orang tua.  Ketujuh, kalo dari kalo dari akar atau kulit kayu disebut kalo pebo, pebo, yaitu kalo kalo yang  yang dipakai sebagai  pengikat pinggang bagi orang dewasa; dan yang khusus dari akar bahar disebut kalo kalepasi, kalepasi, yaitu kalo kalo yang  yang dipakai sebagai perhiasan bagi orang dewasa; serta kalo dari akar hawa disebut kalo  parahi atau kalo mbotiso, mbotiso, yaitu kalo kalo   yang digunakan sebagai tanda atau patok pemilikan tanah hutan untuk selanjutnya diolah menjadi sebidang ladang atau perkebunan.  Kalo  Kalo dari  dari daun  pandan disebut kalo kalunggu, kalunggu, yaitu kalo yang dipakai sebagai pengikat kepala bagi gadis remaja.  Kalo   dari bambu disebut kalo kinalo,  Kalo kinalo, yaitu kalo kalo   yang digunakan sebagai penjaga ladang dan tanaman yang ada di dalamnya. kalo   dari kulit kerbau disebut kalo parado, kalo parado, yaitu kalo kalo   yang digunakan untuk menangkap kerbau liar.

9

 

Kalo sebagai cara-cara mengikat yang melingkar disebut mowewei (membelitkan), mombali (melingkari); mombali  (melingkari); dan sebagai pertemuan-pertemuan atau kegiatan bersama di mana pelaku membentuk lingkaran disebut metaboriri metaboriri   (duduk melingkar dalam keadaan makan bersama), meobu-obu (duduk meobu-obu  (duduk melingkar dalam merundingkan sesuatu secara bersama-sama), metomusako (berdiri berkeliling dalam menangkap ternak, dan dalam melakukan tarian massal), dan modinggu   (menumbuk padi secara bersama-sama dengan mengelilingi sebuah lesung sambil modinggu membunyikan lesung dan alu). Peristiwa di mana seseorang, yang karena merasa sangat malu atas pelakuan seseorang lainnya yang tidak sopan terhadapnya di depan umum, melakukan reaksi keras berupa ancaman  penganiayaan terhadap orang yang memperlakukannya demikian untuk membela harga dirinya. Dalam situasi yang demikian muncullah pihak ketiga menampilkan kalo kalo di  di antara keduanya yang sedang ancam-mengancam satu sama lain. Tanpa komentar dari ketiganya, peristiwa ancammengancam tersebut berhenti secara otomatis di mana keduanya akan saling maaf-memaafkan karena bagi mereka kalo kalo   identik dengan perkataan: “jangan, mohon maaf, ampun, engkau, dia, dan aku, serta kita sekalian sekalian adalah satu kesatuan, satu di dalam tiga, dan tiga di dalam satu.” Menganiaya dia berarti menganiaya diri sendiri, dan menganiaya aku serta kita sekaliannya. Dengan tampilnya kalo kalo   itu dalam suasana demikian maka damailah keduanya. Bila ternyata salah satu dari keduanya atau kedua-duanya menolak adanya kalo dalam peristiwa itu, maka ia telah dipandang terkutuk dan akibatnya mereka harus dikeluarkan dari warga Orang Tolaki atau menghukum mereka dengan ketentuan adat yang berlaku. Selanjutnya,bagaimana hubungan antara asas mata pencaharian Orang Tolaki dengan kalo kalo?? Hubungan itu tampak pada tiga kenyataan yang digambarkan di bawah ini sebagai berikut: Kenyataan bahwa kalo kalo   selalu digunakan sebagai tanda pemilikan, dan tanda larangan, penjaga

10

 

tanaman terhadap gangguan hama dan gangguan orang lain. Selain itu kalo kalo   secara simbolik adalah ganti diri dari pemilik tanah dan tanaman di atasnya. Selanjutnya, bagaimana hubungan antara asas sistem teknologi tradisional Orang Tolaki dengan kalo kalo?? Hubungan itu nampak pada kenyataan-kenyataan yang digambarkan di bawah ini. Kenyataan bahwa pada umumnya alat-peralatan memerlukan pengikat rotan, yang teknik mengikatnya adalah selalu identik dengan model ikatan kalo kalo   yang melilit, melingkar, dan membulat. Semua hulu dari alat-alat produktif dan senjata selalu diikat dengan teknik khusus yang disebut holungu holungu   (ikatan melingkar yang dianyam); demikian pula semua wadah anyaman diperkuat bobotnya dengan lingkaran rotan yang dipilin, dan hampir semua dari model perhiasan identik dengan model kalo kalo yang  yang melingkar, dan membulat. Pergeseran nilai dan peranan kalo kalo masa  masa kini. Hubungan sistem kekerabatan dan organisasi sosial dengan kalo kalo,, perlu memberi uraian mengenai sikap Orang Tolaki masa kini terhadap kalo kalo.. Untuk mengetahui sikap Orang Tolaki masa kini terhadap kalo, yaitu: (1) tampak pada kesenian yaitu dalam hal bentuk, (2) terletak pada makna-makna simbolik yang terkandung di dalamnya. Bentuk-bentuk disain dalam pola segi empat, lingkaran, ikat, dan pola gambar tumbuhan  pakis, pola kepala orang; bentuk-bentuk rias tubuh dalam bulatan, bentuk-bentuk demikian  berupa benda perhiasan dalam pola lingkaran; bentuk-bentuk alat-alat bunyi dalam pola bulatan;  bentuk-bentuk teknik menari dalam pola lingkaran dan pola gerakan horisontal-vertikal yang membentuk pola segi empat; semua menunjukkan corak yang sama dengan bentuk pola kalo, yakni: lingkaran, ikatan, dan segi empat.

11

 

Konsep kalo kalo   dalam kebudayaan Tolaki sangat luas ruang lingkup dan maknanya.  Kalo  Kalo   secara umum meliputi o sara (adat istiadat), khususnya sara khususnya  sara owoseno Tolaki atau atau sara  sara mbu’uno Tolaki,, yaitu adat pokok (Instrumen utama), yang merupakan sumber dari segala adat-istiadat Tolaki Orang Tolaki yang berlaku dalam semua aspek kehidupan mereka.  Kalo  Kalo   sebagai adat pokok dapat digolongkan ke dalam 5 cabang, yaitu: (1)  sara wonua, wonua, yaitu adat pokok dalam  pemerintahan; (2)  sara mbedulu, mbedulu, yaitu adat pokok dalam hubungan kekeluargaan dan persatuan  pada umumnya; (3)  sara mbe’ombu, mbe’ombu, yaitu adat pokok dalam aktivitas agama dan kepercayaan; (4) sara (4)  sara mandarahia, mandarahia , yaitu adat pokok dalam pekerjaan yang berhubungan dengan keahlian dan keterampilan; dan (5)  sara monda’u, monda’u, mombopaho mombopaho,, mombakani, melambu, dumahu, meoti-oti, meoti-oti, yaitu adat pokok dalam berladang, berkebun, beternak, berburu, dan menangkap ikan (Tarimana, 1993; Idam 2012). C.  Pemanfaatan Instrumen Kalosara dalam Kehidupan Sosial Masyarakat Tolaki 

Secara historis, lembaga adat kalosara kalosara merupakan  merupakan landasan dasar dari keseluruhan sistem sosial budaya Suku Tolaki termasuk kepemimpinan, kaidah-kaidah hidup bermasyarakat, sistem norma-norma, sistem hukum dan aturan-aturan lainnya. Dalam kehidupan sosial budaya Orang Tolaki sehari-hari secara umum baik merupakan rakyat biasa, sebagai seorang tokoh formal maupun nonformal, nilai-nilai kepemimpinan yang terkandung dalam lembaga adat kalosara  berintikan persatuan dan kesatuan, keserasian dan keharmonisan, keamanan dan kedamaian. Lembaga kalosara  juga menjadi landasan kultural bagi setiap individu dalam menciptakan suasana kehidupan bersama yang aman damai serta dalam menegakkan aturan baik berupa hukum adat maupun hukum negara (Tawulo dkk, 1991; Tarimana, 1993; Su’ud, 1992; Tondrang, 2000). Karena itu bagi Orang Tolaki menghargai, mengkeramatkan dan mensucikan kalo kalo berarti  berarti

12

 

mentaati ajaran-ajaran nenek moyang mereka. Apabila mereka berbuat sebaliknya, diyakini akan mendatangkan bala atau durhaka (Tarimana, 1993; Su’ud, 1992).  Kalo   secara antropologis merupakan unsur kebudayaan yang merupakan suatu pusat  Kalo dalam kebudayaan Tolaki, sehingga mendominasi banyak aktivitas atau pranata lain dalam kehidupan orang Tolaki. Fokus kebudayaan dari suatu masyarakat, oleh Linton (1936: 402) disebut cultural interest  atau social   atau  social interest , yaitu suatu kompleks unsur-unsur kebudayaan yang tampak amat digemari warga masyarakatnya sehingga tampak seolah-olah mendominasi seluruh kehidupan masyarakat yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1981). Menurut

Tarimana (1993)

kalo   bagi kalo

Orang Tolaki

adalah fokus

yang dapat

mengintegrasikan unsur-unsur yang ada dalam kebudayaan Tolaki, memiliki 4 fungsi: 1)   Kalo  Kalo   sebagai ide dalam kebudayaan dan sebagai kenyataan dalam kehidupan orang Tolaki.  Kalo pada  Kalo  pada tingkat nilai budaya adalah sistem nilai yang berfungsi mewujudkan ide-ide yang mengkonsepsikan hal yang paling bernilai bagi orang Tolaki, adalah apa yang disebut medulu mepoko’aso  mepoko’aso  (persatuan dan kesatuan), ate pute penao moroha  moroha  (kesucian dan keadilan), morini mbu’umbundi monapa mbu’undawaro  mbu’undawaro  (kemakmuran dan kesejahteraan). Ide ini dinyatakan melalui penggunaan kalo dalam setiap upacara perkawinan, kematian, upacara tanam dan potong padi atau pun pada setiap upacara penyambutan tamu. Selain itu, ide ini juga diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya dalam apa yang disebut mete’ alo-alo   (bantu-membantu) dan lain-lain. Akhirnya ide kesejahteraan misalnya diwujudkan alo-alo dalam

apa

yang

disebut

mombekapona- pona’ako

(saling

hormat-menghormati),

mombekamei-meiri’ako mombekameimeiri’ako (saling  (saling kasih-mengasihi), ndundu karandu (suasana ketenangan batin yang diliputi dengan alunan bunyi gong yang merdu di tengah malam), dan tumotapa rarai

13

 

(suasana kegembiraan yang dilipuyi dengan suara hura-hura, tawa, dan tepuk tangan yang meriah). 2)   Kalo  Kalo   sebagai fokus dan pengintegrasian unsur-unsur kebudayaan Tolaki.  Kalo  Kalo   bagi orang Tolaki, bukan hanya sekedar simbol, tetapi juga fokus dalam pengintegrasian unsur-unsur kebudayaan Tolaki, yakni: (1) dalam bahasa, sebagai lambang komunikasi; (2) dalam sistem ekonomi tradisional, sebagai penjaga tanaman, dan sebagai asas distribusi barang-baranag ekonomi; (3) sistem sistem teknologi tradisional, sebagai sebagai model mengikat dan bentuk alat-alat; (4) organisasi sosial, sebagai asas politik dan pemerintahan; (5) sistem pengetahuan, dalam hubungannya dengan alam semesta; (5) sistem kepercayaan, dalam hubungan struktur alam dunia; dan (6) sistem kesenian, dalam bubungan bentuk rias, dan teknik menari. 3)   Kalo  Kalo sebagai  sebagai pedoman hidup untuk terciptanya ketertiban sosial dan moral dalam kehidupan orang Tolaki. Untuk terciptanya ketertiban sosial dan moral dalam kehidupan masyarakat,  penggunaan  Kalo  Kalo   sebagai pedoman hidup untuk terciptanya ketertiban sosial dan moral tampak dalam usaha memulihkan suasana kelaparan karena panen gagal atau karena bencana alam atau peristiwa lainnya. Orang Tolakimenganggap bahwa timbulnya suasana yang tidak  baik akibat dari manusia yang telah melanggar adat ataupun ajaran agama, atau telah melanggar ajaran  Kalo  Kalo   sebagai instrumen adat utama mereka. Untuk memulihkan suasana semacam ini, maka diadakanlah upacara yang disebut mosehe wonua (upacara pembersihan negeri) yang diikuti oleh segenap besar warga masyarakat. 4)   Kalo  Kalo sebagai  sebagai pemersatu dan solusi terhadap pertentangan-pertentangan sosial budaya dalam kehidupan masyarakat Tolaki. Timbulnya pertentangan sosial bisa terjadi kapan saja, di mana saja, baik antar perorangan ataupun antar kelompok yang dapat meresahkan masyarakat. Konflik yang sering muncul di

14

 

masyarakat, seperti masalah sengketa hak atas tanah, masalah perkawinan, pinangan ataupun masalah warisan juga diselesaikan dengan menggunakan kalosara kalosara   (Su’ud, 2008). 2008). Begitu juga masalah sengketa perbatasan antar desa yang seringkali sulit dipecahkan/diselesaikan oleh  pemerintah, akhirnya diselesaikan secara adat melalui kalosara kalosara.. Kebudayaan Tolaki dengan instrumen Kalosara instrumen  Kalosara menjadi  menjadi alat dominan dalam penyelesaian penyelesaian setiap sengketa. Misalnya, Misalnya, dalam  penyelesaian sengketa tanah, maka pemerintah setempat bersama tokoh masyarakat dan kepala adat melakukan kegiatan mosehe (pencucian/penyehatan negeri) (Tarimana, 1993). 1993). Upacara mosehe merupakan mosehe  merupakan upaya rekonsiliasi antara pihak-pihak yang bertikai. Pascapemerintahan Suharto, sejumlah permasalahan yang dulunya terpendam meledak ke  permukaan. Beragam konflik yang terjadi pada prinspinya selalu mengedepankan, wacana  pertahanan diri atau egoisme antar-kelompok yang melakukan konflik. Bentuk-bentuk sengketa  pertanahan yang banyak melibatkan rakyat atau para petani biasanya beragam bentuk. Scott (1985) menyebutnya sebagai everyday forms of resistence, resistence, perlawanan terselubung (Siahaan, 1996), dan perbanditan sosial (Suhartono, 1995). Bentuk lain perlawanan petani dimotivasi oleh sikap-sikap keagamaan. Kartodirdjo (1984) mencatat bahwa perlawanan para tani dapat diidentifikasi sebagai gerakan juru selamat (messianisme ( messianisme), ), gerakan ratu adil (millenearisme ( millenearisme), ), gerakan pribumi (nativisme (nativisme), ), gerakan kenabian ( prophetisme  prophetisme), ), dan penghidupan kembali (revivalisme revivalisme). ). Konflik pertanahan di daerah ini bermula ketika pemerintah menempatkan warga transmigrasi di beberapa wilayah di daerah ini. Menurut Karsadi (2002) sejak penyelanggaraan  program transmigrasi di Kabupaten Kendari dengan menempatkan transmigran dengan jumlah yang relatif besar telah berdampak terhadap menyempitnya lahan pertanian secara tradisional. Keberadaan lahan-lahan pertanian tradisional seperti homa, anahoma atau anasepu, o’epe,

15

 

arano, lokua, dan walaka semakin tergusur karena lahan tersebut sebagian besar digunakan untuk proyek transmigrasi. Selain itu, permasalahan lain yang mempertajam munculnya konflik dilatari oleh semakin melebarnya kesenjangan antara penduduk transmigran dengan penduduk asli atau suku Tolaki. Secara sosial ekonomi, penduduk transmigran memiliki kecakapan dan keahlian di bidang  pertanian, kepemilikan aset-aset dan alat-alat pertanian. Sementara hal ini berbanding terbalik dengan penduduk asli khusuusnya di kalangan petani yang hidupnya masih memprihatinkan. Dengan proyek transmigrasi ini, penduduk asli semakin kehilangan lahan pertanian untuk menyambung hidupnya. Kondisi sosial tersebut memerlukan solusi dalam bentuk kalosara kalosara   untuk melakukan rekonsisliasi antara pihak-pihak yang berkonflik. Peran tokoh adat Tolaki sangat strategis untuk tampil menjadi bagian dari solusi konflik dengan menampilkan kalosara sebagai instrumen utama adat Tolaki dapat diterima oleh kelompok lain. Peran Pabitara: Peran  Pabitara: juru  juru bicara adat yang memfungsikan kalosara kalosara dalam  dalam berbagai kesempatan. Pabitara masih tetap eksis karena dipelihara, bahkan setiap desa memiliki minimal seorang  Pabitara, ini ini   seiring dengan kepentingan masyarakat Toilaki dalam menyelesaikan setiap masalah. D.  Prospek Pemanfataan Instrumen Kalosara dalam Kehidupan Sosial Masyarakat Tolaki Dan Peran Pabitara dan Tolea dalam Adat Suku Tolaki  1.  Kasus Sengketa Tanah 

Kasus sengketa tanah di Kecamatan Unaaha Kabupaten Kendari tahun 1994 antara Warga Desa Puosu (Komunitas Tolaki) dengan Warga Transmigrasi berhasil dieselesaikan berkat adanya kalosara kalosara,, yang difasilitasi oleh Bupati Kendari Drs. H. Razak Porosi. Secara operasional

16

 

Bupati meminta tokoh masyarakat dari kedua belah pihak, untuk melakukan pertemuan, selanjutnya dibentuk tim mediasi dari 2 orang tokoh masyarakat Tolaki, satu orang melakukan komunikasi secara intensif dengan tokoh dan kelompok masyarakat trasmigran dan satu orang melakukan komunikasi dengan masyarakat Tolaki. Kedua tokoh berupaya mengidentifikasi aspirasi kedua belah pihak. Bagi pihak Tolaki menghendaki tanah yang telah dimiliki oleh masyarakat Bali harus dikembalikan kepada pemilik yang sah dengan membatalkan sertifikat, sedangkan pihak masyarakat transigran menghendaki pengakuan tanah yang telah dimiliki dan telah disertifikatkan. Solusi yang akhirya disepakati adalah tanah yang telah dimiliki oleh warga trasmigran dibagi dua, satu bagian tetap menjadi milik warga transmigran, dan satu bagian dikembalikan kepada pemilik awal yang sah secara adat. Puncak kesepakatan dilaksanakan dalam upacara mombesara  mombesara  (Upacara Pembersihan Negeri) dengan membawa  Kalosara  Kalosara   dari  pihak warga transmigran di bawah bimbingan seorang mediantor dari tokoh masyarakat Tolaki, selanjutnya kalosara kalosara   diletakkan di tengah-tengah kedua belah pihak yang berkonflik. Dalam suasana seperti ini kedua belah pihak menyatakan siap berdamai dan menyatakan saling memaatkan. Setelah pertistiwa ini, maka tidak ada lagi konflik di antara kedua komunitas tersebut. 2.  Kasus Sengketa Politik  

Era otonomi daerah sering menimbulkan sengketa politik baik antara individu internal satu  partai politik, antar partai politik, maupun sengketa pemilihan Kepala/Wakil Kepala Daerah (Gubernur, Bupati/Walikota). Belum banyak memanfaatkan instrumen adat lokal (local ( local genius)  genius)  untuk dijadikan media penyelesaian sengketa politik tersebut.

17

 

Selama ini proses pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah sering menimbulkan gesekan diantara kelompok pendukung masing-masing. Tidak sedikit konflik sampai di meja hijau/Mahkamah Konstitusi, dan beberapa pelanggaran harus berakhir di pengadilan. Sementara instrumen  Kalosara  Kalosara   memungkinkan unyuk dapat digunakan sebagai media penyelesaian  perselisihan secara damai, dengan biaya yang relatif murah. Situasi sosial politik tersebut memerlukan solusi dalam bentuk kalosara kalosara untuk  untuk melakukan rekonsisliasi antara individu dan atau kelompok-kelompok sosial politik yang berkonflik. Kehadiran tokoh adat Tolaki sangat penting untuk tampil menjadi pelopor dari solusi konflik dengan menampilkan instrumen  instrumen  kalosara sebagai media utama yang dapat diterima oleh kelompok yang bertikai atau kelompok lain yang ada di sekitarnya. 3.  Kasus Kawin Lari 

Kasus kawin lari dimana keluarga perempuan melakukan tuntutan kepada keluarga pihak laki-laki dalam bentuk dendam yang mengarah kepada pembunuhan. Akan tetapi bagi masyarakat Tolaki, ketegangan pihak perempuan dapat diredam dengan membawakan kalosara kalosara.. Jika kalosara kalosara   dihadirkan dihadapan pihak keluarga perempuan, maka yang bersangkutan tidak  bisa melakukan reaksi, jika dia tetap bereaksi maka akan diberikan sangsi adat dan akan dihukum secara fisik oleh segenap masyarakat setempat. Sebaliknya, jika ia menerima kehadiran kalosara, maka keluarga pihak perempuan diberi kesempatan untuk mengajukan tuntutan sebagai solusi adat, berupa: 1 pis kain kaci dan 1 ekor kerbau sebagai  peahala (denda) yang harus dibayar pihak laki-laki kepada keluarga pihak perempuan. 4.  Kasus Pembunuhan 

Kasus penyelesaian pembunuhan dapat diselesaikan dengan hukum Adat Tolaki yaitu adanya konsensus antara keluarga korban dengan pihak pelaku yang disaksikan oleh toono

18

 

motuo,, kapala kambo/kapala desa, pabitara motuo desa,  pabitara untuk  untuk berdamai. Pelaku harus memenuhi permintaan keluarga korban dengan menghadirkan kalosara kalosara.. Secara empiris bahwa sesuai ketentuan adat  bahwa pelaku harus menanggung denda berupa: (1) satu pis kain kaci sebagai perngganti  pembungkus mayat, (2) ongkos pesta kematian, dan (3) satu ekor kerbau sebagai tanda  berkabung. Diadakan perdamaian dengan jalan upacara upacara  mosehe mosehe yaitu  yaitu upacara perdamaian antara keluarga korban dan keluarga pelaku dengan menghadirkan kalosara di hadapan kedua belah  pihak. 5.  Kasus Tambang 

Penemuan tambang nikel dan emas di beberapa wilayah Sulawesi Tenggara, menyebabkan masuknya berbagai perusahaan yang berusaha memiliki Kuasa Penambangan. Berbagai cara untuk memperoleh tanah sebagai wilayah penambangan diantaranya membeli tanah masyarakat setempat dengan harga yang murah, setelah itu secepatnya melakukan penambangan dengan  jalan menggali tanah tanpa memperhatikan AMDAL, sehingga dalam waktu singkat para anggota masyarakat merasakan dampaknya. Misalnya: (1) nelayan tidak lagi dapat memperoleh ikan dalam radius tertentu dari pantai karena tercemar air pembuangan tambang yang langsung mengalir ke laut tampa adanya proses penyaringan, (2) akan terjadi kecemburuan sosial dalam  jangka menengah dan pajang, melalui rekrutmen tenaga kerja umumnya dari luar, karena masyarakat sekitar kurang terampil dan pendidikan rendah, (3) belum ada pemikiran untuk memberdayakan masyarakat melalui pendidikan kepada generasi muda sekitar tambang dengan memanfaatkan dana CSR. Kondisi ini merupakan suatu titik rawan di Sulawesi Tenggara, karena telah terbukti dirasakan dampaknya di berbagai wilayah di Nusantara. Untuk itu, bagi masyarakat Tolaki perlu

19

 

memelihara peran pabitara peran  pabitara (juru bicara adat) yang selalu hadir menjadi mediasi dalam berbagai  permasalahan masyarakat dengan memanfaatkan istrumen kalosara. kalosara.  

20

 

BAB III PENUTUP A.  Kesimpulan

 Kalo adalah suatu benda yang berbentuk lingkaran, cara  –  cara   cara mengikat yang melingkar, dan pertemuan  –  pertemuan   pertemuan atau kegiatan bersama di mana para pelaku membentuk lingkaran. Pembuatan Kalo Pembuatan  Kalo pada  pada dasarnya dasarn ya adalah dengan jalan mempertalikan atau mempertemukan kedua ujung dari bahan  –   bahan tersebut pada suatu simpul.  simpul.   Kalo  Kalo  meliputi osara (adat istiadat) yang  berkaitan dengan adat pokok dalam pemerintahan, hubungan kekeluargaan - kemasyarakatan, aktivitas agama –  agama –  kepercayaan,  kepercayaan, pekerjaan –  pekerjaan –  keahlian  keahlian dan pertanian (Tarimana 1993:20). Berbagai masalah telah terbukti berhasil diatasi melalui pemanfaatan kalosara. kalosara.   Masalah sengketa tanah, masalah politik, masalah perkawinan, dan masalah kriminalitas terbukti kehadiran kalosara kalosara   sebagai solusinya. Pemanfaatan kalosara kalosara   sebagai media solusi, dapat menjadi model bagi masyarakat lain, karena pilihan ini dapat berjalan dengan mudah dan biaya yang murah. Peran  pabitara  pabitara   selakau tokoh masyarakat Tolaki perlu dilestarikan dan dikembangkan untuk menjadi mediasi dalam penyelesaian berbagai masalah yang dihadapai masyarakat dengan memanfaatkan kalosara sebagai instrumen utama.

21

 

B.  Saran

Kita harus melestarikan budaya kita, karena itu adalah warisan dari leluhur yang harus dijaga agar tidak tenggelam dalam maraknya modernnisasi, dengan tetap menghargai suku  –   suku bangsa di Indonesia, karena kita adalah Negara kesatuan yang berlandaskan Pancasila.

22

 

DAFTAR PUSTAKA

http://idamanalwi.multiply.com/journal.  http://idamanalwi.multiply.com/journal.  http://www.academia.edu/25758228/Kalosara_Sebagai_Media_Penyelesaian_Sengketa_Adat https://www.google.co.id/search?q=peran+lembaga+adat+suku+tolaki+menyelesaikan+sengketa &oq=peran+lembaga+adat+suku+tolaki+menyelesaikan+sengketa&ie=UTF-8 https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/kaling/article/view/8430/8009

23

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF