MS refrat LT (1).docx

April 14, 2019 | Author: Christina Davis | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download MS refrat LT (1).docx...

Description

BAB I PENDAHULUAN

Multiple sklerosis (MS) adalah penyakit radang myelin sistem saraf pusat yang disebabkan karena proses autoimun dan faktor genetik lainnya. Di Indonesia penyakit ini tergolong jarang jika dibandingkan dengan penyakit neurologis lainnya. MS lebih sering menyerang perempuan dibandingkan laki-laki dengan rasio 2:1. Umumnya penyakit ini diderita oleh mereka yang berusia 20-50 tahun. MS bersifat progresif dan dapat mengakibatkan kecacatan. Sekitar 50% penderita MS akan membutuhkan bantuan untuk  berjalan dalam 15 tahun setelah onset penyakit. 2 Wu GF, Alvarez E. The immuno pathophysiology of multiple sclerosis. Neurol Clin. 2011 May ; 29(2):257-78); 1 (Calabresi PA. Diagnosis and Management of Multiple Sclerosis. AAFP 2004;70(10);1935) Penyebab MS sampai saat ini tidak diketahui. Keterlibatan faktor genetik dan nongenetik seperti infeksi virus, metabolisme dan faktor lingkungan diduga berperan dalam mencetuskan respon imun yang merusak susunan saraf pusat ini. Penyakit Penyakit sistem saraf pusat yang bersifat progresif dan sering menyebabkan relaps ini terus menimbulkan tantangan untuk mencoba memahami patogenesis dan tatalaksananya sehingga mencegah penyakit tersebut terus berkembang. Kualitas hidup seorang pasien ini sangat dipengaruhi oleh gejala fisik yang timbul termasuk kelelahan, kesakitan, kesulitan dengan mobilitas, masalah sosial dan gangguan mood. Komorbiditas psikiatri dikaitkan dengan penurunan kualitas hidup, hidup, tingkat kelelahan yang lebih tinggi, dan berkurangnya kepatuhan terhadap terapi pengobatan MS.1,2 Oleh karena itu pemahaman yang jelas tentang risiko mengembangkan kondisi ini (kejadiannya), dan prevalensinya pada populasi MS yang mapan sangat dibutuhkan Depresi, dan pada tingkat yang lebih rendah, Perkiraan prevalensi bipolar gangguan dan psikosis telah  bervariasi, 4,5

BAB II MULTIPLE SCLEROSIS 2.1. DEFINISI

Multiple sklerosis adalah suatu peradangan yang terjadi di otak dan sumsum tulang  belakang yang menyerang daerah substansia alba dan merupakan penyebab utama kecacatan  pada dewasa muda. Penyebabnya dapat disebabkan oleh banyak faktor, terutama proses autoimun.  Focal lymphocytic infiltration  infiltration  atau sel T bermigrasi keluar dari lymph node ke dalam sirkulasi menembus sawar darah otak (blood ( blood brain barrier ) secara terus-menerus menuju lokasi dan melakukan penyerangan pada antigen myelin pada sistem saraf pusat seperti yang umum terjadi pada setiap infeksi. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya inflamasi, kerusakan pada myelin (demyelinisasi), neuroaxonal injury, astrogliosis, dan  proses degenerative. Akibat demyelinasi neuron menjadi kurang efisien dalam potensial aksi. Transmisi impuls yang disampaikan oleh neuron yang terdemyelinisasi akan menjadi buruk. Akibat 'kebocoran' impuls tersebut, terjadi kelemahan dan kesulitan dalam mengendalikan otot atau kegiatan sensorik tertentu di berbagai bagian tubuh. Bila otak penderita MS dipotong, akan terlihat bercak-bercak induratif yang multipel di substansia alba alba yang membuatnya membuatnya dinamai multipel sklerosis. Lesi tersebut umumnya  berlokasi di periventrikel, korpus kalosum, nervus optikus, dan medula spinalis. Selain itu dapat ditemukan di batang otak dan serebelum. Secara mikroskopis, lesi tersebut menunjukkan destruksi myelin parsial/total. Juga ditemukan infiltrasi perivaskuler dari monosit, limfosit serta makrofag, sedangkan sedangkan astrosit dan oligodendrosit pada fase lanjut. Pada lesi yang relatif aseluler umumnya aksonnya masih utuh dan terjadi remyelinisasi, sedangkan pada lesi yang infiltratif terjadi degenerasi aksonal.

Gambar 2.1 Perbedaan Neuron yang Sehat dan yang Mengalami Demyelinisasi

2.2. ETIOLOGI

Etiologi dari kelainan tersebut masih belum jelas. Ada beberapa mekanisme penting yang menjadi penyebab timbulnya bercak MS yaitu autoimun, infeksi, dan herediter. Meskipun  bukti yang meyakinkan kurang, faktor makanan dan paparan toksin telah dilaporkan ikut  berkontribusi juga. Mekanisme ini tidak saling berdiri sendiri melainkan merupakan gabungan dari berbagai faktor. a. Virus : infeksi retrovirus akanmenyebabkan kerusakan oligodendroglia  b. Bakteri : reaksi silang sebagai respon perangsangan heat shock protein sehingga menyebabkan pelepasan sitokin c. Defek pada oligodendroglia d. Genetika : penurunan kontrol respon immun e. Lain-lain : toksin, endokrin, stress

2.3. PATOFISIOLOGI

Mekanisme autoimun diduga terjadi melalui penurunan aktifitas limfosit T-supresor  pada sirkulasi pasien penderita MS serta adanya molecular mimicry antara antigen dan MBP (myelin basic protein) yang mengaktifkan klon sel T yang spesifik terhadap MBP ( MBP  specific T-cell clone).  Limfosit T4 menjadi autoreaktif pada paparan antigen asing yang strukturalnya mirip dengan MBP. Tidak hanya beberapa virus dan peptida bakteri saja yang memiliki kesamaan struktural dengan MBP, tetapi beberapa dari mikroorganisme tersebut dapat mengaktifkan MBP-spesifik T-sel klon pada pasien MS. Beberapa infeksi virus diketahui menyebabkan demyelinasi pada manusia diantaranya  progressive multifocal leukoencephalopathy  yang disebabkan oleh papilloma virus JC, subakut  sclerosing panencephalitis  oleh virus campak. Pada MS studi serologis awal sulit ditafsirkan. Namun, banyak pasien MS terdapat elevasi titer CSF terhadap virus campak dan herpes simpleks (HSV), tetapi ini juga tidak spesifik.

2.4. KLASIFIKASI MULTIPLE SCLEROSIS

Berdasarkan perbedaan klinis dan gejala, terdapat beberapa tipe MS: 1.  Relapsing-remitting MS . Banyak kasus umumnya berawal dari bentuk MS yang gejalanya bersifat hilang timbul terutama pada dewasa muda. Merupakan perjalanan klinis yang klasik dari multipel sklerosis dimana terdapat fase relaps dan remisi. Gejala

hanya memburuk ketika adanya serangan meskipun dapat berkembang menjadi  secondary progressive multiple sclerosis. 2. Chronic progressive  MS . Gejala secara bertahap memburuk setelah episode serangan  pertama dan terus terjadi peningkatan kecacatan tanpa diselingi fase remisi sama sekali. Sering melibatkan penurunan gerakan motorik tubuh, atau kinerja sensorik (terutama  penglihatan). 3.  Benign MS . Gejala yang relatif kecil, perkembangan sangat lambat sehingga hampir tak terlihat secara klinis, atau ada sedikit serangan selama masa waktu yang panjang  biasanya 15 tahun setelah diagnosis. Ada bukti yang menyebutkan bahwa perjalanan MS mungkin awalnya jinak. Namun, bukti dari penelitian jangka panjang menyebutkan kasus benign  MS   akhirnya mengakibatkan gejala dan kecacatan yang signifikan, meskipun ini mungkin tidak terjadi selama 20 atau 30 tahun setelah diagnosis. 4. Secondary progressive MS .  Relapsing-remitting MS   dapat berubah menjadi bentuk  secondary progressive  MS   dimana mulai terjadi penurunan yang relatif stabil namun frekuensi remisi cukup jarang.

2.5. MANIFESTASI KLINIS

Gambaran klinis yang muncul sesuai dengan daerah lesi yang terkena. Terdapat beberapa gejala dan tanda yang timbul pada MS: 

Disfungsi usus dan saluran kencing



Menurunnya persepsi nyeri, getaran, dan posisi



Kelelahan dan gangguan mobilitas



Depresi dan gangguan kognitif atau memori



Masalah penglihatan dan pendengaran



Tremor, hiperefleksia, spastisitas, dan tanda babinsky yang positif



 Nistagmus, gangguan koordinasi dan keseimbangan Gejala neurologis yang sering timbul pertama kali pada multipel sklerosis adalah

neuritis optika pada 14-23 % pasien dan lebih dari 50% pasien pernah mengalaminya. Gejala yang dialami adalah penglihatan kabur, pada orang kulit putih biasanya mengenai satu mata, sedangkan pada orang asia lebih sering pada kedua mata. Pada pemeriksaan fisik ditemukan refleks pupil yang menurun, penurunan visus, gangguan persepsi warna dan skotoma sentral. Funduskopi pada fase akut menunjukkan papil yang hiperemis tetapi dapat normal pada neuritis optika posterior/retrobulbar. Sedangkan pada fase kronis dapat terlihat atrofi papil.

Selain itu pada neuritis optika umumnya pasien mengeluh nyeri pada orbita yang dapat timbul spontan terus-menerus atau pada pergerakan bola mata. Selain itu terdapat suatu fenomena yang unik yang disebut fenomena Uhthofff dimana

gejala penurunan visus

(bersifat temporal) dieksaserbasi oleh suhu panas atau latihan fisik. Diplopia juga dapat muncul pada MS meskipun lebih jarang dibandingkan neuritis optika. Gangguan sensorik merupakan manifestasi klinis awal yang juga sering dialami oleh 21-55% pasien MS. Umumnya gejala yang timbul berupa rasa baal (hipestesi), kesemutan (parestesi), rasa terbakar (disestesi) maupun hiperestesi. Kelainan tersebut dapat timbul pada satu ekstremitas atau lebih, dan pada tubuh atau wajah. Selain itu proprioseptif, rasa vibrasi, dan diskriminasi dua titik juga dapat terganggu sehingga menimbulkan kesulitan menulis, mengetik atau mengancing baju. Gejala proprioseptif ini umumnya timbul bilateral dan bila terdapat lesi di daerah lemniskus gangguan proprioseptif tersebut hanya mengenai lengan yang dinamakan useless hand syndrome. Gejala tersebut umumnya mengalami remisi dalam  beberapa bulan. Tanda yang sering terjadi pada penderita MS meskipun tidak karakteristik adalah tanda Lhermitte; bila kepala difleksikan secara pasif, timbul parestesi sepanjang bahu,  punggung dan lengan. Hal ini mungkin disebabkan akson yang mengalami demyelinisasi sensitivitasnya meningkat terhadap tekanan ke spinal yang diakibatkan fleksi kepala. Gangguan serebelum juga sering terjadi pada MS meskipun jarang menjadi gejala utama. Manifestasi klinisnya ataksia serebelaris, baik yang mengenai gerakan motorik halus (dismetria, disdiadokokinesia, intention tremor), gait, maupun artikulasi ( scanning speech, disartria). Selain itu dapat timbul pula nistagmus, terutama yang horizontal bidireksional dan vertikal. Hemiparesis yang diakibatkan lesi kortikospinal dapat terjadi pada MS meski frekuensinya lebih kecil. Demikian juga lesi di medula spinalis dapat menyebabkan sindroma Brown-Sequard atau mielitis transversa yang mengakibatkan paraplegi (umumnya tidak simetris), level sensorik dan gangguan miksi-defekasi. Refleks patologis dan/atau hiperrefleksia bilateral dengan atau tanpa kelemahan motorik merupakan manifestasi yang lebih sering dan merupakan tanda lesi kortikospinal bilateral. Yang karakteristik, meskipun kelemahan hanya pada satu sisi, refleks patologis selalu bilateral. Spastisitas dapat menyebabkan gejala kram otot pada pasien MS. Kelelahan/fatigue merupakan gejala non spesifik pada MS dan terjadi pada hampir 90% pasien MS. Kelelahan dapat merupakan kelelahan fisik pada waktu exercise berlebihan ataupun pada temperatur panas maupun kelelahan/kelambatan mental.

Gangguan memori dapat terjadi pada pasien MS. Menurut penelitian Thornton dkk memori jangka pendek, working memori dan memori jangka panjang umumnya terganggu  pada pasien MS

(13)

. Selain itu juga didapatkan gangguan atensi. Gangguan emosi berupa

iritabilitas dan afek pseudobulbar berupa  forced laughing   atau  forced crying   umum terjadi  pada pasien MS disebabkan lesi hemisfer bilateral. Gejala lainnya yang lebih jarang meliputi neuralgia trigeminal (bilateral), gangguan lain  pada batang otak berupa paresis n. facialis perifer (bilateral), gangguan pendengaran, tinitus, vértigo, dan sangat jarang penurunan kesadaran (stupor dan koma).

2.6. DIAGNOSIS MULTIPLE SCLEROSIS

Kriteria diagnostik yang umum dipakai adalah kriteria McDonald yang merupakan kriteria MS dengan konsep asli tahun 2001 dan revisi terakhir tahun 2010. Kriteria McDonald menekankan adanya pemisahan menurut waktu/disseminated in time  (dua serangan atau lebih) dan pemisahan oleh ruang/disseminated in space (dua atau lebih diagnosa topis yang  berbeda). Seseorang dinyatakan definite  menderita MS bila terjadi pemisahan waktu dan ruang yang dibuktikan secara klinis atau bila bukti seca ra klinis tidak lengkap tetapi didukung oleh pemeriksaan penunjang (MRI, LCS atau VEP).

Tabel 2.1. Kriteria McDonald 14 (yg terbaru harus 3 titik revisi tahun 2016) , nama obat : gilenia ( fimolimot) (untuk relaps dan remisi),

Untuk cegah progresivitas

Attacks

efek depresi, gg,jantung,

obatnya IFN beta

Clinical

Requirements for diagnosis MS

lesion

2 or more

2

or  None

more 2 or more

1 lesion

Dissemination

in

space

(DIS),

demonstrated

by:

MRI

(CSF (+) or further clinical attack) New criteria: DIS demonstrated by the presence of 1 or more 2

lesions in at least 2 of 4 of area CNS: Periventricular, Juxtacortical, Infratentorial, or Spinal Cord.

1 attack

2 lesion

Dissemination in time (DIT), demonstrated by: MRI or second clinical attack New criteria: No longer a need to have separate MRIs run; DIT

demonstrated by: Simultaneous presence of asymptomatic gadolinium-enhancing and nonenhancing lesions at any time; or A new T2 and/or gadolinium-enhancing lesion(s) on follow-up MRI, irrespective of its timing with reference to a baseline scan; or Await a second clinical attack. [This allows for quicker diagnosis without sacrificing specificity, while improving sensitivity.] 1 attack

1 lesion

New criteria: DIS and DIT, demonstrated by:

For DIS: 1 or more T2 lesion in at least 2 of 4 MS-typical regions of the CNS (periventricular, juxtacortical, infratentorial, or spinal cord); or Await a second clinical attack implicating a different CNS site; and For DIT: Simultaneous presence of asymptomatic gadolinium-enhancing and nonenhancing lesions at any time; or A new T2 and/or gadolinium-enhancing lesion(s) on follow-up MRI, irrespective of its timing with reference to a  baseline scan; or Await a second clinical attack. 0 attack Insidious

 New criteria: One year of disease progression (retrospectively or neurological  prospectively determined) and two or three of the following:

 progression

1. Evidence for DIS in the brain based on 1 or more T2 lesions

suggestive of MS

in the MS-characteristic (periventricular, juxtacortical, or infratentorial) regions 2. Evidence for DIS in the spinal cord based on 2 or more T2 lesions in the cord 3. Positive CSF (isoelectric focusing evidence of oligoclonal  bands and/or elevated IgG index)

Pemisahan secara waktu maksudnya adalah terjadinya dua serangan atau lebih dimana  jarak antara dua serangan minimal 30 hari dan satu episode ser angan minimal berlangsung 24  jam. Sedangkan pemisahan oleh ruang adalah terdapatnya dua atau lebih gejala neurologis obyektif yang mencerminkan dua lesi yang diagnosis topisnya berbeda.

Kriteria definite (disseminated in space) MRI harus meliputi 3 dari 4 kriteria: 1. Adanya 1 lesi yang besar atau minimal 9 lesi yang kecil 2. Minimal 1 lesi infratentorial 3. Minimal 1 lesi juxtakortikal 4. Minimal 3 lesi periventrikel. Selain itu pada MRI dapat terlihat gambaran atrofi korteks yang didahului oleh  pembesaran ventrikel.

Gambar 2.2. MRI Otak Wanita 25 Tahun dengan Relapsing-Remitting MS 

Pemeriksaan oligoclonal band dari cairan serebrospinalis/LCS sangat membantu diagnosis MS. Sensitifitas pemeriksaan ini dikatakan dapat mencapai 95% dan bila terdapat  peningkatan oligoclonal band   pada LCS maka hanya dibutuhkan 2 lesi pada MRI untuk memenuhi kriteria disseminated in space. Pemeriksaan VEP (visual evoked potential) merupakan pemeriksaan penunjang yang cukup sensitif (dibandingkan pemeriksaan evoked potential lain) untuk MS dimana terjadi  pemanjangan latensi VEP yang disebabkan adanya demyelinisasi pada nervus optikus. VEP secara dini dapat mendeteksi kelainan meskipun pada pasien MS yang secara klinis belum terdapat gejala klinis neuritis optika.

2.7. PENATALAKSANAAN MULTIPLE SCLEROSIS

Managemen dan tatalaksana multiple sklerosis mengikuti Clinical Guideline 8 Multiple Sclerosis National Institute for Clinical Excellence tahun 2003. Pola klasifikasi menggunakan tingkatan rekomendasi (A, B, C, D, DS, HSC).

Tabel 2.2. Tingkatan rekomendasi Grade

Keterangan

A

Kategori I

B

Kategori II atau dengan penambahan kategori I

C

Kategori III atau dengan penambahan kategori I atau II

D

Kategori IV atau dengan penambahan kategori I, II atau III

DS

Berdasarkan bukti diagnostic

HSC

Berdasarkan pelayanan kesehatan 2002/2004 Kondisi

Grade

Setiap yang mengalami episode akut (termasuk neuritis optik) menyebabkan distres atau keterbatasan fisik harus diberikan kortikosteroid dosis tinggi. Hal ini sebaiknya dilakukan sesegera mungkin setelah muncul relaps : 

intravena metilprednisolon, 500 mg - 1 g sehari, selama 3 - 5 hari

A

atau 

dosis tinggi metilprednisolon oral 500 mg - 2 g sehari, selama 3 - 5 hari.

Pasien harus diberi penjelasan tentang risiko dan keuntungan penggunaan kortikosteroid. Frekuensi penggunaan kortikosteroid lebih dari 3 minggu dan lebih dari 3 kali setahun harus dihindari Penggunaan obat lain pada terapi akut saat relaps sebaiknya tidak digunakan kecuali ada protokol lain

D

D

D

Penderita MS harus disarankan mengkonsumsi asam linoleat 17-23 g/hari agar mengurangi perkembangan kecacatan. Sumber makanan kaya akan asam

A

linoleat termasuk bunga matahari, jagung, kedelai dan minyak safflower. Tatalaksana

berikut

tidak

boleh

dilakukan

kecuali

dalam

keadaan khusus: 

setelah diskusi lengkap dan melalui pertimbangan semua risiko



dengan evaluasi, sebaiknya dengan studi prospektif lain



dilakuakan oleh eorang pakar dalam penggunaan obat-obat dibawah ini dengan pemantauan ketat untuk efek samping.

 pengobatan: 

azathioprine

D



mitoxantrone



intravena imunoglobulin





A

 plasma exchange intermiten

(4-bulan)

pendek

(1-9

hari)

program

metilprednisolon dosis tinggi.

Tatalaksana berikut tidak boleh digunakan karena bukti penelitian tidak menunjukkan efek menguntungkan pada: 

siklofosfamid



anti-virus (misalnya, asiklovir, tuberkulin)



cladribine



 pengobatan jangka panjang dengan kortikosteroid



hiperbarik oksigen



linomide



iradiasi seluruh tubuh



basic protein myelin (tipe apapun).

A

Terapi simptomatik

Selain primary care, terapi simptomatik juga harus dipertimbangkan diantaranya adalah : 1.

Spasticity, spastisitas ringan dapat dikurangi dengan peregangan dan program exercise seperti yoga, terapi fisik, atau terapi lainnya. Medikasi diberikan ketika ada kekakuan, spasme, atau klonus saat beraktivitas atau kondisi tidur. Baclofen, tizanidine, gabapentin, dan benzodiazepine efektif sebagai agen antispastik.

2.  Paroxysmal disorder . Pada berbagai kasus, penggunaan carbamazepin memberikan respon yang baik pada spasme distonik. Nyeri paroxysmal dapat diberikan antikonvulsan atau amitriptilin. 3.  Bladder dysfunction. Urinalisis dan kultur harus dipertimbangkan dan pemberian terapi infeksi jika dibutuhkan. Langkah pertama yang dilakukan ada mendeteksi problem apakah kegagalan dalam mengosongkan bladder atau menyimpan urin. Obat antikolinergik Oxybutinin dan Tolterodine efektif untuk kegagalan dalam menyimpan urin diluar adanya infeksi. 4.  Bowel symptom. Konstipasi merupakan masalah umum pada pasien MS dan harus diterapi sesegera mungkin untuk menghindari komplikasi. Inkontinensia fekal cukup

 jarang. Namun bila ada, penambahan serat dapat memperkeras tinja sehingga dapat membantu spingter yang inkompeten dalam menahan pergerakan usus. Penggunaan antikolinergik atau antidiare cukup efektif pada inkontinensia dan diare yang terjadi  bersamaan. 5.

Sexual symptom. Masalah seksual yang muncul antara lain penurunan libido, gangguan disfungsi ereksi, penurunan lubrikan, peningkatan spastisitas, rasa sensasi panas dapat terjadi. Pada beberapa pasien MS, gangguan disfungsi ereksi dapat diatasi dengan sildenafil.

6.  Neurobehavior manifestation. Depresi terjadi lebih dari separuh dari pasien dengan MS. Pasien dengan depresi ringan dan transien dapat dilakukan terapi suportif. Pasien dengan depresi berat sebaiknya diberikan Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs) yang memiliki efek sedative yang lebih kecil disbanding antidepresan lain. Amitriptilin dapat digunakan bagi pasien yang memiliki kesulitan tidur atau memiliki sakit kepala. 7.  Fatigue. Kelelahan dapat diatasi dengan istirahat cukup atau penggunaan medikasi. Amantadine 100 mg dua kali perhari cukup efektif. Modafinil, obat narcolepsy yang  bekerja sebagai stimulant SSP telah ditemukan memiliki efek yang bagus pada pasien MS. Obat diberikan dengan dosis 200 mg satu kali sehari pada pagi hari. SSRIs juga dapat menghilangkan kelelahan pada pasien MS. Amantadine memiliki efek anti influenza A dan baik diberikan pada Oktober hingga Maret.

Terapi relaps

1.  Adrenal Kortikosteroid . Kortikosteroid merupakan terapi andalan dalam mengurangi gejala-gejala MS relaps akut. Agen ini bekerja melalui efek imunomodulator dan antiinflamasi, pemulihan blood brain barier, dan pengurangi edema. kortikosteroid juga dapat meningkatkan konduksi aksonal. Terapi kortikosteroid memperpendek durasi relaps

akut

dan

mempercepat

pemulihan.

Namun,

kortikosteroid

belum

bisa

meningkatkan pemulihan secara keseluruhan MS. 2.

Jika seorang pasien menjadi cacat setalah mendapat serangan akut, dokter harus mempertimbangkan pengobatan dengan intravena metilprednisolon selama tiga hingga lima hari (atau kortikosteroid yang setara) dalam dosis 1 g diberikan secara intravena dalam 100 mL normal salin selama 60 menit sekali sehari di pagi hari.

3.  Perawatan lainnya. Pada pasien dengan MS, fisoterapi harus selalu dilakukan untuk meningkatkan fungsi dan kualitas hidup dari ketergantungan obat therapy. Perawatan  pendukung berupa konseling, terapi okupasi, saran dari sosial, masukan dari perawat,

dan partisipasi dalam patient support group merupakan bagian dari perawatan kesehatan dengan pendekatan tim dalam pengelolaan MS. Pasien dengan MS sering tergoda untuk mencoba terapi alternatif seperti diet khusus, vitamin, sengatan lebah, atau akupunktur. Meskipun bukti definitif efektivitas perawatan ini kurang.

Disease-Modifying Therapies

Terapi yang diberikan hanya meminimalkan timbulnya serangan, mengurangi efek serangan, dan memperpanjang masa remisi.  Disease-modifying therapies  untuk pengelolaan awal MS saat ini yang tersedia di Amerika Serikat: intramuskular interferon beta-1a (Avonex), subkutan interferon beta-1a (Rebif), interferon beta-1b (Betaseron), dan glatiramer asetat (Copaxone). Agen kelima, mitoxantrone (Novantrone), telah disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk pengobatan relapsing   – remitting  MS dan sekunder progresif MS yang memburuk. 1.  Interferon beta.  Interferon beta merupakan sitokin alami yang berfungsi sebagai imunomodulasi dan memiliki aktivitas antivirus. Tiga interferon beta disetujui FDA yang digunakan untuk MS telah terbukti mengurangi kekambuhan sekitar sepertiga dan direkomendasikan sebagai terapi lini pertama atau untuk pasien yang intoleran dengan glatiramer pada relapsing-remitting MS. Pada studi randomized double blind placebo control trial, penggunaan interferon beta dapat mengurangi 50 sampai 80 persen lesi inflamasi yang divisualisasikan pada MRI otak. Ada juga bukti bahwa obat ini meningkatkan kualitas hidup dan fungsi kognitif.  Influenza-like symptom  seperti demam, menggigil, malaise, nyeri otot, dan kelelahan, terjadi pada sekitar 60 persen pasien yang diobati dengan interferon beta-1a atau interferon beta-1b. Gejala ini biasanya menghilang dengan terapi lanjutan dan  premedikasi dengan obat anti-inflamasi non-steroid. Untuk mengurangi gejala dapat dilakukan dengan pengaturan dosis titrasi pada waktu inisial terapi interferon beta. Efek samping lain dari interferon beta termasuk reaksi alergi pada tempat injeksi, depresi, anemia ringan, trombositopenia, dan meningkatnya kadar transaminase. Efek samping ini biasanya tidak berat dan jarang menyebabkan penghentian pengobatan. 2.

Glatiramer . Obat ini merupakan campuran polipeptida yang pada awalnya dirancang untuk meyerupai dan bersaing dengan protein dasar myelin. Glatiramer dalam dosis 20 mg subkutan sekali sehari telah terbukti mengurangi frekuensi kambuh MS sekitar sepertiga. Obat ini juga direkomendasikan sebagai pengobatan lini pertama pada pasien

dengan Relapsing-Remitting  MS   dan bagi pasien yang tidak dapat mentolerir interferon  beta. Hasil terapi glatiramer mampu mengurangi sepertiga proses inflamasi yang terlihat  pada MRI. Glatiramer umumnya dapat ditoleransi dengan baik dan tidak menimbulkan influenza-like symptoms. Reaksi post injeksi termasuk peradangan lokal dan reaksi yang tidak umum seperti flushing, sesak dada dengan jantung berdebar, gelisah, atau dispnea dapat sembuh spontan tanpa gejala sisa. Pemantauan rutin laboratorium tidak diperlukan  pada pasien yang diobati dengan glatiramer, dan kempuan antibodi dalam mengikat antigen juga tidak terganggu. 3.  Mitoxantrone. Sebuah studi klinis menemukan bahwa mitoxantrone, sebuah agen antineoplastik anthracenedione, dapat mengurangi jumlah relaps MS sebesar 67 persen dan memperlambat perkembangan. Mitoxantrone dianjurkan untuk digunakan pada  pasien dengan bentuk Progressive MS . Efek samping akut mitoxantrone termasuk mual dan alopecia. Karena juga adanya cardiotoxicity kumulatif, obat dapat digunakan hanya untuk dua sampai tiga tahun (atau untuk dosis kumulatif 120-140 mg per m2). Mitoxantrone adalah agen kemoterapi yang harus diresepkan dan dikelola oleh para perawat kesehatan profesional yang  berpengalaman.

2.8. KOMPLIKASI

1. Mood Disorder 2. Kesulitan dalam menelan 3. Kesulitan berppikir dan berkonsentrasi 4. Hilang dan menurunnya kemampuan merawat diri sendiri 5. Membutuhkan kateter 6. Osteoporosis 7. Infeksi saluran kemih

2.9. PROGNOSIS

Jika tidak diobati, lebih dari 30% pasien dengan MS akan memiliki cacat fisik yang signifikan dalam waktu 20-25 tahun setelah onset. Kurang dari 5-10% dari pasien memiliki fenotipe MS klinis ringan, di mana tidak ada cacat fisik yang signifikan terakumulasi meskipun berlalu beberapa dekade setelah onset (kadang-kadang terlepas dari lesi baru

yang terlihat pada MRI). Pemeriksaan rinci dalam banyak kasus, mengungkapkan  beberapa tingkat kerusakan kognitif. Pasien laki-laki dengan MS progresif primer memiliki prognosis terburuk, dengan respon yang kurang menguntungkan untuk pengobatan dan cepat menimbulkan kecacatan. Insiden yang lebih tinggi dari lesi sumsum tulang belakang di MS progresif primer juga merupakan faktor dalam perkembangan pesat dari kecacatan. Harapan hidup dipersingkat hanya sedikit pada orang dengan MS, dan tingkat kelangsungan hidup terkait dengan kecacatan. Kematian biasanya terjadi akibat komplikasi sekunder (50-66%), seperti penyebab paru atau ginjal, tetapi juga dapat disebabkan oleh komplikasi utama, bunuh diri, dan menyebabkan tidak berhubungan dengan MS. Marburg varian dari MS adalah bentuk akut dan klinis fulminan penyakit yang dapat menyebabkan koma atau kematian dalam beberapa hari.

BAB III KOMORBIDITAS GANGGUAN MOOD PADA MULTIPLE SCLEROSIS (MS)

Gangguan mood sangat lazim terjadi sejak pada pasien dengan multiple sclerosis (MS) [1]. Kehadiran gejala psikiatri pada MS telah menjadi perhatian yang secara sistematis dijelaskan sejak awal tahun 1877 oleh Charcot. Namun, hanya dalam dua dekade terakhir ini sudah ada penelitian yang lebih terperinci dilakukan [2]. Banyak gejala ini dijelaskan dan tidak harus berhubungan dengan dampak psikologis seperti penyakit kronis dan melumpuhkan. `

Depresi adalah manifestasi psikiatri yang paling sering ditemukan dengan prevalensi

sekitar 22-54% [3]. Manifestasi lainnya adalah kegelisahan, euforia, dan psikosis [4]. Gangguan bipolar dan MS masih jarang ditemukan namun sudah terbukti memiliki beberapa kaitan diantara keduanya. Beberapa kasus dilaporkan adanya kejadian MS dengan gangguan mood [5-8]. Hubungan antara kedua kelainan ini belum sepenuhnya dipahami. Namun dari  beberapa laporan kasus MS dan gangguan bipolar muncul beberapahipotesis etiologi dan kaitan diantara keduanya. Berdasarkan permasalahan diatas (

[1] S. L. Minden, “Mood disorders in multiple sclerosis: diagnosisand treatment,” Journal of Neurovirology , vol. 6, no. 2, pp. S160 –S167, 2000. [2] A. Iacovides and E. Andreoulakis, “Bipolar disorder and resembling special psychopathological manifestations in multiple 4 Behavioural Neurology sclerosis: a review,” Current Opinion in Psychiatry , vol. 24, no. 4, pp. 336 –340, 2011. [3] C. Lebrun and M. Cohen, “Depression in multiple sclerosis,” Revue neurologique, vol. 165, pp. S156 –S162, 2009. [4] O. Ghaffar and A. Feinstein, “The neuropsychiatry of multiplesclerosis: a review of recent developments,” Current Opinion in Psychiatry , vol. 20, no. 3, pp. 278 –285, 2007. [5] R. B. Schiffer, N. M. Wineman, and L. R. Weitkamp, “Association between bipolar affective disorder and multiple sclerosis,” American Journal of Psychiatry , vol. 143, no. 1, pp. 94 –95, 1986. [6] M. F. Casanova, M. Kruesi, and G. Mannheim, “Multiple sclerosis and bipolar disorder: a case report with autopsy findings,” Journal of Neuropsychiatry and Clinical Neurosciences , vol. 8, no. 2, pp. 206 –208, 1996. [7] V. P. Bozikas, M. C. Anagnostouli, P. Petrikis et al., “Familial bipolar disorder andmultiple sclerosis: a threegenerationHLA family study,” Progress in Neuro-Psychopharmacology and Biological Psychiatry , vol. 27, no. 5, pp. 835 –839, 2003. [8] A. C. De Cerqueira, A. E. Nardi, F. Souza-Lima, and J. M. Nodoy-Barreiros, “Bipolar disorder and multiple sclerosis: comorbidity and risk factors,” Revista Brasileira de Psiquiatria , vol. 32, no. 4, pp. 454 –456, 2010. )

O bservasi

klinis ketidakstabilan suasana hati pada multiple sclerosis (MS) telah menyebabkan

hipotesis bahwa gangguan bipolar (BD) mungkin terjadi. lebih umum pada orang dengan MS daripada populasi umum. Studi cross-sectional ini menilai prevalensi BD antara pasien dengan MS menggunakan wawancara diagnostik psikiatri standar dan mengevaluasi kualitas hidup. Studi ini menunjukkan prevalensi BD yang lebih tinggi pada pasien dengan MS dibandingkan dengan populasi umum. Hal itu juga mengungkap hal yang negatif Dampak BD terhadap kualitas hidup, menimbulkan kekhawatiran bahwa BD dapat terjadi sebelum timbulnya gejala neurologis pada MS, dan menunjukkan bahwa, dalam beberapa kasus, BD dapat menunda diagnosis MS. Observasi klinis ketidakstabilan suasana hati pada multiple sclerosis (MS) telah menyebabkan hipotesis bahwa gangguan bipolar (BD) mungkin terjadi. lebih umum pada orang dengan MS daripada populasi umum. Pada sebuah studi cross-sectional ini menilai prevalensi BD antara pasien dengan MS menggunakan wawancara diagnostik psikiatri standar dan mengevaluasi kualitas hidup. Studi ini menunjukkan prevalensi BD yang lebih tinggi pada pasien dengan MS dibandingkan dengan populasi umum. Hal itu juga mengungkap hal yang negatif Dampak BD terhadap kualitas hidup, menimbulkan kekhawatiran bahwa BD dapat terjadi sebelum timbulnya gejala neurologis pada MS, dan menunjukkan bahwa, dalam beberapa kasus, BD dapat menunda diagnosis MS. (   J Neuropsychiatry Clin Neurosci 2017; 29:45 – 51; doi: 10.1176/appi.neuropsych.15120403)

Multiple sclerosis (MS) adalah peradangan autoimun kronis gangguan demyelinating pada sistem saraf pusat dan penyebab paling umum kedua dari kecacatan berat dan penurunan kualitas hidup pada orang dewasa muda. Gejala-gejala dikenali dengan baik, karena MS dapat hadir dengan fitur psikiatri atau neuropsikiatrik.2,3 Pasien dengan MS lebih cenderung menderita depresi4 dan gangguan mood lainnya5,6 dibandingkan dengan yang umum populasi.7 Juga diketahui bahwa ada peningkatan risiko gangguan kejiwaan  bahkan sebelum diagnosis pasti MS dibuat, dengan rasio odds yang tinggi yaitu 1,4,8 gangguan mood juga terkait dengan kepatuhan perawatan yang lebih rendah, buruk hasil dan status fungsional, dan secara keseluruhan menurun kualitas hidup di antara pasien MS.9 Meskipun gejala gangguan depresi mayor (MDD) dapat terjadi sebelum onset gejala neurologis MS, 10,11 sedikit penelitian telah memusatkan perhatian pada hubungan antara gangguan bipolar (BD) dan MS. Sekitar 3,4% populasi umum menderita dari BD, 7 tahun  penyesuaian kecacatan yang lebih besar daripada itu untuk semua bentuk kanker atau neurologis utama lainnya  penyakit, termasuk penyakit epilepsi dan Alzheimer. Ini adalah kemungkinan karena onset dan penyakit kronis sebelumnya.7 Ketika salah didiagnosis sebagai depresi unipolar, BD mungkin berkontribusi untuk kualitas hidup yang lebih buruk dan mempengaruhi kepatuhan pengobatan pada orang dengan MS.12 Presentasi awal BD mungkin termasuk fase depresif atau fase manik dengan atau tanpa gejala psikotik Semua presentasi ini ada telah dikaitkan secara temporer dengan MS13-17 dan farmakologis perawatan MS, 18,19 membuat cepat dan  percaya diri diagnosis sulit Masih belum jelas apakah dan / atau Sampai sejauh mana BD mungkin, dalam  beberapa kasus, menjadi fitur prodromal dari MS. Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai prevalensi BD di antara pasien dengan MS menggunakan psikiatri standar wawancara diagnostik dan evaluasi kualitas hidup di antara Pasien MS dengan BD. Kami juga menyelidiki apakah BD terjadi sebelum timbulnya gejala neurologis MS, seperti Begitu pula dengan pengaruh BD terhadap diagnosis MS. ( 1. Compston A, Coles A: Multiple  sclerosis. Lancet 2002; 359:1221 – 1231 2. Asghar-Ali AA, Taber KH, Hurley RA, et al: Pure neuropsychiatric  presentation of multiple sclerosis. Am J Psychiatry 2004; 161: 226  – 231 3. Hurley RA, Taber KH, Zhang J, et al:  Neuropsychiatric presentation of multiple sclerosis. J Neuropsychiatry Clin Neurosci 1999; 11:5 – 7 4. Byatt N,

15

 Rothschild AJ, Riskind P, et al: Relationships between multiple sclerosis and depression. J Neuropsychiatry Clin Neurosci 2011; 23:198 – 200 5. Johansson V, Lundholm C, Hillert J, et al: Multiple sclerosis and  psychiatric disorders: comorb idity and sibling risk in a nationwide Swedish cohort. Mult Scler 2014; 20:1881 –  1891 6. Carta MG, Moro MF, Lorefice L, et al: The risk of bipolar disorders in multiple sclerosis. J Affect  Disord 2014; 155:255 – 260 7. Guilbert JJ: The World Health Report 2002: reducing risks, promoting healthy life. Educ Health (Abingdon) 2003; 16:230 8. Hoang H, Laursen B, Stenager EN, et al: Psychiatric comorbidity in multiple sclerosis: the risk of depression and anx)

Laporan kasus pertama menggambarkan aman dengan jangka panjang gangguan bipolar yang mengembangkan MS. Dalam hal ini, Kemungkinan besar hipotesis maju untuk menjelaskan komorbiditas ini akan menjadi asosiasi kasual. Padahal, MS memang tergolong langka penyakit dengan perkiraan prevalensi di Tunisia 20,1 per 100.000 penduduk [9], namun gangguan bipolar mempengaruhi 1% dari populasi [10]. Sebagai  pasien dengan gangguan bipolar di paling tidak risiko pengembangannya sama dengan subyek yang tidak menderita Dari gangguan bipolar, ada kemungkinan kedua kondisi tersebut hidup berdampingan tanpa hubungan langsung antara mereka. Namun, Joffe dkk. telah menunjukkan bahwa psikosis depresif maniak tampaknya terjadi secara signifikan lebih umum pada pasien di rumah sakit daripada di umum populasi, mendorong pencarian hipotesis alternatif [11]. Basis etiopathogenic yang menjelaskan hubungan ini tidak namun mengerti. Satu hipotesis adalah bahwa gangguan mood bisa terjadi jadilah manifestasi perdana di MS [12] atau mungkin Behavioral Neurology 3 menyajikan gejala MS tahun sebelum perkembangan tanda neurologis seperti yang ditunjukkan pada dua pasien pertama [13]. Di Faktanya, Lyoo dkk. dilakukan MRI otak  pada 2783 pasien yang disebut sebagai bagian dari evaluasi psikiatri mereka. Mereka Temuan menunjukkan  bahwa 0,83% pasien memiliki T2-weighted hyperintensitas materi putih konsisten dengan MS, yaitu hampir 15 kali prevalensi MS yang dilaporkan terjadi pada umumnya populasi di Amerika Serikat [14]. Hasil ini menunjukkan kemungkinan adanya "psikiater" murni inMS. Hipotesis ini ada telah dilaporkan oleh beberapa  penulis [15, 16]. Namun, sebuah studi tentang 7301 otopsi pasien yang diikuti psikiatri telah menyebabkan konfirmasi anatomopatologi MS pada 14 pasien, tidak ada di antaranya memiliki bentuk kejiwaan murni tanpa ada keterkaitan manifestasi neurologis [17].

( 9. N. Ammar, N. Gouider-Khouja, and F. Hentati, “A comparative

study of clinical and paramedical aspects ofmultiple sclerosis in Tunisia,” Revue Neurologique , vol. 162, no. 6, pp. 729 –733, 2006. [10] F. Rouillon, “Bipolar d isorders: epidemiology,” AnnalesMedico- Psychologiques, vol. 167, no. 10, pp. 793 –795, 2009.; [11] R. T. Joffe, G. P. Lippert, T. A. Gray, G. Sawa, and Z. Horvath, “Mood disorder and multiple sclerosis,”  Archives of Neurology , vol. 44, no. 4, pp. 376 –378, 1987. [12] F. Blanc, F. Berna, M. Fleury et al., “Inaugural psychotic events in multiple sclerosis?” Revue Neurologique , vol. 166, no. 1, pp. 39 –48, 2010. ; [13] P. J. Jongen, “Psychiatric onset of multiple sclerosis,” Journal of the Neurological Sciences , vol. 245, no. 2, pp. 59 –62, 2006. ; [14] K. Lyoo, H. Y. Seol,H. S.Byun, and P. F. Renshaw, “Unsuspected multiple sclerosis in patients with psychiatric disorders: a magnetic resonance imaging study,” Journal of Neuropsychiatry  and Clinical Neurosciences, vol. 8, no. 1, pp. 54 –59, 1996. ; [15] K. Skegg, P. A. Corwin, andD. C. Skegg, “How often

is multiple sclerosis mistaken for a psychiatric disorder?” Psychological  Medicine, vol. 18, no. 3, pp. 733 –736, 1988. ; [16] A. A. Asghar- Ali, K. H. Taber, R. A. Hurley, and L. A. Hayman, “Pure neuropsychiatric presentation ofmultiple sclerosis,”  American Journal of Psychiatry , vol. 161, no. 2,pp. 226 –231, 2004. ; [17] L. G. Johannsen, E. Stenager, and K. Jensen, “Clinically unexpected multiple sclerosis in patients with mental disorders: a series of 7301 psychiatric autopsies,” Acta Neurologica Belgica , vol. 96, no. 1, pp. 62 –65, 1996.)

Laporan

kasus

kedua

menggambarkan

terjadinya

episode

manic

setelah

dosis

tinggi

methylprednisolone. Kortikosteroid telah lama terlibat dalam presipitasi dari o nset gejala psikiatri tertentu. Yang  paling Efek samping yang umum terjadi pada terapi kortikosteroid jangka pendek adalah gangguan mood, euforia, dan hypomania. Sebaliknya, terapi jangka panjang cenderung menginduksi gejala depresi [18]. Dosis  berhubungan langsung dengan kejadian efek samping namun tidak terkait dengan waktu, tingkat keparahan, atau durasi ini efek [19]. Di antara pasien MS yang diobati dengan kortikosteroid atau ACTH, dua penelitian sistematis melaporkan bahwa 40% menjadi tertekan, 31% hypomanic, dan 11% mengembangkan mixed state dan 16% keadaan psikotik [20]. Menariknya, gejala tersebut Tidak terj adi dengan setiap paparan obat dan tampil lebih sering dalam kasus perawatan terputus-putus [21]. Meskipun penelitian etiopatogenesis asosiasi antara MS dan gangguan bipolar masih terbatas, Kerentanan genetik yang umum terhadap kedua penyakit telah dibahas. Dalam rangkaian 56 pasien, Schiffer dkk. mencatat frekuensi yang lebih tinggi dari haplotipe HLA-DR2 dan DR3 dan penurunan frekuensi HLA-DR1 dan -DR4 di pasien dengan gangguan MS dan bipolar dengan keluarga sejarah gangguan afektif [5]. Baru-baru ini, Bozikas dkk. menyelidiki kemungkinan asosiasi ini berdasarkan studi HLAsystemin anggota keluarga pasien dengan kedua komponen tersebut dan gangguan bipolar dan riwayat keluarga gangguan bipolar. Ini Studi menunjukkan bahwa HLA-DR2 haplotype nampak sebagai lokus yang rentan untuk gangguan bipolar. Studi ini menyarankan gen di dekat daerah HLA pada kromosom 6 bisa terjadi terlibat dalam patogenesis multifaktorial yang mendasari komorbiditas klinis dari dua kelainan [7]. Pasien kami di Kasus ketiga memiliki riwayat keluarga gangguan bipolar dan Oleh karena itu, bisa jadi ada kerentanan genetik untuk kelainan ini. Hipotesis dari kerentanan umum antara MS dan Gangguan bipolar bisa  jadi lanjutan Gejala manik mungkin juga terkait dengan materi putih lokasi lesi [22]. Memang, orbitofrontal cortex adalah Struktur utama yang terlibat dalam mengatur perilaku sosial. Pemutusannya dari struktur subkortikal karena materi putih Kerusakan pada MS dapat menjelaskan, paling tidak sebagian, gejala di sindrom manik (mood dan disinhibition yang ditinggikan). Ini dicatat dalam kasus ketiga sebagai lesi aktif baru ditemukan di korteks orbitofrontal bersamaan dengan episode themanic. Gangguan bipolar pada pasien MS  biasanya dirawat di cara yang sama seperti pada populasi umum. Sebuah perawatan dengan stabilizer (sodiumvalproate, carbamazepine, dan lithium) yang terkait dengan antipsikotik atipikal umumnya efektif pada manic fits. Inilah yang terjadi pada tiga pasien kami. Penggunaan lithium harus dengan hati-hati pada pasien dengan Gangguan sfingter karena cenderung mengurangi asupan cairannya dan dengan demikian memiliki kadar litium serum yang tinggi dosis toksik [23]. Remisi gejala psikiatri itu dicatat dengan menggunakan dosis tinggi methylprednisolone bahkan bila sesuai adalah murni psikiatri [10]. Efek positif dari kortikosteroid ini melawan psikologis cocok mendukung hipotesis penyebab organik forMS dan komorbiditas bipolar. Harus menekankan bahwa risiko eksaserbasi gangguan kejiwaan menggunakan kortikosteroid, yang tidak konstan dan terjadi lebih sering jika terjadi perawatan yang tidak teratur tidak menunda penggunaannya Padahal, pasien manifestasi kejiwaan gejala masih bisa diobati dengan mood stabilizer, neuroleptics, atau antidepresan dengan lancip steroid simultan, seperti yang terlihat pada Kasus 2. Jadi, pelajaran utama dokter adalah itu mereka harus sadar akan kemungkinan psikosis steroid dan siap untuk mengobatinya. Perlakuan interferon beta (IFN-β) telah diusulkan kepada pasien kami untuk mencegah kambuh dengan toleransi yang baik. Meskipun penelitian awal telah melaporkan kasus bunuh diri dan depresi pada  pasien yang diobati dengan IFN-β, tidak ada yang diacak perco baan terkontrol menggunakan standar dan

divalidasi Ukuran depresi menunjukkan peningkatan risiko yang signifikan depresi pada pasien yang diobati dengan IFN-β [24]. Lain Penelitian tidak menunjukkan adanya gangguan mood yang memburuk di MS pasien dirawat dengan IFN-β untuk jangka waktu yang lama [25]. Kita dapat Oleh karena itu disimpulkan bahwa adanya depresi mayor adalah bukan kontraindikasi mutlak terhadap pengobatan dengan IFN- β. Ahli saraf harus,  bagaimanapun, selalu waspada terhadap kemungkinan Perkembangan depresi pada semua pasien dengan MS, apakah Mereka menggunakan pengobatan yang memodifikasi penyakit atau tidak

[18] S. H. Bolanos, D. A.

Khan, M. Hanczyc, M. S. Bauer, N. Dhanani, and E. S. Brown, “Assessment of mood states in patients receiving long-term corticosteroid therapy and in controls with patient-rated and clinician-rated scales,”  Annals of Allergy,  Asthma and Immunology , vol. 92, no. 5, pp. 500 –505, 2004. [19] T. P.Warrington and J.M. Bostwick, “Psychiatric

adverse effectsof corticoster oids,” Mayo Clinic Proceedings , vol. 81, no. 10, pp. 1361 –1367, 2006. [20] M. I. Ybarra, M. A. Moreira, C. R. Ara´ujo, M. A. Lana-Peixoto, and A. L. Teixeira, “Bipolar disorder and multiple sclerosis,” Arquivos de Neuro-Psiquiatria , vol. 65,no. 4, pp. 1177 –1180, 2007. ; [21] S. L. Minden, J. Orav, and J. J. Schildkraut, “Hypomanic reactions to ACTH and prednisone treatment for multiple sclerosis,” Neurology , vol. 38, no. 10, pp. 1631 –1634, 1988. ; [22] M. Hutchinson, J. Stack, and P. Buckley, “Bipolar affective disorder prior to the onset of multiple sclerosis,” Acta Neurologica Scandinavica, vol. 88, no. 6, pp. 388 –393, 1993. [23] T. Paparrigopoulos, P. Ferentinos, A.Kouzoupis, G.Koutsis, and G. N. Papadimitriou, “The neuropsychiatry of multiple sclerosis: focus on disorders of mood, affect and behaviour,” International Review of Psychiatry , vol. 22, no. 1, pp. 14 –21, 2010. ; [24] J. A. Wilken and C. Sullivan, “Recognizing and treating common psychiatric disorders in multiple sclerosis,” Neurologist , vol. 13, no. 6, pp. 343 –354, 2007. ; [25] J. Porcel, J. R´ıo, A. S´anchez-Betancourt et al., “Long-term emotional state of multiple sclerosis patients treated with interferon beta,” Multiple Sclerosis, vol. 12, no. 6, pp. 802 –807, 2006.

Subjek yang memiliki diagnosis dari BD yang menerima apapun perawatan psikofarmakologis (p, 0,001). Ini adalah sebuah pengamatan penting karena kurang psikofarmakologis perawatan bisa memperburuk gejala kejiwaan dan mempengaruhi Hasilnya, 30-33 termasuk memimpin untuk bunuh diri, 34,35 hilang produktivitas, 36 dan bahkan tambahan Eksaserbasi MS.37 Hal ini sangat relevan untuknya kualitas evaluasi hidup di MS, sebagai kejiwaan komorbid Kondisi nampaknya lebih lazim, kurang terdiagnosis, dan dilakukan pada orang dengan status sosial ekonomi rendah Hubungan kuat antara riwayat keluarga BD dan BD di MS diketahui.38,39 Masih belum pasti apakah Fitur psikiatri dari MS adalah bagian dari neurobiologi yang mendasarinya dari penyakit, komorbiditas penyakit kronis, atau reaksi merugikan  pengobatan.30 Penundaan diagnosis MS dan kecacatan yang lebih besar pada saat Diagnosis dikaitkan dengan psikiatri dan medis komorbiditas di antara pasien MS.7 Rendahnya mood di antara MS Pasien juga telah dikaitkan dengan struktur dan fungsional kelainan otak, menunjukkan bahwa depresi pada MS dapat timbul secara langsung dari proses demielinasi dan dari etiologi yang berbeda dari depresi pada pasien nonMS.40,41 Misalnya, studi pencitraan tensor difusi ditunjukkan mengurangi anisotropi pecahan-ukuran zat  putih patologi - di lobus frontal dan temporal pasien depresi dengan MS dibandingkan dengan pasien nondepressed dengan MS.42 Selain itu, konektivitas struktural otak utuh baru-baru ini Analisis menunjukkan  pola whitematter yang berubah konektivitas, khususnya hippocampus kanan dan amigdala kanan, yang membedakan pasien MS dengan depresi dari pasien nondepressed.43 Hubungan etiologi potensial antara MS dan BD juga telah disarankan, 5 dan neuroinflamasi dapat berkontribusi untuk patogenesis gangguan mood seperti yang ditunjukkan oleh positron emission tomography44 dan identifikasi postmortem biomarker inflamasi.45 Itu juga terjadi menyarankan bahwa ada kemungkinan hubungan genetik antara MS dan BD.38,46,47

Telah dihipotesiskan itu Peradangan terkait MS berkaitan dengan gejala mood dari BD. Sebagai alternatif, gejala mood bisa diperburuk dengan perawatan MS (mis., interferon beta dan steroid). Dalam  penelitian kami, tidak ada perbedaan yang signifikan antara p erawatan MS agen dan kehadiran BD diagnose. Ini adalah pengamatan penting dan menjamin penyelidikan lebih lanjut. "Diagnostic overshadowing" adalah  bentuk bias dimana gejala atau keluhan somatik dapat disalahartikan ke patologi neuropsikiatri yang sudah ada sebelumnya dan Mungkin menyebabkan penundaan diagnosis yang akurat. Telah sebelumnya dilaporkan  pada anak-anak dengan kondisi neurologis, seperti cacat intelektual48 dan spektrum autisme kondisi, 49 dan  pada pasien psikiatri yang mengalami keadaan darurat departemen.50,51 Sampai saat ini, dan sepengetahuan kami, tidak ada epidemiologi longitudinal bertenaga tinggi studi yang menjelaskan peran diagnostik yang membayangi atau menunjukkan gejala BD secara konsisten mendahului MS Dalam kohort kami, tiga pasien melaporkan penundaan diagnosis MS karena gejala neuropsikiatrik mereka yang hidup berdampingan dari BD selama wawancara telepon terstruktur. Seorang dokter  Bagan review mendokumentasikan delapan dari 10 pasien dengan BD sebelumnya telah melaporkan diagnosis MS yang tertunda,yang dikaitkan dengan kehadiran komorbid mereka masalah kejiwaan Wawancara telepon mungkin mencerminkan a  bias ingat, dan ulasan bagan dokter mungkin juga melibatkan bias dari dokter menafsirkan data grafik yang tersedia. Ini mungkin perbedaan antara chart review dan Survei telepon mungkin terkait dengan metodologi yang melekat  perbedaan dalam mendapatkan informasi ini Kalau tidak, Perbedaan ini dapat dikontribusikan ke kognitif  gangguan, yang relatif umum di antara orang-orang dengan MS komorbid dengan BD, didukung oleh literatur.52 Namun, kemungkinan ini tetap belum teruji dan belum terbukti Penelitian ini, karena kami tidak langsung menilai peserta studi untuk gangguan kognitif (Bakshi R, Czarnecki D, Shaikh ZA, et al: Brain MRI lesions and atrophy are related to depression in multiple sclerosis. Neuroreport 2000; 11:1153  – 1158 41. Feinstein A,  Roy P, Lobaugh N, et al: Structural brain abnormalities in multiple sclerosis patients with major depression. Neurology 2004; 62:586  –590 42. Feinstein A, O’Connor P, Akbar N, et al: Diffusion tensor imaging abnormalities in depressed multiple sclerosis patients. Mult Scler 2010; 16:189 – 196 43. Nigro S, Passamonti L, Riccelli R, et al: Structural ‘connectomic’ alterations in the limbic system of multiple sclerosis patients with major depression. Mult    Scler 2015; 21:1003 – 1012 44. Haarman BC, Riemersma-Van der Lek RF, de Groot JC, et al: Neuroinflammation in bipolar disorder: A [(11)C]-(R)-PK11195 positron emission tomography study. Brain Behav Immun 2014; 40:219  – 225 45. Rao  JS, Harry GJ, Rapoport SI, et al: Increased excitotoxicity and neuroinflammatory markers in postmortem frontal cortex  from bipolar disorder patients. Mol Psychiatry 2010; 15:384 – 392 46. Salmaggi A, Palumbo R, Fontanillas L, et al:  Affective disorders and multiple sclerosis: a controlled study on 65 Italian patients. Ital J Neurol Sci 1998; 19:171 – 175 47. Schiffer RB, Weitkamp LR, Wineman NM, et al: Multiple sclerosis and affective disorder. Family history, sex, and  HLA-DR antigens. Arch Neurol 1988; 45:1345 – 1348 48. Jopp DA, Keys CB: Diagnostic overshadowing reviewed and reconsidered. Am J Ment Retard 2001; 106:416  – 433 49. Hendriksen JG, Peijnenborgh JC, Aldenkamp AP, et al:  Diagnostic overshadowing in a population of children with neurological disabilities: A cross sectional descriptive study on acquired ADHD. Eur J Paediatr Neurol 2015; 19:521 – 524 50. Shefer G, Cross S, Howard LM, et al: Improving the diagnosis of physical illness in patients with mental illness who present in emergency departments: consensus study. J  Psychosom Res 2015; 78:346   – 351, . Shefer G, Henderson C, Howard LM, et al: Diagnostic overshadowing and other challenges involved in the diagnostic process of patients with mental illness who present in emergency departments with  physical symptoms: a qualitative study. PLoS One 2014; 9:e111682 52. Rahn K, Slusher B, Kaplin A. Cognitive impairment in multiple sclerosis: a forgotten disability remembered. Cerebrum (Epub ahead of print, November 30, 2012) 53. Adamec I, Barun B, Gabelic T, et al: Delay in the diagnosis of multiple sclerosis in Croatia. Clin Neurol

 Neurosurg 2013; 115(Suppl 1):S70 – S72 54. Kingwell E, Leung AL, Roger E, et al: UBC MS Neurologists: Factors associated with delay to medical recognition in two Canadian multiple sclerosis cohorts. J Neurol Sci 2010; 292:57  – 62)

DAFTAR PUSTAKA

1. Fisher,

Naomi D. L., Williams, Gordon H.  Hypertensive Vascular Disease.

 Harrison's Principles of Internal Medicine. 16th Edition. McGraw Hill. USA. 2005. 2. Munger.K, Levin L, Holis B, Howard M, Ascherio A. Serum 25-Hidroksivitamin D Levels and Risk of Multiple Sclerosis. Report: JAMA 2006:296:2832-2838 3. Simon R.  Motor Deficit. Clinical Neurology.7 th. McGraw Hill. USA. 2009. 4. Malan LK, Stump SE. Krause’s. Food, Nutrition, and Diet Theraphy. 11

th

Edition.

Saunders. USA. 2004:1109-1111 5. Kira. J, Tobimatsu S, Gotto I. Vitamin B 12 Metabolisme and Massive Dose Methyl Vitamin B12 Therapy in Japanese Patients ith Multiple Sclerosis. Report :Internal Medicine 1994:33:82-86 6. About

MS.

2012.

Bayer

HealthCare

Pharmaceuticals.

Available

from:

http://www.multiplesclerosis.com/global/about_ms.php was accessed on October 19 th, 2012 7. Multiple

sclerosis.

2012.

Medscape

References.

Available

from:

http://emedicine.medscape.com/article/1146199-overview was accessed on October 19th, 2012 8. McDonald

Criteria.

2011.

Wikipedia.

Available

from:

http://en.wikipedia.org/wiki/McDonald_criteria was accessed on October 19 th, 2012 9. Multiple

Sclerosis.

Pubmed

Health

Medicine.

Available

from:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0001747/ was accessed on October 19th, 2012

15

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF