Modul Neuro Infeksi Panduan Peserta
May 1, 2017 | Author: Kurniawan Lukman Efendy | Category: N/A
Short Description
csz...
Description
MODUL NEURO - INFEKSI (BUKU PANDUAN PESERTA DIDIK)
KOLEGIUM NEUROLOGI INDONESIA PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS SARAF INDONESIA 2008
1
PENYUSUN Dr. Jofizal Jannis, Sp.S(K)
PENYUSUN PEMBANTU Prof. DR. Dr.Hasan Sjahrir, Sp.S(K) Prof. Dr. Siwi Kotambunan, Sp.S(K) Dr. Darma Imran, Sp.S
Modul ini telah dipresentasikan kepada seluruh Ketua Program Studi Institusi Pendidikan Dokter Spesialis Saraf. Para Ketua Program Studi tersebut adalah sebagai berikut: Prof. DR.Dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) – KPS FK UNUD Dr. Abdul Muis, Sp.S(K) – KPS FK UNHAS Dr. Ahmad Asmedi, Sp.S., M.Kes – KPS FK UGM Dr. Alwi Shahab, Sp.S(K) – KPS FK UNSRI Dr. Endang Kustiowati, Sp.S(K) – KPS FK UNDIP Dr. Jofizal Jannis, Sp.S(K) – KPS FK UI Dr. Rusli Dhanu, Sp.S(K) – KPS FK USU Dr. Saiful Islam,Sp.S(K) – KPS FK UNAIR Dr. Thamrin Syamsudin,Sp.S(K), M.Kes – KPS FK UNPAD Dr. Yuliarni Syafrita,Sp.S – KPS FK UNAND
BUKU PANDUAN PESERTA Modul Neuro infeksi terdiri dari : 2
1. Punksi Lumbal 2. Infeksi SSP ( meningitis, ensefalitis, mielitis ) 3. NeuroAIDS 4. Spondilitis 5. Tetanus 6. Malaria serebral 7. Rabies 8. Abses otak 9. Neurosistiserkosis
I.
Punksi Lumbal
o Referensi :
Standar kompetensi spesialis saraf 2006, KNI PERDOSSI
De Meyer W.E., Technique of neurologic examination a programme text, fifth ed., 2004. 637-648.
Ropper A.H., Robert HB., Adams and Victor, Principles of Neurology, eight ed. Mc Graww Hill, 2005, 11-13, 541-542.
Campbell WW., De Jong’s, The Neurologic examination, Lippincott Williams & Wilkins, 2005, 597-600.
Scheld WM et.al., Infection of the central nervous system, third ed., 2004, 10-12
KOMPETENSI •
Melakukan tindakan lumbal pungsi (LP) dengan benar
•
Mempunyai kompetensi menyeluruh tentang jenis pemerisaan ini, meliputi indikasi dan kontra indikasi, prosedur dan pemeriksaan cairan serebrospinal
KETERAMPILAN Setelah menyelesaikan modul ini, peserta didik diharapkan memiliki keterampilan: • Menjelaskan teknik punksi lumbal 3
• • • • • • • • • • •
Menguasai anatomi dan fisiologi tulang vertebra Menjelaskan indikasi dan kontraindikasi punksi lumbal Mengetahui efek samping trauma akibat punksi lumbal Menentukan posisi penderita sewaktu akan dilakukan punksi lumbal Menentukan daerah desinfeksi punksi lumbal Menentukan posisi penusukan jarum spinal Mengetahui cara anestesi lokal pada intervertebra Menentukan posisi jarum spinal Menentukan jumlah liquor serebrospinal yang akan dibuat sampel Mengeluarkan liquor serebrospinal sesuai yang dibutuhkan Mengetahui tehnik perlakuan terhadap liquor sererbrospinal yang telah diambil secara benar, termasuk rencana pengiriman spesimen liquor sererbrospinal ke laboratorium sesuai dengan indikasi (jenis dan jumlah sel, protein, glukosa, serologi, mikrobiologi)
Gambaran umum Pelatihan dengan modul ini dimaksudkan untuk memberi bekal pengetahuan dan praktik ketrampilan dalam hal teknik punksi lumbal secara benar dengan memperhatikan asepsis dan antisepsis serta sesuai dengan prosedur. Peserta didik belajar mandiri tentang anatomi dan fisiologi liquor serebrospinal. Contoh Kasus Laki-laki, 27 tahun pekerjaan mahasiswa. Datang ke IGD dengan keluhan utama nyeri kepala hebat sejak 2 hari SMRS. Nyeri kepala disertai dengan muntah. Kadang-kadang pasien bicara kacau. Kejang, kelemahan sesisi disangkal. Demam (+) sejak 1 minggu yang lalu. Pasien juga mengeluhkan sariawan dan lidah menjadi putih. Pasien pengguna narkoba suntik sejak 5 tahun lalu. II.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan, kesadaran apatis-somnolen. TD 140/90, N96x/menit P: 20x/menit, Suhu: 38,50 C. Lain-lain dalam batas normal. Kulit: tatto (+), needle track (+). Status neurologis, GCS: E3M6V4. Kaku kuduk (+). Funduskopi: papil batas jelas, tidak hiperemis, cupping (-), A:V:1:3. R Babinski -/-.
Diskusi 1 .Apakah tindakan punksi lumbal ini berbahaya ? 2. Dimana lokasi yang paling aman untuk melakukan tindakan punksi lumbal ini 3. komplikasi apa yang mungkin terjadi saat melakukan dan setelah melakukan tindsakan ini Rangkuman Tindakan punksi lumbal dilakukan untuk diagnosis penyakit infeksi SSP.Walaupun demikian 4
tindakan harus berdasarkan indikasi dan memperhatikan kontraindikasi dan inform consent dan memberikan pengeretian tentang maksud dan tujuan tindakan ini.. Apabila telah dikerjakan maka penderita harus berbaring selama 2 jam dan mengingatkan pada penderta atau keluarganya bahwa kemu.ngkinan nyeri kepala dapat timbul yang dapat diatasi dengan pemberian analgetik Keadaan lain yang memperburuk umumnya disebabkan oleh penyakitnya, bukan karena tindakannya . Penilaian kompetensi •
Hasil observasi selam alih pengetahuan dan ketrampilan
•
Hasil kuesioner
•
Hasil penilaian peragaan ketrampilan
Tujuan Pembelajaran a. Mengetahui indikasi dan kontraindikasi tindakan Lumbal Pungsi (LP) b. Mengetahui komplikasi yang dapat ditimbulkan akibat LP c. Dapat menangani komplikasi dari tindakan LP d. Mengetahui perlu tidaknya pemeriksaan CT Scan sebelum tindakan LP e. Mengetahui peralatan apa saja yang diperlukan untuk tindakan ini f. Dapat melakukan tindakan LP dengan benar dan league artist g. Mengetahui tehnik perlakuan terhadap liquor serebrospinal (LCS) yang telah diambil secara benar h. Dapat menjelaskan kepada pasien maupun keluarga pasien tentang tindakan ini (indikasi, prosedur, komplikasi, pemeriksaan LCS) Tujuan 1: Mengetahui indikasi dan kontraindikasi tindakan LP •
Menjelaskan indikasi dan kontraindikasi tindakan LP
•
Menjelaskan anatomi meningens dan sirkulasi LCS
Tujuan 2: Mengetahui perlu tidaknya pemeriksaan CT Scan sebelum tindakan LP •
Menjelaskan kapan pemeriksaan CT Scan perlu dilakukan sebelum tindakan LP
•
Menjelaskan cost-benefit dari pemeriksaan ini
Tujuan 3: Mengetahui peralatan apa saja yang diperlukan untuk tindakan ini 5
•
Menggunakan video dan demonstrasi alat-alat yang diperlukan 1. Memperlihatkan kepada peserta didik alat-alat yang diperlukan untuk tindakan LP 2. Menjelaskan kegunaan dari alat-alat tersebut 3. Menjelaskan bagaimana perlakuan terhadap alat-alat tersebut, mis: sterilisasi manometer
Tujuan 4: Dapat melakukan tindakan LP dengan benar dan league artist •
Menggunakan video
•
Menjelaskan langkah-langkah dalam tindakan LP
•
Mendemonstrasikan tindakan LP
Tujuan 5: Mengetahui komplikasi yang dapat ditimbulkan akibat LP •
Menjelaskan komplikasi tindakan LP dan patofisiologinya
•
Menjelaskan bagaimana menangani komplikasi-komplikasi tersebut
Tujuan 6: Mengetahui tehnik perlakuan terhadap liquor serebrospinal (LCS) yang telah diambil secara benar •
Menjelaskan urut-urutan langkah yang harus dilakukan setelah LCS mengalir
•
Menjelaskan cara membuat surat pengantar pemeriksaan LCS ke laboratorium sesuai dengan indikasinya
•
Menjelaskan prioritas pemeriksaan analisa LCS sesuai indikasi dan pertimbangan biaya
•
Menjelaskan tehnik pengiriman LCS yang benar
•
Menjelaskan cara menginterpretasi hasil analisa LCS dan hasil pemeriksaan LCS lainnya.
Tujuan 8: Dapat menjelaskan kepada pasien maupun keluarga pasien tentang tindakan ini (indikasi, prosedur, komplikasi dan pemeriksaan LCS) •
Menjelaskan pentingnya penjelasan kepada pasien maupun keluarga pasien sebelum tindakan LP
•
Menjelaskan perlunya pasien atau keluarga pasien menandatangani surat persetujuan setelah penjelasan 6
•
Menjelaskan kepada pasien maupun keluarga pasien apakah tindakan LP perlu diulangi lagi atau tidak
Kasus untuk proses pembelajaran Seorang laki-laki, usia 35 tahun, pekerja bangunan, datang ke rumah sakit dengan keluhan nyeri kepala hebat, demam disertai kejang pada lengan dan seluruh tubuh Sebelumnya penderita pernah demam disertai batuk dan berkeringat sewaktu malam hari. Di puskesmas penderita mendapat obat beberapa macam . sejak makan obat tersebut, buang air kecil berwarna kemerahan.Penderita merasa lebih baik dan tidak kontrol lagi setelah makan obat selama 3 bulan. Selang berapa lama penderita mulai demam dan batuk yang kadang kadang berwarna merah. Hasil pemeriksaan fisik • • • • • • • • • •
Kesadaran delirium Tekanan darah 130/80 mmHg Frekuensi nadi 105 x/menit Suhu 38 oC Respirasi 23 x/menit KGB leher : scofuloderma +/Jantung dalam batas normal, paru : vbs ki=ka, rhonki +/+, wheezing -/Abdomen supel, hepar dan lien tidak teraba Ekstremitas tidak ada edema Status neurologik : o Glasgow Coma Scale : 4-5-4 o Pupil bulat isokor diameter 3 mm/ 3mm RCL +/+ RCTL +/+ o Tanda rangsang meningeal : kaku kuduk positif, Bruzinsky I positif, Kernig >135/ >135, Bruzinsky II dan III (-) o Nervi kranial : paresis (-) o Motorik : hemiparesis (-) o Sensorik : belum dapat dinilai o Refleks fisiologik ++/++ o Refleks patologik -/o Klonus -/o Saraf otonom : dalam bataas normal Hasil pemeriksaan penunjang • Pemeriksaan laboratorium • Pemeriksaan foto thoraks • Pemeriksaan CT Scan Monitoring • Kesadaran 7
• •
Tanda vital Defisit fokal
Diskusi 1.Apakah tindakan punksi lumbal segera dilakukan tanpa persetujuan keluarga 2.Apakah pengobatan segera setelah diagnosis sementara ditegakkan 3.Apakah kegawatdaruratan yang mungkin timbul sebelum atau sesudah tindakan punksi lumbal Rangkuman . .Pengobatan empirik pada penderita dilakukan, karena angka kematian demikian pelaksanaan punksi lumbal dengan tindakan terapi.Pemantauan timbul bisa menjadi lebih progresif.
segera harus dilakukan walaupun punksi lumbal belum tinggi apabila kondisi penderita lebih berat.Walaupun tetap dianjurkan untuk memastikan diagnosis yang sesuai penderita harus diperhatikan karena gejala-gejala yang
8
MATERI BAKU Lumbal Pungsi Tehnik Lumbal Pungsi (LP) atau spinal tap pertama kali diperkenalkan oleh Quinke pada tahun 1891. Tindakan LP sebenarnya cukup sederhana dan sudah dikenal luas akan tetapi sayangnya kemampuan LP belum banyak dikuasai oleh dokter terutama neurolog. Tindakan LP yang tampak sederhana ini ternyata juga memiliki risiko yang perlu diperhatikan. Lumbal pungsi dilakukan untuk tujuan diagnostik dan terapi. Selain itu LP juga dilakukan insidental seperti pada pemeriksaan mielografi. Lumbal pungsi diagnostik Indikasi 1. Infeksi susunan saraf pusat (meningitis, ensefalitis) Umumnya ditemukan peningkatan tekanan, pleositosis, kadar glukosa menurun, dan konsentrasi protein meningkat. 2. Meningitis aseptik Didapatkan perubahan non spesifik pada LCS, pleositosis dan peningkatan protein. 3. Infeksi parameningeal dan abses Pada LCS hanya tampak perubahan non spesifik. Evaluasi lebih baik dengan pencitraan. 4. Perdarahan subarachnoid (SAH) Ditemukan LCS dengan sel darah merah dan tampak xantokrom. Pada SAH tindakan LP hanya dilakukan bila dengan CT scan diagnostik belum dapat ditegakkan, CT Scan tidak tersedia, masih dicurigai meningitis. LCS d-dimer dapat membedakan LP traumatik dengan SAH. 5. Penyakit demielinisasi Ditemukan abnormalitas IgG yang dapat mendukung diagnosis 6. Inflammatory polyneuropathies Terjadi peningkatan protein. LCS imunoglobulin mendukung diagnosis kelainan imunologis.
9
7. Leptomeningeal metastasis Pleositosis, peningkatan protein, menurunnya kadar glukosa. Pemeriksaan sitologi LCS dengan LP berulang mempunyai spesifisitas yang tinggi dan sensitivitas yang bervariasi sesuai jenis keganasan. Pemeriksaan tumor marker pada LCS dan mengkonfirmasi diagnosis tetapi tidak spesifik untuk neoplasma. 8. Sindrom paraneoplastik Tampak abnormalitas ringan pada LCS sering disertai dengan autoantibodi yang spesifik. 9. Tumor otak Gambaran LCS nonspesifik, beberapa memilliki marker spesifik: ∗
Trophoblastic metastasis dan germ cell: human chorionic gonadotropin
∗
Germ cell: α fetoprotein
10. Pseudotumor serebri LP diperlukan untuk mengetahui peningkatan tekanan intrakranial dan menyingkirkan meningitis. 11. Normal pressure hydrocephalus Perbaikan klinis setelah pengambilan 50 ml LCS dapat memprediksi respon yang baik untuk tindakan shunting. 12. Septik serebral emboli Tampak pleositosis. 13. Lupus eritematosa sistemik Ditemukan kadar C4 yang menurun dan peningkatan respon imun intratekal. 14. Ensefalopati hepatik Dapat diidentifikasi dengan cukup spesifik dan sensitif bila ditemukan peningkatan konsentrasi glutamin LCS. Kontraindikasi 1. Peningkatan tekanan intrakranial yang disertai dengan massa intrakranial atau penyumbatan aliran LCS yang beresiko herniasi serebri dan kematian. 2. Infeksi di lokasi LP 3. Trombositopeni (< 20 000/uL) atau pemanjangan PT dan APTT yang tidak terkoreksi 4. Trauma medula spinalis akut 10
Komplikasi 1. Herniasi serebri Dapat dicegah dengan tidak melakukan tindakan LP pada pasien yang beresiko atau dengan pemberian antiedema sebelum LP. 2. Postspinal positional headache Merupakan komplikasi tersering (5-40%). Biasanya sakit kepala muncul 72 jam setelah LP dan menghilang kurang dari 5 hari. Nyeri dirasakan bilateral terutama pada posisi berdiri dan batuk. Nyeri kepala akan membaik dengan posisi berbaring. Berdasarkan patofisiologinya pada Postspinal positional headache terjadi robekan dura pada lokasi penusukan jarum spinal. Robekan ini mengakibatkan kebocoran LCS keluar dari dura sehingga tekanan akan menurun. Akibatnya otak akan bergeser turun dan terjadi traksi pada area sensitif nyeri seperti bridging vessels, dura dan nervus yang menyebabkan rasa nyeri. Pada posisi supine tekanan di sepanjang kolumna spinalis sama sehingga otak tidak bergeser ke bawah dan tidak terjadi traksi pada area sensitif nyeri. Beberapa cara dapat dilakukan untuk mengurangi nyeri kepala ini. Gunakan jarum spinal berukuran kecil. Semakin kecil jarum semakin kecil pula robekan dura yang ditimbulkan. Memasang mandrein kembali ke dalam jarum sebelum mencopot jarum spinal dapat menurunkan insiden nyeri kepala hingga 50%. Nyeri kepala sendiri dapat diatasi dengan analgesik dan berbaring. 3. Nyeri punggung lokal Kurang lebih 1/3 pasien mengeluhkan nyeri punggung lokal setelah tindakan LP yang berlangsung selama beberapa hari. Hal ini terjadi akibat trauma lokal jaringan lunak sekitar lokasi LP. 4. Perdarahan lokal Dapat dicegah dengan menunda pemberian antikoagulan, mengoreksi status koagulasi dan menggunakan jarum kecil. 5. Infeksi lokal Dapat dicegah dengan tindakan a dan antisepsis sebelum tindakan.
11
Lumbal pungsil terapeutik Indikasi 1. Infeksi Meningitis Kriptokokus dengan peningkatan tekanan intrakranial yang refrakter. Tindakan LP dapat dilakukan berulang kali untuk menurunkan tekanan intrakranial 2. Neoplasma Beberapa jenis keganasan seperti leukemia serebral, leptomeningeal limfoma dan meningeal karsinomatosis memerlukan kemoterapi intratekal. 3. Nyeri Nyeri hebat yang sulit diatasi terutama pasca operasi dan nyeri pada kanker dapat disuntikkan morfin dosis kecil ke rongga subarakhnoid. 4. Nyeri kepala pada hipertensi intrakranial idiopatik Tindakan LP dapat mengurangi nyeri kepala dengan mengeluarkan sejumlah LCS. Kontraindikasi Sama dengan kontraindikasi LP diagnostik. Perlu diperhatikan apakah pasien alergi terhadap obat yang akan disuntikkan. Dosis, jenis obat dan pelarut harus tepat. Beberapa obat dapat menyebabkan chemical meningitis. Lumbal Pungsi insidental Untuk pemeriksaan mielografi LP perlu dilakukan untuk menyuntikkan kontras. Dilakukan dengan kontrol fluoroskopi setelah sebelumnya dilakukan foto vertebra. Sebaiknya tindakan menghindari daerah yang diduga lesi. Analisa LCS tidak harus dilakukan kecuali ada indikasi untuk LP diagnostik. Pertimbangan CT Scan sebelum LP Tidak semua pasien yang terindikasi tindakan LP harus menjalani pemeriksaan CT Scan.
12
Anatomi meningen, ventrikel dan cairan serebrospinal Meningen Otak dan medula spinalis dilindungi oleh 3 selaput otak yaitu: 1. Duramater 2. Arakhnoid 3. Piamater Piamater dan arakhnoid disebut juga leptomening. Duramater terdiri atas 2 lapisan. Lapisan yang terluar melekat erat pada tulang. Lapisan yang lebih dalam adalah selaput otak yang sebenarnya dan menghadap rongga subdural yang sangat sempit. Arteri duralis atau meningealis berjalan di antara kedua lapisan ini. Lapisan meningeal dalam dari dura terpisah dari lapisan luar pada tempat di mana lapisan ini membentuk sinus duralis. Sepanjang sinus longitudinalis superior dan sinus transversus, lapisan dalam berduplikat dan menyekat kavitas kranial sebagai falks dan tentorium.
Lapisan kedua setelah duramater adalah arakhnoid. Strukturnya halus dan kuat serta terdiri dari membran selular luar dan lapisan jaringan ikat dalam di mana melekat jaringan longgar trabekula yang tipis. Jaringan ini melintasi rongga subarakhnoid seperti sarang laba-laba (araknoidea). Arakhnoid tidak terikat pada dura kecuali daerah sepanjang sinus duralis, di mana arakhnoid melekat melalui granulationes pachioni atau villi. 13
Piamater adalah lapisan yang menutupi semua permukaan otak dan medula spinalis baik yang terlihat maupun yang tersembunyi, kecuali permukaan ventrikel. Membran ini mengikuti semua pembuluh darah yang memasuki atau meninggalkan parenkim saraf dan merupakan batas perifer dari spasium perivaskular Virchow-Robin. Rongga subarakhnoid berisi cairan serbrospinal yang bersirkulasi. Semua pembuluh darah dan saraf otak dan medula spinalis melewati cairan ini. Area pada rongga yang melebar disebut sisterna. Ventrikel dan cairan serebrospinal
Sistem ventrikel otak terdiri atas dua ventrikel lateral, ventrikel ketiga dan ventrikel keempat. Masing-masing ventrikel lateral mempunyai kornu anterior, sela media, kornu posterior dan kornu inferior atau temporal. Kedua ventrikel tersebut berhubungan dengan ventrikel ketiga melalui foramen Monro atau foramen interventrikularis. Akuaduktus sylvii menghubungkan ventrikel ketiga dan keempat. Ventrikel keempat berhubungan dengan rongga subarakhnoid melalui tiga foramen yaitu dua foramen Luschka dan satu foramen Magendie. Foramen ini terletak di belakang medula dan menghadap sisterna magna. 14
Cairan serebrospinal diproduksi oleh pleksus koroid yang terdapat pada dinding ventrikel. LCS memasuki rongga subarakhnoid melalui foramen Luschka dan Magendie. Di dalam rongga subarakhnoid LCS bersirkulasi ke atas dan mengitari otak serta ke bawah mengitari medula spinalis. LCS jernih seperti air mengandung sangat sedikit sel (± 2 sel/mm 3) dan sedikit protein. Volume total LCS dalam ventrikel dan rongga subarakhnoid dalam otak orang dewasa sekitar 130-150 ml. Kira-kira 400-500 ml diproduksi setiap 24 jam. Tekanan LCS normal dalam posisi terlentang adalah antara 70-120 mmHg. LCS akan diresorbsi oleh villi arakhnoidalis ke dalam aliran darah di sinus-sinus duralis.
15
Anatomi Lumbal Pungsi Lumbal pungsi biasanya dilakukan pada intervertebra L2-3. Pada orang dewasa medula spinalis lebih pendek daripada kolumna spinalis. Medula spinalis berakhir kira-kira pada tingkat diskus intervertebralis antara vertebra lumbalis pertama dan kedua. Sebelum usia 3 bulan segmen medula spinalis langsung menghadap ke vertebra yang bersangkutan. Sesudah itu kolumna tumbuh lebih cepat daripada medula. Radiks tetap melekat pada foramina intervertebralis asalnya dan menjadi bertambah panjang ke arah akhir medula (konus terminalis) yang pada akhirnya terletak pada tingkat vertebra lumbalis ke-2. Di bawah tingkat ini, spasium subarakhnoid yang seperti kantong hanya mengandung radiks posterior dan anterior yang membentuk kauda ekuina. Kadang-kadang konus terminalis dapat mencapai tingkat vertebra lumbalis ke-3. Pada tindakan LP, jarum spinal ditusukkan distal dari L2 untuk mencegah trauma pada medula spinalis. Hal ini berarti jarum spinal akan masuk ke rongga subarakhnoid pada tingkat kauda ekuina yang mobile. Jarum spinal akan menembus kulit, jaringan subkutis, ligamentum supraspinal, ligamentum interspinal, ligamentum flavum, duramater, arakhnoid dan masuk ke ruang subarakhnoid.
16
Lokasi penusukan LP biasanya dilakukan pada tingkat L3-4 atau L4-5. Ruang intervertebra L3-4 kurang lebih setinggi krista iliaka posterior.
Peralatan Lumbal Pungsi Peralatan yang diperlukan untuk tindakan lumbal pungsi adalah sebagai berikut. 1. Sarung tangan steril 2. Iodine solusio 3. Alkohol 4. Kassa steril 5. Duk 6. Lidocaine (1%) 7. Syringe 5 ml 8. Jarum spinal (22G) 9. Manometer 10. Tabung LCS 17
11. Reagen Nonne dan Pandy 12. Plester Tindakan Lumbal Pungsi Agar LP berhasil posisi pasien haruslah tepat. Biasanya LP dilakukan dengan pasien pada posisi lateral dekubitus. Pasien berbaring di tepi tempat tidur membelakangi pemeriksa. Vertebra lumbalis difleksikan maksimal agar ruang intervertebra terbuka. Panggul dan bahu dipertahankan tetap pada bidang vertikal. Hiperfleksi leher tidak perlu dilakukan karena tidak akan menambah fleksi pada punggung. Setelah pasien berada pada posisi yang tepat, tentukan tempat penusukan. Ruang intervertebra L3-4 dapat ditentukan dengan menarik garis imajiner dari krista iliaka posterior kanan dan kiri. Pastikan semua perlengkapan berada dalam jangkauan tangan pemeriksa. Sesuaikan tinggi kursi dengan tempat tidur pasien untuk memudahkan prosedur penusukan. Selanjutnya pakai sarung tangan steril. Lakukan tindakan a dan antisepsis pada lokasi penusukan dan sekitarnya dengan menggunakan iodine solusio dilanjutkan dengan alkohol. Kemudian dilakukan tindakan anestesi lokal dengan lidocain 1%. Setelah itu siapkan jarum spinal. Dengan mandrein terpasang tusukkan jarum spinal pada lokasi yang telah ditentukan dengan jarum pararel permukaan tempat tidur dan mengarah ke sefalik atau ke umbilikus. Bevel dari jarum harus menghadap ke atas. Jarum ditusukkan sampai menembus dura (sampai terasa ”pop”). Setelah itu tarik mandrein untuk melihat apakah LCS sudah mengalir. Bila LCS telah mengalir segera masukkan kembali mandrein lalu siapkan manometer. Pasangkan manometer pada jarum spinal dan ukur opening pressure. Selanjutnya masukkan LCS ke dalam tabung penampung. Setelah jumlah yang diinginkan terpenuhi masukkan kembali mandrein dan tarik jarum spinal dengan 1 kali tarikan. Bersihkan lokasi LP dan tutup dengan kassa steril dan plester. Anjurkan pasien untuk tetap berbaring 1-2 jam untuk menghindari sakit kepala pasca LP.
18
II. Infeksi Susunan saraf pusat Terdiri dari : o Meningitis o Ensefalitis o Mielitis o Referensi :
Standar kompetensi spesialis saraf 2006, KNI PERDOSSI
Ropper A.H., Robert HB., Adams and Victor, Principles of Neurology, eight ed. Mc Graww Hill, 2005, 11-13, 541-542.
Scheld WM et.al., Infection of the central nervous system, third ed., 2004, 10-12
William J.W et all, Emergent and urgent Neurology, Second edition, 1999
Kompetensi •
Wood. M, Neurological Infection, 1988
Menegakkan diagnosis dan tatalaksana infeksi susunan saraf pusat
mencakup epidemiologi, etiologi, klasifikasi, patogenesis, dan patofisiologi, gambaran klinik, pemeriksaan penunjang dan interpretasinya disertai manajemen pengobatan terpadu. KETERAMPILAN Setelah menyelesaikan modul ini, peserta didik diharapkan memiliki keterampilan: • Menguasai mekanisme terjadinya infeksi susunan saraf pusat • Identifikasi, anamnesis dan diagnosis infeksi susunan saraf pusat • Menguasai tatalaksana dan pengelolaan pasien dengan infeksi susunan saraf pusat • Mengetahui efek samping obat-obatan yang digunakan pada infeksi susunan saraf pusat • Memprediksi dan mengelola komplikasi yang terjadi pada infeksi susunan saraf pusat Gambaran umum Maksud pelatihan adalah untuk memberi bekal pengetahuan praktek dan manajemen infeksi susunan saraf pusat secara komprehensif melalui pendekatan berbasis kasus (case based learning). Subyek yang dipelajari secara mandiri dan aktif oleh peserta didik adalah tentang terjadinya infeksi susunan saraf pusat, diagnosis, dan evaluasi serta terapi farmakologi.
19
Contoh kasus Kasus 1 Wanita usia 23 tahun, tidak bekerja , datang kerumah sakit dengan keluhan utama panas tinggi mendadak disertai nyeri kepala hebat.Selang berapa lama pasien gelisah, disusul dengan kejang. Ada riwayat keluar cairan dari telinga kanan, berbau dan bewarna kuning kental Pada pemeriksaan ditemukan ,kesadaran delirium, TD 120/80, suhu 39C , nadi 90 X, penafasan 20X., tampak cairan keluar dari telinga kanan, kelelenjar submandibular sedikit membesar. Pada pemeriksaan neurologi didapatkan , tanda rangsang meningeal (+), tidak ada edema papil, refleks patologi - / Kasus 2 Laki2, usia 35 tahun, pekerja bangunan, datang ke rumah sakit dengan keluhan nyeri kepala hebat, demam disertai kejang pada lengan dan gerakan kepala .Riwayat makan obat lama tidak teratur dari puskesmas Pada Pemeriksaan, kesadaran delirium, TD 110/70, suhu 38 C, nadi 84 kali, pernafasan 28 X. Pemeriksaan thorax Pulmo ronkhi diseluruh lap paru. Kel getah bening sub mandibular membesar, tampak bekas sikatrik. Pada pemeriksaan saraf kranial tampak gangguan pergerakan bolamata ( paresis n. III dan VI) Kasus 3 Laki, usia 24 tahun, tiba2 sewaktu dirumah mengalami panas tinggi,menggigau.Sebelum itu sering radang tengorokan. Langsung dibawa ke Rumah Sakit. Saat itu ada kejang. Pada pemeriksaan umum , tanda vital Suhu 39.5 C. Pada pemeriksaan neurologi Kesadaran delirium., Tanda rangsang meningeal ada. Motorik baik, saraf kranial normal. Refleks fisiologi dan patologi normal. Kasus 4 Wanita, usia 19 tahun , pelajar SMA, dibawa keluarga ke RS karena kejang dan penurunan kesadaran. Sebelumnya penderita baik, kebetulan waktu itu penderita lelah sehabis piknik bersama teman2nya.. Tidak ada riwayat kejang sebelumnya. Pada pemeriksaan umum Suhu 39.5 C, Nadi 100 X /menit.TD normal, Pernafasan 24x/ menit. C/P normal, Abdomen , H/L tidak teraba. Pemeriksaan neerologi : delirium, tanda rangsang meningeal tidak ada, motorik normal, pupil bulat , miosis, refleks lambat. Refleks fisiologi +++/+++ meninglkat, refleks patologi +/+ Kasus 5 Laki2, usia 38 tahun , baru PHK dari perusahaan penerbangan nasional, mengeluh kedua tungkai dan kaki lemah. Diawali kesemutan mulai selangkangan, semakin naik keatas dan berhenti setinggi puting susu. Demam ada, mulai susah bak, sampai keluar tanpa diketahui, bab tidak bisa udah lebih 3 hari. Pada pemeriksaan umum, tanda vital normal kecuali S i39 C. Pemeriksaan Neurolog , kompos mentis, paraparesis, hipestesia setinggi papila mamae. Refleks fisiologi +/+ menurun, Refleks patologi -/-
20
. Diskusi 1. Apakah diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis untuk melakukan pengobatan segera? 2. Apakah punksi lumbal segera dilakukan untuk menegakkan diagnosis? 3. Apakah pemeriksaan CT Scan kepala dilakukan setelah atau sebelum punksi lumbal Rangkuman a. Kompetensi pendekatan klinik dicapai dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisik neurologis, pemeriksaan penunjang, diagnosis klinik, topis, etiologi, patologi anatomi dan diagnosa banding. b. Kompetensi pengobatan dicapai dengan cara keragaman epidemiologi berdasarkan usia, punksi lumbal, empiris. Tujuan pembelajaran Identifikasi kelainan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinik Mengetahui penyebab meningitis, ensefalitis, mielitis Menjelaskan epidemiologi infeksi SSP Mengetahui komplikasi Mengetahui indikasi dan kontraindikasi pemeriksaan penunjang Mengetahui indikasi pemeriksaan CT sken Melakukan dan menjelaskan terapi infeksi SSP dan manajemen serta resistensi antibiotik o Mempertimbangkan /menganjurkan tindakan operatif o o o o o o o
Tujuan 1. Identifikasi kelainan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinik • Mengetahui Anamnesis dan pemeriksaan klinik meningitis • Mengetahui anamnesis dan pemeriksaan klinik ensefalitis • Mengetahui anamnesis dan pemeriksaan klinik mielitis Tujuan 2 Mengetahui penyebab meningitis, ensefalitis, mielitis o Mengetahui penyebab Meningitis, ensefalitis dan mielitis o Mengetahui anatomi meningen, otak, mielum dan fisiologis likuor serebrospinalis o Mengetahui jenis bakteri, viruus penyebab dan proses molekular yang terjadi sampai terjadi infeksi o Mengetahui farmakologi obat dan efek samping Tujuan 3 Menjelaskan epidemiologi meningitis tuberkulosis • Mengetahui penyebab meningitis tuberkulosis 21
• • •
mengetahui anatomi meningen dan fisiologi likuor serebrospinalis Mengetahui jenis bakteri spesifik penyebab dan proses yang terjadi mengetahui farmakologi OAT dan efek samping
Tujuan 4 Menjelaskan epidemiologi meningitis virus Mengetahui penyebab meningitis virus Mengetahui virus penyebab dan mekanisme Mengetahui farmakologi obat anti virus dan efek samping Tujuan 5 Menjelaskan epidemiologi ensefalitis virus • Mengetahui penyebab ensefalitis virus • Mengetahui patogenesis terjadinya • Mengetahui jenis2 virus • Mengetahui farmakologi obat2 Tujuan 6 Menjelaskan epidemiologi mielitis • Mengetahui penyebab mielitis • Mengetahui mekanisme terjadinya • Antisipasi kelainan otonom • Manajemen dan pengobatan • Rehabilitasi Tujuan 7 Mengetahui komplikasi infeksi SSP • Mengetahui komplikasi infeksi SSP • Menjelaskan komplikasi awal, intermediate, spesifik dan longterm • Mengetahui cara mengatasi komplikasi Tujuan 8 Mengetahui indikasi dan kontraindikasi pemeriksaan penunjang • Mengetahui indikasi dan kontraindikasi pemeriksaan penunjang • Mengetahui jenis pemeriksaan penunjang • Dapat menginterpretasikan pemeriksaan likuor serebrospinalis • Mengetahui indikasi pemeriksaan CT Sken • interpertasi hasil CT Sken • mempertimbangkan tindakan operatif pada hidrosefalus Tujuan 10 Melakukan dan menjelaskan terapi infeksi SSP dan manajemen serta resistensi antibiotik • Mengetahui manajemen dan terapi • melakukan tindakan emergensi • manajemen makanan dan cairan • pertimbangan terapi empirik • mengevaluasi hasil terapi
Kasus untuk pembelajaran 22
Seorang laki-laki umur 27 tahun, datang ke rumah sakit dengan keluhan utama penurunan kesadaran. Sejak tiga hari yang lalu pasien tampak cenderung diam dan sulit diajak bicara, tujuh hari sebelumnya pasien tampak bicara tidak nyambung tidak sesuai isi pembicaraannya. Keluhan disertai sakit kepala terasa berdenyut di seluruh bagian kepala, pandangan ganda terutama saat pasien melihat jauh. Keluhan demam sebelumnya dirasakan hilang timbul. Keluhan tidak disertai kejang, bicara pelo, mulut mencong, ataupun kelemahan anggota gerak sesisi. Lebih kurang 3 bulan terakhir pasien mengeluh batuk-batuk lama yang tidak kunjung sembuh, dan disertai penurunan berat badan. Riwayat narkoba sebelumnya tidak ada a. • • • • • • • • • • •
Hasil pemeriksaan fisik adalah sebagai berikut : kesadaran somnolen Tekanan darah : 110/70 mmHg Frekuensi nadi 105 x/ menit Suhu 37,9 C Respirasi 21 x / menit Konjunctiva anemis, sklera tak ikterik Jantung dalam batas normal Paru-paru : ronki basah apeks kedua paru, whezing tidak ada Abdomen supel, hepar dan lien tak teraba Ekstremitas tidak ada edema Status neurologis Glasgow Coma Scale : E 3 M 5 V 3 Status mental : belum dapat dinilai Tanda rangsangan meningeal positif Pupil isokor, refleks positif/positif lemah Nervi kranialis : paresis N VI kiri Motorik : kesan hemiparesis tidak ada Sensorik belum dapat dinilai Refleks fisiologis ++/++ Refleks patologis -/ Klonus – Saraf otonom dalam batas normal
b. • • •
Hasil pemeriksaan penunjang : Pemeriksaan laboratorium : darah perifer lengkap, hitung jenis, laju endap darah Pemeriksaan foto thoraks Pemeriksaan CT Scan otak dengan kontras
c. • • •
Monitoring Kesadaran Tanda vital Defisit fokal
Diskusi 23
1. 2. 3. 4. 5.
Apakah keluhan demam, sakit kepala, dan tanda perangsangan meningeal merupakan tanda klinis ptognomonik pada infeksi susunan saraf pusat Apakah kelumpuhan saraf kranialis dapat terjadi pada meningitis tuberkulosis Apakah diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan penunjang Berapa lama terapi OAT diberikan penderita dengan tuberkulosis otak Komplikasi apa yang dapat terjadi pada tuberkulosis otak
Rangkuman a. Kompetensi pendekatan klinik dicapai dengan cara : • Anamnesis • Pemeriksaan fisik/neurologis • Diagnosis banding • Diagnosis (klinis, topis, etiologi, patologi-anatomi) • Pemeriksaan penunjang • Sistem rujukan b. Penilaian kompetensi • Hasil observasi selama alih pengetahuan dan ketrampilan
24
Materi Baku MENGITIS SEPTIK AKUT PENDAHULUAN Infeksi susunan saraf pusat dapat mengenai leptomeninx (meningitis), otak (ensefalitis) dan medula spinalis (mielitis). Seluruh infeksi ini dapat disebabkan oleh kuman non spesifik, spesifik, parasit atau jamur. Selain itu infeksi dapat terjadi karena “toxic mediated syndrome”, karena toksin bereaksi spesifik terhadap jaringan. Keadaan ini disebabkan oleh kuman Clostridum tetani (tetanus) atau Clostridum botulinum (botulismus). Pada kesempatan ini penjelasan dibatasi hanya mengenai infeksi leptomeninx akibat kuman non spesifik yang menyebabkan terjadinya meningitis septik. Umumnya jenis meningitis ini terjadi akut disertai perubahan sel dan kimiawi cairan likuor. Sindroma klinik ini dihubungkan dengan profil likuor serebro spinalis yang akan menentukan diagnosis kerja untuk terapi empiris. Biasanya pengobatan dilakukan atas dasar scientific guess dengan melihat usia, temuan klinis dan data epidemiologis. Jadi sebelum jarum LP menyentuh lumbal penderita, pengobatan segera dilakukan karena akan mempengaruhi prognosis penderita. Oleh karena itu alasan menunggu hasil LP/pemeriksaan mikrobiologis tanpa memberikan antibiotik yang memadai dalam pengobatan meningitis tidak dapat diterima. Sebelum ditemukan antibiotik angka kematian sangat tinggi ( > 90 %) dan menjadi 30 % setelah ada antimikroba. Walaupun demikian penemuan antibiotik baru ternyata tidak memperbaiki prognosis karena selain peranan kuman tampaknya proses imunologis juga berperan terhadap efektifitas pengobatan. Walaupun mekanisme pasti terjadinya komplikasi tidak sepenuhnya dimengerti, namun beberapa bukti mengatakan bahwa organisme dan produk bakteri, respon inflamasi pejamu dan perubahan fisiologi normal otak akibat infeksi menjadi dasar terjadinya komplikasi meningitis septik akut berupa proses akut, intermediate/spesifik dan jangka panjang dengan skwele. FAKTOR RISIKO MENINGITIS SEPTIK AKUT Pada dewasa, gangguan imun merupakan faktor resiko penting. Defek antibodi atau fungsi komplemen meningkatkan resiko infeksi dengan organisme yang encapsulated seperti Streptokok pneumoni, Hemofilus influenza dan Neisseria meningitidis. Sementara itu defek pada cells mediated immunity (melibatkan T sel atau makrofag) menyebabkan infeksi dengan intraselular patogen seperti Listeria monositogenes. Defek neutrofil menyebabkan infeksi dengan organisme gram (-) tertentu terutama Pseudomonas aeruginoenase dan enterobacteriase. Infeksi parameningeal seperti sinusitis, otitis, empiema subdural/epidural dan infeksi paru dapat menjadi sumber meningitis. Faktor-faktor risiko tertentu seperti pemakaian shunting, endokarditis, cedera kepala terbuka mempunyai kemungkinan terjadinya meningitis Stapilokok. Pasien yang memakai respirator mempunyai resiko meningitis karena spesies proteus, pseudomonas, serratia atau florobakterius. Sedangkan cedera kranio-serebral terbuka, sepsis, infeksi parasit (strongiloidiasis) mempunyai resiko menjadi meningitis karena agen gram negatif seperti Klebsiela, E.coli dan Pseudomonas. 25
PATOGENESIS RESPONS IMUN Tanpa menggunakan antibiotik, angka mortalitas meningitis septik akut akan meningkat, dan infeksi ini menyebabkan kerusakan jaringan SSP sebagai akibat respons imun dan radang pada pejamu. Bakteri penyebab meningitis mempunyai dinding sel dan komponen membran luar yang mempunyai potensi memacu radang. Semuanya mempunyai efek pada monosit, lekosit, sel endotelial dan astrosit yang menyebabkan sel-sel ini menghasilkan sitokin proinflamatori dan kemokin yang memperlihatkan aktivasi dengan adesi molekul. Citokin pro radang seperti TNF α dan interleukin 1β (IL 1β) mempunyai implikasi pada percepatan kaskade radang yang mengakibatkan kerusakan Sawar Darah Otak (BBB), inflamasi meningeal, edema serebral, peningkatan tekanan intrakranial dan menurunnya perfusi serebral. Implikasi dari skenario patofisiologi ini adalah pengobatan bersama menggunakan antibiotik dan obat tambahan lain. Sehingga disarankan untuk menggunakan terapi ajuvan seperti kortikosteroid, anti radang/pengaturan sitokin, blokade perlengketan dan aktivasi molekul, antioksidan, nitric-oxide synthase inhibitor dan terapi anti radang lain diberikan bersama antibiotik. Faktor-faktor Pejamu yang mengkontribusi kerusakan pada Meningitis Septik Akut - Sitokin • proinflamatori : TNFα, IL 1β, IL6 • chemokin : IL 8 - Spesies oksigen reaktif • NO • Superoxide • Peroxynitrite - Asam amino excitatory • glutamat • glisin • aspartat • taurine • alanin -
Metabolik as. Arakhidonat • Prostaglandin
-
Kinin • Bradikinin
-
Endothelin Protease
PRINSIP PEMBERIAN ANTIBIOTIK Beberapa hal yang menjadi pertimbangan pemberian antibiotik pada penderita meningitis septik akut adalah : 26
1. Terapi segera dengan antibiotik yang bakterisid secepatnya, dilakukan sebelum ada hasil likuor. 2. Semua obat yang digunakan untuk meningitis ini mempunyai rasio toksik-terapeutik yang tinggi. Setelah itu dilakukan monitor level di serum dan likuor. 3. Obat harus mudah penetrasi ke likuor Beberapa faktor menentukan penetrasi likuor adalah : - Kelarutan lipid Kelarutan yang tinggi dalam lipid akan meningkatkan level obat dalam likuor. Penetrasi aminoglikosida buruk. - Ionisasi Molekul nonpoler menembus membran lipid lebih baik dari pada molekul ionized. Obat-obat asam seperti penisilin dan sefaloporin di ionisasi pada PH plasma, karena itu penetrasi buruk ke likuor, sedangkan obat-obat seperti trimetoprin dan klorampenikol, un-ionized pada PH plasma, kelarutan lipid tinggi dan penetrasi baik. - Gradient PH Normal gradient PH antara plasma (PH = 7,4) dan likuor (PH = 7,3) kecil. Apabila PH gradient meningkat, penetrasi obat meningkat. Penetrasi obat menurun selama asidosis metabolik sistemik dan meningkat pada meningitis bila PH likuor menurun karena lepasnya metabolit asam. - Pengikatan protein Senyawa protein yang mempunyai ikatan tinggi seperti sulfonamid, penetrasi ke likuor buruk. Generasi ke – 3 sefalosporin termasuk pengecualian. - Susunan dan ukuran molekular Makin luas molekul, transportasi melintasi sawar darah otak lambat, seperti aminoglikosida. - Transport aktif Pleksus khoroideus aktif mentransport beberapa asam organik dan glukosa pada likuor, seperti penisilin. - Inflamasi meningeal Merupakan faktor utama peningkatan penetrasi obat di likuor. Perubahan permeabilitas kapiler (meningkat) akan mengubah transpot aktif. Transport ampisilin meningkat (2 – 5) kali selama meningitis. 4. Konsentrasi obat Penisilin dan aminoglikosida, memerlukan konsentrasi (20 – 100) x MIC (minimum inhibitory consentration) diperlukan untuk membunuh bakteri. 5. Pada awal terapi, bila penyebab tidak diketahui, digunakan kombinasi obat, tetapi kombinasi antara bakteriostatik & bakterisid tidak tepat karena terjadi peningkatan angka kematian dari 30% menjadi 79% (kombinasi tetrasiklin dan penisilin), sebaliknya kombinasi antara penisilin (bakterisid) dan klorampenikol (bakteriostatik) sangat efektif. 6. Antibiotik diberikan sesuai dengan sensitifitas. 7. Pemberian antibiotik i.v. selama 10 hari untuk golongan streptokok dan listeria monocytogenes. Selama (2-3) minggu, untuk entrobaktericea. 8. Kuman pneumokok yang resisten penisilin, dianjurkan vankomisin, rifampisin, sefotaksin, sefritriakson dan seftazidim. PEMILIHAN ANTIBIOTIK
27
Meningitis septik akut merupakan emergensi, destruksi segera bakteri di mening dan likuor perlu karena dapat menurunkan angka kematian. Oleh karena pemberian obat, dosis yang tepat yang mempunyai aktivitas bakterisid dapat dipakai sesegera mungkin. Beberapa terapi yang di rekomendasikan adalah : 1. Orang dewasa dengan meningitis karena pneumokok, meningokok dan listeria diberikan Penisilin G (18 –24) juta unit i.v / 4 – 6 jam. Ampisilin (12 – 18 gr/hari i.v) atau klorampenikol (4 – 6 gr/i.v) merupakan terapi alternatif. Pada anak-anak dosis ampisilin (300 – 400 mg/kg/hari). Selain itu dapat diberikan, sefalosporin generasi ke-3, sefotaksim (2gr i.v setiap 4 jam) atau sefritriakson (2gr i.v/dosis tunggal) efektif untuk meningokok & pneumokok terapi kurang baik untuk listeria. Trimetoprin 160 mg/ sulfa metoksazal 80 mg i.v/6 jam) atau klorampenikol digunakan untuk listeria meningitis. 2. Untuk anak-anak diatas 2 bulan meningitis karena H. Influenza atau yang penyebabnya tidak diketahui diberikan 200mg/kg/hari/4-6 jam atau 100mg/kg/hari sefritriakson dengan dosis maksimum 2 gr/hari/dosis tunggal. Regimen lama yang diberikan adalah ampisilin (300 – 400) mg/kg/hari i.v ditambah dengan klorampenikol (75-100)mg/kg/hari i.v. Alasan menggunakan kombinasi ini adalah bahwa 15 – 25% H. influenza resisten terhadap ampisilin, dan pernah dilaporkan juga H. Influenza yang resisten klorampenicol. Untuk mencegah interferensi kedua obat ini, ampisilin diberikan 30 menit sebelum klorampenikol. Pada dewasa dengan meningitis H Influenza, dosis ampisilin (12 –18 gr/kg klorampenikol (4 – 6gr/hari) i.v dan sebagai alternatif di gunakan sefotaksim atau seftriakson. 3. Penderita dewasa dengan meningitis pneumokok/meningokok atau H. Influenza yang alergi penisilin dapat diberikan hanya klorampenikol 4 – 6gr /hari atau sefalosporin generasi ke 3 4. Meningitis karena basil enterik gram (-) diberikan sefalosporin generasi ke 3 atau kombinasi antibiotik. Terapi dimulai dengan sefotaksim (2gr.i.v/4 jam), seftazidin (2gr/i.v/6jam) atau sefritriakson 2gr/hari dan aminoglikosida (gentamisin atau tobramisin 3 – 5 mg/kg/hari). Pemberian gentamisin intratekal (8 – 10 mg)/hari dapat digunakan. Apabila bakteri dapat di identifikasi, gentamisin atau tobramisin parentral/intratekal dapat bersama seftazidim trimetoprin /sulfametoksazal digunakan untuk meningitis gram (-) (kecuali Pseudomonas aeroginosa) bila penyebab resisten terhadap selfalosporin generasi ke 3. 5. Meningitis karena stopilokok aureus diterapi dengan penisilase resisten penisilin. Nafsilin atau oxasilin (12 –18) gr/hari. Bila alergi penisilin diberikan vancomisin i.v (1gr/8 –12 jam) dan intratekal (10 – 20 mg/hari). 6. Apabila etilogi meningitis tidak jelas, pilihan obat pada dewasa adalah ampisilin (12 – 18)gr/hari atau penisilin (18 – 24) juta unit/hari ditambah sefotaksim atau sefritriakson. Bila alergi penisilin diberikan klorampenikol (75 – 100)mg/kg/hari. 7. Apabila terdapat fokus infeksi di sinus/mastoid, atau shunt yang infeksi, osteomielitis kranial. Drainage dilakukan dan kalau perlu shunt dapat diganti. 8. Pasien meningitis ini tidak perlu antibiotik melebihi 10 hari kecuali bila terdapat fokus infeksi atau penyebab meningitis adalah P.aeruginase, listeria monocytogenes (diberikan 3 minggu untuk mencegah relaps. Antibiotik diberikan dosis penuh parentral (i.v). 9. LP ulang tidak perlu untuk menentukan efektifitas terapi bila penderita baik dan kuman patogen telah di identifikasi. Pemeriksaan likuor pada akhir terapi meningitis P.aeruginosa, perlu melakukan punksi lumbal secara priodik menentukan respons terapi dan memastikan kuman. Selain itu pemeriksaan ulang khusus indikasi pada meningitis akibat komplikasi “shunt”. 28
10. Meningitis pasca trauma sering kali terjadi sebagai komplikasi neurotrauma. Insiden berkisar antara (0.2 – 17,8 %). Sebagai faktor risiko meningitis pasca trauma adalah kebocoran likuor dan fraktur basis kranii dengan manifestasi rhinorrhoe dan otorrhoe. Terapi profilaksis untuk fraktur basis kranii ini masih kontroversial. Walaupun demikian beberapa studi menganjurkan pemberian antibiotik sebagai profilaksis. Dianjurkan pemberian sefriakson, sefotaksim atau piperasilin pada cedera kepala tembus, impresi fraktur, perawatan lama (prolonged hospital stay), infeksi nosokomial dan post operasi yang disebabkan basil gram negatif. Piperasilin diberikan 3 – 4 gr/i.v/4 – 6 jam. 11. Telah dilakukan test kepekaan piperasilin dengan “disk 100 mgr”. Zona diameter 23 mm atau lebih menunjukkan kepekaan piperasilin. Kepekaan ini dipertajam dengan pelarutan menggunakan sistim mikro-titer. Terapi penggunaan piperasilin loading dose 2gr i.v selama 20 menit diikuti continous infuse (320 – 436 mg/kg BB) selama 24 jam digunakan pada meningitis septik akut. 12. Piperasilin merupakan ureido penisilin sebagai derivat ampisilin. Ureido penisilin ini dirusak β-lactamase dari Stapilokok aureus, E.Coli, Klebsiella dan Bacteroides. Piperasilin mempunyai aktifitas terbaik melawan Streptokok, Neisseria, Hemofilus dan paling afektif terhadap Pseudomonas aeruginosa. Jadi dapat digunakan untuk meningitis akut dengan perkiraan penyebab kuman diatas. 13. Sefalosporin generasi ke 4 (sefpirom) merupakan broad spectrum mempunyai aktivitas sama dengan seftriakson melawan kuman patogen meningeal. Obat ini dilaporkan mempunyai aktivitas yang baik terhadap penisilin resisten strain streptokok pneumonia. Jika sefpirom dikombinasi dengan ampisilin, penetrasi ampisilin pada likuor cerebro spinal akan meningkat dan tidak demikian halnya bila diberikan pada generasi lain. Dari hasil evaluasi difusi sefpirom pada pasien meningitis yang menerima terapi konvensional. Sefpirom single dose 2 gr diinfuskan lebih dari 5 menit pada hari ke 2-3 setelah onset yang disebabkan oleh S.pneumonia, N.meningitis, L. monositogenes. Dilakukan klasifikasi berdasarkan waktu 2,4,6 dan 12 jam setelah infus ternyata cefpirom berdifusi ke dalam Lss bila meningen mengalami inflamasi oleh karena itu sefpirom mempunyai potensi untuk terapi meningitis bagi organisme yang peka. Terapi antibiotik empiris untuk meningitis akut (menurut American Academy of Neurology 1998) - Seftriakson atau sefotaksim. - Tambahan ampisilin untuk bayi , 3 bulan dan dewasa diatas 50 - Untuk imunosupresi gunakan seftazidim + ampisilin. - Dewasa dengan resisten S. pneumonia tambahkan vankomisin - Untuk trauma kepala/tindakan bedah saraf gunakan seftazidim + vankomisin - Untuk kecurigaan listeria tambahan gentamisin - Pada neonatus digunakan ampisilin + gentamisin Terapi diberikan se-kurang-kurangnya 7 hari untuk N. meningitidis dan H. Influenzae, (10 – 14) hari untuk Streptokok pneumonia, (14 – 21) hari sedangkan untuk Listeria monocytogenes dan 21 hari untuk basil gram negatif.
29
TERAPI TAMBAHAN 1. Steroid Terdapat bukti bahwa sekuele neurologi terjadi akibat kerusakan otak karena efek toksik bakteri di LSS terutama endotoksin dari hasil gram (-) dan produk toksik inflamasi sekunder. Kortikosteroid diberikan untuk mengurangi intensitas inflamasi dan karena itu menurunkan insidensi komplikasi neurologi. Pada anak-anak terbukti bermanfaat sedangkan pada dewasa masih dipertanyakan. Terdapat 2 penelitian, studi di Mesir menyarankan pemakaian steroid sedangkan studi di Chicago tidak. Tetapi beberapa ahli merekomendasikan pemberian rutin prednison 40-80 mg/hari pada dewasa yang non imunosupresi dengan meningitis septik akut. Dosis besar dianjurkan sebagai terapi edema serebal sedangkan pemberian steroid sebagai maintenans dilakukan pada kecurigaan nekrosis adrenal (Sindroma Waterhouse Friderichfeen). Gambaran Meningitis septik akut yang tidak perlu kortikosteroid atau diberikan dengan hatihati. - Onset subakut/kronik - LSS cairan atipik • Sedimen gram (-) • Test antigen bakteri (-) • Predominan sel mononuklear • Eosinofil atau limfosit atipik • Level glukosa (n) atau mendekati normal • Kultur bakteri menunjukkan pertumbuhan (-) selama inkubasi 24 jam. - Diagnosis partially treated meningitis - Imunodefisiensi - Pemakaian Vankomisin (kortikosteroid menghambat antibiotik masuk LSS). - Adanya kecurigaan infeksi jamur, infeksi bakteri organ lain atau diabetes mellitus berat. 2. Terapi Imunoglobulin Faktor virulensi bakteri pada Meningitis septik akut adalah : - Kapsul polisakharida bakteri mempunyai konsekuensi adesi mukosa, invasi likuor serebro spinalis dan evasi dari jalur alternatif komplemen. - Dinding sel lipopolisakharida bakteri mempunyai konsekuensi inflamasi mening, aktivasi lekosit, penglepasan sitokin (TNF, IL) dan kerusakan sawar darah otak. Pada Meningitis septik akut, immunoglobulin digunakan segera untuk menetralkan yang terjadi karena penggunaan antibiotik bakteriolisis. Kortikosteroid dan anti radang lain bekerja tidak pada tingkat endotoksin tetapi pada tingkat kaskade yang dipacu oleh pelepasan endotoksin. Apabila terapi immunoglobulin digunakan sebagai ajuvan, harus menetralkan endotoksin dengan cepat untuk mem-blok endotoksin sebelum memasuki sawar darah otak. Intra vena Imunoglobulin (IVIG) dosis besar dengan interval pendek untuk menjaga konsentrasi plasma anti-endotoksin spesifik. Pada salah satu clinical trial diberikan 150 mg/kgBB selama 3 hari selang 12 jam. Kecepatan infus (40 – 60 ) tetes per jam. 30
TERAPI INTRA-TEKAL MENINGITIS SEPTIK AKUT Oleh karena konsentrasi antibiotik relatif rendah pada pemberian intravena, maka dicoba untuk melakukan penyuntikan intra-tekal (langsung injeksi subarakhnoid). Indikasi penyebab : 1. Meningitis gr (-). Bila sensitif terhadap ampisilin atau sefalosporin generasi ke 3, dosis bakterisid dapat dicapai dengan pemberian i.v. Strain-strain tertentu (Pseudomonas, serratia, Acinetobakteri, protens biasanya resisten terhadap antibiotik diatas). Dalam keadaan ini dapat digunakan aminoglikosida intratekal. 2. Meningitis Stapilokok Bacitrasin (5000-10000 unit) dapat diberikan. 3. Meningitis enterokokkal (Streptokokkus faecalis). Kuman ini sensitif ampisilin. Tetapi perlu kombinasi dengan gentamisin intratekal bila respons tidak adekuat. Di samping itu bila ampisilin resisten strain diterapi dengan vankomisin. TERAPI PROFILAKTIK Diberikan pada kontak - Keluarga - Pegawai RS yang langsung merawat penderita. Obat yang diberikan adalah : 1. Jika sensitif sulfonamid dapat digunakan sulfadiazin 1 gr. peroral/12 jam pada dewasa, 500 mg/12 jam (usia 1-12 tahun) dan 500 mg (0-1 tahun). 2. Bila sensitif terhadap organisme yang tidak diketahui terapi resisten sulfa, maka diberikan rifampisin 600 mg/peroral/12 jam untuk 4 dosis (dewasa), 10 mg/kg/(anak-anak) 1 tahun) dan 5 mg minosiklin (200 mg) per oral kemudian 100 mg per oral /12 jam/5 dosis. 3. Kontak dekat. Orang lain yang kontak langsung dengan penderita dapat diberikan procain penisilin 600.000 u i.m/8 jam untuk 6 dosis kemudian penisilin v 500 mg per oral/8 jam untuk 8 hari. Komplikasi Meningitis Septik Akut Pada meningitis septik akut, komplikasi dapat terjadi : - Akut (terjadi hari 1 dan kedua perawatan) dan spesifik - Intermediate (manifest selama perawatan dan menetap setelah dipulangkan) - Lanjut dengan gejala sisa infeksi Komplikasi akut : 1. Edema otak Pada penelitian eksperimental (kelinci), edema terjadi pada meningitis karena escheria coli yang diobati dengan antibiotik bakterisid secara cepat dan menyebabkan konsenstrasi endotoksin dalam likuor dihubungkan dengan tingkat edema. Studi ini menerangkan bahwa 31
pelepasan cepat endotoksin oleh antibiotik litik mempercepat disfungsi otak. Efek yang sama juga terjadi pada fragmen dinding sel pneumokok. Edema menyebabkan peninggian tekanan intrakranial. Pada keadaan ekstrim terdapat tandatanda impending herniasi (anisokor, pola pernafasan abnormal, refleks pupil tidak ada). Bila ringan menimbulkan gejala subjektif nyeri kepala berat dan penurunan kesadaran. 2. Peningkatan tekanan intrakranial Biasanya disebabkan oleh kegagalan absorpsi likuor serebro-spinalis karena akumulasi fibrin dan sel radang sekeliling vili arakhnoid dan membaik dengan terapi. Peningkatan tekanan intrakranial dapat terjadi karena adanya edema otak atau hidrosefalus. Edema terjadi pada proses difus yang disebabkan produk bakteri dan lekosit yang akan meningkatkan permeabilitas kapiler (edema vasogenik) dan bersama dengan integritas membran sel (edema sitotoksik). Edema otak dapat fokal, atau sekunder karena terjadinya arteritis atau tromboplebitis venosa kortikal dengan disertai iskemia dan infark otak. Terapi - Tekanan umumnya menurun cepat bila responsif terhadap antibiotik - Bila pasien afebril, sadar tanpa tanda fokal dapat diperkirakan peningkatan CSF membaik - Tetapi peningkatan tekanan intrakranial (ICP) pada meningitis adalah konservatif - Bradikardia dan peninggian tekanan darah (refleks cushing) dapat menjadi pertanda peningkatan ICP. Tetapi bila terjadi hipotensi dan syok seringkali karena meningkatnya ICP. - Keseimbangan cairan Diberikan perfusi adekuat 1500 cc NaCl 0,9 % /hari. Batasi pemberian cairan berlebihan. Bila pasien dapat mengatur cairan serebri, cairan dibatasi < 2000 cc intake total sehari (per oral + i.v.) sampai tekanan CSF tidak meningkat - Steroid Dexametason 10 mg.iv. , dilanjutkan dengan (4-6) mg.iv, setiap 6 jam sampai ICP terkontrol. Dosis diturunkan setelah (5-10) hari. - Zat hiperosmolar Manitol 1,0 –1,5 gr/kg pada keadaan peningkatan ICP ↑ karena bahaya terjadinya herniasi transtentral. Dosis diturunkan 0,25-0,5 gr/kg 2 s/d 4 jam interval. - Furosemid (0,5 mg/kg) digunakan sebagai kekurangan Na & Air dari atas akan mengurangi pembentuk likuor serebro-spinalis. 3. Abnormalitas Aliran Darah Otak (CBF) Mekanisme terjadi karena melibatkan beberapa faktor, termasuk penurunan CPP disebabkan oleh hipertensi intrakranial, hipotensi sistemik atau trombus antara vaskulitis serebral, vasospasmus atau trombosis atau kemungkinan penurunan metabolisme otak. Ditambahkan, hilangnya autoregulasi cerebrovaskuler dengan menurunnya CPA. Cerebral Perfusion Pressure (CPP) Iskemia serebral ditandai dengan menurunnya kesadaran. Terapi Tidak ada spesifik terapi untuk memperbaiki aliran darah Komplikasi spesifik 32
1. Syndrome of Inappropriate Antiduretic Hormon Release (SIADH). Sindrom ini terjadi kira-kira pada 30 % penderita Meningitis akut pada anak-anak. ADH dilepaskan oleh neuron pada Nucleus Supraoptik hipotalamus dan disimpan dalam lobus posterior kelenjar hipofise. Dalam keadaan tidak normal, hormon ini dilepaskan untuk menurunkan volume sirkulasi dan bekerja untuk meningkatkan absorpsi air bebas dari duktu di nephron. Pada beberapa pasien meningitis, mungkin dilepaskan dalam jumlah banyak, menyebabkan intoksikasi air. Terjadi biasanya pada 24 jam pertama. Pasien memperlihatkan oliguri biarpun tidak ada tanda klinis dehidrasi. Seluruh pasien dengan meningitis seharusnya diperiksa elektrolit urine dan osmolalitas. SIADH menampakkan hiponatremia disertai osmolalitas urin lebih besar dari osmolalitas serum. Terapi Bila ada SIADH, pemberian cairan dibatasi (2/3 kebutuhan maintenans). Monitor serum elektrolit setiap 6 jam sampai natrium serum kembali normal. Setelah itu pemberian cairan dapat seperti biasa. 2. Seizure (Kejang) Terdapat pada (15-25 %) penderita Meningitis, dapat fokal/umum. Umumnya seizure terjadi awal infeksi dan mungkin karena peningkatan tekanan intrakranial atau efek iritatif infeksi dan karena respons radang. Bila kejang terjadi terlambat maka dicurigai ada lesi masa empiema. Seandainya terjadi kejang dalam 24 jam pertama biasanya prognosa tidak buruk, tetapi bila menetap atau refrakter antikonvulsan, menjadi petunjuk kelainan otak serius. Apabila terjadi kejang fokal kemungkinan karena peninggian tekanan intrakranial atau akibat adanya infark arteri/vena. Seizure merupakan pertanda komplikasi sering infeksi susunan saraf pusat seperti : - ensefalitis bakteri - trombosis vena kortikal dengan infark venosa - efusi subdural /empiema - vaskulitis - abses otak - abnormalitas metabolit misalnya : Hiponatremia karena SIADH. 3. Ventrikulitis Biasanya terjadi pada 30 % pasien meningitis. Kita curiga ventrikulitis bila seizure sukar untuk dikontrol. Pada keadaan ini sebaiknya dibuat kultur Lss. Komplikasi Intermediat 1. Efusi subdural Biasanya pada anak-anak pada hari ke 5 – 7 perawatan. Pasien mengalami panas yang turun naik disertai penurunan kesadaran. Kadang-kadang disertai tanda peninggian intrakranial dengan akibat kelumpuhan saraf kranial dan hilangnya upward gaze. Seluruh gejala ini harus dibedakan dengan empiema subdural/epidural menggunakan CT/MRI Terapi 33
-
Observasi, efusi ini jarang menyebabkan masalah klinik, tapi seringkali diragukan dengan kelainan intrakranial lain. Apabila terdapat peninggian tekanan intrakranial, dilakukan evaluasi pemberian cairan
2. Empiema subdural /epidural Jarang terjadi (1-2)%. Terjadinya empiema karena penetrasi organisme melalui membran arakhnoida atau durameter. Lebih sering terjadi akibat infeksi streptokokkus pneumonia. Gejala dan tanda kelainan ini sama seperti efusi subdural dengan gejala kejang dan kelumpuhan sesisi. Bila diagnosis tegak, dilakukan tindakan bedah dan pemberian antibiotik yang tepat. 3. Panas (fever) Panas pada penderita Meningitis septik akut akan menurun setelah hari 3,4 pengobatan. Bila terjadi panas sekunder maka harus dicurigai penyebab lain. 4. Abses otak Merupakan komplikasi yang jarang kecuali bila disebabkan oleh Citrobacter sp. (50% kasus) atau Listeria. Kelainan ini timbul segera pada minggu kedua penyakit tetapi paling sering setelah minggu ke 3 dan ke 4. Penderita abses otak akan panas dengan tanda dan gejala lesi massa intrakranial. Terapi dan tindakan operatif dipertimbangkan dengan melihat lokasi/besarnya abses. Patofisiologi terjadinya abses diawali dengan edema dan kerusakan jaringan otak (serebritis). Pada keadaan ini pengobatan antibiotik sangat bermanfaat tanpa tindakan operasi. Tetapi apabila lebih dari 4-9 hari pusat infeksi membentuk pus semi likuid dan jaringan otak nekrotik. Pada keadaan ini pengobatan antibiotik tidak berhasil. Selanjutnya terjadi encapsulasi jaringan gliotik dan membentuk abses bebas dengan gambaran penyangatan (ring enhancement) pada CT Sken. Tanda dan Gejala Nyeri kepala ……………………………… Perubahan mental ……………………….…… Demam ………………….………………. Hemiparesis……………………………………. Kelumpuhan saraf kranial ………………… Kejang ……………………………………….. Nausea & Muntah …………………………. Kaku Kuduk ………………………………….. Edema papil ………………………………. Aphasia………………………… ……….
frekuensi 75 % 50 % 40 – 80 % 30 % 15 – 30 % 25 – 45 % 20 – 50 % 25-30 % 25 – 30 % 10 %
34
5. Hidrosefalus a. Hidrosefalus komunikans, merupakan komplikasi meningitis septik akut karena gangguan absorpsi likuor serebro spinalis karena meningen menebal dan fibrotik setelah peradangan. Sindroma ini dapat terjadi segera atau setelah dipulangkan. Umumnya terdapat tanda peninggian intrakranial. Keadaan ini bukan merupakan kedaruratan dan dapat membaik spontan tanpa “shunting”. b. Hidrosefalus non komunikans Jarang terjadi karena komplikasi meningitis septik karena umumnya yang terjadi adalah obstruksi parsial. - Obstruksi total “ventricular outflow” jarang.Tetapi bila ada obstruksi total ini merupakan tindakan emergensi. Bila pada pemeriksaan terdapat koma, tanda Babinski bilateral dan paralisis “upwward gaze” dapat membantu menegakkan diagnosis yang dapat dikonfirmasi dengan CT Scan/MRI. Kadang-kadang papiledema tidak ada. - Obstruksi parsial pada akuaduktus atau ventrikel IV “outflow” bukan tindakan emergensi. Pada kondisi ini perlu diperhatikan obstruksi total. Komplikasi lanjut dan gejala sisa infeksi 1. Kegagalan fungsi kognitif Dapat terjadi ringan (“learning disability”) sampai kelainan global. Usia merupakan determinan kritis terhadap keluaran, skuele serius terjadi pada usia muda. 2. Deafness (Tuli) Kejadian berkisar antara (5-25) %. Tidak diketahui pasti apakah cedera karena kerusakan vaskuler N VIII atau straktur telinga dalam. Biasanya terjadi pada awal-awal kejadian, tetapi diketahui setelah dipulangkan. 3. Handicap (cacat) motorik Dapat terjadi paresis saraf kranial kuadriplegia. Kelemahan terjadi pada kelompok otot-otot tertentu seperti ptosis, hemiparesis/plegia. Semua kelainan ini bila diketahui setelah dipulangkan, umumnya menetap sampai dengan 1 tahun follow up. KESIMPULAN Meningitis septik akut merupakan problema penting karena tingginya angka kematian dan adanya skuele. Banyak kasus terjadi pada usia muda sehingga akan menurunkan produktivitas kerja yang akan mempengaruhi ekonomi keluarga. Dewasa ini, pengertian tentang patogenesis terjadi cedera otak karena infeksi belum dimengerti sepenuhnya. Beberapa penelitian pada binatang dan trial klinik mencoba menerangkan secara lebih mendasar studi masa depan. Dilakukan penelitian pada bakteri dan faktor-faktor pejamu, metabolisme asam arakhidonat, sitokin, neuro-transmiter eksitatorik dan konsekuensi patofisiologis dari infeksi dengan tujuan pemberian pengobatan tambahan sehingga hasil terapi akan lebih nyata.
35
MENINGITIS SEPTIK AKUT PEMERIKSAAN PENUNJANG Timbul akut / subakut Pemeriksaan darah Sakit kepala Darah tepi : Lekositosis Kaku Kuduk, Kernig (+), LED ↑ Brudzinski (+) Gangguan Demam (40° - 40,5°) pembekuan/perdarahan Muntah Ureum, kreatinin (bila Letargi / kesadaran akan menggunakan menurun cephalosporin) Kejang umum / fokal Pemeriksaan LCS Lekosit ↑ (> 1000 / UL, Pada S pneumococcus 90% PMN) gejala klinis lebih berat Protein > 150 mg / dl dibangdingkan meningococcus / H Glukosa < 30 mg / dl influenza (oleh karena Pewarnaan Gram mengeluarkan toksin a.l. Untuk identifikasi kuman, hemolisin, imunoglobulin A hasil (+) bila > 103 CFU protease, neuroaminidase (Colony Forming Unit)/cc dan hyaluronidase) LCS Perubahan kesadaran dari Lactat LCS stupor / koma Untuk membedakan Kejang berulang bakteri/virus 1. Infeksi bakteri : kadar Defisit neurologis terjadi laktat mendekati 30 pada awal stadium mg/dl 2. Infeksi virus : < 25 mg / dl CRP : (+) ada inflamasi meningeal bila > 100 mg / ml Brain CT: bila ada tanda neurologis fokal/papil edema GEJALA KLINIS
TERAPI KHUSUS Pilihan I : Cephalosporin generasi III − Cefotaxim 6 x 2 gr IV − Ceftriaxone 1 x 2 gr IV Selama 15 hari → Meningokok, pneumokok Pilihan II : Untuk Listeria monocytogenes dapat diberikan cotrimoxazole dengan dosis 10 mg/kgBB/hari selama 12 hari Dexamethason (0,15 mg/kgBB) ± 4 hari Manitol / glycerol untuk menurunkan TIK Rifampisin dapat diberikan ± 2 hari (pada kasus pneumokok yang resisten terhadap βlactam), dosis 20 mg/kgBB/hari
36
MENINGOKOKUS MENINGITIS GEJALA KLINIS Ruam eritema makulopapular difus pada tubuh dan ekstremitas bawah Petekiae dapat dijumpai pada : Kulit, membrane mukosa atau konjungtiva tetapi tak pernah dijumpai pada kuku, memudar dalam 3 – 4 hari. Terdapat pada 50 – 75% anak Pada septikemia meningokok fulminan dapat dijumpai sindroma Waterhouse Friderichsen, ditandai dengan: Demam mendadak Petekiae yang besar pada kulit dan membran mukosa Kolaps kardiovaskuler DIC Pada pasien dengan infeksi meningokok, 10 – 20% mendapat septikemia meningokok fulminan
PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan ruam petekiae secara mikroskopis dengan cara aspirasi. Apusan darah tepi pada meningokok fulminan LCS: Sel 10 – 65.000/ mm3 Glukosa rendah Protein > 1 g/l Kultur LCS dapat menunjukkan hasil positif terutama pada meningitis meningokok awal Kultur serum
TERAPI KHUSUS Penicillin G 250.000 U/kg/hari IV dalam dosis terbagi setiap 4 jam dengan dosis maksimum 20 juta unit selama 7 hari adalah antibiotik pilihan untuk terapi meningitis yang disebabkan N meningitides Jika terdapat resistensi dapat dipergunakan Ceftriaxone atau Cefuroxim 200 mg/kg/hari Plasmaferesis untuk menghilangkan endotoksin bakterial, kompleks imun dan tromboplastin jaringan monosit dari sirkulasi.
Tes CIE (Counterimmuneelectrophore sis) mempunyai sensitivitas 50 – 90%.
SIADH SYNDROME OF INAPPROPRIATE ANTI DIURETIC HORMONE GEJALA KLINIS Hiponatremi (< 115 meq) Osmolaritas serum menurun (< 280 mOsm/l) Natrium urin > 20 meq/l
TERAPI KHUSUS Restriksi cairan 2/3 dari kebutuhan normal Koreksi dengan NaCl 3%: Dosis : 8 – 10 meq/l dalam 24 jam Dosis maksimal : 12 meq/l Furosemid dosis 0,5 – 1 mg / kgBB IV
Ureum (BUN) < 10 mg/dl Asam urat plasma < 4 mg/dl Normovolemik 37
Fungsi tiroid dan adrenal normal KEPUSTAKAAN : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
14.
Scheld, MW, Whitley R.J et al, Infection of Central Neurons System 1991, page 335 – 342 Coyle PR, Davis LE, Neurologic Infektion ; Acute Septic Meningitis in American Academy of Neurology, Volume 10,1998. Dickinson G,et al. Penetration of Piperasillin into Cerebrospinal Fluid in Patient wise Bacterial Meningitis. J. Steven et al. Post Traumatic Infection of the Central Nervous Systim in Neurology and Trauma, 1998 Goodman and Gilman’s, The Pharmacological Basis of Therapeutics, 1991 Delire M, et al. Intravenous 5S – Imunoglobulins in Therapy of Acute Bacterial Meningitis. Sager MS, Mc. Guire Dawn; Infections disease is manual of neurological therpeutic, 1999. Tureen. JH, Sande MA; Complication of Bacterial Meningitis in Neurological Infection, 1996. Spranger M. et.al, Excess Glutamate levels in cerebrospinal flind predict clinical outcome of Bacterial Meningitis, Arch Neurol/Vol 53, Oct. 1996. Tyler KL, Bacterial Brain Abscess, American Academy of Neurology, 1998. Wispelwey, B. et al, Brain Abscess, infections of the nervous system, 1991. Coyle PK, corticosteroid treatment of CNS infections the upside, American Academy of Neurology, 1998. Fitonssi F, et al; Killing activity of cefpirome against pinicillin resistant streptococcus pneumonia isolates from patients with meningitis in a pharmacodynamic model simulating les concentration profile, in antimicr agent chemotherapy 1995; 39; 2560 – 2563. Wolff, et al, Diffusion of Cefpirome into the cerebrospinal fluid of patient with purulent meningitis, J. Antimicrob chemother 1992, 29 (Suppl. A.) 59 – 62.
38
MATERI BAKU MENINGITIS TUBERKULOSA PENDAHULUAN Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit yang menimbulkan masalah kesehatan masyarakat. WHO memperkirakan terdapat 8-10 juta kasus baru setiap tahun. Meningitis tuberkulosa yang merupakan salah satu tuberkulosa ekstrapulmoner, merupakan penyakit infeksi SSP subakut dari fokus primer paru. Beberapa kasus diantaranya tidak ditemukan tanda-tanda tuberkulosa sistemik aktif, tetapi pada kenyataannya penderita adalah meningits tuberkulosa. Jadi, penyakit ini merupakan serangan lanjutan yang fatal dapat juga terjadi akut atau kronik dengan gambaran likuor serebro-spinalis yang atipik. Diduga terjadi penurunan kasus di negara maju, tetapi masih terdapat 15% kasus ektrapulmoner dengan angka kematian berkisar antara (15-40)%. Dewasa ini di negara maju penderita meningitis tuberkulosa merupakan komplikasi HIV dengan gejala yang lebih kompleks, seperti infiltrat pulmoner difus dengan limfadenopati torakal. GAMBARAN KLINIK Selama (2-8) minggu meningitis tuberkulosa meperlihatkan gejala tidak spesfifk seperti malaise, anoreksia, fatig, demam, mialgia dan seringkali nyeri kepala yang semakin memburuk (86%). Tetapi menurut salah satu laporan gejala yang paling sering adalah kejang, perubahan mental dan demam Gambaran lain yang menyertai adalah :
• Kaku kuduk pada ¼ penderita • Kelumpuhan saraf otak (15-40%), paling sering N.VI dan dapat juga N III, IV,II,VIII,X,XI dan XII. • Funduskopi tampak tuberkel di khoroid
• Gangguan penglihatan karena ◊ ◊ ◊ ◊
Arakhnoiditis optico khiasmatis Tuberkuloma yang menekan N II Toksisitas etambutol “Gaze palsy” dan “Internuklear optalmoplegi” yang terjadi karena lesi parenkim akibat vaskulitis. • Hemiparesis dan hemiplegi, gerakan involunter (korea, hemibalismus, atetosis, ataksia serebelar dan mioklonus) biasanya disebabkan infark karena vaskulitis tuberkulosa, tetapi dapat juga terjadi sebagai akibat lesi massa dari tuberkuloma 39
• Stroke biasanya terjadi di daerah lokasi a serebri anterior dan pernah juga di vertebrobasiler. • Selain itu dapat juga terjadi meningitis spinalis, mielitis transversa dan sindroma arteri spinalis anterior. • Risiko tuberkulosa ekstrapulmoner meningkat bila terdapat infeksi HIV dan ternyata mortalitas penderita menjadi 33% bila terdapat HIV, 21% pada individu tanpa HIV. Meningitis tuberkulosa bila tidak diobati secara klinis memperlihatkan 3 stadium : Stadium I ( stadium awal ) Gejala prodromal nonspesifik yaitu apatis, iritabilitas, nyeri kepala ringan, malaise, demam, anoreksia, muntah dan nyeri abdomen. Bila terdapat iritasi meningeal, nyeri kepala dan muntah maka diagnosis mulai dapat diperkirakan Stadium II ( Intermediate) Gejala menjadi jelas disertai “drowsy”, kejang dan defisit neurologis fokal antara lain kelumpuhan saraf III, IV, VI disertai gerakan involunter. Bila terjadi hipertensi intrakarnial maka pada funduskopi akan tampak papil edema dengan hidrosefalus pada CT kepala Stadium III (advanced) Penderita mengalami penurunan kesadaran dengan disfungsi brainstem termasuk deserbrasi dan dekortikasi. Pupil tampak melebar disertai iregularitas denyut nadi dan pernafasan, disertai hemaparesis.. Selain bentuk yang digambarkan di atas, ditemukan juga bentuk atipik. Penderita mengalami demensia progresif lambat ( bulan s/d tahun) dengan perubahan kepribadian, penolakan sosial, hilangnya gairah dan defisit neurologi. Di samping itu terdapat pula meningitis tuberkulosa dengan infeksi HIV dengan gambaran limfadenopati superfisial intratorakal dan intraabdominal. Kadang-kadang disertai tuberkulosis intraserebral. GAMBARAN PATOLOGI Pada meningitis tuberkulosa tampak : • Eksudat meningeal radang
• Vaskulitis arteri di daerah yang melewati eksudat, terutama pembuluh darah kecil dan sedang. • Gangguan “flow” cairan serebrospinal
Pada pemeriksaan makro terlihat opasitas difus meninx dengan eksudat gelatinosa predominan di sisterna basal sedangkan secara mikroskopik pada eksudat meningeal terlihat limfosit sel plasma, sel epiteloid dan fibrin. Inflamasi dan eksudat predominan sekitar pembuluh darah menigeal. Radang akan mengenai tunika adventitia, media dan bahkan intima. Lumen pembuluh darah jadi menyempit disertai oklusi arteri serebral dengan akibat infark. Nekrosis 40
fibrinoid dan kaseosa dapat juga terjadi pada arteri (flebitis serebral). Pembuluh darah dasar otak pada meningitis tuberkulosa dapat terkena terutama a karotis interna, a serebri media proksimal dan pembuluh darah di ganglia basalis seperti arteri thalamoperforans. Konsekwensinya, infark serebri sering terjadi di dasar otak sekeliling bibir fisura Sylvii dan didalam ganglia basal. Disamping itu hidrosefalus juga terjadi sebagai konsekwensi obstruksi sisterna basal, dan oklusi akuaduktus. EPIDEMIOLOGI Tuberkuloasis pada 1997 diperkirakan menyebabkan kematian lebih dari satu juta penderita di negara-negara Asia : India 457.000 Cina 258.000 Indonesia 140.000 Bangladesh 66.000 Pakistan 64.000 Filipina 47.000 Vietnam 20.000 Birma 16.000 Thailand 17.000 Kamboja 9.000 Sumber : Journal of the American Medical Association (Reader Digest Oct 1999) Berdasarkan otopsi (Riggs, 1956) menyatakan bahwa antara (5-10%) penderita tuberkulosa aktif diperkirakan berlanjut menjadi infeksi SSP. Pada tahun 1940 di Amerika, meningitis tuberkulosa didapatkan pada 32% kasus meningitis dan menurun drastis limfosit/mm3) dijumpai pada > 95% kasus ensefalitis viral akut. Jika tidak dijumpai limfositosis pada LCS dapat dipikirkan etiologi alternatif (ensefalopati). Dugaan lain adalah kemungkinan sel pada LCS mengalami lisis selama penyimpanan dan pengiriman yang menyebabkan analisis terlambat dialakukan. Pleositosis LCS inisial dapat tidak ditemukan pada HSE atipikal. Pasien imunokompromais (contohnya pasien kanker dengan kemoterapi atau radiasi) sering gagal menimbulkan respon inflamasi. Jumlah sel melebihi 500/mm3 ditemukan pada 10% kasus ensefalitis viral akut. Limfositosis yang tinggi pada LCS mengindikasikan kemungkinan meningitis tuberkulosis, ensefalitis mumps, atau virus yang tidak umum seperti ensefalitis Eastern equine, ensefalitis California, lymphocytic choriomeningitis virus. Limfosistis atipikal pada LCS umumnya dijumpai pada EBV, CMV, dan jarang pada ensefalitis HSE. Adanya leukosit PMN dalam jumlah besar pada LCS setelah 48 jam menunjukkan etiologi meningitis bakterial. Selain itu hal ini dijumpai pula pada ADEM dan AHLE, meningoensefalitis amoeba primer oleh Naegleria gowlerii, dan pada enteroviral, echovirus 9, dan ensefalitis virus eastern equine. Lebih kurang 20% pasien dengan ensefalitis akut mengalami peningkatan sel darah merah (> 500/mm 3) pada LCS. Hal ini dihubungkan dengan ensefalitis dengan perdarahan dan proses nekrosis (HSE dan AHLE), meningoensefalitis amoeba primer dan listerial. LCS yang xantokrom dihubungkan dengan meningitis TB dan jarang dijumpai pada HSE. Namun ada tidaknya sel darah merah atau xantokrom pada LCS tidak dapat membedakan HSE dari ensefalitis karena penyebab lain. Penurunan kadar glukosa yang bermakna pada LCS (sebagai rasio dengan glukosa plasma) jarang terdapat pada ensefalitis viral. Pleositosis limfosit dan penurunan kadar glukosa 62
merupakan karakteristik dari meningitis TB. Kadar glukosa yang rendah ini juga ditemukan pada meningitis bakterial lainnnya, jamur, parasit, maupun meningoensefalitis neoplasmatik, umumnya pada mumps dan ensefalitis virus choriomeningitis, dan jarang terlihat pada akhir HSE. Membedakan ensefalitis viral dan meningitis TB pada area endemik cukup sulit, khususnya pada anak-anak karena limfositosis umum terjadi pada kedua keadaan itu dan pembiakan M tuberkulosis pada LCS sulit didapat. Pada kasus ini disarankan untuk melakukan pungsi lumbal secara serial ditunjang dengan pencitraan menggunakan kontras (CT/MRI). Tabel 7. Pungsi lumbal pada ensefalitis akut - Penting untuk memastikan patologi dari meningoensefalitis (limfositosis pada LCS) - Harus menunggu hasil pencitraan (CT/MRI) Selama prosedur - penting untuk mengukur tekanan pembukaan LCS - sampel harus segera dilakukan pemeriksaan hitung sel dan morfologi - Secara rutin harus dilakukan pewarnaan gram atau BTA - Harus diperiksa secara simultan glukosa darah Pemeriksaan mikrobiologi pada LCS - PCR untuk HSV< VZV< dan M tuberkulosis - Enterovirus untuk kasus tertentu - PCR untuk tes antigen CMV dan cryptococcal (khususnya pada imunosupresi) - Antibodi dan antigen virus spesifik LP harus ditunda pada: - Jika CT/MRI menunjukkan adanya peningkatan tekanan intrakranial - Jika pasien dalam status epileptikus - Segera setelah kejang umum - Jika terdapat koagulopati atau trombositopenia berat (misalnya pad demam berdarah) f. Studi virologis dari likuor serebrospinalis Pengukuran antibodi anti HSV pada LCS dapat bermanfaat untuk diagnostik, namun baru dapat dideteksi setelah minggu pertama penyakit timbul, sehingga pemeriksaan ini kurang bermanfaat pada hari-hari pertama penyakit timbulnya penyakit dimana diperlukan diagnosis dan penatalaksanaan dini. Terdapat beberapa masalah dalam interpretasi antibodi viral LCS dan serum. Pertama hal ini memerlukan waktu yang cukup lama sementara klinisi dituntut bertindak cepat, kedua peningkatan titer antibodi antiviral tidak spesifik dan hanya menunjukkan aktivitas poliklonal akibat adanya infeksi. Peningkatan antibodi antiviral pada sampel serum tunggal juga dapat merupakan gambaran level antibodi viral persisten dari infeksi terdahulu, atau reaktivasi dibandingkan infeksi primer. Lebih jauh, waktu yang tepat untuk pengambilan sampel juga sulit karena hasil negatif palsu bisa diperoleh dan ini tidak meniadakan diagnosis ensefalitis infektif. Saat ini PCR diagnostik untuk virus DNA dengan teknik amplifikasi memiliki kemaknaan penting dalam diagnostik ensefalitis infektif. Hal ini dapat dilakukan pada HSV, VZV, CMV, dan EBV. Keuntungan dari PCR adalah teknik ini cukup sensitif terhadap adanya genom virus di LCS, cepat (hasil diperoleh dalam 6-8 jam), hanya memerlukan sedikit volume LCS dan sangat spesifik terhadap beberapa jenis virus (misalnya HSV). g. Biopsi otak
63
Isolasi HSV dari jaringan otak yang diperoleh dari biopsi merupakan baku emas untuk diagnostik HSE. Biopsi otak merupakan bagian dari seluruh percobaan terapi mayor HSE yang dilakukan oleh National Institutes of Alergy and Infectious Diseases Collaborative Antiviral Study Group (NINAID-CASG) pada periode 80-an. Pada percobaan ini, sebesar 1 cm 3 jaringan otak diambil dari daerah anterior girus temporal inferior yang terlibat melalui kraniotomi subtemporal dalam anastesi umum. Sensitifitas biopsi otak mencapai 95% dan spesifisitas melebihi 99%. Biopsi otak pada ensefalitis akut sering dianjurkan pada masa dimana vidarabine merupakan satu-satunya obat HSE. Pengenalan acyclovir dalam terapi HSE mulai menyingkirkan peran biopsi otak. Saat ini biopsi otak hanya dilakukan bila diagnosis HSE masih meragukan, atau bila operasi dekompresi diperlukan sebagai terapi pilihan untuk mengurangi tekanan intrakranial yang meningkat. Gejala-gejala Pada Ensefalitis Viral HSE merupakan meningoensefalitis akut paling sering di dunia barat, dan akan didiskusikan di bawah ini karena penting dalam klinis. Ensefalitis viral lain yang akan dibahas adalah ensefalitis pada penderita imunokompromais (ensefalitis CMV) dan ensefalitis zoonotik kegawatan (Nipah virus ensefalitis). Ensefalitis Herpes Simplex Insiden HSE mencapai 2000 kasus setiap tahunnya di USA. HSV-1 meliputi lebih dari 90% kasus HSE pada anak dan dewasa. HSV-2 terbanyak terjadi pada neonatal dan orang dewasa tertentu. Tidak seperti HSV-1, HSV-2 merupakan penyebab umum meningitis aseptik (biasanya pada pasien dengan herpes genital primer). Keduanya sering dihubungkan dengan meningitis rekuren (meningitis Mollaret). HSE pada neonatal disebabkan penyebaran infeksi HSV-2 pada bayi baru lahir saat melewati genital. HSE dapat mengenai siapa saja, anak dan dewasa, pria dan wanita, sepanjang tahun. Secara patologi, HSE merupakan ensefalitis dengan proses nekrotis akut, dan predileksi di frontotemporal, cinguli dan korteks insular. Tidak terdapat gejala dan tanda yang spesifik maupun sensitif untuk HSE. Riwayat penyakit demam dan luka di labia tidak selalu ada. Onset umumnya cepat dan gejala klinis progresif dalam beberapa hari. Anomia akut dan hilangnya memori kini terjadi pada seperlima kasus. Perubahan kepribadian sukar untuk diamati, kejang sering terjadi umumnya parsial kompleks dan jarang berkembang menjadi umum. Defisit neurologis fokal seperti hemiparesis, afasia, muncul jika HSE tidak diobati, dan dapat berkembang menjadi koma. Pada suatu analisis klinikopatologi retrospektif terhadap 46 kasus HSE, gejala saat masuk RS adalah gejala menyerupai influenza (48%), sakit kepala mendadak, penurunan kesadaran (52%), kaku kuduk (65%), afasia atau bisu (46%), koma dalam (35%), peningkatan tekanan intrakranial (33%), gejala neurologis fokal (89%), dan kejang (61%). Sepertiga kasus terjadi pada pasien dibawah 20 tahun dan setengah kasus terjadi pada pasien diatas 50 tahun. Penegakan diagnosis HSE merupakan kombinasi dari gejala klinis dan penemuan laboratorium. Leukosit perifer dapat meningkat dengan pergeseran ke kiri. Sejumlah 50% pasien HSE memiliki kelainan pada CT scan kepala tanpa kontras, dan 50% dari mereka terdapat midline shift. Ct scan kepala dalam 4-5 hari pertama gejala klinis sering kali normal. MRI merupakan pemeriksaan pencitraan yang paling sensitif tidak saja untuk penegakan diagnosis dini tapi juga untuk mengetahui letak dan seberapa luas lesi. Gambaran yang terlihat pada MRI adalah adanya udem fokal pada daerah medial lobus temporal, permukaan orbital dari lobus frontal, korteks insular, dan girus singuli (gambar 1). MRI merupakan pencitraan pilihan dalam HSE dan dianjurkan sebagai pemeriksaan pertama setelah pemeriksaan fisik. EEG seringkali abnormal dalam banyak kasus. LCS dapat normal atau terjadi peningkatan tekanan, 64
menunjukkan limfositosis pleositik (10-200 sel/mm 3), glukosa normal dan peningkatan protein (0,6 – 6 gr/L)> pada beberapa kasus terdapat eritrosit pada LCS (10 – 500 sel/mm 3) dan sedikit kasus menunjukkan hypoglycorrhacia (2 – 2,5 mmol/L). PCR pada LCS 100% spesifik dan sensitivitas melebihi 90%. Negatif palsu sangat jarang terjadi dan umumnya disebabkan penganmbilan LCS yang terlalu awal (24 – 48 jam pertama) atau terlalu lambat (setelah 10 – 14 hari), setelah pemberian terapi acyclovir, terdapat heparin/hemoglobin pada LCS atau jika proses penyimpanan dan pengiriman LCS ke laboratorium terlalu lama. Saat ini berbagai kasus HSE atipikal telah dapat dijelaskan. Kasus ini umumnya ringan, dengan gejala demam ensefalopati, tidak ditemukan gejala neurologis fokal, LCS pleositosis dan CT scan kepala abnormal. HSE atipikal atau ringan ini umumnya disebabkan infeksi HSV-1 atau HSV-2, sering dihubungkan dengan imunokompromais dan infeksi HSV asimetrik yang mempengaruhi lobus temporal non-dominan, meliputi 20% dari seluruh kasus HSE. Kasus ini menunjukkan pentingnya pemeriksaan PCR pada LCS untuk semua pasien dengan demam ensefalopati meskipun tidak ditemukan pleositosis dan gejala neurologis fokal. Tabel 8. Ensefalitis Herpes Simplex • Penyebab umum ensefalitis fatal akut non-endemis di dunia barat • Kecurigaan klinis tingkat tinggi diperlukan • Infeksi viral sistem saraf pusat pertama yang berhasil diterapi dengan terapi antiviral • Salah satu yang pertama memiliki pemeriksaan rutin PCR pada LCS dengan spesifisitas dan sensitivitas yang tinggi • Terdapat pada neonatus dan orang dewasa • Onset mendadak dengan predileksi di frontotemporal • Terapi inisial berdasarkan kecurigaan klinis diperlukan • Kombinasi MRI, EEG, dan pemeriksaan LCS sebagai alat diagnostik • Angka mortalitas dan morbiditas tinggi pada pasien yang tidak mendapat terapi • Gejala lebih ringan pada HSE atipikal Ensefalitis CMV Ensefalitis CMV jarang dijumpai pada subyek normal, namun sering terdapat pada neonatus dan imunosupresi. Pada sebuah studi otopsi, 12% dari pasien terinfeksi HIV dan 2% dari penerima transplantasi menderita ensefalitis CMV. Pada pasien dengan imunokompeten, ensefalitis CMV biasanya self limiting, dengan gejala episode demam dan gejala klinis yang non spesifik dari meningoensefalitis (sakit kepala, bingung, kejang, disfasia dan koma). LCS menunjukkan gambaran pleositosis, peningkatan protein ringan dan kadar glukosa normal. Kasus dimana terjadi bersamaan ensefalitis CMV dan HSV pernah dilaporkan pada penderita dengan imunokompeten dan imunokompromais. Ensefalitis CMV umum ditemukan pada penderita terinfeksi HIV, biasanya dalam infeksi CMV sistemik, radikulomielitis CMV, atau retinitis. Kelainan neurologis yang khas adalah ventrikuloensefalitis dan hampir separuhnya bersamaan dengan ensefalopati akibat HIV, ensefalitis toxoplasmik atau limfoma sistem saraf pusat primer. Gambaran klinis ensefalitis CMV pada imunosupresi umumnya didominasi oleh kelemahan dan bingung yang dengan cepat dapat menjadi koma atau bahkan meninggal. Pleositosis PMN pada LCS hanya terdapat pada pasien dengan disertai radikulomielitis dimana pleositosis umumnya didominasi mononuklear. Kadar protein umumnya tinggi (> 1 gr/L) dan 65
kultur virus pada LCS negatif pada penderita AIDS dan ensefalitis CMV. Sensitivitas PCR pada LCS untuk mendeteksi ensefalitis CMV 79% dengan spesifisitas 95%. PCR sebagai alat diagnostik untuk ensefalitis CMV dianggap terlalu sensitif sehingga dapat mendeteksi CMV pada pasien terinfeksi HIV yang tidak menderita ensefalitis. Ensefalitis Virus Nipah Ensefalitis virus nipah pertama kali ditemukan pada peternak babi di Malaysia antara tahun 1998-1999 dan dijumpai pula pada para pekerja di Singapura. Contoh LCS dari penderita menunjukkan paramyxovirus baru (disebut virus Nipah). Virus ini mirip, namun tidak identik dengan virus hewan lain (virus Hendra) yang sebelumnya telah menyerang kuda dan 3 pasien di Australia. Ensefalitis virus nipah adalah ensefalitis epizoonotik berskala luas pertama yang ditransmisikan secara langsung dari hewan ke manusia, tidak seperti ensefalitis zoonotik lainnya (sebagai contoh ensefalitis Japanese, ensefalitis virus West Nile, ensefalitis virus Eastern equine), yang membutuhkan vektor. Lebih dari 200 orang terkena di Malaysia dan wabah ini merusak industri peternakan babi di negara ini. Babi yang terkena meninggal secara mendadak dan tidak wajar. Pada manusia gejala didahului dengan riwayat kontak langsung dengan babi di peternakan, masa inkubasi yang pendek (2 minggu), penurunan keasadaran yang cepat, disfungsi batang otak prominen dan angka kematian yang tinggi. Gejala klinis adalah mioklonus segmental, arefleksia, hipotoni, dan disotonomia (hipertensi dan takikardi). Penemuan abnormal pada LCS mencapai 75% kasus, EEG menunjukkan gelombang lambat difus dengan abnormalitas fokal di daerah temporal (75%), CT scan kepala umumnya normal dan MRI pada fase akut menunjukkan lesi fokal yang tersebar luas di subkortikal dan area abu-abu. Pengobatan Ensefalitis Viral Akut Jika mungkin, terapi spesifik harus diterapkan terhadap agen penyebab yang diidentifikasi atau dicurigai. Terapi antiviral dengan acyclovir merupakan indikasi pada HSE. Acyclovir merupakan analog 2’-deoxyguanosine dan menghambat secara selektif replikasi virus. Tahap pertama pada proses ini adalah monofosforilasi dan dikatalisis oleh timidin kinase yang diinduksi sel tertentu yang terinfeksi HSV, VZV atau fosfotransferase yang diproduksi CMV. Enzim pejamu mengubah monofosfat menjadi difosfat dan trifosfat. Trifosfat acyclovir menghambat sintesis virus DNA dengan berkompetisi dengan 2’-deoxyguanosine tryphosphate sebagai substrat untuk polimerase virus DNA. Potensi trifosfat acyclovir dalam menghambat polimerase DNA HSV-1 sebesar 30 – 50 kali dibandingkan kemampuannya menghambat polimerase DNA-alpha sel manusia. Acyclovir memiliki waktu paruh yang relatif singkat di plasma, dan lebih dari 80% diekskresi tanpa perubahan melalui fungsi ginjal. Studi secara konsisten membuktikan bahwa acyclovir paling efektif diberikan pada awal serangan HSE sebelum muncul keadaan koma pada pasien dan secara efektif menurunkan morbiditas dan mortalitas. Dosis standar pada HSE adalah 10 mg/kgBB 3x/hari (30 mg/kgBB/hari) selama 14 hari. Dosis pada neonatal 60 mg/kgBB/hari. Pada imunosupresi lama pengobatan menjadi 21 hari. Acyclovir efektif untuk HSV-1, HSV-2, dan VZV. Dosis untuk VZV sesuai dengan HSV. Saat ini umum dilakukan untuk memulai terapi acyclovir pada pasien yang diduga menderita ensefalitis infektif akut. Meskipun hal ini dapat dibenarkan dan bermanfaat dalam pengobatan secara dini HSE, terdapat beberapa masalah akibat penggunaan secara luas acyclovir. Pertama dan paling utama pemberian acyclovir dapat menghambat atau mengaburkan diagnosis sesungguhnya (jika bukan HSE), sehingga diagnosis ensefalitis infektif lainnya seperti ADEM, atau ensefalitis non infektif seperti sindroma Reye, MELAS, atau ensefalopati Hashimoto dapat terlambat atau tidak terdiagosis. Kedua, pemberian acyclovir yang tidak tepat dapat menimbulkan ensefalopati toksik yang juga membingungkan dengan gejala ensefalitisnya. 66
Karena pengobatan acyclovir untuk HSV merupakan hal yang esensial, lebih banyak pasien dari penderita HSE sesungguhnya yang diberi terapi ini berdasarkan kecurigaan klinis. Pada pejamu yang imunokompeten, gambaran MRI adanya lesi di lobus frontobasal atau temporal akan mendukung diagnosis dan menunjang pemberian acyclovir selama 14 hari. Jika acyclovir telah diberikan sebagai terapi inisial dan gambaran MRI menunjukkan hal yang normal, terapi acyclovir tetap diteruskan sampai hasil PCR LCS menunjukkan adanya HSE atau jika hasil tersebut negatif maka dipikirkan kemungkinan diagnosis lain. Jika tidak berhasil ditegakkan diagnosis lain dan hasil PCR adalah negatif, maka merupakan kebijaksanaan untuk terus memberikan terapi acyclovir selama 10 hari. Hanya terdapat satu kasus HSE dengan pencitraan yang normal pada literatur. Pada pasien ini, diagnosis HSE ditegakkan berdasarkan PCR LCS yang diperoleh pada hari pertama perawatan, namun PCR yang diperoleh dari LCS hari ke-8 setelah pemberian terapi acyclovir menunjukkan hasil negatif. Kekambuhan HSE pernah dilaporkan terjadi beberapa minggu hingga bulan jika terapi diberikan hanya 10 hari atau kurang. Angka kekambuhan berkisar 5% namun pada pemberian terapi dosis tinggi dengan lama 21 hari kekambuhan tersebut belum terdokumentasi. Meskipun pernah dilaporkan resistensi terhadap acyclovir pada herpes simplex mucocutaneus di antara penderita AIDS, perkembangan resistensi acyclovir pada HSE belum pernah dilaporkan. Tabel 10. Terapi Acyclovir Pada HSE • Spesifik da cukup efektif • Aman, namun memerlukan penyesuaian dosis pada gangguan ginjal • Terapi meningkatkan angka survival 65 – 100% jika diberikan hari ke-4 atau lebih dini • Dosis 10 mg/kgBB setiap 8 jam selama paling sedikit 14 hari pada pasien imunokompeten Respon klinis pada ensefalitis CMV terhadap antiviral belum diketahui secara pasti. Acyclovir tidak efektif pada kasus ini. Terapi kombinasi dengan gansiclovir (5 mg/kgBB IV, 2x/hari) dengan atau tanpa foscarnet (60 mg/kgBB setiap 8 jam atau 90 mg/kgBB setiap 12 jam) saat ini direkomendasi. Alternatif lain adalah cidofovir. Terapi antiretroviral harus ditambahkan atau dilanjutkan pada pasien HIV. Antibakterial yang tepat juga perlu diberikan jika dicurigai terdapat infeksi ricketsial, tuberkulosa dan listerial sebagai penyebab meningoensefalitis. Peran dosis besar kortokosteroid (dexamethason atau metilprednisolon) pada ensefalitis infektif akut masih dalam perdebatan. Meskipun peran steroid dalam beberapa kasus seperti meningoensefalitis tuberkulosis atau angiitis granulomatosis pasca infeksi VZV telah terbukti efektif, namun dalam kasus ensefalitis viral hal ini tidak terbukti bermanfaat dan tidak direkomendasi. Sebuah studi yang mengevaluasi pemberian steroid pada ensefalitis Japanese terbukti tidak bermanfaat. Terapi suportif pada ensefalitis akut merupakan hal yang sangat penting. Kejang dapat dikendalikan dengan fosphenytoin intravena. Prinsip penatalaksanaan tekanan intrakranial harus dilakukan jika ada indikasi. Perhatian khusus perlu diberikan pada sistem pernapasan, irama jantung, balans cairan, pencegahan trombosis vena dalam, pneumoni aspirasi, dan infeksi bakterial sekunder. Karena beberapa terapi dapat menyebabkan toksisitas (misalnya acyclovir menyebabkan nefrotoksik, peningkatan enzim hati, dan trombositopenia) pemeriksaan darah dan parameter biokimia perlu diperhatikan. Dosis acyclovir diberikan intravena secara perlahan sekurangnya 1 jam dengan memperhatikan fungsi ginjal. Seluruh kasus ensefalitis akut harus dirawat dan memiliki akses ke ICU dengan fasilitas ventilator mekanik. Isolasi pasien tidak diperlukan kecuali pada ensefalitis rabies, pasien dengan imunosupresi, pasien dengan ensefalitis exanthematous, dan pasien dengan potensi penularan demam berdarah. 67
Komplikasi dan Prognosis Ensefalitis Viral Akut Mortalitas pada ensefalitis viral non herpes bervariasi dari sangat rendah (misalnya ensefalitis EBV) sampai sangat tinggi (misalnya ensefalitis Eastern equine). Ensefalitis rabis juga berakibat fatal. Mortalitas pada HSE yang tidak diterapi berkisar 70% dan kurang dari 3% yang dapat kembali normal. Pada analisis retrospektif pasien dengan HSE, hanya 16% pasien yang tidak diterapi dapat bertahan hidup. Diagnosis dini dengan acuclovir menurunkan mortalitas hingga 20 – 30%. Pada pasien yang mendapat terapi acyclovir dalam penelitian NINAID-CASG, 26 dari 32 (81%) pasien dapat bertahan hidup dan disabilitas neurologi yang serius melibatkan hampir separuh pasien yang bertahan. Pasien tua dengan tingkat kesadaran yang rendah (GCS 6 atau kurang) memiliki prognosis yang paling buruk. Pasien muda (usia 30 atau kurang) dengan fungsi neurologis yang baik pada permulaan terapi acyclovir memiliki prognosis yang baik (hampir 100% bertahan hidup dan lebih dari 60% memiliki sedikit atau tanpa gejala sisa). Hiperperfusi unilateral persisten pada SPECT juga memiliki prognosis yang jelek. Komplikasi yang cukup banyak terjadi pada ensefalitis viral akut adalah peningkatan tekanan intrkranial, infark serebral, trombosis vena serebral, syndrome of inappropriate secretion of antidiuretic hormone, pneumonia aspirasi, perdarahan saluran cerna bagian atas, infeksi saluran kemih dan koagulopati intravaskular diseminata. Sequele dari ensefalitis viral akut bergantung pada usia, etiologi ensefalitis dan keparahan gejala klinis. Epilepsi, anomia persisten, afasia, defisit motorik dan status amnestik kronik yang sesuai dengan psikosis Korsakoff pernah ditemukan sebagai gejala sisa HSE berat. Sangat jarang ditemukan gejala neuropsikiatri berupa sindrom Kluver-Bucy inkomplit pada fase awal penyembuhan HSE. Sindrom ekstrapiramidal (parkinsonism) juga pernah dilaporkan sebagai gejala sisa pada saat epidemi ensefalitis virus infuenza, diatandai adanya somnolen-oftalmoplegi dan letargi (ensefalitis letargi atau von Economo’s disease). Beberapa kasus parkinson pasca ensefalitis dilaporkan pasca ensefalitis viral sporadik, khususnya ensefalitis Japanese. Hampir sepertiga anak dengan ensefalitis Japanese meninggal dan 75% anak yang bertahan hidup mengalami sequele neurologis mayor termasuk retardasi mental, epilepsi, penyimpangan perilaku (kepribadian obsesif kompulsif), gangguan bicara dan gejala ekstra piramidal. Gejala fatiq persisten dan memanjang, mialgia, gugup, gangguan konsentrasi dan malaise postexertional juga didapatkan pasca ensefalitis viral (sindrom fatiq kronik pasca viral). Kesimpulan Pada seluruh kasus ensefalitis akut, pemeriksaan yang tepat dan perawatan suportif merupakan bagian integral dari strategi manajemen. Ketersediaan acyclovir, terapi anti HSV yang sangat baik pada pengobatan dini telah memperbaiki prognosis klinis dari HSE. Pada ensefalitis viral non herpes seperti ensefalitis Japanese, prognosis masih belum memuaskan, meskipun telah ditemukan berbagai antiviral yang baru seperti ribavarin dan pleoconaril. Beberapa infeksi viral dapat dicegah dengan imunisasi (misalnya mumps, measles, rubella, ensefaltis Japanese dan rabies). Kendali terhadap vektor dan sanitasi lingkungan merupakan hal yang penting dalam mencegah wabah ensefalitis arboviral seperti ensefalitis Japanese. Wabah ensefalitis virus West Nile di kota New York dan ensefalitis zoonotik oleh virus Nipah di Malaysia telah membuka mata publik bahwa wabah baru yang tidak lazim dan fatal pada hewan dapat berasal dari atau menyebabkan infeksi baru pada manusia.
68
Materi Baku Myelitis Myelitis Transversa merupakan kelainan neurologis yang disebabkan oleh proses inflamasi yang menyilang pada kedua sisi pada satu level atau segmen pada medulla spinalis. Pengertian myelitia merujuk pada proses inflamasi pada medulla spinalis, sedangkan transversa dideskripsikan pada posisi inflamasi yang bersilangan pada medulla spinalis. Serangan pada proses inflamasi pada kerusakan myelin, substansi lemak yang membungkus sel serabut saraf. Kerusakan ini dapat yang menyebabkan jaringan parut pada sistem saraf sehingga dapat mengakibatkan mengganggu komunikasi diantara persarafan pada medulla spinalis dan proses istirahat dari tubuh. Gejala pada Myelitis Transversa antara lain adalah hilangnya fungsi dari medulla spinalis lebih dari beberapa jam sampai beberapa hari. Biasanya gejala awal yang muncul adalah nyeri tulang belakang, kelemahan otonom, sensasi yang abnormal pada jemari kaki dan tungkai yang sangat cepat dan terkadang dapat menunjukkan gejala yang lebih berat seperti paralisis, retensi urin, dan hilangnya fungsi kandung kemih. Meskipun pada beberapa pasien sembuh dari penyakit ini ataupun masih terdapat gejala sisa, gejala permanen ternyata benyak menimbulkan dampak pada aktivitas hidup sehari-hari. Kebanyakan pasien hanya memiliki satu kali episode myelitis transversa dan hanya persentase yang sangat kecil saja yang dapat menimbulkan rekurensi. Segmen medulla spinalis yang terkena kerusakan dapat menentukan bagian dari tubuh yang terkena. Regio saraf cervical dapat mengontrol sinyal pada bagian leher, bahu, tangan dan otot pernafasan ( diafragma). Sedangkan persarafan yang berkaitan pada bagian dada akan menghantarkan sinyal ke batang tubuh dan beberapa bagian dari bahu. Persarafan pada lumbal mengontrol sinyal pinggul, pangkal paha dan tungkai. Persarafan bagian sacral mempersarafi bagian jari, bebrapa bagian dengan tungkai, sebagian pangkal paha. Myelitis Transversa dapat muncul pada dewasa dan anak-anak, pada kedua jenis kelamin dan semua ras. Tidak didapatkan faktor predisposisi dari keluarga. Insidensi tertinggi terdapat pada usia antara 10-19 tahun dan 30-39 tahun. Meskipun baru beberapa studi yang meneliti rasio insidensi, Di USA meperkirakan didapatkan 1400 kasus dari myelitis transversa yang didiagnosa pada setiap tahunnya Etiologi Para peneliti masih belum yakin penyebab dari mielitis transversa. Suatu peradangan yang menyebabkan kerusakan serabut saraf di medula spinalis yang sangat berat dapat terjadi akibat infeksi virus, reaksi imun abnormal, insufisiensi aliran darah pada pembuluh darah didaerah medula spinalis. Penyebab lain dari mielitis transversa antara lain akibat komplikasi
69
sifilis, measles, penyakit lyme, dan beberapa komplikasi vaksinasi rabies dan cacar air. Pada kasus yang tidak ditemukan penyebabnya disebakan kelainan idiopatik. Mielitis transversa biasanya berkembang akibat suatu infeksi virus. Agen infeksi penyebab mielitis transversa diantaranya varicella zooster, herpes simplex, cytomegalovirus, Epstein-Barr, influenza, echovirus, HIV,hepatitis, rubella. Infeksi kulit yang disebabkan bacterial, infeksi telinga tengah (otitis media), Mycoplasma pneumoniae. Pada mielitis transversa paska infeks, mekanisme sistem imun memegang peranan penting dari penyebab kerusakan pada saraf spinalis. Stimulasi sistem imun sebagai respon terhadap infeksi mengindikasikan suatu reaksi autoimun yang bertanggung jawab terjadinya mielitis transversa. Kasus pada individu yang sudah menderita penyakit autoimun seperti lupus eritematosus sistemik (LES), sindroma Sjogren, dan sarkoidosis, para peneliti memperkirakan juga bahwa mielitis transversa juga termasuk suatu kelainan autoimun. Sebagai tambahan, keadaan keganasan (kanker) dapak menginduksi terjadinya respon imun yang abnormal sehingga terjadi mielitis transversa. Pada beberapa kasus mielitis transversa dapat disebabkan karena adanya malformasi arteriovenous atau penyakit pembuluh darah seperti aterosklerosis yang dapat menyebabkan iskemik pada jaringan medula spinalis. Iskemik juga dapat terjadi akibat rupturnya pembuluh darah di medula spinalis. Kerusakan akibat iskemik ini dapat menyebabkan inflamasi sehingga terjadi mielitis transversa. Kebanyakan penderita adalah berusia diatas 50 tahun, menderita penyakit kardiovaskular, atau sebelumnya mengalami operasi di daerah thorakal dan abdomen. Manifestasi Klinis Mielitis dapat terjadi akut (berkembang dalam beberapa jam hingga beberapa hari) atau subakut (berkembang dalam 1 hingga 2 minggu). Gejala awal biasanya berupa nyeri lokal di bagian punggung bawah, parestesi akut (rasa seperti terbakar, geli, tekan, atau kesemutan) pada kedua tungkai, hipestesi, dan paraparesis. Paraparesis ini dapat berkembang hingga terjadi keadaan paraplegi. Kelainan berkemih dan disfungsi saluran cerna sering terjadi. Kebanyakan pasien juga mengeluh perasaan seperti tidak nyaman, sakit kepala, demam, dan berkurangnya nafsu makan. Beberapa pasien juga dapat mengalami gangguan pernafasan, tergantung segmen medula spinalis yang terkena. Terdapat empat gejala klasik mielitis transversa : (1) kelemahan tungkai dan lengan, (2) nyeri , (3) gangguan sensoris, (4) disfungsi saluran cerna dan kandung kemih. Berat ringannya gejala yang timbul sangat bervariasi dari berbagai pasien. Progresivitas penyakit ini dapat mencapai beberapa minggu hingga terjadi keadaan paraplegi hingga pasien harus menggunakan kursi roda. Hampir sepertiga hingga setengah pasien mengalami gejala nyeri. Biasanya lokasi di bagian punggung bagian bawah berupa rasa nyeri tajam, sensasi seperti tersetrum yang menjalar ke ujung distal ekstremitas.
70
Gangguan sensoris yang timbul dapat berupa rasa kebas, kesemutan, rasa dingin atau terbakar. Hampir 80 % pasien dengan mielitis transversa mengalami hipersensitifitas terhadap sentuhan, seperti saat berpakaian dan disentuh ringan dengan jari kulitnya pasien merasakan tidak nyaman dan nyeri (alodinia). Sebagian lain juga mengalami hipersensitifitas terhadap suhu atau keadaaan yang sangat dingin atau panas. Masalah kandung kemih dan saluran cerna biasanya berupa urgensi untuk berkemih atau pergerakan saluran cerna, inkontinensia, kesulitan berkemih, rasa seperti masih ada sisa setelah berkemih, dan konstipasi. Penegakan Diagnosis Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik lengkap neurologis. Sangat sulit membedakan antara pasien yang mengalami mielitis transversa idiopatik dan pasien yang sudah mengalami penyakit yang mendasari, seorang neurologis harus mencari pertama kali kondisi penyebab yang dapat diatasi terlebih dahulu. Apabila terjadi suatu trauma pada medula spinalis, seorang neurologis harus mencari lesi penyebab tertekannya atau kompresi dari medula spinalis. Lesi potensial yang menyebabkan penekanan diantaranya tumor, hernia nukleus pulposus, stenosis dan abses. Untuk menegakkan diagnosisnya dapat dilakukan magnetic resonance imaging (MRI) dan atau mielografi. Pemeriksaan darah dilakukan untuk menyingkirkan penyebab penyakit lain seperti LES, infeksi HIV, dan defisiensi vitamin B 12. Pada pemeriksaan cairan serebrospinal biasanya terjadi peningkatan protein dan jumlah leukosit pada kasus karena infeksi. Bila pada pemeriksaan penunjang tidak ditemukan penyebab spesifik dapat dikatakan sebagai mielitis transversa idiopatik. Tatalaksana Kebanyakan suatu kelainan yang terjadi pada medula spinalis, belum ada terapi yang efektif untuk menyembuhkan kelainan tersebut. Terapi yang diberikan untuk mengatasi gejala yang timbul dan tergantung dari berat ringannya penyakit. Terapi diberikan pada awal gejala timbul. Kortikosteroid biasanya diberikan pada satu minggu pertama untuk mengurangi efek inflamasi dan mengurangi aktivitas sistem imun. Steroid yang diberikan dapat metil prednisolon atau deksametason. Analgetik diberikan untuk mengatasi nyeri dan tirah baring pada hari-hari awal minggu setelah onset gejala. Initial terapi yang penting sebenarnya yaitu menjaga fungsi dari anggota gerak tubuh (fisioterapi) dengan harapan terjadi penyembuhan yang komplit ataupun parsial dari sistem saraf. Fisioterapi yang diberikan akan menjaga otot tetap fleksibel dan kuat, dan untuk mengurangi terjadinya dekubitus pada pasien yang imobilisasi. Pada kasus yang mengalami defisit neurologis yang permanen, fisioterapi dengan tim termasuk pekerja sosial, psikiater, terapis fisik, terapis okupasional, dan terapis vokasional tetap membantu rehabilitasi pasien agar pasien tersebut dapat hidup setidaknya mandiri sehingga meningkat kualitas hidupnya. 71
Prognosis Pengurangan gejala yang timbul akibat mielitis transversa biasanya terjadi 2 hingga 12 minggu setelah onset gejala dan dapat terjadi hingga 2 tahun. Bila tidak terjadi perbaikan gejala dalam 3 hingga 6 bulan pertama, kesembuhan biasanya tidak terjadi. Hampir sekitar sepertiga pasien dengan mielitis transversa mengalami perbaikan atau kesembuhan gejala yang timbul. Sepertiganya lagi mengalaimi perbaikan minimal dan mengalami defisit neurologis yang nyata seperti spastic gait, disfungsi sensoris, urgensi atau inkontinensia. Sepertiganya lagi tidak mengalami kesembuhan sama sekali, dimana merekan tetap di kursi roda atau berbaring di tempat tidur, tergantung terhadap orang lain untuk aktivitas hidup sehari-hari tertentu. Suatu penelitian mengatakan onset yang cepat suatu gejala secara umum menunjukkan prognosis yang buruk.
72
III. Neuro AIDS o Referensi :
Standar kompetensi spesialis saraf 2006, KNI PERDOSSI
Ropper A.H., Robert HB., Adams and Victor, Principles of Neurology, eight ed. Mc Graww Hill, 2005, 11-13, 541-542.
Scheld WM et.al., Infection of the central nervous system, third ed., 2004, 10-12
KOMPETENSI •
Menegakkan diagnosis dan tatalaksana infeksi oportunstik ke otak mencakup epidemiologi, etiologi, klasifikasi, patogenesis, dan patofisiologi, gambaran klinik, pemeriksaan penunjang dan interpretasinya disertai manajemen pengobatan terpadu.
KETERAMPILAN Setelah menyelesaikan modul ini, peserta didik diharapkan memiliki keterampilan: • Menjelaskan aspek masuknya HIV ke otak • Menguasai mekanisme terjadinya infeksi oportunistik ke otak • Identifikasi, anamnesis dan diagnosis infeksi oportunistik ke otak • Menguasai tatalaksana dan pengelolaan pasien dengan infeksi oportunistik ke otak • Mengetahui efek samping obat-obatan yang digunakan pada infeksi oportunistik ke otak dan obat anti retroviral • Menngetahui infeksi oportunistik ke otak karena toksoplasma, kriptokorkus, tuberkulosis, dan limfoma primer susunan saraf pusat Gambaran umum Maksud pelatihan adalah untuk memberi bekal pengetahuan praktek dan manajemen infeksi oportunistik secara komprehensif melalui pendekatan berbasis kasus (case based learning). Subyek yang dipelajari secara mandiri dan aktif oleh peserta didik adalah tentang dasar-dasar HIV sampai terjadi infeksi oportunistik, diagnosis, dan evaluasi serta terapi farmakologi. Contoh kasus Kasus 1
73
Seorang laki2 selalu berobat teratur ke pokdiksus dengan HIV dan sejak sebelum pemberian obat antiiretroviral sering mengeluh kesemutan. Akhor2 ini setelah teratur makan obat penderita meneluh kesemutan seluruh ekstremitas yang semakin berat setiap hari. Sudah mendapat virtamin tetapi keluhan tidak kunjung hilang. Setelah itu dikonsulkan ke bagian neurologi. Pada pemeriksaan didapatkan , kesadaran kompos mentis, refleks fisiologi di seluruh ekstremitas menurun, Tidak ada refleks patologi. Dilakukan pemeriksaan NCV/EMG terdapat tanda-tanda ineuropati perifer Kasus 2 Seorang laki mengeluh sering lupa bila meletakkan kunci, topi atau barang-barang lain. Padahal sebelumnya tidak demikian. Penderita mengatakan bahwa ia adalah seorang pengguna narkoba suntik yang sudah lama berhenti, ia diketahui seminggu yang lalu menderita HIV, diperiksa karena sering seriawan yang tidak sembuh-sembuh.Pada pemeriksaan Neurologi, kompos mentis, gangguan memori baru, MMSE dibawah rata-rata Kasus 3 Seorang laki laki sia 26 tahun, datang ke rumah sakit dengan keluhan sebelah kiri lumpuh secara bertahap. Penderita serang oemakai narkoba sebelumnya, tetapi sudah berhenti sejak 6 tahun yanglalu. Malahan sekarang dikenal sebagai penceramah tentang bahaya narkoba untuk generasi muda.Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan nyeri kepala hebat. Pada pemeriksaan fisik neurologis di dapatkan: Kesadaran kompos mentis, tanda rangsang meningeal -,parese N fasialis dan n. Hipoglossus. Selain itu ditemuakan juga hemiparesis kiri, terleks fisiologi sebelah liri meningkat, refleks patologi+/-. Pada pemeriksaan CT Sken otak tampak lesi multipel dengan penyangatan cincin. Telah dilakukan terapi penyakitnya , disusul pemberian ARV Kasus 4 Seorang laki2 , seorang penderita HIV datang da pemeriksaan neurologi penderita tampak sakit berat menekan-nekan kepalanya kadang dibenturkan ke dinding, kompos mentis, pergerakan bola mata baik, tidak ada papil edema. Pada CT sken kepala normal, dilakukan LP. Dengan pemeriksaan Tinta india + jamur, kultur +, serologi +. Pada penderita dilakukan Lumbal punksi terapeutik Diskusi 1. Apakah infeksi oportunistik pada HIV AIDS dapat menyebabkan kesemutan dan baal di ekstremitas 2. Apakah infeksi oportunistik pada HIV AIDS menyebabkan demensia 3. Apakah infeksi oportunistik pada HIV AIDS menyebabkan penurunan kesadaran, hemiparesis, dan tanda peninggian intrakranial 4. Apakah infeksi oportunistik pada HIV AIDS menyebabkan sakit kepala hebat, dan batuk-batuk
74
Tujuan pembelajaran • Mengetahui cara memberitahu pasien dan keluarga • Mengetahui mekanisme masuknya virus HIV ke otak • Mengetahui cara diagnostik infeksi langsung dengan tes fungsi luhur, pemeriksaan klinik, dan EMG/ Evoke potensial • Mengetahui cara diagnosis infeksi opurtunistik dan jenis2nya • Mengetahui manajemen umum komplikasi neurology AIDS • Mengetahui indikasi pemeriksaan CT sken/ MRI pada kasus HIV • Mengetahui cara dan waktu pem berian terapi ARV • Mengetahui indikasi Lumbal punksi dan pemeriksaan laboratorium • Mengetahui terapi infeksi langsung dan tidak langsung • Melakukan konsultasi dengan bidang terkait •
Tujuan 1 : Mengetahui cara memberitahu pasien dan keluarga memperkenalkan diri dan memberi tahu keluarga proses penyakit yang terjadi pada penderita memberitahu tentang penularan penyakit memberitahu bahwa pengobatan akan berlangsung lama • Tujuan 2 : Mengetahui mekanisme masuknya virus HIV ke otak mengetahui proses menumpang virus ke limfosit masuk menembus sawar darah otak mengetahui proses terjadinya destruksi neuron • Tujuan 3 : Mengetahui cara diagnostik infeksi langsung dengan tes fungsi luhur, pemeriksaan klinik, dan EMG/ Evoke potensial melakukan tes fungsi luhur, pemeriksaan klinik, EMG /Evoke potensial tersebut menjelaskan tentang kegunaan tes dan pemeriksaan • Tujuan 4 : Mengetahui cara diagnosis infeksi opurtunistik dan jenis2nya mengetahui presumtif diagnosis toksoplasmosis serebral mengetahui diagnosis kriptokokkosis serebral mengetahui diagnosis tuberculosis dengan HIV memperkirakan kemungkinan diagnosis limfoma primer • Tujuan 5 : Mengetahui manajemen umum komplikasi neurology AIDS mengetahui manajemen penurunan kesadaran mengetahui manejemen nyeri kepala termasuk indikasi lumbal punksi mengetahui manajemen kejang • Tujuan 6 : Mengetahui indikasi pemeriksaan CT sken/ MRI pada kasus HIV mengetahui indikasi pemeriksaan CT sken, MRI atau MRS mengetahui waktu pelaksanaan pemeriksaan radiologis berdasarkan klinis penderita • Tujuan 7 : Mengetahui cara dan waktu pem berian terapi ARV 75
mengetahui waktu pemberian anti retroviral (ARV) mengetahui jenis obat ARV dan efek samping dapat mengatasi efek samping yang timbul akibat pemberian ARV • Tujuan 8 :Mengetahui indikasi Lumbal punksi dan pemeriksaan laboratorium melakukan lumbal punksi bila tidak ada kontra Indikasi melakukan pemeriksaan laboratorium likuor sesuai dengan kemungkinan diagnosis dan mengirimkan ke laboratorium yang sesuai • Tujuan 9 : Mengetahui terapi infeksi langsung dan tidak langsung melakukan terapi segera berdasarkan perkiraan di agnosis memberitahu keluarga tentang target pengobatan yang akan dicapai Tujuan 10 : Melakukan konsultasi dengan bidang terkait melakukan konsultasi dengan peyakit dalam melakukan konsultasi dengan ilmi kesehatan kulit melakukan konsultasi dengan ilmu kesehatan mata Kasus untuk proses pembelajaran Seorang laki-laki umur 27 tahun, datang ke rumah sakit dengan keluhan utama penurunan kesadaran. Sejak tiga hari yang lalu pasien tampak cenderung diam dan sulit diajak bicara, tujuh hari sebelumnya pasien tampak bicara tidak nyambung tidak sesuai isi pembicaraannya. Keluhan disertai sakit kepala terasa berdenyut di seluruh bagian kepala. Keluhan juga disertai berjalan seperti diseret terutama anggota gerak sebelah kiri pasien, demam dirasakan hilang timbul, tidak disertai kejang. Pasien saat masa sekolah pernah menggunakan narkoba suntik dan sering bergantian dengan teman sesama pemakainya. a. • • • • • • • • • •
Hasil pemeriksaan fisik adalah sebagai berikut : kesadaran somnolen Tekanan darah : 110/70 mmHg Frekuensi nadi 105 x/ menit Suhu 37,9 C Respirasi 21 x / menit Teradapat Oral trust Jantung dan paru dalam batas normal Abdomen supel, hepar dan lien tak teraba Ekstremitas tidak ada edema Status neurologis Glasgow Coma Scale : E 3 M 5 V 3 Status mental : belum dapat dinilai Tanda rangsangan meningeal negatif Pupil isokor, refleks positif/positif lemah Nervi kranialis : paresis N VII kiri UMN Motorik : hemiparesis sinistra Sensorik belum dapat dinilai Refleks fisiologis ++/++ 76
Refleks patologis -/ Klonus – Saraf otonom dalam batas normal e. Hasil pemeriksaan penunjang : • Pemeriksaan laboratorium : darah perifer lengkap, hitung jenis, laju endap darah, CD 4, tes HIV • Pemeriksaan foto thoraks • Pemeriksaan CT Scan otak dengan kontras f. • • •
Monitoring Kesadaran Tanda vital Defisit fokal
Diskusi 1. Apakah penurunan kesadaran terjadi pada infeksi oportunistik HIV 2. Apakah hemiparesis terjadi pada infeksi oportunistik HIV 3. Apakah diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan penunjang 4. Apakah terapi antiretroviral diberikan segera atau setelah berapa lama pengobatan oportunistik
77
Materi Baku Neuro AIDS Pendahuluan Para ahli memperkirakan jumlah penderita HIV di Indonesia saat ini antara 130.000 – 140.000 orang.(1)
Selama lima tahun terakhir terjadi peningkatan penderita HIV secara
bermakna terutama pada pengguna narkoba suntik. Prevalensi HIV pada penderita yang dirawat di Rumah Sakit Ketergantungan Obat ( RSKO ) di Jakarta adalah 18 % pada tahun 1999, 40 % pada tahun 2000 dan 48 % tahun 2001.(2) Prevalensi HIV positif pada pengguna narkoba suntik di Indonesia diperkirakan antara 50 – 90 %.(3) Prevalensi HIV juga meningkat secara bermakna di kalangan pekerja seks, pada tahun 2003 di Jakarta Utara 3,36 %, Jawa Barat 5,5 % dan di Merauke 26,5 %.(2) Keterlibatan sistim saraf pada infeksi HIV dapat terjadi secara langsung karena virus tersebut dan tidak langsung akibat infeksi oportunistik akibat imunokompromis. Studi di negara barat melaporkan komplikasi pada sistim saraf terjadi pada 30 – 70 % penderita HIV, bahkan terdapat laporan neuropatologik yang mendapatkan kelainan pada 90 % spesimen posmortem dari penderita HIV yang diperiksa.(4) Spektrum penyakit neurologik pada HIV dapat dilihat pada tabel 1.(5) Saat ini infeksi HIV merupakan penyebab tersering infeksi intrakranial yang dirawat di departemen neurologi RSCM. Periode Januari – April 2004 terdapat 44 penderita di bagian neuro infeksi, 26 penderita ( 60 % )
didapatkan serologi HIV positif.(6) Diagnosis pada
penderita tersebut adalah ensefalitis toksoplasma ( 8 penderita ), tuberkuloma otak ( 1 penderita ), meningitis purulenta ( 2 penderita ), Stroke ( 2 penderita ), ensefalitis CMV ( 1 penderita ) dan klinis meningoensefaltis yang etiologinya tidak jelas ( 12 orang ). Pada saat tulisan ini dibuat terdapat dua kasus HIV dengan meningitis kriptokokus sedang dirawat di departemen neurologi. Diagnosis dibuat berdasarkan kultur dan tinta india. Selain itu identifikasi meningitis cryptococus melalui pemeriksaan tinta india dan serologi juga pernah dilaporkan di RSCM pada tahun 2003.(7) Angka kematian komplikasi neurologi infeksi HIV di RSCM pada saat ini masih cukup tinggi, yaitu 58 %.(6) Anti retroviral terbukti efektif menekan jumlah virus dalam peredaran darah sisitemik. Penggunaan obat ini mampu menurunkan angka kematian dan kesakitan penderita HIV.(4) 78
Tabel 1. Manifestasi neurologi HIV
Sumber : Justin McArthur 2003
Sistim Saraf dan HIV Pemahaman tentang neuropatogenesis HIV hingga saat masih belum lengkap, hal ini terutama karena tindakan diagnostik untuk membuktikan kelainan di sistim saraf pusat kebanyakan bersifat invasif, seperti pungsi lumbal dan biopsi otak. HIV merupakan suatu retrovirus anggota famili lentiviridae. Lentivirus ini dikenal sejak lama memiliki tropisme pada sistim saraf.(8) Efek utama HIV pada sistim imun adalah berkurangnya secara progresif sel limfosit CD 4. Keadaan ini menyebabkan disfungsi imunitas selular dan aktifasi infeksi laten yang sudah ada atau infeksi oleh organisme yang sebelumnya tidak bersifat patogen. Berkurangnya sel limfosit CD 4 juga mengakibatkan disregulasi makrofag yang menimbulkan produksi berlebihan sitokin proinflamasi dan berbagai khemokin.(9) Untuk masuk ke dalam sistim saraf pusat, HIV terlebih dahulu harus menginfeksi sel yang memiliki reseptor CD 4. Reseptor CD 4 terdapat pada sel limfosit T, monosit, makrofag
79
dan sel dendritik. Selain itu dalam proses infeksi sel oleh HIV juga diperlukan koreseptor khemokin yaitu CCR5 dan CXCR4.(10) Mekanisme masuknya virus HIV kedalam sistim saraf pusat adalah dengan cara menumpang pada monosit yang terinfeksi virus. Seperti telah diketahui dalam keadaan normal monosit dapat melewati sawar darah otak. Selanjutnya di dalam sistim saraf pusat, monosit yang telah terinfeksi berdeferensiasi menjadi mikroglia ( perivascular microglia ) dan makrofag ( meningeal macrophages ; choroid plexus macrophages). Kedua jenis sel ini kemudian bertanggung jawab dalam penyebaran HIV di otak dan medula spinalis. Mediator kimia dan protein virus HIV yang dihasilkan oleh kedua jenis sel ini berperanan menimbulkan gangguan permeabilitas sawar darah otak. Disfungsi sawar darah otak lebih lanjut memudahkan masuknya virion HIV baik secara langsung melintasi sawar darah otak ataupun dengan cara menumpang seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.(11) Terdapat beberapa mekanisme yang secara bersama terlibat dalam patogenesis kerusakan neuron. Makrofag dan mikroglia yang terinfeksi menghasilkan protein virus yang bersifat neurotoksik baik secara langsung maupun tidak langsung. Selain itu makrofag dan mikroglia yang terinfeksi melepaskan sitokin dan mediator yang bersifat neurotoksik terdiri dari proinflammatory cytokines (TNF-α dan IL-1), β chemokines ( MIP-1α, MIP-1β dan Rantes ), α chemokines IP-10, arachidonic acid, platelet activating factor, quinolinic acid, nitric oxide, dan superoxide anions.(11,12) Secara kumulatif komponen viral yang bersifat neurotoksik, sitokin dan khemokin bersama-sama membangkitkan berbagai kaskade sitotoksik dan disfungsi sistim imun yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan neuron seperti yang dapat dilihat pada gambar 1.(12)
80
Blood
Brain parechyma Blood
BBB
Scarano et al Nature Vol 5 Jan 2005
CNS Infections
Neuronal damage
Cognitive Motor weakness Encephalopathy
81
Neuronal Damage monocytes
Blood
Blood brain barrier macrophages
astrocyte
microglial
neuron
Brain parenchyma
Scarano et al Nature Vol 5 Jan 2005
Demensia HIV Prevalensi demensia pada penderita HIV pada masa sebelum HAART ( highly active anti retroviral therapy ) adalah 20 – 30 %, angka ini turun 50 % setelah HAART secara luas digunakan di negara barat.(13) Demensia HIV adalah suatu sindrom klinis yang ditandai dengan gangguan kognitif dan motorik yang menyebabkan hambatan menjalankan aktifitas hidup sehari-hari. Selain itu juga dijumpai bentuk klinis yang lebih ringan walaupun penderita masih dapat menjalankan aktifitas sehari-hari yang disebut sebagai HIV-associated minor cognitive / motor disorder ( MCMD ). (14) Beberapa istilah yang sering digunakan dalam literatur berbahasa Inggeris
bagi
demensia HIV adalah ADC ( AIDS Dementia Complex ), HIVD ( HIV Dementia ), HIVE ( HIV Encephalopathy ) dan HAD ( HIV associated Dementia ), namun istilah yang umum dipakai saat ini adalah HAD. 82
Keluhan motorik awal yang sering dijumpai adalah kelambanan motorik, kesukaran menulis, gangguan berjalan, bila memegang suatu benda sering kali terlepas. Gangguan gait merupakan manifestasi awal motorik yang paling sering dijumpai namun tidak terdiagnosa.(8) Manifestasi awal gangguan kognitif pada HIV sangat samar, sering kali disalah artikan sebagai depresi, pengaruh alkohol dan narkoba atau manifestasi penyakit oportunistik. Gejalanya dimulai dengan gangguan memori dan kelambatan psikomotor. Keluhan kognitif dan perilaku pada tahap dini yang sering dijumpai adalah mudah lupa ( forgetfullness ), sukar berkonsentrasi, apatis, hilangnya libido dan menarik diri dari kehidupan sosial. Seringkali dijumpai problem sewaktu mengikuti alur suatu percakapan, sulit memahami cerita baik saat membaca atau menonton film. Timbul kesukaran
melakukan aktifitas sehari-hari yang kompleks. Lupa
terhadap perjanjian yang sudah dibuat, lupa waktu minum obat dan lain sebagainya.(8) Diagnosis demensia pada HIV seringkali tidak mudah untuk dibuat karena banyaknya kemungkinan etiologi lain yang dapat menimbulkan manifestasi gangguan kognitif, perilaku dan motorik pada penderita HIV. Petunjuk pada tabel 2 dapat digunakan dalam
menegakkan
diagnosis demensia HIV.(8) Tabel 2. Gejala klinis yang menuntun kearah diagnosis demensia HIV 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Serologi HIV positif Terdapat gangguan yang bersifat progresif : kognitif, perilaku, memori dan perlambatan mental Pemeriksaan neurologik : gambaran gejala neurologik yang bersifat difus, perlambatan rapid eye movement dan motorik ekstremitas, hiperrefleksia, hipertonia dan dijumpainya release sign. Pemeriksaan neuropsikologi : impairmen pada dua jenis pemeriksaan yaitu : fungsi lobus frontal, kecepatan motorik dan memori non verbal. Cairan otak : tidak dijumpai neurosifilis dan meningitis kriptokokkus. Pemeriksaan radiologik : atrofi cerebri dan disingkirkan adanya lesi fokal Tidak dijumpai penyakit psikiatrik mayor dan intoksikasi Tidak dijumpai gangguan metabolik ; hipoksemia, sepsis dan lain-lain Tidak dijumpai penyakit oportunistik otak yang aktif
Demensia HIV perlu mendapat perhatian komunitas neurologi di Indonesia karena penyakit ini sangat mempengaruhi adherence penderita HIV terhadap terapi anti retroviral. Di Amerika saat ini merupakan penyebab terbesar demensia pada orang dewasa muda.
83
Infeksi Sitomegalovirus Merupakan penyakit mematikan yang sering dijumpai pada penderita HIV. Manifestasi sitomegalovirus pada penderita HIV tersering adalah retinitis sitomegalovirus kemudian diikuti oleh gangguan pada saluran cerna pada urutan kedua dan manifestasi neurologi pada urutan selanjutnya (15) Dokter dengan pemeriksaan neuro-oftalmologi dapat membantu menemukan kasus retinitis sitomegalovirus yang banyak menyebabkan kebutaan, karena funduskopi juga banyak dilakukan oleh dokter saraf. Pemeriksaan funduskopi secara rutin sebaiknya dilakukan pada penderita HIV dengan jumlah sel CD 4 dibawah 100 sel/µL.(16) Gambar 2. Retinitis sitomegalovirus
Gejala klinis retinitis sitomegalovirus adalah penurunan tajam penglihatan, gangguan lapangan pandang dan melihat benda-benda yang bergerak pada lapangan penglihatan ( floaters ). (16)
Retinitis
sitomegalovirus
merupakan
hemorrhagic necrotizing retinitis seperti terlihat pada gambar 2.(17) Sumber : Whitcup SM Manifestasi sitomegalovirus pada sistim saraf pusat dapat terjadi pada otak, medula spinalis dan saraf tepi. Presentasi klinik yang sering dijumpai adalah ensefalitis, meningoensefalitis, lesi desak ruang, ventrikuloensefalitis, mielitis transversa, poliradikulitis progresif dan mielopoliradikulitis. Diagnosis infeksi sitomegalovirus pada sistim saraf pusat tidak mudah dibuat. (18) Diagnosis hanya dapat tegak berdasarkan gambaran klinik yang disokong oleh imajing dan pemeriksaan marker virus. Gejala klinis
ensefalitis sitomegalovirus tidak dapat dibedakan dengan infeksi
bakterial maupun virus lainnya yang awitannya subakut. Pada ensefalitis sitomegalovirus dapat dijumpai gangguan kognitif yang progresif disertai dengan kelemahan motorik dan defisit sensorik yang dapat disertai kelumpuhan saraf kranial, ataksia, hemiparesis dan hemianopia.(18) Oleh karena awitannya yang bersifat subakut keadaan ini menyerupai demensia HIV. Poliradikulopati-progresif karena sitomegalovirus memperlihatkan gejala sindroma kauda-equina. Keadaan ini berkembang selama beberapa hari sampai beberapa minggu.
84
Biasanya dimulai dengan kelemahan pada kedua tungkai yang kemudian diikuti oleh saddle anesthesia dan inkontinensia urin.(19) Gambar 3. Ventrikulitis sitomegalovirus
Penyangatan
pada
periventrikular
(
Owl’s
daerah eyes
)
merupakan gambaran yang khas untuk
ventrikulitis
karena
sitomegalovirus, gambar 3 (20) tetapi frekuensi ventrikulitis jarang ditemukan.
Manifestasi
infeksi
sitomegalovirus di otak yang lebih sering dijumpai adalah ensefalitis, namun tidak ada gambaran sken maupun MRI yang spesifik.(18) Sumber: Rubin Pada pemeriksaan cairan serebro spinal dapat dijumpai peningkatan sel dan protein dan penurunan glukosa seperti infeksi virus dan bakteri lain. Pemeriksaan antigen sitomegalovirus dengan dari cairan serebro spinal sangat membantu penegakan diagnosis. Di Rumah Sakit Kanker Dharmais pemeriksaan ini dapat dilakukan. Pemeriksaan serologik lainnya seperti IgG dan IgM sitomegalovirus tidak bersifat spesifik.(18) Gansiklovir 5 mg/KgBB dua kali sehari secara parenteral diberikan dapat diberikan selama 14 – 21 hari sebagai terapi induksi untuk infeksi CMV pada sistim saraf. Setelah itu dapat dilanjutkan terapi rumatan menggunakan dosis 5 mg/KgBB sekali sehari.(18) Terapi rumatan dianjurkan diberikan sampai CD 4 lebih dari 100 sel/µL. Sebaiknya sewaktu menggunakan obat ini harus diingat harga yang mahal dan efek samping yang berat terhadap sistim hematopoetik dan ginjal.
Ensefalitis Toksoplasma (ET) ET di jumpai pada 30 - 50 % penderita HIV dengan lesi massa intrakranial.(21) Kasus ET yang didiagnosis berdasarkan imajing dan serologi dijumpai pada 30,7 % penderita HIV yang dirawat di departemen neurologi.(6) Mungkin angka ini lebih rendah dari yang semestinya 85
karena pemeriksaan imajing dan serologik toksoplasma hanya dapat dilakukan pada sebagian kecil penderita. ET biasanya dijumpai pada penderita HIV dengan kadar CD 4 dibawah 200 sel/µL.(22) Banyak kasus ET pada penderita AIDS terjadi karena reaktivasi dari infeksi laten yang sudah ada sebelumnya. Gambaran klinik biasanya subakut berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu. Keluhan yang sering dijumpai adalah nyeri kepala disertai demam. Defisit neurologi fokal, dengan manifestasi hemiparesis, ataksia, defisit saraf kranial dan gangguan lapangan pandang merupakan kelainan neurologi yang dapat dijumpai disertai kesadaran menurun dan tanda peningkatan tekanan intrakranial. (8,21) Gejala lain yang juga dapat ditemukan adalah kejang, gejala mirip parkinson dan korea-athetosis. Pemeriksaan imajing memperlihatkan lesi otak multipel dengan cincin atau penyangatan homogen dan disertai edema vasogenik pada jaringan di sekitarnya. Lesi ini dapat dijumpai pada bagian superfisial, yaitu pada daerah cortico-medullary junction dan lokasi yang lebih dalam misalnya di daerah basal ganglia dan thalamus.(8) MRI lebih superior dibanding dengan CT sken dalam memperlihatkan lesi fokal pada ET, namun dalam praktek sehari-hari CT sken lebih mudah terjangkau. Pada kasus-kasus yang meragukan dapat digunakan MRI dan bahkan MR Spektroskopi untuk membedakan lesi toksoplasma dengan lesi lainnya seperti limfoma secara lebih akurat. Pemeriksaan serologi sangat penting dalam diagnosis ET. Bila dijumpai serologi IgG toksoplasma negatif, peluang
ET menjadi sangat berkurang walaupun dalam kepustakaan
keadaan itu dapat saja terjadi pada penderita HIV dengan defek imunitas yang berat. Di RSCM titer IgG toksoplasma yang dianggap positif bila lebih besar dari 300 IU/ml. Diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi otak. Pemeriksaan biopsi terutama dianjurkan untuk kasus-kasus dengan pemeriksaan imajing yang tidak jelas atau pada keadaan terapi presumtif menunjukkan kegagalan. Nilai CD 4 penderita HIV dengan gambaran imajing dan hasil serologi sudah cukup sebagai dasar untuk memulai terapi presumtif. Terapi ini dilakukan selama 2 minggu. Perbaikan klinis dapat dilihat dalam 1 – 2 minggu, sedangkan perbaikan gambaran imajing dapat terlihat pada 4 – 6 minggu.(23) Menurut kepustakaan terapi ET yang efektif terdiri dari pirimetamin 50 – 75 mg per hari disertai dengan Sulfadiazin 100mg/KgBB/hari.(24) Mengingat efek samping kedua obat tersebut adalah supresi sistim hemapoetik maka perlu ditambahkan folinic acid 10-20 mg per hari. Di 86
Jakarta tidak mudah untuk mendapatkan regimen seperti yang disebutkan diatas, oleh karena itu terapi ET di RSCM dipakai fansidar dan klindamisin. Dosis fansidar 2 – 3 tablet per hari dan klindamisin 4 X 600 mg per hari disertai dengan leukoverin 10 mg per hari. (fansidar mengandung pirimetamine 25 mg + sulfadoksin 500 mg ). Untuk terapi pencegahan kekambuhan maupun terapi profilaksis pada penderita AIDS dapat diberikan kotrimoksazol dosis dewasa 2 tablet per hari.
Gambar 4a.
Gambar 4b.
Gambar 4d Gambar 4c. Gambar 4. Seorang penderita wanita 23 tahun HIV positif di RSCM dengan keluhan sakit kepala dan demam. Gambar 4a, CT scan tanpa kontras saat penderita baru masuk dalam perawatan. Gambar 4b, 4c dan 4d, MRI beberapa hari kemudian memperlihatkan lesi multiple yang menyangat kontras yang sebelumnya tidak terlihat pada CT scan. Gambar 4e. CT scan lima bulan kemudian setelah terapi toksoplasma.
Gambar 4e.
Meningitis Kriptokokus Angka kejadian meningitis kriptokokus pada penderita HIV di Indonesia belum diketahui. Penelitian di Thailand melaporkan prevalensi kriptokokosis pada penderita HIV sebesar 18,5 %.(25) Awitan meningitis kriptokokus bersifat subakut berlangsung selama 2 – 4 minggu dengan gejala sakit kepala, demam, kesadaran menurun, perubahan kepribadian dan gangguan memori. Suatu penelitian di Zimbabwe pada 89 penderita meningitis kriptokokus mendapatkan gejala sakit kepala 96 %, demam 51 %, muntah 41 % dan kaku kuduk 48 %.(26) Frekuensi peningkatan tekanan intrakranial pada meningitis kriptokokus terhitung tinggi seperti pada penelitian Graybill dkk yang melaporkan pada 53 % penderita dijumpai tekanan cairan serebro spinal ( CSS) diatas 250 mmHg.(27) Tekanan intrakranial tinggi ini akan menimbulkan gangguan penglihatan dan pendengaran. Dari penelitian yang sama didapatkan 87
data yang menarik yaitu, ternyata pada kelompok dengan tekanan CSS diatas 250 mmHg hanya dijumpai papil edema pada 26 % penderita dan tidak satupun memperlihatkan gambaran imajing hidrosefalus obstruktif. Pemeriksaan imajing tidak memberikan gambaran yang khas. Pada pemeriksaan neuroradiologi dapat dijumpai gambaran edema serebri, lesi fokal, atrofi, hidrosefalus dan penyangatan pada meningen ( meningeal enhancement ).(8,28) Pada pemeriksaan foto torak dapat dijumpai gambaran kriptokokosis paru. Pemeriksaan analisa CSS biasanya dijumpai sedikit peningkatan sel, peningkatan protein yang moderat dan penurunan glukosa. (27,28) Pemeriksaan sedian langsung CSS dengan pewarnaan tinta India memberikan hasil positif pada 75 % kasus.(28) Pada gambar 5 dapat dilihat identifikasi kriptokokus dengan tinta india. Gambar 5. Preparat tinta india kriptokokus
Pemeriksaan serologik untuk menentukan antigen capsular merupakan pemeriksaan yang sangat bermanfaat karena dapat dilakukan dengan cepat. Di RSCM terapi primer terhadap meningitis kriptokokokus fase akut adalah Amfoterisin B 0,7 mg/kg BB/hari intravena selama 2 minggu, kemudian dilanjutkan dengan Fluconazole 400 mg per hari per oral selama 8 – 10 minggu. Terapi pencegahan kekambuhan menggunakan Fluconazole 100 mg per hari diberikan untuk seterusnya selama jumlah sel CD 4 masih dibawah 300 sel/µL.(23) Selama terapi perlu dipantau kemungkinan terjadinya reaksi alergi, gangguan fungsi ginjal dan hepar. Pungsi lumbal berulang, pemasangan lumbal drain dan ventriculoperitoneal shunt dilaporkan bermanfaat mencegah kebutaan dan kematian pada penderita dengan tekanan CSS yang tinggi pada infeksi kriptokokus di serebral.(28)
88
Anti Retroviral (ARV) Angka harapan hidup penderita HIV dilaporkan meningkat di negara barat sejak dimulainya penggunaan HAART( highly active anti retroviral therapy ). Supresi virus dalam peredaran darah sistemik mampu menurunkan angka kejadian infeksi oportunistik yang merupakan penyebab utama kematian dan kesakitan pada penderita HIV. Kini HIV dianggap merupakan salah satu penyakit kronik yang dapat ditatalaksana dengan baik dalam jangka panjang. ARV mulai dipakai di Indonesia sejak tahun 1990 namun pada sat itu harganya masih sangat mahal. Pada tahun 1997 Pokdisus AIDS FKUI mencanangkan program akses diagnosis dan terapi AIDS, melalui program itu dilakukan kerjasama dengan perusahaan farmasi yang memproduksi ARV dalam bentuk obat paten sehingga harganya dapat ditekan.(29) Pada tahun 2001 tim Pokdisus AIDS FKUI yang dikirim ke India dapat mendatangkan obat retroviral generik ke Indonesia.(29) Sejak saat itu penderita HIV di Indonesia dapat menikmati ARV generik. Akses terhadap terapi ARV bagi penderita HIV di Indonesia menjadi semakin luas semenjak Kimia Farma ikut memproduksi ARV generik pada tahun 2004. Rekomendasi WHO pada Juni 2004 ARV utama untuk negara berkembang sebagai ARV first-line adalah kombinasi berikut :(30) •
d4T/3TC/NVP (stavudin/lamifudin/nevirapin)
•
d4T/3TC/EFV (stavudin/lamifudin/efavirens)
•
AZT/3TC/NVP (zidovudin/lamifudin/nevirapin)
•
AZT/3TC/EFV (zidovudin/lamifudin/efavirens)
Kombinasi AZT/3TC/NVP merupakan kombinasi ARV yang digunakan oleh Pokdisus AIDS FKUI. Dosisnya adalah AZT 2 X 300 mg/hari, 3TC 2 X 150 mg/hari dan NVP 2 X 200 mg/hari. Selain ketiga obat tersebut juga disediakan obat lain misalnya d4T, EFV dan ddI untuk digunakan sebagai alternatif bagi penderita yang tidak dapat mentoleransi salah satu dari komponen kombinasi AZT/3TC/NVP.
Kesimpulan Terjadi peningkatan prevalensi HIV/AIDS di Indonesia, demikian pula komplikasi neurologi yang menyertainya baik langsung atau infeksi oportunistik. Tetapi sejak ditemukan
89
ARV yang efektif mensupresi virus dalam darah penderita HIV, maka terjadi penurunan angka kematian dan kesakitan disertai meningkatnya usia harapan hidup Sehingga makin bertambah panjangnya umur penderita HIV maka diperkirakan dimasa datang akan banyak kita jumpai penderita HIV yang datang dengan problem neurologi. Penyakit HIV saat ini dianggap merupakan penyakit kronik yang dapat di tatalaksana dengan baik. Oleh karena itu pengetahuan tentang patofisiologi, diagnosis dan terapi HIV menjadi sangat penting dipahami oleh komunitas dokter saraf.
JALUR KLINIS PENDERITA HIV (+) DENGAN INFEKSI SSP DI RSCM UNITDokter GAWAT DARURAT Jaga : Anamnesis • Nyeri Kepala • Penurunan Kesadaran Terapi Empirik • Kejang Penilaian Ulang 90 Anti • HIV (+), CD4 < 200 Klinis, Pencitraan, Laboratorium, neurologi Fokal Kriptokokus, Tuberkulosis, Limfoma, PML, Toksoplasmosis Defisit Fisik Toksoplasmosis Perbaikan Serebral Pemeriksaan CT Scan Kepala Gagal Lesi kontras/MRI Terapi Fokal OtakSSP kepala kontras Biopsi Pungsidan Lumbal Gejala klinis infesi Bakterialis, lainnya CMV, Tuberkulosis Terapi/tindakan emergensi resusitasi + Konsul ahli Saraf -
91
CRYPTOCOCCAL MENINGITIS GEJALA KLINIS Demam, sakit kepala, mual dan muntah dan disfungsi kognitif LCS: kultur Cryptococcus neoformans (+) atau tes antigen cryptococcal LCS Kultur darah Cryptococcus seringkali (+) dan Ag Cryptococcal serum sangat sensitif Neuroimaging: CT atau MRI biasanya normal atau memperlihatkan abnormalitas nonspesifik
TERAPI KHUSUS Terapi akut: Amphoterisin B 0,7 mg/kgBB/hari IV dibagi 4 dosis selama 2 minggu diikuti dengan flukonazole 400 mg/hari PO sampai lengkap 10 minggu pemberian Terapi akut sebaiknya dilanjutkan sampai LCS steril Pemeliharaan jangka panjang Flukonazole 200 mg/hari PO
KEPUSTAKAAN 1.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia: Laporan eksekutif Menteri Kesehatan RI tentang penanggulangan HIV/AIDS pada sidang kabinet Maret 2002. 2. Menko Kesra, Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Strategi Nasional Penanggulangan HIV/AIDS 2003 – 2007. Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat 2003. 3. Djauzi S, Djoerban Z. Penatalaksanaan Infeksi HIV di Pelayanan Kesehatan Dasar. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2003;3-4. 4. Maschke M, Kastrup O, Esser S, et al. Incidence and Prevalence of Neurological Disorders Associated with HIV since the Introduction of Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART). J Neurol Neurosurg Psychiatry 2000;69:376380. 5. McArthur JC, Haughey N, Gartner S, Conant K, Pardo C, et al. Human immunodeficiency virus-associated dementia: An evolving disease. Journal of NeuroVirology 2003;9: 205-221. 6. Tiksnadi A, Imran D, Jannis J. Penelitian Kasus HIV yang Dirawat di Bangsal Neurologi. Subbagian Neuroinfeksi FKUI/RSCM 2004. 7. Imran D, Wiweka S, Sujatmiko A, Marshal, Jannis J. Kriptokokosis SSP: Serial Kasus pada Penderita HIV. Subbagian Neuroinfeksi FKUI/RSCM 2003. 8. Mancall EL, Cascino TL, Devereaux MW, et al. The Molecular Biology of HIV Dementia. In: Mancal EL, ed The Neurologic Complications of AIDS. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins, 2000;17-29. 9. Tan SV, Guiloff RJ. Hypothesis on the pathogenesis of vacuolar myelopathy, dementia, and peripheral neuropathy in AIDS. J Neurol Neurosurg Psychiatry 1998;65:23-28. 10. Wu DT, Woodman SE, Weiss JM, McManus CM, D'Aversa TG. Mechanisms of leukocyte traficking into the CNS. Journal of NeuroVirology,2000;6:Suppl1,S82S85. 92
11. Albright AV, Soldan SS, Gonz´alez-Scarano SF. Pathogenesis of human immunodeficiency virus-induced neurological disease. Journal of NeuroVirology,2003;9: 222-227. 12. Wesselingh SL, Thompson KA. Immunopathogenesis of HIV-associated dementia. Current Opinion in Neurology 2001,14:375-379. 13. Sacktor N. The epidemiology of human immunodeciency virus associated neurological disease in the era of highly active antiretroviral therapy. J NeuroVirology 2002;8(suppl.2):115-121. 14. American Academy of Neurology AIDS Task Force. Nomenclature and research case definition for neurologic manifestations of human immunodeficiency virustype 1 (HIV-1) infection. Neurology 1991;41:778-785. 15. Ives DV. Cytomegalovirus disease in AIDS. AIDS,1997;11(15)1791-1797. 16. Moraes HV. Ocular manifestations of HIV/AIDS. Current Opinion in Opthalmology,2002;13(6)397-403. 17. Whitcup SM. Ocular Manifestations of AIDS. JAMA,1996;275:(2)142-144. 18. Maschke M,Kastrp O,Diener H-C. CNS Manifestations of Cytomegalovirus Infections: Diagnosis and Treatment. CNS Drug,2002;16(5):303-315. 19. Verma A. Epidemiology and clinical features of HIV-1 associated neuropathies. J Peripher Nerv Syst. 2001;6(1): 8-13. 20. Rubin DI. Owl’s eyes of CMV ventriculitis. Neurology,2000;54:2217 21. Skiest DJ. Focal Neurological Disease in Patients with Acquired Immunodeficiency Syndrome. Clinical Infectious Diseases 2002; 34:103-115. 22. Belanger F, Derouin F. Incidence and Risk Factors of Toxoplasmosis in a Cohort of Human Immunodeficiency VirusInfected Patients : 1988-1995. Clinical Infectious Diseases 1999;575-581 23. Jannis J, Imran D. SOP Komplikasi Neurologi pada HIV. Subbagian Neuroinfeksi FKUI/RSCM 2003. 24. Duval X, Leport C. Toxoplasmosis in AIDS. Current Treatment Options in Infectious Diseases 2001;3:113-128 25. Chariyalertsak S, Sirisanthana T,1 Saengwonloey O, Nelson KE. Clinical Presentation and Risk Behaviors of Patients with Acquired Immunodeficiency Syndrome in Thailand, 1994-1998: Regional Variation and Temporal Trends. 26. Heyderman RS, Gangaidious zo IT, Hakim JG. Cryptococcal Meningitis in Human Immunodeficiency Virus - Infected Patients in Harare, Zimbabwe. Clinical Infectious Disease. 1998; 26:284-9 27. Graybill JR, sobel J, Powderly W. Diagnosis and Management of Increased Intracranial Pressure in patients with AIDS and Cryptococcal meningitis. Clinical Infectious Disease 2000;30;47-54 28. Houff SA. Cryptococcal Meningitis. Neurobase Compact Disk Second 1998 edition. Arbor Publishing Corp. 29. Djauzi S. Mengenal Terapi Antiretroviral. Jakarta: Pokdisus AIDS FKUI-Yayasan Pelita Ilmu, 2003;7-8. 30. World Health Organisation. The Use of Antiretroviral Therapy: A Simplified Approach for Resource-Constrained Countries. Regional Office for South East Asia, New Delhi June 2004.
93
IV. Spondilitis o Referensi :
Standar kompetensi spesialis saraf 2006, KNI PERDOSSI
Ropper A.H., Robert HB., Adams and Victor, Principles of Neurology, eight ed. Mc Graww Hill, 2005, 11-13, 541-542.
Scheld WM et.al., Infection of the central nervous system, third ed., 2004, 10-12
William J.W et all, Emergent and urgent Neurology, Second edition, 1999
Kompetensi •
Wood. M, Neurological Infection, 1988
Menegakkan diagnosis dan tatalaksana spondilitis mencakup
epidemiologi, etiologi, klasifikasi, patogenesis, dan patofisiologi, gambaran klinik,
pemeriksaan
penunjang
dan
interpretasinya
disertai
manajemen
pengobatan terpadu. KETERAMPILAN Setelah menyelesaikan modul ini, peserta didik diharapkan memiliki keterampilan: • Menguasai mekanisme terjadinya spondilitis • Identifikasi, anamnesis dan diagnosis spondilitis • Menguasai tatalaksana dan pengelolaan pasien dengan spondilitis • Mengetahui efek samping obat-obatan yang digunakan pada spondilitis • Memprediksi dan mengelola komplikasi yang terjadi pada spondilitis Gambaran umum Maksud pelatihan adalah untuk memberi bekal pengetahuan praktek dan manajemen spondilitis secara komprehensif melalui pendekatan berbasis kasus (case based learning). Subyek yang dipelajari secara mandiri dan aktif oleh peserta didik adalah tentang terjadinya infeksi susunan saraf pusat, diagnosis, dan evaluasi serta terapi farmakologi. Contoh kasus
94
Wanita usia 24 tahun, tidak bekerja , datang kerumah sakit dengan keluhan utama kedua tungkainya sejak 1 bulan terakhir. Keluhan diawali dengan riwayat nyeri seperti terikat pada bagian perut dan dada pasien, keluhan kadang disertai demam yang tidak terlalu tinggi, terutama malam hari dan disertai penurunan berat badan, kemudian keluhan dirasakan memberat hingga pasien mengeluh tungkainya berjalan terasa berat hingga 1 bulan terakhir kesulitan berjalan. Lebih kurang 6 bulan terakhir pasien menjalai terapi pengobatan TB paru, dan tidak teratur pengobatannya Diskusi 1. Mengapa terjadi suatu kelemahan kedua tungkai pada spondilitis ? 2. Apakah terdapat spastisitas pada kedua tungkai yang mengalami kelemahn ? 3. Apakah diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis untuk melakukan pengobatan segera? 4. Apakah punksi lumbal segera dilakukan untuk menegakkan diagnosis? 5. Apakah pemeriksaan CT Scan/MRI vertebra dilakukan setelah atau sebelum punksi lumbal ? Tujuan pembelajaran Identifikasi kelainan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinik Mengetahui penyebab spondilitis Menjelaskan epidemiologi spondilitis Mengetahui komplikasi Mengetahui indikasi dan kontraindikasi pemeriksaan penunjang Mengetahui indikasi pemeriksaan Rontgen polos vertebral, CT Scan dan MRI torak dan lumbal o Melakukan dan menjelaskan terapi spondilitis dan manajemen serta resistensi antibiotik o Mempertimbangkan /menganjurkan tindakan operatif o o o o o o
Tujuan – 1 : Identifikasi kelainan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinik . • Mengetahui Anamnesis dan pemeriksaan klinik spondilitis Tujuan- 2 : Mengetahui penyebab spondilitis o o o
Mengetahui penyebab spondilitis Mengetahui anatomi tulang dan medula spinalis Mengetahui jenis bakteri, penyebab dan proses molekular yang terjadi sampai terjadi spondilitis 95
Mengetahui farmakologi obat dan efek samping
o
Tujuan - 3 : Menjelaskan epidemiologi spondilitis • • •
Mengetahui penyebab spondilitis Mengetahui jenis bakteri spesifik penyebab dan proses yang terjadi mengetahui farmakologi OAT dan efek samping
Tujuan 4 : Mengetahui komplikasi •
Mengetahui komplikasi yang terjadi pada spondilitis Menjelaskan komplikasi awal, intermediate, spesifik dan longterm Mengetahui cara mengatasi komplikasi Antisipasi kelainan otonom
Tujuan 5 : Mengetahui indikasi dan kontraindikasi pemeriksaan penunjang •
Mengetahui interpretasi pemeriksaan rontgen polos vertebra
•
Mengetahui kelainan khas dan interpretasi CT Scan dan MRI vertebra
Tujuan 6 : Mengetahui indikasi pemeriksaan Rontgen polos vertebral, CT Scan dan MRI vertebrae thorakal Tujuan 7 : Melakukan dan menjelaskan terapi spondilitis dan manajemen serta resistensi antibiotik o • • • •
Mengetahui manajemen dan pengobatan spondilitis Mengetahui manajemen dan terapi melakukan tindakan emergensi pertimbangan terapi empirik mengevaluasi hasil terapi
Tujuan 8 : Mempertimbangkan /menganjurkan tindakan operatif •
Mempertimbangkan tindakan operatif pada spondilitis
Kasus untuk pembelajaran Laki-laki usia 24 tahun, tidak bekerja , datang kerumah sakit dengan keluhan utama nyeri seperti terikat pada dada dan perutnya. Sejak 1 bulan terakhir pasien mengeluh nyeri seperti terikat pada bagian perut dan dada pasien, keluhan kadang disertai
96
demam yang tidak terlalu tinggi, terutama malam hari dan disertai penurunan berat badan, kemudian keluhan dirasakan memberat hingga pasien mengeluh tungkainya berjalan terasa berat kesulitan memakai sendal. Keluhan terkadang disertai gangguan saat buang air kecil dan buang air besar. Lebih kurang 6 bulan terakhir pasien menjalai terapi pengobatan TB paru, dan tidak teratur pengobatannya.
• • • • • • • • • •
a. Hasil pemeriksaan fisik adalah sebagai berikut : kesadaran compos mentis Tekanan darah : 110/70 mmHg Frekuensi nadi 85 x/ menit Suhu 37 C Respirasi 21 x / menit Jantung dan paru dalam batas normal Abdomen supel, hepar dan lien tak teraba Punggung daerah thorakal teaba gibus, tidak terasa nyeri Ekstremitas tidak ada edema Status neurologis Glasgow Coma Scale : E 4 M 6 V 5 Status mental : dalam batas normal Tanda rangsangan meningeal negatif Pupil isokor, refleks positif/positif Nervi kranialis : paresis (-) Motorik : paraparesis inferior, spastis Sensorik hipestesi setinggi thorakal VII kebawah Refleks fisiologis +++/+++ Refleks patologis -/ Klonus +/+ Saraf otonom : retensi urin
g. • • •
Hasil pemeriksaan penunjang : Pemeriksaan laboratorium : darah perifer lengkap, hitung jenis, laju endap darah, Pemeriksaan foto thoraks dan vertebra Pemeriksaan CT Scan dan MRI vertebral dengan kontras
h. • • •
Monitoring Kesadaran Tanda vital Defisit fokal
Diskusi 1. Mengapa terjadi suatu kelemahan kedua tungkai pada spondilitis ?
97
2. Apakah terdapat spastisitas pada kedua tungkai yang mengalami kelemahn ? 3. Apakah diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis untuk melakukan pengobatan segera? 4. Apakah punksi lumbal segera dilakukan untuk menegakkan diagnosis? 5. Apakah pemeriksaan CT Scan/MRI vertebra dilakukan setelah atau sebelum punksi lumbal ?
MATERI BAKU Spondilitis Tuberkulosis Spondilitis Tuberkulosis (TB) atau penyakit Pott telah terdokumentasi pada mumi dari Mesir dan Peru dan merupakan penyakit tertua yang diketahui pada manusia. Pada tahun 1779, Percivall Pott menggambarkan deskripsi klasik dari tuberkulosis spinal. Sejak penemuan obat anti tuberkulosis, tuberkulosis tulang belakang mulai jarang ditemukan di negara maju, namun masih banyak ditemukan di negara berkembang. Dari seluruh kasus TB 17,9%-19.4% adalah kasus ekstra pulmonal, dimana 11%nya melibatkan osteoartikuler. Spondilitis TB pada orang dewasa biasanya merupakan infeksi sekunder dengan fokus infeksi di tempat lain dan tidak selalu berasal dari paru. Banarjee dan Tow menemukan 31% dari 499 pasien spondilitis TB menunjukkan hasil positif pada pemeriksaan rontgen paru, dimana 78%nya adalah anak-anak, sedangkan 69% sisanya menunjukkan hasil negatif. Pada orang dewasa fokus primer dapat juga berasal dari usus, ginjal dan tonsil. Patogenesis dan Patofisiologi Penyebaran dari fokus primer dapat secara hematogen dan limfogen. Infeksi korpus vertebra biasanya dimulai pada bagian tulang yang berdekatan dengan diskus intervertebralis atau dibagian anterior dibawah periosteum korpus vertebra, sedangkan
98
arkus neuralis jarang terkena. Mycobacterium tuberculosis mengakibatkan resorpsi masif vertebra spinal. Patogenesis penyakit Pott belum jelas, namun telah diidentifikasi sebuah protein M tuberkulosis (Mt) chaperonin (cpn) 10 yang bertanggung jawab untuk aktifitas proteolitik bakteri ini. Mt cpn10 rekombinan ini merupakan stimulator poten untuk resorpsi tulang dan menginduksi rekrutmen, menginhibisi proliferasi pembentukan tulang oleh osteoblast. Chaperonin 60 (cpn60) memiliki struktur heptamer yang homolog dengan cpn10. Cpn60 ini akan menghambat pembentukan heptamer cpn10 sehingga diperkirakan pada masa mendatang menjadi target teraputik untuk tuberkulosis tulang. Karena distribusi suplai arteri vertebralis, tulang vertebra yang berdekatan dapat terkena. Perubahan tulang terlihat dalam 2 hingga 5 bulan setelah infeksi. Biasanya bagian subkondral dari korpus vertebra terkena. Bila bagian anterior dan lateral korpus yang terkena maka akan mengakibatkan terjadinya kifosis dan gibus. Bila bagian posterior korpus yang terkena mengakibatkan kavitasi dan massa ekstradura. Selain itu didapatkan penyebaran limfogen yang berasal dari tuberkulosis ginjal yang tidak bermanifestasi. Tuberkulosis menyebar dari fokus tulang belakang melalui penyebaran langsung melalui ruang diskus. Bola abses paravertebral terbentuk, penyakit kemudian menyebar melalui ligamentum longitudinalis anterior/posterior hingga ruang pleura. Abses dapat juga menyebar melalui fasia menimbulkan abses psoas atau menyebar ke posterior membentuk abses ekstradura. Destruksi vertebra ,mengakibatkan kolapsnya korpus vertebra bersamaan dengan pembentukan baji anterior. Kompresi medula spinalis pada spondilitis terutama diakibatkan oleh tekanan dari abses paraspinal yang berada retrofaringeal pada daerah cervikal dan terbentuk spindel pada daerah torakal dan torakolumbal. Defisit neurologis juga dapat berasal dari invasi intradural oleh jaringan granulasi dan kompresi dari pecahan tulang yang hancur, destruksi diskus intervertrebralis, atau dislokasi tulang vertebra. Penyebab yang jarang adalah insufisiensi vaskuler arteri spinalis anterior. Kelainan neurologi ini dapat terjadi pada semua stadium spondilitis dan bahkan terjadi bertahun-tahun setelah pengobatan akibat tarikan medula spinalis di dalam kanalis spinalis yang mengalami deformasi.
99
Gejala dan Tanda Spondilitis TB dapat memberikan gambaran yang sangat bervariasi. Gambaran yang sering dan paling awal didapatkan adalah nyeri tulang belakang, dapat berupa nyeri lokal maupun radikuler. Selain itu didapatkan juga gambaran manifestasi penyakit kronis seperti penurunan berat badan, rasa lemah, demam, dan / atau keringat malam. Gejala timbul antara 2 minggu hingga 3 tahun, dengan rata-rata 1 tahun. Nyeri lokal memiliki karakteristik dalam, membosankan, dan seperti pegal (deep, boring, aching). Nyeri ini dibangkitkan oleh stres mekanik pada vertebra. Tirah baring biasanya dapat mengurangi nyeri. Nyeri lokal timbul sebagai akibat dari iritasi pada vertebra pada bagian yang memiliki persarafan (periosteum, ligamen, duramater, apophiseal joint) dan struktur-struktur penunjuangnya. Nyeri radiluker ditimbulkan oleh iritasi dorsalis dan disroyeksikan sesuai dengan distribusi dermatom. Nyeri dirasakan tajam, seperti ditembak/ditikam. Nyeri bertambah berat dengan aktifitas yang meningkatkan kompresi pada nervus ataupun menimbulkan regangan pada radiks seperti batuk, bersin, hiperekstensi tulang belakang. Kompresi medula spinalis oleh paraspinal abses ataupun korpus vertebra yang kolaps dapat menimbulkan kelainan neurologis. Gambaran klinis yang ditimbulkan tergantung pada level dari medula spinalis atau radiks yang terkompresi. Kelainan neurologis ditemukan pada 13% pasien, dapat berupa paraparesis (66%), gangguan sensorik (34%) dan gangguan otonom (31%). Defisit neurologis dapat muncul segera setelah infeksi terjadi. Pada pemeriksaan fisik ditemukan deformitas dari tulang belakang (gibus) yang disertai spasme otot disekitarnya dan nyeri tekan. Pergerakan menjadi terbatas. Dapat pula ditemukan massa di pangkal paha, paha ataupun panggul. Pada pemeriksaan neurologis dapat ditemukan defisit neurologis sesuai dengan kompresi medula spinalisnya. Pemeriksaan Penunjang •
Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium memberikan hasil peningkatan LED, dan tuberkulin tes positif. CRP yang meningkat menunjukkan telah terbentuk pus (abses). Mantoux test biasanya
100
positif (84-95%), namun hal ini hanya menunjukkan riwayat pernah terpapar TB. Selain itu juga pemeriksaan ini juga tidak spesifik karena pada orang-orang yang pernah terinfeksi mycobakterium non tuberkulosa juga akan memberikan hasil yang positif. Kultur sampel urin pagi positif bila ada tuberkulosis renal. Pemeriksaan sputum positif hanya bila infeksi akut paru-paru. Pemeriksaan laboratorium yang memastikan penyakit adalah kultur positif dari hasil biopsi lesi vertebra.
•
X Foto rontgen
Foto polos vertebra menunjukkan gambaran destruksi korpus vertebra terutama di bagian anterior, kolaps vertebra, diskus intervertebra menyempit atau bahkan hancur. Juga gambaran abses paravertebra, berupa bayangan di daerah paravertebra. •
Imejing
Pemeriksaan pencitraan tomografi komputer (CT Scan) menunjukkan gambaran tulang, jaringan lunak sekitar vertebra dan dalam kanalis dengan lebih jelas. CT Scan dapat mendeteksi kerusakan tulang yang baru timbul serta lebih efektif untuk melihat bentuk tulang dan kalsifikasi abses paravertebra yang merupakan gambaran klasik dari penyakit Pott. Pencitraan resonansi magnetik (MRI) merupakan pilihan pencitraan karena dapat melihat baik tulang maupun jaringan lunak yang terkena dan penyebaran di bawah ligamentum longitudinal anterior dan posterior, juga dapat membedakan antara tuberkulosis dan piogenik. Penatalaksanaan Penatalaksanaan ditujukan untuk eradikasi infeksi, mencegah atau memperbaiki defisit neurologi dan deformitas tulang belakang. Penatalaksanaan primer adalah medikamentosa. US CDC dan British Medical Research Council merekomendasikan kombinasi OAT selama 6-9 bulan pada spondilitis Tuberkulosa. Pada kasus yang melibatkan beberapa vertebra dianjurkan pengobatan selama 9-12 bulan. Kombinasi yang
101
digunakan paling sedikit terdiri dari 3 jenis OAT dan salah satunya harus bersifat bakterisidal. Diberikan pada 2 bulan pertama dilanjutkan dengan INH dan Rifampisin sampai masa terapi selesai. Dosis yang digunakan adalah INH 300 mg oral, rifampisin 10 mg/KgBB, tidak melebihi 600 mg. Untuk pirazinamid dosis yang diberikan adalah 15-30 mg/KgBB, etambutol 15-25 mg/KgBB dan Streptomisin 15 mg/KgBB, tidak melebihi 1 g/hari. Penatalaksanaan nyeri juga penting. Pengobatan akut dapat menggunakan antiinflamasi nonsteroid, inhibitor COX-2, opioid lemah (kodein dan tramadol). Bila masih timbul nyeri dapat diberikan opioid yang kuat (morfin dan oksikodon). Bila timbul nyeri kronik dapat diberikan antidepresan trisiklik atau anti konvulsi. Fisioterapi untuk mengatasi nyeri dilakukan pemanasan, pendinginan, terapi ultrasound, massotherapy, TENS, dan akupuntur. Pasien juga diajarkan teknik relaksasi dengan biofeedback, guided imagery, meditasi. Kadang-kadang diperlukan konseling psikologi. Penatalaksanaan bedah dilakukan pada pasien bila terdapat defisit neurologi, deformitas tulang belakang dengan instabilitas, tidak ada respon terhadap pengobatan medikamentosa, tidak patuh minum obat, dan diagnostik belum jelas. Pembedahan dikontraindikasikan jika prolaps tulang vertebra tidak besar (korpus vertebra yang kolaps kurang dari 50% atau deformitas tulang belakang kurang dari 50. Teknik operasi yang sering digunakan adalah debridemen radikal fokal anterior dan stabilisasi posterior, selain itu dapat juga dilakukan debridemen radikal anterior, dekompresi dan fusi menggunakan instrumentasi tulang belakang anterior dan penggantian dengan alograft dari fibula. Darwish et al (2001) berpendapat bahwa dalam penatalaksanaan penyakit ini, kombinasi kemoterapi dengan pembedahan merupakan kombinasi terbaik. Fisioterapi diperlukan untuk mencegah timbulnya dekubitus, pencegahan fraktur dan deformitas tulang belakang yang lebih berat. Kadang-kadang diperlukan frame, plaster bed, plaster jacket, dan brace. Pasien dilatih untuk mobilisasi aktif namun dengan menjaga stabilitas tulang belakang direncanakan pemasangan korset torakolumbal. Diagnosis Banding
102
Diagnosis banding spondilitis tuberkulosis adalah infestasi jamur, kanker metastasis, abses medula spinalis, tumor tulang belakang, infeksi mikobakterioum lainnya (avium, kansasii). Prognosis Prognosis tergantung dari derajat penyakit. Bila tidak ada deformitas tulang belakang berat dan defisit neurologi yang jelas maka hasil pengobatan akan baik. Prognosis juga bergantung pada kepatuhan pasien minum obat. Paraplegia yang timbul juga mengalami perbaikan dengan kemoterapi yang tepat, bila tidak ada perbaikan maka diperlukan pertimbangan tindakan operatif. Paraplegi ini dapat menetap jika terjadi kerusakan medula spinalis yang permanen
103
V. Tetanus o Referensi :
Standar kompetensi spesialis saraf 2006, KNI PERDOSSI
Ropper A.H., Robert HB., Adams and Victor, Principles of Neurology, eight ed. Mc Graww Hill, 2005, 11-13, 541-542.
Scheld WM et.al., Infection of the central nervous system, third ed., 2004, 10-12
William J.W et all, Emergent and urgent Neurology, Second edition, 1999
Kompetensi •
Wood. M, Neurological Infection, 1988
Menegakkan
diagnosis
dan
tatalaksana
tetanus
mencakup
epidemiologi, etiologi, klasifikasi, patogenesis, dan patofisiologi, gambaran klinik,
pemeriksaan
penunjang
dan
interpretasinya
disertai
manajemen
pengobatan terpadu. KETERAMPILAN Setelah menyelesaikan modul ini, peserta didik diharapkan memiliki keterampilan: • Menguasai mekanisme terjadinya tetanus • Identifikasi, anamnesis dan diagnosis tetanus • Menguasai tatalaksana dan pengelolaan pasien dengan tetanus • Mengetahui efek samping obat-obatan yang digunakan pada tetanus • Memprediksi dan mengelola komplikasi yang terjadi pada tetanus Gambaran umum Maksud pelatihan adalah untuk memberi bekal pengetahuan praktek dan manajemen tetanus secara komprehensif melalui pendekatan berbasis kasus (case based learning). Subyek yang dipelajari secara mandiri dan aktif oleh peserta didik adalah tentang terjadinya tetanus, diagnosis, dan evaluasi serta terapi farmakologi. Contoh kasus
104
Laki-laki usia 24 tahun, pekerja bangunan , datang kerumah sakit dengan keluhan utama kejang seperti kaku seluruh tubuh. Lebih kurang 2 hari yang lalu pasien mengeluh tampak kejang dan kaku seluruh tubuh, kaku pada mulut dan sukar dibuka, dan bila mendengar suara atau dikagetkan pasien kembali kejang. Pasien masih tetap sadar. Keluhan disertai demam tinggi dan seperti menggigil. Lebih kurang 1 minggu sebelumnya, pasien mengalami tertusuk paku pada telapak kaki kanannya, namun lukanya hanya kecil sehingga pasien tidak berobat ke dokter. Diskusi 1. Mengapa terjadi kejang kaku pada seluruh tubuh pada tetanus ? 2. Kenapa pasien sensitif terhadap suara ? 3. Apakah diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis untuk melakukan pengobatan segera? 4. Apakah luka yang kecil dapat menyebabkan masuknya toksin tetanus ? 5. Apakah indikasi terapi di tempat perawatan intensif pada pasien tetanus ? Tujuan pembelajaran o o o o o o o
Identifikasi kelainan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinik Mengetahui penyebab tetanus Menjelaskan epidemiologi tetanus Mengetahui komplikasi Mengetahui indikasi dan kontraindikasi pemeriksaan penunjang Melakukan dan menjelaskan terapi tetanus dan manajemen pasien tetanus Mempertimbangkan /menganjurkan tindakan perawatan di ruangan intensif
Tujuan – 1 : Identifikasi kelainan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinik . • Mengetahui Anamnesis dan pemeriksaan klinik tetanus Tujuan- 2 : Mengetahui penyebab tetanus Mengetahui penyebab tetanus Mengetahui mekanisme terjadinya tetanus Mengetahui jenis bakteri anaerob, penyebab dan proses molekular yang terjadi sampai terjadi tetanus o Mengetahui farmakologi obat dan efek samping obat o o o
Tujuan - 3 : Menjelaskan epidemiologi tetanus • mengetahui distribusi penderita tetanus di negara berkembang • Mengetahui jumlah penderita yang mempunyai prognosis
105
Tujuan 4 : Mengetahui komplikasi
Mengetahui komplikasi yang terjadi pada tetanus Menjelaskan komplikasi awal, intermediate, spesifik dan longterm Mengetahui cara mengatasi komplikasi
Tujuan 5 : Mengetahui indikasi dan kontraindikasi pemeriksaan penunjang •
Mengetahui interpretasi pemeriksaan elektromiografi
Tujuan 6 : Melakukan dan menjelaskan terapi tetanus dan manajemen serta resistensi antibiotik, penggunaan anti serum tetanus o • • • • •
Mengetahui manajemen dan pengobatan tetanus Mengetahui cara pemberian anti toksin dan toksoid tetanus melakukan tindakan emergensi dan terapi kejang pada tetanus pertimbangan terapi empirik mengevaluasi hasil terapi Mengatasi dan mencari fokus infeksi dari masuknya toksin tetanus
Tujuan 8 : Mempertimbangkan /menganjurkan perawatan intensif • •
Mempertimbangkan tindakan perawatan luka yang diperkirakan menjadi fokus infeksi Mempertimbangkan perawatan intensif bila terjadi kegagalan pernafasan
Kasus untuk pembelajaran Laki-laki usia 24 tahun, pekerja bangunan , datang kerumah sakit dengan keluhan utama kejang seperti kaku seluruh tubuh. Lebih kurang 2 hari yang lalu pasien mengeluh tampak kejang dan kaku seluruh tubuh, kaku pada mulut dan sukar dibuka, dan bila mendengar suara atau dikagetkan pasien kembali kejang. Pasien masih tetap sadar. Keluhan disertai demam tinggi dan seperti menggigil. Lebih kurang 1 minggu sebelumnya, pasien mengalami tertusuk paku pada telapak kaki kanannya, namun lukanya hanya kecil sehingga pasien tidak berobat ke dokter. • • • •
a. Hasil pemeriksaan fisik adalah sebagai berikut : kesadaran compos mentis Tekanan darah : 110/70 mmHg Frekuensi nadi 110 x/ menit Suhu 37,3 C
106
• • • • • • •
Respirasi 21 x / menit Risus sardonicus Jantung dan paru dalam batas normal Abdomen tegang , hepar dan lien tak teraba Punggung tegang dan tampak melinting (epistotonus) Ekstremitas t Status neurologis Glasgow Coma Scale : E 4 M 6 V 5 Status mental : dalam batas normal Tanda rangsangan meningeal negatif Pupil isokor, refleks positif/positif Nervi kranialis : paresis (-) Motorik : tidak terdapat paresis Sensorik: baik Refleks fisiologis ++/++ Refleks patologis -/ Klonus -/ Saraf otonom : dalam batas normal
•
b. Hasil pemeriksaan penunjang : Pemeriksaan laboratorium : darah perifer lengkap, hitung jenis, laju endap darah,
i. • • •
Monitoring Kesadaran Tanda vital Defisit fokal
Diskusi i.
Mengapa terjadi kejang kaku pada seluruh tubuh pada tetanus ?
ii. iii. iv. v.
Kenapa pasien sensitif terhadap suara ? Apakah diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis untuk melakukan pengobatan segera? Apakah luka yang kecil dapat menyebabkan masuknya toksin tetanus ? Apakah indikasi terapi di tempat perawatan intensif pada pasien tetanus ?
107
MATERI BAKU TETANUS Pendahuluan Tetanus di karakteristikkan dengan adanya trismus, risus sardonicus, rigiditas general dan spasme otot. Hal itu disebabkan adanya neurotoksin tetanospasmin, yang diproduksi oleh Clostridium tetani yang masuk melalui luka yang terkontaminasi. Organisme tersebut menghasilkan spora dan merupakan bakteri gram positif yang banyak ditemukan di dalam tanah dan feses dari kuda, domba, anjing, kucing dan ayam. Epidemiologi Kejadian tetanus di seluruh dunia sekitar 1 juta kasus per tahunnya. Kebanyakan kasus tetanus terjadi setelah terjadi trauma akut pada kulit, baik itu luka tusuk atau laserasi, pada orang yang belum mendapatkan imunisasi atau imunisasi primer yang tidak lengkap. Tetanus juga dapat terjadi pada kasus penyalahgunaan obat-obatan parenteral dan tindik lidah, hidung, umbilikus dan bagian tubuh yang lain. Pada kasus tetanus pada neonatus terjadi pada infan yang ibunya tidak diimunisasi atau imunisasinya tidak lengkap dan berhubungan dengan instrumen yang tidak steril yang digunakan saat persalinan. Pemberian imunisasi pada ibu-ibu hamil bersifat protektif. Dengan bertambahnya umur kadar antitoksin antibodi tetanus semakin menurun, sehingga risiko lebih tinggi pada geriatri. Pada dewasa umur 60 tahun, risiko tetanus sekitar tujuh kalinya dibandingkan dengan umur 5 – 19 tahun. Patofisiologi Toksin tetanus di transmisikan secara retrograd melalui axon saraf perifer dari tempat masukya Clostridium tetani yaitu luka yang terinfeksi, sehingga masuk ke badan sel saraf motorik di massa abu-abu bagian ventral dari medula spinalis dan batang otak. Toksin tetanus mengikat ke bagian membran presinap perikarion melalui jalur sinapsinap saraf, sehingga toksin tersebut mencegah pelepasan dari neurotransmiter inhibitor glisin dan asam gamma-aminobutiric (GABA) dari ujung presinap. Blokade dari neurotransmiter tersebut mengakibatkan spasme otot, eksitasi yang terduga dari alfa motor neuron di medula spinalis dan batang otak. Toksin tetanus juga mengakibatkan overaktif dari sistem saraf simpatis dengan menghambat sinap di preganglion sel kolumna intermediolateral dari medula spinalis bagian torakal. Manifestasi Klinis Ada empat bentuk gejala klinis tetanus : neonatus, generalis, lokal dan sefalik. Gejala yang paling sering muncul pada tetanus neonatus antara lain spastisitas, kurang menghisap, trismus, demam, iritabilitas, risus sardonicus, dan opitotonus. Masa inkubasi dari saat timbulnya luka hingga munculnya gejala tetanus yaitu 8 hari. Gejala yang paling sering pada tetanus generalis yaitu nyeri atau kekakuan dari otototot kepala dan leher yang disertai trismus dan disfagia. Gejala dini lainnya yaitu risus sardonicus. Spasme otot berkembang dalam 24 jam dari onset gejala. Selain itu juga
108
terdapat spasme reflek yaitu kontraksi tonik dari beberapa grup otot yang menyebabkan opistotonus, fleksi dan aduksi dari lengan, menegang pada bagian dada dan ekstensi dari ekstremitas bawah. Tetanus lokal hanya terbatas pada ekstremitas yang mengalami luka dan terkontaminasi oleh kuman C tetani. Pada awalnya pasien mengeluh kekakuan pada otototot tersebut pada saat digerakkan. Kemudian gejala berkembang hingga timbulnya spasme yang terus menerus atau rigiditas pada otot-otot terdekat dengan luka yang disertai nyeri saat otot tersebut mengalami spasme. Tetanus lokal dapat berkembang menjadi tetanus generalis. Pada tetanus lokal gejala menyembuh dalam hitungan minggu dan bulan. Tetanus sefalik terjadi biasanya pada pasien yang mengalami luka pada bagian wajah, kepala atau leher, dan memiliki periode inkubasi yang pendek sekitar 1 atau 2 hari. Diagnosis Tetanus didiagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis. Kuman Clostridium tetani tidak tumbuh pada saat dikultur yang diambil dari luka yang terkontaminasi. Diagnosis diferensial diantaranya intoksikasi strichnin, rekasi distonia akibat oabt-obat penghambat dopamin, kejang, dan sindroma stiff man. Tatalaksana Tatalaksana tetanus antara lain rawat luka, menetralisir toksin yang bersirkulasi dengan imuno globulin tetanus manusia, mengatasi spasme otot, mencegah gagal nafas dan mengatasi disfungsi otonom. Pasien dirawat di ruang perawatan intensif dengan memperkirakan kebutuhan intubasi bila terjadi kegagalan nafas. Dimana jalan nafas bagian atas sering mengalami oklusi akibat spasme yang terjadi sehingga terjadi suatu episode hipoksia pada pasien. Serum antibodi antitetanus sebaiknya diukur konsentrasi di dalam tubuh, dengan kadar 0,01 IU/ mL secara umum merupakan kadar protektif minimum. Berbagai stimulus yang berasal dari luar dapat mencetuskan terjadinya spasme tetanik yang berat, obat golongan benzodiazepin (diazepan atau lorazepam) dapat digunakan untuk mengatasi hal tersebut yang harus diberikan sebelum penyuntikkan Human tetanus immuno globulin (HTIG). Benzodiazepin memiliki sifat GABA agonis sehingga obat-obat golongan ini merupakan pilihan utama. Penggunaan dosis besar pada diazepam (500 mg atau lebih) atau lorazepam (200 mg atau lebih) sangat diperlukan untuk mengatasi spasme yang terjadi. Ketika kedua obat tersebut digunakan dalam dosis besar akan menyebabkan komplikasi terjadinya asidosis metabolik karena kandungan glikol propilen yang terlarut. Untuk mengatasinya dapat digunkan obat lain yaitu midazolam yang merupakan obat larut dalam air . Dosis midazolam yang diberikan 5-15 mg/ jam melalui infus secara continu. Obat golongan lain yang dapat diberikan pada tetanus generalis yaitu baclofen secara intratekal melalui infus, dengan dosis bolus awal 300-500 ug dan dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan dengan rata-rata 500-1000 ug/hari. Baclofen dosis tinggi baik secara bolus atau dosis harian dapat menyebabkan koma, hipotonia, hipotensi, bradikardi, dan depresi nafas. Pemberian dantrolen secara infus harian (dosis bolus 1-1,5 mg/kg, diikuti dengan dosis 0,5 – 1 mg/kg per 4-6 jam selama lebih kurang 25 hari) dilaporkan dapat diberikan untuk mengatasi spasme tetanus. Tetapi dapat menyebabkan hepatotoksik.
109
Toksin tetanus yang bersirkulasi dinetralisir dengan memberikan HTIG intramuskular dengan dosis 500 IU. Imunisasi aktif toksoid tetanus diberikan sebagai tambahan HTIG. Setidaknya untuk menjaga status imunitas diberikan tiga kali suntikan intramuskular dengan jarak kurang dari 1 bulan. Dua dosis pertama diberikan dengan jarak setidaknya 4 minggu, dan dosis ketiga dengan jarak 6 bulan setelah dosis kedua. Untuk meneradikasi kuman C. Tetani diberikan intravena metronidazol 500 mg tiap 6 jam (atau 400 mg per rectal tiap 6 jam) selama 7-10 hari. Jalur nafas bagian atas dapat mengalami oklusi dan diperlukan tindakan intubasi untuk menjaga jalan nafas tetap baik. Dalam melakukan intubasi kadang diberlukan suatu obat penghambat neuromuskular. Sebagai pilihan dapat digunakan vecuronium atau pancuronium sebagai pilihan utama dan efek kardiovaskular yang rendah. Pemberian propofol juga dapat digunakan untuk mengatasi spasme saat melakukan intubasi. Dan bila pemakaian ventilasi mekanik selama 7 – 10 hari dapat dilakukan trakeostomi. Hiperaktifitas simpatis menyebabkan keadaan hipertensi yang labil, takikadi, hipertemi, produksi salivasi yang berlebihan dan sekresi bronkus dan keadaan hipermetabolisme. Untuk mengatasi overaktif simpatis ini dapat diberikan labetolol intravena dengan dosis 0,25 – 1 mg/menit atau 50 – 100 mg tiap 6 jam. Sebagai alternatif dari labetolol dapat diberikan clonidin 0,2-0,4 mg/hari. Propanolol dalam dosis rendah telah dilaporkan menyebabkan henti jantung dan edema pulmonal pada pasien tetanus. Sebagai obat-obatan pembantu dalam mengatasi ketidakstabilan otonom yang berat dapat diberikan magnesium sulfat ( 4 gr bolus diikuti dengan 2-3 g per jam). Konsentrasi magnesium dalam serum dipertahankan antara 4 hingga 8 mEq/L. Pemberian kortikosteroid tidak direkomendasikan diberikan rutin pada pasien tetanus.
110
VI. MALARIA SEREBRAL o Referensi :
Standar kompetensi spesialis saraf 2006, KNI PERDOSSI
Ropper A.H., Robert HB., Adams and Victor, Principles of Neurology, eight ed. Mc Graww Hill, 2005, 11-13, 541-542.
Scheld WM et.al., Infection of the central nervous system, third ed., 2004, 10-12
William J.W et all, Emergent and urgent Neurology, Second edition, 1999
Kompetensi •
Wood. M, Neurological Infection, 1988
Menegakkan diagnosis dan tatalaksana malaria serebral mencakup
epidemiologi, etiologi, klasifikasi, patogenesis, dan patofisiologi, gambaran klinik,
pemeriksaan
penunjang
dan
interpretasinya
disertai
manajemen
pengobatan terpadu. KETERAMPILAN Setelah menyelesaikan modul ini, peserta didik diharapkan memiliki keterampilan: • Menguasai mekanisme terjadinya malaria serebral • Identifikasi, anamnesis dan diagnosis malaria serebral • Menguasai tatalaksana dan pengelolaan pasien dengan malaria serebral • Mengetahui efek samping obat-obatan yang digunakan pada malaria • Memprediksi dan mengelola komplikasi yang terjadi pada malaria serebral Gambaran umum Maksud pelatihan adalah untuk memberi bekal pengetahuan praktek dan manajemen infeksi susunan saraf pusat secara komprehensif melalui pendekatan berbasis kasus (case based learning). Subyek yang dipelajari secara mandiri dan aktif oleh peserta didik adalah tentang terjadinya malaria serebral, diagnosis, dan evaluasi serta terapi farmakologi. Contoh kasus
111
Seorang laki-laki umur 27 tahun, datang ke rumah sakit dengan keluhan utama penurunan kesadaran. Sejak tiga hari yang lalu pasien tampak cenderung diam dan sulit diajak bicara, tujuh hari sebelumnya pasien tampak bicara tidak nyambung tidak sesuai isi pembicaraannya. Keluhan disertai sakit kepala terasa berdenyut di seluruh bagian kepala. Keluhan juga disertai demam tinggi hingga menggigil dirasakan hilang timbul dengan periode tiga hari sekali tampak menggigil, kadang disertai kejang kelojotan seluruh tubuh. Pasien sekitar 6 bulan yang lalu riwayat dinas didaerah Nusa Tenggara Timur. Diskusi 1. Apakah seseorang dengan kejang mengalami malaria serebral 2. Apakah riwayat mengunjungi daerah endemis merupakan kecurigaan terjadinya malaria serebral 3. Bagaimana mekanisme penurunan kesadaran pada malaria serebral 4. Apakah malarial serebral akan mempengaruhi status mental seseorang Tujuan pembelajaran • Mengetahui cara memberitahu pasien dan keluarga • Mengetahui mekanisme masuknya plasmodium ke otak • Mengetahui cara diagnostik malaria serebral dengan pemeriksaan apus darah tebal, dan serologi • Mengetahui cara diagnosis infeksi malaria serebral dan etiologi plasmodium penyebabnya berdasarkan klinis periode terjadinya demam • Mengetahui manajemen umum komplikasi serebral malaria • Mengetahui indikasi pemeriksaan CT sken/ MRI pada kasus serebral malaria • Mengetahui cara dan waktu pengambilan darah untuk pemeriksaan apus darah te bal • Mengetahui indikasi Lumbal punksi dan pemeriksaan laboratorium • Mengetahui cara dan efek samping pemberian obat-obatan anti malaria • Melakukan konsultasi dengan bidang terkait •
Tujuan 1 : memperkenalkan diri dan memberi tahu keluarga proses penyakit yang terjadi pada penderita menjelaskan tentang pengaruh infeksi malaria pada sistem organ lain memberitahu tentang penularan penyakit malaria serebral • Tujuan 2 : mengetahui proses masuknya plasmodium masuk menembus sawar darah otak mengetahui proses terjadinya destruksi neuron • Tujuan 3 :
112
menjelaskan interpretasi tes pemeriksaan apus darah tebal dan serologi malaria •
•
•
• •
•
1.
Tujuan 4 : mengetahui diagnosis malaria serebral memperkirakan kemungkinan diagnosis etiologi plasmodium berdasarkan gejala klinis yang timbul memperkirakan kemungkinan diagnosis lain dengan gejala yang menyerupai Tujuan 5 : mengetahui manajemen penurunan kesadaran mengetahui manejemen nyeri kepala termasuk indikasi lumbal punksi mengetahui manajemen kejang mengetahui tatalaksana malaria serebral Tujuan 6 : mengetahui indikasi pemeriksaan CT sken, MRI atau MRS mengetahui waktu pelaksanaan pemeriksaan radiologis berdasarkan klinis penderita Tujuan 7 : mengetahui cara dan waktu pengambilan darah untuk pemeriksaan apus darah tebal Tujuan 8 : melakukan lumbal punksi bila tidak ada kontra Indikasi melakukan pemeriksaan laboratorium likuor sesuai dengan kemungkinan diagnosis dan mengirimkan ke laboratorium yang sesuai Tujuan 9 : melakukan terapi segera berdasarkan perkiraan di agnosis memberitahu keluarga tentang target pengobatan yang akan dicapai Tujuan 10 : melakukan konsultasi dengan disiplin ilmu lain dalam menangani keterlibatan infeksi ataupun komplikasi pada sistem organ selain otak
Kasus untuk proses pembelajaran Seorang laki-laki umur 27 tahun, datang ke rumah sakit dengan keluhan utama penurunan kesadaran. Sejak tiga hari yang lalu pasien tampak cenderung diam dan sulit diajak bicara, tujuh hari sebelumnya pasien tampak bicara tidak nyambung tidak sesuai isi pembicaraannya. Keluhan disertai sakit kepala terasa berdenyut di seluruh bagian kepala. Keluhan juga disertai demam tinggi hingga menggigil dirasakan hilang timbul dengan periode tiga hari sekali serta tampak menggigil, kadang disertai kejang kelojotan seluruh tubuh. Pasien sekitar 6 bulan yang lalu riwayat dinas didaerah Nusa Tenggara Timur. a. Hasil pemeriksaan fisik adalah sebagai berikut :
113
• • • • • • • • • •
kesadaran somnolen Tekanan darah : 110/70 mmHg Frekuensi nadi 85 x/ menit Suhu 40 C Respirasi 23 x / menit Konjunctiva anemis, sklera tidak ikterik Jantung dan paru dalam batas normal Abdomen supel, hepar dan lien teraba membesar Ekstremitas tidak ada edema
Status neurologis Glasgow Coma Scale : E 3 M 5 V 3 Status mental : belum dapat dinilai Tanda rangsangan meningeal negatif Pupil isokor, refleks positif/positif lemah Nervi kranialis : paresis (-) Motorik : kesan hemiparesis (-) Sensorik belum dapat dinilai Refleks fisiologis ++/++ Refleks patologis -/ Klonus – Saraf otonom dalam batas normal
• •
b. Hasil pemeriksaan penunjang : Pemeriksaan laboratorium : darah perifer lengkap, hitung jenis, laju endap darah, apus darah tebal, serologi Pemeriksaan foto thoraks Pemeriksaan CT Scan otak dengan kontras
• • • •
Monitoring Kesadaran Tanda vital Defisit fokal
•
Diskusi 1. Apakah seseorang dengan penurunan kesadaran, gangguan status mental dan kejang mengalami malaria serebral 2. Apakah riwayat mengunjungi daerah endemis merupakan kecurigaan terjadinya malaria serebral 3. Bagaimana mekanisme penurunan kesadaran pada malaria serebral 4. Bagaimana menginterpretasi hasil pemeriksaan apus darah tebal dan identifikasi plasmodium berdasarkan pemeriksaan apus darah tebal
114
115
MATERI BAKU MALARIA SEREBRAL PENDAHULUAN Malaria merupakan penyakit parasit yang umum terdapat di daerah endemik. 1,2,3 Penyebabnya adalah protozoa genus Plasmodium yang terdiri dari P.vivax, P.falciparum, P. Ovale dan P. malaria.3,4,5 Saat ini malaria mengenai lebih dari 2.400 juta orang melebihi 1,2 40 % penduduk dunia, dan dari 100 negara di daerah tropik 1,2,7. Di Indonesia malaria masih menjadi masalah kesehatan masyarakat karena beberapa daerah masih merupakan daerah endemik terutama di daerah Indonesia Timur8. Species yang paling banyak ditemukan adalah plasmodium falciparum dan plasmodium vivax. Proporsi malaria falciparum 35 – 45 % mengenai orang dewasa, namun demikian anak mempunyai resiko lebih tinggi. 1 Penyakit malaria dapat mengancam hidup dan melibatkan berbagai organ termasuk sistem saraf pusat maupun tepi. Beberapa komplikasi neurologik berhubungan dengan malaria falciparum, walaupun demikian tidak berarti semua malaria ini mengalami komplikasi neurologik. Selain itu komplikasi dapat juga disebabkan oleh keadaan lain seperti demam tinggi dan bahkan obat antimalaria itu sendiri. Kasus kematian malaria falciparum kira-kira 1% dari 1-3 juta kematian / tahun di seluruh dunia. Berikut ini akan dibahas mengenai manifestasi dan komplikasi neurologik yang paling umum yaitu malaria serebral 1,2,3,4,5, dan komplikasi neurologik lainnya, seperti sindrom serebelar, kejang, gangguan medula spinalis dan neuropati serta beberapa manifestasi serebral lain. EPIDEMIOLOGI Plasmodium falciparum umumnya terdapat di daerah endemik tropik dan subtropik.6 Afrika sub Sahara dan Melanesia (Papua New Guinea, kepulauan Salomon). P. vivax di Amerika Tengah dan Selatan, India, Afrika Utara dan Timur Tengah, sedangkan p. Ovale di Afrika Barat dan P.malariae sporadik di seluruh dunia.2,4 Di Indonesia, Sulawesi Utara khususnya Minahasa merupakan daerah endemik dan di daerah ini ditemukan komplikasi malaria serebral berkisar antara 3,8 – 6,4%. 10 Setiap tahun malaria menyebabkan penyakit pada 300-500 juta orang diseluruh dunia dan lebih dari 1 juta 1,2 meninggal.1,4 Malaria menduduki tempat ketiga teratas di antara penyakit infeksi yang menyebabkan kematian dari data WHO. 4,7 Dari 10 % pasien malaria falciparum yang dirawat rumah sakit 80 % kematian akibat komplikasi pada sistem saraf pusat 8,9. MALARIA SEREBRAL Beberapa faktor dapat menjadi predisposisi malaria serebral seperti : 1. Usia tua 2. Kehamilan, terutama primigravida dengan kehamilan pada paruh kedua 3. Pasien imunosupresi menggunakan steroid, obat-obat anti kanker,atau obat imunosupresan 4. Pasien dengan imunokompromise disertai tuberkulosis atau kanker stadium lanjut 116
5. Splenektomi 6. Pernah terpapar malaria sebelumnya (non-imun) atau menurunnya imunitas Malaria serebral memperlihatkan gejala – gejala ensefalopati yang umumnya disebabkan oleh infeksi Plasmodium falciparum11. Laporan mengenai frekuensi malaria serebral pada infeksi malaria berkisar antara 0,01 % 16 %. Dapat mengenai anak-anak, dewasa muda serta orangtua. Disamping itu juga orang dewasa non imun yang bepergian ke daerah endemik terutama bila pengobatan preventifnya terputus. Wanita hamil beresiko karena menurunnya imunitas selama kehamilan. Diperkirakan bahwa AIDS dapat merupakan salah satu faktor predisposisi di daerah tropik.11
DEFINISI Untuk menentukan diagnosis dan manajemen segera dan tepat, perlu kesepakatan definisi tentang malaria serebral. Digunakan definisi pragmatik berdasarkan Skor Koma Glasgow (SKG) dan dibagi atas 3 kriteria : 8,12,13 1. Koma dalam, tak dapat dibangunkan; respons motorik atau stimuli nyeri tak dapat dilokalisasi atau tidak ada respons. 2. Ensefalopati penyebab lain telah disingkirkan. Koma harus menetap lebih dari 30 menit – 6 jam setelah kejang umum untuk menyingkirkan koma sesaat setelah kejang. Hipoglokemia, meningoensefalitis, cedera kepala, penyakit serebrovaskuler dan gangguan metabolik harus disingkirkan sebagai penyebab koma. 3. Konfirmasi infeksi P.falciparum : bentuk aseksual dari P.falciparum harus dapat ditunjukkan sedian apus tebal darah tepi atau hapusan sumsum tulang saat masih hidup atau pada hapusan jaringan otak setelah meninggal. Jika malaria serebral terjadi pada anak – anak, maka digunakan Skala Koma Blantyre sebagai alat bantu untuk menilai kesadaran dan diagnostik.12 Berdasarkan tingkat kesadaran maka Rustama D dan Hoffman, membagi malaria serebral atas 3 tingkatan:14 I. Malaria serebral sedang : penderita malaria dengan delirium dan obtudansi II. Malaria serebral berat : penderita dengan stupor III. Malaria serebral sangat berat : penderita malaria dengan koma atau penderita malaria sedang/berat yang tidak menunjukkan kemajuan klinis dalam 6 jam setelah dimulai terapi dengan kinin dihidroklorida intravena. Sesuai dengan perjalanan klinik penderita maka terdapat dua fase pada malaria serebral, yaitu :15,16 1. Fase prodormal : gejala yang timbul tidak spesifik,penderita mengeluh sakit pinggang, mialgia, demam yang hilang timbul serta kadang-kadang menggigil dan sakit kepala 2. Fase akut : gejala yang timbul menjadi bertambah berat karena menyebabkan sakit kepala yang hebat, mual, muntah, diare, batuk darah. Setelah itu penderita mengalami gangguan kesadaran, kejang, hemiplegia dan dapat berakhir dengan kematian.
117
PATOFISIOLOGI Secara makroskopik berdasarkan hasil otopsi terdapat edema serebral 3,6,16 baik edema vasogenik maupun sitotoksik18 disertai perdarahan petekial difus terutama pada substansia alba 6,11. Secara mikroskopik, perdarahan pitekial ini memperlihatkan gambaran spesifik perdarahan terjadi disekeliling arteriol substansia alba. 3,6,11,19 Tampaknya ini disebabkan oleh vaskulopati yang dipengaruhi oleh imunitas sehingga menyebabkan perubahan permeabilitas endotelial, edema perivaskuler, diapedesis eritrosit dan leukosit, nekrosis dinding pembuluh darah dan mikrotrombosis intravaskuler serta trombosis kapiler11. Patogenesis malaria serebral sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Beberapa hipotesis yang pernah dikemukakan, antara lain :3 1. Hipotesis mekanik : cytoadherence (Miller 1969), rosette (Carlson 1993) 2. Hipotesis permeabilitas (Maegraith dan Fletcher 1972) 3. Koagulasi Intravaskuler Diseminata (DIC) (Punyagupta dkk 1974) 4. Demielinisasi post-infeksi – vaskulomiopati (Toro dan Roman 1978). 5. Hipotesis Toksin/mediator : endotoksin (Clark 1978), sitokin (Clark dkk 1981), radikal oksigen bebas (Clark dan Hunt 1983), Nitrat oksida (Clark dkk 1992) 6. Kerusakan kompleks imun (Adam dkk 1981) Dari sekian hipotesis, dewasa ini yang berkembang adalah hipotesis mekanik dan humoral, karena kedua hipotesis ini dapat menjelaskan etiologi malaria serebral.12 1. Hipotesis mekanik. Penelitian yang dilakukan Machiafava dan Bignami11 hampir seabad lalu mengenai penyumbatan kapiler dan venula serebral oleh sel darah merah berparasit akan memperlihatkan sludging darah pada sirkulasi kapiler akibat infeksi malaria. Sel-sel darah merah yang berparasit ini membentuk tonjolan (knob) 1,2,3,6,17 pada permukaan dan meningkatkan sifat cytoadherent 3,6,12,19,20,21 sehingga cenderung melekat pada endotel kapiler-kapiler dan venulae. Hipotesis ini menunjukkan bahwa terdapat interaksi spesifik antara protein membran eritrosit P.falciparum (PfEMP-1) dan ligan pada sel endotelial, seperti ICAM-1 3,6,11,12,20,21,22 atau E-selektin, menurunkan aliran darah mikrovaskuler sehingga terjadi hipoksia12. Selanjutnya terjadi sekuestrasi parasit-parasit pada pembuluh darah yang lebih dalam. Juga, pembentukan rosette yaitu cytoadherence selektif dan dari sel darah merah yang berparasit (PRBCs) maupun yang tidak berparasit (non PRBCs). Setelah terjadi deformabilitas sel darah yang terinfeksi dan meningkatnya penyumbatan mikrosirkulasi.23 Ternyata kemampuan adesif lebih besar pada parasit yang matang. Oleh karena obstruksi pada mikrosirkulasi serebral maka timbul hipoksia dan meningkatnya produksi laktat yang menyebabkan ke glikolisis anaerobik yang menghasilkan laktat. 12,24 Pada pasien dengan malaria serebral, level laktat CSS tinggi 3,6 dan semakin meningkat pada kasus-kasus fatal dibandingkan yang hidup. Aderens eritrosit dapat juga dipengaruhi oleh pertukaran gas atau substrat diseluruh otak. Meskipun demikian, obstruksi total terhadap aliran darah tak mungkin terjadi , oleh karena penderita yang hidup jarang memiliki defisit neurologik permanen. 12 Jadi, gabungan dari Plasmodium falciparum dengan eritrosit pada venulae otak menjadi faktor penting dalam terjadinya komplikasi serebral. 2. Hipotesis humoral.
118
Hipotesis ini menunjukkan bahwa toksin malaria dapat menstimulasi makrofag dan melepaskan TNF-α 25,26 , sitokin seperti IL-112. Sitokin-sitokin tersebut tidak berbahaya, tetapi akan menginduksi Nitrat Oksida (NO)27,28. NO akan berdifusi melalui sawar darah otak dan menyebabkan perubahan pada fungsi sinaps seperti pada anestesi umum dan etanol konsentrasi tinggi, menyebabkan penurunan kesadaran. Peristiwa biokimia dari interaksi ini dapat menjelaskan mengapa terjadi koma reversibel, 1,2,23 kejang dan kematian.21,28 Disintegrasi sawar darah otak dan peran sel inflamasi adalah proses kunci dalam patogenesis malaria serebral28. Data terbaru menunjukkan bukti yang jelas bahwa reseptor aktivator plasminogen tipe serin protease urokinase (uPAR) adalah molekul yang menyebabkan adesi sel. Proses akumulasi fokal dari uPAR terjadi pada sel makrofag/mikroglia di granuloma Durck 3,6,11 serta perdarahan dan pitekia disekitar astrosit dan sel endotelial. Sehingga disimpulkan bahwa lesi yang berhubungan dengan uPAR berperan dalam perubahan sawar darah otak dan disfungsi imunologi pasien malaria serebral.29
GAMBARAN KLINIS Masa inkubasi malaria falciparum 9-10 hari rata-rata 12 hari. Gejala prodromal yang sering dijumpai adalah lesu, lemah, nyeri tulang-tulang, sakit kepala, rasa dingin, tidak nafsu makan, mual, muntah dan diare, serta dapat disertai panas.15 Manifestasi klinik berbeda pada anak - anak dan orang dewasa. Walaupun demikian terdapat tiga gejala utama pada dewasa dan anak-anak 16: (1) penurunan kesadaran dengan demam tak spesifik; (2) kejang umum dan gejala sisa neurologik; (3) koma yang terjadi selama 24-72 jam, awalnya dapat dibangunkan tetapi kemudian tidak sadar. Pada orang dewasa biasanya malaria serebral terjadi setelah beberapa hari panas dengan gejala non spesifik lainnya, tetapi pada anak biasanya kurang dari dua hari. Seringkali diawali dengan kejang umum terutama pada anak, selanjutnya diikuti kesadaran menurun. Malaria serebral ditandai dengan koma yang tidak dapat dibangunkan. Hilangnya kesadaran dapat berkembang dengan cepat, sampai koma dan beberapa pasien dapat disertai status epileptikus.7,31 Pada daerah endemik31 pasien dengan malaria sering tanpa gejala atau hanya demam ringan yang segera dapat dikontrol oleh imunitas yang didapat atau pemberian obat segera. Tetapi beberapa infeksi P. falciparum, terutama pada anak-anak sering kali terjadi komplikasi yang mengancam hidup seperti anemia berat, gangguan metabolik, atau ensefalopati. Perubahan kesadaran pada malaria dapat terjadi setelah kejang, hipoglikemia atau asidosis disertai gejala meningismus. Perdarahan retina terjadi lebih kurang 15% kasus, papil dan pupil normal. Berbagai kelainan gerakan mata dapat terjadi misalnya disconjugate gaze rahang sering terkatup dan bruxism. Refleks kornea tetap ada kecuali pada koma dalam. Sebagian besar pasien juga mengalami anemia, ikterus dan hepatomegali . Malaria serebral juga dikenal sebagai ensefalopati simetrik oleh karena terdapatnya tanda-tanda UMN simetrik . Tonus otot dan refleks dalam atau refleks tendon biasanya meningkat disertai klonus lutut dan kaki, bersama dengan respons plantar ekstensor yang bervariasi. Refleks dinding perut dan refleks kremaster tak dapat dibangkitkan. Tanda-tanda ini berguna untuk membedakan dari gangguan perilaku akibat
119
demam atau penyebab lain. Postur ekstensi menunjukkan disfungsi batang otak, dapat terjadi pada malaria serebral atau hipoglikemia. Pada stadium deserebrasi dan dekortikasi sering ditemukan deviasi mata ke atas, ekstensi leher, bibir mencucur, tetapi refleks primitif lain biasanya tidak dijumpai. Umumnya pola nafas mendengkur periodik. Setelah itu terjadi perburukan progresif fungsi batang otak dan dapat mengarah ke gagal nafas atau gagal jantung. Kejang terjadi pada 40% pasien dewasa dan umumnya anak-anak dengan malaria serebral. Paling sering kejang umum dibanding kejang parsial. Penyebab kejang tersebut mungkin disebabkan hipoksia serebral, demam, hipoglikemia, gangguan metabolik lain seperti asidosis laktat, obat antimalaria, eklampsia pada wanita hamil dan sindrom Reye pada anak. Van Hensbroek menetapkan adanya hubungan antara kejang berulang dan timbulnya gejala sisa neurologik dalam jangka waktu lama dan menyarankan supaya mengontrol kejang sedini mungkin. Epilepsi simptomatik kronik mungkin berhubungan dengan perkembangan astrosit yang disebabkan oleh invasi organisme tersebut ke vaskuler. Pada pemeriksaan patologik jaringan otak penderita yang meninggal pada stadium lanjut, tampak gambaran granuloma Durck yang terbentuk dari reaksi astroglia 11.Sulit membedakan kejang demam dengan kejang yang disebabkan oleh malaria serebral pada anak-anak. Malaria vivax juga sering menyebabkan kejang demam pada pasien di daerah endemik. Kejang pada pasien seringkali tak terkontrol saat ia menderita malaria serebral. Meflokin adalah antimalaria penting yang digunakan pada pasien yang resisten terhadap klorokuin, tetapi merupakan kontraindikasi relatif bagi pasien dengan riwayat kejang oleh karena potensi epileptogeniknya.32 Disamping gejala – gejala tersebut diatas, beberapa gangguan serebral dapat terjadi seperti : 11 1. Perdarahan Intrakranial Perdarahan serebral menyebabkan tanda neurologik fokal seperti hemiplegia dan afasia. Pada binatang percobaan ditemukan paralisis ekstremitas yang berhubungan dengan perdarahan serebral, dan diduga proses ini akibat mekanisme imunopatologik karena TNF berperan sebagai mediator inflamasi. Ada beberapa laporan dari India tentang perdarahan subaraknoid. 2. Oklusi arteri serebral Beberapa tanda neurologik fokal terjadi karena oklusi arteri. Pada kasus malaria gejalanya seperti tumor otak tetapi ternyata pada pemeriksaan post mortem menunjukkan terjadi trombosis pembuluh batang otak dan perdarahan perivaskuler di korteks serebelar. 3. Gerakan ekstrapiramidal Gerakan ekstrapiramidal dapat terjadi pada malaria serebral. Gejalanya berupa gerakkan involunter tonik-diskinetik, mioklonik, korea, dan gerakan atetoid. Tremor dapat terjadi pada masa penyembuhan dan gejala ini menghilang sempurna dalam 1-2 minggu. 4. Hipertensi intrakranial benigna Ada laporan tentang seorang wanita Afrika muda dengan malaria resisten menunjukkan gejala khas peningkatan tekanan intrakranial, tampak papiledema bilateral. Akhirnya didiagnosis sebagai hipertensi intrakranial benigna.
120
SINDROM SEREBELAR 1,3,6,11,32 Sindrom serebelar adalah manifestasi komplikasi neurologik paling konsisten yang dapat terjadi pada malaria serebral dan malaria tanpa komplikasi. Sel Purkinje mudah rusak oleh karena hiperpireksia1,11. Tanda-tanda serebelar biasanya bersamaan dengan manifestasi serebral. Ada juga laporan dari India mengenai gangguan fungsi serebelar tanpa adanya gangguan kesadaran 3 . Suatu sindrom ataksia serebelar lambat telah dilaporkan dari Sri Langka 1,3,6,11 dengan gejala – gejala ataksia gait dan lengan atas, vertigo, disartria, sakit kepala 3-4 minggu setelah demam sesaat akibat malaria falciparum tetapi dapat terjadi sembuh sendiri tanpa keterlibatan serebral. Ataksia gait dan trunkal adalah gambaran yang jelas menunjukkan bahwa penyakit itu predominan pada struktur serebelar tengah. Pada umumnya pasien mengalami periode afebril sebelum timbul gejala-gejala serebelar. Ini selalu berhubungan dengan infeksi P. falciparum. Mekanisme pasti dari ataksia serebelar lambat tidak diketahui, meskipun demikian, terdapat beberapa bukti yang menunjukkan keterlibatan faktor imunologik pada patogenesisnya. Aktivasi dari beberapa virus neurotropik akibatkan sindrom ini dianggap merupakan salah satu mekanisme yang mungkin terjadi.1,11 NEUROPATI PERIFER1 6,34 Literatur-literatur terdahulu memasukkan neuritis, polineuritis, paralisis Landry dan kelumpuhan nervi kranialis sebagai neuropati perifer yang berhubungan dengan malaria. Polineuritis malaria, dulu paling sering terjadi, saat ini sudah jarang. Malaria dapat menimbulkan gambaran seperti sindrom Guillain Barre, sindrom mononeuritik seperti kelumpuhan wajah, neuralgia trigeminal, neuritis optikus retrobulber dan terlibatnya nervus ulnaris, sirkumfleksus dan popliteal lateral. Pernah dilaporkan poliradikuloneuritis yang diinduksi oleh malaria, tetapi patogenesisnya tak diketahui dengan pasti. Mungkin akibat emboli parasit yang menyumbat vasa nervosum, terlepasnya neurotoksin dari parasit dan atau gangguan metabolik nutrisi. GANGGUAN PADA MEDULA SPINALIS 33,37 Sindroma medula spinalis pada malaria mirip dengan sklerosis lateral amiotropik, mielosis funikuler, paralisis spinalis spastik dan tabes dorsalis. Tetapi sebagian orang menginterpretasikan sebagai gejala sisa yang timbul lambat. Berbeda dengan tabes dorsalis murni, pada penderita ini tidak terlihat pupil Argill-Robertson yang khas. Pada kasus-kasus dengan serebral dan spinal, gambaran klinisnya dapat menyerupai ensefalomielitis diseminata, dengan gejala seperti gait spastik, tremor dan kadang-kadang nistagmus disertai gangguan bicara. Dapat membaik dengan pengobatan kinin. PARALISIS PERIODIK 16,30 Laporan dari Sri Langka menyatakan bahwa pada malaria terjadi paralisis otot yang tak menetap menyerupai paralisis periodik. Diikuti oleh rigor, kelemahan pertama kali tampak pada anggota gerak bawah, dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh menyebabkan paralisis yang mengenai seluruh tubuh kecuali otot pernafasan. Pasien tetap sadar selama serangan. Perbaikan akan tampak dalam 4-6 jam dan sembuh sempurna setelah 8-10 jam. Otot yang pertama kali terkena paling akhir membaik. Keadaan ini mungkin disebabkan oleh peningkatan sesaat dari konsentrasi kalium serum
121
akibat lisis sel darah merah dan kontraksi otot berlebihan saat rigor, sedangkan kelelahan otot menyebabkan rigor selama masa demam. Mekanisme ini yang mungkin menjadi dasar dari paralisis otot. Fenomena ini jarang ditemukan, mungkin disebabkan oleh faktor genetik. MANIFESTASI NEUROLOGIK AKIBAT OBAT ANTIMALARIA 1,31,34 Hipotensi postural umum terjadi pada malaria tanpa komplikasi atau dieksaserbasi oleh obat anti malaria klorokuin. Klorokuin biasanya ditoleransi dengan baik, Meskipun demikian dapat menimbulkan sindrom neuropsikiatri sesaat, dengan manifestasi halusinasi dan bahkan psikosis. Terjadi juga disfungsi serebelar. Pemberian obat ini dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan miopati vakuolar. Meflokin suatu obat antimalaria baru, berhubungan dengan reaksi neuropsikiatri serius tetapi dapat sembuh sendiri. Dilaporkan pemberian artesunat untuk malaria falciparum menyebabkan ataksia dan bicara pelo. Obat-obat anti malaria dapat mengubah perilaku, atau menyebabkan kejang. SINDROM NEUROLOGIK POST MALARIA35 Merupakan suatu sindrom neurologik lain, terlihat sesaat setelah pemulihan dari infeksi malaria berat. Kriterianya adalah infeksi malaria simptomatik yang baru saja dialami dengan tidak ditemukan parasit dalam darah, kesadaran pulih sempurna pada kasus malaria serebral dan timbulnya gejala-gejala neurologik atau psikiatrik terjadi dalam 2 bulan dari penyakit akut. Sindrom ini sembuh sendiri dan pada beberapa kasus berhubungan dengan penggunaan meflokin oral. Gejala paling sering berupa manifestasi neuropsikiatrik, ada juga yang berupa konfusi akut atau psikosis, kejang umum, kejang umum diikuti konfusi akut atau tremor. MANIFESTASI PSIKIATRIK 1,11 Psikosis malaria serebral terjadi karena ensefalopati. Manifestasinya berupa sindrom paranoid, depresi dan manik pada stadium akut. Gejala klinik lain seperti bingung, delirium dengan halusinasi, amnesia sesaat dan skizofrenik. Kadang-kadang dapat timbul gangguan kepribadian permanen dan gejala yang menyerupai demensia. Agitasi dan bingung dapat timbul setelah pasien pulih dari koma. Manifestsi psikiatri ini terutama berhubungan dengan hiperpireksia. Manifestasi neuropsikiatri jarang disebabkan oleh obat antimalaria. Kebanyakan penderita yang hidup tampak pulih sempurna, tetapi 4-12% memiliki gejala sisa neurologik, seperti hemiparesis, ataksia, buta kortikal atau spastisitas. Manifestasi neurologik pada malaria dapat juga disebabkan oleh :9 1. Demam tinggi Demam tinggi ( suhu rektal di atas 40 o C ) dapat menimbulkan gangguan kesadaran, kejang demam (pada anak) dan psikosis. Beberapa kasus pasien dengan kesadaran tidak menurun setelah kejang cenderung prognosisnya baik. 2. Hipoglikemia Kadar gula darah kurang dari 60mg/dl dapat terjadi pada malaria berat yang diobati dengan kinin dan wanita hamil Pada saat itu harus segera diberikan dekstose 40 % intravena.
122
3. Hiponatremia Paling sering terjadi pada pasien usia tua disebabkan gejala sistemik seperti muntah berulang yang menimbulkan manifestasi neurologik. 4. Anemia berat Anemia gravis dengan hemoglobin kurang dari 5g/dL dan hematokrit kurang dari 15% dapat terjadi pada malaria berat sehingga menyebabkan hipoksemia sehingga terjadi disfungsi serebral, terutama pada anak. 6. Penyebab lain Ada beberapa penyebab lain terjadinya disfungsi neurologik pada pasien dengan malaria seperti penyakit vaskuler (gangguan perdarahan dan pembekuan seperti perdarahan gusi, hidung, traktus gastrointestinalis, perdarahan retina dan atau terjadinya koagulasi intravaskuler luas (DIC) ], infeksi bakterial lain seperti pneumonia ortostatik, saluran kemih, dekubitus dan penyakit neurologik lainnya.36 DIAGNOSTIK PENUNJANG 1. Punksi lumbal dan analisis CSS harus dilakukan pada semua kasus yang meragukan dan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis. Pada malaria tekanan CSS normal sampai meningkat, CSS jernih dan leukosit kurang dari 10/µl; level asam laktat dan protein meningkat. Level asetilkolin CSS lebih rendah dari orang normal37. 2. EEG menunjukkan kelainan yang tidak spesifik. 3. CT scan otak biasanya normal Manejemen37 1. Umum Merupakan aspek paling penting dalam manejemen pasien malaria serebral : • Memelihara jalan nafas dilakukan pada penderita dengan koma dalam dan indikasi pemasangan intubasi endotrakea • Merubah posisi pasien tiap 2 jam • Hindari tempat tidur basah atau lembab • Posisi semi pronasi dengan elevasi kaki untuk mencegah aspirasi • Memelihara keseimbangan cairan intake/output serta mengamati perubahan warna urin ( hitam/coklat) bila terjadi. • Monitor tanda vital tiap 4-6 jam • Mengobservasi terjadinya kejang dan harus segera diatasi • Bila suhu di atas 39oC harus dilakukan kompres di dahi atau lipatan ketiak dan diberikan parasetamol. • Pemasangan NGT dilakukan pada pasien kesadaran menurun atau sulit menelan untuk menghindari aspirasi pneumonia. 2. Pemasangan kateter uretra Dilakukan untuk memonitor keseimbangan cairan. 3. Terapi kejang Tahap premonitoring diazepam 10 mg iv atau rektal dapat diulang setelah 10 – 15 menit bila kejang masih terjadi, dosis maksimum diazepam 50 mg dalam 4 jam
123
pertama, bila diberikan dalam 24 jam, boleh sampai 100 mg. Status konvulsif lanjut fenitoin 15-18 mg/ kg iv, kecepatan 50 mg / menit diberikan dalam waktu 20 – 30 menit ( dengan lorazepam bila belum diberikan ) dan atau phenobarbital 10 mg / kg iv, kecepatan 100 mg / menit. Phenobarbital dapat menurunkan insidens kejang sampai 54 %38. 4. Jangan berikan obat-obat sebagai berikut ; • Kortikosteriod • Obat anti inflamasi lain • Obat anti edema seperti manitol, urea, invert sugar , • low molecular weight dextran • adrenalin • heparin • pentoksifilin • oksigen hiperbarik • siklosporin • dll. Penggunaan deksametason merupakan kontraindikasi pada malaria serebral 1 karena tidak menunjukkan hasil yang bermanfaat 39,40,41, tetapi justru mengakibatkan penurunan kesadaran menjadi makin lama, dan mempertinggi kemungkinan infeksi dan perdarahan saluran cerna. . 5. Obat antimalaria Malaria serebral menjadi fatal setelah beberapa hari infeksi. Pengobatan segera sangat penting karena imunitas alamiah malaria belum diketahui sehingga pencegahan adalah cara yang terbaik. Semua kasus malaria berat harus dirawat di rumah sakit untuk dilakukan pemeriksaan, pengobatan dan pengawasan. Pengobatan yang diberikan adalah suntikan antimalaria intravena (klorokuin, kinin, artemisin) untuk mencapai kadar level plasma obat yang adekuat. Obat – obat baru yang ada penggunaannya secara oral seperti meflokin, halofantrin harus dihindari pada kasus malaria berat.37 Penggunaan dosis tinggi apalagi dalam jangka waktu lama tidak memberikan manfaat yang lebih baik, sebaliknya hanya menambah efek samping obat42.
124
Obat Klorokuin
Dosis Awal 10 mg basa/kg IV infus selama 8 jam
Artemeter
3,2 mg/kg IM
Artesunat
2,4 mg/kg IV atau IM
Kuinidin
10 mg/kg IV infus selama 1 jam
Dosis pemeliharaan 15 mg basa/kg infus IV selama 24 jam, atau 3,5 mg/kg IM atau SC disuntik 4-8 jam, setiap 8 jam, atau 10 mg/kg IM setiap 8 jam 1,6 mg/kg setiap 24 jam untuk selama hari 1,2 mg/kg IM pada 12 dan 24 jam, kemudian 1,2 mg/kg IM perhari selama 4 hari 0,2 mg/kg/min infus IV dengan monitor EKG
PROGNOSIS Infeksi malaria P. falciparum yang tidak diobati prognosisnya buruk dengan angka kematian tinggi.42 Malaria serebral menyebabkan kematian pada dewasa berkisar 20 % dan pada anak-anak 15 %. Gejala sisa jarang pada dewasa 3%, dan lebih kurang 10 % pada anak-anak (terutama mereka yang mengalami hipoglikemia berulang, anemia berat, kejang berulang dan koma dalam), mereka yang bertahan hidup dapat mengalami defisit neurologik menetap. Dengan diagnosis dini dan terapi yang sesuai akan mempunyai prognosis baik 43. Indikator prognosis buruk adalah kejang, koma dalam, perdarahan retina, leukosit >12.000/mm kubik, laktat CSS tinggi dan glukosa LCS rendah, level antitrombin III rendah dan parasitemia perifer.44,45 PENUTUP Komplikasi sistem saraf karena malaria dapat terjadi di saraf pusat dan saraf perifer. Keluhan dan gejala yang terjadi seperti ensefalopati , gangguan serebelar ataupun neuritis perifer. Malaria P. falciparum sering menyebabkan komplikasi sistem saraf karena merusak sirkulasi mikrovaskuler. Namun demikian patofisiologinya masih belum diketahui dengan pasti. Efek samping neurologik obat antimalaria dan gangguan metabolisma yang terjadi menimbulkan manifestasi klinis serta komplikasi neurologik yang kompleks. Diagnosis cepat dan tepat serta manejemen yang sedini mungkin dapat mempengaruhi hasil prognosis.
125
MALARIA SEREBRAL PEMERIKSAAN TERAPI KHUSUS PENUNJANG Demam Pemeriksaan hapusan Kemoterapi anti malaria: 1. Untuk daerah yang tidak resisten darah tipis tebal Ensefalopati Kloroquin fosfat 600 mg (10 dengan pewarnaan sindrom otak Field untuk tetes tebal mg/kgBB) 10 mg/kgBB untuk organic akut: 24 jam 5 mg/kgBB pada 48 Delirium Kuantitatif buffy jam Disorientasi coat: pewarnaan Untuk kasus berat: Agitasi DNA dan RNA Kloroquin HCl 0,83 mg/kgBB/jam Mental disorder parasit maksimum 30 jam atau Kejang umum kloroquinoral 25 mg/kgBB Kesadaran Uji serologis zat anti 2. Untuk daerah yang resisten menurun (koma malaria: (+ / -) kloroquin dipakai quinine persisten) 3. Pada malaria tanpa komplikasi Lesi UMN simetris Quinine sulfat 10 mg/kgBB/8 jam Pemeriksaan LCS: Sindrom ekstra selama 7 hari atau sulfadoxine 20 liquor jernih pyramidal: mg/kgBB maksimum 1500 mg tekanan < 200 mm chorea dan pyrimethamine 1 mg/kgBB limfosit < 10 / mikro athetosis maksimum 75 mg liter myoklonus Jika resisten: doxycycline 3 rasio glukosa LCS sindrom Parkinson mg/kgBB/hari selama 7 hari dan darah normal Sikap eksitasi 4. Jika resistensi obat ganda protein < 150 mg / dl Mefloquine 15 mg/kgBB lalu Perdarahan retina diikuti 10 mg/kgBB selama 8 – 24 Anemia berat Gula darah jam maksimal 1500 mg Ikterus Darah rutin 5. Pada kasus yang berat dan Oliguria AGD resistensi obat ganda Edema paru Ureum / kreatinin Quinine HCl 20 mg/kgBB IV Hipoglikemia Elektrolit loading dose lebih dari 4 jam, Infeksi penyerta Kultur darah untuk disusul maintenance 10 mg/kgBB lain menyingkirkan selama 3 kali (lebih dari 4 jam) bakteremia atau quinidine 10 mg/kgBB/infus Hepatosplenomegali Brain CT scan (lebih dari 1 jam) diikuti 0,02 mg/kgBB/menit dengan monitoring EKG 6. Arthemeter 3,2 mg/kgBB IM dilanjutkan 1,6 mg/kgBB/hari 7. Halofantrine dosis tinggi (8 mg/kgBB diulang pada jam ke-6 dan 1). Hati-hati pada memanjangnya interval QT dan aritmia ventrikular. GEJALA KLINIS
126
KEPUSTAKAAN 1. Garg RK, Karak B, Misra S. Neurological Manifestation of Malaria: An Update. Neurology India vol.47# 2, 1999 2. Bhabha SK, Bharucha NE, Bharucha EP. Fungal and Parasitic Infections, in : Bradley WG, Daroff RB, Fenichel GM, Marsden CD. Neurology in Clinical Practice, Vol. II, 2nd Ed., Butterworth-Heinemann, Boston, 1996, p.1249-51. 3. Warrell DA. Cerebral Malaria. In: Shakir RA, Newman PK,, Posser CM. Tropical Neurology, WB. Saunders Co.Ltd. London ,1996, pp. 213-45 4. Kakkilaya BS. Malaria. Simplified. http // www. rational medicine. org/malaria/malaria_india.htm. 5. Fernandez MC, Bobb BS. Malaria from Emergency Medicine/Infectious Diseases. 6. Cegielski JP, Durack DT. Protozoal Infections of the Central Nervous System. In : Scheld WM, Whitley RJ, Durack DT. Infections of the Central Nerous System, Raven Press, New York, 1991,pp. 767-77. 7. Gilles HM. Management of the Severe and Complicated Malaria. A Practical Handbook, WHO, Geneva, 1991 8. Kakkilaya BS. Complications of P. falciparum Malaria. http//www. rationalmedicine.org/ malaria_india.htm. 9. Kakkilaya BS. Central Nervous System Involvement in Falciparum Malaria. Http // www. malariasite.com. 10. Harianto PN, Datau E. Presentasi Klinik, Komplikasi dan Mortaliti malaria Serebral di RS. Bethesda, Minahasa. Bul.Penelit.Kesehat.19(2),1991, hal. 22-30. 11. Senanayake N, Roman GC. Neurological Complications of Malaria . Southeast Asean J.Trop.Med.Publ.Htlh. vol 23,no.4 Dec 1992.pp.672-9 12. Cerebral Malaria. http//www.malariasite.com 13. White NJ, Warrell DA. The Management of Severe Malaria. In : Malaria 14. Sarumpaet B, Hoffmah SL, Punjabi NH, Dimpudus AJ, dkk. Malaria Serebral pada Penderita Dewasa di RSUP Jayapura. 15. Zulkarnain A. Malaria, dalam : Suparman. Ilmu Penyakit Dalam jilid I, Edisi II, FKUI, Jakarta, 1993, hal : 16. White NJ, Plorde JJ. Malaria, in : Harrison’s Principle of Internal Medicine, vol.1, 12th ed., Mc graw Hill Inc., New York, 1991; p.782-8. 17. Pongponratn E, Riganti M, Harisuta T, Bunnag D. Electron Microscopy of the Human Brain in Cerebral Malaria. Southeast Asian J.Trop.MedPub.Hlth. vol.16 No.2, June 1985, pp. 219-26 18. ArdanaK, Soehaaaryo, KarnadiE. Malaria Serebral. 19. Boonpucknavig V, Boonpucknavig S, Udomsangpetch R, Nitiyanant P. An Immunoflorecence Study of Cerebral Malaria. Ach.Pathol.Lab.Med.-vol114, October 1990,pp1028-34. 20. Phillips RH, Solomon T. Cerebral Malaria in Children. The Lancet vol.336, Dec 1 1009,pp.1355-60.
127
21. Carlson J, Helmry H, Hill AV, Brewster D, et al. Human Cerebral Malaria : Association with Erythrocyte Rosetting and Lack of Anti-rosetting Antibodies. The Lancet vol 336, Dec15, 1990,pp.1457-60. 22. Fredrickson R. Identification of a Plasmodium falciparum intercellulear adhesion molecule-1 binding dominan : a parasite adhesion trait implicated in serebral malaria. Proc.Natl.Acad.Sci.USA 97, 2000; p.1766-1771 23. Mori O, Ohaki Y, Oguro T, Shimizu H, et al. Adhesion Molecule Detection in a Case of Early Cerebral Malaria. Http//www.ncbi.nlm.gov. 24. Warrell DA, White NJ, Veall N, Looareensuwan S, et al. Cerebral Anaerobic Glycolysis and Reduced Cerebral Oxygen Transport in Human Cerebral Malaria. The Lancet , Sept 3, 1988,pp.534-7. 25. Kern P, Hemmer CJ, van Damme J, GrussH, Dietriech MR. Elevated Tumor Necrosis Factor Alpha and Interleukin-6 Serum Levels as Markers for Complicated P.falciparum Malaria. American Juornal of Medicine vol 87, August 1989,pp.139-43. 26. Hemmer CJ,Kern P, Holst FGE, Radtke KP, et al. Activation of the Host Response in Human P. falciparum Malaria : Relation of Parasitemia to Tumor Necrosis Factor/Cachectin, Thrombin-Antithrombin III, and Protein C Levels. 27. Maneerat Y, Viriyavejakul P, Punpoowong B, Jones M, et al. Inducible Nitric Oxide Synthase Expression is Increased in the Brain in Fatal Malaria Cerebral. Http//www.ncbi.nlm.gov.2000. 28. Inducible Nitric Oxide Synthase Polymorphism and Fatal Cerebral Malaria. Http//www.thelancet.com.1998. 29. Fauser S, Deininger MH, Kremsner PG, Magdolen V, et al. Lesion Associated Expression of Urokinase-tipe Plasminogen Activator Receptor (uPAR, CD87) in Human Cerebral Malaria. Http//www.ncbi.nlm.nih.gov.2000. 30. Warrell DA, Molyneux ME, Beales PF.Severe and Complicated Malaria. 2nd ed., WHO, London, 1990 31. Molynux ME. Impact of Malaria on the Brain and its Prevention. Http//www.findarticles.com.2000. 32. Roy MK, Gangopadhyay PK, Guha D, Roy T, Maiti B. Malaria in Epileptics-An Additional Hazard.Http//www.thelancet.com 33. Newton CR, Hien TY, White N. Cerebral Malaria. Http//www.ncbi.nlm.nih.gov. 34. Eadie MJ, Ferrier TM. Chloroquine Myopathy. J.Neurol.Neurosurg.Psychiat., 1966,pp.331-7. 35. Nguyen THM. Post-malaria Neurological Syndrome. Http//www.findarticles.com. 1996 36. Aung KZ, Khin MU, Myo T. Endotoxaemia in Complicated Falciparum Malaria. Transactions of the Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene, 1988, 82, pp. 513-4. 37. Areekul S, Churdchu K, Yamarat P. Acetylcholinesterase Activites in Cerebrospinal Fluid of Patienrs with P.falciparum Cerebral Malaria. Southeast Asian J.Trop.Med.Pub.Hlth.vol.16, Sept 3, 1985, pp.431-4. 38. Kakkilaya BS. Treatment of Malaria .Http//www.rationalmedicine.org
128
39. White NJ, Looareensuwan S, Phillips RE, Chanthavanich P, et al. Single Dose Phenobarbitone Prevents Convulsions in Cerebral Malaria. The Lancet July 9, 1988, pp.64-5. 40. Prasad K, GarnerP. Steroids for Treating Cerebral Malaria. Http//www.updatesoftware.com. 41. White NJ. Not Much Progress in Treatment of Cerebral Malaria. Http//www.thelancet.com.1998. 42. Hoffman SL, Rustama D, Punjabi NH, Sarumpaet B, et al. High –Dose Dexamethasone in Quinine Treated Patients with Cerebral Malaria : A DoubleBlind, Placebo-Controlled Trial. The Juornal of Infectious Diseases vol.158, August, 1988, pp.326-31. 43. Kakkilaya BS. Error File. Http//www.rationalmedicine.org. 2000. 44. Molyneux ME, Taylor TE, Wirima JJ, Borgstein A. Clinical Features and Prognostic Indicators in Paediatric Cerebral Malaria : A Study of 131 Comatose Malawian Children. Quarterly Journal of Medicine, May 1989, pp. 441-59. 45. Stuby U, Kaiser W, Beisenbach G, Zazgornik J. Succesful Treaaatment of Malaria Tropica with Acute Renal Faileure and Cerebral Involvement by Plasmapheresis and Hemodialysis. Infection 16,1988, pp. 362-4.
129
VII. Rabies o Referensi :
Standar kompetensi spesialis saraf 2006, KNI PERDOSSI
Ropper A.H., Robert HB., Adams and Victor, Principles of Neurology, eight ed. Mc Graww Hill, 2005, 11-13, 541-542.
Scheld WM et.al., Infection of the central nervous system, third ed., 2004, 10-12
William J.W et all, Emergent and urgent Neurology, Second edition, 1999
Kompetensi •
Wood. M, Neurological Infection, 1988
Menegakkan
diagnosis
dan
tatalaksana
rabies
mencakup
epidemiologi, etiologi, klasifikasi, patogenesis, dan patofisiologi, gambaran klinik,
pemeriksaan
penunjang
dan
interpretasinya
disertai
manajemen
pengobatan terpadu. KETERAMPILAN Setelah menyelesaikan modul ini, peserta didik diharapkan memiliki keterampilan: • Menguasai mekanisme terjadinya rabies • Identifikasi, anamnesis dan diagnosis rabies • Menguasai tatalaksana dan pengelolaan pasien dengan rabies • Mengetahui efek samping obat-obatan yang digunakan pada rabies • Memprediksi dan mengelola komplikasi yang terjadi pada rabies Gambaran umum Maksud pelatihan adalah untuk memberi bekal pengetahuan praktek dan manajemen rabies secara komprehensif melalui pendekatan berbasis kasus (case based learning). Subyek yang dipelajari secara mandiri dan aktif oleh peserta didik adalah tentang terjadinya rabies, diagnosis, dan evaluasi serta terapi farmakologi. Contoh kasus Laki-laki usia 24 tahun, pemelihara hewan, datang kerumah sakit dengan keluhan utama gelisah dan rasa seperti tercekik. Lebih kurang 7 hari yang lalu pasien mengeluh kakinya digigit anjing kampung saat dia bekerja. Tiga hari kemudian pasien mengeluh demam, sakit kepala, pegal-pegal otot, dan terasa lemas. Keluhan juga disertai rasa nyeri 130
pada tenggorokan. Rasa baal dirasakan pada luka bekas gigitan. Dua hari kemudian pasien tampak gelisah dan ketakutan terutama bila mendengar suara atau melihat air, atau bila wajahnya terkena hembusan angin, pasien masih tetap sadar, pasien juga tampak selalu mengeluarkan air liur yang berlebihan dari mulutnya. Keluhan tidak disertai kelemahan anggota gerak, kesemutan sesisi, bicara pelo ataupun mulut mencong. Diskusi 1. Apakah diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis ? 2. Adakah kelainan pada pemeriksaan fisik neurologis pada pasien rabies ? 3. Apakah yang menyebabkan masuknya toksin rabies ke dalam tubuh pasien ? 4. Bagaimana tatalaksana seseorang dengan riwayat tergigit hewan namun belum timbul gejala patognomonis rabies ? 5. Bagaimana tatalaksana seseorang dengan rabies ? 6. Kapan pemberian anti toksin ataupun toksin rabies diberikan ? 7. Apakah indikasi terapi di tempat perawatan intensif pada pasien rabies ? Tujuan pembelajaran o o o o o o o
Identifikasi kelainan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinik Mengetahui penyebab rabies Menjelaskan daerah endemis dengan hewan menderita rabies Mengetahui komplikasi rabies Mengetahui indikasi dan kontraindikasi pemeriksaan penunjang Melakukan dan menjelaskan terapi rabies dan manajemen pasien rabies Mempertimbangkan /menganjurkan tindakan perawatan di ruangan intensif
Tujuan – 1 : Identifikasi kelainan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinik . • Mengetahui Anamnesis dan pemeriksaan klinik pasien dengan rabies Tujuan- 2 : Mengetahui penyebab rabies Mengetahui penyebab rabies Mengetahui mekanisme terjadinya rabies Mengetahui jenis virus, penyebab dan proses molekular yang terjadi sampai terjadi rabies o Mengetahui farmakologi obat dan efek samping obat anti rabies o o o
Tujuan - 3 : Menjelaskan dan mengetahu daerah pandemi hewan dengan rabies • mengetahui distribusi hewan menderita rabies di negara berkembang
131
Tujuan 4 : Mengetahui komplikasi
Mengetahui komplikasi yang terjadi pada rabies Menjelaskan komplikasi awal, intermediate, spesifik dan longterm Mengetahui cara mengatasi komplikasi
Tujuan 5 : Mengetahui indikasi dan kontraindikasi pemeriksaan penunjang •
Mengetahui interpretasi pemeriksaan EEG dan MRI kepala pada penderita rabies
Tujuan 6 : Melakukan dan menjelaskan terapi rabies dan manajemen penggunaan anti serum rabies o • • • •
Mengetahui manajemen dan pengobatan rabies Mengetahui cara pemberian anti serum rabies melakukan tindakan emergensi pada rabies mengevaluasi hasil terapi Mengatasi dan mencari hewan yang menggigit pasien
Tujuan 8 : Mempertimbangkan /menganjurkan perawatan intensif • •
Mempertimbangkan tindakan perawatan luka menjadi fokus masuknya virus rabies Mempertimbangkan perawatan intensif bila terjadi kegagalan pernafasan
Kasus untuk pembelajaran Laki-laki usia 24 tahun, pemelihara hewan, datang kerumah sakit dengan keluhan utama gelisah dan rasa seperti tercekik. Lebih kurang 7 hari yang lalu pasien mengeluh kakinya digigit anjing kampung saat dia bekerja. Tiga hari kemudian pasien mengeluh demam, sakit kepala, pegal-pegal otot, dan terasa lemas. Keluhan juga disertai rasa nyeri pada tenggorokan. Rasa baal dirasakan pada luka bekas gigitan. Dua hari kemudian pasien tampak gelisah dan ketakutan terutama bila mendengar suara atau melihat air, atau bila wajahnya terkena hembusan angin, pasien masih tetap sadar, pasien juga tampak selalu mengeluarkan air liur yang berlebihan dari mulutnya. Keluhan tidak disertai kelemahan anggota gerak, kesemutan sesisi, bicara pelo ataupun mulut mencong. • • • •
a. Hasil pemeriksaan fisik adalah sebagai berikut : kesadaran compos mentis Tekanan darah : 110/70 mmHg Frekuensi nadi 90 x/ menit Suhu 37,3 C
132
• • • • • •
Respirasi 21 x / menit hipersalivasi Jantung dan paru dalam batas normal Abdomen tegang , hepar dan lien tak teraba Ekstremitas tidak ada edema Status neurologis Glasgow Coma Scale : E 4 M 6 V 5 Status mental : aerofobia, hidrofobia, fotofobia Tanda rangsangan meningeal negatif Pupil isokor, refleks positif/positif Nervi kranialis : paresis (-) Motorik : tidak terdapat paresis Sensorik: baik Refleks fisiologis ++/++ Refleks patologis -/ Klonus -/ Saraf otonom : dalam batas normal
•
b. Hasil pemeriksaan penunjang : Pemeriksaan laboratorium : darah perifer lengkap, hitung jenis, laju endap darah, AGD
• • • • •
Monitoring Kesadaran Tanda vital Defisit fokal Ancaman gagal nafas
Diskusi 1. Apakah diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis ? 2. Adakah kelainan pada pemeriksaan fisik neurologis pada pasien rabies ? 3. Apakah yang menyebabkan masuknya toksin rabies ke dalam tubuh pasien ? 4. Bagaimana tatalaksana seseorang dengan riwayat tergigit hewan namun belum timbul gejala patognomonis rabies ? 5. Bagaimana tatalaksana seseorang dengan rabies ? 6. Kapan pemberian anti toksin ataupun toksin rabies diberikan ? 7. Apakah indikasi terapi di tempat perawatan intensif pada pasien rabies ?
133
MATERI BAKU RABIES Pendahuluan Rabies adalah suatu penyakit saraf pusat yang disebabkan oleh virus RNA yang tergolong dalam famili Rhabdoviridae. Penyakit ini selalu berakibat fatal yaitu kematian bagi penderita yang terkontak dan tidak di vaksinasi. Tersebar di seluruh dunia terutama di negara berkembang. Negara yang dnyatakan bebas rabies saat ini Australia, Swedia, Selandia Baru, Jepang, Kepulauan Britania dan Antartika. Diperkirakan terjadi 15.000 kasus rabies manusia tiap tahun, terutama negara berkembang seperti India, Asia tenggara, Amerika Selatan. Virus rabies dapat menginfeksi semua hewan berdarah panas (termasuk manusia) dan burung. Penularannya ssebagian besar terjadi melalui gigitan dari berbagai hewan reservoir misalnya anjig, kucing, srigala, kelelawar, dan lain-lain. Dan dapat juga secara aerosol tertuma pada berbagai jenis kelelawar di Amerika. Penatalaksanaan penyakit ini umumnya adalah suportif, karena sampai saat ini terapi yang tepat untuk penyakit ini bila sudah timbul gejalanya adalah belum ada. Tindakan pencegahan berupa pemberian vaksinasi adalah yang terbaik karena terbukti dapat mencegah manifestasi penyakit ini. Biologi Penyakit rabies disebabkan oleh virus rabies yang dalam klasifikasi termasuk pada grup V negatif-stranded RNA genom ((-) ss RNA), ordo : mononegalovirales, famili : rhabdoviridae, genus : lyssavirus, spesies : Rabies virus. Virus ini berukuran sekitara 180 nm panjang dan 75 nm lebar yang disusun oleh lima jenis protein yaitu : nukleoprotein (N), fosfoprotein (P), matriks protein (M), glikoprotein (G), dan polimerase (L). Pada umumnya Rhabdoviridae terdiri dari dua komponen dasar : ribonukleoprotein (RNP) di bagian tengah dan diselimuti envelope pada bagian luar. RNP dibentuk oleh nukleoprotein dan dihubungkan dengan fosfoprotein dan polimerase (Lprotein). Sedangkan glikoprotein membentuk spike (paku) pada daerah permukaan luar (envelope/membran) dan virus dengan panjang +/- 10 nm. Sedangkan envelope dengan RNP dihubungkan dengan matriks protein (M). Genom dari virus rabies adalah rantai tunggal, antisense, nonsegmented RNA dengan panjang sekitar 12 kb. Replikasi virus ini dalam sel pejamu diawali dengan fusi dari envelope dengan membran sel pejamu, kemudian terjadi interaksi antara glikoprotein dengan reseptor permukaan sel pejamu yang spesifik (absorbsi) diikuti penetrasi virus kesitoplasma dengan mekanisme pinositosis. Terjadi agregasi virion dengan vesikel pada sitoplasma (endosom) kemudian membran virus akan berfusi dengan mebran endosom yang mengakibatkan RNP virus bebas ke dalam sitoplasma (uncoatinag). Karena virus ini memiliki genom RNA yang tunggal dan linier maka dibutuhkan mRNA ( messenggerRNA) untuk merekam agar virus dapat berreplikasi (transkripsi). Perekaman ini akan diikuti dengan proses ”pencetakan” protein sesuai ”pesanan” yang sudah direkam tadi di ribosom bebas dalam sitoplasma sel (translasi). Proses ini akan semakin 134
dilengkapi di retikulum endoplasma dan badan golgi (processing) sesudah itu terjadi proses perbanyakan virus. Patogenesis Pada manusia ketika sel saraf terkontak dengan virus rabies maka glikoprotein dari virus akan berikatan dengan reseptor nikotinik (reseptor asetilkolin) pada ermukaan membran sel saraf. Awalnya virus akan memperbanyak diri di tempat inokulasi, kemudian virus akan memasuki sel saraf motorik dan sensorik perifer kemudian akan bermigrasi melalui akson ke sentral dengan kecepatan 50 – 100 mm/hari sampai ke medula spinalis, lalu melanjutkan perjalanan ke atas sampai ke otak dan menginfeksi batang otak, diensefalon dan hipokampus. Bila hal tersebut sudah terjadi maka akan terjadi replikasi besar-besaran dari virus dan imunisasi menjadi tidak efektif. Penyebaran secara luas akan terjadi ke semua susunan saraf somatik dan otonom. Dan replikasi virus yang produktif adalah kelenjar ludah. Ada beberapa faktor yang dianggap berperan terhadap kerentanan seseorang terhadap rabies. Contohnya adalah : luka gigitan pada kulit terbuka dianggap lebih rentan daripada luka gigitan pada kulit terbungkus pakaian karena sebagian virus diabsorbsi bahan pakaian. Faktor lain adalah spesies resistensi, besarnya tempat inokulasi (luka), konsentrasi dari resptor nikotinik yang terpapar, besarnya persarafan di daerah inokulasi, jarak tempat inokulasi dengan susunan saraf pusat, dan status imunitas dari penderita. Faktor variasi spesies juga berpengaruh, serigala, rubah, kecing lebih mudah terpapar sedangkan opposum lebih resisten. Inokulasi pada daerah yang dekat otak lebih cepat daripada gigitan pada ekstremitas bawah. Masa inkubasi dari penyakit ini umumnya berkisar 3-12 minggu. Laporan lain masa inkubasi penyakit ini dapat terjadi sekitar satu tahun hingga 6 tahun. Di negara-negara berkembang penularan rabies lebih dari 90% lewat gigitan terutama anjing. Kasus penularan tanpa gigitan pernah dilaporkan di AS terhadap seorang gadis yang tertular rabies dari kelelawar. Laporan lain adanya peularan rabies pada transplantasi kornea. Manifestasi Klinis Gejala penyakit ini pada fase awal menyerupai flu berupa malaise, anoreksia, demam, nyeri kepala, mual dan muntah, rasa tidak enak di kerongkongan, kadang-kadang ditemukan adanya parestesia di tempat gigitan. Keluhan ini biasanya berlangsung selama 2-7 hari kemudian akan diikuti dengan timbulnya gejala patognomonik suatu ensefalitis rabies yaitu agitasi, demam tinggi yang persisten, kesadaran fluktuatif, nyeri pada faring, terkadang seperti rasa tercekik (inspiratory spasm), hipersalivasi, kejang, hidrofobia, dan aerofobia. Kadang-kadang ada juga manifestasi non neurogenik berupa aritmia dan miokarditis yang merupakan tanda dari adanya hiperadrenergik dan infeksi langsung pada jantung. Keadaan tersebut akan memberat dan diikuti dengan koma yang akan berlanjut kematian. Selain gejala khas rabies tersebut dapat juga ditemukan gejala yang lebih jarang yaitu adanya kelumpuhan, berupa adanya paresis pada keempat ekstremitas serta gangguan sfingter ani. Gejala yang timbul terkadang mirip suatu sindroma Gullian Barre dan tidak ditemukan bukti adanya keterlibatan seerebral sampai penyakit ini berlanjut.
135
Fase awal dari penyakit ini terkadang diagnosis agak sulit ditegakkan sehingga perlu diagnosis banding dengan beberapa penyakit lain misalnya infeksi virus lain (arbovirus, enterovirus, dan lain-lain), ataupun dengan sindroma GB. Pemeriksaan Penunjang Dalam menegakkan diagnosis dari penyakit ini pada fase awal kadangkala sukar mengingat gejalanya yang mirip dengan penyakit lain. Hal ini semakin sulit bila riwayat kontak gigitan dengan binatang tidak jelas. Untuk membantu penegakkan diagnosis perlu diperiksakan laboratorium. Pada pemeriksaan darah laboratorium tidak ada gambaran yang khas untuk merujuk suatu keadaaan infeksi rabies, kadang ditemukan leukositosis ringan. Untuk penegakkan diagnosis adalah deteksi rabies pada saliva dengan menggunakan pemeriksaan reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT/PCR) dan isolasi virus dalam jaringan kultur. Selain itu dapat juga dilakukan pemeriksaan antibodi terhadap virus rabies dengan menggunakan serum darah dan cairan serebrospinal, namun seringkali hasil positif timbul beberapa saat setelah timbulnya gejala klinis. Pada orang yang belum diimunisasi hasil positif dapat menjadi tanda yang bernilai diagnostik, bila sudah di imunisasi maka penngkatan kadar antibodi beberapa waktu setelah pemeriksaan pertama dapat mempunyai arti diagnostik. Pada cairan serebrospinal (CSS) adanya antibodi terhadap virus rabies menunjukkan adanya infeksi virus rabies. Pemeriksaan biopsi dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis rabies. Pemeriksaan dilakukan dengan cara mengambil sepotong kulit di daerah leher bagian belakang pada batas garis rambut diusahakan paling tidak ada 10 folikel rambut yang terambil termasuk saraf kutaneus yang berada pada bagian basal dari folikel, kemudian dilakukan pemeriksaan RT/PCR dan tes imunoflouresence staining pada antigen virus dengan menggunakan teknik Direct Flourescent antibody test(dFA). Tes ini didasarkan pada observasi bahwa seorang yang terinfeksi virus rabies mempunyai antigen rabies dalam jaringan. Karena virus ini berada dalam jaringan saraf maka jaringan yang diambil adalah jaringan saraf terutama yang paling ideal adalah jaringan otak. Antibodi yang berlabel ini diinkubasikan pada jaringan otak yang dicurigai terinfeksi . Hasil positif bila terjadi ikatan antigen antibodi sehingga terlihat gambaran fluoresensi hijau apel pada pemeriksaan dengan mikroskop fluoresens. Bila tidak terinfeksi maka pemeriksaan tidak terlihat adanya fluoresensi. Pemeriksaan dFA ini biasanya dilakukan post mortem tapi dapat juga ante mortem bahkan pada pemeriksaan sebelum timbul gejala. Di Amerika pemeriksaan ini sudah merupakan standar pemeriksaan untuk rabies dan digunakan sejak 40 tahun untuk evaluasi rabies. Pemeriksaan lain yang digunakan dalam memastikan penyakit rabies adalah pemeriksaan histopatologis dengan mengambil jaringan otak hewan yang terinfeksi dan diberi pewarnaan. Pada pemeriksaan histopatologis dengan pewarnaan rutin (HE) maka akan terlihat gambaran : infiltrasi mononuklear, adanya cuffing dari limfosit atau polimononuklear, ”Babes nodules”dari sel glia, adanya “Negri bodies” (NB). NB ini merupakan tanda yang patognomonik untuk diagnosis dari rabies yang paling sering ditemukan pada sel berbentuk piramidal dan sel purkinje di serebelum juga pada medula dan ganglia basal. Pemeriksaan ini sekarang dianggap tidak begitu spesifik dalam menegakkan diagnosis rabies sebab dengan pewarnaan rutin hasil positif hanya
136
ditemukan kurang dari 50 % dari semua kasus terinfeksi juga dibandingkan dengan pemeriksaan dFA yang dapat mencapai 100 %. Pemeriksaan imunohistokimia dapat dilakukan dalam penentuan diagnosis dari rabies. Pada prinsipnya sama dengan pemeriksaan histopatologi namun menggunakan antibodi spesifik untuk mendeteksi inklusi dari virus rabies, yang idgunakan yaitu antibodi monoklonal. Diagnosis infeksi rabies ditegakkan melalui gejala klinis dan pemeriksaan laboratorik untuk konfirmasi diagnosis rabies. Tatalaksana Manajemen terapi pada kasus infeksi rabies pada manusia belum memuaskan terutama bila penyakit ini sudah menunjukkan gejala. Hingga saat ini belum ada laporan kasus yang dapat bertahan hidup setelah manifestasi dari penyakit ini timbul. Banyak uji terapi yang dilakukan tapi tidak menunjukkan hasil yang menggemberikan. Pemberian antiviral ataupun penggunaan interferon (IFN) secara tunggal ataupun kombinasi belum pernah ada yang sukses. Jackson et.al merekomendasikan penatalaksanaan rabies yang sudah bergejala dengan rejimen sebagai berikut : pemberian vaksin rabies secara intradermal untuk mempercepat respon imun, pemberian serum anti rabies untuk peghentian proses infeksi rabies, pemberian ribavirin dan interferon alfa secara intravena dan intraventrikuler. Pemberian ketamin inravena konsentrasi tinggi terbukti secara invitro dapat menghambat replikasi dari virus rabies. Penelitian ini masih perlu pembentukan lebih lanjut. Penggunaan steroid tidak dianjurkan pada kasus rabies sebab pada beberapa kasus pemberian steroid dapat mempercepat kematian dan memperpendek periode inkubasi. Perawatan hendaknya dilakukan pada ruangan isolasi dan untuk menghindari kemungkinan penularan dari penderita maka hendaknya dokter dan paramedik memakai sarung tangan, kacamata dan masker saat menangani kasus ini dan pasien sebaiknya di fiksasi di tempat tidur. Mengingat keadaan akhir dari penyakit ini adalah kematian akibat paralisis otot pernafasan maka dipertimbangkan pula penggunaan alat bantu pernafasan. Penyakit ini dapat dicegah dengan pemberian imunisasi. Bila ditemukan adanya kasus gigitan dari binatang tersangka rabies maka dilakukan usaha mematikan/mengurangi virus rabies dengan mencuci luka gigitan dengan air mengalir dan sabun atau deterjen selama 10-15 menit kemudian diberikan antiseptik. Luka tidak dibenarkan untuk dijahit, kecuali jahitan situasi. Bila perlu dijahit, luka diinfiltrasi dengan SAR (serum anti rabies). Serta dipertimbangkan pemberian anti tetanus, antibiotik dan pemberian analgetik. Pemberian imunisasi untuk mencegah rabies dilakukan melalui 2 cara : imunisasi sesudah terkontak dan imunisasi sebelum terkontak. Terapi setelah terpapar virus rabies dapat dilakukan dengan memberikan vaksin anti rabies (VAR) saja atau dengan SAR. VAR diberikan bila ada gigitan dengan luka yang tidak berbahaya (jilatan, eskoriasi, lecet) disekitar tangan atau kaki. Sedangkan pemberian VAR dengan SAR bila luka berbahaya, jilatan atau luka pada mukosa, luka pada tubuh diatas bahu (muka, kepala, leher), luka pada daerah lengan, tungkai, genitalia, luka yang dalam atau luka yang banyak (multipel). Cara pemberian VAR adalah sebagai berikut : Purified Vero Rabies Vaccine (PVRV)
137
Merupakan vaksin kering beku, berupa virus rabies (Wistar Rabies PM/WI 381503-3 M Strain). Dosis pada dewasa dan anak sama yaitu : hari I kunjungan (hari ke 0) diberikan 2 dosis masing-masing 0,5 ml di deltoid kanan dan deltoid kiri. Hari ke 7 diberikan lagi 0,5 ml secara im di deltoid. Dosis yang sama diulangi lagi pada hari ke 21. Bilaa hendak diberikan bersama dengan serum anti rabies (SAR) maka di ulang lagi 0,5 ml pada hari ke 90 Suckling Mice Brain Vaccine (SMBV) Merupakan vaksin rabies kering untuk manusia, yang terbuat dari otak bayi mencit yang masih menyusui yang bebas kuman patogen. Dosis dewasa adalah 2 ml setiap hari selama 7 hari berturut-turut disuntikkan secara sub kutan disekitar pusar. Dilanjutkan dengan dosis 0,25 ml pada hari ke 11, 15, 30, dan 90 secara intrakutan di bagian fleksor lengan bawah. Pada anak dosis vaksinasi awal adalah 1 ml dengan cara dan pemberian sama seperti dewasa sedangkan dosis ulangan 0,1 ml. Dosis ini tetap sama bila hendak diberikan bersamaan dengan serum anti rabies (SAR). Cara pemberian SAR adalah sebagai berikut : 1. Serum heterolog Berasal dari serum kuda, sebelum penyuntikan dilakukan tes kulit terlebih dahulu. Dilakukan penyuntikan secara infiltasi pada luka sebanyak banyaknya, sisanya disuntikkan secara intramuskular. Dosis pemberian adalah 40 IU/kgBB atau diberikan bersamaan dengan pemberian VAR hari pertama kunjungan (hari ke 0) 2. Serum homolog Berasal dari serum darah mausia. Dilakukan penyuntikan secara infiltrasi pada luka sebanyak-banyaknya sisanya disuntikkan secara intramuskular. Dosis pemberian adalah 20 IU/kgBB atau diberikan bersamaan dengan pemberian VAR hari pertama kunjungan (hari ke 0) Bila hendak melakukan pencegahan dari penularan rabies maka kita dapat melakukan vaksinasi dengan PVRV. Dengan cara penyuntikan IM di daerah deltoid 0,5 ml pada kunjungan pertama dilanjutkan 0,5 ml pada hari ke 28 diikuti dengan vaksinasi ulangan 1 tahun setelah pemberian pertama dengan dosis yang sama. Diulangi samapai seterusnya setiap 3 tahun. Untuk penggunaan klinik ada beberapa jenis vaksin ataupun serum anti rabies yang dapat ditemukan tapi jenis yang dikemukakan tadi adalah yang dapat ditemukan di Indonesia. KEPUSTAKAAN 1. Jawetz E, Melnick JL, Adelberg EA : Mikrobiologi kedokteran, alih bahasa Edi Nugroho, RF Maulany; editor Irawati Setiawan -edisi 20-, EGC. Jakarta.1996 2. Smith JS. Rabies infection (serial online) 2003 jan-jun (cited 2006 march 02) Available from : URL : http :// www.cdc.gov/ncidod/dvrd/rabies/nathist.htm 3. O’ Reilly M, Rupprecht CE. Clinical manifestation, diagnosis, and treatment of rabies. Lancet Inf Dis, 2004 : 6 :243
138
4.
Fishbein DB, Robinson LD; Rabies, N England J Med 1993; 392: 1632
139
VIII. ABSES SEREBRAL o Referensi :
Standar kompetensi spesialis saraf 2006, KNI PERDOSSI
Ropper A.H., Robert HB., Adams and Victor, Principles of Neurology, eight ed. Mc Graww Hill, 2005, 11-13, 541-542.
Scheld WM et.al., Infection of the central nervous system, third ed., 2004, 10-12
William J.W et all, Emergent and urgent Neurology, Second edition, 1999
Kompetensi •
Wood. M, Neurological Infection, 1988 Menegakkan diagnosis dan tatalaksana abses serebral mencakup
epidemiologi, etiologi, klasifikasi, patogenesis, dan patofisiologi, gambaran klinik,
pemeriksaan
penunjang
dan
interpretasinya
disertai
manajemen
pengobatan terpadu. KETERAMPILAN Setelah menyelesaikan modul ini, peserta didik diharapkan memiliki keterampilan: • Menguasai mekanisme terjadinya abses serebral • Identifikasi, anamnesis dan diagnosis abses serebral • Menguasai tatalaksana dan pengelolaan pasien dengan abses serebral • Mengetahui efek samping obat-obatan yang digunakan pada abses serebral • Memprediksi dan mengelola komplikasi yang terjadi pada abses serebral Gambaran umum Maksud pelatihan adalah untuk memberi bekal pengetahuan praktek dan manajemen rabies secara komprehensif melalui pendekatan berbasis kasus (case based learning). Subyek yang dipelajari secara mandiri dan aktif oleh peserta didik adalah tentang terjadinya abses serebral, diagnosis, dan evaluasi serta terapi farmakologi. Contoh kasus Wanita usia 27 tahun, mahasiswa, datang kerumah sakit dengan keluhan utama kelemahan anggota gerak sesisi. 3 bulan yang lalu pasien mengeluh sakit kepala yang semakin lama semakin berat, terasa seperti berdenyut, keluhan dirasakan bertambah nyeri saat pasien batuk dan mengedan saat buang air besar, keluhan sakit kepala terutama dirasakan malam dan pagi hari. Lebih kurang tiga hari terakhir keluhan sakit kepala 140
bertambah berat. Sekitar 2 minggu SMRS pasien mengeluh kelemahan anggota gerak sisi kirinya, yang pada awalnya belum pernah dirasakan sebelumnya, keluhan semakin berat seirng bertambahnya sakit kepala. Keluhan juga terkadang disertai muntah-muntah tanpa disertai mual, demam yang tidak terlalu tinggi yang hilang timbul, keluhan demam hilang bila pasien minum obat warung. Sebelumnya pasien mengalami infeksi pada telinganya, yang terkadang mengeluarkan cairan berwarna kekuningan dan berbau busuk. Diskusi 1. Apakah diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis ? 2. Adakah kelainan pada pemeriksaan fisik neurologis pada pasien abses serebral ? 3. Apakah yang menyebabkan masuknya kuman ke dalam intrakranial pada pasien abses serebral ? 4. Bagaimana tatalaksana seseorang dengan abses serebral ? 5. Kapan dan berapa lama pemberian anti biotik empiris pada pasien dengan abses serebral ? 6. Kapan diperlukan terapi operatif pada pasien dengan abses serebral ? Tujuan pembelajaran Identifikasi kelainan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinik Mengetahui kuman penyebab tersering abses serebral Mengetahui patogenesis terjadinya abses serebral Mengetahui komplikasi abses serebral Mengetahui indikasi dan kontraindikasi pemeriksaan penunjang Melakukan dan menjelaskan tatalaksana abses serebral dan manajemen pasien abses serebral o Mempertimbangkan /menganjurkan tindakan operatif pada pasien abses serebral o o o o o o
Tujuan – 1 : Identifikasi kelainan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinik . • Mengetahui Anamnesis dan pemeriksaan klinik pasien dengan kecurigaan abses serebral Tujuan- 2 : Mengetahui penyebab abses serebral o
Mengetahui jenis kuman, penyebab dan proses molekular yang terjadi sampai terjadi abses serebral
Tujuan - 3 : Mengetahui patogenesis terjadinya abses serebral o Mengetahui dan menjelaskan patogenesis terjadinya abses serebal Tujuan 4 : Mengetahui komplikasi abses serebral
Mengetahui komplikasi yang terjadi pada abses serebral 141
Menjelaskan komplikasi awal, intermediate, spesifik dan longterm Mengetahui cara mengatasi komplikasi
Tujuan 5 : Mengetahui indikasi dan kontraindikasi pemeriksaan penunjang •
Mengetahui interpretasi pemeriksaan CT Scan otak dengan kontras dan MRI kepala pada penderita abses serbral
Tujuan 6 : Melakukan dan menjelaskan tatalaksana abses serebral dan manajemen pasien abses serebral o • • o
Mengetahui manajemen dan pengobatan abses serebral melakukan tindakan emergensi pada abses serebral mengevaluasi hasil terapi Mempertimbangkan /menganjurkan tindakan operatif pada pasien abses serebral
Kasus untuk pembelajaran Wanita usia 27 tahun, mahasiswa, datang kerumah sakit dengan keluhan utama kelemahan anggota gerak sesisi. 3 bulan yang lalu pasien mengeluh sakit kepala yang semakin lama semakin berat, terasa seperti berdenyut, keluhan dirasakan bertambah nyeri saat pasien batuk dan mengedan saat buang air besar, keluhan sakit kepala terutama dirasakan malam dan pagi hari. Lebih kurang tiga hari terakhir keluhan sakit kepala bertambah berat. Sekitar 2 minggu SMRS pasien mengeluh kelemahan anggota gerak sisi kirinya, yang pada awalnya belum pernah dirasakan sebelumnya, keluhan semakin berat seirng bertambahnya sakit kepala. Keluhan juga terkadang disertai muntah-muntah tanpa disertai mual, demam yang tidak terlalu tinggi yang hilang timbul, keluhan demam hilang bila pasien minum obat warung. Sebelumnya pasien mengalami infeksi pada telinganya, yang terkadang mengeluarkan cairan berwarna kekuningan dan berbau busuk. a. • • • • • • • • •
Hasil pemeriksaan fisik adalah sebagai berikut : kesadaran compos mentis Tekanan darah : 110/70 mmHg Frekuensi nadi 90 x/ menit Suhu 37,3 C Respirasi 21 x / menit Jantung dan paru dalam batas normal Abdomen tegang , hepar dan lien tak teraba Ekstremitas tidak ada edema Status neurologis Glasgow Coma Scale : E 4 M 6 V 5 Status mental : dalam batas normal Tanda rangsangan meningeal negatif Pupil isokor, refleks positif/positif, FODS : papil edema 142
Nervi kranialis : paresis N VII kiri UMN Motorik : hemiparese sinistra Sensorik: baik Refleks fisiologis ++/+++ Refleks patologis -/Klonus -/Saraf otonom : dalam batas normal
b. Hasil pemeriksaan penunjang : • Pemeriksaan laboratorium : darah perifer lengkap, hitung jenis, laju endap darah, • CT Scan otak / MRI • • • • •
Monitoring Kesadaran Tanda vital Defisit fokal Ancaman gagal nafas
Diskusi 1. Apakah diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis ? 2. Adakah kelainan pada pemeriksaan fisik neurologis pada abses serebral ? 3. Apakah yang menyebabkan masuknya kuman ke intrakranial ? 4. Apakah penyebab secara empiris kuman dari penyebab abses serebral ? 5. Bagaimana tatalaksana seseorang dengan abses serebral ? 6. Kapan pasien terindikasi untuk terapi operatif ?
143
MATERI BAKU ABSES SEREBRAL Pendahuluan Hingga akhir abad ke 19, abses serebral hampir selalu penyakit yang fatal. Terapi yang sukses dalam menangani abses serebral pertama kali dilaporkan oleh Dr. JF Weeds, pada tahun 1868 beliau melakukan drainase abses serebral lobus frontal dari seorang letnan kavaleri yang telah ditembak pada bagian kepalanya. Seorang pionir operasi abses serebral, Sir William Macewen, pada tahun 1893, mempublikasikan suatu monograf yang terkenal dengan judul Pyogenic Infective Disease of the Brain and Spinal Cord. Pada laporannya disebutkan dari sembilan belas pasien yang dioperasi dengan abses serebral dan sereberal, delapan belas diantaranya membaik dan hanya satu yang mengalami kematian. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan pada akhir abad ke 20, dengan penggunaan antibiotik, metode operasi yang semakin canggih, fasilitas perawatan intensif, dan tehnik neuromajing yang semakin canggih, angka kesembuhan semakin meningkat, pada periode 1981-1986 studi Mampalam dan Rosenblum mengatakan kejadian kematian pada periode tersebut sekitar 4 % saja. Namun pada saat yang bersamaan merupakan suatu periode yang banyak ditemukannya kejadian supresi sistem imun sehingga kejadian abses serebral pada pasien tersebut semakin melonjak hingga sampai 97%, peningkatan pengetahuan mengenai tatalaksana abses serebral saat ini sangatlah dibutuhkan. Epidemiologi Perkiraan angka kejadian abses serebral sekitar 0,3 – 1,3 per 100.000 orang per tahun, dengan perbandingan antara pria dibanding wanita = 2 : 1 hingga 3 : 1. Bila dihitung dari total populasi kejadian abses serebral ini relatif rendah, namun kejadian ini meningkat pada pasien-pasien tertentu yang dapat dilihat pada tabel berikut.
Pasien dengan risiko mengalami abses serebral Faktor Predisposisi Sinusitis Akut atau Kronik Otitis media kronik
Risiko menjadi abses serebral 11 dari 649 pasien (1,7%) 29 dari 20.331 pasien (0,14 %); risiko
Trauma kepala dengan penetrasi
seumur hidup pada umur 30 th (0,5 %) Peluru atau trauma fragmen (perang
Kraniotomi Resipien transplantasi organ BMT/PBSCT HIV (dengan HAART) Penyakit jantung kongenital AVM pulmo tunggal AVM pulmo multipel
Vietnam): 37 dari 1221 pasien (3%) 17 dari 2994 pasien (0,58 %) 28 dari 4628 (0,61%) 26 dari 655 (4%) * Insidensi toxoplasma per tahun 0,22% 26 dari 1270 pasien (2%) 1 dari 32 pasien (3%) 4 dari 61 pasien (7%) 144
AVM pulmo difus 6 dari 16 pasien (37 %) Infeksi akut endokarditis < 1 hingga 5 % * Studi dari Jerman. BMT (Bone marrow transplantation); PBSCT (Peripheral blood stem cell transplantation), AVM (arteriovenous malformation), HAART (highly active antiretroviral therapy)
Etiologi Ada tiga grup besar etiologi dari abses serebral : (1) infeksi berasal dari penyebaran kontigious dari organ yang berhubungan langsung; (2) penyebaran infeksi melalui hematogen; (3) infeksi berasal dari trauma kepala atau operasi prosedural bedah saraf. Grup etiologi yang berbeda biasanya berhubungan dengan lokasi abses dan flora mikroba (tabel 2). Penyebaran infeksi secara kontigious dari organ yang dekat dengan otak biasanya berasal dari infeksi di mastoid atau telinga tengah, sinus paranasal (sinusitis frontal, etmoiditis, pansinusitis dan jarang sekali pada sinusitis sphenoid), atau gigi (ekstraksi gigi, karies, penyakit periodontal). Masih belum jelas bagaimana suatu mikroba dapat menembus duramater; penyebaran diduga melalui drainase vena dari otak yang tidak memiliki katup. Penyebaran dari rongga subarakhnoid (meningitis) sangat jarang terjadi. Penyebab lain yang jarang yaitu pada kejadian osteomielitis atau infeksi pada scalp. Pada anak-anak suatu kelainan kongenital berupa sinus dermal, encephalocele, atau kista epidermoid dapat menjadi sumber penyebaran infeksi ke intrakranial.
Kemungkinan letak lokasi dan flora mikroba dari abses serebral berdasarkan sumber infeksi Sumber infeksi
Lokasi abses
Sinus paranasal
Lobus frontal
Infeksi otogenik
Infeksi odontogenik
Endokarditis
Patogen Utama
Terapi empiris yang di rekomendasi (S. Cephalosporin III + metronidazol
Streptococci Milleri), Staphylococcus aureus, Haemophilus sp., Bacteriodes sp. Lobus temporal, Streptococci, serebelum Bacteriodes sp., enterobacteria (Proteus sp.), Pseudomonas sp., Haemophilus sp. Lobus frontal Streptococci, staphylococci, Bacteriodes sp., Fusobacterium sp., Actinomyces sp., Actinobacillus sp. Biasanya abses Staphylococcus
Ceftazidim metronidazol
+
Cephalosporin III + metronidazol
Cephalosporin III + 145
bacterial
multipel, mana saja terkena Infeksi pulmonal Biasanya (abses, empiema, multipel, bronkiektasis) mana saja terkena Shunt dari kanan ke kiri (Penyakit jantung sianotik kongenital, AVM paru) Trauma penetrasi atau paska operasi
Biasanya multipel, mana saja terkena
lobus aureus, viridans metronidazol dapat streptococci abses Streptococci, lobus staphylococci, dapat Bacteriodes sp., Fusobacterium sp., enterobacteria abses Streptococci, lobus staphylococci, dapat Peptostreptococcus sp.
Tergantung lokasi
Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, streptococci, enterobacteria, Clostridium sp Tidak diketahui Lobus mana saja Streptococci, Peptostreptococcus sp., Bacteriodes sp., Haemophillus sp., straphylococci Pasien dengan Sering abses Aspergillus sp., imunosupresi: multipel, berbagai Candida sp., resipien sumsum lobus dapat terkena Nocardia sp., tulang atau organ Toxoplasma gondii solid Pasien AIDS Sering multipel Toxoplasma gondii, abses, berbagai Cryptococcus lobus dapat terkena neoformans, Listenia monocytogenes, Mycobacterium sp., Candida, Aspergillus
Cephalosporin III + metronidazol
Cephalosporin III + metronidazol
Meropenem vancomycin
+
Cephalosporin III + metronidazol + vancomycin Amphotericin B + trimethroprim + Sulfamethoxazole Pyrimethamine + Sulfadiazine atau pyrimethamine + clindamycin
Penyebaran hematogen dapat terjadi dari penyakit jantung sianosis kongenital (bertanggung jawab sekitar 60 % terjadinya abses serebral pada anak-anak), arteriovenous malformasi paru (hampir sekitar 87 % AVM paru ditemukan pada pasien dengan telangiectasi perdarahan herediter, yang juga dikenal sindroma Rendu-OslerWeber), infeksi paru (abses paru, tetapi juga pada bronkiektasis, pneumonia, empiema, dan fibrosis kistik), dan endokarditis infeksi. Penyebab abses serebral yang lain diantaranya sepsis intra abdomen, infeksi traktus urinarius, luka dan infeksi kulit, atau
146
osteomyelitis. Laporan lain penyebab abses serebral juga dapat disebabkan akibat suatu prosedur invasif diantaranya skleroterapi injeksi endoskopi pada varises esofagus, atau dilatasi esofagus yang menyebabkan striktur. Trauma kepala atau infeksi akibat tindakan bedah saraf, meningkatkan risiko infeksi otak dalam yang disebabkan adanya fragmen tulang yang tersisa atau benda asing, luka yang terkontaminasi dan komplikasi luka di kranium sehingga terbentuk fistula yang menghubungkan LCS dengan ekstrakranial. Kejadian yang sangat jarang terjadi pada pemasangan LCS shunt. Sekitar 79 % kasus kejadian abses merupakan abses tunggal ( rata-rata 62 % hingga 90 %), abses multipel terjadi sekitar 21 % ( 10 % hingga 38 %). Lokasi abses pada lobus frontal sekitar 38 %, lobus parietal 24 %, lobus temporal 25 %, lobus ocipital 11 %, dan cerebelum sekitar 7 %. Lokasi yang jarang yaitu pituitari, talamus, ganglia basal dan batang otak. Patofisiologi dan Patogenesis Perkembangan abses serebral dibagi menjadi 4 tahap : (1) serebritis awal; (2) serebritis akhir; (3) pembentukan kapsul awal; (4) pembentukan kapsul lanjut. Tahap serebritis awal terjadi pada hari 1 dan ke 3 yang dikarakteristikkan dengan pembentukan pusat nekrosis, terisi dengan sel-sel radang, batas edema sulit ditentukan. Pada serebritis lanjut (hari ke 4 hingga ke 9), ditandai dengan adanya fibroblast dan peningkatan neovaskular pada tepi daerah nekrotik. Fase awal pembentukan kapsul (hari 10-14). Pada fase ini terjadi resolusi daerah serebritis dan terjadi penyusutan daerah nekrotik. Makrofag dn fibroblast secara progresif meningkat jumlahnya dan mulai membentuk kapsul yang mengelilingi lesi. Fase pembentukan kapsul akhir (setelah hari 14). Daerah pusat nekrotik semakin jelas terbentuk dikelilingi oleh daerah inflamasi, jaringan kolagen dan lapisan neovaskular. Manifestasi klinis Gambaran klinis abses berkembang dalam 2-3 minggu. Pada abses intrakranial, sakit kepala merupakan gejala yang paling sering timbul dan dapat merupakan satu-satunya gejala. Abses yang terletak pada lobus temporal biasanya menimbulkan sakit kepala frontotemporal ipsilateral, bila terletak di hemisfer dominan dapat disertai afasia. Abses serebellar menimbulkan nyeri kepala suboksipital dan retroaurikular yang menjalar ke leher. Nyeri kepala hemikranial persisten berupa rasa ditekan yang dalam atau seperti ditusuk-tusuk dan dapat disertai nyeri tekan kulir kepala. Gambaran klinis dapat dibagi menjadi 3 kelompok, antara lain : Gejala sistemik, berupa demam, tetapi tidak semua penderita disertai demam Gejala serebral umum, lebih banyak diakibatkan peningkatan tekanan intrakranial dapat berupa sakit kepala yang kronik progresif, mual muntah dan penurunan kesadaran Gejala serebral fokal, seperti kejang, defisit motorik atau sensorik Gambaran klinis tersebut tergantung beberapa faktor yaitu , virulensi organisme penginfeksi, status imun pejamu, lokasi abses, jumlah lesi dan ada tidaknya meningitis atau ruptur ventrikel. Pemeriksaan Penunjang
147
Pemeriksaan darah rutih pada abses intrakranial biasanya terlihat leukositosis PMN dan peningkatan laju endap darah (LED). Lumbal punksi beresiko herniasi dengan meningkatnya tekanan intrakranial. Manfaat dan risiko harus dipertimbangkan dengan hati-hati sebelum membuat keputusan punksi lumbal. Hasil pemeriksaan cairan serebrospinal tidak spesifik, dengan kadar glukosa dan protein dalam batas normal, sel yang meningkat biasanya dominan polimorfonuklear, jumlah sel biasanya < 200 namun dapat juga mencapai 7000/mm3. Tekanan cairan serebrospinal dapat meningkat. Protein dapat meningkat sebanyak 100 mg/dl dan glukosa sering dalam rentang normal, kecuali terdapat juga meningitis. Foto rontgen tergantung fokus infeksinya bisa didapat tanda-tanda radang pada sinus paranasal, mastoid atau paru. Pemeriksaan sken kepala sangat berarti dalam membuat diagnosis dan rencana tindak lanjut tergantung stadium infeksinya. Apabila sudah terbentuk abses dengan kapsulnya maka tampak gambaran kapsul berbentuk cincin yang mengelilingi lesi hipodens disertai dengan edema disekiling kapsul. Dengan kontras tampak penyengatan disekitar kapsul. Magnetic resonanceimaging (MRI) merupakan pilihan prosedur diagnostik untuk melihat abses intrakranial, karena bebas dari artefak tulang dan memperlihatkan dengan jelas kumpulan cairan diluar otak. Kumpulan cairan dibandingkan densitasnya dengan CSS pada T1 dan T2. MRI juga berguna untuk memvisualisasi abses yang kecil yang dapat terabaikan dengan sken dan membedakan abses dari perdarahan atau efusi steril paska operasi. Pemeriksaan penunjang yang lain adalah : 1. Elektro ensefalografi (EEG), biasanya abdnormal pada sisi lesi, terapi ketepatan untuk menentukan lokasi < 50 %. Gelombang delta dengan frekuensi rendah dengan phase reversal mengarah pada abses otak. 2. Arteriografi dan ventrikulografi, jarang dilakukan. Hasil arteriografi akan abnormal pada 80% dengan gambaran ring shadow dengan pola massa avaskuler dengan hiperemi pada sekitarnya Tatalaksana Penanganan abses serebri harus dilakukan dengan segera meliputi penggunaan antibiotika yang sesuai, tindakan bedah (drainase atau eksisi), kontrol edema serebri dan pengobatan lokal infeksi primernya. Secara umum pemilihan antibiotik dilakukan secara empiris. Pemberian beberapa jenis antibiotik pada pengobatan awal abses serebri adalah dengan asumsi bahwa penyebab abses serebri umumnya adalah campuran dari beberapa mikroorganisme. Sebagai contoh bila abses diperkirakan akibat penyebaran infeksi telinga/paranasal yang etiologinya meliputi Staphylococcus, aerob dan anaerob maka dibutuhkan lebih dari satu jenis antibiotik. Terapi antibiotik yang diberikan harus dapat menembus sawar darah otak dan sensitif terhadap organisme aerob maupun anaerob. Sefalosporin generasi ketiga (ceftriakson;cefotaxim; ceftazidim) terbanyak direkomendasikan untuk gram (+) dan gram (-) serta metronidazol untuk bakteri anaerob. Vancomicin direkomendasikan untuk pasien yang alergi terhadap sefalosporin. Waktu pemberian antibiotik ditentukan oleh
148
respon terhadap pengobatan dan penyerapan abses pada follow up dengan sken maupun dengan MRI. Pada abses serebri terapi hanya dengan antibiotik lebih berhasil bila : terapi dimulai sebelum enkapsulasi komplit, diamater lesi kurang dari 2,5 cm dan pasien menunjukkan kesembuhan setelah pengobatan selama 2 minggu. Bila diameter lesi > 2,5 cm diberikan terapi kombinasi yaitu antibiotika dan terapi pembedahan (drainase atau eksisi). Indkasi operasi bila : terdapat efek massa yang signifikan, lesi dekat dengan ventrikel, kondisi neurologis memburuk, setelah terpi antibiotik 2 minggu abses membesar atau setelah 4 minggu ukuran abses tidak berkurang. Bila tidak dilakukan tindakan pembedahan maka antibiotik diberikan selama 8 minggu kemudian dilakukan sken otak untuk melihat respon terapi. Bila dilakukan pembedahan maka antibiotik diberikan secara parenteral 6-8 minggu lalu dilanjutkan dengan pemberian peroral selama 2-3 bulan. Prognosis Angka kematian umum (operasi dan tanpa operasi) 33-70 %, sedangkan angka kematian dengan operasi berkisar 17-54 %. Prognosis abses intrakranial dipengaruhi oleh virulensi organisme, resistensi pejamu, usia penderita, kondisi komorbid, deteriorasi neurologik dan cepat serta tepatnya terapi. Jika terdapat tanda-tanda herniasi angka kematian menjadi lebih dari 50 %. Adapun faktor-faktor lain yang mempengaruhi angka kematian antara lain : 1. 2. 3. 4. 5.
Usia Etiologi dari abses Lokasi dari abses Status neurologi sebelum operasi Abses multipel yang tidak terdeteksi seluruhnya
Dari yang berhasil survive 30-55 % diantaranya ditemukan gejala sisa. Cukup sering muncul pada orang dewasa adalah kejang/epilepsi. Pengguaan profilaksis masih kontroversi.
KEPUSTAKAAN 1. Scheld NW, Whitley JR, Marra CM. Infections of central nervous system 3rd ed. Lippincott William & Wilkins, 2004: 513-19 2. Victor M, Ropper Ah. Infections of the nervous system. In : Adam and Victor’s principles of neurology 7th ed. McGraw-Hill. New York. 2001; 821-74 3. Heiran NS, Steinbok P, Cochrane DD. Conservative surgical management of intracranial abscess. J neurosurg. 2004 Jul; 55(1): 260-2
149
150
VIII. NEUROSISTISERKOSIS o Referensi :
Standar kompetensi spesialis saraf 2006, KNI PERDOSSI
Ropper A.H., Robert HB., Adams and Victor, Principles of Neurology, eight ed. Mc Graww Hill, 2005, 11-13, 541-542.
Scheld WM et.al., Infection of the central nervous system, third ed., 2004, 10-12
William J.W et all, Emergent and urgent Neurology, Second edition, 1999
Kompetensi •
Wood. M, Neurological Infection, 1988 Menegakkan
diagnosis
dan
tatalaksana
neurosistiserkosis
mencakup epidemiologi, etiologi, klasifikasi, patogenesis, dan patofisiologi, gambaran klinik, pemeriksaan penunjang dan interpretasinya disertai manajemen pengobatan terpadu. KETERAMPILAN Setelah menyelesaikan modul ini, peserta didik diharapkan memiliki keterampilan: • Menguasai mekanisme terjadinya neurosistiserkosis • Identifikasi, anamnesis dan diagnosis neurosistiserkosis • Menguasai tatalaksana dan pengelolaan pasien dengan neurosistiserkosis • Mengetahui efek samping obat-obatan yang digunakan pada neurosistiserkosis • Memprediksi dan mengelola komplikasi yang terjadi pada neurosistiserkosis Gambaran umum Maksud pelatihan adalah untuk memberi bekal pengetahuan praktek dan manajemen rabies secara komprehensif melalui pendekatan berbasis kasus (case based learning). Subyek yang dipelajari secara mandiri dan aktif oleh peserta didik adalah tentang terjadinya abses serebral, diagnosis, dan evaluasi serta terapi farmakologi. Contoh kasus Laki-laki usia 27 tahun, pegawai, datang kerumah sakit dengan keluhan utama kejang-kejang. Lebih kurang 2 minggu yang lalu pasien tampak kejang-kejang, diawali dengan kaku pada lengan dan tungkai kanan tak lama kemudian os tampak kaku seluruh tubuh dan tidak sadarkan diri. Lamanya kejang lebih kurang 10 menit setelah itu pasien 151
sadar kembali. Lebih kurang 4 minggu sebelumnya os menderita demam naik turun tidak terlalu tinggi disertai rasa sakit kepala berdenyut terutama pada sisi kiri hilang timbul yang terasa semakin nyeri dan kadang disertai muntah tanpa didahului mual pada pagi hari. Sakit kepala semakin berat terutama saat os BAB. Os masih terkadang sulit diajak berkomunikasi dan tidak menjawab bila ditanyakan. Sebelumnya pasien bertugas di Irian jaya di daerah pedalaman. Diskusi 1. Apakah diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis ? 2. Adakah kelainan pada pemeriksaan fisik neurologis pada pasien neurosistiserkosis ? 3. Apakah yang menyebabkan masuknya kuman ke dalam intrakranial pada pasien neurosistiserkosis ? 4. Bagaimana tatalaksana seseorang dengan neurosistiserkosis ? 5. Kapan dan berapa lama pemberian anti biotik empiris pada pasien dengan abses neurosistiserkosisi ? 6. Kapan diperlukan terapi operatif pada pasien dengan neurosistiserkosis ? Tujuan pembelajaran Identifikasi kelainan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinik Mengetahui kuman penyebab tersering neurosistiserkosis Mengetahui patogenesis terjadinya neurosistiserkosis Mengetahui komplikasi neurosistiserkosis Mengetahui indikasi dan kontraindikasi pemeriksaan penunjang Melakukan dan menjelaskan tatalaksana dan manajemen pasien neurosistiserkosis o Mempertimbangkan /menganjurkan tindakan operatif pada pasien neurosistiserkosis o o o o o o
Tujuan – 1 : Identifikasi kelainan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinik . • Mengetahui Anamnesis dan pemeriksaan klinik pasien dengan kecurigaan neurosistiserkosis Tujuan- 2 : Mengetahui penyebab neurosistiserkosis Mengetahui jenis kuman, penyebab dan proses molekular yang terjadi sampai terjadi neurosistiserkosis o Mengetahui daerah endemi penyebab neurosistiserkosis o
Tujuan - 3 : Mengetahui patogenesis terjadinya neurosistiserkosis
152
o Mengetahui dan menjelaskan patogenesis terjadinya neurosistiserkosis Tujuan 4 : Mengetahui komplikasi neurosistiserkosis
Mengetahui komplikasi yang terjadi pada neurosistiserkosis Menjelaskan komplikasi awal, intermediate, spesifik dan longterm Mengetahui cara mengatasi komplikasi
Tujuan 5 : Mengetahui indikasi dan kontraindikasi pemeriksaan penunjang •
Mengetahui interpretasi pemeriksaan CT Scan otak dengan kontras dan MRI kepala pada penderita neurosistiserkosis
Tujuan 6 : Melakukan dan menjelaskan tatalaksana neurosistiserkosis dan manajemen pasien neurosistiserkosis o • • o
Mengetahui manajemen dan pengobatan abses serebral melakukan tindakan emergensi pada neurosistiserkosis mengevaluasi hasil terapi Mempertimbangkan /menganjurkan tindakan operatif pada pasien neurosistiserkosis
Kasus untuk pembelajaran Laki-laki usia 27 tahun, pegawai, datang kerumah sakit dengan keluhan utama kejang-kejang. Lebih kurang 2 minggu yang lalu pasien tampak kejang-kejang, diawali dengan kaku pada lengan dan tungkai kanan tak lama kemudian os tampak kaku seluruh tubuh dan tidak sadarkan diri. Lamanya kejang lebih kurang 10 menit setelah itu pasien sadar kembali. Lebih kurang 4 minggu sebelumnya os menderita demam naik turun tidak terlalu tinggi disertai rasa sakit kepala berdenyut terutama pada sisi kiri hilang timbul yang terasa semakin nyeri dan kadang disertai muntah tanpa didahului mual pada pagi hari. Sakit kepala semakin berat terutama saat os BAB. Keluhan diserti kelemahan anggota gerak kanan bila berjalan os agak pincang tanpa nyeri. Os masih terkadang sulit diajak berkomunikasi dan tidak menjawab bila ditanyakan. Sebelumnya pasien bertugas di Irian jaya di daerah pedalaman. a. • • • • •
Hasil pemeriksaan fisik adalah sebagai berikut : kesadaran somnolen Tekanan darah : 110/70 mmHg Frekuensi nadi 105 x/ menit Suhu 37,9 C Respirasi 21 x / menit 153
• • • • •
hipersalivasi Jantung dan paru dalam batas normal Abdomen tegang , hepar dan lien tak teraba Ekstremitas tidak ada edema Status neurologis Glasgow Coma Scale : E 3 M 6 V 4 Status mental : belum dapat dinilai Tanda rangsangan meningeal negatif Pupil isokor, refleks positif/positif lemah Funduskopi : papil batas kabur, a:v = 1:3, cup (-), perdarahan dan eksudat (-) Nervi kranialis : paresis (-) Motorik : hemiparesis dekstra Sensorik: baik Refleks fisiologis ++/++ Refleks patologis +/ Klonus -/ Saraf otonom : dalam batas normal
b. Hasil pemeriksaan penunjang : • Pemeriksaan laboratorium : darah perifer lengkap, hitung jenis, laju endap darah, AGD Monitoring • Kesadaran • Tanda vital • Defisit fokal • Ancaman gagal nafas Diskusi 1. Apakah diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis ? 2. Adakah kelainan pada pemeriksaan fisik neurologis pada pasien rabies ? 3. Apakah yang menyebabkan masuknya toksin rabies ke dalam tubuh pasien ? 4. Bagaimana tatalaksana seseorang dengan riwayat tergigit hewan namun belum timbul gejala patognomonis rabies ? 5. Bagaimana tatalaksana seseorang dengan rabies ? 6. Kapan pemberian anti toksin ataupun toksin rabies diberikan ? 7. Apakah indikasi terapi di tempat perawatan intensif pada pasien rabies ?
154
MATERI BAKU SISTISERKOSIS Pendahuluan Infeksi susunan saraf pusat (SSP) yang disebabkan oleh cacing merupakan tantangan besar dalam penanganan kesehatan di komunitas. Hal ini dapat menjadi suatu masalah besar dalam komunitas. Infeksi cacing pada SSP banyak terjadi terutama pada negara-negara berkembang seperti Amerika latin, Asia, dan Afrika. Cacing diklasifikasikan menjadi dua cacing datar (flatworm) dan cacing bulat (roundworm) atau nematoda. Flatworm dibagi lagi menjadi cacing pita (tapeworms) dan trematoda. Cacing merupakan parasit yang memiliki siklus hidup yang kompleks dimana manusia menjadi pejamu intermediat ataupun definitif. Infeksi SSP yang disebabkan oleh cacing menimbulkan beragam bentuk klinis, termasuk subakut atau kronik meningitis, ensefalitis akut atau subakut, lesi otak berupa desak ruang (space-occupying lession), stroke, dan myelopathy. Sistiserkosis Sistiserkosis terjadi pada manusia karena menjadi pejamu intermediate dari Taenia solium, yang masuk ke tubuh manusia melewati makanan yang terkontaminasi feses yang mengandung telur T.solium. Setelah masuk ke dalam saluran cerna telur tersebut berubah menjadi onkosper. Onkosper kemudian menembus dinding usus, masuk ke dalam aliran darah kemudian tersebar ke seluruh organ pejamu, tempat sistiserko tumbuh. Organ target yang terkena diantaranya adalah mata, otot, dan susunan saraf pusat. Pejamu untuk parasit cestoda dewasa, Taenia solium di dalam usus adalah manusia. Keadaan tersebut terjadi akibat pejamu memakan daging babi yang tidak dimasak tidak matang yang mengandung larva Taenia (sistisersi). Larva kemudian mengevaginati ke dalam usus hingga berubah menjadi cacing dewasa. Cacing ini terdiri dari scolex, yang menempel pada dinding usus, dan beberapa proglotid (segmen). Proglotid dan telur ini keluar bersamaan dengan feses. Babi yang merupakan pejamu intermediate terinfeksi karena memakan telur parasit atau proglotid yang mengandung telur (porcine cysticercosis). Oncosphere ini keluar dari telur, kemudian masuk kedalam mukosa usus, bermigrasi ke dalam aliran darah, dan berdiam di dalam jaringan. Dalam beberapa minggu dan bulan, kemudian larva membesar dan menjadi matang berubah menjadi sistisersi. Siklus kehidupan ini menjadi lengkap setelah manusia memakan daging babi yang terkontaminasi oleh kista. Keadaan sistiserkosis pada manusia terjadi setelah memakan makanan yang terkontaminasi dengan telur Taenia yang telah terfertilisasi. Pada manusia, terjadinya infeksi lebih sering diakibatkan memakan telur T solium berasal dari makanan yang terkontaminasi dan sangat jarang terjadi dari jalur autoinfeksi fekal-oral dari pasien yang mengeluarkan feses mengandung parasit di dalam ususnya. Parasit ini di dalam tubuh
155
manusia memiliki predileksi berada di susunan saraf pusat (SSP), otot skeletal, jaringan subkutaneus, dan mata. Patologi Sistiserkos merupakan vesikel yang mengandung skolex. Terdapat pada parenkim otak, rongga subarakhnoid, sistem ventrikel dan atau medula spinalis. Kista pada jaringan otak dapat tumbuh hingga 20 mm dalam diameter, sedangkan kista pada rongga subarakhnoid dan ventrikel dapat tumbuh mencapai 50 mm atau lebih diameternya. Kista pada parenkim otak biasanya tumbuh pada korteks serebri atau daerah basal ganglia. Pada kista rongga subarakhnoid biasanya terdapat pada fisura silvii atau sisterna pada basis otak. Sistiserkos pada ventrikel dapat menempel pada pleksus koroid atau bebas mengapung di rongga ventrikel. Setelah masuk ke dalam SSP, sistiserkos dapat bertahan hingga bertahun-tahun, menimbulkan inflamasi pada jaringan sekitar. Pada kasus lain, sistiserkos yang masuk ke dalam SSP mendapat serangan imun kompleks dari pejamu, sehingga terjadi proses degenerasi dan kematian atau kalsifikasi parasit. Reaksi inflamasi yang terjadi berupa edema, gliosis reaktif, penebalan leptomening, terjepitnya kiasma optik dan saraf kranial yang lain, angiitis, hidrosefalus dan ependimitis. Manifestasi Klinis Gejala klinis neurologis yang sering timbul pada sistiserkosis adalah kejang. Pada daerah endemik, kejadian kejang yang baru terjadi pada usia dewasa lebih diduga penyebabnya adalah neurosistiserkosis. Manifestasi klinis yang terjadi lebih sering subakut sehingga membuat sulit membedakannya dengan suatu keadaan abses atau tumor intrakranial lain. Gejala fokal juga dapat terjadi tiba-tiba yang terjadi akibat infark serebral karena angiitis sistiserkosis. Hidrosefalus dan ensefalitis sistiserkosis merupakan penyebab utama hipertensi intrakranial. Ensefalitis sistiserkosis merupakan bentuk neurosistiserkosis yang berat, yang menimbulkan inflamasi disekitar sistiserkos dan edema difus, yang dikarakteristikkan dengan gejala sakit kepala, muntah, kejang umum, menurunnya tajam penglihatan, dan penurunan kesadaran. Spinal sistiserkosis menimbulkan manifestasi berupa motor dan sensoris defisit yang bervariasi tergantung lokasi level yang terjadi. Diagnosis Penegakkan diagnosis neurosistiserkosis yang akurat melalui klinis (anamnesis dan pemeriksaan fisik neurologis) bersamaan dengan hasil dari neuroimajing dan hasil dari tes imunologis. Temuan imajing yang khas yaitu lesi kistik (imajing dari skolex) dan kalsifikasi parenkim otak. Lesi lain yang dapat timbul dan tidak spesifik diantaranya lesi cincin dan leptomening yang menyangat kontras, hidrosefalus serta infark serebral. Cairan serebrospinal (CSS) dapat menunjukkan hasil yang normal pada pasien dengan neurosistiserkosis parenkimal. Pada bentuk neurosistiserkosis di ventrikel dan subarakhnoid hasil CSS menunjukkan pleositosis limfositik, peningkatan konsentrasi protein, dan kadar glukosa yang normal. Hasil tes serologi yang akurat yaitu imunoblot. Namun hasil positif palsu dapat terjadi pada pasien dengan sistiserkosis diluar SSP dan negatif palsu biasanya pada pasien dengan lesi kista tunggal. Pemeriksaan enzyme-linked
156
immunosorbent assay (ELISA), yang merupakan pengukuran terhadap kadar antibodi imunoglobulin G (IgG) terpercaya hasilnya bila diambil sampel dari CSS, dan keakuratannya tergantung dari viabilitas kuman. Tidak adanya bentuk aktif dari kuman menghasilkan ELISA yang negatif. Terapi Lokasi lesi dan viabilitas parasit neurosistiserkosis, juga ringan beratnya respon imun dari pejamu menjadi faktor penting dalam merencanakan terapi pada pasien. Pendekatan terapi pada pasien yaitu dengan penggunaan agen sistisid, anti kejang dan obat-obatan simptomatis lain. Sebagai tambahan terapi operatif dapat dipertimbangkan pada kasus-kasus tertentu. Obat-obatan Sistisid. Praziquantel telah digunakan untuk mengobati sistiserkosis sejak tahun 1979. Studi yang telah dilakukan pada penggunaan praziquantel dikatakan obat tersebut dapat menghancukan lesi parenkim otak sistiserkosis sekitar 60 – 70 % dengan pemberian selama 15 hari dengan dosis 50 mg/kg per hari. Kemudian dosis ini diperbaharui dengan pemberian praziquantel dosis rentangnya dari 10 hingga 100 mg/kg per hari selama periode 3 hingga 21 hari. Kadar praziquantel yang optimum dan tinggi di dalam darah hingga 6 jam dapat dipertahankan dengan pemberian dosis individual sekitar 25 hingga 35 mg/kg tiap interval 2 jam merupakan dosis yang dianjurkan untuk menghancurkan parasit. Albendazol juga memiliki efek sistisid. Obat ini diberikan dengan dosis 15 mg/kg per hari selama 1 bulan. Studi terbaru mengatakan pemberian dapat dipersingkat hingga 1 minggu tanpa mengurangi efikasi obat. Albendazol menghancurkan sekitar 75% hingga 90 % kista otak dan lebih superior dibanding praziquantel, termasuk kemampuannya menghancurkan sistiserkosis di meningen dan ventrikel. Pengontrolan kejang akan jadi lebih mudah setelah pemberian obat-obatan sistisid. Penggunaan obat antisid juga digunakan sebagai alat diagnostik pada pasien dengan kejang dan penyangatan lesi tunggal pada CT dan MRI. Walaupun hal tersebut terjadi pada daerah endemis, lesi tersebut dapat berupa tuberkuloma, granuloma mikotik, atau glioma. Pasien dengan ensefalitis sistiserkosis sebaiknya tidak diberikan obat-obatan sistisid karena dapat timbul eksaserbasi gejala. Pada pasien dengan kista serebral dan hidrosefalus, obat sistisid diberikan setelah dilakukan shunting ventrikel untuk menghindari peningkatan tekanan intrakranial akibat efek obat yang diberikan. Pemberian obat-obatan sistisid, hati-hati pada cistiserkosis subarakhnoid yang besar (giant) karena inflamasi yang ditimbulkan akibat respon penghancuran parasit dapat menyumbat pembuluh darah leptomeningeal. Pada kasus tersebut pemberian kortikosteroid dapat membantu. Pada pasien dengan kista ventrikular respon inflamasi dapat terjadi hidrosefalus akut bila lokasinya terlerak pada ventrikel ke-4 atau dekat foramen Monro. Pasien dengan lesi kalsifikasi saja juga sebaiknya tidk diberikan antisistisid, karena kalsifikasi tersebut merupakan parasit yang sudah mati Obat-obatan simptomatis seperti obat anti kejang diberikan untuk mengontrol kejadian kejang pada neurosistiserkosis dan dibantu dengan pemberian obat sistisid seperti praziquatel atau albendazol yang dapat mengontrol kejang hingga 83 % pasien. Lamanya pemberian obat-obatan anti epilepsi belum ada standar yang baku. Pada 50 %
157
kasus mengalami relaps kejang setelah dihentikan pemberian obat anti epilepsi setelah pasien bebas kejang selama 2 tahun dan telah diberikan albendazol. Rekurensi kejang berhubungan dengan timbulnya kalsifikasi setelah pemberian albendazol dan terdapatnya kejang rekuren dan kista multipel di otak sebelum pemberian obat sistisid. Kortikosteroid diberikan pada sistiserkosis dengan bentuk ensefalitis sistiserkosis yang bertujuan untuk mengurangi edema. Kortikosteroid dapat diberikan tunggal atau bersamaan dengan manitol dengan dosis 2 mg/kg per hari. Pemberian kortikosteroid intravena pada kasus angiitis sistiserkosis bermanfaat untuk mencegah terjadinya infark rekuren. Kortikosteroid dilanjutkan dengan pemberian oral prednison (1 mg/kg per hari) untuk mebantu mengurangi inflamasi di rongga subarakhnoid akibat angiitis. Kortikosteroid diberikan sampai inflamasi di subarakhnoid reda yang dapat dievaluasi melalui hasil cairan serebrospinal. Operatif. Sekunder hidrosefalus akibat arakhnoiditis sistiserkosis membutuhkan diakukannya shunting. Komplikasi yang terjadi akibat tindakan ini yaitu terjadinya disfungsi dari shunting itu sendiri yang dapat meningkatkan angka kematian hingga 50 %. Sekarang telah dikembangkan alat shunt yang baru yang menghasilkan aliran yang konstan dan CSS dialirkan dengan baik hingga tidak masuk ke sistem ventrikular. Kasus lain yang membutuhkan tindakan operatif diantaranya kista yang terdapat di ventrikel. Kista ventrikel ini dapat dieksisi melalui operatif atau aspirasi endoskopi.
KEPUSTAKAAN 1. Scheld NW, Whitley JR, Marra CM. Infections of central nervous system 3 rd ed. Lippincott William & Wilkins, 2004: 513-19 2. Victor M, Ropper Ah. Infections of the nervous system. In : Adam and Victor’s principles of neurology 7th ed. McGraw-Hill. New York. 2001; 821-74
158
View more...
Comments