Modul Hapkon 3in1 2021
May 15, 2024 | Author: Anonymous | Category: N/A
Short Description
Download Modul Hapkon 3in1 2021...
Description
DIKTAT HIBAH PROGRAM 3 IN 1 DEPARTEMEN HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MATA KULIAH HUKUM ACARA PERADILAN KONSTITUSI Penyusun Dr. Indah Dwi Qurbani, SH, MH Dr. Muchammad Ali Safaat, SH, MH Dr. Aan Eko Widiarto, SH, MH Prischa Listiningrum, SH, L.LM Dr. Mardian Wibowo, S.H., M.Si.
UNIVERSITAS BRAWIJAYA November 2021
1
LEMBAR PENGESAHAN
Nama Kegiatan : Diktat Hibah Program 3in1 Departemen Hukum Tata Negara FH UB Mata Kuliah
: Hukum Acara Peradilan Konstitusi
Tanggal
: 8 November 2021
Tempat
: Fakultas Hukum UB
Biaya total
: 5 (lima) Juta Rupiah
Malang, 8 November 2021 Ketua Pelaksana,
Dr. Indah Dwi Qurbani, SH, MH
2
DAFTAR ISI 1. LATAR BELAKANG DAN TUJUAN PEMBENTUKAN PERADILAN KONSTITUSI
5
2. KARAKTERISTIK HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI
11
3. PENGUJIAN UNDANG-UNDANG
31
4. SENGKETA KEWENANGAN LEMBAGA NEGARA
58
5. HUKUM ACARA PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM
67
6. HUKUM ACARA PEMBUBARAN PARTAI POLITIK
76
7. HUKUM ACARA MEMUTUS PENDAPAT DPR MENGENAI PELANGGARAN HUKUM PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN
82
3
-1LATAR BELAKANG DAN TUJUAN PEMBENTUKAN PERADILAN KONSTITUSI a. Sejarah pembentukan peradilan konstitusi -
Perkembangannya kurang lebih 250 tahun;
-
Revolusi Perancis dan konsep separation of powers;
-
kasus Marbury Vs Madison (Kasus Marbury Madison dipandang sebagai tonggak awal praktek atau di Mahkamah Agung Amerika Serikat. Presiden Quincy
Adams
kalah
dalam
pemilu
melawan
Thomas
Jefferson.Tindakan Madison menahan surat-surat pengangkatan pejabat itulah yang kemudian diperkarakan Marbury ke Mahkamah Agung). -
Sejarah judicial review pertama kali timbul dalam praktik hukum di Amerika Serikat melalui putusan Supreme Court Amerika Serikat dalam perkara “Marbury Vs Madison” tahun 1803. Meskipun ketentuan judicial review tidak tercantum
dalam
Undang-Undang
Dasar
Amerika
Serikat, Supreme
Court Amerika Serikat membuat sebuah putusan yang ditulis John Marshall dan didukung 4 Hakim Agung lainnya yang menyatakan bahwa pengadilan berwenang membatalkan undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi. b. Latar belakang pemikiran pembentukan peradilan konstitusi -
keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) sendiri secara teoritis baru diperkenalkan oleh pakar hukum kenamaan asal Austria, Hans Kelsen (18811973). Kelsen menyatakan bahwa pelaksanaan aturan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif diberikan tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum itu
4
konstitusional atau tidak, dan tidak memberlakukannya jika menurut organ ini produk badan legislatif tersebut tidak konstitusional. -
Di Austria, Pemikiran Kelsen itu mendorong dibentuknya suatu lembaga yang diberi nama Verfassungsgerichtshoft atau MK (Constitutional Court) yang berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung, sering disebut The Kelsenian Model. Gagasan ini diajukan ketika Kelsen diangkat sebagai anggota lembaga pembaharu Konstitusi Austria (Chancelery) pada tahun 1919–1920 dan diterima dalam Konstitusi Tahun 1920. Inilah MK pertama di dunia. Model ini menyangkut hubungan antara prinsip supremasi konstitusi (the principle of the supremacy of the Constitution) dan prinsip supremasi parlemen (the principle of the supremacy of the Parliament).
c. Latar belakang pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia -
Sebelum reformasi tahun 1998, kehidupan ketatanegaraan dan kehidupan politik yang monolitik. UUD cenderung disakralkan dan tidak boleh diubah.
-
Pasca reformasi : Perubahan Ketiga UUD 1945 Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2). Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 memerintahkan dibentuknya Mahkamah Konstitusi selambat-lambatnya pada tanggal 17 Agustus 2003. UU MK disahkan pada tanggal 13 Agustus 2003, 16 Agustus 2003 para hakim MK dilantik dan mulai bekerja secara efektif pada tanggal 19 Agustus 2003.
-
Indonesia adalah negara ke-78 yang mengadopsi sistem MK terpisah dari MA.
5
Materi Power Point :
6
7
8
Bahan Pustaka: Abdul Mukthie Fadjar. Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2006. Ahmad Syahrizal. Peradilan Konstitusi: Suatu Studi Tentang Adjudikasi Konstitusional Sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif. Jakarta: Pradnya Paramita, 2006. Fatmawati. Hak Menguji (Toetsingsrecht) yang Dimiliki oleh Hakim Dalam Pengujian UU. Jakarta: PT RajaGrafindo, 2005. H.A.S. Natabaya. Sistem Peraturan Perundang-Undangan Indonesia. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2006. Hamdan Zoelva. Impeachment Presiden, Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden Menurut UUD 1945. Jakarta: Konstitusi Press, 2005. Harjono. Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa: Pemikiran Hukum Dr. Harjono. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2008. I Dewa Gede Palguna. Mahkamah Konstitusi, Judicial Review, dan Welfare State. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI , 2008. Jimly Asshiddiqie. Perihal Undang-Undang di Indonesia. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2006. Jimly Asshiddiqie. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2005. Jimly Asshiddiqie. Model-Model Pengujian Konstitusional Di Beberapa Negara. Jakarta: Konpress, 2005. Jimly Asshiddiqie. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2006. Jimly Asshiddiqie. Sengketa Kewenangan AntarLembaga Negara. Jakarta: Konspress, 2005. Maruarar Siahaan. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2006. Soimin. Impeachment Presiden & Wakil Presiden. Yogyakarta: UII Press, 2009.
9
Muchamad Ali Safa’at dkk. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2010.
10
-2KARAKTERISTIK HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI1 A. Peristilahan dan Pengertian Hukum Acara MK Mengingat keberadaannya sebagai lembaga yang dibentuk untuk mengawal konstitusi agar dilaksanakan, maka MK adalah lembaga yang menyelenggarakan peradilan konstitusi sehingga sering disebut sebagai Pengadilan Konstitusi (constitutional court). Hal itu juga tercermin dari dua hal lain. Pertama, perkara-perkara yang menjadi wewenang MK adalah perkara-perkara konstitusional, yaitu perkara yang menyangkut konsistensi pelaksanaan norma-norma konstitusi. Kedua, sebagai konsekuensinya, dasar utama yang digunakan oleh MK dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara adalah konstitusi itu sendiri. Walaupun terdapat ketentuan undang-undang yang berlaku dan mengatur bagaimana MK menjalankan wewenangnya, namun jika undang-undang tersebut bertentangan dengan konstitusi MK dapat mengesampingkan atau bahkan membatalkannya jika dimohonkan.2 Hukum Acara MK dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur prosedur dan tata cara pelaksanaan wewenang yang dimiliki oleh MK. Ada juga yang menyebut dengan istilah lain, seperti Hukum Acara Peradilan Konstitusi, Hukum Acara Peradilan Tata 1
Bagian ini diambil dari Bab II buku Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Jakarta, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2010. ISBN: 978-602-8308-26-7. 2 MK pertama kali mengesampingkan ketentuan UU karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dalam Putusannya yang pertama, yaitu putusan atas Perkara Nomor 004/PUU-I/2003. Pada putusan ini MK mengesampingkan Pasal 50 UU MK yang membatasi wewenang MK menguji UU hanya pada UU yang disahkan setelah Perubahan Pertama UUD 1945. Ketentuan tersebut dipandang mereduksi kewenangan MK yang diberikan oleh UUD 1945 yang tidak memuat batasan dimaksud. Dalam Pertimbangan Hukum pada halaman 11 sampai 12 Putusan itu dinyatakan “Mahkamah Konstitusi bukanlah organ undang-undang melainkan organ Undang- Undang Dasar. Ia adalah Mahkamah Konstitusi, bukan Mahkamah undangundang. Dengan demikian, landasan yang dipakai oleh Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan tugas dan kewenangan konstitusionalnya adalah Undang-Undang Dasar. Kalaupun undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya, sesuai dengan asas legalitas wajib ditaati oleh siapapun dan lembaga apapun sebagai subjek dalam sistem hukum nasional, segala peraturan perundang-undangan yang dimaksud sudah seharusnya dipahami dalam arti sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Pasal 50 UU MK kemudian dibatalkan oleh MK dengan alasan hukum yang sama atas permintaan Pemohon pada Perkara Nomor 066/PUU-II/2004.
11
Negara, dan lain-lain. Penggunaan istilah Hukum Acara Mahkamah Konstitusi untuk sementara digunakan secara umum karena memang terkait dengan perkara-perkara yang menjadi wewenang MK.3 Hukum Acara MK adalah hukum formil yang berfungsi untuk menegakkan hukum materiilnya, yaitu hukum konstitusi. Oleh karena itu keberadaan Hukum Acara MK sejajar dengan Hukum Acara Pidana, Hukum Acara Perdata, dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Hukum Acara MK memiliki karakteristik khusus, karena hukum materiil yang hendak ditegakkan tidak merujuk pada undang-undang atau kitab undang-undang tertentu, melainkan konstitusi sebagai hukum dasar sistem hukum itu sendiri. Hukum Acara MK dimaksudkan sebagai hukum acara yang berlaku secara umum dalam perkara-perkara yang menjadi wewenang MK serta hukum acara yang berlaku secara khusus untuk setiap wewenang dimaksud. Oleh karena itu Hukum Acara MK meliputi Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Hukum Acara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum, Hukum Acara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara, Hukum Acara Pembubaran Partai Politik, dan Hukum Acara Memutus Pendapat DPR mengenai Pelanggaran Hukum Presiden dan/atau Wakil Presiden. B. Asas-Asas Hukum Acara MK Asas secara umum diartikan sebagai dasar atau prinsip yang bersifat umum yang menjadi titik tolak pengertian atau pengaturan. Asas di satu sisi dapat disebut sebagai landasan atau alasan pembentukan suatu aturan hukum yang memuat nilai, jiwa, atau citacita sosial yang ingin diwujudkan. Asas hukum merupakan jantung yang menghubungkan 3
Saat ini masih terdapat perbedaan penggunaan istilah dan penamaan mata kuliah yang mengajarkan hukum acara untuk peradilan yang menjadi wewenang MK. Pada pertemuan pengajar Hukum Acara MK yang diselenggarakan oleh Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK di Jakarta tanggal 3 – 5 November 2009 terjadi perdebatan penggunaan istilah dan penamaan mata kuliah. Beberapa nama yang digunakan antara lain adalah Hukum Acara MK, Hukum Acara Peradilan Konstitusi, Hukum Acara Konstitusi, Hukum Acara Peradilan Tata Negara, Hukum Acara Peradilan Ketatanegaraan. Namun demikian istilah-istilah tersebut merujuk pada substansi yang sama, yaitu hukum acara dalam proses peradilan yang menjadi wewenang MK yang meliputi Pengujian Undang-Undang, Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, Perselisihan hasil Pemilu, Pembubaran Partai Politik, dan Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden.
12
antara aturan hukum dengan cita-cita dan pandangan masyarakat di mana hukum itu berlaku (asas hukum objektif).4 Di sisi lain, asas hukum dapat dipahami sebagai norma umum yang dihasilkan dari pengendapan hukum positif (asas hukum subjektif). Dalam konteks Hukum Acara MK yang dimaksud dengan asas dalam hal ini adalah prinsip-prinsip dasar dan bersifat umum yang menjadi panduan atau bahkan ruh dalam penyelenggaraan peradilan konstitusi yang keberadaannya diperlukan untuk mencapai tujuan penyelenggaraan peradilan itu sendiri, yaitu tegaknya hukum dan keadilan, khususnya supremasi konstitusi dan perlindungan hak konstitusional warga negara. Asasasas tersebut harus dijabarkan dan dimanifestasikan baik di dalam peraturan maupun praktik hukum acara. Dengan sendirinya asas Hukum Acara MK menjadi pedoman dan prinsip yang memandu hakim dalam menyelenggarakan peradilan serta harus pula menjadi pedoman dan prinsip yang dipatuhi oleh pihak-pihak dalam proses peradilan. Mengingat sifatnya yang umum dan tidak merujuk pada tindakan atau kasus tertentu, setiap asas memiliki pengecualian. Asas peradilan terbuka untuk umum misalnya memiliki pengecualian untuk perkara-perkara tertentu dapat ditetapkan bersifat tertutup. Jika pengecualian itu tidak ada, justru akan terdapat kepentingan yang lebih besar dan mendasar yang dikorbankan. Sebagaimana proses peradilan pada umumnya, di dalam peradilan MK terdapat asas-asas baik yang bersifat umum untuk semua peradilan maupun yang khusus sesuai dengan karakteristik peradilan MK. Maruarar Siahaan, salah satu hakim konstitusi periode pertama, mengemukakan 6 (enam) asas dalam peradilan MK yaitu (1) ius curia novit; (2) Persidangan terbuka untuk umum; (3) Independen dan imparsial; (4) Peradilan dilaksanakan secara cepat, sederhana, dan murah; (5) Hak untuk didengar secara seimbang (audi et alteram partem); dan (6) Hakim aktif dan juga pasif dalam persidangan.5 Selain itu 4
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 1982), hal. 85 – 86. Untuk asas Hakim aktif dan juga pasif, penggunaan istilah tersebut dipandang kurang tepat karena seolah saling bertentangan. Dalam buku ini akan digunakan istilah hakim aktif dalam persidangan. Istilah pasif tidak digunakan karena asas itu dimaksudkan bahwa hakim tidak mencari-cari perkara sehingga masih di luar persidangan. Selain itu, pasif dalam arti tidak mencari-cari perkara lebih tepat melekat pada lembaga 5
13
perlu ditambahkan lagi satu asas yaitu asas (7) Praduga Keabsahan (praesumptio iustae causa).6 1. Ius curia novit Asas Ius curia novit adalah asas bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, sebaliknya hakim harus memeriksa dan mengadilinya. Asas tersebut juga ditegaskan dalam Pasal 16 UU Kekuasaan Kehakiman.7 Asas ini berlaku dalam peradilan MK yang menjadi wewenang MK sepanjang masih dalam batas wewenang MK yang telah diberikan secara limitatif oleh UUD 1945, yaitu pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, pembubaran partai politik, perselisihan hasil Pemilu, serta pendapat DPR tentang pelanggaran hukum Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sepanjang suatu perkara diajukan dalam bingkai salah satu wewenang tersebut, MK harus menerima, memeriksa, mengadili, dan memutus. Terdapat beberapa perkara yang secara substansi sesungguhnya tidak termasuk ke dalam salah satu wewenang MK namun diajukan dalam bingkai salah satu wewenang MK sehingga MK harus memeriksa dan memutusnya. Perkara tersebut antara lain adalah Perkara Nomor 001/PUU-IV/2006 yang pada hakikatnya mengajukan pengujian Putusan MA Nomor 01/PK/Pilkada/2005 dengan konstruksi pengujian undang-undang dengan mendalilkan bahwa Putusan MA yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut kedudukannya sama dengan undang-undang. Dalam perkara ini MK memutuskan peradilannya, bukan kepada hakim. Perubahan lain yang dilakukan adalah menempatkan asas ius curia novit pada pembahasan pertama karena bersifat lebih umum walupun urutan tidak menunjukkan prioritas. Lihat, Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2006), hal. 61 – 81. 6 Dikenal juga dengan istilah het vermoeden van rechtmatigheid. Asas ini berarti bahwa tindakan penguasa dianggap sah sesuai aturan hukum sampai ada pembatalannya. Asas ini dipandang perlu khususnya terkait dengan wewenang memutus perkara Pengujian Undang-Undang, Sengketa Kewenangan Lembaga Negara, dan Perselisihan Hasil Pemilu, di mana obyek sengketanya adalah produk tindakan penguasa. 7 Tentang latar belakang asas ius curia novit, dapat dilihat pada pertimbangan Putusan MK Nomor 061/PUUII/2004.
14
permohonan tidak dapat diterima karena Putusan Peninjauan Kembali MA tidak masuk dalam kategori undang-undang yang menjadi wewenang MK untuk mengujinya. Selain itu, juga terdapat Perkara Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009 yang pada prinsipnya bertujuan untuk menguji Putusan MA Nomor 15 P/HUM/2009 mengenai perhitungan tahap kedua pada Pemilu 2009. Namun pengujian tersebut dibingkai dengan perkara pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, khususnya terhadap Pasal 205 ayat (4). MK dalam putusan perkara ini mengabulkan permohonan dengan menyatakan ketentuan yang dimohonkan sebagai konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) sepanjang ditafsirkan seperti yang dituangkan dalam amar putusan MK. Dalam pertimbangan putusan ini juga dinyatakan bahwa semua peraturan dan putusan pengadilan yang tidak sesuai dengan putusan MK menjadi kehilangan dasar pijakannya, dengan kata lain menjadi kehilangan kekuatan mengikat. Contoh lain adalah Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 mengenai Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 24C UUD 1945 menyatakan bahwa salah satu wewenang MK adalah memutus pengujian undang-undang terhadap UUD 1945. Pengertian Undangundang menurut Pasal 1 angka 3 UU No. 10 Tahun 2004 adalah Peraturan Perundangundangan yang dibentuk oleh DPR dengan persetujuan bersama Presiden. Dengan demikian pengertian merujuk pada bentuk hukum “Undang-Undang”. Di sisi lain, UU No. 10 Tahun 2004 juga mengatur keberadaan Perppu yang kedudukannya sejajar dengan UU. Perppu adalah Peraturan Pemerintah yang menggantikan ketentuan dalam suatu UndangUndang. UUD 1945 menyatakan bahwa MK berwenang menguji UU terhadap UUD 1945, sedangkan MA menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU. Muncul permasalahan atau kekosongan hukum, siapa yang dapat menguji Perppu. MA tidak memiliki wewenang karena kedudukan Perppu sejajar dengan UU. Sebaliknya, MK
15
juga tidak memiliki wewenang jika dipahami dari pengertian UU sebagai bentuk hukum menurut UU No. 10 Tahun 2004. Terhadap permohonan pengujian Perppu dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 MK dinyatakan bahwa MK berwenang menguji Perppu walaupun tidak ada ketentuan yang secara tegas tentang hal tersebut. Pertimbangan putusan bahwa MK berwenang menguji Perppu antara lain adalah; pertama, bahwa Perppu dimaksudkan untuk mengganti ketentuan suatu UU sehingga materi muatan Perppu merupakan materi muatan UU; Kedua, Perppu dibuat dan berlaku tanpa menunggu persetujuan DPR sehingga norma yang diatur di dalam Perppu yang seharusnya menjadi materi muatan UU berlaku sebagai norma hukum yang mengikat seperti halnya norma dalam suatu UU; dan ketiga, dalam keberlakuan norma itu dapat melanggar hak konstitusional warga negara dan bertentangan dengan UUD 1945. 2. Persidangan terbuka untuk umum Asas bahwa persidangan pengadilan dilakukan secara terbuka untuk umum merupakan asas yang berlaku untuk semua jenis pengadilan, kecuali dalam hal tertentu yang ditentukan lain oleh undang-undang. Hal ini tertuang di dalam Pasal 13 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, serta juga ditegaskan dalam Pasal 40 ayat (1) UU MK, bahwa sidang MK terbuka untuk umum, kecuali rapat permusyawaratan hakim. Persidangan terbuka untuk umum dimaksudkan agar proses persidangan dapat diikuti oleh publik sehingga hakim dalam memutus perkara akan obyektif berdasarkan alat bukti dan argumentasi yang dikemukakan di dalam persidangan. Melalui persidangan yang terbuka untuk umum, publik juga dapat menilai dan pada akhirnya menerima putusan hakim. Namun demikian, dalam hal tertentu dapat diputuskan oleh hakim konstitusi bahwa persidangan dilakukan secara tertutup. Hal itu misalnya terjadi pada saat sidang pemeriksaan alat bukti dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992
16
tentang Perfilman, khususnya tentang sensor film. Dalam pemeriksaan perkara Nomor 29/PUU-V/2007 pernah dilakukan pemeriksaan persidangan secara tertutup untuk melihat alat bukti berupa potongan-potongan adegan film yang disensor. Sidang dilakukan secara tertutup karena alasan kesusilaan. Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) dilakukan secara tertutup karena dalam rapat tersebut hakim konstitusi menyampaikan pendapat untuk pengambilan putusan suatu perkara. Di dalam rapat tersebut terjadi perdebatan antar hakim konstitusi yang dapat berlangsung dalam tensi yang tinggi. RPH dilakukan secara tertutup untuk menjaga kerahasiaan putusan hakim sampai diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka. Jika RPH tidak dilakukan secara tertutup akan membuka peluang pihak-pihak tertentu untuk memperjualbelikan informasi kecenderungan putusan atau putusan itu sendiri karena terdapat rentang waktu antara pengambilan putusan dan pengucapan putusan. Untuk menjaga kerahasiaan putusan, RPH hanya diikuti oleh para hakim konstitusi, panitera, panitera pengganti, dan beberapa petugas persidangan yang telah disumpah untuk tidak membocorkan apapun yang terjadi dan diputuskan dalam RPH. 3. Independen dan imparsial Untuk dapat memeriksa dan mengadili suatu perkara secara obyektif serta memutus dengan adil, hakim dan lembaga peradilan harus independen dalam arti tidak dapat diintervensi oleh lembaga dan kepentingan apapun, serta tidak memihak kepada salah satu pihak yang berperkara atau imparsial. Hal ini berlaku untuk semua peradilan yang dirumuskan dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 sebagai kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, yang ditegaskan dalam Pasal 2 UU MK. Sedangkan dalam Pasal 3 UU Kekuasaan Kehakiman ditegaskan bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga kemandirian peradilan. Independensi dan imparsialitas tersebut memiliki tiga dimensi, yaitu dimensi fungsional, struktural atau kelembagaan, dan personal. Dimensi fungsional mengandung
17
pengertian larangan terhadap lembaga negara lain dan semua pihak untuk mempengaruhi atau melakukan intervensi dalam proses memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara. Dimensi fungsional itu harus didukung dengan independensi dan imparsialitas dari dimensi struktural dan personal hakim. Dari sisi struktural, kelembagaan peradilan juga harus bersifat independen dan imparsial sepanjang diperlukan agar dalam menjalankan peradilan tidak dapat dipengaruhi atau diintervensi serta tidak memihak. Sedangkan dari sisi personal, hakim memiliki kebebasan atas dasar kemampuan yang dimiliki (expertise), pertanggunjawaban, dan ketaatan kepada kode etik dan pedoma perilaku. Untuk mendukung independensi dan imparsialitas hakim konstitusi dan MK, telah ditetapkan PMK Nomor 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. Terkait dengan independesi hakim konstitusi, pada bagian pertama Deklarasi ditegaskan8 “Independensi Hakim merupakan prasyarat pokok bagi terwujudnya cita negara hukum, dan merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan. Prinsip ini melekat sangat dalam dan harus tercermin dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan atas setiap perkara, dan terkait erat dengan independensi pengadilan sebagai institusi peradilan yang berwibawa, bermartabat, dan terpercaya. Independensi hakim dan pengadilan terwujud dalam kemandirian dan kemerdekaan hakim, baik sendiri-sendiri maupun sebagai institusi dari berbagai pengaruh, yang berasal dari luar diri hakim berupa intervensi yang bersifat mempengaruhi secara langsung atau tidak langsung berupa bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman, atau tindakan balasan karena kepentingan politik, atau ekonomi tertentu dari pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok atau golongan tertentu, dengan imbalan atau janji berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi, atau bentuk lainnya.” Penerapan dari prinsip independensi tersebut adalah sebagai berikut. 1. Hakim harus menjalankan fungsi judisialnya secara independen atas dasar penilaian terhadap fakta-fakta, menolak pengaruh dari luar berupa bujukan, iming-iming, tekanan, ancaman atau campur tangan, baik langsung maupun 8
Bagian Pertama Deklarasi Hakim Konstitusi Republik Indonesia tentang Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi Republik Indonesia (Sapta Karsa Hutama).
18
tidak langsung, dari siapapun atau dengan alasan apapun, sesuai dengan penguasaannya yang seksama atas hukum. 2. Hakim harus bersikap independen dari tekanan masyarakat, media massa, dan para pihak dalam suatu sengketa yang harus diadilinya. 3. Hakim harus menjaga independensi dari pengaruh lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan lembaga-lembaga negara lainnya. 4. Dalam melaksanakan tugas peradilan, hakim harus independen dari pengaruh rekan sejawat dalam pengambilan keputusan. 5. Hakim harus mendorong, menegakkan, dan meningkatkan jaminan independensi dalam
pelaksanaan
tugas
peradilan
baik
secara
perorangan
maupun
kelembagaan. 6. Hakim harus menjaga dan menunjukkan citra independen serta memajukan standar perilaku yang tinggi guna memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap peradilan. Sedangkan prinsip imparsial diuraikan pada bagian kedua Deklarasi sebagai berikut.9 “Ketakberpihakan merupakan prinsip yang melekat dalam hakikat fungsi hakim sebagai pihak yang diharapkan memberikan pemecahan terhadap setiap perkara yang diajukan kepadanya. Ketakberpihakan mencakup sikap netral, disertai penghayatan yang mendalam akan pentingnya keseimbangan antar kepentingan yang terkait dengan perkara. Prinsip ini melekat dan harus tercermin dalam tahapan proses pemeriksaan perkara sampai kepada tahap pengambilan keputusan, sehingga putusan pengadilan dapat benar-benar diterima sebagai solusi hukum yang adil bagi semua pihak yang berperkara dan oleh masyarakat luas pada umumnya.” Pelaksanaan prinsip ketidakberpihakan atau imparsial tersebut adalah sebagai berikut. 9
Bagian Kedua Deklarasi Hakim Konstitusi Republik Indonesia tentang Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi Republik Indonesia (Sapta Karsa Hutama).
19
1. Hakim harus melaksanakan tugas peradilan tanpa prasangka (prejudice), melenceng (bias), dan tidak condong pada salah satu pihak. 2. Hakim harus menampilkan perilaku, baik di dalam maupun di luar pengadilan, untuk tetap menjaga dan meningkatkan kepercayaan masyarakat, profesi hukum, dan para pihak yang berperkara terhadap ketakberpihakan hakim dan peradilan. 3. Hakim harus berusaha untuk meminimalisasi hal-hal yang dapat mengakibatkan hakim tidak memenuhi syarat untuk memeriksa perkara dan mengambil keputusan atas suatu perkara. 4. Hakim dilarang memberikan komentar terbuka atas perkara yang akan, sedang diperiksa, atau sudah diputus, baik oleh hakim yang bersangkutan atau hakim lain, kecuali dalam hal-hal tertentu dan hanya dimaksudkan untuk memperjelas putusan. 5. Hakim – kecuali mengakibatkan tidak terpenuhinya korum – harus mengundurkan diri dari pemeriksaan suatu perkara apabila hakim tersebut tidak dapat atau dianggap tidak dapat bersikap tak berpihak karena alasan-alasan di bawah ini: a. Hakim tersebut nyata-nyata mempunyai prasangka terhadap salah satu pihak; dan/atau b. Hakim tersebut atau anggota keluarganya mempunyai kepentingan langsung terhadap putusan; 4. Peradilan dilaksanakan secara cepat, sederhana, dan biaya ringan Prinsip peradilan cepat, sederhana, dan murah dimaksudkan agar proses peradilan dan keadilan itu sendiri dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Prinsip ini sangat terkait dengan upaya mewujudkan salah satu unsur negara hukum, yaitu equality before the law. Jika pengadilan berjalan dengan rumit dan kompleks, berbelit-belit, serta membutuhkan biaya yang mahal, maka hanya sekelompok orang tertentu yang memiliki
20
kemampuan berperkara di pengadilan, dan hanya orang-orang inilah yang pada akhirnya dapat menikmati keadilan. Prinsip peradilan yang cepat, sederhana dan murah atau biaya ringan ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (4) UU Kekuasaan Kehakiman. Dalam UU MK sendiri sama sekali tidak disebutkan mengenai biaya perkara. Hal ini berbeda dengan beberapa perkara peradilan di bawah MA. Pasal 81A ayat (3) UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menyatakan bahwa untuk penyelesaian perkara perdata dan tata usaha negara, biaya kepaniteraan dan biaya proses penyelesaian perkara dibebankan kepada pihak atau para pihak yang berperkara. Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 menyatakan bahwa biaya perkara dalam bidang perkawinan dibebankan penggugat atau pemohon. Pasal 59 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 menyatakan bahwa untuk mengajukan gugatan, penggugat membayar uang muka biaya perkara yang besarnya ditaksir oleh panitera pengadilan. Dalam proses pembahasan UU MK, pada awalnya terdapat ketentuan tentang biaya perkara. Namun dalam perkembangannya ketentuan tersebut dihilangkan. Hal ini memang dapat dimaknai bahwa maksud dari pembuat undang-undang adalah memang menghapuskan biaya perkara dalam proses peradilan MK. Hal inilah yang menjadi salah satu dasar keputusan hakim konstitusi untuk menghilangkan biaya perkara dalam peradilan MK. Dengan demikian salah satu prinsip peradilan MK yang lebih tepat adalah Cepat, Sederhana dan Bebas Biaya.10 Dengan tidak adanya biaya perkara tersebut, pembiayaan penanganan perkara di MK sepenuhnya dibebankan kepada anggaran negara. Pembebanan ini rasional karena 10
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2005), hal. 403.
21
perkara-perkara di MK menyangkut masalah konstitusional yang di dalamnya lebih banyak kepentingan umum lebih mewarnai dibanding dengan kepentingan individual. Salah satu contoh penerapan prinsip peradilan yang cepat, sederhana dan berbiaya ringan adalah penggabungan perkara yang memiliki substansi yang sama, khususnya untuk perkara pengujian UU. Dalam Pasal 11 ayat (6) PMK No. 6 Tahun 2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang dinyatakan bahwa penggabungan perkara dapat dilakukan berdasarkan usulan panel hakim terhadap perkara yang (a) memiliki kesamaan pokok permohonan; (b) memiliki keterkaitan materi permohonan; atau (c) pertimbangan atas permintaan pemohon. Dengan adanya penggabungan perkara maka sidang pemeriksaan terhadap perkaraperkara yang digabungkan dilakukan sekaligus dalam suatu persidangan serta diputus dalam satu putusan. Hal ini akan mempercepat dan menyederhanakan proses persidangan, serta dapat mencegah adanya putusan yang bertentangan tentang materi permohonan yang sama. 5. Hak untuk didengar secara seimbang (audi et alteram partem) Pada pengadilan biasa, para pihak memiliki hak untuk didengar secara seimbang. Para pihak dalam hal ini adalah pihak-pihak yang saling berhadap-hadapan, baik sebagai tergugat-penggugat, pemohon-termohon, maupun penuntut-terdakwa. Dalam peradilan MK tidak selalu terdapat pihak-pihak yang saling berhadapan (adversarial). Untuk perkara pengujian undang-undang misalnya, hanya terdapat pemohon. Pembentuk undang-undang, pemerintah dan DPR tidak berkedudukan sebagai termohon. Dalam peradilan MK, hak untuk didengar secara seimbang, berlaku tidak hanya untuk pihak-pihak yang saling berhadapan, misalnya partai politik peserta Pemilu dan KPU dalam perkara perselisihan hasil Pemilu, melainkan juga berlaku untuk semua pihak yang terkait dan memiliki kepentingan dengan perkara yang sedang disidangkan. Untuk perkara pengujian undang-undang, selain pemohon pihak terkait DPR dan pemerintah sebagai pembentuk undang-undang juga memiliki hak untuk didengar keterangannya. Bahkan,
22
pihak terkait lain yang berkepentingan terhadap undang-undang yang sedang diuji juga akan diberi kesempatan menyampaikan keterangannya. Misalnya, pada saat pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, KPU akan diberikan hak menyampaikan keterangan. Demikian pula pada saat UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat diuji, maka organisasi advokat dapat memberikan keterangan. Demikian pula halnya dalam perkara konstitusi yang di dalamnya terhadap pihak yang saling berhadapan, misalnya PHPU, hak memberikan keterangan tidak hanya diberikan kepada pemohon (peserta Pemilu) dan termohon (KPU), tetapi juga kepada pihak terkait yang berkepentingan, yaitu peserta Pemilu lain yang walaupun tidak ikut berperkara tetapi berkepentingan dengan putusan atas perkara dimaksud. Untuk menjadi pihak terkait dan menyampaikan keterangan dalam persidangan konstitusi, dapat dilakukan dengan mengajukan diri sebagai pihak terkait, atau atas undangan MK. 6. Hakim aktif dalam persidangan Maruarar Siahaan menyebut asas ini “Hakim pasif dan juga aktif dalam proses persidangan”.11 Hakim pasif dalam arti tidak mencari-cari perkara. Hakim tidak akan memeriksa, mengadili, dan memutus sesuatu sebelum disampaikan oleh pemohon ke pengadilan. Hal ini merupakan prinsip universal lembaga peradilan. Pada saat suatu perkara sudah masuk ke pengadilan, hakim dapat bertindak pasif atau aktif bergantung dari jenis kepentingan yang diperkarakan. Dalam perkara-perkara yang menyangkut kepentingan individual, hakim cenderung pasif. Sebaliknya, dalam perkara yang banyak menyangkut kepentingan umum, hakim cenderung aktif. Hakim dapat bertindak aktif dalam persidangan karena hakim dipandang mengetahui hukum dari suatu perkara. Hal ini juga sesuai dengan asas ius curia novit, yang juga dapat diterjemahkan bahwa hakim mengetahui hukum dari suatu perkara. Oleh karena
11 Maruarar Siahaan, op. cit., hal. 76.
23
itu pengadilan tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan tidak ada hukumnya, dan hakim di pengadilan itu dapat aktif dalam persidangan. Sesuai dengan sifat perkara konstitusi yang selalu lebih banyak menyangkut kepentingan umum dan tegaknya konstitusi, maka hakim konstitusi dalam persidangan selalu aktif menggali keterangan dan data baik dari alat bukti, saksi, ahli, maupun pihak terkait (pemeriksaan inquisitorial).12 Hakim tidak hanya berpaku kepada alat bukti dan keterangan yang disampaikan oleh pemohon dan pihak terkait maupun dari keterangan saksi dan ahli yang diajukan oleh pihak-pihak tersebut. Hakim konstitusi untuk keperluan memeriksa suatu perkara dapat memanggil saksi dan/atau ahli sendiri bahkan memerintahkan suatu alat bukti diajukan ke MK.13 Hakim konstitusi juga dapat mengundang para pakar yang didengar keterangannya dalam forum diskusi tertutup.14 7. Asas Praduga Keabsahan (praesumtio iustae causa). Asas praduga keabsahan adalah bahwa tindakan penguasa dianggap sah sesuai aturan hukum sampai ada pembatalannya. Berdasarkan asas ini, semua tindakan penguasa baik berupa produk hukum maupun tindakan konkret harus dianggap sah sampai ada pembatalan. Sah dalam hal ini berarti sesuai dengan asas dan ketentuan hukum baik dari sisi materi maupun prosedur yang harus ditempuh. Untuk melakukan pembatalan tindakan tersebut dapat dilakukan oleh lembaga yang melakukan tindakan itu sendiri maupun oleh lembaga lain yang diberi kewenangan berdasarkan aturan hukum. Sebagai konsekuensi dari asas ini, apabila ada upaya hukum untuk melakukan pembatalan tindakan dimaksud, maka tindakan itu tetap berlaku walaupun sedang dalam 12
Pasal 41 ayat (2) UU MK menyatakan “Untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim konstitusi wajib memanggil para pihak yang berperkara untuk memberi keterangan yang dibutuhkan dan/atau meminta keterangan secara tertulis kepada lembaga negara yang terkait dengan permohonan.” 13 Misalnya pada saat MK memerintahkan KPK membawa bukti percakapan Anggodo dengan beberapa pihak dan memperdengarkan di dalam sidang MK terkait dengan pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Perkara Nomor 133/PUU-VII/2009. 14 Forum semacam ini misalnya pernah dilakukan pada saat akan memutus pengujian Undang-Undang APBN Tahun 2006.
24
proses pembatalan. Dengan kata lain, proses pembatalan tidak menghalangi pelaksanaan tindakan itu. Perwujudan dari asas ini dalam wewenang MK dapat dilihat pada kekuatan mengikat putusan MK adalah sejak setelah dibacakan dalam sidang pengucapan putusan. Sebelum adanya putusan MK, maka tindakan penguasa yang dimohonkan tetap berlaku dan dapat dilaksanakan. Hal ini secara khusus dapat dilihat dari wewenang MK memutus pengujian UU, sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, dan perselisihan hasil Pemilu. Suatu ketentuan UU yang sedang diuji oleh MK tetap berlaku dan harus dianggap sah (tidak bertentangan dengan UUD 1945) sebelum ada putusan MK yang membatalkan ketentuan UU dimaksud. Dalam perkara Sengketa Kewenangan Konstitusional juga demikian, tindakan termohon harus dianggap sah dan tidak bertentangan dengan UUD 1945 sebelum ada putusan MK yang menyatakan sebaliknya. Pada perkara perselisihan hasil Pemilu, keputusan KPU tentang penetapan hasil Pemilu yang dimohonkan keberatan oleh peserta Pemilu harus dianggap sah dan dapat dijalankan sebelum ada keputusan MK yang membatalkan putusan KPU itu. C. Sumber Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Kata sumber hukum menurut Zevenbergen sering digunakan dalam beberapa arti, yaitu:15 a. sebagai asas hukum, sebagai sesuatu yang merupakan permulaan hukum, misanya kehendak Tuhan, akal manusia, jiwa bangsa dan sebagainya. b. Menunjukkan hukum terdahulu yang memberi bahan-bahan kepada hukum yang sekarang berlaku: hukum Perancis, hukum Romawi. c. Sebagai sumber berlakunya, yang memberi kekuatan berlaku secara formal kepada peraturan hukum (penguasa, masyarakat). 15
Zevenbergen, Formele encyclopaedie der rechtswetenschap. Gebr. Belinfante, s’Gravenhage 1925, dalam Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Liberty 1991), hal. 63
25
d. Sebagai sumber dari mana kita dapat mengenal hukum, misalnya dokumen, undangundang, lontar, batu bertulis, dan sebagainya. e. Sebagai sumber terjadinya hukum: sumber yang menimbulkan hukum. Para ahli hukum pada umumnya membagi sumber hukum dalam dua jenis, yaitu sumber hukum materiil dan sumber hukum formil. Sumber hukum materiil adalah tempat dari mana hukum itu diambil. Untuk dapat melihat sumber hukum materiil dari sebuah aturan harus terlebih dahulu dilihat isi dari aturan tersebut, kemudian melacak faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan hukum sehingga menghasilkan karakter isi hukum yang demikian. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan hukum tersebut dapat berupa pandangan hidup, hubungan sosial dan politik, situasi ekonomi, corak peradaban (agama dan kebudayaan) dan letak geografis, serta konfigurasi internasional. Sehingga bisa ditentukan sumber-sumber hukum materiil yang ikut mempengaruhi pembentukan isi hukum. Menurut Zevenbergen sumber hukum materiil meliputi pengertian-pengertian tentang asas hukum, hukum terdahulu yang memberi bahan-bahan pada hukum yang berlaku saat ini, dan sebagai sumber terjadinya hukum. Sumber hukum formil adalah tempat atau sumber dari mana suatu aturan memperoleh kekuatan hukum. Hal ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang meyebabkan peraturan itu menjadi secara formal berlaku. Dalam pengantar ilmu hukum telah dipelajari bahwa norma atau kaidah terdiri dari berbagai macam dengan cirinya masing-masing. Norma hukum memiliki ciri mempunyai kekuatan mengikat yang dapat dipaksakan dan memiliki sanksi eksternal. Suatu norma untuk dapat menjadi norma hukum harus melalui cara tertentu dan memiliki bentuk tertentu. Dari bentuk inilah dapat diketahui bahwa suatu aturan adalah hukum dan bukan norma susila, agama, atau norma yang lain. Karena bentuk itulah aturan tersebut menjadi berlaku dan mengikat semua pihak. Untuk mengetahui sumber hukum acara MK tentu juga dapat didekati dari aspek materiil dan formil. Dari aspek materiil, untuk mengetahui sumber hukum acara MK harus dilihat dari mana materi ketentuan hukum acara dimaksud diambil atau hal apa saja yang
26
mempengaruhi materi hukum acara MK. Dalam konteks hukum nasional, hukum acara MK tentu bersumber pada nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Selain itu yang menentukan materi hukum acara MK adalah asas-asas hukum terkait dengan penyelenggaraan peradilan yang disesuaikan dengan karakteristik hukum acara MK dan dijadikan sebagai asas hukum acara MK. Asas-asas dan materi hukum acara MK tersebut dalam pembuatannya dipengaruhi oleh teori atau ajaran hukum, terutama teori konstitusi dan ilmu hukum tata negara. Sedangkan sumber hukum formil hukum acara MK adalah ketentuan hukum positif yang mengatur hukum acara MK atau paling tidak terkait dengan hukum acara MK. Ketentuan Pasal 24C ayat (6) UUD 1945 menyatakan bahwa Hukum Acara merupakan salah satu hal terkait dengan keberadaan MK yang akan diatur dengan undang-undang. Hukum Acara MK diatur di dalam UU MK, yaitu pada Bab V mulai dari Pasal 28 hingga Pasal 85. Selain UU MK, tentu terdapat berbagai ketentuan perundang-undangan lain yang terkait dengan wewenang MK. Beberapa UU lain yang juga menjadi sumber hukum dalam proses peradilan MK antara lain 1. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan; 3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Beserta Perubahannya); 4. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum; 5. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik; 6. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD; 7. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden; 27
8. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Untuk melengkapi ketentuan hukum acara dalam UU MK, Pasal 86 UU MK menyatakan bahwa MK dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya. Penjelasan pasal ini menyatakan bahwa ketentuan tersebut dimaksudkan untuk mengisi kemungkinan adanya kekurangan atau kekosongan dalam hukum acara.. Ketentuan inilah yang menjadi dasar bagi MK untuk membuat Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) yang mengatur berbagai hal guna kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenang, termasuk yang mengatur hukum acara MK. PMK yang mengatur hukum acara MK meliputi: 1. PMK Nomor 006/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. 2. PMK Nomor 008/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara. 3. PMK Nomor 12/PMK/2008 tentang Prosedur Beracara Dalam Pembubaran Partai Politik. 4. PMK Nomor 15/PMK/2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah. 5. PMK Nomor 16/PMK/2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 6. PMK Nomor 17/PMK/2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden. 7. PMK Nomor 18/PMK/2009 tentang Pedoman Pengajuan Permohonan Elektronik (Electronic Filing) Dan Pemeriksaan Persidangan Jarak Jauh (Video Conference). 8. PMK Nomor 19/PMK/2009 tentang Tata Tertib Persidangan.
28
9. PMK Nomor 21/PMK/2009 tentang Pedoman Beracara Dalam memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Selain UU MK dan PMK, Hukum Acara MK juga berkembang seiring dengan perkembangan perkara dan putusan MK. Oleh karena itu putusan-putusan MK juga menjadi dasar untuk mempelajari Hukum Acara MK melengkapi atau bahkan mengubah ketentuan yang ada dalam undang-undang dan PMK. D. Kekhususan Hukum Acara MK Sesuai dengan sifat perkara yang termasuk dalam wewenang peradilan MK, terdapat karakteristik khusus peradilan MK yang berbeda dengan peradilan yang lain. Karakteristik utama yaitu dasar hukum utama yang digunakan dalam proses peradilan baik terkait dengan substansi perkara maupun hukum acara adalah konstitusi itu sendiri, yaitu UUD 1945. Walaupun terdapat berbagai ketentuan undang-undang dan PMK sebagai dasar memeriksa, mengadili, dan memutus perkara, namun ketentuan tersebut digunakan sepanjang dinilai tidak bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini tidak terlepas dari sifat wewenang MK yang pada hakikatnya adalah perkara-perkara konstitusional atau perkara yang didalamnya terdapat isu-isu konstitusional. Kewenangan
MK
memutus
pengujian
undang-undang,
adalah
menguji
konstitusionalitas suatu undang-undang. Wewenang memutus sengketa kewenangan lembaga negara pada hakikatnya adalah memutus kewenangan suatu lembaga negara yang dipersengketakan konstitusionalitasnya. Wewenang memutus pembubaran partai politik adalah wewenang memutus konstitusionalitas suatu partai politik. Demikian pula halnya dengan wewenang memutus pendapat DPR dalam proses pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pada awalnya terdapat satu wewenang MK yang tidak terkait dengan pertanyaan atau isu konstitusi, yaitu memutus perselisihan hasil Pemilu. UU MK menentukan bahwa
29
wewenang MK tersebut adalah memutus perselisihan atau perbedaan penghitungan hasil Pemilu yang terjadi antara peserta Pemilu dengan penyelenggara Pemilu. Namun dalam perkembangan penanganan perselisihan hasil Pemilu, MK menegaskan bahwa wewenang tersebut juga meliputi wewenang menguji konstitusionalitas pelaksanaan Pemilu. Dalam Pertimbangan Hukum Putusan Nomor 062/PHPU-B-II/2004 mengenai Perselisihan Hasil Pemilu yang diajukan oleh pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden Wiranto dan Salahuddin Wahid, MK menyatakan bahwa MK berkewajiban menjaga agar secara kualitatif Pemilu berlangsung sesuai dengan prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, sebagai berikut.16 Menimbang bahwa Mahkamah sebagai pengawal konstitusi berkewajiban menjaga agar secara kualitatif Pemilu berlangsung sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah digariskan oleh Pasal 22E ayat (1) dan (5) UUD 1945 yang intinya menentukan bahwa Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, serta diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Pergeseran tersebut dikuatkan dengan Putusan MK Nomor 41/PHPU.D-VI/2008 mengenai Perselisihan Hasil Pemilukada Provinsi Jawa Timur. Dalam putusan tersebut MK menegaskan bahwa wewenang memutus PHPU tidak terbatas pada menilai dan mengadili perselisihan penghitungan hasil, tetapi juga pelanggaran yang menyebabkan terjadinya perbedaan penghitungan hasil, demi menjaga dan menegakkan keadilan dan demokrasi yang diatur dalam UUD 1945. Paragraf 3.28 Putusan MK Nomor 41/PHPU.DVI/2008 menyatakan: Menimbang bahwa dalam memutus perselisihan hasil Pemilukada, Mahkamah tidak hanya menghitung kembali hasil penghitungan suara yang sebenarnya dari pemungutan suara tetapi juga harus menggali keadilan dengan menilai dan mengadili hasil penghitungan yang diperselisihkan, sebab kalau hanya menghitung dalam arti teknismatematis sebenarnya bisa dilakukan penghitungan kembali oleh KPUD sendiri di bawah pengawasan Panwaslu dan/atau aparat kepolisian, atau cukup oleh pengadilan biasa. Oleh sebab itu, Mahkamah memahami bahwa meskipun menurut undangundang, yang dapat diadili oleh Mahkamah adalah hasil penghitungan suara, namun
16 Pertimbangan Hukum Putusan Nomor 062/PHPU-B-II/2004, hal. 38.
30
pelanggaran-pelanggaran yang menyebabkan terjadinya hasil penghitungan suara yang kemudian dipersengketakan itu harus pula dinilai untuk menegakkan keadilan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi,” Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan” dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Kemudian kedua ketentuan UUD 1945 tersebut dituangkan lagi ke dalam Pasal 45 ayat (1) UU MK yang berbunyi, “Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim”; Selanjutnya, dalam Paragraf 3.29 juga ditegaskan sebagai berikut. Menimbang bahwa pada hakikatnya fungsi dan peran Mahkamah dimaksudkan, antara lain, untuk mengawal tegaknya konstitusi dengan segala asas yang melekat padanya. Demokrasi adalah salah satu asas yang paling fundamental di dalam UUD 1945 sebagaimana tertuang di dalam Pasal 1 ayat (2) bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar. Oleh sebab itu, Mahkamah berwenang juga untuk mengawal tegaknya demokrasi seperti yang diatur di dalam konstitusi yang dalam rangka mengawal tegaknya demokrasi itu harus juga menilai dan memberi keadilan bagi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di dalam pelaksanaan demokrasi, termasuk penyelenggaraan Pemilukada (vide Penjelasan Umum UU MK);
31
-3PENGUJIAN UNDANG-UNDANG
Perubahan UUD NRI 1945 telah menghasilkan pembentukan sebuah lembaga baru yang berfungsi mengawal dan menafsir konstitusi yaitu Mahkamah Konstitusi (MK). MK adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). MK diatur dalam Pasal 7B, Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 24C UUD NRI 1945 dan diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Salah satu kewenangan yang dimiliki oleh MK adalah melakukan pengujian undang-undang terhadap konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UndangUndang Dasar...” Selanjutnya, Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK menyatakan: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ….”
32
Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5076), selanjutnya disebut “UU KK” menyatakan: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” Pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 yang selanjutnya disebut PUU adalah perkara konstitusi yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945
dan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), termasuk pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah Konstitusi. Pengaturan tata beracara dalam perkara Pengujian Undang-Undang (PUU) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021). PMK 2/2021 lahir dalam rangka mengakomodasi
perkembangan praktik beracara dan sekaligus untuk
memenuhi kebutuhan hukum bagi masyarakat
pencari
keadilan dalam mengajukan
permohonan pengujian undang-undang/peraturan pemerintah pengganti undang-undang di Mahkamah Konstitusi. PMK 2/2021 juga merupakan penyempurnaan kembali terhadap Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 9 Tahun 2020 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. Dalam PMK 2/2021 diatur hukum acara pengujian undang-undang dalam suatu tata beracara dalam perkara pengujian undang-undang. PMK 2/2021 dibentuk dalam
33
mengakomodasi
perkembangan praktik beracara dan sekaligus untuk memenuhi
kebutuhan hukum bagi masyarakat pencari keadilan dalam mengajukan permohonan pengujian undang-undang/ peraturan pemerintah pengganti undang-undang di Mahkamah Konstitusi. PMK 2/2021 merupakan penyempurnaan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 9 Tahun 2020 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. A. Objek Permohonan Permohonan adalah surat permintaan yang diajukan oleh Pemohon kepada MK mengenai perkara PUU. Objek Permohonan PUU adalah undang-undang dan Perppu. Permohonan dapat berupa Permohonan pengujian formil dan/atau pengujian materiil. Pengujian formil adalah pengujian terhadap proses pembentukan undang-undang atau Perppu yang tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang atau Perppu sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Sedangkan Pengujian materiil adalah pengujian yang berkenaan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/ atau bagian dari undangundang atau Perppu yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. B. Para Pihak Para pihak dalam perkara PUU meliputi Pemohon, Pemberi Keterangan, dan Pihak Terkait. Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/ atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang atau Perppu, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesaruan Republik Indonesia yang diarur dalam undang-undang; c. badan hukum publik atau badan hukum privat; atau d. lembaga negara .
34
Hak dan/ atau kewenangan konstitusional Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang atau Perppu apabila: a. ada hak dan/ atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945. b. hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon dirugikan oleh berlakunya undangundang atau Perppu yang dimohonkan pengujian; c. kerugian konstitusional dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d. ada hubungan sebab-akibat antara kerugian konstitusional dan berlakunya undangundang atau Perppu yang dimohonkan pengujian; dan e. ada kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya Permohonan, kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak lagi atau tidak akan terjadi. Pemberi Keterangan adalah MPR, DPR, DPD, dan/atau Presiden. Dalam keadaan tertentu, Mahkamah dapat meminta keterangan pihak lain yang diposisikan sebagai Pihak Terkait. Pihak Terkait adalah pihak yang berkepentmgan langsung dan/atau pihak yang berkepentingan tidak langsung dengan pokok Permohonan, yaitu: a. perorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c. badan hukum publik atau badan hukum privat; atau d. lembaga negara. Pemohon, Pemberi Keterangan, dan/ atau Pihak Terkait dapat diwakili oleh kuasa hukum berdasarkan surat kuasa khusus dan/atau didampingi oleh pendamping berdasarkan surat keterangan. Surat kuasa khusus dibubuhi meterai sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan ditandatangani oleh pemberi kuasa dan penerima kuasa. Surat keterangan pendamping dibubuhi meterai sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan ditandatangani oleh Pemohon, Pemberi Keterangan, dan/ atau Pihak Terkait serta
35
pendamping masing-masing. Penerima kuasa, dalam keadaan tertentu dapat memberi kuasa substitusi hanya untuk 1 (satu) kali keperluan agenda persidangan. C. Tahapan Penanganan Perkara Tahapan penanganan perkara PUU terdiri atas: a. Pengajuan Permohonan; b. Pencatatan Permohonan dalam Buku Pengajuan Permohonan Pemohon Elektronik (e-BP3); c. Pemeriksaan kelengkapan Permohonan; d. Pemberitahuan APKBP (Akta Pemberitahuan Kekuranglengkapan Berkas Permohonan) disertai DHPKP2 (Daftar Hasil Pemeriksaan Kelengkapan Permohonan Pemohon); e. Pemenuhan kelengkapan dan perbaikan Permohonan; f. Penyampaian laporan Permohonan dalam RPH (Rapat Permusyawaratan Hakim); g. Pencatatan Permohonan dalam e-BRPK (Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik); h. Penyampaian salinan Permohonan; i. Pengajuan permohonan sebagai Pihak Terkait; j. Pemberitahuan sidang kepada para pihak; k. Pemeriksaan Pendahuluan; l. Pemeriksaan Persidangan; m. Pelaksanaan RPH pembahasan perkara; n. Pengucapan Putusan Mahkamah; dan o. Penyerahan/penyampaian salinan Putusan Mahkamah. Panitera mengunggah Permohonan yang telah dicatat dalam e-BP3 dan Permohonan yang telah dicatat dalam e-BRPK, serta salinan Putusan Mahkamah pada Laman MK.
36
1. Permohonan Pemohon Pemohon dapat mengajukan Permohonan kepada MK secara luring (offline) atau secara daring (online) atau melalui media elektronik lainnya. Permohonan pengujian formil diajukan dalam jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima) hari sejak undang-undang atau Perppu diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Pengajuan Permohonan sekurang-kurangnya terdiri atas: a.
Permohonan;
b.
fotokopi identitas Pemohon;
c.
fotokopi identitas kuasa hukum dan surat kuasa; dan /atau
d.
anggaran dasar atau anggaran rumah tangga (AD/ART).
Permohonan
yang diajukan oleh Pemohon dan/atau kuasa
hukum tersebut
sekurang-kurangnya memuat: a.
nama Pemohon dan/ atau kuasa hukum, pekerjaan, kewarganegaraan, alamat rumah/ kantor, dan alamat surat elektronik;
b.
uraian yang jelas mengenai: i.
kewenangan Mahkamah, yang memuat penjelasan mengenai kewenangan Mahkamah dalam mengadili perkara PUU sebagaimana diatur
dalam
peraturan perundang-undangan serta objek permohonan; ii.
kedudukan hukum Pemohon, yang memuat penjelasan mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dianggap dirugikan dengan berlakunya undang-undang atau Perppu yang dimohonkan pengujian; dan
iii.
alasan permohonan, yang memuat penjelasan mengenai pembentukan undang-undang atau Perppu yang tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang atau Perppu berdasarkan UUD 1945 dan/atau bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/ atau bagian dari undang-undang atau Perppu
37
bertentangan dengan UUD 1945. c.
petitum, yang memuat hal-hal yang diminta untuk diputus dalam permohonan pengujian formil, yaitu: i.
mengabulkan permohonan Pemohon;
ii.
menyatakan bahwa pembentukan undang-undang atau Perppu yang dimohonkan pengujian tidak memenuhi ketentuan pembentukan undangundang atau Perppu berdasarkan UUD 1945 dan undang-undang atau Perppu a quo tidak mempunyai kckuatan hukum mengikat;
iii.
memerintahkan pemuatan Putusan dalam Berita Negara Republik Indonesia;
atau dalam hal Mahkamah berpendapat lain, mohon Putusan yang seadiladilnya (ex aequo et bono). d.
petitum, yang memuat hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian materiil, yaitu: i.
mengabulkan permohonan Pemohon;
ii.
menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undangundang atau Perppu yang dimohonkan pengujian bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
iii.
memerintahkan pemuatan Putusan dalam Berita Negara Republik Indonesia.
38
atau dalam hal MK berpendapat lain, mohon Putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). Permohonan yang diajukan oleh Pemohon tanpa kuasa hukum dapat diajukan secara luring (offline) atau daring (online). Dalam hal Permohonan diajukan secara luring (offline), Pemohon mengajukan Permohonan secara tertulis dalam bahasa Indonesia sebanyak I (satu) eksemplar asli yang ditandatangani oleh Pemohon disertai dengan daftar alat bukti, alat bukti yang mendukung Permohonan, dan/atau dokumen
lainnya sebanyak
1 (satu)
eksemplar. Dalam hal Permohonan diajukan secara daring (online) atau melalui media elektronik lainnya, Pemohon mengajukan Permohonan secara tertulis dalam bahasa Indonesia yang ditandatangani oleh Pemohon. Permohonan disertai dengan daftar alat bukti beserta alat bukti yang mendukung Permohonan. Dalam hal alat bukti berupa surat atau tulisan, disampaikan 1 (satu) eksemplar asli yang telah dibubuhi meterai sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Alat bukti tersebut terdiri atas sekurang-kurangnya: a. salinan undang-undang atau Perppu, setidak-tidaknya bagian atau bab yang dimohonkan pengujian termasuk halaman depan dan halaman yang memuat tanggal pengundangan dari salinan undang-undang atau Perppu; b. salinan UUD 1945. Alat bukti disampaikan dalam bentuk dokumen cetak (hard copy) dan/ atau dokumen digital (soft copy). Dalam
memudahkan proses pemeriksaan
Permohonan, setiap alat bukti diberi tanda bukti tertulis dalam label yang ditempelkan pada alat bukti sesuai dengan urutan yang tertuang dalam daftar alat bukti.
Dalam hal pengajuan Permohonan dikuasakan kepada kuasa hukum, Permohonan wajib diajukan secara daring (online). Dalam hal Permohonan diajukan secara daring (online), Pemohon mengajukan Permohonan secara tertulis dalam bahasa Indonesia yang ditandatangani oleh Pemohon atau kuasa hukum. Permohonan tersebut disertai dengan daftar alat bukti beserta alat bukti yang mendukung Permohonan. Dalam hal alat bukti berupa surat atau tulisan, disampaikan sebanyak 1 (satu) eksemplar asli yang telah dibubuhi meterai sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Alat bukti terdiri atas sekurang-kurangnya : a. salinan undang-undang atau Perppu, setidak-tidaknya bagian atau bab yang dimohonkan pengujian termasuk halaman depan dan halaman yang memuat tanggal pengundangan dari salinan undang-undang atau Perppu; b. salinan UUD 1945. Alat bukti disampaikan dalam bentuk dokumen cetak (hard copy) dan/ atau dokumen digital (soft copy). Guna memudahkan proses pemeriksaan Permohonan, setiap alat bukti diberi tanda bukti sesuai dengan urutan yang tertuang dalam daftar alat bukti. Penyerahan Permohonan dan daftar alat bukti yang
diajukan
secara daring (online) atau luring (offline) disertai dengan
salinan dalam bentuk dokumen digital (soft copy) dengan aplikasi word (.doc) dan pdf yang disimpan dalam 1 (satu) unit penyimpan data berupa flash disk atau berupa file yang dikirim secara daring (online) atau melalui media elektronik lainnya. Permohonan dan daftar alat buku dalam bentuk pdf tersebut telah ditandatangani oleh Pemohon atau kuasa hukum. Dalam hal cerdapat perbedaan antara Permohonan tertulis Pemohon dengan salinan digitalnya, MK menggunakan Permohonan tertulis Pemohon. Permohonan yang diajukan secara daring
(online) namun tidak
memenuhi persyaratan, Panitera melakukan konfirmasi kepada Pemohon
mengenai kesungguhan umuk mcngajukan Permohonan
tcrmasuk
untuk
melengkapi Permohonan. Dalam hal hasil konfirmasi menunjukkan Pemohon bersungguh-sungguh untuk dan
mencatat
mcngajukan Permohonan, Panitera memproses
Permohonan
dalam e-BP3. Panitera mencatat Permohonan
yang diajukan oleh Pemohon kepada MK dalam e-BP3. Terhadap Permohonan yang telah dicatat dalam e-BP3, Panitera menerbitkan AP3. Panitera menyerahkan AP3 kepada Pemohon atau kuasa hukum setelah Permohonan dicatat dalam e-BP3, bagi Permohonan yang diajukan secara luring (offline). Panitera mengirimkan AP3 kepada Pemohon atau kuasa hukum paling lama 2 (dua) bari kerja setelah Permohonan dicatat dalam e-BP3, bagi Permohonan yang diajukan secara danng (online). Panitera mengunggah Permohonan dimaksud pada Laman MK. Dalam hal Permohonan telah dicatat dalam e-BP3, Panitera
melakukan
pemeriksaan
kelengkapan berkas
Permohonan. Dalam hal Permohonan dinyatakan belum lengkap setelah dilakukan pemeriksaan kelengkapan berkas Permohonan, Panitera menerbitkan dan menyampaikan APKBP kepada Pemohon atau kuasa hukum paling lama 2 (dua) hari kerja setelah diterbitkannya AP3. Panitera mengirimkan APKBP kepada Pemohon atau kuasa hukum secara daring (online) atau melalui media elektronik lamnya. Dalam hal Permohonan dinyatakan lengkap setelah dilakukan pemeriksaan kelengkapan berkas Permohonan. Panitera mencatat Permohonan dalam e-BRPK paling lama 2 (dua) hari kerja sejak diterbitkannya AP3. Pemohon dapat memperbaiki dan/atau melengkapi Permohonan paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak dikirimnya APKBP kepada Pemohon. Dalam hal Permohonan diajukan secara daring (online), asli Permohonan diserahkan kepada MK
disertai dengan daftar alat bukti, alat bukti yang mendukung
Permohonan, dan/atau dokumen lainnya sebanyak 1 (satu) eksempler dalam
tenggang waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak dikirimnya APKBP kepada Pemohon. Terhadap Permohonan yang telah diperbaiki dan/atau dilengkapi, Panitera menerbitkan dan menyampaikan bukti penerimaan baik secara daring (online) atau melalui media elektronik lainnya atau secara luring (offline) kepada Pemohon atau kuasa hukum. Dalam hal Permohonan dinyatakan belum lengkap, Panitera mencatat Permohonan dalam e-BRPK paling lama 9 (sembilan) hari kerja sejak diterbitkannya AP3. Panitera mengunggah Permohonan yang telah diperbaiki dan/atau dilengkapi pada Laman MK. Penyerahan Permohonan dan daftar alat bukti yang tclah diperbaiki dan/ atau dilengkapi disertai dengan salinan dalam bentuk dokumen digital (soft copy) dengan aplikasi word (.doc) dan pdf yang disimpan dalam 1 (satu) unit penyimpan data berupa flash disk atau berupa file yang dikirim secara daring (online) atau melalui media elektronik lainnya. Permohonan dan daftar alat bukti yang telah diperbaiki dan/ atau dilengkapi dalam bentuk pdf telah ditandatangani
oleh
Pemohon
atau
kuasa
hukum. Dalam hal terdapat
perbedaan antara Permohonan terrulis Pemohon dengan salinan digitalnya, MK menggunakan Permohonan tertulis Pemohon. Pemohon dapat mengajukan penarikan kembali Permohonan paling lama sebelum sidang terakhir atau sebelum perkara dipurus oleh Mahkamah. Penarikan kembali Permohonan dapat dilakukan secara tertulis atau secara lisan dalam persidangan. Terhadap Permohonan yang ditarik oleh Pemohon, Permohonan yang sama tidak dapat diajukan kembali. Dalam hal Pemohon menarik kembali Permohonan, MK menerbitkan putusan berupa ketetapan mengenai penarikan kembali Permohonan disertai dengan pengembalian salinan berkas Permohonan. Ketetapan tersebut diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum.
2. Keterangan Pemberi Keterangan Pemberi Keterangan dapat menyampaikan keterangan kepada MK secara langsung di persidangan,
luring (offline), atau daring (online) atau
melalui media elektronik lainnya. Pemberi Keterangan menyampaikan keterangan secara tertulis dalam bahasa Indonesia sebanyak 1 (satu) eksemplar asli yang ditandatangani oleh Pemberi Keterangan atau kuasa hukum disertai dengan daftar alat bukti, alat bukti yang mendukung keterangan, dan/ atau dokumen lainnya. Keterangan yang disampaikan oleh Pemberi Keterangan sekurang-kurangnya memuat: a. nama lembaga Pemberi Keterangan dan/atau kuasa hukum dan alamat kantor; b. uraian yang jelas mengenai fakta yang terjadi pada saat proses pembahasan dan/ atau risalah rapat dari undang-undang atau Perppu yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon termasuk hal-hal lain yang dianggap perlu oleh Pemberi Keterangan atau hal-hal lain yang diminta MK. Penyampaian keterangan disertai dengan alat bukti yang mendukung keterangan termasuk risalah rapat yang berkenaan dengan Permohonan yang ruajukan pengujian oleh Pemohon. Dalam hal alat bukti berupa surat atau tulisan, Pemberi Keterangan atau kuasa hukum menyampaikan alat bukti 1 (satu) eksemplar asli yang telah dibubuhi meterai sebagaimana ditentukan dalam peraturan
perundang-
undangan. Untuk memudahkan proses pemeriksaan, setiap alat bukti diberi tanda bukti tertulis dalam label yang ditempelkan pada alat bukti sesuai dengan urutan yang tertuang dalam daftar alat bukti. Penyampaian keterangan dan daftar alat bukti disertai dengan salinan dalam bentuk digital (soft copy) dengan aplikasi
word (.doc) dan pdf yang disimpan dalam 1 (satu) unit penyimpan data berupa flash disk atau berupa file yang dikirim secara daring (online) atau melalui media elektronik lainnya. Keterangan dan daftar alat bukti dalam bentuk pdf tersebut harus telah ditandatangani oleh Pemberi Keterangan atau kuasa hukum. Dalam hal terdapat perbedaan antara keterangan tertulis dengan salinan digitalnya, MK menggunakan keterangan tertulis. Dalam hal keterangan telah disampaikan kepada MK, Panitera mencatat keterangan Dalam e-BRPK. Terhadap keterangan yang celah dicatat dalam e-BRPK, Panitera menerbitkan dan menyampaikan bukti penerimaan kepada Pemberi Keterangan atau kuasa hukum. Panitera menyampaikan bukti penerimaan kepada Pemberi Keterangan atau kuasa hukum secara daring (online) acau melalui media elektronik lainnya atau secara luring (online). 3. Permohonan dan Keterangan Pihak Terkait Pihak Terkait terdiri atas Pihak Terkait yang berkepentingan langsung dan Pihak Terkait yang berkepentingan tidak langsung. Pihak Terkait yang berkepentingan langsung adalah pihak yang hak dan/ atau kewenangannya secara langsung terpengaruh kepentingannya oleh pokok Permohonan. Pihak Terkait yang berkepentingan tidak langsung adalah pihak yang hak, kewenangan, dan/ atau kepentingannya Lidak secara langsung terpengaruh oleh pokok Permohonan tetapi karena kepeduliannya terhadap Permohonan dimaksud, dapat mengajukan keterangannya sebagai ad informandum. Permohonan sebagai Pihak Terkait dapat diajukan setelah Permohonan diregistrasi dalam e-BRPK atau paling lambat sebelum Pemeriksaan Persidangan untuk mendengar keterangan ahli dan/atau saksi. Permohonan sebagai Pihak Terkait dapat diajukan kepada MK secara luring (offline) atau secara daring (online) atau melalui media elektronik lainnya.
Permohonan sebagai Pihak Terkait diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia sebanyak 1 (satu) eksemplar asli yang ditandatangani oleh calon Pihak Terkait atau kuasa hukum disertai dengan daftar alat bukti, alat bukti yang mendukung permohonan, dan/ atau dokumen lainnya. Permohonan sebagai Pihak Terkait sekurang-kurangnya memuat: a.
nama Pihak Terkait dan/ atau kuasa hukum, pekerjaan, kewarganegaraan, alamat rumah / kantor, dan alamat surat elektronik yang digunakan selama proses berperkara;
b.
uraian yang jelas mengenai kepentingan Pihak Terkait terhadap Permohonan PUU yang diajukan oleh Pemohon. Dalam hal alat bukti berupa surat atau tulisan, calon Pihak Terkait atau
kuasa hukum menyampaikan alat bukti 1 (satu) eksemplar asli yang telah dibubuhi meterai sebagaimana ditenlukan
dalam
peraturan
perundang-
undangan. Dalam hal permohonan sebagai Pihak Terkait disetujui oleh RPH, MK menerbitkan Ketetapan Pihak Terkait yang salinannya disampaikan kepada yang bersangkutan paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak diterbitkannya Ketetapan Pihak Terkait. Dalam hal Permohonan sebagai Pihak Terkait tidak disetujui oleh RPH, MK menerbitkan ketetapan yang salinannya disampaikan kepada yang bersangkutan paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak diterbitkannya ketetapan. D. PERSIDANGAN Jadwal penyelenggaraan persidangan dimuat pada Laman MK. Persidangan perkara PUU dilaksanakan melalui: a.
Pemeriksaan Pendahuluan ;
b.
Pemeriksaan Persidangan; dan
c.
Pengucapan Putusan.
Persidangan perkara PUU dapat dilakukan secara luring (o!fline), secara daring (online), melalui video conference, dan/atau melalui media elektronik lainnya. MK menetapkan hari sidang pertama dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak Permohonan dicatat dalam e-BRPK. MK menyampaikan surat panggilan sidang pertama kepada Pemohon yang harus telah diterima oleh Pemohon dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sebelum sidang pertama dilaksanakan. MK menyampaikan surat panggilan sidang kepada para pihak, ahli, dan/ atau saksi yang harus telah diterima oleh para pihak dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja sebelum sidang Pemeriksaan Persidangan dilaksanakan. Para pihak, ahli, dan saksi wajib memenuhi panggilan MK untuk menghadiri persidangan.
Guna
kepentingan
pemeriksaan,
MK
dapat
mempertimbangkan
penggabungan pemeriksaan beberapa perkara secara bersamaan. Penyelenggaraan persidangan
MK
dapat
dilakukan
melalui persidangan jarak jauh dengan
menggunakan fasilitas video conference (vicon) atau melalui media elektronik lainnya . 1. Pemeriksaan Pendahuluan Pemeriksaan Pendahuluan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum. Pemeriksaan Pendahuluan dapat dilakukan dalam Sidang Panel yang dihadiri oleh paling kurang 3 (tiga) orang Hakim. Sebelum Pemeriksaan
Persidangan, MK
melakukan Pemeriksaan Pendahuluan dalam 2 (dua) tahap sidang yaitu: a. Pemeriksaan Pendahuluan dengan agenda untuk mendengar pokok-pokok Permohonan, memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi Permohonan; b. Pemeriksaan Pendahuluan dengan agenda untuk memeriksa perbaikan Permohonan serta pengesahan alat bukti Pemohon. Dalam Pemeriksaan Pendahuluan, MK memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi Permohonan yang meliputi:
i. identitas Pemohon;
ii. kewenangan MK; iii. kedudukan hukum Pemohon; iv. alasan permohonan (posita); dan v. hal-hal yang diminta uncuk diputus (petitum). Dalam Pemeriksaan Pendahuluan untuk memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi Permohonan, MK memberi kesempatan kepada Pemohon untuk menyampaikan pokok-pokok Permohonan. Dalam pemeriksaan kelengkapan dan kejelasan materi permohonan, MK wajib mcmberi nasihat kepada Pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki Permohonan. Setelah Sidang Panel Pemeriksaan Pendahuluan dilaksanakan, Panel Hakim yang memeriksa perkara tersebut melaporkan hasilnya dalam RPH untuk memutuskan tindak lanjut perkara. 2. Pemerikaaan Persidangan Pemeriksaan Persidangan dilakukan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum yang dihadiri oleh 9 (sembilan) orang Hakim atau pahng kurang 7 (tujuh) orang Hakim. Dalam keadaan tertentu, MK dapat menetapkan Sidang Pleno bersifat tertutup. Dalam keadaan tertentu antara lain berkaitan dengan rahasia negara, kesusilaan, dan perlindungan anak. Pemeriksaan Persidangan meliputi: i. mendengar keterangan Pemberi Keterangan; ii. mendengar keterangan Pihak Terkait; iii. mendengar keterangan ahli; iv. mendengar keterangan saksi; v. memeriksa dan/ arau mengesahkan alat bukti tertulis; vi. memeriksa
rangkaian
data,
keterangan,
perbuatan,
keadaan, dan/atau
peristiwa yang bersesuaian dengan alat-alat bukti lain yang dapat dijadikan petunjuk;
vii. memeriksa alat-alat bukli lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima , atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. Dalam Pemeriksaan Persidangan, MK memeriksa dan/ atau mengesahkan alat bukti. Pemeriksaan Persidangan dapat diikuti dengan pemeriksaan setempat yang dilakukan oleh Hakim yang ditunjuk dengan didampingi oleh Panitera dan/atau Panitera Pengganti serta dapat pula dihadiri oleh Pemohon, Pemberi Keterangan, dan/atau Pihak Terkait yang hasilnya disampaikan dalam persidangan. Keterangan tertulis dan risalah rapat disampaikan oleh DPR sebagai Pemberi Keterangan melalui Pimpinan DPR dalam Pemeriksaan Persidangan. Pimpinan DPR dapat memberi kuasa kepada pimpinan dan/ atau anggota alat kelengkapan DPR. Pembacaan Keterangan DPR dilakukan oleh pimpinan atau anggota alat kelengkapan DPR. Guna kejelasan pemeriksaan perkara, Hakim dapat memerintahkan kepada DPR menyampaikan keterangan tambahan yang diperlukan dalam persidangan. Keterangan tertulis dan/ atau risalah rapat juga disampaikan oleh Presiden sebagai Pemberi Keterangan dalam Pemeriksaan Persidangan. Presiden dapat memberi kuasa kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, menteri, dan/ atau pejabat setingkat menteri dengan hak substitusi. Keterangan tertulis dan risalah rapat yang berasal dari DPD disampaikan oleh DPD sebagai Pemberi Keterangan melalui Pimpinan DPD dalam Pemeriksaan Persidangan. Pimpinan DPD dapat memberi kuasa kepada pimpinan dan/atau anggota alat kelengkapan DPD. Pembacaan Keterangan DPD
dilakukan oleh
pimpinan atau anggota alat kelengkapan DPD. Guna kejelasan pemeriksaan perkara, Hakim dapat memerintahkan kepada DPD menyampaikan keterangan tambahan yang diperlukan dalam persidangan.
3. Pembuktian dan Alat Bukti Pemohon membuktikan dalil Permohonan dalam persidangan. Pemberi Keterangan dan/ atau Pihak Terkait dapat membuktikan keterangannya. Hakim dapat memerintahkan kepada Pemohon, Pemberi
Keterangan dan/ atau Pihak
Terkait menyerahkan tambahan alat buku yang diperlukan dalam persidangan untuk kejelasan pemeriksaan
perkara. Keterangan ahli dan/ atau saksi didengar
keteranngannya dalam persidangan setelah MK mendengar keterangan Pemberi Keterangan, kecuali MK menentukan lain. Alat bukti dalam perkara PUU berupa: a. surat atau tulisan; b. keterangan para pihak; c. keterangan ahli; d. keterangan saksi; e. keterangan pihak lain; f. alat bukti lain; dan/atau g. petunjuk. Keterangan para pihak merupakan semua Keterangan baik lisan maupun tertulis yang berkaitan dengan Permohonan yang merupakan satu kesatuan dengan dalil yang disampaikan para pihak. Alal bukti surat atau tulisan dapat berupa: a. kutipan, salinan, atau fotokopi peraturan perundang-undangan, keputusan pejabat tata usaha negara, dan/atau
putusan pengadilan, yang isinya sesuai
dengan naskah aslinya; dan/atau b. dokumen tertulis lainnya. Alat bukti surat atau tulisan adalah alat bukti surat yang terkait dengan kewenangan MK, kedudukan hukum, objek Permohonan, dan/atau alasan Permohonan. Alat bukti surat atau tulisan keabsahan perolehannya harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Ahli dapat diajukan
oleh
Pemohon,
Pemberi
Keterangan,
Pihak
Terkait, dan/atau atas permintaan MK
untuk
didengar keterangannya dalam persidangan MK. Pengajuan ahli disertai dengan daftar ahli, daftar riwayat hidup, salinan kartu identitas ahli, dan keterangan tertulis terkait dengan Permohonan. Saksi dapat diajukan oleh Pemohon, Pemberi Keterangan, dan/atau Pihak Terkait, dan/ atau atas permintaan MK untuk didengar keterangannya dalam persidangan MK. Pengajuan saksi disertai dengan daftar saksi, daftar riwayat hidup, salinan kartu identitas saksi, dan pernyataan singkat tentang hal-hal yang akan diterangkan terkait dengan Permohonan. Para pihak menyampaikan daftar saksi, daftar riwayat hidup, salinan kartu identitas diri, dan pernyataan singkat paling lama 2 (dua) hari kerja sebelum Sidang Pleno untuk mendengar keterangan saksi dilaksanakan. Dalam hal ahli dan/atau saksi yang diajukan oleh para pihak tidak dapat berbahasa Indonesia, ahli dan/ atau saksi wajib didampingi oleh penerjemah. Penerjemah diajukan oleh Para Pihak atau difasilitasi oleh dan berdasarkan pertimbangan MK. Penerjemah mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaannya. Dalam Pemeriksaan Persidangan, para pihak dapat mengajukan pertanyaan dan/atau tanggapan mengenai pokok Permohonan kepada ahli dan/atau saksi melalui ketua sidang. Para pihak dapat mengajukan pertanyaan dan/ atau tanggapan mengenai pokok Permohonan kepada ahli dan/ atau saksi yang diajukannya sendiri atau ahli dan/ atau saksi yang diajukan oleh pihak lain. Dalam hal Pemeriksaan Persidangan dalam Sidang Pleno dinyatakan cukup oleh MK, para pihak diberi kesempatan untuk menyampaikan kesimpulan secara tertulis. Kesimpulan disampaikan kepada MK paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak Pemeriksaan Persidangan dinyatakan selesai oleh MK, kecuali ditentukan lain oleh MK. 4. Rapat Permusyawaratan Hakim
MK memurus perkara berdasarkan UUD 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan Hakim. Pengambilan Putusan MK dilakukan dalam RPH secara tertutup setelah selesai Pemeriksaan Pendahuluan atau
Pemeriksaan Persidangan. RPH
dihadiri oleh 9 (sembilan) orang Hakim atau paling kurang oleh 7 (tujuh) orang Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK. Dalam hal Ketua MK berhalangan, RPH dipimpin oleh Wakil Ketua Mahkarnah. Dalam hal Ketua MK dan Wakil Ketua MK berhalangan dalam waktu bersamaan, RPH dipimpin oleh Hakim yang bertindak sebagai ketua RPH yang dipilih dari dan oleh Hakim yang hadir. Pengambilan Putusan MK dilakukan dengan musyawarah untuk mufakat. Dalam rangka pengambilan Putusan MK, setiap Hakim menyampaikan pendapat hukum terhadap Permohonan. Pendapat adalah untuk menjawab seluruh dalil yang dimohonkan oleh Pemohon. Dalam hal mufakat tidak tercapai, rapat dapat ditunda sampai RPH berikumya. Dalam hal RPH berikutnya meskipun telah diusahakan dengan sungguh-sungguh temyata tidak juga dicapai mufakat, Putusan MK diambil dengan suara terbanyak. Dalam hal RPH tidak dapat mengambil Putusan MK dengan suara terbanyak, suara terakhir ketua RPH menentukan. RPH pengambilan putusan antara lain berupa: a. penyampaian laporan Panel Hakim mengenai hasil Pemeriksaan Pendahuluan atau Pemeriksaan Persidangan; b. penyampaian pendapat hukum Hakim mengenai kewenangan MK, kedudukan hukum Pemohon, dan pokok Permohonan; c. penyusunan hasil RPH; d. pembahasan rancangan Putusan MK; e. pembahasan rencana pengucapan Putusan Mahkamah. E. Putusan Mahkamah
Putusan Mahkamah dapat berupa Putusan, Pulusan Sela, atau Ketetapan. Putusan memuat:
a. kepala
putusan
yang
berbunyi:
DEMI
KEADILAN
BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA; b. nama lembaga: MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA; c. identitas pihak; d. permohonan dan/ atau keterangan para pihak; e. pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan; f. pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan; g. konklusi; h. amar putusan; i. alasan berbeda (jika ada); j. pendapat berbeda (jika ada); k. hari dan tanggal pengambilan putusan, hari dan tanggal pengucapan putusan, nama dan tanda tangan Hakim, serta nama dan tanda tangan Panitera Pengganti. Pertimbangan
terhadap
fakta
yang
terungkap
dalam
persidangan di atas
meliputi: a. pendirian
Pemohon
terhadap
permohonannya
dan
keterangan tambahan yang
disampaikan di persidangan; b. keterangan Pemberi Keterangan; c. keterangan Pihak Terkait; d. keterangan ahli dan/ atau saksi; dan/atau e. hasil pemeriksaan alat-alat bukti. Pertimbangan
hukum yang menjadi dasar putusan
meliputi: permasalahan
utama Permohonan, kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum Pemohon, alasan permohonan, pendapat MK. Ketetapan memuat:
a. kepala
ketetapan
yang
berbunyi: "DEMI
KEADILAN
BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA"; b. nama lembaga: MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA. c. konsideran menimbang: i. identitas pihak; ii. pokok perkara; iii. pertimbangan hukum dan/atau pendapat MK yang menjadi dasar putusan, serta simpulan . d. konsideran mengingat : i. UUD 1945; ii. UU MK; dan/ atau iii. undang-undang ya ng terkait. e. amar ketctapan; f. hari dan tanggal pengambilan ketetapan , hari dan tanggal pengucapan ketetapan, nama dan tanda tangan Hakim, serta nama dan tanda tangan Panitera Pengganti. Amar Putusan untuk pengujian formil: a. Dalam
hal Permohonan
tidak
memenuhi
ketentuan
syarat formil pengajuan
Permohonan, amar Putusan: "Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima; b. Dalam hal pokok Permohonan tidak beralasan menurut hukum, amar putusan menyatakan, "Menolak permohonan Pemohon"; c. Dalam hal pokok Permohonan beralasan menurut hukum, amar Putusan berbunyi: i. Mengabulkan permohonan Pemohon; ii. Menyatakan pembentukan undang-undang atau Perppu dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang- undang menurut UUD 1945, dan undang-undang atau Perppu a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikal; iii. Memerintahkan pemuatan Putusan dalam Berita Negara Republik Indonesia. Dalam hal dipandang perlu, MK dapat menambahkan tersebut.
amar selain yang ditentukan
Amar Putusan untuk pengujian materiil: a. Dalam hal Permohonan tidak memenuhi ketentuan syarat formil pengajuan Permohonan, amar putusan, "Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima”; b. Dalam hal pokok Permohonan tidak beralasan menurut hukum, amar putusan menyatakan, "Menolak permohonan Pemohon"; c. Dalam hal pokok Permohonan beralasan menurut hukum, amar putusan: i. Mengabulkan Permohonan Pemohon sebagian/seluruhnya; ii. Menyatakan materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang atau Perppu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; iii. Memerintahkan pemuatan Putusan dalam Serita Negara Republik Indonesia. Dalam
hal
MK
berpendapat
bahwa
permohonan
pengujian materiil
inkonstitusional bersyarat, amar putusan berbunyi: a. mengabulkan permohonan Pemohon; b. menyatakan materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang atau Perppu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ...; c. memerintahkan pemuatan Putusan dalam Serita Negara Republik Indonesia. Dalam hal dipandang perlu, MK dapat menambahkan
amar selain yang
ditentukan tersebut. MK dapat menyatakan Permohonan tidak jelas atau kabur antara lain karena: a. adanya ketidaksesuaian antara dalil Permohonan dalam posita dengan petitum; b. dalil tidak terdapat dalam posita tecapi ada dalam petitum atau sebaliknya; c. adanya permintaan Pemohon dalam pctitum yang saling bertentangan antara satu dengan yang lainnya dan tidak memberikan pilihan altematif. Terkait Ketetapan, MK menerbitkan Putusan berupa Ketetapan dalam hal: a. Permohonan bukan merupakan kewenangan MK; b. Pemohon menarik kembali permohonannya; c. Pemohon
tidak
hadir pada
sidang pertama Pemeriksaan Pendahuluan.
Amar Ketetapan apabila MK tidak berwenang berbunyi: "Menyatakan Mahkamah tidak berwenang mengadili permohonan Pemohon". Amar Ketetapan apabila terdapat penarikan kembali berbunyi: a. "Mengabulkan
permohonan
Pemohon
untuk
menarik
kembali
permohonannya"; b. "Menyatakan permohonan Pemohon ditarik kembali"; c. "Menyatakan permohonan yang telah ditarik tidak dapat diajukan kembali"; d. "Memerintahkan kepada Panitera untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Pemohon dalam e-BRPK". Amar Ketetapan apabila Pemohon tidak hadir pada sidang pertama Pemeriksaan Pendahuluan berbunyi: "Menyatakan permohonan Pemohon gugur”. Dalam hal dipandang perlu, MK dapat menambahkan amar selain yang ditentukan tersebut. Undang-undang atau Perppu yang diuji oleh MK tetap berlaku sebelum ada Putusan yang menyatakan bahwa undang-undang atau Perppu tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum. Terhadap materi muatan, ayat, pasal, dan/ atau bagian dalam undang- undang atau Perppu yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali, kecuali jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda. Putusan MK diucapkan dalam Sidang Pleno Pengucapan Putusan MK yang dihadiri oleh 9 (sembilan) orang Hakim atau paling kurang 7 (tujuh) orang Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK. Dalam hal Ketua MK berhalangan, Sidang Pleno dipimpin oleh Wakil Ketua MK. Dalam hal Ketua MK dan Wakil Ketua MK berhalangan dalam waktu bersamaan, Sidang Pleno dipimpin oleh Hakim yang bertindak sebagai kerua Sidang Pleno yang dipilih dari dan oleh Hakim yang hadir.
Salinan Putusan MK disampaikan kepada Pemohon, Pemberi Keterangan, MK Agung, Pihak Terkait, dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum segera setelah berakhirnya Sidang Pleno pengucapan Putusan MK. Dalam hal Pemohon, Pemberi Keterangan, Pihak Terkait, dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerimahan di bidang hukum tidak hadir dalam Sidang Pleno pengucapan Putusan MK, salinan Putusan Mahkamah dikirimkan secara daring (online) atau melalui media elektronik lainnya kepada yang bersangkutan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak Putusan MK selesai diucapkan. Penyerahan atau penyampaian salinan Putusan MK dilaksanakan oleh Panitera. Putusan MK yang mengabulkan Permohonan wajib dimuat dalam Berila Negara Republik Indonesia dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak Putusan MK selesai diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum.
-4Sengketa Kewenangan Lembaga Negara Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK) merupakan salah satu lembaga negara yang diamanatkan kedudukannya oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945), yang mana secara formil dan materiil di atur dalam ketentuan Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 24C UUD NRI 1945. Selayaknya lembaga negara dalam konsep hukum tata negara positif (positieve staatsrecht), MK secara keorganisasian memiliki kewenangan yang melekat pada dirinya, di mana kewenangan-kewenangan tersebut diatur pula dalam ketentuan konstitusi (Safa’at et al, 2011). Secara normatif-konstitusional penyebutan MK dan kewenangannya diatur dalam konstruksi Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 : “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat petama dan yang putusannya bersifat final untuk menguji undangUndang Dasar, memutus sengketa diberikan oleh
undang
terhadap
terakhir Undang-
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.” Dalam diskursus ketetanegaraan terkait kewenangan MK, ketentuan Pasal 24C ayat (2) UUD NRI 1945 dikategorikan juga sebagai bagian dari kewenangan MK, namun dituliskan dalam klausa pasal yang berbeda dengan kewenangan-kewenangan lainnya karena ketentuan Pasal a quo merupakan satu kesatuan rangkaian proses impeachment yang tidak terlepas dari proses politik di DPR RI atas dugaan pelanggaran terhadap UUD NRI 1945 oleh Presiden dan/ atau Wakil Presiden (Siahaan, 2012). Akan tetapi, pada bagian ini yang akan menjadi fokus pembahasan adalah terkait salah satu kewenangan MK dalam hal memutus sengketa kewenangan lembaga negara (selanjutnya disebut SKLN). Secara historis keseluruhan pengaturan tentang MK dalam tubuh hukum dasar negara mulai sah berlaku secara formil pasca Perubahan Ketiga UUD 1945 yang terjadi pada tahun 2001, tepatnya ditetapkan pada 9 November 2001. Sedangkan secara struktur
kelembagaan MK berdiri sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK) pada 13 Agustus 2003 dan aktif secara operasional pada tanggal 16 Agustus 2003 setelah pengangkatan sumpah 9 (sembilan) hakim konstitusi (Siahaan, 2012). Proses tersebut telah sesuai dengan amanat konstitusi agar MK telah terbentuk selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003 (vide Pasal III Aturan Peralihan UUD NRI 1945). Apabila kewenangan MK dalam penyelesaian SKLN dibedah secara tekstual, maka terdapat 2 (dua) unsur pokok yang menjadi dasar utama sebuah peristiwa hukum dapat dikategorikan sebagai SKLN, yakni “sengketa kewenangan lembaga negara….” dan “…..yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar”, oleh karena itu substansi persengketaan yang dapat diajukan kepada MK hanya terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan kewenangan dan subjek hukum yang dapat mengajukan permohonan adalah lembaga negara yang secara atributif memiliki kewenangan dari UUD NRI 1945 (Isra, 2020). Sebelum membahas lebih lanjut perihal SKLN, terlebih terkait hukum acaranya, perlu diuraikan terlebih dahulu bahasan mengenai lembaga negara itu sendiri yang secara teori dan praktikal dapat terbentuk karena adanya amanat dari suatu produk hukum. Secara khusus terkait lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI 1945, menurut Abdul Mukhtie Fajar terbuka kesempatan bagi para sarjana untuk melakukan penafsiran, karena secara tekstual dalam ketentuan konstitusi dan undangundang terkait MK tidak menjelaskan secara detail apa yang dimaksud dengan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI 1945, sehingga perlu adanya doktrin dari para sarjana agar terbentuk konteks dari frasa tersebut (Eddyono, 2010). Terdapat 3 (tiga) penafsiran atas frasa lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh konstitusi menurut Abdul Mukhtie Fajar, pertama, penafsiran secara luas yang memasukkan sebanyak 12 (dua belas) lembaga negara sebagai subjectum litis dari SKLN, sekalipun salah satu dari lembaga negara tersebut kewenangannya lebih lanjut diatur melalui undang-undang, yakni bank sentral. Namun, berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2002 bank
sentral diakui sebagai subjek yang dapat berperkara dalam SKLN. Kedua, penafisran moderat yang hanya memasukkan MPR, Presiden, DPR, DPD, BPK, dan MA sebagai subjectum litis karena keenamnya diatur secara terperinci kewenangannya oleh konstitusi, dan ketiga, penafisiran secara sempit berdasarkan ketentuan Pasal 67 UU MK hanya DPR, DPD, dan Presiden yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam SKLN (Fajar, 2006). Menurut Jimly Asshiddiqie sebagaimana dikutip oleh Ali Safa’at, terdapat 34 (tiga puluh empat) lembaga negara, baik yang dibentuk, disebut dan/ atau diberikan kewenangannya oleh UUD NRI 1945, lembaga-lembaga negara tersebut adalah sebagai berikut (Safa’at et al, 2011) : 1.
MPR diatur dalam Bab II;
2.
Presiden diatur dalam Bab III;
3.
Wakil Presiden diatur dalam ketentuan Pasal 4 ayat (2);
4.
Menteri dan Kementerian Negara diatur dalam Bab V;
5.
Menteri Luar Negeri sebagai bagian dari triumvirat bersama-sama dengan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan, diatur dalam ketentuan Pasal 8 ayat (3);
6.
Menteri Dalam Negeri sebagai bagian dari triumvirat bersama-sama dengan Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan, diatur dalam ketentuan Pasal 8 ayat (3);
7.
Menteri Pertahanan sebagai bagian dari triumvirat bersama-sama dengan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Luar Negeri, diatur dalam ketentuan Pasal 8 ayat (3);
8.
Dewan Pertimbangan Presiden diatur dalam ketentuan Pasal 16;
9.
Duta diatur dalam ketentuan Pasal 13 ayat (1) dan (2);
10. Konsul diatur dalam ketentuan Pasal 13 ayat (1); 11. Pemerintahan Daerah Provinsi yang diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (2), (3), (5), (6), dan ayat (7); 12. Gubernur diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (4); 13. DPRD Provinsi diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (3);
14. Pemerintah Daerah Kabupaten diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (2), (3), (5), (6), dan ayat (7); 15. Bupati diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (4); 16. DPRD Kabupaten diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (3); 17. Pemerintah Daerah Kota diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (2), (3), (5), (6), dan ayat (7); 18. Walikota diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (4); 19. DPRD Kota diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (3); 20. Satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau istimewa diatur dalam ketentuan Pasal 18B ayat (1); 21. DPR diatur dalam ketentuan Bab VII; 22. DPD diatur dalam ketentuan Bab VII A; 23. KPU diatur dalam ketentuan Pasal 22E ayat (5); 24. Bank sentral disebut secara eksplisit dalam ketentuan Pasal 23D; 25. BPK diatur dalam ketentuan Bab VIII A; 26. MA diatur dalam ketentuan Pasal 24 dan Pasal 24A; 27. MK diatur dalam ketentuan Pasal 24 dan Pasal 24C; 28. KY diatur dalam ketentuan Pasal 24 (sebagai auxiliary organ bagi Mahkamah Agung) dan Pasal 24B; 29. TNI diatur dalam ketentuan Bab XII; 30. Angkatan Darat diatur dalam ketentuan Pasal 10; 31. Angkatan Laut diatur dalam ketentuan Pasal 10; 32. Angkatan Udara diatur dalam ketentuan Pasal 10; 33. POLRI diatur dalam ketentuan Bab XII; 34. Badan-badan lain yang secara fungsional berkaitan dengan kekuasaan kehakiman seperti Kejaksaan yang diatur dalam ketentuan Pasal 23 ayat (3). Berdasarkan aturan normatif yang tertuang dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, diatur lembaga negara yang dapat menjadi pemohon dan
termohon (subjectum litis) dalam SKLN adalah a) DPR, b) DPD, c) MPR, d) Presiden, e) BPK, f) Pemda, dan g) lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 (vide Pasal 2 PMK 08/PMK/2006). Sebagaimana uraian sebelumnya yang menyatakan bahwa lembaga-lembaga negara seperti MA dan MK juga merupakan lembaga negara dengan kewenangan konstitusional yang langsung diberikan oleh konstitusi, namun kenyataannya kedua lembaga tersebut tidak termaktub dalam lembaga-lembaga negara yang dapat menjadi subjek perkara menurut PMK 08/PMK/2006. Seiring berjalannya waktu dan berkembangnya diskursus kelimuan dalam ranah hukum tata negara, khususnya yang berkaitan dengan SKLN, melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Pertama UU MK ketentuan yang menyatakan bahwa MA tidak dapat menjadi subjek perkara dalam SKLN dihapuskan (vide Pasal 65 UU 24/2003 dan Pasal 65 UU 8/2011), sehingga MA dapat menjadi subjectum litis dalam SKLN. Lalu, bagaimana dengan MK? Pada dasarnya ketentuan PMK 08/PMK/2006 telah sejalan dengan asas hukum Nemo Judex Idoneus In Propria Causa yang berarti hakim tidak dapat menjadi hakim atau menangani perkaranya sendiri. Oleh karena itu, Feri Amsari berpandangan bahwa telah benar adanya jika MK tidak dapat menjadi subjectum litis dalam SKLN (Amsari, 2019). Namun, muncul permasalahan ketika asas a quo dipertentangkan dengan asas Ius Curia Novit yang menhendaki hakim untuk menangani seluruh perkara yang dihadapkan padanya. Atas permasalah tersebut, setidaknya terdapat Putusan MK Nomor 05/PUU-IV/2006 yang dapat menjadi salah satu rujukan, bahwa dalam perkara a quo kedudukan hakim konstitusi yang diperkarakan, sehingga perkara tersebut berkaitan dengan diri MK, yakni para hakim. Sekalipun terdapat pertentangan antara kedua asas yang sebelumnya disebutkan, MK dalam putusan a quo mengesampingkan asas Nemo Judex Idoneus In Propria Causa dan menyatakan bahwa MK berhak untuk menerima dan menangani perkara tersebut, hanya saja yang perlu menjadi catatan adalah pengesampingan asas ini dilakukan oleh MK atas dasar kewenangan MK untuk menangani perkara-perkara konstitusional yang hanya dapat dilakukan oleh MK, sehingga dalam pelaksanaan peradilan hukum lainnya secara umum pengesampingan yang demikian tidak dapat dilakukan
(Maladi, 2010). Akan tetapi, dikarenakan pertimbangan hukum MK tersebut terjadi dalam perkara judicial review dan bukan SKLN, maka dalam hal penyelesaian SKLN yang melibatkan MK hingga saat ini masih mengacu pada PMK 08/PMK/2006. Berkaitan dengan objectum litis atau objek perkara yang secara tekstual merupakan kewenangan konstitusional, berdasarkan Putusan MK Nomor 004/SKLN-IV/2006 ditegaskan bahwa menafsirkan frasa kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar tidak dapat hanya secara gramatikal, melainkan perlu juga untuk melihat kemungkinan adanya pemaknaan secara implisit yang lahir dari kewenangan pokoknya. Begitu juga melalui Putusan MK Nomor 3/SKLN-X/2021 yang menyatakan bahwa objectum litis dalam SKLN tidak hanya terbatas pada kewenangan yang eksplisit (expressis verbis) dalam konstitusi, akan tetapi juga termasuk kewenangan delegasi karena adanya atribusi yang disebutkan oleh UUD NRI 1945 (Isra, 2020). Melalui Putusan MK Nomor 004/SKLN-IV/2006 juga MK memperjelas tata cara penyelesaian SKLN di MK dalam hal penentuan objek dan subjek perkara, di mana MK perlu terlebih dahulu menentukan apakah memang ada objectum litis dari permohonan yang diajukan, baru kemudian dilihat kepada lembaga negara apa kewenangan tersebut diserahkan (subjectum litis). Sebelumnya telah dijelaskan terkait SKLN secara formil dan materiil yang penyelesaiannya menjadi kewenangan konstitusional dari MK, selain itu perlu juga untuk diuraikan perihal penyebab dari terjadinya sengketa antarlembaga negara, menurut Ni’matul Huda alasan-alasan terjadinya SKLN adalah sebagai berikut (Huda, 2017) : 1.
Terdapat overlapping (tumpang tindih) kewenangan antar satu lembaga negara dan lembaga negara lainnya yang diatur dalam hukum dasar negara;
2.
Terdapat pengabaian oleh lembaga negara lain terhadap kewenangan dari lembaga negara tertentu yang diberikan oleh konstitusi; dan
3.
Terdapat kewenangan lembaga negara tertentu yang telah diberikan oleh konstitusi, namun dijalankan oleh lembaga negara lainnya.
Akan tetapi, apabila dibandingkan secara kuantitatif penyelesaian SKLN di MK merupakan pelaksanaan kewenangan MK yang jumlahnya paling sedikit sejak MK pertama kali berdiri pada tahun 2003, yakni hanya berjumlah 27 perkara atau sebesar 1% dari keseluruhan perkara yang diselesaikan oleh MK. Pembagian ke-27 perkara tersebut adalah sebagai berikut (MKRI, 2021) : 1.
Dikabulkan : 1 perkara
2.
Ditarik Kembali : 6 perkara
3.
Ditolak : 3 perkara
4.
Tidak Berwenang : 1 perkara
5.
Tidak Dapat Diterima : 16 perkara Sebagai penutup dan penambah informasi perlu disampaikan tentang praktik-praktik
penyelesaian SKLN di MK negara-negara lain, sebagai contoh penyelesaian SKLN (competence dispute between state institutions) di Rusia yang tidak hanya terbatas pada lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh konstitusi, akan tetapi juga dapat menyelesaikan SKLN yang mana lembaga negara tersebut merupakan sesama lembaga pemerintahan federasi, antara lembaga pemerintahan federasi dan lembaga pemerintahan negara bagian, atau antara sesama lembaga pemerintahan negara bagian. Jika dibandingkan dengan Thailand, maka SKLN yang dapat diselesaikan berkaitan dengan kewenangan DPR, Senat, Majelis Nasional, Dewan Menteri, dan lembaga independen lain (Faiz & Chakim, 2020). MK Korea Selatan juga merupakan salah satu leading example dalam hal peradilan konstitusi di Asia, dalam hal SKLN MK Korea Selatan pernah melakukan perubahan paradigma pemikiran yang menjadi landasan dari pertimbangan hukumnya dalam menyelesaikan suatu perkara. Sebagai contoh ketika tahun 1995 MK Korea Selatan memutuskan dalam perkara antara anggota oposisi Majelis Nasional terhadap Ketua Majelis Nasional bahwa anggota oposisi Majelis Nasional tidak memenuhi syarat formil sebagai pemohon (salah satu subjectum litis) karena MK Korea Selatan menafsirkan secara sempit ketentuan Pasal 62 ayat (1) UU MK Korea Selatan terkait subjectum litis, di mana secara tekstual yang dapat
menjadi pemohon dan termohon dalam SKLN hanya Majelis Nasional secara kelembagaan, bukan masing-masing anggota. Namun, dalam perkara lain pada tahun 1997 MK Korea Selatan melakukan pergeseran pemikiran melalui penafsiran ekstensif atas ketentuan Pasal 62 ayat (1) UU MK Korea Selatan dengan memberikan legal standing kepada anggota Majelis Nasional sebagai pemohon atau termohon dalam SKLN. Dengan demikian, apabila pergeseran paradigma penafsiran yang demikian juga terjadi dalam praktek penyelesaian SKLN oleh MK RI, maka boleh jadi di kemudian hari perkara-perkara terkait SKLN dapat meningkat secara kuantitas (Faiz & Chakim, 2020). DAFTAR PUSTAKA Buku Faiz, Pan Mohamad & Lutfi Chakim. 2020. Peradilan Konstitusi Perbandingan Kelembagaan dan Kewenangan Konstitusional di Asia.
Depok
:
PT
RajaGrafindo
Persada. Fajar, Abdul Mukhtie. 2006. Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi.
Jakarta :
Konstitusi Press. Isra, Saldi. 2020. Lembaga Negara Konsep, Sejarah, Wewenang, dan
Dinamika
Konstitusional. Depok : PT RajaGrafindo Persada. Safa’at, Muchammad Ali, et al. 2011. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi.
Jakarta :
Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI. Siahaan, Maruarar. 2012. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia Edisi
2. Jakarta : Penerbit Sinar Grafika. Jurnal Eddyono, Luthfi Widagdo, “Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga oleh Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, No. 3 (2010),
1-47.
Negara
Maladi, Yanis, “Benturan Asas Nemo Judex Idoneus In Propia Causa dan Asas Ius Curia Novit”, Jurnal Konstitusi, No. 2 (2010), 1-17. Huda, Ni’matul, “Potensi Sengketa Kewenangan Lembaga Negara dan
Penyelesaiannya
di Mahkamah Konstitusi”, JH Ius Quia Iustum, No. 2 (2017), 193-212. Laman Daring Feri Amsari. Hukum Online. Bisakan MK Memutus Sengketa Lembaga Terkait dengan Dirinya?. Diakses melalui Bisakah MK Negara yang Terkait dengan Dirinya?
Negara
yang
Memutus Sengketa Lembaga
- Klinik Hukumonline. Diakses pada 10
Novembr 2021, pukul 02.35 WIB. MKRI. Putusan Mahkamah Konstitusi. Grafik SKLN. Diakses melalui Mahkamah Konstitusi RI (mkri.id). Diakses pada 10 WIB.
Putusan
|
November 2021, pukul 03.55
-5Hukum Acara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum
a.
Jenis Pemilu Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menyelesaikan perkara perselisihan hasil pemlihan umum, atau menyelesaikan sengketa mengenai hasil pemilihan umum. Pemilihan umum tersebut merujuk pada semua jenis pemilihan umum yang dikenal dalam sistem hukum ketatanegaraan di Indonesia. Berikut ini jenis-jenis pemilihan umum di Indonesia serta pihak yang dapat menjadi peserta/kontestan dalam Pemilu dimaksud. Jenis Pemilu
Peserta/Kontestan
Presiden-Wakil Presiden
Pasangan Calon yang diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik
Dewan Perwakilan Rakyat
Calon Anggota DPR yang diajukan oleh partai politik
Dewan Perwakilan Daerah
Calon Anggota DPD perseorangan (nonparpol)
DPRD Prov/Kabupaten/Kota
Calon Anggota DPRD yang diajukan oleh partai politik
Kepala Daerah
Pasangan Calon yang diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik; atau Pasangan Calon Independen (non-parpol)
b. Penyelenggara Pemilu Penyelenggara pemilu di Indonesia terdiri dari tiga lembaga negara, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
KPU bertugas melaksanakan seluruh tahapan/proses pemungutan suara sejak penyusunan daftar pemilih hingga penetapan hasil pemilu. Bawaslu bertugas mengawasi pelaksanaan pemilu, termasuk mengawasi ada atau tidaknya pelanggaran administratif maupun pelanggaran pidana pemilu. Adapun DKPP bertugas mengawasi etika komisioner KPU/KPUD maupun Bawaslu. c.
Tahapan Pemilu Pelaksanaan Pemilu Presiden-Wakil Presiden, Pemilu DPR, Pemilu DPD, dan Pemilu DPRD meliputi tahap-tahap yang pada pokoknya sebagai berikut: 1) Penyusunan Daftar Pemilih 2) Pendaftaran dan Penetapan Peserta Pemilu 3) Masa Kampanye 4) Masa Tenang 5) Pemungutan dan Penghitungan Suara 6) Penetapan Hasil Pemilu 7) Pengucapan Sumpah/Janji Pasangan Calon atau Calon Terpilih Pelaksanaan Pemilu Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, dan Walikota) meliputi tahap-tahap yang pada pokoknya sebagai berikut: 1) Penyusunan Daftar Pemilih 2) Pendaftaran dan Penetapan Pasangan Calon Kepala Daerah 3) Masa Kampanye 4) Masa Tenang 5) Pemungutan dan Penghitungan Suara 6) Penetapan Pasangan Calon Terpilih 7) Pengusulan Pengesahan Pengangkatan Calon Terpilih 8) Pelantikan Calon Kepala Daerah Terpilih
d. Jenis Sengketa Pemilu
Sengketa yang terjadi dalam pemilihan umum dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: 1) Sengketa Proses, yaitu sengketa yang terjadi ketika pemilu masih dalam tahap pelaksanaan. Sengketa yang terjadi/timbul ketika pemilu sedang berproses biasanya dipicu oleh adanya: a) pelanggaran pidana; b) pelanggaran administratif; dan c) pelanggaran etika. Pelanggaran pidana akan ditangani/diproses hukum oleh Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu) yang merupakan unit kerja gabungan antara Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan. Selanjutnya pelanggaran pidana akan diadili oleh peradilan umum yang berada di bawah Mahkamah Agung. Pelanggaran administrasi pemilu, yaitu pelanggaran oleh KPU/KPUD dapat ditangani/diselesaikan secara internal oleh KPU/KPUD atau ditangani/diselesaikan oleh Bawaslu. Selanjutnya pelanggaran administratif akan diadili oleh Peradilan Tata Usaha Negara. Pelanggaran etika ditangani oleh semacam peradilan etika khusus bagi penyelenggara pemilu. Peradilan etika ini dinamai sebagai DKPP. 2) Sengketa hasil, yaitu sengketa ketika proses pemilu sudah menghasilkan rekapitulasi yang berisi peringkat pemerolehan suara. Sengketa hasil pemilu akan ditangani/diadili oleh peradilan konstitusionalitas yang bernama Mahkamah Konstitusi. e.
Sengketa Hasil Pemilu Sengketa hasil pemilihan umum/pemilihan kepala daerah pada dasarnya adalah perselisihan antara peserta pemilu dengan KPU/KPUD (selaku penyelenggara) mengenai hasil rekapitulasi perolehan suara. Sengketa ini secara populer disebut sebagai sengketa pemilu atau PHP (perselisihan hasil pemilihan). Konsep awal sengketa PHP adalah sekadar sengketa penghitungan suara saja, yang sangat teknis-matematis karena MK diposisikan hanya mengadili/mengoreksi kesalahan penjumlahan atau pengurangan suara. Kemudian MK melalui berbagai
putusannya mengubah/memperluas konsep PHP dengan mengadili pula pelanggaran pemilu/pilkada. Sehingga dalam perkara PHPU, MK tidak lagi hanya menghitung hasil perolehan suara. f.
Obyek Perkara Hal yang menjadi muasal perselisihan hasil pemilu adalah hasil resmi rekapitulasi perolehan suara masing-masing peserta pemilu. Dengan demikian obyek perkara PHPU adalah surat keputusan KPU/KPUD yang berisi penetapan hasil rekapitulasi perolehan suara para peserta pemilu/pemilukada, beserta lampiran dan berita acara terkait rekapitulasi hasil penghitungan suara dimaksud. Terkait dengan obyek perkara tersebut, maka judul permohonan adalah “Permohonan Pembatalan Surat Keputusan KPU/KPUD Nomor …. Tahun …. tentang Penetapan KPU/KPUD Mengenai Hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara Pemilu …. Tahun ….”. Sehingga dapat dikatakan bahwa permohonan PHPU pada dasarnya adalah permohonan
pembatalan
ketetapan
KPU/KPUD
mengenai
hasil
rekapitulasi
penghitungan suara dalam Pemilu. g.
Para Pihak dalam Perkara PHPU Di dalam persidangan PHPU terdapat empat pihak berperkara. Keempatnya adalah: 1) Pemohon Pemohon adalah Pasangan Calon Peserta Pemilu (baik Pemilu Presiden, DPR, DPD, DPRD, maupun Pilkada) yang merasa dirugikan oleh KPU/KPUD. Khusus dalam perkara Pemilu Kepala Daerah, ketika Pilkada diikuti oleh pasangan calon tunggal dan kemudian dimenangkan oleh pasangan calon tunggal tersebut, maka Pemantau Pemilu dapat mengajukan diri sebagai Pemohon. 2) Termohon KPU adalah Termohon dalam perkara PHPU Pres-Wapres, PHPU DPR, PHPU DPD, dan PHPU DPRD Prov/Kab/Kota.
KPUD in casu KPU Provinsi adalah Termohon dalam perkara PHPU GubernurWakil Gubernur. KPUD in casu KPU Kabupaten/Kota adalah Termohon dalam perkara PHPU Bupati-Wakil Bupati dan PHPU Walikota-Wakil Walikota. 3) Pihak Terkait Pihak Terkait dalam perkara PHPU Presiden-Wakil Presiden dan PHPU Kepala Daerah adalah pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak atau menempati peringkat pertama dalam hal perolehan suara. Pihak Terkait dalam perkara PHPU Anggota DPR, DPD, dan DPRD adalah calon anggota DPR, DPD, dan DPRD yang merasa dirugikan oleh permohonan Pemohon. 4) Pemberi Keterangan (Bawaslu dan pihak lain) Pemberi keterangan dalam perkara PHPU adalah Bawaslu dalam kedudukannya sebagai pengawas pemilu, atau lembaga lain yang menurut Mahkamah mengetahui permasalahan mengenai pemilu yang dimohonkan Pemohon. Pemberi keterangan selain Bawaslu, antara lain, adalah Kepolisian RI dan Kementerian Dalam Negeri sebagai lembaga yang ikut terlibat dalam pelaksanaan pemilu. h. Legal Standing Pemohon dan Termohon Pemohon akan dinilai mempunyai kedudukan hukum (legal standing) dalam perkara PHPU jika memenuhi syarat; a)
merupakan peserta/kontestan Pemilu, dan
b)
Pemohon dalam perkara PHPU Presiden-Wakil Presiden adalah pasangan calon, yaitu calon Presiden dan calon Wakil Presiden secara bersama-sama.
c)
Pemohon dalam perkara PHPU Presiden-Wakil Presiden dan PHPU Kepala Daerah adalah pasangan calon, yaitu calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah secara bersama-sama.
d)
Pemohon dalam perkara PHPU DPR dan DPRD harus memperoleh persetujuan partai politik yang mengusungnya.
e)
Pemantau Pemilu yang menjadi Pemohon dalam perkara PHPU Kepala Daerah harus sudah terdaftar di KPU dan secara aktif menjalankan kegiatan pemantauan pada daerah di mana Pemantau Pemilu menjadi Pemohon.
i.
Alur Perkara dan Tahapan Persidangan Alur penanganan perkara PHPU di Mahkamah Konstitusi meliputi tahap-tahap sebagai berikut: 1) Pengajuan Permohonan Pada tahap ini Pemohon mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi melalui Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Dokumen yang diserahkan pada tahap ini adalah: 1.
Surat Permohonan;
2.
Surat Kuasa;
3.
Fotokopi SK KPU/KPUD mengenai Penetapan Rekapitulasi;
4.
Fotokopi identitas Pemohon dan Kuasa Hukum;
5.
Alat Bukti;
2) Pemeriksaan Kelengkapan Permohonan Kepaniteraan akan memeriksa syarat dan kelengkapan permohonan. Pemohon diberi waktu untuk memperbaiki/melengkapi permohonan. Permohonan yang telah lengkap akan diregistrasi oleh Kepaniteraan. 3) Registrasi Permohonan Tahap registrasi adalah tahap ketika permohonan diberi nomor perkara dan kemudian siap untuk diperiksa dalam persidangan. 4) Sidang Pendahuluan Sidang pertama disebut sebagai Sidang Pendahuluan. Agenda utama Sidang Pendahuluan adalah memeriksa permohonan Pemohon.
Termohon
(KPU/KPUD)
dan
Bawaslu
hadir
dalam
kapasitas
sebagai
penyelenggara pemilu/pemilukada untuk mendengarkan permohonan Pemohon. Calon Pihak Terkait hadir (namun statusnya belum dinyatakan sebagai Pihak Terkait). Perbaikan permohonan juga dapat dilakukan dalam Sidang Pertama tetapi hanya perbaikan minor saja yang meliputi kesalahan ketik, perbaikan nama, dan beberapa hal lain yang tidak berpengaruh pada substansi permohonan. Dalam perkara PHPU Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta PHPU Kepala Daerah, Sidang Pendahuluan dilaksanakan oleh Majelis Panel yang terdiri dari 3 orang hakim. Dalam perkara PHPU Presiden-Wakil Presiden, Sidang Pendahuluan dilaksanakan oleh Majelis Pleno yang terdiri dari sekurang-kurangnya 7 orang hakim. 5) Sidang Pemeriksaan Sidang Pemeriksaan dapat dilaksanakan sekali, dua kali, atau lebih, tergantung kebutuhan Mahkamah. Agenda Sidang Pemeriksaan adalah memeriksa Jawaban Termohon, Keterangan Bawaslu (RI/daerah), Keterangan Pihak Terkait, pengesahan alat bukti masingmasing pihak, serta pembuktian. Dalam perkara PHPU Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta PHPU Kepala Daerah, Sidang Pemeriksaan dilaksanakan oleh Majelis Panel yang terdiri dari 3 orang hakim. Dalam perkara PHPU Presiden-Wakil Presiden, Sidang Pemeriksaan dilaksanakan oleh Majelis Pleno yang terdiri dari sekurang-kurangnya 7 orang hakim. 6) Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) RPH adalah forum musyawarah hakim untuk mengambil keputusan atas suatu perkara. Semua perkara PHPU dibahas dalam RPH yang diikuti oleh sekurang-kurangnya 7 orang hakim. 7) Sidang Pengucapan Putusan
Sidang ini merupakan sidang pleno terbuka untuk umum, yang dilaksanakan oleh sekurang-kurangnya 7 orang hakim dengan agenda mengucapkan/membacakan putusan Mahkamah Konstitusi. j.
Alat Bukti Perkara PHPU Terdapat enam jenis atau kategori alat bukti yang dapat diajukan dalam perkara PHPU. Jenis alat bukti tersebut adalah: 1) Surat/tulisan 2) Keterangan saksi 3) Keterangan ahli 4) Keterangan para pihak berperkara 5) Petunjuk 6) Alat bukti elektronik
k. Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara PHPU mempunyai dua jenis putusan, yaitu Putusan Sela dan Putuan Akhir. Secara ringkas, berikut ini perbedaan antara kedua jenis putusan tersebut. 1) Putusan sela Putusan sela berisi perintah agar KPU/KPUD melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu terkait dengan Pemilu yang sedang berjalan. Setelah KPU/KPUD melaksanakan perintah Putusan Sela lalu Mahkamah Konstitusi akan melanjutkan pemeriksaan perkara PHPU. 2) Putusan akhir Putusan akhir merupakan putusan yang mengakhiri perkara PHPU. Setelah tahap Putusan Akhir maka tidak ada lagi pemeriksaan atas perkara tersebut. Adapun jenis amar Putusan akhir adalah: a) Permohonan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). b) Permohonan dikabulkan.
c) Permohonan ditolak. ***
-6Hukum Acara Pembubaran Partai Politik Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah memutus permohonan pembubaran partai politik. Partai politik yang dimaksud di sini meliputi partai politik nasional maupun partai politik lokal. l.
Jenis Partai Politik Berdasarkan wilayah hukum atau yurisdiksi-nya, partai politik di Indonesia seperti telah disebutkan di atas dibagi menjadi dua jenis/kategori, yaitu partai politik nasional dan partai politik lokal. Partai politik nasional merupakan partai politik yang keberadaannya bersifat nasional atau berada di seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Partai politik nasional diatur selama ini diatur secara khusus dalam Undang-Undang Partai Politik. Adapun partai politik lokal adalah partai politik yang keberadaannya bersifat lokal atau hanya beraktivitas secara terbatas dalam wilayah provinsi tertentu. Partai politik lokal tidak diatur dalam suatu undang-undang khusus, melainkan pengaturannya tersebar dalam beberapa peraturan perundang-undangan. UUD
1945
mengamanatkan
kepada
MK
suatu
kewenangan
untuk
memutus/mengadili permohonan pembubaran partai politik. Kewenangan ini dalam konteks Hukum Acara Mahkamah Konstitusi biasanya disebut sebagai kewenangan mengadili perkara pembubaran partai politik.
m. Obyek Perkara Hal yang menjadi obyek dari perkara pembubaran partai politik adalah keberadaan atau legalitas suatu partai politik, khususnya terkait dengan ideologi, asas, tujuan, program, serta kegiatan dan akibat kegiatan suatu partai politik. n. Para Pihak dalam Perkara Pembubaran Partai Politik Dalam Perkara Pembubaran Partai Politik terdapat dua pihak yang berhadaphadapan, yaitu: 1) Pemohon Bertindak sebagai Pemohon dalam perkara ini adalah Pemerintah/Presiden yang dapat diwakili oleh Jaksa Agung dan/atau Menteri yang ditugasi oleh Presiden. 2) Termohon Adapun Termohon adalah Partai Politik (baik parpol nasional maupun parpol lokal) yang dimohonkan untuk dibubarkan. Termohon diwakili oleh pimpinan partai politik tersebut, yang selanjutnya dapat diwakilkan kepada kuasa hukum. o.
Permohonan Pembubaran Parpol Surat/dokumen permohonan pembubaran parpol yang diajukan oleh Pemerintah sekurang-kurangnya memuat tiga hal sebagai berikut: 1) Identitas lengkap Pemohon dan kuasanya (jika ada kuasa hukum). Dalam hal Pemohon menggunakan jasa kuasa hukum maka surat permohonan harus dilengkapi dengan surat kuasa khusus; 2) Uraian jelas tentang ideologi, asas, tujuan, program dan kegiatan partai politik yang
dimohonkan
pembubaran,
disertai
penjelasan
mengapa
dianggap
bertentangan dengan UUD 1945; dan 3) Alat-alat bukti yang mendukung permohonan. p. Alur Perkara dan Tahapan Persidangan Alur penanganan perkara pembubaran partai politik meliputi tahap-tahap sebagai berikut:
1) Pengajuan Permohonan Pada tahap ini Pemerintah selaku Pemohon mengajukan permohonan pembubaran partai politik kepada Mahkamah Konstitusi melalui Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. 2) Pemeriksaan Kelengkapan Permohonan Kepaniteraan akan memeriksa syarat dan kelengkapan permohonan. Pemohon diberi waktu 7 hari kerja untuk memperbaiki/melengkapi permohonan. Permohonan yang telah lengkap akan diregistrasi oleh Kepaniteraan. 3) Registrasi Permohonan Tahap registrasi adalah tahap ketika permohonan diberi nomor perkara dan kemudian siap untuk diperiksa dalam persidangan. 4) Sidang Pendahuluan Sidang Pendahuluan adalah sidang yang pertama. Agenda utama Sidang Pendahuluan adalah memeriksa materi dan kelengkapan permohonan Pemohon. Pemohon diberi kesempatan 7 hari untuk memperbaiki dan/atau melengkapi permohonan. Sidang Pendahuluan dilaksanakan secara terbuka untuk umum dengan dihadiri oleh sekurang-kurangnya 7 orang hakim. 5) Sidang Pemeriksaan Sidang Pemeriksaan dapat dilaksanakan sekali, dua kali, atau lebih, tergantung kebutuhan Mahkamah. Agenda Sidang Pemeriksaan adalah memeriksa Jawaban Termohon in casu partai politik yang dimohonkan untuk dibubarkan, pengesahan alat bukti yang diajukan para pihak, serta pembuktian. Sidang Pemeriksaan dilaksanakan terbuka untuk umum dengan dihadiri oleh sekurang-kurangnya 7 orang hakim. 6) Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH)
RPH adalah forum musyawarah hakim untuk mengambil keputusan atas suatu perkara. Perkara pembubaran partai politik dibahas dalam forum RPH yang diikuti oleh sekurang-kurangnya 7 orang hakim. 7) Sidang Pengucapan Putusan Sidang ini merupakan sidang pleno terbuka untuk umum, yang dilaksanakan oleh sekurang-kurangnya 7 orang hakim dengan agenda mengucapkan/membacakan putusan Mahkamah Konstitusi. Perkara pembubaran partai politik harus sudah diputus oleh Mahkamah Konstitusi dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari kerja setelah permohonan diregistrasi (dicatat dalam buku registrasi). q. Alat Bukti Perkara Pembubaran Partai Politik Alat bukti dalam perkara Pembubaran Partai Politik terdiri dari: 1) Surat/tulisan; 2) Keterangan saksi; 3) Keterangan ahli; 4) Keterangan para pihak berperkara; 5) Petunjuk; dan/atau 6) Alat bukti lainnya.
r.
Putusan Jenis amar Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara pembubaran partai politik adalah: 1) Permohonan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Amar ini dipergunakan MK apabila permohonan tidak memenuhi syarat pengajuan permohonan. 2) Permohonan dikabulkan.
Amar ini dipergunakan apabila permohonan Pemohon beralasan atau terbukti menurut hukum. 3) Permohonan ditolak. Amar ini dipilih Mahkamah Konstitusi ketika permohonan Pemohon, setelah diperiksa, ternyata tidak beralasan atau tidak terbukti menurut hukum. Lebih lanjut, dalam hal suatu permohonan dikabulkan maka amar putusan selengkapnya menyatakan hal-hal berikut: 1) mengabulkan permohonan pemohon; 2) menyatakan membubarkan dan membatalkan status badan hukum partai politik yang dimohonkan pembubaran; 3) memerintahkan kepada Pemerintah untuk: a.
menghapuskan partai politik yang dibubarkan dari daftar pada Pemerintah paling lambat dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan Mahkamah diterima;
b.
mengumumkan putusan Mahkamah dalam Berita Negara Republik Indonesia paling lambat 14 (empat belas) hari sejak putusan diterima.
s.
Konsekuensi Putusan MK bagi Parpol Putusan Mahkamah Konstitusi yang membubarkan partai politik tertentu membawa konsekuensi ikutan bagi partai politik tersebut. Artinya, selain partai politik tersebut dibatalkan status badan hukumnya (dengan cara menghapus nama partai politik tersebut dari daftar Pemerintah) sebagaimana perintah amar putusan, secara serta-merta diikuti beberapa akibat hukum meskipun tidak disebutkan dalam amar putusan. Akibat hukum ikutan tersebut adalah: 1) partai politik dimaksud dilarang hidup dan menggunakan simbol-simbol partai di seluruh Indonesia; 2) pemberhentian seluruh anggota DPR dan DPRD yang berasal dari partai politik yang dibubarkan;
3) mantan pengurus partai politik yang dibubarkan dilarang melakukan kegiatan politik; dan 4) negara mengambil alih kekayaan partai politik yang dibubarkan. ***
-7Hukum Acara Memutus Pendapat DPR Mengenai Pelanggaran Hukum Presiden dan/atau Wakil Presiden
Kewenangan kelima yang diamanatkan UUD 1945 kepada MK adalah kewenangan memutus pendapat DPR mengenai pelanggaran hukum presiden dan/atau wakil presiden. Kewenangan ini biasanya disebut secara ringkas sebagai kewenangan meng-impeachment (memakzulkan) Presiden. Penyebutan demikian, meskipun populer, namun tidak tepat karena sebenarnya MK tidak benar-benar memberhentikan Presiden dan/atau Wapres. MK sebagai peradilan konstitusional “hanya” diberi tugas untuk mengadili dalam arti menilai terbukti atau tidaknya pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wapres diduga melanggar hukum terutama melanggar UUD 1945. Mahkamah Konstitusi dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden Dan/Atau Wakil Presiden (PMK 21/2009) menyebut kewenangan ini sebagai kewenangan “memutus Pendapat DPR”. Terkait hasil pemeriksaan persidangan, seandainya Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menyatakan bahwa pendapat DPR terbukti benar, hal demikian tidak langsung diikuti dengan amar putusan memberhentikan Presiden dan/atau Wapres, melainkan Putusan MK akan diajukan oleh DPR kepada MPR sebagai bagian dari usulan/permintaan pemberhentian Presiden dan/atau Wapres. Hal inilah yang menjadi salah satu karakteristik pembeda kewenangan memutus perkara “impeachment” dibandingkan kewenangan lain Mahkamah Konstitusi. t.
Obyek Perkara
Obyek perkara atau obyek hukum yang akan diperiksa dan diadili Mahkamah Konstitusi adalah pendapat DPR, yang berisi dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945. u. Para Pihak dalam Perkara Impeachment Di dalam persidangan perkara “impeachment” terdapat dua pihak berperkara, yaitu: 1) Pemohon Pemohon adalam perkara ini, atau pihak yang mengajukan pendapat (dugaan), adalah DPR yang diwakili oleh pimpinan DPR. Pimpinan DPR boleh menunjuk kuasa hukum untuk mendampingi dan/atau mewakili Pemohon. 2) Termohon/Terduga Pihak yang menjadi Termohon/Terduga dalam perkara ini adalah Presiden dan/atau Wakil Presiden. Termohon/Terduga dapat didampingi dan/atau diwakili oleh kuasa hukumnya. v.
Legal Standing Pemohon dan Termohon/Terduga Meskipun identitas DPR sebagai Pemohon, dan Presiden dan/atau Wapres sebagai Termohon sudah sangat jelas dan kecil kemungkinan terjadi kesalahan identifikasi oleh Mahkamah Konstitusi, namun para pihak tetap harus menjelaskan identitas serta kedudukan hukumnya. Pemohon in casu DPR tentu saja harus menjelaskan kedudukan hukumnya sebagai lembaga perwakilan rakyat. Sementara orang yang hadir sebagai Termohon/Terduga harus menjelaskan bahwa dirinya adalah Presiden dan/atau Wapres yang sah dan sedang menjabat.
w. Alur Perkara dan Tahapan Persidangan Alur penanganan perkara “impeachment” di Mahkamah Konstitusi meliputi tahap-tahap sebagai berikut: 1) Pengajuan Permohonan
Pada tahap ini Pemohon (DPR) mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi melalui Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Dalam permohonannya DPR wajib menguraikan dengan jelas mengenai dugaan: a) Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; b) Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden berdasarkan UUD 1945; Selanjutnya permohonan tersebut diajukan kepada Mahkamah Konstitusi dengan disertai beberapa kelengkapan berikut ini. a) risalah dan/atau berita acara proses pengambilan keputusan DPR bahwa Pendapat DPR didukung oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam Sidang Paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota DPR; b) dokumen hasil pelaksanaan fungsi pengawasan oleh DPR yang berkaitan langsung dengan materi permohonan; c) risalah dan/atau berita acara rapat DPR; d) alat-alat bukti mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden yang menjadi dasar Pendapat DPR. 2) Pemeriksaan Kelengkapan Permohonan Kepaniteraan akan memeriksa syarat dan kelengkapan permohonan. Pemohon diberi waktu untuk memperbaiki/melengkapi permohonan dalam waktu 3 hari kerja. Permohonan yang telah lengkap akan diregistrasi oleh Kepaniteraan. 3) Registrasi Permohonan Tahap registrasi adalah tahap ketika permohonan diberi nomor perkara dan kemudian siap untuk diperiksa dalam persidangan.
Ketika
permohonan
sudah
diregistrasi,
Panitera
Mahkamah
Konstitusi
mengirimkan salinan permohonan kepada Presiden dan/atau Wapres bersangkutan disertai permintaan tanggapan tertulis yang sudah harus diterima Mahkamah Konstitusi sehari sebelum sidang pertama. 4) Persidangan Sidang perkara impeachment selalu dilakukan secara pleno, yaitu dilakukan oleh sekurang-kurangnya 7 orang hakim. Sidang bersifat terbuka untuk umum. Persidangan perkara ini ditentukan oleh Mahkamah Konstitusi sebanyak 6 tahap persidangan, yaitu: a.
Sidang Pemeriksaan Pendahuluan Dalam Sidang Tahap I (Sidang Pemeriksaan Pendahuluan), Mahkamah Konstitusi memeriksa kejelasan materi dan kelengkapan permohonan. Terkait dengan hal demikian Pemohon dan/atau kuasa hukumnya wajib hadir dalam sidang pertama ini. Jika terdapat ketidakjelasan materi atau kekuranglengkapan, Pemohon diberi kesempatan untuk memperbaiki dan/atau melengkapi saat itu juga di dalam persidangan. Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagai Termohon/Terduga mempunyai hak untuk hadir dalam sidang pemeriksaan pendahuluan ini dan berhak mengajukan pertanyaan untuk memperoleh kejelasan terkait materi permohonan.
b.
Tanggapan oleh Presiden dan/atau Wapres Dalam Sidang Tahap II, Mahkamah Konstitusi memberikan kesempatan kepada Presiden dan/atau Wapres untuk menyampaikan tanggapan secara tertulis dan lisan atas permohonan yang diajukan DPR. Tanggapan tersebut dapat berupa tanggapan mengenai: a) sah atau tidaknya proses pengambilan keputusan Pendapat DPR; b) materi/isi Pendapat DPR; serta c) perolehan alat-alat bukti tulis yang diajukan DPR kepada Mahkamah Konstitusi.
Presiden dan/atau Wapres sebagai Termohon/Terduga dapat diwakili oleh kuasa hukumnya. c.
Pembuktian oleh DPR Sidang Tahap III merupakan sidang dengan agenda pembuktian oleh Pemohon in casu DPR. Pemohon diwajibkan membuktikan kebenaran dalildalil atau isi permohonannya. Termohon/Terduga mempunyai hak untuk mengajukan pertanyaan dan meneliti alat-alat bukti yang diajukan Pemohon. Sidang Tahap III dengan agenda pembuktian ini dapat dilaksanakan lebih dari satu kali sidang.
d.
Pembuktian oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden Setelah pembuktian oleh Pemohon, selanjutnya Sidang Tahap IV merupakan sidang pembuktian bantahan Termohon/Terduga. Agenda utama sidang ini adalah memberikan kesempatan kepada Termohon untuk membuktikan kesalahan permohonan, atau membuktikan kebenaran bantahan Termohon atas permohonan. Pemohon mempunyai hak untuk mengajukan pertanyaan, meminta penjelasan, dan meneliti alat bukti yang diajukan Pemohon.
e.
Kesimpulan Sidang Tahap V merupakan sidang penyerahan atau penyampaian kesimpulan. Artinya, kesimpulan para pihak harus diserahkan/disampaikan dalam persidangan baik secara tertulis maupun lisan. Kedua pihak berperkara, baik DPR maupun Presiden dan/atau Wakil Presiden, diberi hak yang sama untuk menyusun kesimpulan terkait perkara yang telah selesai diperiksa. Kesimpulan masing-masing pihak harus disampaikan kepada Mahkamah Konstitusi dalam jangka waktu paling lama 14 hari setelah berakhirnya Sidang Tahap IV.
Setelah pemeriksaan perkara dianggap cukup/selesai, Mahkamah Konstitusi menyelenggarakan sidang tertutup berupa Rapat Permusyawaratan Hakim untuk mengambil putusan atas perkara dimaksud. f.
Pengucapan Putusan Agenda satu-satunya Sidang Tahap VI adalah pengucapan Putusan Mahkamah Konstitusi. Putusan atas perkara ini harus sudah diambil dalam jangka waktu paling lambat 90 hari sejak permohonan diregistrasi. Sidang pengucapan putusan sebagaimana sidang pada semua tahapan adalah sidang pleno (oleh sekurang-kurangnya 7 hakim) yang terbuka untuk umum. Meskipun dinyatakan terdapat 6 tahap persidangan namun bukan berarti
sidang hanya dilakukan sebanyak 6 kali sidang. Sidang pada masing-masing tahap, terutama tahap pembuktian, dapat dilakukan lebih dari satu kali sidang. Hal demikian tergantung pada kebutuhan Mahkamah Konstitusi ketika mendalami materi perkara. x.
Alat Bukti Alat bukti yang dapat diajukan dalam perkara “impeachment” terdiri dari: 1) Surat/tulisan; 2) Keterangan saksi; 3) Keterangan ahli; 4) Petunjuk; dan/atau 5) Alat bukti lain.
y.
Penghentian Proses Persidangan Proses persidangan perkara dihentikan oleh Mahkamah Konstitusi apabila Termohon in casu Presiden dan/atau Wakil Presiden mengundurkan diri dari jabatannya. Setelah pemeriksaan dihentikan selanjutnya Mahkamah Konstitusi melalui putusannya akan menyatakan permohonan gugur.
z.
Putusan
Amar putusan perkara “impeachment” sedikit berbeda karakteristiknya dengan amar putusan pada kewenangan Mahkamah Konstitusi yang lain. Hal demikian karena dalam perkara impeachment tugas Mahkamah Konstitusi adalah memeriksa kebenaran dari suatu dugaan DPR. Berikut ini tiga jenis amar putusan perkara “impeachment”, yaitu: d) Permohonan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Amar ini diterapkan oleh Mahkamah Konstitusi manakala permohonan yang diajukan DPR tidak memenuhi syarat pengajuan permohonan yang diatur dalam UU MK maupun Peraturan Mahkamah Konstitusi. e) Membenarkan Pendapat DPR. Amar “membenarkan pendapat DPR” diterapkan oleh Mahkamah Konstitusi manakala Mahkamah menilai bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau terbukti tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. f)
Permohonan ditolak. Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan ditolak ketika permohonan DPR telah diperiksa dan ternyata tidak terbukti kebenarannya. Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai Pendapat DPR wajib disampaikan
kepada DPR dan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Putusan tersebut bersifat final dan mengikat bagi DPR selaku pihak yang mengajukan permohonan. ***
View more...
Comments