MTE Esotropia Kongenital

July 18, 2017 | Author: agniajolanda | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Ophtalmology...

Description

Meet the Expert DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN ESOTROPIA KONGENITAL

Oleh : Dhini Datu Oktariani

1010312102

Kenny Cantika Abadi

1110313040

Muhammad Lingga Primananda

1110312008

Vokal Furkano

1110312023

Pembimbing : dr. Sri Handayani Mega Putri, Sp.M (K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA RSUP DR. M. DJAMIL PADANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS PADANG 2015

DAFTAR ISI

Daftar isi................................................................................................................ Daftar gambar........................................................................................................ BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang........................................................................................... 1.2 Rumusan Masalah..................................................................................... 1.3 Tujuan Penelitian....................................................................................... 1.4 Manfaat Penelitian..................................................................................... BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Neuroanatomi dan otot – otot ekstraokuler............................................... 2.2 Definisi Esotrofia Kongenital.................................................................... 2.3 Epidemiologi Esotrofia Kongenital........................................................... 2.4 Etiologi dan Faktor Risiko Esotrofia Kongenital...................................... 2.5 2.6 2.7 2.8 2.9 2.10 BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan................................................................................................ DAFTAR PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Strabismus, sering disebut sebagai mata silang, adalah suatu kondisi dimana

mata tidak selaras atau seimbang antara mata satu dengan yang lain. Salah satu mata baik secara menetap maupun intermiten berbalik ke arah dalam (esotrofia) dan ke arah luar (eksotrofia) saat mata mengfiksasi objek tertentu. Selain itu juga ada ketidakseimbangan arah mata lainnya seperti berbalik ke arah atas (hipertrofia) dan berbalik ke arah bawah (hipotrofia). Kecenderungan deviasi mata, satu sama lain dapat diklasifikasikan sebagai “laten” dimana mata tetap seimbang oleh mekanisme fusi dan “manifes” dimana keseimbangan mata tidak dapat dikontrol oleh mekanisme fusi. Deviasi mata laten disebut sebagai heteroforia sedangkan deviasi mata manifes disebut sebagai heterotrofia atau strabismus. Ketidakseimbangan mata ini dapat disertai dengan pergerakan satu atau kedua mata yang abnormal, penglihatan ganda, penurunan ketajaman mata, sakit kepala, dan perubahan postur kepala. Pada makalah ini akan membahas mengenai diagnosis dan tatalaksana dari esotrofia kongenital. 1.2

Batasan Masalah

Makalah ini membahas tentang definisi, etiologi, klasifikasi, faktor risiko, patogenesis, gejala klinis, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi, dan prognosis dari esotrofia kongenital. 1.3

Tujuan Penulisan Makalah ini bertujuan untuk lebih memahami mengenai definisi, etiologi,

klasifikasi, faktor risiko, patogenesis, gejala klinis, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi, dan prognosis dari esotrofia kongenital, sekaligus sebagai salah satu pemenuhan sesi pembelajaran kepaniteraan klinik dokter muda bagian Ilmu Kesehatan Mata RSUP DR. M. Djamil Padang. 1.4

Manfaat Penulisan Makalah ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai esotrofia

congenital, khususnya mengenai diagnosis dan penatalaksanaan dari esotrofia congenital. 1.5

Metode Penulisan Makalah ini disusun dengan menggunakan metode tinjauan kepustakaan yang

merujuk kepada berbagai literatur, termasuk buku teks dan makalah ilmiah. BAB II TINJUAUAN PUSTAKA 2.1

Neuroanatomi dan fungsi otot – otot ekstraokuler Pergerakan okular diatur oleh enam otot ekstraokuler. Nervus cranial yang

mempersyarafinya adalah nervus III (okulomotorius), nervus IV (troklearis) dan

nervus VI (abdusens). Selain itu, Nervus III juga mempersyarafi levator palpebra dan muskulus sfingter pupil. Tabel 2.1 Origo dan Insersi Muskulus Ekstra Okular N

Otot

Origo

Insersi

inervasi

o 1.

M. Rektus Superior

anulus zinii dekat fisura

8 mm di belakang limbus

N III

2. 3. 4.

M. Rektus Medialis M. Rektus Inferior M. Oblik Superior

orbitalis superior anulus zinii anulus zinii fossa lakrimal

5 mm di belakang limbus 6 mm di belakang limbus sklera posterior 2 mm

N III N III N III

5.

M. Oblik Inferior

anulus zinii

dari kedudukan macula sklera di belakang

N IV

temporal belakang bola 6.

M.Rektus Lateralis

anulus zinii di atas dan

mata 7 mm di belakang limbus

N VI

di bawah foramen optic Pergerakan bola mata bersifat konjugat yaitu keduanya menuju arah yang sama dan pada saat yang bersamaan. Gerakan kojugat horizontal melibatkan pergerakan simultan pada kedua mata dengan arah berlawanan dari garis tengah. Satu mata bergerak ke medial, sedangkan mata lainnya bergerak ke arah lateral. Dengan demikian gerakan konjugat bergantung pada ketepatan koordinasi persarafan kedua mata dan pada nuklei otot yang menpersarafi gerakan mata pada kedua sisi. Hubungan saraf sentral yang kompleks juga mempengaruhi terjadinya gerakan tersebut. Saraf yang mempersarafi otot-otot mata juga berperan pada beberapa refleks yaitu akomodasi, konvergensi, dan refleks cahaya pupil. Tabel 2.2 Aksi otot ekstraokuler

No . 1. 2. 3. 4. 5. 6.

2.2

Otot Ekstraokuler M. Rektus Superior M. Rektus Medialis M. Rektus Inferior M. Oblik Superior M. Oblik Inferior M.Rektus Lateralis

Aksi Elevasi Intorsi Adduksi Adduksi Depresi Ekstorsi Adduksi Intorsi Depresi Abduksi Ekstorsi Elevasi Abduksi Abduksi

Definisi Esotrofia Kongenital Esotropia adalah salah satu tipe strabismus atau ketidakseimbangan mata.

Istilah esotrofia berasal dari bahasa Yunani yaitu “eso-“ yang berarti ke dalam dan “– trepo” yang berarti giliran. Esotropia atau yang diistilahkan sebagai mata silang terjadi ketika salah satu mata melihat lurus ke depan sedangkan mata lainnya berbelok kea rah hidung. Istilah esotropia kongenital adalah esodeviasi dengan onset sebelum berusia enam tahun, Sudut deviasi biasanya sangat besar, dan lebih dari 30 primsa dioptric (PD). Esotropia kongenital sering dihubungkan dengan nistagmus yang merupakan disosiasi deviasi vertical dan overreaksi dari otot oblik inferior. 2.3

Epidemiologi Esotrofia Kongenital Strabismus merupakan masalah mata yang paling banyak pada usia anak–anak

dimana 5 dari setiap 100 anak di US mengalami strabismus atau 12 juta orang dari 245 juta populasi penduduk. Prevalensi esotropia kongenital lebih banyak daripada esotrofia jenis lain yaitu 28-54%. Studi berbasiskan populasi dari tahun 1965 sampai dengan 1994 dilaporkan bahwa prevalensi kelahiran dengan esotrofia kongenital adalah 25 per 10.000 atau 1 dari 403 lahir hidup.

2.4

Etiologi dan Faktor Risiko Esotrofia Kongenital Penyebab pasti dari esotrofia kongenital masih belum teridentifikasi.

Beberapa ahli berkeyakinan bahwa ada kaitan dengan komponen genetik. Berdasarkan penelitian Tychsen dan Lisberger, 1986, ditemukan bahwa pasien strabismus yang memiliki strabismus berat memiliki dua saudara kandung dengan esotrofia kongenital. Selain itu investigasi skala besar menunjukkan bahwa 20%-30% anak–anak yang lahir dari orang tua strabismus akhirnya akan berkembang menjadi strabismus. Beberapa faktor risiko tertentu yang dihubungkan dengan esotrofia kongenital seperti lahir prematur, riwayat keluarga yang memiliki kelainan mata, komplikasi selama masa kehamilan seperti hipoksia/iskemia ensepalopati, kelainan sistemik, dan penggunaan obat selama masa kehamilan. Perhatian lebih terhadap faktor risiko tersebut dapat menjadi deteksi dini dan managemen awal terhadap esotrofia. 2.5

Patogenesis Penyebab esotropia kongenital masih belum diketahui. Perdebatan mengenai

etiologinya terfokus pada implikasi dari 2 teori. Konsep "sensoris" Worth mengatakan bahwa esotropian kongenital merupakan hasil dari penurunan pusat fusi di otak. Menurut teori ini mengembalikan fungsi mata binokular dikatakan tidak berguna karena tidak ada cara untuk menyediakan pengganti dari hilangnya fungsi neural. Chavasse tidak setuju dengan teory Worth dan percaya bahwa penyebab utama esotropia kongenital adalah mekanik dan berpotensi untuk dapat disembuhkan bila deviasi dapat dihilangkan ketika masih bayi.

2.6

Klasifikasi Esotropia kongenital termasuk dalam bentuk-bentuk esotropia. Berikut

bentuk-bentuk esotropia : 1. Esotropia kongenital, mulai terlihat pada usia 6 bulan 2. Esotropia akomodatif, mulai usia 6 bulan hingga 7 tahun, bila dikoreksi hipermetropinya maka akan terlihat hingga esotropinya 3. Esotropia nonakomodatif, tidak hilang hingga dengan koreksi hipermetropinya. Bentuk-bentuk esotropia berdasar sudut penyimpangannya : 1. Esotropia konkomitan, yaitu bila sudut penyimpangan sama besarnya pada semua arah pandangan. 2. Esotropia nonkomitan, yaitu bila besarnya sudut penyimpangan berbeda-beda pada arah pandangan yang berbeda-beda pula. 2.7

Diagnosis Esotropia kongenital klasik melibatkan sudut deviasi yang besar melebihi 20

dioptri prisma (PD) pada pengukuran reflek cahaya kornea. Sesuai aturan, anak-anak dengan esotropia yang lebih besar atau sama dengan 40 PD pada usia 2-4 bulan awal jarang menjadi orthoporia secara spontan. Pada anak dengan deviasi sudut yang lebih kecil (< 40 PD) atau dengan sudut yang bervariasi mempunyai kesempatan yang lebih untuk menjadi orthoporia. Berdasarkan Tychsen, esotropia kongenital bermanifestasi dengan tanda motorik ocular, seperti :

1. 2. 3. 4. 5.



Esotropia dengan atau tanpa ambliopia strabismus Nistagmus Asimetris Gerakan visual asimetris dan abnormalitas persepsi gerakan Deviasi vertical Esotropia kongenital dapat berhubungan dengan beberapa presentasi klinis

seperti ambliopia, skotoma sentral, dan inkomiten. Ambliopia selalu terdapat pada pasien dengan esotropia kongenital.  Semua pasien dengan esotropia kongenital gagal untuk mencapai penglihatan 

normal dan stereopsis. Skotoma sentral selalu dapat diidentifikasi. Pada kondisi lain, telah dilaporkan bahwa kuadran inferonasal pada lapang pandangan mengalami penyemoitan



pada pasien dengan esotropia kongenital sebagai hasil dari deviasi vertical. Terdapat inkomiten, tipe yang paling sering ditemukan adalah esotropia kongenital dengan tipe V dimana esodeviasi lebih besar pada bagian bawah daripada bagian atas. Esotropia kongenital tipe V disebabkan oleh overaksi

dari muskulus obliqus inferior. 2.8 Pemeriksaan Penunjang A. Pemeriksaan Kelainan Refraksi (Rusdianto, 2006) a. Pemeriksaan Aspek Motorik Menentukan Besar Sudut Deviasi 1. Uji Prisma dan Penutupan a. Uji penutupan (cover test) b. Uji membuka penutup (uncover test) c. Uji penutup berselang seling (alternate cover test) Penutup ditaruh berselang seling didepan mata yang pertama dan kemudian mata yang lain. Uji ini memperlihatkan deviasi total (heterotropia dan heteroforia)

2. Uji penutupan plus prisma Untuk mengukur deviasi secara kuantitatif, diletakkan prisma dengan kekuatan yang semakin tinggi dengan kekuatan satu atau kedua mata sampai terjadi netralisasi gerakan mata pada uji penutup berselang-seling. Misalnya untuk mengukur esodeviasi penuh, penutup dipindah-pindahkan sementara diletakkan prisma dengan kekuatan base out yang semakin tinggi didepan salah satu atau kedua mata sampai gerakan re-fiksasi horizontal dicapai oleh mata yang deviasi. (Rusdianto, 2006) 3. Uji Objektif Uji prisma dan uji tutup bersifat objektif, karena tidak diperlukan laporan – laporan pengamatan sensorik Dari pasien. Namun diperlukan kerjasama dan tajam penglihatan yang utuh. Uji batang Maddox bersifat subjektif, Karena nilai akhir pelaporan berdasarkan laporan pengamatan sensorik pasien. Pada kasus dimana pasien dalam keadaan bingung atau tidak kooperatif, mungkin tidak respon terhadap uji ini. Cara-cara penentuan klinis posisi mata yang tidak memerlukan pengamatan sensorik pasien (uji objektif) jauh kurang akurat, walaupun kadang-kadang masih bermanfaat. Terdapat dua metode yang sering digunakan yang bergantung pada pengamatan posisi reflek cahaya oleh kornea, yakni : (Rusdianto, 2006) a. Metode Hirschberg Pasien disuruh melihat sumber cahaya pada jarak 33 cm kemudian lihat pantulan cahaya pada kedua kornea mata.

i. Bila letaknya ditengah berarti tidak ada deviasi ii. Bila letaknya dipinggir pupil maka deviasinya 15 º iii. Bila letaknya dipertengahan antara pupil dan limbus maka deviasinya 30 º iv. Bila letaknya dilimbus maka deviasinya 45 º b. Metode Refleksi Prisma (modifikasi uji krimsky) Penderita memfiksasi pada cahaya dengan jarak sembarangan. Prisma ditaruh didepan mata sedang deviasi. Kekuatan prisma yang diperlukan agar refleksi kornea pada mata yang juling berada ditengah-tengah pupil menunjukkan besarnya sudut deviasi. 4. Duksi (rotasi monokular) Satu mata ditutup dan mata yang lain mengikuti cahaya yang digerakkan kesegala arah pandangan, sehingga adanya kelemahan rotasi dapat diketahui. Kelemahan seperti ini bisa karena paralisis otot atau karena kelainan mekanik anatomik. (Rusdianto, 2006) 5. Versi (gerakan Konjugasi Okular) Uji untuk Versi dikerjakan dengan mata mengikuti gerakan cahaya pada jarak 33 cm dalam 9 posisi diagnosis primer – lurus kedepan; sekunder – kekanan, kekiri keatas dan kebawah; dan tersier – keatas dan kekanan, kebawah dan kekanan, keatas dan kekiri, dan kebawah dan kekiri. Rotasi satu mata yang nyata dan relative terhadap mata yang lainnya dinyatakan sebagai kerja-lebih (overreaction) dan kerja –kurang (underreaction). Konsensus:

pada posisi tersier otot-otot obliq dianggap bekerja-lebih atau bekerja-kurang berkaitan dengan otot-otot rektus pasangannya. Fiksasi pada lapangan kerja otot paretik menyebabkan kerja-lebih otot pasangannya, karena diperlukan rangsangan yang lebih besar untuk berkontraksi. Sebaliknya, fiksasi oleh mata yang normal akan menyebabkan kerja-kurang pada otot yang paretik. (Rusdianto, 2006) b. Pemeriksaan Aspek Sensorik 1. Uji stereopsis Digunakan kaca sasaran Polaroid untuk memilahkan rangsangan. Sasaran yang dipantau secara monokular hampir-hampir tidak bisa dilihat kedalamannya. Stereogram titik-titik acak (random stereogram) tidak memiliki petunjuk kedalaman bila dilihat monocular. Lapangan titik-titik secara acak (A field of random dots) terlihat oleh mata masing-masing tetapi hubungan titik ke titik yang sesuai antara 2 sasaran adalah sedemikian rupa sehingga bila ada stereopsis akan tampak suatu bentuk yang terlihat stereoskopis. (Rusdianto, 2006) 2. Uji Supresi Adanya supresi bisa ditunjukkan dengan uji 4 titik Worth. Gagang pencoba dengan 4 lensa merah didepan satu mata dan lensa hijau didepan mata yang lain. Ditunjukkan senter dengan bulatan-bulatan merah, hijau dan putih. Bulatan-bulatan berwarna ini adalah tanda untuk persepsi mata masingmasing dan bulatan putih yang bisa dilihat kedua mata dapat menunjukkan

adanya diplopia. Pemilahan bulatan-bulatan dan jaraknya Dari mata, menentukan luasnya retina yang diperiksa. Daerah fovea dan daerah perifer dapat diperiksa dengan jarak dekat atau jauh. (Rusdianto, 2006) 3. Uji Kelainan Korespondensi Retina Kelainan korespondensi retina dapat ditentukan dengan dua cara : (Rusdianto, 2006) a. dengan menunjukkan bahwa salah satu fovea tidak tegak lurus didepannya b. dengan menunjukkan bahwa titik retina perifer pada satu mata dan fovea mata lainnya mempunyai arah yang bersamaan. 4. Uji Kaca Beralur Bagolini Uji ini merupakan uji metode yang kedua. Kaca bening dengan aluralur halus yang arahnya berbeda tiap-tiap mata ditempatkan didepan mata. Kondisi uji sedapat mungkin mendekati penglihatan normal. Terlihat sebuah titik sumber cahaya dan seberkas sinar tegak lurus pada arah alur. Jika unsur retina perifer mata yang berdeviasi menunjuk berkas cahaya melalui titik sumber cahaya maka berarti ada kelainan korespondensi retina. (Rusdianto, 2006) 2.9

Tatalaksana Tujuan pengobatan esotropia kongenital adalah untuk mengurangi deviasi untuk

orthotropia. Idealnya, hasil ini terdapat dalam penglihatan normal pada setiap mata dan dalam pengembangan setidaknya beberapa derajat fusi sensorik yang akan menjaga keselarasan gerakan bola mata. (AAO, 2013)

Sudut deviasi yang lebih kecil dapat ditatalaksana dengan lensa prisma dengan atau tanpa terapi oklusi, berdasarkan ada tidaknya ambliopia. Menampilkan refraksi yang baik dengan sikloplegik penuh pada esotropia kongenital. Kombinasi sikloplegik

yang

umum

digunakan

adalah

2,5%

phenylephrine

dan

1%

cyclopentolate. Penting untuk menutup satu mata selama melakukan pemeriksaan retinoskopi untuk membuat jarak yang akurat dengan visual aksis. Rata-rata refraksi sikloplegik pada anak dengan esotropia kongenital tanpa masalah perkembangan dan sistemik lainnya adalah sferis hiperopik ringan dengan astigmatisma ringan, yang stabil pada dekade pertama kehidupan. (Vincent VDO, 2012) Lensa koreksi pada umumnya diberikan dengan hiperopia lebih dari +2.50 dioptri (D) dan/atau ketika unisometropia 1.50 D. tambahan, silinder lebih besar dari atau rata-rata +0.5D dapat diberikan. Pada kondisi lain, myopia diatas -4.00 memerlukan lensa koreksi. Koreksi miopia dilakukan untuk 2 alasan: (Vincent VDO, 2012) -

Untuk memperjelas gambar yang dilihat oleh bayi dengan demikian dapat

-

meningkatkan fiksasi Lensa minus dapat menurunkan kekuatan akomodasi dan sudut strabismus,

terutama fiksasi didekat target. Ketika terdapat ambliopia maka, terapi oklusi merupakan satu-satunya pilihan. Bayi diperiksa ulang setelah beberapa minggu untuk melihat respon terapi dan untuk meyakinkan bahwa oklusi pada ambliopia tidak berkembang pada mata yang dominan. Akhir dari terapi oklusi adalah untuk mencapai penglihatan rata-rata. (Vincent VDO, 2012) 1. Operatif Esotropia kongenital ditandai dengan sudut deviasi yang besar (> 40 PD) dan dikoreksi dengan pembedahan. Tychsen menyatakan bahwa ketika dokter

bedah telah menemukan bayi dengan esotropia kongenital melebihi 12 PD, maka penatalaksanaan bedah harus dilakukan. Dokter bedah harus melakukan 2 kali pengukuran strabismus sebelum melakukan operasi. (Vincent VDO, 2012) Tindakan bedah biasanya diindikasikan setelah terapi medis dan terapi ambliopia

dilakukan.

Selama

bertahun-tahun,

sejumlah

teknik

operasi

dikembangkan tetapi kebanyakan melibatkan reseksi rektus media bilateral. (Vincent VDO, 2012 & AAO, 2013). Reseksi dari otot rektus medial dikombinasikan dengan reseksi dari otot rektus ipsilateral lateral alternatif yang dapat diterima. Pada operasi dua-otot rektus ini, dibutuhkan otot suku cadang horizontal untuk operasi berikutnya; ini umum terjadi pada pasien dengan esotropia kongenital. (AAO, 2013) Alternatif lain adalah reseksi unilateral rektus medius – reseksi rektus lateral (pemendekan otot untuk meningkatkan kekuatan abduksi). Kebanyakan dokter mata setuju bahwa operasi harus dilakukan lebih awal karena koreksi esotropia kongenital dengan operasi memberikan hasil terbaik bila dilakukan pada anak usia kurang dari 12 bulan. Selain itu, juga dapat memaksimalkan fungsi teropong seperti stereopsis (Vincent VDO, 2012 & AAO 2013). 2. Hasil Operasi Von Noorden tak sependapat bahwa tujuan operasi pada esotropia kongenital hanya untuk kosmetik, kita harus berusaha untuk menjadikan mata lurus setelah visus menjadi sama. Operasi dikatakan berhasil bila posisi matajadi ortoforia +/- 10 PD. (Ridwan, 2008) Hasil yang ideal esotropia kongenital adalah: (Ridwan, 2008) a. b. c. d.

Ortoforia/heteroforia asimptomatik untuk jauh dan dekat. Visus kembali normal pada kedua mata Fusi perifer dengan amplitudo normal Gross stereopsis

Sayangnya hasil tersebut jarangdidapat, hasil yang banyak diperoleh adalah: (Ridwan, 2008) a. Secara kosmetik baik/dengansmall residual esotropia b. Adanya fusi perifer c. Dengan ARC d. Terdapat small foveal supression e. Besarnya foveal supression kurang atau sama dengan 2 derajat (pada mata deviasi) Hasil terhadap binocularity diuraikan dalam tabel sebagai berikut. Tabel 2.x Hasil Operasi Berdasarkan Binocularity Usia 0 - 6 bulan 7 – 12 bulan 13 - 24 bulan 25 – 79 bulan Sumber : Strabismus, 2008

Sampel dari 20 pasien dari 46 pasien dari 24 pasien dari 17 pasien

binocularity 20 (100%) 46 (100%) 23 (96%) 7 (48%)

Anak-anak yang matanya lurus setelah operasi esotropia pada usia dini sering dengan fusi perifer dengan NRC, tapi tak pernah dengan fusi sentral. Single binokuler vision tidak akan diperoleh bila hasil operasi deviasi tidak menjadi orto +/-10 prisma. Fusi tidak diperoleh bila operasi dilakukan pada usia> 4 tahun. (Ridwan, 2008) Ing M.R. dalam penelitiannya pada 34 pasien esotropia kongenital dengan operasi yang berhasil (posisi mata setelah operasi ortho +/- 10 PD). (Ridwan, 2008) a.

Hasil stereoskopik post op esotropia kongenital 40 detik busur sangat jarang

b.

diperoleh, kebanyakan hasil stereoskopik 200 – 3000 detik busur. Pasien yang dioperasi usia 6 bulan semuanya memberikan hasil penglihatan

binokuler. c. Operasi pada usia 12 maupun 24 bulan memberikan hasil binokuler yang tinggi dan secara statistik hasil keduanya tidak ada perbedaan.

3. Medikamentosa Beberapa obat digunakan dalam penatalaksanaan esotropia kongenital. Salep kombinasi antibiotik – steroid digunkan untuk pengobatan minggu pertama postoperasi. Injeksi BOTOX® digunakan sebagai alternatif untuk memulai atau a.

mengulang operasi. (Vincent VDO, 2012) Salep kombinasi antibiotik-steroid Digunakan pada minggu pertama postoperasi untuk mengontrol inflamasi dan untuk mencegah infeksi terutama pada konjungtiva. (Vincent VDO, 2012) Obat yang bisa digunakan adalah dexamethasone/tobramycin (Tobradex) yang merupakan kombinasi dari tobramycin 0,3% dan dexamethasone 0,1%. Tobramycin digunakan untuk bakteri gram positif dan gram negatif.

b.

Dexamethasone merupakan kortikosteroid paten. (Vincent VDO, 2012) Neurotoksik Botulinum toxin tipe A (BOTOX®) adalah yang paling sering digunakan. Menghambat transmisi impuls saraf pada jaringan neuromuscular. (Vincent VDO, 2012) OnabotulinumtoxinA (BOTOX®) Digunakan untuk injeksi pada muskulus ekstraokuler. Dosis terapi yang digunakan 1,25 – 2,5 U. dosis lebih rendah digunakan untuk deviasi lebih kecil dan dosis lebih tinggi digunakan untuk deviasi yang lebih besar. (Vincent VDO, 2012) Suntikan toksin botulinum ke dalam otot rektus medial telah digunakan oleh beberapa dokter mata dalam pengobatan esotropia kongenital. Beberapa suntikan mungkin diperlukan dan jangka panjang sensorik dan motorik hasil belum terbukti lebih unggul kepada orang-orang dari operasi insisi. (AAO, 2013) Injeksi Botulinum Toxic (BOTOX®) ke dalam rektus medial telah disarankan sebagai terapi alternatif untuk operasi. Beberapa penelitian telah

meneliti manfaat dari prosedur ini dan mendapatkan hasil yang kontras. Dalam menggunakan injeksi BOTOX® pada rektus medial bilateral, McNeer mencatat penurunan sudut esotropia pada 27 pasien dengan esotropia kongenital lebih muda dari usia 12 bulan dan pada pasien lebih muda dari usia 24 bulan. Penelitian jangka panjang hingga 95 bulan postinjeksi menunjukkan bahwa tidak hanya penurunan signifikan dari sudut esotropia tetapi juga kesejajaran binocular (+10 PD) pada 89% pasien. (Vincent VDO, 2012) Pada suatu penelitian terpisah yang dilakukan oleh Scott et al, tercatat bahwa 65% pasien yang mengalami esotropia kongenital mencapai koreksi 10 PD dengan injeksi BOTOX®. Tidak ada perforasi, ambliopia, atau kehilangan penglihatan yang dilaporkan pada pemakaian injeksi BOTOX®.(Vincent VDO, 2012) Dalam evaluasi penggunaan BOTOX® sebagai pengobatan primer untu esotropia kongenital sebelum operasi, de Alba Campomanes et al, menyatakan bahwa BOTOX® adalah pengobatan paling efektif untuk esotropia kecil – sedang, dengan hasil yang sebanding dengan pembedahan. Namun, operasi merupakan penanganan yang paling baik untuk esotropia sudut besar. (Vincent 3.10

VDO, 2012) Komplikasi

3.11

Prognosis Prognosis yang lebih baik untuk kesejajaran okuler dan penglihatan dapat

diperoleh apabila operasi dilakukan sebelum usia 2 tahun. Faktor yang mempengaruhi perburukan kesejajaran letak okuler dan penglihatan dipengaruhi oleh amblyopia

preoperasi, manifestasi nistagmus laten, myopia dari -2,5 sampai -5,0 D. (Vicente, 2012)

BAB III KESIMPULAN

1)

DAFTAR PUSTAKA

Rutstein RP, 2011. Optometric Clinical Practice Guideline Care of the Patient with Strabismus: Esotropia And Exotropia. American Optometric Association. Hal.1 Fundamentals and Principles of Ophthalmology. In: American Academy Of Ophthalmology. Basic and Clinical Science Course. Section 2. 2009-2010: 9799. Sitepu BRE, 2012. Karakteristik Kelumpuhan Okular Motor di RSUP H.Adam Malik Medan diakses pada tanggal 14 Februari 2015 dari http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/33581 Pediatric Ophthalmic Consultant, 2014. Esotropia : Crossed Eyes diakses pada tanggal 14 Februari 2015 dari http://www.pedseye.com/strabismus_esotropia.htm Voncurova J, Uncovska E. 2003. Congenital Esotropia and Nystagmus. Evaluation of Surgical Outcomes. Scripta Medica (BRNO). 76 (2): 119–124 Vicente, Victor D, Ocampo JR. 2014. Infantile Esotropia. Medscape diakses pada tanggal 14 Februari 2015 dari http://emedicine.medscape.com/article/1198876overview#a0199 Kiorpes L, Walton PJ, O’Keefe LP, Movshon JA, dan Lisberger SG. 1996. Effects of Early-Onset Artificial Strabismus on Pursuit Eye Movements and on

Neuronal Responses in Area MT of Macaque Monkeys. The Journal of Neuroscience. 16(20): 6537-6553 https://www.scribd.com/doc/122431172/ESOTROPIA https://www.scribd.com/doc/241637420/CSS-Ari-A-Esotropia-kongenital-docx Sidarta I, Yulianti SR. 2012. Strabismus. Dalam Sidarta I, Yulianti SR. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: FKUI. Hal 267-258. American Academy of Ophthalmology. 2005. Clinical Aspect of Toxic anf Traumatic Injuries of

the Anterior Segment. BCSC Section 8. External Disease and Cornea.

AAO Foundation.

San Fransisco. Hal 89-92

Rusdianto. Diagnosis dan manajemen mikrostrabismus. The 4 th Sumatera Ophthalmology Meeting. 2006 American Academy of Ophtalmology. Infantile (Congenital) Esotrophia. USA : AAO. 2013. Vicente VDO dan Foster CS. Infantile Esotropia (Reference). WebMD LLC. 2012. Ridwan M. Strabismus. Padang : Universitas Andalas. 2008 Vincente Victor D Ocampo. Infantile Esotropia (Reference). Web MD LLC. 2012.

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF