Mini CEX

July 20, 2022 | Author: Anonymous | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Mini CEX...

Description

 

MINI CLINICAL EXAMINATION “Peritonitis Generalisata e.c Perforasi Gaster” 

Pembimbing :

dr. Wisnu Budi Pramono, Sp.An

Disusun Oleh:

R. Siti Farahnur Syaiful.R   1710221016

SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF RSUD PROF. Dr. MARGONO SOEKARJO FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA  Periode 10 September –  13  13 Oktober 2018

 

HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui mini clinical examination dengan judul : “Peritonitis

Generalisata e.c Perforasi Gaster ” 

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti ujian di Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Program Profesi Dokter di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun Oleh : R. Siti Farahnur Syaiful R   1710221016

Purwokerto, Oktober 2018

Mengetahui, Dokter Pembimbing,

dr. Wisnu Budi Pramono, Sp. An

 

BAB I  LAPORAN KASUS

1.1 IDENTITAS PASIEN

a.   Nama

: Tn. S

 b.  Usia

: 52 tahun

c.  Alamat

: Sidakangen RT 018/007 Kalimanah

d.  Pekerjaan

: Petani

e.   No. CM

: 02069035

f.  Tanggal Masuk RSMS

: 24 September 2018

g.  Tanggal Operasi

: 24 September 2018

h.  Pro

: Laparotomi

i. 

: Peritonitis generalisata ec perforasi hollow

Diagnosis viscus

 j.  Diagnosis Post Op

: Peritonitis generalisata ec perforasi gaster

1.2 ANAMNESIS a.  Keluhan utama

 Nyeri perut kanan atas menjalar sampai ke pinggang b.  Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD RSMS dengan keluhan nyeri perut kanan atas menjalar sampai ke pinggang  disertai dengan adanya benjolan pada perut kanan atas sejak ± 2 tahun lalu. Pasien juga merasakan berat badannya turun dalam beberapa bulan terakhir. Pasien terkadang merasakan mual tetapi tidak disertai dengan muntah. BAB dan BAK pasien normal. Awalnya pasien kadang kadang merasakan sakit pada pinggang sebelah kanannya dan juga sempat beberapa kali pasien merasakan seperti adanya  pasir yang keluar ketika BAK namun pasien membiarkannya karena setelah itu tidak merasakannya kembali. Kemudian dalam 6 bulan terakhir ini pasien mengatakan kadang kadang ketika BAK seperti keluar semacam cendol cendol dan juga sempat membuat BAK pasien tidak lancar, tetapi setelah beberapa kali ketika BAK cendol cendolnya keluar  pasien BAK nya kembali normal. Namun semakin lama pasien

 

mengatakan nyeri pada pinggang kanan atasnya semakin bertambah dan menjalar sampai ke pinggang. Selain itu juga terdapat adanya benjolan  pada perut kanan atas pasien yang semakin membesar. Sehari hari pasien  bekerja sebagai supir truk dan pasien mengakui jarang sekali minum air  putih. Riwayat Penyakit Dahulu

1.  Riwayat kencing manis

: disangkal

2.  Riwayat alergi

: disangkal

3.  Riwayat hipertensi

: disangkal

4.  Riwayat asma

: disangkal

5.  Riwayat penyakit jantung

: disangkal

6.  Riwayat penyakit paru

: disangkal

7.  Riwayat penyakit ginjal

: disangkal

8.  Riwayat operasi

: disangkal

c.  Riwayat Penyakit Keluarga

1.  Riwayat kencing manis

: disangkal

2.  Riwayat hipertensi

: disangkal

3.  Riwayat asma

: disangkal

4.  Riwayat penyakit jantung

: disangkal

1.3 PEMERIKSA PEMERIKSAAN AN FISIK

a.  Keadaan umum/kesadaran umum/kesadaran : tampak sakit sedang/compos mentis  b.  Vital sign  Nadi

: 108/80 x/menit

Respirasi

: 22 x/menit

Suhu

: 36 0C

Berat badan

: 52 kg

Tinggi badan

: 162 cm

c.  Airway Clear +, buka mulut 3 jari, Mallampati II, TMD 6 cm, Gigi palsu -, Gigi tanggal +, Gigi goyang - massa jalan napas -, massa mas sa di leher d.  Status Generalis a.  Kepala

: mesocephal

 

 b.  Mata

: CA (-/-), SI (-/-), isokor

c.  Hidung

: nafas cuping hidung ( – ), ), discharge (-)

d.  Mulut

: sianosis ( – ), ), kering (-), buka mulut 3 jari,

mallampati II e.  Leher

: tidak terdapat deviasi trakea, pembesaran thyroid

(-), pembesaran KGB (-) f.  Thorax

: simetris (+), retraksi -

g.  Paru

: simetris (+), vocal fremitus dextra = vocal fremitus

sinistra, sonor pada kedua lapang paru, SD vesikuler (+/+), RBK (-/-), RBH (-/-), Wheezing (-/-) h.  Cor

: ictus cordis tidak tampak, ictus cordis teraba di

SIC 6 linea midclavicular sinistra, batas kanan atas jantung : SIC 2 linea parasternalis parasternalis dextra, batas kanan bawah jantung : SIC 4 linea parasternalis dextra, batas kiri atas jantung : SIC 2 linea  parasternalis sinistra, batas kiri bawah jantung : SIC 6 linea midclavicular sinistra, S1>S2, regular, regular, murmur -, gallop  –   i.  Abdomen

: cembung, nyeri tekan (+) pada hipokondrium

kanan, epigastrium, lumbal kanan dan umbilikus, BU (+) normal, teraba benjolan di perut kanan atas, konsistensi lunak.  j.  Ekstremitas : Akral hangat(+/+/+/+), hangat(+/+/+/+), edema (-/-/-/-), motorik (5/5/5/5) 1.4 PEMERIKSA PEMERIKSAAN AN PENUNJANG

1.  Hasil pemeriksaan darah lengkap tanggal 21 Mei 2018 (pre operasi) Hemoglobin 12.2 g/dL Leukosit 7190 U/L Hematokrit 36 % (L) Trombosit 286.000/uL Eritrosit 4.2 juta (L) Total Protein 6.35 g/dl GDS 82 mg/dL Albumin 2.60 g/dL (L) Globulin 4.25 g/dl (H)

 

SGOT 20 U/L SGPT 19 U/L Ureum Darah 24.4 mg/dL Kreatinin 1.06 mg/dL  Natrium 141 mol/L Kalium 4.5 mol/L Klorida 105 mol/L HbsAg Non reaktif 2.  Hasil pemeriksaan lab tanggal 26 Mei 2018 (pre operasi) PT 11.0 APTT 47.6 (H) 3. Hasil pemeriksaan Elektrokardiografi tanggal 26 Mei 2018

4. Hasil Foto Thorax tanggal tanggal 23 Mei 20 2018 18

 

 

Kesan : - Cor tak membesar

- Gambaran Bronkopneumonia 5. Hasil USG Abdomen tanggal 24 Mei 2018 2018

Kesan :

  lesi semi kistik bentuk relatif oval dengan multiple septasi di dalamnya



 pada hampir seluruh hemiabdomen kanan yang mendesak struktur lobus

 

kanan hepar dan vesica urinaria (ukuran tdk terjangkau probe) -> cenderung gambaran severe hidronefrosis kanan

  Tak tampak kelainan lain pada sonografi organ-organ intra abdomen



tersebut di atas saat ini 1.5 PERKEMBANG PERKEMBANGAN AN PASIEN PREOPERASI Hari,

Subjektif dan Objektif

Assessment Assessment

Planning

tanggal

Minggu, 27

S:

Pasien

mengeluhkan

Mei nyeri perut kanan atas sampai

ke

Batu Renal Dextra

Pro Extended Pyelolithotomy - Konsul Anestesi:

2018

menjalar

Di

 pinggang disertai dengan

ACC operasi

 bangsal

adanya

ASA II

edelweis

 perut kanan atas sejak ± 2

Puasa 6 jam

tahun lalu. Pasien juga

Pasang Infus

merasakan berat badannya

Inform consent

turun

dalam

keluarga

 bulan

terakhir.

benjolan

pada

beberapa Pasien

terkadang merasakan mual tetapi

tidak

disertai

dengan muntah. BAB dan BAK pasien normal..

Keadaan Umum : tampak sakit sedang Kesadaran

:

compos

mentis GCS : E4V5M6 TD : 120/80 mmHg  Nadi : 88 x/menit RR : 18 x/menit Suhu : 36.5 0C

 

Status generalis : Kepala : mesocephal Mata : CA (-/-), SI (-/-), isokor Hidung : nafas cuping hidung ( – ), ), discharge (-) Mulut

:

sianosis

( – ), ),

kering (-), buka mulut 3  jari, mallampati II Leher :

tidak

terdapat

deviasi

trakea,

 pembesaran thyroid (-),  pembesaran KGB (-) Thorax :

simetris

(+),

retraksi Paru : simetris (+), vocal fremitus dextra = vocal fremitus

sinistra,

sonor

 pada kedua lapang paru, SD vesikuler (+/+), RBK (-/-), RBH (-/-), Wheezing (-/-) Cor : ictus cordis tidak tampak, ictus cordis teraba di

SIC

midclavicular

6

linea sinistra,

 batas kanan atas jantung : SIC 2 linea parasternalis dextra, batas kanan bawah  jantung : SIC

4 linea

 parasternalis dextra, batas kiri atas jantung : SIC 2

 

linea parasternalis sinistra,  batas kiri bawah jantung : SIC 6 linea midclavicular sinistra,

S1>S2, regular,

murmur -, gallop  –   Abdomen nyeri

:

tekan

cembung, (+)

hipokondrium

pada kanan,

epigastrium, lumbal kanan dan umbilikus, BU (+) normal, teraba benjolan di  perut

kanan

atas,

konsistensi lunak. Ekstremitas : Akral hangat (+/+/+/+), edema (-/-/-/-), motorik (5/5/5/5)

Hasil pemeriksaan darah lengkap tanggal 21 Mei 2018 (pre operasi) Hemoglobin 12.2 g/dL Leukosit 7190 U/L Hematokrit 36 % (L) Trombosit 286.000/uL Eritrosit 4.2 juta (L) Total Protein 6.35 g/dl GDS 82 mg/dL Albumin 2.60 g/dL (L) Globulin 4.25 g/dl (H) SGOT 20 U/L SGPT 19 U/L Ureum Darah 24.4 mg/dL

 

Kreatinin 1.06 mg/dL  Natrium 141 mol/L Kalium 4.5 mol/L Klorida 105 mol/L HbsAg Non reaktif Hasil

pemeriksaan

lab

tanggal 26 Mei 2018 (pre operasi) PT 11.0 APTT 47.6 (H)

1.6 DIAGNOSA

Peritonitis generalisata ec perforasi hollow viscus Assesment

: ASA III E

Rencana Operasi : Pro Laparotomi  Rencana Anestesi Anestesi : GA Intubasi 1.7 LAPORAN DURANTE OPERASI

1.  Tanggal operasi

: 28 Mei 2018

2.  Jam mulai anestesi

: 08.35 WIB

3.  Jam selesai anestesi

: 11.00 WIB

4.  Kondisi sebelum anestesi Kesadaran

: Compos Mentis

GCS

: E4V5M6

Tekanan darah

: 111/81 mmHg

Heart rate

: 91 x/menit

RR

: 20 x/menit

Suhu

: 36,50C

Teknik Anestesi

General Anestesi Premedikasi : Ondansentron 4 mg Preemptive analgesia : fentanyl 100 mikrogram Inhalasi : isoflurane

 

Intravena : propofol 100 mg, recuronium 30 mg Airway : Face mask no. 4 Intubasi : ET kinking no 7.5 Monitoring Durante Operasi Tekanan darah, SpO2, dan HR Waktu

TD (mmHg)

SpO2

HR (x/min)

08.35

100/80

100%

90

08.45

90/60

100%

69

09.00

95/60

100%

70

09.15

90/55

100%

69

09.30

78/50

100%

60

09.45

80/50

100%

68

10.00

90/55

100%

70

10.15 10.30

95/60 80/50

100% 100%

100 75

10.45

80/50

100%

80

11.00

90/60

100%

100

Obat yang masuk

a.  Ondansetron 4 mg   b.  Fentanyl 100 mcg c.  Propofol 100 mg d.  Recuronium 30 mg e.  Ketorolac 30 mg f.  Asam Tranexamat 500 mg g.  Vit K 1 Amp/10 mg h.  Efedrine 40 mg Cairan yang masuk

Ringer laktat : 2500 ml Koloid

: 500 ml

 NaCl

: 500 ml

 

Perdarahan

200 cc Urin output

500 Terapi Cairan Rumus:

Maintenance

= 2 x kgBB/jam

Pengganti Puasa (PP)

= Puasa (jam) x M

Stress Operasi (SO)

= 6cc/kgBB (operasi sedang)

Jam I

= ½ PP + M + SO

Jam II

= ¼ PP + M + SO

Jam III

= Jam II

Jam IV

= M + SO

25 Menit

= 5/12 Jam I

EBV

= 70 x BB

Perhitungan (BB= 52 Kg):

Maintenance (M)

= 2 x 52 kg

= 104 cc

Stress Operasi (SO)

= 6 x 52 kg

= 312 cc

Pengganti puasa

= 6 x 104 cc

= 624 cc

EBV

= 70 x BB = 70 x 52 = 3640 cc

Lama Operasi (145 menit) Input Cairan durante operasi Jam I

= ½ PP + M + SO = ½ 624 + 104 + 312 = 728 cc

Jam II

= ¼ PP + M + SO = ¼ 624 + 104 + 312 = 572 cc

Jam III (25 menit)

= 5/12 Jam II = 5/12 572 = 238.3 cc

 

Output durante operasi

Jumlah perdarahan

= 200 cc

Urin output

= 500 cc

Total output durante operasi = 700 cc Tabel Keseimbangan Cairan Durante Operasi   Output Cairan Perdarahan + urin output = 200 + 500 cc Output cairan D.O. = 700 cc

Input Cairan Durante operasi = 3500 cc Input cairan D.O. = 3500 cc

Kebutuhan durante operasi 145 menit :1538.3 cc

Total Cairan Output 1538.3 + 700 = 2238.3 cc Balance Cairan: +1261.7 cc

Total Cairan Input 3500 cc = 3500 cc

I.8.  MONITORING POST OPERASI Hari,

Subjektif dan Objektif

Assessment Assessment

Planning

tanggal

Selasa, 29

S:

Pasien

mengeluhkan

Mei sedikit nyeri luka post

Suspek renal dextra

tumor - Infus PCT 3 x 500 mg

2018

operasi. Mual (-), muntah

- Inj Cefotaxim 2

Di

(-). BAB dan BAK pasien

x1 gr

normal.

- Inj Ketorolac 2 x

 bangsal

30 mg

edelweis Keadaan Umum : tampak

- Inj Ranitidin 2 x

tenang

50 mg

Kesadaran

:

compos

Instruksi lain :

mentis

- Evaluasi

GCS : E4V5M6

keadaan umum

TD : 120/80 mmHg

dan tanda vital

 Nadi : 88 x/menit

- Jika sudah sadar

RR : 20 x/menit

 penuh, mual (-),

 

Suhu : 36.5 0C

muntah (-), boleh makan dan minum

Status generalis : Kepala : mesocephal Mata : CA (-/-), SI (-/-), isokor Hidung : nafas cuping hidung ( – ), ), discharge (-) Mulut

:

sianosis

( – ), ),

kering Leher :

tidak

terdapat

deviasi

trakea,

 pembesaran thyroid (-),  pembesaran KGB (-) Thorax :

simetris

(+),

retraksi Paru : simetris (+), vocal fremitus dextra = vocal fremitus

sinistra,

sonor

 pada kedua lapang paru, SD vesikuler (+/+), RBK (-/-), RBH (-/-), Wheezing (-/-) Cor : ictus cordis tidak tampak, ictus cordis teraba di

SIC

midclavicular

6

linea sinistra,

 batas kanan atas jantung : SIC 2 linea parasternalis dextra, batas kanan bawah  jantung : SIC

4 linea

 parasternalis dextra, batas

 

kiri atas jantung : SIC 2 linea parasternalis sinistra,  batas kiri bawah jantung : SIC 6 linea midclavicular sinistra,

S1>S2, regular,

murmur -, gallop  –   Abdomen : datar, nyeri tekan (-), BU (+) normal. Ekstremitas : Akral hangat (+/+/+/+), edema (-/-/-/-), motorik (5/5/5/5)

 

 

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Urolitiasis 2.1.1 Definisi

Batu di dalam saluran kemih (kalkulus (kalkulus uriner ) adalah massa keras seperti  batu yang terbentuk di sepanjang saluran kemih dan bisa menyebabkan nyeri,  perdarahan, penyumbatan aliran kemih atau infeksi. Batu ini bisa terbentuk di dalam ginjal (batu (batu ginjal ), ), maupun di dalam kandung kemih (batu ( batu kandung kemih). kemih ). Proses pembentukan batu ini disebut urolitiasis urolitiasis   (litiasis renalis, renalis, nefrolitiasis))  nefrolitiasis 2.1.2 Etiologi urolithiasis

Faktor intrinsik itu antara lain adalah :   a.  Herediter (keturunan) : penyakit ini diduga diturunkan dari orang tuanya.  b.  Umur : penyakit ini paling banyak didapatkan pada usia 30-50 tahun. c.  Jenis Kelamin : jumlah pasien laki-laki 4 kali lebih banyak dibandingkan dengan pasien perempuan (4:1). Faktor ekstrinsik diantaranya adalah geografi , iklim dan temperatur, asupan air, diet, pekerjaan. 2.1.3 Patofisiologi urolithiasis

Beberapa teori pembentukan batu adalah: 1.  Teori Nukleasi : Batu terbentuk didalam urine karena adanya inti batu (nukleus). Partikel-partikel yang berada dalam larutan yang terlewat jenuh (supersaturated) akan mengendap didalam nukleus itu sehingga akhirnya membentuk batu. Inti batu dapat berupa kristal atau benda asing di saluran kemih.

 

2.  Teori Matriks : Matriks organik terdiri atas serum/protein urine (albumin, globulin dan mukoprotein) merupakan kerangka tempat diendapkannya kristalkristal batu. 3.  Teori Penghambat Kristalisasi : Urine orang normal mengandung zat-zat  penghambat pembentuk kristal, antara lain

magnesium, sitrat, pirofosfat,

mukoprotein dan beberapa peptida. Jika kadar salah satu atau beberapa zat itu  berkurang, akan memudahkan terbentuknya terbentuknya batu didalam saluran kemih.

2.1.4 Diagnosis Urolithiasis

Gambaran klinis pasien dengan urolitiasi : a.   Nyeri : Batu pada traktus urinarius bagian atas seringkali mengakibatkan

nyeri. Karakter nyerinya tergantung pada lokasi. Nyeri kolik renal dan nyeri renal non-kolik adalah 2 tipe nyeri dari ginjal. Nyeri kolik renal biasanya disebabkan oleh peregangan pada collecting system of ureter.  ureter.   Sedangkan nyeri renal non kolik disebabkan distensi pada kapsul renal. b.  Hematuria : Pasien seringkali mengeluh adanya gross hematuria secara

intermitten atau kadang-kadang urin pekat seperti teh (old ( old blood ). ). c.  Infeksi : Infeksi juga berperan dalam menimbulkan nyeri. Bakteri uropatogenik dapat mengganggu peristaltic ureter melalui produksi eksotoksin dan endotoksin. Inflamasi local akibat infeksi mengakibatkan aktivasi kemoreseptor dan membetuk persepsi nyeri local. d.  Demam : Batu pada traktus urinarius yang menimbulkan demam dapat merupakan kondisi medis emergensi. Tanda klinis sepsis bervariasi termasuk demam, takikardi, hipotensi dan vasodilatasi kutaneus. Tenderness  pada CVA menandakan adanya obstruksi akut pada traktus urinarius bagian atas. Dapat teraba massa akibat hidronephrosis ginjal. Pada kondisi ini diperlukan pemasangan retrograde catether (double-J  ( double-J ) atau jika gagal dapat dilakukan nephrostomi. e.   Nausea dan vomitus : Obstruksi pada traktus urinarius bagian atas disertai dengan

nausea

dan

vomitus.

Cairan

intravena

mengembalikan ke kondisi euvolemia. Pemeriksaan Laboratorium pasien dengan urolitiasis :

dibutuhkan

untuk

 

  Darah rutin



  Urine rutin (pH, Bj urine, sedimen urine): Menentukan hematuria, leukosituria,



dan kristaluria.

  Kultur urine: Mmenunjukkan adanya pertumbuhan kuman pemecah urea.



 



Faal ginjal (Ureum, Creatinin): Bertujuan untuk mencari kemungkinan  penurunan fungsi ginjal dan untuk mempersiapkan pasien menjalani  pemeriksaan foto IVP.

  Kadar elektrolit: Untuk mencari faktor penyebab timbulnya batu saluran kemih



(antara lain kadar kalsium, oksalat, fosfat). Pemeriksaan Radiologi pasien dengan urolitiasis : s aluran kemih. a.  BNO: Melihat kemungkinan adanya batu radioopak di saluran b.  Ultrasonografi (USG): Pemeriksaan ultrasonografi dapat menilai adanya batu

di ginjal atau di buli-buli (yang ditunjukkan sebagai echoic shadow  shadow  ), hidronefrosis, pionefrosis, atau adanya pengkerutan ginjal. Dapat menunjukkan ukuran , bentuk dan posisi batu. Dapat diketahui adanya batu radiolusen dan dilatasi sistem ductus kolektivus. c.  Intra-Venous Pielografi (IVP): Menilai keadaan anatomi dan fungsi ginjal. d.  CT Scan: Teknik imaging yang paling baik untuk melihat gambaran semua

 jenis batu dan juga dapat terlihat lokasi dimana terjadinya obstruksi. e.  Pemeriksaan Renografi: Merupakan alat uji fungsi ginjal manusia dengan

menggunakan teknologi nuklir. Berdasarkan renogram akan memberikan informasi tentang keadaan fungsi ginjal meliputi respons vaskuler, kapasitas uptake dan kemampuan mengeluarkan perunut. 2.1.5 Penatalaksanaan urolithiasis a. Konservatif

Batu pada saluran kemih dapat keluar spontan tanpa membutuhkan intervensi. 40-50 % batu dengan ukuran 4-5mm keluar spontan. Sedangkan batu ukuran >6mm hanya memiliki kemingkinan 5% keluar spontan . Terapi medikamentosa ditujukan untuk batu yang ukurannya kurang dari 5 mm, karena diharapkan batu dapat keluar spontan. Terapi yang diberikan untuk mengurangi rasa nyeri, memperlancar aliran urine dengan pemberian diuretikum dan minum banyak serta skipping supaya dapat mendorong batu keluar. Untuk

 

mengurangi rasa nyeri dapat diberikan analgetik atau inhibitor sintesis  prostaglandin (intravena, intramuskular, atau supositoria). Terapi konservatif hanya diberikan selama 6 minggu. b. R eli lie ef of Obst Obstrr uct uctii on 

Pasien dengan batu obstruksi disertai demam dan infeksi merupakan kondisi emergensi urologi yang membutuhkan drainase. Pielografi retrograde ditujukan untuk traktus urinarius bagian atas kemudian diikuti dengan pemasangan retrograde double J ureteral stent. c. ESWL (E xtr xtra acor cor por eal Sho S hock ck W Wa ave L i tho thotri trip psy )

Batu dipecah dengan gelombang kejut menjadi fragmen-fragmen kecil sehingga mudah dikeluarkan melalui saluran kemih. d. Operatif

Batu ginjal yang terletak di kaliks perlu dilakukan tindak bedah bila terdapat hidrokaliks. Batu sering harus dikeluarkan melalui nefrolitotomi yang tidak gampang karena batu biasanya tersembunyi di dalam kaliks. Batu pelvis juga  perlu dibedah bila menyebabkan hidronefrosis, infeksi, atau menyebabkan nyeri yang hebat. Pada umumnya, batu pelvis terlebih lagi yang berbentuk tanduk rusa amat mungkin menyebabkan kerusakan ginjal. Operasi untuk batu pielum yang sederhana disebut pielolitotomi sedang untuk bentuk tanduk rusa (staghorn) dengan pielolitotomi yang diperluas (extended ( extended pyelolithotomy). pyelolithotomy).  2.1.6 Extended Pyelolithotomy

Merupakan suatu tindakan operasi terbuka (selain nefrektomi dan anatrophic nephrolithotomy) yang dalam prosedurnya dilakukan insisi pielotomi dengan hooked scalpel.

Insisi apek dilakukan langsung dekat dengan

ureteropelvic junction dimana keuntungan dari tindakan ini adalah batu dapat terpajan secara maksimal sehingga pada stone free rate berkisar antara 71%-82% dan jumlah prosedur yang kecil yakni 1,4%. Namun, operasi terbuka ini memiliki risiko terjadinya komplikasi minor (demam, perdarahan yang membutuhkan transfusi, ekstravasasi, pneumonia/atelectasis, ileus paralitik, dll) maupun mayor (kematian, perdarahan yang memerlukan transfusi berkala, infeksi, cedera saluran kemih dll). Selain itu, tindakan operasi terbuka memiliki kerugian yakni, nyeri

 

 pascaoperasi, jaringan parut pascaoperasi, serta lama la ma perawatan dan pemulihan di rumah sakit. 2.2 Anestesi 2.2  Anestesi Umum (General Anesthesia)  2.2.1 Definisi 

Anestesi umum merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit secara sentral disertai hilangnya kesadaran kesadaran (reversible). Pada tindakan anestesi umum terdapat beberapa teknik yang dapat dilakukan adalah anestesi umum dengan Teknik intravena anestesi dan anestesi umum dengan inhalasi yaitu dengan face mask (sungkup muka) dan dengan teknik intubasi yaitu pemasangan endotrecheal tube atau dengan teknik gabungan keduanya yaitu inhalasi dan intravena. Anestesi memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut: 1. Hipnotik/sedasi: hilangnya kesadaran 2. Analgesia: hilangnya respon terhadap nyeri 3. Muscle relaxant: relaksasi otot rangka 2.2.2 Keuntungan dan Kerugian Anestesia Anestesia Umum 

Tidak semua pasien atau prosedur medis ideal untuk dijalani di bawah anestisia

umum.

Semua

teknik

anastesia

harus

dapat

sewaktu-waktu

dikonversikan menjadi anestesia umum. Keuntungan anestesia umum

  Pasien tidak sadar, mencegah ansietas pasien selama prosedur medis



 berlangsung.

  Efek amnesia meniadakan memori buruk pasien yang didapat akibat



ansietas dan berbagai kejadian intraoperatif yang mungkin memberikan trauma psikologis.

  Memungkinkan dilakukannya prosedur yang memakan waktu lama.



  Memudahkan kontrol penuh ventilasi pasien.



Kerugian anestesia umum

  Sangat mempengaruhi fisiologi. Hampir semua regulasi tubuh menjadi



tumpul dibawah anestesia umum.

  Memerlukan pemantauan yang lebih holostik.



  Tidak dapat mendeteksi gangguan SSP, misalnya perubahan kesadaran.



  Risiko komplikasi lebih besar.



 

  Memerlukan persiapan pasien yang lebih lama.



2.2.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Anestesi Umum a.  Faktor Respirasi

Hal-hal yang mempengaruhi tekanan parsial zat anestetika dalam alveolus adalah:  1.  Konsentrasi zat anestetika yang diinhalasi; semakin tinggi konsentrasi, semakin cepat kenaikan tekanan parsial 2.  Ventilasi alveolus; semakin tinggi ventilasi, semakin cepat kenaikan tekanan  parsial b.  Faktor Sirkulasi

Terdiri dari sirkulasi arterial dan sirkulasi vena Faktor-faktor yang mempengaruhi: a.  Perubahan tekanan parsial zat anestesika yang jenuh dalam alveolus dan

darah vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestesika diserap jaringan dan sebagian kembali melalui vena. b.  Koefisien partisi darah/ gas yaitu rasio konsentrasi zat anestesika dalam

darah terhadap konsentrasi dalam gas setelah keduanya dalam keadaan seimbang. c.  Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung. Makin banyak

aliran darah yang melalui paru makin banyak zat anestesika yang diambil dari alveolus, konsentrasi alveolus turun sehingga induksi lambat dan makin lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat anesthesia yang adekuat. c.  Faktor Jaringan 1.  Perbedaan tekanan parsial obat anestesika antara darah arteri dan jaringan.   2.  Koefisien partisi jaringan/darah: kira-kira 1,0 untuk sebagian besar zat

anestesika, kecuali halotan. 

 

3.  Aliran darah terdapat dalam 4 kelompok jaringan:  a)  Jaringan kaya pembuluh darah (JKPD) : otak, jantung, hepar, ginjal.

Organ-organ ini menerima 70-75% curah jantung hingga tekanan parsial zat anestesika ini meninggi dengan cepat dalam organ-organ ini. Otak menerima 14% curah jantung.   b) Kelompok intermediate : otot skelet dan kulit.   c)  Lemak : jaringan lemak   d) Jaringan sedikit pembuluh darah (JSPD) : relative tidak ada aliran darah :

ligament dan tendon.  d.  Faktor Zat Anestetika

Potensi dari berbagai macam obat anestetika ditentukan oleh MAC ( Minimal  Minimal Alveolus Concentration), Concentration), yaitu konsentrasi terendah zat anestetika dalam udara alveolus yang mampu mencegah terjadinya tanggapan (respon) terhadap rangsang rasa sakit. Semakin rendah nilai MAC, semakin poten zat anestetika tersebut. e.  Faktor Lain

  Ventilasi, semakin besar ventilasi, semakin cepat pendalaman anestesi



  Curah jantung, semakin tinggi curah jantung, semakin lambat induksi dan



 pendalaman anestesia

  Suhu, semakin turun suhu, semakin larut zat anestesia sehingga pendalaman



anestesia semakin cepat. 2.2.4 Jenis Anestesi Umum 1.  Anestesi Inhalasi

Anestesi inhalasi merupakan suatu anestesi yang menggunakan inhalan berupa gas. Obat anestesi inhalasi yang sering digunakan saat ini adalah N 2O, halotan, enfluran, isofluran, desfluran, sevofluran. Agen ini dapat diberikan dan diserap secara terkontrol dan cepat, karena diserap serta dikeluarkan melalui paru-paru (alveoli). Mekanisme kerja obat inhalasi ditentukan oleh ambilan paru, difusi gas dari paru ke darah dan distribusi ke organ. Sedangkan konsentrasi uap obat

 

anestetik dalam alveoli ditentukan oleh konsentrasi inspirasi, ventilasi alveolar, koefisien gas darah, curah jantung, dan perfusi. a.  Isofluran: Dapat menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen, tetapi meninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial, namun hal ini dapat dikurangi

dengan

teknik

anestesia

hiperventilasi,

sehingga

banyak

digunakan untuk bedah otak. Efek terhadap depresi jantung dan curah  jantung minimal, sehingga digemari untuk anesthesia teknik hipotensi dan  banyak digunakan pada pasien dengan gangguan koroner. koroner.  b.  Sevofluran: Merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan nafas, sehingga digemari untuk induksi anestesia inhalasi di samping halotan. Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil,  jarang menyebabkan aritmia. ari tmia. Efek terhadap sistem s istem saraf pusat sama seperti isofluran dan belum ada laporan toksik terhadap hepar. Setelah pemberian dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan. Belum ada laporan yang membahayakan terhadap tubuh manusia. 2.  Anestesi Intravena

Anestesi intravena merupakan suatu tindakan pemberian anestesi dengan memasukkan obat melalui intravena. Keuntungan anestesi intravena lebih dapat diterima pasien, kurang perasaan klaustrofobik (perasaan akan-akan wajah ditutupi topeng), tahap tidak sadar yang lebih cepat dan lebih menyenangkan bagi ahli anestesi. Oleh karena itu, agen intravena dapat digunakan sendiri untuk menimbulkan anestesi. a.  Propofol: Propofol dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1 ml=10 mg).  Onset cepat, lama kerja pendek. Efek kerja dicapai dalam 15-45 detik. Efek puncak 1 menit, lama aksi 5-10 menit. Akumulasi minimal, cepat dimetabolisme,  pemulihan cepat. Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga  beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain l idokain 1-2 1 -2 mg/kg intravena.   Efek hipnotik 1,8 kali pentothal. Depresi jalan nafas lebih besar dibandingkan pentothal. Efek anti emetik positif. Mekanisme kerja diduga

 

menghasilkan efek sedatif hipnotik melalui interaksi dengan GABA ( gamma-aminobutyric  gamma-aminobutyric acid ), ), neurotransmitter inhibitori utama pada SSP. Propofol menyebabkan penurunan resistensi vaskuler sistemik dan juga tekanan darah. Relaksasi otot polos disebabkan oleh inhibisi simpatik. Efek

negative inotropik disebabkan inhibisi uptake kalsium intraseluler.

Tergantung dosis, propofol dapat menyebabkan depresi nafas dan apnoe sementara pada beberapa pasien setelah induksi IV. Pemberian opioid  preoperatif dapat meningkatkan depresi nafas. Dapat menurunkan volume tidal dan frekuensi nafas serta dilatasi bronkus. Efek pada SSP dapat menurunkan metabolisme O2 di otak, aliran darah serebral, dan TIK. Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesi intra  

vena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0,2 mg/kg. Pengenceran propofol hanya boleh dengan dekstrose 5%. Pada manula dosis harus dikurangi, pada anak < 3 tahun dan pada wanita hamil tidak dianjurkan.

 b.  Opioid: Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) untuk induksi diberikan dosis tinggi. Opioid tidak mengganggu kardiovaskular, sehingga  banyak digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan jantung. Untuk anestesia opioid digunakan fentanil dosis induksi 20-50 mg/kg dilanjutkan dengan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit. 2.2.5 Rumatan Anestesia

Rumatan anestesi adalah menjaga tingkat kedalaman anestesi dengan cara mengatur konsentrasi obat anestesi di dalam tubuh pasien. Jika konsentrasi obat tinggi maka akan dihasilkan anestesi yang dalam, sebaliknya jika konsentrasi obat rendah, maka akan didapat anestesi yang dangkal. Anestesi yang ideal adalah anestesi yang adekuat. Untuk itu diperlukan pemantauan secara ketat terhadap indikator-indikator kedalaman anestesi. Rumatan anesthesia (maintenance (maintenance)) dapat dikerjakan dengan cara intravena (anesthesia intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan anesthesia biasanya mengacu pada trias anesthesia yaitu tidur ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup.

 

Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-50 ug/kgBB. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anesthesia total intravena menggunakan opioid, pelumpuh otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan O2 atau  N20+O2. Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4 vol% atau isofluran 2-4 vol% atau sovofluran 2-4 vol% bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu (assisted ) atau dikendalikan (controlled  (controlled ))..

2.2.6 Prosedur Anestesi Umum  a. Persiapan pra anestesi umum

Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan baik elektif maupun darurat harus dipersiapkan dengan baik karena keberhasilan anestesi dan  pembedahan sangat dipengaruhi oleh persiapan pra anestesi. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif umumnya dilakukan 1-2 hari sebelumnya, sedangkan  pada bedah darurat waktu yang tersedia lebih singkat. Tujuan kunjungan pra anestesi:

-  Mempersiapkan mental dan fisik pasien secara optimal dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, dan pemeriksaan lain.

-  Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai keadaan fisik dan kehendak pasien. Dengan demikian, komplikasi yang mungkin terjadi dapat ditekan seminimal mungkin.

-  Menentukan klasifikasi yang sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik, dalam hal ini dipakai klasifikasi ASA ( American  American Society of Anesthesiology) Anesthesiology) sebagai gambaran prognosis pasien secara umum. b. Persiapan pasien Anamnesis

Anamnesis dapat diperoleh dari pasien sendiri (autoanamnesis) atau melalui keluarga pasien (alloanamnesis). Dengan cara ini kita dapat mengadakan

 

 pendekatan psikologis serta berkenalan dengan pasien. Yang harus diperhatikan  pada anamnesis:

-  Identifikasi pasien, missal: nama, umur, alamat, pekerjaan, dll. -  Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang mungkin dapat menjadi penyulit dalam anestesi, antara lain: penyakit alergi, diabetes mellitus,  penyakit paru-paru kronik (asma bronchial, pneumonia, bronchitis), penyakit  jantung dan hipertensi (infark miokard, angina pectoris, dekompensasi kordis),  penyakit hati, dan penyakit ginjal.

-  Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin menimbulkan interaksi dengan obat-obat anestetik. Misalnya kortikosteroid, obat

antihipertensi,

obat-obat

antidiabetik,

antibiotika

golongan

aminoglikosida, obat penyakit jantung seperti digitalis, diuretika, obat anti alergi, tranquilizer, monoamino oxidase inhibitor, bronkodilator.



Riwayat operasi dan anestesi yang pernah dialami diwaktu yang lalu, berapa kali, dan selang waktunya. Apakah pasien mengalami komplikasi saat itu seperti kesulitan pulih sadar, perawatan intensif pasca bedah.

-  Kebiasaan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi jalannya anestesi seperti: merokok dan alkohol. Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan  buka mulut, lidah relative besar sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan. Pemeriksaan laboratorium

Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan  penyakit yang sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang mengharuskan uji laboratorium secara rutin walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor, misalnya pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa  pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien > 40 tahun anjuran pemeriksaan pemeriksaan EKG dan foto toraks.

Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik,

dan dan

 

 pemeriksaan laboratorium, dibuat rencana obat dan teknik anestesi yang akan digunakan. a.  Masukan oral

Refleks laring mengalami penurunan selama anesthesia. Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama  pada pasien-pasien yang menjalani anesthesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesia. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6  jam dan pada bayi ba yi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anesthesia. Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat, air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anesthesia. 

 

b.

Klasifikasi status fisik Berdasarkan status fisik pasien pra anestesi, ASA (TheAmerican ( TheAmerican Society of

 Anesthesiologists)) membuat klasifikasi yang membagi pasien kedalam 5  Anesthesiologists kelompok atau kategori sebagai berikut:

  ASA I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.



  ASA II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.



  ASA III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin



terbatas.

  ASA IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktivitas



rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.   ASA V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan



hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam. c.  Klasifikasi Mallapati

Kesulitan memasukkan pipa trakea berhubungan dengan variasi anatomi yang dijumpai. Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut terbuka masimal dan lidah dijulurkan maksimal menurut Mallampati dibagi menjadi empat kelas. Sedangkan menurut Cormack dan Lehanne kesulitan intubasi juga dibagi menjadi 4 gradasi.

 

  Gambar Mallampati Classification and Cormack-Lehanne Classification

d.  Premedikasi

Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya -Meredakan kecemasan dan ketakutan -Memperlancar induksi anesthesia -Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus -Meminimalkan jumlah obat anestetik -Mengurangi mual muntah pasca bedah -Menciptakan amnesia -Mengurangi isi cairan lambung -Mengurangi refleks yang membahayakan   Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seorang dihadapkan pada situasi yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat membangun kepercayaan dan menenteramkan pasien. Obat pereda kecemasan bisa digunakan diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam sebelum induksi anestesia. Jika disertai nyeri karena penyakitnya, dapat diberikan opioid misalnya petidin 50 mg intramuskular. Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis asam. Untuk meminimalkan kejadian diatas dapat diberikan antagonis reseptor H2

 

histamin misalnya oral simetidin 600 mg atau oral ranitidin (zantac) 150 mg 1-2  jam sebelum jadwal operasi. Untuk mengurangi mual muntah pasca bedah sering ditambahkan  premedikasi suntikan intramuscular untuk dewasa ondansentron 2-4 mg (zofran, narfoz). e.  Persiapan peralatan anestesi Tindakan anestesi yang aman tidak terlepas dari kelengkapan peralatan anestesi yang baik. Baik tidak berarti harus canggih dan mahal, tetapi lebih berarti  berfungsi, sesuai dengan tujuan kita memberi anesthesia yang lancer dan aman. Untuk persiapan anestesi sebaiknya kita ingat kata STATICS : 

  Scope : 

Laringoscope dan Stetoscope 

  Tubes : 

Pipa trakea yang dipilih sesuai usia  

  Airway : 

Orotracheal airway, untuk menahan lidah pasien saat







 pasien tidak sadar, untuk menjaga agar lidah tidak menutup jalan nafas. 

  Tape : 

Plaster untuk memfiksasi orotracheal airway. 

  Introducer: 

Mandrain atau stilet dari kawat untuk memandu agar pipa





trakea mudah untuk dimasukkan 

  Conector : 

Penyambung antara pipa dan alat anesthesia  

  Suction : 

Penyedot lendir. 





f. Teknik Anestesi Umum

1. Sungkup Muka (Face Mask) dengan napas spontan Indikasi :

  Tindakan singkat ( ½ - 1 jam)



  Keadaan umum baik (ASA I  –  II)  II)



  Lambung harus kosong



Prosedur :

  Siapkan peralatan dan kelengkapan obat anestetik



  Pasang infuse (untuk memasukan obat anestesi)



 

  Premedikasi + / - (apabila pasien tidak tenang bisa diberikan obat



 penenang) efek sedasi/anti-anxiety sedasi/anti-anxiet y :benzodiazepine; analgesia: opioid, non opioid, dll

  Induksi





  Pemeliharaan

2.  Intubasi Endotrakeal dengan napas spontan Intubasi endotrakea adalah memasukkan pipa (tube) endotrakea (ET= endotrakeal tube) kedalam trakea via oral atau nasal. Indikasi:

  Operasi lama



  Sulit mempertahankan airway (operasi di bagian leher dan kepala)



Prosedur :

  Sama dengan diatas, hanya ada tambahan obat (pelumpuh otot/suksinil



dgn durasi singkat)

  Intubasi setelah induksi dan suksinil   Pemeliharaan





3.  Intubasi Endotrakeal dengan napas kendali (kontrol) Pasien sengaja dilumpuhkan/benar2 tidak bisa bernafas dan pasien dikontrol pernafasanya dengan kita memberikan ventilasi 12 - 20 x permenit. Setelah operasi selesai pasien dipancing dan akhirnya bisa nafas spontan kemudian kita akhiri efek anestesinya. Indikasi:

  Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun; kelainan anatomi, bedah



khusus, bedah posisi khusus, pembersihan secret jalan napas, dan lainnya.

  Mempermudah



ventilasi

positif

dan

oksigenasi;

saat

resusitasi,

memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien, ventilasi jangka  panjang.

  Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi.



g. Pemantauan dan Pencatatan

Selama operasi, pemantauan ditujukan untuk menjaga keselamatan pasien. Semua perubahan selama anestesi dicatat dalam rekam medis anestesi. Tandatanda vital dicatat dalam interval waktu tertentu, demikian juga obat-obat yang digunakan, dosis, waktu pemberian. Jumlah dan jenis cairan yang diberikan juga

 

dicatat. Transfusi produk darah, jika ada dicatat jenis dan jumlahnya. Produksi urin pun diamati dan dicatat. 2.2.7 Mempertahankan Anestesi Anestesi Dan Pengakhiran Anestesi

I. Mempertahankan Anestesi 

 



Pemantauan yang minimal harus dilakukan selama operasi: EKG,  pengukuran tekanan darah yang tidak invasive, oksimetri nadi, kapnometri, gas napas, pengukuran gas anestesi. 

  Pertahankan anestesi sehingga tercapai keseimbangan anestesi, dengan



opioid (misalnya, remifentanil 0,2-0,3 ug/kg/menit) dan gas anestesi (misalnya 0,5 MAC Desfluran) atau sebagai anestesi intravena total (TIVA) dengan opioid dan propofol. 

  Segera rencanakan terapi nyeri pasca-operasi, bila perlu, pemberian



analgetik non-steroid (misalnya 30 mg/kg metamizol) dan pemberian  

opioid kerja lama (misalnya 0,1 mg/kg piritramid).   Tanda-tanda klinis untuk kedalaman anestesi yang tidak memadai :  



1.  Peningkatan tekanan darah. 2.  Peningkatan frekuensi denyut jantung. 3.  Pasien mengunyah/menelan dan menyeringai. 4.  Terdapat pergerakan. 5.  Berkeringat. II. Pengakhiran Anestesia

  Pengakhiran pemberian anesthesia dilakukan sesaat sebelum operasi



 berakhir (pada penggunaan remifentanil, anestesi baru diakhiri setelah kulit dijahit).

  FiO2 100% dipasang selama beberapa menit sebelum rencana ekstubasi.



  Penyedotan secret yang terkumpul di dalam mulut dan faring.



  Ekstubasi, bila pernapasan spontan mencukupi dan reflex perlindungan



telah kembali (antagonisasi dari relaksasi otot).

  Pasien yang stabil secara hemodinamik dan respiratorik diletakkan di



dalam ruangan pasca-bedah. 2.3 Anestesia untuk Pembedahan Ginjal a.  Intra Operatif

 

 

Anestesi umum biasanya digunakan untuk operasi ginjal terbuka

atau laparoskopi. Karena posisi pasien dan peningkatan tekanan intraabdominal yang terkait dengan operasi laparoskopi, intubasi endotrakeal dianjurkan. Induksi anestesi mungkin dengan agen intravena atau inhalasi, dan induksi cepat harus dilakukan pada mereka yang memiliki neuropati otonom. Pemeliharaan harus dengan agen inhalasi, sebaiknya halotan, isofluran

atau

desfluran.

Atracurium

adalah

relaksan

otot non-

depolarisasi pilihan pada mereka dengan gangguan fungsi ginjal. Akses intravena dengan ukuran aboccath besar adalah wajib karena risiko  perdarahan. b.  Obat-obat Anestesi Premedikasi

1.  Obat-obat anastesi inhalasi: Semua obat anestesi inhalasi mengalami  biotransformasi sampai taraf tertentu, dengan sebagian besar metabolisme produk non volatil dieksresi oleh ginjal. Akan tetapi, efek reversibel terhadap sistem syaraf pusat dari obat-obatan inhalasi ini tergantung pada eksresi paru, sehingga kegagalan fungsi ginjal tidak

akan

mempengaruhi

respon

terhadap

obat

tersebut.

Methoxyfluran kontra indikasi terhadap pasien dengan penyakit ginjal karena biotransformasinya menjadi nephrotoksik,

yaitu

florida

inorganik dan asam oksalik. Enfluran juga mengalami biotransformasi menjadi florida inorganik tetapi kadar setelah 2-4 jam anastesi hanya 19 mM pada pasien dengan penyakit ginjal ringan sampai dengan sedang, secara signifikasn nilainya lebih rendah dari ambang nephrotoksis yaitu 50 mM, sehingga dengan kadar ini florida tidak menyebabkan gangguan ginjal lebih lanjut. Kadar flurida dari isoflurana adalah 3-5 mM dan hanya 1 sampai 2 mM setelah halotan, sehingga obat-obat tersebut tidak potensial nephrotoksis. Desfluran dan sevofluran, berbeda dalam stabilitas molekular dan  biotransformasinya. Desfluran sangat stabil dan tahan terhadap degradasi soda lime dan hepar. Eksresi dari florida organik dan inorganik minimal. Konsentrasi rata-rata setelah pemberian 1.0 MAC

 

(minimum alveolar concentration)/ jam desflurane adalah kurang dari 1 mmol/L. Paparan lama desflurane berkaitan dengan fungsi ginjal normal. Sevoflurane,

sangat

tidak

stabil.

Soda

lime

menyebabkan

dekomposisi. Biotranformasinya oleh hepar sama seperti enfluran. Terdapat laporan konsentrasi inorganik plasma mencapai kadar nephrotoksik (50 mmol/L) setelah dipapar dengan inhalasi sevofluran. Akan tetapi, tidak ada bukti terjadi perubahan pada fungsi ginjal manusia. 2. Obat-obat anastesi intraven i ntravena a

Propofol mengalami biotransformasi cepat di hepar menjadi bentuk inaktif yang dieksresi oleh ginjal. Farmakokinetik tampaknya tidak mengalami perubahan pada pasien dengan gagal ginjal. Induksi standar dengan propofol aman untuk gagal ginjal. Kelompok  benzodiazepin terikat kuat dengan protein. Gagal ginjal kronik meningkatkan fraksi bebas benzodiazepin dalam plasma, berpotensi meningkatkan efek klinik. Metabolit benzodiazepin tertuntu secara farmakologik aktif dan potensial diakumulasi dengan pemberian dosis ulangan obat induk pada pasien anephrik. Sebagai contoh 60-80% midazolam dieksresi dalam bentuk aktif metabolit hydroxy, yang dapat terakumulasi selama pemberian lama infus midazolam pada gagal ginjal. Pemeliharaan Obat anastesi inhalasi lebih dipilih untuk pemeliharaan anastesi sebab

eksresinya melalui sistem respirasi, adanya gangguan fungsi ginjal tidak akan mengubah obat tersebut. Isoflouran, halotan dan terutama desfularan dimetabolisme dihepar sehingga tidak mempunyai efek nephrotoksis. 2.3.1 Posisi

Posisi pasien dalam operasi ginjal khususnya extended pyelolithotomy umumnya adalah posisi lumbotomy (flank). Dilakukan dengan posisi pasien fleksi lateral dengan sisi yang dilibatkan terletak diatas, kepala dan kaki diposisikan lebih

 

rendah sementara regio lumbal yang akan dibedah lebih tinggi (Gambar). Posisi lumbotomy ini akan mempermudah operator dalam melakukan tindakan  pembedahan (extended (extended pyelolithotomi). pyelolithotomi).

Gambar 4.3 Posisi Lumbotomy

Gambar Posisi ginjal dengan kidney rest dibagian bawah krista iliaka untuk meminimalkan interferensi pada pergerakan diafragma bagian  bawah. Kidney rest, penghalang meja yang yang dielevasikan, digunakan untuk semakin memisahkan krista iliaka dari tepi lateral kosta.

Posisi lateral dapat ditoleransi dengan baik oleh sebagian besar pasien dan memiliki efek yang minimal pada tubuh. Beberapa penelitian menggambarkan efek hemodinamik pada perubahan posisi dari supine dari supine ke  ke posisi lateral. Perubahan akan lebih sering pada posisi lateral yang lebih dari biasanya dengan posisi rest kidney,, dimana vena cava inferior dapat memampat (kinking), terutama di posisi kidney lateral kanan, selain itu posisi kepala dan kaki yang lebih rendah (gravitasi) akan menyebabkan penurunan aliran balik vena (venous ( venous return)  return)  dan curah jantung (cardiac output). output). Perambahan hati pada vena kava dan pergeseran mediastinum dapat menurunkan aliran balik vena lebih lanjut.   Venous return dipengaruhi oleh; kontraksi otot, penurunan venous compliance, aktivitas respirasi, kompresi vena

 

cava, dan gravitasi. Ini menjelaskan mengapa posisi lumbotomy berisiko untuk

hipotensi. Posisi lumbotomy memiliki efek mendalam pada sistem pernapasan. Seperti semua posisi yang lain, hubungan posisi secara mekanik dengan terbatasnya gerakan dada sehingga membatasi pengembangan paru dan menyebabkan berkurangnya volume paru. Ventilasi paru menurun sementara  perfusi meningkat mengakibatkan ketidakcocokkan antara ventilasi dan perfusi yang besar. Terdapat juga penurunan pada komplians thoracic, volume tidal, kapasitas vital dan kapasitas residual fungsional. Masalah-masalah ini dapat diperburuk oleh penyakit pernapasan yang sudah ada sebelumnya. Kesulitan dengan saturasi oksigen arteri yang rendah selama operasi dapat diatasi dengan meningkatkan fraksi oksigen inspirasi, atau menerapkan sejumlah kecil  positive end expiratory pressure (PEEP). 2.3.2 Monitoring Pemantauan rutin parameter kardiovaskular dan pernapasan sangat penting

karena risiko dari masalah yang terjadi karena posisi pasien. Pemantauan invasif tekanan darah dan tekanan vena sentral dapat digunakan. Keputusan ini tergantung pada kondisi pra-operasi pasien dan risiko operasi. Pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir dapat mengambil manfaat dari  pemantauan tekanan vena sentral untuk memandu kebutuhan cairan. Namun, akses vena sentral mungkin sulit pada mereka yang sebelumnya pernah dimasukkan jalur hemodialisis ke dalam pembuluh darah leher. Panduan USG harus digunakan pada pasien ini jika tersedia. Eksisi massa mass a ginjal yang besar dapat mengakibatkan perdarahan major dan penggunaan pemantauan invasif dianjurkan. Operasi ginjal mungkin memakan waktu beberapa jam dan suhu pasien harus diperhatikan 2.3.3 Keseimbangan Cairan

Pada pemeliharaan cairan selama operasi, kehilangan cairan karena  penguapan, pembukaan abdomen (10-30 mL/ m L/ kg/ jam) harus diperhitugkan, dapat terjadi kehilangan darah, dan perdarahan dapat juga terjadi sehingga kebutuhan cairan selama operasi menjadi tinggi. Kristaloid dipakai untuk pemeliharaan.

 

Cairan yang mengandung potasium dihindari pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Koloid dan PRC diberikan bila terjadi perdarahan. Produk darah lainnya seperti fresh frozen plasma, cryopresipitat dan  platelet dapat diperlukan pada kehilangan darah yang massif. Keluaran urin dapat menurun selama pembedahan, parameter ini dapat dipakai untuk menilai  penggantian cairan. Keluaran urin post operasi sekitar 0,5-1 ml/ kgBB/ Jam pada fungsi ginjal normal. 2.3.4 Analgetik Post-operatif Post-operatif

Operasi terbuka berhubungan dengan nyeri yang signifikan sesudah operasi. Fentanyl merupakan obat yang cocok untuk pasien dengan gagal ginjal dimana fentanyl dimetabolisme di hepar. Morfin dapat dipakai dengan hati-hati,  pengurangan pada dosis dan interval waktu diantara dua dosis harus dibuat pada  pasien dengan gangguan fungsi ginjal (biasanya 0,5 mg bolus dengan interval waktu 10 menit). Pada semua pasien pendekatan multi analgesi dapat dipakai. Sayangnya penggunaan obat analgesik anti inflamasi non steroid kontra indikasi relatif karena memiliki efek nephretoksik

KESIMPULAN

1.  Pasien Tn. A dengan Batu Renal Dextra dilakukan tindakan Extended Pyelolithotomy pada tanggal 28 Mei 2018 dengan menggunakan teknik general anestesi 2.  Tahapan

preoperative

diantaranya

adalah

memeriksa

pasien

untuk

memastikan kelayakan pasien apakah dapat dilakukan operasi atau tidak,

 

 puasa, dan dapat dilakukan premedikasi. Pada kasus ini, pasien diinstruksikan untuk puasa selama 6 jam. 3.  Tahapan intraoperatif diantaranya adalah pemberian induksi dan juga  pemasangan ET.

 

4.

Tahapan postoperative dilakukan dengan melakukan menajemen nyeri dan keseimbangan cairan. Diantaranya dengan pemberian infus paracetamol, analgesik, kristaloid, dan antibiotik.

DAFTAR PUSTAKA

1.  Muhiman M, Thaib MR, Sunatrio S. Anestesiologi. Edisi pertama. Jakarta. Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI; 2002. p.34-98. 2.  Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Fisiologi Ginjal. Petunjuk Praktis nd

Anestesiologi. 2  Ed. Jakarta: FKUI; 2009. 2009. p. 21.

 

3.  GE Morgan, MS Mikail. Anesthesia for Patien with Renal Disease,. Clinical Anesthesiology. Lange Medical Books / Mc Graw-Hill, 4th ed.  New York; 2006. p: p: 742-754 4.  Kohl JL. Anesthesia for Patient with Renal Failure. Available at: http://www.aana.com/newsandjournal/Documents/renal_failure_1085_p43 1.pdf. Accessed 1.pdf.  Accessed on June 14th, 2018. 5.  Rang ST, West NL, Howard J, Cousins J. Anaesthesia for Chronic Renal Disease

and

Renal

Transplantation.

EAU-EBU

2006.

doi:10.1006/j.eeus.2006.08.005. 6.  Roizen MF, Foss JF, Fischer SP. Preoperative evaluation. In: Miller RD,

editor. Anesthesia. 5th

Edition.

Philadelphia:

Churchill-

Livingstone; 2000. 7.  Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simandibrata M, Setiati S, Editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th Ed. Jakarta: InternaPublishing; 2010. p. 1035-40. 8.  Sherwood L. Sistem Kemih. In: Yesdelita N, editor. Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem. 6th Ed. Jakarta: EGC; 2011. p. 554.

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF