Modul Pendidikan Dokter Spesialis Anestesiologi Dan Reanimasi

May 6, 2017 | Author: Letchumana Krishnan | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

anestesi...

Description

i

KARI

MODUL PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI

1

KOLEGIUM ANESTESIOLOGI & REANIMASI INDONESIA 2008 DAFTAR ISI

No.

Topik

1.

Modul Keterampilan Dasar Anestesiologi I

2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38.

Modul Keterampilan Dasar Anestesiologi II Modul Keterampilan Dasar Anestesiologi III Modul Kedokteran Perioperatif I Modul Kedokteran Perioperatif II Modul Persiapan Obat dan Alat Anestesia Modul Traumatologi I Modul Anestesia Umum Modul Analgesia regional I (Bier’s block, spinal) Modul Analgesia regional II (epidural, kaudal, blok saraf) Modul Anestesia Bedah Ortopedi I Modul Anestesia Bedah Ortopedi II Modul Anestesia Bedah Onkologi dan Bedah Plastik Modul Anestesia Bedah Urologi Modul Anestesia Obstetri I Modul Anestesia Obstetri II Modul Anestesia Bedah THT I Modul Anestesia Bedah THT II Modul Anestesia Bedah Mata Modul Anestesia Bedah Pediatrik I (prosedur sederhana) Modul Anestesia Bedah Pediatrik II (lanjutan) Modul Anestesia Bedah Saraf I (semester 4) Modul Anestesia Bedah Saraf II (semester 6) Modul Anestesia Bedah Rawat Jalan Modul Anestesia Kardiotorasik I Modul Anestesia Kardiotorasik II Modul Anestesia Bedah Darurat Modul Anestesia Bedah Invasif Minimal Modul Anestesia Di luar Kamar Bedah Modul Anestesia dan Penyakit Khusus Modul Anestesia dan Penyakit Langka Modul Traumatologi II Modul Post Anesthesia Care Unit (PACU) Modul Penatalaksanaan Nyeri Modul Intensive Care I Modul Intensive Care II Modul Penelitian Modul Kemampuan Komunikasi dan Profesionalisme

Halaman

2

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur disampaikan ke hadirat Ilahi Robbi, karena akhirnya Modul Pendidikan Anestesiologi & Reanimasi dapat diselesaikan. Modul adalah profil suatu program pendidikan dokter spesialis atau subspesialis (spesialis konsultan) yang disusun oleh masing-masing kolegium ilmu kedokteran. Katalog mencakup visi dan misi, kompetensi, persyaratan dan alur pendaftaran peserta didik, pelaksanaan seleksi, lama serta isi program dan cara evaluasi, serta daftar Institusi Pendidikan Dokter Spesialis (IPDS). Dengan demikian pada Modul ini pun berisi hal-hal yang tersebut di atas. Katalog ini dibuat oleh Komisi Ujian Nasional, Komisi Kompetensi KARI yang terdiri dari anggota tetap komisi dan para Ketua Program Studi (KPS) dan atau Sekretaris Program Studi (SPS) semua Pusat Pendidikan Anestesiologi & Reanimasi di Indonesia yaitu Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran, Universitas Airlangga, Universitas Diponegoro, Universitas Gajah Mada, Universitas Hasananudin, Universitas Sumatra Utara, Universitas Udayana, Universitas Sebelas Maret dan Universitas Sriwijaya. Isi Katalog ini sebagian besar diambil dari Katalog KARI edisi 1998 yang disusun oleh Prof.dr. Siti Chasnak Saleh, Prof.dr. Karyadi Wirjoatmojo, dr. Said Latief, dr. Ruswan Dachlan, dr. Bambang Suryono sebagai panitia ad hoc. Dengan penambahan hal-hal yang baru yang merupakan komponen Katalog seperti yang diharuskan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), akhirnya dapat dibuat Katalog edisi 2008.

Bandung, Juni 2008 Ketua Kolegium Anestesiologi & Reanimasi Indonesia

Prof. Dr. Tatang Bisri, dr., SpAn-KNA 3

TIM PEMBUAT MODUL

Prof. Dr. Tatang Bisri, dr., SpAnKNA Prof. M. Roesli Thaib, dr., SpAnKIC-KNA Prof. Dr. Margaretta Rehatta, dr., SpAnKIC-KNA Prof. Dr. Eddy Rahardjo, dr., SpAnKIC Indro Mulyono, dr., SpAnKIC Sun Sunatrio, dr., SpAnKIC Hasanul Arifin, dr., SpAn Bhirowo Yudo Pratomo, dr., SpAn Elizeus Hanindito, dr., SpAnKIC Tantani Sugiman, dr., SpAnKIC Uripno Budiono, dr., SpAn Erry Leksana, dr., SpAnKIC MH. Sudjito, dr., SpAnKNA Eddy Hariyanto, dr., SpAnKIC Ratna Farida, dr., SpAn Syafrudin Gaus, dr., SpAn, PhD I.B. Gde Sujana, dr., SpAn

Sekretaris Tim Modul: Dita Adityaningsih, dr., SpAn

Peta Kurikulum Pendidikan Spesialis Anestesiologi

4

Orientasi &Pembekalan Sem 1 Sem 2

Sem 3

Magang Sem 4

Mandiri Sem 5 Sem 6

CR Sem 7

3 bulan kuliah 6 bulan

6 bulan

6 bulan

6 bulan

6 bulan

6 bulan

3 bulan di OK

Catatan : Waktu dan semester di atas tidak mengikat. Hasil pembelajaran (learning outcome) bergantung pada pencapaian kompetensi. Bila sudah dianggap kompeten bisa naik semester (penilaian meliputi segi kognitif, afektif, psikomotor. Kognitif : lulus ujian, menyelesaikan tugas ilmiah. Psikomotor: mencapai jumlah kasus sesuai tabel di bawah. Afektif: penilaian tingkah laku/kepribadian) Peta Kurikulum Pendidikan Spesialis Anestesiologi (FINAL) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28

Modul

Semester I

II

III

IV

V

VI

VII

SKS

Modul Keterampilan Dasar Anestesiologi I Modul Keterampilan Dasar Anestesiologi II Modul Keterampilan Dasar Anestesiologi III Modul Kedokteran Perioperatif I Modul Kedokteran Perioperatif II Modul Persiapan Obat dan Alat Anestesia Modul Traumatologi I Modul Anestesia Umum Modul Analgesia regional I (Bier’s block, spinal) Modul Analgesia regional II (epidural, kaudal, blok saraf) Modul Anestesia Bedah Ortopedi I Modul Anestesia Bedah Ortopedi II Modul Anestesia Bedah Onkologi dan Bedah Plastik Modul Anestesia Bedah Urologi Modul Anestesia Obstetri I Modul Anestesia Obstetri II Modul Anestesia Bedah THT I Modul Anestesia Bedah THT II Modul Anestesia Bedah Mata Modul Anestesia Bedah Pediatrik I (prosedur sederhana) Modul Anestesia Bedah Pediatrik II (lanjutan) Modul Anestesia Bedah Saraf I Modul Anestesia Bedah Saraf II Modul Anestesia Bedah Rawat Jalan Modul Anestesia Kardiotorasik I Modul Anestesia Kardiotorasik II Modul Anestesia Bedah Darurat Modul Anestesia Bedah Invasif Minimal

5

29 30 31 32 33 34 35 36 37 38

Modul Anestesia Di luar Kamar Bedah Modul Anestesia dan Penyakit Khusus Modul Anestesia dan Penyakit Langka Modul Traumatologi II Modul Post Anesthesia Care Unit (PACU) Modul Penatalaksanaan Nyeri Modul Intensive Care I Modul Intensive Care II Modul Penelitian Modul Kemampuan Komunikasi dan Profesionalisme Jumlah Modul

7 11

SKS

10 15

JENJANG 1

MODUL 1 Mengembangkan kompetensi Sesi di dalam kelas Sesi dengan fasilitasi pembimbing Sesi aplikasi klinis

9 15

7 15

4 12

7 12

2 14

94

JENJANG 2

KETERAMPILAN DASAR ANESTESIOLOGI I Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi untuk Spesialis Anestesiologi Waktu (selama Semester 1) 5 X 4 jam (kuliah kuliah ) 3 X 2 jam (diskusi dengan pembimbing) 3 pekan ( saat sesi praktek keterampilan dasar anestesia umum dan regional)

Persiapan Sesi -

Sistem audio visual: 1. Komputer/Laptop, 2. Proyektor LCD dan Layar, 3. Flip chart, 4. Pemutar video, 5. OHP

-

Materi kuliah: CD , flash disc powerpoint 6

Anatomi ,fisiologi, patofisiologi dan farmakologi klinis/terapan dalam anestesiologi: 1. Sistem pernafasan 2. Sistem kardiovaskular 3. Sistem saraf pusat 4. Sistem renal, -

Sarana belajar: 1. Ruang kuliah 2. Ruang diskusi

-

Penuntun Belajar: lihat materi acuan Daftar tilik kompetensi: lihat daftar tilik Referensi: 1. Clinical Anesthesiology GE Morgan, Jr. 4th ed 2006 2. Pharmacology and Physiology Stoelting ed. 4th 2006

Tujuan Pembelajaran Umum Setelah menyelesaikan modul ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk memahami ilmu anatomi, fisiologi, farmakologi yang terkait dengan bidang anestesiologi. Tujuan Pembelajaran Khusus Setelah menyelesaikan modul ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk memahami ilmu dasar anatomi, fisiologi dan farmakologi , sistem pernafasan, kardiovaskular, sistem saraf pusat dan perifer, dan sistem lain terkait seperti metabolisme dan ekskresi guna mendukung pemahaman akan tugas tugasnya dalam memberikan anestesia umum maupun analgesia regional

1.RANAH KOMPETENSI Setelah melalui sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan: 7

KOGNITIF 1. Mampu menjelaskan anatomi jalan nafas, paru dan organ nafas 2. Mampu menjelaskan fisiologi dan beberapa patofisiologi jalan nafas, paru dan organ nafas 3. Mampu menjelaskan farmakologi obat-obat yang digunakan untuk mengatasi patologi jalan nafas, paru dan organ nafas 4. Mampu menjelaskan anatomi jantung, pembuluh darah dan darah 5. Mampu menjelaskan fisiologi dan beberapa patofisiologi jantung, pembuluh darah dan darah 6. Mampu menjelaskan farmakologi obat-obat yang digunakan untuk mengatasi patologi jantung, pembuluh darah dan darah 7. Mampu menjelaskan anatomi otak, saraf pusat dan saraf perifer 8. Mampu menjelaskan fisiologi dan beberapa patofisiologi otak, saraf pusat dan saraf perifer 9. Mampu menjelaskan mekanisme kesadaran, persepsi nyeri 10. Mampu menjelaskan farmakologi obat-obat yang berdampak pada susunan saraf otak dan saraf perifer, dan saraf autonom 11. Mampu menjelaskan farmakologi obat-obat pelumpuh otot dan antagonisnya, opioid dan antagonisnya.

PSIKOMOTOR 1. Secara khusus tidak ada, karena ini pengetahuan intelektual 2. Keterampilan kognitif secara komprehensif, menggabungkan antara praktek anestesia dengan ilmu dasar anatomi, fisiologi dan farmakologi. 3. Mampu melakukan penilaian kesadaran setelah pemberian obat induksi. 4. Mampu melakukan penilaian patensi jalan nafas dan adekuat tidaknya pernafasan setelah pemberian obat-obat anestetik. 5. Mampu melakukan penilaian tanda-tanda perubahan sistem sirkulasi. 8

6. Mampu melakukan penilaian penunjuk anatomi (landmark) untuk analgesia lokal dan regional. 7. Mampu melakukan penilaian penunjuk anatomi untuk akses vena perifer dan sentral. 8. Mampu melakukan penilaian anatomi jalan nafas pada saat tindakan pembebasan jalan nafas. KOMUNIKASI /HUB INTERPERSONAL 1.

Mampu menjelaskan penyakit atau kelainan jalan nafas, pernafasan, sirkulasi dan otak, saraf serta fungsi kesadaran kepada tim dokter, pasien dan keluarga pasien.

2.

Mampu menjelaskan kepada tim dokter, pasien dan keluarga pasien tentang manfaat dan risiko terapi untuk penyakit atau kelainan jalan nafas, pernafasan, sirkulasi darah dan fungsi kesadaran

3.

Mampu menjelaskan kepada tim dokter, pasien dan keluarga pasien tentang manfaat dan risiko obat-obat anestetik dan analgesik

PROFESIONALISME 1.

Menjamin bahwa dokter telah memiliki pengetahuan cukup untuk melakukan tindakan medis pada penyakit dan kelainan jalan nafas, pernafasan, sirkulasi darah, jantung dan kesadaran seperti gagal nafas, penanggulangan syok, aritmia, resusitasi dan penanggulangan koma serta kenaikan tekanan intrakranial

2.

Menjamin bahwa dokter telah memiliki pengetahuan cukup tentang farmakologi obat yang digunakan untuk mengobati penyakit dan kelainan jalan nafas, pernafasan, sirkulasi darah, jantung dan kesadaran seperti gagal nafas, penanggulangan syok, aritmia, resusitasi dan penanggulangan koma serta kenaikan tekanan intrakranial

2. KEY NOTES (lihat buku Morgan) Pada keynotes tersebut di bawah ini akan ditekankan topik fisiologi, sedangkan untuk anatomi dan farmakologi dapat dilihat pada buku rujukan Morgan. Untuk telaah lebih dalam dapat dilihat pada buku Stoelting 9

Fisiologi Fisiologi kardiovaskular: 1. Sangat berbeda dengan aksi potensial pada saraf, aksi potensial pada jantung spike diikuti dengan fase plateau selama 0.2 – 0.3 detik. Pada otot dan saraf aksi potensial terjadi oleh karena pembukaan kanal cepat natrium di membran sel. Pada otot jantung ini terjadi karena pembukaan kanal cepat sodium (spike) dan kanal lebih lambat kalsium (plateau). 2. Halotan, enfluran dan isofluran menekan nodus sinoatrial (SA) secara automatis. Obatobat ini hanya memiliki efek langsung, sedang pada nodus atrioventrikular (AV), efeknya memanjangkan masa konduksi dan meningkatkan masa refrakter. Efek kombinasi ini dapat menjelaskan mengapa sering timbul junctional tachycardia bilamana suatu antikolinergik diberikan untuk sinus bradikardia selama anestesia inhalasi; junctional pacemakers lebih ditingkatkan daripada SA. 3. Studi-studi menunjukkan bahwa semua anestetik uap menekan kontraktilitas jantung dengan menurunkan masuknya ion Ca ke dalam sel selama depolarisasi. (mengenai kanal Ca tipe T dan L), mengubah kinetik pelepasan dan ambilan ke dalam retikulum endoplasma, dan menurunkan sensitivitas protein-protein kontraktil terhadap kalsium. 4. Oleh karena indeks jantung (CI) memiliki rentang lebar, relatif tidak sensitif sebagai ukuran untuk menilai fungsi ventrikular. Nilai CI yang abmormal biasanya menunjukkan gangguan ventrikular secara umum. 5. Bila tidak ada anemia berat atau hipoksia, pengukuran tekanan oksigen vena campur atau saturasi merupakan cara terbaik untuk menilai adekuat tidaknya curah jantung. 6. Oleh karena peran atrium dalam pengisian ventrikular penting dalam mempertahankan low mean ventricular diastolic pressures, pasien-pasien dengan penurunan kekembangan ventrikular sangat terpengaruh oleh gangguan pada sistol atrial. 7. Curah jantung pada pasien dengan gangguan yang jelas pada ventrikel kanan atau kiri sangat sensitif terhadap peninggian pascabeban. 8. Fraksi ejeksi ventrikular (EF) adalah fraksi volume ventrikular diastolik akhir yang dipompakan ke luar, merupakan penilaian ukuran fungsi sistolik yang paling umum dipakai dalam klinik.

10

9. Fungsi diastolik ventrikel kiri dapat dinilai secara klinis dengan ekokardiografi Doppler, pemeriksaan secara transtorasik atau transesofageal. 10. Oleh karena endokardium merupakan bagian intramural yang paling tertekan selama sistol, ini cenderung merupakan bagian yang mudah rusak oleh akibat iskemia pada waktu terjadi penurunan tekanan perfusi koroner. 11. Pada gagal jantung ketergantungan pada katekolamin meningkat. Penghentian tiba-tiba simpatetik atau penurunan kadar katekolamin dalam sirkulasi, seperti terjadi sesudah induksi anestesia, bisa menyebabkan dekompensasi jantung akut. Fisiologi sistem respirasi 1. Anestesia umum menurunkan konsumsi O2 dan produksi CO2 kira kira 15%. Tambahan penurunan sering terjadi pada hipotermia. Penurunan tertinggi konsumsi O2 terjadi di otak dan jantung. 2. Pada akhir ekspirasi, tekanan intrapleural normal rata-rata – 5 sm H2O dan karena tekanan alveolar adalah nol (tidak ada aliran), tekanan transpulmoner adalah +5smH2O. 3. Volume paru pada akhir ekshalasi normal disebut kapasitas residual fungsional (FRC). Pada volume ini, rekoil elastik masuk paru kira-kira sama dengan rekoil elastik keluar dada (termasuk tonus diafragma yang istirahat). 4. Kapasitas penutupan normal lebih rendah dari FRC, tetapi meningkat sesuai dengan peningkatan usia. Peningkatan ini mungkin yang menyebabkan penurunan PaO2 terkait dengan peningkatan umur. 5. Induksi anestesia secara konsisten menurunkan FRC 15-40% (400ml pada hampir semua pasien), di luar yang terjadi akibat posisi telentang. 6. Pada volume ekspiratori paksa detik pertama (FEV1) dan kapasitas vital paksa (FVC) ada upaya yang terikat, aliran ekspiratori tengah paksa (FEF25-75%) adalah upaya yang bebas dan mungkin lebih handal untuk menilai obstruksi. 7. Faktor-faktor lokal lebih penting daripada sistem autonom dalam mempengaruhi tonus vaskular paru. Hipoksia adalah rangsangan kuat untuk vasokonstriksi pulmoner (kebalikan efek sistemik). 8. Oleh karena ventilasi alveolar kira-kira 4 liter/menit dan curah jantung 5 liter/menit, maka V/Q rasio keseluruhan adalah 0.8 11

9. Pintasan menunjukkan proses

di mana desaturasi, vena campur dari jantung kanan

kembali ke jantung kiri tanpa mengalami resaturasi O2 di paru. Efek keseluruhan pintasan adalah menurunkan (dilusi) kandungan O2: jenis pintasan ini adalah pintasan kanan ke kiri. 10. Anestesia umum biasanya meningkatkan percampuran vena sampai 5-10%, mungkin sebagai akibat atelektasis dan kolaps jalan nafas di area bergantung pada paru. 11. Peningkatan PaCO2(>75mmHg) pada udara kamar akan menimbulkan hipoksia (PaO2100 kali/menit. Pengisapan melalui ETT harus dilakukan segera setelah lahir pada bayi dengan mekonium dan diulangi sampai trakea bersih. Tiap upaya isap harus singkat untuk mencegah bradikardia. 2. Ventilasi. Sesudah rangsangan dan stabilisasi, bayi yang bernafas spontan dan HR > 100 x/menit tetapi tampak sianosis sentral (wajah, tubuh dan membran mukosa), harus diberi suplemen oksigen. Sianosis akral (hanya di kaki dan tangan) biasanya normal dan tidak handal sebagai indikator hipoksemia. Beri ventilasi tekanan positif dengan oksigen 100% bila apnea, sianosis dan HR < 100 x/menit. Balon resusitator dan sungkup muka harus diupayakan segera. Nafas awal bisa memerlukan tekanan jalan nafas 30-40 sm H2O yang dipertahankan selama 2 detik. Tekanan jalan nafas harus dijaga serendah mungkin (pastikan paru mengembang dan cegah distensi lambung). Lakukan terus ventilasi bantu sampai timbul ventilasi spontan adekuat dan HR >100 x/menit. ETT dipasang bilamana ventilasi dengan sungkup muka tidak efektif, diperlukan pengisapan melalui ETT (aspirasi mekonium), atau diperlukan ventilasi berkepanjangan. 3. Kompresi dada. Untuk HR < 100, harus dievaluasi setelah pemberian ventilasi adekuat dengan oksigen 100% selama 30 detik. Bila HR < 60 kompresi dada harus juga dilakukan di samping bantuan nafas. Dilakukan pada sepertiga bawah dari sternum, dan kompresi dada sedalam 1/3 kedalaman antero-posterior. Kompresi dan ventilasi harus dikoordinasikan dengan rasio 3:1, dengan 90 kompresi dan 30 nafas sehingga dalam 1 menit diperoleh 120 kali upaya. Kompresi dihentikan seiap 30 detik untuk menilai ulang respirasi, HR, warna dan harus dilanjutkan terus sampai HR spontan > 60 x/menit 4. Pemberian obat-obat dan cairan resusitasi . Obat-obat resusitasi harus diberikan bila HR masih < 60 x/menit kalaupun ventilasi sudah adekuat dengan oksigen 100% dan kompresi dada. Vena umbilikalis, terbesar dan tertipis di antara 3 pembuluh darah dalam tali pusat, merupakan akses vaskular untuk resusitasi neonatus. Bila tak ada akses vaskular, epinefrin, atropin, lidokain, nalokson dibilas dengan larutan NaCl 0,9% 5 mL dapat diberikan melalui ETT. 65

5. Dosis obat dan cairan a. Suplemen oksigen harus diberikan pada waktu ventilasi tekanan positif. Berikan oksigen bila nafas spontan, tetapi ada sianosis sentral. Dianjurkan untuk tidak memberikan oksigen 100% dalam waktu lama. b. Epinefrin. Efek β-adrenergik dari epinefrin meningkatkan HR selama resusitasi neonatus. Indikasi pada asistol dan bradikardia < 60 x/menit sekalipun sudah dengan ventilasi tekanan positif dan kompresi dada. Dosis 0,01-0.03 mg/kg larutan 1:10.000 IV. Melalui ETT 0,1 mg/kg. Dosis dapat diulang setiap 3-5 menit, sesuai kebutuhan. c.Nalokson adalah antagonis spesifik untuk opiat diberikan bila ada depresi nafas pada neonatus sekunder karena pemberian narkotik pada ibunya. Dosis 0.1 mg/kg. Harus selalu diobservasi akan timbulnya ulang depresi atau terjadi reaksi withdrawal. d. Pemberian sodium bikarbonat secara rutin tidak dianjurkan. Dapat dipertimbangkan selama henti jantung yang berkepanjangan untuk mengatasi depresi fungsi miokard dan penurunan kerja katekolamin yang ditimbulkan oleh asidosis. Perdarahan intraventrikular pada bayi prematur terjadi karena beban osmolar yang terjadi karena pemberian Na-bikarbonat. Preparat untuk neonatus 4,2% atau 0,5 mEq/mL dapat menghindarkan efek samping di atas. Dosis awal 1 mEq/kg intavena diberikan selama 2menit. Selanjutnya 0,5 mEq/kg diberikan setiap 10 menit dan pH dan PaCO2 harus selalu diperiksa. e. Atropin, kalsium, glukosa tidak dianjurkan pada resusitasi neonatus kecuali dengan indikasi khusus. f. Cairan. Hipovolemia harus dipertimbangkan pada perdarahan peripartum atau bila hipotensi, nadi lemah, tetap pucat sekalipun sudah dilakukan oksigenasi dan kompresi dada. Cairan yang digunakan kristaloid 10 ml/kg dan diulang bila perlu. Pemberian volume ekspander seperti albumin secara cepat dapat menimbulkan perdarahan intraventrikular.

MODUL 4 :

KEDOKTERAN PERIOPERATIF I

Mengembangkan Kompetensi

Waktu (Semester 1 dan2 ) 66

Sesi di dalam kelas

2 X 1 jam (classroom session)

Sesi dengan fasilitasi Pembimbing

3 X 2 (coaching session)

Sesi praktek dan pencapaian kompetensi

4 pekan (facilitation & assessment)

PERSIAPAN SESI Audiovisual Aid: 1. LCD proyektor dan layar 2. Laptop 3. OHP 4. Flipchart 5. Pemutar video Materi presentasi: CD powerpoint Sarana: 1. Ruang belajar 2. Ruang pemeriksaan 3. Ruang pulih 4. Bangsal rawat inap/pengamatan lanjut Kasus : pasien di ruang BEDAH (Bedah, Kebidanan dll) Alat bantu latih : model anatomi /simulator Penuntun belajar : lihat acuan materi Daftar tilik kompetensi : lihat daftar tilik Referensi : 1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006 2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed. Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006 3. Miller’s Anesthesia 6th ed 2005. 4. Perioperatif Medicine, Gillman, J,1998 5. Perioperatif Care, Stone,DJ,2004 67

1. Tujuan Pembelajaran Umum : Setelah menyelesaikan modul ini peserta didikan akan memiliki pengetahuan dan keterampilan melakukan evaluasi, mempersiapkan anestesia, melakukan asuhan pascabedah untuk pasien ASA 1 dan 2 yang dilakukan pembedahan untuk mengurangi morbiditas bedah, meningkatkan kualitas asuhan perioperatif dan menghemat biaya. 2. Tujuan Pembelajaran Khusus: Setelah menyelesaikan modul ini peserta didik akan memiliki kemampuan: a. Kognitif i. Memahami arti kedokteran perioperatif. ii. Mampu menjelaskan tentang tanggapan fisiologi terhadap pembedahan dan anestesia. iii. Mampu menjelaskan indikasi dan menilai hasil pemeriksaan laboratorium hematologi, fungsi ginjal, fungsi hati dan endokrin. iv. Mampu menjelaskan indikasi dan menilai hasil pemeriksaan foto toraks dan EKG. v. Mampu melakukan identifikasikan riwayat penyakit atau kelainan pasien preoperatif yang mempengaruhi jalannya anestesia. vi. Mampu menentukan dengan benar status fisis pasien berdasarkan klasifikasi ASA. vii. Mampu menjelaskan rencana anestesia untuk prosedur bedah yang akan dilakukan. viii. Mampu menjelaskan persiapan alat dan obat untuk rencana operasi dengan anestesia umum. ix. Mampu menjelaskan sirkuit nafas mesin anestesia pada anestesia umum. x. Mampu menjelaskan dan menginterpretasikan hasil monitor. xi. Mampu menjelaskan tanda-tanda kegawatan pasien. xii. Mampu menjelaskan penanggulangan nyeri pascabedah b. Psikomotor i. Mampu melakukan pencatatan hal-hal penting yang terkait dengan tindakan anestesia umum dalam rekam medis preoperatif. ii. Mampu mempersiapkan alat anestesia umum. iii. Mampu memasang alat/mesin anestesia dengan benar. iv. Mampu memasang alat monitor dengan benar. v. Mampu melakukan interpretasi hasil monitor dan mampu melakukan tindakan segera sesuai hasil monitor sebelum, selama dan sesudah anestesia. vi. Mampu melakukan pencatatan rekam medis anestesia secara benar pada tindakan yang dilakukan pada butir 2. vii. Mampu melakukan penanggulangan nyeri pascabedah. c. Komunikasi/hubungan interpersonal 68

i. Mampu berinteraksi dengan orang lain atas dasar saling menghargai dan menghormati. ii. Mampu memberikan keterangan tentang kondisi pasien kepada sejawat senior atau konsulen. iii. Mampu menjelaskan pada pasien atau keluarga pasien tentang kondisi pasien preoperatif dan langkah-langkah tindakan anestesia yang akan dilakukan serta risiko yang bisa terjadi. iv. Mampu menciptakan kondisi kerjasama tim di antara semua petugas kesehatan yang terlibat di kamar operasi. v. Mampu memberikan kepercayaan pada pasien tentang penanggulangan nyeri dan rasa tidak nyaman pascabedah. d. Profesionalisme i. Mampu bekerja sesuai prosedur. ii. Mampu memberikan kemudahan kepada operator saat operasi. iii. Mampu berinteraksi dengan sejawat lain maupun tenaga paramedis dan tenaga kesehatan lain atas dasar menghargai kompetensi masing-masing. iv. Mampu menjaga kerahasiaan pasien. v. Mampu memahami, memberikan penjelasan kepada pasien atau keluarganya tentang kondisi pasien sesuai hak pasien. vi. Mampu melakukan pekerjaan secara efisien. 3. Key notes a. Sasaran utama asesmen medis prabedah dan praprosedur pasien yang akan menerima anestesia adalah untuk menurunkan angka kematian bedah, meningkatkan kualitas asuhan medis tetapi menurunkan biaya asuhan perioperatif dan pasien kembali dengan fungsi yang diinginkan secepat mungkin. b. Evaluasi dasar untuk prabedah dan praprosedur adalah data yang memperlihatkan kondisi pasien dan optimasi asuhan perioperatif yang menjadi prediktor signifikan untuk kematian pascabedah. c. Evaluasi prabedah dan praprosedur mengajukan oportuniti untuk memotivasi pasien agar mendapatkan kualitas hidup yang lebih tinggi dengan demikian memperbaiki outcome secepatnya dan peningkatan jangka panjang. d. Tiga area riwayat cepat yang mempengaruhi evaluasi perioperatif adalah toleransi latihan, riwayat penyakit sekarang dan kapan kunjungan akhir pasien ke rumah sakit (primary care physician). e. Tiga aspek riwayat menahun yang mempengaruhi evaluasi perioperatif adalah pengobatan alasan pemakaiannya serta alergi; riwayat sosial, termasuk obat (drug), alkohol, penggunaan rokok dan penghentiannya; riwayat keluarga dan penyakit sebelumnnya. f. Tiga aspek pemeriksaan fisis adalah, jalan nafas, kardiovaskular dan evaluasi paru. 69

g. Pada umumnya, tidak banyak benefit yang didapat tes laboratorium yang tak terindikasi, dan tes sebaiknya dicadangkan untuk yang condong menghasilkan meningkatkan mengobatan atau pencegahan problem potensial. h. Prosedur bedah yang luas mempengaruhi kebutuhan tes rutin sedangkan prosedur dengan risiko ringan tidak atau sedikit memerlukan tes diagnostik. 4. Pokok Bahasan a. Definisi Kedokteran Perioperatif b. Perubahan fisiologi akibat anestesia dan pembedahan c. Pemeriksaan laboratorium darah, fungsi ginjal, fungsi hati, dan endokrin d. Membaca foto toraks dan elektrokardiogram e. Faktor-faktor yang menentukan risiko perioperatif f. Persiapan preoperatif (Modul Persiapan Anestesia) g. Penatalaksanaan Anestesia Umum h. Pemantauan i. Penatalaksanaan pasca-anestesia j. Penatalaksanaan nyeri pascabedah (Modul Penatalaksanaan Nyeri) 5. Waktu : Semester I 3 SKS 6. Metode: a.

Pre-tes i. Jelaskan tanggapan fisiologi akibat anestesia dan pembedahan. ii. Jelaskan manfaat kunjungan pasien preoperatif. iii. Jelaskan dan berikan contoh tentang klasifikasi status fisis menurut American Society of Anesthesiologist (ASA). iv. Jelaskan persiapan pasien sebelum anestesia umum pada operasi berencana. v. Jelaskan tentang peralatan, obat-obatan termasuk terapi cairan yang harus dipersiapkan untuk memberikan anestesia umum. vi. Jelaskan pemantauan yang harus dilakukan pada saat induksi, intubasi dan selama tindakan anestesia umum. vii. Sebutkan tanda-tanda kegawatan mengancam nyawa selama pemantauan. viii. Jelaskan cara mengakhiri tindakan anestesia. ix. Jelaskan penatalaksanaan pasien pasca-anestesia termasuk penanggulangan nyeri.

b.

Kognitif i. Kuliah pendahuluan 70

ii. iii. iv. v. vi. c.

Belajar mandiri Belajar berkelompok Belajar berbasis problema Diskusi kelompok Simulasi pasien Psikomotor

i. Supervisi klinis ii. Penatalaksanaan pasien berdasarkan problema d.

Komunikasi/hubungan interpersonal i. Supervisi klinis ii. Penatalaksanaan pasien berdasarkan problema

e. Profesionalisme i. Penatalaksanaan pasien berdasarkan problema 7. Sumber Pembelajaran a. Audiovisual b. Praktek di kamar operasi c. Internet 8. Media a. Audiovisual b. Praktek di kamar operasi 9. Alat Bantu a. Audiovisual b. Praktek di kamar operasi 10.

Evaluasi a. MCQ b. EMQ c. OSCE d. Minicheck e. Multiple observations and assessments

11. Kata-kata Kunci 71

a. b. c. d. e. f. g.

Kedokteran perioperatif Risiko periopertif Kunjungan praanestesia Status fisis ASA STATICS Pemantauan periopertatif Penanggulangan nyeri

DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR

No

Sudah dikerjakan

Daftar cek penuntun belajar

1.

DEFINISI KEDOKTERAN PERIOPERATIF

2.

TANGGAPAN FISIOLOGI AKIBAT ANESTESIA

3.

KUNJUNGAN PRAANESTESIA

4.

MENILAI HASIL PEMERIKSAAN DARAH

5.

MENILAI GINJAL

6.

MENILAI HASIL PEMERIKSAAN FUNGSI HATI

7.

MENILAI HASIL ENDOKRIN

8.

MENILAI HASIL FOTO TORAKS

9.

MENILAI HASIL EKG

10.

MENENTUKAN STATUS FISIS ASA

11.

PERSIAPAN OPERASI:

HASIL

PEMERIKSAAN

PEMERIKSAAN

PRAANESTESIA

DI

Belum dikerjakan

FUNGSI

FUNGSI

KAMAR

A. Persiapan mesin anestesia B. Persiapan STATICS C. Persiapan obat-obatan dan cairan Infusi D. Persiapan dan pemasangan alat-alat monitor

72

E.

Pemantauan selama anestesia

F. Penatalaksanaan pascabedah di ruang pulih G. Penanggulangan nyeri



Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda

DAFTAR TILIK

Berikan tanda  dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan memuaskan, dan berikan tanda  bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak dilakukan pengamatan  Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur Standard atau penuntun  Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan memuaskan prosedur Standard atau penuntun T/D Tidak Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih diamati selama penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik

Tanggal

Nama pasien

No Rekam Medis

DAFTAR TILIK No

Kegiatan / langkah klinis

Kesempatan ke 1

2

3

4

5

73

DAFTAR TILIK No

Peserta dinyatakan :

Kegiatan / langkah klinis

Kesempatan ke 1

2

3

4

5

Tanda tangan pelatih

74

 Layak  Tidak layak melakukan prosedur Tanda tangan dan nama terang

75

MODUL 5 :

KEDOKTERAN PERIOPERATIF II

Mengembangkan Kompetensi

Waktu (Semester 2)

Sesi di dalam kelas

2 X 1 jam (classroom session)

Sesi dengan fasilitasi Pembimbing

3 X 2 (coaching session)

Sesi praktek dan pencapaian kompetensi

4 pekan (facilitation & assessment)

PERSIAPAN SESI Audiovisual Aid: LCD Proyektor dan layar Laptop OHP Flipchart Pemutar video Materi presentasi: CD PowerPoint Sarana: Ruang belajar Ruang pemeriksaan Ruang Pulih Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut Kasus : pasien di ruang PACU 76

Alat Bantu Latih : Model anatomi /Simulator Penuntun Belajar : lihat acuan materi Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik Referensi : 1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006 2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed. Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006 3. Miller’s Anesthesia 6th ed 2005. 4. Perioperatif Medicine, Gillman, J,1998 5. Perioperatif Care, Stone,DJ,2004

1.Tujuan Pembelajaran Umum : Setelah menyelesaikan modul ini peserta didik akan memiliki pengetahuan dan keterampilan memberikan anestesia umum dan analgesia regional 2.Tujuan Pembelajaran Khusus: Setelah menyelesaikan modul ini peserta didik akan memiliki kemampuan: a. Kognitif i.Mampu melakukan identifikasikan riwayat penyakit atau kelainan pasien preoperatif yang akan mempengaruhi jalannya anestesia ii.Mampu menilai dan mengoptimalkan kondisi penyakit atau kelainan pasien perioperatif iii.Mampu menjelaskan indikasi dan hasil pemeriksaan CT scan kepala, toraks dan abdomen, serta Echocardiografi iv.Mampu menjelaskan pemeriksaan-pemeriksaan tambahan yang diperlukan berdasarkan kondisi pasien v.Mampu menjelaskan rencana anestesia untuk prosedur bedah yang akan dilakukan vi.Mampu menjelaskan persiapan alat dan obat untuk rencana operasi dengan anestesia umum maupun analgesia regional vii.Mampu menjelaskan dan menginterpretasikan hasil monitor viii.Mampu menjelaskan tanda-tanda kegawatan pasien ix.Mampu menjelaskan penatalaksanaan pencegahan terhadap komplikasi pascabedah x.Mampu menjelaskan penanggulangan nyeri pascabedah 77

xi.Mampu menjelaskan indikasi pasien rawat ICU b. Psikomotor i. ii. iii. iv. v. vi. vii. viii. ix. x. xi.

Mampu melakukan pencatatan hal-hal penting yang terkait dengan tindakan anestesia dalam rekam medis preoperatif Mampu mengoptimalkan kondisi pasien dengan riwayat penyakit atau kelainan preoperatif Mampu mempersiapkan alat anestesia umum atau regional yang diperlukan Mampu memasang alat/mesin anestesia dengan benar Mampu melakukan tindakan anestesia umum yaitu premedikasi, induksi, intubasi trakea atau LMA atau sungkup muka, pemeliharaan anestesia, dan penatalaksanaan pasca-anestesia Mampu melakukan tindakan analgesia regional (Biers, SAB) dan penatalaksanaan pasca-anestesianya Mampu memasang alat monitor invasif dan noninvasif dengan benar Mampu melakukan interpretasi hasil monitor dan mampu melakukan tindakan segera sesuai hasil monitor sebelum, selama dan sesudah anestesia Mampu melakukan pencatatan rekam medis anestesia secara benar pada tindakan yang dilakukan pada butir 2 Mampu melakukan penanggulangan nyeri pascabedah Mampu menilai pasien yang indikasi rawat ICU

c. Komunikasi/hubungan interpersonal i. ii. iii. iv. v. vi.

Mampu berinteraksi dengan orang lain atas dasar saling menghargai dan menghormati Mampu memberikan keterangan tentang kondisi pasien dan kemungkinan untuk dilakukan pemeriksaan tambahan, pemberian obat-obatan atau upaya optimalisasi kondisi pasien kepada sejawat senior atau konsulen Mampu menjelaskan pada pasien atau keluarga pasien tentang kondisi pasien preoperatif dan langkah-langkah tindakan anestesia yang akan dilakukan serta risiko yang bisa terjadi Mampu menciptakan kondisi kerjasama tim di antara semua petugas kesehatan yang terlibat di kamar operasi Mampu memberikan kepercayaan pada pasien tentang penanggulangan nyeri dan rasa tidak nyaman pascabedah Mampu memperoleh kemudahan agar pasien dapat di rawat di ICU atau ruang rawat lain sesuai kondisi pasien pascabedah

d. Profesionalisme i. ii.

Mampu bekerja sesuai prosedur Mampu memberikan kemudahan kepada operator saat operasi

78

iii.

Mampu berinteraksi dengan sejawat lain maupun tenaga paramedis dan tenaga kesehatan lain atas dasar menghargai kompetensi masing-masing Mampu menjaga kerahasian pasien Mampu memahami, memberikan penjelasan kepada pasien atau keluarganya tentang kondisi pasien sesuai hak pasien Mampu melakukan pekerjaan secara efisien

iv. v. vi.

3. Key-notes i..

Faktor kebiasaan pasien, seperti merokok, minum alkohol dan kebergantung padaan merupakan problem yang harus dipertanyakan dan menjadi konsideran dalam persiapan perioperatif

ii.

Penyakit penyerta selainan bedah yang akan menentukan nilai ASA menjadi pertimbangan tersendiri dalam persiapan perioperatif.

iii.

Obat yang diberikan pada pasien sebelum pembedahan dapat berinteraksi dengan obat-obat yang akan diberikan selama anestesia yang menjadi pertimbangan apakah diteruskan , dihentikan atau perubahan dosis selama perioperatif.

4. Pokok Bahasan a. b. c. d. e. f. g. h.

Pemeriksaan laboratorium dan penunjang seperti CT scan dan echocardiografi Persiapan preoperatif (Modul Persiapan Anestesia) Penatalaksanaan Anestesia Umum Penatalaksanaan Analgesia regional (Modul Analgesia regional I dan II) Pemantauan Penatalaksanaan pasca-anestesia Pengelolaa nyeri pascabedah (Modul Penatalaksanaan Nyeri) Penatalaksanaan ICU (Modul Intensive Care I)

4. Waktu : Semester II

5. Metode: a. Pre-tes i. ii.

Jelaskan indikasi pemeriksaan echocardiografi Jelaskan cara mempersiapkan pasien dengan kelainan paru obstruktif dan restriktif pada operasi berencana dan darurat 79

iii. iv. v. vi. vii. viii. ix. x. xi.

Jelaskan cara mempersiapkan pasien dengan riwayat diabetes melitus pada operasi berencana dan darurat Jelaskan cara mengoptimalkan pasien dengan riwayat penyakit jantung koroner pada operasi berencana dan darurat Jelaskan tentang peralatan, obat-obatan termasuk terapi cairan yang harus dipersiapkan untuk memberikan anestesia umum ataupun regional Jelaskan pemantauan yang harus dilakukan pada saat induksi, intubasi dan selama tindakan anestesia umum ( pada butir 2-4) Jelaskan pemantauan yang harus dilakukan pada tindakan analgesia regional (pada butir 2-4) Sebutkan tanda-tanda kegawatan mengancam nyawa selama pemantauan Jelaskan cara mengakhiri tindakan anestesia Jelaskan penatalaksanaan pasien pasca-anestesia termasuk penanggulangan nyeri Jelaskan indikasi masuk pasien ke ICU

b. Kognitif i. ii. iii. iv. v. vi.

Kuliah pendahuluan Belajar mandiri Belajar berkelompok Belajar berbasis problema Diskusi kelompok Simulasi pasien

c. Psikomotor i. ii.

Supervisi klinis Penatalaksanaan pasien berdasarkan problema

d. Komunikasi/hubungan interpersonal i. ii.

Supervisi klinis Penatalaksanaan pasien berdasarkan problema

e. Profesionalisme i. Penatalaksanaan pasien berdasarkan problema 6.Sumber Pembelajaran a. Audiovisual b. Praktek di kamar operasi c. Internet 80

7. Media a. Audiovisual b. Praktek di kamar operasi 8. Alat Bantu a. Audiovisual b. Praktek di kamar operasi 9. Evaluasi a. b. c. d. e.

MCQ EMQ OSCE Minicheck Multiple observations and assessments

10. Kata-kata kunci a. status fisis ASA b. penyakit paru obstruktif dan restriktif c. diabetes melitus d. fungsi ventrikular kiri e. pemantauan invasif dan noninvasif f. penatalaksanaan pascabedah g. penatalaksanaan nyeri h. Intensive Care Unit

DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR

81

No

Sudah dikerjakan

Daftar cek penuntun belajar

1.

DEFINISI KEDOKTERAN PERIOPERATIF

2.

TANGGAPAN FISIOLOGI AKIBAT ANESTESIA

3.

KUNJUNGAN PRAANESTESIA

4.

MENILAI HASIL PEMERIKSAAN DARAH

5.

MENILAI GINJAL

6.

MENILAI HASIL PEMERIKSAAN FUNGSI HATI

7.

MENILAI HASIL ENDOKRIN

8.

MENILAI HASIL FOTO TORAKS

9.

MENILAI HASIL EKG

10.

MENENTUKAN STATUS FISIS ASA

11.

PERSIAPAN OPERASI:

A.

Persiapan mesin anestesia

B.

.Persiapan STATICS

C.

PERSIAPAN OBAT-OBAT DAN CAIRAN INFUSI

D.

Persiapan dan pemasangan alat-alat monitor

E.

Pemantauan selama anestesia

F.

Penatalaksanaan pascabedah di ruang pulih

G.

Penanggulangan nyeri

HASIL

PEMERIKSAAN

PEMERIKSAAN

PRAANESTESIA

Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda

DI

Belum dikerjakan

FUNGSI

FUNGSI

KAMAR

 82

DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR

No

Daftar cek penuntun belajar

1.

PERSIAPAN PRAANESTESIA

a.

Penilaian hasil laboratorium

b.

Penilaian hasil foto toraks

c.

Penilaian hasil EKG

d.

Penilaian hasil CT scan kepala/ toraks/ abdomen

e.

Penilaian hasil Echocardiografi

f.

Optimalisasi kondisi pasien

2.

PERSIAPAN DI KAMAR OPERASI

a.

Persiapan STATICS

b.

Persiapan mesin anestesia

c.

Persiapan peralatan analgesia regional

d.

Persiapan dan pemasangan alat monitor noninvasif

f.

.persiapan dan pemasangan alat monitor invasif

h.

PEMANTAUAN SELAMA ANESTESIA

i.

Pencegahan dan penatalaksanaan segera kegawatan selama anestesia

3.

PENATALAKSANAAN PASCABEDAH

a.

Penanggulangan nyeri

b.

Indikasi rawat ICU

Sudah dikerjakan

Belum dikerjakan

83



Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda

DAFTAR TILIK

Berikan tanda  dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan memuaskan, dan berikan tanda  bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak dilakukan pengamatan  Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur Standard atau penuntun  Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan memuaskan prosedur Standard atau penuntun T/D Tidak Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih diamati selama penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik

Tanggal

Nama pasien

No Rekam Medis

DAFTAR TILIK No

Kegiatan / langkah klinis

Kesempatan ke 1

2

3

4

5

84

DAFTAR TILIK No

Peserta dinyatakan :

Kegiatan / langkah klinis

Kesempatan ke 1

2

3

4

5

Tanda tangan pelatih

 Layak  Tidak layak melakukan prosedur Tanda tangan dan nama terang

85

MATERI ACUAN 11. URAIAN: 11.1. Introduksi a. Definisi Suatu ilmu kedokteran yang mencakup problema-problema sebelum anestesia/pembedahan, dalam anestesia/pembedahan dan sesudah anestesia/pembedahan. b. Ruang lingkup Meliputi semua aspek fisiologis dan patologis yang mempengaruhi anestesia dan pembedahan, pengaruh anestesia dan pembedahan terhadap fisiologi tubuh dan risiko maupun komplikasi yang diakibatkannya. a. Risiko Perioperatif Risiko yang berhubungan dengan anestesia dan pembedahan dapat diklasifikasikan dalam: 1. risiko yang berhubungan dengan kondisi pasien 2. risiko yang berhubungan dengan prosedur pembedahan 3. risiko yang berhubungan fasilitas termasuk sumber daya manusia di rumah sakit 4. risiko yang berhungan dengan obat atau teknik anestesia c. Tanggapan fisiologi yang terjadi akibat pembedahan : 1. Pengaruh langsung obat anestetik terhadap sekresi hormone-hormon: ACTH, kortisol, antidiuretik, tiroid, katekolamin, sistem renin-angiotensin-aldosteron, insulin dan metabolisme glukosa. 2. Pengaruh langsung obat anestetik terhadap sistem respirasi dan kardiovaskular d. Penilaian prabedah meliputi: 1. penilaian terhadap keadaan pasien secara menyeluruh termasuk riwayat penyakit, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang yang mendukungnya 2. melakukan identifikasi faktor-faktor risiko anestesia, dan bila bermakna pasien harus diberitahu 3. mengoptimalkan kondisi kesehatan pasien sebelum tindakan anestesia dan pembedahan, seperti melakukan fisioterapi dada, latihan nafas dsb. 4. menentukan status fisis berdasarkan American Society of Anesthesiologist (ASA) 5. merencanakan teknik anestesia dan penatalaksanaan perioperatif seperti terapi cairan dan transfusi darah 6. memperkenalkan diri kepada pasien agar dapat megurangi kecemasan dan akan mempermudah dalam melakukan induksi anestesia 7. memberikan instruksi yang jelas tentang obat yang harus diteruskan atau dihentikan pada hari pembedahan 8. mempersiapkan obat-obat premedikasi d. Instruksi praanestesia kepada perawat ruangan harus tertulis dengan jelas meliputi: 1. pemeriksaan penunjang tambahan 2. lamanya puasa 3. persiapan darah atau produk darah, golongan darah dan jumlah yang diperlukan 4. jenis obat yang harus terus diberikan atau dihentikan pada hari pembedahan 86

5. terapi inhalasi pada pasien PPOK atau riwayat asma 6. pemasangan infusi dekstrosa pada pasien diabetes 7. obat premedikasi: dosis, cara dan waktu pemberian e. Pemeriksaan penunjang rutin yang harus dilakukan: 1. pemeriksaan darah lengkap 2. urinalisis (bila gula positif harus ditambah pemeriksaan gula darah) 3. ureum, kreatinin, elektrolit: pada pembedahan besar 4. EKG: umur > 40 tahun 5. Foto toraks: umur > 60 tahun 6. uji fungsi hati: pada pembedahan besar pasien umur > 50 tahun f. Pemeriksaan penunjang berdasakan indikasi: 1. Pemeriksaan darah lengkap: i. Anemia dan kelainan/penyakit hematologi lainnya ii. Gangguan ginjal iii. Pasien dalam kemoterapi 2. Ureum, kreatinin, dan elektrolit i. Gangguan/penyakit hati dan ginjal ii. Gangguan metabolik, seperti diabetes melitus iii. Riwayat diare, muntah iv. Kondisi nutrisi buruk v. Persiapan usus prabedah vi. Riwayat pemberian obat-obat digitalis, diuretika, antihipertensi, steroid, obat anti diabetes 3. Gula darah i. Diabetes melitus ii. Penyakit hati berat 4. Elektrokardiogram i. Hipertensi, penyakit jantung atau penyakit paru kronik ii. Diabetes melitus 5. Foto toraks i. Gangguan pernafasan yang bermakna atau penyakit paru ii. Penyakit jantung 6. Analisis gas darah arteri i. Obesitas ii. Pasien dengan gangguan nafas iii. Penyakit paru sedang sampai berat iv. Sakit kritis atau sepsis v. Bedah toraks 7. Uji fungsi paru i. Bedah toraks 87

ii. Penyakit paru sedang sampai berat, seperti PPOK, bronkiektasi, penyakit paru restriksi 8. Uji fungsi hati i. Penyakit hepatobilier ii. Riwayat peminum alkohol iii. Tumor dengan kemungkinan metastase ke hati 9. Uji hemostase dan koagulasi darah i. Penyakit/kelainan darah ii. Penyakit hati berat iii. Koagulopati apapun sebabnya iv. Riwayat terapi antikoagulan seperti heparin atau warfarin 10. Uji fungsi tiroid i. Riwyat penyakit tiroid ii. Gangguan endokrin seperti tumor hipofise iii. Bedah tiroid 11. Uji fungsi jantung: Ekokardiografi i. Penyakit jantung ii. Kelainan EKG yang bermakna g. Terapi cairan perioperatif 1. menilai volume intravaskular i. pemeriksaan klinis 1. kesadaran 2. turgor kulit, suhu ujung-ujung ekstremitas 3. tekanan nadi, laju nadi, tekanan darah terhadap perubahan posisi 4. keluaran urin 5. tampak perdarahan atau kehilangan cairan (muntah) ii. pemeriksaan laboratorium 1. kadar hemoglobin dan hematokrit 2. kadar urea dan elektrolit 3. analisis gas darah, laktat darah 4. BJ urin, natrium urin iii. pengukuran hemodinamik 1. tekanan vena sentral 2. tekanan arteri pulmoner 3. saturasi vena sentral 2. terapi cairan selama pembedahan i. cairan pemeliharaan ii. cairan pengganti defisit iii. cairan pengganti perdarahan 3. terapi cairan pascabedah: dapat diberikan berdasarkan i. pembedahan non digesti dengan analgesia regional ii. pembedahan minor non digesti dengan anestesia umum iii. pembedahan mayor, atau pembedahan digestif 4. jenis cairan i. cairan kristaloid 88

1. cairan hipotonik 2. cairan isotonik 3. cairan hipertonik ii. cairan koloid 1. cairan koloid sintetik a. cairan starch b. cairan gelatin 2. cairan koloid derivat darah a. human albumin b. fraksi protein plasma 11.2. Kompetensi terkait dengan modul/ List of skill 

 

Persiapan pra anestesia Ο Anamnesis Ο Pemeriksaan fisis Ο Pemeriksaan penunjang Ο Penentuan status fisis menurut ASA Terapi cairan Penanggulangan nyeri

Penilaian kapasitas fungsional pasien

Pasien yang akan menjalani operasi dan anestesia wajib dikunjungi oleh seorang anestesiolog. Hal-hal yang harus dilakukan adalah :      

Riwayat anestesia Melakukan pemeriksaan fisis yang sesuai. Melakukan evaluasi hasil pemeriksaan laboratorium Anestesiolog sebaiknya membiarkankan pasien untuk mengajukan pertanyaan. Mencatat kegelisahan pasien Menginformasikan rencana pembiusan

Perhatian khusus harus diberikan pada hal-hal berikut yang ditemukan pada anamnesis 1. 2.

Riwayat penyakit terdahulu, operasi dan pembiusan sebelumnya. Terapi obat-obatan seperti kortikosteroid, insulin, obat antihipertensi, transquillizers, antidepresan trisiklik, antikoagulan, barbiturat, diuretik dan alergi obat.

89

3.

Gejala-gejala yang berhubungan dengan sistem respirasi, seperti batuk, sputum, bronkospasme, kemampuan untuk mengeluarkan lendir. 4. Sistem kardiovaskular : toleransi latihan, nyeri angina, Gagal jantung, hipertensi yang tidak diterapi. 5. Kecenderungan untuk muntah. Pilihan obat dan tindakan anestesia untuk mengurangi mual muntah pascabedah 6. Riwayat kehamilan dan menstruasi. 7. Kebiasaan pasien ; merokok, minum alkohol, adiksi obat. Penilaian preoperatif seringkali kurang daripada yang seharusnya, dan terkadang adanya kurang komunikasi antara dokter bedah dan anestesiolog.

Pada pasien seharusnya dilakukan pemeriksaan klinis yang lengkap, terutama 1. Tanda-tanda penyakit pernafasan : pola dan karakter pernafasan seperti dispneu, adanya suara tambahan pada auskultasi, jari tabuh, sianosis. Gejala-gejala tambahan yang perlu didiskusikan lagi pada kondisi-kondisi tertentu, seperti :   

Nyeri tulang atau kelemahan otot pada keganasan. Kelemahan umum, demam atau kehilangan berat badan pada TBC Semua pasien harus ditanyakan mengenai kebiasaan merokok.

Pemeriksaan fisis       

Warna dan kualitas suara harus dicatat Mengi yang terdengar harus bisa dideteksi Dispneu Perhatian secara khusus harus berikan pada pola, ekskursi dan simetrisitas dari gerakan pernafasan. Adanya suara tambahan pada pasien yang tidak memiliki penyakit pernafasan (ronki) memberikan peringatan bahwa kaliber bronkus abnormal. Rales atau crackles disebabkan oleh penutupan mendadak atau kolaps dari jalan nafas. Keadaan ini terjadi di awal inspirasi pada pasien dengan obstruksi jalan nafas dan pada akhir pernafasan jika berhubungan dengan penyakit paru restriktif. Beberapa manifestasi penyakit paru dapat dideteksi, seperti : penggunaan otototot tambahan dan trakeal tug adalah manifestasi dispneu berat, kecemasan dan kegelisahan dapat disebabkan oleh hipoksia, hipertensi, berkeringat, vasodilatasi perifer dan kebingungan dapat terjadi pada pasien dengan retensi CO2 akut.

Tes-tes yang tidak memerlukan peralatan 90

Tes-tes ini hanya menyediakan informasi yang minimal tentang fungsi pernafasan dan terkadang direkomendasikan sebagai tes skrining untuk menentukan ” fit untuk operasi”. Tes sederhana yang dapat dilakukandalam klinik adalah : a.

b.

2.

Tes tahan nafas Sabrasez : pasien dalam keadaan istirahat diminta untuk menarik nafas dalam dan selanjutnya menahan nafasnya. Apabila dapat menahan nafas selama 25-30 detik pasien dapat dianggap normal. Pasien yang hanya bisa menahan nafas kurang dari 15 detik mengindikasikan kurangnya cadangan kardiorespirasi. Tes Snider : kemampuan untuk meniup korek api pada jarak 6 inci dari depan mulut. Ketidakmampuan melakukan tes Snider mengindikasikan forced expiratory volume dalam satu detik kurang dari satu liter.

Tanda-tanda penyakit jantung.

Penyakit jantung yang serius hampir selalu berhubungan dengan gejala dan tanda yang jelas seperti nyeri dada sewaktu aktivitas, dispneu, hemoptisis, sinkop, palpitasi dan edema. Tetapi iskemik miokardium akut dapat terjadi tanpa gejala yang jelas. Pemeriksaan fisis  

 

 



Sianosis adalah warna kebiruan pada kulit akibat adanya desaturasi hemoglobin pada pembuluh darah kapiler. Sianosis perifer berhubungan dengan peningkatan ekstraksi oksigen pada jaringan berhubungan dengan penurunan aliran darah kapiler pada kulit. Hal ini terjadi saat curah jantung menurun ; pada pasien yang normal ; berhubungan vasokonstriksi perifer saat terpapar dingin.Pada sianosis sentral, kulit tetap hangat dan perubahan warna juga terlihat pada lidah akibat tercampurnya darah yang mengalami desaturasi dan yang mengalami oksigenasi pada jantung, pembuluh darah besar atau paru-paru. Frekuensi nadi dan irama dapat dinilai dari palpasi arteri radialis, akan tetapi volume dan karakter gelombang nadi hanya dapat dinilai secara akurat melalui arteri karotis. Impuls jantung (apeks jantung) secara normal ditemukan pada ruangan interkostal 5 sesuai dengan linea midklavikularis. Posisinya mungkin dapat berubah akibat pembesaran jantung atau faktor ekstrakardiak lain. Penyebab apapun pergeseran tersebut lebih penting dibanding dengan mencari lokasi yang pasti dari impuls tersebut. Langkah penting pada auskultasi adalah identifikasi secara benar dari suara jantung pertama dan kedua. Pulsasi arteri karotis harusnya diraba selama auskultasi. Murmur adalah bunyi yang dihasilkan akibat turbulensi aliran darah pada titik tertentu pada sirkulasi dan secara normal terjadi pada tempat-tempat tertentu. Diastolik murmur merupakan bukti yang jelas adanya penyakit jantung. Murmur sistolik dengan tanpa adanya interval dengan bunyi jantung kedua biasanya berhubungan dengan penyakit organik. Adanya thrill mengindikasikan adanya penyakit jantung organik.

91

3. Status Gizi : obesitas atau malnutrisi 4.

Warna kulit, terutama pucat, sianosis, kuning atau pigmentasi.

5

Status psikologis pasien, derajat kecemasan.

6. Jalan nafas,  

Nilai kesulitan saat mempertahankan jalan nafas dan laringoskopi. Nilai gigi-geligi seperti gigi yang menonjol atau ompong, tambalan atau mahkota gigi terutama pada bagian depan.  Adanya hal-hal tersebut di atas perlu dicatat dan pasien biasanya diperingatkan adanya kemungkinan untuk rusak 6. Kemudahan untuk kanulasi. Investigasi

Secara umum diterima bahwa riwayat klinis dan pemeriksaan fisis adalah metode terbaik untuk skrining yang terbaik untuk menentukan adanya suatu penyakit. Sebelum meminta suatu pemeriksaan yang lebih lanjut, seorang anestesiolog harus bertanya pada dirinya sendiri, pertanyaan-pertanyaan di bawah ini :  

Apakah investigasi ini menyedialan informasi yang tidak bisa disingkap oleh pemeriksaan fisis ? Apakah hasil dari pemeriksaan akan mengubah penatalaksanaan pasien ?

Perlu dicatat bahwa hal-hal ini hanya merupakan panduan dan dapat dimodifikasi sesuai dengan penilaian yang diperoleh dari anamnesis dan pemeriksaan klinis. Anestesiolog disarankan untuk tidak menerima pasien pembedahan elektif sampai investigasi yang sesuai tersedia. Tes sederhana yang diindikasikan adalah sebagai berikut : 1.

Tes urin, terutama gula, keton dan protein 1. Kadar hemoglobin, hitung jenis, waktu perdarahan dan pembekuan (BT/CT) dan golongan darah. 2. Kadar ureum dan elektrolit tidak dibutuhkan secara rutin pada pasien kurang dari 50 tahun, akan tetapi harus diambil pada keadaan-keadaan berikut :  Jika terdapat riwayat diare, muntah, atau penyakit metabolik  Adanya penyakit ginjal atau hepar, diabetes, atau status nutrisi yang abnormal  Pada pasien yang mendapat medisasi diuretik, digoksin, antihipertensi, steroid, atau obat hipoglikemik. 3. Tes fungsi liver diperlukan hanya pada pasien dengan : 92

 Penyakit hepar  Status nutrisi abnormal atau penyakit metabolik  Riwayat konsumsi alkohol dalam jumlah yang banyak (>80 g/ hari) 4. Konsentrasi gula darah Pengukuran gula darah diperlukan pada pasien yang mempunyai atau penyakit vaskular atau sedang mendapat terapi kortikosteroid.

penyakit diabetes

5. Status sickle Pasien dengan asal etnik atau riwayat keluarga dengan kecurigaan adanya hemoglobinopathy hendaknya dilakukan pengukuran konsentrasi hemoglobin dan elektroforesis hemoglobin 6. Analisa gas darah Analisa gas darah arteri diperlukan pada semua pasien dengan dispneu saat istirahat dan pada pasien dengan rencana akan dilakukan toraksotomi elektif 7. Foto toraks 

Foto toraks tidak diperlukan secara rutin pada pasien di bawah usia 60 tahun tetapi harus dilakukan pada situasi : 1. Jika terdapat riwayat atau tanda-tanda fisis penyakit jantung atau penyakit respirasi. 2. Jika terdapat kemungkinan metastasis dari karsinoma 3. Sebelum operasi toraks 4. Pada imigran yang baru, dalam 12 bulan terakhir dari negara-negara dengan endemik TBC  Foto toraks umumnya dilakukan sebagai pemeriksaan rutin pada semua pasien dengan penyakit paru. Hal-hal yang penting adalah apakah terdapat deviasi trakea atau distorsi, apakah terdapat deformitas pada dinding toraks, dan apakah terdapat kelainan lokal pada paru atau pleura yang mungkin terlewatkan pada pemeriksaan fisis.  Foto toraks seringkali kurang memperlihatkan adanya kelainan fungsi paru 9.

Fungsi paru Tes fungsi paru dilakukan sebagai tambahan, bukan sebagai pengganti penilaian klinis. Tes ini diindikasikan ketika diperlukan : 1. Melihat asal/ penyebab kelainan pulmoner, terutama pada sekitar di mana beberapa kelainan mungkin berkontribusi pada diasabilitas 2. Untuk menilai berapa besar derajat kelainan yang sering sebagai dasar untuk terapi 93

3. Untuk mengerti lebih lanjut mengenai patologi fisiologi Tes fungsi paru yang sederhana, seperti forced expiratory volume dalam satu detik (FEV 1.0), forced vital capacity (FVC) dan peak expiratory flow rate dapat langsung dilakukan di tempat tidur pasien menggunakan spirometer berukuran paket dan Wright peak flowmeter. Rasio FEV1.0 : FVC menurun pada penyakit paru obstruktif dan normal pada penyakit restriktif. Investigasi Fuller meliputi pemeriksaan FRC, RV dan TLC. 10.

Elektrokardiogram EKG 12 lead hendaknya diperiksa pada situasi-situasi berikut : a. Jika terdapat riwayat atau tanda-tanda fisis penyakit penyakit jantung b. Adanya penyakit hipertensi c. Pada semua pasien dengan usia di atas 40 tahun.

11.

Bedside pulse oxymeter Pengukuran saturasi oksigen arterial udara nafas dan konsentrasi oksigen tinggi memberikan indeks pertukaran gas pulmoner yang cepat dan berguna

12.

Echogardiogram Ini merupakan tes noninvasif yang sangat berguna yang memperlihatkan abnormalitas anatomi dari jantung, menilai fungsi ventrikular dan gradien tekanan yang melalui katup yang mengalami stenosis, dan mendeteksi adanya regurgitasi valvular. Ini dapat dilakukan di tempat tidur pasien, tetapi memerlukan perlengkapan yang mahal dan operator yang terlatih.

13.

Pemeriksaan khusus yang lain yang mungkin diperlukan ketika diindikasikan

Penilaian status fisis

ASA mengklasifikasikan pasien ke dalam beberapa tingkatan berdasarkan kondisi pasien : ASA I : Pasien tidak memiliki kelainan organik, fisiologik, biokimia atau gangguan psikiatri.

94

ASA II : Gangguan sistemik ringan sampai sedang yang disebabkan oleh kondisi yang akan diterapi dengan pembedahan atau oleh proses patofisiologi lainnya. Misalnya : penyakit organik ringan pada jantung, diabetes, hipertensi ringan, anemia, kegemukan, bronkitis kronis ringan. ASA III : keterbatasan melakukan aktivitas; pasien dengan gangguan sistemik berat atau karena penyakit apapun penyebabnya, walaupun mungkin belum bisa dinilai derajat kemampuannya, misalnya angina, diabetes berat, dan gagal jantung. ASA IV : Penderita dengan kelainan sistemik berat yang mengancam nyawa, tidak selalu dikoreksi dengan operasi, misalnya insufisiensi jantung, angina persisten, insufisiensi renal atau hepatik. ASA V : Penderita yang diperkirakan tidak akan selamat dalam 24 jam, dengan atau tanpa operasi. ASA VI : Penderita mati batang otak yang organ-organnya dapat digunakan untuk donor. Klasifikasi E merupakan penjelasan untuk operasi darurat (darurat)

Klasifiksai ASA merupakan sistem yang secara umum sering digunakan untuk menilai status fisis pasien, walaupun ahli anestesia yang lain tidak selalu setuju dengan klasifikasi ini. Klasifikasi ini tidak dapat dipakai untuk pasien tanpa gejala, misalnya penderita dengan penyakit jantung koroner berat. Penilaian risiko Penilaian preoperatif mengenai risiko harus dititikberatkan pada 2 hal: 1. Apakah pasien dalam keadaan optimal untuk dianestesia? 2. Apakah keuntungan pembedahan lebih besar dari risiko anestesia dan pembedahan akibat penyakit yang ada ?

Apabila terdapat beberapa keadaan medis yang mungkin dapat diperbaiki ( misalnya, penyakit paru, hipertensi, gagal jantung), pembedahan sebaiknya ditunda, dan diberikan terapi yang sesuai.

Terdapat hubungan antara menilai faktor-faktor preoperatif dan perkembangan morbiditas dan mortalitas pascabedah. Mungkin pada beberapa pasien dapat diukur secara tepat, tetapi tidak dapat diterapkan secara tepat untuk masing-masing individu. Keputusan untuk meneruskan penatalaksanaan hanya dapat dibuat setelah adanya diskusi antara ahli bedah dan anestesiolognya 95

Pada studi mortalitas dalam skala besar, umumnya, faktor-faktoir yang memberikan kontribusi pada mortalitas anestesia meliputi : 1. Penilaian yang tidak adekuat selama periode preoperatif. 2. Supervisi dan pemantauan yang tidak adekuat selama periode intraoperatif. 3. Penatalaksanaan dan supervisi pascabedah yang tidak adekuat.

1.Kebiasaan pasien

Merokok Efek yang merusak dari merokok meliputi penyakit vaskular perifer, sirkulasi koroner dan serebral, karsinoma paru dan bronkitis kronik. Merokok harus dihentikan 6 pekan sebelum operasi untuk meminimalisasi komplikasi paru selama pembedahan, termasuk di antaranya infeksi, laringospasme dan bronkospasme. Penghentian selama 12 jam sebelumnya mencegah efek samping dari CO dan nikotin pada pasokan dan kebutuhan oksigen otot jantung. Berhenti selama beberapa hari akan memperbaiki aktivitas siliar. Merokok juga dapat mempengaruhi penyembuhan luka. Pada anak-anak yang secara pasif terpapar dengan rokok, terjadi peningkatan insiden komplikasi jalan nafas, jika dilakukan pembiusan.

Alkoholisme

Pada pasien dengan alkoholisme kronik, dapat terjadi toleransi dengan beberapa obat anestetik seperti eter, terjadi resistensi terhadap obat-obatan anestesia. Alkohol dieliminasi dengan oksidasi di hati tetapi juga dapat menginduksi enzim-enzim yang memetabolisme obat-obatan, sehingga respons terhadap obat tidak dapat diperkirakan. 96

Dapat terjadi vasodilatasi perifer, kardiomiopati, sirosis dan perioperatif withdrawal crisis (delirium tremens) Alkohol sebaiknya tidak dihentikan saat menunggu operasi. Analgesia regional sebaiknya dipertimbangkan namun fungsi koagulasi mungkin abnormal.

Untuk mencegah gejala withdrawal, pemberian alkohol 8-10% dalam NaCl 0,9% 500 ml dalam beberapa jam dapat menolong. To prevent withdrawal symptoms 8 – 10 % alcohol in salin 500 ml i.v. for over several hours may be helpful.

Kebergantung padaan Obat (Narkotik) Pasien-pasien ini dapat memanipulasi gejala-gejalanya untuk mendapatkan pembedahan dan narkotik pascabedah, atau mengganggu proses penyembuhan luka untuk memperpanjang lama perawatan di rumah sakit.

Tromboflebitis dan abses multipel dapat timbul akibat penyuntikan obat yang tidak higienis, sehingga terapi intravena melalui vena sentral.

Sepsis, tbc, endokarditis, hepatitis B dan HIV / AIDS, lazim ditemukan.

Penderita dapat resisten terhadap semua obat sedatif/ narkotik. Hipotensi umumnya terjadi selama operasi berlangsung. Gejala withdrawal narkotik termasuk kram, muntah dan diare, dan dapat menyerupai obstruksi intestinal.

Adiksi obat (lainnya) 9-tetrahidronnabinol, dari kanabis, menyebabkan takikardia, hipertensi, dan eksaserbasi oleh atropin atau analgetik lokal yang mengandung adrenalin. Kokain dapat menyebabkan iskemia miokard dan kardiomiopati. Adiksi amfetamin dapat meningkatkan dosis anestetik yang diperlukan. 97

98

MODUL 6 :

PERSIAPAN ALAT DAN OBAT ANESTETIK

Mengembangkan Kompetensi

Waktu (Semester 1 dan2 )

Sesi di dalam kelas

2 X 1 jam (classroom session)

Sesi dengan fasilitasi Pembimbing

3 X 2 (coaching session)

Sesi praktek dan pencapaian kompetensi

4 pekan (facilitation & assessment)

Persiapan Sesi 



Audiovisual Aid: 1. LCD Proyektor dan layar 2. Laptop 3. OHP 4. Flipchart 5. Pemutar video Materi kuliah: CD PowerPoint 1. Persiapan alat-alat dan obat-obat untuk anestesia umum dan analgesia regional 2. Setup alat anestesia, alat infusi, pompa semprit, infusiion pump 3. Setup alat monitor noninvasif dan invasif (opsi) 4. Persiapan alat-alat dan obat-obat dengan kelainan sistemik jantung, PPOK, ginjal, hepar, diabetes melitus, toksik tiroid 5.Obat-obat dan alat-alat untuk darurat dan resusitasi 6. Rekam medis terkait teknik, alat dan obat anestetik.



Sarana: 1. Ruang belajar 2. Ruang pemeriksaan 99

    

3. Kamar operasi 4. Ruang Pulih 5. Bangsal Rawat Kasus : anestesia pasien langsung , di ruang rawat, kamar pemeriksaan dan kamar operasi Alat Bantu Latih : Alat-alat, mesin anestesia dan obat-obat virtual, boneka simulasi bila ada. Penuntun belajar : lihat Materi acuan Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik Referensi : Bacaan yang dianjurkan 2. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New York: Lange Medical Book/McGraw Hill; 2006 Peserta didik dianjurkan untuk juga mempelajari referensi tambahan untuk sub-modul Persiapan alat dan obat anestetik yang lain.

Tujuan Pembelajaran Umum Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik akan memiliki pengetahuan dan keterampilan melakukan persiapan alat-alat dan obat-obat anestetik umum dan analgesia regional.

Tujuan Pembelajaran Khusus Setelah melalui sesi ini peserta didik akan memiliki kompetensi berikut ini:

1. KOMPETENSI Mampu mengenali dan melakukan persiapan preoperatif pasien, melakukan persiapan alat-alat dan obat-obat anestetik umum maupun regional secara tepat dan memadai , persiapan pemantauan yang memadai untuk mencegah kemungkinan akibat komplikasi lebih berat dan penanggulangan secara dini bila terjadi komplikasi serta untuk penatalaksanaan pasca-anestesia.

RANAH KOMPETENSI Setelah melalui sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan: 100

Kognitif 1. Mampu melakukan identifikasi kelainan atau penyakit pasien preoperatif yang akan mempengaruhi persiapan alat dan obat anestetik. 2. Mampu menjelaskan rencana anestesia untuk prosedur bedah yang akan dilakukan serta alat dan obat-obat yang diperlukan 3. Mampu menjelaskan persiapan alat dan obat untuk rencana operasi dengan anestesia umum atau analgesia regional. 4. Mampu menjelaskan secara umum cara kerja mesin anestesia, flowmeter, vaporizer, alat monitor, kateter intravena, set infusi cairan, set transfusi darah, set infusi tetes mikrogram, set infusi tetes makro, alat pompa semprit, infusiion pump, mesin pengisap dan kelengkapannya. 5. Mampu menjelaskan setup mesin anestesia secara benar, breathing circuit mesin anestesia, termasuk filter, susunan vaporizer secara benar, trouble shooting sederhana, pemeliharaan mesin dan asesorisnya. 6. Mampu menjelaskan pemasangan dan menginterpretasikan hasil monitor 7. Mampu menjelaskan tanda-tanda yang mengarah kegawatan pasien, alat-alat dan obatobat yang diperlukan 8. Mampu menjelaskan penanggulangan nyeri pascabedah, alat dan obat-obat yang dibutuhkan. 9. Mampu menjelaskan alat-alat dan obat yang dibutuhkan untuk transport pasien dan bila pasien indikasi rawat ICU Psikomotor 1. Mampu melakukan pencatatan hal-hal penting dalam rekam medis preoperatif terkait dengan alat-alat dan obat-obat yang dipakai dalam tindakan anestesia. 2. Mampu mempersiapkan dan memasang alat/ mesin anestesia dengan benar 3. Mampu mempersiapkan dan menggunakan alat-alat dan obat untuk tindakan anestesia umum, mulai premedikasi, induksi, intubasi atau LMA atau intubasi atau sungkup muka , pemeliharaan anestesia, dan penatalaksanaan pasca-anestesia teknik intravena total, anestesia inhalasi, anestesia balans, sungkup muka, teknik intubasi, sungkup muka, LMA 4. Mampu mempersiapkan dan mengoperasikan pompa semprit, infusiion pump, defibrilator. 5. Mampu mempersiapkan dan menggunakan alat-alat dan obat-obat untuk analgesia regional, teknik epidural, spinal atau blok saraf lain. 6. Mampu mempersiapkan dan menggunakan alat-alat dan obat-obat untuk keadaan darurat dan resusitasi. 7. Mampu memasang dan menggunakan alat pemantau noninvasif dan invasif dengan benar 8. Mampu melakukan pencatatan rekam medis terkait alat dan obat anestetik yang dipakai dalam anestesia secara benar 9. Mampu melakukan persiapan alat dan obat untuk penanggulangan nyeri pascabedah 10. Mampu mempersiapkan alat dan obat pada transportasi pasien masuk ICU.

101

Komunikasi/ Keterampilan interpersonal 1. Mampu menjelaskan tentang alat-alat dan obat-obat yang diperlukan pada tindakan anestesia kepada orang lain atas dasar saling menghargai dan menghormati 2. Mampu memberikan penjelasan kepada sejawat senior dan atau konsulen tentang kondisi pasien untuk kemungkinan pemeriksaan tambahan, kebutuhan obat-obatan, kebutuhan alat-alat dalam upaya optimalisasi kondisi pasien. 3. Mampu menjelaskan pada pasien atau keluarga pasien tentang kondisi pasien preoperatif dan kebutuhan alat-alat dan obat-obat yang dibutuhkan terhadap kemungkinan risiko yang dapat timbul. 4. Mampu menciptakan kondisi kerja sama tim di antara semua petugas kesehatan yang terlibat di kamar bedah. 5. Mampu memberi penjelasan kebutuhan alat dan obat-obat untuk penanggulangan nyeri dan rasa tidak nyaman pascabedah. 6. Mampu menjelaskan kebutuhan alat-alat dan obat-obat yang diperlukan untuk transportasi dan perawatan di ICU. Profesionalisme 1. Mampu bekerja sesuai prosedur 2. Mampu memberikan kemudahan kepada operator saat operasi dengan melakukan persiapan alat-alat dan pemberian obat secara benar dan memadai. 3. Mampu berinteraksi dengan sejawat lain maupun tenaga paramedis dan tenaga kesehatan lain atas dasar menghargai dan menghormati kompetensi masing masing. 4. Mampu memberikan penjelasan kepada pasien atau keluarganya tentang alat-alat dan obat-obat yang dibutuhkan sesuai kondisi pasien dan terhadap kemungkinan komplikasi 5. Memahami dan melaksanakan hal-hal yang menjadi hak pasien (informed consent) 6. Mampu melakukan pekerjaan secara efisien 2. KEYNOTES 1. Sebelum memulai melakukan setiap tindakan anestesia harus selalu diperiksa kelayakan mesin anestesia: sistem perpipaan gas dan udara tekan rumah sakit (bila ada), tabung gas portabel, flow meter, vaporizer, Fresh Gas Flow, sirkuit nafas, katup inspirasi, katup ekspirasi, pop-off valve, reservoir bag. 2. Harus selalu dipikirkan untuk kemungkinan timbul problema jalan nafas sulit sehingga persiapan alat-alat penatalaksanaan jalan nafas dasar dan lanjut dan jalan nafas sulit selalu siap pakai. 3. Alat untuk akses vaskular perifer dan sentral, alat-alat infusi, pompa semprit, 102

infusion pump dipersiapkan sesuai kebutuhan. 4. Alat monitor fungsi vital respirasi, kardiovaskular, suhu, merupakan pemantauan baku yang harus tersedia. 5. Kesiapan alat-alat dan obat-obat untuk darurat resusitasi harus selalu dicek secara rutin dalam keadaan siap pakai 6. Alat dan obat-obat untuk penanggulangan nyeri.

3. GAMBARAN UMUM Rencana anestesia harus dibuat agar secara optimal dapat mengakomodasikan kondisi fisiologik pasien, termasuk penyakit saat ini, riwayat penyakit, riwayat operasi, riwayat alergi, riwayat anestesia dan kesiapan psikologik, gangguan atau keterbatasan aktifitas. Rencana preoperatif yang tidak adekuat dan kesalahan dalam persiapan pasien merupakan sebab paling sering timbulnya komplikasi anestesia, termasuk persiapan alat dan obat-obat yang diperlukan. Alatalat tersebut meliputi mesin anestesia, alat-alat monitor, alat-alat untuk darurat dan resusitasi sekaligus obat-obat yang diperlukan. Bila obat atau alat tidak tersedia akan menimbulkan problema. Keterlambatan dalam penanggulangan karena kurangnya fasilitas atau persiapan tidak baik akan dapat berakibat buruk sampai kematian. Pengertian akan mekanisme kerja alat dan obat-obat anestetik merupakan pengetahuan dasar yang seharusnya dimiliki calon spesialis anestesiologi.

4. TUJUAN PEMBELAJARAN Setelah proses alih pengetahuan, keterampilan dan perilaku melalui modul ini, diharapkan peserta didik memiliki kemampuan untuk: 1. Mempersiapkan alat-alat dan obat-obat yang dipergunakan dalam anestesia umum atau analgesia regional secara tepat dan benar. 2. Melakukan pengecekan mesin anestesia, persiapan alat-alat dan obat-obat anestetik secara benar 3. Melakukan persiapan alat-alat dan pelaksanaan pemantauan 4. Melakukan persiapan alat dan obat-obat untuk transportasi pasien ke ICU

5. METODE PEMBELAJARAN 103

Peserta didik sudah harus mempelajari: 1. Bahan acuan (references) tentang alat-alat dan jenis obat-obat anestetik 2. Ilmu dasar yang berkaitan dengan alat-alat anestesia 3. Cara menilai kesiapan alat-alat anestesia. Tujuan 1: mempersiapkan alat-alat dan obat-obat yang dipergunakan dalam anestesia umum atau analgesia regional secara tepat dan benar Metode pembelajaran 1. Diskusi kelompok kecil 2. Bedside teaching 3. Task-based medical education Materi dan keterampilan yang harus dikuasai: 1. Pengetahuan dan keterampilan dalam melakukan pemasangan mesin anestesia sampai siap pakai, sesuai check-list 2. Pengetahuan dan keterampilan dalam memasang mesin anestesia, untuk semiclosed maupun semiopen system. 3. Pengetahuan dan keterampilan dalam menetapkan alat-alat dan obat-obat analgetik regional (spinal, epidural, kaudal, blok saraf ekstermitas atas dan bawah) Tujuan 2:. Melakukan pengecekan mesin anestesia, persiapan alat-alat dan obat-obat anestetik secara benar

Metode pembelajaran 1. 2. 3. 4.

Diskusi kelompok kecil Bedside teaching Task-based medical education Praktek klinis

Materi dan keterampilan yang harus dikuasai: Mengetahui, dan mampu menilai laik atau tidak 1. Sistem sumber gas sentral, perpipaan gas oksigen dan N2O bila fasilitas ada, sampai sistem tersambung ke mesin anestesia. 2. Sistem aliran gas, flow-meter , vaporizer dalam mesin anestesia , breathing circuit anesthesia. Tujuan 3 : Melakukan persiapan alat-alat dan pelaksanaan pemantauan

104

Metode pembelajaran 1. Diskusi kelompok kecil 2. Bedside teaching 3 .Task-based medical education

Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:   

Melakukan pemasangan alat pemantauan untuk respirasi, kardiovaskular, metabolik dan kesadaran. Mampu menggunakan alat-alat dan obat-obat untuk keadaan keadaan darurat dan henti jantung Mampu melakukan interpretasi terhadap kemungkinan gangguan fungsi alat

Tujuan 4 : Melakukan persiapan alat dan obat-obat untuk transportasi pasien ke ICU Metode pembelajaran 1. 2. 3. 4.

Diskusi kelompok kecil Studi Kasus Bedside teaching Praktek klinis

Materi dan keterampilan yang harus dikuasai :  

Mengetahui prinsip dasar transportasi pasien kritis Mengetahui alat monitor , obat-obat minimal yang diperlukan untuk transportasi pasien kritis

6. MEDIA 1. Kuliah Kuliah khusus Persiapan Obat dan Alat Anestesia untuk anestesia umum dan regional. . 2. Demo praktek pemasangan alat: mesin anestesia, monitor, pompa semprit, infusiion pump, defibrilator dll. 3. Diskusi kelompok 105

4. Tugas baca dan tulisan (tinjauan pustaka, journal reading) 5. Laporan kasus, morbiditas dan mortalitas, dikaitkan dengan keberadaan alat dan obatobatan. 6. Continuing Profesional Development (CPD) 7. ALAT BANTU PEMBELAJARAN Perpustakaan, internet, skill lab

8. EVALUASI 8.1.

Pada awal pertemuan dilaksanakan pre-tes dalam bentuk esai dan lisan untuk menilai kinerja awal peserta didik dan melakukan identifikasi kekurangan yang ada. Materi pretes terdiri atas : 1. Persiapan alat, obat , 2. Pengecekan alat anestesia umum, regional, monitor dan obat-obatan dan alat-alat lain, pompa semprit, infusiion pump, defibrilator dan lain lain. 3. Teknik pemasangan dan penggunaan alat anestesia pada butir 2 4. Pemasangan pemantauan fungsi vital dan interpretasi hasil monitor.

8.2.

Diskusi kelompok kecil bersama fasilitator untuk membahas kekurangan yang teridentifikasi, membahas tuntunan belajar dan proses penilaian.

8.3.

Peserta didik diwajibkan untuk mengaplikasikan langkah-langkah dalam penuntun belajar pada pasien bersama teman-temannya (peer assisted learning), dievaluasi oleh temantemannya (peer assisted evaluation).

8.4.

Setelah dinilai memadai, peserta didik melalui metode bedside teaching di bawah pengawasan fasilitator mengaplikasikan penuntun belajar kepada pasien sesungguhnya. Pada saat pelaksanaan, evaluator melakukan pengawasan langsung (direct observation) dan mengisi lembar penilaian: - Perlu perbaikan : pelaksanaan belum benar atau beberapa langkah tidak dilakukan - Cukup baik : pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misalnya tindakan anestesia tidak mulus sehingga kurang memberi kenyamanan kepada pasien - Baik : pelaksanaan benar, baik dan efisien

8.5.

Setelah bedside teaching dilakukan diskusi dan memberi masukan untuk memperbaiki kekurangan yang ditemukan. 106

8.6.

Self assessment dan peer assisted evaluation dengan mempergunakan penuntun belajar.

8.7.

Pendidik/fasilitator melakukan : - Pengamatan langsung dengan memakai ceklis evaluasi (terlampir) - Diskusi dan penjelasan lisan dari peserta didik - Kriteria penilaian keseluruhan : baik/cukup/kurang

8.8.

Task-based medical education, pada akhir penilaian peserta didik diberi masukan atau diberi tugas untuk memperbaiki kinerja.

8.9.

Pencapaian pembelajaran : Isi pre-tes : 1. Jelaskan tentang manfaat persiapan alat-alat dan obat-obat anestetik. 2. Jelaskan tentang set up mesin anestesia 3. Jelaskan tentang persiapan alat dan obat-obat dan cairan untuk anestesia umum dan analgesia regional 4. Jelaskan tentang alat monitor selama anestesia umum dan regional 5. Jelaskan tentang alat-alat dan obat darurat dan resusitasi. 6. Jelaskan apa saja yang harus dimonitor selama tindakan anestesia 7. Sebutkan tanda-tanda pada monitor yang menunjukkan kegawatan mengancam nyawa. atau alat yang tidak berfungsi baik 8. Jelaskan peralatan dan obat yang harus ada untuk transportasi pasien kritis 9. Jelaskan peralatan dan obat untuk pasien pasca-anestesia 10. Jelaskan operasional alat-alat tersebut di atas. Bentuk pre-tes : MCQ, ujian esai dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan (semester).

Bentuk ujian : - Ujian akhir stase/ rotasi posttest tulis dan ujian pasien - Ujian akhir profesi Bisa dalam bentuk : 1. PengetahuanKognitif -

MCQ EMQ (Extended Medical Question) Ujian lisan Multiple observation and assessments OSCE (Objective Structure Clinical Examination) 107

- Minicheck 2. Skill - Multiple observation and assessments - Multiple observers - OSCE (Objective Structure Clinical Examination) - Minicheck 3.Communication and Interpersonal Skills - Multiple observation and assessments - Multiple observers 4.Profesionalisme -

Multiple observation and assessments Multiple observers

9. DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR PERSIAPAN ALAT DAN OBAT ANESTETIK. Tindakan / operasi : No Daftar cek penuntun belajar prosedur persiapan alat dan obat

Sudah dilakukan

Belum dilakukan

PERSIAPAN ALAT DAN OBAT-OBAT 1

Menentukan jenis alat dan obat yang diperlukan untuk anestesia umum

2

Menentukan jenis alat-alat dan obat yang diperlukan untuk beberapa jenis analgesia regional

3

Menentukan jenis alat monitor yang diperlukan untuk anestesia umum dan analgesia regional

4

Mengetahui indikasi untuk penggunaan alat pompa semprit dan infusiion pump

5

Melakukan setup mesin anestesia, alat-alat monitor, dan sempritdan infusiion pump, mesin pengisap (isap) ANESTESIA

1

Alat dan obat untuk induksi (intubasi, LMA)

108

2

Alat dan obat untuk Analgesia regional blok saraf

3

Alat dan obat untuk Anestesia intravena

4

Alat untuk Pemberian cairan dan transfusi

5.

Alat untuk Pemanatauan fungsi vital, kesadaran, kardiovaskular, pernafasan. Tekanan darah, nadi, Saturasi Hb (SpO2), ventilasi (ETCO2 bila ada), jumlah urin, suhu

6.

Alat dan obat untuk Tindakan ekstubasi PASCABEDAH

7

Alat dan obat untuk mencegah dan menangani komplikasi pascabedah

8

Alat dan obat untuk transportasi pasien kritis

Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda (√ )

10. DAFTAR TILIK Berikan tanda √ dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan memuaskan, dan berikan tanda X bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak dilakukan pengamatan √ Memuaskan

Langkah / tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur Standard atau Penuntun

X Tidak memuaskanTidak mampu untuk mengerjakan langkah /tugas sesuai dengan Prosedur Standard atau penuntun T/D Tidak diamati

Nama pasien

No

Langkah, tugas atau keterampilan tidak dialakukan oleh peserta Latih selama penilaian oleh pelatih

No Rekam Medis

DAFTAR TILIK

Kesempatan ke 109

Kegiatan / langkah klinis

Peserta dinyatakan:

1

2

3

4

5

Tanda tangan pelatih

□ Layak □ Tidak layak Melakukan prosedur Tanda tangan dan nama terang

11. MATERI ACUAN: Persiapan alat dan obat anestetik 110

Pasien yang akan menjalani anestesia pada operasi elektif / darurat harus dilakukan pemeriksaan preoperatif ; anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang, informed consent, penetapan status fisis ASA dan lakukan persiapan anestesia (puasa, rencana premedikasi), termasuk persiapan alat dan obat-obat yang diperlukan selama tindakan anestesia. Persiapan alat-alat dan obat-obat anestesia: 8. Mesin anestesia. Sebelum memeriksa mesin anestesia, lebih dulu periksa apakah sistem sumber gas tersebut sentral atau tidak (tabung gas portabel ada pada mesin anestesia). Periksa dulu sistem tersebut apakah sudah terhubung baik dengan mesin. Selanjutnya periksa kerja flow-meter, vaporizer, katup inspirasi dan katup ekspirasi apakah berfungsi dengan baik. Katup APL (adjustable pressure limit) valve, anesthetic breathing circuit, Reservoir bag, CO2 absorber canister apakah telah terpasang dengan baik. Setelah itu periksa apakah ada kebocoran gas atau uap dalam sistem sirkuit mesin tersebut. Perlu harus diingat bila kondisi sudah menjadi rutin pengecekan ini sering dilupakan. 9. Alat-alat yang diperlukan untuk anestesia umum: jalan nafas (oral, nasal), sungkup muka, LMA, laringoskop, pipa endotrakeal, cunam Magill, stilet (introducer), tape, stetoskop, konektor pipa endotrakeal dengan mesin, pipa nasogatrik. Alat pengisap (isap) harus diperiksa berfungsi baik. 10. Obat-obat anestetik umum, intravena (tiopental, propofol, ketamin) dan inhalasi N2O, halotan, etran, isofluran, sevofluran.. 11. Alat-alat untuk analgesia regional: jarum-jarum untuk analgesia spinal, jarum epidural, kateter epidural atau jarum khusus lain untuk analgesia regional tertentu seperti blok pleksus saraf.. Bila ada perlu disiapkan nerve stimulator/nerve locator. Obat analgetik lokal seperti lidokain, bupivakain. 12. Obat darurat seperti oksigen, adrenalin, sulfas atropin, efedrin, aminofilin, steroid, obat anti aritmia (lidokain, amiodaron), loop diuretics, inotropik, vasopresor(norepinefrin), obat-obat hipotensif (nitrogliserin, nitroprusid), antikonvulsan (diazepam, tiopental MgSO4), pelumpuh otot, obat antidotum (nalokson, antikolinesterase dan bila ada flumazenil, dantrolen), natriumbikarbonat, kalsium glukonas, kalsium klorida, KCl, morfin dan opioid lain, fentanil, petidin. 13. Alat untuk darurat : (set Ambu bag dengan kelengkapannya) alat Defibrilator. 14. Alat-alat untuk menanggulangi dificult intubation (Glidescope, Brochoscope) termasuk peralatan trakeosotmi merupakan opsi. 15. Cairan kristaloid dan kolloid termasuk jarum/kateter infusi dan set infusinya. Obat-obat yang diberikan parenteral harus disiapkan tetesan mikrogram, pompa semprit, atau infusiion pump. 16. Alat monitor standard noninvasif seperti EKG, NIBP, saturasi O2, suhu, ETCO2 harus dipersiapkan dan dicek layak pakai atau tidak. Alat monitor invasif dipersiapkan sesuai indikasi saja. 17. Setelah semua persiapan alat dan obat lengkap, pastikan ada asisten yang membantu tindakan anestesia. Pasang jalur intravena pasang jalur infusi dan jalankan infusi. Lakukan anestesia umum sesuai modul pada anestesia umum atau analgesia regional sesuai modul analgesia regional. Premedikasi dapat diberikan secara intravena atau intramuskular atau inhalasi.Lakukan pemantauan fungsi vital oksigenasi, O2), tekanan darah, nadi, EKG, suhu, 111

aliran cairan infusi, ventilasi dengan ETCO2 kalau ada, produksi urin, jumlah perdarahan. Atur kebutuhan obat untuk pertahankan sedasi, analgesia dan relaksasi. Akhir operasi yakinkan pasien bernafas spontan dan volume nafas adekuat (kecuali bila direncanakan untuk melanjutkan bantuan nafas pascabedah). Bila perlu berikan antidotum obat-obat yang menyebabkan apnea berkepanjangan atau hipoventilasi . Lakukan pengakhiran anestesia dengan mulus, dan mengawasi masa siuman. Lakukan pengawasan terhadap komplikasi pascabedah dan penanggulangan terhadap mual muntah, nyeri, obstruksi jalan nafas, gangguan oksigenasi, bradipnea, apnea, gangguan tekanan darah, dan lama pulih sadar. Mortalitas dapat terjadi bergantung pada kondisi awal, ASA, atau penyakit penyerta. Pastikan rekam medis anestesia dibuat secara baik dan lengkap. 12. REFERENSI Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006

112

MODUL 7

TRAUMATOLOGI I

Mengembankan Kompetennsi

Waktu (semester 3)

Sesi di dalam kelas

Traumatologi I, adalah suatu rotasi yang membutuhkan paling sedikit 2 bulan (8 pekan) semester 3 ke atas yang meliputi penanganan trauma pada tahan awal.

Sesi dengan fasilitas Pembimbing Sesi praktek dan pencapaian kompetensi

Persiapan Sesi

Audiovisual LCD proyektor dan layar Laptop OHP Flipchart Pemutar video Materi presentasi : CD Power Point Sarana Ruang Belajar Ruang pemeriksaan Ruanfg Pulih Ruang rawat Inap / Pengamat Lanjut Kasus : pasien di ruang Resusitasi di Unit Gawat Darurat 113

Alat bantu Latih : Model anatomi / Simulator Penuntun Belajar : lihat acuan materi Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik

REFERENSI Primary Trauma Care Course Manual (current edition) Darurat Medicine Manual (to be announced) Clinical Anesthesiology GE Morgan, Jr. 4th ed 2006 Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006 Manual of Anaesthesia, CY. Lee 2006

1. TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM Setelah menyelesaikan modul ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk melakukan penatalaksanaan awal pasien trauma

2. TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS a. KOGNITIF 1. Mampu menilai dengan cepat kegawatan pada pasien trauma 2. Mampu menjelaskan penatalaksanaan kegawatan jalan nafas 3. Mampu menjelaskan penatalaksanaan kegawatan gangguan bernafas 4. Mampu menjelaskan penatalaksanaan kegawatan syok 5. Mampu menjelaskan penatalaksanaan kegawatan penurunan kesadaran 6. Mampu menjelaskan penatalaksanaan kegawatan kejang 7. Mampu menjelaskan penatalaksanaan resusitasi cairan 8. Mampu menjelaskan kerja defibrilator dan indikasi defibrilasi 9. Mampu menjelaskan pemantauan kontinyu invasif dan noninvasif 10. Mampu merencanakan tindakan yang perlu untuk menanggulangi kegawatan pasien trauma(jalan nafas, breathing, shock, defibrillasi) 11. Mampu menjelaskan penatalaksanaan kegawatan keracunan dan penyalahgunaan obat 12. Mampu menjelaskan pemakaian obat-obatan darurat dan alat-alat bantu darurat 13. Mampu menjelaskan stabilisasi, tansportasi dan rujukan pasien trauma 114

14. Mampu menjelaskan peranan anetesia sebagai bagian dari darurat tim

b. PSIKOMOTOR 1. Mampu melakukan penilaian cepat pasien trauma (penilaian awal/survei primer) 2. Mampu melakukan penatalaksanaan kegawatan jalan nafas sampai paripurna 3. Mampu melakukan penatalaksanaan kegawatan gangguan bernafas dan memberikan tatalaksana pernafasan mekanik 4. Mampu melakukan penatalaksanaan penderita syok 5. Mampu melakukan penatalaksanaan penderita penurunan kesadaran 6. Mampu melakukan penatalaksanaan penderita kejang 7. Mampu melakukan pemasangan akses vena dengan jarum besar,melalui akses vena tepi dan sentral (untuk anak intraosseus) 8. Mampu melakukan penatalaksanaan resusitasi cairan 9. Mampu melakukan kardioversi 10. Mampu melakukan pemantauan invasif dan noninvasif kontinyu c. KOMUNIKASI /HUB INTERPERSONAL 1. Mampu menjelaskan kepada tim dokter, pasien dan keluarga pasien tentang manfaat, risiko dan prosedur pertolongan awal korban trauma, stabilisasi dan rujukan 2. Mampu menjelaskan kepada tim dokter dan tim perawat di alamat rujukan tentang prosedur yang telah dikerjakan dan upaya rujukan selanjutnya d. PROFESIONALISME 1. Bekerja sesuai dengan prosedur Standard 2. Memahami etik profesi dalam melakukan tindakan medis penanganan awal korban trauma, stabilisasi dan rujukan 3. Menjamin bahwa peralatan yang diperlukan untuk tindakan medis penanganan awal korban trauma, stabilisasi dan rujukan ada lengkap dan berfungsi baik 4. Menjamin bahwa dokter telah memiliki keterampilan cukup untuk melakukan tindakan medis penanganan awal korban trauma, stabilisasi dan rujukan 5. Leader shifting

6. KEY NOTES 1. Asesmen pertama pasien trauma dapat dibagi menjadi, primary survey, secondary survey dan tetiary survey. Primary survey akan berlang sung 2 – 5 menit dan mencakup urutan ABCDE trauma : Jalan nafas, Breathing, Circulation, Disability dan Exposure. Resusitasi dan assesmen berlangsung simultan. 115

Resusitasi trauma mencakup 2 tahap: menghentikan perdarahan dan memperbaiki cedera. Secondary dan tertiary survey lebih komprehensif mengikuti primary survey. 2. Lima kriteria meningkatkan risiko yang potensial tidak stabil pada tulang servikal : 1) nyeri leher, 2) nyeri yang sangat mengganggu, 3) adanya tanda atau gejala neurologik, 4) intoksikasi, dan 5) penurunan kesadaran. Fraktur tulang servikal harus dicurigai jika terdapat satu dari kriteria tersebut. Dengan kriteria ini, kejadian cedera tulang servikal sekitar 2 %. Kejadian ketidakstabilan servikal meningkat menjadi 10 % pada cedera kepala berat. 3. Hiperekstensi leher dan traksi berlebihan harus dihindarkan walaupun baru dicurigai adanya ketidakstabilan servikal. Imobilisasi manual kepala dan leher oleh asisten sebaiknya dipergunakan untuk menstabilkan servikal selama laringoskopi (“manual in-lina-stabilization” or MLS). 4. Terapi utama syok hemorhagik adalah resusitasi cairan dan transfusi. Kateter pendek (multiple short, 1.5 – 2 in, lubang besar (14 – 16 gauge atau 7 - 8.5 F) ditempatkan di vena apa saja yang mudah diperoleh.

1. POKOK BAHASAN A. Pemeriksaan cepat Survey dan Secondary Survey B. Kegawatan gangguan nafas i. Obstruksi jalan nafas ii. Gagal nafas iii. Edema paru akut iv. Apnea C. Kegawatan ganguan sirkulasi i. Hipotensi dan hipertensi ii. Syok hemorhagik, hipovolemik, kardiogenik, anafilaktik iii. Aritmia iv. Infark miokard dan Acute Coronary Syndrome v. Henti jantung D. Kegawatan gangguan sistem saraf i. Koma ii. Cushing responsse iii. Space omlupying lession iv. Intoksikasi v. Konvulsi vi. Paresis paralisis

116

E. GAMBARAN UMUM i. Setelah melalui sesi pada tahap ini peserta didik mampu mengelola pasien trauma survei primer pada tahap awal F. TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS i. Setelah proses alih pengetahuan, keterampilan dan perilaku melalui modul ini, diharapkan peserta didik memiliki kemampuan untuk: ii. Melakukan survei primer ABCDE (A=Jalan nafas, B=Breathing, C=Circulation, D=Disability, E=Exposure) iii. Melakukan Resusitasi dan Stabilisasi iv. Melakukan survei sekunder. Survei sekunder dilakukan bilamana ABC pasien harus sudah stabil v. Menilai adanya cedera leher, trauma kepala, dada, abdomen, pelvis, tulang belakang dan ekstremitas.

1.

METODE Peserta didik sudah harus mempelajari: 1. Bahan acuan (references) 2. Ilmu dasar yang berkaitan dengan topik pembelajaran 3. Ilmu klinis dasar Tujuan1: melakukan survei primer ABCDE (A=Jalan nafas, B=Breathing, C=Circulation, D=Disability, E=Exposure) Metode pembelajaran 1. Small group medical education 2. Demo & Coaching discussion 3. Peer assisted learning (PAL) 4. Bedside teaching 5. Task-based 6. Praktek klinis 117

Materi dan keterampilan yang harus dikuasai: 1. Kemampuan menegakkan diagnosis sumbatan jalan nafas, penyebab sumbatan jalan nafas, melakukan tindakan pembebasan jalan nafas dan menjelaskan penyebab kegawatan pernafasan pasien trauma. 2. Penilaian kesadaran pasien secara cepat AVPU (A=Awake, V= Verbal /respons bicara, P= Pain/ respons nyeri, U= Unresposive/tidak ada respons) 3. Tindakan pembebasan jalan nafas: Chin Lift/ Jaw thrust, pemasangan pipa oro/nasofaring, intubasi endotrakeal, LMA, Krikotirotomi 4. Pemberian oksigen dan melakukan pernafasan buatan (ventilasi) 5. Kemampuan menegakkan diagnosis pasien syok, mencari penyebab syok dan melakukan tindakan mengatasi syok pada pasien trauma, terutama syok hemoragik/perdarahan 6. Pemasangan dua jalur infusi intravena dengan jarum besar (16-14G) dan memberikan cairan resusitasi

Tujuan 2 : melakukan resusitasi dan stabilisasi Metode pembelajaran 1. Small group medical education 2. Demo & Coaching discussion 3. Peer assisted learning (PAL) 4. Bedside teaching 5. Task-based 6. Praktek klinis

Materi dan keterampilan yang harus dikuasai: 1. Kemampuan menjelaskan tujuan dan melakukan pemberikan oksigen dan pernafasan buatan (ventilasi) 2. Penatalaksanaan pasien syok 3. Kemampuan menegakkan diagnosis syok hipovolemik/syok hemoragik, syok kardiogenik, syok neurogenik, syok septik dan m 4. Penjelaskan penyebabnya. 5. Pemasangan jalur vaskular intravena dan intraarterial, kanulasi vena sentral 6. Tujuan pemberian larutan infusi Ringer laktat yang dihangatkan 7. Kemampuan menjelaskan tentang tindak lanjut bila ada problema yang mengancam nyawa pada survei primer berlanjut 118

Tujuan 3 : melakukan survei sekunder yang dilakukan bilamana ABC pasien harus sudah stabil

Metode pembelajaran 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Small group medical education Demo & Coaching discussion Peer assisted learning (PAL) Bedside teaching Task-based Praktek klinis

Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:

1. Pemeriksaan kepala, batok kepala, kulit kepala, bola mata , telinga, jaringan lunak periorbita 2. Pemeriksaan leher: luka tembus leher, emfisema subkutan, deviasi trakea, distensi vena leher 3. Pemeriksaan neurologik : Glasgow Coma Scale (GCS), pemeriksaan fungsi medula spinalis, penilaian sen sasi dan refleks 4. Pemeriksaan dada : klavikula, semua tulang iga, bunyi nafasdan jantung , pemantauan EKG 5. Pemeriksaan abdomen: luka tembus abdomen yang memerlukan eksplorasi bedah , mampu melakukan pemasangan pipa nasogastrik pada trauma tumpul abdomen 6. Pemeriksaan dubur 7. Pemasangan kateter kandung kemih bila tidak ada darah di meatus eksernus uretra 8. Pemeriksaan pelvis dan ekstremitas Tujuan 4 : menilai adanya cedera leher, trauma kepala, dada, abdomen, pelvis, tulang belakang dan ekstremitas Metode pembelajaran 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Small group medical education Demo & Coaching discussion Peer assisted learning (PAL) Bedside teaching Task-based Praktek klinis

119

Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:

1. Pada trauma multipel, abdomen merupakan bagian tersering yang mengalami cedera, evaluasi awal terhadap pasien trauma abdomen tetap harus menyertakan A(Jalan nafas and C-Spine), B (breathing), C(circulation), dan D (disability dan penilaian neurologik) dan E (exposure) 2. Kemampuan menjelaskan jenis trauma abdomen, trauma penetrasi luka tembak, luka tusuk atau trauma non penetrasi, kompresi, hancur(crash), sabuk pengaman (seat belt), cedera akselerasi/deselerasi. 3. Indikasi dan indikasi-kontra DPL(Diagnostic Peritoneal Lavage) 4. Kemampuan menjelaskan problema khusus fraktur tulang pelvis 5. Pemeriksaan tonus spingter anus, darah dalam rektum, pemeriksaan darah di meatus uretra eksterna. 6. Stabilisasi jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi dengan segera dan immobilisasi tulang leher 7. Penilaian tanda-tanda fungsi vital dan derajat kesadaran (GCS) secara berulang-ulang. 8. Kemampuan menjelaskan tanda klinis trauma tulang belakang, menjelaskan posisi netral pada waktu pemeriksaan pasien trauma tulang belakang, ”log rolling”, in-line immobilization, pemasangan stiff servikal collar. 9. Kemampuan menjelaskan gangguan fungsi autonom pada cedera medula spinalis. 10. Pemeriksaan/keadaan-keadaan yang harus diperiksa, pasien dengan trauma ekstremitas (warna dan suhu kulit, perabaan nadi distal, tempat-tempat yang berdarah, deformitas ekstremitas, gerakan ekstremitas secara aktif dan pasif, gerakan ekstremitas tak wajar dan ada krepitasi, derajat nyeri bagian yang cedera. 11. Sindroma kompartemen pada ekstremitas, penyebab dan terjadi pada kasus trauma ekstermitas yang bagaimana dan menjelaskan kerusakan jaringan pada sindroma kompartemen akibat hipoksemia dan akibat reperfusi 12. Penatalaksanaan cedera ekstremitas dengan tetap memelihara aliran darah ke jaringan perifer, mencegah infeksi dan nekrosis kulit, mencegah kerusakan pada saraf perifer. 13. Penghentian perdarahan eksternal, immobilisasi dan mengatasi nyeri.

2. g. h.

3.

SUMBER PEMBELAJARAN SDM: Anestetis sebagai pengajar, pelatih dan penilai Sarana belajar mengajar : Ruang Kuliah, Perpustakaan, Skill Lab dan Rumah Sakit setara Klas B pendidikan untuk menjamin jumlah dan variasi kasus sesuai sub 5c (Metode) MEDIA : 120

1. Kursus / pelatihan Pelatihan di skill lab intubasi, LMA, kanulasi vena dan arteri pada manikin 2. Belajar mandiri 3. Kuliah Kuliah khusus Anestesia Traumatologi I ,termasuk semua sub pokok bahasan dilakukan semester 3 pekan 1. 4. Diskusi kelompok a. Laporan dan diskusi tentang problema preoperatif , b. Penatalaksanaan jalan nafas, resusitasi dan stabilisasi, anestesia umum (intubasi, LMA), regional c. pemantauan d. penatalaksanaan pascabedah 5. Pemeriksaan preoperatif 6. Bimbingan pembiusan dan asistensi di kamar operasi 1. Pelatihan resusitasi dan stabilisasi, anestesia umum dan regional di kamar bedah, ruang resusitasi pada pasien trauma. 2. Dilakukan dengan bimbingan dan pengawasan staf pengajar. 7. Tugas baca dan tulisan (tinjauan pustaka, journal reading) 8. Laporan kasus, morbiditas dan mortalitas 9. Continuing Profesional Development (CPD)

4.

ALAT BANTU : 1. Manikin dan simulator. 2. Perpustakaan, internet, skill lab

15.

EVALUASI

15.1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pre-tes dalam bentuk esai dan lisan untuk menilai kinerja awal peserta didik dan melakukan identifikasi kekurangan yang ada. Materi pretes terdiri atas :

121

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Pemilihan/seleksi pasien trauma Survei primer, resusitasi dan stabilisasi, survei sekunder, manajemen trauma Persiapan preoperatif Persiapan alat, obat, pengecekan mesin, pemasangan alat monitor noninvasif dan invasif Pemilihan teknik anestesia dan penggunaan obat yang sesuai untuk anestesia pasien trauma Penatalaksanaan anestesia umum dan regional Pemantauan Penatalaksanaan pasca-anestesia pasien trauma

15.2. Diskusi kelompok kecil bersama fasilitator untuk membahas kekurangan yang teridentifikasi, membahas tuntunan belajar dan proses penilaian. 15.3. Peserta didik diwajibkan untuk mengaplikasikan langkah-langkah dalam penuntun belajar pada manikin anestesia bersama teman-temannya (peer assisted learning), dievaluasi oleh teman-temannya (peer assisted evaluation). 15.4. Setelah dinilai memadai, peserta didik melalui metode bedside teaching di bawah pengawasan fasilitator mengaplikasikan penuntun belajar kepada pasien sesungguhnya. Pada saat pelaksanaan, evaluator melakukan pengawasan langsung (direct observation) dan mengisi lembar penilaian: - Perlu perbaikan : pelaksanaan belum benar atau beberapa langkah tidak dilakukan - Cukup baik : pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misalnya tindakan anestesia tidak mulus sehingga kurang memberi kenyamanan kepada pasien - Baik : pelaksanaan benar, baik dan efisien 15.5.Setelah bedside teaching dilakukan diskusi dan memberi masukan untuk memperbaiki kekurangan yang ditemukan. 15.6. Self assessment dan peer assisted evaluation dengan mempergunakan penuntun belajar. 15.7. Pendidik/fasilitator melakukan : - Pengamatan langsung dengan memakai ceklis evaluasi (terlampir) - Diskusi dan penjelasan lisan dari peserta didik - Kriteria penilaian keseluruhan : baik/cukup/kurang 15.8. Task-based medical education, pada akhir penilaian peserta didik diberi masukan atau diberi tugas untuk memperbaiki kinerja. 122

15.9. Pencapaian pembelajaran : Isi pre-tes : 1. 2. 3. 4. 5.

Jelaskan Survei Primer ABCDE pada penanggulangan pasien trauma Jelaskan Resusitasi Awal pasien Trauma Jelaskan Survei Sekunder pasien trauma Jelaskan Monitor pada pasien trauma jelaskan indikasi pemasangan kateter urin dan pipa nasogatrik pada pasien trauma 6. Jelaskan indikasi pemeriksaan Rongent dan diagnosis dari a. Dada b. Pelvis c. C-spine d. Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL) 7. Jelaskan penanggulangan syok hipovolemik 8. Jelaskan penatalaksanaan jalan nafas pada trauma leher 9. Jelaskan diagnosis dan penanggulangan pneumotoraks tension 10. Pada pasien trauma jelaskan penyebab syok selain syok hipovolemik. Bentuk pre-tes : MCQ, ujian esai dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan (semester).

Bentuk ujian : - Ujian akhir stase/ rotasi pos-tes tulis dan ujian pasien - Ujian akhir profesi Bisa dalam bentuk : 1. PengetahuanKognitif -

MCQ EMQ (Extended Medical Question) Ujian lisan

- Multiple observation and assessments - OSCE (Objective Structure Clinical Examination) - Minicheck 2. Skill - Multiple observation and assessments - Multiple observers - OSCE (Objective Structure Clinical Examination) - Minicheck 3.Communication and Interpersonal Skills 123

- Multiple observation and assessments - Multiple observers 4.Profesionalisme -

16.

Multiple observation and assessments Multiple observers

DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR

No

Daftar cek penuntun belajar

1.

DEFINISI TRAUMATOLOGI

2.

TANGGAPAN FISIOLOGI AKIBAT TRAUMA

3.

KUNJUNGAN PRA- RESUSITASI

4.

KATAGORI TRAUMA (Primary, Secondary atau Tertiary Survey)

5.

MENENTUKAN KELAINAN JALAN NAFAS

6.

MENENTUKAN KELAINAN BREATHING

7.

MENENTUKAN KELAINAN CIRCULATIOAN

8.

MENENTUKAN KELAINAN DISABILITY

9.

MENENTUKAN KELAINAN EXPOSURE

10.

PERSIAPAN PRA-RESUSITASI UNIT GAWAT DARU- RAT

Sudah dikerjakan

Belum dikerjakan

a. Persiapan alat-alat resusitasi b. Persiapan obat-obatan dan cairan Infusi c. Persiapan dan pemasangan alat-alat monitor d.

Pemantauan selama resusitasi

e. Penatalaksanaan pasca resusitasi 124

f.

Pelimpahan untuk penatalaksanaan selanjutnya, ke kamar bedah, ICU, PACU atau ke bangsal biasa

Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda

16.



DAFTAR TILIK

Berikan tanda  dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan memuaskan, dan berikan tanda  bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak dilakukan pengamatan  Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur Standard atau penuntun  Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan memuaskan prosedur Standard atau penuntun T/D Tidak Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih diamati selama penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik

Tanggal

Nama pasien

No Rekam Medis

125

DAFTAR TILIK No

Kegiatan / langkah klinis

Kesempatan ke 1

2

3

4

5

126

Peserta dinyatakan :

Tanda tangan pelatih

 Layak  Tidak layak melakukan prosedur Tanda tangan dan nama terang

1.

MATERI ACUAN

Introduksi :

Pada pasien trauma pertama kali yang dilakukan adalah penilaian survey primer ABCDE, dan pembebasan jalan nafas. Bila ada dugaan trauma leher, tindakan inline position. Lakukan pemberian oksigenasi dan ventilasi bila perlu. Pasang akses vena dengan jarum 16-14 G, dan resusitasi cairan kristaloid hangat. Selanjutnya adalah menghentikan perdarahan eksternal bila ada. Setelah ABC aman, lakukan survei sekunder meliputi pemeriksaan fisis kepala sampai ekstremitas. Pasang pemantauan, bila kondisi stabil lakukan pemeriksaan foto toraks, abdomen, pelvis, C-spine bila perlu ultrasonografi (USG) untuk menegakkan diagnosis adanya trauma dada, fraktur iga, pneumotoraks tension, flail chest, hemotoraks, kontusio paru, aspirasi kontusio miokard, trauma abdomen luka penetrasi, non penetrasi, nyeri abdomen , penyebab tidak jelas. Pemeriksaan CT scan dilakukan bila ada indikasi seperti trauma kepala. Pemeriksaan DPL, hematologi, golongan darah dan permintaan komponen darah bila diperlukan. Pasien trauma yang menjalani anestesia harus dilakukan penatalaksanaan preoperatif ; anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang, informed consent dan lakukan persiapan anestesia (puasa, rencana premedikasi). Pasien dewasa elektif dipuasakan 6 – 8 jam, anak 2, 4, 6, 8 jam. Dilakukan penetapan status fisis ASA. Persiapan anestesia meliputi statics, obat, mesin anestesia sesuai dengan tindakan anestesia yang dipilih. Setelah semua persiapan alat dan obat lengkap, pastikan ada asisten yang membantu tindakan anestesia. Lakukan anestesia umum sesuai modul pada anestesia umum atau analgesia regional sesuai modul analgesia regional untuk pasien bedah digestif. Premedikasi dapat diberikan secara intravena atau 127

intramuskular. Lakukan pemantauan fungsi vital oksigenasi, saturasi Hb (SpO2), tekanan darah, nadi, EKG, suhu, aliran cairan infusi, ventilasi dengan ETCO2 kalau ada, produksi urin, jumlah perdarahan. Bila diperlukan pemasangan kateter vena sentral dan jalur intra arterial. Atur kebutuhan obat untuk pertahankan sedasi, analgesia dan relaksasi. Untuk beberapa kasus dibutuhkan pemasangan NGT. Akhir operasi yakinkan pasien bernafas spontan dan volume nafas adekuat (kecuali bila direncanakan untuk melanjutkan bantuan nafas pascabedah). Bila perlu berikan antidotum obat-obat yang menyebabkan apnea berkepanjangan atau hipoventilasi . Lakukan pengakhiran anestesia dengan mulus, dan mengawasi masa siuman. Lakukan pengawasan terhadap komplikasi pascabedah dan penanggulangan terhadap mual muntah, nyeri, obstruksi jalan nafas, gangguan oksigenasi, bradipnea, apnea, gangguan tekanan darah, dan lama pulih sadar. Mortalitas dapat terjadi bergantung pada kondisi awal, ASA, atau penyakit penyerta. Untuk kasus dan kondisi pasien tertentu memerlukan perawatan ICU pascabedah.

Langkah-langkah penanganan pasien trauma

Asesmen pertama pada pasien trauma dapat dibagi menjadi pemeriksaan primer, sekunder dan tertier (primary, secondary and tertiatry survey). Primary survey akan berlangsung 2 – 5 menit dan terdiri dari urutan ABCDE trauma: Jalan nafas. Breathing , Circulation , Disability dan Exposure. Jika fungsi tiga sistem pertama terganggu, resusitasi harus segera dilakukan secepatnya. Pada pasien kritis, resusitasi dan asesmen berlangsung simultan oleh tim pelaksana penangulangan trauma. Pemantauan dasar mencakup, EKG, tekanan darah noninvasif dan oksimeter pulsa dapat diprakarsai dari tempat kejadian dan diteruskan selama perteolongan. Prinsip-prinsip resusitasi Jantung – Paru dapat dilihat dalam Modul 3: Keterampilan Anestesiologi III. Resusitasi trauma terdiri dari 2 langkah : menghentikan perdarahan dan memperbaiki cedera definitif. Primary survey akan diikuti oleh secondary dan teriary survey yanhg lebih komprehensif.

Primary survey

Jalan nafas Menentukan dan mempertahankan jalan nafas selalu meruipakan perioritas pertama. Jika pasien dapat berbicara, jalan nafas selalu bersih; pasien yang tidak sadar akan selalu membutuhkan bantuan jalan nafas dan ventilasi. Gejala penting obstruksi jalan termasuk, 128

dengkur (snoring), stridor dan gerakan dada paradoksal. Pada pasien yang tidak sadar sebaiknya dipertimbangkan kemungkinan adanya benda asing. Menejemen jalan nafas lanjut (seperti intubasi endotrakeal, krikotirotomi, atau trakestomi) menjadi indikasi jika terjadi apnea, obstruksi persisten, cedera kepala berat, trauma maksilofasial, luka tembus leher hematom besar dan cedera dada berat. Cedera tulang leher tidak mungkin pada pasien yang alert tanpa nyeri leher. Lima kriteria dapat meningkatkan risiko yang berpotensi ketidakstabilan tulang servikal yaitu: 1) nyeri leher, 2) nyeri yang sangat mengganggu, 3) adanya tanda atau gejala neurologik, 4) intoksikasi, 5) gangguan kesadaran. Fraktur servikal harus diduga jika terdapat salah satu kriteria tersebut; walaupun dengan kriteria ini kejadian fraktur trauma servikal mendekati 2 %. Angka kejadian ketidakstabilan tulang servikal meningkat sampai 10 % jika terjadi cedera kepala berat. Hindarkan hiperekstensi leher; jaw-thrust maneuver lebih baik untuk mempertahankan keutuhan jalan nafas. Jalan nafas oral atau nasal dapat menolong mempertahankan jalan nafas. Pasien tidak sadar dengan trauma berat mempunyai risiko tinggi aspirasi, karena itu jalan nafas harus segera diamankan dengan pipa endotrakeal atau trakeostomi. Hiperekstensi leher dan traksi aksial berlebihan harus dicegah dan immobilisasi manual kepala dan leher oleh asisten harus dilakukan untuk menstabilkan tulang servikal selama laringoskopi (“manual in-line stabilization” atau MILS). Asisten menempatkan kedua tangan pada salahsatu sisi kepala, menahan bawah osiput dan mencegah rotasi kepala. Studistudi telah mendemonstrasikan, pergerakan leher terjadi terutama di daerah C1 dan C2 selama ventilasi dengan sungkup muka dan laringoskopi langsung yang memerlukan upaya stabilisasi (misalnya dengan: MILS, traksi aksial, bantal pasir, fiksasi kepala, kollare lunak atau kollar keras). Dari emua teknik ini, MILS mungkin sangat efektif, tetapi juga mengakibatkan laringoskopi menjadi lebih sulit. Karena alasan ini, beberapa ahli lebih menyukai intubasi nasal (buta atau serat optik) poada pasien yang bernafasspontan dengan kecurigaan cedera tulang servikal, walaupun teknik ini mempunyai risiko untuk aspirasi paru. Kebanyakan praktisi sangat terbiasa dengan intubasi oral dilakukan pada pasien apne yang memmerlukan intubasi segera. Intubasi nasal seharusnya dihindarkan untuk pasien dengan cedera muka tengah (midface) atau fraktur tulang dasar tengkorak.

Trauma laring menyebabkan situasi lebih kompleks dan buruk. Cedera terbuka dapat berkaitan dengan perdarahan dari pembuluh darah besar di leher, obstruksi jalan nafas karena hematom atau edema. Cedera tertutup laring kurang membahayakan tetapi dapat berdampak kripitasi leher, hematoma, disfagi, hemoptisis atau hilang suara. Intubasi sadar dengan pipa endotrakeal kecil mempergunakan laringoskop direk atau brokoskop serat optik dan analgesia topikal, dapat diupayakan jika laring dapat dilihat dengan baik. Jika cedera muka dan leher tidak memungkinkan untuk dilakukan intubasi sebaiknya dipertimbangkan trakeostomi dengan analgesia lokal.Obstruksi jalan nafas akut mungkin memerlukan krikotomi darurat atau trakeostomi perkutan atau bedah. 129

Breathing Asesmen ventilasi dicapai dengan baik sekali dengan cara melihat, mendengar dan merasakan. Melihat untuk sianosis, penggunaan otot nafas asesories, flail chest, luka tembus toraks. Mendengar untuk ada atau tidak ada atau penurunan bunyi nafas. Merasakan untuk emfesa subkutan, pergeseran trakea, iga patah. Adanya tension pneumothorax dan hemothorax harus dapat dicurigai gangguan pernafasan sebelum dilakukan foto toraks. Kebanyakan pasien trauma yang kritis membutuhkan nafas bantu kalau tidak nafas kendali. Bag-valve devices (misalnya, self inflating bag dengan one way valve) dapat dipergunakan untuk ventilasi yang adekuat segera setelah intubasi selama transportasi pasien. Oksigen 100 % diberikan sampai gas darah arteri dapat dinilai.

Circulation

Sirkulasi yang adekuat berdasarkan laju nadi, kekuatan nadi, tekanan darah dan tanda-tanda perfusi perifer. Gejala sirkulasi tidak adekuat mencakup, takikardia, pulsa perifer lemah atau tidak teraba, hipotensi, pucat, dingin atau ekstrimitas sianosis. Perioritas pertama adalah menghentikan perdarahan, kalau terlihat dari luar tekan langsung; kedua, menggantikan cairan intravaskular melalui kanul besar agar infusi dapat diberikan cepat. Contoh darah harus diambil

Perdarahan Pertolongan pertama perdarahan adalah menekan dari luar, hati-hati kalau mempergunakan turnike karena dapat menyebabkan cedera reperfusi. Derajat hipotensi pasien saat sampai di ruang darurat dan kamar operasi sangat menentukan mortalitas pasien. Respons fisiologik perdarahan bervariasi yaitu, takikardia, perfusi kapiler buruk, penurunan tekanan nadi pada hipotensi, takipne dan delerium. (Tabel)

Table . Clinical Classification of Shock.

130

Pathophysiology Mild (< 20% Decreased peripheral of blood perfusion only of organs able volume lost) to withstand prolonged iskemia (skin, fat, muscle, and bone). Arterial pH normal. Moderate (20–40% of blood volume lost)

Clinical Manifestations Patient complains of feeling cold. Postural hypotension and tachycardia. Cool pale moist skin; collapsed neck veins; concentrated urin.

Decreased central perfusion of Thirst. Supine hypotension organs able to tolerate only and tachycar-dia (variable). brief iskemia (liver, gut, Oliguria and anuria. kidneys). Metabolic acidosis present.

Severe (> Decreased perfusion of heart 40% of blood and brain. Severe metabolic volume lost) acidosis. Respiratory acidosis possibly present.

Agitation, confusion, or obtundation. Supine hypotension and tachycardia invariably present. Rapid, deep respirasion.

1

Modified and reprinted, with permission, from Ho MT, Saunders CE: Current Emergency Diagnosis & Treatment, 4th ed. Appleton & Lange, 1992. 2

These clinical findings are most consistently observed in hemorrhagic shock but apply to other types of shock as well.

Terapi cairan Perdarahan masif memerlukan transfusi sel darah merah (SDM) yang sesuai. SDM gol. O yang tidak dicocok silang, dicadangkan untuk perdarahan yang mengancam nyawa dan tidak dapat lagi diganti dengan cairan lain. Transfusi SDM diberikan jika Hb < 7 gr / dl.

Cairan kristaloid yang diberikan akan memerlukan volume yang besar, karena tidak lama bertahan dalam sirkulasi. Larutan ringer laktat lebih mudah menghasilkan asidosis kloremik dibandingkan NaCl normal. Ringer laktat merupakan caiaran yang sedikit hipotonik, tetapi pemberian yang berlebihan akan berdampak edema serebri. Cairan hipertonik seperti NaCL 3 – 7,5 % efektif untuk resusitasi cairan karena kurang mengakibat edema serebri dibandingkan ringer laktat atau NaCl normal. Tetapi hati-hati memberikan cairan hipertonik karena mudah memberi dampak hipernatremia. Cairan yang mengandung dekstrosa berlebihan mudah menyebabkan eksaserbasi iskemia otak. Cairan koloid lebih efektif sebagai pengisi volume intravaskular karena lebih lama bertahan dalam sirkulasi; tetapi harga 131

jauh lebih mahal. Cairan apapun yang dipilih, harus dihangatkan dulu sebelum diberikan. Infusii cepat yang mempergunakan kanul besar (14- 16 gauge) dan cairan hangat sangat baik untuk transfusi masif. Selimut hangat atau humidifier hangat juga sangat penting untuk mempertahankan suhu tubuh. Hipotermia akan memperburuk gangguan asam-basa, koagulopati, dan fungsi miokard.(Tabel)

Table. Deleterious Effects of Hypothermia.

Cardiac arrhythmias and ischemia Increased peripheral vascular resistance Left shift of the hemoglobin–oxygen saturation curve Reversibel coagulopathy (platelet dysfunction) Postoperative protein catabolism and stress response Altered mental status Impaired renal function Decreased drug metabolism Poor wound healing Increased incidence of infection

Hipotermia juga akan menggeser kurva oksigen–hemoglobin ke kiri dan menurunkan metabolisme laktat, sitrat dan beberapa obat anestetik. Jumlah pemberian cairan berdasarkan perbaikan gejala klinis terutama tekanan darah, tekanan nadi (pulse preessure), dan laju nadi. Pengukuran CVP dan jumlah urin juga menjadi indikasi pemulihan perfusi organ vital.

Perfusi organ yang tidak adekuat akan mengganggu metabolisme aerobik dan menghasilkan asam laktat dan asisdosis metabolik. Na bikarbonat yang berdisosiasi menjadi ion bikarbonat dan CO2, dapat memperburuk asidosis intrasel karena membran sel relatif sulit larut bikarbonat dibandingkan dengan CO2. Ketidakseimbangan asam – basa, akhirnya 132

diperbaiki dengan hidrasi dan pemulihan perfusi organ. Laktat akan dimetabolisme di hati dan ion H akan diekskresi melalui ginjal.

Hipotensi pada pasien syok hipovolemik akan diatasi cairan intravena dan produk darah, bukan oleh vasopresor ; kecuali hipotensi berat yang tidak respons terhadap terapi cairan, syok kardiogenik atau henti jantung.

Disability

Upaya ini dilakukan untuk mengevaluasi neurologik dengan cepat, besar pupil, reaksi cahaya, skala Glasgow Coma Scale (GCS), pergerakan spontan kaki dan tangan atau respons terhadap rangsangan.

Table 26–1. Glasgow Coma Scale. Category

Skor

Eye opening Spontaneous

4

To speech

3

To pain

2

Nil

1

Best motor responsse To verbal command Obeys

6 133

Category

Skor

To pain Localizes

5

Withdraws

4

Decorticate flexion

3

Extensor responsse

2

Nil

1

Best verbal responsse Oriented

5

Confused conversation

4

Inappropriate words

3

Incomprehensible sounds

2

Nil

1

Exposure

Seluruh pasien dilepascan agar dapat memeriksan semua cedera yang ada. Mobilisasi in – line harus dipergunakan untuk cedera lehr dan tulang belakang

18. REFERENSI Primary Trauma Care Course Manual (current edition) Darurat Medicine Manual (to be announced) 134

Clinical Anesthesiology GE Morgan, Jr. 4th ed 2006 Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006 Manual of Anaesthesia, CY. Lee 2006

135

MODUL 8 :

ANESTESIA UMUM

Mengembangkan Kompetensi

Waktu (Semester 1)

Sesi di dalam kelas

2 X 1 jam (classroom session)

Sesi dengan fasilitasi Pembimbing

3 X 2 (coaching session)

Sesi praktek dan pencapaian kompetensi

4 pekan (facilitation & assessment)

PERSIAPAN SESI Audiovisual Aid: 6. LCD Proyektor dan layar 7. Laptop 8. OHP 9. Flipchart 10. Pemutar video Materi presentasi: CD PowerPoint Sarana: 5. Ruang belajar 6. Ruang pemeriksaan 7. Ruang Operasi Kasus : pasien di kamar operasi Alat Bantu Latih : Model anatomi /Simulator Penuntun Belajar : lihat acuan materi Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik

Referensi :

136

6. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006 7. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed. Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006

TUJUAN UMUM Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu memberikan anestesia umum intravena, inhalasi, intramuskular baik nafas spontan atau kendali, diintubasi atau dengan LMA pada pasien dengan status fisis ASA I-II.

TUJUAN KHUSUS Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kompetensi dalam ranah-ranah berikut ini : Kognitif 1. Memahami cara kerja alat pemantauan, mesin anestesia dan obat-obatan apa yang perlu disediakan di kamar operasi. 2. Mengetahui mekanisme terjadinya anestesia umum 3. Mengetahui cara pemberian dan obat yang dipakai untuk induksi anestesia umum 4. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi selama anestesia: obstruksi jalan nafas, hipoksemia, hiperkarbia, hipotensi, hipertensi. 5. Mengetahui farmakokinetik dan farmakodinamik obat anestetik intra vena dan anestetik inhalasi. 6. Mengetahui tentang keseimbangananestesia umum intravena, keseimbangananestesia umum inhalasi. 7. Memahami indikasi dan cara memberikan anestesia dengan sungkup, LMA, endotrakeal. 8. Memahami indikasi dan komplikasi intubasi untuk keperluan anestesia umum. 9. Memahami kapan dilakukan ekstubasi serta komplikasi ekstubasi. Psikomotor 1. Mampu melakukan pembebasan jalan nafas tanpa alat (manuver tripel), dengan OPA, LMA, dan intubasi. 2. Mampu melakukan induksi intravena dan induksi inhalasi dengan tepat. 3. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi akibat induksi intravena, induksi inhalasi seperti obstruksi jalan nafas, hipoksemia, hiperkarbia, hipotensi, 137

hipertensi. 4. Mampu mengetahui stadium anestesia. 5. Mampu melakukan ekstubasi. 6. Mampu mengatasi komplikasi akibat ekstubasi. Komunikasi 1. Berkomunikasi dengan ahli bedah bila terjadi komplikasi yang memerlukan tindakan pembedahan . Profesionalisme 1. Mampu mengenali dan memahami urgensi dari komplikasi anestesia umum. 2. Mampu memberikan anestesia umum selancar mungkin (smooth induction and rumatan of anesthesia). KEYNOTES: 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Memahami cara kerja mesin anestesia Memahami cara memasang alat monitor. Mengetahui dengan pasti indikasi anestesia umum Mengetahui dengan pasti teknik induksi anestesia Mengetahui dengan pasti cara pemeliharaan anestesia Mengetahui dengan pasti dan mampu mengatasi bila terjadi komplikasi saat induksi, rumatan dan saat emergens. 7. Mengetahui farmakokinetik dan farmakodinamik obat anestetik intravena dan anestetik inhalasi 8. Mengetahui farmakokinetik dan farmakodinamik analgetik opioid, obat pelumpuh otot 9. Mengetahui farmakokinetik dan farmakodinamik antidotum narkotik dan pelumpuh otot. GAMBARAN UMUM Untuk dapat memberikan anestesia umum dengan aman diperlukan pengetahuan dan keterampilan dalam mekanisme kerja alat pemantauan, cara kerja mesin anestesia dan obat-obatan apa yang perlu disediakan di kamar operasi, mekanisme terjadinya anestesia umum, cara pemberian dan obat induksi anestesia umum, komplikasi yang sering terjadi selama anestesia (obstruksi jalan nafas, hipoksemia, hiperkarbia, hipotensi, hipertensi), farmakokinetik dan farmakodinamik obat anestetik intra vena dan anestetik inhalasi, keseimbangananestesia umum intravena, keseimbangananestesia umum inhalasi, indikasi dan cara anestesia dengan sungkup, LMA, endotrakeal. Memahami indikasi dan komplikasi intubasi unuk keperluan anestesia umum, kapan dilakukan ekstubasi serta komplikasi ekstubasi, melakukan 138

pembebasan jalan nafas tanpa alat (manuver tripel), dengan OPA, LMA, dan intubasi, melakukan induksi intravena dan induksi inhalasi dengan tepat, mampu mengatasi komplikasi akibat ekstubasi.

TUJUAN PEMBELAJARAN Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu memberikan anestesia umum inhalasi dan intravena pada pasien dengan status fisis ASA I-II.

METODE PEMBELAJARAN Peserta didik sudah harus mempelajari: 4. Bahan acuan (references) 5. Ilmu dasar yang berkaitan dengan topik pembelajaran 6. Ilmu klinis dasar Tujuan 1: mampu memberikan anestesia umum inhalasi. Metode pembelajaran 1. 2. 3. 4.

Diskusi kelompok kecil Peer assisted learning (PAL) Bedside teaching Task-based medical education

Tujuan 2: mampu memberikan anestesia umum intravena. Metode pembelajaran 1. 2. 3. 4.

Diskusi kelompok kecil Peer assisted learning (PAL) Bedside teaching Task-based medical education

MEDIA 1. Papan tulis 139

2. Komputer 3. LCD dan slide projector 4. Pasien di kamar bedah . ALAT BANTU PEMBELAJARAN 1. 2. 3. 4.

Virtual patients Reading assigment Audiovisual Perpustakaan, internet, skill lab

EVALUASI 1. Kognitif : EMQ (Extended Medical Question) Multiple observations and assessments Multiple observers/raters OSCE (Objective Structure Clinical Examination) Minicheck 2. Skill/psikomotor : Multiple observations and assessments Multiple observers OSCE Minicheck 3. Communication and Interpersonal Skills Multiple Observations and assessments Multiple observers/rater 4. Profesionalisme Multiple Observations and assessments Multiple observers/rater

140

Pre-tes 10. Jelaskan tentang alat pantau dan obat-obatan apa yang diperlukan di kamar operasi. 11. Bagaimana cara melakukan induksi inhalasi dan induksi intravena? 12. Jelaskan tentang komplikasi yang sering saat induksi anestesia dan saat ekstubasi dan cara mengatasinya! 13. Jelaskan tentang indikasi anestesia umum. 14. Jelaskan tentang indikasi intubasi dan tekniknya untuk keperluan anestesia umum. 15. Jelaskan tentang ambilan dan distribusi anestetik inhalasi. 16. Jelaskan tentang MAC, MAC EI, MAC BAR, MAC sadardan keadaan apa saja yang mempengaruhinya. 17. Jelaskan pasien efek obat anestetik inhalasi halotan, enfluran, isofluran, sevofluran, desfluran terhadap organ tubuh. 18. Jelaskan tentang efek obat anestetik intravena propofol, tiopental, ketamin, etomidat terdap organ tubuh. Bentuk pre-tes : MCQ, ujian esai dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan (semester).

Bentuk ujian : -

Ujian akhir rotasi (pos-tes tulis dan ujian pasien) Ujian akhir profesi (lisan/ujian nasional)

Bisa dalam bentuk : 1. Kognitif a. EMQ (Extended Medical Question) b. Multiple observation and assessments c. Multiple observers d. OSCE (Objective Structure Clinical Examination) e. Minicheck 2. Skill/psikomotor a. Multiple observation and assessments b. Multiple observers c. OSCE (Objective Structure Clinical Examination) d. Minicheck 3. Affective : Profesionalisme, Communication and Interpersonal Skills a. Multiple observation and assessments b. Multiple observers

141

DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR ANESTESIA Tindakan / operasi :

No Daftar cek penuntun belajar prosedur anestesia 1

Pemasangan monitor

2

Pemasangan jalur vena.

3.

Melakukan induksi intravena

4

Melakukan induksi inhalasi

5

Menilai dan mengatasi komplikasi obstruksi jalan nafas hipoksemia, hiperkarbia, hipotensi, hipertensi.

6

Melakukan ventilasi dengan sungkup

7

Melakukan pemasangan OPA

8

Malakukan pemasangan ketepatan posisinya.

9

Melakukan intubasi dan memeriksa ketepatan posisinya

10

Melakukan ventilasi mekanis manual

11

Melakukan ventilasi mekanis dengan ventilator mesin anestesia.

12

Melakukan pengahiran anestesia

13

Melakukan ekstubasi

14

Melakukan penatalaksanaan pasien pascaekstubasi

LMA

dan

Sudah dilakukan

Belum dilakukan

memeriksa

Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda (√ )

142

DAFTAR TILIK

Berikan tanda  dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan memuaskan, dan berikan tanda  bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak dilakukan pengamatan  Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur Standard atau penuntun  Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan memuaskan prosedur Standard atau penuntun T/D Tidak Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih diamati selama penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik

Tanggal

Nama pasien

No Rekam Medis

DAFTAR TILIK No

Kegiatan / langkah klinis

Kesempatan ke 1

2

3

4

5

143

DAFTAR TILIK No

Kegiatan / langkah klinis

Peserta dinyatakan :

Kesempatan ke 1

2

3

4

5

Tanda tangan pelatih

 Layak  Tidak layak melakukan prosedur Tanda tangan dan nama terang

144

MATERI ACUAN I. Pendahuluan Anestesia adalah hilangnya sensasi sakit. Pada anestesia umum hilangnya rasa nyeri terjadi pada seluruh tubuh disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel. Anestesia dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu anestesia umum dan analgesia lokal. Pada analgesia lokal hilangnya rasa nyeri hanya pada sebagian tubuh dan tidak disertai hilangnya kesadaran. Anestesia umum dapat diberikan secara inhalasi, intravena, intramuskular, subkutan, per-oral, per-rektal. Analgesia lokal dapat diberikan secara topikal, infiltrasi, field block, blok saraf tepi, intravena (Bier’s technique), cadual, epidural dan spinal analgesia. Obat anestetik inhalasi dapat berbentuk gas misalnya N2O, siklopropan dan etilen. Yang berbentuk cair melalui alat penguap akan diubah menjadi gas. Obat anestetik inhalasi yang berbentuk cair dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu golongan halogen hidrokarbon misalnya halotan dan halogen eter yang contohnya adalah eter, enfluran, isofluran, desfluran, dan sevofluran. Teknik anestesia umum inhalasi bisa dilakukan dengan nafas spontan dengan sungkup muka, nafas spontan diintubasi, nafas spontan dengan LM, nafas spontan dengan COPA (Kafed Orofaringeal Jalan nafas) atau nafas kendali diintubasi. Obat anestetik intravena antara lain : tiopental, propofol, ketamin, etomidat, midazolam, diazepam, dan sebagainya. Obat anestetik yang dapat diberikan secara intramuskular adalah ketamin, diazepam, midazolam. Yang dapat diberikan per-rektal adalah eter oil, ketamin, tiopental. Anestesia umum didefinisikan sebagai hilangnya rasa nyeri diseluruh tubuh yang disertai hilangnya kesadaran yang reversibel akibat pemberian obat anestetik. Pada anestesia umum ada penekanan Susunan Saraf Pusat (SSP) yang menurun secara ireguler. Anestesia umum dapat didefinisikan lebih jauh sebagai suatu keadaan yang mana sistem fisiologi tertentu dari tubuh di bawah kendali pengaturan luar oleh obatobat anestetik. Urut-urutan SSP yang terdepresi selama anestesia umum adalah corteks dan pusat psikis, basal ganglia dan serebelum, medula spinalis dan terakhir medula oblongata Anestesia umum dapat diberikan secara inhalasi, intravena, intra muskular, per oral dan per-rektal. Yang paling sering dipakai adalah pemberian secara inhalasi dan intravena. Agak jarang yang diberikan secara intramuskular dan lebih jarang lagi yang 145

diberikan secara per-rektal atau per-oral. Obat anestetik yang diberikan secara inhalasi adalah eter, halotan, enfluran, isofluran, sevofluran dan desfluran. Yang dapat diberikan secara intravena adalah tiopental, ketamin, propofol, etomidat, diazepam, midazolam. Yang diberikan secara intramuskular adalah ketamin. Contoh yang dapat diberikan per rektal adalah diazepam, eter oil. Yang dapat diberikan secara oral adalah ketamin dan midazolam. Dengan ditemukannya obat-obat anestetik yang baru maka definisi anestesia umum tidak sesederhana sebagai suatu “depresi SSP yang menurun”. Kemampuan untuk memberikan keadaan tidur terpisah dari keadaan analgesia dan relaksasai otot menyebabkan dikenalnya keadaan yang disebut anestesia seimbang (balans anesthesia) yaitu masing-masing obat untuk setiap komponen anestesia umum.

Komponen Anestesia Umum Pada anestesia umum terdapat trias anestesia yaitu hipnotik (hilang kesadaran), analgetik dan relaksasi. Hipnotik dapat dilakukan dengan hambatan mental, analgetik dapat dilakukan dengan hambatan sensori dan relaksasi dengan hambatan refleks dan hambatan motorik. Analgesia : Terjadi hambatan sensori, di sini rangsangan nyeri dihambat secara sentral sehingga tidak dapat diartikan di korteks serebri. Analgesia bisa terjadi dalam berbagai tingkatan dimulai dengan light analgesia (stadium I) sampai true analgesia di mana semua sensasi hilang. Relaksasi: Bisa terjadi karena adanya hambatan motorik dan hambatan refleks. Pada hambatan motorik terjadi depresi area motorik di otak dan hambatan impuls efferent, sehingga terjadi relaksasi otot skelet. Efek depresi motorik ini bergantung pada ke dalaman anestesia, di mana otot pernafasan / diafragma yang paling akhir ditekan. Pada hambatan refleks, terjadi penekanan refleks misalnya ada sistem respirasi untuk mencegah brokospasme, laringospasme, pembentukan mukus. Pada sirkulasi untuk mencegah terjadinya aritmia dan pada gastrointestinal untuk mencegah mual, muntah. Hipnotik: Terjadi hambatan mental. Ada beberapa tingkatan dimulai dari tenang, sedasi, light sleep atau hipnosis, deep sleep atau narkosis, complete anaesthesia, dan terakhir 146

terjadi depresi medula oblongata.

Indikasi anestesia umum adalah : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Bayi dan anak-anak. Operasi yang luas. Pasien dengan kelainan mental. Bila pasien menolak analgesia lokal. Operasi yang lama. Operasi di mana dengan analgesia lokal tidak praktis dan tidak menguntungkan. Pasien dalam terapi antikoagulan. Pasien yang alergi terhadap obat analgetik lokal.

Pada anestesia umum terjadi trias anestesia, yaitu : - hipnotik (tidur) - analgetik (hilangnya rasa nyeri) - relaksasi Pada anestesia umum inhalasi atau intravena, trias anestesia dapat diperoleh dengan dosis besar satu macam obat anestetik inhalasi atau intravena, tetapi akan disertai adanya efek samping. Misalnya dengan pentothal saja atau dengan halotan saja. Untuk mencegah adanya efek samping tersebut, maka anestesia umum dilakukan dengan konsep anestesia seimbang di mana pasien diberikan obat untuk setiap komponen anestesia, yaitu hipnotik, analgetik dan relaksasi.

Contoh obat anestetik seimbang Anestesia inhalasi Hipnotik

N2O, halotan, enfluran, isofluran, sevofluran.

Anestesia intravena Tiopental, Propofol, Diazepam, Midazolam, Ketamin.

Analgetik Narkotik analgetik (Petidin, Morfin, Fentanil, Sufentanil, Alfentanil).

Narkotik analgetik.

Relaksasi

Semua obat pelumpuh otot.

Semua obat pelumpuh otot (Suksinilkolin, Rokuronium,

147

Vekuronium, Atrakurium)

Untuk terjadinya trias ini, maka pada anestesia umum inhalasi terjadi blok sensori, blok motorik, blok refleks dan blok mental. Blok sensori:   

Rangsangan pada organ akhir diblok secara sentral dan rangsangan tidak masuk ke dalam korteks tingkatan bervariasi, dari stadium I sampai dengan stadium III di mana semua sensasi hilang yang ditekan adalah korteks, hipotalamus, subkortikal talamik nuklei, semua sel sensori kranial.

Blok motorik Yang ditekan adalah premotor dan motor korteks subkortical dan ekstrapiramidall. Yang terakhir dipengaruhi adalah otot pernafasan. Mula-mula pada otot interkostal bawah, lalu otot interkostal atas, dan kemudian otot diafragma. Blok refleks: Refleks yang tidak menyenangkan harus diblok, misalnya pada sistem respirasi adalah pembentukan mukus, spasme laring, spasme bronkus. Pada sistem kardiovaskular adanya aritmia, dan pada sistem gastrointestinal adanya salivasi dan muntah. Blok mental : Untuk mencapai tidur ada beberapa tahapan : 1. Tenang. 2. Sedasi (ngantuk). 3. Hipnosis (light sleep). 4. Narkosis (deep sleep). 5. Anestesia penuh (complete anesthesia). 6. Paralisis pada medula (medulary paralysis). Pada pemberian anestesia umum inhalasi, urutan bagian SSP yang terdepresi adalah : 1. Cortex cerebri dan pusat psikis. 2. Basal ganglia dan serebelum. 3. Medula spinalis. 4. Medula oblongata. Teori terjadinya anestesia umum belum jelas benar sehingga terdapat bermacam-macam teori anestesia antara lain : 1. Colloid Theory (1875). 2. Lipid Solubility Theory (1899). 148

3. 4. 5. 6. 7. 8.

Surface Tension atau Adsorpsion Theory (1904). Cell Permeability Theory (1907). Biochemical Theories (1952). Neurophysiologic Theories (1952). Physical Theories (1961). Multiple Mechanistic Theories (1967).

II. Ambilan dan Distribusi Untuk pengambilan gas anestesia dari paru penyebarannya ke dalam jaringan ada 4 faktor utama, yaitu : a. Faktor Respirasi b. Faktor Sirkulasi c. Faktor Gas Anestesia d. Faktor Jaringan a. Faktor Respirasi Faktor Pulmoner : Ada dua faktor yang menentukan kecepatan zat anestesia sehingga kadar zat anestesia dalam alveolus meningkat, yaitu konsentrasi inspirasi dan ventilasi alveolus. Kedua faktor ini disebut concentrasion effect. Konsentrasi Inspirasi : Semakin tinggi konsentrasi gas inspirasi, akan menyebabkan peninggian yang lebih cepat dari konsentrasi alveolar. Second Gas Effect : Jika gas kedua diberikan bersama, misalnya pada N2O/O2 diberikan halotan, maka peninggian halotan di alveolus akan lebih cepat. Hal ini terjadi karena cepatnya N2O masuk ke dalam tubuh melalui paru, maka unsur lainnya yang ada dalam udara inspirasi termasuk gas dan uap anestesia lainnya akan ikut masuk dengan cepat.

Efek Ventilasi : Jika ventilasi lebih besar, maka konsentrasi gas alveolar akan lebih cepat meningkat. b. Faktor Sirkulasi 149

Fase Sirkulasi : Bergantung pada koefisien partisi (kelarutan), curah jantung dan perbedaan tekanan gas pada alveolus dan vena. Kelarutan : Kelarutan suatu gas selalu konstan. Istilah kelarutan adalah partition coefficient (p.c.), misalnya blood/gas p.c., tissue/gas p.c., oil/gas p.c. Contoh : blood/gas p.c. = 2, artinya volume gas pada tekanan parsial gas yang sama di kedua fase perbandingannya adalah 2:1. Pada tekanan parsial yang sama, volume gas anestesia dalam alveolus adalah 1 vol%. Sedangkan pada darah adalah 2 vol%. Partition coefficient blood/gas adalah 2/1 =2. Table : Partition coefficients of uap anesthetics at 37oC Agent

Brain/Blood 1.1

Muscle/Blood 1.2

2.40

2.9

3.5

60

12.00

2.0

1.3

49

Enflurae

1.90

1.5

1.7

36

Isofluran

1.40

2.6

4.0

45

Desfluran

0.42

1.3

2.0

27

Sevofluran

0.59

1.7

3.1

48

N2O Halotan Metoksifluran

Blood/Gas 0.47

Fat/Blood 2.3

Curah jantung : Darah membawa gas dari paru, maka bila curah jantung meningkat, ambilan juga meningkat. Pada keadaan curah jantung yang menurun terjadi penurunan gradien tekanan gas dalam alveolus dengan tekanan gas dalam vena dan makin rendahnya kelarutan gas anestesia, maka pengeluaran zat anestesia akan menurun. Perbedaan tekanan parsial gas dalam alveolus dan vena : -.Obat anestetik inhalasi menimbulkan kedalaman anestesia bergantung pada tekanan parsial gas di otak. -.Bila tekanan parsial gas lebih tinggi di darah daripada di otak, gas akan pindah dari darah ke otak. Demikian pula sebaliknya. -.Tekanan parsial gas di otak selalu mencoba ekuilibrium dengan tekanan gas di dalam darah. 150

c. Faktor Gas Anestesia Minimal Alveolar Concentrasion (MAC) : Dosis obat pada umumnya ditentukan oleh berat badan. Misalnya : mg/kgBB atau mcg/kgBB, tetapi dosis obat anestetik inhalasi ditentukan oleh MAC. Ada beberapa istilah yang harus difahami : MAC50, atau lebih sering disebut MAC saja, adalah konsentrasi minimal gas anestesia di dalam alveolus pada tekanan 1 atmosfir di mana 50% penderita tidak bergerak bila diberikan noxious rangsangan. Ada istilah lain, yaitu MAC95, MACEI50, MACEI95, MACBAR50, MACBAR95, dan MACAWAKE. 95 artinya 95% penderita. EI adalah singkatan dari Endotrakeal Intubation, dan BAR adalah singkatan dari blockade adreno receptor. MAC95 adalah konsentrasi minimal gas anestesia di dalam alveolus pada tekanan 1 atmosfir di mana 95% penderita tidak bergerak bila diberikan noxious rangsangan. MACEI50 adalah konsentrasi minimal gas anestesia di dalam alveolus pada tekanan 1 atmosfir di mana 50% penderita tidak bergerak bila dilakukan laringoskopi dan intubasi endotrakeal. MACEI95 adalah konsentrasi minimal gas anestesia di dalam alveolus pada tekanan 1 atmosfir di mana 95% penderita tidak bergerak bila dilakukan laringoskopi dan intubasi endotrakeal. MACBAR50 adalah konsentrasi minimal gas anestesia di dalam alveolus pada tekanan 1 atmosfir di mana 50% penderita tidak memberikan respons adrenergik bila diberikan noxious rangsangan. MACBAR95 adalah konsentrasi minimal gas anestesia di dalam alveolus pada tekanan 1 atmosfir di mana 95% penderita tidak memberikan respons adrenergik bila diberikan noxious rangsangan. MAC SADAR(MACAWAKE50) adalah konsentrasi minimal gas anestesia di dalam alveolus pada tekanan 1 atmosfir di mana 50% penderita membuka mata bila dipanggil. Di bawah ini dapat kita lihat perbedaan MAC obat anestetik inhalasi.

MAC Compared with Anesthetic Concentrasion Agent

MAC

Induction

Rumatan Concentrasion 151

Concentrasion (Vol%)

(Vol%)

Methoxyflurane

0.16

Up to 3

0.2-1.0

Halotan

0.76

2-4

0.5-2.0

Isofluran

1.12

2-4

1.0-3.0

Enflurane

1.68

2-5

1.5-3.0

Eter

1.92

10-30

4-15

Cyclopropane

9.2

20-50

10-20

Nitrous oxide

105.0

Up to 80

Up to 80

Concentrasion of halotan and enflurane required to prevent responsses to certain stimuly (comparison of MAC, MACEI and MACBAR). Halotan

Enflurane

MAC50

1.0 MAC (0.74  0.03%)

1.0 MAC (1.68  0.04%)

MACEI50

1.3 MAC

1.4 MAC

MACBAR50

1.5 MAC

1.6 MAC

MAC95

1.2 MAC

1.1 MAC

MACEI95

1.7 MAC

1.9 MAC

MACBAR95

2.1 MAC

2.6 MAC

These values have been age-adjusted. MACEI

=

Concentrtation of uap agent permiting laringoscopy and intubation without untoward movement.

MACBAR

=

Concentrasion of uap agent required to block adrenergic responsse to skin incision.

50 and 95

=

Percentages of individuals in whom above responsses are blocked at concentrasions stated.

152

Nilai MAC tidak selalu konstan, tetapi berubah-ubah bergantung pada beberapa keadaan seperti yang tertera pada tabel di bawah ini.

Factors Influencing or Not Influencing Anesthetic Requirements (MAC) MAC Decreased

MAC Unchanged

MAC Increased

Increasing Age

Durasion of anesthesia

Alcoholism (chronic abuse)

CNS depressants

Circardian rhythm

Drugs increasing CNS catecholamine s

Alcohol (acute intake)

Gender

Barbiturates

Species

Cocaine

Benzodiazepines

Hypertension

Dextroamphetamine

Bromide ion

Propanolol

Ephedrine

Lidokain

Hyperkalemia (sistemati cally)

Narcotic analgetics

Hypocarbia

Hypernatremia and other factors increasing brain sodium

Metabolic acidosis or alkalosis

Hyperthermia >42oC

Nitrous oxide and other anesthetic s

Hypercarbia (PaCO2 > 95 torr, CSF pH < 7.1)

Phenothiazines (with sedative actions)

Hipoksia (PaO2 < 38 torr)

-9-

Anemia (Arterial O2 content < 4.3 ml/dl)

tetrahydr ocannabi nol Drugs decreasing CNS catecholamines (e.g., reserpine, methyldopa) pankuronium 153

Kolinesterase inhibitors Pregnancy Hypercalcemia Hypotension Hypothermia d. Faktor Jaringan Jaringan dibagi atas 4 kelompok : a. Kelompok jaringan kaya pembuluh darah : otak, jantung, hepar, ginjal dan kelenjar endokrin. Organ-organ ini beratnya < 7%BB, tetapi menerima 75% curah jantung. Jaringan ini menerima zat anestesia dalam jumlah banyak sejak awal induksi. b. Kelompok intermediat (menengah) : otot, skelet, dan kulit. Perfusi jaringan rendah ( < 3ml darah/100mg jaringan/menit). c. Lemak merupakan depo yang efektif untuk penimbunan zat anestesia. Walaupun perfusinya lebih rendah dari kelompok otot, tetapi mempunyai kemampuan besar dalam pengambilan zat anestesia. Hal ini dapat melambatkan induksi maupun pemulihan pada pasien yang gemuk.

d. Kelompok jaringan sedikit pembuluh darah : ligamen dan tendo. Jaringan ini hampir tidak mengambil zat anestesia. Pada pasien yang gemuk (obesitas) bisa terjadi reanestesia karena banyaknya obat anestetik pada jaringan lemak (terutama yang larut dalam lemak). III. Induksi Anestesia Induksi adalah untuk menghantarkan penderita ke stadium operasi. Untuk melakukan induksi dapat dilakukan dengan obat anestetik intravena, intramuskular, atau langsung dengan obat anestetik inhalasi. Bila dilakukan dengan anestesia inhalasi bergantung pada jenis obat anestetik inhalasi yang diberikan, maka teknik induksinya akan berbeda. 154

Bila penderita tidak sadar, maka problema utama adalah jalan nafas, karena dapat terjadi sumbatan jalan nafas yang bisa parsial atau total. Tanda-tanda sumbatan parsial adalah adanya dengkuran (snoring), keadaan tercekik (crowing), bunyi kumur-kumur (gargling), atau wheezing, adanya retraksi dada dan sianosis. Bunyi itu bergantung pada lokasi sumbatannya, misalnya snoring adalah akibat pangkal lidah jatuh ke belakang, crowing adalah sumbatan pada daerah laring, dan whezing adalah sumbatan pada bronkus. Pada sumbatan total tidak terdengar atau terasa aliran udara dari mulut / hidung, adanya retraksi supraklavikular, retraksi interkostal, dada tidak mengembang bila dilakukan ventilasi / inflasi paru, dan juga sianosis. Problema lain selama induksi anestesia adalah sungkup muka (face mask) yang tidak rapat (misalnya karena hidung terlalu mancung, pasien ompong, atau jenggotnya sangat lebat), depresi nafas, batuk, spasme laring, adanya mukus dan saliva, atau juga muntah. Semuanya harus segera ditanggulangi. Cara penanggulangannya adalah dengan membebaskan jalan nafas, misalnya dengan Manuver tripel Safar (ekstensi kepala, tarik angulus mandibula, buka mulut), pengisapan lendir / saliva / muntahan, pasang pipa orofaring (mayo), intubasi endotrakeal, bahkan kalau tetap tidak bisa membebaskan jalan nafas, bisa dilakukan krikotirotomi atau trakeostomi IV. Stadium Anestesia Untuk menentukan kapan penderita bisa dioperasi, kita harus mengetahui stadium anestesia. Apabila menggunakan anestesia seimbang dengan N2O/O2 disertai halotan, enfluran, isofluran, atau sevofluran serta narkotik sebagai analgetik, maka stadium anestesia hanyalah berdasarkan skoring klinis yang disebut PRST SCORING. PRST adalah singkatan P = Pressure (systolic arterial pressure) R = Rate (HR) S = Sweat, T = Tears atau Lacrimation.

PRST Scoring Indexes Index Systolic Arterial Pressure (mmHg)

HR (beats/minute)

Condition

Skor

Less than control + 15

0

Less than control + 30

1

More than control + 30

2

Less than control + 15

0

155

Sweat

Tears or Lacrimation

Less than control + 30

1

More than control + 30

2

Nil

0

Skin moist to touch

1

Visible beads of sweat

2

No excess tears when eyelids open

0

Excess tears visible when eyelids open

1 2

Tear overflow from closed eyelids Skor 2-4 : Adekuate Anesthetic. V. Teknik Anestesia Umum Inhalasi 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Open drop Insuflasi Ayre T Sistem Sistem dengan valve non-rebreathing Teknik semi closed Closed sistem

VI. Obat anestetik Inhalasi Suatu anestetik inhalasi disebut ideal bila memenuhi persyaratan sebagai berikut: baunya menyenangkan dan tidak mengiritasi jalan nafas, kelarutan rendah, tidak toksik pada organ, efek samping kardiovaskular dan respirasi minimal, efek pada SSP reversibel tanpa efek stimulan, efektif pada oksigen konsentrasi tinggi, dapat digunakan dengan vaporizer standard. Nitrous Oxide = N2O : Pertama kali dibuat oleh Priestley pada tahun 1776; berbentuk gas, tidak berwarna, dan tidak merangsang. Senyawa ini 1,5 kali lebih berat dari udara; merupakan obat anestetik lemah. Pemakaiannya harus selalu dicampur dengan oksigen 100% untuk mencegah hipoksia; induksi-dan-pemulihan cepat, serta tidak menyebabkan iritasi; analgesia kuat tetapi bisa menyebabkan mual-muntah; tidak ada relaksasi otot. Bisa menyebabkan terjadinya agranulositosis, displasia sumsum tulang, maupun teratogenik 156

bila dipakai dalam jangka waktu lama. Maka dari itu hati-hati bila operasi lebih dari 7 jam. Halotan: Halotan dibuat pertama kali oleh C.W. Suckling di tahun 1951; merupakan zat anestesia yang sangat poten dan tidak berwarna; dapat meningkatkan tekanan intra kranial serta dapat menyebabkan relaksasi uterus. Halotan dapat menimbulkan terjadinya halotan hepatitis, terutama bila obat ini diberikan dalam jangka waktu pendek (pemberian berkali-kali dalam jangka waktu pendek). Induksi dan pemulihan cepat; tidak menyebabkan iritasi; tidak mengakibatkan mual, dan berefek bronodilator. Menekan jantung; menyebabkan vasodilatasi, aritmia, mengiritasi miokard bila ada epineprin. Obat ini dimetabolisme di hepar sebanyak 20-45%. Hasil metabolismenya berupa Br-, F-, Cl-, asam trifluorasetat, gas klorodifluoroetilen serta klorotrifluoroetilen. Enfluran / Etran : Dibuat pertama kali oleh Terrel pada tahun 1963; merupakan obat anestetik poten. Dapat menimbulkan eksitasi SSP terutama bila ada hipokapnia. Induksi dan pemulihan cepat. Tidak menimbulkan hipersekresi; bersifat bronkodilator, non-emetik, compatible dengan epineprin; menyebabkan penurunan tekanan darah akibat depresi miokard dan vasodilatasi perifer; dimetabolisme sebanyak 2,4%, dan 80% dikeluarkan dalam bentuk utuh melalui paru. Isofluran : Isofluran suatu obat anestetik uap yang induksinya cepat dan pemulihannya cepat, tidak iritasi dan tidak menimbulkan sekresi. Seperti halnya halotan dan enfluran, Isofluran berefek bronkodilator, tidak menimbulkan mual-muntah, dan bersifat kompatibel dengan epineprin. Efek penurunan tekanan darah sama besarnya dengan halotan, hanya berbeda dalam mekanisme kerjanya. Halotan menurunkan tekanan darah, terutama dengan menekan miokardium dan sedikit vasodilatasi. Etrane menurunkan tekanan darah dengan menekan miokardium dan vasodilatasi perifer. Isofluran menurunkan tekanan darah terutama dengan vasodilatasi perifer dan hampir tidak menekan miokardium.

Sevofluran Sevofluran adalah suatu obat anestetik umum inhalasi derivat eter dengan kelarutan dalam darah yang lebih rendah dari halotan, enfluran dan isofluran. Rendahnya kelarutan serta tidak adanya bau yang menyengat menyebabkan induksi inhalasi berjalan dengan cepat dan mulus, juga kelarutan dalam darah yang rendah 157

menyebabkan pemulihan berjalan dengan cepat. Dibandingkan dengan Desfluran, Sevofluran mempunyai MAC yang lebih rendah (2,05). Desfluran mempunyai kelarutan yang lebih rendah, akan tetapi, iritasi jalan nafas lebih besar dengan Desfluran, maka obat anestetik inhalasi yang paling cocok untuk teknik VIMA adalah Sevofluran. Tidak ada iritasi saluran nafas, sehingga induksi berjalan lancar. Kejadian iritasi saluran nafas serta kelarutan lebih rendah daripada halotan, sehingga induksi inhalasi (baik untuk pediatri atau dewasa) akan lebih cepat dengan sevofluran daripada dengan halotan. Pada induksi inhalasi kejadian batuk, menahan nafas, spasme laring, eksitasi lebih rendah daripada halotan, sehingga VIMA dengan Sevofluran akan lebih menyenangkan daripada dengan halotan. Bangun dari anestesia, pemulihan fungsi psikomotor, kognitif, orientasi lebih cepat dengan sevofluran daripada dengan halotan. Sevofluran menekan SSP, kardiovaskular dan respirasi paralel dengan isofluran. Sevofluran didegradasi oleh soda lime membentuk suatu haloalken yang bersifat toksik pada ginjal tikus, tetapi efek tersebut tidak terlihat pada manusia. Aman digunakan untuk operasi bedah saraf, pasien dengan kelainan serebral, bedah Caesar, CABG, pasien dengan risiko miokardial iskemia, penyakit hepar, penyakit ginjal.

VII. Obat anestetik Intravena Obat anestetik intravena yang tersedia Midazolam, Diazepam

adalah Tiopental, Propofol, Etomidat,

Obat anestetik intravena disebut ideal bila memenuhi persyaratan larut dalam air, tidak iritasi pada vena, tidak mempunyai efek anti analgesik, induksi cepat dan lancar, stabil kardiovaskular pada dosis klinis, dan lama kerja pendek sehingga pemulihan cepat.

Thiopentone Tiopental mempunyai efek menurunkan tekanan darah, denyut jantung dapat menurun atau meningkat bergantung pada fungsi jantung, dilatasi perifer, menekan kontraksi jantung, spasme laring, spasme bronkus, depresi nafas sampai terjadi henti nafas,. Dosis tiopental adalah 4-6 mg/kg BB. Indikasi-kontra relatif tiopental adalah asma bronkial, penyakit jantung berat, penyakit ginjal berat, anemia berat, hipotensi dan syok.

158

Ketamin Ketamin merupakan suatu dissociative anesthetic yang menimbulkan terjadinya delirium dan halusinasi. Meningkatkan tekanan darah sistlik 23% dar nilai awal, meningkattkan denyut jantung, dapat terjadi aritmia, hipersekresi. Dosisnya 1-3 mg/kg I.v atau 9-11 mg/kg I.m Indikasi penggunaan ketamin adalah untuk operasi yang berlangsung singkat, akan tetapi dengan dosis rendah dapat dipakai sebagai analgetik intraoperatif dan pascabedah. Karena efek pada sistem kardivaskular maka indikasi-kontra penggunaan ketamin adalah bila tekanan sistolik > 160 mmHg, aritmia, gagal jantung. Karena refleks jalan nafas masih dipertahankan dan juga menimbulkan hipersekresi maka operasi faring dan laring tanpa dilakukan intubasi merupakan indikasi-kontra.

Propofol Merupakan suatu obat anestetik intravena baru, dengan mula kerja yang berat, lama kerja singkat, akumulasi minimal, pemulihan cepat, metabolisme ceapat. Tidak ada komplikasi pada tempat suntikan. Dosisnya 2-2.5 mg/kg BW.

VIII. Pelumpuh Otot Sangat berguna dalam anestesia umum misalnya laringoskopi dan intubasi jadi lebih mudah serta menghindari cedera, digunakan selama operasi dengan ventilasi kendali. Disebut Pelumpuh otot yang ideal bila termasuk golongan non depolarisasi, mula kerjacepat, mula kerja singkat, pemulihan cepat, potensi tinggi, tidak kumulatif, metabolitnya tidak aktif, tidak ada efek kardiovaskular, tidak ada pelepasan histamin, dapat dilawam dengan antikolinesterase. Terminologi dalam pelumpuh otot adalah : ED 50 : dosis yang dapat melumpuhkan 50% kekuatan otot. ED 90 : dosis yang dapat melumpuhkan 90% kekuatan otot. Mula kerja: interval antara mulai penyuntikan sampai efek maksimal.

Obat pelumpuh otot Nondepolarisasi tidak menyenimbulkan fasikulasi, efeknya 159

menurun dengan obat antikolinesterase, obat pelumpuh otot golongan depolarisasi, penurunan suhu tubuh, epinefrin, asetilkolin. Efeknya meningkat dengan obat pelumpuh otot non-depolarisasi, anestetik uap.

Obat pelumpuh otot golongan depolarisasi menyebabkan faskiculasi otot. Efeknya meningkat dengan antikolinesterase. , asetilkolin, hipotermia. Efeknya menurun dengan pelumpuh otot non-depolarizing relax, anestetik inhalasi. Dosis suksinilkolin : 1 mg/kg BB

IX. Narkotik Analgetik Narcotic analgesiac disebut ideal bila mempunyai Wide margin of safety yang lebar, onsetnya cepat, lama kerja singkat, pengendalian analgesia mudah, analgesia kuat, tidak ada pelepasan histamin, tidak mempunyai metabolit aktif. Opiat dalam anestesia digunakan untuk premedikasi, induksi, anestesia berbasiskan narkotik, bagian dalam komponen anestesia seimbang, adjuvan dalam analgesia regional, neurolep anestesia, penanganan nyeri pascabedah. Efek dari narkotik dapat menimbulkan    

Bradikardia akibat efek vagotonik sentral dan depresi nodus SA & AV . Depresi nafas : frekuensi, irama, respons CO2, volume semenit, volume tidal Kekakuan otot Mual muntah yang disebabkan rangsangan CTZ, mobilitas saluran cerna, penurunan mobilitas lambung, peningkatan volume lambung.

Laringoskopi dan intubasi endotrakeal. 1. Laringoskopi : Dalam praktek anestesia, laringoskop digunakan untuk melihat laring dan struktur disekitarnya dengan tujuan utama untuk memasukkan pipa endotrakeal melalui glotis ke dalam trakea. Laringoskop berbentuk huruf L, peganggannya disebut "gagang" yang berisi batu batere dan yang melengkungnya disebut "daun". Daun ada yang lurus, ada juga yang 160

melengkung. Puncak dari daun, pada saat melakukan laringoskopi, akan menyentuh epiglotis atau vallecula (sudut yang dibentuk oleh lidah dan epiglotis) yang secara langsung atau tidak langsung akan menaikkan epiglotis, sehingga pita suara akan terlihat. Teknik melakukan laringoskopi adalah : -.pengaturan posisi kepala. -.insersi daun laringoskop. -.visualisasi epiglotis. -.mengangkat epiglotis. -.melihat laring dan struktur sekitarnya. Posisi kepala : Kepala diganjal dengan bantal setebal  5sm. Insersi daun : Gagang dipegang tangan kiri, jari-jari tangan kanan membuka mulut, masukkan daun laringoskop, lidah didorong ke kiri sehingga kita melihat melalui sisi kanan mulut. Visualisasi epiglotis : Daun didorong ke dalam sampai epiglotis terlihat. Mengangkat epiglotis : Ada 2 teknik : a) Cara pertama. Untuk daun yang lurus, dimasukkan di bawah epiglotis, yang bila ujungnya diangkat pita suara akan terlihat.

b) Cara kedua. Untuk daun yang lengkung ujung daun diletakkan pada valekula. Dengan mengangkat dasar lidah, epiglotis juga akan terangkat dan glotis akan terlihat.

161

Bagian superior epiglotis dipersarafi oleh N IX (glosofaringeal) dan bagian inferior (posterior) oleh N. laringeal. Jadi, disebabkan karena bagian inferior epiglotis tidak disentuh dan tidak dirangsangan, daun yang lengkung dapat dipergunakan pada "light anestesia" tanpa menimbulkan spasme laring. Selama laringoskopi, laringoskop harus diangkat naik-turun, jangan digunakan sebagai pengungkit dengan gigi atas sebagai titik tumpu, karena bisa menimbulkan patahnya gigi. Komplikasi selama laringoskopi : 1) dapat terjadi aberasi, robekan / luka dari mulut, bibir faring, laring dan esofagus, kerusakan gigi, gusi, ataupun gigi palsu. 2) perubahan tekanan darah dan irama jantung. Oksigensi sebelumnya, laringoskopi yang cepat dan tidak traumatik akan mengurangi kemungkinan perubahan-perubahan itu.

2. intubasi endotrakeal : Ada istilah yang disebut anestesia endotrakeal, artinya adalah memasukkan gas anestesia ke dalam trakea melalui pipa yang dimasukkan melalui laring (atau trakeostoma) ke dalam trakea. Memasukkan pipa tersebut dapat melalui mulut (orotrakeal), hidung (nasotrakeal) atau trakeal stoma.

Indikasi intubasi endotrakeal adalah : -.operasi kepala dan leher, misalnya kraniotomi, struma. -.operasi intratorakal. -.laparotomi. -.operasi dengan posisi lateral (miring) atau telungkup (tengkurap). -.bila diperkirakan akan sulit membebaskan jalan nafas dengan metoda sederhana (ekstensi kepala, orofaringeal jalan nafas). -.pasien yang tidak dipuasakan (lambung penuh). -.prosedur operasi di mana anestetis harus jauh dari pasien. 162

-.operasi dengan kemungkinan perdarahan yang banyak. -.pasien dengan keadaan umum yang buruk. -.teknik anestesia yang khusus : anestesia hipotensi, anestesia hipotermia. -.pasien pediatrik. -.bila perlu IPPB (Intermitent Positive Pressure Breathing). -.non-operatif (resusitasi). Keuntungan intubasi endotrakeal. -.Jalan nafas dijamin lancar. -.dead space anatomi (normal 75ml) berkurang menjadi 25 ml. -.ventilasi dapat dikendalikan tanpa masuknya gas ke dalam lambung dan usus. -.risiko aspirasi sekret, darah, muntahan dapat dikurangi secara drastis. -.ventilasi dapat dikendalikan pada pasien dengan posisi telungkup, miring atau posisi lain yang tidak umum (bukan posisi terlentang). -.respirasi dapat dikendalikan, bila kita memakai obat pelumpuh otot. -.mudah melakukan pengisapan sekret dari paru. Kerugian intubasi endotrakeal. -.dapat meningkatkan resistensi respirasi. Supaya peningkatan resistensi minimal, pakailah pipa sebesar mungkin yang bisa masuk ke dalam trakea. -.trauma pada bibir, gigi, tenggorokan, maupun laring yang menimbulkan suara serak, nyeri, atau juga sakit saat menelan. Bila terjadi aberasi mukosa, dapat timbul emfisema. Bila terjadi perforasi membran dapat terjadi mediastinitis. Alat-alat yang dipakai : a). pipa endotrakeal (ETT ) : -.Bahan dapat dibuat dari karet sintetis, polietilen, atau PVC (polyvinil chloride). -.Tipe ETT bisa yang non-kingking (spiral) yang dibuat dari spiral koil nilon atau kawat yang ditanam di dalam lateks. Yang king-king tentu tanpa spiral. -.Bentuknya bisa single lumen atau double lumen. -.ETT, untuk pasien pediatrik umumnya tanpa balon (kaf). Kaf ini harus diperiksa 163

dahulu sebelum digunakan, apakah bocor atau tidak. Setelah intubasi, kaf diisi udara kira-kira 5-10ml, tapi hanya sampai tidak terdengar suara kebocoran bila diventilasi. -.Yang paling umum dan sering digunakan adalah dari bahan PVC karena : ==.Pipanya lunak, dengan suhu tubuh akan menyesuaikan diri dengan anatomi saluran nafas, sehingga kurang mengiritasi trakea. ==.Kecenderungan untuk terjadi kingking lebih rendah daripada pipa karet. -.Nomor ETT adalah ukuran diameter interna dalam mm. Misalnya ETT no.8, artinya diameter internalnya 8mm. b). Stilet. Stilet harus dilubrikasi sebelum dimasukkan ke dalam ETT. Ujung stilet tidak boleh keluar melewati ujung ETT, sebab ada risiko cedera pada fosa piriformis, membran krikotiroid, membran krikofaringeal dengan akibat terjadinya eemfisema subkutis, mediastinitis, pneumotoraks. c). Jalan nafas orofaringeal : Pemasangan saat induksi anestesia adalah untuk mencegah obstruksi jalan nafas akibat jatuhnya pangkal lidah disebabkan karena rileksnya lidah dan jaringan lunak faring. Setelah dilakukan intubasi berguna untuk mencegah tergigitnya pipa endotrakeal pada saat bangun dari anestesia dan memudahkan pengisapan lendir. Pemasangan jalan nafas orofaringeal tidak bebas dari komplikasi : -.pemasangan yang tidak betul akan mendorong lidah pada hipofaring sehingga terjadi obstruksi jalan nafas . -.lepasnya gigi karena pasien menggigit jalan nafas orofaringeal. -.bila terlalu panjang, ujungnya akan menyentuh epiglotis atau pita suara, sehingga bisa terjadi batuk-batuk atau spasme laring. -. bila terlalu panjang, pada operasi yang lama bisa menimbulkan edema faring, sakit menelan. d). Tampon faringeal Tampon faringeal dipakai bila tidak menggunakan ETT dengan kaf; dipasang pada kedua sisi ETT sampai cukup menyumbat faring untuk mencegah terjadinya aspirasi. Ujungnya harus keluar dari mulut agar kita tidak lupa mengeluarkannya sebelum melakukan ekstubasi. 164

e). Lubrikans. Lubrikans dipakai untuk melicinkan ETT bila akan melakukan intubasi nasotrakeal, untuk melicinkan stilet yang akan dimasukkan ke dalam ETT atau untuk melicinkan pipa nasogastrik atau maag slang (NGT ) f).Analgesia lokal semprot. Analgesia lokal semprot digunakan untuk analgesia lokal faring dan laring. g). Kateter isap. Kateter isap harus disediakan dalam berbagai ukuran untuk mengisap lendir di faring, laring, trakea dan bronkus. 3. Teknik intubasi endotrakeal. Trakea bisa diintubasi melalui mulut, hidung, atau stoma trakeal. Intubasi bisa dilakukan dalam anestesia ringan dengan obat pelumpuh otot atau dalam keadaan sadar. Setelah melalui pita suara, kaf diisi dengan udara secukupnya sampai tidak terdengar kebocoran udara saat diventilasi (tekanan dalam kaf < 25 mmHg). Kaf tersebut harus ada di sebelah distal pita suara. Bila ETT tidak mempunyai kaf, harus dimasukkan sampai 3-4 sm distal pita suara (pada dewasa), atau 1-2 sm distal pita suara (pada anakanak). Intubasi nasotrakeal dilakukan bila ada indikasi sebagai berikut : 

Operasi di daerah rongga mulut.  Operasi maksilofasial  Keadaan-keadaan di mana tidak mungkin dilakukan intubasi orotrakeal. Intubasi nasotrakeal dapat dilakukan dengan bantuan anestesia umum atau analgesia lokal (awake). 4. Ekstubasi Ekstubasi dilakukan bila operasi telah selesai, nafas adekuat. Pemakaian pipa dilakukan saat pasien inspirasi maksimal. Tidak boleh ada kateter isap dalam pipa saat penarikan pipa karena akan menurunkan PO2 dalam paru-paru. Bila ekstubasi dilakukan pada light anaesthesia bisa terjadi komplikasi batuk-batuk, spasme laring dan spasme bronkus.

5. Komplikasi intubasi endotrakeal 165

Terdapat bermacam-macam komplikasi intubasi endotrakeal, yaitu : a. Trauma selama Intubasi 

pada intubasi nasotrakeal terjadi pendarahan dari hidung.  ETT atau stilet dapat menimbulkan injuri mukosa mulut, faring atau laring. b. intubasi endotrakeal Bila pipa dimasukkan terlalu dalam bisa masuk ke bronkus primer kanan sehingga bisa terjadi obstruksi, atelektasis, kolaps dari paru kiri dan lobus atas paru kanan. Maka setiap kali telah melakukan intubasi harus diperiksa supaya ventilasi pada kedua paru sama, dengan cara : 

melihat pergerakan dada, harus sama kanan dan kiri.  dengan auskultasi.  dengan melihat monitor saturasi O2, karena intubasi endotrakeal akan menurunkan saturasi O2. c. Intubasi esofageal d. Laringitis, suara serak, nyeri tenggorokan (sore throat) e. Trakeal stenosis. f. Granuloma laring.

Table : Comporative Pharmacology of Intravenous Induction Agents Agent

Pentotha l

Inducti on

Cardio Vascular

Analge sia

Amne sia

Emergence

Smooth / rapid

Dpression

Transien t depresio n

None

Mini mal

Smooth / rapid

Excitat pry /

Stimulatio n

Minimal

Yes

Mini mal

Stormy / intermediat

(Thiopen tal) Ketamin e

Respirra tory

166

rapid Smooth / rapid

None

Transien t depresio n

None

Mini mal

Smooth / rapid

Propofol

Smooth / rapid / pain

Depresion

Depresio n

None

Mini mal

Smooth / rapid

Diazepa m

Smooth / slow / pain

Mininal

Depresio n

None

Yes

Smooth / prolonged

Midazol am

Smooth / interme diat

Vasodilata tion

Depresio n

None

Yes

Smooth / rapid

Alfentani l

Smooth / rapid / kakuity

Depresion

Depresio n

Yes

Mini mal

Smooth / rapid

Sufentan il

Smooth / rapid / kakuity

Minimal

Depresio n

Yes

Mini mal

Smooth / intermediat

etomidat

Adapted from White PF : Clinical Use of Newer Intravenous Induction Drugs, Cleveland, IARS, Review Course Lectures, 1988 : 102-112.

Table : Benzodiazepines

167

Drug

Inducti on

Pre-op Me dic ine

Intraoperative Sedation

Midazolam







Diazepam







Amnesia

Night Hypnotic









Lorazepam











Triazolam











Chlordiazep oxide











Flurazepam









Oxazepam









Prazepam











Temazepam











Alprazolam









 



Modified from Reves JG : Benzodiazepines. In Prysoberts C, Hue ML, eds. Pharmacokinetics of Anesthesia, Oxford, Blacwell, 1984

Table : Clinical use of the Benzodiazepines Drug

Dose

Comments

Midazo lam

0.5  0.1 mg/kg M premed.

Shortest durasion*.

0.5  2.5 mg/kg to 0.1 mg/kg i.v. sedation.

20 minutes of hypnosis after induction.

0.2  0.4 mg/kg i.v. induction. 4  6 mg/h i.v. infusiion. Dizepa

0.1  0.2 mg/kg p.o.

Postoperatives sedation may last for 168

m

premed.

several hours.

0.3  0.6 mg/kg i.v. induction. Triazol am

0.25  0.5 mg p.o. premed.

Shorter durasion than diazepam with less postoperative sedation and greater amnesia.

Loraze pam

2  4 mg i.m.

Prolonged postoperative sedation. Amnesia at higher doses for 68 hours.

* Durasion of Benzodiiazepines variabel – sedation lasts much longer than hyponis

Table : Physicochemical Properties of Most Widely Used Uap Anesthetics

Physicochemical Properties

Halotan

Enflura ne

Isofluran

Desfluran e

Sevoflurane

Odor

Pleasant

Unpleas ant

Unpleasa nt

Unpleasa nt

Pleasant

Irritating to Respiratory Sistem

No

Yes

Yes

Yes

No

Molecular Weight

197.5

184.5

184.5

168.04

200.05

(at 760 mmHg)

49.51

56.5

48.5

22.8

58.6

Specific Grafity

1.86

1.52

1.50

1.50

1.53

Boiling Point oC

(25oC / 4oC)

169 4

Vapour Pressure (mmHg @ 24/25oC)

288

218

295

798

197

(mmHg @ 20oC)

243

175

238

669

157

Conventional Vaporizer

Yes

Yes

Yes

No*

Yes

2.35

1.91

1.4

0.42

0.63

Oil/Gas Partition Coefficient

224

96

91

18.7

47

Brain/Blood Partition Coefficient

1.9

1.3

1.6

1.3

1.7

(40 years of age)

0.76

1.68

1.15

6.0

2.05

Reacts with metals

Yes

No

No

No

No

UV Light Stability

No

Stable

Stable

NA

Stable

Soda Lime ® Stability

No

No

No

No

No

Antioxidant Needed

Thymol

No

No

No

No

Minimum Flamable Concentrasion in 100% O2 in presence of a source of energy

4.8 %

5.8 %

7.0 %

NA

7.5 %

Flamable

No

No

No

No

No

Explosive

No

No

No

---

No

Additives Required

Thymol

No

No

No

No

Metabolism (%)

17-20

2.4

< 0.2

0.02

trakeal > interkostal > kaudal > paraservikal > epidural > flekus brakialis > skiatik > subkutan. 8. Obat analgetik lokal golongan ester terutama dimetabolisme oleh pseudokolinesterase. Obat analgetik lokal golongan amid dimetabolisme (N-dealkilasi dan hidroksilasi) oleh enzim mikrogramsomal P-450 dalam hepar. 9. Susunan saraf pusat tempat dari tanda permulaan dari overdosis pada pasien yang sadar. Tanda dini adalah rasa baal, parestesi lidah, dan pusing. Keluhan perasaan berupa tinitus, dan pandangan kabur. Gejala eksitatori (misalnya gelisah, agitasi, cemas, paranoid) sering mendahuli depresi SSP (misalnya bicara seperti menelan, ngantuk, dan tidak sadar). Twitching otot merupakan petanda akan terjadinya kejang tonik-klonik. 10. Toksisitas kardiovaskular yang berat umumnya memerlukan 3 kali konsentrasi dalam darah yang menimbulkan kejang. Aritmia jantung atau kolaps sirkulasi merupakan tanda yang biasa pada overdosis obat analgetik lokal selama anestesia umum. 11. Suntikan intravaskular yang tidak disengaja dari bupivakain selama analgesia regional menimbulkan reaksi kardiotoksik yang berat, termasuk hipotensi, AV blok, irama idioventrikular, dan aritmia yang mengancam nyawa seperti ventrikular takikardia dan fibrilasi. 12. Reaksi hipersensitivitas yang betul-betul disebabkan oleh obat analgetik lokal—seperti dari toksisitas sistemik yang disebabkan karena konsentrasi plasma yang besar—adalah jarang terjadi. Golongan ester lebih sering menimbulkan reaksi alergi disebabkan karena golongan ester merupakan derivat asam para aminobenzoik yang diketahui merupakan suatu alergen. 13. Blok spinal, epidural dan kaudal juga disebut sebagai neuroaksial anestesia. Setiap blok ini dapat dilakukan dengan suntikan tunggal atau dengan kateter sehingga dapat dilakukan pemberian secara intermiten atau kontinyu. 14. Melakukan tusukan lumbal (subarahnoid) harus di bawah L1 pada dewasa (L3 pada anak) untuk menghindari kemungkinan trauma oleh jarum pada medula spinalis.

186

15. Tempat kerja utama blok neuroaksial adalah pada radiks saraf. 16. Terdapat perbedaan blokade pada blokade simpatis (sensitivitas temperatur) 2 segmen lebih tinggi dari blok sensori (nyeri, raba halus), dan 2 segmen lebih tinggi daripada blokade motorik. Sensori 2 segmen lebih tinggi dari motorik. 17. Interupsi transmisi eferen autonom pada radiks saraf spinalis dapat menimbulkan blokade simpatis dan parasimpatis. 18. Blokade neuroaksial dapat menurunkan tekanan darah yang disertai penurunan denyut jantung dan kontraksi jantung. 19. Efek kardiovaskular yang berbahaya harus diantisipasi untuk mengurangi derajat hipotensi. Pengisian volume 10-20 ml/kg intravena pada pasien sehat untuk mengkompensasi pooling vena. 20. Bradikardia harus diterapi dengan sulfas atropin, dan hipotensi diterapi dengan vasopresor.

GAMBARAN UMUM Untuk dapat melakukan analgesia regional diperlukan pengetahuan dan keterampilan tentang farmakologi obat analgetik lokal, mekanisme terjadi blok saraf, teknik melakukan analgesia regional, mencegah dan melakukan terapi bila ada komplikasi

TUJUAN PEMBELAJARAN Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu melakukan dan memahami: 1. Farmakologi Obat analgetik lokal 2. Anestesia subarahnoid 3. Analgesia regional intravena METODE PEMBELAJARAN -

Kuliah Persiapan Preanalgesia regional, Farmakologi Obat analgetik lokal, Pemantauan Analgesia regional, Anestesia subarahnoid dan Analgesia regional Intravena dilakukan pada semester 1 Pelatihan di skill lab anestesia subarahnoid pada manikin subarahnoid dilakukan pada semester 1 Pelatihan di skill lab analgesia regional intravena dengan menggunakan manikin Pelatihan di kamar bedah anestesia subarahnoid dan analgesia regional intravena pada pasien

187

-

dilakukan semester 1 mulai dari pekan ke 18 dan semester 2, dengan bimbingan dan pengawasan staf pengajar. Diskusi dan laporan tentang problema yang timbul pada anestesia subarahnoid sesuai sasaran pembelajaran. Kuliah partisipatif Tugas tulisan (tinjauan pustaka) dan tugas baca Laporan kasus Diskusi kelompok Demonstrasi dan bedside teaching Tutorial individual

MEDIA -

Papan tulis Komputer LCD dan slide projector Pasien di kamar bedah.

ALAT BANTU PEMBELAJARAN -

Manikin analgesia regional Manikin pemasangan kateter intravena

EVALUASI Pre-tes 1.Jelaskan jenis-jenis obat analgetik lokal. a. Jelaskan mekanisme kerja dan sifat obat analgetik lokal. 2. Jelaskan jenis-jenis serabut saraf yang dihambat serta jenis hambatan motorik dan sensori yang dihasilkan dan cara pengecekkannya. 3. Jelaskan faktor-faktor patofisiologi yang mempengaruhi kerja obat analgetik lokal. 4. Jelaskan dosis, dosis maksimum, mula kerja, masa kerja, cara pemberian masing-masing obat analgetik lokal. 5. Jelaskan penggunaan klinis masing-masing obat analgetik lokal termasuk bentuk preparasinya, penambahan dengan adjuvan lain. 6. Jelaskan berbagai efek samping dan toksisitas yang dapat ditimbulkan obat analgetik lokal beserta tanda-tanda klinisnya. 7. Jelaskan cara mencegah dan menangani komplikasinya akibat pemberian obat analgetik lokal. 8. Jelaskan anatomi tulang belakang dan rongga subarahnoid 9. Jelaskan perubahan fisiologi yang terjadi pada anestesia subarahnoid 10.Jelaskan berbagai teori timbulnya tekanan negatif pada rongga epidural. 11. Jelaskan mekanisme kerja obat analgetik lokal pada anestesia subarahnoid dan analgesia regional intravena. 10.Jelaskan persiapan preoperatif termasuk kunjugan preanestesia dan melakukan identifikasi

188

kelainan atau penyakit pasien yang akan mempengaruhi jalannya analgesia spinal dan anesteia regional intravena 11. Jelaskan persiapan alat dan obat yang akan dipakai untuk anestesia subarahnoid dan analgesia regional intravena. 12.Jelaskan prosedur tindakan anestesia subarahnoid dan analgesia regional intravena yang baik dan benar. 13.Sebutkan beberapa cara penusukkan jarum spinal 14.Jelaskan level ketinggian minimal dan yang diinginkan termasuk dermatom yang dipengaruhinya, untuk masing-masing tindakan operasi yang akan dilakukan. 15.Jelaskan indikasi dan indikasi-kontra tindakan analgesia spinal dan analgesia regional intravena 16.Sebutkan dan jelaskan jenis obat, dosis, konsentrasi, pengenceran, mula kerja, lama kerja obat analgetik lokal yang dapat dipakai untuk analgesia spinal dan analgesia regional intravena serta jenis adjuvan yang dapat mempengaruhi atau membantu kerja obat analgetik lokal. 17.Jelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi mula dan masa kerja, penyebaran obat, ketinggian blok anestesia subarahnoid. 18.Jelaskan komplikasi yang dapat terjadi pada analgesia spinal dan analgesia regional intravena, tanda –tanda dan gejala, cara mencegah dan mengatasi komplikasi tersebut. Kognitif

-

EMQ (Extended Medical Question) Multiple observation and assessments Multiple observers OSCE (Objective Structure Clinical Examination) Minicheck

Skill

-

Multiple observation and assessments Multiple observers OSCE (Objective Structure Clinical Examination) Minicheck Communication and Interpersonal Skills

-

Multiple observation and assessments Multiple observers Profesionalisme

-

Multiple observation and assessments Multiple observers Pengetahuan

-

MCQ (pre-tes) EMQ (Extended Medical Question)

Daftar Cek Penuntun Belajar Anestesia Blok Subarahnoid

189

N o

Prosedur Anestesia Subarahnoid

Blok

(pendekatan cara midline)

Sudah dikerjakan

Belum dikerjakan

PERSIAPAN PRA ANESTESIA 1

Informed consent

2

Pemeriksaan fisis dan lab

3

Pemeriksaan tambahan PROSEDUR SUBARAHNOID

ANESTESIA

1

Periksa kesiapan alat dan obat yang diperlukan

2

Siapkan kelengkapan tindakan untuk asepsis dan antisepsis

3

Pasang monitor Standard pada pasien dan amati tanda vital pasien

4

Pasang jalur intravena pada pasien

5

Posisikan pasien lateral dekubitus atau duduk, ganjal bahu dan kepala pasien bila diposisikan lateral dekubitus.

6

Tentukan penunjuk anatomi celah antara L2-3, L3-4 atau L4-5. Celah antara L3-4 atau prosesus spinosus L4 tegak lurus dari spina iliaka anterior superior.

7

Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada penunjuk anatomi yang ditentukan.

8

Berikan analgesia lokal pada celah yang akan dilakukan penusukan jarum spinal.

9

Lakukan penusukan jarum spinal (atau introduser) pada celah yang telah diberi analgesia lokal. Penusukan jarum harus sejajar dengan prosesus spinosus atau sedikit membentuk sudut kearah sefalad, dengan arah bevel ke lateral

190

atau sefalad. 10

Dorong jarum sampai melewati resistensi ligamentum flavum dan dura, terasa kehilangan tahanan pada rongga subarahnoid.

11

Cabut mandren jarum, dan pastikan posisi jarum sudah tepat yang ditandai dengan mengalir keluar cairan serebrospinal yang bening. Jarum dapat dirotasikan 90° untuk memastikan kelancaran likuor yang keluar. Penusukkan harus diulang bila likuor tidak keluar atau keluar darah.

12

Sambungkan jarum dengan spuit berisi obat analgetik lokal yang sudah dipersiapkan. Aspirasi sedikit likuor, bila lancar suntikan obat analgetik lokal secara perlahan. Lakukan aspirasi ulang untuk memastikan ujung jarum tetap pada posisi yang tepat dan suntikan kembali obat.

13

Setelah selesai cabut jarum dan kembalikan posisi pasien sesuai dengan yang diinginkan. Cara penyuntikkan paramedian pada dasarnya sama seperti di atas, hanya jarum spinal disuntikkan pada 1,5 sm lateral dan 1sm kaudal dari celah penyuntikan yang dituju. DURANTE SUBARAHNOID

ANESTESIA

1

Monitor ABC dan ketinggian blok

2

Amati perubahan fisiologis yang terjadi , pencegahan dan penatalaksanaannya

3

Komplikasi yang terjadi, pencegahan dan penatalaksanaannya

4

Penatalaksanaan bila blok tidak adekuat

191

PASCABEDAH 1

Monitor ABC di ruang pulih

2

Pasien dikembalikan ke ruang rawat

3

Komplikasi yang terjadi, pencegahan dan penatalaksanaan

Daftar Cek Penuntun Belajar Analgesia regional Intravena N o

Prosedur Anestesia Regional Intravena

Blok Sudah dikerjakan

Belum dikerjakan

PERSIAPAN PRA ANESTESIA 1

Informed consent

2

Pemeriksaan fisis dan lab

3

Pemeriksaan tambahan PROSEDUR ANALGESIA REGIONAL INTRAVENA 1

Periksa kesiapan alat dan obat yang diperlukan dan cek kesiapan alat

2

Siapkan kelengkapan tindakan untuk asepsis dan antisepsis

3

Pasang monitor Standard pada pasien dan amati tanda vital pasien

4

Pasang jalur intravena pada ekstremitas lain yang tidak diblok

5

Premedikasi bila perlu

6

Posisikan pasien dengan ekstremitas yang akan diblok dielevasi selama 1-2 menit

192

7

Lengan dibalut dengan vellband dan turnike kaf ganda dipasang pada bagian proksimal ekstremitas yang diblok

8

Kateter intravena 22 G dipasang pada dorsum manus atau dorsum pedis pada lengan/kaki yang akan diblok

9

Elevasi ekstremitas 1 menit untuk eksanguinasi

10

Pembalut Esmarch dipasang dengan baik secara sistematis dari ujung jari sampai kaf distal

11

Inflasikan kaf distal sampai 300 mmHg

12

Inflasikan kaf proksimal sampai 300 mmHg

13

Deflasikan kaf distal

14

Pembalut Esmarch dilepascan

15

Cek ekstremitas untuk warna (pucat) dan oklusi arteri (tidak ada denyut arteri)

16

Ekstremitas diturunkan, obat analgetik lokal disuntikkan melalui kateter intravena pada ekstremitas yang akan diblok DURANTE ANALGESIA REGIONAL INTRAVENA

1

Monitor ABC

2

Penatalaksanaan rasa tidak nyaman pasien selama analgesia regional intravena

3

Komplikasi yang terjadi, pencegahan dan penatalaksanaannya

4

Penatalaksanaan bila durasi blok akan habis PASCABEDAH

193

1

Lepascan turnike pelan dan bertahap

2

Monitor ABC di ruang pulih

3

Pasien dikembalikan ke ruang rawat

DAFTAR TILIK

Berikan tanda  dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan memuaskan, dan berikan tanda  bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak dilakukan pengamatan  Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur Standard atau penuntun 

Tidak memuaskan

Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan prosedur Standard atau penuntun

T/D

Tidak diamati

Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih selama penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik

Tanggal

Nama pasien

No Rekam Medis

DAFTAR TILIK No

Kegiatan / langkah klinis

Kesempatan ke 1

2

3

4

5

194

DAFTAR TILIK No

Kesempatan ke

Kegiatan / langkah klinis

Peserta dinyatakan :

1

2

3

4

5

Tanda tangan pelatih

 Layak  Tidak layak melakukan prosedur Tanda tangan dan nama terang

MATERI ACUAN

195

I. Mekanisme Kerja Seperti telah diketahui bahwa sel-sel saraf dalam keadaan rehat (rehat). Begitu ada rangsangan terhadap perubahan permeabilitas dari membran sel, sehingga dinding sel relatif lebih permeabel terhadap ion Na daripada ion K, maka terjadi influx Na ke dalam sel, kemudian diikuti dengan keluarnya ion K. Jadi pada waktu Na masuk ke dalam sel, maka di dalam sel relatif lebih positif, sedangkan di luar lebih negatif, maka terjadi depolarisasi.

Pada waktu pemulihan, terjadi pergerakan ion-ion yang sebaliknya, dan kembali kepada keadaan rehat, selanjutnya siap untuk menerima rangsang kembali dalam beberapa milidetik. Pemberian obat analgetik lokal mencegah terjadinya migrasi ion-ion ini (membran sel stabil dalam keadaan rehat) dengan akibat terjadinya hambatan impuls saraf. Ada beberapa teori analgesia lokal terhadap membran saraf :

1. Molekul-molekul lokal anestesia berikatan dengan membran sel sehingga dapat memblokir pori-pori tempat migrasi ion-ion. 2. Pelepasan ikatan kalsium pada membran sel saraf pada waktu transmisi impuls dicegah oleh obat analgetik lokal, sehingga kalsium lebih banyak terikat pada membran sel saraf. 3. Kompetisi obat analgetik lokal dan asetilkolin yang selalu diproduksi oleh sel-sel saraf yang terkena rangsang terhadap reseptor site.

II. Farmakologi Komponen kimia yang menunjukkan aktivitas lokal anestesia umumnya mempunyai ujung aromatik, ujung amine, dan rantai intermediet. Obat analgetik lokal dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu amino-ester dan amino-amid. Obat analgetik lokal dengan suatu rantai ester di antara bagian aromatik dan rantai intermediet disebut amino-ester, misalnya prokain, kloroprokain, dan tetrakain. Obat analgetik lokal dengan rantai amid antara ujung aromatik dan rantai intermediet disebut amino-amid, misalnya lidokain, mepivakain, prilokain, bupivakain dan etidokain. Perbedaan dasar antara golongan ester dan amid adalah dalam cara metabolisme obat dan potensial alerginya. Golongan ester dihidrolisa di plasma oleh enzim di hati. Metabolit hasil hidrolisa golongan ester adalah asam paraaminobenzoik yang dapat menimbulkan reaksi alergi. Metabolisme golongan amid tidak menghasilkan asam paraaminobenzoik dan laporan adanya reaksi dengan obat golongan ini sangat jarang.

Gambaran anestesia dari suatu komponen kimia bergantung pada : 1) Lipid solubility 2) Protein binding

196

3) pKa 4) Non-nervous tissue diffusibility 5) Intrinsic vasodilator activity Gambaran tersebut terlihat pada tabel berikut ini.

1) Lipid solubility : Kelarutan dalam lemak menggambarkan potensi intrinsik obat analgetik lokal tersebut. Makin tinggi kelarutannya dalam lemak, semakin poten obat tersebut. Lipid solubility prokain kurang dari satu, dan obat ini paling kecil potensinya. Sebaliknya koefisien partisi/kelarutan bupivakain, tetrakain dan etidokain bervariasi dari 30-140, menunjukkan lipid solubility yang tinggi. Obat ini menunjukkan blokade konduksi pada konsentrasi yang sangat rendah karena potensi intrinsik anestesianya 30 kali lebih besar dari prokain. Hubungan antara lipid solubility dan potensi intrinsik anestesia selalu konsisten dengan komposisi lipoprotein dari membran saraf (ada 3 lapisan membran saraf terdiri dari protein-lipid-protein). Kira-kira 90% aksolemma terdiri dari lemak. Karena itu obat analgetik lokal yang kelarutan lemaknya tinggi dapat menembus membran saraf dengan lebih mudah, yang direfleksikan sebagai peningkatan potensi.

2) Protein binding : Kekhasan protein binding adalah mempengaruhi lama kerja obat analgetik lokal tersebut. Prokain, pengikatan oleh proteinnya buruk, maka lama kerjanya pendek. Sebaliknya, tetrakain, bupivakain, etidokain protein binding nya tinggi, maka lama kerjanya panjang. Hubungan antara protein binding obat analgetik lokal dan lama kerjanya adalah konsisten dengan struktur dasar membran saraf. Protein membran saraf  10%. Karena itu obat yang menembus aksolemma dan diikat pada protein membran bertendensi untuk memperpanjang lama aktivitas obat.

3) pKa : pKa komponen kimia didefinisikan sebagai pH di mana bentuk ion dan non-ion ada dalam keseimbangan. Obat analgetik lokal yang tidak berubah bentuk, bertanggungjawab untuk difusi menembus selubung saraf. Mula kerja secara langsung berhubungan dengan kecepatan menembus epineurium, yang kolerasi dengan jumlah obat dalam bentuk dasar. Persentase dari obat analgetik lokal dalam bentuk dasar bila disuntikkan ke dalam jaringan yang mempunyai pH 7,4 adalah sebaliknya proporsional pada pKa obat tersebut. Sebagai contoh, lidokain yang mempunyai pKa 7,74 adalah 65% dalam bentuk ion dan 35% dalam bentuk non-ion pada pH jaringan 7,4. Dari penelitian invivo dan invitro telah dikonfirmasikan bahwa obat analgetik lokal yang mempunyai pKa hampir mendekati pH jaringan mempunyai mula kerja yang lebih cepat daripada obat analgetik lokal dengan

197

pKa yang tinggi.

4) Non-nervous tissue diffusion : Mula kerja berhubungan dengan kecepatan difusi melalui perineurium. Lapisan pembungkus serabut saraf dari dalam keluar adalah endoneurium, perineurium, dan epineurium. Lapisan ini terdiri dari jaringan pengikat kolagen dan elastis. Pada invivo, obat analgetik lokal harus menembus jaringan pengikat yang bukan jaringan saraf. Ada perbedaan kecepatan menembus jaringan yang bukan saraf. Sebagai contoh, prokain dan kloroprokain mempunyai pKa yang sama dan mula kerjayang sama pada saraf yang diisolasi (invitro), tetapi invivo, mula kerja kloroprokain lebih pendek daripada prokain, ini menunjukkan bahwa kloroprokain lebih cepat menembus jaringan yang bukan jaringan saraf.

5) Intrinsic vasodilator activity : Faktor ini akan mempengaruhi potensi dan lama kerja obat analgetik lokal. Tingkatan dan lamanya blokade saraf dihubungkan dengan jumlah obat analgetik lokal yang menembus ke reseptor pada membran saraf. Setelah suntikan obat analgetik lokal sebagian obat akan diambil jaringan saraf dan beberapa bagian akan diabsorbsi ke dalam sistem sirkulasi. Derajat absorbsi vaskular berhubungan dengan aliran darah ke daerah di mana disuntikkan obat analgetik lokal. Semua obat analgetik lokal, kecuali kokain, bersifat vasodilator, tetapi derajat vasodilatasi yang ditimbulkan oleh setiap obat berbeda-beda. Pada penelitian invitro telah ditunjukkan bahwa potensi intrinsik obat anestetik lidokain lebih besar daripada mepivakain, tetapi invivo, mepivakain mempunyai potensi yang sama dan lama kerja yang lebih panjang dari pada lidokain. Perbedaan antara invivo dengan invitro adalah akibat lebih besarnya vasodilator activity dari lidokain sehingga absorbsi lidokain lebih besar dan obat yang tersisa untuk memblokade saraf tinggal sedikit.

III. Toksisitas Obat analgetik lokal Obat analgetik lokal relatif bebas dari efek samping bila diberikan dalam dosis yang tepat dan lokasi anatomis yang tepat. Reaksi toksis yang cepat umumnya bila terjadi suntikan intravaskular atau dosis besar subarahnoid. Pemberian dosis yang besar tetapi lokasi anatomisnya tepat dapat membawa ke arah toksisitas sistemik setelah absorbsi vaskular obat analgetik lokal tersebut. Pengaruh toksisitas bergantung pada kadar obat analgetik lokal dalam plasma. Bila kadarnya 6g/ml gejalanya adalah gangguan penglihatan, disorientasi dan ngantuk. Bila kadarnya 10g/ml gejalanya adalah tidak sadar, twitching otot, tremor (muka, ujung ekstrimitas). Bila kadarnya 12g/ml timbul kejang-kejang, dan bila kadarnya 20g/ml terjadi henti nafas. Tabel : Toksisitas Obat analgetik lokal

198

(1) Susunan Saraf Pusat Eksitasi Depresi (2) Sistem Kardiovaskular Hipertensi Hipotensi Iritasi Lokal (1) Kerusakan serabut saraf (2) Kerusakan otot skelet Lain-lain (1) (2) (3)

Alergi Metemoglobinemia (prilokain) Kecanduan (Kokain)

Toksisitas Sistemik : Toksisitas sistemik obat analgetik lokal secara primer umumnya mengenai SSP dan sistem kardiovaskular. Pada umumnya SSP lebih dahulu terkena daripada sistem kardiovaskular. Penelitian pada anjing dan biri-biri menunjukkan bahwa diperlukan dosis dan kadar obat analgetik lokal yang lebih kecil untuk menimbulkan toksisitas SSP daripada toksisitas kardiovaskular.

Tabel : Signs and symptoms of local anesthetic related CNS toxicity CNS excitation Tinnitus Lightheadedness Confusion Circumoral numbness Tonic-clonic konvulsions

199

Drowsiness Unconciousness Respiratory arrest

Toksisitas Susunan Saraf Pusat :

Toksisitas SSP berhubungan dengan : 1. Potensi obat: bupivakain 8 kali lebih poten daripada prilokain; toksisitasnya juga jauh lebih berat. 2. Kadar CO2: bila kadar CO2 darah meningkat, ambang konvulsi menurun. 3. pH darah: bila pH darah menurun, ambang konvulsi menurun Pada sukarelawan yang diinfusi obat analgetik lokal merasakan adanya perasaan melayang, pening, diikuti gangguan penglihatan dan pendengaran (seperti kesulitan memfokuskan pandangan dan tinnitus) serta adanya disorientasi dan mual. Tanda-tanda lain adalah adanya eksitasi, menggigil, twitching otot dan tremor pada otot-otot muka dan bagian distal ekstrimitas dan terjadi kejang-kejang yang menyeluruh. Bila dosis besar diberikan secara sistemik, gejala pertama SSP eksitasi segera diikuti oleh SSP depresi, depresi nafas dan henti nafas. Perbandingan relatif toksisitas SSP dari bupivakain, etidokain dan lidokain adalah 4:2:1.

Toksisitas Kardiovaskular : Obat analgetik lokal dapat menyebabkan pengaruh yang besar terhadap sistem kardiovaskular. Pemberian secara sistemis dapat mempengaruhi otot jantung dan otot polos dinding pembuluh darah.

Obat-obat analgetik lokal. Lidokain : Lidokain biasanya digunakan untuk terapi aritmia (ventricular extrasystole). Efek primer dari lidokain adalah menurunkan kecepatan maksimal dari depolarisasi. Bupivakain dapat mempresipitasi timbulnya aritmia jantung, yaitu adanya blok unilateral dan suatu aritmia jantung tipe reentrant. Bergantung pada dosisnya, obat analgetik lokal bisa bersifat inotropik negatif. Makin poten obat analgetik lokal tersebut, semakin kuat menekan jantung. Lidokain :  

Onsetnya lebih cepat dan lama kerja lebih lama dari prokain. Efek topikalnya baik.

200

  

Sering dipakai sebagai anti aritmia. Dipakai untuk menumpulkan rangsangan akibat laringoskopi-intubasi yang menimbulkan kenaikkan tekanan darah dan frekuensi nadi dengan dosis 1-1,5 mg/kg BB intravena.

 

Obat analgetik lokal yang paling banyak dipakai dan sebagai pembanding obat analgetik lokal lainnya. Konsentrasi untuk pemberian infiltrasi 0,5-1%, epidural 1-2%, blok saraf 1-1,5%, topikal 4%, spinal 5%. Onsetnya cepat, durasi 60-120 menit. Dosis maksimalnya 300mg tanpa epinefrin, 500mg bila dicampur dengan epinefrin.



Dosis rata-ratanya 7-8mg/kgBB.



Bupivakain :          

Potensinya lebih kuat. Durasinya lebih lama. Toksisitasnya hampir sama dengan tetrakain,  4-5 kali lebih besar dari lidokain. Motor blockade lebih lemah daripada lidokain. Onset-nya lebih lama daripada lidokain. Banyak dipakai pada nyeri pascabedah dan analgesia pada persalinan. Konsentrasi infiltrasinya 0,25-0,5%, blok saraf 0,25-0,5%, epidural 0,5-0,75%, spinal 0,5. Onset-nya lambat, durasi 180-300 menit. Single dose maksimumnya 175mg. Dosis rata-ratanya 3-4mg/kgBB.

IV. Persiapan Anestesia Bergantung pada jenis teknik analgesia lokal apa yang akan digunakan. Secara umum pasien harus diberitahu bahwa untuk yang bersangkutan anestesia terbaik adalah analgesia lokal. Bila perlu bisa juga sedikit dijelaskan tentang cara melakukan tindakan analgesia lokal tersebut. Pasien tetap dianjurkan puasa untuk mencegah muntah bila diperlukan kombinasi dengan anestesia umum. Diperiksa tempat yang akan disuntik, apakah memungkinkan dilakukan tindakan analgesia lokal. Diberikan premedikasi sedatif dan analgetik kalau perlu. Contoh premedikasi misalnya dengan diazepam atau lorazepam. Pada keadaan-keadaan tertentu lebih baik tidak dilakukan analgesia lokal, misalnya pasien tidak kooperatif, ditemukan penyakit saraf, anemia berat, ataupun infeksi kulit.

VII. Spinal Anestesia Disebut juga spinal analgesia atau subarahnoid nerve block, terjadi karena deposit obat analgetik lokal di dalam ruangan subarahnoid. Terjadi blok saraf yang reversibel pada radiks anterior

201

dan posterior, radiks ganglion posterior dan sebagian medula spinalis yang akan menyebabkan hilangnya aktivitas sensori, motorik dan autonom. Berbagai fungsi yang dibawa saraf-saraf medula spinalis misalnya temperatur, sakit, aktivitas autonom, rabaan, tekanan, lokalisasi rabaan, fungsi motorik dan proprioseptif. Secara umum fungsifungsi tersebut dibawa oleh serabut saraf yang berbeda dalam ketahanannya terhadap obat analgetik lokal. Oleh sebab itu ada obat analgetik lokal yang lebih mempengaruhi sensori daripada motorik. Blokade dari medula spinalis dimulai kaudal dan kemudian naik ke arah sefalad.

Serabut saraf yang bermielin tebal (fungsi motorik dan propioseptif) paling resisten dan kembalinya fungsi normal paling cepat, sehingga diperlukan konsentrasi tinggi obat analgetik lokal untuk memblokade saraf tersebut. Level blokade autonom 2 atau lebih dermatom ke arah sefalik daripada level analgesia kulit, sedangkan blokade motorik 2 sampai 3 segmen ke arah kaudal dari level analgesia.

Indikasi Analgesia spinal: 1. Operasi ekstremitas bawah, baik operasi jaringan lunak, tulang atau pembuluh darah. 2. Operasi di daerah perineal : anal, rektum bagian bawah, vagina, dan urologi.

3. Abdomen bagian bawah : hernia, usus halus bagian distal, apendiks, rektosigmoid, kandung kencing, ureter distal, dan ginekologis 4. Abdomen bagian atas : kolesistektomi, gaster, kolostomi transversum. Tetapi analgesia spinaluntuk abdomen bagian atas tidak dapat dilakukan pada semua pasien sebab dapat menimbulkan perubahan fisiologis yang hebat. 5. Seksio sesarea (Caesarean Seksion). 6. Prosedur diagnostik yang sakit, misalnya anoskopi, dan sistoskopi.

Indikasi-kontra Absolut : 1. Gangguan pembekuan darah, karena bila ujung jarum spinal menusuk pembuluh darah, terjadi perdarahan hebat dan darah akan menekan medula spinalis. 2. Sepsis, karena bisa terjadi meningitis. 3. Tekanan intrakranial yang meningkat, karena bisa terjadi pergeseran otak bila terjadi kehilangan cairan serebrospinal. 4. Bila pasien menolak. 5. Adanya dermatitis kronis atau infeksi kulit di daerah yang akan ditusuk jarum spinal.

202

6. Penyakit sistemis dengan sequele neurologis misalnya anemia pernikiosa, neurosifilis, dan porfiria. 7. Hipotensi.

Indikasi-kontra Relatif : 1. Pasien dengan perdarahan. 2. Problem di tulang belakang. 3. Anak-anak. 4. Pasien tidak kooperatif, psikosis.

Anatomi : Terdapat 33 ruas tulang vertebra, yaitu 7 servikal, 12 toraksal, 5 lumbal, 5 sakral dan 4 koksigeal. Medula spinalis berakhir di vertebra L2, karena ditakutkan menusuk medula spinalis saat penyuntikan, maka analgesia spinalumumnya dilakukan setinggi L4-L5, L3-L4, L2-L3. Ruangan epidural berakhir di vertebra S2. Ligamen-ligamen yang memegang kolumna vertebralis dan melindungi medula spinalis, dari luar ke dalam adalah sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5.

Ligamentum supraspinosum. Ligamentum interspinosum. Ligamentum flavum. Ligamentum longitudinal posterior. Ligamentum longitudinal anterior.

Teknik Analgesia spinal: 1. Inspeksi dan palpasi daerah lumbal yang akan ditusuk (dilakukan ketika kita visite pre-operatif), sebab bila ada infeksi atau terdapat tanda kemungkinan adanya kesulitan dalam penusukan, maka pasien tidak perlu dipersiapkan untuk spinal anestesia. 2. Posisi pasien : a) Posisi Lateral. Pada umumnya kepala diberi bantal setebal 7,5-10sm, lutut dan paha fleksi mendekati perut, kepala ke arah dada.

203

b) Posisi duduk. Dengan posisi ini lebih mudah melihat kolumna vertebralis, tetapi pada pasien-pasien yang telah mendapat premedikasi mungkin akan pusing dan diperlukan seorang asisten untuk memegang pasien supaya tidak jatuh. Posisi ini digunakan terutama bila diinginkan sadle block. c) Posisi Prone. Jarang dilakukan, hanya digunakan bila dokter bedah menginginkan posisi Jack Knife atau prone.

3. Kulit dipersiapkan dengan larutan antiseptik seperti betadin, alkohol, kemudian kulit ditutupi dengan “doek” bolong steril.

4. Cara penusukan. Pakailah jarum yang kecil (no. 25, 27 atau 29). Makin besar nomor jarum, semakin kecil diameter jarum tersebut, sehingga untuk mengurangi komplikasi sakit kepala (PSH=post spinal headache), dianjurkan dipakai jarum kecil. Penarikan stilet dari jarum spinal akan menyebabkan keluarnya likuor bila ujung jarum ada di ruangan subarahnoid. Bila likuor keruh, likuor harus diperiksa dan spinal analgesia dibatalkan. Bila keluar darah, tarik jarum beberapa mili meter sampai yang keluar adalah likuor yang jernih. Bila masih merah, masukkan lagi stilet-nya, lalu ditunggu 1 menit, bila jernih, masukkan obat analgetik lokal, tetapi bila masih merah, pindahkan tempat tusukan. Darah yang mewarnai likuor harus dikeluarkan sebelum menyuntik obat analgetik lokal karena dapat menimbulkan reaksi benda asing (Meningismus).

Obat-obat yang dipakai :

Obat analgetik lokal yang biasa dipakai untuk analgesia spinaladalah lidokain, bupivakain, levobupivakain, prokain, dan tetrakain. Lidokain adalah suatu obat analgetik lokal yang poten, yang dapat memblokade autonom, sensori dan motorik. Lidokain berupa larutan 5% dalam 7,5% dekstrosa, merupakan larutan yang hiperbarik. Mula kerjanya 2 menit dan lama kerjanya 1,5 jam. Dosis rata-rata 40-50mg untuk persalinan, 75-100mg untuk operasi ekstrimitas bawah dan abdomen bagian bawah, 100-150mg untuk spinal analgesia tinggi. Lama analgesia prokain < 1 jam, lidokain  1-1,5 jam, tetrakain 2 jam lebih.

Pengaturan Level Analgesia:

Level anestesia yang terlihat dengan analgesia spinaladalah sebagai berikut : level segmental untuk paralisis motorik adalah 2-3 segmen di bawah level analgesia kulit, 204

sedangkan blokade autonom adalah 2-6 segmen sefalik dari zone sensori. Untuk keperluan klinis, level anestesia dibagi atas : --. Sadle block anesthesia : zona sensori anestesia kulit pada segmen lumbal bawah dan sakral. --. Low spinal anesthesia : level anestesia kulit sekitar umbilikus (T10) dan termasuk segmen toraksal bawah, lumbal dan sakral. --. Mid spinal anesthesia : blok sensori setinggi T6 dan zona anestesia termasuk segmen toraksal, lumbal, dan sacral. --. High spinal anesthesia : blok sensori setinggi T4 dan zona anestesia termasuk segmen toraksal 4-12, lumbal, dan sacral.

Makin tinggi spinal anestesia, semakin tinggi blokade vasomotor, motorik dan hipotensi, serta respirasi yang tidak adekuat semakin mungkin terjadi. Level anestesia bergantung pada volume obat, konsentrasi obat, barbotase, kecepatan suntikan, valsava, tempat suntikan, peningkatan tekanan intra-abdomen, tinggi pasien, dan gravitas larutan. Makin besar volume obat, akan semakin besar penyebarannya, dan level anestesia juga akan semakin tinggi. Barbotase adalah pengulangan aspirasi dari suntikan obat analgetik lokal. Bila kita mengaspirasi 0,1ml likuor sebelum menyuntikkan obat; dan mengaspirasi 0,1ml setelah semua obat analgetik lokal disuntikkan, akan menjamin bahwa ujung jarum masih ada di ruangan subarahnoid. Penyuntikan yang lambat akan mengurangi penyebaran obat sehingga akan menghasilkan low spinal anesthesia, sedangkan suntikan yang terlalu cepat akan menyebabkan turbulensi dalam likuor dan menghasilkan level anestesia yang lebih tinggi. Kecepatan yang dianjurkan adalah 1ml per 3 detik.

Berdasarkan berat jenis obat analgetik lokal yang dibandingkan dengan berat jenis likuor, maka dibedakan 3 jenis obat analgetik lokal, yaitu hiperbarik, isobarik dan hipobarik. Berat jenis likuor serebrospinal adalah 1,003-1,006. Larutan hiperbarik : 1,023-1,035, sedangkan hipobarik 1,001-1,002. Perawatan Selama pembedahan. 1. Posisi yang enak untuk pasien. 2. Kalau perlu berikan obat penenang. 3. Operator harus tenang, manipulasi tidak kasar. 4. Ukur tekanan darah, frekuensi nadi dan respirasi. 5. Perhatikan kesulitan penderita dalam pernafasan, adanya mual dan pusing. 6. Berikan oksigen per nasal.

205

Perawatan Pascabedah. 1. Posisi terlentang, jangan bangun / duduk sampai 24 jam pascabedah. 2. Minum banyak, 3 lt/hari. 3. Cegah trauma pada daerah analgesia. 4. Periksa kembalinya aktifitas motorik. 5. Yakinkan bahwa perasaan yang hilang dan kaki yang berat akan pulih. 6. Cegah sakit kepala, mual-muntah. 7. Perhatikan tekanan darah dan frekuensi nadi karena ada kemungkinan penurunan tekanan darah dan frekuensi nadi.

Komplikasi / Problema Analgesia spinal : 1. Sistem Kardiovaskular : a) Penurunan resistensi perifer : --. Vasodilatasi arteriol dan arteri terjadi pada daerah yang diblokade akibat penurunan tonus vasokonstriksi simpatis. --. Venodilatasi akan menyebabkan peningkatan kapasitas vena dan venous return. --. Proksimal dari daerah yang diblokade akan terjadi mekanisme kompensasi, yakni terjadinya vasokonstriksi.

b) Penurunan Tekanan Sistolik dan Tekanan Arteri Rata-rata Penurunan tekanan darah bergantung pada tingginya blokade simpatis. Bila tekanan darah turun rendah sekali, terjadi risiko penurunan aliran darah otak. Bila terjadi iskemia medula oblongata terlihat adanya gejala mual-muntah. Tekanan darah jarang turun > 15 mmHg dari tekanan darah asal. Tekanan darah dapat dipertahankan dengan pemberian cairan dan atau obat vasokonstriktor. Duapuluh menit sebelum dilakukan analgesia spinaldiberikan cairan RL atau NaCl 10-15 ml/kgBB. Vasokonstriktor yang biasa digunakan adalah efedrin. Dosis efedrin 2550 mg i.m. atau 15-20 mg i.v. Mula kerja-nya 2-4 menit pada pemberian intravena, dan 1020menit pada pemberian intramuskular. Lama kerja-nya 1 jam. c) Penurunan denyut jantung. Bradikardia umumnya terjadi karena penurunan pengisian jantung yang akan mempengaruhi myocardial chronotropic stretch receptor, blokade anestesia pada serabut saraf cardiac

206

amlelerator simpatis (T1-4). Pemberian sulfas atropin dapat meningkatkan denyut jantung dan mungkin juga tekanan darah.

2. Sistem Respirasi Bisa terjadi apnea yang biasanya disebabkan karena hipotensi yang berat sehingga terjadi iskemia medula oblongata. Terapinya : berikan ventilasi, cairan dan vasopresor. Jarang disebabkan karena terjadi blokade motorik yang tinggi (pada radiks n.frenikus C3-5). Kadang-kadang bisa terjadi batuk-batuk kering, maupun kesulitan bicara.

3. Sistem Gastrointestinal : Diperlihatkan dengan adanya mual muntah yang disebabkan karena hipotensi, hipoksia, pasien sangat cemas, pemberian narkotik, over-aktivitas parasimpatis dan traction reflex (misalnya dokter bedah manipulasi traktus gastrointestinal).

4. Headache (PSH=Post Spinal Headache) Sakit kepala pascaanalgesia spinalmungkin disebabkan karena adanya kebocoran likuor serebrospinal. Makin besar jarum spinal yang dipakai, semakin besar kebocoran yang terjadi, dan semakin tinggi kemungkinan terjadinya sakit kepala pascaspinal anestesia. Bila duramater terbuka bisa terjadi kebocoran cairan serebrospinal sampai 1-2pekan. Kehilangan CSF sebanyak 20ml dapat menimbulkan terjadinya sakit kepala. PSH ini pada 90% pasien terlihat dalam 3 hari postspinal, dan pada 80% kasus akan menghilang dalam 4 hari. Supaya tidak terjadi PSH dapat dilakukan pencegahan dengan : --. Memakai jarum spinal sekecil mungkin (misalnya no. 25,27,29). --. Menusukkan jarum paralel pada serabut longitudinal duramater sehingga jarum tidak merobek dura tetapi menyisihkan duramater. --. Hidrasi adekuat, dapat diperoleh dengan minum 3lt/hari menambah produksi CSF sebagai pengganti yang hilang.

selama 3 hari, hal ini akan

Bila sudah terjadi sakit kepala dapat diterapi dengan : --. Memakai abdominal binder. --. Epidural blood patch : suntikkan 10ml darah pasien itu sendiri di ruang epidural tempat kebocoran. --. Berikan hidrasi dengan minum sampai 4lt/hari. Kejadian PSH 10-20% pada umur 20-40 tahun; > 10% bila dipakai jarum besar (no. 20 ke bawah);

207

9% bila dipakai jarum no.22 ke atas. Wanita lebih banyak yang mengalami sakit kepala daripada laki-laki.

5. Backache Sakit punggung merupakan problema setelah suntikan di daerah lumbal untuk spinal anestesia.

6. Retensi urin Penyebab retensi urin mungkin karena hal-hal sebagai berikut : operasi di daerah perineum pada struktur genitourinaria, pemberian narkotik di ruang subarahnoid, setelah anestesia fungsi kandung kemih merupakan yang terakhir pulih.

7. Komplikasi Neurologis Permanen Jarang sekali terjadi komplikasi neurologis permanen. Hal-hal yang menurunkan kejadiannya adalah karena : dilakukan sterilisasi panas pada ampul gelas, memakai semprit dan jarum yang disposibel, analgesia spinaldihindari pada pasien dengan penyakit sistemik, serta penerapan teknik antiseptik.

8. Chronic Adhesive Arahnoiditis Suatu reaksi proliferasi arahnoid yang akan menyebabkan fibrosis, distorsi serta obliterasi dari ruangan subarahnoid. Biasanya terjadi bila ada benda asing yang masuk ke ruang subarahnoid.

Referensi : 1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006 2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed. Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006

208

MODUL 10

ANALGESIA REGIONAL II

Mengembangkan Kompetensi

Waktu (Semester 3)

Sesi di dalam kelas

2 X 1 jam (classroom session)

Sesi dengan fasilitasi Pembimbing

3 X 2 (coaching session)

Sesi praktek dan pencapaian kompetensi

4 pekan (facilitation & assessment)

PERSIAPAN SESI Audiovisual Aid:

2. 3. 4. 5. 6.

LCD Proyektor dan layar Laptop OHP Flipchart Pemutar video Materi presentasi: CD PowerPoint Sarana: 1. Ruang belajar 2. Ruang pemeriksaan 3. Ruang Pulih 4. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut Kasus : pasien di ruang PACU Alat Bantu Latih : Model anatomi /Simulator Penuntun Belajar : lihat acuan materi Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik

Referensi : 1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006 2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed. Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006

209

TUJUAN UMUM Setelah mengikuti sesi ini peserta didik memahami dan mengerti tentang anatomi fungsional , fisiologi anestesia epidural , kaudal dan analgesia regional blok perifer, dapat memberikan anestesia epidural , kaudal dan analgesia regional blok perifer secara baik dan benar, melakukan penatalaksanaan komplikasi anestesia epidural , kaudal dan analgesia regional blok perifer

TUJUAN KHUSUS Setelah mengikuti sesi ini peserta didik mampu untuk : Kognitif a. Mampu menjelaskan anatomi tulang belakang, medula spinalis dan rongga epidural,lapisan-lapisannya mulai dari kulit, ligamen-ligamen, sampai ke rongga epidural, regio sakralis, hiatus sakralis, fungsional anatomi pleksus brakialis dan pleksus lumbosakral b. Mampu menjelaskan perubahan fisiologi yang terjadi pada anestesia epidural, kaudal, pleksus brakialis dan pleksus lumbosakral. c. Mampu menjelaskan berbagai teori timbulnya tekanan negatif pada rongga epidural. d. Mampu menjelaskan mekanisme kerja obat analgetik lokal pada anestesia epidural, kaudal ,blok pleksus brakialis dan pleksus lumbosakral . e. Mampu menjelaskan persiapan preoperatif termasuk kunjugan preanestesia dan melakukan identifikasi kelainan atau penyakit pasien yang akan mempengaruhi jalannya anestesia epidural, kaudal, blok perifer pleksus brakialis dan pleksus lumbosakral. f. Mampu menjelaskan rencana penatalaksanaan anestesia epidural, kaudal, blok perifer pleksus brakialis dan pleksus lumbosakral untuk prosedur bedah yang akan dilakukan. g. Mampu menjelaskan persiapan alat dan obat yang akan dipakai untuk anestesia epidural, kaudal, blok pleksus brakialis dan blok pleksus lumbosakral . h. Mampu menjelaskan cara kerja nerve- stimulator dan metode lainnya untuk identifikasi saraf , keuntungan dan kerugiannya i. Mampu menjelaskan prosedur tindakan anestesia epidural, kaudal, berbagai pendekatan blok pleksus brakialis dan pleksus lumbosakral yang baik dan benar. j. Mampu menyebutkan beberapa cara pemasangan jarum epidural . k. Mampu menjelaskan level ketinggian minimal dan jenis blok yang diinginkan termasuk dermatom yang dipengaruhinya, untuk masing-masing tindakan operasi yang akan dilakukan. l. Mampu menjelaskan indikasi dan indikasi-kontra tindakan anestesia epidural, kaudal, blok pleksus brakialis dan pleksus lumbosakral. m. Mampu menyebutkan jenis obat, dosis, konsentrasi, pengenceran, mula kerja, lama kerja obat analgetik lokal yang dapat dipakai untuk anestesia epidural, kaudal, blok pleksus brakialis dan pleksus lumbosakral serta jenis adjuvan yang dapat mempengaruhi atau membantu kerja obat analgetik lokal. n. Mampu menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran obat, ketinggian

210

blok anestesia epidural,dan kaudal o. Mampu menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi mula dan masa kerja obat pada anestesia epidural, kaudal, blok pleksus brakialis dan blok pleksus lumbosakral p. Mampu menjelaskan komplikasi yang dapat terjadi pada anestesia epidural, kaudal, blok pleksus brakialis dan blok pleksus lumbosakral, tanda- tanda dan gejala, cara mencegah dan mengatasi komplikasi tersebut. q. Mampu menjelaskan penatalaksanaan pencabutan kateter epidural pada pasien yang mendapat terapi antikoagulan. Psikomotor a. Mampu melakukan persiapan preoperatif termasuk kunjugan preanestesia ,memilih pasien yang sesuai untuk anestesia epidural lumbal , kaudal, blok pleksus brakialis dan pleksus lumbosakral , dan melakukan identifikasi kelainan atau penyakit pasien yang akan mempengaruhi jalannya anestesia. b. Mampu melakukan persiapan alat (alat anestesia epidural, kaudal ,blok perifer dan alat resusitasi) dan obat (analgesia lokal, adjuvan, obat resusitasi) untuk anestesia epidural lumbal, kaudal, blok perifer dan blok pleksus lumbosakral dengan baik dan benar. c. Mampu melakukan prosedur tindakan anestesia epidural lumbal , kaudal , blok pleksus brakialis, blok pleksus lumbosakral yang baik dan benar dengan berbagai cara pendekatan. d. Mampu memeriksa level ketinggian minimal dan jenis blok yang diinginkan termasuk dermatom, miotom dan osteotom yang dipengaruhinya pada anestesia epidural lumbal, kaudal, blok pleksus brakialis, blok pleksus lumbosakral sehingga sesuai untuk kebutuhan masing-masing tindakan operasi yang akan dilakukan. e. Mampu menyiapkan berbagai jenis obat, dosis, konsentrasi, pengenceran dan memakai berbagai jenis obat analgetik lokal yang dapat dipakai untuk anestesia epidural lumbal, kaudal, blok pleksus brakialis, blok pleksus lumbosakral, serta jenis adjuvan yang dapat mempengaruhi atau membantu kerja obat analgetik lokal. f. Mampu melakukan monitor pasien dalam anestesia epidural lumbal, kaudal, blok pleksus brakialis, blok pleksus lumbosakral g. Mampu mengenali perubahan fisiologis yang terjadi pada anestesia epidural lumbal, blok kaudal, blok pleksus brakialis , blok pleksus lumbosakral dan penatalaksanaannya h. Mampu mengenali tanda- tanda dini komplikasi yang terjadi pada anestesia epidural lumbal, kaudal, blok pleksus brakialis, blok pleksus lumbosakral, melakukan pencegahan dan mengatasi komplikasi tersebut. i. Mampu melakukan pencabutan kateter epidural dengan benar terutama pada pasien yang mendapat terapi antikoagulan. Komunikasi/Hubungan interpersonal a. Mampu menjelaskan kepada pasien atau keluarga pasien tentang kondisi pasien preoperatif manfaat dan risiko tindakan anestesia epidural, kaudal, blok pleksus brakialis, blok pleksus lumbosakral untuk memperoleh persetujuan setelah mendapat informasi (informed consent). b. Mampu menjelaskan kepada sejawat senior atau konsulen tentang kondisi pasien untuk kemungkinan pemeriksaan tambahan, pemberian obat-obatan atau upaya optimalisasi kondisi pasien. c. Mampu berkomunikasi dengan sejawat operator tentang kondisi pasien sebelum,

211

selama dan sesudah operasi, terutama bila terjadi keadaan yang tidak diinginkan, untuk kerjasama dalam penatalaksanaan pasien. d. Mampu memberikan kepercayaan pada pasien tentang rasa tidak nyaman yang dapat timbul, penanggulangan nyeri dan penatalaksanaan pascabedah. Profesionalisme a. Mampu bekerja sesuai prosedur dengan efisien. b. Mampu memberikan kemudahan kepada operator saat operasi. c. Mampu berinteraksi dengan sejawat lain maupun tenaga paramedis dan tenaga medis lain atas dasar menghargai kompetensi masing-masing. d. Mampu memahami, memberikan penjelasan kepada pasien atau keluarganya tentang kondisi pasien sesuai hak pasien KEYNOTES: 1. Spinal, epidural dan kaudal blok juga disebut sebagai Neuroaksial anestesia. Setiap blok ini dapat dilakukan dengan suntikan tunggal atau dengan kateter sehingga dapat dilakukan pemberian secara intermiten atau kontinyu. 2. Melakukan tusukan lumbal (subarahnoid) harus di bawah L1 pada dewasa (L3 pada anak) untuk menghindari kemungkinan trauma oleh jarum pada medula spinalis. 3. Tempat kerja utama blok neuroaksial adalah pada radiks saraf. 4. Terdapat perbedaan blokade pada blokade simpatis (sensitivitas temperatur) 2 segmen lebih tinggi dari blok sensori (nyeri, raba halus), dan 2 segmen lebih tinggi daripada blokade motorik. Sensori 2 segmen lebih tinggi dari motorik. 5. Interupsi transmisi eferen autonom pada radiks saraf spinalis dapat menimbulkan blokade simpatis dan parasimpatis. 6. Blokade neuroaksial dapat menurunkan tekanan darah yang disertai penurunan denyut jantung dan kontraksi jantung. 7. Efek kardiovaskular yang berbahaya harus diantisipasi untuk mengurangi derajat hipotensi. Pengisian dengan volume 10-20 ml/kg intravena pada pasien sehat untuk mengkompensasi pooling vena. 8. Bradikardia harus diterapi dengan sulfas atropin, dan hipotensi diterapi dengan vasopresor.

212

9. Indikasi-kontra neuroaksial blokade adalah pasien menolak, gangguan perdarahan, hipovolemia berat, peningkatan tekanan intrakranial, infeksi di tempat suntikan, penyakit katup jantung stenosis berat atau obstruksi outflow ventricular. 10. Untuk anestesia epidural, hilangnya tahanan yang tiba-tiba menunjukkan jarum masuk rongga epidural. Untuk analgesia spinalditandai dengan keluarnya likuor serebrospinalis. 11. Epidural anestesia adalah suatu teknik neuroaksial yang tempat pemasangannya mempunyai rentang yang lebih luas daripada Spinal Anestesia. Epidural blok dapat dilakukan pada level lumbal, toraksal, servikal. 12. Epidural teknik digunakan secara luas untuk anestesia operasi, obstetri analgesia, penatalaksanaan nyeri pascabedah, penatalaksanaan nyeri kronis. 13. Mula kerjaepidural anestesia lebih lambat dibandingkan dengan spinal anestesia.

(10-20 menit), dan kurang dalam

14. Kuantitas (volume dan konsentrasi) obat analgetik lokal yang diperlukan untuk epidural anestesia lebih banyak dibandingkan dengan spinal anestesia. Toksisitas yang nyata dapat terjadi bila jumlah tersebut disuntikan intratekal atau intravena. Panduan yang aman adalah gunakan test dose dan berikan secara incremental. 15. Epidural kaudal anestesia adalah salah satu teknik regional anestesia yang sering digunakan pada pasien pediatrik. GAMBARAN UMUM Untuk dapat melakukan analgesia regional spinal atau epidural lumbal/epidural kaudal diperlukan pengetahuan dan keterampilan dalam anatomi, farmakologi obat, komplikasi akibat obat anestetik, pemasangan alat, dan komplikasi akibat perubahan fisiologis yang besar.

TUJUAN PEMBELAJARAN Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu melakukan:

1. Anestesia epidural lumbal 2. Blok kaudal

213

3. Blok pleksus brakialis pendekatan interskalenus dan aksilaris 4. Blok pleksus lumbosakral : blok siatik, blok femoralis, blok poplitea

METODE PEMBELAJARAN -

Kuliah Persiapan Anestesia Epidural , Blok Kaudal, Blok Pleksus Brakialis, Blok Pleksus lumbosakral dilakukan pada semester 3 Pelatihan di skill lab anestesia epidural lumbal dan blok kaudal pada manikin epidural dilakukan semester 3 Pelatihan di skill lab dengan sukarelawan untuk menggambar penunjuk anatomi blok pleksus brakialis dan blok pleksus lumbosakral Pelatihan di kamar bedah anestesia epidural lumbal, blok kaudal, blok pleksus brakialis dan blok pleksus lumbosakral pada pasien dilakukan semester 3 dan selanjutnya terintegrasi dengan rotasi lainnya, dengan bimbingan dan pengawasan staf pengajar. Diskusi dan laporan tentang problema yang timbul pada anestesia epidural lumbal , blok kaudal, blok pleksus brakialis dan blok pleksus lumbosakral sesuai sasaran pembelajaran. Kuliah partisipatif Tugas tulisan (tinjauan pustaka) dan tugas baca Laporan kasus Diskusi kelompok Demonstrasi dan bedside teaching Tutorial individual

MEDIA -

Papan tulis Komputer LCD dan slide projector Pasien di kamar bedah. Sukarelawan

ALAT BANTU PEMBELAJARAN -

Manikin anestesia epidural

EVALUASI Pre-tes 1.Jelaskan anatomi tulang belakang dan rongga epidural

2. Jelaskan anatomi regio sakralis, hiatus sakralis dan variasinya 3. Jelaskan anatomi dan dermatom, osteotom, miotom yang disarafi pleksus brakialis dan cabang- cabangnya

214

4. Jelaskan anatomi dan dermatom, osteotom, miotom yang disarafi pleksus lumbosakral dan cabang- cabangnya Jelaskan perubahan fisiologi yang terjadi pada anestesia epidural Jelaskan perubahan fisiologi yang terjadi pada blok kaudal Jelaskan berbagai teori timbulnya tekanan negatif pada rongga epidural. Jelaskan mekanisme kerja obat analgetik lokal pada anestesia epidural, blok kaudal, blok pleksus brakialis dan blok pleksus lumbosakral 9. Jelaskan persiapan preoperatif termasuk kunjugan preanestesia, pemilihan pasien yang sesuai dan melakukan identifikasi kelainan atau penyakit pasien yang akan mempengaruhi jalannya anestesia epidural, blok kaudal, blok pleksus brakialis dan blok pleksus lumbosakral 10. Jelaskan persiapan alat dan obat yang akan dipakai untuk anestesia epidural, blok kaudal, blok pleksus brakialis, dan blok pleksus lumbosakral . 11. Jelaskan prosedur tindakan anestesia epidural dan blok kaudal yang baik dan benar. 12. Jelaskan prosedur tindakan anestesia blok pleksus brakialis pendekatan interskalenus dan aksilaris dengan menggunakan nerve stimulator yang baik dan benar 13. Jelaskan prosedur tindakan anestesia blok pleksus lumbosakral : blok siatik, blok femoralis, blok poplitea dengan menggunakan nerve stimulator yang baik dan benar 14. Sebutkan beberapa cara penusukan jarum epidural 15. Jelaskan level ketinggian minimal dan yang diinginkan termasuk dermatom , osteotom, miotom yang dipengaruhinya untuk anestesia epidural, blok kaudal, blok pleksus brakialis, blok pleksus lumbosakral untuk masing-masing tindakan operasi yang akan dilakukan. 16. Jelaskan indikasi dan indikasi-kontra tindakan anestesia epidural, blok kaudal, blok pleksus brakialis (interskalenus dan aksilaris), blok pleksus lumbosakral (siatik, femoral, poplitea) 17. Sebutkan dan jelaskan jenis obat, dosis, konsentrasi, pengenceran, mula kerja, lama kerja obat analgetik lokal yang dapat dipakai untuk anestesia epidural, blok kaudal, blok pleksus brakialis (interskalenus, aksilaris) dan blok pleksus lumbosakral (siatik, femoral, poplitea) serta jenis adjuvan yang dapat mempengaruhi atau membantu kerja obat analgetik lokal. 18. Jelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi mula dan masa kerja, penyebaran obat, penyebaran dan intensitas blok anestesia epidural, blok kaudal, blok pleksus brakialis, blok pleksus lumbosakral . 19. Jelaskan komplikasi yang dapat terjadi pada anestesia epidural, blok kaudal, blok pleksus brakialis (interskalenus , aksilaris), blok pleksus lumbosakral (siatik, femoralis, poplitea), tanda –tanda dan gejala, cara mencegah dan mengatasi komplikasi tersebut.

5. 6. 7. 8.

Kognitif

-

EMQ (Extended Medical Question) Multiple observation and assessments Multiple observers OSCE (Objective Structure Clinical Examination) Minicheck

-

Multiple observation and assessments

Skill

215

-

Multiple observers OSCE (Objective Structure Clinical Examination) Minicheck Communication and Interpersonal Skills

-

Multiple observation and assessments Multiple observers Profesionalisme

-

Multiple observation and assessments Multiple observers Pengetahuan

-

MCQ (pre-tes) EMQ (Extended Medical Question)

Daftar Cek Penuntun Belajar Anestesia Epidural Lumbal Teknik Loss of Resistance N o

Prosedur Epidural

Anestesia

Blok

(pendekatan cara midline)

Sudah dikerjakan

Belum dikerjakan

PERSIAPAN PRA ANESTESIA 1

Informed consent

2

Pemeriksaan fisis dan lab

3

Pemeriksaan tambahan PROSEDUR EPIDURAL

ANESTESIA

1

Periksa kesiapan alat resusitasi) dan obat resusitasi) yang diperlukan

(epidural, (epidural,

2

Siapkan kelengkapan tindakan untuk asepsis dan antisepsis

3

Pasang monitor Standard pada pasien dan amati tanda vital pasien

4

Pasang jalur intravena pada pasien,

216

premedikasi bila perlu 5

Posisikan pasien lateral dekubitus atau duduk, ganjal bahu dan kepala pasien bila diposisikan lateral dekubitus.

6

Tentukan penunjuk anatomi celah antara L2-3, L3-4 atau L4-5. Celah antara L3-4 atau prosesus spinosus L4 tegak lurus dari spina iliaka anterior superior.

7

Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada penunjuk anatomi yang ditentukan.

8

Berikan analgesia lokal pada celah yang akan dilakukan penusukan jarum Tuohy

9

Lakukan penusukan jarum Tuohy pada celah yang telah diberi analgesia lokal sampai jarum Tuohy terfiksasi di ligamentum. Penusukan jarum harus sejajar dengan prosesus spinosus atau sedikit membentuk sudut kearah sefalad, dengan arah bevel ke lateral atau sefalad. Cabut stilet dan hubungkan jarum dengan semprit yang berisi NaCl 0,9%.

10

Dengan tangan nondominan menahan jarum pada punggung pasien, tangan dominan mendorong maju jarum Tuohy pelan sambil menekan plunger semprit sampai ujung distal jarum epidural sampai di ruang epidural yang ditandai dengan adanya loss of resistance.

11

Cabut semprit dan kateter epidural dimasukkan sampai ujung kateter melewati ujung jarum epidural

10

Cabut jarum epidural sambil mendorong kateter epidural sedemikian sehingga kateter tidak ikut tercabut

217

11

Pastikan kateter epidural yang masuk ke ruang epidural sepanjang lebih kurang 4 sm (fiksasi di kulit : kedalaman ruang epidural + 4 sm)

12

Sambungkan kateter dengan filter yang sudah diisi NaCl0,9%. . Aspirasi untuk memastikan kateter tidak masuk ruang subarahnoid. Fiksasi kateter, tutup dengan kasa steril/ tegaderm.

13

Lakukan test dose untuk memastikan ujung kateter tidak terletak di ruang subarahnoid atau intravaskular

14

Masukkan analgesia lokal dengan pelan dan aspirasi sering

15

Cara penyuntikkan paramedian pada dasarnya sama seperti di atas, hanya jarum Tuohyl disuntikkan pada 1,5 sm lateral dan 1sm kaudal dari celah penyuntikkan yang dituju. Cara hanging drop pada dasarnya sama dengan teknik loss of resistance hanya identifikasi ruang epidural dilakukan dengan cara mengamati tertariknya tetesan Nacl o,9% pada hub jarum Tuohy oleh tekanan negatif ruang epidural DURANTE EPIDURAL

ANESTESIA

1

Monitor ABC, intensitas blok

ketinggian

blok,

2

Amati perubahan fisiologis terjadi, pencegahan penatalaksanaannya

yang dan

3

Komplikasi yang terjadi, pencegahan dan penatalaksanaannya

4

Penatalaksanaan bila blok tidak adekuat

5

Topping-up

dose

bila

pembedahan

218

berlangsung lama 6

Monitor kenyamanan pasien dan penatalaksanaan rasa tidak nyaman pasien PASCABEDAH

1

Monitor ABC , intensitas blok di ruang pulih

2

Pasien dikembalikan ke ruang rawat

3

Pencabutan kateter epidural

3

Komplikasi yang terjadi, pencegahan dan penatalaksanaan

Daftar Cek Penuntun Belajar Blok Kaudal N o

Prosedur Kaudal

Anestesia

Blok Sudah dikerjakan

Belum dikerjakan

PERSIAPAN PRA ANESTESIA 1

Informed consent

2

Pemeriksaan fisis dan lab

3

Pemeriksaan tambahan PROSEDUR BLOK KAUDAL 1

Periksa kesiapan alat (blok kaudal, resusitasi) dan obat yang diperlukan

2

Siapkan kelengkapan tindakan untuk asepsis dan antisepsis

3

Pasang monitor Standard pada pasien dan amati tanda vital pasien

4

Pasang jalur intravena pada pasien, premedikasi bila perlu

5

Posisikan pasien pada posisi Sims

6

Identifikasi kornu sakralis dan SIPS

219

7

Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada penunjuk anatomi yang ditentukan.

8

Berikan analgesia lokal pada kulit di atas kornu sakralis

9

Lakukan penusukan jarum kateter intravena / Tuohy dengan sudut 45 derajat dengan sakrum di antara kedua kornu sakralis, setelah jarum dirasakan melalui membran sakrakoksigeal atau kontak dengan bagian ventral kanalis sakralis, jarum ditarik beberapa mm dari periosteum, diturunkan 5 sampai 15 derajat, dan kateter diteruskan masuk beberapa mm (bayi/anak ) atau sm (dewasa). Perhatikan ujung jarum tidak melewati garis imajiner yang menghubungkan kedua SIPS

10

Cabut stilet jarum kateter intravena/ Tuohy

11

Hubungkan semprit berisi NaCl0,9% dengan hub kateter/ Tuohy, aspirasi , bila negatif, injeksikan sambil merasakan loss of resistance ruang epidural dan meraba tidak adanya penyuntikan intramuskular/ subkutan

13

Lakukan test dose untuk memastikan ujung jarum tidak terletak di ruang subarahnoid atau intravaskular

14

Masukkan analgesia lokal dengan pelan dan aspirasi sering sambil tangan non dominan meraba regio sakrum DURANTE BLOK KAUDAL

1

Monitor ABC, intensitas blok

ketinggian

blok,

2

Amati perubahan fisiologis terjadi, pencegahan penatalaksanaannya

yang dan

220

3

Komplikasi yang terjadi, pencegahan dan penatalaksanaannya

4

Penatalaksanaan bila blok tidak adekuat

5

Penatalaksanaan pasien bila ada

ketidaknyamanan

PASCABEDAH 1

Monitor ABC di ruang pulih

2

Pasien dikembalikan ke ruang rawat

3

Komplikasi yang terjadi, pencegahan dan penatalaksanaan

Daftar Cek Penuntun Belajar Blok Interskalenus Pleksus Brakialis N o

Prosedur Anestesia Blok Interskalenus Pleksus Brakialis

Sudah dikerjakan

Belum dikerjakan

PERSIAPAN PRA ANESTESIA 1

Informed consent

2

Pemeriksaan fisis dan lab

3

Pemeriksaan tambahan PROSEDUR INTERSKALENUS

BLOK

1

Periksa kesiapan alat (blok perifer, resusitasi) dan obat (blok perifer, resusitasi) yang diperlukan dan cek kesiapan alat

2

Siapkan kelengkapan tindakan untuk asepsis dan antisepsis

3

Pasang monitor Standard pada pasien dan amati tanda vital pasien

4

Pasang jalur intravena pada ekstremitas

221

lain yang tidak diblok 5

Premedikasi bila perlu

6

Posisikan pasien dengan kepala pasien miring ke arah sisi yang tidak diblok

7

Gambar penunjuk anatomi blok interskalenus : bagian posterior otot sternokleidomastoideus pars klavikularis, vena jugularis eksterna,dan klavikula. Raba otot skalenus anterior dan medial di bagian posterior otot sternokleidomastoideus pars klavikula, di dekat vena jugularis eksterna

8

A dan antisepsis daerah penyuntikan

9

Analgesia lokal daerah penyuntikan

10

Jarum simulator 2 inci dihubungkan dengan nerve stimulator, dengan arus 1,5 mA, disuntikkan pada daerah antara otot skalenus anterior dan medial dengan arah sedikit kaudal dan posterior. Perhatikan jarum jangan masuk lebih dari 2sm

11

Amati adanya respons positif berupa twitch otot deltoid, lengan atas , lengan bawah atau tangan. Kecilkan arus sampai didapat twitch adekuat dengan arus 0,2 -0,4 mA. Sesuaikan posisi jarum bila perlu.

12

Hubungkan semprit berisi analgesia lokal dengan jarum simulator. Aspirasi dan injeksikan analgesia lokal secara pelan dan aspirasi sering DURANTE INTERSKALENUS BRAKIALIS

1

BLOK PLEKSUS

Monitor ABC, intensitas blok dan dermatom, osteotom, miotom yang terblok

222

2

Penatalaksanaan rasa tidak nyaman pasien selama blok interskalenus pleksus brakialis

3

Komplikasi yang terjadi, pencegahan dan penatalaksanaannya

4

Penatalaksanaan bila blok tidak adekuat PASCABEDAH

1

Monitor ABC di ruang pulih

2

Pasien dikembalikan ke ruang rawat

3

Komplikasi komplikasi

dan

penatalaksanaan



Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda

Daftar Cek Penuntun Belajar Blok Aksilaris Pleksus Brakialis N o

Prosedur Anestesia Blok Aksilaris Pleksus Brakialis

Sudah dikerjakan

Belum dikerjakan

PERSIAPAN PRA ANESTESIA 1

Informed consent

2

Pemeriksaan fisis dan lab

3

Pemeriksaan tambahan PROSEDUR INTERSKALENUS

BLOK

1

Periksa kesiapan alat (blok perifer , resusitasi)dan obat yang diperlukan dan cek kesiapan alat

2

Siapkan kelengkapan tindakan untuk

223

asepsis dan antisepsis 3

Pasang monitor Standard pada pasien dan amati tanda vital pasien

4

Pasang jalur intravena pada ekstremitas lain yang tidak diblok

5

Premedikasi bila perlu

6

Posisikan pasien dengan kepala pasien miring ke arah sisi yang tidak diblok, dan lengan yang akan diblok abduksi dan fleksi di sendi siku sehingga aksila terekspos

7

Raba denyut arteri aksilaris pada lengan yang akan diblok

8

A dan antisepsis daerah penyuntikan

9

Analgesia lokal daerah penyuntikan

10

Jarum simulator 2 inch dihubungkan dengan nerve stimulator, dengan arus 1,5 mA, disuntikkan pada daerah di atas denyut arteri aksilaris

11

Amati adanya respons twitch tangan. Kecilkan arus sampai didapat twitch adekuat dengan arus 0,2 -0,4 mA. Sesuaikan posisi jarum bila perlu.

12

Hubungkan sempri tberisi analgesia lokal dengan jarum simulator. Aspirasi dan injeksikan analgesia lokal secara pelan dan aspirasi sering

13

Bila perlu dapat dicari respons motorik nervus medianus, ulnaris, radialis satu persatu. DURANTE BLOK AKSILARIS PLEKSUS BRAKIALIS

1

Monitor ABC , intensitas dan dermatom, osteotom , miotom yang terblok

224

2

Penatalaksanaan rasa tidak nyaman pasien selama blok interskalenus pleksus brakialis

3

Komplikasi yang terjadi, pencegahan dan penatalaksanaannya

4

Penatalaksanaan bila blok tidak adekuat PASCABEDAH

1

Monitor ABC di ruang pulih

2

Pasien dikembalikan ke ruang rawat

3

Komplikasi komplikasi

dan

penatalaksanaan

Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda



Daftar Cek Penuntun Belajar Blok Siatik Pleksus Sakralis N o

Prosedur Anestesia Blok Siatik Pleksus Sakralis

Sudah dikerjakan

Belum dikerjakan

PERSIAPAN PRA ANESTESIA 1

Informed consent

2

Pemeriksaan fisis dan lab

3

Pemeriksaan tambahan PROSEDUR BLOK PLEKSUS SAKRALIS

SIATIK

1

Periksa kesiapan alat (blok perifer, resusitasi)dan obat yang diperlukan dan cek kesiapan alat

2

Siapkan kelengkapan tindakan untuk

225

asepsis dan antisepsis 3

Pasang monitor Standard pada pasien dan amati tanda vital pasien

4

Pasang jalur intravena pada ekstremitas lain yang tidak diblok

5

Premedikasi bila perlu

6

Posisikan pasien dengan posisi lateral sedikit jatuh ke ventral dengan tungkai yang akan diblok di sebelah atas, dengan fleksi sendi panggul dan lutut

7

Gambar penunjuk anatomi blok siatik : 4 sm dari pertengahan garis yang menghubungkan SIPS dan trokanter mayor

8

A dan antisepsis daerah penyuntikan

9

Analgesia lokal daerah penyuntikan

10

Jarum simulator 4 inch dihubungkan dengan nerve stimulator, dengan arus 1,5 mA, disuntikkan dengan arah tegak lurus semua plana.

11

Amati adanya respons twitch otot hamstring, betis atau kaki. Kecilkan arus sampai didapat twitch adekuat dengan arus 0,2 -0,4 mA. Sesuaikan posisi jarum bila perlu.

12

Hubungkan semprit berisi analgesia lokal dengan jarum simulator. Aspirasi dan injeksikan analgesia lokal secara pelan dan aspirasi sering DURANTE BLOK PLEKSUS SAKRALIS

SIATIK

1

Monitor ABC , intensitas dan dermatom, osteotom , miotom yang terblok

2

Penatalaksanaan rasa tidak nyaman pasien selama blok

226

3

Komplikasi yang terjadi, pencegahan dan penatalaksanaannya

4

Penatalaksanaan bila blok tidak adekuat PASCABEDAH

1

Monitor ABC di ruang pulih

2

Pasien dikembalikan ke ruang rawat

3

Komplikasi komplikasi

dan

penatalaksanaan

Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda



Daftar Cek Penuntun Belajar Blok Femoralis Pleksus Lumbalis N o

Prosedur Anestesia Blok Femoralis Pleksus Lumbalis

Sudah dikerjakan

Belum dikerjakan

PERSIAPAN PRA ANESTESIA 1

Informed consent

2

Pemeriksaan fisis dan lab

3

Pemeriksaan tambahan PROSEDUR BLOK FEMORALIS PLEKSUS LUMBALIS 1

Periksa kesiapan alat (blok perifer, resusitasi) dan obat yang diperlukan dan cek kesiapan alat

2

Siapkan kelengkapan tindakan untuk asepsis dan antisepsis

3

Pasang monitor Standard pada pasien dan amati tanda vital pasien

227

4

Pasang jalur intravena pada ekstremitas lain yang tidak diblok

5

Premedikasi bila perlu

6

Posisikan pasien supine

7

Gambar penunjuk anatomi blok femoralis : lipatan inguinal dan denyut arteri femoralis

8

A dan antisepsis daerah penyuntikan

9

Analgesia lokal daerah penyuntikan

10

Jarum simulator 2 inci dihubungkan dengan nerve stimulator, dengan arus 1,5 mA, disuntikkan dengan arah hampir tegak lurus tepat di sebelah denyut arteri femoralis

11

Amati adanya respons twitch otot kuadriseps femoris .Kecilkan arus sampai didapat twitch adekuat dengan arus 0,2 -0,4 mA. Sesuaikan posisi jarum bila perlu.

12

Hubungkan semprit berisi analgesia lokal dengan jarum stimulator. Aspirasi dan injeksikan analgesia lokal secara pelan dan aspirasi sering DURANTE BLOK FEMORALIS PLEKSUS LUMBALIS

1

Monitor ABC , intensitas dan dermatom, osteotom , miotom yang terblok

2

Penatalaksanaan rasa tidak nyaman pasien selama blok

3

Komplikasi yang terjadi, pencegahan dan penatalaksanaannya

4

Penatalaksanaan bila blok tidak adekuat PASCABEDAH

228

1

Monitor ABC di ruang pulih

2

Pasien dikembalikan ke ruang rawat

3

Komplikasi komplikasi

dan

penatalaksanaan

Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda



Daftar Cek Penuntun Belajar Blok Poplitea Pleksus Sakralis No

Prosedur Anestesia Pleksus Sakralis

Blok

Poplitea

(pendekatan posterior)

Sudah dikerjakan

Belum dikerjakan

PERSIAPAN PRA ANESTESIA 1

Informed consent

2

Pemeriksaan fisis dan lab

3

Pemeriksaan tambahan PROSEDUR BLOK POPLITEA PLEKSUS SAKRALIS 1

Periksa kesiapan alat (blok perifer, resusitasi) dan obat yang diperlukan dan cek kesiapan alat

2

Siapkan kelengkapan tindakan untuk asepsis dan antisepsis

3

Pasang monitor Standard pada pasien dan amati tanda vital pasien

4

Pasang jalur intravena pada ekstremitas lain yang tidak diblok

5

Premedikasi bila perlu

6

Posisikan pasien dengan posisi prone

7

Gambar penunjuk anatomi blok poplitea : 8 sm dari lipatan poplitea ke arah kaudal di pertengahan tendon otot semi membranosus

229

dan otot biseps femoris 8

A dan antisepsis daerah penyuntikan

9

Analgesia lokal daerah penyuntikan

10

Jarum simulator 4 inch dihubungkan dengan nerve stimulator, dengan arus 1,5 mA, disuntikkan dengan arah tegak lurus

11

Amati adanya respons twitch otot kaki. Kecilkan arus sampai didapat twitch adekuat dengan arus 0,2 -0,4 mA. Sesuaikan posisi jarum bila perlu.

12

Hubungkan semprit berisi analgesia lokal dengan jarum simulator. Aspirasi dan injeksikan analgesia lokal secara pelan dan aspirasi sering DURANTE BLOK POPLITEA PLEKSUS SAKRALIS

1

Monitor ABC, intensitas dan osteotom, miotom yang terblok

dermatom,

2

Penatalaksanaan rasa tidak nyaman pasien selama blok

3

Komplikasi yang terjadi, pencegahan dan penatalaksanaannya

4

Penatalaksanaan bila blok tidak adekuat PASCABEDAH

1

Monitor ABC di ruang pulih

2

Pasien dikembalikan ke ruang rawat

3

Komplikasi dan penatalaksanaan komplikasi

Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda



230

DAFTAR TILIK

Berikan tanda  dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan memuaskan, dan berikan tanda  bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak dilakukan pengamatan  Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur Standard atau penuntun 

Tidak memuaskan

Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan prosedur Standard atau penuntun

T/D

Tidak diamati

Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih selama penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik

Tanggal

Nama pasien

No Rekam Medis

DAFTAR TILIK No

Kegiatan / langkah klinis

Kesempatan ke 1

2

3

4

5

231

DAFTAR TILIK No

Kesempatan ke

Kegiatan / langkah klinis

Peserta dinyatakan :

1

2

3

4

5

Tanda tangan pelatih

 Layak  Tidak layak melakukan prosedur Tanda tangan dan nama terang

MATERI ACUAN Lumbal Epidural Anestesia Dapat dilakukan dengan menyuntikkan obat analgetik lokal di ruangan epidural di daerah lumbal. Penusukan dapat dilakukan di daerah toraksal. Tetapi umumnya di bawah L2, mengingat pada L2 adalah akhir medula spinalis. Hal ini untuk mengurangi risiko kesalahan penusukan yang terlalu dalam sehingga menembus medula spinalis. Indikasi dan indikasi-kontra : Sama seperti spinal anestesia. Bila dibandingkan keuntungan dan kerugian epidural

232

anestesia dibandingkan dengan spinal anestesia, maka : Keuntungan Analgesia spinaladalah : a) Obat analgetik lokal yang dipakai lebih sedikit. b) Waktu yang diperlukan untuk mendapatkan blokade yang adekuat lebih singkat. c) Level anestesia lebih pasti. d) Teknik lebih mudah. Keuntungan Epidural Anestesia adalah : a) Bisa anestesia segmental. b) Tidak terjadi sakit kepala pascabedah. c) Hipotensi lambat terjadinya. d) Efek motorik lebih rendah. e) Dapat dipertahankan untuk 1-2 hari dengan memakai kateter untuk terapi sakit pascabedah.

Kerugian Epidural Anestesia dibandingkan dengan Analgesia spinal: a) Teknik epidural anestesia lebih sulit daripada spinal anestesia. b) Karena ruangan epidural sangat vaskular dan diperlukan obat analgetik lokal yang lebih banyak, maka kemungkinan reaksi sistemis akibat absorbsi vaskular lebih besar. c) Bila ada kesalahan menusuk dura dan jarum masuk ke ruangan subarahnoid, lalu diberikan jumlah besar obat anestetik yang bisa menyebabkan henti nafas, hilangnya kesadaran, mungkin juga blokade simpatis yang menyeluruh. d) Diperlukan 5-10 kali lebih banyak obat untuk mencapai level anestesia yang diinginkan. Keuntungan Epidural Anestesia dibandingkan dengan Anestesia Umum : a) Sedikit mempengaruhi respirasi, maka epidural anestesia sangat menguntungkan untuk pasien-pasien dengan asma, bronkhitis, atau emfysema. b) Bisa diperoleh analgesia, relaksasi otot, dan usus. c) Dapat diberikan pada pasien yang tidak dapat menerima pelumpuh otot (misalnya miastenia gravis).

233

Anatomi : Duramater berakhir di ujung foramen magnum. Hal ini menguntungkan karena dapat mencegah masuknya obat analgetik lokal dari ruangan peridural ke ruangan otak. Kantong dura berakhir di S2, kira-kira 1sm di bawah dan medial dari level spina iliaka posterior superior. Ruangan epidural dibatasi oleh duramater di sebelah dalam, ligamentum flavum dan periosteum di sebelah luar. Ruangan epidural meluas mulai dari dasar kepala (foramen magnum) di mana terjadi fusi duramater dengan periosteum sampai koksigeus (membran sakrokoksigeal). Diameternya 0,5sm dan paling lebar di daerah L2. Jarak rata-rata antara kulit dengan ruangan epidural adalah 4-5sm. Ruangan epidural berisi jaringan pengikat, lemak, vena dan arteri serta pembuluh limfe dan saraf. Vena di sini berhubungan dengan vena di pelvis dan vena intrakranial, karena itu obat analgetik lokal atau udara yang disuntikkan ke fleksus venosus ini dapat langsung naik ke otak. Vena menjadi distensi pada keadaan batuk, mengedan atau gravida aterm, sehingga ruangan epidural ini mengecil pada gravida aterm.

Dosis obat analgetik lokal yang diperlukan untuk mencapai level tertentu dari obat berbeda-beda karena : --. Variasi ukuran ruangan epidural. --. Foramen intervertebralis libih permeabel pada orang muda daripada usia tua, maka pada pemberian dosis yang sama dapat menyebabkan blokade yang lebih tinggi pada orang tua.

Metode untuk menentukan ruangan epidural : 1. Metoda loss of resistance. 2. Metoda hanging drop. Pada metode loss of resistance, digunakan semprit yang diisi udara atau NaCl atau obat analgetik lokal. Ketika jarum menusuk ligamentum flavum, dirasakan ada tahanan; dan ketika menembus ligamentum flavum dan masuk ke ruangan epidural, kita akan merasakan sekonyongkonyong kehilangan tahanan. Bila digunakan udara, maka udara yang masuk ke ruangan epidural jangan melebihi 3ml. Dengan metoda hanging drop, maka tetesan air akan terisap ke ruangan epidural akibat tekanan negatif dalam ruangan epidural.

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran obat anetestik lokal dalam ruangan epidural adalah volume dan konsentrasi obat analgetik lokal. Untuk memblokade 4 segmen biasanya cukup dengan 10-15ml. Penambahan epinefrin 1/200.000 akan meningkatkan lama kerja obat. Kecepatan suntikan, posisi pasien sedikit mempengaruhi penyebaran obat, sedangkan berat jenis obat analgetik lokal tidak 234

memegang peranan. Cara-cara melakukan epidural anestesia : a) Seperti untuk spinal anestesia, posisi pasien bisa duduk atau miring. b) Tentukan land mark. c) Setelah tindakan a dan antiseptik, pada tempat yang akan disuntik beri lokal anestesia, misalnya dengan lidokain 1% sebanyak 2ml. d) Suntikkan jarum epidural; dan setelah menembus ligamen interspinal, cabut touchy-nya, dan pasang semprit10ml yang telah diisi udara / NaCl / obat analgetik lokal. e) Tentukan loss of resistance.

f) Masukkan kateter epidural 1-2sm dan fiksasi kateternya. g) Aspirasi, bila tidak ada darah atau likuor, masukkan obat analgetik lokal.

Test dose 3ml (10% dari dosis total), tunggu selama 5 menit untuk melihat apakah ada blokade subarahnoid. Kecepatan penyuntikan 1ml/detik dengan jumlah total obat analgetik lokal tidak melebihi 20ml.

Komplikasi : 1. Duramater tertusuk. --. Bisa terjadi high atau total analgesia spinalbila disuntikkan lebih dari 7ml obat analgetik lokal. --. Post spinal headache yang terjadi sekunder akibat kebocoran cairan serebrospinal.

2. Reaksi sistemik karena absorbsi yang cepat dari obat analgetik lokal dan epinefrin. Pasien mungkin mengeluh rasa pahit di lidah, sakit kepala berat, mendenging, iritabilitas, kejang-kejang, hipotensi, dan hilangnya kesadaran. Overdosis epinefrin bisa menyebabkan takikardia, tremor, hipertensi dan iskemia lokal pada medula spinalis.

Kaudal Anestesia Kaudal anestesia dapat diperoleh dengan menyuntikkan obat analgetik lokal melalui hiatus sakralis ke dalam ruangan epidural pada kanalis sakralis.

235

Indikasi Kaudal Anestesia : Indikasi dilakukan kaudal anestesia untuk operasi-operasi daerah perineal seperti haemoroid, fistula ani, dan kista bartolini Indikasi-kontra Kaudal Anestesia : Sama dengan epidural anestesia.

Kaudal Anestesia tidak memerlukan jarum khusus seperti spinal atau epidural lumbal. Kita bisa memakai semprit 20ml, 10ml, atau 5ml dengan jarum no. 21 atau 22. Pasien dalam posisi lateral atau telungkup dengan diganjal di daerah pubis. Cari penunjuk anatomi dengan meraba kornu sakralis kanan kiri, dan di antaranya adalah membran sakrokoksigeal Kerugian Kaudal Anestesia adalah : --. Sulit mencapai level anestesia yang tinggi. --. Masih bisa terjadi reaksi sistemik. --. Karena kelainan anatomi, kegagalannya bisa mencapai 5-10%. --. Komplikasi sama dengan epidural lumbal.

Referensi : 1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006 2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed. Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006 3. Hadzic Admir : Peripheral Nerve Block, 1st ed, 2006

236

MODUL 11.

ANESTESIA BEDAH ORTOPEDI I

Mengembangkan Kompetensi

Waktu

Sesi di dalam kelas

Rotasi pada Semester 1 dan 2 (total 8

Sesi dengan fasilitasi Pembimbing

pekan/2bulan)

Sesi praktek dan pencapaian kompetensi

Meliputi bedah ortopedi elektif tertentu, darurat dan trauma. Kompetensi didapat dengan pembelajaran teori dan praktek dilakukan utamanya di kamar bedah elektif dan darurat

PERSIAPAN SESI Audiovisual Aid: 1. LCD Proyektor dan layar 2. Laptop 3. OHP 4. Flipchart 5. Pemutar video Materi presentasi: CD PowerPoint Sarana: 1. Ruang belajar 2. Ruang pemeriksaan 3. Ruang Pulih 4. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut Kasus : pasien di ruang perawatan, kamar operasi, ruang pulih. Alat Bantu Latih

: Model anatomi /Simulator

Penuntun Belajar

: lihat acuan materi

Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik

237

Referensi : 1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006 2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed. Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006 Selain referensi wajib di atas, peserta didik dianjurkan untuk juga mempelajari referensi tambahan untuk modul PACU seperti yang diuraikan berikut ini: 1. Miller RD. Miller’s Anaesthesia 4th ed, 2005 2. Robert K. Stoelting. Pharmacology and Physiology in Anesthetic Practice . 2006

TUJUAN UMUM Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik akan mampu melakukan anestesia umum dengan sungkup atau LMA (inhalasi), TIVA, regional blok subarahnoid (SAB), untuk prosedur bedah ortopedi tertentu ( misalnya reposisi patah tulang tertutup, debridemen patah tulang terbuka, ORIF anggota gerak bawah, artroskopi sendi lutut, dll ), mencakup evaluasi pasien preoperatif, merancang pelaksanaan anestesia, pemantauan intra operatif, penatalaksanaan masa pulih dan penatalaksanaan nyeri pascabedah

238

TUJUAN KHUSUS Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kompetensi dalam ranah-ranah berikut ini :

Kognitif Pada akhir stase atau rotasi peserta akan mampu: 1. Menjelaskan tindakan anestesia umum dengan sungkup dan regional SAB, TIVA untuk operasi fraktur anggota gerak bawah, hip fracture, artroskopi, 2. Melakukan identifikasi problema preoperatif yang umum ditemukan pada pasien ortopedi dan membuat rencana anestesia yang tepat untuk prosedur bedah ortopedi yang paling sering . 3. Melakukan identifikasi dan penatalaksanaan problema-problema umum pada pasien trauma serta menjelaskan persiapan preoperatif untuk pembedahan darurat dan trauma, termasuk puasa dan penggunaan antasid, antagonis H2 dan antiemetik. 4. Merencanakan dan memilih obat anestetik inhalasi untuk prosedur anstesia umum dengan sungkup. 5. Menjelaskan farmakologi obat anestetik inhalasi . 6. Merencanakan dan memilih obat anestetik intravena. 7. Menjelaskan farmakologi obat anestetik intravena. 8. Merencanakan dan memilih alat dan obat analgetik lokal untuk semua prosedur analgesia regional, sesuai dengan lama, lokasi prosedur bedah, dan berat penyakit. 9. Menjelaskan farmakologi analgetik lokal, termasuk hal khusus yang menentukan onset, durasi , potensi dan toksisitas. 10. Melakukan identifikasi dan mengatasi problema-problema yang dapat terjadi selama pembedahan, misalnya syok perdarahan. 11. Membahas topik topik spesifik dalam anestesia ortopedi, termasuk turnike pneumatik, emboluslemak, penyebab deep vein thrombosis, tromboemboli, pulmonary embolism. 12. Menjelaskan dampak dari penyakit-penyakit yang menyertai pasien ortopedi, seperti hipertensi, penyakit arteri koroner, rheumatoid arthritis, diabetes melitus, ankylosing spondylitis. 13. Menjelaskan dan membedakan penanggulangan nyeri dengan patient controlled analgesia (PCA), subarahnoid, analgesia lokal intra-artikular, non-steroidal antiinflammatory drugs (NSAIDs)

239

Psikomotor Pada akhir stase atau rotasi peserta harus mampu: 1. Memberikan anestesia umum dengan sungkup, analgesia spinal, dengan peralatan dan obat-obatan yang benar dan penatalaksanaan pasien intraoperatif dengan intervensi minimal supervisor. 2. Memberikan anestesia yang benar dan aman untuk: a. debridemen fraktur terbuka anggota gerak bawah b. reposisi tertutup fraktur atau dislokasi anggota gerak. c. ORIF fraktur tulang panjang anggota gerak bawah d. total knee arthroplasty

Komunikasi Pada akhir stase peserta akan : 1. Mengetahui pembuatan rencana bersama anestesia-bedah untuk prosedur-prosedur sebelum masuk kamar operasi. 2. Mampu menjelaskan kepada pasien atau keluarga pasien untuk memperoleh persetujuan setelah mendapatkan informasi tentang manfaat dan risiko anestesia. 3. Mengetahui kebutuhan-kebutuhan untuk mendukung prosedur anestesia, seperti analgesia regional dan monitor selama tindakan anestesia dan pembedahan. 4. Menjamin kebutuhan tenaga untuk dapat mengatur posisi pasien atau memindahkan pasien 5. Mampu menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang kebutuhan dan manfaat dari analgetika. 6. Mengetahui kebutuhan antibiotika untuk pasien 7. Mampu untuk menentukan berapa kebutuhan darah untuk operasi ortopedi tertentu. 8. Mampu membicarakan bersama (diskusi) dengan sejawat bagian bedah kemungkinankemungkinan yang terjadi dari prosedur bedah yang akan dilakukan. 9. Mampu mengkomunikasikan komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi mengikuti prosedur yang dijalankan, seperti terjadinya emboluslemak, tromboembolusdll. 10. Mengetahui lama pemasangan turnike.

240

Profesionalisme Pada akhir stase peserta harus 1. 2. 3. 4. 5.

Mengetahui rencana pembedahan Mampu melakukan tindakan anestesia yang dipilih sesuai prosedur baku. Mampu memberi kemudahan untuk prosedur bedah Mampu mengkomunikasikan problema problema pasien kepada ahli bedah. Mampu mengetahui dan mengatasi problema-problema yang terjadi pada saat maupun pasca pembedahan. 6. Mampu menciptakan kemudahan perawatan di Post Anesthesia Care Unit (PACU) 7. Mampu mengatasi nyeri pascabedah dengan pemberian analgesia yang optimal.

KEYNOTES: 1. Manifestasi klinis sindroma implantasi semen tulang mencakup hipoksia (peningkatan pintas paru), hipotensi, disritmia (termasuk blok dan henti jantung), hipertensi pulmonal ( peningkatan resistensi pembuluh darah paru) dan penurunan curah jantung. 2. Turnike pneumatik sering dipergunakan pada bedah artroskopi lutut untuk mendapatkan lapangan operasi yang bersih (bloodless) yang memfasilitasi pembedahan. Walaupun turnike terkait dengan problema yang potensial yang mencakup, perubahan hemodinamik, nyeri, gangguan metabolik, tromboembolusarteri, dan juga embolusparu. 3. Sindroma klasik emboluslemak terjadi dalam 24 jam setelah operasi tulang panjang, pelvik, dengan trias dispnea, konvulsi dan petikie. 4. Trombosis vena dalam (deep vein thrombosis/DVT)dan embolusparu dapat menjadi penyebab utama kesakitan dan kematian setelah operasi ortopedi pelvis dan tungkai bawah. 5. Anestesia neuroaksial atau kombinasi dengan anestesia umum dapat mengurangi komplikasi tromboembolus dengan beberapa mekanisme, meliputi terjadinya simpatektomi yang akan meningkatkan aliran darah vena ekstremitas bawah, efek anti inflamatori sistemik dari obat analgetik lokal, menurunkan reaktivitas platelet, mengurangi peningkatan faktor VIII dan von Willebrand pascabedah, mengurangi penurunan antitrombin III pascabedah, dan perubahan pelepasan stres hormon. 6. Pemasangan jarum atau kateter epidural (atau penarikannya) umumnya tidak dilakukan dalam 6-8 jam setelah pemberian dosis kecil subkutan dari unfractionated heparin, atau dalam 12-24 jam low molecular weight heparin. Walaupun kemungkinan trauma lebih kecil, analgesia spinaldapat mempunyai risiko yang sama.

GAMBARAN UMUM 241

Untuk dapat memberikan anestesia pada operasi ortopedi diperlukan pengetahuan dan keterampilan dalam memahami prosedur pembedahan ortopedi, terapi cairan, penatalaksanan nyeri pascabedah, penggunaan turnike pneumatik, memahami patofisiologi emboluslemak, rematoid artritis, profilaksis deep vein thrombosis (DVT), tromboembolusdan embolusparu, serta hubungan antara analgesia regional dan antikoagulan.

TUJUAN PEMBELAJARAN Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu melakukan anestesia untuk operasi ortopedi berupa tindakan anestesia umum dengan sungkup atau LMA, analgesia regional untuk , anestesia dengan TIVA, memahami prosedur pembedahan ortopedi, terapi cairan, penatalaksanan nyeri pascabedah, penggunaan turnike pneumatik, memahami patofisiologi emboluslemak, reumatoid artritis, profilaksis deep vein thrombosis (DVT), tromboembolusdan embolusparu, serta hubungan antara analgesia regional dan antikoagulan.

METODE PEMBELAJARAN

Proses pembelajaran dilaksanakan melalui metode: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Integrated, Independen, dan pembelajaran berdasarkan problema. Kuliah perkenalan Diskusi kelompok keciland feed back Peer assisted learning (PAL) Bedside teaching, problema penatalaksanaan pasien Simulasi pasien, skenario, pajangan dll Task-based medical education.

Peserta didik paling tidak sudah harus mempelajari: 1. Bahan acuan (references) 2. Ilmu dasar yang berkaitan dengan topik pembelajaran Penuntun belajar (learning guide) terlampir Tempat belajar (training setting), kamar bedah elektif, kamar bedah darurat, Post Anesthetic Care Unit (PACU). 242

MEDIA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Kuliah Belajar mandiri Kursus / Pelatihan Grup diskusi Visite, bed site teaching PACU Bimbingan di kamar bedah. Kasus morbiditas dan mortalitas Continuing Profesional Development (CPD)

ALAT BANTU PEMBELAJARAN 1. 2. 3. 4.

Virtual patients Reading assigment Audiovisual Perpustakaan, internet, skill lab

EVALUASI 1. Kognitif : EMQ (Extended Medical Question) Multiple observations and assessments Multiple observers/raters OSCE (Objective Structure Clinical Examination) Minicheck 2. Skill/psikomotor : Multiple observations and assessments Multiple observers

243

OSCE Minicheck 3. Communication and Interpersonal Skills Multiple Observations and assessments Multiple observers/rater 4. Profesionalisme Multiple Observations and assessments Multiple observers/rater Pre tes: 1. Jelaskan tentang teknik anestesia umum atau lokal atau regional untuk prosedur bedah ortopedi rawat jalan dan rawat inap. 2. Jelaskan tentang teknik anestesia blok subarahnoid (SAB). 3. Jelaskan tentang pemberian terapi cairan selama dan pasca pembedahan 4. Jelaskan pemberian transfusi darah dan komponen darah 5. Jelaskan tentang dampak turnike pneumatik. 6. Jelaskan tentang embolus lemak, trombosis vena dalam, embolus paru 7. Jelaskan tentang penanggulangan nyeri pascabedah ortopedi

Bentuk Ujian : 1. Ujian pre-tes : MCQ, ujian esai dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan. 2. Ujian akhir rotasi (postes tulis dan ujian pasien) 3. Ujian akhir profesi (lisan/ujian nasional)

Bisa dalam bentuk : 1.Kognitif - EMQ (Extended Medical Question) - Multiple observation and assessments - Multiple observers - OSCE (Objective Structure Clinical Examination) - Minicheck 20. Skill/psikomotor 244

- Multiple observation and assessments - Multiple observers - OSCE (Objective Structure Clinical Examination) - Minicheck 21. Affective : Profesionalisme, Communication and Interpersonal Skills - Multiple observation and assessments - Multiple observers

DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR ANESTESIA

Tindakan / operasi :

No Daftar cek penuntun belajar prosedur anestesia

Sudah dilakukan

Belum dilakukan

PERSIAPAN PRA ANESTESIA 1

Anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang

2

Penentuan ASA :

3

Persiapan alat, mesin pembiusan, STATIK, obat

4

Pemasangan monitor ANESTESIA

1

Anestesia umum (intubasi, LMA)

2

Anestesia subarahnoid

3

Anestesia intravena

4

Pemberian cairan dan transfusi

5

Komplikasi dan penanganannya PENATALAKSANAAN PASCABEDAH

1

Pengawasan ABC dan tanda vital

2

Penanganan mual muntah dan nyeri pascabedah

245

Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda (√ )

DAFTAR TILIK

Berikan tanda  dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan memuaskan, dan berikan tanda  bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak dilakukan pengamatan  Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur Standard atau penuntun  Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan memuaskan prosedur Standard atau penuntun T/D Tidak Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih diamati selama penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik

Tanggal

Nama pasien

No Rekam Medis

DAFTAR TILIK No

Kegiatan / langkah klinis

Kesempatan ke 1

2

3

4

5

246

DAFTAR TILIK No

Kesempatan ke

Kegiatan / langkah klinis

Peserta dinyatakan :

1

2

3

4

5

Tanda tangan pelatih

 Layak  Tidak layak Melakukan prosedur Tanda tangan dan nama terang

MATERI ACUAN a.definisi : Anestesia untuk bedah ortopedi –I , dimaksudkan merupakan tindakan anestesia untuk tindakan bedah pada kasus kasus ortopedi sederhana ( misalnya reposisi patah tulang tertutup, debridement patah tulang terbuka , ORIF anggota gerak bawah, artroskopi sendi lutut, dll), 247

dengan PS ASA 1-2, bisa berupa sungkup atau LMA (inhalasi), TIVA, regional SAB. b. ruang lingkup :  Sungkup atau LMA inhalasi  TIVA  Regional SAB c. indikasi : Kasus bedah ortopedi sederhana, seperti :  Reposisi patah tulang tertutup  Debridement patah tulang terbuka  ORIF anggota gerak bawah  Artroskopi sendi lutut. d. pemeriksaan penunjang 

Pemeriksaan penunjang diperlukan untuk menentukan PS ASA , berdasarkan status atau keadaan pasien saat tersebut.

Setelah memahami, menguasai dan mengerjakan modul ini, maka diharapkan seorang ahli anestesia akan memiliki kompetensi melakukan tindakan anestesia dan penerapannya dapat dikerjakan di RS Pendidikan dan RS jaringan pendidikan.

Anestesia umum dengan sungkup atau LMA    

Persiapan operasi, puasa 6-8 jam (dewasa), atau 4 jam( anak-anak ) Pasang infusi dengan IV kateter yang besar Periksa sumber oksigen dan gas anestesia lainnya (N2O) Periksa kesiapan mesin anestesia, tes mesin dengan manual baging maupun dengan ventilator  Premedikasi dengan opiod (petidin,fentanil,morfin) dan sedatif (diazepam, midazolam) selama 10-15 menit  Preoksigenasi dengan O2 6-8 l/menit 3-4 menit  Induksi dengan induktor seperti propofol,tiopental,ketamin, etomidat Sungkup  

Gunakan sungkup dengan obat anestetik inhalasi (halotan,isofluran,sevofluran) dengan menaikkan konsentrasinya secara bertahap setiap 4 kali tarikan nafas sampai mencapai 1-2 kali MAC Rumatan dengan O2 2l/menit : N2O 2l/menit dan obat anestetik inhalasi (halotan,isofluran,sevofluran) 0,5-2 % untuk anak dan bayi sesuai dengan Fresh Gas 248

Flow (FGF) sementara pasien bernafas spontan. LMA    

Bila menggunakan LMA maka LMA dipasang setelah pasien dalam keadaan tidur dalam ditandai dengan hilangnya refleks bulu mata, kemudian disambungkan ke konektor mesin anestesia dan berikan obat anestetik inhalasi 1 kali MAC. Rumatan O2 2l/menit : N2O 2l/menit dan obat anestetik inhalasi (halotan,isofluran,sevofluran) 0,5-2 % untuk anak dan bayi sesuai dengan FGF dan pasien bernafas spontan Selesai operasi pasien dibangunkan dengan nenurunkan obat inhalasi secara bertahap sampai nol dan mematikan N2O dan menaikkan O2 6-8 l/ menit sampai pasien sadar benar bisa angkat kepala atau bisa berkomunikasi Pasien ditransport ke PACU dan diobservasi minimal 2jam

Komplikasi Anestesia    

Trauma ( iritasi) daerah wajah karena sungkup muka LMA dapat menyebabkan trauma di rongga mulut Depresi nafas Sadar lama

Anestesia Total Intra Vena          

Persiapan operasi, puasa 6-8 jam (dewasa), atau 4 jam( anak-anak ) Pasang infusi dengan IV kateter yang besar Periksa sumber oksigen dan gas anestesia lainnya (N2O) Periksa kesiapan mesin anestesia, tes mesin dengan baging manual maupun dengan ventilator Premedikasi dengan opiod (petidin, fentanil, morfin) dan sedatif (diazepam, midazolam) selama 10-15 menit Preoksigenasi dengan O2 6-8 l/menit 3-4 menit Induksi dengan anestesia intravena seperti propofol, tiopental, ketamin, etomidat Rumatan dengan anestesia intravena seperti propofol, tiopental, ketamin, etomidat sesuai dengan dosis Selesai operasi pasien dibangunkan sampai pasien sadar benar bisa angkat kepala atau bisa berkomunikasi Pasien ditransport ke PACU dan diobservasi minimal 2jam

Komplikasi  

Depresi nafas Nyeri daerah suntikan 249

Anestesia dengan Regional Blok Subarahnoid (SAB)

250

No

Prosedur Anestesia Blok Subarahnoid (pendekatan cara midline) Prabeban dengan cairan (RL,Rsol,NS,Koloid) 500-1000 ml

1

Periksa kesiapan alat dan obat analgetik lokal yang diperlukan.

2

Siapkan kelengkapan tindakan untuk asepsis dan antisepsis

3

Posisikan pasien lateral dekubitus atau duduk, ganjal bahu dan kepala pasien bila diposisikan lateral dekubitus.

4

Tentukan penunjuk anatomi celah antara L2-3, L3-4 atau L4-5. Celah antara L3-4 atau prosesus spinosus L4 tegak lurus dari spina iliaka anterior superior.

5

Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada penunjuk anatomi yang ditentukan.

6

Berikan analgesia lokal pada celah yang akan dilakukan penusukan jarum spinal.

7

Lakukan penusukan jarum spinal (atau introduser) pada celah yang telah diberi analgesia lokal. Penusukan jarum harus sejajar dengan prosesus spinosus atau sedikit membentuk sudut kearah sefalad, dengan arah bevel ke lateral atau sefalad.

8

Dorong jarum sampai melewati resistensi ligamentum flavum dan dura, terasa kehilangan tahanan pada rongga subarahnoid.

9

Cabut mandren jarum, dan pastikan posisi jarum sudah tepat yang ditandai dengan mengalir keluar cairan serebrospinal yang bening. Jarum dapat dirotasikan 90° untuk memastikan kelancaran likuor yang keluar. Penusukkan harus diulang bila likuor tidak keluar atau keluar darah.

10

Sambungkan jarum dengan spuit berisi obat analgetik lokal yang sudah dipersiapkan. Aspirasi sedikit likuor, bila lancar suntikan obat analgetik lokal secara perlahan. Lakukan aspirasi ulang untuk memastikan ujung jarum tetap pada posisi yang tepat dan suntikan kembali obat.

11

Setelah selesai cabut jarum dan kembalikan posisi pasien sesuai dengan yang diinginkan. Cara penyuntikkan paramedian pada dasarnya sama seperti di atas, hanya jarum spinal disuntikkan pada 1,5 sm lateral dan 1sm kaudal dari celah penyuntikkan yang dituju. 251

ANESTESIA UNTUK BEDAH ORTOPEDI II MODUL 12 Komplikasi Mengembangkan Kompetensi

Waktu (Semester 4)

 Sulit bernafaskarena ketinggian BlockRotasi (Th 4 pada keatas) Sesi di dalam kelas Semester 4 (total 8 pekan/2bulan)  Hipotensi Sesi denganatau fasilitasi  PDPH NyeriPembimbing Kepala Pasca SAB Meliputi bedah ortopedi elektif tertentu, darurat dan trauma.  Hematom daerah insersi Sesi praktek dan pencapaian kompetensi Kompetensi didapat dengan pembelajaran teori dan praktek dilakukan utamanya di kamar bedah elektif dan darurat Referensi : 1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006 PERSIAPAN SESI PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed. 2. Barash Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006 Audiovisual Aid: 1. LCD Proyektor dan layar 2. Laptop 3. OHP 4. Flipchart 5. Pemutar video Materi presentasi: CD PowerPoint Sarana: 1. 2. 3. 4. Kasus

Ruang belajar Ruang pemeriksaan Ruang Pulih Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut : pasien di ruang PACU

Alat Bantu Latih

: Model anatomi /Simulator

Penuntun Belajar

: lihat acuan materi

Daftar Tilik Kompetensi

: lihat daftar tilik

Referensi :  Morgan GE. Clinical Anaesthesia 4th ed 2006  Barash PG. Clinical Anaesthesia 4th ed. 2006  Miller RD. Miller’s Anaesthesia 4th ed, 2005  Robert K. Stoelting. Pharmacology and Physiology in Anesthetic Practice . 2006 TUJUAN UMUM 252

Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik akan mampu melakukan anestesia umum

M0DUL 13

ANESTESIA BEDAH ONKOLOGI DAN PLASTIK

Mengembangkan kompetensi

Waktu (semester 3)

Sesi dalam kelas

2 x 1 jam (classroom session)

Sesi dengan fasilitas pembimbing

3 x 2 jam (coaching session)

Sesi praktek dan pencapaian kompetensi

8 pekan (facilitation & assessment)

Persiapan Sesi 



Audiovisual Aid: 1. LCD Proyektor dan layar 2. Laptop 3. OHP 4. Flipchart 5. Pemutar video Materi presentasi: CD PowerPoint 1. Indikasi persiapan anestesia bedah umum dan digestif khusus dengan penyulit 2. Persiapan preoperatif 3. Teknik anestesia 4. Pencegahan komplikasi anestesia 5. Penatalaksaan pasien pasca-anestesia 6. Teknik rekam medis anestesia



Sarana: 1. Ruang belajar 2. Ruang pemeriksaan 3. Kamar operasi 4. Ruang pulih 5. Bangsal rawat 253

    

Kasus : anestesia pasien langsung , di ruang rawat, kamar pemeriksaan dan kamar operasi Alat bantu latih : model anatomi /Simulator tidak ada Penuntun belajar : lihat materi acuan Daftar tilik kompetensi : lihat daftar tilik Referensi : 3. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical Anaesthesiology, 3th ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2002 2. Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006 3. Miller´s Anesthesia RD Miller 6th ed 2005 4. Martini FH. Fundamental of Anatomy & Physiology. 7th ed. 2006

Selain referensi wajib di atas, peserta didik dianjurkan untuk juga mempelajari referensi tambahan untuk sub-modul persiapan alat dan obat anestetik yang lain.

1. Tujuan Pembelajaran umum Setelah melalui sesi ini peserta didik mempunyai pengetahuan dan kemampuan untuk melakukan pelayanan anestesiologi untuk berbagai prosedur bedah onkologi dan bedah plastik, mencakup evaluasi pasien preoperatif, merancang pelaksanaan anestesia, pemberian anestesia intraoperatif , pemantauan pasien, dan penatalaksanaan masa siuman (emergence) dan masa pemulihan

2.Tujuan Pembelajaran Khusus Kognitif Pada akhir stase atau rotasi peserta mampu 1. Menjelaskan anestesia untuk bedah onkologi umum, bedah rekonstruksi atau bedah plastik, prosedur flap, abdominoplasty, breast reduction, skin grafting. 2. Melakukan identifikasi problema preoperatif yang umum ditemukan pada pasien onkologi dan plastik/rekonstruksi dan membuat rencana anestesia yang tepat untuk prosedur bedah yang paling sering . 3. Melakukan identifikasi dan mengatasi problema-problema umum pada pasien onkologi dan bedah rekonstruksi trauma serta menjelaskan persiapan preoperatif untuk 254

4. 5. 6. 7. 8. 9.

pembedahan onkologi/rekonstruksi termasuk puasa dan penggunaan antasid, antagonis H2 dan antiemetik Merencanakan dan memilih alat dan obat analgetik lokal untuk semua prosedur analgesia regional, sesuai dengan lama, lokasi prosedur bedah, dan beratnya penyakit. Menjelaskan dasar farmakologi analgetik lokal, termasuk hal khusus yang menentukan onset, durasi , potensi dan toksisitas. Membahas topik topik anestesia yang khusus untuk bedah onkologi dan rekonstruksi Menjelaskan problema penyakit penyerta, seperti penyakit respirasi, hipertensi, penyakit arteri koroner, diabetes melitus dan penyakit endokrin/metabolik yang lain. Menjelaskan dan membedakan penanggulangan nyeri dengan patient controlled analgesia (PCA) menggunakan beberapa jenis opiat , subarahnoid, epidural, kateter saraf perifer kontinyu, obat-obat antiinflamatori nonsteroid. Menjelaskan teknik hemodilusi dan konservasi darah perioperatif.

Psikomotor Pada akhir stase peserta harus mampu: 1. memberikan anestesia umum dengan alat dan obat yang benar dan penatalaksanaan pasien intraoperatif dengan sesedikit mungkin intervensi oleh staf. 2. Melakukan analgesia regional dengan alat dan obat yang benar dan penatalaksanaan pasien intraoperatif dengan sesedikit mungkin intervensi oleh staf. 3. Melakukan tindakan anestesia yang benar dan aman untuk: a. bedah onkologi kepala dan leher b. bedah plastik kepala dan leher c. prosedur flap d. abdominoplasty e. breast reduction dan reconstruction f. skin grafting. 4. Mampu mengelola jalan nafas sulit pada bedah onkologi dan bedah plastik daerah kepala leher Komunikasi dan Keterampilan interpersonal Pada akhir rotasi, peserta akan: 1. Mengetahui cara mengadakan rencana bersama anestesia-bedah untuk prosedur-prosedur yang akan dilakukan sebelum masuk kamar bedah 2. Mengetahui kebutuhan untuk tim kamar bedah guna mendukung tindakan anestesia, seperti analgesia regional dan pemantauan invasif 3. Menjamin cukup tenaga untuk memposisikan pasien dan pemindahan pasien 4. Mengetahui jenis kebutuhan antibiotik untuk pasien 5. Menentukan kebutuhan dan ketersediaan darah 6. Komunikasi dengan ahli bedah tentang waktu turnike

255

Profesionalisme 1. 2. 3. 4.

Mampu melakukan identifikasi rencana pembedahan Mampu memberi kemudahan pada ahli bedah Mampu memberitahukan keadaan pasien pada ahli bedah Mampu memberi analgesia yang adekuat pascabedah

3. Key notes 1. Untuk pembedahan onkologi dan bedah plastik daerah kepala-leher-mulut dapat mempengaruhi jalan nafas 2. Setelah pembedahan onkologi dan bedah plastik daerah kepala-leher-mulut dapat terjadi perdarahan yang sulit terjadi

3. Pokok bahasan /Subpokok bahasan Residen pada akhir rotasi harus mengerti: 1. 2. 3. 4.

Bedah onkologi umum Bedah plastik dan rekonstruksi Anestesia umum pada bedah onkologi dan bedah plastik Analgesia regional pada bedah onkologi dan bedah plastik

4. Waktu : Rotasi atau stase selama 2 bulan pada tahapan klinis pertama/semester 2

5. Metode: Pre-tes 1. Menjelaskan teknik anestesia umum dan analgesia regional yang dibutuhkan untuk bedah onkologi dan bedah plastik 2. Menjelaskan penatalaksanaan jalan nafas sulit Kognitif 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Pembelajaran terpadu Pembelajaran independen Pembelajaran berdasarkan problema Kuliah perkenalan Diskusi kelompok kecil dan umpan balik Problema penatalaksanaan pasien Simulasi pasien, skenario, pajangan dll 256

Skill 1. Demonstrasi/pajangan dan supervisi klinis 2. Problema penatalaksanaan pasien Communication and Interpersonal Skill 1. Demonstrasi/pajangan dan supervisi klinis 2. Problema penatalaksanaan pasien Profesionalisme 1. Problema penatalaksanaan pasien Pengetahuan 1. Kuliah perkenalan 2. Diskusi kelompok kecil, and feed backs.

6. Sumber Pembelajaran/Media 1. Virtual patients 2. Reading assigment 3. Audiovisual 7. Evaluasi 1. Kognitif : EMQ (Extended Medical Question) Multiple observations and assessments Multiple observers/raters OSCE (Objective Structure Clinical Examination) Minicheck 2. Skill : Multiple observations and assessments Multiple observers OSCE Minicheck 3. Communication and Interpersonal Skills 257

Multiple Observations and assessments Multiple observers/rater 4. Profesionalisme Multiple Observations and assessments Multiple observers/raters 5. Pengetahuan MCQ (Pre-tes) EMQ (Extended Medical Question)

8. Uraian: Anestesia pada bedah onkologi dan bedah plastik 1. Melakukan kunjungan preoperatif untuk menilai kondisi pasien dan prosedur operasi yang akan dilakukan (lihat modul perioperatif care) 2. Menetapkan status fisis pasien, merencanakan tindakan anestesia yang akan dilakukan dan memperoleh persetujuan setelah mendapatkan informasi 3. Bila akan dilakukan anestesia umum lihat modul anestesia umum 4. Bila akan dilakukan analgesia regional lihat modul analgesia regional 5. Tindakan pada masa siuman atau emergence lihat modul anestesia umum 6. Penangulangan nyeri pascabedah lihat modul anestesia umum dan analgesia regional. 9. Kata kata kunci 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Anestesia umum Analgesia regional Penanggulangan nyeri pascabedah Intubasi sulit Bedah onkologi Bedah plastik dan rekonstruksi Nyeri pascabedah

10. Daftar cek penuntun belajar prosedur anesthesia 258

No

Daftar cek penuntun belajar prosedur anetesia

Sudah Belum dikerjakan dikerjakan

Kunjungan preoperasi 1.

Penilaian pasien pemeriksaan fisis dan laboratorium

2.

Penetapan status fisis pasien

3.

Merencanakan tindakan anestesia umum atau regional

4.

Merencanakan algoritma pada intubasi sulit

5.

Merencanakan penanggulangan nyeri pascabedah

6.

Informed consent

7.

Menyiapkan kelengkapan alat-alat dan obat-obat untuk tindakan anestesia yang telah direncakan, termasuk mesin anestesia, cairan, darah, alat dan obat-obat resusitasi dll

8.

Menyiapkan jenis pemantauan selama anestesia

9.

Menyiapkan pengaturan posisi pasien selama operasi

10.

Merencakan teknik khusus : seperti teknik hipotensi bila diperlukan

11.

Melakukan antisipasi terhadap keadaan emergence

12.

Mempersiapkan terapi nyeri pascabedah

13.

Mengetahui indikasi pasien masuk ICU

11. Daftar tilik

Berikan tanda v dalam kotak yang tersedia bila keterampilan telah dikerjakan dengan memuaskan, dan berikan tanda x bila tidak dikerjakan serta T/D bila tidak dilakukan pengamatan 259

v

Memuaskan: Langkah/tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur Standard atau penuntun

x

Tidak memuaskan: Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/tuga sesuai prosedur Standard atau penuntun

T/D Tidak diamati: Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta didik selama penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik

Tanggal

Nama pasien

No.Rekam medis

Daftar Tilik No

Kegiatan/ Tindakan Anestesia

Kesempatan ke 1

2

3

4

5

260

Peserta dinyatakan :

Tanda tangan pelatih/pengajar

Layak

Tidak layak

Melakukan prosedur

Nama terang pelatih/pengajar

MATERI ACUAN : Materi Acuan Anestesia bedah onkologi-plastik Kasus pasien bedah onkologi pada umumnya adalah kasus dengan pembesaran yang tampak dan atau teraba pada permukaan kulit mulai dari kepala sampai ujung kaki. Kasus bedah plastik adalah bedah plastic rekonstruksi dan bedah plastik kosmetik. Anestesia pada bedah onkologiplastik dapat dilakukan dengan anestesia umum atau analgesia regional. Teknik anestesia umum maupun regional tidak ada kekhususan tertentu. 261

Beberapa problema yang dapat dihadapi pada tindakan anestesia adalah kusulitan jalan nafas, perdarahan atau karena kondisi penyakit primer berat yang dialami pasien. Kasus-kasus dengan kesulitan ventilasi atau kesulitan intubasi misalnya tumor besar daerah leher kepala, tumor rongga mulut apalagi bila mudah berdarah, harus selalu dipikirkan rencana tindakan penatalaksanaan jalan nafas dan anestesia yang akan dilakukan. Pada keadaan bahwa kesulitan mempertahankan jalan nafas sudah dapat diprediksi, algoritma jalan nafas sulit sudah harus direncanakan, sehingga alat-alat dan obat-obatan yang diperlukan sudah dipersiapkan lebih dulu (lihat modul Anestesia bedah THT). Apabila diprediksi bahwa tidak akan sulit ternyata sulit intubasi, dan pasien sudah dalam keadaan tidak sadar upayakan untuk membangunkan pasien kembali. Pada kasus yang diduga akan timbul perdarahan karena operasi, jalur intravena dengan kanula intravena diameter besar harus sudah dipersiapkan.

REFERENSI 1. 2.

Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical Anaesthesiology, 3th ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2002 Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006

3.

Miller´s Anesthesia RD Miller 6th ed 2005

M0DUL 13

ANESTESIA BEDAH UROLOGI

Mengembangkan kompetensi

Waktu: Semester 3

Sesi dalam kelas

2 x 1 jam (classroom session)

Sesi dengan fasilitasi pembimbing

3 x 2 jam (coaching session)

Sesi praktek dan pencapaian kompetensi

8 pekan (facilitation & assessment)

262

Persiapan Sesi





Audiovisual Aid: 6. LCD Proyektor dan layar 7. Laptop 8. OHP 9. Flipchart 10. Pemutar video Materi presentasi: CD PowerPoint Presentation 1. Indikasi persiapan anestesia bedah urologi dengan penyulit 2. Persiapan-persiapan preanestesia bedah urologi 3. Teknik anestesia bedah urologi 4. Pencegahan komplikasi-komplikasi anestesia bedah urologi 5. Penatalaksaan pasien pasca-anestesia bedah urologi 6. Teknik rekam medis anestesia bedah urologi



    

Sarana:

6. Ruang belajar 7. Ruang pemeriksaan pasien 8. Kamar operasi 9. Ruang pemulihan 10. Bangsal perawatan Kasus: anestesia pasien langsung , di ruang rawat, di kamar pemeriksaan, dan kamar operasi Alat Bantu Latih: Model Anatomi / Simulator tidak ada Penuntun Belajar: lihat Materi Acuan Daftar Tilik Kompetensi: lihat Daftar Tilik Referensi: 1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 3 th ed, New York-Chicago-San Francisco: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006. 2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anesthesia, 5 th ed, New York: Lippincott Williams & Wilkins; 2006 3. Miller RD. Miller´s Anesthesia, 6th ed, Philadelphia-London-Toronto: Churchill Livingstone; 2005 4. Martini FH. Fundamental of Anatomy & Physiology. 7th ed, 2006 Selain referensi wajib di atas, peserta didik dianjurkan untuk juga mempelajari referensi tambahan untuk Sub-Modul Persiapan Alat dan Obat anestetik yang lain.

1.Tujuan Pembelajaran Umum

263

Setelah mengikuti modul ini, peserta didik akan mampu memberikan anestesia pada tindakan diagnostik dan/atau bedah urologi, sistoskopi, bedah prostat, onkologi urologi, operasi batu ginjal terbuka, dan operasi uretero-reno sistoskopi.

1.1.Tujuan Pembelajaran Khusus Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan: 1.1.1.Kognitif: Menjelaskan indikasi untuk pembedahan urologi Menjelaskan persiapan preanestesia untuk pembedahan urologi, termasuk pasien gagal ginjal dengan hemodialisa reguler. Menjelaskan implikasi perioperatif gagal ginjal akut/kronik Menjelaskan konsekuensi fisiologik operasi endoskopik prostat Menjelaskan posisi untuk nefrektomi Menjelaskan implikasi perdarahan vena kava inferior karena keganasan ginjal Menjelaskan implikasi penyakit primer yang menyertai bedah urologi termasuk distres pernafasan, hipertensi, penyakit jantung koroner, dan diabetes Menjelaskan penanggulangan nyeri pascabedah dengan obat-obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID)dan opioid epidural/sistemik Menjelaskan analgesia regional untuk bedah urologi mayor Menjelaskan implikasi Extracorporeal Shock Wave Lithothrypsi (ESWL) Menjelaskan gejala-gejala dan tanda-tanda sindroma Transurethral Reseksion of the Prostate (TURP syndrome)

1.1.2.Psikomotor: Mampu melakukan penatalaksanaan jalan nafas normal atau dengan derajat kesulitan sedang memakai bag-mask, LMA, dan pipa endotrakeal Mampu mengoperasionalkan alat-alat pemantauan secara benar dan menjelaskan risiko dan keuntungan penggunaan pemantauan invasif Mampu melakukan dan mempertahankan akses vena Mampu melakukan induksi dan pemeliharaan anestesia umum pada pasien ASA-I dan II, serta ASA III dan IV dengan lebih mandiri Mampu memberikan analgesia regional spinal, epidural secara lebih mandiri Mampu menginterpretasi hasil analisa gas darah, dan menjelaskan gangguan keseimbangan asam-basa yang paling sering, termasuk asidosis dan alkalosis metabolik serta perencanaan terapinya Mampu mengenali gejala-gejala dan tanda-tanda sindroma TURP dan cara penatalaksanaannya.

1.1.3.Keterampilan Komunikasi Interpersonal(KIP): Pada akhir stase peserta didik akan: 1.1.3.1.Mengetahui pembuatan rencana bersama anestesia-bedah untuk prosedur-prosedur sebelum masuk ke kamar operasi.

264

1.1.3.2.Mampu menjelaskan kepada pasien atau keluarga pasien untuk memperoleh persetujuan setelah mendapatkan informasi tentang manfaat dan risiko anestesia. 1.1.3.3.Mengetahui kebutuhan-kebutuhan untuk mendukung prosedur anestesia, seperti analgesia regional dan pemantauan selama tindakan bedah-anestesia 1.1.3.4.Menjamin kebutuhan tenaga untuk dapat mengatur posisi pasien atau memindahkan pasien 1.1.3.5.Mampu menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien kebutuhan dan manfaat dari obat analgetik. 1.1.3.6.Mengetahui kebutuhan antibiotika profilaksis untuk pasien 1.1.3.7.Mampu untuk menentukan berapa kebutuhan darah untuk operasi urologi tertentu. 1.1.3.8.Mampu membicarakan bersama (diskusi) dengan bagian bedah kemungkinankemungkinan yang terjadi dari prosedur bedah yang akan dilakukan, misalnya sindroma TURP. 1.1.3.9.Mampu melakukan komunikasi tentang kondisi pasien dengan petugas ruang pemulihan tentang kesulitan penatalaksanaan pasien (misal sindroma TURP)

1.1.4.Profesionalisme: Pada akhir stase peserta didik harus: 1.1.4.1.Mengetahui rencana pembedahan 1.1.4.2.Mampu melakukan tindakan sesuai prosedur baku. 1.1.4.3.Mampu memberi kemudahan untuk prosedur bedah 1.1.4.4.Mampu mengkomunikasikan problema-problema pasien kepada ahli bedah urologi terutama dalam kondisi yang tidak baik. 1.1.4.5.Mampu mengetahui dan mengatasi problema-problema yang terjadi pada saat maupun pasca pembedahan urologi khusus, misalnya sindroma TURP dan perdarahan pascabedah. 1.1.4.6.Mampu menciptakan kemudahan perawatan di PACU 1.1.4.7.Mampu mengatasi nyeri pascabedah yang optimal dengan berbagai teknik analgesia

2.Keynotes

265

2.1.Posisi litotomi merupakan posisi yang paling sering dipergunakan untuk pasien bedah urologi dan ginekologi. Posisi yang tidak tepat dapat menyebabkan cedera iatrogenik. 2.2.Posisi litotomi berkaitan dengan perubahan fisiologi yang penting; kapasitas residu fungsional berkurang, memprediksi pasien terjadi atelektasis dan hipoksia. Menaikkan kaki akan meningkatkan aliran balik vena. Elevasi kedua tungkai dapat meningkatkan aliran balik darah vena mendadak. Tekanan Arteri Rata-rata (MAP) sering meningkat, tetapi curah jantung tidak berubah signifikan. Sebaliknya, menurunkan kedua tungkai mendadak akan menurunkan aliran balik darah vena yang menyebabkan hipotensi. Tekanan darah selalu segera diukur setelah tungkai diturunkan. 2.3.Karena durasi prosedur pendek (15-20 menit) dan setting outpatient dari sistoskopi, biasanya dipergunakan anestesia umum. 2.4.Anestesia epidural dan spinal dapat menghasilkan anestesia yang memuaskan. Level blok sampai T10 menghasilkan anestesia yang baik untuk hampir semua prosedur traktus urinarius bagian bawah misalnya sistoskopi, sedangkan level blok sampai T 6 untuk tindakan traktus urinarius bagian atas. 2.5.Manifestesi sindroma TURP mencakup terutama overload cairan sirkulasi, intoksikasi air, dan biasanya toksisitas cairan irigasi. 2.6.Absorbsi cairan irigasi yang terjadi bergantung pada lama irigasi dan tekanan / tinggi letak cairan irigasi. 2.7.Jika dibandingkan dengan anestesia umum, analgesia regional sedikit menimbulkan kejadian trombosis pascabedah; juga lebih sedikit menyembunyikan gejala dari sindroma TURP atau perforasi buli-buli. 2.8.Pasien dengan riwayat aritmia jantung dan pasien yang mempunyai alat pacu jantung atau internal cardiac defibrilator (ICD) dapat mempunyai risiko yang dicetuskan oleh shock wave selama extracorporeal shock wave lithotripsy (ESWL). Shock wave dapat merusak komponen dalam pacu jantung dan ICD.

3.Pokok Bahasan/Subpokok Bahasan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Gagal ginjal akut Gagal ginjal kronik Hemodialisis . Akses vena untuk hemodialisis ( kanulasi kateter HD-lumen ) Gejala-gejala uremik Sindroma TURP Prostatektomi radikal Operasi ileal conduit pada keganasan buli-buli Analgesia regional pada bedah prostat

266

4.Waktu Rotasi dilakukan selama 2 (dua) bulan dapat dilakukan pada tahun pertama untuk kasus operasi urologi ringan sampai sedang dan tahun ketiga untuk kasus-kasus operasi urologi berat (lihat pemetaan kurikulum).

5.Metode 5.1.Pre-tes: 5.1.1.Jelaskan kekhususan teknik anestesia pada bedah urologi 5.1.2.Jelaskan cara melakukan posisi pasien pada operasi ginjal 5.1.3.Jelaskan kekhususan pasien dengan hipertrofi prostat 5.1.4.Jelaskan sindroma TURP 5.1.5.Jelaskan teknik anestesia pada gagal ginjal kronik 5.1.6.Jelaskan teknik anestesia pada gagal ginjal akut 5.1.7.Jelaskan anestesia pada litotripsi

5.2.Strategi Pembelajaran: 5.2.1.Pembelajaran terpadu 5.2.2.Pembelajaran independen 5.2.3.Pembelajaran berdasarkan problema 5.2.4.Practice Base Learning

5.3.Proses Pembelajaran: 5.3.1.Kuliah introduksi 5.3.2.Diskusi kelompok kecil dan umpan baliks 5.3.3.Problema penatalaksanaan pasien 5.3.4.Simulated patient, scenarios, and displays

267

6.Media 6.1.Virtual patients 6.2.Reading assignment 6.3.Audio Visual

7.Alat Bantu Pembelajaran 7.1.Ruang Kuliah 7.2.Kamar operasi 7.3.Pasien

8.Evaluasi 8.1.EMQ (Extended Medical Question) 8.2.Multiple observationl and assessments 8.3.Multiple observers 8.4.OSCE (Objective Structure Clinical Examination)

9. Daftar Cek Penuntun Belajar Prosedur Anestesia

No

Daftar Cek Penuntun Belajar Prosedur Anestesia

Sudah Dikerjakan

Belum Dikerjakan

PERSIAPAN PRE ANESTESIA: 1

Informed consent

2

Puasa yang cukup

3

Pemeriksaan mesin anestesia menyeluruh

4

Pemasangan akses intravena

268

5

Pemeriksaan peralatan dan instrumen anestesia lainnya

6

Obat-obat anestetik

7

Obat-obat darurat ANESTESIA UMUM DENGAN SUNGKUP/ETT/ LMA/TIVA:

1

Premedikasi

2

Induksi anestesia

2

Pemeliharaan anestesia

3

Pemulihan aanestesia ANALGESIA REGIONAL: BLOK EPIDURAL/SAB

1

Posisi pasien (duduk atau lateral)

2

Penunjuk anatomi daerah tempat insersi jarum

2

Desinfeksi daerah tempat insersi jarum dan sekitarnya

3

Pemasangan kain penutup steril

4

Alat-alat dan obat-obat analgetik regional PERAWATAN PASCA-ANESTESIA

1

Komplikasi dan penatalaksanaannya

2

Pengawasan terhadap jalan nafas, pernafasan, dan sirkulasi (Jalan nafas, Breathing, dan Circulation)

Catatan: Sudah dikerjakan / Belum dikerjakan beri tanda



10. DAFTAR TILIK

Berikan tanda  dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan memuaskan, dan berikan tanda  bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak dilakukan pengamatan  Memuaskan Langkah-langkah, tugas atau keterampilan dikerjakan oleh peserta

269

didik sesuai dengan prosedur Standard atau penuntun  T/D

Tidak memuaskan

Peserta didik tidak mampu untuk mengerjakan langkah-langkah, tugas atau keterampilan sesuai dengan prosedur Standard atau penuntun

Tidak diamati

Langkah-langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih selama penilaian oleh pelatih

Nama Peserta Didik:

Tanggal Penilaian:

Nomor Peserta Didik: Nama Pasien

Nomor Rekam Medis:

DAFTAR TILIK No

Kegiatan / Langkah Klinis

Kesempatan ke 1

2

3

4

5

270

DAFTAR TILIK No

Kesempatan ke

Kegiatan / Langkah Klinis

1

Peserta dinyatakan :

2

3

4

5

Tandatangan Instruktur

 Layak  Tidak layak melakukan prosedur (tandatangan dan nama terang)

No

Kasus ke 1

1.

Anestesia untuk bedah batu buli-buli

2.

Anestesia untuk URS (Uretero Reno Sistoskopi)

3.

Anestesia pada TURP (Transurethral Reseksion of the Prostate)

4.

Anestesia pada TUR Buli

5.

Anestesia pada batu ginjal dan posisi ginjal

6.

Anestesia pada ileal conduit

7.

Anestesia pada ESWL

8.

Anestesia pada keganasan ginjal dengan perdarahan

9.

Analgesia regional pada bedah urologi

10.

Menegakkan diagnosis Sindroma TURP

11.

Melakukan penanggulangan Sindroma TURP

2

3

4

271

MATERI ACUAN:

URAIAN ANESTESIA BEDAH UROLOGI

1.Pendahuluan:

1.1.Definisi : Yang dimaksud dengan anestesia bedah urologi adalah tindakan anestesia untuk tindakan bedah pada kasus-kasus urologi seperti sistostomi, operasi batu buli-buli, prostatektomi terbuka, TUR bulibuli, TUR prostat, URS, ESWL, operasi batu ginjal, operasi pengangkatan ginjal (nefrektomi), operasi tumor ginjal dan buli-buli dengan PS ASA 1-4, dapat berupa anestesia umum (inhalasi dengan intubasi ETT atau LMA) maupun analgesia regional (SAB atau epidural). 1.2.Ruang Lingkup: 1.2.1.Anestesia umum (inhalasi) dengan intubasi ETT atau LMA 1.2.2.Analgesia regional SAB 1.2.3.Analgesia regional Epidural 1.3.Iindikasi: Kasus-kasus bedah urologi seperti: 1.3.1.Sistostomi 1.3.2.Operasi batu buli-buli 1.3.3.Prostatektomi terbuka 1.3.4.TUR buli-buli 1.3.5.TUR Prostat 1.3.6.URS 1.3.7.ESWL, 1.3.8.Operasi batu ginjal (nefrektomi) 1.3.9.Operasi tumor ginjal

272

1.4.Pemeriksaan Penunjang: Pemeriksaan penunjang diperlukan untuk menentukan status fisis (PS) ASA, berdasarkan status atau keadaan pasien saat tersebut.

2.Materi Acuan Anestesia Bedah Urologi

Bedah atau tindakan urologi meliputi sistoskopi, ureteroskopi, TURP, prostatektomi terbuka, nefrolitotomi, nefrektomi, sistektomi radikal, orchidopexy, orchiectomy, bedah plastik urogenital, teknik laparoskopi, transplantasi ginjal, ESWL, dan bedah laser. Tindakan anestesia dapat dilakukan dengan anestesia umum, analgesia regional epidural atau subarahnoid atau mungkin hanya analgesia topikal., bergantung pada jenis tindakan yang dilakukan. Anestesia umum untuk prosedur singkat dapat dilakukan dengan anestesia intravena. Analgesia regional untuk prosedur instrumentasi atau operasi traktus urinarius bagian atas memerlukan ketinggian blok mencapai T6, sedang untuk traktus urinarius bagian bawah cukup sampai T 10. Bilamana akan dilakukan anestesia umum, maka batuk harus dicegah atau pasien bergerak-gerak karena hal ini dapat menyebabkan peningkatan perdarahan atau perforasi buli-buli karena instrumentasi. Teknik anestesia umum dan anestesia epidural dan subarahnoid pada bedah urologi umumnya tidak berbeda dengan prosedur bedah lain. Pemantauan fungsi-fungsi vital juga tidak berbeda dengan tindakan bedah lain. Beberapa hal khusus dalam bedah urologi adalah posisi, usia, komplikasi. Posisi litotomi harus dilakukan sedemikian rupa agar tidak terjadi komplikasi akibat penekanan atau peregangan saraf berlebihan demikian juga dengan posisi ginjal lateral dekubitus. Usia lanjut yang sering pada pasien dengan hipertrofi prostat harus diwaspadai akan kemungkinan menderita gangguan penyakit jantung koroner, hipertensi, gangguan pernafasan, diabetes melitus, gangguan ginjal dan lain lain. Teknik anestesia yang akan dilakukan harus dilakukan sesuai dengan gangguan yang diderita pasien. Komplikasi perdarahan sering terjadi pada operasi prostat terbuka, batu cetak/staghorn, nefrektomi dengan perlengkatan pada pembuluh darah besar. Sindroma TURP merupakan komplikasi yang terjadi karena absorbsi cairan irigasi secara berlebihan pada waktu operasi prostat dengan TURP. Gejala dapat timbul segera/dini (absorbsi intravaskular langsung) atau setelah beberapa jam (absorbsi peritoneal dan perivaskular). Gejala sindroma TURP meliputi: perubahan pada susunan saraf pusat, agitasi, nausea, confusion, gangguan penglihatan, kejang, dan koma. Gangguan kardiovaskular berupa: hiper- atau hipotensi, bradikardia, disritmia, edema paru, henti jantung , karena fluid shift hipervolemia masuk ke ruang interstitial, dan gangguan elektrolit. Terapi restriksi cairan, pemberian diuretik (furosemid), larutan garam hipertonik untuk hiponatremia simptomatik secara lambat peningkatan tidak melebihi 12 mEq/L per hari.

273

Setelah memahami, menguasai dan mengerjakan modul ini, maka diharapkan seorang ahli anestesia akan memiliki kompetensi melakukan tindakan anestesia dan penerapannya dapat dikerjakan di RS Pendidikan atau RS Jaringan Pendidikan.

3.Kompetensi Terkait dengan Modul (List of Skill) Tahapan-tahapan anestesia: 3.1.Persiapan Preanestesia: 3.1.1.Anamnesis 3.1.2.Pemeriksaan fisis 3.1.3.Pemeriksaan penunjang 3.1.4.Informed consent 3.2.Persiapan Premedikasi 3.3.Persiapan Pasien, Alat-alat, Obat-obatan, dan Cairan 3.4.Pelaksanaan Anestesia: 3.4.1.Konsulen demonstrasi dengan kelompok 3.4.2.Dengan bimbingan konsulen 3.4.3.Melakukan sendiri atas pengawasan konsulen 3.5.Pengakhiran Anestesia 3.6.Follow-up Pasca-anestesia: 3.6.1.Manajemen nyeri pascabedah. 3.6.2.Terapi cairan, nutrisi, dan lain-lain.

4. algoritma dan Prosedur Tidak ada

5.Teknik Anestesia 5.1.Anestesia umum dengan intubasi ETT

274

5.2.Anestesia umum (inhalasi) dengan LMA 5.3.Analgesia regional SAB 5.4.Analgesia regional blok epidural

5.1. Anestesia Umum dengan Intubasi ETT atau LMA: 5.1.1.Persiapan operasi: puasa 6-8 jam (dewasa), atau 4 jam( anak-anak ) 5.1.2.Pasang akses vena (infusi) dengan kateter intravena diameter besar 5.1.3.Periksa sumber oksigen dan gas anestesia lainnya (N2O) 5.1.4.Periksa kesiapan mesin anestesia, tes mesin dengan manual baging maupun dengan ventilator 5.1.5.Pasien di premedikasi dengan opiod (petidin, fentanil, atau morfin) dan sedatif (diazepam, midazolam) selama 10-15 menit 5.1.6.Preoksigenasi dengan O2 6-8 l/menit 3-5 menit 5.1.7.Induksi dengan induktor seperti propofol, tiopental,ketamin, atau etomidat 5.1.8.Injeksi relaksan (depolarisasi atau non depolarisasi) seperti suksinilkolin atau rokuronium 5.1.9.Intubasi dengan ETT (kingking atau non-kingking) 5.1.10.Rumatan anestesia dengan O2 2 ltr/menit : N2O 2 ltr/menit dan inhalation agent (halotan, isofluran, atau sevofluran) 0,5-2% untuk anak dan bayi sesuai dengan Fresh Gas Flow (FGF) dan relaksan otot. 5.1.11.Untuk LMA; LMA dipasang setelah pasien sudah tidur dalam ditandai dengan hilangnya refleks bulu mata, kemudian di sambungkan ke konektor mesin anestesia dan diberikan inhalation agent 1 kali MAC dan rumatan O 2 2 ltr/menit : N2O 2 ltr/menit dan inhalation agent (halotan, isofluran, atau sevofluran) 0,5-2 % untuk anak dan bayi sesuai dengan FGF dan pasien bernafas spontan 5.1.12.Selesai operasi, pasien dibangunkan dengan menurunkan inhalation agent secara bertahap sampai nol dan menutup N2O dan menaikkan aliran O2 6-8 ltr/menit sampai pasien sadar benar (dapat angkat kepala atau dapat berkomunikasi) 5.1.13.Untuk yang menggunakan relaksan otot, direversal dengan prostigmin dan atropin sulfat setelah pasien sudah nafas spontan dan bisa mengangkat kepala 5.1.14.Ekstubasi setelah pasien sadar penuh dan dapat mengangkat kepala dan mengikuti perintah 5.1.15.Pasien ditransport ke PACU dan diobservasi selama 2 (dua) jam

275

5.2.Komplikasi Anestesia: 5.2.1.Trauma rongga mulut dan plika vokalis 5.2.2.Untuk LMA trauma di rongga mulut 5.2.3.Depresi nafas 5.2.4.Spasme bronkialis 5.2.5.Sadar lama

5.3.Anestesia dengan Regional Sub Arahnoid Block (SAB):

276

No

Prosedur Anestesia Blok Subarahnoid (Pendekatan Midline) Pengisian dengan cairan (RL, R solution, NS, atau Koloid) 500-1000 ml

1

Periksa kesiapan alat-alat dan obat analgetik lokal yang diperlukan.

2

Siapkan kelengkapan tindakan untuk asepsis dan antisepsis

3

Posisikan pasien lateral dekubitus atau duduk, ganjal bahu dan kepala pasien bila diposisikan lateral dekubitus.

4

Tentukan penunjuk anatomi celah antara L2-3, L3-4 atau L4-5. Celah antara L3-4 atau prosesus spinosus L4 tegak lurus dari spina iliaka anterior superior (SIAS).

5

Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada penunjuk anatomi yang telah ditentukan.

6

Suntikkan analgetik lokal pada celah yang akan dilakukan penusukan jarum spinal.

7

Lakukan penusukan jarum spinal (atau introduser) pada celah yang telah diberi analgetik lokal. Penusukan jarum harus sejajar dengan prosesus spinosus atau sedikit membentuk sudut kearah sefalad, dengan arah bevel ke lateral atau sefalad.

8

Dorong jarum sampai melewati resistensi ligamentum flavum dan dura, sampai terasa kehilangan tahanan pada rongga subarahnoid.

9

Cabut mandrin jarum, dan pastikan posisi jarum sudah tepat yang ditandai dengan mengalir keluar cairan serebrospinal (CSS) yang bening. Jarum dapat dirotasikan 90° untuk memastikan kelancaran cairan yang keluar. Penusukkan harus diulang bila CSS tidak keluar atau keluar darah.

10

Sambungkan jarum dengan spuit berisi obat analgetik lokal yang sudah dipersiapkan. Aspirasi sedikit CSS, bila lancar suntikan obat analgetik lokal secara perlahan-lahan. Lakukan aspirasi ulang untuk memastikan ujung jarum tetap pada posisi yang tepat dan suntikan kembali obat.

11

Setelah selesai, cabut jarum dan kembalikan posisi pasien sesuai dengan yang diinginkan. Cara penyuntikkan paramedian pada dasarnya sama seperti di atas, hanya jarum spinal disuntikkan pada 1,5 sm lateral dan 1 sm kaudal dari celah penyuntikkan yang dituju.

5.4.Komplikasi: 5.4.1.Sulit bernafas karena ketinggian blok (Th4 keatas) 5.4.2.Hipotensi 5.4.3.PDPH atau Nyeri Kepala Pasca Penusukan Dura 5.4.4.Hematom pada daerah insersi

277

No

Prosedur Anestesia Blok Epidural (Pendekatan Midline) Pengisian dengan cairan kristaloid atau koloid (RL, R sol, NS, atauKoloid) 500-1000 mL

1

Periksa kesiapan alat-alat dan obat-obat analgetik lokal yang diperlukan.

2

Siapkan kelengkapan tindakan untuk asepsis dan antisepsis

5.5.Regional dengan Blok Epidural

3

Posisikan pasien lateral dekubitus atau duduk, ganjal bahu dan kepala pasien bila diposisikan lateral dekubitus.

4

Tentukan penunjuk anatomi celah antara L2-3, L3-4 atau L4-5. Celah antara L3-4 atau prosesus spinosus L4 tegak lurus dari spina iliaka anterior superior (SIAS).

5

Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada penunjuk anatomi yang ditentukan.

6

Suntikkan analgetik lokal pada celah yang akan dilakukan penusukan jarum epidural.

7

Lakukan penusukan jarum epidural pada celah yang telah diberi analgetik lokal. Penusukan jarum harus sejajar dengan prosesus spinosus atau sedikit membentuk sudut ke arah sefalad, dengan arah bevel ke lateral atau sefalad.

8

Dorong jarum sampai melewati resistensi ligamentum flavum, lalu cabut mandrin jarum

9

Pangkal jarum epidural dihubungkan dengan spuit 10 ml yang berisi NaCl 0,9% atau udara, dan jarum didorong sampai ke rongga epidural yang ditandai dengan adanya loss of resistance

10

Lakukan tes dose, tes dose(-), cabut spuit, masukkan epidural kateter sesuai kebutuhan tinggi blok,

11

Setelah selesai cabut jarum, dan fiksasi dengan baik serta kembalikan posisi pasien sesuai dengan yang diinginkan.kemudian injeksikan obat analgetik lokal sesuai kebutuhan. Cara penyuntikkan paramedian pada dasarnya sama seperti di atas, hanya jarum spinal disuntikan pada 1,5 sm lateral dan 1 sm kaudal dari celah penyuntikan yang dituju.

5.6.Komplikasi:

278

5.6.1.PDPH 5.6.2.Sulit bernafas 5.6.3.Hipotensi 5.6.4.Hematom daerah insersi

6.Referensi 6.1.Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 3 th ed, New York-Chicago-San Francisco: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006. 6.2.Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anesthesia, 5 th ed, New York: Lippincott Williams & Wilkins; 2006 6.3.Miller RD. Miller´s Anesthesia, 6th ed, Philadelphia-London-Toronto: Churchill Livingstone; 2005 6.4.Martini FH. Fundamental of Anatomy & Physiology. 7th ed, 2006

MODUL 15 :

ANESTESIA OBSTETRI I

Mengembangkan Kompetensi

Waktu (Semester 2)

Sesi di dalam kelas

Anestesia obstetrik-1 adalah suatu rotasi yang membutuhkan waktu 1 bulan (4 pekan) untuk peserta didik semester 2, yang meliputi anestesia untuk jenis operasi obstetrik (seksio sesarea), kuretase.

Sesi dengan fasilitasi Pembimbing Sesi praktek dan pencapaian kompetensi PERSIAPAN SESI Audiovisual Aid: 1. 2. 3. 4. 5.

LCD Proyektor dan layar Laptop OHP Flipchart Pemutar video 279

Materi presentasi: CD PowerPoint Sarana: 1. Ruang belajar 2. Ruang pemeriksaan 3. Ruang Pulih 4. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut Kasus : pasien di ruang PACU Alat Bantu Latih : Model anatomi /Simulator Penuntun Belajar : lihat acuan materi Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik

Referensi : 1. Clinical Anesthesiology GE Morgan, 4th ed, 2006 2. Clinical Anesthesia PG Barash, 4th ed, 2006 3. Miller´s Anesthesia RD Miller, 6th ed, 2005 TUJUAN UMUM Setelah mengikuti rotasi ini peserta didik mampu melakukan persiapan preoperatif dengan baik dan cermat, melakukan pembiusan umum dan regional pada pasien obstetrik sederhana tanpa penyulit untuk memperoleh keberhasilan yang tinggi, melakukan pemantauan intraoperatif dengan baik dan mencegah komplikasi yang mungkin terjadi.

TUJUAN KHUSUS Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk : Kognitif 1. Memiliki pengetahuan tentang fisiologi kehamilan, farmakologi perinatal, sirkulasi janin, pola persalinan normal, pengawasan ibu-janin, variabilitas denyut jantung janin, persalinan kurang bulan (prematur), asfiksia neonatus. 2. Memiliki pengetahuan tentang sirkulasi uteroplasenta. 280

3. Memiliki pengetahuan tentang kehamilan multipara, persalinan pervaginam dengan riwayat seksio sesarea sebelumnya. 4. Memiliki pengetahuan farmakologi dan interaksi obat antara sintosnon, metergin, magnesium sulfat, indosin, prostaglandin, steroid yang biasa dipakai pada pasien obstetrik dengan obat anestetik. 5. Mampu menjelaskan penatalaksanaan preoperatif termasuk premedikasi dan puasa untuk pasien obstetrik elektif. 6. Mampu menjelaskan persiapan alat dan obat untuk anestesia umum dan subarahnoid (lihat prosedur anestesia umum dan subarahnoid). 7. Mampu menjelaskan indikasi anestesia umum atau subarahnoid untuk pasien obstetrik tanpa penyulit. 8. Mampu menjelaskan rencana anestesia subarahnoid untuk prosedur seksio sesarea (lihat modul dan prosedur anestesia subarahnoid). 9. Mampu menjelaskan rencana anestesia umum (intubasi, LMA) untuk prosedur seksio sesarea termasuk teknik induksi cepat dan penatalaksanaan jalan nafas pada ibu hamil (lihat modul dan prosedur anestesia umum). 10. Mampu menjelaskan rencana anestesia umum intravena untuk tindakan kuretase. 11. Memiliki pengetahuan tentang aortokaval compression dan penanganannya. 12. Mampu menjelaskan evaluasi bayi baru lahir. 13. Mampu menjelaskan penatalaksanaan pospartum, penanganan nyeri dan mual muntah pascabedah. Psikomotor 1. Mampu menentukan status fisis pasien berdasarkan klasifikasi ASA I-II 2. Mampu menilai kondisi jalan nafas pasien hamil dan membuat rencana penatalaksanaannya dengan baik. 3. Mampu melakukan penatalaksanaan preoperatif termasuk premedikasi dan puasa untuk kasus obstetrik elektif. 4. Mampu melakukan persiapan alat dan obat untuk anestesia umum dan subarahnoid (lihat prosedur anestesia umum dan subarahnoid). 5. Mampu memberikan anestesia subarahnoid untuk prosedur seksio sesarea dan operasi tanpa penyulit (lihat modul dan prosedur anestesia subarahnoid). 6. Mampu memberikan anestesia umum untuk prosedur seksio sesarea termasuk teknik induksi cepat dan penatalaksanaan jalan nafas pada ibu hamil (lihat modul dan prosedur anestesia umum). 7. Mampu melakukan anestesia umum intravena untuk tindakan kuretase 8. Mampu melakukan evaluasi bayi baru lahir (lihat modul anestesia umum dan pediatrik). 9. Mampu melakukan penatalaksanaan pospartum, penanganan nyeri dan mual muntah pascabedah. 10. Mampu melakukan pencatatan hal penting dalam rekam medis preoperatif, intra dan pascabedah terkait dengan tindakan anestesia.

281

Komunikasi/Hubungan Interpersonal 1. Mampu menjelaskan pada pasien atau keluarga pasien tentang kondisi pasien preoperatif , tindakan anestesia umum yang akan dilakukan serta risiko yang dapat timbul. 2. Mampu memberikan penjelasan kepada rekan sejawat atau konsulen tentang kondisi pasien untuk kemungkinan pemeriksaan tambahan, pemberian obatobatan atau upaya optimalisasi kondisi pasien. 3. Mampu menjelaskan tentang kondisi pasien kepada operator sebelum operasi terutama untuk mencegah terjadi keadaan atau kondisi pasien yang tidak diinginkan. 4. Mampu berinteraksi atas dasar saling menghormati dan menciptakan kondisi kerjasama tim yang terlibat di kamar bedah. Profesionalisme 1. Mampu bekerja sesuai prosedur. 2. Mampu berinteraksi dengan sejawat lain maupun paramedis dan tenaga kesehatan lain atas dasar saling menghormati kompetensi masing-masing. 3. Mampu menjaga kerahasiaan pasien. 4. Mampu memahami, memberikan penjelasan kepada pasien atau keluarganya tentang kondisi pasien sesuai hak pasien. 5. Mampu melakukan pekerjaan secara efisien. KEYNOTES: 1. Morbiditas paling umum pada pasien obsetri (OB) adalah perdarahan berat dan preeklampsia 2. Tanpa memandang kapan saat makan terakhir semua pasien OB dianggap lambung penuh dan berisiko untuk terjadinya aspirasi paru. 3. hampir semua opioid analgesia dan sedatif yang diberikan parenteral menembus sawar plasenta dan mempengaruhi fetus. Teknik analgesia regional lebih disukai untuk penatalaksanaan nyeri persalinan. 4. Penggunaan campuran obat analgetik lokal dengan opioid untuk analgesia lumbal epidural untuk penatalaksanaan nyeri persalinan secara nyata akan mengurangi keperluan obat, dibandingkan dengan pemberian obat tersebut secara sendiri-sendiri. 5. Analgesia optimal untuk persalinan blokade neural setinggi T10-L1 pada kala I dan T10-S4 pada kalaII persalinan.

GAMBARAN UMUM Untuk dapat mengelola pasien obsteri anestesia diperlukan pengetahuan dan 282

keterampilan dalam penatalaksanaan perioperatf dari mulai persiapan prabedah sampai penatalaksanaan pascabedah. Melakukan penatalaksanaan nyeri persalinan dan memberikan anestesia umum atau regional untuk seksio sesarea pada seksio sesarea tanpa penyulit.

TUJUAN PEMBELAJARAN Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu melakukan penatalaksanaan anestesia obstetri dari mulai persiapan preoperatif, penatalaksanaan jalan nafas ibu hamil, fisiologi kehamilan, farmakologi perinatal, sirkulasi janin, pola persalinan normal, pengawasan ibu dan janin, deselerasi cepat, lambat dan variabel denyut jantung janin, variabilitas denyut jantung janin, persalinan prematur, multipara, perdarahan trimester ke tiga, asfiksia dan resusitasi neonatus, analgesia regional untuk ibu melahirkan (ILA, PCEA), persalinan pervaginam dengan riwayat seksio sesarea sebelumnya, anestesia dengan crash atau induksi cepat, akses vaskular, terapi cairan dan transfusi darah, penatalaksanaan anestesia umum dan regional, pemantauan, penatalaksanaan pasca-anestesia.

METODE PEMBELAJARAN A..Proses pembelajaran dilaksanakan melalui metode : 22. Diskusi kelompok kecil 23. Peer assisted learning (PAL) 24. Bedside teaching 25. Task-based medical education B. Peserta didik sudah harus mempelajari: 1. Bahan acuan (references) 2. Ilmu dasar yang berkaitan dengan topik pembelajaran 3. Ilmu klinis dasar C. Penuntun belajar (learning guide) terlampir D. Tempat belajar (training setting) : ruang rawat pasien, kamar operasi, ruang pulih pascabedah.

MEDIA 1. Kursus / pelatihan 283

Pelatihan di skill lab intubasi, LMA, spinal pada manikin. 2. Belajar mandiri 3. Kuliah Kuliah khusus Penatalaksanaan Anestesia Obstetrik semua sub pokok bahasan dilakukan semester 2 pekan 1.

dan

1 termasuk

4. Diskusi kelompok Laporan dan diskusi tentang problema preoperatif, penatalaksanaan jalan nafas, anestesia umum atau subrahnoid, pemantauan dan penatalaksanaan pascabedah. 5. Kunjungan preoperatif 6. Bimbingan pembiusan dan asistensi Pelatihan di kamar bedah intubasi, LMA, subarahnoid pada pasien Obstetrik dengan bimbingan dan pengawasan staf pengajar. 7. Tugas baca dan tulisan (tinjauan pustaka, journal reading) 8. Laporan kasus, morbiditas dan mortalitas 9. Continuing Profesional Development (CPD) ALAT BANTU PEMBELAJARAN Perpustakaan, internet, skill lab

EVALUASI 1.

Pada awal pertemuan dilaksanakan pre-tes dalam bentuk esai dan lisan untuk menilai kinerja awal peserta didik dan melakukan identifikasi kekurangan yang ada. Materi pre-tes terdiri atas : - Anatomi, fisiologi kehamilan, farmakologi perinatal - Penegakan diagnosis dan ASA - Teknik pembiusan (umum, regional) - Pengawasan intra operasi - Komplikasi dan penanganannya - Penatalaksanaan pascabedah

2.

Diskusi kelompok kecil bersama fasilitator untuk membahas kekurangan yang teridentifikasi, membahas tuntunan belajar dan proses penilaian.

284

3.

Peserta didik diwajibkan untuk mengaplikasikan langkah-langkah dalam penuntun belajar pada manikin anestesia bersama teman-temannya (peer assisted learning), dievaluasi oleh teman-temannya (peer assisted evaluation).

4.

Setelah dinilai memadai, peserta didik melalui metode bedside teaching di bawah pengawasan fasilitator mengaplikasikan penuntun belajar kepada pasien sesungguhnya. Pada saat pelaksanaan, evaluator melakukan pengawasan langsung (direct observation) dan mengisi lembar penilaian: - Perlu perbaikan : pelaksanaan belum benar atau beberapa langkah tidak dilakukan - Cukup baik : pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misalnya tindakan anestesia tidak mulus sehingga kurang memberi kenyamanan kepada pasien - Baik : pelaksanaan benar, baik dan efisien

5.

Setelah bedside teaching dilakukan diskusi dan memberi masukan untuk memperbaiki kekurangan yang ditemukan.

6.

Self assessment dan peer assisted evaluation dengan mempergunakan penuntun belajar.

7.

Pendidik/fasilitator melakukan : - Pengamatan langsung dengan memakai ceklis evaluasi (terlampir) - Diskusi dan penjelasan lisan dari peserta didik - Kriteria penilaian keseluruhan : baik/cukup/kurang

8.

Task-based medical education, pada akhir penilaian peserta didik diberi masukan atau diberi tugas untuk memperbaiki kinerja.

9.

Pencapaian pembelajaran

Pre-tes : 1. Jelaskan tentang fisiologi kehamilan, farmakologi perinatal, sirkulasi janin, pola persalinan normal, pengawasan ibu-janin, variabilitas denyut jantung janin. 2. Jelaskan tentang komplikasi persalinan kurang bulan (prematur), asfiksia neonatus. 3. Jelaskan tentang kehamilan multipara, persalinan pervaginam dengan riwayat seksio sesarea sebelumnya. 4. Jelaskan farmakologi dan interaksi obat antara sintocinon, metergin, magnesium 285

sulfat, indosin, prostaglandin, steroid yang biasa dipakai pada kasus obstetrik dengan obat anestetik. 5. Jelaskan patofisiologi preeklampsia dan eklampsia, penatalaksanaannya dan pengaruhnya terhadap tindakan anestesia. 6. Jelaskan penatalaksanaan preoperatif termasuk premedikasi dan puasa untuk pasien obstetrik dan elektif. 7. Jelaskan persiapan alat dan obat untuk anestesia umum dan subarahnoid (lihat prosedur anestesia umum dan regional). 8. Jelaskan indikasi anestesia umum atau subarahnoid untuk pasien obstetrik sederhana tanpa penyulit. 9. Jelaskan teknik anestesia subarahnoid untuk prosedur bedah obstetrik (lihat modul dan prosedur analgesia regional). 10. Jelaskan teknik anestesia umum (intubasi, LMA) untuk prosedur seksio sesarea termasuk teknik induksi cepat dan penatalaksanaan jalan nafas pada ibu hamil (lihat modul dan prosedur anestesia umum). 11. Jelaskan teknik anestesia intravena untuk tindakan kuretase. 12. Jelaskan evaluasi bayi baru lahir. 13. Jelaskan penatalaksanaan pospartum, penanganan nyeri dan mual muntah pascabedah. Bentuk pre-tes : MCQ, ujian esai dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan (semester).

Bentuk ujian : - Ujian akhir stase - Ujian akhir profesi Bisa dalam bentuk : 1. Pengetahuan -

MCQ EMQ (Extended Medical Question) Ujian lisan

2.Kognitif -

EMQ (Extended Medical Question) Multiple observation and assessments Multiple observers OSCE (Objective Structure Clinical Examination) Minicheck

-

Multiple observation and assessments Multiple observers

3. Skill

286

- OSCE (Objective Structure Clinical Examination) - Minicheck 4.Communication and Interpersonal Skills - Multiple observation and assessments - Multiple observers 5.Profesionalisme -

Multiple observation and assessments Multiple observers

DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR ANESTESIA Tindakan / operasi :

No Daftar cek penuntun belajar prosedur anestesia

Sudah dilakukan

Belum dilakukan

PERSIAPAN PRA ANESTESIA 1

Anamnesis, periksaan fisis, pemeriksaan penunjang

2

Penentuan ASA

3

Persiapan alat, mesin pembiusan, STATICS, obat

4

Pemasangan monitor ANESTESIA

1

Anestesia umum (intubasi, LMA)

2

Anestesia subarahnoid

3

Anestesia intravena

4

Pemberian cairan dan transfusi

5

Komplikasi dan penanganannya PENATALAKSANAAN PASCABEDAH

1

Pengawasan ABC dan tanda vital

2

Penanganan mual muntah dan nyeri pascabedah 287

Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda (√ )

DAFTAR TILIK

Berikan tanda  dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan memuaskan, dan berikan tanda  bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak dilakukan pengamatan  Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur Standard atau penuntun  Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan memuaskan prosedur Standard atau penuntun T/D Tidak Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih diamati selama penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik

Tanggal

Nama pasien

No Rekam Medis

DAFTAR TILIK No

Kegiatan / langkah klinis

Kesempatan ke 1

2

3

4

5

288

DAFTAR TILIK No

Kesempatan ke

Kegiatan / langkah klinis

Peserta dinyatakan :

1

2

3

4

5

Tanda tangan pelatih

 Layak  Tidak layak melakukan prosedur Tanda tangan dan nama terang

289

MATERI ACUAN Anestesia untuk obstetri berbeda dengan tindakan anestesia yang lain karena :     

Ibu masuk rumah sakit pada hari saat akan melahirkan. Ada dua insan yang perlu diperhatikan, yaitu Ibu dan bayi yang akan dilahirkan. Terjadi perubahan-perubahan fisiologi yang dimulai pada tiga bulan terakhir kehamilan. Adanya risiko muntah, regurgitasi dan aspirasi setiap saat. Efek obat yang diberikan dapat mempengaruhi bayi karena menembus sawar plasenta.

Pada seksio sesarea dengan pasien normal, harus diperhatikan perubahan-perubahan fisiologi dan anatomi, karena perubahan tersebut akan mempengaruhi tindakan anestesia. Bila pasien disertai penyulit lain seperti preeklampsi, asma bronkial, maka tindakan anestesianya akan lebih spesifik lagi. Untuk hal itu diperlukan pengetahuan yang mendalam mengenai fisiologi ibu hamil, fisiologi fetal, aliran darah uterus sehingga dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas. Pada wanita hamil mulai 3 bulan terakhir, terjadi perubahan fisiologis sistem respirasi, kardiovaskular, susunan saraf pusat, susunan saraf perifer, gastrointestinal, muskuloskeletal, dermatologi, jaringan buah dada, dan mata. a. Sistem Respirasi Perubahan pada parameter respirasi mulai pada pekan ke-4 kehamilan. Perubahan fisiologis dan anatomi selama kehamilan menimbulkan perubahan dalam fungsi paru, ventilasi dan pertukaran gas. Ventilasi semenit meningkat pada aterm kira-kira 50% di atas nilai waktu tidak hamil. Peningkatan volume semenit ini disebabkan karena peningkatan volume tidal (40%) dan peningkatan frekuensi nafas (15%). Ventilasi alveolus meningkat seperti volume tidal tetapi tanpa perubahan pada dead space anatomi. Pada kehamilan aterm PaCO2 menurun (32-35mmHg). Peningkatan konsentrasi progesteron selama kehamilan menurunkan ambang pusat nafas di medula oblongata terhadap CO2.

290

Pada kehamilan aterm kapasitas residual fungsional (FRC), expiratory reserve volume dan residual volume menurun. Perubahan-perubahan ini disebabkan karena diafragma terdorong keatas oleh uterus yang gravid. FRC menurun 15-20%, menimbulkan peningkatan "Pintasan" dan kurangnya reserve oksigen. Dalam kenyataannya, "jalan nafas closure" bertambah pada 30% gravida aterm selama ventilasi tidal. Kebutuhan oksigen meningkat sebesar 30-40%. Peningkatan ini disebabkan kebutuhan metabolisme untuk fetus, uterus, plasenta serta adanya peningkatan kerja jantung dan respirasi. Produksi CO2 juga berubah sama seperti O2. Faktor-faktor ini akan menimbulkan penurunan yang cepat dari PaO2 selama induksi anestesia, untuk menghindari kejadian ini, sebelum induksi pasien mutlak harus diberikan oksigen 100% selama 3 menit (nafas biasa) atau cukup 4 kali nafas dengan inspirasi maksimal (dengan O2 100%). Vital capacity dan resistensi paru menurun. Terjadi perubahan-perubahan anatomis, mukosa menjadi vaskular, edematus dan gampang rusak, maka harus dihindari intubasi nasal dan ukuran pipa endotrakeal harus yang lebih kecil daripada untuk intubasi orotrakeal.



Penurunan FRC, peningkatan ventilasi semenit, juga penurunan MAC akan menyebabkan parturien lebih mudah dipengaruhi obat anestetik inhalasi daripada penderita yang tidak hamil. Cepatnya induksi dengan obat anestetik inhalasi karena :





hiperventilasi akan menyebabkan lebih banyaknya gas anestesia yang masuk ke alveolus. pengenceran gas inhalasi lebih sedikit karena menurunnya FRC. MAC menurun. Pada kala 1 persalinan, dapat terjadi hiperventilasi karena adanya rasa nyeri (his) yang dapat menurunkan PaCO2 sampai 18 mmHg, dan menimbulkan asidosis fetal. Pemberian analgetik (misal : epidural analgesia) akan menolong. Semua parameter respirasi ini akan kembali ke nilai ketika tidak hamil dalam 6-12 pekan pospartum.

b. Perubahan Volume Darah Volume darah ibu meningkat selama kehamilan, termasuk peningkatan volume plasma, sel darah merah dan sel darah putih. Volume plasma meningkat 40-50%, sedangkan sel darah merah meningkat 15-20% yang menyebabkan terjadinya anemia fisiologis (normal Hb : 12gr%, hematokrit 35%). Disebabkan hemodilusi ini, viskositas darah menurun kurang lebih 20%. Mekanisme yang pasti dari peningkatan volume plasma ini belum diketahui, tetapi beberapa hormon seperti renin-angiotensinaldosteron, atrial natriuretik peptida, estrogen, progesteron mungkin berperan dalam mekanisme tersebut. Volume darah, faktor I, VII, X, XII dan fibrinogen meningkat. Pada 291

proses kehamilan, dengan bertambahnya umur kehamilan, jumlah trombosit menurun. Perubahan-perubahan ini adalah untuk perlindungan terhadap perdarahan katastropik tapi juga akan merupakan predisposisi terhadap fenomena tromboemboli. Karena plasenta kaya dengan tromboplastin, maka bila pada solusio plasenta, ada risiko terjadinya DIC. Peningkatan volume darah mempunyai beberapa fungsi penting :    

Untuk memelihara kebutuhan peningkatan sirkulasi karena ada pembesaran uterus dan unit feto-plasenta. Mengisi peningkatan reservoar vena. Melindungi ibu dari perdarahan pada saat melahirkan. Selama kehamilan ibu menjadi hiperkoagulopati.

Delapan pekan setelah melahirkan volume darah kembali normal. Jumlah perdarahan normal partus pervaginam kurang lebih 400-600ml dan 1000ml bila dilakukan seksio sesarea, tapi pada umumnya tidak perlu dilakukan transfusi darah.

c. Perubahan sistem Kardiovaskular Curah jantung meningkat sebesar 30-40% dan peningkatan maksimal dicapai pada kehamilan 24 pekan. Permulaannya peningkatan denyut jantung ketinggalan dibelakang peningkatan curah jantung dan kemudian akhirnya meningkat 10-15 kali permenit pada kehamilan 28-32 pekan. Peningkatan curah jantung mula-mula bergantung pada peningkatan isi sekuncup dan kemudian dengan peningkatan denyut jantung, tetapi lebih besar perubahan isi sekuncup daripada perubahan denyut jantung. Dengan ekokardiografi terlihat adanya peningkatan ukuran ruangan end diastolic dan ada penebalan dinding ventrikular kiri. Curah jantung bervariasi bergantung pada besarnya uterus dan posisi ibu saat pengukuran dilakukan. Pembesaran uterus yang gravid dapat menyebabkan kompresi aortokaval ketika wanita hamil tersebut berada pada posisi supine dan hal ini akan menyebabkan penurunan venous return dan maternal hipotensi, menimbulkan keadaan yang disebut supine hypotensive syndrome. Sepuluh persen dari wanita hamil menjadi hipotensi dan diaforetik bila berada dalam posisi terlentang, yang bila tidak dikoreksi dapat menimbulkan penurunan aliran darah uterus dan fetal asfiksia. Efek ini akan lebih hebat lagi pada pasien dengan polihidramnion atau kehamilan kembar. Curah jantung meningkat selama persalinan dan lebih tinggi 50% dari saat sebelum persalinan. Segera pada periode pospartum, curah jantung meningkat secara maksimal dan dapat mencapai 80% di atas periode pra persalinan dan kira-kira 100% di atas nilai ketika wanita 292

tersebut tidak hamil, hal ini disebabkan karena pada saat kontraksi uterus terjadi plasental autotransfusi sebanyak 300-500ml. CVP meningkat 4-6sm H2O karena ada peningkatan volume darah ibu. Peningkatan isi sekuncup dan denyut jantung adalah untuk mempertahankan peningkatan curah jantung. Peningkatan curah jantung ini tidak bisa ditoleransi dengan baik pada pasien dengan penyakit jantung valvula (misal : aorta stenosis, mitral stenosis) atau penyakit jantung koroner. Gagal jantung yang berat dapat terjadi pada kehamilan 24 pekan, selama persalinan dan segera setelah persalinan. Curah jantung, denyut jantung, isi sekuncup menurun ke sampai nilai sebelum persalinan pada 24-72 jam pospartum dan kembali ke level saat tidak hamil pada 6-8 pekan setelah melahirkan. Kecuali peningkatan curah jantung, tekanan darah sistolik tidak berubah selama kehamilan, tetapi, tekanan diastolik turun 1-15mmHg. Ada penurunan MAP sebab ada penurunan resistensi vaskular sistemik. Hormon-hormon kehamilan seperti estradiol-17-α dan progesteron mungkin berperan dalam perubahan vaskular ini. Turunnya pengaturan αdan β reseptor juga memegang peranan penting. Selama kehamilan jantung tergeser ke kiri dan atas karena diafragma tertekan ke atas oleh uterus yang gravid. Gambaran EKG yang normal pada parturien :   

Disritmia benigna Gelombang ST, T, Q terbalik Left axis deviation

d. Perubahan pada Ginjal GFR meningkat selama kehamilan karena peningkatan renal plasma flow. RBF dan GFR meningkat 150% pada trimester pertama kehamilan, tetapi menurun lagi sampai 60% di atas wanita yang tidak hamil pada saat kehamilan aterm. Hal ini akibat pengaruh hormon progesteron. Kreatinin, BUN, asam urat juga menurun tapi umumnya normal. Suatu peningkatan dalam laju filtrasi menyebabkan penurunan plasma BUN dan konsentrasi kreatinin kira-kira 40-50%. Reabsorbsi natrium pada tubulus meningkat, tetapi, glukosa dan asam amino tidak diabsorbsi dengan efisien, maka glikosuri dan amino acid uri merupakan hal yang normal pada Ibu hamil. Pelvis renalis dan ureter berdilatasi dan peristaltiknya menurun. Nilai BUN dan kreatinin normal pada parturien (BUN 8-9 mg/dl, kreatinin 0,4 mg/dl) adalah 40% lebih rendah dari yang tidak hamil. Maka bila pada wanita hamil, nilainya sama seperti yang tidak hamil berarti ada kelainan ginjal. Pasien preeklampsi mungkin ada di ambang gagal ginjal, walaupun hasil pemeriksaan laboratorium normal. Diuresis fisiologi pada periode pospartum, terjadi antara hari ke-2 dan ke-5. GFR dan kadar BUN kembali ke keadaan sebelum hamil pada 293

pekan ke-6 pospartum.

e. Perubahan pada GIT Perubahan anatomi dan hormonal pada kehamilan merupakan faktor predisposisi terjadinya regurgitasi esofageal dan aspirasi paru. Uterus yang gravid menyebabkan peningkatan tekanan intragastrik dan mengubah posisi normal gastro esofageal junction. Alkali fosfatase meningkat. Plasma kolinesterase menurun kira-kira 28%, kemungkinan disebabkan karena sintesanya yang menurun dan karena hemodilusi. Walaupun dosis moderat suksinilkolin umumnya dimetabolisme, pasien dengan penurunan aktivitas kolinesterase ada risiko pemanjangan blokade neuro-muskuler. Disebabkan karena peningkatan kadar progesteron plasma, pergerakan GIT, absorbsi makanan dan tekanan sfingter esofageal bagian distal menurun. Peningkatan sekresi hormon gastrin akan meningkatkan sekresi asam lambung. Obat-obat analgesia akan memperlambat pengosongan gaster. Pembesaran uterus akan menyebabkan gaster terbagi menjadi bagian fundus dan antrum, sehingga tekanan intragastrik akan meningkat.

Aktivitas serum kolinesterase berkurang 24% sebelum persalinan dan paling rendah (33%) pada hari ke-3 pospartum. Walaupun aktivitas lebih rendah, dosis normal suksinilkolin untuk intubasi (1-1,5 mg/kg) tidak dihubungkan dengan memanjangnya blokade neuromuskular selama kehamilan. Karena perubahan-perubahan tersebut wanita hamil harus selalu diperhitungkan lambung penuh, dengan tidak mengindahkan waktu makan terakhir misalnya walaupun puasa sudah > 6 jam lambung bisa saja masih penuh. Penggunaan antasid yang non-partikel secara rutin adalah penting sebelum operasi sesarea dan sebelum induksi regional anestesia. Walaupun efek mekanis dari uterus yang gravid pada lambung hilang dalam beberapa hari tetapi perubahan GIT yang lain kembali ke keadaan sebelum hamil dalam 6 pekan pospartum .

f. Perubahan SSP dan susunan saraf perifer. SSP dan susunan saraf perifer berubah selama kehamilan, MAC menurun 2540% selama kehamilan. Halotan menurun 25%, isofluran 40%, metoksifluran 32%. Peningkatan konsentrasi progesteron dan endorfin adalah penyebab penurunan MAC tersebut. Tetapi beberapa penelitian menunjukan bahwa konsentrasi endorfin tidak meningkat selama kehamilan sampai pasien mulai ada his, maka mungkin endorfin tidak berperan dalam terjadinya perbedaan MAC tetapi yang lebih berperan adalah akibat progesteron. Terdapat penyebaran dermatom yang lebih lebar pada parturien setelah epidural 294

anestesia bila dibandingkan dengan yang tidak hamil. Hal ini karena ruangan epidural menyempit karena pembesaran pleksus venosus epidural disebabkan karena kompresi aortokaval oleh uterus yang membesar. Tetapi penelitian-penelitian yang baru menunjukkan bahwa perbedaan ini sudah ada pada kehamilan muda (8-12 pekan) di mana uterus masih kecil sehingga efek obstruksi mekanik masih sedikit ada maka faktor-faktor lain penyebabnya. Faktor-faktor lain itu adalah :   

Respiratori alkalosis kompensata. Penurunan protein plasma atau protein likuor serebrospinal. Hormon-hormon selama kehamilan (progesteron).

Walaupun mekanisme pasti dari peningkatan sensitivitas SSP dan susunan saraf perifer pada anestesia umum dan antesi regional belum diketahui tetapi dosis obat anestetik pada wanita hamil harus dikurangi. Peningkatan sensitivitas terhadap lokal anestesia untuk epidural atau analgesia spinaltetap ada sampai 36 jam pospartum.

g. Perubahan sistem muskuloskeletal, dermatologi, buah dada dan mata : Hormon relaksin menyebabkan relaksasi ligamentum dan melunakkan jaringan kolagen. Terjadi hiperpigmentasi kulit daerah muka, leher, garis tengah abdomen akibat melanocyt stimulating hormon. Buah dada membesar. Tekanan intraokular menurun selama kehamilan karena peningkatan kadar progesteron, adanya relaksin, penurunan produksi humor aqueus disebabkan peningkatan sekresi korionikgonadotrofin. Akibat relaksasi ligamentum dan kalogen pada kolumna vertebralis dapat terjadi lordosis. Pembesaran buah dada terutama pada ibu dengan leher pendek dapat menyebabkan kesulitan intubasi. Perubahan pada tekanan intraokular bisa menimbulkan gangguan penglihatan. Aliran darah uteroplasental Rumatan uteroplacental blood flow (UPBF) sangat penting untuk berlangsungnya kehidupan fetus yang baik, maka pengetahuan tentang UPBF ini sangat penting untuk tenaga medis dan paramedis yang merawat penderita hamil. UPBF dirumuskan sebagai berikut :

295

UAP 

UVP

UBF = -----------------UVR

UBF =uterine blood flow

UVP =uterine venous pressure

UAP =uterine arterial pressure

UVR=uterine vascular resistance

Maka semua keadaan yang menurunkan tekanan darah rata-rata ibu atau meningkatkan resistensi vaskular uterus akan menurunkan UPBF dan akhirnya menurunkan umbilikal blood flow (UmBF). Pada kehamilan aterm, 10% dari curah jantung atau sekitar 500700ml/menit akan memasok uterus di mana 80%-nya akan memasuki plasenta. Pembuluh plasenta berdilatasi secara maksimal, jadi placental blood flow sangat bergantung pada pada tekanan perfusi.

Table : Causes of Decreased Uterine Blood Flow Decreased perfusion pressure

Increased uterine vascular resistance

Decreased uterine arterial pressure

Endogenous vasoconstrictors

 Supine position (aortokaval compression)  Hemorrhage/hypovolemia  Drug-induced hypotension  Hypotension during sympathetic blockade Increased uterine venous pressure

Catecholamines (stres) Vasopresin (in responsse to hypovolemia) Exogenous vasoconstrictors  Epinefrin  Vasopresors (phenilephrine  ephedrine)  Local anesthetics (in high concentrasions)

 Vena kaval compression  Uterine contractions  Drug-induced uterine hypertonus (oksitosin local anesthetics)  Skeletal muscle hypertonous (seizures, Valsava) Dua arteri uterina merupakan sumber utama pasokan darah ke uterus, sedangkan pasokan dari arteri ovarika sangat bervariasi bergantung pada spesiesnya. Kompleksnya 296

pasokan arteri ini menyebabkan pengukuran langsung UBF sangat sulit, terutama pada manusia, dan pada kebanyakan kasus keadekuatan perfusi plasenta dapat diperkirakan secara tidak langsung dengan monitor denyut jantung fetus dan keadaan asam-basa. Pembuluh darah uterus, misalnya arteri spinalis, banyak mengandung serabut simpatis yang terutama terdapat pada tunika media. Penelitian pada distribusi relatif α dan β reseptor adrenergik pada pembuluh darah ini menunjukkan reseptor  ini berkurang atau bahkan tidak ada. Karena itu terapi vasopresor dapat membahayakan fetus. Obat α adrenergik dapat menurunkan UPBF.

ANESTESIA UNTUK SEKSIO SESAREA Seksio sesarea adalah melahirkan bayi melalui insisi abdominal dan dinding uterus. Keberhasilan anestesia untuk seksio sesarea dapat dilakukan dalam berbagai jalan, tetapi anestetis harus betul-betul mengerti tentang fisologi, patofisiologi dan farmakologi ibu hamil dan fetus. Tindakan anestesia yang biasa dilakukan adalah analgesia regional dan anestesia umum. Analgesia regional yang akan dibicarakan disini adalah spinal dan epidural anestesia karena kami jarang melakukan infiltrasi atau field block untuk seksio sesarea. I. SPINAL ANALGESIA Keuntungan analgesia spinaluntuk seksio sesarea adalah tekniknya sederhana, induksinya cepat, kontak fetus dengan obat-obatan minimal, pasiennya sadar dan bahaya aspirasi sedikit. Kerugian analgesia spinaladalah tingginya kejadian hipotensi, ada mual-muntah intrapartum, kemungkinan adanya PSH, lama kerja obat anestetik terbatas. Problema pada analgesia spinaladalah adanya hipotensi. Setelah induksi analgesia spinaluntuk seksio sesarea, kejadian hipotensi maternal (sistolik kurang dari 100mmHg atau turun lebih dari 30mmHg dari tekanan darah awal) adalah sebesar 80%. Perubahan hemodinamik ini disebabkan karena blokade simpatis dan diperbesar oleh penekanan aorta dan vena kava inferior oleh uterus yang gravid ketika pasien dalam posisi supine. Lebih tinggi blokade simpatis, lebih tinggi risiko hipotensi dan timbulnya gejala muntah-muntah. Posisi supine meningkatkan kejadian hipotensi secara nyata. Ueland dkk mengamati adanya pengurangan tekanan darah rata-rata dari 124/72 ke 67/38 mmHg pada ibu yang diletakkan dalam posisi supine setelah dilakukan spinal anestesia, tetapi bila dalam posisi lateral tekanan darah rata-rata sekitar 100/60mmHg. 297

Maternal hipotensi bisa mengancam kehidupan ibu dan fetus bila penurunan tekanan darah dan curah jantung tidak cepat dikoreksi. Keadaan hipotensi maternal yang singkat, bisa menyebabkan penurunan Skor Apgar pemanjangan waktu mencapai keadaan nafas yang adekuat, dan menyebabkan asidosis pada fetus. Bila hipotensi tidak lebih dari 2 menit, asidosis fetal minimal dan tidak ada pengaruh pada neurobehavioral bayi yang baru lahir pada umur 2-4 jam. Dengan lebih lamanya periode hipotensi Holman dkk menunjukkan adanya perubahan neurologis paling sedikit 48 jam pada bayi yang lahir dari Ibu yang dilakukan seksio sesarea dengan epidural analgesia. Karena analgesia spinalmempunyai keuntungan-keuntungan untuk seksio sesarea, berbagai usaha dilakukan untuk mencegah hipotensi maternal. Dicoba dengan pemberian 1000-1500 ml Ringer laktat 15-30 menit sebelum spinal anestesia. Bila diberikan larutan dekstrosa untuk mengisi volume, beberapa peneliti melihat adanya hiperglikemia fetal, asidosis dan ahkirnya neonatal hipoglikemia. Sebaliknya beberapa peneliti menganjurkan pemberian sedikit dektrosa (1% dektrosa di dalam RL) untuk mempertahankan euglikemia. Penggunaan sejumlah kecil koloid dikombinasikan dengan kristaloid tidak menunjukkan hasil yang konsisten untuk menurunkan kejadian hipotensi maternal.

Vasopresor : Nilai pemberian vasopresor untuk profilaksis masih kontroversial. Pemberian efedrin secara rutin untuk mencegah hipotensi tidak diperlukan untuk semua kasus, malahan bisa terjadi iatrogenik hipertensi bila kita gagal melakukan spinal analgesia. Tetapi ada suatu persetujuan bahwa bila terjadi hipotensi maternal tindakan yang dilakukan adalah : 

beri cairan  bila memungkinkan ubah posisi pasien  beri efedrin, dimulai dengan dosis 5-10mg intravena. (Dosis efedrin 0,10,2mg/kgBB) Dalam beberapa keadaan, timbulnya takikardia akibat efedrin merupakan indikasikontra, bila demikian kita bisa memberikan fenilefrin. Penelitian terakhir, menunjukkan bahwa pemberian fenilefrin 40g intravena, intra operatif setelah dilakukan analgesia spinalatau epidural anestesia untuk terapi maternal hipotensi selama seksio sesarea, tidak mempunyai efek yang jelek pada fetus, tetapi harus diingat bahwa penelitian tersebut dilakukan pada ibu yang sehat, bayi yang sehat dan tanpa insufisiensi uteroplasenta. Kejadian hipotensi selama analgesia spinaluntuk seksio sesarea pada pasien dengan persalinan fase aktif lebih rendah daripada yang sedang tidak dalam persalinan, 298



hal ini karena :





Autotransfusi sekitar 300ml darah ke dalam sirkulasi maternal akibat kontraksi uterus. Penurunan ukuran uterus sekunder hilangnya cairan amnion, bila ketuban sudah pecah. Lebih tingginya katekolamin Ibu pada wanita yang sedang dalam persalinan. Mual-muntah : Mual-muntah sering terjadi pada spinal anestesia. Hal ini disebabkan karena : 

hipotensi sistemik yang menyebabkan menurunnya CBF dan menyebabkan serebral hipoksia.  Traksi peritonium atau viseral yang menyebabkan reaksi vagal berupa bradikardia dan penurunan curah jantung. Telah dilakukan evaluasi terhadap keefektifan terapi yang cepat untuk setiap penurunan tekanan darah untuk pencegahan mual-muntal. Kesimpulannya bahwa pemberian efedrin intravena, jika diberikan segera bila tekanan darah turun, dapat mencegah penurunan tekanan darah dan akan mengurangi kejadian mual-muntah. Dan sebagi tambahan, nilai asam-basa darah umbilikal bayi yang ibunya segera diterapi bila ada hipotensi lebih baik daripada ibu yang jelas mengalami hipotensi. Traksi pada uterus dan atau peritonium bisa meningkatkan kejadian mual-muntah bila regional anestesianya tidak adekuat. Sakit viseral dari traksi pada peritonium atau viseral abdominalis akan merangsang pusat muntah melalui nervus vagus. Penambahan opiat intratekal atau epidural akan memperbaiki kualitas anestesia dan akan menurunkan kejadian mualmuntah selama operasi. Mual-muntah setelah bayi lahir dapat dikurangi dengan pemberian dosis kecil droperidol atau metoklopramid. Sakit Kepala : Sakit kepala pasca spinal merupakan problema utama setelah analgesia spinalpada obstetri. Kejadian PSH bervariasi dari satu institusi ke institusi yang lainnya, berkisar 0-10%. Beberapa teknik untuk mengurangi kejadian PSH : 

suntikan jarum spinal harus paralel dengan arah serabut duramater.  makin kecil jarumnya, makin sedikit kejadian PSH. Kami (di Bandung) menggunakan jarum spinal No.25 / 27.



Dengan No.27 kejadian PSH 2-3%. ujung jarum, kejadian PSH dengan pencil point lebih rendah daripada Quincke. 299

Dengan no. 25 pencil point kejadian PSH sekitar 1%. Kebanyakan PSHringan dan bisa sembuh sendiri. Pemberian kafein intravena atau peroral kadang-kadang dapat menurunkan kejadian sakit kepala . Ringkasan analgesia spinaluntuk seksio sesarea : 1. Berikan cairan yang tidak mengandung dekstrosa (2000ml) jika tidak ada indikasikontra. 2. Monitor tekanan darah, nadi, EKG, saturasi O2. 3. Obat anestetik bupivakain 0,5% atau levobupivakain 0,5% 4. Gunakan jarum spinal Quincke No.27 atau Whitacre No.27. 5. Posisi kanan lateral saat induksi spinal anestesia. 6. Posisi pasien miring kiri sampai bayi lahir. 7. Terapi penurunan tekanan darah ibu dengan efedrin 5-10 mg dan berikan cairan. Bila ada indikasi-kontra pemberian efedrin, berikan fenilefrine 40ug. 8. Berikan oksigen melalui sungkup. Indikasi-kontra analgesia spinaluntuk seksio sesarea : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

perdarahan hebat pada ibu. hipotensi hebat gangguan pembekuan kelainan neurologis pasien menolak kesulitan teknis tubuh pasien pendek atau morbid obesiti sepsis, baik lokal atau general.

III. ANESTESIA UMUM Keuntungan anestesia umum adalah induksinya cepat, mudah dikendalikan, kegagalan anestesia tidak ada, dapat menghindari terjadinya hipotensi. Kerugiannya adalah : kemungkinan adanya aspirasi, problema penatalaksanaan jalan nafas, bayi terkena obat-obat narkotik serta ada kemungkinan awareness. Maternal aspirasi : Aspirasi pneumonia akibat aspirasi cairan lambung disebut sebagai sindroma Mendelson, maka penting sekali menetralkan asam lambung. Tetapi pemberian antasid jangan berbentuk partikel. Robert dan Shirley melaporkan adanya aspirasi isi lambung selama anestesia untuk seksio sesarea walaupun sebelumnya diberi antasid yang berpartikel. Pada penelitian hewan dilaporkan bila terjadi aspirasi partikel antasid, bisa menyebabkan perubahan struktur dan fisiologi paru. Antasid yang tidak berpartikel dapat menghilangkan problema ini. Glikopirolat suatu antikolinergik dapat menurunkan sekresi gaster, tetapi dapat menyebabkan relaksasi sfingter gastresofageal, sehingga meningkatkan risiko regurgitasi 300

dan aspirasi. Simetidin dan ranitidin suatu histamin (H2) reseptor antagonis dapat menghambat sekresi asam lambung dan menurunkan volume gaster. Metoklopramid dapat meningkatkan motilitas gaster dan karena itu tonus sfingter esofagus meningkat, sering diberikan sebelum anestesia umum pada seksio sesarea. Metoklopramid juga berefek anti emetik sentral yang bekerja di CTZ (chemoreceptor trigger zone).

Penatalaksanaan jalan nafas : Hal ini dihubungkan dengan peningkatan konsumsi O2 dan penurunan kapasitas residual fungsional. Preoksigenasi dengan oksigen 100% mutlak harus dilakukan sebelum mulai induksi anestesia. Norris dan Dewo membandingkan dua cara preoksigenasi,yang pertama dengan oksigen 100% selama 3 menit dan yang kedua dengan 4 kali nafas dalam yang maksimal selama 30 detik. Ternyata P aO2 rata-rata tidak berbeda antara kedua kelompok. Oleh karena itu dalam keadaan fetal distres akut, 4 kali nafas dalam dengan oksigen 100% mungkin sudah mencukupi. Induksi yang cepat dengan tekanan krikoid (manuver Sellick) diikuti intubasi endotrakeal adalah metode yang sering dilakukan. Monitor O2 dan CO2 harus dilakukan. Problema lain untuk anestesia umum pada seksio sesarea adalah kesulitan intubasi. Bila hal itu terjadi, harus dilakukan ventilasi melalui sungkup atau dipasang LM, tetapi problema adanya aspirasi tetap tidak bisa dihilangkan. Depresi Neonatus : Penyebab depresi neonatus pada anestesia umum : 1. Penyebab fisiologis : 

hipoventilasi ibu  hiperventilasi ibu  penurunan perfusi uteroplasenta disebabkan kompresi aortokaval. 2. Penyebab farmakologi :











obat-obat induksi pelumpuh otot rendahnya konsentrasi oksigen N2O dan obat anestetik inhalasi lainnya efek memanjangnya interval induction-delivery dan uterine incision-delivery.

301

1. Penyebab fisiologis : Perubahan-perubahan fisiologis dan kehamilan menyebabkan parturien lebih mudah terpengaruh oleh perubahan yang cepat dari gas darah. Hipoventilasi akan mengurangi tekanan oksigen pada ibu dan akan menyebabkan perubahan asam-basa pada neonatus atau depresi biokimia. Hiperventilasi ibu selama anestesia umum akan menyebabkan penurunan tekanan O2 fetal karena : 

terjadi vasokontriksi pembuluh umbilikal sekunder terhadap hipokarbi ibu.  perubahan hemodinamik ibu akibat peningkatan tekanan intratoraksal yang menyebabkan penurunan aortic blood flow dan aliran darah uterin (UBF). Ventilasi semenit yang lebih dari 100ml/kg/menit selama anestesia umum, harus dihindari. Kompresi aortokaval menjadi lebih penting bila ada fetal asfiksia. Bila pasien diletakkan dalam posisi supine akan lebih memperburuk fetus. Bayi akan lebih baik bila kita menghindari kejadian kompresi aortokaval. 2. Penyebab farmakologis : a. Obat induksi : Yang paling umum dipakai adalah tiopental dengan dosis 4mg/kgBB. Tiobarbiturat menembus plasenta dengan cepat dan ditemukan dalam darah fetus dalam beberapa detik setelah suntikan intravena pada ibu. Konsentrasi dalam darah vena umbilikal lebih rendah dari darah vena ibu, konsentrasi dalam darah arteri umbilikal lebih rendah dari darah vena umbilikal. Adanya perbedaan ini karena : 

penurunan yang cepat dari konsentrasi tiobarbiturat dalam darah Ibu karena redistribusi yang cepat.  distribusi yang tidak homogen dalam ruangan intervilli.  ekstraksi tiobarbiturat dari darah vena umbilikal oleh liver fetus.  dilusi yang progresif melalui pintasan pada sirkulasi fetal. Ketamin 1-1,5mg/kg mungkin merupakan obat induksi yang terpilih pada kasus-kasus perdarahan. Propofol dengan dosis 2-2,5mg/kg tidak menunjukkan kelebihan untuk seksio sesarea. etomidat 0,3mg/kg efek depresi miokardium lebih kecil dan hemodinamik lebih stabil dibandingkan dengan tiopental. b. Pelumpuh otot : Penelitian-penelitian pada -tubokurarin, pankuronium, metokurin, dan ssuksinilkolin menunjukkan bahwa setelah pemberian obat-obatan ini, sedikit jumlah obat yang menembus plasenta dan tidak mempengaruhi fetus. Tetapi, blokade neuromuskular yang lama pada Ibu dan bayi telah dilaporkan setelah pemberian suksinilkolin pada Ibu. Hal ini disebabkan karena atypical pseudocholine esterase pada 302

Ibu dan bayi baru lahir. Banyak penulis menganjurkan pemberian dosis kecil pelumpuh otot non depolarizing sebelum penggunaan suksinilkolin untuk mencegah fasciculasi dan peningkatan tekanan intragastrik, tetapi tidak semua anesthesiologist setuju pada konsep ini dengan alasan : 

pada parturien jarang terjadi fasikulasi setelah pemberian suksinilkolin.  suksinilkolin menyebabkan kenaikkan tekanan intragastrik yang tidak konsisten dan tidak dapat diperkirakan.  suksinilkolin bertendensi meningkatkan tekanan sfingter esofageal bagian distal.  intubasi menjadi lebih sulit bila diberikan non-depolarisasi sebelum pemberian suksinilkolin.  sakit otot setelah pemberian suksinilkolin tidak perlu diperhatikan setelah seksio sesarea. Atrakurium : transfer plasenta hanya 5-20%. c. Oksigenasi : Oksigenasi fetus dipengaruhi oleh konsentrasi oksigen inspirasi Ibu. Lebih tinggi konsentrasi oksigen inspirasi akan meninggikan tekanan O 2 pada ibu dan fetal dan akan memperbaiki kondisi bayi saat lahir. Konsentrasi O2 65-75% cukup untuk mendapatkan hasil yang optimal.

d. N2O : N2O menembus plasenta dengan cepat dan mencapai rasio konsentrasi dalam darah arteri umbilikal/vena umbilikal 0,8 setelah pemberian 15 menit. Pemberian N 2O konsentrasi tinggi yang lama dapat menyebabkan rendahnya Skor Apgar, mungkin disebabkan karena difusi hipoksia dan depresi SSP secara langsung. Dalam praktek tidak pernah memberikan N2O lebih dari 50%. Berbagai obat anestetik inhalasi telah dipakai bersama-sama N2O misalnya halotan, enfluran, isofluran dan mendapatkan hasil yang baik dengan beberapa efek samping. e. Efek interval Induction-delivery (ID) dan Uterine incision delivery (UD) : Ada pemikiran yang berbeda tentang waktu optimal untuk melahirkan bayi bila digunakan anestesia umum untuk seksio sesarea. Beberapa peneliti menemukan keadaan neonatus yang lebih baik bila interval ID kurang dari 10 menit. Yang lebih baru, Crawford dkk, mengatakan bahwa bila kompresi aortokaval dihindari, konsentrasi O 2 inspirasi 65-70%, tidak ada hipotensi, maka pada ID 30 menit tidak terdapat pengaruh 303

yang nyata pada status asam-basa bayi. Bila digunakan N2O/O2 50% : 50% dan konsentrasi kecil uap untuk mendapatkan amnesia, tidak ada efek yang nyata pada status asam-basa bayi dan Skor Apgar bila bayi dilahirkan dalam waktu 10 menit. Faktor lain yang mempengaruhi kondisi bayi adalah interval UD. Pada spinal anestesia, bila tidak ada hipotensi, pemanjangan ID interval tidak mempengaruhi Apgar dan status asam-basa bayi, tetapi bila UD interval lebih dari 180 detik dihubungkan dengan lebih rendahnya Skor Apgar dan bayi yang asidotik. Selama anestesia umum, bila ID interval lebih dari 8 menit atau UD interval sama atau lebih dari 180 detik, ditemukan adanya penurunan Skor Apgar (kurang dari 7) dan asidosis neonatal. Baru-baru ini, penelitian pemanjangan UD interval selama regional anestesia, dihubungkan dengan peningkatan norepinefrin arteri umbilikal fetus dan dihubungkan dengan fetal asidosis. Hasil yang jelek karena pemanjangan UD interval adalah karena : 

efek manipulasi uterus pada uteroplasental dan umbilical blood flow.  tekanan pada uterus dengan menitik beratkan pada kompresi aortokaval.  penekanan pada kepala bayi ketika kesulitan melahirkan bayi.  inhalasi cairan amnion akibat pernafasan gasping bayi dalam uterus. Adanya peningkatan konsentrasi epinefrin pada fetus merupakan tanda adanya fetal hipoksia. Awareness : Problema utama anestesia umum untuk seksio sesarea adalah kejadian awareness karena kita memakai dosis kecil dan konsentrasi rendah obat anestetik untuk mengurangi efek pada fetus. Kejadian awareness sekitar 17-36%. Penggunaan konsentrasi kecil volotile anestetic dapat mencegah awareness dan recall tanpa efek yang jelek pada neonatus atau perdarahan uterus yang banyak. Kesimpulan anestesia umum untuk seksio sesarea : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Premedikasi dengan metoklopromid dan beri antasid yang tidak berpartikel (30 ml). Monitor tekanan darah, nadi, EKG, saturasi O2, kapnograf, suhu, TOF. Pasien miring kiri. Preoksigenasi dengan O2 100%. Induksi dengan tiopental/ketamin/propofol + relaksan. Intubasi dengan pipa endotrakeal + balon. N2O/O2 50% + isofluran 0,75% atau enfluran 1% atau sevofluran 2%. Hindari hiperventilasi atau hipoventilasi. 304

9. 1. 2. 3. 4.

Kosongkan lambung dengan NGT. ID interval singkat. UD interval singkat. Berikan narkotik pada ibu setelah bayi lahir. Ekstubasi bila ibu sudah sadar penuh.

Referensi : 1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006 2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed. Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006

LAMPIRAN

No

Prosedur anesthesia umum

Kasus ke

(Intubasi setelah induksi anestesia umum)

1

1

Persiapan operasi elektif : puasa 6-8 jam (pasien dewasa)

2

Periksa kesiapan mesin anstesia, peralatan anestesia dan obatobat anestetik.

3

Berikan premedikasi secara IV atau IM

4

Lakukan induksi dengan obat intravena

5

Lakukan intubasi

6

Isi kaf pipa endotrakeal sampai tidak ada tanda bocor (tetapi jangan terlalu keras)

7

Cek ke dalaman pipa endotrakeal dengan inspeksi gerakan dada dan auskultasi bunyi nafasparu kiri dan kanan.

8

Hubungkan mesin anestesia dengan pipa endotrakeal

2

3

4

305

9

Atur aliran oksigen, aliran gas anestesia (N2O) dan atur kadar zat anestetik uap

10

Berikan nafas buatan menggunakan balon anestesia sambil mengatur katup

11

Monitor fungsi vital: oksigensi, saturasi Hb (SpO2), ventilasi(ETCO2), tekanan darah, nadi, EKG, suhu, aliran cairan infusi, produksi urin, perdarahan.

12

Atur kebutuhan obat suplemen analgetika opioid, kebutuhan zat inhalasi, dan kebutuhan pelumpuh otot.

13

Akhir operasi yakinkan pasien bernafas spontan dan volume nafas adekuat.(kecuali bila direncanakan untuk melanjutkan bantuan nafas pascabedah) Bila perlu berikan antidotum zat yang menyebabkan apnea berkepanjangan atau hipoventilasi.

14

Ekstubasi dilakukan bila nafas adekuat dan refleks protektif baik

15

Harus selalu diawasi keadaan jalan nafas dan pernafasan pasca ekstubasi

16

Berikan analgetika adekuat pascabedah..

Teknik intubasi nasal pada prinsipnya sama seperti di atas. Tetapi memerlukan analgesia topikal dan tampon vasokonstriktor pada mukosa nasal. pipa endotrakeal dimasukkan melalui lubang hidung, didorong sampai ke faring, lalu dengan bantuan laringoskop didorong ke arah glotis melewati pita suara (dapat dengan bantuan forseps Magill). Teknik ini juga dapat dilakukan secara buta.

No

Prosedur anestesia intravena

Kasus ke 1

1

2

3

4

Persiapan operasi elektif : puasa 6-8 jam (pasien dewasa)

306

2

Periksa kesiapan mesin anstesia, peralatan anestesia dan obatobat anestetik.

3

Berikan premedikasi secara IV atau IM

4

Berikan oksigen 3- 6 l/ mnt dengan nasal kanul atau sungkup muka

5

Lakukan induksi dengan obat intravena

6

Monitor fungsi vital: oksigensi, saturasi Hb (SpO2), ventilasi(ETCO2), tekanan darah, nadi, EKG, suhu, aliran cairan infusi, produksi urin, perdarahan.

7

Atur kebutuhan obat suplemen analgetika opioid, dan kebutuhan sedasi

8

Akhir tindakan yakinkan pasien bernafas spontan dan volume nafas adekuat (kecuali bila direncanakan untuk melanjutkan bantuan nafas pascabedah) Bila perlu berikan antidotum zat yang menyebabkan apnea berkepanjangan atau hipoventilasi.

9

Harus selalu diawasi keadaan jalan nafas dan pernafasan sampai ke ruang pulih

10

Berikan analgetika adekuat pascabedah..

No

Prosedur Intubasi LMA

Kasus ke

(Intubasi setelah induksi anestesia umum)

1

1

Periksa kesiapan alat dan obat yang diperlukan

2

Pastikan LMA telah dikempeskan dan diberi lubrikasi dengan NaCl 0,9% atau lidokain

3

Berikan obat premedikasi sesuai indikasi

4

Berikan obat induksi, sambil berikan oksigen, pastikan pasien sudah tertidur cukup dalam

5

Berikan obat pelumpuh otot bila diperlukan

6

Posisikan kepala pasien pada sniffing position.

2

3

4

307

7

Buka mulut dan masukkan LMA menyusuri palatum, dengan jari tengah dorong LMA kearah kranial sambil menyusuri palatum.

8

Dorong LMA terus sampai menemui resistensi di dasar hipofaring.

9

Kembangkan kaf LMA, pastikan posisi LMA dengan baik dan lihat kembangan dada simetris untuk memastikan ventilasi yang adekuat.

No

Prosedur Induksi cepat

1 2

Periksa kesiapan alat dan obat yang diperlukan Diperlukan seorang asisten untuk melakukan manuver Sellick (penekanan pada krikoid)

3

Berikan preoksigenasi dengan oksigen 100% selama 3-5 menit

4

Berikan obat induksi dan pelumpuh otot kerja cepat

5

Posisikan kepala pasien dengan leher ekstensi

6

Asisten melakukan penekanan pada krikoid

7

Buka mulut dan masukkan daun laringoskop melalui sudut kanan mulut

8

Tempatkan ujung daun pada valekula

9

Angkat epiglotis sampai tampak rima glotis dan pita suara

10

Masukkan pipa endotrakeal dengan tangan kanan

11

Asisten tetap melakukan penekanan pada krikoid sampai posisi pipa endotrakeal sudah tepat di atas karina, di mana bunyi nafaskanan dan kiri sama dengan ventilasi buatan

Kasus ke 1

2

3

4

308

Prosedur Anestesia Blok Subarahnoid No

Prosedur Anestesia Blok Subarahnoid

Kasus ke

(pendekatan cara midline) 1 1

Periksa kesiapan alat dan obat analgetik lokal yang diperlukan.

2

Siapkan kelengkapan tindakan untuk asepsis dan antisepsis

3

Posisikan pasien lateral dekubitus atau duduk, ganjal bahu dan kepala pasien bila diposisikan lateral dekubitus.

4

Tentukan penunjuk anatomi celah antara L2-3, L3-4 atau L4-5. Celah antara L3-4 atau prosesus spinosus L4 tegak lurus dari spina iliaka anterior superior.

5

Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada penunjuk anatomi yang ditentukan.

6

Berikan analgesia lokal pada celah yang akan dilakukan penusukan jarum spinal.

7

Lakukan penusukan jarum spinal (atau introduser) pada celah yang telah diberi analgesia lokal. Penusukan jarum harus sejajar dengan prosesus spinosus atau sedikit membentuk sudut ke arah sefalad, dengan arah bevel ke lateral atau sefalad.

8

Dorong jarum sampai melewati resistensi ligamentum flavum dan dura, terasa kehilangan tahanan pada rongga subarahnoid.

9

Cabut mandren jarum, dan pastikan posisi jarum sudah tepat yang ditandai dengan mengalir keluar cairan serebrospinal

2

3

4

309

yang bening. Jarum dapat dirotasikan 90° untuk memastikan kelancaran likuor yang keluar. Penusukkan harus diulang bila likuor tidak keluar atau keluar darah. 10

Sambungkan jarum dengan spuit berisi obat analgetik lokal yang sudah dipersiapkan. Aspirasi sedikit likuor, bila lancar suntikan obat analgetik lokal secara perlahan. Lakukan aspirasi ulang untuk memastikan ujung jarum tetap pada posisi yang tepat dan suntikan kembali obat.

11

Setelah selesai cabut jarum dan kembalikan posisi pasien sesuai dengan yang diinginkan. Cara penyuntikkan paramedian pada dasarnya sama seperti di atas, hanya jarum spinal disuntikkan pada 1,5 sm lateral dan 1sm kaudal dari celah penyuntikkan yang dituju.

310

ANESTESIA OBSTETRI II MODUL 16 : Mengembangkan Kompetensi

Sesi di dalam kelas Sesi dengan fasilitasi Pembimbing Sesi praktek dan pencapaian kompetensi

Waktu (Semester 2) Anestesia obstetrik- 2 adalah suatu rotasi yang membutuhkan waktu paling sedikit 2 bulan (8 pekan) untuk peserta didik semester 3 ke atas, yang meliputi anestesia untuk semua jenis operasi obstetrik, terutama untuk kasus dengan penyulit atau penyakit penyerta.

PERSIAPAN SESI Audiovisual Aid: 1. LCD Proyektor dan layar 2. Laptop 3. OHP 4. Flipchart 5. Pemutar video Materi presentasi: CD PowerPoint Sarana: 1. Ruang belajar 2. Ruang pemeriksaan 3. Ruang Pulih 4. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut Kasus : pasien di ruang PACU Alat Bantu Latih : Model anatomi /Simulator Penuntun Belajar : lihat acuan materi Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik

311

Referensi : 1. Clinical Anesthesiology GE Morgan, Jr 4th ed 2006 2. Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006 3. Miller´s Anesthesia RD Miller 6th ed 2005 GAMBARAN UMUM Untuk dapat mengelola pasien obsteri anestesia diperlukan pengetahuan dan keterampilan dalam penatalaksanaan perioperatf dari mulai persiapan prabedah sampai penatalaksanaan pascabedah. Melalukan penatalaksanaan nyeri persalinan dan memberikan anestesia umum atau regional untuk seksio sesarea pada seksio sesarea dengan penyulit.

TUJUAN KHUSUS Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk : Kognitif 1. Memiliki variabilitas denyut jantung janin, persalinan kurang bulan (prematur), asfiksia neonatus. 2. Memiliki pengetahuan tentang kehamilan multipara, persalinan pervaginam dengan riwayat seksio sesarea sebelumnya, perdarahan ante, intra dan pospartum. 3. Memiliki pengetahuan tentang preeklampsia, eklampsia, sindrom HELLP . 4. Mampu menjelaskan tanda-tanda embolusair ketuban dan penatalaksanaannya. 5. Mampu menjelaskan tanda-tanda pneumonia asam (aspirasi) dan sindrom Mendellson. 6. Memiliki pengetahuan tentang sindrom Meigs pada kasus tumor . 7. Mampu menjelaskan kelainan atau penyakit pasien obstetrik dengan risiko tinggi yang akan mempengaruhi jalannya anestesia. 8. Mampu menjelaskan persiapan alat dan obat untuk anestesia umum dan regional meliputi subarahnoid, epidural, kaudal (lihat prosedur anestesia umum dan regional). 9. Mampu menjelaskan indikasi anestesia umum atau regional untuk kasus obstetrik dan dengan penyulit dan penyakit penyerta. 10. Mampu menjelaskan rencana analgesia regional untuk prosedur bedah obstetrik dan (lihat modul dan prosedur analgesia regional). 11. Mampu menjelaskan rencana anestesia umum untuk prosedur bedah obstetrik dan termasuk teknik induksi cepat dan penatalaksanaan jalan nafas sulit pada ibu hamil (lihat modul dan prosedur anestesia umum). 12. Mampu menjelaskan penatalaksanaan cairan dan transfusi darah pada kasus obstetrik- . 312

13. Mampu menjelaskan evaluasi dan resusitasi bayi baru lahir. 14. Mampu menjelaskan penatalaksanaan anestesia operasi non obstetrik pada pasien obstetrik. 15. Mampu menjelaskan penatalaksanaan anestesia operasi laparoskopi. 16. Mampu menjelaskan tentang ILA (Intrathecal labor analgesia) dan PCEA (Patient controlled epidural analgesia) untuk persalinan pervaginam. 17. Mampu menjelaskan tindakan resusitasi ibu hamil. 18. Mampu menjelaskan penatalaksanaan pospartum dan pascabedah termasuk penanganan nyeri dan mual muntah. 19. Mampu menjelaskan indikasi rawat ICU pascabedah. Psikomotor 1. Mampu menentukan status fisis pasien obstetrik- dengan penyulit atau penyakit penyerta berdasarkan klasifikasi ASA (III keatas). 2. Mampu menilai kondisi jalan nafas pasien hamil dengan tingkat kesulitannya, dan membuat rencana penatalaksanaannya dengan baik. 3. Mampu melakukan identifikasi kelainan atau penyakit penyulit preoperatif pasien dengan risiko tinggi (preeklampsia, eklampsia, sindrom HELLP, kelainan jantung, sindrom Meigs dll) yang akan mempengaruhi jalannya anestesia dan melakukan penatalaksanaannya. 4. Mampu melakukan analgesia regional meliputi subarahnoid, epidural, kaudal untuk prosedur bedah kasus obstetrik dan dengan penyulit atau kelainan penyerta (lihat modul dan prosedur analgesia regional). 5. Mampu memberikan anestesia umum untuk prosedur bedah obstetrik dan termasuk teknik induksi cepat dan penatalaksanaan jalan nafas sulit pada ibu hamil (lihat modul dan prosedur anestesia umum). 6. Mampu mengenali komplikasi (hipertensi, hipotensi, edema paru, aspirasi, penurunan kesadaran dll) pada kasus obstetrik dan cara penanganannya. 7. Mampu melakukan terapi cairan dan transfusi darah pada kasus obsterik . 8. Mampu memberikan anestesia operasi non obstetrik pada pasien obstetrik. 9. Mampu memberikan anestesia operasi laparoskopi. 10. Mampu melakukan ILA (Intrathecal labor analgesia) dan PCEA (Patient controlled epidural analgesia) untuk persalinan pervaginam 11. Mampu melakukan resusitasi ibu hamil. 12. Mampu melakukan evaluasi dan resusitasi bayi baru lahir (lihat modul anestesia umum dan pediatrik). 13. Mampu melakukan penatalaksanaan pospartum, penanganan nyeri dan mual muntah. 14. Mampu melakukan pencatatan hal penting dalam rekam medis preoperatif, intra dan pascabedah terkait dengan tindakan anestesia. 15. Mampu menentukan indikasi rawat ICU pascabedah. Komunikasi/Hubungan Interpersonal 1. Mampu menjelaskan pada pasien atau keluarga pasien tentang kondisi pasien preoperatif , tindakan anestesia umum yang akan dilakukan serta risiko yang dapat timbul. 2. Mampu memberikan penjelasan kepada rekan sejawat atau konsulen tentang 313

kondisi pasien untuk kemungkinan pemeriksaan tambahan, pemberian obatobatan atau upaya optimalisasi kondisi pasien. 3. Mampu menjelaskan tentang kondisi pasien kepada operator sebelum operasi terutama untuk mencegah terjadi keadaan atau kondisi pasien yang tidak diinginkan. 4. Mampu berinteraksi atas dasar saling menghormati dan menciptakan kondisi kerjasama tim yang terlibat di kamar bedah. 5. Mampu memperoleh kemudahan pasien untuk rawat ICU atau ruang lain sesuai kondisi pasien pascabedah. Profesionalisme 1. Mampu bekerja sesuai prosedur. 2. Mampu berinteraksi dengan sejawat lain maupun paramedis dan tenaga kesehatan lain atas dasar saling menghormati kompetensi masing-masing. 3. Mampu menjaga kerahasiaan pasien. 4. Mampu memahami, memberikan penjelasan kepada pasien atau keluarganya tentang kondisi pasien sesuai hak pasien. 5. Mampu melakukan pekerjaan secara efisien. KEYNOTES: 1. Morbiditas paling umum pada pasien obstetri (OB) adalah perdarahan berat dan preeklampsia 2. Tanpa memandang kapan saat makan terakhir semua pasien OB dianggap lambung penuh dan berisiko untuk terjadinya aspirasi paru. 3. Hampir semua opioid analgesia dan sedatif yang diberikan parenteral menembus sawar plasenta dan mempengaruhi fetus. Teknik analgesia regional lebih disukai untuk penatalaksanaan nyeri persalinan. 4. Penggunaan campuran obat analgetik lokal dengan opioid untuk analgesia lumbal epidural untuk penatalaksanaan nyeri persalinan secara nyata akan mengurangi keperluan obat, dibandingkan dengan pemberian obat tersebut secara sendiri-sendiri. 5. Analgesia optimal untuk persalinan blokade neural setinggi T10-L1 pada kala I dan T10-S4 pada kala II persalinan. GAMBARAN UMUM Untuk dapat mengelola pasien obsteri anestesia diperlukan pengetahuan dan keterampilan dalam penatalaksanaan perioperatif dari mulai persiapan prabedah sampai penatalaksanaan pascabedah. Melalukan penatalaksanaan nyeri persalinan dan memberikan anestesia umum atau regional untuk seksio sesarea pada pasien seksio sesarea tanpa penyulit.

314

TUJUAN PEMBELAJARAN Setelah mengikuti sesi ini peserta didik anestesia obstetri pada kasus sulit:

akan mampu melakukan penatalaksanaan

Preeklampsia atau eklampsia. Kehamilan dengan penyakit berat yang menyertai. Embolusair ketuban. Pneumonia asam (aspirasi) dan sindrom Mendellson. Sindrom Meigs

METODE PEMBELAJARAN A. Proses pembelajaran dilaksanakan melalui metode : 1. Diskusi kelompok kecil 2. Peer assisted learning (PAL) 3. Bedside teaching 4. Task-based medical education B. Peserta didik sudah harus mempelajari: 1. Bahan acuan (references) 2. Ilmu dasar yang berkaitan dengan topik pembelajaran 3. Ilmu klinis dasar C. Penuntun belajar (learning guide)terlampir D. Tempat belajar (training setting) : ruang rawat pasien, kamar operasi, ruang pulih pascabedah, ruang rawat ICU.

MEDIA 1. Kursus / pelatihan 2. Pelatihan di skill lab intubasi, LMA, subarahnoid, epidural, dan kaudal pada manikin. 3. Belajar mandiri 4. Kuliah 5. Kuliah khusus Penatalaksanaan Anestesia Obstetrik dan 2 termasuk semua sub pokok bahasan dilakukan semester 3 pekan 1. 315

6. Diskusi kelompok 7. Laporan dan diskusi tentang problema preoperatif , penatalaksanaan jalan nafas, anestesia umum atau regional, pemantauan dan penatalaksanaan pascabedah. 8. Kunjungan preoperatif 9. Bimbingan pembiusan dan asistensi 10. Pelatihan di kamar bedah intubasi, LMA, subarahnoid, epidural dan kaudal pada pasien obstetrik dan dengan bimbingan dan pengawasan staf pengajar. 11. Tugas baca dan tulisan (tinjauan pustaka, journal reading) 12. Laporan kasus, morbiditas dan mortalitas 13. Continuing Profesional Development (CPD) ALAT BANTU PEMBELAJARAN Perpustakaan, internet, skill lab

EVALUASI 1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pre-tes dalam bentuk esai dan lisan untuk menilai kinerja awal peserta didik dan melakukan identifikasi kekurangan yang ada. Materi pretes terdiri atas : - Anatomi, fisiologi kehamilan, farmakologi perinatal - Penegakan diagnosis dan ASA - Teknik pembiusan (umum, regional) - Pengawasan intraoperasi - Komplikasi dan penanganannya - Penatalaksanaan pascabedah 2. Diskusi kelompok kecil bersama fasilitator untuk membahas kekurangan yang teridentifikasi, membahas tuntunan belajar dan proses penilaian. 3. Peserta didik diwajibkan untuk mengaplikasikan langkah-langkah dalam penuntun belajar pada manikin anestesia bersama teman-temannya (peer assisted learning), dievaluasi oleh teman-temannya (peer assisted evaluation). 4. Setelah dinilai memadai, peserta didik melalui metode bedside teaching di bawah 316

pengawasan fasilitator mengaplikasikan penuntun belajar kepada pasien sesungguhnya. Pada saat pelaksanaan, evaluator melakukan pengawasan langsung (direct observation) dan mengisi lembar penilaian: - Perlu perbaikan : pelaksanaan belum benar atau beberapa langkah tidak dilakukan - Cukup baik : pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misalnya tindakan anestesia tidak mulus sehingga kurang memberi kenyamanan kepada pasien - Baik : pelaksanaan benar, baik dan efisien 5. Setelah bedside teaching dilakukan diskusi dan memberi masukan untuk memperbaiki kekurangan yang ditemukan. 6. Self assessment dan peer assisted evaluation dengan mempergunakan penuntun belajar. 7. Pendidik/fasilitator melakukan : - Pengamatan langsung dengan memakai ceklis evaluasi (terlampir) - Diskusi dan penjelasan lisan dari peserta didik - Kriteria penilaian keseluruhan : baik/cukup/kurang 8. Task-based medical education, pada akhir penilaian peserta didik diberi masukan atau diberi tugas untuk memperbaiki kinerja. 9. Pencapaian pembelajaran dengan pre dan pos-tes.

Pre-tes : 1. Jelaskan tentang variabilitas denyut jantung janin, persalinan kurang bulan (prematur), asfiksia neonatus. 2. Jelaskan tentang kehamilan multipara, persalinan pervaginam dengan riwayat seksio sesarea sebelumnya, perdarahan ante, intra dan pospartum beserta komplikasinya. 3. Jelaskan patofisiologi preeklampsia, eklampsia, sindrom HELLP . 4. Jelaskan tanda-tanda embolusair ketuban dan penatalaksanaannya. 5. Jelaskan tanda-tanda pneumonia asam (aspirasi) dan sindrom Mendellson. 6. Jelaskan kelainan atau penyakit pasien obstetrik dengan risiko tinggi yang akan mempengaruhi jalannya anestesia. 7. Jelaskan persiapan alat dan obat untuk anestesia umum dan regional meliputi subarahnoid, epidural, kaudal (lihat prosedur anestesia umum dan regional). 8. Jelaskan indikasi anestesia umum atau regional untuk kasus obstetrik dan dengan 317

penyulit dan penyakit penyerta. 9. Jelaskan rencana analgesia regional untuk prosedur bedah obstetrik dan (lihat modul dan prosedur analgesia regional). 10. Jelaskan rencana anestesia umum untuk prosedur bedah obstetrik dan termasuk teknik induksi cepat dan penatalaksanaan jalan nafas sulit pada ibu hamil (lihat modul dan prosedur anestesia umum). 11. Jelaskan penatalaksanaan cairan dan transfusi darah pada kasus obstetrik . 12. Jelaskan evaluasi dan resusitasi bayi baru lahir. 13. Jelaskan penatalaksanaan anestesia operasi non obstetrik pada pasien obstetrik. 14. Jelaskan penatalaksanaan anestesia operasi laparoskopi. 15. Jelaskan tentang ILA (Intrathecal labor analgesia) dan PCEA (Patient controlled epidural analgesia) untuk persalinan pervaginam. 16. Jelaskan tindakan resusitasi ibu hamil. 17. Jelaskan penatalaksanaan pospartum dan pascabedah termasuk penanganan nyeri dan mual muntah. 18. Jelaskan indikasi rawat ICU pascabedah. Bentuk pre-tes : MCQ, ujian esai dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan (semester).

Bentuk ujian : - Ujian akhir stase - Ujian akhir profesi Bisa dalam bentuk : 1. Pengetahuan -

MCQ EMQ (Extended Medical Question) Ujian lisan

-

EMQ (Extended Medical Question) Multiple observation and assessments Multiple observers OSCE (Objective Structure Clinical Examination) Minicheck

-

Multiple observation and assessments Multiple observers OSCE (Objective Structure Clinical Examination) Minicheck

2.Kognitif

3. Skill

318

4.Communication and Interpersonal Skills - Multiple observation and assessments - Multiple observers 5.Profesionalisme -

Multiple observation and assessments Multiple observers

DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR ANESTESIA Tindakan / operasi :

No Daftar cek penuntun belajar prosedur anestesia

Sudah dilakukan

Belum dilakukan

PERSIAPAN PRA ANESTESIA 1

Anamnesis, periksaan fisis, pemeriksaan penunjang

2

Penentuan ASA : Kelainan/penyulit :

3

Persiapan alat, mesin pembiusan, STATIK, obat

4

Pemasangan monitor ANESTESIA

1

Anestesia umum (intubasi, LMA)

2

Analgesia regional (subarahnoid, epidural)

3

Anestesia persalinan pervaginam (ILA, PCEA)

3

Pemberian cairan dan transfusi darah

4

Komplikasi dan penanganannya PENATALAKSANAAN PASCABEDAH

1

Pengawasan ABC dan tanda vital

2

Penanganan mual muntah dan nyeri pascabedah

Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda (√ ) 319

DAFTAR TILIK

Berikan tanda  dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan memuaskan, dan berikan tanda  bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak dilakukan pengamatan  Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur Standard atau penuntun  Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan memuaskan prosedur Standard atau penuntun T/D Tidak Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih diamati selama penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik

Tanggal

Nama pasien

No Rekam Medis

DAFTAR TILIK No

Kegiatan / langkah klinis

Kesempatan ke 1

2

3

4

5

320

DAFTAR TILIK No

Kesempatan ke

Kegiatan / langkah klinis

Peserta dinyatakan :

1

2

3

4

5

Tanda tangan pelatih

 Layak  Tidak layak melakukan prosedur Tanda tangan dan nama terang

321

MATERI ACUAN PLASENTA PREVIA Perdarahan antepartum adalah penyebab utama kematian ibu pada pasien-pasien kebidanan. Perdarahan hebat pada periode antepartum umumnya disebabkan karena plasenta previa atau solusio plasenta. Kejadian plasenta previa antara 0,1-1%. Perdarahan ini disebabkan karena robeknya plasenta. Pada plasenta previa dengan perdarahan aktif, seksio sesarea dilakukan dengan anestesia umum. Berikan kristaloid, koloid atau darah untuk mempertahankan volume intravaskular yang dilihat dari tekanan darah, frekuensi nadi, CVP dan diuresis. Bila plasenta previa sudah ada perdarahan, anestesia dilakukan dengan anestesia umum. Bila belum ada perdarahan dapat dengan spinal atau epidural anestesia. Induksi anestesia dengan dosis kecil tiopental atau ketamin (1mg/kg) bila ada hipotensi. Apabila operasinya bekas seksio, maka penanganan plasenta previa ini harus lebih hati-hati karena mungkin ada plasenta akreta, inkreta atau perkreta sehingga diperlukan histerektomi setelah dilakukan seksio sesarea. Penanganan anestesia pada seksio sesarea pada bekas seksio harus dipasang jarum infusi yang besar, selimut penghangat dan darah. Clark dkk, mengamati hubungan antara jumlah seksio sesarea sebelumnya dan kejadian plasenta previa. Kejadian plasenta akreta pada plasenta previa bila pasien pernah satu kali di seksio adalah 24%, bila sudah menjadi 4 kali atau lebih seksio sesarea, kejadian plasenta akreta mencapai 67%. Teknik anestesia yang ideal untuk prosedur ini masih kontroversial, bisa dengan regional atau anestesia umum dengan berbagai keuntungan dan kerugiannya masingmasing.

SOLUSIOPLASENTAE Adalah lepasnya plasenta dari tempat implantasinya yang normal dari desidua basalis, kejadiannya 0,2-2% dan mortalitas perinatal sekitar 50%. Diklasifikasikan sebagai ringan, sedang dan berat. Penyebabnya bisa karena trauma, tali pusat yang pendek, yang tiba-tiba pada penekanan uterus, dan hipertensi. Perdarahan mungkin tersembunyi dan berkumpul dibelakang plasenta. Gejala klinis awal berupa sakit perut hebat disertai dengan tanda-tanda fetal distres. Pada solusio plasenta ada gangguan pembekuan darah maka harus diperiksa Hb, hematokrit, waktu perdarahan, trombosit, waktu protrombin, fibrinogen dan parsial thromboplastin time. Bila tidak ada hipovolemia ibu atau insufisiensi uteroplasenta dan 322

bila pemeriksaan pembekuan normal dapat digunakan epidural analgesia kontinyu untuk persalinan pervaginam. Pada solusioplasenta berat, maka perlu dilakukan seksio sesarea dengan anestesia umum dan mungkin diperlukan transfusi darah masif. Bila ketika dilahirkan bayinya masih hidup, maka perlu resusitasi aktif sebab maternal hipovolemia akan menyebabkan terjadinya syok pada neonatus. Perbedaan solusioplasenta dan plasenta previa terlihat pada tabel di bawah ini :

Table : Differential Diagnosis (Plasenta Previa vs. Plasenta Abrupsio) Clinical Features Plasenta Previa Plasenta Abrupsio Bleeding Painless Painful Blood

Fresh

Dark, old, mixed with cloths

Clothing problems

Uncommon

Common

Sudden fetal distres

Uncommon

Common

RUPTURA UTERI Ruptur uteri paling sering terjadi pada pasien yang telah mengalami operasi pada uterus misalnya seksio sesarea atau invasi trofoblas. Pada beberapa keadaan harus dilakukan histerektomi. Jadi pasien-pasien yang melahirkan pervaginam tetapi ada riwayat seksio sesarea atau operasi uterus harus diobservasi dengan ketat, karena ada kemungkinan terjadi ruptur uteri karena adanya sikatrik pada uterus merupakan problema utama, sehingga epidural analgesia untuk persalinan pada pasien-pasien tersebut menjadi indikasi-kontra relatif karena hilangnya gejala sakit dari ruptur uteri, karena rasa nyeri diblokade oleh epidural analgesia. Beberapa penelitian dengan memakai bupivakain 0,25-0,37% menunjukkan bahwa konsentrasi ini tidak menghilangkan sakit akibat ruptur uteri. Demiaczuk dkk. menyokong adanya beberapa keuntungan dari epidural analgesia untuk persalinan pada pasien dengan bekas seksio. Kesimpulan akhir adalah epidural analgesia dapat digunakan untuk persalinan per vaginam pasien-pasien bekas seksio tetapi denyut jantung bayi dan intensitas kontraksi uterus harus terus dimonitor.

PRE-EKLAMPSI DAN EKLAMPSI Pre-eklampsi adalah suatu kelainan yang tidak manifes sebelum kehamilan 20 pekan. Kejadian paling tinggi pada primi gravida, dan prevalensi terbesar pada multi 323

para. Pre-eklampsi khas dengan adanya trias : hipertensi, protein uria, dan edema yang menyeluruh. Disebut pre-eklampsi ringan bila pada wanita yang sebelumnya normotensi ada kenaikan tekanan diastolik menjadi > 90 mmHg dengan protein uria < 0,25 gr/lt. Disebut pre-eklampsi berat bila tekanan sistolik > 160mmHg atau diastolik > 110 mmHg, peningkatan yang cepat dari protein uria, oliguria < 100 ml/24 jam, ada gangguan serebral atau penglihatan, edema paru atau sianosis. Pre-eklampsi bisa menjadi ekslampsi pada setiap tingkatan bila terjadi kejang-kejang. Kejang-kejang bisa terjadi sebelum persalinan, selama persalinan dan segera pada periode pospartum. Etiologinya masih belum jelas, tapi semua peneliti setuju bahwa kelainan yang esensial adalah adanya iskemia utero plasental. Ada 3 faktor : 

cedera imunologis pada plasenta  iskemia uterus  timbulnya koagulasi intravaskular Mekanisme dasarnya dihubungkan dengan faktor genetik, ketidakseimbangan metabolisme prostaglandin, gangguan defisiensi nutrisi atau kombinasi dari faktor-faktor tadi. Yang menarik, penyakit ini mempunyai penyebaran geografi dan sosio ekonomi, lebih banyak di negara berkembang, nyata menurun pada daerah yang lebih berkembang. Jelas hal ini menyokong faktor nutrisi, genetik dan interaksi antara kedua hal itu, tetapi walaupun hal ini terlihat pada beberapa penelitian, etiologi pasti tetap belum jelas. Kemungkinan ketidakseimbangan produksi tromboksan dan prostasiklin merupakan mekanisme dasar yang harus dipertimbangkan. Sering pada primigravida, kejadian lebih tinggi bila ada pembesaran uterus yang cepat misalnya kehamilan lebih dari satu (kembar), diabetes melitus, polihidramnion, mola hidatidosa. Patofisiologi Pre-eklampsi / Eklampsi





Perubahan patofisiologi dari pre-eklampsi disebabkan karena perubahanperubahan vaskular dalam plasenta selama trimester pertama kehamilan. Suatu reaksi antigen antibodi antara jaringan ibu dan fetal menimbulkan vasikulitis plasenta. Pada kehamilan lebih lanjut akan membawa ke arah anoksia jaringan dan pelepasan thromboplastin-like substance ke sirkulasi ibu, menyebabkan gejala pre-eklampsi. Iskemia uteroplasenta menyebabkan ekskresi renin-like substance, yang menyebabkan peningkatan produksi angiotensin dan aldosteron. Diduga ada penghambatan sistem substansi vasodilator, terutama prostaglandin. Akibat vasokontriksi menimbulkan terjadinya : hipertensi lesi pada glomerulus yang menyebabkan proteinuria 324



penurunan GFR yang menimbulkan peningkatan reabsorbsi sodium dan terjadi edema. Penyebab kematian Ibu adalah edema paru dengan gagal jantung kongestif (CHF), hipertensive serebral encephalopathy, perdarahan otak, abruptio plasentae, renal failure, necorosis hypophyse. a) Susunan Saraf Pusat : Komplikasi neurologis dari kehamilan, termasuk sakit kepala, gangguan penglihatan, hiper-refleksia adalah tanda-tanda adanya ancaman terjadinya konvulsi, tapi konvulsi dapat juga terjadi tanpa tanda-tanda sebelumnya. Konvulsi sulit diatasi, dan bisa terjadi status epileptikus. Beberapa peneliti menyatakan serebral edema adalah faktor utama untuk terjadinya konvulsi, tapi penelitian baru-baru ini meragukan keterangan tadi. Sheehan dan Lynch menemukan tidak ada fakta bahwa ada pembengkakan otak dan menyatakan bahwa serebral edema tidak mungkin terjadi pada eklampsi. Penelitian dengan CT scan pada 43 wanita hamil dengan eklampsi menemukan edema terjadi pada 27 penderita, dan beratnya edema dihubungkan dengan lamanya kejang-kejang intermiten. Pada 5 penderita menunjukkan adanya kenaikan sekilas dari tekanan intra kranial, dan perdarahan intra kranial, yang bisa fatal, ditemukan pada 4 penderita. Daerah hipoksik-iskemia merupakan lesi yang paling penting. Penelitian yang lain dengan CT-Scan, MRI, dan serebral angiografi menyokong konsep bahwa prinsip dasar patologi adalah vasospastik iskemia cedera daripada edema yang menyeluruh. Bila konvulsi berat dan berlangsung lama, bisa terjadi edema otak yang menyeluruh, jadi edema ini akibat konvulsi bukan sebagai penyebab konvulsi eklampsi. Konvulsi eklampsi berbeda etiologinya dengan konvulsi hipertensi ensefalopati. Pada hipertensi ensefalopati, konvulsi umumnya terjadinya bila kenaikan tekanan darah melewati ambang autoregulasi otak. Pada keadaan tersebut, terjadi vasodilatasi di fokal area akibat rusaknya sawar darah otak, dan terjadi ekstravasasi. b) Sistem Kardiovaskular : Terjadi penurunan volume darah kira-kira 10-15% dibandingkan dengan wanita hamil normal. Sistemic Vascular Resistance (SVR) meningkat. Peneliti lain, mendapatkan bahwa sampai 25% dari pasien menunjukkan fungsi miokardial yang suboptimal, dan menyokong bahwa ada ketidak sesuai antara CVP dan PCWP, walaupun keduanya umumnya rendah. Dibandingkan dengan kehamilan yang normal, pada pre-eklampsi volume intravaskular menurun, curah jantung menurun, dan sistemik vaskular resisten meningkat. c) Koagulasi :

325

Gangguan koagulasi sering terjadi pada pasien pre-eklampsi/eklampsi dengan trombositopenia, terjadi pada 1/3 pasien pre-eklampsi. Juga bisa terjadi hemolisis, terutama dihubungkan dengan kelainan fungsi hepar dan disebut HELLP syndrome (Haemolysis, Elevated Liver enzimes, Low Platelets) dan DIC terjadi kira-kira 7% kasus. Kelton dkk, menyokong bahwa defisit fungsi trombosit bisa terlihat tanpa dihubungkan dengan jumlah trombositnya. Ramanathan dkk., menyatakan bahwa wanita dengan pre-eklampsi berat mempunyai waktu perdarahan yang memanjang dengan jumlah trombosit yang adekuat, hematokrit meningkat akibat hemokonsentrasi. d) Sistem Respirasi : Bisa terjadi kesulitan intubasi karena gangguan lapangan penglihatan oleh karena adanya edema saluran nafas bagian atas dan laring. e) Liver : Disfungsi hepar mungkin penyebab dari keluhan sakit epigastrium, dan telah diketahui bahwa disebabkan karena iskemia hepatik nekrosis, walaupun hal ini juga bisa disebabkan karena perdarahan sub kapsula hepatis. Hipotensi yang tiba-tiba bisa disebabkan karena ruptur hepar spontan, walaupun jarang terjadi tetapi dapat menyebabkan kematian. Penurunan fungsi liver dapat mengubah klirens obat yang dimetabolisme di hepar dan memerlukan penyesuaian dosis obat untuk mencegah overdosis. f) Ginjal : Kerusakan ginjal dIbuktikan dengan adanya proteinuria, walaupun oliguria lebih sering disebabkan hipovolemia dan penurunan RBF daripada oleh kerusakan ginjal. Telah dibuktikan bahwa lesi primernya adalah renal vasospasme dan peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap molekul yang besar. Dapat terjadi ARF (Acut Renal Failure) yang memerlukan dialisis yang bisa dipresipitasi oleh adanya hipotensif terapi yang berlebihan atau oleh Hb-uria (adanya HELLP syndrome). Tetapi prognosisnya baik, Sibai melaporkan dari 18 pasien ARF akibat eklampsi, 16 pasien baik tanpa sekuele. Sedangkan yang 2 lagi, meninggal akibat penyebab di luar ginjal.

Table : Differential Diagnosis of HELLP Syndrome, Throbotic Throbocytic Purpura, Hemolytic-Uremic Syndrome, and Fatty Liver of Pregnancy Disorder HELLP TTP HUS FLP Microangiopathic hemolytic anemia

+

+

+

 326

Trombositopenic bleeding

+

+

+

+

Neurological dysfunction

+

++





Renal dysfunction



+

+++

+

FLP = Fatty Liver of Pregnancy. g) Feto-plasental unit : Terjadinya disfungsi plasenta dengan gambaran morfologi yang abnormal dan keabnormalan pertumbuhan plasenta merupakan penyebab utama dari terjadinya preeklampsi. Sering terjadi penurunan perfusi plasenta dan solusio plasenta, sehingga bisa menimbulkan retardasi pertumbuhan intrauterine dan terjadi kematian fetus. Dengan pertimbangan keselamatan ibu, sering bayi segera dilahirkan, dan sebagai akibatnya kejadian respiratory distres lebih tinggi pada neonatus yang lahir dari Ibu preeklampsi/eklampsi. Neonatus yang imatur juga menderita perkembangan sistem metabolisme yang jelek, jadi mempunyai risiko yang lebih tinggi terhadap obat dari pada bayi yang sehat dari ibu yang gravida aterm.

Penatalaksanaan Pasien Pre-eklampsi Penatalaksanaan pasien eklampsi/pre-eklampsi idealnya dilakukan secara multi disipliner dan anestetis ikut dalam penatalaksanaan pre-eklampsi berat pada stadium dini. Bila diberikan MgSO4, anestetis dapat menaksir fungsi neuromuskular, sehingga dapat memberikan advis dalam proteksi jalan nafas dan depresi nafas. Terapi terbaik untuk pre-eklampsi adalah segera melahirkan fetus dan gejala umumnya reda dalam 48 jam setelah bayi dilahirkan. Terapinya simptomatis, sasaran utama adalah mencegah konvulsi, memperbaiki perfusi organ dan utero-plasental, menurunkan tekanan darah dan mengoreksi gangguan pembekuan. Pada kasus yang berat, diperlukan pemantauan tekanan arterial, CVP dan tekanan arteri pulmonalis. a) Pengendalian Konvulsi

327

Terapi untuk kejang-kejang terdiri dari oksigenasi, ventilasi, antikonvulsan. Pengendalian konvulsi pada pasien pre eklampsi masih dalam perdebatan, di Eropa / Inggris dengan obat-obat antikonvulsan sedangkan di Amerika dengan MgSO4. Sedangkan di negara-negara lain dengan memakai kedua obat tadi, antikonvulsan dan MgSO4. Pemberian MgSO4 sendiri tidak bekerja sebagai antikonvulsan karena tidak menembus BBB, tetapi memberikan gambaran palsu dengan hilangnya kejang-kejang karena efek MgSO4 untuk blokade neuromuskular, tapi alasan ini tidak kena untuk pasien yang bangun dan bernafas spontan. Prinsip adanya serebral vasospasme menyokong pemberian MgSO4 karena magnesium adalah suatu serebral vasodilator kuat, maka rasional kalau bisa mengendalikan komplikasi SSP. Dibandingkan dengan diazepam, diazepam + pentazosin, difenilhidantoin atau epinutum, MgSO4 paling baik untuk terapi konvulsi. Magnesium lebih unggul daripada diazepam bila dilihat dari efeknya terhadap bayi, tapi pada penelitian lain, yang terbaik untuk neonatus adalah difenilhidantoin. Obat-obat Antikonvulsan: 1) Magnesium Sulfat : Magnesium sulfatadalah suatu SSP depresant dan vasodilator ringan. Dengan relaksasi miometrium, ia juga menyebabkan peningkatan aliran darah utero plasental. Setelah dosis awal 40-80 mg/kg secara i.v., diikuti infusi kontinyu 1-2 gr/jam, magnesium sulfat dipertahankan 6-8 meq/lt. Refleks tendon yang dalam dikurangi pada kadar magnesium sulfat 10 meq/lt, dan bisa terjadi respiratori paralisis dan blok jantung bila kadar magnesium sulfat di atas 12-15 meq/lt. Magnesium potensiasi dengan non depolarisasi dan polarisasi pelumpuh otot. Tranfer melalui plasenta menyebabkan bayi jadi lemah dan depresi nafas. Kalsium intra vena bisa mengurangi kelemahan pada pascabedah akibat magnesium. Bahaya terbesar dari magnesium infusi adalah blokade neuromuskular, juga menurunkan resistensi perifer, dan meningkatkan curah jantung. Efek samping dan efek toksik magnesium pada Ibu adalah : 

kelemahan otot ibu  paralisis pernafasan  perubahan EKG : interval P-Q memanjang, blok  hilangnya refleks tendon profunda  henti jantung Efek samping pada bayi : 



QRS melebar, SA dan AV

penurunan tonus otot depresi nafas dan apnea 328

Antidotum magnesium ialah dengan pemberian kalcium intravena. Umumnya diberikan dengan dosis 1gr Ca.glukonas atau Ca.klorida intravena. Magnesium diekskresi melalui ginjal.

Table : Effets of Increasing Plasma Magnesium Levels Observed Condition Normal plasma level

mEq/L 1.5--2.0

Therapeutic range

4.0--6.0

ECG ranges (P-Q interval prolonged, QRS complex widens)

5.0--10

Loss of deep tendon reflexes Sinoatrial and atrioventricular block Respiratory paralysis

10 15 15 25

Henti jantung

2) Diazepam : Diazepam dengan dosis 5-10mg, bisa diberikan berulang-ulang sampai ada efeknya. Dosis kontinyu 10 mg/jam sering digunakan untuk profilaksis, tapi bisa menimbulkan sedasi yang dalam dengan risiko gangguan jalan nafas. Bisa terjadi depresi fetal terutama pada bayi prematur karena obat ini menembus sawar plasenta sehingga bisa menyebabkan neonatal hipotonia, depresi nafas dan hipotermia. Penggunaan flumazenil untuk melawan efek sedasi pada ibu hamil, ibu dan anak, belum dilaporkan. Karena itu tiopental 50-100mg i.v. lebih disukai sebagai antikonvulsan.

3) Fenitoin : Fenitoin lebih populer daripada diazepam karena kurangnya efek samping sedasi dan level terapeutik 40-100 mol/lt. Dosis awal 10 mg/kg dilarutkan dalam 100 ml NaCl fisiologis, diberikan i.v. dengan kecepatan 50 mg/menit. Dua jam kemudian, diberikan bolus yang kedua, diberikan dengan cara yang sama dengan dosis 5 mg/kg. Terapi rumatan dimulai 12 jam setelah bolus yang kedua dengan 329

kecepatan 200 mg/8 jam secara oral atau intravena. Penggunaan cara ini sering menimbulkan komplikasi rasa terbakar pada tempat infusi, diikuti dengan pusing dan vertigo. Komplikasi hipotensi bisa terjadi, tapi sangat jarang. b) Penatalaksanaan Kardiovaskular 1. Pemantauan 

Tekanan darah (invasif, noninvasif)  CVP  CVWP Masih diperdebatkan tentang pemantauan kardiovaskular yang paling adekuat untuk pasien dengan pre-eklampsi berat. Harus diingat bahwa CVP tidak selalu menunjukkan tekanan pengisian jantung kiri, dan konsekuensinya, ada risiko terjadinya edema paru bila ada kelebihan volume pada pasien yang mempunyai disfungsi ventrikular kiri. Karena pengisian volume sering diperlukan pada pasien-pasien ini, maka CVP merupakan alat pemantauan yang minimal pada pasien dengan pre-eklampsi berat, walaupun diakui bahwa CVP tidak atau kurang menunjukkan tekanan pengisian ventrikular kiri. Bila ada hipertensi yang berat, dan digunakan obat-obat vasodilator kuat, mungkin sebaiknya dipasang alat monitor tekanan darah invasif (jalur arterial). Penggunaan kateter arteri pulmonalis jarang dipakai, karena harganya mahal, kecuali pada pasien-pasien dengan kegagalan terapi hidralazin dosis normal untuk menurunkan tekanan darah, edema paru, oliguria yang tidak responsif. Tetapi pada pengalamanpengalaman penggunaan monitor tekanan darah noninvasif dan CVP cukup baik untuk penatalaksanaan pasien. 2. Pengendalian hipertensi : Pasien harus dirawat di rumah sakit dan istirahat. Harus dipertimbangkan efek postural, terutama untuk menghindari kompresi aortakaval. Pasien pre-eklampsi umumnya relatif hipovolemia, juga ada vasospasme, yang dapat mengurangi perfusi jaringan, sehingga akan berefek buruk pada ibu dan bayi. Walaupun ada anjuran untuk terapi hipertensi secara agresif, kebanyakan penulis setuju untuk menurunkan tekanan darah secara gradual sampai level di atas tekanan normal, pada umumnya pada tekanan diastolik 90mmHg. Perhatian ditujukan pada perfusi plasenta dan fungsi ginjal ibu, juga adanya cedera serebral bila tekanan darah diturunkan terlalu cepat. Dalam hal konsep adanya serebral vasospasme dan serebral iskemia, penurunan tekanan darah secara hati-hati disertai dengan pemantauan kardiovaskular yang adekuat sangat baik sekali. Harus diingat bahwa, sebelum pemakaian vasodilator, harus dilakukan dulu koreksi hipovolemia, kalau tidak, bisa terjadi penurunan tekanan darah yang hebat. Obat yang dipilih adalah yang menimbulkan arteriolar vasodilatasi daripada yang venodilatasi yang akan mencegah kenaikkan curah jantung. Dihidralazin adalah obat yang paling 330

populer karena berefek dilatasi arterial dan mula kerja cepat. a. Dihidralazin Hidralazin (Apresolin) meningkatkan utero-plasental serta RBF dan merupakan obat vasodilator yang paling umum digunakan. Dosis 5-10 mg i.v. berefek dalam waktu 15 menit dan berakhir sampai 6 jam. Penambahan dosis 5 mg secara i.v., diikuti dengan infusi 5-20 mg/jam, diberikan secara titrasi bergantung pada tekanan darah. Efek obat bisa menyebabkan hipotensi dan takikardia. Mula kerja lambat, dan pengulangan dosis tidak boleh diberikan dengan interval kurang dari 20 menit, bila tidak, akan terjadi hipotensi yang hebat. Meninggikan RBF dan UBF, serta meningkatkan denyut jantung dan curah jantung. Adanya takikardia dapat diterapi dengan penghambat beta misalnya proponolol. b. Metil dopa Obat ini umumnya untuk pasien dengan hipertensi kronis. Dipakai dalam dosis standard, tapi dapat menyebabkan ngantuk, depresi dan postural hipotensi, tapi aman pada ibu hamil pada dosis 1-3 g/hari dengan pembagian dosis. c. Nifedipin Tidak banyak penelitian dalam pemakaian nifedipin untuk mengendalikan tekanan darah pada eklampsi / pre-eklampsi. Prinsipnya kalsium antagonis merupakan terapi yang logis dan dosis nifedipin sublingual 10 mg tiap 20 menit sampai maksimum 30 mg. Ada laporan-laporan yang menguntungkan dari fungsi ginjal, jumlah platelet. d. Trimetafan Keuntungan obat ini adalah tidak adanya efek serebral vasodilatasi. Obat dipecah oleh kolinesterase dan karena tidak menembus sawar plasenta dapat menyebabkan pemanjangan efek suxamethonium. Bisa terjadi takikardia dan menyebabkan penurunan venous return. e. Nitroprusid dan Nitrogliserin Nitrogliserin bekerja primer pada kapasitas vena dan terbukti kurang efektif bila sebelumnya diberikan ekspansi volume. Dianjurkan untuk pengendalian tekanan darah pada waktu intubasi. Nitroprusid, sodium nitroprusid (Niprid) adalah suatu vasodilator dengan mula kerjayang cepat dan lama kerja yang pendek. Obat ini ideal untuk mencegah peningkatan tekanan darah yang sangat berbahaya waktu induksi anestesia atau untuk terapi krisis hipertensi. Tetapi pada kehamilan hanya dipakai untuk mengendalikan tekanan darah akibat 331

intubasi, karena ketakutan akan adanya intoksikasi sianida pada fetus. Kedua obat ini mempanyai tendensi untuk menaikkan tekanan intra kranial ibu. f. Obat-obat penghambat adrenergik beta Obat-obat ini jarang digunakan karena adanya fakta-fakta yang menyokong efek penghambat beta pada fetus. Baru-baru ini Labetalol telah dipakai pada terapi eklampsi/pre-eklampsi dengan hasil yang baik, walaupun ada laporan yang menganjurkan pemakaian secara hati-hati terutama bila bayinya prematur. 3. Pengendalian Volume Intravaskular Meskipun ada bukti-bukti yang nyata pada eklampsi/ preeklampsi terdapat penurunan volume intravaskular, masih ada perdebatan tentang pengisian dengan cairan, setiap pasien harus dipertimbangkan tersendiri berdasarkan data kardiovaskularnya. Tetapi prinsip dasar adalah pengisian dengan cairan harus dilakukan sebelum terapi dengan vasodilator. Apakah yang diberikan koloid atau kristaloid masih diperdebatkan, terutama pada pasien yang mempunyai tekanan onkotik rendah dan kebocoran kapiler. Bila ada edema yang luas, berarti ada kebocoran kapiler, maka pengisian volume harus diberikan dengan hati-hati. Ini penting untuk dipikirkan bahwa beberapa dari pasienpasien ini mempunyai penurunan kekembangan ventrikular, dan dapat terjadi peningkatan CPWP yang besar secara tidak diduga-duga setelah pemberian sejumlah kecil pengisian volume. Konsep lama tentang pemakaian diuretik berdasarkan pada adanya edema, tidak disokong lagi dan kebanyakan klinisi percaya bahwa pemakaian diuretik ini akan memperhebat defisit volume, dan penggunaan diuretik umumnya disalahkan. 4. Penatalaksanaan Respirasi Problema utama adalah penatalaksanaan jalan nafas, karena ada laporan tentang adanya edema hebat pada jalan nafas bagian atas. Bila ada konvulsi, bisa terjadi trauma pada lidah yang bisa menyebabkan obstruksi jalan nafas, dan intubasi menjadi sangat sulit. Adanya edema paru terutama disebabkan karena pemberian cairan yang berlebihan. ARDS jarang terjadi. 5. Fungsi Ginjal Walaupun ada oliguria dan edema, tidak dianjurkan pemberian diuretik, sebab penyebabnya adalah vasospasme dan penurunan volume sirkulasi darah. Pemberian volume dan vasodilator akan meningkatkan RBF dan curah jantung. Pemakaian dopamin dengan dosis 10 mmHg tekanan darah turun selama nafas spontan. Pengobatan sementara dapat dilakukan berupa perikardiosentesis. Penatalaksanaan anestesia harus memaksimalkan efek kardioinotropik, kronotropik,dan prabeban. Karena alasan ini ketamin dapat dianjurkan sebagai obat induksi.

Kontusio miokard biasanya ditegakkan diagnosis dengan melihat perubahan ECG berupa iskemia (elevasi ST segmen), elevasi enzim ( kreatin kinase MB atau level tiroponin), atau ekhokardiogram abnormal.

ARDS (acute respiratory distres syndrome) biasanya merupakan komplikasi kemudian setelah trauma yang mempunyai banyak penyebab : sepsis, cedera toraks, aspirasi, cedera kepala, embolus lemak,

595

transfusi masif, keracunan oksigen. Kematian ARDS dapat mencapai 50 % walapun sudah dilakukan dengan teknologi tinggi.

Trauma abdomen

Pasien dengan trauma berat sebaiknya dipertimbangkan juga mengalami cedera abdomen sampai terbukti tidak. Hampir 20 % pasien dengan cedera intraabdominal tidak nyeri dan tanpa gejala iritasi peritoneum (defans otot, nyeri ketok atau ileus) pada pemeriksaan pertama. Luka tembus abdomen biasanya jelas dengan tanda masuk ke perut atau dada bagian bawah; mengenai organ hati. Pasien cenderung dimasukkan menjadi 3 kelompok : 1) tanpa nadi, 2) hemodinamik tidak stabil, 3) stabil. Pasien tanpa nadi dan hemodinamik tidak stabil, sulit mempertahankan tekanan darah antara 80 – 90 mmHg dengan 1 – 2 L resusitasi cairan; segera untuk persiapan laparotomi. Sebaliknya pada trauma tembus abdomen dengan hemodinamik stabil dan tidak disertai gejala klinis peritonitis memerlukan evaluasi yang teliti untuk menghindari tindakan laparotomi yang tidak perlu. Gejala klinis cedera intra-abdominal mencakup adanya udara bebas di bawah diafragma (pemeriksaan radiologi), darah dari nasogastrik, hematuria, darah dari rektum. Trauma tumpul yang yang paling menonjol sebagai penyebab kematian dan kesakitan dari trauma dan yang paling terkenal adalah trauma intraabdominal. Yang paling sering terjadi adalah limpa robek atau pecah.

Hipotensi berat dapat terjadi setelah rongga perut dibuka karena efek tamponade dari ekstravasasi darah atau usus yang membesar dikeluarkan. Bila waktu memungkinkan, persiapkan dulu pasien dengan resusitasi cairan atau darah sebelum tindakan ;laparotomi. Pemakaian N2O dihindarkan untuk mencegah dilatasi usus. Transfusi masif sebaiknya diantisipasi terutama bila trauma abdomen berkaitan dengan perdarahan dari pembuluh darah hati, limpa, atau cedera ginjal, fraktur pelvis, atau retroperitoneal. Jika terjadi komplikasi hiperkalemia karena transfusi darah masif, harus segera diobati.

Perdarahan masif intraabdomen memerlukan resusitasi cairan dan darah yang banyak dan kadang-kadang operator menjepit aorta abdominal dengan risiko cedera iskemia hati, ginjal dan tungkai. Hal ini harus diantisipasi dengan baik tidak sampai terjadi komplikasi, gagal organ terkait dan rabdomiolisis.

Edema usus progresif karena cedera dan resusitasi cairan dapat mengganggu penutupan dinding perut pada akhir operasi. Kalau dinding perut terlalu tegang, tekanan intra-abdomen meningkat dan mengakibatkan abdominal compartment syndrome hingga terjadi iskemia ginjal dan splangnikus. Oksigenasi dan ventilasi sering sangat terganggu, walapun otot dinding perut sudah cukup relaksasi (paralisis). Pada kasus ini dinding perut dibiarkan terbuka dan hanya ditutup dengan plastik steril selama 48 – 72 jam sampai edema hilang dan penutupan sekunder dapat dilakukan..

596

Trauma ekstrimitas

Cedera ekstrimitas dapat mengancam nyawa karena berkaitan dengan cedera pembuluh darah besar komplikasi infeksi sekunder. Cedera pembuluh darah dapat cederung masif dan menganca m kelangsungan hidup tungkai. Misalnya, fraktur femur dapat dikaitkan dengan kehilangan 1 – 2 L darah dan fraktur tertutup pelvis kehilangan darah lebih banyak lagi dan mengakibatkan syok hipovolemik. Embolus lemak berkaitan dengan fraktur pelvis dan fraktur tulang panjang, hingga menyebabkan insufisiensi, disritmia, petechera kulit dan kemunduran mental dalam 1 – 3 hari setelah trauma.

REFERENSI Primary Trauma Care Course Manual (current edition) Darurat Medicine Manual (to be announced) Trauma anesthesia and critical care (ITAMLS publication) Clinical Anesthesiology GE Morgan, Jr. 4th ed 2006 Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 200

MODUL 33

POST ANESTHESIA CARE UNIT (PACU)

Mengembangkan kompetensi

Waktu (semester 2)

Sesi di dalam kelas

2 X 1 jam (classroom session)

597

Sesi dengan fasilitasi pembimbing Sesi praktek dan pencapaian kompetensi

3 X 2 (coaching session) 4 pekan (facilitation & assessment)

PERSIAPAN SESI Audiovisual Aid:

11. LCD proyektor dan layar 12. Laptop 13. OHP 14. Flipchart 15. Pemutar video Materi presentasi: CD power point Sarana:

8. Ruang belajar 9. Ruang pemeriksaan 10. Ruang pulih 11. Bangsal rawat inap/pengamatan lanjut Kasus : pasien di ruang PACU Alat bantu latih : model anatomi /simulator Penuntun belajar : lihat acuan materi Daftar tilik kompetensi : lihat daftar tilik

Referensi :

8. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006

9. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed. Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006 Selain referensi wajib di atas, peserta didik dianjurkan untuk juga mempelajari referensi tambahan untuk modul PACU seperti yang diuraikan berikut ini: 1. Chung F. Discharge process. In: Twersky RS, ed. The Ambulatory Anesthesia Handbook. St Louis: Mosby;1995,431-49. 2. Practice Guidelines for Postanesthetic Care. Anesthesiology 2002; 96(3).

598

TUJUAN UMUM Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu mengelola pasien pasca-anestesia umum dan regional di PACU, mengetahui kapan pasien dipulangkan (untuk ambulatori), kapan boleh dipindah ke ruangan (untuk pasien rawat inap), serta kapan indikasi masuk ICU, HCU, atau perlu operasi lagi.

TUJUAN KHUSUS Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kompetensi dalam ranah-ranah berikut ini : Kognitif

10. Mengetahui alat pemantauan dan obat-obatan apa yang perlu diadakan di PACU 11. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: obstruksi jalan nafas, 12. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: hipoksemia 13. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: hiperkarbia. 14. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: hipotensi. 15. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: hipertensi. 16. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: aritmia. 17. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: menggigil. 18. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: PONV. 19. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: delirium. 20. Mengetahui komplikasi akibat pemasangan jarum untuk analgesia lokal atau akibat kateternya. 21. Memahami kapan pasien boleh keluar dari PACU fase 1 (pindah ke ruangan atau ke PACU fase 2).

22. Memahami kapan pasien boleh keluar dari PACU fase 2 (boleh pulang ke rumah). 23. Memahami indikasi pasien harus masuk ke ICU atau HCU. Psikomotor

7. Mampu melakukan pemantauan pasien PACU dan persiapan obat-obatan yang harus ada di PACU.

8. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: obstruksi jalan nafas, 9. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: hipoksemia 10. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: hiperkarbia. 11. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: hipotensi. 12. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: hipertensi. 13. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: aritmia. 14. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: menggigil. 15. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: PONV. 16. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: delirium. 17. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: akibat penusukan jarum untuk analgesia regional atau kateternya. 18. Mampu menilai kapan pasien boleh keluar dari PACU fase 1 dengan Modifikasi Aldrete’s skor

599

19. Mampu menilai kapan pasien boleh keluar dari PACU fase 2 (boleh pulang ke rumah) dengan PADSS skor.

20. Mampu menilai kapan pasien harus masuk ke ICU atau HCU. Komunikasi 2. Berkomunikasi dengan ahli bedah bila terjadi komplikasi yang memerlukan tindakan pembedahan ulang akibat pembedahannya. 3. Berkomunikasi dengan ahli bedah bila terjadi komplikasi yang memerlukan tindakan pembedahan akibat pemasangan jarum atau kateter untuk analgesia regional. Profesionalisme

3. Mampu mengenali dan memahami urgensi dari komplikasi pascabedah. 4. Memberikan pelayanan yang baik untuk penatalaksanaan pascabedah pasien pascabedah baik yang dilakukan dengan anestesia umum atau analgesia regional. KEYNOTES:

10. Pasien jangan meninggalkan kamar bedah jika jalan nafas belum stabil, ventilasi dan oksigenasi adekuat, stabil hemodinamik.

11. Menggigil dapat menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen, produksi CO2, dan curah jantung. Efek fisiologis sering kurang dapat ditolerir oleh pasien dengan gangguan fungsi paru dan jantung. 12. Problema respirasi merupakan hal yang paling sering terjadi, yang dihubungkan dengan obstruksi jalan nafas, hipoventilasi, atau hipoksemia. 13. Hipoventilasi di PACU paling sering disebabkan efek residu obat anestetik 14. Depresi sirkulasi, atau asidosis berat merupakan indikasi untuk dilakukan intubasi pada pasien yang mengalami hipoventilasi. 15. Hipovolemia merupakan penyebab paling sering dari hipotensi di PACU 16. Nyeri daerah insisi, intubasi endotrakeal, distensi kandung kemih merupakan penyebab hipertensi. 17. Pemulihan di PACU berdasarkan Modifikasi Aldret skor 18. Pemulangan pasien ke rumahnya berdasarkan kriteria PADSS GAMBARAN UMUM Untuk dapat mengelola pasien di PACU diperlukan pengetahuan dan keterampilan dalam membuat rancangan PACU, emergens dari anestesia umum, transportasi dari OK, pemulihan dari anestesia umum, pemulihan dari analgesia regional, penatalaksanaan nyeri, agitasi, PONV, menggigil dan hipotermia, kriteria pemulangan dari PACU ke ruangan, kriteria pemulangan dari RS ke rumah, penatalaksanaan komplikasi obstruksi jalan nafas, hipoventilasi, hipoksemia, hipotensi, hipertensi, aritmia.

TUJUAN PEMBELAJARAN

600

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu mengelola pasien pasca-anestesia umum dan regional di PACU, mengetahui kapan pasien dipulangkan (untuk ambulatori), kapan boleh dipindah ke ruangan (untuk pasien rawat inap), serta kapan indikasi masuk ICU, HCU, atau perlu operasi lagi.

METODE PEMBELAJARAN Peserta didik sudah harus mempelajari:

16. Bahan acuan 17. Ilmu dasar yang berkaitan dengan topik pembelajaran 18. Ilmu klinis dasar Tujuan 1: mampu mengelola pasien pasca-anestesia umum dan regional di PACU Metode pembelajaran 13. 14. 15. 16.

Diskusi kelompok kecil Peer assisted learning (PAL) Bedside teaching Task-based medical education

Tujuan 2: mengetahui kapan pasien dipulangkan (untuk ambulatori) Metode pembelajaran 5. 6. 7. 8.

Diskusi kelompok kecil Peer assisted learning (PAL) Bedside teaching Task-based medical education

Tujuan 2: kapan boleh dipindah ke ruangan (untuk pasien rawat inap) Metode pembelajaran 1. 2. 3. 4.

Diskusi kelompok kecil Peer assisted learning (PAL) Bedside teaching Task-based medical education

MEDIA

13. Papan tulis 14. Komputer 15. LCD dan slide projector 601

16. Pasien di kamar bedah dan PACU ALAT BANTU PEMBELAJARAN

13. Virtual patients 14. Reading assigment 15. Audiovisual 16. Perpustakaan, internet, skill lab EVALUASI 13. Kognitif : EMQ Multiple observations and assessments Multiple observers/raters OSCE Minicheck 14. Skill/psikomotor : Multiple observations and assessments Multiple observers OSCE Minicheck 15. Communication and Interpersonal Skills Multiple Observations and assessments Multiple observers/rater 16. Professionalisme Multiple Observations and assessments Multiple observers/rater

Pre-tes

45. Jelaskan tentang alat pantau dan obat-obatan apa yang diperlukan di PACU! 46. Bagaimana cara mendesain PACU? 602

47. Jelaskan tentang komplikasi yang sering terjadi di PACU dan cara mengatasinya! 48. Jelaskan tentang kriteria Modifikasi Aldrete’s skor! 49. Jelaskan tentang kriteria pemulangan pasien dengan PADSS! 50. Jelaskan pasien yang bagaimana yang harus masuk ICU padahal sebelumnya tidak direncanakan masuk ICU! Bentuk pre-tes : MCQ, ujian esai dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan (semester).

Bentuk ujian :

-

Ujian akhir rotasi (pos-tes tulis dan ujian pasien) Ujian akhir profesi (lisan/ujian nasional)

Bisa dalam bentuk :

10. Kognitif a. EMQ b. Multiple observation and assessments c. Multiple observers d. OSCE e. Minicheck 11. Skill/psikomotor a. Multiple observation and assessments b. Multiple observers c. OSCE d. Minicheck 12. Affective : Professionalisme, Communication and Interpersonal Skills a. Multiple observation and assessments b. Multiple observers DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR ANESTESIA Tindakan / operasi :

No

Daftar cek penuntun belajar prosedur anestesia

Sudah dilakukan

Belum dilakukan

PENGENALAN KOMPLIKASI 1

Pemasangan monitor

2

menilai dan mengatasi komplikasi obstruksi jalan nafas,

603

3.

menilai dan mengatasi komplikasi hipoksemia

4

menilai dan mengatasi komplikasi hiperkarbia.

5

menilai dan mengatasi komplikasi hipotensi.

6

menilai dan mengatasi komplikasi hipertensi.

7

menilai dan mengatasi komplikasi: aritmia.

8

menilai dan mengatasi komplikasi menggigil.

9

menilai dan mengatasi komplikasi PONV.

10

menilai dan mengatasi komplikasi delirium.

11

menilai dan mengatasi komplikasi akibat penusukan jarum untuk analgesia regional atau kateternya.

12

menilai kapan pasien boleh keluar dari PACU fase 1 dengan Modifikasi Aldrete’s skor

13

menilai kapan pasien boleh keluar dari PACU fase 2 (boleh pulang ke rumah) dengan PADSS skor.

14

menilai kapan pasien harus masuk ke ICU atau HCU

Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda (√ )

DAFTAR TILIK

Berikan tanda  dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan memuaskan, dan berikan tanda  bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak dilakukan pengamatan  Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standard atau penuntun 

Tidak memuaskan

Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan prosedur standard atau penuntun

T/D

Tidak diamati

Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih selama penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik

Tanggal

604

Nama pasien

No Rekam Medis

DAFTAR TILIK No

Kesempatan ke

Kegiatan / langkah klinis

Peserta dinyatakan :

1

2

3

4

5

Tanda tangan pelatih

 Layak

605

 Tidak layak melakukan prosedur Tanda tangan dan nama terang

MATERI ACUAN

Definisi Pemulihan Pemulihan adalah proses yang kontinyu dan proses tersebut secara tradisional dibagi dalam 3 bagian yang saling tumpang tindih: early recovery, saat pasien bangun dari anestesia; intermediat recovery, bila pasien mencapai kriteria boleh pulang, dan late recovery bila pasien kembali ke keadaan fisiologis seperti sebelum operasi. Early recovery (fase 1) dimulai dari saat dihentikannya obat anestetik supaya pasien bangun, pulih refleks proteksi jalan nafas, dan kembalinya aktivitas motorik. Fase ini biasanya terjadi di PACU dengan pengawasan ketat dan supervisi perawat. Aldrete merancang suatu sistem skoring untuk menentukan kapan pasien fit untuk keluar dari PACU. Nilai skoring 0, 1, atau 2 ditujukan untuk aktivitas motorik, respirasi, sirkulasi, kesadaran, dan warna. Total skor maksimalnya 10. Penggunaan pulse oximetri dapat menolong lebih akuratnya indikator oksigenasi, dan diusulkanlah suatu Modifikasi Skoring Aldrete yang mengganti kriteria warna pada Aldrete skor dengan SpO 2 pada Modifikasi Aldrete Skoring sistem. Bila pasien mencapai skor  9, pasien tersebut cukup fit untuk dipindahkan ke ruang pulih fase 2 di mana fase 2 recovery terjadi sampai mencapai kriteria untuk dipulangkan. Fase 3 recovery terjadi setelah keluar dari RS dan berlangsung sampai pasien mampu melakukan aktivitas sehari-hari.

Tabel 1: Aldrete Scoring Sistem dan Modifikasi Aldrete Scoring Sistem untuk menentukan kapan pasien siap keluar dari PACU.

606

Tabel 2. Criteria for Fast Tracking and Discharge Post Anesthesia Recovery Skor (Modified Aldrete Skor)

607

Activity 2=Moves all extremities voluntarily or on command. 1=moves two extremities 0=unable to move extremities Respirasion 2=breathes deeply & cough freely 1=dyspneic, shallow or limited breathing. 0=apneic Circulation 2=BP20 mm of preanesthetic level 1=BP20-50 mm of preanesthetic level 0=BP50 mm of preanesthetic level Oxygen saturasion 2=SpO2 > 92% on room air 1=Supplemental O2 req to maintain SpO2 > 90% 0=SpO2 30% of baseline MAP value

0

Respiratory stability Able to breathe deeply

2

Tachypnoe with good cough

1

Dyspneic with weak cough

0

Oxygen saturasion status Maintains value >90% on room air

2

Requires supplemental oxygen (nasal prong)

1

Saturasion < 90% with supplemental oxygen

0

609

Postoperative pain assessment None or mild discomfort

2

Moderate to severe pain controlled with iv analgesiacs

1

Persistent severe pain

0

Postoperative emetic symptoms None or mild nausea with no active vomiting

2

Transient vomiting or retching

1

Persistent moderate to severe nausea and vomiting

0

Total skor

14

MAP=mean arterial pressure

Definisi Postanesthetic care: Kepustakaan tidak memberikan Standard definisi postanesthetic care. Pada Practice Guidelines, postanesthetic care dihubungkan dengan aktivitas yang dilakukan untuk mengelola pasien setelah selesainya operasi dan anestesia. Adanya Practice Guideline for Post Anesthetic Care (PGPAC) ini bertujuan untuk memperbaiki outcome postanesthetic care yang diberikan anestesia atau sedasi dan analgesia. Hal ini dilaksanakan dengan mengevaluasi bukti-bukti dan memberikan rekomendasi untuk penilaian pasien, pemantauan, dan penatalaksanaan dengan sasaran optimalisasi keselamatan pasien. Diharapkan bahwa setiap rekomendasi akan individual bergantung pada kebutuhan setiap pasien. Fokus dari Guidelines pada penatalaksanaan pasien perioperatif dengan sasaran memperbaiki kualitas hidup post anestesia, mengurangi efek yang tidak diinginkan pascabedah, memberikan penilaian pemulihan pasien yang seragam, dan pelurusan kriteria postoperative care dan discharge. Guidelines ini diperuntukan untuk semua umur yang telah mendapat anestesia umum, analgesia regional, sedasi sedang dan dalam. Guidelines ini mungkin perlu dimodifikasi untuk pasien anak atau geriatri. Guidelines ini tidak ditujukan untuk pasien yang dilakukan infiltrasi analgesia lokal tanpa sedasi, pasien yang menerima sedasi minimal, dan pasien yang harus dirawat di ICU .

Penilaian dan pemantauan pasien perioperatif terlihat pada tabel di bawah ini: Tabel 4. Summary of recommendations for Assessment and Pemantauan Routine

Selected patients

Respiratory Respiratory rate

610

Jalan nafas patency Oxygen saturasion Cardiovascular Pulse rate

Electrocardiogram

Blood pressure Neuromuscular Physical examination

Neuromuscular blockade Nerve stimulator

Mental Status Temperature Pain Nausea and Vomiting Urin Voiding Output Drainage and bleeding

Penatalaksanaan perioperatif dan postanesthetic pasien termasuk penilaian secara periodik dan pemantauan dari fungsi respirasi dan kardiovaskular, neuromuskular, status mental, temperatur, nyeri, mual dan muntah, drainase dan perdarahan, serta urin. Fungsi respirasi: literatur menunjukkan bahwa penilaian dan pemantauan fungsi respirasi selama pemulihan, dengan pulse oksimetri, dapat mendeteksi secara dini adanya hipoksemia. Penilaian dan pemantauan secara periodik/ berkala dari patensi jalan nafas, frekuensi nafas, SpO 2 harus dilakukan pada emergence dan pemulihan. Fungsi kardiovaskular: pemantauan denyut nadi, tekanan darah, elektrokardiografi dapat mendeteksi komplikasi kardiovaskular, mengurangi outcome yang buruk, dan harus dilakukan selama emergence dan pemulihan. Dari tabel di atas yang rutin berarti harus dilakukan secara rutin pada semua kasus sedangkan selected patient tidak selalu dilakukan bergantung pada kasusnya, jadi bersifat individual.

611

Pemulangan Pasien Program bedah rawat jalan yang sukses bergantung pada pada pemulangan pasien yang tepat waktu setelah anestesia. Chung dkk membuat sistem skoring yang disebut PADSS (Postanesthesia discharge scoring sistem) yang secara objektif menilai ke fit-an pasien untuk dipulangkan. Untuk menjamin pendelegasian yang aman pada perawat, suatu sistem skoring harus praktis, simpel, mudah untuk diingat, dan tidak membebani perawat. PADSS berdasarkan 5 kriteria yaitu: 1) tanda vital (tekanan darah, denyut jantung, frekuensi nafas, temperatur), 2) ambulasi 3) mual/muntah, 4) nyeri dan 5) perdarahan akibat pembedahan (lihat tabel). Bila skor mencapai  9, pasien cukup aman untuk dipulangkan kerumah. Chung mendemonstrasikan bahwa dengan menggunakan PADSS pasien dapat dipulangkan dalam waktu 1-2 jam pascabedah.

Sebelum ada (PGPAC), ada beberapa cara untuk pemulangan pasien yang aman antara lain: Table 5. Guidelines for Safe Discharge After Ambulatory Surgery. Vital signs must have been stable for at least 1 hour The patient must be Oriented to person, place, and time Able to retain orally administered fluids Able to void Able to dress Able to walk without assistance The patients must not have More than minimal nausea and vomiting Excessive pain Bleeding The patient must be discharge by both the person who administered anaesthesia and the person who performed surgery, or by their designates. Written instruction for the postoperative period at home, including a contact place and person, must be reinforced. The patient must have a responssible, ”vested” adult escort them home and stay with them at home. Tabel 6: PADSS untuk menentukan kesiapan pasien

612

dipulangkan kerumah.

Setelah dibuat PGPAC lalu dilakukan modifikasi dari PADSS seperti terlihat di bawah ini:

Tabel 7: Modified PADSS untuk menentukan kesiapan pasien

dipulangkan kerumah.

613

AFTER GUIDE LINES

Dapatkah pasien aman dipulangkan tanpa toleransi terhadap cairan peroral? Di masa lalu, klinisi enggan untuk memulangkan pasien kerumahnya bila tidak bisa minum karena adanya mual atau alasan lainnya. Kepustakaan tidak cukup untuk mengevaluasi keuntungan minum cairan sebelum pulang. Schreiner dkk meneliti anak dan menemukan lebih tingginya kejadian mual dan lambat pulang pada yang disuruh minum daripada yang minum bila merasa haus . PGPAC merekomendasikan bahwa minum pascabedah tidak dimasukkan ke dalam protokol kriteria pemulangan pasien dan hanya diperlukan pada pasien tertentu. Karena itu, staf medis dan perawat harus berfikir bahwa minum bukan merupakan prasyarat untuk pemulangan pasien sehingga protokol untuk pemulangan pasien harus dimodifikasi.

Apakah Voiding/kencing diperlukan sebelum dipulangkan? Voiding umumnya dipertimbangkan sebagai syarat mutlak untuk pulang setelah operasi rawat jalan untuk mencegah berkembangnya retensi urin setelah pasien dipulangkan. Tuntutan bahwa pasien harus kencing sebelum dipulangkan mungkin tidak perlu memperpanjang lama tinggal di RS. Ketidakmampuan untuk mengeluarkan urin telah dilaporkan memperlambat kepulangan pada 5-19% pasien setelah bedah rawat jalan. Retensi urin pascabedah dapat disebabkan inhibisi refleks kencing akibat manipulasi bedah, pemberian cairan yang berlebihan sehingga menyebabkan distensi kandung kemih, nyeri, kecemasan, atau efek sisa dari analgesia spinal atau epidural. Faktor risiko untuk retensi urin adalah ada riwayat retensi urin, analgesia spinal/epidural, operasi pelvik atau urologi, katerisasi perioperatif. PGPAC merekomendasikan bahwa urinasi sebelum pasien dipulangkan tidak merupakan bagian dari protokol

614

pemulangan pasien dan mungkin hanya diperlukan untuk untuk pasien tertentu. Bila voiding merupakan bagian dari pemulihan, pasien dapat dipulangkan dengan instruksi yang jelas untuk minta pertolongan apabila tidak bisa kencing dalam 6-8 jam pascabedah.

Pemulangan pasien setelah Analgesia regional Sejumlah teknik analgesia regional dapat dipakai untuk bedah rawat jalan mulai dari analgesia spinal sampai ke blok ekstrimitas. Pasien yang dilakukan analgesia regional mempunyai kriteria pemulangan yang sama dengan pasien yang di anestesia umum.

Analgesia spinal Analgesia spinal sering digunakan untuk bedah rawat jalan dan mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan anestesia umum yaitu lebih rendahnya kejadian PONV, ngantuk, dan nyeri pascabedah. Di samping keuntungan tsb, analgesia spinal bukannya tanpa problema. Lidokain adalah obat yang populer untuk analgesia spinal akan tetapi mempunyai problema dengan terjadinya TNS (transient neurologic symptom). TNS jelas dihubungkan dengan pemberian lidokain intratekal dan kejadiannya bervariasi dari 16% sampai 40%. Penelitian menunjukkan perbedaan pendapat. Vaghadia dkk menemukan bahwa analgesia spinal dengan lidokain memperlambat pemulihan, peneliti yang lain mengatakan pemulangan pasien dengan analgesia spinal lebih cepat daripada anestesia umum. Wong dkk menemukan bahwa pemulangan pasien sama antara spinal dan anestesia umum pada pasien yang mengalami antroskopi.

Akibat adanya kekhawatiran kemungkinan efek neurotoksik dari lidokain membawa minat kearah pemilihan obat analgetik lokal yang lain. Bupivakain merupakan alternatif lain dari lidokain, akan tetapi mempunyai lama kerja yang lebih panjang, yang memungkinkan akan memperlambat pemulangan pasien. Berbagai usaha dilakukan untuk mengurangi dosis bupivakain yang diperlukan untuk anestesia dengan harapan pemulihannya cepat. Dosis kecil bupivakain 4-8 mg dapat digunakan untuk mencapai pemulangan yang sama dengan spinal lidokain. Penambahan fentanil menyebabkan sinergistik analgesia dan dapat mengurangi dosis bupivakain, lebih cepatnya ambulasi, dan mengurangi risiko retensi urin. Banyak penelitian yang mendukung hal ini (misalnya tambahkan 10 ug fentanil pada 5mg bupivakain). Sebelum pasien diperbolehkan berjalan, penting untuk menilai apakah motor blok telah regresi. Bila sensasi perianal (S4-5) normal, pleksi plantar, propriosepsi pada ibu jari kaki, pasien aman untuk dimulainya ambulasi.

Faktor yang memperlambat Pemulangan Pasien Tujuan suksesnya unit ambulatory adalah pemulangan pasien yang aman tepat waktu. Ada beberapa faktor yang memperlambat waktu pemulangan pasien. Meningkatnya umur dihubungkan dengan lambatnya pemulihan, suatu perbedaan umur 10 tahun dihubungkan dengan 2% perubahan lama tinggal. Operasi THT, strabismus, CHF merupakan prediktor prabedah yang penting untuk lambatnya pemulangan. Faktor intraoperatif adalah anestesia umum, operasi yang lama, adanya kejadian kardiak intraoperatif. Nyeri pascabedah dan PONV juga merupakan faktor yang memperlambat pemulangan

615

pasien, selain itu kadang-kadang problema logistik akan memperlambat pemulangan pasien. Nyeri pascabedah dan PONV adalah 2 faktor utama yang memperlambat pemulihan.

Nyeri Dalam usaha untuk mempertahankan keuntungan dari obat anestetik yang baru, spesialis anestesia harus mengembangkan untuk penatalaksanaan nyeri pascabedah yang efektif, yang harus dipikirkan sejak saat prabedah. Analgesia harus dimulai di kamar bedah dan dilanjutkan dengan lebih agresif saat pascabedah. Jenis obat, saatnya pemberian obat, dan dengan mempertimbangkan faktor emosional yang akan menambah nyeri, adalah elemen penting untuk keberhasilan terapi nyeri. Opioid masih merupakan obat yang paling umum digunakan untuk nyeri pascabedah, akan tetapi, adanya efek samping seperti depresi nafas, sedasi, PONV akan mengurangi keuntungan opioid untuk analgesia pascabedah. Keadaan ini yang menyebabkan berkembangnya pemakaian NSAID pada pasien bedah rawat jalan. Untuk pengobatan nyeri akut pascabedah, dibandingkan ketorolac, fentanil memberikan hasil yang unggul dalam 15 menit pertama, karena itu, kedua kelompok obat (opioid dan opioid) memberikan hasil yang efektif. Ketorolac 30-60 mg (0,5-2mg/kg) memberikan hasil yang efektif, akan tetapi, gejala mual kurang daripada opioid, dan adanya peningkatan perdarahan akan membatasi pemakaian ketorolac pada beberapa kasus bedah. Salah satu kriteria utama dari ambulatori adalah nyeri pascabedah yang minimal yang dapat dikendalikan dengan analgesik per oral. Walaupun banyak cara dalam memberikan analgesia, nyeri masih merupakan alasan umum pasien lambat dipulangkan, untuk kontak dengan dokter keluarga, dan untuk menjadi dirawatnya pasien yang direncanakan bedah rawat jalan. Untuk dapat mengobati nyeri secara efektif, harus mengerti tentang pola nyeri dan membatasi setiap faktor yang menimbulkan nyeri hebat. Chung dan Mezei meneliti 10.008 pasien bedah rawat jalan untuk melakukan identifikasi faktor risiko untuk nyeri hebat. Operasi ortopedi mempunyai kejadian paling tinggi untuk nyeri hebat pascabedah, terutama operasi bahu dan pengangkatan metal. Lama operasi juga mempunyai pengaruh untuk terjadinya nyeri pascabedah. Bila lama operasi lebih dari 90 menit, 10% pasien akan mengalami nyeri hebat. Bila operasi melebihi 120 menit, 20% pasien akan mengalami nyeri hebat. Penatalaksanaan nyeri pascabedah harus dimulai intraoperatif atau idealnya prabedah untuk menjamin pemulihan yang bebas nyeri. Pendekatannya harus multimodal, menggunakan NSAIDs, opioid, dan analgesia lokal. Harus diingat bahwa NSAIDs perlu waktu sekitar 30 menit untuk menjadi effektif dan sediaan parenteral lebih mahal daripada sediaan per oral.

PONV PONV masih merupakan problema yang umum setelah bedah rawat jalan, dan kejadiannya sekitar 20-30% setelah pemberian anestesia umum dan dilaporkan masih terjadi pada 35% pasien setelah dipulangkan ke rumah, sehingga mencegah PONV merupakan prioritas bagi pasien. Chung menunjukkan bahwa PONV adalah satu faktor paling penting yang menyebabkan pasien bedah rawat

616

jalan lambat dipulangkan. Untuk mengelola pasien lebih efektif, Apfel dkk membuat suatu sistem skoring untuk risiko terjadinya PONV yang terdiri dari 4 kategori yaitu : jenis kelamin wanita, ada riwayat PONV dan mabuk perjalanan, tidak merokok, dan penggunaan opioid pascabedah. Bila satu, dua, tiga, atau empat faktor tersebut ada maka kejadian PONV adalah 10%, 20%, 39%, dan 79%. Prosedur bedah yang lama dan jenis operasi tertentu akan menyebabkan lebih tingginya risiko terjadinya PONV. Kejadian PONV yang tinggi terjadi pada operasi intraabdominal, operasi ginekologis besar, laparoskopi, operasi payudara, mata, dan THT. Disebabkan karena bila telah terjadi PONV biaya akan lebih mahal daripada pencegahan, maka identifikasi faktor prediktor terjadinya PONV sangat penting sehingga dapat diberikan terapi profilaksis. Dibandingkan dengan plasebo, deksametason 10 mg secara nyata mengurangi PONV dari 73% menjadi 34% dalam 24 jam setelah laparoskopi. Deksametason 4 mg sebanding dengan ondansetron 4 mg setelah operasi ginekologis rawat jalan. Dalam suatu metaanalisis, Henzi dkk melaporkan deksametason terutama efektif melawan late PONV. Kombinasi droperidol dan ondansetron dapat mengurangi kejadian PONV sampai 90%, karena droperidol lebih baik dalam melawan nausea daripada emesis, sedangkan 5HT3 antagonis lebih menguntungkan untuk melawan emesis daripada mual.

PONV tidak hanya terjadi di PACU, akan tetapi, dapat saja terjadi pada pasien rawat inap setelah kembali ke ruangan atau pasien rawat jalan setelah pasien pulang ke rumahnya. Sebelum itu, sedikit perhatian untuk mengendalikan PONV setelah pasien dipulangkan ke rumah. Pemberian ondansetron sebelum pasien dipulangkan akan mengurangi kejadian PONV setelah pasien dipulangkan ke rumah. Pasien dengan risiko besar untuk terjadi PONV seperti laparoskopi, strabismus sebaiknya diberikan ondansetron sesaat sebelum pasien dipulangkan. Profilaksis antiemetik dengan intravena droperidol 0,625 mg, ondansetron 4 mg, metoklopromid 10 mg, deksametason 150 uk/g atau sampai 8 mg iv efektif untuk mencegah PONV. Pada tanggal 5 Desember 2001, FDA menyatakan peringatan “black box” untuk droperidol. Hal ini disebabkan karena adanya kematian tiba-tiba pada dosis tinggi droperidol (>25 mg) pada kasus psikiatri, adanya risiko aritmia jantung. Peringatan ini berdasarkan pada 9 laporan kasus. Pada 7 laporan di mana diberikan 2,5 mg droperidol, 4 orang meninggal sedangkan 3 orang lagi selamat setelah terjadi henti jantung. Henti jantung juga terjadi pada 2 pasien yang diberi droperidol dengan dosis 1 mg, di mana 1 pasien meninggal. Oleh karena itu, sebaiknya tidak memberikan droperidol untuk terapi PONV.

Table 9. Summary of Treatment recommendation Prophylaxis and treatment of PONV



 

Antiemetic agent (5-HT3 antagonist, droperidol, dexamethason, metoklopromid) may be use for prophylaxis or treatment when indicated. Multiple agent maybe use for prophylaxis or treatment when indicated. Other antiemetic or nonpharmacologic agent maybe use for treatment when indicated, although the

617

Supplemental oxygen

evidence supporting their use is less robust. Supplemental

Fluid administrasion and management Normalizing temperature

patient

Pharmacologic agent for the reduction of shivering Antagonism of the effects of sedatives, analgesiacs, and neuromuscular block

Faktor Lain yang memperlambat pemulangan Simptom yang lain seperti adanya nyeri tenggorokan, sakit kepala, ngantuk, pusing dapat terjadi setelah anestesia bedah rawat jalan. Teknik yang sederhana, seperti hidrasi perioperatif dengan 20 ml/kg BB cairan intravena akan mengurangi simptom pascabedah seperti rasa haus, mual, pusing, ngantuk sampai 24 jam pascabedah. Penelitian pada 5264 pasien menunjukkan kejadian sore throat sekitar 12,1%. Faktor yang menimbulkan kejadian sore throat adalah intubasi endotrakeal, jenis kelamin wanita, pasien muda, penggunaan suksinilkolin, operasi ginekologis. Wu dkk meneliti simptom keseluruhan setelah pasien dipulangkan dan kejadiannya kira-kira 45% untuk nyeri, 17% untuk mual, 8% untuk muntah, simptom lainnya adalah ngantuk, pusing, dan lemah.

Pesan/instruksi pada pasien sebelum dipulangkan Pasien bedah rawat jalan harus disertai orang dewasa yang bertanggung jawab membawanya pulang dan menjaganya di rumahnya karena akan mengurangi kejadian adanya efek yang tidak diinginkan, meningkatkan kenyamanan pasien. Dianjurkan pasien harus diberikan instruksi tertulis tentang prosedur diet, obat, aktivitas, dan nomor telepon bila ada kejadian darurat. Pasien secara rutin diminta untuk tidak minum alkohol, menyetir, membuat keputusan penting dalam 24 jam. Pasien jangan menyetir untuk 24 jam bila diberi anestesia kurang dari 1 jam, bila lama anestesia 2 jam atau lebih, pasien tidak boleh nyetir sampai 48 jam, ini bila diberi anestesia dengan tiopental dan halotan. Dengan adanya obat anestetik yang baru yaitu propofol, sevofluran, desfluran, remifentanil maka penelitian Sinclair dengan simulator nyetir menyebutkan bahwa hanya perlu 3 jam. Harus diingat faktor kenyamanan pasien merupakan salah satu tujuan utama bedah rawat jalan. Faktor yang menentukan kenyamanan pasien adalah keramahan personil kamar bedah, diskusi ahli bedah dengan pasien tentang apa yang ditemukan saat pembedahan, penatalaksanaan PONV dan nyeri pascabedah, pemasangan jalur vena yang lancar, dan hindari keterlambatan.

618

Simpulan 2. Bedah rawat jalan menguntungkan karena lebih murah dibandingkan dengan bedah rawat inap, juga menguntungkan untuk pasien dan keluarganya. 3. Pemantauan di PACU (pemulihan fase I/early recovery) dengan Modifikasi sistem Aldrete Skoring dan pasien boleh keluar PACU atau kamar bedah bila skor mencapai 9 atau lebih. 4. Pemantauan di ruang pulih fase II (intermediat recovery) dengan PADSS dan pasien boleh dipulangkan bila sudah mencapai skore 9 atau lebih. 5. Kejadian PONV dan nyeri pascabedah masih merupakan problema utama yang dapat dikurangi dengan perencanaan anestesia yang tepat. 6. Instruksi pada yang diberikan pada pasien saat dipulangkan harus jelas dan tertulis. Referensi : 1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006 2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed. Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006

MODUL 34

Penatalaksanaan nyeri

Mengembangkan komepetensi

Waktu, semester 2 dan semester 6

Sesi di dalam kelas

Terintegritas waktu menangani pasien PACU dan ICU

Sesi dengan fasilitas pembimbing Sesi praktek dan pencapaian kompetensi

619

Persiapan Sesi Audiovisual 1.LCD proyektor dan layar 34. Laptop 35. OHP 36. Flipchart 37. Pemutar video Materi presentasi : CD power point Sarana - Ruang belajar - Ruang pemeriksaan - Ruang pulih - Ruang rawat inap / pengamat lanjut Kasus : pasien di ruang PACU dan ICU Alat bantu latih : model anatomi / simulator Penuntun belajar : lihat acuan materi Daftar tilik kompetensi : lihat daftar tilik

Referensi : 38. Basic & Clinical Pharmacology Katzung BG 9th ed 2004 39. Clinical Anesthesiology GE Morgan, Jr 4th ed 2006 40. Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2005. 41. Miller´s Anesthesia RD 6th ed 2005

1. Tujuan Umum : Setelah menyelesaikan modul ini, peserta didik akan mampu melakukan penatalaksanaan nyeri akut dan kronik termasuk nyeri kanker dan pendekatan farmakologis dan non farmakologis menggunakan teknik noninvasif maupun invasif.

620

2. Tujuan Khusus : Kognitif 1. Mampu menjelaskan pendekatan farmakologis dan nonfarmakologis yang dipergunakan dalam penatalaksanaan nyeri kronik 2. Mampu menjelaskan titik tangkap kerja pendekatan farmakalogis maupun non farmakologis pada nyeri kronik 3. Mampu menjelaskan penatalaksanaan nyeri pada nyeri khusus antara lain nyeri pada luka bakar, nyeri herpes, nyeri neuropatik diabetikum. 4. Mampu menjelaskan aspek psikologis, efek plasebo pada penatalaksanaan nyeri kronik Psikomotor 1. Mampu melakukan evaluasi dan menilai efektifitas penatalaksanaan nyeri kronik 2. Mampu memilih dan menetapkan kombinasi penkatan yang dipergunakan pada nyeri kronik termasuk nyeri kanker sesuai tahapannya. 3. Mampu mengenali dan mengatasi efek samping yang disebabkan penatalaksanaan nyeri kronik 4. Mampu melakukan penatalaksanaan nyeri pada pasien nyeri kronik yang mengalami nyeri akut karena pembedahan

Komunikasi 1. Mampu berinteraksi dan menciptakan kondisi kerjasama tim dengan sejawat yang terkait dari keahlian lain, perawat dan petugas home care. 2. Mampu menjelaskan tentang program penatalaksanaan nyeri, langkah-langkah dan efek samping yang mungkin terjadi 3. Mampu menjelaskan kepada pasien maupun keluarga tentang tindakan dan efek samping yang mungkin terjadi Profesionalisme 1. Mampu bekerja dengan etis dan sesuai standard prosedur .

621

2. Mampu bekerja dalam tim dan menghargai sejawat lain, termasuk perawat, petugas kesehatan dan perugas home care sesuai kompetensinya masing-masing. 3. Mampu menghargai dan mendapatkan kepercayaan pasien 4. Mampu menentukan pilihan pendekatan untuk pasien yang berada pada stadium akhir dan terapi paliatif . 5. Mampu memberi informasi dan penjelasan profesional kepada keluarga pasien

3. Key notes 1. Nyeri dapat diklasifikasi menurut patofisiologi (misalnya, nyeri nosiseptif, atau nyeri neuropatik), etiologi (misalnya, nyeri pascabedah atau nyeri kanker), atau area yang menderita (misalnya, nyeri kepala atau nyeri bokong bawah/low back pain). 2. Nyerti nosiseptif disebabkan oleh aktifasi atau sensitisasi nosiseptor perifer, reseptor yang menghantarkan rangsangan noksious. Nyeri neuropatik adalah akibat cedera atau kelainan yang didapat pada struktur perifer atau sentral. 3. Nyeri akut dapat didefinisikan sebagai nyeri yang disebabkan oleh rangsangan noksious karena cedera, proses penyakit, atau fungsi abnormal otot atau visera. Hampir selalu merupakakan nyeri nosiseptif. 4. Nyeri kronik didefinisikan sebagai nyeri yang menetap melebihi perjalanan satu penyakit atau setelah waktu penyembuhan terjadi; periode dapat bervariasi antara 1 sampai 6 bulan. Nyeri kronik mungkin nyeri atau neuropatik atau campuran. 5. Modulasi nyeri terjadi perifer pada nosiseptor, di medula spinalis atau di struktur supraspinal. Modulasi ini dapat menghambat atau mempermudah (memperkuat) nyeri. 6. Nyeri akut yang moderat sampai berat, di mana saja letaknya dapat mengenai fungsi organ serta memperburuk morbiditas dan mortalitas pascabedah.

setiap

7. Blok neuron dengan analgetik lokal dapat dipergunakan untuk menggambarkan mekanisme nyeri, tetapi lebih penting melaksanakan peranan besar dalam penatalaksanaan pasien dengan nyeri akut atau kronik. Peran sistem simpatikus dan jaringannya dapat dievaluasi. 8. Antidepresan umumnya sangat berguna untuk pasien dengan nyeri neuropatik. Obat ini terbukti memberikan efek analgesia pada dosis yang lebih kecil dari pada dosis sebagai antidepresan. 9. Antikovulsan telah dibuktikan sangat berguna untuk pasien dengan nyeri neuropatik. 622

10. Pemberian neuroaksial campuran analgetik lokal-opioid (terutama epidural) adalah teknik anestesia yang sempurna untuk penanganan nyeri pascabedah setelah operasi abdominal, pelvik, toraks, atau ortopedik ekstrimitas bawah. 11. Efek samping yang berat opioid epidural atau intratekal bergantung pada dosis dan depresi nafas tunda (delayed respiratory depresion). Kebanyakan kasus depresi nafas terjadi pada pasien yang bersamaan mendapat opioid atau sedatif parenteral.

Gambaran Umum Setelah melalui sesi peserta didik mampu menangani nyeri akut terutama nyeri pascabedah, nyeri kronik terutama nyeri kanker. Peserta didik dilatih melakukan pendekatan yang multidisiplin untuk bekerja sama dengan bidang ilmu lain seperti, internis, neurologis, onkologis, psikolog atau akupungturis. Tujuan Pembelajaran Selama mengikuti sesi ini peserta akan mengetahui definisi dan klasifikasi nyeri akut dan nyeri kronik, serta anatomi dan fisiologi nosiseptif. Karena nyeri bersifat multi modulasi, maka intervensi ditempuh berbagai cara yaitu secara farmakologik atau blok neuroaksial atau kombinasi. Khususnya untuk nyeri pascabedah peserta didik juga harus mampu memberikan analgesia preemtif.

Sumber Belajar - Buku teks, jurnal ilmiah - Spesialis anestesia sebagai pengajar dan pelatih Metode belajar: Diskusi kelompok, belajar mandiri Magang, melakukan dengan pendampingan.

Media Pembelajaran Perpustakaan Animasi di komputer (interaktif) Pasien di kamar bedah, poli paliatif dan klinik nyeri

623

Kata kunci: 1 .Aspek psikologis sangat berperan pada penatalaksanaan nyeri kronik 2. Penanganan terpadu dari dokter, perawat, petugas home care, petugas sosial sangat diperlukan. 3.Evaluasi efektifitas obat dan perubahan toleransi obat harus dilakukan secara berkala untuk re ajusment.

Evaluasi: - Pre-tes - tes tulis (entry behaviour, kognitif) - Pos-tes - tes tulis - diskusi/laporan penatalaksanaan kasus - clinical performance test(pasien)

DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR PENATALAKSANAAN NYERI

N o.

Daftar cek penuntun belajar prosedur anestesia

Sudah dikerja kan

Belum dikerja kan

PERSIAPAN 1

Persetujuan setelah mendapatkan informasi yang adekuat

2

History taking dan pemeriksaan fisis.Prioritas fungsi vital stabil, pada kasus darurat.

3

Evaluasi tingkat nyeri dan aspek psikologis

624

3

Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan terkait prosedur/obat (faal hemostasis, liver profile)

4

Pemilihan teknik pendekatan

5

Persiapan alat, obat

6

Pendekatan psikologis

PERSIAPAN ANALGESIA REGIONAL/LOKAL 1.

Penjelasan prosedur pada penderita

2

Penderita diatur dalam posisi sesuai dengan teknik yang dipilih dan senyaman mungkin.

3

Lakukan desinfeksi dan tindakan aseptis/antiseptis pada daerah anestesia

TINDAKAN ANESTESIA 1

Induksi, intubasi

2

Rumatan

3

Ekstubasi PERAWATAN PASCABEDAH

1

Komplikasi dan penangannya

2

Pengawasan terhadap fungsi vital

3

Pemantauan khusus dengan alat khusus

Catatan : sudah/belum dikerjakan beri tanda

625

DAFTAR TILIK Beri tanda  dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan memuaskan dan berikan tanda x bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak dilakukan pengamtan



Memuaskan

Langkah/tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur s tandard atau penuntun

x

Tidak

Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/tugas sesuai dengan prosedur

Memuaskan

standard atau penuntun

T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta

Nama peserta didik

Tanggal

Nama pasien

No Rekam Medis

DAFTAR TILIK No.

Kegiatan/langkah klinis

Kesempatan ke 1

2

3

4

626

5

Peserta dinyatakan :

Tanda tangan pelatih

 Layak  Tidak layak Melakukan prosedur Tanda tangan dan nama terang

MATERI ACUAN : Penatalaksanaan Nyeri

627

Nyeri adalah gejala umum yang membawa pasien datang ke dokter, yang hampir selalu merupakan manifestasi proses patologis. Umumnya penatalaksanaan nyeri ini merupakan bagian dari disiplin anestesiologi tetapi pada perkembangan kemudian pemakaian di luar kamar operasi. Dalam praktek penatalaksanaan nyeri dibagi menjadi penatalaksanaan nyeri akut dan penatalaksanaan nyeri kronik. Pada mulanya menghilangkan nyeri pascabedah atau karena kondisi akut penyakit sebagai pasien rawat inap, sedangkan yang kemudian penatalaksanaan nyeri untuk berbagai kelompok sebagai pasien rawat jalan. Sudah tentu ada tumpang tindih antara keduanya misalnya pasien nyeri kanker yang dapat menjadi pasien rawat inap dan rawat jalan. Praktek penatalaksanaan nyeri tidak terbatas pelayanan anestesia saja tetapi akan mencakup praktisi lain seperti, internis, onkologi, neurologi, atau non-dokter seperti, psikologi, akupungtur. Yang jelas bidang ini memerlukan pendekatan multidisiplin. Anestetis yang terlatih dalam penatalaksanaan nyeri dapat menjadi koordinator pengelolaan nyeri yang multidisiplin di klinik nyeri karena telah terlatih menagani nyeri pasien bedah, obstetriginekologis, pediatrik atau spesialis lain dengan pendekatan farmakologis atau neuroaksial dengan cara blok saraf perifer atau saraf pusat.

DEFINISI DAN KLASIFIKASI NYERI

Persepsi nyeri bergantung pada neuron yang berfungsi, apakah sebagai reseptor, detektor rangsangan, dan kemudian transdusi dan konduksi ke dalam susunan saraf pusat. Sensasi sering dibagi sebagai protopatik (noksious) atau epikritik (non-noksious). Sensasi epikritik (cahaya, perabaan, tekanan, proprioseptif, suhu) yang diberi tanda oleh reseptor ambang rendah (low-thresholdreceptors) dan umumnya dihantarkan oleh serabut saraf besar bermielin (large myelinated nerve fibers). Sebaliknya sensasi protopatik (nyeri) dilayani oleh reseptor ambang tinggi (high-threshold rceptors) dan dihantarkan oleh serabut saraf kecil bermielin ( mielinated nerve fibers) (Adan  serabut saraf tak bermielin (unmyelinated nerve fibers) (C).

Nyeri tidak hanya modaliti sensasi tetapi suatu pengalaman. The International Association for the Study of Pain ( IASP) mendefinisikan nyeri sebagai: “ as unpleasant sensory and emotional experience associated with actual or potential tissue damage, or described in terms of such damage”

628

Nosiseptif (“nociception”), berasal dari bahasa latin : noci (cedera atau injury), dipergunakan untuk menjelaskan respons neural hanya terhadap trauma atau rangsangan noksious. Semua nosiseptif menghasilkan nyeri, tetapi tidak semua nyeri akibat dari nosiseptif. Banyak pula pasien mengalami nyeri tidak disertai rangsangan noksious. Karena itu untuk penggunaan klinis, nyeri dibagi menjadi : 1) nyeri akut, yang terutama karena nosiseptif; 2) nyeri kronik, yang mungkin disebabkan oleh nosiseptif, tetapi faktor psikologi dan behavior yang lebih banyak berperan. Tabel yang dipergunakan untuk menangani nyeri.

Table. Terms used in pain management.

Term

Description

Allodynia

Perception of an ordinarily nonnoxious stimuli as pain

Analgesia

Absence of pain perception

Anesthesia

Absence of all sensation

Anesthesia dolorosa Pain in an area that lacks sensation Dysesthesia

Unpleasant or abnormal sensation with or without a stimuli

Hypalgesia (hypoalgesia)

Diminished responsse to noxious stimulation (eg, pinprick)

Hyperalgesia

Increased responsse to noxious stimulation

Hyperesthesia

Increased responsse to mild stimulation

Hyperpathia

Presence of hyperesthesia, allodynia, and hyperalgesia usually associated with overreaction, and persistence of the sensation after the stimuli

Hypesthesia (hypoesthesia)

Reduced cutaneous sensation (eg, light touch, pressure, or temperature)

Neuralgia

Pain in the distribution of a nerve or a group of nerves

Paresthesia

Abnormal sensation perceived without an apparent rangsangan

Radiculopathy

Functional abnormality of one or more nerve roots

629

Nyeri dapat diklasifikasi menurut patofisiologi, (misalnya: nyeri nosiseptif atau nyeri neuropatik; etiologi (pascabedah atau kanker); area yang terkena ( nyeri kepala, nyeri punggung bawah). Klasifikasi dipergunakan untuk menentukan modaliti pengobatan dan jenis obat ysng dipergunakan. Nyeri nosiseptif disebabkan oleh aktivasi atau sensitisasi nosiseptor perifer, terutama reseptor yang menghantarkan rangsangan noksious. Nyeri neuropatik adalah nyeri yang disebabkan oleh cedera atau kelainan yang didapat pada struktur saraf perifer atau saraf pusat

a. Nyeri akut Nyeri akut dapat didefinisikan sebagai nyeri yang disebabkan oleh rangsangan noksious karena cedera, fungsi abnormal dari otot atau visera. Nyeri nosiseptif membantu untuk mendeteksi, melokalisir dan membatasi kerusakan jaringan melalui 4 proses : transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi. Jenis nyeri ini tipikal dan berkaitan dengan stres neuroendokrin yang proporsional dengan intensitasnya. Bentuk yang paling umum meliputi: nyeri pascatrauma, nyeri perioperatif dan nyeri obstetrik dan penyakit akut seperti, infark miokard, pankreatitis, dan batu ginjal. Nyeri ini pudar sendiri atau dengan pengobatan setelah beberapa hari atau pekan. Kalau tidak menghilang mungkin disebabkan oleh penyembuhan yang abnormal atau pengobatan tidak adekuat. Nyeri akut dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu: 1) nyeri somatik dan 2) nyeri viseral 1. Nyeri somatik Nyeri somatik dapat diklasifikasi lebih jauh lagi menjadi : nyeri somatik dalam dan permukaan. Nyeri somatik permukaan terjadi karena masukan nosiseptif muncul dari kulit, jaringan subkutan dan membran mukosa. Nyeri berkarakteristik dan terlokalisasi jelas, dapat dideskripsi sebagai nyeri yang tajam, menusuk, berdenyut atau sensasi terbakar. Nyeri somatik dalam, berasal dari otot, tendon, sendi atau tulang sebagai nyeri tumpul dan lokalisasi kurang jelas; contohnya trauma pada siku tetapi lokalisasi nyeri ada pada hampir seluruh lengan. 2. Nyeri viseral Nyeri viseral adalah nyeri akut yang muncul proses abnormal organ internal atau yang menutupinya (misalnya pleura parietalis, perikardium, atau peritoneum). Nyeri viseral masih dibagi menjadi 4 subtipe: 1) true localized visceral pain; 2) localized parietal pain; 3) reffered visceral pain; 4) reffered parietal pain.Nyeri viseral murni biasanya tumpul difus dan di garis tengah. Biasanya sering disertai dengan peningkatan aktifitas simpatikus atau parasimpatikus hingga menyebabkan, mual, muntah berkeringat dan perubahan tekanan darah dan laju nadi. Nyeri parietalis khas tajam dan sering didiskripsikan sebagai sensasi tusukan dengan lokasi sekitar organ atau dialihkan lebih jauh (reffered to a distant site). 630

b. Nyeri kronik Nyeri kronik adalah nyeri yang berlangsung melampaui waktu perjalanan penyakit akut atau setelah waktu yang wajar untuk terjadi penyembuhan; waktu ini dapat bervariasi antara 1 – 6 bulan. Nyeri dapat berupa nyeri nosiseptif, neuropatik atau campuran. Aspek mekanisme psikologi dan faktor lingkungan sering sangat berperan dalam menentukan perbedaan gambaran nyeri kronik tersebut. Pasien dengan nyeri kronik sering menekan atau menghilangkan respons stres neuroendokrin hingga cenderung mengalami gangguan tidur dan afektif (mood). Nyeri neuropatik adalah paroksimal klasik dan rasa tersayat serta terasa panas dan berkaitan dengan hiperpati.

Bentuk nyeri kronik yang paling umum berkait dengan gangguan muskuloskeletal, gangguan viseral kronik, lesi saraf perifer, radiks saraf (nerve roots), (termasuk neuropatik diabetik, kausalgia, nyeri fantom dan neuralgia posterapeutik), lesi SSP (strok, cedera medula spinalis, dan multipel skelerosis), dan nyeri kanker. Kebanyakan nyeri gangguan muskuloskeletal (misalnya reumatoid artritis, dan osteoartritis) adalah nyeri nosiseptif, di mana nyeri bercampur dengan gangguan saraf perifer dan sentral yang terutama neuropatik. Nyeri yang berkaitan dengan gangguan-gangguan seperti, kanker dan nyeri punggung kronik (terutama setelah opersi) sering merupakan nyeri campuran. Beberapa klinikus menyebutnya sebagai nyeri kronik benigna.

ANATOMI DAN FISIOLOGI NOSISEPTIF

Pathways nyeri Lihat gambar :

631

Untuk mempermudah menyerderhanakan ilustrasi, nyeri dihantarkan melalui 3 jaring neuron (three-neuron pathways) yang menghantarkan rangsangan noksious dari perifer sampai korteks serebri (Gambar). Neuron aferen primer berada di radiks dorsalis ganglia (dorsal root ganglia), yang terletak di foramen vertebra pada tiap level medula spinalis. Setiap neuron mempunyai satu akson yang terbagi dua, satu ujung menuju ke jaringan perifer yang dipersarafi, dan yang lain masuk ke tanduk dorsalis (dorsal horn) medula spinalis. Di tanduk dorsalis neuron aferen primer bersinaps dengan neuron kedua (second order neuron) yang aksonnya menyilang garis tengah dan naik di kontralateral traktus spinotalamikus sampai ke talamus. Neuron kedua bersinaps di nukleus talamikus dengan neuron ketiga (third order neuron) yang membelok menuju girus pos-sentralis di korteks serebri melalui kapsul interna (gambar).

632

Fisiologi nosiseptif

1. Nosiseptor Sensasi noksious sering diperinci lagi menjadi 2 komponen menjadi nyeri pertama dan nyeri kedua. Nyeri pertama, cepat, tajam dan lokasi sensasi baik, dihantarkan oleh serabut A dengan latensi yang pendek (0.1 s); nyeri kedua, tumpul, mula kerja lambat, dan lokasi sensasi sering tidak jelas yang dihantarkan oleh serabut C.

Nosiseptor kutaneus Nosiseptor kutaneus ada di kedua jaringan somatik dan viseral.. Neuron aferen primer sampai ke jaringan melalui somatik, simpatikus dan parasimpatikus spinal. Nosiseptor somatik ada di kulit (kutaneus) dan jaringan dalam (otot, tendon, fasia dan tulang), sedangkan nosiseptor viseral ada di organ dalam.

Nosiseptor somatik dalam (deep somatic nociceptors) Nosiseptor somatik dalam kurang sensitif dari pada nosiseptor kutaneus, tetapi disensitifkan oleh inflamansi. Karakter nyeri yang timbul tumpul dan lokasi tidak jelas. Nyeri nosiseptor ini berada di otot, sendi dan respons terhadap rangsangan mekanis, panas dan kimia Nosiseptor viseral Organ viseral umumnya adalah jaringan yang kurang sensitif, yang terutama mengandung “silnet nociceptors”, seperti jantung, paru dan saluran empedu. Kebanyakan organ seperti usus dipersarafi oleh nosiseptor polimodal nosiseptor yang tanggap terhadap spasme otot, iskemia, dan inflamasi (alogens). Sebagian kecil organ seperti otak tidak mempunyai nosiseptor samasekali, walapun pemukaan selaput otak meningeal berisi banyak nosiseptor. Seperti halnya nosiseptor somatik di visera tidak terdapat ujung saraf dari neuron aferen primer yang sel saraf (cell bodies) terletak di tanduk dorsalis medula spinalis. Serabut saraf aferen ini berjalan bersama serabut saraf eferen simpatikus sampai ke visera.

2. Mediator kimiawi untuk nyeri

633

Beberapa neuropeptid dan asam amino eksitatori berfungsi sebagai neutransmiter untuk neuron aferen yang menghantarkan nyeri. (tabel)

Table. Major Neurotransmitters Mediating or Modulating Pain.

Neurotransmitter

Receptor1

Effect on Nociception

Substance P

NK–1

Excitatory

Calcitonin gene-related peptide

Excitatory

Glutamate

NMDA, AMPA, kainite, quisqualate

Excitatory

Aspartate

NMDA, AMPA, kainite, quisqualate

Excitatory

Adenosine triphosphate (ATP)

P1, P2

Excitatory

Somatostatin Acetylcholine

Inhibitory Muscarinic

Inhibitory

Enkephalins

, ,

Inhibitory

-Endorphin

, ,

Inhibitory

2

Inhibitory

Adenosine

A1

Inhibitory

Serotonin

5-HT1 (5-HT3)

Inhibitory

A, B

Inhibitory

Norepinefrin

-Aminobutyric acid (GABA) Glycine

Inhibitory

1

NMDA, N-methyl-D-aspartate; AMPA, 2-(aminomethyl)phenilacetic acid; 5-HT, 5634

hydroxytryptamine

Kebanyakan, walaupun tidak semua neuron mengandung lebih dari satu neurotransmiter yang dilepaskan secara simultan. Neurotransmiter terpenting yaitu : substance P, Calcitonin GeneRelated Peptide(CGRP). Glutamat adalah eksitatori asam amino yang terpenting. Neuron yang melepaskan substance P juga mempersarafi visera dan berkolateral dengan serabut saraf yang menuju ganglion simpatikus paravertebra; rangsangan kuat pada visera akan menyebabkan langsung postganglionic sympathetic discharge.

3. Modulasi nyeri Modulasi nyeri terjadi di perifer pada nosiseptor dalam medula spinalis atau supraspinal. Modulasi ini dapat menekan atau memperkuat nyeri. Mana no 4??? 5. Analgesia preemtif Kiat ini adalah pemberian picu farmakologik hingga terjadi efek analgesia efektif sebelum trauma bedah. Termasuk cara ini, termasuk infiltrasi sekitar luka operasi, pemberian obat blok neural sentra, atau pemberian opioid dengan dosis efektif, NSAID, atau ketamin.

PATOFISIOLOGI NYERI KRONIK

Nyeri kronik mungkin disebabkan oleh kombinasi pengaruh sentral, perifer dan psikologik. Sensitisasi nosiseptif memainkan peran besar pada nyeri dengan mekanisme perifer seperti gangguan muskuloskeletal dan viseral. Nyeri neuropatik melibatkan saraf sentral dan perifer. Mekanisme sentral yang kompleks dan umumnya berhubungan dengan lesi parsial atau keseluruhan dari saraf perifer, ganglia radiks dorsalis, radiks sarea, atau struktur yang lebih sentral (tabel)

Table. Mechanisms of Neuropathic Pain.

Spontaneous self-sustaining neuronal activity in the primary afferent neuron (such as a 635

neuroma). Marked mechanosensitivity associated with chronic nerve compression. Short-circuits between pain fibers and other types of fibers following demyelination, resulting in activation of nociceptive fibers by nonnoxious stimuli at the site of injury (ephaptic transmission). Functional reorganization of receptive fields in dorsal horn neurons such that sensory input from surrounding intact nerves emphasizes or aggravates any input from the area of injury. Spontaneous electrical activity in dorsal horn cells or thalamic nuclei. Release of segmental inhibition in the spinal cord. Loss of descending inhibitory influences that are dependent on normal sensory input. Lesions of the thalamus or other supraspinal structures.

Sistem saraf simpatis nampaknya memegang peran besar pada pasien dengan mekanisme perifer dan sentral. Keampuhan blok saraf simpatis pada beberapa pasien mendukung konsep pemeliharaan nyeri simpatikus; gangguan dengan nyeri yang sering menjadi respons terhadap blok simpatikus termasuk distrofi simpatikus, sindroma karena amputasi, neuralgia pasca herpes.

Mekanisme psikologi atau faktor lingkungan jarang merupakan satu-satunya mekanisme nyeri kronik, tretapi umumnya berhubungan dengban mekanisme lain (Tabel)

Table. Psychological Mechanisms or Environmental Factors Associated with Chronic Pain.

Psychophysiological mechanisms in which emotional factors act as the initiating cause for somatic or visceral dysfunction (eg, tension headaches). Learned or operant behavior in which chronic behavior patterns are rewarded (eg, by attention of a spouse) following an often minor cedera. Psychopathology due to psychiatric disorders such as major affective disorders (depresion), schizophrenia, and somatization disorders (conversion hysteria) in which the patient has an

636

abnormal preomlupation with bodily functions. Pure psychogenic mechanisms (somatoform pain disorder), in which real suffering is experienced despite the absence of any nonciceptive input.

INTERVENSI FARMAKOLOGI NYERI

Intervensi farmokologis pada penatalaksanaan nyeri mencakup COX inhibitor, opioid, antidepresan, neuroleptik, kortikosteroid, pemakaian intravena obat, pemakaian lokal anestetik secara sistemik. COX inhibitor dapat dipergunakan untuk managemen nyeri pascabedah, opioid dipergunakan terutama untuk nyeri akut moderat sampai nyeri berat6 dan kanker.

Antidepresan Obat ini mempunyai efek analgesia pada dosis yuang lebih kecil dari pada dosis antidepresan.. kedua efek ini disebabakan oleh blokade reambilan serotonin atau noepinefrin atau keduanya dari presinaptik. Antidepresan umumnya sangat bermanfaat untuk pasien dengan nyeri neuropatik, misalnya neuralgia pasca herpes, dan neuropati diabetik.

Antikonvulsan Antikonvulsan sangat berguna untuk pasien dengan nyeri neuropatik, terutama neuralgia trigeminus, neuropatik diabetik. Obat ini juga efektif sebagai adjuvan untuk nyeri pascabedah misalnya gabapentin. Dalam Tabel di bawah diperlihatkan daftar obat antikovulsan.

637

Table 18–10. Anticonvulsants Possibly Useful in Pain Management.

Anticonvulsant

Half-Life (h)

Daily Dose (mg)

Therapeutic Level1 ( g/mL)

Carbamazepine (Tegratol)

10–20

200–1200

4–12

Clonazepam (Clonopin)

18–30

1–18

0.01–0.08

Gabapentin (Neurontin)

5–7

900–1800

>2

Lamotrigine (Lamictal)

24

25–400

2–20

Fenitoin (Dilantin)

22

200–600

10–20

Topiramate (Topamax)

20–30

25–200

Unknown

Valproic acid (Depakene)

6–16

750–1250

50–100

1

Efficacy in pain management may not correlate with blood level.

Neuroleptik Neuroleptik bermanfaat untuk nyeri neuropatik refrakter. Neuroleptik juga sangat berguna untuk pasien yang agitasi atau dengan gejala psikotik. Obat-obat yang banyak dan umum dipakai adalah; haloperidol, flufenazin, klorpromazin, dan perferazin. Efek terapeutik obat ini karena blokade reseptor dopaminergik di sisi mesolimbik Sayang sekali obat ini dapat memberikan dampak samping gejala ektrapiramidal. Obat ini juga dapat memberikan efek, antihistamin, antimuskarinil, blok -adrenergik.

Kortikosteroid Glukokortikoid sangat ekstensif dipergunakan penatalaksanaan nyeri karena efek antiinflamasi dan analgesia. Obat dapat diberikan topikal, oral atau parenteral.(intravena, subkutan, intrabursa, intra-artikular, dan epidural). Tabel di bawah ini diperlihatkan daftar obat yang sering dipergunakan.

638

Table. Selected Corticosteroids.1

Drug

Routes Glucocorticoid Given2 Activity

Mineralocorticoid Activity

Equivalent Dose (mg)

HalfLife (h)

Hydrocortisone

O, I, T

1

1

20

8–12

Prednisone

O

4

0.8

5

12–36

Prednisolone

O, I

4

0.8

5

12–36

Methylprednisolone (Depo-Medrol, SoluMedrol)

O, I, T

5

0.5

4

12–36

Triamcinolone (Aristocort)

O, I, T

5

0

4

12–36

Betamethasone (Celestone)

O, I, T

25

0

0.75

36–72

Dexamethasone (Decadron)

O, I, T

25

0

0.75

36–72

1

Adapted from Goodman LS, Gilman AG: The Pharmacologic Basis of Therapeutics, 8th ed. Pergamon, 1990. 2

O, oral; I, injectable; T, topical.

Kalau aktivitas glukokortikoid berlebihan dapat menghasilkan hipertensi, hiperglikemia, rentan infeksi, ulkus peptikus,nekrosis aseptik kaput humerus, proksimal miopati, katarak dan psikosis (jarang); dan juga gambaran sindroma Cushing. Terlalu berlebihan mineralokortikoid dapat memacu terjadi gagal jantung.

Analgetik lokal sistemik Analgetik lokal biasanya diberikan sistemik untuk pasien nyeri neuropatik dan menghasilkan sedasi dan analgesia; analgesia sering bertahan lebih lama dari profil farmakokinetik obat analgetik lokal dan memutuskan “pain cycle”. Obat yang banyak dipergunakan adalah lidokain, prokain dan kloroprokain. Lidokain diberikan secara infusi selama 5 – 30 menit dengan dosis total 1 – 5 mg/kg; prokain diberikan 200 – 400 mg intravena selama 1 – 2 jam; 639

sedangkan kloroprokain (1 % ) diberika infusi dengan kecepatan 1 mg /kg / menit untuk total 10 – 20 mg/kg. Pemantauan sebaiknya mempergunakan, EKG, tekanan darah, respirasi dan status mental, alat resusitasi harus tertsedia. Kalau terdapat tanda-tanda toksik seperti, tinitus, sedasi berlebihan, atau nistagmus, segera infusi diperlambat atau hentikan.

A2- agonis adrenergik Efek utama obat golongan ini seperti klonidin dan deksmedetomidin adalah mengaktivasi jaras desending inhibisi (descending inhibitory pathways) di tanduk dorsali medula spinalis dan di SSP. Obat dapat diberikan secara sistemik (parenteral), peroral, perkutan (patch), dan neuroaksial. A2-agonis adrenergik epidural atau intratekal efektif untuk nyeri neuropatik dan toleransi opioid.

NYERI PASCABEDAH

Konsep analgesia preemtif (di atas) dianggap penatalaksanaan nyeri pascabedah terbaik yang dimulai pra-bedah. Penempatan kateter yang dipertahankan untuk nyeri pascabedah merupakan cara yang handal. Analgesia interkostal dan epidural tambahan dapat memperbaiki fungsi respirasi setelah bedah toraks dan abdominal atas. Analgesia epidural dan spinal dapat menurunkan kejadian tromboembolus operasi panggul dan mengurangi hiperkoagulasi setelah prosedur vaskular. Kontrol nyeri pascabedah umum terbaik jika dikelola oleh seorang anestetis, karena mereka dapat melakukan intervensi dengan analgesia regional atau farmakologik atau keduanya. Modaliti analgesia pascabedah mencakup pemberian analgesia oral, analgesia parenteral, blok saraf, blok neuroaksial, dengan analgetik lokal, opioids intraspinal dan juga teknik adjuvan seperti TENS dan terapi fisis. Seleksi teknik analgesia umumnya berdasarkan, tiga faktor, yaitu : pasien, prosedur dan setting (rawat jalan atau rawat inap)

Pasien rawat jalan

1.

Analgetik oral

640

Kebanyakan pasien dengan nyeri ringan sampai sedang setelah operasi dapat ditanggulangi dengan COX inhibitor oral, opioid, atau kombinasi. Pasien yang mungkin mendapat oral intake atau nyeri hebat memerlukan pemberian seperti rawat inap tanpa memperhatikan prosedur.

Inhibitor siklooksigenase (Cyclooxygenase ihibitors / COX inhibitors) Analgetik oral nonopioid, adalah salisilat, asetaminofen, dan NSAIOD (Tabel).

Table 18–12. Selected Oral Nonopioid Analgesiacs.

Analgesiac

HalfOnset Dose Life (h) (h) (mg)

Dosing Maximum Daily Interval (h) Dosage (mg)

2–3

0.5– 1.0

500– 1000

4

3600–6000

Diflunisal (Dolobid)

8–12

1–2

500– 1000

8–12

1500

Choline magnesium trisalicylate (Trilisate)

8–12

1–2

500– 1000

12

2000–3000

1–4

0.5

500– 1000

4

1200–4000

1.8–2.5 0.5

400

4–6

3200

12–15

1

250– 500

12

1500

13

1–2

275– 550

6–8

1375

Salicylates Acetylsalicylic acid (aspirin)

p-Aminophenols Acetaminophen (Tylenol, others) Proprionic acids Ibuprofen (Motrin, others) Naproxen (Naprosyn) Naproxen sodium (Anaprox)

641

Analgesiac

HalfOnset Dose Life (h) (h) (mg)

Dosing Maximum Daily Interval (h) Dosage (mg)

Indoles Indomethacin (Indocin) 4

0.5

25–50 8–12

150–200

Ketorolac (Toradol)

4–6

0.5–1

10

4–6

40

11

3

100– 200

12

400

COX-2 Inhibitors Celecoxib (Celebrex)

Obat-obat ini menghambat sintesis prostaglandin (COX) dan mempunyai berbagai khasiat analgesia, antipiretik, antiinflamasi. Asetaminofen sedikit mempunyai aktivitas antiinflamasi. Analgesia disebabkan oleh blokade sistesis prostaglandin, yang menambah peka dan memperkuat input nosiseptif. Beberapa jenis nyeri terutama nyeri setelah bedah ortopedi dan ginekologi. Setidak-tidaknya dikenal 2 jenis COX inhibitor; COX 1 cukup kuat dan tersebar ke seluruh tubuh, tetapi COX 2 menonjol dengan inflamasi. Selektif COX 2 inhibitor seperti celecoxib, nampaknya sedikit toksik terutama dampak terhadap gastrointestinal; selain itu tidak mengganggu agregasi trombosit., tetapi rofecoxib lebih mudah memberikan komplikasi kardiovaskulkar. Asetaminofen mempunyai efek samping paling kecil, tetapi pada dosis besar mudah terjadi hepatotoksik. Aspirin dan NSAID lain, paling banyak memberikan dampak, nyeri lambung, nausea, dispepsia. Kecuali asetaminofen dan COX 2, semua COX inhibitors memacu disfungi trombosit. Aspirin dan NSAID dapat mencetuskan bronkospasme pasien tria nasal, polip, rinitis dan asma. NSAID dapat menyebabkan insufisiensi ginjal dan nekrosis papilari ginjal.

Opioid Nyeri sedang pascabedah sebaiknya diatasi dengan opiod oral seperti tertera dalam tabel.

Table. Oral Opioids.

642

Opioid

HalfLife (h)

Onset Durasion Relative (h) (h) Potency

Initial Dose (mg)

Dosing Interval (h)

Codeine

3

0.25– 3–4 1.0

20

30–60

4

Hydromorphone (Dilaudid)

2–3

0.3– 0.5

2–3

0.6

2–4

4

Hydrocodone1 (Oxycontin)

1–3

0.5– 1.0

3–6

3

5–7.5

4–6

Oxycodone2

2–3

0.5

3–6

3

5–10

6

Levorphanol (LevoDromoran)

12–16 1–2

6–8

0.4

4

6–8

Methadone (Dolophine)

15–30 0.5– 1.0

4–6

1

20

6–8

Propoxyphene (Darvon)3

6–12

1–2

3–6

30

100

6

Tramadol (Ultram)

6–7

1–2

3–6

30

50

4–6

Morphine solution4 (Roxanol)

2–4

0.5–1 4

1

10

3–4

1

1

15

8–12

Morphine controlled- 2–4 release4 (MS Contin)

8–12

1

Preparasions also contain acetaminophen (Vicodin, others).

2

Preparasions may contain acetaminphen (Percocet) or aspirin (Percodan).

3

Some preparasions contain acetaminophen (Darvocet).

4

Used primarily for cancer pain.

Umumnya opioid dikombinasi dengan COX inhibitor oral; Yang akan menambah efek analgesia dan mengurangi efek samping. 643

1.

Infiltrasi analgesia lokal

Infiltrasi sekitar insisi luka, blok saraf dengan analgetik lokal adalah cara yang paling aman menghilangkan nyeri pascabedah. Blok saraf ilioinguinal dan femoral dapat dipergunakan untuk pasca heniotomi dan prosedur skrotum; blok saraf penile untuk sirkumsisi; dengan mempergunakan analgetik lokal bupivakain. Efek analgesia dapat melebihi durasi farmakokinetik analgetik lokal. Lebih baik anestetik diberikan sebelum pembedahan dilakukan untuk mendapat efek preemtif analgesia. Suntikan intra-artikular analgetik lokal atau opioid atau kombinasi sangat efektif prosedur artroskopi.

Pasien rawat inap

Kebanyakan pasien dengan nyeri sedang sampai berat pascabedah membutuhkan analgetik parenteral atau blok saraf dengan analgetik lokal selama 1- 6 hari pascabedah. Jika pasien dapat memulai dengan intake oral dan intensitas nyeri berkurang, analgetik oral diteruskan. Analgetik paentral termasuk NSAIDs (ketorolak), opioid dan ketamin. Ketorolak dapat diberikan secara intramuskular atau intravena, sedangkan opioid dapat diberikan subkutan, intramuskular, intravena atau intraspinal. Opioid transdermal tidak dianjurkan untuk nyeri pascabedah.

1.

Opioid

Analgesia opioid dicapai pada level darah tertentu setiap pasien untuk diberikan pada intesitas nyeri. Pasien dengan nyeri berat melaporkan nyeri secara khusus dan kontinyu sampai level darah analgesia tercapai, di atas konsentrasi tertentu dengan pengalaman analgesia pasien dan beratnya segera berkurang. Titik (point) tersebut dinyatakan sebagai konsetrasi efektif

644

analgesia minimum (the minimum effective analgesiac concentrasion / MEAC). Sedikit kenaikan di atas titik tersebut akan sangat meningkatkan analgesia.

Suntikan subkutan dan intramuskular Kedua cara pemberian ini tidak dianjurkan karena sakit suntikan dan level dalam darah tidak dapat diperkirakan karena absorbsi tidak pasti. Pasien biasanya tidak puas, karena pemberian terlambat dan dosis kurang tepat.

Pemberian intravena Keseimbangan optimal antara analgesia, sedasi dan depresi respirasi dapat dicapai dengan cara frekuen, intermiten dan dosis kecil (misalnya morfin 1-2 mg). Tanpa memperhatikan eleksi obat dan karena distribusi obat durasi efek yang singkat diobservasi hingga beberapa telah diberikan; kemudian level dalam darah dapat dipertahankan melalui infusi kontinyu. Sayang sekali teknik ini merupakan kerja intensif dan pemantauan respirasi ketat. Karena itu teknik ini terbatas untuk PACU, ICU atau unit khusus ongkologi.

PCA (Patient-Controlled Analgesia) Teknologi komputer telah memungkinkan perkembangan PCA. Dengan menekan tombol pasien dapat memberikan sendiri dengan dosis tepat opioid intravena (atau intraspinal) sesuai kebutuhannya. Dokter memprogram pump infusi untuk memberikan dosis tertentu, interval minimum antara dosis-dosis (lockout period), dan jumlah maksimum opioid yang diberikan dalam satu periode (biasanya 1 atau 4 jam); infusi basal dapat juga diberikan secara simultan (tabel)

Table. General Guidelines for Patient-Controlled Analgesia (PCA) Orders for the Average Adult.

Opioid

Bolus Dose

Lockout (min)

Infusion Rate1

Morphine

1–3 mg

10–20

0–1 mg/h

Meperidine (Demerol)

10–15 mg

5–15

0–20 mg/h 645

Opioid

Bolus Dose

Lockout (min)

Infusion Rate1

Fentanyl (Sublimaze)

15–25 µg

10–20

0–50 µg/h

Hydromorphone (Dilaudid)

0.1–0.3 mg

10–20

0–0.5 mg/h

1

The authors do not recommend continuous infusion for most patients.

Jika PCA pertama kali dipergunakan, dosis pengisian dengan opioid harus diberikan dan ditunggu oleh dokter; bergantung pada setting pasien mungkin memberikan loading sendiri.

2.

Blok saraf perifer

Blok pada pleksus interkosta, interpleura, brakial dan saraf femoral dapat memberikan analgesia pasca bedah yang baik sekali. Pemasanagan kateter memungkin pemberian analgetik lokal secara intermiten atau kontinyu (bupivakain 0.125 % atau ropivakain 0.125 % yang dapat menghasilkan analgesia selama 3 – 5 hari pascabedah. 3.

Blokade neuroaksial sentra & opioid intraspinal

Pemberian campuran analgetik lokal – opioid neuroaksial (terutama epidural) merupakan teknik yang handal untuk penatalaksanaan nyeri pascabedah setelah prosedur abdominal, pelvik, toraks atau ortopedi pada ekstrimitas bawah. Pasien sering mempunyai preservasi fungsi respirasi yang lebih baik, dapat segera dipulangkan dan keuntungan serta dapat latihan fisis. Satu suntikan tunggal neuroaksial (subarakhnoid atau epidural) analgetik lokal, opioid atau kombinasi dapat dipergunakan untuk preventif analgesia pada hari operasi. Teknik ini akan efektif jika mempergunakan kateter dan ditinggalkan agar obat analgetik lokal diberikan intermiten atau kontinyu.

Analgetik lokal 646

Analgetik lokal saja dapat menghasilkan analgesia yang sangat baik tetapi berdampak blokade simpatikus dan motorik. Pengenceran analgetik lokal masih memberikan efek analgesia tetapi blok motorik ringan. Bupivakain dan ropivakain 0,125 – 0,25 % sangat dipergunakan untuk kebutuhan di atas.

Opioid Opioid intratekal dapat dilihat pada tabel

Table. Epidural Opioids. Opioid

Relative Dose Onse Peak Durasio Infusio PCA1 PCA Lipid t (min n (h) n Rate Dose Lockou Solubilit (min) ) t (min) y

Morphine

1

2–5 mg

15– 30

Fentanil

600

50– 100 µg

5–10 10– 20

Hydromorphone 1.5

0.75 10– –1.5 15 mg

60– 90

20– 30

4–24

0.3–0.9 0.2– 30 mg/h 0.3 mg

1–3

25–50 µg/h

6–18

0.1–0.2 0.15 30 mg/h µg

20– 30 µg

15

Morfin intratekal 0.2 -0.4 mg (untuk orang Indonesia 0,02 – 0,04 mg) dapat memberikan analgesia yang sangat baik untuk 4 – 24 jam. Morfin epidural 3 -5 mg (untuk orang Indonesia 0,3 – 0,5 mg) memberikan efek yang sama dan lebih umum dipergunakan.. Opioid yang diberikan epidural atau intratekal berpenetrasi ke dalam medula spinalis dan bergantung pada waktu dan konsentrasi. Obat hidrofilik yang diberikan epidural (seperti morfin) menghasilkan analgesia pada level dalam darah yang lebih rendah daripada obat lipofilik (seperti fentanil). Yang terakhir mungkin menghasilkan efek segmental jadi sebaiknya hanya dipergunakan bila ujung kateter dekat dengan dermatom insisional. Level dalam darah sistemik fentanil selama infusi epidural hampir ekuivalen pemberian 647

intravena. Kekuatan alfentanil epidural dan mungkin juga sufentanil tampaknya semuanya karena absorbsi sistemik Obat hidrofilik menyebar ke atas dengann waktu; jadi morfin yang disuntikkan dari lumbah bawah, dapat menghasilkan analgesia untuk toraks dan abdominal atas (walaupun terlambat). Faktor-faktor penting yang mempengaruhi dosis pemberian mencakup, lokasi ujung kateter, yang terkait dengan insisi dan usia pasien. Jika ujung kateter lebih dekat dengan dermatom insisi, opioid yang dibutuhkan lebih sedikit. Kalau morfin epidural dipergunakan sebagai analgesik tunggal infusi kontinyu (0.1 mg/mL), 3 – 5 mg bolus awal diberikan, kemudian diikuit infusii 0.1 – 0.7 mg / jam. Teknik bolus intermiten dapat juga dipergunakan, tetapi infusii kontinyu mungkin lebih sedikit memhasilkan dampak samping seperti retensi urin dan gatal-gatal. Fentanil sangat sering dipergunakan sebagai obat lipofilik berupa larutan 3 – 10 g / mL dengan kecepatan 5 – 10 mL / jam.

Analgetik lokal & campuran opioid Walapun opioid intraspinal sendiri dapat menghasilkan analgesia yang sangat baik, banyak pasien mengalami dampak samping yang signifikan dengan bergantung pada dosis, terutama dengan opioid larut lemak. Kalau larutan anestetik lokal dikombinasi dengan opioid, akan terlihat sinergi yang signifikan. Buvipakain0.0625 - 0.125 % (atau ropivakain 0.1 – 0.2 %) dikombinasi dengan morfin 0.1 mg / mL (atau fentanil 5 g /mL) memberikan analgesia sangat baik dengan dosis lebih kecil dan sedikit efek samping. Penambahan epinefrin walapun dosis kecil (2 g / mL) memperkuat dan memperpanjang analgesia epidural dan dapat mengurangi absorbsi sistemik opioid lipofilik (misalnya fentanil). Penambahan klonidin dosis kecil (50 – 75 g) sama juga menambah memperpanjang analgesia epidural.

Indikasi kontra Indikasi kontra mencakup, penolakan pasien, koagulopati, atau trombosit abnormal, dan adanya infeksi atau tumor sekitar tusukan. Infeksi sistemik hanya indikasi kontra relatif kecuali terbukti ada bakterimia. Pemasangan kateter intraspinal pada pasien yang akan menjalani heparinisasi intraoperatif masih kontroversial karena kemungkinan terjadi hematom epidural.

Efek samping opioid intraspinal Dampak samping yang serius opioid epidural atau intratekal, adalah bergantung pada dosis berupa depresi respirasi tunda (delayed respiratory depresion). Terjadinya karena difusi 648

opioid ke dalam cairan serebrospinal yang bermigrasi ke pusat respirasi medula. Kejadian depresi respirasi lebih besar setelah pemberian intratekal daripada epidural. Depresi awal dapat juga terjadi setelah opoioid epidural (dalam waktu 1 – 2 jam), mekanismenya berbeda yaitu absorbsi opioid sistemik melalui pembuluh darah spinal. Angka kejadian depresi respirasi serius dengan opioid epidural yang memerlukan nalokson masih rendah yaitu 0.1 %. Jumlah nalokson yang diberikan berdasarkan urgensi kondisi klinis. Depresi respirasi yang jelas membutuhkan pengobatan nalokson dosis besar (0.4 mg). Infusi nalokson kontinyu mungkin masih diperlukan karena masa paruh (half life) nalokson umumnya lebih singkat daripada opioid. Dosis kecil nalokson (0.04 mg) dapat menawarkan depresi nafas tetapi tidak menghilangkan analgesia. Dampak samping lain, adalah gatal, mual , muntah, retensi urin, sedasi dan ileus. Angka kejadian pruritus dapat mencapai 30 % sedangkan retensi urin dilaporkan sampai 40 – 100 %. Mekanisme pruritus belum dapat dipastikan tetapi tidak ada hubungannya dengan pelepasan histamin. Nalokson dosis kecil (0.04 mg) dapat menawarkan pruritus tetapi tidak menghilangkan efek analgesia.

NYERI KANKER Hampir 19 juta penduduk dunia mengalami penyakit kanker setiap tahun. 40 – 80 % dari jumlah tersebut mengalami nyeri mulai sedang sampai berat. Nyeri kanker disebabkan oleh lesi kaker itu sendiri, metastasis, komplikasi seperti kompresi neuronal atau infeksi, pengobatan atau faktor-faktor yang yang tidak terkait. Kebanyakan pasien, dapat diobati dengan analgetik oral. WHO merekomendasikan pendekatan 3 langkah (three step approach): 1) analgetik nonopioid seperti aspirin, asetominofen, atau NSAID untuk nyeri sedang; 2) opioid oral lemah (kodein, oksikodon) untuk nyeri sedang, dan 3) opioid kuat (morfin, dan hidromorfin) untuk nyeri berat. Terapi parenteral perlu untuk nyeri refrakter atau bila pasien dapat menerima terapi oral atau absobrsi enteral tidak baik.Tanpa memperhatikan jenis obatnya, terapi harus mengikuti jadwal waktu tertentu .

Terapi opioid oral Nyeri kanker sedang sampai berat biasanya diobati dengan morfin lepas cepat (immediaterelease morphine) (misalnya, morfin likuid, Roksanol 10 – 30 mg setiap 1 – 4 jam). Preparat ini mempunyai masa paruh 2 – 4 jam. Bila pasien telah ditentukan kebutuhan per hari, dosis yang sama dapat diberikan dalam bentuk morfin lepas lambat (sustained-release morphine) (MS Cortin atau Oramorph SR). Yang diberikan setiap 8 – 12 jam.

649

Hidromorfin (dilaudid) adalah alternatif yang baik untuk morfin, terutama pasien tua dan pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Metadon dilaporkan mempunyai masa paruh 15 – 30 jam tetapi durasi klinis lebih pendek dan sangat bervariasi (6 – 8 jam). Toleransi psikologis, dengan perubahan tingkah laku karena menginginkan obat jarang pada pasien kanker. Toleransi yang muncul berbeda di antara orang-orang dan mengakibatkan efek yang diinginkan seperti, kesadaran menurun, mual, depresi respirasi. Kebergantung pada fisis terjadi pada pasien yang mendapat opioid dosis besar untuk jangka waktu tertentu. Fenomena ketagihan (withdrawal) dapat dipercepat oleh pemberian antagonis opioid. Penggunaan yang cocok kedepan antagonis opioid perifer yang tidak menembus sawar darah otak (BBB) seperti metil naltrekson dan alvimopan, dapat menolong mengurangi efek samping sistemik tanpa mengurangi analgesia dengan signifikan.

Opioid transdermal Fentanil transdermal merupakan alternatif yang baik untuk preparat morfin lepas lambat, terutama medikasi oral tidak memungkinkan. Tambalan (patch) dibuat sebagai reservoar obat yang dipisahkan dari kulit oleh membran mikrogrampor dan polimer adesif. Fentanil akan berdifusi melalui kulit. Tambalan transdermal fentanil mempunyai ukuran 25, 50, 75 dan 100 g / jam. Yang dapat memberikan obat selama 2 – 3 hari. Tambalan yang terbesar ekuivalen dengan 60 mg / hari morfin intravena. Kerugian cara ini adalah mula kerja lambat dan mengubah dosis kalau tidak dilakukan dengan cepat. Level fentanil dalam darah setelah dipasang bertambah dan mencapai plateau dalam waktu 12 – 18 jam, dengan konsentrasi rata-rata 1, 1.5, dan 2 mg / ml untuk tambalan 50, 75 dan 100. Dermis bekerja sebagai reservoar sekunder walaupun tambalan dilepaskan, absorbsi fentanil diteruskan untuk beberapa jam.

Terapi parentral Beberapa nyeri kanker yang tak terkontrol memerlukan konversi dari oral opioid menjadi parenteral atau intraspinal opioid. Kalau karakter nyeri berubah signifikan, penting sekali untuk melakukan reevaluasi progresi penyakit pasien. Dalam banyak hal, pengobatan adjuvan seperti, pembedahan, radiasi, kemoterapi atau terapi hormonal sangat menolong. Terapi opioid parenteral biasanya dicapai dengan infusi intravena kontinyu atau dapat juga diberikan subkutan melalui jarum bersayap (butterfly needle)

650

Opioid intraspinal Penggunaan opioid intraspinal menjadi alternatif yang sangat baik untuk pasien yang gagal mengatasi nyeri dengan cara lain atau mengalami dampak yang hebat. Opioid epidural atau subarakhnoid dapat mengatasi secara substansial dengan dosis lebih rendah dan sedikit efek samping. Kateter epidural atau intratekal dapat dipergunakan, kalau perlu ditempatkan perkutan atau implan untuk pemberian jangka panjang. Problema opioid intraspinal adalah terdinya toleransi. Umumnya terjadi lambat tetapi pada beberapa orang berlangsung cepat. Dalam hal ini. Harus dipergunakan terapi adjuvan seperti, analgesia lokal intermiten, atau campuran opioid dengan analgetik lokal, atau klonidin intratekal atau epidural 2 – 4 g /kg /jam.

Teknik neurolitik Blok neurolitik pada pleksus siliakus sangat efektif untuk keganasan intraabdominal, terutama kanker pankreas. Simpatikus lumbal, pleksus hipogastrikus, atau ganglion rusak karena blok neurolitik dapat dipergunakan untuk tumor malignan di pelvik. Blok neurolitik interkostal dapat menolong pasien dengan metastase di tulang iga. Pasien dengan nyeri pelvik refrakter, blok pelana neurolitik dapat mgnhilangkan nyeri; meskipun akan terjadi disfungsi usus dan buli-buli. Karena angka kejadian kesakitan yang signifikan pasien yang mendapat blok neurolitik (hilang fungsi motorik dan sensori), teknik sebaiknya dipakai hanya setelah mempertimbangkan dengan cermat semua alternatif. Prosedur neurodestruktif, seperti adenolisis hipofisis dan kordotomi dapat dipergunakan untuk pasien terminal.

Referensi : a. Basic & Clinical Pharmacology Katzung BG 9th ed 2004. b. Clinical Anesthesiology GE Morgan, Jr 4th ed 2006 3. Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2005. Miller´s Anesthesia RD 6th ed

651

MODUL 35 dan MODUL 36 :

KEDOKTERAN CRITICAL CARE / INTENSIVE CARE (I dan II)

Mengembangkan kompetensi

Waktu (semester 2)

Sesi di dalam kelas

2 X 1 jam (classroom session)

Sesi dengan fasilitasi pembimbing

3 X 2 (coaching session)

Sesi praktek dan pencapaian kompetensi

4 pekan (facilitation & assessment)

PERSIAPAN SESI Audiovisual Aid: 16. LCD proyektor dan layar 17. Laptop 18. OHP 19. Flipchart 20. Pemutar video Materi presentasi: CD powerpoint Sarana: 12. Ruang belajar 13. Ruang pemeriksaan 14. Ruang pulih 15. Bangsal rawat inap/pengamatan lanjut Kasus : pasien di ruang ICU dan HCU Alat bantu latih : model anatomi /simulator Penuntun belajar : lihat acuan materi

652

Daftar tilik kompetensi : lihat daftar tilik

Referensi : 1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006 2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed. Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006

Selain referensi wajib di atas, peserta didik dianjurkan untuk juga mempelajari referensi tambahan untuk modul ICU seperti yang diuraikan berikut ini: 1. Texbook of Critical Care

Modul ini terdiri dari modul dasar (modul 1) atau modul 36 dan modul lanjut (modul 2) atau modul 37. Modul dasar diberikan pada residen yunior selama 2 bulan dan modul lanjut diberikan pada residen senior selama 3 bulan. Panduan untuk lama stase ICU yunior dan senior mungkin berbeda-beda pada masing-masing pusat pendidikan tetapi hasil sasaran pembelajaran diharapkan akan sama.

1.Tujuan Pembelajaran Umum Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik akan memiliki latar belakang kemampuan intelektual dan keterampilan dalam merawat pasien kritis bedah dan non-bedah. Program pendidikan ini dilakukan oleh anestetis konsultan intensive care, meliputi pengetahuan teori dan klinis yang penting dalam praktek multidisiplin maupun multiprofesi dalam kedokteran critical care dan intensive care

Setelah menyelesaikan modul 1 ICU peserta didik diharapkan:

653

1. Memiliki bekal yang memadai tentang dasar-dasar : pengetahuan, keterampilan, perubahan sikap dalam bidang kedokteran intensive care. 2. Memahami prinsip umum kedokteran intensive care, mengetahui indikasi masuk ICU, dapat melakukan identifikasi pasien yang berisiko gagal organ. 3. Melakukan resusitasi dan stabilisasi pasien-pasien kritis. 4. Mengetahui keterbatasan kemampuan diri dan urgensi untuk meminta bantuan senior. Setelah menyelesaikan modul 2 ICU peserta didik diharapkan : 1. Mengetahui lebih rinci aspek-aspek umum critical care 2. Mampu mengembangkan keterampilan yang diperoleh pada modul 1 lebih lanjut, 3. Melakukan stabilisasi, penilaian, penatalaksanaan pasien dan investigasi rutin setiap hari 4. Meningkatkan keterampilan menegakkan diagnosis pasien kritis 5. Secara proaktif melakukan pengajaran/pendidikan pada petugas/ mahasiswa kedokteran/ paramedis yunior. 6. Secara proaktif melakukan koordinasi dan supervisi kegiatan yunior 7. Mengembangkan keterampilan secara integratif. 8. Mengetahui secara umum organisasi penatalaksanaan ICU 9. Mengetahui keterbatasan kemampuan diri untuk meminta tolong atau konsultasi 2. Tujuan pembelajaran khusus Setelah mengikuti modul ICU 1 dan 2 ini peserta didik akan memiliki pengetahuan dan atau keterampilan meliputi: 1. Indikasi pasien masuk ICU 2. Tanda2 pasien yang memerlukan resusitasi dan stabilisasi awal di ICU 3. Penilaian klinis pasien ICU 4. Investigasi/ pemeriksaan penunjang ,interpretasi data dan diagnosis 5. Bantuan organ dan prosedur prosedur praktis terkait 6. Pemantauan dan pengukuran klinis 7. Pemakaian alat-alat di ICU dengan aman 8. Kondisi khusus (tidak termasuk trauma, luka bakar dan pasien pediatrik) a. Sistem respirasi 654

b. Sistem kardiovaskular c. Sistem renal d. Sistem saraf e. Trauma dan luka bakar f. Pasien pediatrik g. Pasien obstetri h. Sepsis dan pengendalian infeksi i. Transportasi pasien kritis 9.End-of- life- care

Kognitif Sasaran pembelajaran modul 1 (M1) dan sasaran pembelajaran modul 2 (M2) V+ : Modul untuk jenjang fellow

No

Kognitif

Memahami resusitasi dan stabilisasi awal

1.

Pasien kritis mengancam nyawa termasuk henti jantung paru

Sasaran Belajar Modul 1

Modul 2

(Modul 36)

(Modul 37)

V

2.

Cara2 melakukan resusitasi kardiopulmoner

V

V

3.

Memahami penatalaksanaan segera pasien-pasien darurat medis (gagal nafas akut, asma akut, PPOK, hipertensi, infark miokard akut, gagal jantung, hipotensi, syok, gangguan irama jantung, penurunan kesadaran)

V

V

Cara2 menjaga jalan nafas bebas termasuk intubasi

V

4.

655

trakeal pada pasien kritis 5.

Cara2 melakukan nafas buatan

V

6.

Cara mencegah dan menangani aspirasi pnemonia karena muntahan

V

7.

Penatalaksanaan jalan nafas sulit dan kegagalan intubasi

V

8.

Penatalaksanaan jalan nafas pada cedera kepala lambung penuh, obstruksi jalan nafas, syok

V

9.

Farmakologi obat-obat untuk resusitasi, dan obatobat untuk keadaan kritis

V

10.

Farmalokogi obat-obat sedatif, analgesia dan pelumpuh otot.

V

11.

Tanda2 dan penatalaksanaan reaksi anafilaksis dan anafilaktoid

V

V

12.

Problema pada pasien obesitas atau imobilitas

V

V

13.

Cara2 melakukan akses vaskular yang cepat dan aman

V

V

Modul 1

Modul 2

(Modul 36)

(Modul 37)

Memahami penilaian klinis

V

1.

Manfaat anamnesis untuk diagnosis

V

V

2.

Tanda2 fisis pada pasien kritis

V

V

3.

Reaksi inflamasi dalam kaitan disfungsi sistem organ

4.

Dampak terapi obat terhadap fungsi sistem organ

5.

Infeksi dan hubungannya dengan respons inflamasi

6.

Patogenesis disfungsi organ multipel

V

V

7.

Prinsip2 pencegahan disfungsi organ multipel

V

V

V V

V V+

656

Modul 1

Modul 2

Memahami investigasi, interpretasi data dan diagnosis

(Modul 36)

(Modul 37)

1.

Memahami pemeriksaan laboratori yang sesuai

V

2.

Keuntungan dan kerugian pemeriksaan laboratori

V

3.

Indikasi dan interpretasi dasar pemeriksaan2 : EKG, ECHO, USG, gas darah, tes fungsi paru, foto toraks, foto: kepala, vertebra dan iga2, level cairan bebas di abdomen, CT Scan, MRI, mikrogrambiologi, keseimbangan cairan, hematologi, urea/kreatinin, elektrolit (Na, K, Ca, Mg), tes fungsi hati, kadar obat dalam darah, fungsi endokrin:diabetes, gangguan tiroid, gagal adrenal.

Memahami bantuan sistem organ dan prosedur2 praktis terkait

V

V+

V

V+

Modul 1

Modul 2

(Modul 36)

(Modul 37)

1.

Indikasi ventilasi mekanis

V

2.

Modus ventilasi mekanis dasar (SMV, SIMV, PS,CPAP)

V

3.

Modus ventilasi mekanis lanjut (PCV, PSV, BiPAP,

V

V+

NIV) 4.

Komplikasi ventilasi mekanis dan penatalaksanaannya

V

5.

Deteksi dan penatalaksanaan pneumotoraks

6.

Indikasi bronkoskopi

7.

Prinsip penyapihan dari ventilasi mekanis

V

V

8.

Kanulasi vena perifer dan sentral

V

V

9.

Punksi dan kateterisasi arterial

V

V

V

V V

657

10.

Penggunaan inotropik, kronotropik, vasodilator, vasokonstriktor,

V

V

V

V

11.

Penggunaan kristaloid, koloid, darah dan produk darah

12.

Prinsip IABP, TEE, Esofageal Dopler, transvenous cardiac pacing

13.

Cara2 mencegah gagal ginjal

V

V

14.

Investigasi gangguan fungsi ginjal

V

V

15.

Obat-obat nefrotoksik

V

16.

Penyesuaian dosis obat pada gagal ginjal

V

17.

Renal Replacement Therapy

V+

18.

Prinsip2 penilaian status nutrisi pada pasien ICU

V

19.

Prinsip2 nutrisi enteral dan parenteral pasien ICU

V

V

20.

Kanulasi pipa nasogastrik, nasojejunal

V

V

21.

Insersi pipa sengstaken

22.

Pencegahan tukak lambung

23.

Prinsip2 bantuan gagal hepar

24.

Teknik mencegah translokasi mikrogramba

V

25.

Prinsip2 penatalaksanaan cedera kepala tertutup

V

26.

Prinsip2 penatalaksanaan peningkatan tekanan intrakranial

V

V+

27.

Prinsip2 penatalaksanaan cedera spinal

V

V+

28.

Pencegahan pressure sores

V

V

29.

Kebutuhan surveillance mikrogrambiologi

V

30.

Pemakaian antibiotik yang benar

V

Memahami pemantauan dan pengukuran klinis

V+

V+ V V+

Modul 1

Modul 2

658

(Modul 36)

(Modul 37)

1.

Peran penilaian klinis dalam pemantauan

V

2.

Indikasi dan indikasi kontra penggunaan alat monitor

V

3.

Interpretasi informasi dari alat monitor

V

4.

Identifikasi penyebab error alat

V

5.

Prinsip monitor minimal

V

6.

Komplikasi akibat alat monitor

V

7.

Cara2 mengukur suhu

V

8.

Cara2 menilai nyeri dan sedasi

V

9.

Cara menilai sistem skoring keparahan penyakit

10.

Glasgow Coma Scale

11.

Pemantauan kadar obat

V V

Modul 1 Memahami penggunaan alat secara aman

(Modul 36)

Modul 2 (Modul 37)

1.

Alat-alat untuk jalan nafas, jalan nafas, LMA, ETT, terapi oksigen, bag, humidifikasi, nebulizer

V

2.

Ventilator invasif dan non-invasif dan asesorisnya

V

V

3.

Alat-alat monitor dan asesorisnya

V

V

4.

Pembersihan dan sterilisasi alat

V

V

5.

Keamanan kelistrikan

V

6.

Jarum2 untuk akses vaskular, spinal, epidural, toraks

V

7.

Alat-alat resusitasi, defibrilator dan alat transfusi

V

8.

Alat-alat untuk hemofiltrasi

V+

9.

Alat bronkoskopi

V+

V

659

10.

Alat ECHO

Memahami kondisi medis dan penatalaksanaan

V+ Modul 1

Modul 2

(Modul 36)

(Modul 37)

1.

Gagal nafas oksigenasi

V

2.

Gagal nafas ventilasi

V

3.

ALI, ARDS

4.

Obstruksi jalan nafas

5.

Nosocomial pneumonia

V

6.

Ventilator- associated pneumonia

V

7.

Aspirasion pneumonia

V

8.

Asma

V

9.

PPOK

10.

Edema paru kardiogenik

V

11.

Efusi pleura, pneumotoraks (simple, tension)

V

12.

Syok hipovolemik

V

13.

Syok kardiogenik

14.

Hipotensi, hipertensi

15.

Infark miokard akut

V+

16.

Gagal jantung kiri

V+

17.

Gagal jantung kanan

V+

18.

Hipertensi pulmonal

V+

19.

Gangguan irama jantung

V+

20.

Henti jantung

V

21.

Oliguria, anuria, poliuria

V

22.

Gagal ginjal akut

V+ V

V V

V V

V

V

V

660

23.

Urosepsis

V

24.

Confusion dan koma

25.

Traumatic brain cedera

V

26.

SIH

V+

27.

SAH

V+

28.

Hypoxic brain damage

V

29.

Konvulsion, status epileptikus

V

30.

Meningitis, ensefalitis

V+

31.

Neuro muskular (Guillain-Barre, miastenia gravis, tetanus, malignant hyperpyrexia)

V+

32.

Cedera spinal

V

33.

MBO

V

34.

Gangguan koagulasi

V+

35.

Pasien immunocompromised

V+

36.

DIC

V+

37.

Gangguan elektrolit, Na, K,

38.

Gangguan elektrolit Ca, Mg

V

39.

Kegawatan pada diabetes melitus

V+

40.

Disfungsi tiroid

V+

41.

Keracunan akut

V

V+

42.

Preeklamsia, eklamsia, sindroma HELLP

V

V

43.

Perdarahan peripartum

V

44.

Gangguan jantung pada kehamilan.

45.

SIRS, sepsis, severe sepsis, syok septik

46.

Pireksia dan hipotermia

V

V

V+

V

V V

V V

Modul 1

Modul 2

661

Memahami transportasi pasien kritis

(Modul 36)

1.

Prinsip2 transfer pasien kritis dengan aman

V

2.

Mengerti pemantauan saat transportasi.

V

Memahami asuhan akhir kehidupan

Modul 1 (Modul 36)

(Modul 37)

Modul 2 (Modul 37)

1.

Prinsip2 etika dasar

V

2.

Penundaan dan penarikan terapi bantuan hidup (withholding and withdrawing life supports therapy)

V+

3.

Decision making

V

4.

Cara2 menilai atau mengukur kualitas hidup

V+

Psikomotor Pada akhir stase peserta didik akan memiliki keterampilan 1. Menjelaskan hal-hal yang telah difahami pada wawasan kognitif 2. Menjelaskan diferensial diagnosis, fisiologi, dan manajemen problema problema umum sistem organ atau kondisi penyakit yang mengancam nyawa pada kasus kasus neurologi, respirasi, kardiovaskular, renal, gastrointestinal, metabolik 3.Menjelaskan farmakologi dasar dan pemakaian obat-obat: antiaritmia, antihipertensi, inotropik, vasoaktif , vasopresor, metabolik, anti trombotik/antikoagulan, metabolik, analgetik, pelumpuh otot 4.Menjelaskan dasar indikasi, indikasi-kontra, dan atau interpretasi tentang a. intubasi endotrakeal b. Ventilasi mekanis, modus dasar dan teknik penyapihan 662

c. Pemeriksaan radiologi d. Renal replacement therapy termasuk teknik dialisis e. Gas darah dan elektrolit f. Monitor hemodinamik g. Monitor tekanan vena sentral bedside h. Teknik non-invasif untuk oksigenasi dan ventilasi i. Nutrisi enteral dan parenteral j. Teknik manajemen sedasi dan nyeri k. Pemasangan kateter arteri pulmonalis

5. Peserta didik senior harus mampu a. Menjelaskan lebih mendalam pengetahuan yang didapat waktu yunior b. Mengajar dan membimbing residen yunior dan mahasiswa medis/paramedis c. Melakukan atau berpartisipasi dalam penelitian d. Bertindak sebagai konsultan untuk beberapa problema intensive care yang umum 6. Pada akhir sesi peserta didik akan mampu a. Melakukan koordinasi pasien masuk, penilaian dan manajemen pasien-pasien yang menjadi tanggung jawabnya. b. Melakukan prosedur klinis ICU (lihat matriks) c. Melakukan penatalaksanaan medis, administratif dan sosial pasien-pasien kritis Keterampilan komunikasi interpersonal Pada akhir sesi peserta didik akan mampu a. Melakukan pengumpulan data/informasi pasien untuk dijelaskan pada waktu ronde b. Melakukan komunikasi dengan keluarga pasien tentang perkembangan keadaan pasien dan kasus asuhan akhir kehidupan c. Melakukan komunikasi dengan keahlian disiplin dan profesi lain yang terkait d. Melakukan identifikasi secara benar pasien-pasien yang membutuhkan ICU 663

e. Mampu mengkomunikasikan pada tim ICU terhadap pasien-pasien kritis yang ada di luar ICU Profesionalismee a. b. c. d.

Mampu menghadapi kasus dengan end of life Mampu bekerja sama dengan dokter primer dalam penatalaksanaan pasien kritis Bekerja sesuai standard prosedur Proaktif untuk mempertahankan dan meningkatkan kemampuan profesi mengikuti perkembangan.

Keynotes 1. Kriteria MBO hanya dapat t diterapkan bila tidak terdapat hipotermia, hipotensi, kelainan metabolik atau endokrin, penggunaan zat blokade neuromuskular, atau obat yang diketahui menekan fungsi otak 2. Risiko retinopati prematuritas (retinopathy of prematurity /ROP) bertambah dengan menurunnya berat dan komplekssnya komorbiditas (misalnya, sepsis). Sebaliknya pada toksisitas pulmonar, lebih terkait dengan tekanan O2 arterial dari pada tekanan O2 alveolar.. 3. Pressure controlled ventilation (PCV) sama dengan pressure support ventilation dalam peak tekanan jalan nafas, tetapi berbeda dalam rate mandatory, inspiratory time. Seperti halnya dengan pressure support, gas flow berhenti bila level pressure tercapai; walapun ventilator tidak bekerja selama ekspirasi sampai preset inspiratory time telah dilewati. 4. Kerugian PCV adalah volum tidal tidak pasti. 5. Kalau dibandingkan dengan intubasi oral untuk periode waktu lama di ICU, intubasi nasal mungkin lebih nyaman untuk pasien, lebih aman, dan sedikit menyebabkan cedera laring. 6. Mempertahankan intubasi oral atau nasal lebih dari 2-3 pekan cenderung mengakibatkan stenosis subglotik. Jika diperlukan ventilasi mekanis jangka panjang sebaiknya diganti dengan pipa trakeostomi yang mempunyai balon. 7. PEEP berlebihan atau penambahan tekanan positif kontinyu terbukti dapat meningkatkan kejadian barotrauma paru, terutama pada level lebih dari 20 sm H2O. 8. Manuver yang menghasilkan sustained maximum lung inflation seperti penggunaan incentive spirometer sangat menolong merangsang batuk dan mencegah atelektasis serta mempertahankan volum paru normal. 9. Pada pasien dengan ARDS dengan VT > 10 mL/kg berkaitan dengan peningkatan mortalitas. 10. Intubasi takea dini dianjurkan bila terdapat gejala hebat dari cedera panas pada jalan nafas. 11. Usia lanjut (> 70 tahun), terapi kortikosteroid, kemoterapi, pemakaian alat invasif yang lama, gagal nafas, gagal ginjal, cedera kepala, dan luka bakar akan mempermudah terjadi infeksi nosokomiaL. 12. Venodilatasi sistemik dan transudasi cairan ke dalam jaringan mengakibatkan hipovolemia relatif pada pasien sepsis. 664

13. Berlawanan dengan pasien yang nonstres yang memerlukan sekitar 0,5 g /kg /hari protein, umumnya pasien sakit kritis membutuhkan 1,0 – 1,5 g / kg / hari protein. 14. Bantuan nutrisi melalui jalur gastrointestinal merupakan pilihan untuk pasien dengan integritas fungsional yang utuh. 15. Penghentian mendadak nutrisi parentral (TPN) dapat mencetuskan hipoglikemia karena level darah insulin tinggi; tetapi umumnya mudah diatasi dengan substitusi glukosa 10 % secara temporer kemudian dihentikan bertahap. 3.Kata kata kunci d. e. f. g. h. i. j. k. l. m.

Indikasi pasien masuk ICU Resusitasi dan penilaian awal pasien kritis Investigasi , interpretasi data dan diagnosis Bantuan sistem organ, prosedur tindakan terkait dan terapi farmakologik Pemantauan dan pengukuran klinis Gagal organ dan gagal multiorgan Sepsis, sepsis berat dan syok septik, pengendalian infeksi Prognostic score Asuhan akhir kehidupan Cost effectiveness therapy

4.Pokok bahasan/sub pokok bahasan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Penatalaksanaan pasien dengan gangguan kesadaran Penatalaksanaan pasien gagal nafas Penatalaksanaan pasien gagal sirkulasi Penatalaksanaan pasien gangguan metabolik Penatalaksanaan pasien infeksi dan sepsis Penatalaksanaan pasien gagal ginjal Penatalaksanaan gangguan keseimbangan cairan, asam basa dan elektrolit Penatalaksanaan nutrisi.

5.Waktu pendidikan : Yunior , semester 3 (2bulan), Senior, semester 6 (3bulan)

6. Metode pengajaran 1. Keterampilan kognitif: a. Strategi pendidikan -

Pembelajaran terpadu 665

- Pembelajaran independen - Pembelajaran berdasarkan problema b. Situasi belajar - Kuliah perkenalan - Diskusi kelompok kecil dan umpan balik - Problema penatalaksanaan pasien - Simulasi pasien, skenario, pajangan dll. c.Sumber belajar -

Virtual patients

-

Reading assignment

- Audio vVisual d.Penilaian -

EMQ

-

Multiple observations and assessment

-

Multiple observers

-

OSCE

-

Minicheck

2. Keterampilan teknik/ psikomotor a. Strategi pendidikan - Practice-based learning b. Situasi belajar - Demonstrasi/pajangan dan supervisi klinis - Problema penatalaksanaan pasien c. Sumber belajar - Virtual patients d. Penilaian - Multiple observations and assessments 666

- Multiple observers - OSCE - Minicheck

3. Keterampilan komunikasi interpersonal a. Strategi pendidikan - Practice based learning b. Situasi belajar - Demonstrasi/pajangan dan supervisi klinis - Problema penatalaksanaan pasien c. Sumber belajar - Virtual patient d. Penilaian - Multiple observations dan assessment - Multiple observers

4. Profesionalismee a. Strategi pendidikan - Patient-based learning b. Situasi belajar - Problema penatalaksanaan pasien c. Sumber belajar - Virtual patients d. Penilaian - Multiple observations dan assessments 667

- Multiple observers

5. Pengetahuan a. Strategi pendidikan - Pembelajaran terpadu - Pembelajaran mandiri b. Situasi belajar - Kuliah perkenalan - Diskusi kelompok kecil , dan umpan balik c. Sumber belajar - Reading assignment - Audiovisual d. Penilaian - MCQ (pre-tes) - EMQ

7..Media: 5. Virtual Patients di ICU 6. Audiovisual 8. Evaluasi :

Pre-tes: 1. Jelaskan indikasi pasien masuk ICU 2. Jelaskan resusitasi dan penilaian awal pasien dalam kondisi kritis 3. Jelaskan penilaian dan penanggulangan kegawatan respirasi 4. Jelaskan penilaian dan penanggulangan kegawatan sirkulasi 668

5. Jelaskan penilaian dan penanggulangan kegawatan SSP 6. Jelaskan beberapa jenis pemeriksaan pendukung diagnosis kegawatan di atas 7. Jelaskan interpretasi data hasil investigasi masing-masing jenis kegawatan 8. Jelaskan tentang delivery oxygen 9. Jelaskan tentang EGDT 10. Jelaskan bantuan dengan ventilasi mekanis 11. Jelaskan bantuan dengan vasopresor dan inotropik 12. Jelaskan bantuan pada gagal ginjal. 13. Jelaskan tentang SIRS, sepsis berat dan syok septik 14. Jelaskan tentang withdrawing dan withholding therapy 15. Jelaskan tentang asuhan akhir kehidupan 16. Jelaskan tentang DNR dan mati batang otak

Evaluasi kognitif: - EMQ - Multiple observations and assessments - Multiple observers/raters - OSCE - Minicheck Evaluasi psikomotor: - Multiple observations and assessments - Multiple observers - OSCE - Minicheck Evaluasi komunikasi dan hubungan interpersonal dan evaluasi profesionalisme - Multiple observationa dan assessments - Multiple observers/rater Evaluasi pengetahuan: 669

-

MCQ ( pre-tes) EMQ

9.Referensi: 1.GE Morgan Jr. Clinical Anesthesiology 2.Texbook of Critical Care

10.Daftar cek penuntun belajar Modul 36 dan Modul 37

No

Prosedur Penatalaksanaan(Umum) Pasien Kritis

Kasus ke 1

2

3

4

Antisipasi terhadap kondisi yang mengancam nyawa Penolong mencuci tangan dengan antiseptik/ pakai sarung tangan steril, masker 1.

Penilaian kesadaran

2.

Penilaian jalan nafas pasien kritis

3.

Pembebasan jalan nafas

4.

Pemberian oksigen dan ventilasi dengan balon-katup-sungkup

5.

Penilaian sirkulasi/kardiovaskular

6.

Pemasangan artifisial jalan nafas (intubasi, LMA, krikotirotomi)

7.

Pemasangan akses vena perifer

8.

Pemasangan akses vena sentral

9.

Menentukan pasien gagal nafas

10.

Penanggulangan awal gagal nafas

11.

Setting ventilator pada pasien gagal nafas

12.

Menentukan pasien dalam keadaan gagal sirkulasi

13

Resusitasi cairan pada pasien syok 670

14.

Penggunaan cairan kristaloid

15’

Penggunaan cairan koloid

16

Melakukan target resusitasi dalam 6jam Early Goal Directed Therapy (EGDT)

17.

Melakukan pemasangan ventilator dengan seting yang benar

18.

Melakukan pemberian obat-obat vasoaktif (inotropik dan vasopresor)

19.

Menentukan pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan untuk investigasi: darah perifer lengkap, kimia darah fungsi ginjal, fungsi hepar, hemostasis, kultur dan resistensi tes, EKG 12 lead, radiologi, pencitraan lain (CT, USG, Echo), bronkoskopi, analisis gas darah, elektrolit, lain lain sesuai indikasi Menentukan skor prognosis bila ada.

20.

Melakukan pemantauan kesadaran, tekanan darah (S,D,MAP), HR, EKG, SpO2, ETCO2, suhu, produksi urin, keseimbangan cairan

21.

Melakukan terapi titrasi untuk mencapai target fungsi vital :pernafasan, kardiovaskular, susunan saraf, metabolik, renal. Melakukan dukungan terapi nutrisi enteral Melakukan dukungan terapi nutrisi parenteral

22.

Melakukan posisi pasien, pencegahan tukak lambung, pencegahan DVT, pencegahan dekubitus, pencegahan infeksi nosokomial, pencegahan pnemonia karena ventilator (VAP)

23.

Melakukan terapi simptomatik dan bantuan hidup

24.

Melakukan interpretasi hasil pemeriksaan penunjang : biokimia oksigenasi, hasil pencitraan, hasil kultur dan resisitensi tes.

25.

Melakukan terapi kausal sesuai hasil investigasi

26.

Melakukan interpretasi hasil terapi titrasi

27.

Melakukan konsultasi/koordinasi dengan spesialis lain dan 671

kolaborasi dengan profesi lain. 28.

Melakukan prosedur invasif untuk pemantauan maupun terapi sesuai indikasi: pemasangan pipa toraks, trakeostomi perkutaneus

29.

Melakukan follow up pasien terhadap hasil terapi atau tindakan invasif secara terus menerus dengan interval waktu sesuai kondisi pasien sampai kondisi stabil normal

30.

Melakukan penilaian prognosis pasien dengan APACHE II

31.

Melakukan penilaian prognosis pasien dengan SAPS II

32.

Melakukan penilaian prognosis pasien dengan SOFA

33.

Melakukan perkiraan beaya untuk menilai manfaat dan risiko

33.

Menetapkan Do Not Resuscitate (DNR) pada pasien

34.

Memutuskan withdrawing dan wWithholding therapy

35.

Memutuskan asuhan akhir kehidupan

36.

Menetapkan mati batang otak

11. Daftar tilik Berikan tanda v dalam kotak yang tersedia bila keterampilan telah dikerjakan dengan memuaskan, dan berikan tanda x bila tidak dikerjakan serta T/D bila tidak dilakukan pengamatan v

Memuaskan: langkah/tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standard atau penuntun

x

Tidak memuaskan: tidak mampu untuk mengerjakan langkah/tuga sesuai prosedur standard atau penuntun

T/D Tidak diamati: langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta didik selama penilaian oleh pelatih

672

Nama peserta didik

Tanggal

Nama pasien

No.Rekam medis

Daftar Tilik No

Kegiatan/ Tindakan Anestesia

Kesempatan ke 1

Peserta dinyatakan :

2

3

4

5

Tanda tangan pelatih/pengajar 673

Layak

Tidak layak

Melakukan prosedur

Nama terang pelatih/pengajar

12. Materi Acuan

INTENSIVE CARE

GAMBARAN UMUM Intensive Care Unit (ICU) adalah ruangan khusus dengan peralatan dan sumber daya manusia /petugas kesehatan khusus untuk merawat pasien-pasien kritis yang mengancam nyawa, yang potensial dapat pulih kembali. Peralatan khusus adalah alat-alat monitor fungsi vital dan alat-alat untuk memberikan bantuan hidup apakah bantuan pernafasan, bantuan kardiovaskular atau bantuan sistem ginjal, maupun bantuan untuk sistem yang lain. Sumber daya manusia khusus adalah dokter, ners yang telah terlatih untuk mengelola pasien ICU, ditambah dengan petugas kesehatan lain, seperti fisioterapis, ahli farmasi, petugas laboratorium, radiologi, ahli nutrisi maupun petugas-petugas non kesehatan seperti tenaga administrasi, keuangan, rekam medis, teknik maupun pekarya. Indikasi pasien masuk ICU dapat berdasarkan prioritas, diagnosis atau nilai2 parameter hasil laboratori. Pasien mengancam nyawa atau akan mengancam nyawa yang memerlukan pemantauan dan atau terapi dengan pengawasan ketat. Pasien dengan diagnosis misalnya tetanus berat, miastenia gravis. Pasien dengan hasil laboratori hiperkarbia, hipoksemia berat atau hipokalemia berat. Bagi pasien-pasien dengan penyakit primer yang kecil kemungkinan sembuh seperti keganasan lanjut, maka indikasi rawat ICU tidak merupakan prioritas utama. Bilamana pasien masuk ICU maka lakukan resusitasi awal dan lakukan stabilisasi artinya pasien misalnya dengan gagal nafas atau ancaman gagal nafas maka fungsi pernafasan, jalan 674

nafas maupun ventilasi harus diambil alih. Tanda-tanda klinis pasien gagal atau ancaman gagal nafas merupakan hal sangat penting dan harus dikuasai dengan baik. Tindakan ambil alih fungsi nafas harus didahulukan, tidak usah menunggu pemeriksaan anamnesis dan fisis lengkap. Pasien dengan gagal nafas, apapun penyebabnya tindakan awalnya akan sama. Upaya untuk memperbaiki oksigenasi maupun ventilasi tidak lepas dari kondisi sirkulasi yang baik. Bukankah V/Q rasio adalah rasio ventilasi/perfusi dan merupakan dasar patofisiologi untuk menjelaskan pasien dengan gagal nafas? Oleh karena itu keterampilan melakukan insersi kateter ke dalam vena perifer dan vena sentral harus dikuasai. Pasien dengan gagal sirkulasi, segera lakukan resusitasi dengan pemberian cairan lebih dulu, dan bila volume sirkulasi dianggap adekuat tapi tekanan darah belum adekuat dapat diberikan secara titrasi inotropik dengan tanpa vasopresor. Kondisi sirkulasi adekuat atau tidak dapat dinilai secara klinis disesuaikan dengan penuntun tekanan vena sentral, kalau mungkin tekanan kapiler baji paru. Pasien dengan kesadaran menurun lebih dulu harus dilakukan pembebasan jalan nafas, lakukan ventilasi dan oksigenasi, untuk mencegah hipoksia dan hiperkarbia, sementara itu lakukan kanulasi vena dan lakukan resusitasi dengan cairan untuk menjamin tekanan darah atau perfusi yang adekuat. Setelah upaya awal di atas dilakukan dan kondisi stabil, artinya segala sesuatu menyangkut fungsi vital tersebut adekuat dan terkendali, lakukan pemeriksaan laboratori yang bertujuan untuk mencari penyebabnya, mulai dari anamnesis atau aloanamnesis riwayat penyakit, dan pemeriksan fisis menyeluruh. Selama pasien di ICU akses jalan nafas dan vaskular sekaligus fungsi pernafasan dan kardiovaskular harus selalu dijamin aman. Oleh karena itu keterampilan-keterampilan pemasangan jalan nafas artifisial, seting ventilator, pemberian resusitasi cairan, penggunaan inotropik dan vasopresor, monitor fungsi vital dan interpretasi hasil monitor harus dikuasai dengan baik. Salah satu tulang punggung utama pelayanan ICU adalah perawat ICU yang terampil, terlatih dengan baik dan berupaya mengembangkan diri secara terus menerus, serta mempunyai dedikasi yang baik. Dalam bahasa perang, ners ICU berfungsi di garis depan, artinya ners yang baik akan mengenal kondisi pasien yang mengalami perburukan, dan mengerti apa yang harus awal dilakukan. Beberapa aspek keilmuan ners banyak tumpang tindih dengan ilmu kedokteran. Komunikasi yang baik dengan ners dalam mengelola pasien akan menjamin kenyamanan bekerja dan mendatangkan manfaat pada pasien. Beberapa kasus ICU memerlukan konsultasi atau komunikasi dengan disiplin lain untuk terapi yang menyangkut tingkat kekhususan tertentu apakah neurologi, ginjal, jantung,

675

hematologi, subdivisi bedah, bedah saraf, bedah toraks, bedah digestif, THT, obgin, endokrin, paru, fisioterapi, farmasi, gizi klinis, mikrogrambiologi dan lain-lain. Sampai batas mana konsultasi dilakukan? Bila masih menyangkut kondisi kritis dan pasien yang dapat ditanggulangi segera maka tidak perlu dikonsultasikan, tetapi bila telah sampai terapi definitif yang sangat khusus terhadap kausa perlu dikomunikasi dengan disiplin terkait.Kemampuan komunikasi merupakan proses dan ini harus dilatih secara terus menerus. Kedokteran gawat darurat dan ICU merupakan komponen yang esensial dari sistem pelayanan kesehatan modern, di mana ilmu ini mengajarkan cara untuk menanggulangi penyakit gawat (kritis) dengan cara memperbaiki keadaan gagal fungsi-fungsi vital dari sistem dan organ tubuh sehingga pasien dapat pulih dari penyakit kritis tersebut.

ASPEK EKONOMIS, ETIS DAN HUKUM Di Amerika, jumlah tempat tidur ICU hanya 8-10% dari kapasitas rumah sakit, namun dapat menghabiskan >20% biaya pengeluaran rumah sakit, atau 1% dari Gross National Product pertahun. Mengingat biaya perawatan ICU cukup mahal, dokter harus dapat mengetahui syarat-syarat merujuk pasien ke ICU. Faktor yang mempengaruhi angka keberhasilan pasien adalah derajat penyakit, reversibilitas, status kesehatan premorbid dan umur. Oleh karena itu diperlukan suatu metode yang dapat dipercaya untuk memperkirakan pasien mana yang mendapat manfaat bila dirawat di ICU. Beberapa sistem skoring telah diciptakan misalnya APACHE (Acute Physiology and Chronic Health Evaluation) dan TISS (Therapeutic Intervention Scoring Sistem) namun sejauh ini belum ada yang memuaskan.

ASPEK ETIS DAN HUKUM Banyak pasien yang masuk ICU menjadi lebih baik dan sebagian lagi meninggal dengan cepat, walau diberi terapi yang paling canggih. Bagi mereka tidak bisa disembuhkan lagi, timbul pertanyaan apakah yang harus dilakukan ?. Bila pasien dengan prognosis tidak ada harapan lagi diberi terapi, maka sebenarnya terapi ini hanyalah memperpanjang proses kematian. Pada kenyataannya, biasanya diberikan terapi “heroik” yang kompleks, menggunakan prosedur dan peralatan canggih seperti RJP, ventilasi mekanis, pemberian vasoaktif dan inotropik yang sangat mahal. Bila pada suatu waktu, pasien tidak ada harapan sembuh, maka sering kali tepatlah tindakan untuk menghentikan sebagian terapi yang sudah terlanjur diberikan, atau tanpa menghentikan

676

terapi yang sedang diberikan, tidak lagi memberi terapi untuk kelainan baru yang timbul belakangan. Pada situasi penderita belum mati, tetapi tindakan terapeutik/paliatif tidak ada gunanya, maka tindakan tersebut dapat dihentikan. Penghentian tindakan tersebut di atas sebaiknya dikonsultasikan dengan pasien dan keluarganya dan harus sesuai dengan kebijakan rumah sakit serta hukum yang berlaku. Eutanasia merupakan tindakan aktif dan langsung untuk mengakhiri kehidupan dan di banyak negara tidak dapat diterima, sedangkan menarik kembali atau menolak terapi merupakan tindakan yang dapat diterima dan dibenarkan manakala penangann medis hanya memperpanjang proses kematian. Penghentian bantuan hidup tidak berarti meninggalkan pasien, tetapi hanya mengehentikan terapi yang tidak efektif dan dapat disertai dengan terapi yang lebih tepat (misalnya meredakan nyeri, sedasi dan sebagainya).

GANGGUAN KESADARAN Bilamana pasien masuk dalam keadaan tidak sadar, harus didahulukan bahwa jalan nafas, pernafasan, akses vaskular dijamin aman. Lakukan resusitasi awal artinya fungsi pernafasan dan kardiovaskular dikendalikan dalam batas normal, dengan pemberian cairan dan dengan nafas kendali atau nafas bantu secra manual lebih dulu, targetnya adalah tekanan darah adekuat, oksigenasi dan ventilasi adekuat. Upaya ditujukan untuk menghindarkan peningkatan tekanan intrakranial lebih lanjut, memperbaiki tekanan perfusi serebral. Untuk mempertahankan kondisi tersebut mungkin perlu dilanjutkan dengan nafas kendali dengan ventilator dan pemberian cairan terukur dengan/tanpa inotropik dan vasopresor. Secara buta dapat diberikan dekstrosa, natrium dan vitamin B1 intravena. Bilamana dari anamnesis ditemukan penyebab yang dapat diatasi dengan cepat misalnya keracunan morfin dapat diberikan antidotumnya. Selanjutnya untuk mencari penyebab tidak sadar harus dipikirkan apakah penyebabnya serebral atau non-serebral. Lakukan pemeriksaan CT scan atau MRI, lakukan pemeriksaan fungsi hepar, ginjal, gula darah, kadar elektrolit Na, laktat, kadar obat (misalnya diduga keracunan obat tidur), periksa likuor serebrospinal. Resusitasi otak dimaksudkan untuk mencegah peningkatan tekanan intrakranial dapat dilakukan pendekatan secara fisiologis maupun farmakologis. Pendekatan secara fisiologis posisikan kepala pasien dengan head up position 30-45 derajat, cegah batuk, kendali nafas normoventilasi, hindarkan hipertemia, pertahankan osmolaritas dalam batas-batas normal, pertahankan MAP 90mmHg (bergantung nilai base line tekanan darah), PaO2 100mmHg, nilai Hb 10g%, pertahankan keseimbangan cairan imbang atau sedikit negatif. Pendekatan secara farmakologis memerlukan komunikasi atau diskusi dengan ahli neurologi, misalnya untuk

677

pemberian obat-obatan yang dapat mengurangi edema otak atau memperbaiki metabolisme sel otak. Trakeostomi merupakan tindakan jalan nafas artifisial yang sudah harus secara dini direncanakan pada pasien tidak sadar, yang pulih sadarnya sulit diprediksi.

Mati Batang Otak (MBO) MBO adalah kematian batang otak. Pada tahun 1985 Ikatan Dokter Indonesia telah menetapkan bahwa bila terjadi MBO maka pasien dinyatakan meninggal, meskipun jantung, paru, hati, ginjal dan organorgan lain masih hidup.

Diagnosis MBO Diagnosis MBO barangkali merupakan diagnosis paling penting yang pernah dibuat oleh dokter, karena bila telah dipastikan, normalnya ventilator akan dilepaskan dari pasien dan henti jantung akan terjadi tidak lama kemudian. Jadi, diagnosis ini merupakan ramalan yang terlaksana dengan sendirinya (self-ful filling prophecy). Kebanyakan dokter yang merawat dapat membenarkan dilepaskannya ventilator dari pasien, karena meneruskan ventilasi mekanis memberikan stres bagi famili pasien dan staf perawatan. Selain itu, “terapi” yang diteruskan secara tidak langsung menyatakan bahwa pemulihan masih dimungkinkan dan memberi famili pasien harapan palsu. Namun ventilasi yang diteruskan selama periode yang singkat sesudah diagnosis MBO memungkinkan perolehan organ kualitas bagus untuk tujuan transplantasi dan seringkali dilakukan. Sekarang ini sudah dapat diterima bahwa batang otak, dan bukan seluruh otak, pengatur respirasi dan stabilitas kardiovaskular. Diyakini bahwa untuk mendapatkan kesadaran harus ada kontinyuitas neuronal antara sistem saraf periferal dan korteks. Bila batang otak yang menghubungkan keduanya mati, kontinyuitas sistem yang diaktifkan oleh retikular terganggu dan tidak dapat timbul kesadaran. Diagnosis MBO dan petunjuknya dapat dilihat pada fatwa IDI tentang MBO. Diagnosis MBO mempunyai dua komponen utama. Komponen pertama terdiri dari pemenuhan prasyarat-prasyarat dan komponen kedua adalah tes klinik fungsi batang otak.

Tabel. Menegakkan diagnosis MBO

Prasyarat: Pasien koma dengan ventilator.

678

Diagnosis + kerusakan struktural otak yang menyebabkan koma. Eksklusi: Obat-obatan, hipotermia, gangguan metabolik. Tes: Refleks batang otak negatif.

Tes klinis. Sebelum melakukan tes formal, famili pasien harus diberitahu tentang akan dilakukannya tes dan juga perlu disampaikan bahwa jika hasil tes negatif pasien dinyatakan meninggal. Selain itu, kita harus memastikan bahwa pasien tidak menunjukkan postur abnormal (deserebrasi dan dekortikasi) dan tidak mempunyai refleks okulo-sefal aktif (fenomena mata kepala boneka) atau aktivitas kejang. Bila ada salah satu gejala tersebut, pasti terjadi hantaran impuls saraf lewat batang otak dan selanjutnya tes tidak diperlukan dan tidak tepat untuk dilakukan. Batang otak berarti masih hidup. Tes formal fungsi batang otak dilaksanakan di samping tempat tidur dan memerlukan demonstrasi apnea dalam keadaan hiperkarbia dan tidak adanya refleks batang otak. Peralatan canggih tidak diperlukan selain analisis gas darah. Tes ini sendiri mudah dilakukan, hanya memerlukan waktu beberapa menit dan hasilnya jelas. Bila memang tanda-tanda fungsi batang otak yang hilang di atas ada semua, maka hendaknya secara sistematis diperiksa 5 refleks batang otak (lihat tabel. Refleks batang otak tidak ada). Kelima refleks harus negatif sebelum diagnosis MBO ditegakkan. Tes terhadap refleks-refleks batang otak dapat menilai integritas fungsional batang otak dengan cara yang unik. Tidak ada daerah otak lainnya yang dapat diperiksa sepenuhnya seperti ini. Ini menguntungkan karena konsep mati yang baru secara tak langsung menyatakan bahwa semua yang berarti bagi kehidupan manusia bergantung pada integritas jaringan yang hanya beberapa sm3 ini. Tes ini mencari ada atau tidak ada respons, dan bukan gradasi fungsi. Ini mudah dilakukan dan dapat dimengerti oleh setiap dokter atau perawat yang terlatih. Ini tidak bergantung pada mesin, atau super spesialis. Tabel. Refleks batang otak tidak ada

Tak ada respons terhadap cahaya. Tak ada refleks kornea. Tak ada refleks vestibulo-okular. Tak ada respons motor dalam distribusi saraf kranial terhadap rangsang adekuat pada area somatik. Tak ada refleks muntah (gag reflex) atau refleks batuk terhadap rangsang oleh kateter isap yang dimasukkan ke dalam trakea.

679

Tes yang paling pokok untuk fungsi batang otak adalah tes untuk henti nafas (lihat tabel Tes untuk henti nafas).

Tabel . Tes untuk henti nafas.

Preoksigenasi dengan 100% O2 selama 10 menit. Beri 5% CO2 dalam 95% O2 selama 5 menit berikutnya untuk menjamin PaCO2 awal : 53 kPa (40 torr). Lepaskan pasien dari ventilator. Insuflasikan trakea dengan 100% O 2 : 6L/menit melalui kateter intratrakeal lewat karina. Lepas dari ventilator selama 10 menit. Jika mungkin periksa PaCO 2 akhir.

Namun, apnea dan arefleksia saraf kranial juga terjadi pada keadaan nonfatal lain seperti ensefalitis batang otak dan sindroma Guillain-Barre’.Lagi-lagi perlu ditekankan bahwa tes-tes jangan dilakukan bila prasyarat-prasyarat belum dipenuhi. Ini perlu diperhatikan agar jangan sampai terjadi kesalahan prosedur sebab selalu ada saja laporan kasus yang menggambarkan keadaan yang menyerupai MBO tetapi ternyata dapat pulih kembali. Bila setiap kasus didekati secara sistematis, tidak akan terjadi kesalahan.

Pernyataan mati Perlakuan pasien MBO yang sembrono atau insensitif dapat menimbulkan derita dan distres yang tak perlu bagi keluarga dan perawat. Kekurangan komunikasi atau informasi sering menimbulkan kesalahpahaman, seperti pemakaian istilah “mencabut pipa ventilator”, “menghentikan bantuan hidup” dan sebagainya. Perlu dijelaskan (kepada keluarga dan juga khalayak yang lebih luas), bahwa sewaktu melepas ventilator, dokter tidak menghentikan terapi dan membiarkan seseorang meninggal, tetapi sekedar menghentikan upaya yang sia-sia terhadap seseorang yang telah meninggal.

Tabel. Pernyataan MBO

1. Sudahkah ditemui prasyarat ?

680

Apakah pasien koma dan mendapat ventilasi buatan ? Adakah kerusakan otak struktural ? 2. Sudahkah diteliti adanya kriteria penolakan ? 3. Adakah tanda-tanda: refleks batang otak negatif ? henti nafas menetap (sewaktu dilepas dari ventilator ?)

4. Bila ya maka tes arefleksia batang otak diulang dalam kurun waktu 20 menit sampai 24 jam. Bila hasilnya sama, maka pasien dinyatakan mati, kendatipun jantung masih berdenyut. 5. Setelah pasien dinyatakan mati, ventilator memberi ventilasi kepada sesosok mayat. Maka dari itu ventilator harus segera dihentikan. 6. Pasien mati ketika batang otak dinyatakan mati, bukan sewaktu mayat dilepas dari ventilator dan jantung berhenti berdenyut. 7. Untuk diagnosis mati batang otak, tidak diperlukan EEG atau angiografi.

8. Bila pasien merupakan donor organ, ventilator dan segala terapi diteruskan sampai organ yang dibutuhkan diambil.

Dianjurkan agar tes dilakukan oleh 3 orang dokter yang berpengalaman dalam soal ini. Dalam praktek mereka ini biasanya anestetis, spesialis neurologi, bedah saraf atau dokter intensivis, tetapi tentunya hal ini tidak esensial. Siapa saja yang memahami prasyarat dapat melakukan tes ini ! Jika ada kaitannya dengan kepentingan transplantasi organ, yang berwenang menentukan kematian adalah 3 orang dokter yang tidak terikat dengan tindakan transplantasi tersebut. Setelah dilakukan tes dan tes ulang, dan dipastikan MBO, maka hendaknya pasien dinyatakan mati, keluarga diberitahu, dan dibuat catatan seperlunya. Seseorang mati saat dokter (dengan menggunakan kriteria yang diterima) menyatakannya mati. Sertifikat kematian dapat kemudian dikeluarkan. Bila ventilasi buatan diteruskan guna kepentingan donasi organ, perlu dijelaskan bahwa ini tidak akan “menghidupkan”. Pembedahan dapat dilaksanakan kemudian sesuai kehendak tim operasi. Pertimbangan utama diteruskannya ventilasi buatan ini ialah untuk menjamin bahwa resipien dapat menerima organ dengan kondisi sebagus mungkin. Pemberian vasopresor atau antibiotika mungkin pula harus diteruskan. Untuk mengurangi risiko timbul kesalahpahaman di kemudian hari, semua diskoneksi sebaiknya dilakukan oleh dokter, bukan perawat. Memang tidak alasan yang logis untuk ini, tetapi dalam masalah ini, masih mungkin dijumpai perilaku yang irasional !

GAGAL NAFAS

681

Gagal nafas adalah ketidakmampuan paru memenuhi kebutuhan metabolik tubuh. Hal ini dapat terjadi akibat kegagalan oksigenasi pada tingkat jaringan dan atau kegagalan homeostasis karbondioksida (CO2). Fungsi sistem respirasi adalah untuk menghantarkan oksigen dari atmosfir ke dalam darah dan mengeluarkan karbondioksida dari dalam darah. Secara klinis gagal nafas ditegakkan bila didapatkan PaO2 50 mmhg. Gagal nafas dapat diklasifikasikan dalam 2 tipe yaitu gagal nafas hipoksemik (tipe 1) dan gagal nafas hiperkapnik (tipe 2). Gagal nafas tidak selalu mengancam nyawa, bergantung kepada derajat berat ringan gagal nafas, mungkin tidak memerlukan rawat ICU. Pasien gagal nafas akut dan mengancam nyawa, dapat dinilai secara klinis, yang dikenal sebagai distres pernafasan. Kesadaran apatis, delirium, sampai tidak sadar, pernafasan cepat, dangkal, nafas cuping hidung, berkeringat, kesadaran menurun, mungkin sianosis. Tanda-tanda klinis hiperkarbia sering tumpang tindih dengan tanda-tanda hipoksemia. Bila tanda-tanda tersebut nyata, harus dilakukan antisipasi, dengan mengambil alih fungsi pernafasan, memberikan oksigen dan melakukan ventilasi dengan baik, tanpa harus menunggu hasil analisis gas darah. Hasil analisis gas darah, gagal nafas tipe oksigenasi bila PaO2 menurun lebih rendah dari 60mmHg dan tipe ventilasi bila PaCO2 meningkat lebih tinggi dari 55mmHg. Terapi gagal nafas oksigenasi adalah terapi oksigen dan terapi gagal nafas ventilasi adalah mengambil alih fungsi pernafasan dengan ventilator. Terapi oksigen dapat dilakukan dengan cara kanula nasal, sungkup muka (rebreathing, non rebreathing, venture mask), atau mungkin memerlukan ventilator. Indikasi pasien membutuhkan ventilator harus diketahui dengan baik. Modus dasar ventilasi mekanis juga harus diketahui dengan baik. Begitu pasien masuk ventilator, pasien dalam nafas kendali, dan harus tetap disadari bahwa ventilator hanya sebagai alat bantuan nafas untuk mempertahankan agar fungsi nafas tetap dalam batas-batas normal, dan terapi terhadap penyebab gagal nafas harus dicari agar dapat dilakukan terapi definitif. Mencari sebab gagal nafas secara sistematik dapat dicari satu persatu, apakah ada proses di SSP, batang otak, medula spinalis, toraks, fraktur iga, kelumpuhan otot nafas interkostal /diafragma, efusi pleura, proses di paru, problema pada jalan nafas. Proses tersebut dapat berupa reaksi radang atau infeksi, tumor, perdarahan, trauma, gangguan vaskularisasi, proses auto imunologik, penumpukan cairan dalam paru. Proses yang terjadi dalam paru kemungkinan bisa disebabkan oleh proses lain di luar paru, misalnya sepsis, traumatic wet lung, neurogenic edema paru, transfusion related acute lung injury (trali) Melepaskan pasien dari ventilator bukan merupakan hal yang mudah, metode penyapihan atau modus untuk penyapihan harus diketahui dengan baik. Mulai penyapihan dari FiO2 sampai 682

kurang 50% dan bila analisis gas darah menunjukkan batas-batas normal, mulai dengan menyapih ventilator dari nafas kendali menjadi nafas dengan modus penyapihan, artinya usaha nafas spontan mulai ditimbulkan dan pasien akan mendapat sebagian nafas dari usaha pasien sendiri dan sebagian masih dari ventilator. Demikian selanjutnya secara bertahap usaha nafas spontan makin ditingkatkan, sampai akhirnya sebagian besar dan seluruh nafas spontan berasal dari pasien sendiri. Kondisi gagal nafas yang merupakan problema besar dan sulit adalah acute lung injury (ALI) dan ARDS. Strategi yang dianjurkan pada pasien ini adalah modus dengan pressure control, low tidal volume 6ml/kg, permissive hypercapnia, inspiratory plateu pressure tidak lebih dari 30smH2O, PEEP tinggi 10-20smH2O. Salah satu prinsip adalah open the lung open and keep the open. Akhirnya sebaik apapun upaya ventilasi mekanis dilakukan harus disertai dengan kondisi hemodinamik yang baik oleh karena upaya memperoleh hasil oksigenasi dan ventilasi yang baik tidak hanya memerlukan ventilasi tetapi juga memerlukan perfusi yang baik. Gagal nafas tipe 1 merupakan gagal nafas yang paling sering terjadi. Secara klinis didapatkan PaO2< 60 mmHg, sedang level PaCO2 normal atau rendah. Penyebabnya adalah gangguan jantung, misalnya pintasan intrakardiak (pintasan dari kanan ke kiri : tetralogi falot). Penyebab lain adalah kelainan patologis dari paru sendiri, misalnya adanya pintasan intrapulmonar karena pneumonia, atelektasis dan ARDS.

Gagal tipe 2 terjadi bila paCO2>50 mmHg. Biasanya disertai dengan keadaan hipoksemia, sedangkan pH bergantung pada pada level HCO3 yang juga bergantung pada lamanya mengalami hiperkapnea. Berdasarkan onsetnya serangan bisa terjadi akut atau kronik eksaserbasi akut. Pada serangan akut didapatkan pH darah rendah. Serangan ini dapat disebabkan oleh overdosis obat sedatif, kelemahan otot akut (misalnya miastenia gravis) dan penyakit paru berat (asma atau pneumonia) sehingga ventilasi alveolar tidak dapat dipertahankan. Serangan kronik eksaserbasi akut terjadi pada pasien dengan retensi CO2 kronik yang memburuk dan terjadi peningkatan CO2 serta penurunan pH. Mekanisme terjadinya karena adanya kelelahan otot-otot pernfasan.

Patofisiologi gagal nafas Mekanisme yang mendasari terjadinya gagal nafas adalah pintasan (perfusi tanpa ventilasi), dead space ventilation (ventilasi tanpa perfusi), difusi abnormal dan hipoventilasi alveolar. 1. Pintasan 683

Pintasan terjadi bila ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang (V/Q mismatch) di mana alveolus yang tidak terventilasi (disebabkan karena kolaps, terdapat pus atau cairan) akibatnya darah yang melewati alveolus tidak teroksigenasi Pada pintasan, penderita relatif resisten terhadap terapi oksigen. Peningkatan FiO2 hanya akan berefek sedikit. 2. Dead space ventilation Merupakan kebalikan dari pintasan. Gas yang masuk dan keluar dari alveolus tidak mengalami pertukaran gas oleh karena alveolus tidak mengalami perfusi dan ventilasi menjadi tidak efektif, namun jika penderita mampu mengkompensasi keadaan ini, peningkatan ventilasi yang efektif akan meningkatan paCO2. Penyebabnya adalah curah jantung yang rendah, tekanan alveolar yang tinggi pada pasien dengan ventilasi mekanis. 3. Difusi abnormal Disebabkan oleh abnormalitas membran alveolar atau penurunan jumlah alveolus yang mengakibatkan pengurangan alveolar surface area, misalnya ARDS atau penyakit paru fibrotik. 4. Hipoventilasi alveolar Ketka CO2 melewati alveolus dan O2 melewati darah, terjadi perbedaan tekanan antara gas alveolar dan darah secara bertahap. Ventilasi diperlukan untuk mengembalikan perbedaan tekanan tersebut. Hipoventilasi ditandai dengan peningkatan PaCO2 dan penurunan PaO2. Penyebabnya bisa karena trauma/perdarahan batang otak, tumor medula spinalis, sindrom guillan barre, miastenia gravis, penggunaan obat depresan, malnutrisi atau kelainan paru karena sumbatan jalan nafas dan penurunan kekembangan.

Tanda klinis gagal nafas Manifestasi gagal nafas berupa kompensasi pernafasan (takipnea, penggunaan otot-otot bantu nafas, nafas flaring, retraksi dinding dada), peningkatan tonus simpatis (takikardia, hipertensi, berkeringat), hipoksia organ (penurunan kesadaran, bradikardia) serta desaturasi (sianosis). Pada hipoksemia kronik akan timbul kompensasi polisitemia.

Penatalaksanaan Prinsip penanganan penderita gagal nafas adalah menangani hipoksemia dengan terapi oksigen atau ventilasi mekanis. Tujuan selanjutnya adalah mengontrol paCO2 dan asidosis respiratorik dan yang paling penting adalah terapi penyebab dasarnya.

684

RESPIRATORY CARE

Ventilasi mekanik Udara dapat masuk ke dalam paru karena adanya perbedaan antara tekanan udara luar dengan tekanan udara dalam alveolus. Pada pernafasan spontan, perbedaan tersebut terjadi karena pada awal inspirasi terjadi tekanan negatif (tekanan dalam alveolus lebih rendah daripada tekanan udara luar). Pada saat inspirasi kontraksi diafragma dan otot-otot interkostal menimbulkan pengembangan rongga dada dan tekanan negatif pada alveolus, sehingga udara luar masuk. Pada keadaan normal ekspirasi akan berlangsung pasif. Pada nafas buatan atau mekanik perbedaan tekanan tersebut terjadi karena adanya tekanan positif yang ditimbulkan oleh mesin Macam-macam mode ventilasi 1. Controlled Mechanical ventilation (SMV) Ada 2 macam, yaitu Volume-SMV (V-SMV) dan Pressure-SMV (P-SMV). Pada mode ini, perpindahan inspirasi ke ekspirasi (cycling) terjadi setelah interval waktu yang telah ditentukan. Pada mode ini dilakukan pembatasan bantuan (limitation) berdasarkan pressure (P-SMV) atau volume (V-SMV). Awal bantuan (initiating) ditentukan berasarkan trigger waktu. Ciri khas pada mode ini adalah pasien bersifat pasif, artinya tidak ada usaha nafas. Berarti semua variabel dalam pernafasan bergantung pada sepenuhnya pada seting ventilator. 2. Assist-control mechanical ventilation (ASMV) Pada prinsipnya sama dengan SMV. Perbedaannya terletak pada triggernya. Pada ASMV yang mentrigger ventilator adalah pasien, yaitu dengan menimbulkan perbedaan tekanan (pressure triggering) atau perbedaan aliran gas (flow triggering). Dengan demikian yang menentukan frekuensi pernafasan adalah pasien, sedang ventilator menentukan besarnya volume tidal (A-SMV) atau tekanan (P-ASMV) 3. SYNCHRONIZED INTERMITEN MANDATORY VENTILATION (SIMV) Mode ini bekerja dengan mengawali bantuan berasal dari trigger nafas pasien. Bantuan ventilasi dibatasi oleh tekanan (P-SIMV) atau volume (V-SIMV). Perpindahan inspirasi ke ekspirasi ditentukan oleh waktu. Pada prinsipnya mode ini adalah ASMV yang diberikan secara intermiten dengan frekuensi bantuan yang jauh lebih sedikit dibanding ASMV/sehingga pasien diberi kesempatan untuk bernafas spontan di luar bantuan. 4. PRESSURE SUPPORT VENTILATION (PSV) 685

Pada mode ini initiaiting (awal bantuan) berasal dari trigger pasien, bantuan nafas yang diberikan dibatasi oleh tekanan dan perpindahan inspirasi ke ekspirasi, ditentukan dengan aliran / ETS (ekspiratory trigger sensitivity). Setelah ada trigger dari pasien, gas pada ventilator akan mengalir untuk mempertahankan tekanan sesuai dengan seting dan kebutuhan pasien dan pasien akan melakukan inspirasi (inspiratory flow) turun di bawah seting ETS, katup ekspirasi akan terbuka kemudian pasien akan memulai ekspirasi. Oleh karenanya jumlah volume yang diinspirasi oleh pasien (VT) bergantung pada seting tekanan dan ETS. Bila ETS rendah maka waktu inspirasi akan lama dan volume tidal akan besar. 5. CPAP (CONTINOUS TEKANAN JALAN NAFAS POSITIF) Akhir ekspirasi masih ada tekanan positif di alveolus.

Perawatan pasien dengan ventilator Intubasi Intubasi nasal atau oral relatif cukup aman dipakai dalam 2-3 pekan. Dibandingkan dengan intubasi oral, intubasi nasal lebih nyaman untuk pasien, lebih aman (insiden kecelakaan ekstubasi lebih kecil) dan lebih sedikit menyebabkan kerusakan laring. Intubasi nasal mempunyai beberapa efek samping, seperti perdarahan nasal, bakterimia, iritasi, diseksi mukosa, sinusitis dan otitis media (akibat obstruksi tuba auditori). Bila pasien memerlukan bantuan ventilasi mekanis lebih dari 2-3 pekan, intubasi nasal dan oral memberi kecenderungan terjadi stenosis subglotis. Pada kondisi ini sebaiknya dilakukan trakeostomi, sejak beberapa hari pertama intubasi.

Seting awal ventilator Pada umumnya frekuensi pernafasan diset 10-12 kali permenit dan volume tidal 8-10 mL/kg. VT lebih rendah (6-8 mL/kg) mungkin dibutuhkan untuk menghindari tekanan plateu berlebih (>35-40 smH20), barotrauma dan volume trauma. Jalan nafas tekanan tinggi (tekanan transalveolar > 35 smH20 ) menyebabkan overdistensi alveolus, pada eksperimen terbukti menyebabkan cedera paru. Pasien dengan nafas spontan SIMV harus bisa mengatasi resistensi tambahan karena adanya ETT, demand valve, dan sirkuit nafas. Pada orang dewasa, ukuran ETT kecil (diameter internal 16-18 x/mnt). Umumnya, digunakan sedatif opioid (morfin atau fetanil), benzodiazepin, propofol dan deksmedetomidin.

Penyapihan dari bantuan ventilasi mekanis Untuk memulai penyapihan, pertamakali dipertimbangkan bahwa bantuan ventilasi mekanis tidak akan berhasil dihentikan apabila problem yang mengindikasikan bantuan ventilasi mekanis belum sembuh/teratasi. Untuk menilai hal ini perlu dilakukan evaluasi terhadap kondisi klinis bronkospasme, gagal janrtung, malnutrisi, asidosis atau alkalosis metabolik, peningkatan produksi CO2 akibat kelebihan intake karbohidrat, tingkat kesadaran, dan adanya gangguan tidur. Parameter penyapihan yang sangat bermanfaat adalah tekanan parsial gas arteri, frekuensi pernafasan, dan rapid shallow breathing index (RSBI). Oksigenasi yang adekuat (saturasi oksigen >90% pada FiO2 40-50% dan PEEP < 5 smH20) harus tercapai sebelum dilakukan ekstubasi. RSBI bermanfaat untuk memprediksi keberhasilan penyapihan dari ventilasi mekanis dan ekstubasi. Pengukuran dilakukan pada saat pasien bernafas spontan dengan T-pice.

RSBI = f ( nafas/menit) TV (L)

Nilai RSBI < 100  dapat dilakukan ekstubasi. Nilai RSBI > 120  bantuan ventilasi mekanis sebaiknya jangan dilepas. 687

Penyapihan dengan SIMV Penyapihan dilakukan dengan pengurangan bantuan ventilasi secara gradual. Otot pernafasan pasien tetap melakukan kerja ketika terjadi nafas spontan maupun nafas mandtorik. Beberapa pasien bisa mengalami dissynchrony pada SIMV dengan laju rendah. Pada umumnya SIMV dilakukan kombinasi dengan PSV.

Penyapihan dengan PSV Penyapihan dilakukan dengan pengurangan secara gradual level PSV untuk mencapai target volume tidal dan frekuensi nafas. PSV diturunkan levelnya sampai terendah antara 5-8 smH20, bila target pola nafas dan pertukaran gas dapat dipertahankan, maka ventilasi mekanis dapat dihentikan.

Penyapihan dengan T-piece atau CPAP Teknik ini dilakukan pada pasien yang memenuhi kriteria Pa02/Fi02 > 200mmHg, PEEP 1.018

500

8

40

40 mmHg. Syok septik biasanya disertai gangguan perfusi jaringan dan disfungsi sel yang ditandai dengan asidosis laktat, oliguria atau penurunan kesadaran.

Tabel 3. Sistemic Inflammatory Responsse Syndrome (SIRS)

Temperature > 38°C or < 36°C 691

HR > 90 beats/min Respiratory rate > 20 breaths/min or PaCO2 < 32 mm Hg WBC count > 12,000/mm3 , < 4000/mm3 , or > 10% immature (band) forms.

Patofisiologi Syok septik paling sering disebabkan oleh infeksi bakteri gram-negatif yang berasal dari traktus genitourinarius atau dari paru. Bakterimia bisa ditemukan bisa tidak. Peningkatan kadar nitrik oksida mungkin menjadi penyebab vasodilatasi. Hipotensi juga terjadi karena penurunan volume intravaskular akibat kebocoran vaskular. Pemeriksaan jantung dapat menunjukan adanya depresi miokard. Aktivasi platelet dan kaskade koagulasi menimbulkan pembentukan agregrat fibrinplatelet, yang dapat mengganggu aliran darah, bila terjadi di paru akan menimbulkan hipoksemia / ARDS. Dikeluarkannya bahan-bahan vasoaktif, pembentukan mikrogramtrombus di sirkulasi paru, akan memperburuk fungsi paru karena meningkatnya resistensi vaskular paru.

Menurut guideline dari Surviving sepsis campaign tahun 2008, dalam 6 jam pertama setelah sepsis didiagnosa, harus dapat dilakukan resusitasi sesuai dengan protocol Early GoalDirected Therapy (EGDT). Pasien dengan hipotensi diberikan resusitasi cairan koloid atau kristaloid sampai mencapai CVP 8-12 mmHg. Apabila MAP < 65 mmHg, diberikan obat vasoaktif (noerepinefrin atau dopamin). Apabila MAP telah ≥ 65mmHg, dilakukan pengukuran saturasi oksigen vena sentral /vena kava superior. Target ScVO2 >70% atau vena campur >65% harus dapat dicapai. Bila target saturasi oksigen vena tidak tercapai, diberikan transfusi PRC sampai hematokrit ≥ 30% . Apabila hematokrit telah mencapai target tetapi saturasi oksigen vena sentral masih rendah, maka mulai diberikan infusi dobutamin.

Apabila hasil kultur kuman belum ada, terapi antibiotik empirik diberikan seawal mungkin dalam jam pertama EGDT. Antibiotik broad-spectrum diberikan secara intravena dipilih berdasarkan dugaan bakteri / fungi yang menjadi sumber sepsis.

Effect of inotropes and vasopresors in septic patient 692

Agent

Blood pressure

Curah jantung

Pengirima n oksigen

Dopamin

↑↑





Dobutamin



↑↑

↑↑

Norepinefri n

↑↑

0

0

Epinefrin

↑↑↑

↑↑↑

↑↑↑

Vasopresin

↑↑

0

0

Gambar 1. Protocol for Early Goal-Directed Therapy.

693

CVP : central venous pressure, MAP : mean arterial pressure, dan ScvO : central venous oxygen saturasion.

Diambil dari Surviving Sepsis Campaign: International guidelines for management of severe sepsis and septic shock: 2008

PERDARAHAN SALURAN CERNA Perdarahan akut sering menjadi alasan utnuk mengirim pasien ke ICU. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan mortalitas adalah umur (>60tahun), penyakit komorbid, hipotensi, perdarahan masif (>5 unit) dan perdarahan berulang. Penatalaksanaan di ICU meliputi evaluasi, identifikasi sumber perdarahan dan stabilisasi. Pasien harus dipasang 2 kanula vena besar (14-16G), kalau mungkin dipasang CVC dan jalur arterial. Pemeriksaan kadar Hb, hematokrit, trombosit, PT dan aPTT serta persiapan transfusi darah harus dilakukan. Pemantauan yang dilakukan meliputi hematokrit serial dan penilaian hemodinamik kontinyu.

Perdarahan saluran cerna bagian atas Penyebab perdarahan paling sering adalah ulkus duodenum, ulkus gaster, gastritis erosif dan varises esofagus. Yang terakhir biasanya disebabkan oleh stres, konsumsi alkohol, aspirin, NSAID dan obat –obat steroid. Esophagogastroduodenoscopy (EGD) atau arteriografi sebaiknya dilakukan untuk menentukan diagnosis penyebab perdarahan. Keuntungan kedua pemeriksaan tersebut adalah dapat dipakai untuk menghentikan perdarahan. Pembedahan biasanya diperlukan apabila terjadi perdarahan hebat (>5 U) atau perdarahan berulang. Pemakaian H2 reseptor bloker tidak efektif untuk menghentikan perdarahan tetapi mungkin mengurangi risiko perdarahan ulang. Infusi vasopresin atau embolisasi arteri dapat dilakukan secara selektif melalui arteriografi. Terapi paling efektif untuk gastritis erosif adalah melakukan pencegahan dengan proton pum inhibitor, H2 reseptor bloker, antasid dan sukralfat. Namun apabila perdarahan sudah terjadi semua obat ini tidak akan efektif. Terapi endoskopi dengan elektrokoagulasi bipolar atau probe heater, merupakan terapi nonbedah yang efektif untuk mengurangi transfusi, perdarahan ulang, lama rawat dan risiko operasi. 694

Perdarahan Saluran cerna bagian bawah Penyebab umum adalah divertikulosis, angiodisplasia, inflamasion bowel disease, kolitis iskemik, kolitis infeksi dan penyakit anorektal (hemoroid, fisura, fistula). Diagnosis bisa ditegakkan dengan pemeriksaan rektal, anoskopi, sigmoidoskopi, kolonoskopi, EGD dan technetium-99-labeled red blood scan. Terapi yang dilakukan adalah kauterisasi sumber perdarahan via kolonoskopi, embolisasi / infusi vasopresin via arteriografi, dan dilakukan operasi bila perdarahan berulang.

TERAPI NUTRISI

Pasien sakit kritis biasanya mengalami cedera jaringan, stres neuroendokrin dan kakeksia. Respons terhadap cedera yang terjadi meliputi peningkatan sekresi katekolamin, kortisol, glukagon, tiroksin, angiotensin, aldosteron, hormon pertumbuhan dan ACTH, hormon antidiuretik dan TSH. Pada awalnya sekresi insulin sedikit turun tetapi kemudian akan meningkat sesuai dengan peningkatan kadar hormone pertumbuhan. Katekolamin, glukagon dan hormon pertumbuhan akan memacu glikogenolisis, di mana glukagon dan kortisol mungkin memacu glukoneogenesis. Hal tersebut ditambah dengan penurunan utilitas oleh jaringan perifer menyebabkan hiperglikemia. Penurunan toleransi terhadap glukosa, tampaknya diakibatkan oleh penurunan seksresi insulin dan peningkatan resistensi. oleh jaringan perifer. Kedua efek tersebut terjadi karena peningkatan sekresi katekolamin, yang juga meningkatkan lipolisis. Sintesa dan pemecahan protein meningkat, namun pemecahannya lebih besar daripada sintesa sehingga terjadi penurunan massa otot. Selama sepsis pemakaian lemak dan karbohidrat otot mengalami gangguan, mengakibatkan pemecahan protein meningkat. Di samping itu sel-sel lebih banyak memakai asam amino rantai cabang, misalnya glutamin, Glutamin merupakan asam amino yang banyak diperlukan untuk jalur metabolisme. Pemberian glukosa selama fase akut tidak dapat menekan pemecahan protein. Intake kalori dan protein yang adekuat dapat mengurangi tetapi tidak dapat mencegah katabolisme pada pasien

Penilaian status nutrisi

695

Penilaian status nutrisi bisa dilakukan dengan menggunakan berbagai metode misalnya subjective global assessment (SGA), berat badan, lingkar lengan atas, ekskresi kreatinin urin, kadar albumin dan transferin dalam darah, dll Pasien yang memerlukan perhatian khusus apabila mempunyai berat badan kurang dari 80% berat normal, mengalami penurunan BB >10% dalam 6 bulan terakhir, hipoalbumin 6 3r–3 >6 3r >9 r >3 Gomes & Gomes : Principles and Procedure of Statistic.   

Rule of thumb : setiap variabel 10 sampel. (n-1)(t-1)  16 dll

Desain: Hal penting sebelum menentukan jenis desain Sejak pertama peneliti harus menentukan apakah akan melakukan penelitian intervensi/eksperimental atau hanya observasi. Penelitian dibagi atas 2 macam: observasional dan eksperimental. Observasional misalnya laporan kasus, serial kasus, kohort, case control. Eksperimental misalnya RCT.  Bila memilih observasi tentukan apakah hanya pengamatan sewaktu (cross seksional) atau melakukan follow up (studi longitudinal).  Apakah retrospektif atau prospektif.  Harus diingat jenis penelitian yang satu tidak lebih unggul dari yang lain. Jenis

711

penelitian dipilih berdasarkan tujuan penelitian. Contoh desain penelitian  Penelitian eksperimental dengan RCT untuk mengetahui manfaat penambahan obat X pada anestesia cedera ekstrimitas.  Penelitian ini merupakan studi cross seksional untuk menentukan prevalens miokarditis pada pasien demam tifoid. Definisi konsepsional variabel    

Semua variabel yang diteliti harus diidentifikasi. Variabel bebas (prediktor, kausa) Variabel bergantung pada (keluaran efek) Variabel perancu (confounding variable)

Variabel: contoh  Membandingkan pengaruh obat anestetik A dan B terhadap tekanan darah. Variabel bebas : obat anestetik A dan B Variabel bergantung pada: tekanan darah Variabel perancu : faktor lain yang akan menurunkan tekanan darah bila diberi obat A atau B, misalnya hipovolemia, payah jantung jadi pasien harus normovolemia, tidak payah jantung Definisi operasional variabel: Supaya tidak ada makna ganda dari semua istilah yang digunakan. Contoh: 1. Cedera kepala berat adalah cedera kepala yang pada pemeriksaan klinis menunjukkan nilai GCS < 8. 2. Hipotensi adalah tekanan darah sistolik < 90 mmHg 3. Serebral iskemia adalah bila SJO2 < 50% Rencana pengumpulan data: pengukuran dan alat ukur  Pengukuran adalah observasi fenomena dengan maksud agar dapat dilakukan analisis menurut aturan tertentu.  Standarisasi cara pengukuran, pelatihan pengukur, penyempurnaan instrumen, kalibrasi alat.  Contoh: gas darah dengan I-stat yang telah dikalibrasi dan dibandingkan dengan alat lain

712

yang telah dikalibrasi. Tekanan darah dilakukan secara noninvasif dengan tekanan darah automatis. Rencana pengolahan dan analisis data  Sebutkan analisa statistik yang digunakan, misal uji-t.  Tentukan batas kemaknaan yang dipakai. Signifikan bila p
View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF