Modul Psikososial Dan Budaya Dalam Keperawatan(1)

September 7, 2017 | Author: reinaldy | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Reinaldy Dimpudus...

Description

MODUL PSIKOSOSIAL DAN BUDAYA DALAM KEPERAWATAN WAT DIII.09 BOBOT 2 SKS (T=2) KURIKULUM 2013

Oleh :

Oleh .............................................

Disajikan Pada Proses Belajar Mengajar Semester I (SATU) DIPLOMA III Jurusan Keperawatan

POLITEKNIK KESEHATAN GORONTALO KEMENTERIAN KESEHATAN RI 2017/2018

A. Kata Pengantar Puji dan syukur patut kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas petunjuk, rahmat dan karunia-Nya, sehingga Modul Psikososial dan Budaya dalam Keperawatan dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang ditentukan. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi disegala bidang menyebabkan arus komunikasi dan transportasi semakin meningkat dan hal tersebut sangat berpotensi mempengaruhi kesehatan individu, keluarga dan masyarakat. Dampak dari meningkatnya arus transportasi, dapat meningkatkan tingginya perpindahan penduduk dari desa ke kota, dari kota ke kota yang lain bahkan dari satu negara ke negara yang lain. Selain itu tingginya kunjungan turis asing dari satu negara ke negara yang lain, dapat berpotensi membawa bibit penyakit seingga terjadinya penularan penyakit. Karena itu tidak jarang kita melihat klien yang dirawat disetiap Rumah Sakit khususnya didaerah-daerah wisata tidak hanya penduduk lokal/masyarakat Indonesia tetapi juga mereka yang berasal dari manca negara yang notebene kebudayaan mereka sangat berbeda dengan kebudayaan masyarakat Indonesia. Untuk itulah diperlukan materi psikososial dan budaya dalam keperawatan dimasukan kedalam kurikulum pendidikan profesi Ners, agar mahasiswa dapat dibekali dengan ilmu dan keterampilan dalam memberikan asuhan keperawatan kepada klien berdasarkan pendekatan psikososial dan budaya. Modul ini berisi materi tentang konsep psikososial dalam praktik keperawatan yang mencakup konsep diri, kesehatan spiritual, seksualitas, stress adaptasi, konsep kehilangan, kematian dan berduka, konsep teoritis Antropologi kesehatan mencakup kebudayaan, masyarakat rumah sakit dan kebudayaan, etiologi penyakit, persepsi sehat sakit, peran dan perilaku pasien, respoon sakit/nyeri pasien serta konsep globalisasi dan perspektif transkultural, diversity dalam masyarakat, teori culture care leininger,pengkajian budaya, aplikasi transkultural nursing sepanjang daurkehidupan manusia, aplikasi keprawatan transkultural dalam berbagai masalaha kesehatan pasien. Semoga Modul ini dapat membantu mahasiswa dan memberi inspirasi dalam menerapkan penyusunan asuhan keperawatan dengan pendekatan konsep psikososial dan budaya dari setiap klien yang dirawat di Rumah Sakit maupun di Puskesmas dan semoga dapat bermanfaat bagi para pembaca khususnya mahasiswa. Penulis,

B. Daftar Isi, Daftar Tabel, Daftar Gambar.................................................................. Kata Pengantar....................................................................................................

i ii

Standar kompetensi .............................................................................................. Deskripsi Umum Peta kedudukan modul .......................................................................................... Petunjuk penggunaan modul ................................................................................. Glosarium ........................................................................................................... BAB I : Psikososial dan budaya dalam keperawatan ……………………………….

1

C. Capaian Pembelajaran Setelah mengikuti mata kulian ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan konsep psikososial dalam praktik keperawatan, konsep antropologi kesehatan dan dapat menerapkan keperawatan transkultural dalam membuat asuhan keperawatan pada klien dengan baik dan benar. D. Deskripsi Umum Mata Kuliah ini menguraikan tentang konsep psikososial dalam praktik keperawatan yang mencakup konsep diri, kesehatan spiritual, seksualitas, stress adaptasi, konsep kehilangan, kematian dan berduka, konsep teoritis Antropologi kesehatan mencakup kebudayaan, masyarakat rumah sakit dan kebudayaan, etiologi penyakit, persepsi sehat sakit, peran dan perilaku pasien, respoon sakit/nyeri pasien serta konsep globalisasi dan perspektif transkultural, diversity dalam masyarakat, teori culture care leininger,pengkajian budaya, aplikasi transkultural nursing sepanjang daurkehidupan manusia, aplikasi keprawatan transkultural dalam berbagai masalaha kesehatan pasien. Proses belajar memberikan pangalaman pemahaman tentang psikososial dan budaya dalam keperawatan melalui kegiatan pembelajaran dengan menggunakan metode ceramah, tanya jawab, diskusi, penugasan, jigsaw, round club, student facilitator. E. Peta Kedudukan Modul .................................................................................................................

F.

Petunjuk Penggunaan Modul Untuk lebih cepat memahami materi yang terdapat dalam modul ini, setiap mahasiswa perlu mencermati beberapa petunjuk penggunaan sebagai berikut : 1. Siapkan hati dan pikiran kita untuk memulai dan mempelajari setiap pokok bahasan yang terdapat modul ini 2. Jangan tergesa-gesa membaca materi yang ada dalam modul ini, sebaliknya bacalah setiap item yang terdapat dalam modul ini dengan cermat, sehingga apa makna yangterkandung dalam setiap pokok dan sub pokok bahasan dapat dimengerti dengan baik dan benar 3. Pada saat saudara membaca modul ini, siapkan terlebih dahulu alat tulis dan buku catatan, sehingga ketika saudara membaca dan menemukan ada hal-hal penting, maka saudara segera mencatat dalam buku catatan yang sudah disiapkan 4. Jika menemukan istilah yang tidak dimengerti, silahkan cari di kamus dan atau diinternet sehingga saudara dapat mengerti maksud dari istilah tersebut 5. Sebaiknya ketika saudara membaca modul ini, ajaklah teman saudara sebagai teman untuk berdiskusi sehingga materi yang dibaca dapat dipahami dan dapat dijelaskan kepada teman atau kepada dosen pada saat dilakukan quis 6. Jika ada materi yang tidak dapat dipahami setelah berdiskusi dengan teman-teman, catatlah materi tersebut untuk selanjutnya dapat ditanyakan kepada dosen pengampu mata kuliah pada saat dikelas. 7. Buatlah rangkuman materi untuk setiap pokok dan sub pokok bahasan untuk membantu memudahkan saudara mendalami materi. 8. Khuusus untuk pokok bahasan tentang asuhan keperawatan berbasis transkultural hendaknya saudara melatih diri dengan membuat kasus-kasus semu dan atau kasus nyata hasil pangkajian saudara dilahan praktik.

G. Glosarium ...................................................................................................................

BAB I : PSIKOSOSIAL DALAM PRAKTIK KEPERAWATAN KEGIATAN PEMBELAJARAN 1 Konsep Diri Dan Kesehatan Spiritual A. PENDAHULUAN 1. Deskripsi/Uraian Materi Mata Kuliah ini menguraikan tentang konsep diri dan kesehatan spiritual mencakup pengertian konsep diri, macam konsep diri, komponen konsep diri, pengertian spiritual, dimensi spiritual, keterkaitan antara spiritual-kesehatan-sakit, factor yang mempengaruhi spiritualitas, pasien yang membutuhkan dukungan spiritual, masalah kebutuhan spiritual, macam-macam distress spiritual dan askep spiritual. 2. Kompetensi Dasar a. Mampu menjelaskan pengertian konsep diri dan komponen konsep diri b. Mampu menjelaskan pengertian spiritual c. Mampu menjelaskan keterkiatan antara spiritual-kesehatan-sakit d. Mampu menjelaskan faktor yang mempengaruhi spiritual e. Mampu menjelaskan pasien yang membutuhkandukungan spiritual f. Mampu menjelaskan masalah kebuthan spiritualdan macam-macam distres g. Mampu menyusun askep spiritual B. Penyajian 1. Uraian materi konsep diri a. Pengertian konsep diri Konsep Diri didefenisikan sebagai semua pikiran, keyakinan dan kepercayaan yang merupakan pengetahuan individu tentang dirinya dan mempengaruhi hubungan dengan orang lain (Stuart & Sundeen 2005). Konsep diri adalah cara individu memandang dirinya secara utuh, fisikal, emosional, intelektual, sosial dan spiritual (Keliat, 2005). Konsep diri adalah citra subjektif dari diri dan pencampuran yang kompleks dari perasaan, sikap dan persepsi bawah sadar maupun sadar. Konsep diri memberi kita kerangka acuan yang mempengaruhi manejemen kita terhadap situasi dan hubungan kita dengan orang lain (Potter & Perry, 2005) b. Macam-macam konsep diri Dua macam konsep diri adalah sebagai berikut : 1) konsep diri negatif : peka pada kritik, responsif sekali pada pujian, hiperkritis, cenderung merasa tidak disenangi orang lain, bersikap pesimitis pada kompetensi. 2) konsep diri positif : yakin akan kemampuan mengatasi masalah, merasa setara dengan orang lain, menerima pujian tanpa rasa malu, sadar akan keinginan dan perilaku tidak selalu disetujui oleh orang lain, mampu memperbaiki diri. c. Hal-hal yang perlu dipahami tentang konsep diri adalah : 1) Dipelajari melalui pengalaman dan interaksi individu dengan orang lain.

2) Ditandai dengan kemampuan intelektual dan penguasaan lingkungan(positif). 3) Negatif ditandai dengan hubungan individu dan sosial yang mal adaptif. 4) Merupakan aspek kritikal yang mendasar dan pembentukan perilaku individu. d. Hal-hal yang penting dalam konsep diri adalah : 1) Nama dan panggilan anak. 2) Pandangan individu terhadap orang lain. 3) Suasana keluarga yang harmonis. Penerimaan keluarga e. Komponen konsep diri Konsep diri terdiri dari Citra Tubuh (Body Image), Ideal Diri (Self ideal), Harga Diri (Self esteem), Peran (Self Rool) dan Identitas(self idencity). 1) Citra Tubuh (Body Image) Body Image (citra tubuh) adalah sikap individu terhadap dirinya baik disadari maupun tidak disadari meliputi persepsi masa lalu atau sekarang mengenai ukuran dan dinamis karena secara konstan berubah seiring dengan persepsi dan pengalaman-pengalaman baru. Body image berkembang secara bertahap selama beberapa tahun dimulai sejak anak belajar mengenal tubuh dan struktur, fungsi, kemampuan dan keterbatasan mereka. Body image (citra tubuh) dapat berubah dalam beberapa jam, hari, minggu ataupun bulan tergantung pada stimuli eksterna dalam tubuh dan perubahan aktual dalam penampilan, stuktur dan fungsi (Potter & Perry, 2005). 2) Ideal Diri Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana ia seharusnya bertingkah laku berdasarkan standar pribadi. Standar dapat berhubungan dengan tipe orang yang diinginkan/disukainya atau sejumlah aspirasi, tujuan, nilai yang diraih. Ideal diri akan mewujudkan cita-cita ataupun penghargaan diri berdasarkan norma-norma sosial di masyarakat tempat individu tersebut melahirkan penyesuaian diri. Ideal diri berperan sebagai pengatur internal dan membantu individu mempertahankan kemampuan menghadapi konflik atau kondisi yang membuat bingung. Ideal diri penting untuk mempertahankan kesehatan dan keseimbangan mental. Pembentukan ideal diri dimulai pada masa anak-anak dipengaruhi oleh orang yang dekat dengan dirinya yang memberikan harapan atau tuntunan tertentu. Seiring dengan berjalannya waktu individu menginternalisasikan harapan tersebut dan akan membentuk dari dasar ideal diri. Pada usia remaja, ideal diri akan terbentuk melalui proses identifikasi pada orang tua, guru dan teman. Pada usia yang lebih tua dilakukan penyesuaian yang merefleksikan berkurangnya kekuatan fisik dan perubahan peran serta tanggung jawab.

2) Harga Diri Harga diri adalah penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisis seberapa banyak kesesuaian tingkah laku dengan ideal dirinya. Harga diri diperoleh dari diri sendiri dan orang lain yaitu : dicintai, dihormati dan dihargai. Mereka yang menilai dirinya positif cenderung bahagia, sehat, berhasil dan dapat menyesuaikan diri, sebaliknya individu akan merasa dirinya negative, relatif tidak sehat, cemas, tertekan, pesimis, merasa tidak dicintai atau tidak diterima di lingkungannya (Keliat BA, 2005). Harga diri dibentuk sejak kecil dari adanya penerimaan dan perhatian. Harga diri akan meningkat sesuai dengan meningkatnya usia. Harga diri akan sangat mengancam pada saat pubertas, karena pada saat ini harga diri mengalami perubahan, karena banyak keputusan yang harus dibuat menyangkut dirinya sendiri. 3) Peran Peran adalah serangkaian pola sikap perilaku, nilai dan tujuan yang diharapkan oleh masyarakat dihubungkan dengan fungsi individu di dalam kelompok sosial. Setiap orang disibukkan oleh beberapa peran yang berhubungan dengan posisi pada tiap waktu sepanjang daur kehidupannya. Harga diri yang tinggi merupakan hasil dari peran yang memenuhi kebutuhan dan cocok dengan ideal diri. 4) Identitas Diri Identitas diri adalah kesadaran tentang diri sendiri yang dapat diperoleh individu dari observasi dan penilaian dirinya, menyadari bahwa individu dirinya berbeda dengan orang lain. Seseorang yang mempunyai perasaan identitas diri yang kuat akan memandang dirinya berbeda dengan orang lain, dan tidak ada duanya. Identitas berkembang sejak masa kanak-kanak, bersamaan dengan berkembangnya konsep diri. Dalam identitas diri ada otonomi yaitu mengerti dan percaya diri, respek terhadap diri, mampu menguasai diri, mengatur diri dan menerima diri

Daftar Pustaka Keliat, Budi Anna, Dkk. 2005 . Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa Edisi 2. Jakarta: EGC Potter & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta: EGC Stuart, Gail & Sundeen, Sandra. 2005. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC

2. Uraian Materi konsep spiritual a. Pengertian spiritual Spiritualitas merupakan sesuatu yg di percayai oleh seseorang dlm hubunganya dgn kekuatan yg lebih tinggi (tuhan), yg menimbulkan suatu kebutuhan serta kecintaan thdp adanya Tuhan dan permohonan maaf atas segala kesalahan yg pernah diperbuat. Tdk selamanya dgn tuhan à animisme dinamisme . Menurut Burkhardt (1993) Spiritualitas meliputi aspek sebagai berikut: a) Berhubungan dgn sesuatu yg tdk diketahui atau ketidakpastian dlm kehidupan. b) Menemukan arti dan tujuan hidup. c) Menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dlm diri sendiri. d) Mpy perasaan keterikatan dgn diri sendiri dan dengan Yg Maha Tinggi. e) Stoll (1989) b. Dimensi spiritual Spiritualitas sbg konsep dua dimensi: dimensi VERTIKAL adalah hubungan dgn Tuhan atau Yang Maha Tinggi yg menuntun kehidupan seseorang, sedangkan dimensi HORIZONTAL adalah hubungan seseorang dgn diri sendiri, orang lain dan dgn lingkungan. (Carson, 1989). Kebutuhan spiritual adalah kebutuhan untuk mempertahankan atau mengembalikan keyakinan dan memenuhi kewajiban agama, serta kebutuhan untuk mendapatkan maaf atau pengampunan, mencintai, menjalin hubungan penuh rasa percaya dgn Tuhan c. Keterkaitan antara spiritual-kesehatan-sakit Keterkaitan spiritualitas- kesehatan –sakit, keyakinan spiritual sngat penting krn dpt mempengaruhi tingkat kesehatan dan perilaku selfcare klien. Pengaruh dari keyakinan spiritual yg perlu dipahami adalah sebagai berikut: 1) Menuntun kebiasaan hidup Praktik tertentu pd umumnya yg berhubungan dgn pelayanan keseh mungkin mpyai makna keagamaan bagi pasien. Sebagai contoh, ada agama yg menetapkan makanan diit yg boleh dan tidak boleh dimakan. Begitu pula metode keluarga berencana ada agama yg melarang cara tertentu untuk mencegah kehamilan termasuk terapi medik atau pengobatan.

2) Sumber dukungan Pada saat mengalami stress, individu akan mencari dukungan dari keyakinan agamanya. Dukungan ini sangat diperlukan untuk dpt menerima keadaan sakit yg dialami, khususnya jika penyakit tersebut memerlukan proses penyembuhan yg lama dgn hasil yg blm pasti. Sembahyang atau berdoa, membaca kitab suci, dan praktik keagamaan lainnya sering membantu memenuhi kebutuhan spiritual yg juga merupakan suatu perlindungan terhadap tubuh. 3) Sumber kekuatan dan penyembuhan individu cenderung dpt menahan stress baik fisik maupun psikis yg luar biasa karena mempunyai keyakinan yg kuat. Keluarga klien akan mengikuti semua proses penyembuhan yg memerlukan upaya ekstra, karena keyakinan bahwa semua upaya tersebut akan berhasil. 4) Sumber konflik Pada suatu situasi tertentu, bisa terjadi konflik antara keyakinan agama dgn praktik kesehatan. Misalnya ada orang yg memandang penyakit sebagai suatu bentuk hukuman karena pernah berdosa. Ada agama tertentu yg menganggap manusia sebagai makhluk yg tidak berdaya dlm mengendalikan lingkungannya, oleh karena itu penyakit diterima sbg nasib bukan sebagai sesuatu yg harus disembuhkan d. Faktor yg mempengaruhi spiritualitas 1) Perkembangan; semakin dewasa idealnya semakin matang tingkat spiritualitas seseorang 2) Keluarga; memiliki peran yg sangat penting dalam memenuhi kebutuhan spiritual, individu yg di besarkan dalam keluarga agama islam cenderung 90% islam. 3) Ras/suku; di indonesia timur à irian jaya mayoritas beragama kristen aceh mayoritas islam 4) Agama yg di anut; keyakinan pd agama ttt dpt menentukan arti pentingnya kebutuhan spiritual 5) Kegiatan keagamaan; kegiatan agama dpt mengingatkan keberadaan dirinya dgn tuhan, dan sll mndekatkan diri kpd penciptanya

e. Pasien yg membutuhkan dukungan spiritual 1) Pasien kesepian; Pasien dalam keadaan sepi dan tdk ada yg menemani akan membutuhkan bantuan krn mereka merasakan tdk ada kekuatan selain kekuatan tuhan, tdk ada yg menyertainya kecuali Tuhan. 2) pasien ketakutan dan cemas; adanya ketakutan dan kecemasan dpt menimbulkan perasaan kacau, yg dpt membuat pasien membuutuhkan ketenangan pd dirinya, dan ketenangan yg plg bsar adlh bersama tuhan. 3) pasien yg harus mengubah gaya hidup; pola gaya hidup dpt mengacaukan keyakinan individu bila ke arah yg lbh buruk dan sebaliknya f. Masalah kebutuhan spiritual Distress spiritual à suatu keadaan ketika individu atau kelompok mengalami atau beresiko mengalami gangguan dalam kepercyaan atau sistem nilai yg memberikannya kekuatan, harapan dan arti kehidupan. g. Macam – macam distres Spiritual 1) Spiritual yang sakit, yaitu kesulitan menerima kehilangan dari orang yang dicintai atau dari penderitaan yang berat 2) Spiritual yang khawatir yaitu terjadinya pertentangan kepercayaan dan sistem nilai seperti adanya aborsi 3) Spiritual yang hilang yaitu adanya kesulitan menemukan ketenangan dalam kegiatan keagamaan. h. Asuhan keperawatan spiritual Pengkajian : 1) Sumber kekuatan : Tuhan atau yg lain 2) Data umum : agama yg di anut pasien / keyakinan 3)

Bagaimana pasien melaksanakan keyakinanya, ada masalah?

4) Apakah sakit atau terluka mempengaruhi keyakinan anda? 5) Apakah anda mempunyai pemimpin spiritual? 6) Apakah anda butuh pemimpin spiritual? 7) Faktor yg mempengaruhi à kematian, sakit, kecacatan, dsb 8) Faktor yang menyebabkan masalah spiritual. Kehilangan salah satu bagian tubuh, beberapa penyakit terminal, tindakan pembedahan, prosedur invasif dll

9)

Kaji tanda distres di atas

Diagnosa Keperawatan : 1. Distress spiritual b.d anxietas Definisi : gangguan pada prinsip hidup yang meliputi semua aspek dari seseorang yang menggabungkan aspek psikososial dan biologis — 2. Koping inefektif b.d krisis situasi Definisi : ketidakmampuan membuat penilaian yang tepat terhadap stressor, pilihan respon untuk bertindak secara tidak adekuat dan atau ketidakmampuan menggunakan sumber yang tersedia Batasan karakteristik Mayor (harus terdapat) a. mengalami gangguan dlm sistem kepercayaan Minor (mungkin terdapat) a. menunjukkan kekecewaan atau putus asa b. memilih tdk melakukan kebiasaan upacara keagamaan c. bertanya ttg arti kehidupan, kematian dan penderitaan d. mengungkapkan bahwa ia tdk memiliki alasan untuk hdp Faktor yg berhubungan a. kehilangan bagian atau fungsi tubuh b. sakit terminal c. penyakit2 d. nyeri e. trauma/terluka f. keguguran g. amputasi h. pembedahan/operasi i. hambatan untuk melakukan ritual spiritual

INTERVENSI Diagnosa 1 a. kaji adanya indikasi ketaatan dalam beragama b. tentukan konsep ketuhanan klien c. kaji sumber-sumber harapan dan kekuatan pasisien d. dengarkan pandangan pasien tentang hubungan spiritiual dan kesehatan e. nilai dampak situasi kehidupan terhadap peran f. evaluasi kemampuan pasien dalam membuat keputusan g. anjurkan klien menggunakan tehnik relakssi h. berikan pelatihan ketrampilan sosial yang sesuai i. libatkan sumber – sumber yang ada untuk mendukung pemberian pelayanan kesehatan EVALUASI Evaluasi thdp masalah spiritual dpt di nilai dari Mampu beristirahat dengan tenang Menyatakan penerimaan keputusan moral Mengekspresikan rasa damai Menunjukkan hubungan yang hangat dan terbuka Menunjukkan sikap efektif tanpa rasa marah, rasa bersalah dan ansietas Menunjukkan prilaku lebih positif Mengekspresikan arti positif terhadap situasi dan keberadaannya Daftar Pustaka a. Nova Maulana, (2014), Buku Ajar Sosiologi dan Antropologi Kesehatan, Cetakan Pertama, Nuha Medika, Yogyakarta b. Arum Pratiwi, (2011), Buku Ajar Keperawatan Transkultural, Cetakan Pertama, Penerbit Gosyen Pulishing, Yogyakarta c. Wahyu Ratna, (2010),”Sosiologi dan Antropologi Kesehatan dalam Perspektif Ilmu Keperawatan”, Edisi I, Pustaka Rihama, Yogyakarta. d. Sudiharto,(2007) “Asuhan Keperawatan Keluarga dengan Pendekatan Transkultural”, Edisi I, EGC, Jakarta e. Foster/Anderson. 1986. Antropologi Kesehatan, Jakarta, Grafiti.

f. Sarwono, S. 1993. Sosiologi Kesehatan, Beberapa Konsep Beserta Apli kasinya, Yogyakarta, Gadjah Mada Press. g. Leininger. M & McFarland. M.R, (2002), Transcultural Nursing : Concepts,Theories, Research and Practice, 3rd Ed, USA, Mc-Graw Hill Companies 4. Latihan/Tugas a. Setiap mahasiswa membuat rangkuman materi konsep diri dan kesehatan spiritual melalui buku-buku maupun jurnal. b. Setiap kelompok mencari, menggali dan mendiskusikan materi konsep diri dan kesehatan spiritual untuk di presentasikan C. Penutup 1. Evaluasi dan Kunci Jawaban a. Jelaskan pengertian konsep diri b. Jelaskan macam-macam konsep diri, komponen konsep diri c. Jelaskan pengertian konsep kesehatan spiritual d. Jelaskan dimensi spiritual, keterkaitan spiritual-kesehatan dan sakit e. Jelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi spiritualitas 2. Lembar Kejra Mahasiswa . Mata Kuliah Semester : ....................... Minggu ke : ......................

...................... SKS : ................ Tugas ke : ..................

1. Tujuan Tugas : 2. Uraian Tugas : a. Obyek garapan : .................... b. Yang harus dikerjakandan batasan-batasan : ................... c. Metode/cara pengerjaan, acuan yang digunakan : ........ d. Deskripsiluaran tugas yang digunakan : ................ 3. Kriteria penilaian : a. .................................. .........................% b. .................................... ..........................% c. ................................. .........................%

KEGIATAN PEMEBELAJARAN 2 & 3 Konsep Seksual, Konsep Stres Adaptasi, Konsep Kehilangan, Kematian Dan Berduka A. PENDAHULUAN 1. Deskripsi/Uraian Materi Mata Kuliah ini menguraikan tentang konsep seksualitas mencakup : pengertian, sikap terhadap seksualitas, respon seksual, kehamilan dan seksualitas, masalah yang berhubungan dengan seksualitas, seksualitas dalam keperawatan, konsep stres adaptasi mencakup : pengertian, manifestasi stress, factor yang mempengaruhi, adaptasi, proses keperawatan stress management untuk perawat. 2. Kompetensi Dasar a. Mampu menjelaskan pengertian seksualitas b. Mampu menjelaskan respon seksual c. Mampu menjelaskan kehamilan dan seksualitas e. Mampu menjelaskan masalah yang berhubungan seksualitas f. Mampu menjelaskan seksualitas dalam keperawatan g. Mampu menjelaskan pengertian stres adaptasi h. Mampu menjelaskan manifestasi stres i. Mampu menjelaskan faktor penyebab stres j. Mampu menjelaskan faktor yang mempengaruhi stres k. Mampu menyusun proses keperawatan stres mamagement. B. Penyajian 1. Uraian Materi Seksualitas a. Pengertian seksualitas Seksualitas adalah kebutuhan dasar manusia dalam manifestasi kehidupan yang berhubungan dengan alat reproduksi. (Stevens: 1999). Sedangkan menurut WHO dalam Mardiana (2012) seksualitas adalah suatu aspek inti manusia sepanjang kehidupannya dan meliputi seks, identitas dan peran gender, orientasi seksual, erotisme, kenikmatan, kemesraan dan reproduksi. Seksualitas adalah komponen identitas personal individu yang tidak terpisahkan dan berkembang dan semakin matang sepanjang kehidupan individu. Seksualitas tidak sama dengan seks. Seksualitas ialah interaksi faktor-faktor biologis, psikologi personal, dan lingkungan. Fungsi biologis mengacu pada kemampuan individu untuk memberi dan menerima kenikmatan dan untuk bereproduksi. Identitas dan konsep diri seksual psikologis mengacu pada pemahaman dalam diri individu tentang seksualitas seperti citra diri, identifikasi sebagai pria atau wanita, dan pembelajaran peran-peran maskulin atau feminin. Nilai atau aturan sosio budaya membantu dalam membentuk individu berhubungan dengan dunia dan bagaimana mereka memilih berhubungan seksual dengan orang lain. (Bobak: 2004) 2 aspek seksualitas: 1. Seksualitas dalam arti sempit Dalam arti sempit seks berarti kelamin. Yang termasuk dalam kelamin adalah sebagai berikut: a. Alat kelamin itu sendiri

b. Kelenjar dan hormon-hormon dalam tubuh yang mempengaruhi bekerjanya alat kelamin c. Anggota tubuh dan ciri-ciri badaniah lainnya yang membedakan laki-laki dan perempuan d. Hubungan kelamin 2. Seksualitas dalam arti luas Segala hal yang terjadi akibat dari adanya perbedaan jenis kelamin antara lain: a) Perbedaan tingkah laku: lembut, kasar, genit, dll b) Perbedaan atribut: pakaian, nama, dll c) Perbedaan peran. (Mardiana: 2012) b. Fungsi Seksualitas 1) Kesuburan Pada beberapa kebudayaan, seorang wanita muda mungkin merasakan adanya keinginan yang kuat untuk membuktikan kesuburannya bahkan walaupun ia sebenarnya belum menginginkan anak pada tahap kehidupannya saat itu. Ini adalah macam masyarakat yang secara tradisional wanita hanya dianggap layak dinikahi apabila ia sanggup membuktikan kesuburannya. 2) Kenikmatan Mungkin pendorong primer atau mendasar perilaku seksual adalah kenikmatan atau kesenangan yang dirasakan yaitu suatu kombinasi kenikmatan sensual dan kenikmatan khas seksual yang berkaitan dengan orgasme. 3) Mempererat ikatan dan meningkatkan keintiman pasangan Dalam suatu pertalian seksual yang ekslusif, pasangan melakukan secara bersama-sama hal-hal yang tidak ingin mereka lakukan dengan orang lain. Ini adalah esensi dari keintiman seksual. Efektivitas seks dalam memperkuat keintiman tersebut berakar dari risiko psikologis yang terlibat; secara khusus, resiko ditolak, ditertawakan, mendapati bahwa dirinya tidak menarik, atau kehilangan kendali dapat memadamkan gairah pasangan. 4) Menegaskan maskulinitas atau feminitas Sepanjang hidup kita, terutama pada saat-saat identitas gender terancam karena sebab lain (mis., saat menghadapi perasaan tidak diperlukan atau efek penuaan), kita mungkin menggunakan seksualitas untuk tujuan ini. 5) Meningkatkan harga diri Merasa secara seksual bagi orang lain, atau berhasil dalam upaya seksual, secara umum dapat meningkatkan harga diri. 6) Mencapai kekuasaan atau dominasi dalam hubungan Kekuasaan (power) seksualitas cenderung dianggap sebagai salah satu aspek maskulinitas, dengan pria, baik karena alasan sosial maupun fisik, biasanya berada dalam posisi dominan. Namun, seks dapat digunakan untuk mengendalikan hubungan baik oleh pria dan wanita dan karenanya sering merupakan aspek penting dalam dinamika hubungan. Kekuasaan tersebut mungkin dilakukan dengan mengendalikan akses ke interaksi seksual, menentukan bentuk pertalian seksual yang dilakukan, dan apakah proses menimbulkan efek positif pada harga diri pasangan. Sementara dapat terus menjadi faktor dalam suatu hubungan yang sudh berjalan, hal ini juga merupakan aspek yang penting dan menarik dalam perilaku awal masa “berpacaran”. 7) Mengungkapkan permusuhan Aspek penting dalam masalah “dominasi” pada interaksi seksual pria-wanita adalah pemakaian seksualitas untuk mengungkapkan permusuhan. Hal ini

paling relevan dalam masalah perkosaan dan penyerangan seksual. Banyak kasus penyerangan atau pemaksaan seksual dapat dipandang sebagai perluasan dari dominasi atau kekuasaan, biasanya oleh pria terhadap wanita. Juga terdapat keadaan-keadaan dengan penyerangan seksual dapat dipahami sebagai suatu ungkapan kemarahan, baik terhadap wanita itu sendiriatau terhadap wanita itu sebagai pengganti wanita lain. 8) Mengurangi ansietas atau ketegangan Menurunnya gairah yang biasanya terjadi setelah orgasme dapat digunakan sebagai cara untuk mengurangi ansietas atau ketegangan. 9) Pengambilan resiko Interaksi seksual menimbulkan berbagai risiko, berkisar dari yang relatif ringan, misalnya ketahuan, sampai serius misalnya hamil atau infeksi menular seksual. Adanya resiko tersebut menjadi semakin bermakna dan mengganggu dengan terjadinya epidemi HIV dan AIDS. Bagi sebagian besar orang, kesadaran adanya resiko akan memadamkan respon seksual sehingga mereka mudah menghindari resiko tersebut. Namun, bagi beberapa individu, gairah yang berkaitan dengan persepsi resiko malah meningkatkan respons seksual. Untuk individu yang seperti ini, resiko seksual menjadi salah satu bentuk kesenangan yang dicari. 10. Keuntungan materi Prostitusi adalah bentuk yang jelas dari aktivitas seksual untuk memperoleh keuntungan dan hal ini sering merupakan akibat dari kemiskinan. Pernikahan, sampai masa ini masih sering dilandasi oleh keinginan untuk memperoleh satu bentuk perlindungan dan bukan semata mata ikatan emosional komitmen untuk hidup bersama. ( Glasier: 2005 ) c. Kesehatan Seksualitas Kesehatan seksual adalah kemampuan seseorang mencapai kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang terkait dengan seksualitas, hal ini tercermin dari ekspresi yang bebas namun bertanggung jawab dalam kehidupan pribadi dan sosialnya misalnya dalam menjaga hubungan dengan teman atau pacar dalam batasan yang diperbolehkan oleh norma dalam masyarakat atau agama. Bukan hanya tidak adanya kecacatan, penyakit atau gangguan lainnya. Kondisi ini hanya bisa dicapai bila hak seksual individu perempuan dan laki-laki diakui dan dihormati (BKKBN, 2006). d. Pertumbuhan Dan Perkembangan Seks Manusia Pertumbuhan dan perkembangan seks manusia disebut libido. Terdiri dari beberapa tahap yaitu: 1) Tahap oral: Sampai mencapai umur sekitar 1-2 tahun, tingkat kepuasan seks dengan menghisap puting susu ibu, dot botol, menghisap jari tangan, Dengan bayi baru dapat tidur setelah disusui ibu, menghisap botol atau tidur sambil menghisap jarinya. Oleh karena itu perilaku demikian tidak perlu dilarang. 2) Tahap anal: Kepuasan seks anak didapat melalui rangsangan anus saat buang air besar, antara umur 3-4 tahun sering duduk lama ditoilet, sehingga kepuasannya tercapai. 3) Tahap falik: Terjadi sekitar umur 4-5 tahun, dengan jalan mempermainkan alat kelaminnya. 4) Tahap laten: Terjadi sekitar umur 6-12 tahun. Tingkah laku seksual seolah-olah terbenam, karena mungkin lebih banyak bermain, mulai masuk sekolah, dan adanya pekerjaan rumah dari sekolah, Sehingga anak-anak cepat lelah dan lekas tertidur, untuk siap bangun pagi dan pergi ke sekolah.

5)

Tahap genital: Umur anak sekaitar 12-15 tahun. Tanda seks sekunder mulai berkembang dan keinginan seks dalam bentuk libido mulia tampak dan terus berlangsung sampai mencapai usia lanjut. Suara mulai berubah, keinginan dipuja dan memuja mulai muncul, keingian dicumbu dan mencumbu pun mulai tampak. Saat ini masa yang sangat berbahaya, sehingga memerlukan perhatian orang tua. Pada wanita telah mulai dating bulan (menstruasi) dan pria mulai mimpi basah sehingga dapat menyebabkan kehamilan atau hamil bila mereka melakukan hubungan seksual. Karena kematangan jiwa dan jasmani belum mencapai tingkat dewasa, sehingga bila terjadi kehamilan yang tidak dihendaki, memberikan dampak kejiwaan yang sangat menyedihkan. (chandranita :2009) Berkembangnya seksualitas dan pertalian seksual a) Remaja Pada awal masa remaja, sebagian besar seksualitas berkaitan dengan penegasan identitas gender dan harga diri. Pada saat awitan pubertas terjadi perubahan-perubahan di tubuh yang berlangsung tanpa dapat diduga sementara perubahan-perubahan hormon menimbulkan dampak pada reaktivitas emosi. b) Pasangan dan awal perkawinan Setelah perkawinan dimulai, tantangannya adalah membangun rasa aman dalam pertalian seksual yang juga mulai kehilangan pengaruh “pengalaman barunya”. Pada tahap inilah membangun komunikasi yang baik menjadi sangat penting untuk kelanjutan perkembangan pertalian seksual. Apabila pasangan tidak mengembangkan cara-cara yang memungkinkan pasangannya mengetahui apa yang mereka nikmati dan apa yang tidak menyenangkan maka akan muncul masalah yang seharusnya dapat dihadapi dan dipecahkan. c) Awal menjadi orang tua Kehamilan, dan beberapa bulan setelah kelahiran, menimbulkan kebutuhan lebih lanjut akan penyesuaian seksual. Wanita besar kemungkinannya mengalami penurunan keinginan seksual dan kapasitas untuk menikmati seks menjelang akhir kehamilnya karena terjadinya perubahan-perubahan fisik dan mekanis. Periode pascanatal, karena berbagai alasan merupakan salah satu periode saat munculnya kesulitan-kesulitan seksual yang apabila pasangan obesitas belum mengembangkan metode-metode yang sesuai untuk mengatasinya, dapat menimbulkan kesulitan berkepanjangan. Masalah jangka panjang yang paling sering dalam hali ini adalah hilangnya gairah seksual pihak wanita. 4) Usia paruh baya Seksualitas pada hubungan yang sudah terjalin lama biasanya menghadapi hambatan yang berbeda-beda. Pada tahap ini sesuatu yang baru dalam hubungan seksual telah lama hilang. Bagi banyakorang halini tidak menimbulkan masalah. Mereka telah mengembangkan bentuk kenyamanan intimasiseksual lain yang tetap menjadi bagian integral dari hubungan mereka. Tetapi bagi yang lain, kualitas hubungan seksual yang rutin ini akan memakan korban. Pada keadaan seperti ini stress di tempat kerja misalnya akan mudah menyebabkan kelelahan dan memadamkan semua antusiasme spontan untuk melakukan aktivitas seksual. Hubungan intim menjadi jarang dilakukan dan sebagai konsekuensinya dapat timbul ketegangan dalam hubungan pasangan tersebut. Pada kelompok yang lebih tua lagi masalah seksual yang kita hadapi terutama adalah masalah ereksi pada pria dan hilangnya minat seksual pada

wanita. Proses penuaan memang menimbulkan dampak pada seksualitas tetapi tentu tidak selalu negatif. Pasangan pada usia ini lebih kecil kemungkinannya meminta pertolongan dalam konteks keluarga berencana atau kesehatan reproduksi (Glasier: 2005) e. Respon Seksualitas Siklus respon seksual normal terdiri dari empat tahap yang terjadi berturutturut. “Normal” pada umumnya mengacu pada panjang siklus masing-masing fase, dan hasil bercinta yang memuaskan. Empat tahapan siklus respon seksual : 1) Fase kegembiraan adalah tahap pertama, yang dapat berlangsung dari beberapa menit sampai beberapa jam. Beberapa karakteristik dari fase kegembiraan meliputi: a) Peningkatan ketegangan otot b) Peningkatan denyut jantung c) Perubahan warna kulit d) Aliran darah ke daerah genital e) Mulainya pelumasan Vagina f) Testis membengkak dan skrotum mengencang 2) Fase plateau adalah fase yang meluas ke ambang orgasme. Beberapa perubahan yang terjadi dalam fase ini meliputi: a) Fase kegembiraan meningkat b) Peningkatan pembengkakan dan perubahan warna vagina c) Klitoris menjadi sangat sensitive d) Testis naik ke dalam skrotum e) Adanya peningkatan dalam tingkat pernapasan, denyut jantung, dan tekanan darah f) Meningkatnya ketegangan otot dan terjadi kejang otot 3) Fase orgasme adalah puncak dari siklus respons seksual, dan merupakan fase terpendek, hanya berlangsung beberapa detik. Fase ini memiliki karakteristik seperti berikut: a) Kontraksi otot tak sadar b) Memuncaknya denyut jantung, tekanan darah, dan tingkat pernapasan c) Pada wanita, kontraksi otot vagina menguat dan kontraksi rahim berirama d) Pada pria, kontraksi otot panggul berirama dengan bantuan kekuatan ejakulasi e) Perubahan warna kulit ekstrem dapat terjadi di seluruh tubuh 4) Tahap terakhir, yang disebut fase resolusi, adalah ketika tubuh secara perlahan kembali ke tingkat fisiologis normal. Fase resolusi ditandai dengan relaksasi, keintiman,dan seringkali kelelahan. Sering kali perempuan tidak memerlukan fase resolusi sebelum kembali ke aktivitas seksual dan kemudian orgasme, sedangkan laki-laki memerlukan waktu pemulihan sebelum orgasme selanjutnya. Seiring pertambahan usia laki-laki, panjang dari fase refraktori akan sering meningkat. f. Dimensi seksualitas Seksualitasmemiliki dimensi-dimensi.Dimensi-dimensi Seksualitasseperti sosiokultural,dimensi agamadanetik,dimensi psikologisdandimensi biologis (Perry & Potter, 2005). Masing-masing dimensi tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:

1) Dimensi Sosiokultural Seksualitas dipengaruhi oleh norma dan peraturan kultural yang menentukan apakah perilaku yang diterima di dalam kultur. Keragaman kultural secara global menciptakan variabilitas yang sangat luas dalam norma seksual dan menghadapi spectrum tentang keyakinan dan nilai yang luas. Misalnya termasuk cara dan perilaku yang diperbolehkan selama berpacaran, apa yang dianggap merangsang, tipe aktivitas seksual, sanksi dan larangan dalam perilaku seksual, dengan siapa seseorang menikah dan siapa yang diizinkan untuk menikah. Setiap masyarakat memainkan peran yang sangat kuat dalam membentuk nilai dan sikap seksual, juga dalam membentuk atau menghambat perkembangan dan ekspresi seksual anggotanya. Setiap kelompok sosial mempunyai aturan dan norma sendiri yang memandu perilaku anggotanya. Peraturan ini menjadi bagian integral dari cara berpikir individu dan menggarisbawahi perilaku seksual, termasuk, misalnya saja, bagaimana seseorang menemukan pasangan hidupnya, seberapa sering mereka melakukan hubungan seks, dan apa yang mereka lakukan ketika mereka melakukan hubungan seks. 2) Dimensi Agama dan etik Seksualitas juga berkaitan dengan standar pelaksanaan agama dan etik. Ide tentang pelaksanaan seksual etik dan emosi yang berhubungan dengan seksualitas membentuk dasar untuk pembuatan keputusan seksual. Spektrum sikap yang ditunjukan pada seksualitas direntang dari pandangan tradisional tentang hubungan seks yang hanya dalam perkawinan sampai sikap yang memperbolehkan individu menentukan apa yang benar bagi dirinya. Keputusan seksual yang melewati batas kode etik individu dapat mengakibatkan konflik internal. 3) Dimensi Psikologis Seksualitas bagaimana pun mengandung perilaku yang dipelajari. Apa yang sesuai dan dihargai dipelajari sejak dini dalam kehidupan dengan mengamati perilaku orangtua. Orangtua biasanya mempunyai pengaruh signifikan pertama pada anak-anaknya. Mereka sering mengajarkan tentang seksualitas melalui komunikasi yang halus dan nonverbal. Seseorang memandang diri mereka sebagai makhluk seksual berhubungan dengan apa yang telah orangtua mereka tunjukan kepada mereka tentang tubuh dan tindakan mereka. Orangtua memperlakukan anak laki-laki dan perempuan secara berbeda berdasarkan jender. 4) Dimensi Biologis Seksualitas berkaitan dengan pebedaan biologis antara laki-laki dan perempuan yang ditentukan pada masa konsepsi. Material genetic dalam telur yang telah dibuahi terorganisir dalam kromosom yang menjadikan perbedaan seksual. Ketika hormone seks mulai mempengaruhi jaringan janin, genitalia membentuk karakteristik laki-laki dan perempuan. Hormon mempengaruhi individu kembali saat pubertas, dimana anak perempuan mengalami menstruasi dan perkembangan karakteristik seks sekunder, dan anak laki-laki mengalami pembentukan spermatozoa (sperma) yang relatif konstan dan perkembangan karakteristik seks sekunder.

g. Permasalahan Seksualitas Adapun penyebab dari masalah seksualitas adalah antara lain: 1) Ketidaktahuan mengenai seks Lebih dari 70% wanita di Indonesia tidak mengetahui dimana letak klitorisnya sendiri. Sebuah hal yang sebenarnya sangat penting tetapi tidak diketahui oleh banyak orang. Masalah ketidaktahuan terhadap seks sudah betul-betul merakyat. Ini berpangkal dari kurangnya pendidikan seks yang sebagian besar dari antara masyarakat tidak memperolehnya pada waktu remaja. Tidak jarang, pengetahuan seks itu hanyalah sebatas informasi, bukan pendidikan. Itu terjadi karena mereka tidak mendapatkan pendidikan seks di sekolah atau lembaga formal lainnya. Akibatnya, keingintahuan soal seks didapatkannya dari berbagai media. Untuk itu orang tua hendaknya memberikan pendidikan soal seks kepada anak-anaknya sejak dini. Salah satunya dengan memisahkan anak-anaknya tidur dalam satu kamar setelah berusia sepuluh tahun, sekalipun sama-sama perempuan atau laki-laki. Demikian halnya dengan menghindarkan anakanaknya mandi bersama keluarga atau juga teman-temannya. Orang tua harus menjawab jujur ketika anaknya bertanya soal seks. Jawabanjawaban yang diberikan hendaknya mudah dimengerti dan sesuai dengan usia si anak. Karena itulah, orang tua dituntut membekali dirinya dengan pengetahuanpengetahuan tentang seks. Terlebih lagi, perubahan fisik dan emosi anak akan terjadi pada usia 13 – 15 tahun pada pria dan 12 – 14 tahun pada wanita. Saat itulah yang dinamakan masa pubertas yaitu masa peralihan dari masa anak-anak menjadi remaja. Pada saat itu pula, mereka mulai tertarik kepada lawan jenisnya. 2) Kelelahan Rasa lelah adalah momok yang paling menghantui pasangan pada jaman ini dalam melakukan hubungan seks. Apalagi dengan meningkatnya tuntutan hidup, sang wanita harus ikut bekerja di luar rumah demi mencukupi kebutuhan seharihari. Pada waktu suami istri pulang dari kerja, mereka akan merasa lelah. Dan pasangan yang sedang lelah jarang merasakan bahwa hubungan seks menarik minat. Akhirnya mereka memilih untuk tidur. Kelelahan bisa menyebabkan bertambahnya usaha yang diperlukan untuk memuaskan kebutuhan lawan jenis dan merupakan beban yang membuat kesal yang akhirnya bisa memadamkan gairah seks. 3) Konflik Sebagian pasangan memainkan pola konflik merusak yang berwujud sebagai perang terbuka atau tidak mau berbicara sama sekali satu sama lain. Konflik menjadi kendala hubungan emosional mereka. Bahkan ini bisa menggeser proses foreplay. Pasangan dapat mempertajam perselisihan mereka dengan menghindari seks atau mengeluarkan ungkapan negatif atau membandingkan dengan orang lain, yang sangat melukai perasaan pasangannya. Kemarahan dan kecemasan yang tidak terpecahkan bisa menyebabkan sejumlah masalah seksual antara lain masalah ereksi, hilang gairah atau sengaja menahan diri untuk tidak bercinta. Perbedaan antara satu orang dan lainnya biasanya tidak baik dan tidak juga buruk. Jadi haruslah dipandang hanya sebagai perbedaan. Kemarahan, ketegangan atau perasaan kesal akan selalu menghambat gairah seks. 4) Kebosanan Seperti halnya menggosok gigi atau menyetel alarm jam, seks bisa dianggap seperti “kerja malam”. Hubungan seks yang rutin sebelum tidur sering menjadi berlebihan sampai ke suatu titik yang membosankan. Yang mendasari rasa bosan

itu adalah kemarahan yang disadari atau tidak disadari karena harapan anda tidak terpenuhi. Masalah ini diderita oleh kebanyakan pasangan yang sudah hidup bersama bertahun-tahun. Sebagian pasangan yang sudah hidup bersama untuk jangka waktu yang lama merasa kehilangan getaran kenikmatan yang datang ketika melakukan hubungan seks dengan pasangan yang baru. Orang demikian melihat rayuan penguat ego, dibandingkan bila bersenggama dengan mitra baru. h. Membantu Kesulitan Seksual Kemampuan yang dapat sangat membantu tidak hanya memfasilitasi pasien dalam mengekspresikan kekhawatiran mereka mengenai kesulitan seksual, tetapi juga dengan mendengarkan secara empati. Tidak jarang, ini merupakan pertama kali pasien benar-benar mengutarakan masalah mereka dan mampu melakukannya, makamasalah dan kemungkinan-kemungkinan penyebabnya lebih mudah dibawa ke dalam perspektif. Pada banyak kasus, mungkin tidak tersedia informasi mengenai respons seksual normal dan apa yang dapat diharapkan. Hal ini dapat dengan mudah diperbaiki. Contoh-contoh umum adalah asumsi bahwa pasangan harus mencapai orgasme bersama-sama atau bahwa pihak wanita harus mengalami orgasme hanya melalui hubungan per vaginam. Dengan cara berbicara dengan pasangan,kita dapat membantu mereka untuk lebih memahami satu sama lain dan mengetahui arti pengalaman seksual bagi masingmasing. Mendorong pasangan untuk berbicara secara lebih terbuka dan nyaman mengenai perasaan-perasaan seksual mereka sering merupakan hal yang sangat penting, karena cara tersebut dapat membuka jalan bagi pasangan untuk menyelesaikan sendiri masalahnya. ( Glasier: 2005 ) 2.

Uraian materi Stres adaptasi a. Pengertian stres Stres adalah segala situasi di mana tuntunan non-spesifik mengharuskan seorang individu untuk merespon atau melakukan tindakan ( Selye, 1976 ). Respon atau tindakan ini termasuk respon fisiologis dan psikologis. Stresor adalah stimulus yang mengawali atau mencetuskan perubahan. 1) Stresor internal berasal dari dalam diri seseorang (demam, kondisi seperti kehamilan, menopause atau suatu keadaan emosi seperti rasa bersalah ) 2) Stresor eksternal berasal dari luar diri seseorang (perubahan bermakna dalam suhu lingkungan, perubahan peran dalam keluarga atau sosial, atau tekanan dari pasangan ). Berbagai pandangan manusia mengenai stres menghasilkan pengertian yang berbeda-beda tentang stres itu sendiri. Stres hanyalah sekedar gangguan sistem syaraf yang menyebabkan tubuh berkeringat, tangan menggenggam, jantung berdetak kencang,dan wajah memerah. Paham realistik memandang stress sebagai suatu fenomena jiwa yang terpisah dengan jasmani atau tubuh manusia atau fenomena tubuh belaka tanpa ada hubungan dengan kejiwaan. Sedangkan paham idealis menganggap stres adalah murni fenomena jiwa. Hal ini membuat kita sulit untuk menjelaskan kenapa jika fenomena stres hanyalah fenomena jiwa namun memberikan dampak pada fisik seseorang seperti dada yang berdebar-debar, keringat, dan sebagainya. Tak seorang pun dapat menghindari stres karena untuk menghilangkannya berarti akan menghancurkan hidupnya sendiri ( Hans Selye, 1978 ). Stres merupakan interaksi antara individu dengan lingkungan. Pendekatan ini telah dibatasi sebagai “model psikologi”. Model psikologi ini

menggambarkan stress sebagai suatu proses yang meliputi stresor dan ketegangan ( strain ). Interaksi antara individu dengan lingkungannya yang saling mempengaruhi itu dinamakan dengan interaksi transaksional yang di dalamnya terdapat proses penyesuaian. Stres bukan hanya stimulus atau respon tetapi juga agen aktif yang dapat mempengaruhi stresor melalui strategi prilaku, kognitif dan emosional. Individu akan memberikan reaksi yang berbeda terhadap stresor yang sama. Definisi tentang stres yang sangat beragam menunjukan bahwa stres bukanlah suatu hal yang sederhana. Salah satu definisinya adalah stres adalah gangguan pada tubuh dan pikiran yang disebabkan oleh perubahan dan tuntutan kehidupan ( Vincent Cornelli, dalamMustamir Pedak, 2007 ). Kesimpulan dari para ahli tentang stres yaitu stres bisa terjadi karena manusia begitu kuat dalam mengejar keinginannya serta kebutuhannya dengan mengandalkan segala kemampuannya dan potensinya. b. Manifestasi stress Stres sifatnya universiality, yaitu umum semua orang sama dapat merasakannya, tetapi cara pengungkapannya yang berbeda atau diversity. Sesuai dengan karakteristik individu, maka responnya berbeda- beda untuk setiap orang. Seseorang yang mengalami stres dapat mengalami perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya, antara lain : 1) Perubahan warna rambut kusam, ubanan, kerontokan 2) Wajah tegang, dahi berkerut, mimik nampak serius, tidak santai, bicara berat, sulit tersenyum/tertawa dan kulit muka kedutan (ticfacialis) 3) Nafas terasa berat dan sesak, timbul asma 4) Jantung berdebar-debar, pembuluh darah melebar atau menyempit (constriksi) sehingga mukanya nampak merah atau pucat. Pembuluh darah tepi (perifer) terutama ujung-ujung jari juga menyempit sehingga terasa dingin dan kesemutan. 5) Lambung mual, kembung, pedih, mules, sembelit atau diare. 6) Sering berkemih. 7) Otot sakit seperti ditusuk-tusuk, pegal dan tegang pada tulang terasa linu atau kaku bila digerakkan. 8) Kadar gula meningkat, pada wanita mens tidak teratur dan sakit (dysmenorhea) 9) Libido menurun atau bisa juga meningkat. 10) Gangguan makan bisa nafsu makan meningkat atau tidak ada nafsu makan. 11) Tidak bisa tidur 12) Sakit mental-histeris c. Faktor-faktor yang mempengaruhi stress Kondisi-kondisi yang cenderung menyebabkan stress disebut stressors. Meskipun stress dapat diakibatkan oleh hanya satu stressors, biasanya karyawan mengalami stress karena kombinasi stressors. Menurut Robbins (2001:565-567) ada tiga sumber utama yang dapat menyebabkan timbulnya stress yaitu: 1) Faktor Lingkungan Keadaan lingkungan yang tidak menentu akan dapat menyebabkan pengaruh pembentukan struktur organisasi yang tidak sehat terhadap karyawan. Dalam faktor lingkungan terdapat tiga hal yang dapat menimbulkan stress bagi karyawan yaitu ekonomi, politik dan teknologi. Perubahan yang sangat cepat karena adanya penyesuaian terhadap ketiga hal tersebut membuat

seseorang mengalami ancaman terkena stress. Hal ini dapat terjadi, misalnya perubahan teknologi yang begitu cepat. Perubahan yang baru terhadap teknologi akan membuat keahlian seseorang dan pengalamannya tidak terpakai karena hampir semua pekerjaan dapat terselesaikan dengan cepat dan dalam waktu yang singkat dengan adanya teknologi yang digunakannya. 2) Faktor Organisasi Didalam organisasi terdapat beberapa faktor yang dapat menimbulkan stress yaitu role demands, interpersonal demands, organizational structure dan organizational leadership. Pengertian dari masing-masing faktor organisasi tersebut adalah sebagai berikut : a) Role Demands Peraturan dan tuntutan dalam pekerjaan yang tidak jelas dalam suatu organisasi akan mempengaruhi peranan seorang karyawan untuk memberikan hasil akhir yang ingin dicapai bersama dalam suatu organisasi tersebut. b) Interpersonal Demands Mendefinisikan tekanan yang diciptakan oleh karyawan lainnya dalam organisasi. Hubungan komunikasi yang tidak jelas antara karyawan satu dengan karyawan lainnya akan dapat menyebabkan komunikasi yang tidak sehat. Sehingga pemenuhan kebutuhan dalam organisasi terutama yang berkaitan dengan kehidupan sosial akan menghambat perkembangan sikap dan pemikiran antara karyawan yang satu dengan karyawan lainnya. c) Organizational Structure Mendefinisikan tingkat perbedaan dalam organisasi dimana keputusan tersebut dibuat dan jika terjadi ketidak jelasan dalam struktur pembuat keputusan atau peraturan maka akan dapat mempengaruhi kinerja seorang karyawan dalam organisasi. d) Organizational Leadership Berkaitan dengan peran yang akan dilakukan oleh seorang pimpinan dalam suatu organisasi. Karakteristik pemimpin menurut The Michigan group (Robbins, 2001:316) dibagi dua yaitu karakteristik pemimpin yang lebih mengutamakan atau menekankan pada hubungan yang secara langsung antara pemimpin dengan karyawannya serta karakteristik pemimpin yang hanya mengutamakan atau menekankan pada hal pekerjaan saja. Empat faktor organisasi di atas juga akan menjadi batasan dalam mengukur tingginya tingkat stress. Pengertian dari tingkat stress itu sendiri adalah muncul dari adanya kondisi-kondisi suatu pekerjaan atau masalah yang timbul yang tidak diinginkan oleh individu dalam mencapai suatu kesempatan, batasan-batasan, atau permintaan-permintaan dimana semuanya itu berhubungan dengan keinginannya dan dimana hasilnya diterima sebagai sesuatu yang tidak pasti tapi penting (Robbins,2001:563). 3) Faktor Individu Pada dasarnya, faktor yang terkait dalam hal ini muncul dari dalam keluarga, masalah ekonomi pribadi dan karakteristik pribadi dari keturunan. Hubungan pribadi antara keluarga yang kurang baik akan menimbulkan akibat pada pekerjaan yang akan dilakukan karena akibat tersebut dapat terbawa dalam pekerjaan seseorang. Sedangkan masalah ekonomi tergantung dari bagaimana seseorang tersebut dapat menghasilkan penghasilan yang cukup

bagi kebutuhan keluarga serta dapat menjalankan keuangan tersebut dengan seperlunya. Karakteristik pribadi dari keturunan bagi tiap individu yang dapat menimbulkan stress terletak pada watak dasar alami yang dimiliki oleh seseorang tersebut. Sehingga untuk itu, gejala stress yang timbul pada tiaptiap pekerjaan harus diatur dengan benar dalam kepribadian seseorang. d. ADAPTASI Adaptasi adalah penyesuaian diri terhadap suatu penilaian. Dalam hal ini respon individu terhadap suatu perubahan yang ada dilingkungan yang dapat mempengaruhi keutuhan tubuh baik secara fisiologis maupun psikologis dalam perilaku adaptip. Hasil dari perilaku ini dapat berupa usaha untuk mempertahankan keseimbangan dari suatu keadaan agar dapat kembali pada keadaan normal, namun setiap orang akan berbeda dalam perilaku adaptip ada yang dapat berjalan dengan cepat namun ada pula yang memerlukan waktu lama tergantung dari kematangan mental orang itu tersebut. Adaptasi terhadap stress dapat berupa : 1) Adaptasi fisiologis Adaptasi fisiologis adalah proses penyesuaian diri secara alamiah atau secara fisiologis untuk mempertahankan keseimbangan dalam berbagai faktor yang menimbulkan keadaan menjadi tidak seimbang contoh: masuknya kuman pennyakit ketubuh manusia. 2) Adaptasi psikologi Adaptasi secara psikologis dapat dibagi menjadi dua yaitu: a) LAS ( general adaptation syndroma) adalah apabila kejadiannya atau proses adaptasi bersifat lokal contoh: seperti ketika kulit terinfeksi maka akan terjadi disekitar kulit tersebut kemerahan, bengkak, nyeri, panas dll yang sifatnya lokal atau pada daerah sekitar yang terkena. b) GAS ( general adaptation syndroma) adalah apabila reaksi lokal tidak dapat diaktifitasi maka dapat menyebabkan gangguan dan secara sistemik tubuh akan melakukan proses penyesuaian diri seperti panas di seluruh tubuh, berkeringat e. Proses keperawatan stress managemen stress untuk perawat Manajemen stress adalah kemungkinan melihat promosi kesehatan sebagai aktivitas atau intervasi atau mengubah pertukaran respon terhadap penyakit. Fokusnya tergantung pada tujuan dari intervensi keperawatan berdasarkan keperluan pasien. Perawat bertanggung jawab pada implemenetasi pemikiran yang dikeluarkan pada beberapa daerah perawatan.Untuk mencegah dan mengatasi stres agar tidak sampai ke tahap yang paling berat, maka dapat dilakukan dengan cara : 1) Pengaturan Diet dan Nutrisi Pengaturan diet dan nutrisi merupakan cara yang efektif dalam mengurangi dan mengatasi stres melalui makan dan minum yang halal dan tidak berlebihan, dengan mengatur jadwal makan secara teratur, menu bervariasi, hindari makan dingin dan monoton karena dapat menurunkan kekebalan tubuh. 2) Istirahat dan Tidur Istirahat dan tidur merupakan obat yang baik dalam mengatasi stres karena dengan istirahat dan tidur yang cukup akan memulihkan keadaan tubuh.

Tidur yang cukup akan memberikan kegairahan dalam hidup dan memperbaiki sel-sel yang rusak. 3) Olah Raga atau Latihan Teratur Olah raga dan latihan teratur adalah salah satu cara untuk meningkatkan daya tahan dan kekebalan fisik maupun mental. Olah raga dapat dilakukan dengan cara jalan pagi, lari pagi minimal dua kali seminggu dan tidak perlu lamalama yang penting menghasilkan keringat setelah itu mandi dengan air hangat untuk memulihkan kebugaran. 4) Berhenti Merokok Berhenti merokok adalah bagian dari cara menanggulangi stres karena dapat meningkatkan ststus kesehatan dan mempertahankan ketahanan dan kekebalan tubuh. 5) Tidak Mengkonsumsi Minuman Keras Minuman keras merupakan faktor pencetus yang dapat mengakibatkan terjadinya stres. Dengan tidak mengkonsumsi minuman keras, kekebalan dan ketahanan tubuh akan semakin baik, segala penyakit dapat dihindari karena minuman keras banyak mengandung alkohol. 6) Pengaturan Berat Badan Peningkatan berat badan merupakan faktor yang dapat menyebabkan timbulnya stres karena mudah menurunkan daya tahan tubuh terhadap stres. Keadaan tubuh yang seimbang akan meningkatkan ketahanan dan kekebalan tubuh terhadap stres. 7) Pengaturan Waktu Pengaturan waktu merupakan cara yang tepat dalam mengurangi dan menanggulangi stres. Dengan pengaturan waktu segala pekerjaaan yang dapat menimbulkan kelelahan fisik dapat dihindari. Pengaturan waktu dapat dilakukan dengan cara menggunakan waktu secara efektif dan efisien serta melihat aspek prokdutivitas waktu. Seperti menggunakan waktu untuk menghasilkan sesuatu dan jangan biarkan waktu berlalu tanpa menghasilkan sesuatu yang bermanfaat. 8) Terapi Psikofarmaka Terapi ini dengan menggunakan obat-obatan dalam mengalami stres yang dialami dengan cara memutuskan jaringan antara psiko neuro dan imunologi sehingga stresor psikososial yang dialami tidak mempengaruhi fungsi kognitif afektif atau psikomotor yang dapat mengganggu organ tubuh yang lain. Obat-obatan yang digunakan biasanya digunakan adalah anti cemas dan anti depresi. 9) Terapi Somatik Terapi ini hanya dilakukan pada gejala yang ditimbulkan akibat stres yang dialami sehingga diharapkan tidak dapat mengganggu sistem tubuh yang lain. 10) Psikoterapi Terapi ini dengan menggunakan teknik psikologis yang disesuaikan dengan kebutuhan seseorang. Terapi ini dapat meliputi psikoterapi suportif dan psikoterapi redukatif di mana psikoterapi suportif memberikan motivasi atau dukungan agar pasien mengalami percaya diri, sedangkan psikoterapi redukatif dilakukan dengan memberikan pendidikan secara berulang. Selain itu ada psikoterapi rekonstruktif, psikoterapi kognitif dan lain-lain.

11) Terapi Psikoreligius Terapi ini dengan menggunakan pendekatan agama dalam mengatasi permasalahan psikologis mengingat dalam mengatasi permasalahn psikologis mengingat dalam mengatasi atau mempertahankan kehidupan seseorang harus sehat secara fisik, psikis, sosial, dan sehat spiritual sehingga stres yang dialami dapat diatasi. 12) Homeostatis Merupakan suatu keadaan tubuh untuk mempertahankan keseimbangan dalam menghadapi kondisi yang dialaminya. Proses homeostatis ini dapat terjadi apabila tubuh mengalami stres yang ada sehingga tubuh secara alamiah akan melakukan mekanisme pertahanan diri untuk menjaga kondisi yang seimbang, atau juga dapat dikatakan bahwa homeostatis adalah suatu proses perubahaan yang terus menerus untuk memelihara stabilitas dan beradaptasi terhadap kondisi lingkungan sekitarnya. Homeostatis yang terdapat dalam tubuh manusia dapat dikendalikan oleh suatu sistem endokrin dan syaraf otonom. Secara alamiah proses homeostatis dapat terjadi dalam tubuh manusia. Dalam mempelajari cara tubuh melakukan proses homeostatis ini dapat melalui empat cara di antaranya: a) Sself regulation di mana sistem ini terjadi secara otomatis pada orang yang sehat seperti dalam pengaturan proses sistem fisiologis tubuh manusia. b) Berkompensasi yaitu tubuh akan cenderung bereaksi terhadap ketidak normalan dalam tubuh. c) Dengan cara sistem umpan balik negatif, proses ini merupakan penyimpangan dari keadaan normal segera dirasakan dan diperbaiki dalam tubuh dimana apabila tubuh dalam keadaan tidak normal akan secara sendiri mengadakan mekanisme umpan balik untuk menyeimbangkan dari keadaan yang ada. d) Cara umpan balik untuk mengkoreksi suatu ketidakseimbangan fisiologis. e.

Konsep kehilangan, kematian dan duka 1) Pengertian Kehilangan Kehilangan dan berduka merupakan bagian integral dari kehidupan. Kehilangan adalah suatu kondisi yang terputus atau terpisah atau memulai sesuatu tanpa hal yang berarti sejak kejadian tersebut. Kehilangan mungkin terjadi secara bertahap atau mendadak, bisa tanpa kekerasan atau traumatik, diantisispasi atau tidak diharapkan/diduga, sebagian atau total dan bisa kembali atau tidak dapat kembali. Kehilangan merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengalami suatu kekurangan atau tidak ada dari sesuatu yang dulunya pernah ada atau pernah dimiliki. Kehilangan merupakan suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada menjadi tidak ada, baik sebagian atau seluruhnya. Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan (Lambert dan Lambert,1985,h.35). Kehilangan merupakan pengalaman

yang pernah dialami oleh setiap individu dalam rentang kehidupannya. Sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan dan cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda. Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi kehilangan, tergantung: a) Arti dari kehilangan b) Sosial budaya c) Kepercayaan / spiritual d) Peran seks e) Status social ekonomi f) Kondisi fisik dan psikologi individu Kemampuan untuk meyelesaikan proses berduka bergantung pada makna kehilangan dan situasi sekitarnya. Kemampuan untuk menerima bantuan menerima bantuan mempengaruh apakah yang berduka akan mampu mengatasi kehilangan. Visibilitas kehilangan mempengaruh dukungan yang diterima. Durasi peubahan (mis. Apakah hal tersebut bersifat sementara atau permanen) mempengaruhi jumlah waktu yang dibutuhkan dalam menetapkan kembali ekuilibrium fisik, pshikologis, dan social. 2) Bentuk-bentuk kehilangan a) Kehilangan orang yang berarti b) Kehilangan kesejahteraan c) Kehilangan milik pribadi 3) Sifat kehilangan a) Tiba–tiba (Tidak dapat diramalkan) Kehilangan secara tibatiba dan tidak diharapkan dapat mengarah pada pemulihan dukacita yang lambat. Kematian karena tindak kekerasan, bunuh diri, pembunuhan atau pelalaian diri akan sulit diterima. b) Berangsur – angsur (Dapat Diramalkan) Penyakit yang sangat menyulitkan, berkepanjangan, dan menyebabkan yang ditinggalkan mengalami keletihan emosional (Rando:1984). Penelitian menunjukan bahwa yang ditinggalkan oleh klien yang mengalami sakit selama 6 bulan atau kurang mempunyai kebutuhan yang lebih besar terhadap ketergantungan pada orang lain, mengisolasi diri mereka lebih banyak, dan mempunyai peningkatan perasaan marah dan bermusuhan. Kemampuan untuk meyelesaikan proses berduka bergantung pada makna kehilangan dan situasi sekitarnya. Kemampuan untuk menerima bantuan menerima bantuan mempengaruh apakah yang berduka akan mampu mengatasi kehilangan. Visibilitas kehilangan mempengaruh dukungan yang diterima. Durasi peubahan (mis. Apakah hal tersebut bersifat sementara atau permanen) mempengaruhi jumlah waktu yang dibutuhkan dalam

menetapkan kembali ekuilibrium fisik, pshikologis, dan social. 4) Tipe kehilangan a) Actual Loss Kehilangan yang dapat dikenal atau diidentifikasi oleh orang lain, sama dengan individu yang mengalami kehilangan. b) Perceived Loss ( Psikologis ) Perasaan individual, tetapi menyangkut hal – hal yang tidak dapat diraba atau dinyatakan secara jelas. c) Anticipatory Loss Perasaan kehilangan terjadi sebelum kehilangan terjadi.Individu memperlihatkan perilaku kehilangan dan berduka untuk suatu kehilangan yang akan berlangsung. Sering terjadi pada keluarga dengan klien (anggota) menderita sakit terminal. Tipe dari kehilangan dipengaruhi tingkat distres. Misalnya, kehilangan benda mungkin tidak menimbulkan distres yang sama ketika kehilangan seseorang yang dekat dengan kita. Nanun demikian, setiap individunberespon terhadap kehilangan secara berbeda.kematian seorang anggota keluargamungkin menyebabkan distress lebih besar dibandingkan kehilangan hewan peliharaan, tetapi bagi orang yang hidup sendiri kematian hewan peliharaan menyebaabkan disters emosional yang lebih besar dibanding saudaranya yang sudah lama tidak pernah bertemu selama bertahun-tahun. Kehilangan dapat bersifat aktual atau dirasakan. Kehilangan yang bersifat actual dapat dengan mudah diidentifikasi, misalnya seorang anak yang teman bermainya pindah rumah. Kehilangan yang dirasakan kurang nyata dan dapat di salahartikan ,seperti kehilangan kepercayaan diri atau prestise. 5)Lima kategori kehilangan a) Kehilangan objek eksternal. Kehilangan benda eksternal mencakup segala kepemilikan yang telah menjadi usang berpinda tempat, dicuri, atau rusak karena bencana alam. Kedalaman berduka yang dirasakan seseorang terhadap benda yang hilang bergantung pada nilai yang dimiliki orng tersebut terhadap nilai yang dimilikinya, dan kegunaan dari benda tersebut. b) Kehilangan lingkungan yang telah dikenal Kehilangan yang berkaitan dengan perpisahan dari lingkungan yang telah dikenal mencakup lingkungan yang telah dikenal Selma periode tertentu atau kepindahan secara permanen. Contohnya pindah ke kota baru atau

perawatan diruma sakit. Kehilangan melalui perpisahan dari lingkungan yang telah dikenal dapat terjadi melalui situasi maturaasionol, misalnya ketika seorang lansia pindah kerumah perawatan, atau situasi situasional, contohnya mengalami cidera atau penyakit dan kehilangan rumah akibat bencana alam. c) Kehilangan orang terdekat Orang terdekat mencakup orangtua, pasangan, anakanak, saudara sekandung, guru, teman, tetangga, dan rekan kerja.Artis atau atlet terkenal mumgkin menjadi orang terdekat bagi orang muda. Riset membuktikan bahwa banyak orang menganggap hewan peliharaan sebagai orang terdekat. Kehilangan dapat terjadi akibat perpisahan atau kematian. d) Kehilangan aspek diri Kehilangan aspek dalam diri dapat mencakup bagian tubuh, fungsi fisiologis, atau psikologis.Kehilangan anggota tubuh dapat mencakup anggota gerak , mata, rambut, gigi, atau payu dara. Kehilangan fungsi fsiologis mencakupo kehilangan control kandung kemih atau usus, mobilitas, atau fungsi sensori. Kehilangan fungsi fsikologis termasuk kehilangan ingatan, harga diri, percaya diri atau cinta.Kehilangan aspek diri ini dapat terjadi akibat penyakit, cidera, atau perubahan perkembangan atau situasi.Kehilangan seperti ini dapat menghilangkan sejatera individu.Orang tersebut tidak hanya mengalami kedukaan akibat kehilangan tetapi juga dapat mengalami perubahan permanen dalam citra tubuh dan konsep diri. Kehilangan hidup Kehilangan dirasakan oleh orang yang menghadapi detikdetik dimana orang tersebut akan meninggal. Doka (1993) menggambarkan respon terhadap penyakit yang mengancamhidup kedalam enpat fase. Fase presdiagnostik terjadi ketika diketahui ada gejala klien atau factor resiko penyakit. Fase akut berpusat pada krisis diagnosis. Dalam fase kronis klien bertempur dengan penyakit dan pengobatanya ,yang sering melibatkan serangkain krisis yang diakibatkan. Akhirnya terdapat pemulihan atau fase terminal Klien yang mencapai fase terminal ketika kematian bukan hanya lagi kemungkinan, tetapi pasti terjadi.Pada setiap hal dari penyakit klien dan keluarga dihadapkan dengan kehilangan yang beragam dan terus berubah Seseorsng dapat tumbuh dari pengalaman kehilangan melalui keterbukaan, dorongan dari orang lain, dan dukungan adekuat. 6) Tahapan proses kehilangan a) Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan – individu berfikir positif – kompensasi positif e)

terhadap kegiatan yang dilakukan – perbaikan – mampu beradaptasi dan merasa nyaman. b) Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan – individu berfikir negatif – tidak berdaya – marah dan berlaku agresif – diekspresikan ke dalam diri ( tidak diungkapkan)– muncul gejala sakit fisik. c) Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan individuberfikir negatif– tidak berdaya – marah dan berlaku agresif diekspresikan ke luar diri individu –berperilaku konstruktif perbaikan mampu beradaptasi dan merasa kenyamanan. d) Stressor internal atau eksternal gangguan dan kehilangan individuberfikir negative tidak berdaya marah dan berlaku agresif diekspresikan ke luar diri individu berperilaku destruktif perasaan bersalah ketidakberdayaan. Inti dari kemampuan seseorang agar dapat bertahan terhadap kehilangan adalah pemberian makna (personal meaning) yang baik terhadap kehilangan (husnudzon) dan kompensasi yang positif (konstruktif). 7) KEMATIAN Kematian merupakan peristiwa alamiah yang dihadapi oleh manusia. Namun, bencana gempa di Bantul memaksa anak untuk melihat dan atau mengalami kematian secara tibatiba. Pemahaman akan kematian mempengaruhi sikap dan tingkah laku seseorang terhadap kematian. Selain pengalaman, pemahaman konsep kematian juga dipengaruhi oleh perkembangan kognitif dan lingkungan sosial budaya. Kebudayaan Jawa yang menjadi latar tumbuh kembang anak menjadi penting untuk diperhatikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemahaman anak usia sekolah dan praremaja tentang kematian dengan mengacu pada tujuh subkonsep kematian, yakni irreversibility, cessation, inevitability, universability, causality, unpredictability, dan personal mortality dari Slaughter (2003). Penelitian dilakukan melalui pendekatan kualitatif dengan metode wawancara yang dilakukan pada tiga anak usia (6-7 tahun) dan 4 praremaja (10-11 tahun). Hasil penelitian menunjukkan pemahaman konsep kematian yang berbeda-beda pada ketiga subjek yang berusia 6-7 tahun. Dua subjek belum memahami subkonsep unpredictability dan causality, sedangkan kelima subkonsep lainnya sudah dipahami oleh anak. Satu subjek lainnya hanya memahami subkonsep inevitability, universality, dan personal mortality, sedangkan empat subkonsep lainnya belum dipahami sama sekali. Secara umum ketiga subjek belum memahami kematian sebagai fenomena biologis. Partisipan yang berusia 10-11 tahun sudah memiliki ketujuh subkonsep kematian walaupun belum bisa

mendeskripsikannya secara utuh. Hasil penelitian ini disoroti dari teori kematian, teori perkembangan dan budaya Jawa. Hasil penelitian ini berimplikasi pada teori perkembangan konsep kematian pada anak, dan juga pada seberapa jauh budaya Jawa memberikan kesempatan pada anak untuk memiliki pemahaman yang utuh tentang kematian. Perkembangan euthanasia tidak terlepas dari perkembangan konsep tentang kematian. Usaha manusia untuk memperpanjang kehidupan dan menghindari kematian dengan mempergunakan kemajuan iptek kedokteran telah membawa masalah baru dalam euthanasia, terutama berkenaan dengan penentuan kapan seseorang dinyatakan telah mati. Berikut ini beberapa konsep tentang mati yaitu : a) Mati sebagai berhentinya darah mengalir Konsep ini bertolak dari criteria mati berupa berhentinya jantung. Dalam PP No. 18 tahun 1981 dinyatakan bahwa mati adalah berhentinya fungsi jantung dan paru-paru. Namun criteria ini sudah ketinggalan zaman. Dalam pengalaman kedokteran, teknologi resusitasi telah memungkinkan jatung dan paru-paru yang semula terhenti dapat dipulihkan kembali. b) Mati sebagai saat terlepasnya nyawa dari tubuh Konsep ini menimbulkan keraguan karena, misalnya, pada tindakan resusitasi yang berhasil, keadaan demikian menimbulkan kesan seakan-akan nyawa dapat ditarik kembali. c) Hilangnya kemampuan tubuh secara permanen Konsep inipun dipertanyakan karena organ-organ berfungsi sendiri-sendiri tanpa terkendali karena otak telah mati. Untuk kepentingan transplantasi, konsep ini menguntungkan. Namun, secara moral tidak dapat diterima karena kenyataannya organ-organ masih berfungsi meskipun tidak terpadu lagi. d) Hilangnya manusia secara permanen untuk kembali sadar dan melakukan interaksi social Bila dibandingkan dengan manusia sebagai makhluk social, yaitu individu yang mempunyai kepribadian, menyadari kehidupannya, kemampuan mengingat, mengambil keputusan, dan sebagainya, maka penggerak dari otak, baik secara fisik maupun sosial, makin banyak dipergunakan. Pusat pengendali ini terletak dalam batang otak. Olah karena itu, jika batang otak telah mati, dapat diyakini bahwa manusia itu secara fisik dan social telah mati. Dalam keadaan seperti ini, kalangan medis sering menempuh pilihan tidak meneruskan resusitasi, DNR (do not resuscitation). Bila fungsi jantung dan paru berhenti, kematian sistemik atau kematian sistem tubuh lainnya terjadi dalam

beberapa menit, dan otak merupakan organ besar pertama yang menderita kehilangan fungsi yang ireversibel, karena alasan yang belum jelas. Organ-organ lain akan mati kemudian. 7) Berduka Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan yang dimanifestasikan adanya perasaan sedih, gelisah, cemas, sesak nafas, susah tidur, dan lain-lain. Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan. NANDA merumuskan ada dua tipe dari berduka yaitu berduka diantisipasi dan berduka disfungsional. Berduka diantisipasi adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu dalam merespon kehilangan yang aktual ataupun yang dirasakan seseorang, hubungan/kedekatan, objek atau ketidakmampuan fungsional sebelum terjadinya kehilangan. Tipe ini masih dalam batas normal. Berduka disfungsional adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu yang responnya dibesar-besarkan saat individu kehilangan secara aktual maupun potensial, hubungan, objek dan ketidakmampuan fungsional. Tipe ini kadang-kadang menjurus ke tipikal, abnormal, atau kesalahan/kekacauan. a)Teori dari Proses Berduka Tidak ada cara yang paling tepat dan cepat untuk menjalani proses berduka. Konsep dan teori berduka hanyalah alat yang hanya dapat digunakan untuk mengantisipasi kebutuhan emosional klien dan keluarganya dan juga rencana intervensi untuk membantu mereka memahami kesedihan mereka dan mengatasinya. Peran perawat adalah untuk mendapatkan gambaran tentang perilaku berduka, mengenali pengaruh berduka terhadap perilaku dan memberikan dukungan dalam bentuk empati. (1) Teori Engels Menurut Engel (1964) proses berduka mempunyai beberapa fase yang dapat diaplokasikan pada seseorang yang sedang berduka maupun menjelang ajal. (aFase I (shock dan tidak percaya) Seseorang menolak kenyataan atau kehilangan dan mungkin menarik diri, duduk malas, atau pergi tanpa tujuan. Reaksi secara fisik termasuk pingsan, diaporesis, mual, diare, detak jantung cepat, tidak bisa istirahat, insomnia dan kelelahan. (b)Fase II (berkembangnya kesadaran) Seseoarang mulai merasakan kehilangan secara nyata/akut dan mungkin mengalami putus asa.

Kemarahan, perasaan bersalah, frustasi, depresi, dan kekosongan jiwa tiba-tiba terjadi. (cFase III (restitusi)\ Berusaha mencoba untuk sepakat/damai dengan perasaan yang hampa/kosong, karena kehilangan masih tetap tidak dapat menerima perhatian yang baru dari seseorang yang bertujuan untuk mengalihkan kehilangan seseorang. (dFase IV Menekan seluruh perasaan yang negatif dan bermusuhan terhadap almarhum. Bisa merasa bersalah dan sangat menyesal tentang kurang perhatiannya di masa lalu terhadap almarhum. (e)Fase V Kehilangan yang tak dapat dihindari harus mulai diketahui/disadari. Sehingga pada fase ini diharapkan seseorang sudah dapat menerima kondisinya. Kesadaran baru telah berkembang. (2) Teori Kubler-Ross Kerangka kerja yang ditawarkan oleh Kubler-Ross (1969) adalah berorientasi pada perilaku dan menyangkut 5 tahap, yaitu sebagai berikut: aPenyangkalan (Denial) Individu bertindak seperti seolah tidak terjadi apaapa dan dapat menolak untuk mempercayai bahwa telah terjadi kehilangan. Pernyataan seperti “Tidak, tidak mungkin seperti itu,” atau “Tidak akan terjadi pada saya!” umum dilontarkan klien. bKemarahan (Anger) Individu mempertahankan kehilangan dan mungkin “bertindak lebih” pada setiap orang dan segala sesuatu yang berhubungan dengan lingkungan. Pada fase ini orang akan lebih sensitif sehingga mudah sekali tersinggung dan marah. Hal ini merupakan koping individu untuk menutupi rasa kecewa dan merupakan menifestasi dari kecemasannya menghadapi kehilangan. cPenawaran (Bargaining) Individu berupaya untuk membuat perjanjian dengan cara yang halus atau jelas untuk mencegah kehilangan. Pada tahap ini, klien sering kali mencari pendapat orang lain. (d)Depresi (Depression) Terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata dari makna kehilangan tersebut. Tahap depresi ini memberi kesempatan untuk berupaya melewati kehilangan dan mulai memecahkan masalah. (e)Penerimaan (Acceptance)

Reaksi fisiologi menurun dan interaksi sosial berlanjut. Kubler-Ross mendefinisikan sikap penerimaan ada bila seseorang mampu menghadapi kenyataan dari pada hanya menyerah pada pengunduran diri atau berputus asa. (3) Teori Martocchio Martocchio (1985) menggambarkan 5 fase kesedihan yang mempunyai lingkup yang tumpang tindih dan tidak dapat diharapkan. Durasi kesedihan bervariasi dan bergantung pada faktor yang mempengaruhi respon kesedihan itu sendiri. Reaksi yang terus menerus dari kesedihan biasanya reda dalam 6-12 bulan dan berduka yang mendalam mungkin berlanjut sampai 3-5 tahun. (4) Teori Rando Rando (1993) mendefinisikan respon berduka menjadi 3 katagori: (a) Penghindaran Pada tahap ini terjadi shock, menyangkal dan tidak percaya. (b) Konfrontasi Pada tahap ini terjadi luapan emosi yang sangat tinggi ketika klien secara berulang-ulang melawan kehilangan mereka dan kedukaan mereka paling dalam dan dirasakan paling akut. (c) Akomodasi Pada tahap ini terjadi secara bertahap penurunan kedukaan akut dan mulai memasuki kembali secara emosional dan sosial dunia sehari-hari dimana klien belajar untuk menjalani hidup dengan kehidupan mereka. Daftar Pustaka a. Nova Maulana, (2014), Buku Ajar Sosiologi dan Antropologi Kesehatan, Cetakan Pertama, Nuha Medika, Yogyakarta b. Arum Pratiwi, (2011), Buku Ajar Keperawatan Transkultural, Cetakan Pertama, Penerbit Gosyen Pulishing, Yogyakarta c. Wahyu Ratna, (2010),”Sosiologi dan Antropologi Kesehatan dalam Perspektif Ilmu Keperawatan”, Edisi I, Pustaka Rihama, Yogyakarta. d. Sudiharto,(2007) “Asuhan Keperawatan Keluarga dengan Pendekatan Transkultural”, Edisi I, EGC, Jakarta e. Foster/Anderson. 1986. Antropologi Kesehatan, Jakarta, Grafiti. f. Sarwono, S. 1993. Sosiologi Kesehatan, Beberapa Konsep Beserta Apli kasinya, Yogyakarta, Gadjah Mada Press. g. Leininger. M & McFarland. M.R, (2002), Transcultural Nursing : Concepts,Theories, Research and Practice, 3rd Ed, USA, Mc-Graw Hill Companies 4. Latihan/Tugas a. Setiap mahasiswa membuat rangkuman materi seksualitas, stres adaptasi, kehilangan, kematian dan berduka melalui buku-buku maupun jurnal.

b. Setiap kelompok mencari, menggali dan mendiskusikan materi seksualitas, stres adaptasi, kehilangan, kematian dan berduka dalam setiap kesempatan C. Penutup 1. Evaluasi dan Kunci Jawaban a. Jelaskan tentang respon seksual b. Jelaskan masalah yang berhubungan denganseksualitas c. Jelaskan manifestasi stres d. Jelaskan faktor yang mempengaruhi stres e. Jelaskan langkah-langkah proses keperawatan stres 2. Lembar Kejra Mahasiswa . Mata Kuliah Semester : ....................... Minggu ke : ......................

...................... SKS : ................ Tugas ke : ..................

1. Tujuan Tugas : 2. Uraian Tugas : a. Obyek garapan : .................... b. Yang harus dikerjakandan batasan-batasan : ................... c. Metode/cara pengerjaan, acuan yang digunakan : ........ d. Deskripsiluaran tugas yang digunakan : ................ 3. Kriteria penilaian : a. .................................. .........................% b. .................................... ..........................% c. ................................. .........................%

BAB II : ANTROPOLGI KESEHATAN KEGIATAN PEMBELAJARAN 4 & 5 Kebudayaan, Masyarakat Rumah Sakit Dan Kebudayaan A. PENDAHULUAN 1. Deskripsi/Uraian Materi Mata Kuliah ini menguraikan tentang konsep kebudayaan, masyarakat rumah sakit dan kebudayaan meliputi pengertian kebudayaan, unsure-unsur kebudayaan, wujud dan komponen budaya, hubungan antara unsure-unsur budaya, cara pandang terhadap kebudayaan, . 2. Kompetensi Dasar a. Mampu menjelaskan pengertian kebudayaan b. Mampu menjelaskan unsur-unsur kebudayaan c. Mampu membedakan komponen budaya d. Mampu merinci hubungan antara unsur-unsur budaya e. Mampu mengabstrasikan cara pandang kebudayaan B. Penyajian 1. Uraian Materi a. Definisi Budaya Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. [1] Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.[1] Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.[1] Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsurunsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia. [2] Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang dari budaya lain terlihat dalam definisi budaya: Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya sendiri."Citra yang memaksa" itu mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya seperti "individualisme kasar" di Amerika, "keselarasan individu dengan alam" di Jepang dan "kepatuhan kolektif" di Cina.

Citra budaya yang bersifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka. Dengan demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan perilaku orang lain. b. Pengertian kebudayaan Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Menurut Selo Soemardjan Dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. c. Unsur-Unsur Ada beberapa pendapat ahli yang mengemukakan mengenai komponen atau unsur kebudayaan, antara lain sebagai berikut: 1) Melville J. Herskovits menyebutkan kebudayaan memiliki 4 unsur pokok, yaitu: a) alat-alat teknologi b) sistem ekonomi c) keluarga d) kekuasaan politik 2) Bronislaw Malinowski mengatakan ada 4 unsur pokok yang meliputi: a) Sistem norma sosial yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya b) organisasi ekonomi c) alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga adalah lembaga pendidikan utama)

d) organisasi kekuatan (politik)

d. Wujud dan komponen Wujud Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: GAGASAN, AKTIVITAS, DAN ARTEFAK. 1) Gagasan (Wujud ideal) Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut. 2) Aktivitas (tindakan) Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan. 3) Artefak (karya) Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret di antara ketiga wujud kebudayaan. Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia. Komponen Berdasarkan wujudnya tersebut, Budaya memiliki beberapa elemen atau komponen, menurut ahli antropologi Cateora, yaitu : Kebudayaan material Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya. Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci. Kebudayaan nonmaterial

Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional. Lembaga social Lembaga social dan pendidikan memberikan peran yang banyak dalam kontek berhubungan dan berkomunikasi di alam masyarakat. Sistem social yang terbantuk dalam suatu Negara akan menjadi dasar dan konsep yang berlaku pada tatanan social masyarakat. Contoh Di Indonesia pada kota dan desa dibeberapa wilayah, wanita tidak perlu sekolah yang tinggi apalagi bekerja pada satu instansi atau perusahaan. Tetapi di kota – kota besar hal tersebut terbalik, wajar seorang wanita memilik karier Sistem kepercayaan Bagaimana masyarakat mengembangkan dan membangun system kepercayaan atau keyakinan terhadap sesuatu, hal ini akan mempengaruhi system penilaian yang ada dalam masyarakat. Sistem keyakinan ini akan mempengaruhi dalam kebiasaan, bagaimana memandang hidup dan kehidupan, cara mereka berkonsumsi, sampai dengan cara bagaimana berkomunikasi. Estetika Berhubungan dengan seni dan kesenian, music, cerita, dongeng, hikayat, drama dan tari –tarian, yang berlaku dan berkembang dalam masyarakat. Seperti di Indonesia setiap masyarakatnya memiliki nilai estetika sendiri. Nilai estetika ini perlu dipahami dalam segala peran, agar pesan yang akan kita sampaikan dapat mencapai tujuan dan efektif. Misalkan di beberapa wilayah dan bersifat kedaerah, setiap akan membangu bagunan jenis apa saj harus meletakan janur kuning dan buah – buahan, sebagai symbol yang arti disetiap derah berbeda. Tetapi di kota besar seperti Jakarta jarang mungkin tidak terlihat masyarakatnya menggunakan cara tersebut. Bahasa Bahasa merupakan alat pengatar dalam berkomunikasi, bahasa untuk setiap walayah, bagian dan Negara memiliki perbedaan yang sangat komplek. Dalam ilmu komunikasi bahasa merupakan komponen komunikasi yang sulit dipahami. Bahasa memiliki sidat unik dan komplek, yang hanya dapat dimengerti oleh pengguna bahasa tersebu. Jadi keunikan dan kekomplekan bahasa ini harus dipelajari dan dipahami agar komunikasi lebih baik dan efektif dengan memperoleh nilai empati dan simpati dari orang lain. f. Hubungan Antara Unsur-Unsur Kebudayaan Komponen-komponen atau unsur-unsur utama dari kebudayaan antara lain: 1) Peralatan dan perlengkapan hidup (teknologi) Teknologi merupakan salah satu komponen kebudayaan. Teknologi menyangkut cara-cara atau teknik memproduksi, memakai, serta memelihara segala peralatan dan perlengkapan. Teknologi muncul dalam caracara manusia mengorganisasikan masyarakat, dalam cara-cara mengekspresikan rasa keindahan, atau dalam memproduksi hasil-hasil kesenian. Masyarakat kecil yang berpindah-pindah atau masyarakat pedesaan yang hidup dari pertanian paling sedikit mengenal delapan macam teknologi tradisional (disebut juga sistem peralatan dan unsur kebudayaan fisik), yaitu: a) alat-alat produktif b) senjata c) wadah d) alat-alat menyalakan api

e) f) g) h)

makanan pakaian tempat berlindung dan perumahan alat-alat transportasi

2) Sistem mata pencaharian Perhatian para ilmuwan pada sistem mata pencaharian ini terfokus pada masalahmasalah mata pencaharian tradisional saja, di antaranya: a) Berburu dan meramu b) Beternak c) Bercocok tanam di ladang d) Menangkap ikan 3) Sistem kekerabatan dan organisasi sosial Sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur sosial. Meyer Fortes mengemukakan bahwa sistem kekerabatan suatu masyarakat dapat dipergunakan untuk menggambarkan struktur sosial dari masyarakat yang bersangkutan. Kekerabatan adalah unit-unit sosial yang terdiri dari beberapa keluarga yang memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan. Anggota kekerabatan terdiri atas ayah, ibu, anak, menantu, cucu, kakak, adik, paman, bibi, kakek, nenek dan seterusnya. Dalam kajian sosiologi-antropologi, ada beberapa macam kelompok kekerabatan dari yang jumlahnya relatif kecil hingga besar seperti keluarga ambilineal, klan, fatri, dan paroh masyarakat. Di masyarakat umum kita juga mengenal kelompok kekerabatan lain seperti keluarga inti, keluarga luas, keluarga bilateral, dan keluarga unilateral. Sementara itu, organisasi sosial adalah perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, yang berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa dan negara. Sebagai makhluk yang selalu hidup bersama-sama, manusia membentuk organisasi sosial untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang tidak dapat mereka capai sendiri.

4) Bahasa Bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat. Bahasa memiliki beberapa fungsi yang dapat dibagi menjadi fungsi umum dan fungsi khusus. Fungsi bahasa secara umum adalah sebagai alat untuk berekspresi, berkomunikasi, dan alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial. Sedangkan fungsi bahasa secara khusus adalah untuk mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari, mewujudkan seni (sastra), mempelajari naskahnaskah kuno, dan untuk mengeksploitasi ilmu pengetahuan dan teknologi. 5) Kesenian

Karya seni dari peradaban Mesir kuno. Kesenian mengacu pada nilai keindahan (estetika) yang berasal dari ekspresi hasrat manusia akan keindahan yang dinikmati dengan mata ataupun telinga. Sebagai makhluk yang mempunyai cita rasa tinggi, manusia menghasilkan berbagai corak kesenian mulai dari yang sederhana hingga perwujudan kesenian yang kompleks.

6) Sistem Kepercayaan

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Agama Ada kalanya pengetahuan, pemahaman, dan daya tahan fisik manusia dalam menguasai dan mengungkap rahasia-rahasia alam sangat terbatas. Secara bersamaan, muncul keyakinan akan adanya penguasa tertinggi dari sistem jagad raya ini, yang juga mengendalikan manusia sebagai salah satu bagian jagad raya. Sehubungan dengan itu, baik secara individual maupun hidup bermasyarakat, manusia tidak dapat dilepaskan dari religi atau sistem kepercayaan kepada penguasa alam semesta. Agama dan sistem kepercayaan lainnya seringkali terintegrasi dengan kebudayaan. Agama (bahasa Inggris: Religion, yang berasar dari bahasa Latin religare, yang berarti "menambatkan"), adalah sebuah unsur kebudayaan yang penting dalam sejarah umat manusia. Dictionary of Philosophy and Religion (Kamus Filosofi dan Agama) mendefinisikan Agama sebagai berikut: sebuah institusi dengan keanggotaan yang diakui dan biasa berkumpul bersama untuk beribadah, dan menerima sebuah paket doktrin yang menawarkan hal yang terkait dengan sikap yang harus diambil oleh individu untuk mendapatkan kebahagiaan sejati.[3] Agama biasanya memiliki suatu prinsip, seperti "10 Firman" dalam agama Kristen atau "5 rukun Islam" dalam agama Islam. Kadang-kadang agama dilibatkan dalam sistem pemerintahan, seperti misalnya dalam sistem teokrasi. Agama juga memengaruhi kesenian. Agama Samawi Tiga agama besar, Yahudi, Kristen dan Islam, sering dikelompokkan sebagai agama Samawi[4] atau agama Abrahamik.[5] Ketiga agama tersebut memiliki sejumlah tradisi yang sama namun juga perbedaan-perbedaan yang mendasar dalam inti ajarannya. Ketiganya telah memberikan pengaruh yang besar dalam kebudayaan manusia di berbagai belahan dunia. Yahudi adalah salah satu agama, yang jika tidak disebut sebagai yang pertama, adalah agama monotheistik dan salah satu agama tertua yang masih ada sampai sekarang. Terdapat nilai-nilai dan sejarah umat Yahudi yang juga direferensikan dalam agama Abrahamik lainnya, seperti Kristen dan Islam. Saat ini umat Yahudi berjumlah lebih dari 13 juta jiwa.[6] Kristen (Protestan dan Katolik) adalah agama yang banyak mengubah wajah kebudayaan Eropa dalam 1.700 tahun terakhir. Pemikiran para filsuf modern pun banyak terpengaruh oleh para filsuf Kristen semacam St. Thomas Aquinas dan Erasmus. Saat ini diperkirakan terdapat antara 1,5 s.d. 2,1 milyar pemeluk agama Kristen di seluruh dunia.[7]

Islam memiliki nilai-nilai dan norma agama yang banyak memengaruhi kebudayaan Timur Tengah dan Afrika Utara, dan sebagian wilayah Asia Tenggara. Saat ini terdapat lebih dari 1,5 milyar pemeluk agama Islam di dunia.[8] Agama dan filsafat dari Timur Dewa api agama Hindu Artikel utama untuk bagian ini adalah: Agama dari timur dan Filosofi Timur Agama dan filosofi seringkali saling terkait satu sama lain pada kebudayaan Asia. Agama dan filosofi di Asia kebanyakan berasal dari India dan China, dan menyebar di sepanjang benua Asia melalui difusi kebudayaan dan migrasi. Hinduisme adalah sumber dari Buddhisme, cabang Mahāyāna yang menyebar di sepanjang utara dan timur India sampai Tibet, China, Mongolia, Jepang dan Korea dan China selatan sampai Vietnam. Theravāda Buddhisme menyebar di sekitar Asia Tenggara, termasuk Sri Lanka, bagian barat laut China, Kamboja, Laos, Myanmar, dan Thailand. Agama Hindu dari India, mengajarkan pentingnya elemen nonmateri sementara sebuah pemikiran India lainnya, Carvaka, menekankan untuk mencari kenikmatan di dunia. Konghucu dan Taoisme, dua filosofi yang berasal dari Cina, memengaruhi baik religi, seni, politik, maupun tradisi filosofi di seluruh Asia. Pada abad ke-20, di kedua negara berpenduduk paling padat se-Asia, dua aliran filosofi politik tercipta. Mahatma Gandhi memberikan pengertian baru tentang Ahimsa, inti dari kepercayaan Hindu maupun Jaina, dan memberikan definisi baru tentang konsep antikekerasan dan antiperang. Pada periode yang sama, filosofi komunisme Mao Zedong menjadi sistem kepercayaan sekuler yang sangat kuat di China. Agama tradisional Artikel utama untuk bagian ini adalah: Agama tradisional Agama tradisional, atau kadang-kadang disebut sebagai "agama nenek moyang", dianut oleh sebagian suku pedalaman di Asia, Afrika, dan Amerika. Pengaruh bereka cukup besar; mungkin bisa dianggap telah menyerap kedalam kebudayaan atau bahkan menjadi agama negara, seperti misalnya agama Shinto. Seperti kebanyakan agama lainnya, agama tradisional menjawab kebutuhan rohani manusia akan ketentraman hati di saat bermasalah, tertimpa musibah, tertimpa musibah dan menyediakan ritual yang ditujukan untuk kebahagiaan manusia itu sendiri. "American Dream" American Dream, atau "mimpi orang Amerika" dalam bahasa Indonesia, adalah sebuah kepercayaan, yang dipercayai oleh banyak orang di Amerika Serikat. Mereka percaya, melalui kerja keras, pengorbanan, dan kebulatan tekad, tanpa memedulikan status sosial, seseorang dapat mendapatkan kehidupan yang lebih baik. [9] Gagasan ini berakar dari sebuah keyakinan bahwa Amerika Serikat adalah sebuah "kota di atas bukit" (atau city upon a hill"), "cahaya untuk negara-negara" ("a light unto the nations"),[10] yang memiliki nilai dan kekayaan yang telah ada sejak kedatangan para penjelajah Eropa sampai generasi berikutnya. Pernikahan

Agama sering kali mempengaruhi pernikahan dan perilaku seksual. Kebanyakan gereja Kristen memberikan pemberkatan kepada pasangan yang menikah; gereja biasanya memasukkan acara pengucapan janji pernikahan di hadapan tamu, sebagai bukti bahwa komunitas tersebut menerima pernikahan mereka. Umat Kristen juga melihat hubungan antara Yesus Kristus dengan gerejanya. Gereja Katolik Roma mempercayai bahwa sebuah perceraian adalah salah, dan orang yang bercerai tidak dapat dinikahkan kembali di gereja. Sementara Agama Islam memandang pernikahan sebagai suatu kewajiban. Islam menganjurkan untuk tidak melakukan perceraian, namun memperbolehkannya. 7) Sistem ilmu dan pengetahuan Secara sederhana, pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia tentang benda, sifat, keadaan, dan harapan-harapan. Pengetahuan dimiliki oleh semua suku bangsa di dunia. Mereka memperoleh pengetahuan melalui pengalaman, intuisi, wahyu, dan berpikir menurut logika, atau percobaanpercobaan yang bersifat empiris (trial and error). Sistem pengetahuan tersebut dikelompokkan menjadi: a. pengetahuan tentang alam b. pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan dan hewan di sekitarnya c. pengetahuan tentang tubuh manusia, pengetahuan tentang sifat dan tingkah laku sesama manusia d. pengetahuan tentang ruang dan waktu

Perubahan sosial budaya Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perubahan sosial budaya Perubahan sosial budaya dapat terjadi bila sebuah kebudayaan melakukan kontak dengan kebudayaan asing. Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan. Ada tiga faktor yang dapat memengaruhi perubahan sosial: a. Tekanan kerja dalam masyarakat b. Keefektifan komunikasi c. Perubahan lingkungan alam.[11] Perubahan budaya juga dapat timbul akibat timbulnya perubahan lingkungan masyarakat, penemuan baru, dan kontak dengan kebudayaan lain. Sebagai contoh, berakhirnya zaman es berujung pada ditemukannya sistem pertanian, dan kemudian memancing inovasi-inovasi baru lainnya dalam kebudayaan. Penetrasi kebudayaan Yang dimaksud dengan penetrasi kebudayaan adalah masuknya pengaruh suatu kebudayaan ke kebudayaan lainnya. Penetrasi kebudayaan dapat terjadi dengan dua cara: Penetrasi damai (penetration pasifique)

Masuknya sebuah kebudayaan dengan jalan damai. Misalnya, masuknya pengaruh kebudayaan Hindu dan Islam ke Indonesia[rujukan?]. Penerimaan kedua macam kebudayaan tersebut tidak mengakibatkan konflik, tetapi memperkaya khasanah budaya masyarakat setempat. Pengaruh kedua kebudayaan ini pun tidak mengakibatkan hilangnya unsur-unsur asli budaya masyarakat. Penyebaran kebudayaan secara damai akan menghasilkan Akulturasi, Asimilasi, atau Sintesis. Akulturasi adalah bersatunya dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru tanpa menghilangkan unsur kebudayaan asli. Contohnya, bentuk bangunan Candi Borobudur yang merupakan perpaduan antara kebudayaan asli Indonesia dan kebudayaan India. Asimilasi adalah bercampurnya dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru. Sedangkan Sintesis adalah bercampurnya dua kebudayaan yang berakibat pada terbentuknya sebuah kebudayaan baru yang sangat berbeda dengan kebudayaan asli. Penetrasi kekerasan (penetration violante) Masuknya sebuah kebudayaan dengan cara memaksa dan merusak. Contohnya, masuknya kebudayaan Barat ke Indonesia pada zaman penjajahan disertai dengan kekerasan sehingga menimbulkan goncangan-goncangan yang merusak keseimbangan dalam masyarakat[rujukan?]. Wujud budaya dunia barat antara lain adalah budaya dari Belanda yang menjajah selama 350 tahun lamanya. Budaya warisan Belanda masih melekat di Indonesia antara lain pada sistem pemerintahan Indonesia. f.

Cara pandang terhadap kebudayaan Kebudayaan sebagai peradaban Saat ini, kebanyakan orang memahami gagasan "budaya" yang dikembangkan di Eropa pada abad ke-18 dan awal abad ke-19. Gagasan tentang "budaya" ini merefleksikan adanya ketidakseimbangan antara kekuatan Eropa dan kekuatan daerah-daerah yang dijajahnya. Mereka menganggap 'kebudayaan' sebagai "peradaban" sebagai lawan kata dari "alam". Menurut cara pikir ini, kebudayaan satu dengan kebudayaan lain dapat diperbandingkan; salah satu kebudayaan pasti lebih tinggi dari kebudayaan lainnya. Artefak tentang "kebudayaan tingkat tinggi" (High Culture) oleh Edgar Degas. Pada prakteknya, kata kebudayaan merujuk pada benda-benda dan aktivitas yang "elit" seperti misalnya memakai baju yang berkelas, fine art, atau mendengarkan musik klasik, sementara kata berkebudayaan digunakan untuk menggambarkan orang yang mengetahui, dan mengambil bagian, dari aktivitasaktivitas di atas. Sebagai contoh, jika seseorang berpendendapat bahwa musik klasik adalah musik yang "berkelas", elit, dan bercita rasa seni, sementara musik tradisional dianggap sebagai musik yang kampungan dan ketinggalan zaman, maka timbul anggapan bahwa ia adalah orang yang sudah "berkebudayaan". Orang yang menggunakan kata "kebudayaan" dengan cara ini tidak percaya ada kebudayaan lain yang eksis; mereka percaya bahwa kebudayaan hanya ada satu dan menjadi tolak ukur norma dan nilai di seluruh dunia. Menurut cara pandang

ini, seseorang yang memiliki kebiasaan yang berbeda dengan mereka yang "berkebudayaan" disebut sebagai orang yang "tidak berkebudayaan"; bukan sebagai orang "dari kebudayaan yang lain." Orang yang "tidak berkebudayaan" dikatakan lebih "alam," dan para pengamat seringkali mempertahankan elemen dari kebudayaan tingkat tinggi (high culture) untuk menekan pemikiran "manusia alami" (human nature) Sejak abad ke-18, beberapa kritik sosial telah menerima adanya perbedaan antara berkebudayaan dan tidak berkebudayaan, tetapi perbandingan itu -berkebudayaan dan tidak berkebudayaan- dapat menekan interpretasi perbaikan dan interpretasi pengalaman sebagai perkembangan yang merusak dan "tidak alami" yang mengaburkan dan menyimpangkan sifat dasar manusia. Dalam hal ini, musik tradisional (yang diciptakan oleh masyarakat kelas pekerja) dianggap mengekspresikan "jalan hidup yang alami" (natural way of life), dan musik klasik sebagai suatu kemunduran dan kemerosotan. Saat ini kebanyak ilmuwan sosial menolak untuk memperbandingkan antara kebudayaan dengan alam dan konsep monadik yang pernah berlaku. Mereka menganggap bahwa kebudayaan yang sebelumnya dianggap "tidak elit" dan "kebudayaan elit" adalah sama - masing-masing masyarakat memiliki kebudayaan yang tidak dapat diperbandingkan. Pengamat sosial membedakan beberapa kebudayaan sebagai kultur populer (popular culture) atau pop kultur, yang berarti barang atau aktivitas yang diproduksi dan dikonsumsi oleh banyak orang. Kebudayaan sebagai "sudut pandang umum" Selama Era Romantis, para cendekiawan di Jerman, khususnya mereka yang peduli terhadap gerakan nasionalisme - seperti misalnya perjuangan nasionalis untuk menyatukan Jerman, dan perjuangan nasionalis dari etnis minoritas melawan Kekaisaran Austria-Hongaria - mengembangkan sebuah gagasan kebudayaan dalam "sudut pandang umum". Pemikiran ini menganggap suatu budaya dengan budaya lainnya memiliki perbedaan dan kekhasan masing-masing. Karenanya, budaya tidak dapat diperbandingkan. Meskipun begitu, gagasan ini masih mengakui adanya pemisahan antara "berkebudayaan" dengan "tidak berkebudayaan" atau kebudayaan "primitif." Pada akhir abad ke-19, para ahli antropologi telah memakai kata kebudayaan dengan definisi yang lebih luas. Bertolak dari teori evolusi, mereka mengasumsikan bahwa setiap manusia tumbuh dan berevolusi bersama, dan dari evolusi itulah tercipta kebudayaan. Pada tahun 50-an, subkebudayaan - kelompok dengan perilaku yang sedikit berbeda dari kebudayaan induknya - mulai dijadikan subyek penelitian oleh para ahli sosiologi. Pada abad ini pula, terjadi popularisasi ide kebudayaan perusahaan - perbedaan dan bakat dalam konteks pekerja organisasi atau tempat bekerja. Kebudayaan sebagai mekanisme stabilisasi Teori-teori yang ada saat ini menganggap bahwa (suatu) kebudayaan adalah sebuah produk dari stabilisasi yang melekat dalam tekanan evolusi menuju

kebersamaan dan kesadaran bersama dalam suatu masyarakat, atau biasa disebut dengan tribalisme. g.

Kebudayaan dan Rumah Sakit 1). Pengertian Rumah Sakit Rumah sakit adalah sebuah institusi perawatan kesehatan profesional yang pelayanannya disediakan oleh dokter, perawat, dan tenaga ahli kesehatan lainnya. Berikut ini ialah beberapa jenis-jenis rumah sakit yang akan dijelaskan untuk memberikan gambaran mengenai Kebudayaan rumah sakit a) Rumah sakit umum Rumah sakit umum biasanya merupakan fasilitas yang mudah ditemui di suatu negara, dengan kapasitas rawat inap sangat besar untuk perawatan intensif ataupun jangka panjang. Rumah sakit jenis ini juga dilengkapi dengan fasilitas bedah, bedah plastik, ruang bersalin, laboratorium, dan sebagainya. Tetapi kelengkapan fasilitas ini bisa saja bervariasi sesuai kemampuan penyelenggaranya. Rumah sakit yang sangat besar sering disebut Medical Center (pusat kesehatan), biasanya melayani seluruh pengobatan modern. Sebagian besar rumah sakit di Indonesia juga membuka pelayanan kesehatan tanpa menginap (rawat jalan) bagi masyarakat umum (klinik). Biasanya terdapat beberapa klinik/poliklinik di dalam suatu rumah sakit. b) Rumah sakit terspesialisasi Jenis ini mencakup trauma center, rumah sakit anak, rumah sakit manula, atau rumah sakit yang melayani kepentingan khusus seperti psychiatric (psychiatric hospital), penyakit pernapasan, dan lain-lain. Rumah sakit bisa terdiri atas gabungan atau pun hanya satu bangunan. Kebanyakan mempunyai afiliasi dengan universitas atau pusat riset medis tertentu. Kebanyakan rumah sakit di dunia didirikan dengan tujuan nirlaba. c) Rumah sakit penelitian/pendidikan Rumah sakit penelitian/pendidikan adalah rumah sakit umum yang terkait dengan kegiatan penelitian dan pendidikan di fakultas kedokteran pada suatu universitas/lembaga pendidikan tinggi. Biasanya rumah sakit ini dipakai untuk pelatihan dokter-dokter muda, uji coba berbagai macam obat baru atau teknik pengobatan baru. Rumah sakit ini diselenggarakan oleh pihak universitas/perguruan tinggi sebagai salah satu wujud pengabdian masyararakat / Tri Dharma perguruan tinggi. d) Rumah sakit lembaga/perusahaan Rumah sakit yang didirikan oleh suatu lembaga/perusahaan untuk melayani pasien-pasien yang merupakan anggota lembaga tersebut/karyawan perusahaan tersebut. Alasan pendirian bisa karena penyakit yang berkaitan dengan kegiatan lembaga tersebut (misalnya rumah sakit militer, lapangan udara), bentuk jaminan sosial/pengobatan gratis bagi karyawan, atau karena letak/lokasi perusahaan yang terpencil/jauh dari rumah sakit umum. Biasanya rumah sakit lembaga/perusahaan di Indonesia juga menerima pasien umum dan menyediakan ruang gawat darurat untuk masyarakat umum. • Klinik Fasilitas medis yang lebih kecil yang hanya melayani keluhan tertentu. Biasanya dijalankan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat atau dokter-dokter yang ingin menjalankan praktek pribadi. Klinik biasanya

hanya menerima rawat jalan. Bentuknya bisa pula berupa kumpulan klinik yang disebut poliklinik. 2) Kebudayaan Rumah Sakit Rumah sakit adalah suatu organisasi yang unik dan kompleks karena ia merupakan institusi yang padat karya, mempunyai sifat-sifat dan ciri-ciri serta fungsifungsi yang khusus dalam proses menghasilkan jasa medik dan mempunyai berbagai kelompok profesi dalam pelayanan penderita. Di samping melaksanakan fungsi pelayanan kesehatan masyarakat, rumah sakit juga mempunyai fungsi pendidikan dan penelitian (Boekitwetan 1997). Rumah sakit di Indonesia pada awalnya dibangun oleh dua institusi. Pertama adalah pemerintah dengan maksud untuk menyediakan pelayanan kesehatan bagi masyarakat umum terutama yang tidak mampu. Kedua adalah institusi keagamaan yang membangun rumah sakit nirlaba untuk melayani masyarakat miskin dalam rangka penyebaran agamanya. Hal yang menarik akhir-akhir ini adalah adanya perubahan orientasi pemerintah tentang manajemen rumah sakit dimana kini rumah sakit pemerintah digalakkan untuk mulai berorientasi ekonomis. Untuk itu, lahirlah konsep Rumah Sakit Swadana dimana investasi dan gaji pegawai ditanggung pemerintah namun biaya operasional rumah sakit harus ditutupi dari kegiatan pelayanan kesehatannya (Rijadi 1994). Dengan demikian, kini rumah sakit mulai memainkan peran ganda, yaitu tetap melakukan pelayanan publik sekaligus memperoleh penghasilan (laba ?) atas operasionalisasi pelayanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat. Mengingat adanya dinamika internal (perkembangan peran) dan tuntutan eksternal yang semakin berkembang, rumah sakit dihadapkan pada upaya penyesuaian diri untuk merespons dinamika eksternal dan integrasi potensipotensi internal dalam melaksanakan tugas yang semakin kompleks. Upaya ini harus dilakukan jika organisasi ini hendak mempertahankan kinerjanya (pelayanan kesehatan kepada masyarakat sekaligus memperoleh dana yang memadai bagi kelangsungan hidup organisasi). Untuk itu, ia tidak dapat mengabaikan sumber daya manusia yang dimiliki termasuk perhatian atas kepuasan kerjanya. Pengabaian atasnya dapat berdampak pada kinerja organisasi juga dapat berdampak serius pada kualitas pelayanan kesehatan. Dalam konteks tersebut, pemahaman atas budaya pada tingkat organisasi ini merupakan sarana terbaik bagi penyesuaian diri anggota-anggotanya, bagi orang luar yang terlibat (misalnya pasien dan keluarganya) dan yang berkepentingan (seperti investor atau instansi pemerintah terkait) maupun bagi pembentukan dan pengembangan budaya organisasi itu sendiri dalam mengatasi berbagai masalah yang sedang dan akan dihadapi. Namun sayangnya penelitian atau kajian khusus tentang persoalan ini belum banyak diketahui, atau mungkin perhatian terhadap hal ini belum memadai. Mengingat kondisi demikian, maka tulisan ini bertujuan untuk menggambarkan berbagai aspek dan karakteristik budaya organisasi rumah sakit sebagai lembaga pelayanan publik. Seiring dengan membaiknya tingkat pendidikan, meningkatnya keadaan sosial ekonomi masyarakat, serta adanya kemudahan dibidang transportasi dan komunikasi, majunya IPTEK serta derasnya arus sistem informasi mengakibatkan sistem nilai dalam masyarakat berubah. Masyarakat

cenderung menuntut pelayanan umum yang lebih bermutu termasuk pelayanan kesehatan. Pelayanan rumah sakit yang baik bergantung dari kompetensi dan kemampuan para pengelola rumah sakit. Untuk meningkatkan kemampuan para pengelola rumah sakit tersebut selain melalui program pendidikan dan pelatihan, juga diperlukan pengaturan dan penegakan disiplin sendiri dari para pengelola rumah sakit serta adanya yanggung jawab secara moral dan hukum dari pimpinan rumah sakit untuk menjamin terselenggaranya pelayanan yang baik. Kepercayaan dan pengobatan berhubungan sangat erat. Institusi yang spesifik untuk pengobatan pertama kali, ditemukan di India. Rumah sakit Brahmanti pertama kali didirikan di Sri Lanka pada tahun 431 SM, kemudian Raja Ashoka juga mendirikan 18 rumah sakit di Hindustan pada 230 SM dengan dilengkapi tenaga medis dan perawat yang dibiayai anggaran kerajaan. Perubahan rumah sakit menjadi lebih sekular di Eropa terjadi pada abad 16 hingga 17. Tetapi baru pada abad 18 rumah sakit modern pertama dibangun dengan hanya menyediakan pelayanan dan pembedahan medis. Inggris pertama kali memperkenalkan konsep ini. Guy's Hospital didirikan di London pada 1724 atas permintaan seorang saudagar kaya Thomas Guy. Rumah sakit yang dibiayai swasta seperti ini kemudian menjamur di seluruh Inggris Raya. Di koloni Inggris di Amerika kemudian berdiri Pennsylvania General Hospital di Philadelphia pada 1751. setelah terkumpul sumbangan £2,000. Di Eropa Daratan biasanya rumah sakit dibiayai dana publik. Namun secara umum pada pertengahan abad 19 hampir seluruh negara di Eropa dan Amerika Utara telah memiliki keberagaman rumah sakit. Selain itu dalam perkembangan teknologi dan berbagai bidang yang lainnya tercipta sebuah istilah yang menandakan sebagai suatu Budaya dalam lingkup kesehatan istilah tersebut ialah Komite Etik Rumah Sakit (KERS), dapat dikatakan sebagai suatu badan yang secara resmi dibentuk dengan anggota dari berbagai disiplin perawatan kesehatan dalam rumah sakit yang bertugas untuk menangani berbagai masalah etik yang timbul dalam rumah sakit. KERS dapat menjadi sarana efektif dalam mengusahakan saling pengertian antara berbagai pihak yang terlibat seperti dokter, pasien, keluarga pasien dan masyarakat tentang berbagai masalah etika hukum kedokteran yang muncul dalam perawatan kesehatan di rumah sakit. Ada tiga fungsi KERS ini yaitu pendidikan, penyusun kebijakan dan pembahasan kasus. Jadi salah satu tugas KERS adalah menjalankan fungsi pendidikan etika. Dalam rumah sakit ada kebutuhan akan kemampuan memahami masalah etika, melakukan diskusi multidisiplin tentang kasus mediko legal dan dilema etika biomedis dan proses pengambilan keputusan yang terkait dengan permasalahan ini. 3) Karakteristik Kebudayaan Rumah Sakit (Organisasi) Pertama, asumsi karyawan tentang keterkaitan lingkungan organisasi yang menunjukkan bahwa organisasi mereka didominasi dan sangat dipengaruhi oleh beberapa pihak eksternal, yaitu pemilik saham, Departemen Kesehatan sebagai pembina teknis, dan masyarakat pengguna jasa kesehatan sebagai konsumen. Peran masyarakat kini begitu dirasakan sejak RS menjadi

institusi yang harus mampu menghidupi dirinya sendiri tanpa mengandalkan subsidi lagi dari PTPN XI. Pada situasi seperti ini, karyawan menyadari betul fungsi yang harus dimainkan ketika berhadapan dengan konsumen, yaitu mereka harus memberikan pelayanan terbaik kepada pasien dan keluarganya, serta para pengunjung lainnya. Nilai-nilai yang sudah ditanamkan kepada karyawan dalam memberikan pelayanan kepada konsumennya tadi dapat terungkap dari pandangan mereka bahwa justru konsumenlah orang terpenting dalam pekerjaan mereka. Pasien adalah raja yang mana semua karyawan bergantung padanya bukan pasien yang bergantung pada karyawan. Pasien bukanlah pengganggu pekerjaan karyawan namun merekalah tujuan karyawan bekerja. Karyawan bekerja bukan untuk menolong pasien, namun keberadaan pasienlah yang menolong karyawan karena pasien tersebut telah memberikan peluang kepada karyawan untuk memberikan pelayanan. Oleh karena itu jika terdapat perselisihan antara karyawan dan pasien maka karyawan haruslah mengalah karena tidak ada yang pernah menang dalam berselisih dengan konsumen. Dengan melihat nilai yang ditanamkan pada setiap karyawan tersebut maka dapat dijelaskan tentang berlakunya asumsi fungsi pelayanan di RS. Kedua, tentang pandangan karyawan mengenai bagaimana sesuatu itu dipandang sebagai fakta atau tidak (kriteria realitas) dan bagaimana sesuatu itu ditentukan sebagai benar atau tidak (kriteria kebenaran). Kriteria realitas yang dominant berlaku di RS X adalah realitas sosial yang berarti bahwa sesuatu itu dapat diterima sebagai fakta bila sesuai dengan kebiasaan yang telah ada atau opini umum yang berkembang di lingkungan RS X. Sementara itu, karyawan RS X juga berpandangan dominan bahwa kebenaran lebih ditentukan oleh rasionalitas. Dengan kata lain, sesuatu itu dapat dipandang sebagai benar bergantung pada rasioanalitas kolektif di lingkungan RS X dan bila telah ditentukan melalui proses yang dapat diterima dalam saluran organisasi. Ketiga, tentang pandangan karyawan berkenaan dengan hakikat sifat dasar manusia. Sebagian besar karyawan rupanya berasumsi bahwa manusia atau teman sekerja mereka itu memiliki sifat yang pada dasarnya baik, yaitu rajin bekerja, sangat memperhatikan waktu kerja (masuk dan pulang kerja tepat waktu), siap membantu pekerjaan rekan-rekan lainnya. Namun demikian mereka juga berpandangan bahwa sifat ini tidak selamanya berlaku konsisten. Akan ada selalu godaan atau kondisi yang dapat mengubah sifat manusia. Mereka percaya betul bahwa tidak ada sifat yang kekal, sifat baik dapat saja berubah menjadi buruk, begitu pula sifat buruk bisa berubah menjadi baik. Keempat, mengenai asumsi karyawan tentang hakikat aktivitas manusia yang menunjukkan bahwa aktivitas manusia itu harmoni atau selaras dengan aktivitas organisasi. Tidak hanya aktivitas manusia saja yang mampu menentukan keberhasilan organisasi. Namun mereka juga menolak bahwa aktivitas organisasi semata yang menentukan keberhasilan organisasi karena mereka memandang bahwa aktivitasnya juga memberikan kontribusi atas keberhasilan organisasi. Pada intinya, mereka memandang bahwa aktivitasnya yang meliputi curahan waktu, tenaga, dan pikiran harus selaras dengan aktivitas organisasi secara keseluruhan yang berupa kinerja sumber daya manusia, keuangan, aktiva tetap, infra dan supra struktur organisasi.

Kelima, berkenaan dengan asumsi hakikat hubungan manusia yang hasilnya menunjukkan bahwa hubungan antar karyawan lebih bersifat kekeluargaan. Kekeluargaan 10 tidak dipahami sebagai nepotisme atau usaha keluarga, namun kekeluargaan dipahami sebagai hubungan antar inidividu dalam suatu kelompok kerja sebagai suatu kerja sama kelompok yang lebih berorientasi pada konsensus dan kesejahteraan kelompok. Dalam suatu kelompok kerja seorang karyawan terkadang tidak hanya menjalankan tugas hanya pada bidang tugas yang tertera secara formal karena ia harus siap membantu bidang tugas yang lain yang dapat ditanganinya. Seorang perawat di unit bedah dengan tugas khusus sterilisasi tidak hanya menangani tugasnya saja. Ia harus siap membantu karyawan lainnya untuk juga menangani instrumen dan pulih sadar. Semua pekerjaan itu dilakukan sebagai suatu kerja sama kolektif dalam mencapai efektivitas organisasi. Hubungan antar karyawan tidak sebatas hubungan kerja, kerapkali mereka jauh lebih terikat secara pribadi dan saling mengerti tentang karakteristik pribadi lainnya. Suasana guyub terlihat dalam suasana saling membantu tidak hanya dalam konteks kerja tetapi juga di luar pekerjaan. Daftar Pustaka Nova Maulana, (2014), Buku Ajar Sosiologi dan Antropologi Kesehatan, Cetakan Pertama, Nuha Medika, Yogyakarta Wahyu Ratna, (2010),”Sosiologi dan Antropologi Kesehatan dalam Perspektif Ilmu Keperawatan”, Edisi I, Pustaka Rihama, Yogyakarta.

Foster/Anderson. 1986. Antropologi Kesehatan, Jakarta, Grafiti. Sarwono, S. 1993. Sosiologi Kesehatan, Beberapa Konsep Beserta Apli kasinya, Yogyakarta, Gadjah Mada Press. Rijadi, S. (1994) Tantangan industri rumah sakit Indonesia 2020. Jurnal Administrasi Rumah Sakit. Volume 2, No.2, 11-18. Silalahi, Bennett N.B. [dan] Silalahi,Rumondang.1991. Manajemen keselamatan dan kesehatan kerja.[s.l]:Pustaka Binaman Pressindo. 4. Latihan/Tugas a. Setiap mahasiswa membuat rangkuman materi kebudayaan dan masyarakat Rumah Sakit melalui buku-buku, internet maupun jurnal. b. Setiap kelompok mencari, menggali dan mendiskusikan materi kebudayaan, masyarakat Rumah Sakit disetiap kesempatan C. Penutup 1. Evaluasi dan Kunci Jawaban a. Jelaskan pengertian kebudayaan b. Jelaskan unsur-unsur kebudayaan c. Jelaskan kebudayaan Rumah Sakit d. Jelaskan karakteristik kebudayaan Rumah Sakit 2. Lembar Kejra Mahasiswa . Mata Kuliah Semester : ....................... Minggu ke : ......................

...................... SKS : ................ Tugas ke : ..................

1. Tujuan Tugas : 2. Uraian Tugas : a. Obyek garapan : .................... b. Yang harus dikerjakandan batasan-batasan : ................... c. Metode/cara pengerjaan, acuan yang digunakan : ........ d. Deskripsiluaran tugas yang digunakan : ................ 3. Kriteria penilaian : a. .................................. .........................% b. .................................... ..........................% c. ................................. .........................%

KEGIATAN PEMEBELAJARAN 6 & 7 Etiologi Penyakit, Persepsi Sehat Sakit, Peran Dan Perilaku Pasien, Respon Sakit/Nyeri Pasien A. PENDAHULUAN 1. Deskripsi/Uraian Materi Mata Kuliah ini menguraikan tentang etiologi penyakit mencakup pengertian dan konsep penyakit, konstruksi sosial mengenai penyakit, persepsi sehat sakit, peran dan perilaku pasien, respon sakit/nyeri pasien. 2. Kompetensi Dasar a. Mampu menjelaskan pengertian dan etiologi penyakit, konstruksi sosial mengenai penyakit b. Mampu menjelaskan persepsi sehat sakit c. Mampu peran dan perilaku pasien d. Mampu menjelaskan respon sakit/nyeri pasien B. Penyajian 1. Uraian Materi a. Pandangan social/budaya tentang penyakit Dalam sosiologi terdapat perbedaan pandangan antara desease dan illness. Menurut Conread dan Kern, disease adalah merupakan gejala fiisiologi yang mempengaruhi tubuh. Sedangkan illness adalah gejala sosial yang menyertai atau mengelilingi disease. Masyarakat beranggapan bahwa penyakit merupakan produk dari budaya (Geest) b. Konstruksi social mengenai penyakit Conread dan Kern menjelaskan bahwa penyakit merupakan konstruksi budaya. Contohnya adalah perempuan sebagai mahluk lemah dan tidak rasional yang terkungkung oleh factor khas keperempuanan sepertiorgan reproduksi dan keadaan

jiwa mereka, kecendrungan untuk mengkonstruksikan sindrom premenstruasi dan menopause sebagai gangguan kesehatan yang memerlukan terapi khusus. c. Persepsi sehat sakit Persepsi masyarakat tentang kejadian penyakit berbeda antara daerah yang satu dengan lainnya, karena tergantung dari kebudayaan yang ada di masyarakat tersebut. Hal ini dapat turun dari satu generasi kegenerasi berikutnya. Contoh persepsi masyarakat tentang penyakit Malaria. Masyarakat Papua; makanan pokoknya adalah sagu yang tumbuh di daerah rawa-rawa dan tidak jauh dari situ ada hutam lebat. Penduduk desa tersebut beranggapan bahwa hutan itu milik penguasa gaib yang dapat menghukum setiap orang yang melanggar ketentuan. Pelanggaran dapat berupa menebang, membabat hutan untuk tanah pertanian dan lain-lain akan diganjar hukuman berupa penyakit dengan gejala demam tinggi, menggigil dan muntah. Penyakit tersebut dapat sembuuh dengan cara meminta ampun kepada penguasa hutan, kkemudian memetik daun daripohon tertentu yang dapat dibuat ramuan untuk diminum dan dioleskan keseluruh tubuh penderita. Pendapat lain bahwa penyakitadalah kutukan Allah, mahluk gaib, roh-roh jahat, udara busuk, tanaman berbisa, binatang dan sebagainya. Pandangan orang tentang criteria tubuh sehat atau sakit tidak selalu bersifat obyektif, karena itu petugas kesehatan harus berusaha sedapat mungkin menerappkan criteria medis secara obyektif berdasarkan gejala yang tampak guuna mendiagnosa kondisi fisikk individu. Perilaku sakit adalah segala bentuk tindakan yang dilakukan oleh individu agar memperoleh kesembuhan, sedangkan perilaku sehat adalah tindakan yang dilakukan individu untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya, termasuk ppencegahan penyakit, perawatankebersihan diri, penjagaan kebugaran dan makanan bergizi. Perilaku sehat diperlihatkan oleh individu yangmerasa dirinya sehat meskipun secara medis belum tentu mereka sehat. d. Peran dan perilaku Pasien Tinkahlaku dan peranan seseorang merupakan suatu hal yang selalu mengikuti kemanapun dalam setiap kejadian kehidupan, bahkan tingkah laku dan peranan biasanya terjadi karena merupakan suatu respons terhadap keadaan tertentu. Demikian pula kejadian sakit dan penyakit telah memicu respons tingkah laku dan peran yang berbeda pada diri seseorang. Mecahanic dan Volkhart(1961)mendefinisikan tingkah laku sakit sebagai suatu cara-cara dimana gejala-gejala ditanggapi, dievaluasi dan diperankan oleh seorang individu yang mengalami sakit, kurang nyaman, atau tanda-tanda lain dari fungsi tubuh yang kurang baik. Tingkah laku sakit dapat terjadi tanpa peranan sakit dan peranan pasien. Seorang dewasa yang bangun tidur dengan leher sakit menjalankan peranan sakit, maka ia harus memutuskan apakah ia akan minum aspirin dan mengharapkan kesembuhan atau memanggil dokter. Namun demikian ini bukanlah tingkah laku sakit, hanya apabila penyakit itu telah didefinisikan secara cukup serius sehingga menyebabkan seseorang tersebut tidak dapat melakukan sebagaian atau seluruh peranana normalnya yang berarti

mengurangi dan memberikan tuntutan tambahan atas tingkah laku peranan orangorang di sekelilinngnya, maka barulah dikatakn bahwa seseorang itu melakukan peranan sakit. Apabila kemudian dokter dihubungi dan si individu bertindak menurut instruksinya maka peranan pasien itu menjadi kenyataan. Tingkah laku sakit, peranana sakit dan peranana pasien sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor Seperti Kelas sosial, suku bangsa, dan budaya yang berlaku di suatu tempat. Dalam mempelajari tingkah laku sakit, penting bagi kita untuk mengingat pesan Von Mering, bahwa”studi yang mengenai makhluk manusia yang sakit berperan bahwa setiap individu hidup dengan gejala-gejala maupun konsekuensi penyakit, dalam aspek-aspek fisik, mental, aspek budaya dan aspek sosialnya. Untuk meringankan penyakitnya, si sakit terlibat dalam rangkaian proses pemecahan masalah yang bersifat internal maupun eksternal baik yang spesifik maupun yang non spesifik”(Von Mering 1970:1972-273). Ciri-ciri orang yang bertingkah laku sakit: 1) Merasa kurang enak badan. 2) Fungsi tubuh yang kurang baik. 3) Kurangnya nafsu makan. 4) Suhu tubuh tidak normal,dll. Tingkah laku sakit dapat terjadi tanpa peranan sakit dan peranan pasien. Seseorang dewasa yang baru bangun tidur dengan leher sakit menjalankan peranan sakit, maka ia harus memutuskan apakah ia akan minum obat dan mengharapkan kesembuhan atau memanggil dokter. Namun demikian, ini bukanlah tingkah laku sakit hanya apabila penyakit itu telah didefinisikan secara cukup serius sehingga menyebabkan seseorang tersebut tidak dapat melakukan sebagian atau seluruh peranan normalnya yang berarti mengurangi dan memberikan tuntutan atas tingkah laku peranan orang-orang disekelilingnya, maka barulah dikatakan bahwa seseorang itu melakukan peranan sakit. Tingkah laku sakit, peranan sakit dan peranan pasien sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti kelas sosial, suku bangsa, dan budaya yang berlaku disuatu tempat. Contoh tingkah laku sakit, sebagai berikut:

1) Bangsa Jepang Pada periode 1996-1998 di RS Medistra Jakarta pada beberapa pasien berwarga Negara Jepang. Tampak pasien segera berespon dengan perubahan sakit yang terjadi pada dirinya. Sesuai dengan disiplin waktu yang sudah menjadi tradisinya, pasien sering meminta schedul tindakan keperawatan terhadap dirinya dan membuat perjanjian apabila terjadi perubahan kondisi (kondisi perubahan suhu yang sering naik, turun, pada pasien DHF ), pasien akan memanggil perawat untuk memeriksa suhu tubuhnya. Perawat harus memberitahu hal-hal atau tindakan yang mendadak misalnya, visite dokter tibatiba datang. Dalam menghadapi perubahan-perubahan kesehatan ia ingin segera mendapatkan tanggapan dari para dokter dan perawat. Apabila dia sudah di tanggapi oleh dokter dan perawat pasien merasa tenang. Dari observasi diatas, pasien Jepang merupakan tipe Public Pain dimana rasa sakit yang mereka rasakan ingin segera ditangani dan memerlukan penjelasan atau concern dari perawat maupun dokter yang menanganinya.

2) Masyarakat Manado Pasien yang dirawat dengan keluhan sakit pada area perut kanan di IGD RS PERSAHABATAN pada tanggal 8 Desember 1998. Pasien Manado ingin segera ditangani secepatnya. Karena RS Persahabatan merupakan RS pemerintah yang sarananya serba terbatas, maka sulit untuk memenuhi semua keinginan pasien. Dari segi penampilan pasien dan keluarga nampak bagus dan rapi. Pasien juga sering mengeluh dan mengerang-erang kesakitan serta memanggil-manggil perawat untuk segera ditangani. Penjelasan dari perawat sering diabaikan dan meminta penjelasan langsung dari dokter. Setelah diberi penjelasan dari dokter, pasien malahan lebih sering mengeluh dan menuntut penatalaksanaan secepatnya tanpa memperdulikan proses penyakitnya dan prosedur penanganan karena keterbatasan alat dan tenaga, tindakan tidak bisa dilakukan dengan segera. Keluarga pasien menyatakan complain pada pelayanan yang diberikan dan pasien dengan suara merintih meminta segera di pindahkan ke Rumah Sakit yang lebih memadai. Perawat kemudian menyarankan rujukan ke RS swasta. Dari observasi diatas, nampak bahwa pasien Manado merupakan tipe Public Pain dimana mereka meminta perhatian yang berlebih dari perawat maupun dokter serta menginginkan yang terbaik buat mereka. 3) Masyarakat Bali Pasien di Rumah Sakit Sanglah Denpasar pada periode tahun 1995-1996 di beberapa ruangan rawat inap. Pasien Bali dalam menghadapi perawatan terhadap dirinya jarang meminta perhatian lebih dari perawat atau dokter teteapi mereka akan sangat berterimakasih bila diperhatikan secara sewajarnya. Kehidupan beragama yang begitu kental membuat setiap pasien selalu meminta tempat untuk menghanturkan sesajen di samping tempat tidurnya. Jika lupa atau terlambat, mereka biasanya merasa tidak enak. Sesajen biasanya dihaturkan oleh keluarga pasien untukm meminta keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa.Kebersamaan adat yang kental membuat Rumah Sakit terkadang dipenuhi oleh sanak saudara dan anggota banjar (sejenis RW dengan ikatan yang kuat) dari pasien yang bersangkutan. Kehadiran sanak saudara bagi pasien merupakan suatu kebahagiaan dan kebanggaan karena disanalah kualitas hubungan si pasien dengan masyarakat komunitasnya. Bila sedikit yang datang mengunjungi malahan pasien akan sangat bersedih. Dan itu tentui akan menghambat proses kesembuhan si pasien. Dari observasi diatas, nampak bahwa pasien Bali merupakan tipe Private Pain dimana mereka mempunyai perasaan berterimakasih yang sangat besar. Bila pasien merasa puas akan pelayanan yang diberikan kepadanya, tidak jarang pasien memberikan oleh-oleh atau hadiah kepada perawat atau dokter yang menanganinya. Bahkan setelah pasien sembuh banyak pasien menjalin hubungan yang lebih akrab dengan perawat atau dokter yang merawatnya e. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Respon Nyeri Saat seseorang mengalami nyeri, banyak faktor yang dapat mempengaruhi nyeri yang dirasakan dan cara mereka bereaksi terhadapnya. Faktor-faktor ini dapat meningkatkan atau menurunkan persepsi nyeri pasien, toleransi terhadap nyeri dan mempengaruhi reaksi terhadap nyeri (Le Mone & Burke).

Reaksi fisik seseorang terhadap nyeri meliputi perubahan neurologis yang spesifik dan sering dapat diperkirakan. Kenyataannya, setiap orang mempunyai jaras nyeri yang sama, atau dengan kata lain setiap orang menerima stimulus nyeri pada intensitas yang sama. Reaksi pasien terhadap nyeri dibentuk oleh berbagai faktor yang saling berinteraksi mencakup umur, sosial budaya, status emosional, pengalaman nyeri masa lalu, sumber dan anti dari nyeri dan dasar pengetahuan pasien. Ketika sesuatu menjelaskan seseorang sangat sensitif terhadap nyeri, sesuatu ini merujuk kepada toleransi nyeri seseorang dimana seseorang dapat menahan nyeri sebelum memperlihatkan reaksinya. Kemampuan untuk mentoleransi nyeri dapat rnenurun dengan pengulangan episode nyeri, kelemahan, marah, cemas dan gangguan tidur. Toleransi nyeri dapat ditingkatkan dengan obatobatan, alkohol, hipnotis, kehangatan, distraksi dan praktek spiritual (Le Mone & Burke). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi reaksi nyeri tersebut antara lain: 1) Pengalaman Nyeri Masa Lalu Lebih berpengalarnan individu dengan nyeri yang dialami, makin takut individu tersebut terhadap peristiwa menyakitkan yang akan diakibatkan oleh nyeri tersebut. Individu ini mungkin akan lebih sedikit mentoleransi nyeri; akibatnya, ia ingin nyerinya segera reda dan sebelum nyeri tersebut menjadi lebih parah Reaksi ini hampir pasti terjadi jika individu tersebut mencrima peredaan nyeri yang tidak adekuat di masa lalu. Individu dengan pengalaman nyeri berulang dapat mengetahui ketakutan peningkatan nyeri dan pengobatannva tidak adekuat (Smeltzer & Bare). Beberapa pasien yang tidak pernah mengalami nyeri hebat, tidak menyadari seberapa hebatnya nyeri yang akan dirasakan nanti. Umumnya, orang yang sering mengalami nyeri dalam hidupnya, cenderung mengantisipasi terjadinya nyeri yang lebih hebat (Taylor & Le Mone). 2) Kecemasan Toleransi nyeri, titik di mana nyeri tidak dapat ditoleransi lagi, beragam diantara individu. Toleransi nyeri menurun akibat keletihan, kecemasan, ketakutan akan kematian, marah, ketidakberdayaan, isolasi sosial, perubahan dalarn identitas peran, kehilangan kemandirian dan pengalarnan masa lalu (Smeltzer & Bare). Kecemasan hampir selalu ada ketika nyeri diantisipasi atau dialami secara langsung. Ia cenderung meningkatkan intensitas nyeri yang dialami. Ancaman dari sesuatu yang tidak diketahui lebih mengganggu dan menghasilkan kecemasan daripada ancaman dari sesuatu yang telah dipersiapkan. Studi telah mengindikasikan bahwa pasien yang diberi pendidikan pra operasi tentang hasil yang akan dirasakan pasca operasi tidak mencrima banyak obat-obatan untuk nyeri dibandingkan orang yang mengalami prosedur operasi yang sama tetapi tidak diberi pendidikan pra operasi. Nyeri menjadi lebih buruk ketika kecemasan, ketegangan dan kelemahan muncul (Taylor & Le Mone). Umumnya diyakini bahwa kecemasan akan meningkatkan nyeri, mungkin tidak seluruhnya benar dalam semua keadaan. Namun, kecemasan yang relevan atau berhubungan dengan nyeri dapat meningkatkan persepsi pasien terhadap nyeri (Smeltzer & Bare). Ditinjau dari aspek fisiologis, kecemasan yang berhubungan dengan nyeri dapat meningkatkan persepsi pasien terhadap nyeri. Secara klinik, kecemasan pasien

menyebabkan menurunnya kadar serotonin. Serotonin merupakan neurotransmitter yang memiliki andil dalam memodulasi nyeri pada susunan saraf pusat. Hal inilah yang mengakibatkan peningkatan sensasi nyeri (Le Mone & Burke). Serotonin merupakan salah satu neurotransmitter yang diproduksi oleh nucleus rafe magnus dan lokus seruleus. Ia berperan dalam sistem analgetik otak. Serotonin menyebabkan neuron-neuron lokal medulla spinalis mensekresi enkefalin. Enkefalin dianggap dapat menimbulkan hambatan . Jadi,dpresinaptik dan postsinaptik pada serabut-serabut nyeri tipe C dan A sistem analgetika ini dapat memblok sinyal nyeri pada tempat masuknya ke medulla spinalis (Guyton). Selain itu keberadaan endorfin dan enkefalin juga membantu menjelaskan bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri yang berbeda dari stimuli yang sama. Kadar endorfin beragam di antara individu, seperti halnya faktor-faktor seperti kecemasan yang mempengaruhi kadar endorfin. Individu dengan endorfin yang banyak akan lebih sedikit merasakan nyeri. Sama halnya a ktivitas fisik yang berat diduga dapat meningkatkan pembentukan endorfin dalarn sistem kontrol desendens (Smeltzer & Bµ,re,). 3) Umur Umur dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah waktu hidup atau ada sejak dilahirkan (Poerwadarminta). Menurut Ramadhan (2001), umur adalah usia individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat berulang tahun. Umumnya lansia menganggap nyeri sebagai komponen alamiah dari proses penuaan dan dapat diabaikan atau tidak ditangani oleh petugas kesehatan. Di lain pihak, normalnya kondisi nycri hebat pada dewasa muda dapat dirasakan sebagai keluhan ringan pada dewasa tua. Orang dewasa tua mengalami perubahan neurofisiologi dan mungkin mengalami penurunan persepsi sensori stimulus serta peningkatan ambang nyeri. Selain itu, proses penyakit kronis yang lebih umum terjadi pada dewasa tua seperti penyakit gangguan, kardiovaskuler atau diabetes mellitus dapat mengganggu transmisi impuls saraf normal (Le Mone & Burke). Menurut Giuffre, dkk. (1991), cara lansia bereaksi terhadap nyeri dapat berbeda dengan cara bereaksi orang yang lebih muda. Karena individu lansia mempunyai metabolisme yang lebih lambat dan rasio lemak tubuh terhadap massa otot lebih besar dibanding individu berusia lebih muda, oleh karenanya analgesik dosis kecil mungkin cukup untuk menghilangkan nyeri pada lansia. Persepsi nyeri pada lansia mungkin berkurang sebagai akibat dari perubahan patologis berkaitan dengan beberapa penyakita (misalnya diabetes), akan tetapi pada individu lansia yang sehat persepsi nyeri mungkin tidak berubah (Smeltzer & Bare). Diperkirakan lebih dari 85% dewasa tua mempunyai sedikitnya satu masalah kesehatan kronis yang dapat menyebabkan nyeri. Lansia cenderung mengabaikan lama sebelum melaporkannya atau mencari perawatan kesehatan karena sebagian dari mereka menganggap nyeri menjadi bagian dari penuaan normal. Sebagian lansia lainnya tidak mencari perawatan kesehatan karena mereka takut nyeri tersebut menandakan penyakit yang serius. Penilaian tentang nyeri dan ketepatan pengobatan harus didasarkan pada laporan nyeri pasien dan pereda ketimbang didasarkan pada usia (Smeltzer & Bare).

4. Jenis Kelamin Menurut Oakley (1972) jenis kelarnin (sex) merupakan perbedaan yang telah dikodratkan Tuhan, oleh sebab itu, bersifat permanen. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan tidak sekadar bersifat biologis, akan tetapi juga dalam aspek sosial kultural. Perbedaan secara sosial kultural antara laki-laki dan perempuan merupakan dampak dari sebuah proses yang membentuk berbagai karakter sifat gender. Perbedaan gender antara manusia berjenis kelamin laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Terbentuknya perbedaan-perbedaan gender disebabkan oleh berbagai faktor terutarna pembentukan, sosialisasi, kemudian diperkuat dan dikonstruksi baik secara sosial kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara (Ahyar & Anshari). Karakteristik jenis kelamin dan hubungannya dengan sifat keterpaparan dan tingkat kerentanan memegang peranan tersendiri. Berbagai penyakit tertentu ternyata erat hubungannya dengan jenis kelatnin, dengan berbagai sifat tertentu. Penyakit yang hanya dijumpai pada jenis kelamin tertentu, terutama yang berhubungan erat dengan alat reproduksi atau yang secara genetik berperan dalam perbedaan jenis kelarnin (Noor). Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang berbeda dapat belajar dengan cepat untuk mengabaikan nyeri daripada mengeksploitasi nyeri untuk rnemperoeh perhatian dan pelayanan dari anggota keluarga. Anak-anak mungkin belajar bahwa terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam mengekspresikan nyeri. Anak perempuan boleh pulang ke rumah sambil menangis ketika lututnya terluka, sedangkan anak laki-laki diberitahu untuk berani dan tidak menangis. Laki-laki dan perempuan dewasa mungkin berpegang pada pengharapan gender ini sehubungan dengan komunikasi nyeri (Taylor & Le Mone). Dalam banyak budaya, laki-laki merupakan figur yang dominan. Dalam budaya yang menganut paham ini, laki-laki membuat keputusan untuk anggota keluarga lain seperti halnya untuk dirinya sendiri. Dalam budaya dimana laki-laki merupakan figur dominan, maka perempuan cenderung untuk pasif. Dalam keluarga Afrika-Amerika pada banyak keluarga caucasian, perempuan sering menjadi figur yang dominan (Taylor & Le Mone). Pengetahuan tentang anggota keluarga yang dominan sangat penting sebagai bahan pertimbangan untuk rencana keperawatan. Jika anggota keluarga dominan yang sakit maka kemungkinan anggota keluarga lain akan menjadi cemas dan bingung. Jika anggota keluarga non dominan yang sakit, maka ia akan meminta pertolongan secara verbal (Taylor & Le Mone). Pada tahun 1995, Vallerand meninjau penelitian tentang nyeri pada wanita dan mengusulkan implikasi untuk praktik klinik. Meskipun penelitian tidak menemukan perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam mengekspresikan nyerinya, pengobatan ditemukan lebih sedikit pada perempuan. Perempuan lebih suka mengkomunikasikan rasa sakitnya, sedangkan laki-laki menerima analgesik opioid lebih sering sebagai pengobatan untuk nyeri (Taylor & Le Mone). 5. Sosial Budaya Karena norma budaya mempengaruhi sebagian besar sikap, perilaku, dan nilai keseharian kita, wajar jika dikatakan budaya mempengaruhi reaksi individu terhadap nyeri. Bentuk ekspresi nyeri yang dihindari oleh satu budaya mungkin ditunjukkan oleh budaya yang lain (Taylor & Le Mane).

Menurut Zatzick dan Dimsdale (1990), budaya dan etniksitas mempunyai pengaruh pada cara seseorang bereaksi terhadap nyeri (bagaimana nyeri diuraikan atau seseorang berperilaku dalam berespons terhadap nyeri). Namun, budaya dan etnik tidak mempengaruhi persepsi nyeri (Smeltzer & Bare). Mengenali nilai-nilai kebudayaan yang dimiliki seseorang dan memahami mengapa nilai-nilai ini berbeda dari nilai-nilai kebudayaan lainnya membantu kita untuk menghindari mengevaluasi perilaku pasien berdasarkan pada harapan dan nilai budaya seseorang. Perawat yang mengetahui perbedaan budaya akan mempunyai pemahaman yang lebih besar tentang nyeri pasien dan akan lebih akurat dalam rnengkaji nyeri dan reaksi perilaku terhadap nyeri juga efektif dalarn menghilangkan nyeri pasien (Smeltzer & Bare). 6. Nilai Agama Pada beberapa agama, individu menganggap nyeri dan penderitaan sebagai cara untuk membersihkan dosa. Pemahaman ini membantu individu menghadapi nyeri dan menjadikan sebagai sumber kekuatan. Pasien dengan kepercayaan ini mungkin menolak analgetik dan metode penyembuhan lainnya; karena akan mengurangi persembahan mereka (Taylor & Le Mane). 7. Lingkungan dan Dukungan Orang Terdekat Lingkungan dan kehadiran dukungan keluarga juga dapat mempengaruhi nyeri seseorang. Banyak orang yang merasa lingkungan pelayanan kesehatan yang asing, khususnya cahaya, kebisingan, aktivitas yang sama di ruang perawatan intensif, dapat menambah nyeri yang dirasakan. Pada beberapa pasien, kehadiran keluarga yang dicintai atau teman bisa mengurangi rasa nyeri mereka, namun ada juga yang lebih suka menyendiri ketika merasakan nyeri. Beberapa pasien menggunakan nyerinya untuk rnemperoleh perhatian khusus dan pelayanan dari keluarganya (Taylor & Le Mone). 3. Daftar Pustaka Nova Maulana, (2014), Buku Ajar Sosiologi dan Antropologi Kesehatan, Cetakan Pertama, Nuha Medika, Yogyakarta Arum Pratiwi, (2011), Buku Ajar Keperawatan Transkultural, Cetakan Pertama, Penerbit Gosyen Pulishing, Yogyakarta Wahyu Ratna, (2010),”Sosiologi dan Antropologi Kesehatan dalam Perspektif Ilmu Keperawatan”, Edisi I, Pustaka Rihama, Yogyakarta.

Foster/Anderson. 1986. Antropologi Kesehatan, Jakarta, Grafiti. Sarwono, S. 1993. Sosiologi Kesehatan, Beberapa Konsep Beserta Apli kasinya, Yogyakarta, Gadjah Mada Press. Momon Sudarma, (2009), Sosiologi untuk Kesehatan, Jakarta, Penerbit Salemba Medika 4. Latihan/Tugas a. Setiap mahasiswa membuat rangkuman materi etiologi penyakit, persepsi sehat sakit, peran dan perilaku pasien, respon sakit/nyeri pasien b. Setiap kelompok mencari, menggali dan mendiskusikan etiologi penyakit, persepsi sehat sakit, peran dan perilaku pasien, respon sakit/nyeri pasien. C. Penutup

1. Evaluasi danKunci Jawaban a. Jelaskan pandangan masyarakat tentang etiologi penyakit b. Jelaskan persepsi sehat sakit menurut menurut masyarakat c. Jelaskan peran dan perilaku pasien ketika mereka sakit d. Jelaskan bagaimana respon sakit/nyeri pasien 2. Lembar Kejra Mahasiswa . Mata Kuliah Semester : ....................... Minggu ke : ......................

...................... SKS : ................ Tugas ke : ..................

1. Tujuan Tugas : 2. Uraian Tugas : a. Obyek garapan : .................... b. Yang harus dikerjakandan batasan-batasan : ................... c. Metode/cara pengerjaan, acuan yang digunakan : ........ d. Deskripsiluaran tugas yang digunakan : ................ 3. Kriteria penilaian : a. .................................. .........................% b. .................................... ..........................% c. ................................. .........................%

BAB III :

TRANSKULTURAL DALAM KEPERAWATAN PEMBELAJARAN 9-10

Globalisasi Dan Perspektif Transkultural, Diversity Dalam Masyarakat A. PENDAHULUAN 1. Deskripsi/Uraian Materi Mata Kuliah ini menguraikan tentang globalisasi dan perspektif transkultural, diversity dalam masyarakat berserta pengaruhinya baik positif maupun negative, alternative dalam pemecahan masalah yang timbul dalam masyarakat multikultur. 2. Kompetensi Dasar a. Mampu menjelaskan globalisasi dan perspektif transkultural b. Mampu menjelaskan diversity dalam masyarakat c. Mampu menjelaskan pengaruh diversity dalam masyarakat d. Mampu menjelaskan alternative dalam pemecahan masalah yang timbul dalam masyarakat multikultur B. Penyajian 1. Uraian Materi Globalisasi dan perspektif transkultural a. Keperawatan transkultural dan globalisasi dalam layanan kesehatan Globalisasi menyebabkan masyarakat hidup dalam suasana multikultural yang disebabkan karena migrasi antar daerah dan negara menjadi lebih mudah. Keperawatan transkultural menjadi komponen utama dalam kesehatan dan menjadi konstituen penting dari perawatan, yang mengharapkan para perawat kompeten secara budaya dalam praktek sehari-hari. Perawat yang kompeten dalam budaya memiliki pengetahuan tentang budaya lain dan terampil dalam mengidentifikasi pola-pola budaya tertentu sehingga dirumuskan rencana perawatan yang akan

membantu memenuhi tujuan yang telah ditetapkan untuk kesehatan pasien (Gustafson, 2005). Kebudayaan merupakan fenomena yang universal, yang memiliki gambaran yang khas tiap kelompok tertentu, mencakup pengetahuan, kepercayaan, adat dan ketrampilan yang dimiliki anggota kelompok tersebut. Pada

era globalisasi kemajuan teknologi, transportasi, telekomunikasi dan

informasi telah semakin menghubungan dunia dalam berbagai aspek kehidupan, dan dengan sangat cepat dan kuat masuk ke seluruh bangsa-bangsa di dunia. Dengan berbagai kemajuan tersebut, mobilitas penduduk dunia semakin meningkat, dan informasi tentang berbagai hal di dunia dengan cepat mengglobal. Perubahan tersebut membawa dampak terjadinya perubahan budaya pada penduduk dunia. Penduduk dari kelompok sosiokultural yang berbeda akan mempunyai perbedaan budaya, kepercayaan, tata nilai dan gaya hidup. Beberapa faktor tersebut secara bermakna akan mempengaruhi cara individu berespon terhadap masalah keperawatan, terhadap pemberi pelayanan keperawatan dan terhadap keperawatan itu sendiri. Perawat sebagai bagian dari tenaga kesehatan professional harus dapat mengetahui, memahami dan bertindak dengan perspektif global bagaimana merawat pasien dengan berbagai macam budaya yang berbeda dari berbagai tempat di dunia saat ini. Jika faktor tersebut

tidak dipahami dan dihargai oleh pemberi pelayanan

kesehatan, maka pelayanan keperawatan yang diberikan mungkin menjadi tidak efektif. Adanya keragaman budaya akan menjadi jelas, bahwa perbedaan budaya harus dipertimbangkan, dipahami dan dihargai dan pelayanan keperawatan yang diberikan harus sesuai dengan budaya yang dimiliki. Leininger (2002), beranggapan

bahwa

sangat

penting

memperhatikan

keragaman

budaya,

kepercayaan, nilai-nilai dan gaya hidup dalam penerapan asuhan keperawatan kepada pasien. Dalam memberikan asuhan keperawatan, perawat harus mengetahui situasi tertentu dari makna budaya dan sosial yang dimiliki pasien dan menghindari memaksakan sistem nilai yang dianut dan diyakini perawat ketika mempunyai pandangan yang berbeda dengan pasien. Asuhan keperawatan perlu disesuaikan dengan nilai-nilai, kepercayaan, cara hidup, dan budaya. Asuhan keperawatan yang komprehensif secara budaya mengacu pada tindakan dan keputusan kognitif yang diatur agar sesuai dengan gaya hidup, kepercayaan

dan nilai budaya seseorang, keluarga, kelompok, komunitas atau institusi, untuk memperoleh asuhan kesehatan yang berarti, menguntungkan dan memuaskan. Tindakan dan keputusan yang diambil terdiri dari: 1) Mempertahankan asuhan budaya atau Culture Care Preservation/ Maintenance, mengacu pada tindakan dan keputusan professional yang dapat membantu pasien

meningkatkan

dan

mempertahankan

status

kesehatannya.

Mempertahankan budaya dilakukan bila budaya pasien tidak bertentangan dengan kesehatan. 2) Akomodasi dan negosiasi asuhan budaya atau Culture Care Accomodation /Negotiation, mengacu pada tindakan dan keputusan professional yang akan membantu seseorang dengan budaya tertentu beradaptasi untuk dapat memperoleh hasil akhir kesehatan yang menguntungkan dan memuaskan 3) Restrukturisasi dan pemolaan kembali asuhan keperawatan atau Culture Care Repatterning/

Restructuring,

mengacu

pada

tindakan

dan

keputusan

professional yang dapat membantu pasien mengatur kembali, mengubah, atau memodifikasi gaya hidup mereka ke arah pola asuhan kesehatan yang baru, berbeda dan lebih menguntungkan. Selain itu kepercayaan dan nilai budaya pasien tetap dihormati dan dapat diperoleh gaya hidup yang lebih baik atau lebih sehat Asuhan keperawatan yang komprehensif secara budaya mengacu kepada integrasi kompleks sikap, pengetahuan dan ketrampilan termasuk pengkajian, pengambilan keputusan, penilaian, berpikir kritis dan evaluasi yang memungkinkan perawat memberikan asuhan dengan cara yang peka secara bu daya b.

Konsep dan prinsip dalam teori keperawatan transkultural Keperawatan transkultural adalah area keilmuan budaya pada proses belajar dan praktek keperawatan yang fokus memandang perbedaan dan kesamaan diantara budaya dengan menghargai asuhan,sehat dan sakit didasarkan pada nilai budaya manusia,keprcayaan dan tindakan ( Leininger,2002 ) Konsep dalam keperawatan transkultural 1) Budaya adalah norma atau aturan tindakan dari anggota kelompok yang di pelajari dan di bagi serta memberi petujuk dalam berfikir-bertindak dalam mengambil keputusan.

2) Nilai budaya adalah keinginan individu atau tindakan yang lebih di inginkan atau sesuatu tindakan yang di pertahankan pada suatu waktu tertentu dan melandasi tindakan dan keputusan. 3) Perbedaan budaya dalam asuhan keperawatan merupakan bentuk yang optimal mengacu pada kemungkinan variasi pendekatan keperawatan yang di butuhkan untuk memberikan asuhan budaya yang menghargai nilai individu kepercayaan dan tindakan termasuk kepekaan terhadap lingkungan dari individu yang dating dan individu yang mungkin akan kembali lagi ( Leininger,1985 )

c.

Diversity dalam masyarakat Keragaman suku, agama, budaya, bahasa di Indonesia menjadi sesuatu hal yang tidak dimiliki oleh Negara lain, karena itu keragaman ini dapat dijadikan sebagai sesuatu yang positif dalam mendukung pembangunan nasional disegala bidang. Walaupun menurut beberapa ahli bahwa keragaman itu dapat memberikan pengaruh positif, namun ada juga yang melihat bawha keragaman tersebut ada pengaruh negative. 1) Pengaruh positif

BIDANG POLITIK Dapat menimbulkan integrasi nasional yang berdirikan Bhineka Tunggal Ika BIDANG EKONOMI Dapat menjadi asset nasional yang mendatangkan devisa Negara yang besar dan sekaligus dapat meningkatkan kesejateraan rakyat BIDANG SOSIAL Dapat menjadi sarana untuk memajukan pergaulan antar kelompok sosialis dan suku bangsa melalui pertukaran pelajar BIDANG PARIWISATA Menimbulkan daya tarik bagi wisatawan mancanegara BIDANG BUDAYA Dapat memperkaya khasanah kebudayaan bangsa BIDANG INOVASI Dapat menjadi sumber motivasi dan inspirasi bagi masing-masing daerah atau suku bangsa untuk lebih memajukan daerahnya. 2) Pengaruh Negatif a) Konflik Bersifat Ideologis, tipe konflik social yang berlatar belakang pembagian system nilai yang dianut dan dijadikan ideology dari berbagai kesatuan social. b) Konflik Bersifat Politis, tipe konflik social yang berlatar belakang pembagian status kekuasan dan sumber-sumber ekonomi yang terbatas adanya dalam masyarakat.

Menurut Koentjaraningrat, di dunia hanya 12 negara yang memiliki etnis homogeny( moro etnis), yakni: Austria, Eslandia, Norwegia, Belanda, Maroko, Swaziland, Portugal, Jerman, Denmark, Botswana, Somalia, Jepang,  Berdasarkan Negara multi etnik lebih cenderung mengalami konflik yang tidak ada habisnya, seperti India, bekas Yugoslavia, bekas Belgia, Nigeria, Malaysia, dan lain-lain.  Indonesia sebagai Negara majemuk tidak lepas dari konflik yang cenderung berhubungan dengan Suku, Agama, Ras, Adat Istiadat. Seperti: (a) Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) Madiun 1948 dan Gerakan 30 September/ Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) 1965. (b) Pemberontakan Darul Islam Indonesia (DII)/ TII di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Aceh, dan Kalimantan Selatan. (c) Pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM). (d) Konflik Sambas, konflik Sampit (Suku Dayak melawan transmigran Suku Madura di Kalimantan), Konflik Ambon (Konflik agama), Konflik Kupang, Konflik Poso, dan lain-lain. d. Alternatif pemecahan masalah yang Timbul dalam Masyarakat Multikultural 1) Integrasi Sosial dalam Masyarakat Multikultural a) Pengertian Intergrasi Sosial, menurut Abdul Syabu, integrasi social adalah menghubungkan individu dengan individu yang lainnya sehingga terbentuk menjadi masyarakat; Menurut Festiger, integrasi social terjadi apabila keseluruhan anggota dalam suatu kelompok berkemauan untuk tetap dalam kelompoknya, seolah-olah satu sama lain saling terkait; Menurut Soerjono Soekanto, integrasi (penggabungan) adalah pengendalian terhadap konflik dan penyimpangan dalam suatu system social, membuat suatu keseluruhan dari unsure-unsur tertentu. b) Teori integritas Sosial, Teori Konflik (Menurut Karl Mark) yakni setiap masyarakat selalu berada dalam ketegangan dan konflik, oleh karena itu agar terjadi integrasi maka perlu dilakukan tekanan oleh pihak satu kepada pihak yang lainnya; Teori Fungsional (Menurut Kingley Davis dan Wilbert More) yakni setiap masyarakat selalu stabil dan relative terintegrasi oleh karena itu agar tetap terintegrasi maka diperlukan adanya consensus antar anggota-anggotanya. c) Tipe dan bentuk Integrasi Sosial, 1) Integrasi Fungsional: proses penyesuaian antara anggota-anggota dalam suatu kelompok atau antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain dalam suatu masyarakat atas dasar fungsi aktivitas individu atau kelompok yang saling melengkapi satu sama lain.2) Integrasi Normatif: proses penyesuaian antara anggotaanggota dalam satu kelompok atau antara kelompok yang satu dengan yang lain dalam suatu masyarakat atas dasar norma-norma tertentu.  Bentuk Integrasi dalam Kehidupan Masyarakat Multikultural a) I ntegrasi internal, eksternal, vertikal, dan horizontal

Menurut Soerjono Soekanto menyebutkan: (1) Integrasi Internal, yakni proses integrasi dengan cara menyatukan anggota-anggota dalam satu kelompok. (2) Integrasi Eksternal, yaitu proses integrasi dengan cara menyatukan berbagai macam kelompok ke dalan suatu kelompok yang lebih besar atau suatu masyarakat. Misalnya: Organisasi kecil ke organisasi Besar. (3) Integrasi Vertikal, yaitu proses integrasi dengan cara melakukan pengendalian tunggal terhadap beraneka ragam individu atau kelompok-kelompok yang memiliki perbedaan-perbedaan. (4) Integrasi Horizontal, yaitu proses integrasi dengan cara melakukan pengendalian tunggal terhadap beraneka ragam individu atau kelompok yang memiliki persamaan- persamaan. Misalnya: Kelompok pelajar dan kelompok seni. e. Integrasi instrumental dan ideologis 1) Integrasi Instrumental, yaitu integrasi yang tampak secara visual (tampak) dari adanya ikatan-ikatan social di antaranya individu-individu di dalam masyarakat. Integrasi instrumental memiliki ciri- cirri sebagai berikut: a) adanya norma atau kepentingan tertentu sebagai pengikat. b) adanya keseragaman aktifitas keseharian. c) adanya keseragaman pakaian d) adanya tujuan tertentu yang disesuaikan dengan kepentingan kelompok 2) Integrasi Ideologis, yaitu integrasi yang terbentuk karena adanya ikatan spiritual (Odeologis) yang kuat dan mendasar melalui proses alamiah tanpa adanya suatu ikatan tertentu. Memiliki cirri-ciri: a) adanya persamaan nilai-nilai yang mendasar yang terbentuk atas kehendak sendiri. b) adanya persamaan persepsi c) adanya persamaan orientasi kerja diantara anggota-anggotanya d) adanya tujuan yang sama f. Integrasi aspek fisik, psikis, hubungan social dan proses 1) Aspek Fisik, dilihat dari aspek fisik atau wadahnya, integrasi social bisa berbentuk organisasi atau paguyuban. 2) Aspek Psikis, ditandai dengan adanya kesadaran diri dari setiap orang yang menyatukan diri dalam suatu wadah tertentu sehingga mereka menjadi bagian yang utuh, merasa memiliki, dan mempunyai tanggung jawab dalam kehidupan bersama. 3) Aspek Hubungan Sosial, integrasi social bukan hanya ditandai dari intensitas (khusus) dalam berkomunikasi tetapi intensitas dalam bekerja sama dan bergotong royong untuk memecahkan masalah-masalah guna memenuhi kebutuhan bersama. 4) Aspek Proses, integrasi social tidak dapat terjadi seketika tetapi melalui proses panjang dan rumut karean membutuhkan waktu dan prosedur tertentu. g. Tahapan-tahapan Integrasi Sosial 1) Tahap Akomodasi, yakni cara penyesuaian untuk mengatasi konflik. Tujuan akomodasi yakni a) Mengurangi pertentangan yang terjadi antar individu atau kelompok. b) Mencegah meledaknya suatu pertentangan untuk sementara waktu, misalnya: penundaan kenaikan Bahan Bakar Minyak.

c) Mencari kemungkinan kerjasama antar individu atau kelompok yang bertikai d) Mengusahakan peleburan antara kelompok yang terpisah 2) Tahap Kerjasama, yakni usaha dari dua orang atau lebih atau kelompok dengan kelompok lainnya dalam rangka untuk mencapai tujuan bersama. Kerjasama disebabkan oleh: a) Adanya kepentingan minat dan perhatian sama b) Adanya kewajiban situasional (mempunyai hak dan kewajiban yang sama di antara anggota) c) Adanya motif-motif untuk menolong orang lain. d) Keinginan untuk mencapai nilai atau hasil yang lebih besar e) Adanya musuh bersama. 3) Dilihat dari Sifatnya, kerjasama dibedakan menjadi: a) Kerjasama primer, yakni kerjasama pokok, misalnya: koperasi, untuk mensejahterakan anggotanya. b) Kerjasama sekunder, yakni kerjasama luar pokok, misalnya: koperasi, untuk kepentingan keuntungan. 4) Dilihat Jenisnya, kerjasama dibedakan menjadi: a) Kerukunan b) Tawar menawar (Bargaining), yakni saling memberikan usul terhadap organisasi tersebut. c) Kooptasi (Cooptation), yakni kerjasama dalam bentuk mau menerima pendapat dan ide orang atau kelompok lain. d) Koalisi (Coalition), yakni kerjasama e) Patungan (joint venture), yakni cenderung ke modal. g. Faktor yang Mempengaruhi integrasi antar Kelompok Sosial 1). Homogenitas kelompok, yakni semakin kecil tingkat kemajemukan masyarakat akan semakin mudah tercapainya integrasi 2) Besar kecilnya kelompok, yakni semakin kecil suatu kelompok akan semakin mudah untuk mencapai integrasi. 3) Perpindahan fisik, baik yang datang maupun yang keluar dari suatu kelompok akan mempengaruhi terjadinya integrasi. 4) Efektivitas dan efisiensi komunikasi, adanya komunikasi yang efektif dan efisien dalam masyarakat akan memudahkan terjadinya integrasi. h. Faktor Pendorong Integrasi antar Kelompok Sosial 1) Faktor internal, yakni factor pendorong yang berasal dalam kelompok. Faktornya: a) Kesadaran diri sebagai makhluk social yaitu makhluk yang selalu hidup bersama b) Tuntutan kebutuhan yang semakin meningkat c) Jiwa dan semangat gotong royong 2) Faktor Eksternal, yakni factor pendorong yang berasal dari luar kelompok. Faktornya: a) Tuntutan perkembangan jaman b) Persamaan kebudayaan c) Terbukanya kesempatan

d) Persamaan visi, misi, dan tujuan e) Sikap menghargai atau toleransi terhadap kelompok lain f) Adanya consensus nilai-nilai antar kelompok social g) Adanya tantangan dari luar i. Faktor Pendukung Integrasi antar Kelompok Sosial, untuk bangsa Indonesia factor pendukungnya yakni: 1) Penggunaan Bahasa Indonesia 2) Semangat persatuan dan kesatuan 3) Ideologi Pancasila 4) Jiwa dan semangat gotong royong, toleransi beragama, solidaritas 5) Senasib akibat penjajahan j. Keberhasilan Integrasi antar Kelompok Sosial 1) Setiap anggota masyarakt dapat memenuhi kebutuhan pokoknya 2) Telah dicapai consensus (perjanjian) bersama mengenai nilai norma dasar 3) Nilai atau norma tersebut telah hidup dan berkembang dalam waktu yang lama dan konsisten 4) Nilai atau norma tersebut diamalkan dan dijadikan pedoman 5) Individu atau kelompok saling menyesuaikan diri satu sama lain. 6) Selalu menempatkan persatuan dan kesatuan serta keselamatan kelompok di atas kepentingan pribadi. k. Berbagai Alternatif Pemecahan Masalah dalam Masyarakat Multikultural 1). Pendapat Myron Weiner, yakni: a) Integrasi Bangsa 1) Pengembangan potensi nasional melalui penghapus sifat-sifat cultural utama dari suku-suku bangsa yang berbeda menjadi semacam penciptaan kebudayaan nasional; biasanya kebudayaan dari kelompok budaya yang dominan melalui proses asimilasi. 2) Pengembangan potensi local melalui penciptaan kesetiaan nasional tanpa menghapus kebudayaan-kebudayaan kecil (suku bangsa), yaitu disebut “Kebijakan Bhineka Tunggal Ika”, yang secara politis ditandai dengan penjumlahan etnis. Dalam prakteknya kedua strategi jarang dilakukan namun lebih cenderung mencampurkan beberapa unsure dari kedua strategi. b) Integrasi Wilayah, lebih dahulu dilaksanakan adalah pembangunan Negara (state building) dan baru kemudian melaksanakan pembangunan bangsa (nation building), yakni: 1) Pemerintah pusat mampu melaksanan control terhadap penguasa daerah yang lebih rendah. 2) Penciptaan Undang-undang yang seragam 3) Pengembangan transportasi dan komunikasi c) Integrasi Nilai, berarti harus ada pengakuan akan adanya prosedur yang dapat diterima oleh semua pihak guna memecahkan konflik yang ada. Dua strategi tersebut antara lain: 1) Strategi yang menekankan pentingnya consensus (perjanjian) dan memusatkan perhatian pada usaha pencitpaan keseragaman semaksimal mungkin

2) Strategi yang menekankan interaksi antara kepentingan kelompok dengan kepentingan pribadi. d) Integrasi Elite- Massa (Elite= pemerintah; Massa= yang diperintah) Demokrasi tidak ada permusyawarahan rakyat yang besar dan kuat sehingga kekuasaan tidak dibutuhkan lagi. Daam Negara totaliter tidak ada pemerintah yang kkuat dan kompak. Sehingga pemerintah harus “consent” terhadap wewenang yang diberikan rakyat melalui DPR/ MPR, sedangkan rakyat harus berpatisipasi aktif. 2. Pendapat Spethen Moris, masyarakat multicultural harus dilakukan melalui integrasi kegiatan ekonomi. 3. Pendapat Syamour Martin Lipset dan Lewis Coser, integrasi masyarakat multicultural biasanya terjadi melalui proses penyilangan keanggotaan warga masyarakat dalam berbagai kelompok yang berbeda-beda. 4. Pendapat Niniek Sri Wahyuning dan Yusniati Pontensi local yang perlu dikembangkan, antara lain: a) Melestarikan nilai budaya gotong royong dan sifatnya kekeluargaan b) Mengembangkan nilai budaya musyawarah c) Memupuk sikap toleransi dan tenggang rasa Potensi nasional yang perlu dikembangkan, antara lain: a) Memberi kesadaran akan adanya unsure kesamaan kebudayaan b) Perlunya penghayatan dan pengalaman Pancasila c) Membina persatuan dan kesatuan bangsa d) Memupuk perasaan senasib dan sepenanggungan e) Konsisten terhadap consensus (perjanjian) yang telah ditetapkan l. Pengembangan Sikap Kritis, Sikap Toleransi, dan Empati Sosial dalam Kehidupan Masyarakat Multikultural 1. Sikap Kritis, yakni perbuatan yang didasarkan pada pendirian (pendapat atau keyakinan). Bersifat selalu berusaha menemukan kesalahan atau kekeliruan atau tajam dalam penganalisaan. 2. Sikap Toleransi, yakni sikap menghargai pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan orang lain yang berbeda dengan diri sendiri. 3. Sikap Empati, yakni keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasikan dirinya dengan pihak lain atau kelompok lain. 3. Daftar Pustaka Nova Maulana, (2014), Buku Ajar Sosiologi dan Antropologi Kesehatan, Cetakan Pertama, Nuha Medika, Yogyakarta Arum Pratiwi, (2011), Buku Ajar Keperawatan Transkultural, Cetakan Pertama, Penerbit Gosyen Pulishing, Yogyakarta Wahyu Ratna, (2010),”Sosiologi dan Antropologi Kesehatan dalam Perspektif Ilmu Keperawatan”, Edisi I, Pustaka Rihama, Yogyakarta. Sudiharto,(2007) “Asuhan Keperawatan Keluarga dengan Pendekatan Transkultural”, Edisi I, EGC, Jakarta Foster/Anderson. 1986. Antropologi Kesehatan, Jakarta, Grafiti. Sarwono, S. 1993. Sosiologi Kesehatan, Beberapa Konsep Beserta Apli kasinya, Yogyakarta, Gadjah Mada Press.

Leininger. M & McFarland. M.R, (2002), Transcultural Nursing : Concepts,Theories, Research and Practice, 3rd Ed, USA, Mc-Graw Hill Companies Momon Sudarma, (2009), Sosiologi untuk Kesehatan, Jakarta, Penerbit Salemba Medika 4. Latihan/Tugas a. Setiap mahasiswa membuat rangkuman materi globalisasi dan perspektif transkultural b. Setiap kelompok mencari, menggali dan mendiskusikan materi globalisasi dan perspektif transkultural

C. Penutup 1. Evaluasi danKunci Jawaban a. Jelaskan globalisasi dan perspektif transkultural b. Jelaskan diversity dalam masyarakat c. Jelaskan pengaruh-pengaruh diversity dalam masyarakat d. Jelaskan alternatif pemecahan masalah yang Timbul dalam Masyarakat Multikultural e. Jelaskan Pengembangan Sikap Kritis, Sikap Toleransi, dan Empati Sosial dalam Kehidupan Masyarakat Multikultural 2. Lembar Kejra Mahasiswa . Mata Kuliah Semester : ....................... Minggu ke : ......................

...................... SKS : ................ Tugas ke : ..................

1. Tujuan Tugas : 2. Uraian Tugas : a. Obyek garapan : .................... b. Yang harus dikerjakandan batasan-batasan : ................... c. Metode/cara pengerjaan, acuan yang digunakan : ........ d. Deskripsiluaran tugas yang digunakan : ................ 3. Kriteria penilaian : a. .................................. .........................% b. .................................... ..........................% c. ................................. .........................%

PEMBELAJARAN 11-12 Teori Culture Care Leininger A. PENDAHULUAN 1. Deskripsi/Uraian Materi Mata Kuliah ini menguraikan tentang sejarah teori cultura care Leininger, pengertian, asumsi dasar, konsep teori dan paradigma keperawatan. 2. Kompetensi Dasar a. Mampu menjelaskan pengertian culture care b. Mampu menjelaskan asumsi dasar c. Mampu menjelaskan konsep teori culture care d. Mampu menjelaskan paradigma keperawatan B. Penyajian 1. Uraian Materi a. Sejarah teori ‘cultur care’ Dr. Madeline Leininger, seorang perawat yang ahli antropologi, mempunyai andil besar dalam meningkatkan riset dalam perawatan trans-kultural dan dalam merangsang program-program studi yang erat kaitannya. Ia adalah pelopor keperawatan transkultural dan seorang pemimpin dalam mengembangkan keperawatan transkultural serta teori asuhan keperawatan yang berfokus pada manusia. Leininger juga adalah seorang perawat professional pertama yang meraih pendidikan doctor dalam ilmu antropologi social dan budaya. Madeline Leininger lahir di Sutton, Nebraska, dan memulai karir keperawatannya setelah tamat dari program diploma di “St. Anthony’s School of Nursing” di Denver. Pada tahun 1950 ia meraih gelar sarjana dalam ilmu biologi dari “Benedictine College, Atchison Kansas” dengan peminatan pada studi filosofi dan humanistik. Setelah menyelesaikan pendidikan tersebut ia bekerja sebagai instruktur, staf perawatan dan kepela perawatan pada unit medikal bedah sererta membuka sebuah unit perawatan psikiatri yang baru dimana ia menjadi seorang direktur pelayanan keperawatan pada St. Joseph’s Hospital di Omaha. Selama waktu ini ia melanjutkan pendidikan keperawatannya di ”Creigthton University ” di Omaha. Tahun 1954 Leininger meraih gelar M.S.N. dalam keperawatan

psikiatrik dari ” Chatolic University of America” di Washington, D. C. Ia kemudian bekerja pada ”College of Health” di Univercity of Cincinnati, dimana ia menjadi lulusan pertama (M. S. N ) pada program spesialis keperawatan psikiatrik anak . Ia juga memimpin suatu program pendidikan keperawatan psikiatri di universitas tersebut dan juga sebagai pimpinan dalam pusat terapi perawatan psikiatri di rumah sakit milik universitas tersebut. Leininger bersama C. Hofling pada tahun 1960 menulis sebuah buku yang diberi judul ” Basic Psiciatric Nursing Consept” yang dipublikasikan ke dalam sebelas bahasa dan digunakan secara luas di seluruh dunia. Selama bekerja pada unit perawatan anak di Cincinnati, Leininger menemukan bahwa banyak staff yang kurang memahami mengenai faktor-faktor budaya yang mempengaruhi perilaku anak-anak. Dimana diantara anak-anak ini memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda. Ia mengobservasi perbedaan- perbedaan yang terdapat dalam asuhan dan penanganan psikiatri pada anak-anak tersebut. Terapi psikoanalisa dan terapi strategi lainnya sepertinya tidak menyentuh anak-anak yang memiliki perbedaan latar belakang budaya dan kebutuhan. Leininger melihat bahwa para perawat lain juga tidak menampilkan suatu asuhan yang benar-benar adequat dalam menolong anak tersebut, dan ia dihadapkan pada berbagai pertanyaan mengenai perbedaan budaya diantara anak-anak tersebut dan hasil terapi yang didapatkan. Ia juga menemukan hanya sedikit staff yang memiliki perhatian dan pengetahuan mengenai faktor-faktor budaya dalam mendiagnosa dan manangani klien. Suatu ketika, Prof. Margaret Mead berkunjung pada departemen psikiatri University of Cincinnati dan Leiniger berdiskusi dengan Mead mengenai adanya kemungkinan hubungan antara keperawatan dan antropologi. Meskipun ia tidak mendapatkan bantuan langsung, dorongan, solusi dari Mead , Leininger memutuskan untuk melanjutkan studinya ke program doktor (Ph.D) yang berfokus pada kebudayaan, sosial, dan antropologi psikologi pada Universitas Washington. Sebagai seorang mahasiswa program doktor, Leininger mempelajari berbagai macam kebudayaan dan menemukan bahwa pelajaran antroplogi itu sangat menarik dan merupakan area yang perlu diminati oleh seluruh perawat. Kemudia ia menfokuskan diri pada masyarakat Gadsup di Eastern Highland of New Guinea, dimana ia tinggal bersama masyarakat tersebut selama hampir dua tahun. Dia dapat mengobservasi bukan hanya gambaran unik dari kebudayaan melainkan perbedaan antara kebudayaan masyarakat barat dan non barat terkait dengan praktek dan asuhan keperawatan untuk mempertahankan kesehatan. Dari studinya yang dalam dan pengalaman pertama dengan masyarakat Gadsup,ia terus mengembangkan teori perawatan kulturalnya dan metode ethno nursing. Teori dan penelitiannya telah membantu mahasiswa keperawatan untuk memahami perbedaan budaya dalam perawatan, manusia, kesehatan dan penyakit. Dia telah menjadi pemimpin utama perawat yang mendorong banyak mahasiswa dan fakultas untuk melanjutkan studi dalam bidang anthropologi dan menghubungkan pengetahuan ini kedalam praktik dan pendidikan keperawatan transkultural. Antusiasme dan perhatiannya yang mendalam terhadap pengembangan bidang perawatan transkultural dengan fokus perawatan pada manusia telah menyokong dirinya selama 4 dekade. Tahun 1950-an sampai 1960-an, Leininger mengidentifikasi beberapa area umum dari pengetahuan dan penelitian antara perawatan dan anthropologi: formulasi

konsep keperawatan transkultural, praktek dan prinsip teori. Bukunya yang berjudul Nursing and anthropology : Two Words to Blend ; yang merupakan buku pertama dalam keperawatan transkultural, menjadi dasar untuk pengembangan bidang keperawatan transkultural, dan kebudayaan yang mendasari perawatan kesehatan. Buku yang berikutnya, ”Transcultural Nursing : Concepts, theories, research, and practise (1978 )” , mengidentifikasi konsep mayor, ide-ide teoritis, praktek dalam keperawatan transkultural, bukti ini merupakan publikasi definitif pertama dalam praktek perawatan treanskultural. Dalam tulisannya, dia menunjukkan bahwa perawatan treanskultural dan anthropologi bersifat saling melengkapi satu sama lain, menkipun berbeda. Teori dan kerangka konsepnya mengenai Cultural care diversity and universalitydijelaskan dalam buku ini. Sebagai perawat profesional pertama yang melanjutkan pendidikan ke jenjang doktor dalam bidang antropologi dan untuk memprakarsai beberapa program pendidikan magister dan doktor, Leininger memiliki banyak bidang keahlian dan perhatian. Ia telah memepelajari 14 kebudayaan mayor secara lebih mendalam dan telah memiliki pengalaman dengan berbagai kebudayaan. Disamping perawatan transkultural dengan asuhan keperawatan sebagai fokus utama , bidang lain yang menjadi perhatiannya adalah administrasi dan pendidikan komparatif, teori-teori keperawatan, politik, dilema etik keperawatan dan perawatan kesehatan, metoda riset kualitatif, masa depan keperawatan dan keperawatan kesehatan, serta kepemimpinan keperawatan. Theory of Culture Care saat ini digunakan secara luas dan tumbuh secara relevan serta penting untuk memperoleh data kebudayaan yang mendasar dari kebudayaan yang berbeda. b. Pengertian “Transcultural Nursing adalah suatu area/wilayah keilmuwan budaya pada proses belajar dan praktek keperawatan yang fokus memandang perbedaan dan kesamaan diantara budaya dengan menghargai asuhan, sehat dan sakit didasarkan pada nilai budaya manusia, kepercayaan dan tindakan, dan ilmu ini digunakan untuk memberikan asuhan keperawatan khususnya budaya atau keutuhan budayakepada manusia” (Leininger, 2002). c. Asumsi dasar Asumsi mendasar dari teori adalah perilaku Caring. Caring adalah esensi dari keperawatan, membedakan, mendominasi serta mempersatukan tindakankeperawatan. Tindakan Caring dikatakan sebagai tindakan yang dilakukan dalam memberikan dukungan kepada individu secara utuh. Perilaku Caring semestinya diberikan kepada manusia sejak lahir, dalam perkembangan dan pertumbuhan, masa pertahanan sampai dikala manusia itu meninggal. Human caring secara umum dikatakan sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan dukungan dan bimbingan pada manusia yang utuh. Human caring merupakan fenomena yang universal dimana ekspresi, struktur dan polanya bervariasi diantara kultur satu tempat dengan tempat lainnya. d. Konsep dan definisi dalam teori leininger Budaya (Kultur) adalah norma atau aturan tindakan dari anggota kelompok yang dipelajari, dan dibagi serta memberi petunjuk dalam berfikir, bertindak dan mengambil keputusan.

Nilai budaya adalah keinginan individu atau tindakan yang lebih diinginkan atau sesuatu tindakan yang dipertahankan pada suatu waktu tertentu dan melandasi tindakan dan keputusan. Cultur care diversity (Perbedaan budaya dalam asuhan keperawatan)merupakan bentuk yang optimal dari pemberian asuhan keperawatan, mengacu pada kemungkinan variasi pendekatan keperawatan yang dibutuhkan untuk memberikan asuhan budaya yang menghargai nilai budaya individu, kepercayaan dan tindakan termasuk kepekaan terhadap lingkungan dari individu yang datang dan individu yang mungkin kembali lagi (Leininger, 1985). Cultural care universality (Kesatuan perawatan kultural) mengacu kepada suatu pengertian umum yang memiliki kesamaan ataupun pemahaman yang paling dominan, pola-pola, nilai-nilai, gaya hidup atau simbol-simbol yang dimanifestasikan diantara banyak kebudayaan serta mereflesikan pemberian bantuan, dukungan, fasilitas atau memperoleh suatu cara yang memungkinkan untuk menolong orang lain (Terminlogy universality) tidak digunakan pada suatu cara yang absolut atau suatu temuan statistik yang signifikan. Etnosentris adalah persepsi yang dimiliki oleh individu yang menganggap bahwa budayanya adalah yang terbaik diantara budaya-budaya yang dimiliki oleh orang lain. Etnis berkaitan dengan manusia dari ras tertentu atau kelompok budaya yang digolongkan menurut ciri-ciri dan kebiasaan yang lazim. Ras adalah perbedaan macam-macam manusia didasarkan pada mendiskreditkan asal muasal manusia. Etnografi adalah ilmu yang mempelajari budaya. Pendekatan metodologi pada penelitian etnografi memungkinkan perawat untuk mengembangkan kesadaran yang tinggi pada perbedaan budaya setiap individu, menjelaskan dasar observasi untuk mempelajari lingkungan dan orang-orang, dan saling memberikan timbal balik diantara keduanya. Care adalah fenomena yang berhubungan dengan bimbingan, bantuan, dukungan perilaku pada individu, keluarga, kelompok dengan adanya kejadian untuk memenuhi kebutuhan baik aktual maupun potensial untuk meningkatkan kondisi dan kualitas kehidupan manusia. Caring adalah tindakan langsung yang diarahkan untuk membimbing, mendukung dan mengarahkan individu, keluarga atau kelompok pada keadaan yang nyata atau antisipasi kebutuhan untuk meningkatkan kondisi kehidupan manusia. Cultural Care berkenaan dengan kemampuan kognitif untuk mengetahui nilai, kepercayaan dan pola ekspresi yang digunakan untuk mebimbing, mendukung atau memberi kesempatan individu, keluarga atau kelompok untuk mempertahankan kesehatan, sehat, berkembang dan bertahan hidup, hidup dalam keterbatasan dan mencapai kematian dengan damai. Culturtal imposition berkenaan dengan kecenderungan tenaga kesehatan untuk memaksakan kepercayaan, praktik dan nilai diatas budaya orang lain karena percaya bahwa ide yang dimiliki oleh perawat lebih tinggi daripada kelompok lain. e. Paradigma keperawatan transkultural Leininger (1985) mengartikan paradigma keperawatan transcultural sebagai cara pandang, keyakinan, nilai-nilai, konsep-konsep dalam terlaksananya asuhan keperawatan yang sesuai dengan latar belakang budaya terhadap empat konsep

sentral keperawatan yaitu : manusia, sehat, lingkungan dan keperawatan (Andrewand Boyle, 1995). 1) Manusia Manusia adalah individu, keluarga atau kelompok yang memiliki nilai-nilai dan norma-norma yang diyakini dan berguna untuk menetapkan pilihan dan melakukan pilihan. Menurut Leininger (1984) manusia memiliki kecenderungan untuk mempertahankan budayanya pada setiap saat dimanapun dia berada (Geiger and Davidhizar, 1995).

2) Sehat Kesehatan adalah keseluruhan aktifitas yang dimiliki klien dalam mengisi kehidupannya, terletak pada rentang sehat sakit. Kesehatan merupakan suatu keyakinan, nilai, pola kegiatan dalam konteks budaya yang digunakan untuk menjaga dan memelihara keadaan seimbang/sehat yang dapat diobservasi dalam aktivitas sehari-hari. Klien dan perawat mempunyai tujuan yang sama yaitu ingin mempertahankan keadaan sehat dalam rentang sehat-sakit yang adaptif (Andrew and Boyle, 1995). 3) Lingkungan Lingkungan didefinisikan sebagai keseluruhan fenomena yang mempengaruhi perkembangan, kepercayaan dan perilaku klien. Lingkungan dipandang sebagai suatu totalitas kehidupan dimana klien dengan budayanya saling berinteraksi. Terdapat tiga bentuk lingkungan yaitu : fisik, sosial dan simbolik. Lingkungan fisik adalah lingkungan alam atau diciptakan oleh manusia seperti daerah katulistiwa, pegunungan, pemukiman padat dan iklim seperti rumah di daerah Eskimo yang hampir tertutup rapat karena tidak pernah ada matahari sepanjang tahun. Lingkungan sosial adalah keseluruhan struktur sosial yang berhubungan dengan sosialisasi individu, keluarga atau kelompok ke dalam masyarakat yang lebih luas. Di dalam lingkungan sosial individu harus mengikuti struktur dan aturan-aturan yang berlaku di lingkungan tersebut. Lingkungan simbolik adalah keseluruhan bentuk dan simbol yang menyebabkan individu atau kelompok merasa bersatu seperti musik, seni, riwayat hidup, bahasa dan atribut yang digunakan. 4) Keperawatan Asuhan keperawatan adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan pada praktik keperawatan yang diberikan kepada klien sesuai dengan latar belakang budayanya. Asuhan keperawatan ditujukan memandirikan individu sesuai dengan budaya klien. Strategi yang digunakan dalam asuhan keperawatan adalah perlindungan/mempertahankan budaya, mengakomodasi/negoasiasi budaya dan mengubah/mengganti budaya klien (Leininger, 1991). a) Cara I : Mempertahankan budaya Mempertahankan budaya dilakukan bila budaya pasien tidak bertentangan dengan kesehatan. Perencanaan dan implementasi keperawatan diberikan sesuai dengan nilai-nilai yang relevan yang telah dimiliki klien sehingga klien dapat meningkatkan atau mempertahankan status kesehatannya, misalnya budaya berolahraga setiap pagi. b) Cara II : Negosiasi budaya

Intervensi dan implementasi keperawatan pada tahap ini dilakukan untuk membantu klien beradaptasi terhadap budaya tertentu yang lebih menguntungkan kesehatan. Perawat membantu klien agar dapat memilih dan menentukan budaya lain yang lebih mendukung peningkatan kesehatan, misalnya klien sedang hamil mempunyai pantang makan yang berbau amis, maka ikan dapat diganti dengan sumber protein hewani lain. c) Cara III : Restrukturisasi budaya Restrukturisasi budaya klien dilakukan bila budaya yang dimiliki merugikan status kesehatan. Perawat berupaya merestrukturisasi gaya hidup klien yang biasanya merokok menjadi tidak merokok. Pola rencana hidup yang dipilih biasanya yang lebih menguntungkan dan sesuai dengan keyakinan yang dianut. 3. Daftar Pustaka Nova Maulana, (2014), Buku Ajar Sosiologi dan Antropologi Kesehatan, Cetakan Pertama, Nuha Medika, Yogyakarta Arum Pratiwi, (2011), Buku Ajar Keperawatan Transkultural, Cetakan Pertama, Penerbit Gosyen Pulishing, Yogyakarta Wahyu Ratna, (2010),”Sosiologi dan Antropologi Kesehatan dalam Perspektif Ilmu Keperawatan”, Edisi I, Pustaka Rihama, Yogyakarta. Sudiharto,(2007) “Asuhan Keperawatan Keluarga dengan Pendekatan Transkultural”, Edisi I, EGC, Jakarta Foster/Anderson. 1986. Antropologi Kesehatan, Jakarta, Grafiti. Sarwono, S. 1993. Sosiologi Kesehatan, Beberapa Konsep Beserta Apli kasinya, Yogyakarta, Gadjah Mada Press. Leininger. M & McFarland. M.R, (2002), Transcultural Nursing : Concepts,Theories, Research and Practice, 3rd Ed, USA, Mc-Graw Hill Companies Momon Sudarma, (2009), Sosiologi untuk Kesehatan, Jakarta, Penerbit Salemba Medika 4. Latihan/Tugas a. Setiap mahasiswa membuat rangkuman materi culture care Leininger b. Setiap kelompok mencari, menggali dan mendiskusikan culture care Leininger C. Penutup 1. Evaluasi danKunci Jawaban a. Jelaskan sejarah culture care Leininger b. Jelaskan pengertian culture care c. Jelaskan asumsi dasar teori culture care 2. Lembar Kejra Mahasiswa . Mata Kuliah Semester : ....................... Minggu ke : ......................

...................... SKS : ................ Tugas ke : ..................

1. Tujuan Tugas : 2. Uraian Tugas : a. Obyek garapan : .................... b. Yang harus dikerjakandan batasan-batasan : ...................

c. Metode/cara pengerjaan, acuan yang digunakan : ........ d. Deskripsiluaran tugas yang digunakan : ................ 3. Kriteria penilaian : a. .................................. .........................% b. .................................... ..........................% c. ................................. .........................%

PEMBELAJARAN 13 Pengkajian Budaya A. PENDAHULUAN 1. Deskripsi/Uraian Materi Mata Kuliah ini menguraikan tentang pengkajian keperawatan kepada pasien berbasis budaya dengan menggunakan model matahari terbit, kelebihan dan kelemahan teori model matahari terbit/Leininger theory Sun Rise Model 2. Kompetensi Dasar a. Mampu menjelaskan pengertian pengkajian budaya b. Mampu menjelaskan tujuh komponen pengkajian menurut model matahari terbit c. Mampu menjelaskan kelebihan dan kelemahan konsep model matahari terbit B. Penyajian 1. Uraian Materi Pengkajian Budaya Model konseptual yang dikembangkan oleh Leininger dalam menjelaskan asuhan keperawatan dalam konteks budaya digambarkan dalam bentuk matahari terbit (sunrise model) seperti yang terlihat pada gambar 1. Geisser (1991) menyatakan bahwa proses keperawatan ini digunakan oleh perawat sebagai landasan berfikir dan memberikan solusi terhadap masalah klien (Andrew and Boyle, 1995). Pengelolaan asuhan keperawatan dilaksanakan dari mulai tahap pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.

Madeleine M. Leininger Culture Care Diversity and Universality Leininger’s Sunrise Model

a) The Sunrise Model ( Model matahari terbit) Sunrise Model dari teori Leininger dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Matahari terbit sebagai lambang/ symbol perawatan. Suatu kekuatan untuk memulai pada puncak dari model ini dengan pandangan dunia dan keistimewaan struktur sosial untuk mempertimbangkan arah yang membuka pikiran yang mana ini dapat mempengaruhi kesehatan dan perawatan atau menjadi dasar untuk menyelidiki berfokus pada keperawatan profesional dan sistem perawatan kesehatan secara umum. Anak panah berarti mempengaruhi tetapi tidak menjadi penyebab atau garis hubungan. Garis putus-putus pada model ini mengindikasikan sistem terbuka. Model ini menggambarkan bahwa tubuh manusia tidak terpisahkan/ tidak dapat dipisahkan dari budaya mereka. Suatu hal yang perlu diketahui bahwa masalah dan intervensi keperawatan tidak tampak pada teori dan model ini. Tujuan yang hendak dikemukakan oleh Leininger adalah agar seluruh terminologi tersebut dapat diasosiasikan oleh perawatan profesional lainya. Intervensi keperawatan ini dipilih tanpa menilai cara hidup klien atau nilai-nilai yang akan dipersepsikan sebagai suatu gangguan, demikian juga masalah keperawatan tidak selalu sesuai dengan apa yang menjadi pandangan klien. Model ini merupakan suatu alat yang produktif untuk memberikan panduan dalam pengkajian dan perawatan yang sejalan dengan kebudayan serta penelitian ilmiah.

b) Proses Keperawatan 1) Pengkajian Pengkajian adalah proses mengumpulkan data untuk mengidentifikasi masalah kesehatan klien sesuai dengan latar belakang budaya klien (Giger and Davidhizar, 1995). Pengkajian dirancang berdasarkan 7 komponen yang ada pada "Sunrise Model" yaitu : a) Faktor teknologi (tecnological factors) Teknologi kesehatan memungkinkan individu untuk memilih atau mendapat penawaran menyelesaikan masalah dalam pelayanan kesehatan. Perawat perlu mengkaji : persepsi sehat sakit, kebiasaan berobat atau mengatasi masalah kesehatan, alasan mencari bantuan kesehatan, alasan klien memilih pengobatan alternatif dan persepsi klien tentang penggunaan dan pemanfaatan teknologi untuk mengatasi permasalahan kesehatan saat ini. b) Faktor agama dan falsafah hidup (religious and philosophical factors) Agama adalah suatu simbol yang mengakibatkan pandangan yang amat realistis bagi para pemeluknya. Agama memberikan motivasi yang sangat kuat untuk menempatkan kebenaran di atas segalanya, bahkan di atas kehidupannya sendiri. Faktor agama yang harus dikaji oleh perawat adalah : agama yang dianut, status pernikahan, cara pandang klien terhadap penyebab penyakit, cara pengobatan dan kebiasaan agama yang berdampak positif terhadap kesehatan. c) Faktor sosial dan keterikatan keluarga (kinship and social factors) Perawat pada tahap ini harus mengkaji faktor-faktor : nama lengkap, nama panggilan, umur dan tempat tanggal lahir, jenis kelamin, status, tipe keluarga, pengambilan keputusan dalam keluarga, dan hubungan klien dengan kepala keluarga. d) Nilai-nilai budaya dan gaya hidup (cultural value and life ways) Nilai-nilai budaya adalah sesuatu yang dirumuskan dan ditetapkan oleh penganut budaya yang dianggap baik atau buruk. Norma-norma budaya adalah suatu kaidah yang mempunyai sifat penerapan terbatas pada penganut budaya terkait. Yang perlu dikaji pada faktor ini adalah : posisi dan jabatan yang dipegang oleh kepala keluarga, bahasa yang digunakan, kebiasaan makan, makanan yang dipantang dalam kondisi sakit, persepsi sakit berkaitan dengan aktivitas sehari-hari dan kebiasaan membersihkan diri. e) Faktor kebijakan dan peraturan yang berlaku (political and legal factors) Kebijakan dan peraturan rumah sakit yang berlaku adalah segala sesuatu yang mempengaruhi kegiatan individu dalam asuhan keperawatan lintas budaya (Andrew and Boyle, 1995). Yang perlu dikaji pada tahap ini adalah : peraturan dan kebijakan yang berkaitan dengan jam berkunjung, jumlah anggota keluarga yang boleh menunggu, cara pembayaran untuk klien yang dirawat. e) Faktor ekonomi (economical factors) Klien yang dirawat di rumah sakit memanfaatkan sumber-sumber material yang dimiliki untuk membiayai sakitnya agar segera sembuh. Faktor ekonomi yang harus dikaji oleh perawat diantaranya : pekerjaan klien, sumber biaya pengobatan, tabungan yang dimiliki oleh keluarga,

biaya dari sumber lain misalnya asuransi, penggantian biaya dari kantor atau patungan antar anggota keluarga. f) Faktor pendidikan (educational factors) Latar belakang pendidikan klien adalah pengalaman klien dalam menempuh jalur pendidikan formal tertinggi saat ini. Semakin tinggi pendidikan klien maka keyakinan klien biasanya didukung oleh buktibukti ilmiah yang rasional dan individu tersebut dapat belajar beradaptasi terhadap budaya yang sesuai dengan kondisi kesehatannya. Hal yang perlu dikaji pada tahap ini adalah : tingkat pendidikan klien, jenis pendidikan serta kemampuannya untuk belajar secara aktif mandiri tentang pengalaman sakitnya sehingga tidak terulang kembali. 2) Diagnosa keperawatan Diagnosa keperawatan adalah respon klien sesuai latar belakang budayanya yang dapat dicegah, diubah atau dikurangi melalui intervensi keperawatan. (Giger and Davidhizar, 1995). Terdapat tiga diagnosa keperawatan yang sering ditegakkan dalam asuhan keperawatan transkultural yaitu : gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan perbedaan kultur, gangguan interaksi sosial berhubungan disorientasi sosiokultural dan ketidakpatuhan dalam pengobatan berhubungan dengan sistem nilai yang diyakini. 3) Perencanaan dan Pelaksanaan Perencanaan dan pelaksanaan dalam keperawatan trnaskultural adalah suatu proses keperawatan yang tidak dapat dipisahkan. Perencanaan adalah suatu proses memilih strategi yang tepat. 4) Pelaksanaan adalah melaksanakan tindakan yang sesuai denganlatar belakang budaya klien (Giger and Davidhizar, 1995). Ada tiga pedoman yang ditawarkan dalam keperawatan transkultural (Andrew and Boyle, 1995) yaitu : mempertahankan budaya yang dimiliki klien bila budaya klien tidak bertentangan dengan kesehatan, mengakomodasi budaya klien bila budaya klien kurang menguntungkan kesehatan dan merubah budaya klien bila budaya yang dimiliki klien bertentangan dengan kesehatan. a) Cultural care preservation/maintenance (1) Identifikasi perbedaan konsep antara klien dan perawat tentang proses melahirkan dan perawatan bayi. (2) Bersikap tenang dan tidak terburu-buru saat berinterkasi dengan klien (3) Mendiskusikan kesenjangan budaya yang dimiliki klien dan perawat b) Cultural care accomodation/negotiation (1) Gunakan bahasa yang mudah dipahami oleh klien. (2) Libatkan keluarga dalam perencanaan perawatan (3) Apabila konflik tidak terselesaikan, lakukan negosiasi dimana kesepakatan berdasarkan pengetahuan biomedis, pandangan klien dan standar etik c) Cultual care repartening/reconstruction (1) Beri kesempatan pada klien untuk memahami informasi yang diberikan dan melaksanakannya. (2) Tentukan tingkat perbedaan pasien melihat dirinya dari budaya kelompok (3) Gunakan pihak ketiga bila perlu

(4) Terjemahkan terminologi gejala pasien ke dalam bahasa kesehatan yang dapat dipahami oleh klien dan orang tua (5) Berikan informasi pada klien tentang sistem pelayanan kesehatan Perawat dan klien harus mencoba untuk memahami budaya masing-masing melalui proses akulturasi, yaitu proses mengidentifikasi persamaan dan perbedaan budaya yang akhirnya akan memperkaya budaya budaya mereka. Bila perawat tidak memahami budaya klien maka akan timbul rasa tidak percaya sehingga hubungan terapeutik antara perawat dengan klien akan terganggu. Pemahaman budaya klien amat mendasari efektifitas keberhasilan menciptakan hubungan perawat dan klien yang bersifat terapeutik. 5) Evaluasi Evaluasi asuhan keperawatan transkultural dilakukan terhadap keberhasilan klien tentang mempertahankan budaya yang sesuai dengan kesehatan, mengurangi budaya klien yang tidak sesuai dengan kesehatan atau beradaptasi dengan budaya baru yang mungkin sangat bertentangan dengan budaya yang dimiliki klien. Melalui evaluasi dapat diketahui asuhan keperawatan yang sesuai dengan latar belakang budaya klien. Praktik keperawatan memberikan perawatan yang holistik. Pendekatan holistik ini meliputi perawatan fisik, psikologi , emosional, dan kebutuhan rohani pasien. Penting untuk menekankan bahwa perawat harus mengidentifikasi dan memenuhi kebutuhan tersebut agar dapat memberikan perawatan individual, yang telah ditetapkan sebagai hak pasien dan merupakan ciri praktek keperawatan profesional (Locsin, 2001). Dalam rangka untuk memberikan perawatan holistik, perawat juga harus harus mempertimbangkan perbedaan budaya dalam membuat rencana keperawatan. Dengan demikian, perawat harus mempunyai kompetensi budaya dalam praktek sehari-hari mereka agar pasien merasa dikenal dan diperhatikan sebagai individu dalam suatu sistem kesehatan yang sangat kompleks dan beragam secara budaya. Pekerja sosial menggambarkan kompetensi budaya sebagai suatu proses terus-menerus berusaha untuk menyadari, menghargai keragaman, dan meningkatkan pengetahuan tentang pengaruh budaya (Bonecutter & Gleeson, 1997). Dan perawat telah mengadopsi konsep ini. Perawat menggambarkan kompetensi budaya adalah kemampuan untuk memahami perbedaan budaya dalam rangka untuk memberikan layanan berkualitas kepada pasien dengan berbagai keanekaragaman budaya (Leininger, 2002). Perawat yang mempunyai kompetensi budaya mempunyai kepekaan terhadap isu-isu yang berkaitan dengan Dengan memiliki pengetahuan tentang perspektif budaya pasien memungkinkan perawat untuk memberikan perawatan yang tepat dan efektif. Sebagai contoh, pada kasus pasien yang menolak untuk diberikan tranfusi darah dengan alasan agama, perawat yang mempunyai kompetensi budaya akan memahami dan mengatasi masalah pasien tersebut dengan masalah keanekaragaman budaya. Perawat mungkin menghadapi pasien dari berbagai budaya dalam praktek sehari-hari dan tidak mungkin perawat dapat memahami seluruh keanekaragaman budaya. Namun, perawat dapat memperoleh pengetahuan dan skill dalam komunikasi transkultural untuk membantu memfasilitasi perawatan individual yang didasarkan pada praktek-praktek budaya. Perawat yang terampil

dalam komunikasi transkultural akan lebih siap untuk memberikan perawatan yang kompeten secara budaya untuk pasien mereka. Hasil penelitian kualitatif menunjukkan bahwa masalah komunikasi adalah alasan utama perawat tidak dapat memberikan perawatan yang kompeten dalam budaya (Boi, 2000, Cioffi, 2003). Perawat menyampaikan bahwa mereka tidak nyaman dengan pasien dari budaya lain selain mereka sendiri karena hambatan bahasa. Lebih penting lagi, para perawat menjelaskan bahwa mereka tidak dapat memahami isyarat-isyarat lain yang digunakan oleh para pasien untuk berkomunikasi. Perawat menyampaikan memerlukan pendidikan dan pelatihan untuk memahami arti isyarat-isyarat komunikasi nonverbal tertentu yang digunakan oleh kebudayaan yang berbeda, misalnya kontak mata, sentuhan, diam, ruang dan jarak serta keyakinan terhadap kesehatan. Kontak mata adalah alat komunikasi yang penting, juga merupakan variabel yang paling berbeda diantara banyak budaya (Canadian Nurses Association, 2000). Perawat Amerika diajarkan untuk mempertahankan kontak mata ketika berbicara dengan pasien mereka. Berbeda dengan orang-orang Arab, yang menganggap kontak mata langsung tidak sopan dan agresif. Demikian pula, penduduk asli Amerika Utara juga menganggap kontak mata langsung hal yang tidak benar dalam budaya mereka, menatap lantai selama percakapan menunjukkan bahwa mereka mendengarkan dengan hati-hati dengan pembicara. Hispanik menggunakan kontak mata hanya bila dianggap tepat. Hal ini didasarkan pada usia, jenis kelamin, kedudukan sosial, status ekonomi, dan posisi kekuasaan. Misalnya, tetua Hispanik berbicara dengan anak-anak menggunakan kontak mata, tapi dianggap tidak pantas bagi anak-anak Hispanik untuk melihat secara langsung pada tetua mereka ketika berbicara. Dalam lingkungan perawatan kesehatan, pasien Hispanik berharap bahwa perawat dan penyedia layanan kesehatan lainnya langsung memberikan kontak mata saat berinteraksi dengan mereka, tetapi tidak diharapkan bahwa pasien Hispanik membalas dengan kontak mata langsung ketika menerima perawatan medis dan keperawatan. Ini hanya beberapa contoh untuk menunjukkan bahwa orang-orang dari berbagai budaya kontak mata memandang berbeda. Sangat penting bahwa perawat harus sadar bahwa beberapa makna yang dapat disertakan pada kontak mata langsung agar dapat berkomunikasi secara efektif dengan pasien. Namun demikian berikut adalah kelebihan dan kekurangan Teori Transkultural dari Leininger : a) Kelebihan : (1) Teori ini bersifat komprehensif dan holistik yang dapat memberikan pengetahuan kepada perawat dalam pemberian asuhan dengan latar belakang budaya yang berbeda. (2) Teori ini sangat berguna pada setiap kondisi perawatan untuk memaksimalkan pelaksanaan model-model teori lainnya (teori Orem, King, Roy, dll). (3) Penggunakan teori ini dapat mengatasi hambatan faktor budaya yang akan berdampak terhadap pasien, staf keperawatan dan terhadap rumah sakit. (4) Penggunanan teori transcultural dapat membantu perawat untuk membuat keputusan yang kompeten dalam memberikan asuhan keperawatan.

(5) Teori ini banyak digunakan sebagai acuan dalam penelitian dan pengembangan praktek keperawatan .

b) Kelemahan : (1) Teori transcultural bersifat sangat luas sehingga tidak bisa berdiri sendiri dan hanya digunakan sebagai pendamping dari berbagai macam konseptual model lainnya. (2) Teori transcultural ini tidak mempunyai intervensi spesifik dalam mengatasi masalah keperawatan sehingga perlu dipadukan dengan model teori lainnya. Akhirnya, menurut Leininger, tujuan studi praktek pelayanan kesehatan transkultural adalah meningkatkan pemahaman atas tingkah laku manusia dalam kaitan dengan kesehatannya. Dengan mengidentifikasi praktek kesehatan dalam berbagai budaya (kultur) baik dimasa lalu maupun zaman sekarang, akan terkumpul persamaan-persamaan, sehingga kombinasi pengetahuan tentang pola praktek transkultural dengan kemajuan teknologi dapat menyebabkan makin sempurnanya pelayanan perawatan dan kesehatan orang banyak dari berbagai kultur. 3. Daftar Pustaka Nova Maulana, (2014), Buku Ajar Sosiologi dan Antropologi Kesehatan, Cetakan Pertama, Nuha Medika, Yogyakarta Arum Pratiwi, (2011), Buku Ajar Keperawatan Transkultural, Cetakan Pertama, Penerbit Gosyen Pulishing, Yogyakarta Wahyu Ratna, (2010),”Sosiologi dan Antropologi Kesehatan dalam Perspektif Ilmu Keperawatan”, Edisi I, Pustaka Rihama, Yogyakarta. Sudiharto,(2007) “Asuhan Keperawatan Keluarga dengan Pendekatan Transkultural”, Edisi I, EGC, Jakarta Foster/Anderson. 1986. Antropologi Kesehatan, Jakarta, Grafiti. Sarwono, S. 1993. Sosiologi Kesehatan, Beberapa Konsep Beserta Apli kasinya, Yogyakarta, Gadjah Mada Press. Leininger. M & McFarland. M.R, (2002), Transcultural Nursing : Concepts,Theories, Research and Practice, 3rd Ed, USA, Mc-Graw Hill Companies Momon Sudarma, (2009), Sosiologi untuk Kesehatan, Jakarta, Penerbit Salemba Medika 4. Latihan/Tugas a. Setiap mahasiswa membuat rangkuman materi pengkajian kepada pasien berbasis budaya dengan menggunakan pendekatan model matahari terbit b. Setiap kelompok mencari, menggali dan mendiskusikan materi pengkajian keperawatan kepada pasien berbasis budaya untuk dipresentasikan C. Penutup 1. Evaluasi danKunci Jawaban a. Jelaskan pengkajian budaya menggunakan model matahari terbit b. Jelaskan tujuh pedoman pengkajian budaya menurut model matahari terbit c. Jelaskan trategi tindakan keperawatan menurut Leininger

2. Lembar Kejra Mahasiswa . Mata Kuliah Semester : ....................... Minggu ke : ......................

...................... SKS : ................ Tugas ke : ..................

1. Tujuan Tugas : 2. Uraian Tugas : a. Obyek garapan : .................... b. Yang harus dikerjakandan batasan-batasan : ................... c. Metode/cara pengerjaan, acuan yang digunakan : ........ d. Deskripsiluaran tugas yang digunakan : ................ 3. Kriteria penilaian : a. .................................. .........................% b. .................................... ..........................% c. ................................. .........................%

PEMBELAJARAN 14 Aplikasi Transcultural Nursing Sepanjang Daur Kehidupan Manusia A. PENDAHULUAN 1. Deskripsi/Uraian Materi Mata Kuliah ini menguraikan tentang perawatan kehamilan dan kelahiran, perawatan dan pengasuhan anak, kebudayaan dan perawatan pada Lanjut usia, perawatan sebelum dan sesudah meninggal, kepercayan dan pengobatan kuno . 2. Kompetensi Dasar a. Mampu menjelaskan perawatan kehamilan dan kelahiran menurut aspek budaya b. Mampu menjelaskan perawatan dan pengasuhan anak c. Mampu menjelaskan kebudayaan dan perawatan Lansia d. Mampu menjelaskan perawatan sebelum dan sesudah meninggal e. Mampu menjelaskan kepercayaan dan pengobatan kuno B. Penyajian 1. Uraian Materi Konsep Penerapan Kultur Dalam Daur HidupManusia .

Konsep Penerapan Kultur Dalam Daur HidupManusia terdiri dari : a. Perawatan Kehamilan dan Kelahiran Kehamilan dan kelahiran bayi pun dipengaruhi oleh aspek sosial dan budaya dalam suatu masyarakat. Dalam ukuran-ukuran tertentu, fisiologi kelahiran secara universal sama. Namun proses kelahiran sering ditanggapi dengan cara-cara yang berbeda oleh aneka kelompok masyarakat (Jordan, 1993). Berbagai kelompok yang memiliki penilaian terhadap aspek kultural tentang kehamilan dan kelahiran menganggap peristiwa itu merupakan tahapan yang harus dijalani didunia. Salah satu kebudayaan masyarakat kerinci di Provinsi Jambi misalnya, wanita hamil dilarang makan rebung karena menurut masyarakat setempat jika wanita hamil makan rebung maka bayinya akan berbulu seperti rebung. Makan jantung pisang juga diyakini menurut keyakinan mereka akan membuat bayi lahir dengan ukuran yang kecil. Dalam kebudayaan Batak, wanita hamil yang menginjak usia kehamilan tujuh bulan diberikan kepada ibunya ulos tondi agar wanita hamil tersebut selamat dalam proses melahirkan. Ketika sang bayi lahir pun nenek dari pihak ibu memberikan lagi ulos tondi kepada cucunya sebagai simbol perlindungan. Sang ibu akan

menggendong anaknya dengan ulos tersebut agar anaknya selalu sehat dan cepat besar. Ulos tersebut dinamakan ulos parompa. Pantangan dan simbol yang terbentuk dari kebudayaan hingga kini masih dipertahankan dalam komunitas dan masyarakat. Dalam menghadapi situasi ini, pelayanan kompeten secara budaya diperlukan bagi seorang perawat untuk menghilangkan perbedaan dalam pelayanan, bekerja sama dengan budaya berbeda, serta berupaya mencapai pelayanan yang optimal bagi klien dan keluarga Menurut Meutia Farida Swasono salah satu contoh masyarakat yang sering menitik beratkan perhatian pada aspek krisis

kehidupan dari peristiwa kelahiran dan

kehamilan adalah orang jawa yang didalam adat dan istiadat mereka terdapat berbgai upacara adat yang rinci untuk untuk menyambut kelahiran bayi seperti upaca mintonin procotan dan brokahan . Perbedaan yang paling mencolok antara penanganan kehamilan dan kelahiran oleh dunia medis dengan adat adalah orang yang menanganinya, kesehatan modern penanganan oleh dokter dibantu oleh perawat, bidan, dan lain sebagainya tapi penangana dengan adat dibantu oleh dukun bayi. Menurut Meutia Farida Swasono dukun bayi umumnya adalah perempuan, walaupun dari berbagai kebudayaan tertentu, dukun bayi adalah laki laki seperti pada masyarakat Bali Hindu yang disebut balian manak dengan usia di atas 50tahun dan profesi ini tidak dapat digantikan oleh perempuan karena dalam proses menolong persalinan, sang dukun harus membacakan mantra mantra yang hanya boleh diucapkan oleh laki laki karena sifat sakralnya Proses pendidikan atau rekrutmen untuk menjadi dukun bayi bermacam macam. Ada dukun bayi yang memperoleh keahliannya melalui proses belajar yang diwariskan dari nenek atau ibunya, namun ada pula yang mempelajari dari seorang guru karena merasa terpanggil. Dari segi budaya, melahirkan tidak hanya merupakan suatu proses semata mata berkenaan dengan lahirnya sang bayi saja, namun tempat melahirkan pun harus terhindar dari berbagai kotoran tapi “kotor” dalam arti keduniawian, sehingga kebudayaan menetapkan bahwa proses mengeluarkan unsur unsur yang kotor atau keduniawian harus dilangsungkan di tempat yang sesuai keperluan itu. Jika dokter memiliki obat obat medis maka dukun bayi punya banyak ramuan untuk dapat menangani ibu dan janin, umumnya ramuan itu diracik dari berbagai jenis tumbuhan, atau bahan bahan lainnya yang diyakini berkhasiat sebagai penguat tubuh atau pelancar proses persalinan.

Menurut pendekatan biososiokultural dalam kajian antropologi, kehamilan dan kelahiran dilihat bukan hanya aspek biologis dan fisiologis saja, melainkan sebagai proses yang mencakup pemahaman dan pengaturan hal-hal seperti; pandangan budaya mengenai kehamilan dan kelahiran, persiapan kelahiran, para pelaku dalam pertolongan persalinan, wilayah tempat kelahiran berlangsung, cara pencegahan bahaya, penggunaan ramuan atau obat-obatan tradisional, cara menolong kelahiran, pusat kekuatan dalam pengambilan keputusan mengenai pertolongan serta perawatan bayi dan ibunya. Berdasarkan uraian diatas, perawat harus mampu memahami kondisi kliennya yang memiliki budaya berbeda. Perawat juga dituntut untuk memiliki keterampilan dalam pengkajian budaya yang akurat dan konprehensif sepanjang waktu berdasarkan warisan etnik dan riwayat etnik, riwayat biokultural. Organisasi social, agama, dan kepercayaan serta pola komunikasi . Semua Budaya mempunyai deminsi lampau, sekarang, dan mendatang. Untuk itu penting bagi perawat memahami orientasi waktu wanita yang mengalami transisi kehidupan dan sensitive terhadap warisan budaya keluarganya. b. Perawatan dan Pengasuhan Anak

Disepanjang daur kehidupannya, manusia akan melewati masa transisi dari awal masa kelahiran hingga kematiannya. Kebudayaan turut serta mempengaruhi peralihan tersebut. Dalam asuhan keperawatan budaya, perawat harus paham dan bias mengaplikasikan pengetahuannya pada tiap daur kehidupan manusia. Salah satu contohnya yaitu aplikasi transkultural pada perawatan dan pengasuhan anak. Setiap anak diharapkan dapat berkembang secara sempurna dan simultan, baik perkembangan fisik, kejiwaan dan juga sosialnya sesuai dengan standar kesehatan, yaitu sehat jasmani, rohani dan sosial. Untuk itu perlu dipetakan berbagai unsur yang terlibat dalam proses perkembangan anak sehingga dapat dioptimalkan secara sinergis. Menurut Urie Bronfenbrenner (1990) setidaknya ada 5 (lima) sistem yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak,yaitu:

Pertama, sistem mikro yang terkait dengan setting individual di mana anak tumbuh dan berkembang yang meliputi:keluarga,teman sebaya,sekolah dan lingkungan sekitar tetangga. Kedua, sistem meso yang merupakan hubungan di antara mikro sistem,misalnya hubungan pengalaman-pengalam an yang didapatkan di dalam keluarga dengan pengalaman di sekolah atau pengalaman dengan teman sebaya. Ketiga, sistem exo yang menggambarkan pengalaman dan pengaruh dalam setting sosial yang berada di luar kontrol aktif tetapi memiliki pengaruh langsung terhadap perkembangan anak,seperti,pekerjaan orang tua dan media massa. Keempat, sistem makro yang merupakan budaya di mana individu hidup seperti:ideologi,budaya,sub-budaya atau strata sosial masyarakat. Kelima, sistem chrono yang merupakan gambaran kondisi kritis transisional (kondisi sosiohistorik). Keempat sistem pertama harus mampu dioptimalkan secara sinergis dalam pengembangan

berbagai

potensi anak sehingga dibutuhkan pola

pengasuhan,pola pembelajaran,pola pergaula termasuk penggunaan media massa, dan pola kebiasaan (budaya) yang koheren dan saling mendukung. Proses sosialisasi pada anak secara umum melalui 4 fase, yaitu: 1) Fase Laten (Laten Pattern),pada fase ini proses sosialisasi belum terlihat jelas. Anak belum merupakan kesatuan individu yang berdiri sendiri dan dapat melakukan kontak dengan lingkungannya. Pada fase ini anak masih dianggap sebagai bagian dari ibu,dan anak pada fase ini masih merupakan satu kesatuan yang disebut “two persons system”. 2) Fase Adaptasi (Adaption),pada fase ini anak mulai mengenal lingkungan dan memberikan reaksi atas rangsangan-rangsang an dari lingkungannya. Orangtua berperan besar pada fase adaptasi, karena anak hanya dapat belajar dengan baik atas bantuan dan bimbingan orangtuanya. 4) Fase Pencapaian Tujuan (Goal Attainment),pada fase ini dalam sosialisasinya anak tidak hanya sekadar memberikan umpan balik atas rangsangan yang diberikan oleh lingkungannya,tapi sudah memiliki maksud dan tujuan. Anak cenderung mengulangi tingkah laku tertentu untuk mendapatkan pujian dan penghargaan dari lingkungannya. 4) Fase Integrasi (Integration),pada fase ini tingkah laku anak tidak lagi hanya sekadar penyesuaian (adaptasi) ataupun untuk mendapatkan penghargaan,tapi sudah menjadi bagian dari karakter yang menyatu dengan dirinya sendiri.

Interaksi anak dengan lingkungannya secara tidak langsung telah mengenalkan dirinya pada kultural atau kebudayaan yang ada di sekelilingnya. Lingkungan dan keluarga turut berperan serta dalam tumbuh kembang anak. Hal ini pun tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh budaya yang ada di sekitarnya. Sebagai perawat, dalam memberikan pengasuhan dan perawatan perlu mengarahkan anak

pada

perilaku

perkembangan

yang

normal,

membantu

dalam

memaksimalkan kemampuannya dan menggunakan kemampuannya untuk koping dengan membantu mencapai keseimbangan perkembangan yang penting. Perawat juga harus sangat melibatkan anak dalam merencanakan proses perkembangan. Karena preadolesens memiliki keterampilan kognitif dan sosial yang meningkat sehingga dapat merencnakan aktifitas perkembngan. Dalam lingkungannya, anak diharuskan bekerja dan bermain secara kooperatif dalam kelompok besar anak-anak dalam berbagai latar belakang budaya. Dalam proses ini, anak mungkin menghadapi masalah kesehatan psikososial dan fisik (misalnya meningkatnya kerentanan terhadap infeksi pernapasan, penyesuaian yang salah di sekolah, hubungan dengan kawan sebaya tidak adekuat, atau gangguan belajar). Perawat harus merancang intervensi peningkatan kesehatan anak dengan turut mengkaji kultur yang berkembang pada anak. Agar tidak terjadi konflik budaya terhadap anak yang akan mengakibatkan tidak optimalnya pegasuhan dan perawatan anak. c. Pada Lansia Kebudayaan dan Asuhan Keperawatan pada Lansia Bila suatu bentuk pelayanan kesehatan baru diperkenalkan ke dalam suatu masyarakat dimana faktor-faktor budaya masih kuat. Biasanya dengan segera mereka akan menolak dan memilih cara pengobatan tradisional sendiri. Apakah mereka akan memilih cara baru atau lama, akan memberi petunjuk kepada kita akan kepercayaan dan harapan pokok mereka lambat laun akan sadar apakah pengobatan baru tersebut berfaedah , sama sekali tidak berguna, atau lambat memberi pegaruh. Namun mereka lebih menyukai pengobatan tradisional karena berhubungan erat dengan dasar hidup mereka. Maka cara baru itu akan dipergunakan secara sangat terbatas, atau untuk kasus-kasus tertentu saja. Pelayanan kesehatan yang modern oleh sebab itu harus disesuaikan dengan kebudayaan setempat, akan sia-sia jika ingin memaksakan sekaligus cara-cara modern dan menyapu semua cara-cara tradisional . Bila tenaga kesehatan berasal

dari lain suku atau bangsa, sering mereka merasa asing dengan penduduk setempat . ini tidak akan terjadi jika tenaga kesehatan tersebut berusaha mempelajari kebudayaan mereka dan menjembatani jarak yang ada diantara mereka. Dengan sikap yang tidak simpatik serta tangan besi, maka jarak tersebut akan semakin lebar. Setiap masyarakat mempunyai cara pengobatan dan kebiasaan yang berhubungan dengan ksehatan masing-masing. Sedikit usaha untuk mempelajari kebudayaan mereka akan mempermudah memberikan gagasan yang baru yang sebelumnya tidak mereka terima. Pemuka - pemuka di dalam masyarakat itu harus diyakinkan sehingga mereka dapat memberikan dukungan dan yakin bahwa cara - cara baru tersebut bukan untuk melunturkan kekuasaan mereka tetapi sebaliknya akan memberikan manfaat yang lebih besar .Pilihan pengobatan dapat menimbulkan kesulitan. Misalnya , bila pengobatan tradisional biasanya mengunakan cara-cara menyakitkan seperti mengiris-iris bagian tubuh atau dengan memanasi penderita , akan tidak puas hanya dengan memberikan pil untuk diminum . Hal tersebut diatas bisa menjadi suatu penghalang dalam memberikan pelayanan kesehatan, tapi dengan berjalannya waktu mereka akan berfikir dan menerima. d. Asuhan Keperawatan Gangguan Sosialcultural pada Lansia Proses asuhan keperawatan pada usia lanjut adalah kegiatan yang dimaksudkan untuk

memberikan

bantuan,

bimbingan,

pengawasan,

perlindungan

dan

pertolongan kepada lanjut usia secara individu, seperti di rumah/lingkungan keluarga, panti werda maupun puskesmas, yang diberikan oleh perawat untuk asuhan keperawatan yang masih dapat dilakukan oleh anggota keluarga atau petugas sosial yang bukan tenaga keperawatan, diperlukan latihan sebelumnya atau bimbingan langsung pada waktu tenaga keperawatan melakukan asuhan keperawatan di rumah atau panti (Depkes, 1993 1b). e. Pada saat sebelum meninggal dan setelah Meninggal  Sebelum meninggal Penerapan konsep kultur pada pasien yang menjelang ajal biannya mempunyai cara yang berbeda-beda setiap agama misalngan membnya pada Agama Islam bianya

mendatangkan

ustad

untuk

mendoakkan

pasien

agar

bisa

menenangkankan perasaan pasien dibasanya dilakukan dengan mebacaka AyatAyat suci. Begitupun agama-agama lain biasan ketika ada anggota keluarga mereka pada keadaan menjelang ajal

mereka cenderum memanggil tukah

pemuka agama masing-masing untuk menenagkan anggota keluraga mereka sehingga bisa meninggal dengan tenang ataupuun jika terdapat muzizat keluarga mereka dpat bertahan hidup , Namun untuk agama hindu biasannya hal itu jarang dilakukan karena ketika ada terdapat anggota keluraga yang berda dalam keadaan menjelang ajal biasannya hanya dilakukan doa di pura / tempat suci dan menhaturkan sesajen berupa canang, atau banten ke tempat suci . atau ketika jika terdapat anggota kelurga yang berada dalam keadaan mencelang ajal biasannya dipercikkan tirta.( airsuci yang di dapat di tempat suci )  Ketika pasien sudah meninggal Ketika pasien sudah meninggal maka akan dikakukan perawatan jenazah secara umum prosedur perawatan jenazah di Rumah sakit untuk setiap pasien dengan latar belakang budaya yang berbeda sama namun terdapat sedikit perbedaan dalam mengikatkan tangan pasien . sedikit perbeddan

selain perawatan jenazah yang terdapat

hal lain yang juga menjadi perbedaan adalah upacara

pemakaman jenazah . cotohnya pada Agama Hindu upacara pemakaman jenazah cenderum dilakukan dengan cara pembakaran, namun tidak jarang masyarakat Hindu yang melakukan upacara penguburan terlebih dalu sebelum dilaksanakan upacara pengabenan hal ini dilakukan

karena nimnimnya waktu untuk

mempersiapkan sesajen, karena adnya permitaan khusus dari almarhum ketika sebelum meningga atau karena hal tersebut merupakan suatu tradisi di daerah tertentu. f. Kepercayaan Kuno dan Praktik Pengobatan Sistem pengobatan tradisional merupakan sub unsur kebudayaan masyarakat sederhana , pengetahuan tradisional . Dalam masyarakat tradisional , sistem pengobatan tradisional ini adalah pranata sosial yang harus dipelajari dengan cara yang sama seperti mempelajari pranata social umumnya dan bahwa praktek pengobatan asli ( tradisional ) adalah rasional dilihat dari sudut kepercayaan yang berlaku mengenai sebab akibat. Beberapa hal yang berhubungan dengan kesehatan (sehat – sakit) menurut budaya-budaya yang ada di Indonesia diantaranya adalah : a) Budaya Jawa Menurut orang Jawa, “sehat “ adalah keadaan yang seimbang dunia fisik dan batin . Bahkan , semua itu berakar pada batin . Jika “ batin karep ragu nututi “artinya batin berkehendak, raga / badan akan mengikuti. Sehat dalam konteks raga berarti “ waras “ . Apabila seseorang tetap mampu menjalankan peranan sosialnya sehari-hari, misalnya bekerja di ladang, sawah, selalu gairah bekerja, gairah hidup, kondisii inilah yang dikatakan sehat. Dan ukuran sehat untuk anak-anak adalah apabila kemauannya untuk makan tetap banyak dan selalu bergairah main.

Untuk menentukan sebab-sebab suatu penyakit ada dua konsep , yaitu konsep personalistik dan konsep naluralistik. Dalam konsep personalistik, penyakit disebabkan oleh makhluk supernatural ( makhluk gaib, dewa ), makhluk yang bukan manusia ( hantu, roh leluhur, roh jahat ) dan manusia ( tukang sihir , tukang tenung ). Penyakit ini disebut “ora lumrah“ atau “ora sabaene“ ( tidak wajar / tidak biasa ). Penyembuhannya adalah berdasarkan pengetahuan secara gaib atau supernatural, misalnya melakukan upacara dan sesaji. Dilihat dari segi personalistik jenis penyakit ini terdiri dari kesiku, kebendhu, kewalat, kebulisan, keluban, keguna-guna, atau digawe wong, kampiran bangsa lelembut dan lain sebagainya . Penyembuhan dapat melalui seorang dukun atau “wong tuo“. Pengertian dukun bagi masyarakat Jawa adalah yang pandai atau ahli dalam mengobati penyakit melalui “Japa Mantera “ , yakni doa yang diberikan oleh dukun kepada pasien. Ada beberapa kategori dukun pada masyarakat Jawa yang mempunyai nama dan fungsi masing-masing : (1) Dukun bayi : khusus menangani penyembuhan terhadap penyakit yang berhubungan dengan kesehatan bayi, dan orang yang hendak melahirkan. (2) Dukun pijat / tulang (sangkal putung) : Khusus menangani orang yang sakit terkilir, patah tulang, jatuh atau salah urat. (3) Dukun klenik : khusus menangani orang yang terkena guna – guna atau “ digawa uwong “.. (4) Dukun mantra : khusus menangani orang yang terkena penyakit karena kemasukan roh halus. (5) Dukun hewan : khusus mengobati hewan. Berdasarkan hari dimulainya sakit juga dapat ditentukan tentang jenis- jenis penyakit sebagaimana diuraikan dalam Kitab Primbon Betal jemur Adam makna, yang dibuat sebagai berikut : Nama hari Sebab Penyakit Senin Selasa Rabu Kamis Jumat Sabtu : Minggu

: : : : : : :

Mempunyai nadzar yang belum dilaksanakan Diguna -guna oleh oran lain Diganggu oleh makhluk halus / setan Terkena itulah dari orang lain Diganggu makhluk halus yang ada di kolong rumah Diganggu oleh setan yang berasal dari hutan Diganggu oleh makhluk halus / setan

Selain hari-hari biasa, Budaya Jawa juga memiliki hari-hari yang disebut hari pasaran dengan urutan : Pon, Wage, kliwon, legi, pahing. Budaya jawa beranggapan bahwa nama yang “berat“ bisa mendatangkan sial. Pendapat yang lain mengatakan “nama yang buruk” akan mempengaruhi aktivitas pribadi dan sosial pemilik nama itu. Dan juga kebiasaan bagi orang jawa yakni jika ada salah satu pihak keluarga atau sanak saudara yang sakit , maka untuk menjenguknya biasanya mereka mengumpulkan dulu semua

saudaranya dan bersama-sama mengunjungi saudaranya yang sakit tersebut. Karena dalam budaya Jawa dikenal prinsip “mangan ora mangan, seng penting kumpul“ Adapun beberapa contoh pengobatan tradisional masyarakat jawa yang tidak terlepas dari tumbuhan dan buah-buahan yang bersifat alami adalah Daun dadap sebagai penurun panas dengan cara ditempelkan di dahi. Temulawak untuk mengobati sakit kuning dengan cara di parut, diperas dan airnya diminum 2 kali sehari satu sendok makan, dapat ditambah sedikit gula batu dan dapat juga digunakan sebagai penambah nafsu makan. Akar ilalang untuk menyembuhkan penyakit hepatitis B. Mahkota dewa untuk menurunkan tekanan darah tinggi, yakni dengan dikeringkan terlebih dahulu lalu diseduh seperti teh dan diminum seperlunya. Brotowali sebagai obat untuk menghilangkan rasa nyeri, peredam panas , dan penambah nafsu makan. Jagung muda ( yang harus merupakan hasil curian = berhubungan dengan kepercayaan ) berguna untuk menyembuhkan penyakit cacar dengan cara dioleskan dibagian yang terkena cacar. Daun sirih untuk membersihkan vagina. Lidah buaya untuk kesuburan rambut. Cicak dan tokek untuk menghilangkan gatal – gatal. Mandi air garam untuk menghilangkan sawan. Daun simbung dan daun kaki kuda untuk menyembuhkan influenza. Jahe untuk menurunkan demam / panas , biasanya dengan diseduh lalu diminum ataupun dengan diparut dan detempelkan di ibu jari kaki. Air kelapa hijau dengan madu lebah untuk menyembuhkan sakit kuning yaitu dengan cara 1 kelapa cukup untuk satu hari , daging kelapa muda dapat dimakan sekaligus , tidak boleh kelapa yang sudah tua. b) Budaya Sunda Konsep sehat sakit tidak hanya mencakup aspek fisik saja , tetapi juga bersifat sosial budaya . Istilah lokal yang biasa dipakai oleh masyarakat Jawa Barat ( orang sunda ) adalah muriang untuk demam , nyerisirah untuk sakit kepala , yohgoy untuk batuk dan salesma untuk pilek / flu. Penyebab sakit umumnya karena lingkungan , kecuali batuk juga karena kuman . Pencegahan sakit umumnya dengan menghindari penyebabnya. Pengobatan sakit umumnya menggunakan obat yang terdapat di warung obat yang ada di desa tersebut , sebagian kecil menggunakan obat tradisional . Pengobatan sendiri sifatnya sementara , yaitu penanggulangan pertama sebelum berobat ke puskesmas atau mantri. 1) Pengertian Sehat Sakit Menurut orang sunda , orang sehat adalah mereka yang makan terasa enak walaupun dengan lauk seadanya, dapat tidur nyenyak dan tidak ada yang dikeluhkan , sedangkan sakit adalah apabila badan terasa sakit , panas atau makan terasa pahit, kalau anak kecil sakit biasanya rewel, sering menangis, dan serba salah / gelisah. Dalam bahasa sunda orang sehat

disebut cageur, sedangkan orang sakit disebut gering. Ada beberapa perbedaan antara sakit ringan dan sakit berat. Orang disebut sakit ringan apabila masih dapat berjalan kaki, masih dapat bekerja, masih dapat makan-minum dan dapat sembuh dengan minum obat atau obat tradisional yang dibeli di warung. Orang disebut sakit berat, apabila badan terasa lemas, tidak dapat melakukan kegiatan sehari-hari, sulit tidur, berat badan menurun, harus berobat ke dokter / puskesmas, apabila menjalani rawat inap memerlukan biaya mahal. Konsep sakit ringan dan sakit berat bertitik tolak pada keadaan fisik penderita melakukan kegiatan sehari-hari , dan sumber pengobatan yang digunakan. Berikut beberapa contoh sakit dengan penyebab , pencegahan dan pengobatan sendiri. : a) Sakit Kepala Keluhan sakit kepala dibedakan antara nyeri kepala ( bahasa sunda = rieut atau nyeri sirah, kepala terasa berputar / pusing / bahasa sunda = Lieur ) , dan sakit kepala sebelah / migran ( bahasa sunda = rieut jangar ) . Penyebab sakit kepala adalah dengan menghindari terkena sinar matahari langsung, dan jangan banyak pikiran. Pengobatan sendiri, sakit kepala dapat dilakukan dengan obat warung yaitu paramek atau puyer bintang tujuh nomor b) Sakit Demam Keluhan demam ( bahasa sunda = muriang atau panas tiris ) ditandai dengan badan terasa pegalpegal, menggigil, kadang-kadang bibir biru. Penyebab demam adalah udara kotor, menghisap debu kotor. pergantian cuaca, kondisi badan lemah, kehujanan, kepanasan cukup lama, dan keletihan. Pencegahan demam adalah dengan menjaga kebersihan udara yang dihisap, makan teratur, olahraga cukup, tidur cukup, minum cukup, kalau badan masih panas / berkeringat jangan langsung mandi, jangan kehujanan dan banyak makan sayuran atau buah. Pengobatan sendiri demam dapat dilakukan dengan obat tradisional, yaitu kompres badan dengan tumbukan daun melinjo, daun cabe atau daun singkong, atau dapat juga dengan obat warung yaitu Paramek atau Puyer bintang tujuh nomor. c) Keluhan Batuk Batuk TBC, yaitu batuk yang sampai mengeluarkan darah dari mulut, batuk biasa (bahasa sunda = fohgoy), dan batuk yang terus menerus dengan suaranya melengking (bahasa sunda = batuk bangkong ) dengan gejala tenggorokan gatal , terkadang hidung rapet , dan kepala sakit ) . Penyebab batuk TBC adalah karena orang tersebut menderita penyakit TBC paru, sedangkan batuk biasa atau batuk bangkong adalah menghisap debu dari tanah kering yang baru tertimpa hujan, alergi salah satu makanan, makanan basi, masuk angin, makan makanan yang digoreng dengan minyak yang tidak baik, atau tersedak makanan / keselek . Pencegahan batuk dilakukan dengan menjaga badan agar

jangan kedinganan, jangan makan makanan basi, tidak kebanyakan minum es, menghindari makanan yang merangsang tenggorokan, atau menyebabkan alergi. Pengobatan sendiri batuk dapat dilakukan dengan obat warung misalnya konidin atau oikadryl. Bila batuk ringan dapt minum obat tradisional yaitu air perasan jeruk nipis dicampur kecap, daun sirih 5 lembar diseduh dengan air hangat setengah gelas atau rebusan jahe dengan gula merah. d) Sakit Pilek Keluhan pilek ringan ( bahasa sunda = salesma ), yaitu hidung tersumbat atau berair, dan pilek berat yaitu pilek yang disertai sakit kepala, demam, badan terasa pegal dan tenggorokan kering. Penyebab pilek adalah kehujanan menghisap debu kotor, menghisap asap rokok, menghisap air, pencegahan pilek adalah jangan kehujanan, kalau badan berkeringat jangan langsung mandi, apabila muka terasa panas ( bahasa sunda = singhareab ), jangan mandi langsung minum obat, banyak minum air dan istirahat. Pengobatan sendiri, pilek dapat dilakukan dengan obat warung yaitu mixagrib diminum 3x sehari sampai keluhannya hilang. Dapat juga digunakan obat tradisional untuk mengurangi keluhan, misalnya minyak kelapa dioleskan di kanan dan kiri hidung. e) Sakit Panas Sakit panas adalah sakit yang menyebabkan sekujur tubuh seseorang terasa panas biasanya yang disertai demam ( menggigil ). Untuk mengobatinya , orang sunda biasa dengan menggunakan labu ( waluh ) yang diparut ( dihaluskan ), kemudian dibungkus kain dan di kompreskan ke tubuh orang yang sakit panas tersebut hingga panasnya turun. Selain itu juga bisa dengan menggunakan kompres air dingin. Pengobatan sakit umumnya menggunakan obat yang terdapat di warung . obat yang ada di desa tertentu, sebagian kecil menggunakan obat tradisional. Masyarakat melakukan pengobatan sendiri dengan alasan sakit ringan, hemat biaya dan hemat waktu. Pengobatan sendiri sifatnya sementara, yaitu penanggulanan pertama sebelum berobat ke puskesmas atau Mantri. Tindakan Pengobatan sendiri yang sesuai dengan aturan masih rendah karena umumnya masyarakat membeli obat secara eceran sehingga tidak dapat memaca keterangan yang tercantum pada setiap kemasan obat. c) Budaya Batak Arti “sakit“ bagi orang Batak adalah keadaan dimana seseorang hanya berbaring , dan penyembuhannya melalui cara – cara tradisional, atau ada juga yang membawa orang yang sakit tersebut kepada dukun atau “orang pintar“. Dalam kehidupan sehari – hari orang batak, segala sesuatunya termasuk mengenai pengobatan jaman dahulu, untuk mengetahui bagaimana cara mendekatkan diri pada sang pencipta agar manusia tetap sehat dan jauh dari mara bahaya. Bagi orang batak , di samping penyakit alamiah, ada juga beberapa tipe spesifik penyakit supernatural, yaitu :

1) Jika mata seseorang bengkak, orang tersebut diyakini telah melakukan perbuatan yang tidak baik ( mis : mengintip ). Cara mengatasinya agar matanya tersebut sembuh adalah dengan mengoleskan air sirih. 2) Nama tidak cocok dengan dirinya ( keberatan nama ) sehingga membuat orang tersebut sakit. Cara mengobatinya dengan mengganti nama tersebut dengan nama yang lain, yang lebih cocok dan didoakan serta diadakan jamuan adat bersama keluarga. 3) Ada juga orang batak sakit karena tarhirim misalnya seorang bapak menjanjikan akan memberi mainan buat anaknya, tetapi janji tersebut tidak ditepati. Karena janji tersebut tidak ditepati, si anak bisa menjadi sakit. 4) Jika ada orang batak menderita penyakit kusta, maka orang tersebut dianggap telah menerima kutukan dari para leluhur dan diasingkan dalam pergaulan masyarakat. Di samping itu, dalam budaya batak dikenal adanya “kitab pengobatan” yang isinya diantaranya adalah, Mulajadi Namolon Tuhan Yang Maha Esa bersabda “Segala sesuatu yang tumbuh di atas bumi dan di dalam air sudah ada gunanya masing-masing di dalam kehidupan sehari-hari, sebab tidak semua manusia yang dapat menyatukan darahku dengan darahnya, maka gunakan tumbuhan ini untuk kehidupan mu“. Di dalam kehidupan Si raja Batak dahulu ilmu pengobatan telah ada, mulai sejak dalam kandungan sampai melahirkan. a) Obat mulai dari kandungan sampai melahirkan (1) Perawatan dalam kandungan : menggunakan salusu yaitu satu butir telur ayam kampung yang terlebih dahulu di doakan (2) Perawatan setelah melahirkan : menggunakan kemiri, jeruk purut dan daun sirih (3) Perawatan bayi : biasanya menggunakan kemiri, biji lada putih dan iris jorango (4) Perawatan dugu – dugu : sebuah makanan ciri khas Batak saat melahirkan yang diresap dari bangun-bangun, daging ayam, kemiri dan kelapa. b) Dappol Siburuk ( obat urut dan tulang ) Asal mula manusia menurut orang batak adalah dari ayam dan burung. Obat dappol si buruk ini dulunya berasal dari burung siburuk yang mana langsung di praktikkan dengan penelitian alami dan hamper seluruh keturunan Siraja Batak menggunakan obat ini dalam kehidupan sehari – hari. c) Untuk mengobati sakit mata.

Menurut orang batak, mata adalah satu panca indra sekaligus penentu dalam kehidupan manusia, dan menurut legenda pada mata manusia berdiam Roh Raja Simosimin, Berdasarkan pesan dari si raja batak, untuk mengeluarkan penyakit dari mata, maukkanlah biji sirintak ke dalam mata yang sakit. Setelah itu tutuplah mata dan tunggulah beberapa saat, karena biji sirintak akan menarik seluruh penyakit yang ada di dalam mata. Gunakan waktu 1x 19 hari, supaya mata tetap sehat. Sirintak adalah tumbuhan Batak yang dalam bahasa Indonesia berarti mencabut (mengeluarkan), nama ramuannya dengan sdama tujuannnya. d) Mengobati penyakit kulit yang sampai membusuk Berdasarkan pesan siraja batak untuk mengobati orang yang berpenyakit kulit supaya menggunakan tawar mulajadi ( sesuatu yang berasal dari asap dapur ). Rumpak 7 macam dan diseduh dengan air hangat. Disamping itu, siraja batak berpesan kepada keturunannya, supaya manusia dapat hidup sehat, maka makanlah atau minumlah : apapaga, airman, anggir, adolorab, alinggo, abajora, ambaluang, assigning, dan arip-arip. Dalam budaya batak juga dikenal dengan adanya charisma, wibawa dan kesehatan menurut orang batak dahulu, supaya manusia dapat sukses dalam segala hal biasanya diwajibkan membuat sesajen berupa : ayam merah, ayam putih, ayam hitam, ketan beras ( nitak ), jeruk purut, sirih beserta perlengkapannya. Beberapa contoh pengobatan tradisional lainnya yang dilakukan oleh orang batak adalah : (1) Jika ada orang batak yang menderita penyakit gondok , maka cara pengobatannya dengan menggunakan belau. (2) Apabila ada orang batak yang menderita penyakit panas ( demam ) biasanya pengobatannya dengan cara menyelimutinya dengan selimut / kain yang tebal d) Budaya Flores Damianus Wera orang Flores satu ini punya karunia yang sangat langka. Dami dikenal sebagai penyembuh alternative unik. Damianus Wera bukan dokter, buta huruf, tak makan sekolah, tapi buka praktik layaknya dokter professional. Dia melakukan operasi hanya menggunakan pisau. Menurut Dami ada tiga jenis penyakit yang dikeluhkan para pasien. Pertama, jenis penyakit nonmedis atau santet / guna – guna . Biasanya tubuh korban dirusak dengan paku, silet, lidi, kawat, beling, jarum, benang kusut. Kedua, penyakit medis seperti jantung koroner, batu ginjal, tumor , kanker, dll. Dami mengangkat penyakit ini dengan operasi dan juga sedot darah melalui selang . Ketiga, sakit psikologis misalnya : banyak utang, stress, sulit hamil, dll. Dami mengingatkan kunci sehat itu sebenarnya ada di pikiran yang sehat. Sebaliknya, pikiran yang ruwet, penuh beban dan tekanan, justru memicu munculnya penyakit dalam tubuh manusia.

Dami di datangi ayahnya yang sudah meninggal dan dikasih gelang. Dan saat dia bermimpi ia akan di di karuniai penyembuhan . Pagi-pagi ia menemukan pisau di bawah bantal. Pisau itu untuk mengoprasi orang sakit. Dami mempunyai 7 metode untuk mengatasi penyakit : 1) Berdoa : dilakukan sebelum dan sesudah pengobatan , pasien berdoa menurut agamanya. 2) Air putih : Pasien diminta membawa air putih dalam botol 1, 5 liter . Setelah didoakan, pasien minum di rumah masing-masing. Kalau mau habis, tambahkan dengan air yang baru. 3) Kapsul ajaib : Pasien diminta minum kapsul ajaib seperti obat biasa. 4) Pijat refleksi : Pasian menjerit kesakitan karena “diestrum“ listrik tegangan tinggi. 5) Suntik : Jarum suntik diperoleh dengan cara muntah. Cairan atau obat diperoleh lewat doa tertentu. 6) Telur ayam ( kampung ) dan gelas : Dipegang, diletakkan di atas kepala pasien. Selain mendeteksi penyakit , telur ayam kampung itu juga untuk mengobati penyakit dan untuk mengambil benda – benda santet seperti jarum, benang, silet, beling, paku lewat telur ayam. 7) Operasi / bedah : Operasi atau bedah bisa untuk penyakit medis maupun non medis. Di samping itu, orang flores juga percaya adanya sejenis kain yang berwarna hitam yang dipercaya dapat menyembuhkan orang yang sakit panas / demam tinggi yaitu dengan cara di selubungkan atau ditutupkan di seluruh tubuhnya hingga tidak ada yang kelihatan lagi, dan biarkan orang yang sakit panas tersebut hingga ia merasa nyaman dan pansanya berkurang. Bawang merah dipercaya untuk mengobati batuk, yakni dengan cara dihancurkan (dikunyah ) lalu dibungkus dengan sepotong kain, kemudian ditempelkan di tenggorokan. Cara ini baik diterapkan pada waktu sebelum tidur malam. Daun sirih untuk mengobati orang yang mimisan, yaitu dengan digulung kemudian disumbatkan ke lubang hidung yang keluar darah. Daun papaya yang masih muda digunakan untuk menghentikan keluarnya darah dari bagian tubuh yang luka, yaitu dengan dikunyah sampai halus kemudian ditempelkan di bagian yang luka tersebut. Pengaruh Kepercayaan, Agama dan Aliran Lain, Jinis Kelamin dan Masalah Analisis a) Kepercayaan, agama dan aliran lain Kepercayaan dan agama adalah pondasi penting untuk kesehatan , agama dan kepercayaan memberikan kontribusi penuh dalam tindakan keperawatan . Misalnya perawatan pasien beragama berbeda harus

dibedakan dengan pasien lain yang mempunyai agama berbeda dalam hal kepercayaan. b) Jenis Kelamin Wanita mempunyai peranan ( yang dianggap penting) karena perempuan lebih professional. Terbukti dari awal mula 95-98 % perawat adalah perempuan. Status sosial wanita dalam dunia medis maupun masyarakat dicirikan sebagai seorang yang dapat merawat, seperti seorang ibu yang merawat anak-anaknya. c) Masalah Analisis Sebuah masalah digambarkan dengan situasi dan keadaan tertentu. Masalah selalu di luar rencana ( tidak direncanakan ) dan lebih sering tidak diterima . Masalah bisa lebih kompleks ataupun malah lebih sederhana , untuk itu seorang perawat harus mampu menyesuaikan diri dengan mengubah pola pikir terhadap analisa tersebut. 3. Daftar Pustaka Nova Maulana, (2014), Buku Ajar Sosiologi dan Antropologi Kesehatan, Cetakan Pertama, Nuha Medika, Yogyakarta Arum Pratiwi, (2011), Buku Ajar Keperawatan Transkultural, Cetakan Pertama, Penerbit Gosyen Pulishing, Yogyakarta Wahyu Ratna, (2010),”Sosiologi dan Antropologi Kesehatan dalam Perspektif Ilmu Keperawatan”, Edisi I, Pustaka Rihama, Yogyakarta. Sudiharto,(2007) “Asuhan Keperawatan Keluarga dengan Pendekatan Transkultural”, Edisi I, EGC, Jakarta Foster/Anderson. 1986. Antropologi Kesehatan, Jakarta, Grafiti. Sarwono, S. 1993. Sosiologi Kesehatan, Beberapa Konsep Beserta Apli kasinya, Yogyakarta, Gadjah Mada Press. Leininger. M & McFarland. M.R, (2002), Transcultural Nursing : Concepts,Theories, Research and Practice, 3rd Ed, USA, Mc-Graw Hill Companies Momon Sudarma, (2009), Sosiologi untuk Kesehatan, Jakarta, Penerbit Salemba Medika 4. Latihan/Tugas a. Setiap mahasiswa membuat rangkuman materi aplikasi transkuktural nursing sepanjang daur kehidupan manusia mencakup perawatan kehamilan dan kelahiran, perawatan dan asuhan pada anak, perawatan pada lansia, perawatan sebelum dan sesudah meninggal, kepercayaan dan pengobatan kuno b. Setiap kelompok mencari, menggali dan mendiskusikan materi aplikasi transkuktural nursing sepanjang daur kehidupan manusia baik melalui buku-buku maupun melalui internet.

C. Penutup 1. Evaluasi danKunci Jawaban a. Jelaskan perawatan kehamilan dan kelahiran berdasarkan padangan budaya

b. Jelaskan perawatan pada anak, dan lansia berdasarkan pandangan budaya c. Jelaskan beberapa pengobatan kuno yang masih digunakan/diterapkan 2. Lembar Kejra Mahasiswa . Mata Kuliah Semester : ....................... Minggu ke : ......................

...................... SKS : ................ Tugas ke : ..................

1. Tujuan Tugas : 2. Uraian Tugas : a. Obyek garapan : .................... b. Yang harus dikerjakandan batasan-batasan : ................... c. Metode/cara pengerjaan, acuan yang digunakan : ........ d. Deskripsiluaran tugas yang digunakan : ................ 3. Kriteria penilaian : a. .................................. .........................% b. .................................... ..........................% c. ................................. .........................%

PEMBELAJARAN 15

Aplikasi Keperawatan Transkultural Dalam Berbagai Masalah Kesehatan Pasien A. PENDAHULUAN 1. Deskripsi/Uraian Materi Mata Kuliah ini menguraikan tentang alpikasi keperawatan transkultural dalam berbagai masalah kesehatan pasien mencakup pengertian transkultural nursing, tujuan keperawatan transkultural, hubungan model dan paradigm, hubungan model dengan konsep caring, konsep utama teori transkultural, mitos-mitos yang berkaitan dengan kesehatan . 2. Kompetensi Dasar a. Mampu menjelaskan pengertian keperawatan transkultural b. Mampu menjelaskan tujuan keperawatan transkultural c. Mampu menjelaskan hubungan model Leininger dengan konsep caring d. Mampu menjelaskan mitos yang berkaitan dengan kesehatan B. Penyajian 1. Pengertian Keperawatan Transkultural Leininger mendefinisikan “Transkultural Nursing” sebagai area yang luas dalam keperawatan yang berfokus pada komparatif studi dan analisis perbedaan kultur dan subkultur dengan menghargai prilaku caring, nursing care dan nilai sehat-sakit, kepercayaan dan pola tingkah laku dengan tujuan perkembangan ilmu dan humanistic body of knowledge untuk kultur yang spesifik dan kultur yang universal dalam keperawatan. Culture care adalah teori yang holistic karena meletakkan didalamnya ukuran dari totalitas kehidupan manusia dan berada selamanya, termasuk sosial struktur, pandangan dunia, nilai cultural, konteks lingkungan, ekspresi bahasa dan etnik serta sistem professional. 2. Tujuan dari transkultural dalam keperawatan adalah kesadaran dan apresiasi terhadap perbedaan kultur. 3 Hubungan model dan paradigma keperawatan Manusia :seseorang yang diberi perawatan dan harus diperhatikan kebutuhannya Kesehatan :konsep yang penting dalam perawatan transkultural Lingkungan : tidak didefinisikan secara khusus, namun jika dilihat bahwa telah terwakili dalam kebudayaan, maka lingkungan adalah inti utama dari teori M. Leininger Keperawatan : Leininger menyajikan 3 tindakan yang sebangun dengan kebudayaan klien yaitu Cultural care preservation, accomodation dan repatterning 4. Perbedaan Budaya Menurut Leininger Preservasi Asuhan Kultu Ral Preservasi asuhan cultural berarti bahwa keperawatan melibatkan penghargaan yang penuh terhadap pandangan budaya dan ritual pasien serta kerabatnya. Adaptasi Asuhan Kultural Akomodasi/ adaptasi asuhan kultural melibatkan negosiasi dengan pasien dan kerabatnya dalam rangka menyesuaikan pandangan dan ritual tertentu yang berkaitan dengan sehat, sakit, dan asuhan Rekonstru Ksi/Repatterning Asuhan Kultu Ral Rekonstruksi asuhan kultural melibatkan kerjasama dengan pasien dan kerabatnya dalam rangka membawa perubahan terhadap perilaku mereka yang berkaitan dengan sehat, sakit, dan asuhan dengan cara yang bermakna bagi mereka. 5. Hubungan Teori Model Leininger Dengan Konsep Caring Caring dalam keperawatan adalah fenomena transkultural dimana perawat berinteraksi dengan klien, staf dan kelompok lain. Leininger menggunakan metode ethnomethods sebagai cara untuk melakukan pendekatan dalam mempelajari caring karena metode ini secara langsung

menyentuh bagaimana cara pandang, kepercayaan dan pola hidup yang dinyatakan secara benar. 6. Alasan Utama Mempelajari Caring Konsep caring muncul secara kritis pada pertumbuhan,perkembangan,& kemampuan bertahan makhluk hidup. Mengerti secara menyeluruh aturan pemberian & penerima pelayanan pd kultur yg berbeda. Caring adlh studi untuk memenuhi kebutuhan yg esensial untuk proses penyembuhan kelompok. 7. Hubungan teori Leininger dengan konsep holism Perawat perlu melakukan asuhan kep secara menyeluruh/holistic care, karena objek kep adalah manusia yg merupakan individu yg utuh shg harus dilakukan secara menyeluruh. Perbedaan asuhan kep menyeluruh berfokus memadukan berbagai praktek & ilmu pengetahuan ke dalam satu kesatuan asuhan. Sedangkan asuhan holistic berfokus pd memadukan sentiment kepedulian dan praktek perawat yg bertujuan meningkatkan kesejahtraan pasien. 8. Hubungan teori Leininger dengan konsep humanism Tindakan keperawatan mengacu pd pemahaman hubungan sehat,sakit,dan perilaku manusia. Perawatan manusia membutuhkan perawat yg memahami prilaku & respon manusia terhadap masalah kesehatan. Perawat juga harus bisa memberikan kenyamanan, perhatian dan empati kpd pasien & keluarganya. Hubungan konsep ini bahwa memberikan pelayanan kesehatan pd klien dgn memandang klien sbg individu sbg personal lengkap dgn fungsinya. 10 Konsep Utama Teori Transkultural : a. Culture Care Nilai-nilai, keyakinan, norma, pandangan hidup yang dipelajari dan diturunkan serta diasumsikan yang dapat membantu mempertahankan kesejahteraan dan kesehatan serta meningkatkan kondisi dan cara hidupnya. b. World View Cara pandang individu atau kelompok dalam memandang kehidupannya sehingga menimbulkan keyakinan dan nilai. c. Dimensi Culture and Social Structure Pengaruh dari factor-faktor budaya tertentu (sub budaya) yang mencakup religius, kekeluargaan, politik dan legal, ekonomi, pendidikan, teknologi dan nilai budaya yang saling berhubungan dan berfungsi untuk mempengaruhi perilaku dalam konteks lingkungan yang berbeda d. Generic Care System Budaya tradisional yang diwariskan untuk membantu, mendukung, memperoleh kondisi kesehatan, memperbaiki atau meningkatkan kualitas hidup untuk menghadapi kecacatan dan kematiannya. e. Profesional system Pelayanan kesehatan yang diberikan oleh pemberi pelayanan kesehatan yang memiliki pengetahuan dari proses pembelajaran di institusi pendidikan formal serta melakukan pelayanan kesehatan secara professional. f. Culture Care Preservation Upaya untuk mempertahankan dan memfasilitasi tindakan professional untuk mengambil keputusan dalam memelihara dan menjaga nilai-nilai pada individu atau kelompok sehingga dapat mempertahankan kesejahteraan. g. Culture Care Acomodation Teknik negosiasi dalam memfasilitasi kelompok orang dengan budaya tertentu untuk beradaptasi/berunding terha terhadap tindakan dan pengambilan kesehatan. h. Cultural Care Repattering. Menyusun kembali dalam memfasilitasi tindakan dan pengambilan keputusan professional yang dapat membawa perubahan cara hidup seseorang. i. Culture Congruent / Nursing Care Suatu kesadaran untuk menyesuaikan nilai-nilai budaya / keyakinan dan cara hidup individu/ golongan atau institusi dalam upaya memberikan asuhan keperawatan yang bermanfaat. Transkultural Care Dengan Proses Keperawatan Model konseptual asuhan keperawatan transkultural dapat dilihat pada gambar berikut.

11 Faktor teknologi (tecnological factors) Teknologi kesehatan memungkinkan individu untuk memilih atau mendapat penawaran menyelesaikan masalah dalam pelayanan kesehatan. Perawat perlu mengkaji : persepsi sehat sakit, kebiasaan berobat atau mengatasi masalah kesehatan, alasan mencari bantuan kesehatan, alasan klien memilih pengobatan alternatif dan persepsi klien tentang penggunaan dan pemanfaatan teknologi untuk mengatasi permasalahan kesehatan saat ini. 12 Faktor agama dan falsafah hidup (religious and philosophical factors) Agama adalah suatu simbol yang mengakibatkan pandangan yang amat realistis bagi para pemeluknya. Agama memberikan motivasi yang sangat kuat untuk menempatkan kebenaran di atas segalanya, bahkan di atas kehidupannya sendiri. Faktor agama yang harus dikaji oleh perawat adalah : agama yang dianut, status pernikahan, cara pandang klien terhadap penyebab penyakit, cara pengobatan dan kebiasaan agama yang berdampak positif terhadap kesehatan. 13 Analisis Fenomena Keperawatan Gambaran Kasus : Ny. D, berusia 29 tahun masuk ke unit keperawatan onkologi dengan keluhan nyeri pelvic dan pengeluaran cairan pervagina. Hasil pemeriksaaan Pap Smear didapatkan menderita Ca Cerviks stadium II dan telah mengalami Histerektomy radikal dengan bilateral salpingooophorectomy. Riwayat kesehatan masa lalu : jarang melakukan pemeriksaan fisik secara teratur. Ny D mengatakan bahwa tidak pernah melakukan pemeriksaan payudara sendiri. Tinggi badan 5 kaki 4 inci dan BB 89 pound. Biasanya dia memiliki BB 110 pound. Dia seorang perokok dan menghabiskan kurang lebih 2 pak sehari dan berlangsung selama 16 tahun. Dia sudah memiliki 2 orang anak. 14 Faktor sosial dan keterikatan keluarga (kinship and social factors) Perawat pada tahap ini harus mengkaji faktor- faktor : nama lengkap, nama panggilan, umur dan tempat tanggal lahir, jenis kelamin, status, tipe keluarga, pengambilan keputusan dalam keluarga, dan hubungan klien dengan kepala keluarga. 15 Nilai-nilai budaya dan gaya hidup (cultural value and life ways) Nilai-nilai budaya adalah sesuatu yang dirumuskan dan ditetapkan oleh penganut budaya yang dianggap baik atau buruk. Norma- norma budaya adalah suatu kaidah yang mempunyai sifat penerapan terbatas pada penganut budaya terkait. Yang perlu dikaji pada faktor ini adalah : posisi dan jabatan yang dipegang oleh kepala keluarga, bahasa yang digunakan, kebiasaan makan, makanan yang dipantang dalam kondisi sakit, persepsi sakit berkaitan dengan aktivitas sehari-hari dan kebiasaan membersihkan diri. 16 Faktor kebijakan dan peraturan yang berlaku (political and legal factors) Kebijakan dan peraturan rumah sakit yang berlaku adalah segala sesuatu yang mempengaruhi kegiatan individu dalam asuhan keperawatan lintas budaya (Andrew and Boyle, 1995). Yang perlu dikaji pada tahap ini adalah : peraturan dan kebijakan yang berkaitan dengan jam berkunjung, jumlah anggota keluarga yang boleh menunggu, cara pembayaran untuk klien yang dirawat. 17 Faktor ekonomi (economical factors) Klien yang dirawat di rumah sakit memanfaatkan sumber-sumber material yang dimiliki untuk membiayai sakitnya agar segera sembuh. Faktor ekonomi yang harus dikaji oleh perawat diantaranya : pekerjaan klien, sumber biaya pengobatan, tabungan yang dimiliki oleh keluarga,

biaya dari sumber lain misalnya asuransi, penggantian biaya dari kantor atau patungan antar anggota keluarga. 18 Faktor pendidikan (educational factors) Latar belakang pendidikan klien adalah pengalaman klien dalam menempuh jalur pendidikan formal tertinggi saat ini. Semakin tinggi pendidikan klien maka keyakinan klien biasanya didukung oleh buktibukti ilmiah yang rasional dan individu tersebut dapat belajar beradaptasi terhadap budaya yang sesuai dengan kondisi kesehatannya. Hal yang perlu dikaji pada tahap ini adalah : tingkat pendidikan klien, jenis pendidikan serta kemampuannya untuk belajar secara aktif mandiri tentang pengalaman sakitnya sehingga tidak terulang kembali. 19 Analisis Fenomena Keperawatan Ny. D Kehamilan pertama ketika dia berusia 16 tahun dan kehamilan yang kedua saat berusia 18 tahun. Sejak saat itu dia menggunakan kontrasepsi oral secara teratur. Dia menikah dan tinggal dengan suaminya bersama 2 orang anaknya dirumah ibunya, dengan sanitasi lingkungan yang kurang baik. Suaminya seorang pengangguran. Dia menggambarkan suaminya seorang yang emosional dan kasar. 20 Analisis Fenomena Keperawatan Ny D telah mengikuti pembedahan dengan baik kecuali satu hal dia belum mampu mengosongkan kandung kemihnya. Dia masih merasakan nyeri dan mual post operasi. Hal itu mengharuskan dia untuk menggunakan kateter intermitten di rumah. Obat yang digunakan adalah antibiotic, analgetik untuk nyeri dan antiemetic untuk mualnya. Sebagai tambahan, dia akan mendapatkan terapi radiasi sebagai pengobatan rawat jalan. Ny D sangat sedih. Dia menunjukkan perhatian yang sangat besar terhadap masa depannya dan kedua anaknya. Dia percaya bahwa penyakit ini adalah sebuah hukuman akibat masa lalunya. 21 Penerapan Asuhan Keperawatan Berdasarkan teori Leininger. A. Pengkajian Pengkajian dilakukan terhadap respon adaptif dan maladaptif untuk memenuhi kebutuhan dasar yang tepat sesuai dengan latar belakang budayanya. Pengkajian dirancang berdasarkan 7 komponen yang ada pada “ Leininger’s Sunrise models” dalam teori keperawatan transkultural 22 Diagnosa Keperawatan Perawat merumuskan masalah yang dihadapi Pasien dan keluarganya adalah : Perlunya perlindungan, kebutuhan akan kehadiran orang lain dan rasa ingin berbagi sebagai nilai yang penting untuk Pasien dan keluarganya. Perkembangan dari pola ini adalah kesehatan dan kesejahteraan yang bergantung pada ketiga aspek tersebut. Hal lain yang ditemukan adalah suatu pola yang dapat membangun kehidupan social dan aspek penting lainnya yaitu masalah kerohanian, kekeluargaan dan ekonomi yang sangat besar mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan 23 Perencanaan dan Implementasi Perencanaan dan implementasi keperawatan transkultural menawarkan tiga strategi sebagai pedoman Leininger (1984) ; Andrew & Boyle, 1995 yaitu : Perlindungan/mempertahankan budaya (Cultural care preservation/maintenance) bila budaya pasien tidak bertentangan dengan kesehatan, Mengakomodasi/menegosiasi budaya (Cultural care accommodation atau

negotiations) apabila budaya pasien kurang mendukung kesehatan Mengubah dan mengganti budaya pasien dan keluarganya (Cultural care repartening / recontruction). 24 Evaluasi Evaluasi asuhan keperawatan transkultural dilakukan terhadap : keberhasilan pasien mempertahankan budaya yang sesuai dengan kesehatan Negosiasi terhadap budaya tertentu yang lebih menguntungkan kesehatannya Restrukturisasi budaya yang bertentangan dengan kesehatan. 25 Tugas Individu Buat Proses Asuhan Keperawatan pada Fenomena Kasus Ny. D Selamat Berkerja, Sukses Selalu dengan kerja keras Kompetensi Budaya Adalah seperangkat perilaku ,sikap, dan kebijaksanaan yang bersifat saling melengkapi dalam satu system kehidupan sehingga memungkinkan untuk berinteraksi secara efektif dalam satu kerangka yang saling berhubungan antar budaya di dunia (Cross ,T.et al, 1998 ). Komunikasi Lintas Budaya Merupakan komunikasi lintas budaya yang dapat dimulai melalui proses diskusi, dan bila perlu dapat dilakukan melalui identifikasi cara orang berkomunikasi dari berbagai budaya di Indonesia. Penggunaan Bahasa Bahasa yang digunakan dalam komunikasi lintas budaya dapat menjadi perhatian khusus.Ini merupakan sebagai cirri khas dari setiap orang menurut bahasa yang digunakan dengan perhatian pola kata tertentu. MITOS Mitos Memakan Makanan Dari Sesaji Untuk Ritual Tertentu Di Masyarakat Fakta Di Lapangan : Masih banyak ditemukan dan bahkan di lapangan khususnya masyarakat pedesaan masih mempercayainya. Kegiatan ini sudah ada sejak zaman nenek moyang yang terdahulu. Tempat yang mereka pakai dahulunya terletak pada daerah yang dimana disitu merupakan bagian terpenting akan terkabulnya kenginan mereka. Intinya kegiatan yang dilakukan ini bisa merupakan wujud ungkapan rasa syukur,penghormatan maupun bentuk rasa berbagi dengan sesame yang ditujukan untuk Tuhan.Memakan makanan yang berasal dari sesaji tersebut merupakan bentuk rasa penghormatan pada yang Kuasa dan juga bisa mendoakan akan apa yang kita inginkan. Teori Dilihat dari bentuk yang dihidangakn berupa nasi,sayur-sayuran,ayam,dll.yang menjdai inti permasalahannya adalah pembagian ayamnya dari yang masih utuh menjadi bagian kecil-kecil,bila orang yang membagikan tidak tahu akan makna bersih maka akan terabaikan kebersihan dari kuman ayam tersebut.Selain itu ada juga bagaimana proses memasaknya untuk ayam tersebut,terkadang ayam ada bagian yang belum mencapai tingkat kematangan dan itu akan berpengaruh pada proses pencernaan dan keamanan mengkonsumsi makanan tersebut. Kandungan daging ayam sesungguhnya banyak

mengandung protein dan nutrisi nutrisi lain didalamnya yang berguna untuk keperluan tubuh.Sayur-sayuran juga diperlukan tubuh untuk proses pencernaan seperti bayam yang banyak mengandung serat berfungsi untuk memperlancar proses metabolisme. Opini Kepercayaan yang timbul sejak zaman dahulu sudah sangat melekat dan kental akan budaya yang tiap tahun diadakan akan sulit dihilangkan karena akan menjadi cirri khas pada daerah itu.Mereka beranggapan barang siapa menghilangkan budaya ini dampaknya sangat bervariasi, bisa dikucilkan masyarakat karena dianggap tidak menghargai para pendahulunya, dan yang paling fatal bisa diusir dari lingkungan. Mitos Tentang Sirkumsisi Dilihat Dari Segi Agama Islam Fakta Di Lapangan Sekarang ini dilhat dari kesadaran masyarakat tentang kesehatan sudah sangat berkembang.Banyak anak kecil yang sudah lulus tingkat sekolah dasar maupun yang masih menempuhnya sudah dilakukan khitan atau sirkumsisi.Faktor yang mempengaruhi keinginan untuk dikhitan biasnya berasal dari anak itu sendiri malu pada temanteamanya maupun dari orang tua yang mendesak untuk dilakukanya khitan.Di daerah sudah ada alat yang mumpuni untuk melakukan proses sirkumsisi secara modern.Agenda yang dilakukan institusi kesehatan biasanya yang sering kita dengar Khitanan masal dan ini sangat membantu bagi keluarga yang tidak mampu untuk mengkhitankan anaknya. Teori Dari segi agama islam sangat dianjurkan untuk diilakukan sirkumsisi atau khitan dengan tujuan memberikan kesehatan pada umatnya.Ini merupakan tanda sudah baligh bila sudah di khitan atau sirkumsisi. Dahulunya untuk melakukan khitan atau sirkumsisi masih sangat sederhana dan masih menggunakan metode yang classic.Untuk penyembuhanya sendiri bisa berbulan setelah dilakukan sirkumsisi atau khitan.Obat yang digunakan masih sangat terbatas selain itu di daerah desa juga sangat terbatas petugas kesehatanya.Tapi sekarang dengan kemajuan tekhnologi diharapkan bisa terlaksana proses sirkumsi yang lebih maju dan mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat.Sirkumsisi atau khitan adalah memotong sebagian dari alat kelamin dari pria untuk menjaga kebersihan dari alat kelamin pria.Ini bisa dibuktikan dengan urin yang keluar bila belum khitan atau sirkumsisi akan sebagian tertinggal,selanjutnya akan mengendap dan bahayanya bila terjdai hhubungan intim akan membahayakan bagi si wanita karena sperma yang keluaar bersama dengan endapan tadi akan memyebabkan kanker rahim. Opini Dilakukan khitan atau sirkumsisi dapat mempercepat proses pendewasaan dari postur tubuh biasanya dengan tanda jakun yang membesar,suara yang terlihat besar, dan tentunya bertambahnya tinggi dan berat badan.Setelah dikhitan akan merasa lega karena sudah melaksanakan tugas dari rosul.untuk syarat sahnya sholat salah satunya juga sirkumsisi atau khitan ini bila kita sebagai imam. Mitos Ibu Hamil Fakta Di Lapangan

Ibu hamil itu boleh makan pisang, nanas, mentimun itu kan bisa menyebabkan keputihanbahkan masyarakat sekitar saya berpendapat bahwa nanas bisa menyebabkan keguguran,apakah semua itu benar????? Sewaktu ibu hamil,jika suami memotong ayam, apakah anak yang akan lahir cacat? Fakta dari mitos diatas tidak akan terjadi kecacatan pada bayi yang dilahirkan,jika bayi yang lahir cacat bukan dari mitos tersebut,kerena cacat itu bisa dari faktor kelainan genetiknya. Teori Jadi mengkonsumsi pisang , nanas, mentimun justru disarankann karena kaya akan vitamin C dan serat yang penting untuk menjaga kesehatan tubuh dan melancarkan proses pembuangan sisa-sisa pencernaan. Untuk kehamilan itu untuk memenuhi nutrisi untuk menjaga perkembangan janin menjadi baik. Kehamilan seseorang tidak bisa ditentukan dengan kelahiran yang normal maupun tidak,tapi secara medis untuk kelahiran yang tak normal banyak berbagai faktor yang mempengaruhi salah satunya adalah kelainan gen pembawa dari ayah maupun ibu ini sangat berpengaruh bagi kelahirannya. Opini Ibu hamil rentan akan masalah yang bisa ditimbulkan.Sebisa mungkin perhanan akan kondisi sehat sangat kuat dengan dukungan keluarga,suami dan teman-taman.budaya di mana dia tinggal sangatlah berpengaruh bagi perkembangan kehamilannya.keyakinan inilah yang dipegang untuk menjaga,merawat, melindungi kehamilan si ibu.Nilainilai,norma,adat masih dipegang kuat. Menurut pendapat kami tentang mitos diatas tersebut itu hanya keyakinan seseorang atau kelompok,karena belum tentu setiap desa atau kota menpunyai mitos yang sama.karena belum tentu mitos itu akan jadi kenyataan,memang kadang-kadang ada ibu hamil anaknya lahir dalam kondisi tidak normal(cacat), misalnya makan buah yang menjadi pantangan ibu hamil anaknya lahir cacat itu hanya bertepatan saja,dibalik semua itu mungkin ada kelainan pada saat bayi masih dalam kandungan. 3. Daftar Pustaka Nova Maulana, (2014), Buku Ajar Sosiologi dan Antropologi Kesehatan, Cetakan Pertama, Nuha Medika, Yogyakarta Arum Pratiwi, (2011), Buku Ajar Keperawatan Transkultural, Cetakan Pertama, Penerbit Gosyen Pulishing, Yogyakarta Wahyu Ratna, (2010),”Sosiologi dan Antropologi Kesehatan dalam Perspektif Ilmu Keperawatan”, Edisi I, Pustaka Rihama, Yogyakarta. Sudiharto,(2007) “Asuhan Keperawatan Keluarga dengan Pendekatan Transkultural”, Edisi I, EGC, Jakarta Foster/Anderson. 1986. Antropologi Kesehatan, Jakarta, Grafiti. Sarwono, S. 1993. Sosiologi Kesehatan, Beberapa Konsep Beserta Apli kasinya, Yogyakarta, Gadjah Mada Press. Leininger. M & McFarland. M.R, (2002), Transcultural Nursing : Concepts,Theories, Research and Practice, 3rd Ed, USA, Mc-Graw Hill Companies Momon Sudarma, (2009), Sosiologi untuk Kesehatan, Jakarta, Penerbit Salemba Medika 4. Latihan/Tugas

a. Setiap mahasiswa membuat rangkuman materi alpikasi keperawatan transkultural dalam berbagai masalah kesehatan pasien baik melalui buku-buku, jurnal maupun internet b. Setiap kelompok mencari, menggali dan mendiskusikan materi aplikasi keperawatan transkuktural dalam bebbagai masalah kesehatan pasien untuk dipresentasikan. C. Penutup 1. Evaluasi danKunci Jawaban a. Jelaskan perawatan pengertian kepperawatan transkultural b. Jelaskan tujuan keperawatan transkultural c. Jelaskan hubungan model dan paradigma d. Jelaskan mitos-mitos yang berkaitan dengan kesehatan. 2. Lembar Kejra Mahasiswa . Mata Kuliah Semester : ....................... Minggu ke : ......................

...................... SKS : ................ Tugas ke : ..................

1. Tujuan Tugas : 2. Uraian Tugas : a. Obyek garapan : .................... b. Yang harus dikerjakandan batasan-batasan : ................... c. Metode/cara pengerjaan, acuan yang digunakan : ........ d. Deskripsiluaran tugas yang digunakan : ................ 3. Kriteria penilaian : a. .................................. .........................% b. .................................... ..........................% c. ................................. .........................%

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF