Michel Foucault: Kontinuitas Dan Diskontinuitas Dalam Sejarah

September 28, 2017 | Author: Enii Defitriani Z' | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Kontinuitas dan Diskontinuitas dalam Sejarah...

Description

MICHEL FOUCAULT: KONTINUITAS DAN DISKONTINUITAS DALAM SEJARAH1

Oleh: M. A. Hanif

Sejarah adalah cerita tentang peristiwa masa lampau. Sejarah ada seiring dengan hadirnya manusia. Oleh karena itu sejarah dapat dikatakan sebagai induk dari pengetahuan manusia. Seiring dengan perkembangan waktu pula manusia memiliki kesadaran untuk mencatat atau mengabadikan peristiwa yang dia saksikan atau peristiwa yang dia alami. Sebenarnya bentuk pertama dari sejarah manusia ini di suatu daerah biasanya akan diceritakan dalam bentuk legenda atau cerita rakyat secara turun temurun. Cerita-cerita tersebut masih mengandung banyak mitos dan hampir tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Penulisan sejarah banyak muncul pada masa kerajaan dengan bentuk babad dan serat. Namun cerita tersebut juga masih banyak dibumbui dengan berbagai mitos yang ada. Di Indonesia sendiri sebagai contoh, baru memiliki data atau dokumen-dokumen yang dapat dipertanggungjawabkan pada masa kolonial. Hal ini berkaitan dengan budaya barat (bangsa kolonial) yang selalu membuat catatan harian yang cukup lengkap. Namun demikian, perkembangan ilmu sejarah pada masa kemudian menuntut rekonstruksi sejarah sedekat-dekatnya. Oleh karena itu kemudian muncul sejarah kritis, dengan menerapkan pendekatan multidisipliner dari berbagai sudut pandang, seperti politik, ekonomi, dan sosial. Perkembangan ilmu sejarah tersebut akhirnya juga terkait dengan filsafat. Beberapa filsuf adalah juga seorang sejarawan. Salah satunya adalah Michel Foucault, yang seringkali disebut sebagai filsuf-sejarah (philosopher-historian). Foucalt menyatakan hanya manusia yang mempunyai sejarah dan sanggup

1

Tugas ini merupakan Tugas Akhir Semester yang dikumpulkan pada Mata Kuliah Historiografi. Dosen Pengampuh Bapak Dr. Nopriyasman, M.Hum.

1

mempelajari sejarah. Manusia merupakan pencipta subjek yang membentuk sejarah. Jadi dapat dikatakan bahwa manusia menciptakan sejarahnya sendiri. Dewasa ini, sejarah seringkali diartikan sebagai sebuah rangkaian peristiwa berkesinambungan yang disusun secara kronologis. Lebih lanjut, pemaknaan tradisional juga cenderung menafsirkan sejarah hanya sebagai kajian tentang relasi kausalitas antara peristiwa terdahulu dengan setelahnya. Namun benarkah sejarah hanya sekumpulan “dokumen” pembentuk hubungan sebabakibat antar peristiwa semata? Merujuk teori kontinuitas atau kesinambungan dari masa ke masa, sejarah memang dianggap sebagai sekumpulan wacana yang dilapisi peristiwa yang diam dan konstan. Sejarah juga hanyalah penghimpun peristiwa yang menjadi acuan dan pembukti adanya hubungan sejumlah peristiwa. Namun teori ini tidak selamanya dapat dimaknai secara struktural. Teoritikus asal Prancis, Michel Foucault mencoba menampiknya. Dalam bukunya yang berjudul Arkeologi Pengetahuan, Foucault menyatakan sejarah tidaklah sesederhana itu. Menurutnya, dimungkinkan adanya retakan-retakan dalam sejarah yang kadang dilupakan oleh sejarawan. Ini terjadi lantaran sejarawan seringkali terjebak dalam pencarian hubungan kausalitas sejumlah peristiwa. Retakan ini yang disebut oleh Foucault sebagai diskontinuitas dalam sejarah. Menurutnya diskoninuitas merupakan sesuatu yang ada dalam sejarah namun ditutupi oleh peristiwa lainnya. Oleh karena itu, menurut Foucault sejarawan tidak hanya “bertugas” mengurutkan tahun terjadinya peristiwa, namun ia juga harus mengungkap apa yang terselubung di dalam peristiwa tersebut. Selubung itu terbentuk akibat tertutupi oleh tradisi yang telah lama bercokol di masyarakat. Sehingga dengan kentalnya tradisi yang tertanam, masyarakat tidak merasa perlu untuk menggali sejarah lebih dalam. Bahkan selubung itu ada yang sengaja dibentuk oleh beberapa kepentingan politik atau rezim untuk menghapus “kecacatan” di dalamnya. Lebih lanjut, Foucault mencoba mengungkapkan bahwa karya sastra maupun film pun juga berperan dalam menenggelamkan diskontinuitas. Hal ini 2

terjadi lantaran karya sastra dan film memiliki daya tarik yang besar untuk mengkonstruksi pemikiran seseorang. Yang pada akhirnya, mereka tidak ingin menerima adanya sesuatu yang bersifat baru dan menentang kebiasaan yang sudah melekat. Karena begitu rumit untuk membongkar selubung peristiwa itu, Foucault menganggap inilah tantangan sejarawan dalam mengungkap kebenaran ilmu pengetahuan. Diskontinuitas sejarah itu sangat perlu untuk diungkap agar tidak terjadi kesalahan pemahaman dalam menafsirkan suatu peristiwa. Untuk itu, penting bagi sejarawan menghubungkan dokumen sejarah dengan situasi politik maupun budaya yang menjadi latar terbuatnya dokumen tersebut. Dengan demikian, kebenaran sejarah dapat digali melalui kebenaran serta keaslian dokumen. Hubungan adanya intervensi ataupun konstruksi kekuasaan atau pengaruh lain dalam dokumen sejarah tersebut pun dapat diungkap. Foucault mengemukakan konsep ‘diskontinuitas sejarah’ yang menolak pandangan continous history. Perbedaan analisis sejarah tradisional dengan apa yang dikemukakan Nietzsche dan Foucault adalah sebagai berikut; pada model tradisional, peristiwa-peristiwa sejarah (fakta) yang dihimpun menjadi momenmomen dan individu-individu sebagai kesatuan yang besar. Model ini berusaha untuk mencari asal-usulnya, mencari unsur-unsur yang menghubungkannya, serta hubungan kausal antara peristiwa itu. Dalam hal ini kesamaan dan kontinuitas menjadi penting. Nietzsche dalam bukunya On the Genealogy of Morals melakukan analisis dengan memisahkan masa kini dengan masa lampau dengan menunjukkan perbedaan sifat yang mendasar antara kedua masa tersebut. Diskontinuitas diantara kedua masa tersebut terlihat dengan mengajukan prinsip perbedaan (principle of difference). Setiap pemikiran atau fakta sejarah harus dipahami sebagai kumpulan pernyataan yang berpangkal pada titik intensi penulis yang melahirkan pernyataan tersebut. Pemikiran sejarah yang dikembangkan oleh Faucoult sebenarnya tidak digunakan untuk mencari suatu tujuan tertentu yang didalamnya mengasumsikan adanya suatu perkembangan, tapi lebih untuk membantu dalam melihat bahwa masa kini adalah sama asingnya dengan masa silam. Pemikiran Foucault tidak membantu kita untuk melihat bagaimana masa kini muncul dari masa silam. 3

Karena itulah disebutkan bahwa pemikiran Foucault tentang sejarah cenderung ke sejarah masa kini. Foucault juga lebih tertarik pada momen atau kejadian-kejadian biasa, peristiwa yang kecil atau pinggiran yang umumnya diabaikan oleh ahli sejarah. Foucault meninggalkan analisis sejarah tradisional karena lebih mempertanyakan strata mana, peristiwa mana yang harus diisolasi dari yang lain, jenis hubungan dan rangkaian mana yang harus dikonstruksi, serta kriteria periodesasi mana yang cocok untuk strata-strata tersebut. Ketika pemikiran Faucoult muncul, tema-tema total history mulai menghilang digantikan dengan general history, yang banyak berbicara tentang seri-seri, segmentasi-segmentasi, batas-batas, perbedaan tingkatan, anakronistisanakronistis, dan kemungkinan jenis-jenis relasi. Faucoult juga memunculkan keterkaitan antara kuasa dan pengetahuan dalam sejarah. Kedua hal tersebut beroperasi

sebagai

suatu

model

yang

saling

menunjang

dan

saling

menghubungkan secara internal. Mereka juga tidak dapat dijelaskan atau direduksi hanya dari satu sisi saja. Kuasa dan pengetahuan mengimplikasikan antara yang satu dengan yang lainnya. Tidak ada hubungan kuasa tanpa ketentuan korelatif dari suatu bidang pengetahuan, juga tidak ada pengetahuan yang tidak mempersyaratkan dan membentuk pada waktu yang sama pada suatu hubungan kuasa.

4

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF