Model Pengambilan Keputusan Di Dilema Etik Secara Bertanggung Jawab Edited

May 24, 2019 | Author: Novik De Ka | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Model Pengambilan Keputusan Di Dilema Etik Secara Bertanggung Jawab Edited...

Description

MODEL PENGAMBILAN KEPUTUSAN DILEMA ETIK  SECARA BERTANGGUNG JAWAB

 Nilai-nilai,  Nilai-nilai, keyakinan keyakinan dan filosofi individu individu memainkan memainkan peranan penting  pada pengambilan pengambilan keputusan etik yang menjadi bagian tugas rutin perawat. Peran  perawat ditantang ditantang ketika harus berhadapan berhadapan dengan dengan masalah dilema etik, untuk  untuk  memutuskan mana yang benar dan salah; apa yang dilakukannya jika tak ada  jawaban  jawaban benar atau salah; salah; dan apa apa yang dilakukan dilakukan jika semua solusi solusi tampak tampak salah. salah. Dilema etik dapat bersifat personal ataupun profesional. Dilema sulit dipecahkan  bila memerlukan memerlukan pemilihan pemilihan keputusan keputusan tepat diantara dua atau lebih prinsip etis. Pene Peneta tapa pan n kepu keputu tusa san n terh terhad adap ap satu satu pili piliha han, n, dan dan haru haruss membuang yang lain menjadi sulit karena keduanya sama-s ama memiliki keba kebaik ikan an dan dan keb kebur uruk ukan an apalagi jika tak satupun keputusan memenuhi semua kriteria. Berhadapan dengan dilema etis bertambah pelik dengan adanya dampak emosional seperti rasa marah, frustrasi, dan takut saat proses pengambilan keputusan rasional. Pada Pada pasien pasien denga dengan n kasus-k kasus-kasus asus terminal terminal sering sering ditemui ditemui dilema dilema etik, etik, misalnya misalnya kematia kematian n batang batang otak, otak, penyak penyakit it terminal terminal misalny misalnyaa gagal gagal ginjal. ginjal. Pada Pada tulisan ini akan dibahas mengenai dilema etik pada kasus pasien dengan gagal ginjal terimnal yang menuntut haknya untuk dilakukan transplantasi ginjal. Prin Prinsi sipp-pr prin insi sip p mora morall yang yang haru haruss dite ditera rapk pkan an oleh oleh pera perawa watt dala dalam m  pendekatan  pendekatan penyelesa penyelesaian ian masalah masalah / dilema dilema etis adalah adalah : a.

Oto nomi

Prinsip otonomi otonomi didasarkan didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir  logis logis dan memutu memutuska skan. n. Orang Orang dewasa dewasa diangg dianggap ap kompet kompeten en dan memilik memilikii keku kekuata atan n memb membua uatt keput keputus usan an send sendiri iri,, memi memilih lih dan dan memi memilik likii berb berbag agai ai keputu keputusan san atau pilihan pilihan yang yang diharga dihargai. i. Prinsip Prinsip otonom otonomii ini adalah adalah bentuk  bentuk  respe respek k terha terhadap dap seseo seseoran rang, g, juga juga dipan dipanda dang ng sebag sebagai ai perse persetu tujua juan n tidak  tidak  mem memaksa aksa

dan dan

bert bertin inda dak k

seca secara ra

rasi rasio onal. nal. Oton Otono omi

meru merupa pak kan hak  hak 

kemandirian dan kebebasan individu yang menuntut pembedaan diri. Praktek   profesioanal  profesioanal merefleksikan merefleksikan otonomi saat perawat menghargai hak hak pasien dalam membuat keputusan tentang perawatan dirinya.

b.

Benefisiensi

Benefisiensi berarti hanya mengerjakan sesuatu yang baik. Kebaikan juga meme memerlu rluka kan n penc penceg egaha ahan n dari dari kesal kesalaha ahan n atau atau kejah kejahata atan, n, peng pengha hapu pusa san n kesalahan atau kejahatan dan peningkatan kebaikan oleh diri dan orang lain. Kadang-kadang Kadang-kadang dalam situasi pelayanan pelayanan kesehatan kesehatan kebaikan kebaikan menjadi konflik  dengan otonomi. c.

Keadilan (justice)

Prinsip keadilan dibutuhkan untuk terapi yang sama dan adil terhadap orang lain yang menjunjung menjunjung prinsip-prinsip prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan. kemanusiaan. Nilai ini direfleksikan dalam praktek profesional ketika perawat bekerja untuk terapi yang benar sesuai hukum, standar praktek dan keyakinan yang benar untuk  memperoleh kualitas pelayanan kesehatan d.

 Nonm  No nmal alef efis is ien ie n

Prins Prinsip ip ini ini berar berarti ti tidak tidak menim menimbu bulk lkan an bahay bahayaa / cede cedera ra secara secara fisik fisik dan dan  psikologik.  psikologik. Segala Segala tindakan tindakan yang yang dilakuka dilakukan n pada klien. e.

Veracity (kejujuran)

Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran. Nilai ini diperlukan oleh  pemberi  pemberi layanan layanan kesehatan kesehatan untuk menyampaikan menyampaikan kebenaran kebenaran pada setiap  pasien dan untuk untuk meyakinkan meyakinkan bahwa pasien pasien sangat mengerti. mengerti. Prinsip veracity  berhubungan  berhubungan dengan dengan kemampuan kemampuan seseorang untuk mengatakan mengatakan kebenaran. kebenaran. Informasi harus ada agar menjadi akurat komprehensif dan objektif untuk  memfasilitasi memfasilitasi pemahaman pemahaman dan penerimaan penerimaan materi yang ada, dan mengatakan mengatakan yang sebenarnya kepada pasien tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan keadaan dirinya salama menjalani perawatan. Walaupun demikian terdapat terdapat beberap beberapaa argume argument nt mengat mengatakan akan adanya adanya batasan batasan untuk untuk kejuju kejujuran ran seperti jika kebenaran akan kesalahan prognosis pasien untuk pemulihan, atau adanya hubungan paternalistik bahwa “doctor knows best” sebab individu memiliki otonomi, mereka memiliki hak untuk mendapatkan informasi penuh tentang kondisinya. kondisinya. Kebenaran Kebenaran adalah dasar dalam membangun membangun hubungan hubungan saling percaya f.Fidelity

Prinsip fidelity dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan komitmennya terhadap orang lain. Perawat setia pada komitmennya dan menepati janji serta menyimpan rahasia pasien. Ketaatan, kesetiaan adalah kewajiban seeorang untuk

mempertahankan

komitmen

yang

dibuatnya.

Kesetiaan

itu

menggambarkan kepatuhan perawat terhadap kode etik yang menyatakan  bahwa tanggung jawab dasar dari perawat adalah untuk meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit, memulihkan kesehatan dan meminimalkan  penderitaan. g.

Kerahasiaan (confidentiality)

Aturan dalam prinsip kerahasiaan ini adalah bahwa informasi tentang klien harus dijaga privasi-nya. Apa yang terdapat dalam dokumen catatan kesehatan klien hanya boleh dibaca dalam rangka pengobatan klien. Tak ada satu orangpun dapat memperoleh informasi tersebut kecuali jika diijin kan oleh klien dengan bukti persetujuannya. Diskusi tentang klien diluar area  pelayanan, menyampaikannya pada teman atau keluarga tentang klien dengan tenaga kesehatan lain harus dicegah. . Langkah penyelesaian dilema etik menurut Tappen (2005) adalah : a. Pengkajian

Hal pertama yang perlu diketahui perawat adalah “adakah saya terlibat langsung dalam dilema?”. Perawat perlu mendengar kedua sisi dengan menjadi  pendengar yang berempati. Target tahap ini adalah terkumpulnya data dari seluruh pengambil keputusan, dengan bantuan pertanyaan yaitu : 1.

Apa yang menjadi fakta medik ?

2.

Apa yang menjadi fakta psikososial ?

3.

Apa yang menjadi keinginan klien ?

4.

Apa nilai yang menjadi konflik ?

b. Perencanaan

Untuk merencanakan dengan tepat dan berhasil, setiap orang yang terlibat dalam pengambilan keputusan harus masuk dalam proses. Thomson and Thomson (1985) mendaftarkan 3 (tiga) hal yang sangat spesifik namun terintegrasi dalam perencanaan, yaitu :

1.

Tentukan tujuan dari treatment.

2.

Identifikasi pembuat keputusan

3.

Daftarkan dan beri bobot seluruh opsi / pilihan.

c. Implementasi

Selama implementasi, klien/keluarganya yang menjadi pengambil keputusan  beserta anggota tim kesehatan terlibat mencari kesepakatan putusan yang dapat diterima dan saling menguntungkan. Harus terjadi komunikasi terbuka dan kadang diperlukan bernegosiasi. Peran perawat selama implementasi adalah menjaga agar komunikasi tak memburuk, karena dilema etis seringkali menimbulkan efek emosional seperti rasa bersalah, sedih / berduka, marah, dan emosi kuat yang lain. Pengaruh perasaan ini dapat menyebabkan kegagalan komunikasi pada para pengambil keputusan. Perawat harus ingat “Saya disini untuk melakukan yang terbaik bagi klien”. Perawat harus menyadari bahwa dalam dilema etik tak selalu ada 2 (dua) alternatif yang menarik, tetapi kadang terdapat alternatif tak menarik, bahkan tak mengenakkan. Sekali tercapai kesepakatan,

pengambil

keputusan harus

menjalankannya. Kadangkala

kesepakatan tak tercapai karena semua pihak tak dapat didamaikan dari konflik  sistem dan nilai. Atau lain waktu, perawat tak dapat menangkap perhatian utama klien. Seringkali klien / keluarga mengajukan permintaan yang sulit dipenuhi, dan di dalam situasi lain permintaan klien dapat dihormati. d. Evaluasi

Tujuan dari evaluasi adalah terselesaikannya dilema etis seperti yang ditentukan sebagai outcome-nya. Perubahan status klien, kemungkinan treatment medik, dan fakta sosial dapat dipakai untuk mengevaluasi ulang situasi dan akibat treatment perlu untuk dirubah. Komunikasi diantara para  pengambil keputusan masih harus dipelihara. Dilema etik yang sering ditemukan dalam praktek keperawatan dapat bersifat  personal ataupun

profesional. Dilema

menjadi sulit dipecahkan bila

memerlukan pemilihan keputusan tepat diantara dua atau lebih prinsip etis. Sebagai tenaga profesional perawat kadang sulit karena keputusan yang akan diambil keduanya sama-sama memiliki kebaikan dan keburukan. Pada saat  berhadapan dengan dilema etis juga terdapat dampak emosional seperti rasa

marah, frustrasi, dan takut saat proses pengambilan keputusan rasional yang h ar us

di ha da pi,

i ni

m embut uhk an

k ema mp uan

in te ra ks i

da n

komunikasi yang baik dari seorang perawat. Masalah pengambilan keputusan dalam pemberian transplantasi ginjal juga sering menimbulkan dilema etis karena sangat berhubungan dengan hak asasi manusia, pertimbangan tingkat keberhasilan tindakan dan keterbatasan sumber-sumber organ tubuh yang dapat didonorkan kepada orang lain sehingga memerlukan pertimbangan yang matang. Oleh karena itu sebagai perawat yang berperan sebagai konselor dan  pendamping harus dapat meyakinkan klien bahwa keputusan akhir dari komite merupakan keputusan yang terbaik.

OTONOMI PASIEN

Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik  (UU ITE) sudah diterapkan, sudah memakan 'korban' dan membawa kasus ini sebagai kasus yang memperoleh perhatian luar biasa mulai dari kelompok  wartawan, ibu-ibu rumah tangga, kelompok pemuda, remaja bahkan ketiga bakal capres, semuanya memberikan komentar dan opini sehingga menjadikan kasus ini menjadi sangat populer dan menarik perhatian publik dari segala lapisan. Kali ini terjadi pada seorang ibu rumah tangga bernama Prita Mulyasari, mantan pasien Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutra Tangerang. Pihak rumah sakit tidak  memberikan keterangan yang pasti mengenai penyakit serta rekam medis yang diperlukan pasien. Kemudian Prita Mulyasari mengeluhkan pelayanan rumah sakit tersebut lewat surat elektronik yang kemudian menyebar ke berbagai mailing list di dunia maya. Akibatnya, pihak Rumah Sakit Omni Internasional berang dan marah, dan merasa dicemarkan. Lalu RS Omni International mengadukan Prita Mulyasari secara pidana. Sebelumnya Prita Mulyasari sudah diputus bersalah dalam  pengadilan perdata. Kejaksaan Negeri Tangerang telah menahan Prita Mulyasari di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang sejak selama 21 hari karena dijerat  pasal pencemaran nama baik dengan menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Banyak pihak yang menyayangkan penahanan Prita Mulyasari yang dijerat pasal 27 ayat 3 Undang-Undang nomor 11 tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), karena akan mengancam kebebasan berekspresi. Pasal ini menyebutkan : Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak  mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya  Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan  penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Beberapa pakar hukum menilai: bahwa rumusan pasal tersebut sangatlah lentur dan bersifat keranjang sampah dan multi intrepretasi. Rumusan tersebut tidak  hanya menjangkau pembuat muatan tetapi juga penyebar dan para moderator milis, maupun individu yang melakukan forward ke alamat tertentu. Kasus ini juga akan membawa preseden buruk dan membuat masyarakat takut menyampaikan pendapat atau komentarnya di ranah dunia maya. Pasal 27 ayat 3 ini yang juga sering disebut  pasal karet, memiliki sanksi denda hingga Rp. 1 miliar dan penjara hingga enam tahun. Banyak masyarakat kemudian mulai ketakutan mengemukakan pendapat dan tulisan mereka di dunia maya, karena pada kasus Prita Mulyasari ini yang semula niatnya hanya curhat malah kemudian digugat. Padahal setiap warga Negara  berhak berserikat berkumpul dan mengeluarkan pendapat diatur dalam UUD 45, dan sebagai konsumen dilindungi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen.

 Namun demikian tidak banyak yang membicarakan tentang kedalaman  perspektif etik dan hukum kesehatan kasus Prita Mulyasari ini. Apakah ada  perspektif yang lain bila kasus ini dibedah dari kacamata etik dan hukum kesehatan? Hubungan antara dokter sebagai professional dengan pasien sebagai klien, dari pendekatan hukum adalah hubungan kontraktual dimana keterikatannya dinamakan kontrak terapetik  atau kontrak medis. Dalam kontrak terapetik ini medikpun tidak tertulis dokter berjanji akan memberikan asuhan medis kepada  pasiennya dan pasien akan berjanji mematuhi instruksi medis dari dokter. Kontrak  terapetik ini membawa konsekwensi pengakuan hak, kewajiban, dan tanggung  jawab masing-masing pihak oleh pihak yang lain. Di Indonesia hak-hak pasien ditetapkan dalam Undang-Undang No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang itu berbunyi " 

Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi  standar profesi dan menghormati hak pasien"  . Penjelasan pasal itu mengatakan,  bahwa yang dimaksud dengan hak pasien adalah: hak informasi, hak untuk  memberikan persetujuan, hak atas rahasia kedokteran dan hak atas pendapat kedua. Dokter mempunyai kewajiban hukum untuk membuka informasi kepada pasiennya, sehingga pihak pasien dapat melakukan pilihan pengobatan dan persetujuan yang tepat. Hubungan dokter pasien sekarang ini sudah mulai mengalami pergeseran. Sejak awal pertengahan kedua abad ke-20, mulai terjadi banyak perubahan dalam  pola hubungan dokter pasien. Paternalisme dokter mulai menurun, sedangkan sebaliknya otonomi pasien makin meningkat. Otonomi pasien adalah hak untuk  mengambil keputusan bagi dirinya sendiri tentang masalah yang menyangkut kesehatannya sehingga pasien mempunyai hak memperoleh informasi yang sejujur jujurnya dari dokter yang merawat Dalam hal memberikan informasi kepada pasien terdapat standar umum yang dapat digunakan oleh dokter untuk menentukan seberapa jauh suatu informasi wajib dibuka kepada pasiennya misalnya berdasarkan  pada standar professional yaitu apa yang sebenarnya ingin dokter sampaikan kepada  pasien, kedua adalah standar objektif yaitu apa yang pasien ingin ketahui tentang  penyakitnya, dan ketiga adalah standar subjektif yaitu apa yang orang banyak ingin ketahui tentang penyakit tersebut. Pada kasus Prita Mulyasari ini pasien merasa tidak mendapat informasi yang jelas dan jujur dari dokter yang merawatnya, ini dilihat ketika Prita Mulyasari meminta hasil laboratorium tentang trombosit yang dikatakan oleh dokter sebanyak  27.000 tersebut, yang pada kenyataannya hasil tersebut tidak pernah ada karena tidak pernah di print out, sedangkan dokter jaga sudah terlanjur melepas hasil tersebut kepada pasien walaupun belum diperoleh hasil yang sebenarnya. Pihak  rumah sakit mengatakan bahwa darah Prita menggumpal sehingga hasil laboratorium trombositnya tidak valid, sehingga keesokan harinya diulang kembali dan didapatkan hasil trombosit 118.000. Masalahnya rumah sakit tidak pernah jujur dan terbuka dalam memberikan informasi kepada pasiennya hingga disalahartikan oleh pasien bahwa rumah sakit tidak mau memberikan hasil laboratorium darahnya, seperti diketahui bahwa hasil laboratorium yang berasal dari cairan biologis pasien adalah hak pasien 100% dan

 pasien berhak memperoleh hasilnya. Keesokan harinya, dokter berinisial H yang merawat Prita menginformasikan ada revisi hasil laboratorium. Yaitu jumlah trombosit 181 ribu, bukan 27 ribu. Prita kaget dan menanyakan soal revisi. Tapi, dokter malah menginstruksikan perawat memberi sejumlah suntikan. Selama  beberapa hari diberi berbagai suntikan, badan prita membengkak. Prita akhirnya diberitahukan terkena virus udara dan kembali disuntik meski kedua tangannya  bengkak. Tapi, pihak rumah sakit tak juga menjelaskan nama penyakit yang diderita Prita. Prita pun kesal dan menceritakan pengalaman buruknya itu pada temannya di milis dan kemudian menyebar dengan cepat dan terbaca oleh pihak rumah sakit yang merawatnya, sementara pihak rumah sakit beserta dokter menganggap bahwa keluhan prita sebagai pencemaran nama baik sesuai dengan pasal 310 dan 311 KUHP tentang Penghinaan, ditambah lagi dengan adanya UU ITE maka Prita Mulyasari dijerat dengan pasal 27 ayat 3 sebagaimana tertulis diatas. Kembali ke pokok permasalahan tentang hubungan dokter pasien, apakah ketika Prita Mulyasari dipanggil dan diberi penjelasan tentang keluhannya terjadi komunikasi yang baik antara dokter dan pasien? Siapa sebenarnya yang menerangkan kepada pasien bahwa keluhannya sudah ditanggapi? Dokter yang  bersangkutan atau dari pihak humas rumah sakit, dan apakah kemudian informasi yang diberikan sudah sejujur-jujurnya dan telah membuat pasien merasa puas? Maka timbul pertanyaan lagi bila pasien merasa puas mengapa harus menulis keluhannya di milis? Dapat ditarik kesimpulan bahwa ada gap yang lebar antara hubungan dokter dan pasien terutama dalam pelepasan informasi yang menjadi hak   pasien dan adanya kesalahan dalam manajemen keluhan pelanggan dalam hal ini adalah pasien, sehingga keluhan pasien yang seharusnya ditanggapi dengan positif  malah dianggap sebagi pencemaran nama baik. Dengan kata lain RS Omni International gagal menangani keluhan pasiennya dengan elegan. Soal dokter tidak memberikan keterangan obat yang disuntikan merupakan etika komunikasi yang kerap menjadi bagian terlemah staf medis kepada pasien. Dalam PERMENKES NOMOR 290/MENKES/PER/III/2008 Persetujuan tindakan kedokteran dalam pasal 1 ditulis bahwa Persetujuan tindakan kedokteran adalah  persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat  penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang

akan dilakukan terhadap pasien. Sedangkan di dalam pasal 3 ayat 1, setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus memperoleh persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan, dan ayat 2, tindakan kedokteran yang tidak termasuk dalam ketentuan sebagaimana dimaksud  pada ayat (1) dapat diberikan dengan persetujuan lisan. Juga pasal 7 ayat 1,  penjelasan tentang tindakan kedokteran harus diberikan langsung kepada pasien dan/atau keluarga terdekat, baik diminta maupun tidak diminta.  Patient Safety atau Keselamatan Pasien adalah visi dan misi dari banyak  rumah sakit yang ada sekarang ini. Keselamatan pasien ini mempunyai fokus mendorong terbentuknya kepemimpinan dan budaya RS yang mencakup keselamatan pasien dan peningkatan mutu pelayanan, mengembangkan standar   pedoman keselamatan pasien berbasis riset dan pengetahuan, dan bekerja sama dengan berbagai lembaga yang bertujuan meningkatkan keselamatan pasien dan mutu pelayanan RS. Secara mudah dikatakan bahwa bila dokter atau rumah sakit ingin selamat maka pasien harus diselamatkan lebih dahulu. Penelitian di Amerika Serikat menunjukkan 180.000 pasien meninggal setiap tahunnya sebagai akibat medical errors, ini setara dengan 3 pesawat Jumbo jet mengalami kecelakaan setiap tahunnya. Data dokter yang lalai dan menyebabkan kerugian digugat sebanyak 3 dari 100 orang dokter sedangkan dokter yang tidak lalai dan digugat adalah 113 dari 10.000 orang. Menurut data 28% dikarenakan diagnose yang salah, 27 % adalah  surgical errors dan 26% untuk penanganan perawatan medis (obat reaksi, kesalahan anestesi, kelahiran cedera), hampir semua kesalahan ini disebabkan oleh hubungan dokter pasien yang tidak baik. Kasus Prita Mulyasari bukanlah kasus dimana pasien menuntut dokter akan tetapi adalah kasus pertama di Indonesia dimana dokter menuntut kepada  pasiennya. Masalah yang timbul adalah apakah etik seorang dokter menuntut pasien yang seharusnya ditolong? Apakah ada problem etik dan disiplin pada kasus ini? Seperti diketahui Pasal 2 KODEKI: Seorang dokter harus senantiasa melakukan  profesinya menurut ukuran tertinggi, Pasal 7 KODEKI: Seorang dokter hanya memberi keterangan atau pendapat yg telah dibuktikan kebenarannya, maka pada kasus Prita Mulyasari ini dimana dokter memberikan hasil laboratorium yang belum  pasti itu dapat dikenakan pelanggaran KODEKI pasal 2, dan 7.

Apa kemudian dampaknya bila kasus ini dimenangkan oleh pihak dokter  dan rumah sakit? Maka rumah sakit hanya menang di mata pengadilan dan akan kalah dimata publik sehingga pasien tidak akan berobat ke rumah sakit yang akan memenjarakan pasiennya. Seharusnya keluhan pasien ini ditanggapi positif dan diselesaikan secara bijak oleh dokter dan rumah sakit dengan cerdas hukum dan  pendekatan yang baik kepada pasien. Bisa dibayangkan bila semua rumah sakit di Indonesia seperti RS Omni International ini maka tidak dapat disalahkan bila pasien kita berobat ke Ponari, Singapore atau Malaysia.

SIKAP TERHADAP KEMATIAN

Perawat dituntut untuk bertanggung jawab dalam setiap tindakannya khususnya selama melaksanakan tugas di rumah sakit, puskesmas, panti, klinik atau masyarakat. Meskipun tidakdalam rangka tugas atau tidak sedang meklaksanakan dinas, perawat dituntut untuk bertangungjawab dalam tugas-tugas yang melekat dalam diri perawat. Perawat memiliki peran dan fungsiyang sudah disepakati. Perawat

sudah

berjanji

dengan

sumpah

perawat

bahwa

ia

akan

senantiasamelaksanakan tugas-tugasnya. Contoh bentuk tanggung jawab perawat selama

dinas; mengenal kondisi kliennya,melakukan

 perawatan

selama

jam

dinas,

tanggung

operan,

memberikan

jawab dalammendokumentasikan,

 bertanggungjawab dalam menjaga keselamatan klien, jumlah klien yangsesuai dengan catatan dan pengawasannya, kadang-kadang ada klien pulang paksa atau  pulangtanpa pemberitahuan, bertanggung jawab bila ada klien tiba-tiba tensinya drop tanpa sepengetahuan perawat. Tanggung jawab perawat erat kaitanya dengan tugas-tugas perawat. Tugas  perawat secara umum adalah memenuhi kebutuhan dasar. Peran penting perawat adalah memberikan pelayananperawatan (care) atau memberikan perawatan (caring ). Tugas perawat bukan untuk mengobati(cure). Dalam pelaksanaan tugas di lapangan adakalanya perawat melakukan tugas dari profesi lain seperti dokter, farmasi, ahli gizi, atau fisioterapi. Untuk tugas-tugas yang bukan tugas  perwatseperti pemberian obat maka tanggung jawab tersebut seringkali dikaitkan dengan siapa yang memberikan tugas tersebut atau dengan siapa ia berkolaborasi. Dalam kasus kesalahan pemberian obat maka perawat harus turut bertanggung-

 jawab, meskipun tanggung jawab utama ada pada pemberi tugas atau atasan  perawat, dalam istilah etika dikenal dengan Respondeath Superior .Istilah tersebut merujuk pada tanggung jawab atasan terhadap perilaku salah yang dibuat  bawahannya sebagai akibat dari kesalahan dalam pendelegasian. Sebelum melakukan pendelegasian seorang pimpinan atau ketua tim yang ditunjuk misalnya dokter harus melihat pendidikan, skill, loyalitas, pengalaman dan kompetensi  perawat agar tidak melakukan kesalahan dan bisa bertanggung jawab bila salah melaksanakan pendelegasian. Dalam pandangan Etika penting sekali memahami tugas perawat agar  mampu memahamitanggung jawabnya. Perawat perlu memahami konsep kebutuhan dasar manusia. Konsep Kebutuhan dasar yang paling terkenal salah satunya menurut Maslow sebagai berikut : etika keperawatan perawat memilki tanggung  jawab (responsibility) terhadap-tugas tugasnya terutama keharusan memandang manusia sebagai mahluk yang utuh dan unik. Utuh artinya memiliki kebutuhan dasar yang kompleks dan saling berkaitan antara kebutuhan satu dengan lainnya, unik artinya setiap individu bersipat khas dan tidak bisa disamakan dengan individu lainnya sehingga memerlukan pendekatan khusus kasus per kasus, karena klien memiliki riwayat kelahiran, riwayat masa anak, pendidikan, hobby, pola asuh, lingkungan, pengalaman traumatik, dan cita-cita yang berbeda. Kemampuan  perawat memahami riwayat hidup klien yang berbeda-beda dikenal dengan Ability to know Life span History dan kemampuan perawat dalam memandang individu dalam rentang yang panjang dan berlainan dikenal dengan  Holistic.

TANGGUNG GUGAT (ACCOUNTABILITY)

Akontabiliti dapat diartikan sebagai bentuk partisipasi perawat dalam membuat suatu keputusan dan belajar dengan keputusan itu konsekuensikonsekunsinya. Perawat hendaknya memiliki tanggung gugat artinya bila ada pihak  yang menggugat ia menyatakan siap dan berani menghadapinya. Terutama yang  berkaitan dengan kegiatan-kegiatan profesinya. Perawat harus. 1. Determination

of clinical death (perkiraan kematian klinis)

Masalah etik yang sering terjadi adalah penentuan meninggalnya seseorang secara klinis. Banyak kontroversi cirri-ciri dalam menentukan mati

klinis. Hal ini berkaitan dengan pemanfaatan organorgan klien yang dianggap sudah meninggal secra klinis. Menurut rosdahl (1999), kriteria kematian klinis (brain death) di beberapa Negara Amerika ditentukan sebagai berikut : a. Penghentian nafas setlah berhentinya pernafasan artifisalselama 3 menit (inspirasi-ekspiorsai)  b. Berhentinya denyut jantung tanpa stikulus eksternal c. Tidak ada respon verbal dan non verbal terhadap sti,ulus eksternal d. Hilangnya refleks-refleks (cephalic reflexes) e. Pupil dilatasi f. Hilangnya fungsi seluruh otak yang bisa dibuktikan dengan EEG 2. Quality of Life (kualitas dalam kehidupan)

Masalah kulitas kehidupan sering kali menjadi masalah etik. Hal ini mendasari tim kesehtan untuk mengambil keputusan etis. Apakah seorang klien harus mendapatkan intervensi atau tidak. Sebagai contoh bagaiamana bila di suatu tempat tidak ada donor yang bersedia dan tidak ada tenaga ahli yang dapat memberikan tindakan tertentu? Siapa yang berhak memutuskan tindakan keperawatan pada klien yang mengalami koma. Siapa boleh memutuskan untuk  menghentikan resusitasi? Beberapa hal berikut dapat dijadikan pertimbngan misalnya apabila klien sudah memapu untk bekerja, apabila klien sudah  berfungsi secra fisik, berdasarkan usia, berdasarkan mafaat terhadap masyarakat, berdasarkan kepuasaan atau kegembiraan klien, kemaampuan untuk menolong dirinya sendiri, pendapat keluarga klien terdekat atau  penaggung jawab klien. Contoh kasus apakah klien TBC tetap klita Bantu untuk minum obat  padahal ia masih mampu untuk bekerja? kalau ada dua klien bersamaan yang membutuhkan satu alat siapa yang didahulukan ? Apabila banyak klien lain membutuhkan alat tetapi alat tersebut sedang digunakan oleh klien orang kaya yang tidak ada harapan sembuh apa yang harus dilakukan perawat ? apabila klien kanker merasa gembira untuk tidak meneruskan pengobatan bagaiaman sikap perawat? Bila klien harus segera amputasi tetapi klien tidak sadar  siapakah yang harus memutuskan?

3. Ethical issues in treatment (isu masalah etik dalam tindakan keperawatan)

Apabila ada tindakan yang membutuhkan biaya besar apakah tindakan tersebut tetap dilakukan meslipun klien tersebut tidak mampu dan tidak mau ? apabila tim kesehatan yang memutuskan maka hal ini dikenal dengan mencari keuntungan atau berbuat kerusakan (Beneficience), Apabila klien yang memutuskan maka hal ini mungkin termasuk hak otonomi klien (autonomy), dapatkah klien menolak sesuatu. Masalah-masalah etik yang sering muncul seperti : a.

Klien menolak pengobatan atau tindakan yang direkomendasikan

(refusal of  treatment) misalnya menolak fototerapi, menolak operasi, menolak NGT, menolak dipasang kateter  b.

Klien

menghentikan

pengobatan

yang

sedang

berlangsung

(withdrawl of  treatment)misalnya DO berobat pada TBC, DO kemoterapi  pada kanker  c.

Witholding treatment  misalnya menunda pengobatan karena tidak 

akada donor atau keluarga menolak misalnya transplantasi ginjal aatau cangkok jantung.

Euthanasia (masalah mengakhiri kehidupan dengan maksud menolong)

Euthanasia sering disebut dengan “Mercy Killing” yang diartikan sebagai sutu cara mengambil kehidupan klien untuk menghentikan penderitaan yang dihadapi klien tersebut. Hal ini dapat pula diartikan sebagai proses pengunduran diri atau menghentikan intervensi tertentu dalam keadaan kritis dengan maksud untuk  mengurangi penderitaan klien. Terminology lain yang digunakan adalah “assited suicide” dimana pandangan hokum di Negara barat terhadap kasus ini berbeda beda. Di Indonesia euthanasia Killing mutlak tidak diperbolehkan dengan alas an apapun. Sebenaranya dalam pandangan etika normatif, kelahiran, kematian, jodoh, rezeki adalah ketetapan Allah. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat AlBaqarah (2) : 28 “Mengapa kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu tadinya benda mati, lalu Allah menghidupkanmu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, selanjutnya kepada-Nya lah kamu dikembalikan”

As-Sajdah (32) : 9 “Lalu disempurnakan-Nya kejadiannya, ditiupkan-Nya ruh ciptaan-Nya kepada tubuh dan dilengkapi-Nya kamu dengan pendengaran,  penglihatan dan pemikiran. Namun sedikit sekali kamu yang bersyukur” Dalam pandangan etika normative, Masalah kematian dan hidup manusia telah diprogram oleh Allah. Manusia asalnya segumpal darah kemudian berubah sebagai janin hidup dalam kandungan ibu sampai mencapai waktu lahir (36/37 minggu). Kemudian Allah menetapkan kelahirannya.Selanjutnya dipelihara dan dibesarkan (diberi rizki) oleh Allah, ditetapkan jodohnya menjadi orang tua menuju kematian. Melakukan bunuh diri atau mengakhiri hidup di luar ketentuan Allah adalah dosa besar yang bertentangan dengan etika formal dan etika normatif.

PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN ETIK DALAM KEMAJUAN BIOTEKNOLOGI

Akhir tahun 2002 dunia kesehatan dan ilmu pengetahuan dihebohkan oleh klaim Clonaid, badan usaha milik kelompok keagamaan Raelian di Kanada bahwa mereka berhasil melakukan klon seorang manusia. Bayi yang sudah dilahirkan oleh ibunya itu diberi nama kode Eve, diklaim  berasal dari inti sel kulit sang ibu. Jadi, inti sel ibunya diisolasi, lalu dimasukkan ke sel telur sang ibu yang inti selnya sudah diambil. Di dalam inti sel terletak semua informasi genetik makhluk hidup. Proses selanjutnya adalah seperti proses bayi tabung yang sudah lebih dari tiga puluh tahun dilakukan. Sel telur yang sudah berisi informasi genetik itu dimasukkan ke dalam rahim dan tumbuh besar menjadi janin di dalam rahim ibunya. Bayi Eve akan menjadi sangat mirip seperti ibunya. Itu yang akan terjadi bila klaim yang diajukan CEO Clonaid Brigitte Boisselier bukan sekadar sensasi. Masalahnya, pemimpin kelompok Raelian yang menyebut dirinya Rael, sampai akhir pekan lalu menolak melakukan tes DNA (asam deoksiribonukleat yang merupakan penyusun materi genetik) pada bayi Eve untuk membuktikan bahwa Eve adalah benar kopi dari ibunya. Dalam acara Crossfire di jaringan televisi kabel CNN Rael mengatakan dia telah berbicara dengan Boisselier bahwa bila ada risiko bayi Eve akan diambil dari keluarganya, lebih baik Boisselier kehilangan kredibilitas (dengan tidak melakukan tes DNA). Rael mengatakan, dia mengambil keputusan itu setelah hakim di Florida

menandatangani surat yang mengharuskan bayi Eve diambil dari keluarganya, dari ibunya, untuk membuktikan klaim bahwa Eve lahir melalui proses kloning. Clonaid mengadakan jumpa pers di Hollywood, Florida, mengumumkan kelahiran Eve dan seorang pengacara dari Florida, Bernard F Siegel, meminta Pengadilan Florida agar  memerintahkan bayi itu diserahkan kepada negara bila ada indikasi keselamatannya terancam. Clonaid yang didirikan anggota gerakan Raelian yang mempercayai bahwa manusia adalah ciptaan makhluk di luar Bumi (extraterrestrial) mengatakan Eve lahir tanggal 26 Desember di luar Amerika, dan akan tiba di Amerika Serikat pada hari Senin pekan lalu. Clonaid mengatakan bahwa Eve lahir dari seorang ibu Amerika berusia 31 tahun yang baik sang ibu maupun suaminya tidak subur. Apakah bayi Eve benar-benar ada atau hanya karangan gerakan Raelian, sampai sekarang masih belum bisa dibuktikan. Tetapi, hal ini membangkitkan kembali perdebatan mengenai masalah etik yang sudah dipicu sejak kelahiran domba Dolly tahun 1997. Bila proses kloning pada tanaman sudah berpuluh tahun lebih awal berhasil dilakukan

dan

telah

mencapai tahapan

komersial,

kloning

pada

hewan

menimbulkan pertanyaan etis akan sampai di mana batas penggunaan ilmu  pengetahuan bila kemudian kloning terjadi pada manusia. Persoalannya, bila ternyata bayi kloning mengalami cacat atau kekurangan yang disebabkan proses kloning, apa yang akan dilakukan pada bayi manusia itu. Bila terjadi pada tanaman, tanaman yang tidak memiliki sifat seperti yang diinginkan, akan dengan mudah dimusnahkan. Dalam dunia ilmiah, terdapat dua jenis kloning yang berbeda secara mendasar yaitu kloning reproduktif dan kloning pengobatan. Kloning reproduktif adalah kreasi embrio dengan menggunakan teknik yang disebut transfer sel somatik. Dalam proses ini inti sel dari orang dewasa dipindahkan ke sel telur yang intinya sudah diambil dengan tujuan embrio ini akan tumbuh dan lahir menjadi bayi. Sedangkan pada kloning pengobatan, embrio dikreasikan sama seperti proses kloning reproduktif tetapi tujuannya adalah mengambil sel-sel tunas dari janin ini dan menghasilkan terapi medis baru untuk   penyakit-penyakit tertentu seperti parkinson.

Selain Clonaid, seorang dokter di AS dan seorang lagi dari Italia, juga mengklaim bahwa mereka memiliki pasien yang menunggu kelahiran bayi yang  berasal dari teknik kloning. Dr Antinori dari Italia mendapatkan reputasi internasionalnya ketika pada tahun 1993 dia berhasil menolong seorang perempuan berusia 62 tahun hamil melalui teknik inseminasi buatan. Sedangkan dr Panos Zavos dari AS yang tahun lalu bersaksi di depan DPR AS menyebut bahwa kloning reproduktif adalah sebuah teknologi yang sangat baik untuk menolong pasangan tidak subur "menyelesaikan siklus kehidupan biologis" mereka. Berbeda dari Clonaid yang terdaftar di Bahamas, dan yang tidak memiliki sejarah tentang penelitian kloning yang telah mereka lakukan sebelumnya sehingga menimbulkan rasa skeptis tentang klaim mereka, Antinori dianggap memiliki kemampuan teknis melakukan kloning reproduktif. Lalu dimana posisi perempuan dalam perkembangan bioteknologi yang  begitu cepat? Ibarat sebuah perjalanan, pencapaian sekarang barulah titik awal. Hanya membicarakan kloning reproduktif saja dan mendengar klaim Clonaid, sangat banyak kemungkinan perkembangan dan penggunaan kloning reproduktif  ini. Menurut washingtonpost.com tanggal 28 Desember 2002, Boisselier  mengatakan bahwa sebetulnya ada 10 perempuan yang hamil melalui teknik  kloning, namun separuhnya mengalami keguguran spontan pada usia kehamilan tiga minggu. Kelima kehamilan ini melalui metode kloning yang berbeda-beda, dengan dua di antaranya menggunakan DNA yang berasal dari anak-anak yang sudah meninggal. Keempat perempuan itu akan melahirkan bayi mereka pada akhir   bulan Januari ini atau awal Februari. Hal yang paling menyangkut kepentingan perempuan dalam hal ini adalah kenyataan bahwa perkembangan bioteknologi akan memungkinkan perempuan hamil tanpa sperma. Bila klaim gerakan Raelian benar, bayi Eve sepenuhnya  berasal dari sang ibu. Materi genetik DNA diambil dari sang ibu dan sel telurnya  berasal dari ibu yang sama. Dalam sejarah gerakan perempuan, para filsuf   perempuan telah memainkan peran penting dalam pembuatan peraturan yang

 berpihak kepada perempuan di banyak negara yaitu antara lain dibolehkannya aborsi aman dengan alasan medis yang jelas. Mereka, demikian Sophia Poca dan Rebeca Wright, juga dengan aktif ikut dalam wacana etika yang paling penting dan menentukan saat ini yaitu penentuan  biologis, perbedaan jender, hak-hak anak-anak, etika lingkungan, etika ilmu  pengetahuan, dan embriologi. Mereka mempertanyakan apakah seorang perempuan yang telah memasuki usia post-menopaus memiliki hak untuk hamil, seperti yang dialami oleh  perempuan berusia 62 tahun yang berhasil hamil melalui inseminasi buatan dengan  bentuan dr Antinori. Pertanyaan-pertanyaan lain pun menyusul bermunculan seperti apakah sebaiknya perempuan memiliki hak untuk mengklon dirinya sendiri bila dia dan  pasangan hidupnya tidak subur. Sejauh ini sudah 12 negara yang melarang proses kloning reproduktif, sementara Amerika Serikat masih berdebat soal ini. Usulan untuk

melarang

kloning

reproduktif

ditolak

Senat

dan

klaim

Clonaid

membangkitkan lagi desakan kepada Senat untuk menyetujui usulan pelarangan kloning reproduktif yang pasti akan berseberangan dengan kepentingan industri  bioteknologi yang investasinya jutaan dollar AS. Pertanyaan paling penting berikutnya adalah apakah konsekuensi kloning  berarti sperma tidak lagi diperlukan untuk prokreasi melahirkan manusia baru. Hal ini pada akhirnya akan membuat tamatnya spesies laki-laki di dalam proses evolusi. Pada masa mendatang-yang sudah tidak terlalu lama lagi-tuntutan filosofi untuk menjawab dilema etis akan semakin bertambah, seiring dengan masuknya rekayasa genetika dalam kehidupan kita sehari-hari. Hambatan biologis pada  perempuan untuk terjadinya prokreasi sudah berbeda, dan kini etika fertilisasi dan kloning manusia telah menjadi perdebatan ideologis dan moral. PERSOALAN yang sebenarnya juga telah muncul dalam gerakan perempuan dan telah menimbulkan perbedaan pandangan di antara para aktivis maupun filsuf perempuan adalah apakah menjadi ibu adalah sebuah tugas seorang perempuan ataukah seorang  perempuan merasa hidupnya belum sempurna bila belum melahirkan anak sebagai sebuah konstruksi sosial. Perdebatan lebih lanjut adalah apakah seorang perempuan yang hamil dan melahirkan seorang anak wajib mengasuh anak yang dia lahirkan.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut lahir sejalan dengan berkembangnya teknologi kedokteran yang melahirkan bayi tabung yang kemudian memunculkan  perempuan-perempuan yang bersedia memberikan rahimnya untuk ditempati sel telur yang telah dibuahi milik pasangan suami-istri yang tidak dia ketahui identitasnya. Bahkan, pertanyaan yang lebih kritis lagi adalah apakah etis seorang  perempuan menyewakan rahimnya secara komersial?  Namun, kemampuan perempuan untuk hamil dengan rahimnya yang kompleks dan memiliki segala peralatan untuk membesarkan seorang bakal manusia dari sel telur yang telah memiliki inti sel dewasa, juga dipandang sebagai sebuah kekuatan perempuan. Adrienne Rich, misalnya, seperti dikutip Rosemarie Putnam Tong (Feminist Thought, A More Comprehensive Introduction, 1988) ada beda besar antara seorang perempuan yang membuat keputusan independen tentang siapa yang akan menjadi sumber materi genetik anak yang akan dilahirkannya, bagaimana, kapan, dan di mana dia akan menjadi ibu, dibandingkan bila keputusan itu bukan ditentukan oleh dirinya secara sadar dan independen. Meskipun pada satu sisi teknologi kedokteran akan memberi perempuan kebebasan untuk menentukan tujuan biologisnya, namun hal ini bukan tidak  mungkin akan membuat perempuan menjadi semacam bagian dari alat produksi yang kontrolnya bukan

di tangan perempuan. Genea

Corea,

misalnya,

membayangkan seorang perempuan yang secara genetika superior akan menjadi donor bayi tabung, seorang perempuan lain yang kuat akan membesarkan embrio tersebut di dalam rahimnya, dan perempuan yang dipandang memiliki temperamen  penyabar akan disewa untuk mengasuh bayi yang dilahirkan. Di sini, sekali lagi terjadi pembagian kerja. Bedanya dengan pembagian kerja berdasarkan teori Marx, pembagian kerja ini berdasarkan "kelas" biologis  perempuan. Sungguh sebuah tantangan ilmu pengetahuan yang harus dijawab, dan  perempuan bisa memberikan sumbangan pemikirannya karena dia adalah pemilik  rahim yang menyemai kehidupa

DAFTAR PUSTAKA

Jaringan Epidemiologi Nasional. (1995). AIDS dan Hukum / Etika. Seri Monogragi  No:05. Jakarta : Jaringan Epidemi Nasional bekerja sama dengan The Ford Foundation.

Jaringan Epidemiologi Nasional. (1995). AIDS dan Hukum / Etika. Seri 3

Barbara kozier, 1983, Fundamental of nursing.

Cholil Uman, 1994,  Agama menjawab tentang berbagai masalah Abad modern , Surabaya : Ampel Suci

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF