Mini Cex Anestesi 2
July 20, 2022 | Author: Anonymous | Category: N/A
Short Description
Download Mini Cex Anestesi 2...
Description
MINI CLINICAL EXAMINATION Tn. U Usia 83 tahun Laparatomi Eksplorasi, Colostomy/ General Anestesi Atas Indikasi Ileus Obstruktif susp. Ca Sigmoid
Pembimbing:
dr. Aunun Rofiq, Sp.An
Disusun Oleh:
Putra Achsanal H
G4A017027
BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JENDRAL SOEDIRMAN PURWOKERTO 2019
LEMBAR PENGESAHAN MINI CLINICAL EXAMINATION
Tn. U Usia 83 tahun Laparatomi Eksplorasi/ General Anestesi Atas Indikasi Ileus Obstruktif susp. Ca Sigmoid Disusun oleh: Putra Achsanal H
G4A017027
Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik di bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto
Telah disetujui, Pada tanggal,
April 2019
Mengetahui, Dokter Pembimbing
dr. Aunun Rofiq, Sp.An
ii
BAB I LAPORAN KASUS
1.1 Identitas
1. Nama
: Tn. U
2. No. CM
: 003057436
3. Umur
: 83 tahun
4. Pendidikan Terakhir
: SD
5. Pekerjaan
: Petani
6. Alamat
: Krajan Wetan RT 01/RW 01 Tlogosongo
7. DPJP
: dr. Indrasto. H, SpB-KBD FINACS
8. DPJP Anestesi
: dr. Aunun Rofiq, Sp.An
9. Tanggal Masuk RSMS : 11 Mei 2019 10. Tanggal Operasi
: 12 Mei 2019
11. Tanggal keluar RSMS : 15 Mei 2019 12. Pro
: Laparatomi Eksplorasi/General Anestesi
13. Diagnosis
: Ileus Obstruktif susp. Ca sigmoid sigmoid
1.2 Anamnesis 1.2.1 RPS
Pasien datang dengan keluhan nyeri perut sejak 1 minggu yang lalu. Nyeri perut dirasa semakin memberat ketika pasien beraktivitas dan makan dan berkurang ketika pasien beristirahat dan BAB. Pasien juga mengeluhkan mual dan mutah setiap kali pasien makan. Muntah berupa makanan yang dimakan bercampur lendir. le ndir. Selain Selai n itu it u pasien pasi en mengeluhkan perut pasien pasie n terasa te rasa penuh dan dan tegang. Pasien mengalami kesulitan dalam BAB ejak 1 minggu yang lalu. BAB pasien cair bercampur dengan lendir darah. Menurut keluarga pasien, pasien pernah didiagnosa terkena kanker usus 1 tahun yang yang lalu.
1
1.2.2 RPD
a. Riwayat Hipertensi
: (+)
b. Riwayat Trauma
: (-)
c. Riwayat DM
: (-)
d. Riwayat Gangguan Ginjal
: (-)
e. Riwayat operasi f. Riwayat alergi
: (-) : (-)
g. Riwayat asma
: (-)
h. Riwayat merokok
: (+)
1.2.3 RPK
a. Riwayat Hipertensi
: (-)
b. Riwayat Trauma
: (-)
c. Riwayat DM
: (-)
d. Riwayat Gangguan Ginjal : (-) e. Riwayat asma : (-) 1.2 Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum
: Lemas
2. Kesadaran
: Compos mentis, GCS : E4V5M6
3. Tanda Vital a. TD
: 120/80 mmHg
b. Nadi
: 100 x/menit reguler, isi tekanan cukup cukup
c. RR d. Suhu
: 20 x/menit : 36, oC
4. Pemeriksaan Antropometri a. BB
: 55 kg
b. TB
: 168 cm
c. Indeks Massa Tubuh
: 19,6 kg/m2 (normoweight)
5. Airway Clear (+), gisu (-), giyang (+), gitang (+), mallampati II, TMD 7 jari, dan massa jalan napas (-) (-) 6. Status generalis
: 2
a. Kepala
: Mesocephal (+) , trauma (-)
b. Mata
: CA (-/-), SI -/-, RC +/+, pupil 3mm/3mm, proptosis (-/-)
c. Hidung
: NCH -/-, bloody rinorea (-/-)
d. Mulut
: sianosis (-), mukosa basah
e. Telinga f. Leher
: discharge -/-, bloody othorhea (-/-) : Pembesaran KGB (-), massa leher (-)
g. Thorax
: simetris (+), retraksi (-), pola pernafasan thorakal
h. Paru
: sonor pada kedua lapang paru, vocal fremitus dextra = vocal fremitus sinistra, SD vesikuler (+/+), RBK (-/-), RBH (-/-), Wheezing (-/-)
i. Cor
: S1>S2, regular, murmur (-), gallop ( – – )
j. Abdomen
: Cebung, Keras, BU (+) menurun, timpani (+), nyeri
tekan (+) regio hpogastric k. Ekstremitas
: Akral hangat (+/+/+/+), edema (-/-/-/-), CRT S2, murmur (-), Gallop (-) Abdomen : datar, supel, timpani, BU normal, nyeri tekan (-),Colostomy (+) Ekstremitas : akral hangat (+/+/+/+), edema (-/-/-/-)
10
Rabu, 15 mei S : HP 3 2019 Nyeri Perut (-), Mual (-), Muntah (-), Flatus (+), Bangsal : BAK (+), BAB (+) Kenanga colotomy, Nafsu makan membaik O : KU baik TD 130/80 mmHg Nadi 90x/menit RR 20x/menit T 36,5 oC Kepala : mesocephal, Hidung : Discharge (-) Mata : CA (-/-), SI (-/-), RC (+/+), pupil bulat isokor 3mm/3mm
Ileus obstruktif IVFD RL 20 tpm post laparatomi Inj. Ceftriakson eksplorasi, 2x1 Gr colostomy Inj. Metronidazole 3x50mg Inj Ranitidin 2x50mg BLPL Obat ganti oral: Cefixim 2x1 Ranitidine 2x1 Asam Mefenamat 3x1
Leher : deviasi trakea (-) Paru : simetris (+), sonor pada kedua lapang paru, SD vesikuler (+/+), RBK (/-), RBH (-/-), Wheezing (/-) Cor : S1>S2, murmur (-), Gallop (-) Abdomen : datar, supel, timpani, BU normal, nyeri tekan (-),Colostomy (+) Ekstremitas : akral hangat (+/+/+/+), edema (-/-/-/-)
11
BAB II PEMBAHASAN A.
Ileus Obstruksi
I.
Definisi
Ileus adalah gangguan pasase isi usus yang merupakan tanda adanya obstruksi usus akut yang segera memerlukan pertolongan atau tindakan. Ileus Obstruktif adalah kerusakan atau hilangnya pasase isi usus yang yang disebabkan oleh sumbatan mekanik sehingga isi lumen saluran cerna tidak bisa disalurkan ke distal atau anus karena ada sumbatan/hambatan yang disebabkan kelainan dalam lumen usus, dinding usus atau luar usus yang menekan atau kelainan vaskularisasi pada suatu segmen usus yang menyebabkan nekrose segmen usus tersebut (Sjamsuhidajat, 2003). Berdasarkan proses terjadinya ileus obstruksi dibedakan menjadi ileus obstruksi mekanik dan non mekanik. Ileus obstruksi mekanik terjadi karena penyumbatan fisik langsung yang bisa disebabkan karena adanya tumor atau hernia sedangkan ileus obstruksi non mekanik terjadi karena penghentian gerakan peristaltic (Manaf , 2010).
II.
Epidemiologi
Obstruksi usus halus menempati sekitar 20% dari seluruh pembedahan darurat, dan mortalitas dan morbiditas sangat bergantung pada pengenalan awal dan diagnosis yang tepat. Apabila tidak diatasi maka obstruksi usus halus dapat menyebabkan kematian pada 100% pasien (Manaf. ( Manaf. 2010). Hampir seluruh obstruksi pada usus besar atau kolon memerlukan intervensi pembedahan. Mortalitas dan morbiditas sangat berhubungan dengan penyakit yang mendasari dan prosedur pembedahan yang digunakan. Obstruksi kolon kolon sering terjadi pada usia usia lanjut
karena tingginya tingginya insiden
neoplasma dan penyakit lainnya pada populasi ini. Pada neonatus, obstruksi kolon bisa disebabkan karena adanya kelainan anatomi seperti anus imperforata yang secara sekunder dapat menyebabkan mekonium ileus (Sloane, 2003).
12
III.
Etiologi
Obstruksi usus halus dapat disebabkan oleh : a. Perlekatan usus atau adhesi, dimana pita fibrosis dari jaringan ikat menjepit usus. b. Jaringan parut karena ulkus, pembedahan terdahulu atau penyakit Crohn. c. Hernia inkarserata, usus terjepit di dalam pintu hernia d. Neoplasma. e. Intususepsi. f.
Volvulus.
g. Benda asing, kumpulan cacing askaris h. Batu empedu yang masuk ke usus melalui fistula kolesisenterik. i.
Penyakit radang usus, striktur, fibrokistik dan hematoma (Mansjoer, 2000). Kira-kira 15% obstruksi usus terjadi di usus besar. Obstruksi dapat
terjadi di setiap bagian kolon tetapi paling sering di sigmoid. Penyebabnya adalah : a. Karsinoma. b. Volvulus. c. Kelainan divertikular (Divertikulum Meckel), Penyakit Hirschsprung d. Inflamasi. e. Tumor jinak. f. Impaksi fekal (Mansjoer, 2000).
IV.
Anatomi 1. Duodenum
Duodenum atau juga disebut dengan usus 12 jari merupakan usus yang berbentuk seperti huruf C yang menghubungkan antara gaster dengan jejunum. Duodenum melengkung di sekitar caput pancreas. Duodenum merupakan bagian terminal/muara dari system apparatus biliaris dari hepar biliaris hepar maupun dari dari pancreas. Selain itu duodenum juga merupakan batas akhir dari saluran cerna atas. Dimana saluran cerna dipisahkan menjadi saluran cerna atas dan bawah oleh adanya 13
ligamentum Treitz (m. (m. suspensorium duodeni) duodeni) yang terletak
pada
flexura duodenojejunales yang merupakan batas antara duodenum dan jejunum. Di dalam lumen duodenum terdapat lekukan-lekukan kecil yg disebut dengan plica sircularis. sircularis. Duodenum terletak di cavum abdomen pada regio epigastrium dan umbilikalis. Duodenum memiliki penggantung yg disebut dengan mesoduodenum. Duodenum terdiri atas beberapa bagian yaitu: a) Duodenum pars Superior b) Duodenum pars Descendens c) Duodenum pars Horizontal d) Duodenum pars Ascendens (Scanlon, 2007).
Gambar 1. Anatomi Usus Halus
2. Jejunum dan Ileum Jejunum dan ileum juga sering disebut dengan usus halus/usus penyerapan
membentang dari flexura duodenojejunales duodenojejunales sampai ke
juncture ileocacaecalis. ileocacaecalis. Jejunum dan ileum ini merupakan organ intraperitoneal. Jejunum dan ileum memiliki penggantung yang disebut dengan
mesenterium yang memiliki proyeksi proyeksi ke dinding posterior
abdomen dan disebut dengan radix mesenterii. Pada bagian akhir dari ileum akan terdapat sebuah katup yang disebut dengan valvulla ileocaecal (valvulla (valvulla bauhini) bauhini) yang merupakan suatu batas yang 14
memisahkan antara intestinum tenue dengan tenue dengan intestinum crassum. crassum. Selain itu, juga berfungsi untuk mencegah terjadinya refluks fekalit maupun flora normal dalam intestinum crassum crassum kembali ke intestinum tenue, tenue, dan juga untuk mengatur pengeluara zat sisa penyerapan nutrisi. Berikut adalah perbedaan antara jejunum j ejunum dan duodenum (Scanlon, 2007).
Gambar 2. Bagan Perbedaan Jejunum dan Ileum
15
Gambar 3. Perbedaan Jejunum dan Ileum Usus besar besar lebih panjang dan lebih besar diameternya dari pada usus halus. Panjang usus besar mencapai 1,5 m dengan diameter rata-rata 6,5 cm. Semakin mendekati anus diameter semakin mengecil. Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon dan rektum. Pada sekum terdapat katup ileocaecaal dan apendiks yang melekat pada ujung sekum. Sekum menempati sekitar dua atau tiga inci pertama dari usus besar. Katup ileocaecaal mengontrol aliran kimus dari ileum ke sekum (Sherwood, 2001). Kolon dibagi lagi menjadi kolon asendens, transversum, desendens, dan sigmoid. Kolon ascendens berjalan ke atas dari sekum ke permukaan inferior lobus kanan hati, menduduki regio iliaca dextra. Setelah mencapai hati, kolon ascendens membelok ke kiri, membentuk fleksura koli dekstra (fleksura hepatik). Kolon transversum menyilang abdomen pada regio umbilikalis dari fleksura koli dekstra sampai fleksura koli sinistra. Kolon transversum, waktu mencapai daerah limpa, membengkok ke bawah, membentuk fleksura koli sinistra (fleksura lienalis) untuk kemudian menjadi kolon descendens. Kolon sigmoid mulai pada pintu atas panggul. Kolon sigmoid merupakan lanjutan kolon descendens. Ia tergantung ke bawah dalam rongga pelvis dalam bentuk lengkungan. Kolon sigmoid bersatu dengan rektum di depan sakrum. Rektum menduduki bagian posterior rongga pelvis. 16
Rektum ke atas dilanjutkan oleh kolon sigmoid dan berjalan turun di depan sekum, meninggalkan pelvis dengan menembus dasar pelvis. Di sisi rektum melanjutkan diri sebagai anus dalan perineum (Scanlon, 2007).
V.
Fisiologi Pada duodenum pars superior secara histologis terdapat adanya sel
liberkeuhn yang berfungsi untuk memproduksi sejumlah basa. Basa ini berfungsi untuk menaikkan pH dari chymus yang masuk ke duodenum dari gaster, sehingga permukaan duodenum tidak teriritasi dengan adanya chymus yang asam tadi (Sherwood, ( Sherwood, 2001). Selain itu, pada duodenum terjadi proses pencernaan karbohidrat secara enzymatic yang telah berbentuk disakarida. Duodenum merupakan muara dari ductus pancreaticus, dimana pada pancreas diproduksi enzyme maltase, lactase dan sukrase. Dimana enzyme maltase akan berfungsi untuk memecah 1 gugus gula maltose menjadi 2 gugus gula glukosa. Sedangkan lactase akan merubah 1 gugus gula laktosa menjadi 1 gugus glukosa dan 1 gugus galaktosa. Sementara itu, enzyme sukrase akan memecah 1 gugus sukrosa menjadi 1 gugus fruktosa dan 1 gugus glukosa (Sherwood, 2001). Sementara itu,di dalam duodenum juga terjadi pencernaan lipid secara enzymatic. Dimana lipid dalam bentuk diasilgliserol akan teremulsi oleh adanya getah empedu yang dialirkan melalui ductus choledocus dari vesica fellea dan choledocus dari fellea dan hepar. Setelah itu, emulsi lemak tersebut akan diubah oleh enzyme lipase pancreas menjadi asam lemak dan 2 diasilgliserol (Sherwood, 2001). Dilihat secara histologik, jejunum dan ileum memiliki vili vhorialis. Dimana vili chorialis ini berfungsi utk menyerap zat2 gizi hasil akhir dr proses pencernaan spt glukosa, fruktosa, galaktosa, peptide, asam lemak dan 2 asilgliserol (Sherwood, 2001).
17
Gambar 4. Traktus Digestifus
VI.
Patofisiologi Pada obstruksi mekanik, usus bagian proksimal mengalami distensi
akibat adanya gas/udara dan air yang berasal dari lambung, usus halus, pankreas, dan sekresi biliary. Cairan yang terperangkap di dalam usus halus ditarik oleh sirkulasi darah dan sebagian ke interstisial, dan banyak yang dimuntahkan keluar sehingga akan memperburuk keadaan pasien akibat
kehilangan
cairan
dan
kekurangan
elektrolit.
Jika
terjadi
hipovolemia mungkin akan berakibat fatal (J.Corwin, (J .Corwin, 2001). Obstruksi yang berlangsung lama mungkin akan mempengaruhi pembuluh darah vena, dan segmen usus yang terpengaruh akan menjadi edema, anoksia dan iskemia pada jaringan yang terlokalisir, nekrosis, perforasi yang akan mengarah ke peritonitis, dan kematian. Septikemia mungkin dapat terjadi pada pasien sebagai akibat dari perkembangbiakan kuman anaerob dan aerob di dalam lumen. Usus yang terletak di bawah obstruksi mungkin akan mengalami kolaps dan kosong (Schrock, 1993).
18
Gambar 5. Gangguan pada usus Secara umum, pada obstruksi tingkat tinggi (obstruksi letak tinggi/obstruksi usus halus), semakin sedikit distensi dan semakin cepat munculnya muntah. Dan sebaliknya, pada pasien dengan obstruksi letak rendah (obstruksi usus besar), distensi setinggi pusat abdomen mungkin dapat dijumpai, dan muntah pada umumnya muncul terakhir sebab diperlukan banyak waktu untuk mengisi semua lumen usus. Kolik abdomen mungkin merupakan tanda khas dari obstruksi distal. Hipotensi dan takikardi merupakan tanda dari kekurangan cairan. Dan lemah serta leukositosis merupakan tanda adanya strangulasi. Pada permulaan, bunyi usus pada umumnya keras, dan frekuensinya meningkat, sebagai usaha untuk mengalahkan obstruksi yang terjadi. Jika abdomen menjadi diam, mungkin menandakan suatu perforasi atau peritonitis dan ini merupakan tanda akhir suatu obstruksi (J.Corwin, ( J.Corwin, 2001). VII.
Klasifikasi
Klasifikasi obstruksi usus berdasarkan: 1. Kecepatan timbul (speed of onset) a. Akut, kronik, kronik dengan serangan akut 2. Letak sumbatan
19
a. Obstruksi tinggi, bila mengenai usus halus (dari gaster sampai ileum terminal) b. Obstruksi rendah, bila mengenai usus besar (dari ileum terminal sampai anus) 3. Sifat sumbatan a. Simple obstruction : sumbatan tanpa disertai gangguan aliran darah b. Strangulated obstruction : sumbatan disertai gangguan aliran darah sehingga timbul nekrosis, gangren dan perforasi 4. Etiologi a. Kelainan dalam lumen, di dalam dinding dan di luar dinding usus (Price, S.A. 1994).
VIII.
Gejala Klinis
Gejala utama dari ileus obstruksi antara lain nyeri kolik abdomen, mual, muntah, perut distensi dan tidak bisa buang air besar (obstipasi). Mual muntah umumnya terjadi pada obstruksi letak tinggi. Bila lokasi obstruksi di bagian distal maka gejala yang dominan adalah nyeri abdomen. Distensi abdomen terjadi bila obstruksi terus berlanjut dan bagian proksimal usus menjadi sangat dilatasi (Sjamsuhidajat, 2003). Obstruksi pada usus halus menimbulkan gejala seperti nyeri perut sekitar umbilikus atau bagian epigastrium. Pada pasien dengan suatu obstruksi sederhana yang tidak melibatkan pembuluh darah, sakit cenderung menjadi kolik yang pada awalnya ringan, tetapi semakin lama semakin meningkat, baik dalam frekuensi atau derajat kesakitannya. Sakit mungkin akan berlanjut atau hilang timbul. Pasien sering berposisi kneechest, atau berguling-guling. Pasien dengan peritonitis cenderung kesakitan apabila bergerak (Mansjoer, 2000). Pasien dengan obstruksi partial bisa mengalami diare. Kadang – kadang dilatasi dari usus dapat diraba. Obstruksi pada kolon biasanya mempunyai gejala klinis yang lebih ringan dibanding obstruksi pada usus halus. Umumnya gejala berupa konstipasi yang berakhir pada obstipasi dan distensi abdomen. Muntah adalah suatu tanda awal pada obstruksi 20
letak tinggi atau proksimal. Bagaimanapun, jika obstruksi berada di distal usus halus, muntah mungkin akan tertunda. Pada awalnya muntah berisi semua yang berasal dari lambung, yang mana segera diikuti oleh cairan empedu, dan akhirnya muntah akan berisi semua isi usus halus yang sudah basi. Muntah jarang terjadi. Pada obstruksi bagian proksimal usus halus biasanya muncul gejala muntah. Nyeri perut bervariasi dan bersifat intermittent atau kolik dengan pola naik turun. Jika obstruksi terletak di bagian tengah atau letak let ak tinggi dari usus halus (jejenum (jej enum dan ileum bagian proksimal) maka nyeri bersifat konstan/menetap. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan abdomen tampak distensi, terdapat darm contour (gambaran usus), dan darm steifung (gambaran gerakan usus), pada auskultasi terdapat hiperperistaltik berlanjut dengan Borborygmus (bunyi usus mengaum) menjadi bunyi metalik (klinken) / metallic sound. Pada tahap lanjut dimana obstruksi terus berlanjut, peristaltik akan melemah dan hilang. Pada palpasi tidak terdapat nyeri tekan, defans muscular (-), kecuali jika ada peritonitis (Himawan, 1996). Pada tahap awal, tanda vital normal. Seiring dengan kehilangan cairan dan elektrolit, maka akan terjadi dehidrasi dengan manifestasi klinis takikardi dan hipotensi postural. Suhu tubuh biasanya normal tetapi kadang – kadang – kadang kadang dapat meningkat. Hipovolemia dan kekurangan elektrolit dapat terjadi dengan cepat kecuali jika pasien mendapat cairan pengganti melalui pembuluh darah (intravena). Derajat tingkat dan distribusi distensi abdominal dapat mencerminkan tingkatan obstruksi. Pada obstruksi letak tinggi, distensi mungkin minimal. Sebaliknya, distensi pusat abdominal cenderung merupakan tanda untuk obstruksi letak rendah (Sjamsuhidajat, 2003). Tidak ada tanda pasti yang membedakan suatu obstruksi dengan strangulasi dari suatu obstruksi sederhana: bagaimanapun, beberapa keadaan klinis tertentu dan gambaran laboratorium dapat mengarahkan kepada tanda-tanda strangulasi (Badash, 2005) a. Obstruksi sederhana
21
Obstruksi usus halus merupakan obstruksi saluran cerna tinggi, artinya disertai dengan pengeluaran banyak cairan dan elektrolit baik di dalam lumen usus bagian oral dari obstruksi, maupun oleh muntah. Gejala penyumbatan usus meliputi nyeri kram pada perut, disertai kembung. Pada obstruksi usus halus proksimal akan timbul gejala muntah yang banyak, yang jarang menjadi muntah fekal walaupun obstruksi berlangsung lama. Nyeri bisa berat dan menetap. Nyeri abdomen sering dirasakan sebagai perasaan tidak enak di perut bagian atas. Semakin distal sumbatan, s umbatan, maka muntah yang dihasilkan semakin fekulen (Himawan, 1996). Tanda vital normal pada tahap awal, namun akan berlanjut dengan dehidrasi akibat kehilangan cairan dan elektrolit. Suhu tubuh bisa normal sampai demam. Distensi abdomen dapat dapat minimal atau tidak ada pada obstruksi proksimal dan semakin jelas pada sumbatan di daerah distal. Bising usus yang meningkat dan “m etallic sound” dapat didengar sesuai dengan timbulnya nyeri pada obstruksi di daerah distal (Andari, 1994). b. Obstruksi disertai proses strangulasi Gejalanya seperti obstruksi sederhana tetapi lebih nyata dan disertai dengan nyeri hebat. Hal yang perlu diperhatikan adalah adanya skar bekas operasi atau hernia. Bila dijumpai tanda-tanda strangulasi berupa nyeri iskemik dimana nyeri yang sangat hebat, menetap dan tidak menyurut, maka dilakukan tindakan operasi segera untuk mencegah terjadinya nekrosis usus (Himawan, 1996). Obstruksi mekanis di kolon timbul perlahan-lahan dengan nyeri akibat sumbatan biasanya terasa di epigastrium. Nyeri yang hebat dan terus menerus menunjukkan adanya iskemia atau peritonitis. Borborygmus dapat keras dan timbul sesuai dengan nyeri. Konstipasi atau obstipasi adalah gambaran umum obstruksi komplit. Muntah lebih sering terjadi pada penyumbatan usus besar. Muntah timbul kemudian dan tidak terjadi bila katup ileosekal mampu mencegah refluks. Bila akibat refluks isi kolon terdorong ke dalam usus halus, 22
akan tampak gangguan pada usus halus. Muntah fekal akan terjadi kemudian. Pada keadaan valvula Bauchini yang paten, terjadi distensi hebat dan sering mengakibatkan perforasi sekum karena tekanannya paling tinggi dan dindingnya yang lebih tipis. Pada pemeriksaan fisis akan menunjukkan distensi abdomen dan timpani, gerakan usus akan tampak pada pasien yang kurus, dan akan terdengar metallic sound pada auskultasi.
Nyeri
yang terlokasi,
dan terabanya massa
menunjukkan adanya strangulasi (Andari, 1994).
IX.
Diagnosis
Pada anamnesis obstruksi tinggi sering dapat ditemukan penyebab misalnya berupa adhesi dalam perut karena pernah dioperasi atau terdapat hernia. Gejala umum berupa syok, oliguri dan gangguan elektrolit. Selanjutnya ditemukan meteorismus dan kelebihan cairan di usus, hiperperistaltis berkala berupa kolik yang disertai mual dan muntah. Kolik tersebut terlihat pada inspeksi perut sebagai gerakan usus atau kejang usus dan pada auskultasi sewaktu serangan kolik, hiperperistaltis kedengaran jelas sebagai bunyi nada tinggi. Penderita tampak gelisah dan menggeliat sewaktu kolik dan setelah satu dua kali defekasi tidak ada lagi flatus atau defekasi. Pemeriksaan dengan meraba dinding perut bertujuan untuk mencari adanya nyeri tumpul dan pembengkakan atau massa yang abnormal (Khan, 2012). Gejala permulaan
pada obstruksi kolon
adalah
perubahan
kebiasaan buang air besar terutama berupa obstipasi dan kembung yang kadang disertai kolik pada perut bagian bawah. Pada inspeksi diperhatikan pembesaran perut yang tidak pada tempatnya misalnya pembesaran setempat karena peristaltis yang hebat sehingga terlihat gelombang usus ataupun kontur usus pada dinding perut. Biasanya distensi terjadi pada sekum dan kolon bagian proksimal karena bagian ini mudah membesar (Mansjoer, 2000). Nilai laboratorium pada awalnya normal, kemudian akan terjadi hemokonsentrasi, leukositosis, dan gangguan elektrolit. Pada pemeriksaan 23
radiologis, dengan posisi tegak, terlentang dan lateral dekubitus menunjukkan gambaran anak tangga dari usus kecil yang mengalami dilatasi dengan air fluid level. Pemberian kontras akan menunjukkan adanya obstruksi mekanis dan letaknya. Pada ileus obstruktif letak rendah jangan lupa untuk melakukan pemeriksaan rektosigmoidoskopi rektosi gmoidoskopi dan kolon (dengan colok dubur dan barium in loop) untuk mencari penyebabnya. Periksa pula kemungkinan terjadi hernia (Khan, 2012). Diagnosis Banding Pada ileus paralitik nyeri yang timbul lebih ringan tetapi konstan dan difus, dan terjadi distensi abdomen. Ileus paralitik, bising usus tidak terdengar dan tidak terjadi ketegangan dinding perut. Bila ileus disebabkan oleh proses inflamasi akut, akan ada tanda dan gejala dari penyebab primer tersebut. Gastroenteritis akut, apendisitis akut, dan pankreatitis akut juga dapat menyerupai obstruksi usus sederhana (Schrock, 1993). Tes
laboratorium
mempunyai
keterbatasan
nilai
dalam
menegakkan diagnosis, tetapi sangat membantu memberikan penilaian berat ringannya dan membantu dalam resusitasi. Pada tahap awal, ditemukan hasil laboratorium yang normal. Selanjutnya ditemukan adanya hemokonsentrasi, leukositosis dan nilai elektrolit yang abnormal. Peningkatan serum amilase sering didapatkan. Leukositosis menunjukkan menunjukkan adanya iskemik atau strangulasi, tetapi hanya terjadi pada 38% - 50% obstruksi strangulasi dibandingkan 27% - 44% pada obstruksi non strangulata. Hematokrit yang meningkat dapat timbul pada dehidrasi. Selain itu dapat ditemukan adanya gangguan elektrolit. Analisa gas darah mungkin terganggu, dengan alkalosis metabolik bila muntah berat, dan metabolik asidosis bila ada tanda – tanda shock, dehidrasi dan ketosis (Himawan, 1996). Radiologis Posisi supine (terlentang): tampak herring bone appearance. Posisi setengah duduk atau LLD: tampak step ladder appearance atau cascade. Adanya dilatasi dari usus disertai diserta i gambaran “step ladder” dan “air fluid 24
level” pada foto polos abdomen dapat disimpulkan bahwa adanya suatu obstruksi. Foto polos abdomen mempunyai tingkat sensitivitas 66% pada obstruksi usus halus, sedangkan sensitivitas 84% pada obstruksi kolon (Andari, 1994). a. Foto polos abdomen 3 posisi 1. Ileus obstruktif letak tinggi Tampak dilatasi usus di proksimal sumbatan (sumbatan paling distal di iliocaecal junction) dan kolaps usus di distal sumbatan. Penebalan
dinding
usus
halus
yang
mengalami
dilatasi
memberikan gambaran herring bone appearance, karena dua dinding usus halus yang menebal dan menempel membentuk gambaran vertebra dan muskulus yang sirkuler menyerupai kosta. Tampak air fluid level pendek-pendek berbentuk seperti tangga yang disebut disebut step ladder appearance karena cairan transudasi berada dalam usus halus yang terdistensi (Andari, 1994).
Gambar5. Gambaran Herring bone appearance 2. Ileus obstruktif letak rendah Tampak dilatasi usus halus di proksimal sumbatan (sumbatan di kolon) dan kolaps usus di distal sumbatan. Penebalan dinding usus halus yang mengalami dilatasi memberikan gambaran 25
herring bone appearance, karena dua dinding usus halus yang menebal dan menempel membentuk gambaran vertebra dan muskulus yang sirkuler menyerupai kosta. Gambaran penebalan usus besar yang juga distensi tampak di tepi abdomen. Tampak gambaran air fluid level pendek-pendek berbentuk seperti tangga yang disebut disebut step ladder appearance karena cairan transudasi berada dalam usus halus yang terdistensi dan air fluid level panjang-panjang di kolon (Andari, (Andari, 1994).
Gambar 6. Gambaran air fluid level b. CT – Scan Scan harus dilakukan dengan memasukkan zat kontras kedalam pembuluh darah. Pada pemeriksaan ini dapat diketahui derajat dan lokasi dari obstruksi. c. USG. Pemeriksaan ini akan mempertunjukkan gambaran dan penyebab dari obstruksi. d. MRI. Walaupun pemeriksaan ini dapat digunakan. Tetapi tehnik dan kontras yang ada sekarang ini belum secara penuh mapan. Tehnik ini digunakan untuk mengevaluasi iskemia mesenterik kronis. e. Angiografi. Angiografi mesenterik superior telah digunakan untuk mendiagnosis adanya herniasi internal, intussuscepsi, volvulus, malrotation, dan adhesi (Andari, 1994). 26
X.
Komplikasi
Strangulasi menjadi penyebab dari keabanyakan kasus kematian akibat obstruksi usus. Isi lumen usus merupakan campuran bakteri yang mematikan, hasil-hasil produksi bakteri, jaringan nekrotik dan darah. Usus yang
mengalami
strangulasi
mungkin
mengalami
perforasi
dan
menggeluarkan materi tersebut ke dalam rongga peritoneum. Pada obstruksi kolon dapat terjadi dilatasi progresif pada sekum yang berakhir dengan perforasi sekum sehingga terjadi pencemaran rongga perut dengan akibat peritonitis umum. Tetapi meskipun usus tidak mengalami perforasi bakteri dapat melintasi melintas i usus yang permeabel tersebut terse but dan masuk ke dalam sirkulasi tubuh melalui cairan getah bening dan mengakibatkan shock septic (Badash, 2005).
XI.
Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan adalah dekompresi bagian yang mengalami obstruksi untuk mencegah perforasi. Tindakan operasi biasanya selalu diperlukan. Menghilangkan penyebab obstruksi adalah tujuan kedua. Kadang-kadang suatu penyumbatan sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan, terutama jika disebabkan oleh perlengketan. Penderita penyumbatan usus harus di rawat di rumah sakit (Schrock, 2003). Dasar pengobatan ileus obstruksi adalah koreksi keseimbangan elektrolit dan cairan, menghilangkan peregangan dan muntah dengan dekompresi, mengatasi peritonitis dan syok bila ada, dan menghilangkan obstruksi untuk memperbaiki kelangsungan dan fungsi usus kembali normal (Andari, 1994). Dalam resusitasi yang perlu diperhatikan adalah mengawasi tanda – tanda tanda vital, dehidrasi dan syok. Pasien yang mengalami ileus obstruksi mengalami dehidrasi dan gangguan keseimbangan ektrolit sehingga perlu diberikan cairan intravena seperti ringer laktat. Respon terhadap terapi dapat dilihat dengan memonitor tanda – tanda tanda vital dan jumlah urin yang 27
keluar. Selain pemberian cairan intravena, diperlukan juga pemasangan nasogastric tube (NGT). NGT digunakan untuk mengosongkan lambung, mencegah aspirasi pulmonum bila muntah dan mengurangi distensi abdomen (Schrock, 1993). Pemberian obat – obat antibiotik spektrum luas dapat diberikan sebagai profilaksis. Antiemetik dapat diberikan untuk mengurangi gejala mual muntah (Mansjoer, 2000). Operasi dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi nasogastrik untuk mencegah sepsis sekunder. Operasi diawali dengan laparotomi kemudian disusul dengan teknik bedah yang disesuaikan dengan hasil eksplorasi selama laparotomi (Mansjoer, 2000). a. Persiapan Operasi Pipa lambung harus dipasang untuk mengurangi muntah, mencegah aspirasi dan mengurangi distensi abdomen (dekompresi). Pasien dipuasakan, kemudian dilakukan juga resusitasi cairan dan elektrolit untuk perbaikan keadaan umum. Setelah keadaan optimum tercapai barulah
dilakukan
karsinomatosis
laparatomi.
abdomen
dengan
Pada
obstruksi
pemantauan
dan
parsial
atau
konservatif
(Schrock, 1993). b. Operasi Operasi dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi nasogastrik untuk mencegah sepsis sekunder. Operasi diawali dengan laparotomi kemudian disusul dengan teknik bedah yang disesuaikan dengan hasil eksplorasi selama laparotomi. Operasi dapat dilakukan bila sudah tercapai rehidrasi dan organ-organ vital berfungsi secara memuaskan. Tetapi yang paling sering dilakukan adalah pembedahan sesegera mungkin. Tindakan bedah dilakukan bila terjadi: 1. Strangulasi 2. Obstruksi lengkap 3. Hernia inkarserata
28
4. Tidak ada perbaikan dengan pengobatan konservatif (dengan pemasangan NGT, infus, oksigen dan kateter) (Sjamsuhidajat, 2003).
c. Pasca Operasi Pengobatan pasca bedah sangat penting terutama dalam hal cairan dan elektrolit.
Harus
dicegah
terjadinya
gagal
ginjal
dan
harus
memberikan kalori yang cukup. Perlu diingat bahwa pasca bedah, usus pasien masih dalam keadaan paralitik. Tujuan pengobatan yang paling utama adalah dekompresi kolon yang mengalami obstruksi sehingga kolon tidak perforasi, tujuan kedua adalah pemotongan bagian yang mengalami obstruksi (Sjamsuhidajat, 2003). 2003). Persiapan sebelum operasi sama seperti persiapan pada obstruksi usus halus, operasi terdiri atas proses sesostomi dekompresi atau hanya kolostomi transversal pada pasien yang sudah lanjut usia. Perawatan sesudah operasi ditujukan untuk mempersiapkan pasien untuk menjalani reseksi elektif kalau lesi obstruksi pada awalnya memang tidak dibuang (Schrock, 1993).
XII.
Prognosis
Mortalitas ileus obstruktif ini dipengaruhi banyak faktor seperti umur, etiologi, tempat dan lamanya obstruksi. Jika umur penderita sangat muda ataupun tua maka toleransinya terhadap penyakit maupun tindakan operatif yang dilakukan sangat rendah sehingga meningkatkan mortalitas. Pada obstruksi kolon mortalitasnya lebih tinggi dibandingkan obstruksi usus halus (Khan, 2012). Obstruksi usus halus yang tidak mengakibatkan strangulasi mempunyai angka kematian 5 %. Kebanyakan pasien yang meninggal adalah pasien yang sudah lanjut usia. Obstruksi usus halus yang mengalami strangulasi mempunyai angka kematian sekitar 8 % jika operasi dilakukan dalam jangka waktu 36 jam sesudah timbulnya gejalagejala, dan 25 % jika operasi diundurkan lebih dari 36 jam. Pada obstruksi 29
usus besar, biasanya angka kematian berkisar antara 15 – 30 30 %. Perforasi sekum merupakan penyebab utama kematian yang masih dapat dihindarkan (Khan, 2012).
B. Tindakan Anestesi I.
Persiapan Pre Anestesi
Pemeriksaan ini dilakukan seperti pemeriksaan pada umumnya yaitu anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang lainnya. Secara umum pemeriksaan pre operatif meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dan menentukan menentukan prognosis dari operasi. 1. Anamnesis Yang perlu diperhatikan adalah identitas pasien, keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, riwayat obat-obatan, riwayat anestesi atau operasi sebelumnya, riwayat kebiasaan dan konsumsi makan terakhir 2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik yang dilakukan secara umum adalah pemeriksaan antropometri berupa tinggi badan dan berat badan, kesadaran, keadaan umum, tanda tanda anemia, ikterus, sianosis, dehidrasi, edema, dan tanda vital berupa tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi napas, suhu tubuh.setelah dilakukan pemeriksaan secara umum, maka dilakukan pemeriksaan 6B yaitu: Brain, yaitu: Brain, Breath, Blood, Bowel, Bladder dan dan Bone. Bone. Pada pemeriksaan Brain pemeriksaan Brain yang yang dinilai diantaranya adalah GCS dan kelainan pada saraf pusat dan perifer. Pada pemeriksaan Breath Breath yang dinilai adalah jalan napas, pola napas, suara napas, dan anatomi fungsi paru. Selain itu juga dilakukan evaluasi tentang penyulit dalam intubasi seperti panjang leher, gangguan membuka mulut, kekakuan otot leher, masalah gigi (gigi tanggal, gigi goyang, gigi palsu) dan lidah relatif besar. Pada pemeriksaan Blood yang dinilai adalah tekanan darah, suara jantung dan kelalinan anatomis fungsi jantung. Pemeriksaan Bowel dapat dinilai dengan cara menanyakan makan minum terakhir, memeriksa bising usus, gangguan peristaltik dan gangguan lambung dan kehamilan. Sedangkan pada pemeriksaan Bladder pemeriksaan Bladder yang yang dicek adalah prosuksi urine 30
untuk mengetahui apakah ada gangguan ginjal atau tidak. Pemeriksaan yang terakhir adalah Bone yang dinilai adalah kelainan postur, kelainan neuromuskuler dan ada atau tidaknya patah tulang.
3. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan darah, EKG dan radiologi. Adapun pemeriksaan penunjang yang rutin dilakukan adalah pemeriksaan darah rutin (Hb, leukosit, trombosit, hematokrit) dan pemeriksaan kimia klinik seperti fungsi hepar (SGOT, SGPT, albumin), fungsi ginjal (urine lengkap, BUN, serum kreatinin), fungsi hemostasis (PT, APTT), dan serum elektrolit (Na, K, Cl). Sedangkan pemeriksaan fisik yang dilakukan berdasarkan indikasi di antaranya adalah pemeriksaan EKG, pemeriksaan radiologi (foto thorak, BOF, CT scan, USG). 1. Menentukan prognosis, morbiditas dan mortalitas operasi Prognosis suatu operasi dapat ditentukan melalui status kalsifikasi fisik ASA (American Society of Anesthesiology) Anesthesiology) dengan kategori sebagai berikut :
31
Selain itu, untuk memprediksi keadaan buruk yang spesifik akan berpengaruh pada kelancaran operasi seperti : a. Masalah dengan jalan napas Berhubungan dengan kesulitan intubasi pada proses operasi. Salah satu penilaian klinik yang dapat dilakukan untuk menilai kemungkinan terjadinya kesulitan intubasi adalah tes Mallampati tes Mallampati dan dan Thyromental Distance (TMD). Tes mallampati dilakukan dengan cara pasien membuka mulut semaksimal mungkin yang dapat dilakukan disertai dengan lidah menjulur ke depan, dan pada saat itu yang dilihat adalah daerah bagian faring posterior. Apabila pada tes Mallampati ditemukan bagian faring posterior tidak dapat terlihat, maka Mallampati kemungkinan akan terjadi kesulitan dalam intubasi. Adapun interpretasi dari tes Mallampati adalah :
32
1. Grade I : Faring posterior, uvula, dan palatum mole terlihat jelas, seluruh tonsil terlihat jelas 2. Grade II : faring posterior tidak terlihat, uvula dan palatum mole terlihat sedangkan, setengah keatas dari fossa tonsil terlihat 3. Grade III : faring posterior tidak terlihat, uvula hanya terlihat bagian basis, palatum mole dan palatum durum masih terlihat 4. Grade IV : Faring posterior, uvula dan palatum mole tidak terlihat, hanya palatum durum yang terlihat.
Thyromental Distance (TMD) adalah jarak yang diukur dari bagian mentum sampai ke kartilago tiroid dengan posisi kepala ekstensi maksimal. Hasil pengukuran TMD > 6,5 cm dapat dikategorikan mudah untuk dilakukan intubasi, TMD 6-6,5 cm sulit intubasi tapi masih bisa dilakukan dengan menggunakan bantuan optical stylet, stylet, sedangkan TMD < 6 cm merupakan indikasi sulit dilakukan untubasi dan pemasangan laringoskop.
33
b. Kondisi jantung yang tidak baik Untuk menilai kondisi jantung yang tidak baik pada operasi non kardiak dapat dilakukan menggunakan penghitungan indeks Goldman.
Faktor Risiko
Nilai
Suara jantung III atau distensi vena jugularis
11
MI dalam 6 bulan terakhir
10
Irama selain sinus atau kontraksi prematur atrial
7
Lebih dari 5 denyutan ventrikel ektopik dalam 1
7
Menit Operasi abdomen, toraks, atau aorta
3
Usia > 70 tahun
5
Important cardiac stenosis Tindakan pembedahan darurat Kondisi buruk yang ditandai ditandai salah satu dari:
3 4 3
- PaO2 < 8 kPa - PaCo2 > 6,5 6,5 kPa - Kalium < 3 mmol/L mmol/L - HCO3 < 20 mmol/L mmol/L - Urea > 7,5 mmol/L mmol/L - Kreatinin > 270 µmol/L - SGOT abnormal - Penyakit hepar kronis Total nilai
53
c. Komplikasi respirasi Pada pasien dengan kebiasaan merokok, penyakit paru sebelumnya, obesitas dan pasien yang menjalani operasi daerah toraks atau abdomen mempunyai kemungkinan untuk timbulnya komplikasi masalah respirasi secara operasi. Tetapi untuk mempresiksi hal ini adalah sesuatu yang sulit. Diperlukan pemeriksaan lain seperti Analisa Gas Darah preoperasi. Bila nila PaO2 preoperasi pr eoperasi 34
kurang dari 9 kPa, ditambah dengan dispneu saat istirahat, hampir dapat dipastikan diperlukan bantuan ventilasi mekanik pasca bedah.
II.Terapi Cairan
Larutan elektrolit isotonik digunakan untuk resusitasi awal. Jenis cairan ini mengisi intravaskular dalam waktu singkat dan juga menstabilkan volume vaskular dengan cara menggantikan cairan berikutnya ke dalam ruang interstitial dan intraselular. Larutan ringer laktat adalah cairan pilihan pertama. NaCl fisiologis adalah pilihan kedua. Walupun NaCl fisiologis merupakan pengganti yang baik namun cairan ini memiliki potensi untuk terjadinya asidosis hiperkloremik. Kemungkinan ini bertambah besar bila fungsi ginjalnya kurang baik. Pada saat awal, cairan hangat diberikan dengan tetesan cepat sebagai bolus. Dosis awal adalah 1 sampai 2 liter pada dewasa dan 20 ml/kg pada anak. Respons penderita terhadap pemberian cairan ini dipantau, dan keputusan pemeriksaan diagnostik atau terapi lebih lebih lanjut akan tergantung pada respons ini. Larutan kristaloid adalah larutan air dengan elektrolit dan atau dextrosa, tidak mengandung molekul besar. Kristaloid dalam waktu singkat sebagian besar akan keluar dari intravaskular, sehingga volume yang diberikan harus lebih banyak (2,5-4 kali) dari volume darah yang hilang. Kristaloid mempunyai waktu paruh intravaskular 20-30 menit. Ekspansi cairan dari ruang intravaskular ke interstisial berlangsung selama 30-60 menit sesudah infus dan akan keluar dalam 24 - 48 jam sebagai urin. Secara umum kristaloid digunakan untuk meningkatkan volume ekstrasel dengan atau tanpa peningkatan volume intrasel.
Cairan
K Cl Ca Na+ (mEq/L) (mEq/L) (mEq/L) (mEq/L)
HCO3 (mEq/L)
Tekanan Osmotik (mOsm/L)
Ringer Laktat
130
4
190
3
28
273
Ringer Asetat
130
4
109
3
28
273
NaCl 0,9%
154
0
0
0
0
308
35
C. Manajemen Intraoperatif
a. Premedikasi Premedikasi adalah pemberian obat-obat tertentu sebelum tindakan anestesia, untuk membantu induksi anestesia, pemeliharaan, dan pemulihan yang baik. Adapun tujuan premedikasi adalah dapat mengurangi kegelisahan / kecemasan, mengurangi sekresi saliva, mencegah refleks-refleks yang tidak diinginkan, memudahkan induksi anestesia, mengurangi dosis obat yang diperlukan untuk anesthesia, menghasilkan amnesia, menghasilkan analgesia, , mencegah muntah post-operatif Ondancetron adalah suatu antagonis 5-HT3 yang sangat selektif dapat menekan mual dan muntah karena sitostatika misalnya cisplatin dan radiasi. Mekanisme kerjanya diduga langsung mengantagonisasi reseptor 5-HT yang terdapat pada chemoreseptor trigger zone didaerah postrema otak dan mungkin juga pada affern vagal saluran cerna. Ondansetron mempercepat pengosongan lambung, bila kecepatan basal rendah. Tetapi waktu transit saluran cerna memanjang sehingga dapat menyebabkan terjadinya konstipasi. Ondansetron dimetabolisme di hati. Digunakan untuk mencegah mual dan muntah yang berhubungan dengan operasi dan pengobatan kanker dengan radiografi dan sitotastika. Dosis yang digunakan 0,1 – 0,1 – 0,2 0,2 mg/kg i.v. Efek samping biasanya ditoleransi dengan baik. Keluhan yang sering ditemukan adalah konstipasi. Gejala lain berupa sakit kepala, mengantuk, gangguan saluran cerna. Kontraindikasi pada hipersensitifitas, sebaiknya tidak digunakan pada ibu hamil dan menyusui karena kemungkinan disekresikan ke dalam ASI. Pasien dengan penyakit hati mudah mengalami intoksikasi. b. Induksi Pemberian anastesi dimulai dengan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan, tergantung lama operasinya, untuk operasi yang waktunya pendek mungkin cukup dengan induksi saja. Tetapi untuk operasi yang lama, 36
kedalaman anastesi perlu dipertahankan dengan memberikan obat terusmenerus dengan dosis tertentu, hal ini disebut maintenance maintenance atau atau pemeliharaan, setelah tindakan selesai pemberian obat anastesi dihentikan dan fungsi tubuh penderita dipulihkan, periode ini disebut pemulihan/recovery pemulihan/recovery ( Soenarjo Soenarjo dan Haru, 2013).
1) Persiapan induksi STAT ST AT I CS :
S = Scope yaitu stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
Laringo-Scope Tubes yaitu yaitu pipa trakea. Usia >5 tahun dengan balon(cuffed) T = Tubes Airway yaitu yaitu pipa mulut faring (orofaring) dan pipa hidung faring A = Airway (nasofaring) yang digunakanuntuk menahan lidah saat pasien tidak sadar agar lidah tidak menymbat jalan napas T = Tape Tape yaitu plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau
tercabut I = Introductor Stilet atau mandrin untuk pemandu agar pipa trakea
mudah dimasukkan C = Connector. Connector. Penyambung Penyambung pipa dan perlatan anestesia
Suction. Penyedot Penyedot lendir dan ludah S = Suction. 2) Induksi Intravena Paling banyak digunakan, dilakukan dengan hati-hati, perlahanlahan, lembut dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. 1. Propofol Dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonic dengan kepekatan 1% (1ml = 10 mg). Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena. i ntravena. Propofol merupakan obat sedative-hipnotik yang digunakan dalam induksi dan pemeliharaan anestesi maupun sedasi. Dosis 37
yang digunakan sebesar 2,5-3 mg/kgBB dengan onset 30-40 detik dan durasi 5-10 menit. Dosis rumatan untuk anestesia intravena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0.2 mg/kg. Tidak dianjurkan untuk anak < 3 tahun dan pada wanita hamil. 2. Tiopental (pentotal, tiopenton) Sebelum digunakan dilarutkan dalam akuades steril sampai kepekatan 2,5% (1ml = 25mg). Hanya boleh digunakan untuk intravena dengan dosis 3-7 mg/kg disuntikan perlahan-lahan dihabiskan dalam 30-60 detik. Bergantung dosis dan kecepatan suntikan tiopental akan menyebabkan pasien berada dalam keadaan sedasi, hypnosis, anestesia atau depresi napas. Tiopental menurunkan aliran darah otak, tekanan likuor, tekanan intrakranial dan diduga dapat melindungi otak akibat kekurangan O2. Dosis rendah bersifat antianalgesi. 3. Ketamin (ketalar) Kurang
digemari
karena
sering
menimbulkan
takikardia,
hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesia dapat menimbulkan mual-muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk. Sebelum
pemberian
sebaiknya
diberikan
sedasi
midazolam
(dormikum) atau diazepam (valium) dengan dosis 0,1 mg/kg intravena dan untuk mengurangi salvias diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kg. mg/kg. Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10 mg. Ketamin dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1ml = 10mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% ( 1ml = 100 mg). 3) Induksi Inhalasi Rocuronium diindikasikan sebagai tambahan pada anestesia umum untuk mempermudah intubasi endotrakeal serta memberikan relaksasi otot rangka selama pembedahan. Dosis yang digunakan dalam intubasi endotrakeal: 0,6-1,2 mg/kgBB, sedangkan dosis pemeliharaan: 0,1- 0,2 mg/kgBB. 38
Anestesi inhalasi adalah anestesi dengan menggunakan gas atau cairan anestetika yang mudah menguap (volatile agent) sebagai zat anestetika melalui udara pernapasan. Obat yang dapat digunakan contohnya adalah sevoflurane dan isoflurane. Obat yang digunakan untuk induksi inhalasi adalah obat-obat yang memiliki sifat-sifat : - tidak berbau menyengat / merangsang - baunya enak - cepat membuat pasien tertidur. Sifat-sifat tadi ditemukan pada halotan dan sevofluran.
Induksi inhalasi hanya dikerjakan dengan halotan (fluotan) atau
sevofluran. Cara induksi ini dikerjakan pada bayi atau anak yang belum terpasang jalur vena atau pada dewasa yang takut disuntik. Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran N2O dan O2. Induksi dimulai dengan aliran O2 > 4 liter/menit atau campuran N2O:O2=3:1 aliran > 4 liter/menit, dimulai dengan halotan 0,5 vol% sampai konsentrasi yang dibutuhkan. Kalau pasien batuk konsentrasi halotan diturunkan untuk kemudian kalau sudah tenang dinaikkan lagi sampai konsentrasi yang diperlukan.
Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang
batuk, walaupun langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol%. seperti dengan halotan konsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan.
Induksi dengan enfluran (etran), isofluran (foran, aeran), atau
desfluran jarang dilakukan, karena pasien sering batuk dan waktu induksi menjadi lama.
D. Manajemen Post Operatif
Pada akhir operasi, maka anastesi diakhiri dengan menghentikan pemberian obat anastesi, pada anastesi inhalasi bersamaan dengan penghentian obat anastesi aliran oksigenasi dinaikkan, hal ini disebut oksigenasi. Dengan oksigenasi maka oksigen akan mengisi tempat yang seblumnya ditempati oleh obat anastesi inhalasi 39
di alveoli yang berangsur-angsur keluar mengikuti udara ekspirasi. Dengan demikian tekanan parsial obat anastesi di alveoli juga berangsur-angsur turun, sehingga lebih rendah dibandingkan dengan tekanan parsial obat anastesi inhalasi dalam darah, maka terjadilah difusi obat anastesi inhalasi dari dalam darah menuju ke alveoli, semakin tinggi perbedaan tekanan parsial tersebut kecepata difusi makin meningkat. Kesadaran penderita juga berangsur-angsur pulih sesuai dengan turunnya kadar obat anastesi dalam darah (Desai, 2010). Persiapan membangunkan pasien dengan tujuan untuk mencegah depresi nafas pascabedah adalah menghentikan pemberian opioid yang bersifat middle middle atau atau long acting 60 menit sebelum opersi selesai, obat anastesi dihentikan saat menjahit kulit. Kadar PaCO2 dinaikkan ke arah normoventilasi. normoventilasi. Bagi penderita yang mendapat anastesi intravena, maka kesadarannya berangsur pulih dengan turunnya kadar obat anastesi akibat metabolisme atau ekskresi setelah pemberiannya dihentikan. Selanjutnya pada penderita yang dianastesi dengan respirasi spontan tanpa menggunakan pipa endotrakeal maka tinggal
menunggu
sadarrmya
penderita,
sedangkan
bagi
penderita
yang
menggunakan pipa endotrakeal maka perlu dilakukan ekstubasi (melepas pipa ET) ekstubasi bisa dilakukan pada waktu penderita masih teranastesi dalam dan dapat juga dilakukan setelah penderita sadar. Ekstubasi pada keadaan setengah sadar membahayakan penderita, karena dapat terjadi spasme jalan napas, batuk, muntah, gangguan kardiovaskuler, naiknya tekanan intra okuli dan naiknya tekanan intracranial. Ekstubasi pada waktu penderita masih teranastesi dalam mempunyai resiko tidak terjaganya jalan nafas dalam kurun waktu antara tidak sadar sampai sadar (Desai, 2010). Pada penderita yang mendapat balance balance anastesi maka ekstubasi dilakukan setelah napas penderita adekuat. Untuk mempercepat pulihnya penderita dari pengaruh muscle relaxan relaxan maka dilakukan reserve reserve,, yaitu memberikan obat anti kolinesterase. Skor Pemulihan Pasca Anestesi Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi terutama yang menggunakan general anestesi, maka perlu melakukan penilaian terlebih dahulu untuk menentukan apakah pasien sudah dapat dipindahkan ke ruangan atau masih perlu di observasi di ruang
40
Recovery room (RR). room (RR). Saat transfer ke PACU atau ICU berikan O2 dan monitoring EKG, tekanan darah, SpO2 terus dilakukan.
Tabel Ald A ldrr ete Sco Scorr e
Jika jumlahnya > 8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan. Penanganan post operatif yang diberikan pada pasien diantaranya adalah 1. Posisi pasien headup 30 derajat dengan posisi netral yaitu tidak miring ke kiri atau ke kanan, tidak hiperekstensi atau hiperfleksi. hiperfleksi. 2. Bila perlu diventilasi, pertahankan normokapni. Harus dihindari PaCO2 < 35 mmHg selama 24 jam pertama setelah cedera kepala. 3. Kendalikan tekanan darah dalam batas autoregulasi.
Sistolik tidak
boleh kurang dari 90 mmHg. Pasca cedera kepala terapi bila tekanan arteri rerata > 130 mmHg. mmHg.
41
4. Infus dengan NaCl 0.9%, batasi pemberian RL, bisa diberikan koloid. Hematokrit pertahankan 33%. 33%. 5. Bila Hb < 10 gr% beri darah. Biasanya pada pasien sehat ( bukan kelainan serebral) transfuse diberikan bila Hb < 8 gr%. gr%. 6. Untuk mengendalikan kejang dapat diberikan phenytoin 10-15 mg/kg bb dengan kecepatan 50 mg/menit. Bila sedang memberikan phenytoin terjadi kejang berikan diazepam 5-10 mg intravena (0,3 mg/kg bb) perlahan – perlahan – lahan lahan selama 1-2 menit. menit.
Terapi cairan paska bedah ditujukan untuk a. Memenuhi kebutuhan air, elektrolit dan nutrisi. b. Mengganti kehilangan cairan pada masa paska bedah (cairan lambung, febris). c. Melanjutkan penggantian defisit prabedah dan selama pembedahan. d. Koreksi gangguan keseimbangan karena terapi cairan. Nutrisi parenteral bertujuan menyediakan nutrisi lengkap, yaitu kalori, protein dan lemak termasuk unsur penunjang nutrisi elektrolit, vitamin dan trace element. Pemberian kalori sekitar 25 Kkal/kgBB/hari dengan protein 0,8 element. gram/kgBB/hari. Nutrisi parenteral ini penting, karena pada penderita paska bedah yang tidak mendapat nutrisi sama sekali akan kehilangan protein 75 – 75 – 125 125 gr/hari.
E. Komplikasi Anestesi
Semua pasien anestesi, terutama yang diintubasi, lebih memiliki resiko untuk mengalami komplikasi. Mual dan muntah adalah hal yang paling. Terjadi karena pipa ETT dipasang terlalu erat, sehingga mukosa trachea menjadi bengkak. Laringospasme adalah salah satu komplikasi yang mungkin terjadi. Biasanya terjadi pada anestesi stadium II. Jika terjadi, suksinilkolin dapat digunakan, bersama dengan atropine untuk mencegah brakikardi.
42
BAB III KESIMPULAN
1. Pasien T. U usia 83 tahun dengan Ileus Obstruksi dilakukan tindakan Laparatomi eksplorasi, colostomy pada tanggal 12 mei 2019 dengan teknik anestesi General Anestesi. 2. Tahapan preoperatif diantaranya adalah dengan memeriksa pasien untuk memastikan kelayakan pasien apakah dapat dilakukan operasi atau tidak. 3. Tahapan intraoperatif adalah dengan pemberian anestesi dengan teknik General anestesi dan pemasangan ET. 4. Tahapan
post
operatif
dengan
monitoring
pasien
dibangsal
berupa
keseimbangan cairan, kesadaran, tanda vital manajemen nyeri, dan pemberian antibiotik.
43
DAFTAR PUSTAKA
Andari, K. 1994. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Lab/UPF Ilmu Bedah. Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Soetomo. Surabaya Badash, Michelle. 2005. Paralytic Ileus (Adynamic Ileus, Non-mechanical Bowel Obstruction). EBSCO Publishing. Barash, P. G., Cullen, B. F., Stoelting, R. K., Cahalan, M. K., Stock, M. C. 2009. Handbook of Clinical Anesthesia. 6th edition. edition . USA: Lippincott Williams & Wilkins. Bilotta F, Guerra C, Rosa G. 2013. “Update on anesthesia for craniotomy ”. Opin Anesthesiol. Vol.26 Anesthesiol. Vol.26 :517 – 522 522
Curr
Desai, Arjun M. 2010. Anestesi. Stanford University School of Medicine. Diakses http://emedicine.medcape.com dari: http://emedicine.medcape.com Doherty Gerard. Small Intestine. In Current Diagnosis & Treatment: Surgery. United States of America: Mc Graw Hill’s. 2005 2005 Ezekiel MR: Handbook of Anesthesiology, 2007 – 2008 2008 edition. Laguna Hills, California, Current Clinical Strategies Publishing, 2007 – 2008 2008 Feliciano, David, Kenneth Mattox, Ernest Moore. 2012. Trauma Trauma.. 7th Ed. New York: McGraw-Hill. Himawan S. Gannguan Mekanik Usus (Obstruksi). Dalam: Patologi. Penerbit Staf Pengajar bagian Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 1996; 204 – 204 – 6. 6. J.Corwin, Elizabeth.,2001. Buku Saku Patofisiologi. Patofisiologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta Japardi I. 2015. Buku Teks Komprehensif Meningioma. Meningioma. Departemen Ilmu Bedah Saraf. Bhuana Ilmu Populer : Medan Khan AN., Howat J. Small-Bowel Obstruction. Last Updated: june4, 2012. In: Http://www.yahoo.com/search/cache?/ileus_obstructif/Article:By:eMedicin e.com Latief, S.A, Surjadi K, Dachlan R., 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Anestesiologi. Edisi Pertama. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Manaf M, Niko dan Kartadinata, H. Obstruksi Ileus. 1983. Accessed June 2, 2010 Mangku, Gde, Tjokorda Gde Agung Senapthi, 2010, Buku 2010, Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi,, Indeks. Reanimasi Mansjoer A., Suprohaita, Wardhani WI., Setiowulan W. Ileus Obstruktif. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 2. Penerbit Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2000; 318 – 318 – 20. 20.
44
Price, S.A. 1994. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit. Editor: Price, S.A., McCarty, L., Wilson. Editor terjemahan: Wijaya, Caroline. Jakarta: EGC Price, Sylvia A., Wilson M. Lorraine. 2007. Patofisiologi Konsep Klinis dan Proses Penyakit . Jakarta: EGC. Said, A L, Suntoro A, Anestesi A, Anestesi Pediatrik , Anestesiologi, Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. d The Santry, Heena P., and Hasan B.A. ‘Fluid Rescucitation: Past, Present an and Future’. HHS Future’. HHS Public Access , 2016; 33 (3):229-241 Scanlon, Valerie., 2007. Buku Ajar Anatomi dan Fisiologi Edisi 3. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Schick U, Bleyen J, Bani A. 2006. “Management of meningiomas en plaque of the sphenoid wing”. Journal Neurosurgical. Vol. Neurosurgical. Vol. 104 : 208 – 214 214 Schrock TR. Obstruksi Usus. Dalam Ilmu Bedah Bedah (Handbook of Surgery). Surgery). Alih Bahasa: Adji Dharma, dkk. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 1993; 239 – 239 – 42. 42. Soenarjo dan Haru D.J. Anestesiologi Edisi Kedua. Kedua. Semarang: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran UNDIP
45
View more...
Comments